Vol. I/Edisi 3/Desember/2008
D E S A N TA R A R E P O R T
DEPORT EDITORIAL Perilaku Miring Aparat Kepolisian Memang tak mudah menyebrangi kesadaran mainstream. Di tengah rezim heteroseksual seperti di Indonesia, pilihan untuk menyukai sesama jenis adalah pilihan yang “berani”. Sebab, itu akan berhadapan dengan sekian resiko yang tidak ringan: sikap mayoritas yang anti terhadap golongan homoseksual atau homophobia. Selain sikap eksklusi dan tudingan amoral serta tuduhantuduhan lain yang bersifat merendahkan, kekerasan fisik dan pelecehan adalah ancaman yang membayang saban hari di benak kaum homoseksual. Kasus yang menimpa Toyo pada malam tanggal 21 Januari 2007 lalu adalah contoh paling nyata. Ia dan Boby (pasangan Toyo) dihajar hingga babak belur oleh warga saat tengah bermesramesraan. Tak hanya itu, aparat kepolisian pun tak kalah bringasnya. Mereka menyekap dan melecehkan Toyo-Boby dengan cara barbarian. Keduanya dipaksa telanjang kemudian disuruh melakukan adegan oral seks dan onani di hadapan mereka. Dua insan itu diperlaku kan layaknya bukan manusia, hanya karena mereka berbeda orientasi seksual. Bukankah keduanya juga warga negara yang memiliki kesamaan hak di depan hukum, layaknya kita! Lalu dari mana keadilan bisa dihamparkan di bumi Indonesia ini jika mental dan perilaku aparat penegak hukum saja masih seperti itu? Redaksi
03 on minority issues
Rupa-rupa Siksa Kepada Seorang Gay
Oleh: Franditya Utomo
M
alam hari awal tahun 2007 di Aceh, di sebuah rumah tinggal yang juga digunakan sebagai warung kopi, Hartoyo (atau yang akrab disapa Toyo) dan Boby (bukan nama sebenarnya) sedang berdua-duaan. Teman-teman Toyo dan Boby yang berkerja di warung itu juga ikut tinggal di sana. Namun perasaan Toyo mendadak tidak enak. Ada yang tidak beres pada malam tanggal 21 Januari 2007 itu. Benar! Ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat, terdengar suara keras, “Brak.. TOYO brak... brak...” Pintu kamar nyaris somplak karena didobrak dari luar. Beberapa orang tak dikenal merangsek masuk dan langsung memukuli kedua lelaki dewasa itu di dalam kamar. Bogem mentah mendarat dimana-mana, kadang di pipi, dahi, mulut, pelipis, dan hantaman liar di sekujur tubuh. Cukup lama kiranya orang-orang itu memukuli Toyo dan Boby, sampai akhirnya mereka menyerahkan pasangan itu ke kantor polisi. Warga tidak membawa mereka ke Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi Syariah Aceh, karena takut masuk koran. Di dalam hati, Toyo berharap segera mendapat perlindungan kepolisian dari amukan warga. Namun kemalangan justru menghampirinya. Toyo dan Boby dijemput oleh empat orang anggota kepolisian Bandaraya, Aceh. Sesampai di kantor polisi, kedua pasangan gay itu dipaksa untuk membuka pakaian, telanjang. Selanjutnya, mereka kembali dipukuli. Kini, bukan warga yang
menghakimi, tapi anggota kepolisian Bandaraya. Dengan tubuh penuh luka tanpa sehelai benang pun, kedua pasangan gay itu dipaksa untuk melakukan adegan oral seks dan onani. Dengan terpaksa, Toyo dan Boby melakukannya di hadapan tujuh orang anggota polisi lain yang ikut tertawa lebar melihat pasangan gay yang sedang disiksa itu. Tak cukup sampai di situ, mereka juga disemprot air dan kepala mereka juga ikut dikencingi. Bahkan ada salah satu anggota kepolisian yang menodongkan senapan laras panjang pada kemaluan mereka. Toyo dan Boby berupaya melawan. Namun, sekali terlihat ada upaya perlawanan, kedua kembali merasakan pedihnya jotosan. Satu kali protes, satu kali pukulan. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya, mereka masuk ke dalam sel tahanan.
Desantara Report
DEPORT
INSIDE THIS ISSUE: Desantara Report
1
Testimony
5
Local Community
6
Profile
7
Vox Vocis
8
Multicultural Women
9
Citizenship
10
Representation
11
Desantara’s Activities
12
S U S U N A N
R E D A K S I
Penanggung Jawab: M. Nurkhoiron Pemimpin Redaksi: Muhammad Kodim Sekretaris: Noviyana Keuangan: Darningsih Redaktur Pelaksana: Ingwuri H. Tata Letak/Desain: M. Isnaini “Amax” Editor Bhs. Indonesia: M. Nurkhoiron Editor Bhs. Inggris: Becca Taufiq Penerjemah: S. B. Setiawan Staf Redaksi: Franditya Utomo Distributor: Noviyana Dokumentasi: Rustam Kontributor: Jawa Barat: Abu Bakar, Isa Nur Zaman, Diphie. Jawa Tengah: Moh. Sobirin. Jawa Timur: Mashuri, Oryza Ardyansyah W., Ishomuddin, A’ak Abdullah Al-Kudus, Ahmad Rifa’i. Bali: Ni Komang Erviani. NTB: Muhammad Irham. Sulsel: Mubarak Idrus, Hasmi Baharuddin. Sulteng: Ewin Laudjeng. Sulbar: Tamsil Kanang. Kaltim: Asman Azis, Abdullah Naim. Kalbar: Chatarina P. Istiyani. Sumbar: Ka’bati. Sumut: Farid Aulia. Aceh: Raihana. Alamat Redaksi: DESANTARA Foundation Komplek Depok Lama Alam Permai Blok K3, Depok 16431 Website: www.desantara.org Email Redaksi:
[email protected],
[email protected] (DEPORT) Tlp: +62 21 77201121 Fax: +62 21 77210247
Pada saat pihak kepolisian menyusun laporan yang berisi alasan penahanan Toyo dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan), mereka mencantumkan perbuatan cabul sebagai unsur pemidanaan. Toyo menolak menandatangani BAP itu, lantaran ia tahu jika umur Boby masuk kategori usia dewasa, bukan anak-anak. Pun, kepolisian hanya mencantumkan peristiwa pemukulan yang dilakukan oleh massa kepada Toyo dan Boby. Sementara peristiwa penyiksaan oleh anggota kepolisian kepada pasangan gay itu tidak dituliskan dalam kronologi kasus. Malang bagi Toyo, ia tak punya pilihan selain menandatangani BAP itu. Menolak berarti harus ditahan kembali, dan, pasti disiksa lagi. Akhirnya, ia membubuhkan tanda tangannya di BAP itu. Menuntut Keadilan Toyo pun dijemput kawan-kawannya setelah resmi keluar dari tahanan Polsek Bandaraya pukul setengah lima sore. Ia tak lagi pulang ke kampung halaman, melainkan ke Jakarta bersama temantemannya. Toyo berniat melaporkan kejadian yang menimpanya kepada Kapolri. Waktu itu, Kapal Perempuan (NGO Perempuan), ikut membantu melayangkan gugatan. Sayang, gugatan yang ia ajukan hanya berlaku untuk kasus indisipliner. Untuk itu, berkas perkara akan dikembalikan ke Aceh. Tidak puas dengan respon aparat penegak hukum, Toyo bersama Imparsial dan Pengacara dari YLBHI pada tanggal
8 Maret 2007 berangkat ke Aceh. Ia berniat melaporkan kronologi peristiwa yang dialaminya ke Polsek Bandaraya. Akhirnya Toyo memperoleh bukti laporan beserta visum psikologis yang dirujuk oleh kepolisian. Namun sekali lagi ia kecewa. Pasalnya, bukti berupa visum psikologis itu tak pernah ia mengerti apa isinya. Pihak kepolisian dan psikolog terkait, menyusun visum itu secara tertutup. Merasa kasus terkesan ditunda-tunda penyelesaiannya, Toyo pun makin giat membawa persoalan tersebut ke ruang yang lebih luas. Ia melaporkan kasusnya ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, Amnesti Internasional, bahkan PBB. Hingga, pada tanggal 8 Oktober 2008, ia mendapat panggilan dari kepolisian untuk menjalani proses persidangan. Namun, alasan tidak hadirnya Boby sebagai saksi memperlemah posisi Toyo. Padahal selain Boby, ada saksi lain yang bisa dihadirkan dan menjelaskan penyiksaan yang dilakukan oleh polisi-polisi Bandaraya. Di samping itu, keberadaan barang bukti berupa pakaian Toyo yang terkena air kencing, tak pernah disinggung sebagai alat bukti. Kasus Toyo dilakukan dengan cara sidang cepat. Keempat pelaku penyiksaan dijatuhi hukuman tiga bulan tahanan dengan masa tahanan percobaan, dan denda Rp.1000,atas dakwan tindak pidana ringan (tipiring), bukan penganiayaan. Namun Toyo masih keberatan dengan putusan tersebut, sebab penyiksaan yang dilakukan oleh polisi kepada dirinya adalah bentuk kekerasan negara kepada masyarakat sipil.[]
