MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 110/PUU-X/2012
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN ANAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PEMERINTAH, DPR, DAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON SERTA PEMERINTAH (III)
JAKARTA RABU, 9 JANUARI 2013
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 110/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak [Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON Mohammad Saleh ACARA Mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah (III) Rabu, 9 Januari 2013, Pukul 11.00 – 13.10 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Moh. Mahfud MD. Achmad Sodiki Anwar Usman Ahmad Fadlil Sumadi Hamdan Zoelva Harjono Maria Farida Indrati M. Akil Mochtar Muhammad Alim
Achmad Edi Subiyanto
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Lilik Mulyadi 2. Teguh Satya Bakti 3. Roro Andy Nurfita B. Ahli dari Pemohon: 1. 2. 3. 4.
Bagir Manan Romli Atmasasmita Laica Marzuki Maruarar Siahaan
C. DPR: 1. Nudirman Munir 2. Muhammad Nurdin 3. M. Nurdin D. Pemerintah: 1. 2. 3. 4.
Mualimin Abdi Agus Hariyadi Wahiduddin Adams Suhariyono
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.00 WIB 1.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan pemerintah dan keterangan DPR, serta mendengar keterangan Saksi dan Ahli yang hari ini diajukan oleh Pemohon atau Pemerintah dalam Perkara Nomor 110/PUU-X/2012 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Silakan Pemohon perkenalkan diri dulu.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: LILIK MULYADI Terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Kuasa Pemohon, saya sendiri Lilik Mulyadi. Di sebelah kanan saya, Teguh Satya Bakti. Dan di sebelah kiri saya, Roro Andy Nurfita. Demikian. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. DPR?
4.
DPR: M. NURDIN Terima kasih, Yang Mulia. Dari DPR diwakili H. Nudirman Munir dan Drs. Muhammad Nurdin dari Komisi III. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb.
5.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Waalaikumsalam. Pemerintah?
6.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah hadir, saya Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebelah kiri saya, Saudara Agus Hariyadi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Di sebelah kirinya lagi ada Pak Wahiduddin Adams (Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia), yang sekaligus nanti akan membacakan keterangan pemerintah, Yang Mulia. Kemudian, disebelahnya lagi ada Pak Suhariyono, Beliau Staf Ahli Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Terima kasih, Yang Mulia. 1
7.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Hari ini agenda kita mendengar keterangan DPR, mendengar keterangan Pemerintah, dan mendengar 4 orang Ahli yang hari ini hadir sebagai Ahli dari Pemohon. Pertama, Prof. Dr. Bagir Manan (Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum UNPAD). Yang kedua, Prof. Dr. Romli Atmasasmita (Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum UNPAD). Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki (Guru Besar Emiritus UNHAS). Dan Dr. Maruarar Siahaan (Mantan Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi dan Praktisi Hukum) sekarang ini. Baik. Kita mulai dulu dari DPR. Silakan, Pak, ke podium.
8.
DPR: NUDIRMAN MUNIR Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan pidana anak. Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 110/PUU-X/2012. Kepada Yang Terhormat Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta. Berdasarkan keputusan pimpinan DPR-RI Nomor 37 tanggal 10 Desember 2012 telah menugaskan Anggota Komisi III DPR-RI, yaitu I Gede Pasek Suardika, S.H., M.H. dan seterusnya Nurdiman Munir, S.H., Drs. H.M. Nurdin, M.M., dan seterusnya. Dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut DPR. Sehubungan dengan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak selanjutnya disebut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Yang diajukan oleh Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H. dan kawankawan. Kesemuanya adalah anggota Ikatan Hakim Indonesia. Yang dalam hal ini diwakili oleh kuasanya, Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. dan kawan-kawan yang selanjutnya disebut Para Pemohon. Dengan ini, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan pendahuluan terhadap permohonan pengujian atas UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 110/PUUX/2012, yang selengkapnya akan kami sampaikan secara tertulis kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia melalui Panitera. a. Ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimohonkan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian atas Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi sebagai berikut.
2
Pasal 96, “Penyidik, Penuntut umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00.” Pasal 100, “Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun.” Pasal 101, “Pejabat pengadilan yang dengan sengaja bila ... tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun.” b. Hak dan/ atau kewenangan konstitusional yang dianggap Para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar dengan berlakunya Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang pada pokoknya sebagaimana diuraikan dalam pokok permohonan. c. Keterangan DPR-RI: 1. Kedudukan hukum (legal standing). Mengenai kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UndangUndang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 06 dan Perkara Nomor 011. 2. Pengujian Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Terhadap pandangan-pandangan Para Pemohon dalam permohonan a quo, DPR memberi keterangan sebagai berikut: 1. Bahwa anak-anak bangsa Indonesia memiliki peran sangat penting dan strategis dalam perjalanan bangsa Indonesia di masa mendatang. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup sebuah bangsa dan negara. Oleh karenanya, dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara tegas dinyatakan, “Negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang, serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” 2. Bahwa dalam kerangka memberikan jaminan negara terhadap hak setiap anak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang, serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi perlu diwujudkan suatu upaya yang sangat strategis dalam memberikan perlindungan anak. Salah satu upaya strategis
3
tersebut adalah dengan pembentukan peraturan perundangundangan yang bertujuan melindungi anak. 3. Bahwa anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak yang sering kali berhadapan dengan hukum. 4. Bahwa penyusunan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak, serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. 5. Bahwa salah satu substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghidari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi tersebut tercermin dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 96 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur hal-hal sebagi berikut. a) Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan, restoratif, yaitu upaya penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, keluarga pelaku korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. b) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. c) Penjatuhan sanksi pidana kepada penyidik, penuntut umum dan hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban mengupayakan diversi pada 4
6.
7.
8.
9.
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. Bahwa keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 96 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah diatur mengenai penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum diwajibkan sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yaitu melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan restorative. Bahwa mengingat hak setiap anak yang sedang berhadapan dengan perkara hukum, untuk terlebih dahulu mengupayakan diselesaikan melalui diversi berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana telah diuraikan di atas adalah proses penyelesaian di luar pengadilan. Maka, hal tersebut sama sekali tidak terkait dengan independency hakim dalam menjalankan fungsi yudisialnya. Karena memang diversi tersebut dilakukan sebelum masuk proses peradilan atau dengan kata lain di luar jalur pengadilan. Jika proses diversi tidak berhasil mencapai kesepakatan atau hasil diversi tidak dilaksanakan, maka berdasarkan Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, proses peradilan anak dimaksud dapat dilanjutkan di dalam jalur pengadilan, dimana hakim mempunyai independency dalam melaksanakan fungsi yudisialnya. Bahwa untuk memberikan jaminan perlindungan hukum, kepastian hukum, dan penegakan hukum terhadap pelaksanaan pemberian hak anak yang sedang berhadapan dengan perkara hukum untuk terlebih dahulu mengupayakan diselesaikan melalui diversi berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Anak … Pidana Anak. Maka Pasal 96 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah secara tegas mengatur pemberian sanksi pidana bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengupayakan penyelesaian melalui diversi pada tingkat penyidikan,
5
penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. 10. Bahwa perbuatan para penegak hukum, termasuk di dalamnya hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengupayakan penyelesaianpenyelesaian perkara pidana anak terlebih dahulu melalui diversi dan berdasarkan keadilan restoratif akan berakibat dirugikannya kepentingan hukum dan hak-hak konstitusional anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945 juncto Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di samping itu, ketentuan sanksi pidana terhadap para penegak hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 96 undang-undang a quo adalah merupakan upaya untuk mewujudkan pelaksanaan salah satu substansi dan tujuan penting yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana anak, yaitu proses penyelesaian perkara pidana anak melalui diversi berdasarkan keadilan restoratif yang dimaksud untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan. Sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karenanya, DPR-RI berpendapat Ketentuan Pasal 96 undangundang a quo telah memiliki legal rasio yang cukup beralasan. 11. Selain itu di dalam konstitusi kita, khususnya Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juncto Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwasanya kedaulatan rakyat dijalankan dengan undang-undang, serta adanya kesamaan di depan hukum. Pelanggaran kode etik dalam perkara penegak hukum, baik hakim, jaksa, polisi maupun advokat diatur tersendiri sesuai profesi masing-masing … sebagai menjunjung tinggi kehormatan masing-masing profesi merupakan domain kode etik. Sedangkan pelanggaran undang-undang yang dimaksud di sini adalah merupakan domain proyustisia. 12. Dalam risalah rapat tim perumus tanggal 8 Juni 2012 telah disetujui mengenai sanksi pidana ini, berikut kutipannya. “Ini sudah kami rumuskan, kalau Bapak baca Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98 itu memberikan sanksi pidana penjara paling lama 2 tahun kepada petugas yang tidak melaksanakan atau tidak mengeluarkan anak demi hukum walaupun sudah melewati jangka waktu. Bahkan kami juga sesuai dengan kesepakatan merumuskan pasal yang memberikan sanksi kepada pejabat pengadilan yang tidak memberikan petikan putusan dalam waktu 5 hari itu dikarenakan juga 2 tahun … dikenakan juga 2 tahun. Ini supaya tidak ada lagi alasan untuk menunda6
nunda atau tidak membuat putusan pengadilan untuk dieksekusi. Kalau yang Pasal 34 itu alhamdulillah memang ada, Pasal 35 ayat (3) juga ada, tetapi Pasal 37, Pasal 38 ini tidak ada selisihnya. Ini juga hanya kata-kata dikeluarkan demi hukum. Juga di sini memang saya ada lihat Pasal 34 tinggal 3, malah dari Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 35 ada sanksinya, tetapi begitu masuk Pasal 37 sanksinya tidak ada. Pasal 37 sanksinya tidak ada karena ini menyangkut anakanak yang ditahan pada hakim di tingkat kasasi. Karena itu menurut hemat saya ini juga harus ada sanksinya. Pasal 98 juga sudah disahkan dalam Panja. Oh, tadi ada tambahan Pasal 98, hakim dengan sengaja tidak melaksanakan sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. “Bisa disepakati? Rapat menyetujui.” 13. Bahwa Ketentuan Pasal 101 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, rumusannya, normanya tidak menyebutkan hakim yang dikenakan sanksi pidana akibat tidak dilaksanakannya kewajiban menyampaikan petikan dan salinan putusan. Melainkan menyebutkan pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan petikan dan salinan putusan dikenai sanksi pidana. Oleh karenanya, DPR-RI beranggapan ketentuan Pasal 101 undang-undang a quo rumusan normanya tidak terkait langsung dengan kerugian konstitusional Para Pemohon yang berprofesi sebagai hakim. 14. Bahwa berdasarkan uraian di atas, DPR-RI berpandangan ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan demi … dengan demikian, DPR memohon kiranya Ketua Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia memberikan amar putusan sebagai berikut. 1. Menyatakan keterangan DPR diterima untuk seluruhnya. 2. Menyatakan ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945. 3. Menyatakan ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Tim Kuasa Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Gede Pasek Suardika, S.H., M.H., Nomor Anggota A528, ditandatangani. A. Nudirman Munir, S.H., Nomor Anggota A184, ditandantangani. Drs. H. M. Nurdin, M.M., Nomor Anggota A352, ditandatangani, dan seterusnya. 7
Demikian kami sampaikan. Terima kasih. Wabillahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb. 9.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Terima kasih, Pak Nurdiman. Pak Nurdin, ada tambahan?
