MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 65/PUU-X/2012
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PEMERINTAH, DPR, DAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON SERTA PEMERINTAH (III)
JAKARTA KAMIS , 9 AGUSTUS 2012
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 65/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi [Pasal 1 ayat (19), ayat (23), ayat (24), Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) 2. Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) ACARA Mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah (III) Kamis, 9 Agustus 2012, Pukul 11.10 – 12.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5)
Achmad Sodiki Anwar Usman Ahmad Fadlil Sumadi Maria Farida Indrati Muhammad Alim
Ery Satria Pamungkas
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon I: 1. Ugan Gandar (Presiden Serikat Pekerja Pertamina Bersatu) 2. Noviandri (Sekjen Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu) B. Pemohon II: 1. Faisal Yusra (Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia) C. Kuasa Hukum Pemohon I dan II: 1. Ecoline Situmorang 2. Janses Sihaloho 3. muhammad taufiqul mujib 4. Riando Tambunan
5. Muhammad Zainal Umam 6. Anton Febrianto 7. Adam Suherman D. Saksi dari Pemohon: 1. Revrisond Baswir E. Pemerintah: Safriansyah (Kementerian ESDM) Edy Hermantoro (Sesditjen Migas Kementerian ESDM) Muhammad Gufron (Kementerian ESDM) Evita Legowo (Dirjen Migas) Mualimin Abdi (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) Hendri (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) Budiono (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) 8. Erik (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.10 WIB 1.
KETUA: ACHMAD SODIKI Sidang Perkara Nomor 65/PUU-X/2012 dalam rangka mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, saksi, atau ahli dari Pemohon dan Pemerintah, dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Baik. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Saya persilakan dari Pemohon Nomor 65/PUUX/2012, silakan mengenalkan diri lebih dahulu yang hadir.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: JANSES E. SIHALOHO Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Pada persidangan kali ini, Yang Mulia, hadir para Kuasa Hukum, dan hadir juga Prinsipal Pemohon I, dan Pemohon II. Dan kami juga menghadirkan satu ahli, Yang Mulia, Bapak revrisond baswir, Yang Mulia. Nama saya sendiri Janses E. Sihaloho, Yang Mulia.
3.
KETUA: ACHMAD SODIKI Cukup ya? baik
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: ECOLINE SITUMORANG Saya Ecoline Situmorang.
5.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD TAUFIQUL MUJIB Saya Muhammad Taufiqul Mujib.
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: Saya Riando Tambunan.
1
7.
PEMOHON I: UGAN GANDAR (PRESIDEN SERIKAT PEKERJA PERTAMINA BERSATU) Nama saya Ugan Gandar, jabatan sebagai Presiden Serikat Pekerja Pertamina Bersatu sebagai Pemohon I.
8.
PEMOHON I: NOVIANDRI (SEKJEN FEDERASI SERIKAT PEKERJA PERTAMINA BERSATU) Nama saya Noviandri selaku Sekjen Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, selaku Pemohon I.
9.
PEMOHON II: FAISAL YUSRA (PRESIDEN SERIKAT PEKERJA MIGAS INDONESIA)
KONFEDERASI
Saya Faisal Yusra, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia, sebagai Pemohon II. 10.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. ZAINAL UMAM Saya Zainal Umam (Kuasa Pemohon).
11.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANTON FEBRIANTO Anton Febrianto (Kuasa Pemohon).
12.
KUASA HUKUM PEMOHON: Adam Suherman (Kuasa Pemohon).
13.
KETUA: ACHMAD SODIKI Cukup ya? Baik. Dari Pemerintah, silakan.
14.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb.
15.
KETUA: ACHMAD SODIKI Waalaikumsalam wr. wb.
2
16.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah hadir, akan saya sebutkan dari yang paling ujung, Yang Mulia. Pak Safriansyah dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Kemudian, di sebelah kanannya ada Pak Edy Hermantoro, Beliau adalah Sesditjen Migas Kementerian ESDM. Kemudian, di sebelah kanannya lagi ada Muhammad Gufron, Beliau dari Kementerian ESDM juga. Kemudian, sebelah kanannya ada Ibu Evita Legowo (Dirjen Migas) yang sekaligus nanti akan membacakan keterangan Pemerintah, Yang Mulia. Kemudian, saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Di belakang, Yang Mulia, ada Saudara Hendri, ada Saudara Budiono, ada Saudara Erik dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Yang Mulia. Terima kasih.
17.
KETUA: ACHMAD SODIKI Baiklah. Kali ini kita ingin keterangan dari Pemerintah, silakan.
18.
mempersilakan
mendengarkan
PEMERINTAH: EVITA H. LEGOWO Assalamualaikum wr. wb. Opening statement Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang Mulia Ketua, Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Sehubungan dengan Permohonan Pengujian Undang-Undang constitutional review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Migas, yang dimohonkan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) yang memberikan kuasa kepada Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-X/2012, tanggal 4 Juli 2012. Selanjutnya, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan keterangan pendahuluan (opening statement) sebagai berikut. 1. Tentang pokok-pokok permohonan Para Pemohon. Pemerintah tidak akan membacakan karena dianggap sudah diketahui oleh para pihak. 2. Tentang kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon. Pemerintah akan menyampaikan secara lengkap pada keterangan Pemerintah yang akan disampaikan pada persidangan berikutnya atau melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
3
3. Keterangan Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa sebelum Pemerintah menguraikan penjelasan secara rinci atas materi muatan norma dalam Undang-Undang Migas yang dimohonkan untuk diuji oleh Para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah lebih dahulu menyampaikan hal-hal sebagai berikut. Bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah pernah dilakukan uji materi (constitutional review) dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 002/PUUI/2003 dan Nomor 20/PUU-V/2007. Selain daripada itu, saat ini juga sedang dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan register Perkara Nomor 36/PUU-X/2012 yang telah disampaikan opening statement Pemerintah, dan keterangan, serta kesimpulan Pemerintah, serta mendengarkan ahli yang diajukan oleh Pemerintah. Oleh karena dalam permohonan ini terdapat beberapa materi yang sama, maka keterangan Pemerintah pada permohonan Perkara Nomor 36/PUU-X/2012 dan permohonan berlaku mutatis mutandis pada keterangan Pemerintah perkara a quo. Terhadap anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c Undang-Undang Migas dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut. 1. Sehubungan dengan anggapan Para Pemohon bahwa pemisahan badan pelaksana dan badan pengatur di bagian hulu dan hilir sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 23, Pasal 44, Pasal 1, Pasal 24, dan Pasal 46 Undang-Undang Migas telah mengakibatkan terjadinya sektoralisasi penguasaan negara atas minyak dan gas bumi sehingga mengakibatkan hak menguasai negara tidak berlangsung secara efektif sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Terhadap anggapan Para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan tanggapan sebagai berikut. a. Bahwa pemisahan pengusahaan kegiatan usaha hulu dan hilir pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi adalah bertujuan untuk mengoptimalkan pengusahaan, baik pada kegiatan usaha hulu maupun hilir. Dengan konsep ini diharapkan pelaku usaha di bidang hulu dapat fokus kepada tujuannya untuk mencari minyak dan gas bumi serta mengoptimalkan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi. Sedangkan karakteristik kegiatan usaha hilir, lebih kepada sifat bisnis dan tidak mengenal adanya mekanisme pengembalian biaya operasi. Maka dalam kegiatan usaha hilir, dimungkinkan untuk memberikan 4
b.
