207
7 DAYA DUKUNG PULAU DAN KESEJAHTERAAN 7.1
Faktor yang Mempengaruhi Daya Dukung dan Kesejahteraan
7.1.1
Faktor Penyebab Rendahnya Daya Dukung Lingkungan Fakta rendahnya daya dukung ini pertama dilihat dari kondisi terumbu
karang meliputi persentase penutupan karang keras, persentase tutupan karang mati, indeks mortalitas, kelimpahan karang keras, kelimpahan ikan karang dan indeks keanekaragaman ikan karang. Tabel 81 Evaluasi Daya Dukung Ekologi Terumbu Karang Kriteria Persentase tutupan karang keras (%) Persentase tutupan karang mati (%) Indek mortalitas Kelimpahan karang keras (ind/ha) Indek keanekargaman karang (H') Rerata Indeks keanekaragaman ikan karang (H') Jumlah Kelimpahan Jenis ikan karang (jenis)
Kep. Seribu 2004 33.19 22.02 0.4
2.07 9-52
2005 33.91 16.6 0.33 45,730 1.80 - 3.27 1.87 14-65
Kel. P. Panggang 2004 34.22 23.7 0.37
2 25-52
2005 24.92 19.86 0.42 45,631 1.98 - 3.01 1.5 24-50
Sumber : Terangi (2007) diolah
Tabel 81 memperlihatkan bahwa hampir semua indikator daya dukung terumbu karang memperlihatkan penurunan dari tahun 2004 ke 2005. Persentase penutupan karang di Kelurahan P. Panggang pada tahun 2005 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2004 dari 34,22% menjadi 24,92%. Persentase penutupan karang mati juga menunjukkan angka penurunan dari 23.7% tahun 2004 menjadi 19,86% tahun 2005. Indikator rendahnya daya dukung lingkungan Kelurahan Pulau Panggang dapat juga dilakukan dengan memperhatikan hasil perhitungan dengan metode ecological footprint. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa telah terjadi defisit sumberdaya di Kelurahan P. Panggang baik di P. Panggang sendiri maupun di P. Pramuka. Daya dukung lingkungan mencapai 893 orang dan 734 orang di P. Pramuka.
Hasil perhitungan footprint juga menunjukkan adanya defisit
sumberdaya di Kelurahan P. Panggang diindikasikan denngan adanya nilai BC yang lebih kecil dari EF. Nilai EF P. Panggang dan P. Pramuka masing-masing sebesar 4,46 dan 3,97. Sedangkan daya dukung biologis (biocapacity) di P.
208
Panggang dan P. Pramuka masing-masing sebesar 1,03 dan 1,82. Artinya ketersediaan lahan produktif secara ekologis tidak mampu mencukupi kebutuhan penduduk atau lebih kecil dari kebutuhan penduduk per kapita yang berada di wilayah tersebut. Ketika daya dukung biologis ini rendah maka sumber daya alam untuk menjamin keberlanjutan sistem manusia makin menipis (defisit sumber daya) dan dapat dipastikan tingkat kompetisi untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya pesisir dan ruang ekologis (ecological space) makin tinggi. Biasanya daerah dengan kondisi seperti ini akan rawan terhadap konflik. Berangkat dari dua fakta di atas persoalan mendasar yang melatar belakangi terjadinya penurunan daya dukung ekologis terumbu karang dan daya dukung lingkungan pulau disebabkan oleh beberapa faktor baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut hasil wawancara dengan penduduk, tokoh masyarakat dan aparat desa melalui hasil kuisioner maupun FGD, didukung juga dengan penelitian lain, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan daya dukung lingkungan P. Panggang dan P. Pramuka antara lain :
1)
Keterbatasan lahan dan Kepadatan Penduduk yang tidak dapat diatasi Fakta keterbatasan lahan menjadi permasalahan tersendiri bagi penduduk
P. Panggang dan P. Pramuka. Data BPS tahun 2006 menunjukkan bahwa luas Kelurahan P. Panggang sebesar 0,62 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 4.490 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 7.230. Sampai tahun 2008, jumlah penduduk Kelurahan P. Panggang telah mencapai 5481 jiwa (Laporan bulanan Kelurahan, 2008).
Jumlah penduduk yang demikian besar
dibandingkan lahan yang sangat sempit, tentunya menurunkan porsi rumah yang layak untuk dibangun.
Bukti keterbatasan lahan tersebut akhirnya berakibat
kepada menyempitnya luas rumah, terbukti sekitar 41% luas lantai rumah mayoritas mencapai 8 x 10 m2, dan 13% diantaranya di bawah < 8 m2. Jika keterbatasan lahan tidak diiringi dengan pertambahan penduduk mungkin kondisinya akan lebih baik. Namun, faktanya setiap tahun di Kelurahan P. Panggang hampir bisa dipastikan terjadi lonjakan penduduk. Jika diasumsikan P. Panggang dan P. Pramuka mewakili Kelurahan P. Panggang -karena pulau yang diperuntukkan untuk pemukiman di Kelurahan P. Panggang hanya P.
209
Panggang dan P. Pramuka- pada tahun 2006 jumlah penduduk sebanyak 4490 dan tahun 2008 sebanyak
5481 maka pertambahan penduduk selama 2 tahun
mencapai 1351 jiwa. Tingginya pertumbuhan penduduk yang selama ini terjadi disebabkan karena tidak efektif program KB, kurangnya sosialisasi dan penyadaran, serta pandangan tradisional masyarakat tentang banyak anak. Pada aras yang lebih tinggi, kebijakan pemerintah yang tidak tepat dalam pengendalian pertumbuhan penduduk menyebabkan padatnya jumlah penduduk dunia. Sedangkan keterbatasan lahan PPK disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor alamiah pulau, massifnya pembukaan lahan untuk sarana umum, alokasi pemanfaatan ruang yang tidak jelas dan keterdesakan masyarakat oleh intensifnya kegiatan industri. Pada aras yang lebih tinggi, keterbatasan lahan semakin mempersempit ruang gerak dan akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan laut. Pemberian hak akses secara ekslusif kepada kelompok tertentu memicu terjadinya privatisasi lahan, akibatnya tidak lagi tersedia sumber daya alam yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat dengan mudah. Keterbatasan akses dan keterdesakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup memunculkan pola pemanfaatan SDPL yang destruktif dan memicu kerusakan ekologi. Industrialisasi dan perdagangan bebas juga memunculkan pola pemanfaatan lahan untuk memenuhi kebutuhannya.
Lahan semakin terbatas akibat maraknya
pengkaplingan-pengkaplingan tanah, air dan sumber daya alam yang berada di dalamnya atas nama kemajuan industri dan pertumbuhan ekonomi. Kedekatan wilayah antara Jakarta dan Kepulauan Seribu ternyata tidak berdampak kemajuan bagi Kepulauan Seribu. Konsentrasi modal keuangan di Jakarta, kahadiran pasar yang luas dan permintaan terhadap barang dan jasa yang diikuti oleh gaya hidup ekslusif, pola konsumsi khusus bagi golongan kaya, menjadikan pola hubungan yang tidak seimbang antara Jakarta dan Kepulauan Seribu. Investasi yang masuk ke Kepulauan Seribu dalam bentuk pariwisata bahari, industri perkapalan dan perniagaan di wilayah Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, serta industri jasa dan konsumsi yang padat di pesisir Jakarta, ternyata tidak melahirkan kemajuan bagi Kepulauan Seribu.
210
Berkebalikan dengan itu, yang terjadi justru kemunduran dan ketimpangan yang semakin menganga antara kota-kota di Jakarta dan Kepulauan Seribu. Hal itu terbukti dengan tingginya penduduk miskin, tingginya indek keparahan dan kedalaman kemiskinan di Kepulauan Seribu. Kemakmuran kumulatif muncul di Jakarta dan kemiskinan kumulatif diderita masyarakat Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya.
Hubungan ekonomi antara DKI Jakarta
dengan daerah yang berada di sekelilingnya seperti Kepulauan Seribu telah menimbulkan ”backwash effect” terhadap Kelurahan P. Panggang. Kepadatan penduduk yang tinggi, pendapatan perkapita yang rendah, tingkat tabungan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah merupakan efek dari faktor-faktor seperti kehadiran pasar yang luas, kemajuan ilmu dan teknologi, pesatnya industrialisasi dan terkonsentrasinya modal keuangan di Jakarta. Pola hubungan seperti ini disebut Gunnar Myrdal sebagai cumulative causation. Untuk memberantas kemiskinan maka diperlukan campur tangan pemerintah terutama dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas. Kepadatan penduduk menurut Gunnar Myrdal merupakan ciri-ciri keterbelakangan negara/daerah belum maju karena adanya hubungan yang tidak seimbang antara negara maju dan negara berkembang, daerah kota dan pedesaan, daerah maju dan daerah kurang berkembang, antara Jakarta dan Kepulauan Seribu. Populasi penduduk yang berlebihan banyak dituding sebagai penyebab tunggal terjadinya degradasi lingkungan yang berkibat pada munculnya kemiskinan. Bagi John Rockefeller (pendukung pengendalian kelahiran selama 40 tahun) menjelaskan bahwa ekspansi penduduk tidak menciptakan masalahmasalah yang saat ini menimpa banyak negara. Penambahan populasi hanya memperburuk dan memperbanyak persoalan-persoalan itu. Hal itu juga tidak disetujui oleh Cina sebagai negara dengan populasi tertinggi dunia. Cina tidak mengingkari pentingnya kebijakan pembatasan populasi tetapi bagi Cina hal ini merupakan bentuk ketidaktepatan perencanaan pembangunan nasional dari sebuah negara. Menekan jumlah penduduk dunia hanya akan membawa kepada skenario klasik ”the tragedy of the commons” seperti yang terjadi pada perburuan ikan tuna dan ikan paus sehingga melahirkan kelangkaan bagi kedua komoditas tersebut.
211
Industrialisasi, kemajuan teknologi dan gaya hidup bangsa-bangsa maju mempercepat akselerasi kemerosotan lingkungan di seluruh dunia. Pertambahan penduduk diperkirakan meningkat rata-rata tiga orang per detik atau setara seperempat juta penduduk per hari. Jika tingkat pertumbuhan penuduk rata-rata seperti sekarang, populasi bumi pada tahun 2035 akan mencapai lebih dari 12 milyar jiwa dan pada 2070 akan menjadi 27 milyar. Pada kondisi seperti ini dan kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana, bumi sepertinya tidak akan lagi mampu untuk memberikan makan secara seimbang kepada populasi sebanyak itu dari waktu ke waktu. Kalaupun sistem dunia yang kolonialistik dan eksploitatif tidak dianggap sebagai penyebabnya, maka paradigma pembangunan yang ada saat ini dan pola pemborosan produksi dan konsumsi masyarakat negara-negara maju yang sesungguhnya bertanggungjawab terhadap sebagian besar kerusakan yang terjadi. Peringatan bagi pengendalian jumlah penduduk oleh negara dunia pertama telah menimbulkan reaksi keras dari negara dunia ketiga. Hal itu menurut Gorz (2003) tidak mengherankan mengingat penduduk dunia pertama yang jumlahnya hanya 13% dari total populasi dunia tapi mereka mengkonsumsi 87 % dari total energi yang dikonsumsi dunia, mengambil 50% dari pasokan ikan dunia dan hanya meninggalkan seperlima bagian untuk Dunia Ketiga. Ancaman sesungguhnya adalah anggapan bahwa dengan meningkatnya populasi dunia maka pertumbuhan tersebut juga akan mempengaruhi tingkat gaya hidup rata-rata penduduk kaya –khususnya di negara maju/utara- gaya hidup dalam hal kepemilikan mobil, televisi, kulkas dan sebagainya. Untuk mendukung gaya hidup kelompok gaya ini maka tidak ada jalan lain kecuali mempertahankan pertumbuhan industri yang merusak lingkungan.
Maka untuk mencegah
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh populasi industri seperti otomotif, populasi penduduk (yang tidak bisa mengkonsumsi produk industri) di negaranegara berkembang harus diturunkan. Dilema bagi industri ketika pertumbuhan tidak mungkin ditekan, oleh karenanya mereka melimpahkan kesalahan kerusakan lingkungan pada korbannya yaitu kaum miskin di negara-negara berkembang, khususnya kaum perempuan yang melahirkan banyak anak.
212
Populasi penduduk dengan demikian bukan merupakan penyebab langsung kerusakan lingkungan tapi lebih sebagai strategi dan kedok bagi negaranegara maju untuk melanggengkan industrialisasi dan gaya hidup kapitalistik serta bentuk pelarian terhadap tanggungjawab terhadap degradasi lingkungan yang ditimbulkannya. 2)
Perilaku individu masyarakat yang negatif Kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir umumnya termasuk di
Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang diduga karena budaya malas, apatis, egois dan beberapa perilaku individu negataif lainnya.
Kemiskinan
kultural ini disebabkan karena rendahnya sumber daya manusia seperti tingkat pendidikan yang rendah. Memang jika dilihat dari hasil survey, sebanyak 11% pendidikan tertinggi responden di P. Panggang dan P. Pramuka tidak lulus sekolah dan 54% hanya sampai SD. Rendahnya perilaku individu dan psikologis ini menurut penganjur teori liberal seperti Mc Clelland dan Colleman menyebabkan kurangnya dorongan berprestasi pada kaum miskin. Tesis Mc Clelland dan Colleman mungkin benar jika melihat fakta di lapangan dan hasil penelitian Baihaqie (2004) menyatakan bahwa perilaku individu menempati permasalahan tertinggi (31,37%) yang terjadi di P. Panggang. Sikap apatisme dan perilaku negatif ini mendorong aksi-aksi pengrusakan sumber daya pesisir laut seperti penangkapan dengan alat tangkap terlarang, penggunaan potasium dalam menangkap ikan karang dan tidak ada upaya aktif untuk merahabilitasinya. Akibat kerusakan sumber daya pesisir dan laut ini, produktifitas perikanan menjadi turun dan kesejahteraan masyarakatpun semakin menurun. Perilaku negatif masyarakat menurut Baihaqie (2004) bermula dari ketiadaan pemerintah dalam memberikan pelayanan dan banyaknya program pembangunan yang dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lemahnya
pelayanan
pemerintah
menurut
masyarakat
P.
Panggang
mengakibatkan rendahnya sumber daya manusia karena pemerintah tidak pernah menggunakan banyaknya jumlah penduduk sebagai salah satu kekuatan. UMR rendah menyebabkan banyak anak-anak buruh tidak sekolah, ditambah pemerintah tidak menyediakan sarana pengembangan SDM seperti pelatihan dan
213
pembangunan sarana pendidikan. Akhirnya masyarakat memanfaatkan sumber daya pesisir secara optimal bahkan dengan merusaknya. Pola pemerintahan yang otoriter, selalu mengambil inisiatif dan memposisikan diri sebagai penyelesai masalah menghilangkan inisiatif, kreatifitas dan kekompakan warga.
Bahkan masyarakat menurut Baihaqie melihat
pemerintah kurang koordinasi, tidak mampu berkomunikasi dan hidup dalam lingkungan ekslusif sehingga mendorong masyarakat menjadi apatis. Pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai kebutuhan warga merupakan bentuk pemborosan biaya pembangunan. Ketidak terlibatan
masyarakat
menyebabkan banyaknya sarana tidak terawat sehingga banyak yang rusak dan tidak berfungsi optimal.
Pola pembangunan sarana yang cenderung bersifat
jangka pendek dan berpotensi korupsi, menyebabkan kondisi sosial masyarakat menjadi tidak sehat. Apatisme dan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah mengakibatkan masyarakat seringkali tidak mengindahkan larangan hukum dalam pengrusakan sumber daya pesisir dan laut. Kurangnya pelayanan pemerintah juga mengakibatkan lemahnya penegakan hukum. Bahkan masyarakat melihat aparat hukum sering melakukan pembiaran terhadap praktek pelanggaran hukum.
Lemahnya aparat hukum membuat masyarakat tidak percaya aparat
hukum dan kerusakan sumber daya dianggap sebagai pemandangan biasa karena sering terlihat sehari-hari.
Pemerintah tidak memberikan keteladanan dalam
mengelola SDPL bahkan sebaliknya, justru pemerintah terlihat ikut merusak ekosistem pesisir dan laut untuk membangunan sarana umum seperti menjadikan karang sebagai bahan bangunan. Krisis keteladanan pemerintah baik di tingkat Kabupaten dan Desa melahirkan perilaku negatif yang berujung pada pengrusakan ekosistem SDPL. Melihat keterkaitan permasalahan di atas, maka tesis Mc Clelland (1961) dalam Hettne (2001) tentang aspek kultural seperti tingkat pendidikan dan indikator rendahnya SDM lainnya sebagai penyebab kemiskinan perlu diperiksa kembali. Karena rendahnya SDM bukan semata-mata karena kemalasan masyarakat tetapi karena pola pendekatan pemerintah yang tidak tepat dalam pembangunan.
Pola pembangunan masih terlihat sentralistik dan top-down
menjadikan setiap program yang dijalankan pemerintah tidak berdasar kepada
214
kebutuhan masyarakat dan mengakibatkan banyak sarana pembangunan yang tidak berdaya guna.
Disamping itu, faktor kedekatan dengan Jakarta telah
membawa pengaruh cukup besar kepada gaya hidup masyarakat Kelurahan P. Panggang. Pola hidup konsumtif selain menjadi ciri khas masyarakat pesisir, semakin kental dengan adanya pengaruh Jakarta dan orang-orang baru yang masuk ke Pulau Seribu melalui wisata bahari. Pola hidup seperti ini mendorong masyarakat untuk memenuhinya meskipun terkadang melakukannya dengan cara instant dan merusak SDPL. Dorongan untuk bergaya hidup sebagaimana orangorang kota di Jakarta semakin menguat manakala musim panen ikan datang dengan membelanjakan uang hasil tangkapan menjadi barang-barang mewah dan kebutuhan lainnya. 3)
Degradasi sumber daya pesisir khususnya terumbu karang Kerusakan sumber daya pesisir yang paling utama adalah rusaknya
ekosistem terumbu karang di wilayah perairan Kelurahan P. Panggang. Kerusakan terumbu karang ditandai dengan penurunan tutupan karang dan berkurangnya produksi ikan sebagai akibat hancurnya habitat. Penangkapan ikan karang dengan menggunakan potasium dan alat tangkap terlarang lain diduga sebagai penyebab utama kerusakan. Disamping itu pemanfaatan batu karang sebagai bahan bangunan juga berkontribusi terhadap kerusakan karang. Pengrusakan ekosistem terumbu karang memang diakui oleh masyarakat dan hal itu diakui karena diawali ketiadaan penegakan hukum oleh aparat. Banyak pihak menggunakan ketidakjelasan hukum termasuk masyarakat dengan ikut serta secara terang-terangan merusak sumber daya. Bahkan tidak jarang masyarakat menilai penggunaan batu karang juga dilakukan oleh pemerintah untuk membangun fasilitas umum.
Perilaku pemerintah yang condong ikut
merusak sumber daya alam ini mengakibatkan ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat hukum. Pengrusakan terhadap sumber daya pesisir bagi masyarakat menjadi hal biasa dan tidak menjadi kekhawatiran karena aparat tidak tegas dan pemerintah justru melakukannya untuk membangun sarana umum. Degradasi terhadap sumber daya juga didorong oleh tingginya tingkat permintaan pasar terhadap kebutuhan akan ikan karang. Keterdesakan kebutuhan
215
hidup dan kecondongan pemenuhan sikap konsumerisme sebagai pengaruh aktivitas ekonomi yang berjalan di Jakarta, melahirkan orientasi jangka pendek untuk semata memenuhi kebutuhan. Masyarakat juga tidak banyak memahami fungsi penting dari ekosistem terumbu karang dan akibatnya jika hancur. Kerusakan sumber daya pesisir disebabkan juga oleh beroperasinya kapalkapal berjenis trawl yang sudah dimodifikasi seperti arad dan dogol. Mata jaring yang digunakan berukuran kecil sehingga cenderung menangkap semua jenis ikan termasuk ikan-ikan yang baru tumbuh atau juvenil. Disamping itu, cara kerja kapal-kapal ini cenderung ekploitatif dengan menggerus dasar perairan. Larangan trawl jelas terdapat dalam pasal 84 ayat 2 jo 85 UU 31/2004 tentang perikanan dan Keppres No.39 tahun 1980 tentang pelarangan trawl. Melalui Kepmen nomor 6/2008 Trawl kembali diberlakukan meskipun dengan alasan “terbatas”. Keputusan ini bukan lagi bersifat inkonsisten, tetapi keputusan ini menjadi cacat secara hukum karena sampai sekarang, kedua peraturan yang lebih tinggi tersebut belum pernah direvisi apalagi dibatalkan. Penggunaan teknologi penangkapan merupakan bentuk dari kebijakan modernisasi perikanan yang dikeluarkan pemerintah tahun 1969.
Dampak
modernisasi mampu meningkatkan produksi perikanan setidaknya sejak 19691990 karena adanya dukungan unit-unit usaha berskala besar dan padar modal. Modernisasi merupakan bentuk penetrasi kapitalisme di bidang perikanan dan hanya dapat diakses oleh nelayan berskala besar atau pengusaha kapal. Modernisasi terbukti telah melahirkan konflik sosial dalam pemanfaatan SDPL dan menimbulkan jurang yang lebar antara yang mampu dan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi baru tersebut (Mubyarto, dkk, 1984). Degradasi ekosistem pesisir dan laut juga disebabkan oleh maraknya aktivitas pariwisata bahari yang salah satunya menawarkan keindahan terumbu karang. Aktivitas penyelaman yang tidak profesional menyebabkan rusaknya terumbu karang.
Daerah pariwisata merupakan wilayah ekslusif dengan
kepemilikan khusus bagi pengelola/pengusaha. Sumber daya pesisir di wilayah pariwisata bahari yang dulunya menjadi milik publik, dengan statusnya sebagai daerah wisata menjadi privat. Nelayan tidak lagi dengan mudah mendapatkan akses terhadap sumber daya pesisir dan laut di wilayah tersebut. Keterbatasan
216
akses inilah yang seringkali memicu terjadinya aksi pengrusakan ekosistem oleh masyarakat karena sumber daya tidak lagi tersedia secara cukup dan tidak terdistribusi secara adil. Pada aras yang lebih tinggi, industrialisasi dan kemajuan teknologi serta gaya hidup negara-negara maju dan masyarakat perkotaan telah mendorong akselerasi degradasi sumber daya alam. Perkembangan kapitalisme bertumpu kepada proses pergantian para pekerja oleh mesin-mesin, buruh-buruh digantikan dengan mesin/buruh yang tidak bernyawa.
Mesin-mesin tersebut tentunya
membutuhkan biaya yang tinggi untuk memproduksi. digulirkan
haruslah
menghasilkan
keuntungan.
Investasi modal yang
Artinya
para
investor
mengharapkan pemasukan yang lebh besar daripada biaya yang mereka keluarkan untuk memasang mesin-mesin tersebut.
Dalam perhitungan biaya produksi,
ongkos untuk membayar upah pekerja akan semakin kecil, sementara biaya kapitalisasi meningkat (jumlah keuntungan yang harus diperoleh untuk dapat melunasi dan memperharui mesin-mesin menjai semakin meningkat).
Dalam
termonilogi Marxis, ”komposisi organik modal” akan semakin meningkat (Gorz, 2003). Industri semakin bersifat modal intensif dengan memakai jumlah kapital yang lebih besar untuk memproduksi volume komoditi yang sama. Selain itu, dampak negatif industrialisasi lainnya adalah limbah yang dihasilkannya. Perairan Teluk Jakarta terindikasi mengalami pencemaran yang tinggi/buruk.
Industri penghasil limbah terdapat di daratan Jakarta maupun
berasal dari aktivitas pengeboran minyak lepas pantai yang ada di Kepulauan Seribu. Sampah-sampah responden dan sampah industri juga berperan dalam merusak kualitas perairan. Gaya hidup mewah, modern dan padatnya aktivitas masyarakat di Jakarta telah membawa dampak negatif bagi kerusakan ekosistem pesisir di perairan Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya. Tingkat konsumsi dan pola pemborosan produksi masyarakat Jakarta dan pinggiran Jakarta, setidaknya berkontribusi dalam merusak lingkungan pesisir dan laut. Gaya hidup mewah negara berkembang seperti Indonesia ini adalah pengaruh dari gaya hidup negaranegara maju yang bersumsi kemajuan dan modernisasi yang telah mereka alami dapat ditiru oleh negara-negara berkembang untuk bisa merasakan kemajuan yang
217
sama.
Untuk itu negara-negara majulah tersebut atau masyarakat kota yang
bergaya hidup mewahlah yang bertanggungjawab terhadap sebagian besar kerusakan yang terjadi. Sebuah badan organisasi PBB United Nation Fund for Population Action (UNFPA) dalam laporannya menyatakan bahwa ”dengan semakin tingginya pemanfaatan sumber daya alam dan sampah yang dihasilkannya, maka sebenarnya yang bertanggungjawab adalah mereka yang menjadi penduduk ”negara-negara terkaya”, yaitu mereka yang tinggal di negara-negara maju”. Pengakuan UNFPA ini semakin mempertegas keyakinan kelompok ecofeminism yang merupakan varian dari marxis untuk mengatakan bahwa populasi penduduk bukan merupakan penyebab utama kerusakan SDA sebagaimana yang banyak dituduhkan, tapi proses industrialisasi, kemajuan teknologi dan gaya hidup masyarakat negara maju/kota besar yang menjadi penyebabnya. Di bawah sistem kapitalisme, kelangkaan absolut biasanya terefleksikan dalam situasi harga yang membubung tinggi sebelum tampak terjadinya kelangkaan secara fisik (Gorz, 2003). Menurut dogma liberal, naiknya hargaharga barang yang langka di pasaran akan otomatis meningkatkan produksi barang-barang yang harganya naik tersebut, karena dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan.
Kenaikan harga produksi memicu kenaikan investasi,
belum lagi dampak produksi yang dihasilkan oleh industri dan teknologi modern seperti polusi dan limbah, menuntut biaya pemulihan yang tinggi pula. Modal, dalam situasi seperti ini menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak mungkin dihindari dalam membiaya investasi-investasi lebih lanjut. Penggantian modal industrial tak lagi dapat dilakukan dengan melakukan transfer dari surplus yang dipungut dari konsumsi-reproduksi sistem yang membutuhkan biaya yang lebih besar daripada yang dihasilkan.
Industri mengkonsumsi lebih banyak untuk
kebutuhannya sendiri dan mengirimkan lebih sedikit produk-produk kepada konsumen daripada biasanya. Efisiensi menjadi musnah dan biaya-biaya fisik meningkat. Menurut Gorz (2003) peristiwa seperti ini yang sedang terjadi sekarang dan terjadi dalam dua fase :
218
•
Selama fase pertama, produksi menjadi semakin tidak berguna dan destruktif dalam upaya untuk menghindari krisis over-akumulasi. Terjadi percepatan terhadap kerusakan SDA yang tak dapat diperbaharui dan konsumsi berlebihan terhadap SDA terbarahui (air, tanah, ekosistem pesisir dan laut, dsb) dalam kecepatan yang membuat mereka juga akhirnya menjadi langka
•
Selama fase kedua, dihadapkan dengan situasi menipisnya sumberdaya alam yang telah dirampas selama ini dan industri berada dalam kebingungan untuk mengatasi kelangkaan yang lahir akibat meingkatnya produksi dengan cara semakin mempertinggi produksi. Ringkasnya, krisis ekologi yang terjadi saat ini terjadi karena krisis over-
akumulasi klasik yang diperparah oleh suatu krisis reproduksi sehingga sebagaimana mestinya mengarah kepada semakin meningkatnya kelangkaan sumber daya alam. Oleh karena itu solusi dari krisis ini tidak dapat ditemukan dalam pemulihan ekonomi, melainkan di dalam pembalikan logika kapitalisme. Logika
kapitalisme
cenderung
kepada
maksimalisasi
yaitu
bagaimana
menciptakan kemungkinan terbesar dan mengupayakan pemenuhannya dengan jumlah terbesar yang mungkin atas barang-barang dan jasa yang dapat dipasarkan demi memperoleh kemungkinan profit yang paling besar dari aliran energi dan sumber daya.