10.
DPR: M. NURDIN Cukup, Pak.
11.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Cukup, Bapak. Baik, silakan Pemerintah.
12.
PEMERINTAH: WAHIDUDDIN ADAM Keterangan pendahuluan (opening statement) Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak … Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Assalamulaiakum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sehubungan dengan Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk selanjutnya disingkat Undang-Undang SPPA terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk selanjutnya disingkat UUD 1945 yang dimohonkan oleh Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H. selaku Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memberikan kuasa kepada Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. dan kawan-kawan sesuai dengan registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 tanggal 29 November 2012. Selanjutnya, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan keterangan pendahuluan Pemerintah atas pengujian undang-undang a quo sebagai berikut. 1. Tentang pokok permohonan Para Pemohon tidak akan dibacakan karena dianggap telah diketahui oleh Pemerintah atau Pemohon sendiri. 2. Tentang kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak.
8
3. Penjelasan Pemerintah terhadap materi yang dimohonkan uji oleh Para Pemohon. Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelasan Pemerintah terhadap materi yang dimohonkan pengujiannya oleh Para Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan hal-hal sebagai berikut. 1. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Pasal 28b Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dan … dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia dan perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak, khususnya terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. 2. Undang-Undang SPPA ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Salah satu pengaturan khusus terhadap proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum adalah melalui proses diversi. Adapun diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan tata tanggung jawab kepada anak. Proses diversi diberlakukan sejak tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua atau walinya, korban dan/atau orang tua atau walinya, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan, diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Untuk melaksanakan proses diversi, pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dan pihak terkait secara terpadu yang dilakukan paling singkat 120 jam. Dengan demikian, diversi hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum yakni penyidik anak, penuntut umum anak, hakim anak, hakim banding anak, dan hakim kasasi anak yang sebelumnya telah mengikuti pendidikan dan pelatihan, serta memperoleh sertifikasi. Selain persyaratan tersebut di atas, pemerintah berkewajiban menyiapkan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia dalam menjalankan Undang-Undang SPPA. Untuk memenuhi persyaratan dan penyiapan sarana, prasarana, dan SDM tersebut, Undang-Undang SPPA 9
mulai diberlakukan dua tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Dengan demikian, diharapkan pada saat mulai berlakunya UndangUndang SPPA, para penegak hukum dapat melaksanakan proses diversi dengan baik dan profesional. Terhadap anggapan Para Pemohon, bahwa ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang SPPA bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2), UUD Tahun 1945, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut. 1. Terhadap anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan Pasal 96 Undang-Undang SPPA melanggar prinsip independensi peradilan dan independensi hakim sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pemerintah dapat memberikan penjelaskan sebagai berikut. a. Bahwa ketentuan Pasal 96 Undang-Undang SPPA merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang SPPA yang menyatakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Ketentuan a quo secara jelas hanya mewajibkan upaya diversi melalui musyawarah dan melibatkan anak dan orang tua atau walinya, korban atau orang tua walinya, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional. Sedangkan diversi dilakukan manakala ada kesepakatan antara para pihak untuk melakukannya. Oleh karena itu, dalam hal hakim dengan sengaja tidak melakukan upaya diversi, maka Undang-Undang SPPA ini diberikan sanksi pidana. Namun demikian, apabila hakim telah melakukan upaya diversi, tetapi para pihak tidak mencapai kesepakatan penyelesaian perkara, maka hakim tidak dipidana karena tidak memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 96 Undang-Undang SPPA. Selain itu, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa kewajiban untuk melakukan upaya diversi pada dasarnya sudah dilaksanakan sejak tingkat penyidikan dan penuntutan. Sehingga apabila pada tingkat penyidikan atau penuntutan telah tercapai kesepakatan diversi, maka perkara tersebut selesai (case close). Dengan demikian, kewajiban hakim untuk melaksanakan diversi relatif ringan. b. Bahwa pelaksanaan diversi sama sekali tidak berhubungan dan/atau melanggar prinsip independensi peradilan dan independensi hakim. Mengenai makna independensi hakim dan independensi peradilan dapat dilihat dari Undang-Undang tentang kekuasaan kehakiman yaitu, 1. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
10
2. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan Hakim Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. 3. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya telah menekankan bahwa independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah, atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. Bahwa kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan, Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006. Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut Pemerintah, jelas tidak ada satu pun ketentuan dalam undangundang a quo yang mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu kepada hakim yang dapat mempengaruhi putusannya. Justru dengan adanya diversi, hakim dapat menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa kekhawatiran Para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 96 Undang-Undang SPPA yang dianggap dapat mempengaruhi independensi hakim dan bersifat diskriminatif adalah tidak beralasan dan tidak benar. 2. Terhadap ketentuan Pasal 100 Undang-Undang SPPA, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut. Bahwa ketentuan a quo dimaksudkan untuk memberikan sanksi kepada hakim yang dengan sengaja memperpanjang masa penahanan atau dengan sengaja tidak mengeluarkan anak dari tahanan setelah masa tahanannya berakhir. Pemerintah berpendapat bahwa upaya untuk mengeluarkan anak dari tahanan karena batas waktu penahanan telah berakhir akan banyak pihak yang … akan banyak pihak yang mengingatkan batas waktu tersebut akan berakhir, antara lain orang tua (wali), advokat, petugas rumah tahanan, dan anak itu sendiri, sehingga tidak beralasan adanya kekhawatiran bagi hakim untuk tidak mengeluarkan anak dari tahanan, kecuali hakim memaksa dengan sengaja tetap menahan anak tersebut. 3. Terhadap ketentuan Pasal 101 Undang-Undang SPPA, Pemerintah dapat memberikan penjelasan bahwa ketentuan Pasal 101 UndangUndang SPPA juncto Pasal 62 Undang-Undang SPPA dimaksudkan 11
untuk pejabat pengadilan, bukan ditujukan kepada hakim. Pejabat pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada anak, atau advokat, atau pemberi bantuan hukum lainnya, pembimbing kemasyarakatan, dan penuntut umum. Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya kepastian hukum karena ada praktik ekstrak vonis (petikan putusan) seringkali tidak diberikan. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa anggapan terhadap ketentuan Pasal 101 Undang-Undang SPPA juncto Pasal 62 Undang-Undang SPPA ditujukan kepada hakim adalah tidak beralasan. 4. Mengenai ketentuan pidana, sebagai criminal policy (kebijakan penentuan pidana) yang dalam hal ini mengkriminalisasikan suatu perbuatan yang terdapat pada Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang SPPA, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut. A. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010, dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, tanggal 18 Oktober 2011 menyatakan bahwa tanpa adanya ketentuan pidana, maka larangan atau kewajiban tersebut tidak akan mempunyai akibat hukum sama sekali karena aturan tersebut tidak dapat ditegakkan dengan penggunaan kekuasaan negara, larangan hanya berarti sebagai imbauan saja. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-VIII/2010, halaman 118. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang SPPA bertujuan untuk penegakan ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 62 Undang-Undang SPPA, serta bukan untuk melakukan intervensi kepada hakim. B. Bahwa kriminalisasi suatu perbuatan yang dinyatakan dengan tegas dalam rumusan delik juga berfungsi sebagai general preference (pencegahan umum) agar orang tidak melakukan suatu kejahatan atau tekanan psikologis karena adanya sanksi pidana yang tegas. C. [Sic!] dalam bukunya, Hukum Pidana, menyatakan, “Pada dasarnya ketentuan pidana sifatnya ultimum remedium, namun dalam hal sanksi administrasi, sering tidak dapat atau tidak dilaksanakan dengan baik, maka perlu diberikan sanksi pidana.” Penetapan sanksi pidana yang dilakukan bertujuan agar aparat penegak hukum tidak menghindarkan diri dari pelaksanaan kewajiban yang telah ditentukan. D. Dalam satu undang-undang, sering ditemui adanya sanksi pidana yang ditujukan kepada pejabat tertentu dan kadangkala ancaman pidana diperberat. Di dalam Pasal 52 KUHP, ancaman pidana bagi pejabat yang melakukan tindak pidana, dengan sendirinya diperberat sepertiga dari ancaman masing-masing tindak pidana. Pasal 52 KUHP berbunyi, “Bilamana seorang pejabat yang 12
melakukan suatu perbuatan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.” Di dalam undang-undang di luar KUHP, banyak contoh pejabat yang diancam dengan pidana karena melalaikan tugas dan tanggung jawabnya. Misalnya, UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. E. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ditentukan bahwa jika ketentuan pidana berlaku bagi siapa pun, subjek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang. Ketentuan ini dimaksudkan bahwa setiap orang pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama untuk setiap perbuatan yang di ... kriminalisasi. Hal ini berlaku untuk siapa saja, tanpa mengenal jabatan atau profesi tertentu. F. Bahwa ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UndangUndang SPPA, diawali dengan rumusan, dengan sengaja. Namun, untuk membuktikan kesengajaan pelaku dalam proses peradilan, bukanlah suatu hal yang mudah. Terlebih untuk menentukan dolus molus (niat dari pelaku). Untuk itu, perbuatan yang harus dibuktikan dengan kesengajaan itu adalah niat, dalam arti mengetahui dan menghendaki, wetten and willen, untuk melakukan suatu kejahatan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang SPPA, dalam penerapannya tetap dilakukan secara hati-hati. Kesimpulan. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Terhormat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pada Anak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut. 1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum. 2. Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya, atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima, niet ontvankelijke verklaard. 3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. 4. Menyatakan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara 13
Republik Indonesia Tahun 1945. Atas perhatian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diucapkan terima kasih. Jakarta, 9 Januari 2013. Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, Jaksa Agung Republik Indonesia, Basrief Arief, ditandatangani. Terima kasih. 13.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, terima kasih, Wakil Menkumham, wakil Pemerintah. Untuk berikutnya, kita akan mendengarkan empat orang Ahli, yaitu dimulai dari Prof. Bagir Manan. Silakan, Bapak. Oh, maaf, belum diambil sumpah. Semuanya supaya maju ke depan dulu. Baik, ini semuanya Ahli yang beragama Kristen Protestan akan diambil sumpah oleh Bu Maria, yang beragama Islam akan diambil sumpah oleh Bapak Anwar Usman. Silakan, Bu Maria!
