1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan di Indonesia merupakan persoalan yang sangat besar dan kompleks. Hal ini tidak hanya terkait dengan fakta bahwa pangan merupakan komoditas pokok yang diperlukan demi kelangsungan hidup, tetapi juga karena munculnya berbagai tantangan dan ancaman dalam menjamin ketersediaan bahan pangan secara mencukupi demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kegagalan untuk menangani persoalan pangan sangat potensial menjadi pemicu merebaknya keresahan, gejolak dan disintegrasi sosial, serta kekacauan politik. Sebenarnya sudah sejak lama pembangunan ketahanan pangan di Indonesia sudah diupayakan bahkan akar-akarnya dapat dijumpai sejak masa kolonial (Haryanto dan Wahono, 2004: 261). Memang, ketahanan pangan pernah dapat diwujudkan sejak 1984 dengan penobatan Indonesia oleh Badan Pangan Dunia (FAO) sebagai negara berswasembada beras (Hill, 2001:164). Namun, ketahanan pangan tersebut tidak berlangsung secara lestari, terbukti sejak 1984 Indonesia terpaksa mulai mengimpor beras lagi untuk memenuhi kebutuhan penduduknya (Haryanto dan Wahono, 2004: 268). Departemen Pertanian Amerika Serikat pada 2002 bahkan pernah meramalkan Indonesia akan menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia (Kompas, 13 Mei 2002:13). Ketika terjadi kemarau panjang tahun 2002, misalnya, pemerintah (Bulog) dipaksa membuat skenario impor beras dalam jumlah besar antara 1-2 juta ton (Kompas, 16 April 2002:14). Dengan fokus yang berliebihan pada beras, muncul kesan kuat bahwa ketahanan pangan di Indonesia sejak masa dulu lebih banyak didentikkan dengan kemampuan menyediakan kebutuhan beras secara swasembada, sebagaimana Orde Baru pada masa kemerdekaan juga memahami dan menafsirkannya. Berbagai upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan lebih diarahkan pada sisi produksi dengan target utama peningkatan produksi beras, sementara sisi konsumsi cenderung diabaikan.
Padahal,
ketahanan
pangan
yang
berkelanjutan
salah
satunya
12
mengharuskan juga penanganan sisi konsumsi secara sistematis sehingga permintaan bahan pangan pokok tidak hanya terkonsentrasi pada satu komoditas bahan pangan khususnya beras, melainkan tersebar ke berbagai komoditas pangan lainnya yang sebenarnya potensial menjadi komponen menu utama. Konsentrasi pada beras jelas mengindikasikan betapa rapuhnya ketahanan pangan Indonesia. Ada beragam faktor yang mengancam ketahanan pangan Indonesia. Dari sisi produksi, salah satu ancaman utama adalah penyusutan lahan pertanian. Diperkirakan Setiap tahunnya sekitar 60.000 hektar sawah di Jawa dikonversikan untuk tujuan non-pertanian misalnya lokasi industri, jalan, dan perumahan (Nova, 12 Mei 2002:8-9). Ironisnya, konversi tersebut tanpa kecuali juga berlangsung atas lahan-lahan pertanian yang terbaik. Di Jawa Timur sendiri, yang merupakan lumbung beras terpenting di Indonesia, luas lahan pertanian berkurang seluas 38.000 hektar dari tahun 2000 ke tahun 2001 (Kompas Edisi Jawa Timur, 17 Januari 2002:A). Dari segi lingkungan alam, perubahan iklim global ikut memberikan dampak negatif terhadap kemampuan produksi pangan. Bencana banjir yang semakin luas skalanya dan semakin sering intensitasnya menimbulkan kegagalan panen dan penurunan produksi pangan. Pergantian ke musim kemarau pun tidak meniadakan ancaman karena kedatangannya menghadirkan ancaman lain. Bagi produksi pangan khususnya beras, kekeringan tidak kalah dampak buruknya karena menyebabkan kegagalan panen dan penurunan produksi. Hal ini juga diperparah dengan rusaknya lingkunan hutan, yang sebenarnya jika dalam kondisi baik akan dapat mengatur tata air, menjamin ketersediaan irigasi pada musim kemarau dan mengurangi ancaman banjir pada musim penghujan. Menurut Kepala Perhutani Unit II Jatim, kerusakan hutan akibat penjarahan liar dalam tiga tahun terakhir sejak reformasi mencapai 47.000 hektar (Surya, 9 Februari 2002: 13). Perusakan lingkungan hutan tampaknya terus berlanjut hingga kini, termasuk di kawasan hutan Banyuwangi dan Jember, dua kabupaten yang secara historis termasuk lumbung beras terpenting di Indonesia (Fox, 1997:192-193).
13
Pada sisi konsumsi, ancaman ketahanan pangan muncul dalam bentuk pola konsumsi berbasis bahan pangan tunggal, dalam hal ini beras. Ironisnya, selama era kemerdekaan proses pembangunan ekonomi dalam sektor pertanian pangan semakin memperkokoh pola konsumsi dengan beras sebagai elemen utamanya. Budaya konsumsi beras bahkan semakin melebar dan berkembang ke wilayah-wilayah yang secara tradisional sebenarnya mempunyai struktur diet yang berbeda, dengan basis bahan pangan non-beras termasuk misalnya jagung dan sagu. Komunitas Madura secara tradisional diidentikkan dengan jagung sebagai makanan pokoknya, sementara berbagai komunitas di Indonesia Timur khususnya Papua mempunyai makanan pokok sagu. Pada era Orde Baru mereka justru mulai banyak beralih ke beras (Van der Eng, 1996:205). Dengan pergeseran pola konsumsi makanan pokok semacam ini, tekanan terhadap komoditas beras menjadi bertambah besar karena bertambahnya jumlah komunitas yang mengkonsumsi. Di samping itu, kebutuhan persediaan beras juga semakin besar karena jumlah penduduk yang harus disuapi juga terus membengkak. Mempertimbangkan ragam dan besarnya ancaman yang menghadang, Indonesia jelas memerlukan upaya sistematis, integratif dan lintas jalur untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Tanpa upaya semacam ini, katahanan pangan bagi Indonesia hanya akan menjadi harapan yang bergerak semakin jauh dari kenyataan. Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, penguatan lewat jalur produksi pertanian memang vital, namun tidak mencukupi. Penanganan pada sisi konsumsi lewat pengembangan pola konsumsi pangan yang beragam juga sangat mendasar untuk dilakukan. Pentingnya keanekaragaman konsumsi bahan pangan belakangan ini memang semakin banyak dan sering disuarakan (Wahono dan Widyanta, 2001), namun ada aspek krusial yang cenderung masih terabaikan, yakni fakta bahwa konsumsi pangan sejatinya bukan semata-mata terkait dengan kebutuhan imperatif-biologis, melainkan jug tidak terpisahkan dari persoalan budaya. Orang Jawa misalnya tidak merasa makan Madura kenyang atau bahkan merasa belum makan kalau belum makan nasi. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pola konsumsi pangan beragam dapat dibangun
14
dikalangan etnis Jawa dan Madura? Model rekayasa budaya macam apakah yang dapat dikembangkan untuk mendukungnya? Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi konsepsi kultural mengenai pangan (foods) dan makan (eating), dan ketahanan pangan di kalangan kelompok etnik Jawa dan Madura di wilayah eks karesidenan Besuki. Secara lebih spesifik, tujuan penelitian ini adalah: 1) memahami pandangan (perception), pengetahuan (knowledge), dan kepercayaan (beliefs) etnik Jawa dan Madura mengenai pangan (foods); 2) Memaparkan kebiasaan makan (eating habits) di kalangan kedua kelompok etnik, makna makan dalam konteks individual dan relasi-relasi sosiokultural, termasuk pula konsepsi mereka mengenai kebiasaan, menu, perilaku makan yang baik; 3) menjelaskan proses historis pergeseran pola konsumsi dari jagung ke beras sebagai komponen utama diet di kalangan etnik Madura, alasan-alasan anggota komunitas etnik Madura beralih pada struktur diet berkomponen utama beras atau sebaliknya alasan mereka tetap bertahan pada makanan pokok jagung seperti yang dilakukan generasi terdahulu, sebagaimana etnik Jawa bertahan pada beras. Melaluinya akan dapat diidentifikasi hambatan-hambatan yang menghalangi pengembangan pola diet dengan beragam bahan pangan, sebagai ganti pola konsumsi tunggal; 4) memaparkan perkembangan historis masalah ketahanan pangan dan kebijakan penanganannya, serta pemahaman etnik Jawa dan Madura mengenai persoalan ini, dan pandangan mengenai posisi dan peran diri kedua kelompok etnis dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional; 5) Mengembangkan model rekayasa budaya dalam rangka penguatan ketahanan pangan melalui pola konsumsi pangan beragam. Urgensi penelitian ini dalam rangka pengembangan ketahanan pangan nasional dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, upaya-upaya untuk menciptakan ketahanan pangan lewat jalur ekonomis-teknologis terbukti gagal mewujudkan harapan yang diinginkan secara lestari (sustainable). Memang, melalui adopsi varietas padi unggul, pupuk kimia, pestisida, dan perbaikan sistem irigasi, seperti terlihat jelas dalam program pembangunan pertanian selama periode Orde Baru (Van der Eng, 2002:434), Indonesia dapat meningkatkan produktivitas lahan sawah dan produksi beras. Namun,
15
ketahanan pangan yang dicapai terbukti hanya berlangsung sesaat. Indonesia masih saja harus sering mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Ketahanan pangan yang dimaknai Orde Baru secara sempit hanya dalam konteks beras, jelas tidaklah tepat. Kegagalan Orde Baru dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional juga karena kebijakannya yang bersifat parsialistik, terlalu dititikberatkan pada sektor produksi sedangkan sektor permintaan beras cenderung diabaikan. Kedua, penelitian ini juga urgen mengingat bahwa meskipun penanganan ketahanan pangan pada sisi konsumsi belakangan ini semakin kuat disuarakan, ternyata masih belum optimal implementasi dan hasilnya. Sebab pokoknya adalah masih diabaikannya jalur budaya dalam program kebijakan penguatan ketahanan pangan. Hal ini merupakan kekeliruan yang perlu segera diperbaiki karena untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dimensi sosial-budaya penting pula untuk diperhitungkan. Konsumsi pangan bukan semata-mata terkait dengan persoalan kebutuhan kelangsungan hidup, melainkan juga tidak terpisahkan dari aspek sosiokultural. Ada pemeo mengatakan, “belum makan kalau belum makan nasi”. Pandangan semacam ini secara eksplisit mencerminkan ketergantungan besar terhadap beras, padahal selain beras masih terdapat pula sejumlah bahan makanan yang bisa dikonsumsi seperti jagung, ketela, sagu, kedelai. Wilayah laut Indonesia khususnya juga menyediakan potensi bahan pangan (sea food) yang sangat kaya dan berkualitas (Boedhihartono, 2001:41). Sungguh sebuah ironi bahwa sebagai bangsa yang mendiami wilayah dengan komponen utama (2/3) adalah air, kekayaan laut yang melimpah belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan dan kemakmuran. Tampaknya ada kendala-kendala kultural yang menghalangi orang Indonesia untuk mengadopsi pola diet non-beras. Dengan mengeskplorasi konsepsi sosio-kultural etnis Jawa dan Madura mengenai pangan dan makan, penelitian ini akan membuka jalan bagi pemutusan ketergantungan bahan makanan pokok sematamata pada beras. Ketiga, fokus pada etnis Jawa dan Madura dalam pemanfaatan jalur budaya bagi penguatan ketahanan pangan juga merupakan pilihan strategis. Hal ini karena
16
etnis Jawa merupakan suku bangsa dengan jumlah populasi terbesar di Indonesia. Dengan sendirinya, kebutuhan terbesar atas bahan pangan beras nasional juga berasal dari kelompok etnik ini. Jika ketergantungan pada beras etnik Jawa dapat dikurangi dan digantikan atau tepatnya, dianekaragamkan dengan bahan pangan pokok lainnya, maka ketahanan pangan nasional akan berpeluang lebih besar untuk dapat diwujudkan secara lestari. Krisis bahan pangan akibat kegagalan panen komoditas tertentu juga dapat
diminimalisasi konsekuensinya karena tersedianya bahan
makanan pengganti yang dapat diproduksi dalam lingkungan dan kondisi klimatologis yang berbeda. Tahun yang kurang baik untuk padi misalnya, dapat menjadi waktu yang baik untuk jagung atau komoditas pangan lainnya. Sedangkan, urgensi etnis Madura dalam konteks pembangunan ketahanan pangan lewat jalur budaya, selain karena kelompok ini secara kuantitas merupakan populasi besar ketiga di Indonesia, juga terkait dengan fakta bahwa secara historis etnis ini dikenal suka mengkonsumsi bahan pangan pokok non beras, yakni jagung (Hageman, 1863:300,315; Manggistan, 1986:99). Pada tahun 1954, misalnya, masih dilaporkan bahwa 50 % penduduk Jember dan 25 % penduduk Situbondo menjadikan jagung sebagai makanan pokok. Jagung dicampur dengan beras sebagai tambahan, dikonsumsi oleh 30 % penduduk Jember, 60 % penduduk Bondowoso dan 62 % penduduk
Situbondo (Trompet Masjarakat, 11 Januari 1954:2). Berpijak pada
realitas ini, ada peluang besar mengurangi ketergantungan etnis Madura pada beras dan mengembalikan mereka untuk mengadopsi kembali jagung sebagai komponen utama makanan pokoknya.. Pilihan terhadap etnis Madura di eks karesidenan Besuki juga akan memberikan pemahaman atas kendala-kendala yang lebih besar untuk menganekaragamkan pola konsumsi mengingat sebagai wilayah surplus beras, godaan untuk tetap bertahan pada beras akan jauh lebih kuat. Keempat, rekayasa budaya untuk membangun konsumsi pangan yang beragam dalam rangka memperkuat ketahanan pangan potensial dilakukan. Peralihan dari konsumsi jagung ke beras dalam era Orde Baru menunjukkan sebuah sukses rekayasa budaya lewat kebijakan politik. Beberapa fenomena belakangan ini menunjukkan penerimaan yang menggembirakan atas beberapa ragam pangan lokal non-beras
17
misalnya pop corn, pizza jagung. Berangkat dari realitas ini, ada jalur-jalur yang menjanjikan untuk ditempuh dalam kontek pembudayaan konsumsi pangan beragam: politik pencitraan (konsumsi dikaitkan dengan modernitas). Jalur potensial lainnya adalah penyelenggaraan festival/lomba panganan berbahan non-beras secara rutin untuk memopulerkannya. Di samping itu, dapat dilakukan sosialiasi pola konsumsi pangan beragam lewat kelembagaan yang ada dalam masyarakat antara lain PKK, pengajian dan pondok pesantren, dengan melibatkan baik para pemimpin religius (kyai), petinggi desa, guru maupun tokoh-tokoh masyarakat lainya. Mereka dapat dititipi dalam penyebar-luasan pesan pentingnya konsumsi pangan beragam.
1.2 Studi Pustaka Persoalan pangan dan ketahanan pangan memang merupakan issu penting yang menjadi fokus perhatian dari berbagai disiplin. Masalah ini sudah dikaji secara intensif sejak era kolonial Belanda, di antaranya oleh Gelpke, Van der Elst, Manggistan, Scheltema, dan de Vries. Kajian-kajian yang mereka lakukan sebagaian kemudian diterbitkan dalam edisi Indonesia (Sajogyo dan Collier, ed., 1986). Mereka pada umumnya menyuarakan kekhawatiran mengenai penurunan produksi beras di Jawa dan menyarankan diambilnya langkah-langkah sistematis untuk mengatasinya. Pandangan pesismistik secara eksplisit tercermin dalam judul tulisan Manggistan, “Produksi Padi di Jawa yang tidak mencukupi”, dan tulisan Van der Elst, “Krisis Budidaya Padi di Jawa”. Meskipun secara esensial problem yang dihadapi sama, kajian-kajian tersebut lebih banyak berbicara mengenai realitas di masa lalu, ketimbang masa kini. Kajian-kajian mengenai pangan pada masa kolonial Belanda tampak masih terfokus pada issu beras serta penekanan pada aspek produksi, ketimbang konsumsi. Pada era pendudukan Jepang, salah satu kajian terpenting mengenai budidaya padi di Jawa diterbitkan oleh Van der Giessen (1943) dalam karyanya yang berjudul Rice Culture in Java and Madura. Kajian ini meneliti budidaya, produksi dan perbedaan produktivitas padi di berbagai daerah di Jawa. Seperti era Belanda, ketahanan pangan yang disuarakan tampak juga masih terbatas pada issu
18
ketercukupan beras. Kajian historis yang lebih mutakhir mengenai produksi dan krisis pangan pada era pendudukan Jepang di Jawa yang diberikan misalnya oleh Sato, Kurasawa, dan Van der Eng, memberikan nuansa-nuansa baru pada persoalan ketahanan pangan dengan. Berbeda dengan interpretasi konvensional terutama yang diberikan para sejarawan Indonesia yang cenderung menempatkan ekploitasi di luar batas sebagai eksplanasi krisis pangan pada era Jepang, sejumlah interpretasi baru ditawarkan dengan menunjuk kesalahan manajemen ekonomi dan gangguan distribusi akibat kemunduran transportasi (Sato, 1998:168; Kurasawa, 1997:124), dan hilangnya insentif pasar bagi kaum tani untuk menanam padi karena rendah harganya akibat kontrol ketat pemerintah (Van der Eng, 1998:204-205). Krisis bahan pangan yang terus menghantui hingga era Orde Lama mendorong pemerintah Orde Baru memfokuskan perhatian pada peningkatan produksi beras. Banyak kajian dilakukan mengenai komoditas beras selama periode Orde Baru. Salah satu kajian terpenting yang ikut mendasari kebijakan Orde Baru dalam sektor beras adalah karya Mears (1961) berjudul Rice Marketing in the Republic of Indonesia. Menurut Mears, adopsi varietas unggul, pupuk dan obat-obat kimia merupakan faktor kunci peningkatan produksi beras. Pandangan serupa juga ditemukan dalam kajian Djatileksono (1987) berjudul Equity Achievement in the Indonesian Rice Economy. Djatileksono (1987:17) dan Fox (1997:177-191) menunjukkan bahwa kemajuan dalam produksi padi yang berlangsung sejak 1970-an berjalan beriringan dengan serangkaian adopsi berbagai varietas padi unggul, pupuk dan obat-obat kimiawi. Dalam kaitan dengan ketahanan pangan, lagi-lagi kajian-kajian tersebut lebih banyak berbicara mengenai aspek produksi dan pemasaran khususnya bahan pangan beras, sedangkan penanganan pada sisi konsumsi terlewatkan. Kajian regional mengenai Karesidenan Besuki dengan cakupan waktu panjang oleh Nawiyanto (2003), juga masih terbatas pada segi produksi, meskipun komoditas yang disoroti sudah lebih beragam dengan mengangkat komoditas non-beras. Secara umum ketahanan pangan merujuk pada pengertian kemampuan untuk menyediakan
kebutuhan
pangan
secara
mandiri.
Roedjito
(1986:266-268)
menegaskan bahwa diversifikasi pangan merupakan kunci bagi terwujudnya
19
ketahanan pangan sehingga setiap daerah perlu mengembangkan pola konsumsi dan produksi pangan sesuai dengan karakteristik dan potensi setempat. Ketergantungan terhadap satu bahan makanan pokok khususnya beras dipandang sangat berbahaya karena sifat fluktuatif produksi pertanian akibat keadaan cuaca, hama-penyakit, dan gangguan alam lainnya yang tidak pernah dapat dikontrol secara penuh, serta ketidakmerataan produksi dalam konteks tempat dan waktu (Roedjito, 1986:4). Dapat dimengerti jika Kloppenburgh, et al. (2000) menyatakan bahwa pengenalan pangan alternatif merupakan strategi penting bagi ketahanan pangan baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Bunga rampai tulisan yang disunting Wahono, Widyanta dan Kusumajati (2004), juga menekankan pentingnya keanekaragaman pangan dan basis kearifan lokal dalam mengembangkan ketahanan pangan di Indonesia. Disamping lebih menjamin keamanan pangan dengan penyebaran resiko ke berbagai macam bahan pangan, konsumsi pangan yang beragam dalam pandangan ilmu gizi juga mempunyai dampak lebih baik bagi kesehatan. Mengikuti dikotomi Cina yang membedakan makanan dengan dua sifat yang berbeda yin (feminin: beras, biji-bijian, kentang, dan sayuran) dan yang (maskulin: berbagai macam daging), konsumsi makanan beragam memberikan manfaat yang besar karena dapat menciptakan keseimbangan unsur yin-yang dalam tubuh manusia vital kesehatan (Farb dan Armelagos, 1980:119-120). Lebih jauh dari konsepsi biologis yang memandang makan sebagai kebutuhan dasar demi kelangsungan hidup, Malinowski (1983:167) dalam buku Dinamik Bagi Perubahan Budaya, menganjurkan agar makan dipahami dalam konteks kebudayaan. Dalam pandangan Malinowski (1983: 161-163), persepsi, pilihan, dan kebiasaan makan mempunyai kaitan erat dengan faktor sosial-budaya yang terbentuk secara historis. Seperti halnya Malinowski, para penganut teori materialisme budaya pada umumnya berargumentasi bahwa kebiasaan makan terbentuk sebagai hasil adaptasi kultural dengan keadaan lingkungan (Keesing, 1989:165). Mengikuti alur pemikiran ini, kebiasaan makan jagung di kalangan masyarakat Madura merupakan hasil adaptasi terhadap kondisi lingkungan alam yang tidak kondusif bagi pertanian padi.
20
Kelemahan pandangan tersebut adalah kegagalannya dalam menjelaskan terjadinya perubahan kebiasaan makan secara memadai dan diabaikannya konteks relasi-relasi dengan komunitas sosial lain. Teori sistem regional yang dikembangkan dalam antropologi ekologi berargumentasi bahwa kebiasaan dan praktek budaya suatu komunitas etnis bisa hilang atau berubah akibat terpengaruh tradisi sosio-budaya komunitas lain yang lebih kuat (Keesing, 1989:163). Dengan demikian, keberadaan komunitas Madura di eks-karesidenan Besuki dan pandangan, kebiasaan, serta makna makan yang mereka hayati, perlu ditempatkan dalam konteks relasi-relasi sosial dengan berbagai etnis lain yang mendiami wilayah ini, khususnya etnis Jawa yang berpengaruh besar secara sosio-kultural.. Signifikansi kultural makan bagi suatu komunitas juga ditekankan Fab dan Armelagos (1980) dalam buku Consuming Passions: The Anthropology of Eating. Dalam pandangan Fab dan Armelagos (1980:5), makan merupakan salah satu bagian integral bagi identitas etnis sehingga dari jenis makanan yang dikonsumsi dapat dilacak asal-usul etnisnya. Lebih jauh, ditegaskan bahwa makna kultural makan sering terkait dengan eksistensi komunitas. Bagi masyarakat Asia Tenggara, beras diyakini mengandung esensi kekuatan kehidupan yang mempersatukan masyarakat. Di Amerika Serikat khususnya kalangan Indian Pueblo, jagung dipandang sebagai representasi keseluruhan hidup dan makna kehidupan (Fab dan Armelagos, 1980:67). Oleh karena itu, menurut Fab dan Armelagos (1980:14-15) kebiasaan makan harus dipahami dalam konteks tiga faktor yang saling terkait: techno-environment, struktur sosial, dan ideologi. Pandangan Fab dan Armelagos ini memang tidak secara spesifik didasarkan pada konteks kultural etnik Jawa dan Madura, sehingga menarik untuk dilihat bagaimana aplikasinya dalam konteks kedua kelompok etnik ini. Pemahaman yang lebih radikal mengenai makan dapat dikaji dengan bertolak dari pandangan Bourdieu mengenai selera. Dalam karyanya yang berjudul Distinction (1984), Bourdieu menekankan pentingnya dimensi simbolis sumber-sumber daya selain makna ekonomis, politis dan lainnya. Dalam pandangan Bourdieu, selera merupakan mekanisme kunci yang mengatur distribusi berbagai sumberdaya simbolis. Selera, yang terekspresikan dalam pilihan-pilihan konsumsi, mengukuhkan
21
identitas diri secara simbolis, sekaligus menunjukkan kelas sosial. Pilihan wajar individu mengenai kepantasan selera dalam makanan, termasuk barang-barang konsumsi lainnya, terkait erat dengan posisi kelas yang dimilikinya. Menurut Bourdieu, selera individu diatur oleh logika praktek dan selalu merupakan varian praktek kelas (Lury, 1998:117-118; Jenkins, 1992:74-84). Paralel dengan pandangan Bourdieu, dalam bukunya yang berjudul Budaya Konsumen, Lury (1998:112-113) menegaskan bahwa praktek konsumsi perlu dimaknai dalam konteks sosio-kultural karena kental dengan nuansa simbolis. Menurut Lury, barang-barang konsumsi, termasuk di dalamnya makanan, merupakan cara untuk menampilkan individualitas karena melaluinya tercermin selera atau cita rasa yang membedakannya dengan kelompok lain. Secara lebih tegas Lury menyatakan bahwa praktek konsumsi perlu dimaknai sebagai perjuangan individu untuk meraih posisi kelas sosial, bukan hanya sarana pemenuhan kebutuhan biologis atau ekonomis. Selera identik dengan kelas sosial. Perbedaan selera dan cita rasa merupakan petunjuk kuat adanya perbedaan asal-usul kelas sosial. Namun, baik Bourdieu maupun Lury tidak mengaitkan gagasan mereka lebih jauh lagi dengan konsep mengenai pengelompokan sosial berdasarkan ketegori etnis. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud juga mengkombinasikan kedua jalur pemikiran teoretis ini sehingga akan dapat dihasilkan deskripsi dan analisis yang lebih dalam dan kaya.
1.3 Metode Penelitian Penelitian in tergolong penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, pandangan (perception), pengetahuan (knowledge), kepercayaan (beliefs), kebiasaan (habits) dan makna (meaning) makan (eating), pangan (food), dan ketahanan pengan di kalangan masyarakat etnis Jawa dan Madura diposisikan sebagai variabel terpengaruh (dependent variables). Pandangan, kebiasaan, dan makna makan dan pangan di kalangan mereka akan dipengaruhi oleh berbagai variabel pengaruh (independent variables), seperti misalnya kelas dan posisi sosial, relasi sosial, pendidikan, pendapatan, lokasi tempat tinggal, ideologi dan etnisitas..
22
Penelitian ini menggunakan pendekatan historis-antropologis. Pendekatan secara gabungan dipandang sebagai pilihan terbaik untuk mendekati subyek penelitian. Pendekatan historis memungkinkan untuk mengungkap kebiasaan makan dan pandangan etnis Jawa dan Madura mengenai makan dan pangan di masa lampau, meneliti terjadinya berbagai pergeseran yang terjadi dalam kurun waktu sejarah, serta mencari penjelasan mengenai berbagai faktor yang menyebabkannya (Nawawi, 1985:78-79).
Pendekatan
antropologis
merupakan
cara
terbaik
untuk
mendeskripsikan dan menjelaskan pengetahuan, pandangan dan gagasan, kebiasaan, dan makna makan dan pangan dalam konteks sosio-budaya Etnis Jawa dan Madura pada masa sekarang. Penelitian ini didasarkan pada dua kelompok sumber data, yakni data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai tempat dan meliputi antara lain karya-karya terpublikasi, hasil penelitian, dan laporan-laporan pemerintah, yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder ini akan dikumpulkan dari berbagai tempat di Yogyakarta (perpustakaan di lingkungan Universitas Gadjah Mada), dan di Jakarta misalnya Perpustakaan Nasional RI, Arsip Nasional Republik Indonesia, LIPI, dan Universitas Indonesia. Data sekunder dianalisis dengan teknik analisis dokumen (documentary analysis). Teknik analisis dokumen merupakan sarana untuk mengungkap informasi dari dokumen, laporan-laporan resmi, bukubuku mengenai berbagai aspek sosio-kultural dan aktivitas masyarakat Madura yang dijadikan fokus penelitian (Nawawi, 1985:68). Dalam kaitannya dengan pengumpulan data primer, teknik yang dipergunakan adalah observasi partisipasi dan wawancara. Observasi partisipasi dilakukan dengan melakukan serangkaian kunjungan ke lokasi penelitian. Dengan serangkaian kunjungan tersebut, tim peneliti akan memperoleh gambaran mengenai karakteristik fisik lokasi penelitian serta mendapatkan pola kebiasaan khususnya yang terkait. Di samping itu, tim peneliti menggunakan berbagai kunjungan sebagai sarana untuk membangun dan mengembangkan kontak-kontak dengan komunitas yang diteliti dalam rangka menjalin keakraban (rapport). Keakraban dengan informan dan komunitas yang diteliti merupakan prasyarat penting dalam kegiatan penelitian
23
karena memungkinkan didapatkan keterangan yang jujur dan terbuka (Spradley, 1979:78). Wawancara dilakukan untuk mendapatkan aspek dalam dari kebiasaan makan khususnya yang terkait dengan pandangan, pengetahuan, nilai serta makna makan dan pangan dalam konteks sosio-budaya Madura. Wawancara merupakan teknik terbaik untuk mendapatkan keterangan yang tidak dapat diamati secara langsung oleh peneliti baik karena alasan sudah terjadi pada masa lampau maupun alasan lainnya (Amber dan Amber, 1984:51). Wawancara dilakukan secara longgar dengan memanfaatkan pedoman pertanyaan yang dipersiapkan sebelumnya dengan model pertanyaan terbuka agar informan dapat memberikan keterangan secara bebas dan leluasa (Labovitz dan Hagedorn, 1982:70-72). Kegiatan wawancara dilakukan dengan sejumlah informan di daerah penelitian dengan mempertimbangkan struktur sosial. Informan kunci (key figures) akan diseleksi dari kelompok elite baik yang berasal dari kalangan birokrasi pemerintahan, pesantren, maupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya termasuk misalnya guru, petugas kesehatan, dan lembaga swadaya masyarakat. Agar diperoleh informasi yang komprehensif dan representatif, wawancara juga dilakukan dengan informan yang berasal dari rakyat kebanyakan. Semua informasi yang didapat di lapangan akan dicatat secara cermat pada hari yang sama dengan kegiatan wawancara, dengan maksud untuk menghindarkan kemungkinan terlupakan atau tumpang tindih informasi antara informan satu dengan yang lain. Selama informan tidak mengajukan keberatan, pembicaraan selama wawancara akan direkam dengan menggunakan alat perekam. Populasi yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah masyarakat etnis Jawa dan Madura di eks Karesidenan Besuki baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan. Dari populasi ini ditentukan sejumlah sample di masing-masing lokasi dengan mempertimbangkan unsur representativitas baik dari segi desa-kota maupun heterogentitas sosial populasi. Dalam penanganan sample, peneliti menggunakan teknik sampling acak berdasarkan pada pertimbangan bahwa teknik ini lebih
24
egalitarian karena semua anggota sampel mempunyai peluang yang sama untuk memberikan informasi (Labovitz dan Hagedorn, 1982:62). Penelitian ini difokuskan pada wilayah eks karesidenan Besuki. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa mayoritas penduduk di wilayah ini adalah etnis Madura. Pertimbangan lainnya adalah fakta bahwa daerah, Besuki khususnya Jember dan Banyuwangi, merupakan salah satu lumbung padi terpenting di Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Madura yang diam di wilayah ini hidup dalam lingkungan yang sangat “menggoda” mereka untuk beralih makanan pokok dari jagung ke beras. Dalam kaitan dengan pengembangan pola diet berdasar keanekaragaman bahan pangan, wilayah ini menjanjikan kasus menarik untuk melihat bagaimana orang Madura yang sudah mengadopsi konsumsi beras dan hidup dalam lingkungan
yang
surplus
beras
memandang
kemungkinan
untuk
kembali
mengkonsumsi jagung secara lebih besar dalam struktur diet mereka. Wilayah ini juga menjanjikan kasus menarik mengenai bagaimana orang Jawa yang hidup di wilayah surplus beras ini melihat kemungkinan mengurangi konsumsi beras dan menggantikannya dengan bahan pangan lain. Penelitian ini direncanakan untuk dilaksanakan dalam jangka selama 8 bulan efektif. Secara umum kegiatan penelitian mencakup 3 tahap. Tahap pertama berupa penelusuran data dokumenter, dilakukan selama 2 bulan (15 Maret - 15 Mei 2009), 2 minggu di Yogyakarta, dan 6 minggu di Jakarta. Tahap kedua berlangsung selama 4 bulan (16 Mei – 15 September 2009), dengan kegiatan utama pengumpulan data lapangan di Jember, Bondowoso, Panarukan, dan Banyuwangi. Tahap ketiga berlangsung selama dua bulan (16 September – 15 November 2009), meliputi kegiatan analisis dan sintesis data melui metode interpretif (tafsiriah). Melalui tahap ini akan dipaparkan dan dianalisis secara detil dan mendalam mengenai konsepsi kultural etnik Jawa dan Madura mengenai pangan, makan, dan ketahanan pangan sebagaimana tercermin dalam pandangan, pengetahuan, kepercayaan, dan kebiasaan yang mereka pegang dan hayati. Sebagai hasilnya adalah laporan akhir penelitian dan artikel penelitian yang akan diserahkan pada bulan Desember. Secara skematis tahaptahap kegiatan penelitian dapat tampak dalam bagan berikut ini.
25
PROSES
INPUT
Fakta Budaya Etnik Jawa dan Madura
Tahap I Penelusu ran Informasi Dokumen ter
Tahap II Pengump ula Data Primer
LUARAN
Tahap III Analisis dan Sintesis Data
Deskripsi Konsepsi Kultural Etnik Jawa dan Madura dan model rekayasa
budaya
INDIKATOR
1. Artikel Jurnal Internasional/ Nasional 2. Buku Ajar 3. Model Rekayasa Budaya
Luaran kegiatan penelitian ini adalah deskripsi historis antropologis yang mendalam mengenai konsepsi kultural etnik Jawa dan Madura mengenai pangan, makan dan ketahanan pangan. Secara lebih terperinci, luaran yang ingin dicapai adalah: 1) Deskripsi yang kaya dan mendalam tentang konsepsi kultural etnis Jawa dan Madura yang berisi pandangan (perception), pengetahuan (knowledge), kepercayaan (beliefs) mereka mengenai pangan (foods). 2) Deskripsi mendalam tentang kebiasaan makan (eating habits) dan maknanya dalam konteks individual dan relasi-relasi sosial di kalangan Etnik Jawa dan Madura, termasuk pandangan kedua kelompok etnik mengenai menu, pemrosesan, dan perilaku makan yang baik. 3) Deskripsi mengenai adopsi jagung sebagai makanan pokok etnis Madura di masa lalu dan pergeseran struktur diet mereka kearah beras sebagai komponen pokok, serta alasan-alasan yang mendasari mereka untuk berubah atau tetap bertahan pada struktur diet lama, termasuk beras bagi orang Jawa. 4) Deskripsi perkembangan historis masalah ketahanan pangan dan kebijakan penanganan yang ditempuh, serta pemahaman etnik Jawa dan Madura terhadap permasalahan ini, termasuk pandangan internal kedua kelompok
26
etnis tentang peran dan kontribusi riel yang mereka dapat sumbangkan untuk mewujudkan tercapainya ketahanan pangan nasional. 5) Sebuah Model Rekayasa Budaya dalam rangka pengembangan pola konsumsi pangan yang beragam dalam konteks komunitas etnik Jawa dan Madura untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.
Indikator capaian penelitian ini adalah artikel ilmiah, buku ajar, dan model pemberdayaan masyarakat. Artikel ilmiah diharapkan dapat dikirim ke jurnal internasional atau jurnal nasional terkareditasi. Buku ajar yang dihasilkan akan menunjang dan memperkaya pembelajaran mata kuliah yang diampu, yakni Perubahan Sosial dan Budaya, Antropologi Budaya, Komunikasi Etnografis, Etnisitas, dan Sejarah Ekonomi, dan Sejarah Lingkungan. Model rekayasa budaya yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi panduan dalam pengembangan pola konsumsi pangan yang beragam dalam komunitas etnik Jawa dan Madura pada umumnya.
27
BAB II KONSEPSI KULTURAL ETNIK JAWA DAN MADURA TENTANG PANGAN
2.1 Pengantar Pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tidak ada yang menyangsikan bahwa demi kelangsungan hidupnya, manusia memerlukan ketersediaan bahan pangan yang dibutuhkan. Banyak contoh dalam sejarah mengilustrasikan bagaimana individu, kelompok etnik, maupun bangsa dari masa ke masa melakukan pencarian bahan pangan. Mereka meninggalkan tempat asalnya, mempertaruhkan nyawa, memerangi orang atau kelompok lain demi memperoleh penguasaan dan jaminan akan ketersediaan bahan pangan. Seperti dikatakan Reay Tannahill (1973) dalam karya klasiknya, Food in History, pencarian bahan pangan ikut menentukan perkembangan sejarah. Pencarian bahan pangan tidak diragukan lagi telah memberi kontribusi penting dalam memperluas horison perdagangan, memicu perang untuk memperebutkan dominasi, mendasari pembentukan imperium, serta mendorong pencarian dunia baru (Tannahill, 1973:388). Dalam berbagai kelompok etnik dan bangsa, pangan (foods) sering terkait erat dengan budaya. Hal ini secara jelas ditunjukkan dalam karya Pamela G. Kittler dan Kathryn P. Sucher (2008) berjudul Food and Culture, yang menyoroti pangan dalam konteks budaya di kawasan Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Menurut Kittler dan Sucher (2008:3-5) pilihan bahan pangan bukan semata-mata didasarkan pada pertimbangan kandungan nutrisi atau nilai gizi, melainkan juga melibatkan pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih kompleks sifatnya: penanda diri (selfidentity), fungsi simbolis, dan identitas kultural kelompok yang dimanifestasikan dalam tata nilai, kepercayaan, dan praktek yang secara kolektif dipegang oleh anggota komunitas. Bab ini berisi uraian tentang konsepsi etnis Jawa dan Madura di wilayah eks-karesidenan Besuki mengenai pangan, baik dalam arti bahan pangan (foodstufs) maupun tanaman pangan (food crops). Secara lebih spesifik akan dipaparkan bagaimana pandangan (perception), pengetahuan (knowledge) dan kepercayaan/
28
keyakinan (beliefs) mereka mengenai pangan. Pada bagian selanjutnya diuraikan adopsi bahan makanan pokok di kalangan kedua kelompok etnik, serta pergeseran bahan makanan pokok dari jagung ke beras di kalangan etnik Madura. Diargumentasikan bahwa kedua kelompok etnik mempunyai konsepsi tentang pangan yang melampaui makna denotatif-lahiriah sebagai kebutuhan fisiologis semata. Adopsi maupun pergeseran bahan pangan pokok adalah suatu proses historis yang wajar, bukan suatu hal yang mustahil terjadi, dan proses ini berlangsung karena beragam alasan serta pertimbangan.
2.2 Konsepsi Kultural Etnik Jawa Kalangan etnik Jawa, termasuk yang bermukim di wilayah Besuki, mengenal beragam bahan pangan pokok, yakni beras, jagung, dan ketela. Secara umum beras menduduki tempat terpenting dalam kelompok bahan pangan pokok ini. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan akan adanya beberapa variasi lokal sebagai konsekuensi kondisi ekologis setempat yang berdampak pada tidak mencukupinya bahan pangan beras, sebagaimana ditunjukkan dalam studi mengenai masyarakat etnik Jawa di Yogyakarta (Moertjipto, et al, 1993/1994:42-49). Di luar ketiga bahan makanan pokok tersebut, kalangan etnik Jawa juga mengenal bahan pangan meskipun sekunder kedudukannya: talas, bethe, kimpul, ubi jalar, kentang hitam, gembili, tomboroso, gadung, ganyong, dan garut. Ada pula bahan pangan lain baik berupa kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang hijau, koro, dan kedele, maupun buahbuahan termasuk sukun dan pisang (Moertjipto, et al, 1993/1994:54-57). Kontras dengan pengetahuan akan ragam bahan pangan yang cukup kaya, pengetahuan masyarakat etnik Jawa mengenai asal-usul bahan pangan sangat terbatas. Hampir semua responden meyakini bahwa tanaman pangan yang mereka kenal adalah tanaman asli negeri sendiri. Keterbatasan pengetahuan mengenai asalusul pangan ini tampaknya tidak terlepas dari fakta bahwa meskipun sebenarnya merupakan tanaman asing yang didatangkan dari luar, proses adopsi tersebut telah berlangsung beberapa abad silam sehingga tidak diketahui lagi karena tidak adanya sumber sejarah yang merekam, serta tekanan yang terlalu kuat pada sejarah politik.
29
Perjalanan waktu yang panjang membuat pengetahuan akan asal-usul pangan semakin kabur dan melahirkan anggapan sebagai tanaman asli Indonsesia, apalagi sejak kecil terbiasa dengan keberadaan tanaman-tanaman pangan tersebut di lingkungan terdekat mereka. Kenyataannya harus diakui bahwa banyak tanaman bahan pangan terpenting di Jawa dan di wilayah Indonesia lainnya adalah tanaman asing. Seperti dikemukakan Purseglove dalam karyanya berjudul Tropical Crops, padi berasal dari wilayah India, jagung dari Amerika Tengah, ketela dan ubi jalar berasal dari Amerika Tropis. Tanaman pangan lain juga berasal dari luar, misalnya ganyong dari Amerika Selatan dan gadung dari Asia Selatan (Semangun, 1991:2). Orang Jawa tradisional mempunyai konsepsi yang kompleks atas tanaman dan bahan pangan. Konsepsi mereka tidak melulu berhenti pada segi fisik yang bersifat denotatif atau mengacu pada kenyataan lahiriah semata, melainkan juga masuk menembus esensi atau bagian dalamnya. Bagi mereka bahan pangan bukan hanya menjadi barang pemenuhan kebutuhan fisiologis, tetapi juga mempunyai arti dan tempat sangat khusus. Kekhususan ini tampak dalam pengkaitan makanan dan bahan pangan dengan berbagai aspek simbolis dan ritual maupun terapeutis dalam rangka pencegahan serta pengobatan terhadap berbagai macam penyakit dalam kehidupan masyarakat Jawa. Padi adalah tanaman dan bahan pangan terpenting yang dapat memberi ilustrasi paling jelas dan nyata mengenai kompleksitas konsepsi kultural masyarakat Jawa tersebut. Dalam cerita tradisional Jawa, padi diyakini terkait dengan Dewi Sri, istri Dewa Whisnu dan Retna Dumilah atau Tisnawati, anak Batara Guru. Salah satu versi cerita mengisahkan bahwa Dewi Sri pada akhinya berubah wujud menjadi padi untuk menghindari Kala Gumarang yang selalu mengejarnya karena ingin memaksakan cinta dan memperistrinya. Padi pengejawantahan Dewi Sri adalah jenis padi yang tumbuh pada lingkungan ekologis lahan basah atau sawah. Sementara itu, padi titisan Dewi Tisnawati menghendaki area tumbuh pada lingkungan ekologis lahan kering atau tegalan. Dalam kedua jenis tanaman padi ini, secara tradisional dipercayai masyarakat Jawa bahwa jiwa Dewi Sri atau Dewi Tisnawati bersemayam sehingga sudah sepantasnya dihormati (Sollewijn Gelpke, 1986:8-9). Kepercayaan akan padi
30
mempunyai roh juga dijumpai di kalangan penduduk asli yang mendiami wilayah Karesidenan Besuki pada masa lampau khususnya Blambangan atau Banyuwangi sekarang (De Stoppelaar, 1925:417). Ada versi lain mengenai asal-usul mitologis padi. Versi ini juga mengaitkan padi dengan Dewi Sri, meskipun dengan kisah yang agak berbeda, sebagaimana dijumpai di kalangan orang Jawa di Yogyakarta. Dalam versi ini cerita asal-usul padi diawali dengan keinginan Batara Guru untuk menurunkan benih kehidupan (wiji widayat). Semua dewa harus hadir untuk menerimanya. Karena ada satu dewa yang tidak hadir, benih kehidupan tersebut meluncur ke bumi dan tertelan Dewa Anamtaboga. Atas perintah Batara Guru, Dewa Anamtaboga memuntahkan biji tersebut, namun yang keluar dua orang bayi. Mereka diberi nama Sri dan Sadana. Setelah beranjak dewasa, Sadana ingin memperistri Sri. Batara Guru melarang. Karena memaksakan kehendak, Sadana mati terkena kutukan Batara Guru. Sepeninggal Sadana, Dewi Sri menjadi sedih dan untuk melupakan kesedihannya, dia meminta gamelan kayu kepada Batara Guru. Karena gamelan tersebut tidak pernah ada, namun Sri terus merengek maka murkalah Batara Guru. Dewi Sri pun mati terkena kutukannya. Oleh Narada mayat Dewi Sri diserahkan kepada petani, yang bertapa menantikan turunnya benih kehidupan. Atas perintah Narada, petani tersebut memakamkannya dan meyirami makam tiap pagi dan sore. Dari makam ini tumbuh padi yang kemudian menjadi tanaman pangan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia (Sumarsih, 1977:104-105). Bukan hanya menyangkut asal-usulnya, cara menanak nasi dalam cerita rakyat yang berkembang di kalangan orang Jawa tradisional dipercayau sebagai resep yang diwariskan oleh Dewi Nawangwulan, seorang bidadari yang kawin dengan Jaka Tarub (Kantor Perkebunan, 1953:9). Terkait dengan adanya kepercayaan mistis tersebut, bukanlah suatu kebetulan belaka apabila banyak aspek terkait dengan padi semenjak dari penanaman hingga konsumsi dalam masyarakat Jawa tradisional selalu disertai dengan serangkaian kegiatan ritual (selamatan). Kegiatan ritual meliputi berbagai tahap dalam budidaya padi sejak awal penanaman hingga panen, bahkan penyimpanannya. Kegiatan ritual pertama dilakukan saat akan dilakukan penebaran benih (ngurit), yang harinya pun
31
tidak sembarangan ditentukan, melainkan didasarkan pada pertimbangan hari baik. Dalam selamatan ini ada perlengkapan sesajian berupa: nasi, panggang ayam, lauk pauk dan jajan pasar. Sebelum dibagikan, sesajian tersebut diletakkan di sawah yang akan disebari benih dengan harapan roh-roh penunggu tidak mengganggu pekerjaan yang dilakukan, para pekerja selamat, dan tanaman padi dapat tumbuh subur serta terhindar dari serangan hama (Sumarsih, 1977:108). Secara khusus mengenai upacara panen padi atau yang secara lokal oleh penduduk setempat biasa disebut “sunting”, sebuah kajian kontemporer masih memperlihatkan keberadaannya di kalangan masyarakat Jawa yang bermukim di wilayah Jember, serta pengaruh praktek ini terhadap sebagian masyarakat Madura yang tinggal berdekatan (Hafid, 2001: 6-7). Karena adanya kepercayaan yang bersifat mistis-magis, gangguan-gangguan terhadap tanaman padi baik berupa hama maupun penyakit dalam kepercayaan tradisional Jawa tidak jarang dihubungkan dengan kekuatan-kekuatan supernatural. Dalam sebuah versi cerita rakyat yang hidup di kalangan etnik Jawa, berbagai hama padi diyakini sebagai perwujudan kekuatan jahat, Kala Gumarang” yang kecewa telah ditolak cintanya oleh Dewi Sri, sehingga ingin membalas dendam dengan merusak padi penjelmaan Dewi Sri. Setelah dibunuh Wishnu, dari mayat Kala Gumarang yang membusuk timbullah walangsangit, dan berbagai serangga perusak, sedang dari darah yang keluar dari luka-lukanya timbul hama londoh dan gas-gas beracun (Sollewijn Gelpke, 1986:9). Hama tikus yang sering merusak padi juga dipercayai sebagai salah satu dari empat puluh anak Putut Jantaka, penjelmaan roh Kala Gumarang, sedangkan burung emprit yang juga merupakan musuh yang padi di sawah dipercayai sebagai penjelmaan Raden Prit Anjala (Sollewijn Gelpke, 1986:9). Di kalangan orang Blambangan, bahkan roh-roh tikus yang dibunuh dipercayai dapat membunuh roh padi yang mereka makan (De Stoppelaar, 1925: 417). Di kalangan sebagian orang Jawa, ada kepercayaan bahwa tikus merupakan penjelmaan setan, yang akan marah bila dibunuh. Ketakutan akan tikus membuat orang-orang Jawa tidak berani menyebutkan secara langsung nama tikus, tetapi dengan menjulukinya sebagai “Den Bagus” (Anggora, 1939:69; Subroto, 1941:85). Dalam Serat Cebolek hama padi
32
yang dikenal dengan sebutan mentek dan banyak mendatangkan kerugian dipercayai penduduk dikendalikan oleh makhluk-makhluk halus (Kuntowijoyo, 2006:95). Menurut kepercayaan tradisional Jawa, gangguan hama dan penyakit dapat diatasi dengan pementasan pertunjukan wayang kulit yang disebut ruwatan. Dalam pertunjukan ini, lakon yang diangkat adalah kematian Batara Kala dan pementasannya harus dilakukan pada siang hari.