Penjemputan Paksa Sang Tertuduh ”Penoda Agama”
Oleh: Isa Nur Zaman
D
i hari Kamis, 28 Agustus 2008, sekitar pukul 11.00 WIB, Ketua Perguruan Pencak Silat (PPS) Panca Daya, H. Ishak Suhendra, tengah menerima kunjungan tamu di kediamannya yang berada di Kampung Tagog Rt. 10/03 No. 109 Desa Karangmukti, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Ishak
yang mengenakan baju koko dan sarung itu tampak asyik melayani tamu-tamunya dengan obrolan hangat. Tiba-tiba, muncul aparat dari Kejaksaan Negeri Kab. Tasikmalaya dengan seragam lengkap, yang langsung masuk ke rumah Ishak tanpa membuka sepatu dinasnya
Desantara Report
DEPORT terlebih dahulu. Sementara di luar rumah, terlihat aparat kepolisian dari Polres Kab. Tasikmalaya berjaga di sekitar rumah dan jalan menuju ke arah rumah Ishak, serta 3 truk kepolisian terparkir di sana, sekitar 100 meter dari kediamannya. Para aparat itu langsung memperkenalkan diri mereka dan mengeluarkan surat tugas serta surat perintah penahanan Ishak. Kedatangan tim eksekusi yang diketuai Dwi Harto itu itu tidak lain adalah untuk menjemput paksa dan menahan Ishak karena hari itu seharusnya jadwal persidangannya dalam kasus ”penodaan agama”. Dengan cukup tergesa-gesa, tim eksekusi itu meminta Ishak untuk segera memakai celana --karena waktu itu Ishak masih mengenakan sarung— dan akan secepatnya membawa dirinya karena menurut mereka, sekelompok massa dari beberapa ormas agama sedang menuju ke arah Salawu. Bertepatan dengan kumandang adzan Dhuhur, sekitar pukul 11.55 WIB, rombongan massa pun datang dengan menggunakan 2 mobil bak terbuka dan 1 mobil angkot. Setiba di sana, mereka langsung melakukan orasi ditimpali dengan teriakan dan yel-yel kecaman: “Ishakiyah Gantung! Ishakiyah Bunuh! Bakar saja Rumahnya! dan seterusnya. Sekitar 30 menit mereka berorasi
Melalui Panca Daya-nya, Ishak mampu memberdayakan para anggotanya yang berjumlah sekitar 200 orang, termasuk mengantarkan lingkungan RT-nya menjadi RT teladan tingkat Jawa Barat.
menuntut para pengikut Ishakiyah (istilah pendemo melabeli pengikut ajaran H. Ishak) dan warga Panca Daya agar bertaubat kembali ke ajaran Islam yang benar. Menurut mereka, Ketua PPS Panca Daya Tasikmalaya itu telah membuat buku yang dianggap menyesatkan dan menuntutnya agar dibawa polisi untuk dihukum. Buku yang dimaksud itu berjudul ”Agama dalam Realitas” yang ditulis oleh Ishak dalam ukuran kecil dengan jumlah 30 halaman dan dicetak sebanyak 150 eksemplar. Buku yang merupakan hasil kajian Ishak bersama warga Panca Daya setiap malam Jumat selama setahun tersebut menuai protes dari salah seorang tokoh NU kecamatan Salawu, yang kemudian melaporkannya ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab. Tasikmalaya karena dianggap ada kesesatan di dalamnya. Menurut hasil kajian MUI Kab. Tasikmalaya, isi dari buku itu banyak terjadi penyimpanganpenyimpangan dari ajaran Islam, yang akhirnya mendorong keluarnya fatwa sesat dari MUI terhadap buku tersebut. Dari sinilah, Ishak kemudian dibawa ke pengadilan dengan dakwaan ”penodaan agama”. Massa yang mengenakan pakaian putih, bercelana, bersarung serta menggunakan sorban ala ninja tersebut merusak 2 buah papan nama Panca Daya, mencabut dan mematahkannya lalu membuangnya ke kolam salah satu warga Panca Daya. Selain itu, massa yang terdiri dari NU, Ansor, Banser, dan Forum Rakyat Madani ini juga menggedor-gedor pintu dan mencabut stiker berlogo Panca Daya di kaca rumah yang dianggap pengikut ajaran Ishakiyah. Mereka pun terus menyisir beberapa rumah di sekitar rumah Ishak. Massa tersebut sebelumnya hendak menghadiri sidang terdakwa kasus dugaan penodaan agama, H. Ishak Suhendra. Karena yang bersangkutan tidak datang, Majelis Hakim pun memerintahkan petugas Kejaksaan
untuk menjemput paksa Ishak dari rumahnya. Massa yang sudah marah itu pun kemudian mengikuti penjemputan tersebut hingga ke rumah Ishak. Akhirnya, pada pukul 13.15 WIB, Ishak pun keluar dari rumahnya dengan kawalan ketat dari petugas Kejaksaan dan Kepo lisian. Melihat Ishak keluar, massa pun kian merangsek untuk mendekati Ketua PPS Panca Daya itu. Namun petugas mampu menghadang gerakan massa, hingga tak sampai terjadi sesuatu. Ishak pun kemudian dimasukkan ke dalam mobil tahanan untuk dibawa ke Mapolres Kab. Tasikmalaya. Padahal selama ini, Ishak dikenal sebagai orang yang memiliki jiwa sosial tinggi. Kepeduliannya terhadap kehidupan orang lain juga mendorongnya menjadi seorang yang ahli dalam penyembuhan penyakit secara spiritual. Ketenarannya dalam menyembuhkan penyakit menyebabkan pasiennya terus bertambah hingga mencapai 25 ribu pasien sebagaimana yang terdaftar dalam buku tamu. Hampir tiap hari, selalu ada orang berkunjung ke rumah yang berwarna putih dengan cat pagar biru-putih itu. Melalui Panca Daya-nya, Ishak mampu memberdayakan para anggotanya yang berjumlah sekitar 200 orang, termasuk mengantarkan lingkungan RT-nya menjadi RT teladan tingkat Jawa Barat. Kelompok Panca Daya ini memiliki kepedulian dalam penghijauan, posyandu dan siskamling warga sekitar. Selain itu, mereka memiliki kelompok usaha sablon, peternakan ikan dan membuat lapak untuk berdagang bagi masyarakat sekitar. Bahkan salah satu aksi sosial warga Panca Daya pada tahun 2007 telah berhasil membangun 15 rumah warga sekitar yang sudah tidak layak huni menjadi rumah yang layak untuk ditinggali.[] Vol. I/Edisi 3/Desember/2008
3
Desantara Report
DEPORT
Demi Pembangunan Sub Terminal, Gereja Anglikan Cibeureum Digusur
Oleh: Diphie Kuron
Beberapa proses negosiasi untuk menyelesaikan masalah keberadaan gereja itu pun terjadi. Pihak gereja Anglikan tidak menginginkan penggantian dalam bentuk uang. Mereka hanya ingin dipindahkan ke tempat lain, yang masih terjangkau oleh jemaatnya.
GEREJA ANGLIKAN SETELAH DIGUSUR
B
angunan gereja Anglikan yang sudah berdiri sejak tahun 1992 itu pun akhirnya berakhir dengan luluh lantak. Kamis, 26 Juni 2008, sebuah escavator menghancurkannya, hingga yang tersisa hanyalah puing-puing reruntuhan. Atas nama proyek pembangunan sub terminal, Pemerintah Kota Cimahi menggusur rumah ibadah itu tanpa ampun. Gedung gereja Anglikan jemaat Cibeureum memang berdiri di atas tanah sengketa. Sengketa yang berkepanjangan tanpa kepastian hukum menyebabkan kepemilikan atas tanah ini tak dapat ditetapkan. Terakhir, di tahun 2005, Nyonya Ida Roslia dinyatakan sebagai pemilik tanah sah atas 2,5 hektar di Cibeureum, dimana gereja Anglikan berdiri. Di bulan Maret 2005, putusan itu di eksekusi. Seluruh rumah di atas tanah tersebut dibongkar, hanya dua bangunan yang tersisa: masjid dan gereja. Keduanya dianggap sebagai fasilitas umum, bukan milik pribadi, oleh karena itu, tak layak dibongkar. Akan tetapi, Ida Roslia kemudian menjual hak atas tanah yang diperolehnya kepada Idris. Namun hanya dalam tempo singkat, status tanah itu pindah tangan lagi. Pemerintah Kota Cimahi kali ini yang membelinya dari tangan Idris untuk pembangunan sub terminal. Dari sinilah petaka itu dimulai. Karena pembangunan sub terminal memerlukan tanah lapang yang luas, maka dua bangunan yang masih tersisa di atas tanah tersebut (gereja dan masjid) harus pula disingkirkan.
