6. SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN (SPK) AGROESTAT 6.1 Konfigurasi Model Rekayasa Sistem Penunjang Keputusan (SPK) Agroestat mempertimbangkan aspek potensi sumberdaya lokal pada suatu kawasan yang telah ada (given factor) menuju kepada tatanan ideal yang dikehendaki. Model dirancang terbuka sesuai diagram pada Gambar 21, yang memungkinkan untuk aplikasi pada daerah otonom lain dengan beberapa penyesuaian.
Gambar 21. Diagram Rekayasa SPK Agroestat Cakupan dari SPK Agroestat dibatasi pada subsistem infrastruktur, yaitu tentang perhitungan penyediaan dan pengelolaan jaringan infrastruktur, sesuai kebutuhan (demand) dan dana tersedia pada anggaran Pemerintah Daerah (APBD). Hal ini terjadi
146
karena subsistem yang lain tentang Pewilayahan, Bisnis, Pembiayaan, dan Manajemen merupakan bagian dari pola Agroestat yang bersifat deskriptif. Model terdiri dari tiga bagian utama, yaitu: sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model, dan sistem manajemen dialog. SPK didesain dalam bentuk software dengan menggunakan program Visual Basic 6.0.
Gambar 22. Diagram Alir Deskriptif – Pemilihan Strategi.
147
6.1.1
Sistem Manajemen Basis Model Sistem manajemen basis model, yang didukung oleh beberapa submodel,
merupakan fasilitas yang digunakan sebagai penunjang pengambilan keputusan yang berisi formula matematis. Model-model simulasi dilakukan dalam koridor kenaikan minimal penghasilan petani. Basis model utama terdiri dari empat model simulasi guna pemilihan strategi dan perhitungan hubungan keterkaitan antara besarnya peningkatan irigasi oleh Pemerintah dengan potensi peningkatan demand, yaitu: 1) Model Pemilihan Strategi Dengan mempelajari hasil Analisis Strategi Dasar Pengembangan Agroestat, maka diperoleh altenatif strategi internal dan eksternal yang dimasukkan sebagai data alternatif dari database. Penilaian, penentuan prioritas dan pemilihan strategi dasar dilakukan dengan bantuan pakar. Kriteria data yang digunakan adalah sepuluh nilai sesuai hasil pengolahan data dari Analisis Kebutuhan. Melalui scoring (pemberian bobot kriteria) oleh pakar, maka seluruh alternatif strategi yang disusun dapat disimpulkan dalam urutan prioritas strategi yang direkomendasikan. Proses ini digambarkan dalam Gambar 22. 2) Model Perubahan Demand Model Perubahan Demand adalah bagian dari SPK Agroestat untuk menghitung peningkatan jaringan irigasi yang diperlukan berkenaan dengan antisipasi kenaikan demand pada tahun-tahun mendatang (Gambar 23). 3) Model Perubahan Irigasi Tingkat harga pasar bebas sangat terpengaruh oleh besarnya pasok (supply) yang masuk ke pasar, yang berasal dari hasil produksi budidaya. Keseimbangan besarnya pasok terhadap tingkat permintaan (demand) menciptakan keseimbangan harga alami pada tingkat harga yang dikehendaki. Untuk mengurangi fluktuasi produksi, maka penanaman pada musim hujan harus dikurangi dan sebaliknya penanaman di musim kemarau harus ditingkatkan, yaitu tercermin dari intensitas tanam oleh petani yang sangat tergantung dari luas lahan yang
148
beririgasi. Hal ini berarti dibutuhkan peningkatan jaringan irigasi yang sebenarnya telah ada secara fisik namun tanpa air yang disalurkan, khususnya di musim kemarau. Peningkatan jaringan irigasi berdampak pada intensitas tanam yang secara langsung meningkatkan hasil produksi budidaya.
Gambar 23 : Diagram Alir Deskriptif – Perubahan Demand. Model perubahan irigasi sebagai bagian dari SPK untuk menghitung kapasitas perubahan demand yang dapat dilayani hasil dari peningkatan jaringan irigasi, untuk
149
dapat mencapai tingkat harga (stabil) yang dikehendaki. Fluktuasi produksi yang terjadi pada periode bulanan diseimbangkan dengan pengendalian stok melalui fungsi gudang (Gambar 24).
Gambar 24. Diagram Alir Deskriptif – Perubahan Irigasi.
150
4) Model Perubahan Irigasi Terbatas Dalam kenyataan, walaupun dapat diprediksi tingkat demand yang akan terjadi pada tahun bersangkutan serta diketahui besarnya lahan beririgasi yang diperlukan, namun keterbatasan biaya yang dapat disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seringkali terjadi. Melalui proses komputasi dengan metode regresi dapat diperoleh hasil perhitungan tentang intensitas tanam yang dapat dicapai serta tingkat harga yang akan terjadi. Melalui proses interaksi dengan pemasukan input yang beragam dapat ditentukan tingkat/besarnya pasok (supply) yang masuk ke pasar, yang berasal dari hasil produksi budidaya. Model memberi keleluasaan dengan beberapa variabel yaitu tingkat permintaan (demand) dan luas lahan beririgasi yang akan ditambahkan. Model Perubahan Irigasi Terbatas sebagai bagian dari SPK untuk menghitung tingkat harga yang terjadi akibat peningkatan jaringan irigasi yang ditentukan berdasarkan ketersediaan dana pembangunan Pemerintah Daerah (Gambar 25).
6.1.2
Sistem Manajemen Basis Data Sistem manajemen basis data merupakan komponen model pengelola data
meliputi fasilitas input, edit, hapus dan tampilan data. Model ini mencakup lima bagian penanganan data, yaitu: basis data tata guna lahan dan infrastruktur, data perekonomian wilayah, data potensi wilayah, data supply dan nilai tambah dalam agribisnis, dan data kelembagaan.
6.1.3
Sistem Pengolahan Data Terpusat Sistem pengolahan data terpusat berfungsi memadukan sistem manajemen basis
data dengan sistem manajemen basis model dalam sistem terintegrasi. Sistem manajemen basis data dan sistem manajemen basis model bersifat komplemen dalam sistem pengolahan data terpusat.
151
6.1.4
Sistem Manjemen Dialog Sistem manajemen dialog adalah komponen yang dirancang untuk mengatur dan
mempermudah interaksi antara model (program komputer) dengan pengguna. Masukan berupa parameter data dan pilihan skenario, sedangkan keluaran yang diberikan berupa informasi dalam bentuk tabel dan pernyataan yang mudah dipahami. Mulai
DATABASE Data luas lahan total Data produksi per hektar Data tahunan : ○ Data lahan tanam per bulan ○ Data produksi per bulan ○ Data harga per bulan Input manual : Prosentasi perubahan (kenaikan) keseimbangan harga per tahun
Perhitungan dengan Metode Regresi Linear
Formulasi Luas lahan ber-irigasi Frekuensi tanam rata-rata Fungsi Produksi vs harga jual
Fungsi Luas lahan vs produksi
Input manual : Prosentasi tambahan/ peningkatan demand
Perhitungan menggunakan Metode Regresi Linear
Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah (APBD)
Input manual : Prosentasi tambahan jaringan irigasi - luas lahan
Hasil : Perhitungan frekuensi tanam dan volume produksi budidaya Tingkat keseimbangan harga yang terjadi
Keuntungan petani > 22%
Tidak
Ya
Selesai
Gambar 25. Diagram Alir Deskriptif – Perubahan Irigasi Terbatas.
