No.02/Tahun II/2008
N o . 0 2 / Ta h u n I I / 2 0 0 8
Dinamika Perundingan ASEAN Dengan Australia & Selandia Baru Pertemuan ASEAN – Australia New Zealand Trade Negotiating Committee (AANZTNC) kembali digelar untuk ke-15 kalinya pada tanggal 2 – 7 Juni, di Hanoi, Vietnam. Melalui pertemuan yang berlangsung alot ini, disepakati berbagai hal penting mengenai aspek modalitas, Rules of Origin (ROO), kerja sama ekonomi, dan investasi yang diikuti dengan beberapa kali perundingan lanjutan. Berdasarkan pembicaraan bilateral selanjutnya antara Indonesia dengan Australia, dibahas isuisu yang terkait dengan timeline pelaksanaan proyek-proyek dalam kategori high, medium dan low. Indonesia mengajukan 8 proyek. Sementara mengenai Trade in Services, isu-isu yang dibahas antara lain adalah Trade on Services Chapter yang berisi 22 pasal serta lampiran Annex Telecommunication, E-Commerce, dan Movement of Natural Person.
Pada sidang ini, Australia menyampaikan revisi penawaran terbaru untuk Normal Track (5.600 pos tarif atau 91,4% dari total pos tarif) dan Sensitive Track (524 pos tarif atau 8,6%). Revisi ini telah mengakomodasi 44 pos tarif (produk tekstil dengan tarif 7,5%) atau 0,7% dari total pos tarif Indonesia senilai US$837 ribu. Australia juga meminta penerapan Zero For Zero (ZFZ) untuk produk otomotif dan alas kaki, yakni
penghapusan tarif pada saat entry into force serta mengharapkan tingkat komitmen otomotif Indonesia setara AFTA. Berkaitan dengan Rules of Origin (ROO), pembahasan difokuskan pada isu yang tertunda pascapertemuan di Brisbane, yakni draft text Rules of Origin (ROO), draft text Operational Certification Procedures (OCP), dan penerapan Product Specific Rules (PSRs). ASEAN dan ANZ telah membahas PSRs atas seluruh produk dan menyepakati PSRs atas 693 pos tarif. Sementara 327 pos tarif masih menunggu persetujuan ANZ dan 2 pos tarif menunggu persetujuan ASEAN.
Pusat Administrasi Kerjasama Internasional, Departemen Perindustrian
Kelompok Kerja Investasi juga membahas tentang Chapter Investment yang terdiri dari 19
MENU EDISI INI
Pertemuan di Hanoi Juni lalu merupakan kelanjutan dariAANZTNC ke-14 yang diselenggarakan di Brisbane, Australia pada tanggal 19– 26 April 2008.
1 | Dinamika Perundingan ASEAN Dengan Australia & Selandia Baru 3 | The Dynamics Of Asean Negotiation With Australia & New Zealand 5 | Menilik Kerja Sama Dengan India 6 | A Glance At The Agreement With India 7 | Posisi Negosiasi NAMA WTO 8 | Hadapi Persaingan Global dengan OVOP 9 | Reformasi Birokrasi Dengan Capacity Building 9 | Produk Garmen Indonesia Diminati Luar Negeri 10 | Results from the 30th AC-TNC Meeting 11 | Keberhasilan dan Tantangan in Country Training Kerjasama dengan JICA Industry Going Globally | 1
No.02/Tahun II/2008
pasal. Dari 19 pasal tersebut, belum tercapai kesepakatan di antara negara-negara anggota ASEAN mengenai Taxation Measure, Relation to other Chapters, Reservation,Transparency ofArbitrial Proceedings, dan Participation by the parties. Sedangkan pasalpasal yang belum dapat disepakati antara ASEAN dengan pihak Australia dan Selandia Baru antara lain adalah legal institutional issues, dispute settlement mechanism, dan institutional provisions. Hingga pertemuan terakhir AANZTNC belum berhasil mencapai kesepakatan sepenuhnya. Kegagalan tersebut di antaranya terjadi karena sikap Australia dan Selandia Baru yang kurang fleksibel dalam menerima tawaran dan merespons permintaan ASEAN. Dengan demikian, untuk menentukan arah berikutnya, diselenggarakan pertemuan khusus dan rapat-rapat lanjutan. Pertemuan Khusus ASEAN --Australia New Zealand Trade Negotiating Committee (AANZTNC) selanjutnya dilakukan pada tanggal 21 - 25 Juli 2008 di Singapura. Pertemuan ini dilaksanakan untuk menyelesaikan proses negosiasi AANZFTA mengenai berbagai isu tertunda yang belum dapat disepakati pada Pertemuan AANZFTA ke-15 yang lalu. Draft text chapter ditargetkan akan ditandatangani pada bulan Agustus 2008 saat pertemuan ASEAN Economic Ministers (AEM) di Singapura. Pertemuan khusus ini berhasil menyepakati beberapa hal utama. Dalam aspek modalitas dihasilkan kesepakatan eliminasi Normal Track yang mencakup 80% dari total pos tarif dan 75% dari total impor masing-masing pihak serta Exclusion List sebesar 489 pos tarif dengan nilai impor maksimal 5%.
2 | Industry Going Globally
Sementara itu, Kelompok Kerja ROO berhasil menyelesaikan PSRs untuk semua produk sebanyak xxxx pos tarif, kecuali 2 pos tarif (cashew nut dan minyak kedelai) yang akan diselesaikan ASEAN secara internal. Berdasarkan pertukaran proposal paket PSRs ASEAN dan ANZ pada putaran sebelumnya di Hanoi, terdapat 47 pos tarif yang masih harus diselesaikan dan 35 pos tarif di antaranya adalah produk otomotif. Selain pertemuan khusus AANZTNC yang diselenggarakan pada bulan Juli, dilakukan rapat bilateral dengan delegasi Australia pada tanggal 12 - 13 Agustus 2008 dan dengan delegasi Selandia Baru pada tanggal 14 Agustus 2008. Sesuai hasil Pertemuan Khusus AANZTNC di Singapura, disepakati bahwa perdagangan barang dan jasa akan menggunakan modalitas masing-masing. Tujuan pertemuan ini dimaksudkan untuk menegosiasikan permintaan dan penawaran dalam kerangka AANZ serta menyelesaikan isu tertunda mengenai tarif perdagangan barang dan jasa. Kesepakatan lainnya mengenai modalitas menghasilan keputusan bahwa Sensitive Track dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Sensitive Track-1 (ST-1) dan Sensitive Track -2 (ST-2). Produk dalam Sensitive Track-1 akan mengalami penghapusan atau penurunan tarif pada tahun 2020. Khusus untuk Indonesia dan Filipina, tarif akhir pada tahun 2020 adalah 0 - 5%. Indonesia juga memberikan jadwal penurunan/penghapusan tarif produk Sensitive Track. Akan tetapi, jadwal penurunan tarif tersebut masih belum mencukupi jumlah yang diinginkan pihak Australia, yaitu Normal Track sebesar 90%
pos tarif dan Sensitive Track-1 sebesar 6%. Oleh karena itu, pihak Australia mengharapkan tambahan pos tarif dengan tarif akhir 0% dari ST-1 sehingga dapat mendekati modalitas proposal ASEAN. Pihak Australia mengirimkan daftar 117 pos tarif tekstil yang dapat diperbaiki oleh Australia untuk ditanggapi Indonesia. Wakil dari Industri Tekstil dan Produk Tekstil, Departemen Perindustrian, dapat menerima tawaran yang dimaksud dan menawarkan 362 pos tarif produk tekstil (sudah termasuk 59 produk yang ditawarkan Australia) untuk dipertimbangkan. Sementara itu, pertemuan dengan delegasi Selandia Baru secara umum menitikberatkan pada produk-produk pertanian dan tidak membahas produk manufaktur yang berkaitan dengan industri. Menghadapi kemungkinan pembahasan lebih lanjut dalam kerangka AANZTNC, Departemen Perindustrian sebagai salah satu departemen yang berkepentingan perlu berkoordinasi dengan sektorsektor terkait untuk melakukan pembahasan demi memberikan masukan yang menguntungkan posisi Indo-nesia dalam pengembangan industri.