14.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ikuti lafal janji yang saya ucapkan. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.”
15.
SELURUH AHLI BERAGAMA KRISTEN DISUMPAH: Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
16.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
17.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, silakan, Pak. Kemudian, yang beragama Islam, silakan.
18.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Mohon ikuti saya. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
14
19.
SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM DISUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
20.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Terima kasih.
21.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, Pak, silakan duduk. Prof. Bagir langsung ke podium.
22.
AHLI DARI PEMOHON: BAGIR MANAN Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia, Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi, Bapak-bapak yang bertindak atas nama Pemerintah, dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Yang Mulia Ketua, dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Izinkan saya terlebih dahulu menyampaikan bahwa keterangan saya tidak akan mengenai substansi dari permohonan itu karena substansinya sudah diutarakan menurut saya cukup lengkap oleh Pemohon. Dan yang kedua, aspek-aspek normatif juga tidak akan saya bicarakan, saya hanya membatasi diri pada hal-hal yang bersifat konseptual sesuai dengan fungsi keterangan Ahli ini. Sebelum perubahan, kita mengenal Pasal 24 dan 25 UndangUndang Dasar Tahun 1945, yang menyebutkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan merdeka, lepas dari pengaruh Pemerintah. Menurut hemat saya, meskipun setelah perubahan penjelasan Pasal 24, Pasal 25 secara normatif tidak berlaku lagi, tapi sebagai asas sebutan lepas dari pengaruh pemerintah tetap berlaku karena merupakan asas yang asasi bagi setiap negara hukum demokratis. Asas tersebut setidak-tidaknya memuat dua hal. Pertama, pengertian pemerintah oleh pemerintah dalam arti luas, tidak hanya kekuasaan eksekutif, tapi juga meliputi kekuasaan legislatif, dan lainlain alat perlengkapan negara. Yang kedua, pengertian merdeka adalah segala bentuk campur tangan antara penyelenggaran kekuasaan kehakiman atau proses yudisial dalam suatu perkara konkret dilarang. Termasuk juga dilarang setiap penetapan kebijakan atau tindakan yang akan atau dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kekuasaan kehakiman merdeka ke dalam kategori kedua ini antara lain pembentukan atau kehadiran undang-undang yang memuat substansi yang dapat mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman, itu pun dilarang. 15
Pengertian mempengaruhi termasuk juga rasa khawatir atau takutnya hakim menerima akibat dari putusannya. Yang Mulia Ketua dan Para Hakim Anggota, Frank Cross mencatat setidak-tidaknya ada lima dasar kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kekuasaan Hakim. Pertama, atas dasar trias politika yang sudah kita ketahui semua. Montesquieu menulis, “Where there is not liberty, if this judicy power be not separated from legislative and executive.” Dengan rumusan yang agak berbeda, ungkapan serupa diutarakan juga Alexander Hamilton yang mengatakan, “There is not liberty, if the power adjudging be not separated from legislative and executive.” Mengenai ungkapan di atas, trias politika terutama bertalian dengan jaminan dan perlindungan kebebasan public. Selanjutnya pemisahan kekuasaan sebagai metode pembatasan kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah tirani, “Kekuasaan ini sangat menggoda,” kata Montesquieu. Kekuasaan yang terlalu besar akan menimbulkan tirani, sebaliknya kebebasan yang terlalu besar akan menimbulkan anarki. Kalau demikian, apakah kaitan separation of powers dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan Hakim. Hal ini berkaitan dengan fairness than impartiality. Untuk menjamin agar suatu sengketa atau pelanggaran hukum dapat diselesaikan secara fair dan tidak memihak, diperlukan badan peradilan dan Hakim yang netral. Itulah sebabnya kekuasaan peradilan harus terpisah dari legislatif dan eksekutif atau mendapat pengaruh dari kekuasaan lain untuk menjamin netralitas, tidak berpihak, dan fair kekuasaan kehakiman yang terpisah harus merdeka dan ada kebebasan hakim. Apakah dasar pemisahan kekuasaan itu relevan bagi Indonesia yang dikatakan tidak menganut pemisahan kekuasaan? Dalam perkembangan yang mendunia, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim bukanlah hanya didapati pada sistem pemisahan kekuasaan. Berbagai penata hukum termasuk penata hukum internasional menunjukkan independensi badan peradilan terdapat juga pada negara-negara yang tidak menjalankan sistem pemisahan kekuasaan. Demikian pula tidak ada relevansi pemisahan kekuasaan dengan tradisi kontinental atau tradisi common law. Ada dasar-dasar lain bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim seperti diuraikan di bawah. Kedua, dasar kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah ajaran negara hukum. Telah menjadi kelaziman dan diterima, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun praktik kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim merupakan salah satu unsur negara hukum. Walaupun sebagai doktrin pengertian negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim merupakan dua ajaran yang berbeda, timbul dengan latar belakang dan alasan yang berbeda pula. Konsep membatasi kekuasaan yang menjadi dasar utama ajaran hukum memerlukan pihak ketiga yang netral untuk menyelesaikan perkara-perkara atau sengketa antara kekuasaan dengan rakyat. Untuk 16
menjamin obkjektivitas dan keadilan, selain wajib memutus hukum ... kekuasaan kehakiman dan hakim yang memutus harus merdeka atau bebas dari segala bentuk pengaruh atau tekanan kekuasaan lain. Dasar yang tiga adalah pengaruh pendapat umum atau kehendak mayoritas. Hakim semata-mata memutus untuk hukum. Hakim Agung Steven dari Amerika Serikat mengatakan putusan hakim harus berdasarkan preseden karena ini sistem Amerika bukan atas dasar polling atau pendapat umum. Hakim tidak hanya wajib melindungi kepentingan umum tapi juga melindungi individu dan minoritas. Pendapat umum tidak boleh sekali-kali mengorbankan hak-hak individu dan/atau hak minoritas, dalam keadaan tertentu suara mayoritas tidak indentik dengan kebenaran rasa keadilan. Makna vox populi vox dei tidak hanya dalam makna suara orang banyak, suara satu orang atau minoritas yang tertindas yang dicabut atau dirampas hak-haknya secara sewenang-wenang adalah juga suara Tuhan, yang senantiasa menuntut kebenaran dan keadilan. Pendapat umum yang direkayasa atau dengan sengaja dibentuk tidak senantiasa sebagai suatu kebenaran/keadilan, melainkan manipulasi kehendak dari golongan kepentingan atau penekanan tertentu. Kemungkinan pengingkaran hak-hak individu atau minoritas secara tidak benar dan tidak adil hanya dapat dilindungi dan penyalahgunaan mayoritas hanya dapat dicegah apabila ada kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan hakim yang bebas. Keempat, menghindari tekanan penggugat atau penuntut. Ada kemungkinan seseorang atau sekelompok penggugat atau penuntut, apalagi penguasa memiliki daya tekan yang sangat kuat, politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain untuk mempengaruhi atau memaksakan kehendak kepada pengadilan atau hakim. Di masa Pemerintah Uni Soviet ada ungkapan yang disebut telephone justice artinya hakim baru akan memutus suatu perkara setelah mendapat petunjuk dari partai komunis sebagai partai tunggal yang berkuasa, untuk menjamin fairness, impartiality, dan justice, dan due process of law diperlukan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan hakim yang bebas. Yang kelima, hambatan hukum. Hambatan hukum (constraint of law) seperti pedang bermata dua. Disatu pihak hukum adalah alat kendali untuk mencegah tindakan sewenang-wenang atau untuk kepastian hukum. Dalam kaitan inilah hakim harus wajib memutus menurut hukum or according to the law, yaitu hukum yang sudah ada sebelum ada perkara. Dipihak lain, hukum yang ada dapat membelenggu, yaitu kalau hukum itu bersifat sewenang-wenang. Hakim yang semestinya memutus secara benar dan adil, menjadi tidak benar dan tidak adil karena dipaksa memutus menurut hukum yang secara substantif sewenang-wenang atau tidak adil. Apakah hal semacam ini dapat terjadi? sangat mungkin, yaitu apabila pembentuk undang-undang dengan sengaja membuat undangundang yang sewenang-wenang, termasuk undang-undang yang meniadakan atau mengurangi kemerdekaan kekuasaan kehakiman atau 17