Hal yang perlu dilakukan adalah menyerang sumber utama
kemiskinan yang tidak terletak pada kurangnya produksi, tetapi dalam karekteristik batang-barang yang diproduksi, pola konsumsi yang dipromosikan oleh kapitalisme dan dalam situasi ketidaksamaan yang mendorongnya. Penghapusan kemiskinan tidak pernah terselesaikan dengan meningkatkan produksi, tetapi dibutuhkan reorientasi produksi.
Langkah tersebut disusun
berdasarkan kriteria : 1) barang-barang yang diproduksi secara sosial harus tersedia bagi setiap orang; 2) produksi barang-barang tersebut tidak harus merusak sumberdaya alam yang melimpah jumlahnya; 3) proses produksi harus didesain sedemikian rupa sehingga tersedia bagi setiap orang, tidak menyebabkan pencemaran dan kerusakan yang menghancurkan nilai guna. Pemanfaatan sumber daya alam dengan logika kapitalisme telah menimbulkan munculnya perilaku rent seeking. Kegiatan mencari rente (rent
219
seeking)
didefinisikan
sebagai
upaya
individual
atau
kelompok
untuk
meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Kelompokkelompok bisnis dan perseorangan mencari rente ekonomi ketika mereka menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumber daya yang dimiliki (Clark, 1998) dalam Yustika (2006).
Rent-seeking activity dapat ditelusuri dari persekutuan bisnis besar
dengan birokrasi pemerintah.
Perusahaan-perusahaan swasta sebagian besar
dikuasai oleh mereka yang memiliki hubungan pribadi khusus dengan elit pemerintah. Fenomena adanya rent seeking ini terlihat dalam kepemilikan pulaupulau kecil di Kepulauan Seribu oleh individu dan kelompok, kegiatan pariwisata bahari dan penguasaan pulau untuk kegiatan industri tertentu, beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan dengan teknologi tangkap yang modern dan kolaborasi antara pengusaha pemerintah dalam pembangunan sarana umum. Pada masa orde baru, gejala rent seeking ini sangat kental sekali dan kepemilikan PPK di Pulau Seribu adalah contoh nyata hak istimewa yang dimiliki oleh individu, pengusaha dan perusahaan tertentu yang memiliki kedekatan dengan elite pemerintah dan dalam banyak kasus dengan Suharto. Perilaku rent seeker tidak saja membuat alokasi sumber daya ekonomi melenceng, lebih dari itu, dorongan mendapatkan keuntungan besar dari sebuah aktivitas produksi akan melahirkan destruktifikasi SDA meskipun mengakibatkan langkanya SDA dan pada gilirannya mereproduksi kemiskinan. Individu atau kelompok yang mendapatkan keuntungan dengan cara mengekploitasi SDA di tengah penderitaan orang lain oleh Chang (2008) disebut sebagai Bad Samaritan. Bad Samaritan telah menyebabkan kerusakan SDA sekaligus melahirkan kemiskinan kronis. Untuk mencegah gejala rent seeking Buchanan mengusulkan agar pemerintah membuat regulasi yang memungkinkan pasar berjalan secara sempurna melalui peniadaan halangan masuk (no barrier to entry) bagi pelaku ekonomi dan peningkatan persaingan. Sedangkan menurut Grindle (1991) dan Krueger (1998) dalam Dasgupta (1998) untuk mengurangi rent seeker melalui kebijakan yang tepat seperti mengubah kebijakan lisensi impor menjadi kebijakan tarif, membuka aliran informasi, mengaplikasikan sangsi moral dan menerapkan kebijakan liberalisasi dan privatisasi yang terukur. Usulan yang berhaluan liberal
220
ini bisa saja mengurangi perilaku rent seeking, namun liberalisasi ekonomi justru melahirkan efek lain seperti kemiskinan dan kerusakan sumber daya alam. Rent seeking akan selalu ada selama tingkat kebutuhan akan barang dan jasa selalu naik, penegakan hukum tidak berjalan efektif dan persoalan pemenuhan basic need belum tuntas. Setidaknya solusi tersebut akan mengalami hambatan yang berarti untuk diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Perilaku rent-seeker sangat sulit diberantas di Indonesia karena gejalanya sudah masuk di hampir semua lini ekonomi. Untuk memberantas gejala rent seeking activity dibutuhkan perubahan yang progresif dalam kebijakan pemerintah khususnya kebijakan ekonomi, penegakan hukum, pemberian reward and punisment dijalankan dengan baik dan penguatan kelembagaan di tingkat elit birokrasi sampai masyarakat berjalan maksimal. Bahkan bagi sebagian ekonom rent seeking activity hampir tidak bisa diputus karena birokrasi Inonesia masih identik dengan perilaku korup. Pemberantasan rent seeking activity harus diawali dengan penegakan good governance. Bagi Gorz (2003) selama ketidakadilan akibat kekuasaan dan hak-hak istimewa tidak dihapuskan maka kemiskinan tidak akan pernah hilang. Dibutuhkan sebuah revolusi kultural untuk secara progresif, masyarakat negara-negara maju dan perkotaan merubah cara menkonsumsi terhadap barang dan jasa. 4)
Kebijakan pemerintah yang bias (policy bias) Ketidaktepatan kebijakan dan program pemerintah serta buruknya sistem
pengelolaan terhadap sumber daya pesisir dan laut, menyebabkan kemiskinan masyarakat Kelurahan P. Panggang.
Bentuk policy bias dapat diperhatikan
dengan beroperasinya armada tangkap dengan teknologi canggih dan destruktuf. Beroperasinya kapal-kapal arat (modifikasi trawl) dan alat tangkap canggih lainnya seperti mouroami, purse seine, payang dan dogol telah melahirkan kemerosotan penghasilan nelayan tradisional yang merupakan kelompok terbesar responden miskin. Akses terhadap teknologi canggih dan armada yang besar hanya bisa dimanfaatkan oleh para juragan dan nelayan-nelayan besar dan para bakul yang mempunyai modal besar untuk operasi. Sedangkan buruh nelayan dan nelayan-nelayan kecil –mayoritas nelayan Kelurahan P. Panggang- tidak bisa mengakses fasilitas tersebut.
Nelayan tradisional terjebak dalam ikatan
221
ketergantungan yang ekploitatif dan tidak adil bagi nelayan kecil. Sedangkan pemerintah tidak mampu melakukan intervensi terhadap harga, menfasilitasi modal dan pasar serta membuat program pemberdayaan masyarakat miskin. Kebijakan modernisasi perikanan merupakan bentuk ketidaktepatan kebijakan yang dijalankan pemerintah.
Kebijakan modernisasi sejak tahun 1969-1990
memang telah berhasil meningkatkan produksi perikanan tapi menurut Mubyarto (1984) seperti hasil kajiannya di Jepara menemukan bahwa modernisasi perikanan bukan hanya melahirkan konflik sosial antara nelayan modern pengguna teknologi canggih dengan nelayan traisional tetapi juga melahirkan kemiskinan bagi nelayan tradisional yang sudah miskin. Fakta tersebut terlihat juga dari kondisi nelayannelayan ikan karang yang kebanyakan menggunakan perahu motor tempel, tidak banyak mengalami perbaikan dalam ekonominya bahkan produktifitas perikanan diakui semakin menurun. Hal itu terjadi mulai tahun 2000an yang ditandai oleh maraknya kapal-kapal bermotor dengan alat tangkap purse seine, arad, dogol, payang dan muoroami. Parahnya kapal-kapal tersebut kebanyakan tidak dimiliki oleh nelayan Kepulauan Seribu dan hasil tangkapannya didaratkan di Jakarta. Kebijakan yang tidak tepat juga terlihat dari kurangnya pelayanan pemerintah dalam menfasilitasi kebutuhan masyarakat serta banyak pemborosan biaya proyek sebagai akibat tidak berfungsinya sarana yang telah dibangun. Menurut Baihaqie tingkat permasalahan tertinggi di P. Panggang berasarkan hasil FGD dengan masyarakat menyatakan bahwa 15,69% pemerintah tidak melayani dan 15,69% pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua permasalahan ini menempati urutan kedua dan ketiga dari delapan permasalahan utama yang ada di P. Panggang. Kondisi keterbatasan aspek teknis-teknologis ini semakin diperparah dengan adanya kenaikan BBM pada tahun 2005 yang terjadi dua kali dan tahun 2008 ini. Proporsi BBM mengambil sekitar 40% dari total biaya operasional nelayan. Meskipun terjadi penurunan BBM saat ini, namun harga di eceran sudah terpatok tinggi yang disertai dengan masih mahalnya harga-harga bahan pokok. Akibatnya, biaya operasional nelayan alam melaut semakin tinggi dan parahnya tidak berimbang dengan hasil tangkapan yang semakin berkurang serta harga ikan yang stagnan. Jika musim barat datang seperti saat ini (Desember-Januari) yang
222
ditandai oleh cuaca buruk, banyak nelayan yang tidak melaut dan akibatnya produksi berhenti. Ketergantungan yang tinggi hanya pada usaha melaut, pada sebagian masyarakat pesisir, merupakan saat paceklik dan menjebak nelayan dalam pola patron-klien. Bias kebijakan terlihat juga dalam pola hubungan ekonomi dan pembangunan yang berorientasi kepada daerah perkotaan. Bias perkotaan ini terlihat dari padatnya sarana pembangunan di wilayah kota dan minimnya aksesibilitas di wilayah pheri-pheri (seperti Kepulauan Seribu).
Pembagian
Gunder Frank dengan apa yang disebut ”negara metropolis maju” dan ”satelit terbelakang” menjadi benar adanya ketika melihat terbatasnya sarana transportasi antar pulau, adanya sarana kesehatan seperti RS yang tidak dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan kesehatan serta tiadanya fasilitasi terhadap permodalan, pasar dan teknologi. Sedangkan di Jakarta, kemajuan sangat pesat, aktivitas industri berkembang cepat dan sarana terpenuhi dengan lengkap. Kondisi ini melahirkan pola hubungan dominasi-exploitatif antara Jakarta dan Kepulauan Seribu yang mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap pasar Jakarta dan tergerusnya sumber daya laut dan pesisir Kepulauan Seribu untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat Jakarta. Dalam aras makro, policy bias ini lahir dalam bentuk ketiadaan kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut sehingga seringkali melahirkan degradasi sumber daya dan tidak optimalnya pemanfaatan terhadap sumber daya. Policy bias juga ditandai oleh strategi pertumbuhan ekonomi yang diprediksi dapat meneteskan efek pembangunan ke daerah pedesaan dengan menjadikan kota sebagai pusat aktivitas ekonomi dan mendorong investasi dan arus modal ke daerah pedesaan. Asumsi neoklasik ini terbukti gagal dan justru melahirkan jurang kemiskinan yang makin tinggi di daerah pinggiran (pheripheri) seperti Kepulauan Seribu. Permintaan ekspor yang tinggi terhadap ikan tertentu mendorong maraknya aktivitas penangkapan dengan menggunakan teknologi canggih (modernisasi perikanan) yang menggeser nelayan tradisional semakin ke pinggir dan terdesak. Permintaan ekspor tersebut juga terjadi pada pola perdagangan karang hidup dan ikan hias yang marak di Kepulauan Seribu. Masyarakat didorong untuk berkompetisi memenuhi kebutuhan pasar dunia ikan
223
hias. Penangkapan ikan hias dapat diakses oleh nelayan dan pedagang besar pemilik modal dan teknologi. Nelayan tradisional dan penangkap ikan hias tetap terbelit dalam kemiskinan karena terjadinya surplus produksi yang tinggi dari nelayan ke pedagang kecil-pedagang besar-eksportir. Pola pembagian kerja yang tidak adil ini menghasilkan keuntungan yang hanya dinikmati oleh pemilik modal/bakul yang punya akses pasar. Demikian halnya dengan perdagangan karang hidup. Upaya rehabilitasi terumbu karang memang dilakukan di P. Panggang dan P. Pramuka. Namun kegiatan tersebut ternyata hanya tameng bagi berlakunya perdagangan karang. Terumbu karang pada usia F2 yang seharusnya layak tumbuh, bukan dikembalikan
kepada
diperdagangkan. menguntungkan
alam
untuk
meregenerasi,
namun
diambil
dan
Perdagangan karang ini menjadi usaha tersendiri yang dan
hanya
dilakukan
oleh
kelompok
kecil
dari
nelayan/masyarakat pesisir P. Panggang. Pemerintah sejatinya mengetahui kedua aktivitas ini, tapi karena ketiadaan kebijakan yang tegas dan menguatnya perilaku rent-seeking oleh pedagang, mengakibatkan aktivitas ini terus berjalan tanpa reserve. Gerak pemerintah juga terkesan lambat dan kurang serius dalam mencari jalan keluar bagi meningkatnya jumlah penduduk di Kelurahan P. Panggang. Kalaupun terdapat upaya program KB tetapi masyarakat juga tidak diberikan alternatif lain bagi terbukanya diversifikasi usaha sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Keterbatasan lahan di P. Panggang dan Pramuka ditambah tidak
adanya
alternatif
usaha
bagi
masyarakat
untuk
meningkatkan
produktifitasnya membuat masyarakat tidak ada alternatif untuk melangsungkan hidupnya di tempat lain. Sedangkan kebutuhan akan barang dan jasa semakin meningkat seiring dengan naiknya jumlah penduduk.
Di sisi lain kegiatan
pariwisata bahari dan banyaknya pulau-pulau wisata, tidak banyak melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya.
Tekanan hidup seperti itu mendorong
masyarakat untuk menempuh jalur cepat dan berpikir jangka pendek untuk memenuhi kebutuhannya.
Karena ketergantungannya yang tinggi terhadap
ekosistem laut, maka sumber daya yang berada di dalamnya menjadi sasaran ekploitasi yang kadang dilakukan dengan cara destruktif.
224
5)
Rendahnya sumber daya manusia Tingkat pendidikan yang rendah, perilaku boros dan cenderung destruktif
terhadap alam, budaya malas dan perilaku negatif lainnya dituding sebagai akibat dari rendahnya kualitas SDM masyarakat pesisir. Jika melihat data IPM terlihat bahwa kondisi SDM di Kepulauan Seribu masih sangat jauh tertinggal dari Jakarta. Ranking IPM Kepulauan Seribu pada urutan 233 dari 456 Kabupaten/Kota di Indonesia sedangkan Kota-kota di Jakarta rata-rata masuk dalam urutan 5 besar se Indonesia. Hasil survey juga menunjukkan realitas tersebut. Sebanyak 64,29% responden rata-rata tidak sekolah dan hanya lulus SD. Rendahnya kualitas SDM ini juga terungkap dalam penelitian Baihaqie (2004) meskipun hanya menempati urutan ke empat dan tidak menjadi prioritas bagi masyarakat P. Panggang. Realitas rendahnya SDM ini berpengaruh terhadap persepsi dan perilaku masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan laut. Masyarakat tidak banyak memahami fungsi penting ekosistem pesisir. Akibat pengrusakan sumber daya pesisir melalui kegiatan penangkan yang destruktif, kerap kali dilakukan. Pola pembangunan yang top down dan menghilangkan kreatifitas masyarakat, ditambah dengan tidak adanya pelatihan, penyuluhan dan kurang memberikan peran serta masyarakat dalam pembuatan keputusan, menambah daftar panjang ketertinggalan SDM P. Panggang dan Pramuka. Minimnya sarana pendidikan baik formal maupun informal, aksesibilitas yang terbatas, menghambat laju peningkatan kapasitas SDM. Rendahnya kualitas SDM P. Panggang dan Pramuka tidak semata karena ketidakmaun masyarakat untuk meningkatkan SDM nya tapi lebih karena permasalahan struktural dan bias kebijakan pemerintah. Pelayanan pemerintah yang kurang merupakan salah satu bentuk fakta tersebut ditambah banyaknya sarana fisik yang terbangun dan minimnya pembangunan sosial dan lingkungan, semakin menyudutkan masyarakat ke dalam jurang kebodohan dan kemiskinan. 6)
Lemahnya penegakan hukum Lemahnya penegakan hukum tercermin dari makin maraknya operasi
armada tangkap dengan menggunakan alat tangkap arad (modifikasi trawl) di perairan Kepulauan Seribu. Beroperasinya alat tersebut telah mengancam
225
kehidupan nelayan-nelayan tradisional yang dominan di Kelurahan P. Panggang. Penggunaan potasium dan pengambilan batu karang terlihat oleh masyarakat sebagai hal biasa dan bersifat keseharian.
Masyarakat melihat ada semacam
pembiaran terhadap praktek tersebut. Penggunaan batu karang untuk pondasi bangunan bahkan sering digunakan dalam proyek-proyek pembangunan sarana oleh pemerintah. Lemahnya penegakan hukum menurut Baihaqie (2004) karena kurangnya pelayanan pemerintah dalam memberikan fasilitas kepada aparat hukum. Tidak adanya sarana transportasi untuk beroperasinya aparat, minimnya perlengkapan dan tidak tegasnya peradilan saat ada pelanggaran, melahirkan kekosongan hukum. Peluang hukum yang lemah seperti ini yang menjadikan masyarakat apatis, tidak peduli terhadap kelangsungan sumber daya dan terbiasa dengan pengrusakan sumber daya. Akibat tidak adanya ketegasan alam penegakan hukum, masyarakat cenderung ikut serta melakukan upaya penangkapan dengan cara destruktif. Dukungan masyarakat akhirnya juga kurang dalam penegakan hukum karena seringkali tidak banyak dilibatkan dalam proses tersebut. Kondisi ini diperparah dengan adanya budaya konkalingkong antara aparat keamanan dengan pelaku, antara birokrasi desa dengan masyarakat pelaku, sehingga masyarakat dihadapkan pada dilema antara pemenuhan kebutuhan hidup yang makin mendesak dan upa menjamin kelestarian lingkungan bagi masa depannya. Pada level permasalahan yang lebih tinggi, budaya korupsi ini menjadi faktor utama yang menyebabkan tata kelola pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Sistem hukum lebih banyak ”memberikan” jaminan keamanan dan keadilan bagi kaum kelompok kaya meskipun bersalah dibandingkan kaum miskin yang menjadi korban. Maraknya rent seeker di lingkungan pemerintah maupun swasta dan kolaborasi keduanya semakin memburamkan masa depan kesejahteraan nelayan tradisional. Gambaran permasalahan yang menyebabkan rendahnya daya dukung lingkungan dan ekologis PPK dipaparkan dalam Gambar 13 di bawah ini. Permasalahan ini berasal dari hasil wawancara dan analisis terhadap permasalahan
226
baik yang muncul saat survey dilakukan maupun sebelumnya. Penelitian atas permasalahan ini bersifat saling mempengaruhi dan terkait satu dengan lainnya. Gambar
13
menjelaskan
adanya
beberapa
permasalahan
yang
mengakibatkan rendahnya daya dukung lingkungan dan ekologis P. Panggang dan P. Pramuka. Permasalahan tersebut ada yang berpengaruh secara langsung seperti Degradasi ekosistem pesisir dan laut, lemahnya penegakan hukum, keterbatasan lahan pulau dan kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Sedangkan perilaku negatif masyarakat yang selam ini dituding sebagai penyebab utamanya lebih disebabkan karena tata kelola pemerintah tidak berjalan dengan baik. Demikian halnya dengan tingginya jumlah penduduk merupakan bentuk pengalihan masalah oleh
negara-negara
dan
daerah-daerah
maju
untuk
mengalihkan
tanggungjawabnya kepada korban yaitu negara-negara berkembang dan msayarakat pedesaan/PPK sebagai akibat dari industrialisasi, ekploitasi berlebih SDA serta gaya hidup konsumtif dan mewah yang telah menimbulkan bencana sosial dan kerusakan lingkungan.
Kepadatan penduduk merupakan penyebab
tidak langsung dan memperburuk kondisi lingkungan yang telah rusak akibat pola investasi kapitalistik, industrialisasi dan gaya hidup negara-negara maju dan kotakota besar. Pada aras menengah muncul permasalahan-permasalahan pendukung yang lebih bersifat internal dan memperkuat permasalahan pokok. Pada aras yang paling tinggi dan bersifat eksternal terlihat beberapa permasalahan yang membutuhkan intervensi pemerintah dalam membuat kebijakan terkait dengan pengelolaan SDPL dan pengentasan kemiskinan.
227 KAPITALISME NEGARA BERKEMBANG
Tdk tepatnya kebijakan pengaturan kepadatan penduduk
Keterbatasan akses thd SDPL Privatisasi lahan
Mode produksi kapitalistik
Pola pembangunan top-down Prilaku hidup konsumtif
Rent seeking
Komprador birokrat
Krisis reproduksi
Konsentrasi modal di perkotaan
Gaya hidup mewah dan modern
Pembangunan bias perkotaan
Industrialisasi dan kemajuan teknologi
Tata kelola pemerintahan yg jelek
Pembangunan tdk berdasar kebutuhan masy
Pandangan tradisional tentang banyak anak banyak rejeki
Minimnya penyuluhan dan sosialisasi Tidak efektifnya program KB kepadatan penduduk
Masyrakat terdesak oleh kegiatan industri Alokasi ruang pemanfaatan ruang tdk jelas Pembukaan lahan unt sarana umum Faktor alamiah pulau
Keterbatas an lahan
Ketidaktegasan aparat hukum
Miskinnya faktor keteladanan Sarana pembangunan yg tdk terpakai Pelayanan pemerintah kurang Prilaku individu negatif masyarakat
Ekonomi lemah Beroperasinya kapal-kapal arad Pariwisata bahari yg tdk terkelola dgn baik Pengeboman dgn potasium
Degradasi SDPL khususnya ekosistem TK
Kenaikan BBM Modernisasi perikanan
Prilaku korupsi
Dukungan masy kurang
Perencanaan pengelolaan SDPL tdk jelas
Dukungan pemerintah daerah kurang
Terbtasnya sarana dan pelayanan
Budaya konkaliko ng
Pelayanan pemerintah kurang
Keterbatasa n sarana keamanan
Kebijak an tdk tepat
DAYA DUKUNG PULAU RENDAH
Gambar 13 Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Daya Dukung Ekologi (TK) dan Lingkungan Pulau
Lemahnya penegakan hukum
228
7.1.2
Faktor Penyebab Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Untuk melihat faktor penyebab rendahnya kesejahteraan masyarakat
setidaknya perlu meninjau kembali indikator-indikator responden miskin, baik yang bersumber dari institusi resmi (BPS) maupun yang langsung dari masyarakat.
Peninjauan ini akan bergerak pada aras makro (Kabupaten
Kepulauan Seribu) dan mikro (P. Panggang dan P. Pramuka). Pada aras makro, beberapa indikator dapat dijadikan sebagai parameter seperti perkembangan IPM, jumlah masyarakat pra sejahtera dan sejahtera I, tingkat kesenjangan wilayah dan parameter kemiskinan regional lainnya. Sedangkan pada aras mikro dapat ditinjau kembali hasil survey dan analisis data primer yang didasarkan pada kriteria BPS dan kriteria versi masyarakat sendiri. Tabel 82 Evaluasi Tingkat Kemiskinan Regional Tahun 2006 Uraian Jumlah penduduk miskin Jumlah rumah tangga miskin Poverty Gap Index (P1) Poverty Severity Index(P2) IPM Pengeluaran perkapita (Rp)**) Garis kemiskinan (Rp/kapita/bln)
DKI Jakarta
Kepulauan Seribu
675,718 160,480 0.78 0.2 76.3 669.643 237,735
3,882 1,043 2.69 0,80 69.3 411.303 270,071
Catatan : *) pengambilan data dilakukan dengan metode berbeda dg PSE 2006 **) data tahun 2007 Sumber : 1) Potret sosial ekonomi Propinsi DKI Jakarta, BPS Jakarta (2006) (diolah) 2) Data dan informasi kemiskinan 2005-2006, BPS jakarta (2006) (diolah)
Evaluasi tingkat kemiskinan regional sebagaimana yang terdapat dalam Tabel 82, memperlihatkan bahwa Kepulauan Seribu merupakan kantong kemiskinan yang terdapat di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Hal itu tergambar dari jumlah persentase penduduk miskin yang jauh di atas rata-rata kemiskinan di DKI Jakarta, demikian juga dengan jumlah penduduk miskin. Jika jumlah penduduk Kepulauan Seribu tahun 2006 sebanyak 11.920 jiwa (Kecamatan dlm angka, 2007) maka jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu mencapai sekitar 33% dari total jumlah penduduk di Kep. Seribu atau sebesar 0.6% dari seluruh total penduduk miskin di DKI Jakarta. Tingkat kedalaman (P1) dan keparahan (P2)
229
kemiskinan juga termasuk dalam kategori paling parah dengan tingkat kedalaman paling tinggi di antara Kabupaten/Kota lain di DKI Jakarta. Data di atas secara singkat memberi gambaran bahwa terjadi kesenjangan yang cukup tinggi antara Kepulauan Seribu dengan Kabupaten/Kota lain di DKI Jakarta. Lokasi Kepulauan Seribu yang cukup jauh untuk dijangkau, akses terbatas dan terdiri dari pulau-pulau, dianggap sebagai salah satu kendala terbatasnya program-program pembangunan masuk ke Kepulauan Seribu.
Di
samping itu status Kepulauan Seribu yang baru menjadi Kabupaten baru sejak tahun 2002, merupakan kendala ketertinggalan pembangunan antara Kepulauan Seribu dengan Kabupaten/Kota lain di DKI Jakarta. Namun sebagai wilayah yang sangat dekat dengan kekuasaan dan pusat ibu kota, setidaknya pembangunannya tidak
jauh
tertinggal
jika
pemerintah
memperhatikan Kepulauan Seribu.
Propinsi
dan
Pusat
betul-betul
Karena faktanya, pulau seribu dijadikan
sebagai salah satu andalan wisata bahari oleh Propinsi DKI Jakarta dan mempunyai sumber minyak yang memberikan kontribusi cukup besar bagi DKI Jakarta. Namun, potensi dan investasi tersebut faktanya tidak berkontribusi apaapa terhadap kemajuan pembangunan di Kepulauan Seribu.
