Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2009/2010
SK - 01
PENGUJIAN SENYAWA SANTON SEBAGAI ANTIMALARIA DENGAN METODE VOLTAMETRI SIKLIS
Mega Vania*, Taslim Ersam1, Suprapto2 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Pengujian senyawa santon sebagai antimalaria dapat dilakukan secara voltametri siklis. Senyawa santon yang diuji dalam penelitian ini adalah senyawa β-mangostin dan 3-isomangostin. Senyawa antimalaria yang digunakan sebagai pembanding adalah klorokuin serta senyawa-senyawa turunan santon dan biflavonoid yang telah diketahui tingkat keaktifannya. Elektroda kerja yang digunakan dalam uji voltametri siklis adalah elektroda emas, kabon dan polipirol + politiofen yang akan dibandingkan sensitivitas kerjanya dalam menguji senyawa antimalaria turunan santon. Pengujian dilakukan menggunakan Potensiostat yang dijalankan dengan scan rate sebesar 100 mV/s dan range potensial antara -1 V hingga 1 V. Pengujian voltametri siklis dengan elektroda kerja emas memiliki sensitivitas paling tinggi dengan menunjukkan besar puncak oksidasi lebih besar dibandingkan dengan kedua elektroda lainnya. Sehingga urutan sensitivitas elektrodanya dari yang paling besar ke paling kecil adalah elektroda emas, karbon dan polipirol + politiofen. Kata kunci: Voltametri siklis, antimalaria, santon, polipirol.
ABSTRACT Assays of xanthone compounds as antimalarial agent has been carried out by cyclic voltammetric method. Xanthone compounds investigated were β-mangosteen and 3-isomangosteen. The antimalarial compound that used as reference compound were chloroquine, derivates of xanthone and biflavonoid that the level of antimalarial activity were have been known. Working electrodes used in the cyclic voltammetric assays were gold, carbon and polypyrrole + polythiophene, were compared each other to find out the sensitivity to the compounds. Investigated potensiostat were operated at scan rate 100 mV.s-1 and potential range from -1 V to 1 V. The assays showed that gold electrode has the highest sensitivity compared to carbon and polypyrrole + polythiophene electrodes. Thus, the order of the sensitivity of electrodes from the highest to the lowest was gold, carbon and polypyrrole + polythiophene electrode. Key words: Cyclic voltammetry, antimalarial, xanthone, polypyrrole.
I. PENDAHULUAN Sensor didefinisikan sebagai alat yang dapat menangkap atau memfiltrasi fenomena fisik maupun kimia kemudian mengubahnya menjadi sinyal elektrik baik berupa arus listrik maupun tegangan listrik sehingga diperoleh suatu keluaran yang dapat diinterpretasikan menjadi data yang dapat diolah lebih lanjut. Fenomena kimia yang dapat diamati dapat berupa konsentrasi dari bahan-bahan kimia, baik cair maupun berupa gas. Aplikasi penggunaan sensor telah mengalami banyak perkembangan. Sensor sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu bio-sensor dan kemo-sensor. Bio-sensor melibatkan aktifitas enzimatik yang terjadi pada membran yang berisi unsur biologis seperti jaringan, jasad renik, organel, enzim, antibodi serta asam nukleat yang telah diimobilisasi. Sedangkan kemo-sensor adalah sensor yang * Corresponding author Phone : +6285645848534, e-mail:
[email protected] 1 Alamat sekarang : Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. 2 Alamat sekarang : Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
berfungsi megkonversi respon kimia ke dalam sinyal listrik tanpa melibatkan aktifitas enzimatik seperti pada bio-sensor, misalnya elektroda selektif ion yang diaplikasikan dalam industri makanan dan dunia kesehatan. Gugusan sensor dalam penelitian ini digunakan untuk menguji senyawa antimalaria secara voltametri siklis untuk senyawa-senyawa yang telah diketahui aktivitas antimalarianya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai korelasi antara bioaktivitas dan sifat elektrokimia dari senyawa-senyawa antimalaria yang diteliti secara voltametri siklis (H. M. Mohammad, 2009). Obat dapat mengalami biotransformasi dalam hubungannya dengan metabolismenya dalam tubuh manusia. Metabolisme obat di dalam tubuh manusia dapat mengalami reaksi yaitu reaksi metabolik dan konjugatif. Obat yang mengalami reaksi metabolik dalam tubuh dapat mengalami oksidasi, reduksi maupun hidrolisis. Sedangkan apabila senyawa hasil metabolisme obat bereaksi dengan senyawa lain seperti asam amino (glisin, glutamine dan asam glukuronat) maka obat tersebut dikatakan mengalami reaksi konjugasi (Faber, 1953). Fakta ilmiah itulah yang
dapat dijadikan sebagai dasar pengujian senyawa-senyawa antimalaria dengan metode voltametri siklis. II. METODE PENELITIAN 2.1 Peralatan dan bahan 2.1.1 Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperangkat peralatan potensiostat untuk mengukur sinyal yang dihasilkan sampel, sel elektroda yang terdiri dari elektroda kerja yaitu elektroda emas, elektroda polipirol dan elektroda polipirol plus politiofen (Gambar 3.1); elektroda pembanding yaitu Ag/AgCl, serta elektroda bantu yaitu platina dan Ag/AgCl; multimeter untuk mengukur resistansi dari polimer konduktif dan peralatan gelas. Peralatan lain yang digunakan untuk preparasi sampel seperti gelas kimia, gelas ukur, labu ukur 50 mL, kaca arloji, neraca digital, pipet tetes, botol ampul, pipet volume, pro pipet, spatula, chamber, dan botol gelap.
