5 WAJAH KAPITALISME LOKAL 5.1.
Sejarah Lahirnya Kapitalisme Lokal Suku Bajo Perubahan ekonomi adalah suatu proses moral dan sekaligus perubahan
material. Dampak perubahan terasa tidak hanya pada fakta lugas berupa pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. Di dunia Barat yang modern, pertumbuhan kapitalisme industri telah menggerogoti nilai-nilai tradisional, melawan hirarkhi sosial, dan bahkan mereorganisasi aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang paling mendalam. Masyarakat tradisional dengan struktur serta kebutuhan yang lebih stabil harus member jalan kepada suatu dunia dimana identitas dan selera senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status. Sekarang tentu saja, perkembangan yang khas ini tidak hanya terbatas pada dunia Barat. Seiring dengan menjalarnya “transformasi besar” ekonomi dan masyarakat dari Dunia Pertama ke Dunia Ketiga, maka demikian pula dengan tantangannya terhadap nilai-nilai dan moralitas yang telah diterima. Sebagai saksi kekuatan material transformasi ini, kita baru mulai memahami konsekuensi kulturalnya (Hefner, 1999). Dahulu, baik masyarakat Bajo Mola maupun masyarakat Bajo Mantigola yang dahulu hidup nomaden, hidup di atas soppe-soppe. Hidup berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Jika angin Barat, orang Bajo Mola berkumpul ke pesisir Matahora, sementara kalo angin Timur orang Bajo tinggal di pesisir Wanci, yang saat ini menjadi Mola. Hidup nomaden tersebut dilakukan setelah masyarakat Mola yang adalah masyarakat Mantigola yang terusir dari Mantigola karena gerombolan. Sebelumnya beberapa rumahtangga Bajo telah menetap di Wanci, tidak turut serta dalam rombongan soppe-soppe ke Lembonga. Beberapa rumahtangga tersebut saat ini keturunannya menetap di Mola Utara. Kemudian, masyarakat Wanci menerima masyarakat Bajo dan pada akhirnya membentuk suatu perkampungan di Mola. Menurut Hj. EI : “Dahulu, kami hidup di atas soppe-soppe, menggantungkan kita punya hidup sama laut, jadi kita hidup berhemat saja. Kita juga tidak banyak tergantung sama orang darat. Dulu kita tidak banyak tau soal jual beli, kalo ada barang-barang apa saja kayak ikan segar langsung saja kita jual. Jualnya juga hanya dengan saling tukar saja. Misalnya saja orang mandati jual sanggara (pisang goreng), kita beli dengan ikan. Belum ada dulu pikir untung, yang penting apa yang kita mau
172
ada itu barang, karna kita butuh. Biasanya juga karena kita mau minta air tawar di darat, bisa kita tukar dengan kita punya ikan”(Wawancara dengan Hj. Ei, 9 Februari, 2011). Begitu pula dengan orang Bajo Mantigola, kesederhanaan hidup dan pola perekonomian subsistensi dijalani oleh mereka saat hidup nomaden. Misalnya saat mereka berpindah dari Lembonga pada musim Timur, dan ke Mantigola pada musim Barat. Tidak berupaya untuk mengejar keuntungan, tetapi apa yang didapat hari ini adalah yang dikonsumsi hari ini juga. Tidak ada upaya untuk mencari keuntungan. Hubungan-hubungan sosial semata-mata kooperatif tidak individualistik. Penangkapan dengan panah adalah yang paling sering dilakukan. Kekuatan fisik sangat menentukan keberhasilan mengejar ikan di bawah laut, terutama kapasitas paru-paru. Awal perkembangan orang-orang Mola sebagai usahawan ditengarai awalnya disebabkan oleh peran orang-orang Wanci Mandati. Melalui pertukaran ekonomi, penetrasi nilai-nilai kapitalisme merasuk kedalam masyarakat Mola. Semangat untuk berbisnis juga muncul ketika beberapa nelayan Bajo melihat menggeliatnya usaha dagang yang dilakukan oleh orang-orang darat, yakni orang Wanci Mandati. Sebagai manusia yang kongkrit, merembesnya nilai-nilai kapitalisme bagi orang-orang Bajo oleh orang Mandati membawa mereka ke dalam dunia tertentu, dunia yang penuh dengan persaingan, spekulasi, dan manipulasi, sekaligus juga menemukan beragam dukungan sosial dalam mengembangkan bisnisnya, dan pada akhirnya pengembangan identitas dan nilai-nilai khusus mereka. Nilai-nilai kebendaan yang ditawarkan oleh orangorang Mandati melalui barang-barang dagangannya yang ditawarkan kepada orang-orang Bajo, misalnya piring dan gelas dengan merek-merek mahal dan impor yang dibawa oleh orang-orang Wanci Mandati sepunlangnya dari merantau dari Singapura dan Tawau, amat diminati oleh perempuan-perempuan Bajo yang kaya. Meskipun mereka tahu, bahwa piranti makan yang mewah tersebut tidak sehari-hari mereka pakai, malah dipajang dalam lemari kaca di ruang tamu sebagai simbol kemewahan. Artinya konsumsi orang-orang Bajo menyediakan ruang-ruang surplus bagi orang-orang Mandati. Menurut Hj. EI dan Ibu SI: “Orang Mandati jago berdagang, coba lihat bagaimana kondisi mereka saat ini, Mereka saja yang orang-orang darat bisa sukses, kenapa kita tidak bisa”(Wawancara dengan Hj Ei Tanggal 9 Februari, 2011).
173
“Orang-orang Mandati yang menawarkan piring dan gelas katanya harganya murah, daripada beli di Kendari. Dan kata orang Mandati mereknya mahal, biasanya kami pajang di jarang juga kami pakai”(Wawancara dengan ibu Surni, 9 2011).
impor, oranglemari, Maret,
Motivasi yang besar dari beberapa nelayan Bajo Mola, dan kemampuan dan pengetahuan pengelolaan keuangan yang cenderung jarang dimiliki oleh orang-orang Bajo pada umumnya cenderung “boros”, yang diistilahkan oleh orang-orang
kaya
Bajo
sebagai
“bakat”
(manajerial
talent)
akhirnya
mengantarkan mereka pada keberhasilan usaha. Kemudian, strategisnya wilayah Wangi-wangi untuk kegiatan perdagangan juga merupakan faktor pemicu perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Bajo yang baru menetap di Wangi-wangi. Setelah mendarat di Wanci, banyak masyarakat Bajo yang kawinmawin dengan orang Wanci, ini juga merupakan pemicu perubahan sosial di Bajo, karena kultur masyarakat Wanci yang jago berniaga terserap di Bajo Mola secara perlahan-lahan melalui saluran perkawinan tersebut. Masyarakat Wanci sendiri menganggap masyarakat Bajo sebagai konsumen potensial untuk mengembangkan usahanya. Sifat masyarakat Bajo yang konsumtif digunakan oleh masyarakat Mandati sebagai kesempatan untuk mengembangkan pasar. Dahulu, masyarakat Mandati menjual barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras, ubi kayu, kemudian peralatan memasak, misalnya tempayan air (busu-busu), dan jajanan pasar, seperti kue-kue kecil. Sesuai dengan apa yang diungkapkan Hj. RA : “Waktu saya masih kecil dulu, orang-orang Mandati baik laki-laki maupun perempuan sering buat tempat air dari tanah liat kami menyebutnya busu-busu. Biasa kami pakai untuk tampung air tawar di darat. Dahulu kita tidak bayar dengan uang kita tukar dengan hoppa. Hoppa adalah pelepah kelapa yang dijadikan sebagai pengganti kayu bakar untuk mengeringkan busu-busu”.(Wawancara dengan Hj. RA, Tanggal 19 Maret, 2011). Saat ini pengusaha Wanci Mandati banyak menguasai perdagangan bahan-bahan bangunan, perdagangan pakaian baru maupun bekas (RB), peralatan elektronik bekas, furniture bekas, dan jasa angkutan laut, baik kapal angkutan lintas pulau dan propinsi maupun jasa muat kargo antar pulau. Semua bentuk usaha ini sangat dibutuhkan oleh orang-orang Bajo Mola. Perdagangan bahan-bahan bangunan berkembang kian pesatnya, ini seiring dengan makin maraknya orang-orang Bajo membangun rumah permanen maupun rumah-
174
rumah semi permanen, ini juga karena perkampungan Bajo Mola semakin hari semakin menunjukkan bentukan daratan. Sementara baju-baju bekas bagi orang-orang Bajo juga sangat diminati, karena harga yang murah, dan kualitas pakaiannya yang memang sangat baik. Sifat konsumtif yang menjadi-jadi ini didukung
juga
dengan
kepemilikan
televisi
oleh
orang-orang
Bajo
di
perkampungan Bajo Mola, dengan tayangan televisi lah yang kemudian menyediakan contoh lain dari konsumerisme atau untuk menerima norma-norma konsumsi dari beragam bentuk penayangan. Kenyataan ini sesuai dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat di wilayah pegunungan Tengger, Hefner (1999) menyebutkan bahwa penyebaran televisi di daerah lereng atas pegunungan Tengger telah menyediakan contoh lain dari tantangan untuk menerima norma-norma konsumsi. Keberhasilan orang-orang Mandati tidak terlepas dari peran orang-orang Bajo, karena diawal mula usaha berdagang di Pulau Buru, Jawa, Kalimantan, Sumatera, bahkan hingga ke Singapura, peran Bajo sebagai pemasok barangbarang dagangan orang-orang Mandati, antara lain sirip ikan hiu, teripang, lola, dan sebagainya berasal dari nelayan Bajo di Mola. Selain itu juga, sebelum memiliki kapal sendiri untuk berlayar, orang-orang Mandati juga meminjam kapal orang-orang Bajo Mola untuk berangkat membawa barang dagangan ke Pulau Buru, ke Pulau Jawa, hingga ke Singapura. Menurut Hj. RA pengusaha di Mantigola menuturkan bahwa : “Dahulu masih kami tinggal di Mola setelah terusir karena gerombolan, kami lah yang beli semua dagangannya orang Wanci. Karena perahu kami orang-orang Mandati bisa pergi berlayar ke Jawa, dan ke Singapura bawa barang-barang dari sana lalu dijual lagi di Wanci. Di awal-awal kami tiba di Mola setelah terusir dari Mantigola Lambo kami dipinjam orang Wanci untuk mencari barangbarang, mereka orang-orang Wanci Mandati keliling ke Pulau Buru, kemudian Ke Jawa malah sampai ke Singapura. Saat kami diusir dari Mantigola, Perahu lambo kakek saya belum rampung, langsung kami dayung saja, singgah di Sampela sedikit diperbaiki, kemudian setibanya kami di Mola baru disempurnakan. Setelah rampung lambo kami, lalu kami pinjamkan ke orang Mandati untuk berdagang”.(Wawancara dengan Hj. RA, Tanggal 19 Maret, 2011) Selanjutnya, selain hasil adaptasi dengan golongan pedagang Wanci Mandati yang membentuk “spirit berniaga”, munculnya para kapitalis lokal Bajo tidak bisa dipungkiri terbentuk karena pengaruh ketokohan seorang pengusaha Cina bernama An Tje. Sebelum datangnya seorang perantau dan sekaligus
175
pengusaha dari Cina yang bernama An Tje, masyarakat Mola masih mempertahankan pola hidup tradisional. Dimana pola nafkah utama masyarakat Bajo adalah hanya menggantungkan pada kegiatan penangkapan ikan. An Tje datang disaat orang-orang Bajo gemar menangkap dan memperdagangkan penyu. Tertarik dengan kekayaan hasil laut yang sangat melimpah antara lain teripang, penyu hijau, tuna, napoleon, dan kerapu macan, An Tje kemudian membeli beberapa komoditas untuk dijadikan contoh barang kepada “bos” di Makassar. Setelah sekembalinya dari perjalanan menuju singapura, dan singgah ke Makassar, An Tje kemudian membuka usaha perdagangan hasil-hasil laut di Mola dengan tenaga upahan yang adalah orang-orang Bajo Mola. Tenaga upahan ini juga merupakan nelayan pengumpul yang dibina menjadi pengusaha. An Tje mengupah pekerja dengan beras dan bahan pangan lainnya. Selain itu An Tje juga mengajarkan bagaimana berdagang, atau membuka usaha perdagangan hasil-hasil laut. Transfer pengetahuan (transfer of knowledge) mengenai pengelolaan usaha, merupakan warisan yang luar biasa bagi perkembangan ekonomi masyarakat Bajo ke depan. Rata-rata pekerja An Tje saat ini telah menjadi pengusaha perintis hasil-hasil laut kelas “kakap” yang menguasai jaringan perdagangan. Menurut Hj. Erni, An Tje akhirnya menetap di Mola, dan menikah dengan perempuan yang berasal dari Ereke dan memiliki seorang putri. An Tje kemudian kembali pulang ke Singapura, dan membawa anak dan istrinya. An Tje kemudian menutup usia di Singapura. Hj EI mengungkapkan bahwa : “An Tje lah yang paling berperan di dalam keberhasilan para kapitalis Bajo. Dia yang mengajarkan bagaimana mengembangkan usaha perikanan seperti teripang dan penyu. Salah satu pesan An Tje yang selalu dipegang anak buahnya adalah jangan membuka usaha hotel”.(Wawancara dengan Hj. Ei, Tanggal 19 Maret 2011). Setelah cukup ilmu, dan modal yang dikumpulkan telah layak untuk membuka usaha beberapa tenaga kerja An Tje kemudian mulai berusaha hasil laut
sendiri
dari
usaha
kecil-kecilan,
pertama-tama
memulai
dengan
mengumpulkan barang-barang/komoditas perikanan antara lain penyu, teripang, dan sirip dan ekor ikan hiu dari nelayan-nelayan Bajo. Kemudian, dengan berbekal keberanian, pertama mereka mencoba menjual komoditas tersebut dalam jumlah sedikit ke Bali, Makassar, Surabaya, hingga ke Pangkal Pinang. Dari upaya menjual tersebut, mulailah pengusaha-pengusaha menemukan “bos”,
176
yang adalah pengumpul dan sekaligus merupakan eksportir di wilayah tersebut. Setelah kembali dari Bali, biasanya pengusaha membawa keuntungan hasil penjualan dalam bentuk barang-barang, antara lain barang-barang elektronik, seperti televisi, radio, kipas angin, yang tidak dijual di kampung. Barang-barang tersebut kemudian dijual kembali, atau juga bisa dijadikan barang “barteran” dengan komoditas laut yang akan dijual kembali ke Surabaya. Tidak mudah rupanya menjalin kerjasama dengan “bos” di luar wilayah Wanci, tidak jarang juga para pengusaha-pengusaha Bajo mengalami kerugian, sehingga pulang ke kampung dengan tangan hampa, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat berusaha para pengusaha Bajo tersebut. Kegagalan bukan menjadi penghalang.
Komunikasi
terus
dibina
oleh
pengusaha
Bajo
dengan
“Bos”/eksportir, dari komunikasi ini pengusaha akan tahu “spek” barang yang akan dijual, misalnya ukuran standar kerapu yang akan dijual. Sesungguhnya unik melihat pola-pola hubungan orang Bajo dengan “tetangganya”. Beberapa bukti menunjukkan orang-orang Bajo menggeliat perekonomiaannya, dan pergerakan ekonomi juga dipengaruhi “tetangganya” dalam hal pertukaran ekonomi. Simbiosis ekonomi tidak hanya ditunjukkan antara hubungan Wanci dan Bajo, melainkan juga hubungan ekonomi antara Bugis dan Bajo yang sangat “mesra”. Misalnya Pelras (2006) mengungkapkan bahwa suku Bajo bukan sekedar suku pengembara laut yang hanya tahu menangkap ikan. Mereka, orang-orang Bajo sangat aktif mencari komoditi laut seperti kerang mutiara, teripang, sisik penyu, mutiara, kerang-kerangan, karang, dan rumput laut. Orang Bajo juga menyediakan berbagai komoditi pantai terutama dari hutan bakau seperti akar-akaran, kulit kayu bakau yang digunakan sebagai bahan celup, serta kayu garu, dammar, madu, lilin tawon lebah, dan sarang burung, baik yang terdapat di sekitar tempat tinggal atau pun dari tempattempat yang mereka kunjungi. Aktivitas ini melibatkan mereka dalam hubungan perdagangan dan barter dengan kerajaan Bugis dan Makassar. Para aktor kapitalis Mola mengawali usahanya dengan beragam saluran. Pada beberapa aktor perintis, usaha mulai dipelajari cara pengelolaannya oleh An Tje dan modal dari usaha penangkapan hasil laut secara kecil-kecilan. Misalnya Almarhumah Hj. Sabariah, Juhada, dan H. Kasim. Pengusaha hasilhasil laut perintis menjadi tokoh-tokoh masyarakat Bajo Mola yang sangat disegani dan sangat terpandang. Selainkarena kekayaannya, juga karena ia
177
menafkahi hampir sebagian besar nelayan Bajo di Wakatobi. Pengusaha perintis di Mola pada umumnya adalah kelas menengah yang meraih statusnya melalui suatu pengalaman historis yang cukup panjang, dengan proses mobilitas sosial vertikal, yaitu yang dimulai dengan menjadi buruh, kemudian berkat bakat dan pengalamannya bekerja di An Tje berhasil menjadi pemilik sekaligus majikan bagi ratusan nelayan Bajo di Wakatobi. Untuk beberapa aktor pengikut lainnya, memulai usahanya dengan bekerja kepada pengusaha perintis seperti Hj. Sabariah. Misalnya seperti MN pengusaha tuna, dan H. TU pengusaha teripang. Kasus MN : MN, awal mulanya tertarik untuk membuka usaha hasil laut, ketika ikut-ikut bekerja dengan pengumpul penyu yang berhasil di Mola, yakni Hj. Sabariah ibu dari Hj. Erni. Saat bekerja dengan Hj. Sabariah, Ia menjadi tangan kanan Hj. Sabariah, dari situ lah Ia belajar bagaimana mengelola usaha, dan mengatur keuangan. Hj. Sabariah pula yang mengawinkan M. Nur dengan keponakannya (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011). Kasus TU : H. TU usaha teripang dan hasil-hasil lautnya dimulai semenjak H. Tiu masih bujang. Awal mulanya mengenal kegiatan penjualan hasil-hasil laut, ketika bekerja pada salah satu pengumpul teripang di Mola, yakni Hj. Sabariah yang masih terkait hubungan daparanakan dengannya dari pengalamannya menjadi tenaga kerja itu lah dia gunakan untuk mengelola usahanya. Setelah modal siap untuk memulai usaha, akhirnya H. Tiu memutuskan untuk mandiri, dengan membuka usahanya sendiri (Wawancara dengan H. TU, Tanggal 3 Maret 2011). Kemudian untuk beberapa aktor pengikut, usaha dimulai dengan migrasinya mereka ke wilayah-wilayah tertentu seperti Tawau, Pepela, dan Makassar. Melalui migrasi, mereka mempelajari seluk-beluk usaha hasil-hasil perikanan, dan bahkan mengumpulkan modal usaha diperantauan. Misalnya pada kasus H. BA, seorang pengusaha tuna kelas kakap, yang memulai usahanya dari perantauannya ke Makassar. Kemudian, TJW yang adalah pengusaha teripang mulai tertarik dengan penjualan hasil-hasil laut, khususnya teripang ketika merantau ke Bau-bau untuk melanjutkan pendidikan menengah atas.
178
Kasus H. BA “Keluarga saya di Bajoe, yang mengajarkan saya cara-cara mengolah tuna, sebelumnya dia bertanya tentang bagaimana hasilhasil laut di Wakatobi, saya ceritakan kalau di Wakatobi melimpah hasil lautnya. Setelah itu dia mengajak saya untuk mengolah tuna. Katanya untungnya besar, dari situ lah saya mulai mengenal bisnis tuna. Lalu dikenalkan lah saya kepada Philips di Makassar, kemudian tidak puas dengan system kerja Philips, saya pindah ke Indo Tuna, saat ini saya kerjasama dengan perusahaan NGF di Kendari, cabangnya Cheng Hu yang di Makassar” (Wawancara dengan H. BA, Tanggal 11 Maret 2011). Modal usaha H. BA berasal dari uang hasil merantaunya. Karena modal usaha tuna sangat besar, dan saat itu keuangan H. Bulla belum bisa mencukupi modal awal usaha, akhirnya Ia mengajak iparnya untuk bekerja sama. Menurut H. BA : “Modal saya dulu dari hasil merantau saya di Malaysia. Kemudian uangnya saya putarkan untuk usaha tuna. Tapi waktu pertama mulai usaha tuna, uang saya tidak cukup, akhirnya saya ajak ipar saya, ibu Hj. Sabariah untuk bekerja sama. Bayangkan satu hari kita bisa dapat ikan yang masuk satu ton hingga dua ton, jadi modalnya bisa ratusan juta rupiah. Setelah kami berhasil, kami jalan masing-masing. Tapi kami saling bantu kalau kami ada kesulitan untuk usaha tuna kami”(Wawancara dengan H. BA, Tanggal 11 Maret 2011). Kasus TJW : “Pertama-tamanya, waktu masih bujang, saya diajak sama sepupuku bantu-bantu olah hasil laut di Bau-bau waktu sekolah . Dari pekerjaanku itu lah saya tau cara berusaha hasil laut, kenal-kenal dengan Bos di Bau-bau. Lalu setelah saya pulang, dan menikah, istri saya bantu saya mencari teripang dan mata tujuh. Waktu itu kami dapat satu kilogram. Kami bawa ke Bau-bau, kebetulan kami bertemu dengan bos yang orang Bugis. Waktu itu kami dapat sekitar Rp. 75 ribu. Semenjak itu lah, kami menjalin kerjasama dengan bos kami di Bau-bau, bos juga memberikan sedikit pinjaman modal kepada kami. Usaha kami mulai berkembang karena hasil di sini melimpah, mulailah saya berusaha, dari modal yang kecil-kecil dulu sampai sekarang, bisa menyekolahkan anak (Wawancara dengan TJW, Tanggal 9 Maret 2011). Bagi beberapa aktor kapitalis lokal di Mola, ada juga yang merupakan kapitalis penerus. Mereka mewarisi usaha yang telah dibesarkan oleh kedua orang tua mereka. Namun, bukan berarti dengan memiliki usaha warisan yang telah berhasil dengan serta merta akan membawa keberhasilan juga kepada penerusnya. Sebab, pada beberapa kasus misalnya beberapa pengusaha Bajo yang kaya raya, setelah meninggal semua harta warisannya satu per satu
179
digadaikan. Beberapa kasus aktor penerus yang berhasil melanjutkan usaha warisan tersebut antara lain Hj. Ei, dan Hj. NI. Kasus Hj. EI : Haji Ei merupakan contoh pengusaha Bajo yang sukses. Berhasil menjalankan bisnis warisan orang tuanya Hj. Sabariah.Hj. sabariah adalah pengusaha perintis yang mengusahakan penyu dan tuna di Mola. Sepeninggal sang ibu, Hj. Ei kemudian melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka bisnis kapal pengangkutan barang, dengan line Wanci-Bau-bau. Bisnis kapal pengangkutan barang bukan saja membantu usaha yang dikelolanya, karena ongkos angkut sudah tidak dipikirkan lagi, namun juga membantu pengusahapengusaha lainnya untuk mengirimkan barang. Tidak hanya itu saja, saat ini ia membuka usaha ikan kerapu hidup, dan lobster (Wawancara dengan Hj. Ei, Tanggal 9 Februari 2011). Kasus Hj. NI : Hj. NI adalah pengusaha ikan hidup dan rumput laut yang berhasil meneruskan usaha yang dikelola oleh kedua orangtuanya. Bukan berarti ia kemudian tanpa usaha meneruskan usaha tersebut, ia dan mantan suaminya sambil melanjutkan usaha orangtua, Hj. Ni juga berjualan hasil tangkapan suami, kemudian sedikit demi sedikit modal dikumpulkan dan diputarkan. Usaha yang diteruskannya dimulai sejak tahun 1976. Karena usaha semakin berkembang maka mulailah ibu Haji memiliki Koordinator, yang bertugas untuk mengumpulkan hasil tangkapan nelayan. Saat ini, Hj. Nurhayati memiliki lima orang koordinator. Satu Koordinator membawahi 14 hingga 15 orang nelayan.(Wawancara dengan Hj. NI, Tanggal 12 Maret 2011). Sementara untuk pengusaha hasil-hasil laut di Mantigola, mereka cenderung sebagai pengusaha perintis, dan pengikut. Bagi pengusaha perintis, awal mula usaha bukan seperti pengusaha perintis di Mola, yang menjadi buruh di tempat penjualan hasil-hasil laut yang dimiliki oleh seorang Tianghoa bernama An Tje melainkan usaha dikelola dimulai ketika mereka melakukan migrasi temporer di Pepela. Pepela menjadi awal mulanya menjadi nelayan sawi, dari menjadi sawi kemudian para pengusaha kemudian mengenal bos-bos Tionghoa pengumpul hasil-hasil laut baik di Surabaya, Bali, Makassar, maupun di Pepela sendiri. Setelah cukup ilmu untuk menjadi punggawa, kemudian kembali ke Mantigola untuk mencari beberapa sawi, dan membeli perahu untuk dibawa ke Pepela. Setelah beranjak menjadi nelayan punggawa, dari posisi sebagai nelayan punggawa tersebut para bos yang dikenalnya kemudian memberi modal usaha yang sifatnya “mengikat” pengusaha Mantigola agar tetap menyetorkan hasil-hasil laut yang dibawa dari Mantigola. Beberapa pengusaha perempuan di
180
mantigola yang berstatus sebagai perintis, memulai usahanya dari ikut-ikut suami mengantarkan barang dagangannya ke bos baik di Makassar maupun di Baubau. Dari situlah mereka belajar bagaimana mengelola usaha, menghitung untung rugi, dan bagaimana memutarkan uang hasil usaha. Misalnya Pak Jun dan Hj. RA, mantan istri dari Pak Jun yang menjadi pengusaha perintis di Mantigola. Kasus Pak Jun : “Junaidi (59 Tahun) adalah pengusaha yang telah malang melintang dalam dunia perdagangan hasil laut. Junaidi sempat mengalami jatuh bangun dalam mengelola usahanya. Ia sempat merasakan zaman keemasan, dan juga merasakan kebangkrutan hingga tidak memiliki uang sama sekali. Usahanya dimulai pada tahun 1970. Awalnya Pak Juna adalah seorang nelayan sawi. Pada Tahun 1970, mulai lah Pak Jun beranjak merubah statusnya menjadi nakoda sekaligus sebagai punggawa body. Awalnya Junaidi merantau dengan memakai lambo miliknya dan berlayar ke Jawa. Di awal perantauannya dia membawa satu hingga dua kilo teripang, akar bahar, sarang burung walet, ekor dan sirip hiu. Tujuannya berlayar ke Jawa adalah untuk mencari pekerjaan demi memperbaiki nasib. Menurut pak Jun: “Sudah saya lah pemain di Surabaya dan Bali. Saya paham sekali bagaimana berdagang hasil laut di Surabaya dan Bali. Kami selalu mencari peluang bagaimana memasarkan hasil laut menggunakan perahu lambo”. Setibanya di Surabaya, ia kemudian mencari pengumpul-pengumpul besar yang menerima hasil-hasil laut. Setelah bertemu bos yang menjual hasil laut, kemudian ditunjukkan lah hasil laut yang dibawanya dari Mantigola. Melihat barang dagangan Pak Jun, bos Cina sangat tertarik untuk bekerja sama. Setelah berkali-kali bolakbalik membawa hasil laut untuk dijual ke Surabaya, barulah Pak Jun berani menjalin kerjasama dengan satu Bos tertentu saja (Wawancara dengan Pak Jun, Tanggal 19 Maret 2011). Kasus Hj. RA : Hj. RA (56 tahun) adalah seorang pengusaha teripang yang jatuh bangun mengembangkan usaha teripangnya. Hampir 36 tahun Hj. Rutina mengusahakan rumput laut. Usaha ini dikembangkannya setelah menikah dengan Junaidi seorang lelaki Bajo yang menjadi pengusaha besar di Sampela. Dahulu ketika masih bersuamikan Junaidi, adalah masa-masa gemilang usahanya. Namun, setelah suaminya meninggalkannya dan pisah karena Hj. RA tidak ingin dimadu, Hj. RA mengelola usahanya sendiri. Hj. RA adalah pengusaha teripang di Mantigola. Teripang yang dikumpulkannya dari nelayan-nelayan kecil kemudian dijual di Mola, atau bisa juga dijual di Langge Kaledupa. Pernah juga menjual
181
teripang langsung ke Bau-bau, dan ke Bali ketika masih bersuamikan Junaidi. Menurut Hj. RA : “Dulu waktu masih sama-sama Jun, saya antar langsung teripang itu ke Bau-bau dan Bali. Awalnya saya hanya ikut-ikut suamiku pergi bawa barang, lama kelamaan saya ikut-ikut cari uang juga”(wawancara dengan Hj. RA, Tanggal 20 Maret 2011). Sementara untuk pengusaha pengikut di Mantigola, dimulai dengan ajakan sang daparanakan di Mola yang dahulu telah sangat sukses di Mola. Sedikit demi sedikit modal dikumpulkan dari hasil “mengolah” hasil tangkapan suami. Beberapa pengusaha malah mengaku diberi pinjaman modal dari sang daparanakan, namun dengan prasyarat bahwa mereka harus menjual hasil laut yang mereka peroleh kepada sang daparanakan di Mola. Namun, ada juga daparanakan di Mola yang telah sukses berusaha lobster di Mola yang mencarikan bos eksportir kepada pengusaha di Mantigola. Misalnya Hj. DH pemilik usaha rumput laut, usaha teripang, pemilik warung kelontongan, perbengkelan, usaha lobster, dan usaha ikan kerapu hidup, dan BR, seorang pengusaha lobster di Mantigola. Kasus Hj. DH : Hj. Dh (37 Tahun) adalah pengumpul lobster, rumput laut dan ikan hidup, maupun ikan mati. Usahanya dimulai dari keinginannya membantu suaminya dalam memasarkan hasil tangkapan suaminya, dan ajakan dari daparanakannya Hj. EI. Setelah melihat adanya peluang, kemudian ia mencoba untuk memutarkan keuntungan dari hasil penjualan hasil tangkapan suaminya untuk membeli hasil tangkapan nelayan yang nilainya relative tinggi, kemudian Hj. Dh menjualnya kembali ke pengusaha yang adalah kerabatnya (daparanakan) di Mola. Untuk lobster Hj. Dh akan menyetor kepada Hj. Ei di Mola yang juga telah memberikan bantuan modal kepadanya (Wawancara dengan Hj. DH, Tanggal 26 Maret, 2011). Kasus BR : Bapak Bahar yang kini telah berusia 45 tahun, adalah seorang nelayan sekaligus pengumpul lobster di Mantigola. Bapak Bahar sendiri memulai usahanya karena diajak kerabatnya di Soropia untuk mengirimkan lobster ke salah satu “Bos” di Kendari. Kerabatnya di Soropia membantu dalam hal mencarikan “Bos” di Kendari. Modal usaha berasal dari Bapak Bahar sendiri dan tidak ditampik modal juga sedikit banyak juga dibantu oleh kerabatnya, usahanya di mulai dengan modal yang seadanya. Bagi Bapak Bahar, usaha lobster merupakan usaha yang sangat menguntungkan. Dibandingkan komoditas laut yang lain antara lain ikan hidup, teripang, dan tuna, lobster adalah usaha yang menguntungkan dan cenderung “aman”
182
dari resiko kerugian (Wawancara dengan Pak BR, Tanggal 15 Maret, 2011). Tidak semua desa Bajo dapat berkembang dengan cepat selayaknya desa Mola di Pulau Wanci. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa strategisnya wilayah Wanci sebagai ibu kota kabupaten, dan secara historis orang-orang wanci dalam hal ini orang Mandati telah lama mengembangkan jaringan perdagangan ke Pulau Buru hingga ke Singapura mempengaruhi laju perkembangan ekonomi di Mola. Belum lagi dengan perlakuan masyarakat Mandati terhadap masyarakat Mola yang dianggap sebagai pasar potensial, menyebabkan pembauran menjadi lebih mudah, dan pada akhirnya penetrasi kapitalisme juga mampu menembus dinding orientasi nilai masyarakat Bajo Mola. Berbeda dengan Mola, Mantigola sebagai wilayah awal keberadaan dari sebagian besar orang-orang Bajo Mola sebaliknya bergerak lebih lambat. Mereka masih mempertahankan kesahajaan mereka, dengan hidup di atas laut, meskipun tidak hidup lagi di atas soppe-soppe. Mempertahankan sebagian besar cara-cara tradisional dalam kegiatan penangkapan ikan. Misalnya saja nelayan Bajo Mantigola identik dengan nelayan yang menggunakan panah untuk menangkap ikan karang jenis kerapu, ekor kuning, katambak. Sementara pancing untuk menangkap cakalang, tuna, dan ikan-ikan pelagic lainnya, bubu untuk menangkap ikan-ikan karang, dan dua buah rompong dimiliki oleh nelayan Mantigola untuk menangkap ikan-ikan pelagic kecil. Perkembangan ekonomi semakin “mandek” karena adaptasi dengan masyarakat darat yakni orang-orang Buton Kaledupa yang menempatkan orangorang Bajo sebagai golongan masyarakat rendahan. Jika kita menilik kembali sejarah kedatangan orang-orang Bajo di Lembonga Kaledupa pada bab sebelumnya, yakni bab 4 mengenai sejarah kedatangan suku Bajo di Kepulauan Wakatobi, dan tersingkirnya orang-orang Mantigola akibat keberpihakannya terhadap gerombolan, maka dengan posisi orang-orang Bajo dalam sistem social orang-orang Kaledupa, dan “muncul ketidakpercayaan” akibat pengalaman masa lalu, menyebabkan ketidakhadiran kondisi yang kondusif dalam mengembangkan ekonomi. Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang kaledupa dengan istilah “amai wa’du” sebagai golongan masyarakat yang
183
terendah yakni setara dengan kelompok papara11 atau golongan masyarakat budak. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa. Selain juga dengan pengalaman keterlibatan mereka terhadap gerombolan DI/TII, maka alasan-alasan tersebutlah yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan intimidasi terhadap masyarakat Bajo. Hinaan dan cercaan dari orangorang Kaledupa dialami oleh masyarakat Bajo. Masyarakat Bajo baik di La Hoa, Sampela, maupun Mantigola Umala juga tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun di daratan pulau Kaledupa. Orang-orang Bajo hanya menjadi buruh kebun yang bertugas untuk membersihkan dan merawat tanaman kelapa milik orang-orang Kaledupa. Tiga kampung Mola di Kaledupa identik dengan warna kemiskinan dan ekonomi yang mandek. Dari pengamatan yang dilakukan selama penelitian, dari dua pasar yang ada di Kaledupa, tidak ada pasar yang berkembang selayaknya pasar yang ada di Mola. Sungguh aneh memang, daerah yang kaya akan sumberdaya ikan seperti di Pulau Kaledupa, namun untuk membeli seikat ikan segar saja harus menunggu hingga siang hari, menunggu orang-orang Bajo dengan koli-kolinya membawa ikan hasil tangkapan. Tidak jarang juga orang-orang yang berbelanja di pasar harus kecewa karena tidak ada ikan. Warung-warung kebutuhan juga sepi peminat, mungkin juga karena harga barang yang selangit. Tidak hanya perkembangan ekonomi saja yang mandek, melainkan jauh dari hal tersebut, adaptasi yang dilakukan oleh orang-orang Bajo terhadap orang Kaledupa karena mendapatkan perlakuan yang tidak “manusiawi”, juga pada akhirnya menyebabkan keengganan orang-orang Bajo ikut aktif menggeliatkan perekonomian di Pulau Kaledupa. Menurut pengakuan ibu MM, bentuk-bentuk perlakuan orang darat Kaledupa yang tidak manusiawi, misalnya orang Bajo menjual ikan di pasar Sampoawatu, kemudian orang darat yang membeli ikan menawar harganya, jika orang Bajo tidak sepakat dengan harga ikan yang 11
Sistem pelapisan social masyarakat Kaledupa, didasarkan pada landasan “keturunan siapa dia berasal” (ascribe status). Pelapisan social masyarakat Kaledupa terbagi atas empat strata. Antara lain strata Golongan kaomu adalah golongan masyarakat kelas atas yang memiliki status sebagai golongan masyarakat bangsawan dan penguasa yang menguasai ranah eksekutif. Pada lapisan kedua adalah kelompok bangsawan walaka yang menguasai ranah legislative. Dilapisan ketiga adalah golongan masyarakat maradika yang adalah pegawai dan pedagang. Lapisan bawah adalah golongan masyarakat papara yang merupakan golongan budak, buruh dan pekerja kasar.