Penyedotan dan
kapitalisasi sumber daya alam dengan nilai investasi yang tinggi diperkirakan hanya masuk kepada DKI Jakarta tanpa menetes ke masyarakat Kepulauan Seribu. Banyak pulau-pulau kecil yang dimiliki perorangan, swasta dan kelompok tertentu, pariwisata bahari yang menawarkan investasi mahal untuk sebuah panorama pantai, padatnya aktivitas ekonomi, jasa di pesisir Jakarta serta kegiatan perkapalan, pelayaran di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu ternyata tidak berdampak penting bagi Kepulauan Seribu. Terjadi surplus produksi yang tidak ketahuan alirannya dan seharusnya dinikmati oleh masyarakat Kepulauan Seribu. Pesatnya pembangunan di DKI Jakarta ternyata tidak diikuti oleh pembangunan di Kepulauan Seribu. Kemiskinan di tingkat regional tersebut semakin mendapatkan justifikasi dengan memperhatikan data kemiskinan responden yang terdapat di salah satu Kelurahan Kepualaun Seribu yaitu di Kelurahan P. Panggang yang diwakili oleh P. Panggang dan P. Pramuka. Tabel 82 menunjukkan betapa kemiskinan pada tingkat regional memberikan imbas kepada responden-responden yang ada di P.
230
Panggang dan P. Pramuka.
Data di bawah memperlihatkan bahwa beberapa
indikator pokok kualitas hidup manusia seperti kepemilikan rumah, pendidikan, kesehatan dan pendapatan responden masih terlihat tinggi.
Artinya untuk
beberapa indikator kualitas hidup yang pokok, responden di P. Panggang dan P. Pramuka belum bisa memenuhi.
Meskipun beberapa indikator sudah
menunjukkan angka yang lebih baik seperti keikutsertaan program KB, kepemilikan luas lantai < 8 m2, kepemilikan aset seperti televisi, tabungan dan sarana perikanan juga cukup tinggi. perbaikan,
tetapi
masih
lebih
Pada beberapa indikator menunjukkan banyak
indikator
ketidakmampuan responden miskin dalam memenuhinya.
yang
menunjukkan
Indikator-indikator
yang menjadi evaluasi bagi perkembangan responden miskin di P. Panggang dan P. Pramuka dapat dilihat pada Tabel 83.
231
Tabel 83 Evaluasi Perkembangan Responden Miskin di P. Panggang dan P. Pramuka, Kelurahan P. Panggang (%) Uraian Status rumah menumpang pada rumah saudara/orang tua rumah kontrakan semi permanen bahan rumah berupa papan/bilik Kondisi rumah rumah tanpa atap lantai berupa tanah luas lantai < 8 m2 kepemilikan WC sendiri/umum Sumber penerangan (non-listrik) jenis bahan bakar untuk memasak Pendidikan kepala rumah tangga yang tidak sekolah SD tidak punya kemampuan menyekolahkan anak Kesehatan tidak ikut serta dalam program KB tidak mendapatkan akses air bersih Keperluan Air untuk minum Pendapatan pendapatan <500000 pendapatan tidak tetap, musiman pendapatan harian Kepemilikan aset kepemilikan perahu kepemilikan TV/DVD Kepemilikan sepeda motor Kepemilikan tabungan (tidak memiliki) pola pakaian setahun membeli satu kali pakaian baru tidak punya pakaian untuk acara-acara khusus
Kelurahan P. Panggang P. Panggang P. Pramuka Total 6.67 0 23.33 10.00
14.81 3.70 45.45 13.64
10.53 1.75 34.00 12.00
10.00 6.67 10.00 51.72
0.00 11.11 14.81 38.46
17.24 55.17 10.00
3.70 51.85 22.22
10.71 53.57 15.79
26.67 17.24
25.93 51.85
26.32 33.93 air hujan/ledeng
17.24 62.07 31.03
11.11 37.04 62.96
14.29 50.00 46.43
67.86 96.55 3.45 43.33
81.82 85.19 11.11 51.85
74.00 91.07 7.14 47.37
82.14 32.14
48.15 11.11
65.45 21.82
5.36 8.77 12.28 45.45 100.00 minyak tanah
Berangkat dari fakta di atas dapat dilihat persoalan mendasar apa saja yang melatar belakangi sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat tergolong rendah meskipun tingkat kesenjangannya juga rendah. Menurut hasil wawancara dengan penduduk, tokoh masyarakat dan aparat desa melalui hasil kuisioner maupun FGD, didukung juga dengan penelitian lain, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan isu yang berkembang terkait tingkat kesejahteraan di P. Panggang dan P. Pramuka antara lain : 1) rendahnya lingkungan alam; 2) rendahnya lingkungan ekonomi; 3) rendahnya lingkungan sosial ; 4) Rendahnya lingkungan politik; 5) rendahnya sarana dan pelayanan;
232
1)
Rendahnya lingkungan alam
Alasan rendahnya kualitas sumber daya dan lingkungan pesisir dan laut Kerusakan lingkungan pesisir dan laut disebabkan oleh beberapa hal yang masih terjadi sampai saat ini seperti masih adanya penggunaan potasium dalam penangkapan ikan hias, penangkapan ikan berlebih dan memburuknya kualitas perairan. Tabel 85 di bawah ini menunjukkan bahwa dalam penggunaan potasium sebanyak 17,86 % responden di P. Panggang menyatakan pernah terjadi kerusakan dengan potasium, 42,86% menyatakan tidak pernah/jarang terjadi dan 39,29% menyatakan pernah terjadi tapi sudah lama sekali dan sekarang sudah tidak terjadi lagi.
Sedangkan menurut penuturan responden di P. Pramuka
kerusakan lingkungan pesisir dan laut karena penggunaan potasium sudah tidak pernah/jarang terjadi dan sebanyak 46,15% responden menyatakan pernah terjadi tetapi sudah lama sekali. Penurunan penggunaan potasium dalam penangkapan ikan khususnya ikan hias menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kelestarian ekosistem dan lingkungan laut.
Namun
menurunnya penggunaan potasium tersebut bisa juga disebabkan karena ekosistem terumbu karang khususnya yang rusak sudah sangat tinggi sehingga ketersediaan sumberdaya ikan juga makin turun dan menipis. Akibatnya nelayan tidak lagi menggunakan potasium dalam menangkap. Penyebab kerusakan lain dapat disebabkan karena penangkapan ikan berlebih sampai mencapai kondisi kritis bagi ketersedia sumber daya ikan. Namun hampir semua responden di P. Panggang maupun P. Pramuka menyatakan bahwa aktivitas berlebih sudah tidak pernah terjadi apalagi sampai sumberdaya ikan habis. Hanya sekitar 3,45% responden di P. Panggang yang menyatakan bahwa hal itu pernah terjadi. Namun pada sisi lain, masyarakat menyatakan bahwa hasil tangkapan mereka semakin hari semakin berkurang. Hal itu menurut mereka karena banyak beroperasinya kapal-kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap mini trawl yang berasal dari luar Kepulauan Seribu. Mungkin nelayannelayan di Kepulauan Seribu tidak menggunakan alat tangkap terlarang tetapi penyebabnya berasal dari nelayan luar pulau seribu. Sedangkan ketika ditanyakan tentang kualitas perairan, mayoritas responden di kedua pulau menyatakan bahwa pencemaran yang menyebabkan
233
kualitas perairan menurun berada dalam batas sedang.
Sebanyak 41,38%
responden di P. Panggang menyatakan bahwa kualitas perairan masih aman dan belum tercemar. Hanya 24,14% responden di P. Panggang yang menyatakan kualitas perairan di P. Panggang khususnya dan Kepulauan Seribu umumnya dalam kondisi buruk dan 34,48% bahkan masih meyatakan kualitas perairannya dalam kondisi baik. Hal yang tidak jauh berbeda dinyatakan oleh responden di P. Pramuka bahwa sebanyak 46,43% responden menyatakan kualitas perairan dalam kondisi sedang, 25,93% menyatakan baik dan 22,22% menyatakan buruk. Secara umum responden di kedua pulau di Kelurahan P. Panggang tersebut menyetakan bahwa kualitas perairan dalam kondisi sedang-baik. Perubahan kualitas perairan di perairan Kelurahan P. Panggang disebabkan karena masih adanya pembuangan limbah ke laut seperti limbah industri dan responden. Sedangkan untuk kawasan perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu yang dekat dengan Jakarta, kualitas perairannya dalam kondisi buruk. Hal ini jelas karenan tinggi masukan limbah industri dan responden ke perairan Teluk Jakarta. Limbah industri berbahaya antara lain seperti logam berat, bahan-bahan kimia beracun dan air buangan dari kawasan pertambangan di Kepulauan Seribu dapat menjadi faktor yang mengancam kualitas perairan di Kepulauan Seribu.
Isu dan permasalahan yang muncul Beberapa isu dan permasalahan masih sering terjadi menyebabkan lingkungan pesisir dan laut menurun antara lain : •
Degradasi sumber daya pesisir dan laut
Degradasi ekosistem pesisir, khususnya terumbu karang Mayoritas penduduk P. Panggang menggantungkan hidup ke laut. Sehingga jika ekosistem pesisir dan laut mengalami kerusakan, maka hal itu akan berakibat kepada penurunan produktifitas perikanan.
Penurunan produksi
berakibat kepada menurunnya jumlah pendapatan masyarakat. Ekosistem laut yang paling berperan bagi kehidupan masyarakat P. Panggang adalah ekosistem terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang di perairan P. Panggang sudah
mencapai hampir 50% dari total ekosistem yang ada. Padahal kebanyakan dari nelayan P. Panggang merupakan nelayan ikan hias yang habitat utamanya adalah
234
terumbu karang. Kerusakan terumbu karang tidak hanya terjadi di perairan P. Panggang, tetapi di hampir seluruh Kepulauan Seribu keberadaannya makin sedikit dan rentan. Menurut Terangi (2007) tingkat penutupan terumbu karang di Kepulauan Seribu < 5%.
Kerusakan ekosistem TK ditengarai karena masih
adanya nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang seperti potasium dan sejenisnya. Disamping itu aktivitas pariwisata yang makin intensif dan tidak mengindahkan kondisi TK menyebabkan rusaknya TK. Selain itu aktivitas perdagangan ikan hias yang makin massif yang diikuti oleh pengambilan ikan dengan cara dan alat yang merusak TK, pengambilan batu karang untuk bangunan, diduga masih sering terjadi di wilayah perairan P. Panggang dan Kepulauan Seribu umumnya.
Degradasi ekosistem pesisir lainnya Ekosistem pesisir dan laut lain yang tidak kalah rusaknya adalah mangrove dan lamun. Kondisi mangrove di P. Panggang dan P. Pramuka sudah sangat kritis bahkan keberadaannya sudah tidak ada lagi kecuali sedikit terdapat di P. Pramuka. Secara umum kondisi mangrove yang tersedia baru berupa bibit dan anakan. Habitat mangrove telah rusak sehingga saat ini baru memulai kembali untuk menanam mangrove. Pramuka.
Bibit mangrove dapat terlihat di P. Panggang dan P.
Demikian halnya dengan lamun yang berasosiasi dengan terumbu
karang dan mangrove. Lamun biasa menjadi habitat udang dan kerang-kerangan. Masyarakat P. Panggang biasa melakukan penangkapan udang di ekosistem lamun.
Namun seiring dengan tingginya kerusakan terumbu karang dan
mangrove, maka kondisi lamun juga sangat terbatas. Lamun biasa banyak terlihat agak lebat pada lokasi yang berdekatan dengan terumbu karang. Habitat lamun di P. Pramuka terlihat lebih lebat dibandingkan dengan P. Panggang. •
Kualitas ekosistem pesisir dan laut menurun Kerusakan terumbu karang, akibat penangkapan ikan dengan alat tangkap
terlarang (potasium), pengambilan ikan hias yang tidak diikuti dengan rehabilitasi terumbu karang, kerusakan lamun akibat kerusakan terumbu karang dan ekosistem pantai lainnya menyebabkan berkuragnya kualitas ekosistem pesisir dan laut. Selain itu perdagangan karang yang sejatinya lebih diprioritaskan untuk
235
rehabilitasi terumbu karang justru lebih dominan pada aktivitas perdagangan karang.
Hal itu menjadikan kualitas ekosistem pesisir dan terumbu karang
khususnya di P. Panggang dan Pramuka penutupannya mayoritas buruk-sedang. •
Eksploitasi sumber daya pesisir dan laut secara berlebihan Aktivitas penangkapan diluar batas potensi lestari, penggunaan alat
tangkap yang menggerus seperti trawl, pembatasan hasil tangkapan dan tidak adanya selektifitas dalam menangkap ikan, intensitas yang tinggi alam menangkap, penggunaan alat tangkap terlarang seperti trawl dan modifikasinya (arad, jaring hela, dogol) dan alat tangkap destruktif lain seperti muoroami menjadikan kualitas sumberdaya pesisir menurun dan penurunan produksi hasil perikanan. Penurunan produksi disebabkan karena semakin tinggi kerusakan ekosistem pesisir dan laut seperti terumbu karang, mangrove dan lamun. Kerusakan ekosistem tersebut mempengaruhi ketersediaan sumber daya ikan sehingga juga mempengaruhi produktifitas perikanan. •
Kerentanan usaha nelayan Faktor lain yang menyebabkan turunnya produksi perikanan adalah
beroperasi armada tangkap yang menggunakan alat tangkap terlarang di perairan Kepulauan Seribu yang berasal dari luar P. Seribu. Alat tangkap tersebut disebut arad yang merupakan salah bentuk modifikasi dari trawl yang jelas-jelas dilarang pemerintah. Masyarakat melihat kurangnya ketegasan hukum untuk menindak pelaku. Bahkan masyarakat melihat seperti terjadi upaya pembiaran terhadap beroperasinya alat tangkap tersebut dan penuh aroma perselingkuhan antara pelaku dan aparat keamanan. Disamping faktor-faktor tersebut, usaha nelayan dan perikanan merupakan usaha yang penuh dengan resiko dan tergantung kepada musim. Usaha nelayan yang beresiko ditambah naiknya BBM yang berkontribusi besar pada biaya operasional nelayan, itambah tidak adanya upaya penegakan hukum terhadap pelaku armada arad, menyebabkan nelayan terjepit dan rentan terhadap kemiskinan kronis
236
•
Akses terhadap sumberdaya pesisir dan laut semakin terjangkau Aksesibilitas meningkat baik secara fisik (teknologi, jalur transportasi,
pasar dan permodalan) maupun kelembagaan (birokrasi perijinan, pengakuan atas hak milik oleh UU). Hal ini dapat menyebabkan perubahan kualitas lingkungan pesisir dan laut. Pada aras yang lebih tinggi rendahnya lingkungan alam disebabkan karena adanya faktor eskternal seperti strategi pengelolaan SDPL yang kurang tepat, ketergantungan yang tinggi terhadap pasar, aktivitas kompradorisasi dan rent seeking serta adanya perundang-undangan yang bias kepentingan pemodal dan tidak berpihak kepada kesejahteraan nelayan tradisional. Strategi pengelolaan SDPL selama ini lebih banyak menekan pada pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan pariwisata bahari. Mobilisasi investasi melalui pariwisata bahari hanya akan melahirkan ekslusifitas bagi pengelola dan menutup akses masyarakat terhadap SDPL yang dulunya merupakan barang publik menjadi terbatas dan privat. Pola investasi ini sejalan dengan anjuran nurske (1952) yang menganggap bahwa kemiskinan dan stagnasi disebabkan karena rendahnya pendapatan per kapita dan tabungan.
Untuk
menghindari dua hal tersebut, dua langkah bisa dilakukan secara serentak yaitu tindakan untuk merangsang investasi dan memobilisasi dana investasi. Namun, Robinson (1959) menganggap bahwa kaum Neoklasik dan Keynesian tidak mempersoalkan kandungan suatu investasi ditinjau dari perspektif sosial. Akhirnya terjadilah sistem produksi yang banyak memproduksi barang-barang mewah. Investasi untuk membiayai barang-barang mewah ini akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tingkat persediaan barang modal untuk tujuan reproduksi dan akumulasi modal. Sejalan dengan pola investasi yang bersifat kapitalistik, instrumen lain yang menyebabkan degradasi sumber daya alam. Bagi Singer maupun Robinson, perdagangan
bebas
hanya
akan
mengakibatkan
negara-negara
berkembang/pinggiran memproduksi dan mengekspor bahan mentah dan konsumen,
sedangkan
negara-negara
maju
atau
negara-negara
pusat,
memproduksi produk-produk manufaktur. Dalam ekonomi pasar, pemanfaatan SDA adalah memaksimalkan keuntungan dan akumulasi kapital.
Permintaan
237
terhadap SDA dipaksakan sesuai dengan kebutuhan pasar. Orientasi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah yang tinggi hanya menghitung aktivitas-aktivitas yang terjadi melalui mekanisme pasar, tidak peduli apakah aktivitas tersebut produktif, non-produktif atau justri destruktif. Kerusakan SDA akibat penetrasi pasar yang tinggi mengakibatkan kelangkaan bagi SDA yang sebetulnya bermanfaat bagi stabilitas ekologi dan menciptakan bentuk-bentuk kemiskinan baru.
Fenomena perdagangan ikan hias dan karang yang cukup tinggi di
Kepulauan Seribu dapat menerangkan betapa kemiskinan senantiasa melekat pada nelayan ikan hias namun justru akumulasi kesejahteraan didapatkan oleh pengusaha ikan hias atau pendagang pengumpul. Demikian halnya yang terjadi dalam perdagangan terumbu karang. Pengambilan karang dan upaya budidaya karang yang sejatinya ditujukan untuk menjamin kelestarian lingkungan laut, justru dialihkan pada pemenuhan kebutuhan pasar internasional. Upaya budidaya karang tidak berkorelasi positif dengan tingkat pemulihan ekosistem terumbu karang. Rendahnya lingkungan alam juga disebabkan karena pola tingkah laku elite penguasa yang berkolaborasi dengan pemilik modal dalam melakukan ekploitasi terhadap SDA. Santos (1976) menyebutkan bahwa elit penguasa yang mengambil keuntungan dari pola kolaborasi dengan pemilik modal harus bertanggungjawab terhadap timbulnya proses ekploitasi yang luas dan dalam terhadap
masyarakat
miskin.
Bagi
Santos
(1976),
kemiskinan
dan
keterbelakangan negara miskin tidaklah selalu ditentukan karena ”faktor luar” tetapi juga harus melihat ”faktor dalam” di negara-negara miskin.
Cardoso
menyebut kalangan elite yang dominan ini sebagai kelompok komprador. Komprador birokrat inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis, kekuatan modal dalam mengekploitasi SDA. Perilaku komprador ataupun maraknya rent seeking activity dalam pemanfaatan SDA tidak hanya dilakukan dalam pengelolaan SDA secara teknis baik melalui investasi maupun akses teknologi, tetapi juga masuk melalui kebijakan dan perundang-undangan. Kekuatan modal yang berkolaborasi dengan birokrasi komprador berperan dalam mengatur pasal-pasal dan point-point yang terkait dengan penguasaan SDA. Beberapa perundangan di bidang perikanan
238
setidaknya menggambarkan fenomena hal itu seperti UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan dan UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Sebagai contoh pasal tentang Hak pengelolaan perairan pesisir (HP3) dalam UU No.27/2007 merupakan bentuk privatisasi sumber daya pesisir dan laut yang hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal.
HP3 secara teknis memang
menjelaskan status kepemilikan SDPL sekaligus melahirkan ekslusifitas terhadap lahan yang tadinya bernilai publik menjadi komoditas. HP3 hanya akan dipenuhi oleh kekuatan modal dan sebagai konsekwensinya masyarakat tidak bisa secara leluasa mengakses sumber daya di dalam dan sekitarnya karena statusnya sudah menjadi privat property. Keterbatasan akses terhadap SDPL dapat mengakibatkan aksi pengrusakan terhadap SDA sekaligus mengurangi nilai produksi hasil perikanan. Akibat penurunan produksi, pendapatan dan kesejahteraan nelayan tradisional khususnya juga menurun.
2)
Rendahnya lingkungan ekonomi
Alasan rendahnya lingkungan ekonomi Masyarakat di P. Panggang dan P. Pramuka sangat menggantungkan hidupnya pada laut dan sumber daya perikanan yang berada di dalamnya. Kondisi geografis berupa pulau kecil dan dikelilingi laut menjadikan tidak adanya banyak pilihan dalam berprofesi. Kalaupun ada diversifikasi usaha, semuanya masih berkaitan dengan perikanan. Ketergantungan terhadap satu sumber penghasilan ini dapat menciptakan kerentanan.
Hal itulah yang menjadikan masyarakat
Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya masih terbelit dengan kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan mereka.
Selain itu, jika terjadi
kerusakan terhadap ekosistem pesisir dan laut atau adanya degradasi sumber daya ikan seperti yang belakangan banyak dikeluhkan oleh nelayan karena beroperasinya kapal-kapal trawl, menyebabkan kerentanan bagi kehidupan mereka. Rendahnya lingkungan ekonomi juga dapat disebabkan oleh faktor eksternal seperti terkonsentrasinya modal keungan, ilmu dan teknologi di Jakarta. Pola investasi dalam bentuk pariwisata bahari, perdagangan dan jasa yang berkembang di Kepulauan Seribu hanya menghasilkan hubungan yang tidak
239
seimbang. Surplus produksi yang harusnya dirasakan oleh masyarakat Kepulauan Seribu, faktanya justru hampir semuanya masuk ke Jakarta. Permintaan barang dan pasar yang luas di Jakarta juga mendorong masyarakat untuk memenuhi dan berperilaku konsumtif. Fakta rendahnya lingkungan ekonomi tersebut tergambar dari tingginya angka kemiskinan di Kepulauan Seribu, parahnya tingkat kemiskinan, nilai IPM yang masih jauh tertinggal dari Jakarta dan pendapatan rata-rata masyarakat yang masih rendah. Degradasi sumber daya pesisir dan laut pada satu sisi, keterbatasan lahan pada sisi lain serta padatanya penduduk, mendorong tingkat kebutuhan akan pangan dan sandang yang tinggi.
Kebutuhan akan pangan didapat dengan
mendatangkan dari Jakarta dan Kepulauan Seribu menjadi masyarakat yang netimportir terhadap barang pokok. Bahkan ironisnya untuk kebutuhan akan ikanikan ekonomi penting, masyarakat Kepulauan Seribu juga harus datang ke Jakarta. Pasokan ikan dari perairan Kepulauan Seribu mayoritas dimanfaatkan setidaknya oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sedangkan masyarakat Kepulauan Seribu sendiri hanya untuk kebutuhan pangan yang tidak lebih dari separuhnya.
Isu dan permasalahan yang muncul •
Jumlah sumber penghasilan meningkat Mayoritas responden yang diwawancarai dalam survey mengatakan bahwa
mereka memiliki lebih banyak peluang penghasilan baru dibandingkan 5 tahun yang lalu.
Beberapa pekerjaan baru tercipta seiring dengan pembentukan
Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten baru di wilayah DKI Jakarta. Meskipun sebagian masyarakat juga mengeluhkan bahwa kondisi ekonomi mereka lebih buruk ketika Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten dan tidak jarang penduduk yang menginginkan kembali kepada kondisi semula yaitu hanya setingkat kelurahan. •
Lingkungan bisnis meningkat Seiring dengan terbentuknya Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten baru,
pemerintah daerah bergiat untuk mempromosikan Pulau Seribu termasuk menjadikan Pulau Seribu sebagai kawasan pariwisata bahari. Hal ini mendorong kemunculan investor di bidang pariwisata. Masuknya jumlah wisatawan yang
240
memanfaatkan
keindahan
laut,
meningkatnya
sarana
prasarana
umum,
perkantoran dan semakin tingginya kebutuhan akan sektor jasa menjadikan peluang baru bagi masyarakat Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya. •
Pengenalan terhadap pasar meningkat Dengan semakin banyak alternatif usaha dan bisnis, masuknya investasi
dan tingginya lalu lintas perdagangan, menyebabkan masyarakat lebih intensif mengenal pasar.
Keterlibatan yang besar di pasar telah meningkatkan
ketergantungan mereka terhadap pasar dan mengurangi tingkat swasembada terhadap hasil perikanan •
Terbatasnya akses pembiayaan Kedekatan wilayah dengan DKI Jakarta yang dipenuhi oleh berbagai
sarana perbankan dan lembaga keuangan memberikan berbagai skim permodalan bagi ekonomi mikro. Sektor perikanan yang selama ini jarang mendapatkan akses perbankan, mulai dilirik oleh perbankan. Ditambah dengan adanya kebijakan pemerintah melalui program PEMP, dapat memenuhi kebutuhan permodalan usaha masyarakat. Namun demikian, program PEMP ini belum terasa sampai di Kelurahan P. Panggang. Bagi nelayan faktor modal dan pembiayaan usaha merupakan salah satu kendala pokok bagi keberlanjutan usaha.
Keterbatasan terhadap akses
pembiayaan mendorong berlakunya pola hubungan yang tidak seimbang dan ekplitatif yang sudah tertanam lama di lingkungan masyarakat pesisir yaitu dengan para tengkulak. Tengkulak memberikan permodalan usaha dan biaya operasional lain. Tengkulak ini dapat berupa para bakul ikan maupun nelayan skala besar. Pola hubungan yang biasa terjadi adalah antara buruh nelayan dan juragan (nelayan pemilik/besar) atau antara nelayan kecil dan bakul ikan. •
Ketergantungan terhadap pasar dan perdagangan bebas Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar terlihat pada kegiatan
perdagangan ikan karang, ikan hias dan perdagangan karang hidup.
Ketiga
perdagangan ikan dan karang ini bukan hanya untuk mensuplai daerah Jakarta saja tetapi
juga
memenuhi
kebutuhan
pasar
nasional
dan
bahkan
ekspor
241
(internasional).
Perdagangan ikan karang ekonomi berkualitas ekspor seperti
kerapu, kakap, baronang dan ikan karang lainnya. Tujuan ekspor antara lain negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Sedangkan untuk ikan hias banyak diekspor ke Amerika, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Perdagangan lain yang paling membahayakan bagi kelestarian ekosistem sumber daya pesisir adalah karang hidup. Degradasi ekosistem terumbu karang mendorong munculnya aktivitas budidaya terumbu karang melalui transplantasi karang. Namun faktanya kegiatan ini justru sebagian kegiatan disponsori oleh para pengusaha yang memanfaatkan nelayan sebagai klien nya. Karang yang mulai hidup sebagian di tebar kembali ke lingkungan laut, namun tidak sedikit yang diambil untuk dijual kembali, khususnya yang sudah berukuran F2. Namun nelayan hanya sebagai pemelihara dan pembudidaya, sehingga keuntungan yang diterimapun tidak terlalu besar.
Keuntungan terbesar justru dinikmati oleh
pengusaha yang memberikan modal usaha dan menguasai pasar perdagangan karang hidup. Transaksi ini bukan hanya mendorong ketergantungan terhadap pasar, tetapi juga memperlambat kelestarian ekosistem terumbu karang. Dalam aras makro, penyebab rendahnya lingkungan ekonomi adalah karena keterbatasan akses terhadap SDPL, kekurangan gizi sebagai akibat rendahnya pendapatan, privatisasi lahan akibat previlage pemerintah pada kekuatan modal dan pola investasi kapitalistik. Privatisasi lahan dan investasi kapitalistik muncul dalam kegiatan pariwisata bahari maupun pengelolaan kawasan PPK untuk kegiatan industri dan lainnya. Privatisasi lahan membatasi ruang akses masyarakat pesisir dan nelayan tradisional khususnya dalam memanfaatkan SDPL. Keterbatasan akses bukan hanya menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang dapat dilakukan melalui aktivitas destruktif karena keterdesakannya, namun sekaligus mengurangi tingkat produktifitas
perikanan.