(a) (b) (c) Gambar 3.1 Elektroda-elektroda yang digunakan, yaitu elektroda emas (a), elektroda polipirol + politiofen dan elektroda karbon (c). 2.1.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : senyawa β-mangostin, 3-isomangostin, 1,6dihidroksi-2,5,7 trimetoksi(3,3’:3,4)dimetilpiransanton (diberi label 1); 1,4-dihidroksi-3’,3’-dimetil-2Hpiran[6,7]santon (diberi label 2); 1,6-dihidroksi-5,7dimetoksi-(3’,3’:3,4) (diberi label 3), 5,7,4’,5”,7”,3’”,4’”heptahidroksi-2’”-metoksi-flavonon(3,8”) (diberi label 4); 5,7,4’,5”,7”,3’”,4’”-heptahidroksi-flavonon [3,8”] (diberi 5); GB-1a (diberi label 6), KCl, metanol, aquades, KNO30,1 M dan K3Fe(CN)6 10 mM. 2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Pembuatan Larutan Sampel dan Standar Santon dan Biflavonoid Larutan stok untuk masing-masing senyawa dibuat dalam labu ukur 50 mL. Senyawa-senyawa yang akan dijadikan larutan sampel adalah senyawa santon yaitu βmangostin dan iso-3-mangostin. Senyawa β-mangostin ditimbang sebanyak 0,0005 gram kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur untuk membuat larutan dengan konsentrasi 10 ppm. Kemudian metanol yang telah dijenuhkan dengan KCl ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam labu ukur hingga tanda batas. Larutan senyawa β-mangostin dibuat variasi konsentrasi dari 10 ppm, 8 ppm, 6 ppm, 4 ppm, dan 2 ppm yang dibuat dari pengenceran larutan stok 10 ppm. Ditambahkan 0,5 mL aquades yang telah dijenuhkan dengan KCl ke dalam masing-masing larutan sampel. Larutan sampel yang telah dibuat kemudian disimpan dalam botol gelap yang telah diberi label. Larutan untuk senyawa 3isomangostin dibuat dengan cara yang sama. Larutan lain yang dibuat adalah larutan standar klorokuin dan standar baik santon maupun biflavonoid. Larutan dari senyawa-senyawa tersebut dibuat dengan cara yang sama dengan seperti pada pembuatan larutan senyawa β-mangostin dan 3-isomangostin dengan konsentrasi 10 ppm. Jumlah masing-masing larutan standar untuk senyawa santon dan biflavonoid adalah sebanyak tiga buah senyawa. Masing-masing senyawa ditimbang sebesar 0,0005 gram dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL. Kemudian Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
ditambahkan 0,5 mL aquades yang telah dijenuhkan dengan KCl dan ditambahkan pula dengan metanol yang telah dijenuhkan dengan KCl hingga tanda batas. Larutan standar yang telah dibuat kemudian disimpan dalam botol gelap yang telah diberi label.
2.2.2 Voltametri Siklis Sampel pada Elektroda Emas, Elektroda Polipirol + Politiofen dan Elektroda Karbon Peralatan komputer dan Potensiostat PG 310 USB dinyalakan, kemudian dilakukan pengaturan pada Potmaster EC Tool dengan mengisikan “initial potential” sebesar 1000 mV/s, “reversal potential” sebesar 1000 mV/s, “final potential” sebesar -1000 mV/s, cycle, “increment” sebesar 0 mV/s, “scan rate” sebesar 100 mV/s, dan “hold for” sebesar 3 s. Masing-masing elektroda yaitu emas sebagai elektroda kerja, platina sebagai elektroda bantu dan Ag/AgCl sebagai elektroda pembanding, dipasang pada potensiostat menggunakan kabel gigi buaya dan dipasang pada penyangga yang telah disiapkan. Sambungan masingmasing elektroda pada potensiostat dan ujung elektroda menggunakan multimeter. Jika multimeter berbunyi, maka hal tersebut menunjukkan bahwa antara potensiostat dengan elektroda telah tersambung dengan baik. Kemudian dilakukan pengukuran voltamogram pada larutan K3Fe(CN)6 10 mM dalam KNO3 0,1 M , di mana larutan tersebut dimasukkan terlebih dahulu ke dalam chamber yang telah dibersihkan. Jika semua preparasi telah selesai dilakukan, maka pengukuran dimulai dengan menekan icon “measure” pada EC Tool. Untuk pengukuran selanjutnya, maka ketiga elektroda dicuci dengan aquades dan diangin-anginkan hingga kering. Begitu pula dengan chamber yang digunakan sebagai wadah larutan K3Fe(CN)6 harus dicuci terlebih dahulu dengan aquades dan metanol. Pengukuran yang dilakukan selanjutnya adalah pengukuran terhadap sampel yang telah dibuat, menggunakan elektroda kerja yang berbeda (Gambar 3.2). Sampel larutan yang digunakan antara lain 3-isomangostin, β-mangostin, klorokuin, senyawa standar santon dan biflavonoid. Larutan lain yang diukur voltamogram siklisnya adalah larutan blanko yang terdiri dari 50 mL metanol yang telah jenuh KCl dan 0,5 mL aquades yang telah jenuh KCl. Perlakuan pengukurannya sama seperti pada saat pengukuran pada larutan K3Fe(CN)6 sehingga akan didapatkan voltamogram siklis untuk masing-masing larutan sampel.