4
Vol. I/Edisi 3/Desember/2008
Sementara itu, pihak masjid menerima tawaran pemerintah dan akhirnya dipindahkan ke kawasan yang tak jauh dari lokasi tersebut. Seluruh biaya pembangunan masjid baru ditanggung Pemerintah Kota Cimahi yang diperkirakan telah menghabiskan dana kurang lebih 400 juta rupiah. Setelah bangunan masjid selesai sempurna, Walikota pun kemudian meresmikannya. Namun tidak demikian dengan gereja. Ia tetap berdiri di tempat yang sama. Beberapa upaya pertemuan belum menemukan solusi. Pihak gereja hanya ditawari ganti rugi uang sebesar 50 juta rupiah, sebagaimana disampaikan SEKDA (Sekretaris Daerah) Kota Cimahi, Aep
Anglikan yang berada di kawasan Jl. Kebon Jeruk RW. 07, Cibeureum. Proses negosiasi yang dilakukan Sidabalok, pengacara gereja Anglikan, dengan Sutarman Pimpinan Pamong Praja tidak membuahkan hasil. Akhirnya, escavator lah yang berbicara. Escavator itu mulai bergerak menghancurkan bangunan gereja dimulai dari bagian belakang dan terus bergerak ke depan, hingga akhirnya tak bersisa. Yang terlihat tinggal puing-puing reruntuhan. Bersamaan dengan hancurnya bangunan gereja Anglikan tersebut, hilang pula hak beribadah 250 jiwa. Bukan saja bangunan gereja yang dirobohkan, delapan jiwa: penghuni Pastori, Pendeta Raman Saragih beserta keluarga, diseret keluar dan dihempas begitu saja hingga tersungkur di tanah. Tidak cukup sampai di situ, tendangan sepatu Satpol PP mendarat di pelipis kanan Pendeta Saragih. Darah pun keluar menetes, membasahi bajunya. Luka dua jahitan itulah yang kemudian menjadi bukti dari pelaporan yang kini tengah diproses di Polda Jabar.
Bersamaan dengan hancurnya bangunan gereja Anglikan tersebut, hilang pula hak beribadah 250 jiwa. Syaefulloh, saat didadampingi oleh KABAG (Kepala Bagian) Hukum Kota Cimahi, Amurullah. Alasan pemerintah tak mau membangunkan gereja di tempat lain karena terbentur masalah perizinan, sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Meteri Dalam Negeri No. 8 tahun 2006, yang mensyaratkan adanya izin dari minimal 60 orang warga sekitar. Selain alasan tersebut, Pemerintah Daerah setempat menganggap bahwa bangunan gereja Anglikan hanyalah rumah tinggal keluarga Saragih yang dipergunakan sebagai tempat ibadah. Di hari Kamis, 26 Juni 2008, sekitar 200 orang aparat Satuan Polisi Pamong Praja dan anggota Kepolisian Resort Cimahi serta escavator mengepung gedung gereja
Berjuang untuk haknya, Pendeta Saragih beserta keluarganya bertekad untuk tetap tinggal di atas tanah milik mereka, sekalipun dengan segala keterbatasan. Di bawah tenda, mereka bertahan dan beraktivitas sebisa mungkin. Tak ayal, hal itu akhirnya mengundang banyak simpatisan berdatangan untuk memberi bantuan. Namun, kebaikan mereka akhirnya urung karena dihalang-halangi. Seperti larangan pihak yang tidak mau disebutkan namanya kepada seorang warga dan salah satu pabrik yang hendak membantu memberikan aliran listrik. Meski segalanya tidak mendukung, namun ibadah tetap dilaksanakan. Justru, dengan kejadian tersebut, jemaat yang semula pasif kini menjadi aktif. Tanggal 27 Juli 2008, jemaat gereja Anglikan kembali melaksanakan ibadah di atas puing-puing reruntuhan.[]
Testimony
DEPORT
S
ebelum menjadi aktivis LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender), Hartoyo –atau yang lebih akrab disapa Toyo-- adalah seorang pekerja sosial di Aceh. Ia sempat menjadi relawan Aliansi Sumatra Utara Bersatu untuk perjuangan hak-hak perempuan dan kelompok marjinal. Kini, ia tinggal di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Pria kelahiran Kota Binjai, Sumatera Utara
karena menurut saya ini yang terbaik bagi diri saya. Dan negara tidak boleh masuk mengintervensi dalam persoalan privat, seksualitas. Dan saya ingin menunjukkan orientasi seksual tidak hanya heteroseksual. Saya melakukan ini tidak hanya sekedar menunjukkan saja, tapi sebuah gerakan revolusi seksualitas. Saya sadari dan rasakan satu tahun ke belakang, gerakan LGBT, isu LGBT, isu seksualitas, isu homoseksualitas sudah mulai dibicarakan dalam konferensi internasional. Bahkan pertemuan gereja-gereja di Sumatra Utara barubaru ini, mereka membicarakan topik homosesksualitas setengah hari, dan mengundang narasumber yang kompeten. Sampai isu HIV/ AIDS dikaitkan dengan homosesksual. Sudah banyak training-training soal isu seksualitas yang dilakukan LSM-LSM, di kampus-kampus juga. Di Universitas Indonesia satu minggu kampanye soal keberagaman
LSM yang bergerak di isu lesbian dan gay yang bicara tentang HAM. Hal ini menurut saya sebuah kemajuan yang luar biasa untuk Indonesia. Namun saya harus katakan, bahwa jaringan kelompok LGBT belum sekuat jaringan perempuan atau kelompok HAM. Ada jaringan, tapi menurut saya masih sektoral. Kalau pun ada mungkin jaringan kondom. Ini kritikan saya bagi teman-teman LSM khususnya yang gay, yang mengangkat isu LGBT jangan berkutat pada masalah seputar kondom saja. Persoalan LGBT adalah persoalan yang luas, dan problem HIV/ AIDS adalah satu permasalahan saja yang dihadapi oleh teman-teman LGBT. Tapi permasalahan yang mendasar adalah hak mereka sebagai manusia, hak-hak ekosok dan sipol. Jadi, saran saya kalau membangun jaringan, jangan kondom saja. Adapun kasus penyiksaan aparat kepolisian yang menimpa diri saya itu justru menjadi inspirasi bagi saya dan teman-teman untuk berani mengatakan kebenaran dan keadilan bagi kelompok LGBT. Misalnya setelah kejadian itu, di Aceh dibentuk komunitas Violet Grey yang menyuarakan kepentingan
TOYO
Saya Ingin Revolusi Seksualitas di Indonesia By Franditya Utomo
pada 3 Maret 1976 ini pernah disiksa dan dilecehkan atas tuduhan melakukan perbuatan cabul di daerah Aceh. Baginya, pilihan menjadi seorang gay adalah lebih pada alasan politis: berjuang demi revolusi seksualitas di Indonesia. Berikut kesaksian dan argumentasi Toyo: Saya sekarang menjadi gay sebagai pilihan politis. Orang bisa mengatakan bahwa menjadi gay adalah given, kodrat, dan genetis. Dan saya juga sebenarnya merasa menjadi gay adalah pengalaman yang alamiah dalam hidup saya. Tapi sekarang ini saya meyakini menjadi gay adalah sebuah pilihan politis. Kenapa saya katatan pilihan politis, karena saya bisa merdeka menentukan mana yang terbaik bagi diri saya. Misalkan saya memilih menjadi heteroseksual, itu juga tidak masalah dan mungkin saya akan berusaha untuk berubah, tapi saya tidak mau lakukan itu. Saya memilih menjadi homoseksual
seksualitas. Di Internasional juga sudah banyak sekali. Satu tahun belakangan ini saya rasakan sekali, isu seksualitas sudah mulai dibuka, bagaimana ibu Musdah Mulia menulis tentang homoseksualitas dalam konteks Islam, bagaimana Pendeta Ester bicara tentang homoseksual dari konteks Kristen dan secara tegas ia mengatakan saya pendeta yang berani menikahkan perkawinan homoseksual, merestui pemberkatan perkawinan sesama jenis. Menurut saya ini adalah titik sejarah dari revolusi seksualitas di Indonesia, mungkin saya belum katakan revolusi radikal tapi ini adalah titik harapan bagi saya untuk berjuang dan mengajak teman-teman untuk menyuarakannya. Dan, saat ini sudah banyak organisasi LGBT yang bicara tentang HAM bukan tentang masalah kondom saja. Mungkin 5 tahun yang lalu mereka hanya berputar di masalah kampanye kondom. Sekarang sudah banyak
kaum gay di sana. Saya di Jakarta bersama teman-teman membentuk Ourvoice, sebuah lembaga yang juga menyuarakan hak-hak kaum gay. Saya terus menyuarakan itu dengan teman-teman pejuang HAM di Jakarta maupun internasional. Akhirnya saya menempatkan diri saya bukan sebagai korban, tapi survivor, orang-orang yang berjuang untuk keadilan, khususnya untuk LGBT. Pasca kejadian itu, memang teman-teman komunitas gay ini sering dikompas. Banyak orang menganggap bahwa gay itu tidak akan berani bersuara. Di sisi lain, mungkin itu dampak negatifnya, tapi ada juga dampak positifnya. Misalnya, saat ini mulai banyak orang yang terinspirasi untuk berani menyuarakan kebenaran atas ketidakadilan terhadap kelompok kami. Ini adalah pilihan berat tetapi harus saya lakukan sebagai bentuk kontribusi saya sebagai anak bangsa untuk penegakan HAM di Indonesia.[] Vol. I/Edisi 3/Desember/2008
5
Local Community
DEPORT
Kisah Pilu Orang Tompu
Oleh: Ewin Laudjeng
Dengan mobil truk, mereka diangkut ke Desa Rahmat, Kecamatan Palolo --jaraknya sekitar 50 km dari Tompu. Di tempat baru ini, pemerintah telah menyiapkan sebuah rumah panggung sederhana dan lahan seluas 2 hektar untuk setiap keluarga. Disamping itu, pemerintah juga memberikan bahan makanan selama beberapa bulan serta peralatan kerja, seperti parang dan cangkul.