kebebasan hakim. Bagaimana mencegah apabila ada undang-undang yang sewenang-wenang atau undang-undang yang dengan sengaja mengurangi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan/atau kebebasan hakim. Paling tidak ada dua instrumen yang dapat dipakai. Pertama, ajaran hakim bukan mulut undang-undang. [Sic!], Perancis mengatakan, “Hakim berhak menolak menerapkan atau mengenyampingkan undang-undang yang sewenang-wenang atau tidak adil, atau sekurang-kurangnya melakukan penemuan hukum untuk menemukan putusan yang benar dan adil.” Yang kedua menggunakan pranata judicial review. Judicial review memungkinkan pengadilan atau hakim melepaskan diri dari belenggu undang-undang dengan alasan undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi c.q. Undang-Undang Dasar 1945. Hakim dapat mengenyampingkan atau menyatakan tidak sah atau membatalkan. Yang Mulia Ketua dan Para Anggota Majelis. Selain dasardasarnya dicatat Frank Cross di atas, tradisi menghormati dan menjunjung tinggi kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim dipengaruhi juga oleh berbagai faktor lain seperti, pertama tradisi demokrasi atau berdemokrasi versus watak (suara tidak terdengar jelas). Tradisi demokrasi akan tumbuh dan sehat kalau tidak sekedar diartikan sebagai bentuk atau jenis kekuasaan, melainkan sebagai penata sosial dan kultural. Dalam tradisi demokrasi, menghormati dan menjamin kebebasan hakim merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan menjunjung tinggi ... dari menjunjung tinggi hukum. Bukan berarti hakim tidak dapat salah, dapat saja ada kesalahan ketika mengadili, tetapi merupakan satu konsensus umum dalam upaya menjamin perwujudan kemerdekaan kekuasaan hakim dan kebebasan hakim, hakim tidak dapat memikul suatu konsekuensi seperti sanksi atas putusannya. Saya akan catat lagi di bawah. Di sinilah makna putusan hakim tidak dapat diganggu gugat ya, (suara tidak terdengar jelas), namun tidak berarti putusan itu tidak dapat dikoreksi atau diperbaiki. Itulah fungsi upaya hukum dan susunan badan peradilan yang berjenjang. Dan inilah pula sekaligus makna pengawasan terhadap putusan hakim. Hanya dalam sistem kekuasaan otoritas atau penguasa yang berwatak otoriter, yang berpendirian hakim dapat ditindak atau dikenakan konsekuensi karena putusannya dianggap salah. Lebih-lebih lagi kalau yang dipergunakan karena perbedaan pendapat mengenai makna suatu kaidah hukum. Perbedaan cara menafsirkan atau alasan hakim terlalu legalistik, hakim kurang memperhatikan rasa keadilan atau pendapat umum. Bahkan di mana saja di dunia ini perbedaan pendapat, perbedaan aliran yang dianut, perbedaan menggunakan nalar hukum (legal reasoning) tidak boleh dijadikan alasan mengoreksi putusan, membatalkan putusan, menolak atau menerima upaya hukum. Alasan-alasan semacam itu harus dinyatakan sebagai tidak dapat diterima karena bukan alasan sesuatu upaya koreksi putusan hakim. 18
Putusan hakim hanya dapat dikoreksi kalau secara nyata ada kesalahan fakta hukum yang dipergunakan. Kesalahan orang, kesalahan menggunakan kaidah hukum yang diterapkan, atau kesalahan mengartikan hukum diterapkan sehingga menimbulkan kerugian atau ketidakadilan bagi pencari keadilan. Walaupun demikian, sekali lagi ... sekali-sekali hakim atau majelis tidak boleh memikul konsekuensi tertentu. Yang kedua, persoalan penyalahgunaan makna pengawasan. Pengawasan acap kali diartikan sebagai kekuasaan atau wewenang campur-tangan atau mencampuri (intervention) terhadap lingkungan wewenang atau lingkungan kekuasaan badan atau kekuasaan lain. Pemisahan atau pembagian kekuasaan tidak sekedar pemisahan atau pembagian fungsi, tetapi pemisahan atau pembagian wewenang atau kekuasaan di bidang ketatanegaraan disebut pembagian kekuasaan ketatanegaraan. Masing-masing memiliki lingkungan kekuasaan atau lingkungan wewenang yang mandiri, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan lain. Meskipun ada wewenang pengawasan, tidak berarti membolehkan campur-tangan. Pengawasan hanya berfungsi menunjukkan telah terjadi kesalahan, kesalahan kebijakan atau tindakan, bukan sekaligus wewenang mengambil tindakan. Kalau hal semacam itu dilakukan, berarti mempersatukan satu tangan fungsi pengawasan dan fungsi tindakan yang dapat menuju kesewenangwenangan. Sesuatu yang dilarang dalam sistem organisasi demokratis dan berdasarkan hukum. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis yang saya hormati. Seperti ditulis oleh Frank Cross, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan/atau kebebasan hakim bukanlah kemerdekaan atau kebebebasan tanpa batas. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim diartikan sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam proses yudisial yang meliput. 1. Bebas dari tekanan dari campur-tangan dan rasa takut ketika memeriksa dan memutus perkara. 2. Tidak ada yang dapat menolak melaksanakan putusan hakim, putusan hakim adalah hukum yang wajib ditaati dan dilaksanakan. 3. Hakim tidak dapat digugat dan dituntut dengan alasan putusannya salah atau merugikan orang lain. 4. Hakim tidak boleh dikenakan suatu tindakan seperti penurunan pangkat, diberhentikan karena putusannya. Dalam kaitan ini, izinkan saya mengutip dari buku yang ditulis oleh Prof. G.A Roberts dari Germany yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi An Interaction to German Law. Dia katakan, “The judges are subject to nothing other than the requirements of the law and justice. This principles of independence of judiciary is one of the centra achievement of the rule of law the rechtsstaat. The judge is independent in a double sense. Firstly, no body particulary not the goverment or the ambassador apparatus can dictate to the judge what
19
the season is the case should be. Secondly, the exercise at his judicial function can and may not have personal consequenses for him. Para hakim menurut beliau, tidak tunduk pada apapun kecuali pada ketentuan-ketentuan hukum dan keadilan. Asas kekuasaan kehakiman merdeka merupakan salah satu capaian utama negara konstitusional modern yang berdasarkan hukum atau rechtsstaat. Hakim merdeka, dua makna. Pertama, tidak seorang pun khususnya pemerintah atau aparatur administrasi dapat mendikte hakim dalam memutus suatu perkara. Kedua, pelaksanaan fungsi yudisial tidak dapat dan tidak boleh menimbulkan atau mengakibatkan konsekuensikonsekuensi terhadap hakim yang bersangkutan seperti setelah saya sebutkan di atas. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis. Dalam perkara permohonan yang sedang disidangkan ini, saya dengan sungguhsungguh mohon perhatian yang Mulia dan Anggota Majelis terhadap makna yang kedua yaitu hakim tidak boleh sekali-kali memikul suatu konsekuensi seperti ancaman pidana dalam atau ketika menjalankan fungsi yudisialnya. Asas yang diutarakan Prof. Roberts tidak hanya berlaku di Jerman tapi juga di Indonesia yang secara konstitusional menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum. Meskipun pembentuk undangundang dapat menyatakan bahwa sedang melaksanakan kedaulatan rakyat karena itu undang-undang yang dibentuk telah memenuhi syarat demokrasi, tapi pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak boleh sekali-kali melanggar atau bertentangan dengan sendi-sendi Undang-Undang Dasar 1945 yang … yang lain seperti sendi negara hukum yang antara lain memuat esensial yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan demokrasi atau kedaulatan rakyat dan negara hukum tidak dapat berjalan sendiri-sendiri melainkan sebagai satu kesatuan sehingga disebut negara hukum demokratis, atau democratische rechtsstaat, atau democracy under the rule of law. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis. Janganlah sekali-kali kita seperti perempuan yang menenun kain, setelah selesai dia bongkar atau rusak dan mulai menenun kembali. Demikian yang dilakukannya berulang-ulang. Kita mengatakan akan melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 tetapi dalam kenyataan semua yang kita lakukan justru merusak sendi-sendi, asas-asas, dan kaidah-kaidah Undang-Undang Dasar 1945. Kita menginginkan agar Undang-Undang Dasar 1945 menjadi the living constitution tapi berbagai peraturan yang dibuat dan tindakan-tindakan yang dilakukan justru menjadikan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai the dead constitution. Kitab tenun Undang-Undang Dasar 1945 dengan harapan menjadi penentu menunju antara lain negara hukum yang demokratis tapi perbuatan nyata seperti pembentukan undang-undang bak perempuan penenun yang membongkar dan merusak hasil tenunannya sendiri. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis, demikianlah beberapa catatan kecil yang dapat saya utarakan. Semoga bermanfaat bagi 20
Majelis menemukan putusan yang adil dan benar dalam perkara ini untuk menjamin Undang-Undang Dasar 1945 sebagai the living constitution, bukan the dead constitution. Mohon maaf atas kekurangan dan kalau ada catatan yang berlebihan. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 23.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, terima kasih Prof. Bagir. Dimohon nanti kalau ada yang tertulis tadi Bapak, nanti petugas persidangan akan mengambil kepada Bapak. Silakan, berikutnya Prof. Romli!