(a)
(b) (c) Gambar 3.2 Pengukuran larutan sampel menggunakan elektroda emas (a), elektroda polipirol (b) dan elektroda karbon (c) secara voltametri siklis.
Pengukuran voltametri siklis untuk masing-masing senyawa pada elektroda polipirol + politiofen dan elektroda karbon dilakukan dengan perlakuan yang sama. III. Hasil dan pembahasan 3.1 Hasil Uji Pendahuluan Voltametri Siklik dengan K3Fe(CN)6 Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kinerja potensiostat dan sel elektrokimia yang digunakan dalam analisis sampel secara voltametri siklis. Pengujian dilakukan dengan elektroda kerja, elektroda pembanding dan elektroda bantu, di mana elektroda kerjanya divariasi yaitu dengan elektroda emas, elektroda polipirol + politiofen dan elektroda karbon. Variasi elektroda kerja yang digunakan bertujuan untuk mengetahui elektroda mana yang memiliki sensitivitas yang paling besar dalam pengukuran senyawa antimalaria. Elektroda pembanding yang digunakan adalah Ag/AgCl jenuh, di mana fungsinya adalah sebagai pengukur potensial, sedangkan elektroda bantu yang digunakan adalah kawat Pt, di mana fungsinya adalah untuk mengalirkan arus agar tidak ada arus yang mengalir pada elektroda pembanding. Larutan yang digunakan untuk pengujian awal adalah larutan K3Fe(CN)610 mM dalam KNO3 0,1 M. Potensiostat diatur pada potensial awal -1 Volt, potensial balik 1 Volt dan potensial akhirnya -1 Volt, serta scan rate sebesar 100 mV/s. Rentang potensial tersebut digunakan karena air yang terdapat dalam larutan sampel akan teroksidasi pada potensial sekitar +1 V dan akan tereduksi pada potensial sekitar -1 V, sehingga diharapkan dengan rentang potensial tersebut arus puncak oksidasi maupun reduksi air tidak muncul. Sedangkan scan rate akan berpengaruh pada posisi titik-titik dari voltamogram sehingga akan sangat menentukan bentuk voltamogram yang dihasilkan tanpa mengubah potensial di mana akan muncul puncak oksidasi maupun reduksi dari analit. Fungsi penggunaan larutan K3Fe(CN)6 dalam pengujian awal voltametri siklis ini adalah untuk mengetahui apakah gugusan sensor yang disiapkan sudah dapat digunakan untuk mengukur sampel atau belum, di mana indikatornya terletak pada muncul tidaknya arus puncak oksidasi maupun reduksi pada pengukuran larutan K3Fe(CN)6. Larutan K3Fe(CN)6 mempunyai potensial oksidasi dan reduksi di antara +1 Volt dan -1 Volt. Hal inilah yang dijadikan alasan pemilihan larutan K3Fe(CN)6 sebagai larutan pengujian awal voltametri siklis.
(a)
(b)
(c) Gambar 4.1 Voltamogram siklis pengujian K3Fe(CN)6, pada elektroda emas (a), elektroda polipirol + politiofen (b), dan elektroda karbon (c). Gambar 4.1 menunjukkan hasil pengujian voltametri siklis pada larutan K3Fe(CN)6 10 mM dalam KNO3 0,1 M, di mana didapatkan satu arus puncak oksidasi dan satu arus Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
puncak reduksi untuk pengukuran pada elektroda emas, polipirol + politiofen dan karbon. Hal tersebut menunjukkan bahwa gugusan sensor tersebut telah dapat digunakan untuk menguji sampel yang akan diuji. Jika pengujian terhadap larutan K3Fe(CN)6 belum menghasilkan puncak oksidasi dan atau reduksi, maka sensor belum dapat digunakan untuk menguji sampel. Reaksi oksidasi dan reduksi pada larutan K3Fe(CN)6 dapat dijelaskan sebagai berikut : Fe(CN)6-3 + e-
Fe(CN)6-4
3.2 Hasil Pengukuran Voltametri Siklis 3.2.1 Voltametri Siklis Senyawa Standar Santon dan Biflavonoid Perlakuan selanjutnya setelah pengujian sensor menggunakan larutan K3Fe(CN)6 adalah pengukuran sampel secara voltametri siklis menggunakan gugusan sensor yang sebelumnya telah digunakan untuk menguji larutan K3Fe(CN)6. Larutan yang diguji dalam penelitian ini dilarutkan ke dalam metanol karena senyawa tersebut bersifat polar dan metanol memiliki konstanta dielektrik yang kecil sehingga tidak mudah teroksidasi maupun tereduksi selama proses pengukuran. Kemudian penambahan KCl jenuh ke dalam larutan sampel berfungsi untuk membantu pertukaran elektron atau muatan di dalam sistem elektrokimia yang terjadi pada sensor, atau dengan kata lain membuat larutan sampel menjadi bersifat elektrolit. Penambahan aquades ke dalam larutan sampel awalnya berfungsi untuk melarutkan KCl yang hanya dapat larut sedikit di dalam metanol. Semakin banyak KCl yang larut dalam larutan sampel dapat mempermudah aliran elektron serta muatan terjadi. Senyawa awal yang diuji adalah senyawa-senyawa standar santon dan biflavonoid yang telah diketahui