BAILO DAN PONDOK
O
rang Tompu atau To Ritompu --demikian mereka biasa menyebut dirinya-- adalah sub Suku Kaili yang menggunakan bahasa Kaili berdialek Ledo. Pemukiman mereka tersebar di beberapa Boya (kampung), puncak gunung sebelah Timur Kota Palu. Secara administrasi, tempat ini terletak di Desa Ngata Baru, Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Muski tidak diketahui secara pasti, namun orang Kaili yang merupakan salah satu suku asli di Sulawesi Tengah itu sudah mendiami tempat tersebut jauh sebelum adanya Negara Republik Indonesia. Mereka Yang Disingkirkan Sejarah penyingkiran terhadap orang Tompu sebenarnya telah berlangsung lama. Menurut Papa Jani, proses itu dimulai tahun 1927, ketika kolonial Belanda mulai menduduki Sigi Biromaru. Kekayaan alam yang dimiliki warga Tompu memancing reaksi Belanda untuk datang menguasainya. Akan tetapi, niat buruk kompeni itu mendapat tentangan dari warga. Dan, terjadilah pertempuran hebat pada saat itu. Tapi karena hanya bersenjatakan seadanya, orang Tompu pun kuwalahan. Korban mulai berjatuhan di pihak warga. Oleh mereka, dikuburkan secara massal di Boya Sidima, Tompu. Sejak saat itu, pemerintah kolonial dengan leluasa bisa mengambil seluruh kekayaan alam yang ada di Tompu, seperti damar, cendana, kayu manis dan kemiri. Untuk mempermudah proses pengangkutan, mereka memaksa penduduk untuk membuat jalan lingkar menuju ke
6
Vol. I/Edisi 3/Desember/2008
mengancam akan memasukkan kami ke penjara jika membangkang,” ungkap Papa Santa, salah seorang warga Tompu,
kantong-kantong hutan kayu manis dan damar. Selain itu, para warga juga diminta untuk membayar blasting (pajak) ke pihak kompeni atas penggunaan tanah di tempat itu. Hal itu mendapat reaksi keras dari warga. Menurutnya, mereka tidak pernah memiliki hutang sama pemerintah Belanda. Karena menolak bayar pajak, sebagian dari mereka kemudian memilih untuk meninggalkan perkampungan tersebut dan masuk ke hutan di daerah Manggalapi, dekat perbatasan Kabupaten Parigi Moutong hingga sekarang ini. Menurut Papa Asa (69), salah seorang tokoh adat setempat, sebelum tahun 1927, Tompu sudah otonom dan punya sistem pemerintahan sendiri. Terhitung, ada tujuh Kapala Ntina (setingkat dengan kepala kampung) yang sempat menjadi pemimpin di tempat itu. Yang pertama adalah, Rapeyangga Ngata, kedua Yabakita, ketiga Kitanava, keempat Lamatoti, kelima Silinava, keenam Yavaringgi, dan ketujuh adalah Manasele. Manasele menjabat dari tahun 1945 hingga 1975. Setelah itu, tidak ada lagi kepemimpinan baru di Ngata Tompu. Karena sejak tahun 1975, perkampungan itu telah dibubarkan secara paksa oleh pemerintah dengan alasan masuk dalam kawasan hutan lindung. Melalui dinas kehutanan dan aparat keamanan, pemerintah mendesak warga untuk mengosongkan perkampungannya. Mereka dipaksa pindah ke beberapa desa yang telah disiapkan oleh pemerintah. Beberapa pemukiman warga di Boya Bulili dibakar oleh Badu, salah seorang anggota kepolisian dari sektor Palu Timur. ”Kami tidak bisa berbuat apa-apa pada saat itu, kecuali pasrah. Karena mereka
Meskipun diberi sejumlah fasilitas oleh pemerintah, warga Tompu tidak merasa betah di tempat itu. Sebab mereka tidak bisa secara leluasa mengembangkan tradisi berladang padi akibat terbatasi oleh masyarakat dari komunitas lain yang berbaur dengan mereka di tempat baru tersebut. Hal lain, menurut penuturan warga, lahan yang diberikan pemerintah adalah lahan basah yang hanya cocok buat sawah. Sedangkan mereka tidak punya keterampilan bertani di lahan basah. Pada beberapa kasus, tanah yang diberikan pemerintah pada warga Tompu adalah tanah milik penduduk lain. Dan ini seringkali menimbulkan konflik antar sesama warga. ”Untuk menghindari terjadinya konflik, kami selalu mengalah,” ujar Kobo, warga Tompu. Atas persetujuan Efendi Dg. Pawara, Camat Sigi Biromaru pada saat itu, warga Tompu akhirnya menyingkir ke Vatubose, masih dalam wilayah desa Rahmat. Di tempat itu, mereka mulai menanam beberapa tanaman produksi, seperti kakao dan kopi. Ketika tanaman mereka sudah berbuah, muncul lagi soal baru. Kali ini datang dari pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL). Lembaga konservasi milik pemerintah itu memasang patok-patok pal batas tepat di lokasi perkebunan warga. Secara sepihak, tempat itu ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Akibatnya, warga Tompu semakin tersingkir. Dan, itu kemudian membuat mereka rindu untuk segera kembali ke kampung leluhur. Untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan, tahun 1998, “Kami dan sejumlah warga lainnya sepakat untuk pulang ke Tompu hingga sekarang ini,” kata Papa Jani. Namun saat mereka kembali, ada banyak perubahan yang terjadi di kampung itu. Sejumlah hutan mulai rusak akibat adanya penebangan kayu yang dilakukan pihak luar. Hal itu kemudian menyebabkan keringnya mata air yang dulunya melimpah nun jernih.[]
Profile
DEPORT
Bangun Dari Ketertinggalan
Oleh: Ewin Laudjeng
kembali menetap di sini (Tompu-red). Apakah semua orang Tompu yang berpencar waktu itu sudah kembali ke sini?