No.02/Tahun II/2008
The Dynamics Of Asean Negotiation With Australia & New Zealand The 15th ASEAN – Australia New Zealand Trade Negotiating Committee (AANZTNC) meeting was held once again on 2 –7 June, in Hanoi, Vietnam. The negotiation agreed several important matters concerning modality aspect, Rules of Origin (ROO), economic co-operation and investment that followed with several further talks. The meeting in Hanoi was a continuation of AANZTNC meeting in Brisbane, Australia on 19 – 26 April 2008. In this session, Australia delivered revision of new bargaining for Normal Track (5,600 tariffs posts or 91.4% of total tariff post) and Sensitive Track (524 tariff posts or 8.6%). This revision has accomodated 44 tariff posts (the textile product with tariff 7,5%) or 0.7% of total Indonesian tariff post equal with US$837,000. Australia also asked for Zero For Zero application (ZFZ) for automotive product and footwear, which is to eliminate the tariff at the time of entry into force as well as expected commitment from Indonesian in automotive.
should not consider originating status. Instead, implementing full cumulation would be enough.
Regarding the Rules of Origin (ROO), discussions focused on issue that were postponed during meeting in Brisbane, including draft of Rules of Origin (ROO), draft of Operational Certification Procedures (OCP), and the implementation of Product Specific Rules (PSRs).
ASEAN and ANZ has discussed PSRs on all products and agreed to PSRs on 693 tariff posts. 327 tariff posts were still waiting for the agreement of ANZ and 2 tariff posts were waiting for ASEAN agreement. For ROO matter, 1,022 tariff posts still had not agreed yet by both sides.
In draft PSRs discussions, both sides haven’t agreed about cumulation implementation in AANZFTA. ASEAN wanted that this cumulation is implemented based on CEPT-AFTA (RVC 40%), whereas the ANZ continue to demand that the process of the cumulation
Further bilateral talks between Indonesia and Australia also discussed issues related to timeline of the projects in the category of high, medium and low. Indonesia proposed 8 projects, but only 1 project that had high category. In this case, Australia stated that the
fund could only be allocated for high category project, whereas the medium and low category would be implemented if the fund was still available or the projects had extra fund. Technically, Indonesia asked to include statement in the program agreement to reflect flexibility that the project with medium and low priority would have the same opportunity to be implemented. Regarding Trade in Services, the issue that were discussed include Trade on Services Chapter with 22 articles, Annex Telecommunication E-Commerce, and Movement of Natural Person. The Investment working group also discussed Investment Chapter that Industry Going Globally | 3
No.02/Tahun II/2008
consisted of 19 articles. From 19 articles, ASEAN member countries had not yet reached the agreement about Taxation Measure, Relation to other Chapters, Reservation, Transparency of Arbitrial Proceedings, and Participation by the parties. Furthermore, articles that still need further discussion includes instutional issues, dispute settlement mechanism, and institutional provisions. Until the last negotiation, AANZTNC had not yet succeed in achieving the agreement. This failure happened because the inflexibility from Australia and New Zealand in accepting the offer and responding the request of ASEAN. Thus, in order to determine next direction of the agreement, special meetings and advanced meetings was arranged. The next special meeting of AANZTNC was held on 21 - 25 July 2008 in Singapore. This meeting was carried out to complete the process of AANZFTA negotiations concerning various issues which had not been agreed in previous meeting. Draft text chapter was targeted to be signed in August 2008 during the ASEAN Economic Ministers (AEM) meeting in Singapore. This special meeting agreed to 2 main aspects, Modality and Rules of Origin (ROO). The results of agreement on modality are as follows: (i) elimination of Normal Track, including 80% of the total tariff post and 75% of the total import from both sides, (ii) reduction and elimination of Sensitive Track tariff, including 10% of the total tariff post. In the meantime, the ROO Working Group was successful in resolving PSRs issues for xxxx tariff post, 4 | Industry Going Globally
except 2 tariff posts (cashew nut and soybean oil). This will be further discussed in ASEAN meeting internally. Therefore, on the next round of ASEAN and ANZ meeting, there are still 47 tariff posts that must be agreed on.
products. But, this schedule still did not fulfill the Australia’s demand, which is 90% of tariff post for Normal Track and 6% for Sensitive Track-1. Therefore, the Australian side hoped for tariff post addition with final tariff of 0% for ST-1.
Apart from the special meeting held in July, bilateral meeting with Australia delegation was held on 12 - 13 August 2008 and meeting with New Zealand delegation on 14 August 2008. In accordance with the results of Special Meetings in Singapore, both sides agreed that the trade in goods and services will use modality from respective countries. This meeting aimed to negotiate the supply and demand in AANZ framework and also completed postponed issue concerning trade tariff in goods and services.
Australia sent list of 117 posts of textile tariff that could be revised in order to response Indonesia’s demand. The representative from Textile Industry and Textile Product, Department of Industry, could accept the list and offered 362 tariff posts of textile product to be considered.