24.
AHLI DARI PEMOHON: ROMLI ARTASASMITA Yang terhormat Majelis Konstitusi yang saya hormati, yang saya muliakan seluruh anggota DPR-RI, dan juga wakil dari Pemerintah. Assalamualaikum wr. wb. Keberadaan satu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tentu didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang belum memadai. Dan kedua, ketentuan hukum acara dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 belum sepenuhnya memadai dengan memperhatikan hak anak sebagaimana yang dicantumkan dalam konferensi tentang hak anak yang juga telah diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990. Dalam konvensi PBB tentang perjanjian internasional tahun 1969 juga telah dicantumkan ketentuan yang tidak membolehkan setiap negara peratifikasi untuk tidak melaksanakan ketentuan konvensi dengan alasan bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya. Indonesia telah melaksanakan konvensi hak anak yang telah diratifikasi dan memasukkannya ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahkan dalam perlindungan terhadap hak anak telah diperkuat dengan membentuk Komnas Perlindungan Anak, sehingga dapat ditegaskan bahwa Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah sejalan dengan ketentuan konvensi anak yang bersifat regulatif semata-mata namun tidak ada satu ketentuan pun dalam konvensi tersebut yang mewajibkan setiap negara untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap aparatur hukum yang telah tidak melaksanakan kewajiban memberikan perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana. Konvensi hanya meletakkan kewajiban setiap negara pihak untuk menyusun undang-undang nasional sesuai dengan maksud dan tujuan serta konsisten dengan konvensi dimaksud. Dalam konteks ini implementasi setiap konvensi internasional, termasuk konvesi hak anak, dan kesepakatan internasional lainnya tidak boleh bertentangan atau 21
tidak sejalan dengan ketentuan konvensi internasional lainnya atau kesepakatan internasional seperti Bangalore Principal South of Judicial Conduct yang diadopsi tanggal 27 Juli 2006. Dilihat dari sejarah kelahiran prinsip-prinsip Bangalore tersebut, tentang perilaku aparatur kekuasaan kehakiman, diawali oleh pertemuan Ketua-Ketua Mahkamah Agung dan hakim senior negaranegara anggota PBB pada bulan April, tahun 2000 di Wina. Yang intinya, menyampaikan satu keputusan dari pertemuan. Pertama, The principal of accountability demanded that the national judiciary should assume an active role in strengthening judicial integrity by effecting sistematic reform, such are with judiciary competence and (suara tidak terdengar jelas). Kedua, disebutkan juga dalam keputusan itu. It is recognize the urgent need for universally acceptable statement of judicial standard with consistence with the principal of judicial independence would be capable of being respected and ultimately and force at the national level by the judiciary without the intervention of either the executive or legislative branches of the government. Selanjutnya, dengan kesepakatan tersebut jelas bahwa organ kekuasaan kehakiman harus mengambil langkah-langkah strategis dan memperoleh dan memelihara rasa hormat masyarakat terhadap mereka. Merujuk pada kesepakatan tersebut, maka jelas tidak ada sama sekali kehendak untuk memberikan ancaman hukuman atau sanksi pidana apalagi terhadap pelaku kekuasaan kehakiman, kecuali sanksi pelanggaran kode etik selama menjelang tugas dan wewenangnya dan sanksi pidana. Mungkin hanya dia itu kan para-para hakim yang terbukti meyakinkan, melakukan suatu tindak pidana. Kesepakatan bersama ini bahkan mewajibkan kekuasaan hakim tetap memelihara integritas dan dibebaskan dari intervensi baik eksekutif maupun legislatif. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perubahan ke-4, Bab 9 (Kekuasaan kehakiman). Pasal 24 ayat (1) telah menegaskan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dua kalimat kunci, yaitu kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan merdeka, berarti pilar yudikatif tidak boleh dipengaruhi atau diintervensi perilaku kekuasaan lainnya. Kalimat kedua yang penting menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Yang harus diartikan bahwa ketiadaan pengaruh atau intervensi pilar kekuasaan ahlinya terhadap kekuasaan prerogatif bertujuan agar hakim dapat mewujudkan keadilan tanpa kekhawatiran ancaman dalam bentuk apapun, termasuk sanksi pidana. Apalagi hakim memutus berdasarkan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bab 9 tersebut sejalan dengan prinsip independence of the judiciary yang dicantumkan dalam You and Basic Principal on the Independence of the Judiciary. Yang diadopsi sidang Majelis Umum PBB dengan resolusi Nomor 40/32/Tanggal 29 November/1985. 22
Prinsip satu menegaskan kemerdekaan kekuasaan kehakiman wajib dijamin oleh setiap negara dan tercantum di dalam konstitusinya. Prinsip dua, menegaskan, the judiciary sell decide matters before it impartially on the basis effects and it accordence with the law without any restriction, improper influences, in judgement, pressures, afraid, or interference direct or indirect, from any quarter of any reason. Prinsip kedua semakin menguatkan keyakinan kita bahwa ketentuan pasal-pasal yang diajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi hari ini, jelas-jelas bertentangan … pasal-pasalnya bertentangan dengan standar kemerdekaan kekuasan kehakiman yang diakui universal. Kalimat direct or indirect from any quarter or every any reason menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 telah memenuhi rumusan kategori melalui tindakan-tindakan, pembatasan-pembatasan, mempengaruhi secara tidak patut dengan tekanan atau ancaman atau intervensi terhadap prinsip universal kekuasaan kehakiman. Standar universal tersebut telah juga diakomodasi dalam pedoman perilaku hakim sebagai keputusan bersama, Komisi Yudisial dan juga Mahkamah Agung sebagai konkretisasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 yang telah diubah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial yang bertugas berwenang menguasai perilaku hakim dan SPP ... dan SPP yang ada di Indonesia. Jika dikategorisasi derajat perbuatan pelanggaran atau suatu kewajiban, sebetulnya dari sudut hukum pidana berada pada tataran pelanggaran yang ringan. Bahkan jika dibandingkan dengan perbuatan pelanggaran hukum pidana itu sendiri yang termasuk pelanggaran berat. Merujuk pernyataan ini dan dalam konteks ancaman sanksi pidana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, menegaskan bahwa ancaman sanksi pidana terhadap pelanggaran sebuah kewajiban terlalu berlebihan, bahkan mencerminkan langkah dan kebijakan over kriminalisasi atau boleh saya sebutkan kriminalisasi melampaui batas kepatutan dan sekaligus juga melakukan kebijakan hukum yang bersifat over penalisasi (penalization). Kedua hal tersebut bertentangan secara funda … dengan asasasas fundamental hukum pidana sebagaimana disebutkan oleh [Sic!], dalam bukunya hukum pidana. Yaitu asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas, serta prinsip due process of law dan asas fair and impartial yang diakui secara universal. Penempatan ancaman sanksi pidana terhadap pelanggaran suatu kewajiban yang diperintahkan suatu undang-undang bukan hanya dapat dipandang sebagai overcriminalization dan overpenalization, tetapi juga mencerminkan bentuk intervensi yang mempengaruhi integritas dan kredibilitas, serta kapabilitas kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dari aspek kriminologi, ketentuan ancaman sanksi terhadap perlakuan kekuasaan kehakiman cenderung merupakan proses stigmatization terhadap kedudukan martabat seorang hakim dalam proses peradilan Indonesia.