184
ditawarkan oleh darat, ikan biasanya dirampas, kemudian orang darat akan memaki-maki orang Bajo, bahkan ada yang dipukuli dan ikan tidak dibayar oleh orang darat yang sedang mabuk. Seperti apa yang diungkapkan oleh Ibu MM : “Bagaimana mau ada pasar di Kaledupa, kita kadang malas mi jual ikan ke orang darat. Coba lihat tidak ada pasar yang berkembang. Pasar Sampoawatu saja hanya ramai dalam waktu sebulan saja semenjak dibuka untuk pertama kalinya, setelah itu sepi. Bagaimana juga kita sering diambil kita punya ikan, kalo kita kasih harga, baru ada juga orang darat yang jahat tidak mau menawar katanya terlalu mahal, pernah ikan kita dirampas, baru kita dihina-hina. Pernah juga kita dipukuli sama orang darat yang mabuk habis minum-minum baru ikan kita tidak dibayar”(wawancara dengan Ibu MM’, Tanggal 24-26 Maret, 2011). Pengakuan ibu MM mengungkapkan :
dikuatkan
dengan
pernyataan
Ibu
RGH
yang
“di Kaledupa susah beli ikan di Pasar. Padahal di sini banyak sekali ikan. Ini karena pasar di Kaledupa tidak berkembang. Sudah tiga kali pasar dibangun di Sampara, Kasawaru, dan Sampoawatu tapi tidak berkembang juga. Kami malas bawa ikan ke darat, saya pernah bawa ikan ke darat, orang-orang darat yang jahat tawar ikanku, saya tidak mau ditawar ikanku karna terlalu rendah, malah di tampar saya. Kemudian saya bawa ke orang darat yang lain. Tapi orang yang pukul saya bilang ke orang yang mau beli ikanku, jangan kamu beli ikannya dia jual mahal itu”(Wawancara dengan Ibu RGH, Tanggal 25 Maret 2011). Karena perlakuan yang diskrimatif, akhirnya membentuk watak Bajo yang cenderung penakut. Sifat ini kemudian digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengintimidasi masyarakat Bajo Mantigola dalam rangka PEMILUKADA. Menurut pengakuan Ibu Mummu, ada oknum dari salah satu calon bupati yang mencoba mengintimidasi nelayan Mantigola dengan menakut-nakuti orang Bajo jika tidak mendukung calon yang diusungnya maka orang-orang Bajo tidak akan diberikan hak untuk dikuburkan di daratan Kaledupa, dan orang Bajo tidak akan diberikan lagi air tawar. Mantigola sendiri mengalami masa keemasan, ketika perdagangan penyu sisik dan penyu hijau marak diperdagangkan, dengan cara-cara tradisional tentunya. Dan tidak dapat dipungkiri juga nelayan Bajo saat itu juga marak menggunakan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan dalam kegiatan penangkapan, dan saat itu memang belum ada pelarangan seperti saat ini setelah Wakatobi berstatus Taman Nasional. Permintaan yang tinggi terhadap penyu hijau dari Bali, membuat banyak orang-orang Mantigola naik haji, suatu
185
lambang prestise bagi masyarakat Bajo. Barulah saat taman nasional terbentuk pada tahun 1994, pelarangan terhadap kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan, dan ketegasan tersebut semakin menguat manakala Wakatobi berotonomi menjadi Kabupaten maka kegiatan perdagangan penyu dihentikan, dan dilakukan pengawasan yang sangat ketat oleh pihak jagawana taman nasional. Masa-masa kemakmuran juga terjadi ketika nelayan-nelayan Bajo Mola Mantigola masih bisa menangkap hasil-hasil laut di wilayah perbatasan Indonesia-Australia. Di musim-musim tertentu, rombongan kapal lambo yang terdiri dari nelayan-nelayan sawi maupun punggawa berangkat ke Pepela untuk melakukan penangkapan hasil-hasil laut seperti mencari sirip ikan hiu, lola, penyu, dan tuna. Mantigola juga memasok lambo bagi nelayan-nelayan di Pepela. Mantigola sendiri adalah sentra pembuatan lambo, selain Mola Utara di pulau Wanci. Mencari nafkah dengan melaut pada daerah penangkapan yang luas, dan pada waktu yang relative cukup lama, ini sifatnya sebagai bentuk migrasi temporer disebut Lama. Menurut Stacey (1999) lama diartikan sebagai berlayar atau untuk berlayar. Tujuan lama adalah melakukan kegiatan penangkapan, pengangkutan kargo, atau kegiatan membeli barang dan menjual kembali untuk masa periode tertentu. Namun, semenjak MoU BOX 1974 disepakati oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah Australia, seperti yang telah dibahas pada bab 5 sebelumnya, menunjukkan bahwa pelarangan tersebut telah memukul mundur perkembangan orang-orang Mantigola. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa merantau ke Pepela, dan kemudian melakukan kegiatan penangkapan di perairan Australia dianggap sebagai sumber nafkah yang mengantarkan beberapa orang Mantigola dalam kelimpahan materi. Terjangan gelombang lainnya yang mulai meruntuhkan daya juang nelayan dan pengusaha di Mantigola adalah dijadikannya kepulauan Wakatobi sebagai Taman Nasional pada tahun 1996 dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW), dan otonominya Wakatobi menjadi Kabupaten. Pada tahun 2003, wilayah kepulauan Wakatobi menjadi kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton. Zonasi bagi nelayan di Mantigola menjadi momok yang menakutkan
bagi
nelayan
di
Mantigola.
Bagi
mereka
zonasi
sebagai
pembunuhan secara perlahan-lahan bagi nelayan Bajo. Beberapa tineliti juga
186
mengungkapkan bahwa selain karang, orang-orang Bajo di mantigola juga tidak bisa lagi mengambil kayu-kayu bakau di hutan bakau. Seperti apa yang diungkapkan oleh Hj. RH : “Dulu sebelum zonasi taman nasional, kami bebas menjual ikan di Karang, bos-bos di Mola tinggal ambil di karang, sekarang kami susah mencari. Yang susah yang mencari, yang menjual seperti kami juga semakin susah, apalagi kalo kami tertangkap, puluhan juta harus kami bayar biar kami bisa lolos dari kurungan, biaya yang kami keluarkan besar sekali. Sekarang hampir setiap minggu jagawana patrol di karang. Kami ditangkap oleh jagawana seperti pencuri saja, dulu kami bebas ambil apa saja, padahal jagawana itu bukan yang punya laut. Kalo kami dilarang-larang mencari di karang, dan hanya boleh ambil di pinggir-pinggir pulau atau pesisir pulau saja, darimana kami memperoleh uang untuk makan dan menyekolahkan anak kami. Di Karang saja terkecuali kami mengambil yang mahal-mahal baru bisa dapat untung lebih. Uang saya habis hampir 55 juta untuk keluarkan Pak Haji suami saya dari kurungan, itu sudah berkali-kali, jadi sudah ratusan uang saya habis. Sekarang di Mantigola cukup untuk makan saja, kalo mau dapat berlebih sekarang susah. Banyak pengusahapengusaha Bajo di Mantigola ini akhirnya mundur. Penyu saja sekarang dilarang, tapi karena kita mau hidup juga, kita diam-diam jual, kami pasrah kalo mau ditangkap, kami hanya mau hidup saja. Yang penting kami tidak mencuri di rumahnya orang. Kalo kami mengambil sesuatu di karang meskipun terlarang itu tidak apa-apa karena itu sumber kehidupan kami, dan karang itu milik kami”(Wawancara dengan Hj. RH, Tanggal 16 Maret 2011). Perjuangan orang-orang Bajo di Pulau Kaledupa untuk mencari nafkah sesungguhnya menjadi berlipat-lipat dibandingkan orang-orang Bajo di Mola. Orang-orang Kaledupa tidak memberikan iklim kondusif bagi perkembangan perekonomian masyarakat Bajo. Roda perekonomian tidak bergerak dengan cepat. Padahal berdasarkan potensi ekologis, Pulau Kaledupa lebih kaya akan sumberdaya alam dibandingkan dengan pulau Wanci. Tidak jarang, orang-orang Bajo mendapatkan perlakuan kasar dari orang-orang Kaledupa. Perlakuan itu tidak terjadi saat ini, tapi terjadi sejak orang-orang Bajo hidup menetap di Pulau kaledupa. Berdasarkan konteks sosialnya, masyarakat Kaledupa pada zaman Kesultanan Buton adalah sebuah kerajaan kecil (Barata) yang mengakui kekuasaan atau takluk dengan kekuasaan kesultanan Buton. Orang-orang Kaledupa sendiri terkenal memiliki perangai yang tegas. Sebagai suatu sistem social, masyarakat kaledupa terdiri dari empat kelas social, berdasarkan keturunan (ascribe status). Golongan Kaomu adalah golongan masyarakat kelas
187
atas yang memiliki status sebagai golongan masyarakat bangsawan dan penguasa yang menguasai ranah eksekutif. Pada lapisan kedua adalah kelompok bangsawan Walaka yang menguasai ranah legislative. Dilapisan ketiga adalah golongan masyarakat Maradika yang adalah pegawai dan pedagang. Lapisan bawah adalah golongan masyarakat Papara yang merupakan golongan budak, buruh dan pekerja kasar. Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang kaledupa dengan istilah “amai wa’du” yang artinya orang asing dari laut, sebagai golongan masyarakat yang terendah. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa. Ditambah dengan pola hidup masyarakat Bajo yang dinilai oleh masyarakat Kaledupa “jorok” atau “tidak bersih” semakin mempertegas garis batas antara orang-orang Bajo dan orang Kaledupa. Karena alasan tersebutlah yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan intimidasi terhadap masyarakat Bajo. Hinaan dan cercaan dari orang-orang Kaledupa dialami oleh masyarakat Bajo. Masyarakat Bajo baik di La Hoa, Sampela, maupun Mantigola Umala juga tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun di daratan pulau Kaledupa. Orang-orang Bajo hanya menjadi buruh kebun yang bertugas untuk membersihkan dan merawat tanaman kelapa milik orangorang Kaledupa. Intimidasi dan perlakuan yang diskriminatif yang diberikan oleh orangorang Kaledupa terhadap orang-orang Bajo rupanya membentuk sifat penakut dari orang-orang Bajo itu sendiri. Sifat yang terlekat pada masyarakat Bajo ini pada akhirnya dijadikan sebagai alasan bagi orang-orang Kaledupa untuk tetap melakukan tindakan diskriminatif. Bentuk perlakuan diskriminatif tersebut antara lain dalam bentuk Menurut Ibu MM : “orang-orang darat di Kaledupa sana, kalo lihat kami orang Bajo yang suka pakai baju oranye dan merah siang-siang jual ikan, suka ditertawakan..mereka bilang wana iso na ana amae wa’du…kami ditertawakan karena pakai baju yang mencolok, dan dibilang kampungan”(Wawancara dengan Ibu MM’, Tanggal 24-26 Maret 2011). Kemudian, menurut pengakuan ibu MM, bentuk-bentuk perlakuan orang darat misalnya orang Bajo menjual ikan di pasar Sampoawatu, kemudian orang darat yang membeli ikan menawar harganya, jika orang Bajo tidak sepakat
188
dengan harga ikan yang ditawarkan oleh darat, ikan biasanya dirampas, kemudian orang darat akan memaki-maki orang Bajo, bahkan ada yang dipukuli dan ikan tidak dibayar oleh orang darat yang sedang mabuk. Seperti apa yang diungkapkan oleh Ibu MM : “Bagaimana mau ada pasar di Kaledupa, kita kadang malas mi jual ikan ke orang darat. Coba lihat tidak ada pasar yang berkembang. Pasar Sampoawatu saja hanya ramai dalam waktu sebulan saja semenjak dibuka untuk pertama kalinya, setelah itu sepi. Bagaimana juga kita sering diambil kita punya ikan, kalo kita kasih harga, baru ada juga orang darat yang jahat tidak mau menawar katanya terlalu mahal, pernah ikan kita dirampas, baru kita dihina-hina. Pernah juga kita dipukuli sama orang darat yang mabuk habis minum-minum baru ikan kita tidak dibayar” (wawancara dengan Ibu MM’, Tanggal 24-26 Maret 2011). Ibu Ryh mengungkapkan : “di Kaledupa susah beli ikan di Pasar. Padahal di sini banyak sekali ikan. Ini karena pasar di Kaledupa tidak berkembang. Sudah tiga kali pasar dibangun di Sampara, Kasawaru, dan Sampoawatu tapi tidak berkembang juga. Kami malas bawa ikan ke darat, saya pernah bawa ikan ke darat, orang-orang darat yang jahat tawar ikanku, saya tidak mau ditawar ikanku karna terlalu rendah, malah di tampar saya. Kemudian saya bawa ke orang darat yang lain. Tapi orang yang pukul saya bilang ke orang yang mau beli ikanku, jangan kamu beli ikannya dia jual mahal itu”(Wawancara dengan ibu RGH, Tanggal 22 Maret 2011). Bentuk perlakuan diskriminatif dari orang-orang kaledupa, kepada orangorang Bajo adalah pada suatu saat ketika pemilihan legislative, ada orang Bagai Kaledupa
yang
mencalonkan
dirinya
sebagai
anggota
legislative.
Dia
menginginkan agar masyarakat Mantigola mendukung langkahnya menjadi anggota legislative, dengan memberikan beragam bentuk bantuan. Namun, setelah hasil perhitungan suara, rupanya ia kalah. Impian orang darat tersebut menjadi
anggota
legislative
pupus
sudah.
Karena
kecewa
terhadap
ketidakberpihakan orang-orang Bajo Mantigola kepadanya, dengan sengaja sumur air tawar sebagai sumber air bersih masyarakat mantigola dicemari dengan kotoran sapi dan kotoran manusia. Akibat perbuatan orang darat yang tidak bertanggung jawab tersebut, selama sebulan masyarakat Bajo Mantigola tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat Bajo mengandalkan air laut untuk mandi, kakus dan mencuci. Sementara untuk masak dan minum akhirnya mereka harus membeli air mineral.
189
Namun, tidak berarti semua masyarakat darat berlaku jahat terhadap orang Bajo, ada juga orang-orang darat yang berjasa kepada masyarakat bajo Mantigola dengan memberikan pengabdiannya sebagai guru sekolah dasar, dan sekolah madrasah. Beberapa orang darat juga menjalin kerjasama dengan nelayan Bajo, dengan memasarkan hasil tangkapannya ke darat. Kemudian, setelah beberapa komoditas laut yang bernilai tinggi dilarang, Perkembangan ekonomi di Mantigola perlahan-lahan melambat. Mantigola sendiri adalah cabang dari Mola. Usaha yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo Mantigola mengalami kondisi “jatuh-bangun”. Menurut pengakuan orangorang Mantigola, pemerintah kurang memberi sentuhan terhadap orang-orang Bajo Mantigola agar ekonomi bisa berkembang. Kemudian, penyebab kemandekan ekonomi di Mantigola berikutnya adalah, pembeli hasil-hasil laut yang tidak langsung ke Mantigola, tapi membeli hasil-hasil laut hanya sampai ke Mola. Bos-bos Cina seperti Pak Choi dan Pak Hengki yang ingin membeli ikan hidup, pada awalnya ke Mantigola, mereka menyatakan ingin membeli ikan hidup nelayan di Mantigola. Namun, ternyata Pak Choi dan Pak Hengki malah bekerjasama dengan pengumpul Di Mola. Melihat
konteks
sejarah
yang
melatarbelakangi
proses
lahirnya
kapitalisme di suku Bajo Mola dan Bajo Mantigola, maka teori Weberian lebih tepat digunakan untuk menganalisa “akar” dari berkembangnya kapitalisme lokal di suku Bajo. Seperti apa yang telah diungkapkan pada bagian tinjauan pustaka yang membahas mengenai ciri kapitalisme, teorisasi Weber mengungkapkan bahwa Weberian menekankan analisa pada latar belakang kemunculan kapitalisme, nilai-nilai lah yang pertama berperan, kemudian barulah terjadi perubahan artikulasi cara produksi sebagai hasil dari perubahan nilai tersebut. Sementara Marx menjustifikasi bahwa kelas kapitalisme muncul karena ada kontradiksi internal dari kapitalisme yang menyebabkan terkonsentrasinya kepemilikan properti di tangan kelas tertentu, kemudian di sisi lain semakin meningkatnya jumlah proletariat. Yang terjadi pada suku Bajo Mola maupun Mantigola, kapitalisme masuk melalui “ide-ide” tentang perdagangan hasil-hasil laut melalui An Tje seorang pengusaha dari Tanjung Pinang. Penetrasi kapitalisme ini kemudian semakin berkembang juga karena peran akulturasi dari orang-orang Bajo Mola dengan
190
masyarakat Wanci Mandati yang memang adalah pedagang. Melalui pertukaran ekonomi, ide mengenai perdagangan hasil laut diterima dengan sangat baik oleh para aktor kapitalis. Iklim yang kondusif untuk berekonomi juga muncul, karena hubungan “simbiosis mutualisme” secara historis antara orang Bajo Mola dengan orang Wanci Mandati. Proses orang-orang Bajo Mantigola juga diawali melalui penetrasi nilainilai kapitalisme. Misalnya seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa para pengusaha perintis di Mantigola, bahwa proses belajar berusaha hasil-hasil laut di mulai ketika mereka merantau ke Pepela, dan bekerja bersama di lambo orang-orang Bajo di Pepela, awalnya menjadi sawi, kemudian ketika ilmu tersebut kemudian diserap dari punggawa dan toke di Pepela, sekembalinya di Mantigola, ilmu tersebut diterapkan. Sayangnya, proses akulturasi budaya dengan orang-orang Kaledupa tidak memberikan ruang yang kondusif untuk mengembangkan usaha, selain itu juga tekanan dari hadirnya taman nasional, membatasi ruang-ruang nafkah bagi orang-orang Bajo Mantigola. 5.2.
Karakteristik Aktor Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Mantigola
5.2.1. Agama di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola Menurut Koentjaraningrat (1985) dalam Sudana (1991) bahwa perilaku yang religious disebabkan oleh adanya sentiment kemasyarakatan, yaitu dalam batin setiap manusia ada suatu kompleks perasaan yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta, dan sebagainya, terhadap masyarakatnya sendiri yang merupakan seluruh alam dunia dimana ia hidup. Kemudian menurut Durkheim (1965) dalam Sukadana (1991) bahwa pengertianpengertian dasar yang merupakan inti daripada agama berhubungan dengan suatu dunia atau obyek yang bersifat suci (sacred), berlawanan dengan dunia atau obyek lain yang bersifat tidak suci (profane). Hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan adanya saling ketergantungan yang sangat erat. Nilai dan norma dalam bentuk etika moralitas dibentuk pula oleh agama . Sehingga agama di satu sisi dapat memperkuat ikatan-ikatan social dimana kehidupan kolektif itu bersandar, karena agama bisa mempersatukan orang dalam suatu komunitas moral. Namun di sisi lain juga terjadi perpecahan akibat segala bentuk sekularisasi agama yang mengarahkan pada individualisme yang berlebihan.
