1993
89. Bedah Desember 1993
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary
Karya Sriwidodo WS
5. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukan Batu Saluran Kemih di Ujung Pandang dan di Tana Toraja – Bachtiar Razak 11. Efektivitas Antibiotika Turunan Sefalosporin terhadap Kuman pada Jaringan Apendiks – Elly Santosa, Dalima AW Astrawinata 16. Misdiagnosis Kusta pada Penyakit Buerger – M Adam M., Darwis Toena, Jenny Ritung, Zainuddin Maskur 19. Tonsilektomi – Hatmansjah 22. Perbandingan Pungsi vs. Insisi pada Terapi Abses Peritonsil di UPF THT RSUD Dr. Soetomo – Sri Roekmini Soebroto, Hoetomo Amatpoero 25. Abses Otak – Yussamsiar Yusran, P. Nara 28. Pemeriksaan Faal Paru Prabedah – M. Ali Hanafiah 32. Anestesi Nebulisasi pada Bronkoskopi – Priyadi Wijanarko 36. Various Types of Specific Acquired Deficiency Immune Status (SADIS) Following Various Kinds of Microbial Infections – 4a. the leprosy type (Lp-type) of SADIS caused by the human immunodeficiency virus type I (HIV-I) – RA Handojo, Anggraeni Inggrid Handojo 46. Skrining Mikroorganisme Penghasil Antibiotik – Usman Suwandi 49. Distribusi Geografis Pola Resistensi Shigella terhadap Beberapa Jenis Antibiotik di daerah Jakarta dan Jawa Barat – Pudjarwoto Triatmodjo 52. Penentuan Energi Rata-rata Berkas Elektron Terapi di Permukaan Fantom – Nasukha, Djumadi; Sri Sunarsih 57. Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran tahun 1993 60. Pengalaman Praktek 61. Humor Kedokteran 62. Abstrak 64. RPPIK
Untuk kedua kalinya Cermin Dunia Kedokteran mengambil topik Hepatitis sebagai masalah utama, kali ini lebih terarah kepada Hepatitis C. Dan untuk lebih memperluas pembahasan, kali ini disertakan juga masalah Hepatoma dan makalah lain mengenai Edema Paru Kardiogenik. Artikel lain yang juga menarik ialah mengenai golongan darah ABO, peranan kortikosteroid terhadap sistim imun, kekurangan yodium dan masalah diare kronik di kalangan anak-anak balita. Selamat membaca, Redaksi
Segenap Redaksi Cermin Dunia Kedokteran mengucapkan selamat kepada : Prof. Dr. Den Liang Hie MSc. atas pengukuhan beliau sebagai Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tanggal 18 Desember 1993
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
1992
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
REDAKSI KEHORMATAN KETUA PENGARAH Dr Oen L.H KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
– Prof. DR. B. Chandra
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
PELAKSANA Sriwidodo WS TATA USAHA Sigit Hardiantoro
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Midas Surya Grafindo
– Drg. I. Sadrach
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta
– Prof. DR. Sumarno Poorwo Soedarma Kepala Badan Penlitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
REDAKSI KEHORMATAN – DR. B. Setiawan
– Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSc.
– DR. Ranti Atmodjo
– Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor
sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Padaogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Padaologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
3
English Summary EFFICACY OF CEPHALOSPORIN TOWARDS MICROORGANISMS FOUND IN APPENDIX STUMPS Elly Santosa, Dalima AW Astrawinata Department of Clinical Padaology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta, Indonesia
Antibiotics which once was very effective towards many micro organisms is becoming less effective because of the wide and non-selective usage. The following study aims to find out the efficacy of each derivative of cephalosporin which is available on market. We observed that first generation cephalosporin is less effective towards microorganisms found in appendix stumps which are mostly Gram negative rods. The only rather effective one is cephazolin which has an efficacy of 75%. Second and third generation cephalosporin has a good efficacy even for Pseudomonas aeruginosa. There is no difference between the efficacy of cephazolin towards E. coli compared to the second and third generation, but we found a significant difference compared to the other first generation. Cermin Dunia Kedokt. 1993; 89: 11–5 Es, Da
BUERGER DISEASE MISDIAGNOSED AS LEPROSY M. Adam M., Darwis Toena, Jenny Ritung, Zainuddin Maskur Dept. of Dermatovenereology, Faculty of Medicine, Hasanuddin University, Ujung Pandang, Indonesia
Burger disease is a segmentally vascular disorder in the
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
extremities, resulted in. ischemic fingers and toes. It has a clinical picture similar to leprosy. The case was a 32 year old man with deformity and mutilation of fingers and toes; he felt pain when he walks. He has been treated for 3 years as leprosy patient at the local health centre. The diagnosis of Burger disease was based on history, clinical. findings and arteriography. Further medical treatment was carried out in cooperation with Department of Surgery, RSU Dadi, Ujung Pandang. The aetiology, padaogenesis and treatment of Burger disease have also been discussed. Cermin Dunia Kedokt. 1993; 89: 16–8 MaM, Dt, Jr, Zm
BRAIN ABCESS Yussamsiar Yusran, P. Nara Neurology Subdept., Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, Hasanuddin University, Ujung Pandang, Indonesia
Brain abscess (BA) is a localized pyogenic reaction occuring within the brain parenchyma. The incidence of BA is unknown. With the availability of different antibiotics nowadays the incidence is remarkably reduced. Various organisms can be isolated from the brain abscess such as cocci, bacilli, parasites and fungi. Mode of infection of the brain tissue may be either directly or indirectly through hematogenous and contaguous spreading. Four stages of padaologic changes can be discerned early cerebritis, late cerebritis early encapsulation of the abscess.
BA is treated conventionally with antibiotics and or surgically. Prognosis depends on early establishment of diagnosis, padaologic features and early institution of treatment. Cermin Dunia Kedokt. 1993; 89: 25–7 Yy, Pn
DETERMINATION OF MEAN ENERGY OF THERAPEUTIC ELECTRON BEAM AT PHANTOM SURFACE Nasukha, Djumadi, Sri Sunarsih Dosimetry Unit, PSKPR-BATAN, Jakarta, Indonesia Radiotherapy Unit, Dept. of Radiology, Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia
For radiotherapy dosimetry purposes, mean energy at phantom surface of electron beam has been determined by measuring depth dose curve. Measurement was carried out for nominal energy of 5,6, 7, 8,10 and 12 MeV at Mevatron 74 medical linear accelerator by using therados RFA-1 dosemeter system. Empirical formulae from several literatures was used for determination of mean energy at phantom surface of therapeutic electron beam. The results were varied for nominal energy performance at the machine; this means that the stdbility of medical linear accelerator have to be checked periodically to ensure the accuracy of the dosimetry. Overall calculations showed that the biggest difference to nominal energy is 17.6%. It is not a problem for radiotherapy dosimetry, since according to HPA, uncertainity of 20% in mean energy at phantom surface will only contribute 1% in conversion factor (Ce). Cermin Dunia Kedokt. 1993; 89: 52–60 Nk, Dj, Ss
Artikel Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukan Batu Saluran Kemih di Ujung Pandang dan di Tana Toraja Bachtiar Razak Laboratorium Radiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang
ABSTRAK Dalam kurun waktu 1987–1992 di Kotamadya Ujung Pandang dan di Kabupaten Tana Toraja dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor yang mungkin berpengaruh terhadap pembentukan batu saluran kemih (BSK). Data yang diambil dari 122 responden (75 pria dan 47 wanita) berupa hasil pemerilcsaan IVP dari beberapa rumah sakit, yang dilengkapi dengan status lengkap meliputi hasil anamnesis/ wawancara, pemeriksaan urologik, dan pemeriksaan laboratorium termasuk analisis komposisi air minum dan makanan di beberapa laboratorium klinilc. Hubungan bermakna ditemukan antara kejadian BSK dengan jenis pekerjaan, konsumsi alkohol dan jenis konsumsi air minum. Tidak didapatkan hubungan antara kejadian BSK dengan suku dan konsumsi ikan keying.
PENDAHULUAN Batu saluran kemih (BSK) telah banyak dibicarakan sejak berabad-abad yang lalu, tetapi sampai saat ini masih banyak dipersoalkan krena pembahasan tentang diagnosis, etiologi, penatalaksanaan dan pencegahannya belum tuntas. Hal ini disebabkan karena faktor penentu penyakit ini sangat kompleks/ multifaktorial. Sebagian besar di antara faktor-faktor tersebut belum diketahui dengan jelās. Faktor-faktor yang diduga ikut berperan dalam terjadinya BSK dibagi atas dua golongan : 1. Faktor intrinsik, antara lain keturunan, jenis kelamin, ras dan metabolik. 2. Faktor ekstrinsik, antara lain geografis, air minum, iklim, makanan, pekerjaan, sosioekonomi dan infeksi. BSK biasanya terbentuk bila ada keseimbangan yang terganggu. Pāda satu pihak, ginjal ljarus menghambāt air, tetapi di lain pihak ginjal juga hams mengeluarkan zat-zat yang mempunyai daya lam rendah, yang mengakibatkan lebih banyak air dikeluarltan. BSK ini terbentuk akibat adanya peristiwa supersaturasi, nuldeasi, pengendapan kristal, dan berkurangnya faktor penghambat.
Di Indonesia, yang juga termasuk kelompok negara-negara stonebelt, BSK juga menimbulkan masalah yang besar karena kebanyakan mengenai golongan umur produktif, sehingga dapat mengganggu produktifitas seseorang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor yang mungkin berpengaruh terhadap pembentukan BSK di Ujung Pandang dan Tana Toraja. BAHAN DAN CARA Peneliitian ini dilakukan dengan pengumpulan data secara retrospektif dan prospektif dalam kurun waktu 1987–1992 di Kotamadya Ujung Pandang dan Kabupaten Tana Toraja. Data tersebut berupa hasil pemeriksaan IVP dan beberapa rumah sakit di Ujung Pandang dan Tana Toraja pada penderita dengan BSK maupun penderita tidak dengan BSK, yang dilengkapi dengan status lengkap meliputi hasil anamnesis/wawancara,pemeriksaan urologis, dan pemeriksaan laboratorium termasuk analisis komposisi air minum dan makanan dari beberapa Laboratorium Klinik di Ujung Pandang dan Tana Toraja.
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
5
Analisis data dilakukan dengan uji X2. Hasil analisis dianggap bermakna pada tingkat kemaknaan p < 0,05.
diperlihatkan pada Tabe1 4 di bawah ini. Tabel 4.
HASIL Penelitian ini mencakup 122 responden dengan wilayah umur yang cukup luas (Tabel 1). Sebagian besar penderita (82,1%) termasuk dal= rentang usia 15–59 tahun. Mayoritas yang terjaring dal= penelitian ini adalah jenis kelainin pria, yaitu 75 orang (61,5%), sedangkan wanita sebesar 47 orang (38,5%) (Tabel 2 dan 3). Tabel 1.
Sebaran Resporiden menurut Usia
Tingkat pendidikan
Frekuensi
%
Niraksara SD SLTP SLTA PT Lainnya
9 28 16 38 28 3
7,4 23,0 13,1 31,1 23,0 2,5
Total
122
100,0
Keterangan : SD = Sekolah Dasar; SLTP = Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; SLTA = Sekolah Lanjutan Tingkat Alas; PT = Perguruan Tinggi
Usia (tahun)
Frekuensi
%
<5 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 ≥ 70
1 1 2 3 9 12 10 13 19 15 10 9 5 2 11
0,8 0,8 1,6 2,5 7,4 9,8 8,2 10,7 15,6 12,3 8,2 7,4 4,1 1,6 9,0
Jumlah
122
100,0
Sebagian besar sampel adalah suku Bugis-Makassar sesuai dengan mayoritas etnik tempat penelitian ini dilakukan. Sebaran keluhan batu dalam air kemih menurut etnik ayah responden ditunjukkan pada Tabe1 5, dan menurut etnik ibu responden pada Tabe1 6. Sebaran hasil deteksi radiologik BSK menurut etnik ayah dan etnik ibu responden masing-masing diperlihatkan pada Tabel 7 dan 8. Tabel 5.
Batu kemih
Pria Wanita
(+) 29 8
(–) 46 39
Total
37
85
Batu kemih (– )
75 47
Bugis Makassar Toraja Ambon Manado Cina Lain-lain
13 7 4 2 0 2 9
35 16 5 2 3 5 19
48 23 9 4 3 7 28
122
Total
37
85
122
Jumlah
Sebaran Hasil Deteksi Radiologik BSK menurut Jenis Kelamin Responden Batu saluran kemih
Jenis kelamin
Jumlah
(+)
(–)
Pria Wanita
43 23
32 24
75 47
Total
66
56
122
Batu saluran kemih dapat dideteksi secara radiologik tanpa disertai riwayat batu dalam air kemih pada 14 sampel di kalangan pria dan 8 sampel di kalangan wanita (Tabel 3). Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
Jumlah
(+)
Tabel 2 memperlihatkan sebaran keluhan adanya batu dalam air kemih menurut jenis kelamin responden. Temyata, proporsi pria yang menderita bate berdasarkan keluhan adanya batu dalam air kern ih lebihbesardibandingkan proporsi wanita (38,7% banding 17,0%). Tabel 3.
Sebaran Keluhan Batu dalam Air Kemih menurut Etnik Ayah Responden
Etnik Ayah
Tabel 2. Sebaran Keluhan Batu dalam Air Kemih menurutdenis Kelamin Responden Jenis kelamin
Sebaran Responden menurut Tingkat Pendidikan Formal
Tabel 6.
Sebaran Keluhan Batu dalam Air Kemih menurut Etnik Ibu Responden Batu kemih Etnik Ibu Jumlah (+) (–)
Bugis Makassar Toraja Ambon Manado Cina Lain-lain
13 7 4 2 1 4 6
35 15 6 2 2 5 20
48 22 10 4 3 9 26
Total
37
85
122
Sebaran responden menurut pekerjaan diperlihatkan pada Tabel 9. Dan seluruh sampel dengan riwayat batu dalam air kemih, 24,6% adalah pekerja swasta, 24,3% pegawai/guru, 16,2% siswa/ mahasiswa, 10,8% ibu rumah tangga, 5,4% kelompok yang tidak dapat diidentifikasi pekerjaannya secara jelas, sementara ABRI,
Tabel 7.
Sebaran Hasil Deteksi Radiologik BSK menurut Etnik Ayah Responden
Etnik Ayah
Batu saluran kemih
Jumlah
(+)
(–)
Bugis Makassar Toraja Amban Manado Cina Lain-lain
23 13 4 4 2 3 17
25 10 5 0 1 4 11
48 23 9 4 3 7 28
Total
66
56
122
Tabel 8.
Tabel 11.
Sebaran Hull Deteksi Radiologik BSK menurut Etnik Ibu Responden Etnik Ibu
Batu saluran kemih
Hubungan antara pekerjaan responden dan diagnosis BSK berdasarkan hasil pemeriksaan radiologik ditunjukkan pada Tabel 11.
Jumlah
(+)
(–)
Bugis Makassar Toraja Ambon Manado Cina Lain-lain
23 12 6 4 2 6 15
25 10 4 0 1 3 12
48 22 10 4 3 9 27
Total
66
56
122
Sebaran Hasa Deteksi Radiologik BSK menurut Pekerjaan Responden Batu saluran kemih
Pekerjaan
(–)
ABRI Petani Burult Nelayan Thu Rumah Tangga Siswa/Mahasiswa Swasta Pegawai/Guru Lain-lain
1 5 1 1 8 10 14 17 9
3 5 2 2 8 0 16 17 3
4 10 3 3 16 10 30 34 12
Total
66
56
122
Dari kelompok sampel yang mengkonsumsi daging, 31,4% menderita batu dalam air kemih, sedangkan pada kelompok yang tidak mengkonsumsi daging riwayat batu dalam air kemih tidak ditemukan (Tabel 12). Tabel 12.
Sebaran Keluhan Batu dalam Air Kemih menurut Konsumsi Daging Konsumsi daging
Batu kemih Tabel 9.
Sebaran Responden menurut Pekerjaan
Pekerjaan
FFekuensi
96
ABRI Petani Buruh Nelayan Ibu Rumah Tangga Siswa/Mahasiswa Swasta Pegawai/Guru Lain-lain
4 10 3 3 16 10 30 34 12
3,3 8,2 2S 2,5 13;1 8,2 24,6 27.9 9,8
Total
122
100,0
(–)
+ –
37 81
0 4
37 85
Total
118
4
122
Diagnosis BSK berdasarkan hasil pemeriksaan radiologik ditegakkan pada 55,9% dari kelompok pemakan daging, sementara pada kelompok yang tidak mengkonsumsi daging BSK tidak ditemukan (Tabel 13). Tabel 13.
Sebaran Hasil Deteksi Radiologik BSK menurut Konsumsi Daging
Sebaran Keluhan Batu dalam Air Kemih menurut Pekerjaan Responden
Pekerjaan
Jumlah
(+)
(–)
ABRI Petani Buruh Nelayan Ibu Rumah Tangga Siswa/Mahasiswa Swats Pegawai/Guru Lain-lain
1 1 1 1 4 6 12 9 2
3 9 2 2 12 4 18 25 10
4 10 3 3 16 10 30 34 12
Total
37
85
122
Konsumsi daging
Jumlah
(+)
(–)
+ –
66 52
0 4
66 56
Total
118
4
122
petani, buruh dan nelayan masing-masing 2,7% (Tabel 10).
Batu kemih
Jumlah
(+)
Batu saluran kemih
Tabel 10.
Jumlah
(+)
Tabel 14 menunjukkan hubungan antara kejadian batu dalam air kemih dan konsumsi ikan kering, sedangkan hubungan antara Tabel 14.
Sebaran Keluhan Batu dalam Air Kemih menurut Konsumsi Ikan Kering Konsumsi ikan kering
Batu kemlh
Jumlah
(+)
(–)
+ –
30 76
7 9
37 85
Total
106
16
122
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
7
diagnosis radiologik BSK dan konsumsi ikan kering dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Sebaran Deteksi Radiologik BSK menurut Konsumsi Ikan Ke ring Konsumsi ikan kering Batu saluran kemih
Jumlah (+)
(–)
+ –
56 50
10 6
66 56
Total
106
16
122
Kejadian batu kemih pada kelompok peminum alkohol adalah 48,1% dari total peminum alkohol, sedangkan pada kelompok bukan peminum alkohol sebesar 25,3% (Tabel 16). Tabel 16.
Hubungan Konsumsi Alkohol dengan BSK Konsumsi alkohol BSK
Jumlah (+)
(–)
+ –
13 14
24 71
37 85
Total
27
95
122
Keterangan : BSK = Batu Saluran Kemih
Bila kelompok yang mengkonsumsi alkohol dibagi berdasarkan lamanya mereka mengkonsumsi alkohol, hubungannya dengan kejadian batu kemih dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Hubungan Lama Konsumsi Alkohol dengan BSK BSK
Tidak Konsumsi Konsumsi Konsumsi Konsumsi 1 thn 1–3 thn 3 thn
Jumlah
+ –
24 71
2 3
6 4
5 7
37 85
Total
95
5
10
12
122
Keterangan : BSK = Batu Saluran Kemih; thn = tahun
Bila kelompok peminum alkohol dibedakan alas kelompok peminum alkohol hasil olahan pabrik (bir dan wish) dan kelompokpeminum alkohol hasil olahan alami (ballo/tuak), hubungannya dengan kejadian batu kemih diperlihatkan pada Tabel 18. Tabel 18.
Hubungan Jenis Konsumsi Alkohol dengan BSK
BSK
Tidak konsumsi
Konsumsi bir/wiski
Konsumsi hallo
Jumlah
+ –
24 71
6 11
7 3
37 85
Total
95
17
10
122
Kejadian batu saluran kemih pada kelompok pemakai air dari sumber PAM adalah 19,6% dan pada kelompok pemakai air dari sumber bukan PAM 39,4% (Tabel 19). Sumber air Bukan-PAM terdiri dari sumur gali, sumur bor, stingai dan air gunung. Jumlah sampel yang menggunakan air
8
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
Tabel 19. Hubungan Sumber Konsumsi Air dengan BSK Sumber air minum BSK
PAM
Bukan PAM
Jumlah
+
11
26
37
–
45
40
85
Total
56
66
122
dari sumur gali adalah 57 orang (46,7%), sumur bor 4 orang (3,3%), sungai 2 orang (1,6%), dan air gunung 3 orang (2,5%). Secara keseluruhan, persentase pemakai air PAM adalah 45,9% atau 56 dari total sampel 122 orang. Dalam analisis hubungan antara peubah yang dilakukan pada set data antara berbagai faktor dan kejadian batu saluran kemih, ternyata secara umum tidak memiliki hubungan (pada alfa 0,05 dengan uji XZ). Namun demikian, ditemukan perbedaan bermakna dalam kejadian batu saluran kemih antara peminum alkohol dan bukan-peminum alkohol, dan hubungan yang bermakna antara tidak minum dan jenis alkohol yang diminum dengan kejadian batu saluran kemih. Selain itu, ditemukan pula hubungan yang bermakna antara sumber air minum dan kejadian batu saluran kemih (p < 0,05). DISKUSI Puncak kekerapan BSK ditemukan padakelompok usia pertengahan yaitu usia 30–60 'tahun. Pada penelitian ini mayoritas responden yang masuk dalam sampel penelitian adalah orangorang dengan usia kerja, yaitu 82,1% termasuk dalam rentang usia 15–59 tahun (Tabel 1). Menurut data dalam kepustakaan BSK lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan pada wanita. Diduga bahwa penyebabnya adalah perbedaan struktur anatomik saluran kemih antara pria dan wanita serta faktor hormon estrogen yang mencegah terjadinya agregasi garam kalsium. Dalam penelitian ini 37 orang (30,3%) menderita BSK berdasarkan diagnosis adanya batu pada saat berkemih, 78,4% di antara mereka adalah pria dan 21,6% wanita (Tabel 2). Berdasarkan hasil deteksi radiologik BSK, ternyata 66 orang (54,1%) adalah penderita dengan BSK. Di antaranya 65,2% adalah pria dan 34,8% wanita (Tabel 3). Penyakit BSK banyak terjadi di daerah pegunungan dan daerah beriklim tropis. Insidens yang tinggi didapatkan di Inggeris, Skandinavia, India Utara, Pakistan, Australia Utara, Malaysia, Cina dan Indonesia. Insidens yang rendah ditemukan di Amerika Selatan dan Tengah dan sebagian besar Afrika. Di Amerika, BSK didapatkan dua kali lebih banyak pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara suku/etnik dengan kejadian BSK, meskipun secara proporsi angka kejadian yang tinggi diperoleh pada suku Toraja (Tabel 5, 6, 7 dan 8). Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dan kejadian BSK. Berdasarkan diagnosis adanya batu dalam air kemih, 32,4% adalah pekerja swasta, 24,3% pegawai/guru, 16,2% siswa/mahasiswa, 10,8% ibu rumah tangga, 5,4% tidak dapat ditentukan pekerjaannya secara
jelas, dan ABRI, petani, buruh dan nelayan masing-masing 2,7% (Tabe1 10). Menurut hasil deteksi radiologik BSK, 25,5% adalah pegawai/guru,21% pekerja swasta, 15% siswa/mahasiswa, 13,5% tidak dapat ditentukan pekerjaannya secara jelas, 12% ibu rumah tangga, 7,5% petani, dan ABRI, buruh dan nelayan masingmasing 1,5% (Tabel 11). Menurut kepustakaan, BSK lebih banyak terjadi pada pekerjaan yang menuntut banyak duduk seperti pegawai administrasi daripada pekerjaan yang memerlukan banyak bergerak seperti pekerja kasar. Makanan yang mengandung banyak purin (asam urat), oksalat, kalsium dan fosfat sering meningkatkan ekskresi elemen-elemen ini di dalam air kemih yang mempermudah pembentukan BSK. Dalam penelitian ini, tidak ditemukan hubungan antara konsumsi ikan kering dan kejadian BSK (Tabel 14 dan 15). Akan tetapi, secara deskriptif 31,4% dari penderita dengan BSK ditemukan pada kelompok pemakan daging dan 0% pada kelompok bukan pemakan daging (Tabe112 dan 13). Pada penelitian ini ditemukan adanya hubungan bermakna antara konsumsi alkohol dan kejadian BSK (Tabel 16) serta antara jenis konsumsi alkohol dan kejadian BSK (Tabel 18). Hal ini mungkin disebabkan oleh karena alkohol meningkatkan ekskresi air sehingga menimbulkan supersaturasi, sedangkan seperti diketahui bahwa supersaturasi zat-zat pembentuk batu dalam air kemih akan mempermudah pembentukan kristal yang kemudian membentuk batu karena peningkatan kadar zat-zat tersebut atau karena kekurangan air. Perbedaan angka kejadian BSK antarakonsumsi alkohol hasil olahan pabrik (bir/wiski) dan hasil olahan alami (ballo/tuak) dapat disebabkan oleh perbedaan kadar alkohol yang terkandung dalam minuman. Pada penelitian ini ditemukan perbedaan bermakna dalam kejadian BSK antara kelompok pemakai sumber air PAM dan kelompok pemakai sumber air bukan-PAM (Tabel 19). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan komposisi unsurunsur yang terkandung di dalam air dari sumber-sumber yang berbeda (Lampiran). RINGKASAN Telah dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui beberapa faktor yang mungkin berpengaruh terhadap pembentukan
BSK di Ujung Pandang dan Tana Toraja. Ditemukan bahwa jenis pekerjaan dan konsumsi alkohol mempengaruhi pembentukan BSK. Perbedaan bennakna dalam kejadian BSK didapatkan pada konsumsi air dari sumber-sumber yang berbeda. KEPUSTAKAAN Coe FL, Favus MJ. Nephrolithiasis. In: Braunwald et al, (eds). Harrison's Principles of Internal Medicine, 11th ed. New York: Mc Craw Hill Book Co, 1980: 1211-5. 2. Drach GW. Urinaru lithiasis. In: Campbell et al, (eds). Campbell's Urology I. Philadelphia: WB Saunders Co, 1986: 1094-172. 3. Hamdjang MA, Malawat HR. Pengelolaan batu saluran kemih. Kumpulan Makalah Kursus Penyegar dan Penambah Dmu Kedokteran (KPPIK) keVIII, volume DJ. Ujung Pandang: Panitia Pelaksana KPPIK VIII, 1989: 1-6. 4. Hiatt RA, Dales LG, Friedman GD, Hunkeler EM. Frequency of urolithiasis in a prepaid care program. Am J Epidemiol 1982; 115: 255-65. 5. Juhl JH. Paul and Juhl's Essentials of Roentgen Interpretation, 4th ed. Hagerstown: Harper & Row Publishers, 1981: 691-732. 6. Laerum E. Urolithiasis in genial practice : an epidemiological study from a Norwegian distinct. J Urol Nephrol 1983; 17: 313-9. 7. Kallet HI. Calculus disease. In: Grainger et al, ed. Diagnostic Radiology II. New York: Churchill Livingsote, 1986: 1059-65. 8. Lubis HR, Nasution B, Moehadsyah DK dkk. Penelitian beberapa faktor patogenetik bate calcium saluran kemih. Naskah Lengkap KOPAPDI IV. Medan: Panitia Penyelenggara KOPAPDI IV, 1978: 1330-8. 9. Meschan I. Roentgen sign in clinical practice I. Philadelphia: WB Saunders Co, 1966: 1245-339. 10. Pak CYC. Renal calculi. In: Wyngaarden el al, eds. Cecil Textbook of Medicine I, 17th ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1985: 628-33. 11. Parks JH, Coe FL. Padaogenesis of calcium renal stones. In: Robinson et al, eds. Nephrology II. New York: Springer-Verlag, 1982: 980-7. 12. Pepys S. Kudney stones. In: Paper (ed). Clinical Nephrology, 2nd ed. Boston: Little, Brown & Co, 1978: 345-63. 13. Pollack HM, Banner MP. Diagnostic uroradiology. In: Hanno et al, eds. A Clinical Manual of Urology. Norwalk: Appleton - Century - Crofts, 1978: 79-103. 14. Rahardjo D, Rochani, Umbas R. Percutaneus ultrasonic nephrolithotripsi (PCN), pengalaman pada 75 kasus pertama di Jakarta. MKI 1987; 37: 135-239. 15. Razak B. Peranan pemeriksaan radiology pada penanggulangan batu saluran kemih. Ujung Pandang: Simposium penanggulangan batu saluran kemih, 1990. 16. Resnick MI, Fieldland GW. Urinary stone disease. In: Resnick et al, eds. Diagnosis of Genitourinary Diseases. Verlag: Thieme Stratton Inc, 1982: 303-23. 17. Santoso FL. Ultrasonografi ginjal. Kumpulan Naskah Simposium Ultra1.
Tabel. Daftar Hasil Pemeriksaan Kimia Air No. Urt 1. 2. 3. 4. 5.
Nama/Asal Contoh Air
Ca
Mg
NH4
PO4
C2O4
CO
AU
Cyst
Air mentah Gunung Sesean Desa Lempo Airsumurmentah Rante Pao Air PAM Rante Pao Air sumur U. Pandang Air PAM Ujung Pandang
5,30
0,50
0
2,50
5,0
25,70
0
0
30,30
5,10
0
2,45 25,15 57,83
0
0
15,12 25,15 20,45
1,50 5,20 1,55
0 0 0
2,75 15,10 44,98 5,10 24,75 32,13 5,15 14,90 44,98
0 0 0
0 0 0
Catatan : 1. Semua satuan dalam mg/l 2. Ca : Kalsium 3. Mg: Magnesium 4. NH4 : Ammonium 5. PO4 : Phasphat
6. 7. 8. 9.
C'204 : Okralat CO3 : Carbonat AU : Asam wag Cyst : Cyst in
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
9
sonografi 11, Ujung Pandang, 1982: 1-13. '21. 18. Shanks SC, Kerley P. A Textbook of X-ray Diagnosis III, Philadelphia: WB Saunders Co, 1958: 828-43. 22. 19. Simon G, Wightman AJA. Clinical Radiology, 4th ed. Landon: Butterworths, 1981: 150-60. 23. 20. Sukahatya M, Ali M. Batu gin jal. Naskah Lengkap KOPAPDI IL Bandung: Panitia Pelaksana KOPAPDI II,1975: 406-12.