aktivitasnya terhadap parasit P. falciparum. Senyawa standar santon dan biflavonoid pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara bioaktivitas senyawa antimalaria dengan sifat-sifat elektrokimianya yaitu arus puncak oksidasi dan reduksi serta potensial puncak oksidasi dan reduksi. Kedua kelompok senyawa tersebut memiliki tingkat bioaktivitas berbeda-beda terhadap parasit P. falciparum, di mana aktivitasnya dapat dilihat dari harga IC50. Senyawa standar 1 memiliki IC50 sebesar 0,006 µg/mL, senyawa standar 2 memiliki IC50 sebesar 0,02 µg/mL, senyawa standar 3 memiliki IC50 sebesar 0,642 µg/mL, senyawa standar 4 memiliki IC50 sebesar 0,0004 µg/mL, senyawa standar 5 memiliki IC50 sebesar 0,011 µg/mL dan senyawa standar 6 memiliki IC50 sebesar 0,34 µg/mL. IC50 yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan aktif tidaknya suatu senyawa terhadap P. falciparum adalah dibandingkan dengan IC50 klorokuin yaitu 0,03 µg/mL. Sehingga dari data tersebut dapat dilihat bahwa senyawa standar 1, 2, 4 dan 5 bersifat aktif sedangkan senyawa standar 3 dan 6 tidak bersifat aktif. Voltamogram siklis dari masing-masing senyawa standar tersebut baik santon maupun biflavonoid yang diukur pada elektroda emas, elektroda polipirol + politiofen dan elektroda karbon dapat dilihat pada Gambar 4.2, Gambar 4.3, Gambar 4.4, Gambar 4.5, Gambar 4.6 dan Gambar 4.7. 1). Senyawa Standar 1 (1,6-dihidroksi-2,5,7-trimetoksi (3’,3’: 3,4)dimetilpiransanton)
(a)
(b)
(c)
(c)
Gambar 4.2 Voltametri siklis senyawa standar 1 yang diukur pada elektroda kerja emas (a), polipirol + politiofen (b) dan karbon (c).
Gambar 4.5 Voltametri siklis senyawa standar 4 yang diukur pada elektroda kerja emas (a), polipirol + politiofen (b) dan karbon (c).
2). Senyawa Standar 2 (1,4-dihidroksi-3’,3’-dimetil-2Hpiran[6,7]-santon)
(a)
(b)
5).Senyawa Standar 5 (5,7,4’,5”,7”,3’”,4’”-heptahidroksi flavonon[3,8”]flavon)
(a)
(b)
(c)
(c)
Gambar 4.3 Voltametri siklis senyawa standar 2 yang diukur pada elektroda kerja emas (a), polipirol + politiofen (b) dan karbon (c).
Gambar 4.6 Voltametri siklis senyawa standar 5 yang diukur pada elektroda kerja emas (a), polipirol + politiofen (b) dan karbon (c). 6). Senyawa Standar 6 (GB-1a)
3). Senyawa Standar 3 (1,6-dihidroksi-5,7-dimetoksi(3’,3’: 3,4)dimetilpiranosanton) 0.001 ) A 0.00 05 µ ( s ru A
Serie s1
0 -2
0
(a)
(b)
2
-0.000Potensial 5 (V)
(a)
(b)
(c) Gambar 4.7 Voltametri siklis senyawa standar 6 yang diukur pada elektroda kerja emas (a), polipirol + politiofen (b) dan karbon (c).
(c) Gambar 4.4 Voltametri siklis senyawa standar 3 yang diukur pada elektroda kerja emas (a), polipirol + politiofen (b) dan karbon (c). 4). Senyawa Standar 4 (5,7,4’,5”,7”,3’”,4’”heptahidroksi-2’”-metoksi-flavonon(3,8”)flavon)
(a)
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
(b)
Dari semua gambar voltamogram siklis untuk senyawa standar santon dan biflavonoid yang diukur pada elektroda emas, polipirol + politiofen dan karbon menunjukkan adanya satu arus puncak oksidasi. Dengan cara yang sama untuk perhitungan arus puncak oksidasi pada senyawa β-mangostin dan 3-isomangostin maka didapatkan besar arus puncak oksidasi untuk senyawa standar tersebut. Data arus dan potensial puncak oksidasi dapat dilihat pada Tabel 4.1.
elektroda emas senyawa Ipa (µA) 0.00045 0.00025 0.0002167 0.00015 0.000105 0.00036
elektroda karbon Ipa (µA) 0.00003 0.000025 0.00002 0.00003 0.00003 0.000028
Epa (V) -0.25 -0.25 -0.25 -0.25 -0.25 -0.25
elektroda emas 1
6
0.0005 0.0004 0.0003 0.0002 0.0001 0
elektroda emas 0.642 0.02 0.006 0
0.0001 0.0002 0.0003 0.0004 0.0005 Ipa (µA)
(a)
elektroda polipirol + politiofen IC50 (µg/mL)
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa urutan sensitivitas elektroda terhadap senyawa standar santon dan biflavonoid dimulai dari yang paling besar menuju ke kecil adalah elektroda emas, elektroda karbon kemudian elektroda polipirol + politiofen. Senyawa 1, 2, 4 dan 5 yang bersifat aktif sebagai antimalaria menghasilkan arus puncak oksidasi yang berbeda-beda. Begitu juga dengan senyawa 3 dan 6 yang tidak aktif sebagai antimalaria, arus puncak oksidasi yang dihasilkan berbeda-beda, di mana diperlukan pengolahan data lebih lanjut untuk dapat mengetahui hubungan antara aktivitas antimalaria dengan besarnya arus puncak oksidasi yang diperoleh. Besarnya arus puncak oksidasi pada senyawasenyawa standar dapat juga digambarkan dengan radar plot untuk masing-masing elektroda (Gambar 4.8).