Berbeda dengan pertunjukan
wayang kulit biasa, perlengkapan untuk ruwatan disediakan oleh dalang sendiri, diantaranya berupa: dua jenjang kelapa gading, dua tandan pisang raja, dan dua ikat padi. Ada juga sejumlah perlengkapan lain termasuk binatang peliharaan, beragam kain, alat pertanian, dan tumpeng yang juga dipersiapkan di tempat pertunjukan. Dengan pementasan pertunjukan wayang mengangkat lakon kematian Betara Kala, dipercaya segala macam hama yang mengganggu tanaman di sawah akan segera menghilang sehingga tanaman akan dapat memberikan hasil panen yang baik bagi petani (Sumarsih, 1977:1009-110). Penggunaan sesajian dan mantera juga dipercaya kalangan petani Jawa dapat mengatasi sejumlah hama. Untuk mengatasi serangan tikus, misalnya, berbagai kue dari ketan (jadah) dan bubur bekatul berlilit benang dilemparkan ke parit disertai dengan pengucapan mantera: “Saya diutus Kyai Gede melemparkan makanan ke parit untuk menumpas kalian apabila kalian merusak tanaman Dewi Sri” (Sollewijn Gelpke, 1986:52). Namun tidak semua bahan pangan dikaitkan dengan asal-usul dan aura mistismagis. Sejauh ini tidak ditemukan hal-hal demikian dalam kasus jagung dan ketela. Kedua komoditas ini bukanlah bahan makanan pokok buat mayoritas orang Jawa dan ditanam lebih karena alasan tidak tercukupinya kebutuhan pengairan (Raffles, 2008: 80). Dan memang seiring dengan perkembangan jaman, kepercayaan mistis-magis yang melingkupi padi pun semakin memudar, meski belum hilang sama sekali dari kalangan masyarakat Jawa. Pada masa kini tidak banyak orang Jawa yang masih mempercayai mitos yang mengaitkan padi sebagai pengejawantahan Dewi Sri. Pemudaran kepercayaan mistis-magis ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor: penggunaan teknologi baru dalam kaitannya dengan bibit padi unggul untuk menggantikan varietas lokal, penggantian alat panen padi dari ani-ani ke sabit,
33
penggunaan mesin pengupas padi (huller) sebagai ganti lesung, dan lebih penting lagi, proses Islamisasi yang semakin kuat mempengaruhi masyarakat Jawa memandang kepercayaan semacam ini sebagai musrik dan sirik yang harus ditinggalkan (Wibowo dan Suhatno, et al., 1995/1996:109). Cara pembasmian hama tanaman dengan pendekatan ritualistik lambat laun juga berkurang, digantikan dengan cara-cara yang lebih rasional. Hal ini tidak terlepas dari inisiatif pemerintah kolonial khususnya di lingkungan Jawatan Pertanian (Sollewijn Gelpke, 1986:54). Ada dua cara yang diperkenalkan yakni cara kimiawi dan mekanis. Pendekatan kimiawi diterapkan dengan penggunaan racun untuk membunuh hama. Pada awal 1900-an para pengusaha perkebunan dilaporkan telah mencoba penggunaan fosfordeeg untuk memberantas babi hutan (Onderzoek, 5/14, 1907:43). Pada 1930-an pihak perkebunan juga melakukan kampanye pemberantasan tikus dengan racun (Nawiyanto, 2007:121). Efeknya, lambat laun kaum tani mulai akrab dengan penggunaan racun. Penggunaan racun dilaporkan ikut menyumbang terbunuhnya tidak kurang dari 1000 babi hutan di Banyuwangi pada 1952 (Terompet Masjarakat, 22 December 1952). Cara mekanis diwujudkan dalam bentuk gropyokan. Istilah ini mengacu pada upaya memberantas tikus yang diselenggarakan secara bersama-sama dengan menghancurkan sarang-sarangnya dan membunuhi tikus yang dijumpai. Kegiatan penggropyokan tikus di wilayah Besuki sering muncul dalam laporan suratkabar dan majalah pertanian pada 1950-an dan 1960-an (Nawiyanto, 2007:121-122). Kegiatan semacam ini tidak jarang masih dijumpai hingga sekarang. Selain berfungsi dalam pemenuhan kebutuhan hidup secara fisiologis, dalam konsepsi masyarakat Jawa bahan pangan dan makanan tertentu mempunyai makna khusus dalam kegaiatan ritual. Bahan pangan, misalnya, seringkali menjadi bagian kelengkapan dalam kegiatan-kegiatan ritual dan dipercaya mempunyai fungsi magis. Sebagai kelengkapan upacara dan sesaji, beras setelah digabung dengan bahan lain misalnya kunyit akan dihasilnya nasi kuning dipercaya dapat menjadi penangkal ancaman dan bahaya yang bersifat gaib (Wibowo dan Suhatno, et al., 1995/1996). Sebagaimana dikatakan antrolopolog Amerika, Clifford Geertz, dalam karya tersohornya yang berjudul The Religion of Java, bau penganan dalam kepercayaan
34
tradisional Jawa dianggap sebagai makanan untuk mahkluk-makhluk halus agar mereka tidak mengganggu manusia (Geertz, 1989:18). Nasi tumpeng setelah dilengkapi dengan seperangkat sesajian yang lain sebagai kelengkapan selamatan menjadi ungkapan rasa syukur dan kesuburan (Susanto, 1991:54). Mengejawantahkan secara ragawi filsafat Linggaisme, tumpeng nasi yang selalu ada dalam selamatan Jawa mempunyai makna sebagai pengingat para hidirin akan asal-usul dan akhir kehidupan manusia (Herlingga, 1987:66). Sementara itu, nasi golong, yakni yang dibentuk bulat-bulat sebesar kepalan tangan orang dewasa, dalam berbagai acara selamatan bermakna sebagai perwujudan berkumpul dan bersatunya cipta, rasa dan karsa untuk menghadapi kehidupan dalam dunia metafisis dan keabadian (Herlingga, 1987:77). Dalam selamatan awal bulan Sura, nasi golong dan nasi romo menjadi ungkapan penghormatan terhadap makhluk halus yang tinggal di tempat-tempat keramat dan sekitar tempat tinggal (Herlingga, 1987:79). Di luar kegiatan ritual yang bersifat rutin, nasi wuduk / gurih, nasi ambengan, nasi golong, tumpeng putih adat, misalnya untuk menangkal berjangkit wabah penyakit di Yogyakarta (Soewandono, 1960:33-34) . Upacara Terkait dengan fungsi magis bahan pangan, dalam cerita pewayangan dikisahkan mengenai bayi Bima yang lahir terbungkus ari-ari. Senjata sakti apapun tidak mempan membukanya untuk mengeluarkan sang bayi. Bayi Bima baru dapat dikeluarkan setelah ari-ari yang membungkusnya diiris dengan gabah ketan hitam. Bahan pangan tertentu juga dipercayai mempunyai khasiat medis sebagai salah satu elemen penting dalam sistem pengobatan tradisional. Beras dicampur dengan kencur dan beberapa bahan lain seperti kedawung, jahe, madu, telur ayam kampung dan jeruk nipis setelah diproses dengan cara tertentu dipercayai masyarakat Jawa tradisional sebagai minuman yang berkhasiat dalam pengobatan pegel linu (Umiati dan Susanto, et al, 1990/1991:106-107). Demikian pula, setelah diproses bersama dengan minyak kesambi,
beras merah dipercaya masyarakat Jawa
merupakan elemen yang berkhasiat dalam pengobatan beri-beri sebagai bahan boreh tubuh (Umiati dan Susanto, et al, 1990/1991:42-43). Sementara itu, jagung muda
35
dipercayai mempunyai khasiat medis dalam rangka pengobatan radang ginjal (Umiati dan Susanto, et al, 1990/1991:113). Tidak kalah pentingnya, bahan pangan tidak jarang dihubungkan pula dengan fungsi simbolis. Dalam acara perkawinan Jawa, misalnya, seuntai padi dipakai sebagai salah satu penghias pada sebelah kiri dan kanan pintu masuk, bersama dengan berbagai kelengkapan lain. Seuntai padi ini meyimbolkan pangan, dengan maksud bahwa orang yang berkeluarga berkewajiban mengusahakan ketercukupan pangan (Adisasmita, 1973:357-358). Pada bagian lain dalam prosesi perkawinan Jawa tersebut, terdapat adegan yang memeragakan mempelai laki-lagi menuangkan beras ke kain selendang yang dipegang pangantin perempuan. Prosesi ini menyimbolkan kewajiban laki-laki memberikan rejeki pada istrinya (Adisasmita, 1973:364-365). Padi sering dipakai pula untuk menggambarkan masa makmur, yang dikontraskan dengan ketela atau gaplek yang identik dengan masa-masa susah (paceklik). Pada masa lalu gaplek merupakan simbol kekurangan gizi dan kemiskinan (Susanto dan Suparlan, 1989:391). Dalam bukunya tentang cerita rakyat dari Jember, Santosa dan Wibisono secara jelas mengilustrasikan posisi ketela dengan menunjukkan bagaimana ketela digambarkan sebagai satu-satunya bahan makanan terakhir yang ada untuk dikonsumsi ketika kaum petani setempat mengalami kemarau panjang dan kekurangan air irigasi untuk kegiatan pertanian (Santosa dan Wibisono, 2004:46). Sebaliknya, masa kemakmuran wilayah Besuki pada masa lampau sering dikaitkan dengan berlimpahnya bahan pangan dan kemampuan wilayah Besuki mengekspor beras dalam jumlah besar ke berbagai wilayah lain di Indonesia (Winarsih, 1995:278; Nawiyanto, 2003:94). Selain fungsi magis, medis, dan simbolis, bahan pangan juga sering dipergunakan dalam tradisi sumbang-menyumbang masyarakat Jawa. Hal ini terlihat jelas khususnya dalam kasus beras. Penggunaan sumbangan beras dijumpai dalam berbagai kegiatan ritual menyangkut siklus kehidupan sejak kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Menyangkut banyaknya sumbangan beras, tidak ada keseragaman antara individu yang satu dengan lainnya, melainkan berbeda-beda sesuai dengan status sosial masing-masing dalam masyarakat. Sumbangan beras oleh
36
perangkat desa dan orang kaya desa berbeda dengan sumbangan yang diberikan warga kebanyakan. Perbedaan besarnya sumbangan beras yang dijumpai juga tergantung pada ada tidaknya hubungan sanak-keluarga antara penyumbang dan pihak yang disumbang. Tradisi sumbang-menyumbang dalam masyarakat Jawa tradisional merupakan bagian dari kelembagaan dan jaringan sosial desa yang mengandung asas timbal-balik dan dikembangkan untuk meringankan beban satu sama lain yang muncul sehubungan dengan kegiatan hajatan (duwe gawe) yang tentu saja memerlukan biaya ekstra besar (Wibowo dan Suhatno, 1995/1996:94-95). Bahan pangan pun ikut membentuk berbagai ekspresi kultural Jawa dalam bidang kebahasaan. Hal ini dapat diketahui misalnya dari karya Mardiwarsito (1980) berjudul Peribahasa dan Saloka Bahasa Jawa. Ada sejumlah ungkapan yang menggunakan unsur nasi (sega/sekul), misalnya “sekul pamit”, “sekul urug”, dan “sekul tan urup”. “Sekul pamit” [nasi berpamit], berarti terlambat mengerjakan sesuatu dan tidak mendapat upahnya. “Sekul urug” [nasi untuk mengurug], artinya segala sesuatu yang tidak ada manfaatnya, sedangkan “sekul tan urip”, berarti orang yang memberikan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, misalnya memberi sesuatu pada orang orang kaya (Mardiwarsito, 1980: 143). Dalam konteks merantau untuk mencari rezeki, masyarakat Jawa mengenal ungkapan “lungo golek upo” [ pergi mencari sesuap nasi]. Ada juga ungkapan lain, “ana dina ana upa” [ada hari ada rezeki], artinya orang tidak perlu kuatir tentang rezeki. Ungkapan ini mengajarkan tentang pentingnya sikap optimis menghadapi hari-hari mendatang (Soepanto dan Wibowo, et al., 1985-1986:49). Selain itu, dikenal pula ungkapan, “mambu-mambu yen sega [biar sudah berbau basi asal nasi], yang menasehatkan untuk memperlakukan secara baik keluarga, masyarakat, atau bangsa sendiri betapapun buruknya sifat-sifat yang dimiliki (Soepanto dan Wibowo, et al., 1985-1986: 117). Terkait dengan beras, disebutkan misalnya ungkapan “beras wutah arang mulih marang takeré” [beras tumpah tidak pernah kembali ke wadahnya], yang berarti segala sesuatu yang sudah pindah, apabila dikembalikan jarang dapat pulih seperti sedia kala (Mardiwarsito, 1980: 33). Ada pula ungkapan, “dudu berasé ditempurake” [bukan berasnya dijual], yang artinya ikut memberi saran namun
37
menyimpang dari masalah yang tengah dibicarakan (Mardiwarsito, 1980: 46). Untuk menggambarkan
kebingungan
dan
kekacaubaluan
massa
dalam
upaya
menyelamatkan diri, misalnya, orang Jawa sering menyatakannya dengan ungkapan “koyo beras diinteri” [bagai beras diayak]. Dalam hubungan dengan padi yang belum diselep atau biasa disebut gabah, terdapat ungkapan “gabah sinawur” [gabah ditabur], artinya orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu, hanya berkeliling, seperti gabah ditaburkan, tertiup angin, jatuh di sembarang tempat (Mardiwarsito, 1980: 51). Disebutkan pula ungkapan “sugih pari angawakawakake”, yang berarti orang berkemampuan tinggi dalam bahasa yang suka menjelek-jelekan orang lain dengan mempersamakannya dengan barang, binatang atau hal-hal lain yang serba buruk (Mardiwarsito, 1980: 150).
Terkait dengan
tanaman padi sebagai tanaman, disebutkan ungkapan “idhep-idhep nandur pari ijo” (seperti menanam padi hijau), yang berarti berbuat kebaikan kepada orang yang tidak dapat atau lama sekali dapat membalas (Mardiwarsito, 1980: 60). Meskipun tidak sebanyak ungkapan yang berhubungan dengan padi dalam beragam bentuknya, bahan pangan lain juga masuk dalam sejumlah ekspresi kultural Jawa. Untuk melukiskan betapa singkatnya penjajahan Jepang di Indonesia dibanding kolonialisme Belanda, orang Jawa suka menganalogikannya dengan ungkapan “hanya seumur jagung” (mung sak umur jagung). Masih terkait dengan jagung, orang yang mandi keringat setelah bekerja keras membanting tulang sering digambarkan sebagai “keringatnya sebesar butiran jagung” (kringete sak jagung-jagung). Sementara itu, orang yang tidak konsisten dan sangat mudah berubah pendirian sehingga keinginan dan kata-katanya sulit dipegang pihak lain biasa dipotret masyarakat Jawa dengan ungkapan, “pagi kedele sore tempe” (esuk dele sore tempe). Berdasar uraian di atas, kiranya cukup jelas betapa kompleks konsepsi etnik Jawa mengenai pangan dan besarnya pengaruh pangan dalam ekspresi kultural kalangan masyarakat etnik Jawa. Pada bagian berikut akan dipaparkan issu serupa dalam konteks masyarakat berlatar belakang etnik Madura.
38
2.3 Konsepsi Kultural Etnis Madura Di kalangan etnik Madura Jawa, dikenal beragam bahan makanan. Ada tiga bahan pangan yang paling sering disebut dalam laporan kolonial, yakni jagung, padi, dan ketela. Dalam memori serah jabatan yang ditulis pada 1928, Residen Madura J.G. van Heyst menyebut produksi padi dan jagung (Kartodirdjo ed.,
1978: clxv-clxvi).
Residen sebelumnya, F.B. Batten juga telah menyebutkan pula produksi bahan pangan berupa ketela, ubi jalar, dan kacang-kacangan, selain tentu saja kedua bahan pangan, padi dan jagung. Dikatakan pula bahwa ketela menjadi semakin penting posisinya sejak 1918/1919 (Kartodirdjo ed., 1978: cxli). Demikian pula, Residen Madura Timur, W.H. Ockers dalam memori jabatannya pada 1930 menyatakan bahan pangan di kalangan masyarakat etnik Madura meliputi beras, jagung, ketela, ubi jalar, dan kacang. Residen Ockers juga menyebutkan impor bahan pangan berupa beras, jagung dan gaplek (ketela) setiap tahun karena tidak mencukupinya produksi bahan pangan di Madura (Kartodirdjo ed., 1978:clxxvi). Mengenai komunitas etnik Madura yang bermukim di Karesidenan Bondowoso yang meliputi Kabupaten Bondowoso dan Panarukan, Residen A.H. Neys pada 1929 menyebut produksi bahan pangan jagung, padi, dan ketela di kalangan mereka (Kartodirdjo ed., 1978:cxxvi-cxxvii). Sumber lain menyebut peran bahan pangan lain, gadung (Dioscorea hispida) di kalangan orang Madura. Dalam penelitiannya, Djojopranoto (1958:196) menyatakan bahwa sejak permulaan abad ke-20 setiap musim kemarau banyak penduduk Madura datang ke wilayah Asembagus untuk mencari ubi gadung dan fenomena ini masih dijumpai pada tahun 1950-an. Di antara berbagai bahan pangan yang ada, jagung (pernah) mempunyai tempat paling khusus di kalangan orang Madura. Jagung (maize atau corn) sering dipandang sebagai bagian integral dari identitas tradisional etnis Madura. Jagung merupakan tanaman tradisional masyarakat Madura dan sulit membayangkan kehidupan subsistensi masyarakat Madura tanpa jagung. Residen Madura Van Heyst pada 1928 menyatakan bagi masyarakat etnik Madura jagung mempunyai arti lebih penting dibanding padi, meskipun pengenalan jenis padi yang cocok dengan tanah tadah hujan khususnya varietas skrimivankotti memberikan peningkatan hasil
39
(Kartodirdjo ed., 1978:clxv-clxvi). Signifikansi jagung tampak jelas dari stereotipe yang berkembang dan sering dilekatkan pada orang Madura sebagai “pemakan jagung” (maize eaters) (De Jonge, 1995:17). Peran sentral jagung bagi etnis Madura secara jelas diilustrasikan dalam berbagai cerita rakyat dari Madura maupun kisah-kisah mengenai kadatangan orang Madura ke wilayah Karesidenan Besuki. Dalam karya Kumpulan Cerita rakyat dari Madura, misalnya, jagung ikut menjadi bagian yang disebut-sebut di dalamnya (Zawawi Imron, 1993:27-30). Sebaliknya, tanaman padi, gabah maupun beras sama sekali tidak disebut dalam kumpulan cerita tersebut. Dalam cerita tradisional Madura lainnya yang berjudul Lesap, padi, gabah atau beras juga tidak disebut sama sekali, sedangkan jagung muncul dua kali. Ketika menghadap Pangeran Tjakraningrat dan memberikan penjelasan atas berbagai pertanyaan raja, Patih Ardja Mantjanegara antara lain menjawab, “rakjat makmur, keadaan pedusunan aman, pohon jagung sudah mulai berbunga...” (Hatib, 1960:62). Pada bagian lain dikisahkan, ketika menghadap di istana dan ditanyai raja soal pekerjaannya, Lesap menjawab, “Hamba tidak mempunyai pekerjaan, ketjuali bertanam jagung, ubi...dll tanaman yang dapat hamba tanam di tanah pegunungan” (Hatib, 1960:64). Seperti halnya di Madura, dalam cerita rakyat di kalangan etnik Madura di wilayah Besuki, jagung ikut menjadi bagian di dalamnya. Jagung pun beberapa kali disebut dalam Babad Besuki yang menggambarkan kedatangan kaum migran perintis dari Pulau Madura ke wilayah Besuki (Wondosoebroto, 1938). Berbeda dengan kisah kaum migran dari Jawa Tengah yang dikisahkan membuka lahan hutan dan menanaminya dengan bibit padi, benih jagung dan penanamannya pada lahan bukaan baru menjadi bagian dari kisah masuknya kaum migran Madura ke Jember (Hafid, 2001:15-18). Dengan kata lain, kepindahan secara geografis tidak serta merta membuat orang Madura meninggalkan pula tanaman pangan pokok yang telah akrab dalam kehidupan subsistensi mereka. Namun, berbeda dengan orang Jawa, etnik Madura jarang mengaitkan bahan pangan dan tanaman pangan dengan konsepsi kultural yang bersifat mistis-magis. Sejauh ini belum dijumpai cerita rakyat dari kalangan etnik Madura yang
40
mengasosiasikan bahan pangan baik padi, jagung, dan ketela dengan asal-usul yang bersifat mitologis. Satu dari sedikit cerita yang ditemukan di Jember mengisahkan, jagung diberikan sebagai bahan pangan sebagai akibat hukuman Allah terhadap manusia. Akibat banyak dosa-dosa yang diperbuat, tanaman padi yang mereka budidayakan tidak lagi dapat memberi panen untuk dimakan. Hanya tanaman jagung yang dapat tumbuh dan memberi hasil panen yang baik untuk menjadi bahan pangan bagi kelangsungan hidup mereka. Meskipun kering akan dimensi mitologis, dalam masyarakat Madura bahan pangan mempunyai beberapa makna dan fungsi. Selain dipergunakan untuk konsumsi sendiri, bagi masyarakat Madura jagung menjadi sarana untuk mempererat hubungan kekerabatan dan hubungan sosial yang lebih luas. Jagung adalah simbol tali silaturahmi di antara warga masyarakat Madura. Hingga sekitar 1980 tradisi sumbang-menyumbang dalam masyarakat Madura di wilayah Besuki melibatkan penggunaan jagung, seperti halnya beras di kalangan orang Jawa. Dalam acara lamaran untuk menikahkan seseorang, jagung juga diikutsertakan sebagai bahan atau barang bawaan yang harus ada pada waktu melamar. Apabila ada orang meninggal maka para pelayat, khususnya ibu-ibu, selalu membawa jagung untuk diserahkan kepada keluarga duka. Memang sejak 1990-an semakin jarang orang melayat yang membawa jagung, tetapi membawa beras (Sasmita, Subaharianto, dan Nawiyanto,. 2004:21). Kecenderungan serupa terjadi pula di Pulau Madura. Mengenai fenomena sumbang-menyumbang dalam bentuk bahan pangan dan pergeserannya, Kuntowijoyo (1991:22) menulis, “petani Madura mulai dari kelas terbawah, kalau menyumbang tetangganya biasanya berupa beras, tidak pernah jagung lagi, karena ini menyangkut status sosial...”. Namun, secara esensial fungsi sosial yang dilekatkan terhadap bahan pangan tetap dipertahankan. Bahan pangan bagi masyarakat Madura juga mempunyai kedudukan penting sebagai sarana dalam kegiatan ritual. Meskipun sangat kuat identitas keislamannya, kalangan etnik Madura masih melakukan sejumlah ritual selamatan dan di dalamnya dipakai bahan pangan sebagai kelengkapan sesajian. Dalam pembuatan perahu, misalnya, pekerjaan diawali dengan ritual selamatan yang dipimpin seorang kyai
41
dengan sesajian termasuk empat buah nasi tumpeng, bubur berwarna tujuh (putih, hitam, merah, kuning, hijau, kelabu, dan biru (Hatib, 1960:27). Penggunaan sesajian juga dijumpai dalam upacara selamatan pendirian rumah. Setelah menentukan lokasi tanah untuk didirikan rumah di atasnya, terlebih dahulu diadakan selamatan yang disebut tajin senaporan atau bubur penolak bala. Maksudnya adalah untuk mengatasi pengaruh roh-roh jahat yang mendiami tanah tersebut agar tidak mengganggu proses pendirian rumah maupun saat rumah ditinggali. Dalam proses selanjutnya, diletakkan padi, jagung, dan tanaman pisang berbuah, serta bendera kuning atau merah putih (Moelyono dan Murniatmo, 1984/1985:123). Dalam acara lain, nasi tumpeng juga dijumpai sebagai kelengkapan selamatan sesudah pemakaman (rasolan) yang diselenggarakan dari tiga, tujuh, empat puluh, seratus hingga seribu hari (Moelyono dan Murniatmo, 1984/1985:121-123). Fenomena tersebut menampakkan kemiripan dengan etnik Jawa. Akan tetapi dalam kaitan dengan ekspresi kultural, pengaruh pangan terhadap etnik Madura bisa dikatakan sangat kering. Dari kumpulan ungkapan tradisional etnik Madura yang dihimpun Moelyono dan Moerniatmo (1984/1985: 124-126), tidak satu pun mengandung bahan pangan atau makanan sebagai bagian dari unsur penyusunnya. Hal ini sangat kontras dengan dengan etnik Jawa yang kaya akan ungkapan tradisional yang mengadopsi bahan pangan atau makanan sebagai unsur pembentuk, khususnya berbagai varian padi. Ungkapan tradisonal Madura lebih banyak mencerminkan aspek religiusitas, adat, serta beberapa aspek kehidupan sehari-hari, namun tanpa memasukkan elemen bahan pangan di dalamnya. Ungkapan tradisional tersebut antara lain abantal sadat, sapo’iman, payung Allah, dan abantal omba’asapo angen). Di antara sedikit pengaruh bahan pangan dan makanan terhadap ekspresi kultural, salah satunya tampak dalam nama permainan anak-anak Madura yang disebut Bi-obiyan, yang berasal dari kata obi, yang berarti ubi. Permainan ini biasanya diadakan di luar rumah pada saat terang bulan khususnya pada musim kemarau (Soekawati, 1960:99).
42
2.4 Adopsi Tanaman dan Makanan Pokok 2.4.1 Padi di Kalangan Etnik Jawa Beras atau padi sering dianggap sebagai bagian esensial dalam budaya Jawa. Tidak mengherankan sejajar dengan anggapan ini, sawah yang menjadi tempat pembudidayaan terpenting bahan pangan ini dipandang sebagai identitas atau penciri utama Jawa, yang membedakan dengan wilayah Indonesia lainnya (Geertz, 1963:5370). Karena kuatnya identitas sawah, ilmuwan Belanda terkemuka, W.F. Wertheim (1956:17-18) memandang Jawa identik dengan kenampakan sawah (wet agriculture landscape) dan menyebut Sumatra yang secara teritorial lebih besar sebagai “Jawa kedua (a second Java)” karena luasnya areal persawahan yang dimiliki pulau ini. Seperti Jawa pada umunya, di wilayah Besuki masa lampau sawah juga mempunyai posisi penting, sebagaimana diindikasikan oleh fakta bahwa penciptaan sawah selalu menjadi bagian integral dalam setiap pendirian nagari (kerajaan) yang berlangsung silih berganti dari satu tempat ke tempat lain (Sudjana, 2001:39). Meskipun pada akhirnya menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Jawa, padi bukanlah tanaman pangan asli Jawa. Diduga kuat padi dibawa masuk ke Jawa dan kepulauan Asia Tenggara lainnya oleh bangsa Austronesia (Bellwood, 1997:110), dan varietas padi Oryza sativa var javanica tampaknya diturunkan dari varietas Japonica yang pertama kali dibudidayakan di China Tengah. Diperkirakan bahwa padi padi mulai dibudidayakan di Pulau Jawa sejak sekitar 4000 tahun yang lalu (Christie, 2007:235-236). Berdasarkan sumber sejarah yang ada, pada abad ke-9 beras tidak hanya menjadi tanaman subsistensi yang utama di Jawa, tetapi juga telah muncul sebagai komoditas perdagangan dan basis sistem pajak pertanian yang diterapkan oleh negara. Sumber yang sama juga mengindikasikan bahwa baik lahan padi beririgasi maupun lahan padi kering telah menjadi karakteristik yang mapan lingkungan Jawa. Masyarakat Jawa juga telah mengembangkan istilah khusus untuk lahan padi beririgasi yang disebut sawah, dan lahan padi kering atau pegunungan yang diistilahkan dengan gaga. Meskipun istilah “pari” dipakai baik untuk tanaman padi sawah maupun lahan kering/pegunungan, masyarakat Jawa membedakan antara
43
wĕas/bras untuk jenis padi yang dibudidayakan di sawah dan jenis kĕtan atau lakĕtan yang mayoritas diproduksi di lahan kering atau pegunungan (Christie, 2007:236-237). Kaum tani Jawa telah mengetahui dengan baik bahwa ada beragam jenis padi dengan karakteristik lingkungan ekologis untuk tumbuh yang berlainan. Ada padi lahan kering dan ada padi lahan basah. Mereka juga paham bahwa masa tumbuh padi berbeda-beda sehingga dikelompokkanlah padi genjah dan padi dalem. Padi genjah adalah varietas yang cepat masa panennya, sedangkan padi dalem membutuhkan waktu untuk memanen hasil lebih lama. Di banyak tempat di Besuki padi genjah ditanam tatkala irigasi diperkirakan sulit karena terlambatnya awal musim hujan. Pada musim normal petani lebih suka menanam padi dalem karena memberikan hasil panenan yang lebih baik. Pada awal 1900s jenis-jenis padi Bali yang bisa dipanen setelah usia 5 hingga 6 bulan sangat populer di Banyuwangi. Jenis padi dalem sebagaimana dijumpai di Jember antara lain: dermayu, jarbatu, kropak, dan gropak, sedangkan jenis padi genjah meliputi pelangmas (95 hari) dan partulongan (78 hari) (Nawiyanto, 2007:87). Popularitas padi sebagai tanaman dan bahan pangan di lingkungan etnis Jawa memang sudah berproses dalam jangka waktu lama. Sejak abad kesebelas Masehi perluasan budidaya padi pada lahan sawah di Jawa mengalami percepatan. Pertanian diyakini merupakan fondasi bagi kebesaran kerajaan-kerajaan yang muncul silih berganti di Pulau Jawa dari Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram Islam. Seperti dikemukakan Furnivall (1967:2-3), pertanian adalah salah satu pilar utama kekuatan Jawa. Dikatakan pula bahwa dengan kemampuan pertaniannya, Jawa menjadi lumbung beras tidak hanya bagi kebutuhan bahan pangan bagi penduduk setempat, melainkan juga penduduk di berbagai kepulauan Nusantara lainnya. Mengacu secara khusus pada periode Majapahit, Furnivall (1967: 9-10) juga menyatakan bahwa sebagai produk dan tanaman utama pertanian, beras berfungsi baik sebagai komoditas dagang maupun alat pertukaran. Sementara itu, mengenai Kerajaan Mataram Islam, Bernard Vlekke menyebut kerajaan ini sebagai “negara pertanian murni”. Dikatakan pula bahwa produk pertanian Mataram secara ekonomis mempunyai kedudukan yang sama penting dengan rempah-rempah, sehingga
44
perdagangan rempah-rempah Nusantara akan kacau apabila kerajaan Mataram menghentikan ekspor berasnya (Vlekke, 2008:145). Masyarakat Jawa tampaknya juga rasional dalam memberikan penilaian mengenai jenis padi. Merujuk pada hasil penelitian Marsden, Thomas Stamford Raffles dalam buku klasiknya yang berjudul The History of Java mengemukakan tingkat kesukaan penduduk yang lebih tinggi terhadap beras yang dihasilkan dari budidaya lahan kering atau gunung karena mereka menganggap rasanya dianggap lebih enak, warnanya lebih putih, lebih tahan lama, dan lebih mengembang setelah dimasak (Raffles, 2008:78). Namun, area padi lahan gunung yang terbatas membuat produksi padi gunung tidak mencukupi untuk memberi makan penduduk dalam jumlah besar. Akibatnya, banyak penduduk lebih menggantungkan pada produksi padi sawah untuk konsumsi mereka meskipun rasanya kurang enak, mutu dan nilai ekonominya lebih rendah (Raffles, 2008:78). Namun, harus diakui gambaran tersebut di atas bukan merupakan potret yang mutlak sifatnya. Dalam kenyataan terdapat variasi lokal karena alasan ekologis sehingga sebenarnya terdapat daerah-daerah non beras. A.M.P.A. Scheltema dalam laporan berjudul The Food Consumption of the Native Inhabitant of Java and Madoera (1936), menyatakan bahwa di Jawa terdapat 22 distrik yang penduduknya menyandarkan bahan makanan utama pada jagung dan di 21 distrik penduduknya bersandar pada jagung dan singkong. Sebanyak 224 distrik memperlihatkan kombinasi jagung dan beras sebagai bahan makanan utama (dikutib dalam Creutzberg dan Van Laanen, 1987:55). Secara garis besar dapat dipetakan bahwa di Jawa Tengah khususnya bagian selatan Jawa, singkong/gaplek banyak dikonsumsi, sedangkan di daerah pegunungan dan di selatan Karesidenan Semarang dan Pekalongan yang banyak dikonsumsi adalah jagung. Di sebagian daerah Jawa Timur khususnya di wilayah bagian selatan yang didominasi struktur tanah kapur, gaplek/singkong juga menjadi makanan pokok. Madura dan sebagian pojok timur Jawa merupakan wilayah dengan konsumsi bahan makanan utama berupa jagung (Creutzberg dan Van Laanen, 1987:56). Observasi yang dilakukan Tanisubroto (1953) di daerah Gunungkidul yang menemukan gaplek sebagai makanan pokok, memperkuat adanya variasi lokal bahan
45
makanan pokok di Jawa tersebut. Dalam bagian berikut secara lebih detil akan dikaji bagaimana jagung diadopsi dan menjadi tanaman serta bahan pangan utama di kalangan etnis Madura, serta pergeseran pada beras khususnya sejak masa Orde Baru.
2.4.2 Jagung di Kalangan Orang Madura Seperti halnya Islam dianggap sebagai identitas kultural orang Madura, jagung yang diadopsi secara luas bukanlah asli Madura. Jagung diyakini berasal dari Benua Amerika dan secara umum dikenal sebagai makanan pokok suku Indian (Van der Veer, 1948:111). Bahkan jagung dikatakan sebagai fondasi peradaban awal Amerika (Westphal dan Jansen, 1989:275). Dari Benua Amerika jagung menyebar ke berbagai tempat lain di dunia melalui proses yang disebut “pertukaran bahan pangan pasca Columbus” (post-Columbian foods exchange) seiring dengan kolonisasi orang-orang Barat ke berbagai wilayah dunia sehingga berbagai jenis tanaman keluar dari habitat aslinya. Di tempat-tempat yang baru, sejumlah tanaman bukan hanya diadopsi, bahkan kemudian mampu berkembang luas dan lambat laun menjadi tanaman tradisional dalam sektor pertanian setempat (Boomgaard, 1999:45). Dalam perjalanan waktu jagung kemudian menjadi tanaman pangan terpenting kedua di Indonesia sesudah padi, bahkan di beberapa tempat, termasuk Madura, jagung menjadi tanaman pangan yang menduduki tempat paling utama (Melhus dan Jackson, 1952:361-365). Sulit dipastikan kapan persisnya jagung masuk pertama kali masuk dan diadopsi orang Madura baik di Pulau Madura sendiri maupun di wilayah berpenduduk etnik Madura khususnya Besuki. Namun demikian sejumlah ahli menduga bahwa jagung menyebar di wilayah Nusantara seiring dengan kedatangan orang-orang Portugis dan Spanyol sejak sekitar awal abad ke-16 (Melhus dan Jackson, 1952: 361; Boomgaard, 1999:45). Berdasarkan perkiraan Boomgaard, jagung sudah berkembang luas di Jawa bagian timur, termasuk Madura, dan berbagai wilayah Indonesia Timur lainnya pada sekitar tahun 1550. Sumber tradisional mengindikasikan bahwa tanaman jagung termasuk elemen yang mendukung migrasi orang Madura ke wilayah Besuki. Dalam Babad Besuki, misalnya, disebutkan Ki Wirobroto yang dipercayai sebagai perintis pemukiman baru etnik Madura di Besuki
46
juga menanam jagung untuk menopang kehidupan subsitensi di tempat yang baru (Wondosoebroto, 1938:5). Fakta bahwa sejak pertengahan abad ke-17 daerah pojok timur Pulau Jawa yang dominan penduduk Madura menjadi daerah pengekspor jagung menunjukkan luasnya tanaman jagung di wilayah ini (Boomgaard, 1999:47). Mempertimbangkan adanya orientasi komersial yang kuat inilah, maka penguasa Inggris di Indonesia kolonial, Thomas Stamford Raffles pada dekade kedua abad ke-19 bermaksud menjadikan jagung sebagai ukuran untuk menetapkan pajak atas tanah-tanah tegalan (Boomgaard, 1999:49). Hal ini karena di wilayah Besuki, jagung ditanam bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan subsitensi, melainkan juga untuk dikirim untuk ekspor ke luar wilayah Besuki. Di Jawa termasuk Besuki sebagian besar tanaman jagung memang dibudidayakan di lahan tegalan dengan proporsi sekitar 70 persen (Van de Goor, 1952:4). Posisi penting jagung, namun demikian, tidak hanya terbatas untuk daerah dengan ekologi tegalan, tetapi juga di daerah dengan karakteristik persawahan. Jagung merupakan tanaman palawija penting (second crops) untuk lahan persawahan terutama pada musim kemarau, yakni ketika air irigasi mengalarmi keterbatasan dan tidak memungkinkan atau terlalu riskan melakukan budidaya tanaman padi (Van Hall, 1939: 42-43; Melhus dan Jackson, 1952:365). Di wilayah persawahan, jagung ditanam pada bulan Mei hingga Oktober dan dapat dibedakan antara jagung marengan (Mei-Agustus) dan jagung labuhan (September Oktober) (Van de Goor, 1952:4). Pada masa lalu berdasar lama waktu untuk pemanenan, terdapat 3 jenis jagung, yakni yang matang dalam jangka 7 bulan dengan buah besar dan padat, matang dalam waktu 3 bulan dengan kualitas lebih rendah, dan matang dalam waktu 4 hari dengan buah kecil dan sangat jarang (Raffles, 2008: 80). Hingga saat ini tanaman jagung yang dibudidayakan sebagian besar adalah jenis lokal yang bentuk dan ukurannya lebih kecil dilihat dari tongkol maupun buliran bijinya, serta berwarna lebih merah, meskipun di beberapa lokasi berpenduduk Madura preferensi menanam jagung varietas hibrida telah tampak (Nooteboom, 2003: 84) Jagung jenis lokal masih lebih disukai karena rasanya dianggap lebih nikmat menurut selera lidah orang Madura. Seperti dikemukakan responden di Jember, jagung lokal dirasa lebih manis,
47
lebih gurih, dan aroma harumnya lebih kuat (Nurhadi, Subaharianto, dan Nawiyanto, 2004:20). Penilaian demikian tidak jauh berbeda dengan temuan Smith di wilayah Madura mengenai kesulitan yang dihadapi para penyuluh pertanian untuk memperkenalkan jagung varietas baru karena jagung lokal mereka anggap “lebih beraroma” dibanding varietas baru. Karena alasan inilah jagung jenis lokal masih kuat dipertahankan meskipun hasilnya lebih rendah dibanding varietas baru, yang berarti pula mereka tetap terus hidup miskin (Smith, 1995:159-160). Jagung Madura tampaknya juga lebih disenangi karena alasan lain, yakni menghasilkan dedak jauh lebih sedikit (sekitar 2 persen) dibanding jagung-jagung lain dengan produk dedak mencapai hingga 25-31 persen (Heyne, 1987:140). Ada beberapa alasan pokok yang membuat jagung menjadi tanaman populer di kalangan etnik Madura termasuk di daerah Jember, Bondowoso, dan Panarukan. Pertama, jagung menawarkan produktivitas yang lebih tinggi per unit tanah dan tenaga kerja. Dibandingkan dengan tanaman lain terutama padi gogo, jagung memberikan rasio hasil yang lebih tinggi, jaminan keberhasilan panen yang lebih besar, dengan kebutuhan tenaga kerja relatif rendah (Boomgaard, 1999:63). Kedua, jagung mempunyai beberapa kelebihan. Kebutuhan lingkungan tumbuh tanaman ini lebih fleksibel, termasuk daerah yang kurang subur kalau ditanami padi. Untuk tumbuh jagung memerlukan irigasi dalam volume jauh lebih sedikit ketimbang padi. Dari segi teknik budidaya, penanaman jagung dapat dilakukan secara tumpangsari dengan tanaman lain, sehingga dapat mengurangi resiko dan kerugian akibat kegagalan panen (Boomgaard, 1999:64). Alasan serupa juga mendasari mengapa jagung secara populer diterima di wilayah Afrika (Tannahill, 1973:248). Secara ekologis, Besuki termasuk wilayah di Pulau Jawa yang mendapatkan curah hujan lebih sedikit dengan iklim lebih kering (Whitten, et al, 1996:122). Dalam lingkungan ekologis demikian, tanpa investasi besar dalam sektor irigasi kemungkinan pengembangan pertanian sawah relatif terbatas. Dataran rendah yang cocok untuk area persawahan di wilayah Besuki sudah banyak dibuka-pada paruh pertama abad ke-19. Ekspansi lahan pertanian meningkat sejak paruh kedua abad ke19, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cepat dan perkembangan perkebunan
48
komersial terpaksa diarahkan sebagian besar ke area tegalan. Hal ini tampak jelas dari fakta bahwa proporsi perluasan lahan pertanian hingga dekade kedua awal abad ke-20 lebih banyak berupa area tegalan ketimbang area sawah. Pada periode 1870-1920 sekalipun secara absolut mengalami peningkatan, proporsi lahan sawah justru menurun drastis dari 64 persen menjadi sekitar 37 persen. Sebaliknya, dalam rentang waktu yang sama proporsi lahan tegalan mengalami peningkatan secara tajam dari 36 persen menjadi 63 persen (Nawiyanto, 2003:82). Oleh karena ekspansi lahan pertanian sebagian besar berupa tegalan dan investasi jaringan irigasi memerlukan biaya yang besar, maka salah satu pola adaptasi terpenting yang dikembangkan penduduk Madura akan menyangkut pilihan pada jenis tanaman yang cocok untuk lingkungan dengan irigasi yang terbatas. Dalam konteks ekologis demikian, pilihan komoditas tanaman pangan yang tersedia adalah jagung dan ketela. Orang Madura ternyata lebih memilih jagung. Keunggulan jagung dibanding ketela terletak antara lain dalam segi harga yang jauh lebih tinggi serta lebih mudah dalam penyimpanan untuk jangka waktu panjang. Berbeda dengan jagung, ketela harus segera dikonsumsi beberapa hari setelah dipanen. Untuk konsumsi jangka panjang, proses pengawetan ketela lebih rumit dan tanpa penanganan yang memadai cepat menurun kualitasnya. Alasan lain yang lebih penting lagi, tanaman jagung memberikan pakan bagi ternak khususnya sapi, hewan piaraan yang di kalangan orang Madura sangat penting. Begitu pentingnya ternak sapi bagi mereka, sehingga melahirkan stereotipe bahwa orang Madura lebih mencintai sapi daripada istrinya (De Jonge, 1995:17). Selain sebagai tanaman utama, jagung mempunyai kedudukan penting sebagai makanan pokok di kalangan etnik Madura. Jagung dikonsumsi baik secara tersendiri maupun dicampur dengan beras. Caranya, butiran-butiran jagung yang sudah kering ditumbuk dalam lumpang untuk memisahkan dinding dan lembaganya. Putih lembaganya terpecah-pecah menjadi butiran-butiran kasar bersudut, yang disebut beras jagung. Beras jagung ditanak terpisah maupun dicampur dengan beras untuk dikonsumsi, sedangkan dedaknya diberikan sebagai pakan untuk ternak (Heyne, 1987: 140). Dalam karya berjudul The History of Java, Thomas Stamford Raffles
49
(1978:121) menyebutkan jagung adalah makanan pokok orang Madura, baik di Pulau Madura maupun wilayah ujung timur Pulau Jawa. Secara esensial pernyataan tersebut tidak berbeda dengan observasi Hageman mengenai Besuki atau pada jaman Belanda populer disebut Oosthoek, bahwa jagung, kadang-kadang dicampur dengan nasi, merupakan makanan pokok orang Madura (Hageman, 1863:300,315). Pola tersebut belum banyak berubah pada abad ke-20. Pada tahun 1929 Residen Bondowoso, Neys, menyebutkan di kalangan penduduk Madura biasa dijumpai konsumsi nasi berupa campuran beras dan beras jagung (Kartodirdjo, ed., 1978:cxxvi). Sebuah survei yang dilakukan pada 1954 secara lebih detil juga memperlihatkan pentingnya posisi jagung sebagai makanan pokok di kalangan penduduk Madura di Karesidenan Besuki. Disebutkan bahwa bahwa 50 persen penduduk Kabupaten Jember mengonsumsi jagung sebagai makanan pokok, 30 persen lainnya menggunakan jagung sebagai konsumsi utama dengan dicampur beras. Signifikansi jagung dalam struktur diet juga mencolok lagi di Kabupaten Bondowoso dan Panarukan, yang lebih dari 90 persen populasinya berlatar belakang etnis Madura. Di Panarukan dan Bondowoso penduduk yang mengonsumsi jagung sebagai makanan pokok dicampur beras masing-masing mencapai 60 persen dan 62 persen (Trompet Masjarakat, 11 Januari 1954:2; Nawiyanto, 2003:102-103). Hanya di daerah Kabupaten Banyuwangi dengan komposisi dominan penduduk Using dan Jawa, mayoritas penduduk (98 persen) menjadikan beras sebagai makanan pokok. Dalam konteks lebih makro, sekitar tahun 1960 tidak kurang dari 10 juta penduduk Indonesia mengonsumsi jagung sebagai bahan makanan pokok (Garis-Garis Besar Lampiran Ketetapan MPRS, No.: II/MPRS/1960:843).