PAPA JANI
B
agi Papa Jani (60), salah satu tokoh masyarakat adat Tompu, usia bukan jadi penghalang dalam mendorong proses perubahan. Muski usianya terbilang tua, namun tekad dan semangat juangnya masih tetap kokoh dalam memperjuangkan hak-hak komunitasnya atas sumber daya alam. Sederet pengalaman pahit yang pernah dirasakan orang Tompu, mulai dari tahun 1927 ketika mereka dijajah Belanda dan diperlakukan secara tidak manusiawi di bumi sendiri, hingga perkampungan mereka pernah dibubarkan secara paksa oleh pemerintah dengan alasan masuk dalam kawasan hutan lindung pada tahun 1975, menjadikan semangat Papa Jani terlecut untuk terus maju. Kini, berbagai kegiatan seminar dan diskusi yang diselenggarakan oleh LSM di Kota Palu selalu aktif dia ikuti, kendatipun taruhannya harus jalan kaki hingga puluhan kilo meter. Karena jalan menuju perkampungannya masih setapak, sangat sulit dilalui oleh kendaraan. Pertengahan Oktober 2008 lalu, Ewin Laujeng, kontributor DEPORT, bertamu ke pondoknya di puncak gunung, Boya Kalinjo, Desa Ngata Baru, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dia menuturkan banyak hal, utamanya terkait dengan aktivitas sosial yang ditekuninya. Berikut petikan wawancaranya: Mulai kapan Papa Jani kembali ke Tompu ini? Saya baru sepuluh tahun tinggal di sini. Sebelumnya saya masih tinggal di Palolo, satu areal reseatlement yang dibuka peme rintah pada tahun 1974 yang lalu. Karena terjadi krisis lahan di sana, saya bersama warga Tompu lainnya sepakat untuk
Saat ini, baru sebagian warga yang bisa pulang. Sementara sebagian lainnya masih tersebar di beberapa desa proyek reseatlement. Meskipun terpisah, tapi komunikasi kami dengan mereka masih tetap terjalin. Model komunikasinya gimana, Pak? Mereka, biasanya sering menggunakan momentum pesta kawin, atau acara duka untuk ketemu dengan keluarganya yang lain. Biasa juga pada hari-hari lebaran Idul Fitri atau Natal. Intinya, setiap ada kesempatan bertemu, kami selalu gunakan untuk tukar pikiran guna membicarakan persoalan yang ada di tempat masingmasing. Tapi, kebanyakan mereka lebih suka dengar perkembangan yang terjadi di Tompu dari pada di tempat lain. Kenapa kok lebih tertarik membicarakan perkembangan di Tompu? Mungkin karena besarnya kerinduan mereka terhadap kampung leluhur, sehingga rasa ingin tahu itu semakin tinggi. Apalagi ketika mereka mendengar kabar bahwa saya sempat ke luar negeri (Jepang) pada tahun 2006 yang lalu. Dalam setiap pertemuan, mereka selalu mendaulat saya untuk cerita pengalaman di Jepang. Ketika didaulat ya...saya cerita apa adanya saja kepada mereka, sesuai dengan apa yang saya liat dan rasakan selama berada di negeri Sakura itu. Misalnya, soal cara pandang pemerintah Jepang terhadap komunitas adat. Itu beda sekali dengan pemerintah Indonesia. Bedanya dimana, Pak? Kalau di Jepang, pemerintah memberi pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat setempat. Makanya hutan mereka terpelihara dengan bagus. Tapi di Indonesia lain, negara tidak pernah mau mengakui keberadaan komunitas adat. Mereka justru melakukan pengingkaran atas hal itu. Ini bisa dilihat dari praktik-praktik yang mereka lakukan
selama ini terhadap kami di Tompu. Budaya menyangkal itu sudah berakar kuat di pemerintah kita. Mereka sering menganggap kami sebagai perusak hutan, karena masih menggunakan sistem pertanian gilir balik atau bangsa nomaden. Makanya mereka seolah-olah sah untuk memindahkan kita. Padahal menurut hasil penelitian orang Jepang, cara itu justru mampu mengembalikan keasrian hutan. Kira-kira apa tujuan pemerintah mengusir orang Tompu pada tahun 1975? Saya tidak tahu, apa maksud pemerintah mengusir kami dari kampung pada saat itu. Kalau saja perkampungan kami tidak dibubarkan, mungkin kehidupan kami bisa lebih baik dibanding sekarang. Karena ketika kampung ini kami tinggalkan, justru hutannya menjadi hancur. Orang luar dengan begitu mudah datang menebang pohon di tempat itu. Akibatnya, beberapa sumber mata air menjadi kering. Padahal wilayah itu sangat kami jaga, karena itu adalah sumber penghidupan. Selain itu, pengetahuan orang Tompu tentang perbintangan juga sudah mulai hilang. Karena itu kami bertekad untuk mencari segala sesuatu yang hilang dari perkampungan ini. Caranya? Sekarang kami mencoba menata kembali perkampungan ini. Sistem sosial yang sempat di hancurkan kini dihidupkan kembali oleh warga. Butuh proses lama memang. Tapi tekad kami sudah kuat untuk melakukannya. Karena biar bagaimanapun, kami tidak akan pernah mau lagi dipindahkan dari tempat ini. Sebab ini adalah tanah leluhur kami. Meskipun hanya menanam padi ladang dan sayur-sayuran, itu sudah cukup bagi kami. Lalu yang dibutuhkan orang Tompu sekarang ini apa? Kami ingin menata kehidupan Tompu yang lebih baik ke depan. Sebab perjuangan kami saat ini adalah adanya pengakuan dari negara terhadap orang Tompu.[] Vol. I/Edisi 3/Desember/2008
7
Vox VOCIS
DEPORT
Syahrun Latjupa, Peneliti Sosial
”Alam dan Manusia Itu Satu-Kesatuan Hidup”
Oleh: Ewin Laudjeng
M
enurut Syahrun Latjupa, salah seorang peneliti sosial tentang Masyarakat Adat Tompu, selama ini ada konsepsi berbeda tentang alam antara orang Tompu, masyarakat sekitar dan negara.
Saat melaksanakan ritual, mantra yang biasa mereka gunakan berbunyi seperti ini: ”Bagi para Viata (roh-roh leluhur) yang ada di tempat ini, kami mohon pamit pada Anda untuk pindah ke tempat lain karena tempat ini akan kami pakai dulu”.
kami mohon pamit pada Anda untuk pindah ke tempat lain karena tempat ini akan kami pakai dulu”. Bagi orang Tompu, antara alam dengan manusia itu satu-kesatuan hidup yang tidak bisa dipisahkan. Alam, bukan semata-mata sebagai objek dari manusia, tapi dia juga merupakan subyek yang tidak bisa secara terus menerus dieksploitasi. Sebab, di situ melekat juga hak hidup bagi makhluk lainnya, seperti hewan darat dan burungburung. Selain itu, kata Syahrun, alam juga meru pakan tempat hidupnya roh-roh leluhur. Jadi, setiap mereka membuka hutan untuk kegiatan perladangan, selalu ditandai de ngan suatu kegiatan ritual untuk memin dahkan roh leluhur dari tempat tersebut.
Setelah itu, mereka menancapkan parang pada sebatang pohon kayu. Bila parang tersebut tetap bertahan sampai beberapa waktu yang ditentukan, itu artinya mereka diizinkan untuk membuka ladang di tempat tersebut. Tapi jika parang tersebut terlepas dan jatuh ke tanah, itu tandanya para Viata tidak memperbolehkan warga membuka ladang di tempat tersebut. Tradisi seperti itu sebenarnya adalah dalam rangka mempertahankan keseimbangan kosmos di wilayah itu. Dimana, antara makhluk yang satu dan lainnya saling
menghormati. Konsep seperti ini tidak berlaku bagi sejumlah perusahaan-perusahaan besar lainnya. Mereka menempatkan alam sebagia objek, yang harus dikelola secara terus-menerus tanpa perlu diistirahatkan. Akibatnya, terjadi krisis lingkungan yang berkepanjangan. Untuk menguji kearifan orang Tompu dalam hal pengelolaan sumber daya alam, ada beberapa temuan penting di lapangan yang ia peroleh dan menurutnya menarik untuk di sebarkan. ”Ternyata, sejumlah satwa endemik Sulawesi, seperti Anoa dan burung Rangkong atau Allo, itu justru banyak diketemukan dekat ladang-ladang penduduk setempat. Itu artinya, satwasatwa itu butuh kehadiran manusia di tempat itu,” paparnya. Manusia yang dimaksud, lanjut dia, bukanlah seseorang yang datang melakukan kegiatan eksploitasi secara besar-besaran, tapi mereka adalah manusia yang memiliki hubungan historis dengan wilayah tersebut, seperti orang Tompu.[]
Supriyadi, Petugas Kehutanan
Pola Orang Tompu Tidak Ramah Lingkungan
Oleh: Ewin Laudjeng
K
embalinya orang Tompu dari sejumlah desa lokasi proyek reseatlement ke tanah moyang mereka pada tahun 1998 yang lalu masih menyisakan sejumlah problematika sosial. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan tradisi leluhur dalam pengelolaan sumber daya alamnya, tapi di sisi lain mereka masih dihadapkan dengan adanya pandanganpandangan miring terhadap upaya itu dari sejumlah instansi pemerintah, utamanya dari Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. “Pengelolaan sumber daya alam melalui pola perladangan berpindah, seperti yang diterapkan orang Tompu, sangat tidak ramah lingkungan dan cenderung merusak kondisi hutan.” Demikian yang dikemukakan Supriyadi, salah seorang petugas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. 8
Vol. I/Edisi 3/Desember/2008
Selama ini, kata dia, model perladangan berpindah yang diterapkan oleh sejumlah komunitas adat di lingkup Sulawesi Tengah itu sangat merusak ekosistem hutan, untuk itu tidak boleh lagi dilakukan, sebab akan mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor. Apalagi, lahan yang ditempati oleh orang Tompu itu masuk dalam kawasan hutan lindung dan Taman Hutan Rakyat (Tahura). ”Harusnya wilayah itu mereka kosongkan dan tidak boleh ditempati lagi. Sebab, ada banyak spesies langka yang dilindungi undang-undang di tempat itu,” kata Supriyadi. Karenanya, dia berharap agar masyarakat bisa mematuhi peraturan yang telah ditetap kan oleh pemerintah. Sebab jika tidak, ini bisa berdampak pada ekologi dan punahnya sejumlah satwa langka di wilayah itu.
