SUMMARY EXECUTIVE DEMOCRATIC COLLABORATIVE GOVERNANCE PEDAGANG KAKI LIMA: Studi Penelitian Tentang Tindakan Kebijakan Kolaborasi Antar Stakeholder Secara Partisipatif dalam Pemecahan Masalah Pedagang Kaki Lima di Wilayah Solo Raya Oleh: Sudarmo1 Sonhaji Is Hadri Utomo
1. Pendahuluan Studi penelitian tentang pedagang kaki lima (PKL) se Soloraya melipui Kota Solo dan Kabupaten-kabuaten Sukaharjo, Boyolali, Karanganyar, Sragen, Wonogiri dan Klaten selama tahun 2009, memberikan gambaran tentang kesempatan hidup internal PKL secara detail dari sebagian komunitas yang termarginalkan dalam masyarakat Indonesia dan proses marginalisasi yang merupakan bagian kehidupan mereka seharihari. Penelitian ini memfokuskan pada pedagang kaki lima, pandangan mereka, motivasi mereka, sikap mereka, dan interaksi mereka dengan stakeholder lainnya. Studi ini juga menganalis dinamika tindakan-tindakan pemerintah-pemerintah daerah yang powerful dan kebijakannya terhadap PKL. Akhirnya keadaan ini membawa pada impikasi sosial ekonomi dari kebijakan dan tindakan pemerintah. Wilayah-wilayah perkotan di Solo Raya banyak menarik perhatian para pedagang sektor informal untuk bermigrasi ke lokasi ini. Kecenderungan migrasi dipicu untuk memperbaiki kehidupan pedagang informal tersebut. Jumlah PKL yang semakin besar akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan terutama sejak 1997 telah semakin memicu pertumbuhan PKL di Soloraya sulit ddikendalikan, dan mereka menempati tempattenmpat public yang tidaj jarang di larang oleh pihak pemerintah setempat. Keseluruhan studi meneliti seberapa jauh sumberdaya keuangan, manusia dan
1
Penyaji adalah dosen pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Peper dipublikasikan dengan judul Democratic Collaborative Governance Pedagaang Kaki Lima: Studi Penelitian Tentang Tindakan Kebijakan Kolaborasi Antar Stakeholder Secara Partisipatif dalam Pemecahan Masalah Pedagang Kaki Lima di Wilayah Solo Raya” dalam Kumpulan Executive Sumary Teknologi Tepat Guna. LPPM UNS Surakarta, ISBN 978-979-196101-1.Email:
[email protected].
sumberdaya lainnya dan struktur organisasi pemerintah telah digunakan secara transparan dan
bertanggung
jawab
dalam
menghasilkan
hasil-hasil
kebijakan
dengan
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan PKL terutma mereka yang paling lemah yang menguntungkan hidupnya semata dari usaha mereka sebagai PKL. Studi ini juga menelaah partisipasi PKL dalam proses pembuatan keputusan yang bisa berpengaruh bagi kesempatan hidup mereka; juga menjelaskan strategi pemerintah yang bisa berpengaruh bagi kehidupan PKL baik secara positif maupun negative, meski kebijakan kadang hanya menguntungkan sebagian orang saja dan sebaian lain justru dirugikan. Konsep democratic collaborative governance yang digunakan dalam studi ini dimaksudkan untuk bekerja sampai keluar batas-batas kapasitas pemerintah dalam membuat kebijakan dan mengimplementasikannya. Juga mencakup pilihan tentang tujuan kebijakan dan cara kebijakan tersebut diimplementasikan dalam mencapai tujuan. Studi tentang democratic collaborative governance yang menekankan pada local governance meneliti seberapa jauh partisipasi PKL dalam formulasi, implementasi dan proses keputusan di wilayah-wilayah kebijakan yanag bisa berpengaruh bagi kehidupan PKL. 2. Masalah Penelitian Proses interaksi antara pedagang kaki lima dan pemerintah daerah Soloraya dan stakehodlder lainnnya non-government yang ditelaah ingin menjawab pertanyaa besar, yaitu: (1) Bagaimana keputusan-keptusan tentang democratic collaborative governance pemerintah daerah/Kota Soloraya? Siapa yang berpartisipasi dalam proses keputusan?