0.642 0.02 0.006 0.000011 0 .000012 0.000013 0.000014 0 .000015 0.000016 Ipa (µA)
2 ARUS PUNCAK OKSIDASI
5
(b)
3
elektroda karbon (a)
elektroda polipirol + politiofen 1
IC50 (µg/mL)
4
0.642 0.02 0.006
0.0005 6
0.0003
0
2
0.00001
0.0001 -1E-04 5
0.00002
0.00003
0.00004
Ipa (µA)
ARUS PUNCAK OKSIDASI
(c)
3
4
Gambar 4.9 Hubungan IC50 dengan arus puncak oksidasi pada senyawa standar 1, 2 dan 3 pada elektroda emas (a), elektroda polipirol + politiofen (b) dan elektroda karbon (c).
(b) elektroda karbon
elektroda emas
1 6
0.0005 0.0003 0.0001 -1E-04
2 ARUS PUNCAK OKSIDASI
5
3 4
IC50 (µg/mL)
1 2 3 4 5 6
Epa (V) 0.48 0.5 0.48 0.48 0.48 0.48
elektroda polipirol+politiofen Epa Ipa (µA) (V) 0.000015 0.52 0.000015 0.55 0.0000125 0.48 0.00001 0.7 0.0001 0.4 0.00001 0.52
Radar plot pada Gambar 4.8 menunjukkan bahwa luas daerah di bawah radar plot pada elektroda emas adalah yang paling besar dibandingkan luas daerah radar plot pada elektroda polipirol + politiofen dan elektroda karbon. Hal ini menunjukkan bahwa elektroda emas memiliki sensitivitas yang paling besar terhadap senyawa standar santon dan biflavonoid dibandingkan dengan elektroda polipirol + politiofen dan elektroda karbon. Pengolahan data lebih lanjut dilakukan dengan cara menampilkan harga IC50 dengan besar arus puncak oksidasi dalam bentuk kurva batang, di mana masingmasing kurva memuat kelompok senyawa standar yang berbeda yaitu santon dan biflavonoid. Kurva batang yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.9, di mana IC50 sebagai sumbu X dan arus puncak oksidasi (Ipa) sebagai sumbu Y (Gambar 4.15)
IC50 (µg/mL)
Tabel 4.1 Data arus dan potensial puncak oksidasi hasil pengukuran dan perhitungan untuk senyawa-senyawa standar santon dan biflavonoid.
0.34 0.011 0.004 0
(c) Gambar 4.8 Radar plot besar arus puncak oksidasi untuk senyawa standar santon dan biflavonoid pada elektroda emas (a), elektroda polipirol + politiofen (b) dan elektroda karbon (c).
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
0.0001
0.0002 Ipa (µA)
(a)
0.0003
0.0004
IC50 (µg/mL)
elektroda polipirol + politiofen 0.34 0.011 0.004 0
0.00005
0.0001
0.00015
0.0002
Ipa (µA)
Dari ketiga hasil pengukuran senyawa standar baik santon maupun biflavonoid, maka dapat disimpulkan bahwa sifat elektrokimia dari masing-masing senyawa antimalaria berbeda dilihat dari besar arus puncak oksidasi serta terdapat hubungan antara aktivitas antimalaria dengan arus puncak oksidasi yang dihasilkan oleh senyawa yang diuji. Hal tersebut dapat memberikan informasi bahwa salah satu bentuk interaksi obat dan penyakit di dalam tubuh memang melibatkan reaksi oksidasi.