c.
d.
e.
f.
kesempatan yang seluas-luasnya kepada badan usaha baik besar, menengah, maupun kecil, yaitu BUMN, BUMD, koperasi, dan usaha kecil lainnya untuk dapat melakukan kegiatan usaha hilir. Bahwa BP Migas sebagai pelaksana dan pengendali kegiatan usaha hulu, minyak dan gas bumi memiliki hak manajemen dalam hal kontrak kerja sama untuk dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan berdasarkan kontrak kerja sama, sedangkan pemerintah adalah pemegang kuasa pertambangan yang akan menetapkan kebijakan dan penentu atas pemanfaatan minyak dan gas bumi yang diproduksi dari kegiatan usaha hulu tersebut. Pihak yang ditunjuk sebagai pelaksana dan pengendali kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi tidak berbentuk Badan Usaha Milik Negara atau BUMN namun berbentuk Badan Hukum Milik Negara atau BHMN. Dengan status tersebut, BP Migas dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiata usaha hulu minyak dan gas bumi tanpa dibebani kewajiban mencari keuntungan untuk diri sendiri, tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta menghindari terjadinya pembebanan terhadap keuangan negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Bahwa pembentukkan BP Migas tidak dimaksudkan untuk menerima pengalihan kuasa pertambangan melainkan untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dalam pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi melalui kontrak kerja sama. Dengan demikian, tujuan pembentukkan BP Migas dimaksudkan agar pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan tidak langsung berkontrak dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap, sehingga tidak ada posisi yang setara antara kontraktor dengan pemerintah. Selain itu dengan dibentuknya BP Migas dimaksudkan agar pemerintah tidak terekspos dan tidak menjadi pihak secara langsung dalam hal adanya sengketa yang timbul dari pelaksanaan kontrak kerja sama (KKS) dengan kontraktor. Sedangkan karakteristik kegiatan usaha hilir dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada badan usaha baik besar, menengah, maupun kecil, BUMN, BUMD, koperasi, dan usaha kecil lainnya untuk melakukan kegiatan usaha hilir, maka perlu adanya peran pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan melalui mekanisme pemberian izin usaha oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah memiliki kewajiban menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian bahan bakar minyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat dilakukan oleh badan usaha baik besar, menengah, maupun kecil.
5
g. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha hilir yang pelaksanaannya dalam halhal tertentu dilakukan oleh badan pengatur hilir, di antaranya pendistribusian bahan bakar minyak, kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha hilir dapat berjalan lebih efektif dan efisien, sehingga anggapan Para Pemohon yang menyatakan bahwa telah terjadi sektoralisasi penguasaan negara atas minyak dan gas bumi sehingga mengakibatkan hak menguasai negara tidak berlangusng secara efektif adalah tidak benar dan bertentangan dengan fakta yang ada. 2. Sehubungan dengan anggapan kata dapat dalam pasal ayat (1) Undang-Undang Migas menyebabkan ketentuan pasal tersebut bersifat opsional dan memberikan ruang kepada jenis-jenis pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan sektor migas, sektor hilir migas tanpa adanya prioritas pelaku usaha dalam hal ini badan usaha milik negara, dan perlindungan terhadap koperasi serta, usaha kecil yang merupakan perwujudan dari liberalisasi sektor migas sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (33) Undang-Undang Dasar 1945. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut. a. Bahwa sebenarnya Pasal 9 Undang-Undang Migas dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional BUMN, BUMD, koperasi usaha kecil, dan juga badan usaha swasta untuk berpartisipasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi, khususnya kegiatan usaha hulu. Khusus untuk Pertamina BUMN, Undang-Undang Migas dan peraturan pelaksanaanya memberikan keistimewaan dalam bentuk sebagai berikut. a) Pasal 61 huruf b Undang-Undang Migas. Pada saat terbentuknya persero sebagai pengganti Pertamina, BUMN tersebut mengadakan kontrak kerja sama dengan BP Migas untuk melanjutkan eksplorasi dan eksploitasi pada bekas wilayah kuasa pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan izin usaha yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Migas untuk usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. Ketentuan ini lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan bahwa yang dimaksud kontrak kerja sama dalam ketentuan ini memuat kewajiban pembayaran kepada negara yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada wilayah kuasa pertambangan Pertamina. b) Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 61 huruf b UndangUndang Migas telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 dalam Pasal 104 huruf k, “Kewajiban 6
pembayaran Pertamina dan anak perusahaannya kepada negara besarnya adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada wilayah kuasa pertambangan selama ini yaitu 60%.” Ketentuan ini memberikan keistimewaan kepada Pertamina dibandingkan dengan kontraktor lain yang wajib membayarkan kepada negara dengan persentase yang jauh lebih besar. c) Pasal 5 PP Nomor 35 Tahun 2004 bahwa pada dasarnya Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada menteri untuk mendapatkan wilayah terbuka tertentu sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki oleh negara sehingga tidak harus melalui mekanisme lelang terlebih dahulu d) Pasal 28 ayat (9) PP Nomor 35 Tahun 2004 di mana pada dasarnya Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada menteri untuk wilayah kerja yang akan habis masa kontraknya sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki oleh negara sehingga tidak harus melalui mekanisme lelang terlebih dahulu Bahwa berdasarkan penjelasan sebagaimana diterangkan di atas, maka Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 9 UndangUndang Migas telah sejalan dengan amanat konstitusi dan karenanya tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan anggapan para pemohon … 3. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon bahwa ketentuan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 Undang-Undang Migas telah bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Sebab pemaknaan kata kontrak bagi hasil dan kontrak kerja sama lainnya telah bersifat multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengelolaan sumber daya alam. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut. a. Bahwa terkait dengan konsep dikuasai oleh negara sebagaimana Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam undangUndang Migas dikenal konsep kuasa pertambangan atau mining rights yang diberikan oleh negara kepada pemerintah. Selanjutnya Pemerintah memberikan hak pengusahaan atau business rights kepada badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha hulu berdasarkan kontrak kerja sama yang syarat dan ketentuannya (term and condition)-nya ditetapkan oleh pemerintah. Penandatanganan kontrak kerja sama bisnis tersebut dilakukan oleh BP Migas dan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap. Penggunaan sistem kontrak dalam kegiatan usaha hulu minyak and gas bumi merupakan suatu hal yang lazim dilakukan oleh banyak negara yang memiliki sumber daya alam minyak dan gas bumi dikarenakan justru sistem 7
b.
c.
d.
e.
kontrak akan lebih memberikan kepastain hukum atas hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang berkontrak, Bahwa hingga saat ini ada 2 model sistem kontrak yang lazim digunakan di dunia, yaitu kontrak bagi hasil dan kontrak jasa. Pada mekanisme kontrak jasa, kontraktor dibayar atas pengerjaan operasi perminyakan dalam bentuk uang dan hasil produksi minyak dan gas bumi seluruhnya menjadi milik pemerintah sedangkan pada mekanisme kontrak bagi hasil baik pemerintah maupun kontraktor memperoleh bagian atas hasil produksi kegiatan usaha hulu yang dilaksanakan oleh kontraktor, Bahwa untuk di Indonesia pengusahaan kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi pada umumnya menggunakan kontrak bagi hasil mengingat adanya pertimbangan atas minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam yang vital dan strategis. Penggunaan kontrak bagi hasil dipilih dikarenakan kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi mempunyai kriteria high risk, high tech, dan high capital, sehingga baik modal, teknologi, dan resiko yang tinggi tersebut ditanggung oleh kontraktor, sehingga tidak membebani keuangan negara dan besaran bagi hasil atas minyak dan gas bumi sesuai kontrak-kontrak yang umum berlaku adalah untuk minyak bumi=85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor. Gas bumi=70% untuk negara dan 30% untuk kontraktor. Bahwa adanya frasa atau bentuk kontrak kerja sama lainnya, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 angka 19, dimaksudkan untuk diterapkannya penggunaan bentuk kontrak lain selain kontrak bagi hasil, misalnya bentuk kontrak jasa. Atau diterapkannya suatu sistem kontrak baru yang dianggap akan dapat lebih menguntungkan negara. Saat ini, pemerintah telah menerapkan sistem kontrak jasa untuk wilayah-wilayah kerja yang resikonya lebih kecil, sehingga akan lebih menguntungkan negara, mengikat seluruh hasil sepenuhnya menjadi milik negara. Di samping itu, penggunaan kontrak kerja sama, baik dalam bentuk kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lainnya, tidak dapat dilepaskan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan, “Kontrak kerja sama dimaksud paling sedikit harus memuat persyaratan: a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai titik penyerahan. b) Pengendalian manajemen operasi berada pada badan pelaksana. c) Modal dan resiko ditanggung badan usaha atau bentuk usaha tetap.” Dan berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Migas bahwa dalam kontrak kerja sama diatur ketentuan-ketentuan yang wajib tercantum di dalamnya, seperti penerimaan negara, perolehan kerja dan pengembaliannya, kewajiban pengeluaran dana, perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas 8
bumi, jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak, penyelesaian perselisihan, kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, berakhirnya kontrak, kewajiban pascaoperasi pertambangan, kesehatan dan keselamatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, pengalihan hak dan kewajiban, pelaporan yang diperlukan, rencana pengembangan lapangan, pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan hak-hak masyarakat adat, pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan penjelasan pemerintah di atas, maka permintaan Pemohon yang menyatakan, “Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Migas telah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945” adalah tidak berdasar dan tidak benar. 4. Sehubungan dengan anggapan Para Pemohon bahwa keberadaan Pasal 10 Undang-Undang Migas telah menyebabkan PT Pertamina Persero harus membentuk anak perusahaan dengan spesifikasi pekerjaan yang berbeda-beda untuk mengelola industri hulu dan hilir, sehingga mengakibatkan terjadinya biaya produksi yang tinggi dan inefisiensi dalam tata kelola sektor minyak dan gas bumi, yang pada akhirnya menjauhkan industri minyak dan gas bumi nasional dari tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang mana hal ini tentunya sangat bertentangan dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Terhadap anggapan Para Pemohon tersebut, pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut. a. Bahwa kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, pada dasarnya merupakan kegiatan yang memiliki karakteristik yang berbeda. Karena kegiatan usaha hulu adalah kegiatan pengusahaan yang bersifat strategis yang pengusahaannya berada pada negara, sedangkan kegiatan usaha hilir terkait erat dengan bisnis pada umumnya, vide penjelasan Pasal 10 UndangUndang Migas. b. Bahwa pemisahan pengusahaan kegiatan usaha hulu dan hilir adalah bertujuan untuk mengoptimalkan pengusahaan, baik pada kegiatan usaha hulu maupun hilir. Dengan konsep ini, diharapkan pelaku usaha di bidang hulu dapat fokus pada tujuannya untuk mencari minyak dan gas bumi serta mengoptimalkan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi. c. Bahwa dikarenakan karakterisitik kegiatan usaha hilir lebih kepada sifat bisnis, maka peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat lebih diutamakan dan tidak terganggu dengan upaya pencarian minyak dan gas bumi, eksplorasi dan eksploitasi yang 9
