Journal of World Trade Studies
Climate Change and Agriculture in Multilateral Trade Negotiations and The Development of Trade Coopertion at Regional Level ISSN: 2087-6912
Volume V, Number 2, November 2015
Dinamika Posisi dan Strategi Negosiasi Indonesia dalam Perundingan Pertanian di WTO Mira Sukmawati The Implementation of Competition Chapter of the Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement Dian Retno Mayang Sari Climate Change, Labelling, International Standards and The Technical Barriers to Trade Agreement: Are They in (Dis)harmony? Michelle Ayu & Joachim Monkelbaan Analisis Perkembangan Integrasi Ekonomi ASEAN Menuju Pemberlakua ASEAN Economic Community (AEC) Tahun 2015 Primadiana Yunita
Citation This issue may be cited as [2015] Vol 5 No 2 JWTS U Gadjah Mada Copyright Center for World Trade Studies No part of this publication may be reproduced, stored or transmitted in any form or means without the prior written permission of the Editorial Board of the Journal of World Trade Studies
Journal of World Trade Studies Published by Center for World Trade Studies Universitas Gadjah Mada Volume V, Number 2, November 2015 Editorial Board Editors Poppy S. Winanti (lead editor) Maharani Hapsari Dedi Permadi Advisory Board Masyhuri (Faculty of Agriculture, Universitas Gadjah Mada) M. Hawin (Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada) Nopirin (Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada) Mohtar Mas’oed (Faculty of Social and Politics Sciences, Universitas Gadjah Mada) Mudrajad Kuncoro (Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada) Editorial Assistant Eva Novi Karina Administrative Officers Arifah Purnamasari Ari Seryawati Layout Dimas Wijanarko
Editorial
Pada volume ini, Journal of the World Studies menyajikan empat artikel yang mendiskusikan Indonesia dalam negosiasi sektor pertanian di WTO, isu lingkung an dan perdagangan internasional, serta perkembangan kerja sama perdagangan bilateral dan regional. Artikel pertama ditulis oleh Mira Sukmawati berisi tentang dinamika posisi Indonesia dalam perundingan pertanian di WTO. Artikel ini ber argumen bahwa dalam memperjuangkan kepentingannya Indonesia menggunakan strategi perundingan integrative. Strategi ini digunakan Indonesia sebagai upaya un tuk mengkompromikan dua kepentingan berbeda yang ingin dicapai yaitu mendo rong terbukanya akses pasar yang lebih luas namun tetap memperjuangkan penggu naan subsidi domestik dan subsidi ekspor serta perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Negosiasi integratif ini ditunjukkan Indonesia melalui keterli batannya dalam koalisi perdagangan yang berbeda, yaitu bergabung dengan Cairns Group yang memperjuangkan akses pasar dan mendorong liberalisasi pertanian dan di sisi lain juga menjadi bagian dari koalisi G- 20 dan G-33 yang memperjuang kan perlakukan khusus bagi negara berkembang. Analisis mengenai implementasi aspek kompetisi di bawah perjanjian bilateral Indonesia dan Jepang dalam kerangka IJEPA merupakan fokus dari artikel kedua yang ditulis oleh Dian Retno Mayang Sari Artikel ini bertujuan untuk menjawab per tanyaan utama apakah pelaksanaan ketentuan mengenai kompetisi dalam kerangka IJEPA telah mencapai tujuan yang diharapkan atau tidak. Hasil analisis menunjukkan bahwa sejak diimplementasikan tahun 2007, ketentuan kompetisi telah mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini terutama tercermin dari kerja sama yang terjalin an tara KPPU yang bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan kompetisi di Indonesia dengan lembaga serupa di Jepang JFTC dalam hal notifikasi, pertukaran informasi maupun mendorong transparansi. Meskipun demikian, artikel ini juga mengidentifi kasi sejumlah persoalan yang terkait dengan jangka waktu notifikasi dan penegakan aturan main yang masih perlu ditingkatkan lagi. Isu mengenai keterkaitan antara perubahan iklim dan perdagangan internasi onal menjadi topik utama artikel ketiga yang ditulis oleh Michelle Ayu dan Joachim Monkelbaan. Artikel ini menggarisbawahi bahwa perdagangan internasional kerap kali dianggap bertentangan dengan kepentingan perlindungan lingkungan dan tidak Volume V, Number 2, November 2015
3
sensitif terhadap persoalan perubahan iklim. Di samping itu, perjanjian-perjanjian di bawah WTO juga tidak disusun khusus untuk menangani isu lingkungan dan per ubahan iklim. Meskpun demikian, artikel ini berargumen bahwa perjanjian TBT (Technical Barriers to Trade) dapat diselaraskan dengan kepentingan untuk menan gani isu perubahan iklim. Artikel terakhir ditulis oleh Primadiana Yunita menjelaskan alasan yang mela tarbelakangi ASEAN tetap melakukan integrasi ekonomi melalui ASEAN Economic Community pada tahun 2015 walaupun prasyarat sebagai komunitas ekonomi be lum terpenuhi. Arikel ini menggunakan konsep identitas yang diutarakan oleh Ami tav Acharya untuk menjelaskan bahwa keterlibatan dan kepatuhan negara dalam suatu integrasi regional jika tidak berdasarkan pemanfaatan materil yang secara matematis dapat ditentukan, maka integrasi bisa berdasarkan tatanan identitas yang berkembang di antara negara anggota untuk bersepakat mencapai suatu tu juan bersama. Artikel ini memprediksi bahwa ASEAN Economic Community tidak akan menghasilkan perubahan secara materiil terhadap masing-masing negara ang gota ASEAN. Akan tetapi dengan mendorong integrasi ekonomi yang dilakukan me lalui berbagai kesepakatan serta kerjasama ekonomi dalam perdagangan barang, jasa, ASEAN akan mampu memperkuat identitas kolektifnya.
4
Journal of World Trade Studies
Table of Contents
3
Editorial
5
Table of Contents
7
Dinamika Posisi dan Strategi Negosiasi Indonesia dalam Perundingan Pertanian di WTO Mira Sukmawati 25 The Implementation of Competition Chapter of the Indonesia‐ Japan Economic Partnership Agreement Dian Retno Mayang Sari 49 Climate Change, Labelling, International Standards and The Technical Barriers to Trade Agreement: Are They in (Dis)harmony? Michelle Ayu & Joachim Monkelbaan 67 Analisis Perkembangan Integrasi Ekonomi ASEAN Menuju Pemberlakua ASEAN Economic Community (AEC) Tahun 2015 Primadiana Yunita 84 Submission Guidelines
Volume V, Number 2, November 2015
5
Dinamika Posisi dan Strategi Negosiasi Indonesia dalam Perundingan Pertanian di WTO Mira Sukmawati
Abstrak Negosiasi pertanian tidak mudah diselesaikan dalam forum multilateral, utamanya di WTO. Selama perundingan Doha, negara maju, negara berkembang dan negara kurang berkembang terbagi dalam koalisi yang berbeda. Hal ini terjadi karena mereka memiliki posisi yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang juga memperjuangkan posisinya untuk menyeimbangkan kepentingannya dalam isu pertanian. Artikel ini berargumen bahwa dalam memperjuangkan kepentingannya, Indonesia menggunakan strategi integrative. Strategi ini digunakan Indonesia sebagai upaya untuk mengkompromikan dua kepentingan berbeda yang ingin dicapai yaitu mendorong terbukanya akses pasar yang lebih luas namun tetap memperjuangkan penggunaan subsidi domestik dan subsidi ekspor serta perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Negosiasi integratif ini ditunjukkan Indonesia melalui keterlibatannya dalam koalisi perdagangan yang berbeda, yaitu bergabung dengan Cairns Group yang memperjuangkan akses pasar dan mendorong liberalisasi pertanian dan di sisi lain juga menjadi bagian dari koalisi G- 20 dan G-33 yang memperjuangkan perlakukan khusus bagi negara berkembang. Kata kunci: Perjanjian Pertanian, Diplomasi Ekonomi, Koalisi Perdagangan, Indonesia,WTO Agreement on Agriculture (AoA) merupakan salah satu jenis perjanjian multilateral yang disepakati di dalam WTO. Secara umum, hal ini dilakukan untuk melakukan reformasi perdagan gan dalam sektor pertanian sehingga semua produk pertanian dapat bersaing secara bebas. Terdapat tiga pilar utama dalam perjanjian ini yaitu akses pasar, bantuan domestik dan subsidi ekspor. Untuk menyelesaikan isu di bidang per tanian, setiap negara pada akhirnya ha rus berunding dalam WTO. Namun, isu yang dibahas pun masih terus berkem bang sehingga diperlukan perundingan untuk mencapai kesepakatan bersama. Volume V, Number 2, November 2015
Isu pertanian, mulai dari persoalan me nentukan tariff lines, batasan bantuan domestik dan subsidi ekspor hingga fleksibilitas pada beberapa bahan pokok pertanian masih terus dirundingkan. Hal ini mengingat terdapat berbagai kepen tingan yang berbeda, baik dari negara maju maupun negara berkembang. Hal ini menarik untuk diteliti karena Indonesia memilih untuk ikut berunding dalam menyelesaikan perundingan per tanian dalam tiga koalisi perdagangan yang berbeda, yaitu Cairns Group, G-20 dan G-33. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memiliki dua kepentingan domestik yang berbeda. Di satu sisi, In
7
donesia mendukung terbukanya akses pasar yang lebih luas, tetapi di sisi lain, Indonesia juga berkepentingan untuk melindungi beberapa bahan pokok per tanian melalui klausul berupa fleksibili tas khusus. Pertanyaan utama dalam kasus ini adalah “Bagaimana posisi dan strategi negosiasi Indonesia untuk mengakomodasi dua kepentingan domestik tersebut dalam perundingan pertanian di WTO?” Untuk menjawab pertanyaan dari masalah ini, terdapat tiga landasan konsep yang dapat digunakan. Pertama adalah Trade Coalition. Di dalam forum multilateral, negara-negara cenderung untuk membuat koalisi. Menurut John S. Odell, koalisi perdagangan adalah sekumpulan pemerintah yang memi liki kesamaan kepentingan dalam hal produk atau ideologi tertentu (Odell 2006,11). Koalisi perdagangan adalah cara untuk meningkatkan kredibilitas saat pengambilan keputusan di dalam forum multilateral dan memisah ko alisi lawan. Dengan berada di dalam koalisi, kepentingan suatu negara akan terwakilkan dan didukung oleh negaranegara lain yang memiliki kesamaan ke pentingan. Kedua, yaitu Integrative Negotiation. Menurut Fred C. Ikle, negosiasi adalah suatu usaha untuk mengeksplorasi atau merekonsiliasi posisi konflik aktor-aktor yang berseteru dalam memperoleh jalan keluar yang dapat diterima oleh semua pihak (Cohen 1980,18). Hal ini berarti bahwa negosiasi adalah jalan untuk me nyelesaikan suatu sengketa secara da mai. Integrative negotiation adalah salah satu strategi negosiasi yang berusaha untuk mencapai tujuan bagi semua pi hak. Dasar utama dari strategi negosiasi ini adalah pencapaian tujuan bagi semua pihak tanpa menyebabkan adanya win8
ner dan loser. Negosiator harus men ciptakan ruang informasi yang terbuka dan memberikan kesempatan untuk melakukan dialog bersama. Pihak-pihak yang bersengketa setuju untuk memiliki cara pendekatan yang sama untuk men capai tujuan.
Ketiga, yaitu Diplomasi Ekonomi. Di plomasi ekonomi yang dijalankan Indo nesia sendiri adalah upaya pemerintah, beserta segenap pemangku kepentingan yang terlibat dalam suatu kegiatan di bidang ekonomi, yang mencakup perda gangan komoditas, investasi, pariwisata, ketenagakerjaan dan kerja sama teknik. (D.D Soerjanatamihardja et.all 2012,1). Tujuan dan sasaran diplomasi ekonomi adalah mendorong peningkatan kese jahteraan rakyat, mendukung pemba ngunan nasional, dan memajukan ke pentingan Indonesia di kancah global.
Agreement on Agriculture sendiri merupakan perjanjian multilateral yang berasal dari hasil kesepakatan dalam Uruguay Round. Ketentuan dalam bi dang pertanian ini menjadi bagian tersendiri dalam perundingan tersebut. Hal ini mengingat tujuan yang ingin di capai adalah upaya membatasi gejala penerapan perlindungan dalam bentuk non-tarif. Kemunculan AoA dipicu kare na kecenderungan sistem ekonomi yang lebih tertutup. Negara-negara, khusus nya negara maju, cenderung melakukan kebijakan yang proteksionis terhadap sektor pertanian sebelum masa Uruguay Round. Negara-negara berkembang yang memiliki surplus produk pertanian mengalami kesulitan untuk memasuki pasar negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, akibat banyaknya hambatan tarif. Subsidi ekspor dan ban tuan domestik yang diberikan di negara maju membuat produk pertaniannya lebih kompetitif saat berhadapan de Journal of World Trade Studies
ngan produk di negara maju. Kemudian, hal ini memicu negara-negara anggota di dalam WTO untuk menyelesaikan ma salah melalui meja perundingan.
Perjanjian pertanian dimaksudkan untuk mereformasi perdagangan du nia di sektor pertanian melalui pencip taan aturan yang berlaku bagi semua negara. Hal ini merupakan suatu titik transformasi yang luar biasa mengingat sebelumnya isu pertanian diselesaikan secara bilateral. Pemberlakuan efektif AoA adalah sejak 1 Januari 1995 (WTO 2015). Pada dasarnya, perjanjian ini berlaku dalam periode enam tahun bagi negara maju dan periode sepuluh tahun bagi negara berkembang setelah tahun 1995. Bagi negara kurang berkembang atau low developing countries (LDCs), ke wajiban ini tidak perlu dijalankan.