(b)
I50 (µg/mL)
elektroda karbon 0.34 0.011 0.004 0.0000270.0000270.0000280.0000280.0000290.0000290.000030.000030 Ipa (µA)
(c) Gambar 4.10 Hubungan (IC50) dengan arus puncak oksidasi pada senyawa standar 4, 5 dan 6 pada elektroda emas (a), elektroda polipirol + politiofen (b) dan elektroda karbon (c). Dari hasil diagram batang pada Gambar 4.9 dan 4.10 dapat dilihat bahwa pengukuran senyawa standar santon pada elektroda emas menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas antimalarianya dengan besarnya arus puncak oksidasi yang dihasilkan. Semakin besar harga IC50 senyawa santon yang diuji, maka semakin kecil besar arus puncak oksidasinya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tidak aktif senyawa santon yang diuji, maka semakin kecil besar arus puncak oksidasi yang dihasilkan. Sedangkan hubungan antara aktivitas antimalaria dan besar arus puncak oksidasi untuk senyawa-senyawa biflavonoid pada elektroda emas tidak menunjukkan suatu keteraturan. Sehingga disimpulkan bahwa pengukuran aktivitas untuk senyawa biflavonoid pada elektroda emas tidak dapat dilakukan. Respon masing-masing senyawa berbeda pada setiap elektroda. Respon senyawa santon pada elektroda polipirol + politofen menunjukkan bahwa semakin besar aktivitas senyawa santon yang diuji, maka semakin kecil arus puncak oksidasinya, atau dengan kata lain aktivitas berbanding terbalik dengan arus puncak oksidasi. Sedangkan respon senyawa biflavonoid pada elektroda ini berlawanan dengan hasil untuk senyawa santon. Untuk senyawa biflavonoid, semakin besar aktivitas senyawanya, maka semakin besar pula arus puncak oksidasi yang dihasilkan. Respon senyawa santon dan biflavonoid pada elektroda karbon menunjukkan bahwa semakin besar IC50, maka semakin kecil arus puncak oksidasi yang dihasilkan atau dengan kata lain semakin kecil aktivitas senyawanya, maka semakin kecil pula arus puncak oksidasi yang dihasilkan. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa hubungan antara aktivitas dengan arus puncak oksidasi adalah berbanding lurus. Elektroda yang dipilih untuk mengukur IC50 dari senyawa yang diuji adalah elektroda emas karena elektroda tersebut dapat memberikan keteraturan hubungan antara harga IC50 yang menunjukkan aktivitas sebagai antimalaria, dengan besarnya arus puncak oksidasi senyawa tersebut. Selain itu elektroda emas memiliki sensitivitas yang paling besar dibandingkan dengan elektroda karbon dan elektroda polipirol + politiofen, di mana sensitivitas masing-masing senyawa dapat dilihat pada Gambar 4.5. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
3.2.2 Voltamogram Siklis Senyawa β-mangostin dan 3isomangostin Senyawa-senyawa sampel yang diuji adalah βmangostin dan 3-isomangostin. Kedua senyawa uji tersebut merupakan senyawa turunan santon yang teroksigenasi dan terprenilasi. Keduanya diuji menggunakan gugusan sensor dengan metode voltametri siklis yang akan menghasilkan voltamogram siklis. Voltamogram siklis akan memberikan informasi tentang arus puncak oksidasi dan reduksi serta potensial puncak oksidasi dan reduksi yang dihasilkan dari pengukuran senyawa-senyawa yang diuji atau dengan kata lain voltamogram siklis dapat menunjukkan sifat-sifat elektrokimia dari masing-masing senyawa. Senyawasenyawa sampel tersebut divariasi konsentrasi dari 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm. Variasi konsentrasi ini dilakukan untuk mengetahui sensitivitas masing-masing elektroda terhadap senyawa yang diuji. Voltamogram siklis yang dihasilkan oleh senyawa β-mangostin yang diukur pada elektroda emas, elektroda polipirol + politiofen dan elektroda karbon dengan variasi konsentrasi 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm dapat dilihat pada Gambar 4.11. 1). Senyawa β-mangostin
(a)
(b)
(c) Gambar 4.11 Voltamogram siklis senyawa βmangostin yang diukur pada elektroda kerja emas (a), polipirol + politiofen (b) dan karbon (c). Voltamogram siklis hasil pengukuran senyawa βmangostin pada ketiga elektroda (Gambar 4.11) memberikan respon yang berbeda-beda. Dari data voltamogram siklisnya, dapat diketahui bahwa senyawa β-mangostin akan mengalami reaksi oksidasi selama proses pengukuran. Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 4.12.
O
OH
[O]
O
HO
O
OMe
O
O
O
O
O
OMe
OH
O
HO
HO
OMe
O
OH
O
[O]
MeO
HO
OH
O
(c) O
O
OH
[O]
O
O
OH
O O
HO
HO
OMe
O
O
OMe
Gambar 4.12 Kemungkinan reaksi oksidasi yang terjadi pada senyawa β-mangostin selama proses pengukuran. Reaksi oksidasi yang mungkin terjadi pada senyawa β-mangostin selama pengukuran ditunjukkan pada Gambar 4.3, di mana gugus-gugus fungsi pada senyawa βmangostin yang diperkirakan akan mengalami oksidasi adalah gugus hidroksi, prenil dan metoksi. Gugus hidroksi akan teroksidasi menjadi kabonil keton, gugus prenil akan teroksidasi menjadi epoksida dan gugus metoksi akan teroksidasi menjadi alkohol. Dari data voltamogram siklis yang diperoleh dapat dihitung besarnya arus dan potensial puncak oksidasi yang dihasilkan. Besarnya arus dan potensial puncak oksidasi dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini : Tabel 4.2 Data arus dan potensial puncak oksidasi hasil pengukuran dan perhitungan untuk senyawa βmangostin.