Other agreements on modality had come up with results concerning Sensitive Track that was divided into 2 section: Sensitive Track-1 (St-1) and Sensitive Track -2 (St2). Tariff of product in Sensitive Track-1 will be reduced or cut off on 2020. Especially for Indonesia and Philippines, final tariff on 2020 would be 0 - 5%. Indonesia also gave schedule for tariff cut off of the Sensitive Track
In the meantime, the meeting with New Zealand delegation generally emphasize on agricultural products and did not discussed manufacture products related with industry. In order to cope with the possibility of further discussions in the AANZTNC framework, Department of Industry as one of departments dealing with this matter, must coordinate with related sectors to carry out discussions in order to give beneficial input that will win Indonesia’s position in the industrial development.
No.02/Tahun II/2008
Menilik Kerja Sama Dengan India Pertemuan ASEAN – India Free Trade Agreement (ASEAN-India FTA) digelar di Singapura pada tanggal 25 - 29 Agustus 2008 lalu. Target forum ini mencakup kerja sama miliaran dolar yang akan ditandatangi pada ASEAN-India Summit Desember mendatang. Salah satu keputusan utama yang disepakati adalah reduksi Highly Sensitive List produk India, yaitu kopi, teh hitam, dan lada dengan tarif akhir 45%, 45%, dan 50%. Selain itu, dalam hal Operational Certification Procedures (OCP), disepakati 27 item HS 6 digit (HS 2007) dari 529 item usulan India yang mencakup Tekstil dan Pakaian (438 item) serta Nontekstil (91 item) dengan menggunakan pendekatan produksi dan nilai ekspor masingmasing negara ASEAN ke India. ASEAN tidak menyetujui seluruh usulan India mengenai Tekstil dan Pakaian karena akan menyulitkan ekspor negara-negara ASEAN ke India. Terhadap usulan Nontekstil, ASEAN meminta penjelasan ketentuan chemical reaction, terutama mengenai apakah “extraction” memenuhi kualifikasi sebagai chemical reaction. Dalam hal ini, India akan melakukan konsultasi kepada para ahli dan menyampaikan klarifikasi kepada ASEAN secara intersessionally. Berdasarkan hasil Pertemuan ke-10 AITNC, disepakati bahwa reciprocal basis digunakan sebagai dasar penyusunan jumlah PSR. Untuk itu, ASEAN menyepakati 27 item PSR (HS 2007) sebagai usulan ASEAN dengan kriteria lebih liberal serta mengacu pada PSR List yang telah disepakati dalam CEPT AFTA dan ASEAN-Mitra Dialog. Ke-27 produk PSR tersebut merupakan usulan lima negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia (6 item), Malaysia (6
item), Singapura (5 item), Thailand (5 item), dan Vietnam (5 item). Sidang membahas 54 item (6 digit level) produk PSR usulan ASEAN dan India yang akan menjadi PSR paket pertama apabila disepakati oleh kedua belah pihak. Kriteria PSR yang digunakan adalah: (i) peraturan eksklusif apabila lebih terbatas dan (ii) peraturan alternatif atau coequal apabila lebih liberal dari Peraturan Umum (RVC [35%] + CTH). Namun, India keberatan tehadap usulan ASEAN tentang kriteria peraturan alternatif atau co-equal seperti RVC (40%) atau CTH karena India menganggap kriteria ini lebih terbatas jika nilai RVC (40%) melebihi ketentuan Peraturan Umum AIFTA. Selanjutnya, sidang menyepakati finalisasi 54 item PSR yang menunggu konfirmasi India secara inter-sessionally. Selanjutnya, sidang setuju untuk menunda pembahasan kesepakatan administratif tentang implementasi TIG Agreement. Hal ini akan dibahas sebelum TIG Agreement diimplementasikan karena perlu dilakukan identifikasi terhadap focal points dan pertukaran specimen signatures and official seals. Dalam sidang ini, ASEAN juga menjelaskan kepada India mengenai Rules of Origin kumulatif, yaitu bahwa barang hanya dapat dikumulasikan jika dianggap
sebagai origin seperti yang tertera dalam Rule 2 teks ROO. Beralih ke Mekanisme Penyelesaian Sengketa, sidang membahas tentang draft working text ASEANIndia DSM Agreement sebagai kelanjutan dari pertemuan ke5 WG-DSM ASEAN-India di Vientiane, Laos. Pada pertemuan ini dilakukan pembahasan yang sangat konstruktif, sehingga seluruh pembahasan yang belum selesai dapat disepakati sepenuhnya beserta finalisasi terhadap proses legal scrubbing draft text AI-DSM Agreement. Mengenai modalitas TIG, apabila India tetap memberikan tanggapan negatif atau melakukan penawaran atas isi paket kesepakatan, maka sebagaimana ketentuan dalam proposal, Indonesia dapat menarik kembali usulannya. Hal ini bertujuan untuk memberikan sinyal kuat kepada India mengenai keseriusan Indonesia.
Industry Going Globally | 5
No.02/Tahun II/2008
A Glance At The Agreement With India The ASEAN– India Free Trade Agreement (ASEAN – India FTA) meeting was held in Singapore on 25 - 29 August 2008. Target of this forum was to reach agreement worth million of dollars to be signed in ASEAN – India Summit next December. One of the main decisions that agreed by both sides was to reduce the Highly Sensitive List of Indian products, such as coffee, black tea, and pepper with tariff 45%, 45%, and 50%. Moreover, for Operational Certification Procedures (OCP) issue, the meeting agreed to 27 items HS 6 digits (HS 2007) from 529 items that was proposed by India proposal, including textile and garment (438 items) as well as non-textile (91 items). ASEAN did not agree to all of India’s proposal about textile and garment because it will cause difficulties for ASEAN countries to export products to India. Towards the non-textile proposal, ASEAN asked for definition of chemical reaction provisions, especially concerning whether “extraction” filled the qualification as chemical reaction. In this case, India will carry out consultations with the experts and delivered clarification to ASEAN intersessionally. According to the results of 10th AITNC Meeting, reciprocal basis was agreed to be used as a basis for setting up PSR. Therefore, ASEAN agreed to 27 items (HS 2007) with more liberal criteria and referred to PSR List that has been agreed in CEPT AFTA and Dialogue of ASEANPartner. The 27 PSR products were proposed by five ASEAN member countries, Indonesia (6 items),
6 | Industry Going Globally
Malaysia (6 items), Singapore (5 items), Thailand (5 items), and Vietnam (5 items). The session discussed 54 items (6 level digits) of PSR products from ASEAN and India that will become the first PSR package if agreed by both sides. The PSR criteria that was used was: (i) exclusive regulation if the regulation was more restricted and (ii) alternative regulation or Coequal if the regulation was more liberal than the General Regulation (RVC [35%] + CTH). However, India objected to ASEAN proposal about the criteraia of alternative regulation or Co-equal like RVC (40%) or CTH because India considered this criteria was more restricted if the RVC value (40%) exceeded the provisions of the AIFTA General Regulation. Next session agreed to finalize 54 PSR items that will wait for Indian confirmation intersessionally. Further, the session agreed to postpone administrative agreement discussions about the TIG Agreement implementation. This case will be discussed before TIG Agreement implemented because the need of focal points identification and speciment signatures and official seals exchange. In this session, ASEAN also explained to India about cumulative
Rules of Origin, that is only goods can be accumulated if it was considered as origin like was written in Rule 2 ROO texts. Concerning the Dispute Settlement Mechanism, the session discussed working text draft as continuation of the 5th meeting of WG-DSM ASEAN-India in Vientiane, Laos. This meeting carried out very constructive discussions to fully agreed on all the unfinished issues along with legal process finalization of scrubbing draft text AI-DSM Agreement. Furthermore, regarding the modality of TIG, if India continued to give the negative response or to bargain on the contents of the package of the agreement, then as written in the pwrovisions, Indonesia could withdraw his proposal. This aimed at giving the strong signal to India concerning Indonesia’s position about this matter.