Terdapat tiga hal pokok dalam per janjian ini (Sally 2003, 3). Pertama, yai tu tarif. Terdapat proses tarifikasi yang diwajibkan bagi negara-negara ang gota yaitu tindakan pemberian kuota dan tindakan non-tarif lainnya dalam ukuran tarif. Negara maju diwajibkan menurunkan tarif rata-rata sebanyak 36 persen pada seluruh produk pertanian atau 15 persen untuk setiap produknya. Bagi negara berkembang, mereka diwa jibkan menurunkan tarif sebanyak 24 persen pada seluruh produk pertanian nya atau 10 persen bagi setiap produk. Formula penurunan tarif pada dasarnya masih menjadi bahan perdebatan. Hal ini mengingat munculnya beberapa for mula penurunan tarif yang berbeda dari berbagai koalisi perdagangan. Dalam hal akses pasar, jadwal penurunan tarif telah diberlakukan pada masing-masing ang gota sesuai Annex 1 AoA. Kemudian, tin dakan-tindakan non-tarif diganti dalam kebijakan tarif dengan tingkat proteksi tertentu. Negara anggota diminta untuk Volume V, Number 2, November 2015
tetap memberikan peluang akses impor yang ditarifikasi pada tingkat minimum sesuai Minimum Acess Volume (MAV).
Kedua, yaitu bantuan domestik. Bantuan domestik dihitung dalam ske ma Total Aggregate Measure of Support (TAM) dengan basis tahun yaitu 19861988. Bagi negara maju, mereka diwa jibkan untuk mengurangi TAM seban yak 20 persen. Sedangkan bagi negara berkembang, mereka diwajibkan untuk mengurangi TAM sebesar 13 persen. Subsidi domestik sendiri masih terbagi lagi dalam klasifikasi yang lebih rinci. Menurut Pasal 6 AoA, bantuan domes tik yang dilarang adalah yang mendis torsi produksi dan perdagangan yang disebut dalam Amber Box (Tim Penulis Dirjen Multilateral 2008, 8). Sedangkan, pada Pasal 6 Ayat 5, subsidi domestik yang termasuk dalam Blue Box, yaitu bantuan domestik yang diperbolehkan dalam syarat-syarat tertentu, masih diperbolehkan. Hal ini ada dalam aturan de minimis yaitu bantuan domestik dalam skala kecil. Total bantuan domes tik yang hanya berjumlah lima persen atau kurang dari lima persen dari jum lah total produksi diperbolehkan bagi negara maju. Sedangkan pada negara berkembang, total bantuan domestik yang berjumlah 10 persen atau kurang dari jumlah total produksi juga masih diperbolehkan. Lalu, subsidi yang masuk dalam Green Box, yaitu bantuan domes tik yang memiliki pengaruh terkecil atau tidak mempengaruhi perdagangan, Sub sidi ini diijinkan asalkan tidak termasuk transfer dari konsumen dan dibiayai pemerintah.
Ketiga, yaitu subsidi ekspor. Negara maju diwajibkan untuk mengurangi ni lai subsidi ekspor sebanyak 21 persen volume ekspor periode dasar bersubsidi dan 36 persen pengeluaran anggaran 9
bagi subsidi ekspor. Bagi negara berkem bang, nilai subsidi ekspor dikurangi se banyak 14 persen dan pengeluaran ang garan dikurangi sebanyak 24 persen. Bantuan domestik dan subsidi ekspor yang diberikan di negara maju diatur dalam klausul perjanjian ini karena ditengarai akan mengakibatkan harga jualnya semakin murah dan mengaki batkan efek dumping di negara tujuan (Ramphul 2011,54).
bantuan domestik yang mendistorsi perdagangan (WTO 2001). Sesuai alinea nomor tiga belas dalam deklarasi Doha, special and differential treatment adalah bagian integral dalam perjanjian ini dan harus dikeluarkan pada tanggal 31 Ma ret 2003 serta diserahkan draf jadwal berdasarkan komitmen pada Konferensi Tingkat Menteri ke-5, yaitu di Cancun (Tim Penulis 2008, 17). Akan tetapi, tar get ini tidak tercapai.
Perundingan Doha sendiri meng hasilkan deklarasi Doha yang berisi isuisu pembangunan. Di bidang pertanian, deklarasi ini meminta anggota-anggota WTO untuk melakukan pengembangan substansial di bidang akses pasar, pe ngurangan segala bentuk subsidi ekspor dan pengurangan substansial dalam
Stuart Harbinson, chairman of committee on Agriculture, akhirnya berusaha menengahi perdebatan ini. Ia menge luarkan draf formula 1 dan 2 Harbin son (Clapp 2006, 9). Pada draf formula pertama, formula yang diajukan adalah formula Uruguay, yaitu formula penu runan tarif seperti Uruguay Round, tetapi menuju adanya harmonisasi tarif. Bahan pertanian yang memiliki bound tariff tinggi akan mengalami penurunan tarif yang lebih besar. Dalam hal sub sidi domestik, Harbinson mengusulkan penurunan tariff sebesar 60 persen bagi
Setelah negara-negara anggota mencapai kesepakatan pada tahun 1995, mereka melakukan perunding an lagi karena masa implementasi ber akhir. Bahan perundingan awal AoA yang rupanya berasal dari Blair House Accord menghasilkan jadwal komitmen AoA pada tahun 1992. Hasil ini kemu dian disepakati dan berlaku sebagai AoA pada tahun 1995. Masa implementasi AoA sendiri berakhir pada 31 Desember 2003 (Cunha 2012, 10). Kemudian, tema pokok pembahasan pun berubah karena negara-negara berkembang mulai mena ruh perhatian pada ketahanan pangan di negaranya. Basis perjanjian pada tahun yang cukup lama harus diperbarui. Ne gara-negara anggota pun menemukan beberapa praktik yang bertentangan se hingga merasa perlu untuk merunding kan berbagai hal seperti persoalan ak ses pasar, pendisiplinan subsidi ekspor dan bantuan domestik serta fleksibili tas khusus bagi beberapa produk khu sus yang perlu dilindungi untuk negara berkembang.
10
Proposal yang dikeluarkan Ameri ka Serikat dan Eropa justru ditentang oleh negara-negara berkembang. Hal ini karena proposal tersebut menuntut ad anya perluasan akses pasar bagi negara berkembang sementara kedua negara ini tidak menurunkan tarifnya (IPSNews 2015). Mereka juga meminta negara berkembang untuk mengurangi subsidi domestik di negaranya. Sementara me reka dianggap melakukan pengalihan bantuan pemerintah yang dikategorisa sikan amber box atau blue box, tetapi di masukkan dalam green box seperti yang dilakukan Amerika Serikat pada akhir tahun 1990-an. Bahkan, subsidi ekspor sudah menghabiskan biaya sekitar 5 juta dolar AS pada tahun 2004, di mana 90 persen praktiknya dilakukan Uni Eropa (Braun et.all 2004,2).
Journal of World Trade Studies
negara maju dan 40 persen bagi negara berkembang. Mengenai bantuan domes tik yaitu blue box, pembatasan pembe rian direct payment dibatasi hanya sebe sar 50%. Kemudian, pada draf kedua, dalam hal penurunan tarif untuk negara berkembang, kuantitasnya diturunkan secara bertahap mulai dari 40, 35, 30, dan 25 persen. Lalu, bagi negara maju masih sama, yaitu mulai dari 60, 50, dan 40 persen. Special Safeguard (SSG) bagi negara maju ditiadakan dan Special Safeguard Mechanism (SSM) diberikan kepa da negara berkembang. Akan tetapi, draf ini pada akhirnya ditentang kedua belah pihak. Kemudian, di tahun 2003, pada KTM ke-5, konsensus tidak dicapai dalam proses perundingan ini. Perundingan ini menunjukkan betapa kompleksnya ne gosiasi di bidang pertanian. Joint proposal yang digerakkan Amerika Serikat dan Uni Eropa dianggap hanya berat sebelah dan menggunakan objek negosiasi yang belum dibahas sebelumnya yaitu blended formula. Prinsip konsensus dan single undertaking tidak terpenuhi. Awalnya, Amerika Serikat dan Uni Eropa mengelu arkan joint proposal yang memuat blended formula. Penurunan tarif akan dilaku kan dengan campuran dua metode yaitu formula Uruguay di mana tarif produk pertanian tidak diturunkan secara dras tis, formula Swiss di mana beberapa tarif produk pertanian yang tinggi diturunk an secara drastis sementara pada tarif yang rendah tidak diberlakukan dan lib eralisasi secara penuh pada produk per tanian yang tersisa sehingga tariffnya dipangkas nol persen. Blended formula tersebut men gundang reaksi dari berbagai pihak se hingga memunculkan koalisi perdagan gan baru. G-20 tidak menyetujui karena Amerika Serikat dan Uni Eropa tidak Volume V, Number 2, November 2015
memangkas bantuan domestik dan sub sidi ekspornya.1 Koalisi perdagangan ini pun mengeluarkan proposal dengan meminta penurunan tarif berupa tiered formula, penghapusan subsidi ekspor, pengurangan blue box serta pemberian SDT hanya bagi negara berkembang. Lalu, koalisi G-33 muncul dengan pro posal mengenai SP dan SSM bagi negara berkembang dan negara kurang berkem bang. G33 menentang Swiss Formula dan Uruguay Formula.2 SSM dikhususkan bagi negara berkembang. Indonesia pun meminta penurunan secara substansial atau penghapusan subsidi ekspor dan bantuan domestik seperti amber box bagi negara maju serta pendisiplinan green box dan blue box juga harus di lakukan. Hal ini dilakukan Indonesia me lalui CAIRNS group. Pada sidang Dewan Umum WTO di tahun 2004, perundingan sedikit mendapatkan titik terang. Kesepakatan dewan umum menghasilkan July Package yang memuat kerangka perundingan
G20 adalah koalisi perdagangan yang terdiri dari negara-negara berkembang yang berunding dalam bidang pertanian. Negara-negara tersebut adalah Afrika Selatan, Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, China, Ekuador, Filipina, Guatemala, India, Indonesia, Kuba, Meksiko, Mesir, Nigeria, Paki stan, Paraguay, Peru, Tanzania, Thailand, Uru guay, Venezuela, dan Zimbabwe. 1
G-33 yang digerakkan oleh Indonesia dan dikenal sebagai ‘Friends of Special Products’ ini beranggotakan Antigua dan Barbuda, Barbados, Belize, Benin, Bolivia, Botswana, China, Kongo, Kuba, Republik Dominika, El Salvador, Grenada, Guatemala, Guyana, Haiti, Honduras, India, Ja maica, Kenya, Korea, Madagaskar, Mauritius, Mongolia, Mozambik, Nikaragua, Nigeria, Paki stan, Panama, Peru, Filipina, Saint Kitts dan Nev is, Saint Lucia, Saint Vincent and the Grenadines, Senegal, Sri Lanka, Suriname, Tanzania, Trinidad dan Tobago, Turki, Uganda, Venezuela, Zambia dan Zimbabwe. 2
11
lebih lanjut mengenai DDA. Dalam hal pertanian, terdapat tiga pilar hasil kes epakatan dalam July Package (Kement erian Perdagangan Republik Indonesia 2015). Pertama, yaitu subsidi domestik. Negara maju diharuskan untuk memo tong 20 persen dari total subsidi domes tiknya pada tahun pertama implemen tasi perjanjian. Pemberian subsidi blue box akan dibatasi sebesar lima persen dari total produksi pertanian pada ta hun pertama implementasi pertanian. Negara berkembang dibebaskan dari keharusan menurunkan subsidi dalam kategori de minimis asalkan ditujukan untuk membantu petani. Kedua, yaitu subsidi ekspor. Semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara paralel dengan peng hapusan elemen subsidi program sep erti kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran melebihi 180 hari. Im plementasi penghapusan subsidi ekspor bagi negara berkembang lebih lama. Hak monopoli STE di negara berkembang ti dak harus dihapuskan. Aturan perlakuan khusus dan berbeda diperkuat.
Ketiga, yaitu akses pasar. Untuk ala san penyeragaman dan pertimbangan perbedaan dalam struktur penurunan tarif, tiered formula akan diberlakukan. SP akan dibuat lebih umum berdasarkan kriteria food security, livelihood security and rural development. Secara umum, July Package mem berikan posisi yang menguntungkan bagi negara berkembang dan kurang berkembang. Hal ini karena mekanisme SP dan SSM menjadi framework yang akan dirundingkan dalam negosiasi pe rundingan selanjutnya. Keuntungan ini tentu merupakan hasil koordinasi yang baik antara berbagai koalisi perdagan gan, mulai dari G-20 yang berisi negara12
negara berkembang dan G-33 di mana kelompok Afrika yang merupakan neg ara kurang berkembang juga ikut ber gabung.
Perkembangan perundingan per tanian selanjutnya muncul dalam KTM ke-6 WTO pada tahun 2005 di Hong kong. Dalam bidang pertanian, terdapat beberapa hal pokok yang disepakati. Pertama, yaitu akses pasar. Konsep SP dan SSM dimasukkan dalam deklarasi sebagai modalitas perundingan. Negara berkembang memiliki fleksibilitas untuk menentukan sendiri (prinsip self designate) banyaknya tariff lines berdasarkan kriteria food security, livelihood security dan rural development. Modalitas di bi dang pertanian harus diselesaikan pal ing lambat 30 April 2006 dan draf jadwal yang komprehensif harus disampaikan paling lambat 31 Juli 2006. Kedua, yaitu subsidi domestik. Jum lah pemotongan bantuan keseluruhan dan bantuan yang mendistorsi perda gangan telah disepakati akan menjadi bagian integral dari kesepakatan. Negara berkembang tanpa komitmen AMS tidak harus mendapatkan pemotongan dalam de minimis dan bantuan keseluruhan. Ketiga, yaitu subsidi ekspor. Batas akhir penurunan subsidi ekspor disepakati sampai dengan tahun 2013. State Trading Enterprises dan food aid akan didis iplinkan.
Secara umum, negara-negara ang gota tidak menghasilkan kesepakatan yang rinci. Mereka hanya menyetujui perihal framework negosiasi selanjutnya setelah mereka menyepakati akan mem bahas tiga pilar perjanjian tersebut. Ke sepakatan rinci belum ditentukan soal bagaimana skema potongan subsidi ekspor. Produk yang masuk dalam kat egori produk khusus dan pengukuran kriteria SSM juga belum diatur. Akan Journal of World Trade Studies
tetapi, mereka bersepakat untuk me rundingkan hal-hal tersebut dalam ne gosiasi selanjutnya. Negosiasi yang tak henti didorong negara berkembang pada akhirnya mampu membuat lawan nego siasi yaitu Uni Eropa, untuk melakukan kompromi. Mereka menyetujui adanya potongan subsidi domestik seperti yang tertera dalam poin awal di klausul sub sidi ekspor.