Kalau sudah demikian halnya, lanjut Supriyadi, yang rugi adalah mereka juga. Karena sudah pasti mereka akan ikut jadi korban nantinya. ”Sudah ada banyak contoh kasus seperti itu di daerah lain. Harusnya mereka bisa bercermin dari itu. Bukan malah melakukan upaya sendiri-sendiri tanpa mau kordinasi dengan pemerintah setempat. Secara hukum mereka tidak sah tinggal di tempat itu, timpal Supryadi.” Ironisnya, ketika ditanya apakah dia sudah pernah mengunjungi perkampungan orang Tompu, Supriyadi menjawab sampai sekarang dirinya belum pernah mengunjungi wilayah tersebut. ”Saya belum pernah ke sana, tapi dalam waktu dekat ini pihak kami akan melakukan peninjauan di lokasi itu,” imbuh Supriyadi.[]
Multicultural Women
DEPORT
Malahayati, Partisipasi Perempuan dan Partai Lokal
Oleh Yunidar
MALAHAYATI
B
encana Tsunami yang terjadi di penghujung tahun 2004 di Daerah Istimewa Aceh seolah menjadi bencana yang membawa berkah. Betapa tidak, sejarah panjang konflik Aceh dengan Jakarta yang dimulai sejak jaman DI / TII hingga Gerakan Aceh Merdeka di tahun 70-an akhirnya berakhir di meja perjanjian damai. Perjanjian yang diteken di tahun 2005 dan kemudian lebih dikenal sebagai Perjanjian Helsinki seolah menjadi titik balik kehidupan bermasyarakat Aceh menuju masyarakat yang demokratis dan berdaulat mengelola pemerintahan lokal sendiri. Diktum kemajuan, kesejahteraan, perdamaian dan sebagainya seolah terjanjikan dalam perjanjian tersebut dan tidak hanya mengakomodir kepentingan rakyat Aceh secara ekonomi, budaya namun juga secara politik seperti tertuang dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh. Dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh, rakyat Aceh atau rakyat Provinsi Nangroe Aceh Darusallam diberi hak untuk membentuk partai lokal dengan syarat-syarat yang juga berlaku bagi partai yang berkiprah di tingkat nasional. Angin segar perdamaian dan partisipasi politik yang dibuka secara luas oleh pemerintahan Jakarta pada Nangroe Aceh Darusallam pun disambut baik oleh berbagai kalangan di Provinsi Nangroe Aceh Darusallam. Begitu pula dengan kalangan perempuan, yang dalam partisipasi politiknya diberikan kuota partispasi hingga mencapai 30%. Artinya terjadi peningkatan partisipasi perempuan dalam proses politik nasional atau lokal, seperti di Aceh, dari 11 % di pemilu 2004 yang merupakan angka partispasi perempuan dalam politik terendah di kawasan Asia. Dalam kebijakan yang baru ini berarti dari 3 anggota legislatif, 1 diantaranya adalah perempuan. Namun sejauh mana perempuan terlibat dan dilibatkan dalam ranah publik seperti halnya dalam pengambilan kebijakan masih menjadi pertanyaan sekaligus pembuktian. Setidaknya perjanjian damai yang bermula dari perjuangan kedaulatan pemerintahan lokal dan keberdayan adalah
juga janji kemajuan untuk semua, termasuk perempuan. Adalah Malahayati seorang ibu rumah tangga biasa yang sangat jauh dari dunia politik. Dunia Malahayati adalah dunia yang tidak jauh dari domestifikasi yang wajar diajarkan dalam tata krama keluarga Aceh. Dunia yang berputar dalam lingkup rumah, dapur dan membesarkan anakanaknya. Namun dunia Malahayati kini telah berubah, semenjak dibuka ruang politik lokal oleh pemerintahan Jakarta, Malahati bergabung dalam sebuah partai lokal dan dicalonkan menjadi calon anggota legislatif dari partai tersebut. Bermula dari membaca iklan koran yang menawarkan ajakan bergabung partai dan menjadi calon legislatif, Malahayati kini melampaui jejak ibu rumah tangga yang dicekokan padanya. Dunia partisipasi politik, seperti menjadi calon aggota legislatif, bukanlah dunia yang mudah bagi Malahayati, begitu juga dengan perempuan yang lain. Berbagai stigma, penentangan, cibiran, dan olokolok telah lama menanti, jauh sebelum Malahayati lahir kedunia. Dunia partisipasi politik kadung disumpahi sebagai dunia laki-laki. Calon legislatif yang kebanyakan laki-laki adalah satu dari tantangan yang kini dihadapi Malahayati. Kuatnya budaya patriarki, ketidaksetaraan gender di masyarakat adalah salah satu hambatan terbesar yang harus dicapai calon legislatif perempuan. Banyak hal yang bisa dilakukan caleg perempuan agar mampu menghadapi persaingan. Malahayati percaya tidak menggantungkan nilai diri pada opini orang lain adalah kuncinya. Menurutnya, kebanyakan perempuan kehilangan nilai diri yang kemudian menjadi hambatan terbesar untuk bisa maju. Malahayati tentu bukan Malahayati yang begitu sohor sebagai panglima perempuan kerajaan Aceh yang pernah hidup. Malahayati juga bukan Datu Beru, Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Ratu Safiatuddin namun Malahati adalah satu dari sekian juta perempuan yang mencoba berpatisipasi secara politik untuk kemajuan masyarakat Aceh. Tidak jauh beda dengan Panglima Malahayati, Sri Ratu Safiatuddin, Datu Beru, Cut Nyak Dhien, dan Cut Mutia. Memang mengenang kejayaan Aceh
adalah mengenang kejayaan perempuan. Namun itu adalah kondisi masa lalu. Kehidupan perempuan Aceh hari ini masih dilingkupi banyak persoalan. Tidak seindah kisah kebesaran nenek moyang. Dan dalam sejarahnya pula, partispasi perempuan dalam ruang publik dihapus dalam narasi sejarah Aceh, seperti yang telah terjadi dalam berbagai versi teks-teks Hikayat Perang Sabil. Pahit memang. Di sejumlah lembaga publik di Aceh posisi perempuan termaginalkan. Peran perempuan umumnya sebagai pelaksana, bukan sebagai pengambil keputusan. Perempuan Aceh masih terbelenggu dengan kemiskinan, penyakit, kebodohan dan stigma-stigma yang mengekang. Tak jarang kekerasan dialami oleh perempuan di dalam rumahnya sendiri. Rumah tidak lagi menjadi tempat yang damai, tidak lagi menjadi tempat untuk berlindung. Negara pun sering melakukan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan-kebijakan yang tidak sensitif hak perempuan. Kejayaan perempuan masa lalu dan sejarah masa kegemilangan pahlawan perempuan di masa lalu tidak serta merta membawa efek kesejahteraan perempuan di masa kini. Banyak dari perempuan Aceh yang terlena, terbuai dalam sejarah kehebatan perempuannya. Upaya untuk menggulang sejarah kegemilangan masih kurang ataupun minim. Tiap generasi memiliki medan tempurnya masing-masing dan perempuan harus merebutnya sendiri. Nah sekarang keterbukaan politik oleh yang dihasilkan dari Perjanjian Helsinki adalah ajang pembuktian semua kalangan di Aceh untuk sebuah perubahan. Perubahan untuk sebuah sistem yang merangkul semua dalam posisi yang setara.[] Vol. I/Edisi 3/Desember/2008
9
Citizenship
DEPORT
Terpental Gara-gara SK ‘wajib mengaji’
Oleh: Sandhy
T
ahun 2004 lalu, di salah satu desa (sebut saja desa T) yang masuk dalam wilayah Dompu, Nusa Tenggara Barat, tengah bersiap-siap menggelar hajatan besar: pemilihan Kepala Desa. Saat itu, ada tiga Calon yang maju dan siap meramaikannya. Setelah mendaftar, ketiganya dinyatakan lulus secara administratif. Usai tes administrasi, ketiga calon bersama para istrinya masing-masing diharuskan ke kantor kabupaten untuk mengikuti tes berikutnya, yaitu tes membaca al-Qur’an. Mulailah satu per satu dari calon beserta istrinya diuji. Dua calon dan masingmasing istrinya dinyatakan lulus dengan hasil yang memuaskan. Namun tidak demikian dengan calon ketiga (sebut saja Pak Ali). Meski Pak Ali lancar melafalkan sebagian teks al-Qur’an sebagaimana yang diminta oleh Si Penguji, namun ia harus terkendala lantaran istrinya dinyatakan gagal oleh Si Penguji. Istrinya dianggap belum lancar mengaji, karenanya disuruh belajar lagi selama dua minggu. Kepanikan pun segera membias di wajah Pak Ali. Sebab, waktu pemilihan tinggal empat hari lagi. Dari sisi waku, itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Karenanya, Pak Ali pun menanyakan hal tersebut ke pihak kabupaten. Namun usahanya sia-sia belaka, tak mendapat tanggapan. Atas kenyataan ini, ia hanya bisa pasrah. Sikap pasrahnya ini didasarkan atas pertimbangan agar masalah tersebut tidak semakin panjang. Jika diperpanjang, ada kekuatiran ia bakal ditangkap Satpol PP. “Karena, kalau kita terlalu mendebatkan hal tersebut akan ditangkap Satpol PP atas tuduhan menentang Bupati dengan wajah Islaminya. Saya pun pulang dengan Sangat kecewa,” aku Pak Ali dengan nada lemah. Sebenarnya, Istri Pak Ali bukannya tidak pintar mengaji, ”Tapi mungkin karena ya…yang namanya orang kampung yang jarang ke kota, apalagi sampai ke Pendopo, mungkin dia grogi saat itu,” paparnya. “Itu juga yang membuat saya tidak habis pikir, padahal istri saya itu sangat lancar mengaji. Silakan tes dia kalau Ndai mu (Anda) tidak percaya,” tantangnya. Pak Ali,
10
Vol. I/Edisi 3/Desember/2008
yang meminta supaya identitas diri dan kampungnya disamarkan itu, akhirnya tak bisa mengikuti pencalonan kepala desa gara-gara persyaratan “wajib mengaji”. Padahal, Pak Ali sebenarnya memiliki massa yang lumayan banyak. ”Terus terang saja, saya adalah calon yang lumayan banyak mendapat dukungan dari warga. Lai Jana Sombong re (Bukannya saya sombong), tapi memang begitulah kenyataannya,” tuturnya.