191
Menurut Peribadi (2000) dilihat dari segi ekologi alam, orang Bajo mengkonsepsikan alam sekitar sebagai ruang dan waktu yang didalamnya terdapat benda biotik seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan dan ikan yang terdapat di gunung, bukit, lembah, rawa-rawa, danau, sungai dan laut serta benda-benda non biotik yakni tanah, air, api, angin, dan cahaya. Menurut keyakinan orang Bajo semua unsur tersebut terdapat dalam dirinya sebagai manusia. Tanah sebagai tubuh, api sebagai nafsu amarah, air melambangkan kesabaran dan angin mencerminkan nyawa, sedangkan cahaya merupakan nur Allah dan nur Muhammad yang menjadi sumber penciptaan langit dan bumi beserta isinya, terutama anak manusia. Orang-orang Bajo sangat meyakini bahwa kalau seseorang memahami substansi atau hakekat dari benda-benda tersebut, maka tidak mungkin malapetaka akan menimpa dirinya. Atas keyakinannya terhadap keganasan alam, khususnya makna laut bagi orang-orang Bajo sesungguhnya membuat sikap orang-orang Bajo cenderung penakut. Malah cenderung berbicara bertele-tele (Zacot, 2008). Keyakinan yang berlebihan terhadap kekuatan laut baik sebagai sumber kehidupan, dan sumber kekuatan batiniah menciptakan “agama tradisi” seperti kepercayaan animisme yang berdampingan dengan agama Islam yang dianutnya. Sehingga bagi orang Bajo meyakini banyak takhyul, laranganlarangan yang berwujud “pemali”, dan guna-guna (samauda). Hingga cara-cara gaib banyak sekali dianut oleh orang-orang Bajo. Mantra pesona untuk membuat orang jatuh cinta dengan menggunakan asap rokok atau dengan pakaian merupakan ilmu takhyul yang banyak dikenal oleh orang-orang Bajo (Zacot, 2008). Menurut Stacey (1999) agama orang-orang Bajo di Wakatobi merupakan suatu sistem sinkretisme antara elemen-elemen agama Islam yang berdifusi dengan kepercayaan animisme orang-orang Bajo terhadap kosmologi dan pelaksanaan ritual-ritual. Kepercayaan animisme ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan unsure Islam. Islam sincretisme ini nampak pada beragam manifestasi dari praktek kepercayaan orang-orang Bajo, misalnya upacara kelahiran, ritual turun laut bagi perahu yang baru dibuat, ritual awal kegiatan penangkapan untuk wilayah tangkap yang sangat luas, membangun rumah, dan ritual penyembuhan. Orang Bajo menamakan Tuhan Allah SWT sebagai Papu. Papu dianggap sebagai pencipta alam semesta. Namun, karena adanya kepercayaan animisme,
192
maka orang Bajo juga sangat mempercayai roh leluhur yang disebutnya sebagai Mbo Mandilao sebagai “penunggu lautan yang luas” yang merupakan ciptaan Papu. Istilah Mbo Mandilao merujuk pada tujuh penunggu laut yang sangat ditakuti oleh orang-orang Bajo. Antara lain : Mbo Janggo, Mbo Tambirah, Mbo Baburra, Mbo Marraki, Mbo Malummu, Mbo Dugah, dan Mbo Goyah. Orang Bajo percaya bahwa yang terkuat adalah Mbo Janggo. Orang-orang Bajo secara umum adalah penganut Islam Sunni, dan keterlekatan terhadap kepercayaan tersebut berbeda-beda, baik ketika di laut dengan ketika mereka telah berada di kampung (Stacey, 1999). Pada gambaran berikutnya akan ditampilkan bentuk-bentuk perbedaan derajat pelaksanaan agama Islam dan kepercayaan animisme yang dianut oleh orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola, dan juga mewarnai etika moralitas ekonomi kedua komunitas Bajo tersebut. Sebagai penganut agama Islam sekuler, pelaksanaan syariat Islam memang tidak begitu nyata terlihat, sehingga Islam sepertinya hanya dijadikan agama identitas saja atau Islam “KTP”. Akan tetapi, derajat kepercayaan terhadap roh-roh leluhur juga semakin samar. Beberapa orang-orang Bajo Mola, beberapa yang berasal dari golongan menengah maupun kalangan atas menjalankan lima rukun Islam, seperti sholat di masjid di kala maghrib, dan jumatan, serta bersedekah. Namun, sebagian besar orang Bajo Mola tidak banyak menjalankan lima rukun Islam tersebut secara taat. Perilaku yang dilarang keras dalam agama Islam, seperti perjudian, main perempuan, dan minum-minuman keras yang memabukkan, masih sering ditemukan. Keanehan memang terjadi di masyarakat Bajo Mola, dimana sesungguhnya kepercayaan animisme yang dipelihara sudah mulai runtuh, namun tidak juga dengan giat menjalankan syariat agama Islam. Beberapa orang Bajo mengungkapkan bahwa ritual-ritual yang berhubungan dengan kegiatan pelayaran memang masih dipertahankan, namun upacara-upacara pengobatan seperti duata sudah sangat jarang dilakukan. Kebanyakan orang-orang Mola jika mengalami gangguan kesehatan, penyembuhan sudah lebih mempercayakan kepada pihak medis, nanti setelah jalan medis sudah tidak bisa dilakukan, barulah dilakukan upacara duata. Dan upacara duata yang penuh kemistisan tersebut malah dilakukan di masjid.
193
Sebaliknya, bagi masyarakat Bajo Mantigola, hakekat hidup manusia bagi masyarakat Bajo dipengaruhi oleh tradisi turun-temurun (animisme) dan agama Islam. Masyarakat Bajo memandang bahwa segala apa yang ada di dunia ini merupakan anugerah Tuhan untuk kehidupan manusia, tinggal bagaimana memanfaatkannya. Mereka, orang Bajo meyakini bahwa perilaku buruk dalam memanfaatkannya, akan berakibat buruk pula. Sebab itu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Bajo, banyak larangan yang harus dipatuhi agar terhindar dari musibah atau kesulitan dalam mencari nafkah. Larangan atau pamali (taboo) ini dalam perkembangannya menjadi semacam mekanisme budaya dalam mempertahankan keseimbangan sumber daya alam, apabila yang di-pamali-kan itu terkait demi terpeliharanya kondisi kelestarian lingkungan (Lampe, 2008 dalam Saad, 2008). Kondisi masyarakat Bajo di Mantigola saat ini, memang masih sangat kuat memegang tradisi, dan menghindari beberapa pantangan-pantangan yang diturunkan secara turun-temurun, meskipun mereka mengaku telah memeluk agama Islam. Misalnya masyarakat Bajo Mantigola sangat mempertahankan kepercayaan
terhadap
kehidupan
magis,
dan
kepercayaan-kepercayaan
terhadap kekuatan roh-roh leluhur yang menyerupai binatang-binatang laut. Menurut Mbo’, orang yang dituakan di Mantigola, mengatakan bahwa roh-roh leluhur orang Bajo berupa ikan gurita. Menurut Mbo : “Kami punya saudara adalah mahluk laut. Kata orang-orang tua kami Gurita (kuta) dan buaya (tuli) adalah leluhur kami”(Wawancara dengan Mbo’, Tanggal 24 Maret 2011). Bagi masyarakat Bajo Mantigola, penyakit berasal dari gangguangangguan “halus”, maka jika masyarakat Bajo Mantigola merasakan penyakit yang disebut “tidak enak perasaan” maka orang tersebut harus melakukan ritual duata. Yang melakukan ritual atau pengobat adalah orang-orang tertentu dengan keturunan Bugis-Duata juga. Orang dengan keturunan Duata harus mewariskan ilmunya kepada keturunan selanjutnya diistilahkan oleh orang-orang Bajo dengan “dipelihara”. Jika tidak dilakukan maka orang Bajo percaya sang Sandro yang keturunan Duata akan berpenyakit kelainan jiwa. Masing-masing penyebab baik disebabkan oleh Kuta maupun tuli punya ritual yang berbeda pula. Kalo disebabkan oleh kuta maka sajen yang disediakan adalah kutta maduai. Kalo yang menyebabkan adalah tulli maka sajennya
194
bernama tulli maduai. Untuk mengetahui jenis penyakit yang diderita maka dilakukan ritual sumangaha. Sementara untuk pengobatan yang sakit maka harus dilakukan kutta panyarriah. Ciri khasnya harus tersedia dua macam ayam, satu ekor ayam perangi (ayam diolah namun tidak dengan cara dimasak di atas api, namun dimasak dengan menggunakan air perasan jeruk) dan seekor lagi dilepas di lautan. Ritual tikka masangai adalah ritual untuk mengobati guna-guna syaratnya juga sama dengan ritual kutta panyarriah. Ritual duata sendiri adalah ritual pengobatan yang dilakukan oleh orang-orang bajo dengan garis keturunan tertentu. Biasanya orang Bajo menyebut Sandro sebagai orang yang pandai mengobati orang sakit karena memiliki kekuatan magis bisa membaca penyakit seseorang dan menyembuhkan. Menurut Ibu MM : “Kalo orang Bajo di sini sakit, kita duata dulu. Kalo sudah di duata tapi tidak sembuh juga maka kami bawa ke puskesmas atau ke rumah sakit” (Wawancara dengan Ibu MM’, Tanggal 24-26 Maret 2011). Menurut Ibu RSH : “Di sini jarang yang operasi, kalo sakit kita kasih obat-obat kampung. Biasanya kita buat Duata. Meskipun duata mahal harganya, tapi nyawa kita itu tidak ada harganya. Kalo kami akan bersalin, biasanya suami kami akan menanggil sandro untuk membantu. Tapi pernah saudara saya sedang cari ikan di laut, melahirkan sendirian di atas koli-kolinya. Setelah melahirkan biasanya kami harus berenang di laut, pagi-pagi sekali. Begitu juga dengan bayinya harus dimandikan dengan air laut. Air laut adalah obat bagi kami”(Wawancara dengan Ibu RSH, tanggal 22 maret 2011). Duata sendiri dibagi atas dua. Pertama duata bugis, dan kedua adalah duata palilligo. Untuk melakukan ritual duata orang Bajo harus menyediakan dana sebesar lima juta rupiah. Jumlah yang tidak sedikit bagi masyarakat Bajo. Namun, hal tersebut dipercaya oleh orang Bajo dapat menyembuhkan, sehingga mau tidak mau duata harus dilakukan. Duata yang dijunjung tinggi oleh orang-orang Mantigola, sebagai sumber dari berfungsi kembali sumanga dan nyawa menurut Zacot (2008), menunjukkan bagaimana hubungan antara manusia dengan “setan” yang tinggal dilautan. Hubungan ini selanjutnya rupanya merefleksikan bagaimana orang Bajo berhubungan dengan antar manusia. Misalnya resiprositas antara manusia dan “setan” dalam ritual duata yang digambarkan dengan pemberian sesajen, menunjukkan bagaimana keimbalbalikkan juga akan diaplikasikan kepada sesama orang Bajo. Orang Bajo Mantigola sangat percaya ketika duata tidak
195
dibarengi dengan sesajen maka “setan” tidak akan memberikan kesembuhan, dan akan memberikan kesulitan. Orang Bajo melihat tanda setan dari gejala dan kekuatan alam, khususnya laut. Kehidupan bermasyarakat dari orang Bajo Mantigola cenderung bermasyarakat dengan bentuk seperti ini. Setiap orang Bajo Mantigola mengakui apa yang telah dungkapkan oleh Zacot (2008) bahwa semakin sering makanan saling diberikan di dalam desa, maka nasib pun akan semakin baik, dan kematian dan bencana akan semakin dijauhkan. Agama Islam bisa juga diperhitungkan bagi kemajuan orang-orang Bajo dalam hal ekonomi. Akan tetapi nampaknya esensinya cenderung bukan pada usaha untuk menjalankan syariat Islam. Salah satu rukun Islam yang tidak mudah dilakukan oleh orang-orang Bajo adalah menunaikan ibadah Haji, karena hanya orang-orang Bajo yang mampu secara finansial, dan merasa telah “mendapat panggilan” untuk menunaikan ibadah haji, meskipun harus berhutang sana-sini. Maka, naik haji merupakan suatu prestise dan simbol kekayaan. Pada akhirnya kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa tesis Weber mengenai fenomena “etika ekonomi” karena dorongan agama, untuk kasus di Bajo bukan karena nilai-nilai agamanya seperti calvinisme menganggap bahwa dengan bekerja keras maka kehidupan surgawi bisa diperoleh, melainkan nilai-nilai menunaikan ibadah haji hanya tameng, orang-orang Bajo lebih mengganggap itu sebagai upaya mobilitas sosial vertikal. Agar mendapatkan pengakuan atas posisinya sebagai orang berpunya, yang memiliki banyak nelayan artinya banyak massa dan pada akhirnya akan memudahkannya beraliansi dengan pemerintah, dan beraliansi dengan orang Bajo di dalam komunitasnya. Berpijak pada konsepsi pemikiran teoritik weber, bahwa kemunculan “etika ekonomi” yang bersumber dari ajaran agama, yang mengkonsepsikan bahwa tindakan individu terhadap kehidupan dunia sebagai bentuk asketisme aktif, dan bukannya asketisme pasif seperti yang dikembangkan dalam mistisme agama. Karena asketisismeyang disebutkan pertama, memberikan dorongan yang kuat bagi penganutnya agar menjalankan kehidupan yang riel di dunia ini. Artinya, dengan dorongan asketisisme aktif yang teraplikasikan secara rasional dalam rangka mengendalikan dan menguasai berbagai tantangan kehidupan dunia. Sementara, mistisisme dengan kekuatan kontemplasi spiritual cenderung “membelakangi: kehidupan dunia. Maka kecenderungan asketisisme pasif yang terjadi pada masyarakat Bajo Mantigola ditengarai bukan karena mistisme
196
agama islam, namun karena mistisme kepercayaan-kepercayaan animism atau “kekuatan-kekuatan yang tidak berwujud dari laut disebut sebagai Sumanga dan Nyawa, yang cenderung menimbulkan asketisme pasif. Apa yang terjadi pada masyarakat Bajo Mantigola, sama dengan apa yang ditemukan Hefner (1999), bahwa kepercayaan orang-orang Tengger yakni memeluk agama-agama tradisi dengan warna hinduisme rupanya menghalanghalangi kemunculan dan berkembangnya gejala borjuasi, karena agama juga menghalang-halangi kepemilikan secara individual. Agama tradisi pada orangorang di Tengger rupanya mengekalkan kepemilikan secara komunal. Gambaran perbedaan etika moralitas yang dipengaruhi oleh agama dan keyakinan animisme akan ditampilkan pada matriks berikut ini : Matriks 7. Perbandingan Etika Moral Ekonomi Mola dan Mantigola berdasarkan Bentuk Keyakinan. No.
Indikator Perbedaan
1.
Pandangan terhadap kekayaan material, serta cara memperoleh kekayaan
2.
Orientasi Perdagangan
3.
Derajat Kosmopolitan
Suku Bajo Mola Mantigola (Menganut sekularisme (Menganut agama Islam agama Islam) Sinkretisme-sufi) Pengejaran atas kekayaan Pengejaran atas kekayaan material cenderung material cenderung kurang dominan, sehingga timbul menjadi perhatian, karena kecenderungan rasa pengejaran atas segala bentuk individualistik. Cara materialsme didasarkan pada pengejaran kekayaan upaya-upaya untuk bertahan dari materialism (barang-barang gejolak-gejolak yang mewah, dan “status haji” meng”hantam” usahanya. adalah dengan ekspansi Pengejaran atas kekayaan usaha baik pada sektor materi dikalahkan dengan perikanan maupun non perolehan status “haji”. Cara perikanan memperolehnya adalah dengan mengintensifkan usaha yang telah ada agar bisa bertahan di bawah tekanan-tekanan. Cenderung komersialisme Cenderung non komersialisme , karena dilandasi oleh dan hidup sesuai kebutuhan. kepentingan akumulasi Karena dilandasi oleh keinginan kekayaan. agar bisa bertahan. Cenderung sangat kosmopolit, karena gerusan nilai-nilai perkotaan, setelah tinggal didaratan.
Kurang kosmopolit, nilai-nilai kolektivisme tetap dipertahankan.
Sumber : data primer, diolah. Dari penjelasan singkat pada matriks di atas dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Bajo saat ini terdapat perbedaan di dalam pandangan agama,
197
yang kemudian juga merubah etika moralitas yang terbagi menjadi dua golongan besar. Antara lain etika moralitas individualisme materialisme oleh orang-orang Bajo
Mola
yang
sekuler,
dengan
orang-orang
Bajo
Mantigola
yang
mempertahankan etika kolektivisme sebagai pemeluk Islam sinkretisme. Jika kita menilik teori Steward mengenai ekologi budaya yang telah dibahas sebelumnya pada bagian dua tinjauan pustaka, maka orang-orang Bajo Mola yang telah sekuler, dan kehilangan demagifikasi dari agama Islam sinkretisme karena hubungan dengan alam lebih renggang. Jiwa kosmopolitan yang terbentuk dari terbukanya ekspansi usaha, dan segala bentuk informasi membuat hidup mereka lebih didasarkan pada landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional, sehingga pandangan agama yang dianut adalah etika agama yang rasional atau sekuler.
Pada
wajah
Bajo
Mantigola
mempertahankan
agama
Islam
sinkretismenya, karena actor-aktor pengusaha Mantigola lebih tergantung pada proses-proses organik dan kejadian-kejadian alam sebagai penentu nasib mereka. 5.2.2. Orientasi Nilai Budaya di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola 5.2.2.1. Persepsi Manusia terhadap Alam di dalam Bentuk Kapitalisme Lokal Setiap kebudayaan pada sistem budayanya mengandung serangkaian konsep-konsep abstrak dan luas ruang lingkupnya dalam alam pikiran sebagian warga masyarakat mengenai apa yang dianggap penting dan bernilai dalam hidup (Koentjaraningrat, 1987 dalam Saad, 2008). Masyarakat Bajo memandang bahwa segala apa yang ada di dunia ini merupakan anugerah Tuhan untuk kehidupan manusia, tinggal bagaimana memanfaatkannya. Mereka, orang Bajo meyakini bahwa perilaku buruk dalam memanfaatkannya, akan berakibat buruk pula. Sebab itu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Bajo, banyak larangan yang harus dipatuhi agar terhindar dari musibah atau kesulitan dalam mencari nafkah. Larangan atau pamali (taboo) ini dalam perkembangannya menjadi semacam mekanisme budaya dalam mempertahankan keseimbangan sumber daya alam, apabila yang di-pamali-kan itu terkait demi terpeliharanya kondisi kelestarian lingkungan (Lampe, 2008 dalam Saad, 2008). Bagi orang Bajo Mantigola laut diibaratkan sebagian bagian dari deru nafas kehidupannya. Alam semesta merupakan sejarah yang digambarkan, visi terhadap ruang kehidupan, yakni laut juga merupakan visi tentang waktu.
198
Menurut Mbo’, kami orang Bajo tidak bisa hidup di darat, kami tidak bisa lepas dari laut tempat kami berasal. Laut memberikan kehidupan, laut juga bisa memberi kemurkaan. Menurut Zacot (2008) orang Bajo sangat unik, karena sesungguhnya selalu menolak hidup di daratan, dan mengikuti kebiasaan makan orang daratan. Itulah sebabnya orang Bajo sedikit memakan sayur, dan buahbuahan, apalagi daging. Kemudian, sampai sekarang orang-orang Bajo Mantigola sangat percaya “pertanda” yang diberikan laut, misalnya tinggi rendahnya air laut yang diukur berdasarkan tiang tancap rumah, mampu memberikan isyarat kabar buruk yang akan menimpa sang pemilik rumah. Tanda penghormatan orang Bajo Mantigola yang masih sangat kuat dipegang ditunjukkan dengan penghoratan terhadap ritual tamoni adalah ritual yang dilakukan dengan maksud untuk menyimpan ari-ari anak yang baru dilahirkan. Sesungguhnya ritual tamoni ini memantapkan makna yang demikian mendalamnya terhadap laut. Bagi orang Bajo, orang-orang Bajo berasal dari laut, semangat hidup mereka berasal dari ari-ari yang dibuang ke laut dalam ritual tamoni. Makna filosofis yang terkandung dari ritual ini sesungguhnya agar melancarkan hubungan orang Bajo dengan laut, dan pada akhirnya setiap jiwa orang-orang Bajo selalu terarah ke lautan. Dengan dimulainya kehidupan orang-orang Bajo Mola di daratan Wanci, secara berangsur-angsur makna laut yang bermakna spiritual memudar. Bagi orang Mola, laut digambarkan sebagai “rezeki”. Dengan makna tersebut, orangorang Mola melepaskan ranah spiritualnya dengan mulai melakukan kegiatankegiatan ekonomi produksi yang mulai meninggalkan keselarasan dengan alam. Beragam bentuk modernisasi perikanan perlahan-lahan diterima, seperti yang telah dijabarkan pada bab lima konteks sejarah perkembangan kapitalisme lokal. Sehingga pemaknaan terhadap laut mempengaruhi segala bentuk strategi bisnis yang cenderung agresif dan mulai melakukan cara-cara untuk menguasai alam. Seperti apa yang diungkapkan oleh MN : “laut itu mata pencaharian kita, disitulah tempat kami mencari rezeki. Cuma itu satu-satunya andalan kami bisa berkembang” (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011). Misalnya bagi sebagian besar pengusaha tuna di Mola, ketergantungan terhadap teknologi citra satelit untuk meramalkan berkumpulnya tuna mulai menarik perhatian mereka. Inovasi yang diperolehnya oleh bagai di Bali menarik
199
perhatian mereka. Menurut para pengusaha tuna di Mola, teknik tradisional tidak mampu lagi memuaskan mereka. Ketidakpastian tidak disukai oleh para pengusaha tuna di Mola. Mereka bersedia mengeluarkan jutaan rupiah untuk memperoleh inovasi tersebut, sehingga efisiensi usaha dapat tercapai. Ini menunjukkan kemunduran orang-orang Mola terhadap kepercayaan mereka terhadap gejala-gejala alam. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola yang bertahan hidup di atas laut, memaknai lautan tidak hanya bermakna magis, akan tetapi juga dianggap orangorang Mantigola sebagai “kebun” tempat mencari nafkah. Seperti apa yang diungkapkan oleh ibu MM : “Kalo orang darat kebunnya di darat dan di laut. Tapi, orang Bajo kebunnya hanya di laut. Jadi hidup matinya bergantung sama laut”(Wawancara dengan Ibu MM’, Tanggal 24-26 Maret 2011). Orang Bajo Mantigola tidak peduli jika tidak memiliki tanah di daratan Kaledupa, mereka hanya meminta “sedikit” tanah untuk liang kubur tubuh mereka didaratan, dan “air tawar” sebagai bilasan setelah mandi di laut, dan untuk memasak, selebihnya air laut yang berperan. Maka dua sumberdaya yang nampaknya sedikit itu, namun bernilai sangat besar bagi orang Bajo, harus bergantung pada kebaikan hati orang-orang darat yakni orang-orang Kaledupa yang memiliki tanah di Kaledupa. Orang-orang Kaledupa yang berperangai tegas, dan cenderung otokratis, menjadikan orang-orang Bajo lebih ofensif, tertutup, dan lebih penakut. Ditambah dengan kesalahan orang-orang Bajo di masa lalu, yang mendukung gerombolan, dan menyebabkan mereka harus terusir ke Mola, maupun ke La Manggau. Semua ini pada akhirnya menciptakan rasa tidak percaya yang berlebihan dari orang Kaledupa terhadap orang-orang Bajo. Semua bentuk penghinaan, dan tindakan-tindakan kasar dari orang-orang Kaledupa diterima oleh orang-orang Bajo Mantigola begitu saja, tanpa berani untuk melakukan perlawanan kepada orang Kaledupa. Karena laut, beserta terumbu karang yang terkandung di dalamnya dimaknai sebagai “kebun” milik, dan sumber pendapatan utama maka orangorang Bajo Mantigola cenderung memperlakukan laut dengan cara mereka sendiri, yang diikuti dengan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Selayaknya jika kita memiliki kebun di daratan, misalnya alih fungsi lahan ke dalam bentuk apapun bisa kita lakukan menjadikannya sebagai kebun kacang, atau mendirikan
200
rumah adalah otoritas kita. Demikian pula halnya dengan orang-orang Bajo, malah perlakuannya kepada laut diidentikkan sebagai upaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Misalnya mengambil kayu bakau untuk dijadikan bahan bakar untuk memasak, mencungkil terumbu karang untuk mendapatkan mata tujuh (abalone) yang bersembunyi dibalik batu karang, dan mengambil kima yang duduk di atas karang, bahkan dahulu orang Bajo sering memakai bahan peledak untuk mencari ikan. Kemudian, karena “kebun” orang Bajo Mantigola sangat luas, dan memiliki sumberdaya yang berlimpah. Jika orang Bajo lapar, tinggal mengambil perahu dan jaring, maka ketika ikan tertangkap, masalah kelaparan bisa teratasi. Dengan sistem pengelolaan semberdaya seperti ini yaitu dengan berburu (gathering), menciptakan suatu pola tertentu pada masyarakat Bajo Mantigola dalam sifatnya mengelola keuangan rumahtangga yakni sifat boros yang berlebihan. Sehari saja nyaris enam kali orang Bajo menghabiskan makanan. Belum jajan yang merupakan “keharusan” untuk dinikmati oleh setiap rumahtangga Bajo Mantigola. Menurut Zacot (2008) laut adalah tempat kesayangan orang-orang Bajo. Orang Bajo membedakan tiga jenis tempat. Semua daerah karang, bukit karang, pasir tapi yang tidak terlalu dalam dan dapat dilihat pada saat air surut merupakan sappa atau nappo. Pulau pasir kecil juga termasuk di dalam sebutan ini. Di sekeliling sappa inilah dahulu perahu-perahu orang Bajo merapat. Laut di sana tenang, Sappa di dalam dunia besar orang-orang Bajo (alam basar). Dasar laut yang berbatu-batu, yang tidak dapat dilihat, dan yang tidak tampak ketika laut surut disebut lana. Semua bukit karang dan karang besar yang tidak dapat dilihat, dan menghilang di dalam kegelapan air dinamakan timpusu. Lama dan timpusu termasuk dunia dimana penglihatan kurang luas , yaitu dunia kecil (alam didikki). Ada satu hal yang harus dipahami dalam perubahan makna laut bagi orang-orang Bajo Mola. Kehidupan di daratan yang telah dialami oleh orangorang Bajo, bisa menjadi faktor yang menyebabkan bergesernya makna laut yang sedemikian dalamnya bagi orang-orang Bajo, baik bermakna magis (sebagai persemayaman leluhur, dan tempat hidup kuta dan tulli), bermakna sosial (sebagai identitas sosial), dan bermakna ekonomi (sebagai sumber nafkah).
201
Sebelumnya, makna magis menguasai ranah pemaknaan terhadap laut. Misalnya seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya dalam bagian agama terhadap kapitalisme lokal, bahwa berkat kepercayaan yang berlebihan mengenai laut beserta daya magis yang dapat ditimbulkannya, menyebabkan timbulnya hubungan-hubungan, pertukaran-pertukaran diantara orang Bajo dapat dilaksanakan, dan kehidupan bermasyarakat yang harmonis tanpa harus hitunghitungan untung dan rugi seperti seorang kapitalis. Kepercayaan terhadap laut juga menghilangkan ketegangan-ketegangan yang bisa ditimbulkan di antara orang-orang Bajo. Menurut Zacot (2008) orang Bajo beserta kepercayaannya yang mendalam terhadap laut beserta makna magisnya memberikan dampak pada harmonisasi di dalam kehidupan orang-orang Bajo. Amarah dianggap orang Bajo sebagai api, dan api merupakan perwujudan setan. Jika orang Bajo dapat menguasai amarahnya, berarti dapat menguasai setan, dan sekaligus dapat melindungi kelompoknya. 5.2.2.2 Hakekat Manusia dengan Manusia di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo Makna hubungan manusia dengan sesama manusia bagi orang-orang Bajo, dan mempengaruhi warna kapitalisme sebenarnya dapat dipahami melalui makna sama dan bagai. Makna Sama (orang-orang Bajo) dan Bagai (orangorang darat) yang menegaskan bahwa ada garis tegas antara orang sama (Bajo) dan bagai (orang-orang Daratan). Pada masyarakat Bajo, berkembang mitos bahwa Sang Dewata memperuntukkan lingkungan laut bagi orang-orang Bajo (sama). Adanya konsep sama dapu ma di laok yang berarti lautan miliki orang Bajo (sama). Yang berarti pula lingkungan darat diperuntukkan bagi orang yang tinggal di darat (bagai) (Zacot, 2002). Oleh karena itu, umumnya orang Bajo memiliki mata pencaharian utama menangkap ikan atau memanfaatkan sumberdaya alam laut, sedangkan lingkungan darat dengan segala potensinya kurang mendapat perhatian bahkan tidak dimanfaatkan dengan baik. Menurut Sayuti (2004) di dalam kehidupan sehari-hari, orang Bajo mengenal dua konsep yang berbeda di dalam interaksi sosialnya yakni sama dan bagai. Mereka menyebut dirinya sama (orang Bajo) yang membedakannya dengan orang bukan Bajo (bagai). Bagi orang Bajo, orang bagai adalah semua masyarakat lainnya. Selanjutnya Sayuti menekankan bahwa konsep sama dan bagai bukan hanya merupakan simbol ”Bajo” dan ”bukan Bajo”, tetapi juga merupakan simbol kehidupan di laut dan di darat.