Penurunan
produktifitas
akan
berujung
pada
berkurangnya pendapatan nelayan tradisional dan pada gilirannya dapat mengakibatkan menurunnya gizi karena upaya untuk membeli tidak bisa terjangkau dengan baik.
242
3)
Rendahnya lingkungan sosial
Alasan rendahnya lingkungan sosial Rendahnya lingkungan sosial ditandai oleh adanya potensi konflik sosial yang dipicu oleh nelayan dari luar Kepulauan Seribu yang menangkap di wilayah perairan Kepulauan Seribu dengan menggunakan alat tangkap terlarang berupa arat yang merupakan modifikasi dari trawl. Beroperasi alat tangkap tersebut mengakibatkan hasil tangkapan nelayan P. Panggang dan P. Pramuka serta Kepulauan Seribu umumnya mengalami penurunan khususnya bagi nelayan tradisional. Akses terhadap teknologi merupakan salah satu alasan yang dapat membenarkan fakta tersebut. Kerusakan sumber daya pesisir adalah indikasi yang lain dari penurunan produktifitas nelayan yang salah satunya disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat akan fungsi ekosistem. Rendahnya SDM diduga karena keterbatasan akses pendidikan yang ditandai oleh minimnya sarana pendidikan di Kelurahan P. Panggang. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk Kelurahan P. Panggang rata-rata hanya sampai SD dan bahkan masih banyak yang tidak sekolah.
Meskipun belakangan kesadaran untuk menyekolahkan anak cukup
tinggi. Rendahnya SDM manusia mempengaruhi juga perilaku masyarakat yang cenderung apatis, malas, boros dan kurang kreatif. rendah
dalam
pelaksanaan
pembangunan.
Inisiatif masyarakat juga
Keterbatasan
SDM
tersebut
mengakibatkan rendahnya akses terhadap pengambilan keputusan di Desa.
Isu dan permasalahan yang muncul •
Rendahnya sumber daya manusia Pembangunan yang tidak sesuai dianggap oleh masyarakat sebagai
penyebab terjadinya ketidaksesuaian kapasitas
manusia terutama
dalam
pembangunan sarana pendidikan. Pemerintah juga kurang menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai dan sarana transportasi untuk memperlancar arus belajar mengajar di Kepulauan Seribu. Terjadinya kerusakan sumber daya pesisir juga disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat terhadap fungsi ekosistem serta menimbulkan perilaku negatif karena karakter berpikirnya belum terbangun dengan baik.
243
Ketidaktahuan masyarakat akan fungsi ekosistem telah menimbulkan dampak negatif berupa aktivitas pengrusakan dalam operasi penangkapan khususnya dalam penangkapan ikan karang.
Parahnya pemerintah juga tidak
memberikan penyadaran yang intensif, penyuluhan dan pelatihan bagi masyarakat sehingga kesadarannya terbangun dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (SDPL). •
Pola hubungan ekploitatif di lingkungan nelayan Hubungan dengan tengkulak merupakan pola lama yang sudah
membudaya di kalangan masyarakat pesisir.
Hubungan yang saling
membutuhkan tersebut biasanya banyak terjadi dalam hal pembiayaan usaha, pemasaran hasil dan pengadaan sarana. Keterbatasan akses yang dimiliki oleh buruh atau nelayan kecil menjadikan mereka harus berhubungan dengan para juragan dan baku dalam pola hubungan kerja yang tidak berimbang. Mekanisme pembagian hasi dalam hubungan antara juragan dan buruh nelayan senantiasa menempatkan buruh pada bagian terendah dan hasil yang minim. Kelemahan dalam permodalan, sarana operasional dan pasar menjadi alat bagi juragan untuk terus mengekploitasi buruh. Demikian juga antara nelayan kecil dengan bakul. Bakul mempunyai akses pasar dan modal, sedangkan nelayan kecil biasanya direpotkan oleh kedua hal tersebut. Nelayan yang mendapatkan bantuan modal dari bakul harus menjual hasil tangkapan ke bakul tersebut yang kadang tidak sesuai dengan harga pasaran. Lemahnya bargaining position buruh dan nelayan kecil seperti itu yang terus menjadikan buruh nelayan dan nelayan kecil senantiasa terjebak dalam jerat kemiskinan. Pola hubungan tersebut di Kelurahan P. Panggang dapat selain pada kedua kelompok di atas, juga dapat diperhatikan pada hubungan antara nelayan ikan hias dengan pedagang ikan hias, antara pembudidaya kerapu dengan pengusaha pemodal/bakul.
Pada kegiatan pengolahan hasil perikanan, interaksi tersebut
cenderung sedikit karena memang pelaku usahanya juga tidak terlalu banyak. •
Perilaku individu masyarakat Di P. Panggang perilaku masyarakat masih belum menunjukkan sikap
yang konstruktif. Beberapa perilaku negatif yang kerap kali muncul adalah malas, egois, tidak saling percaya, kurang percaya diri, apatis, konsumtif, kurang
244
inisiatif, kurang kompak, kurang kesadaran, pragmatis, perbedaan pandangan, tidak mau tahu dan tidak mandiri. Hal ini menurut Baihaqie (2004) disebabkan karena pendekatan pemerintan yang sentralistik dan top-down dalam pelaksanaan pembangunan selama ini. Pola pembangunan yang ada tidak banyak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak memilik tanggung jawab yang besar dalam memelihara sarana pembangunan yang telah dibangun. Hal ini berakibat kepada banyaknya sarana pembangunan yang tidak fungsional. Aktivitas pengrusakan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai dampak dari perilaku negatif ini juga diawali dari apatisme masyarakat terhadap pelaksana pemerintah dan aparat hukum yang kurang tegas dan keteladanan dalam pengelolaan SDPL. •
Konflik sosial masyarakat Konflik sosial biasanya terjadi baik dengan sesama warga maupun dengan
warga lain. Namun menurut hasil survey, tingkat konflik dengan sesama warga sangat kecil terjadi di P. Panggang dan P. Pramuka. Potensi konflik sesama warga ini kadang-kadang bisa terjadi dengan dipicu oleh pendekatan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan yang kurang tepat. Pemerintah seringkali hanya melibatkan tokoh masyarakat dan kelompok warga tertentu dalam pelaksanaan proyek pembangunan. Hal itu kadang mendorong munculnya sikap iri hati pada kelompok lainnya. Potensi gesekan konfliknya untungnya tidak sampai menjadi manifest konflik, namun jika dibiarkan terus pola pembangunan berjalan seperti itu, bukan tidak mungkin akan menjadi konflik sosial sesama warga. Konflik yang potensial muncul justru terjadi dengan warga daerah lain yang
melakukan
aktivitas
penangkapan
menggunakan alat tangkap terlarang.
di
Kepulauan
Seribu
dengan
Meskipun juga belum pernah menjalar
menjadi konflik fisik, jika aparat tidak mengambil tindakan tegas dan pemerintah tidak melakukan pengawasan dengan baik, bukan tidak mungkin akan menjalar menjadi manifest konflik. Konflik yang disebabkan karena modernisasi perikanan ini terkait dengan terbatasnya akses terhadap pemanfaatan sumber daya oleh nelayan tradisional dan nelayan kecil lain karena akses teknologi yang lebih
245
rendah dibandingkan dengan nelayan besar/nelayan pengguna alat tangkap terlarang tersebut (arad). •
Gotong royong untuk kepentingan umum mulai menurun Meskipun dalam hasil survey menunjukkan bahwa tingkat tolong
menolong dan saling percaya masih tinggi di P. Panggang dan Pramuka, tetapi masyarakat merasa sulit menggalang tindakan bersama tanpa imbal-imbal materi/upah. Kondisi ini bisa jadi dipicu oleh semakin tinggi tingkat kebutuhan masyarakat dan pola hidup konsumtif yang dipengaruhi oleh kondisi di ibu kota Jakarta. Dalam aras makro, rendahnya lingkungan sosial disebabkan oleh beberapa faktor antara lain menguatnya budaya negatif dan gaya hidup konsumtifindividualis, policy bias dan perdagangan bebas. Perilaku negatif masyarakat dapat disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan longgarnya tatanan sosial dalam masyarakat. Rendahnya SDM dalam doktrin teori liberal merupakan penyebab kemiskinan. Namun dalam kasus P. Panggang dan P. Pramuka, mereka menganggap bahwa perilaku negatif yang berujung pada pengrusakan SDPL disebabkan karena kurangnya pelayanan pemerintah, keterdesakan akibat beroperasinya kapal-kapal modern, lemahnya penegakan hukum dan tiadanya keteladanan pemerintah dalam pemeliharaan SDPL.
4)
Rendahnya Lingkungan Politik
Alasan rendahnya lingkungan politik Rendahnya lingkungan politik bisa jadi disebabkan oleh beberapa hal konflik sosial dengan pendatang dalam pemanfaatan sumber daya ikan dan keterlibatan para pemimpin mereka dalam proyek-proyek pemerintah. Konflik dengan pendatang berasal dari beroperasinya nelayan luar Kepulauan Seribu yang melakukan aktivitas penangkapan dengan alat tangkap terlarang (trawl) yang jelas-jelas dilarang dan merusak lingkungan. Sifat alat tangkap yang menggerus seluruh ikan di dasar dan permukaan menyebabkan menurunnya hasil tangkapan nelayan-nelayan
kecil/tradisional.
Disamping
itu
keterlibatan
para
pemimpin/aparat desa dalam tender-tender pemerintah yang menyebabkan adanya kecurigaan
masyarakat
karena
ketidak
beresan
dalam
pelaksanaan
246
pembangunan/program.
Kurangnya transparansi di kalangan masyarakat dan
semakin terbukanya akses informasi menjadikan masyarakat lebih peka dan kritis dalam menghadapai para pemimpin/aparat desa yang melanggar.
Isu dan permasalahan yang muncul •
Konflik pemanfaatan sumber daya alam Konflik biasanya terjadi terkait dengan sumber daya yang sebelumnya
bebas diakses sebagai milik bersama tetapi sekarang menjadi komoditas (seperti ekosistem terumbu karang). Lingkungan sosial dan lingkungan alam berkorelasi positif. Semakin terdegradasi lingkungan alam, tingkat kohesi sosial semakin rendah dan potensi konflik cukup besar. Hal ini cukup wajar, mengingat banyak konflik yang dipicu sumber daya alam terjadi di kawasan dengan lingkungan alam yang kritis. Konflik perebutan sumber daya PL di Kepulauan Seribu dipicu juga karena keterbatasan akses pemanfaatan yang disebabkan karena penggunaan teknologi penangkapan yang tidak berimbang. Itulah yang terjadi umpamanya antara nelayan tradisional dengan nelayan yang memiliki teknologi tangkap yang lebih modern seperti kapal arad, mouroami dan jaring payang. Meskipun faktanya gesekan yang berpotensi konflik itu lebih banyak disebabkan oleh beroperasinya armada tangakap arad dengan nelayan tradisional. Masyarakat mengaku setalah armada tangkap tersebut banyak beroperasi, jumlah hasil tangkapan ikan nelayan P. Panggang dan P. Pramuka makin berkurang. Anehnya meskipun dimasukkan dalam kategori alat tangkap terlarang, aparat hukum yang mengetahui hal tersebut tetap tidak bisa berbuat apa-apa dan bahkan ada kesan pembiaran. Tidak jelasnya definisi trawl dan tegasnya aparat hukum menjadi alasan bagi nelayan-nelayan arat untuk tetap beroperasi di wilayah Kepulauan Seribu. •
Hubungan dengan pemerintah daerah meningkat Sejalan dengan perubahan status Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten,
mendekatkan masyarakat kepada pelayanan pemerintah. Secara umum menurut masyarakat, komitmen, kebijakan dan pelayanan informasi dari pemerintah daerah cukup baik. Akses terhadap pemerintah juga lebih baik mengingat P. Pramuka merupakan pusat ibu kota Kabupaten Kepulauan Seribu. Sehingga semua aktivitas
247
pemerintahan Kepulauan Seribu lebih banyak berada di P. Pramuka. Hal ini sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat P. Pramuka dan P. Panggang yang mempunyai jarak terdekat dari P. Pramuka, disamping makin meningkatnya akses terhadap layanan pemerintah. •
Tingkat pengetahuan dan kekritisan masyarakat meningkat Perubahan status menjadi Kabupaten dengan pusat ibu kota di P. Pramuka,
menjadikan wilayah ini sebagai pusat informasi Kepulauan Seribu.
Hal ini
mendorong masyarakat di P. Pramuka khususnya dan Kelurahan P. Panggang umumnya lebih terbuka terhadap masuknya perubahan dan lebih mudah dalam mengakses berbagai informasi lebih dari satu sumber. Meskipun masih dirasa masih minim sumber informasi seperti ketersediaan koran lokal, akses internet dan telpon rumah, namun masyarakat kelurahan P. Panggang terlihat lebih kritis dan lebih tinggi kualitas SDM nya di bandingkan dengan masyartakat pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu. •
Akses terhadap sumber daya terbatas Terbatasnya akses terhadap pemanfaatan sumber daya PL bisa disebabkan
oleh banyak faktor seperti teknologi, modal, pasar dan informasi. Realitas ini terjadi di P. Panggang dan P. Pramuka dalam bentuk menurunnya produktifitas nelayan kecil/tradisional karena beroperasinya kapal-kapal dengan teknologi penangkapan yang lebih maju. Nelayan pengguna jaring payang, muoroami dan purse seine dengan kecanggihan teknologinya bisa mendapatkan hasil tangkapan yang lebih besar. Selain itu perahu yang digunakan antara kapal motor dengan perahu motor tempel, juga berpengaruh terhadap akses pemanfaatan sumber daya PL. Keterbatasan akses terhadap SDPL juga bisa dipicu karena ketiadaan modal dan pasar. Minimnya modal bagi nelayan kecil, tidak mempunyai akses terhadap pembeli, dan informasi harga ikan yang dimainkan oleh kelompok bakul, menjadikan ketergantungan yang terus menerus dalam hubungan yang ekploitatif antara nelayan kecil dengan baku atau antara buruh nelayan dengan juragan.
248
•
Kebijakan pemerintah yang bias (policy bias)
Pemerintah tidak/kurang melayani Masyarakat P. Panggang merasakan bahwa meskipun telah terjadi perubahan status Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten Administratif, perilaku pemerintah sebagai abdi masyarakat belum terlihat.
Masyarakat melihat
pemerintah kurang memberikan penyuluhan, pemerintah sepertinya tidak mau tahu kebutuhan masyarakat, pemerintah kurang membantu pembiayaan usaha, terlihat kurang koordinasi, kurang komunikasi, tidak transparan dalam pelaksanaan pembangunan dan kurang perhatian. Baihaqie (2004) menyatakan bahwa hal itu terjadi karena ketertutupan pemerintah terhadap masyarakat dan tidak adanya keteladanan pemerintah di mata masyarakat. Disamping itu ekslusifitas pemerintah dan profesinya sebagai PNS menjadikan mereka berjarak dengan masyarakat dan merasa profesi lebih baik dari masyarakat umumnya. Pembangunan tidak sesuai Masyarakat P. Panggang melihat pembangunan sarana dan prasarana yang selama ini ada tidak bisa dioperasionalkan dengan baik. Sarana yang dibangun menjadi terbengkalai dan tidak berfungsi untuk pelayanan sebagaimana mestinya. Pendekatan pembangunan yang selama ini berjalan menurut masyarakat masih berisfat fisik dan inisiatif dari pemerintah, masyarakat jarang/tidak pernah dilibatkan.
Sehingga seringkali terjadi pembangunan sarana yang sebetulnya
tidak dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan sarana yang dibutuhkan justru tidak terbangun. Masyarakat menilai banyak terjadi pemborosan biaya pembangunan karena pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak memperhatikan kondisi ekosistem. Baihaqie (2004) menemukan pembangunan sarana yang menggunakan terumbu karang sebagai pondasi dan konversi lahan terbuka menjadi lahan bangunan, banyak sarana rusak dan tidak terawat karena tidak memperhatikan perilaku masyarakat setempat. Kepadatan jumlah penduduk Kepadatan penduduk menyebabkan tingkat kenyamanan dan kualitas hidup berkurang. Luas P. Panggang yang hanya ± 9 Ha dengan jumlah penduduk saat ini mencapai 5481 jiwa, menjadikan kondisi bangunan rumah berdesakdesakan, sempit dan rapat.
Keterbatasan lahan pada satu sisi dan jumlah
249
penduduk yang tinggi pada sisi lain, menjadikan daya tampung P. Panggang sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai tempat tinggal.
Harusnya
pemerintah peka terhadap masalah ini dengan mengoptimalkan padatnya penduduk dengan program-program pemberdayaan masyarakat, pelibatan masyarakat dalam pembangunan sarana (padat karya), fasilitasi pengembangan usaha, pelatihan bagi generasi mudanya dan mengupayakan relokasi penduduk ke pulau lain yang sejenis. Namun pemerintah terlihat kurang berupaya maksimal dalam menyikapi permasalahan kepadatan penduduk di P. Panggang. Penegakan hukum yang lemah Lemahnya penegakan hukum menurut masyarakat karena ketidaktegasan aparat dalam menindak setiap pelanggaran. Bahkan menurut Baihaqie (2004) ada upaya menutupi karena banyak terjadi pelanggaran hukum oleh berbagai pihak terutama dalam pemanfaatan ekosistem pesisir seperti pemanfaatan terumbu karang sebagai bahan bangunan, penggunaan alat tangkap terlarang dalam menangkap dan penuh dengan aroma korupsi pada setiap pelanggar yang ditindak. Akhirnya tidak muncul rasa takut apalagi bertanggungjawab terhadap kelestarian ekosistem bagi masyarakat karena mereka menganggap setiap pelanggaran pasti akan selesai dengan cara ”damai” asal dengan persediaan materi (uang) yang cukup. Bahkan masyarakat melihat bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dilindungi oleh aparat keamanan. Kondisi seperti inilah menyebabkan terjadinya apatisme di lingkungan masyarakat dan akhirnya masyarakatpun ikut serta dalam melakukan kerusakan terhadap sumber daya pesisir dan laut. Modernisasi perikanan Modernisasi perikanan tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi alat tangkap dan armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan. Merebaknya operasi armada arat adalah salah satu contoh nyata modernisasi perikanan yang berdampak kepada semakin turunnya hasil tangkapan ikan nelayan-nelayan kecil. Begitupun antara nelayan-nelayan armada besar seperti muoroami, payang, purse seine, lampara dasar dengan nelayan pancing, bubu dan pengguna armada motor tempel, telah mengakibatkan kesenjangan dalam produktifitas perikanan. Modernisasi perikanan yang tidak diikuti oleh kebijakan pengelolaan perikanan
250
yang tegas seperti zonasi penangkapan, pemberlakuan kuota hasil tangkap dan perlindungan akses bagi nelayan kecil, berpotensi menimbulkan konflik sosial dalam pemanfaatan sumber daya. Kebijakan bias perkotaan Kebijakan yang bias perkotaan tercermin dari pengadaan sarana prasarana yang sangat terbatas di P. Panggang dan P. Pramuka. Keterbatasan tersebut masih terlihat dari minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan, pembiayaan usaha, sarana transportasi antar pulau dan mobilitas barang dan jasa. Fakta tersebut terlihat dari ketimpangan dari sisi SDM antara Kota-kota di DKI Jakarta dengan Kepulauan Seribu, angka melek huruf, angka harapan hidup dan pendapatan rata-rata. Terbukti dari parahnya tingkat kemiskinan di kepulauan Seribu dan tingginya proporsi responden miskin di Kepulauan Seribu. Kondisi geografis yang terpencil dan berupa pulau-pulau diduga sebagai penyebab terhambatnya akses pembangunan ke Kepulauan Seribu. Pola investasi wisata bahari yang ekslusif Pemerintah DKI Jakarta telah menjadikan Kabupaten Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten wisata yang mengandalkan keindahan laut sebagai modal investasi. Banyaknya pulau-pulau kecil sebagai tempat wisata dan pulau-pulau yang dimiliki oleh perorangan maupun swasta, mendorong pola kepemilikan terhadap pulau berubah dari state property menjadi private property. Apalagi setelah UU No. 27 tahun 2008 diundangkan maka kepemilikan terhadap pulau beserta sumber daya yang berada di dalamnya akan semakin dijamin. Masyarakat Kelurahan P. Panggang tidak banyak bisa mendapatkan manfaat dari adanya pariwisata tersebut karena upaya melibatkan warga dalam pengelolaan tempat wisata tersebut sangat minim. Hasil investasi kegiatan wisata maupun penyewaan bagi pulau-pulau tersebut tidak ada sama sekali yang mengalir untuk masyarakat Kepulauan Seribu. Sebaliknya mobilitas jasa dan keuntungan investasi tersebut banyak lari ke Jakarta dan elit birokrasi yang berkolaborasi dengan para pengusaha. Dalam aras makro, rendahnya lingkungan politik karena disebabkan pola pembangunan masih bersifat top-down, bias perkotaan dan konsentrasi modal di perkotaan.
Pola pembangunan top-down belum mengakomodasi sepenuhnya
251
kebutuhan masyarakat dan pemerintah senantiasa bertindak sebagai inisiatif. Banyak sarana umum yang dibangun namun pada akhirnya tidak terawat dan mudah rusak karena sarana yang ada tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Akibatnya tidak ada pertanggungjawaban dari masyarakat dan apatisme muncul berbarengan dengan kerusakan sarana tersebut. Bias perkotaan terlihat jelas dalam tingkat pendidikan dan ketersediaan fasilitas pendidikan maupun kesehatan antara Jakarta dan Kepulauan Seribu atau antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Akumulasi kemakmuran terlihat di kota dan akumulasi kemiskinan dengan jelas nampak di pedesaan. Demikian yang terlihat antara Jakarta dan Kepulauan Seribu. Kebijakan bias perkotaan tersebut berdampak posisif bagi pertumbuhan ekonomi wilayah karena padatnya aktivitas produksi di perkotaan. Hal itu menyebabkan terjadinya konsentrasi modal di Jakarta dan menarik daerah-daerah di sekelilingnya termasuk Kepulauan Seribu untuk memenuhi kebutuhan pasar dan masyarakat Jakarta. Indutrialisasi dan gaya hidup masyarakat Jakarta mendorong munculnya pemanfaatan SDA yang ekploitatif dan destruktif. Sistem produksi ekploitatif melahirkan konflik sosial antar masyarakat pesisir dalam memanfaatkan SDA.
5)
Rendahnya prasarana dan sarana
Alasan rendahnya prasarana, sarana dan pelayanan Keterbatasan sarana terlihat dari minimnya gedung sekolah khususnya pada tingkat SLTP dan SMU. Disamping itu adanya sarana kesehatan juga tidak dibarengi dengan kelengkapan fasilitas dan peralatan kesehatan.
Kondisi
Kepulauan Seribu berupa pulau menuntut adanya sarana transportasi antar pulau. Minimnya sarana transportasi mengakibatkan jarak tempuh yang cukup jauh sekitar 60 km antar pulau dan dari P. Panggang/P. Pramuka ke pusat ibu Kota menjadi semakin sulit dijangkau.
Isu dan permasalahan yang berkembang •
Keterbatasan sarana transportasi laut antar pulau Kondisi geografis Pulau Seribu yang berupa pulau-pulau kecil
membutuhkan sarana transportasi bagi setiap warganya untuk saling berhubungan
252
dengan penduduk lain di pulau yang lain.
Namun, keterbatasan sarana
transportasi antar pulau menjadikan hal itu tidak dapat dinikmati masyarakat. Akibatnya kepentingan masyarakat sering terhambat, usaha tidak lancar, pendidikan tidak berjalan efektif karena lokasi sarana pendidikan yang jauh dan akses terbatas, dan seringkali menyebabkan kematian bagi penduduk yang sakit parah dan tidak bisa berobat karena keterbatasan sarana transportasi. Keterbatasan sarana transportasi ini harusnya bisa diatasi oleh pemerintah dengan penyediaan sarana, namun yang ada lagi-lagi justru sarana yang terbangun tidak banyak dibutuhkan masyarakat. Sarana- sarana transportasi yang ada banyak dimiliki oleh swasta dan perorangan dengan biaya sewa/ongkos yang bervariasi tergantung tujuan. •
Pemeliharaan fasilitas umum menurun Banyak sarana-sarana umum setalah dibangun tidak terawat dengan baik.
Contohnya WC umum yang terdapat di P. Panggang, TPI yang hanya melayani transaksi ikan-ikan skala kecil dan sarana umum lainnya. Meskipun harus diakui bahwa pemerintah telah membangun banyak sarana umum yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Perubahan status menjadi Kabupaten telah
mendorong munculnya berbagai pembangunan sarana umum di P. Panggang dan P. Pramuka. •
Jumlah guru dan murid meningkat, tapi tidak dibarengi dengan sarana memadai Kenaikan jumlah guru dan murid makin meningkat, tercatat jumlah murid
SD mencapai sekitar 741 orang, SMP sebanyak 336 orang, SMU sebanyak 437 orang.
Jumlah guru juga lumayan banyak, SD/MI sebanyak 61 orang, SMP
sebanyak 27 orang, SMU sebanyak 22 orang. Namun, gedung SD hanya ada 3 unit dan 1 unit MI, SMP 1 unit dan SMU juga 1 unit. Kenaikan jumlah anak yang sekolah makin tinggi setiap tahunnya. •
Pelayanan kesehatan meningkat Pelayanan terhadap kesehatan meningkat jika dilihat dari sarana yang
tersedia.
RS 1 unit yang terdapat di P. Pramuka, puskesmas hanya 1 unit,
posyandi/BKIA sebanyak 5 unit di seluruh Kelurahan P. Panggang, merupakan
253
bentuk peningkatan program pelayanan kesehatan oleh pemerintah. Meskipun sayangnya fasilitas peralatan dan jaminan kesehatan masih sangat terbatas. Pelayanan kesehatan ini juga tercermin pada angka pengikut program KB makin besar. •
Akses listrik terbatas Menurut hasil Podes 2006 dan survei 2008, hampir semua keluarga di P.
Panggang dan P. Pramuka menggunakan listrik tapi tidak bersumber dari PLN (Non-PLN). Pemakaian listrik dilakukan dengan sistem pergiliran dan tidak bisa menyala sepanjang waktu. Jarak yang jauh dan dipisahkan dengan laut menjadi penyebab belum terpasangnya jaringan listrik dari PLN.
Akses listrik yang
terbatas mengakibatkan aktivitas masyarakat yang menggunakan listrik hanya dapat dilaksanakan di malam hari. •
Pelaksanaan proyek sering terganggu karena korupsi Masyarakat melihat adanya indikasi korupsi dan pemborosan anggaran
negara dalam proyek-proyek pemerintah. Seperti pembangunan rumah sakit yang terdapat di P. Pramuka, meskipun bangunan fisik sudah terbangun tetap kurang berfungsi optimal bagi pelayanan kesehatan karena tidak tersedianya peralatan yang memadai.