152
6.2 Validasi Model Model Agroestat dilengkapi dengan rekayasa Sistem Penunjang Keputusan (SPK) yang memungkinkan untuk aplikasi pada suatu daerah otonom dengan beberapa penyesuaian sesuai karakter khusus di daerah setempat. Rekayasa dilengkapi dengan struktur data dan variable dengan mempertimbangkan aspek potensi sumberdaya lokal pada suatu kawasan yang telah ada (given factor) menuju kepada tatanan ideal yang dikehendaki (Gambar 26). Pada bab ini model yang telah diuraikan pada Bab 5 serta dilengkapi dengan diagram alir deskriptif untuk masing-masing akan diuji (validasi) dengan data nyata yang diperoleh dari hasil penelitian lapang. Validasi model penelitian ini dilaksanakan untuk daerah otonom Kabupaten Brebes, dengan komoditi unggulan hortikultura. Data yang digunakan terutama berbentuk data sekunder, dilengkapi beberapa data primer. Mulai
1. Pola Rekayasa dan 2. Faktor Penentu Keberhasilan Pengembangan Agroestat
1. Teori Sistem 2. Analisis Financial
Analisis Model Konseptual Pola Agroestat dan rancang bangun SPK untuk pemilihan dan perencanaan bentuk subsidi pemerintah
Struktur faktor-faktor keberhasilan dalam pengembangan Agroestat
1. Dasar keterpaduan wilayah dalam tata ruang Kabupaten 2. Formulasi peran pemerintah 3. Struktur dan bentuk subsidi 4. Keterkaitan infrastuktur dan penghasilan petani 5. Kemandirian petani dan Lembaga Keuangan Mikro 6. Kelembagaan Badan Pengelolaan
Rekayasa Model SPK untuk subsidi pemerintah (jaringan infrastruktur) dalam Pola Agroestat
1. Data kabupaten 2. Analisis Financial 3. Metoda Regresi
Rekayasa Pola Agroestat
Validasi Model SPK Agroestat di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
SPK Agroestat
Selesai
Gambar 26. Alur Pikir Rekayasa SPK Agroestat.
153
Dalam lingkup nasional, perimbangan supply-demand komoditi hortikultura masih
menunjukkan
produksi/pengadaan
ketimpangan hortikultura
(Tabel
23),
merupakan
sehingga
upaya
upaya
substitusi
peningkatan
impor
(import
substitution) yang perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hal-hal berikut ini: 1) Kontinyuitas produksi dalam jumlah dan kualitas yang memadai. 2) Mutu yang sesuai standar konsumsi masyarakat yang hanya dapat dicapai dengan mengurangi penggunaan pestisida, herbisida, fungisida, maupun insektisida, sehingga sehat secara lingkungan. 3) Harga bersaing pada tingkat internasional, sehingga mampu bersaing dengan negara-negara tropis penghasil komoditi hortikultura yang lainnya. Tabel 23 Volume Ekspor/Impor Niaga Bawang Merah. Tahun
2002
2003
2004
Konsumsi per kapita
kilogram
2.20
2.20
2.19
Jumlah penduduk
juta orang
231.40
234.90
238.45
Total konsumsi
ribu ton
509.08
516.78
522.21
Jumlah produksi
ribu ton
482.96
479.57
477.92
Ekspor
ton
6,816
5,402
4,637
Impor
ton
32,929
42,608
48,927
ton
(26,113)
(37,206)
(44,290)
%
-5.13%
-7.20%
-8.48%
Net Ekspor (Impor) Sumber : BPS (2005) – (diolah)
Peta produksi bawang merah di Indonesia (Gambar 27) menunjukkan bahwa pangsa produksi (1999) terbesar terletak di wilayah Brebes dan daerah sekitarnya (48%), dimana Kabupaten Brebes sendiri menghasilkan 27.38% (atau 57.04% dari wilayah Brebes). Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Brebes mempunyai peran utama dalam perdagangan bawang merah di Indonesia, artinya kegagalan panen di Brebes berakibat fatal pada volume impor yang melimpah dan sebaliknya, keberhasilan peningkatan hasil budidaya (kualitas dan kuantitas) di Brebes mampu menangkal impor bahkan meningkatkan ekspor bawang merah. Secara umum di Indonesia, petani-petani
154
dengan lahan sehamparan mendominasi produksi (budidaya), namun pemasaran, proses, dan kegiatan ekspor/impor komoditi dikuasai oleh pengusaha dan perusahaan besar di kota besar Jakarta dan Surabaya (Spencer dan Quane, 1999). Rantai usaha agroindustri dalam alur niaga bawang merah dapat dilihat pada Tabel 18 di atas. Dapat disimpulkan bahwa pemilihan bawang merah sebagai komoditi unggulan Kabupaten Brebes sudah tepat karena perannya tidak terbatas pada kepentingan lokal tetapi juga regional maupun nasional.
6.2.1
Industri Pasca Panen Bawang Merah Industri pasca panen bawang merah merupakan peluang untuk mengalihkan
sebagian dari nilai tambah yang ada di subsektor agroindustri (industri) ke subsektor usahatani (pertanian). Pengolahan bawang merah yang dilakukan oleh petani dengan proses yang sederhana dan biaya investasi yang rendah memberi nilai tambah serta peningkatan pendapatan petani secara nyata. Dalam kenyataan di lapangan, hal ini telah diserukan oleh petugas penyuluhan namun masih sangat sedikit petani yang melakukan diversifikasi kepada usaha industri rumah tangga. Umumnya hal ini diakibatkan oleh tidak tersedianya modal investasi yang dibutuhkan. Kandungan air bawang merah mencapai 80-85% menyebabkan bawang merah bersifat bulky dan mudah rusak. Kadar air ini dapat mengalami penyusutan sekitar 1015% bergantung pada lamanya waktu penyimpanan. Penurunan kadar air dalam jumlah yang lebih besar dapat terjadi bilamana bawang merah masih belum cukup matang saat dipanen atau banyak mengalami kerusakan selama penjemuran dan pengangkutan. Oleh karena itu bawang merah memerlukan penanganan pasca panen terutama dalam hal pengolahannya sehingga produk bawang merah bisa didapat setiap saat dengan harga yang stabil. Penanganan dan pengolahan pasca panen tersebut bertujuan untuk mempertahankan mutu bawang merah sebelum dikonsumsi, dilakukan melalui diversifikasi produk olahan (Rismunandar, 1989).