202
Istilah sama mendukung gagasan untuk membuat orang-orang Bajo menjadi sebuah masyarakat, sebab istilah ini mengingatkan setiap orang bahwa ia merupakan warga dan termasuk di dalam kelompoknya. Apabila seorang Bajo menggunakan istilah sama, ia menitikberatkan pada apa yang ditunjukkannya pada kelompoknya (Zacot, 2002). Pertama kesamaan antara dua orang Bajo, dan kemudian antara semua anggota kelompoknya. Jadi, kata sama mirip sebuah kode, ini menunjukkan suatu usaha untuk menciptakan sebuah perasaan kekompakan dan juga untuk membedakan diri dari orang-orang lainnya. Munculnya kata ini tentunya terjadi bersamaan dalam sejarah masyarakat Bajo, dan merupakan hasil dan ungkapan sejarah mereka. Peringatan terhadap dunia bagai diinternalisasikan kepada anak-anak generasi penerus mereka dalam setiap kehidupan sehari-hari. Terminologi sama dan bagai bagi masyarakat Bajo, serupa dengan temuan Hefner (1999) mengenai identitas tegas orang-orang Tengger dan dan orang-orang Pasuruan, khususnya dalam perjalanan perubahan ekonomi. Orang Tengger menganggap, orang Pasuruan yang beradaptasi dengan ekologi dataran rendah sangat tidak adil , dengan banyaknya orang yang tidak punya tanah, perbedaan mencolok antara yang kaya dengan yang miskin, serta sejak dulu tidak memiliki toleransi keagamaan, sadar status, yang dihargai hanyalah pangkat, dan tidak ramah. Sementara orang Tengger yang hidup di gunung tidak prestisius dan terbuka (blater), dan orang gunung mengenggap diri mereka semua sama, sedang keturunan yang sama pula. Makna ini tidak hanya sekedar sebagai identitas etnik Bajo, karena kemudian makna ini merasuk pada pemilihan usaha yang akan dikembangkan, dan mempengaruhi bentuk-bentuk pola ekspansi usaha. Jika orang Bugis tidak mempermasalahkan ranah ekspansi usaha, misalnya orang bugis yang menguasai kegiatan penangkapan ikan dengan trawl, di Tarakan, dan Tawao, menguasai pertambakan di Delta Mahakam, menjadi petani coklat yang kaya raya di Kolaka, dan orang Bugis di Samarinda yang memonopoli impor bahan pangan hingga senjata api (Pelras, 2006). Maka tidak heran, jika ekspansi usaha orang-orang Mola bukan dengan menguasai daratan Wanci, seperti membeli tanah di daratan, kemudian membuka kios bahan bangunan sebagai usaha utama, dan kemudian usaha tersebut berdampingan, atau ikut-ikutan orang Mandati berjualan barang bekas impor dari Singapura. Ekspansi usaha orang-
203
orang Mola terbuka untuk segala usaha yang berbau sumberdaya laut, seperti memperkuat armada penangkapan, menambah modal untuk memperkuat basis perniagaan hasil-hasil laut, ekspansi pada jalur transportasi seperti H. BW, yang memutarkan keuntungan hasil berjualan teripang dengan membuka jasa transportasi laut. H. BA selain mengupayakan tuna, juga mengusahakan ikan sunu, dengan harapan bahwa usaha ikan sunu hasilnya dapat diputarkan untuk modal tuna yang mencapai hingga ratusan juta rupiah. Maka, bagi masyarakat Bajo Mola ekspansi kapital dalam bentuk penguasaan lahan di daratan cenderung tidak akan dilakukan oleh orang-orang Bajo, karena orang-orang Bajo memahami bahwa laut sebagai wilayah kekuasaannya, sementara segala sesuatu yang ada di daratan adalah merupakan wilayah kekuasaan orang-orang darat (Bagai). Seperti pribahasa orang-orang Bajo (Zacot, 2008) : “bagai tikka ma dara (datang dari darat, hidup di darat) atau bahkan lebih lazim tikka ma diata (datang dari atas, dalam arti “dari sana menuju ke darat). Makna sama dan bagai juga masih memiliki makna yang mendasar dalam hal pemilihan tenaga kerja, bahkan untuk memilih tangan kanan, yang akan membantu mereka menjalankan usaha. Misalnya bagi usaha ikan kerapu hidup, sudah menjadi harga mati nelayan yang diapai adalah nelayan pancing Bajo, dan koordinator (punggawa) pada masing-masing kelompok penangkapan juga harus orang-orang Bajo dan terkait dengan hubungan kekerabatan (daparanakan). Bagi koordinator, daparanakan sebagai institusi jaminan sosial, dalam artian kemanan posisi mereka sebagai kapitalis kecil. Meskipun Nampak sedikit menyulitkan posisi koordinator dengan mekanisme patron client ini, namun jaminan keuntungan bisa diperoleh dari pola hubungan ini. Ini juga sekaligus menemukan bahwa tidak hanya daparanakan saja yang digunakan sebagai institusi pendukung usaha, namun kelembagaan patron client harus diakui sebagai mekanisme yang menghasilkan surplus dalam pengembangan usaha ikan hidup. Bagi nelayan sawi terhadap coordinator, maupun coordinator dengan pengumpul besar yakni Hj. NI, dua kelembagaan ini memberikan jaminan sosial khususnya kepada nelayan sawi yang rentan hidup mendekati batas subsistensinya. Daparanakan dianggap sebagai “perekat” antara para aktor kapitalis lokal Mola. Aturan main persaingan bisnis juga diatur dalam kelembagaan ini. Menurut
204
Zacot (2008) Daparanakan adalah sebuah keluarga dalam arti “orang yang tinggal” dalam satu rumah”, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup dibawah satu atap rumah”, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup di bawah satu atap, apa pun tingkatan hubungan keluarga mereka. Daparanakan merujuk pada ruang geografis. Misalnya Bagi MN, persaingan bisnis antara pedagang tuna di Mola tidak begitu tinggi, malah baginya sesama pengusaha tuna saling bantu-membantu, ini dikarenakan eratnya hubungan daparanakan antara pengusaha tuna di Mola. Sehingga, tidak pernah terjadi bentuk-bentuk pencaplokan atau akusisi modal diantara pengumpul tuna. Misalnya, jika MN pengusaha tuna di Mola mengalami kekurangan stok tuna sementara Ia harus segera mengirim ke Kendari, MN akan meminta bantuan pengumpul tuna lain yang terkait hubungan daparanakan, agar menyediakan jumlah kekurangan tuna yang diperlukannya, begitu pula sebaliknya. Demikian halnya jika pengusaha nelayan kesulitan keuangan untuk membayar ongkos melaut, dan membayar hasil tangkapan nelayan, maka pengumpul meminjam uang dari pengumpul lainnya. Ada aturan yang mereka pegang antara pengusaha tuna, untuk tidak saling menggangu usaha masing-masing. Ini semua menggambarkan bentuk-bentuk strategi solidaritas horizontal, antara sesama pengumpul ikan tuna yang terkait hubungan daparanakan. Menurut MN : “Biasanya saya meminjam uang kalau sudah sangat sulit, saya meninjam kepada teman pengumpul, saya bilang, saya pinjam dulu uangmu, nanti dua tiga hari baru saya bayar ke kamu. Kalau ada masalah usahanya keluarga kami yang usaha tuna, kami bantu supaya tidak mati usahanya”(Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011). Nilai dalam kelembagaan daparanakan, juga serupa dengan nilai pesse’ babua, yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, yang mengindikasikan perasaan haru (empati) terhadap tetangga, kerabat atau atau sesame anggota kelompok social. Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok social yang sedang dalam keadaan serba kekurangan. Pesse’ berhubungan erat dengan identitas bersama yang merupakan pengikat para anggota kelompok sosial (Pelras, 2006). Untuk beberapa kasus pengusaha hasil ikan di Mola, menunjukkan kecenderungan bahwa batas etnisitas sama dan bagai rupanya mulai samar, bukan hanya karena perubahan zaman, melainkan orang-orang darat yakni
205
orang-orang Mandati bisa menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Bajo. Di pasar-pasar, pedagang ikan dari Mandati duduk berdampingan dengan pedagang ikan dari Bajo Mola, semua berbaur, tanpa harus ada diskriminasi. Orang Mandati sendiri paham benar peran orang-orang Bajo bagi perkembangan usaha dagang mereka. Sebagai konsumen yang potensial bagi pasar komoditas orang-orang Mandati, Bajo diperlakukan setara. Menurut tokoh masyarakat Bajo SI : “Perbedaan sama dan bagai sudah hanya di hati saja, saat ini kami sudah berbaur dengan Bagai” (Wawancara dengan Ibu SI, Tanggal 9 Maret 2011). Beberapa aktor kapitalis lokal Mola seperti pengumpul tuna dan teripang saja sudah menggunakan orang-orang darat untuk menjadi mitra kerjanya. Karena hakekat orang Bajo Mola sudah mulai menganut kecenderungan ke arah individualisme, menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri, maka kecenderungan terjadinya bentuk-bentuk transfer keuntungan dalam bentuk akusisi kapital sangat besar kemungkinan terjadinya. Akusisi diartikan sebagai beberapa faktor-faktor tertentu dan alokasi pendapatan yang strategis yang bertujuan untuk memperoleh akses kepada sumberdaya eksternal dalam artian melalui pertukaran didalam sistem tersebut. Dengan kata lain, hal ini tidak menimbulkan pertukaran interaktif dengan orang lain, namun lebih pada pertukaran dengan pihak-pihak seperti perusahaan, dan kelembagaan dari aktoraktor yang terlibat, Perluasan dari pola-pola hubungan dan akses terhadap jaringan, serta ekspansi terhadap segala bentuk aktivitas-aktivitas dan bentukbentuk kemungkinan yang akan terjadi (Herbon, 1994 dalam Dharmawan, 2001). Bentuk pola-pola akusisi capital yang dilakukan oleh para pengusaha hasil laut di Mola adalah dengan mengalokasikan seluruh keuntungan yang diperolehnya, untuk memperkuat basis modal usaha yang paling menguntungkan. Sumber keuntungan bisa diperoleh dengan diversifikasi usaha tidak pada usaha perikanan tangkap dan pelayaran saja, namun usaha-usaha non penangkapan misalnya keuntungan dari hasil toko kelontongan yang dikelola oleh sang istri. Bentuk pencaplokan lainnya adalah dengan menghambat laju informasi mengenai jalur perdagangan tertentu. Namun hal ini cenderung terjadi terhadap pengumpul teripang dan ikan hidup di Mola yang cenderung tinggi persaingan. Informasi diartikan mereka sebagai peluang mendapatkan bos baru dengan harga yang lebih baik yang artinya juga peluang keuntungan semakin besar.
206
Selain pencaplokkan informasi, juga terjadi pencaplokan nelayan yang terikat pada salah satu pengumpul, dengan tujuan perebutan hasil-hasil laut. Maka agar tidak terjadi bentuk-bentuk pencaplokan usaha tersebut, beberapa pengumpulpengumpul besar memelihara jaringan sosial berbasis hubungan seetnis Bajo, dan terkait hubungan daparanakan dengan nelayan-nelayan produsen, dan mengikat “cabang-cabang” usaha dengan modal pinjaman yang berbunga rendah, dan mengikat. Sementara di Mantigola perbedaan antara sama dan bagai sangat tegas. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada konteks kesejarahan masyarakat Mantigola, yang mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang Kaledupa, menyebabkan batas tegas tersebut tetap terpelihara. Ini juga memiliki pengaruh jika dilihat dari sisi bentuk ekspansi bisnis. Maka bentuk jejaring bisnis cenderung berpola tertutup. Ini disebabkan karena resiko usaha yang sangat besar, maka untuk mencari “kemanan”, pola kerjasama hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait hubungan daparanakan dengannya, dan diusahakan harus orang Bajo (Sama). Dengan kondisi yang serba sulit, masyarakat Bajo Mantigola bertahan pada etika sosial kolektifisme dengan memanfaatkan sifat inklusifitas orang-orang
Bajo
(makna
Sama),
dan
hubungan
“daparanakan”
untuk
menghadapi segala bentuk-bentuk kesulitan hidup. Misalnya pada kasus pengumpul ikan hidup maka basis etika-nilai-moralitas yang dianut sang aktor kapitalis adalah etika sosial kolektivisme. Nilai-nilai daparanakan (kerabat) dan darumah (keluarga inti) mewarnai bentuk-bentuk transaksi bisnis antara nelayan sawi dengan koordinator atau punggawa, dan antara punggawa dengan sang pengumpul yang juga adalah istrinya. Keuntungan yang diterima oleh sang istri juga dinikmati oleh sang suami. Perlu
diketahui,
bahwa
sesama
pengumpul
di
Mantigola
dan
khusususnya untuk komoditas ikan hidup masih terkait hubungan adik kakak kandung, sehingga persaingan antara pengumpul yang satu dengan lainnya cenderung rendah. Misalnya Hj. Rh bersaudara kandung (bares tutuku) dengan Hj. DH, yang juga pengumpul ikan hidup di Mantigola. Karena persaingan antara pengumpul ikan hidup satu dengan lainnya sangat rendah, maka kemungkinan terjadinya akusisi atau pencaplokan kapital peluangnya sangat rendah. Bukannya saling mencaplok usaha, biasanya malah mereka para pengumpul ikan saling membantu jika masing-masing mendapat kesulitan di dalam
207
perjalanannya mengelola usaha. Pencaplokan dalam hal perebutan “pengumpul ikan hidup di Mola” juga cenderung tidak akan terjadi, karena baik Hj. Rh maupun H. DH memiliki pengumpul besar yang sama, yakni Hj. EI daparanakannya di Mola. Seperti komoditas tuna di Mola, maka dapparanakan juga menjadi kelembagaan penopang (supporting institution) bagi pengembangan usaha ikan hidup. Tidak hanya dapanakan, dambarisan dan bares tutuku juga memberikan peranan yang sangat besar bagi “bertahannya” para pengumpul ikan hidup di balik terpaan arus persaingan usaha dari pihak-pihak di luar sistem sosial mereka sendiri. Praktik hubungan patron client antara punggawa dan sawi menjalankan fungsi ekonomi sekaligus sebagai jaminan sosial bagi nelayan sawi maupun nelayan punggawa dalam mempertahankan eksistensi posisi mereka di masyarakat.
Secara
umum
pranata
patron
client
merupakan
sebuah
kelembagaan yang lahir dari rasa saling percaya antara beberapa kelompok kelas nelayan, yakni golongan pemilik kapal sebagai patron dan golongan yang tidak bermodal, dan hanya menjual tenaga. Selain kepercayaan, resiprositas atau hubungan timbale-balik antara punggawa dengan sawi melanggengkan hubungan ini yang memiliki efek ganda pada klien, karena menyelamatkan disaat sulit menguntungkan sekaligus merugikan karena sifatnya yang eksploitatif. Hakikat hubungan manusia bagi orang Bajo Mola dan Mantigola juga dimaknai dalam bagaimana orang-orang Bajo memaknai teman. Terkait dengan makna teman, bisa berarti pertemanan dengan orang lain di luar sistem sosialnya, diluar komunitas sama, dan daparanakannya, maupun secara inklusifitas di dalam kelompoknya. Bagi orang Mola segala bentuk kongsi antara dirinya dengan bagai, baik pihak eksportir, nelayan bagai, maupun orang sama dan daparanakannya merupakan asset bisnis sebagai alat maksimisasi profit. Namun, ada yang unik dari pemaknaan ini bagi orang-orang Bajo Mola. meskipun inklusifitas kelompok dalam bentuk pertemanan dengan orang-orang sama dianggapnya sebagai asset bisnis, tetapi memperlakukannya berbeda bila berhubungan dengan bagai. Tidak seperti berhubungan dengan bagai yang cenderung ingin kuat di dalam posisi tawar-menawar, para aktor kapitalis Mola lebih “melunak”, serta cenderung lebih longgar dengan sesama orang sama. Bentuk keunikan memandang teman bagai ini misalnya, para aktor kapitalis akan
208
menetapkan kesepakatan hitam di atas putih terhadap bentuk kongsi. Sementara jika mereka bermitra dengan sang daparanakan, perjanjian tersebut hanya lisan. Ini merupakan bentuk unik dari proyek bersama di antara orang-orang Bajo. Tidak ada peraturan, kelompok-kelompok terbentuk dan membubarkan diri begitu saja.Seperti kasus pengumpul besar tuna di Mola, jika diteliti dengan seksama, semua pengusaha tuna terkait dengan hubungan kekerabatan yang sangat erat, paling jauh sepupu tiga kali. H. BA, seperti yang telah saya jabarkan pada bagian konteks sejarah aktor kapitalis lokal sebelumnya yang memulai usahanya dengan cara bermitra dengan daparanakannya karena kekurangan modal. Ketika masing-masing sudah merasa mapan kemudian mereka bersepakat untuk berpisah, dan tidak saling menuntut harta kemitraan bersama, semuanya terselesaikan dengan “damai”, tanpa menuntut ini dan itu. Dan setelah itu, mereka tetap saling bekerjasama untuk memperkuat sendi-sendi ekonomi. Namun, bagi orang Mantigola teman khususnya sesama orang sama dimaknai lebih sebagai asset sosial, atau sebagai asset kekuatan terakhir bagi orang-orang Mantigola. Kesetiakawanan yang kuat antara orang-orang sama, memungkinkan mereka membangun sebuah desa, sebagai suatu keluarga atau dambarisan. Di Mantigola, dari terbitnya matahari hingga tenggelam kembali, pertukaran tidak pernah berhenti, seperti tidak memperhatikan nilai yang saling tertukar tersebut bisa lebih menguntungkan atau merugikan. Pertukaran bisa dalam bentuk memberi ikan hasil tangkapan, meminta kayu, meminta air, meminta batang tebu, meminta ubi kayu untuk dijadikan kasoami. Misalnya Ibu MM’ mengungkapkan bahwa ketika seorang pengumpul ikan terbesar di Mantigola Hj. DH, panen ikan hasil rompongnya, orang-orang akan meminta bagian mereka, dan dengan mudahnya mereka peroleh ikan hasil rompong Hj. DH. Bagi Ibu MM, itu adalah kewajiban orang yang diberi nasib bisa mempunyai uang berlimpah, kepada sesama orang sama. Individualisme di dalam jiwa sang aktor di Mantigola bukanlah hanya cara untuk memperkaya diri sendiri, melainkan juga untuk memberikan perlindungan sosial kepada orang-orang sama. Maka, tidak ragu bagi siapapun yang melihat bahwa dibalik semua tekanan kehidupan yang mendera masyarakat Bajo Mantigola, makna “teman sesama Bajo” merupakan kekuatan terakhir yang digunakan oleh orang-orang Mantigola untuk bertahan hidup.
209
Bagi orang Mantigola, pertemanan yang intim dengan bagai Kaledupa, jarang terjadi. Kalaupun terjadi, biasanya itu terbentuk karena adanya ikatan yang mempersatukan mereka dalam bentuk ikatan perkawinan, baik langsung dari dirinya dengan orang Kaledupa maupun dari pihak daparanakannya. Menurut Pak Jun, orang Kaledupa, kalau mengetahui bahwa orang Bajo adalah telah terjalin hubungan keluarga melalui pernikahan akan sangat berbaik hati kepada orang-orang Bajo. Kemudian, bentuk upaya “bertahan” yang ditempuh oleh aktor dalam membangun aliansi bisnis strategi ke luar dengan penguasa (negara) atau aktor kekuasaan lain sebagai bentuk rasionalitas formal adalah dengan memberikan dukungan-dukungan politis kepada salah satu elit yang akan bersaing dalam PILKADA 2011, yang merupakan putra Bajo. Hampir semua masyarakat Bajo Mantigola mendukung sang putra Bajo. Menurut H. DJM : “Salah satu calon 01 wakatobi adalah putra Bajo, semoga dengan mendukung putra Bajo kami orang-orang Bajo bisa diangkat derajat kehidupannya”(Wawancara DJM, Tanggal 9 Maret 2011). Salah satu bentuk usaha membangun aliansi adalah dengan membiayai posko-posko sang putra Bajo di Mantigola. Dan membantu pembiayaan kampanye sang putra Bajo. Menurut H. DJM, orang-orang Mantigola saat ini seperti telur di ujung tanduk, karena mata pencaharian semakin sulit didapat, selain karena perputaran ekonomi di Kaledupa tidak berjalan, sistem zonasi sangat menyulitkan nelayan-nelayan Mantigola untuk mencari uang di Karang. Harapan orang-orang Mantigola kini hanya berada di tangan sang putra Bajo. 5.2.2.3. Hakikat Hidup di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo Selain kegesitannya mengelola usaha orang-orang Mola, yang juga patut diperhitungkan adalah kegigihannya dalam menghadapi gelombang “cobaan” yang mencoba menggoyang fondasi bisnis orang-orang Mola. Dengan mengandalkan solidaritas yang tinggi diantara daparanakannya, secarabersama-sama dilakukan upaya-upaya untuk mengamankan usahanya. Misalnya ketika Pengusaha Tionghoa, yang ingin mengupayakan usaha tuna di Mola, karena sistemnya yang sangat spekulatif, dan berupaya untuk mematikan perkembangan pengumpul-pengumpul tuna di Mola. Seperti yang diungkapkan oleh M. Nur, kelompok pengusaha tuna yang masih terkait hubungan
210
daparanakan melakukan upaya-upaya untuk memboikot sebagai bentuk upaya dalam menghadapi saingan bisnis mereka. “Kami tidak membiarkan orang Cina masuk kemari, karena mereka mencoba merusak pasar kami. Mereka suka bermain-main harga, dan mau masuk langsung ke nelayan. Seandainya mereka masuk dari kita, tidak apa-apa, tapi orang Cina itu maunya untung sebesarbesarnya. Kita ramai-ramai keroyok orang Cina itu. Mereka pasang harga lebih tinggi dari kami, saya bilang ke teman-teman, kita kasih naik juga lebih tinggi dari dia, biar saja kita rugi. Pernah mereka mau membeli tuna sama saya, karena dia main-mainkan harga, mereka mau matikan kami pengusaha Bajo, langsung saya kasih saja tuna yang jelek, begitu juga teman-teman, tidak lama Cina itu bangkrut, dan pergi dari Mola. Coba perhatikan tidak ada penjual orang Cina di Wanci, karena orang Mandati tidak kasih celah orang Cina itu berkembang. Pernah juga ada orang Cina buka usaha bangunan, karena orang mandati bersatu untuk usir orang Cina, maka mereka pasang harga bahan bangunan serendah-rendahnya. Misalnya orang Cina itu jual Rp. 30.000 per lembar, ramai-ramai pengusaha bangunan yang orang mandati jual Rp. 20.000 per lembar. Tidak lama, orang Cina itu langsung bangkrut” (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2010). Upaya-upaya perlawanan terhadap pengusaha-pengusaha Tionghoa menurut Die dalam Tan (1981) juga dilakukan oleh perkumpulan koperasi pengusahapengusaha pribumi lokal di Pekalongan dan Jepara. Menurut
Die
dalam
Tan
(1981),
Di
daerah-daerah
orang-orang
Minangkabau di Pantai Barat Sumatera, dan orang Melayu di Sumatera ; sukusuku ini terkenal karena bakat dagang mereka, peranan orang Tionghoa relative tidak menonjol. Ini menunjukkan bahwa pedagang Tionghoa hanya terdapat di tempat-tempat dimana jasa-jasanya dibutuhkan, sehingga mereka sama sekali tidak dapat menghalangi kesempatan orang Indonesia untuk maju di dalam bidang ini. Cobaan berikutnya adalah ketika usaha tuna yang dikembangkan oleh orang-orang Mola, terancam gulung tikar karena adanya kebijakan global mengenai sertifikasi produk-produk tuna yang akan diekspor ke Eropa harus bebas dari bakteri Salmonella. Maka untuk mengantisipasi kerugian yang dialami tuna dikirim bukan lagi dalam bentuk gelondongan, melainkan dalam bentuk potongan-potongan daging tuna yang telah di loing. Loing sendiri baru dilakukan oleh pengusaha tuna semenjak tahun 2008. Meloing diharuskan oleh setiap perusahaan karena adanya sertifikasi daging ikan tuna yang harus bebas dari
211
salmonella. Saat ini, menurut H. BA, banyak perusahaan tuna di Makassar yang gulung tikar. Misalnya eksportir tuna di Makassar, PT. Prima Bahari bangkrut karena berturut-turut 3 kontainer yang berisi daging tuna ke Eropa dikembalikan, karena terkontaminasi bakteri salmonella. Satu container saja, sudah berisi 20 ton tuna. Satu kontainer harganya bisa Rp. 2 Milyar, itu belum termasuk biaya operasional untuk 1 kilogram tuna sebesar Rp. 100 ribu per kilogramnya. Oleh sebab itu, saat ini perusahaan mengharuskan setiap pengusaha tuna yang sudah tidak mengirim dalam bentuk gelondongan, harus melakukan loing tuna sesuai SOP. Misalnya saja, ruangan harus steril, bercat putih bersih, dan lantainya harus sudah bertegel putih. Pegawai yang meloing harus memakai celemek plastik bersih, dan memakai kaus tangan karet yang steril, begitu juga dengan alat potongnya. Anak-anak kecil tidak boleh bermain-main di ruang loing. Bakteri salmonella bisa masuk ke dalam daging tuna jika salah dan pengolahan tuna. Masuknya teknologi ini, menurut pengakuan para pengusaha tuna, juga meminimalisasi kerugian, karena dengan pengiriman dalam bentuk gelondongan tuna, resiko kerusakan tuna menjadi sangat tinggi. Upaya untuk semakin memperkokoh usaha para usahawan Bajo Mola adalah juga dengan membangun suatu aliansi bisnis ke luar dengan penguasa (negara) atau aktor kekuasaan lain sebagai bentuk rasionalitas formal sang aktor. Misalnya para pengumpul tuna salah satu bentuk usaha membangun aliansi adalah dengan berkoalisi dan mendukung salah satu calon Bupati Wakatobi dalam Pilkada tahun ini adalah agar supaya usaha hasil laut yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo khususnya tuna bisa lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah. Sementara, bagi orang Bajo Mantigola hakekat hidup erat dengan keberadaan laut di dalam kehidupannya. Laut mengarahkan masyarakat Bajo untuk tunduk pada lingkungan, dan harus terus menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan air laut. Hidup bagi orang-orang Bajo harus dibina terus menerus, terpadu, dan rukun. Maka selama laut dimiliki utuh oleh mereka, maka kehidupan akan berjalan baik. Sebab laut penjamin kehidupan orang-orang Bajo sekaligus sebagai identitas mereka.Menurut Ibu MM : “Selama laut ada sama kita, orang Bajo pasti terus hidup, satusatunya harta kami cuma laut ini. Mangkanya kita bertahan disini, dan kami tidak bisa hidup di darat, laut yang kasih kami sumanga dan nyawa, hidup kami akan baik-baik saja kalo kami punya laut
212
sebagai kebun kami tidak dilarang untuk kami olah”(Wawancara dengan ibu MM’, Tanggal 24-26 Maret 2011). Memaknai hidup erat hubungannya dengan bagaimana para aktor kapitalis Bajo memaknai “usaha”. Dari penjelasan sebelumnya digambarkan bahwa usaha dimaknai oleh orang-orang Bajo Mola sebagai upaya menghasilkan keuntungan atau maksimisasi profit. Keuntungan tersebut diupayakan sebagai investasi jangka panjang. Sehingga beragam bentuk individualisme yang diarahkan untuk memperkaya diri sendiri, dan dahulu berusaha dihindari oleh orang-orang Bajo, dianggap sebagai suatu bentuk kewajaran. Aktor kapitalis Mola menunjukkan masyarakat Bajo bisa menjadi orang “berada”, kemiskinan dan kesederhanaan bukan lagi menjadi ciri khas keberadaan orang-orang Bajo. Namun, kecenderungan ini rupanya melegalkan segala bentuk penyerapan keuntungan yang berlebih atas nama hubungan persaudaraan orang-orang Bajo. Sehingga adalah kewajaran jika orang Mola menghambat laju kemajuan Mantigola, melalui mekanisme ketergantungan yang tinggi dengan mereka. Sementara bagi para aktor di Mantigola, usaha dimaknai sebagai jalan untuk mempertahankan dirinya dari beragam bentuk guncangan-guncangan sosial. Usaha dimaknai sebagai cara untuk mencari nafkah. Berbeda dengan orang-orang Mola yang memaknai usaha sebagai jalan untuk akumulasi kapital, maka usaha sebagai upaya bertahan hidup. Usaha juga tidak serta merta untuk membeli barang-barang yang sepertinya tidak perlu, karena mereka telah terbiasa jarang memiliki harta benda. Pada akhirnya, yang cenderung nampak adalah bentuk kepasrahan orang-orang Bajo Mantigola. Bagi mereka semakin lama hidup mereka semakin sulit, dan mereka juga kebingungan dengan ketidakberpihakan pemerintah terhadap mereka. Semua ruang gerak orang-orang Bajo Mantigola semakin sempit, dan mereka tidak diberikan alternative sebagai pengganti ruang-ruang yang dipersempit tersebut. Misalnya, jika mereka tidak boleh mengambil kayu bakau untuk dijadikan kayu bakar, maka menurut orang Bajo Mantigola adalah tugas pemerintah untuk membantu mencarikan jalan keluar dari permasalahan tersebut, yang terwujud dalam sikap kepasrahannya terhadap Tuhan atas segala bentuk kesulitan hidup yang dialaminya. Seperti apa yang diungkapkan ibu MM : “Kalau kami begini terus, tinggal tunggu kematian kita segera datang. Sekarang kami pasrah, sudah tidak ada apa-apa lagi, sekarang kita