2.4.3 Pergeseran ke Beras di Kalangan Orang Madura Preferensi orang Madura baik wilayah Besuki maupun Pulau Madura untuk mengonsumsi jagung sebagai bahan pangan utama pada era Orde Baru mulai mengalami pergeseran signifikan. Krisis pangan, khususnya beras, merupakan salah satu faktor utama yang melatarbelakangi Orde Baru tampil dalam panggung politik Indonesia pada paruh kedua 1960-an. Dengan latar belakang semacam ini, Orde Baru
50
menjadikan peningkatan produksi beras sebagai target utama yang diupayakan untuk dicapai dengan kebijakan revolusi hijau. Selain itu penyediaan berbagai komponen produksi, termasuk teknologi bibit, pupuk dan pestisida, pembangunan sektor irigasi merupakan salah satu pilar dalam kebijakan pertanian tersebut. Di daerah Jember khususnva dan Besuki pada umumnya, pembangunan sektor dilakukan dengan program rehabilitasi besar-besaran sistem irigasi Pekalen-Sampean, yang didahului dengan studi kelayakan oleh The Harza Engineering Company International pada tahun 1971 (Suparmoko, 1980: 6-11), Konsekuensi proyek irigasi tersebut untuk tanaman jagung tampaknya bersifat negatif. Dengan lebih terjaminnya kebutuhan irigasi, para petani Madura lebih suka menanami lahan sawah milik mereka dengan tanaman padi. Intensitas penanaman jagung, termasuk palawija lainnya, menjadi berkurang. Hal ini tampak jelas dari kecenderungan perubahan pola tanam yang menjadikan penanaman padi lebih wring dilakukan. Merujuk wilayah berpenduduk etnik Madura di Bondowoso dan Situbondo, Supanmoko (1982:135-137) menunjukkan berubahnya pola tanam dari pola padipalawija-palawija ke pola padi-padi-palawija setelah perbaikan irigasi selesai dilakukan. Bahkan untuk sejumlah wilayah yang suplai irigasinya terjamin sepanjang tahun, tanaman palawija ditinggalkan dan diganti dengan pola penanaman padi 3 kah setahun. Perubahan pola tanam kearah dominasi tanaman padi secara, jelas tampak pula dari kecenderungan berkurangnya areal penanaman jagung di satu pihak dan peningkatan secara signifikan area penanaman padi. Pada tahun. 1972, misalnya, area penanaman jagung di Jember mencapai 66,000 hektar. Pada tahun 1990 areal penanaman jagung berkurang menjadi 36,000 hektar saja. Kecenderungan serupa terjadi di Bondowoso dan Situbondo. Sementara itu, pada periode yang sama area penanaman padi di Karesidenan Besuki meningkat sekitar 70,000 hektar (Nawiyanto, 2003:95,103). Di Madura sendiri perluasan tanaman padi atau yang diistilahkan Kuntowijoyo sebagai “proses pemberasan”, tidak terlepas salah satunya dari introduksi pompa air untuk pertanian dan ditemukannya berbagai varietas padi berusia pendek (Kuntowijoyo, 1991:21).
51
Berkurangnya areal penanaman jagung mencerminkan bergesernya preferensi konsumsi makanan pokok di kalangan orang Madura. Posisi jagung sebagai makanan pokok mulai
digeser
oleh beras.
Pergeseran ini
dapat
dikenali
dengan
membandingkan dua fenomena yang bertolak belakang kecenderunganya. Di satu sisi jumlah penduduk etnik Madura terus bertambah besar dan kebutuhan pangan tentu mengalami peningkatan pula. Pada sisi lain, penanaman jagung justru mengalami kemerosotan luasan arealnya dan sebagai konsekuensi, kuantitas produksi jagung juga turun. Mempertimbangkan hal-hal demikian, maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan pangan orang Madura dicukupi dengan konsumsi bahan pangan nonjagung, dan dalam hal ini beras. Pergeseran konsumsi bahan pangan pokok dari jagung ke beras di kalangan orang Madura secara jelas tercermin dalam hasil penelitian Sasmita, Subaharianto, dan Nawiyanto (2004:21) mengenai etnik Madura di wilayah eks-Karesidenan Besuki. Dalam laporan dikatakan bahwa: “Mereka yang lahir sesudah tahun 1980 umumnya sejak awal mengkonsumsi beras sebagai bahan makan pokok….mereka lebih memilih nasi putih (beras)….karena nasi jagung rasanya lebih kasar, lebih keras, dan kurang enak”…. Nasi jagung mereka anggap sebagai selingan saja, dan sangat jarang.” [Apalagi] dalam berbagai kesempatan makan di luar (misalnva warung. depot, atau dalam suatu pesta) mereka hampir selalu hanya menemukan nasi beras, dan sangat jarang menemukan nasi jagung.” Mengenai pergeseran ke beras di kalangan etnik Madura di Pulau Madura, seorang sejarawan terkemuka yang ahli mengenai Madura, Kuntowijoyo (1991:22) melukiskan, “warung-warung di Madura sekarang ini juga sudah tidak lagi menyediakan makanan jagung tetapi nasi...”. Selain karena perubahan ekologis, pergeseran konsumsi bahan makanan pokok dari jagung ke beras di kalangan orang Madura terkait dengan sejumlah faktor. Secara ekonomis kebijakan pemerintah menyediakan subsidi sarana produksi (pupuk dan pestisida) serta mematok harga beras di pasaran, yang ditopang pula dengan kebijakan impor beras berhasil menekan secara maksimal fluktuasi musiman harga beras. Dengan demikian harga beras menjadi relatif stabil dan, yang tidak kalah pentingnya, dapat terjangkau daya beli rakyat kebanyakan termasuk kalangan orang
52
Madura. Kombinasi berbagai kebijakan menjadi insentif penting yang mendorong berlangsungnya peralihan pola makan dengan beras sebagai komponen pangan utama (Van der Eng, 1993:17). Dari sudut pengolahan, beras mempunyai kelebihan dari segi waktu dan kemudahan dalam proses penyiapan dibandingkan dengan jagung yang membutuhkan waktu lebih lama serta kompleks. Di Madura sendiri pergeseran ke beras terkait pula dengan lokasi Madura yang dekat dengan Jawa dan dengan adanya arus migran Madura ke Jawa yang pada saat mudik biasanya membawa beras dan memperkenalkan budaya beras ke tempat asalnya (Kuntowijoyo, 1991:21). Ibarat terinfeksi “virus”, standar pangan Madura lambat laun begeser dari jagung ke beras. Dari sudut sosiologis, konsumsi beras dipandang mempunyai prestise lebih tinggi ketimbang jagung. Beras mempunyai kedudukan istimewa. Meskipun ada masa jagung menjadi makanan pokok sehari-hari, “untuk keperluan upacara, selamatan, atau mantu, standarnya tetap beras” (Kuntowijoyo, 1991:20-21). Jagung agaknya tidak jauh berbeda dengan gaplek. Secara simbolis konsumsi jagung seperti halnya gaplek sebagai komponen pokok diet sering dianggap dalam masyarakat Indonesia di masa lampau sebagai pertanda kemiskinan (Booth, 1998:322). Hal senada secara eksplisit ditegaskan pula dalam sebuah pernyataan yang muncul sekitar 60 tahun yang silam, “pergantian beras dengan ubi-ubian itu didalam makanan rakjat adalah berarti suatu kemunduran” (Sjafei, 1949:3). Di beberapa tempat lain di dunia termasuk wilayah di Perancis dan Italia, hanya orang miskin yang biasa mengadopsi jagung sebagai bahan pangan pokok (Tannahill, 1973:248). Dengan demikian, perubahan pola konsumsi pangan pokok dari jagung (termasuk pula dalam kategori ini gaplek dan sagu) ke beras juga dimaksudkan untuk tanda keberhasilan dalam melakukan mobilitas sosial vertikal dari strata bawah ke strata sosial yang lebih tinggi. Fenomena semacam ini paralel dengan pandangan Lury (1998:112-113) bahwa praktek konsumsi kental pula dengan nuansa simbolis. Praktek konsumsi adalah bagian dari perjuangan individu untuk meraih posisi kelas sosial, bukan semata-mata sarana pemenuhan kebutuhan biologis atau ekonomis. Dengan kata lain, melalui pangan orang secara simbolis juga bermaksud mendefinisikan status sosial mereka dalam masyarakat (Kittler dan Sucher, 2008:5). Orang Madura pun
53
tampaknya tidak berbeda. Bagi mereka konsumsi beras adalah bagian dari upaya membuktikan keberhasilan dalam memperbaiki posisi kelas.
2.5 Tanggapan Terhadap Adopsi Pangan Beragam Baik di kalangan etnis Jawa maupun Madura di Besuki, orientasi makanan pokok yang bergantung pada beras merupakan fenomena yang nyata. Dalam konteks demikian, pembudayaan konsumsi bahan pangan beragam mendapat tanggapan cukup variatif. Ada penolakan secara tegas, persetujuan bersyarat, maupun persetujuan kuat dengan dasar pertimbangan masing-masing dari perspektif fisiologis, kultural, selera maupun medis. Spektrum tanggapan dan pertimbangan yang diberikan mencerminkan pandangan, keyakinan dan pengetahuan tentang pangan, serta hubungannya baik dalam konteks personal masing-masing individu maupun sosial-kultural. Responden etnis Madura menolak mengganti konsumpsi beras dengan bahan pangan pokok non-beras dengan beragam dalih. Mohamad Sidik
(61 tahun),
pensiunan pegawai Pemkab Jember menyatakan: “Saya sejak kecil hingga sekarang untuk setiap hari makan nasi, tiba-tiba disuruh makan jagung, ketela atau jenis umbi-umbian yang lainnya. Apa ya mungkin? Ini menyangkut persoalan selera makan. Bagi saya makan nasi terasa enak, sedangkan makan jagung, ketela atau jenis umbi-umbian yang lainnya selain rasanya tidak enak, juga tidak dapat membuat perut kenyang. Saya ingin bertanya, apakah sekarang ini sudah dilarang membeli beras?” Penolakan beralih ke konsumsi pangan non-beras juga disampaikan Indriati Harkarita (48 tahun), seorang PNS di Bondowoso. Dia mengungkapkan kebiasaan makan nasi dan selera membuatnya sulit beralih dari beras, bahkan dikatakan pula: “sekalipun dalam keadaan terpaksa, saya tidak dapat melakukannya”. Seorang kuli bangunan pun mengungkapkan penolakan dengan mengatakan: “ketela dan jagung tidak mengenyangkan, tapi membuat sakit perut. Ya, jaman dulu orang makan jagung dan ketela. Sekarang semua ada, beras ada. Ngapain makan jagung?” Berbagai alasam lain dikemukakan pula para responden. Romli (petani, 25 tahun) dan Hafili (petani, 27 tahun) merasa keberatan untuk mengganti beras sebagai
54
makanan pokok dengan jagung, ketela atau jenis umbi-umbian seperti ketela rambat, huwi, mbili, kentang, suweg, tales, kimpul. Bagi mereka mengonsumsi beras selain rasanya lebih enak juga memiliki nilai simbolik yang mencerminkan kemakmuran dan lebih bergengsi. Konsumsi nasi jagung, ketela atau umbi-umbian menunjukkan kemiskinan seseorang. Di samping lebih enak dan mengenyangkan, Abdul Malik (29 tahun) yang terbiasa mengkonsumsi nasi beras mengungkapkan, “beras tersedia hampir di setiap toko, sehingga mudah untuk mendapatkannya.” Sedangkan Jainol (23 tahun) dan Evi (19 tahun) merasa keberatan mengganti nasi-beras karena selain masalah rasa, mengolah nasi beras dianggap jauh lebih praktis jika dibandingkan dengan mengolah jagung, ketela atau umbi-umbian. Lain lagi dengan Helmi (25 tahun), yang berpandangan: “Jagung dan ketela berbeda dengan nasi. Jagung dan ketela bukan makanan pokok, melainkan hanya untuk camilan saja”. Sementara itu, Ustad Bustanul Arifin, dari Glenmore setuju dengan penggantian bahan pangan pokok ke non-beras. Dia berpendapat, “jagung dan ketela mengandung vitamin yang sama”, serta menambahkan, “dulu orang makan singkong dan bonggol pisang juga bisa”. Responden lain, Atim, seorang tukang bangunan beretnis Madura yang berdomisili di Jember mengemukakan bahwa keluarganya dari dahulu hingga kini terbiasa makan nasi jagung. Kebiasaan ini membuatnya berpandangan belum merasa makan kalau belum makan nasi jagung. Tidak mengherankan, ia menyambut baik jika konsumsi nasi jagung digalakkan kembali dari rumah-ke rumah. Menurutnya, selain bergizi tinggi, harga jagung juga lebih murah dibanding bahan pangan lain khususnya beras. Berkait dengan kelebihan jagung sebagai makanan pokok, Aminah, perempuan Madura (34 tahun) yang tinggal di Kalitakir Glenmore dan berprofesi sebagai ustadzah mengatakan: “jagung rasanya enak, juga bisa mengenyangkan. Kalau makan nasi beras perlu tiga kali sehari, nasi jagung cukup 2 kali”. Sebagian responden tidak berkeberatan mengkonsumsi makanan pokok non beras, namun hanya bila tidak ada beras. Tanti Luciana (19 tahun) mengatakan: “selama ada nasi ya memilih nasi. Soalnya jagung dan ketela tidak mengenyangkan. Baru kalau terdesak mau saja makan jagung dan ketela.”
55
Sebagaimana di kalangan etnis Madura, penolakan konsumsi bahan pangan pokok non-beras di kalangan etnis Jawa juga didasari beragam alasan. Riyanto (48 tahun), seorang pegawai Pemkab Jember, mengatakan: “Aku ini orang Jawa yang setiap hari makan nasi, kalau diubah disuruh makan jagung atau ketela apa ya mungkin? Ibarat sepeda motor, kalau biasanya diisi bensin terus diisi solar lantas bagaimana jadinya? Demikian perut saya walaupun sudah diisi roti, jagung atau ketela bagi saya ini belum makan karena memang belum kenyang dan malah terasa perih.” Sementara itu, Samsul Muarif (48 tahun), seorang guru di Banyuwangi menyatakan keberatannya untuk mengkonsumsi makanan pokok non-beras. Alasannya, selain rasanya tidak enak, jagung dan ketela tidak membuat kenyang. Seorang PNS di Tempurejo, Jember, Anas Muhrodi (59 tahun) menyatakan tidak setuju mengonsumsi bahan pangan pokok non-beras. Muhrodi mengatakan: “makan nasi sudah merupakan kebiasaan dan untuk membeli beras masih mampu, dan cadangan beras selalu dicukupi pemerintah. Buktinya ada raskin [beras untuk orang miskin]”. Responden Jawa lainnya, Misirah (38 tahun) seorang staf puskesmas juga tidak setuju. Dia mengungkapkan: “dirinya, anak-anak, dan seluruh keluarga tidak mau makan jagung, ketela atau umbi-umbian karena sudah terbiasa dengan nasi. Untuk ganti di lidah dan di perut tidak cocok”. Penolakan juga disampaikan responden Jawa berprofesi pengusaha, Bambang Hadi Wiranata (30 tahun). Baginya, jagung dan ketela bukan bahan pangan pokok, melainkan bahan pangan tambahan. Alasan penolakan bagi sebagian responden dikaitkan pula dengan soal harga prestise dan kepraktisan. Boediono (38 tahun) berpandangan bahwa ada perasaan rendah diri atau merasa kurang bergengsi jika tidak makan nasi. Ia tidak setuju kalau makanan pokok nasi diganti dengan jagung atau jenis umbi-umbian, karena makan nasi sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ia berpendapat bahwa perubahan kebiasaan makan nasi menjadi makan jagung atau jenis umbi-umbian jika ditinjau dari segi peradaban berarti suatu kemunduran. Makan nasi melambangkan peradaban yang baik, simbol kemakmuran. Keberatan lain untuk mengonsumsi bahan pangan non beras terkait dengan proses penyiapan. Membandingkan penyiapan beras dengan
56
bahan pangan lain, Dwi Sunaryati (47 tahun), seorang ibu rumah tangga etnis Jawa yang berdomisili di Jember, mengatakan : “memasak nasi itu lebih praktis dan rasanya pun lebih enak jika dibandingkan harus mengolah ketela atau ubi menjadi tiwul, gatot, gethuk, sawut, utri dan sebagainya”. Seorang pedagang Jawa, Tatik (45 tahun) mengatakan keharusan makan nasi: “kalau bukan nasi makanan pokoknya, namanya bukan makan. Karena yang membuat kenyang perut Cuma nasi, yang lainnya tidak dapat buat kenyang. Rasanya juga tidak enak... sangat tidak enak. Di perut juga tidak enak”. Pedagang Jawa lain, Indah (41 tahun) mempunyai pandangan serupa. Indah mengatakan: “tidak setuju karena meskipun makan jagung atau ketela banyak, itu tidak mungkin mengenyangkan. Lagipula beras masih ada. Jadi, kalau beralih ke jagung atau ketela itu tidak normal malahan”. Kyai Abdul Fatah (43 tahun) mengungkapkan ketidaksetujuannya mengganti beras dengan bahan pangan lain untuk dikonsumsi. Dikatakannya: “keluarga sendiri tidak menerima karena sudah terbiasa makan nasi. Kalau makan lainnya, walaupun katanya kandungan sama, tetapi tetap tidak enak”. Seorang petani Jawa di Glenmore, Aji Santosa (41 tahun) menyatakan: “beras itu ototnya manusia [Jawa]. Kalau makan ketela tidak akan punya tenaga”. Menurutnya, jagung dan ketela hanya cocok untuk makanan ringan, bukan bahan pangan pokok. Memang, sebagian responden beretnis Jawa juga ada yang setuju mengadopsi makanan pokok non-beras. Hal ini diungkapkan misalnya oleh seorang guru, Sumila (52 tahun) yang tinggal di Krajan, Sidodadi, Tempurejo. Menurutnya, bahan-bahan pangan non padi juga menghasilkan zat tepung dan baik pula bagi kesehatan tubuh dan mengurangi resiko penyakit. Selain itu, menurut Sumila: “kalau tidak ada padi, masih bisa makan jagung”. Ridwan Arif (24 tahun), seorang Jawa di Karangharjo, Glenmore, yang berprofesi tukang elektronik, tidak berkeberatan mengadopsi jagung sebagai makanan pokok, namun perlu dilakukan secara bertahap dan dengan dikombinasikan beras. Sementara itu, Mustaqim (60 tahun), seorang buruh tani di Desa Sepanjang, Glenmore juga menyatakan setuju dengan bahan pangan non-beras, tetapi melalui adaptasi karena belum pernah makan selain nasi. Seorang guru di
57
Glenmore, Moh. Said (47 tahun) mau mengonsumsi pangan non-beras baru kalau memang tidak tersedia pilihan lain. Kesediaan mengadopsi makanan pokok non-beras demi memperkuat ketahanan pangan juga dianggap sebagain responden Jawa sebagai langkah yang baik. Menurut seorang responden etnis Jawa yang berprofesi sebagai seorang guru, yang menjadi masalah adalah ketidakkonsistenan para pejabat pemerintah. Mereka mengkampanyekan perlunya keanekaragaman pangan, tetapi tidak mereka sendiri dan keluarganya sama sekali tidak melaksanakannya sendiri. Kebijakan pemerintah tentang raskin (beras untuk keluarga miskin), juga dikritik karena bertentangan dengan kebijakan keanekaragaman pangan. Dengan program ini rakyat lebih senang membeli beras yang harganya lebih murah, ketimbang mengkonsumsi bahan pangan non beras berbahan jagung maupun ubi. Selain harganya lebih mahal dibanding raskin, bahan pangan non-beras ini sulit untuk mengolahnya.
2.6 Kesimpulan Berdasar uraian di atas kiranya cukup jelas bahwa pangan bagi etnik Jawa dan Madura bukan sekadar bahan pemenuhan kebutuhan fisiologis sebagai makhluk hidup yang memerlukan makanan untuk kelangsungan hidup, melainkan juga sebagai bahan yang sarat dengan makna sosio-kultural. Berbagai kegiatan ritual maupun aktivitas sosial di kalangan kedua etnik seringkali melibatkan penggunaan bahan pangan sebagai bagian di dalamnya dalam kaitan dengan beragam fungsi dari yang bersifat magis hingga bersifat simbolis. Namun, hanya di kalangan etnik Jawa berbagai ekspresi kultural banyak menggunakan bahan pangan sebagai elemen penyusunnya, sedangkan di kalangan etnik Madura fenomena semacam ini jarang dijumpai, termasuk pengkaitan bahan pangan dengan asal-usul mitologis. Pangan sering ditempatkan sebagai bagian dari identitas etnik. Madura identik dengan jagung, Jawa identik dengan beras. Analisis diakronis mengenai adopsi bahan makanan pokok beras di kalangan etnik Jawa dan jagung di kalangan etnik Madura, serta peralihan ke beras di kalangan etnik Madura beberapa dekade belakangan ini secara jelas menunjukkan bahwa makanan pokok bukanlah atribut mati. Bahan
58
pangan berkembang menjadi bahan makanan pokok berlangsung melalui proses adopsi dan adaptasi baik dengan lingkungan setempat maupun dengan lingkungan sosio-ekonomi yang lebih luas. Adopsi dan pergeseran makanan pokok bisa berlangsung secara perlahan-lahan dalam jangka waktu yang panjang, tetapi juga bisa berlangsung dalam rentang waktu relatif singkat. Hal ini sangat tergantung pada status sosial-ekonomi konsumen, pasar, dan negara, yang ikut mempengaruhi persediaan serta pilihan atas jenis bahan pangan pokok untuk dikonsumsi. Pengembangan konsumsi pangan beragam dengan mengadopsi bahan pangan non-beras khususnya jagung dan ketela akan berhadapan dengan sejumlah kendala. Kebiasaan konsumsi makanan pokok yang diidentikkan dengan beras, sebagai sumber pangan utama yang dianggap memberi rasa kenyang. Bahan-bahan lain dianggap tidak mampu memberikan pemenuhan rasa ini, bahkan bahan pangan nonberas dianggap membuat tidak nyaman di perut, belum lagi pandangan-pandangan lain terkait dengan konsepsi mengenai kerepotan dalam mempersiapkannya. Bahkan adanya kesadaran dan pengetahuan mengenai nilai-nilai gizi bahan pangan non-beras pun belum cukup kuat untuk menjadi daya pendorong bagi kalangan atas baik Jawa maupun Madura di Besuki untuk melakukan pengalihan dan penganekaragaman konsumsi bahan pangan pokok dengan basis non-beras. Hanya keterpaksaanlah yang tampaknya potensial menjadi pemicu untuk menganekaragamkan konsumsi bahan pangan pokok. Menghadapi realitas ini, peran negara sangat instrumental sebagai agen untuk mengkondisikan masyarakat lewat otoritas yang dimilikinya untuk memaksa warga negara lewat rekayasa budaya dengan jalur kekuasaan.
59
BAB III KEBIASAAN MAKAN 3.1 Pengantar Manusia sebagai makhluk hidup perlu makan. Akan tetapi tidak seperti binatang yang kegiatan makannya tampak sederhana dan didorong oleh rangsangan fisiologis (rasa lapar), kebiasaan makan manusia lebih kompleks dan sarat makna. Seperti dikemukakan oleh Graham H. Pyke (1986:279), manusia adalah makhluk kultural. Di samping karena dorongan fisiologis, faktor budaya (culture) ikut menentukan kebiasaan makan manusia. Berbeda dengan binatang, manusia menggunakan perlengkapan untuk menyiapkan dan menyantap makanan, memberlakukan seperangkat tata cara seperti sopan santun (manners) mengenai bagaimana cara makanan dikonsumsi. Manusia juga berbagi makanan satu dengan yang lain dan mendefinisikan sesuai standar dengan siapa dan dalam situasi macam apa acara makan bersama diselenggarakan (Kittler dan Sucher, 2008:2). Tidak boleh dilupakan pula bahwa manusia membudidayakan (sebagian besar) bahan pangan yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Dalam peradaban manusia, pemenuhan kebutuhan pangan selalu menjadi prioritas dalam kehidupan. Upaya yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup menggunakan spesialisasi organ fisik yang diwarisinya secara genetis serta kebudayaan yang dimilikinya. Kebudayaan menjadi pedoman hidup dan sekaligus sarana untuk memenuhi semua kebutuhan dengan memanfaatkan sumber energi yang ada di dalam lingkungannya (Suparlan, 1986). Perilaku makan manusia pada dasarnya mencerminkan kebiasaan makan. Kebiasaan makan terbentuk dalam diri seseorang melalui proses sosialisasi dan adaptasi terhadap lingkungan kebudayaannya (Berg, 1986). Dalam hal ini, menurut Suhardjo (1989), kebiasaan makan merupakan refleksi suatu gejala budaya dan sosial yang menggambarkan sistem nilai yang berlaku pada masyarakat. Upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan pangan sebagai kebutuhan primer, tentunya juga terkait erat dengan perubahan-perubahan tingkat kebutuhan sosial dan kebutuhan-kebutuhan integratif lainnya yang berhubungan dengan
60
kebutuhan hidup manusia. Dengan demikian, setiap perubahan tuntutan pemenuhan kebutuhan pangan yang dipengaruhi oleh gaya hidup (life-style) akan menghasilkan perubahan-perubahan kebudayaan serta tradisi yang berlaku sebelumnya. Termasuk dalam hal ini, setiap perubahan dalam kebiasaan mengonsumsi makanan yang terjadi dalam masyarakat akan diikuti dengan perubahan unsur kebudayaan lain yang lebih kompleks, menyimpang dari tradisi kebiasaan makan sebelumnya. Secara konseptual kebiasaan makan dalam sebuah lingkungan budaya dapat diidentifikasi melalui model makanan inti dan pelengkap (core and complementary foods model), cara sebuah kelompok budaya secara tradisional menyiapkan makanan, di antaranya prinsip rasa (flavour principles), serta pola-pola dan siklus makanan (harian, mingguan, tahunan) (Kittler dan Sucher, 2008:2). Dalam lingkungan budaya etnik yang sama pun, sangat mungkin berlaku pula kebiasaan makan sehari-hari yang agak berbeda. Pilihan atas apa yang dimakan secara tipikal ditentukan menurut sejumlah kriteria: apa yang tersedia, apa yang boleh dimakan, dan apa yang disukai. Dalam batasan-batasan ini preferensi individu dipengaruhi beragam pertimbangan termasuk di antaranya selera (taste), biaya, kenyamanan, ungkapan diri, kesejahteraan dan keragaman (Kittler dan Sucher, 2008:12-18). Dengan menimba inspirasi dari kerangka konseptual tersebut, bab ini mengkaji kebiasaan makan (eating habits) dan makna makan (meaning of eating) dalam konteks individual dan relasi-relasi sosialkultural di kalangan etnik Jawa dan Madura, termasuk pandangan kedua kelompok etnik mengenai menu, pemrosesan, dan perilaku makan yang baik. Dalam perspektif budaya Jawa dan Madura, kegiatan makan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu individual, sosial, dan ritual. Makan dalam kategori individual maksudnya kegiatan makan individu dalam keluarga. Setiap individu dalam keluarga dan antar keluarga sangat dimungkinkan memiliki persepsi yang berbeda dalam setiap porsi makanan yang akan dikonsumsi. Kesemua ini tergantung pengetahuan, kemampuan ekonomi, dan pengalaman kuliner yang dimiliki oleh masing-masing keluarga. Makan dalam kategori sosial maksudnya kegiatan makan secara kolektif melibatkan kerabat, tetangga dan kolega. Dalam kegiatan ini terdapat nilai-nilai sosio kultural tertentu yang menjadi pedoman dalam berperilaku makan
61
sehingga ada keseragaman di antara individu dalam sebuah kesatuan sosial, mulai waktu makan, jenis makanan yang dikonsumsi, bersama siapa dan bagaimana tata cara makan, termasuk juga dalam hal posisi duduk dan bersikap. Sifat sosial dalam kebiasaan makan diaktualisasikan dalam acara makan bersama yang antara masyarakat Jawa dan Madura memiliki perbedaan sesuai tradisi masing-masing. Kegiatan makan dalam kategori ritual maksudnya kegiatan makan yang terkait dengan upacara ritual. Kegiatan makan ini dilaksanakan dalam
suasana sakral,
artinya tidak dapat dilakukan secara sembarangan oleh setiap orang. Jenis makanan dan tatacara penyajiannya pun sudah ditentukan secara adat dengan berbagai makna simbolik dari jenis makanan yang tersaji. Dalam upacara ritual, setiap hidangan yang disajikan kepada para pengikut upacara juga dipersembahkan kepada makhluk gaib yang ada di alam transendental. Jadi dalam pandangan masyarakat Jawa dan Madura makhluk-makhluk gaib itu juga dianggap ikut bersama mereka dan ikut menikmati segala hidangan yang disajikan dalam upacara (Geertz, 1984).
3.2 Konsepsi Sosio-kultural Mengenai Makan 3.2.1 Makna Makan Dalam memenuhi kebutuhan dasar akan makanan, manusia selalu menyelaraskan diri dengan lingkungan alamiah dimana mereka bertempat tinggal. Secara historis terdapat perbedaan makanan pokok antara masyarakat Jawa dan Madura. Makanan pokok bagi orang Jawa adalah beras, sedangkan bagi orang Madura jagung. Orang Jawa belum merasa makan kalau belum makan nasi. Bagi orang Madura belum merasa makan kalau belum makan nasi jagung. Perbedaan makanan pokok antara kedua kelompok etnis ini dipengaruhi oleh lingkungan alam yang berbeda. Pulau Jawa merupakan daratan yang sebagian besar tanah pertaniannya dapat diairi sehingga dapat ditanami padi. Kondisi ini berbeda dengan Pulau Madura yang tanahnya bersifat higroskopis (menyerap air) sehingga tidak memungkinkan dapat menahan air tanah. Akibatnya, tanah di Madura kering dan tandus sehingga tanaman pangan yang dibudidayakan penduduk hanyalah jenis jagung dan ketela karena kedua jenis tanaman ini tidak memerlukan irigasi.
62
Meskipun bahan yang dikonsumsi berbeda, makan bagi etnis Jawa dan etnis Madura dalam berbagai hal mempunyai makna yang sama. Makan merupakan kebutuhan dasar (basic need) bagi kelangsungan kehidupan manusia, termasuk bagi orang Jawa dan orang Madura. Secara esensial makan merupakan kebutuhan pokok yang diperlukan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kalau tidak makan semua orang tentu akan mati. Seperti dikemukakan Alim Mistari (54 tahun), seorang kepala desa Madura di Curahdami Bondowoso: “makan adalah kebutuhan untuk hidup”. Pandangan serupa diyakini Nanang (30 tahun), seorang guru beretnis Jawa yang tinggal di Desa Selolembu, yang menyatakan, “makan perlu untuk hidup”. Di luar makna pokok ini, bagi etnis Jawa dan Madura makan dimaknai dengan pemahaman dan ekspresi cukup beragam. Ahmad Amar (52 tahun), seorang petani Madura di Desa Selolembu perangkat desa menyatakan: “makan perlu karena kalau tidak makan orang akan sakit”. Baginya makan mempunyai makna untuk menjaga kesehatan badan. Sementara itu, Gufron (43 tahun), seorang Jawa yang menjabat kepala desa Balung Lor mengungkapkan: “makan dibutuhkan tubuh yang menghasilkan energi untuk melakukan kegiatan sehari-hari”. Makan juga bukan sekadar urusan memasukkan makanan ke mulut, mengunyah dan menelannya menuju perut. Ada norma dan prinsip tertentu yang semestinya ditaati misalnya apa yang sebaiknya dimakan (boleh dan tidak boleh), bagaimana tatacara atau etiket makan yang seyogyanya dijunjung. Banyak responden baik di kalangan etnik Jawa maupun Madura berpendapat makan yang baik adalah makan yang berpola menu empat sehat lima sempurna. Konsepsi ini gencar dipopulerkan sejak era Orde Baru, sebagai bagian dalam upaya memperbaiki generasi bangsa agar sehat, kuat dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Kekurangan gizi diyakini sebagai penyebab kemandegan ekonomi. Orang menjadi lemah, malas, sering sakit-sakitan sehingga sulit menjadi maju dan produktif. Kurang gizi membuat orang berotak tidur, menjadi fatalis, lesu, dan berbudaya mudah menyerah (nrimo wae) (Napitupulu, 1968: 60-61). Sebagian responden Jawa dan Madura juga menekankan prinsip “halal” dalam menu makan yang mereka konsumsi. Konsepsi ini mencerminkan ketaatan kuat pada nilai-nilai Islam yang mereka anut.
63
Tidak mengherankan, dalam perspektif yang lebih luas, makan masuk dalam berbagai ekspresi kultural dalam bidang kebahasaan. Hal ini tampak jelas di kalangan masyarakat Jawa. Ekspresi kultural terkait dengan makan ini mengandung nilai-nilai dan ajaran moral yang semestinya dijunjung orang Jawa dalam kaitan dengan makan. Dalam karya berjudul Ungkapan Tradisional, Soepanto dan Wibowo (1985/1986) memperlihatkan sejumlah ungkapan Jawa terkait dengan majan. Disebutkan misalnya “Aja leren lamun durung sayah, aja mangan lamun durung luwe” (Jangan berhenti jika belum lelah, jangan makan sebelum lapar). Ungkapan ini menasehatkan orang untuk bekerja keras, hanya beristirahat jika sudah benar-benar lelah dan jangan makan terlebih dahulu sebelum lapar. Terkait dengan perilaku makan, ungkapan ini menganjurkan orang untuk mengekang nafsu makan di luar batas kebutuhan (Soepanto dan Wibowo (1985/1986: 27-28). Orang tidak perlu serakah dan kuatir karena dalam konsepsi budaya Jawa diyakini setiap hari pasti ada rejeki (ana dina ana upa). Kalau mau berusaha, orang pastI juga akan dapt rejeki (yen obah mesthi mamah). Ada juga ungkapan lain, “Aja mung nggedhekake puluk” (Jangan hanya membesarkan suap nasi), yang berisi nesehat agar orang tidak hanya mementingkan urusan makan, melainkan juga urusan-urusan lain yang juga penting. Orang yang memperlihatkan sikap mengutamakan makan dianggap orang Jawa bernilai rendah dan tidak tahu adat. Oleh karena itu, sesuai etika tradisional Jawa orang tidak menerima begitu saja bila ditawari makan dan kalaupun menerima tawaran tersebut tidak semestinya makan banyak. Hal ini bukan disebabkan sudah kenyang, melainkan supaya tidak dipandang tidak tahu adat (tamak). Bukan kebetulan, dalam pesta atau perjamuan makan orang yang ingin digolongkan tahu adat dan terhormat tidak memakan habis seluruh porsi yang disediakan buatnya (Soepanto dan Wibowo 1985/1986: 31-32). Hal tersebut tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang dalam hadis nabi menyebutkan bahwa makan tidak boleh sisa. Dalam tataran lebih lanjut, masyarakat Jawa juga mengenal ungkapan “wong urip ora mung butuh mangan” (orang hidup tidak hanya membutuhkan makan), serta ‘aja mung mikir
64
wetenge dhewe (jangan hanya memikirkan perut sendiri) (Soepanto dan Wibowo, 1985/1986: 32). Ungkapan-ungkapan tersebut menggambarkan luasnya implikasi sosialkultural perilaku makan individu bagi orang lain dan masyarakat di sekelilingnya. Orang dapat menjadi rakus, serakah, dan tidak manusiawi apabila menganggap makan adalah segala-galanya. Kalau sudah seperti itu dia tidak ada bedanya dengan binatang dan perilaku makannya dapat membahayakan pihak lain. Ekspresi kultural di atas mengajarkan bahwa hal penting dalam hidup manusia tidak hanya soal makan tetapi juga ada nilai-nilai lain yang harus dijunjung dalam kaitan dengan makan, termasuk kebutuhan orang lain semestinya juga dipikirkan. Hal demikian menjadi esensial tatkala hendak mencapai keseimbangan hidup manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Secara kultural makan secara berlebihan dianggap kurang baik. Bagian berikut akan memaparkan bagaimana pengendalian nafsu makan dianggap mempunyai nilai-nilai positif bagi diri sendiri dan menemukan pembenaran dalam ajaran-ajaran religius dan moral dalam konteks masyarakat Jawa dan Madura baik bagi kepentingan.
3.2.2 Laku Makan Konsepsi mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungan menunjukkan pemahaman yang beragam pada setiap masyarakat dan kebudayaan. Kesemua ini tercermin dalam konsepsi hidup manusia sebagai mikrokosmos dan makrokosmos. Masyarakat Jawa yang dalam banyak hal lebih kuat dengan nilai-nilai kultural berciri “abangan“, tentunya berbeda dengan masyarakat Madura yang cenderung agamis “santri“. Untuk mencapai kesempurnaan hidup, orang harus bisa mengendalikan hawa nafsu, salah satunya adalah membatasi nafsu makan dengan jalan puasa atau laku makan. Dalam adat Jawa ada beberapa cara mengendalikan nafsu makan, di antaranya adalah: puasa senen-kemis, ngrowot, mutih dan ngebleng. Puasa senen-kemis adalah puasa seperti halnya puasa pada bulan Ramadhan yang dilakukan oleh umat Islam, hanya pelaksanaannya pada setiap hari Senin dan Kamis. Puasa ngrowot
65
ketentuannya tidak boleh makan selain umbi-umbian (bahan pangan yang terpendam di dalam tanah) selama tiga hari, lima hari, atau tujuh hari. Puasa mutih, boleh makan hanya berupa nasi putih dalam sehari sebanyak satu genggam (kepel) selama tiga hari, lima hari atau tujuh hari. Sedangkan ngebleng termasuk kategori bertapa (topo), yaitu tidak makan selama tiga hari, lima hari atau tujuh hari dalam satu ruang tertutup tanpa ada penerangan sama sekali. Nilai yang terkandung dalam puasa (nglakoni) tersebut adalah mengurangi porsi hidup (ngurang-ngurangi mangan) pada saat ini dengan harapan agar memperoleh kenikmatan yang lebih di kemudian hari. engsara membawa nikmat. yang maknanya. Setiap orang yang melakukan nglakoni memiliki tujuan pribadi, seperti ingin memperoleh jabatan, kekayaan, hidupnya sukses, dan sebagainya yang kesemuanya itu terfokus kepada pemenuhan kebutuhan duniawi. Seperti dikatakan Benedict Anderson (1991:53-54), bermatiraga secara esensial kurang lebih sama dengan membesarkan diri sesuai dengan hukum kompensasi yang fundamental bagi rasa orang Jawa. Dalam paradoks Jawa, membesarkan diri yang tercermin antara lain dalam kerakusan dan pemanjaan diri sama artinya dengan mengurangi diri sendiri. Laku makan diyakini sebagai bagian dari sengsara membawa nikmat atau sarana menuju kekuasaan (kemakmuran) dan kesempurnaan hidup. Adanya tradisi laku makan ini merupakan bentuk optimisme dalam kehidupan orang Jawa. Penderitaan akibat mengurangi makan yang dialami oleh setiap individu bukan berarti suatu kegagalan dalam hidup. Mereka optimis bahwa penderitaan pada dasarnya merupakan kesuksesan hidup di kemudian hari. Dalam falsafah Jawa ada pepatah yang mengatakan: “wani ngalah dhuwur wekasane“ serta “jer basuki mawa bea“. Keduanya menekankan pengorbanan demi tercapainya tujuan akhir yang lebih besar (kejayaan dan kemakmuran) (Sujamto, 1993:32-33). Kalau ingin memperoleh kenikmatan hidup di kemudian hari harus berani menderita terlebih dahulu. Salah satu bentuk pengorbanannya adalah menahan lapar dengan tidak makan dan minum. Oleh karena itu, tirakat dalam bentuk mengurangi makan tidak saja dilakukan oleh orang miskin, tetapi juga sebagian orang yang hidup berkecukupan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Abdul Ghafur, seorang etnis Jawa, yang menjadi anggota DPRD Kabupaten Jember periode 2004-2009 dan 2009-2014, menjalankan puasa senen-
66
kemis sudah dilakukan sejak duduk di bangku SMP tahun 1977 hingga saat ini (Radar Jember, 13 September 2009). Ketika itu alasannya terdorong oleh kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Menurut Gafur : „ Karena ingin bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, satu-satunya modal hanya berdoa, dan mengikuti kebiasaan orang-orang yang suka puasa SeninKamis, di antaranya dilakukan oleh Pak Habibi dan Pak Amin Rais. Berkat menjalankan puasa Senin-Kamis perjalanan hidup saya diberi kemudahan. Setelah memiliki anak laki-laki kian yakin bahwa berpuasa Senin-Kamis banyak membawa mukjizat dan keberkahan“. Puasa Senin-Kamis sebenarnya merupakan puasa sunah yang dianjurkan dalam agama Islam yang tersirat dalam hadiz nabi untuk melaksanakan puasa pada hari Senin dan hari Kamis. Berdasarkan riwayat Nabi Muhammad SAW, hari Senin merupakan hari istimewa yang patut untuk dikenang oleh para pengikutnya. Hari Senin selain sebagai hari lahirnya nabi adalah hari hijrah nabi dari Mekkah ke Madinah, juga hari wafatnya nabi dan juga hari ketika Muhammad diangkat sebagai nabi. Sedangkan hari Kamis, merupakan satu hari menjelang hari Jumat merupakan hari rayanya orang miskin. Sebelum merayakan hari raya disunahkan untuk melaksanakan puasa, yaitu pada hari Kamis. Dengan demikian pada hari Senin dan Kamis diyakini oleh umat Islam hari yang baik untuk menjalankan puasa. Tradisi ini kemudian dilegitimasi oleh adat Jawa untuk menjadi bagian dari salah satu bentuk tirakat nglakoni (laku makan) agar tercapai cita-cita yang diinginkan. Hadiz nabi yang dianjurkan kepada umatnya berbunyi : „Makanlah engkau ketika lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang“. Makna dari pernyataan tersebut bahwa makan merupakan salah satu kebutuhan tubuh disamping kebutuhan yang lain yakni minum dan udara, yang kesemuanya perlu keseimbangan. Ketika makan berlebihan, itu berarti akan mengurangi porsi untuk minum dan udara sehingga tubuh menjadi tidak sehat. Makna yang lain, makan itu sama dengan nafsu. Semakin makan kenyang nafsunya semakin besar. Jika tidak dikendalikan, makan bisa menyebabkan nafsu-nafsu yang lain juga tidak terkendali. Oleh karena itu,
67
makan perlu dibatasi. Seperti yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah ketika mengajarkan masalah makan kepada anaknya: “Nduk, makan yang baik adalah jika makanan yang dikonsumsi itu habis. Kalau makanan yang disantap itu tidak habis atau masih ada yang tersisa di piring, belum tentu makanan yang tersisa itu tidak barokah (jadi daging). Oleh karena itu ambillah porsi makan sesuai dengan kapasitasnya dan jangan berlebihan, itu tidak ilok (tidak pantas)“. Dalam kehidupan orang Jawa pada masa kini, selain puasa Senin-Kamis laku makan yang lain sudah jarang dilakukan. Bahkan kebanyakan orang, di luar puasa Senin-Kamis tidak faham arti dan maknanya, apalagi melaksanakannya. Masih bertahannya kebiasaan masyarakat Jawa dalam melakukan puasa senen-kemis karena selain merupakan sunah nabi yang berdimensi Islami juga dalam pelaksanaannya tidak seberat jenis tirakat (nglakoni) yang lain seperti mutih, ngowot dan ngebleng. Bagi masyarakat Madura, tradisi tirakat yang berhubungan dengan mengurangi konsumsi pangan (laku makan) tidak sekuat orang Jawa. Hal ini dapat difahami karena masalah makan bukan hal yang prioritas dalam kehidupan orang Madura. Berkaitan dengan masalah makan, budaya yang berkembang pada masyarakat Madura bukanlah budaya produksi tetapi konsumsi. Dalam hal tirakat mereka pada umumnya hanya mengenal puasa Senin-Kamis. Hal ini dilatarbelakangi karakteristik sosial budaya masyarakat Madura yang bersifat Islami, sehingga segala pandangan kehidupannya selalu berpedoman kepada nilai-nilai Islam. Termasuk dalam hal ini yang berkaitan dengan masalah keyakinan, pengaruh tirakat terhadap kenikmatan kehidupan di kemudian hari mereka tidak banyak mengenal, terkecuali puasa Senin-Kamis yang memang dalam ajaran Islam puasa merupakan salah satu bentuk rukun Islam yang keempat. Dalam pandangan orang Madura, pengertian puasa senen-kamis berbeda dengan orang Jawa. Menurut orang Madura, puasa senen-kemis adalah puasa yang dilakukan selama empat hari, mulai hari Senin sampai hari Kamis selama tujuh kali berturut-turut. Selesainya puasa (katam), menyelenggaraan selamatan dengan
68
mengundang tetangga dekat. Dengan demikian, pelaksanaan puasa semacam ini cukup berat sehingga jarang orang yang melakukannya. “Pak Juma’i seorang etnis Madura di Jember mengatakan: “Puasa senen- kemis selain syaratnya berat, kalau tidak kuat dapat mengakibatkan orang yang menjalankan menjadi gila. Contohnya pak Sunar tetangga dekatnya, karena ingin cepat kaya ia menjalankan puasa seninkemis. Namun belum sampai akhir ternyata tidak kuat sehingga gila sampai sekarang“. Lain halnya bagi kalangan priyayi yang masih kerabat keraton, umpamanya yang bergelar Raden, Raden Panji (RP), atau Raden Bendara (RB) dan Raden Ayu (RA), mereka masih mempercayai kekuatan lebih (kesaktian) yang diperoleh jika seseorang melakukan tirakat, seperti mote, puasa senin-kemis, dan nyeppe. Orang Madura menyebut tirakat dengan istilah amate raga. Amate raga adalah bentuk tirakat untuk menahan hawa nafsu badan seperti makan dan minum serta kesenangan lainnya agar tujuannya tercapai. Salah satu bentuk amate raga adalah mote, yakni pantang makan makanan yang berasal dari hewan, kecuali hanya nasi putih sebanyak segenggam tangan dan air putih. Selain itu ada pula yang melakukan puasa SeninKamis maupun nyeppe dengan harapan agar mendapatkan petunjuk dari-Nya. Seperti yang diungkapkan RB. Abdul Muharram bahwa: “dahulu kaum bangsawan melakukan tirakat dengan membatasi makan. Seperti Raden Adipati makan hanya satu hari sekali sesudah isya, sedangkan pada pagi dan siang hari hanya minum. Namun sekarang kaum bangsawan makan tiga kali sehari (Wibowo, dkk: 2002: 82). Membatasi makan (tirakat) yang dilakukan kelompok bangsawan ini dengan maksud agar memperoleh kekuatan lebih. Dari kekuatan ini dapat termanifestasikan berupa dikabulkannnya oleh Tuhan atas segala permohonannya sesuai dengan tujuan orang melakukan tirakat. Orang yang melakukan tirakat biasanya memiliki maksud dan tujuan yang berhubungan dalam kehidupannya di dunia nyata seperti materi dan kekuasaan. Agar permohonannya terkabul, harus dikuti dengan ikhtiar yaitu dilandasi atas pengorbanan fisik dengan menjalankan salah satu dari ketiga macam bentuk tirakat tersebut. Bentuk ketiga macam tirakat tersebut sama dengan yang umum
69
dilakukan oleh orang Jawa, sehingga dapat diduga bentuk tirakat semacam ini merupakan difusi budaya dari Jawa ke budaya Madura, Yang jelas bahwa kehidupan orang Madura tidak pernah terlepas dengan nilai adat yang diwarisi dari nenek moyang dan nilai agama Islam sebagai pedoman dalam menjalin hubungan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu keharusan menuruti ajaran agama dan menjalankan adat leluhur yang tidak bertentangan dengan agama (Wibowo, dkk, 2002: 82). Salah satu bentuk perpaduan antara ajaran adat dan agama adalah menjalankan tirakat (amate raga) dengan harapan agar selalu mendapat barokah dari-Nya. Uraian di atas mengindikasikan bahwa laku makan yang dijalankan baik etnik Jawa dan Madura diyakini memberikan kontribusi positif bagi individu dalam meraih apa yang diinginkan. Dalam skala luas tradisi semacam ini sebenarnya juga mempunyai implikasi positif bagi ketahanan pangan. Akan tetapi, hal ini hanya merupakan satu faktor dalam konteks membangun ketahanan pangan. Faktor lain yang perlu juga dilihat adalah tradisi makan masyarakat sehari-hari dalam konteks individu maupun bersama (sosial dan ritual). Issu ini akan dikaji dalam sub-bab berikut.