155
Brebes,Tegal, Slawi dan Sekitarnya Kendal
48%
Propinsi
Pati
2.53%
Nganjuk & sekitarnya
16.64%
1.19%
Pemekasan & Sampang
1.49%
17 8 15
10
4 5
9 1
6
21
12
18
16 14 22
4.95%
19 13
3 2
7
%
Jawa Tengah
30.09%
Jawa Timur
28.50%
Jawa Barat
15.66%
Nusa Tenggara Barat
10.79%
Sumatera Utara
3.31%
DI Yogyakarta
3.23%
Sulawesi Selatan
2.38%
Bali
1.64%
Sumatera Barat
1.06%
Nanggroe Aceh Darussalam
0.82%
20
11
Bandung & Garut
Peta per Kabupaten (1999) NAD 0.82%
2.35% Bantul & Kulon Progo
19.65% Probolinggo & Situbondo
Sumatera Utara 3.31%
Sulsel 2.38%
Jawa Tengah 30.09%
Sumatera Barat 1.06%
Jawa Barat 15.66%
DIY 3.28%
Jawa Timur 28.50%
Sulteng 0.58%
Peta per Propinsi (2003)
NTB 10.79%
Bali 1.67%
Gambar 27. Peta Produksi Bawang Merah di Indonesia 156
Beberapa penanganan pasca panen bawang merah yang sudah dikenal masyarakat diantaranya pengeringan umbi bawang merah dengan sinar matahari atau alat pengering dan pengeringan irisan bawang merah dengan roasting. Pada dasarnya dalam proses pengeringan terjadi penguapan air dengan tujuan untuk mengurangi kadar air sampai batas terhambat atau terhentinya perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzimatis yang dapat menyebabkan kebusukan. Bawang merah dapat diproses menjadi bermacam-macam produk olahan yang dapat memperpanjang umur simpannya. Industri pengolahan bawang merah yang ada di Kabupaten Brebes adalah: a. Industri bawang goreng merupakan industri mikro dengan lokasi tersebar di Kecamatan Brebes, Wanasari, Jatibarang, Bulakamba dan Kersana. Industri ini berproduksi secara besar-besaran pada saat panen raya atau saat harga bahan baku murah, sementara bila harga bahan baku mahal hanya untuk memenuhi pesanan bahkan tidak berproduksi. b. Industri acar bawang merah merupakan industri sedang berskala ekspor milik PT. Zeta Agro yang berlokasi di Kecamatan Paguyangan, daerah Brebes Selatan. Tidak ada keterkaitan (kerjasama) antara industri bawang goreng dengan petani budidaya. Tampak dari kenyataan bahwa bila harga bawang merah tinggi petani lebih suka menjual langsung kepada pengumpul/bakul. Petani biasanya meminta harga yang tinggi pada pengusaha agroindustri bawang merah sehingga bahan baku selama ini diperoleh dari pengumpul atau pasar. 1) Industri Bawang Merah Goreng Bawang merah goreng merupakan salah satu bumbu yang penting untuk melengkapi kelezatan citarasa dengan cara ditabur pada berbagai masakan tradisional Indonesia. Bawang merah goreng juga merupakan pelengkap dalam masakan siap santap seperti mie instan, mie goreng, dan nasi goreng. Di Kabupaten Brebes terdapat beberapa industri bawang goreng dengan skala industri mikro atau industri rumah tangga. Menurut catatan Dinas Perindustrian setempat, ada 16 pengrajin usaha bawang goreng dengan produksi antara 20-600
157
kg/bulan, sedangkan total produksi di Kabupaten Brebes mencapai 4,260 kg per bulan atau 51,120 kg per tahun. Para pengrajin usaha bawang goreng ini mempunyai suatu (lembaga) asosiasi yang bernama Asosiasi Pengusaha Bawang Goreng Kabupaten Brebes, namun belum berjalan dengan efektif. Pemasaran produk dilakukan oleh masing-masing pengusaha tanpa bantuan dari Asosiasi. Kegiatan Asosiasi selama ini hanya melakukan transfer informasi mengenai teknologi dan harga. Tabel 24 Komponen Biaya Industri Bawang Goreng (kapasitas 1.000 kg/bulan) Uraian
Jumlah
Unit
Bahan baku utama Bawang Merah
3000
kg
Bahan baku pendukung Tepung sagu
300
kg
Tepung beras
150
kg
Minyak Goreng Minyak Tanah
200 600
kg liter
1
paket
Plastik kemasan & label Tenaga kerja Pengupasan (borongan) Tenaga kerja pembantu Biaya tidak langsung Transpor
3000
kg
4
orang 25,000
rupiah/hari
1,000
rupiah/hari
Listrik dan air Biaya penyusutan alat
dihitung
Sumber: DPPPM Kab. Brebes (2006) – (diolah)
Sebagai gambaran, salah satu industri rumah tangga bawang goreng yang ada di kota Brebes setiap bulan membutuhkan 3,000 kg bawang mentah yang akan diproses menjadi 1,050 kg bawang goreng. Tenaga kerja yang digunakan hanya sebagai tenaga pengupas dengan upah Rp.600 per kg, sedangkan pekerjaan perajangan dan penggorengan dilakukan oleh keluarga sendiri. Mesin untuk pembuatan bawang goreng terdiri dari mesin perajang, mesin peniris air dan minyak dan penggorengan dengan bahan bakar minyak tanah, sedangkan pemasaran produk dijual ke Tegal, Brebes, Slawi dengan sistem konsinyasi. Khusus
158
untuk pembeli dari daerah luar kota (Boyolali/ Pekalongan) penjualan menggunakan sistem tunai untuk mengurangi biaya penagihan. Para pembeli dari dalam dan luar kota datang dua minggu sekali dengan membawa barang 100-200 kg bawang goreng yang telah dikemas dalam kemasan 1 kg dengan harga Rp.25,000 per kemasan. Tabel 25 Investasi Mesin dan Peralatan Industri Bawang Goreng (kapasitas 1.000 kg/bulan) Uraian Mesin Mesin pengiris bawang Mesin sealer kemasan Mesin peniris air Mesin peniris minyak Mesin penggorengan Peralatan Susruk Serok Baskom besar Ember Timbangan Alat sortasi Metal detektor Kompor brader Ruang kerja Sewa bangunan
Harga
Total Harga
Penyusutan
Rupiah
Rupiah
Tahun
Jumlah
Unit
1 1 2 2 2
buah buah buah buah buah
10,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000 1,000,000
10,000,000 5,000,000 10,000,000 10,000,000 2,000,000
10 10 10 10 5
4 4 4 5 1 2 1 2
buah buah buah buah buah buah buah buah
50,000 100,000 100,000 50,000 1,500,000 500,000 25,000,000 800,000
200,000 400,000 400,000 250,000 1,500,000 1,000,000 25,000,000 1,600,000
5 5 5 5 5 5 10 5
500
m2/tahun
5,000,000
5,000,000
1
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kab. Brebes (2005) – (diolah)
a. Net Present Value (NPV) Metoda ini menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang surplus (defisit) operasional kas bersih di masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang tersebut harus ditentukan tingkat diskonto (discount factor) yang relevan. Kriteria umum adalah apabila akumulasi nilai sekarang dari arus kas bersih lebih besar di masa yang akan datang daripada nilai sekarang investasi, maka dikatakan Net Present Value (NPV) proyek tersebut positif berarti menguntungkan (Tabel 26). Hal ini berarti, berdasarkan kriteria NPV, industri bawang merah goreng layak untuk dijalankan, karena akan memberikan keuntungan bagi investor. b. Internal Rate of Return (IRR) Perhitungan Internal Rate of Return (IRR) digunakan untuk menunjukkan tingkat bunga yang dapat dipikul oleh proyek/investasi tertentu. Tingkat IRR yang lebih
159
besar dari tingkat suku bunga menunjukkan bahwa proyek ini dapat diterima dan layak untuk dijalankan, karena menguntungkan (Tabel 26). c. Net Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio) Dengan nilai Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) lebih besar dari 1 (satu) ini memberikan informasi bahwa proyek ini layak diterima karena menguntungkan. Net B/C 1.282 yang diperoleh dapat diartikan bahwa tiap pengeluaran sebesar Rp. 1 akan memberikan manfaat sebesar Rp. 1,282 (Tabel 26). d. Break Even Point (BEP) Break Even Point adalah kriteria yang mengukur besar volume produk yang harus diproduksi atau dijual, hingga dicapai suatu titik di mana tingkat keuntungan dan biaya adalah sama. Perincian mengenai analisis Break Even Point dari industri bawang merah goreng pada berbagai kapasitas dapat dilihat pada Tabel 26. e. Payback Period (PBP) Metoda Payback Period memberikan gambaran pada investor seberapa cepat proyek ini mengembalikan investasi yang tertanam. Satuan yang digunakan adalah waktu (tahun). Berdasarkan kriteria kelayakan investasi ini, dapat dilihat bahwa dari sisi Payback Period industri bawang merah goreng adalah layak (Tabel 26). Apabila industri bawang merah goreng ini direalisasikan maka petani bawang merah akan terjamin harga jualnya dan hasil panennya. Hasil perhitungan PBP pada berbagai kapasitas dapat dilihat pada Tabel 26. 2) Acar Bawang Merah Di Kabupaten Brebes terdapat industri acar bawang merah yang merupakan industri sedang berskala ekspor milik PT. Zeta Agro yang terletak di Kecamatan Paguyangan, daerah Brebes Selatan. Produk acar bawang merah ini merupakan usaha agroindustri yang menguntungkan karena biaya produksinya tidak mahal, dan penampilan produk cukup menarik.