Kemudian, mini ministerial meeting diadakan pada tahun 2008 di Jenewa. Melalui Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, ia tetap meminta negara maju untuk mengurangi subsidi di negaranya. Peluang ekspor bagi produk pertanian negara berkembang juga harus dibuka luas oleh negara maju. Dalam perte muan ini, draf rancangan yang dibuat oleh Pascal Lamy ditolak karena hanya mengakomodasi produk sensitif nega ra maju, tetapi tidak mengakomodasi fleksibilitas negara berkembang. Pada pertemuan ini, negara-negara anggota sulit menemukan kata sepakat. Dalam hal prosedur menaikkan tarif saat impor terlalu tinggi, posisi negara maju dan negara berkembang masih berseberan gan. Menurut Amerika Serikat, kenaikan tarif impor yang diajukan Cina dan In dia sebesar 25 persen saat volume arus impor naik 15 persen tidak lah relevan. Amerika Serikat berpendapat bahwa ke naikan tariff impor dapat dijalankan saat volume arus impor mencapai 40 persen. Sedangkan, negara berkembang seperti India menolak persentase ini karena di anggap terlalu tinggi. KTM ke-7 diadakan di Swiss pada tahun 2009. Beberapa pertemuan pen dahuluan dilakukan delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Perdagangan Republik Indonesia pada saat itu, yai tu Mari Elka Pangestu, dengan koalisi perdagangan lain di mana Indonesia Volume V, Number 2, November 2015
menjadi bagian di dalamnya, yaitu di G-20, CAIRNS dan G-33. Di dalam G-20, sebuah komunike dihasilkan dalam per temuan tingkat menteri yaitu soal state of play dalam putaran Doha. CAIRNS group sendiri menghasilkan komunike bersama tentang pentingnya perdagan gan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Hal ini dilakukan dengan mengha pus subsidi ekspor pada tahun 2013 dan pembukaan akses pasar yang lebih luas (Kementerian Luar Negeri 2015). Seb agai negara koordinator G-33, Indonesia terus menekankan adanya SP dan SSM bagi negara berkembang. Akan tetapi, KTM ini pada akhirnya tidak menghasil kan kesepakatan apapun Negosiasi pertanian selanjutnya di adakan pada KTM ke-8 WTO pada tahun 2011 di Swiss. Pada pertemuan ini, Di rektur Jenderal WTO, Pascal Lamy, me ngajak seluruh negara untuk mengede pankan sistem perdagangan multilateral sebagai solusi atas krisis global. Sebe lumnya, Menteri Perdagangan RI yaitu Gita Wirjawan menghadiri pertemuan G-20. Dalam kesempatan ini, mereka mendiskusikan tentang state of play dan agenda pembangunan yang ada dalam putaran Doha. Indonesia tetap menyu arakan pentingnya prinsip SP dan SSM bagi negara berkembang. Pada KTM ini, isu pertanian kembali menemui ja lan buntu karena tidak tercapainya ke sepakatan, baik negara maju maupun negara berkembang.
Perundingan pertanian menemu kan titik terang pada KTM ke-9 pada ta hun 2013. Misi Indonesia sebagai tuan rumah pada KTM ini adalah membuka kebuntuan dalam perundingan Doha dan mengembalikan kepercayaan ne gara-negara pada perundingan mul tilateral. Pada pertemuan ini, proposal G-33 diajukan dengan berisi dua poin 13
utama (The Graduate Institute Geneva 2015). Pertama, yaitu uraian kebijakan pemerintah yang dapat digolongkan se bagai green box. Misalnya saja pada re habilitasi lahan, manajemen kekeringan hingga program penempatan petani. Kedua, yaitu negara-negara berkembang diizinkan memberikan subsidi domes tik dengan membeli produk pertanian dari petani kecil dan menjualnya dalam administered price. Harga ini ditetapkan pemerintah dan berbeda dengan harga pasar pada umumnya. Hal inilah yang ditentang negara maju karena subsidi domestik ini dianggap mendistorsi pas ar dan masuk dalam kategori amber box, bukan green box. Indonesia sendiri berkepentingan untuk mendukung proposal ini mengi ngat terdapat beberapa produk pertani an pokok seperti kedelai, jagung, beras dan gula, yang dapat diproteksi meng gunakan jaring pengaman ini. Negaranegara berkembang berpendapat bahwa mereka berhak memberikan bantuan ini untuk tujuan keamanan pangan sehing ga dapat membantu kepentingan petani kecil (Chakar dan Mukumba 2004, 9). Mereka tidak dapat dibiarkan bersaing secara bebas mengingat harga produk pertanian dunia semakin tinggi. Akhirnya, perundingan ini mene mui titik temu saat Bali Package disetu jui. Di menit-menit terakhir perundin gan, India yang awalnya cukup defensif kemudian menyetujui adanya interim solution. Di sinilah, Indonesia menjadi interlokutor saat India bersikap defensif melawan Amerika Serikat. Dalam nego siasi perundingan kali ini, Bali Package memuat interim solution bagi isu perta nian yaitu mengenai subsidi domestik (FAO 2015). Negara-negara berkembang diizinkan untuk memberikan subsidi do mestik kepada petaninya demi program public stokeholding. Ketentuan ini tidak 14
dapat dipermasalahkan dalam DSU dan hanya dapat diberlakukan hingga ta hun 2017. Hal ini disebut sebagai peace clause. Hasil ini menandakan pencapai an yang cukup luar biasa mengingat se belumnya perundingan pertanian belum menemukan titik terang dalam SP dan SSM. Subsidi ekspor pun nampaknya masih menjadi bahan perdebatan yang panjang. Namun, mereka sudah me nyepakati kriteria subsidi ekspor yang harus dilaporkan ke WTO.
Keterlibatan Indonesia sendiri dapat ditelaah melalui perannya di tiga koalisi berbeda. Pertama yaitu Cairns Group.3 Tujuan awal Indonesia memasuki koalisi ini adalah untuk memastikan pertanian sebagai bahan perundingan, khusus nya dalam hal akses pasar. Bagi negara berkembang dan merupakan eksportir bahan pertanian semasa 1980-1990, Indonesia membutuhkan tempat untuk menyalurkan ekspor bahan pertanian. Pada tahun 2002, Cairns mengadakan 24th ministerial meeting di Bolivia. Dalam pertemuan ini, Indonesia mengeluarkan proposal mengenai SP dan SSM ke dalam koalisi Cairns. Namun, proposal ini dito lak. Sejak persiapan perundingan KTM ke-5 WTO, Indonesia tetap teguh mem bawa konsep SP sebagai topik rancang an pembahasan perundingan WTO di Meksiko. Posisi Indonesia masih berada di dalam koalisi ini untuk kepentingan ekonomis. Hal ini mengingat koalisi ini menjadi forum fasilitasi perdagangan di mana arus ekspor impor pertanian memberi keuntungan tersendiri bagi In donesia. Cairns adalah koalisi perdagangan di sektor pertanian yang beranggotakan Argentina, Aus tralia, Brazil, Chile, Fiji, Filipina, Hungaria, In donesia, Kanada, Kolombia, Malaysia, Thailand, Uruguay dan Selandia Baru. 3
Journal of World Trade Studies
Kedua, yaitu G-20. Koalisi ini mun cul pada KTM ke-5 WTO pada 20 Agus tus 2003 dimana Brazil sebagai motor penggerak. Indonesia bergabung dalam G-20 pada akhir pertemuan Cancun. Dalam perundingan pertanian, koal isi ini memiliki sumber homogenitas yang sama yaitu soal politik (Messerlin 2004, 4). Pertanian adalah isu penting yang menjadi perhatian dari kebijakan negara-negara berkembang. Koalisi ini menyumbang 60 persen dari populasi dunia, 70 persen petani serta 26 persen dari ekspor pertanian dunia. Negaranegara berkembang menyadari bahwa mereka menarik keuntungan dalam hal liberalisasi perdagangan, hanya saja, ter dapat berbagai hal lain yang akhirnya
mendorong mereka untuk mengambil posisi perundingan berseberangan de ngan negara maju. Koalisi ini memiliki tujuan utama untuk menentang blended formula yang dianggap menguntungkan negara maju. Hal ini mendorong koalisi ini mengeluarkan proposal mengenai tiered formula. Ketiga, yaitu G-33. Koalisi ini ter diri dari negara berkembang dan negara kurang berkembang yang menuntut ke adilan melalui Special and Differential Treatment (SDT) seperti yang tertuang dalam mandat Doha alinea ke-44 bah wa SDT adalah bagian integral dari AoA yang dilakukan demi ketahanan pangan, pembangunan pedesaan dan jaminan penghidupan. Koalisi G-33 yang dikoor
Tabel 1. Dinamika Posisi Indonesia dalam Berbagai Koalisi Perdagangan Indikator
Cairns Group
G-20
Target
• Menuntut pertanian sebagai bahan perundingan • Menuntut akses pasar yang lebih luas di negara maju
• Meminta skema penurunan tariff dalam tiered formula • Menghapus subsidi ekspor di negara maju • Mendisiplinkan pengalihan subsidi domestik
Meminta fleksibilitas dalam AoA secara self designate bagi negara berkembang
Tujuan
• Menempatkan pertanian dalam bahan perundingan • Mendapatkan keuntungan ekonomis dari kerjasama pertanian
• Menentang subsidi ekspor negara maju • Meminta skema penurunan tariff yang lebih adil bagi negara berkembang dan LDCs
Menuntut SDT bagi negara berkembang
Hasil Negosiasi
• Menempatkan sektor pertanian dalam perundingan dalam AoA • Mendapatkan keuntungan ekonomis dari kerjasama pertanian
• Merundingkan penurunan subsidi ekspor negara maju secara paralel • Mendukung konsep SP dan SSM bagi negara berkembang • Menurunkan tariff dalam tiered formula
Mendapatkan fleksibilitas bagi negara maju hingga 2017 demi ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan kehidupan pedesaan
Volume V, Number 2, November 2015
G-33
15
dinasi oleh Indonesia dan dikenal se bagai ‘Friends of Special Products’ ini me minta bahwa kriteria SP dan SSM harus ditentukan secara jelas. Kelompok G-33 pun menjelaskan bahwa kriteria penen tuan SP dan SSM haruslah secara self declaration atas dasar ketahanan pan gan, pengentasan kemiskinan dan pem bangunan pedesaan. Secara umum, dinamika posisi In donesia dalam berbagai koalisi perda gangan dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, posisi Indo nesia tercermin dalam mencapai kepen tingan nasionalnya melalui ketiga koalisi tersebut. Di dalam Cairns Group, Indo nesia menuntut pertanian sebagai ba han perundingan di Uruguay Round. Hal ini tercermin dalam AoA yang akhirnya disepakati. Di sini, Indonesia menuntut adanya akses pasar yang jauh lebih luas di negara maju bagi komoditas pertani an dari negara berkembang. Sejak awal keikutsertaannya, Indonesia ingin me mastikan bahwa pertanian diatur dalam skema multilateral dalam bahan perun dingan. Kemudian, meskipun koalisi ini meminta adanya akses pasar yang jauh lebih luas tanpa mengakomodasikan SDT, Indonesia tetap berada di koalisi ini mengingat Indonesia mendapat keun tungan ekonomis dari forum kerja sama perdagangan komoditas pertanian.
Melalui G-20, Indonesia memiliki tujuan bergabung untuk meminta skema penurunan tarif yang lebih adil bagi ne gara berkembang. Kemudian, Indonesia juga menentang subsidi ekspor yang di lakukan negara maju melalui posisinya dalam koalisi ini. Subsidi ekspor diten tang oleh koalisi ini mengingat subsidi ekspor yang dilakukan oleh negara maju dianggap telah mendistorsi perdagan gan dunia. Dalam menjalankan nego siasi sejak KTM ke-5, Indonesia ikut 16
mendukung adanya penurunan tarif melalui tiered approach dianggap lebih menguntungkan bagi Indonesia. Hal ini mengingat tarif antara negara maju dan negara berkembang dibedakan dengan prinsip proporsionalitas. Secara lebih lanjut, target negosiasi yang ingin dica pai adalah penghapusan subsidi ekspor. Namun, negara-negara berkembang harus melakukan kompromi dan me nyepakati adanya penurunan tarif yang akan dirundingkan setelah Paket Bali secara paralel. Selain itu, koalisi ini pun mendukung adanya SP dan SSM bagi negara berkembang. Aturan fleksibilitas bagi negara maju berupa SSG ditentang karena fleksibilitas khusus hanya dituju kan bagi negara berkembang dan kurang berkembang melalui SP dan SSM.
Kemudian, berdasarkan Tabel 1, di dalam koalisi G-33, sebagai negara koor dinator, Indonesia menuntut adanya per lakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang dan kurang berkembang. Target negosiasi yang ingin dicapai sejak Sidang Dewan Umum WTO adalah men gacu pada prinsip self designate. Prinsip ini menekankan bahwa kriteria produk yang masuk dalam pengecualian dalam SP dan SSM bergantung pada kondisi domestik negara bersangkutan. Akan tetapi, prinsip ini ditentang oleh neg ara maju dan beberapa negara Cairns karena dianggap memiliki kriteria yang tidak terlalu jelas. Melalui berbagai per temuan internal di dalam koalisi ini, mereka mulai memformulasikan krite ria produk yang masuk dalam konsep SP dan SSM. KTM ke-9 pada akhirnya memberikan hasil negosiasi sementara berupa fleksibilitas khusus hingga tahun 2017. Kriteria produk pertanian yang diberi perlakuan khusus dan berbeda ini adalah produk yang dilindungi demi pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan dan kehidupan pedesaan. Journal of World Trade Studies
Negosiasi pertanian mulai mene mukan titik temu pada KTM ke-9 WTO di Indonesia. Melalui hasil komunike yang dikeluarkan usai pertemuan ko munike koalisi G-33 pada 2 Desember 2013, kebutuhan atas SP dan SSM ha rus ditekankan untuk kepentingan rural livelihood, food security dan poverty alleviation (WTO 2015). Meskipun tuntutan mengenai hal ini hanya berlaku dalam masa tertentu, yaitu hingga 2017, konsep mengenai SP dan SSM akhirnya diteri ma sebagai fleksibilitas yang diterima negara berkembang. Akan tetapi, nega ra-negara anggota WTO diminta untuk terus bekerja sama mencapai solusi per manen demi kepentingan petani kecil. Sebagai koordinator koalisi ini, Indone sia tidak hanya harus menjamin adanya satu posisi yang sama dalam G-33, tetapi juga harus membawa perjuangan ke pentingan koalisi ini agar mendapatkan tempat di forum multilateral WTO. Maka dari itu, koalisi ini juga berkoordinasi dengan koalisi lain yang melihat ekses negatif pemberlakuan AoA seperti ko alisi G-20 dan kelompok Afrika. Hal ini berguna dalam negosiasi karena koalisi berkesempatan untuk menekan lawan yang sama yaitu negara maju dengan sa ling memberikan dukungan. Posisi Indonesia dalam berbagai ko alisi ini menunjukkan kepentingan nasi onal Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia membutuhkan akses pasar yang lebih luas di negara-nega ra maju bagi komoditas pertaniannya. Akan tetapi, ekses negatif dari liberalisa si pertanian ini meninggalkan masalah bagi negara berkembang dan negaranegara kurang berkembang. Kehidupan pedesaan terancam akibat adanya arus impor yang deras dari komoditas perta nian negara maju. Hal ini pun membuat Indonesia memperjuangkan konsep SP dan SSM demi melindungi kepentingan Volume V, Number 2, November 2015
petani kecil agar tidak kalah dari deras nya arus komoditas pangan pokok im por dari negara lain.