3.3 Makan dalam Konteks Individual 3.3.1 Tradisi Makan Etnis Jawa Kalangan Atas Dalam tradisi masyarakat Jawa, masalah makan tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Terdapat aturan-aturan tertentu sesuai sistem nilai budaya yang berlaku untuk ditaati oleh pendukung kebudayaan Jawa. Di kalangan priyayi Jawa tradisional (atau golongan atas) pada masa lampau sudah menjadi adat kebiasaan untuk makan tiga kali dalam sehari: pagi, siang, dan malam hari (Kartodirdjo dan Hatmosuprobo, 1987:183). Kebiasaan makan tiga kali sehari masih berlaku bagi orang Jawa kalangan atas di Besuki hingga saat ini. Kebiasaan makan pagi, siang dan malam hari dijumpai misalnya di kalangan pegawai pemerintah, orang kaya, dan ulama. Makan pagi hari dilakukan pada saat sebelum melakukan aktifitas pekerjaan, untuk orang tua sebelum pukul 08.00 sedangkan untuk anak-anak sekolah sebelum
70
pukul 07.00. Orang yang memiliki pekerjaan di kantor, seringkali tidak makan pagi di rumah tetapi di kantor sekitar pukul 09.00-10.00 pagi. Sebelum ke kantor perut diisi secangkir kopi atau teh dengan kue sebagai pengganti makan pagi. Kebiasaan makan pagi sudah ditanamkan sejak usia dini, dengan maksud memberikan kekuatan bagi setiap individu karena pada pagi hari merupakan saat ia mulai beraktivitas dalam kehidupan. Agar dapat beraktivitas secara optimal, fisik membutuhkan energi besar melalui makanan yang dikonsumsi. Menu yang disajikan untuk makan pagi relatif sederhana atau seadanya mengingat waktu tersebut pada umumnya kaum ibu belum siap membuat sajian menu yang komplit bagi anggota keluarganya. Menu sarapan pagi biasanya berupa roti tawar dan susu, nasi goreng, nasi putih, telur, tahu, tempe, dan krupuk. Makan siang pada umumnya dilakukan antara pukul 12.00 - 13.00, yakni saat istirahat setelah orang melakukan aktivitas kerja mulai pagi hari. Alokasi waktu istirahat ini dalam perspektif agama diperkuat karena pada saat tersebut orang bersembahyang sholat dhuhur. Sebagian besar kalangan atas masyarakat Jawa di Besuki melakukan makan siang di rumah. Menu yang dihidangkan oleh para ibu rumah tangga relatif lebih lengkap karena waktu penyiapan lebih longgar. Sementara suami bekerja, istri di rumah mempersiapkan hidangan untuk santap siang. Menu yang disajikan biasanya berupa nasi lengkap dengan sayur-mayur, lauk-pauk, dan buah-buahan. Dalam konteks kekinian kebiasaan makan siang bersama dalam keluarga secara lengkap sulit terwujud karena berbagai kesibukan yang dialami oleh masing-masing anggota keluarga. Baik suami, istri maupun anak-anak masingmasing memiliki kesibukan sendiri sehingga jarang dapat melakukan makan secara bersama-sama. Makan malam biasanya dilakukan pada saat antara pukul 18.00 – 20.00. Saat tersebut merupakan saat yang tepat untuk makan bersama bagi seluruh anggota keluarga karena biasanya semua berkumpul di rumah setelah beraktvitas selama pagi hingga sore hari. Suasana formal terutama yang berhubungan dengan sikap pada saat makan, tata cara makan, dan interaksi antara sesama anggota keluarga masih terjaga. Mereka makan di ruangan khusus yang sudah tertata secara permanen sebagai ruang
71
makan. Dalam ruang makan tersedia meja dan kursi makan dan di atas meja sudah tersedia sejumlah piring dan garpu sebagai perlengkapan makan. Susunan kursi diatur sedemikian rupa, terutama tempat duduk ayah terletak di posisi tertentu yang dipandang paling strategis berdampingan dengan ibu, kemudian dikelilingi kursi untuk anak-anak. Pada saat makan berlangsung dengan tertib, tidak boleh sambil bicara apalagi bersenda-gurau. Orang yang pertama kali mengambil makanan adalah suami melalui pelayanan sang istri, sebagai bentuk penghormatan dan kesetiaan istri terhadap suami sebagai pencari nafkah dan sekaligus sebagai kepala keluarga. Menu yang dihidangkan oleh ibu rumah tangga sepadan dengan ketika makan siang dengan kualitas sesuai kemampuan ekonomi rumah tangga. Untuk mempersiapkan menu makan, keluarga kalangan atas biasanya dibantu oleh pembantu rumah tangga mulai sejak belanja, memasak, menyajikan, sampai mengemasi peralatan makan.
Setelah selesai makan malam, bagi sang ayah
seringkali mendapat hidangan lain berupa secangkir teh atau kopi dan tidak jarang dilengkapi pula dengan makanan ringan (camilan). Kebiasaan makan dan minum bagi keluarga elite Jawa juga diatur dengan tatakrama atau adat sopan santun (etiket). Adat sopan santun dalam hal makan secara esensi berhubungan dengan aspek sosial. Artinya, ada norma-norma tertentu yang mengatur, terutama bersama siapa ia makan. Apakah yang bersamanya itu status sosialnya lebih tinggi atau rendah akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam hal makan. Sikap sopan santun atau tenggang rasa ini sangat penting untuk diutamakan dalam kehidupan orang Jawa dalam rangka menjaga harmonisasi sosial. Pelanggaran terhadap sopan santun dapat berakibat buruk dalam jalinan hubungan sosial antara sesamanya. Walaupun tidak sampai terjadi pertengkaran, menjadi bahan pergunjingan akibat pelanggaran norma sudah merupakan sanksi yang amat berat bagi orang Jawa, terutama pada kalangan priyayi. Kebiasaan makan bagi kalangan status sosial atas memiliki aturan yang ketat. Seorang suami sebagai kepala rumah tangga dalam keluarga mendapat prioritas utama dalam hal menikmati hidangan yang disajikan. Pada jaman dulu saat makan tidak boleh bersamaan antara orang tua dan anak. Bahkan lauk pauk yang
72
dihidangkan juga dibedakan. Untuk sang ayah dipilihkan yang istimewa, seperti daging ayam dipilih bagian ampela dan hati (jerohan) atau bagian ekor (brutu). Untuk menu yang terakhir ini anak-anak dilarang makan (pamali) karena dipercayai bisa menyebabkan pelupa, padahal itu merupakan bagian yang paling enak. Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap seorang ayah yang selain sebagai kepala rumah tangga juga sebagai orang yang paling berjasa dalam mencari nafkah untuk keluarga. Ketika orang tua telah selesai makan baru anak-anaknya boleh makan, melanjutkan menikmati sisa hidangan yang telah dikonsumsi oleh sang ayah. Namun pada saat ini sudah ada perubahan dalam kebiasaan makan. Perubahan menonjol misalnya, anak-anak biasa makan bersama dengan orang tua di meja yang sama. Meskipun demikian, masalah etiket makan tetap harus dijunjung tinggi. Artinya walaupun bersama-sama, anak-anak tidak boleh mengambil nasi dan lauk pauk mendahului orang tua. Sudah barang tentu sang ayah dapat memilih hidangan yang paling istimewa di antara menu yang tersaji. Dalam hal ini sang istri sering berperan melayani baik suami maupun anak-anak mengambilkan nasi beserta lauk pauknya. Selain itu, dalam keluarga yang lebih egaliter semua anggota keluarga mengambil sendiri makanan yang diinginkan yang tersaji di meja secara bergantian. Pada saat makan, harus menjaga sikap dan tidak boleh sambil bicara, apalagi bersenda gurau. Semua harus duduk tertib menghadap makanan dengan penuh khidmad. Setiap hidangan yang diambil harus dihabiskan. Seperti nasi yang ada dipiring juga harus tidak ada yang tersisa. Dulu ada ungkapan yang mengatakan kalau nasi yang dimakan masih tersisa di piring Dewi Sri akan marah sehingga susah mendapat rejeki nantinya. Sekarang walaupun kepercayaan akan Dewi Sri sudah meluntur, tidak menghabiskan makan yang diambil diyakini akan membuat rezeki seret. Ketika mengunyah nasi tidak boleh bersuara (kecap) dan begitu pula ketika selesainya makan tidak boleh bersendawa (glegeken), itu sangat tidak etis. Cara berpakaian juga ada aturannya. Pada saat makan harus mengenakan pakaian yang rapi, dengan maksud untuk menghormati nasi yang akan dikonsumsi. Dalam kepercayaan Jawa tradisional nasi dianggap sebagai penjelmaan Dewi Sri. Mereka tidak boleh hanya mengenakan singlet, apalagi tanpa baju. Implikasi dari
73
masih kuatnya anggapan mereka terhadap mitos Dwi Sri, situasi makan berlangsung tertib dan sopan sehingga menambah nikmatnya suasana makan. Meskipun kepercayaan terhadap Dewi Sri sudah memudar, masalah etiket berpakaian dalam acara makan masih tetap tampak. Arena tempat makan bagi keluarga priyayi disediakan di ruang tertentu, yaitu ruang makan, terletak di bagian belakang ruang tamu (pendopo) atau samping rumah induk. Ruang itu dibuat permanen dan disitu tersedia mebeler makan lengkap dengan perlengkapannya seperti piring, sendok, garpu, dan serbet makan. Adanya ruangan makan khusus ini menjadikan anggota keluarga dalam melakukan kegiatan makan sehari-hari tidak di sembarang tempat. Dalam perkembangan kekinian, masyarakat Jawa kalangan atas sebagian terbiasa makan di luar rumah. Berbagai alasan mendasari kebiasaan makan di luar rumah seperti kesibukan, penghasilan yang memadai, gaya hidup, dan sebagainya. Menu dan tempat makan dipilih sesuai dengan selera maupun citra prestise sosial. Ada sederet pilihan bagi mereka, di Jember termasuk di antaranya RM Padang, Depot Jawa Timur, dan RM Lestari, California Fried Chicken (CFC), Kentucky Fried Chicken (KFC), Pizza Hut, dan Pujasera.
3.3.2 Tradisi Makan Etnis Jawa Kalangan Bawah Dalam tradisi makan keluarga Jawa kalangan bawah, aturan yang berlaku tidak seketat pada kalangan atas (priyayi). Mereka ini kebanyakan berprofesi sebagai petani, buruh, dan pertukangan. Baik mengenai menu yang dikonsumsi oleh setiap anggota keluarga, waktu makan, tatacara makan, serta tempat makan semua serba fleksibel atau tidak ada atuan yang ketat. Pada masa lampau keluarga Jawa dari kalangan kebanyakan umumnya makan dua kali sehari, yakni pada pagi hari dan malam hari. Menu terdiri atas nasi liwet dengan sayur hijau mentah atau setengah matang, kadang-kadang dicampur dengan jagung atau umbi-umbian, ditambah sedikit garam. Sering protein ditambahkan dalam diet biasanya berupa ayam, atau ikan asin, dan agak lebih jarang daging kerbau yang terlalu tua atau terlalu lemah untuk dipekerjakan di lahan pertanian. Makan
74
ditutup dengan berbagai buah dan air, kadang kadang makanan kecil dan kopi (Elson, 1994:7). Sulit untuk mengkuantifikasi banyaknya bahan pangan yang dikonsumsi keluarga Jawa. Raffles mengklaim bahwa hanya ada sedikit negara dimana massa penduduk secara baik mencukupi pangannya sebagaimana di Jawa. Sedangkan John Crawfurd menegaskan “orang di sini tidak mendapat kesulitan untuk menyediakan pangan bagi keluarganya (Elson, 1994:7). Gambaran historis tersebut tampaknya sudah mengalami pergeseran. Pada masa kini keluarga Jawa dari kalangan bawah (low class society), umumnya makan tiga kali dalam sehari. Hanya saja, masalah alokasi waktu makan tidak sama dengan kebiasaan masyarakat kalangan atas (priyayi). Mereka ini mayoritas berkategori petani sehingga masalah saat kapan mulai bekerja juga berbeda dengan kaum priyayi. Perbedaan saat mulai bekerja ini menyebabkan perbedaan pula dalam hal waktu makan. Waktu makan pagi (sarapan) bagi petani biasanya dilakukan pada sekitar jam 09.00 – 10.00 pagi. Sebagai petani biasanya mereka berangkat ke sawah antara jam 05.00-06.00 pagi dalam keadaan perut masih kosong. Biasanya hanya diisi segelas teh atau kopi dengan dilengkapi selinting rokok tembakau buatan sendiri (tingwe). Selanjutnya melakukan aktivitas mencangkul atau menyiangi tanaman sampai dengan pukul 09.00 (sekesuk), saat sang istri menyusul ke sawah dengan membawa makanan untuk sarapan pagi berupa nasi dan lauk pauk, serta air putih atau teh. Waktu istirahat kerja sekitar satu jam dimanfaatkan untuk berbicang-bincang mengenai banyak hal terutama yang berhubungan dengan kerumahtanggaan. Bagi kalangan non petani, seperti kaum buruh, tukang maupun para pekerja sektor informal lainnya, sarapan pagi yang berupa nasi bukan sesuatu yang mutlak. Walaupun demikian, biasanya ada yang dikonsumsi meskipun hanya berupa camilan seperti singkong maupun jajan pasar beserta minuman teh atau kopi sekedar untuk ganjal perut sebelum mereka berangkat kerja. Ketika menikmati hidangan tidak lupa sambil menghisap rokok buatan sendiri. Alokasi waktu sekitar jam 07.00 pagi, karena setelah itu langsung bekerja mencari nafkah. Untuk mempersiapkan segala sesuatu
75
yang diperlukan untuk sarapan pagi sang istri sudah mulai bekerja di dapur sejak sekitar jam 05.00 pagi. Makan siang bagi petani pada umumnya dilakukan pada sekitar pukul 12.00 13.00 siang, saat mereka melakukan istirahat setelah bekerja mulai pagi hari. Makan siang biasanya dilakukan bersama-sama dengan istri dan anak-anak di rumah dengan alasan agar merasakan nikmat walaupun dengan lauk seadanya. Mereka sambil berbincang-bincang mengenai berbagai hal. Momen itu tentunya bersamaan dengan waktu bersembahyang dhuhur sehingga waktunya juga terbatas sampai dengan pukul 14.00 untuk segera beraktivitas kembali di sawah atau di rumah. Bagi para buruh atau pekerja tukang, makan siang dilakukan di tempat kerja karena biasanya sudah disediakan oleh orang di tempat mereka bekerja. Menu yang disajikan biasanya berupa nasi dengan lauk-pauk sederhana, seperti tahu, tempe, sambal, ikan asin dan kerupuk. Makan malam dilakukan sekitar pukul 19.00 atau beberapa saat setelah bersembahyang maghrib. Makan malam tentunya juga dilakukan secara bersamasama dengan seluruh anggota keluarga. Menu yang disajikan untuk makan malam relatif sama dengan makan siang, karena kebiasaan keluarga memasak hanya sekali untuk menu selama satu hari. Bahkan kalau tidak habis, sisa menu makan malam juga disajikan untuk sarapan pagi esuk hari. Nasi selalu menjadi unsur pokok dalam menu keluarga. Mereka belum merasa makan kalau belum makan nasi. Sedangkan lauk pauk, bagi mereka tidak terlalu penting. Ada kalanya dalam keadaan tertentu, sayur-mayur diambil di kebun sendiri ditambah sambal dan garam. Untuk makan pagi (sarapan), sebenarnya tidak harus berupa nasi karena sering diselingi dengan makan singkong atau ketela rambat rebus ketika tidak memiliki beras yang akan dimasak. Akan tetapi, untuk makan siang dan malam biasanya tetap nasi. Preferensi masyarakat etnik Jawa terhadap nasi tampaknya wajar karena sebagai petani, komoditas tanaman yang mereka usahakan sejak dahulu yang paling utama adalah padi. Ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok sehari-hari semakin diperkuat sejak digalakkannya penanaman padi berumur pendek (pari cethek), yakni ketika diterapkannya Revolusi Hijau (green
76
revolution) pada awal tahun 1970-an. Sejak saat itu boleh dikatakan beras selalu tersedia, walaupun mengkonsumsi beras dengan kualitas rendah. Mengenai tatacara makan tidak ada aturan yang baku. Mereka boleh makan dimana saja, termasuk makan di dapur sekalipun. Makan sambil duduk di bawah dengan menggelar tikar juga tidak menjadi masalah. Walaupun ada sebagian responden yang lebih senang makan sendiri-sendiri karena lebih bebas, tetapi sebagian besar keluarga responden menerapkan kebiasaan makan bersama-sama bagi seluruh anggota keluarga, utamanya saat makan siang dan malam. Sebagai alasan rasionalnya adalah agar menu yang disajikan bisa merata, selain suasananya juga lebih nikmat. Alasan mereka sederhana seperti yang diungkapkan oleh Bu Ginah keluarga petani di Sukorejo Banyuwangi:
lebih
anak
“Pokoknya kalau makan bersama itu walaupun lauknya seadanya rasanya nikmat. Yang membuat nikmat itu karena suasananya terbuka bahkan kadang sambil rebutan karena persediaan lauk terbatas. Dan yang lebih penting lagi kesempatan ini dimanfaatkan oleh orang tua memberi petuah kepada anakagar tidak nakal, rajin belajar dan giat membantu orang tua“. Ketika makan bersama dalam keluarga, di kalangan keluarga Jawa kelas
bawah etiket dan tatakrama makan tetap ada, walaupun tidak seketat yang berlaku pada kalangan orang yang berada (priyayi). Disini tampaknya orang tua terutama ayah berperan sebagai pengendali agar selama makan berlangsung suasana tertib dan sopan. Dalam situasi yang demikian anak-anak akan takut untuk berbuat diluar nilainilai kesopanan, seperti bertengkar memperebutkan makan, mengenakan pakaian tidak pantas, buang angin (kentut) dan sebagainya.
3.3.3 Tradisi Makan Etnis Madura Kalangan Atas Kalangan atas yang dimaksud dalam masyarakat Madura adalah orang-orang yang termasuk dalam kategori priyayi, seperti keluarga bangsawan, pegawai (birokrat), kiai/ulama, dan orang-orang kaya. Dalam kehidupan sehari-hari mereka ini menjadi panutan bagi masyarakat. Sebagai orang yang terpandang, pada umumnya termasuk
77
dalam kategori mampu secara ekonomi. Mereka ini pada umumnya memiliki kebiasaan makan tiga kali dalam sehari, yaitu pagi, siang, dan malam hari. Makan pagi di kalangan atas etnik Madura biasanya dilakukan sekitar pukul 07.00. sebelum berangkat ke kantor. Untuk anak-anak yang masih sekolah makan pagi dilakukan sebelum mereka berangkat ke sekolah. Adakalanya orang tua makan di luar rumah (kantor) pada pukul 09.00 – 10.00 pagi. Dengan demikian tidak dapat melakukan makan secara bersama antara orang tua dan anak-anak. Dalam hal menu pagi hari, ada beberapa keluarga yang tidak mempersiapkan secara khusus berupa nasi, melainkan hanya berupa minum susu, kopi atau teh, dan jajan atau roti sebagai pengganti nasi sarapan pagi. Semua ini bukan karena ketiadaan dana, akan tetapi semata-mata kebiasaan yang berlaku pada setiap keluarga tidak sama. Walaupun demikian secara prinsip sama bahwa setiap pagi perut harus diisi. Makan siang pada umumnya dilakukan antara pukul 12.00 - 13.00, yakni saat istirahat setelah orang melakukan aktivikas kerja mulai pagi hari. Alokasi waktu istirahat selain dimanfaatkan untuk makan siang mereka melakukan sembahyang dhuhur. Ada beberapa versi tempat makan siang, yaitu ada yang di rumah, di tempat kerja, atau ada pula yang makan siang di warung. Walaupun begitu esensinya sama bahwa mereka semua harus makan nasi meskipun lauknya berbeda-beda sesuai dengan selera. Dalam situasi yang demikian, walaupun secara ideal masing-masing keluarga
mengidolakan
makan
bersama
dengan
anggota
keluarga,
tetapi
kenyataannya hal tersebut sulit direalisasikan karena masing-masing pihak memiliki kegiatan beragam. Makan malam biasanya dilakukan pada saat antara pukul 18.00 – 20.00. Saat tersebut merupakan saat yang tepat untuk makan bersama bagi seluruh anggota keluarga karena biasanya semua berkumpul di rumah setelah beraktvitas selama pagi hingga sore hari. Suasana formal terutama yang berhubungan dengan sikap pada saat makan, tata cara makan, dan interaksi antara sesama anggota keluarga masih terjaga. Kualitas menu yang dihidangkan oleh ibu rumah tangga relatif sepadan dengan ketika makan siang. Selesainya menikmati hidangan makan malam, sang istri memberikan
78
sajian untuk suami berupa secangkir teh atau kopi dan tidak jarang dilengkapi pula dengan makanan ringan. Bagi keluarga kiai di pondok pesantren ternyata makan pagi, siang, dan malam dapat dilakukan bersama dengan anak-anak dan istri karena sepanjang hari kehidupan mereka terkonsentrasi di dalam lingkup pesantren. Menu makan yang dihidangkan selain berupa nasi putih dilengkapi dengan sayur, daging atau telor, ikan laut. Untuk buah-buahan kalau ada lebih baik, tetapi tidak menjadi keharusan. Berkait dengan kebiasaan makan bersama dalam keluarga, Haji Toyib, seorang pengasuh pesantren di Jember mengatakan:
Kebiasaan makan bersama keluarga sudah berlangsung sejak kakek neneknya masih hidup. Selain menjaga keakraban dalam keluarga batih, yang lebih penting bisa memberikan teladan dan petuah-petuah kepada anak-anak agar dapat berperilaku seperti Nabi. Seperti sebelum mulai makan harus cuci tangan dan berdoa, dan selesai makan harus membaca hamdallah sebagai rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah. Selain itu juga merupakan kesempatan memberikan petuah kepada anak-anak tentang akhlak dan moralitas“ Kebiasaan makan dan minum bagi masyarakat Madura kalangan atas diatur oleh tatakrama atau adat sopan santun. Sebagai gambaran seperti yang telah dilakukan oleh seorang Raden Adipati, seorang bangsawan Sumenep, ketika makan hanya berdua bersama istrinya. Peran istri yang terpenting melayani menu yang dikehendaki
suami,
mulai
menyediakan
hidangan,
mengambilkan
piring,
menuangkan nasi dan lauk-pauk serta kebutuhan lain. Ketika sang suami telah menikmati hidangan, barulah sang istri mengambil makanan untuk dirinya. Ini merupakan salah satu bentuk pengabdian dan kesetiaan istri terhadap suami. Baru setelah orang tua selesai makan dan beranjak meninggalkan tempat makan, anakanaknya menyusul menuju ruang makan melanjutkan menikmati “sisa“ dari orang tua. Setelah itu baru kemudian diikuti anggota keluarga yang lain (Wibowo, dkk, 2002: 80-90). Dalam perkembangan selanjutnya, keluarga bangsawan melakukan kebiasaan makan bersama dengan seluruh anggota keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu,
79
dan anak-anak dalam satu meja. Dalam situasi yang demikian peran istri tidak hanya terfokus melayani suami, tetapi juga anak-anaknya. Walaupun demikian, menu yang disajikan diistimewakan untuk sang ayah karena ia selain kepala keluarga juga yang mencari uang untuk keluarga. Secara etika anak tidak boleh mendahului orang tua, mulai mengambil nasi, memilih lauk pauk sampai berakhirnya makan. Lauk pauk untuk ayah dipilihkan yang lebih istimewa, seperti lauk ayam dipilih bagian yang banyak mengandung daging. Sebelum orang tua (ayah) meninggalkan tempat makan anak-anak juga tidak boleh meninggalkan tempat. Makan merupakan kebutuhan utama bagi manusia agar dapat bertahan hidup. Namun demikian, menurut ajaran Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Madura sebaiknya makan secukupnya saja. Kelebihan porsi makan (kekenyangan) dianggap tabu untuk kalangan masyarakat atas. Bahkan menurut RB. Abdul Latif, jika anaknya makan terus-menerus sampai kekenyangan dikatakan seperti hewan (Wibowo, 2002: 86). Hal ini merujuk pada hadis Nabi yang mengatakan bahwa: “makanlah engkau ketika lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang”. Dengan kondisi seperti ini setiap apa yang dimakan akan merasa nikmat. Sebaliknya mereka beranggapan menyisakan makanan dianggap kurang menghargai nikmat yang diberikan Tuhan. Ada mitos mengatakan bagi orang yang tidak menghabiskan makanan tidak akan mendapatkan rejeki lagi (ba’na rajjeke’na e’dina). Makanan sebagai karunia Tuhan, keberadaannya harus dihargai. Seperti mengambil makanan harus menggunakan tangan kanan dan ketika sedang makan tidak baik dilakukan sambil berbicara. Apalagi sambil mengucapkan kata-kata yang kotor. Akan tetapi sebaliknya, ketika makan sambil mengeluakan suara kecap atau bersendawa (aderrap) justru tidak apa-apa karena menunjukkan kenikmatan dalam mengonsumsi hidangan. Tradisi makan bersama dalam keluarga bangsawan tersebut secara paternalistik juga diikuti oleh masyarakat Madura kalangan atas lainnya, walaupun aturannya tidak seketat seperti yang berlaku pada keluarga bangsawan. Seperti misalnya antara ayah, ibu dan anak-anak duduk bersama dalam satu meja makan. Cuma secara etiket seorang ayah mengambil makanan terlebih dahulu, baru diikuti
80
oleh istri dan anak-anaknya. Sampai saat ini makan bersama menjadi kebiasaan dilakukan oleh masyarakat Madura. Tujuan makan bersama yang utama adalah untuk mempererat hubungan antara sesama anggota keluarga melalui komunikasi yang lebih intensif untuk mewujudkan keharmonisan keluarga. Dalam suasana seperti ini seringkali dimanfaatkan untuk berdiskusi membahas permasalahan keluarga serta kesempatan bagi orang tua memberikan nasehat kepada anak agar berbuat baik dan jujur. Makan di luar rumah juga sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga kalangan atas etnik Madura. Kebiasaan ini terbentuk karena seringnya aktivitas keluarga di luar rumah. Bagi kalangan elite Madura makan di luar rumah sering dilakukan di tempattempat yang mempunyai prestise sosial seperti yang dijumpai di kalangan atas etnik Jawa di Besuki. Bagi keluarga kyai dan ulama menu makanan yang paling disukai pada umumnya sate, gule, dan rawon. Tampaknya ada korelasi antara preferensi menu makanan ini dengan orientasi kultural keagamaan mereka yang berkiblat ke Dunia Arab. Bagian berikut akan melihat tradisi makan etnik Madura kalangan bawah. 3.3.4 Tradisi Makan Bagi Etnis Madura Kalangan Bawah Pada prinsipnya orang Madura kalangan bawah memiliki tradisi makan yang sama dengan masyarakat kalangan atas, yaitu kebiasaan makan dilakukan tiga kali dalam sehari. Hanya saja, masalah alokasi waktu makan tidak sama dengan kebiasaan masyarakat kalangan atas (priyayi). Mereka ini mayoritas berkategori sebagai petani, nelayan, tukang kayu, tukang batu, tukang becak, pedagang kecil sehingga masalah waku mulai bekerja juga berbeda dengan kaum priyayi. Perbedaan saat mulai bekerja ini menyebabkan perbedaan pula dalam hal waktu makan. Selain masalah alokasi waktu makan, jenis makanan yang dikonsumsi terutama pada pagi hari (sarapan) juga berbeda. Alokasi waktu makan bagi masyarakat Madura kelas bawah menunjukkan keragaman sesuai dengan karakter jenis lapangan pekerjaan yang digeluti. Waktu makan pagi bagi petani biasanya dilakukan pada sekitar jam 09.00 – 10.00 pagi.
81
Begitu pula yang bekerja di pertukangan, makan pagi bukan berupa nasi akan tetapi berupa jajan pasar yang mengenyangkan seperti nogosari, ketan, kuro, mendut, kue hongkong, dan sejenisnya. Lain lagi dengan masyarakat nelayan, makan pagi biasanya hanya berupa bubur (tajin), ketan atau makan kue-kue jajan pasar. Waktu makan mereka biasanya lebih pagi, yakni sekitar pukul 07.00 pagi. Berbeda lagi bagi anak-anak yang masih sekolah, tradisi sarapan pagi sebelum berangkat sekolah biasa dilakukan, untuk menjaga agar tetap energik saat menerima pelajaran di sekolah. Sebagai petani biasanya mereka berangkat ke sawah antara jam 05.00-06.00 pagi dalam keadaan belum sarapan. Biasanya hanya minum segelas kopi dengan dilengkapi selinting rokok tembakau buatan sendiri. Selanjutnya melakukan aktivitas mencangkul atau menyiangi tanaman sampai dengan pukul 09.00, saat sang istri menyusul ke sawah dengan membawa makanan untuk sarapan pagi beserta minuman berupa air putih dan kopi. Adakalanya sarapan pagi tidak berupa nasi, tetapi makanan alternatif berupa singkong dan umbi-umbian.
Pokoknya ada yang dimakan dan
memberi rasa kenyang dan tenaga pada saat bekerja. Waktu istirahat tidak lama, sekitar satu jam kemudian melanjutkan kerja kembali. Bagi kalangan non petani, seperti kaum buruh, nelayan, tukang maupun para pekerja sektor informal lainnya, sarapan pagi yang berupa nasi bukan sesuatu yang mutlak. Walaupun demikian, biasanya ada konsumsi pengganti meskipun hanya berupa camilan seperti singkong maupun jajan pasar beserta minuman kopi sekedar untuk ganjal perut sebelum mereka beraktivitas pagi. Ketika menikmati hidangan biasanya ditemani dengan menghisap rokok. Waktunya sekitar jam 07.00 pagi, setelah itu langsung bekerja mencari nafkah. Penyiapan sarapan oleh istri dilakukan sejak sekitar jam 05.00 pagi setelah sembahyang subuh. Seperti yang diutarakan oleh Junaidi (37 tahun), seorang tukang batu di Jember mengatakan bahwa: “Setiap pagi hari tidak pernah sarapan nasi, kecuali hanya berupa kue-kue yang mengenyangkan dan segelas kopi sudah cukup. Untuk melengkapinya ditambah satu batang (lencer) rokok yang dibeli ngecer di warung. Setelah itu, sekitar pukul 07.00 berangkat kerja. Ketika di tempat kerja, sekitar pukul 09.00 tentu sudah disediakan makanan (jajan) dan minum oleh orang yang
82
memanfaatkan jasa setiap hari“.
tenaganya. Kebiasaan seperti ini secara rutin berlangsung
Makan siang bagi masyarakat petani, nelayan, buruh dan pertukangan pada umumnya dilakukan pada sekitar pukul 12.00 - 13.00 siang, saat mereka istirahat setelah bekerja mulai pagi hari. Makan siang biasanya dilakukan bersama-sama dengan istri dan anak-anak dengan alasan agar merasakan nikmat walaupun dengan lauk seadanya. Mereka makan sambil berbincang-bincang mengenai berbagai hal. Momen itu bersamaan dengan waktu bersembahyang dhuhur sehingga waktunya juga terbatas karena harus segera beraktivitas kembali di sawah atau di tempat kerja lainnya. Bagi para buruh atau pekerja tukang, makan siang dilakukan di tempat kerja karena biasanya sudah disediakan oleh orang di tempat mereka bekerja. Menu yang disajikan cukup sederhana, biasanya berupa nasi dengan lauk ikan pindang, tahu, tempe, dan sayur. Bagi kaum nelayan makan siang dilakukan di rumah bersama istri dan anak-anak jika mereka tidak sekolah. Jika anak-anak sekolah tentunya tidak bisa makan bersama. Makan malam dilakukan sekitar pukul 19.00 atau beberapa saat setelah bersembahyang maghrib. Makan malam biasanya dilakukan secara bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga. Menu yang disajikan untuk makan malam relatif sama dengan makan siang, karena kebiasaan keluarga masak hanya sekali untuk menu selama satu hari. Bahkan kalau tidak habis, sisa menu makan malam juga disajikan untuk sarapan pagi esok hari. Yang sering makan tidak tepat waktu adalah anak-anak, karena waktunya tersita untuk kegiatan belajar ngaji di TPA. Kadangkadang mereka makan malam sebelum magrib atau ada pula yang setelah jam 20.00, setelah pulang dari mengaji. Dalam sehari pada umumnya makan tiga kali, yaitu makan pagi (sarapan), makan siang, dan makan malam. Namun tradisi semacam ini tidaklah seragam di semua tempat. Di kampung nelayan Panarukan, kebiasaan makan hanya dua kali, yaitu siang dan malam hari. Untuk makan pagi bukan berupa nasi, tetapi hanya berupa bubur (tajin) atau jajan pasar seperti kue hongkong (heci), nagasari, pisang
83
goreng, tahu isi, dan sebagainya. Ketergantungan orang Madura terhadap nasi terjadi sejak awal tahun 1970. Waktu sebelum itu, sekitar tahun 1960-an beras sangat susah didapat. Selain harganya mahal, sulit didapat karena jarang warung yang menjual beras. Menurut Bu Siyah, yang berprofesi sebagai dukun pijat :
Sebelum tahun 1970, makanan sehari-hari warga di sini adalah beras jagung (nase bu’uk) dengan lauk ikan asin. Beras pada waktu itu merupakan barang langka karena harganya sangat mahal. Jenis makanan yang lain adalah nase cangkarok yaitu campuran nasi aking dengan ketela pohon (sabrang) direbus, kemudian dicampur kelapa dengan lauk ikan laut (juko’ tase’). Kemudian ada lagi nasi sabrang, yaitu ketela pohon diparut dan setelah itu dijemur baru direbus untuk dijadikan nasi dengan lauk ikan asin. Pada saat sekarang ini nasi merupakan unsur utama, khususnya untuk makan siang dan malam. Untuk makan pagi (sarapan), sebenarnya tidak harus berupa nasi karena sering diselingi dengan makan singkong atau ketela rambat rebus ketika tidak memiliki beras yang akan dimasak. Akan tetapi bagi anak sekolah, sarapan pagi berupa nasi biasanya disediakan dalam setiap rumah tangga agar anaknya tetap bersemangat ketika belajar di sekolah. Ketergantungan masyarakat etnik Madura terhadap nasi sekarang ini disebabkan selalu tersedianya beras di pasar. Karena sudah menjadi kebiasaan, saat ini tampaknya sulit untuk beralih ke bahan makanan pokok lain, kecuali untuk sekedar makan selingan yang sifatnya temporal. Justru yang menjadi masalah untuk konsumsi anak-anak. Mereka tidak biasa makan selain nasi, sehingga walaupun harga beras mahal tetap harus dibeli. Selama ini untuk menghemat pengeluaran rumah tangga, yang bisa ditekan adalah lauknya. Kalau terpaksa hanya makan nasi dengan lauk kecap dan krupuk tidak masalah. Hubungan antar individu di meja makan dalam keluarga kalangan bawah etnis Madura lebih bersifat egaliter. Tidak ada aturan yang ketat baik mengenai tata cara makan, sikap, cara berpakaian, siapa yang harus mengambil makan terlebih dahulu, dan cara menyajikan makanan, semuanya bersifat longgar. Anak boleh mengambil makanan mendahului orang tua, termasuk sambil berbincang-bincang, dan
84
bersendawa justru menjadi kebiasaan sebagai tanda kepuasan dalam menikmati hidangan. Tempat makan pun tidak harus berupa ruangan khusus. Mereka boleh makan dimana saja, termasuk makan di dapur sekalipun. Yang tidak boleh apabila makan di depan pintu (ta’ oleh ngakan eade’ labbang) karena menurut kepercayaan mereka itu akan menghalangi arwah leluhur yang akan masuk rumah. Makan sambil berdiri atau sambil duduk di bawah dengan menggelar tikar juga tidak menjadi masalah. Meskipun sebagian responden lebih senang makan sendiri-sendiri karena lebih bebas, tetapi sebagian besar keluarga responden menerapkan kebiasaan makan bersama-sama bagi seluruh anggota keluarga, utamanya saat makan siang dan malam. Alasannya agar menu yang disajikan bisa dinikmati bersama dan merata, selain tentu suasananya juga lebih nikmat. Tempat makan biasanya di lincak atau dengan menggelar tikar atau dapat juga di kursi, tergantung kondisi keluarga. 3.4 Makan Dalam Konteks Sosial Budaya 3.4.1 Makan Dalam Perspektif Budaya Jawa Makan tidak hanya berlangsung dalam keluarga, melainkan juga dalam berbagai kesempatan yang melibatkan banyak orang dari keluarga yang berbeda. Kebiasaan makan pada tingkat di luar (supra) keluarga merupakan peristiwa kultural yang kaya ragam dan bervariasi antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Terdapat polapola kebudayaan (pattern of culture) tertentu sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku dalam masing-masing komunitas yang dijadikan pedoman dalam bertingkah laku, termasuk perilaku makan yang baik. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, makan dalam lingkup supra keluarga menggambarkan konstruksi sosial dan budaya yang tentunya juga mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan zaman. Berdasarkan lingkungan ekologisnya, pola makanan pokok wilayah Jawa dapat dibedakan antara daerah tanah basah dan daerah tanah kering. Bagi daerah tanah basah kebanyakan bahan makanan pokoknya ialah nasi beras, sedangkan daerah tanah kering berupa ubi kayu (gaplek) (Mudjadi, dkk, 1997: 58). Adanya perbedaan bahan makanan pokok ini memunculkan bermacam-macam bentuk rekayasa makanan
85
yang dihasilkan orang Jawa terutama yang berbahan non beras agar menarik untuk dikonsumsi. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi budidaya pangan seperti pada saat ini, beras akhirnya mendominasi kebutuhan makanan pokok masyarakat. Masyarakat Jawa dalam menjalin hubungan sosial berdasarkan atas perbedaan status sosial. Masalah senioritas menjadi panutan (mikul dhuwur mendhem jero) dalam kehidupan sehingga keberadaannya harus dihormati. Termasuk dalam hal makan orang yang dituakan memiliki posisi utama yang tidak boleh diungguli oleh posisi sosial di bawahnya, karena itu sangat sensitif (ora ilok = kuwalat). Seperti makan bersama dalam keluarga, yang paling diutamakan adalah siapa yang paling dituakan dalam kaluarga itu. Jika dalam keluarga itu ayah yang paling dituakan maka ia yang mendapat prioritas mulai mengambil makanan terlebih dahulu. Kemudian dalam konteks sosial, orang yang lebih dituakan seperti kiai, petinggi dan ulama, mereka ini mendapatkan perlakuan istimewa atau mengambil menu terlebih dahulu. Bentuk mengutamakan terhadap orang yang lebih dituakan ini tampak tidak saja dalam tatacara makan dalam keluarga, akan tetapi juga dalam acara makan bersama yang lain seperti pada saat upacara ritual (slametan). Masyarakat Jawa memiliki banyak macam upacara selamatan dan setiap selamatan mengandung muatan makan bersama sebagai pelengkap ritual. Dari berbagai macam selamatan yang hidup pada masyarakat Jawa dapat dikelompokkan menjadi paling tidak empat macam, yaitu: 1) selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang (along life cycle), seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian; 2) selamatan yang berkaitan dengan bersih desa, seperti nyadran; 3) selamatan yang berhubungan dengan hari besar Islam, seperti maulud nabi dan sya’ban; 4) selamatan yang berorientasi kepada kepentingan pribadi, seperti pindah rumah, ngruwat, dan kaul (Kodiran, 1985: 340). Dalam berbagai upacara selamatan ini selalu memosisikan orang yang dituakan (tiyang sepuh) pada kedudukan yang paling utama, seperti misalnya tempat duduk pada posisi paling depan bersebelahan dengan kiai/modin pemimpin upacara. Selain itu dalam memberikan hidangan mereka ini diberi kesempatan yang pertama, baru kemudian diikuti oleh peserta upacara selamatan yang lain.
86
Tradisi selamatan adalah menyelenggarakan kegiatan makan bersama dengan perangkat berbagai makanan tradisional. Makanan yang disajikan dalam setiap upacara selamatan tidak selalu sama, tergantung pada makna selamatannya. Satu hal yang tidak boleh ditinggalkan bahwa makanan yang disajikan dalam selamatan selalu mengandung bahan beras (nasi). Sebelum acara makan dilakukan, seperangkat makanan terlebih dahulu disajikan di hadapan mereka yang hadir dalam upacara dengan dilakukan pembacaan do’a-do’a dan puja-puji. Selain kepada Tuhan, pada masa lampau permohonan keselamatan ditujukan pula kepada kekuatan supranatural atau makhluk-makhluk halus yang diyakini tinggal di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat (Herlingga, 1987:72). Selesai pembacaan da’o dan puji-pujian kepada Tuhan diakhiri dengan makan bersama, yang maknanya secara religius bahwa makanan yang dipersembahkan kepada kekuatan supranatural itu telah diterima sehingga dengan harapan do’anya terkabul. Makna secara sosial, dengan makan bersama ini akan memperkuat rasa solidaritas di antara sesama warga peserta upacara selamatan. 3.4.2 Makan Dalam Perspektif Budaya Madura Masyarakat Madura masih memandang penting arti perbedaan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya sebagai prinsip saling menghormati. Perbedaan status sosial ini ditentukan oleh beberapa hal seperti jenis kelamin, umur, jabatan, pangkat, kekayaan dan pendidikan. Dalam hal makan dan hubungannya dengan masalah penjenjangan sosial ini misalnya untuk menyebut kata makan, kepada orang yang strata sosialnya lebih tinggi adalah daar, neddha, dan ngakan. Penghormatan terhadap orang yang strata sosialnya lebih tinggi juga tampak dalam hal tatacara makan. Untuk mengambil makanan yang disajikan terlebih dahulu diprioritaskan kepada orang yang lebih dituakan kemudian baru secara bergiliran kepada yang lebih muda. Sebagai masyarakat yang agamis, kiai memiliki predikat tertinggi di kalangan masyarakat Madura. Walalupun usianya lebih muda, ia diberi kesempatan mengambil hidangan terlebih dahulu.
87
Masyarakat Madura mengenal bermacam-macam upacara ritual yang selalu memosisikan kiai pada kedudukan tertinggi dalam setiap upacara ritual karena kedudukannya sebagai imam. Hal ini sebagai gambaran yang menunjukkan stigma “santri“ pada masyarakat Madura. Berbagai macam upacara ritual ini selalu diikuti dengan makan bersama sebagai pelengkap ritual. Dari berbagai macam selamatan yang hidup pada masyarakat Madura dapat dibedakan menjadi empat macam, seperti halnya yang berlaku pada masyarakat Jawa, yaitu: 1) selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang (along life cycle), seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian; 2) selamatan yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan, seperti memperingati hari kemerdekaan; 3) selamatan yang berhubungan dengan hari besar Islam, seperti maulud nabi dan sya’ban; 4) selamatan yang berorientasi kepada kepentingan pribadi, seperti pindah rumah, rokat, dan hol (peringatan orang meninggal sesudah nyebu). Dalam upacara ritual, semua yang hadir aktif berdoa mengikuti lafal kiai yang memimpin upacara. Selesainya upacara ritual diakhiri dengan makan bersama dan ketika pulang semua membawa berkat yang berisi nasi lengkap dengan lauk pauk dan kue-kue (jajan). Untuk upacara ritual yang diselenggarakan secara perorangan (no. 1 dan 4), hidangan makan dan berkat ditanggung oleh penyelenggara, sedangkan pada upacara untuk kepentingan bersama (no.2 dan 3) menjadi tanggungan bersama pula, dalam arti setiap peserta membawa hidangan sendiri-sendiri nantinya dikumpulkan dan dibagi untuk dikonsumsi secara bersama. Kebiasaan makan bersama menurut adat Madura tidak saja dilakukan dalam keluarga batih, tetapi juga dilakukan dengan keluarga luas (extended family) dan masyarakat sekitar. Dalam kehidupan sosial masyarakat Madura dikenal dengan pola pemukiman berkelompok dan unit kelompok terkecil adalah taneyan lanjang (Latief Wiyata, 1987). Hubungan solidaritas dalam kehidupan taneyan lanjang memiliki ikatan kuat, meliputi hampir semua kegiatan kerumahtanggaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk acara makan bersama yang dilakukan secara rutin, seperti terbi’an (memperingati hari kelahiran seseorang/weton), pengajian malam Jumat, hataman, dan ngehol. Dalam penyelenggaraan upacara ritual ini cukup sederhana, terutama jika
88
dilihat hidangan yang disajikan dan jumlah peserta yang hadir. Hidangan yang disjikan hanya berupa nasi dengan sayur dan lauk pauk berupa tahu, tempe dan telor atau daging ayam. Mereka yang hadir cukup diberi makan, akan tetapi jika memungkinkan diberi berkat juga lebih baik. Yang terpenting dalam ritual ini adalah doa dan kebersamaannya dalam kehidupan kolektif. Peserta upacara yang hadir tidak lebih dari 20 orang, bahkan kadang-kadang hanya 5 orang. Hanya saja, frekuensi upacara semacam ini sering dilakukan terutama apabila seseorang habis mendapat rejeki, misalnya hasil penennya bagus atau memdapat keuntungan besar bagi orang yang berprofesi pedagang. Adat Madura sering melaksanakan makan bersama terutama sebatas dalam keluarga keluarga luas, taneyan lanjang. Makan bersama umumnya berlangsung secara lesehan (di lantai) dengan menggelar tikar, akan tetapi juga ada yang menggunakan meja (lencak) dan duduk di kursi. Hal ini merupakan bentuk kebersamaan dan menunjukkan kuatnya ikatan keluarga dalam kehidupan masyarakat Madura. Keluarga besar (khususnya keluarga yang sangat taat agama) biasanya makan bersama secara lesehan, dengan memisahkan tempat duduk untuk perempuan dan laki-laki. Mereka mengelilingi berbagai sajian yang telah disiapkan untuk disantap. Anak-anak biasanya membaur begitu saja, apalagi mereka yang masih harus disuapi. Motivasi untuk melakukan makan bersama dalam keluarga luas atau tetangga dekat, terutama karena mereka menganggap semua ini bukan orang lain (ta’ oreng laen) sehingga harus bisa saling merasakan. Dalam acara makan bersama tersebut dipimpin oleh seorang kiai untuk membacakan doa sesuai dengan maksud dan tujuan bagi orang yang punya hajat. Makan bersama dapat menjadi simbol manusia sebagai makluk kolektif, bahwa apapun yang diperoleh oleh bagian keluarga maka seluruh anggota keluarga dan tetangga terdekat harus dapat menikmatinya. Demikian pula apapun yang didapat dan kurang mengenakkan maka seluruh anggota keluarga dan tetangga terdekat juga harus merasakannya. Pada dasarnya yang dimakan bersama adalah hasil jerih payah orang tua atau keluarga, untuk dinikmati seluruh keluarga dan tetangga terdekat. Dengan cara makan bersama, maka diharapkan tidak akan
89
muncul perbedaan atau pembedaan di antara mereka. Semua anggota keluarga mengetahui dan ikut menikmati yang telah disajikan, sehingga tidak akan ada perlakuan menganakemaskan dan atau menganaktirikan. Melalui makan bersama yang dihubungkan dengan peristiwa sakral (terbi’en, ngehol, dan sebagainya) diharapkan membawa barokah dengan rejeki yang melimpah selain menimbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan di antara mereka dan lebih luas lagi terciptanya harmonisasi sosial. Tradisi
makan
bersama
yang
lebih
luas
terjadi
ketika
seseorang
menyelenggarakan upacara ritual yang lebih besar seperti walimatul haji, kitanan, perkawinan, dan selamatan orang meninggal. Dalam suasana yang demikian tentu mengundang orang dalam jumlah lebih besar, bahkan sampai ratusan orang. Ada kecenderungan semakin banyak orang yang diundang semakin bergengsi walaupun kemempuannya terbatas. Dalam hal ini, keluarga dalam taneyan lanjang (extended family)
dan
tetangga
dekat
menjadi
tulang
punggung
demi
suksesnya
penyelenggaraan upacara, terutama dalam hal upaya mencukupi kebutuhan konsumsi. Kuatnya rasa kebersamaan yang ada pada masyarakat Madura tampak adanya kewajiban bagi orang yang diundang dalam berbagai selamatan, melalui para istri untuk datang bersama-sama sambil membawa berbagai kebutuhan pokok untuk selamatan, di antaranya adalah beras sejumlah 3 kg. Begitu pula untuk orang meninggal, para ibu-ibu juga membawa beras dalam jumlah yang sama. Adanya ukuran beras sejumlah tertentu ini menggambarkan adanya kesetaraan dalam kehidupan orang Madura, terkecuali bagi keluarga dekat (kerabat) tentunya ada nilai lain dengan ukuran yang berbeda.