160
Tabel 26 Hasil analisis kelayakan industri bawang goreng pada berbagai kapasitas Kriteria Investasi Kapasitas (kg/hari)
NPV (Rp)
IRR (%)
PBP (tahun)
BEP (kg)
ROI (%)
NET B/C
200
196,637,335
35.89%
2.73
2,055.42
8.62%
1.109
250
414,023,893
47.09%
2.25
1,823.29
12.30%
1.155
300
631,410,450
54.86%
1.99
1,779.24
14.95%
1.189
350
848,797,008
60.72%
1.83
1,802.72
16.94%
1.214
400
1,066,183,566
65.33%
1.72
1,858.07
18.50%
1.234
450
1,283,570,124
69.08%
1.64
1,930.96
19.76%
1.249
500
1,500,956,681
72.20%
1.57
2,014.56
20.78%
1.262
550
1,718,343,239
74.83%
1.53
2,105.15
21.64%
1.273
600
1,935,729,797
77.08%
1.49
2,200.58
22.37%
1.282
Asumsi : kenaikan biaya variabel 15% per tahun dan kenaikan harga jual 10% per tahun
3) Oleoresin Bawang Merah Pembuatan oleoresin bawang merah yang berasal dari bawang merah segar merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kualitas aroma dan memperpanjang daya simpan serta lebih menguntungkan karena lebih mudah dan praktis dalam pengemasan dan penyimpanan. Oleoresin merupakan ekstrak kental yang mengandung resin dan minyak atsiri ysng dapat dihasilkan melalui ekstraksi dengan pelarut dan mengandung semua senyawa penyusun flavor yang larut dalam pelarut organik khusus. Pelarut ini dapat dipisahkan dengan cara diuapkan. 4) Pasta Bawang Merah Produk pasta bawang merah dimanfaatkan sebagai bumbu masakan dengan pengemasan yang lebih praktis dan daya simpan yang cukup lama. Menurut Hanas (1993), masalah utama yang dihadapi oleh produk yang mengandung lemak adalah terjadinya proses oksidasi, karena hal ini dapat menyebabkan perubahan pada rasa, aroma, warna, dan kekentalan tekstur produk. Untuk mencegah terjadinya oksidasi pada produk pasta bawang merah maka perlu ditambahkan bahan antioksidan.
161
5) Tepung Bawang Merah Salah satu pemanfaatan bawang merah yang paling umum adalah berbentuk bubuk atau tepung yang diperoleh dengan cara penghancuran bawang merah kering. Selain itu bubuk bawang merah dapat juga dibuat dengan mengeringkan ekstrak bawang (Reinneccius, 1994). Tepung bawang merah merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan daya simpan bawang merah, sehingga proses pengemasan dan penyimpanan menjadi lebih mudah dan praktis.
6.2.2
Tingkat Laba Usaha
1) Metode Penilaian Tingkat Laba Usaha Penilaian hasil usaha petani biasanya dilakukan secara sederhana sehingga mudah untuk dimengerti oleh petani dengan metode cash-basis. Analisis keuangan dan ekonomi menggunakan asumsi bahwa harga merupakan gambaran nilai (value). Posisi distribusi tingkat keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pelaku utama dalam agribisnis bawang merah di Kabupaten Brebes saat ini digambarkan dalam Tabel 27 yang menunjukkan beberapa hal sebagai berikut: a. Petani benih telah mendapatkan tingkat keuntungan yang memadai yaitu 22%. b. Petani budidaya merupakan pelaku dengan tingkat keuntungan yang terendah (10%) dengan resiko yang terbesar, selain pengorbanan dan upaya fisik yang berat dan kurun waktu yang panjang. c. Tengkulak memperoleh tingkat keuntungan yang besar (29%) dan Pedagang Besar (7%) atau Industri (16%) dirasa sangat memadai. Pengaturan pasar melalui subsidi secara tidak langsung dari Pemerintah Kabupaten, berupa peningkatan jaringan irigasi maupun pengendalian tingkat pasokan pada pasar harus diupayakan untuk perolehan tingkat keuntungan petani menjadi setara dengan petani benih sekurang-kurangnya sebesar 22%. Variabel penting yang diperhitungkan dan harus diupayakan adalah harga jual, Masyarakat konsumen (pembeli non lembaga) di Indonesia sangat mengutamakan harga dari pada kualitas, hanya 5% pembeli yang menilai kualitas lebih daripada harga (Spencer dan Quane, 1999).
162
Tabel 27 Struktur Distribusi Keuntungan dalam Rantai Agribisnis Bawang Merah Uraian
Benih
Jumlah produksi (kg)
Budidaya
4,500
Penyusutan (kg)
25,000
500
Tengkulak
Pedagang
25,000
22,500
2,500
1,125 21,375
Produksi bersih (kg)
4,000
25,000
22,500
Harga jual per kg (Rupiah)
8,000
3,275
5,300
6,000
Hasil penjualan (Rupiah)
32,000,000
81,875,000
119,250,000
128,250,000
Biaya Produksi
26,286,800
74,599,000
82,955,000
122,082,000
Retribusi
200,000
27,000
Biaya Bongkar
816,000
Biaya Angkut Biaya Produksi Total Laba (Rupiah)
1,200,000
2,465,000
Industri
22,500
201,250,000
26,286,800
74,599,000
85,171,000
119,590,000
173,262,500
5,713,200
7,276,000
34,079,000
8,660,000
27,987,500
22%
10%
29%
7%
16%
Sumber : DPKKT, DPPPM Kab. Brebes (2006) – (diolah)
Analisis Kelayakan Budidaya Bawang Merah Seperti hal nya pada industri bawang merah goreng, kriteria penilaian investasi yang dipakai dalam penentuan kelayakan budidaya bawang merah adalah NPV, IRR, PBP, Net B/C Ratio, ROI dan BEP. Hasil perhitungan biaya produksi dan hasil penjualan bawang merah selama sepuluh tahun dengan peningkatan frekuensi tanam pada tahun keenam dapat dilihat pada Tabel 28. Dari perhitungan arus kas selanjutnya dilakukan analisis finansial untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya tersebut. Asumsi yang digunakan untuk penentuan kelayakan usaha ini adalah perbandingan modal sendiri dengan pinjaman sebesar 30:70 (dalam prosentasi). Hal ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian lapang yang menyatakan petani budidaya masih menggunakan modal pinjaman (Tabel 29). Berdasarkan hasil analisis, usaha budidaya bawang merah selama sepuluh tahun ke depan akan memberikan keuntungan bagi petani. Hal ini dapat dilihat dari nilai NPV yang positif, IRR lebih besar dari bunga bank yang berlaku dan PBP yang cukup singkat. B/C rasio menghasilkan nilai 1.08, ini artinya setiap biaya yang dikeluarkan oleh petani sebesar Rp. 1.00 akan memberikan manfaat sebesar Rp.1.08.