No.02/Tahun II/2008
Posisi Negosiasi NAMA WTO WTO adalah satu-satunya organisasi global yang menangani berbagai peraturan perdagangan untuk153 negara anggotanya. Pada tanggal 21 – 30 Juli 2008, WTO menjadwalkan Konferensi Ministerial ke-4 di Jenewa, Swiss dengan tujuan mencapai kesepakatan tentang produk agrikultur dan industri (non-agricultural market access atau NAMA). Pada pertemuan yang berlangsung selama 9 hari tersebut, Indonesia yang bergabung dengan WTO sejak 1 Januari 1995, turut berpartisipasi bersama negara-negara anggota G7 (A.S., Uni Eropa, Jepang, India, China, Australia), kelompok agrikultur (G-33, G-20, G90), dan negara-negara penting seperti India, Brazil, Meksiko, Kenya, dan Afrika Selatan. Negosiasi NAMA didasarkan pada mandat Doha pada tahun 2001 tentang pengurangan atau penghapusan tariff peak, eskalasi tarif, tarif tinggi, dan non-tariff barrier, terutama untuk barang-barang yang bernilai ekspor dan menarik bagi negara berkembang. NAMA mencakup semua produk yang tidak termasuk dalam Perjanjian Agrikultur atau negosiasi jasa. Praktisnya, produk NAMA mencakup produk manufaktur, bahan bakar, dan pertambangan, ikan dan produk ikan, serta produk hutan. Negosiasi NAMA dianggap penting oleh WTO, karena hampir 90% produk perdagangan dunia merupakan produk NAMA. Konferensi Ministerial di Jenewa ini dipimpin oleh Mr. Pascal Lamy selaku Direktur Jenderal WTO. Negosiasi yang terdiri dari diskusi antara para pejabat senior tersebut berlangsung dalam berbagai format antara lain pertemuan Green Room dan Trade Negotiations Company (TNC). Sidang berlangsung sesuai prosedur yang telah dijalankan pada tahuntahun sebelumnya. WTO menangani perjanjian yang sangat kompleks dan mengambil keputusan berdasarkan konsensus di antara para anggotanya.
Sistem perdagangan multilateral diarahkan oleh beberapa prinsip utama, yakni nondiskriminasi, transparansi, dan konsensus. Perjanjian, termasuk tingkat tarif dan kewajiban lain, disepakati secara khusus untuk memperhitungkan sensitivitas anggota dan inilah yang menyebabkan perjanjian WTO menjadi sangat kompleks. Terdapat beberapa prinsip yang menjadi panduan dalam seluruh proses WTO, yaitu inclusiveness dan pendekatan bahwa semua anggota dapat berkontribusi dalam negosiasi. Proses mencapai konsensus mungkin dapat digambarkan sebagai lingkaran terpusat dengan melibatkan kelompok kecil negara yang mewakili berbagai pandangan anggota yang lebih luas. Masing-masing kelompok akan berupaya menyatukan perbedaan sebelum membawa kesepakatan secara progresif pada kelompok negara yang lebih luas, sehingga lebih banyak pandangan dapat disatukan. Setiap anggota WTO dikelompokkan dalam kelompok berdasarkan keterkaitan geografis, posisi yang sama dalam negosiasi, atau keduanya. Masing-masing kelompok harus memilih koordinator sebagai perwakilan yang akan melapor kembali kepada kelompok tentang progres pertemuan serta posisi kelompok dalam negosiasi. Koordinator dari semua kelompok besar akan berpartisipasi dalam konsultasi kelompok kecil, termasuk Green Room yang mewakili pandangan dan kepentingan setiap anggota. Green Room Green Room menunjukkan proses dan bukan lokasi yang spesifik. Masingmasing kepala delegasi akan berupaya mencapai konsensus secara informal dengan dipimpin oleh Direktur Jenderal. Dari tanggal 21 – 29 Juli, sekitar 40 menteri berunding dalam Ministerial Green Room untuk mengupayakan konsensus tentang agrikultur dan produk perdagangan industri, serta mendiskusikan langkah terbaik dalam negosiasi jasa, peraturan, dan kekayaan intelektual. Menteri,
Duta Besar, atau pejabat senior yang berpartisipasi dalam Green Room adalah koordinator kelompok besar di WTO. Sistem perwakilan ini akan memastikan bahwa semua posisi, negara, dan kawasan terwakili dalam negosiasi. Trade Negotiations Committee Pertemuan Trade Negotiations Committee (TNC) diselenggarakan pada tanggal 21 – 30 Juli dan terdiri dari perwakilan 153 negara anggota WTO. Sebelum pertemuan formal, biasanya diadakan negosiasi informal, yang disebut Informal Heads of Delegation. Pada tahap ini, dilakukan negosiasi dan diskusi dalam kelompok kecil sebelum diselenggarakan sidang dengan seluruh anggota. Bahkan, tak jarang dilakukan pertemuan satu lawan satu terlebih dulu, sehingga anggota dapat menyatakan pandangannya tentang posisi dalam negosiasi Green Room. Tiga kelompok negosiasi dibentuk untuk tiga aspek, yakni NAMA, Peraturan, dan Fasilitasi Perdagangan. Sementara lima faktor lainnya mencakup Agrikultur, Jasa, Perdagangan dan Perkembangan, Kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan, serta Perdagangan dan Lingkungan. Negosiasi ini diadakan dalam komite yang sudah ada dan pertemuan Sesi Khusus. Single Undertaking Para menteri setuju bahwa keputusan akhir tentang elemen apapun tidak dapat ditetapkan hingga hasilnya “disepakati” dalam semua sesi. Prinsip ini dikenal sebagai Single Undertaking, yang artinya kesepakatan hanya dapat ditentukan hingga semuanya disetujui. Dengan demikian, perjanjian modalitas tentang agrikultur dan perdagangan barang industri serta progres signifikan terhadap negosiasi hanya dapat ditetapkan hingga semua elemen di setiap sesi disetujui berdasarkan konsensus anggota WTO. Latar belakang prinsip ini adalah untuk membantu menghasilkan konsensus dengan menciptakan paket persetujuan yang lebih seimbang dan menguntungkan semua pihak.