Dalam perundingan pertanian ini, Indonesia tentu perlu melakukan nego siasi untuk mencapai kepentngan na sionalnya. Saat melakukan negosiasi, strategi ditujukan sebagai sebuah ren cana untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Strategi negosiasi yang dilaku kan Indonesia dapat dijelaskan melalui strategi negosiasi integratif. Integrative negotiation adalah salah satu strategi ne gosiasi yang berusaha untuk mencapai tujuan bagi semua pihak (Lewiscki et all, 32). Dasar utama dari strategi negosiasi ini adalah pencapaian tujuan bagi semua pihak tanpa menyebabkan adanya winner dan loser. Negosiator harus mencip takan ruang informasi yang terbuka dan memberikan kesempatan untuk melaku kan dialog bersama. Pihak-pihak yang bersengketa setuju untuk memiliki cara pendekatan yang sama untuk mencapai tujuan dan memiliki keyakinan akan suatu metode penyelesaian masalah ber sama. Mereka berinisiatif untuk meny elenggarakan pertemuan untuk mencari titik temu dengan mengajukan prosedur penyelesaian permasalahan. Dalam integrative negotiation, pi hak-pihak yang melakukan perundin gan pada dasarnya tidak bersikap kaku dan manipulatif. Mereka berusaha men cari jalan tengah untuk menghasilkan konsesi yang menguntungkan lebih ban yak pihak. Terdapat beberapa langkah dalam melakukan strategi perundingan ini. Pertama, yaitu mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah. Bagi ne gara maju maupun negara berkembang terkadang terdapat perbedaan dalam mengkonsepsikan masalah. Maka dari itu, konsepsi masalah harus ditemukan. Lalu, para negosiator dapat mengidenti
17
fikasi kebutuhan dan kepentingan kedua belah pihak. Kedua, yaitu menghasilkan alternatif solusi dari masalah. Pihak-pi hak yang bersengketa terkadang hanya terpaku pada solusi. Padahal, alternatifalternatif solusi lain juga harus dikem bangkan untuk mengantisipasi apabila menemui kebuntuan dalam perunding an. Untuk menghasilkan alternatif-al ternatif solusi tersebut, para negosiator dapat menambah sumber daya. Para negosiator dapat pula menemukan ba nyak isu atau menggabungkan kedua isu sehingga kedua pihak mungkin dapat melakukan trade offs. Pihak pertama mungkin dapat mencapai hasil yang
diinginkan pada isu pertama dan pi hak lain dapat mencapai hasil yang di inginkan pada isu kedua. Hal yang paling penting adalah menemukan solusi yang dapat menjadi jembatan atas kepenting an dan kebutuhan semua pihak (bridge solution).
Ketiga, yaitu mengevaluasi alter natif solusi. Alternatif-alternatif solusi tersebut dicek kembali dan mencari kemungkinan menjadikan solusi-solusi tersebut dalam satu paket. Hal paling penting dalam melakukan evaluasi ini adalah mempertimbangkan kadar ke gunaan dan penerimaan pada semua
Diagram 1. Dinamika Strategi Negosiasi Indonesia dalam Perundingan Pertanian
18
Journal of World Trade Studies
pihak. Kriteria pemilihan solusi ini juga harus disepakati oleh negosiator. Indo nesia tidak serta merta menyetujui ad anya penurunan tarif drastis. Melalui ko alisi G-20, Indonesia mendukung adanya solusi alternatif untuk memberlakukan tiered formula. Keempat, yaitu memilih win-win solution di antara semua pilihan solusi tersebut. Solusi yang dipilih ha rus dijalankan atas dasar motivasi dan komitmen untuk bekerja sama, bukan saling berkompetisi. Komunikasi pun dikembangkan melalui berbagai cara sehingga semua pihak bisa saling meng klarifikasi informasi dan bertukar pan dangan. Negosiator harus bisa meya kinkan bahwa posisinya adalah valid dan dapat menjadi solusi bersama atas suatu masalah.
Secara lebih lanjut, dinamika strate gi negosiasi Indonesia tercermin melalui berbagai koalisi yang melakukan pe rundingan pertanian di WTO.
Perundingan pertanian yang meng hasilkan Agreement on Agriculture bu kanlah tanpa peran Indonesia. Indonesia adalah satu dari negara-negara anggota kelompok Cairns yang terus menerus memberikan penekanan pada dunia bah wa pertanian adalah sektor yang harus diperhatikan bersama dan menjadi ba han perundingan. Berdasarkan diagram 1, hal inilah yang menjadi tujuan utama diplomasi ekonomi Indonesia melalui koalisi ini. Koalisi ini akhirnya mampu membuat Uruguay Round menghasilkan persetujuan di bidang pertanian yaitu Agreement on Agriculture. Sebagai ba gian dari koalisi ini, Indonesia merasa berkepentingan untuk menjamin sistem perdagangan internasional menghasil kan keuntungan bagi produk pertanian. Hal ini mengingat proteksi negara maju pada sektor pertaniannya pada masa itu memang terlampau tinggi. Volume V, Number 2, November 2015
Dalam perkembangannya, posisi Indonesia di Cairns sendiri tidaklah se lalu sama. Memasuki pertemuan KTM ke-5, Cairns yang dimotori oleh Aus tralia, justru memiliki posisi yang sama dengan Amerika Serikat. Mereka me nentang konsep SP dan SSM yang diaju kan Indonesia di dalam perundingan pertanian. Kriteria konsep ini terbilang sangat subjektif dan tak jelas. Dalam proposal yang diajukan Cairns pun, In donesia terkadang tidak sependapat. Penurunan tarif ini tidak memandang perlu atas adanya SP dan SSM. Meskipun Indonesia mendapatkan pertentangan, Indonesia tetap menggunakan posisinya sebagai anggota untuk terus mengikuti pertemuan Cairns. Dengan mengguna kan strategi negosiasi integratif, Indo nesia terus menjelaskan posisi Indone sia dalam mencapai fleksibilitas khusus bagi negara berkembang dalam berbagai pertemuan kelompok Cairns. Di dalam koalisi ini, Indonesia memiliki kepen tingan ekonomis karena Cairns tidak ha nya menjadi koalisi perdagangan dalam WTO, tetapi juga sebagai forum kerja sama perdagangan produk pertanian. Dalam berbagai kesempatan pertemuan Cairns pun, Indonesia sebagai koordi nator G-33 pun masih mengembangkan komunikasi yang efektif mengenai ke pentingan negara berkembang.
Kemudian, menurut diagram 1, Indonesia menentang blended formula yang diajukan dalam joint proposal Amerika Serikat dan Uni Eropa melalui G-20. Indonesia melihat bahwa penu runan tarif sebesar blended formula yang diajukan negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa akan membahayakan kondisi domestik pertanian di negara berkembang. Hal ini mengingat penu runan tarif secara drastis akan membuat aliran impor semakin tinggi di negara berkembang. Penggunaan tiered formu19
la yang diperjuangkan koalisi ini diang gap lebih memberikan keuntungan bagi negara berkembang. Terlebih, Indonesia sendiri juga sedang aktif mendorong pentingnya fleksibilitas khusus bagi ke pentingan petani di negara berkembang.
Melalui koalisi ini, Indonesia mene gaskan bahwa negara ini menentang praktik penyimpangan negara maju. Amerika Serikat dan Uni Eropa dianggap telah berpraktik curang dengan tidak bertindak disiplin dalam memberikan subsidi domestik. Bantuan yang diang gap mempengaruhi harga produksi jus tru ditaruh dalam green box. Bahkan, Amerika Serikat sendiri bersikap inkon sisten dengan mandat Doha karena memberlakukan Farm Security and Rural Investment Act di mana jagung, sor gum, katun, kedelai, nasi dan gandum menjadi sasaran produk yang dicurangi pemerintah Amerika. Uni Eropa sendiri memberlakukan kebijakan CAP dengan memberikan subsidi pertanian yang tinggi kepada perusahaan agronindustri dan petani di Eropa. Tingkat tarif tinggi bahkan diberikan kepada produk ekspor negara berkembang yang masuk ke Uni Eropa yaitu daging, gula, susu dan keju. Dalam hal subsidi ekspor pun, Indo nesia menentang praktik negara maju yang telah mengakibatkan kerugian pada produk pertanian negara berkem bang. Hal ini mengingat Amerika Serikat dan Uni Eropa menjual produk pangan pertanian mereka ke pasaran dunia di bawah harga yang seharusnya.
Posisi Indonesia dalam koalisi G-20 ini didasari latar belakang yang sama dengan negara berkembang lainnya. Komposisi koalisi ini sendiri didomi nasi dengan 60 persen populasi dunia, 70 persen petani dan 26 persen ekspor pertanian. G-20 muncul sebagai middle power di tengah pertentangan negara 20
maju dan negara berkembang. Pilihan Indonesia untuk masuk dalam koalisi ini terbilang tepat karena strategi negosiasi integratif Indonesia dapat dijalankan. Posisinya di G-20 tidak membuat Indo nesia mampu mencapai tuntutannya dalam hal SP dan SSM secara mendetail di proposal G-20. Namun, Indonesia me lihat bahwa dukungan Indonesia me nentang SSG dari G-20 adalah cara yang tepat. Tindakan fleksibilitas tidak perlu ditujukan bagi negara maju, tetapi bagi negara berkembang. Dengan menjadi bagian dari koalisi ini, Indonesia berke sempatan untuk mendapatkan dukung an dalam konsep SP dan SSM sehingga bisa menekan posisi negara maju ber sama-sama.
Mengenai subsidi ekspor, perjuang an Indonesia pun mendapatkan jalan tengah. Sebuah keputusan dalam Paket Bali yang keluar dalam KTM ke-9 WTO menunjukkan bahwa pengurangan sub sidi secara paralel akan terus dilaku kan. Posisi Indonesia untuk menuntut pengurangan subsidi ekspor negara maju yang mendistorsi perdagangan du nia mulai menuai hasil. Dalam hal export credit, export credit guarantees or export financing, negara-negara ber sepakat untuk terus mendiskusikannya dalam komite pertanian dan KTM ke10. Meskipun pada kenyataannya, sub sidi ekspor tidaklah dikurangi sesuai Hongkong Ministerial Declaration. Per mintaan notifikasi terhadap kebijakan subsidi ekspor semakin jelas. Negara ha rus menyampaikan berbagai hal menge nai praktik ini ke WTO seperti deskripsi program yaitu termasuk direct financing support, risk cover, government to government credit agreements, dukungan kredit ekspor dari pemerintah dan le gislasi terkait, export financing entity, total nilai ekspor produk pertanian yang diberi kredit ekspor, jaminan kredit Journal of World Trade Studies
ekspor, nilai rata-rata subsidi ekspor ini per tahun dan tujuan destinasi harus di laporkan ke WTO (WTO 2015).
Berdasarkan diagram 1, sebagai koordinator di dalam koalisi G-33, tu juan Indonesia sangatlah jelas dalam memperjuangkan fleksibilitas khusus bagi negara berkembang. Awalnya, In donesia telah terlebih dahulu mengu sulkan proposal mengenai SP dalam pertemuan tingkat menteri Cairns ke-24 di Bolivia. Namun, proposal ini ditolak. Pada KTM ke-5 WTO, Indonesia meng ajukan proposal pertama melalui Food Security Mechanism di mana negaranegara berkembang meminta fleksibili tas dalam produk tertentu demi keta hanan pangan. Konsep mengenai hal ini kemudian berkembang menjadi SP pada proposal kedua. Koalisi ini akhirnya muncul sebagai reaksi atas KTM ke-5 WTO yang tidak memenuhi kepentingan negara berkembang dalam hal SP. Target Indonesia dalam koalisi ini adalah untuk memenuhi fleksibilitas khusus melalui konsep SP dan SSM berdasarkan peng hitungan sendiri oleh negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Berbagai pertemuan internal dan eksternal dijalankan melalui koalisi ini. Konsolidasi internal ditujukan untuk memperkuat aliansi dengan menyama kan metode dalam memperjuangkan isu SP dan SSM. Hal ini dilakukan dengan mengadakan komunike tingkat men teri dan mengundang pihak di luar ko alisi ini seperti Direktur Jenderal WTO, USTR, kominisoner UE dan perwakilan koalisi lain seperti G-20, Cairns dan Af rika. Awalnya, prinsip self designate yang meminta kriteria SP ini diserahkan ke pada negara berkembang. Setelah mene mukan berbagai pertentangan, koalisi ini kembali melakukan evaluasi terha dap pilihan kebijakannya. Setelah men Volume V, Number 2, November 2015
dengarkan berbagai pandangan, me reka menyepakati bahwa kriteria SP dan SSM bagi produk pertanian, khususnya produk pangan, didasarkan atas food security, rural development dan livelihood security.