213
hanya tinggal berjuang untuk hidup kami”(wawancara dengan Ibu MM, Tanggal 24-26 Maret 2011). Selain kepasrahan terhadap nasib, juga terjadi ketidakmampuan bersaing juga terjadi dengan pengusaha-pengusaha ikan di Mantigola dengan bos-bos eksportir yang datang langsung untuk bertransaksi dengan nelayan produsen tanpa melalui pedagang perantara di Mantigola. Seperti apa yang diungkapkan oleh Hj. Rh : “Sekarang ini sudah susah lain dengan dulu, sekarang toke-toke dari Bali, Surabaya, Makassar, Kendari, dan bau-bau datang langsung membeli ke nelayan. Harga yang mereka berikan sama dengan harga yang mereka kasih ke kita. Tentu nelayan lebih baik menjual kepada mereka, karena lebih tinggi”.(Wawancara dengan Hj. Rh, Tanggal 26 Maret 2011). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika pengumpul Mola berani menjadi “kaki tangan” eksportir ikan Hidup, mengapa pengumpul di mantigola seperti Hj. Rh tidak melakukan hal yang sama dengan Hj. EI daparanakannya. Jawabannya adalah karena adanya sifat dasar orang-orang Mantigola yang cenderung “takut” untuk mengambil resiko terhadap konsekuensi yang akan mereka peroleh, jika dikemudian hari terjadi sesuatu yang berhubungan dengan pelanggaran hukum. Sikap yang “penakut” ini, rasanya kontras dengan pemaknaan kita terhadap suku bajo yang dahulu hidup berpindah-pindah, dan “berani” mengarungi lautan beserta keganasannya. Sifat penakut ini muncul diduga sebagai suatu bentuk adaptasi orang-orang Bajo Mantigola karena secara kontekstual hubungan yang diskriminatif terbentuk antara orang-orang Kaledupa (Bagai Kaledupa) dengan orang-orang Bajo (Sama) sejak awal kedatangan suku Bajo di Pulau Kaledupa. Selain itu juga, pengalaman menghadapi Jagawana, dan beberapa kali tersandung masalah hukum dan misalnya pengalaman para pengusaha penyu, dan ikan kerapu hidup yang suaminya di kurung, juga mempengaruhi agresifitas dalam berusaha. Menurut Hj. Rh : “Kami pernah ditawari untuk mengurus keramba perusahaan di karang, tapi kita disini tidak mau, karena resikonya tinggi, kami tidak mau cari-cari masalah. Biar lah kami mengirim ke Mola, biar orangorang Mola saja yang mengurus.Tidak seberapa juga kami dapat keuntungan dari itu, kami takut tanggung jawabnya” (Wawancara dengan Hj. Rh, Tanggal 26 Maret 2011). Dan alasan terakhir, terkait dengan kepemilikan modal usaha yakni uang yang terbatas, sementara usaha penyu dan ikan napoleon yang keuntungannya akan
214
dijadikan investasi sudah tidak diusahakan karena terkait masalah pelarangan dalam kegiatan penangkapan maupun penjualan. 5.2.2.4 Hakekat Karya di Dalam Bentuk Kapitalisme Lokal Suku Bajo Beberapa kelompok masyarakat ada yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk bertahan hidup saja. Ada pula yang memandang bahwa bekerja dapat meningkatkan status. Dan ada pula yang menganggap bahwa kerja untuk menambah karya yang lainnya. Pada saat masyarakat Bajo hidup dalam kondisi berpindah-pindah, kerja bagi mereka adalah untuk bertahan hidup dari kerasnya gelombang lautan. Saat ini bagi masyarakat Bajo khususnya Mantigola pemaknaan tersebut tidak banyak berubah. Segala bentuk tekanan yang mengancam kehidupannya, antara lain perlakuan diskriminatif dari masyarakat Kaledupa, mekanisme ketergantungan yang diciptakan sendiri oleh orang-orang Bajo Mola dalam bentuk pinjaman modal usaha yang sifatnya “terikat”, semakin menyempitnya ruang gerak nelayan Bajo Mantigola dalam mencari nafkah, karena adanya zonasi taman nasional, dan berlakunya MoU Box 1974, memperlihatkan tidak berubahnya pemaknaan mereka mengenai hakekat kerja sebagai upaya untuk usaha bertahan hidup. Menurut Hj. Rh : “Kami orang Bajo, hanya andalkan laut saja untuk hidup, kita tidak akan mati selama ada laut. Kita orang Bajo kerja-kerja mengolah hasil laut seperti ini, kalau ada untung kami simpan tapi kalau tidak ada untung yang penting untuk sehari-hari saja” (Wawancara dengan Hj. Rh,tanggal 26 Maret 2011). Makna kerja terkait erat dengan bagaimana orang Bajo baik Mola dan Mantigola memandang modal. Bagi orang-orang Mola, modal merupakan suatu investasi jangka panjang, maka para aktor kapitalis lokal di Mola berupaya agar modal semakin berkembang. Untuk menyokong modal yang dibutuhkan demikian besarnya, maka tidak ada kata “kekosongan” usaha, segala bentuk usaha-usaha perikanan diupayakan untuk mengisi kantong-kantong modal yang akan diputarkan berikutnya. Misalnya, H. BA selain mengupayakan tuna, juga mengupayakan perdagangan ikan kerapu dan sunu sebagai antisipasi dari musim panen tuna, yang membutuhkan modal sedemikian banyaknya. Dan untuk mendukung permodalan, beragam upaya seperti berhubungan dengan bank perkreditan rakyat juga sangat giat dilakoni oleh para aktor kapitalis lokal. Meskipun banyak dari mereka mengeluh, mengenai terlalu kecilnya pinjaman modal yang mereka dapatkan dari perbankan negara. Menurut H. BA :
215
“Semua peluang hasil-hasil laut kita upayakan selama itu memang bisa membantu kami dalam berusaha, misalnya kita upayakan keuntungan tuna yang ada bisa digunakan untuk usaha berikutnya, pokonya harus pintar kelola uang biar bisa berkembang usaha tuna kita”(wawancara dengan H. BA, Tanggal 11 Maret 2011). Modal
bagi
aktor
di
Mantigola
dimaknai
sebagai
alat
untuk
mempertahankan usaha yang telah ada. Hj. Rh misalnya yang mengutarakan bagaimana usahanya mengalami penciutan skala usaha. Sehingga modal yang diperolehnya hanya diputarkan untuk usaha yang dia yakin benar akan menghasilkan keuntungan yang berarti. Sementara untuk mengembangkan pada usaha lain yang menawarkan keuntungan, akan tetapi ke depan menghadapi resiko akan ditolak mentah-mentah. Bagi Hj. Rh modal juga dipandang bukan saja untuk usaha, melainkan modal juga dipersiapkan untuk menghadapi pihakpihak tertentu yang sekiranya berupaya untuk menghalangi mereka dalam mencari nafkah. Modal digunakan juga untuk membiayai pembebasan sang suami yang ditahan oleh pihak aparat kemanan, karena melanggar aturan taman nasional. Seperti pengakuan Hj. Rh, bahwa uang hingga ratusan juta hilang untuk kurun waktu lima tahun terakhir hanya untuk membebaskan suami dari kurungan. Tidak dipungkiri juga oleh orang-orang Bajo Mantigola, bahwa jika pada saat mereka melakukan kegiatan penangkapan di karang, kemudian dijaring tersangkut penyu, penyu tidak dilepas, melainkan dibawa pulang, kemudian dijual. Menurut Hj. Rh, dan nelayan DJM itu dilakukan semata-mata karena kesulitan yang dihadapi orang-orang Bajo, dan dianggap sebagai sebuah keberuntungan, karena artinya akan nada uang yang dibawa pulang untuk pulang. Dan mereka menyadari, tindakan yang dilakukannya jika diketahui oleh jagawana akan dikategorikan sebagai pencurian. Namun bagi mereka, itu bukanlah mencuri, karena laut milik mereka. Mencuri bagi orang-orang Bajo Mola dipersepsikan dengan memasuki rumah orang lain, tanpa seizing pemilik rumah, dan diam-diam mengambil harta milik orang lain. Sementara karang adalah milik orang Bajo, jadi jika penyu maupun kima yang terlarang di karang diambil oleh orang Bajo diartikan oleh orang di luar sistem social Bajo sebagai pencurian, maka artinya orang Bajo mencuri di dalam rumah sendiri. Menurut Scott (1985), apa yang dilakukan oleh nelayan Bajo Mantigola tersebut sebagai suatu bentuk
216
perlawanan yang sifatnya informal, perorangan, anonim, dan tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang marjinal. 5.2.2.5 Persepsi Manusia terhadap Waktu di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo Orang-orang Bajo dengan hidupnya yang dahulu, menganggap bahwa apa yang didapat hari ini, juga dihabiskan hari ini juga. Ini karena bagi mereka kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Bagi mereka, menyimpan sesuatu, apalagi uang, dan akan diupayakan kembali tidak dihiraukan. Orientasi mereka bukan pada masa depan melainkan pada masa kini. Saat ini orientasi nilai yang hanya memandang masa kini saja, memang cenderung masih dilakoni oleh orang-orang Bajo, namun ini dianut oleh orang-orang Bajo dari kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi, misalnya nelayan kecil, atau nelayan sawi. Orientasi ini sebenarnya dikeluhkan oleh beberapa pengusaha di Mola, keprihatinan mereka terhadap nelayan kecil yang tidak berkembang kualitas hidupnya karena sifat kekurang pandaian mereka dalam mengelola keuangan. Menurut Zacot (2008), kecepatan orang-orang Bajo menghabiskan makanan dan mencari makan tidak lah sama. Pada saat makan atau bila seseorang tiba-tiba ingin makan tetapi tidak ada makanan yang tersedia di rumah, ia akan pergi mencarinya di laut atau di desa. Jika tidak ada seekor pun ditangkap atau bila tidak ada uang ia akan menunggu. Sebaliknya, bila makanan berlimpah-limpah ia mendapat makanan (dengan daya upayanya sendiri atau dengan menjual jasa) atau seseorang memberi makanan kepadanya, maka makanan ini dengan sendirinya dihabiskan. Orang-orang Bajo seperti ini memandang segala bentuk karya hanya sebagai alat untuk menafkahi hidupnya. Pemaknaan terhadap waktu ini dipengaruhi oleh ketidakpastian orangorang Bajo untuk mendapatkan makanan, dan ketidakmungkinan untuk menyimpannya. Menurut Zacot (2008) sifat ini agaknya juga disebabkan pada kenyataan bahwa orang Bajo mendapat, menunggu dan menghabiskan makanannya secara tersendiri menurut irama yang tidak tetap. Semua dapat dijual, semua dapat dibeli. Ini merupakan proyek bebas, suatu prakarsa. Harga ikan dan bahan makanan lainnya turun naik sesuai dengan banyaknya ikan. Sehingga orang Bajo tidak mempunyai sistem ekonomi yang diterapkan pada desa atau pada sebagian penduduk. Tidak ada peraturan yang dibuat
217
sebelumnya, yang secara tetap mengatur berkumpulnya orang-orang dengan tujuan social dan ekonomi. Misalnya, sifat orang-orang Bajo, yang menurut MN turut mempengaruhi perkembangan skala usaha nelayan-nelayan Bajo adalah pemborosan yang sangat berlebihan. Menurut MN : “Bayangkan, perputaran uang di Mola, setiap harinya nyaris mencapai ratusan juta rupiah, tetapi jatuhnya di pasar. Kalau nelayan di Mola ini menerima hasil tangkapan, bisa jutaan yang mereka peroleh. Tetapi jajan orang-orang Bajo di sini tinggi sekali. Orang-orang Mandati jualannya selalu habis setiap hari, orang-orang Bajo yang beli semua jualannya. Jutaan rupiah uang bisa habis hanya dalam hitungan hari. Orang Bajo kalau makan hampir enam kali sehari, belum uang jajan anak-anaknya. Ibaratnya bawa ikan satu sampan, pulang bawa belanjaan satu sampan juga.Dalam sehari setiap anak bisa menghabiskan uang jajan sampai Rp. 15 ribu rupiah. Untuk masalah keuangan keluarga, istri lah yang mengatur. Jadi, kalau istri tidak bisa mengelola uang hasil menangkap, maka nelayan susah hidupnya. Seandainya mereka bisa menabung, mungkin hidupnya tidak susah begini” (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2010). Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Bajo Mola, karena perkembangan masyarakat dan penetrasi kapitalisme dari orang-orang Mandati dan gempuran kapitalisme global memunculkan pemikiran-pemikiran rasionalitas terhadap ekonomi dan uang, dan pada akhirnya menciptakan orang-orang Bajo Mola yang berjiwa wirausaha dan yang pandai mengelola keuangan. Yang tidak berfikir pada masa kini saja melainkan juga berfikir pada masa depan. Meskipun nilai-nilai tertentu tetap mereka pertahankan. Beberapa orang-orang Bajo yang seperti ini menganggap bahwa karya yang dihasilkan akan digunakan untuk melakukan ekspansi kapital dengan menginvestasikan keuntungan untuk mengembangkan usaha lainnya. Sementara, para pengusaha Mantigola, yang kekurangan modal, lebih cenderung melihat segala bentuk peluang hanya untuk orientasi pada masa kini. Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, yang membahas mengenai
bentuk-bentuk
rasionalitas,
maka
segala
bentuk
keuntungan
dipersiapkan oleh pengusaha di Mantigola untuk bertahan. Misalnya saja Hj. RH, harus melakukan penciutan skala usaha, karena kerugian yang bertubi-tubi harus dialaminya. Termasuk untuk membiaya para suami yang bisa jadi akan di “bui” ketika kedapatan oleh jagawana memperdagangkan hasil-hasil laut yang terlarang untuk diperdagangkan.
218
Menurut Hj. Rh, pengusaha ikan hidup di Mantigola, mengatakan bahwa usahanya yang bisa dibilang dahulu sangat sukses, saat ini sedang mengalami krisis.
Hal
ini
dikarenakan
perdagangannya. andalannya. dikantonginya.
Misalnya
Melalui
beberapa saja
penyu.
perdagangan
Sekarang,
komoditas
semenjak
penyu ada
Penyu
sudah
hijau adalah
puluhan zonasi
mulai
bahkan taman
dilarang komoditas
ratusan
juta
nasional,
dan
pengawasan yang sangat ketat oleh jagawana membuat penurunan penjualan penyu. Setali tiga uang dengan ikan napoleon yang berharga di pasaran, juga sudah menurun kegiatan perdagangannya. Menurut Hj. Rh : “Dulu sebelum zonasi taman nasional, kami bebas menjual ikan di Karang, bos-bos tinggal ambil di karang, sekarang kami susah mencari. Yang susah yang mencari, yang menjual seperti kami juga semakin susah, apalagi kalo kami tertangkap, puluhan juta harus kami bayar biar kami bisa lolos dari kurungan, biaya yang kami keluarkan besar sekali. Sekarang hampir setiap minggu jagawana patrol di karang. Kami ditangkap oleh jagawana seperti pencuri saja, dulu kami bebas ambil apa saja, padahal jagawana itu bukan yang punya laut. Kalo kami dilarang-larang mencari di karang, dan hanya boleh ambil di pinggir-pinggir pulau atau pesisir pulau saja, darimana kami memperoleh uang untuk makan dan menyekolahkan anak kami. Di Karang saja terkecuali kami mengambil yang mahal-mahal baru bisa dapat untung lebih. Uang saya habis hampir 55 juta untuk keluarkan Pak Haji suami saya dari kurungan, itu sudah berkali-kali, jadi sudah ratusan uang saya habis. Sekarang di Mantigola cukup untuk makan saja, kalo mau dapat berlebih sekarang susah. Banyak pengusahapengusaha Bajo di Mantigola ini akhirnya mundur. Penyu saja sekarang dilarang, tapi karena kita mau hidup juga, kita diam-diam jual, kami pasrah kalo mau ditangkap, kami hanya mau hidup saja. Yang penting kami tidak mencuri di rumahnya orang. Kalo kami mengambil sesuatu di karang meskipun terlarang itu tidak apa-apa karena itu sumber kehidupan kami, dan karang itu milik kami”(Wawancara dengan Hj. RH, Tanggal 26 Maret, 2011). Gambaran perbedaan orientasi nilai budaya terhadap warna yang berbeda di dalam kapitalisme lokal diringkas dalam matriks berikut ini : Matriks 8. Perbandingan Orientasi Nilai Budaya terhadap Warna Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola No.
1.
Pemaknaan terhadap Lima Masalah Dasar di Dalam Hidup Hakekat Hidup
Orientasi Nilai Budaya terhadap Warna Kapitalisme Lokal Bajo Mola Bajo Mantigola Memaknai bahwa hidup itu buruk, akan tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik, sehingga menciptakan optimistik hidup.
Memaknai bahwa hidup itu baik, selama laut sebagai sumber nafkah hidup masih dikuasai oleh orangorang Bajo.
219
No.
2.
3. 4. 5.
Pemaknaan terhadap Lima Masalah Dasar di Dalam Hidup Hakekat Karya
Persepsi Manusia terhadap Waktu Persepsi Manusia terhadap Alam Hakekat Manusia dengan Manusia
Orientasi Nilai Budaya terhadap Warna Kapitalisme Lokal Bajo Mola Bajo Mantigola Memaknai karya untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya. Orientasi kepada masa depan. Manusia berhasrat ingin menguasai alam Mulai berorientasi pada individualisme, menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri. Hal ini didukung dengan samarnya batas tegas antara orang sama dan bagai. Meskipun nilai-nilai kolektivitas masih bertahan.
Memaknai karya itu sebagai suatu nafkah hidup. Orientasi kepada masa kini. Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat. Orientasi kolateral (horizontal), dengan rasa ketergantungan kepada sesama sangat tinggi. Ini juga didukung karena nilai-nilai sama dan bagai sangat tegas.
Sumber : data primer, diolah Dari gambaran orientasi nilai di atas, antara Bajo Mola dan Bajo Mantigola menunjukkan bahwa nilai (values) dari wujud pemaknaan terhadap hidup, karya, persepsi terhadap waktu, terhadap alam (worldview), dan hubungan manusia dengan manusia, memberikan warna tersendiri terhadap bentuk-bentuk kapitalisme local. Walaupun berasal dari etnis yang sama, namun karena gerusan nilai-nilai materialisme, maka warna kapitalisme sebuah perubahan social yang juga sangat berbeda. Di satu sisi Mantigola yang masih mempertahankan ekonomi pra kapitalismenya, sementara Mola yang progresif dan optimistic menerima ekonomi kapitalis, namun masih mempertahankan nilainilai social tertentu, yang rupanya memberikan warna “lokal” terhadap kapitalisme yang mereka bangun. 5.2.3. Rasionalitas di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola Weber bertolak dari suatu asumsi dasar bahwa rasionalitas adalah unsur pokok peradaban Barat yang mempunyai nilai dan pengaruh universal. Dalam kegiatan ekonomi, dapat dilihat bahwa banyak peradaban dalam sejarah yang mengenal untuk mencari laba. Akan tetapi, hanya di Baratlah aktivitas mencari laba tersebut diselenggarakan secara lebih terorganisasi secara rasional. Selanjutnya,
inilah akar utama
sistem perekonomian Kapitalisme yang
mewujudkan diri dalam perilaku ekonomi tertentu. Perilaku ekonomi kapitalistis, menurut Weber, bertolak dari harapan akan keuntungan yang diperoleh dengan
220
mempergunakan kesempatan bagi tukar-menukar yang didasarkan pada kesempatan mendapatkan untung secara damai (Deliarnov, 1997). Namun, tesis Weber ini memang harus dipertanyakan. fenomena tumbuhnya kapitalisme pada masyarakat Bajo, para pedagang Bugis, para pedagang Minang, pengusaha tenun Batak Toba (Sitorus, 1999), dan pedagang etnis Buton Gu Lakudo (Malik, 2010), mematahkan tesis Weber mengenai rasionalitas atas laba yang hanya terbentuk di Negara-negara Barat. Akan tetapi, pernyataan Weber (1946) yang menganggap bahwa, sebuah unit, seperti kapitalisme bukanlah suatu keseluruhan tidak terdeferensiasi yang bisa dipersamakan dengan “naluri serakah” atau dengan “masyarakat serba uangseperti yang lebih terlihat oleh Marx dan Sorel. Weber menganggap bahwa kapitalisme sebagai sebuah skala berbagai tipe, yang masing-masing memiliki cirri institusional tersendiri Artinya bahwa Weber juga mengakui bahwa konteks sosial juga mewarnai bentuk-bentuk kapitalisme, warna kapitalisme tidak bisa di “universalkan”. Rasionalitas bagi Weber dalam Turner (1991) ditunjukkan melalui prinsipprinsip kalkulabilitas dan control yang sistematis atas semua aspek kehidupan manusia berdasarkan peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran yang umum, yang mengesampingkan daya tarik norma-norma
tradisional atau antusiasme
kharismatis. Sehingga rasionalitas dianggap Weber memberikan kemungkinan pengendalian yang efektif terhadap alam dan masyarakat, membebaskannya dari
kegelisahan-kegelisahan
dunia
yang
tidak
dapat
diramalkan
dan
melepaskannya dari kekuatan gaib. Berpijak pada pemikiran Weber, maka pemahaman terhadap munculnya aktor kapitalis lokal Bajo berfokus pada penguraian sikap-sikap, motif-motif serta pandangan-pandangan
yang
terkenal
dari
aktor
sosial
yang
saling
mempengaruhi dalam situasi-situasi yang mempunyai maksud. Sebuah motif menurut tafsiran sosiologi, adalah suatu deskripsi verbal yang memberikan gambaran-gambaran, penjelasan atau dasar kebenaran tingkah laku yang dilakukan oleh aktor sosial. Motif-motif adalah jawaban-jawaban tertentu yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai alasan seseorang melakukan sesuatu. Menurut Turner (1991), untuk memahami motif-motif, kita harus menganalisa konteks-konteks sosial di dalam mana mereka berada dan
221
lebih lanjut kita harus mengetahui bahwa motif-motif yang subyektif dari hubungan antar manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial makro pada keadaan kultural dan ekonomi dari masyarakat-masyarakat. Menilik perbedaan strategi bisnis yang diterapkan oleh para pengusaha di Mola, dan Mantigola; Mola cenderung pada perhitungan ekonomi untuk keberhasilan usaha dan mendukung akumulasi capital, sementara Mantigola menitik beratkan pada ketergantungan terhadap hubungan-hubungan social daparanakan (kin relationship) baik sebagai tenaga kerja, dan sebagai katup penyelamat usaha menegaskan ada perbedaan rasionalitas dalam memandang usaha dan strateginya. Merujuk pada teori rasionalitas Weberian yang telah diungkapkan pada bab tinjauan pustaka sebelumnya. Bahwa menurut Weber, rasionalitas terbadi atas dua golongan besar. Antara lain rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) yang melandasi segala bentuk tindakan-tindakan ekonomi kapitalistik, dan rasionalitas berorientasi nilai (substantive rationality) yang melandasi tindakan-tindakan ekonomi pra kapitalistik. Berpijak pada teori tersebut, maka rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) yang melandasi segala bentuk strategi bisnis untuk usaha maksimisasi profit yang cenderung ekspansif, berani mengambil resiko, agresif, terbuka dengan beragam inovasi dan bentuk kemitraan dengan eksportir, dalam bentuk rasionalitas praktis pada actor kapitalistik Bajo di Mola. Rasional praktis sendiri mewajibkan hitunghitungan ekonomi, dan akumulasi kapital untuk mobilitas sosial vertikal melalui prestasi usaha (achievement). Namun, bukan berarti aktor kapitalis di Mola melupakan segala bentuk rasionalitas substantif. Rasionalitas ini juga cenderung masih “bercokol” pada ranah pemaknaan para aktor kapitalis tersebut. Di sinilah titik konflik rasionalitas terjadi, ini terkait erat dengan pilihan setiap aktor dalam menggunakan tenaga nelayan. Apakah menggunakan nelayan terikat yakni orang-orang darat yang menawarkan kemudahan dan keuntungan, ataukah menggunakan nelayan Bajo yang sifatnya terikat, yang malah memberikan kesulitan bagi pengusaha. Bagi beberapa pengusaha di Mola, akibat tekanan pasar, mereka mengakui yang dahulu hanya menggunakan nelayan terikat saja dan hanya merekrut nelayan-nelayan suku Bajo saja. Saat ini, pengusaha di Mola menggunakan jasa nelayan darat, namun dengan sistem yang tidak terikat, atau bebas. Beberapa pengusaha mengakui bahwa menggunakan orang-orang darat
222
(Bagai) sebagai nelayan jauh lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan nelayan Bajo. Namun, bagi para pengusaha Bajo menggunakan nelayan Bajo yang terikat meskipun terkadang mereka sering dicurangi. Bentuk-bentuk kecurangan nelayan Bajo terhadap pengusaha hasil laut, khususnya pengumpul ikan hidup antara lain seperti yang diungkapkan Pak Jun mengeluhkan sikap nelayan pancing yang sering menipu punggawa. Yang cenderung menipu adalah nelayan pancing yang tidak berkelompok. Nelayan pancing yang mencari sendiri meminta uang panjar dalam jumlah yang besar, namun tidak giat mencari. Menurut Pak Jun ini berakibat pada kerugian pengumpul, dan nelayan sendiri akan terjerat dengan utang. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pak Jun : “Nelayan sekarang banyak kasih susah kami para juragan. Khususnya nelayan pancing yang sendiri, mereka ambil uang panjar banyak-banyak, lalu diserahkan ke istrinya untuk beli emas, atau untuk main judi, lalu lupa mencari, akhirnya mereka yang susah mengembalikkan, kami juga susah berusaha. Sekarang kembali nelayan yang tipu kita para juragan. Jadi, nelayan kecil Bajo sekarang hanya terus jadi nelayan kecil, tidak berkembang. Yang lebih menyakitkan lagi, kami juragan sudah susah-susah mencarikan panjar untuk mereka, malah mereka menjual ke orang lain, tanpa sepengetahuan bos yang memberikan panjar, karena harga yang ditawarkan lebih tinggi”(Wawancara dengan Pak Jun, Tanggal 19 Maret 2011). dan jika dilihat dari sudut pandang ekonomi menggunakan nelayan terikat dari suku Bajo kurang menguntungkan, tetap harus dilakukan. Menurut H. TJW, pengusaha teripang di Mola: “Saya lebih senang dengan nelayan di darat sana. Karena kita tidak kasih panjar. Cukup kami kasih rokok, gula, dan kopi saja. Sementara kalau nelayan Bajo di Mola, di Mantigola, atau Sampela harus kita biaya solarnya, perahunya, belum beras, batere buat senter, pokoknya banyak yang dibiayai. Untuk usaha seperti kami ini, kami lebih senang dengan model nelayan darat di Patuno. Biasanya nelayan darat yang mencari ikan, suka dapat teripang jadi mereka menyetor ke saya“ (Wawancara dengan TJW, Tanggal 19 Maret 2011). Pernyataan H. TJW, juga didukung oleh pengakuan H. BA, pengusaha tuna di Mola: “Terus terang saya senang bekerjasama dengan nelayan darat, tidak banyak menyusahkan saya. Malah membantu saya, karena biasanya tidak langsung ambil uang kalau habis menyetor, biasanya mereka minta dikumpulkan saja. Nanti kalau sudah banyak baru uangnya diambil. Hanya sekali saya ongkosi nelayan darat, saya belikan mesin
223
perahunya. Biaya operasionalnya tidak minta. Hasilnya juga lebih banyak dari nelayan darat. Kalau nelayan di Bajo Mola, setelah menyetor langsung minta uang, dan uangnya langsung habis dibelanjakan di pasar. Kalau nelayan Patuno ditabung, banyak nelayan di Patuno yang sudah bisa beli motor, malah ada yang bisa mobil angkutan”.(Wawancara dengan H. BA, Tanggal 11 Maret 2011). Kewajiban-kewajiban sosial yang melekat pada orang-orang kaya Bajo, menuntut terjadinya ikatan kerjasama dengan nelayan-nelayan kecil Bajo, meskipun dalam kerangka rasionalitas ekonomi sang aktor kapitalis Bajo Mola mengatakan tindakan ini cenderung tidak menguntungkan. Ini juga membuktikan bahwa terjadi “pertarungan” antara rasionalitas ekonomi sang aktor yang merujuk pada akumulasi surplus secara individu, dengan rasionalitas moral sosial, yakni menjaga solidaritas diantara orang-orang Sama. Merujuk Weber (Johnson, 1998), konflik rasionalitas ini terjadi karena tuntutan efisiensi yang terus meningkat, dan harus dibayar tinggi secara psikologis oleh sang aktor. Apakah harus mengorbankan spontanistasnya, hubungan personalnya, atau kah harus mengorbankan keuntungan ekonomi yang berlimpah?. Fakta ini sebenarnya sesuai dengan temuan Schrauwers dalam Li (2002) mengenai sifat ekonomi moral masyarakat To Pamona yang hidup di daerah pinggiran dataran tinggi Sulawesi Tengah.