Industry Going Globally | 7
No.02/Tahun II/2008
Hadapi Persaingan Global Dengan OVOP adalah kapitalisasi pendapatan masyarakat, kesejahteraan daerah, dan unsur-unsur kemampuan masyarakat. Nama Indonesia pun menjadi terkenal di mata dunia, dengan berbagai kerajinan terbaik dari daerah masing-masing, misalnya kota Tasikmalaya dengan pandannya, Jogja dengan kerajinan wayangnya, Sumatera Barat dengan songketnya, Pekalongan dengan batiknya, dan masih banyak lagi. Konsep OVOP (One Village One Product) yang diadopsi dari Jepang diharapkan dapat membuka pemikiran dunia industri di Indonesia untuk berfokus pada kegiatan produksi. Berikut petikan wawancara kami dengan Bapak Fauzi Aziz, Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM) Departemen Perindustrian, tentang perkembangan program tersebut di tanah air. Apakah manfaat program OVOP ini sebagai bentuk kerja sama Indonesia dengan Jepang dan peningkatan apa sajakah yang dirasakan IKM Indonesia? OVOP memang awalnya diprakarsai di Jepang dan dipelopori oleh tokoh besar bernama Prof. Hiramatsu, mantan gubernur Iota. Sebenarnya, latar belakang gerakan OVOP ini adalah untuk merevitalisasi daerah agar masyarakat di suatu daerah, khususnya di pedesaan, bisa berkembang secara produktif dan mengolah apa yang ada di daerahnya. Untuk itu, Indonesia mendapatkan banyak sekali bantuan dari Jepang. Mereka sudah sejak lama memberikan bantuan teknis kepada kita, baik tenaga ahli maupun teknologi, dan manfaatnya terasa sekali bagi IKM kita. Setelah suatu produk IKM diberi sentuhan desain dan teknologi, barang yang semula tidak bernilai, berubah menjadi barang yang excellent, inovatif, unik, harganya menjadi lebih tinggi, dan tentunya dapat mengisi pasar, baik lokal maupun global, seperti Jepang, Amerika, Eropa, dsb. Manfaat nyata lainnya dari OVOP 8 | Industry Going Globally
Saat ini, kerajinan-kerajinan industri kecil kita pun sudah berjalan di pasar internasional dan menghasilkan devisa ekspor dengan nilai mencapai 26 triliun pada tahun 2007. Atas dasar itulah, kita terus menjalin hubungan baik dengan pihak Jepang. Apakah kendala yang kita hadapi dalam menerapkan konsep OVOP ini? Kendala dalam pengertian teknis sebenarnya tidak ada, karena proses pembelajaran ini dilakukan melalui on the job training, magang, dan aplikasi training, sehingga bahasa tidak menjadi masalah lagi. Yang masih menjadi kendala adalah persoalan interaksi. Jepang sebagai pihak yang membantu ingin mengetahui problem kita, tetapi kita tidak pandai mengangkat problematika dan apa yang kita butuhkan dari mereka. Mereka harus mengetahui apa yang kita butuhkan agar dapat menentukan orang yang tepat ketika mereka datang ke Indonesia nanti. Misalnya, sebenarnya kita membutuhkan desain, namun tidak menginformasikannya secara jelas kepada mereka. Kendala lainnya adalah adanya perbedaan antara budaya Jepang dengan Indonesia. Mereka ingin menerapkan salah satu pendekatan, sementara kita ingin melakukan pendekatan yang lain. Hal ini sebenarnya hanya merupakan persoalan perubahan cara pandang saja. Yang diperlukan pada akhirnya adalah kesepakatan dan kita tidak boleh emosional saat berunding dengan mereka. Jelaskan saja apa adanya dan kondisinya. Kesepakatan pasti bisa dicapai dengan adanya komunikasi yang tepat.
Apakah strategi kita untuk lebih mensukseskan OVOP ini? Memang ada beberapa daerah OVOP yang berhasil, tetapi ada pula yang tidak sepenuhnya berhasil. Ketidakberhasilan itu yang harus terus kita nilai, kemudian kita perbaiki bersama. Selanjutnya, kita akan membuat target untuk program OVOP agar bisa lebih fokus melakukan pembinaan dan hal ini akan kita rumuskan bersama dengan pemda. Strategi lainnya adalah mengajak penduduk Indonesia untuk berkomitmen secara total dalam menghargai produkproduk OVOP. Contohnya, produk OVOP harus dibeli oleh masyarakat kita terlebih dulu, sebelum dibeli oleh pihak luar agar timbul rasa percaya diri dari si pembuat. Selain itu, karena program ini merupakan milik masyarakat, strategi lainnya adalah mencari tokoh-tokoh pemuda yang mempunyai potensi mengelola sumber daya alam lokal yang bisa dikembangkan. Sedangkan bagi masyarakat, perlu diajarkan bahwa untuk mencapai sesuatu yang berkualitas, kita membutuhkan waktu. Kita harus terus berusaha dan jangan pernah menyerah. Selain itu, kunci keberhasilan OVOP adalah kesungguhan dan keberlanjutan. Hasil tidak dapat diperoleh hanya dalam sehari. Semuanya harus melalui proses; perubahan dan perkembangan akan terjadi secara gradual dan bertahap. Apakah harapan terkait dengan OVOP di masa mendatang? Kita memiliki keyakinan bahwa otonomi daerah akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi daerah, maka diharapkan program OVOP ini mendapat dukungan dari semua pihak. Mengapa? Karena OVOP ini dapat menyerap banyak tenaga kerja dan mencegah urbanisasi, sehingga anak-anak yang baru lulus sekolah nanti diharapkan dapat menjadi penggerak-penggerak ekonomi pedesaan. Daerah pedesaan diharapkan dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi dan keahlian yang terus berkembang.