Strategi negosiasi integratif mem berikan peluang adanya perbaikan secara bertahap. Hal ini disebabkan karena strategi ini menempatkan ke mungkinan kerja sama, bukan men dorong adanya konflik. Kemungkinan kerja sama itu dapat diciptakan atau didefinisikan ulang melalui negotiation package. Dalam paket negosiasi ini, ha rus terdapat sesuatu yang membedakan dibandingkan dengan outcome negosiasi sebelumnya yang menjadi dasar. Kemu dian, harus terdapat koreasi nilai an tara outcome negosiasi sebelumnya dan negotiation package. Hal ini tercermin dalam Paket Bali hasil KTM Ke-9 WTO lalu. Dalam paket negosiasi perunding an yaitu Bali Package, para negosiator menyepakati beberapa hal. Semua ke pentingan berusaha diakomodasi me lalui hasil negosiasi yang diperbarui. Tidak hanya kepentingan koalisi G-33 saja yang disebutkan dalam hasil paket negosiasi. Kompromi berhasil dicapai melalui peace clause dalam hasil nego siasi public stokeholding. Negara-negara maju yang merasa enggan memberikan fleksibilitas pada akhirnya memberikan tenggat waktu. Paket negosiasi ini tidak sama persis dengan tuntutan negosiasi sebelumnya yaitu mengizinkan subsidi domestik bagi beberapa produk pangan tertentu demi ketahanan pangan, pem bangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan tanpa adanya batasan wak tu. Posisi Indonesia dalam berbagai koalisi ini ditujukan untuk memenuhi
21
kepentingan nasional. Indonesia tidak hanya berkepentingan untuk memas tikan sistem liberalisasi komoditas pa ngan pertanian, tetapi juga memberi kan perlindungan bagi petani kecil. Hal ini dilakukan dengan menggunakan strategi negosiasi integratif. Strategi ini menekankan pentingnya win-win solution, membuka ruang dialog yang lebih luas dan tidak bertindak kaku dan ma nipulatif. Dinamika penggunaan strategi ini terlihat dalam tuntutan dan hasil ne gosiasi yang dicapai dalam pertemuan antarkoalisi di KTM maupun pertemuan internal di dalam koalisi.
Dalam kasus ini, penulis meyakini bahwa posisi Indonesia di dalam tiga ko alisi perdagangan yaitu G-20, G-33 dan CAIRNS group digunakan untuk menga komodasi kepentingan nasionalnya yai tu tidak hanya mendukung AoA melalui liberalisasi komoditas pertanian, tetapi juga mendapatkan perlakuan khusus dan berbeda demi melindungi petani kecil. Hal ini dilakukan melalui strategi negosiasi integratif yang dilakukan In donesia. Dinamika penggunaan strategi ini terlihat dalam tuntutan dan hasil ne gosiasi yang dicapai dalam pertemuan antarkoalisi di KTM maupun pertemuan internal di dalam koalisi. Melalui posisi nya di koalisi Cairns, Indonesia meminta pertanian sebagai sektor yang harus di tempatkan dalam bahan perundingan WTO. Meskipun tuntutan Cairns untuk membuka akses pasar di negara maju didukung Indonesia, tetapi Indonesia tidak akan memberikan konsesi berupa akses pasar di negaranya tanpa adanya SDT bagi negara berkembang. Kemudi an, di dalam koalisi G-20, Indonesia men dukung adanya formula penurunan tarif melalui tiered formula. Indonesia pun berkepentingan untuk meminta penu runan subsidi ekspor di negara maju. Tuntutan Indonesia dalam fleksibilitas 22
khusus juga didukung melalui koalisi ini karena koalisi G-20 menuntut ada nya SDT bagi negara berkembang dan kurang berkembang tanpa memberikan SSG bagi negara maju. Melalui koalisi G-33, Indonesia pun tetap pada tujuan nya untuk melindungi kepentingan pe tani kecil melalui konsep SP dan SSM bagi negara berkembang.
Meskipun demikian, hasil dari KTM ke-9 WTO masih membutuhkan men capai permanent solution. Peace clause yang menjadi kesepakatan bersama ini menandakan bahwa solusi masalah ini hanya bersifat sementara. Perundingan pertanian memerlukan perhatian semua pihak, baik negara maju, negara berkem bang maupun negara kurang berkem bang. Kadar keberhasilan setiap negara berkembang dan kurang berkembang dalam Paket Bali pun berbeda-beda karena memiliki keunggulan produk pertanian yang berbeda-beda. Hal ini pun tentu membutuhkan kajian lebih lanjut terhadap kadar keberhasilan ne gosiasi pertanian setelah Bali Package. Indonesia harus memainkan peran yang lebih dalam perundingan ini agar men dorong solusi permanen yang lebih adil bagi negara berkembang. DAFTAR PUSTAKA Braun, J.V, et all, “Making Agricultural Trade Liberalization Work for The Poor”, 2004,halaman 2
Chakar, A. and C.Mukumba, 2010. “Un packing The Bali Package , A Snapshot of The Bali Minis terial Decisions of The WTO Members”,CUTS, 9 Clapp, J. 2006. ‘WTO Agriculture Ne gotiations: Implications for The Journal of World Trade Studies
Global South’, The Centre of International Governance Innovation, Volume 27, no, 4, halaman 565
Cohen, H. 1980. You Can Negotiate Anything, edisi bahasa Indonesia Ne gosiasi, diterjemahkan oleh H.Z.B Tahal, Yogyakarta: PT Pantja Sim pati, halaman 18 Cunha, F.C, 2012. “The WTO Legal Re gime for The Actionability of Ag ricultural Subsidies After The Ex piry of Peace Clause”,halaman 10
Food and Agriculture Organization, “No.16 The Bali Package-Implica tions for Trade and Food Security”, Accessed March 10,2015, http:// w w w. f a o . o r g / d o c r e p / 0 1 9 / i3658e/i3658e.pdf Inter Press Service Agency, “Public Stoke holding Programmes for Food Se curity Face Uphill Struggle”, Ac cessed April 10, 2015 ://www. ipsnews.net/2014/07/publicstockholding-programmes-forfood-security-face-uphill-strug gle/ Kementerian Luar Negeri, “Indonesia Berperan Aktif Dorong Penyelesa ian Doha”, Accessed April 15,2015, http://kemlu.go.id/_layouts/ mobile/PortalDetail-NewsLike. aspx?l=id&ItemID=e577c63c1f6c-4bf3-8e5c-487f03489617,
Kementerian Perdagangan Republik In donesia. “F.A.Q”. Accessed March 10,2015. http://www.kemendag. go.id/id/faq Lewiscki, R.J et all. Essentials of Negotiation, 2nd edn., London: Mc Graw Hill Irwin Messerlin, P.A, 2004. ‘G2&G20, Please, Tango!’, Instituto Affari Internazionali, halaman 4 Volume V, Number 2, November 2015
World Trade Organization, 2013. “G33 Ministerial Communique”, Ac cessed May 4, 2015, https://mc9. wto.org/official-documents-baliministerial
Odell, J.S. 2006. Negotiation Trade: Developing Countries in The WTO and NAFTA, Cambridge Cambridge: Cambridge University Press Ramphul. 2011. “WTO Agreement on Ag riculture and South Asisa’s Farm Trade”, ICSAC, 18:1
Sally, R. 2003. “Whither The WTO? A Progress Report”, CATO Institute 23: 3
Soerjanatamihardja, D.D, et all , 2012, Diplomasi Ekonomi: Optimalisasi Instrumen Kerjasama Luar Negeri Sebagai Upaya Peningkatan Ekspor dan Arus Masuk Investasi Asing ke Indonesia, Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Neg eri RI The Graduate Institute Geneva, “The Bali Agreement: Implications for Development and The WTO”, Ac cessed February 10,2015, http:// poldev.revues.org/1744
Tim Penulis. 2008. Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) Seri Terjemahan Tidak Resmi Persetujuan World Trade Organization(WTO), Jakarta: Dir jen Multilateral World Trade Organization, “Agriculture: Explanation, Introduction”, Ac cessed March 15, 2015, https:// www.wto.org/english/tratop_e/ agric_e/ag_intro01_intro_e.htm,
\World Trade Organization. “Doha Dec laration, Accessed April 15,2015,
thewto_e/minist_e?minol_e/ mincecl_e.htm>.
World Trade Organizartion. “Export Competition, Ministerial Decla ration of 7 December 2013”. Ac cessed May 4,2015, https://mc9. wto.org/official-documents-baliministerial
24
Journal of World Trade Studies
The Implementation of Competition Chapter of the IndonesiaJapan Economic Partnership Agreement Dian Retno Mayang Sari
Abstract The IJEPA is the first bilateral agreement that signed by the Indonesian government. Since its enactment in 2007, Indonesia has been eager to enhance the implementation of each sector of the agreement, including competition provision. This article intends to assess whether the implementation of the competition chapter of the IJEPA has met its objectives. As the research data shown on the implementation of the competition chapter of the IJEPA between the KPPU and JFTC leads into many positive cooperation activities. Accordingly, the fulfilment on the objectives of the competition chapter shows that most activities by the KPPU and the JFTC regarding all provisions of the competition chapter such as notification, exchange of information, technical cooperation, and transparency are in line with its objectives. Nevertheless, there were still limitations of its provisions and constraints on its implementation. The provisions of notification did not state in details and specify how to implement, such as (1) timing of notification; (2) in which phase of enforcement activities that notification should be given to the other party; (3) in what way to send the notification letter: (4) also in what kind of relevant area of enforcement activities it is necessary to have notification. Key words: IJEPA, KPPU, competition provision
A. INTRODUCTION The EPAs known as the Free Trade Agreements (hereinafter referred to as FTA����������������������������������� s���������������������������������� ) with “new issues” came about be cause of “the Singapore Issues”.1 The is sues, which cover trade and investment, trade and competition policy, transpar ency in government procurement, and Maki Aoki, “New issues in FTAs: The case of Economic Partnership Agreements between Japan and ASEAN Countries,” IDE APEC Study center, Working Paper Series 03/04-No.8 (2004): 2, http://www.ide. go.jp/English/Publish/Download/Apec/ pdf/2003_08.pdf. 1
Volume V, Number 2, November 2015
trade facilitation, brought by developed countries, such as Japan and the EU, into WTO agenda. Unfortunately, during the Doha Round, these issues dramatically resulted in a damaging impasse.
Towards this disappointed situa tions, many developed countries cre ated their own bilateral agreement. Embarked as the “new era” of the FTAs, the EPAs were established as the com prehensive form of trade bilateral agree ment cover not only reduction or liber alization of trade in goods and services but also cover wider aspects such as pro moting of investment, expanding of hu man exchanges, making rule in govern ment procurement (rules of origin and 25
customs procedures), energy and min eral resources, competition, intellectual property rights and improvement of business activities.2 This was also as one of strategies to provide alternative-solu tion towards the un-resolved Singapore Issues.
Therefore, since 2002, Japan also has been eagerly establishing EPAs with many countries, including Indonesia. For Indonesia, the IJEPA was its first bi lateral agreement and was expected to promote mutually beneficial economic ties between the two countries. Since its enactment in 2007, Indonesia has been eager to enhance the implementation of each sector of the agreement. One of these areas is competition. The necessi ty of competition in this agreement was to manage and promote the fair trade in business activities with the objective of promoting and facilitating the enforce ment of competition law and/or policy between two countries effectively and efficiently.3 The competition chapter contains nine provisions that should ��������� be ������ imple mented by the authorized party of each country. As for Japan is the Japan Fair Trade Commission (hereinafter referred to as JFTC) with its competition law, No. 54 of 1947, concerning Prohibition of Private Monopoly and Maintenance of Fair Trade (hereinafter referred to as AMA) Law.4 The authorized party ����������������������������������������� ���������������������������������������� Yorizumi Watanabe, “Japan’s FTA/EPA Pol icy and Perspectives for East Asian Economic Community,” European Institute for Asian Stud ies, accessed June 18, 2012, http://www.eias. org/luncheons/2006/japantrade050406/wata nabe.pdf. 2
3
4
26
JFTC, “Outline Slide.”
Implementing Agreement Between The Gov
for Indonesia is the Commission for the Supervision of Business Competi tion (hereinafter referred to as KPPU) with its competition law, No. 5 of 1999, concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competi tion (hereinafter referred to as the Law No. 5).5 Both parties should implement nine provisions, which are notification, information exchange, coordination of enforcement activities, technical coop eration, transparency, consultations, re views, and confidentiality of information and communication in order to address the anti-competitive activities.6
Although, marked as Indonesia’s first bilateral-economic-agreement, af ter its ratification in 2007, there have been few, even none, records of reviews or analyses of the implementation of the competition chapter of the IJEPA. Thus, this research conducted with main ob jective in order to determine whether the implementation of the competition chapter of the IJEPA has met its objec tives. The other objective of this research is to proposing recommendations for improvement and future changes in or der to strengthen the cooperation be tween two and fully meet its objectives and expectations. B. RESEARCH AND DATA COLLECTING METHOD
ernment of Japan and The Government of The Republic of Indonesia Pursuant to Article 13 of The Agreement Between Japan and The Republic of Indonesia for an Economic Partnership, JFTC, accessed December 5, 2012, http://www.jftc. go.jp/en/international_relations/agreements/ index.html.
5
6
Ibid. Ibid.
Journal of World Trade Studies
The methodology of this research is using qualitative data with descriptive analysis and case study approach. The primary data was collected through in terviews with both the JFTC and KPPU officials and their official documents.