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
21. Teplick JG, Haskin ME. Roentgenologic Diagnosis II, 3th ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1976: 835-9. 22. Walker WG. Renal calculi. In: Walker et al, eds. The principles and practice medicine, 21 th ed. Norwalk: Appleton - Century-Crofts, 1983: 154-9. 23. Watts RWE. Urinary stone disease (urolithiasis). In: Weatherall et al, eds. Oxford textbook of medicine 11. Oxford: Oxford University Press, 1987: 1887-94.
Efektivitas Antibiotika Turunan Sefalosporin terhadap Kuman di Jaringan Apendiks Elly Santosa, Dattma AW Astrawinata Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
ABSTRAK Pemakaian antibiotika atau kemoterapetika yang dahulu amat efektif terhadap spesies kuman tertentu, sekarang menjadi kurang efektif. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan antibiotika/kemoterapetika yang luas pemakaiannya dalam masyarakat. Untuk mengetahui efektivitas masing-masing turunan sefalosporin dilakukan penelitian dengan kuman yang ditemukan dari bahan jaringan apendiks. Setelah jenis kuman diidentifikasi, dilakukan uji kepekaan masing-masing kuman yang ditemukan terhadap antibiotika turunan sefalosporin generasi I, II dan III. Setelah diteliti efektivitasnya, terlihat bahwa sefalosporin generasi I kurang efektif terhadap kuman yang ditemukan pada jaringan apendiks di mana ditemukan semua kuman gram negatif. Di antara generasi I tampaknya hanya sefazolin mempunyai efektivitas cukup balk yaitu terhadap 75% kuman yang ditemukan. Sefalotin mempunyai efektivitas kurang baik yaitu hanya efektif terhadap 45,8% kuman yang ditemukan. Selanjutnya generasi II dan III mempunyai efektivitas yang balk, kecuali sefsulodin yang hanya efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Terhadap kuman E. colt', didapatkan efektivitas yang berbeda bermakna di antara turunan sefalosporin secara keseluruhan. Letak perbedaan bermakna adalah pada efektivitas sefazolin dibanding turunan generasi I yang lain, tetapi tidak dijumpai perbedaan bermakna dengan turunan generasi II dan III, kecuali dengan sefsulodin.
PENDAHULUAN Telah lama diketahui bahwa antibiotika atau kemoterapetika yang dahulu amat efektif terhadap spesies kuman tertentu, sekarang menjadi kurang efektif. Di sinilah letak perlunya pemantauan efektivitas antibiotika atau kemoterapetika yang luas pemakaiannya dalam masyarakat(1). Sefalosporin mulai dikenal sejak tahun 1945. Guiseppe Brotzu berhasil mengisolasi dan menyelidiki salah satu spesies dari lumut, yaitu Cephalosporium acremonium(2,3). Lumut ini mempunyai efek antibakterial terhadap kuman tifoid, Brucela, kuman kolera, dan Staphylococcus aureus. Tahun 1949, Dr. Edward Abraham dan H.S. Burton menemukan sedikitnya ada
dua macam antibiotika yang diproduksi oleh lumut tersebut. Antibiotika pertama dinamakan sefalosporin P, dan antibiotika ke dua dinamakan sefalosporin N. Struktur ini kemudian diberi nama penisilin N tetapi sifat antibakterialnya berbeda dengan bensilpenisilin. Apabila penisilin N dijalankan secara kromatografi akan terlihat beberapa substansi yang diberi tanda A, B dan C. Komposisi C keluar menjadi suatu antibiotika dan diberi nama sefalosporin C. Akhirnya, pada tahun 1964 dua macam sefalosporin digunakan untuk kepentingan klinik, yaitu sefalotin dan sefaloridin. Sesudah itu diikuti dengan munculnya turunan-turunan baru(3). Ciri khas kelompok sefalosporin adalah asam 7-amino-
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 11
sefalosporanat yaitu gabungan antara cincin beta-laktam dan hidrotiasin. Melalui perubahan rantai R pada cincin beta-laktam dihasilkan bermacam jenis sefalosporin yang mengakibatkan perubahan sifat antibakterial dan kimiawi, sehingga kemudian dikelompokkan dalam generasi I, II dan III(1). Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana efektivitas masing-masing turunan sefalosporin terhadap jenis kuman yang didapat pada jaringan apendiks. Penelitian dilakukan di Bagian Patologi Klinik FKUI/RSCM dari Maret 1991 sampai dengan April 1991. BAHAN Bahan penelitian adalah potongan jaringan usus buntu dari 30 penderita yang dioperasi di Bagian Bedah FKUI/RSCM. Potongan jaringan apendiks ditanamkan ke dalam media cair BHI dan tioglikolat, lalu dikirim ke Bagian Patologi Klinik FKUI/ RSCM. CARA PEMERIKSAAN Bahan yang didapat dalam media cair BHI dan tioglikolat diinkubasi 37°C selama 24 jam. Setelah itu ditanamkan pada media agar darah dan Mac Conkey. Bila tumbuh kuman, dilakukan tes identifikasi dan resistensi memakai cakram antibiotika turunan sefalosporin. Tes resistensi dilakukan memakai cara difusi menurut Bauer-Kirby(4,5). Untuk Tes Kepekaan dipakai : 1) Media perbenihan Muller Hinton(6). Media ini ditempatkan pada lempeng petri dengan diameter 15 cm dan tebal 3-4 mm. 2) Bahan inokulum : Tiap jenis kuman ditanam dalam air pepton, dan dibiarkan hingga kekeruhan sesuai standar Mac Farland 0,5(4). 3) Cakram antibiotika : Dipakai cakram antibiotika turunan sefalosporin generasi I, II dan III dengan tanggal kadaluwarsa 6/ Tabel 1.
91 ke atas. Antibiotika turunan sefalosporin : Generasi I : sefalotin, sefradin, sefazolin, sefadroksil. Generasi II : sefuroksim, sefamandol, sefmetazol. Generasi III : sefoperazon, sefotaksim, seftazidim, sefsulodin, sefotiam. 4) Kuman Kontrol : Dinakai kuman E. coli (ATCC 25922), Staphylococcus aureus (ATCC 25923) dan Pseudomonas aeruginosa (ATCC 27853). Kuman-kuman tersebut diuji kepekaannya terhadap cakram antibiotika seperti yang telah ditetapkan oleh NCCLS dan WHO (tabel 1). Uji coba ini dilakukan setiap kali membuat media baru untuk menguji mutu media perbenihan, cakram antibiotika dan metoda yang digunakan(6,7). CARA KERJA Kuman yang tumbuh pada perbenihan BHI dan tioglikolat ditanam pada agar darah dan Mac Conkey. Bila kuman Gram positif, dilakukan identifikasi dengan cara yang lazim(8,9). Sedang terhadap kuman Gram negatif dilakukan identifikasi dengan cara modifikasi sistem r/b untuk kuman dengan oksidase negatip dan cara yang lazim untuk kuman dengan oksidase positip(8,9). Sesudah didapat jenis kuman, dilakukan uji kepekaan menurut cara Bauer-Kirby. Kuman ditanam dalam media air pepton. Setelah timbul kekeruhan yang sesuai dengan standar MacFarland 0,5, suspensi kuman ditanamkan dengan lidi kapas steril ke media agar Muller Hinton secara merata. Setelah itu ditempelkan semua jenis cakram antibiotika sefalosporin dengan menggunakan pinset steril dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Zona hambatan yang terjadi diukur dalam milimeter, kemudian ditetapkan kuman peka, kurang peka atau resisten dan dihitung jumlah kuman dalam prosentasi(6,7). (tabel 3). Efektivitas turunan sefalosporin terhadap masing-masing
Quality Control untuk mutu media perbenlhan, cakram antibiotika dan metode yang telah di tetapkan oleh NCCLS 1984 Diameter zona hambatan (mm)
Jenis antibiotika Amikasin 30 ug Ampisillin 10 ug Sulbenisillin 100 ug Sefotaxim 30 ug Sefalotin 30 ug Kloramfeniko130 ug Clindamisin 2 ug Cotrimoksazol 25 ug Eritromisin 15 ug Gentamisin 10 ug Kanamisin 30 ug Nalidixic acid 30 ug Nitrofurantoin 300 ug Oxasillin 1 ug Peltisillin G 10 U Streptomisin 10 ug Sulfonamid 300 ug Tetrasiklin 30 ug Tobramisin 10 ug
E. coil (ATCC 25922) 19–26 16–22 23–29 29–35 17–22 21–27 – 24–32 8–14 19–26 17–25 22–28 20–25 – – 12–20 18–26 18–25 18–26
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
S. aureus (ATCC 25923) 20–26 27–35 – 25–31 29–37 19–26 24–30 24–32 22–30 19–27 19–26 – 18–22 18–24 26–37 14–22 24–34 19–28 19–29
P. aeruginosa (ATCC 27853) 18–26 – 18–24 18–22 – – – – – 16–21 – – – – – – – – 19–25
Tabel 2. Hasil uji coba mutu media perbenihan, cakram antibiotika dan metode yang digunakan dengan memakai kuman kontrol
Jenis antibiotika
Pembuatan media I
Pembuatan media II
Pembuatan media III
Diameter zona hambatan
Diameter zona hambatan
Diameter zona hambatan
E. coil S. aureus P. aeruginosa E. coil S. aureus P. aeruginosa E. coil S. aureus P. aeruginosa ATCC 25922 ATCC 25923 ATCC 27853 ATCC 25922 ATCC 25923 ATCC 27853 ATCC 25922 ATCC 25923 ATCC 27853 Amikasin 30 ug Ampicillin 10 ug Sulbenicillin 100 ug Sefotaxim 30 ug Sefalotin 30 ug Klorunfenikol 30 ug Clindamisin 2 ug Cotrimoksazo125 ug Eritromisin 15 ug Gentamisin 10 ug Kanamisin 30 ug Nalidixic acid 30 ug Nitrofurantoin 300 ug Oxasillin 1 ug Penisillin G 10 U Tetrasiklin 30 ug Tobramisin 10 ug
Tabel 3.
24 20 24 31 19 21 26 23 24 24 25 24 20
24 34 31 26 32 26 28 30 27 27 24 21 20 35 24 26
21 20 19 20 27
24 22 23 29 22 22 24 23 23 26 25 24 20
25 33 33 26 33 24 27 28 27 27 25 21 23 32 26 25
23 19 21 21 28
23 22 24 29 19 21 24 24 23 23 23 23 19
24 32 33 29 32 23 28 29 28 27 23 21 21 33 25 25
21 21 20 20 27
Persentase kepekaan antibiotika turunan sefalosporin terhadap kuman yang ditemukan.
Antibiotika turunan sefalosporin I.
Sefalotin Sephradin Sefazolin Sefadroxil II. Sefuroksim Sefamandol Sefmetazol III. Sefotaksim Sefoperazon Seftazidim Sefsulodin Sefotiam Seftriaxon
E. coil S (%) 40,9 13,6 81,8 40,9 95,5 81,8 95,5 95,5 77,3 95,5 0 95,5 95,5
Antibiotika turunan sefalosporin I.
Sefalotin Sephradin Sefazolin Sefadroxil II. Sefuroksim Sefamandol Sefinetazol III. Sefotaksim Sefoperazon Seftazidim Sefsulodin Sefotiam Seftriaxon
K. pneumoniae
27,3 50 9,1 4,6 4,5 9,1 0 4,5 9,1 4,5 77,3 4,5 4,5
C. diversus 33,3 33,3 66,7 33,3 100 66,7 100 100 66,7 66,7 0 66,7 100
P. mirabilis
E. aerogenes
I (%) R (%) S (%) I (%) R (%) S (%) I (%) R (%) S (%) I (%) R (%) S (%) I (%) R (%) 31,8 36,4 9,1 54,5 0 91 4,5 0 13,6 0 22,7 0 0
S (%)
K. ozaenae
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 0 100 100 I
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 0 0
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 0 100 100
P. aeruginosa
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 0 0
42,9 0 71,4 14,2 100 100 100 100 100 85,7 0 100 100
A. faecalls
42,9 28,6 0 42,9 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14,2 71,4 28,6 42,9 0 0 0 0 0 14,3 100 0 0
P. rettgeri
0 0 100 0 100 100 0 100 100 100 0 100 100
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
100 100 0 100 0 0 100 0 0 0 100 0 0
P. alkalifaciens
I (%) R (%) S (%) I (%) R (%) S (%) I (%) R (%) S (%) I (%) R (%) S (%) I (%) R (%) 33,3 0 0 33,3 0 0 0 0 0 33,3 0 33,3 0
33,3 66,7 33,3 33,3 0 33,3 0 0 33,3 0 100 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 100 100 100 0 50
0 0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 50
100 100 100 100 100 100 100 0 0 0 0 100 0
100 100 100 100 100 100 100 100 33,3 100 0 100 100
0 0 0 0 0 0 0 0 66,7 0 100 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 33,3 33,3 33,3 100 100 100 100 100 100 0 100 100
0 0 33,3 0 0 0 0 0 0 0 33,3 0 0
100 66,7 33,3 66,7 0 0 0 0 0 0 66,7 0 0
0 0 0 0 100 100 100 100 100 100 0 100 100
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
100 100 100 100 0 0 0 0 0 0 100 0 0
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 13
kuman dinilai secara statistik dengan memakai Friedman's test. Bila didapatkan perbedaan bermakna (p <0,05), dilanjutkan dengan Kolmogorov-Smirnov two sample test (KS test) untuk mencari letak perbedaan di antara turunan sefalosporin(10). HASIL PENELITIAN Uji coba mutu media perbenihan, cakram antibiotika dan metoda didapat hasil sesuai dengan yang ditetapkan oleh NCCLS dan WHO (tabel 2). Hasil pembiakan bahan jaringan usus buntu mendapatkan 48 galur kuman gram negatif. Kuman-kuman tersebut adalah Escherichia coil sebanyak 22, Klebsiellla pneumoniae 5, Klebsiella ozaenae 1, Proteus mirabilis 7, Citrobacter diversus 3, Pseudomonas aeruginosa 2, Alkaligenes faecalis 3, Providencia rettgeri 3, Enterobacter aerogenes 1, Providencia alcalifaciens 1. Pada gambar 1 dapat dilihat prosentase kepekaan semua kuman yang ditemukan terhadap antibiotika turunan sefalosporin. Untuk sefalosporin generasi I didapatkan 75% (36/48) peka terhadap sefazolin, 45,8% (22/48) peka terhadap sefalotin, 41,7% (20/48) peka terhadap sefadroksil, 25% (12/48) peka terhadap sefradin. Untuk sefalosporin generasi II 93,7% (45/48) peka terhadap sefuroksim, 91,7% (44/48) peka terhadap sefmetazol, 83,3% (40/48) peka terhadap sefamandol. Untuk sefalosporin generasi III 95,8% (46/48) peka terhadap seftriakson, 93,7%
(45/48) peka terhadap sefotaksim, 93,7% (45/48) peka terhadap seftazidim, 91,7% (44/48) peka terhadap sefotiam, 83,3% (40/ 48) peka terhadap sefoperazon, 4,2% (2/48) peka terhadap sefsulodin. Hanya kuman E. coli yang dapat diolah secara statistik dengan Friedman's test, sedangkan kuman-kuman yang lain tidak diolah karena jumlahnya terlalu sedikit. Hasilperhitungan dengan Friedman's test secara keseluruhan didapatkan efektivitas yang berbeda bermakna di antara turunan sefalosporin terhadap E. coli (x2 = 59,76, df = 12, p < 0,001). Setelah diperhitungkan dengan KS test, letak perbedaan bermakna didapatkan pada efektivitas sefazolin dibandingkan dengan turunan generasi I yang lain. Tidak terlihat perbedaan bermakna efektivitas sefazolin dibandingkan dengan generasi II dan III, kecuali dengan sefsulodin (D = 0,82, K = 2,72, p <0,001). Hasil ini dapat dilihat pada tabel 3, dimana 81,8% E. coli yang ditemukan peka terhadap sefazolin. RINGKASAN DAN KESIMPULAN Pemakaian antibiotika atau kemoterapetika yang dahulu amat efektif terhadap spesies kuman tertentu, sekarang menjadi kurang efektif. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan antibiotika/kemoterapetika yang luas pemakaiannya dalam masyarakat. Pemakaian antibiotika yang sering, menyebabkan anti-
Gambar 1. Diagram prosentasi kepekaan semua kuman yang ditemukan terhadap antibiotika turunan sefalosporin
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
biotika tersebut menjadi resisten. Efektivitas antibiotika yang berubah ini disebabkan adanya perubahan pada DNA kuman antara lain berupa penambahan sepotong kecil DNA yang dinamakan plasmid. Salah satu hasil plasmid adalah ensim betalaktamase. Ensim tersebut menyebabkan antibiotika betalaktam menjadi senyawa inaktif melalui proses hidrolisis. Salah satu antibiotika beta-laktam adalah sefalosporin yang pertama kali dikenal tahun 1945. Hingga kini dikenal tiga generasi yaitu generasi I, II dan III dengan keistimewaannya masingmasing. Untuk mengetahui efektivitas masing-masing turunan sefalo'sporin dilakukan penelitian dengan kuman yang ditemukan dari bahan jaringan apendiks. Setelah jenis kuman diidentifikasi, dilakukan uji kepekaan masing-masing kuman yang ditemukan terhadap antibiotika turunan sefalosporin generasi I, II dan Setelah diteliti efektivitasnya, terlihat bahwa sefalosporin
generasi I ktuang efektif terhadap kuman yang ditemukan pada jaringan apendiks di mana ditemukan semua kuman gram negatif. Di antara generasi I tampaknya hanya sefazolin mempunyai efektivitas cukup balk yaitu terhadap 75% kuman yang ditemukan. Sefalotin mempunyai efektivitas kurang balk yaitu hanya efektif terhadap 45,8% kuman yang ditemukan. Selanjutnya generasi II dan III mempunyai efektivitas yang balk, kecuali sefsulodin yang hanya efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Terhadap kuman E. coli, didapatkan efektivitas yang berbeda bermakna di antara turunan sefalosporin secara keseluruhan. Letak perbedaan bermakna adalah pada efektivitas sefazolin dibanding turunan generasi I yang lain, tetapi tidak dijumpai perbedaan bermakna dengan turunan generasi II dan III, kecuali dengan sefsulodin. Kepustakaan ada pada penulis
RALAT CERMIN DUNIA KEDOKTERAN No. 88/1993 Dalam karangan yang berjudul 'Some Immunological Aspects of Various Types of Specific Acquired Deficient Immune Status (SADIS) following Various Kinds of Microbial Infection - 3. the leukemia type (Lk-type) of SADIS' oleh RA Handojo dan Anggraeni Inggrid Handojo, terdapat kesalahan cetak pada Fig. 4 yang terletak di halaman 43. Tabel yang seharusnya adalah sebagai berikut : Fig. 4 The spectrum of various types of SADIS Microbial padaogen
Type of SADIS
Disease expression
Lymphocytes
– M. tuberc. Helicob. pylori – EBV, HBV, HCV, HPV, HSV – HTLV-I, HTLV-ll – EBV
Tb-type
epithelial carcinoma epithelial carcinoma leukemia NHL* Hodgkin's dis.:
predominance
– HTLV-III (HIV-1) – M. leprae
Lp-type Lp-type
Tb-type IA-type Lk-type
AIDS** KK-type leprosy
predominance predominance predominance predominance depletion depletion depletion
* NHL = Non-Hodgkin Lymphoma ** AIDS = Acquired Immuno Deficiency Syndrome
So a loss sometimes benefit one or a benefit proves to be a foss
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 15
Misdiagnosis Kusta pada Penyakit Buerger M. Adam M, Darwis Toena, Jenny Ritung, Zainuddin Maskur Bagian/UPF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit Umum Dadi, Ujung Pandang
ABSTRAK Penyakit Burger adalah penyakit pembuluh darah yang bersifat segmental pada anggota gerak. Akibat iskemi jari-jari tangan dan kaki, terjadi gambaran klinis yang mirip kusta. Dilaporkan satu kasus penderita pria, umur 32 tahun yang mengalami deformitas dan mutilasi sakit kalau berjalan. Sebelum masuk rumah sakit, diobati sebagai penderita kusta di puskesmas setempat selama 3 tahun. Diagnosis penyakit Burger ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan arteriorgrafi. Terapi dan follow up dilaksanakan bersama-sama Lab/UPF Bedah RSU Dadi UP/FK UNHAS. Dibicarakan juga etiologi, patogenesis dan pengobatan penyakit Burger.
PENDAHULUAN Penyakit Burger atau Tromboangitis Obliterans (TAO) adalah penyakit pembuluh darah artcri dan vena yang bersifat segmental pada anggota gcrak dan jarang pada alat-alat dalam, berupa peradangan, proliferasi dan non supurasi serta terjadi penyumbatan oleh trombus pada segmen yang terkena, terutama mengenai pembuluh darah kecil dan sedang(1,2,3). Biasanya mengenai pria dewasa muda (terbanyak pada umur 20–40 tahun), jarang di atas umur 50 tahun dan sangat jarang mengenai wanita(1,3,4). Hipersensitif terhadap protein tembakau banyak disebut sebagai penycbab, namun demikian faktor-faktor seperti : faktorgenetik, ras, hormon, iklim, trauma dan infeksi merupakan faktor predisposisi(3,5,6). Gejala yang klasik adalah tungkai terasa berat dan nyeri bila pcndcrita berjalan (klaudikasio intermiten) maupun pada waktu istirahat (rest pain) (2,4,5). LAPORAN KASUS Seorang pria bangsa Indonesia berumur 32 tahun dirawat di Dibacakan di: Kongres Nasional V71 Perdoski, Padang, November 1992
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin RS Dadi Ujung Pandang dari tanggal 3 Juni 1992 sampai 30 Juni 1992 dengan keluhan ruasruas jari tangan dan kaki sebagian lepas, luka pada bagian jari 5 kaki kanan, perasaan nyeri pada tungkai bawah terutama kalau berjalan. Pada mulanya sekitar 6 tahun lalu, telunjuk kanan penderita tertusuk kayu, lukanya tidak sembuh-scmbuh walaupun penderita tclah berusaha mendapat pengobatan dari mantri. Malah lukanya membengkak, bernanah, kemudian menyusut dan berubah wama menjadi hitam disertai perasaan sakit. Karena tulang menonjol keluar, maka penderita melcpas sendiri ruas telunjuknya dengan pisau silet. Hal yang sama terjadi juga pada jarijari tangan dan jari-jari kaki yang lain sampai kcadaan seperti sekarang ini. Pada saat penderita berobat di Puskesmas setempat penderita diberi obat DDS, Lampren dan Rifampisin, obat ini diminum sccara teratur sclama 3 tahun. Akhirnya karcna tidal( puas, penderita datang di Lab/UPF Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNHAS/RSU Dadi Ujung Pandang. Pekerjaan pendcrita
adalah memancing ikan pada malam hari sampai pagi sambil menghabiskan paling kurang 4 bungkus rokok setiap malam. Tidak ada keluarga yang sakit salami ini. Pada pemeriksaan fisik, penderita tampak sakit sedang, gizi cukup, compos mantis, higiene cukup. Denyut nadi 88 kali permenit, pemafasan 16 permenit, suhu ketiak 36,8 derajat Celsius, tekanan darah 110/70 mmHg. Pada pemeriksaan paruparu, jantung dan perut kesan normal. Pemeriksaan tambahan; pada palpasi artcri radialis kiri dan kanan, arteri peroneus kiri dan kanan, arteri poplitea kiri dan kanan melemah. Pada palpasi kaki terasa lebih dingin dari bagian tubuh yang lain sampai setinggi maleolus, sedang pada tangan sampai pertengahan telapak tangan. Kulit pada bagian distal ekstremitas dekat lesi, agak kering, ada yang mengkilat dan hipestesi. Pada test berjalan, penderita merasa sakit setelah berjalan 30 meter. Status dermatologis, pada kepala dan leher tidak ditemukan kelainan, tidak ada pembesaran n. aurikularis magnus. Pala dada, bokong, punggung dan perut tidak ditemukan kelainan. Kelenjar-kelenjar tidak ada yang membesar. Pada pemeriksaan ekstremitas superior dan inferior ditemukan : atrofi otot-otot tangan dan otot-otot kaki, runs distal jari jari tangan sebagian mengecil dan hilang, jari 5 kaki kanan hilang seluruhnya, jarijari kaki yang lain sebagian mengecil dan hilang, ulkus pada tempat jari 5 kaki kanan, kuku-kuku jari kaki dan tangan sebagian mengalami kerusakan (destruksi). Hasil pemeriksaan laboratorium; hemoglobin 11,9 gram%, eritrosit 11.400/mm3, laju endap darah 105/122. Pada hitung jenis : eosinofil 1, basofil 0, batang 0, segmen 66, limfosit 30 dan monosit 3. Urine dan tinja tidak ada kelainan. Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal dalam batas-batas normal. Gula darah puasa 73, gula darah 2 jam pp 82. Diagnosis kerja ditegakkan sebagai penyakit Burger dengan ulkus. Pengobatan yang diberikan; eritromisin 3 x 500 mg perhari, asam mcfenamat 3 x 500 mg perhari, klobazam (Frisium®) 2 x 5 mg perhari, pentoksifilin (Trental®) 2 x 400 mg perhari. Ulkus pada kaki dirawat dengan kompres betadine. Konsultasi bagian bedah; sangat mungkin Burger disease, anjuran artcriografi ckstremitas inferior kanan. Pemeriksaan arteriografi tanggal 26-6-1992 no.rad. 0601859 DUD didapatkan: Obstruksi bagian proksimal arteri peronealis kanan tetapi distal dari kolatcral yang berasal dari proksimal. Arteri tibialis anterior dan posterior seraph dengan permukaan tidak rata, mulai ada pembentukan kolateral, mungkin trombosis. Selanjutnya penderita dikirim dan di follow up di bagian Bedah RSU Dadi Ujung Pandang. PEMBICARAAN Tromboangitis obliterans merupakan penyakit oklusi khronis pembuluh darah arteri dan vena yang berukuran kecil dan sedang. Terutama mengenai pembuluh darah periferekstremitas inferior dan superior(3,5,7,8). Akibat iskemi ujung distal anggota gerak maka terjadi proses patologis seperti atrofi otot-otot skelet,
osteoporosis dan nekrosis tulang, Icmak diabsorpsi diganti dengan jaringan ikat mengakibatkan jari-jari mengkerut, kulit atrofi dan kering, pertumbuhan kuku lambat dan kuku jadi rusak, saraf mengalami fibrosis perineural dan perivaskuler. Selanjutnya dapat terjadi ulkus, gangren dan amputasi ruas jari-jari kaki atau tangan(2,3,7,9). Proses patologis di atas dapat memberikan gambaran klinis yang mirip penyakit kusta dengan absorpsi berat jari-jari tangan dan kaki. Pada penyakit kusta terjadinya deformitas selain akibat respon langsung jaringan terhadap Mycobacterium leprae, juga sekunder dari adanya anestesi, paralisis otot (deformitas primer). Infiltrasi hasil kusta pada tulang menyebabkan terjadinya dekalsifikasi lokal dan osteoporosis terutama pada daerah trabeculae tulang kecil yang letaknya superfisial. Granuloma leprae menginfiltrasi tulang rawan pada sendi kecil yang letaknya superfisial, mengakibatkan kontraktur dan tulang rawan diabsorpsi. Di samping itu trauma dan infeksi sekunder menyebabkan tulangtulang jari jari tangan dan kaki kolaps dan mutilasi(10,11). Diagnosis penyakit Burger pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan artcriografi. Gejala yang mirip pada penyakit kusta sehingga terjadi misdiagnosis adalah : adanya mutilasi jari-jari tangan dan kaki, kulit kering
Pada gambar ini nampak penderita Burger Disease pada muka tidak ada kelainan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 17
Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit-penyakit lain yang memberikan gambaran insufisiensi arteri seperti misalnya oklusi arteri akut, aterosklerosis, Raynaud syndrome, lupus eritematosus sistemik, skleroderma dan diabetes melitus(2,3,6,8). Hal-hal lain yang bersifat diagnostik pada penyakit Burger adalah adanya tanda-tanda insufisiensi arteri, pria, usia muda (20–40 tahun), perokok berat, adanya gangren pada usia muda, riwayat tromboplebitis yang berpindah-pindah dan yang terserang adalah tungkai bawah(2,3,4). Pengobatan TAO adalah : menghentikan merokok mutlak dilakukan, istirahat atau mengurangi aktifitas untuk menurunkan kebutuhan oksigen jaringan. Penanganan lokal terhadap ulkus, infeksi dan gangren, menghindari cedera dingin, panas, trauma dan infeksi. Simpatektomi (menghilangkan vasokontriksi pembuluh darah secara permanen) menolong menurunkan keluhan dan membantu penyembuhan ulkus. Ada yang merekomendasikan pemberian prostaglandin E1(PGE1) intra arterial secara kontinu atau intravena secara intermiten. Dapat diberi antikoagulan, kortikosteroid, vasodilatator, hemorrheologic agent, obat anti platelet dan anti inflamasi non steroid. Amputasi dipertimbangkan bila ada indikasi(2,3,4). Mutilasi pada ujung-ujung distal jars tangan dan kaki.
mengkilat dan kemerahan, ulkus dan hipestesi kaki. Kelainankelainan lain yang dapat ditemukan pada penderita kusta seperti penebalan saraf, kelumpuhan otot, kaki lunglai (drop foot), tangan kiting (claw hand), tangan lunglai (drop hand), madarosis dan muka singa (lion face) tidak ditemukan pada penderita ini. Pada umumnya penderita penyakit Burger datang dengan keluhan akibat insufisiensi arteri yaitu klaudikasio intermiten (rasa nyeri bila penderita berjalan), rest pain (nyeri hebat terutama pada malam hari), nyeri dapat bertambah hebat kalau kaki ditinggikan dan berkurang bila direndahkan. Timbul anestesi dan parestesi pada ekstremitas, tungkai pucat bila ditinggikan, ekstremitas dingin dan bentuknya seperti kadaver. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pulsasi arteri tungkai melemah atau menghilang. Kelainan kulit yang ditemukan tidak spesifik seperti wama kulit pada lesi eritema, bengkak dan sianosis. Kerusakan kulit berupa ulkus dan gangren(2,3,6). Sensitif terhadap dingin. Tromboplebitis superfisialis scrta Raynaud's phenomenon juga sering berhubungan dengan penyakit Burger di mana spasme arteriolae memegang peranan(3,4,5). Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik. Kadangkadang ada peninggian antigen HLA-A9 dan HLA B5 pada penderita penyakit Burger. Adar et al mencatat adanya peninggian kadar antibodi anti kolagen pada penderita TAO(3). Pemeriksaan angiografi (arteriografi) memperlihatkan gambaran adanya oklusi dan kolateral dekat obstruksi, pembuluh darah berjalan paralel atau berkelok-kelok membentuk gambaran corkscrewt(3,12). Pada pemeriksaan histopatologis, lesi dini memperlihatkan oklusi pembuluh darah oleh trombus yang mengandung PMN dan mikroabses; penebalan dinding pembuluh darah secara difus. LCsi yang lanjut biasanya memperlihatkan infiltrasi limfosit dengan rekanalisasi(2,3,4).