23
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pengaruh intervensi tersebut hanya … harusnya dimaknai hanya untuk dan demi objektifitas seorang hakim dalam menemukan kebenaran materiil maupun kebenaran formal dalam memeriksa suatu perkara. Dalam konteks ancaman tersebut, maka jelas ancaman sanksi dicantumkan dalam pasal-pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 bukan solusi hukum yang tepat karena maksud dan tujuan undang-undang SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) adalah memperkuat perlindungan hukum terhadap anak yang menghadapi hukum, bukan bertujuan memberikan ancaman pidana para-para hakim. Mekanisme pertanggunganjawab, unsur-unsur SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 menjadi bias karena ketentuan ancaman pidana yang dicantumkan undang-undang tersebut memiliki karakter yang bertentangan secara diametral dengan tujuannya, juga bertentangan dengan tujuan pemidanaan konvensional yang kita kenal dengan pambalasan (retribution), pencegahan (prevention), dan gabungan dari pembalasan dan pencegahan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 justru mengutamakan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan, salah satu angka 6 atau keadilan restoratif yang notabene bertentangan dengan keadilan restributif yang mengutamakan sanksi pidana sebagai satu-satunya solusi di dalam hukum pidana. Untuk mencapai tujuan keadilan restoratif, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pada Anak mengatur ketentuan diversion atau diversi yang didefinisikan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan ke proses di luar peradilan anak, peradilan pidana. Dengan 5 tujuan yang intinya berkarakter-karakter non repressive, hanya semata-mata mengutamakan penekanan secara pidana anak. Merujuk pada karakter dan mekanisme proses peradilan anak dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012, tampak nyata terdapat suatu contradiction interminis dalam pengaturan proses peradilan anak tersebut karena di satu sisi perlakuan terhadap anak harus diutamakan keadaan restoratif dan sejauh mungkin demi dan untuk anak bersifat non repressive, di sisi lain diletakkan kewajiban pada unsur-unsur SPPA termasuk hakim dengan ancaman, disertai ancaman sanksi pidana yang bersifat represif yang nyatanya tidak perlu dan berlebihan. Tentu pertanyaanya bagaimanakah seorang hakim sebagai unsur penentu dalam keadilan restoratif dapat melaksanakan kewajibannya dengan bebas, impartial tanpa khawatir dan ketakutan dan selalu dibayang-bayangi ancaman sanksi yang bersifat represif, sedangkan merujuk pada ketentuan Pasal 8 ayat (3) juncto Pasal 8 ayat (1) juncto Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 bahwa ternyata keberhasilan proses diversi itu tidak semata-mata karena unsur hakim atau penegak hukum lain, tapi 24
melibatkan unsur lain seperti hasil penelitian Bapas, dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat, pelaku dan korbannya. Selain unsur-unsur tersebut juga menentukan faktor-faktor kategori tindak pidana dan faktor residif. Berdasarkan uraian pada angka 1 uraian tersebut di atas, seluruh Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, dapat disimpulkan bahwa keberadaan ketentuan Pasal 96, Pasal 100, Pasal 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di mana Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan kekuasaan kehakiman kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, akan tetapi seorang hakim pun sebagai manusia tentu ... untuk memenuhi tugas tanggung jawabnya sesuai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memerlukan perlindungan dari ancaman, ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya, Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hak asasi di sini dimaksud adalah harus dimaknai sebagai hak asasi seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara selain parsial dan bebas dari intervensi atau pengaruh siapa pun atau dalam keadaan apa pun. Demikian, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, pendapat saya selaku Ahli dalam permohonan pengujian uji materiil hari ini. Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb. 25.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Berikutnya, Prof. Laica.
26.
AHLI DARI PEMOHON: HM. LAICA MARZUKI Majelis Mahkamah Konstitusi yang mulia. Assalamualaikum wr. wb. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 redaksi lama menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Yang Mulia, penjelasan Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang kelak dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946 menegaskan, “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka.” Artinya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. Yang Mulia, pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berdasarkan Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959 mencakup pembukaan, batang tubuh, 37 pasal, aturan peralihan, aturan tambahan, dan penjelasan. Yang Mulia, berdasarkan Pasal II aturan tambahan UndangUndang Dasar Tahun 1945 redaksi baru, penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak ada lagi, the penjelasan is niet meer, de 25
memorie van grondwet is niet meer. Namun, hal kedudukan kekuasaan kehakiman selaku kekuasaan yang merdeka dinyatakan secara normatif konstitusional dalam Pasal 24 ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 redaksi baru yang berbunyi sebagai berikut. “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Ayat (2), “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Yang Mulia, sejak perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di kala sidang tahunan MPR-RI tahun 2001 dimaksud, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kedua-duanya mengemban misi konstitusional dari kekuasaan kehakiman yang merdeka. Yang Mulia, kekuasaan yang merdeka, yang melekat secara inheren pada kekuasaan yang mandiri (zelfstandig) mengandung makna terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan mana pun. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bahkan secara substantif mengemban hal kemandirian (zelfstandig) di dalam dirinya. Kekuasaan kehakiman yang merdeka, saya ulangi, bahkan secara substantif mengemban hal kemandirian, hal zelfstandig dalam dirinya sendiri. Pimpinan kekuasaan kehakiman, termasuk atasan langsung tidak boleh campur tangan dalam suatu perkara yang tengah diadili oleh seorang hakim bawahan. Seorang hakim (jure good behaviour) dijamin kemandiriannya dalam mengadili dan memutus suatu perkara menurut keyakinannya (suara tidak terdengar jelas). Yang Mulia, para hakim penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak boleh mengalami sindrom ketakutan, tidak boleh mengalami sindrom kecemasan, atau ancaman fisik dan psikis di kala menyelenggarakan misi peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Yang Mulia, para hakim berhak dan wajib mendapatkan jaminan perlindungan dan kepastian hukum dalam menyelenggarakan misi konstitusional kekuasaan kehakiman selaku kekuasaan yang merdeka. Indonesia adalah negara hukum yang in casu menjamin para hakim dalam menyelenggarakan misi kekuasaan kehakiman selaku kekuasaan yang merdeka. Yang Mulia, pembentuk undang-undang tidak boleh membuat kaidah undang-undang, tidak boleh membuat wet, gesetz, droit yang pada ketikanya mengancam, mempertakuti, bahkan mengkriminalisasi pada hakim di kala mengadili dan menutup suatu perkara … dan memutus suatu perkara sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan hakim yang mempertimbangkan, keyakinan hakim yang memuat aanzien van het recht suatu perkara menurut hukum dan keadilan tidak boleh dibelenggu oleh sindrom ketakutan, tidak boleh dibelenggu oleh 26
sindrom kecemasan, tidak boleh diberi ancaman kriminalisasi. Apa pun … apa pun maksud yang hendak diterangkan, tetapi dari rumusan ketiga undang-undang yang dipersoalkan ini, secara kejiwaan mengandung kecemasan, mengandung ketakutan, Yang Mulia. Namun terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimohonkan pengujian dalam perkara ini memuat hal sindrom ketakutan, sindrom kecemasan, bahkan ancaman kriminalisasi di kala mengadili dan memutus perkara menurut keyakinannya. Tidak perlu saya bacakan isinya Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Pasal 100 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Pasal 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Yang Mulia, perbuatan mengadilli … perbuatan mengadili seperti halnya yang berlangsung di ruangan Yang Mulia ini, itu merupakan suatu wilsverklaring, merupakan suatu pernyataan kehendak. Pasal … saya ingin mengutip cara berpikir … maaf ya, mengganggu ini. Pasal 1321 dan Pasal 1328BW (Burgerlijk Wetboek) mengatakan suatu wilsverklaring, suatu pernyataan kehendak mengidap juridische gebreken, mengidap suatu cacat yuridis, tatkala pernyataan kehendak itu dirasuki mengidap dualling, dia salah kira, keliru. Tatkala wilsverklaring itu dirasuki oleh paksaan (dwang), tatkala wilsverklaring itu dirasuki oleh perbuatan penipuan. Sehingga, Yang Mulia, dalam perkembangannya, pasal-pasal Burgerlijk Wetboek tersebut bukan hanya dikembangkan dalam perbuatan hukum privat, tapi juga dalam perbuatan hukum publik … juga dalam perbuatan hukum publik. Wilsverklaring dari suatu perbuatan mengadili ya, yang tidak secara bebas, yang tidak secara jernih, yang dilapu … diliputi oleh ketakutan, kecemasan, itu bakal melahirkan putusan yang tidak adil dan lalim. Yang Mulia, pemeriksaan perkara yang berujung pada putusan merupakan jalinan proses … pemeriksaan perkara yang berujung pada putusan merupakan jalinan proses. Kesemuanya merupakan produk pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang bebas. Tidak boleh terhambat oleh ketakutan, tidak boleh terhambat oleh kecemasan, dan paksaan ancaman karena pada ketikanya menghalang penyelenggaraan peradilan dan guna penegakan hukum dan keadilan sebagaimana yang dinyatakan dalam konstitusi. Yang Mulia, saya ingin menyimpulkan ketika pasal UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 yang dimohonkan pengujian adalah inkonstitusional melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Assalamualaikum wr. wb. 27.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, terima kasih, Prof. Laica Marzuki. Yang terakhir untuk hari ini adalah Bapak Dr. Maruarar. Silakan, Pak. 27
28.