Masyarakat melihat terdapat kesalahan dalam pembangunan
sarana umum yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau dilaksanakan tapi tidak optimal. Pemborosan biaya juga terlihat pada sarana-sarana umum lain seperti WC umum yang terbangun tapi kurang terawat dan tidak terpakai lagi. Masyarakat menduga biaya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan tidak terealisasi secara maksimal sehingga kualitas bangunan rendah dan mudah rusak. •
Akses terhadap informasi meningkat Salah satu kemajuan yang dicapai pemerintah adalah fasilitasi akses
informasi. Menurut hasil survei hampir 97% masyarakat di P. Panggang dan P. Pramuka, mempunya televisi dan bisa mengakses informasi. Bahkan terdapat sekiatr 16% responden yang dapat mengakses lebih dari satu sumber informasi. Disamping penggunaan HP yang masif di kalangan masyarakat menjadi jalan keluar bagi terbukanya akses informasi dari pulau seribu ke luar.
Namun
demikian, hal itu mendorong pola konsumtif dan perubahan kebudayaan. Perilaku
254
individualis, konsumtif, materialis mulai menyerang masyarakat Kelurahan P. Panggang karena dorongan untuk tampil trendy sesuai mode menjadi ukuran pergaulan. Kurangnya pelayanan dan keterbatasan sarana tersebut disebabkan karena tata kelola pemerintahan yang jelak, perilaku korup birokrasi dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan serta faktor geografis dan lingkungan PPK yang terpencil dan berjauhan satu sama lain. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir Kelurahan P. Panggang tidak semata disebabkan karena kerusakan sumber daya pesisir dan laut meskipun hal itu mendempati proporsi masalah terbesar.
Namun, kebijakan
pemerintah yang kurang tepat dan faktor eksternal seperti perdagangan bebas, pola investasi kapitalistik, pemberian hak istiewa yang melahirkan privatisasi lahan PPK, merupakan penyebab-penyebab lain rendahnya kesejahteraan masyarakat pesisir. Masalah utamanya menurut pengakuan masyarakat pesisir adalah karena kurangnya pelayanan pemerintah atau bisa disebut karena banyaknya kebijakan dalam pengelolaan SDPL dan penanggulangan kemiskinan, kurang tepat dijalankan.
Hal itu mendorong masyarakat berperilaku negatif
dengan merusak ekosistem pesisir dan laut yang berujung pada penurunan daya dukung ekologis dan lingkungan PPK. Penurunan daya dukung lingkungan dan ekologis PPK menyebabkan turunnya produktifitas nelayan yang pada gilirannya menurunkan kesejahteraan.
Gambar 14 di bawah ini menjelaskan kausalitas
penurunan kesejahteraan masyarakat pesisir di Kelurahan P. Panggang. Potret permasalahan dilihat dari aras mikro (permasalahan pokok), permasalahan pendukung dan aras makro yang merupakan permasalahan yang lebih berisifat eksternal.
255 KAPITALISME NEGARA BERKEMBANG
Perundangundangan yg bias Ketergantunga n thd pasar Kompradorisa si Strategi pengelolaan SDPL tidak tepat
Akses thd pemanfaatan SDPL terbatas Kerentanan usaha nelayan
Eksploitasi SPL berlebihan Kualitas pesisir laut & SDPL menurun
Pola investasi kapitalistik Privatisasi lahan Kekurangan gizi Keterbatasan akses
Rendahnya produktifitas masyarakat Terbatasnya akses pembiayaan Hilangnya sebagian pendapatan krn korupsi
Kurangnya diversifikasi usaha
Degradasi SDPL (TK, dll)
Ketergantungan thd pasar tinggi
Rendahnya lingkungan alam
Rendahnya lingkungan ekonomi
Mode produksi kapitalistik
Perdagangan bebas
Konsentrasi modal di perkotaan
Policy bias Pembangunan bias perkotaan Menguatnya budaya negative & pola hidup individualis
Prilaku negatif individu Konflik pemanfaatan SDPL Interaksi sosial antar warga menurun
Pola pembangunan top-down
Prilaku korup birokrasi & pemborosan biaya
Keterpencilan & faktor geografis lain
Tata kelola pemerintahan yg jelek
Gagalnya program kemiskinan
Policy bias Fragmentasi politik
Fasilitas kesehatan & tng medis terbatas
Minimnya perawatan sarana umum
Pola hubungan (patron-klien) yg eksploitatif
Konflik pemanfaatan SDPL akibat modernisasi perikanan
Fasilitas & tng pengjar pendidikan terbatas
SDM rendah krn fasilitas pendidikan tdk memadai
Akses terhadap sumber daya terbatas
Sarana transportasi antar pulau terbatas
Rendahnya lingkungan sosial
Rendahnya lingkungan politik
Kurangnya sarana dan pelayanan
TINGKAT KESEJAHTERAAN RENDAH
Gambar 14 Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Tingkat Kesejahteraan
256
Gambar 14 menjelaskan hirarki permasalahan dari tingkatan terendah sampai yang tertinggi. Permasalahan terendah merupakan permasalahan pokok yang lebih bersifat teknis dan internal. Permasalahan pokok ini dijelaskan dengan melihat rendahnya lingkungan kontekstual yang dapat menjadi jalan keluar dari kemiskinan. Perbaikan lingkungan kontekstual setidaknya menjadi pintu masuk bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional khususnya.
Perbaikan
lingkungan
alam
menjadi
prioritas
mengingat
ketergantungan penduduk Kelurahan P. Panggang yang sangat tinggi terhadap kelestarian SDPL.
Perbaikan lingkungan alam dapat dilakukan dengan
memperbaiki kebijakan pengelolaan SDPL dan pengentasan kemiskinan. Kemiskinan juga dapat dipotong apabila ketidakadilan akibat kekuasaan dan hakhak istimewa juga dihapuskan atau setidaknya akses terhadap SDPL dapat terdistribusi secara adil.
Upaya monopolisasi harus dikurangi, elit birokrasi
bekerja sesuai tugas dan peranannya, perundang-undangan dievaluasi kembali dan masyarakat diberi ruang dan hak dalam kepemilikan lahan PPK.
Dengan
perluasan akses bagi masyarakat dalam memanfaatkan SDPL, maka kemiskinan yang menjerat nelayan tradisional mempunyai harapan untuk dientaskan. 7.2
Katerkaitan Daya Dukung dan Kesejahteraan Daya dukung suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan
masyarakat dimana terdapat ketergantungan tinggi masyarakat tersebut terhadap sumber daya ekosistem yang berada di lingkungannya. Garret Hardin (1991) mengatakan bahwa daya dukung lingkungan penting diketahui karena berkaitan dengan kualitas hidup manusia. Hardin menambahkan bahwa carrying capacity merupakan dasar bagi perhitungan populasi penduduk.
Mc Call (1995)
menambahkan bahwa daya dukung merupakan alat untuk analisis penggunaan tanah dan data populasi yang sistematis. Bagi sebagian kelompok pendukung konservasi (deep ecology) daya dukung dijadikan sebagai mekanisme untuk melindungi sumber daya alam tanpa boleh ada intervensi manusia dalam pemanfaatannya. Kelompok ini tidak jarang menggunakan kekerasan untuk menghalau upaya-upaya yang mengganggu kelestarian sumber daya alam.
Kelompok environmentalis ini sering disebut
257
sebagai kelompok totaliter.
Pendekatan lingkungan hidup yang otoriter atau
ekototaliter adalah konsep bahwa skala dan mendesaknya masalah lingkungan saat ini sudah sedemikian mendesak sehingga kepemimpinan otoriter dan teknokratis dibutuhkan. Kelompok ini sering juga disebut sebagai ecofasisme. Ecofasisme menganggap konservasi lingkungan sebagai jauh lebih penting daripada kehidupan rakyat, khususnya kehidupan rakyat miskin. Sebaliknya, sebagian kelompok memandang tetap perlu memperhatikan kelembagaan lokal dan manusia yang berada di lingkungan sumber daya tersebut. Lingkungan bukan harus diproteksi penuh tanpa ada aktivitas pemanfaatan. Kelompok ini menekankan perlunya pengetahuan lama, kearifan lokal dan warisan budaya dalam pengelolaan sumber daya. Kelompok ini sering disebut ecopopulisme.
Kelompok ini terbagi menjadi dua kekuatan besar yaitu
ecopopulisme garis keras dan garis lunak. Bagi pengusung ecopopulisme garis lunak, pengetahuan rakyat sama pentingnya dengan pengetahuan ilmiah. Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat, tokoh masyarakat, aparat desa melalui wawancara dan FGD, dapat digambarkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan rendahnya daya dukung lingkungan. Kausalitas daya dukung dan tingkat kesejahteraan dapat dilihat pada Gambar 16. Kepadatan penduduk, keterbatasan lahan, degradasi ekosistem sumber daya pesisir dan laut, perilaku negatif individu, lemahnya penegakan hukum dan kebijakan yang tidak tepat/bias. Pangkal dari semua permaasalahan di atas adalah karena kebijakan yang ada telah mengalami disorientasi dan bias.
Penurunan kesejahteraan ada yang secara
langsung disebabkan karena rendahnya daya dukung lingkungan pulau, namun dapat juga disebabkan karena faktor lain. Strategi keluar dari kemiskinan dapat memanfaatkan lingkungan pendukung yang melingkupinya seperti lingkungan alam, sosial, ekonomi dan politik. Faktor lain yang mempengaruhui kesejahteraan secara langsung adalah kurangnya sarana dan pelayanan.
Rendahnya nilai
lingkungan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang berakibat pada penurunan kesejahteraan. Rendahnya daya dukung lingkungan menimbulkan banyak faktor kelemahan. Daya dukung lingkungan pulau menyebabkan ketersediaan lahan terbatas, khususnya bagi pemukiman penduduk.
Keterbatasan lahan tersebut
258
menyebabkan pemanfaatan ruang untuk sarana umum juga terbatas. Akibatnya kepentingan publik akan terabaikan karena tidak didukung oleh sarana yang memadai.
Ketika sarana umum terbatas, kebutuhan rakyat untuk memenuhi
hajatnya juga akan terkurangi.
Hal itu dapat mengakibatkan kualitas hidup
masyarakat berkurang yang pada gilirannya mendorong peningkatan kemiskinan bagi masyarakat. Degradasi ekosistem sumber daya alam yang menyebabkan daya dukung ekologi turun menyebabkan fungsi ekosistem menurun.
Penurunan fungsi
ekosistem mengakibatkan rendahnya produktifitas masyarakat pesisir yang ketergantungannya sangat tinggi terhadap sumber daya pesisir dan lautan. Penurunan produktifitas menurunkan pendapatan dan penghasilan masyarakat disamping kebutuhan akan pangan dan sandang akan mengalami kesulitan. Kepadatan penduduk yang tinggi dan tidak didukung oleh lahan yang memadai menyebabkan kenyamanan berkurang.
Hal itulah yang tergambar di Pulau
Panggang khususnya dan P. Pramuka.
Survey membuktikan bahwa 46%
responden di P. Panggang luas lantainya berukuran sekitar 80 m2 dan hanya 13% yang berukuran lebih dari 100 m2.
Dengan lahan hanya sekitar 0,62 km2 dan
jumlah penduduk tahun 2008 mencapai sekitar 5481 jiwa, dapat diperkirakan bahwa kenyamanan hidup masih jauh dari harapan. Berkurangnya kenyamanan hidup tentu berpengaruh kepada penurunan kualitas hidup yang berujung pada turunnya kondisi kesejahteraan. Penetrasi modal melalui pola-pola investasi dan permintaan eksport yang tinggi memicu terjadinya ketergantungan terhadap pasar. Strategi pertumbuhan yang diterapkan oleh birokrasi kapitalistik membuka pelebaran pasar dan akses terhadap perdagangan bebas makin tinggi dan meluas.
Masyarakat semakin
terbuka berkomunikasi dengan pasar melalui pola-pola hubungan pengusaha lokal dan masyarakat pesisir. Permintaan pasar mendorong ekstraksi besar-besaran terhadap sumber daya pesisir dan laut.
Modernisasi perikanan dan akses
tehnologi menjadi ukuran keberhasilan dalam meraih keuntungan di laut dalam bentuk produksi ikan. Pola ekstraksi berlebihan tersebut mengakibatkan kerusakan ekosistem sumber daya pesisir dan laut yang pada gilirannya menurunkan kualitas sumber daya. Globalisasi dan perdagangan bebas yang semakin intensif dapat
259
mengakibatkan kerentanan baik terhadap alam, ekonomi, sosial dan politik. Kerentanan sumber daya ini berakibat kepada kerentanan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kerusakan sumber daya pesisir dan laut, kemiskinan, kelaparan, pemanasan global dan keterbelakangan, merupakan dampak dari sistem ekonomi yang dijalankan akibat mode produksi kapitalistik. Secara historis ekploitasi terhadap sumber daya alam ini sudah dimulai era kolonialisme. Menurut Sukarno, era penjajahan gaya baru ini ditandai oleh moda produksi yang mengerikan. Hal itu ditandai dengan kasus maraknya praktek illegal fishing, jutaan tanah yang dirubah menjadi perkebunan raksasa, masifnya hutan yang dibabat dan semakin gencarnya pembangunan gedung-gedung pencakar langit. Di banyak negara sedang berkembang, ketidaksesuaian nilai dan ketidak puasan atas mekanisme produksi (ala kapitalisme) tersebut telah memperkuat
keyakinan
tentang
struktur
ketergantungan
sebagai
hasil
pembangunan berciri kapitalistik. Pola ekonomi yang mendorong Gunder Frank, Cardoso dan Santos menolak model ekonomi seperti ini menekankan kepada ekspansi kapital yang sangat sensitif melalui agensi korporasi transnasional (TNC), terbukti telah merusak tatanan sosial budaya serta sistem ekologi yang menyisakan kerusakan memprihatinkan. Ekspolitasi dan penghisapan sumber daya alam termasuk SDPL dalam mode produksi kapitalistik semata-mata dijalankan guna mendorong pertumbuhan ekonomi negara kapitalis yang dipersentasikan oleh negara maju dan industri. Mekanisme ekploitatif via proses pertukaran antar kawasan yang timpang, menurut Dharmawan (2005) diperlukan bagi tumbuhnya negara-negara pusat. Namun, ketersedian bahan mentah yang terbatas, keterbatasan akses pemanfaatan sumber daya bagi masyarakat di daerah pedesaan dan negara berkembang hanya menimbulkan kesengsaraan dan kemiskinan. Ketimpangan IPM antara Kota-Kota di DKI Jakarta dengan Kepulauan Seribu merupakan bukti ketertinggalan tersebut. Akumulasi modal yang terkonsentrasi di Jakarta sebagai pusat industri, pusat jasa dan perdagangan mengakibatkan Kepulaun Seribu terus tertinggal dibandingkan kota-kota lain di DKI Jakarta. Intensifnya perdagangan ikan hias, maraknya penangkapan ikan dengan alat tangkap terlarang, pariwisata bahari, kepemilikan pulau oleh swasta dan pribadi untuk pemenuhan kepentingan
260
industri, rekreasi dan hiburan, tidak mengakibatkan bertambahnya kesejahteraan masyarakat pesisir Pulau Seribu.
Tetapi sebaliknya, hal itu mendorong
masyarakat Kepulauan Seribu termasuk P. Panggang dan P. Pramuka, berada dalam kondisi kemiskinan. Letak geografis yang terpencil dan jauh, aksesbilitas yang terbatas dan rendahnya tingkat penduduk, semakin memiskinkan respondenresponden Kepulauan Seribu. Fakta itu salah satunya dapat dibuktikan dengan melihat jumlah perdagangan ikan hias laut. Nilai perdagangan ikan hias dunia sekitar US$ 1 miliar, dengan 10-20% merupakan ikan hias air laut. Pemasok dunia saat ini dipegang oleh sejumlah negara Asia termasuk Indonesia dan Filipina. Indonesia sendiri memasok sekitar 60% kebutuhan ikan hias dunia. Sedangkan importir terbesar adalah Amerika Serikat mencapai 25% dari total import dunia, diikuti Jepang (12%) dan Jerman (9%) (Poernomo, 2005) dalam Terangi (2007). Penangkapan ikan di Kepulauan Seribu sendiri dimulai sejak 1960-an. Total tangkapan dari Maret-September 2005 untuk seluruh jenis ikan sebesar 47.653 ekor. Tercatat sebanyak 155 jenis ikan hias telah ditangkap dalam selang waktu Maret-September 2005.
Namun jika dilihat dari fakta ekologis, persentase
penutupan pada tahun ini di Kepulauan Seribu mencapai rata-rata antara 3.3671.83%, dengan nilai rata-rata persentase penutupan karang sebesar 31.36% (kategori sedang). Disamping itu, jika melihat tingkat kesejahteraan responden di Kepulauan Seribu pada tahun 2006 tercatat sebanyak 1043 responden dari 160.480 responden di DKI Jakarta. Dilihat dari kondisi fisik rumah dan parameter kemiskinan lainnya, kebanyakan dari responden nelayan ikan hias masuk dalam kategori miskin-cukup. Perdagangan ikan hias merupakan contoh nyata aliran modal dari sumber daya Kepulauan Seribu melalui agen-agen kapitalis nasional yang banyak berpusat di Jakarta untuk memenuhi permintaan pasar Amerika. Nelayan ikan hias di Kepulauan Seribu harusnya bertambah sejahtera, tetapi faktanya para pengusaha yang mengeksport ikan hias justru yang mendapatkan banyak keuntungan. Penetrasi kapital oleh negara maju menuju negara berkembang, dari kota menuju desa, dari Jakarta menuju Kepulauan Seribu, bagi Larrain, 1989 merupakan bentuk kolonialisme baru terhadap sumber daya alam, dalam konteks
261
interaksi antar daerah maju dan daerah berkembang.
Larrain, 1989 dalam
Dharmawan (2004) menyebutkan dua faktor utama yang mendorong negara maju perlu melakukan eksploitasi sumber daya alam via kolonialisme yaitu : •
Underconsumptionism ; disebabkan prinsip akumulasi yang dianutnya sehingga masyarakat akan terus terpenjara oleh perasaan kekurangan.
•
Search for super-profits; disebabkan oleh utopia tentang the glory of economic and political power yang selalu diidamkan.
Dua dampak
penting dalam penyedotan surplus-ekonomi dari Negara/daerah pinggiran oleh Negara penjajah adalah rusaknya sendi-sendi struktur sosial masyarakat terjajah dan hancurnya lingkungan (natural capital). Tesis Larrian ini mendapatkan pembenaran jika melihat tingkat kerusakan sumber daya pesisir dan laut di kepulauan Seribu.
Persentase penutupan di
Kepulauan Seribu yang mencapai < 5 % adalah bukti kerusakan lingkungan tersebut. Demikian juga jika diperhatikan dari persentase penutupan karang keras di wilayah pengamatan Kelurahan P. Panggang yang mencapai 14,81-71,83% (2004) dan 10,84-67,56% (2005). Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang Kelurahan P. Panggang berada dalam kategori buruk-sedang. Persentase penutupan karang keras di P. Pramuka sendiri pada tahun 2005 hanya mencapai 16% (buruk). Data ini meneguhkan analisis Larrain (1989) tentang konsekwansi bagi berlangsungnya pola hubungan produksi kapitalistik ini yaitu munculnya natural resources are let underdeveloped, akibat pemanfaatan tanpa konservasi. Akibat lainnya menurut Larrain (1989) dapat mengakibatkan keterbelakangan komunitas dan bahkan dalam kondisi tertentu bisa memicu munculnya revolusi. Pengalaman perebutan kemerdekaan Indonesia merupakan contoh yang paling baik untuk menggambarkan semangat melawan kolonialisme tersebut. Moda produksi kapitalistik yang bergerak mengikuti arus jalan neoliberalisme ini juga ditandai oleh munculnya praktek privatisasi, deregulasi dan liberalisasi pasar.
Fenomena berkembangnya wisata bahari dan kepemilikan
pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu oleh swasta maupun per orangan adalah contoh nyata adanya praktek privatisasi sumber daya alam tersebut. Dari sekian banyak pulau kecil yang digunakan untuk pariwisata bahari, masyarakat di sekitar pulau tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Nelayan di sekitar tempat
262
wisata tersebut hanya dilibatkan paling-paling sebagai pengantar dengan perahu wisata atau hanya sekedar menjadi penjaga tempat wisata. Daya serap kegiatan wisata bahari terhadap masyarakat lokal relative kecil. Masyarakat sekitar tempat wisata menjadi terbatas aksesnya untuk menangkap sedangkan masyarakat sendiri tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan tempat wisata.
Penetrasi modal
melalui investasi di bidang wisata bahari biasanya menegasikan hukum-hukum adat lokal, kebudayaan setempat dan peran serta masyarakat. Dengan alasan kenyamanan dan privasi wisatawan, maka tempat-tempat wisata tersebut harus dijauhkan
dari
keterlibatan
masyarakat.
Demikian
logika
kapitalistik
meminggirkan nelayan lokal dan mempersilahkan investor asing untuk masuk ke Kepulauan Seribu. Pariwisata bahari yang berkembang tanpa pelibatan masyarakat di dalamnya, merupakan sebuah akses yang ekslusif. Akses ekslusif merupakan salah satu penyebab kemiskinan. Kaum minoritas dominan merintangi orang lain untuk mengakses sumber daya yang ada, entah karena keterbatasan atau karakterkarakter intrinsik sumber daya-sumber daya tersebut sehingga tidak dapat didistribsikan secara adil. Akses dan kontrol terhadap sumber daya pesisir dan laut merupakan intensif terbesar bagi masyarakat pesisir. Selama pengelolaan wisata bahari yang ada di Kepulauan Seribu tidak memberi ruang bagi ikut sertanya masyarakat dalam mengelola, maka selama itu pula ketimpangan akan terjadi dan kemiskinan adalah keniscayaan. Masyarakat Kelurahan P. Panggang khususnya yang terdapat di P. Panggang dan P. Pramuka harus berdesak-desakan dengan tingkat kepadatan penduduk yang setiap tahunnya makin tinggi, sedangkan di sisi lain, banyak pulau-pulau wisata dan pulau-pulau dengan pemanfaatan lain yang tidak bisa ikut dinikmati oleh nelayan. Akses yang ekslusif ini terkait juga dengan kepemilikan terhadap sumber daya alam. Pulau-pulau kecil dan sumber daya alam yang berada di dalamnya di kepulauan Seribu sudah banyak beralih kepemilikan dari state property menjadi private property.
Pulau-pulau yang harusnya dikelola oleh negara untuk
kemakmuran rakyat justru dimiliki oleh segelintir orang dan kelompok yang mendapatkan akses melalui kompradorisasi birokrasi. Kepemilikan tersebut telah berlangsung sejak pemerintahan orde baru yang kental dengan perilaku
263
kompradorisasi birokrasi. Kebanyakan dari pulau-pulau tersebut sudah menjadi hak milik dan mempunyai sertifikat. Kepemilikan terhadap pulau disertai juga dengan kepemilikan terhadap sumber daya yang berada di dalamnya. Laut yang tadinya merupakan common property menjadi semakin sulit diakses khususnya yang berada di wilayah sekitar pulau milik pribadi atau kelompok tersebut. Akibatnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut tentunya makin terbatas. Keterdesakan dan tiadanya pilihan tersebut menimbulkan sikap-sikap destruktif dari masyarakat yang dilampiaskan dengan merusak sumber daya pesiri dan laut. Perilaku negatif masyarakat tersebut tidak timbul karena semata culture yang selama ini dituduhkan tapi lebih karena permasalahan struktural akibat ketiadaan dalam mendapatkan akses terhadap SDPL. Pembatasan akses dalam pemanfaatan SDPL merupakan wujud dari ketidakadilan ekonomi dan sosial yang melahirkan kemiskinan. Marshall Sahlins (1972) meyakinkan bahwa kemiskinan dan ketidakadilan saling berhubungan. Keterbatasan fisik seperti yang terdapat dalam apa yang disebut masyarakat primitif, menurutnya mungkin menciptakan sebuah kerapuhan atau bahkan melahirkan kemiskinan, tapi hal itu tidak meyebabkan kemiskinan sepanjang sumber daya-sumber daya yang ada dapat diakses dan didistribusikan kepada orang-orang secara adil. Peruntukan pulau di Kelurahan P. Panggang saja dari 12 pulau yang masuk di dalamnya hanya 2 pulau yang dijadikan sebagai lokasi pemukiman yaitu P. Panggang dan P. Pramuka. Pulau-pulau lain seperti P. Kotok besar, P. Kotok kecil, P. Semak daun, P. Opak kecil dan pulau lainnya sebagian besar diperuntukkan bagi penghijauan dan pariwisata. Untuk pulau yang diperuntukkan bagi penghijauan dan cagar alam, pengelolaannya ditangan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, sedangkan untuk pariwisata biasanya dikelola oleh swasta. Dari beberapa pulau yang ada, sebagian merupakan pulau yang termasuk dalam zona pemanfaatan tradisional seperti P. Karya, P. Kotok besar, P. Kotok kecil, P. Opak kecil, P. Karang Bongkok, P. Karang Congkak dan P. Semak Daun. Zona pemanfaatan tradisional artinya pemanfaatan SDPL hanya bisa dilakukan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional dan tidak merusak sumber daya, mengingat keberadaan SDPL dalam perlindungan. Namun faktanya, menurut penuturan masyarakat seringkali kesulitan dan mendapatkan
264
hambatan saat melakukan penangkapan ikan. Pembatasan akses bukan hanya datang dari pihak swasta dengan sumber daya PL yang sudah menjadi privat property nya, tetapi juga seringkali bersinggungan dengan pihak taman nasional laut yang mengelola ekosistem sumber daya PL. Fenomena kepemilikan lahan-lahan pulau oleh segelintir orang dan kelompok ini merupakan bentuk monopoli orang kaya terhadap sumber dayasumber daya yang sebenarnya tersedia dalam jumlah yang cukup bagi setiap orang. Hal ini merupakan penyebab kemiskinan yang paling jelas. Monopoli sumber daya-sumber daya oleh beberapa orang tidak dapat dihitung akibat fakta kelangkaan -justru sebaliknya, mereka menjadi langka karena dimonopoli- tapi hanya melalui dominasi dari suatu kelas atau kasta terhadap kelas atau kasta lain. Keterbatasan akses terhadap sumber daya tersebut harusnya dapat diselesaikan oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak dan program penanggulangan kemiskinan yang tepat.
Namun, alih-alih mengeluarkan
kebijakan yang berpihak kepada masyarakat pesisir yang mayoritas miskin, yang terjadi justru upaya memiskinkan masyarakat pesisir secara bertahap melalui pemberlakuan undang-undang pengelolaan pesisir No.27 tahun 2007 yang berpotensi semakin memperburuk akses nelayan terhadap SDPL khususnya pasal tentang hak pengelolaan perairan pesisir (HP-3). Kebijakan dan program pemerintah
yang
terkait
dengan
pengelolaan
sumber
penanggulangan kemiskinan belum terlaksana dengan baik.
daya
PL
serta
Bahkan menurut
pengakuan masyarakat, meskipun mereka cukup senang dengan program-program pemerintah tersebut tetapi mereka kurang puas karena banyak proyek-proyek yang terbangun tetapi tidak terawat dan bahkan cenderung mudah rusak. Masyarakat menilai pembangunan sarana yang mudah disebabkan karena adanya indikasi korupsi dalam pelaksanaan proyek. Setiap program juga seringkali dilaksanakan tanpa melihat tingkat kebutuhan masyarakat.
Masyarakat merasa tidak
bertanggung jawab terhadap sarana yang ada, akibatnya kerusakan sarana banyak terjadi pasca pembangunan dilakukan. Fakta dan uraian di atas sepertinya semakin meneguhkan bahwa kerusakan ekosistem pesisir dan laut yang berakibat kepada menurunnya daya dukung lingkungan sesungguhnya terjadi karena ketidakseimbangan kekuasaan di
265
kalangan para pihak yang terlibat. Para pengusaha, pemilik modal pada satu sisi dan masyarakat pesisir, nelayan, pembudidaya, pedagang kecil dan pengolah kecil pada sisi lainnya. Pengelolaan SDPL dengan demikian tidak lebih merupakan ajang pertarungan kepentingan berbagai pihak untuk mendapatkan akses dan kontrol terhadap SDPL.
Perdagangan bebas, mode produksi kapitalis yang
diusung melalui strategi pertumbuhan ekonomi dengan neo-liberalisme sebagai payung ideologi terbukti banyak menyisakan kehancuran bagi lingkungan dan SDPL khususnya. Lemahnya tata kelola pemeritah (weak governance), tidak jelasnya rezim penguasaan sumber daya alam publik (unclear common property regimes), ketidakpastian hak-hak property (insecure property right), policy bias yang melahirkan lemahnya penegakan hukum, merupakan beberapa penyebab yang melanggengkan ketidakadilan ekologi yang berujung pada kemiskinan masyarakat pesisir. Paradigma pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan masih bias pada otoritas kelembagaan pemerintah ketimbang pada kemampuan rakyat, bias pada otoritas ilmu pengetahuan modern ketimbang pada ilmu pengetahuan lokal, bias kepada kepentingan pemodal ketimbang kepentingan rakyat miskin, bias kepada perkotaan ketimbang pedesaan dan bias kepada daratan ketimbang lautan. Daya dukung lingkungan menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir menurun. Penurunan daya dukung berakibat pada ketersediaan rumah yang layak terbatas serta sarana umum tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Keterbatasan akses sarana umum mengakibatkan kepentingan publik tidak terpenuhi dengan baik dan itu artinya tingkat kesejahteraan masyarakat berkurang. Daya dukung lingkungan PPK juga mengakibatkan produktifitas masyarakat menurun. Penurunan kualitas SDPL akan mengganggu produksi sumber daya ikan di ekosistem laut tersebut.
Penurunan produksi berpotensi menurunkan
pendapatan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir umumnya yang sangat menggantungkan hidupnya dari keberadaan ekosistem SDPL. Pendapatan rendah merupakan ciri utama dari rendahnya kesejahteraan. Rendahnya daya dukung lingkungan mengakibatkan kenyamanan hidup berkurang dan kualitas hidup berkurang.
Selain itu rendahnya daya dukung
lingkungan PPK mengakibatkan keterbatasan PPK dalam memenuhi kebutuhan
266
pokok masyarakat pesisir kelurahan P. Panggang.
Keterbatasan tersebut
mendorong ketergantungan yang tinggi terhadap pasar. Pasar bebas senantiasa menekankan pada akumulasi modal dan maksimalisasi keuntungan.
Logika
ekonomi tersebut tidak mengindahkan pola investasi yang masuk, apakah produktif, non produktif atau destruktif. Kecenderungan untuk memaksimalkan keuntungan memicu terjadinya pemanfaatan SDPL secara destruktif dengan bantuan modal yang intensif dan padat teknologi. Pemanfaatan lahan secara destruktif mengakibatkan kualitas SDPL menurun dan pada gilirannya menjadikan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial mengalami kerentanan yang tinggi.
Rentannya kondisi ekologi, ekonomi dan sosial memicu terjadinya
penurunan tingkat kesejahteraan karena SDPL sudah tidak bisa lagi berfungsi dengan baik dan dimanfaatkan secara optimal. Rendahnya daya dukung ekologi dan lingkungan PPK menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir rendah.
Kausalitas daya dukung
lingkungan dan tingkat kesejahteraan dijelaskan pada Gambar 15. 7.3
Analisis Kebijakan Kebijakan merupakan cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi
masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun implementasinya dengan mneggunakan instrument tertentu (ICRAF, 2003).
Kebijakan dapat
dinyatakan dalam berbagai hal antara lain : 1) instrumen legal (hukum) seperti peraturan perundangan; 2) instrumen ekonomi seperti kebijakan fiskal, pajak, subsidi, harga, kebijakan keuangan, moneter, finansial; 3) petunjuk, arahan atau instruksi dan perintah; 4) pernyataan politik semata dan 5) kebijakan dapat dituangkan dalam garis-garis besar arah pembangunan, strategi, rencana, program dan diterjemahkan dalam proyek pembangunan serta rencana anggaran tertentu.
267
GAMBAR 15
268
Tujuan utama dibuatnya sebuah kebijakan pada dasarnya adalah untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, tehnik atau cara mengatasinya, tujuan yang akan dicapai, kepentingan yang diinginkan, aktor yang terlibat, instrumen serta aturan yang akan dipakai untuk menjalankan instrumen. Kebijakan dibuat untuk mengatasi masalah. Hubungan sebab akibat antara masalah dan penyebab masalah serta apa pengaruh dan dampak akibatnya jika suatu masalah diatasi atau suatu tindakan diambil pemerintah untuk mengatasi suatu masalah, perlu dianalisis dengan seksama. Kebijakan yang akan diamati dalam kasus ini adalah untuk melihat bagaimana pemerintah menyelesaikan permasalahan terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. Rendahnya daya dukung lingkungan dan ekologis pulau sangat terkait dengan kebijakan pengelolaan sumber daya pesisir dan lautnya.
Demikian juga perkembangan tingkat kesejahteraan, akan dibahas
kebijakan yang dijalankan pemerintah dalam mengatasi permasalahan kemiskinan di Kepulauan Seribu dan kelurahan Panggang khususnya. Analisis kebijakan akan berbasis kepada hasil survey dan studi literatur terhadap kebijakan terkait yang dibahas secara deskriptif. Analisis akan dilihat kesesuaiannya dengan aliran ideologi bawaannya sehingga dapat dianalisis letak keberhasilan dan kegagalan dari kebijakan tersebut. 7.3.1 Kebijakan Pengelolaan SDPL dan Pengentasan Kemiskinan Persepsi Responden Terhadap Kebijakan Pemerintah Mengukur keberhasilan kebijakan, menarik untuk melihat bagaimana persepsi masyarakat terhadap perhatian pemerintah, kebijakan yang telah dilaksanakan, bentuk program dan pihak yang mengeluarkan kebijakan.
269
Tabel 84 Persentase Responden Menurut Perhatian, Peraturan dan Pihak yang Membantu Usaha Perikanan (%) Karekteristik kebijakan Perhatian pemerintah tinggi, sangat perhatian cukup perhatian kurang perhatian Total Peraturan pemerintah dalam pengelolaan SDPL ada tidak ada tidak tahu Total
P. Panggang P. Pramuka
Total
30.00 36.67 33.33 100.00
11.11 59.26 29.63 100.00
21.05 47.37 31.58 100.00
68.00 20.00 12.00 100.00
75.00 12.50 12.50 100.00
71.43 16.33 12.24 100.00
Sumber : Data Primer
Tabel 84 menggambarkan bahwa pemerintah cukup berhasil dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dari total responden di P. Panggang dan P. Pramuka, sekitar 47.37% responden menyatakan bahwa perhatian pemerintah cukup tinggi, 31.58% menyatakan kurang/tidak perhatian dan hanya sekitar 21.05% yang menyatakan sangat perhatian. Angka tersebut menunjukkan kecenderungan yang sama jika diperhatikan persepsi masyarakat terhadap perhatian pemerintah baik di P. Panggang maupun P. Pramuka.
Perhatian
pemerintah yang dimaksud adalah bentuk-bentuk program pemerintah baik berupa sarana pelayanan, fasilitasi modal, pasar, pelatihan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Data ini cukup relevan jika dibandingkan dengan hasil penelitian Baihaqie (2004) di P. Panggang yang menyatakan bahwa akar permasalahan dari sekian banyak permasalahan di P. Panggang disebabkan karena kurangnya pelayanan pemerintah. Baihaqie (2004) mencatat beberapa permasalahan di P. Panggang berdasarkan derajat keparahannya antara lain : 1) perilaku individu (31,37%) ; 2) pemerintah tidak melayani (15,69%); pembangunan tidak sesuai (15,96%); 4) SDM manusia rendah (9,80%); 5) Rendahnya ekonomi (9,80%) ; 6) sosial semakin turun (9,80%); 7) kerusakan alam (3,92%) dan 8) hukum kurang ditegakkan (3,92%). Dari hasil tersebut terlihat bahwa permasalahan terparah kedua dan ketiga disebabkan karena kebijakan pemerintah yang tidak tepat dan
270
kurang memberikan pelayanan yang baik.
Bahkan masyarakat menganggap
bahwa perilaku individu negatif masyarakat seperti apatis, malas, kurang kreatif, tidak bertanggung jawab dan lainnya terjadi karena disebabkan kurangnya pelayanan pemerintah dan kebijakan yang kurang tepat (policy bias). Dengan menggunakan metode Logic Frame Analysis (LFA), Baihaqie (2004) bersama masyarakat menyatakan bahwa akar permasalahan dari sekian masalah yang ada bersumber dari kurangnya pelayanan pemerintah dan banyaknya pembangunan yang tidak sesuai. Pola pembangunan masih dijalankan dengan pola top-down dengan menegasikan peran masyarakat, pemerintah seringkali mengambil inisiatif sendiri tanpa melihat kebutuhan masyarakat. Akibatnya banyak program yang tidak jalan, sarana umum tidak terawat dan akhirnya masyarakat apatis terhadap pembangunan yang ada. Masyarakat juga mengatakan bahwa kurangnya koordinasi dan komunikasi antar pemerintah dalam berbagai lapisan menjadi penyebab ketidaksinergisan program pembangunan yang ada. Masyarakat juga melihat adanya indikasi korupsi pada banyak proyek yang dijalankan sehingga sikap masyarakat menjadi semakin cuek dan tidak percaya kepada pemerintah. Persepsi masyarakat tersebut patut menjadi perhatian karena ternyata responden responden menyatakan bahwa kebijakan tentang pengelolaan SDPL itu memang ada. Sekitar 71.43% mengakui bahwa terdapat peraturan pemerintah dalam pengelolaan SDPL, 16,33% menyatakan tidak ada dan sekitar 12,24% menyatakan tidak tahu. Masyarakat mengetahui kebijakan tentang pengelolaan yang dimaksudkan adalah aturan tentang larangan pengrusakan dan pemanfaatan secara tidak benar sumber daya pesisir dan laut. Peraturan tersebut terpampang jelas di pintu masuk pulau dan hampir semua masyarakat dan tamu yang masuk mengetahui hal tersebut. Namun, jika ditanyakan tentang kebijakan pengelolaan SDPL yang lain selain larangan tersebut, masyarakat tidak mengetahuinya. Menurut masyarakat, pemerintah kurang menanggapi permasalahan yang berkembang, tidak memberikan penyuluhan walaupun ada kebutuhan masyarakat membuat peraturan desa dan masyarakat kurang mengetahui berbagai aturan perundangan terkait dengan pengelolaan SDPL.
271
Satu-satunya peraturan yang banyak dikenal masyarakat adalah larangan melakukan pengrusakan terhadap SDPL yang akan dikenakan sangsi bagi yang melanggarnya. Beberapa aturan tersebut adalah : Tabel 85 Jenis Larangan, Dasar Hukum dan Sanksi dalam Pengelolaan SDPL Kepulauan Seribu Jenis Larangan
Dasar Hukum
Menangkap ikan dengan menggunakan potasium, bahan peledak dan jaring trawl Mengambil pasir laut dan terumbu karang tanpa ijin Mendirikan/menempatkan bagan Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam Membajak/merompak kendaraan air
Sanksi
Pasal 6 Yo pasal 24 UU Penjara max 10 tahun atau No.9 Th 1985 denda max 100 juta Pasal 41 Yo pasal 23 Penjara max 10 tahun atau UU No.9 Th 1997 denda max 500 juta Perda no.11 th 1988 Pembongkaran secara paksa Pasal 40 UU No.5 Th Penjara max 10 tahun atau 1990 denda max 200 juta
Pasal 438;439;440 dan Penjara max 10 tahun atau 441 KUHP denda maz 100 juta
Sumber : TNKS, 2008
Peraturan di atas harusnya bisa membuat jera masyarakat yang melanggarnya. Namun, karena penegakan terhadap hukum dan setiap pelanggaran tidak pernah dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku, maka masyarakat menjadi apatis dan tidak percaya kepada aparat hukum.
Parahnya apatisme
masyarakat tersebut berakibat kepada semakin maraknya aksi-aksi pengrusakan dilakukan oleh masyarakat. Karena kosongnya penegakan hukum, masyarakat memanfaatkan celah kekosongan tersebut untuk berbuat kerusakan. Aksi negatif masyarakat tersebut juga didasarkan atas fakta menurut masyarakat bahwa pemerintah dan aparat hukum cenderung melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi pengrusakan yang ada dan bahkan masyarakat menemukan bahwa sarana pembangunan yang dibuat oleh pemerintah, pondasinya dibuat dari batu karang. Bukannya menegakkan atau mematuhi aturan yang ada, justru pemerintah kadang melakukan aksi pengrusakan serupa, dan hal itu jelas diketahui oleh aparat hukum. Ketidakjelas penegakan aturan dan penegakan hukum tersebut membuat perilaku
destruktif
dan
negatif
masyarakat
muncul
di
P.
Panggang.
272
Ketidakjelasan aturan tersebut membuat masyarakat tidak banyak mau tahu dengan program yang ada dan buktinya banyak sarana yang tidak terawat. Masyarakat mengakui bahwa pemerintah telah banyak memberikan bantuan terhadap usaha perikanan khususnya. Beberapa instansi pemerintah dan lembaga lain yang memberikan bantuan baik berupa bantuan fisik, pelatihan maupun pelayanan masing-masing adalah : (1) Pemerintah daerah Kabupaten Administrasi kepulauan Seribu (70%); (2) Pemerintah daerah Propinsi DKI Jakarta (30%); (3) perorangan (21%); (4) DKP pusat (14%); (5) organisasi masyarakat/paguyuban (9 %); (6) LSM dan swasta masing-masing (7%) dan (7) perguruan tinggi (2%). Data di atas menyebutkan bahwa peran pemerintah daerah Kepulauan Seribu sangat besar diikuti oleh pemerintah propinsi DKI Jakarta, DKP pusat dan perorangan. Sedangkan peran LSM, ormas, dan perguruan tinggi masih sangat rendah. Fakta membenarkan fungsi dan peran pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Administrasi kepulauan Seribu sebagai yang paling bertanggung jawab terhadap sumber daya pesisir dan laut serta masyarakat Kepulauan Seribu. Data ini juga menggambarkan bahwa peran perorangan juga cukup besar dalam memberikan bantuan. Hal ini ternyata banyak dilakukan oleh para calon kepala desa/calon Bupati/Calon legislatif yang banyak turun ke lapangan menjelang pemilihan, disamping terdapat beberapa anggota masyarakat yang secara perorangan melakukan pendampingan. Peran LSM dan ormas cukup besar dalam pembangunan di P. Panggang dan P. Panggang. Salah satu LSM yang secara intensif melakukan pendampingan khususnya dalam hal pengelolaan terumbu karang adalah yayasan terumbu karang Indonesia (TERANGI).
Yayasan ini banyak memberikan penyadaran kepada
masyarakat tentang arti penting terumbu karang dan mengajarkan kepada masyarakat tentang cara budidaya terumbu karang. Yayasan ini juga rutin melakukan pengamatan tentang status dan kondisi terumbu karang di seluruh Kepulauan Seribu secara rutin dan berkala.
Dengan pendampingan yang
dilakukan Terangi, masyarakat mengakui bahwa kesadaran masyarakat semakin tinggi untuk memelihara ekosistem TK dan kegiatan pengrusakan semakin menunjukkan penurunan. Sedangkan perguruan tinggi yang aktif memberikan
273
bantuan kepada masyarakat Kepulauan Seribu dan kelurahan P. Panggang khususnya adalah Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB. Beberapa program yang pernah dijalankan PKSPL antara lain menggalakkan budidaya kerapu dengan sistem Sea farming (saat ini masih berjalan), pendampingan sosial, penyadaran lingkungan dan bantuan sosial lainnya. Implementasi kebijakan dapat diperhatikan dari program kerja.
Masyarakat
mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap program kerja yang ada di Kepulauan Seribu. Selain yayasan Terangi dan PKSPL, beberapa organisasi nelayan ikan hias dan LSM juga pernah melakukan program-program pemberdayaan dan penguatan kelembagaan.
Setiap lembaga mempunyai misi dan bentuk gerakan yang
berbeda-beda sesuai dengan kepentingan masing-masing. Secara umum pemataan terhadap para aktor yang melakukan kerja-kerja sosial dan ekonomi di Kelurahan P. Panggang digambarkan dalam Tabel 86 berikut. Tabel 86 Profil LSM/Lembaga/Organisasi Masyarakat Nama LSM/Org /Lembaga Terangi
Pernitas (Perhimpu nan nelayan karang ikan hias) TNKS
Orientasi Gerakan
Wilayah kerja
Pendanaan
Bentuk program
Waktu Pendampingan Jangka panjang
Perlindungan ekosistem terumbu karang, riset dan penguatan kelembagaan masyarakat Perlindungan terumbu karang dan ikan hias
Kepulauan Seribu
Donatur luar negeri Pemerintah pusat, daerah
Pendampingan, penelitian terumbu karang, avdokasi
Kepulauan Seribu
TNKS
Rehabilitasi, penyadaran
Jangka panjang
Perlindungan ekosistem pesisir dan laut Konservasi SDA Penegakan hukum
Kep. Seribu
Pemerintah pusat dan daerah
Pengembangan manajemen, Pemberdayaan masyarakat, konservasi, penyuluhan konservasi, penegakan hukum
Jangka panjang
274
Nama LSM/Org /Lembaga PKSPL
Kolompis
SALAM
WALHI
Orientasi Gerakan
Wilayah kerja
Pendanaan
Bentuk program
Waktu Pendampingan Jangka panjang
Pengelolaan wilayah pesisir dan PPK Pengembangan ekonomi produktif Pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM Perlindungan terumbu karang dan ikan hias Penguatan kapasitas kelembagaan Membangun tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan Pengelolaan lingkungan laut
P. Panggang dan P. Pramuka Kep. Seribu
Pemerintah daerah
Pemberdayaan masyarakat, pendampingan, pengembagan manajemen
P. Panggang
TNKsP dan swadaya
Rehabilitasi, penyadaran, advokasi
Jangka panjang
P. Panggang dan Kep. Seribu
Pemerintah dan Swadaya
Pendampingan, penguatan kapasitas kelembagaan
Jangka pendek
P. Panggang dan Kep. Seribu
Swadaya/Do natur asing
Penyadaran lingkungan, advokasi
Jangka pendek
Berbagai lembaga dan organisasi baik formal maupun informal datang ke Kelurahan P. Panggang masing-masing dengan orientasi gerakan dan tujuan yang berbeda-beda sesuai lingkup wilayah organisasi dan program yang dibawa. Namun bagi masyarakat Kelurahan P. Panggang, peran pemerintah baik pusat maupun daerah tetap yang paling utama diharapkan dapat banyak membantu meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat.
Melalui berbagai bentuk
program, pemerintah membantu masyarakat. Tabel 87 menggambarkan bentuk program atau proyek yang pernah ada di P. Panggang dan P. Pramuka. Bentuk proyek yang paling sering diterima oleh responden P. Panggang dan P. Pramuka adalah pelatihan. Sebanyak 55.32% responden di kedua pulau tersebut menyatakan bahwa mereka sering menerima pelatihan terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (rehabilitasi terumbu karang, mangrove dan ekosistem lain), pemberdayaan ekonomi pesisir dan beberapa pelatihan lainnya. Bentuk proyek terbanyak kedua yang diterima oleh responden di P. Panggang dan P. Pramuka adalah bantuan modal yang
275
dinyatakan oleh sekitar 48.94% responden. Selanjutnya sekitar 19.15% menerima bantuan fisik, sekitar 8.51% berupa pendampingan dan sisanya yaitu sekitar 19.5% adalah program-program lainnya. Tabel 87
Persentase Responden Menurut Bentuk dan Kebijakan yang Memberatkan (%)
Karakteristik Kebijakan Bentuk program bantuan fisik bantuan modal pelatihan pendampingan (penyadaran) lainnya Kebijakan yang memberatkan BBM naik Larangan alat tangkap terlarang Penempatan lokasi kapal Larangan Potasium Peraturan penangkapan Perda Sumber : Data Primer
P. Panggang
P. Pramuka
Total
29.17 41.67 50.00 12.50 20.83
8.70 56.52 60.87 4.35 17.39
19.15 48.94 55.32 8.51 19.15
33.33 33.33 33.33 0 0 0
0 0 0
16.67 16.67
33.33 33.33 33.33
16.67 16.67 16.67 16.67
Bagi masyarakat tidak semua kebijakan meringankan bagi kehidupan mereka.
Sebagian anggota masyarakat merasa berat untuk melaksanakan
kebijakan yang ada.
Beberapa kebijakan yang bagi masyarakat cukup berat
menjalankannya antara lain Kenaikan BBM, larangan menggunakan alat tangkap terlarang, larangan menggunakan potasium, penempatan lokasi kapal, peraturan tentang penangkapan dan beberapa peraturan daerah yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.
Sebagian besar kebijakan yang
memberatkan berupa peraturan yang melarang melakukan aktivitas yang dapat merusak lingkungan laut. Hanya kebijakan kenaikan BBM yang berasal dari faktor eksternal dan tidak berupa larangan. Kenaikan BBM sangat wajar jika memberatkan masyarakat. Sekitar 40% biaya operasional untuk melaut adalah berasal dari BBM. Kenaikan harga BBM memicunya tinggi biaya operasional, sedangkan kenaikannya seringkali tidak dibarengi dengan nilai jual ikan hasil tangkapan. Sehingga seringkali nelayan khususnya mengalami banyak kerugian. Akibat kenaikan BBM banyak nelayan
276
yang tidak melaut karena merugi. Jika musim sedang tidak bersahabat, contohnya ketika masuk musim Barat seperti kenaikan BBM tahun 2008 kemaren bersamaan dengan musim Barat yang biasanya karean angin besar, banyak nelayan yang tidak melaut.
Maka kenaikan BBM diiringi oleh kondisi alam yang tidak
bersahabat tersebut menambah panjang penderitaan nelayan. Belum lagi kenaikan harga pokok akibat kenaikan BBM, semakin memperburuk kualitas hidup nelayan dan masyarakat pesisir umumnya.
Parahnya, pemerintah seringkali tidak
mengimbanginya dengan kebijakan lain yang meringankan beban hidup masyarakat pesisir. Beberapa program pernah digulirkan dalam rangka mengatasi kenaikan BBM antara lain pemberian subsidi bagi harga solar sekitar Rp 100.000,- per liter, program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan terakhir pemberian BLT. Pemberian subsidi BBM ternyata tidak sampai di harga eceran yang berlaku di P. Panggang dan P. Pramuka. Pedagang pengecer tetap saja menaikkan harga solar di atas harga sebelum kenaikan BBM karena bagi pedagang, biaya transportasi dan biaya lainnya mengalami kenaikan. Tetap saja nelayan yang sudah miskin tidak bisa mendapatkan harga solar yang rendah. Program PEMP yang dijalankan DKP sejak tahun 1999 ternyata sampai tahun 2008 ini belum menyentuh masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka. Faktanya ketika ditanyakan tentang program PEMP, hampir semuah responden menyatakan tidak mengetahui program tersebut, apalagi mendapatkannya. Sedangkan program terbaru yang digulirkan pemerintah dalam rangka menanggulangi kenaikan BBM adalah pemberian BLT. BLT ternyata banyak mengalami bias sasaran karena yang dipergunakan adalah data tahun 2005, sehingga banyak masyarakat yang sebetulnya tidak berhak karena kehidupannya sudah membaik, masih mendapatkannya. Sebaliknya masyarakat yang seharusnya berhak, ternyata tidak bisa mendapatkannya. Sedangkan kebijakan lain yang memberatkan rata-rata berupa pelarangan melakukan aktivitas destruktif yang dapat merusak lingkungan laut. Peraturan seperti penangkapan ikan dengan potasium, alat tangkap terlarang dan pemasangan alat tangkap, memang terpampang jelas di pintu masuk P. Panggang dan P. Pramuka. Masyarakat merasa bahwa peraturan yang memberikan sanksi
277
berat terhadap pelanggarnya tersebut tidak efektif dan tidak ditegakkan dengan baik oleh pemerintah dan aparat hukum. Jika aturan tersebt ditegakkan dengan baik, harusnya tidak ada lagi aksi-aksi kerusakan sumber daya laut dan pesisir. Tapi faktanya, masih sering ditemukan aksi-aksi pengrusakan tersebut. Masyarakat mengakui bahwa pemerintah pernah menjatuhkan sanksi penjara bagi nelayan pengguna potasium, namun hal itu tidak berjalan lama.
Masyarakat
kemudian menjadi apatis terhadap aturan pelarangan tersebut dan menganggap bahwa peraturan tersebut hanya sebatas papan nama dan tidak lebih. Bahkan masyarakat melihat bahwa aparat hukum dan pemerintah sepertinya melakukan pembiaran terhadap praktek negatif di laut. Sebagian masyarakat lainnya justru melihat pemerintah kadangkala menggunakan terumbu karang untuk pondasi bagi sarana umum yang dibangun di Pulau Seribu. Padahal dalam aturan sangat jelas bahwa dilarang menggunakan pasir dan terumbu karang tanpa ijin, bagi pelanggar akan dikenakan sanksi 500 juta atau kurungan penjara 10 tahun. Kekosongan penegakan hukum, perilaku pemerintah yang ikut merusak sumber daya alam, mengakibatkan masyarakat merasa keberatan dengan pemberlakuan larangan tersebut. Keberatan masyarakat juga didasari oleh kondisi keterdesakan akibat menurunnya produktifitas perikanan.
Sebagian masyarakat menggunakan
potasium, selain karena faktor kebiasaan, mereka juga terdesak oleh kondisi alam yang fluktuatif sehingga produktifitasnya juga tidak menentu. Beroperasinya kapal-kapal arad (trawl) menyebabkan kerusakan lingkungan laut dan penurunan produksi ikan Kepulauan Seribu.
Kebutuhan hidup yang makin tinggi dan
banyak, barang-barang konsumsi mahal, kenaikan BBM, kenaikan harga pokok dan pola hidup yang berubah, menyebabkan responden nelayan untuk menempuh jalan singkat agar mendapatkan ikan tangkapan.
Menangkap dengan
menggunakan alat tangkap terlarang seperti potasium dan aksi-aksi pengrusakan ekosistem lain, adalah pilihan terakhir bagi masyarakat pesisir. Kebijakan yang berupa larangan tersebut terbukti tidak efektif menjerat pelaku pengrusakan SDPL. Karena faktornya bukan semata culture atau karena pendidikan rendah tetapi lebih bersifat struktural dan keterbatasan akses pemanfaatan terhadap SDPL.
278
Keterlibatan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan Tingkat partisipasi masyarakat sangat menentukan baik buruknya pengelolaan SDPL dan keberhasilan pembangunan. Hasil survey menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan masih sangat rendah. Tabel 88 Persentase Responden Menurut Partisipasinya dalam Pengambilan Keputusan (%) Faktor kelembagaan Pengambilan keputusan/partisipasi tidak pernah kadang-kadang ikut selalu ikut serta Total
P. Panggang P. Pramuka
Total
40.00 46.67
55.56 44.44
47.37 45.61
13.33 100.00
0 100.00
7.02 100.000
Sumber : Data Primer
Tabel 88 menunjukkan bahwa 47% penduduk merasa tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan pengelolaan SDPL maupun kegiatan lainnya. Hanya sekitar 7% responden yang merasa selalu ikut serta dan diajak oleh pemerintah baik di tingkat Kabupaten ataupun aparat desa dalam pengambilan keputusan. Kelompok masyarakat tersebut diduga adalah para tokoh masyarakat dan kaum elit desa.
Masyarakat mengakui bahwa
kesalahan pembangunan terletak kepada kurangnya pelayanan pemerintah akibat kurangnya mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam setiap pelaksanaan program.
Selain pemerintah dalam pelaksanaan program/proyek
seringkali hanya menghubungi tokoh masyarakat tertentu dan kelompok masyarakat tertentu, hal ini menimbulkan iri hati dan ketidaksenangan kelompok lain.
Akhirnya perilaku seperti ini seringkali menimbulkan friksi dan
terbentuknya kelompok-kelompok kecil yang potensial besar menjadi konflik sosial. Konflik sosial antar warga adalah pemicu mengendornya kohesitas masyarakat dan interaksi antar warga menjadi beku dan rusak. Konflik antar warga akan mempengaruhi setiap program yang berjalan di wilayah ini sekaligus menjadi potensi kerusakan bagi SDPL. Minimnya partisipasi masyarakat ini pula menunjukkan bahwa pemerintah dalam menjalankan program pembangunan tidak menyesuaikan diri dengan
279
kebutuhan masyarakat. Hal itu terbukti dari banyaknya sarana pembangunan yang kemudian tidak terawat setelah terbangun dan mengalami kerusakan. Mekanisme konsultasi publik dan musyawarah sebelum pelaksanaan kegiatan atau perencanaan pembangunan semestinya dilakukan terlebih dahulu dengan melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan sampai pengawasan. Keterlibatan masyarakat akan mendorong pertanggungjawaban oleh masyarakat yang berdampak kepada keberlanjutan program atau proyek. Contoh seperti adanya banyak sarana umum rusak seperti WC umum, dermaga, TPI dan sarana lainnya merupakan bukti dari kurang pekanya pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat. Pemerintah seringkali menjadi pihak yang selalu mengambil inisiatif dan cenderung menegasikan masyarakat serta selalu menganggap masyarakat bodoh, tidak berpendidikan, tidak informatif dan perilaku negatif lain. Fakta bahwa banyak responden dengan pendidikan tertinggi SD dan SMP bukan berarti mereka bodoh karena pada setiap masyarakat mempunyai pengalaman hidup sendirisendiri dan masyarakat biasanya mempunyai tingkat kearifan tertentu yang dimiliki oleh setiap orang dan setiap komunitas. Renstra dan Program Kebijakan dibuat untuk menjawab kepentingan umum dan mengatasi permasalahan yang ada. Kebijakan merupakan bentuk intervensi pemerintah dan publik untuk mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik.
Mengamati sebab akibat
sebuah masalah penting dalam penyusunan kebijakan. Karena bisa jadi kebijakan dibuat untuk mengatasi masalah tetapi tujuannya untuk kepentingan sekelompok orang, partai atau untuk kepentingan pemerintah sendiri. Untuk melihat kadar keberhasilan kebijakan, setidaknya bisa melihat bagaimana visi, misi, tujuan dan strategi dari pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu dibuat. Visi kepulauan seribu adalah ”Kepulauan Seribu sebagai ladang dan taman kehidupan bahari yang berkelanjutan. Misi : 1) Mewujudkan wilayah Kepulauan Seribu sebagai kawasan wisata bahari yang lestari ; 2) Menegakkan hukum yang terkait dengan pelestarian lingkungan kebaharian dan segala aspek kehidupan. Sedangkan tujuannya adalah :
280
1) Kelestarian Kepulauan Seribu sebagai satu kesatuan gugus ekosistem. 2) Terwujudnya kelestarian dan berkembangnya fungsi sumber daya kelautan. 3) Berkembangnya pariwisata Kepulauan yang berkualitas dan berkelanjutan. 4) Terkendalinya pertumbuhan dan meningkatnya kualitas kehidupan SDM. 5) Terciptanya kenyamanan dan kemudahan melalui pengadaan prasarana dan sarana Kepulauan. Untuk perwujudan visi, misi dan tujuan dibuat skenario rencana strategi pencapaian selama periode 2008-2012. Skenario rencana strategi ini diturunkan lagi menjadi program-program kerja yang diselenggarakan oleh dinas-dinas terkait. Point dari rencana strategi tersebut antara lain : 1) Menjadikan Kepulauan Seribu Sebagai Destinasi wisata bahari yang berskala nasional/internasional. 2) Pemanfaatan dan Pengelolaan Perairan guna pengembangan ekonomi berbasis masyarakat melalui budidaya perikanan. 3) Meningkatkan nilai tambah ekonomi yang berdaya saing (Competitive) dan berkelanjutan dengan membangun sektor unggulan di masing-masing wilayah (One Product One Village). 4) Penegakan supremasi hukum yang terkait dengan pelestarian lingkungan dan segala aspek kehidupan. 5) Peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas aparatur melalui penguasaan IPTEK. 6) Pengembangan sistem manajemen kepegawaian, struktur organisasi dan administrasi publik yang efisien, efektif, transparan, akuntabel dan profesional. 7) Mencegah dan meminimalisir dampak negatif pembangunan infrastruktur terhadap daya dukung lingkungan dan Sumber Daya Alam. 8) Meningkatkan pembangunan sarana / prasarana fisik guna mengatasi masalah-masalah antara lain : Pemukiman kumuh, abrasi, air bersih, pencemaran laut, mitigasi bencana, transportasi, sampah, pengambilan karang, dsb.
281
9) Pemanfaatan
dan
pengelolaan
potensi
sumber
daya
alam guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Gas / Air Strip). 10) Meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat dengan membangun sarana / pra sarana yang dibutuhkan serta tenaga SDM yang berkualitas. 11) Pemerataan pendidikan dengan membuka kesempatan pendidikan seluasluasnya kepada masyarakat baik di tingkat SD, SMP mupun SMU / Kejuruan. 12) Penataan dan pembangunan pranata sosial dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat 13) Meningkatkan dan membangun infrastruktur ekonomi yang baik (termasuk pelayanan investasi guna menarik investor yang simple, kebijakan pro pasar dan bermitra dengan dunia usaha / Public Private Partnership). 14) Meningkatkan kualitas ekosistem pulau dan perairan serta melakukan konservasi lingkungan fisik, perairan dan keanekragaman hayati. 15) Menjadikan Kepulauan Seribu sebagai basis / Pilot Project penataan dan pemanfaatan perairan dalam skala nasional / internasional. Program Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu •
Bidang Ekonomi 1. Rehabilitasi ekosistem Kepulauan Seribu (mangrove, terumbu karang, padang lamun, pohon produktif) 2. Pengembangan Sea Farming Right, teknis sosial ekonomis, sumber daya dan lingkungan 3. The Attraction Of Tourism 2008 (Enjoy Jakarta Marine & Island) 4. Pendampingan UKM di Kepulauan Seribu 5. Pengembangan produk unggul Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 6. Pemanfaatan Pujasera di Pulau Untung Jawa 7. Pengembangan fasilitas Docking kapal nelayan di Pulau Untung Jawa 8. Peningkatan menara pengawas / pengintai di P. Untung Jawa
282
•
Bidang Kesejahteraan Masyarakat 1. Pembangunan Puskesmas di Pulau Lancang 2. Kegiatan wisata bahari oleh pelajar 3. Magang pemuda Kepulauan Seribu 4. Pendataan ketenagakerjaan Kepulauan Seribu 5. Penyediaan lahan pemakaman 6. Pembangunan tribun lapangan sepakbola Pulau Pramuka 7. Pembangunan lapangan tenis dan futsal di Pulau Karya 8. Peningkatan kualitas SDM Kepulauan Seribu melalui penguatan kelembagaan 9. Rehap rumah dinas guru di Pulau Pari dan Pulau Panggang
Program Prioritas Wilayah Tahun 2008 1. Menjadikan Pulau Lancang sebagai kawasan wisata andalan kedua setelah Pulau Untung Jawa 2. Menjadikan Pulau Tidung Kecil sebagai kawasan wisataagro dan edukasi 3. Meningkatkan kualitas lingkungan Pulau Pramuka sebagai kawasan percontohan (Ibukota Kabupaten) 4. Penyediaan pemukiman bagi masyarakat di Pulau Panggang dan Pulau Kelapa serta melakukan kajian penyediaan sumber tenaga listrik di Pulau Damar. 7.3.2
Analisis Program Pengelolaan SDPL dan Kesejahteraan
Program Pengelolaan SDPL Untuk menilai kebijakan program yang terkait dengan pengelolaan SDPL dapat ditinjau dari tiga hal yaitu melihat ketepatan sasarannya, dampak program dan kedalaman penyelesaian permasalahan. Menilik program yang terkait dengan
pengelolaan SDPL yang bisa
menjadi jalan bagi peningkatan daya dukung lingkungan, dapat ditemukan pada bidang ekonomi. Dari delapan program yang dicanangkan, hanya satu program yang berorientasi kepada pengelolaan SDPL yaitu Rehabilitasi ekosistem Kepulauan Seribu (mangrove, terumbu karang, padang lamun, pohon produktif). Program yang sudah dilaksanakan adalah : 1) pengembangan dan pemanfaatan
283
sumber daya laut antara lain melalui perbaikan ekosistem laut/Pembuatan Fish Shelter di Kepulauan Seribu; 2) Perlindungan dan pelestarian sumber daya alam hayati antara lain melalui rehabilitasi hutan mangrove di Kepulauan Seribu. Dari kedua program tersebut, yang berkaitan secara langsung dengan masyarakat pesisir di P. Panggang dan P. Pramuka hanya program rehabilitasi mangrove yang ada di P. Pramuka.
Melihat tingkat kerusakan SDPL yang
diderita oleh Kepulauan Seribu dan P. Panggang serta P. Pramuka khususnyanya maka antara upaya untuk memulihkan dengan tingkat kerusakan sangat tidak sebanding.
Dari proporsi jumlah program yang dijalankan saja, sangat jelas
bahwa pemerintahan daerah Kepulauan Seribu sepertinya tidak mengetahui karekteristik wilayahnya yang terdiri dari laut dengan ekosistem yang berada di dalamnya. Kondisi fisik berupa pulau menjadikan masyarakat Kepulauan Seribu sangat tergantung dari kualitas lingkungan dan ekologi pesisir dan laut beserta SDPL yang berada di dalamnya. Namun, rupanya pemerintah daerah tidak peka terhadap hal itu dan justru banyak mengalokasikan program untuk kegiatan wisata dan pemenuhan kebutuhan sekunder lainnya. Dari tingkat proporsi program yang dialokasikan terlihat bahwa kebijakan yang dijalankan mengalami bias dan tidak mengatasi permasalahan utama. Pemerintah daerah sepertinya belum melihat bahwa pemulihan SDPL merupakan program yang penting dan tingkat kerusakan SDPL masih dianggap berada di ambang yang masih bisa ditolerir. Permasalahan kerusakan SDPL di Kepulauan Seribu sudah sangat parah khususnya terumbu karang dan mangrove. Program rehabilitasi mangrove yang dijalankan, termasuk yang berada di P. Pramuka, jumlahnya tidak terlalu besar. Masyarakat menilai, bahwa perhatian pemerintah dalam mengalokasikan program untuk pemulihan ekosistem pesisir dan laut sangat kurang. Biasnya kebijakan dan sedikitnya program pengelolaan SDPL oleh pemerintah daerah Kepulauan Seribu dapat disebabkan oleh banyak faktor : •
Pemerintah belum menyadari dengan baik bahwa kondisi geografis berupa pulau dan laut, menuntut adanya kelestarian SDPL dimana masyarakat sangat tergantung di dalamnya. Ketika SDPL rusak maka akan berdampak kepada penurunan kesejahteraan masyarakat
284
•
Kebanyakan mind set aparatur pemerintah Kepulauan Seribu masih berpikir kedarat-daratan. Perubahan status menjadi Kabupaten baru terjadi tahun 2002 dan perubahan status pastinya membutuhkan banyak aparatur pemerintah seiring dengan terbangunnya instansi-instansi baru. Dinasdinas tersebut kebanyakan diisi oleh orang-orang yang mind set berorientasi kedaratan. Sedangkan masyarakat Kepulauan Seribu sendiri yang menjadi aparatur pemerintah masih sangat sedikit dan jarang. Ketiadaan mind set yang berorientasi ke laut tersebut menjadikan pola pelaksanaan program masih berbau kedarat-daratan seperti pembangunan sarana fisik yang memboroskan banyak biaya.
Alokasi untuk
pembangunan SDM dan SDA masih sangat sedikit. •
Aparatur birokrasi pemerintah daerah Kepulauan Seribu mayoritas bukan warga Kepulauan Seribu sehingga mereka kurang merasakan tingkat permasalahan mendasar masyarakat dan sumber daya alam.
•
Pola interaksi pemerintah-masyarakat tidak terbangun dengan baik. Pelaksanaan pembangunan yang biasa diterapkan dengan model top-down sangat mempengaruhi gejala ini. Keterbatasan akses dan lokasi pulaupulau yang dipisah oleh jarak yang cukup jauh semakin mengurangi akses pemerintah daerah ke pulau-pulau tersebut. masalah
dan
minimnya
interaksi
Ketiadaan akses terhadap
mengakibatkan
input
terhadap
permasalahan utama juga sedikit. •
Minimnya pengetahuan aparatur pemerintah termasuk pembuat kebijakan utama terhadap fungsi dan peran SDPL termasuk ekosistem yang berada di dalamnya serta dampkanya jika terjadi kerusakan.
•
Tidak adanya visi pemimpin yang berpihak kepada kelestarian sumber daya pesisir dan laut. Karakteristik Kepulauan Seribu yang berupa pulau-pulau kecil dengan laut
yang mengelilinginya beserta ekosistem yang berada di dalamnya, menuntut perhatian lebih pemerintah untuk melihat keterkaitan antara kelestarian SDPL dengan kesejahteraan masyarakat. Baik buruknya SDPL untuk daerah seperti Kepulauan Seribu akan sangat berdampak kepada kesejahteraan masyarakat dan
285
pada gilirannya berdampak kepada meningkatknya ekonomi wilayah Kepulauan Seribu. Program Peningkatan Ekonomi dan Kesejahteraan Alokasi program untuk peningkatan kesejahteraan terlihat lebih besar proporsinya dibandingkan dengan program pemulihan SDPL. Setidaknya hal itu dapat terlihat dari dua bidang yang ada yaitu bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Beberapa program yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan yang terdapat di bidang ekonomi antara lain : Pengembangan Sea Farming, teknis sosial ekonomis, sumber daya dan lingkungan, The Attraction Of Tourism 2008 (Enjoy Jakarta Marine & Island), Pendampingan UKM di Kepulauan Seribu, Pengembangan produk unggul Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Pengembangan fasilitas Docking kapal nelayan di Pulau Untung Jawa. Dari sekian program yang ada, yang berkenaan langsung dengan masyarakat pesisir di P. Panggang dan P. Pramuka adalah program pengembangan Sea farming right. Program ini dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten kepulauan Seribu dengan bekerjasama dengan PKSPL IPB. Program sea farming merupakan upaya diversifikasi usaha melalui pengembangan budidaya laut (budidaya kerapu). Program ini telah memberi alternatif usaha bagi nelayan dan masyarakat pesisir lainnya yang biasanya sangat tergantung dari usaha nelayan. Masyarakat menyatakan bahwa program ini sangat membantu masyarakat karena menjadi alternatif usaha, kesulitan permodalan untuk membuat usaha budidaya teratasi dengan metode pembentukan kelompok dan pembayaran secara cicil dalam kelompok ini. Masyarakat bisa mendapatkan benih kerapu dengan cara mencicil biaya yang dikoordinir dalam sebuah kelompok.
Model tersebut
menurut masyarakat sangat membantu kesulitan modal yang selama ini menajdi permasalahan
usaha.
Namun,
memang
sebagian
masyarakat
khususnya
pembudidaya ikan kerapu yang tidak mengikuti program menganggap bahwa sebaiknya program pendampingan tidak hanya dilakukan kepada para anggota kelompok, tetapi juga pembudidaya kerapu lain yang tidak menjadi kelompok. Sedangkan program yang bertujuan langsung untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat tertampung dalam satu bidang yang secara khusus
286
dibuat yaitu bidang kesejahteraan masyarakat. Klasifikasi bidang kesejahteraan masyarakat dilaksanakan untuk menjawab permasalahan di bidang pendidikan, kesehatan, olahraga dan kesenian. Klasifikasi program di bidang kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 89. Tabel 89 Program Umum Bidang Kesejahteraan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Bidang Pendidikan
Kesehatan Ketenagakerjaan Olahraga Kebudayaan Umum
Program Peningkatan kualitas SDM Kepulauan Seribu melalui penguatan kelembagaan Rehap rumah dinas guru di Pulau Pari dan Pulau Panggang Pembangunan Puskesmas di Pulau Lancang Magang pemuda Kepulauan Seribu Pendataan ketenagakerjaan Kepulauan Seribu Pembangunan tribun lapangan sepakbola Pulau Pramuka Pembangunan lapangan tenis dan futsal di Pulau Karya Kegiatan wisata bahari oleh pelajar Penyediaan lahan pemakaman
Sumber : Skenario Renstra Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Seribu (2008) diolah
Melihat program di bidang kesejahteraan masyarakat yang dialokasikan, ternyata secara umum masih belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Program yang ada justru hanya bersifat sekunder dan bukan kebutuhan pokok. Sedangkan untuk menjawab permasalahan pendidikan, program yang ada berupa peningkatan kualitas SDM dan rehab rumah guru. Program peningkatan kualitas tidak dijelaskan secara detail programnya. Sedangkan untuk rehab perumahan guru, hal ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup guru. Program ini sangat penting untuk menjaga kualitas belajar mengajar. Karena kesejahteraan guru akan berpengaruh kepada pola mengajarnya. Secara umum program-program ini masih belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Program ini hanya akan menyelesaikan persoalan penunjang dan bukan persoalan pokok. Peningkatan kualitas SDM dapat berupa fasilitasi pendidikan, pengadaan buku dan kebutuhan sekolah, pelatihan-pelatihan dan kegiatan lainnya. Permasalahan ini untuk menjawab permasalahan kultural yaitu rendahnya SDM. Sedangkan penyebab utama kemiskinan masyarakat pesisir lebih disebabkan karena kondisi struktural seperti ketiadaan akses dan kontrol terhadap sumber daya pesisir dan laut.
287
Kebijakan lainnya bisa dilihat dari program prioritas yang dijalankan di Kepulauan Seribu. Terdapat empat program kerja yang menjadi prioritas antara lain dua program di bidang pariwisata, dua bidang lainnya lebih ke pengadaan sarana dan pemukiman. Dua program di bidang pariwisata dilakukan di Pulau Lancang dan pulau Tidung kecil.
Sedangkan dua bidang lainnya berkaitan
langsung dengan P. Pramuka yaitu peningkatan kualitas lingkungan dan pemukiman di P. Panggang.
Program peningkatan kualitas lingkungan di P.
Pramuka terdiri dari beberapa proyek antara lain : 1) Penyediaan IPAL di Pulau Pramuka; 2) Penyelesaian jalan lingkar (keliling) Pulau Pramuka; 3) Pembuatan taman interaktif di lingkungan pemukiman; 4) Mempercantik dermaga kolam labuh depan Kantor Kabupaten; 5) Pembuatan restoran apung di Pulau Pramuka; 6) Pembuatan tribun VIP lapangan olah raga Pulau Pramuka. Program peningkatan lingkungan yang dilaksanakan di P. Pramuka masih terlihat tidak sesuai dengan permasalahan lingkungan yang ada. Penyusunan program ini mungkin terkait dengan status P. Pramuka sebagai ibu kota Kabupaten Kepulauan Seribu. Sehingga yang lebih diutamakan mendorong P. Pramuka sebagai pusat jasa dan pelayanan.
Program-program ini menurut
penuturan masyarakat tidak menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Beberapa proyek memang bermanfaat seperti pembangunan jalan lingkar P. Pramuka, namun program lainnya lebih bersifat sekunder dan pemborosan biaya. Karena taman yang sejatinya ramai, tidak dilengkapi dengan fasilitas dan acara/kegiatan. Sedangkan rekreasi/tempat bermain bagi masyarakat P. Pramuka khususnya sudah tersedia laut dengan panoramnya yang indah. Proyek-proyek yang dijalankan pemerintah dirasakan kurang memberikan manfaat, sehingga terkesan pemborosan biaya. Saran yang telah dibangun dan tidak diiringi dengan perawatan yang baik dan pemeliharaan yang tepat menyebabkan banyak sarana yang telah dibangun tidak terawat. Sedangkan kebutuhan masyarakat seperti usaha-usaha alternatif, pelibatan aktif masayarakat dalam kegiatan pariwisata, kurangnya sarana pendidikan dan permasalahan kesehatan belum dilayani dengan baik. Pelaksanaan program pembangunan seperti inilah yang membuat masyarakat menjadi apatis, tidak peduli dan tidak mau tahu dengan lingkungannya.
288
Sedangkan program nasional yang diterima oleh masyarakat Kepulauan Seribu termasuk masyarakat di P. Panggang dan P. Pramuka adalah program pengembangan kecamatan dan program P2KP. Program ini berbasiskan kepada pengadaan sarana dan prasarana serta permodalan bagi usaha kecil. Tinjauan Kebijakan Tinjauan kebijakan ini akan mengacu pada kategorisasi dari Damanhuri (1997) yang membagi teori pembangunan ke dalam tiga besar teori yaitu teori liberal, teori kritis (radikal) dan teori heterodox. Kebijakan pemerintah daerah Kepulauan Seribu akan coba ditelusuri dengan mencari basis pijakan teori yang melatarbelakangi. Dari pijakan ini setidaknya setiap proses akan diketahui latar belakang dan tujuan akhirnya.
Identifikasi program didasarkan atas kriteria-
kriteria yang mencirikan teori ekonomi tertentu. Matrik penciri utama dari setiap program ekonomi dan kesejahteraan dijelaskan dalam Tabel 90. Tabel 90 Matrik Penciri Utama Berdasarkan Teori Ekonomi No
Ciri-Ciri
Liberal – Kapitalis
Struktural – Kritis
Heterodox
Anti individukapitalis Kolektivitas (komunis), Koperasi modern (sosial) dan Nasionalisasi Individu, Negara, pasar, centralpheriphery Elit sentral communis : demokrasi perwakilan (buruh, tani, nelayan)
Kekuatan Ekonomi lokal
1
Pendekatan
Individual – kapitalis dan orientasi profit yang dominan
2
Basis analisa
Mentalitas, individu
3
Alat analisa
Tehnokratis : dalam pengambilan keputusan (demokrasi berbasis kekuatan kapital)
4
Tujuan pembangunan
Growth oleh individu, privat sektor yang dominan
perilaku
Nilai tradisional dan modern Partisipatory decision making process (gotong royong) Konsensus (Negara, swasta, legislatif) Kesejahteraan masyarakat lokal
Growth oleh sentral komunis/Negara Keseimbangan swasta, Negara dan koperasi (sosial demokratis) 5 Nilai Nilai luar (modern) Nilai luar (sentral Nilai menguat komunis/sosial) menguat menguat Sumber : Hasil Wawancara dgn Prof. Didin S. Damanhuri, 2009 (Dimodifikasi)
lokal
289
Kebijakan yang akan ditinjau lebih kepada beberapa bidang yang dianggap penting dan berkenaan secara langsung dengan pengembangan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Bidang-bidang antara lain bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat serta program prioritas wilayah di tahun 2008 ini ditinjau dari tiga teori ekonomi. Setiap program dicari relevansinya dengan ciriciri yang dimiliki oleh tiga teori ekonomi (liberal-kapitalis, struktural-kritis dan heterodox). Chek list dilakukan pada setiap nomor yang menunjukkan ciri khusus dari masing-masing teori.
Program yang mendapatkan chek list terbanyak
menunjukkan platform ideologi dari masing-masing program.
Program Ekonomi Tabel 91 menunjukkan beberapa program ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Seribu memiliki enam program utama di bidang ekonomi yang berkaitan langsung dengan masyarakat pesisir. Tabel 91 Program Bidang Ekonomi No
Teori Liberal Frek
Program
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 √ √
1 Rehabilitasi
ekosistem Kepulauan Seribu (mangrove, terumbu karang, padang lamun, pohon produktif) 2 Pengembangan Sea Farming Right , teknis sosial ekonomis, sumber daya dan lingkungan 3 The Attraction Of Tourism
2008 √
Teori Radikal
√
√ √ √
4
√
Teori Frek Heterodox
Frek 2
1 2 3 4 5 √ √ √
3
1
√ √ √ √ √
4
√
1
1
(Enjoy Jakarta Marine & Island) 4 Pendampingan UKM di Kepulauan
√ √ √ √
4
Seribu 5 Pengembangan
produk unggul Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
√
1
√
1
√
√ √
3
290
Tabel 92 Platform Ideologi Program Bidang Ekonomi No
Program
1
Rehabilitasi ekosistem Kepulauan Seribu (mangrove, terumbu karang, padang lamun, pohon produktif) Pengembangan Sea Farming Right, teknis sosial ekonomis, sumber daya dan lingkungan The Attraction Of Tourism 2008 (Enjoy Jakarta Marine & Island) Pendampingan UKM di Kepulauan Seribu Pengembangan produk unggul Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
2 3 4 5
Teori Liberal
Teori Radikal
Teori Heterodox √
√
√
√ √
Tabel 92 memperlihatkan bahwa lima program kerja yang ada di bidang ekonomi menunjukkan bahwa tiga program berhaluan heterodox, dua program berhaluan liberal dan satu program berhaluan radikal. Beberapa program yang berhaluan heterodox antara lain : 1) Rehabilitasi ekosistem Kepulauan Seribu (mangrove, terumbu karang, padang lamun, pohon produktif) ; 2) Pengembangan Sea Farming, teknis sosial ekonomis, sumber daya dan lingkungan ; 3) Pengembangan produk unggul Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Program-program tersebut mendorong terjadinya transformasi dalam struktur ekonomi, sosial dan kultural.