Kalangan Patron memberikan
jaminan kebutuhan hidup kepada petani kecil, ini dilakukan juga sebagai suatu bentuk kewajiban patron sebagai “orang yang bernasib beruntung” di komunitasnya. Strategi ekonomi moral ini dianggap sebagai upaya-upaya dalam meredakan
ketegangan
antar
kelas;
cara
untuk mendapatkan
jaminan
subsistensi tersebut membatasi sikap berontak. Tindakan ekonomi dibentuk atas dasar etika dan moral, dan pada akhirnya akan membentuk sebuah karakter yang akan mencirikan gamabaran suatu
komunitas
tertentu.
Kelompok
substantif
ekonomi
moral
yang
dikembangkan oleh E.P. Thompson (1971) menyandarkan diri pada prinsip dasar keterlekatan (embeddedness). Aktifitas ekonomi produktif akan mempengaruhi kehidupan dan status manusia, namun demikian semua aktifitas tersebut akan dipengaruhi oleh norma-norma, harapan-harapan, dan nilai-nilai komunitas. Dengan kata lain, aktifitas ekonomi dan surplus yang dihasilkan digunakan sebagai sarana mendukung dan meningkatkan kehidupan sosial (Widiyanto, 2009).
224
Sementara bagi pengusaha Mantigola lebih condong kepada rasionalitas substantive (berorientasi nilai) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kolektifitas “egalitarianisme” yang menitikberatkan pada ketergantungan terhadap hubungan daparanakan baik sebagai pemberi modal maupun sebagai tenaga kerja meskipun sifatnya cenderung mengikat dan merugikan dari sisi ekonomi. Sehingga dengan dasar rasionalitas tersebut, strategi bisnis sebagai dasar maksimisasi profit yang dikembangkan cenderung lebih berhati-hati, menghindari bentuk-bentuk kemitraan dengan eksportir, karena takut akan segala bentuk resiko, terikat dengan pemilik modal, dan cenderung defensive atau bertahan. Untuk pola-pola ekspansi bisnis, para aktor kapitalis di Mola cenderung dilatarbelakangi oleh rasional instrumental dengan menitik beratkan pada rasionalitas praktis. Rasionalitas ini kemudian memacu sang aktor untuk semakin giat
berekspansi.
Meskipun
ekspansi
yang
dilakukan
cenderung
untuk
memperkuat usaha penangkapan, melalui strategi nafkah diversifikasi usaha baik di sector pelayaran, khususnya jasa angkutan laut, perbengkelan kapal, maupun usaha-usaha non perikanan seperti usaha warung kelontongan. Sebaliknya di Mantigola, akibat semakin menguatnya rasionalitas substantif, hingga munculnya gejala rasionalitas transedental, yang diidentikkan dengan munculnya gejala “keputusasaan”, dan pemasrahan akan nasib hidup kepada Yang Maha Kuasa. Selain karena kuatnya nilai-nilai kolektifitas antara sesama orang Bajo, yang telah dibahas sebelumnya pada bab lima dalam gambaran umum konteks kesejarahan orang-orang Bajo Mantigola, bahwa penguatan nilai-nilai kolektifitas tersebut merupakan hasil adaptasi dari orangorang mantigola terhadap kondisi sosial ketika menghadapi orang-orang Kaledupa, juga karena beragam bentuk tekanan-tekanan terhadap ruang-ruang nafkah, yakni laut sebagai sumber nafkah orang Bajo Mantigola. Maka bentuk akumulasi kapital diarahkan bukan untuk berekspansi seperti orang-orang Mantigola, namun segala bentuk transfer surplus atau keuntungan diarahkan mempertahankan basis usaha agar bisa bertahan diarus persaingan yang harus dihadapi manakali harus menghadapi tekanan dari taman nasional, dan serbuan dari eksportir yang langsung bertransaksi dengan nelayan produsen di Mantigola. Kemudian, berdasarkan pola maksimisasi profit melalui akusisi kapital, para aktor kapitalis Mola cenderung melakukan bentuk-bentuk akusisi kapital, ini dilakukan sebagai implementasi dari bentuk-bentuk rasionalitas praktis ekonomi.
225
Bentuk-bentuk pencaplokan dinyatakan dalam bentuk pencaplokan hasil-hasil laut dengan memperoleh sebanyak-banyaknya hasil tangkapan dari nelayan, dan memiliki jumlah nelayan terikat yang relatif banyak. Pola akusisi juga cenderung dilakukan oleh aktor kapitalis di Mola, karena unit usaha memang bukan sebagai pola usaha bersama seperti beberapa kejadian pengelolaan usaha di Mantigola, akan tetapi lebih condong pada kepemilikan individu dan perusahaan. Kepuasan yang dirasakan oleh para aktor kapitalis jika keuntungan diperoleh secara individual. Akusisi akan dilakukan oleh lawan bisnis yang juga orang Bajo Mola, jika Ia dan lawan bisnisnya tidak terkait dengan unsur “daparanakan”nya. Karena rasionalitas nilai yang terkait dengan daparanakan, membatasi “keserakahan” para aktor kapitalis terhadap orang lain yang juga daparanakannya. Mereka mengibaratkannya dengan ungkapan “menghancurkan daparanakan, berarti menghancurkan diri sendiri”. Menurut H. BA : “Biasanya saya meminjam uang kalau sudah sangat sulit, saya meminjam kepada teman pengumpul, saya bilang, saya pinjam dulu uangmu, nanti dua tiga hari baru saya bayar ke kamu. Kalau ada masalah usahanya keluarga kami yang usaha tuna, kami bantu supaya tidak mati usahanya”.(Wawancara dengan H. BA, Tanggal 11 Maret 2011). Sementara bagi aktor-aktor di Mantigola, maksimisasi profit melalui akusisi cenderung jarang dilakukan, karena beberapa unit usaha, misalnya untuk usaha
penangkapan
ikan
dengan
menggunakan
rompong,
unit
usaha
merupakan skala usaha kolektif dengan berbasiskan hubungan daparanakan dan darumah. Model kerjasama kolektif ini juga sekali lagi sebagai bentuk adaptasi atas bentuk tekanan-tekanan pada ruang-ruang nafkah orang-orang Bajo Mantigola. Maka akusisi capital tidak difikirkan oleh orang-orang Mantigola, sebaliknya mereka menggunakan etika moralitas kolektifisme untuk bertahan, dan menghalangi segala bentuk pola akusisi capital. Karena kecenderungan orang-orang Mola dalam mengimplementasikan rasionalitas instrumental ekonomi, maka bentuk ekspansi dalam bentuk jejaring bisnis cenderung lebih terbuka. Rasionalitas instrumental ekonomi praktis mengarahkan pada nilai-nilai individualisme dan komersialisme sehingga peleburan batas-batas antara sama dan bagai mulai terjadi. Peleburan batasbatas nilai sama dan bagai tersebut akan dipaparkan secara rinci telah dibahas pada bagian pemaknaan orang Bajo terhadap sesamanya.
226
Orang-orang Mantigola berlaku sebaliknya, bentuk ekspansi usaha lebih tertutup, karena orang-orang Mantigola “lebih nyaman” jika berhubungan bisnis dengan daparanakannya dibandingkan dengan orang lain. Tindakan afeksi ini muncul karena rasionalitas substansi nilai-nilai sama dan bagai masih tegas berlaku di Mantigola. Beberapa pengalaman pahit orang-orang Mantigola saat bermitra dengan orang-orang darat Kaledupa memperkuat “ketakutan” atas kegagalan usaha ketika bermitra di luar daparanakannya, sehingga dengan alasan ini lah tipe jaringan bisnis bersifat tertutup. Misalnya saja pengalaman Hj. DH yang tidak melanjutkan kemitraannya dengan orang darat Kaledupa, karena telah ditipu. Dahulu sebelum Hj. Darsiah menampung di Gudang, rumput laut dijual kepada bos yang ada di Bau-bau. Rumput laut di titipkan kepada La Ilu, seorang pemilik kapal barang line Kaledupa Bau-bau yang adalah orang darat Kaledupa. Sayangnya La Ilu menipu Hj. Darsiah dengan mengurangi rumput laut yang disetorkan ke bos di Bau-bau. Pada akhirnya Hj. Darsiah merugi. Menurut Hj. DH : “Dulu saya pernah di tipu dengan La Ilu, dia bawakan rumput lautku ke Bau-bau, tapi pas ditimbang di Bau-bau, kata bos hasilnya Cuma berapa kilo, sementara sebelum diangkut ke Bau-bau beratnya tidak sesuai dengan timbangan bos. Rupanya banyak dikurangi sama yang antar, jadi sekarang saya hanya mau timbang ditempat saja, supaya kurang resiko dicurangi” (Wawancara dengan Hj. DH, Tanggal 26 Maret 2011). Hubungan sosial produksi dalam kegiatan ekonomi yang dibentuk oleh para aktor kapitalis lokal di Mola dilandasi oleh rasionalitas instrumental. Dengan kepemilikan profit properti secara individual. Para aktor kapitalis mulai mempekerjakan tenaga kerja upahan, terbagi atas nelayan terikat, dan tenaga kerja non produksi, seperti tenaga kerja yang bekerja dalam hal pengolahan hasil produksi.
Meskipun
beberapa
aktor
mengungkapkan
tidak
lagi
mempermasalahkan apakah tenaga kerja harus menggunakan orang Bajo, dan sistem perekrutan tidak ketat, namun pada kenyataannya semua tenaga kerja yang dipakai para aktor, khususnya dalam kegiatan pengolahan hasil tangkapan para aktor sepenuhnya menggunakan tenaga dari orang-orang Bajo. Para actor beralasan tidak ada orang darat yang menawarkan tenaganya kepada para pengusaha Bajo. Sementara hubungan sosial produksi bagi para aktor di Mantigola dilandasi oleh rasionalitas substantif, ada beberapa kecenderungan kepemilikan
227
property tidak hanya dalam bentuk pribadi atau individual tetapi dalam bentuk keluarga, penggunaan tenaga kerja lebih pada penggunaan keluarga inti. Tidak seperti di Mola, di Mantigola perekrutan tenaga kerja bersifat ketat dalam artian harus menggunakan orang-orang Bajo. Derajat hubungan eksploitasi dari hubungan produksi antara sang patron dan client dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial daparanakan, darumah. Kecenderungan aktor kapitalis menikmati nilai tukar (exchange values) sesungguhnya tidak begitu besar, dibandingkan dengan nilai pakai yang dinikmati oleh nelayan produsen. Gambaran perbedaan rasionalitas antara pengumpul besar di Mola dengan pengumpul kecil di Mantigola yang pada akhirnya memberikan warna yang berbeda terhadap gambaran dari kapitalisme local, dijabarkan pada matriks berikut ini : Matriks
9.
Perbandingan Rasionalitas berdasarkan Parameter-parameter Kapitalisme Lokal yang diamati pada Aktor Kapitalis Bajo di Mola dan Mantigola
No.
Parameter-parameter yang diamati
Perbedaan rasionalitas Pengumpul Besar di Mola Pengumpul Besar di Mantigola Didasari oleh rasionalitas Dilatarbelakangi oleh instrumental dalam bentuk rasionalitas substantive rasionalitas ekonomi dalam bentuk nilai praktis. Namun akibat kolektifitas, sehingga masih eksis rasionalitas bentuk strategi cenderung substantive, maka terjadi pada pola ketergantungan.. konflik rasionalitas. Upaya Upaya bertahan melalui maksimisasi profit melalui Rasionalitas substantive Rasionalitas instrumental, mendorong terbentuknya dalam bentuk rasionalitas aliansi keluar sistem social formal mendorong dengan elit Negara yang terbentuknya aliansi keluar beretnis Bajo. sistem sosial dengan elit negara
1.
Profit Maksimisasi
2.
Pola Ekspansi Ekonomi
Cenderung dilatarbelakangi oleh rasionalitas instrumental dalam bentuk rasionalitas ekonomi praktis. Sehingga ekspansi usaha cenderung terbuka.
3.
Individualisme-Profit Properti
Akusisi cenderung dapat terjadi sebagai implementasi dari bentukbentuk rasional ekonomi praktis
Kuatnya rasionalitas substantive sebagai akibat dari etika moralitas kolektivisme. Munculnya rasionalitas transedental sehingga ekspansi usaha cenderung tertutup. Akusisi cenderung tidak terjadi karena etika nilai moralitas kolektivisme yang terkandung dalam rasionalitas substantive menghalangi segala bentuk akusisi capital.
228
6.
Hubungan Sosial Produksi
Cenderung lebih dilandasi oleh rasionalitas instrumental, namun rasionalitas substansi masih punya pengaruh dalam mengatur hubungan social produksi.
Cenderung lebih dilandasi oleh rasionalitas substantive, sehingga hubungan social produksi lebih “egaliter”.
Sumber : Data primer, diolah.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa orang Bajo yang menjadi pengumpul besar dan berwujud sebagai aktor kapitalis lokal di Mola mendasarkan segala bentuk tindakannya, khususnya tindakan berbisnisnya dengan didominasi oleh rasionalitas instrumental yang berisi etika moralitas individualisme-materialisme. Namun, bukan berarti mereka kemudian hanya memikirkan “keegoisan” diri sendiri dengan hanya melakukan segala bentuk kegiatan yang akan menghasilkan keuntungan materi semata. Masih eksisnya rasionalitas substantif, yang berisi etika moralitas kolektivisme sesama orangorang Bajo “Sama” membentuk suatu konflik rasionalitas, yang pada akhirnya konflik rasionalitas tersebut menghalangi pembentukan aktor dengan pemikiran kapitalisme “penuh”. Kemudian, untuk fenomena sosial yang terjadi pada pengumpul kecil di Mantigola yang cenderung mandek ekonominya, mendasarkan segala bentuk kegiatan bisnisnya, beserta berbagai bentuk pertimbangan bisnisnya pada rasionalitas substantive yang berisi etika moralitas kolektivisme. Karena tindakan yang cenderung hati-hati dan menghindari resiko usaha, maka etika kolektivisme dijadikan alat untuk menyelamatkan diri secara beramai-ramai, meskipun pola tersebut mengikat, dan cenderung merugikan, namun hal tersebut rasional bagi mereka karena mampu menyelamatkan mereka dari jurang kehancuran. 5.3.
Karakteristik Sistem Kapitalis Lokal Pada pembahasan sebelumnya, khususnya pada bagian pembahasan
sejarah munculnya aktor kapitalis lokal di Mola dan Mantigola, penggunaan teori Weber dibuktikan lebih tepat digunakan untuk menganalisa “akar” munculnya kapitalisme di suku Bajo. Kemudian, juga melalui Weber dapat dilihat bagaimana kapitalisme di Suku Bajo tumbuh dan berkembang melalui etika nilai moralitas yang berasal dari agama dan orientasi nilai budaya baik pada masyarakat Bajo
229
Mola dan Bajo Mantigola, pada akhirnya menyebabkan tumbuhnya rasionalitas tertentu pada aktor Bajo Mola dan Bajo Mantigola. Analisa berikut ini akan membahas analisa kapitalisme lokal secara makro dengan menganalisa sistem ekonomi dengan unsur-unsur ekonomi kapitalisme seperti profit maksimisasi, pola ekspansi usaha, individualisme-profit property, dan hubungan produksi dan dihubungkan dengan orientasi nilai yang telah dibahas sebelumnya agar “warna lokal” bisa dipahami lebih mendalam pada sistem ekonomi orang-orang Bajo Mola dan Mantigola. Pada fase perkembangan kapitalisme, khususnya fase setelah otonomi daerah kabupaten Wakatobi terbentuk, maka unsur teoritisasi Marx nampaknya bisa menjelaskan sistem ekonomi kapitalisme lokal, meskipun beberapa unsur teori Weberian juga masih bisa masuk untuk mewarnai analisa secara makro terhadap sistem ekonomi kapitalis lokal ala suku Bajo. 5.3.1. Profit Maksimisasi Menurut Marx dalam Darsono (2005) kaum kapitalis berpendapat bahwa keuntungan yang diperolehnya dan kekayaan yang dimilikinya adalah dari sirkulasi uang kapitalnya dalam suatu proses produksi barang dagangan, bukan dari hasil kerja kaum buruhnya. Pendapat yang demikian bermaksud untuk mengaburkan pandangan dan pengertian tentang penghisapannya atas hasil kerja kaum buruh. Selanjutnya Marx dalam Magnis-Suseno (2005) mengatakan bahwa keuntungan bagi kaum borjuis itu maha penting, karena hanya kalau laba cukup besar, seorang usahawan akan bertahan dalam persaingan ketat dengan pengusaha lainnya. Secara sederhana, tujuan kapitalis adalah uang, dan bukan barang yang diproduksi. Barang hanyalah sarana di dalam memperoleh uang. Sehingga analisis Marx secara terbuka menempatkan kepentingan egoistik, yaitu kepentingan untuk memperoleh keuntungan sendiri, sebagai nilai tertinggi. Yang terjadi pada aktor kapitalis di Mola, dalam memperoleh profit, tidaklah seserakah apa yang telah diungkapkan oleh Marx sebelumnya. Para aktor baik di Mola maupun di Mantigola mempertimbangkan serangkaian pertimbangan kritis yang menyatakan bahwa nilai komoditas tidak hanya ditentukan nilai ekonomis yang masuk ke dalam penciptaannya, melainkan juga mempertimbangkan nilai sosial. Sistem produksi kapitalisme lokal ala Bajo ini menunjukan bahwa para pekerja baik itu nelayan Bajo yang berstatus terikat,
230
bahkan tenaga upahan dalam proses pengolahan hasil perikanan memproduksi nilai lebih, tetapi nilai lebih itu tidak seluruhnya dinikmati oleh sang aktor kapitalis, melainkan juga keuntungan dinikmati oleh buruh, bahkan juga dinikmati oleh pengusaha lainnya yang terkait Daparanakan. Seperti yang diungkapkan oleh H. BA dan MN para pengusaha tuna, bahwa : “Semua pengusaha tuna adalah daparanakan kami, paling jauh sepupu dua kali. Jadi kalau kami ada yang kesulitan modal, kami saling bantu dari keuntungan kita. Saya saudara empat orang pengusaha tuna juga. Kami dulu satu kampung di Mantigola ini satu nenek, paling jauh ya sepupu tiga kali”(Wawancara dengan H. BA Tanggal 11 Maret 2011). “Tenaga kerja saya, yang bantu olah tuna semua adalah daparanakan saya, upahnya saya bayar rutin, dan jumlahnya tidak tetap tergantung banyaknya gelondongan yang diolah. Semua tenaga kerjaku yang daparanakan saya sekolahkan, biar mereka berkembang, jangan hanya menjadi begini terus”(Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011) Dari penggalan wawancara tersebut, diperoleh informasi bahwa keuntungan yang diperoleh juga diberikan untuk membantu kegiatan pendidikan di Mola. Seperti yang dilakukan H. TU, salah satu pengusaha teripang terbesar di Mola, yang menyisihkan keuntungan perusahaannya untuk membangun yayasan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di Mola. Menurut H. TU, derma yang dilakukannya sebagai bentuk rasa kepeduliannya terhadap masa depan orangorang Bajo di Mola. Hal ini terlebih dilakukan juga oleh aktor kapitalis di Mantigola. Hasil laut misalnya juga dinikmati oleh orang-orang sekampung. Misalnya H. DG, seorang pengusaha rompong di Mantigola, setiap kali rompong diangkat, orang-orang kampung biasa meminta ikan yang diangkut, dan pasti akan diberikan oleh H. DG. Menurut Ibu MM’ : “H. DG dan istrinya Hji. DH, kalo sekali angkat rompongnya, bisa puluhan juta. Biasa kita pergi minta ikan cakalang kecil-kecil yang dimuatnya di bodi untuk dibawa ke darat.Mereka kasih, kita tidak bayar, sudah begitu lah pengusaha Bajo di sini. Kalo dia tidak memberi nanti bisa kapunuang” (Wawancara dengan Ibu MM’, Tanggal 24-26 Maret, 2011). Pengusaha-pengusaha
di
Mantigola
nyaris
menyisikan
setengah
dari
keuntungannya untuk membantu sesamanya di Mantigola, khususnya yang terkait erat dengan hubungan daparanakannya. Misalnya juga BHR, pengusaha
231
lobster di Mantigola, malah menyisihkan nyaris semua keuntungannya untuk mendukung sang putra Bajo yang adalah daparanakannya untuk maju dalam PILKADA 2011. Menurut BHR : “Lihat jirigen solar di depan rumahku, puluhan jirigen ini untuk kampanye EA. Ini pake uangku semua, tidak ada bantuan dari EA. Semua ini saya lakukan karena harapan kita kalo putra Bajo yang naik dia perhatikan kita. Ini juga ucapan terima kasihku sama EA karena dulu waktu istri saya kena tumor ganas di perut EA yang bantu istri saya mendapatkan pengobatan di Baubau”(Wawancara dengan BHR, Tanggal 26 Maret 2011). Model pengelolaan profit dari usaha yang terjadi di Bajo memang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial yang dianut dan dipertahankan mati-matian oleh orang Bajo dalam menjaga keluhuran nilai-nilai budayanya. Pengelolaan profit yang tidak saja dinikmati oleh sang aktor saja melainkan juga sedikit banyaknya juga dinikmati oleh orang-orang Bajo lainnya, dalam bentuk bantuan social, dan perlibatan orang-orang Bajo di dalam kegiatan usahanya. Model pengelolaan keuntungan ini sangat dipengaruhi oleh pemaknaan para aktor kepada sesamanya, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya dalam bagian karakteristik aktor kapitalis yang menyangkut orientasi nilai budaya yang melekat (embedeed) terhadap nilai-nilai sama dan bagai. Teman juga diartikan oleh para aktor tidak hanya merupakan asset bisnis saja melainkan sebagai jaringan sentimental. Seungguhnya pemaknaan terhadap laut juga mempengaruhi pengelolaan profit ini, meskipun diakui bahwa nilai-nilai ini di Bajo Mola sudah mulai tergerus, namun makna “laut” sebagai sumberdaya yang dihadapi dan basis nafkah satu-satunya bagi orang Bajo menciptakan kesetiakawanan diantara sesama orang Bajo, dimana pun mereka berada. Profit maksimisasi juga tidak akan sangat besar jumlahnya dinikmati oleh aktor kapitalis. Selain yang telah disebutkan di atas, fakta lain menunjukkan bahwa para aktor kapitalis di Mola tetap menggunakan nelayan produsen Bajo yang sifatnya mengikat. Padahal, dari beberapa pengakuan pengusaha di Mola, menggunakan nelayan terikat malah cenderung merugikan para pengusaha. Namun, itu tetap dilakukannya karena kewajiban sosial terhadap orang-orang Bajo yang tak berpunya, yakni nelayan-nelayan kecil. Biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha bisa mencapai dua kali lipat disbanding dengan menggunakan nelayan darat yang mandiri. Meskipun, bisa juga kita mencurigai bahwa yang diungkapkan oleh aktor, seperti kata Marx bahwa pembenaran yang dilakukan
232
oleh kapitalis sesungguhnya semata-mata untuk membela dirinya atas eksploitasi yang dilakukannya, karena penggunaan nelayan-nelayan yang sifatnya terikat dari suku Bajo sendiri, memang sangat diperlukan oleh actor untuk menjamin ketersediaan komoditas yang akan diperjualbelikan di pasar internasional. Pada bagian pembahasan mengenai karakteristik aktor kapitalis lokal khususnya yang membahas mengenai rasionalitas, menunjukkan bahwa nilainilai ekonomi materialisme memang sudah menggerus ranah pemikiran ekonomi, dalam hal perhitungan untung dan rugi. Namun, nilai-nilai sosial kolektivisme tetap “bercokol” pada ranah pemaknaan, sehingga konflik rasionalitas terjadi. Konflik rasionalitas ini membuktikan bahwa nilai-nilai sosial kolektifisme yang menjadi landasan hidup orang-orang Bajo, mampu mencegah terjadinya “keserakahan” yang berlebihan dari para pengusaha di Mola, tidak seperti yang diteorikan oleh Marx mengenai kaum borjuis yang selalu haus akan keuntungan. 5.3.2. Pola Ekspansi Ekonomi Terkait dengan ekspansi ekonomi, menurut Marx dalam Magnis-Suseno, 2005 ciri khas dari ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum : hukum tawar-menawar di pasar. Sehingga kapitalisme adalah ekonomi yang bebas: bebas dari berbagai pembatasan oleh raja dan penguasa lain (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar manapun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya), bebas dari pembatasan tenaga kerja (orang boleh mencari pekerjaan dimana pun, ia tidak terikat pada desa atau tempat kerjanya). Yang menentukan semata-mata keuntungan yang lebih besar. Sistem ekonomi kapitalis dibedakan oleh kepentingan utama dari produksi kapital. Produksi capital dalam bentuk uang kemudian diinvestasikan di dalam komoditas (artikulasi cara produksi dan kekuatan tenaga kerja) yang memiliki nilai lebih. Keuntunganan yang diperoleh aktor kemudian diinvestasikan kembali, seperti apa yang diungkapkan Marx sebagai expanded reproduction of capital. Weber sebaliknya, bahwa dibalik kapitalisme bukan saja didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, melainkan juga
233
karena etika moralitas yang mendorong timbulnya rasionalitas tertentu dalam berusaha. Deterministik ekonomi ala Marx menurut Weber belumlah cukup untuk menggambarkan sistem ekonomi kapitalistik. Sebab jauh dari kepentingan ekonomi semata-mata, ada suatu nilai-nilai yang secara filosofis mendorong dan mewarnai bentuk-bentuk kapitalisme yang berkembang dalam suatu sistem social terntentu. Jika melihat fenomena para aktor kapitalis Bajo di Mola, apa yang diteorikan Marx juga tidak sepenuhnya bisa menggambarkan sistem kapitalisme lokal di Mola. Kenyataannya, jika dibandingkan dengan ekspansi usaha yang dilakukan oleh orang-orang Mantigola. Para aktor kapitalis di Mola memang cenderung lebih terbuka terhadap bentuk peluang usaha, sejauh itu bisa memberikan peluang keuntungan akan mereka lakukan. Namun, tidak bisa semua peluang ekonomi yang datang kemudian serta-merta mereka terima. Usaha utama yang akan mereka kembangkan haruslah berbasis sumberdaya laut. Pemaknaan terhadap laut (worldview) dan nilai-nilai sama dan bagai menjadi “filter” pemilihan sektor usaha yang dikembangkan. Karena bagi orangorang Bajo satu-satunya lahan nafkah yang terlegitimasi untuk mereka adalah lautan, dan orang darat (bagai) berkuasa di daratan. Maka jangan berharap orang Bajo akan menjual barang-barang bekas pakai selundupan (RB) di pasar seperti orang Mandati, atau membuka lahan tambak didaratan seperti orangorang Bugis di Delta Mahakam. Di Mantigola lebih ekstrim lagi-karena transisi belum pada ekonomi kapitalisme-ekspansi usaha jauh lebih tertutup. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada bagian sejarah perkembangan kapitalisme, dan pembahasan orientasi nilai budaya, maka kecenderungan ekspansi yang tertutup karena hakikat hidup orang-orang Bajo memandang kerja dan usaha sebagai sesuatu yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan penghindaran resiko usaha. Kemudian, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tekanan struktural baik dari taman nasional yang membatasi ruang gerak masyarakat Mantigola dalam mencari nafkah, dan keterikatan dan ketergantungan yang tinggi kepada orang-orang Mola membuat pola ekspansi kapital lebih terbatas dan tertutup. Makna hubungan dengan sesama yang terkait dengan kekuasaan darat dan laut melalui nilai-nilai sama dan bagai yang sangat tegas juga menyebabkan tidak pernah sedikit pun mereka ingin berekspansi ke darat.