menimbulkan biaya dan resiko yang tinggi. Di samping itu, dalam kegiatan usaha hilir, memungkinkan perusahaan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada badan usaha nasional, baik besar, menengah, maupun kecil, sebagai mitra perusahaan dalam pelayanan kepada masyarakat. d. Bahwa kegiatan usaha hulu dan usaha hilir di bidang minyak dan gas bumi, memiliki karakteristik yang berbeda. Pada kegiatan usaha hulu yang sebagian besar dilaksanaan berdasarkan kontrak bagi hasil, terkandung unsur biaya yang dikembalikan atau lebih dikenal dengan cost recovery. Sedangkan kegiatan usaha hilir lebih bersifat bisnis, sehingga dengan karakteristik yang berbeda terserbut, perlu dihindari adanya konsolidasi biaya dan pajak melalui mekanisme pemisahan kegiatan usaha hulu dan hilir. Dengan demikian, penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu, minyak dan gas bumi, tetap optimal. Bahwa dengan demikian, dari uraian tersebut di atas, Pemerintah pada akhirnya berpendapat bahwa ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Migas, tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, serta telah sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 002/PUU-1/2003 vide halaman 229. 5. Sehubungan dengan anggapan Para Pemohon bahwa dengan berlakunya Pasal 63 huruf c Undang-Undang Migas, maka akan sangat membahayakan cadangan kekayaan alam Indonesia yang vital di mana kekayaan alam tersebut diambil oleh pihak luar tanpa dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga hal ini jelas bertentangan dengan amar konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 dan 1320 KUHP ... KUHP perdata haruslah diartikan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi. Atas anggapan Para Pemohon tersebut, maka Pemerintah dapat menerangkan sebagai berikut: a. Ketentuan Pasal 63 huruf c Undang-Undang Migas sebagai suatu ketentuan peralihan untuk menghormati kontrak kerjasama yang telah ditandatangani oleh para pihak, dalam pengusahaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, terkait dengan pelaksana hak dan kewajiban dalam kontrak kerjasama yang sudah ada sebelum Undang-Undang Migas diundangkan. Sehingga ketentuan Pasal 63 huruf c Undang-Undang Migas ini merupakan antisipasi adanya transisi yang lazim diatur dalam suatu undang-undang. Pemahaman terhadap Pasal 63 huruf c Undang-Undang Migas tersebut, tidak berarti bahwa ketentuan tersebut menghalangi negara atau pemerintah untuk melakukan
10
pengaturan lain yang diimplementasikan dalam kontrak kerjasama. b. Hal ini diimplementasikan dalam materi kontrak kerjasama yang mengatur bahwa tidak ada ketentuan-ketentuan atau syaratsyarat dalam kontrak ini, termasuk persetujuan para pihak untuk menyerahkan kepada arbitrase berdasarkan kontrak ini, yang akan menghalangi atau membatasi Pemerintah Indonesia untuk menggunakan hak-haknya yang bersifat mutlak, inalienable rights dan Klausul Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia berlaku terhadap kontrak kerjasama. Sebagai contoh adalah mengenai ketentuan kewajiban prioritas alokasi gas bumi untuk pemenuhan dalam negeri, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 03 Tahun 2010. Kesimpulan. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas Pemerintah memohon kepada, Yang Terhormat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian konstitusional review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan keputusan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum. 2. Menyatakan setidak-tidaknya permohonan Para Pemohon dinyatakan nebis in idem, sehingga permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. 3. Menolak permohonan pengujian Para Pemohon void, seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). 4. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. 5. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan angka 23 Pasal 9, Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas perhatian, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diucapkan terima kasih. Jakarta, Agustus 2012. Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Masing-masing Amir Syamsudin dan Jero Wacik. Terima kasih. Wasalamualaikum wr. wb. 11
19.
KETUA: ACHMAD SODIKI Terima kasih, nanti naskah bisa disampaikan pada Majelis. Ada seorang Ahli, kami persilakan untuk disumpah terlebih dahulu Saudara Revrisond Baswir.
20.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Beragama Islam Pak Revrisond? Disilakan mengikuti sumpah berdasarkan hukum Islam, dimulai. Bismillahirrahmaaniraahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
21.
AHLI DARI PEMOHON: REVRISOND BASWIR Bismillahirrahmaaniraahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
22.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Cukup, terima kasih.
23.
KETUA: ACHMAD SODIKI Ya, dipersilakan untuk memberikan keterangan ahlinya.
24.
AHLI DARI PEMOHON: REVRISOND BASWIR Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Bapak Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Bapak, Ibu Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Bapak/ Ibu Hadirin yang saya hormati. Saya ingin fokus gitu ya, kepada Pasal 9. Saya kira dari Pasal 9, kita jelas sekali menyaksikan terjadinya upaya penyetaraan, gitu ya, antara badan usaha milik negara dengan badan usaha lain termasuk koperasi, ya usaha kecil, ya badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta. Saya kira ada persoalan besar, gitu ya. Ketika terjadi penyetaraan, gitu. Khususnya antara badan usaha milik negara dengan badan usaha milik swasta, gitu. Kalau kita lihat dari sudut Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Walaupun dalam permohonan ini ya, para Pemohon mencoba mengaitkan Pasal 9 ini dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3). Tetapi izinkan saya untuk mengaitkannya juga dengan Pasal 33 ayat (1), gitu.