No.02/Tahun II/2008
Reformasi Birokrasi Dengan Capacity Building Pada tanggal 27 Agustus 2008, dibuka secara resmi penyelenggaraan Workshop Capacity Building for Public Officials for Government Innovation in Indonesia selama 2 hari di Ballroom Lt. 3, Hotel Alila. Workshop ini diadakan untuk menunjang reformasi birokrasi pada setiap instansi pemerintah demi meningkatkan produktivitas pegawai dan memaksimalkan fungsi masingmasing instansi. Sasaran dari workshop ini adalah para pejabat Eselon III dan IV, sebagai kelanjutan dari Training Capacity Building bagi para Pejabat Eselon II dan III yang sebelumnya telah dilaksanakan di Korea. Saat berlangsungnya workshop, dipaparkan hasil analisis konsultan Korea yang tergabung dalam lembaga KOICA (Korea International Cooperation Agency) terhadap birokrasi di berbagai instansi pemerintah dengan merinci sebanyak 35 masalah utama. KOICA juga menjelaskan tentang Good
Governance and Performance serta 4 dimensi pemerintahan yang baik yaitu Transparansi, Pertanggungjawaban, Substansi Hukum, dan Partisipasi Masyarakat. Selanjutnya, dibahas tentang 14 item rekomendasi KOICA terhadap masalah birokrasi di Indonesia, mulai dari rekrutmen, penempatan, rotasi, kebutuhan pegawai, system penilaian fasilitas teknologi, struktur organisasi, komunikasi dalam organisasi, rencana pelatihan, hingga keseimbangan antara etika, kompetensi, dan kinerja. Selain itu, dijelaskan pula beberapa rekomendasi untuk HRD, antara lain perencanaan HRD yang tepat, penilaian pelatihan yang benar, analisis pekerjaan dan kompetensi, rencana pengembangan karier, kurikulum dan spesifikasi pelatihan yang jelas, serta pentinganya HRD yang berpengalaman. Pada hari kedua, dibicarakan tentang Action Plan dari beberapa instansi
pemerintah seperti KPK, Departemen Keungan, Bappenas, Kejaksaan Agung, LAN, dan Sekretariat Negara. KPK, misalnya, sejak 2 tahun lalu telah menerapkan Sistem Pengembangan Karier yang transparan serta Sistem Manajemen Kinerja, yaitu dengan membuat evaluasi kinerja yang berkesinambungan dan perencanaan kegiatan jangka panjang. Setelah melakukan berbagai upaya perubahan, ternyata tidak mudah menyamakan birokrasi dipusat dan daerah. Masalah lain yang dihadapi antara lain adalah tidak adanya grand strategy dari pemerintah, sedangkan UU yang mengatur hal ini masih dalam proses. Korupsi, kolusi dan nepotisme dalam birokrasi kita juga masih sulit diberantas. Meskipun demikian, Menpan telah membentuk Tim Reformasi Birokrasi dan mengeluarkan Pedoman Umum. Diharapkan proses reformasi birokrasi yang telah dilakukan pada beberapa instansi pemerintah akan terus berkembang.
Produk Garmen Indonesia Diminati Luar Negeri Industri garmen dalam negeri mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari pesanan yang berasal dari 17 produsen garmen di Jerman, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Taiwan. Berdasarkan laporan The Jakarta Post, para pembeli luar negeri tersebut memesan garmen senilai US$230 juta yang akan dilakukan selama 3 tahun. Menurut Henrietta Lake (konsultan senior Amerika untuk proyek pengembangan internasional, Senada), pesanan tersebut berasal dari 30 perusahaaan. Para pengusaha garmen luar negeri saat ini sangat tertarik dengan kualitas garmen dan harga yang ditawarkan oleh pengusaha Indonesia. “Kualitas garmen Indonesia lebih baik dibandingkan
negara lain seperti Bangladesh. Bahkan, produk Indonesia sangat mungkin mengungguli produk garmen dari China,” ungkap Henrietta. Dari sisi harga, produk garmen Indonesia juga lebih kompetitif dibandingkan dengan produk asal Vietnam, Fillipina, China, dan Kamboja. Secara lebih rinci, pesanan luar negeri tersebut datang dari beberapa merek, antara lain Abercrombie & Fitch, Dewhirst, HanesBrands, J.Crew, JCPenney, GAP, Jones Apparel, Li & Fung, Linmark, Liz Claiborne, Nike, PIERS, Ralph Lauren, Target, Vanity Fair, dan Walmart. Menurut Redma Gita Wirawasta (Direktur Eksekutif untuk Institut Riset Tekstil Indonesia, Indotextiles), GAP telah mengajukan pesanan senilai US$100 juta untuk 12 juta hingga
14 juta juta potong pakaian dan Walmart telah memesan sebanyak 11 juta hingga 13 juta potong dengan nilai US$80 juta. Sementara, jumlah pesanan dari SOT dan Marks & Spencer mencapai 8 juta potong dengan nilai US$60 juta. “Jumlah pesanan dari merek lain seperti Target, Nike, Adidas, Levi’s, Arrow, dan Van Heusen hanya berkisar di bawah angka US$50 juta. Namun demikian,, jumlah pesanan mereka setiap tahunnya meningkat sebesar 10%,” kata Henrietta. Fakta ini cukup membanggakan. Kini Indonesia merupakan pemasok untuk pasar garmen nomor sepuluh terbesar di dunia dan nomor 3 terbesar untuk pemasok garmen ke Amerika. Pada semester pertama tahun ini, ekspor garmen Indonesia mencapai US$2,1 milyar, meningkat 6% dari tahun lalu.
Industry Going Globally | 9
No.02/Tahun II/2008
Results from the 30th AC-TNC Meeting ASEAN - China Trade Negotiating Committee (AC-TNC) was spread out for the 30th times in Hangzhou, China on 28 - 30 July, 2008. On this meeting, various important issues was agreed to in relations of trade between Indonesia and China.
Moreover, China was still considering the ASEAN proposal about verification visit, because their domestic regulation did not allow the application of this rule. Therefore, both sides agreed to resolve these issues in the following meeting.
tember 2008. Finally, the meeting of investment working group succeeded in achieving progress by agreeing to 12 articles from 18 issues that were postponed in previous negotiation in Sabah, Malaysia. Whereas 8 other articles would still need further discussions.
Four main aspects were discussed in AC-TNC this time, which is trade of goods, Rules of Origin (ROO), economic co-operation, and investment.
Regarding ROO implementation, several problems emerged, such as China’s proposal to use China character in overleaf notes of Certificate of Origin (SKA) Form E, based on Rule 7. It was previously approved that SKA regulation must use English. In this case, Indonesia stressed that the information in overleaf notes is very important as a guide for exporters and should be an integral part of SKA.
From the 8 articles, Indonesia must pay attention to several issues, i.e Article 1 about Definition. Paragraph 1 mentioned about the “Investor of a Party”. China wanted to include footnote of “is making” as the restriction on the terms definition.