Gambar 4.13 Voltamogram siklis senyawa 3isomangostin yang diukur pada elektroda kerja emas (a), polipirol + politiofen (b) dan karbon (c). Dari voltamogram siklis yang diperoleh pada ketiga elektroda untuk senyawa 3-isomangostin (Gambar 4.13) dapat dilihat bahwa ternyata pada pengukuran senyawa ini pun bentuk respon voltamogram yang diperoleh juga sama dengan pengukuran sebelumnya yaitu pada senyawa β-mangostin. Hal ini menunjukkan bahwa masingmasing elektroda tidak selektif terhadap senyawa βmangostin dan 3-isomangostin. Jika masing-masing elektroda selektif terhadap senyawa yang diuji, maka respon voltamogram yang dihasilkan akan mempunyai bentuk yang berbeda pada tiap elektroda. Voltamogram siklis tersebut juga menunjukkan bahwa senyawa 3-isomangostin juga mengalami reaksi oksidasi selama proses pengukuran. Senyawa 3-isomangostin memiliki gugus fungsi yang sama dengan senyawa β-mangostin, sehingga kemungkinan reaksi oksidasi yang terjadi pada senyawa ini juga sama. Reaksi oksidasi yang terjadi pada senyawa dapat dilihat pada Gambar 4.14 berikut ini :
O
OH
O
[O]
O
konsentrasi (ppm) 2 4 6 8 10
elektroda emas Ipa(µA) 0.0001 0.00012 0.0003 0.00052 0.00085
Epa (V) 0.52 0.52 0.65 0.65 0.25
elektroda polipirol+politiofen Epa Ipa(µA) (V) 0.00008 0.2 0.00002 0.2 0.000025 0.8 0.00003 0.7 0.00002 0.65
elektroda karbon Ipa (µA) 0.00003 0.00003 0.00003 0.00005 0.00005
Epa (V) -0.25 -0.25 -0.25 -0.5 -0.5
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi pada senyawa β-mangostin akan menghasilkan besar arus puncak oksidasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa sensitivitas ketiga elektroda terhadap senyawa β-mangostin berbeda. Besarnya arus puncak oksidasi yang dihasilkan pada masing-masing elektroda dari yang besar ke kecil adalah elektroda emas, elektroda karbon dan elektroda polipirol + politiofen, sehingga sensitivitas masing-masing elektroda terhadap senyawa dari yang besar ke kecil adalah elektroda emas, elektroda karbon dan elektroda polipirol + politiofen. 2). Senyawa 3-isomangostin Voltamogram senyawa dilihat pada Gambar 4.13.
(a) Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
3-isomangostin
(b)
dapat
HO
O
O
O
O
O
O
O
O O
OH
O
[O]
O
HO
O
O
O
HO
HO
[O] O
O
O
O
O
OH
MeO
OH
O
OH
HO
HO
O
O
Gambar 4.14 Kemungkinan reaksi oksidasi yang terjadi pada senyawa 3-isomangostin selama proses pengukuran. Pengukuran dan perhitungan arus puncak oksidasi pada senyawa 3-isomangostin dilakukan dengan cara yang sama seperti pada kedua senyawa terdahulu. Besarnya arus puncak oksidasi dari pengukuran senyawa 3-isomangostin pada ketiga elektroda yang berbeda dapat dilihat ada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Data arus dan potensial puncak oksidasi hasil pengukuran dan perhitungan untuk senyawa 3isomangostin. elektroda emas
2 4 6 8 10
Ipa (µA) 0.00014 0.00016 0.00016 0.00014 0.00008
Epa (V) 0.52 0.6 0.55 0.6 0.7
Ipa (µA) 0.00001 0.00001 0.00002 0.00001 0.00001
Epa (V) 0.35 0.48 0.6 0.65 0.6
elektroda karbon Ipa (µA) 0.00003 0.00003 0.00003 0.00003 0.00003
pa (V) -0.25 -0.25 -0.25 -0.25 -0.25
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pada konsentrasi yang berbeda akan menghasilkan arus puncak oksidasi yang berbeda pula. Hal ini juga menunjukkan bahwa sensitivitas masing-masing elektroda terhadap senyawa 3-isomangostin berbeda. Urutan sensitivitas ketiga elektroda terhadap senyawa 3-isomangostin dilihat dari besarnya arus puncak oksidasi dari yang besar ke kecil adalah elektroda emas, elektroda karbon dan elektroda polipirol + politiofen. 3.3 Penentuan Hubungan Arus Puncak Oksidasi dengan Aktivitas Senyawa Sebagai Antimalaria Penentuan hubungan arus puncak oksidasi dengan aktivitas senyawa sebagai antimalaria dapat diperoleh dengan membuat kurva kalibrasi antara harga IC50 senyawa standar sebagai sumbu X dan arus puncak oksidasi sebagai sumbu Y. Data kurva kalibrasi (Gambar 4.15) yang digunakan adalah data pengukuran arus puncak oksidasi dari senyawa standar santon pada elektroda emas karena didapatkan suatu keteraturan hubungan antara arus puncak oksidasi yang diperoleh dengan IC50 senyawa standar santon. Sedangkan pengukuran senyawa standar biflavonoid pada elektroda emas tidak menunjukkan suatu keteraturan.