12
Kenapa? Karena saya kira hampir tidak mungkin kita memahami Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) tanpa meletakannya sebagai satu bagian yang utuh dengan Pasal 33 ayat (1), bahkan … saya juga mohon izin kepada Bapak Majelis Hakim dan Bapak Ibu Anggota Majelis Hakim Konstitusi, walaupun Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang kita pakai sekarang adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang sudah diamandemen, tetapi karena Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) masih sama seperti ya Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang sebelumnya, yang asli. Maka, izinkan saya juga sedikit mengutip, gitu ya, bagian penjelasan dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 agar kita mendapatkan pemahaman yang utuh, gitu. Bagaimana semestinya kita memahami Pasal 33 ayat (2) dan kemudian bagaimana seharusnya kita memperlakukan keberadaan BUMN ya pada sektorsektor yang strategis, gitu. Nah, dalam penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang asli, jelas sekali tertulis di paragraf yang pertama dikatakan, dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi. Jadi, sangat ditekankan gitu ya bahwa secara paradigmatik Pasal 33, ya, ingin melembagakan, ingin menyelenggarakan demokrasi ekonomi di republik ini. Inilah dasar dari politik perekonomian Indonesia. Dan kalimat berikutnya mengatakan, ya, dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penyelidikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang/ seorang. Setidak-tidaknya ya, pada paragraf pertama Pasal 33 ayat … ini, kita bisa menangkap ya. Mulai tertangkap adanya semangat untuk lebih mengutamakan kemakmuran bersama, daripada kemakmuran orang/ seorang. Sampai di situ dulu saja. Nah, kemudian … ya. Kalau kita kaitkan dengan batang tubuh, maka tiga syarat yang harus dipenuhi agar demokrasi ekonomi bisa diselenggarakan di Republik ini. Ketiga syarat itu adalah ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Oleh karena itulah makanya ayat (2), dan ayat (3) tidak mungkin bisa dipahami ya secara terpisah dengan ayat (1), gitu. Nah, ayat (1), tegas-tegas mengatakan perekonomian di susun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Di sini saya kira kita pelan-pelan ya, digiring setelah tadi sata katakana bahwa ya ada semangat mengutamakan kebersamaan daripada kepentingan orang/ seorang di dalam Pasal 33 ayat (1) semkin tegas, gitu. Bahwa memang politik perekonomian di Indonesia menghendaki perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bung Hatta berkali-kali menjelaskan, yang dimaksud dengan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargan itu ialah koperasi. Itulah sebabnya kalau kita kembali ke bagian penjelasan. Setelah kalimat yang sama, kita jumpai anak kalimat berikutnya yang mempertegas 13
keberadaan koperasi. Dalam penjelasan dikatakan begini, sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Jadi, saya kira ini sudah lebih semakin tegas. Bukan lagi hanya sekedar memuliakan kebersamaan, tetapi Pasal 33 dalam rangka mewujudkan demokrasi ekonomi itu jelas sekali ya ingin melembagakan kegotongroyongan, ingin melembagakan sebuah perekonomian yang berdasarkan kolektifitas. Dengan tegas saya ingin katakan di sini ya Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 anti liberalisme dan kapitalisme, ini saya kira. Titik tekan saya sampai sejauh Pasal 33 ayat (1) bahwa Pasal 33 ya dengan komitmen ingin mewujudkan demokrasi ekonomi. Dengan komitmen ingin mewujudkan kebersamaan, kegotongroyongan, ya perekonomian yang kolektif. Ya, Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada dasarnya anti liberalisme dan kapitalisme. Nah, ini malah menjadi lebih jelas, lebih tegas kalau kita kembali ke bagian penjelasan Pasal 33, terkait dengan Pasal 33 ayat (2). Karena di bagian penjelasan, bunyinya tidak seperti dibatang tubuh, gitu. Di dalam bagian penjelasan bunyinya lebih lengkap. Ya terkait dengan Pasal 33 ayat (2), bunyinya begini. Ya, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai … harus dikuasai oleh negara.” Pakai kata-kata harus dan belum selesai kalimatnya, ada (,) “…jika tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang, rakyat yang banyak ditindasnya.” Saya kira ini lebih dari cukup, untuk mempertegas kesimpulan kita, bagaimana Pasal 33 pada satu sisi, ya memuliakan kolektifitas, memuliakan kegotongroyongan, pada sisi yang lain bersifat anti liberalisme dan kapitalisme. Dengan dasar pemikiran semacam itu, pemahaman terhadap Pasal 33 seperti itu, maka saya kira sama sekali tidak dapat dibenarkan bahwa dilakukan penyetaraan antara BUMN dengan usaha persorangan dalam menyelenggarakan sektor-sektor atau cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Walaupun ini tidak bisa kita jadikan sebagai acuan yang mengikat, Bung Hatta kan mengatakan begini ketika menafsirkan Pasal 33 ayat (2), ya “…memang tidak berarti bahwa pemerintah sendiri bertindak selaku penyelenggara, penyelenggaraan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu dapat diserahkan kepada badan usaha lain yang bebas, tetapi,” nah ini kalimat Bung Hatta, “tetapi sebaik-baiknya kepemilikan perusahaan itu berada di tangan pemerintah.” Jadi ini sebenarnya … apa namanya … penjelasan-penjelasan yang lebih awal mengenai bagaimana menafsirkan dalam meletakkan 14