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
FOLLOW UP Satu bulan kemudian, penderita sudah bisa berjalan tanpa nyeri; ulkus sudah sembuh dan penyakit tidak bertambah.
KEPUSTAKAAN 1.
Arnold I-IL, Ondom RB, James WR. Cutaneus Vascular Disease. In: Andrew's Diseases of The Skin, Clinical Dermatology, 8th ed. WB Saunders Co, 1990; p. 973. 2. Edwards EA. Cutancus change in Peripheral Vascular Disease. In: Fitzpatrick et al (ed). Dermatology in General Medicine 2nd ed. McGraw Hill Book Co, 1979; pp. 1377-79. 3. Giblin W, James WD, Benson PM. Burger's Diseases. IntematJ Dermatol 1989; 28; 10: 638-642, 672-673. 4. Falco OB, Plewig G, Wolld HH, Winkelman RK. Disease of the Blood Vessel. In: Dermatology. Berlin Heidenberg New York: Springer-Verlag 1991; pp. 630-31. 5. Anderson JR. Blood Vessel and Lymphatics. In: Anderson JR (ed) Muir's Textbook of Padaology, 12th ed. Edward Arnold, 1988; pp. 14, 24-25. 6. Olsen T. Peripheral vascular disease, necrotizing vasculitis and vascular related disease. In: Moschella SL et al (ed) Dermatology, 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders Co 1985; pp. 1006-07. 7. Price SA, Wilson LM. Vascular Disease Processes. 3rd ed. McGraw Hill Book Co 1986; pp. 456-57. 8. Steward WD, Dan to JL, Maddin S. Vascular Disease, Disorder of the Blood Vessel. In: Dermatology. Diagnosis and Treatment of Cutaneus Disorder 4th ed. St. Louis: CV Mosby Co 1987; pp. 584-85. 9. Strandness DE, Langlois Y, Roederer GO. Preoperative Evaluation of Vascular Disease in Vascular Surgery. Philadelphia: WB Saunders Co 1980; pp. 52-3. 10. Brand PW, Fritsci EP. Rehabilitation in Leprosy. In: Kansting RC. Medicine in the tropics-Leprosy. Edinburgh London: Churchill Livingstone 1985; pp. 294-303. 11. Mastodiharjo S. Deformitas dan disabilitas pada penyakit kusta. Dalam: Kumpulan Naskah Simposium Penyakit Kusta Ujung Pandang, 1982. hal. 106-120. 12. Teplck Kansi ME. Cardio Vascular Disease. In: Roentenologic Diagnosis 3rd ed. Philadelphia: WI3 Saunders Co 1976; pp. 748-49.
Tonsilektomi Hatmansjah Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, Jayapura
PENDAHULUAN Tonsilektomi merupakan pembedahan yang paling banyak dan biasa dilakukan di bagian THT (Telinga, Hidung dan Tenggorok), oleh karena itu sering dianggap sebagai pembedahan kecil saja. Tetapi bagaimanapun juga, tonsilektomi adalah suatu pembedahan yang merupakan tindakan manipulasi yang dapat menimbulkan trauma dengan risiko kerusakan jaringan. Komplikasi mulai dari yang ringan bahkan sampai mengancam kematian atau gejala subyektif pada pasien berupa rasa nyeri pasca bedah dapat saja terjadi. INDIKASI Tonsilektomi atau lebih populer dikenal dengan istilah operasi amandel, telah dikenal oleh masyarakat awam sejak dahulu, dan sejak diperkenalkan tonsilektomi dengan cara Guillotine (1828), kecenderungan melakukan pembedahan ini untuk menyembuhkan berbagai penyakit saluran napas atas semakin meningkat. Oleh karena hal di atas, terjadi perbedaan batasan-batasan indikasi tonsilektomi yang umumnya berkisar pada jumlah penyakit yang termasuk indikasi, skala prioritas dan indikasi mutlak atau relatif serta terakhir frekuensi serangan tonsilitis pertahun yang merupakan indikasi tonsilektomi. Indikasi yang umum pada saat ini adalah : (1) serangan tonsilitis berulang, atau tonsilitis kronis, (2) sumbatan jalan napas atas karena pembesaran tonsil, (3) abses peritonsil, dan (4) kecurigaan akan adanya keganasan. Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorokan 4 – 6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut. Perlu diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik akan menurunkan jumlah kuman patogen yang ditemukan pada per
mukaan tonsil tetapi ternyata, setelah dilakukan pemeriksaan bagian dalam tonsil pasca tonsilektomi, ditemukan jenis kuman patogen yang sama bahkan lebih banyak dari hasil pemeriksaan di permukaan tonsil sebelum pemberian antibiotik. Patokan lain adalah carrier diphteri, tonsilitis kronik sebagai fokal infeksi organ lain dan radang tuberkulosis servikal, karena diperkirakan radang kronik tonsil akan memperberat penyakit ini. Pada tonsilitis kronik, kuman patogen akan menetap di bagian dalam tonsil sehingga menyebabkan tonsil berubah sebagai sarang kuman. Keadaan ini dapat menjadikan tonsil sebagai fokal infeksi bagi timbulnya penyakit-penyakit lain di dalam tubuh seperti demam rematik atau glomerulonefritis. Salah satu kuman patogen yang cukup berbahaya yang dapat dijumpai pada tonsilitis kronik adalah streptokokus beta hemolitikus tipe A. Kuman ini menghasilkan streptolisin 0 yang dapat merangsang terbentuknya anti streptolisin titer 0 (ASTO). Bila kadarnya dalam darah cukup tinggi (lebih dari 400 u/ml), dapat menunjukkan adanya infeksi fokal di'tonsil. Pembesaran tonsil pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas, mulai dari mengorok waktu tidur sampai terjadi sleep apnea. Apnea adalah terhentinya aliran udara melalui hidung atau mulut selama minimal 10 detik dan sindrom sleep apnea adalah apnea yang terjadi minimal 30 kali selama 7 jam tidur. Di samping ukuran tonsil, luas orofaring terutama jarak kedua dinding lateral faring cukup penting dalam menimbulkan sumbatan jalan napas atas, sehingga sleep apnea dapat juga terjadi pada pembesaran tonsil sedang. Gejala-gejala sumbatan umumnya menghilang atau berkurang setelah tonsilektomi. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagi-
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 19
an lagi menganjurkan tonsilektomi segera. Tindakan tonsilektomi untuk diagnosis dilakukan bila dicurigai adanya keganasan seperti pembesaran tonsil unilateral atau adanya ulserasi. KONTRAINDIKASI Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi melakukan pembedahan tonsil karena bila dikerjakan dapat terjadi komplikasi pada penderita, bahkan mengancam kematian. Keadaan tersebut adalah kelainan hematologik, kelainan alergi-imunologik dan infeksi akut. Kontraindikasi pada kelainan hematologik adalah anemi, gangguan' pada sistem hemostasis dan lekemi. Pada kelainan alergi-imunologik seperti penyakit alergi pada saluran pernapasan, sebaiknya tidak dilakukan tonsilektomi bila pengobatan kurang dari 6 bulan kecuali bila terdapat gejala sumbatan karena pembesaran tonsil. Pembedahan tonsil sebagai pencetus serangan asthma pernah dilaporkan. Tonsilektomi juga tidak dikerjakan apabila terdapat infeksi akut lokal, kecuali bila disertai sumbatan jalan napas atas. Tonsilektomi sebaiknya baru dilakukan setelah minimal 2–3 minggu bebas dari infeksi akut. Di samping itu tonsilektomi juga tidak dilakukan pada penyakit-penyakit sistemik yang tidak terkontrol seperti diabetes atau penyakit jantung pulmonal. TEKNIK 1) Cara Guillotine Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari Philadelphia, sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah modifikasi Sluder. Di negara-negara maju cara ini sudah jarang digunakan dan di bagian THT FKUI/RSCM cara ini hanya digunakan pada anak-anak dalam anestesi umum. Teknik • Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan berhadapan dengan pasien. • Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula. • Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut kiri. • Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub bawah tonsil dimasukkan ke dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke dalam Iubang guillotine. • Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit. • Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine, dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan diangkat keluar. • Perdarahan dirawat. 2) Cara diseksi Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Di Bagian THT FKU1/RSCM cara ini digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa, baik dalam anestesi umum maupun lokal.
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
Teknik : • Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala sedikit ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien. • Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag. • Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial. • Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari fosanya secara tumpul sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan menggunakan jerat tonsil, tonsil diangkat. • Perdarahan dirawat. 3) Cryogenic tonsilectomy Tindakan pembedahan tonsil dapat menggunakan cara cryosurgery yaitu proses pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin yang dipakai adalah freon dan cairan nitrogen. 4) Electrosterilization of tonsil Merupakan suatu pembedahan tonsil dengan cara koagulasi listrik pada jaringan tonsil. KOMPLIKASI Komplikasi tonsilektomi dapat terjadi saat pembedahan atau pasca bedah. Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam, kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna. Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan jaringan di sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut. Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late complication. Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk belum sempurna se-
hingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan. Yang penting pada perawatan pasca tonsilektomi adalah (1) baringkan pasien pada satu sisi tanpa bantal, (2) ukur nadi dan tekanan darah secara teratur, (3) awasi adanya gerakan menelan karena pasien mungkin menelan darah yang terkumpul di faring dan (4) napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di tenggorok. Bila diduga ada perdarahan, periksa fosa tonsil. Bekuan darah di fosa tonsil diangkat, karena tindakan ini dapat menyebabkan jaringan berkontraksi dan perdarahan berhenti spontan. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dilakukan penekanan dengan tampon yang mengandung adrenalin 1:1000. Selanjutnya bila masih gagal dapat dicoba dengan pemberian hemostatik topikal di fosa tonsil dan hemostatik parenteral dapat diberikan. Bila dengan cara di atas perdarahan belum berhasil dihentikan, pasien dibawa ke kamar operasi dan dilakukan perawatan perdarahan seperti saat operasi. Mengenai hubungan perdarahan primer dengan cara operasi, laporan di berbagai kepustakaan menunjukkan hasil yang berbeda-beda, tetapi umumnya perdarahan primer lebih sering dijumpai pada cara guillotine. Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan anestesi segera pasca bedah umumnya dikaitkan dengan perawatan terhadap jalan napas. Lendir, bekuan darah atau kadang-kadang tampon yang tertinggal dapat menyebabkan asfiksi. Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate complication) dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia.
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi pada hari ke 5 – 10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer. Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan biladijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadangkadang merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil. Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan ri nolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bilacukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil.
'The conqueror of men is powerful; the master of himself is strong
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 21
Perbandingan Pungsi vs. Insisi pada Terapi Abses Peritonsil di UPF THT RSUD Dr. Soetomo Sri Rukmini Soebroto, Hoetomo Amatpoero Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok Jurusan Ilmu Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
PENDAHULUAN Abses peritonsil (APT) adalah suatu timbunan nanah yang terletak di antara kapsul tonsil dan muskulus konstriktor superior faring(1). Abses tersebut merupakan komplikasi tonsilitis akut, di mana kuman penyebab mcnembus kapsul tonsil sehingga mengakibatkan infeksi di daerah antara kapsul dan muskulus konstriktor faringeus superior. Meskipun APT relatif lebih sering dijumpai dibanding abses lain di daerah kepala dan leher, sampai saat ini masih belum dapat ditentukan cara penanganan yang optimal dalam arti mudah dilakukan, murah dan aman bagi penderita. Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah : a) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara par enteral atau per oral. b) Pungsi dan aspirasi disertai antibio[ik3 par enteral. c) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika par enteral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi maupun efektifitas pengobatan APT dengan cara pungsi disertai pemberian antibiotika per-oral, dibandingkan dengan pengobatan secara insisi yang selama ini dilakukan di Laboratorium THT RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. BAHAN DAN CARA KERJA a) Yang diikutkan dalam penelitian ini adalah penderita APT yang datang berobat ke poliklinik maupun ruangan THT Lab/ UPF THT RSUD Dr. Soetomo/FK Unair. b) Penentuan metoda perlakuan pungsi atau insisi ditentukan secara acak. c) Pungsi dilakukan di daerah peritonsil yang paling bombans, diulang setiap hari sampai penderita dinyatakan sembuh. Yang dimaksud pungsi adalah pungsi sekaligus dilakukan
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
aspirasi nanah. Insisi dilakukan di daerah peritonsil yang paling bombans, atau di daerah pertemuan antara garis yang melewati tiasar uvula dan garis vertikal yang melewati arkus anterior. Yang dimaksud insisi adalah tindakan insisi diteruskan membuka luka insisi untuk mengeluarkan nanah (drainase) dan diulang setiap hari sampai penderita dinyatakan sembuh. Selain tindakan tersebut, kedua kelompok penderita tersebut diberi Ampicillin 3 x 500 mg (5 hari) dan Metampiron 3 x 500 mg (5 hari). d) Penderita dinyatakan sembuh apabila : • Pada tindakan pungsi atau pembukaan luka insisi sudah tidak didapatkan nanah. • Gejala subyektip berupa keluhan nyeri menelan, sakit kepala, suara bindeng, keluamya air lewat hidung waktu minum menghilang. • Gejala obyektip berupa bombans, hiperemi daerah peritonsil, trismus, menghilang. HASIL PENELITIAN Sebanyak 38 penderita APT dibagi menjadi 19 penderita men jalani terapi pungsi dan 19 penderita dengan insisi. Penderita laki-laki 21 orang (55,3%) dan 17 (44,7%) penderita wanita (Tabel 1). Tabel 1.
Umur dan Jenis Kelamin Penderita APT di RS Dr. Soetomo, Surabaya Jumlah
Umur
Laki•laki
Perempuan
Kurang dari 14 th. 15 th – 29 th. 30th~44th.
1 15 5
– 11 6
n 1 26 11
% 2,6 68,4 29
21 (55,3%)
17 (44,795)
38
100
Jumlah
Penderita terbanyak dijumpai pada umur 15 – 30 tahun (dewasa muda). Gejala obyektip dan subyektip yang dtjumpai pada 38 penderita APT dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.
GeJala pada Penderita APT di RS Dr. Soetomo, Surabaya Gejala
Pungsl
Insisi
Jumlah
Nyeri menelan Nyeri telinga Sefalgi Trismus Suara bindeng Minum, air keluar lewat hidung Bombans Hiperemi
19 19 17 14 13 14 19 18
19 16 17 14 16 10 19 19
38 35 34 28 29 24 38 37
Hasil terapi yang berupa penurunan gejala obyektip dan subyektip pada kedua kelompok pungsi dan insisi mulai tampak pada hart ke-3. Sebagian besar penderita sembuh pada hari ke 4 (tabel 3a dan 3b). Tabel 3a. Gejala Subyektip dan Obyektip setelah Pengobatan cara Pungsl Pungsi hari ke
Gejala Nyeri menelan Sefalgi Panasbadan Trismus Suara bindeng Minum, air keluar lewat hidung Bombans Hiperemi Sembuh
I
II
III
IV
V
19 17 16 14 13 14 19 18 –
15 5 2 3 8 7 16 15 –
6 1 – – 3 1 2 6 13
4 – – – 1 – – 1 5
1 – – – – – – – 1
Rata-rata
3,4 hari
Tabel 3b. Gejala Subyektip dan Obyektip setelah Pengobatan care Insist Insisi hari Ice Gejala Nyeri menelan Sefalgi Panas badan Trismus Suara bindeng Minum, air keluar lewat hidung Bombans Hiperemi Sembuh Rata-rata
I
II
III
IV
V
19 17 16 19 16 10 19 19 –
12 6 3 4 6 5 2 5 1
3 1 – 1 3 1 – 1 13
– – – – 1 – – – 4
– – – – – – – – 1
3,3 hari
PEMBAHASAN Terapi yang selama ini dilaksanakan di Lab/UPF THT RSUD Dr. Soetomo/FK Unair terhadap penderita APT ialah tindakan insisi disertai pelebaran luka insisi untuk mengeluarkan nanah. Tindakan pungsi yang dilakukan sebelum insisi bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan mengurangi pus yang ada, sehingga pada saat insisi nanah tidak terlalu banyak mengalir ke luar (menghindari terjadinya aspirasi). Pada penelitian ini pungsi
bertujuan untuk menegakkan diagnosis sekaligus untuk maksud terapi. Dan 19 penderita APT yang diterapi dengan pungsi, 13 penderita (68,4%) sembuh pada hari ke-3 pengobatan, 5 penderita (20%) pada hari ke-4 dan 1 penderita (6,2%) pada hari ke-5 dengan rata-rata kesembuhan 3,4 hari. Sembilan belas penderita yang diterapi dengan insisi, 1 penderita (6,2%) sembuh pada hari ke-2, 13 penderita (68,4%), sembuh pada hari ke-3, 4 penderita (6,2%) sembuh pada hari ke-4, 1 penderita sembuh pada hari ke-5 dengan rata-rata kesembuhan 3,3 hari. Hasil kedua kelompok pengobatan tersebut tampak mendekati sama, kecuali 1 penderita dengan insisi yang sudah sembuh pada hart ke-2 (Tabel 3a dan 3b). Stringer(2) telah melakukan terapi APT secara pungsi maupun insisi; pada kedua kelompok perlakuan tersebut gejala obyektip sudah berkurang mendekati minimal pada hari ke-2, sedangkan kesembuhan total dicapai pada hari ke-10. Herson(3) yang melakukan pungsi pada 41 penderita APT, mendapatkan hasil 90% sembuh sempurna dengan waktu kesembuhan rata-rata 2,6 had. Terhadap 10% penderita yang gagal dengan terapi pungsi, terapi diganti dengan cara konvensional yaitu insisi dan pelebaran luka insisi di hari-hari berikutnya, sampai penderita dinyatakan sembuh. Pada penelitian ini dari 19 penderita APT yang menjalani terapi pungsi tidak ada satupun yang mengalami kegagalan sehingga memerlukan tindakan insisi. Penurunan gejala subyektip (kecuali yang berupa suara bindeng) sudah terli hat pada hari ke-2 dan dijumpai sama banyak pada kelompok pungsi maupun insisi; tetapi untuk gejala obyektip yang berupa bombans dan hiperemi lebih jelas terlihat pada kelompok insisi (Tabel 3a dan 3b). Meskipun lama kesembuhan kedua kelompok terapi tersebut mendekati sama, terapi pungsi mempunyai beberapa kelebihan,.yaitu : 1. Mudah dikerjakan. 2. Dikerjakan sekaligus untuk keperluan diagnosis dan terapi, sehingga trauma jaringan lebih kecil. 3. Tidak menakutkan penderita. 4. Metoda lebih mudah, aman dan murah. Pungsi hanya memerlukan alat berupa alat suntik (semprit dan jarum no.18 G) dan spatula lidah, sedangkan insisi memerlukan alat suntik untuk diagnosis, pisau lengkung, alat penghisap atau kain kasa penghisap untuk mencegah terjadinya aspirasi. Bahkan pungsi dapat dilakukan oleh seseorang yang bukan ahli THT, misalnya oleh dokter umum(4). Dan 41 penderita APT yang menjalani terapi pungsi yang dikumpulkan oleh Hersono), pada 50% penderita tindakan pungsi dikerjakan oleh dokter umum dan kesemuanya berhasil baik. Satu-satunya masalah yang mungkin timbul bila penderita APT datang ke dokter umum adalah kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis. Diagnosis banding yang perlu diperhatikan adalah adanya abses di daerah retromolar atau abses di daerah fossa pterigomaksila(3). Spires(5) menyebutkan beberapa kerugian dari tindakan
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 23
insisi, yaitu : 1. Rasa nyeri pada waktu insisi. 2. Tindakan melebarkan luka insisi untuk mengeluarkan nanah dapat menyebabkan aspirasi. Untuk mencegah hal tersebut perlu digunakan alat penghisap dan menjaga agar penderita tetap dalam posisi duduk tegak. 3. Meskipun sangat jarang, tindakan insisi dapat berbahaya bila sampai mengenai arteri karotis intema. Kemungkinan kambuh pada penderita yang diinsisi, menurut Moesgard Nielsen dan kawan-kawan, maupun Litman dan kawan-kawan yang dikutip oleh Lockhart(6) adalah 21% – 22% dalam waktu 4 tahun; sedangkan Ophit(4) yang melakukan pengobatan dengan cara pungsi mendapatkan angka kesembuhan 85%, yang mengalami kekambuhan dalam waktu 1 bulan – 1 tahun adalah 3 orang dari 66 penderita yang dirawatnya. Dan 19 penderita yang kami rawat dengan cara pungsi, seluruhnya sembuh sempurna, hanya ada satu penderita yang mengalami kekambuhan setelah 6 bulan pengobatan. Sedangkan penderita yang dirawat dengan insisi seluruhnya sembuh dan tidak ada yang kambuh.
3) Penurunan gejala subyektip pada kedua kelompok tersebut sudah sama-sama terjadi pada hari ke-2 pengobatan, tetapi untuk gejala obyektip (berupa bombans dan hiperemi) pada hari ke-2 pengobatan, tampak lebih jelas pada kelompok insisi. 4) Pengobatan dengan cara pungsi mempunyai beberapa kelebihan antara lain : a. Metoda lebih sederhana, mudah dikerjakan dan murah, karena hanya memerlukan peralatan sederhana berupa spatula lidah dan alat suntik. b. Lebih aman, perusakan jaringan lebih sedikit. c. Tidak menyakitkan atau menakutkan penderita.
KESIMPULAN Telah dikerjakan terapi pada 38 penderita APT, dengan cara pungsi atau insisi dengan hasil : 1) APT banyak dijumpai pada usia dewasa muda antara 15 – 30 tahun. 2) Waktu penyembuhan yang diperlukan pada kedua metoda tersebut relatip sama, yaitu untuk pungsi 3,4 hari dan insisi 3,3 hari.
4.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.
5. 6.
Maharaj D, Rajah V, Hemsley S. Management of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol 1991; 105: 743-5. Stringer SP, Schaefer SD, Close LG. A Randomized trial for outpatient management of peritonsillar abscess. Arch Otolaryngol Head and Neck Surgery 1988; 114: 296-8. Herson FS. Permucosal needle drainage of peritonsillar abscesses; A five year experience. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1984; 110: 104-5. Ophir D, Bawnik J, Porat M, Marshak G. Peritonsillar abscess. A Prospective evaluation of outpatient management by needle aspiration. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1988; 114: 661-3. Spires JR, Owen JJ, Woodson GE, Miller RH. Treatment of peritonsillar abscess. A prospective study of aspiration vs incision and drainage. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1987; 113: 985-6. Lockhart R, Parker GS, Tami TA. Role of quinsy tonsillectomy in the management of peritonsillar abscess. Ann Otol Rhinol Laryngol 1991; 100: 569-71.
RS MITRA KELUARGA BEKASI membutuhkan dokter spesialis untuk bidang bidang : – PENYAKIT DALAM – BEDAH – KARDIOLOGI – NEUROLOGI Syarat : – Bersedia bekerja purna waktu (full-time) – Sudah menyelesaikan WKS – Diutamakan yang berusia kurang dari 45 tahun Untuk keterangan selanjutnya, hubungi melalui telpon atau mengirimkan surat lamaran ke : RS MITRA KELUARGA BEKASI Jl. A. Yani, Bekasi Telpon 8803505, 8803507
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
Abses Otak Muhammad Totong Kamaluddin Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang
PENDAHULUAN Abses otak (AO) adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan otak(1,2). AO pada anak jarang ditemukan dan di Indonesia juga belum banyak dilaporkan. Morgagni (1682–1771) pertama kali melaporkan AO yang disebabkan oleh peradangan telinga(3). Pada beberapa penderita dihubungkan dengan kelainan jantung bawaan sianotik(4,5,6). Mikroorganisme penyebab AO meliputi bakteri, jamur dan parasit tertentu(2,7,8,9). Mikroorganisme tersebut mencapai substansia otak melalui aliran darah, perluasan infeksi sekitar otak, luka tembus trauma kepala dan kelainan kardiopulmoner. Pada beberapa kasus tidak diketahui sumber infeksinya(1,7). Gejala klinik AO berupa tanda-tanda infeksi yaitu demam, anoreksi dan malaise, peninggian tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal sesuai lokalisasi abses(1,7). Terapi AO terdiri dari pemberian antibiotik dan pembedahan(4,7,8,9,10). Tanpa pengobatan, prognosis AO jelek(2,6,7). Makalah ini bertujuan membicarakan secara singkat AO yang menyangkut angka kejadian, etiologi, patofisiologi, gambaran klinik, diagnosis, diagnosis banding, penanganan dan prognosis. ANGKA KEJADIAN Angka kejadian yang sebenamya dari AO tidak diketahui. Laki-laki lebih sering daripada perempuan dengan perbandingan 2:1(6,9). Poerwadi melaporkan 18 kasus AO pada anak dengan usia termuda 5 bulan(3). ETIOLOGI Berbagai mikroorganisme dapat ditemukan pada AO, yaitu bakteri, jamur dan parasit"). Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, Streptococcus
beta hemolyticus, Streptococcus alpha hemolyticus, E. coli dan Baeteroides(5,7,8). Abses oleh Staphylococcus biasanya berkembang dari perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan anaerob, Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Abses oleh Streptococcus dan Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik umumnya oleh Streptococcus anaerob(5). Jamur penyebab AO antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies Candida dan Aspergillus. Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus dapat menimbulkan AO secara hematogen(5,7). Kira-kira 6–20% AO disebabkan oleh flora campuran, kurang lebih 25% AO adalah kriptogenik (tidak diketahui sebabnya).
PATOFISIOLOGI AO dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu(2,7). AO bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark akibat
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 25
trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang ringan. Karena adanya shunt kanan ke kin maka bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang kemudian ke daerah infark. Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun(11). Dua pertiga AO adalah soliter, hanya sepertiga AO adalah multipel(2,4,9,12). Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik(n. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu : 1) stadium serebritis dini 2) stadium serebritis lanjut 3) stadium pembentukan kapsul dini 4) stadium pembentukan kapsul lanjut. Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis(7). Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen(2,7). GAMBARAN KLINIK Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya AO gejala menjadi khas berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik fokal(2,7). Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel(2,5,7). Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hem ianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah gejala sensorimotorik(7). Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal. LABORATORIUM Terutama pemeriksaan darah perifer yaitu pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju endap darah(2,7). Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang(2,7,12), kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel(2,7). DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik, pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya(2,7). Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial, dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan frekuensi 1–3 siklus/detik pada lokasi abses(2,7,13). Pnemoensefalografi penting terutama untuk diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses(2,13). Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat. DIAGNOSIS BANDING • Gangguan pembuluh darah otak, yang bersifat oklusi dan perdarahan, terutama pada penderita AO dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Jarang terjadi sebelum usia 2 tahun. Serangan nerolōgik timbulnya mendadak, pada AO perlahan. • Hidrosefalus. Gejala klinik AO di bawah 2 tahun, kadang-kadang sukar dibedakan dari hidrosefalus. • Tumor otak seperti astrositoma mempunyai gambaran klinik seperti AO. Dengan pemeriksaan CT scan dapat dibedakan keduanya. • Kelainan lain yang harus dibedakan dari AO adalah proses desak ruang intrakranial seperti hematoma subdural, abses subdural dan abses epidural serta hematoma epidural(2,7).
KOMPLIKASI Komplikasi meliputi : retardasi mental, epilepsi, kelainan nerologik fokal yang lebih berat. Komplikasi mi terjadi bila AO tidak sembuh sempurna. PENANGANAN Pada umumnya terapi AO meliputi pemberian antibiotik dan tindakan operatif berupa eksisi (aspirasi), drainase dan ekstirpasi(2,7). Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan pemberian antibiotik, sebagai berikut: 1) Bila gejala klinik belum berlangsung lama (kurang dan 1 minggu) atau kapsul belum terbentuk. 2) Sifat-sifat abses: a) Abses yang lokasinya jauh dalam jaringan otak merupakan kontraindikasi operasi. b) Besar abses. c) Soliter atau multipel; pada abses multipel tidak dilakukan operasi(2,7,9). Pemilihan antibiotik didasarkan hasil pemeriksaan bakteriologik dan sensitivitas. Sebelum ada hash pemeriksaan bakteriologik dapat diberikan antibiotik secana polifragmasi ampisilin/penisilin dan kioramfenikol. Bila penyebabnya kuman anaerob dapat diberikan metronidasol. Golongan sefalosporin generasi ke tiga dapat pula digunakan. Tindakan pembedahan dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas. PROGNOSIS Tergantung dan: 1) cepatnya diagnosis ditegakkan 2) derajat perubahan patologis 3) soliter atau multipel 4) penanganan yang adekuat. Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan mu1ipe1(2,5,7).
menjadi penyebab. Penyebaran infeksi ke otak mungkin secara langsung atau udak Iangsung melalui hematogen dan infeksi sekitar otak. Perubahan patologik terdiri 4 stadium yaitu : serebritis dini, serebritis lanjut, pembentukan kapsul dini dan pembentukan kapsul lanjut. Gambaran klinik AO berupa gejala-gejala infeksi, pen inggian tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal sesuai lokasi abses. Terapi AO dengan pemberian antibiotik dan tindakan pembedahan. Prognosis AO tergantung diagnosis dini, perubahan patologik dan terapi yang dini. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
10. 11.