(2) Bagaimana Pemerintah daerah/kota memandang keberadaan PKL? Bagaimana hal ini terefleksikan dalam struktur dan saluran yang mereka gunakan untuk mengatasi PKL? (3) Seberapa jauh PKL ikut perpartisipasi dalam merumuskan kebijakan (misalnya peraturan daerah) berkenaan dengan kepentingan PKL? Siapa saja yang berpartisipasi? 3. Metodologi Penelitian ini menggunakan etnography method yang menekankan pada pengumpulan data/informasi melalui participant observation, indepth-interview, focus group, content analysis, dan unobstrutive data termasuk dokumen pemerintah, LSM, harian lokal dan data statistik. Dengan pendekatan etnography peneliti, banyak mendengarkan dan mengamati apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh obyek
yang diteliti sehingga memerlukan waktu penelitian yang sangat intensif dan lama di lokasi penelitian dimana obyek yang diteliti berada. Participant observation terutama dilakukan untuk memahami gejala-gejala umum secara seksama dilapangan di seluruh wilayah Solo Raya. Sedangkan dua anggota ditugaskan untuk membantu melakukan pengamatan di wilayah berbeda masing-masiang tiga daerah. 4. Temuan dan kesimpulan Penelitian di Soloraya menhasilkan temuan-temuan sebagai berikut: a. Tidak ditemukan kolaborasi antar Pemerintah Daerah/Kota se Soloraya secara nyata dalam menangani, memanage, mengelola, memberdayakan dan mengontrol PKL karena mereka tidak memiliki persamaan visi, misi dan juga perbedaan kepentingan terhadap penataan PKL secara terintegrasi dan sinergis. Masing-masing pemerintah daerah memiliki kepentingan yang berbeda-beda
yang dipengaruhi oleh kondisi
geografis masing-masing daerah yang berbeda-beda, jumlah PKL yang berbeda-beda, sikap politik PKL yang berbeda-beda, komitmen yang berbeda-beda, ketersediaan ruang publik yang berbeda-beda dan kemampuan sumberdaya pemerintah daerah yang berbeda-beda. Penanganan PKL di Solo lebih terstruktur, jelas dan tegas dibanding dengan pemerintah daerah se Soloraya lainnya, namun tidak berarti bahwa Solo lebih demokratis debanding daerah Soloraya lainnya dalam menata PKL. b. Ditemukan sejumlah pola penangan PKL secara berbeda-beda: (1) Pemerintah cenderung membiarkan aktivitas informal PKL terutama jika situasi politik sangat panas dan khawatir terjadi perlawanan PKL terhadap pihak pemerintah. Hal ini terutma terjadi pada awal reformasi. Seluruh pemerintah daerakh/kota membiarkan PKL beraktivitas dimanapun mereka suka. Dari segi politis, cara ini bisa membantu perkembangan PKL namun dari segi aestetika, cara ini justru akan menmperburuk keindahan kota. Namun keduanya adalah pilihan kebijakan sesuai dengan kepentingan pihak otoritas setempat yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. (2) Pemerintah cenderung tegas dan keras ketika pemerintah sendiri memiliki kepentingan tertentu, terutama berkenaan dengan upaya untuk meraih Adipura, yaitu dengan cara meminta PKL melaksanakan ketentuan atau kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah agar kota menjadi kelihatan bersih dan rapih.