234
5.3.3. Individualisme-Profit Properti Membicarakan
ranah
individualisme
berarti
membahas
mengenai
bagaimana modal dikuasai sebagai basis dari keuntungan (profit property). Menurut Marx, kepemilikan profit property sesungguhnya juga menunjukkan kepemilikan kekuatan produksi (force of production).Merujuk pada Sitorus (1999) konsep kepemilikan kekuatan produksi dilihat pada aspek alat produksi, unit produksi, dan tenaga kerja utama. Marx dalam Magnis-Suseno (2005) melihat manusia sebagai mahluk yang berhubungan dengan lingkungan secara bebas dan universal. Keterasingan berkaitan erat dengan sistem hal milik pribadi dan pembagian kerja. Sementara menurut Boeke yang telah dijabarkan teoritisasinya mengenai kapitalisme pada bagian tinjauan pustaka, menunjukkan bahwa bentuk sistem ekonomi baik kapitalis maupun pra kapitalis erat kaitannya dengan motivasi spiritual (nilai-nilai). Sehingga dalam membahas mengenai ranah hak milik pribadi yang digunakan untuk berekonomi oleh orang-orang Bajo berarti terkait dengan makna dari hakekat kerja dan karya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya mengenai hakekat karya dan kerja pada bagian orientasi nilai para aktor kapitalis lokal. Bagi para aktor kapitalis di Mola, hak milik merupakan suatu kewajaran dalam hal berekonomi. Karya dan kerja dimaknai sebagai ragam upaya bukan saja sebagai nafkah hidup, namun sebagai cara untuk mendapatkan kedudukan, dan kehormatan di masyarakat. Maka, kepemilikan kekuatan produksi baik dalam bentuk alat tangkap, penggunaan tenaga kerja upahan, dan unit usaha dengan skala individu maupun berbadan hukum (Commanditaire Vennootschap) seperti usaha yang dikelola oleh Hj. TU merupakan suatu keharusan sebagai bentuk pentingnya akumulasi dari produksi komoditi. Alat produksi utama para aktor adalah modal uang yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional bagi nelayan terikat, dan pengolahan hasil hingga sampai di tangan eksportir. Perubahan moda produksi yang dialami oleh para pengusaha di Mola seperti yang telah digambarkan pada bab gambaran konteks kesejarahan memang telah dimulai sejak tahun 1980-an. Namun, perubahan yang sangat menyolok terjadi semenjak otonomi daerah kabupaten Wakatobi. Seperti yang telah dikemukakan pada bab gambaran umum dan konteks sejarah masyarakat Bajo, fase otonomi daerah memberikan “hentakan” perubahan bagi orang-orang
235
Mola. Beberapa pihak mengungkapkan bahwa fase otonomi daerah menjadi masa kemakmuran bagi orang-orang Bajo Mola, setelah masa keemasan Mola dan Mantigola yang telah surut, khususnya saat penyu masih legal untuk diperdagangkan. Fase otonomi daerah menyebabkan terbukanya informasi pasar hasil-hasil laut di Wakatobi. Pada fase otonomi daerah inilah orang-orang Bajo mengenal usaha tuna skala ekspor, beserta teknologi meloing. Kemudian, pada fase otonomi daerah juga merupakan kali pertama orang-orang Bajo mengenal usaha ikan kerapu hidup, beserta teknologi baru di dalam pengelolaan ikan kerapu. Sebelum ikan kerapu hidup diperkenalkan dan diperdagangkan, ikan kerapu hanya dijual dalam keadaan mati dan pengolahan lebih lanjut hanya dalam bentuk ikan kerapu yang diasinkan. Setelah perdagangan ikan kerapu hidup
diperkenalkan,
mulailah
orang-orang
Bajo
berinovasi
dengan
menggabungkan metode penangkapan dengan cara memancing, melalui teknikteknik tertentu agar tidak terjadi kematian ikan kerapu. Otonomi daerah menciptakan begitu dekatnya para aktor kapitalis lokal Bajo di Mola dengan pasar global, yang mementingkan standarisasi, dan mempercepat proses alami secepatnya, dengan eksploitasi sumberdaya yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Menurut para aktor kapitalis lokal di Mola, semenjak terbentuknya kabupaten Wakatobi, para bos-bos di Surabaya, dan eksportir di Bali banyak yang langsung datang ke Mola, jadi sistemnya “jemput Bola”. Tidak hanya eksportir dalam negeri, para eksportir dari Jepang dan Korea juga langsung bertransaksi ke Mola. Menurut H. TU : “Semenjak jadi Kabupaten, jaringan perdagangan kami semakin lancar. Apalagi sekarang jalur transportasi makin banyak, tidak sesulit dahulu. Sekarang Bos tidak naik kapal, tapi naik pesawat kesini. Saat ini sudah banyak pembeli yang kemari, informasi sudah lancar. Tidak seperti dahulu kita yang pergi mencari Bos dan bawa contoh barang sekarang istilahnya Bos-Bos dari Surabaya dan Bali menjemput bola”(Wawancara dengan H. TU, Tanggal 3 Maret, 2011). Bagi orang Bajo Mola, perebutan atau akusisi usaha wajar-wajar saja dilakukan, jika itu tidak ada kaitannya dengan hubungan “daparanakannya”. Perebutan dan “mematikan usaha” pihak-pihak tertentu akan dilakukan jika mengganggu eksistensi usaha, sekali lagi jika sang kompetitor tidak ada hubungannya daparanakan dengannya. Dapparanakan adalah kelembagaan penopang (supporting institution) bagi keberhasilan usaha, khususnya usaha tuna di Mola. Menurut Zacot (2008), dapparanakan adalah sebuah keluarga
236
dalam arti “orang yang tinggal dalam satu rumah”, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup di bawah satu atap, apa pun tingkatan hubungan keluarga mereka, dapparanakan juga menunjuk pada ruang geografis. Seperti yang diungkapkan oleh M. Nur, kekompakan daparanakan juga dibuktikan dalam menghadapi saingan bisnis mereka. Seperti yang diungkapkan oleh MN : “Kami tidak membiarkan orang Cina masuk kemari, karena mereka mencoba merusak pasar kami. Mereka suka bermainmain harga, dan mau masuk langsung ke nelayan. Seandainya mereka masuk dari kita, tidak apa-apa, tapi orang Cina itu maunya untung sebesar-besarnya. Kita ramai-ramai keroyok orang Cina itu. Mereka pasang harga lebih tinggi dari kami, saya bilang ke teman-teman, kita kasih naik juga lebih tinggi dari dia, biar saja kita rugi. Pernah mereka mau membeli tuna sama saya, karena dia main-mainkan harga, mereka mau matikan kami pengusaha Bajo, langsung saya kasih saja tuna yang jelek, begitu juga teman-teman, tidak lama Cina itu bangkrut, dan pergi dari Mola. Coba perhatikan tidak ada penjual orang Cina di Wanci, karena orang Mandati tidak kasih celah orang Cina itu berkembang. Pernah juga ada orang Cina buka usaha bangunan, karena orang mandati bersatu untuk usir orang Cina, maka mereka pasang harga bahan bangunan serendah-rendahnya. Misalnya orang Cina itu jual Rp. 30.000 per lembar, ramai-ramai pengusaha bangunan yang orang mandati jual Rp. 20.000 per lembar. Tidak lama, orang Cina itu langsung bangkrut” (wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011). Persaingan antara usaha orang-orang Bajo Mola yang paling menonjol adalah persaingan antara pengusaha ikan kerapu hidup. Setelah ditelisik lebih dalam persaingan tersebut memang terjadi di luar garis hubungan daparanakannya. Misalnya antara Hj. NI dengan H. KM, SRT. Menurut Hj. NI : “Sekarang banyak persaingan tidak sehat antara pengusaha ikan hidup, mereka kasih naik harga setinggi-tingginya biar semua ikan lari ke dia. Tidak ada persatuan antara pengusaha ikan ini, semua saling menjatuhkan” (Wawancara dengan Hj NI, Tanggal 12 Maret 2011). Namun, bagi para aktor kapitalis di Mantigola, yang nampak bukannya individualisme, melainkan kolektifisme usaha. Orang-orang Mantigola memang cenderung memaknai usaha sebagai upaya untuk bertahan hidup. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa masyarakat Mantigola pada khususnya, mengalami tekanan-tekanan struktural yang mulai menekan ruang-ruang nafkah. Laut yang dimaknai oleh orang Bajo Mantigola sebagai ranah nafkah dan
237
kekuasaan bagi orang Bajo sepenuhnya, setelah terbentuknya taman nasional, dan otonomi kabupaten Wakatobi, kekuasaan tersebut semakin memudar. Sistem zonasi taman nasional yang dimaknai oleh orang-orang Bajo Mantigola sebagai ketidakpedulian pemerintah terhadap keberlanjutan hidup orang-orang Bajo. Misalnya saja, dampak zonasi taman nasional di Mantigola, usaha pengumpul ikan kerapu hidup berada di jurang kehancuran. Ini dicirikan dengan penciutan skala usaha. Beberapa pengumpul besar yang sudah “jatuh bangun” nampaknya harus berhenti sementara terkait dengan kerugian yang mereka alami secara beruntun. Pada beberapa kasus, hak milik pribadi para aktor kapitalis lokal di Mantigola kemudian tidak menjadi atomisasi, melainkan melebur menjadi satu, karena sulitnya mereka memiliki modal usaha. Sebagai contoh usaha Pak Ei yang bergabung dengan H. DG, dalam usaha rompong. Pak Ei menyediakan armada tangkap, sementara H. DG menyiapkan modal usaha untuk membiayai kelompok nelayan untuk melaut. 5.3.4. Hubungan Sosial Produksi Menurut Marx dalam Magnis-Suseno (2005), hubungan-hubungan produksi adalah hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Untuk hubungan-hubungan produksi Marx juga memakai istilah lalu lintas. Yang dimaksud bukan hubungan antara antara orang
yang
kebetulan
bekerja
berdampingan,
melainkan
struktur
pengorganisasian social produksi. Misalnya pemilik modal dan pekerja. Hubungan sosial produksi erat hubungannya dengan mekanisme surplus value transfer, antara pemilik modal dengan para pekerja. Menurut Marx surplus value transfer diperoleh melalui mekanisme eksploitasi para kapitalis terhadap buruh. Namun, pada kasus Mola, maupun Mantigola eksploitasi terjadi namun keuntungan dinikmati namun juga dibagi sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai orang Bajo (sama) terhadap sesamanya yang adalah orang-orang Bajo. Beberapa pengusaha mengutarakan bahwa sedapat mungkin meringankan nelayan. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, nilai-nilai moralitas masih “melekat” di benak sang aktor, sehingga surplus transfer yang dinikmati tidak begitu besar. Aktor tidak seegois yang diungkapkan Marx. Para aktor juga masih memikirkan kondisi nelayan terikatnya, dan tenaga kerja dalam pengolahan hasil-
238
hasil laut. Upah nelayan terikat misalnya tidak ditentukan berdasarkan pertimbangan ekonomis, melainkan secara sosial. Para aktor kapitalis di Mola maupun di Mantigola tidak menjalankan sistem upah terikat untuk nelayan dengan sangat ketat. Bentuk pinjaman modal yang sifatnya terikat oleh orangorang Mola kepada orang-orang Mantigola yang dipandang sebagai bentuk ketergantungan yang menghambat perkembangan saudaranya di Mantigola dengan bunga rendah, dan pengembalian yang tanpa waktu jatuh tempo. Jejaring patronase digunakan aktor di Mola maupun Mantigola terhadap nelayan untuk menjamin kelangsungan perkembangan usahanya dan kelangsungan hidup sang client di Mantigola. Meskipun disadarinya, dengan menggunakan sistem terikat mereka akan jauh lebih “repot” karena harus menyediakan dana operasional kepada nelayan buruh, maupun kelompok nelayan. Seperti apa yang diungkapkan oleh H. EI pengusaha ikan hidup di Mola, MN pengumpul tuna di Mola, BHR pengumpul lobster di Mantigola dan DJM pengumpul rumput laut di Mantigola : “Tidak ada presentase khusus dalam mekanisme bagi hasil, tapi berdasarkan kesepakatan bersama saja. Biasanya potongan pertama dilakukan jika nelayan tersebut memiliki pinjaman, baru setelah dipotong dengan pinjaman barulah kita kasih uang rumput lautnya”(wawancara DJM, Tanggal 19 Maret 2011). ”Terkadang saya tidak tega potong uangnya nelayan, terlalu banyak pinjaman nelayan. Jadi kalo dipotong bagaimana kehidupannya keluarganya, mau makan apa anak-anaknya. Jadi kita potong sewajarnya saja, dan saya juga berunding dengan nelayan berapa yang bisa saya potong uangnya” (Wawancara dengan BHR, Tanggal 26 Maret 2011). “Sekarang nelayan yang lebih banyak diuntungkan, kami para pengumpul saja kesulitan untuk menyediakan uang panjar, karena modal kami bukan hanya untuk membiaya kegiatan operasional penangkapan saja, melainkan juga untuk membayar hasil tangkapan nelayan. Bayangkan saja kalau nelayan tidak mendapatkan hasil sementara kami harus keluarkan uang terus untuk biaya nelayan melaut. Tapi mau diapa, mereka juga samasama orang Bajo, jadi sudah kewajiban kita membantu. ”(Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011). “Saya juga memberi pinjaman kepada daparanakan saya, yang saya jadikan koordinator di Mantigola, dan Sampela.Mereka nanti yang akan kumpulkan hasil-hasil laut kepada saya, biasanya langsung mengirim ke karamba di karang.Untuk pengembaliannya kita bicarakan baik-baik. Saya juga tidak banyak memaksa, saya lihat juga kondisinya. Yang penting kita saling mengerti saja dan
239
saling bantu-membantu. Supaya kita sama-sama (Wawancara dengan Hj. EI, Tanggal 9 Februari, 2011).
jalan”
Semua bentuk akumulasi surplus transfer ini, merupakan implementasi atas pemaknaan para aktor kapitalis dalam memaknai saudara Bajonya. Nilai-nilai sama dan bagai, meskipun memang secara faktual mulai mengalami pengaburan, namun nilai-nilai kewajiban untuk menjaga inklusifitas kelompok Bajo dan kewajiban orang berpunya untuk membantu kehidupan saudaranya yang jatuh pada batas subsistensinya tetap dipegang oleh orang-orang Mola. Di Mantigola lebih ekstrim lagi, surplus transfer dinikmati bersama, baik oleh daparanakannya, maupun darumah sebagai tenaga kerja utama usaha. Malah yang terjadi ketika panen tiba, dambarisan sebagai simbol unit sosial juga menikmati. Nilai-nilai kapunuang, kutukan jika tidak memberi seperti yang diungkapkan sebelumnya, sangat dijunjung tinggi. Tekanan pada ruang nafkah juga mempertegas makna sama dan bagai, sehingga inklusifitas kelompok semakin tinggi. Bajo Mantigola pun mengklaim bahwa inilah senjata terakhir mereka, yakni mengandalkan inklusifitasnya untuk bertahan dari tekanantekanan kehidupan yang mendera ruang-ruang nafkah mereka. Ilustrasi singkat perbandingan kapitalisme lokal suku Bajo Mola dan Mantigola dilukiskan pada gambar berikut ini :
240
Melakukan ekspansi usaha yang berpeluang menghasilkan keuntungan, dengan jejaring bisnis yang terbuka
Namun, cenderung statis dalam berekspansi di luar bidang usaha perikanan, dan oelayaran
Mengeksploitasi nelayan dan saudaranya di Mantigola
Namun, berjejaring patronase, dan berjejaring dengan kerabat , termasuk di Mantigola
Kapitalisme 100%
Pra Kapitalisme 100%
0 Individualisme, unit usaha individu dan perusahaan. Melakukan profit maksimisasi, yang keuntungannya akan direinvestasi kembali untuk menguatkan basis usaha dan untuk ekspansi usaha
Namun, melakukan pemeliharaan solidaritas dengan kerabat di naik di Mola maupun di wilayah lainnya Namun berderma, dan membantu tenaga kerja untuk meningkatkan tingkat pendidikannya
Gambar 4. Gambaran Wajah Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola Dari ilustrasi di atas,disimpulkan bahwa kapitalisme lokal yang terjadi di masyarakat Bajo Mola merupakan gambaran kapitalisme hibridisasi, dimana tidak sepenuhnya orang-orang Mola menjadi kapitalisme penuh, yang menurut Marx akan menjadi “penghisap darah” kaum proletar. Terlepas dari kenyataan di satu sisi bahwa nilai-nilai tersebut dipertahankan agar profit tetap bisa mengalir kepada para aktor kapitalis, namun inilah gambaran mengenai kapitalisme khas lokal Bajo.
241
Tetap melakukan eksploitasi namun dengan derajat yang rendah, karena kolektifitas mendominasi.
Mengandalkan jaringan patronase dengan kerabat di Mola dan jaringan usaha berbasis kekerabatan
Individualisme tetap hadir, namun dengan derajat yang rendah
Kapitalisme 100%
Pra Kapitalisme 100%
Profit maksimisasi dilakukan namun dengan derajat yang terbatas karena keterbatasan modal, dan besarnya resiko yang dihadapi Ekspansi usaha terjadi hanya jika itu pasti akan memberikan kepastian keuntungan, dan jika memperoleh dukungan dari mitra bisnis yang adalah daparanakannya
0 Profit yang adalah dari komoditas digunakan untuk mempertahankan usaha
Usaha dikelola untuk menafkahi hidup.
Memelihara basis kolektifisme melalui daparanakan sebagai senjata terakhir untuk bertahan
Gambar 5. Gambaran Wajah Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mantigola Sementara pada gambar 5 mengilustrasikan bagaimana wajah Bajo Mantigola yang cenderung bertahan pada pola-pola ekonomi pra kapitalisme, namun bukan berarti juga tidak memperdulikan ekonomi pasar. Selain karena ruang-ruang nafkah dengan basis utama nafkah yakni laut dan karang semakin sempit untuk dikelola. Namun, jauh dari hal tersebut, ini lebih disebabkan oleh kegagalan dalam proses akulturasi budaya yang tidak membawa pada perkembangan ekonomi, yakni akulturasi antara orang-orang Bajo Mantigola dengan orang Buton Kaledupa. Proses akulturasi ini seperti yang dibahas sebelumnya terkait erat dengan konteks sejarah mengenai hubungan yang kurang harmonis antara orang-orang Bajo Mantigola dengan orang-orang Kaledupa.
242
5.4.
Refleksi Teoritik Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Mantigola Perbedaan laju perubahan sosial antara orang Bajo Mola dan Bajo
Mantigola yang tinggal di suatu kawasan yang sama, dalam hal wajah kapitalisme ; Bajo Mola berkembang demikian cepat, membentuk individu progresif terhadap perubahan, sementara orang-orang Bajo Mantigola cenderung lebih persisten terhadap perubahan dengan tetap bertahan pada perekonomian yang cenderung “pra kapitalisme” sangat menarik untuk dipahami. Analisa ini dimaksudkan untuk tidak memberikan generalisasi yang sama kepada pemahaman orang-orang Bajo tentang makna hidup. Meskipun Bajo Mola dan Bajo Mantigola sama-sama terkespos dengan kehidupan materialism, dengan derajat paparan nilai-nilai materialisme yang berbeda-beda. Karena Mola telah hidup di darat, maka paparan nilai-nilai materialism jauh lebih kuat dibandingkan Mantigola yang mempertahankan dirinya hidup di atas air. Namun, sebelum kita membahas mengenai dinamika ekonomi lokal suku Bajo dan merefleksikannya terhadap teori, dan hasil penemuan sebelumnya pada kasus yang berbeda pada belahan dunia yang berbeda, maka ketegasan mengenai status pengusaha mola Mola sebagai kapitalis local harus ditegakkan terlebih dahulu, demikian halnya dengan pengusaha Bajo Mantigola apakah benar sebagai pra kapitalis atau tidak? Merujuk pada konsepsi Booke, mengenai perbedaan ekonomi pra kapitalis, dan kapitalisme pada bab dua mengenai tinjauan pustaka. Maka berdasarkan tiga indikator, antara lain motivasi spiritual (nilai-nilai), organisasi produksi (struktur sosial), dan teknologi, maka pengusaha Bajo Mola sudah dapat dikategorikan sebagai kapitalis. Munculnya kecenderungan individualisme, dan pertimbangan-pertimbangan rasional yang mengarahkan pada akumulasi capital, melalui penggunaan tenaga upahan, dan penggunaan nelayan, yang sudah tidak tergantung pada nelayan Bajo saja, melainkan menggunakan nelayan darat yang tidak terikat, merupakan ciri pertama yang identik dengan pengusaha Mola saat ini. Kemudian, kecenderungan munculnya sekularisasi agama Islam yang sinkretis dengan agama animism Bajo, dimana agama menjadi motivasi ekonomi melalui “ibadah haji”, merupakan makna bahwa ekonomi telah sejajar dengan agama. Selanjutnya, karena telah hidup di daratan, maka nulai-nilai perkotaan melalui konsumerisme materi, telah menguasai dan memacu setiap pengusaha untuk mengakumulasikan segala bentuk kekayaan
243
“khas perkotaan”. Berdasarkan struktur sosialnya, maka telah munculnya pengusaha Bajo yang menjalankan bisnisnya tidak hanya dengan unit individu, unit kekerabatan, ataupun unit rumahtangga melainkan sudah dalam bentuk korporasi, dan menjalankan bisnis dengan masuk kedalam jaringan ekspor global, menunjukkan bahwa kapitalisme telah merasuk kepada para pengusaha Bajo. Berdasarkan teknologi, uang digunakan sebagai capital yang berkuasa penuh atas kepemilikan alat-alat penangkapan yang modern, dan teknologi pengolahan hasil perikanan. Meminjam pemikiran Bernstein (2010) bahwa, terdapat tiga konsep yang saling berhubungan untuk mendefinisikan karakter dari kapitalisme sebagai suatu moda produksi. Antara lain (1) produksi komoditas, (2) keharusan di dalam akumulasi kapital, (3) kekuatan komoditas tenaga kerja. Akumulasi kapital yang terjadi di Mola muncul akibat makin meningkatnya permintaan akan barangbarang, dan jasa yang diproduksi sebagai komoditas di pasar yang bertujuan untuk
mendapatkan
keuntungan.
Persaingan ini
kemudian
menciptakan
kompetisi yang mendorong inovasi dan produksitifitas. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada bagian wajah kapitalisme local, bahwa persaingan ini cenderung terjadi dengan para aktor yang berkonsentrasi mengelola ikan kerapu hidup, karena pola usaha yang sensitive terhadap resiko usaha dan masalah legalitas usaha, dan sangat padat modal. Sementara keharusan didalam akumulasi menjadi ciri utama dari kapitalis, khususnya untuk memperkuat basis usaha dan memperluas jaringan usaha. Produksi modal dalam bentuk uang yang dijadikan komoditas merupakan cirri utama yang membedakannya dengan sistem ekonomi lainnya. Keuntungan yang diperoleh orang-orang Bajo Mola kemudian diivestasikan kembali untuk produksi berikutnya dan untuk membuat keuntungan kembali. Menurut teoritisasi Marx, hal tersebut merupakan “expanded reproduction of capital”. Dan Moda produksi kapitalis sajalah yang mensyaratkan kekuatan tenaga kerja dan artikulasi cara produksi (means of production) yang secara luas tersedia sebagai komoditas. Membahas tenaga kerja membawa kita pada gambaran paling khusus dari moda produksi kapitalis, yang ditemukan di dalam relasi social antara kapitalis, pemilik moda produksi dan pekerja, tenaga kerja menukar kekuatannya, atau kapasitasnya untuk bekerja di dalam tujuannya untuk memenuhi batas subsistensinya. Kekuatan tenaga kerja merupakan basis fundamental dari
244
kapitalisme karena hanya komoditas inilah yang digunakan untuk menciptakan nilai lebih (exchange values) daripada nilai pakai (use values). Hal ini karena nilai tenaga kerja (seperti komoditas lainnya) mewakili tenaga kerja yang telah hilang kedalam produksi barang, diekspresikan oleh upah yang mereka pertukarkan. Kemudian, kekuatan tenaga kerja menjadi property dari kapitalis yang menjual kekuatan tenaga kerja dan berkuasa atas kekuatan tenaga kerja digunakan untuk menciptakan komoditas baru dengan nilai yang lebih tinggi. Namun yang khas dari model kapitalisme lokal suku Bajo adalah arah transformasinya tidak menjadi kapitalis penuh, seperti yang digambarkan oleh Marx, bahwa eksploitasi akan sangat berlebihan dan sangat tidak manusiawi. Nilai-nilai sosial masyarakat Bajo sesungguhnya
memang
mempunyai
peran
dalam
mengurangi
derajat
“keegoisan” sang aktor. Nilai-nilai tersebut menjadi “alarm” bagi sang aktor untuk tidak egois dalam berekspansi dan mengakumulasikan keuntungannya, karena mereka juga mempunyai peran social membantu sesame orang-orang Bajo sebagai bentuk “inklusifitas” kelompok Bajo. Kelas sosial yang terbentuk juga bukan berdasarkan kepemilikan alat produksi, akan tetapi pada penguasaan pasar seperti yang diteorikan oleh Weber. Merujuk pada tulisan Collins (1985) yang telah dibahas pada bab tinjauan pustaka sebelumnya, bahwa meber merujuk tiga aspek dalam dasar kelas sosial antara lain kelas, status dan party. Kelas sosial yang terbentuk di masyarakat Bajo, selain dilihat dari kepemilikan modal usaha dan alat tangkap, juga ditentukan oleh factor adanya keterampilan (skill) dan mengelola usaha kemudian
berakumulasi
dengan
status
sosial
yang
disandangnya
di
masyarakatnya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pengelolaan usaha terkait dengan manajemen keuangan dianggap sebagai suatu “bakat” yang jarang dimiliki oleh orang-orang Bajo pada umumnya. Dan dengan modal dasar tersebutlah, para aktor menjadikannya sebagai modal dasar dalam berusaha “keinginan yang kuat dan keterampilan mengelola keuangan”. Kapitalisme lokal dimaknai sebagai hybrid capitalism ; warna kapitalisme tidak akan sepenuhnya muncul,karena nilai-nilai local masih bercokol pada ranah pemaknaan setiap aktor. Sehingga kapitalisme disini tidak teraplikasikan secara bebas seperti ungkapan Marx, karena kebebasan itu dibatasi oleh nilai-nilai yang sekuat
tenaga
dipertahankan
oleh
orang-orang
Bajo.
Apa
yang
telah
digambarkan pada bab enam mengenai konflik rasionalitas yang terjadi pada
245
setiap aktor kapitalis Bajo Mola, menunjukkan bahwa nilai-nilai daparanakan sebagai penghambat laju kapitalisme di Bajo Mola, khususnya kecenderungan untuk memiliki kekayaan sebesar-besarnya untuk diri sendiri, dengan nilai daparanakan maka para aktor kapitalis lokal Bajo Mola dipaksa untuk tidak egois, dan kekayaan yang dimilikinya digunakan juga untuk melakukan tanggung jawabnya secara sosial dalam membantu kehidupan orang Bajo lainnya, dan daparanakannya. Kemudian, jika merujuk pada hasil temuan Howard (1978) pada komunitas petani coklat di Dharfur, menunjukkan bahwa tipe kapitalisme seperti di Mola, cenderung pada arah transformasi petani kaya (rich peasant) kepada pengusaha pertanian yang kaya (rich farmer). Howard mengungkapkan bahwa perbedaan antara rich peasant dan rich farmer terletak pada orientasi keuntungan akan diarahkan pada investasi untuk mengekspansi usaha seperti yang dilakukan oleh rich farmer, ataukah rich peasant yang menggunakan keuntungannya untuk menguatkan status quo sebagai orang terpandang, dan mengeksploitasi sesama sukunya sendiri yang tidak berdaya melalui pinjaman uang, dan hidup dari uang riba, dan menggunakan tenaga kerabat untuk mengolah lahan pertaniannya. Sebaliknya, bagi pengusaha Mantigola, merujuk pada temuan Howard adalah produsen pertama seperti peasant tribesman pada suku Darfur di Ghana, merujuk pada dominasi nilai-nilai pedesaan, yang cenderung kurang menyukai keuntungan yang berlebih di satu tangan, dominasi nilai-nilai social, kepuasan hanya pada saat basis kebutuhan dasar hidup terpenuhi, agama Islam sinkretisme masih merajai dan mendominasi ekonomi. Berdasarkan organisasi produksi penggunaan tenaga kerja non kontraktual antara lain anggota rumahtangga, maupun anggota kerabat (daparanakan) menjadi basis perekrutan tenaga kerja. Serta kemitraan yang terbatas, karena ketakutan akan resiko yang dihadapi, dan teknologi tradisional yang masih dipertahankan menggambarkan bahwa pengusaha Mantigola sekalipun sangat kaya hanya bisa diidentikkan sebagai rich peasant (jika merujuk pada temuan Howard di Darfur, yang membedakan antara rich peasant dan rich farmer, berdasarkan orientasi usaha yang digunakan, dan unsur-unsur yang dimanipulasinya untuk akumulasi capital), karena dominasi perekonomian pra kapitalisme di Mantigola.