The nine provisions of the competi tion chapter of the IJEPA consists of: (1) Notification; (2) Exchange of Informa tion; (3) Coordination of Enforcement Activities; (4) Technical Cooperation; (5) Transparency; (6) Consultations; (7) Review; (8) Confidentiality of Infor mation; and (9) Communication are the variables to determine whether its im plementation has met its objectives and main expectation.
balization has very significant implication for competition law in the global economy. Global ization has made it almost in evitable to change competition law and policy. In this regard, the internationalization of competition law can be seen as a response to market globaliza tion. Indeed, globalization has had a direct impact in the field of competition…7
Another important reason is as a substitute for harmonization of com petition laws.. Supporting this reason, Anestis S. Papadopoulos explains: In the field of competition law enforcement cooperation has been used as an alternative for the harmonization of nation al competition law. Since no agreement on multilateral code on restrictive business practic es could achieve in the last cen tury, a number countries with active international trade and a developed competition law cooperated on enforcement of their competition laws in order to confront the consequences of the increasing number of restrictive business practices with an international effect. 8
The research was conducted in year of 2012, after five years from the IJEPA first ratification on August 2007 and the fieldwork was in Tokyo, Japan and Jakar ta, Indonesia. C. LITERATURE REVIEW
One of the reasons on competition to be included in the EPA is when the WTO encountered ‘controversial’ Singa pore issues and avoided to take real en deavour to resolve those issues, but the phenomenal conditions on the market globalization because of the free trade or liberalization is also worth to be state. Confirming the market globalization has effects on competition, Maher M. Dab bah expressed his statement that: Globalization has led to an in crease in the number of compe tition law issues that t r a n scend national boundaries. The sequence in this regard is an easy one to follow. As markets and competition become in creasingly international, so do anticompetitive situations. … It can be seen therefore that glo
Volume V, Number 2, November 2015
Furthermore, Papadopoulos also mentioned the initial case of the compe tition enforcement cooperation which happened in late 1950s����������������� ,���������������� where ��������������� as ������ a con flict arose between the governments of Canada and the United States in a case Maher M. Dabbah, International and Comparative Competition Law, (New York: Cam bridge, 2010), 96-97. 7
Anestis S. Papadopoulos, The International Dimension of EU Competition Law and Policy, (New York: Cambridge, 2010), 52. 8
27
relating to an ��������������������������� ������������������������ US investigation of pat ent pool among Canadian radio and television makers designed to exclude US manufactured products from the Ca nadian market, the governments of the United States and Canadian entered into negotiations in order to coordinate their enforcement activities and avoid simi lar conflicts.9 The outcome of this case and the subsequent negotiations was the Fulton-Rodgers understanding of 1959,10 in which the two governments agreed to construct a channel of the com munication regarding antitrust matters, through notification and consultation.11
Accordingly, Papadopoulos stat ed competition is included in bilat eral agreement because its main role for competition law is to reduce and, if possible, to eliminate, practices carried out by private undertakings that may have an effect on trade and the function of competition as a tool to secure and strengthen market integration.12 In addition to the potentially fairfree trade-competition, Louis Michel ex pressed those countries with no compe tition rules pay more their imports and
9
Ibid.
K. von Finckenstein, “International Antitrust Cooperation: Bilateralism or Multilateralism,” (speech delivered in Vancouver, 31 May 2001, quoted in Anestis S. Papadopoulos, International Dimension of EU Competition Law and Policy (New York: Cambridge, 2010), 52. 10
�������������������������������������������� C. Stark, “Improving Bilateral Antitrust Co operation,” (speech delivered in Washington DC, 23 June 2000), quoted in Anestis S. Papadopou los, International Dimension of EU Competition Law and Policy (New York: Cambridge, 2010), 53. 11
Papadopoulos, The International Dimension, 103-104. 12
28
for goods and services produces locally.13 Thus, the cost of an effective competition policy is therefore negligible when set against the gains it would bring14. Michel also describes the necess�������������� ity����������� for ���������� compe ������ tition to be included in EPAs based on the example of cartel cases in the ACP (African, Caribbean and Pacific) coun tries which cost hundreds of millions of dollars. In 1997, it is reckoned that the price-cartel-agreement between suppli ers covered almost 9% of the poorest countries’ imports and in 1999 cartels in heavy engineering sector overcharged Kenya and Zimbabwe by 270 million dollars.15 D. THE IMPLEMENTATION OF THE COMPETITION CHAPTER OF THE IJEPA
1. The Progress of the Implementation of the Competition Chapter of the IJEPA Based on the provisions in Chapter 5 (competition) of the Implementing Agreement������������������������������� , there are at least nine arti cles which should be implemented by the KPPU and JFTC, as follows: 1. Article 12 of Notification 2. Article 13 of Exchange of Informa tion 3. Article 14 of Coordination of En forcement Activities
Lois Michel, Economic Partnership Agreement: Drivers of Development, (Saarbrucken: Dic tus Publishing, 2010), 28. 13
Ibid., 29.
14
Lois Michel, Economic Partnership Agreement: Drivers of Development, (Saarbrucken: Dic tus Publishing, 2010), 29 15
Journal of World Trade Studies
4. 5. 6. 7. 8.
Article 15 of Cooperation Article 16 of Transparency Article 17 of Consultations Article 18 of Review Article 19 of Confidentiality of In formation 9. Article 20 of Communication.
Implementation of Article 12 of Noti‐ fication At �������������������������������� the ���������������������������� early stage ���������������������� of its implemen ��������� tation in October 2009,16 the JFTC sent a notification letter to ����������������� the KPPU ������������� concern ing the enforcement activities by the JFTC which involved violations by two Indonesian entrepreneurs against the Japan’s AMA. It was the cartel case of Cathode Ray Tubes (CRTs) for television (See Table 3.2 below) which was also known as the first international price
cartel investigated by the JFTC.
In this case, the �������������������� eleven ���������������� entrepre neurs, listed in T������������������������ ������������������������� able�������������������� ������������������� 1, formed an agree ment to continuously hold meetings about once every month where they jointly set minimum target prices which each of them should abide by and should be applied to the selling prices for Japa nese manufacturing and sales compa nies of CRT t������������������������� �������������������������� elevisions on an approxi mately quarterly basis. Their activities substantially restrained competition in the field of sales of CRTs. Thus, the JFTC found they had engaged in activities that violate���������������������������������� d��������������������������������� Article 3 (prohibition of unrea sonable restraint of trade) of the AMA and issued a cease and desist order and surcharge payment orders.
In addition, the Natural Gas Project of Donggi-Senoro case on January 2011
Table 1. The Name of Entrepreneurs Involved in Violation in CRT Case and JFTC’s Decisions on Cease and Desist also Surcharge Payment No
Entrepreneurs
Location
Cease and Desist Order
Japan
x
Surcharge Payment Order (in Yen)
1
MT Picture Display Co., Ltd.
-
2
MT Picture Display (Malaysia) Sdn. Bhd
Malaysia
-
650,830,000
3
PT. MT Picture Display Indonesia
Indonesia
-
580,270,000
4
MT Picture Display (Thailand) Co., Ltd
Thailand
-
566,140,000
5
Samsung SDI Co., Ltd
Korea
x
-
6
Samsung SDI (Malaysia) BERHAD
Malaysia
-
1,373,620,000
7
LG Philips Displays Korea Co., Ltd
Korea
-
151,380,000
8
PT. LP Displays Indonesia
Indonesia
-
932,680,000
9
Chunghwa Picture Tubes Co., Ltd
China
-
-
JFTC, “Outline Slide.”
16
Volume V, Number 2, November 2015
29
Entrepreneurs
Location
Cease and Desist Order
10
Chunghwa Picture Tubes (Malaysia) Sdn. Bhd
Malaysia
-
-
11
Thai CRT Co., Ltd
Thailand
-
-
No
Total
2 Companies
Surcharge Payment Order (in Yen)
4,254,920,000
Source: The JFTC’s outline slide on CRT Case, June 28, 2012 is one of the bid-rigging cases conducted by the KPPU in which Japanese entrepre neur involved in violation.17 In this case the KPPU issued a decision on the viola tion of Article 2218 and Article 2319 of the Law No. 5 against four entrepreneurs,20 one of them w������������������������ as���������������������� Mitsubishi Co�������� .������� (Japa nese entrepreneur), upon their conspir acy on the bid-rigging process for liquid natural gas (LNG) project of Donggi-Se noro in Central Sulawesi.
During its process, the KPPU found that Mitsubishi Co. colluded with PT. Pertamina, PT. Medco Energi Interna tional to set Mitsubishi Co. to win the bid, which violate����������������������� d���������������������� A�������������������� ��������������������� rticle 22. Further more, according to Article 23, the KPPU Decision on the Violation of Indonesian Competition Law in the Beauty Contest Proc ess for Liquid Natural Gas Project (Decision No. 35/KPPU-I/2010), KPPU, accessed October 28, 2012, http://www.kppu.go.id/docs/Putusan/ putusan_35_2010_Donggi%20senoro.pdf. 17
�������������������������������������������� Business actors shall be prohibited from en tering into conspiracies with other parties in or der to determine awardees of tenders which may result in unfair business competition. 18
Business actors shall be prohibited from conspiring with other parties to obtain infor mation regarding the business activities of their competitors classified as company secrets which may result in unfair business competition. 19
PT. Pertamina, PT. Medco Energi Internasi onal, PT. Medco E&P Tomori Sulawesi, and Mit subishi Co.
found that Mitsubishi Co. colluded with PT. Pertamina, PT. Medco Energi Interna tional, and PT. Medco E&P Tomori Inter national to obtain business information about PT. LNG International, a competi tor of Mitsubishi Co.’s. The information was classified as a company secret by a confidentiality agreement. The said in formation was obtained through due diligence processed by PT. Pertamina on early document submissions from PT. LNG International for the Senoro Project (a project where Mitsubishi Co and PT. LNG International had intention to sub mit their joint cooperation). The joint cooperation was un-concluded, and the obtained information was then benefit ed by Mitsubishi Co. by using it as the background information in preparing project proposal for the Donggi-Senoro Project. Under this case, ��������������� the ����������� KPPU decid ed that Mitsubishi Co. must pay fines ac cording to its violation acts, as described on Table 2 below. In regard to implementing Article 12 of notification of the competition chapter and its enforcement activities, the KPPU sent the notification letter to the ������������������������������������� JFTC concerning the violation of Mit subishi Co. as one of Japanese entrepre neur, against the Law no. 5.21 Furthermore, another bid rigging
20
30
1 IDR = 0.00918519 JPY.
21
Journal of World Trade Studies
Table 2. The Entrepreneurs Involved in Violation of Donggi-Senoro Case and the KPPU’s Decision on Fines Entrepreneurs
Fines (in Rp)
Fines (in Yen)21
PT. Pertamina
10,000,000,000
91,851,898
PT. Medco EnergiInternasional
5,000,000,000
45,926,152
PT. Medco E&P Tomori Sulawesi
1,000,000,000
9,185,230
Mitsubishi Co.
15,000,000,000
137,768,184
Total
31,000,000,000
284,729,008
Source: KPPU’s Decision on the Donggi-Senoro case, January 2011 case of consulting services for Jakar ta Mass Rapid Transit (MRT) System Project22 also involving one of the Japa nese entrepreneurs, namely Nippon Koei Ltd. In this case, Nippon Koei Ltd. was suspected of entering into collusion and conspiracy with the Directorate General of Railways of ������������������������� the Ministry ��������������������� of Transpor tation, as the committee of the bid, to win the bid. Nevertheless, the investi gation conducted by the KPPU stopped and dismissed on the level of clarifica tion because Nippon Koei Ltd. was not found �������������������������������� to������������������������������ conduct conspiracy and collu sion activities which may lead to unfair business competition. For enforcement of this case, ��������������������������� the KPPU ����������������������� only issued a let ter of recommendation and considera tion, no. 874/K/XI/2009, concerning Tender of consulting services for Jakarta Mass Rapid Transit (MRT). In regard on implementing the notification provision of the competition chapter, informally, the KPPU sent notification letter on this case to the investigation bureau of the JFTC by email. Deswin Nur, Moh. Reza, Esti Wulandari, Ulfah Purba and Ina Purwati, interview by the author, KPPU Headquarter, August 7- August 10, 2012. 22
Volume V, Number 2, November 2015
T��������������������������������� hose three notification cases de scribe�������������������������������� d������������������������������� an early realization on imple menting the notification provisions of the competition chapter of the IJEPA. Implementation of Article 13 of Exchange of Information
In order to implement this provi sion, the type of information to be shared is public information, and if related to the cases that are investigated by the KPPU or JFTC, the description of the in formation may includ������������������ e����������������� the name of com pany and its alleged activities, but the cases should be registered as prelimi nary examination or after the decision of each commission.23 Outside of the cases, exchange of information by both com missions may be related to competition policy such as competition regulations, market study, market development and so forth.24
����������������������������������������� KPPU, “Chapter III: The Follow-Up the Im plementation Agreement of IJEPA on Competi tion (Indonesian Version),” December 19, 2007. 23
Deswin Nur, interview by the author, KPPU Headquarter, August 7, 2012. 24
31
Furthermore, in regard to exchange information, either the KPPU or JFTC will give the information needed by each other in order to assist its enforcement. Nevertheless, requesting or exchanging information done by both commissions is usually by email.25 The KPPU will send or request information directly to the Investigation Division of the JFTC and/ or deliver it to the International Affairs Division. The same as the KPPU, the JFTC will also send or request the information directly to the foreign division of the KPPU. Heretofore, there were not any of ficial letters delivered by both commis sions. Implementation of Article 14 of Coordination of Enforcement Activities
With regard to coordination of en forcement activities, the context of this article was unclear. It was not specifical ly described how the KPPU and JFTC co ordinate with each other to take action in related matters and when it needs consideration to develop their coordina tion. Implementation of Article 15 of Technical Cooperation: The Highest Achievement on Technical Assistance Offered and Contributed by the JFTC
Technical assistance offered and contributed by the �������������������������� JFTC ���������������������� is focused on hu man resources or capacity building and institutional development. Its purpose on promoting competition law and pol icy based on the respect for each recipi ent country’s individual needs,26 such as
training course, seminars, and dispatch competition policy experts or Resident Advisor.27 It was realized in the project, namely Competition Policy Project Phase (II), with its goal to improve the effec tiveness of enforcement of competition policy and to promote the fair competi tion in the market of Indonesia,28 Which provided by the JFTC in cooperation with Japan International Cooperation Agency (hereinafter referred to as JICA). Dispatch Competition Policy Experts or Resident Advisor
In regard ������������������������� to����������������������� competition policy as sistance, The ���������������������������� JFTC ������������������������ has dispatched com petition policy experts to the KPPU as a long-term resident advisor for in-depth technical assistance on the field of com petition law and policy development.29 The expert assigned in ������������ the KPPU �������� of fice in purpose to assist the KPPU on its endeavour to enforce competition law and policy in a more strategic and ef fective way, with certain responsibility, such as:30 tween Trade and Competition Policy, “Commu nication from Japan: The Experiences of Japan and APEC in Technical Assistance and Capacity Building,” WT/WGTCP/W186 (June 19, 2002): 2, http://www.jftc.go.jp/eacpf/05/experiences. pdf. ����������������������������������������� Technical assistance offered and contrib uted by the Japan Fair Trade Commission, JFTC (2004): 1, accessed December 3, 2012, http:// www.jftc.go.jp/eacpf/05/menu.2004.pdf. 27
KPPU, “Project Design Matrix: Project for Competition Policy (Phase II) Annex 1,” (2009): 1. 28
Technical assistance offered and contributed by the Japan Fair Trade Commission, JFTC. 29
Ibid.