Concerning the status of AC-TNC agreement implementation for trade of goods, Indonesia highlighted that legal enactment on 2007 was still applied until 2008 and 2009. Therefore, Indonesia handed over the tariff and trade data, 2007 HS transposition, as well as the electronic version of book of tariff. Based on the negotiation, deadline for tranche of tariff reduction would be on January 1 2009. For implementing the reduction before the deadline, China had changed their domestic regulation from 5.8% to 2.4% compares to MFN tariff that reached 9.8 %. The meeting also discussed response draft on various questions from WTO members in relation to product approval statement that will be continued to Missions in Geneva. Concerning Rules of Origin (ROO), ACTNC meeting further discussed about various issues related to (i) proposal OCP (Operational Certification Procedures) finalization, (ii) issues with the implementation, and (iii) transposition of PSRs (Product Specific Rules) from HS 2002 to HS 2007. The OCP finalization was related to the ASEAN proposal to add the rule concerning back-to-back CO arrangement and third party invoicing. Through the development of discussions, there was no clear indication regarding China’s willingness to agree to the two issues specified. China was still questioning the effectiveness of the two rules, especially in connection with monitoring mechanism.
10 | Industry Going Globally
Indonesia proposed to revise Rule 7 with 3 options to resolve the problem, that is (i) allowing period of transition (for example 1 year) to use China character, (ii) enclosing the English version to overleaf notes that was published at this time, or (iii) using China character and including the notification to all the ASEAN member country that the information in China version had the same meaning as the English version. These issues will be discussed further on the following meeting. For PSRs issue, ASEAN agreed to the list according to HS 2007, but China proposed to further discussed this issue on next meeting. Moreover, concerning the economic co-operation, the session noted that the criteria and the list of the project must involve participation of all member country. The funding for this economic co-operation came from the available institutions: ASEAN-China Cooperation Funds (ACCF), and therefore, ASEAN asked China to place adequate fund for the activity of FTA. It was also agreed that the fund for seminar or workshop in the service field will be considered in the proposal of economic co-operation by ACCF on 2009. Moreover, China noted that the trade facilitation workshop based on FTA provisions will be carried out on Sep-
Whereas, ASEAN looked at the definition as the pre-establishment limited to MFN article as well as the Transfer and Repatriation of Profits. For Article 3 on “Scope of Application”, China proposed to include extra phrase of “any taxation measures unless otherwise provided” in paragraph 4 (a), in relation to “taxation measures”. China wanted the assurance that issues outside double taxation avoidance also could cause indirect expropriation. However, if China insisted to request insertion of such phrase, then Thailand will asked to include the procedure of taxation measures as expropriation and Indonesia will support this notion. Meanwhile for Article 19 about “Denial of Benefits, China wanted to remove words of “substantial business operation” and refused the investor from other country that entered through ASEAN to enjoy this agreement, despite this investor had substantial business operations (SBO). ASEAN, including Indonesia, wanted to maintain this “substantial business operation”, because even if the investor came from outside, but the party involved would still own the SBO, so as to be able to enjoy this agreement also. Including SBO could also prevent the possibility of a company that only carried out registration without having SBO.
No.02/Tahun II/2008
Keberhasilan dan Tantangan in Country Training Kerja Sama dengan JICA Pada tahun 1997, pemerintah Jepang mengusulkan “Rencana Induk Pengembangan SDM JepangASEAN (Japan/ASEAN Master Plan for Human Resource Development)” dengan tujuan memperbaiki kondisi ekonomi negara-negara ASEAN yang terkena dampak krisis moneter Asia. Dalam rangka pelaksanaan rencana tersebut, “Proyek perbaikan keterampilan manajemen UKM” mulai dilaksanakan sejak tahun 1999 di Indonesia. Proyek tersebut memberikan bantuan pelatihan dan seminar yang diselenggarakan oleh Balai Besar Industri Departemen Perindustrian (yang selanjutnya disebut Balai Besar serta Balai Riset dan Standarisasi Industri). Dalam pelaksanaan pelatihan, pertama-tama setiap tahun surat undangan dikirim ke setiap Balai Besar, Baristand, dan sekolah kejuruan/lembaga pendidikan yang berada di bawah Departemen Perindustrian. Berdasarkan respons berupa proposal, kantor perwakilan JICA, tenaga ahli JICA, dan Pusat Administrasi Kerjasama Internasional akan melakukan seleksi. Unit yang lulus seleksi akan diberi bantuan modal oleh JICA berdasarkan prinsip cost sharing, yakni setiap unit menanggung 10-40% dari biaya pelatihan. Sepuluh tahun sejak dimulainya proyek, kini saatnya memikirkan arah pelaksanaan pelatihan ke depan. Oleh karena itu, kami melakukan survei lanjutan dengan tujuan melakukan evaluasi hasil pelatihan selama ini dan memberikan pertimbangan untuk menetapkan pola bantuan yang diharapkan di masa mendatang. Obyek survei yang ditetapkan adalah pelatihan yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2008. Pemilihan perusahaan yang akan
dikunjungi diserahkan pada setiap Balai Besar dan Baristand. Definisi skala perusahaan yang ditetapkan mengacu pada total aktiva dan penjualan. Sementara menurut sektor, perusahaan makanan dan minuman merupakan mayoritas, yaitu sebesar 47%, kemudian disusul oleh perusahaan tekstil, keramik, dan produk kulit (termasuk sepatu) yang merupakan ciri khas UMKM lokal. Dalam evaluasi pelatihan, item yang biasa digunakan dalam evaluasi proyek JICA adalah: kelayakan, efektivitas, efisiensi, dampak, dan kesinambungan. Hasilnya ditunjukkan dengan 5 skala, yaitu: A+ (menunjukkan hasil yang signifikan dan tidak ada hal negatif yang perlu dikhawatirkan), A (menunjukkan hasil dan tidak ada hal negatif yang perlu dikhawatirkan), B (menunjukkan hasil, namun terdapat tantangan yang harus diperhatikan), C (tidak menunjukkan hasil), D (tidak menunjukkan hasil, dan bahkan terdapat dampak negatif). Pertama, dari segi kelayakan, perlu dipertimbangkan tujuan, sasaran dan kegiatan (isi maupun waktu). Tujuan yang ingin dicapai adalah pemulihan ekonomi dari kondisi pascakrisis moneter Asia melalui pengembangan SDM UMKM. Sehubungan dengan isi pelatihan, 100% peserta menjawab memuaskan. Namun, bantuan JICA hanya sebatas modal dan tidak disertai pengalihan teknologi. Oleh karena itu, bantuan aspek teknologi dan manajemen harus dilakukan menggunakan sumber daya domestik. Secara umum, tujuan dan kegiatan dapat dinilai cukup layak. Tetapi karena sasaran besar tidak ditetapkan dan sistem pengawasan perlu ditinjau lebih lanjut, maka penilaian yang diberikan adalah B. Berikutnya adalah aspek efektivitas.