246
Berdasarkan hasil temuan, mengenai penyebab perubahan sosial dari aspek kesejarahan perkembangan kapitalisme di dua komunitas suku Bajo baik Mola dan Mantigola menunjukkan bahwa penyebab dari munculnya kapitalisme sesungguhnya lebih layak digambarkan dan dianalisa dengan “kacamata” Weber mengenai munculnya kapitalisme sebagai merasuknya nilai-nilai etika ekonomi, khususnya pertukaran ekonomi. Melalui pertukaran ekonomi, ideologi kapitalisme merasuk kedalam pemikiran orang-orang Bajo Mola. Namun, tanpa melalui pertarungan internal formasi sosial “yang berdarah-darah” antara formasi sosial kapitalis, dan formasi social buruh yang proletar ala Marxian. Hasil penelitian ini memperkaya kritik terhadap pendapat banyak peneliti terdahulu bahwa kapitalisme modern muncul hanya melalui revolusi industri (Bernstein, 2010). Menurut Bernstein (2010), bahwa sejarah terbentuknya kapitalisme –dari hasil perbandingannya terhadap terbentuknya kapitalisme baik di Eropa, Amerika, dan Asia- tidak sesederhana seperti apa yang diungkapkan oleh Marx, terbentuknya kapitalisme tergantung pada konteks sejarahnya. Maka menurut Bernstein analisa mengenai kemunculan kapitalisme harus terkait pada konteks social masing-masing, karena bagi Bernstein kedinamisan dari kapitalisme bergantung pada konteksnya “origin capitalism is uniquely”. Berbeda saluran perubahannya (trajectories), maka akan berbeda pula perwajahan dari kapitalisme itu sendiri. Apa
yang
terjadi
pada
kapitalisme
lokal
di
Mola,
berdasarkan
pembahasan Bernstein (2010), cenderung mirip dengan yang terjadi di Amerika. Kapitalis di Amerika, yang awalnya melakukan petty commodity production, muncul mejadi aktor kapitalis tanpa harus mengalami transisi dari sistem feodalisme, dan kapitalisme itu muncul secara internal di dalam sistem social. Dan sangat berbeda dengan sejarah terbentuknya kapitalis di Prusia, yakni metmorfosisnya tuan tanah yang feodal, atau munculnya kapitalis di Inggris karena revolusi pertanian pada abad ke 18, atau munculnya kapitalisme di Jepang karena peran Negara, dan kapitalisme di Korea Selatan yang disebabkan karena ekonomi kolonialisme. Dikotomi etnik yang terkait dengan pemaknaan dari nilai-nilai sama dan bagai bagi masyarakat bajo Mola terdapat kecenderungan mulai berubah, dan ini merupakan konsekuensi dari mulai merasuknya ekonomi uang (material), melalui perdagangan
hasil-hasil
laut
(merchant
capitalism).
Pemaknaan
ini
247
sesungguhnya menggambarkan orang-orang Bajo dalam melihat dirinya, dan orang lain di luar sistem sosialnya yang berbeda budaya dengannya dalam hal gaya hidup, pola mencari nafkah, bahasa, bentuk rumah dan senjata, standar nilai. Pada awalnya orang-orang Bajo hidup berkelana, maka pola konsumsi terhadap barang dan jasa cenderung rendah. Namun dengan pola hidup menetap, pola konsumsi cenderung tinggi, sehingga orang-orang Bajo beradaptasi dengan melakukan perencanaan-perencanaan, termasuk dalam bentuk tabungan dan investasi. Kontak budaya dengan orang Wanci dan seorang pengusaha Tionghoa (An Tje) ditengarai memudahkan penetrasi nilainilai entrepreneurship kepada beberapa aktor kapitalis lokal Bajo Mola. Peleburan batas etnik antara orang Bajo Mola (sama) dengan orang darat (Bagai) juga dipengaruhi oleh ikatan positif yang menjalin hubungan antara beberapa kelompok etnik dalam suatu sistem budayanya yang saling melengkapi. Kondisi demikian dapat menimbulkan saling ketergantungan atau kondisi simbiosis. Misalnya orang Wanci Mandati menganggap orang-orang Bajo sebagai “pemegang kunci” perdagangan untuk barang-barang hasil-hasil laut yang mereka perdagangkan. Sebaliknya, orang-orang Bajo menganggap orang Mandati sebagai satu-satunya penyedia atau produsen busu-busu atau tempayan yang terbuat dari tanah liat yang digunakan untuk menampung air tawar. Menurut Lotte (2006), beberapa unsur yang menjadi bagian hidup orang Bajo setelah hidup menetap terdapat di daratan. Maka mau tidak mau orang Bajo harus beradaptasi dengan orang-orang Darat. Unsur tersebut antara lain : (1) air tawar ; (2) barang-barang ; (3) informasi dan komunikasi ; (4) alternatif nafkah di luar kegiatan penangkapan, dan pelayaran ; (5) dan pendidikan formal. Kecenderungan yang terjadi pada masyarakat Bajo Mola rupanya serupa dengan temuan Bordieu (1958) dalam Barth (1988) di Algeria, yaitu hubungan antara orang-orang Barbar dan orang Arab.
Kebanyakan suku bangsa yang
hidup berdekatan saling tergantung dalam hal produknya masing-masing, sehingga perlu ada pertukaran barang dan jasa. Dalam hal ini, di Algeria juga terlihat contoh kehidupan yang saling melengkapi antara bangsa kelana dan petani di sebagian besar orient. Kalaupun ada permusuhan antar kelompok, pertukaran yang paling minimal tetap dipertahankan. Pasar sebagai tempat pertemuan antara produsen, sekaligus distributor yang adalah orang Bajo, dan Produsen yang adalah orang-orang Mandati
248
merupakan wadah penetrasi kapitalisme yang sangat efektif. Pasar yang terbuka dan mapan rupanya menjadi wadah interaksi yang potensial bagi proses adaptasi dan akulturasi nilai-nilai Mandati kepada orang-orang Bajo. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola, identitas etnik yang terkait dengan pemaknaan sama dan bagai cenderung semakin tegas dan menonjol. Polarisasi dasar etnik semakin tajam antara suku Bajo dan suku Buton Kaledupa. Pada akhirnya hubungan ini mempengaruhi perkembangan ekonomi orang-orang Bajo di Pulau Kaledupa. Penyebab identitas ini semakin tajam adalah karena : pertama, orang-orang Bajo tidak memiliki tanah di Pulau Kaledupa, karena asumsi yang mendasari pola kepemilikan laha di Pulau Kaledupa adalah siapa yang pertama datang, dia yang menguasai sumberdaya yakni lahan. Dengan hilangnya salah satu kebutuhan dasar yakni memiliki tanah untuk digarap, berarti hilang juga salah satu kebutuhan dasar untuk beradaptasi secara ekologis dengan lingkungan darat, dan orang-orang Kaledupa ; Kedua, masyarakat Bajo diposisikan sebagai masyarakat lapisan bawah oleh orang-orang Buton Kaledupa, sehingga pembauran, dan kontak social cenderung rendah ; Ketiga, identitas etnik selalu ditampilkan melalui tatanan, adat istiadat dan simbol-simbol yang dirasakan berbeda oleh orang-orang Bajo terhadap orang-orang Buton ; Keempat, pasar yang selayaknya sebagai tempat pertemuan penjual dan pembeli yang setara, sekaligus menjadi daerah pusat tempat orang-orang asing berhubungan, tidak kondusif. Pasar-pasar di Pulau Kaledupa tidak berkembang, pada akhirnya roda ekonomi serasa jalan di tempat demikian pula halnya dengan ekonomi orang-orang Bajo. Menurut Alexander (1999) dalam Malik (2010) keberadaan pasar dikonsepsikan sebagai sebuah institusi ekonomi yang memungkinkan bagi setiap individu untuk melakukan interaksi sosial. Artinya, pasar bukan hanya sekedar berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses transaksi jual-beli barang dan jasa antara penjual dengan pembeli. Tetapi, institusi pasar merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya melibatkan para pedagang, seperti: pengecer, pedagang besar, dan pedagang perantara, yang dihubungkan oleh hubunganhubungan yang melembaga dan secara simultan lebih bersifat ekonomi dan sosial. Adapun bersifat ekonomi, karena mengaitkan hubungan mereka dengan tersedianya pasokan pasokan barang dan uang. Sedangkan secara sosial, menghubungkan anggota keluarga, pelanggan, dan klien.
249
Melihat peran dari orang-orang darat “tertentu” yang membentuk pola adaptasi yang berbeda, maka kecenderungan dari perkembangan jiwa entrepreneurship antara orang Bajo Mola dan orang Bajo Mantigola dari dengan “siapa” mereka beradaptasi. Menurut Izikowitz dalam Barth (1988), hubungan antar kelompok, ditinjau dari segi yang lain, identifikasi atau pengenalan pada dasarnya penting, yaitu bukan pengenalan dari kelompoknya sendiri, melainkan penilaian dari luar kelompoknya dan bagaimana penilaian itu diterima. Hubungan antaretnik diungkapkan dalam bentuk-bentuk interaksi, sehingga interaksi itu sendiri tergantung dari sikap hubungannya, nilai yang diterimanya oleh kelompok lain, dan pada akhirnya ini dapat berkembang dalam bentuk peperangan, pemberontakan, penganiayaan, penjiplakan budaya, perdagangan yang sehat, atau berbagai betuk yang lain. Selanjutnya, Izikowitz dalam Barth (1988) mengatakan bahwa hubungan antar kelompok yang berdekatan ini tergantung juga dari kontaknya dan apakah kelompok itu menganut sistem demokrasi atau autokrasi ; atau masyarakat yang bersifat hirarkhi atau tidak. Maka berpijak pada pemikiran ini, disimpulkan bahwa orang-orang Bajo Mola berhasil mengembangkan dirinya menjadi aktor kapitalis lokal, karena orang Wanci Mandati12 cenderung berjiwa demokratis. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola persisten terhadap perubahan, dan mandek ekonominya, karena bajo menghadapi orang Buton Kaledupa yang cenderung autokrasi dan berperangai sangat tegas. Menurut Weber dalam Turner (1991) yang mengatakan bahwa kondisi masyarakat duniawi modern sebagai kekecewaan dengan mana Weber memaksudkan bahwa manusia tidak lagi terkurung dalam sebuah dunia suci dengan kekuatan-kekuatan magis dan gaib. Dari pernyataan Weber ini 12
Jika kita menarik benang merah dari dua bentuk kecenderungan-kecenderungan yang berbeda dari dua komunitas Bajo tersebut. Maka, pertanyaan yang harus dijawab adalah faktor apakah yang paling dasar dan mempengaruhi perbedaan kecenderungankecenderungan tersebut?. Menurut Steward, ada hubungan sebab akibat antara budaya dengan lingkungan. Selanjutnya, menurut Arensberg (1963) dalam Barth (1988) lingkungan alam yang berbeda menyebabkan perbedaan tingkat dan tatanan ekonomi mulai dari pola sederhana untuk keperluan nafkah, sampai ke perdagangan yang lebih spesifik. Misalnya mengapa orang Wanci Mandati mengembangkan sistem ekonomi perdagangan, karena secara ekologis bagian tanah yang subur sangat curam , dan kondisi tanah yang cenderung berbatu, dan posisi di wilayah pesisir, sehingga usaha dikembangkan pada usaha perdagangan bukan pertanian. Dengan perdagangan memaksa sudut pandang menjadi cenderung demokratis.
250
ditafsirkan bahwa dunia modern identik dengan sekularisasi yang melepaskan dirinya dari kehidupan ritual-ritual magis animisme yang irasional. Melihat kondisi yang terjadi pada perkembangan kapitalisme lokal atau disebut Weber sebagai sekularisasi di Bajo Mola maupun Mantigola. Maka tesis Weber mengenai agama dan spirit kapitalisme harus dicerna dengan seksama. Apakah tesis tersebut sesuai dengan penggambaran fenomena kapitalisme lokal di dua komunitas Bajo ini atau tidak?. Bagi
orang-orang
Bajo
baik
Mola
dan
Mantigola,
kepercayaan-
kepercayaan animisme dan ritual-ritual yang menyertainya berhubungan erat dengan batas tegas ekologi laut dan daratan. Bagi orang Bajo kepercayaan animisme
muncul
sebagai
suatu
bentuk
pemaknaan
yang
mendalam
penghormatan khusus mereka terhadap laut sebagai suatu wilayah yang “keramat” baik sebagai pemberi kesembuhan maupun pemberi bencana. Batas tegas antara daratan dan lautan selalu berhubungan dengan kepercayaan animisme dan agama Islam. Proses menetapnya orang-orang Bajo, hingga tinggal di daratan membawa pengaruh islamisasi orang Bajo dikemudian harinya. Bagi orang-orang Mola, kepercayaan animisme memang perlahan-lahan telah runtuh atau disebut Weber demagifikasi, akibat perkembangan arus ekonomi uang, dan proses urbanisasi pemukiman di Mola. Namun tidak serta merta juga meningkatkan domain keislaman mereka. Yang menarik adalah salah satu unsur Islam yang berubah fungsi menjadi salah satu “pemacu” etos kapitalisme para pengusaha-pengusaha di Mola adalah melakukan ibadah Haji, sebagai pelaksanaan rukun Islam yang kelima. Tidak berarti ibadah haji dilakukan semata-mata untuk meminta keridhoan Allah SWT, dalam bentuk rasionalitas berorientasi nilai-nilai luhur Islam, sebagai panggilan Allah SWT, melainkan juga cenderung dilakukan dalam bentuk rasionalitas instrumental, karena naik haji bagi orang-orang Bajo dianggap sebagai suatu simbol prestise, dan kemapanan ekonomi. Kenyataan yang terjadi di Mantigola, kepercayaan animisme masih kuat “bercokol” dalam jiwa orang-orang Bajo Mantigola. Sehingga derajat “keislaman” mereka masih berada dalam posisi kedua setelah kepercayaan animism. Melihat ciri khas Bajo Mantigola yang cenderung lambat perubahan ekonominya, serta kuatnya animism di dalam masyarakatnya, bisa disimpulkan bahwa kepercayaan
251
animism yang menggarisbawahi kepemilikan secara bersama-sama atau komunal tidak memberikan etos tersendiri bagi perkembangan usaha yang dikelola oleh orang-orang Mantigola. Meskipun naik haji juga dijadikan sebagai landasan prestise bagi orang-orang Mantigola, namun pemikiran irasional dari beberapa orang-orang Mantigola yang rela berhutang “sana-sini” hanya untuk naik haji, menunjukkan bahwa naik haji bagi sebagian orang-orang Mantigola tidak juga memberikan bentuk “semangat” untuk mempercepat laju perputaran ekonomi mereka, malah memberikan bentuk “perangkap” baru terhadap kemandekan ekonominya. Apa yang menjadi orientasi agama, dan kepercayaan animisme orangorang Bajo Mantigola sesuai dengan temuan Hefner (1999) mengatakan bahwa tradisi orang gunung (orang Tengger) mempunyai basis komunal yang kuat. Mereka percaya semua penduduk berasal dari cikal bakal desa, serta ketergantungan bersama para toh-roh penguasa tanah, dan air. Sebagian penduduk mengaku Islam, yang lain Hindu, atau Budha. Tetapi keduanya menyembah roh leluhur dan perlindungan desa, menekankan pentingnya upacara komunal, serta menganjurkan toleransi antara orang Islam dan orang Hindu. Progresifitas
ekonomi
yang
terjadi
pada
usaha-usaha
yang
dikembangkan oleh pengusaha-pengusaha lokal Bajo di Mola mengisyaratkan keusangan tesis Weber yang menyatakan bahwa kapitalisme rasional hanya muncul di dunia Barat. Rasionalitas ekonomi cenderung mendominasi segala bentuk kegiatan ekonomi, dengan juga tidak dipungkiri bahwa rasionalitas moral social masih tersisa di dalam ruang pemikiran sang actor kapitalis. Malah cenderung terjadi pertarungan rasionalitas disana. Bentuk pertarungan tersebut sangat disadari oleh sang aktor sebagai konsekuensi logis dari ikut sertanya mereka dalam proses komersialisasi dan ekonomi uang. Namun di satu sisi nilai-nilai inklusifitas kelompok dan nilai-nilai daparanakan juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Realisasi dari pertarungan ini adalah mulai melemahnya batas sama dan bagai dengan merekrut orangorang darat untuk masuk ke dalam sistem usahanya, sebagai nelayan bebas. Dan mulai memperhitungkan eksistensi nelayan Bajo dengan sistem terikat yang bagi mereka “itu cenderung tidak ekonomis”. Tapi harus dilakukan karena para actor kapitalis Mola memang dibebani oleh kewajiban-kewajiban moral yang
252
terkait dengan institusi daparanakan, dan patron client sebagai mekanisme mendistribusikan
kembali
harta
kekayaan.
Inilah
yang
cenderung
membedakannya dengan aktor kapitalis Tionghoa yang cenderung sangat spekulatif, terwujud dalam hasrat yang berlebih-lebihan untuk mencari untung (Die dalam Tan, 1981). Dengan etika individual materialism dan etika utilitarianisme, maka jaringan bisnis bersifat terbuka. Strategi bisnis yang dikembangkan difensif, dan pengambil resiko tinggi. Itu merupakan suatu bentuk adaptasi orang Bajo Mola terhadap ekonomi uang, dan tekanan pasar. Begitu pula dengan bentuk ekspansi bisnis yang sangat terbuka luas bagi investasi kepada usaha sektor perikanan, dan juga non perikanan yang hasilnya akan mendukung usaha utama perikanan. Namun, yang masih dipertahankan oleh aktor kapitalis lokal Bajo adalah tidak melakukan ekspansi usaha yang berhubungan dengan usaha yang dilakukan oleh orang-orang darat. Gambaran kapitalisme lokal di suku Bajo Mola menunjukkan bahwa tesis Boeke mengenai kemandekan ekonomi pribumi karena membenci modal, sedikit sekali pada mutu barang, tidak memiliki kecakapan usaha, tidak ada satuan ukur baku, persediaan tak kenyal, tidak ada organisasi dan disiplin, spesialisasi setempat dan kolektif sudah tidak bisa diterima lagi. Karena sifat ekonomi yang mandek pribumi tidak bersifat abadi. Kegesitan dalam berbisnis oleh orang-orang Bajo membuktikan keberhasilan orang Bajo Mola yang dahulu pra kapitalis menjadi pengusaha hasil laut yang sukses karena mampu menyesuaikan diri terhadap ekonomi pasar, bukan gagal menyesuaikan diri dan gagal menarik manfaat dari ekonomi uang, dan tercerai-berai dan merana karena gagal beradaptasi seperti apa yang diungkapkan oleh Boeke. Kesalahan Boeke memandang, bisa dimengerti karena wajah ekonomi dualistis hanya dipahami untuk kasus ekonomi pribumi di Jawa, sementara di luar jawa, di pedalaman sekalipun terdapat kecenderungan yang berbeda. Sebaliknya, kegesitan pengusaha Mola tidak diikuti dengan saudaranya di Mantigola. Pada kenyataannya ekonomi Mantigola cenderung lambat perputaran ekonominya. Dorongan bagi laba maksimal adalah kecil. Munculnya rasionalitas ekonomi individualisme, dihambat oleh kuatnya rasional moral social. Bukan berarti mereka tidak bisa berpikir rasional ekonomi, tapi karena dengan dipertahankannya etika social moralitas kolektivisme sebagai suatu bentuk
253
adaptasi orang-orang Bajo Mantigola terhadap segala bentuk kesulitan hidup yang dihadapi. Maka, karena standar nilai tersebut yang dianut oleh orang Bajo Mantigola, maka bentuk ekspansi capital cenderung tertutup, bukan saja karena usaha non perikanan di darat tidak mau dan tidak mampu dikuasai oleh Bajo Mantigola, juga karena segala bentuk keuntungan dikerahkan oleh orang Mantigola untuk mempertahankan eksistensi usaha yang dikelolanya. Termasuk ketidakberdayaannya terhadap “ketergantungan” yang sangat tinggi terhadap daparanakannya di Mola yang memberikan pinjaman untuk modal usaha yang sifatnya mengikat. Bagi orang Mantigola “hubungan daparanakan adalah pertalian erat yang luar biasa, dan saling percaya-mempercayai, dan menyebabkan orang Bajo Mantigola boleh dikata mudah mendapat uang dan kredit, dengan bunga yang relative rendah, dan sangat fleksibel, yang dapat digunakan untuk usaha”. Begitu pula halnya dengan bentuk jaringan usaha yang cenderung tertutup. Karena ketakutan orang Mantigola atas resiko usaha yang akan dihadapi.Kerjasama
cenderung
dilakukan
oleh
daparanakan
di
Mola.
Daparanakan yang menyediakan pasar, dan modal. Pengusaha di Mantigola . upaya ini dilakukan cenderung pada komoditas yang memiliki resiko usaha yang sangat tinggi, seperti perdagangan ikan hidup. Gejala munculnya rasionalitas transedental di dalam pemaknaan orangorang Mantigola di dalam memandang hidup terjadi karena “keputusasaan” orang Mantigola terhadap beragam kesulitan yang mereka hadapi, yang menghambat perkembangan ekonomi. Namun, bukan berarti orang-orang Bajo adalah orang-orang yang pemalas, menurut Lotte (2009) kulit tubuh orang-orang Bajo yang hitam legam menunjukkan etos kerja yang tinggi, dan gambaran perjuangan mereka untuk bertahan hidup dalam kondisi kemiskinan. Sedikit saja keuntungan yang diperoleh diarahkan pada upaya mempertahankan usaha. Untuk hal yang berbau resiko terkait menghadapi permasalahan hukum, orang Bajo Mantigola cenderung penakut, dan mengambil posisi menyingkir dari persaingan. “Menjadi penakut” itu muncul karena keadaan ekonomi dan kehidupan rumahtangga orang Bajo Mantigola selalu dihadapkan kepada ketidakpastian. Dari segi bentuk kepemilikan profit property melalui akusisi capital, para pengusaha di Mola cenderung terbuka kesempatan untuk melakukan akusisi
254
capital, dibandingkan dengan pengusaha di Mantigola. karena persaingan yang cenderung tinggi antara pengumpul teripang dan ikan hidup. Strategi yang digunakan oleh pengusaha Bajo di Mola adalah dengan akumulasi capital dari beragam sumber pendapatan usaha, kemudian dengan keuntungan tersebutlah yang dijadikan alat untuk merebut pasar, informasi, bos eksportir, dan nelayan produsen. Sebaliknya di Mantigola peluang akusisi capital cenderung kecil, karena upaya-upaya yang dibangun oleh pengusaha di Mantigola ditujukan untuk mempertahankan usaha yang ada. Dan tidak diarahkan untuk “mencaplok” kekuatan produksi orang lain. Aliansi kepada negara yang dibangun oleh pengusaha di Mola dan Mantigola juga cenderung berbeda. Pengusaha Mola “giat” melakukan bentukbentuk aliansi politik dengan elit pemerintah untuk memperkuat posisi mereka (status quo) sebagai pengumpul hasil-hasil laut, dan agar pemerintah lebih “berpihak” terhadap mereka dalam rangka pengembangan usaha yang mereka lakukan. Begitu pula halnya dengan orang-orang Mantigola. Namun aliansi yang dibangun oleh elit Negara, bukanlah elit sembarangan. Karena mereka hanya mau membangun aliansi kepada pihak-pihak yang “betul-betul” peduli dengan kondisi mereka, bukan terhadap “pihak-pihak” yang oportunis terhadap mereka. Karena sifat inklusifitas orang-orang Bajo Mantigola sangat kuat maka aliansi politik dibangun bersama elit negara yang adalah orang Bajo. Karena mereka yakin hanya sesame orang Bajo lah yang lebih mengerti kondisi mereka. Melihat
gambaran
perlambatan
perubahan
ekonomi
orang-orang
Mantigola, maka sekali lagi keusangan teori Boeke terjadi. Menurut Boeke, pandangan hidup yang berbeda antara orang-orang pribumi dengan orang-orang Barat akan tetap terlihat, bahwa orang Indonesia juga tidak mampu bekerja keras, atau merasa wajib bekerja keras, sesuai dengan ukuran-ukuran Barat. Fakta di Mantigola menunjukkan bahwa apa yang diungkapkan Boeke itu tidak bisa lagi diterima. Meskipun perekonomian orang Bajo Mantigola cenderung “mandek”, namun bukan berarti mereka malas dan tidak mampu bekerja keras, mereka bekerja keras, namun bukan dengan tujuan dan ukuran-ukuran seperti orang-orang Barat yang terpusat pada ekonomi uang, tetapi karena itu merupakan suatu pilihan hidup, dan mereka merasa nyaman dengan “keguyuban” mereka. Bukan dengan saling menjatuhkan satu sama lainnya
255
untuk memperoleh keuntungan yang berlimpah, namun meruntuhkan solidaritas antara orang-orang sama.
5.5. Ikhtisar Perbedaan antara orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola yang dalam hal wajah kapitalisme ; Bajo Mola berkembang demikian cepat, membentuk individu progresif terhadap perubahan, sementara orang-orang Bajo Mantigola cenderung lebih persisten terhadap perubahan ditengarai disebabkan oleh dikotomi etnik yang terkait dengan pemaknaan dari nilai-nilai Sama dan Bagai bagi masyarakat Bajo Mola terdapat kecenderungan mulai berubah. Kontak budaya dengan orang Wanci dan seorang pengusaha Tionghoa (An Tje) merupakan penyebab meleburnya batas-batas ini. Sementara, orang Bajo Mantigola, identitas etnik yang terkait dengan pemaknaan sama dan bagai cenderung semakin tegas dan menonjol. Penyebab identitas ini semakin tajam adalah karena orang-orang Bajo tidak memiliki tanah di Pulau Kaledupa, masyarakat Bajo diposisikan sebagai masyarakat lapisan bawah oleh orang-orang Buton Kaledupa, sehingga pembauran cenderung rendah, identitas etnik selalu ditampilkan melalui tatanan, adat istiadat dan simbol-simbol yang berbeda oleh orang-orang Bajo terhadap orang-orang Buton, pasar-pasar di Pulau Kaledupa tidak berkembang. Perbedaan kecepatan perubahan sosial di Mola juga cenderung disebabkan karena orang-orang Bajo Mola berhasil mengembangkan dirinya menjadi aktor kapitalis lokal, karena orang Wanci Mandati cenderung berjiwa demokratis. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola persisten terhadap perubahan, dan mandek ekonominya, karena Bajo menghadapi orang Buton Kaledupa yang cenderung autokrasi dan berperangai sangat tegas. Pengaruh kepercayaan sedikit banyak mempengaruhi perkembangan usaha orang-orang Mola dan Mantigola. Bagi orang-orang Mola, kepercayaan animisme memang perlahan-lahan telah runtuh, namun tidak serta merta juga meningkatkan domain keislaman mereka. Salah satu unsur Islam yang berubah fungsi menjadi salah satu “pemacu” etos kapitalisme para pengusaha-pengusaha di Mola adalah melakukan ibadah Haji.Sementara di satu sisi kenyataan yang
256
berbeda terjadi di Mantigola, kepercayaan animisme masih kuat “bercokol” dalam jiwa orang-orang Bajo Mantigola, sehingga tidak memberikan etos tersendiri bagi perkembangan usaha yang dikelola oleh orang-orang Mantigola. Dari apa yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan gambaran dikotomi masyarakat kapitalis dan pra kapitalis oleh Booke, dan dengan menggunakan hasil temuan Howard (1978) mengenai rich peasant dan rich famer, maka para pengusaha Mola telah cenderung bertransformasi menjadi aktor kapitalis, namun dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tertentu, misalnya nilai daparanakan, dan nilai inklusifitas baong Sama yang memberikan warna “lokal” terhadap kapitalisme ala Bajo Mola. Sebaliknya orang-orang Mantigola tetap mempertahankan diri dalam ekonomi pra kapitalis yang cenderung menekankan pada batas tegas nilai-nilai Sama dan Bagai. Dan pada akhirnya memberikan warna pada kehidupan perekonomiannya. Sumber dari munculnya kapitalisme di masyarakat suku Bajo, berasal dari diterimanya nilai-nilai usaha, baik dari An Tje, maupun dari hasil akulturasi budaya dengan masyarakat wanci Mandati. Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis local tidak seperti etika yang dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme, melainkan ada etika dari kepercayaan, nilai-nilai budaya Bajo yang mewarnai kapitalisme lokal suku Bajo. Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Ternyata pada akhirnya, orang Mola menguasai pasar, dan kemudian melakukan perubahan artikulasi cara produksi hingga berani melakukan eksplotasi terhadap saudaranya sendiri, maka teori Marx yang digunakan untuk memahami gejala tersebut. Namun sekali lagi, bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Mola terhadap saudaranya bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu di hati para aktor kapitalis lokal.
257