RINGKASAN AO adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada janingan otak. Insidens AO tidak diketahui, dengan kemajuan antibiotik dewasa mi insidens semakin menurun. Berbagai organisme seperu bakteri, parasit dan jamur dapat
12. 13.
Lesse Al, Scheid WM. Brain abscess. In: Johnson RT. (eds): Current therapy in neurologic disease-2. Toronto, Philadelphia: BC. Decker Inc; 1987: 107-9. Menkes JH. Brain abscess. In: Textbook of child neurology. 2nd ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1975 : 229-33. Troeboes Poerwadi. Abses otak pada anak. Kumpulan Naskah Lengkap Konas IDASI, 1988 :255-61. Berhman RE, Vaughan VC (eds). Brain abscess. In: Nelson's textbook of pediatrics. 13th ed. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders Co; 1987. hat. 1322-3. Mardjono M, Sidharta P. Abses serebri. Dalam: Neurologi klinik dasar. edisi 4. Jakarta: Pustaka Universitas, PT Dian Rakyit 1981 : 319-29. Saiz Lorens XJ, Umana MA, Odio CM, etal. Brain abscess. Pediatr Infect DisJ 1989; 8: 449-58. Dodge PR. Parameningeal infections (including brain abscess, epidural abscess, subdural empyema). In: Feigin, Cherry (eds): Textbook of Pediatric Infectious Disease. First ed. Philadelphia, London: WB Saunders Co; 1987 : 496-504. Ford FR. Abscess of brain. In: Diseases of nervous system in infancy, childhood and adolescences. 5th ed. Springfield, illinois: Charles C Thomas PubI; 1974 : 417-22. Schuster H, Koos W. Brain abscess in children. In: SchieferW, Klinger M, Brock M. (eds). Brain abscess and meningitis. Subsrachnoid hemorrhage : timing problems. Berlin, Heidelberg, New York: Springer-Verlang; 1981 :81-85. Keren G, Tyrrell DLI. Non surgical treatment of brain abscess. Pediatr Infect Dis J. 1984; 3:331-4. Kidd BS L. Complete transposition of the great arteries. In: 1-lean disease in infancy and childhood, 3th ed. New York, Toronto, London: Macmillan Pubslishmg Co; 1987 :590-611. Adams RD. Victor M. Brain abscess. In: Principles of Neurology. 3th ed. New York, St. Louis, San Franscisco: Mc Graw Hill Book; 1987. hal. 522-6. Gordon IRS, Ross FGM. Cerebral abscess. In: Diagnostic radiology in paediatrics. First ed. London, Boston: Butterworth & Co. Pub! Ltd; 1977: 312.
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 27
Pemeriksaan Faal Paru Prabedah M. Ali Hanafiah Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN Pembedahan di daerah toraks dan abdomen mempengaruhi sistim pernapasan yang mempunyai risiko terbesar untuk terjadinya penyulit respirasi pascabedah(1,2). Morbiditas dan mortalitas pascabedah masih menduduki peringkat teratas akibat komplikasi pulmoner pada pembedahan(1). Walaupun kemajuan teknologi di bidang kedokteran yang meliputi teknologi pembedahan, obat-obatan dan cara anestesi memungkinkan dilakukan tindakan bedah pada kasus dengan kelainan kardiopulmoner, peningkatan angka mortalitas dan morbiditas masih dapat terjadi(3). Pemeriksaan faal paru prabedah merupakan bagian persiapan penderita yang akan dibedah dan sebagai salah satu cara untuk menentukan risiko serta toleransi faal paru pada pembedahan, karena pemeriksaan faal paru lebih peka daripada pemeriksaan fisik dan anamnesis saja(4,5). Informasi tentang masalah paru selama dan sesudah pembedahan pada penderita dapat diketahui lebih awal(6). Tujuan pemeriksaan faal paru prabedah adalah untuk mengetahui keadaan fisiologis kardiopulmoner penderita, deteksi kelainan dan tingkatnya sehingga dapat diramalkan risiko selama dan sesudah pembedahan serta tindakan penanggulangan menjelang pembedahan dan komplikasi yang mungkin terjadi(1,4,7). Pada tulisan ini akan dibahas patofisiologi paru pada pembedahan, komplikasi, faktor-faktor risiko terjadinya komplikasi, indikasi pemeriksaan faal paru, jenis pemeriksaan faal paru dan batasan faal paru untuk menilai risiko komplikasi. PATOFISIOLOGI PARU PADA PEMBEDAHAN Pembedahan dan anestesi akan menyebabkan perubahanperubahan faal paru yaitu : 1. Volume statis paru 2. Pola ventilasi
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
3. 4.
Pertukaran gas Mekanisme pertahanan paru.
Volume Statis Paru Pembedahan mengubah volume statis paru. Pembedahan abdomen menurunkan kapasitas vital (KV), kapasitas paru total (KPT), volume residu (VR), closing volume dan volume cadangan ekspirasi (VCE) dan kapasitas inspirasi(8,9). KPT dan sub-bagiannya akan menurun terutama setelah pembedahan abdomen; penurunannya lebih besar pada pembedahan abdomen bagian atas daripada bagian bawah(1,3,4). Penurunan KV sebesar 25% – 50%, dapat mencapai 80%(1,3,4,8). Pada pembedahan di luar abdomen dan toraks tidak terjadi penurunan KV dan KVT (dikutip dari 8). Perubahan closing volume pascabedah mengakibatkan penurunan volume cadangan ekspirasi (VCE) sebesar 25% pada pembedahan abdomen bagian atas dan 60% pada pembedahan abdomen bagian bawah(1,3,4). Beecher melakukan penelitian prospektif spirometri sebelum dan sesudah laparatomi, menemukan : 1) KV menurun 45% pada hari ke-1 sampai ke-2 pascabedah. 2) KV kembali ke nilai prabedah setelah 1–2 minggu kemudian. 3) Penurunan KV pada laki-laki, pembedahan abdomen bagian atas dibandingkan dengan abdomen bagian bawah (55% : 40%). 4) VR menurun 13% dan KRF sampai 20%, maksimal pada hari ke-4 pascabedah. Pola Ventilasi Penurunan volume alun napas (tidal volume) terjadi dalam 24 jam pascabedah sebanyak 20% disertai kenaikan frekuensi pernapasan sebesar 20% sedangkan volume semenit tidak berubah. Daya kembang (compliance) paru menurun 33%. Keadaan ini mengakibatkan paru bagian bawah dan yang jauh dari apeks
kurang ikut ambil bagian dalam pernapasan, sehingga memudahkan penimbunan sekret dan timbulnya atelektasis(1,3,4). Pertukaran Gas Penurunan tekanan oksigen arteri pascabedah mempengaruhi perbandingan ventilasi dan perfusi (V/Q). Gangguan V/Q ini menyebabkan timbulnya hipoksemi, akan diperberat dengan adanya imobilisasi, penurunan volume statis, hilangnya pernapasan spontan sehingga terjadi mikroatelektasis. Pada semua reseksi toraks terjadi penurunan PaO2 dan padapenderita dengan penyakit lanjut yang mengalami hiperkapnia pra bedah terjadi peningkatan PaCO2(1,3,4). Mekanisme Pertahanan Paru Gerakan mukosilier merupakan pembersihan jalan napas yang akan mencegah terjadinya mikroatelektasis. Batuk merupakan mekanisme efektif dan pembersih deposit partikel saluran napas atas. Bakteri yang terhirup segera difagositosis dan dibunuh oleh makrofag di dalam paru. Pada periode pasca bedah proses pembersihan jalan napas terganggu akibat penekanan refleks batuk, penghambatan fungsi silia, perubahan komposisi sekresi lendir dan terjadinya hipoksi arteri(3,4). KOMPLIKASI Dari beberapa penelitian retrospektif ditemukan jika nilai faal paru prabedah abnormal, dapat diramalkan penderita akan mengalami komplikasi pascabedah, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas(10–12). Lattimer (dikutip dari 4) melaporkan, dari 19 seri pembedahan, kekerapan komplikasi paru pascabedah sangat bervariasi yaitu 2,9% – 70%. Kekerapan paling tinggi terjadi pada pembedahan toraks dan abdomen bagian atas sedangkan yang paling rendah pada pembedahan di luar toraks dan abdomen. Pada pembedahan abdomen bagian atas diperoleh komplikasi 6% dan untuk abdomen bagian bawah 3%(2,4,9,11). Pada pemeriksaan faal paru prabedah didapat hubungan antara beratnya obstruksi dan mortalitas(6). Stein dan Cassara (dikutip dari 4) mendapatkan 1 (3%) dari 33 penderita dengan faal paru normal mengalami komplikasi dan 21 (70%) komplikasi dari 30 penderita dengan faal paru kurang dari normal. Komplikasi pascabedah yang sering terjadi adalah atelektasis dan infeksi(2,3,4,7). Atelektasis terjadi akibat mekanisme fisiologi normal terganggu : – sekret yang tertahan – tidak ada atau berkurangnya sigh reflex – menurunnya VCE(4). Komplikasi infeksi terjadi pada penderita dengan dan tanpa penyakit saluran napas kronik. Infeksi yang terjadi dapat berupa bronkitis dan pneumonia(4). FAKTOR-FAKTOR RISIKO TERJADINYA KOMPLIKASI PARU Pemeriksaan faal paru prabedah berguna untuk mengetahui penyulit pascabedah yang akan terjadi. Adapun faktor risiko yang berperan adalah risiko pulmoner dan risiko nonpulmoner. Faktor-faktor Risiko Pulmoner 1) Nilai Spirometri
Lockwood (dikutip dari 4) membagi 4 kelompok risiko yaitu : sangat rendah, rendah, tinggi dan sangat tinggi. Risiko sangat rendah ditemukan pada penderita dengan faal paru normal dan risiko sangat tinggi bila KV < 1,85 liter, VEP1 < 1,2 liter dan MVV < 28 liter per menit. 2) Analisis Gas Darah Hipoksi dengan perbedaan oksigen alveoli-arteri yang terlalu besar merupakan indikasi kontra untuk tindakan pembedahan, misalnya PaO2 < 50 torr. Kriteria ini tidak mutlak untuk kanker paru karena daerah yang akan dibedah tidak mempunyai ventilasi sedangkan perfusinya baik, di sini terjadi right to left shunt dan potensial terjadi hipoksi yang kembali normal bila dilakukan reseksi. Peningkatan PaCO2 di atas nilai normal menunjukkan pengurangan faal paru yang jelas dan VCE yang minimal. Adanya hiperkapni bukan merupakan indikasi kontra yang mutlak untuk tindakan pembedahan(4). 3) Tekanan Arteri Pulmoner Nilai penutupan unilateral dari arteri pulmoner utama kanan atau kiri (TUPAO) berguna untuk pertimbangan tindakan bedah terutama pada reseksi paru. Dengan pengukuran ini dapat diketahui penyakit vaskuler primer atau menilai beratnya hipertensi pulmoner karena penyakit paru obstruksi. Kriteria non-operabel ialah bila tekanan arteri > 30 mmHg (TUPAO)(3.4) 4) Indikator Dini Deteksi awal obstruksi saluran napas ialah dengan pemeriksaan CV, frequency dependent compliance dan volume of isoflow(3,4). Faktor-faktor Risiko Nonpulmoner 1) Faktor Risiko Umum • Riwayat merokok Kekerapan komplikasi lebih tinggi pada perokok daripada bukan perokok(3,4,10). Dari penelitian didapatkan bronkitis kronik pada 82% perokok sigaret lebih dari 8 pak/tahun. Merokok juga mengakibatkan peningkatan CV yang dapat menimbulkan atelektasis(4,13). • Obesitas Obesitas meningkatkan risiko komplikasi pascabedah. KRF dan VCE menurun dengan semakin beratnya tubuh. Pada penderita obesitas VCE lebih kecil daripada CV, mengakibatkan sumbatan saluran napas(4,10). • Umur Umur meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas pascabedah. Terjadinya penurunan volume paru statis, arus puncak ekspirasi maksimal, daya regang paru dan tekanan oksigen paru. Aktivitas refleks saluran napas berkurang pada orang berumur, mengakibatkan kemampuan daya pembersih saluran napas berkurang (dikutip dari 4). 2) Penyakit yang menyertai Penyakit yang menyertai penderita akan mempertinggi morbiditas dan mortalitas serta memperburuk prognosis(14,15). Penderita PPOK mempunyai risiko tinggi komplikasi pascabedah(16). Pembedahan kanker paru pada penderita dengan bronkitis berat, memberikan risiko morbiditas dan mortalitas lebih
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 29
tinggi(3,4). 3) Jenis anestesi Anestesi umum memberikan risiko lebih besar daripada anestesi lokal dan risiko anestesi spinal tidak lebih kecil daripada anestesi umum(3,4). 4) Tipe Pembedahan Risiko komplikasi pembedahan di luar abdomen dan toraks, kecil (< 1%); semata-mata merupakan risiko anestesi. Risiko komplikasi pada pembedahan toraks dipengaruhi oleh adanya penyakit paru kronik, fungsi paru yang diangkat, derajat dan fungsi pengembangan paru yang tinggal(3,4). INDIKASI PEMERIKSAAN FAAL PARU Penderita yang akan menjalani pembedahan dengan anestesi umum sebagainya melakukan pemeriksaan faal paru. Uji faal paru prabedah dilakukan pada(1–4) : 1) penderita yang mempunyai riwayat kelainan paru 2) penderita yang akan menjalani bedah toraks 3) penderita yang akan menjalani bedah abdomen 4) penderita dengan risiko tinggi yaitu perokok berat dan batuk 5) penderita dengan obesitas 6) penderita berumur lebih dari 60 tahun. JENIS PEMERIKSAAN FAAL PARU Untuk menilai adanya dan beratnya penyakit paru dapat dilakukan pengukuran : 1) Spirometri Pengukuran dengan spirometri biasa untuk mendapatkan KV, VEP1, dan Maximal Voluntary Ventilation (MVV) biasanya sudah cukup(3). Apabila ada fasilitas, dapat ditambahkan dengan pemeriksaan VR, ATEM, KRF, KPT@). 2) Analisis Gas Darah Untuk mendapatkan nilai PaO2 dan PaCO2@). 3) Tekanan Arteri Pulmoner 4) Bronkospirometri 5) Closing Volume Closing volume adalah suatu uji yang sederhana dan sensitif untuk mendeteksi penyakit saluran napas perifer lebih dini, yang pada pemeriksaan spirometri biasa belum didapatkan(13). 6) Compliance Paru. BATASAN FAAL PARU UNTUK MENILAI KOMPLIKASI Nilai faal paru dalam menentukan risiko anestesi/pembedahan berdasarkan KV dan VEP10) : 1) Risiko ringan • Pembedahan di luar abdomen dan toraks : KV > 60%; VEP1 > 60% • Pembedahan abdomen bagian bawah : KV > 60%; VEP1 > 60% • Pembedahan abdomen bagian atas : KV > 60%; VEP1 > 60% • Pembedahan toraks tanpa pengangkatan jaringan paru KV > 60%; VEP1 > 60% • Reseksi paru :
30 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
∗ Pneumonektomi : KV paru kontra lateral > 45%; VEP1 > 60% ∗ Pembedahan unilateral : KV > 60%; VEP1 > 60% ∗ Pembedahan bilateral : KV > 75%; VEP1 > 60%. 2) Risiko Sedang • Pembedahan di luar abdomen dan toraks : KV > 30%; VEP1 > 30%. • Pembedahan abdomen bagian bawah : KV > 35%; VEP1 > 60%. • Pembedahan abdomen bagian atas : KV > 40%; VEP1 > 60%. • Pembedahan toraks tanpa pengangkatan jaringan paru : KV > 40%; VEP1 > 60%. • Reseksi paru : ∗ Pneumonektomi : KV paru kontralateral > 35%; VEP 1 > 60%. ∗ Pembedahan unilateral : KV > 60%; VEP1 > 60%; KV paru kontralateral > 20%. ∗ Pembedahan bilateral : KV > 50%; VEP1 > 60%. 3) Risiko Tinggi • Pembedahan di luar abdomen dan toraks : KV < 30%; VEP1 < 30%. • Pembedahan abdomen bagian bawah : KV < 35%; VEP1 < 60%. • Pembedahan abdomen bagian atas : KV < 40%; VEP1 < 60%. • Pembedahan toraks tanpa pengangkatan jaringan paru : KV < 40%; VEP1 < 60%. • Reseksi paru : Keadaan ini berbahaya bahkan mungkin tidak dapat dilakukan apabila nilai faal paru kurang dari batas bawah nilai faal paru pada risiko sedang. Bila nilai faal paru berada pada batas marginal, dilakukan pemeriksaan analisis gas darah dan pengukuran tekanan arteri pulmoner. Batas toleransi pembedahan bila : PaCO2 > 45 ton; Tekanan a. pulmoner > 30 mmHg (TUPAO). Insiden komplikasi tinggi pada penderita berumur bila(12) : – KV < 1 liter – VEP1 < 1 liter – MVV > 50% nilai duga – PaO2 < 55 mmHg – PaCO2 > 45 mmHg Tisi(4) melaporkan nilai faal paru untuk risiko morbiditas dan mortalitas tinggi, yaitu : – Spirometri : MVV < 50% nilai duga; VEP1 < 2 liter – Gas darah arteri : PaCO2 > 45 torr – Tekanan arteri pulmoner > 30 mmHg (TUPAO). Olsen (dikutip dari 5) mengemukakan, pada reseksi paru risiko tinggi bila : – KVP < 50% nilai duga – VEP1 < 2 liter – MVV < 50% – VR/KPT > 50% – Kapasitas difusi < 50% nilai duga.
– – – –
Pembedahan ditunda bila (dikutip dari 1) : KV < 1 liter VEP < 0,5 liter ATEM < 100 liter/menit MVV < 50%.
KESIMPULAN 1) Pembedahan mempengaruhi fisiologi paru akibat obat anestesi dan pembedahan. 2) Pemeriksaan faal paru berguna untuk mengetahui risiko komplikasi pada penderita yang mengalami tindakan pembedahan dan anestesi umum. 3) Pemeriksaan faal paru dilakukan pada penderita yang menjalani pembedahan toraks, abdomen dan risiko tinggi (perokok berat, obesitas, berumur). 4) Penderita dengan risiko tinggi tetapi mempunyai indikasi kuat untuk pembedahan memerlukan persiapan prabedah yang baik dalam menghadapi penyulit pascabedah yang mungkin terjadi. KEPUSTAKAAN 1. 2.
Amin M. Evaluasi faal paru prabedah, Paru 1987; 7: 34-7. Faisal Y, Husaeri F. Peranan pemeriksaan faal paru menghadapi tindakan bedah. Maj Kedokt Indon 1989; 39: 247-52.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Husaeri F, Faisal Y. Evaluasi faal paru prabedah dalam buku: Pulmonologi klinik. ed : Faisal Y, Menaldi R, A. Hudoyo, A. Mulawarman, Swidarmoko B. Jakarta, Bagian Pulmonologi FKUI 1992 : 33-42. Tisi GM. Preoperative evaluation of pulmonary function. Am Rev Respir Dis 1979; 119: 293-309. Zibrak JD, O'Donnell CR, Marton K. Indications for pulmonary function testing. Ann Intern Med 1990; 12: 763-71. Dring P. Preoperative assessment of lung cancer. Chest 1989; 96: 52s-5s. Yoseph D, Donnel CR, Marton KI et al. Preoperative pulmonary function testing. Ann Intern Med 1990; 12: 793-4. Anscombe AR, Buxton R.St.J. Effect of abdominal operation on total lung capacity and its subdivisions. Br Med J 1958; 2: 84-7. Biery DR, Marks JD, Schapera A, Autry M, Schlobohm RM, Katz JE. Factors affecting perioperative pulmonary function in acute respiratory failure. Chest 1990; 98: 1455-62. Torrington KG, Henderson CJ. Perioperative respiratory therapy (PORT) A program of preoperative risk assessment and individualized postoperative care. Chest 1988; 93: 946-51. Mittman C. Assessment of operative risk in thoracic surgery. Am Rev Respir Dis 1961; 84: 197-207. Kim SK, Chang J, Ahn CM, Sohn HY, Kim K. Relationship between the result of preoperative pulmonary function test and postoperative pulmonary complication. J Korean Med Sci 1987; 2: 71-4. Faisal Y. Closing Volume. Pam 1984; 4: 39-44. Olsen GN. Preoperative physiology and lung cancer. Resection ? exercise ? both ?. Chest 1992; 101: 300. Stein M, Cassara EL. Preoperative pulmonary evaluation and therapy for surgery patients. JAMA 1970; 211: 787-90. Gass DG, Olsen GN. Preoperative pulmonary function testing to predict postoperative morbidity and mortality. Chest 1986; 89: 127-37.
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 31
Anestesi Nebulisasi pada Bronkoskopi Priyadi Wijanarko Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN Bronkoskopi diperkenalkan pertama kali oleh Killian lebih kurang 90 tahun lalu. Bronkoskop kaku ini dikembangkan oleh Jackson sehingga metoda bronkoskopi menjadi suatu tindakan baku untuk diagnosis dan terapi. Mula-mula tindakan ini digunakan untuk memastikan dan mengangkat benda asing dalam trakea dan bronkus, termasuk tumor kecil. Penggunaannya semakin luas sejalan dengan perkembangan bedah toraks. Baru pada tahun 1966 Ikeda mengembangkan bronkoskop serat optik lentur yang merupakan pengembangan alat serupa yang digunakan oleh Hirschowitz untuk pemeriksaan saluran cerna(1). Untuk kenyamanan pasien dan pemeriksa pada pemeriksaan bronkoskopi maka diperlukan anestesi yang adekuat. Dikenal berbagai teknik anestesi topikal dan umum pada tindakan ini. Tindakan anestesi topikal ada yang konvensional berupa usapan zat anestetik dengan kapas, injeksi transtrakeal, blok saraf lokal dan ada yang menggunakan alat canggih, dari semprot aerosol sampai nebulisasi ultrasonik(1). Anestetik topikal yang baik adalah yang tidak mengiritasi jaringan setempat, tidak menyebabkan kerusakan struktur saraf yang permanen, penyerapan yang sama baik dengan pemberian injeksi dan waktu mulai kerja yang singkat(5). Pemberian anestesi topikal secara konvensional dapat menimbulkan kecemasan, batuk, muntah pada pasien dan ketidaknyamanan pada pemeriksa maupun pasien. Hal tersebut di atas masih dapat dikurangi dengan pemberian secara nebulisasi, sayangnya teknik ini hanya dapat diberikan pada pasien yang koperatif(6). Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas berbagai aspek pemberian anestesi topikal secara nebulisasi pada pemeriksaan bronkoskopi. BRONKOSKOPI DAN PERSIAPANNYA Setelah diperkenalkan Killian Lahun 1902, Jackson mengelnbangkan bronkoskopi kaku ini sehingga menjadi suatu
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
tindakan klinik yang baku untuk kasus benda asing dan tumor kecil pada trakea dan bronkus(1,2). Lalu tahun 1928 Yankauer menggunakannya untuk mengeluarkan sekresi bronkus pada kasus pneumonia yang lambat penyembuhannya(7). Dengan berkembangnya ilmu bedah toraks maka penggunaannyapun semakin luas. Oleh Ono alat ini diperkenalkan ke Jepang. Tabun 1957 Hirschowitz menggunakan endoskop serat optik lentur untuk saluran cerna. Modifikasi alat ini diperkenalkan oleh Ikeda tahun 1966 sebagai bronkoskop serat optik lentur(1,2). Saat ini alat tersebut digunakan untuk diagnosis, terapi dan evaluasi sebelum bedah. Keadaan umum yang sangat buruk, infark miokard dan angina pektoris akut berat, hipoksemi, fungsi paru yang buruk, stenosis laring dan trakea yang berat dikatakan merupakan indikasi kontra. Pada gangguan perdarahan dan pembekuan serta keadaan-keadaan yang potensial memburuk karena hipoksemi, tindakan ini harus dilakukan dengan sangat hatihati(7). Sebelum pemeriksaan pasien dipuasakan selama 8 jam. Penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan sangatlah penting selain pemberian premedikasi. Sedatif dan antikolinergik adalah preparat yang sering diberikan pada premedikasi(8). Sedatif yang baik memenuhi kriteria(9) : 1) awal kerja cepat 2) lama kerja singkat dengan pemulihan yang aman 3) aman terhadap sistim kardiovaskular, tidak menimbulkan depresi pernapasan, dan risiko hipoksemi serta tidak menimbulkan efek samping 4) menimbulkan amnesia/lupa 5) menghilangkan kecemasan 6) murah. Obat sedatif mungkin termasuk golongan benzodiazepin, butirofenon atau narkotik, namun yang sering digunakan adalah golongan benzodiazepin seperti diazepam, midazolam dan lo-
razepam. Di antara ketiga preparat tersebut, diazepam paling banyak digunakan. Adapun efek, dosis, awal kerja, lama kerja serta efek samping preparat-preparat tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1.
yang kemudian di dalam hati dimetabolisme oleh amidase, dan metabolitnya akan diekskresikan melalui urin. Efek obat ini akan lebih panjang, penyerapan dan toksisitasnya menurun bila disertai pemberian vasokonstriktor. Obat ini mempunyai efek pada
Karakteristik sedatif yang sering digunakan pada bronkoskopi serat optik lentur(8)
Sedatif
Farmakologis
Dosis
Benzodiazepin Sedasi Amnesia anterograd Antiepileptik Midazolam IV.IM = 5-7 mg (0.075 mg/kg) Diazepam IV = 2-7 mg (0.03-0.1 mg/kg) IM = Not recommended PO = 3-11 mg (0.05-0.15 mg/kg) Lorazepam IV,IM,PO = 1-4 mg
Premedikasi lain yang sering diberikan adalah antikolinergik yang bermanfaat mengurangi sekresi lendir saluran napas dan mencegah bronkokonstriksi. Atropin adalah preparat yang sering dipakai dengan dosis 0,4 – 0,8 mg secara intravena, intramuskular, subkutan atau oral. Awal kerja pada pemberian IV cepat dengan masa kerja 4 jam. Pemberian cara lain akan memperlambat awal kerja. Efek sampingnya takiaritmi, retensi urin penurunan motilitas saluran cerna, hipertensi dan delirium(8). ANESTESI TOPIKAL Anestetik topikal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan konsentrasi cukup. Ia bersifat reversibel, artinya fungsi saraf akan pulih kembali setelah kerja obat habis. Anestetik lokal yang ideal adalah yang : 1) tidak mengiritasi jaringan 2) tidak merusak saraf secara permanen 3) batas keamanannya lebar 4) mula kerja pendek 5) masa kerja cukup panjang 6) larut dalam air 7) stabil dalam larutan 8) dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan. Zat ini bekerja pada membran sel saraf yaitu dengan menurunkan permeabilitas membran terhadap ion Natrium sehingga ambang rangsang meningkat, eksitabilitas berkurang dan kelancaran hantaran terhambat. Ia dapat diberikan secara topikal, infiltrasi blok, spinal, epidural dan kaudal(10). Anestesi topikal dan blok bisa dilakukan pada tindakan bronkoskopi, dan obat yang sering digunakan adalah kokain, tetrakain dan lidokain. Di antara ketiganya lidokain terbanyak digunakan karena toksisitasnya terendah(8). Lidokain yang masuk dalam tubuh akan mengalami de-etilasi menjadi monoetilglisin dan sililida
Mula kerja
IV = 1-3 min" IM = 15-30 min IV = < 3 min
Lama kerja
samping
IV,IM = 2 h IV = 15 min-3 h
IM = 15-30 min PO = 30-60 min IV = 4-6 h IV = 5-20 min IM = 30-120 min IM,PO = 8 h PO = 60-120 min
19,21
gangguan pernapasan pada dosis tinggi gangguan pemapasan pada dosis tinggi tromboflebitis nyeri pada pemberian iv/im gangguan pernapasan pada dosis tinggi
susunan saraf pusat (SSP), sambungan saraf otot dan semua jenis serabut otot. SSP dirangsang oleh anestetik ini sehingga timbul kegelisahan, tremor bahkan sampai kejang klonik. Ia juga merangsang pernapasan yaitu dengan cara depresi selektif pada neuron penghambat, namun pada dosis berlebihan akan menyebabkan depresi pernapasan. Jantung akan mengalami penurunan eksitabilitas, kecepatan hantaran dan kekuatan kontraksi, sedangkan pada transmisi sambungan saraf otot akan terjadi gangguan dan pada arteriol akan menyebabkan vasodilatasi. Dermatitis alergik, asma bahkan reaksi anafilaksis yang fatal dapat timbul pada orang yang hipersensitif terhadapnya(10). Lidokain mempunyai waktu paruh 90 menit dengan lama kerja lebih kurang 1 jam. Efek terapi dicapai bila konsentrasi dalam plasma 1,2 – 5 mikrogram/ml. Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg berat badan(3,8). ANESTESI NEBULISASI Tehnik anestesi nebulisasi menjadi pilihan untuk mengurangi kecemasan dan ketidaknyamanan pada tindakan bronkoskopi. Ia dapat diberikan dengan alat IDT (inhalasi dosis terukur) manual dan otomatis, IPPB (intermittent positive pressure breathing), nebulizer jet maupun ultrasonik. Dengan menggunakan IDT otomatis 20 – 25% partikel akan menempel pada dinding alat dan yang mencapai cabang-cabang trakeobronkus mempunyai sebaran seperti dalam tabel 2(6). Chu dkk mendapatkan penyerapan yang cukup baik pada trakeobronkus terhadap lidokain meskipun lebih lambat dibandingkan dengan pemberian iv. Ini dapat dilihat dari hasil penelitian terhadap 6 pasien yang diberi semprot lidokain endotrakea1200 mg dan 9 pasien yang mendapat lidokain intravena 1 mg/kg berat badan (Grafik 1)(1). Dengan menggunakan nebulizer jet ukuran aerosol yang dihasilkan dipengaruhi oleh kecepatan udara yang dipakai.
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 33
Tabel 2. Sebaran partikel aerosol dengan IDT otomatis dalam percabangan trakeobronkial"' Diameter aerosol (mikrometer) Lebih dari 30 10 – 30 3 – 10 1– 3 Kurang dari 0,5
Jumlah (%) 30 40 25 5
Akumulasi Trakea dan taring Cabang bronkus Cabang bronkiolus alveol Mudah mencapai alveol dan diekshalasi kembali
Grafik 1. Konsentrasi rata-rata lidokain dalam plasma setelah pemberian secara intravena dan semprot endotrakeal(11)
Pemberian aliran udara 81/m akan memberikan diameter ratarata aerosol yang lebih kecil dan aerosol dengan diameter kurang dari 5 mikrometer yang lebih banyak daripada pemberian 4 atau 61/m(1). Penggunaan IPPB pada anestesi nebulisasi akan memberi hasil yang lebih baik daripada secara ultrasonik. Dengan dosis lidokain yang lebih rendah penggunaan IPPB akan memberikan konsentrasi dalam plasma yang lebih tinggi. Ini terjadi karena aerosol yang hilang pada IPPB kurang dari 20%, sedangkan dengan nebuliser ultrasonik kontinyu yang menggunakan sungkup oksigen akan terjadi kehilangan sekitar 50%. Chinn dalam penelitiannya membuktikan dan mendapatkan penekanan refleks batuk yang lebih baik pada pemberian dengan IPPB(13). Keuntungan lain, anestesi nebulisasi dapat diberikan pada penderita trauma kepala atau leher yang memerlukan pemeriksaan laringoskopi atau bronkoskopi. Sayangnya cara ini hanya baik digunakan pada penderita yang koperatif(14). KESIMPULAN 1) Bronkoskop serat optik lentur digunakan untuk mendiagnosis, terapi dan evaluasi sebelum bedah pada kasus paru/ trakeobronkial. 2) Persiapan sebelum bronkoskopi dan premedikasi sangatlah perlu untuk keamanan dan kenyamanan tindakan bronkoskopi.
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
Grafik 2. Efek berbagai kecepatan aliran udara pada berbagai nebuliser jet terhadap diameter aerosol yang dihasilkan
3) Nebulisasi menjadi cara anestesi terpilih pada tindakan bronkoskopi untuk pasien dengan trauma kepala/leher atau pada pasien yang memerlukan imobilisasi kepala/leher.
7. 8.
KEPUSTAKAAN
9.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kitamura S. History of Bronchoscopy. In: A Colour Atlas of Clinical Application of Fibreoptic Bronchoscopy. London: Wolfe Publishing 1990; 7-8. Sackner MA. Bronchofiberscopy. Am Rev Respir Dis 1975; 111: 62–8. Perry LB. Topical anesthesia for bronchoscopy. Chest (Supplement) 1978; 73: 691-3. Fry WA. Techniques of topical anesthesia for bronchoscopy. Chest (Supplement) 1978; 73: 694-6. Ritchie JM, Greene NM. Local Anesthetic. In: Gilman AG, Goodman LS, Rail TW, Murad F, 7th eds. Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. New York: Macmillan Publishing Co, 1985; 302-21. Nelson SW, Christoforidis A. An automatic inhalation actuated aerosol
10. 11. 12. 13. 14.
anesthesia unit, A new method of applying topical anesthesia to the oropharynx and tracheobronchial tree. Radiology 1964; 82: 226-35. Lands JF. Indications for bronchoscopy. Chest 1978; 73: 686-90. Reed AP. Preparation of the patient for awake flexible fiberoptic broncho scopy. Chest 1992; 101: 244–53. Shelley MP, Wilson P, Norman J. Sedation for fibreoptic bronchoscopy. Thorax 1989; 44: 769-75. Sunaryo. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Gan S, Suharto B, Sjamsudin U, Setiabudy R, Setiawati A, Gan VHS 2nd eds. Farmakologi dan Terapi. Jakarta, Bagian Farmakologi FKUI 1981; 187-200. Chu SS, Rah KH, Brannan MD, Cohen JL. Plasma concentration of lidocaine after endotracheal spray. Anesth Analg 1975; 54: 438-41. Clay MM, Pavia D, Newman SP, Clarke SW. Factors influencing the size distribution of aerosols from jet nebulisers. Thorax, 1983; 38: 755-9. Chinn WM, Zavala DC, Ambre J. Plasma levels of lidocaine following nebulized aerosol administration. Chest 1977; 71: 346-8. Thawley SE. Nebulized anesthesia for the nose, pharynx, larynx and trachea. Laryngoscope 1987; 97: 499-50.
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 35
Various Types of Specific Acquired Deficiency Immune Status (SADIS) Following Various Kinds of Microbial Infections – 4a. the leprosy type (Lp–type) of SADIS caused by the human immunodeficiency virus type I (HIV-1) R.A. Handojo*, Anggraeni Inggrid Handojo** * The Indonesian Association of Pulmonologists ** The TB Centre of Surabaya
The HIV-1, called the human T-cell lymphotropic virus type III by Gallo (HTLV-III), called the lymphadenopaday associated virus (LAV) by Montagnier, is a member of the group of microbial padaogens that may give rise to the development of the Lp-type of SADIS. It is a lymphotropic retrovirus, an RNA virus, which infects selectively the T-lymphocytes expressing the CDC-molecule on their membrane, the CD -T-lymphocytes, resulting in a substantial quantitative and qualitative defect in C13+4-cell function in patients with HIV-1 disease(1). In general almost all cell types that play a role in the generation of immune response can be affected by HIV-1 in patients suffering from HIV-1 disease. Replication of HIV-1 appears to take place predominantly in the CD -cells. The virus uses CD -molecules as receptor in order to be able to enter the CD4 cells (the Thelper cells)(3). The AIDS is characterized by a selective loss of C13+4-cells(1). Replication of the virus in the CD -lymphocytes is followed by a decrease of the CD4cell countso). A stronger depletion of the C13+4-cells will be found in the course of HIV-1 disease(4,5). (fig. 1). In asymptomatic HIV-1 infected persons, normal numbers of circulating CD -cells may be encountered(5). Anthony Fauzi pointed out that HIV-1 had no quiescent stage of replication. Instead, replication takes place at all stages of HIV-1 disease. Mathilde Krim reported that all the time, even during the asymptomatic periods, the virus is mutating and multiplying and building reservoirs in the lymph nodes. In other words, HIV1 has no latency period with regard to replication (quoted from Asian Med. News, December, 1991). Assuming that HIV-1 and M. tuberculosis have (almost) identical immune spectra of disease, as both diseases elicit (almost) identical forms of immune response i.e. the cell me-
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
diated and the humoral immune response, primary and acute HIV-1 disease represent the LL-type and the L-type of immune status and chronic HIV-1 disease the K-type of immune status (fig 2). There is a mirror nature of tuberculosis and HIV-1 disease (quoted from Asian Med. News, Febr., 1991). Repeated exogenic and/or endogenic reinfection may bring about the emergence of a down-grading reaction, which means the progression of the L-type immune status to the K-type and further to the KK-type of immune status, the latter being termed the Lp-type of SADIS. (fig. 2). Unlike the Tb-type and the Lk-type of SADIS, the Lp-type of SADIS is not represented by the emergence of primary malignancy but has the acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) as disease-expression (fig. 2). Concomitant infection with other microbial padaogens among others M. leprae and M. tuberculosis may act as contributory factors to the progression of the K-type immune status to the Lptype of SADIS in HIV-1 infected individuals. It is interesting to note that "T-lymphocyte depletion" is a characteristic of the leprosy-type of leprosy. Concomittant infection of M. leprae and HIV-1 may accelerate the development of lymphocyte depletion inherent in the acquired immuno deficiency syndrome. When individuals infected with M. tuberculosis are also infected with HIV-1, tuberculosis disease is more likely to become active because of the weakened immune system brought about by HIV-1. In individuals with tuberculosis disease, the time it takes for HIV-1 infection to progress to AIDS is shortened dramatically according to available data collected by WHO (quoted from the Asian Med. News, Fcbr.,1991). This may imply that depletion of T-lymphocytes in HIV-1 disease is enhanced by tuberculosis resulting in a further depletion of Tlymphocytes during the progression of HIV-1 disease to its
Fig 1. The Spectrum of Immune Statusin Individual Cases of HIV-1 Disease Characteristics Macrophage function: T-cell CD;-cell number CD;-cell number B-cell function: in vivo: in vitro: Number:
LL
L
LK/KL
K
KK (SADIS)
evidently affected
evidently affected
evidently affected
strongly affected
strongly affected
– normal
– normal
– normal
– strong depletion
– stronger depletion
– normal – increased
– normal – increased
depletion
depletion
unaffected
unaffected
unaffected
unaffected
seriously impaired no decrease
seriously impaired no decrease
seriously impaired no decrease
seriously impaired no decrease
spontaneous Ig-secretion seriously impaired spontaneous proliferation
Fig 2. The Spectrum of Immune Status in Individual Cases of HIV-1 Disease Characteristics Disease stage:
LL
L
LK/KL
K
prim/acute
prim/acute
asymptomatic chronic
disease
disease
disease
disease
KK (SADIS) citron. advanc. disease
Disease expression:
influenza-like influenza-like asymptomatic persistent ARC AIDS lymphadenoM.I.-like MI-like paday CDC-III CDC-I CDC-IV CDC Classific. CDC-I CDC-II – CDC – M.I.-like – ARC
: Center for Disease Control, USA : Mononucleosis Infectiosa-like : AIDS Related Complex
advanced stage. The rationale behind the above finding may be based on the fact that beside depletion of T-lymphocytes due to HIV-1 disease, T-lymphocytes are used up by tuberculosis for the generation of its padaologic lesions. T-lymphocyte predominance is a characteristic of the chronic form of tuberculosis. Like in tuberculosis, the LL-type of immune status in HIV-1 disease can be expected not to progress to the L-type, the K-type or the KK-type of immune status despite continuous and repeated exogenic and or endogenic reinfection with the virus. Evidence on this point may be based on the fact that in only 5–20% of HIV-1 infected male homosexuals the disease progressed to AIDS in 2–5 years following infection with the virus. In more than 50% of the mentioned individuals, no progression to AIDS was seen during a long observation period. (quoted from Jan W.A. Supit and Arjatmo Tjokronegoro: Maj. Kedokt. Indonesia, 1987, 37, 3–12). Unlike in tuberculosis, the LL-type of immune status in HIV-1 infected individuals is not agerelated, as AIDS was also seen in children(6,7). In vitro infection of CD-cells with HIV-1 results in a downregulation of CD4 -expression such that CD4 protein is no longer detectable on cell membrane of the infected cells(4). In mononuclear cells from peripheral blood, HIV-1 was expressed in vivo
predominantly in the T-lymphocyte sub-population that in contrast to the in vitro observation continued to express CD4(4). The high level of infection may be the primary cause of the progressive decline in numbers as well as in function of CDā lymphocytes in patients suffering from the advanced stage of HIV-1 disease, including the depletion of CD+4 cells(4). However, in peripheral blood of HIV-1 infected subjects only a very small number of cells are expressing virus at any given time(4). Low numbers of infected CD+4-cells in peripheral blood have now been shown to be only a pale reflection of the viral burden accumulating in lymph nodes. The viruses build reservoirs in lymph nodes (quoted from Asian Med. News, December, 1991). Immunological studies reveal that the emergence of virulent variants of HIV-1 coincides with a gradual deterioration of the immunological functions of notably the T-cell compartment (loss of T-memory cells) and the antigen-presenting cells(8). On the other hand, incidental observations indicate that individuals shortly after infection will be able to repress virulent variants provided their immune system is not yet compromised(9). Given the implication of the above findings, Fox suggested that antiviral chemotherapy to reduce the number of infected T-cells might have to be started soon after infection (quoted from Asian Med. News, December, 1991).
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 37
The accessory function of the macrophage as an antigenpresenting cell seems to be evidently affected also in HIV-1 infected individuals, even if they have normal counts of CD+4 cells during the asymptomatic stage of HIV-1 infection, that is 1–2 years following seroconversion(10). Monocytes/macrophages can persistently be infected with HIV-1 and the existence of infected monocytes in vivo has been reported(11). Besides, the ability of the monocytes/macrophages for the exertion of chemotaxis, phagocytosis, and intracellular killing of microorganisme appear to diminish in AIDS patients(12). An important factor needed for the optimal functioning of the monocytes/macrophages is known as interleukin-2 produced by the T-cells. The loss of capacity of the monocytes/macrophages seemed to be irreversible despite addition of interleukin2 to the cultured tissue(13). The ability to be induced of the Blymphocytes in culture systems for the production of immunoglobulin appeared to be seriously and persistently impaired already shortly following seroconversion(10). (fig. 1). There are however no convincing indications for HIV-1 infection of the B-lymphocytes in vivo(11). No decrease in the number of B-cells was encountered(14). (fig. 1). Lane et al(14) reported that a great number of B-lymphocytes are ready to secrete immunoglobulin spontaneously in vitro in AIDS patients that may bring about a rise in the level of circulating antibodies and immune complexes as well. (fig. 1). Lane et al(15) reported further that a great number of B-cells are found in AIDS patients that have the capacity to proliferate spontaneously in peripheral blood and undergo rapid maturation to plasma cells ready to synthesize antibodies. These B-cells showed a rather slow response to mitogens in AIDS patients. In normal conditions these B-cells are responsive to mitogens(15). Infection with HIV-1 can occur with HIV-1 infected T-cells as well as with free circulating HIV-1(16). In USA, in the majority of patients (78%) with AIDS, infection with HIV-1 occurred on account of sexual transmission. The rate of being infected per sexual contact is less than 1% for HIV-1 which is apparently lower than in gonorrhoe (25–50%) or in lues stage I or lues stage II (30%)(17). The incubation time of HIV-1 disease following HIV-1 infection is 1– 4 weeks(18,19). The majority of patients with HIV-1 infection are reported to have signs and symptoms(18,20). It is not much reported that primary infection with the pathogen HIV-1 often has an asymptomatic course(21). The duration of primary HIV-1 disease is a few days to two weeks(18,22). Disease manifestation during the acute stage of HIV-1 disease is known when mild as the influenza-like syndrome and when severe as the mononucleosis infectiosa-like syndrome(18,20). High fever up to 40°C for the duration of two weeks, skin rash for the duration of 4 weeks, sore throat, myalgia, arthralgia, headache, diarrhea, cough and weight loss are well-known presenting symptoms and signs of acute HIV-1 disease(21). Lymphadenopaday may be observed during the acute stage of the disease as small glands in the occipetal area(21,23). Fiery exanthema, painful superficial ulceration and white coating of the tongue for the duration of four weeks may be found in the mouth of patients
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
suffering from the acute stage of HIV-1 disease(21). Splenomegalia(11), oesophageal candidiasis(24), adenoidal hypertrophy(25,26) may be present during the acute stage of HIV-1 disease. In the immune spectrum of HIV-1 disease, primary and acute HIV-1 disease represent one polar form and AIDS the other polar form of the spectrum (fig. 2). Primary and acute HIV-1 disease are disease manifestations of the LL-type and the L-type immune status following HIV-1 infection which is similar to CDC I of the classification of the Centers for Disease Control in USA (fig. 2). In 1986, the Center for Disease Control (CDC) in Atlanta USA, published a classification system of HIV-1 disease eligible for clinical use for grown-ups(27) and for children(28). Down-grading reaction in the immune spectrum of HIV-1 disease may take place following multiple and repeated infections with the virus resulting in the progression of the L-type immune status to the LK/Kl-type, the K-type and the KK-type immune status. Down-grading reaction in the immune spectrum of an infectious disease means deterioration of protective immunity. The LK/KL-type immune status in the spectrum of HIV-1 disease is similar to CDC II which comprises a bigger group of asymptomatic virus-carriers (fig. 2). This stage of HIV-1 disease may exist during a period of average 8–9 years(29). (fig. 2). The Ktype immune status in the immune spectrum of HIV-1 disease has disease expression as is classified as CDC III which comproses patients with generalized lymphadenopaday which is persistent in character and is the only symptom. The lymphadenopathy has a diameter of more than 1 cm and is not solitary(30). (fig. 2). Infection with HIV-1 may progress to the end stage of HIV-1 disease i.e. AIDS which has multiple clinical signs and symptoms(21). However, the majority of patients with HIV-1 disease are asymptomatic before development of AIDS related complex (ARC) or AIDS takes place(21). (fig. 2). The KK-type of immune status in the immune spectrum of HIV-1 disease also termed the Lp-type of SADIS has disease manifestation as is classified as CDC IV which comprises patients that have presenting symptoms and signs of the advanced stage of HIV-1 disease. (fig. 2). There are 4 subgroups of CDC IV i.e.: 1) Subgroup IV A, which comprises patients with severe physical symptoms, the AIDS wasting syndrome. Longstanding fever of more than one month, weight loss of more than 10% and diarrhea of more than one month may be encountered(22). 2) Subgroup IV B, which comproses patients with neurologic syndrome associated with HIV-1 infection. 3) Subgroup IV C which is divided into: a). Subgroup IV Cl, which comprises patients with opportunistic(22) e.g.: a1. pneumocystis carinii pneumonia (PCP). a2. encephalitis due to disseminated toxoplasma gondii infection. a3. disseminated M. avium infection. a4. non-pulmonary tuberculosis. a5. candidiasis of the oesophagus. a6. recurrent Salmonella sepsis.
a7. oral hairy leukoplakia associated with the Epstein-Barr virus (EBV) infection. a8. hepatitis B virus (HBV) disease, EBV disease, cytomegalo virus (CMV) disease. a9. herpes simplex virus (HSV) disease, herpes zoster virus (HZV) disease. b) Subgroup IV C2, which comprises patients with other infections associated with HIV-1 infection. It is intriguing to speculate that concomitant infection with the above mentioned microbial padaogens may act as contributory factors to the progression of chronic HIV-1 disease to AIDS. 4) Subgroup IV D, which comprises patients with AIDS associated malignancies e.g.: a) Kaposi's sarcoma (KS). b) Non-Hodgkin's lymphoma (NHL). c) Hodgkin's disease (HD). d) B-cell lymphoma mainly found in brain in paediatric AIDS patients(31). Different from the Tb-type and the Lk-type of SADIS, which have primary malignancy as their disease expression, the Lp-type of SADIS caused by HIV-1 infection is not represented by the emergence of primary malignancy but by the emergence of opportunistic malignancies (fig. 3) classified as CDC subgroup IV D. Opportunistic malignancies are malignancies that are not caused by the causative organism of the related specific acquired deficient immune status but by the causative organism of the opportunistic infection associated with the related specific acquired deficient immune status. Fig. 3. The Spectrum of Immune Status in Individual Cases of HIV-1 Disease Microbial Pathogen M. tuberc.: Epst. Ban: Virus: HIV-1 M. leprae:
Type of SADIS Tb-type Lk-type Lp-type Lp-type
Type of Malignancy
T-lymphocyte
Primary Primary Opportunistic No malignancy
Predominance Predominance Depletion Depletion
The rationale behind the above finding may be based on the fact that both the Tb-type and the Lk-type of SADIS are characterized by the existence of T-lymphocyte predominance whereas T-lymphocyte depletion is a characteristic of the Lp-type of SADIS (fig. 3). Besides, it usually takes a few weeks for antiHIV-1-IgM-antibody to fall off and be replaced by anti-HIV-1IgG-antibody, whereas several months are needed for the antiTB-IgG-antibody to take over the role of anti-TB-IgM-antibody. The Kaposi's sarcoma (KS) in disseminated form is a unique skin affection for AIDSt32t. The etiology of KS is unknown(3). The development of KS in AIDS patients is based on the existence of an active stimulatory role in which endothelial cells participate in response to an as yet unidentified growth factor released by infected T-cells by producing other (angiogenic) . factors conducive to microvascular proliferation and stimulants
for fibroblast growth (Gallo, quoted from Asian Med. News, August, 1989). Cytomegalo virus and other herpes viruses have been suggested as factors associated with the development of Kaposi's sarcoma(34). It has been speculated that KS may be caused by a sexually transmitted infectious agent(35). Histopadaologic examination of the tumor reveals the presence of fusiform cells with abundant formation of capillaries. It is assumed that the tumor derives from angioblast(36). After many years the tumor may get aggressive and produces metastasis to the intestines(36). In children the KS is especially characterized by its locations in lymph glands, by its uncommon location in the skin and by its tendency of dissemination and aggressive clinical course(37). The KS reveals a disseminated form in young homosexual men with AIDS(38). It has been hypothesized that KS found in non-HIV-1 infected old men and KS found in AIDS patients have the same etiology and that infection with HIV-1 resulting in immunosuppression gives rise to an aggressive clinical course(39). The disseminated KS in patients younger than 60 years is the most well-known and most characteristic skin affection in AIDS and is part of the definition of AIDS(32). The slightly malignant and localized form of KS unrelated to HIV-1 infection is found in older patients(32). The prognosis of KS is relatively good provided there is no concurrent opportunistic infection(33). Treatment of AIDS with zidovudine plus interferon gives rise to regression of the KS(32). The incidence of non-Hodgkin's lymphoma (NHL), a lymphoid neoplasia also termed malignant lymphoma, in patients with AIDS is 4–10%(40,41), mostly with extranodal location(41). The risk of contracting NHL in patients with AIDS is four times higher than that in individuals that are not HIV-1 infected(42). Intracerebral locations of NHL have been observed particularly those related to EBV infection(43). The etiology of NHL in AIDS patients appears to be unclear until now but is rather certainly related to the development of an impaired immune defense(44). Cremer et a1(45) pointed out that EBV is one of the several probable cause of NHL in AIDS patients. Non-Hodgkin lymphoma developed in 2.3% of 103 patients who received zidovudine on the basis of them suffering from AIDS or advanced ARC(46). Factors associated with the development of NHL(46). were: 1) A prior diagnosis of: 1.1) Kaposi's sarcoma 1.2) herpes simplex virus infection 1.3) lower mean neutrophyl counts 2) Hairy leukoplakia. Epstein-Barr virus has also been associated with the hairy leukoplakia(47). The prognosis of NHL in HIV-1 infected patients depends much more on the degree of the immunodeficiency rather than on the tumor itself.The number of cases of NHL is likely to increase as survival of patients with advanced HIV-1 disease is prolonged. Other opportunistic malignancies and viral infections may be associated with an increased likelihood to develop NHL(46). Hodgkin's disease (HD), a malignant lymphoma, has been
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 39
observed in patients suffering from AIDS related to HIV-1 infection(48). In 2.5% of HIV-1 infected patients, malignant lymphoma is the first symptom of AIDS". The clinical course of HD in HIV- 1 infected patients is characterized by the presence of a high degree of malignancy(49). It is tempting to postulate that the existence of HIV-1 infection is a contributory factor to the progression of the K-type immune status to the Lk-type of SADIS in EBV-infected individuals resulting in the development of NHL or HD. Laboratory examination of peripheral blood during primary and acute HIV-1 disease may reveal the presence of normal CD+4-cell counts (500–1580/mm3) or a decrease in CD4-cell counts up to 80/mm3 which return to normal in the course of primary or acute HIV-1 disease(21). There is gradual decrease of the number of CDā cells(30) as HIV-1 disease progresses from the primary or acute stage to the advanced stage (fig. 1). Normal CDs-cell counts(20). or increased CDs-cell counts may be encountered during primary HIV-1 disease(18,21). CD4 An inversion of the ratio may be encountered during CD8 primary or acute HIV-1 disease which is accounted for by an increase in CD+8-cell counts(18) preceded by a decrease in CD+8-cell counts early in the course of HIV-1 disease(20). The normal value CD4 of ratio is 0.77–2.85(21). Beside a decrease in the number CD8 of T-cells, there is also an impairment of the function of T-cells in vivo as well as in vitro(50). Inoculation of antigen (PPD, candida) which in normal condition results in the development of type IV hypersensitivity reaction (Coombs and Gell) doesn't give rise to the development of induration at the site of antigen inoculation in AIDS patients("). This impaired function of the T-lymphocytes was also assessed on the basis of the blast transformation test in vitro(51) An important function of the CD+4 -lymphocytes is to induce the differentiation of B-lymphocytes to become plasma cells(8). The defective functioning of the T-helper cells results in a lowering of the capacity of the T-helper cells in the stimulation of the B-cells for the optimal production of antibodies(15). Purified CDā cells derived from asymptomatic HIV-1 infected men appeared to have a strongly reduced helper cell-activity towards B-cell differentiation in vitro(8). In HIV-1 infected asymptomatic individuals with normal number of CD4-cells, the T-cell reactivity induced by the antiCD3antibodies was reduced(8). A reduced T-cell reactivity to anti-CD3-antibodies is an early indication of the existence of an ongoing progression to AIDS in HIV-1 infected individuals(2). This activation defect appeared to be based on the level of production of interleukin-2(53. The cells produced very small amounts of interleukin-2 and addition of interleukin-2 in vitro could nearly abolish the activation defect of the T-cells(53). The administration of interleukin-2 to AIDS patients has however failed to potentiate the immune system(5). The reduced T-cell reactivity appeared to be associated also with lack of certain T-cell population i.e. the socalled T-memory
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
cells(54). The T-memory cells that elicits good reaction upon stimulation by antigen is preferentially eliminated already in the early phase of HIV-1 infection(8). Phenotyping of T-cells reveals that in infected persons with normal number of CDā cells, a selective loss of CD29-memory cells was observed(8). In later stages of the disease, when number of CDā cells has decreased, there is a decrease also of the number of naive T-cells(8). The naive T-cells which have the phenotype CD-29 are activated to become T-memory cells (CD29-memory cells) du-ring the process of maturation(55) In order to be able to come to a productive infection, the retrovirus needs activated replicating cells. It is therefore likely that depletion of CDā cell population occurs because the virus infects preferably activated memory cells and naive cells. Once infected these cells will be eliminated on account of the infection or on account of lysis brought about by active HIV-1 specific cytotoxic T-cells(5). In patients with AIDS, the capacity of the Tlymphocytes to recognize and react upon soluble antigens, such as viruses, parasites, yeast and (myco) bacteria, is defective(56). On the account of the reduced number of T4-lymphocytes, the following implications can be found: 1) A diminished immune response. 2) An infection may result in an increased number of virus and reinfection in a further depletion of the number of Tlymphocytes. 3) A depletion of the number of TS lymphocytes which are not affected previously(57). CD4 4) A reversed ratio. CD8 Immuno-serologic testing for anti-HIV-antibodies using the ELISA analysis during primary HIV-1 disease may reveal the presence of HIV-1 seropositivity as a result of HIV-1 seroconversion, which starts two weeks following initiation of the disease(18,20,21). (fig. 4). The presence of anti-HIV-1 antibodies in serum of children following HIV-1 infection is of transient nature(58). In two of eight children who were seronegative, HIV-1 was found in their peripheral blood(56). Fig. 4. The Spectrum of Immune Status in Individual Cases of HIV-1 Disease Characteristics Anti-HIV-Antibodies HIV-Antigenemia HIV-Culture
LL
L
LK/KL
K
KK (SADIS)
+ + +
+ + +
+ + +
+ + +
+ + +
Following primary HIV-1 infection there is a variable time needed for the anti-HIV-antibody to appear in blood, the so called window phase. The window phase is the period between primary HIV-1 infection and the appearance of detectable antibodies in serum. The first anti-HIV-1 antibody found in serum following primary HIV-1 infection is the IgM antibody which can be detected about one week earlier than the development of IgG antibidy and is present during only a short variable period of 1–12 weeks(59)
From the second week following primary HIV-1 infection, IgG antibody can be detected in serum in all patients (quoted from Asian Med. News, February, 1989). Immuno-serologic testing for antibodies to various antigen components of HIV-1 is per-formed using the Western Immunoblot method. Seropositivity for antibodies to various antigen components of HIV-1 was found in 34 of 36 children examined, including p41 fraction in all cases(56). The presence of p41 antibody in serum is considered evidence of HIV-1 infection°. The p41 antibody identifies the transmembrane region of the envelope glycoprotein of HIV-1(56). Antibodies to the HIV-1 major group specific antigen (GAG), protein p24 and the precursor p, are the earliest detectable after infection by Western Blot and tend to decrease or become undetectable with onset of or progression of clinical symptoms. In contrast, antibodies to the envelope (ENV) precursor protein gp,40 and the final ENV proteins, gp1 and gp41, can be detected from virtually all persons infected with HIV-1 regardless of clinical stage(56). The HIV-1 p24 core antigenemia is present for the duration of 11 days(18,21) starting one week following initiation of the disease(18.20.2°. The antigen peak is a reflection of the initial replication phase of HIV-1 and disappears in the majority of cases a few days following initiation of clinical symptoms(60). Persistence of HIV-1 antigenemia is associated with a rapid progression of the disease to AIDS(61). (fig. 4). HIV-1 antigenemia has been found in children under eighteen months of age. These children were HIV-1 seropositive and born to women that were HIV-1 seropositive(58). HIV-1 antigen may disappear before the appearance of HIV-1 antibody in blood(21). The detection of HIV-1 antigenemia in serum and/or the presence of small numbers of CD4-cells in peripheral blood are indicative of a poor prognosis with regard to the acquisition of opportunistic infections related to AIDS. The detection of HIV1 culture positivity of specimens obtained from blood is evidence of the existence of HIV-1 disease following HIV-1 infection. A positive culture of HIV-1 was found in children under 18 months of age. These children were HIV-1 seropositive and born to women that were HIV-1 scropositive(58). In the group of patients in the asymptomatic stage of HIV1 disease, in patients with persistent generalized lymphadenopaday, and in patients with the AIDS related complex (ARC) or AIDS, HIV-1 culture positivity can be obtained. (fig. 4). Methods to isolate the virus in an efficient way from the mononuclear cell fraction in peripheral blood of patients infected with HIV-1 have been developed. Virus has been isolated in this way with more than 90% efficiency(62). It appeared that HIV-1 isolates obtained from patients with AIDS or the ARC had in general a higher rate of replication, induced more often syncytia and had a broader cytotropism when compared to those obtained from HIV-1 infected individuals(62). Cytotropism means the capacity to replicate in primary T-cells and in permanently growing cell-lines as well(62). The virus isolated can be divided into two main groups, i.e.: 1) The group of the syncytium inducing isolates (SI).