AHLI DARI PEMOHON: MARUARAR SIAHAAN Terima kasih, Pak Ketua dan Para Anggota Mahkamah Konstitusi. Bapak-Bapak dari DPR, Pemerintah, serta Para Saksi/Ahli. Mantan Komandan kami ini, jadi kalau dia sudah bicara sudah sempurna sebenarnya, itu sudah tuntas. Murid tinggal jalan. Oleh karena itu, 32 halaman paper saya, saya baca hanya sedikit saja dan dari 19 power point saya, saya kira satu saja saya … saya tampilkan. Memang tidak menarik ini bicara independensi hakim dalam suasana sekarang, saya paham itu. Semua orang mau apa … gemas itu lihat hakim itu, sudah pasti itu. Bagaimana sih mau … mau anu ini membersihkan ini kan. Oleh karena itu semua orang mau, kalau bisa cekek gitu, termasuk ya inilah Pak Nudirman saya minta maaflah, memang kawan kita. Saya menghargai betul sebenarnya itu, bahkan sekarang ini cemas orang. Kalau baca tor-nya KY tahun … tahun berapa … tahun lalu itu tentang hakim, wah sudah mengerikan begitu. Dia tulis di dalam tor itu sudah terjadi jual-beli kan, tentu mereka tidak bicara asal itu. Tetapi menurut saya tidak … tidak mungkin kita memperhatikan situasi sesaat karena ini konsep konstitusi yang disebutkan tadi oleh Pak … Pak Bagir dan Pak Romli. Saya kira itu jugalah konsep yang sudah dikembangkan juga dan menjadi yurisprudensi tetap di Mahkamah Konstitusi, saya kira dalam Putusan Nomor 5 tahun 2006 dan seterusnya yang menyangkut kekuasaan kehakiman bahwa dia bagaimana luas dan kalau kita bicara tentang apa itu pengaruh dari luar, saya mungkin tak betul ini yang saya buat spektrum. Ada suatu … suatu batas tertentu dari independensi itu di mana sebenarnya independensi itu memiliki banyak aspek. Independensi itu tidak berdiri sendiri, dia bukan di ultimate value. Tapi dia maksudnya supaya bisa hakim itu netral impartiality itu. Kalau bisa imparsial tanpa independensi ya sudah, sudah oke saja itu. Tetapi juga menjamin independensi dalam konsep, konsep dahulu itu orang bicara kalau bicara save guard independensi hakim, dia diberi imunitas (imunnity). Jadi ini dalam spektrum yang paling bawah itu atau yang paling samping dia kebal dia terhadap seluruh yang disebutkan Pak Bagir tadi itu. Tapi absolute immunity itu sudah ditinggalkan konsep itu karena memang hakim ya bisa dong kalau dia korup apa enggak bisa ditarik di peradilan. Bisa, praktik itu di seluruh dunia terjadi. Suap bribery, corrupt, itu merupakan suatu aspek yang sudah tidak dibicarakan lagi dengan sendirinya tanpa bicara tentang independensi, akuntabilitas, dan lain sebagainya itu absolute immunity seperti yang pernah dianut di … di sistem lama itu sudah ditinggalkan. Kemungkinan kalau kita misalnya membaca bukunya Mauro Capeletti ini tentang bagaimana praktik di seluruh dunia dan ini literatur yang sungguh banyak di MK begitu. Kalau dilihat di perpustakaan itu Mauro Capeletti The Judicial Process In Comparative Perspective itu 28
semua dia beberkan itu bagaimana independensi dan pertanggungjawaban hakim itu keseluruhan. Jadi tidak bisa tidak dipertanggungjawabkan. Nah, kalau sampai misalnya spektrum ini di … di … dimasuki ancaman-ancaman yang disebutkan oleh Pak … Pak Bagir itu, ya bagaimana dong. Kita mau … saya Pak Nudir, ketua pengadilan tahun 1984 yang menginisiasi pengadilan anak berdasarkan konverensi PBB tentang hak asasi anak itu di suatu pengadilan kecil. Dari … oleh karena itu saya bisa bicara, kalau bahasa Inggrisnya I feel very confident in talking about this topic. Ya, saya bicara itu tetapi persoalan saya apakah memang dalam penyusunan undang-undang ini ada semacam penelitian terlebih dahulu, apa problem. Kalau saya mengatakan di dalam mencoba mencari yang disebutkan restorative justice itu pengalaman kita, kalau posisi daripada para korban dengan yang terdakwa anak itu dari keluarganya sama. Kalau kita mencoba terlalu maju dengan metode yang disebutkan di sini, sekian hari sudah harus begini, pertempuran terjadi. Tetapi kalau posisinya seperti yang terjadi misalnya baru kemarin. Kalau sekiranya anak-anak itu masih masuk kategorinya itu. Kalau anak menteri dengan anak yang rakyat biasa, saya kira dengan mudah ini bisa diselesaikan dengan proses itu. Itulah pengalaman kita. Oleh karena itu, memasuki bidang ini melalui apa yang disebutkan kriminalisasi dan itu gejala perundang-undangan di seluruh dunia, Pak. Overcriminalization, overpenalization, sehingga kadangkadang tidak tahu lagi semua di penalisasi. Saya minta maaf Pak Nudir kalau misalnya DPR tidak menyelesaikan RUU yang sudah ditetapkan dalam proleknas. Boleh enggak, siapa yang mau menyusun mau dipidana kan anggota DPR misalnya. Kira-kira kurang lebih hampir sama itu karena pada waktu hakim menggunakan discrazy-nya menafsir undang-undang dan menafsir fakta yang kadang-kadang di dalam peradilan pidana anak tidak sesederhana itu, menurut saya ya pengalaman saya karena saya yang menjadi pilot project dahulu membangun peradilan anak ketika belum ada semua instrumeninstrumen ini. Kadang-kadang kalau ada ancaman seperti itu bagaimana dong. It takes time, itu butuh juga waktu untuk menafsir tapi saya setuju saja. Di dalam tipologi pertanggungjawaban yang dituntut dari hakim sebagai orang yang dipercaya itu, banyak … banyak yang kita akan lihat. Di dalam sistem sekarang memang tahun-tahun 1980-an, hakim di Indonesia sudah … pada waktu itu ada yang digugat karena putusan hakim sangat merugikan para pihak secara financial. Kemudian ada gugatan terhadap para hakim itu menjadi pembicaraan di Tingkat IKI seluruh Indonesia dan Pak Seno kemudian membuat suatu garis, kalau kesalahan itu dilakukan dalam rangka tugasnya, tetapi bukan karena gross negligence atau kelalaian yang besarlah begitu, kelalaian berat, atau bukan suap dan korupsi, hakim tidak bisa dituntut secara perdata.
29
Tentu tadi juga secara pidana tidak, itu merupakan konsep yang bisa dipidana karena dia korupsi atau suap di dalam pelaksanaan tugasnya. Kita bisa ambil contoh misalnya KUHAP, fair carelessly ability itu kalau hakim salah dalam penahanan di praperadilan kan yang mengambil alih tanggung jawab dan beban itu adalah negara melalui ganti rugi meskipun terbatas. Jadi, fair carelessly ability itu sudah diambil alih di situ. Dan oleh karena itu, saya juga memang di dalam kerangka ini pengawasan hakim barangkali kalau kita baca satu artikel yang terbaru dan saya juga sangat menyarankan sebenarnya Komisi Yudisial mau menggunakan ini. Apa yang disebutkan Galligan itu judging the judges itu, itu the foundation for law, justice, and society, hakim itu bisa melalui pengawasan diluruskan sebenarnya semua. Nah, tipologi daripada sanksi, tidak selalu hanya pidana, tapi disiplin sebagaimana yang dianggap dalam undang-undang (suara tidak terdengar jelas) cukup keras. Bayangkan, hakim agung kok bisa dipecat, ya kan? Tanpa soal pidana dulu, soal pidana nanti kalau itu suap, it’s ok. Tapi dia dewan kehormatan ... Majelis Kehormatan Hakim sudah menjatuhkan itu. Jadi, sanksi discipliner itu dikenal di seluruh dunia juga, tetapi sanksi kriminal. Seperti yang dipergunakan dalam undang-undang ini. Saya belum pernah dengar, begitulah. Agak anu ... kenapa tidak dikenal? Karena sebenarnya putusan-putusan hakim bisa diluruskan, banding, kasasi, PK, pengawasan. Kemudian, dari sisi Komisi Yudisial dia akan melakukan. Dan kalau itu berat, pecat. Itu sudah ... bahkan hakim agung ini, Pak, yang dipecat ini, sudah. Nah, ini merupakan konsep-konsep yang sudah dibicarakan Pak Bagir tadi dengan Pak Romli. Tetapi, sekarang bagaimana mengukur ... ini sebenarnya saya tidak tahu di mana letaknya ini. Satu saja, bagaimana sih mengukur bahwa ini konstitusional atau tidak? Kerangka konseptual Konstitusi sudah diuraikan tadi. Persoalannya, ada satu metode yang digunakan, yaitu proportionality test. Apakah tuntutan yang diajukan oleh Undang-Undang Sistem Peradilan Anak di dalam pasal yang dipermasalahkan itu? Bisa dicapai dengan cara lain atau tidak? Kalau bisa dicapai tanpa menggugat tadi ini yang disebutkan spektrum, independensi ini, maka sebenarnya itu inkonstitusional, begitu, Pak. Itu proportionality test di seluruh Mahkamah Konstitusi. Hampirlah yang kita kenal, barangkali tempat kita selalu mengacu ke Jerman, begitu, itu dipergunakan juga. Nah, berdasarkan itulah, saya mengatakan bahwa pasal ini ada problem Konstitusi, gitu. Mungkin dalam paper saya mengatakan lain, tapi saya kira cukuplah mengatakan bahwa ada problem Konstitusi. Yang ... memang tidak menarik membicarakannya sekarang karena semua orang sesak napas melihat ... apa namanya ... kawan-kawan ini, sehingga saya bisa paham itu, Pak. Barangkali yang belum masalah ya di Mahkamah Konstitusilah, ya kan? Tapi kalau hakim agung sudah dipecat, Pak Bagir, itu sudah memasuki jantung daripada spektrum masalah ini kan? Karena independensi bukan hanya dari kekuasaan, dari ini, ya bukan itu, dari pihak berperkara karena suap, sogok, dan 30
lain sebagainya. Itu yang paling sebenarnya pokok supaya diperoleh impartiality. Saya kira itu yang bisa saya sampaikan, Pak Ketua. Kurang-lebih saya mohon maaf. Terima kasih. 29.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Saya kira sudah cukup jelas, ini sudah jam 13.00 WIB. Oh, ya, ini ada Hakim Muhammad Alim mau tanya. Silakan, Hakim Muhammad Alim.