elektroda emas Ipa (µA)
Konsentrasi (ppm)
elektroda polipirol+poilitiofen
0.0005 0.0004 0.0003 0.0002 0.0001 0 -0.05
y = -0.0002355x + 3.591 R² = 0.4
0.15
0.35
0.55
0.75
IC50 (µg/mL)
Gambar 4.15 Kurva kalibrasi senyawa standar santon pada elektroda emas. Hubungan yang diperoleh dari kurva kalibrasi pada Gambar 4.15 adalah bahwa semakin besar harga IC50, maka semakin kecil arus puncak oksidasi yang dihasilkan. Harga IC50 yang semakin besar menunjukkan aktivitas yang semakin kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas antimalaria senyawa sebanding dengan besarnya arus puncak oksidasi senyawa tersebut. Setelah mengetahui adanya hubungan antara aktivitas dengan arus puncak oksidasi pada elektroda emas, maka perlu dipilih elektroda yang sesuai untuk menghitung aktivitas senyawa β-mangostin dan 3-isomangostin. Dari perhitungan arus puncak oksidasi yang didapatkan dari voltamogram siklis, maka elektroda emas memiliki sensitivitas yang paling tinggi, kemudian juga menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas dengan arus puncak oksidasi. Hal-hal tersebut semakin menguatkan alasan Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
mengapa elektroda emas digunakan untuk pengukuran senyawa β-mangostin dan 3-isomangostin. Perhitungan aktivitas untuk senyawa β-mangostin dan 3-isomangostin dilakukan dengan memasukkan arus puncak oksidasi ke dalam kurva kalibrasi (Ipa vs IC50). Kedua senyawa tersebut dikalibrasi pada konsentrasi 6 ppm. Pengambilan data arus puncak oksidasi diambil pada konsentrasi tersebut karena arus puncak oksidasi yang diperoleh pada senyawa β-mangostin dan 3-isomangostin masuk ke dalam rentang arus puncak oksidasi pada persamaan regresi yang didapat dari kurva kalibrasi. Sedangkan untuk arus puncak oksidasi pada konsentrasi selain 6 ppm pada senyawa β-mangostin dan 3-isomangostin tidak masuk ke dalam rentang arus puncak oksidasi pada persamaan regresi dari kurva kalibrasi. Kalibrasi pertama dilakukan untuk senyawa βmangostin yang mempunyai arus puncak oksidasi sebesar 0.0003 µA. Kurva kalibrasi yang dibuat memiliki persamaan regresi y = 0,0003537 - 0.000204x, di mana y adalah arus puncak oksidasi (Ipa) dan x adalah aktivitas senyawa (IC50). Untuk mendapatkan IC50 senyawa β-mangostin dan 3isomangostin, maka dilakukan substitusi besarnya arus puncak oksidasi ke dalam persamaan tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan besarnya IC50 untuk β-mangostin adalah 0,263 µg/mL. Sedangkan untuk 3-isomangostin yang mempunyai arus puncak oksidasi sebesar 0.00016 µA, maka besarnya IC50 adalah 0,9495 µg/mL. Dari hasil IC50 yang diperoleh menunjukkan bahwa kedua senyawa tidak aktif sebagai antimalaria. Namun, hasil tersebut masih perlu dilakukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut untuk memperkuat hasil ini.
IV. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesilmpulan bahwa metode voltametri siklis dapat menunjukkan hubungan antara aktivitas senyawa βmangostin dan 3-isomangostin sebagai antimalaria dengan arus puncak oksidasi yang dihasilkan. Hubungan tersebut didapatkan dari kurva kalibrasi yang dibuat dari senyawa standar santon yang telah diketahui aktivitasnya sebagai antimalaria, yang diukur pada elektroda emas. Elektroda emas memiliki sensitivitas yang paling besar dibandingkan dengan elektroda polipirol + politiofen dan elektroda karbon. Sensitivitas elektroda tersebut diperoleh dari besarnya arus puncak oksidasi dari senyawa-senyawa yang diuji pada ketiga elektroda, di mana besar arus puncak oksidasi pada semua senyawa berharga paling besar ketika diuji diukur pada elektroda emas dibandingkan dengan kedua elektroda lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH 1. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas atas dana Hibah Penelitian Strategis Nasional Tahun 2009. 2. Prof. Dr. Taslim Ersam, selaku dosen pembimbing pertama dan Suprapto, M.Si, Ph.D, selaku dosen pembimbing kedua atas segala diskusi, bimbingan, arahan dan semua ilmu yang bermanfaat. 3. Bapak dan Ibu serta kakak saya tercinta atas segala doa, dorongan dan dukungannya secara material dan spiritualnya. 4. Rekan-rekan tugas akhir S1 Kimia ITS serta para analis khususnya di Laboratorium Kimia analitik. 5. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Daftar Pustaka Faber, Kurt. (1953). “Biotransformations in Organic Chemistry: A Textbook”. 4th, Completely Revised and Extended Edition. Springer. New York H. M. Mohammad, A. Mitra. (2009). “Voltammetric Determination of Some Anti-malarial Drugs Using a Carbon Paste Electrode Modified with Cu(OH)2 Nanowire”. Talanta, 78, 1440-1445 Ivarsson, Patrik, dkk. (2001). “Comparison of a Voltammetric Electronic Tongue and a Lipid Membrane Taste Sensor”. Analytical Chimica Acta, 449, 59-68 Toko, Kiyoshi. (2000). “Taste Sensor”. Sensors and Actuators B, 64, 205-215
Biografi Penulis
Penulis dilahirkan di Blitar, 20 Juli 1988, merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Penulis telah menempuh pendidikan formal yaitu di TK Santa Maria Blitar, SDN Bendogerit VI Blitar, SLTP Negeri 1 Blitar dan SMA Negeri 1 Blitar. Penulis diterima di Jurusan Kimia FMIPA-ITS Surabaya melalui jalur PMDK dan terdaftar dengan NRP 1406 100 002. Di Jurusan Kimia ini, Penulis mengambil bidang minat Kimia Organik Bahan Alam dan bergabung dalam kelompok Penelitian Aktivitas Kimiawi Tumbuhan ITS (PAKTI) di Jurusan Kimia FMIPA-ITS, dibawah bimbingan Prof. Dr. Taslim Ersam (
[email protected]) dan Suprapto Ph.D (
[email protected]) . Penulis sempat aktif dalam organisasi Paduan Suara Mahasiswa ITS menjabat sebagai sekretaris umum pada periode 2008/2009. Penulis dapat dihubungi melalui email
[email protected] .
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS