Tap XXXIII/MPRS/1967
KETIKA memberi sambutan dalam rangka 100 Tahun Bung Karno di Blitar, Rachmawati Soekarnoputri mengusul-kan agar Ketetapan Tap XXXIII/MPRS/1967 dicabut. Menurut Rachmawati, Tap itu merupakan produk Orde Baru (Orba) yang menyengsarakan rakyat. Kini, kata Rachmawati, sudah saatnya kita mencari solusi. Untuk itu kita perlu kembali ke-pada semangat Proklamasi 1945. Usul itu mendapat dukungan Presiden Abdurrahman Wahid. Tap XXXIII/MPRS/1967, selain karena diusulkan Rachmawati untuk dicabut, ada baiknya kita buka kembali menjelang Sidang Istimewa (SI) MPR mendatang, mengingat itu adalah Ketetapan MPRS yang menandai pergantian kepe-mimpinan rasional, dari Bung Karno ke Pak Harto, melalui sebuah SI MPRS. Inilah pengalaman kita pertama kali terjadi pergantian kepemimpinan nasional dan itu pun terjadi dalam suatu SI MPR(S). Timbul pertanyaan bagian materi-materi manakah dari Tap MPRS itu sehingga Rachmawati meng-usulkan pencabutan? Timbul pertanyaan, apakah pengalaman SI MPR (S) tahun 1967 dapat memberi pelajaran bagi kita semua dalam menghadapi SI MPR Agustus nanti?
TAP XXXIII/MPRS/1967 adalah sebuah ketetapan MPRS tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan dari Presiden Soekarno. Pasal I TAP MPRS itu menyatakan, Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungan jawab konsti-tusional sebagaimana layaknya seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberi mandat, yang diatur dalam UUD 1945. Pasal 3 TAP XXXIII/MPRS/1967 menyatakan, "Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum" dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat dari presiden Soekarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam UUD 1945. Tap ini lalu menetapkan pemegang TAP IX/MPRS/ 1966, Jenderal Soeharto, sebagai pejabat presiden (Pasal 4). Selanjutnya, pada Pasal 6 dikatakan, penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Soekarno, dilaku-kan menurut ketentuanketentuan hukum dalam rangka mene-gakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaan-nya kepada pejabat presiden. Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kejadian lalu muncul Tap XXXIII/MPRS/1967 itu?
SEANDAINYA ada anggota MPRS yang bersedia men-ceritakan proses keluarnya Tap XXXIII/MPRS/1967 tentu akan lebih baik. Kesan penulis, yang bukan anggota MPRS saat itu, Tap XXXI1I/MPRS/1967 itu lahir melalui proses panjang dan melelahkan. Sejak timbul G30S/PKI di tahun 1965 (30 September), kemudian lahir Front Pancasila, bayang-bayang tuntutan terhadap mundurnya Presiden Soekarno telah dimulai. Hal ini terlepas, Presiden Soekarno telah memperoleh peng-angkatan sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS juga (Tap III/MPRS/1963) sebabnya secara singkat, Bung Karno tidak
bersedia membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang waktu itu merupakan tuntutan politik amat kuat yang disuarakan Front Pancasila dan kesatuan-kesatuan aksi, ter-masuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kenyataan seperti itu melahirkan "dualisme" kepemim-pinan nasional karena pimpinan TNI/ABRI, khususnya Angkatan Darat (baca Pak Harto) memberi green-light tun-tutan pembubaran PKI. Dalam waktu bersamaan, dukungan rakyat terhadap Bung Karno menurun, sementara dukungan terhadap Pak Harto meningkat. Pak Harto sejak itu sesung-guhnya sudah didorongdorong untuk mengambil alih kepemimpinan nasional. Tritura (Tri Tuntutan Rakyat yang terdiri dari bubarkan PKI, bubarkan kabinet 100 menteri, dan turunkan harga), yang dicetuskan 15 Januari 1966 yang ter-kenal itu menjadi motivasi besar terhadap mahasiswa untuk melancarkan demonstrasi secara besarbesaran. Demo maha-siswa ini mencapai puncaknya ketika seorang mahasiswa kedokteran (Arief Rahman Hakim) tertembak di depan Istana Negara, sampai akhirnya keluar Surat Perintah (SP) 11 Maret 1966. Tanggal 12 Maret 1966, pemegang SP 11 Maret, Letnan Jenderal Soeharto, yang juga Menteri Panglima Angkatan Darat, membubarkan PKI. Pada waktu itu sudah terdengar rumor politik, Bung Karno tidak setuju dengan langkah Letjen Soeharto itu. Apa yang terjadi seandainya Bung Karno mencabut keputusan pemegang SP 11 Maret? Tidak mustahil akan terjadi konflik fisik amat hebat. Sebab, Bung Karno pun masih memperoleh dukungan dan loyalitas cukup kuat dari sementara kekuatan rakyat dan ABRI. Mungkin karena alasan ini, Bung Karno tidak melakukannya. Tetapi, "dualisme" kepemimpinan nasional (ternyata) belum berakhir. Demo makin besar dan tuntutan terhadap Bung Karno untuk mundur makin meningkat. Pada sidang MPRS Juni
1966, untuk pertama kali pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno memperoleh kritik hebat. Dalam sidang MPRS Juni 1966 ini ada beberapa keputusan amat penting. Pertama, Tap IX/MPRS/1966 mengukuhkan SP 11 Maret 1966. Dengan Ketetapan ini, materi SP 11 Maret 1966 dijadikan Ketetapan MPRS sehingga (seandainya) Bung Karno tidak mungkin lagi mencabut SP 11 Maret 1966. Letjen Soeharto memperoleh mandat untuk melaksanakan Tap IX/MPRS/1966. Kedua, Tap XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera. Dalam ketetapan ini disebutkan, presiden menugas-kan Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban Tap IX/ MPRS/ 1966 untuk segera membentuk Kabinet Ampera (Pasal 2). Selanjutnya dikatakan, dalam menyusun kabinet, Letjen Soeharto wajib berkonsultasi dengan pimpinan DPR dan MPRS (Pasal 5), dan melapor kepada presiden (Pasal 6). Ketiga, Tap XVIII/MPRS/1966 tentang peninjauan kembali Tap III/MPRS/1963, tentang pengangkatan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Keempat, Tap XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme. Dari Sidang MPRJuni 1966 itu, meski kedudukan Presiden Soekarno sudah melemah, tetapi dia tetap Presiden RI. Letjen Soeharto yang ditugasi menyusun Kabinet Ampera, lalu me-mimpin sebuah kabinet dengan Letjen Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik sebagai anggota presidium. Toh "dualisme" kepe-mimpinan nasional belum tuntas. Pada Januari 1967, Presiden Soekarno menyampaikan Pelengkap Nawaksara, disampaikan pada sidang MPRS 22 Juni 1966 kepada DPR. Setelah DPR mempelajari pelengkap Nawaksara itu, ternyata-DPR masih belum puas. Karena itu,
melalui Resolusi Djamaludin Malik dkk (NU), DPR meminta MPRS untuk melaksanakan Sidang Istimewa. Dalam sidang Istimewa Maret 1967, keluar Tap XXXIII/ MPRS/1967 seba-gaimana dikemuk'akan di atas. Masalah utama, karena Bung Karno tetap dianggap tidak bersedia membubarkan PKI. Hal ini tampak jelas dalam konsiderans TAP itu. Dalam pandangan Bung Karno, G30S/PKI disebabkan tiga faktor yang saling terkait, yaitu keblinger-nya pimpinan PKI, intervensi subversi Nekolim, dan memang ada hal-hal yang tidak benar. Apa yang terjadi setelah itu?
PROSES jatuhnya Bung Karno (dari Oktober 1965 sampai Maret 1967) memerlukan waktu 18 bulan. Dalam kurun waktu itu, kondisi politik amat tidak menentu, disertai pembunuhan anggota/simpatisan PKI di berbagai daerah, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan daerah lainnya. Hal ini disebabkan karena G30S/ PKI sendiri dimulai dengan pembunuhan para pimpinan teras TNI/Angkatan Darat di pusat, termasuk pimpinan Angkatan Darat di daerah—Kolonel Katamso di Yogyakarta. Suasana batiniah rakyat diselimuti kekhawatiran, dibunuh atau membunuh. Apalagi tersebar daftar tokoh-tokoh antikomunis yang rencananya akan dibunuh. Semua orang teringat pemberon-takan PKI tahun 1948 di Madiun, yang disertai pembunuhan yang keji terhadap tokoh-tokoh antikomunis. Kini, yang terjadi adalah sebaliknya. Tenggang waktu yang cukup lama kejatuhan Bung Karno antara lain juga karena sikap Pak Harto. Terlepas adanya tuduhan kudeta atau sikap kurang baik Pak Harto terhadap Bung Karno seperti yang sekarang beredar, Pak Harto sesungguhnya amat ragu untuk tampil menggantikan Bung Karno. Pak Harto saat itu dikenal sebagai alon-alon waton kelakon dan mikul nduwur
mendemjero. Banyak kalangan pendukung Pak Harto sebenarny; tidak sabar menghadapi sikap Pak Harto. Seandainya Bung Karno bersikap tegas terhadap PKI, pe-nulis yakin Pak Harto tidak akan mengambil sikap "melawan" Bung Karno. Bahkan, dalam pengakuan Pak Harto pada buku otobiografi Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (hlm. 204), setelah menjadi pejabat presiden, Pak Harto masih membuka kemungkinan Bung Karno tetap menjadi presiden asal bersikap tegas terhadap PKI. Dengan demikian, Bung Karno tidak perlu jatuh. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa mayoritas mahasiswa, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pada akhir tahun 1965 atau awal 1966 sebenarnya sudah menganggap Bung Karno sudah harus turun. Saya men-cermati, di balik sikapnya, Bung Karno memiliki sebuah nilai tersendiri sebagai seorang negarawan. Tap XXIII/MPRS/1967 memang sangat menyakitkan bagi keluarga Bung Karno. Tetapi, itulah politik. Penulis tidak dapat membayangkan, Bung Karno dilarang melakukan kegiatan politik sampai pemilihan umum. Meski Pak Harto menetapkan Istana Bogor sebagai kediaman Bung Karno, istana yang megah itu tidak lebih sebagai penjara. Apalagi kalau ada petugas yang overacting, yang dapat membuat perasaan keluarga Bung Karno lebih sakit hati. Anggota MPRS saat itu kiranya dapat menjelaskan, me-ngapa ada Tap seperti itu, khususnya Pasal 3, yang melarang Bung Karno melakukan kegiatan politik. Pak Harto sebagai pejabat presiden tentu berpedoman pada Tap XXIII/MPRS/ 1967. Barangkali, yang harus kita hormati dari sikap Pak Harto dalam melaksanakan ketetapan itu antara lain adalah kebi-jakan menghentikan proses pemeriksaan terhadap Bung Karno dan tidak mengajukan Bung Karno ke pengadilan (Pasal 6).
Sebuah sikap yang melawan arus untuk kurun waktu itu, meski konstitusional. Saya setuju saran Rachmawati Soekarnoputri, agar kita kembali kepada semangat Proklamasi 1945. Semangat inilah yang rasanya telah hilang dari kehidupan kita sehari-hari. Tetapi, mencabut Tap XXXIII/MPRS/1967, apakah tidak hanya akan membuka luka-luka lama. Mempersoalkan sikap Bung Karno terhadap PKI, mempersoalkan Nawaksara dan sebagai-nya, sementara saksi-saksi sejarah sudah minim? Nota bene, nama Bung Karno juga sudah mulai "direhabilitasi" sejak Orba sekalipun, dengan predikat Pahlawan Proklamasi, pembangunan patung proklamator serta nama Bandara Soekamo-Hatta. Apalagi sekarang, nama Bung Karno telah sepenuhnya utuh kembali. Suatu hal yang harus kita syukuri. Semua itu merupakan bagian sejarah bangsa ini, yang sangat penting kita pahami bersama. Kompas, Sabtu 7 Juli 2001