30.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih, Pak Ketua. Pertanyaan saya, saya tujukan kepada Ahli Prof. Bagir Manan. Begini, Prof., ketika Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu masih menunjuk Mahkamah Agung sebagai yang mengadili sengketa pemilukada, itu oleh Mahkamah Agung dibagi dua. Yang pemilihan walikota dan wakil walikota dan bupati dan wakil bupati, itu diadili oleh pengadilan tinggi. Saya sendiri pernah mengadilinya, Pak ... Pak Prof., waktu saya ... Prof. tugaskan dulu sebagai Ketua Pengadilan Tinggi di Kendari, saya ingat dili ... Pemilukada di Walikota Buton. Nah, lalu yang khusus tingkat provinsi diadili langsung oleh Mahkamah Agung, itu karena Mahkamah Agung punya ... punya kaki tangan di bawah. Ketika wewenang itu dialihkan ke Mahkamah Konstitusi, pembuat undang-undang tidak membentuk undang-undang baru karena ini Mahkamah Konstitusi tidak punya kaki-tangan di bawah, jadi semua diadili di sini. Alhamdulillah, atas pimpinan daripada pimpinan Mahkamah Konstitusi, alhamdulillah, belum pernah ada yang terlambat, jadi tetap. Bahkan oleh pembuat undang-undang, pembentuk undang-undang, dinaikkan dari tadinya tiga hari bisa dipanggil sesudah patut, sekarang harus lima hari. Ini kan, mengurangi. Tapi itu kan, kebijakan … okelah. Alhamdulillah, sampai sekarang enggak pernah telat. Ini persoalannya begini, saya tanyakan, Prof. Prof sebagai bekas Ketua Mahkamah Agung, kalau umpamanya seorang hakim mengatakan, “Begini saja, Prof, daripada saya berbahaya nanti dikriminalisasi, lebih baik jangan tetapkan saya sebagai hakim peradilan anak-anak.” Kalau semua hakim sudah tidak mau mengadili itu, lantas siapa yang mengadili? Apa ketua masih bisa mengadili semuanya? Ini masalah. Ya, kalau sedikit-sedikit perkaranya, oke. Tapi kalau berjumlah banyak, ini bisa masalah. “Daripada saya dikriminalisasi, lebih baik saya berhenti saja, Pak. Jangan ditetapkan saya sebagai hakim yang mengadili yang terdakwanya anak.” Ini masalah. Bagaimana menurut Ahli? Terima kasih.
31
31.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Atau sudah tahu jawabannya juga, kali? Ndak? Ndak perlu dijawab, ya. Bapak berminat menjawab, Pak? Silakan!
32.
AHLI DARI PEMOHON: BAGIR MANAN Ya, Yang Mulia, itulah yang dimaksud oleh kami berempat, hakim tidak boleh sekali-kali mempunyai kecemasan dalam memutus perkara, mengucap perkara, dengan bahasa Yang Mulia tadi, berarti hakim dengan ketentuan semacam itu ada kecemasannya. Segala bentuk kecemasan hakim dalam menjalankan wewenangnya itu melanggar asas kebebasan hakim. Terima kasih.
33.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Sidang-sidang, menurut Majelis, sudah cukup, kecuali Pemerintah maupun DPR mau meminta sidang dibuka lagi. Silakan! Silakan, Pak!
34.
DPR: NUDIRMAN MUNIR Terima kasih, Yang Mulia. Yang dimaksud di sini, ini bukan … dalam ketentuan perundang-undangan ini, bukan dalam proses persidangan, tapi sebelum proses persidangan, ini yang saya lihat agak rancu, sehingga ini dijadikan sama. Padahal, yang dimaksud di sini adalah bahwa sebelum proses persidangan itu, harus diusahakan dilakukan diversi. Bukan waktu persidangan. Waktu persidangan, Majelis Hakim tidak ada sanksi sama sekali. Silakan, kebebasan hakim di situ utuh dan terjaga. Jadi, karena itu, Yang Mulia bahwa mohon dipahami, ini adalah proses sebelum persidangan, di luar persidangan. Terima kasih, Yang Mulia.
35.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Silakan dijelaskan, Pak!
36.
AHLI DARI PEMOHON: ROMLI ARTASASMITA Tadi Pak Nudirman telah menyampaikan sebelum persidangan, tapi ketentuan mengatakan: penyidik, penuntut umum, dan hakim. Tidak dipersoalkan sebelum dan sesudah. Itu satu. Yang kedua, mungkin keliru restorative justice, pengertian diversi yang bertujuan restorative justice, keadilan restoratif, itu harusnya para pihaklah yang menentukan keadilan, bukan hakim. Mereka itu mediasi, sebetulnya, memediasi. Tapi kalau sekarang itu mereka memediasi, kemudian para pihak, pelaku dan korban itu kemudian, katakanlah, 32
harus memulihkan keadaan hubungan baik, tergantung pada para pihak, bagaimana bisa dibebankan, diversi itu dilaksanakan, atau tidak tercapai, tapi dibebankan pada mediator. Kira-kira seperti itulah pemikiran saya. Demikian. 37.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Jadi, di Majelis Hakim nanti yang menyimpulkan, ya. Mau tanya lagi? Silakan, Pak Anwar! Pertanyaan, ya. Kalau pernyataan, nanti di sidang tertutup saja.
38.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Terima kasih, Pak Ketua. Mungkin sekaligus dari Pak Munir tadi bahwa kalau dilihat Pasal 35 yang dijadikan rujukan oleh salah satu pasal yang diuji, Pasal 100 ya, hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) dst. Nah, Pasal 35 ayat (3) itu menyangkut dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), telah berakhir dan hakim belum memberikan putusan. Berarti ini masih … apa … sudah masuk proses peradilan. Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Lalu, saya ke Ahli, Prof. Romli. Melihat dari ketentuan yang dijadikan rujukan oleh beberapa pasal yang diuji, ini sebenarnya sudah ada akibat hukum apabila … ini kan, sudah menyangkut hukum acara. Anak wajib dikeluarkan demi hukum, berarti itu kan, berperan akibat hukum. Nah, lalu di pasal yang diuji ini, dibebankan lagi ancaman hukuman itu kepada hakim atau … itu bagaimana, apakah tidak overload ini. Terima kasih.
39.
AHLI DARI PEMOHON: ROMLI ARTASASMITA Baik. Itu yang saya katakan, Yang Mulia, over kriminalisasi, over penalisasi. Itu seperti itu.
40.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Pak Nudirman mau menjawab, tadi ada klarifikasi pasal itu?
41.
DPR: NUDIRMAN MUNIR Yang Mulia, itulah yang kita maksud bahwa apabila tidak dilaksanakan keadilan restorative justice tadi, dan juga kita melihat bahwa kewajiban yang tidak dilaksanakan. Jadi, bukan persidangannya tetapi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Hakim, anak tadi. Karena ini menyangkut anak-anak, ya jadi ada lex specialis di sini yang memang kita mohonkan demi kepentingan bangsa ini ke depan. Jadi, 33
sama sekali kita tidak ada niat untuk intervensi dalam proses peradilan. Andaikata memang seperti disampaikan oleh Prof. Ramli, mereka tidak mau tetap harus melalui proses peradilan, maka tidak ada kesalahan di situ, tapi penawaran bahwa ada diskresi di situ. Bahwa ada keadilan yang memang baru kita lakukan dalam undang-undang ini, hanya itu, Majelis Yang Mulia. Terima kasih. 42.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, saya kira penjelasan sudah cukup dan petugas persidangan dimohon kepada Para Ahli dan kepada DPR dan Pemerintah tadi ada naskah-naskah yang dibacakan. Sudah, ya? Baik, kalau begitu ada permohonan surat dari … permohonan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk menjadi Pihak Terkait dan ikut menyatakan pendapatnya di dalam perkara ini. Tapi, Majelis Hakim berpendapat karena masalahnya sudah cukup jelas dari DPR, dari Pemerintah, dari Pemohon, maupun Para Ahli, maka kepada KPAI ini akan diminta pendapat tertulis sehingga tidak perlu dikemukakan di dalam sidang, nanti akan segera dikirimi surat agar pendapatnya diajukan tertulis. Nah, untuk itu Pemerintah tidak mengajukan usul sidang lagi? Cukup? Cukup? Baik, DPR juga cukup, ya. Pemohon sudah?
43.
KUASA HUKUM PEMOHON: LILIK MULYADI Cukup, Yang Mulia. Saya dalam kesempatan ini juga ingin Kuasa Hukum sampaikan sudah mengajukan legal opinion yang sudah diserahkan kepada Yang Mulia, dari Prof. Teguh dari Universitas Kristen Setya Wacana dan dari Dr. Alusius dari Universitas Atma Jaya, Jogja. Sudah diserahkan kepada Yang Mulia. Terima kasih, Yang Mulia.
44.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, kalau begitu Majelis Hakim memberi waktu agar pada hari Rabu, tanggal 16 Januari pukul 16.00 WIB, Para Pihak, Pemohon, Pemerintah, dan DPR menyampaikan kesimpulan ke Kepaniteraan tanpa melalui sidang resmi yang manakala pada saat tersebut tidak menyerahkan kesimpulan, berarti semua yang muncul di persidangan ini fakta-fakta yang muncul di persidangan ini menjadi bahan sepenuhnya dari Majelis Hakim tanpa mempertimbangkan kesimpulan Para Pihak, sehingga nanti vonisnya akan berdasarkan pada bahanbahan yang masuk di persidangan ini.
34
Dengan demikian sidang hari ini dinyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.10 WIB
Jakarta, 9 Januari 2013 Kepala Sub Bagian Risalah,
t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
35