3.5 Kesimpulan Berdasarkan uraian di depan dapat disimpulkan bahwa konsepsi makan bagai kalangan etnik Jawa dan etnik Madura telah mengalami pergeseran. Pada masa lampau makan dilakukan lebih untuk pemenuhan rasa kenyang, namun sekarang ini unsur prestise sosial ikut mempengaruhi menu makan yang dikonsumsi. Sekarang ini kebiasaan makan mereka juga memperlihatkan orientasi yang lebih kuat pada
90
pentingnya nilai-nilai nutrisi (empat sehat lima sempurna) dalam menu makan. Seiring dengan perkembangan masyarakat, konsepsi mengenai laku makan baik di kalangan etnik Jawa maupun Madura telah memudar. Etiket dan tatacara makan juga mengalami pergerseran kearah yang lebih longgar menuju ke semangat egalitarian dalam keluarga. Pergeseran terjadi pula dalam tradisi makan. Frequensi makan dari dua kali meningkat menjadi tiga kali sehari. Perubahan ini dipengaruhi pertama oleh konsepsi yang berubah mengenai makan yang baik bagi kebutuhan tubuh, meningkatnya kebutuhan hidup yang mengharuskan stamina dan kerja keras, serta tersedianya bahan pangan yang lebih memadai. Dalam pergeseran ini, peran beras sebagai unsur makanan pokok justru semakin menguat dan menciptakan ketergantungan yang semakin tinggi pada beras. Makanan alternatif selain beras kurang populer karena beras memiliki keunggulan dalam hal rasa kenyang, proses memasak lebih praktis, dan selalu tersedia di pasar mapun warung. Tradisi makan bersama dalam lingkup keluarga frekuensinya semakin berkurang, namun dalam lingkup yang lebih luas frekueansinya tetap tinggi. Baik di kalangan etnik Jawa maupun Madura makan bersama dalam upacara-upacara ritual masih tetap diselenggarakan dan dalam hal ini beras selalu menjadi menu makanan utama.
91
BAB IV ISU KETAHANAN PANGAN 4.1 Pengantar Ketahanan pangan terkait erat dengan keberlangsungan hidup suatu bangsa dan kemampuannya dalam membangun peradaban. Bangsa Mesir kuna yang mendiami lembah Sungai Nil yang subur sejak 5000-4000 SM, misalnya, mampu mengubah “musibah” menjadi “anugerah” dengan memanfaatkan luapan banjir Sungai Nil untuk kepentingan pertanian karena setiap tahun luapan banjir membawa endapan baru yang menyuburkan areal tanah pertanian. Melalui pendistribusian hasil panen secara merata, rakyat Mesir dapat hidup makmur (Sugihardjo, 1989:24).
Kehidupan
masyarakat Mesir yang sejahtera mendorong mereka beraktivitas dan berkreativitas di bidang seni, bangunan, sastra, religi dan astronomi. Demikian pula berbagai bangsa yang tinggal di antara lembah Sungai Efrat dan Tigris (Mesopotamia) yang subur mampu membangun ketahanan pangan dan menyelenggarakan perdagangan hasil pertanian dan kerajinan tangan dengan negara-negara tetangga sehingga, bukan suatu kebetulan belaka, di tempat inilah berdiri kerajaan-kerajaan besar dengan tingkat peradaban tinggi seperti Assyria, Babylonia, Akkadia, dan Persia (Sundoro, 2006:43-63). Dalam konteks Indonesia, isu ketahanan pangan juga sangat vital bagi kelangsungan hidup bangsa. Bung Karno di dalam kuliah umum mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada bulan April 1952 dengan tegas menyatakan bahwa persoalan pangan menyangkut hidup-matinya bangsa (Suryana, 2004:v). Dapat dimengerti sejak dulu hingga sekarang, ketahanan pangan tetap menjadi prioritas penting dalam pembangunan di Indonesia. Memang, setiap orang memiliki hak atas pangan (right to food) dan penyelenggara negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak ini. Kewajiban menghormati diartikan sebagai keharusan negara untuk memberikan akses yang memadai bagi setiap orang terhadap pangan. Kewajiban melindungi maksudnya negara menjamin akses individu terhadap pangan tidak dirampas oleh korporasi maupun individu lain. Kewajiban
92
memenuhi adalah kewajiban negara untuk menyediakan pangan yang cukup bagi rakyat (Hasan dan Yustika, 2008:6). Untuk mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh dan berkelanjutan, diperlukan politik pangan yang mengarah kepada kedaulatan pangan, yakni kemampuan untuk melakukan pengadaan dan penyediaan pangan bagi rakyatnya secara mandiri (Hafsah, 2005:x). Ketahanan pangan (food security) mempunyai pengertian yang kompleks. Istilah ini sering menjadi perdebatan dan pengertiannyapun mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Istilah ketahanan pangan pada era 1970-an lebih banyak diartikan sebagai ketersediaan pangan di tingkat global dan nasional daripada di tingkat rumah tangga. Sementara itu, pada tahun 1980-an istilah ketahanan pangan berarti ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Pengertian ketahanan pangan kemudian berkembang menjadi ketersediaan pangan yang memadai pada tingkat harga yang layak dan terjangkau kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup. Deklarasi Roma tentang pangan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia (1996) mengamanatkan bahwa ketahanan pangan dapat terwujud apabila semua orang memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat (Shobar, 2003:9-11). Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Ketahanan pangan di Indonesia telah memasukkan aspek keamanan, mutu dan keragaman sebagai kondisi yang harus dipenuhi dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata dan terjangkau oleh setiap keluarga (Hasan, 2008:5-6). Dalam bab ini dibahas perkembangan historis isu ketahanan pangan serta pemahaman etnik Jawa dan Madura terhadap permasalahan ini, termasuk pandangan internal kedua kelompok etnis tentang peran dan kontribusi riel yang mereka dapat sumbangkan
untuk
mewujudkan
tercapainya
ketahanan
pangan
nasional.
Diargumentasikan bahwa sekalipun tatanan politik berbeda datang silih berganti, ketahanan pangan tetap merupakan isu sentral yang tidak pernah berubah. Namun demikian, harus diakui bahwa konsepsi negara dan masyarakat mengenai ketahanan pangan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan menjadi semakin
93
kompleks. Pemahaman mengenai ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, dan keluarga, serta kendala dan ancaman untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkesinambungan, maupun cara bagaimana permasalahan ketahanan pangan dapat dipecahkan ternyata cukup bervariasi.
4.2 Isu Ketahanan Pangan Nasional Dalam Perspektif Sejarah Jika menengok perjalanan sejarah bangsa Indonesia, persoalan ketahanan pangan ternyata telah menjadi isu penting dari masa ke masa. Pada jaman Mataram Hindu tulang punggung kemakmuran terletak pada sektor pertanian. Kehidupan rakyatnya menggantungkan diri pada bidang pertanian. Mereka mengolah lahan pertanian, hidup di desa-desa dengan semangat gotong royong dan religius. Peninggalan sejarah di pedalaman yang ada hingga sekarang berupa monumen-monumen raksasa seperti Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Prambanan, Kalasan merupakan karya monumental masyarakat agraris pada masa lampau. Tanpa dasar pertanian yang kuat dan surplus pangan yang melimpah, serta tanpa adanya semangat kegotong-royongan yang tinggi yang didukung semangat hidup religius, bangunan-bangunan semacam itu tidak mungkin berdiri (Trisulistiyono, 2004:2-3). Negara mengusahakan terwujudnya ketahanan pangan melalui pembangunan sistem irigasi yang diadopsi dari India yang masuk seiring dengan berkembangnya pengaruh Hinduisme di Jawa (Furnivall, 1967:7). Mengingat strategisnya ketahanan pangan, tidak mengherankan masalah ini menjadi bagian dalam mempertahankan diri maupun mengalahkan lawan dalam persaingan memperebutkan hegemoni politik. Ketika menumpas pemberontakan Bhre Wirabumi dari Kadipaten Blambangan, pasukan Majapahit di bawah pimpinan Damarwulan menggunakan penguasaan bahan pangan sebagai taktik perang. Blambangan sebagai bawahan Majapahit dikenal sebagai lumbung padi dan pemasok pangan bagi Kerajaan Majapahit. Menjelang panen raya tiba, di daerah ini tampak hamparan padi menguning berkilauan bagaikan “samudera emas.” Masyarakat Banyuwangi melukiskan Bhre Wirabumi (Minak Jingga) sebagai seorang pahlawan dengan kesaktian gada wesi kuning yang berjuang gigih untuk mempertahankan
94
daerah Blambangan dari serbuan Majapahit (Misnadi 22 Nopember 2005). Pasukan perang Majapahit di bawah panglima perang Damarwulan (Ekawati, 1992:73-75) berhasil menumpas kekuatan Bhre Wirabumi (Poesponegoro dkk. 1984:5-6) setelah berhasil menguasai daerah-daerah lumbung padi yang disimbolkan sebagai “gada wesi kuning”, senjata andalan Minak Jingga (Djamal, 14 Pebruari 2004). Ketahanan pangan juga menjadi isu strategis pada masa Mataram Islam. Pada mulanya pusat kekuasaan Mataram masih berupa hutan belantara yang dihadiahkan Sultan Pajang
kepada Ki Ageng Pemanahan.
Wilayah ini diberikan sebagai
penghargaan atas jasanya dalam perang suksesi untuk
menyingkirkan Arya
Penangsang sebagai pesaing pewaris tahta Demak. Ki Ageng Pemanahan yang dibantu puteranya, Sutawijaya (Panembahan Senopati) beserta pengikutnya membuka hutan yang dihadiahkan untuk dijadikan daerah pertanian. Ia berkeinginan menjadikan Mataram sebagai pemegang supremasi kekuasaan atas tanah Jawa dengan menjadikan beras sebagai komoditas politik. Berkat kepemimpinan Panembahan Senopati dan Mas Jolang, daerah yang semula hutan belantara tumbuh menjadi kerajaan dengan kawasan pertanian yang subur, rakyat hidup makmur, murah pangan, sehingga banyak orang berdatangan untuk tinggal di kawasan Mataram (Pranata, 1977:18) . Demi mewujudkan cita-cita politik Mataram sebagai pemegang supremasi kekuasaan atas Tanah Jawa, Sultan Agung memperkokoh ketahanan pangan kerajaan. Ia memindahkan ibukota kerajaan dari Kotagede ke Plered (Kerta) yang terletak 7 km berada di sebelah selatan Kotagede dengan pertimbangan daerah Plered dan sekitarnya merupakan daerah yang subur karena terletak diantara Sungai Gajahwong dan Sungai Opak (Pranata, 1977:19), sehingga dapat menjadi lumbung beras bagi Mataram. Sultan Agung membendung Sungai Gajahwong dan Sungai Opak untuk irigasi pertanian (De Graaf, 1987:14). Sebelum menyerbu VOC di Batavia, Sultan Agung menaklukkan sejumlah kabupaten di daerah timur yang subur seperti Gresik (1613), Kediri (1614), Wirasaba (Kertasana dan sekitarnya) (1615), Lasem (1616), dan Pasuruan (1616-1617). Dalam eskpedisi penaklukannya, penguasaan lumbunglumbung beras menjadi taktik yang tidak terpisahkan. Dengan taktik ini kekuatan
95
musuh diperlemah karena pasukan dan rakyat tidak makan nasi, dan hanya memakan berbagai makanan lainnya yang rendah kandungan gizinya. Akibatnya, berbagai penyakit seperti busung lapar, demam tinggi melanda pasukan musuh, dan malahan diantara mereka mengalami demoralisasi, saling berkelahi dan membunuh. Daerahdaerah tersebut diwajibkan memasok kebutuhan logistik (beras), selain menyediakan pasukan untuk menggempur VOC di Batavia. Taktik semacam ini kembali dilakukan Mataram ketika menyerang pasukan VOC yang berada di loji Kartasura yang membuat mereka menyerah karena kekurangan pasokan beras (Andreas, 2002:99). Bertahan tidaknya stabilitas politik Mataram juga ikut ditentukan oleh isu ketahanan pangan. Kewibawaan Amangkurat II mulai dipersoalkan rakyat tatkala raja Mataram ini gagal dalam pengadaan pasokan beras dan menjamin harga beras tetap murah akibat kegagalan panen. Banyak prajurit rendahan maupun rakyat jelata dilanda sakit busung lapar. Terjadi kemerosotan moral di kalangan prajurit dan rakyat Mataram, yang digambarkan Moertono sebagai zaman kalabendu. Raja dan para birokrat semestinya memberi ketentraman dan kemakmuran, namun yang terjadi justru sebaliknya, yakni mendatangkan prahara yang menyengsarakan rakyat (1985:56). Keabsahan penguasa dipertanyakan karena dianggap tidak mampu melaksanakan fungsi sebagai mediator antara rakyat dengan Tuhan. Wahyu-keprabon sebagai legitimasi kekuasaan dianggap telah oncat (ke luar) dari wadahnya (Krisnadi, 2005) yaitu Raja Amangkurat II dan mencari “wadah baru” dalam diri Ratu Adil (Pangeran Puger) yang mampu menjamin ketersediaan bahan pangan dengan harga terjangkau rakyat. Pangeran Puger mencoba memperbaiki keadaan dengan melakukan “operasi pasar” secara diam-diam. Dengan menyamar sebagai rakyat jelata ia keluar-masuk pasar, hidup di tengah-tengah masyarakat, untuk mengetahui kehidupan rakyat pada musim paceklik. Ia menyaksikan sebagian besar rakyat Mataram hanya makan gadung, singkong, garut, talas,
ganyong, kimpul, mbili (Moertjipto, et al,
1993/1994:54-57) sebagai pengganti nasi (Andreas, 2002:96-97), serta para petani yang bersusah payah menanam padi namun tidak dapat menikmati hasilnya karena kekeringan dan hama tikus. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan Pangeran
96
Puger menindak tegas segala bentuk penimbunan pangan yang berpengaruh terhadap berkurangnya pasokan. Berkat kepiawaiannya menyelenggarakan pemerintahan yang mampu mendatangkan kemakmuran rakyat, Pangeran Puger dianggap sebagai Ratu Adil. Masyarakat Jawa mempercayai ramalan datangnya Ratu Adil untuk mengakhiri zaman kalabendu dan selalu mengaitkannya dengan beras. Kemunculan Raden Mas Said (Mangkunegara I) juga dikaitkan dengan kedatangan Ratu Adil yang akan mengakhiri zaman kalabendu karena kemampuannya menjamin ketersediaan beras dengan harga murah (Andreas, 2002:97-98). Ketahanan pangan juga dipandang sebagai isu penting bagi stabilitas kolonial. VOC misalnya memberi perhatian sangat besar terhadap pasokan beras untuk kebutuhan para staf dan penduduk wilayah operasinya (De Vries, 1989:200). Kebijakan VOC dalam kaitan dengan beras ditekankan pada pemertahanan harga beras semurah mungkin khususnya untuk warga Batavia demi menghindarkan kemungkinan terjadinya keresahan sosial dengan secara teratur memasukkan beras dari luar (De Vries, 1989:203). Meskipun hingga sekitar 1930-an pemerintah Hindia Belanda lebih banyak membiarkan beras beroperasi menurut mekanisme pasar, berbagai kebijakan secara bartahap diimplementasikan untuk menjamin ketersediaan bahan pangan ketika kesejahteraan masyarakat terancam terutama saat kegagalan panen. Dalam masa-masa demikian, pemerintah melonggarkan atau bahkan adakalanya membatalkan bea impor untuk merangsang masuknya pasokan beras dari luar sehingga kebutuhan bahan pangan penduduk dapat tercukupi secara memadai dan dengan harga terjangkau. Sebaliknya, tatkala persediaan beras di negara-negara lain mengalami krisis akibat panen yang buruk dan ada dorongan untuk mengekspor beras keluar karena tertarik oleh harga yang tinggi, pemerintah memberlakukan kebijakan melarang ekspor beras (Creutzberg dan Van Laanen, 1987:104-105). Orientasi Belanda yang kuat pada tanaman komersial untuk pasar ekspor utamanya kopi, gula dan tembakau, membuat ketahanan pangan kolonial banyak ditopang dengan mekanisme pasar melalui aktivitas ekspor dan impor. Namun demikian, penanganan sisi produksi dilakukan pula. Sejak pertengahan abad ke-19 perluasan penanaman padi untuk mencegah kekurangan beras telah menjadi wacana
97
di kalangan pejabat kolonial. Bahkan Departemen Urusan Dalam Negeri di bawah pimpinan K.F. Holle dan Van Gorkum telah berusaha melakukan perbaikan dalam pembudidayaan tanaman padi (De Vries, 1989:204). Upaya yang dilakukan di antaranya dengan mengintroduksikan penggunaan butiran gabah untuk benih ketimbang untaian untuk persemaian padi, penanaman bibit dengan jalur lurus dan jarak lebih lebar, membuat terasering lahan tegalan untuk mencegah hilangnya kesuburan tanah akibat erosi (Van der Eng, 1996:70). Pada 1902 pemerintah kolonial membentuk Departemen Pertanian untuk memajukan pertanian rakyat yang kemudian didukung dengan pendirian lembaga riset untuk padi dan tanaman pangan lainnya (Proefstation voor Rijst en Tweede Gewassen). Sekitar 6.400 sampel benih dikumpulkan dan
500 sampel terpilih sebagai bahan seleksi. Pada 1920-an dua
varietas padi terpilih (Baok dan Jalen) dan dua varietas impor (Skrivimankoti dan Cina) berhasil mengganti varietas lokal di berbagai tempat (Van der Eng, 1991:7182). Pada masa Orde Lama isu ketahanan pangan menjadi semakin penting. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam dokumen negara yang mencerminkan pandangan resmi. Dalam Ketetapan MPRS No.:II/MPRS/1960 dinyatakan dengan tegas bahwa sebagai negara agraris ketergantungan Indonesia yang besar pada impor beras merupakan “noda nasional” dan “tragedi sejarah” (Lampiran Buku II/4, 1960:843851). Mengingat pentingnya ketersediaan pangan, pemerintah mencanangkan gerakan swasembada beras pada 1959/1960, yang dilanjutkan dengan gerakan swasembada bahan pangan. Untuk mencapai target swasembada beras salah satu langkah yang diambil adalah memperkenalkan berbagai varietas padi unggul, yang pada 1955-1960 meliputi Bengawan, Sigadis, Remadja, Djelita. Pada awal 1960-an diperkenalkan varietas Dara Syntha dan Dewi Tara (Sumintawikarta, 1965:70). Seiring anjuran Presiden Sukarno untuk meningkatkan produksi padi lahan kering, berbagai varietas padi gaga disebarluaskan, di antaranya: Si Bandel, Bintang Ladang, Bimopakso, Bimokurdo, dan Retnodumilah. Varietas lainnya adalah Padi Marhaen dan padi Rajalele Baru (Sumintawikarta, 1965:71). Dalam upaya menyelesaikan krisis pangan,
98
Soekarno juga mengancam hukuman mati terhadap para spekulan yang menimbun beras karena tindakannya membuat harganya membubung tinggi. Terlepas dari berbagai langkah yang ditempuhnya, Presiden Soekarno gagal mengatasi krisis pangan dan menjamin ketersediaan pangan murah bagi rakyat. Ada beberapa pandangan mengapa pemerintahan Soekarno gagal mengatasi krisis pangan. Sebagian berpandangan bahwa krisis pangan terjadi secara alamiah. Krisis ini sangat menyengsarakan rakyat sehingga mengilhami gerakan mahasiswa yang menuntut Soekarno menurunkan harga pangan (Basuki, 2003:54). Sebagian lagi berpendapat bahwa terjadinya krisis pangan yang menyengsarakan rakyat merupakan bagian dari rekayasa politik Amerika dan kliknya di Indonesia. Penampilan gambar antrean beras dan kelaparan disebutkan sebagai rekayasa kelompok tertentu untuk menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Soekarno yang lebih memberikan angin kepada kaum komunisme (Scott, 1999:7-27, 61-71). Kelompok yang berpendapat semacam ini berkeyakinan bahwa kondisi krisis pangan tidak separah yang digambarkan. Namun sejarah telah membuktikan banyak rezim jatuh ketika terjadi krisis pangan dan harga pangan melambung entah sebagai hasil rekayasa ataupun terjadi secara alamiah. Menurut Ichwan Azhari, awal dari krisis pangan pada masa Soekarno adalah terjadinya involusi pertanian yang berlangsung sejak 1950-an, namun tidak ditangani pemerintah. Fragmentasi lahan terjadi hingga produktivitas lahan merosot. Sayangnya, Soekarno tidak mengambil langkah strategis penanganan krisis pangan, tetapi malah terjebak dalam berbagai retorika politik demi mempertahankan kekuasaan. Memang, retorika politik yang dibangun Soekarno termasuk tidak mengimpor beras sebagai upaya menunjukkan kemandirian pangan. Akan tetapi, retorika tersebut tidak diimbangi upaya sistematis untuk membangun ketahanan pangan. Karena pasokan pangan sulit, harga beras naik 900 persen (Andreas, 2002:129). Kegagalan Soekarno persoalan berujung dengan penurunannya dari tampuk kekuasaan di tengah badai krisis pangan yang berat. Soeharto menggantikan Soekarno sebagai presiden di tengah kondisi ketahanan pangan yang ambruk. Dengan pemerintahan Orde Barunya Soeharto
99
melancarkan upaya sitematis membangun ketahanan pangan melalui program Revolusi Hijau. Soeharto didampingi para konsultan handal di bidang pertanian untuk meningkatkan produksi beras. Target yang hendak dicapai adalah terwujudnya swasembada beras nasional, yakni kemampuan Indonesia dalam mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya secara mandiri. Target ini diupayakan pencapaiannya melalui langkah-langkah terpadu berupa Program Bimas dan Inmas di bidang pertanian secara besar-besaran. Langkah-langkah ini ditopang dengan Panca Usaha Tani yang meliputi: penggunaan bibit unggul, sistem irigasi yang baik, penggunaan pupuk dan obat-obatan pemberantasan hama dan cara bertanam yang tepat, dan pembangunan di bidang infrastruktur pertanian seperti koperasi, pergudangan, transportasi, fasilitas keuangan (Pidato Kenegaraan Presiden RI, Soeharto 16 Agustus 1971). Upaya tersebut menampakkan hasil positif berupa pencapaian target swasembada beras yang mendapat pengakuan internasional pada tahun 1983. Pengakuan ini berupa disimbolisasikan dengan pemberian penghargaan oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) kepada Presiden Soeharto. Prestasi ini menghapus “noda nasional” dan “tragedi sejarah” yang menempel kuat pada masa Orde Lama, negara agraris tetapi importir beras besar di dunia. Ketahanan pangan menjadi sarana penting legitimasi kekuasaan Orde Baru, mengurangi citra ketidakpopulerannya dari segi politik sebagai pemerintahan represif yang membatasi ruang gerak untuk berdemokrasi. Belakangan kebijakan ketahanan pangan Orde Baru juga menuai kritik karena terlalu menekankan pada beras dan kurang mendorong berkembangnya keragaman pangan berdasarkan kearifan lokal dan kondisi ekologis setempat. Pada bagian berikut akan dipaparkan isu ketahanan pangan di wilayah Eks-karesidenan Besuki.
4.3 Ketahanan Pangan Regional 4.3.1 Peningkatan Produksi Pertanian Pada masa kolonial Belanda Karesidenan Besuki meliputi empat kabupaten: Banyuwangi, Bondowoso, Jember, dan Panarukan (Situbondo sekarang) (Nawiyanto,
100
2003:6-7;Tennekes, 1963:358). Wilayah Karesidenan Besuki khususnya Jember dan Banyuwangi merupakan lumbung pangan di Indonesia. Posisi ini bukanlah fenomena Orde Baru atau fenomena Era Reformasi semata. Dalam kenyataannya, wilayah ini telah lama berperan sebagai lumbung pangan dan pengekspor pangan besar ke berbagai wilayah Indonesia lainnya sejak penjajahan Belanda atau bahkan menjangkau jauh ke belakang hingga Era Majapahit. Kendatipun luas lahan pertanian di wilayah Besuki sejak sekitar 1970 secara umum cenderung menyusut akibat alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan-tujuan lain seperti pemukiman, perkantoran, dan industri, produksi beras terus meningkat. Hal ini dimungkinkan berkat penggunaan teknologi on farm dan off farm yang mampu meningkatkan produktivitas lahan seiring dengan pelaksanaan program revolusi hijau yang diluncurkan sejak Orde Baru. Di Kabupaten Jember, peningkatan produktivitas lahan ditopang dengan kegiatan penyuluhan tentang program intensifikasi melalui pemanfaatan teknologi pertanian. Kabupaten
Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura, Jember,
Hari
Wijayadi,
lembaga
yang
dipimpinnya
telah
menyelenggarakan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) terhadap para petani. Dalam kegiatan tersebut, para penyuluh dan instruktur mengajari petani dalam berusahatani dengan memberikan penambahan wawasan di bidang pertanian dan mendikusikan pemecahan permasalahan yang kerap muncul di lapangan. Sekolah lapang tersebut dilakukan secara bergiliran karena banyaknya anggota kelompok tani. Menurut Hari Wijayadi, SL-PTT menjadikan para petani semakin pintar dalam memahami pertanian. Selain itu, para petani dapat berdiskusi membahas permasalahan yang dihadapi di lapangan (Radar Jember,
25 Agustus
2009). Kegiatan SL-PTT diikuti anggota kelompok tani Kecamatan Panti, Kabupaten Jember. Diantaranya adalah Kelompok Tani Kemundungan, Sri Rejeki dan Lestari. Mereka mendapat pengetahuan bercocok tanam padi dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL), Dinas Pertanian Pangan dan Holtikultura yang menyangkut persoalan cara menanam
padi
dengan
model
jajar
legowo.
Mereka
bahkan
langsung
mempraktekkannya dengan turun ke sawah. Sebelum menanam bibit padi, mereka
101
diajari membuat uritan padi yang baik. Secara berturut-turut mereka mempraktekkan teknik pemupukan, pengendalian hama, sistem pengairan hingga teknik memanen (Sigid Wicaksana, 3 September 2009). Pengadaan pupuk mendapat penanganan khusus. Anggota kelompok tani di Kecamatan Panti Kabupaten Jember, misalnya, membuat unit usaha untuk menopang pemenuhan
kebutuhan
pupuk
anggotanya.
Kelompok
Tani
Lestari
yang
beranggotakan 65 petani menyiapkan modal tersendiri untuk pembelian pupuk petani. Pada mulanya (1998) Kelompok Tani Lestari hanya memiliki modal Rp.180.000, dan kini (2009) sudah menjadi Rp 40.000.000,-. Pengembangan modal tersebut dapat dilakukan dengan cara pupuk urea yang semestinya berharga Rp 120.000 per kwintal, lalu dijual ke anggota seharga Rp.140.000 per kuintal. Kelompok Tani Lestari juga menjalankan usaha simpan pinjam untuk anggotanya. Anggota dapat meminjam uang untuk membeli pupuk atau obat-obatan dan nanti membayarnya pada saat panen, sehingga mereka tidak terjerat rentenir atau ijon (Radar Jember, 11 Juni 2009). Untuk mengatasi kelangkaan pupuk, Bupati Jember selama tahun 2009 telah membagikan 85.000 ton pupuk bersubsidi kepada para petani. Jumlah tersebut memang masih jauh dari kebutuhan petani di Jember karena jumlah petani yang masuk Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) jauh lebih banyak. Dengan keterbatasan itu, Pemkab Jember bekerja keras agar pembagian pupuk bersubsidi kepada petani berjalan lancar dan mengenai sasaran. Ancaman dan sanksi pun diberlakukan. Kalau ada yang membawa pupuk bersubsidi di luar kelompok tani, akan ditangkap, dan jika ada kios yang tidak ditunjuk pemerintah, tetapi menjual pupuk bersubsidi,
juga akan kena sanksi (Radar Jember, 7 Pebruari 2009). Di
samping itu, ada himbauan agar para petani yang belum mendapatkan jatah pupuk bersubsidi memanfaatkan pupuk organik. Selain harganya lebih murah dan ramah lingkungan, pupuk organik dikatakan tidak kalah dengan pupuk kimia yang disubsidi (Urea, Ponska, Furadan). Bahkan hasil panen (beras organik) dikatakan jauh lebih banyak dan lebih tinggi harganya dibandingkan dengan beras anorganik (Radar Jember, 7 Pebruari 2009).
102
Mengenai tanggapan petani terhadap himbauan penggunaan pupuk organik, M.I. Moentinarni (2 September 2009), pemilik UD. PANGESTU yang beroperasi di bidang penyalur bahan pangan dan beras organik mengatakan berikut ini: “Pada mulanya petani di sini malas bercocok tanam secara organik. Mereka saya motivasi terus-menerus bahwa bercocok tanam secara organik itu akan lebih menguntungkan dengan hasil panen lebih meningkat serta harganya lebih mahal daripada bertani menggunakan pupuk urea ,furadan, NSP dan obat-obatan yang disemprotkan. Mereka saya pinjami benih, lantas saya suruh mupuk dengan kotoran kandang atau kompos, serta saya pinjami obat pertanian organik dan panennya saya beli. Para petani bisa membuktikannya sendiri, lahan sawah 1 hektare dapat memanen 7 ton Gabah Kering Panen (GKP) jika dibandingkan sebelumnya yang hanya memanen 5 ton GKP. Lagi pula harga beras organik per kg bisa mencapai Rp 7500, sedangkan 1 kg beras yang bukan organik paling hanya Rp 5.500. Akhirnya semua petani di desa ini bercocok tanam organik. Berton-ton beras organik dari desa ini saya jual ke Banyuwangi, Surabaya dan bahkan sampai ke Bali”. Peningkatan panen padi organik selaras dengan
hasil panen raya pertama padi
organik di Desa Jebung Lor, Kecamatan Tlogosari, Kabupaten Bondowoso yang dihadiri
Bupati Bondowoso,
Amin Said Husni beserta stafnya. Dengan
menggunakan metode tanam SRI, panen padi organik mencapai 6-7 ton GKP per hektar, sedangkan petani padi secara anorganik menghasilkan 5 ton GKP per hektar (Radar Jember, 5 Pebruari 2009). Untuk mempopulerkan pupuk organik, Dinas Pertanian Pangan dan Holtikultura Jember mensosialisasikan berbagai hal terkait dengan pupuk organik melalui berbagai penyuluhan. Kelompok Tani Tegalrejo, Kelurahan Jember Lor, Kecamatan Patrang misalnya mendapat pelatihan pembuatan pupuk organik di kawasan Pasar Bungur, Gebang (Radar Jember, 8 Juni 2009). Menurut Ketua Kelompok Tani Tegalrejo, Kelurahan Jember Lor, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember, Munawir, saat ini pihaknya terus melakukan pelatihan terhadap 34 anggotanya untuk selanjutnya dapat ditularkan kepada petani lainnya (Radar Jember, 8 Juni 2009). Dalam berbagai kesempatan, Kepala Dinas Pertanian Pangan dan Holtikultura Jember, Hari Wijayadi mengajak kepada para petani di Jember untuk menggunakan pupuk organik karena dapat meningkatkan produktivitas secara kualitas dan kuantitas, sehingga dapat meningkatkan harga beras, serta dapat
103
memperbaiki struktur tanah serta ramah lingkungan (Radar Jember, 8 Juni 2009). Respons positif diberikan Forum Komunikasi Petani Jember (FKPJ). Menurut Ketua FKPJ, Jumantoro, pihaknya memanfaatkan kotoran sapi yang hanya dibuang sia-sia di pinggir sungai atau dipinggir jalan untuk diproses menjadi pupuk organik untuk memenuhi permintaan di Jember yang semakin meningkat, serta ikut
untuk
menciptakan lingkungan hidup yang bersih dan sehat (Radar Jember, 4 Juni 2009). Pemkab Bondowoso meningkatkan produksi budidaya tanaman padi melalui peningkatan kemampuan teknis petani melalui Sekolah Lapang System of Rice Intensification (SL-SRI), Sekolah Lapang Pengembangan Pupuk Organik (SL-PPO) dan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SL-PTT). Menurut Kasubbid Program Penyuluhan Pertanian Bondowoso, Mardi Sucipto (9 September 2009), SL-PPO adalah cara budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan memanfaatkan bahan organik (kotoran hewan dan kompos) yang melimpah di sekitar lingkungan untuk memperbaiki kondisi tanah. SL-SRI adalah sistem penyuluhan pengelolaan tanaman yang menitikberatkan pengelolaan tanah, air dan sistem perakaran. Sedangkan SL-PTT merupakan sistem penyuluhan pertanian tentang pengelolaan tanaman secara terpadu dengan menyinergikan faktor-faktor produksi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Sinergi, terpadu dan efisiensi menjadi pilar SL-PTT. Tujuan SL-PPO, SL-SRI, SL-PTT adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani tentang budidaya tanaman padi, meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani, menghasilkan produk berdaya saing tinggi, sehat, dan berkelanjutan serta mengembangkan usahatani padi yang ramah lingkungan. Standar teknis sekolah lapang menyangkut penyampaian teori pada saat pembelajaran, melakukan praktek melalui pendampingan, penanaman dan pengamatan selama satu musim tanam serta melaksanakan Farm Field Day (panen yang dilaksanakan kelompok tani untuk mengetahui produktivitas dan kendala yang dihadapi). Pada kegiatan tersebut, petani mengikuti pertemuan mingguan sekolah lapang sebanyak 12 kali berturut-turut (satu musim tanam) dengan materi pembelajaran diantaranya pengembangan Mikro Organisme Lokal (MOL), pembuatan bokashi, pengolahan
104
lahan, penaburan kompos, persemaian, tanam, pengamatan, agro-ekosistem, penyiangan, penggunaan MOL, pertumbuhan fase vegetatif, aliran energi dan nutrisi, penyakit, tanaman, akar dan jaringan pengangkut tanaman, serta panen dan pascapanen (Mardi Sucipto, 9 September). Bupati Bondowoso, Amin Said Husni
bertekad
membangun ketahanan
pangan yang tangguh sehingga terpenuhi kebutuhan pangan penduduk secara cukup, mutu gizi yang berimbang, merata, dan terjangkau oleh setiap keluarga serta ramah lingkungan. Tekad ini diimplementasikan dengan menggulirkan program Bondowoso Pertanian Organik (Botanik). Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura, Matsakur, tujuannya adalah meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani serta mengajak petani bercocok tanam yang ramah lingkungan. Sistem bercocok tanam secara organik dengan menggunakan pupuk kotoran ternak dan kompos serta obat-obatan pertanian secara organik, selain dapat memperbaiki struktur tanah (Peremajaan tanah/lahan), juga ramah lingkungan serta dapat meningkatkan hasil produksi pertanian yang sehat dan
bebas pestisida. Melalui
bercocok tanam secara organik, petani dapat melakukan penghematan mulai dari pembibitan, penanaman, perawatan, panen hingga pascapanen (Radar Jember, 5 Pebruari 2009). Untuk
mendukung
gerakan
Bondowoso
menuju
pertanian
organik
(BOTANIK), Dinas Pertanian Pangan dan Holtikultura Bondowoso menggelar SLPPO di 6 lokasi yang tersebar di 6 Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) pada tahun 2009. Selain itu, digelar pula SL-SRI di dua lokasi di BPP Maskuning dan digelar SL-PTT di 22 kecamatan yang diikuti sebanyak 222 kelompok tani di Bondowoso. Dalam kegiatan sekolah lapang tersebut, ditetapkan kriteria lokasi pengembangan usahatani padi sawah organik dengan metode SRI berupa hamparan sawah beririgasi dengan areal sekitar 20 hektar yang dikelola kelompok tani, berlokasi dekat jalan dan mudah dijangkau, infrastruktur drainase cukup memadai, dan diutamakan tersedia bahan organik yaitu kompos maupun kotoran hewan (Radar Jember, Jawa Pos, 8 Juni 2009).
105
Untuk
memenuhi
kebutuhan
pupuk
organik,
Bupati
Bondowoso
menggandeng investor membangun instalasi pembuatan pupuk organik. Lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Desa Paguan, Kecamatan Tamankrocok menjadi Instalasi Pembuatan Pupuk Organik (IPPO). Pabrik pengolahan pupuk organik berhasil dibangun Pemkab Bondowoso dan diresmikan oleh Menteri Pertanian Anton Apriantono pada 20 Mei 2009 ( Radar Jember, 20 Mei 2009). Pemkab Bondowoso juga membangun Rumah Percontohan Pupuk Pertanian Organik (RP3O) di Desa Jebung Kidul, Kecamatan Tlogosari dengan memanfaatkan kotoran hewan, yang diresmikan Bupati Bondowoso pada 23 Juli 2009 (Achmad Basofi, 19 September 2009). Upaya-upaya Bupati Bondowoso beserta para stafnya di jajaran Dinas Pertanian Pangan dan Holtikultura dan Badan Ketahanan Pangan Daerah Bondowoso tidak sia-sia. Pemkab Bondowoso memperoleh penghargaan nasional dalam Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dari Presiden Yudhoyono yang diserahkan dalam Jambore Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SL-PTT) Nasional di Boyolali, Jawa Tengah pada 8 Juni 2009. Kabupaten Bondowoso dinilai berhasil dalam peningkatan produksi beras di wilayahnya. Peningkatan itu mencapai 13,12 % dari tahun sebelumnya (Radar Jember, 8 Juni 2009), lebih besar dari peningkatan secara nasional sebesar 5 %. Pada 2007-2008 setiap kali panen petani hanya memperoleh hasil panen sekitar 4-5 ton GKP per ha, sedangkan pada 2008-2009 perolehan panen mencapai 5-7 ton GKP per ha. Menurut Kepala Dinas Pertanian Pangan dan Holtikultura, Bondowoso, Matsakur, keberhasilan tersebut tidak terlepas dari metode penanaman SRI yang diterapkan dalam budidaya tanaman padi (Radar Jember, 9 Juni 2009).
4.3.2 Penganekaragaman Konsumsi Pangan Dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan, para pimpinan daerah di wilayah eks-Karesiden
Besuki
mulai
mengembangkan
kebijakan
penganekaragaman
(diversifikasi) pangan. Menurut Ning Pribadi (2003:125-126), manfaat diversifikasi pangan dari aspek konsumsi adalah semakin beragam asupan zat gizi untuk
106
menunjang pertumbuhan, daya tahan dan produktivitas masyarakat. Manfaat diversifikasi pangan dari aspek penyediaan adalah tersedianya beragam alternatif jenis pangan dan mengurangi ketergantungan pada pangan tertentu. Sebagian besar komoditas pangan mengikuti siklus musim. Pada saat musim panen, pasokan melimpah dan harga menurun, dan sebaliknya pada saat di luar musim panen persediaan menipis dan harganya cenderung naik. Apabila pasokan suatu jenis pangan menipis, kemudian dapat disubstitusi jenis pangan lain, maka krisis pangan akan dapat dihindari. Kabupaten Bondowoso merupakan wilayah yang mempunyai arah cukup jelas dalam
pengembangan
diversifikasi
pangan.
Pengembangan
ke
arah
penganekaragaman pangan yang dilakukan mencakup aspek produksi, pengolahan, distribusi hingga konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Dalam rangka menuju percepatan penganekaragaman pangan, Badan Ketahanan Pangan Bondowoso telah menerbitkan buku berjudul Pangan Beragam, Bergizi, Berimbang dan Aman Berbasis Potensi Wilayah (2009), Menu Makanan Berbasis Budaya Lokal (2009), dan Umbi-umbian Sebagai Bahan Pangan Alternatif. Ketiga buku ini menjadi acuan bagi petugas PPL Pertanian dalam menyosialisasikan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan untuk masyarakat di Kabupaten Bondowoso. Ketiga buku tersebut berisi variasi menu makanan beragam, bergizi, berimbang, aman, dan menawarkan umbi-umbian sebagai penganan alternatif sumber karbohidrat pengganti beras. Menu makanan yang ditawarkan berbasis pada potensi pertanian dan peternakan setempat dan budaya lokal, serta disesuaikan dengan pendapatan penduduk baik kalangan bawah, menengah dan atas. Berbagai daerah surplus pertanian di Kabupaten Bondowoso yang tersebar di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Bondowoso, Tenggarang, Tlogosari, Tamanan, Grujugan, Pujer, Wonosari ikut andil dalam penyediaan produk pangan di Kabupaten Bondowoso. Sedangkan daerah tandus di Bondowoso seperti di Kecamatan Sempol, Sumber Wringin, Binakal, Pakem, Cerme yang sebagian tanahnya hanya cocok untuk ditanami jagung, ketela pohon atau ketela rambat dan jenis umbi-umbian lainnya ikut
107
mendukung program pengembangan percepatan penganekaragaman pangan (Peta Kerawanan Pangan Kabupaten Bondowoso, 2007). Langkah nyata menuju pada penganekaragaman bahan pangan juga telah ditempuh di Kabupaten Banyuwangi. Dalam hal ini Kantor Urusan Ketahanan Pangan Banyuwangi
bekerjasama dengan Tim Penggerak PKK Kabupaten
Banyuwangi pada tahun 2009 mengadakan lomba kreasi cipta menu sehari-hari menggunakan umbi-umbian sebagai bahan pangan utama pengganti beras dan produk pangan lokal lainnya yang tersedia di wilayah Banyuwangi. Berbagai resep yang terkumpul telah didokumentasikan dalam sebuah brosur berjudul, Resep Cipta Menu Penganekaragaman Pangan 3 B dan Aman
(Oktober, 2009). Menu-menu yang
diciptakan memperhitungkan berbagai aspek seperti kebutuhan gizi, keragaman bahan pangan, dan ketersediaan bahan secara terus menerus atau disingkat 3B (beragam, bergizi, dan berimbang). Menu yang diciptakan mencakup baik menu makan pagi, menu makan siang dan menu makan malam. Di samping itu, Kabupaten Banyuwangi dalam beberapa tahun belakangan juga berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan penggalakan penganekaragaman pangan baik di tingkat propinsi maupun nasional. Berbagai langkah yang dilakukan dalam rangka penganekaragaman pangan mempunyai arti penting. Hal ini karena konsumsi pangan yang ada sejauh ini masih didominasi beras. Di Bondowoso misalnya, jika dinilai menurut standar Pola Pangan Harapan (PPH) dengan nilai 100, pola konsumsi pangan di Pemkab Bondowoso masih didominasi konsumsi jenis padi-padian sekitar 69,00 % (sebagian besar beras) yang melampaui standar PPH (50 %). Konsumsi jenis minyak lemak, dan gula masih di atas standar PPH dengan perbandingan 11,2 % berbanding 10,0 % dan 8,8 % berbanding 5,0 %. Namun untuk konsumsi jenis umbi-umbian menunjukkan angka prosentase rendah hanya (0,6 %), berada di bawah standar PPH (6,0 %). Demikian juga konsumsi jenis pangan/protein hewani, buah/biji berlemak, kacang-kacangan dan sayuran berada di bawah standar PPH dengan perbandingan sebagai berikut: protein hewani 2,8 % : 15,0 %, buah/biji berlemak 1,5 % : 3,0 %, kacang-kacangan 4,1 % : 5,0 % dan sayuran 2,1 % berbanding 6,0 %. Berdasarkan data tersebut,
108
keragaan konsumsi dan keragaman pangan di Pemkab Bondowoso masih jauh dari yang diharapkan (Standar PPH). Berkenaan dengan hal tersebut, Badan Ketahanan Pangan Pemkab Bondowoso bertekad mengembangkan konsumsi pangan dari jenis umbi-umbian sebagai pangan anternatif sumber karbohidrat pengganti beras yang meliputi: ketela pohon, ubi jalar, huwi, gadung, gembili, ganyong, garut, kentang, talas, suweg (Suhardjo, 18 September 2009). Menurut Deshaliman (2003;620), tanaman umbi-umbian yang mudah tumbuh di lahan kering memiliki berbagai keunggulan diantaranya: (1) kandungan karbohidrat tinggi sebagai sumber tenaga; (2) daun ubi kayu dan ubi jalar kaya vitamin A dan sumber protein; (3) menghasilkan energi yang lebih banyak per hektar jika dibandingkan beras dan gandum; (4) dapat tumbuh di daerah tandus di mana tanaman lain tidak dapat tumbuh; (5) sebagai sumber pendapatan petani karena dapat dijual sewaktu-waktu; (6) dapat disimpan dalam bentuk tepung dan pati. Sumber daya hayati umbi-umbian yang beranekaragam jenisnya di eksKaresidenan Besuki belum dimanfaatkan secara optimal untuk pemenuan kecukupan pangan khususnya sebagai sumber karbohidrat. Sebagai pangan alternatif sumber karbohidrat pengganti beras, bahan pangan jenis umbi-umbian dapat disajikan dalam menu sehari-hari, asalkan diperkaya dengan bahan pangan sumber protein yang tinggi. Untuk meningkatkan konsumsi umbi-umbian, diupayakan pengembangan teknologi penanganan dan penyimpanan tepat guna, sehingga tidak banyak yang rusak dan tahan lama. Di samping itu, dilakukan pengayaan teknologi pengolahan yang dapat meningkatkan citra dan nilai tambah umbi-umbian sehingga lebih bergengsi (Suhardjo, 18 September 2009). Untuk mewujudkannya, berbagai jalur dimanfaatkan sebagai sarana sosialisasi program terkait. Di Bondowoso petugas PPL Pertanian melalui Tim Penggerak PKK mendorong tumbuhnya industri pangan olahan non-beras skala rumah tangga berbahan baku umbi-umbian. Para petugas dibekali pengetahuan mengenai pentingnya pangan non-beras dan non-terigu sehingga mereka dapat menjadi fasilitator (Mardi Sucipto, 9 September 2009). Kerjasama dengan instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Dinas Pendidikan, Dinas
109
Pariwisata, dan DPRD terus didorong untuk mendukung gerakan konsumsi pangan beragam, bergizi, berimbang, aman dari bahan non-beras dan non-terigu (Suhardjo 18 September 2009). Anak-anak sekolah didorong mengkonsumsi pangan beragam. Bupati Bondowoso Amin Said Husni menginstruksikan jajaran Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso untuk segera menyusun kurikulum muatan lokal tentang konsumsi pangan beragam, bergizi, berimbang dan aman dari bahan nonberas dan non-terigu. Para kepala sekolah diinstruksi ikut mengawasi dan mengarahkan agar setiap kantin di lingkungan kerjanya (Kantin sekolah) menjual pangan sehat dari bahan non-beras dan non-terigu (Suhardjo 18 September 2009). Peraturan daerah yang mewajibkan penyajian konsumsi pangan beragam pada setiap acara rapat, pertemuan dan acara-acara resmi di lingkungan Pemkab Bondowoso juga sedang dipersiapkan. Sosialisasi penganekaragaman konsumsi pangan digalakkan melalui lomba cipta menu non-beras. Hal ini pernah dilakukan Tim Penggerak PKK Kecamatan Cerme pada tahun 2003 dan pada tingkat yang lebih tinggi, dilakukan Tim Penggerak PKK tingkat kabupaten pada 6 Agustus 2009. Upaya konkret lainnya adalah lomba mengganti satu kali makan nasi dalam sehari dengan bahan pangan non-beras dan non terigu (Suhardjo 18 September 2009).