keberadaan perusahaan negara dan perusahaan swasta, itu saya kira sudah ada gitu, walaupun bukan merupakan bagian dari undang-undang dasar itu sendiri, gitu. Jadi dalam konteks itu saya melihat dalam penyelenggaraan sektor migas khususnya, kita tetap harus memberikan prioritas kepada Pertamina sebagai badan usaha milik negara. Tidak dapat keberadaan Pertamina sebagai badan usaha milik negara itu disetarakan dengan badan usaha milik swasta, tapi tolong … ini soalnya saya membaca juga kesaksian dari sidang mungkin undang-undang ini tapi pada Pemohon yang lain, saya baca di media bahwa Pasal 33 dinyatakan tidak antiasing. Saya kira ini penjelasan sama sekali tidak benar gitu. Ketika berbicara mengenai Pasal 33 kita tidak sedang berbicara mengenai soal pro atau antiasing, bukan itu isunya. Isunya adalah bahwa Pasal 33 memuliakan kolektifitas, memuliakan kegotongroyongan dan dalam konteks cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 memberikan tempat yang istimewa kepada badan usaha milik negara. Bukan berarti lalu tertutup peluang pada perusahaan swasta gitu, jadi sama seperti sebelum Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 ini, badan-badan usaha swasta tetap dapat beraktifitas di sektor migas dengan menjadi kontraktor kepada BUMN selaku badan usaha milik negara dan selaku pemegang kuasa pertambangan gitu. Jadi tidak ada sama sekali isu mengenai pro atau antiasing terkait dengan Pasal 33. Jadi terkait Pasal 33 justru yang perlu ditegaskan adalah bahwa Pasal 33 jelas-jelas antiliberalisme dan antikapitalisme, gitu. Izinkan saya melanjutkan penjelasan mengenai keberadaan Pertamina sebagai BUMN yang perlu mendapatkan prioritas ini. Sebanarnya hal-hal semacam ini tidak hanya … harusnya tidak hanya berlaku pada sektor migas saja, gitu, tapi kita harusnya juga memikirkan cara-cara yang sama untuk sektor-sektor atau cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang lain, gitu. Apakah itu pertambangan batu bara dan lain-lain. Termasuk mungkin kita harus pertimbangkan juga untuk cabangcabang produksi, apakah itu perbankan misalnya, apakah itu telekomunikasi dan seterusnya, gitu. Jadi ini sebenarnya model yang diharapkan oleh Pasal 33 tetapi yang terjadi memang kalau kita lihat sekarang, seperti tadi disinggung oleh pemerintah, dengan dilakukannya perbedaan antara sektor hulu dan hilir di mana sektor hulu dianggap mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hilir lalu hilir itu dianggap lebih menekankan sesuatu yang sifatnya bisnis, saya berkali-kali mendengar kata-kata bisnis, saya menjadi bertanya-tanya, apakah sektor hilir bukan bisnis? Kalau hilir dianggap bisnis, apakah hulu tidak bisnis? Di mana letak tidak bisnisnya hulu, gitu? Saya rasa itu semua bisnis, bahkan 15
kalau kita melihat keputusan Mahkamah Konstitusi pada sidang yang lalu, pada Tahun 2004, justru sifat bisnis dari hilir itu sudah dibatalkan dengan ditolaknya keinginan Undang-Undang Migas untuk menyerahkan harga eceran bahan bakar minyak kepada mekanisme persaingan dan Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan bahwa harga BBM harus tetap dikendalikan oleh negara. Dengan demikian, justru sifat bisnis dari sektor hilir itu sudah dengan sendirinya ditiadakan, gitu. Jadi kembali dengan dasar itu, saya kira termasuk tadi ya soal memunculkan isu pro dan antiasing, itu adalah bagian upaya pengaburan terhadap amanat Undang-Undang Dasar 1945. Saya kira Bapak Ketua Majelis Hakim Konstitusi dan Bapak-Bapak Ibu anggota Majelis Konstitusi Yang Mulia, demikian penjelasan saya. Jadi dengan demikian saya tetap berkeyakinan bahwa kebijakan yang paling tepat dalam menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak ini adalah ya, terutama di sektor migas dengan menunjuk Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan, dan mempersilakan, ya perusahaan-perusahaan swasta, asing atau pun domestik, baik di … apa yang disebut sebagai sektor hulu maupun hilir ya, bekerja sebagai kontraktor pada Pertamina sebagaimana Undang-Undang Migas yang sebelumnya. Demikian, terima kasih. Wabillahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb. 25.
KETUA: ACHMAD SODIKI Baik. Kami persilakan kepada Pemohon kalau masih ada yang ingin ditanyakan kepada Ahli maupun dari Pemerintah. Saya persilakan.
26.
KUASA HUKUM PEMOHON: JANSES E. SIHALOHO Baik, terima kasih, Yang Mulia. Mungkin sedikit penegasan kepada Ahli, Bapak Revrison, atas sebagaimana yang disebutkan oleh pemerintah bahwasanya industri hulu itu adalah high cost, high capital dan high risk. Pertanyaan kita adalah, apakah BUMN dalam hal ini Pertamina tidak mampu untuk memenuhi syarat? Itu yang high capital, high cost, dan high tech tersebut. Terima kasih.
27.