Bupati juga mengeluarkan SK bernomor 140 tahun 2004 tentang Kewajiban Membaca Al-Qur’an bagi PNS dan Masyarakat Dompu yang beragama Islam.
Ia juga telah menghabiskan biaya yang tak sedikit. Lebih dari 3 Juta rupiah dikeluarkan dari sakunya untuk pengurusan administrasi saja. Belum lagi biaya sosialisasi, termasuk menjamu setiap warga dan pemuda yang datang ke rumahnya 24 jam selama kurun waktu sebelum pemilihan. ”Wati ru wa’u di reke sa’bune ncau ra ma mpoi (Sudah tidak terhitung lagi berapa yang dihabiskan). Aina nggahi mu Rongko ra Kahawa re ni (Jangan diomongkan lagi biaya rokok dan kopinya),” paparnya. Tetapi, karena terganjal syarat “bisa ngaji” itu, ia pun tak bisa mencalonkan diri. Gagalnya pencalonan diri Pak Ali ini menimbulkan respon yang beragam. Para warga yang sudah menyatakan dukungan kepadanya menjadi marah, bahkan sampai ada yang ingin membakar kampung tersebut. Buntut lain dari itu justru menjadikan Pak
Ali dan keluarganya hampir dibunuh oleh pendukungnya sendiri karena ia dituduh sudah menerima ”amplop” dari calon lain dan sengaja mengundurkan diri. ”Mereka tidak gampang percaya kalau saya batal menjadi calon lantaran Ibu (istrinya) tidak lulus tes mengaji karena mereka sangat tahu kalau Ibu itu bisa mengaji.” Akibat tak lancarnya istri mengaji di hadapan penguji, ia dan keluarganya juga mendapat kampanye negatif dari para pendukung calon lainnya, dengan mengatakan bahwa ia tidak pantas menjadi Kepala Desa karena tidak mampu mendidik keluarga secara islami. Peraturan Wajib Mengaji Apa yang terjadi pada Pak Ali bermula dari munculnya Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2002 tentang Program Pembangunan Daerah (Properda) Kabupaten Dompu tahun 2001–2005. Dalam Perda itu, Kabupaten Dompu, ke depannya akan diorientasikan pada terciptanya Masyarakat Dompu yang sejahtera dan religius. Dalam rangka mewujudkan orientasi tersebut, Bupati Dompu kemudian mengeluarkan beberapa Surat Keputusan (SK), diantaranya, SK tentang Kewajiban menggunakan Pakaian Muslimah/ Jilbab bagi Pelajar dan Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan kewajiban membaca Al-Qur’an bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan publik. Bupati juga mengeluarkan SK bernomor 140 tahun 2004 tentang Kewajiban Membaca AlQur’an bagi PNS dan Masyarakat Dompu yang beragama Islam. Tampaknya, peraturan inilah yang mengganjal Pak Ali untuk mencalonkan diri sebagai Kades (Kepala Desa). “Secara kasarnya, pencalonan saya dibatalkan. Dibatalkan oleh peraturan yang Au Nggahi Ndai (semaunya) tadi,” tegasnya. Pak Ali juga menyayangkan, karena masalah utama Dompu adalah Dou ma Da rere (orang Miskin/ kemiskinan), bukan pada masalah akhlak. Karenanya dia berharap, ke depan, pemerintah untuk lebih memikirkan permasalahan mendasar masyarakatnya dari pada sekadar formalitas, seperti bisa mengaji.[]
Representation
DEPORT Penemuan Hindia Belanda dalam Bahasa Film Kolonial,
Memandang Sang Eksotis
Oleh Sigit B. Setiawan
T
ahun 1859 mungkin adalah tahun terberat yang pernah dihadapi oleh Eduard Douwes Dekker. Di kamar yang sempit di sudut negeri Belgia, Dekker yang kemudian dikenal sebagai Multatuli melahirkan karya terbesarnya: Max Havelaar. Roman yang ditulis di tengah kondisi ketidakmenentuan hidup, pengangguran, dan terancam perceraian itu justru memberikan warna lain dalam menggambarkan pribadi dan masyarakat yang dikunjunginya, seperti di Hindia Belanda.