Partisipasi masyarakat dalam
pembuatan keputusan nampak terlihat dalam program rehabilitasi ekosistem Kepulauan Seribu. Masyarakat diminta partisipasinya dalam menentukan lokasi rehabilitasi ekosistem dan pertanggungjawaban akan keberlanjutan program. Namun tingkat partisipasi tersebut kurang berjalan dengan baik karena faktanya pemerintah masih sering menggunakan pola pendekatan top-down dan hanya menghubungi beberapa elite desa yang diklaim sebagai representasi seluruh warga masyarakat. Sedangkan program pengembangan sea farming dimasukkan dalam pendekatan heterodox karena keunggulannya terletak pada aspke kemandirian yang terbangun di kalangan masyarakat pembudidaya ikan. Sea farming adalah sistem pemanfaatan ekosistem perairan laut angkal berbasis marikultur dengan
291
tujuan akhir untuk meningkatkan sumberdaya ikan bagi keberlanjutan perikanan tangkap dan aktivitas berbasis kelautan lainnya seperti ekowisata bahari. Sea farming tidak sama dengan marikultur. Marikultur dan kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya laut lainnya adalah sub-sistem dalam sea farming (PKSPL, 2008). Pengembangan sea farming merupakan model inovasi pengembangan usaha perikanan melalui keramba jaring apung (KJA), keramba jaring tancap (KJT), penculture, rumput laut, hatchery skala responden dan pengolahan ikan. Program ini bertempat di P. Semak Daun dan anggotanya kebanyakan dari P. Panggang. Program sea farming dibuat sebagai bentuk diversifikasi usaha bagi masyarakat pesisir khususnya nelayan. Selama ini nelayan hanya mengandalkan usaha penangkapan yang sangat tergantung dari kondisi alam dan musim. Kebanyakan nelayan tidak mempunyai usaha alternatif atau mempunyai usaha lain, sehingga ketika musim paceklik datang, petani banyak terjebak dalam keberhutangan dan terciptalah pengangguran. Melalui pengembangan usaha baru, menciptakan harapan lain selain usaha penangkapan yang selama ini banyak terjadi di kalangan nelayan.
Program sea farming dijalankan dengan
menggunakan tiga pilar utama yaitu : 1) fishing right ; 2) insentif teknis dan sosial ekonomi; 3) pengelolaan sumberdaya. Dalam pilar kedua, menekankan pada pengembangan skill teknis, skill bisnis dan social capitalizing (trust building). Sedangkan dalam pilar ketiga lebih menekankan pada pengelolaan lingkungan perairan, pengaturan pemanfaatan sumberdaya dan natural capitalizing. Sedangkan program ketiga yang masuk dalam kategori berhaluan heterodox
adalah
program
pengembangan
Administrasi Kepulauan Seribu.
produk
unggulan
Kabupaten
Pada program ini lebih menekankan pada
kekuatan ekonomi lokal sebagai basis pengembangan produk. Program dijalankan dengan memadukan antara nilai tradisional dan modern. Program yang lebih berhalauan liberal tercermin dalam program The Attraction Of Tourism 2008 (Enjoy Jakarta Marine & Island). Program ini lebih memberi ruang bagi sektor privat dalam bentuk investasi di bidang pariwisata. Pengambilan keputusan lebih didasarkan atas kekuatan kapital dan pasar mempunyai peranan penting dalam kesuksesan program. Ciri-ciri program yang
292
seperti ini lebih dekat kepada pendekatan liberal yang lebih menekan pada pertumbuhan ekonomi dan kekuatan individu. Beberapa ciri dari pendekatan liberal dalam program bidang ekonomi tersebut adalah : 1) Tujuan program berorientasi PAD, pertumbuhan, distribusi dan nilai kompetitif barang; 2) pasar mempunyai peranan besar dalam kesuksesan program yang diindikasikan dengan promosi; 3) investor dalam hal ini pemilik kapital mempunyai peranan dominan; 4) menguatnya nilai-nilai kemodernan karena adanya banyak atraksi wisata. Hanya
terdapat
satu
program yang
berhalauan
struktural
yaitu
Pendampingan UKM di Kepulauan Seribu. Dalam proses pendampingan tujuan akhirnya adalah membangun kemandirian usaha bagi UKM. Pemerintah dalam hal ini mempunyai peranan dominan khususnya dalam menfasilitasi UKM baik dalam bidang permodalan, pemasaran dan pengembangan kelembagaan usaha. Pendampingan UKM mendorong agar UKM tidak terjebak pada pola patronase akibat ketiadaan akses terhadap sumber-sumber permodalan maupun pemasaran. Kondisi ini seringkali membawa UKM kepada ketergantungan yang tinggi kepada pemilik modal dan pengusaha besar.
Program Kesejahteraan masyarakat Sedangkan dalam bidang kesejahteraan masyarakat mayoritas program juga lebih banyak berhalauan liberal.
Dari empat program yang berkenaan
langsung dengan masyarakat pesisir di Kelurahan P. Panggang, tiga diantaranya berhalauan liberal yaitu 1) Magang pemuda Kepulauan Seribu ; 2) Pendataan ketenagakerjaan Kepulauan Seribu; 3) Kegiatan wisata bahari oleh pelajar. Pencirian program lebih dekat kepada halauan liberal diindikasikan oleh beberapa hal yang merujuk kepada ciri-ciri pendekatan liberal. Pada program magang pemuda Kepulauan seribu, aspek mental dan perilaku individu menjadi salah satu ciri khas pendekatan liberal. Pendekatan dalam program ini adalah meningkat skill individu agar bersikap terampil, perilaku positif dan modern sesuai dengan kebutuhan kerja. Orientasi dari program ini diperkirakan untuk membangun individu yang kompetitif dalam dunia kerja atau setidaknya dapat berwiraswasta.
Sebagai konsekwensinya maka indiviu yang magang harus
293
mengenal nilai-nilai modern agar bisa maju dan terampil dalam mengoperasikan tehnologi tertentu. Ciri pendekatan liberal lainnya adalah terserapnya tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Program
ini
mempunyai
kemiripan
dengan
program
pendataan
ketenagakerjaan Kepulauan Seribu. Tujuan dari program ini diduga adalah untuk mengurangi pengangguran dengan melakukan pendataan awal ketenagakerjaan. Basis analisa dari program ini adalah lebih menekankan pada perubahan perilaku individu dan mental yang siap kerja. Satu-satunya program yang bercirikan pendekatan non liberal adalah program peningkatan kualitas SDM Kepulauan Seribu melalui penguatan kelembagaan.
Program ini lebih dekat kepada pendekatan heterodox karena
beberapa ciri antara lain : pertama, pengembangan kualitas SDM didasarkan atas faktor kelembagaan. Penguatan faktor kelembagaan merupakan upaya untuk membangkitkan kekuatan lokal seperti jaringan sosial, organisasi masyarakat dan aturan yang berkembang di masyarakat. Ciri kedua, penekanan pada aspek partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program. disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Jenis-jenis kegiatan
Program bidang kesejahteraan
masyarakat dan platform ideologinya dapat dilihat pada tabel 93 dan 94 di bawah ini. Tabel 93 Program Bidang Kesejahteraan Masyarakat No 1 Peningkatan
Program
kualitas SDM Kepulauan Seribu melalui penguatan kelembagaan 2 Magang pemuda Kepulauan Seribu 3 Pendataan ketenagakerjaan Kepulauan Seribu 4 Kegiatan wisata bahari oleh pelajar
Teori Liberal Frek 1 2 3 4 5 √ √
2
√ √
√
3
√ √ √ √ √
5
√
4
√ √ √
Teori Radikal
Frek
1 2 3 4 5
Teori Frek Heterodox 1 2 3 4 5 √ √ √
√ √
√
1
3
2
294
Tabel 94 Platform Ideologi Program Bidang Kesejahteraan Masyarakat No
Program
1
Peningkatan kualitas SDM Kepulauan Seribu melalui penguatan kelembagaan Magang pemuda Kepulauan Seribu Pendataan ketenagakerjaan Kepulauan Seribu Kegiatan wisata bahari oleh pelajar
2 3 4
Teori Liberal
Teori Radikal
Teori Heterodox √
√ √ √
Selain dua bidang penting di atas, yang perlu mendapatkan perhatian juga adalah program kerja yang menjadi prioritas pengembangan wilayah Kepulauan Seribu di Tahun 2008. Prioritas program lagi-lagi lebih banyak didominasi oleh program yang berbasiskan kepada pendekatan liberal. Investasi pariwisata bahari menjadi pilihan utama bagi pemerintah Kepulauan Seribu guna meningkatkan pembangunnya. Kebijakan pembangunan pariwisata bahari tidak memiliki nilai adaptabilitas dan keadilan karena kurangnya memberikan manfaat bagi nelayan dan masyarakat pulau. Kawasan pariwisata bahari akan menjadi kawasan khusus dan ekslusif dengan kepemilikan usaha dan pengelolaan biasanya diserahkan kepada investor/swasta. Pola seperti ini jelas dilakukan dengan tujuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, PAD dan PDRB. Banyaknya pulau-pulau kecil yang disulap menjadi pulau wisata tanpa pelibatan masyarakat di dalam pengelolaan hanya akan menyingkirkan masyarakat ke jurang kemiskinan dan ketiadaan aset. Nelayan akan semakin kehilangan akses terhadap sumber daya pesisir dan laut, apalgi undang-undang No.27 Th 2007 tentang pengelolaan pesisir dan laut tentang HP3 semakin membuka ruang lebar bagi masuknya para investor dalam menguasai pulau-pulau kecil. Kepadatan penduduk semakin tinggi, sedangkan lahan untuk tinggal seperti di P. Panggang dan Pramuka semakin terbatas. Sedangkan pulau-pulau lain yang seharusnya bisa menjadi lokasi baru pemukiman, justru disewakan kepada investor untuk kegiatan wisata bahari. Keterdesakan masyarakat sebagai akibat melonjaknya populasi dan tidak adanya ruang untuk tinggal akan berdampak kepada munculnya perilaku-perilaku
295
negatif masyarakat seperti merusak sumber daya alam yang ada.
Degradasi
sumber daya pesisir dan laut khususnya ekosistem terumbu karang bukan semata karena permasalahan teknis semata akibat pengeboman atau ketidaktahuan masyarakat, tapi lebih karena terbatasnya akses masyarakat terhadap SDPL akibat pola kepemilikan lahan yang sudah berubah dari bersifat common menjadi komoditas. Pola investasi seperti ini terjadi karena adanya perselingkuhan antara kaum pengusaha yang merepresentasikan kelompok kapitalis/borjuis dengan elit birokrat yang memberikan ijin usaha. Elit penguasa dan yang menopang elit pengusaha sebetulnya adalah yang paling bertanggungjawab terhadap proses ekploitasi yang luas dan dalam di negara miskin.
Dalam definisi penganut
marxian, kelompok ini biasa disebut sebagai kelas ”komprador” (compradore class). Klas otoriter birokratis inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis dengan kekuatan modalnya, mengekploitasi rakyat miskin. Kolaborasi pemilik modal dalam program-program pembangunan melahirkan inefisiensi dalam pembangunan. Akibatnya banyak program yang tidak bisa berjalan efektif. Pola investasi pariwisata bahari merupakan bentuk lain dari kebijakan yang pro pasar. Memang hal itu menjadi salah satu strategi dari pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Seribu seperti tertera dengan jelas paa butir 13 dari skenario rencana strategis Kepulauan Seribu yang berbunyi ” Meningkatkan dan membangun infrastruktur ekonomi yang baik (termasuk pelayanan investasi guna menarik investor yang simple, kebijakan pro pasar dan bermitra dengan dunia usaha / Public Private Partnership)”.
Kebijakan sangat jelas menunjukkan
bahwa kebijakan pemerintah daerah Kepulauan Seribu didominasi oleh haluan liberal. Namun masih ada program yang sebetulnya dapat menjadi penyemangat hidup masyarakat P. Panggang dan P. Kelapa yaitu penyediaan pemukiman. Program ini terkesan aneh dan susah untuk dicapai maksimal mengingat luas lahan kosong di P. Panggang dan P. Kelapa sudah sangat terbatas. Luas P. Panggang saja hanya 9 Ha dan saat ini jumlah penduduk mencapai 5.481 jiwa. Kondisi perumahan yang ada di P. Panggang sangat padat dan berdempetan. Bahkan dalam sebuah sumber, tingkat kepadatan P. Panggang lebih tinggi dibandingkan Jakarta.
Kondisi rumah berdempetan menyebabkan kualitas
296
pemukiman tidak nyaman. Begitu halnya dengan P. Kelapa merupakan pulau yang sangat padat penduduknya. Program penyediaan pemukiman pada satu sisi penting dilakukan karena memenuhi kebutuhan dasar penduduk, namun jika dilaksanakan di lokasi yang tidak sesuai hanya akan mengakibatkan penambahan penduduk, pengurangan daya dukung lingkungan dan pemborosan biaya. Demikian halnya dengan program kualitas lingkungan pulau Pramuka. Beberapa kegiatan dalam program ini antara lain : 1) Penyediaan IPAL di Pulau Pramuka; 2) Penyelesaian jalan lingkar (keliling) Pulau Pramuka; 3) Pembuatan taman interaktif di lingkungan pemukiman; 4) Mempercantik dermaga kolam labuh depan Kantor Kabupaten ; 5) Pembuatan restoran apung di Pulau Pramuka ; 6) Pembuatan tribun VIP lapangan olah raga Pulau Pramuka. Dari enam sub program yang ada, hanya penyediaan IPAL dan kegiatan jalan lingkar keliling yang dapat diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan hidup masyarakat. Pola kegiatan ini sebetulnya lebih condong kepada pendekatan liberal karena lebih banyak pendekatannya biasanya dilakukan melalui proyek-proyek jangka pendek. Tujuan membangun harmoni dan kenyamanan memang dapat dilakukan melalui pemenuhan kebutuhan psikologis melalui rekreasi dan wisata. Tapi membangun tempat wisata di daerah wisata, apakah merupakan kebijakan yang tepat, mengingat Kepulauan Seribu merupakan tujuan wisata. Tabel 94 memperlihatkan program prioritas wilayah tahun 2008 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ditinjau dari teori ekonomi.
297
Tabel 95 Program Prioritas Wilayah Tahun 2008 No
Program
1 2 3 4 5 √ √ √
4
√
√
3
3 Menjadikan Pulau Tidung Kecil √ √ √
√
4
√
3
1 Menjadikan
Teori Heterodox
Teori Liberal Frek Teori Radikal Frek
Pulau Lancang √ sebagai kawasan wisata andalan kedua setelah Pulau Untung Jawa 2 Penyediaan pemukiman bagi √ masyarakat di Pulau Panggang dan Pulau Kelapa serta melakukan kajian penyediaan sumber tenaga listrik di Pulau Damar
sebagai kawasan wisataagro dan edukasi 4 Meningkatkan kualitas √ lingkungan Pulau Pramuka sebagai kawasan percontohan (Ibukota Kabupaten)
√
1 2 3 4 5 √
√
√
1 2 3 4 5 1
1
√
Frek
√
1
√
1
1
1
Tabel 96 Platform Ideologi Program Prioritas Wilayah Tahun 2008 No
Program
Teori Liberal
1
Menjadikan Pulau Lancang sebagai kawasan wisata andalan kedua setelah Pulau Untung Jawa Penyediaan pemukiman bagi masyarakat di Pulau Panggang dan Pulau Kelapa serta melakukan kajian penyediaan sumber tenaga listrik di Pulau Damar Menjadikan Pulau Tidung Kecil sebagai kawasan wisataagro dan edukasi Meningkatkan kualitas lingkungan Pulau Pramuka sebagai kawasan percontohan (Ibukota Kabupaten)
√
2
3 4
Teori Radikal
Teori Heterodox
√
√
√
Melihat kebijakan yang ada melalui program kerja di bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat serta program-program prioritas terlihat bahwa kebijakan yang dijalankan pemerintah Kepulauan Seribu lebih berhalauan liberal. Strategi pengembangan ekonomi ditekankan kepada pertumbuhan ekonomi dengan tujuan pembangunan ditekankan pada tingginya PAD dan PDRB. Pola
298
pendekatan pembangunan seperti ini merupakan cerminan dari kebijakan pemerintah pusat. Kepulauan Seribu yang masih berada dalam wilayah DKI Jakarta tentunya sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang ada di atasnya. Pendekatan liberal memberi ruang sebesar-besarnya kepada mekanisme pasar dengan strategi mendatangkan investor dalam mengelola pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu untuk berbagai pemanfaatan khususnya sebagai lokasi wisata bahari. Investasi pariwisata bahari terbukti hanya akan membatasi akses nelayan dan masyarakat pesisir untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut. Mekanisme pengelolaan yang cenderung ekslusif hanya akan menjadikan nelayan semakin tersudut dan terpojok pada lingkungan hidup yang kumuh, padat, sesak dengan kondisi sumber daya alam yang semakin rusak. Faktor alam dan pola pendapatan yang sangat ditentukan musim, ditambah akses yang terbatas, pola hubungan ekploitatif di lingkungan nelayan dan lemahnya faktor kelembagaan dan kebijakan, semakin memperburuk masa depan kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir serta memperjelas kemiskinan kronis yang akan dideritanya. 7.3.3
Peran Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu tersusun oleh Ekosistem Pulau-
Pulau Sangat Kecil dan Perairan Laut Dangkal, yang terdiri dari Gugus Kepulauan dengan 78 pulau sangat kecil, 86 Gosong Pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.136 hektar (Reef flat 1.994 ha, Laguna 119 ha, Selat 18 ha dan Teluk 5 ha), terumbu karang tipe fringing reef, Mangrove dan Lamun bermedia tumbuh sangat miskin hara/lumpur, dan kedalaman laut dangkal sekitar 20-40 m. Dari jumlah pulau yang berada di dalam kawasan TNKS yang berjumlah 78 pulau, diantaranya 20 pulau sebagai pulau wisata, 6 pulau sebagai hunian penduduk dan sisanya dikelola perorangan atau badan usaha. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, membagi zonasi pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu sebagai berikut :
299
•
Zona Inti Taman Nasional (4.449 Hektar) adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia
•
Zona Perlindungan Taman Nasional (26.284, 50 Hektar) adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti taman nasional.
•
Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional (59.634,50 Hektar) adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata.
•
Zona Pemukiman Taman Nasional (17.121 Hektar) adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk masyarakat.
•
Zona Pemukiman meliputi perairan sekitar Pulau Pemagaran, Panjang Kecil, Panjang, Rakit Tiang, Kelapa, Harapan, Kaliage Besar, Kaliage Kecil, Semut, Opak Kecil, Opak Besar, Karang Bongkok, Karang Congkak, Karang Pandan, Semak Daun, Layar, Sempit, Karya, Panggang, dan Pramuka, pada posisi geografis 5°38'00"-5°45'00" LS dan 106°33'00"106°40'00" BT Kelurahan P. Panggang termasuk dalam wilayah TNKS, sehingga setiap
aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di wilayah ini senantiasa bersinggungan dengan pihak TNKS.
Keberadaan TNKS bagi sebagian
masyarakat telah banyak membantu khususnya dalam upaya pemulihan terumbu karang, mangrove dan ekosistem pesisir lainnya. Beberapa program yang pernah dijalankan dengan mendorong partisipasi masyarakat di dalamnya, antara lain : a.
Program Rehabilitasi Karang dan Perlindungan Kawasan Konservasi Mandiri Program ini merupakan salah satu bentuk dari pemberdayaan masyarakat
yang dilakukan oleh TNKS. Program ini diinisiasi dengan pertimbangan kondisi Kepulauan Seribu tersusun dari ekosistem pulau-pulau sangat kecil dan perairan laut dangkal yang unik, khas dan berpotensi sebagai daerah reproduksi biota laut namun sangat rentan dan mudah rusak. Adanya program ini juga didorong oleh fakta masyarakat Kepulauan Seribu yang mayoritas nelayan dan mempunyai
300
ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem terumbu karang, mangrove dan ekosistem pesisir lainnya.
Di sisi lain, kerusakan ekosistem pesisir dan laut
semakin tinggi yang mengancam kualitas ekosistem SDPL tersebut dan pada gilirannya mempengaruhi kesejahteraan masyarakat pesisir Kepulauan Seribu. Program Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Rehabilitasi Karang dan Perlindungan Kawasan Konservasi Mandiri telah di mulai sejak Tahun 2003 dengan kegiatan penyuluhan penyadaran dan pembangunan percontohan penangkaran. Tahun 2005 program pemberdayaan masyarakat berjalan dengan Surat Dirjen PHKA Nomor : S.684/IV-KKH/2005 tanggal 11 Nopember 2005 perihal transplantasi koral di TNKS. Program ini dilaksanakan dengan rehabilitasi karang secara mandiri oleh nelayan dan sebagai insentif adalah usaha ekonomi budidaya karang hias di sekitar pulau pemukiman di zona pemukiman TN Kepulauan Seribu. Peserta program adalah nelayan yang tergabung dalam PERNITAS (Perhimpunan Nelayan Karang Hias) dan dilakukan dengan sistem "Bapak Angkat" dengan bekerjasama dengan Pengusaha sebagai bapak angkat. Sampai Tahun 2008 sebanyak 17 kelompok nelayan yang ikut serta atau mampu menyerap tenaga kerja kurang lebih sebanyak 110 orang. Perusahaan (bapak angkat) yang iku serta mendukung program ini sebanyak 24 buah. Diperkirakan program ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 200 - 300 orang. Secara finansial, kegiatan pemberdayaan masyarakat ini mampu mengangkat perekonomian nelayan dengan peningkatan pendapatan 1-3 juta/ bulan. secara ekologi juga mampu mendukung penyelamatan terumbu karang, dengan menurunnya pencurian dan pengeboman terumbu karang sehingga tutupan karang menjadi naik, nelayan berkewajiban melakukan restoking karang ke alam. Berdasarkan hasil survey lapangan, keberadaan organisasi Pernitas tidak terlalu aktif, bahkan dipenuhi konflik internal sehingga memicu terbentuknya kelompok nelayan ikan hias lain yaitu Klompis (organisasi nelayan pencinta ikan hias).
Usaha budidaya karang hias secara kasat mata dapat menjadi mata
pencaharian alternatif bagi masyarakat nelayan. Namun, jika diperhatikan pola kemitraan yang terjalin yaitu dengan sistem ”bapak angkat” dimana pengusaha karang hias sebagai bapak angkatnya, maka yang keuntungan terbesar cenderung
301
dinikmati oleh pengusaha sebagai bapak angkat.
Nelayan ikan hias hanya
diposisikan sebagai buruh dan akses terhadap pasar tetap dipegang oleh pengusaha sebagai Bapak angkat. Pola hubungan seperti ini merupakan bentuk ketergantungan ekonomi yang lazim terjadi di lingkungan masyarakat pesisir, seperti dalam pola hubungan antara nelayan buruh dengan pemilik kapal atau nelayan kecil dengan bakul ikan. Keterbatasan akses modal dan pasar seringkali menjadi hambatan meskipun pelaksanaan program ini dalam bentuk kelompok. Hambatan yang sering terjadi adalah konflik internal dalam kelompok akibat sikap-sikap individu dan pragmatisme masing-masing anggota.
Hal itu yang
dapat dilihat dalam Kelmpok Pernitas yang saat ini mulai kurang aktif dan nelayan mendirikan organisasi baru yaitu Klompis. b.
Model Desa Konservasi Model Desa Konservasi (MDK) merupakan desa yang dijadikan model
dalam upaya memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi, dengan memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Tujuan pembentukan MDK adalah untuk pelestarian kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu dan mewujudkan kesejahteraan Masyarakat. Ujung tombak dari MDK adalah SPKP (Sentra Penyuluhan Konservasi Pedesaan). Ada 3 (tiga) SPKP yaitu SPKP Bintang laut di kelurahan Pulau Kelapa, SPKP Elang Bondol di Kelurahan P. Harapan, SPKP Samo-samo di Kelurahan P. Pramuka. Sebagai ujung tombak, SPKP akan berperan sebagai kordinator, fasilitator dan atau pelaksana. Model Desa Konservasi (MDK) diluncurkan secara resmi pada tanggal 19 Agustus 2008, bertempat di Kantor Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, BTN Kepulauan Seribu secara resmi meluncurkan. Pembentukan sampai peluncuran MDK memerlukan waktu yang panjang dan berbagai langkah. Perjalanan MDK dimulai Desember 2005 dengan kegiatan identifikasi dan penetapan desa terpilih sekaligus penyusunan master plan MDK. Bulan November 2006 dilakukan pembentukan SPKP di kelurahan Panggang, Bulan Desember 2006 pembentukan SPKP Kelurahan Pulau Harapan dan Bulan Nopember 2007, pembentukan SPKP
302
kelurahan Pulau kelapa. Untuk memperkuat kelembagaan SPKP dilakukan kegiatan penguatan kelembagaan antara lain workshop MDK dan rembug warga. Proses pembentukan MDK dilakukan secara bertahap mulai dari proses identifikasi, pembuatan master plan, pembentukan Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) dan penguatan kelembagaan melalui workhsop dan rembug desa.
Dalam program ini pelibatan masyarakat berperan penting dalam
pelestarian kawasan TNKS. Upaya pihak TNKS dengan melibatkan masyarakat merupakan langkah yang tepat karena aktivitas-aktivitas pengrusakan ekosistem pesisir dan laut di kawasan konservasi ini seringkali dilakukan oleh masyarakat. Tindakakan
ini
dilakukan
guna
mendorong
masyarakat
agar
ikut
bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan kawasan taman nasional. Pendekatan keamanan yang cenderung represif selama ini terbukti kurang ampuh dalam menghalau upaya-upaya pengrusakan.
Masyarakat selama ini kurang
dilibatkan dalam proses pengelolaan kawasan.
Akibatnya seringkali terjadi
pengrusakan ekosistem di kawasan taman nasional. Namun demikian, idealnya masyarakat di lingkungan kawasan taman nasional ini juga merasakan dampak positif dari keberadaan taman nasional. Berdasarkan hasil wawancara 47% penduduk merasakan cukup diperhatikan oleh pemerintah daerah termasuk pihak taman nasional, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan melalui program pemberdayaan masyarakat. Meskipun sebagian masyarakat masih merasakan bahwa sangsi dan peraturan yang diterapkan oleh pihak TNKS seringkali memberatkan sehingga tidak jarang di beberapa tempat terjadi konflik sosial antara nelayan dengan pihak taman nasional.
Namun
intensitas konflik ini sangat minim. Hal ini menunjukkan pola pendekatan yang dilakukan pihak TNKS cukup baik. Pelibatan masyarakat dalam membangun MDK idealnya mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Faktanya, penduduk di
kawasan TNKS masih berada dalam kemiskinan. Masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut namun aktivitas-aktivitas penangkapan dengan alat tangkap terlarang dan teknologi modern seperti mouroami seringkali luput dari perhatian aparat TNKS. Hal ini mendorong ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat yang terkesan melakukan pembiaran terhadap
303
aktivitas penangkapan yang merusak. Ketidakpercayaan ini melahirkan tindakan pengrusakan serupa terhadap ekosistem pesisir dan laut oleh nelayan tradisional dengan menggunakan potasium. Saat ini kecenderungan pemakaian potasium mengalami penurunan yang sangat signifikan. Kesadaran untuk menjaga kualitas ekosistem pesisir dan laut khususnya terumbu karang makin tinggi. Terbukti aktivitas pengeboman menurut Yayasan Terangi menurun dan upaya rehabilitasi terumbu karang mulai terbangun di kalangan masyarakat Keluarahan P. Panggang. Perubahan sikap ini terbentuk karena upaya massif dan pendampingan yang dilakukan oleh TNKS dan beberapa LSM termasuk Yayasan Terangi tentang pentingnya memelihara eksosistem terumbu karang dan SDPL lainnya. Perubahan main set dan paradigma masyarakat dalam hal ini terbentuk sebagai akibat adanya pengaruh dari pihak luar dan tidak terbangun dari masyarakat sendiri.