AHLI DARI PEMOHON: REVRISOND BASWIR Terima kasih. Saya kira pengalaman ya, Pertamina selama bertahun-tahun sebelum Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 sudah menunjukkan bahwa masa itu tidak ada masalah sama sekali. Bahkan kalau kita bicara statistik ya, bicara statistik mengenai tingkat hasil eksplorasi migas kita, justru sebelum Undang-Undang 16
Migas Nomor 22 Tahun 2001, kita berhasil rata-rata di atas 1.000.000 barel per hari. Justru sebelum Undang-Undang Migas. Bahkan setelah Undang-Undang Migas diperkenalkan ya, kemudian secara pelan-pelan ya, hasil eksplorasi kita merosot drastis di bawah 1.000.000 US barel per hari, ya kan. Bahkan kemudian semakin merosot lagi, terakhir-terakhir ini sudah mulai merosot, bahkan di bawah 900.000 ya, barel per hari. Jadi, sama sekali tidak dapat dibenarkan, ya bahwa masalah high cost, high risk itu merupakan kendala. Kenapa? Karena dengan pola hubungan ya, subkontraktor yang lama, tetap saja gitu, ya bahwa pihak swasta baik asing maupun domestik bisa terlibat dalam penyelenggaraan sektor migas ya, dan hasil-hasilnya justru membuktikan sebaliknya. Hasil yang diperoleh justru lebih besar daripada yang sekarang. Nah, bahkan ya, bisa saya tambahkan sedikit penjelasan terkait dengan ini, dengan model dimana sekarang terjadi penyetaraan ya, antara swasta asing, domestik dengan Pertamina justru muncul satu risk dan cost baru bagi kita, bagi Indonesia. Kalau cost saya kira kita sudah jelas kita bicara-bicara cost recovery yang terus membengkak nilainya. Tapi risk yang paling besar apa? Saya mengkhawatirkan bahwa perusahaan-perusahaan swasta, asing maupun domestik di sektor migas ini ya, patut diwaspadai setidak-tidaknya. Patut diwaspadai telah dengan sengaja berusaha menurunkan hasil lifting migas. Dengan tujuan apa? Dengan tujuan ya, agar Indonesia kemudian ya, mengalami kekurangan suplai migas dan harus mengimpor. Lalu kita dinyatakan sebagai nett oil importir. Implikasi berikutnya apa? Implikasi berikutnya, dengan menjadi importir migas, ya karena lifting yang turun itu, maka ada alasan yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa harga BBM seharusnya diserahkan ke mekanisme pasar. Kenapa? Oh, kita kan bukan lagi sebagai produsen, kita sekarang sudah importir. Jadi ini … ini saya khawatir ya, ini patut diwaspadai, ya janganjangan ini memang disengaja sedemikian rupa, lifting diturunkan kemudian ini dijadikan alasan ya, untuk mendorong pelepasan hargaharga makanan ke pasar. Saya bersyukur bahwa kebijakan itu kemudian di … telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hanya kalau kita lihat perkembangan dalam satu bulan terakhir paling tidak, setelah ribut-ribut di parlemen mengenai upaya menaikkan harga BBM itu juga ditolak oleh anggota DPR. Apa yang terjadi? Belakangan ini kita melihat bagaimana pegawai negeri sipil khususnya dengan kendaraan pelat merah menjadi korban, gitu. Kenapa? Karena dipaksa harus mengkonsumsi Pertamax, ya. Dan ini tidak hanya menjadi beban pada tingkat individu begitu ya, tapi menjadi beban juga pada APBD. Kendaraan-kendaraan pelat merah tertentu ya, BBM-nya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sehingga, belanja 17
daerah untuk membiayai bahan bakar karena harus membeli Pertamaxnya, akhirnya membengkak. Nah, ini … inilah resiko baru. Saya khawatir, ya dalam jangka yang agak panjang, saya tidak tahu persis apakah memang benar akan ke sana atau tidak, tetapi dari informasi yang saya peroleh ada indikasi bahwa pada akhirnya akan dipaksa mengkonsumsi Pertamax itu bukan hanya pegawai negeri atau pelat merah, tapi semua warga masyarakat. Dan kita tahu persis harga Pertamax diserahkan ke mekanisme pasar. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah apakah Pertamax itu sendiri bukan BBM? Kalau Pertamax itu jadi termasuk BBM, lalu atas dasar apa kita mengizinkan harga Pertamax itu diserahkan ke mekanisme persaingan? Jadi ini saya kira resiko baru, ya, resiko mengenai tadi di sektor hulu saya kira sama sekali tidak benar, ya. Statistik mengenai lifting tidak membuktikan itu. Justru sekarang ini ada resiko baru, kita tidak hanya akan menerima harga BBM yang berdasarkan pasar, tapi justru dipaksa mengurusi Pertamax yang sudah telanjur ditetapkan berdasarkan harga pasar. Dan harga pasarnya dua kali lipat dari harga Premium, ya yang berlaku sekarang ini. Demikian, terima kasih. 28.
KUASA HUKUM PEMOHON: JANSES E. SIHALOHO Bila diizinkan, Yang Mulia, Prinsipal mau memberikan pertanyaan, Yang Mulia.
29.
KETUA: ACHMAD SODIKI Silakan.
30.
PEMOHON II: FAISAL YUSRA (PRESIDEN SERIKAT PEKERJA MIGAS INDONESIA)
KONFEDERASI
Baik, terima kasih, Yang Mulia. Kepada Pak Revrisond sebagai Ahli ingin ada dua yang ingin saya pertanyakan adalah bahwa ada kewajiban Pertamina untuk menyediakan stockpile dalam bentuk BBM yang nilainya itu hampir 20 sampai 30 Triliun yang bukan beban negara. Apakah situasi dengan adanya sebagai strategi apa namanya ... stok ini, ini menunjukan bahwa sektor hilir itu strategis apa tidak? Dengan situasi dengan adanya ... apa namanya ... pembubaran penyediaan stockpile ini? Yang kedua adalah di dalam letter of intent Pemerintah Indonesia dan IMF tanggal 20 Januari 2000 artikel 82 dinyatakan bahwa secara itu, implisit dinyatakan di sana Undang-Undang Migas itu di ... agar dibuat (suara tidak terdengar jelas) migas untuk menjadikan Pertamina sebagai … to play key roll, gitu ya. Nah, pertanyaannya apakah dengan situasi 18
non migas ini pertamina keliatannya … apakah menjadi memang memegang peranan penting sekarang ini dikaitkan di sektor migas di Indonesia? Terima kasih. 31.
KETUA: ACHMAD SODIKI Silakan, Ahli.
32.