4.4 Pandangan Etnis tentang Ketahanan Pangan 4.4.1 Pandangan Etnis Jawa Dalam sidang Committee on World Food Security (1995), ketahanan pangan rumah tangga diartikan sebagai kemampuan rumah tangga dalam pemenuhan kecukupan pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu agar hidup sehat dan mampu melakukan aktivitas sehari-hari, serta harus diterima oleh budaya setempat (Shobar, 2003:10). Sebagian responden etnis Jawa berpandangan bahwa keberadaan ketahanan pangan rumah tangga terancam. Krisis pangan potensial terjadi karena kegagalan panen akibat serangan hama, kekurangan air pada musim kemarau, terkena musibah banjir atau tanah longsor pada waktu musim penghujan. Krisis pangan juga potensial terjadi akibat menurunnya produksi pangan di wilayah eks-Karesidenan Besuki terkait dengan semakin langkanya pupuk dan berkurangnya lahan produktif akibat
110
konversi untuk pembangunan perumahan, kawasan industri, serta semakin meningkat perkembangan penduduk di wilayah ini. Menurut seorang pengusaha pertanian organik yang berdomisili di Jember, M.I. Moentinarni (62 tahun), ledakan hama yang menyerang tanaman padi di wilayah eks-Karesidenan Besuki yang mengakibatkan kegagalan panen, bermuara dari kesalahan pola tanam sembarangan. Para petani sekarang ini (2009) bercocok tanam padi menggunakan benih hibrida secara monokultur yang hanya sekedar mengejar jumlah produksi tanpa memperhatikan kondisi musim dan lingkungan setempat. Jenis benih padi hibrida dalam satu tahun dapat dua kali panen, atau bahkan dapat tiga kali panen untuk daerah yang cukup pengairan. Pola tanam padi secara terus-menerus mengakibatkan kerusakan tanah, karena di lahan tersebut tidak terjadi pertukaran unsur hara dan terputusnya siklus kehidupan hama. Jika hal ini berlangsung terusmenerus, ledakan hama tidak terhindarkan, sehingga panenpun dipastikan akan mengalami kegagalan. Akibatnya, produksi tanaman akan menurun dan kebutuhan masyarakat semakin tidak tercukupi yang pada akhirnya berujung pada krisis pangan, padahal mereka hanya mengandalkan satu sumber pangan yakni tanaman padi varietas hibrida. Pola tanam semacam ini jika secara terus menerus dilakukan, selain mengancam ketahanan pangan juga akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, Moentinarni berpendapat pola tanam padi secara terus menerus (monokultur) harus diganti dengan sistem pertanian organik dengan menggunakan varietas lokal yang bertumpu pada kondisi musim, ekologi setempat dan kearifan lokal. Pendapat senada dilontarkan seorang petani tradisional Jawa di Jember, Dasiran (73 tahun), yang menyatakan bahwa sistem pola tanam tradisional Jawa selalu memperhitungkan musim (pranata mangsa) atau didasarkan pada peredaran bintang. Penanaman padipun dilakukan secara teliti dan didahului upacara adat, misal melalui upacara miwiti (Methuk Mbok Sri). Petani tradisional Jawa mulai menanam padi biasanya menggunakan tanda munculnya bintang waluku (Orion) yang menyerupai bajak. Bintang ini mulai nampak terang pada pertengahan Nopember pukul 20.00 WIB di ufuk timur. Jika menggunakan sistem pranata mangsa, penanaman padi
111
dimulai pada mangsa kanem (musim ke-enam) yang ditandai dengan nikmating rasa mulya (tumbuhnya rasa bahagia). Pada mangsa kanem angin bergerak cukup kuat dari arah Barat Laut menuju
tenggara dengan diiringi hujan (Hardiyoko, Panggih
Saryoto, 2001:187). Menurut Sekretaris Menteri Pertanian RI, Abdul Munif, sistem pertanian monokultur dengan menggunakan benih hibrida dan pupuk kimia yang dilakukan para petani di eks-Karesidenan Besuki, mengakibatkan pupuk organik kurang bermanfaat. Hal ini disebabkan sifat benih hibrida yang rakus terhadap kebutuhan zat lemas, dan hanya dapat dipenuhi dengan pupuk nitrogen dosis tinggi yang diproduksi pabrik. Petani terpaksa harus membeli pupuk hasil industri agar tanamannya dapat berproduksi. Namun penggunaan pupuk kimia secara terus-menerus dapat merusak struktur tanah (tanah menjadi keras) yang berakibat terjadi penurunan tingkat kesuburan tanah maupun produktivitas pertanian, sehingga dapat menimbulkan krisis pangan. Berkenaan dengan itu, Moentinarni dan Sigit Wicaksana meminta pihak pemerintah segera melakukan gerakan nasional kembali ke sistem pertanian organik yang memanfaatkan pupuk kompos dan kotoran hewan untuk perbaikan kualitas tanah pertanian dan menciptakan lingkungan hidup sehat. Seorang lulusan Politeknik Pertanian Negeri Jember yang setiap hari menekuni usaha penggilingan tahu di Jember, Joseph Tripranoto (44 tahun) berpendapat bahwa para petani tradisional Jawa terbiasa memanfaatkan kotoran hewan atau kompos yang ada di sekitar rumah untuk pupuk pertanian. Di sela-sela masa tanam, mereka menanam orok-orok sebagai pupuk kompos hijau untuk meningkatkan unsur hara dalam tanah tanpa menggantungkan pupuk kimia yang harus dibeli petani dengan harga yang mahal, melainkan menggunakan pupuk organik yang ramah lingkungan, dan ini sebagai teknologi lokal yang dikuasai serta sebagai kearifan lokal. Namun pengetahuan semacam ini sudah lama menghilang ditelan euforia teknologi modern dalam sistem pertanian monokultur yang mengabdikan diri kepada kepentingan kapitalis. Demikian juga ketergantungan para petani di wilayah eks-Karesidenan Besuki menggunakan benih hibrida, selain telah menyingkirkan berbagai varietas lokal, juga sudah dapat dipastikan akan menguntungkan industri benih internasional.
112
Oleh karena itu, industri benih akan mengendalikan sektor pertanian baik dalam jumlah produksi, waktu berproduksi, waktu pemasaran serta menentukan apa yang akan dikonsumsi oleh konsumen. Menurut Dasiran ancaman serius krisis pangan di wilayah eks-Karesidenan Besuki datang dari kegagalan panen akibat serangan hama. Pada saat ini, para petani bercocok tanam padi menggunakan pola monokultur yang dilakukan secara terusmenerus, sehingga
menyebabkan tanaman rentan terhadap
serangan hama dan
penyakit. Penanaman padi secara monokultur tanpa jeda akan menyebabkan siklus hama tidak terputus, sehingga potensial menyerang tanaman padi secara masif dan menyebabkan kegagalan panen. Meskipun benih yang digunakan dari jenis hibrida yang sudah direkayasa tahan-hama, resistensi yang dihasilkan bersifat horizontal. Ketika terjadi perubahan biotipe pada hama, ketahanan tersebut sudah tidak sesuai lagi. Oleh karena itu, sistem pertanian monokultur mengandalkan penggunaan pestisida kimia untuk memberantas hama dan penyakit pada tanaman. Apa yang terjadi di dalam sistem pertanian monokultur adalah pemberantasan hama dan bukan pengendalian hama. Pendapat senada berkenaan dengan serangan hama sebagai ancaman serius terjadinya krisis pangan di eks-Karesidenan Besuki dilontarkan oleh Sigit Wicaksana (44 tahun). Ia berpendapat bahwa penggunaan pupuk kimia, pestisida dan herbisida dalam
sistem
pertanian
monokultur,
menyebabkan
kerusakan
lingkungan.
Penggunaan pupuk kimia secara berlebihan membuat tanah menjadi keras, sehingga energi yang dibutuhkan untuk pengolahan lahan menjadi berlipat. Selain itu, akibatnya adalah jasad renik dan cacing yang ada di dalam tanah mati sehingga tidak terjadi penggemburan tanah. Penyemprotan pestisida dan herbisida ke tanaman tidak hilang begitu saja, namun tertinggal dalam bentuk residu dalam tanah maupun dalam bahan makanan yang akan meracuni manusia atau organisme lain. Kematian berbagai organisme berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem. Hal ini dibenarkan oleh Hardiyoko dan Panggih Saryoto (2001:193) yang mengatakan bahwa penggunaan pestisida dan herbisida sangat kontradiktif bagi petani. Penggunaan bahan-bahan
113
kimia dalam jangka panjang justru akan membuat hama dan penyakit menjadi kebal dan sulit diberantas. Di masa lampau para petani tradisional Jawa bercocok tanam padi menggunakan pola tanam beragam untuk dijadikan sebagai langkah pencegahan serangan hama. Melalui pola tanam beragam, keseimbangan ekosistem pertanian (antara hama dan predator) yang meliputi: musuh alami, hama, binatang tanah, mikro-organisme dan seluruh komponen keanekaragaman hayati dapat terjaga. Menurut Dasiran, tikus sebagai hama yang menyerang tanaman padi atau tanaman pangan lainnya dapat dikendalikan oleh ular sawah sebagai musuh alami (predator). Berbagai jenis belalang atau serangga sebagai hama tanaman padi dapat dikendalikan oleh burung pemakan serangga yang dapat berperan sebagai predator (musuh alami). Namun, ketika padi mulai menguning, burung-burung tertentu dapat menjadi hama (memakan bulir-bulir padi). Untuk mengatasinya para petani menciptakan bunyibunyian yang terbuat dari bambu maupun menciptakan “memedi sawah” pengusir burung. Pengendalian hama juga dilakukan melalui sistem tumpangsari. Misal ketika menanam jagung dilakukan bersamaan dengan kacang, maka serangan penggerek batang jagung akan dapat dikurangi dengan adanya predator laba-laba yang memangsa hama penggerek batang. Contoh lain, para petani menanam tomat bersamaan dengan menanam kobis dalam satu deretan, hal ini akan mengurangi serangan hama ulat kobis meskipun tidak seluruhnya (Hardiyoko dan Saryoto, 2001:193). Para petani tradisional Jawa mengendalikan hama walang sangit dengan memercikkan minyak wangi dicampur air ke tanaman padi (Tanaya, tanpa tahun terbit:62) atau dengan membakar bediang dari sekam yang ditaruh di beberapa tempat sepanjang pematang sawah (Dasiran, Juni 2009). Pendapat senada dilontarkan seorang petani dari Banyuwangi, Bambang Riyanto (40 tahun) yang menyatakan “para petani tradisional di Banyuwangi pada zaman dahulu melakukan pencegahan hama dengan cara memercikkan air garam menggunakan merang ke tanaman padi. Selain itu pencegahan hama dilakukan dengan menanam laos di sela-sela tanaman padi atau dengan menggunakan daun pisang kering ditancapkan di pinggiran sawah
114
sebagai tolak bala.”
Para petani tradisional Jawa juga mengenal cara mistik untuk
mengendalikan hama tikus dengan membuat sesajen jenang lemu, jenang katul, 7 lembar daun beringin, injet, dibungkus dengan pucuk daun pisang yang diikat benang (3 kali melingkar), selanjutnya ditanam di sudut sawah (Tanaya, t.t.:63). Selain itu, para petani tradisional juga memiliki pengetahuan memilih hari dan pasaran yang baik untuk bercocok tanam, seperti yang terdapat dalam tabel berikut ini Tabel 1 Pemilihan Hari Baik Untuk Bercocok Tanam Jenis Tanaman Yang Dipanen No
Hari Tanaman Batang
Tanaman Biji-bijian
Tanaman Daun
Tanaman Buah
Tanaman Bunga
Tanaman Akar
Pala Pendem
-
-
-
-
-
Mlati,ma -war dsb. -
-
-
-
-
-
-
-
Rami, rotan, dsb. -
-
1
Senin
-
-
2
Selasa
-
-
Suruh,temba kau, teh, kobis, bayam, dsb. -
3
Rabu
-
-
4
Kamis
-
-
5
Jumat
-
Padi, jagung, gandum, kopi,pisang,dsb -
durian, manggis, mangga dsb. -
-
-
-
6
Sabtu
-
-
-
-
-
7
Minggu
Bambu, Jati, dsb. Sumber: R. Tanaya (Penyunting), Baboning Kitab Primbon: Bundelan 10 Kitab Ilmu Kejawen Kang Taksih Asli Dening Pujonggo-pujonggo Jawi. Solo: Sadu Budi, hlm.63-64.
Ketela, mbili, gadung, kentang,tales, dsb. -
Tabel 2 Pemilihan Pasaran Untuk Bercocok Tanam Jenis Tanaman (Yang Dipanen) No
Pasaran Tanaman Batang
Tanaman Biji-bijian
Tanaman Daun
Tanaman Buah
Tanaman Bunga
Tanaman Akar
Pala Pendem
Pisang, kelapa,padi, otek -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kapas, gudhe,Lombok terong. durian, ma-
-
-
-
1
Legi
-
2
Paing
-
3
Pon
115
4
Wage
-
5
Kliwon
-
-
-
nggis, mangga, dsb. -
-
-
-
-
-
Waluh,labu siam,semangka, dsb Sumber: R. Tanaya (Penyunting), Baboning Kitab Primbon: Bundelan 10 Kitab Ilmu Kejawen Kang Taksih Asli Dening Pujonggo-pujonggo Jawi. Solo: Sadu Budi, hlm. 64.
Sedangkan Jemiati (39 tahun) dan Samsul Muarif (48 tahun), berharap agar seluruh Dinas Pertanian dan Holtikultura maupun Badan Ketahanan Pangan daerah di lingkungan
kerja
eks-Karesidenan
Besuki
melakukan
penyuluhan
tentang
intensifikasi budidaya tanaman pangan tidak hanya padi melainkan juga tanaman pangan lain. Menurut mereka, hanya dengan cara demikian produksi dan pasokan pangan dapat ditingkatkan sehingga dapat diakses setiap rumah tangga atau individu. Menurut Abdul Fatah (43 tahun), peningkatan produksi pangan (beras) dapat terwujud jika pihak pemerintah daerah memberikan subsidi pupuk, pestisida dan benih kepada para petani. Sedangkan Bustanul Arifin (36 tahun) beranggapan bahwa untuk menciptakan stabilitas ketahanan pangan di wilayah eks-Karesidenan Besuki, diperlukan keberpihakan kebijakan pejabat daerah terhadap para petani seperti: kebijakan
pembukaan lahan baru untuk pertanian,
larangan pembangunan
perumahan atau kawasan industri di atas lahan produktif, penyuluhan intensifikasi pertanian, penciptaan lapangan kerja, raskin, pemberdayaan perekonomian pedesaan, dan gerakan pemberian bantuan pangan bagi orang-orang kaya untuk kaum miskin. Selain sisi produksi pangan, sebagian responden mengungkapkan perlunya penanganan distribusi. Helmi Kuswoyo (25 tahun) menandaskan: “ketersediaan pangan belum cukup menjadi jaminan terwujudnya ketahanan rumah tangga. Perlu diciptakan proses yang menjamin distribusi pangan ke setiap rumah tangga atau individu secara merata”. Dalam kaitan ini, Bambang Hadi Wiranata (30 tahun) dan Anang Riduka (52 tahun), menekankan perlu adanya kebijakan operasi pasar untuk menjamin stabilitas harga sembako yang terjangkau rakyat. Wiranata lebih jauh menyarankan pejabat daerah agar menindak tegas para pedagang “nakal” yang
116
Ketela, mbili, gadung, kentang,tales, dsb. -
menimbun sembako karena perbuatan mereka dapat berdampak naiknya harga sembako secara tidak terkendali dan berakibat terjadinya krisis pangan keluarga. Sisi penyimpanan bahan pangan juga penting bagi ketahanan pangan. Menurut Dasiran, para petani tradisional Jawa pada zaman dahulu menyimpan pangan pasca panen ke dalam lumbung padi dengan disertakan Mbok Dewi Sri diambil pada saat panen yang terbuat dari padi yang sudah menguning beserta tangkai dan daunnya dibentuk boneka manusia dengan disertakan sesajen. Tujuan pemberian sesajen adalah agar Dewi Sri sebagai dewi padi memberi berkah kepada keluarga tani, sehingga padi (beras) yang dimakan diyakini dapat mendatangkan rasa kenyang, sehat, kebahagiaan dan dijauhkan dari musibah. Namun tradisi semacam itu sudah memudar. Menurut Sigit Wicaksana, masyarakat Jawa sekarang umumnya tidak lagi menyimpan panen di lumbung, melainkan langsung dijual. Pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari dilakukan dengan cara membeli ke toko. Bahkan di kalangan rumah tangga kurang mampu pada umumnya tidak mengenal penyimpanan bahan pangan. Bagi mereka menyimpan bahan pangan dianggap tidak esensial, yang jauh lebih penting adalah bagaimana mereka mendapatkannya. Sebagian besar responden dari kalangan rumah tangga kurang mampu melakukan berbagai upaya untuk menjaga ketahanan pangan keluarga. Rohman (kuli bangunan, 48 tahun) dan Santosa (tukang batu, 57 tahun) menyelingi konsumsi beras dengan nasi-jagung, ketela atau umbi-umbian. Upaya yang dilakukan Suparlan (buruh tani, 46 tahun) dalam mempertahankan ketahanan pangan keluarga adalah dengan makan gaplek, sawut, dan tiwul. Di samping itu, Suparlan bersama keluarganya pada musim paceklik (kemarau panjang) untuk mendapatkan bahan pangan dilakukan dengan cara menghutang terlebih dahulu di toko yang menjadi tempat langganan, dan dibayar seteleh mendapat uang. Cara lainnya bagi Suparlan adalah dengan melakukan penjatahan makan untuk anggota keluarga dari tiga kali menjadi dua kali makan dalam sehari. Cara ini juga ditempuh Riyanto. Ia mengatakan: “penghasilan yang diterima tidak mencukupi kebutuhan makan yang ideal. Oleh karena itu, kami sekeluarga mengurangi frekuensi makan dari tiga kali makan menjadi dua kali makan
117
dalam sehari, serta mengurangi porsi makan, dan tidak harus makan beras terus, tetapi kadang diselingi dengan jagung atau ketela”. Sebagian kecil responden berpendapat bahwa krisis pangan tidak mungkin terjadi di wilayah Besuki karena berbagai alasan. Anang Riduka, seorang PNS yang tinggal di Banyuwangi, berpendapat bahwa krisis pangan tidak mungkin terjadi di Banyuwangi karena daerah ini merupakan lumbung padi di Jawa Timur. Bahkan, menurut Haji Hairuddin (48), Banyuwangi merupakan penghasil beras terbesar di Indonesia. Sementara itu, responden di Jember, Agus Setiawan (37 tahun), yang menjabat sekretaris desa, berkeyakinan di Jember tidak mungkin terjadi krisis pangan karena lahannya sangat subur dan sistem irigasinya baik. Sementara itu, seorang responden di Bondowoso, Siti Chotidjah (56 tahun), yang berprofesi guru mengungkapkan bahwa krisis pangan tidak mungkin terjadi di Bondowoso karena tanahnya subur dan sangat cocok untuk pertanian.
4.4.2 Pandangan Etnis Madura Seperti etnik Jawa, para responden dari kalangan etnik Madura mempunyai pandangan beragam mengenai kemungkinan krisis pangan di wilayah eksKaresidenan Besuki. Sebagian responden percaya bahwa krisis pangan mungkin saja terjadi. Menurut seorang petani di Situbondo, Kisnayu (61 tahun), krisis pangan bisa terjadi karena di Situbondo kegagalan panen terus terjadi akibat serangan hama yang belum bisa diatasi petani secara tuntas, sehingga dapat menurunkan produksi pertanian dan berujung pada terjadinya krisis pangan. Kegagalan panen akibat hama diyakini terjadi pula di Banyuwangi. Sodeq Pribadi (49 tahun) mengatakan: “Akhir-akhir ini, para petani kewalahan mengatasi ulah hama yang menyerang tanaman padi mereka. Upaya pemberantasan hama sudah dilakukan melalui penyemprotan insektisida, namun usaha tersebut belum berhasil, sehingga kegagalan panen masih saja terjadi. Mempertimbangkan ini krisis pangan bisa saja terjadi di Banyuwangi”. Sebagian responden berpandangan bahwa potensi terjadinya krisis pangan bisa bermula dari pengalihan tanaman maupun lahan. Sugiono (35 tahun), staf administrasi Badan Ketahanan Pangan di Banyuwangi, berpandangan lain mengenai
118
kemungkinan terjadinya krisis pangan di daerahnya. Ia beranggapan bahwa di Banyuwangi bisa terjadi krisis pangan jika para petani sudah tidak menanam padi dan berganti menanam jeruk. Pendapatnya ini tampaknya dilatarbelakangi kecenderungan yang meningkat di kalangan petani di Banyuwangi menanami lahan mereka dengan jeruk, yang diyakini menjanjikan keuntungan lebih besar. Saruji (52 tahun), seorang petani di Jember berpendapat: “krisis pangan dapat terjadi di Jember karena jumlah penduduk meningkat dan banyak lahan produktif dialihkan untuk perumahan”. Sebagian responden percaya krisis pangan mungkin terjadi karena faktor klimatis. Misdjo (62 tahun) berpendapat bahwa di Bondowoso krisis pangan bisa terjadi akibat pengaruh kemarau panjang yang menyebabkan kegagalan panen sehingga produksi beras tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Pendapat senada dilontarkan Tanti Luciana (19 tahun) yang berkomentar mengenai Jember. Ia menyatakan: “krisis pangan dapat terjadi karena kekurangmampuan petani menangani masalah bencana alam, seperti kekeringan dan banjir”. Namun, Moch. Dahlan (30 tahun) berpandangan lain. Menurutnya, faktor non-klimatis lebih besar pengaruhnya. Kelambanan pengadaan pupuk untuk petani yang sering terjadi di Bondowoso kerapkali menyebabkan turunnya produksi pertanian. Hal ini berpontesi menimbulkan krisis pangan. Namun demikian, sebagian responden di kalangan etnis Madura berkeyakinan bahwa di wilayah eks-Karesidenan Besuki tidak akan terjadi krisis pangan. Menurut Sumarto (62 tahun), seorang petani yang lahir dan lama bermukim di Jember, berpendapat bahwa di Jember tidak akan terjadi krisis pangan, karena sebagian besar lahan pertanian di Jember subur dan berstatus sebagai daerah lumbung padi di Jawa Timur. Untuk meyakinkan pendapatnya, ia mengatakan “Dari dahulu hingga sekarang saya tidak pernah melihat orang-orang Jember itu kekurangan pangan termasuk keluarga saya. Jember tidak pernah mengalami krisis pangan”. Pendapat serupa dilontarkan
Ismano (60 tahun), seorang wiraswastawan yang menggeluti bisnis
sarana produksi pertanian. Ia mengungkapkan: “Di Jember tidak mungkin terjadi krisis pangan. Sistem pertanian di Jember sudah sangat maju, cukup tersedia bibit unggul, pupuk, obat-obatan, sehingga para petani Jember dapat mengoptimalkan hasil
119
pertanian”. Seorang petani etnis Madura, Ahmad Amar (52 tahun) yakin bahwa di Bondowoso tidak mungkin terjadi krisis pangan karena para petani masih bersedia menanam padi, dan hasil produksi pertanian masih mencukupi kebutuhan pangan. Sedangkan Yuli Andriyani (22 tahun), seorang perangkat desa di Bondowoso berpendapat bahwa di daerahnya tidak akan terjadi krisis pangan karena para petani mendapat subsidi bibit padi maupun jagung dari Dinas Pertanian. Apalagi menurut Andriyani, kebijakan Pemkab Bondowoso selalu menguntungkan para petani. Pandangan responden terkait upaya menangai krisis pangan di wilayah eksKaresidenan Besuki lebih beragam. Demikian juga pemerintah daerah semestinya menjalankan kebijakan yang memihak rakyat seperti raskin, BLT, kegiatan amal orang-orang kaya terhadap kaum miskin. Hafili (48 tahun) menambahkan bahwa gaya hidup hemat dalam bidang pangan juga perlu untuk mendukung ketahanan pangan. Untuk menanggulangi terjadinya krisis pangan, Sutyaningsih (38 tahun) berpendapat perlu perbaikan sistem pertanian. Menurutnya diperlukan berbagai kebijakan yang memihak kaum petani seperti pencegahan pemanfaatan lahan produktif untuk pembangunan perumahan maupun kawasan industri. Di samping itu, minat generasi muda untuk menggeluti sektor pertanian perlu ditingkatkan Menurut Sri Imawati (46 tahun), krisis pangan harus diantisipasi dengan kebijakan yang membela kepentingan kaum tani dan pengembangan perekonomian pedesaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagian kecil responden berpandangan ketahanan pangan memerlukan pengembangan bahan pangan beragam. Sugiono mengungkapkan bahwa krisis pangan di Banyuwangi dapat dihindari dengan meningkatkan produktivitas dan keragaman bahan pangan. Dengan cara ini jika terjadi kegagalan panen padi, maka tidak akan terjadi krisis pangan, karena tersedia bahan pangan lain. Berkenaan dengan itu, ia setuju jika yang dijadikan sebagai makanan pokok bukan hanya beras, melainkan juga jagung, ketela dan berbagai jenis umbi-umbian yang lainnya. Masyarakat juga harus membiasakan diri mengkonsumsi makanan yang beragam, berimbang, bergizi dan aman.
120
Ada beberapa strategi untuk mengatasi ancaman terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Sutyaningsih mengatasinya dengan menerapkan pola hidup hemat. Penerapan prinsip ini misal diwujudkan dalam konsumsi nasi dicampur dengan beras jagung, atau mengurangi frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali sehari dengan lauk-pauk ala kadarnya. Ia tidak mempersoalkan beras sebagai makanan pokok diganti
jagung atau ketela, karena jagung dan ketela menurutnya juga
mengandung karbohidrat sebagai unsur pembangun seperti halnya beras. Pola hidup hemat yang dijalani Sutyaningsih serupa dengan yang dilakukan Rahmat Hidayatullah bersama keluarga. Ia dan keluarganya (seorang istri dan tiga anak) sudah terbiasa mengalami krisis pangan, karena pendapatannya sebagai kuli bangunan yang hanya Rp 25.000,- per hari tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan keluarganya. Lagi pula ia tidak setiap hari bekerja, padahal kebutuhan makan tidak dapat ditunda. Rahmat Hidayatullah bersama keluarga mengatasi krisis pangan dengan cara mengurangi frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali makan sehari. Ia bersama keluarganya juga sudah terbiasa makan jagung, ketela atau jenis umbi-umbian lainnya sebagai pengganti nasi. Yang penting bagi keluarga ini adalah dapat memperoleh bahan pangan secara halal untuk setiap harinya. Strategi serupa diterapkan oleh mayoritas responden keluarga etnik Madura yang kurang mampu. Ridwan (tukang batu, 38 tahun) bersama keluarganya (seorang istri dan tiga anak) sudah terbiasa mengkonsumsi jagung, ketela atau jenis umbiumbian lainnya sebagai makanan pokok pengganti nasi-beras. Hal ini dilakukannya demi penghematan belanja agar tercukupi kebutuhan makan keluarga setiap harinya. Berkenaan dengan itu Ridwan mengatakan: “Saya sebagai tukang batu dengan penghasilan Rp 35.000,- setiap hari harus mencukupi kebutuhan makan keluarga yang terdiri seorang istri dan tiga anak dengan cara melakukan pola makan beragam dengan mengkonsumsi nasi-beras, jagung, ketela atau jenis umbi-umbian lainnya dengan cara berselang-seling. Bahkan ketika saya sedang tidak bekerja, istri saya mengatur kebutuhan belanja makan dengan mengurangi frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali makan sehari. Atau jika belum punya uang, bisa menghutang bahan pangan ke toko.” Bakir (35 tahun), sebagai penjual jagung rebus sudah terbiasa mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok yang diselang-seling dengan jagung atau ketela. Hal ini
121
dilakukan Bakir bersama keluarganya (seorang istri dan empat anak)
dengan
pertimbangan jagung atau ketela selain harganya murah, juga dapat membuat perut kenyang, karena mengandung karbohidrat seperti halnya nasi beras. Sementara itu, Jamalludin (53 tahun), yang bekerja sebagai tukang ojek mencoba mencukupi kebutuhan makan istri dan dua anaknya dengan mengkonsumsi jagung atau ketela yang diselang-seling dengan nasi. Bagi Jamalludian, menu makanan yang baik (bergizi) adalah makanan yang dapat mengenyangkan perut, aman (tidak beracun) dan halal. Sedangkan Abdul Latif (29 tahun) bersama keluarganya (Seorang istri dan dua anak) mencoba mengatasi krisis pangan dengan cara bekerja keras, tidak memilih jenis pekerjaan dan yang penting mendapatkan penghasilan secara halal. Sebagian responden berpandangan penyimpanan pangan merupakan bagian esensial dalam mewujudkan ketahanan pangan. Menurut Atim, tradisional Madura zaman dahulu
para petani
menyimpan jagung ditaruh di atas rak yang
terbuat dari bambu di ruang dapur. Dengan mendapat pengasapan secara teratur, jagung dapat bertahan lama dan terhindar dari kerusakan. Hal ini dilakukan kaum petani Madura tradisional untuk menjamin ketersediaan bahan pangan hingga musim panen berikutnya. Orang Madura pada umunya tidak mengenal teknik menyimpan gabah, karena gabah dianggap sebagai barang komoditas yang segera dijual ke pedagang. Ketika orang Madura mulai mengganti makanan pokok dari jagung ke beras pada sekitar 1970-an dan 1980-an, mereka mencoba menyimpan gabah hasil panen dalam karung untuk persediaan makan sampai masa panen berikutnya. Dalam kaitan ini, menurut Bajuri (45 tahun) dan Atim (52 tahun), untuk menciptakan ketahanan pangan dan mengatasi kemungkinan terjadinya krisis pangan di wilayah eks-Karesidenan Besuki diperlukan gerakan menghidupkan kembali penyimpanan pangan dalam setiap rumah tangga. Sayangnya, pada dekade terakhir ini, orang Madura di Besuki cenderung bersikap pragmatis dalam hal penanganan pangan pasca panen. Mereka lebih suka menjual hasil panen seperti: gabah, jagung, kedele, ketela kepada para pedagang. Berkenaan dengan itu, Sumarto mengatakan:
122
“Dahulu kalau panen padi atau jagung saya simpan di rumah, dan saya mengambil sebagian dari hasil panen untuk keperluan pembenihan. Hasil panen tersebut saya makan bersama keluarga sampai panen berikutnya belum habis. Tetapi, kebiasaan semacam ini sudah tidak pernah saya lakukan untuk sekarang, hal ini terkait dengan biaya kebutuhan hidup semakin tinggi, sehingga begitu panen tiba langsung saya menjualnya kepada pedagang.” Bahkan menurut Bakir, sebagian kecil petani Madura sekarang ini ada yang menjual hasil panen berupa jagung muda kepada para pedagang dengan harapan akan memperoleh keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan menjual biji jagung tua.
4.5 Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan merupakan isu strategis bagi stabilitas politik sejak masa kerajaan tradisional hingga sekarang ini. Jatuh-bangunnya tatanan politik sangat dipengaruhi kemampuan penguasa dalam membangun dan mempertahankan ketahanan pangan. Kegagalan mewujudkan ketahanan pangan dipandang sebagai ancaman besar dan tanda keruntuhan sebuah orde politik. Keberhasilan membangun ketahanan pangan menjadi legitimasi bagi kelangsungan pemerintahan. Pemerintah daerah di wilayah Karesidenan Besuki melaksanakan kebijakan pembangunan ketahanan pangan pemerintah pusat melalui beberapa cara. Pertama, peningkatan produksi padi melui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), Sekolah Lapang System of Rice Intensification (SL-SRI), dan Sekolah Lapang Pengembangan Pupuk Organik (SL-PPO). Kebijakan ini secara konkret ditindaklanjuti di Bondowoso melalui program Bondowoso menuju pertanian organik (BOTANIK). Kedua, pengembangan keanekaragaman pangan berbasis non-beras dengan mempertimbangkan prinsip beragam, berimbang, bergizi dan aman. Kebijakan ini diimplementasikan dengan pengembangan menu dan resep makanan berbasis non-beras sesuai dengan potensi dan sumberdaya setempat. Ketahanan pangan dipahami secara beragam di kalangan etnik Jawa dan Madura. Sebagian etnik Jawa dan Madura berpandangan bahwa krisis pangan dapat terjadi di wilayahnya. Alasan yang dikemukakan kegagalan panen akibat serangan hama, faktor iklim, penyempitan lahan pertanian, terhambatnya pasokan pupuk dan
123
pestisida, peralihan ke tanaman lain yang lebih menguntungkan. Strategi yang diterapkan baik etnik Jawa maupun Madura untuk mengatasi krisis pangan tidak jauh berbeda. Kedua etnik menerapkan pola konsumsi makanan pokok beragam secara selang-seling, mengurangi frekuensi dan porsi makan. Pola demikian berlaku hanya berlaku di kalangan keluarga kurang mampu. Sebaliknya untuk kalangan keluarga mampu di kedua etnik, pola semacam itu tidak diinginkan. Sebagian etnik Jawa dan Madura lainnya berpendapat tidak mungkin terjadi krisis pangan di daeranya dengan alasan: ketersediaan lahan pertanian yang luas dan subur, penerapan intensifikasi pertanian, kebijakan pemerintah daerah yang memihak petani.
124
BAB V MODEL REKAYASA BUDAYA MENUJU POLA KONSUMSI PANGAN BERAGAM
5.1 Pengantar Seorang filsuf Yunani klasik, Herakleitos, pernah menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, yang abadi hanyalah perubahan. Kebudayaan manusia juga tidak bebas dari hukum perubahan. Perubahan kebudayaan berlangsung lewat dua jalur yakni secara alamiah dan buatan (artifisial). Perubahan kebudayaan yang berlangsung
secara
alamiah
disebut
”transformasi”,
sedangkan
perubahan
kebudayaan karena proses buatan disebut rekayasa (Kuntowijoyo, 1997:152-153). Mengacu pada konsepsi Kuntowijoyo tentang perubahan kebudayaan, bab ini akan mengkaji model rekayasa budaya dalam rangka pengembangan pola konsumsi pangan yang beragam dalam konteks komunitas etnik Jawa dan Madura menuju penguatan ketahanan pangan nasional. Pertanyaan pokok yang menjadi fokus pembahasan adalah bagaimanakah masyarakat etnik Jawa dan Madura secara kultural bisa direkayasa sehingga meninggalkan kebiasaan konsumsi pangan tunggal yang bertumpu pada beras dan mengadopsi konsumsi pangan yang lebih beraneka ragam ? Sebelum membahas persoalan ini secara lebih dalam, terlebih dahulu perlu disajikan berbagai model rekayasa budaya yang telah dijalankan dalam sejarah untuk memberikan pemahaman lebih baik.
5.2. Rekayasa Budaya Dalam Lintasan Sejarah Menurut Kuntowijoyo (1997:153-154), rekayasa budaya biasanya diselenggarakan melalui jalur kekuasaan. Untuk memahami relasi kekuasaan paling tidak ada dua kata kunci, yakni dominasi dan hegemoni. Dalam setiap dominasi akan selalu terdapat relasi kekuasaan, yang kemudian dimantapkan dengan strategi untuk menguasai sehingga tercipta hubungan yang berlangsung lama. Relasi hegemonik menciptakan ketundukan atas norma, nilai, serta tatanan yang berlaku.
Apa yang dilakukan
125
pemerintah kolonial Belanda di Kasultanan Banjar merupakan sebuah contoh rekayasa budaya. Melalui berbagai perjanjian yang mengikat Kesultanan Banjar diubah dari kerajaan merdeka dengan etos dagang yang kuat menjadi bagian dari administrasi dan birokrasi kolonial. Di bawah pemerintah Hindia Belanda masyarakat dikonstruksi untuk mengakui dan mematuhi tatanan baru yang ditancapkan, lewat sistem pendidikan kolonial dan pemberlakukan garis ras (Anonim, 2008). Model rekayasa budaya semacam ini sebenarnya bukanlah fenomena khas Banjar, melainkan sebuah proyek kolonial (colonial project) berskala makro yang diselenggarakan di seluruh wilayah jajahan. Rekayasa budaya lewat jalur kekuasaan tampak jelas berlangsung pula pada masa pendudukan Jepang di Jawa. Sebagai konsekuensi keterlibatan dalam perang, pemerintah militer Jepang membutuhkan beras dalam jumlah besar untuk memberikan suplai logistik bagi pasukan tempur, korps sipil, serta berbagai kelompok semi militer pendukungnya. Bahan pangan dalam jumlah besar khususnya beras diambil dari desa-desa di Jawa lewat sistem wajib serah padi. Sistem ini mengakibatkan persediaan bahan pangan bagi kebutuhan sehari-hari penduduk menipis. Menghadapi situasi demikian, pemerintah militer Jepang mendorong penduduk untuk menganekaragamkan konsumsi bahan pangannya. Melalui organisasi wanita yang disponsorinya, Jepang mendorong penciptaan resep-resep masakan baru dengan penyelenggaraan demonstrasi masak dengan bahan-bahan yang tidak pernah dikonsumsi sebelumnya. Dari kegiatan ini muncul misalnya ”roti Asia” yang terbuat dari gula merah dan bekatul atau ”bubur perjuangan” yang terbuat dari ubi jalar, singkong dan bekatul (Lucas, 1989: 51). Informasi spesifik mengenai wilayah Besuki pada masa pendudukan, pemerintah militer Jepang juga mendorong penduduk untuk mengurangi konsumsi beras dan menggalakkan konsumsi bahan pangan non-beras. Dalam sebuah artikel yang muncul dalam terbitan resmi yang disponsori Jepang, Warta Besuki-shuu, terdapat sederet nama bahan pangan alternatif yang dianjurkan. Secara detil disebutkan misalnya bekicot, gana, kalong, laron, pakis, bagedor, bajing, anak kumbang gajah, jangkrik, uwi, ontong, ampas teh, godong mete, elo, buah beringin,
126
biji nangka, rebung, biji, mangga, biji rambutan, ganyong, glagah, kenikir, putat, ketepeng, cikaran kapas (Nawiyanto, 2003:113). Apa yang dilakukan Jepang di Jawa secara eksplisit memberi petunjuk bahwa rekayasa budaya melalui pendekatan kekuasaan dalam menganekaragamkan konsumsi bahan pangan bukanlah satu hal yang mustahil dilakukan. Tantangannya ke depan dalam konteks negara merdeka dan berdaulat yang menempatkan pengemban kekuasaan pada tanggung jawab menyejahterakan warganya adalah bagaimana sebuah proyek rekayasa budaya penganekaragaman bahan makanan tidak mendatangkan dampak buruk berupa kekurangan gizi di kalangan penduduk yang mengadopsi. Periode Jepang dalam sejarah Indonesia memberikan ilustrasi lain mengenai rekayasa budaya berkaitan dengan kebutuhan sandang. Pada jaman Belanda Jawa banyak mengimpor bahan sandang dari luar negeri termasuk Negeri Belanda, Inggris, dan Jepang. Saat depresi ekonomi 1930-an, Jepang menjadi penyuplai utama impor bahan sandang (tekstil) ke Jawa. Pada tahun 1930 misalnya impor tekstil dari Jepang memberi kontribusi sebesar 85 persen dari total nilai impor tekstil Jawa dan persentase ini meningkat menjadi 98 persen pada 1935 (Dick, 1989:249; Post, 1996:302, Murayama, 1998:174). Situasi perang membuat cadangan bahan sandang bagi penduduk Jawa yang semakin menipis dan langka. Dihadapkan pada kesulitan demikian, pemerintah militer Jepang menggerakkan penduduk melakukan penanaman kapas. Pada bulan September 1942 pemerintah militer Jepang membuat rencana lima tahun dalam menggalakkan penanaman kapas di Jawa. Menurut rencana ini penanaman kapas akan terus menerus ditingkatkan dari 30.000 hektar pada 1943 menjadi 90.000 hektar pada 1945 dan 180.000 hektar pada 1947 (Kurasawa, 1993:2829). Di Karesidenan Besuki, tanaman kapas ditanam di daerah Asembagus baik di lahan sawah maupun tegalan. Otoritas Jepang mewajibkan penduduk menanami seperempat hingga separuh lahan pertaniannya dengan tanaman kapas. Benih kapas disediakan Jepang sebanyak 20 kg per hektar dan petani wajib menyerahkan hasilnya kepada Jepang (Sulistyo dan Mawarni, 1991:22-23). Penanaman kapas juga dilakukan di wilayah Puger (Jember) dan pabrik penenunan di Kencong didirikan
127
pada 1943 (Soera Asia, 17 April 2603[1943], 15 Mei 2603[1943]). Masih di Jember, penanaman kapas juga dijumpai di Jenggawah. Penduduk diwajibkan menanami separuh lahannya dengan kapas (Hafid, 2001:35). Pada bulan Oktober 1943 Mitsui Noorin Company membayar lebih dari 15.000 florin kepada pemerintah lokal Jember untuk membiayai penanaman kapas di distrik Kalisat dan Jember (Soeara Asia, 13 Oktober 2603[1943]). Kapas juga ditanam di distrik Tanggul seluas antara 2-3.000 hektar (Soera Asia, 13 Agustus 2603[1943]). Pada tahun 1944 area penanaman kapas di Besuki mencapai sekitar 15.000 hektar, tidak termasuk tanaman kapas di halaman rumah dan kebun-kebun (Warta Besoeki Shuu, 13 September 2604 [1944]). Untuk menarik penduduk menanam kapas, pemerintahan militer Jepang memberikan rangsangan melalui berbagai cara. Jepang memberi penghargaan pada penduduk yang mempu menyerahkan kapas dalam jumlah banyak. Salah satunya berupa kesempatan membeli sarung dengan harga lebih murah dibanding harga pasar (De Jong, 1985:543). Mereka yang mampu menyerahkan satu kuintal kapas diijinkan membeli sehelai sarung, dua helai untuk yang meyerahkan dua kuintal, tiga sarung untuk tiga kuintal kapas (Sulistyo dan Mawarni,
1991:22-23). Rangsangan lain
dilakukan dengan menyelenggarakan perlombaan menanam kapas. Perlombaan semacam ini misalnya diselenggarakan di Karesidenan Besuki dari November 1944 hingga Mei 1945. Hadiah disediakan dalam bentuk uang dan sertifikat bagi mereka yang mampu menghasilkan kuantitas kapas terbanyak (Warta Besoeki-shuu, 8 November 2604 [1944]). Pemerintah Jepang juga memberi bantuan lain kepada para petani dalam melakukan penanaman kapas dengan menunjuk kontraktor tanaman kapas (shidôkin) di setiap kecamatan dan di setiap desa. Di bawah bimbingan shidôkin, tanaman kapas ditanam dengan desa atau rukun ketetanggaan (tonarigumi) sebagai unit dasarnya (Kurasawa, 1993:30). Untuk meningkatkan pengetahuan petani dalam berbagai aspek tenis penanaman kapas, otoritas Jepang sering mengirim shidôkin kapas ke Probolinggo untuk menghadiri pelatihan seminggu yang dilakukan tiga kali, on 1-7 November, 11-16 November dan 19-25 November 1943 (Warta Besoeki-Shuu, November 8, 2603 [1943].
128
Model rekayasa budaya lewat jalur kekuasaan dalam konteks sejarah Indonesia tampak mencapai klimaksnya pada masa Orde Baru. Dengan strategi pembangunan nasional yang sentralistis dan bersifat dari atas ke bawah (top-down), pemerintah Orde Baru memainkan peranan sangat dominan dalam menentukan kearah mana masyarakat Indonesia bergerak dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan sebagai sebuah bangsa dan negara berdaulat. Negara juga menentukan bentuk dan tatanan sosial dalam konteks bermasyarakat dan bernegara, menetapkan sarana-sarana apakah yang digunakan, serta sumberdaya manakah yang perlu dikerahkan untuk mewujudkannya. Dengan kata lain, negara melakukan rekayasa budaya karena menggiring dan mengarahkan masyarakat Indonesia menuju keadaan yang menurut konsepsi penguasa dianggap sebagai sesuatu ideal. Bagi pemerintah Orde Baru, masyarakat adil dan makmur mengandaikan setidaknya dua kemampuan untuk dimiliki: mencukupi kebutuhan pangan sendiri dan mengontrol tekanan kependudukan. Di sini dapat diamati ilustrasi menarik mengenai bagaimana proyek rekayasa budaya lewat jalur kekuasaan dilakukan. Sebagai latar belakang perlu dikemukakan bahwa munculnya Orde Baru dalam arena politik berangkat dari masa krisis: gejolak politik yang luas dan problem ekonomi yang kronis. Penampilan ekonomi sangat buruk sebagaimana diindikasikan oleh hiper inflasi, defisit anggaran, dan infrastruktruktur ekonomi yang buruk (Hill, 1996:1-3). Pada 1970 jumlah orang yang hidup miskin sekitar 60 juta atau 70 persen total penduduk (Kartasasmita, 1996:247). Pada tahun yang sama dengan pendapatan per kapita $ US 80, Indonesia termasuk salah satu negara termiskin di Asia (Arndt, 1983:1-2). Berdasarkan data komparatif dari Anne Booth, Indonesia diranking lebih rendah dalam hal pendapatan per kapita dibanding negara-negara Asia Tenggara seperti Kamboja ($ US 104), Laos ($ US 118), Vietnam ($ US 116), Filipina ($ US 174), dan Thailand ($ US 183). Indonesia berada pada posisi sama dengan Burma/ Myanmar yang mempunyai pendapatan per kapita hanya $ US 78 (Booth, 1991:21). Untuk mencukupi kebutuhan pangan, Indonesia yang notabene adalah negara agraris harus mengimpor beras dari luar negeri dalam jumlah besar. Tidak kalah ironisnya, rakyat juga harus berjubel mengantri untuk membeli beras. Setelah beberapa dekade
129
pembangunan
ekonomi,
situasi
Indonesia
membaik.