2) The group of the non-syncytium inducing isolates (NSI) which can be subdivided into: 2.1) the rapidly replicating NSI-isolates. 2.2) the slowly replicating NSI-isolates. Individuals infected with the SI-isolates had invariably a poor prognosis. Individuals infected with NSI-isolates had a rather slower but progressive clinical course. In all of the patients infected with the SI-isolates, ARC and AIDS developed in a relatively short period following detection for the first time of such an isolate. Low normal and rapidly decreasing numbers of CDā cells were observed in the two mentioned groups of individuals(63). Individuals infected with exclusively slowly replicating NSI-isolates formed a relatively stable group from clinical point of view. The majority of these patients had normal, non-decreasing or hardly decreasing numbers of CDā cells du-ring the study period; ARC and AIDS developed in only 18% of these individuals(63) A similar difference in clinical course between the three groups of individuals was also observed in patients following the establishment of the diagnosis AIDS(63). Patients with SIisolates had a broader spectrum of opportunistic infections leading in most cases to the dead of patients(63). The few AIDS patients with slowly replicating NSI-isolates had beside the Kaposi's sarcoma and the pneumocystis carinii pneumonia not many complications and had a significantly favourable survival(63). Patients with rapidly replicating NSI-isolates took the position between the group of patients with SI-isolates and the group of patients with slowly replicating NSI-isolates(63) In HIV-1 seropositive patients, the emergence of ARC is characterized by the following features: 1) There is at least one symptom or sign of HIV-1 infection e.g.: 1.1) Oral thrush, unintentional weight loss of more than 4.5 Kg or more or equal to 10% of body weight, unexplained fever, diarrhea(45) 1.2) Herpes zoster(45), generalized lymphadenopaday of some months duration(64). CD4 ratio of less than 1.0(56). 2) A reversed CD8 3) A depressed lymphoproliferative response to one or more stimuli (PHA, phytomitogens, pokeweed ntitogen)(56). The development of AIDS in a HIV-1 seropositive patient has the following characteristics: 1) There are signs of an opportunistic infection i.e.: 1.1) A previous episode of pneumocystis carinii pneumonia (45). 1.2) ARC defining conditions plus a CDā cell count of no more than 250 x 106/Lc45> CD4 1.3) A reversed ratio of less than 1.0(56) CD8 2) There is a disseminated Kaposi's sarcoma(65). 3) There is generalized lymphadenopaday of more than some months duration(64). 4) CD4-cell count of less than 450/mm3(64). CD4 ratio of less than 0.7(64). 1) A CD8
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 41
6) A depressed lymphoproliferative response to one or more stimuli (PHA, phytomitogens, pokeweed mitogen) (56). 7) The isolation of HIV-1. 8) Abnormal B-cell activity(65). The most important B-cell abnormality is the failure to produce antibodies to new (primary) antigen. 9) The emergence of circulating immune complex(7). In patients with progressive AIDS, lowering or sometimes total disappearance of the level of HIV-antibodies can be encountered. The most plausible explanation for this finding is that antibodies must be used up for the formation of immune complexes related to the generation of intense humoral immune response to HIV-1. The acquired immuno deficiency syndrome is also found in children. This pediatric AIDS has the following typical clinical presentations(6): 1) Growth failure. 2) Development delay. 3) Hepatosplenomegaly. 4) Diffuse lymphadenopaday. 5) Recurrent bacterial infections. 6) Chronic candida infections. 7) Lymphoid interstitial pneumonia. It is important to note that almost all new cases of HIV-1 infection in young children are acquired in utero or at the time of delivery(66). Best estimates of the rate of transmission of HIV-1 from HIV-1 infected mothers to their newborn infants range from 13% to 40%(67). The establishment of the diagnosis of HIV-1 infection in infants is extremely important as early intervention with antiviral therapy and prophylaxis for infection has become the standard of care. Zidovudine therapy is indicated in HIV-1 infected children that are either symptomatic or have evidence of immune deficiency(68,69). The use of enzyme-linked immuno-sorbent assay and Western Blot test to detect the presence of HIV-1 specific IgG, routinely employed in establishing a diagnosis in adult patients infected with HIV-1, is complicated in infants, since maternal IgG antibodies acquired through the placenta will persist and react in these assays for up to 18 months. Work has continued with alternative methods for the establishment of diagnosis, including HIV-1 culture, HIV-1 gene amplification with polymerase chain reaction, and HIV-1 specific IgA and IgM detection(67,68,69). It can be expected that by means of these procedures, the diagnosis of virtually all HIV-1 infected infants can be made possible by the age of 3–6 months(66). Concomitant infection with HIV-1 and with M. tuberculosis has been reported by Hawkins et al(70). They found on the basis of postmortem examination that among patients suffering from AIDS and tuberculosis, 53% had disseminated M. avium complex infection. Infection with M. avium complex may bring about a disease in lungs and lymphnodes but usually not in a disseminated form(71). Disseminated infection with M. avium complex, an atypical mycobacterium, in patients with AIDS has increased evidently. This infection is now officially considered
42 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
to be associated with AIDS(72). It is interesting to note that M. avium intracellulare is most often isolated in patients mostly late in the clinical course of HIV1 disease(73). During the course of IDS, M. avium infection has been detected in, a lot of patients. Bacilli were isolated from blood, bone marrow, lymphglands and liver(74). Weits et al(75). reported that of the 32 AIDS patients found consecutively between 1986 and 1989, eight patients (25%) were found to have M. avium disease; seven of them had the disseminated M. avium disease and in one the disease was located in the axillar lymph glands. The most plausible explanation for the increased emergence of atypical mycobacterium from M. tuberculosis in patients with HIV-1 disease is that on account of the existence of a defective function of the macrophage related to HIV-1 disease, M. tuberculosis is not killed but merely splitted within the macrophage into the acid fast part, considered to be atypical mycobacterium, and the non-acid fast part, which is indiscernible upon direct smear examination using the Ziehl-Neelsen staining(76). A defective gamma interferon production in peripheral blood leukocytes of patients with acute tuberculosis was reported by Vilcheck et al(77). Disease expression of tuberculosis in AIDS patients is often different from that in tuberculosis patients without AIDS. Tuberculosis was diagnosed in 18 (8%) of 225 patients with AIDS. The chest x-ray was frequently atypical and there were more non-pulmonary locations in comparison with tuberculosis without AIDS(78). The lymphadenopaday in tuberculosis disease is clinically not to be differentiated from the lymphadenopaday syndrome in HIV-1 disease(79). In patients with a confirmed HIV-1 infection, the combination with non-pulmonary tuberculosis makes the diagnosis of AIDS certain(80). The same holds true for a disseminated infection with M. avium or with M. kansasii(80). In view of the profound lymphocyte depletion related to the advanced stage of HIV-1 disease (AIDS), it may be presumed that there are not enough lymphocytes available for the tuberculosis disease to generate the chronic tuberculosis specific padaologic lesion in the lung known as the lymphocytic infiltration. HIV-1 infection affects especially the cell mediated immunity, and this cell mediated immunity is essential to get and keep infection with M. tuberculosis under control. The emergence of tuberculosis in AIDS patients is likely to be the result of a flare-up of an old infection with tubercle bacilli under influence of a deteriorating protective immunity on account of HIV-1 disease(81). The percentage of AIDS patients that get tuberculosis is much higher in AIDS patients from areas with a high prevalence of infection with tuberculosis(82). Practical non-invasive diagnostic tool for the detection of active tuberculosis in AIDS patients, such as the tuberculin skin test, hacteriologic examination of sputum and chest x-ray, is not muct of value in view of the existence of a defective cell mediated immune response and the non-pulmonary location of the tuberculosis disease. Non-pulmonary manifestations are more often found and with atypical location of abnormalities on chest x-ray
when located in the lung(83). Besides, cryptic disseminated tuberculosis with unusual histopadaologic lesions and indiscernible on chest x-ray, has been reported in elderly and immunosuppressed individuals(84). Unlike the miliary tuberculosis, the lesions in cryptic disseminated tuberculosis show very little cellular infiltration but consist of minute necrotic foci teeming with tubercle bacilli(84). The lesions are often too small to be discernible on chest x-ray. Biopsy of the lung, liver and bone marrow may be important for the diagnosis(84). An immuno-serologic test, the Peroxydase-Anti-Peroxydase (PAP) test, reported to be an eligible non-invasive diagnostic tool for the detection of active tuberculosis, is a breakthrough in the search of a practical, effective and cheap diagnostic tool for the detection of active tuberculosis in patients with HIV-1 disease, whatsoever is the causative organism, M. tiuberculosis and/or atypical mycobacterium and wheresoever is the location, pulmonary and/or non-pulmonary. Of the 18 patients suffering from tuberculosis concomitant with HIV-1 disease, 8 patients (47%) had only pulmonary tuberculosis, 7 patients (39%) had pulmonary and non-pulmonary location of tuberculosis, and 3 patients (17%) had only nonpulmonary location of the disease(78). Disseminated M. avium disease can be detected in 20–35% of all cases of AIDS during life, mostly in the advanced stage of the disease. It is important to note that chest x-ray is not the eligible method to detect the presence of disseminated M. avium disease as only 1 of the 8 patients had tuberculosis relevant abnormality on chest x-ray(63). Blood culture positivity and faeces culture positivity were found in respectively all the 7 patients and all the 6 patients examined for bacteriologic confirmation. On the other hand, sputum culture positivity was found in only 2 of the 6 patients who had the disseminated M. avium disease. Sputum direct smear positivity was found in none of the patients with the disseminated M. avium disease. Direct smear examination of faeces and blood revealed the presence of acid-fast bacilli in respectively 3 and none of the 6 patients with the disseminated M. avium disease(63). All the strains isolated on culture were resistant to isoniazide, rifampicin, pyrazinamide, ofloxacine, ciprofloxacine, doxycycline, the greater part being sensitive to prothionamide, ethambutol, clofazimine and rifabutin(63). Median survival of patients put under treatment with anti-TB chemotherapy was 15.5 (4–22) months. In two patients that were not put under anti-TB chemoterapy for M. avium,survival was of very short duration (1–3 months)(63). None of the patients could tolerate zidovudine treatment for HIV-1 due to bone marrow depression(63). The human immunodeficiency virus type 2 (HIV-2) was isolated in West Africa in 1985(84). It appears to show substantial difference from HIV-1, but has a strong similarity in terms of antigenic properties and structure with the simian immunodeficiency virus (SIV) that gives rise to the development of disease in macaques in captivity which resembles AIDS(73). An infection with HIV-2 can certainly lead to the development of AIDS in men(79). It can be expected that immune spectrum of HIV-2 disease is similar to that of HIV-1 disease and that both viruses may give rise to the development of the Lp-type of SADIS with similar disease expression. It appears that HIV-2 is transmitted in
the same manner as HIV-1(85). Immunodeficiency caused by HIV-2 has disease expression among others as reduction in the number of CD:-lymphocytes(86) and the spectrum of disease attributable to HIV-2 is similar to that of HIV-1(87,88). Confirmatory tests are required for HIV-2 infection to be diagnosed. Enzyme immunoassays for antibodies to synthetic peptides of highly specific regions of the HIV-1 and HIV-2 transmembrane glycoproteins (anti env) are useful to differentiate HIV-2 from HIV-1(89). Western blot (WB) tests babe been developed for detection of HIV-2 infection(90); the World Health Organization has suggested that criteria for positive interpretation of HIV-2WB should be the presence of two env bands with or without gag or pol(91). In instances in which HIV-2 infection cannot be differentiated from HIV-1 infection from serological point of view, virologic procedures such as polymerase chain reaction(83,94) or viral isolation(95) may be helpful.
REFERENCES 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10.
11. 12. 13.
14.
Melbye M, Bigger RI, Ebbessen P et at. Long term seropositivity for HTLV-III in homosexual men without the AIDS, development of immunologic and clinical abnormalities. Ann. Intern. Med. 1986; 104: 496-500. Quoted from: Miedema F et at. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1990; 134: 1724-1728. Fauci AS. The human immunodeficiency virus; Infectivity and mechanisms of padaogenesis. Science 1988; 239: 617-622. Quoted from Miedema F et al. NTvG 1990; 134: 1724-1728. Dalgleich AG, Beverly PCL, Clapham PR et at. The CDC antigen is an essential component of the receptor for the AIDS-retrovirus. Nature 1984; 312: 763-767. Quoted from Miedema Fet al. NTvG 1990; 134: 1724-1728. Steven M, Schnittman et at. JAMA 1990; 263: 1000. Miedema F, Tersmette M, Roos MThL, Schellekens PThA. Immunologic en virologie van de HIV infectie; nieuwe inzichten in de padaogenese van AIDS. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1990; 134: 1724-1728. Russel B, Van Dijke. Pediatric human immunodeficiency virus infection and the AIDS. A health care crisis of children and families. JAMA SEA 1991; 7: 29. Scherpbier HJ. AIDS bij kinderen. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1988; 132: 9-12. Miedema F, Petit AJC, Terpstra FG et at. Immunological abnormalities in HIV infected asymptomatic homosexual men. HIV affects the immune system before CDā T-helper cell depletion occurs. J. Clin. Invest. 198; 82: 1908-1914. Quoted from Miedema F et at. NTvG 1990; 134: 1724-1728. Baur A, Schwarz N, Ellinger S et at. Continuous clearance of HIV in vertically infected child. Lancet 1989; 11: 1945. Quoted from: Miedema F et at. NTvG 1990; 134: 1724-1728. Terpstra FG, AI BIM, Roos MThL et at. Longitudinal study of leukocyte functions-in homosexual men seroconverted for HIV; rapid and persistent loss of B-cell function after HIV infection. Eur. J. Immunol. 1989; 19: 667-672. Quoted from: Miedema F et at. NTvG 1990; 134: 1724-1728. Ho DD, Rota TR, Hirsch MS. Infection of mococytes/macrophages by HTLV-III. J. Clin. Invest. 1986; 77: 1712-1715. Quoted from: Miedema F et at. NTvG 1990, 134: 1724-1728. Smith P, Ohura K, Masur H et al. Monocyte function in the AIDS: defective chemotaxis. J. Clin. Invest. 1984; 74: 2125-2128. Quoted from: Arjatmo Tjokronegoro. Maj. Kedokt. Indon. 1987; 37: 18-23. Murray HW, Rubin BY, Mashur H et at. Impaired production of lymphokines and immune (gamma) interferon in the acquired immunodeficiency syndrome. N. Engl. J. Med. 1984; 310: 883-889. Quoted from: Arjatmo Tjokronegoro. Maj. Kedokt. Indon. 1987; 37: 18-23. Lane HC, Depper JM, Greene WC et at. Qualitative analysis of immune
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 43
15.
16.
17. 18. 19.
20.
21. 22. 23. 24.
25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
34.
35.
function in patients with the acquired immunodeficiency syndrome, evidence for a selective defect in soluble antigen recognition. N. Engl. J. Med. 1985; 312: 79-84. Quoted from: Arjatmo Tjokronegoro. Maj. Kedokt. Indon. 1987; 37: 18-23. Lane HC, Masur H, Edgar LC et al. Abnormalities of B-cells activation and immune regulation in patients with the acquired immuno deficiency syndrome. N. Engl. J. Med. 1983; 309: 403-408. Quoted from: Arjatmo Tjokronegoro. Maj. Kedokt. Indon. 1987; 37: 18-23. Weber Dl, Redfield RR, Lemon SM. Acquired Immuno Deficiency Syndrome, epidemiology and significance for the obstetricians and gyne cologists. Am. J. Obstet. Gynecol. 1986; 155: 1235-1240. Quoted from: K. Boer en CM. Salvatore. NTvG 1987; 131: 1428-1432. Peterman TA, Curran JW. Sexual transmission of HIV. JAMA 1986; 256: 272-276. Cooper DA, Gold J, Maclean P et al. Acute AIDS retrovirus infection. Definition of a clinical illness associated with seroconversion. Lancet 1985; 1: 537-540. Quoted from: Claessen FAP et al. NTvG 1990; 22: 1073-1077. Marcus R. CDC cooperative needlestick surveillance group. Surveillance of health care workers exposed to blood from patients infected with the human immuno deficiency virus. N. Engl. J. Med. 1988; 319: 1118-1123. Quoted from: Claessen FAP et al. NTvG 1990; 22: 1073-1077. Tindall B, Barker S, Donovan Bet al. Characterization of the acute illness associated with human immuno deficiency virus infection. Arch. Intern. Med. 1988; 148: 945-949. Quoted from: Claessen FAP et at. NTvG 1990; 22: 1073-1077. Claessen FAP, Goudsmit J, Lange JMA. Primaire infectie met het humane immuno deficiency virus. NTvG 1990; 22: 1073-1077. Kroon LP, van't Wout JM, van Furth R. Een HIV-seropositieve patient met koorts. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1990; 134: 49-51. Osmond D, Chaisson R, Moss R et at. Lymphadenopaday in asymptomatic patients seropositive for HIV. N. Engl. J. Med. 1987; 317: 246. Quoted from: Claessen FAP et al. NTvG 1990; 22: 1073-1077. Kessler HA, Blaauw B, Spear J et at. Diagnosis of HIV infection in seronegative homosexuals presenting with acute viral syndrome. JAMA 1987; 258: 1196-1197. Quoted from: Claessen FAP et al. NTvG 1990; 22: 1073-1077. Claessen JPPJ, Tilanus CC, Alberts FWJ. Adenoid hypertrophie als eerste verschijnsel van een infectie met HIV. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1991; 135: 525-527. France AJ, Kaan DM, Douglas RHB et al. Adenoidal hypertrophy in HIV infected patients. Lancet 1988; 11: 1076. Quoted from: Claessen JPPJ et al. NTvG 1991; 135: 525-527. Centers for Disease Control. Classification system for HTLV-IIULAV infection. MMWR 1986; 35: 334. Quoted from: Danner SA. NTvG 1988; 132: 806-807. Centers for Disease Control. Classification system for HIV infections in children undert 13 years of age. MMWR 1987; 36: 225-235. Quoted from: Danner SA. NTvG 1988; 132: 806-807. Ho DD, Pomerantz RJ, Kaplan JC. Padaogenesis of infection with HIV. N. Engl. J. Med. 1987; 317: 278-286. Quoted from: Van der Ende et al. NTvG 1991; 135: 1045-1048. Fahey JL, Taylor JMG, De et al. The prognostic value of cellular and serologic markers in infection with HIV-1. N. Engl. J. Med. 1990; 322: 166-172. Quoted from: Van der Ende et at. NTvG 1991; 135: 1045-1048. Centers for Disease Control. Classification system for HTLV-IIULAV infection. MMWR 1986; 35: 334-339. Quoted from: MME Schneider et al. NTvG 1988; 132: 1160-1162. Hulsebosch HJ, Brakman M. AIDS en de huid. NTvG 1989; 133: 873-879. Myskowski PL, Niedzwiecki D, Shurgot et al. AIDS associated with Kaposi's sarcoma; variables associated with survival. J. Am. Acad. Dermatol. 1988; 18: 1299-1306. Quoted from: Hulsebosch HJ, Brakman M. NTvG 1989; 133: 873-879. Drew WL, Mills J, Haver LB, Miner RC, Ruthford GW. Declining preva lence of Kaposi's sarcoma in homosexual AIDS patients paralelled by fall in cytomegalo virus transmission. Lancet 1988; 1: 66. Quoted from: Moore RD et al. JAMA SEA 1991; 7: 23-26. Beral V, Peterman TA, Berkelman R, Jaffe WW. Kaposi's sarcoma among
44 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
36. 37. 38. 39.
40. 41. 42. 43.
44. 45.
46. 47.
48.
49. 50. 51.
52.
53. 54.
55.
patients with AIDS, a sexually transmitted infection? Lancet 1990; 335: 123-128. Quoted from: More RD et at. JAMA SEA 1991; 7: 23-26. De Geus A, Danner SA. Het verworven immuno-deficiency syndrome (AIDS) in Africa. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1985; 129: 1821-1824. Oliveny AM, Kaddumukasa A, Atine I et at. Childhood Kaposi's sarcoma; clinical features and therapy. Br. J. Cancer 1976; 33: 555-560. Quoted from: De Geus A, Danner SA. NTvG 1985; 129: 1831-1824. Hutt MSR. Kaposi's sarcoma. Br. Med. Bull. 1984; 40: 355-358. Quoted from: De Geus A, Danner SA. NTvG 1985; 129: 1821-1824. Bayley AC, Downing RG, Cheingsong-Popa R et al. HTLV-III serology distinguishes atypical and endemic Kaposi's sarcoma in Africa. Lancet 1985;1: 359-361. Quoted from: De Geus A, Danner SA. NTvG 1985; 129: 1821-1824. Levine AM. Non-Hodgkin's lumphoma and other malignancies in the AIDS. Semin. Oncol 1987; 14: 34-39. Quoted from: Haeck et at. NTvG 1988; 132: 1669-1671. Haeck J, Frissen PHJ, von Oers MHJ. AIDS en non-Hodgkin's lymphoma, een verraderlijke combinatie. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1988; 132: 1669-1671. Kaplan LD, Abrams DI, Feizal E et at. AIDS-associated non-Hodgkin's lymphoma in San Francisco. JAMA 1989; 261: 719-724. Quoted from: Van der Ende ME et al. NTvG 1991; 135: 1045-1048. Murray RS, Rosenberg NL, DeMasters BK, Jones J. Relationship between primary central nervous system lymphoma and Ebstein-Barr virus in AIDS: in situ hybridization studies. Ann. Neurol. 1987; 22: 155 (Abstract). Quoted from: Moore RD et at. JAMA SEA 1991; 7: 23-36. Van der Ende ME, Michiels JJ, Mulder AH PhH, Rothbarth. Non-spe cifieke lymphomen bij patienten met een HIV-infectie. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1991; 135: 1045-1048. Cremer KJ, Spring SB, Gruber J. Role of HIV-1 and other viruses in malignancies associated with AIDS. J. Natl. Cancer Inst. 1990; 82: 1016-1024. Quoted from: Van der Ende ME et al. NTvG 1991; 135: 1045-1048. Moore RD, Kessler H, Richman DD et al. Non-Hodgkin's lymphoma in patients with advanced HIV-infection treated with zidovudine. JAMA SEA 1991; 7: 23-36. Greenspan JS, Greenspan D, Lermette ET et al. Replication of EBV within the epithelial cells of hairy leukoplakia, an AIDS-associated lesion. N. Engl. J. Med. 1985; 313: 1564-1571. Quoted from: Moore RD et al. JAMA SEA 1991; 7: 23-36. Knowles DM, Chamulak GA, Subar M et at. Lymphoid neoplasia asso ciated with the AIDS. The N.Y. Univ. Med. Center experience with 105 patients. Ann. Intern. Med. 1988; 108: 744-753. Quoted from: Van der Ende ME et al. NTvG 1991; 135: 1045-1048. Serrano M, Bellas C, Campoi E et at. Hodgkin's disease in patients with antibodies to HIV. Cancer 1990; 65: 2248-2254. Quoted from: Van der Ende ME et al. NTvG 1991; 135: 1045-1048. Seligman M, Chess L, Fahey JL et at. AIDS an immunological evaluation. N. Engl. J. Med. 1984; 311: 1286-1292. Quoted from: Arjatmo Tjokro negoro. Maj. Kedokt. Indon. 1987; 37: 18-23. Ammann AJ, Abrams D, Conant M et al. Immune dysfunction in homo sexual men; immunologic profiles. Clin. Immunol. Immunopadaol. 1983; 27: 315-325. Quoted from: Arjatmo Tjokronegoro. Maj. Kedokt. Indon. 1987; 37: 18-23. Sanders ME, Makgoba MW, SHow S. Human naive and memory T-cells; reinterpretation of helper-inducer and suppressor-inducer subsets. Immu nology Today 1988; 9: 195-198. Quoted from: Miedema F et at. NTvG 1990; 134: 1724-1728. Gruters RA, Terpstra FG, de Jong R et al. Selective loss of T-cell functions in different stages of HIV-infection. Eur. J. Immunol. 1990; 20:1030-1044. Quoted from: Miedema F et at. NTvG 1990; 134: 1724-1728. Sanders ME, Makgoba MW, Sharrow So et al. Human memory T-lympho cytes express increased levels of three cell adhesion molecules (LFA-3, Cd2 and LFA-1) and three other molecules (UCHL1. CDwn and Pgp-1) and have enhanced IFN-gamma production. J. Immunol. 1988; 140: 14011407. Quoted from Miedema F et al. NTvG 1990; 134: 1724-1728. Miedema F, Tersmette M, Roos MThL, Schelleken PThA. Immunologic en virologie van de HIV-infectie; nieuwe inzichten in de padaogenese van
AIDS. Nederl. Tijdschrift v. Geneesk. 1990; 134: 1724-1728. 56. Pahwa S, Kaplan M, Fakrig Set al. Spectrum of human T-cell lymphotropic virus type III infection in children. JAMA SEA 1986; 2: 31-37. 57. Boer K, Salvatore CM. AIDS en zwangerschap. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1987; 131: 1428-1431. 58. European Collaborative Study. Children born to women with HIV-infection; natural history and risk of transmission. Lancet 1991; 337: 253-260. Quoted from: Claessen FAP et al. NTvG 1990; 22: 1073-1077. 59. Lange JMA, Parry JV, Wolf F. Diagnostic value of specific IgM antibodies in primary HIV-infection. AIDS 1988; 2: 31-35. 60. Ganies H, Albert J, Sydow M von et al. HIV-antigenemia and virus isolation from plasma during primary HIV-infection. Lancet 1987; 1: 1317-1318. Quoted from Claessen FAP et al. NTvG 1990; 22: 1073-1077. 61. Goudsmit J, Wolf F de, Paul DA et al. Expression of human immuno deficiency virus-antigen in serum and cerebrospinal fluid during acute and chronic infection. Lancet 1986; 11: 177-180. Quoted from: C;laessen FAP et al. NTvG 1990; 22: 1073-1077. 62. Tersmette M, Goede REY de, AI BJM et al. Differential syncytiuminducing capacity of HIV isolates; frequent detection of syncytium-inducing isolates in patients with AIDS and ARC. J. Virol. 1988; 62: 20262032. Quoted from: Miedema F et al. NTvG 1990; 134: 1724-1728. 63. Piot P, Quinn TC, Tachman H et al. AIDS in a heterosexual population in Zaire. Lancet 1984; 11: 65-69. Quoted from: de Geus A, Danners SA. NTvG 1985; 129: 1821-1824. 64. Church JA, Isaacs H. Transfusion associated AIDS in infants. J. Pediatric 1984;105: 731-737. Quoted from: Scherpbier HJ. NTvG 1988;132: 9-12. 65. Strandjord TP, Hodson WA. Neonatology. JAMA SEA 1992; 8: 29-31. 66. Connor E. Advances in early diagnosis of perinatal HIV-infection. JAMA 1991; 266: 3474-3475. Quoted from: Strandjord TP, Hodson WA. JAMA SEA 1992; 8: 29-31. 67. Connor E, McSherry G. Antiviral treatment of human immuno deficiency virus infection in children. Semin. Pediatric Infect. Dis. 1991; 2: 285-300. Quoted from: Strandjord TP, Hodson WA. JAMA SEA 1992; 8: 29-31. 68. Husson RN, Comeau AM, Hoff R. Diagnosis of human immuno deficiency virus infection in infants and children. Pediatric 1990; 86: 1-10. Quoted from: Strandjord TP, Hodson WA. JAMA SEA 1992; 8: 29-31. 69. Hawkins CC, Gold JMW, Whimbey E et al. Mycobacterium avium complex infection in patients with the AIDS. Ann. Intern. Med. 1986; 105: 184-188. Quoted from: SchneiderMMEetal. NTvG 1988; 132: 1160-1162. 70. Schneider MME, A van de Wiel, J. Wiersma et al. Een patient met een gedissemineerde M. avium complex infectie en een gestoorde afweer apparaat. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1988; 132: 1160-1162. 71. Centers for Disease Control classification system for HTLV-III/LAV infection. MMWR 1986; 35: 334-339. Quoted from: Schneider MME et al. NTvG 1988; 132: 1160-1162. 72. Pinching AJ. The acquired immuno deficiency syndrome with special reference to tuberculosis. Tuberclle 1987; 68: 65-69. Quoted from: Speelman P. NTvG 1988; 132: 564-565. 73. Danner SA, Eeftinck Schattenkerk JKM, Lange JMA et al. Ziekte vershijnselen en klinische beloop bj de eerste honderd patienten met AIDS. Nederl. Tijdschr, v. Geneesk. 1987, 131: 1474-1481. 74. Weits J, Sprenger HG, Ilic Pet al. Mycobacterium avium ziekte bij AIDS patienten; diagnostieken therapie. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1991, 135: 2485-1489. 75. Handojo RA, Anggraeni Inggrid Handojo. Various types of specific acquired deficient immune status (SADIS) following various kinds of microbial infection. I. The immune defence mechanism. Wellcome Journal of Health 1993, 13-22. 76. Vilcheck J, Klion A, Handricksen-DeStafano D et al. Defective gammainterferon production in peripheral blood lymphocytes of patients with acute tuberculosis. J. Clin. Immunol. 1986, 134: 146-151.