Aspek ini dinilai dari apakah pengetahuan yang diperoleh dapat dimanfaatkan atau tidak dan apakah ada perubahan dalam usaha secara riil. Untuk itu, ditetapkan 5 indeks, yakni aaa, aa, a, b, c; dengan aaa sebagai nilai terbaik. Dari aspek pemanfaatan pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan, kategorinya adalah belum dimanfaatkan dan sudah dimanfaatkan. Apabila belum dimanfaatkan, dikelompokkan lagi antara yang sedang dipertimbangkan untuk tindakan ke depan atau tidak ada rencana sama sekali. Apabila sudah dimanfaatkan, maka dikelompokkan lagi menjadi hasil perbaikan aspek manajemen dan teknologi belum terlihat secara riil (a), profit tidak meningkat (aa), atau sudah terlihat secara riil dan profit meningkat (aaa). Menurut indeks pencapaian pascapelatihan, ternyata 28 perusahaan atau sejumlah 96% (hampir semua perusahaan kecuali 1) telah memanfaatkan apa yang telah dipelajari dalam pelatihan. Lebih dari separuh, atau sebesar 57% perusahaan, tidak hanya meningkatkan mutu, tetapi juga dapat meningkatkan profit. Obyek survei kali ini dipilih secara tidak acak oleh balai penyelenggara pelatihan dan jumlah perusahaan yang dikunjungi hanya 1% dari seluruh peserta selama 9 tahun, maka dapat dikatakan terlalu dini apabila keberhasilan pelatihan di Indonesia diukur hanya berdasarkan hasil tersebut. Namun, dibandingkan dengan asumsi sebelum melakukan survei, bahwa hanya terdapat 25% perusahaan dengan profit yang meningkat, ternyata faktanya hasil yang diperoleh cukup besar dibandingkan harapan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa efektivitas kerja Industry Going Globally | 11
No.02/Tahun II/2008
perencanaan dan p e ny e l e n g g a r a a n diserahkan kepada instansi di dalam negeri, sehingga dapat dikatakan tenaga yang dikeluarkan JICA sangat efisien. Dengan demikian, aspek efisiensi diberi nilai A+.
sama sangat besar dengan nilai A+. Dari aspek efisiensi, total jumlah bantuan yang diberikan selama 2 tahun terakhir kurang lebih adalah US$180.000 untuk proyek umum dan US$210.000 untuk bantuan rekonstruksi. Dengan jumlah tersebut, terdapat banyak proyek yang berhasil. Bahkan dapat dikatakan kemungkinan hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan proyek kerja sama teknik atau proyek percontohan dalam survei pembangunan di bidang pengembangan industri. Biaya pelatihan per orang adalah sebesar US$700. Angka tersebut sulit dikatakan mahal atau murah. Apabila total anggaran dibagi dengan profit bulanan yang bertambah pascapelatihan pada kelompok perusahan berindeks aaa. Jika dihitung dari masa pengembalian biaya pelatihan, maka 2 perusahaan memakan waktu relatif lama, yakni 8-10 bulan, tetapi yang lain hanya sekitar 0,3-4 bulan. Mengingat fakta tersebut, maka efisiensi dari aspek Cost-Benefit dapat dikatakan tinggi. Selain itu, dipertimbangkan juga aspek jumlah tenaga pemberi bantuan yang diperlukan. Sehubungan dengan pelatihan ini, hampir semua fungsi
12 | Industry Going Globally
Dari aspek dampak, karena sebagian besar perusahaan peserta adalah usaha kecil dan mikro, maka hampir tidak terlihat terjadinya penyebaran pengetahuan pada komunitas sekitar di luar lingkungan usaha. Memang beberapa perusahaan menambah jumlah karyawan karena adanya peningkatan kinerja, tetapi tidak terjadi penyerapan tenaga kerja yang besar karena skala usaha yang kecil. Pada prinsipnya, penetapan tema, topik, dan materi pelatihan disesuaikan dengan usulan masingmasing unit. Oleh sebab itu, tidak ada satu kesatuan dan keseragaman program pelatihan di seluruh lokasi pelatihan atau dalam satu tahun anggaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dampak terhadap lingkungan luar perusahaan sangat kecil. Namun demikian, dampak negatif terhadap komunitas sekitar pun tidak ada, sehingga aspek dampak dinilai C. Terakhir adalah mengenai aspek kesinambungan. Apabila hendak direncanakan pelatihan mandiri di masa yang akan datang, kemungkinan besar akan dimanfaatkan sumber daya yang sudah ada. Mengingat anggaran Departemen Perindustrian untuk pelatihan di setiap balai tidak bertambah, maka kesinambungan program ke depan tidak dipandang terlalu optimis. Dengan demikian, maka aspek kesinambungan dinilai B.
Berdasarkan analisis informasi yang diperoleh melalui survei, beberapa hal perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pelatihan bagi perusahaan kecil dan mikro di masa mendatang, antara lain 1) teknologi; cukup dengan teknologi yang sederhana, namun dapat mengakomodasi kepentingan umum melalui sumber lokal; 2) permodalan; sangat efektif jika bantuan berupa peralatan dengan harga di bawah Rp30 juta; 3) manajemen; pembinaan pembukuan sederhana dan metode perhitungan pengembalian modal investasi akan lebih mudah memberikan efek ganda dengan adanya teknologi. Dalam pelaksanaan kerja sama dengan perusahaan kecil dan mikro di masa yang akan datang, aspek teknologi untuk setiap sektor sebaiknya dikoordinasikan dengan sumber daya domestik, termasuk Balai Besar Industri Departemen Perindustrian. Sedangkan JICA sebaiknya lebih memfokuskan pada peningkatan kemampuan manajemen serta pemberdayaan sistem dan mekanisme bantuan agar lebih efekif.
Pemimpin Umum : Dyah W. Poedjiwati Pemimpin Redaksi : Riris Marhadi Editor : A. Riyanto Redaktur Pelaksana : Hamzah, Alexandra Arri Cahyani, Mediarman Sekretaris Redaksi : Puji Wardoyo, Sjafri, Viviyani Yuni Astuti Tata Usaha : Djoko Sutopo, Sukiman, Haryenti Diterbitkan oleh : Pusat Administrasi Kerjasama Internasional, Departemen Perindustrian Alamat Redaksi : Gedung Depperin, Lt.4 Jl. Gatot Subroto Kav. 52-53, Jakarta Telp./Fax.: (021) 525 1438, 525 5509 Redaksi menerima artikel, naskah dan foto, serta berhak menyuntingnya tanpa mengubah isi.