Indonesia
bahkan
ditransformasikan dari salah satu importer beras terbesar menjadi berswasembada pada pertengahan 1980-an (Hill, 1994:72). Rakyat tidak lagi harus antri untuk membeli beras. Untuk mencapai swasembada beras, Orde Baru menempuh sejumlah cara. Penanganan sektor produksi sangat menonjol di sini dan dengan gencar pemerintah mendorong petani menanam padi melalui apa yang populer disebut Revolusi Hijau. Pelaksanaan program ini mengandalkan pendekatan dari atas ke bawah (top-down) dengan jalur komando yang jelas. Petani digerakkan untuk menanam padi dengan program Bimbingan Massal (Bimas). Kebutuhan masukan (inputs) pertanian disalurkan hingga tingkat desa melalui Koperasi Unit Desa (KUD) yang ditugasi menangani distribusi benih, pupuk, pestisida, kemudian juga berperan dalam pengumpulan dan penyimpanan padi. KUD menjadi bagian terdepan dalam struktur organisasi perkoperasian yang bersifat top-down dibawahkan Departemen Koperasi (Van der Eng, 1996:140-141). Elemen penting lainnya dalam Program Revolusi Hijau
adalah
organisasi
penyuluh
pertanian.
Balai
Penyuluhan
Pertanian
mendampingi petani dalam menangani berbagai aspek teknis penanaman padi dari pemilihan bibit, penanaman, perawatan, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit (Van der Eng, 1996:125). Kaum tani lewat program Revolusi Hijau juga mendapatkan akses untuk memperoleh bantuan berupa pinjaman kredit berbunga rendah (Van der Eng, 1996:135-136). Dalam mengontrol tekanan penduduk, pemerintah Orde Baru meluncurkan program keluarga berancana. Sebagai koordinator program ini di tingkat nasional, pemerintah Orde Baru membentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang secara hierarkhis membawahkan Kantor BKKBN Propinsi. Untuk membuat agar program ini dapat diterima anggota masyarakat, Kantor BKKBN Propinsi melakukan mobilisasi sumber daya birokrasi yang ada pada semua tingkatan, mulai dari kantor Gubernur sampai ke para pemimpin formal dan informal
di
tingkat
desa.
Gubernur
juga
memb erikan
dukungan
sepenuhnya sejak awal pelaksanaan program ini dan memberikan instruksi
130
agar semua aparat pemerintah tanpa kecuali aktif menggencarkan program Keluarga Berencana. Tidak kalah pentingnya, Gubernur juga menegaskan bahwa pemerintah sangat mengharapka n agar setiap aparat pemerintah ikut berpartisipasi secara aktif memberikan teladan dengan mempraktekkan sendiri keluarga berencana dalam rumah tangganya sendiri, serta menyebarluaskannya kepada orang lain. Melalui mobilisasi secara sistematis dari atas ke bawah, keluarga berencana dengan cepat tersebar secara luas ke berbagai lapisan masyarakat (Hull, 1997:86). S ebagai l angk ah per t am a dal am pel aksa naan pro gram kel ua rga berenc ana, kesehatan
BKKBN masyarakat.
propinsi Praktek
menerapkan ini
suatu
berbeda
model
dengan
intervensi
model
yang
dipraktekkan di banyak negara, dengan karakter Keluarga Berencana terbatas pada pelayanan yang bersifat pasif, dengan para petugas bekerja di dekat kantor pemerintah setempat. Di Indonesia seperti digambarkan Hull dalam konteks Jawa Timur, pelaksanaan KB dilakukan secara lebih aktif dengan dua pertimbangan pokok. Pertama, penduduk yang membutuhkan pelayanan keluarga berencana terutama datang dari desa dan penduduk tidak akan mencari pelayanan ke klini -klinik yang j auh. Kedua, penduduk juga akan menerima dengan senang pelayanan yang mereka butuhkan dapat diberikan di dekat rumah mereka. Untuk memenuhi kebutuhan penduduk tersebut, strategi yang dikembangkan adalah mengangkat petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) dalam jumlah besar untuk melakukan kunjungan ke rumah -rumah. Kedua, pemerintah melakukan serangkaian upaya untuk menata sumber daya kesehatan dan administratif yang dimilik dalam rangka melakukan mobilisasi peran serta masyarakat secara aktif dalam program keluarga berencana (Hull, 1997:87). Puskesmas, posyandu, PKK ikut menjadi bagian integral dalam kampanye keluarga berencana, Tidak lupa secara aktif pemerintah mempromosikan citra positif keluarga berencana dengan melekatkan atribut atau ungkapan seperti: keluarga kecil bahagia dan sejahtera, dua anak cukup, laki-laki-perempuan sama saja.
131
Berdasar uraian di atas dapat dikatakan bahwa rekayasa budaya adalah satu hal mungkin dilakukan. Jalur kekuasaan merupakan model rekayasa budaya yang sering dijumpai dalam sejarah karena lebih menjamin tercapainya target yang diinginkan karena lewat model ini berbagai sumberdaya yang ada lebih mudah dimobilisasi dan diarahkan. Tentu saja, proses mobilisasi sosial akan berjalan lebih efektif apabila mempertimbangkan karakteristik sosial-kultural masyarakat karena melaluinya akan dapat diidentifikasi jalur-jalur manakah yang potensial untuk dimanfaatkan dalam rangka mendukung kesuksesan proyek rekayasa budaya.
5.3 Karakteristik Sosial Kultural Jawa dan Madura di Besuki Wilayah eks-Karesidenan Besuki pada zaman Belanda termasuk daerah yang dikenal dengan sebutan Oosthoek (Pojok Timur), istilah yang digunakan Belanda untuk menyebut kawasan ujung timur Pulau Jawa yaitu daerah Pasuruan-Malang sampai Banyuwangi yang penduduknya masih sangat jarang sebelum tahun 1900 (Geertz, 1986:5; Mackie, 1997:266). Karena daerahnya yang jauh ke timur, orang-orang dari Jawa Tengah menyebutnya Tanah Sabrang Wetan, Tanah Seberang Timur (Koentjaraningrat, 1994:28). Daerah ini kemudian menjadi tempat migrasi orangorang Madura dari Pulau Madura dan Jawa dari daerah Jawa Tengah setelah “ketenangan” tanah Jawa terganggu oleh Perang Jawa (1825-1830) dan pelaksanaan Cultuurstelsel (Geertz, 1986:5). Arus migrasi tersebut, terutama orang-orang Madura, semakin besar seiring dengan pembukaan perkebunan oleh Belanda di wilayah Besuki. Migrasi orang-orang Madura ke Besuki merupakan bagian penting dari tradisi merantau masyarakat Madura, dan hal ini tampak jelas dari fakta bahwa jumlah orang Madura di luar Pulau Madura jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah orang Madura yang bertempat tinggal di Pulau Madura sendiri. Kajian BAPPEDA Jawa Timur dan PAPIPTEK LIPI (1996:29) memperkirakan bahwa sekitar 75 % masyarakat Madura tinggal di luar Pulau Madura dan yang bermukim di Madura hanya 25 %. Keadaan demikian tampaknya sudah berlangsung cukup lama. Pada pertengahan abad ke-19 Hageman (1863:324-325) melaporkan bahwa jumlah
132
penduduk Madura di Jawa Timur besarnya dua kali lipat jumlah penduduk di Madura. Pada tahun 1930 ditaksir sekitar 2,5 juta orang Madura bertempat tinggal di luar Madura, sebagian besar di Jawa Timur (De Jonge, 1989). Sementara itu, pada tahun yang sama jumlah keseluruhan penduduk di Pulau Madura termasuk nonpribumi kurang dari 2 juta jiwa (Kuntowijoyo, 1980:543). Salah satu daerah migrasi terpenting bagi orang Madura adalah wilayah “tapal kuda” Jawa Timur yang membentang dari Pasuruan hingga Banyuwangi (Effendy, 1990:23). Migrasi orang Madura ke wilayah “tapal kuda” ini menurut sejumlah peneliti sudah berlangsung sejak berabad-abad, bahkan sejak sebelum era Majapahit (Kuntowijoyo, 1980:81-83). Dapat dimengerti jika orang Madura merupakan mayoritas penduduk yang mendiami wilayah “tapal kuda”. Hasil Sensus Penduduk 1930 yang dilakukan pemerintah kolonial menunjukkan bahwa sekitar 98 % penduduk Kabupaten Panarukan (sekarang Situbondo) adalah etnis Madura, di Bondowoso persentase penduduk Madura mencapai 99 % lebih. Pada tahun yang sama persentase penduduk Madura di Jember sekitar 63 %, sedangkan di Banyuwangi persentase sekitar 18 % (Volkstelling 1930, III, 1934:Tabel 1). Oleh karena itu, wajar bila secara sosiokultural Besuki diwarnai oleh orang Madura, di samping Jawa yang merupakan etnis terbesar setelah Madura. Secara sosiokultural masing-masing memang memiliki karakteristik tersendiri. Keduanya pada umumnya mengaku beragama Islam. Namun, kesan yang muncul bahwa orang Madura lebih dekat pada ketegori santri dalam perspektif Clifford Geertz (1989) dan Jawa dekat pada kategori abangan. kesukuan
tersebut,
interaksi
yang
Meskipun terpilah menjadi dua identitas intensif
di
antara
keduanya
dalam
perkembangannya menghasilkan generasi “hibridisasi” yang memunculkan “warna” sosiokultural tertentu yang disebut pandalungan (Yuswadi, 2008). Identitas sosiokultur baru yang dikonstruksi kedua masyarakat dominan itu tidak lagi terkungkung pada budaya etnik tertentu, tetapi sangat dipengaruhi oleh besarnya komunitas yang dominan di suatu wilayah sosialisasi budaya. Masyarakat Madura yang sebagian besar berbudaya santri, keras, ekspresif, dan bersifat paternalistik, berhasil mewarnai perilaku masyarakat di wilayah pandalungan ini.
133
Demikian pula sebaliknya masyarakat Jawa, meskipun jumlahnya lebih kecil dibanding Madura, berhasil mewarnai budaya komunikasi. Identitas kultur khas pandalungan ini merupakan kompromi dua kultur dominan yang telah bertahuntahun membangun suatu bentuk percampuran yang bercitra multikultur. Etika sosial, seperti tata krama, sopan-santun, atau budi pekerti orang pandalungan berakar pada nilai-nilai yang diusung oleh dua kebudayaan yang mewarnainya yaitu kebudayaan Jawa dan Madura (Yuswadi, 2008). Oleh karena itu, dalam konteks kehidupan sehari-hari, batas antara Madura – Jawa tampaknya tidak terlampau penting lagi. Dalam perbincangan sehari-hari pengertian Jawa atau Madura cenderung hanya diasosiasikan dengan usaha merawat tradisi leluhur, tak terkecuali bahasa. Bahkan, sekarang mereka yang berusia 30-an dan 40-an tahun pada umumnya adalah dwibahasawan. Mereka bisa berbahasa Madura dan juga bisa berbahasa Jawa, di samping bahasa Indonesia. Sementara itu, dalam hubungan dengan tradisi leluhur tidaklah mudah membedakan mana praktik tradisi Jawa dan mana tradisi Madura. Tidak sedikit tradisi yang dilakukan orang Madura juga dilakukan orang Jawa. Oleh karena itu, barangkali yang terpenting bukan mencari batas-batas Madura – Jawa yang masih terawat, melainkan memahami bagaimana masing-masing orang yang bisa berbeda dalam banyak hal itu membentuk keutuhan-keutuhan, turut menyangga praktik-praktik dan perasaan yang serupa, saling berbagi dan memahami satu sama lain. Terkait karakteristik sosiokultur masyarakat Madura dan Jawa di Besuki, ada beberapa ciri umum masyarakat pandalungan yang bisa dideskripsikan dalam laporan ini. Masyarakat pandalungan, menurut Yuswadi (2008), cenderung bersifat terbuka, ekspresif, keras, temperamental, transparan, dan tidak suka berbasa-basi. Karakter demikian mewarisi karakter Madura yang memang dominan di Besuki. Secara sombolis karakter demikian terefleksi dalam tradisi carok di masyarakat Madura. Dalam studinya tentang carok, Wiyata (2002:170-185) mengemukakan bahwa salah satu penyebab carok yang potensial adalah mengganggu istri orang lain. Gangguan terhadap perempuan yang sudah bersuami tersebut dapat berupa menggoda, mencintai, atau melakukan perselingkuhan. Dalam perspektif orang Madura, istri
134
merupakan simbol kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura. Gangguan terhadap istri atau perempuan ditafsirkan sebagai pelecehan harga diri orang Madura. Harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan terusik jika ia dipermalukan (malo) atau dilecehkan secara sosial. Bagi orang Madura menanggung beban malu merupakan pantangan yang harus disingkirkan. Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri, dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks ini, ungkapan orang Madura, ango’an poteya tolang etembeng poteya mata, yang artinya ‘lebih baik mati daripada hidup harus menanggung malu’ menjadi referensi dari perbuatan carok. Dasar pembelaan terhadap istri (abilahi binek) tersebut ditemukan oleh penyair Madura, D. Zawawi Imron (1986) dalam ungkapan, “Saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, dan dengan memenuhi peraturan agama. Maka siapa saja yang mengganggu istri saya berarti menghina agama saya (Islam) sekaligus menginjak-injak kepala saya”. Karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan perwujudan dari martabat dan kehormatan suami karena istri adalah landasan kematian (bantalla pate). Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai agaja’ nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa (Wiyata, 2002:173). Di samping terefleksi dalam tradisi carok, karakteristik yang cenderung bersifat terbuka, ekspresif, keras, temperamental, transparan, dan tidak suka berbasabasi, juga tampak dari kebiasaan berbahasa mereka yang cenderung menggunakan ragam ngoko dalam komunikasi sehari-hari. Baik yang Madura maupun Jawa, bahasa pertama mereka adalah bahasa Madura dan Jawa, yang sesungguhnya sama-sama mengenal sistem tingkat tutur. Bahasa Jawa mengenal tingkat tutur ngoko, madya dan krama (Poedjasoedarma, 1979). Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak dan keakraban antara pembicara (01) dan kawan bicara (02); 01 yang berstatus sosial tinggi kepada 02 yang berstatus sosial lebih rendah. Seorang majikan dianggap berhak menggunakan ngoko terhadap pembantunya; guru berhak ngoko terhadap muridnya; orangtua berhak ngoko terhadap anaknya, dan sebagainya. Di samping itu, ngoko juga digunakan tatkala orang sedang marah, kesakitan, dan keadaan lain yang
135
mengandung emosi tinggi. Tingkat tutur ngoko disebut juga ragam kasar. Sementara itu, tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun, yang menandakan perasaan segan 01 terhadap 02, karena 02 adalah orang yang belum dikenal, berusia lebih tua, berpangkat lebih tinggi, priyayi, berwibawa dan lain-lain. Murid memakai krama terhadap gurunya; pembantu terhadap majikannya; anak terhadap orangtuanya. Tingkat tutur krama disebut juga ragam alus, atau basa. Di antara dua tingkat tutur itu terdapat tingkat tutur madya, menunjukkan perasaan sopan secara sedang-sedang saja (Poedjasoedarma, 1979). Bahasa Madura juga mengenal tingkat tutur sebagaimana bahasa Jawa. Soegianto (1977) mencatat bahwa tingkat tutur bahasa Madura terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu bhasa enjaq-iya, bhasa engghi-enten, dan bhasa engghi-bhunten. Bhasa enjaq-iya dipakai dalam pergaulan sehari-hari yang akrab betul, seseorang berstatus sosial tinggi kepada seseorang berstatus sosial lebih rendah, disejajarkan dengan ngoko dalam bahasa Jawa. Bhasa enjaq-iya juga disebut bhasa kasar. Bhasa engghi-enten dipakai dalam pergaulan yang kurang akrab, disejajarkan dengan madya dalam bahasa Jawa. Bhasa engghi-bhunten dipakai dalam situasi resmi dan seseorang yang berstatus sosial lebih rendah kepada seseorang berstatus sosial lebih tinggi, disejajarkan dengan krama dalam bahasa Jawa. Bhasa engghi-bhunten disebut juga bhasa alos. Meskipun Poedjasoedarma mencatat tingkatan bahasa Jawa menjadi tiga tingkatan dan Soegianto mencatat bahasa Madura juga menjadi tiga tingkatan, masyarakat penutur pada umumnya hanya mengenal dua tingkatan yang berbeda. Masyarakat penutur bahasa Jawa menarik tegas perbedaan antara ngoko dan krama (Siegel, 1986); sedangkan penutur bahasa Madura membedakan antara bhasa kasar dan bhasa alos (Soetoko, 1998). Jadi, antara masyarakat Jawa dan Madura terdapat tindak bahasa yang mirip, yaitu ngoko – krama, yang masing-masing memiliki konteks yang tegas. Orang Madura sesungguhnya relatif bebas dari relasi ngoko – krama. Pelapisan atau tingkat tutur yang ada pada bahasa Madura sebagaimana dicatat
136
Soegianto (1977) sebenarnya lebih menunjuk pada pengaruh Jawa.1 Alan M. Stevens (1968:1) mencacat bahwa kata-kata yang digunakan dalam tingkat halus bahasa Madura (bhasa alos atau bhasa engghi-bhunten) memiliki banyak kemiripan dengan kata-kata yang digunakan dalam tingkat halus bahasa Jawa (krama); sedangkan tingkat kasar (bhasa kasar atau bhasa enjaq-iya) dekat kepada bahasa Melayu. Hasil rekonstruksi bahasa yang dilakukan Bernd Nothofer (1975) mendukung pernyataan Alan M. Stevens tersebut. Dengan membandingkan kosakata dasar antara bahasa Jawa, Sunda, Melayu dan Madura, Nothofer berhasil menunjukkan bahwa bahasa Madura lebih dekat kepada bahasa Melayu daripada kepada bahasa Jawa maupun bahasa Sunda. Oleh karena itu, tingkat tutur itu cenderung hanya muncul di wilayah tertentu, terutama Sumenep, yang dalam banyak hal dianggap memiliki warna Jawa paling kuat, sehingga orang Sumenep menganggap bahasa Madura yang digunakan masyarakat di Sampang dan Bangkalan, misalnya, sebagai bahasa Madura yang kasar (Zainuddin, 1991). Masyarakat Besuki yang mayoritas Madura juga cenderung bersifat paternalistik, dalam arti keputusan bertindaknya mengikuti keputusan yang diambil para tokoh panutan. Dalam masyarakat Madura dikenal adanya ungkapan referensi penghormatan sosial buppa’, babbu’, guru, rato, yang artinya bapak-ibu, guru, ratu. Bapak-ibu artinya orang tua yang melahirkan seseorang, guru maksudnya adalah guru agama, seperti kyai atau guru ngaji, dan ratu artinya pemerintah. Berdasarkan ungkapan tersebut, orang Madura memberikan penghormatan tertinggi kepada orang tua, kemudian guru agama, dan yang terakhir kepada pemerintah atau negara. Ketiga
Diperkirakan pelapisan bahasa Madura terjadi hampir bersamaan dengan pelapisan bahasa Jawa, mengingat jauh sebelum zaman kolonial maupun pada zaman kolonial, Madura berada dalam hegemoni kerajaan-kerajaan Jawa. Bahkan, menurut Huub de Jonge (1989, raja-raja Madura memiliki hubungan keluarga dengan bangsawan Jawa dan suka meniru gaya hidup kraton Jawa. Oleh karena itu, ketika kekuasaan Belanda serempak memfosilkan penguasa Jawa dan “memfeodalkan” hubungan mereka dengan rakyatnya hal yang sama juga terjadi di Madura. Kuntowijoyo (1980; 1993) mencatat bahwa organisasi sosial di Madura serupa dengan Jawa; dan di Madura dikenal kategori parjaji (Jawa: priyayi), baik yang muncul dari kerabat raja yang disebut sentana maupun pegawai birokrasi kolonial, dan kategori oreng kenek (Jawa: wong cilik) yang merupakan rakyat kebanyakan. 1
137
unsur kategori sosial tersebut merupakan akar penghormatan sosial bagi masyarakat Madura, yang perwujudannya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pada masa lalu, guru agama merupakan peletak fondasi pemahaman keagamaan dan keimanan orang Madura, selain pendidikan orang tua di lingkungan keluarga. Namun demikian, pada masa sekarang dengan kehadiran institusi-institusi pendidikan formal, para guru di lembaga pendidikan ini juga memperoleh penghormatan sosial dan apresiasi yang cukup baik di kalangan orang Madura. Demikian juga, hadirnya ”negara” dalam masyarakat Madura, jika pada masa lalu direpresentasikan dalam bentuk kerajaan-kerajaan tradisional, sekarang berwujud pada institusi pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Para birokrat di lingkungan pemerintahan ini juga memperoleh penghormatan sosial dan apresiasi yang cukup baik di kalangan orang Madura. Penghormatan masyarakat Madura yang tinggi terhadap kyai dan institusi keagamaan Islam yang ada karena hal ini relevan dengan identitas keagamaan mereka. Islam menjadi salah unsur identitas terpenting dalam membentuk etnisitas Madura. Oleh sebab itu, institusi-institusi sosial-keagamaan Islam memperoleh tempat penghormatan yang baik di kalangan orang Madura. Institusi-institusi sosialkeagamaan di antaranya adalah pondok pesantren, majelis pengajian, takmir masjid, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan organisasi-organisasi lain yang berafiliasi kepada Islam. Karena sebagian besar masyarakat Madura menganut Islam tradisional, institusi-institusi sosial keagamaan, seperti pesantren dan ormas Nahdlatul Ulama (NU) memiliki pengaruh besar dalam membentuk tradisi sosial keagamaan masyarakat Madura. Dengan kondisi demikian, para kyai yang menjadi pemimpin pondok pesantren, tokoh-tokoh NU dan Muslimat NU yang sebagian besar berlatar belakang pendidikan pondok pesantren, serta tokoh-tokoh organisasi keagamaan Islam yang lain sangat diperhatikan nasihat-nasihatnya atau pandangan pemikirannya oleh masyarakat Madura. Berdasarkan uraian di atas, tokoh-tokoh dan pemimpin dalam masyarakat Madura yang memiliki legitimasi peranan sosial yang kuat dalam kehidupan mereka adalah sebagai berikut.
138
Pertama adalah para kyai atau ulama pengasuh pondok pesantren. Setiap kyai dan pondok pesantren memiliki santri (laki-laki dan perempuan) dalam jumlah besar. Pondok pesantren berdiri di kota dan desa. Besar kecilnya pondok pesantren atau besar-kecilnya jumlah santri yang belajar keagamaan di suatu pondok pesantren sangat dipengaruhi oleh kharisma keagamaan kyai yang menjadi pengasuhnya. Para orangtua santri memiliki afiliasi keagamaan atau bahkan ”fanatisme keagamaan” yang kuat dengan pondok pesantren yang menjadi tempat anak-anak mereka belajar keagamaan. Setiap pondok pesantren memiliki independensi organisasi dan tidak bergantung pada pondok pesantren yang lain. Hubungan sosial keagamaan antarpondok pesantren yang kuat biasanya diikat oleh jaringan kekerabatan. Para kyai, tidak hanya memiliki pengaruh yang kuat terhadap santri dan mantan santrinya, tetapi juga pada orangtua dan keluarga santri atau mantan santrinya. Dengan polapola pengaruh demikian, masyarakat Madura terbagi dalam sejumlah afiliasi keagamaan dengan pondok-pondok pesantren yang ada. Kedua, masih dalam konteks kepemimpinan Islam, di bawah kyai atau ulama pengasuh pondok pesantren, para kyai lokal, yang biasanya berasal dari guru ngaji atau ustadz, juga memiliki pengaruh yang cukup besar di tingkat masyarakat lokal. Mereka mengambil peranan penting dalam kepemimpinan tradisional dan dalam kegiatan pendidikan informal di langgar-langgar yang tersebar di lingkungan kampung masyarakat Madura. Walaupun pengaruh mereka tidak meluas keluar desa, tetapi di lingkungannya para kyai dan ustadz lokal ini diperhitungkan pandanganpandangannya oleh masyarakat. Ketiga, selain kategori kyai, ulama, atau ustadz di atas, adalah para pemimpin ormas keagamaan Islam, seperti pemimpin ormas NU, Muslimat NU, dan organisasi bawahannya yang lain. Mereka memiliki pengaruh yang kuat terhadap komunitasnya. Karena sebagian besar masyarakat Madura berafiliasi pada Islam tradisional, maka jumlah warga NU dan ormas-ormas pendukungnya juga sangat besar. Keempat, para birokrat pemerintahan. Di tingkat masyarakat lokal, kepala desa (klebun) memiliki pengaruh sosial yang kuat. Para kepala desa ini diangkat sebagai pemimpin karena dipilih langsung oleh masyarakatnya. Dalam masyarakat
139
pedesaan Madura, biasanya sebelum mereka terpilih sebagai kepala desa adalah sebagai tokoh masyarakat yang disegani karena memiliki kelebihan ilmu kanuragan dan keberanian, seperti para blater. Dengan terpilih sebagai kepala desa, mereka memiliki tanggung jawab untuk melindungi warganya dari berbagai hal yang dapat merugikan. Karena itu, kepala desa di mata masyarakat tradisional Madura sangat disegani, sehingga nasihat-nasihatnya mudah diikuti oleh warganya. Sama halnya dengan kyai atau tokoh keagamaan, kepemimpinan para kepala desa termasuk jenis kepemimpinan tradisional-kharismatik walaupun mereka berada di jalur birokrasi negara. Para aparat pemerintahan di atas kepala desa, seperti Camat dan aparatur di tingkat kabupaten, tetap memiliki pengaruh sosial terhadap masyarakat Madura, khususnya di kalangan masyarakat Madura yang berpendidikan dan bisa berpikir rasional, seperti masyarakat di daerah perkotaan. Pengaruh sosial tersebut terkait dengan tanggung jawab teknis-fungsional sebagai seorang pejabat. Jika dibandingkan dengan kepala desa, kewibawaan para pejabat tersebut masih belum seberapa. Selain itu, guru PNS sebagai aparat pemerintah daerah atau guru swasta (nonPNS) yang biasanya bekerja pada sekolah-sekolah keagamaan yang berafiliasi ke pemerintah atau pondok pesantren memiliki tempat yang khusus dalam pandangan masyarakat Madura. Masyarakat Madura menghormati mereka karena telah berjasa dalam mendidik anak-anak warga masyarakat Madura, sehingga memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai hal di dunia ini. Tanpa bantuan para guru tersebut sulit kiranya bagi para orangtua untuk meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi anak-anaknya. Karena itu, warga masyarakat Madura sangat menghargai peranan yang telah dimainkan oleh para guru. Kelima, kelompok masyarakat yang tidak termasuk kyai, pemimpin ormas keagamaan Islam, atau birokrat, tetapi memiliki pengaruh sosial yang besar adalah blater dan tokoh masyarakat lainnya. Blater adalah kelompok masyarakat atau individu yang disegani dan ditakuti oleh warga masyarakat Madura karena memiliki keberanian dan ”kesaktian” dalam ilmu kanuragan, walaupun perangai mereka buruk, seperti senang carok, suka berjudi, dan senang minum-minuman keras. Tidak sedikit
140
di antara mereka sudah berhaji dan hal ini menjadi modal kultural untuk memperkokoh ”ke-blater-annya”. Di kalangan orang Jawa, blater ini serupa dengan jagoan. Selain blater, seorang yang dianggap tokoh masyarakat
juga memiliki
pengaruh sosial yang kuat terhadap masyarakatnya di tingkat lokal. Mereka biasanya orang kaya yang memiliki kepedulian sosial tinggi, berbudi baik, dan akan lebih dihargai oleh masyarakatnya jika sudah menunaikan ibadah haji. Pandanganpandangannya akan diperhatikan atau diikuti oleh masyarakatnya sepanjang memberikan manfaat kehidupan. Berdasarkan uraian di atas, tokoh-tokoh keagamaan, seperti kyai dan ulama pengasuh pondok pesantren, guru mengaji atau ustadz, dan pemimpin ormas keagamaan; birokrat pemerintahan daerah, khususnya kepala desa, guru sekolah umum atau sekolah keagamaan; dan tokoh masyarakat, blater, dengan tingkat derajat yang berbeda memiliki pengaruh sosial dalam kehidupan masyarakat Madura. Mereka merupakan mediator, fasilitator, atau transformator yang berpengaruh dalam pembangunan masyarakat Madura. Karena itu, kedudukan dan peranan sosialnya tidak dapat diabaikan. Masyarakat Besuki juga masih memiliki ikatan kekerabatan yang relatif kuat sehingga penyelesaian persoalan seringkali dilakukan secara beramai-ramai (gotong royong). Solidaritas sosial masih bisa dirasakan, baik di kalangan Madura maupun Jawa, di daerah Besuki. Nilai tersebut diwarisi dari nilai-nilai kekerabatan yang memang kuat dari daerah asalnya. Untuk Madura, hubungan kekerabatan yang kuat itu dapat dilacak dari pola pemukiman tradisional masyarakat Madura yang disebut tanean lanjang. Yang dimaksud pola pemukiman tanean lanjang adalah susunan rumah berjajar dari barat ke timur sesuai dengan jumlah anak perempuannya, dan di depan rumah tersebut terdapat halaman memanjang yang dijadikan tempat untuk kegiatan bersama. Sedangkan di bagian ujung paling barat terdapat surau, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat sholat melainkan juga dijadikan tempat berkumpul bersama atau menerima tamu yang belum dikenal.
141
Pola pemukiman yang berupa tanean lanjang menunjukkan adanya hubungan yang erat antara tanah dan kekerabatan serta sistem pewarisan.. Bukan sembarang orang yang tinggal di dalam tanean lanjang. Penghuni tanean lanjang adalah anakanak perempuan dari sebuah keluarga inti bersama suami dan anak-anaknya. Pola pemukiman semacam ini masih tampak jelas di Madura, terutama di daerah pedesaan, walaupun tidak seratus persen sesuai dengan pola berjajar ideal sebagaimana digambarkan dalam struktur pemukiman tanean lanjang (Wiyata, 1989). Yang jelas pengelompokan rumah tangga yang membentuk keluarga luas masih tampak sekali. Sebagai misal letak rumah tidak beraturan berjajar, tetapi ada yang berhadap-hadapan karena pekarangannya tidak lagi memanjang. Sementara itu orang Jawa memang dikenal memiliki ikatan kekerabatan yang kuat. Di Jawa ada ungkapan mangan ora mangan yen kumpul, meskipun tidak makan yang penting bisa berkumpul dengan saudara. Dewasa ini nilai demikian masih terefleksi dari tradisi mudik. Orang-orang Jawa perantauan akan berupaya mudik pada momen-momen tertentu, dan merasa bahwa kampung halamannya adalah daerah asalnya. Kuntowijoyo (1993) memaparkan bahwa di Jawa ekosistem sawah membentuk pola pemukiman yang mengelompok pada desa induk, sehingga melahirkan solidaritas sosial yang tinggi antarwarga masyarakat desa. Masyarakat Besuki, baik Madura maupun Jawa, sebagian besar juga masih terkungkung oleh tradisi lisan tahap pertama yang memiliki cirri-ciri suka mengobrol, takut menyimpang dari pikiran dan pendapat yang berlaku umum (solidaritas mekanis). Hal ini merupakan fenomena masyarakat yang sebagian besar berada pada agraris tradisional dan berada di persimpangan jalan antara masyarakat tradisional dan masyarakat industry, sehingga tradisi dan mitos biasanya mengambil tempat yang dominan dalam keseharian (Yuswadi, 2008).
5.4 Rekayasa Budaya Konsumsi Pangan Beragam Dari perspektif konstruksi sosial, masyarakat dan kebudayaannya bukanlah sesuatu yang hadir secara alamiah, melainkan dikonstruksikan oleh manusia. Masyarakat dan
142
kebudayaannya adalah buatan, konstruksi dan produksi manusia sendiri. Manusialah yang menciptakan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku, yang kemudian dibakukan dalam berbagai pranata sosial, atau dalam istilah Berger dan Luckmann (1990) disebut mengalami institusionalisasi (pelembagaan). Selanjutnya, agar pranata tersebut dapat dipertahankan dan dilanjutkan, dibuatlah pembenarannya melalui proses legitimasi, sehingga konstruk tersebut tampak (seolah-olah) objektif dan independen serta secara subjektif masuk akal. Di sinilah seseorang memandang masyarakat dan kebudayaan (seolah-olah) sebagai realitas objektif. Kemudian bila pranata itu disadari lagi sebagai buatan saja, terjadilah internalisasi. Dalam internalisasi ini seseorang menyadari bahwa realitas yang ia terima (nilai budaya sekalipun) bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, melainkan hasil atau konstruksi sekelompok orang dalam sejarah mereka. Dengan demikian, budaya konsumsi pangan adalah suatu konstruksi sosial sehingga terbuka pula untuk direkonstruksi melalui berbagai rekayasa budaya.
5.4.1 Jalur Pendidikan Menurut perspektif konstruksi sosial pula, setiap manusia dalam masyarakat dan kebudayaannya menyandang dua peran sekaligus yaitu pewaris dan agen kebudayaan. Dari sudut ini, pendidikan merupakan wahana yang amat penting dalam dialektika antara masyarakat (dengan kebudayaannya) dan manusia. Pendidikan tak akan pernah netral dari aspek sosiokultural masyarakat. Pendidikan menyandang dua dimensi sekaligus. Melalui pendidikan konstruk-konstruk diwariskan (pelestarian); dan pada sisi lain melalui pendidikan pula konstruk-konstruk diciptakan (pembaruan). Karena itu, tidaklah salah orang berharap dapat mengubah sejarah kehidupannya melalui pendidikan. Pendidikan adalah sarana penting dalam rangka rekayasa budaya dan melaluinya individu dan masyarakat dapat dikonstruksi sesuai dengan gambaran yang diidealkan. Pada masa lampau kaum penjajah pun memanfaatkan jalur pendidikan dalam rangka melakukan rekayasa masyarakat kolonial.
143
Jalur pendidikan sangat strategis dipakai sebagai rekayasa budaya konsumsi pangan yang beragam. Nilai strategis jalur pendidikan terkait dengan beberapa alasan. Pertama, mayoritas anak melewati masa pembentukan pribadi, moralitas, dan kemampuan intelektual yang berlangsung selama bertahun-tahun dalam dunia pendidikan. Kedua, sebagian besar masa pertumbuhan dan pengenalan anak terhadap lingkungan sosial di luar keluarga juga terjadi dalam dunia pendidikan. Ketiga, sekolah menjadi jalur utama yang secara sistematis dan teratur mengantar anak pada cakrawala pengetahuan yang luas. Melalui pendidikan, konsep-konsep, ide-ide, dan segenap informasi ilmu pengetahuan dapat diberikan kepada anak didik. Melalui pendidikan itu pula segala hal dalam kehidupan dunia ini dapat dijelaskan. Gejala alam maupun sosial dapat dijelaskan kepada anak didik baik secara teoritis maupun pembuktian-pembuktian. Dari penjelasan-penjelasan tersebut seseorang menjadi tahu dan paham. Pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu hal inilah yang pada gilirannya membentuk sikap dan perilaku seseorang terhadap dunia lingkungannya. Budaya konsumsi pangan beragam bukan mustahil dapat dibentuk melalui jalur pendidikan tersebut. Pada masa Orde Baru misalnya, jalur pendidikan ikut memberikan sumbangan penting bagi terbentuknya persepsi masyarakat mengenai pola makan berimbang yang dikenal secara populer dengan “empat sehat lima sempurna”. Cara berkonsumsi masyarakat sangat dipengaruhi persepsinya dan persepsi tersebut terkait pula dengan pengetahuan dan pemahamannya terhadap pangan. Pada masa lampau salah satu unsur empat sehat adalah nasi. Nasi lebih ditonjolkan ketimbang kebutuhan akan karbohidrat sehingga menimbulkan salah pengertian. Nasi memang sumber karbohidrat, tetapi bukan satu-satunya. Masih banyak bahan paangan lain yang menyediakan karbohidrat. Masyarakat di Besuki, misalnya, makan mi dianggap belum makan. Konsep makan selalu dimaknai dengan kahadiran nasi berbahan beras atau jagung. Mi tidak termasuk dalam konsep makan meskipun berbahan sama dengan nasi. Bahkan mi dimaknai bahan lauk pauk. Seseorang makan nasi berbahan beras dengan lauk pauk mi sering ditemui di masyarakat Besuki, baik yang Jawa maupun Madura. Padahal keduanya sama-sama sumber karbohidrat. Pemahaman demikian juga tampak dari cara masyarakat Besuki
144
menempatkan masakan mi dalam hidangan selamatan dan acara lainnya. Masakan mi selalu ditaruh berdampingan dengan jenis lauk pauk. Dalam paket nasi kotakan, misalnya, baik untuk selamatan maupun acara yang lain, mi selalu diletakkan dalam tempat lauk pauk untuk menyertai nasi, misalnya masakan lauk pauk berbahan daging, telor, ayam, sambal goreng, dan sayur. Hal ini menunjukkan bahwa mi dimasak memang dikonsepkan bukan setara dengan nasi melainkan lauk pauk. Budaya makan mi yang tidak dipahami setara dengan makan nasi jelas tidak mendukung budaya konsumsi pangan beragam. Makan mi seharusnya sudah bermakna makan, mengingat dari segi kebutuhan nutrisi, mi sama dengan nasi berbahan beras, jagung maupun ketela pohon (gaplek). Pendidikan niscaya dapat mengubah budaya yang tidak mendukung budaya konsumsi pangan beragam ini. Sangat banyak ruang pendidikan yang bisa dioptimalkan. Banyak mata pelajaran yang terkait dengan pangan dan kebutuhan nutrisi yang bisa menjelaskan dan memberikan pemahaman baru sehingga mengubah perilaku masyarakat. Di Besuki, banyak penjual masakan mi, baik yang kelas depot atau rumah makan maupun kelas kaki lima, yang buka pada jam-jam makan malam. Tempat ini dikunjungi konsumen yang memang sudah biasa makan mi setara dengan makan nasi. Seorang konsumen yang menurutnya hampir seminggu sekali makan mi pangsit bersama keluarganya di kawasan pujasera Jember menuturkan bahwa keluarga mereka memang sudah terbiasa makan mi sama dengan makan nasi. Di samping sama-sama mengenyangkan, juga memenuhi kebutuhan karbohidrat. Menurutnya, mi memang bukan untuk lauk pauk, karena sumber karbohidrat, sama dengan nasi. Pemahaman demikian yang juga diberikan kepada anak-anaknya yang masih di bangku sekolah dasar, sehingga mereka juga terbiasa.
Budaya konsumsi demikian dengan sendirinya akan
mengurangi ketergantungan pada nasi, sehingga mendukung konsumsi pangan beragam. Pemahaman lewat jalur pendidikan tersebut juga bisa dilakukan terhadap nasi maupun makanan sumber karbohidrat seperti roti dan umbi-umbian. Baik makan nasi berbahan beras, jagung, gaplek, maupun makan roti dan jenis makanan berbahan
145
umbi-umbian seperti kentang, pada hakekatnya sama. Yang membedakan adalah kesan atau citra rasa. Oleh karena itu, rekayasa budaya demikian harus pula dilakukan bersama dengan pengembangan produk makanan berbahan beragam. Berkat sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, niscaya produk makanan dapat memenuhi kesan atau citra rasa yang sesuai dengan selera masyarakat, apalagi selera pada hakekatnya juga sebuah konstruksi budaya yang terbentuk lewat pengalaman.
5.4.2 Pembentukan Citra Produk Pangan Dewasa ini citra sebuah produk tidak bisa diabaikan. Bahkan sebagian masyarakat mengonsumsi sesuatu karena citranya. Citra menjadi faktor penting yang menentukan pilihan konsumsi. Iklan di berbagai media seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi merupakan sarana penting dalam rangka pembentukan citra dan merangsang konsumen untuk membeli produk. Ingat misalnya produk jamu tolak angin yang melekatkan citra “orang pintar” bagi penggunanya, atau “selera pemberani” untuk pengguna rokok tertentu. Dalam kampanye politik, citra diri seorang tokoh juga sering ditampilkan untuk meningkatkan daya jual sehingga manarik simpatisan untuk memilihnya, entah lewat pencitraan diri memperjuangkan “wong cilik”, “nasionalis”, “anti-neoliberalisme” atau citra-citra lainnya. Intinya, sebuah citra pada dasarnya bisa diciptakan atau dibentuk melalui sebuah proses rekayasa budaya. Pembentukan citra produk pangan merupakan rekayasa budaya yang dimaksudkan untuk mengubah citra suatu produk pangan. Citra baru yang terbentuk merupakan citra yang lebih meningkat secara sosiokultural. Pilihan konsumen pada produk pangan juga dibentuk oleh citra pangan tersebut. Sebagian masyarakat di Besuki, misalnya, enggan mengonsumsi nasi jagung atau gaplek karena citra yang melekat pada nasi jagung atau gaplek tersebut. Nasi jagung atau gaplek dicitrakan sebagai makanan zaman susah ketika masyarakat kesulitan mencari bahan pangan karena kemiskinan. Makan nasi jagung atau gaplek identik dengan makan makanan orang miskin. Nasi beras dinilai memiliki citra sosial yang lebih tinggi daripada nasi jagung, apalagi nasi gaplek. Oleh karena itu, citra baru yang terbentuk dari rekayasa budaya tersebut harus memberikan nilai yang lebih baik atau positif sehingga
146
masyarakat juga terdorong mengubah budaya konsumsinya berkat adanya citra tersebut.
Pembentukan citra produk pangan dapat dilakukan melalui beberapa hal berikut ini. Bahasa Citra suatu produk pangan ditentukan pula oleh bahasa yang digunakan sebagai penamaan produk tersebut. Masyarakat post-kolonial cenderung melihat segala hal yang berasal dari bangsa yang pernah menjajahnya lebih baik dan memiliki gengsi sosial lebih tinggi. Perilaku masyarakat post-kolonial cenderung meniru perilaku bangsa yang pernah menjajahnya. Oleh karena itu, di masyarakat Besuki segala hal yang berbau asing, terutama Eropa, cenderung ditempatkan lebih tinggi dan terhormat secara sosiokultur daripada yang berasal dari masyarakat setempat. Kenyataan demikian membuat masyarakat tidak bisa menolak penamaan suatu produk dengan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris. Harus diakui bahwa bahasa Inggris memiliki gengsi sosial yang lebih tinggi daripada bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah. Penggunaan bahasa Inggris dalam aktivitas sosial secara sosiologis di antaranya dimaksudkan untuk memberikan citra sosial yang lebih tinggi. Dalam konteks pangan, misalnya, jenis makanan pop corn. Jenis makanan ini sangat disukai anak-anak dan para remaja sebagai suatu makanan ringan. Jika dicermati, pop corn hampir tidak berbeda dengan brondong jagung. Keduanya berbahan jagung dan konsumen tahu tentang hal itu. Menurut konsumen, pop corn memiliki citra rasa yang lebih nikmat dan modern daripada brondong jagung, dan mereka mengonsumsinya bagaikan menikmati produk masyarakat modern yang lain. Pop corn diproses secara modern dan dikemas secara modern pula, berbeda dengan brondong jagung yang serba tradisional. Dengan diberi nama pop corn lengkaplah citra modern suatu jenis makanan berbahan jagung. Hal ini membuktikan bahwa citra makanan berbahan jagung yang semula memiliki citra rendah dapat diubah sebagai makanan bercitra tinggi dan modern. Menikmati pop corn membuat orang merasakan modernitas.
147
Penggunaan bahasa sebagai pembentukan citra produk pangan bukan hanya berasal dari bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Penamaan suatu produk dapat juga berbasis pada bahasa setempat. Hal ini tampak dari produk makanan yang diberi nama tela-tela. Jenis makanan tela-tela adalah jenis makanan ringan berbahan ketela pohon. Di Besuki, jenis makanan ini sangat disukai, baik anak-anak, para remaja, maupun orang tua. Menurut konsumen, mereka menyukai tela-tela karena citra rasa yang nikmat dan modern meskipun berbahan dasar ketela pohon. Lebih dari sekadar ketela pohon goreng meskipun tela-tela juga diproses dengan cara digoreng. Popularitas tela-tela tampaknya merupakan efek ikutan dari citra modern produk makanan “french fries” atau “fries” alias kentang goreng yang dijajakan di geraigerai makanan cepat saji kelas dunia yang sering dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan modern dan supermarket, termasuk misalnya MacDonald, California Fried Chicken, Kentucky Fried Chicken. Penamaan tela-tela tidak mengambil unsur bahasa asing, tetapi bahasa setempat. Di masyarakat Jawa ketela pohon disebut tela. Ada pula yang menyebut pohong. Tampaknya dari asal kata tela (bahasa Jawa) inilah tela-tela dibentuk. Kata tela diulang, tetapi bukan untuk membentuk makna jamak sebagaimana perulangan bahasa Jawa, melainkan untuk menamai suatu produk tertentu yang berbahan dasar tela.
Lokasi Citra suatu produk pangan juga dapat dibentuk oleh lokasi atau tempat produk pangan tersebut disajikan. Sejalan dengan aspek bahasa, lokasi atau tempat-tempat yang memiliki citra sosial modern juga dapat membentuk citra serupa kepada produk yang ada di dalamnya. Baik pop corn maupun tela-tela, pada umumnya dijajakan di tempat-tempat tertentu yang memiliki citra modern seperti mal, pusat perbelanjaan, dan pasar-pasar modern yang lain. Dewasa ini sudah mulai mudah ditemukan jenis-jenis makanan tradisional yang dijajakan di pusat-pusat perbelanjaan modern. Jenis makanan yang semula hanya bisa ditemukan di warung-warung atau pasar-pasar tradisional kini mulai
148
banyak yang sudah dijajakan di mal dan pusat perbelanjaan modern. Bahkan di pusat makanan pujasera Jember juga bisa dijumpai nasi jagung. Sebuah depot yang membuka stan di pusat makanan tersebut, Depot Bromo, berani menawarkan nasi jagung. Ternyata, di Depot Bromo konsumen nasi jagung tidak kalah jumlahnya dengan konsumen nasi beras. Citra nasi jagung sebagai makanan kaum miskin tidak terasa, mengingat konsumen Depot Bromo pada umumnya justru berasal dari kalangan kelas menengah di Jember.