Batapapun rauang partiisipasi bagi PKL dibuka dan PKL dilibatkan secara fisik, namun partisipasi ide-ide PKL betapapun dimunculkan, kepentingan pemerintah begitu kuat sehingga tidak ada pilihan lain kecuali
PKL diminta untuk
mendukung kebiakan pemerintah yang telah ditentukan oleh pemerintah sendiri, sehingga yang terjadi adalah kooptasi dan bahkan dominasi kepentingan pemerintah setempat terhadap kepentingan PKL. (3) Pemerintah pada dasarnya mampu menyediakan dana bagi pemberdayaan PKL, namun ada kecenderrungan bahwa kontrol aliran dana oleh pemerintah sangat lemah. Peruntukan kemana dana dialirkan, apakah benar-benar sampai ke PKL atau ke tangan oknun-oknum tertentu yag tidak bertangung jawab, tidak ada mekanisme yang jelas. Akibatnya, praktik korupsi yang disebabkan kontrol eksternal oleh pemerintah, justru terjadi. (4) Sampai dengan tingkat tertentu kolaborasi pemerintah setempat, PKL lokal dan pihak swasta dalam menangani peroalan PKL terjadi, namun kelanjutan kolaborasi itu sendiri sangat ditentukan oleh tingkat kesamaan kepentingan masing-masing stakeholder. Semakin kepentingan mereka berbeda-beda, maka semakin besar tidak terselenggaranya kolaborasi. (5) Ada kecenderungan bahwa PKL bersifat opportunistik, terutama ketika ada kesempatan mendapatkan kemanfaatan materi dari pihak pemerintah atau swasta, tanpa memikirkan akibat negatif yang ditimbulkan bagi anggota lainnya, pemerintah setempat, dan pihak swasta (penyedia/provider) yang secara konsisten mengikuti aturan dan prosedur yang disepakati. (6) Ada kecenderunga, PKL yang memiliki network terhadap pihak penguasa, yang memiliki otoritas tertetu untuk melindunginya, survive. Sebaliknta PKL yang idak memiliki links terhadap otoritas (pemegang kekuasaan) cenderung collapse dan tergusur. (7) Networks yang terjadi secara internal dalam organisasi PKL dan antar pagyuban PKL bisa memperkuat posisi tawar PKL terhadap setiap kebijakan pemerintah setempat, namun konflik diantara mereka justru akan merongrong kohesivitas organisasi karena proses marginaliasasi anggota oleh pengurus atas nama paguyuban terjadi.
(8) Sebuah kebijakan relokasi bisa menimbulkan akibat negatif bagi atau terganggunya suatu komunitas tempat tujuan relokasi. Namun pada saat yang sama sebagian komunitas setempat justru diuntungkan akibat kebijakan tersebut. (9) Pola pembuatan keputusan cenderung masih bersifat top-down, yakni belum secara optimal mengakomodasi kepentingan-kepentimngan PKL mengingat kepentingan mereka kadang bertentangan dengan kepentingan pemerintah setempat yang telah memiliki program-program atau agenda-agenda tertentu yang harus
dilaksanakan
atau
diimplementasikan
sedangkan
proram-program
pembangunan tersebut tidak selaras dengan tuntutan-tuntutan PKL. 5. Implikasi kebijakan ke Depan Pemerintah maupun swasta formal seharusnya memandang PKL sebagi mitra kerja karena kepentingan mereka bisa terhambaat jika tidak mendapat dukungan dari PKL. PKL juga salah satu kontributor bagi pengkatan PAD jika dikelola dengan seksama. Komitmen daerah untuk menjaga keindahan kota adalah bagus, namun keadaan ekonomi masyarakat yang belum tertata dan meningkat sulit untuk mempertahankan keindahan kota karema sektor informal PKL selalu akan muncul. Ini berarti bahwa fokus perbaikan ekonomi jauh lebih utama daripada memprioritaskan keindahan kota tetapi kurang memprhatikan perbaikan ekonomi. Keindahan kota terkesan lebih hanya dinikamati oleh mereka yang cenderung memiliki tingkat sosial ekonomi menengah atas, sebaliknya orang