Beeld 1924-1942” yang diterbitkan oleh Film Museum Belanda tampak masih tergoda dengan pesona eksotisme itu. Film dokumenter yang terdiri atas 15 bagian ini mendokumentasikan berbagai sisi Hindia Belanda pada tahun 1912 hingga 1942. Kehidupan Tuan-Nyonya Belanda di Deli dan Betawi, pabrik Karet di Asahan, Masyarakat Karo, Surabaya, Tanjung Priok, Tambang Minyak di
Dari novel yang kemudian diterjemahkan ke lebih 34 bahasa ini, penduduk Belanda seolah ditonjok kenyataan bahwa kemakmuran yang mereka nikmati selama ini adalah buah penderitaan negeri-negeri Timur yang mereka jajah. Jangankan indah, negeri-negeri Timur adalah negeri yang melarat nun menderita. Memang, berbeda dengan genre ala Joseph Conrad dan penulis besar lain di jamannya, Multatuli yang berarti “Aku Sangat Menderita”, lebih memilih jalan yang tidak populer dalam pelukisan negeri Timur seperti Hindia Belanda, yang ditulis dengan penuh empati dan pemberontakan. Sementara tokoh-tokoh besar lainnya lebih cenderung memberi gambaran terhadap kebudayaan bangsa atau etnis tertentu dalam kerangka eksotismenya, negeri Timur yang kaya raya dan perawan nun murni. Persis seperti taman Eden yang diceritakan moyang mereka. Namun pilihan Multatuli yang tidak populer ini malah kemudian mengubah kebijakan politik kerajaan Belanda di akhir abad IXX hingga awal abad XX. Bahkan mendorong kaum politik etis untuk melakukan perbaikan-perbaikan kondisi sosial dan pendidikan di Hindia Belanda. Namun, nalar eksotisme itu tak juga pudar oleh generasi sesudahnya. Lima puh tahun kemudian, para pembuat film yang terangkum dalam “Van De Kolonie Niets dan Goeds – Nederland-Indie in
Kalimantan, Upacara Kematian Tana Toradja, Upacara Ritual Sahyang Bali dan Perburuan Paus di Lamelarap (Desa Lamalera Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur) tampil dalam spectatorship dan gaze kolonial. Hubungan pandang-memandang “Diri” dan “Liyan” dalam terma cultural studies yang menjadi salah satu isu penting dalam pembentukan subyek terasa kental sepanjang dokumenter ini. Tuan dan Nyonya Belanda tampil dalam dunia impian nan eksotis Timur, Liyan muncul dalam konstruksi. Dokumenter yang dikomposisi ulang oleh Mark-Paul Meyer, sarjana lulusan Amsterdam yang sekarang menjadi kurator museum Belanda tampil persis seperti dalam tradisi antroplogi visual, catatan perjalanan, foto perjalanan dan lukisan tentang orang lokal yang eksotis. Lihat saja adegan yang begitu disorot dalam upacara kematian di Tana Toraja, pemenggalan Kerbau dan pembantaian Babi untuk pesta disajikan
dalam sudut pandang brutal di satu sisi dan eksotis di sisi lain. Begitu pula dengan Bali, yang semenjak awal abad XX telah dijadikan daerah kunjungan wisata oleh kolonial Belanda. Tak ayal, tiap dokumenter berdurasi antara 5 menit sampai 15 menit ini tampil untuk memenuhi estetika ekonomi pariwisata yang gencar pada jaman itu dan juga imajinasi eksotik negeri Timur yang indah dan perawan. Tindakan memandang yang muncul dalam citra-citra tersebut tentu membangun relasi kuasa antara pembuat film (kamerawan/ sutradara/ produser) dengan sosok-sosok Liyan, kejadian tempat dan obyek yang ada. Praktik memandang di sini tampak memberi kekuasaan lebih terhadap mereka yang memandang dibanding dengan mereka yang menjadi obyek pandangan. Jejak ekonomi pariwisata yang juga kental di sini memang bisa dimaklumi, sebab pada waktu itu adalah tren umum dokumentasi visual dari kolonial Eropa. Pemerintah Kerajaan Belanda sendiri menyokong dan mensubsidi kegiatan ini. Salah satunya melalui perusahaan pelayaran Kerajaan Belanda dan Asosiasi Lalu-lintas Pariwisata Hindia Belanda yang begitu gemar akan dokumentasi visual di Hindia Belanda. Tujuannya jelas ekonomis dan perbaikan citra akibat serangan kaum politik etis atas buruknya kondisi Hindia Belanda. Dokumentasi visual dan berbagai macam bentuk representasi di sini bisa kita maknai sebagai elemen penting pembentukan Timur sebagi Liyan, dimana budaya Timur diatribusikan sebagai yang barbar dan yang eksotis. Multatuli nampaknya berjasa memberi narasi lain tentang Hindia Belanda, meski tidak semua pelancong Kolonial Belanda mengkikuti jejaknya. Tanpa kesaksian Multatuli, seperti dalam Max Havelaar, mungkin kita saat ini, kelompok politik etis Belanda dan yang lainnya akan begitu saja menerima dan masih lena dengan jebakan ilusi tentang keindahan, padahal di sanasini banyak kemelaratan dan penderitaan.[] Vol. I/Edisi 3/Desember/2008
11
Desantara’s Activities
DEPORT
Dari Tanah Gayo, Membaca Narasi Lain Aceh Oleh SB Setiawan
B
erbicara tentang Nanggroe Aceh Darussalam selalu identik dengan Syariat Islam, GAM, Tsunami, Konflik, Kemerdekaan, DOM, Represi Orde Baru, dan lebih spesifik lagi adalah “Penjajahan Jawa”. Narasi-narasi dominan demikian sering terungkap, terbaca, dan bahkan tereduplikasi di Aceh. Demikian beberapa hal yang terungkap dalam “Pelatihan Jurnalisme Perempuan Multikultural berbasis Etnografi (PJPMBE)” yang diselenggarakan DESANTARA Foundation pada November 2008 lalu di desa Temidelem, Takengon, Aceh Tengah --atau biasa disebut sebagai Tanah Gayo. Selain menemukan sisi-sisi lain dari Aceh, dengan penekanan pada perspektif perempuan dan cultural studies, dari pelatihan yang menggabungkan teknik jurnalistik dan penelitian etnografi itu terbongkar permasalahan minoritas dalam minoritas dan euforia nasionalisme serta demokrasi lokal. Seperti dalam isu pemekaran wilayah ALA ABAS (Aceh
Leuser Antara, Aceh Barat dan Selatan) yang begitu nyaring didengungkan di wilayah Aceh Tengah melalui baliho, poster, kalender, dan aneka media lainnya. Bahkan, fenomena partai lokal yang marak di Aceh Pesisir tidak begitu nampak di Aceh Tengah. “Jika Aceh ingin merdeka, kami juga ingin punya propinsi sendiri,” demikian ucap salah satu tokoh muda yang hadir di pelatihan tersebut mengenai ihwal wacana Propinsi ALA ABAS. Kehendak pemekaran wilayah ini, secara umum, dilatari dua hal: politis dan kultural. Alasan politis lebih merupakan sikap
“Jika Aceh ingin merdeka, kami juga ingin punya propinsi sendiri,”
protes mereka atas ketidakmerataan pembangunan antara Aceh Tengah dengan Aceh Pesisir. Sementara alasan kultural tersandar pada argumen bahwa mereka yang selama ini memiliki kebudayaan, bahasa, dan nilai tersendiri sering termarjinalisasi dan terepresi secara kultural oleh Aceh pesisir. Selama ini, ada pembayangan yang ‘keliru’ mengenai Aceh. Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas 23 wilayah kabupaten dan dihuni oleh 9 suku bangsa yang berbeda sering kali dibayangkan sebagai suatu entitas tunggal. Berbagai diversitas yang ada seolah menjadi subjugated knowledge yang tergilas ketika Aceh Pesisir tampil secara dominan dan menjadi representasi tunggal dari ke-Aceh-an. Hingga muncul kesan elit pemerintah lokal pasca perundingan Helsinki sebagai sosok yang arogan dan menolak keberagaman. “Kepada siapa pun mereka berbahasa Aceh,” celetuk salah satu pemuda Gayo.[]
Menuju Video Etnografi
(Refeleksi Proses Dokumenter Desantara di Masyarakat Sasak) Oleh: Akbar Yumni
S
alah satu usaha untuk memvisualisasikan kehidupan masyarakat lokal adalah membangun video dengan pendekatan etnografi. Namun pendekatan video etnografi ini masih menyisakan persoalan representasi karena memasukkan dua unsur cara pendekatan yang tentu berbeda. Melihat bahwa video
di sebuah lokal tertentu, memalui kesadaran dan bahasa khas mereka dalam merefleksikan realitas lingkungannya. Sebagai sebuah perspektif, etnografi memiliki metode yang khas sehingga menuntut adanya beberapa alat ukur yang harus dipenuhi. Dalam konteks ini, etnografi menjadi sebuah perspektif yang cukup memadai secara etis dalam membaca atau menggambarkan keadaan suatu entitas atau masyarakat video dengan pendekatan etnografi membawa dua lokal tertentu. Karena dalam salah cara melihat dan memahami realitas satu cara pandang etnografi membuka peluang adanya bentuk simpati dan empati terhadap subyek yang secara eksistensi memiliki konsekuensi direpresentasikannya. instrumennya, maka video dengan Pada program audio visual Desantara pendekatan etnografi membawa dua cara bekerja sama dengan Hivoz, adalah melihat dan memahami realitas, khususnya mengangkat salah satu sisi kehidupan dalam melihat cara kehidupan masyarakat masyarakat Sasak yang ada di Pulau lokal. Lombok, Nusa Tenggara Barat. Program Sebagai sebuah alat pengetahuan, etnografi audio visual yang diadakan pada bulan September 2008 ini, mengambil merupakan sebuah metode dalam permasalahan masyarakat Sasak yang ada memahami kekehidupan masyarakat
dalam konteks kekinian, dengan melihat seberapa jauh dampak kebudayaan dan tradisi masyarakat Sasak yang ada. Dari beberapa diskusi yang ada, maka tema dokumenter berbasis multikultural ini mengangkat kisah tentang para kaum perempuan yang ditinggal oleh suami mereka yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) .di Malaysia. Tema dokumenter ini ingin melihat bentuk .perubahan relasi dan formasi sosial masyarakat Sasak yang terjadi di dalam kehidupan mereka yang bermatapencaharian menjadi TKI. Dengan semakin terkikisnya kebudayaan dan tradisi karena ketiadaan kaum laki-laki yang merantau, tentu akan berdampak pada peran kaum perempuan dalam menyikapi situasi sosial dan kebudayaan masyarakat, khususnya masyarakat lokal Sasak. Subyek masyarakat Sasak yang diangkat pada dokumenter ini adalah di wilayah Lombok Utara, tepatnya di daerah Bayan, Desa Luk.[]