78. Deutekom H, Manos GE, Danner SA et al. AIDS en tuberculose; een retrospectief onderzoek bij 225 patienten met AIDS. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1989; 133: 2226-2229. 79. Pitchenik AE, Rubinson HA. The radiographic appearance of tuberculosis in patients with the acquired immuno deficiency syndrome and pre-AIDS. AM. Rev. Repir. Dis. 1985; 131: 393-396. Quoted from: Speelman P. NTvG 1988; 132: 564-565. 80. Geneeskundige Hoofdinspectie van de volksgezondheid. De Diagnose AIDS. GHI-Bulletin, December 1987. Quoted from: Speelman P. NTvG 1988; 132: 564-565. 81. Pinching AJ. The acquired immuno deficiency syndrome with special reference to tuberculosis. Tubercle 1987; 68: 65-69. Quoted.from: Deutekom H et al. NTvG 1989; 133: 2226-2229. 82. Syaballo NC. Pulmonary tuberculosis and acquired immuno deficiency syndrome. Chest 1987; 92: 383. Quoted from: Deutekom H et al. NTvG 1989; 133: 2226-2229. 83. Louie E, Rice LB, Holzman RS. Tuberculosis in non-Haitan patients with AIDS. Chest 1986; 90: 542-545. 84. Proudfoot AT. Cryptic disseminated tuberculosis. Brit. J. Hosp Med 1971; 5: 773-780. Quoted from: Grange JM. The immunology of Mycobacterial Diseases. Edward Arnold Publ Ltd, 1988. hal 62. 85. Kanki PJ, M'Boup S, Ricard D et al. Human T-lymphotropic virus type 4 and the human immunodeficiency virus in West Africa. Science 1987; 236: 827-831. Quoted from: O'Brien TR et al. JAMA SEA, 1992; 8: 35-39. 86. Lisse IM, Poulsen A-G, Aaby P et al. Immuno-deficiency in HIV-2 infection; a community study from Guinea-Bissau. AIDS 1990; 4: 12631266. Quoted from: O'Brien TR et al. JAMA SEA 1992; 8: 35-39. 87. Brun-Vezinet F, Katlama C, Roulot D et al. Lymphadenopaday-associated virus type 2 in AIDS and AIDS-related complex. Lancet 1987; 1: 128-132. Quoted from: O'Brien TR et al. JAMA SEA 1992; 8: 35-39. 88. Clavel F, Mansinho K, Chamaret S et al. Human immunodeficiency virus type 2 infection associated with AIDS in West Africa. N. Engl. J. Med. 1987; 316: 1180-1185. Quoted from: O'Brien TR et al. JAMA SEA 1992; 8: 35-39. 89. Gnann JW Jr, McCormick JB, Mitchell SW et al. Synthetic keptide immunoassay distinguishes HIV type 1 and HIV type 2 infections. Science 1987; 237: 1346-1349. 90. George JR, Schochetman G. Serologic tets for the detection of human immunodeficiency virus infection. In: Schochetman G, George JR, (eds). Testing for AIDS and Other Retrovirus Infections: A practical Desk Reference. New York, NY: Springer-Verlag NY Inc., 1991. Quoted from: O'Brient TR et al. JAMA SEA 1992; 8: 35-39. 91. World Health Organization. Proposed WHO criteria for interpreting results from Western blot assays for HIV- 1, HIV-2 and HTLV-I/HTLV-II. WHO Wkly Epid. Rec. 1990; 65: 281-283. Quoted from: O'Brien TR et al. JAMA SEA 1992; 8: 35-39. 92. O'Brien TR, George JR, Holmberg SD. Human immunodeficiency virus type 2 infection in the United States. Epidemiology, Diagnosis, and Public Health Implications. JAMA SEA 1992; 8: 35-39. 93. Pieniazek D, Peralta JM, Ferreira JA et al. Identification of mixed HIV-1/ HIV-2 infections in Brazil by polymerase chain reaction. AIDS 1991; 5: 1293-1299. 94. Rayfield M, DeCock K, Heyward W et al. Mixed human immunodeficiency virus (HIV) infection in an individual: demonstration of both HIV type 1 and type 2 proviral sequences using polymerase chain reaction. J. Infect. Dis. 1988; 158: 1170-1176. Quoted from: O'Brien TR et al. JAMA SEA 1992; 8: 35-39. 95. Jackson JB, Balfour HI-I. Practical diagnostic testing for human immunodeficiency virus. Clin. Microbiol. Rev. 1988; I: 124-138. Quoted from: O'Brien TR et al. JAMA SEA 1992; 8: 35-39.
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 45
Skrining Mikroorganisme Penghasil Anti biotik Usman Suwandi Pusat Penelitian dan Pengembangan P. T. Kalbe Farma, Jakarta
PENDAHULUAN Kebutuhan antibiotik baru masih sangat diperlukan, terutama yang efektif melawan bakteri resisten, virus, protozoa, fungi atau tumor. Untuk mendapatkan antibiotik baru, para peneliti telah banyak melakukan berbagai cara seperti biotransformasi senyawa-senyawa tertentu dengan bantuan mikroba atau membuat derivat antibiotik semisintetik, mutasi strain penghasil antibiotik atau mencari senyawa antibiotik baru dari mikroba yang ada di alam. Di samping itu, untuk melawan kuman resisten dapat menggunakan campuran 2 macam antibiotik yang bersifat sinergistikr misalnya asam klavunalat dengan amoksisilin (Augmentin®) dapat digunakan untuk melawan kuman penghasil b-laktamase yang resisten terhadap penisilin atau sefalosporin. Dalam mencari antibiotik baru, posisi Jepang, Amerika dan Inggris masih belum tertandingi. Pada saat ini sebagian besar antibiotik baru yang diperkenalkan merupakan antibiotik semisintetik. Misalnya derivat penisilin (ampisilin, amoksisilin), sefalosporin (sefotaksim), kanamisin (amikasin, dibekasin), rifampisin dan sebagainya. Keberhasilan ini telah merangsang untuk membuat derivat grup antibiotik yang lain seperti makrolid, poliene antifungi atau antrasiklin antitumor. Walaupun derivatisasi atau biokonversi menjanjikan antibiotik baru yang berguna, senyawa antibiotik baru yang alami masih terus dicari dan sangat diharapkan. Keberhasilan mendapatkan antibiotik baru dari sumber alami seperti metabolit mikroba telah menimbulkan asumsi bahwa mikroba merupakan sumber senyawa baru yang tidak pernah habis. Bahkan selain aktivitas antibiotik metabolit mikroba juga menjadi sumber senyawa aktif farmakologis atau fisiologis yang berguna di bidang medis atau digunakan dalam pertanian. Aktinomisetes merupakan kelompok mikroba penghasil antibiotik terbanyak. Sekitar 70% antibiotik yang telah ditemukan dihasilkan oleh aktinomisetes terutama streptomises,
46 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
sehingga sasaran skrining mikroba penghasil antibiotik ditujukan pada kelompok aktinomisetes. Selain streptomises, skrining juga diarahkan untuk mendapatkan anggota aktinomisetes yang lain, terutama rare actinomycetes seperti Actinoplanes, Micromonospora, Saccharopolyspora, Actinomodura, Dactylosporangium, dan sebagainya. Organisme tersebut telah menghasilkan metabolit yang menarik termasuk antibiotik dan antitumor. Skrining mikroorganisme secara umum bertujuan mencari mikroba yang menghasilkan metabolit yang dapat dimanfaatkan oleh manusia misalnya antibiotik, asam amino, ensim, antitumor atau substansi bioaktif lainnya. Pada prinsipnya skrining mikroba penghasil antibiotik terbagi dalam beberapa tahap. Masing-masing tahap berusaha mengeliminasi mikroba yang tak dikehendaki dan meningkatkan organisme yang diinginkan misalnya aktinomisetes. KOLEKSI SAMPEL Sampel yang dimaksud dapat berupa tanah, lumpur, air sungai, air laut, kompos limbah domestik, isi rumen atau tanaman. Sampel tersebut mengandung mikroba yang jumlah dan jenisnya tidak diketahui. Sampel tanah merupakan sumber yang paling populer untuk skrining mikroba. Tanah dapat berasal dari pegunungan, hutan, dataran rendah, pantai atau daerah terpencil. Kadang-kadang sampel tersebut diambil dari daerah yang masih terisolir dan belum banyak dijamah peradaban manusia, dengan harapan sampel tersebut mengandung mikroorganisme dan menghasilkan antibiotik baru atau senyawa yang mempunyai bioaktivitas lain. Kondisi habitat tempat pengambilan sampel, juga mempengaruhi dominansi mikroba yang ada di dalam sampel. Misalnya fungi akan dominan pada tanah yang bersifat asam daripada mikroba lain. Untuk itu sampel harus diberi label dengan tanggal dan deskripsi singkat mengenai kondisi ekologis daerah tersebut seperti temperatur, pH, salinitas dan sebagainya. Sampel harus dikoleksi seaseptis mungkin.
ISOLASI MIKROORGANISME Isolasi mikroorganisme dari alam atau sampel merupakan tahap awal dalam skrining metabolit mikroba seperti antibiotik. Biasanya kita tidak tahu tipe dan jumlah mikroba dalam sampel tersebut. Pada prinsipnya tujuan isolasi mikroba yaitu untuk mendapatkan mikroba yang dikehendaki sebanyak-banyaknya. Untuk maksud tersebut dapat digunakan teknik diperkaya dan sistem pengenceran. Misalnya sampel tanah atau air diencerkan sedemikian rupa sehingga diharapkan pertumbuhan koloni tidak lebih 200 koloni per plate. Suspensi tersebut dengan metode taburan spread plate diinokulasikan pada cawan petri yang mengandung media diperkaya. Setelah diinkubasi, akan terlihat koloni-koloni pada cawan tersebut dan siap untuk diisolasi. Namun dalam praktek cara tersebut kurang efisien karena harus mengisolasi banyak mikroba yang potensinya belum jelas, sehingga para peneliti sudah membatasi jenis mikroba yang akan diisolasi. Mereka biasanya tidak ingin mengisolasi semua mikroba yang ada dalam sampel karena akan menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu. Aktinomisetes merupakan salah satu yang banyak diminati, sebagian besar antibiotik diproduksi oleh kelompok tersebut terutama streptomises. Penanganan sampel dilakukan untuk mengeliminasi mikroba yang tak diinginkan. Ada beberapa contoh yang sering dilakukan oleh para peneliti, misalnya sampel tanah dikeringkan di udara pada temperatur kamar selama 3 – 10 hari tergantung dari kandungan airnya untuk mengurangi populasi bakteri. Untuk memperbesar kemungkinan isolasi aktinomisetes dari sampel air, misalnya Rhodococcus dan Micromonospora dapat dilakukan pemanasan sampel 55°C sei.ama beberapa menit. Masih banyak lagi cara-cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemungkinan isolasi mikroba yang diinginkan, tergantung pada tipe dan sifat mikroba yang akan diisolasi. Media yang digunakan juga mempengaruhi jenis mikroba yang terisolasi. Untuk mengisolasi streptomises telah digunakan media khusus yaitu Media international Streptomyces Project (ISP). Fungi dapat dieliminasi dengan rnenambahkan antifungi seperti nistatin atau sikloheksamid ke dalam media, dan bakteri dapat dieliminasi dengan menambahkan antibiotik ke dalam media. Selain itu parameter ekologi juga harus diperhatikan seperti pH, temperatur dan sebagainya. Kebanyakan bakteri lebih peka terhadap pH agak asam sedangkan fungi lebih tahan terhadap rentang pH yang lebih lebar. Temperatur inkubasi dapat meningkatkan isolasi mikroba yang dikehendaki, misalnya isolasi Thermoactinompces dapat ditingkatkan dengan inkubasi 50–55°C, Nocardia pada 25°C, Streptosporangium pada 40°C dan sebagainya. Isolasi anggota aktinomisetes pada umumnya menggunakan temperatur inkubasi 28 – 30°C. Aktinomisetes sangat lambat tumbuh pada cawan agar. Koloni barn terlihat pada media pertumbuhan setelah 4 – 20 hari inkubasi, bahkan ada beberapa strain yang baru muncul setelah 1 bulan atau lebih. Aktinomisetes merupakan mikroba yang paling cfisien dalam menggunakan substrat. Sebagai organisme heterotrop,
aktinomisetes memerlukan bahan urganik bagi kelangsungan hidupnya. Beberapa jenis mampu mendegradasi inulin dan . chitin. Bahkan Nocardia sp mampu memetabolisir molekul organik yang tak lazim di alam seperti parafin, fenol, steroid dan pirimidin. Micromonospora mampu mendekomposisi chitin, selulose, glukosida, pentosan dan mungkin lignin. Atas dasar kemampuannya yang jarang dijumpai pada mikroba lain, maka para ahli telah mengembangkan media isolasi yang hanya menguntungkan pertumbuhan aktinomisetes daripada mikroba yang lain. Media tersebut seperti Arginine-glycerol salt, Benedict, Collodial chitin, Starch-casein dan sebagainya. PURIFIKASI MIKROORGANISME Setelah dinkubasi, mikroba akan tumbuh pada media agar dalam bentuk koloni. Koloni-koloni tersebut terdiri dari bermacam-macam jenis mikroba. Karelia pertumbuhan aktinomisetes relatif lama dan memerlukan inkubasi beberapa minggu atau beberapa bulan, maka penggunaan media khusus akan sangat berguna, demikian juga penambahan antibiotik dan antifungi ke dalam media. Selanjutnya koloni yang tumbuh dimurnikan dengan membuat monokoloni dan diawetkan pada media agar miring. SELEKSI PRODUKTIVITAS ANTIBIOTIK Pengujian produktivitas antibiotik dari strain yang diisolasi pada media agar miring dapat dilakukan dengan media padat atau cair. Pengujian pada media padat, pada prinsipnya strain tersebut ditumbuhkan pada media agar dan diuji dengan berbagai bakteri indikator. Aktivitas atau produktivitas antibiotik dapat diamati dengan adanya zone hambatan pertumbuhan bakteri indikator tersebut. Caranya strain disuspensikan pada larutan garam fisiologis dan suspensi ini diinokulasikan pada media agar dengan cara taburan. Setelah diinkubasi akan terlihat pertumbuhannya dan media tersebut dipotong kecilkecil. Potongan agar yang ditumbuhi mikroba tersebut diuji produktivitas antibiotiknya tcrhadap bakteri indikator, dengan cara meletakkannya pada media agar yang telah diinokulasi dengan bakteri indikator. Petunjuk adanya aktivitas antibiotik dapat dilihat dengan adanya zone hambatan di sekitar potongan agar. Bakteri indikator yang sangat peka tentu akan sangat berguna karena dapat mendeteksi antibiotik yang sangat kecil, ada berbagai macam bakteri indikator seperti Staphylococcus, Salmonella, Sarcina, Pseudomonas, Bacillus dan sebagainya. Untuk melihat aktivitas antifungi dapat menggunakan Candida sebagai indikator. Pengujian ini sudah dapat menseleksi strain yang mempunyai produktivitas antibiotik untuk selanjutnya dapat diawetkan pada agar miring dan disimpan untuk digunakan pada pengujian-pengujian selanjutnya. Produktivitas antibiotik juga dapat dilihat pada media cair. Strain dari penyimpanan diinokulasikan ke media cair dalam Erlenmeyer 500 ml. Dengan bantuan shaker seperti rotary shaker dan diinkubasi pada temperatur kamar, setelah 3 – 5 hari biakan dapat diuji produktivitas antibiotiknya. Pcngujian terhadap bakteri indikator dapat menggunakan paper disc. Setelah dibasahi dengan filtrat biakan, kertas diletakkan pada
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 47
media agar yang mengandung bakteri indikator. Sesudah inkubasi semalam produktivitas antibiotik terlihat dengan adanya zone jernih di sekitar paper disc. indikasi menghasilkan antibiotik, dapat disimpan dan diawetkan untuk pengujian tahap berikutnya, antara lain untuk menentukan antibiotik tersebut sudah dikenal atau belum, spektrum aktivitasnya, jenis bakteri yang peka, sifat-sifat antibiotik lainnya. Untuk memperbesar kemungkinan mendapatkan mikroorganisme yang dikehendaki diperlukan perhatian yang besar mulai dari pengembilan sampel, perlakuan sampel, jenis media, penambahan suplemen sampai pengaturan kondisi inkubasi.
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
PENUTUP Mikroorganisme yang sudah diisolasi dan mempunyai KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.
Berdy J. Screening – classification and identification of microbial products. Dalam: Verrall MS. Discovery and isolation of microbial products. London : Ellis Horwood Limited. 1985 : p. 9 – 31. Hunter Cereva JC et al. Isolation of cultures. Dalam : Manual of Industrial Microbiology and Biotechnology. Demain AL, Salomon NA (ads). American Society for Microbiology, Washington. 1986 : p. 3 – 24. Vandamme EJ. Antibiotic Search and Production: an overview. Dalam: Vandamme EJ (ed). Biotechnology of industrial antibiotics. New York: Marcel Dekker Inc. 1984 : p. 3 – 32.
Distribusi Geografis Pola Resistensi Shigella terhadap Beberapa Jenis Antibiotik di daerah Jakarta dan Jawa Barat Pudjarwoto Triatmodjo Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta
ABSTRAK Untuk mengetahui pola resistensi Shigella terhadap antibiotik secara geografis, sejumlah isolat Shige//a dari Jakarta dan Jawa Barat telah diuji resistensinya terhadap 5 jenis anti biotik yaitu tetrasiklin, ampisilin, kanamisin,kloramfenikol dan ko• trimoxazol, (sulfametoxazol-trimetoprim) dengan cara Disk Di/Jusion(Kirby Bauer, 1966). Hasil pengujian menunjukkan, secara in vitro kanamisin dan kotrimoxazol masih cukup efektif untuk Shigella baik di Jakarta maupun di Jawa Barat. Di Jakarta derajat efektivitas kanamisin dan kotrimoxazol seimbang, yaitu sebesar 6,2%. Di Jawa Barat kanamisin lebih efektif dari pada kotrimoxazol; di sini tingkat resistensi Shige/la terhadap kanamisin 7,1%, sedangkan terhadap kotrimoxazol 14,2%. Ampisilin, tetrasiklin dan kloramfenikol efektivitasnya dibawah kanamisin dan kotrimoxazol. Di Jakarta tingkat resistensi Shigella terhadap ketiga jenis antibiotik tersebut berkisar antara 30% – 50%, sedangkan di Jawa Barat lebih tinggi lagi yaitu antara 57% – 85%. Kejadian multi resisten isolat Shigella terhadap antibiotik di dua daerah tersebut mencapai 4 jenis antibiotik, tetapi multi resisten Shigella di Jawa Barat lebih complicated daripada di Jakarta.
PENDAHULUAN Penyakit disentri dan diare persisten merupakan penyakit diare yang disebabkan oleh infeksi Shige//a sp. dan lebih sering teijadi di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Di negara-negara ini Shigellosis endemik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas terutama pada golongan umur balita. Pada penyakit diare ini kasus-kasus dehidrasi berat relatif kecil, yakni sebesar 10% dan memerlukan terapi rehidrasi. Tetapi 90% kasus tidak mengalami dehidrasi serius sehingga tidak memerlukan terapi rehidrasi dan pada keadaan ini diperlukan terapi antibiotika1. Antibiotik terpilih untuk infeksi Shigella adalah ampisilin, kloramfenikol dan sulfametoxazol-trimetoprim2. Beberapa sumber lain menyebutkan bahwa kanamisin, streptomisin dan neomisin merupakan antibiotik yang dianjurkan untuk kasuskasus infeksi Shigella'. Di luar negeri seperti di Amerika dan
India, beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan untuk pengobatan diare yang disebabkan oleh infeksi Shigella adalah tetrasiklin, kloramfenikol, streptomisin, ampisilin, kanamisin dan ko-trimoxazol4. Masalah resistensi kuman Shigella terhadap antibiotik dengan segala aspeknya bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Namun karena kejadian resistensi kuman terhadap antibiotik berlangsung secara evolusi, maka dirasa perlu untuk melakukan pemantauan resistensi kuman terhadap antibiotik secara berkala, baik dalam skala lokal maupun nasional. Hal ini mengingat bahwa pola kuman dan resistensinya dapat bervariasi pada waktu dan tempat yang berbeda2,5. Adapun masalah yang lebih besar lagi adalah timbulnya multiresistensi suatu bakteri terhadap berbagai jenis antibiotik karena penggunaan antibiotik yang berlebihans. Tujuan mengadakan pemantauan resistensi jenis bakteri ini terhadap antibiotik antara lain adalah untuk
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 49
meningkatkan kualitas penulisan resep dokter, mempengaruhi, membantu dan mendorong pihak-pihak yang berkepentingan (Pemerintah dan Swasta) dalam membuat kebijakan penggunaan antibiotik. Untuk menambah informasi mengenai resistensi Shigella terhadap antibiotik, dalam makalah ini disajikan data hasil penelitian resistensi Shigella terhadap antibiotik tetrasiklin, ampisilin, kanamisin, kloramfenikol dan sulfametoxazol-trimetoprim. Diharapkan informasi ini dapat memperluas wawasan mengenai pola resistensi Shigella terhadap antibiotik secara geografis yang selanjutnya dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. BAHAN DAN CARA Cara mendapatkan sampel rectal swab Recta/ swab diperoleh dari penderita diare yang datang ke beberapa Rumah Sakit di Jakarta dan Jawa Barat. Di Jakarta penderita diare yang diambil swabnya adalah penderita yang datang ke Rumah Sakit Karantina dan Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Rectal swab dari Jawa Barat diambil dari penderita diare yang berobat ke Rumah Sakit Kabupaten Kuningan dan Pandeglang. Rectal swab kemudian dimasukkan ke dalam medium transpor Carty and Blair untuk segera dibawa ke laboratorium. Penderita diare yang diambil swabnya adalah penderita yang buang air lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi feses cair, berdarah atau berlendir. Prosedur identifikasi Shigella Indentifikasi Singe/la dilakukan sesuai dengan petunjuk WHO. Dalam identifikasi ini dilakukan 3 tahap pemeriksaan yaitu planting media (penanaman dalam perbenihan), tes Biokimia dan tes Serologi. Test resistensi in-vitro terhadap antibiotik Uji resistensi isolat Shigella dilakukan dengan metoda Disk Difitsion (Kirby Bauer, 1966). Lima jenis antibiotik yang digunakan dalam pengujian ini adalah dalam bentuk disk dengan ukuran 6 mm (Product BBL) dengan potensi masing-masing untuk tetrasiklin sebesar 30 ug, kanamisin 30 ug, kloramfenikol 30 ug dan sulfametoxazol-trimetoprim 25 ug. Media yang digunakan adalah Muller Hinton Agar (Difco Product). HASIL DAN PEMBAHASAN Dui 4 spesies yang ditemukan di daerah Jakarta dan Jawa Barat, yaitu S. flexneri, S. boydii, S. sonnei dan S. dysentriae, besarnya populasi masing-masing spesies untuk kedua daerah tersebut menunjukkan perbedaan. Untuk daerah Jakarta, S. flexneri merupakan spesies yang paling banyak ditemukan yakni sebesar 50,0% dari seluruh populasi Shigella. Sedangkan untuk daerah Jawa Barat, populasi yang tertinggi adalah dari spesies S dysentriae yakni sebesar 57,1% dari seluruh populasi Shigella yang ditemukan (Tabel 1). Populasi S. flexneri dapat berfungsi sebagai indikator terhadap hygiene suatu lingkungan. Di negara-negara/daerah-daerah dengan kondisi hygiene yang buruk, populasi S. flexneri lebih
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
Tabel 1 : Distribusi spesies Shigella berdasarkan hasil pemeriksaan rectal swab dari penderita diare yang berobat ke Rumah Sakit untuk daerah Jakarta dan Jawa Barat, 1989.
Spesies Shigellajlexneri Shigella boydii Shigella dysenntrae Shigella sonnei
Jakarta (n=16)* Jumlah % 8 3 3 2
50,0 18,7 18,7 12,5
Jawa Barat (n =14)* Jumlah % 2 1 8 3
14,3 7,1 57,1 21,4
Keterangan : * : n–Jumlah Shigella sp yang ditemukan untuk masing-masing daerah.
banyak ditemukan daripada spesies yang lain. Sedangkan di negara-negara maju dengan tingkat hygiene yang cukup baik, populasi S. flexneri akan menurun(6). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tingkat hygiene di DKI lebih buruk daripada di Jawa Barat. Hasil uji resistensi isolat Shigella terhadap 5 jenis antibiotik yaitu tetrasiklin, ampisilin, kanamisin, kloramfenikol dan sulfametoxazol-trimetoprim menunjukkan bahwa tingkat resistensi Shigella terhadap 3 jenis antibiotik yaitu tetrasiklin, ampisilin dan kloramfenikol sudah cukup tinggi, baik pada isolat Shigella yang berasal dad DKI maupun dari Jawa Barat (Tabel 2). Tabel 2 : Pola resistensi isolat Shigella yang berasal dart Jakarta (n=16) dan Jawa Barat (n–14) terhadap 5 jenis antibiotik pilihan tahun 1989. Antibiotik/ Potensi disk Tetrasiklin/30 ug Kloramfenikol/30 ug Kanamisin/30 ug Ampisilin/10 ug Sulfametoxazoltrimetoprim/25 ug
Jakarta (n=16)*
Jawa Barat (n=14)*
Resisten
%
Resisten
5 7 1 8 1
31,2 43,7 6,2 50,0 6,2
12 8 1 11 2
o
h
85,7 57,1 7,1 78,5 14,2
Keterangan :*: n = Jumlah isolat Shigella yang diuji. Pengujian secara DiskDljjusion Method (KirbyBauer 1966).
Selanjutnya dalam tabel 2 terlihat bahwa 2 jenis antibiotik yang relatif masih cukup efektif untuk Shigella adalah kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim baik untuk daerah Jakarta maupun Jawa Barat. Ditinjau dari derajat efektivitasnya, di Jawa Barat kanamisin masih lebih efektif daripada sulfametoxazoltrimetoprim. Sedangkan di Jakarta kedua jenis antibiotik ini mempunyai derajat efektivitas yang sama terhadap Shigella. Gejala penggunaan antibiotik secara berlebihan dan tidak rasional yang semakin meluas tercermin pada timbulnya multi resistensi isolat Shigella terhadap beberapa jenis antibiotik pilihan baik di Jawa Barat maupun di Jakarta. Ternyata bahwa tingkat resistensi multipel isolat Shigella dari Jawa Barat lebih besar daripada isolat Shigella dari Jakarta (Tabel 3 dan 4). Di Jawa Barat (Tabel 3) telah muncul 14,2% isolat Shigella
Tabel3: besarnya multipel resistensi isolat Shigella dari daerah Jawa Barat terhadap 5 jenis antibiotik pilihan (n=14). Resistensi Multi antibiotik C; Te; Am; SxT.* C;Te;K;Am C; Te; Am. Te; Am. Te.
Keterangan : *:
C Te K Am SxT
Jumlah Isolat resisten
%
2 1 5 3 1
14,2 7,1 35,7 21,4 7,1
8 Kloramfenikol 8 Tetrasikiin 8 Kanamisin Ampisilin 8 Sulfametoxazol-
Tabel 4 : Besarnya multi pel resistensi antibiotik isolat Shigella dari daerah Jakarta terhadap 5 jenis antibiotik (n*53). Multi resestensi antibiotik C; Te; K; Am. C; Te; Am. C; Te. Te; Am. C; Am. K; Am. Te. SxT
Jumlah isolat resisten 2 10 1 2 1 1 6 1
% 3,7 18,8 1,8 3,6 1,8 1,8 11,3 1,8
Keterangan : idem tabel 3.
yang multiresisten terhadap 4 jenis antibiotik yaitu terhadap kloramfenikol, tetrasiklin, ampisilin dan sulfametoxazol-trimetroprim; 7,1% bersifat multiresisten terhadap tetrasiklin, kloramfenikol, kanamisin dan ampisilin. Sedangkan di Jakarta sejak 1987 s/d 1989 tercatat 3,7% isolat Shige/la bersifat multi resisten terhadap 4 jenis antibiotik yaitu terhadap kloramfenikol, tetrasiklin, kanamisin dan ampisilin (Tabel 4). Dilihat dari keragaman multi resistensi isolat Shigella terhadap 5 jenis antibiotik terpilih tersebut nampak bahwa multi resistensi isolat Shigel/a di Jawa Barat lebih rumit daripada di Jakarta. Dari informasi tersebut di atas diperkirakan bahwa di Jawa Barat penggunaan antibiotik secara berlebihan dan tidak rasional lebih banyak terjadi daripada di Jakarta. Hal ini mungkin berkaitan dengan kejadian diare di Jawa Barat yang tercatat paling tinggi dibandingkan dengan daerah lain, sehingga pe-
makaian antibiotik juga relatif tinggi. Untuk memilih obat secara tepat diperlukan sokongan konfirmasi laboratorium untuk melihat etiologi dan pola resistensinya, tetapi daerah dengan sarana yang terbatas sulit melaksanakan konfirmasi laboratorium terse-but sehingga prinsip-prinsip penggunaan antibiotik yang hams berdasarkan pada diagnosis klinis dan laboratoris tidak bisa dilaksanakan. Akibatnya pemilihan obat hampir selalu hanya berdasarkan pada educated guess (pemilihan obat berdasarkan data ilmiah atau pengalaman empiris dalam memperkirakan kuman apa yang paling mungkin menjadi etiologinya) yang tidak selalu tepat. Keadaan ini diduga merupakan faktor-faktor penyebab timbulnya multi resistensi Shige//a di daerah Jawa Barat. Pola resistensi Shigella yang terpapar dalam makalah ini belum menggambarkan keadaan sebenamya di lapangan/ masyarakat karena sampel yang diperiksa masih relatif kecil dan belum mewakili populasi yang sebenarnya. KESIMPULAN Dua jenis antibiotik yang masih cukup efektif secara invitro untuk bakteri Shigella adalah kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Tetapi untuk daerah Jawa Barat derajat efektivitas kanamisin lebih baik dari pada sulfametoxazoltrimetoprim, sedangkan di Jakarta efektivitas kedua jenis antibiotik tersebut sama. Tiga jenis antibiotik yang lain yaitu tetrasiklin, ampisilin dan kloramfenikol efektivitasnya lebih rendah balk di Jakarta maupun di Jawa Barat. Kejadian multiresistensi isolat Shigel/a terhadap antibiotik di Jawa Barat lebih rumit daripada di Jakarta. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Disentri masih merupakan masalah. Warta Diare No. 3, 1 Agustus 1987. Anonim, Informatorium Obat Generik. Pilihan antimikroba pada berbagai infeksi. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Dep Kes RI. 1989. Suparman dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1987. Hal : 32-48. WHO/CDD/Ser/88.12. Control of Diarrhoeal Diseases. Guidelines for the Control of Epidemics due to Shigella dy L Sudarmono P. Kebijakan pemakaian antibiotika dalam kaitan dengan resistensi kuman. Mikrobiologi Klinik Indonesia 1986; I : 22 - 27. WHO/DDC/EPE/80.4. Enteric Infections due to Campylobacter, Yersinia, Salmonella and Shigella. Report of a Sub-Group of the Scientific Working Group on Epidemiology and Etiology Geneva, 14-16 Nopember 1979. WHO. Guidelines for Antimicrobial Susceptibility Testing, 1979. Anonymous. Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Test. National Committee for Clinical Laboratory Standards, 1976. Natrup RS, Ahmad S. Ardie, Santoso S. Manual of Medical Therapeutics, 21st ed. Edisi Indonesia : Pedoman Pengobatan. Penerbit : Yayasan Essentia Medica. Yogyakarta, 1979.
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 51
Penentuan Energi Rata-rata Berkas Elektron Terapi di Permukaan Fantom Nasukha* , Djumadi** , Sri Sunarslh** * Ricking Dosimetri – PSPKR – RATAN, Jakarta ** UPF Radioterapi – RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta
ABSTRAK Untuk keperluan dosimetri radioterapi, telah ditentukan besarnya energi rata-rata di permukaan fantom pada berkas elektron terapi. Metoda yang digunakan yaitu dengan melakukan pengukuran kurva dosis kedalaman. Pengukuran dilakukan untuk energi nominal 5, 6, 7, 8, 10 dan 12 MeV pada pesawat akselerator linier medik Mevatron 74 dengan menggunakan sistim dosimeter therados RFA- 1. Beberapa formula empiris dari beberapa daftar pustaka digunakan untuk menentukan besarnya energi rata-rata di permukaan fantom pada berkas elektron terapi. Diperoleh hasil yang bervariasi terhadap kondisi energi nominal yang tertera dalam pesawat. Hal ini menunjukkan bahwa pesawat akselerator tinier medik perlu dicek secara rutin tingkat kestabilannya, sehingga untuk keperluan dosimetrinya tidak terlalu menyimpang jauh. Dari keseluruhan hasil perhitungan didapatkan perbedaan terbesar terhadap energi nominal adalah 17,6%. Hal ini tidak menjadi masalah dalam dosimetri radioterapi, karma menurut HPA bahwa dengan ketidakpastian 20% harga energi rata-rata di permukaan fantom hanya akan memberikan ketidakpastian 1% dalam faktor konversi (Cc).
PENDAHULUAN Berkas elektron berenergi tinggi telah digunakan untuk terapi kanker sejak awal tahun 1950 an. Sebagian besar energi yang digunakan untuk keperluan klinik dalam radioterapi antara 4 – 15 MeV. Pada energi-energi ini, berkas elektron dapat digunakan untuk perlakuan tumor superfisial (dengan kedalaman kurang dari 5 cm) dengan karakteristik dosisnya turun dengan tajam di belakang tumor. Berkas elektron ini seringkali digunakan pada : – perlakuan terapi kanker kulit dan bibir – perlakuan terapi kanker payudara – perlakuan terapi kanker leher dan kepala(1). Meskipun beberapa fasilitas radioterapi yang lain, seperti misalnya sinar-x superfisial, brakiterapi dan berkas foton tangensial juga bisa digunakan untuk perlakuan tersebut di atas, berkas Telah dipresentasikan pada Simposium Fisika Jakarta 1992
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
elektron terapi mempunyai kelebihan dalam hal keseragaman dosis pada volume target dan sekaligus mengurangi dosis pada jaringan sehat yang lebih dalam. TEORI Untuk menentukan besarnya dosis scrap berkas elektron terapi yang digunakan dalam radioterapi, diperlukan beberapa parameter seperti misalnya nisbah daya henti elektron. Nisbah daya henti elektron ini besarnya bergantung pada energi berkas elektron. Bahasan kali ini ditekankan pada energi berkas elektron terapi. Energi rata-rata di permukaan fantom, Eo suatu berkas elektron terapi diformulasikan dengan hubungan(2) : Eo = 2,33 x R50 (1) dengan :
Eo adalah energi rata-rata di permukaan fantom R50 adalah kedalaman pada nilai paroh Persamaan (1) berlaku untuk kondisi pengukuran dengan luas lapangan yang cukup besar pada daerah energi antara 5 – 35 MeV dan untuk penentuan R50 dari distribusi dosis pada jarak permukaan-sumber (SSD) yang tetap. AAPM(3) dan NACP(4) juga menggunakan persamaan ini untuk keperluan dosimetri elektron pada daerah energi antara 5 MeV – 30 MeV. Untuk NACP telah disediakan grafik hubungan antara Eo terhadap R50 (gambar 1). HPA(5) mendefinisikan Eo sebagai energi kejadian rata-rata dengan persamaan : Eo = 2,4 x HVD (2) dengan : HVD adalah (half value depth) – kedalaman pada nilai paroh dengan satuan gcm-2 di air. Menurut HPA nilai Eo bisa lebih kecil, mengingat energi berkurang karena faktor scattering foil (kumparan penghambur)(4) NCS memberikan dua persamaan untuk Eo sebagai(6) : (3) Eo = C1 x R50,dos (4) Eo = C2 x R50,ion dengan : Cl dan C2 dalam McVcm-1 dengan menggunakan gambar 2. R50,dos dalam cm adalah kedalaman pada nilai paruh yang diturunkan dari kurva pengukuran dosis kedalaman dengan menggunakan detektor dioda tipe p dalam fantom air pada kondisi pengukuran dengan luas lapangan 10 cm x 10 cm dan SSD 100 cm. R50,ion dalam cm adalah kedalaman pada nilai paruh yang diturunkan dari kurva pengukuran dosis kedalaman dengan menggunakan detektor bilik pengionan. Sedangkan Markus memberikan persamaan untuk Eo dengan(7): Rp + 0,376 Eo = –––––––––––– (5) 0,521 dengan : Rp dalam cm adalah kedalaman pada daerah praktek dalam fantom air. Menurutnya, persamaan ini berlaku pada daerah energi berkas elektron antara 5 – 40 MeV dengan ketidaktelitiannya sekitar 2%. Cara penentuan besarnya Rp bisa dilihat pada gambar 3. Setelah mengetahui besarnya energi rata-rata permukaan fantom, maka dan selanjutnya untuk kepentingan dosimetri, besamya nisbah daya henti berkas elektron bisa ditentukan, yang kemudian besarnya dosis scrap pada suatu titik pengukuran bisa dikalkulasi.
PERCOBAAN Alat yang digunakan : 1. Pesawat akselerator linier medik Mevatron 74 2. Sistim detektor therados RFA-1 3. Fantom air
Metoda Fantom di dalam ruangan penyinaran diisi dengan air kirakira 4/5 bagian. Kemudian kabel detektor acuan dan detektor lapangan dihubungkan ke unit kendali (pre amplifier). Selanjutnya dari unit kendali sistim kabel dihubungkan ke unit pengontrol yang ditempatkan di luar ruangan pesawat akselerator linier medik. Dengan demikian posisi detektor lapangan bisa diatur dari luar ruangan pesawat. Detektor lapangan bisa bergerak dengan tiga dimensi (baik arah sumbu x, y maupun z) yang digerakkan melalui unit pengontrol. Untuk data keluarannya bisa digunakan plotter yang menggambarkan dosis relatif antara detektor lapangan terhadap detektor acuan yang ditempatkan
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 53
Gambar 3. Cara menentukan Rp dan R50
dalam medan radiasi. Sebelum sistim therados ini digunakan untuk kepentingan pengukuran, perlu dilakukan pemanasan irradiasi sekitar 30 menit, sehingga sistim therados bekerja dengan baik. Untuk mendapatkan data keluaran yang baik, perlu diatur terlebih dahulu skala terhadap kertas grafik yang disediakan pada plotter sehingga memudahkan dalam penentuan dan perhitungan di kemudian. Berkas dari pesawat akselerator linier medik Mevatron 77 diatur pada SSD 100 cm dengan luas lapangan 10 cm x 10 cm. Waktu diatur sesuai dengan keperluan yang pada prinsipnya cukup untuk dilakukan pengukuran dosis kedalaman selama scanning. Pengukuran kurva dosis kedalaman dilakukan terhadap tiap energi nominal elektron yakni 5, 6, 7, 8,10 dan 12 MeV. Gambar 4, 5, 6, 7, 8, 9 menunjukkan gambar kurva dosis kedalaman hasil pengukuran dengan sistim therados untuk nominal energi 5, 6, 7, 8, 10, 12 MeV.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari gambar 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 dapat ditentukan R50 atau HVD atau R50,dos dan RP dengan menggunakan metoda seperti yang dijelaskan pada gambar 3. Dengan demikian bisa ditentukan energi rata-rata di permukaan fantom pada berkas elektron terapi menurut beberapa formula yang ada.Tabel 1 menunjukkan hasil perhitungan energi rata-rata di permukaan fantom pada berkas elektron terapi yang diperoleh dengan cara tersebut di atas. Dan tabel 1 dan 2 terlihat bahwa adanya perbedaan antara energi nominal berkas elektron terapi dengan energi rata-rata di permukaan fantom dari perhitungan yang diperoleh dari data penelitian ini dan juga jika digunakan beberapa formula yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pesawat akselerator linier medik perlu dicek secara rutin tingkat kestabilannya. Mengingat ada beberapa parameter yang mempengaruhi keti
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 55
Tabel 1. Perhitungan energi rata-rata di permukaan fantom pada berkas elektron terapi Energi nominal (MeV)
R50 cm
Rp Cm
5 6 7 8 10 12
2,2 2,6 2,7 3,2 4,0 4,8
2,9 3,3 3,6 4,1 5,2 5,8
Tabel 2.
Formula (MeV) 1
2
3
5
5,126 6,058 6,291 7,456 9,320 11,184
5,280 6,240 6,480 7,680 9,600 11,520
5,280 6,162 6,399 7,520 9,360 11,232
6,280 7,056 7,631 8,591 10,702 11,854
Persentase perbedaan energi rata-rata di permukaan fantom terhadap energi nominal
Energi nominal (MeV)
R50 cm
Rp cm
5 6 7 8 10 12
2,2 2,6 2,7 3,2 4,0 4,8
2,9 3,3 3,6 4,1 5,2 5,8
Formula (%) 1
2
3
5
+ 2,52 + 0,97 –10,13 – 6,80 – 6,80 – 6,80
+ 5,60 + 4,00 - 7,43 - 4,00 - 4,00 - 4,00
+ 5,60 + 2,70 - 8,60 - 6,00 - 6,40 - 6,40
- 5,60 +17,60 + 9,02 + 7,39 + 7,02 - 1,22
dakstabilan pesawat akselerator linier medik seperti daya dan frekuensi gelombang mikro, temperatur accelerating guide, arus elektron, bending magnet dan lain-lain. Untuk keperluan dosimetri radioterapi, besarnya energi permukaan fantom ini akan digunakan untuk menentukan besarnya nisbah daya henti elektron yang merupakan parameter dosimetri radioterapi. Dalam kaitannya dengan beberapa formula tersebut di atas, maka perlu diketahui bahwa jika yang digunakan adalah formula (1) maka untuk perhitungan dosimetrinya menggunakan datadata dan konstanta-konstanta yang telah disediakan oleh daftar pustaka tersebut, misalnya data untuk nisbah daya henti ataupun faktor konversinya (Cc untuk protokol dari HPA), sehingga akan
memudahkan dan diperoleh hasil perhitungan yang benar. KESIMPULAN Energi rata-rata di permukaan fantom pada berkas elektron terapi bisa ditentukan dengan menggunakan kurva dosis kedalaman; dengan menggunakan beberapa formula empiris diperoleh hasil perhitungan yang bervariasi. Ada perbedaan antara energi rata-rata di permukaan fantom dari perhitungan dengan energi nominal yang diberikan oleh pesawat, sehingga untuk kepentingan dosimetri radioterapi hal ini perlu diperhatikan sehubungan kestabilan pesawat karena energi rata-rata di permukaan fantom akan menentukan besarnya nisbah daya henti elektron yang merupakan parameter dosimetri radioterapi. Dalam penelitian ini diperoleh perbedaan terbesar dengan beberapa formula empiris yaitu 17,6%. Hal ini tidak akan menjadi masalah dalam dosimetri berkas elektron terapi, karena menurut HPA bahwa dengan ketidakpastian 20% pada harga Eo hanya akan memberikan ketidakpastian 1% dalam Cc (faktor konversi)(5), sehingga tingkat akurasi dosisnya masih bisa diterima.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Khan FM. The Physics of Radiation Therapy. 2nd ed. Los Angeles: Williams & Wilkins, 1984. International Atomic Energy Agency (IAEA). Absorbed dose determination in photon and electron beams. An International Code of Practice. Technical Series Report No. 277. IAEA. Vienna, 1987. American Association Physicist in Medicine (AAPM). A protocol for the determination of absorbed dose from high energy photon and electron beams. Medical Physics 1983; 10(6). Nordic Association Clinic Physicists (NACP). Procedures in external radiation therapy dosimetry with electron and photon beams with maximum energies between 1 and 50 MeV. Acta Radiol Oncol 1980; 19. Hospital Physicists Association (HPA). Code of practice for electron beams dosimetry in radiotherapy. Physics in Medicine and Biology 1985; 30(11). Nederlandse Commissie Stralingdosimetrie (NCS). Code of Practice for the dosimetry of high energy electron beams. NCS Report No. 5. 1989. AAPM, American Institute of Physics (AIP). Practical aspects of electron beams treatment planning. Medical Physics Monograph No. 2. 1980.
Failures are divided into two categories: those who thought and never did, and those who did and never thought
56 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 57
Pengalaman Praktek
Apakah Suatu Kebetulan ? Pada waktu diadakan penelitian fluor albus, salah seorang staf kami dianjurkan ikut serta dalam penelitian. la mempunyai keluhan infertilitas sekunder dengan fluor albus. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ia menderita Trichomoniasis, dan kemudian diobati dengan metronidazole 3 X 250 mg per hari selama 7 hari. Pemeriksaan ulang dilakukan pada hari ke 7 dan dinyatakan sembuh secara klinis dan parasitologis. Beberapa bulan kemudian, kami mendengar bahwa ia telah hamil, dan tentu semua ikut gembira. Sebcnarnya hal ini logis saja, karena mungkin infertilitas sekundernya akibat Trichomoniasis yang kronis. Suatu hari kami membaca surat pembaca di sebuah majalah yang menyatakan ajaibnya metronidazol dalam membantu pasangan infertilitas sekunder untuk mendapatkan anak di Afrika (Medicine Digest August 1989 dan May 1991). Apakah pengalaman kami yang sama ini hanya suatu kebetulan ? Siapa yang ingin membuktikan dan mencoba atau pernah pula mencoba ? Emiliana T.
War is nothing more than the continuation of politics by other means
58 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
HUMOR ILMU KEDOKTERAN
PROSTAT Seorang dokter wanita mengalami keluhan pada bagian bawah perutnya. Keluhan ini selalu timbul dan iapun sudah mengusahakan pengobatannya sendiri tetapi keluhan tersebut tidak kunjung reda sehingga timbul kecemasan pada dirinya. Ia berusaha berkonsultasi dengan teman-teman sejawat dokter spesialis yang kemudian mencoba mengobatinya namun keluhan tersebut masih tetap timbul. Suatu hari ia datang berobat ke salah seorang sinse (ahli pijat refleksi), setelah telapak tangan dan telapak kaki dokter wanita tersebut diperiksa ia menemukan kelainan yang berhubungan dengan keluhan dokter tersebut. Dokter : "Saya sakit apa?" (tanya dokter) Sinse (tersenyum dan kemudian memberikan jawabannya) : "Dokter ini mengalami gangguan pada prostat" Dokter (keheranan dan tanya lagi : "Darimana anda tahu ?" Sinse : "Daerah refleksi prostat di telapak kaki dokter sakit, itu menandakan bahwa organ prostat dokter mengalami gangguan".(meyakinkan) Mendengar itu dokter wanita tersebut langsung minta pamit pulang dan tidak jadi berobat. Mana ada prostat pada wanita, ada-ada saja. Irwan Banda Aceh
DEMI KESELAMATAN SENDIRI Beberapa pasien duduk terkantuk-kantuk menunggu giliran di ruang tunggu seorang dokter internis. Tiba-tiba terdengar suara jeritan keras sekali dari seorang wanita muda yang duduk di sudut ruangan. Semua orang sangat terkejut dan serentak menoleh ke arah jeritan maut itu. Dengan penuh rasa menyesal wanita muda itu berkata : "Saya mohon maaf telah membuat ibu-ibu dan bapak-bapak terkejut, saya baru ketiduran. Saya memang biasa mimpi buruk dan menjerit-jerit kalau jatuh tertidur. Sekali lagi saya minta maaf'. Suasana hening lagi dan orang mulai mengantuk lagi. Tiba-tiba seorang kakek berjalan terhuyung-huyung dan duduk di sebelah wanita itu. Dengan nafas tersengal-sengal ia menyapa wanita itu lalu mengajak ngobrol ngalor-ngidul sampai wanita itu tiba gilirannya dipanggil masuk ruang periksa. Seorang pasien lain yang diam-diam memperhatikan ulah kakek itu lalu berkata : "Bapak sungguh baik hati menemani wanita tadi ngobrol begitu lama" "Bukan begitu. Saya sangat khawatir kalau ia sampai ketiduran dan menjerit lagi. Saya bisa langsung mati kaget karena saya ini jantungan berat". Kata si kakek sambil memegang dada kirinya. R. Setiabudy Jakarta
TAWAS DAN OMP Pada suatu hari saya kedatangan pasien seorang ibu muda yang membawa anaknya laki-laki, yang berumur 3 tahun. Dokter : "Siapa yang sakit bu ?" Ibu muda : "Ini anak saya dok, telinganya keluar cairan dan bau." Dokter : "Sejak kapan ?" Ibu muda : "Wah, sudah lama, hilang timbul, sudah bosan berobat." Dokter : "Mari saya periksa !" (pada saat pemeriksaan, dokter menemukan sesuatu yang aneh). Ibu muda : "Oh, saya beri tawas dok" (dengan penuh kebanggaan) Dokter : "Tawas ? ? ? Bukankah tawas biasa digunakan untuk menjernihkan air sumur ?" Ibu muda : "Ya dok, (dengan bersemangat dan merasa benar), tapi cairannya tetap keruh dan bau ya !" (mencari dukungan) Dokter : "Ibu, ini penyakit telinga (OMP), bukan air sumur yang keruh yang dapat diberi tawas jadi jernih !" (kemudian memberi resep dan menerangkan cara penggunaan obat serta mengingatkan supaya tidak sembarang lagi mengobati atau memasukkan sesuatu ke dalam telinga). Dr. Emiliana Tjitra Jakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 59
ABSTRAK STROKE DAN TEKANAN DARAH Stroke diketahui berhubungan erat dengan tingkat tekanan darah. Pemantauan tekanan darah atas 226 pasien stroke (usia rata-rata 73 tahun) di Stockholm, Swedia selama 1 tahun menunjukkan bahwa 69% pasien mengalami kenaikan tekanan darah pada 1 bulan setelah serangan stroke dan menetap pada tingkat tersebut sampai selama follow-up. Kenaikan tekanan darah tersebut tidak tergantung dari riwayat hipertensi sebelumnya, jenis kelamin maupun jenis stroke yang diderita. Pasien-pasien yang mempunyai riwayat hipertensi mencapai tingkat tekanan darah yang secara bermakna lebih tinggi daripada pasien-pasien yang normotensi. Pada 31% pasien dijumpai penurunan tekanan darah; kelompok ini berusia rata-rata lebih lanjut dan mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tekanan darahnya naik. Hipotensi ortostatik dijumpai pada 20% pasien,pada kelompok ini dijumpai penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 20 mmHg bila bangkit dari posisi berbaring ke posisi berdiri. Berdasarkan hasil tersebut, para peneliti menyarankan pemantauan tekanan darah terutama 1 bulan setelah keluar dari rumah sakit dan meneruskan pemberian antihipertensi pada saat pasien dipulangkan. Stroke 1993; 24: 195-99 Brw
PERTANYAAN TENTANG STROKE Apa yang sebenarnya ingin diketahui oleh keluarga pasien stroke dalam rangka lebih memahami penyakit tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, selama 4 bulan, semua pertanyaan
60 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
yang ditujukan ke Stroke Association Advice Centre di Inggris direkam dan dianalisis. Selama periode tersebut 1397 orang telah mengajukan sejumlah 1908 pertanyaan. Ternyata hampir seperempat pertanyaan (429–22,5%) adalah mengenai hal-hal umum seperti apa itu stroke ?, apakah saya bisa sembuh?, tolong jelaskan apa stroke sebenarnya; ini menandakan bahwa para pasien dan keluarganya kurang memperoleh informasi dari dokter atau perawat, atau penjelasan yang diberikan kurang dapat dipahami. Jenis pertanyaan lain yang menonjol ialah mengenai kemungkinan bantuan se-lama perawatan di rumah (home care) (180–9,4%), tentang stroke club (175–9,2%), mengenai bantuan komunikasi/wicara (132-6,9%), mengenai kemungkinan pulih (116–6,0%) dan mengenai perubahan sifat/kepribadian (105–5,5%). Bila dilihat dari komposisi penanya, 34% (475) berasal dari kerabat pasien, 317 (22,7%) dari suami/isteri pasien, sedangkan 15,9% (221) berasal dari pasien sendiri. Data ini menunjukkan bahwa komunikasi antara dokter/perawat dengan pasien/keluarga agaknya masih perlu diperbaiki, terutama dalam hal penerangan mengenai penyakitnya sendiri dan mengenai adanya kelompok di dalam masyarakat yang dapat menunjang rehabilitasi, terutama secara psikologik. Stroke 1993; 24: 536-8 Brw
FIBRILASI ATRIUM DAN STROKE Fibrilasi atrium (AF) telah dikenal sebagai salah satu faktor risiko stroke; di lain pihak kelainan tersebut sering dijumpai pada pasien-pasien stroke. Pada penelitian atas 1661 pasien stroke di Swiss, 144 (8,7%) telah diketahui menderita fibrilasi atrium
sebelum stroke, sedangkan 41 (2,5%) menderita fibrilasi atrium setelah masuk rumah sakit. Fibrilasi atrium itu hitang dalam 3 hari pada 26 (63%) kasus, sedangkan pada 15 (37%) orang masih menetap sampai dipulangkan dari rumah sakit. Penelitian ini menunjukkan bahwa fibrilasi atrium dapat merupakan akibat dari stroke yang harus diwaspadai karena memperbesar risiko stroke selanjutnya. Stroke 1993; 24: 26-30 Brw
PERAWATAN MANULA Manfaat kunjungan rumah secara rutin pada orangtua belum tentu bermanfaat. Hal ini terlihat dari hasil penelitian di Belanda, yang membagi populasi orangtua di suatu daerah menjadi dua kelompok; 580 orang berusia 75–84 tahun dibagi menjadi masing-masing 292 orang yang dikunjungi 4 kali setahun selama 3 tahun dan 288 orang yang tidak dikunjungi. Ternyata kelompok yang dikunjungi secara teratur tidak lebih sehat (dinilai melalui self-rated health scale), tetapi mortalitasnya lebih kecil (42 orang 15% vs. 50 orang - 17%). Kelompok kontrol lebih sering mengunjungi rumah sakit (166 - 66% vs. 132 - 55%) dan mempunyai risiko 40% lebih besar untuk dirawat di rumah sakk (rasio 1,4; 90%CI: 1,2 -1,6). Tidak ada perbedaan bermakna dalam hal perawatan institusional, biaya yang dikeluarkan oleh kelompok intervensi 4% lebih tinggi. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kunjungan rumah tidak bermanfaat secara um um, tempi bisa efektif bila dilakukan secara selektif atas orangorang yang kesehatannya buruk, BMJ 1993; 307: 27-32 Hk
ABSTRAK MANFAAT MENYUSUI Untuk meneliti pengaruh menyusui terhadap risiko kanker payudara, dilakukan penelitian di 11 daerah di Inggris yang melibatkan semua wanita yang didiagnosis kanker payudara sebelum usia 36 tahun di daerah tersebut dibandingkan dengan kontrol yang sesuai yang juga tinggal di daerah yang sama; meliputi masing-masing 775 wanita. Ternyata risiko kanker payudara menurun sesuai dengan makin lamanya masa menyusui (relative risk: 0,94 per 3 bulan menyusui, test for trend p: 0,026) dan sesuai pula dengan jumlah bayi yang disusui (relative risk: 0,86. test for trend p: 0,017). Menyusui untuk masa lebih dari tiga bulan tidak menambah manfaat. Pengaruh menyusui terhadap risiko kanker payudara ini lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh amenorrhoe postpartum (test for trend, p = 0,69) sedangkan pengaruh supresi hormonal akibat laktasi juga tidak mempengaruhi risiko kanker (relative risk: 0,96 per episode of suppressed lactation, test for trend, p = 0,72). Agaknya menyusui secara tersendiri dapat mengurangi risiko kanker payudara di kalangan wanita muda. Penelitian ini mempunyai implikasi bahwa menyusui memperkecil risiko kanker payudara pada wanita muda; risiko tersebut makin kecil sesuai dengan makin lamanya masa menyusui, terutama pada 3 bulan pertama; sehingga menyusui tidak hanya bermanfaat bagi bayi, tetapi juga bagi ibunya; lagipula risiko kanker payudara tidak berkaitan dengan jumlah kelahiran. BMJ 1993; 307: 17-20 Hk
RISIKO HIPERTENSI Penelitian dilakukan atas 30 orang normotensif yang kedua orangtuanya normotensif (kelompok pertama) dibandingkan dengan 30 orang normotensif yang salah satu orangtuanya hipertensif (kelompok kedua). Ternyata kelompok kedua mempunyai tekanan darah ratarata lebih tinggi (sistolik 117±6 mmHg vs. 108 ± 5 mmHg, p = 0,013; dan diastolik 76±7 mmHg vs. 67±6 mmHg, p = 0,017). Selain itu kelompok kedua (yang salah satu orangtuanya hipertensif) mempunyai kecepatan insulinmediated glucose disposal yang lebih rendah (29,5 ± 6,5 ump;/kg/menit vs. 40,1±8,6 umol/kg/menit) yang ternyata tidak bermakna bila disesuaikan dengan tingkat tekanan darah (95%CI: -1,5 – 15,3, p = 0,10). Sekresi insulin, jam pertama lebih tinggi pada kelompok kedua, tetapi tidak bermakna. Selain itu kedua kelompok tersebut mempunyai rata-rata kadar glukosa plasma, kadar kolesterol, trigliserida dan LDL yang tidak berbeda bermakna. Kelompok anak-anak yang orangtuanya hipertensif mempunyai kadar HDL yang lebih rendah (1,24 ± 0,31 mmol/l vs. 1,56 ± 0,35 mmol/1, p = 0,002) dan kadar asam lemak bebas yang lebih tinggi (0,7 ± 0,4 mmol/l vs. 0,4 ± 0,4 mmol/l, p = 0,039). BMJ 1993; 307: 92-6 Hk
OBAT PALING LAKU TAHUN 1992 Zantac® (ranitidin) masih tetap merupakan obat yang paling tinggi nilai penjualannya di dunia di tahun 1992, yaitu sebesar 3,440 milyard dollar AS. Tempatke dua diduduki oleh Adalat/ Procardia® dengan nilai penjualan sebesar 1,750 milyard dollar AS; berikutnya di tempat ke tiga Vasotec®
(enalapril) dengan penjualan sebesar 1,685 milyard dollar AS. Selanjutnya berturut-turut: Capoten® (kaptopril), Mevacor® (lovastatin), Cardizem/Herbesser® (diltiazem), Epogen/Procrit® (eritropoetin), Losec® (omeprazol), Ventolin/Proventil® (salbutamol), Ceclor® (cefaclor), Voltaren® (diklofenak), Omnipaque® (iohexol), Zovirax® (asiklovir), Tagamet® (simetidin), Prozac® (fluoxetin), Augmentin® (amoksisilin + klavulanat), Tenormin® (atenolol), Naprosyn® (naproksen), Rocephin® (seftriakson), dan di tempat ke dua puluh - Sandimmun® (siklosporin) dengan nilai penjualan sebesar 820 juta dollar AS. Scrip 1993; 1812: 29 Brw
TOXOPLASMOSIS Toxoplasmosis merupakan salah satu infeksi susunan saraf pusat yang sering ditemukan pada pasien AIDS; di antara 115 pria AIDS yang juga menderita toxoplasmosis, gejala awal yang tersering ialah nyeri kepala (55%), gangguan kesadaran (confusion) (52%) dan demam (47%). Kelainan neurologik fokal ditemukan pada 79 (69%) pasien. Dan 103 pasien yang menjalani CT 94 (91%) positif memperlihatkan lesi yang enhanced, 28 di antaranya lesi tunggal. Pengobatan menggunakan pirimetamin, sulfadiazin atau klindamisin berhasil menyebabkan perbaikan pada lebih dari 90% pasien, meskipun 62% (71) mengalami efek samping, bahkan 50 (43%) di antaranya memerlukan penyesuaian dosis. Di antara pasien yang sembuh median survival mereka ialah 265 hari. N. Engl. J. Med. 1993; 327: 1643-8 Hk
Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993 61
Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. Yang merupakan faktor intrinsik pada pembentukan batu saluran kemih : a) Usia. b) Iklim. c) Air minum. d) Pekerjaan. e) Infeksi. 2. Peristiwa yang terjadi padapembentukan batu saluran kemih adalah sebagai berikut, kecuali : a) Filtrasi. b) Saturasi. c) Nukleasi. d) Kristalisasi. e) Pengendapan. 3. Yang termasuk dalam sefalosporin generasi pertama : a) Sefalotin. b) Sefamandol. c) Sefmetazol. d) Sefotaksim. e) Sefotiam. 4. Yang termasuk sefalosporin generasi ke dua : a) Sefradin. b) Sefadroksil. c) Sefuroksim. d) Sefoperazon. e) Sefotiam. 5. Yang termasuk dalam sefalosporin generasi ke tiga : a) Sefazolin. b) Sefadroksil. c) Sefuroksim. d) Sefmetazol. e) Seftazidim.
62 Cermin Dunia Kedokteran No. 89, 1993
6. Penyakit Buerger terutama mengenai : a) Pembuluh arteri anggota gerak. b) Pembuluh vena alat dalam. c) Pembuluh aorta. d) Pembuluh vena besar. e) Semua jenis pembuluh darah. 7. Faktor risiko penyakit Buerger : a) Hipertensi. b) Obesitas. c) Merokok. d) Diabetes melitus. e) Semua benar. 8. Komplikasi akut tonsilektomi : a) Infeksi. b) Perdarahan. c) Otitis akut. d) Nekrosis uvula. e) Semua benar. 9. Komplikasi lambat tonsilektomi : a) Infeksi. b) Infeksi paru. c) Nekrosis uvula. d) Rinolali. e) Otitis media. 10. Penyebab tersering abses otak : a) Stafilokokus. b) Hemofilus. c) Jamur. d) Kriptokokus. e) Amuba.