163
Tabel 28 Rekapitulasi Perhitungan Usaha Budidaya Bawang Merah Tahun ke -
Frekuensi tanam
(kg/th)
(Rp/th)
1
2.00
81,499,910
25,000
95,625,000
2
2.00
90,347,828
25,000
105,187,500
3
2.00
100,772,546
25,000
115,706,250
4
2.00
113,010,584
25,000
127,276,875
5
2.00
127,333,940
25,000
140,004,563
6
3.00
214,533,368
37,500
231,007,528
7
3.00
246,248,448
37,500
254,108,281
8
3.00
266,066,752
37,500
279,519,109
9
3.00
288,857,803
37,500
307,471,020
10
3.00
315,067,511
37,500
338,218,122
Biaya produksi
(kali/th)
(Rp/th)
Hasil produksi
Hasil penjualan
Asumsi : kenaikan biaya variabel 15% per tahun dan kenaikan harga jual 10% per tahun
Tabel 29 Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Bawang Merah Input Bunga bank Modal sendiri Pinjaman Output NPV (Rp) IRR (%) PBP (tahun) B/C Rasio ROI (%) BEP (kg produksi)
18 % 30% 70% 76,547,018.14 44.87 2.78 1.08 7.55 8,474
2) Perkembangan luas sawah, produksi budidaya, dan harga jual Luas lahan bawang merah berfluktuasi dari bulan ke bulan, sesuai dengan musim tanamnya, sebagaimana tampak pada Gambar 28. Oleh karena itu pula maka produksi dan harga bawang merah juga berfluktuasi seperti pada Gambar 29 dan Gambar 30. Data luas sawah budidaya di Kabupaten Brebes saat ini adalah sebagai berikut: Total luas sawah budidaya (a) Luas sawah beririgasi (b0) Sawah yang perlu peningkatan
9,502 6,405 3,097
hektar hektar hektar
164
Frekuensi tanam (f) Saat ini Maksimum Luas panen per tahun (saat ini) (c) Luas lahan dengan irigasi tambahan (b1)
kali / tahun
2.35 3.00 22,313 sesuai program
kali / tahun kali / tahun hektar hektar
Dari data di atas dimana total luas sawah budidaya (a) = 9,502 hektar (angka tetap) dan frekuensi tanam (f) ditetapkan maksimum = 3.00 maka dapat dihitung keterkaitan peningkatan jaringan irigasi terhadap frekuensi tanam dalam rumus sebagai berikut: (b0 + b1) = a
(1)
c = 2.a = 2 ((b0 + b1)
(2)
sehingga:
a + 2b 0 + 2b1 f= a dimana : a = b0 = b1 = f =
(3)
total luas lahan (hektar) luas lahan dengan irigasi yang telah ada (hektar) luas lahan dengan irigasi tambahan (hektar) faktor frekuensi tanam 6,000
hektar
5,000 4,000
2003
3,000
2004
2,000
2005
1,000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
bulan
Gambar 28. Grafik Luas Lahan Bawang Merah di Kabupaten Brebes (2003 – 2005) 3) Keterkaitan Luas Lahan, Produksi Budidaya, dan Harga Jual Keterkaitan antara luas lahan tanam, besarnya produksi, dan harga pasar bawang merah yang terjadi, diambil dari data tahun 2003 – 2005 tampak dalam Tabel 32. Fungsi keterkaitan luas lahan terhadap produksi (Gambar 31) dan fungsi keterkaitan antara
165
produksi dengan harga (Gambar 32) dapat diformulasi dengan program Curve Expert 1.3 sebagai berikut:
50,000
ton
40,000 2003
30,000
2004
20,000
2005
10,000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
bulan
rupiah
Gambar 29. Grafik Produksi Bawang Merah di Kabupaten Brebes (2003 – 2005)
14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 -
2003 2004 2005
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
bulan
Gambar 30. Grafik Fluktuasi Harga Bawang Merah di Kabupaten Brebes (2003 – 2005)
7 459
Produksi (ton)
383
0 0.5
70 3 2.
9 306 5 230 1 154
0 4.9
Linear Fit :
y = a + bx a= b=
-31.275 7.589
0 7.1 0 9.3
1 778
.50
.70 143 22.1
σ = 3281.198, r = 0.945 891.3
1760.4
2629.6
3498.7
4367.9
5237.0
Luas lahan (hektar)
Gambar 31. Keterkaitan antara Luas Lahan dengan Produksi Bawang Merah.
166
7 459
Produksi (ton)
383
0 0.5
MMF Model :
ab + cx d y= b + xd
70 3 2.
9 306 5 230 1 154
0 4.9
a= b= c= d=
0 7.1 0 9.3
1 778
σ = 3941.292. r = 0.926
.50
.70 143 95.0
53053.182 848595.090 335.507 1.794
2382.5
4670.0
6957.5
9245.0
11532.5
13820.0
Harga (rupiah)
Gambar 32. Keterkaitan antara Produksi dengan Harga Bawang Merah (2003 – 2005). Besarnya prosentasi
peningkatan
jaringan
irigasi,
yang kemudian bisa
diterjemahkan dalam luas lahan beririgasi tambahan yang dilaksanakan memberikan dampak terukur bagi besarnya pasokan ke pasar yang tersedia serta harga yang terjadi. Karena penambahan pasokan selalu berakibat pada penurunan harga mengikuti fungsi hiperbolis. 4) Peran Gudang dalam Mengatasi Fluktuasi Produksi Perubahan jumlah produksi menurun tajam pada musim kemarau dan meningkat pada musim penghujan (Gambar 29 dan Tabel 32). Hal itu disebabkan terutama pada ketergantungan petani terhadap pengairan asal hujan, karena tidak cukup tersedianya jaringan irigasi. Dengan adanya peningkatan jaringan irigasi, maka diharapkan fluktuasi tidak tajam, namun harus dipahami adanya fluktuasi oleh sebab-sebab yang lain. Oleh karena itu tetap diperlukan penyediaan gudang dalam jumlah yang cukup untuk menghindari terjadinya pasokan yang berlebihan (over supply) yang berakibat fluktuasi harga jual. Pada saat ini telah tersedia sebanyak 12 buah gudang di Kabupaten Brebes yang tersebar pada sentra-sentra produksi. Namun gudang yang ada ini belum dimanfaatkan secara optimum, sehingga perlu diadakan evaluasi, sosialiasai, dan penyederhanaan penggunaan gudang oleh masyarakat petani.