dengan tingkat ekonomi rendah (miskin) melihat keindahan kota mengesankan kesombongan penguasa atau kaum berada terhadap kaum marginal yang kurang terperhatikan. Membagun kembali tacid knowledge tentang rasa kebersamaan yang terdegradasi penting untuk dilakukan agar kearifan lokal bisa terjaga, dan rasa damai antar sesama bisa terpelihara. Terlebih, sebagian PKL adalah migran dari daerah lain yang suatu saat bisa berpindah ke dari satu tempat tempat baru lainnya mengikuti pusat-pusat keramian orang beraktivitas, seperti di pusat-pusat kota. Keadaan ini memiliki implikasi sosial, ekonomi maupun politik yang sama-sama dihadapi oleh pemerintah setempat dan PKL serta stakjeholder lainnya. Dengan demikian, penting bagi pemerintah daerah/kota khususnya se- Soloraya (dan bisa diperluas ke wilayah lainnya) secara bersama-sama dan sinergis melakukan penataan PKL secara kolaboratif yang proses dan tujuan akhirnya bisa
memperbaiki kehidupan PKL terurama mereka yang ber modal amat kecil (miskin secara ekonomi maupun politik) agar bisa berkontribusi potitif bagi pembangunan daerah dimana dia berada secara sinergis, tanpa mengabaikan kepentingan-kepentingan stakeholder lainnya. Tentu hal ini tidak mudah karea ada kecenderungan setiap kebijakan memberikan efek positif bagi stakeholder tertentu dan efek negatif bagi stajekolder lainnya. Oleh katena ini untuk mewujudkan kan hal ini perlu pemerintah melakukan kajian secara cermat dan mendalam dengan melibatkan ahli-ahli di bidang kebijakan publik, governance, ekonomi, social, dan politik yang bisa membantu pemerintah daerah/kota untuk mendesain pola atau formula penataan PKL yang bersifat collaborative governance se Soloraya (dan bisa diperluas wilayahnya) sehingga bisa mewujudkan harapan semua pihak. Jelas bahwa Democratic Colaborative Governance terhadap PKL sebenarnya bisa dilakukan jika pemerintah menyadari bahwa sebenarnya mereka memiliki persamaan tangung jawab dalam menghadapi dan menangani perosalan PKL karena PKL pada dasarnya mobile, yang bisa berpindah dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Dengan demikian, dengan melakukan kolaborasi dalam penataan, pengelolaaan dan manajemen PKL dimana PKL itu bisa datang dan pergi dari dan ke daerah tertentu, maka governance PKL paling tidak bisa meringankan dalam memecahkan masalah karena tanggung jawab ini dipikul bersama-sama oleh seluruh pemerintah daerah /kota termasuk tanggunjawab bagi PKL juga. Bahkan jika dilakukan secara seksama dengan memperhatikan akar masalah, transparan, akuntabel, responsible dan responsive, pemecahan urusan PKL bisa tuntas. Jika kolaborasi antar pemerintah daerah/kota belum bisa terselenggara karena tajamnya perbedaan kepentingan lokal dan perbedaan-perbedaan mendasar masingmasing daerah, kolaborasi lokal tingakat daerah bisa diselenggarakan. Namun mensyaraktkan bahwa pemerintah daerah/kota dan PKL serta stakeholder lainnya yang secara normative harus terlibat, memiliki komitmen bersama, dan sama-sama memahami arti pentingnya hidup bersama yang bisa memberikan kontribusi negatif maupun positif satu sama lain. Dengan memahmi seperti, authentic dialogue perlu dikembangkan sehingga memungkinkan terungkapkanya secara jelas dan terbuka masing-masing kepentingan yang sebenarnya dibalik apa yang diungkapkan secara lisan maupun tulisan,
yang pada akhirnya memudahkan proses negosiasi untuk mengakomodassi kepentingan semua stakeholder, sehingga konflik destruktif bisa diatasi, paling tidak bisa dihindari, dan dikurangi seminimal mungkin.