25
������������������������������������������ WTO’s Working Group on the Interaction be
26
32
KPPU, “Outputs and Activities in Record of Discussions (RD),” 2010. 30
Journal of World Trade Studies
1. To give advice in order to promote the implementation of activities of the project.
2. To enhance the function of investi gation of the KPPU.
E. COMPETITION POLICY ASSISTANCE ON EQUIPMENT DEVELOPMENT
Capacity Building
The technical assistance also pro vides the necessary equipment for the KPPU in order to support the daily ac tivities of competition law and policy en forcement. On April 21, 2012, the KPPU received equipment assistance installed in the KPPU main office in Jakarta, as de scribe on the following table:
In terms of Competition Policy Project Phase II, the �������������������� JFTC ���������������� in coopera tion with the JICA has provided capac ity building development of the KPPU through some training. Its main goal is to develop the human resources of the KPPU to implement competition law. For Detailed its realizations are shown on the table 3 below.
In regard to implementation of transparency, KPPU’s transparency ac tivities covered information on its guide lines or regulations, such as regulation on merger and acquisitions, guideline on case handling procedure, regulation on conspiracy on bid rigging, and so
3. To promote and disseminate the knowledge regarding the compe tition policy among governments, enterprises, consumers, academics, and judges.
Implementation of 16 of Transparency
Table 3. Implementation of Technical Assistance by JFTC Number of times
Type
Output
Venue
I. Short Term Training a. Advanced Level Training (Country focused training)
3 times
30 staffs
Japan
b. General Training (1 month)
1 times
1 staffs
Japan
c. Internship
1 times
1 staffs
Japan
d. In country Training (Seminar/ Workshop and Training)
12 times
KPPU staffs and other Indonesian stakeholders
Indonesia
e. Daily Training (provided by Resident Advisor)
Every month = 10 times
Internal KPPU (all staffs in central office of KPPU)
Indonesia
II. Long term training (graduate scholarship)
3 times
3 staffs
Japan
Source: Compilation data from the KPPU and JFTC, 2009-2012
Volume V, Number 2, November 2015
33
Table 4. The Equipment List on the Competition Policy Project No.
Name of Item
Marker/Model
Quantity
Total price
1
Desktop Computer
Lenovo Think Center M58
28 set
$ 27,580
2
Printer
Canon Pixama iP100
28 pcs
$ 6,720
3
Projector
Epson EB-1725
4 pcs
$ 8,100
Total
$ 42,400
Source: KPPU’s document on provision of equipment, April 21, 2012 on. In similar to the KPPU, the JFTC also conducted transparency activities by informing ����������������������������� the ������������������������� KPPU of ����������������� the ������������� JFTC’s guide lines and amendment of Japan’s AMA. Furthermore, JFTC continually informs the KPPU of its development and en forcement activities.
two agencies (the KPPU and JFTC). This aims for cooperative problem solving process.
This consultations procedure is proposed to replace the dispute settle ment mechanism of Chapter 14 of the IJEPA31 in order to resolve the disputes which arise while implementing the competition chapter. According to an interview of the JFTC, the disputes will not be resolved ������������������������ through����������������� disputes settle ment mechanism, as stated in Chapter 14 of the IJEPA,32 but instead should be resolved through consultations between
Implementation of Article 18 of Review
Implementation of Article 17 of Consultations
Paragraph 1 Article 138 (Scope) says: “1. This Chapter shall apply with respect to the set tlement of disputes between the Parties arising out of the interpretation and/or application of this Agreement.” 31
Paragraph 2, Article 138 (Scope) says: “2. Notwithstanding paragraph 1, this Chapter ex cept Article 139 shall not apply to Articles 104 and 122, and Chapters 10 through 13,” and Chap ter 11 of IJEPA is Competition, thus, the dispute settlement will not apply to competition chapter. 32
34
In regard to the implementation of this article, there has not been any con flict arising between the KPPU and JFTC while implementing this chapter. Thus, a consultation to resolve the disputes has never been held before.
Since its ratification, it has not had any discussion on the review of Article 18. Therefore, reviewing on this chapter was never held before. Yet, it should be realized like other chapters in trade and liberalization. Implementation of Article 19 of Confidentiality of Information
Exchange of confidential informa tion is one of the most sensitive issues relating to enforcement cooperation in the field of competition law. According to Paragraphs 2 and 3 of A������������������� rticle 19 of confi dentiality of information, both KPPU and JFTC “may limit the information it pro vides to the other Party when the other Party is unable to give the assurance … with respect to the maintenance of confi dentiality or the limitations of purposes Journal of World Trade Studies
for which the information will be used,” except the publicly available informa tion. Yet, if the confidential information “is needed for presentation in criminal proceedings carried out by a court or a judge” of either Japan or Indonesia, then each country “shall submit a request for such information …through diplomatic channel or other channels established in accordance with the laws and regula tions.”
In regard to the implementation of confidentiality information, there were some information and data requested by KPPU, but could not be provided by JFTC because such requests concern on con fidential information and those infor mation were not requested for criminal proceedings process.33 Implementation of Article 20 of Communication
According to Article 20, communication related to the any field of competition law and policy can be conducted directly between the KPPU and JFTC. Occasionally, under certain circumstances the communications will be conducted through diplomatic chan nels, but to accelerate the communica tion between two parties, the technical procedure of its implementation will be discussed and agreed by both the KPPU and JFTC.34 Figure 1 below shows the KPPU’s organizational structure with its disposition flow which is involved in im plementing the competition chapter. In addition, Figure 2 shows the JFTC
Deswin Nur, interview by the author, KPPU Headquarter, August 6, 2012. 33
KPPU, “Chapter III: The Follow-Up.”
34
Volume V, Number 2, November 2015
organization structure and their dispo sition flow which are involved in imple menting the competition chapter. Evaluation Review on the Implementation of the Competition Chapter of the IJEPA
The implementation of the competi tion chapter of the IJEPA will be consid ered as ������������������������������������� successful ���������������������������������� if those provisions im plemented by the JFTC and KPPU meet its main expectations and objectives. F. ASSESSING THE IMPLEMENTATION OF THE COMPETITION CHAPTER OF THE IJEPA: FULFILLING THE OBJECTIVES AND ITS LIMITATION Fulfilling the Objectives of Competition Chapter of the IJEPA As the research data shown on the implementation of the competition chapter of the IJEPA between the KPPU and JFTC leads into many positive coop eration activities. Accordingly, the fulfil ment on the objectives of the competi tion chapter shows that most activities by the KPPU and the JFTC regarding all provisions of the competition chapter such as notification, exchange of in formation, technical cooperation, and transparency are in line with its objec tives. Figure 4 below simply shows the fulfilment of objectives of the competi tion chapter. Limitations of the Competition Chapter and Constraints in Its Implementation
Although, almost all the provisions of the competition chapter fulfil its main expectation and objectives, there 35
Figure 1.
The KPPU’s Organization Structure and Disposition Flow on the Im plementation of the Competition Chapter
Source: Author, 2012 are some findings on the limitations in regard with provisions of the com petition chapter, which may be lead to constraints of implementation activi ties conducted by the KPPU and JFTC in order to strengthen and enhance effec tive competition cooperation under the framework of the IJEPA. Those are dis cussed below. 1. Notification
There are not sufficiently detailed
36
explanations regarding technical imple mentation of notification, such as: a. Timing of Notification
According to an interview with the KPPU, timing when the notification letter should be delivered or deciding the time requirement to issue a notification letter to the other party is still ambiguous and vague. These ambiguities and vagueness may become one of constraints for both the KPPU and JFTC in implementation of Journal of World Trade Studies
Figure 2.
The JFTC’s Organization Structure and Disposition flow on the Imple mentation of the Competition Chapter
Source:The JFTC’s outline slide on organization chart of the JFTC, June 28, 2012 the notification provision of the compe tition chapter. Refer to Rill explanation that the notification set forth not only ob ligation for each party to notify the other party of competition activities affecting the interest of other party, but also de scribed in detail the circumstances and timing when notification should take place.35 Furthermore, Rill states that the detailed timing provisions are designed to facilitate timely interface between the agencies. b. The phase of enforcement activities 35 ���������������������������������������������� J��������������������������������������������� ames F. Rill, “The U.S./EC Antitrust Coopera tion Agreement: Genesis, Innovation, and Early Implementation,” CPI Antitrust Chronicle, no. 1 (2011): 3, https://www.competitionpolicyinter national.com/
Volume V, Number 2, November 2015
when notification should be given to other party
Regarding the notification provision in the competition chapter of the IJEPA, it only states that each party should noti fy the competition authority of the other party of certain enforcement activities which may affect the important inter ests of the other party. Notwithstanding, limitation appears here because it does not clearly state in which phase of en forcement activities notification should be given. Compare to the Competition Chapter of Japan-Switzerland EPA that clearly stated on the Paragraph 4 (a),36 Where notification is required pursuant to paragraph 1 with respect to enforcement activi 36
37
Figure 3.
The Connectivity of the Implementation of the Competition Chapter with its Objectives and Main Expectation and the Evaluation Review of its Implementation
Source: Author compilation, 2012 Article 10 of Notification of the Competi tion Chapter of Japan-Switzerland EPA, the JFTC’s possible actions on notifica tion that should be given to the compe tition authority of Switzerland, are ex plained as follows:37 ties other than those related to mergers or ac quisitions, the notification shall be given… and Paragraph 1 says The competition authority of each Party shall notify the competition authority of the other Party of the enforcement activities of its Party that it considers may affect the impor tant interests of the Country of the other Party. Implementing Agreement Between The Gov ernment of Japan and The Swiss Federal Council 37
38
(i) the filing of a criminal accusation; (ii) the filing of a complaint seeking an urgent injunction (iii) the issuance of the decision to initi ate a hearing (iv) the issuance of a cease and desist order; and (v) the issuance of a surcharge payment order when no prior or simultane Pursuant to Article 10 of The Agreement on Free Trade and Economic Partnership Between Japan and The Swiss Confederation, JFTC, accessed De cember 8, 2009, http://www.jftc.go.jp/en/inter national_relations/agreements/index.html.
Journal of World Trade Studies
Figure 4.
Fulfilling of the Objectives of the Competition Chapter
Source: Author, 2012
ous cease and desist order with re spect to the payer has been issued;
Accordingly, the unclear and undetailed requirement actions in the no tification provision of the competition chapter of the IJEPA may become one of the constraints for both the KPPU and JFTC in its implementation. c.
The description on which way the notification letter should be deliv ered
In the actions of delivering notifica tion letter, the JFTC sent the notification letter through diplomatic way, Indone sian embassy. On the other hand, the Volume V, Number 2, November 2015
KPPU sent it directly to the Investigation Division of the JFTC. This dissimilarity between the KPPU and JFTC due to un specified technical procedures can also become one of the constraints to the im plementation of this provision. d. Relevant interested areas of en forcement activities that are neces sary to have notification.
Admittedly, the notification provi sion states that each party shall give no tification regarding its enforcement ac tivities “that it considers may affect the important interests” of the other party. However, it is still a vague statement. Thus, one must question is in which area 39
Table 5. KPPU’s Merger Cases on the Merger Notification and Merger Consulta tion Merger Notification
Merger Consultation
3 (three) cases: 1. On March 2nd, 2011. Mitsubishi Co. merger with Tomori E&P Limited 2. Toshiba Corporation merger with PT Envitech Perkasa on May 19, 2011 3. Mitsui Sumitomo Insurance Co. Ltd merger with PT Asuransi Jiwa Sinarmas on July 20, 2011.
1 (one) case: On September 13, 2011, Komatsu Undercarriage made consultation with KPPU on its proposed acquisition of PT Komatsu Forging Indonesia.
Source: Lili Rosmiati, interview by the author, KPPU Headquarter, August 10, 2012 and compilation data on the notification list of merger and acquisition, accessed October 28, 2012 , http://www.kppu.go.id/id/merger/daftar-notifikasi/publikasipemberitahuan/pemberitahuan-merger-2011/.
of important interest each party should notify about.
In fieldwork, the author found that there were four of KPPU merger cases consisting of three cases of merger no tifications and one case of merger con sultation which has not been notified to the JFTC,38 all of which will be shown in Table 5. Thus, the notification provision of the competition chapter of the IJEPA, which does not describe details of rele vant areas like mergers and acquisitions, become limitation on both endeavour activities of notification implementa tion. Detailed descriptions on the notifi cation activities, may lead to the success ful implementation. They also become necessary since notification is one of important provisions of the competition Lili Rosmiati, interview by the author, KPPU Headquarter, August 10, 2012. 38
40
chapter of the IJEPA, besides exchange information and technical assistance, to be implemented by both the KPPU and JFTC.39 2. Coordination of Enforcement Activi ties
In provision of coordination of en forcement activities, the context of co ordination activities was not described in details. One question arises concern ing this provision implementation: in which enforcement activities both the KPPU and JFTC should coordinate? The unclear description under the coordina tion of enforcement activities also may lead to the constraints of the competi tion chapter implementation. 3. Consultations
The provision of consultations also
See Section 2.4. Provisions of Competition Chapter of the IJEPA, p. 17 of this paper. 39
Journal of World Trade Studies
vaguely talks about how framework in consultation actions should be imple mented by the KPPU and the JFTC. This provision should include the description of several real-actions, if there are in compatible functions of the competition chapter. It may be necessary to provide a detailed description since the compe tition chapter was purposed to replace dispute settlement by consultation. Thus, this provision also has its limita tion and may lead to constraint of the competition chapter implementation. 4. Review
The provision of review also has limitations. This provision only de scribes that in review, “the Parties may consider enhancing the cooperation pursuant to this Chapter such as notifi cation, exchange of information, coor dination of enforcement activities and technical cooperation,”40 but it not spe cifically states neither the time to hold review nor the mechanism to review those provisions. Thus, both the KPPU and the JFTC have not performed a re view on the implementation activities of the competition chapter of IJEPA. G. POLICY RECOMMENDATION: THE SHORT-TERM REFORM AND LONG-TERM REFORM The Short-Term Reform: Technical Guideline for Implementing the Competition Chapter of the IJEPA
The technical guideline is recom mended as the first step of actions for both the KPPU and the JFTC for future changes in order to meet the objectives Paragraph 2, Article 18 (Review).