167
Tabel 30 Profil Kabupaten Brebes Kecamatan
Pendapatan per Kapita Rupiah
Pemerintahan Luas Ha
Jumlah Desa
Jumlah Penduduk Total
Per km2
Brebes
1,031,121
8,230
23
155,550
1,890
Jatibarang
1,271,680
3,348
22
79,871
597,973
5,072
10
73,474
Songgom
Kependudukan dan Pendidikan Pekerjaan Petani
Buruh tani
Pendidikan
Non SD
SD
SLTP
SLTA
Sarjana
18,051
31,931
25%
36%
16%
18%
5%
2,386
9,188
15,224
26%
46%
17%
10%
2%
1,449
21,764
26,426
35%
39%
13%
11%
2%
Wanasari
660,770
7,226
20
132,956
1,840
22,218
31,983
33%
44%
12%
9%
2%
Bulukamba
890,770
10,155
19
156,055
1,537
27,750
65,783
23%
49%
15%
12%
1%
1,374,874
6,819
18
90,967
1,334
15,942
24,918
41%
39%
12%
7%
1%
Losari
728,335
8,943
22
122,422
1,369
15,671
33,921
31%
47%
13%
8%
1%
Kersana
481,595
2,523
13
58,766
2,329
7,379
21,362
35%
43%
13%
7%
2%
Tanjung
Banjarharjo Ketanggungan Larangan
766,705
14,025
25
115,464
823
26,139
26,867
20%
48%
26%
5%
1%
1,026,214
14,907
21
130,540
276
31,850
30,040
34%
48%
10%
6%
1%
711,408
16,468
11
135,864
825
33,391
31,850
37%
45%
12%
5%
1%
Tonjong
1,008,900
8,126
14
68,354
841
9,604
17,391
31%
41%
18%
9%
2%
Sirampog
1,035,135
6,703
13
60,732
906
11,573
15,713
35%
41%
14%
8%
2%
Paguyangan
1,584,359
10,494
12
91,841
875
12,212
20,514
33%
44%
14%
8%
1%
Bumiayu
1,414,546
7,369
15
99,947
1,356
13,889
13,504
19%
57%
12%
9%
2%
Bantarkawung Salem
887,800
20,500
18
91,609
447
25,389
21,360
18%
67%
8%
5%
1%
1,260,391
15,209
21
55,512
365
13,763
8,161
27%
56%
10%
6%
2%
168
Sebagai gambaran dari kondisi gudang (tipikal) yang telah ada sekarang serta kebutuhan tambahan gudang dapat digambarkan dalam Tabel 31. Pengendalikan tingkat pasokan hasil budidaya masih dibutuhkan minimal 6 buah gudang tambahan. Tingkat penggunaan dilaksanakan secara bertahap, diawali dengan optimasi penggunaan 12 buah gudang yang telah tersedia. Tahap selanjutnya disesuaikan dengan perkembangan kesadaran petani terhadap Agroestat dengan penambahan maksimal 61 buah sampai secara keseluruhan berjumlah 73 buah gudang. Tabel 31 Perhitungan Kebutuhan Fasilitas Gudang Bawang Merah Produksi Budidaya (2003 - 2005) Jumlah Produksi rata-rata Usia simpan Rasio penyimpanan
Satuan
13,123 3
ton / bulan bulan
25%
kapasitas gudang dibutuhkan minimal
1,094
ton
maksimal
4,374
ton
Gudang yang ada
12
Kapasitas gudang yang ada
60
buah ton/buah
720
ton total
Kebutuhan gudang tambahan minimal maksimal
6
buah
61
buah
Sumber: DPKKT Kab. Brebes (2005) – (diolah)
6.2.3
Model Perubahan Demand Model perubahan demand dibangun sebagai bagian dari SPK Agroestat bertitik
tolak dari antisipasi kenaikan demand pada tingkat tertentu pada tahun yang bersangkutan yang dikaitkan dengan peningkatan jaringan irigasi yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil produksi yang dibutuhkan. Model menggunakan data dan persamaan yang telah dikembangkan pada uraian di atas dengan alur pemikiran sistem sebagaimana dicantumkan pada Gambar 23, sebagai berikut: 1) Administrator program SPK memasukkan data yang relevan pada Sistem Manajemen Basis Data (Database). 2) Pengguna memasukkan melalui mekanisme input manual tentang perkiraan perubahan demand pada tahun mendatang, bisa dalam prosentasi (%) atau angka.
169
3) Dari proses akan diketahui frekuensi tanam, volume produksi budidaya, serta tingkat keseimbangan harga jual bawang merah yang terjadi. 4) Hasil proses diuji dengan tingkat keuntungan petani budidaya yang harus mencapai sama dengan atau lebih besar dari 22%. Bila hal ini tidak dapat dicapai, maka proses akan diulang dengan input manual yang lain. Berdasarkan asumsi dan kondisi Kabupaten Brebes serta perkiraan perubahan demand sebesar 10% per tahun maka kebutuhan peningkatan jaringan irigasi masingmasing tahun sebagaimana tampak dalam Tabel 33. Dengan demikian, pengaruh lebih lanjut terhadap penghasilan petani sebagaimana tampak pada Tabel 35, sebagai berikut : 1) Nilai keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp.13,886,086 meningkat menjadi Rp.23,249,673 per tahun per hektar pada tahun ke empat atau setara dengan peningkatan rata-rata sebesar 13.79% per tahun. 2) Hal di atas dicapai karena harga jual bawang merah dapat ditingkatkan melalui pengendalian produksi hasil budidaya, dari Rp.3,825.59 menjadi Rp.4,650.03 pada tahun ke empat.
6.2.4
Model Perubahan Irigasi Model perubahan irigasi dibangun sebagai bagian dari SPK Agroestat dengan
mengkaitkan hasil peningkatan jaringan irigasi (tertentu) untuk mengantisipasi kenaikan demand yang dapat ditampung pada tahun yang bersangkutan. Model ini menggunakan data dan formula yang telah dikembangkan pada uraian di atas. Alur pemikiran sistem berlangsung sebagaimana dicantumkan pada Gambar 24 sebagai berikut: 1) Administrator program SPK memasukkan data yang relevan pada Sistem Manajemen Basis Data (Database). 2) Administrator program SPK memasukkan data yang relevan pada Sistem Manajemen Basis Data (Database). 3) Pengguna memasukkan melalui mekanisme input manual tentang tambahan peningkatan jaringan irigasi, dalam prosentasi (%) atau angka, yang akan dilaksanakan pada tahun mendatang sesuai dengan perkiraan perubahan demand.
170
Tabel 32 Daftar Luas Lahan, Produksi, dan Harga Bawang Merah 2003 – 2005 Januari
Februari
2003
904
609
2004
1,162
2005
628
2003
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus September
269
3,021
4,781
1,845
1,688
362
1,083
505
4,289
2,277
2,344
1,116
221
424
1,077
3,619
2,942
2,022
2,222
335
6,533
3,961
1,458
19,518
41,922
14,187
13,663
2,355
3,721
2004
9,406
7,890
3,496
27,711
18,949
19,507
9,033
1,437
2005
4,539
2,758
6,538
23,382
24,483
16,827
19,465
2,179
7,500
11,500
12,250
3,000
950
3,500
3,500
12,250
Oktober
Nopember Desember
Luas lahan (hektar) 542
1,729
2,195
2,367
831
721
2,867
2,364
1,133
3,605
3,285
1,021
6,998
17,305
24,882
5,705
2,605
22,603
24,850
8,712
16,637
27,288
9,917
11,500
4,400
3,300
2,750
Produksi (ton)
Harga (rupiah) 2003 2004
4,000
6,500
11,500
2,000
3,000
3,000
4,000
12,250
8,500
12,650
2,750
2,750
2005
9,500
12,250
7,500
2,500
2,500
3,500
3,000
12,250
5,500
2,750
2,200
4,400
Sumber : DPKKT Kab. Brebes (2006)
171
Tabel 33 Perhitungan Kebutuhan Luas Lahan dengan Perubahan Demand Bawang Merah sebesar 10% per tahun Tahun
Luas Lahan Sawah
Frekuensi
Proyeksi
Irigasi
Non-Irigasi
hektar
hektar
Tanam
saat ini
5.603,35
3.899,14
2,1793
1
6.636,34
2.866,15
2,3968
10,00%
2
7.772,62
1.729,87
2,6359
3
9.022,54
479,95
4
9.502,49
0,00
Tambahan Luas
Perubahan Demand %
ton / tahun
Lahan Dibutuhkan
Akum
hektar
%
hektar
172.460
1.033
18,44%
1.033
10,00%
189.706
1.136
17,12%
2.169
2,8990
10,00%
208.677
1.250
16,08%
3.419
3,0000
3,49%
215.961
480
5,32%
3.899
156.782
Tabel 34 Perhitungan Demand Bawang Merah melalui Peningkatan Luas Lahan sebesar 10% per tahun Tahun
Luas Lahan Sawah
Frekuensi
Perubahan Produksi
Perubahan Irigasi
Irigasi
Non-Irigasi
hektar
hektar
Tanam
Produksi
saat ini
5.603,35
3.899,14
2,1793
1
6.163,69
3.338,80
2,2973
10,00%
560,34
2
6.780,06
2.722,43
2,4270
10,00%
3
7.458,06
2.044,43
2,5697
4
8.203,87
1.298,62
5
9024,25
6
9502,49
%
hektar
ton / tahun
Tambahan
Akum
ton
%
ton
165.287
8.505
5,42%
8.505
616,37
174.641
9.355
11,39%
17.859
10,00%
678,01
184.932
10.290
17,95%
28.150
2,7267
10,00%
745,81
196.251
11.320
25,17%
39.469
478,24
2,8993
10,00%
820,39
208.703
12.451
33,12%
51.921
0,00
3,0000