AHLI DARI PEMOHON: REVRISOND BASWIR Terima kasih, Bapak Majelis, Ketua Majelis Hakim. Terkait pertanyaan pertama, saya kira ini mempertegas ya pernyataan saya sebelumnya bahwa dengan ditolaknya pelepasan harga BBM ke mekanisme persaingan dan lalu ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa harga BBM itu harus tetap dikendalikan oleh negara. Pernyataan perbedaan atau upaya membedakan hulu dan hilir itu sebenarnya sudah enggak relevan lagi, ya. Jadi baik hulu maupun hilir itu sama-sama masuk dalam kategori cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itulah, makanya penyebutan kata-kata bisnis untuk sektor hilir itu menjadi sesuatu yang tidak relevan, ya. Nah, ditambah lagi kalau dengan fakta ini, ya bahwa Pertamina ya di sektor hilir harus memilih stockpile, gitu. Ya, saya kira itu justru ini mempertegas baik hulu maupun hilir itu sama-sama strategis, gitu, sama-sama penting bagi negara, dan sama-sama menguasai hajat hidup orang banyak. Saya kira itu jawaban saya untuk pertanyaan pertama. Kemudian yang kedua, terkait dengan pernyataan dalam UndangUndang Migas bahwa Pertamina akan dijadikan sebagai pemain kunci. Terus terang sebenarnya kalau ada waktu ya yang cukup ya, artinya keterlibatan saya sebagai Saksi Ahli itu sudah jauh-jauh hari ya dalam mempersiapkan permohonan ini. sebenarnya saya ingin menambahkan dengan tegas gitu bahwa dari pengakuan USAID ya, dan bukan di tempat-tempat yang lain ya, tetapi di website USAID sendiri, USAID sudah dengan sangat terbuka mengatakan bahwa USAID membiayai pembuatan Undang-Undang Migas dengan memberikan pinjaman. Dan bahwa USAID terlibat gitu membuatkan draft Undang-Undang Migas ini bersama Asian Devolopment Bank. Sebenarnya ini saja sudah mengindikasikan sesuatu yang sangat berisiko kalau dilihat dari sudut Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, begitu. Nah, lalu judul dari websitenya itu adalah Energy Sector Reform, ya dan kemudian disebutkan berapa pinjamannya, lalu bagaimana undang-undang dibuat, dan saya kira sudah jelas gitu, dari penjelasan di
19
dalam website itu ya bahwa intinya adalah pertama akan dilakukan liberalisasi di sektor migas, ya. Jadi saya kira penyetaraan antara swasta dan BUMN, dalam hal ini Pertamina dan lain-lain itu, itu merupakan hasil dari misi yang diterapkan di dalam rencana reformasi sektor migas itu, gitu. Dan kemudian kita lihat juga pemisahan hulu dan hilir. Saya pada tahuntahun ya, sebelum 2004, sebelum keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review pada waktu itu, jauh-jauh hari saya sudah mengatakan hati-hati gitu, ya bahwa dengan Undang-Undang Migas ini lalu ada pemisahan sektor hulu hilir, lihat saja ya, segera akan muncul SPBU-SPBU asing, kenapa? Dibalik desakkan pelepasan harga BBM ke mekanisme persaingan itu sebenarnya adalah kepentingan para pemilik SPBU asing, gitu. Dan saya kira dari beberapa pemberitaan di media massa kita mengetahui sekurang-kurangnya sudah ada 20 perusahaan swasta asing dan domestik yang memiliki izin prinsip untuk membuka SPBU dan kepada masing-masing perusahaan diberi izin untuk membuka 2000 SPBU. Jadi hari ini sebenarnya ada sekitar 40.000 SPBU yang sedang antri untuk ber “bisnis” tadi, gitu, ya. Dan memang betul ya, saya kira setelah undang-undang itu ditetapkan pada waktu itu langsung kita melihat secara Shell, Petronas, ya, membuka SPBU-nya, gitu. Alhamdullah kemudian pasal mengenai harga itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi ekspansi SPBU-SPBU swasta ini kemudian tertahan, ya. Jadi mungkin sampai sejauh ini di Jakarta masih ada, ya saya dengar Petronas kemudian menarik diri karena enggak tahan lama-lama, ya. Kemudian di kota-kota lain alhamdullah masih belum berkembang juga, ya. Nah, jadi salah satu yang menyebabkan mengapa pertamina, terutama di sektor hilir sekarang ini masih menjadi pemain yang amat sangat penting itu adalah berkat jasa besar dari Mahkamah Konstitusi. Kalau bukan karena jasa besar Mahkamah Konstitusi, saya kira kita sudah akan menyaksikan 40.000-an SPBU milik swasta asing dan domestik itu menyerbu di seluruh wilayah Indonesia. Dan saya sebenarnya agak kecewa dengan pernyataan-pernyataan pimpinan pertamina pada waktu itu ya, ini bagi saya pernyataan ini aneh sekali ya, di lihat dari sudut pernyataan seorang CEO itu mengecewakan sekali. Bahwa dengan Undang-Undang Migas ini Pertamina siap mempertahankan pangsa pasarnya sebesar 50%. Loh, saya kira seorang direksi, seorang CEO, itu selalu berusaha memperluas pangsa pasarnya, tidak ada yang dengan sukarela setelah menguasai ya, hampir 100% kemudian tiba-tiba rela menurunkan ya, penguasaannya menjadi 50% saja gitu. Tetapi tadi ya, sekali lagi dengan hasil judicial review yang lalu sampai dengan hari ini pertamina masih menjadi pemain dominan di sektor hilir. 20
Hanya memang ya, di sektor hulu keadaannya ya dengan diangkatnya status perusahaan-perusahaan swasta, pertamina memang menjadi tidak patut diperhitungkan gitu. Dalam konteks hasil eksplorasi saja saya kira sudah 40% hanya pada satu perusahaan asing saja ya, yang di wilayah Sumatra gitu. Jadi hampir saya kira 80% ya, hasil eksplorasi migas kita dilakukan oleh perusahaan nonpertamina. Saya kira demikian, terima kasih. 33.
KETUA: ACHMAD SODIKI Cukup, dari pemerintah. Cukup, baiklah. Sidang ini masih mau dilanjutkan lagi dengan keterangan lagi dengan keterangan Ahli lagi apa Saudara Pemohon?
34.
KUASA HUKUM PEMOHON: JANSES E. SIHALOHO Pemohon masih menghadirkan Ahli untuk persidangan berikutnya, Yang Mulia.
35.
KETUA: ACHMAD SODIKI Oh, baik kalau begitu. Kalau begitu sidang juga … kalau Pemerintah juga mau mengajukan Ahli bisa juga disampaikan atau dihadirkan. Akan diselenggarakan sidang lagi hari Rabu tanggal 29 Agustus tahun 2012, jam 11.00 WIB. Saya ulang, hari Rabu tanggal 29 Agustus 2012, jam 11.00 WIB. Sidang saya nyatakan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.00 WIB Jakarta, 9 Agustus 2012 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d Paiyo NIP. 19601210 1985021001
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
21