Ritual Makan Para Tokoh Pembentukan citra produk pangan yang tidak kalah penting adalah justru perilaku konsumsi para tokoh masyarakat atau orang-orang terpandang yang memiliki status sosial tinggi di mata masyarakat. Hal ini mengingat karakteristik sosiokultur masyarakat di Besuki yang cenderung bersifat paternalistik. Perilaku tokoh atau orang-orang terpandang akan menjadi rujukan masyarakat. Pilihan-pilihan tokoh atau orang-orang terpandang akan diikuti pula oleh masyarakat. Oleh karena itu, para tokoh atau orang-orang terpandang dapat menjadi agen pembentukan citra pangan yang beragam melalui ritus makan mereka. Ritus makan para tokoh yang dimaksud adalah kebiasaan makan para tokoh, baik yang bersifat domestik maupun publik. Kebiasaan makan yang bersifat domestik berlaku di dalam lingkungan keluarga para tokoh. Sedangkan kebiasaan makan yang bersifat publik berlaku untuk kegiatan yang mengundang publik. Ritus makan domestik memang untuk keluarga para tokoh tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa dapur para tokoh sebenarnya bukan hanya untuk keluarga tetapi juga untuk banyak orang. Dalam kehidupan sehari-hari tokoh biasanya selalu dikelilingi banyak orang. Tokoh selalu berhubungan dengan banyak orang, sehingga dapur para tokoh dengan sendirinya juga untuk banyak orang. Mengingat hal tersebut, segala makanan yang diproduk di dapur atau disajikan di keluarga tokoh akan melekat citra yang disandang tokoh tersebut. Nasi jagung akan memiliki citra yang tidak sebagaimana umumnya ketika hadir di meja makan keluarga bupati. Hal ini pula yang terjadi pada keluarga Sutikto, Rektor Universitas
149
Jember. Setiap hari keluarga Sutikto selalu menyajikan nasi jagung yang dicampur beras sebagai sajian, di samping nasi beras. Bagi para kolega atau orang-orang yang berkesempatan dijamu oleh keluarga Sutikto merasa “aneh” pada awalnya melihat nasi jagung ada di meja makan keluarga Rektor Universitas Jember itu. Menurut Pak Tik – panggilan akrabnya – tidak ada yang aneh dengan nasi jagung di sini, karena sama-sama nikmatnya dengan nasi beras dan masing-masing memiliki kekhasan rasa. Karena itu, menurutnya, keluarganya selalu menyediakan nasi jagung sebagai santapan sehari-hari. Kebiasaan makan yang bersifat publik berlaku untuk kegiatan yang mengundang publik, baik yang bersifat kedinasan maupun personal. Yang bersifat kedinasan terkait dengan kegiatan dinas para tokoh tersebut, misalnya jamuan makan pada acara resmi. Jamuan makan pada acara resmi tersebut harus mendukung pembentukan pangan beragam. Publik akan semakin bisa diyakinkan tentang citra nasi jagung, misalnya, bila dalam jamuan makan pada acara resmi tersebut juga disajikan menu nasi jagung. Publik akan merasakan bahwa nasi jagung juga sejajar dengan nasi beras, masing-masing memiliki kekhasan rasa. Sangat banyak kegiatan kedinasan dan jika hal tersebut bisa dilakukan niscaya masyarakat juga akan semakin terbiasa. Sementara itu, yang bersifat personal adalah acara-acara para tokoh yang terkait dengan hajat pribadi, seperti acara selamatan ulang tahun, syukuran tentang sesuatu hal, bahkan acara pernikahan. Kegiatan-kegiatan tersebut selalu diikuti makan bersama para undangan. Kegiatan seperti itu juga akan semakin mendukung pangan beragam bila juga bisa menampilkan jenis makanan beragam, sebagaimana yang selalu dilakukan Sutikto, Rektor Universitas Jember. Dalam setiap acara hajatan pribadi, seperti ulang tahun dan syukuran yang lain, Rektor Universitas Jember tersebut selalu menyajikan nasi berbahan beras dan nasi berbahan jagung sebagaimana yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Para tamu ternyata tidak sedikit yang memilih nasi jagung. Sambil mengambil nasi jagung yang disajikan para tamu itu ada pula yang memberi komentar pendek “mengingat masa lalu”. Komentar tersebut dapat ditafsirkan bahwa dalam nasi jagung masih
150
terkandung citra kemiskinan. Pada zaman dulu mereka mungkin juga konsumen nasi jagung, karena keluarganya tidak mampu membeli beras, sehingga nasi jagung di acara hajatan Pak Sutikto mengingatkan masa kemiskinan itu. Namun, tidak sedikit tamu yang terkesan menikmati sajian nasi jagung tersebut, karena kekhasan rasanya. Kehadiran nasi jagung dalam acara hajatan Rektor Universitas Jember tersebut dengan sendirinya mendekonstruksi citra nasi jagung sebagai makanan yang tidak berkelas. Seorang rektor tanpa canggung mengonsumsi dan menyajikan nasi jagung dalam jamuan makan para tamunya. Ritus makan para tokoh niscaya akan diikuti masyarakat, mengingat kecenderungan paternalistik masyarakat.
5.5 Kesimpulan Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa rekayasa budaya adalah proyek yang realistis, bukan suatu kemustahilan. Berbagai model rekayasa budaya telah dilakukan sepanjang sejarah dan hasilnya pun dapat dilihat terutama yang dijalankan lewat jalur kekuasaan. Di sini negara memainkan peran instrumental karena mempunyai wewenang untuk memaksa individu mengikuti kebijakan yang dibuat dan mengalokasikan berbagai sumberdaya yang diperlukan bagi terlaksananya proyek rekayasa budaya. Pelaksanaannya di lapangan juga perlu mempertimbangkan karakteristik-karkateristik sosial-budaya masyarakat setempat mengingat setiap kelompok masyarakat etnik mempunyai kekhasan baik dari segi pola stratifikasi sosial maupun pola hubungan sosial. Dalam proses rekayasa budaya konsumsi pangan beragam perlu melibatkan tokoh-tokoh panutan termasuk alim ulama, perangkat desa, guru, penyuluh kesehatan dan gizi, sebagai agen perubahan yang melaluinya gagasan-gagasan baru mengenai pentingnya keanekaragaman pangan disosialisasikan di kalangan masyarakat. Proses ini juga perlu secara optimal memanfaatkan kelembagaan sosial masyarakat khususnya PKK karena kaum ibulah yang secara langsung mengelola dapur dan menentukan menu makanan keluarga. Untuk menjamin kesinambungan pola konsumsi pangan beragam di masa depan, jalur pendidikan juga mempunyai peran vital dan perlu dimanfaatkan. Dunia pendidikan sangat strategis perannya karena menjadi wahana sosialisasi dan
151
persiapan diri secara mental, moralitas, intelektual dan spiritual yang berlangsung dalam pola teratur, sistematis, dan dalam jangka panjang.
Melaluinya dapat
ditanamkan konsepsi yang benar mengenai pangan dan pentingnya keanekaragaman konsumsi pangan dari segi kesehatan maupun issu ketahanan pangan. Negara secara sistematis juga perlu mendorong gerakan membangun citra positif berbagai produk makanan alternatif melalui iklan layanan publik dalam media massa sehingga masyarakat menjadi semakin terbuka terhadap ragam pilihan dalam mengonsumsi makanan pokok, bukan beras minded.
Keteladanan tokoh-tokoh publik dengan
mempraktekkan konsumsi makanan pokok beragam dalam acara-acara publik dapat memberikan dorongan berharga bagi masyarakat luas untuk mengadopsi praktek serupa karena lambat-laun rasa inferioritas yang dikaitkan dengan konsumsi pangan tertentu akan memudar.
152
BAB VI KESIMPULAN Dalam bab-bab terdahulu telah dieksplorasi konsepsi kultural etnis Jawa dan Madura berkenaan dengan pangan (foods), makan (eating), dan ketahanan pangan (food security). Eksplorasi dilakukan dengan menyelami dunia abstrak berkenaan dengan pandangan, pengetahuan, dan kepercayaan maupun dengan mengkaji praktek dan kebiasaan terkait dengan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan. Dalam Bab II ditunjukkan bahwa bahan pangan di kalangan etnis Jawa dan Madura bukan hanya dimaknai secara fisiologis melainkan juga secara sosio-kultural. Memang konsepsi kultural mengenai pangan di kalangan etnis Jawa tampak lebih kompleks dan kaya dibanding etnis Madura. Namun demikian, baik bagi etnis Jawa maupun Madura pangan (pernah) merupakan bagian dari identitas etnis. Madura identik dengan jagung, Jawa identik dengan beras. Di kalangan orang Madura jagung sebagai identitas etnis beberapa dekade terakhir tampak telah memudar seiring dengan meningkatnya persediaan beras di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya. Peningkatan ketersediaan bahan pangan pokok beras sejak masa Orde Baru dan kecenderungan penggunaan bahan pangan non-beras (jagung, ketela, dan umbi-umbian) pada masa lampau yang identik dengan masa susah (pacekliK) memperkuat citra negatif melalui identifikasi dengan kemelaratan dan posisi sosial yang rendah. Oleh karena itu, ketersediaan beras yang semakin memadai, harga yang lebih terjangkau, dan prestise sosial konsumsi beras yang lebih tinggi dibanding jagung membuat orang terdorong menjadi bagian budaya konsumsi beras. Bab III menunjukkan bahwa kebiasaan makan di kalangan etnis Jawa dan Madura juga mengalami pergeseran. Pada masa lampau makan bagi sebagian besar etnik Jawa dan Madura dilakukan dengan pertimbangan untukpemenuhan rasa kenyang. Meskipun aspek ini masih dipegang, pentingnya nilai-nilai nutrisi (empat sehat lima sempurna) belakangan ini mulai dipertimbangkan pula dalam kebiasaan
153
dan menu makan. Etiket dan tatacara makan juga mengalami pergerseran ke arah yang lebih longgar menuju ke semangat egalitarian dalam keluarga. Pergeseran terjadi pula dalam tradisi makan. Frequensi makan berubah dari dua kali menjadi tiga kali sehari. Perubahan ini dipengaruhi pertama-tama oleh meningkatnya penghasilan, selain konsepsi yang berubah mengenai makan yang baik bagi kebutuhan tubuh, serta tersedianya bahan pangan yang lebih memadai. Dalam pergeseran ini, peran beras sebagai unsur makanan pokok justru semakin menguat dan menciptakan ketergantungan yang semakin tinggi. Makanan alternatif selain beras kurang populer karena beras memiliki keunggulan dalam hal rasa kenyang, proses memasak lebih praktis, dan selalu tersedia di pasar mapun warung. Laku makan (mati raga) banyak ditinggalkan dan tradisi makan bersama dalam lingkup keluarga frekuensinya semakin berkurang. Akan tetapi, baik di kalangan etnis Jawa maupun Madura acara makan bersama dalam konteks relasi-relasi sosio-kultural masih tetap diselenggarakan dan dalam hal ini nasi ternyata masih selalu menjadi menu makanan utama. Asosiasi-asosiasi emosional, gengsi, dan status yang dilekatkan dengan konsumsi nasi membuat orang merasa jauh lebih baik mengadopsi nasi dalam diet mereka. Selain itu, nasi juga diasosiasikan dengan sosok ibu, perhatian, dan kasih sayang, persoalan emosional yang mempunyai akar sangat dalam. Bab IV memperlihatkan bahwa stabilitas politik pada masa lampau hingga sekarang mengharuskan adanya ketahanan pangan. Jatuh-bangunnya tatanan politik sangat dipengaruhi kemampuan penguasa dalam membangun dan mempertahankan ketahanan pangan. Kegagalan mewujudkan ketahanan pangan merupakan ancaman besar dan bisa menjadi tanda keruntuhan sebuah orde politik. Berbagai upaya dilakukan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di wilayah Eks-Karesidenan Besuki untuk mewujudkan ketahanan pangan baik pada sisi produksi maupun konsumsi. Pandangan sebagian etnis Jawa dan Madura yang mengakui potensi krisis pangan baik di wilayahnya maupun di Indonesia secara umum dan pentingnya penganekaragaman bahan makanan tampaknya memang bersinergis dengan upaya-upaya pemerintah dalam mewujudkan ketahanan
154
pangan. Namun optimisme ini harus berhadapan pula dengan kenyataan bahwa etnis Jawa dan Madura yang mapan meyakini bahwa krisis pangan tidak mungkin terjadi, ketergantungan pada satu bahan pangan (beras) bukan ancaman, demikian pula penganekaragaman bahan pangan pokok tidak perlu dikembangkan. Fanatisme terhadap bahan pangan beras, menguatnya budaya konsumsi nasi sebagai bahan makanan pokok, dan ketidaktahuan akan meningkatnya potensi krisis pangan akibat pola konsumsi pangan yang semata-mata bergantung pada beras, membuat bahan pangan non-beras, termasuk jagung, ketela, dan umbiumbian menghadapi sejumlah kendala untuk menjadi bahan makanan pokok. Sejumlah alasan dikemukakan. Bahan-bahan lain dianggap tidak mampu memberikan pemenuhan rasa kenyang serta repot mempersiapkannya. Adanya pengetahuan mengenai nilai-nilai gizi bahan pangan non-beras pun belum cukup kuat untuk menjadi daya pendorong bagi kalangan atas baik Jawa maupun Madura di Besuki untuk melakukan pengalihan dan penganekaragaman konsumsi bahan pangan pokok dengan basis non-beras. Sebagian responden beralasan bahwa hanya keterpaksaanlah yang akan menggerakkan mereka untuk beralih dari beras dan menganekaragamkan konsumsi bahan pangan pokok. Menghadapi realitas ini, peran negara sangat instrumental sebagai agen untuk mengkondisikan masyarakat lewat otoritas yang dimilikinya untuk memaksa warga negara lewat rekayasa budaya dengan jalur kekuasaan. Sebagaimana ditunjukkan dalam Bab V, rekayasa budaya adalah proyek yang mungkin dilakukan. Berbagai model rekayasa budaya telah dilakukan sepanjang sejarah dengan capaian yang konkret, terutama rekayasa budaya yang dilakukan melalui jalur kekuasaan. Dalam melakukan rekayasa budaya konsumsi pangan beragam,
pelibatan tokoh-tokoh panutan (alim ulama, perangkat desa, guru,
penyuluh kesehatan dan gizi), sebagai agen perubahan menjadi salah satu kunci bagi
keberhasilan
sosialisasi
gagasan-gagasan
baru
mengenai
pentingnya
keanekaragaman pangan. Dalam kaitan ini keteladanan tokoh-tokoh dalam praktek konsumsi makanan pokok beragam dalam acara-acara publik dapat menjadi dorongan berharga bagi masyarakat luas untuk mengadopsi praktek serupa karena
155
lambat-laun rasa inferioritas yang dikaitkan dengan konsumsi pangan tertentu akan memudar. Dalam pelaksanaan rekayasa budaya kelembagaan sosial masyarakat khususnya PKK perlu dilibatkan karena kaum ibulah yang sebenarnya secara langsung mengelola dapur dan menentukan menu makanan keluarga. Untuk menjamin kesinambungan konsumsi pangan beragam di masa depan, jalur pendidikan juga harus dimanfaatkan. Anak-anak adalah masa depan. Dunia pendidikan mempunyai peran sangat strategis bagi mereka karena menjadi arena bersosialisasi dan pembentukan diri secara mental, moralitas, intelektual dan spiritual dalam rentang waktu yang berlangsung lama, teratur, dan sistematis. Melaluinya dapat ditanamkan konsepsi yang benar mengenai pangan dan pentingnya keanekaragaman konsumsi pangan dari segi kesehatan maupun isu ketahanan pangan. Negara dengan perangkatnya juga harus secara aktif memanfaatkan berbagai media massa sebagai sarana pencerahan publik mengenai pentingnya penganekaragaman bahan dan konsumsi pangan.
156
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adisasmita, Sumidi. 1973. “Tatacara Mantu”, Almanak Dewi Sri 1974. Yogya: UP Indonesia Amber, CR dan C. Amber. 1984. “ Teori dan Metode Antropologi Budaya”, dalam T.O. Ikhromi (ed.) Pokok- Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Anderson, Benedict R.O’G. „Gagasan tentang Kekuasaan dalam Budaya Jawa“, dalam Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1991. Arndt, H.W. Pembangunan dan Pemerataan: Indonesia di Masa Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 1983. Ashadi Djojopranoto, “Masalah Projek Asembagus”, Teknik Pertanian, 7, 5/6. Tanpa kota dan badan penerbit, 1958. Badan Ketahanan Pangan Kaupaten Bondowoso, Ketersediaan Pangan Kabupaten Bondowoso Tahun 2003. Bondowoso: tanpa badan penerbit, 2003. Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Bondowoso, Keragaan Konsumsi dan Keragaman Pangan Kabupaten Bondowoso Tahun 2008. Bondowoso: tanpa badan penerbit, 2008. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Bondowoso. Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi (P2KPG): Pangan Beragam, Bergizi, Berimbang dan Aman Berbasis Potensi Wilayah. Bondowoso, 2009. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Bondowoso. Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi (P2KPG): Menu Makanan Berbasis Budaya Lokal. Bondowoso, 2009. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Bondowoso. Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi (P2KPG): Umbiumbian Sebagai Bahan Pangan Alternatif. Bondowoso, 2009. Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Bondowoso, Ketersediaan Pangan Kabupaten Bondowoso Tahun 2003. Badan Ketahanan Pangan, Propinsi Jawa Timur. Peta Kerawanan Pangan Kabupaten Bondowoso Tahun 2007. Bellwood, Peter, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Honolulu: University of Hawaii Press, 1997. Berger, Peter & Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES, . 1990. Berg, H.J. van den, cs, Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia, Jilid III, J.B. Wolters. Jakarta, 1957. Boomgaard, Peter, “Maize dan Tobacco in Upland Indonesia”, dalam Tania Murray Li (ed.). Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and Productian. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1999. Booth, Anne, “The Economic Development of Southeast Asia: 1870-1985”, dalam Australian Economic History Review, 1991.
157
Budisusila Antonius, Teknologi Modern vs Kearifan Lokal, dalam Francis Wahono dkk (Penyunting), Pangan, Kearifan Lokal dan Penganekaragaman Hayati. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2001. Canu Jean, Sejarah Amerika. Terjemahan Nany Suwodo. Djakarta: Pustaka Rakjat, 1958. Christie, Jan Wisseman, “Water and Rice in Early Java and Bali”, dalam Peter Boomgaard (ed.), A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian History. Leiden: KITLV Press, 2007. Collier, W.L. Soentoro, K. Hidayat and Y. Yuliati, “Labour Absorption in Javanese Rice Cultivation”, in W. Gooneratne (eds.), Labour Absorption in RiceBased Agriculture. Bangkok: ARTEP, 1982. Collier, W.J. K. Santoso, Soentoro and R. Wibowo, ‘A New Approach to Rural Development in Java: Twenty Five Years of Villages Studies,’ International Labor Organization, June 1993. Creutzberg, Pieter dan J.T.M. van Laanen, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987. Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Bondowoso, Program Kerja Peningkatan Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bondowoso. (Makalah). Disajikan dalam rangka Pelatihan Analisa dan Konsumsi Ketersediaan Pangan, di Aula Puspenmas-Bondowoso, tanggal 45 September 2002. Djatileksono, T., Equity Achievement in the Indonesian Rice Economy. Yogyakarta: Gadjah Mada UP, 1987. Djoko Susanto dan Parsudi Suparlan, “Keanekaragaman Makanan Pokok di Indonesia dan Ketahanan Sosial Budayanya”, dalam Setijati D. Sastrapradja dan Muhilal (Penyunting), Widyakarya Pangan dan Gizi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1989. De Jonge, Huub, “Stereotypes of the Madurese”, dalam Kees van Dijk, Huub de Jonge and Elly Touwen-Bouwsma (eds), Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: KITLV Press, 1995. Departemen Penerangan RI, Pidato Kenegaraan Presiden RI, Soeharto Tanggal 16 Agustus 1969 dalam 10 Tahun Perjuangan Orde Baru: Kumpulan Pidto Presiden Soeharto di Depan Sidang Pleno Pada Tanggal 16 Agustus Selama 10 Tahun. Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1976. Deshaliman, Memperkuat Ketahanan Pangan dengan Umbi-umbian, dalam Achmad Suryana (penyunting), Kemandirian Pangan Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Jakarta: LISPI, 2003. De Stoppelaar, J.W., “Een paar Aanteekeningan over Banjoewangi”, Koloniaal Tijdschrift, 1925. Dick, Howard. “Japan’s Economic Expansion in the Netherlands Indies Between the First and Second World Wars”, Journal of Southeast Asian Studies, 20, 2. 1989. Edy Santosa dan Deny Wibisono, Cerita Rakyat dari Jember. Jakarta: Grasindo, 2004.
158
Effendy, Bisri. 1990. An Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura. Jakarta: P3M. Ember, C.R dan C. Amber, “Teori dan Metoda Antropologi Budaya,” dalam T.O. Ihromi (eds.). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia, 1984. Ekawati, Serat Damarwulan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1992. Elson, R.E. 1994.Village Java Under The Cultivation System, 1830-1870. Sydney: Allen and Unwin. Farb, P. dan G. Armelagos, Consuming Passions: The Anthropology of Eating. New York: Pocket Books, 1980. Fox, J.J., “Lumbung Beras di Jawa Timur: Ekologi dan Konteks Sosial Produksi Sawah,” dalam H. Dick, J.J. Fox, and J. Mackie (eds.). Pembangunan yang Berimbang. Jakarta: Gramedia, 1997. Furnivall, J.S. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press, 1967. Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989. Geertz, Clifford, Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia. Berkeley: University of California Press, . 1963. Geertz, Clifford. Mojokuto: Dimensi Sosial Sebuah Kota di Jawa. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers, 1986. Graaf, H.J. de; Disintegrasi Mataram Di Bawah Mangkurat I. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1987. Hafid J.O.S., Perlawanan Petani: Kasus Tanah Jenggawah. Bogor: Latin, 2001. Hageman, J., ”Aanteekeningen over Nijverheid en Landbouw in Oostelijk Java”, Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlands Indie, 9. 1863. Haviland, William A. Antropologi Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga, 1988. Hageman, Jcz.J. “Aanteekeningen over Nijverheid en Landbouw in Oostelijk-Java”. Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch Indiё, 9, nieuw serie 4, 1863. Hardi Sujatmo. Pangan Beragam, Bergizi, Berimbang dan Aman Berbasis Potensi Wilayah. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksanaan Penyuluhan Kabupaten Bondowoso, 2009. Hardiyoko, Panggih Saryoto, Kearifan Lokal dan Stok Pangan Desa, dalam Francis Wahono dkk (Penyunting), Pangan, Kearifan Lokal dan Penganekaragaman Hayati. Yogyakarta: CindelarasPustaka Rakyat Cerdas, 2001. Haryono, G. dan F. Wahono, 2004. “Kronologi Kebijakan Pangan di Indonesia”, dalam Francis Wahono, AB Widyanta dan Titus O. Kusumajati (eds). Pangan, Kearifan Lokal dan Keragaman Hayati. Yogyakarta: Cindelaras. Haryono Semangun. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. Harza Engineering Company International, “Proyek Irigasi Sampean Baru Kabupaten Bondowoso & Situbondo Propinsi Jawa Timur”. Laporan Survei. Jember: AGRAR-UND Hydrotechnik, 1973.
159
Hatib Ws. “Mengenal Pemberontak Madura Ma’na Lesap”, Adat Istiadat dan Tjerita Rakjat, Brosur No. 3. Djakarta: Djawatan Kebudajaan Dep. PP dan K, 1960. Herlingga, Mochammad Choesni, Asas Linggaisme Nenek Moyang Kita. Surabaya: Anta Riksa, 1987. Heyne, K. Tumbuhan Berguna Indonesia. Volume I. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, 1987. MH. Sundoro, Sejarah Peradaban Barat Klasik. Jember: UPT Penerbitan Universitas Jember, 2006. Hill, H. Ekonomi Indonesia. Jakarta: Raja Grafika Persada, 2001. Hill, Hal., “The Economy”, dalam Hal Hill (ed.) The Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-economic Transformation. St. Leonard: Allen and Unwin. Hill, Hal., The Indonesian Economy since 1966: Southeast Asia Emerging Giant. Cambridge: Cambridge University Press, 1994. Hull, Terence H. “Revolusi Keluarga Berencana di Jawa Timur: 1961-1987”, dalam Howard Dick dan James Fox (eds), Pembangunan Yang Berimbang: Jawa Timur Dalam Era Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. IG. Krisnadi, Masa Krisis dalam Wacana Budaya Jawa. (Artikel). Tabloid Mahasiswa IDEAS: Menggurat Visi Kerakyatan. Fakultas Sastra Universitas Jember, 2005. I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII. Denpasar: Larasan Sejarah, 2001. Jenkins, R. Pierre Bourdieu. London: Routledge, 1992. Jonge, Huub de. Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam. Jakarta: PT Gramedia, 1989. Kantor Perkebunan Rakjat. 1953. “Peladjaran Dewi Nawangwulan”, Majalah Pertanian. Kartasasmita, Ginanjar, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES, 1996. Keesing, R.M. Antropologi Budayaen: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga, 1989. Ketetapan MPRS. Lampiran Ketetapan M.P.R.S. No.:II/MPRS/1960: Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Buku II, 1960. Kittler, Pamela G. dan Kathryn P. Sucher, Food and Culture. Belmont: Thomson Wadsworth, . 2008. Kloppenburg, J. et.al., “Tasting Food, Tasting Sustainability: Defining the Attributes of an Alternative Food System with Competent, Ordinary People”, Human Organization, 2000. Kodiran “Kebudayaan Jawa”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1985. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.. Kuntowijoyo, “Bergesernya Pola Pangan Pokok di Madura”, Pangan, vol 2, no. 9 (Juli), 1991.
160
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Yogyakarta: PAU UGM, 1980. Kuntowijoyo, Radikalisme Petani: Esei-esei Sejarah. Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama, . 1993. Kuntowijoyo.1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan. Kurasawa, A., “Rice Shortage and Transportation”, P. Post and E. TouwenBouwsma (eds.), Japan, Indonesia and the War: Myths and Realities. Leiden: KITLV Press, 1997. Kurasawa, Aiko, “Transportation and Rice Distribution in South-East Asia during the Second World War”, in P.H. Kratoska (ed.), Food Supplies and the Japanese Occupation in South-East Asia. London: Macmillan Press, 1998. Kurasawa, Aiko, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Gramedia, 1993. Labovitz, S. dan R. Hagedorn. Metode Riset Sosial. Jakarta: Erlangga, 1982. Latief Wiyata, A., Taneyan Lanjan: Pola Pemukiman dan Kesatuan Sosial di Masyarakat Madura. Seri Kertas Kerja No.6. Pusat Kajian Madura Universitas Jember, 1987. Lucas, Anton E, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989. Lury, C., Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Mackie, Jamie, “Perkebunan dan Tanaman Perdagangan di Jawa Timur: Pola yang Sedang Berubah”, dalam Howard Dick, dkk., (ed.), Pembangunan yang Berimbang: Jawa Timur dalam Era Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997. Malinowski, B., Dinamik Bagi Perubahan Budaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1983. Manggistan, “Produksi Padi di Jawa Yang Tidak Mencukupi,” W.L. Collier and Sajogyo (eds.), Budidaya Padi di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor and Gramedia, 1986. Marwati Djoened Poesponegoro dkk., Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Maryoto, Andreas. 2009. Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Mears, L.A., Rice Marketing in the Republic of Indonesia. Jakarta: Pembangunan, 1961. Melhus, I.E. dan R.I. Jackson, “Corn Growing in Indonesia and Some Suggestions for Increasing Production”, Landbouw, 1952. Mohammad Jafar Hafsah, Kedaulatan Pangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006. Moertjipto, Jumeri Siti Rumijah, Moeljono, dan Juli Astuti. 1993/1994. Makanan: Wujud, Variasi, dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya Pada Orang Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek Penelitian, Pengkajian, dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
161
Murayama, Yoshitada, “Pola Penetrasi Ekonomi Jepang ke Hindia Belanda Sebelum Perang”, dalam Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi (eds.), Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Napitupulu, B., “Hunger in Indonesia“, Bulletin of Indonesian Economic Studies. 9, 1968. Nawawi, H., Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada UP, 1985. Nawiyanto, Agricultural Development in a Frontier Region of Java: The Residency of Besuki, 1870s-the Early 1990s. Yogyakarta: Galang Press, 2003. Nawiyanto, “Environmental Change in a Frontier Region of Java: Besuki, 18701970”. Unpublished PhD Thesis. Canberra: The Australian National University, 2007. Nawiyanto. S., The Rising Sun in a Javanese Rice Granary: Change and Impact of Japanese Occupation on the Agricultural Economy of Besuki Residency. Yogyakarta: Galang Press, 2005. Ning Pribadi, Ketersediaan dan Ketahanan Pangan, dalam Achmad Suryana (penyunting), Kemandirian Pangan Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Jakarta: LISPI, 2003. Nurhadi Sasmita, Andang Subaharianto, dan Nawiyanto, “Ketahanan Pangan Dalam Perspektif Budaya: Eksplorasi Pandangan Masyarakat Madura tentang Pangan”. Laporan Penelitian. Jember: Fakultas Sastra, 2004. Nothofer, Bernd., The Reconstruction of Proto-Malayo-Javanic. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1975. Onderzoek, Onderzoek naar der Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking op Java en Madoera, 5 (14): Samentrekking van de Afdeelingsverslagen over de Uitkomsten der Onderzoekingen naar den Landbouw in de Residentie Besoeki. Batavia: G. Kolff, 1907. Peter Dale Scott, CIA dan Penggulingan Soekarno. JakartaL Lembaga Analisis Informasi, 1999. Poedjasoedarma, Soepomo, dkk., Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979. Post, Peter, “Karakteristik Kewirausahaan Jepang Dalam Ekonomi Indonesia Sebelum Perang”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, DiIndonesiakan oleh S. Nawiyanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Pranata, Sultan Agung Hanyokrokusumo: Raja Terbesar Kerajaan Mataram Abad Ke-17. Jakarta: PT. Yudha GamaCorp, 1977. Pyke, Graham H, “Human Diets: A Biological Perspective”, dalam Lenore Manderson (ed.), Shared Wealth and Symbol: Food, Culture, and Society in Oceania and Southeast Asia. Paris: Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, 1986. Roedjito, D., Perencanaan Gizi. Jakarta: Media Sarana Press, 1987. Sartono Karto Kartodirdjo, dkk. 1987. ........................................ Bambang Samsu
162
Sato, S., ”Oppression and Romanticism: The Food Supply of Java during the Japanese Occupation”, dalam P.H. Kratoska (ed.), Food Supplies and the Japanese Occupation in South-East Asia. London: Macmillan Press, 1998. Shobar, Wiganda, Dinamika Konsep Ketahanan Pangan, dalam Achmad Suryana (penyunting), Kemandirian Pangan Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Jakarta: LISPI, 2003. Siegel, James T., Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1986. Singgih Tri Sulistiyono, Pengantar Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta: Program Hibah Penulisan Buku Teks. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2004. Siti Soekawati, “Dua Buah Permainan Anak-Anak Madura”, Adat-Istiadat dan Tjerita Rakjat, Brosur No. 3. Djakarta: Djawatan Kebudajaan Dep. PP dan K.,tahun? Smith, Glenn, “Madurese Maize dan Bovines Seen through an Ecological-materialist Lens”. dalam Kees van Dijk, Huub de Jonge and Elly Touwen-Bouwsma (eds), Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: KITLV Press, 1995. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I. Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964. Spradley, J.P., The Ethnographic Interview. Now York: Holt, 1979. Spradley, J.P., Participant Observation. New York: Rinehard and Winston, 1980. Soegianto, dkk., Unda-Usuk Bahasa Madura. Jakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977. Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. Soepanto dan H.J. Wibowo. 1985/1986. Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soetoko, dkk., Geografi Dialek Bahasa Madura. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998. Soewandono, “ Upadjara Adat Jang Diadakan Pada Waktu Ada Wabah Penjakit di Jogjakarta”, 1960. Sollewijn Gelpke, J.H.F., “Budidaya Padi di Jawa: Sumbangan pada Ilmu-ilmu Bahasa, Daerah dan Penduduk Hindia Belanda”, dalam Sajogyo dan William Collier (eds.). Budidaya Padi di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986. Sri Wulan, Pangan Beragam, Bergizi dan Berimbang, dalam Achmad Suryana (penyunting), Kemandirian Pangan Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Jakarta: LISPI, 2003.
163
Sugihardjo Sumobroto, dan Budiawan (Penerj.). 1989. Sejarah Peradaban Barat Klasik, Dari Pra Sejarah Hingga Runtuhnya Romawi. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Suhardjo., Sosio Budaya Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, 1989. Sujamto, Revitalisasi Budajya Jawa: Menyongsong Datanganyan Era Baru. Semarang; Dagara Prize, 1993. Sumidi Adisasmita, “Tatacara Mantu”, Almanak Dewi Sri 1974. Yogya: UP Indonesia, . 1973. Suparlan, Kebudayaan dan Pembangunan. Jakarta: Media IKA No. 11 Tahun XIV, 1986. Suparmoko, “The Impact of Irrigation Rehabilitation on Cropping Patterns, Labour Use, and Income Distribution in the Pekalen-Sampean System of East Java”, Unpublished Ph. D. Thesis, University of Hawaii, 1980. Suparmoko, “The Impact of Irrigation Rehabilitation on Cropping Patterns, Labour Use, and Income Distribution in the Pekalen Sampean System of East Java”. Unpublished PhD Thesis, University of Hawai,1980. Sjafei, M., “Soal Beras di Tanah Indonesia”, Pertanian Ra’iat, 4, 5. 1949. Stevens, Alan M, Madurese Phonology and Morphology. New Haven: American Oriental Society, . 1968. Sulistyo dan A. Mawarni, Kapas: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, . 1991. Tanaya, R. (Penyunting), Primbon Jawa Bekti Jamal, di dalam Baboning Kitab Primbon: Bundelan 10 Kitab Ilmu Kejawen Kang Taksih Asli Dening Pujonggo-pujonggo Jawi. Tanpa badan penerbit dan tahun penerbit. Tannahill, Reay, Food in History. New York: Stein and Day, 1973. Tennekes, J., “De Bevolkongspreiding der Residentie Besoeki in 1930”, Tijdschrift van het Koninklijke Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 1963. Tim Penelitian Ketahanan Pangan dan Kemiskinan dalam Konteks Demografi, Ketahanan Pangan Rumah Tangga Di Pedesaan: Konsep dan Ukuran. (Makalah). Jakarta: Puslit Kependudukan-LIPI, 2009. Tjuk Eko Hari Basuki, Riskan, Ketahanan Pangan Hanya Andalkan Beras, dalam dalam Achmad Suryana (penyunting), Kemandirian Pangan Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Jakarta: LISPI, 2003. Umiati NS dan AFT Eko Susanto, et al. 1990-1991. Pola-pola Pengobatan Tradisional Daerah Jawa Timur. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Van der Elst, P., ”Krisis Budidaya Padi di Jawa,” dalam W.L. Collier and Sajogyo (eds.), Budidaya Padi di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor, 1986. Van der Eng, P., Agricultural Growth in Indonesia: Productivity Change and Policy Impact since 1880. Basingtoke: MacMillan, 1996.
164
Van der Eng, Pierre., “Regulation and Control: Explaining the Decline of Food Production in Java”, dalam P.H. Kratoska (ed.), Food Supplies and the Japanese Occupation in South-East Asia. London: Macmillan Press, 1998. Van der Eng, Pierre. Agricultural Growth in Indonesia: Productivity Changr and Policy Impact since 1880. Basingstoke: Macmillan. 1996. Van der Giessen, C., Rice Culture in Java and Madura. Bogor: Chuo Noozi Siken Zyoo, 1943. Van de Goor, G.W., ”Agronomic Research on Maize in Indonesia”, Pemberitaan Balai Besar Penjelidikan Pertanian Bogor No. 135, 1952. Van Hall, C.J.J., Insulinde: De Inheemsche Landbouw. Deventer: W.van Hoeve. Volkstelling 1930, Vol. III: Inheemse Bevolking van Oost-Java. 1934. Batavia: Landsdrukkerij, 1939. Wahono, F., AB Widyanta dan Titus O. Kusumajati (eds), Pangan, Kearifan Lokal dan Keragaman Hayati. Yogyakarta: Cindelaras, . 2004. Wertheim, W.F., Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change. Bandung: W. Van Hoeve, 1956. Wibowo, H.J. dan Suhatno, Sistem Pengetahuan Tradisional Dalam Bidang Mata Pencaharian di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1996. Wibowo, H.J, dkk., Tata Krama Suku Bangsa Madura. Yogyakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Diputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2002. Whitten, Tony, et al., The Ecology of Java. Singapore: Periplus, 1996. Winarsih Partaningrat Arifin, Babad Blambangan. Yogyakarta: Bentang, 1995. Wiwik Pratiwi Yusuf, dkk., Tradisi Kebiasaan Makan pada Masyarakat Tradisional di Jawa Tengah. Jakarta: Putra Sejati Raya, 1997. William Bridgwater and Seymour Kurtz (eds), The Columbia Encyclopedia. New York: Collumbia University Press, 1977. Yuswadi, Hary, “Budaya Pendalungan: Bentuk Multikulturalitas dan Hibridisasi Budaya Antaretnik”, dalam Peta Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur, Sebuah Upaya Pencarian Nilai-Nilai Positif. Jember: Kompyawisda Jatim, 2008. Zainuddin, Sodaqoh dan Edy Burhan Arifin, “Transformasi Budaya Madura”, makalah, disampaikan dalam Seminar Transformasi Budaya Masyarakat Jawa Timur dan Sekitarnya, di Universitas Jember, 7-8 November 1991. B. Surat Kabar dan Majalah Masun, Mewujudkan Ketahanan Pangan Keluarga Jatim., dalam Kompas, Agustus 2009.
25
165
K. Aggora, “Ama Tikoes”, Pelita Tani, 1, 7, 1939. Soebroto. “Ama Tikoes”, Pelita Tani, 3, 8, 1941. “491 ha tanah rawa”, Soeara Asia, 17 April, 2603, [1943]. ”Pendoedoek Priboemi Dipinjami Tanah boeat Ditanami Kapas, Soeara Asia, 15 Mei 2603[1943]. ”Penanaman Pohon Kapas Kamboja”, Soera Asia, 13 Agustus 2603[1943]). ”Gerakan Kanggo Njoekoepi Pangganggo di Besuki-shuu”, Warta Besoeki Shuu, 13 September 2604 [1944]. ”Oentoek Beaja Penanaman Kapas”, 13 Oktober 2603[1943]. “Warta Minggon ing Tlatah Besoeki-Shuu”, Warta Besoeki-Shuu, November 8, 2603 [1943]. “Usaha-Usaha Djawatan Pertanian”, Trompet Masjarakat, 22 Desember 1952. Tanisubroto, R.P., “Keadaan Daerah Gunungkidul”, dalam Pertanian. 12, 1953. “Besuki: Situasi Pertanian,” Trompet Masjarakat, 11 Januari 1954. Djoko Susanto, “Fungsi Sosial dan Budaya Pangan”, dalam Pangan. Vol. 2. No. 9, 1991. “Ulah penjarah bikin hutan gundul 46.773, Surya, 9 Februari 2002. “Produksi Pertanian Terus Menurun”, Kompas, 17 April 2002. “Ketahanan Pangan Terganggu, Negara Kacau”, Kompas, 23 April 2002. “Nasib Petani yang Cuma Jadi Tukang Ganjal Inflasi”, Kompas, 7 Mei 2002. “Dari Festival Jagung 2002: Upaya Tingkatkan Keanekaragaman Pangan,” Nova, No. 741/XV-12 Mei 2002. “Departemen Pertanian AS Soal Impor Beras: 2002 Indonesia Jadi Importir Terbesar di Dunia,” Kompas, 13 Mei 2002. Fadhil, M. Hasan dan Ahmad Erani Ystika, Situasi Pangan Ke Depan dan Kebijakan Ketahanan Pangan, dalam Pangan: Media Komunikasi & Informasi, No. 51/XVII/Juli-September 2008. “Tembus 12,5 Ton Per Hektare,” Radar Jember, Jawa Pos, 5 Pebruari 2009. “Bupati Kirim Surat Ke Menhut Minta Petani Hutan Tetap Diperhatikan,” Radar Jember, Jawa Pos, 7 Pebruari 2009. “Garap Sampah, Siapkan IPPO,” Radar Jember, Jawa Pos, 9 Pebruari 2009. “Hektaran Padi Terserang Bakteri,” Radar Jember, Jawa Pos, 11 Pebruari 2009. “Perlu Antisipasi Penyimpangan Distribusi,” Radar Jember, Jawa Pos, 20 Mei 2009. “Harga Padi Masih Stabil, ”Radar Jember, Jawa Pos, 2 Juni 2009. “Dua Ton Kotoran Sapi diorganik,” Radar Jember, Jawa Pos, 4 Juni 2009. “Aktivitas Penambang Sampah di TPA Paguan Desa Tamankrocok Bondowoso: Jam Tidak dibatasi, Penghasilan Melebihi Upah Kuli,” Radar Jember, Jawa Pos, 7 Juni 2009 “Panen Meningkat Glontor Organik,” Radar Jember, Jawa Pos, 8 Juni 2009. “Raih Penghargaan P2BN dari SBY,” Radar Jember, Jawa Pos, 9 Juni 2009. “Petani Babati dan Bakar Padi,” Radar Jember, Jawa Pos, 10 Juni 2009
166
“Menengok Aktivitas Sekolah Lapang Kelompok Tani di Kecamatan Panti: Belajar Cara Tanam hingga Menyiasati Kelangkaan Pupuk,” Radar Jember, Jawa Pos, 11 Juni 2009. Sujono, Tantangan Pangan SBY-Boediono, dalam Surya, Rabu 12 Agustus 2009. “Petani Bergiliran Sekolah Lapang,” Radar Jember, Jawa Pos, 25 Agustus 2009. “Manfaat Lahan Tidur Alternatif,” Radar Jember, Jawa Pos, 30 Agustus 2009. “Biar Mahal, Beras Dikemas Modern,” Radar Jember, Jawa Pos, 2 September 2009. “Duit Rp 2,8 M Untuk Petani Disalurkan Melalui Gabugan Kelompok Tani,’ Radar Jember, Jawa Pos, 5 September 2009. 74 “Anak di Jember Gizi Buruk,” Dua Orang Meninggal Dunia, dalam Surya, 10 September 2009. “Mukjizat Senin Kamis”, dalam Radar Jember, Jawa Pos, 13 September 2009. C. Daftar Wawancara 1. Etnik Madura 1. Abdullah, ustadz/Jember, 28 Oktober 2009, Abdul Latief, wiraswasta/Jember, 28 Agustus 2009, Abdul Malik, etnis Madura, penjual jajan gorengan/Jember, 3 Oktober 2009, Achmad Basofi, Badan Ketahanan Pangan Daerah/Bondowoso, 9 September 2009, Ahmad Amar, petani/ Bondowoso, 9 Agustus 2009, Alim Mistari, Kepala Desa/Bondowoso, 7 Agustus 2009, Atim, petani/Jember, 9 Juli 2009, 13 September 2009, Aminah, ustadzah/Banyuwangi, 20 Oktober 2009, Bakir, wiraswasta/ Jember, 20 Agustus 2009, Bajuri, petani/Jember, 12 September 2009, Evi, etnis Madura, ibu rumah tangga, 24 Oktober 2009, Hafili, petani/Bondowoso, 24 Juli 2009, Helmi Kuswoyo, wiraswasta/Jember, 11 September, Ika Nur Indah Sari, wiraswasta/Situbondo, 8 September 2009, Indriati Harkarita, PNS/Bondowoso, 9, 15 September 2009, Ismano, wiraswasta/Jember, 12 Agustus 2009, Jainol, etnis Madura, PNS di Jember, 24 Oktober 2009, Jamalludin, tukang ojek/Jember, 11 Oktober 2009, Kisnayu, petani/Situbondo, 10 September 2009, Misdjo, sopir/ Bondowoso, 14 September 2009, Muji, petani/Jember, 9 Agustus 2009, Rahmat Hidayatullah, kuli bangunan/Jember, 10 Oktober 2009, Romli, petani/Jember, 12 Agustus 2009, Ridwan, tukang batu/Jember, 15 September 2009, Saruji, buruh tani/Jember, 12 September 2009, Siyah, dukun pijat/Jember, 16 September 2009, Sri Imayati, etnis Madura/wiraswasta, 16 September 2009, Suhardjo, PNS/Bondowoso, 9 dan 18 September 2009, Sugiono, Staf Konsumsi dan Penganekaragaman Pangan/Pemkab Banyuwangi, 3 Nopember 2009, Sumarto, petani/Jember, 27 Juni, 12 September 2009, Sutyaningsih, guru/Jember, 5 September 2009, Tanti Luciana, pedagang/Jember, 7 September 2009, Yuli Andriyani, perangkat desa/Bondowoso, 10 Agustus 2009. 2. Etnik Jawa 1. Abdul Fatah, Kyai/Swasta/Jember, 7 September 2009, Abdul Munif, Sekretaris Menteri Pertanian RI/Jember, 28 Juli 2009, Agus Udin, makelar
167
motor/Jember, 8 Oktober 2009, Agus Setiawan, Sekretaris Desa/Jember, 6 September 2009, Aji Santosa, petani/Banyuwangi, 13 Oktober 2009, Anang Riduka, PNS/Jember, 4 September 2009, Anas Murohdi, swasta/ Jember 4 Agustus 2009, Bambang Hadi Wiranata, pengusaha/Banyuwangi, 3 September 2009, Bambang Riyanto, petani/Banyuwangi, 4 Oktober 2009, Boediono, petani/ Banyuwangi, 6 September 2009, Bustanul Arifin, petani/ Banyuwangi, 8 Agustus 2009, Dasiran, petani/Jember, 15 Juni 2009, Dwi Sunaryati, guru/swasta/Jember, 19 September 2009, Ginah/keluarga petani/Banyuwangi, 15 September 2009, Jaka Timbul, kuli bangunan/Jember, 8 Oktober 2009, Jemiati, pedagang/Jember, 3 September 2009, Junaidi, tukang batu/Jember 18 September 2009, Mardi Sucipto, Kasubbid Program Penyuluhan Pertanian Bondowoso, 9 September 2009, M.I. Moentinarni, pengusaha pertanian organik/Jember, 2 September 2009, Misdi, petani/Jember, 9 Agustus 2009, Misnadi, petani/Banyuwangi, 22 Nopember 2005, Misirah, puskesmas/Jember 14 September 2009, Mustakim, buruh tani/Banyuwangi, 11 September 2009, Moh. Said, guru/Banyuwangi, 16 September 2009. Ridwan Arif, tukang elektronik/Banyuwangi, 15 Oktober 2009, Rohman,kuli bangunan/Jember, 18 September 2009, Riyanto, PNS/Jember, 15 September 2009, Rukun Susanto, petani/Jember, 12 Agustus 2009, Samsul Muarif, PNS/Guru/Banyuwangi, 5 September 2009, Santosa, tukang batu/Jember, 19 Agustus 2009, Slamet, petani/Jember, 7 September 2009, Sigit Wicaksana, wiraswasta/Jember, 3 September 2009, Soemardi Djamal, petani/Banyuwangi, 14 Pebruari 2004, Sriyadi,guru/swasta/Jember, 18 September 2009, Sumila, guru/Jember 16 September 2009, Suparlan, petani/Banyuwangi, 14 September 2009, Tatik, pedagang/Jember, 2 Agustus 2009, Timah, penjual tiwul,gatot, sawut/Jember, 11 September 2009, Yosep Tripranoto, wiraswasta/Jember, 13 September 2009.
168
ABSTRACT Artikel yang dibangun dengan menggunakan data primer dan sekunder ini membahas isu ketahan pangan. Cakupan pembahasan meliputi: isu ketahanan pangan nasional dalam perpektif sejarah, ketahanan pangan regional di wilayah eksKaresidenan Besuki, pandangan etnik Jawa dan Madura mengenai ketahanan pangan rumah tangga. Keberhasilan membangun ketahanan pangan menjadi legitimasi keberlangsungan pemerintahan, oleh karena itu ketahanan pangan merupakan isu strategis bagi kerajaan tradisional hingga penguasa sekarang. Peningkatan produksi padi dan pengembangan keanekaragaman pangan berbasis non-beras menjadi pilihan utama kebijakan pembangunan ketahanan pangan di wilayah eksKaresidenan Besuki. Ketahanan pangan dipahami secara beragam di kalangan etnik Jawa dan Madura yang mencakup persoalan krisis pangan dan strategi penanganannya serta penyimpanan pangan pasca panen. Kata Kunci: etnik Jawa, etnik Madura, ketahanan pangan, keanekaragaman pangan, krisis pangan. . Artikel ini membahas pembangunan ketahanan pangan regional dan rumah tangga penduduk eks-Karesidenan Besuki terkait dengan peningkatan produksi pertanian dan percepatan penganekargaman konsumsi pangan serta pandangan etnik Jawa dan Madura tentang ketahanan pangan rumah tangga. Kata kunci: ketahanan pangan regional, ketahanan pangan rumah tangga, penganekaragaman konsumsi pangan.
169
170