5,30%
478,24
215.961
7.259
0,00%
59.179
156782
172
Tabel 35 Peningkatan Keuntungan Petani Budidaya Pertanian (1) Tahun
Harga/kg
Produksi/ha
Keuntungan/tahun/hektar Rupiah/tahun
kenaikan
Saat ini
3,825.59
16,499
13,886,086
1
4,016.87
18,149
16,038,430
15.5%
2
4,217.71
19,964
18,524,386
15.5%
3
4,428.60
21,960
21,395,666
15.5%
4
4,650.03
22,727
23,249,673
8.7%
4) Dari proses akan diketahui frekuensi tanam, volume produksi budidaya, serta perubahan demand yang akan dapat terlayani. 5) Hasil proses diuji dengan tingkat keuntungan petani budidaya yang harus mencapai sama dengan atau lebih besar dari 22%. Bila hal ini tidak dapat dicapai, maka proses akan diulang dengan input manual yang lain. Berdasarkan asumsi dan kondisi di Kabupaten Brebes maka penambahan luas lahan tanam melalui peningkatan jaringan irigasi sebesar 10% per tahun mengakibatkan kapasitas perubahan demand yang dapat dilayani setiap tahun sebagaimana tampak dalam Tabel 34. Pengaruh lebih lanjut terhadap penghasilan petani sebagaimana tampak pada Tabel 36, sebagai berikut : 1) Nilai keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp.13.886.086 meningkat menjadi Rp.25.632.772 per tahun per hektar pada tahun ke enam, halmana setara dengan peningkatan rata-rata sebesar 10,76% per tahun. 2) Hal di atas dicapai karena harga jual bawang merah dapat ditingkatkan dari Rp.3.825,59 menjadi Rp.5.126,66 pada tahun ke enam. Tabel 36 Peningkatan Keuntungan Petani Budidaya Pertanian (2) Tahun
Harga/kg
Produksi/ha
Keuntungan/tahun/hektar Rupiah/tahun
kenaikan
saat ini
3,825.59
16.499
13,886,086
1
4,016.87
17.394
15,371,292
10.70%
2
4,217.71
18.378
17,053,347
10.94%
3
4,428.60
19.461
18,961,096
11.19%
4
4,650.03
20.653
21,127,771
11.43%
5
4,882.53
21.963
23,591,665
11.66%
6
5,126.66
22.727
25,632,772
8.65%
173
6.2.5
Model Perubahan Irigasi Terbatas Model Perubahan Irigasi Terbatas sebagai bagian dari SPK Agroestat pada
keadaan dimana antisipasi kenaikan demand pada tahun yang bersangkutan tidak dapat dipenuhi dengan peningkatan jaringan irigasi yang diperlukan. Hal ini lazim terjadi karena pada kenyataannya peningkatan jaringan irigasi lebih ditentukan oleh ketersediaan dana pembangunan Pemerintah daripada upaya untuk memenuhi hasil produksi budidaya yang dibutuhkan. Model ini menggunakan data dan persamaan yang telah dibahas sebelumnya dengan alur pemikiran sistem sebagai berikut: 1) Administrator program SPK memasukkan data yang relevan pada Sistem Manajemen Basis Data (Database). 2) Pengguna memasukkan melalui mekanisme input manual tentang perkiraan perubahan demand pada tahun mendatang, bisa dalam prosentasi (%) atau angka. 3) Dari proses akan diketahui frekuensi tanam, volume produksi budidaya, serta peningkatan jaringan irigasi yang dibutuhkan. 4) Hasil proses diuji dengan tingkat keuntungan petani budidaya yang harus mencapai sama dengan atau lebih besar dari 22%. Bila hal ini tidak dapat dicapai, maka proses akan diulang dengan input manual yang lain. Keseimbangan pasokan ke dalam pasar harus dapat dikendalikan sebagai satusatunya upaya yang bisa dilakukan untuk: 1) Rekayasa keseimbangan harga pasar pada tingkat harga yang tinggi, yang berdampak pada pendapatan dan tingkat keuntungan petani. 2) Menjamin ketersediaan bagi industri sehingga ada jaminan pasokan yang akan merupakan daya tarik bagi masuknya investor. Simulasi terhadap kondisi Kabupaten Brebes dengan peningkatan jaringan irigasi sebesar 500 hektar per tahun (sesuai APBD tersedia), maka dihasilkan harga jual bawang merah sebagaimana tampak pada Tabel 37. Akibat perubahan harga jual terhadap penghasilan petani sebagaimana tampak pada Tabel 38, sebagai berikut : 1) Nilai keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp.13,886,086 meningkat menjadi Rp.23,514,309 per tahun per hektar pada tahun ke enam, halmana setara dengan
174
peningkatan rata-rata sebesar 9.20% per tahun. 2) Hal di atas dicapai karena harga jual bawang merah dapat ditingkatkan dari Rp.3,825.59 menjadi Rp. 5,020.18 pada tahun ke enam. Tabel 37 Peningkatan Keuntungan Petani Budidaya Pertanian (3) Keuntungan/tahun/hektar
Tahun
Harga/kg
Produksi/ha
saat ini
3,826
16.499
13,886,086
1
4,033
17.298
15,345,794
10.51%
2
4,261
18.096
16,963,668
10.54%
3
4,511
18.895
18,749,692
10.53%
4
4,781
19.693
20,714,550
10.48%
Rupiah/tahun
kenaikan
Tabel 38 Perhitungan Harga Bawang Merah pada Perubahan Irigasi Terbatas Lahan
Tahun
Frekuensi Tanam
Perubahan Irigasi Rencana
Produksi
Non-Irigasi
hektar
hektar
Saat ini
5.603,35
3.899,14
2,1793
156.782
3.825,59
3.825,59
1
6.103,35
3.399,14
2,2846
10,00%
560,34
500,00
164.371
4.032,55
4.016,87
2
6.603,35
2.899,14
2,3898
10,00%
610,34
500,00
171.960
4.260,97
4.217,71
3
7.103,35
2.399,14
2,6003
10,00%
660,34
500,00
179.548
4.510,53
4.428,60
4
7.603,35
1.899,14
2,6003
10,00%
710,34
500,00
187.137
4.781,13
4.650,03
5
8.103,35
1.138,80
2,7055
10,00%
760,34
500,00
194.726
5.020,18
4.882,53
6
8.603,35
899,14
2,8108
10,00%
810,34
500,00
202.315
5.020,18
5.126,66
7
9.103,35
399,14
2,9160
2,15%
184,11
500,00
209.903
5.072,84
5.382,99
%
hektar
Anggaran
Keseimbangan Harga Jual
Irigasi
hektar
Pasar ton / tahun
Margin 22%
Rupiah / kg
Tingkat harga pada pasar bebas sangat terkait dan sensitif terhadap besarnya pasok yang masuk ke pasar yang berimplikasi pada tingkat produksi budidaya. Ketidakseimbangan pasok mengakibatkan fluktuasi harga yang seringkali dimanfaatkan oleh para tengkulak, pedagang besar dan industri pengolahan besar. Dengan demikian, melalui mekanisme pasar bebas ini selalu terjadi keseimbangan supply-demand yang berkeadilan. Hal ini akan terjadi jika posisi petani budidaya mampu disejajarkan dengan pelaku pasar yang lain dengan cara menghilangkan ketergantungannya dalam hal finansial (hutang/ijon) kepada tengkulak. Upaya untuk mengurangi fluktuasi produksi dilakukan dengan mengusahakan peningkatan volume hasil produksi pada musim kemarau melalui peningkatan frekuensi
175
tanam (cropping intensity) yang ditentukan oleh luas lahan yang beririgasi. Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan jaringan irigasi yang sebenarnya telah ada secara fisik namun tanpa air yang disalurkan. Peningkatan jaringan irigasi berdampak pada frekuensi tanam yang secara langsung juga meningkatkan pendapatan dan keuntungan petani. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan memfungsikan 12 gudang yang ada dan tersebar di sepuluh kecamatan di lingkungan Kabupaten Brebes. Bahkan jika untuk menjalankan fungsi stock control ternyata kebutuhan gudang lebih dari kapasitas yang ada maka perlu ditambah dengan fasilitas gudang yang baru. Pertimbangan dasar bagi peningkatan gudang yang ada atau gudang baru adalah sebagai berikut: 1) Upaya intervensi pasokan pasar melalui pengadaan gudang merupakan pemecahan sementara, karena dengan berfungsinya irigasi maka pola tanam bawang merah akan beralih ke musim panas dan tidak banyak dilakukan di musim hujan karena hasilnya tidak memenuhi persyaratan mutu karena kandungan airnya sangat tinggi. 2) Pengelolaan gudang merupakan masalah tersendiri yang akan membebani pengelola kawasan, apalagi peralatan menjadikan fleksibilitas pemakaian gudang terbatas. 3) Pengadaan gudang memerlukan proses pengadaan dana dan pembangunan yang akan memakan waktu minimal satu tahun.
6.2.5
Keterkaitan Irigasi dengan Produktivitas Komoditi Bawang Merah Produktivitas rata-rata bawang merah di Kabupaten Brebes sebesar 7,0 ton/ha,
masih lebih rendah dibanding produktivitas potensial sebesar 10–20 ton/ha. Produktivitas dapat ditingkatkan, apabila faktor-faktor yang mempengaruhi sistem usahatani bawang merah seperti tanah, iklim, teknologi produksi, permodalan, dan tenaga kerja dikelola secara optimal. Faktor pengelolaan sangat mempengaruhi produksi, sebab tanpa pengelolaan yang baik tidak akan dapat memanfaatkan sumbersumber tersebut secara efisien (Thamrin, et al., 2003). Salah satu faktor pengelolaan yang penting pada budidaya bawang merah adalah pengaturan pola tanam yang sangat ditentukan oleh kondisi iklim terutama curah hujan atau ketersediaan air terutama pada saat musim kemarau. Pembentukan umbi merupakan periode kritis bagi tanaman bawang merah sehingga kekurangan air yang
176
terjadi pada periode ini dapat menurunkan produksi, Pengaturan pola tanam juga bertujuan untuk menghindari gejala kelelahan akibat pemanfaatan lahan secara intensif dalam jangka panjang yang bisa mengurangi tingkat kesuburan tanah. Berdasarkan penelitian lapang yang dilakukan di Kabupaten Brebes, sebanyak 49% petani responden menyatakan faktor utama yang menentukan keberhasilan panen bawang merah adalah faktor cuaca, 25% menyatakan ketersediaan air dan sebanyak 24% menyatakan penggunaan bibit unggul. Faktor cuaca tidak dapat dikendalikan oleh manusia, maka upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas bawang merah adalah melalui revitalisasi fasilitas irigasi untuk menjamin ketersediaan air sepanjang tahun dan sosialisasi penggunaan bibit unggul. Peningkatan produksi bawang merah pada suatu wilayah dapat dilakukan dengan peningkatan luas tanam. Mengingat bawang merah merupakan tanaman yang sangat membutuhkan keberadaan air maka peningkatan areal tanam ini harus diimbangi dengan perluasan sawah beririgasi melalui rehabilitasi saluran yang sudah ada (revitalisasi) atau membangun jaringan irigasi baru. Faktor yang dapat menyebabkan perlambatan produktivitas adalah: tingkat adopsi varietas unggul dan peningkatan mutu usahatani yang rendah, dan adanya gejala kelelahan akibat pemanfaatan lahan secara intensif dalam jangka panjang. Sedangkan faktor yang dapat menyebabkan perlambatan luas panen adalah : perubahan pola tanam, konversi lahan pertanian, anomali iklim yang berdampak pada meningkatnya luas areal puso, dan pembangunan irigasi yang semakin lambat (Irawan, et al., 2003). Sedangkan menurut Asnawi (1995), peningkatan areal panen dapat dilakukan dengan dua cara yakni dengan meningkatkan intensitas penanaman (cropping intensity) pada sawahsawah beririgasi dan dengan membuka sawah-sawah baru dengan jaringan irigasi baru, serta membangun irigasi untuk sawah-sawah tadah hujan yang memungkinkan baik secara teknis maupun secara ekonomis. Setelah teknologi budidaya tanaman berkembang, dalam peningkatan produksi irigasi mempunyai peranan penting yaitu (Wirawan, 1995): 1) menyediakan air untuk tanaman dan untuk mengatur kelembaban tanah, 2) menyuburkan tanah melalui bahan-bahan kandungan yang dibawa oleh air, 3) memungkinkan penggunaan pupuk dan obat-obatan dalam dosis tinggi, 4) dapat menekan pertumbuhan gulma,
177
5) menekan perkembangan hama penyakit tertentu, dan 6) memudahkan pengolahan tanah. Sebagaimana diketahui, tingkat harga pada pasar bebas sangat terkait dan sensitif terhadap besarnya pasok yang masuk ke pasar yang berimplikasi pada tingkat produksi budidaya. Ketidak-seimbangan pasok mengakibatkan fluktuasi harga yang seringkali dimanfaatkan oleh para tengkulak, pedagang besar dan industri pengolahan besar. Dengan demikian, melalui mekanisme pasar bebas ini selalu terjadi keseimbangan supply-demand secara adil dan alami. Hal ini akan terjadi jika posisi petani budidaya mampu disejajarkan dengan pelaku pasar yang lain dengan cara menghilangkan ketergantungannya dalam hal finansial (hutang/ijon) kepada tengkulak. Upaya untuk mengurangi fluktuasi produksi dilakukan dengan mengusahakan peningkatan volume hasil produksi pada musim kemarau melalui peningkatan frekuensi tanam atau sangat tergantung dari luas lahan yang beririgasi. Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan jaringan irigasi yang sebenarnya telah ada secara fisik namun tanpa air yang disalurkan. Peningkatan jaringan irigasi berdampak pada frekuensi tanam yang secara langsung juga meningkatkan pendapatan dan keuntungan petani. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan memfungsikan 12 gudang yang ada dan tersebar di sepuluh kecamatan di lingkungan Kabupaten Brebes. Bahkan jika untuk menjalankan fungsi stock control ternyata kebutuhan gudang lebih dari kapasitas yang ada maka perlu ditambah dengan fasilitas gudang yang baru. Pertimbangan dasar bagi peningkatan gudang yang ada atau gudang baru adalah sebagai berikut: 1) Upaya intervensi pasokan pasar melalui pengadaan gudang merupakan pemecahan sementara, karena dengan berfungsinya irigasi maka pola tanam bawang merah akan beralih ke musim panas dan tidak banyak dilakukan di musim hujan karena mutunya tidak memenuhi persyaratan (kandungan air yang terlalu tinggi). 2) Pengelolaan gudang merupakan masalah tersendiri yang akan membebani Pengelola kawasan, apalagi peralatan menjadikan fleksibilitas pemakaian gudang terbatas. 3) Pengadaan gudang memerlukan proses pengadaan dana dan pembangunan yang akan memakan waktu minimal satu tahun. SPK Agroestat dirancang dengan sistem yang terbuka dan fleksibel, sehingga dapat diterapkan pada semua daerah otonom dengan penyesuaian yang sederhana
178
terhadap beberapa hal berikut: 1) struktur data, 2) komponen pertimbangan keputusan, 3) input manual sebagai data varibel penentu, dan 4) proses komputasi.
179