40
Volume V, Number 2, November 2015
of the competition chapter. This guide line may also work as “a realistic ap proach” to corroborate implementation activities from ambiguity and work as a way to resolve some limitations of pro visions of the competition chapter and the constraints of its implementation. However, in order to realize it and make such technical guideline, further discus sion and review by both the KPPU and the JFTC is necessary. The following de scriptions suggest possible content of the technical guidelines for implement ing the competition chapter. 1. Review: Continually conduct review
It is necessary to describe ������� the de ��� tail������������������������������������� ed����������������������������������� activities i���������������������� ����������������������� n the technical guide line, for example, to hold review once in five years including the description of the mechanism activities on how to re view all provisions of the competition chapter of the IJEPA. Nevertheless, this review should be based on the consensus of both parties and it is �������������������� necessary ����������������� to fur ther discussion. 2. Coordination of Enforcement Activi ties: Set Regular Meeting
In regard to the coordination of enforcement activities; technical guide lines should describe the coordination related to both the KPPU and JFTC’s mu tual interests. In order to coordinate, it may be necessary to set a regular meet ing or annual meeting of both parties, for example meeting twice a year to dis cuss future frameworks of coordination in order to establish comprehensive co operation on competition enforcement activities. Also, within this meeting both parties can share experiences and con sult each other on specific issues related to competition law and policy. 3. Consultations: Establish Joint Com mittee
41
As the replacement of dispute set tlements, detailed activities with regard to consultation also become a consid eration to be included on the technical guideline to eliminate the vagueness of its activities. This is because consulta tions should be the action taken if there are incompatibles actions conducted by both the KPPU and the JFTC with the ob jectives of this chapter.
Furthermore, for realizing consulta tion actions it will be necessary to estab lish the Joint Committee as the media to request consultations. This committee will assign a representative to resolve disputes between the KPPU and the JFTC that arise when implementing the com petition chapter of IJEPA. 4. Notification
The contents of the technical guide line on notification may refer to Subsec tion 4.1.2.1, which includes description on the specific implementation activities such as:
a. Timing of notification; it may specifically state the due date to send the notification letter, for example, no later than two weeks after the commissioners’ final decision b. The content of the notifica tion letter; within the notifica tion letter each party should give detailed descriptions of enforcement activities such as date and time, businesses who were involved, which article is imposed, the decision and details of the scene of enforce ment and so forth. c. Relevant interested areas of enforcement activities that are necessary to have notification; one of the limitations on the notification provision of IJEPA
42
compared to others competi tion chapters is the detailed relevant area on the mergers and acquisitions. This is should be taken into consideration be cause the mergers and acquisi tions may affect the important interests of each party. Thus, it will be necessary to have descriptions of the technical guideline including the notifi cation actions on mergers and acquisitions. d. The phase of enforcement activ ities when notification should be given to other party; it is also necessary to include in the guideline detailed description on which stage of enforcement activities notification should be informed to other party. For ex ample, one party should have to notify to other party in one of these phases; clarification, the preliminary examination, the advanced examination or after the final decision; and continu ally send notification if enforce ment activities enter into the next phase. e. The description on in what kind of way the notification letter should be delivered also should also be included in technical guideline. It is described above that there was dissimilarity be tween the KPPU and JFTC in the way they sent the notification letter; the JFTC sent it through diplomatic channel while the KPPU sent the notification di rectly to the JFTC. Thus, in the guideline, it should clearly dis cuss this procedure. Neverthe less, this suggestion should be discussed first by both parties, Journal of World Trade Studies
under what circumstances and activities they can conduct in formal notification as initial step with respect of each oth er’s confidentiality informa tion.
As recommendation for improve ment and future changes, the content of technical guideline not only limit for provisions stated above but also for other provisions such as exchange of information, transparency, technical co operation, confidentiality of information and communications. In such overarch ing descriptions, the technical guideline may enhance and strengthen the compe tition authority’s position, especially the KPPU, in other bilateral agreements con cerning on competition. Furthermore, the goal of this recommendation is to provide a comprehensive guideline, not only applicable for the IJEPA competi tion chapter but also other EPAs. The Long-Term Reform: Amendment
Proposed to long-term reform, possible area to review for future amendment of the competition chapter of IJEPA is comity. This is because the competition chapter of the IJEPA has not included the negative and positive com ity.
Refer to Papadopoulos, negative comity is �������������������������������� primarily ����������������������������� aimed�������������� ������������������� at the avoid ance of conflicts between cooperating parties.41 It is a concept under which extraterritorial jurisdiction are often grounded in consideration of polite
Papadopoulos, The International Dimension, 64. 41
Volume V, Number 2, November 2015
ness42 or good will between sovereigns43 and a “willingness to grant a privilege, not as matter of right, but out of defer ence and good will”44 in order to avoid the conflicts relating to jurisdiction. In regard to the positive comity, it could be characterised as the most revolutionary form for cooperation45 because one par ty to an agreement can request the other party to take enforcement action. Accordingly, the characteristic pro vision approach on positive and negative comity will be worth taking into consid eration and necessary to review for fu ture recommendation. That is because both positive and negative comity may meet the objectives of the competition chapter, which is described in Figure 5.
Black’s Law Dictionary 267 (6th ed. 1990). The U.S. Supreme Court has defined comity as “the recognition which one nation allows within its territory to the legislative, executive or judi cial acts of another nation,” and Hilton v. Guyot, 159 U.S. 113, 164 (1895), quoted in J.R. Paul, “Comity in International Law,” Harvard International Law Journal 2, 32, no.1 (1991): 3. 42
Henry Wheaton, Elements of International Law § 79 (R. Dana 8th ed. 1866) and Lassa Oppen heim, International Law 34 n.1 (H. Lauterpacht 8th ed. 1955), quoted in ������������������������ A.J. Himelfarb, “The In ternational Language of Convergence: Reviving the Antitrust Dialogue between the United States of America and the European Union with a Uni form Understanding of Extraterritoriality,” University of Pennsylvania Journal of International Economic Law, 17, no. 3 (1996): 914. 43
William E. Hall, A Treatise on International Law 14 n. 1 (A.P. Higgings 7th ed. 1917) Law Dic tionary 267 (6th ed. 1990) and Lassa Oppen heim, International Law 34 n.1 (H. Lauterpacht 8th ed. 1955), quoted in ���������������������� Himelfarb, “The Inter national Language,” 914. 44
Papadopoulos, The International Dimension, 73. 45
43
Figure 5.
The Connectivity of Negative and Positive Comity to the Objectives of the Competition Chapter of the IJEPA
Source: Author, 2012. Possible Strategies: Internal KPPU Measures to Improve the Implementation of the Competition Chapter of the IJEPA (Unilateral Measures) Under the circumstances of KPPU actions on implementing the compe tition chapter, there may be possible strategies to be taken into consideration on internal KPPU measures in order to improve its implementation, which de scribe as follows: 1. Propose to enhance coordination between the Foreign Cooperation Division with other related bureaus and divisions, which are involved in implementing of the competition chapter, such as the Bureau of Legal Action, Bureau of Investigation and related bureau including their divi
sions.46
2. Re-disseminating the competition chapter of the IJEPA to the related bureaus and divisions in order to remind them of their task in real izing its implementation. This ac tivity will be responsibility of, and carried out by Foreign Cooperation Divisions. It is because, in the KPPU, all activities related to the foreign relations activities are centralized in Foreign Cooperation Divisions. Furthermore, in order to effectively re-disseminate this information, the KPPU may hold internal seminar or workshop. H. CONCLUSION
After analysing the implementa tion of the competition chapter of the For further information, see figure 3.2 the KPPU’s organization structure and disposition flow on implementation of competition chapter. 46
44
Journal of World Trade Studies
IJEPA conducted by the JFTC and KPPU, it showed the positive outcomes. Under the framework competition chapter of IJEPA, the relation and cooperation be tween the JFTC and KPPU became more comprehensive. Many provisions of competition chapter were realized con sistent with its objectives and main ex pectation. ����������������������������� Notification, sharing and ex change information related to the issues of each institution become more effec tive and transparent. Requesting inputs or opinions of fair business competition regulations or issues related to business competition from Japan or the vice versa become easier and efficient. Technical cooperation also realized in order to promote and facilitate the strengthening of KPPU enforcement activities. Nevertheless������������������������ , there were still limi tations of its provisions and constraints on its implementation. The provisions of notification did not state in details and specify how to implement, such as (1) timing of notification; (2) in which phase of enforcement activities that notifica tion should be given to the other party; (3) in what way to send the notification letter: (4) also in what kind of relevant area of enforcement activities it ������������ is ������ neces sary to have notification. Furthermore, other provisions such as coordination of enforcement activities, consultations and review do not describe in details what kind of specific actions are needed. Those provisions bring the vagueness and ambiguity on their implementation activities, which lead to the limitations on those provisions and constraints on their implementation. In order to address and resolve those vagueness, limitations and constraints, this research proposing two possible policy recommendations for improvement and future changes on Volume V, Number 2, November 2015
the implementation activities. First, pos sible policy recommendation is to set a forum for discussion on the constraints and future changes. This recommenda tion offers the short-term and long-term reform. Proposing the technical guide line will be the first possible action to take and more realistic approach toward the short-term reform recommendation. The guideline will contain detailed de scriptions on technical implementation activities of each provision. Another rec ommendation is an amendment of the competition chapter to introduce provi sions on comity. It is possible to take into consideration because the characteris tics provisions on positive and negative comity meet the objectives of the compe tition chapter of the IJEPA. In addition, in order to realize such recommendations, there should be consensus between two parties, and especially for amendment, it will take long time to create consensus. Second, recommendation for KP PU’s internal measures, such as enhanc ing coordination between the Foreign Cooperation Division with other related bureaus and divisions and re-dissem inating the competition chapter of the IJEPA to the related bureaus and divi sions in order to remind them of their task in realizing its implementation. This recommendation can be unilaterally im plemented without any consensus. Those recommendations might not be easy to make them realize immedi ately. Even though for the short-term reform recommendation, it still needs to take step to “open” for its- first-consen sus between the KPPU and JFTC. Yet, it is necessary to keep in mind that those recommendations are “ambitious” so lutions for improvement and futures changes. If they can be translated into real-policy actions, it will bring the im
45
provement to the stage of much more advanced cooperation on the competi tion chapter, not only under the IJEPA but also other EPAs. On top of that, such policies can be required as a new foun dation for bilateral-unilateral coopera tion on competition. BIBLIOGRAPHY Books, Journals, Papers Aoki, Maki. “New issues in FTAs: The case of Economic Partnership Agree ments between Japan and ASEAN Countries.” IDE APEC Study center. Working Paper Series 03/04-No.8 (2004): 2. http://www.ide.go.jp/ English/Publish/Download/ Apec/pdf/2003_08.pdf.
“Chicago Citation Style.” UBC Okanagan Library. February, 2012. Accessed December 26, 2012. http://www. ubc.ca/okanagan/library/__ shared/assets/chicago14394. pdf.“Chicago Manual of Style – Personal Interview.” Citesource. Accessed December 26, 2012. http://citesource.trincoll.edu/ chicago/chicagointerview_000. pdf. Dabbah. Maher M. International and Comparative Competition Law. New York: Cambridge, 2010.
Himelfarb, A.J. “The International Lan guage of Convergence: Reviving the Antitrust Dialogue between the United States of America and the European Union with a Uniform Understanding of Ex traterritoriality.” University of Pennsylvania Journal of International Economic Law 909, vol. 17(3): 914, 1996. https://www. 46
law.upenn.edu/journals/jil/arti cles/volume17/issue3/Himelfar b17U.Pa.J.Int’lEcon.L.909(1996). pdf.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha, 5th edition. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indo nesia, 2011 Michel, Lois. Economic Partnership Agreement: Drivers of Development. Saarbrucken: Dictus Pub lishing, 2010. Papadopoulos, Anestis S. The International Dimension of EU Competition Law and Policy. New York: Cambridge, 2010. Paul, J.R. “Comity in International Law,” Harvard International Law Journal 2, vol. 32(1): 3, 1991. http:// heinonline.org/HOL/Print?collec tion=journals&handle=hein.jour nals/hilj32&id=7
Rill, James F. “The U.S./EC Antitrust Co operation Agreement: Genesis, Innovation, and Early Implemen tation.” CPI Antitrust Chronicle, no. 1 (2011): 3. https://www.compe titionpolicyinternational.com/
Stark, C. “Improving Bilateral Antitrust Cooperation,” speech delivered in Washington DC, 23 June 2000. http://www.usdoj.gov/atr/pub lic/speeches/5075.htm. Watanabe, Yorizumi “Japan’s FTA/EPA Policy and Perspectives for East Asian Economic Community.” Eu ropean Institute for Asian Studies. Accessed June 18, 2012. http:// www.eias.org/luncheons/2006/ japantrade050406/watanabe. pdf. WTO’s Working Group on the Interac Journal of World Trade Studies
tion between Trade and Competi tion Policy, “Communication from Japan: The Experiences of Japan and APEC in Technical Assistance and Capacity Building.” WT/ WGTCP/W186 (June 19, 2002): 2. http://www.jftc.go.jp/eacpf/05/ experiences.pdf.
Government ments
Regulation and Docu‐
“Cease-and-Desist Order and Surcharged Payment Order against Manu facturers of Cathode Ray Tubes for Televisions.” JFTC. Accessed October 7, 2009. http://www. jftc.go.jp/en/pressreleases/ar chives/individual-000136.html. “Decision on the Violation of Indonesian Competition Law in the Beauty Contest Process for Liquid Natu ral Gas Project (Decision No. 35/ KPPU-I/2010).” KPPU. Accessed October 28, 2012. http://www. kppu.go.id/docs/Putusan/putu san_35_2010_Donggi%20senoro. pdf “Decision No. 05/KPPU-L/2010.” KPPU. Accessed October 29, 2012 . http://www.kppu.go.id/docs/ Putusan/Putusan%20Lokomotif. pdf.
“Implementing Agreement Between The Government of Japan and The Government of The Republic of Indonesia Pursuant to Article 13 of The Agreement Between Japan and The Republic of Indonesia for an Economic Partnership.” JFTC. Accessed December 5, 2012. http://www.jftc.go.jp/en/inter national_relations/agreements/ index.html. Volume V, Number 2, November 2015
“Implementing Agreement Between The Government of Japan and The Swiss Federal Council Pursuant to Article 10 of The Agreement on Free Trade and Economic Part nership Between Japan and The Swiss Confederation.” JFTC. Ac cessed December 5, 2009. http:// www.jftc.go.jp/en/international_ relations/agreements/index.html Japan-Indonesia Partnership Agree ment: Joint Study Report.” MOFA. Accessed December 8, 2012. h t t p : / / w w w. m o fa . g o . j p / re gion/asia-paci/indonesia/sum mit0506/joint-3-2.pdf.
“Joint Statement at the Signing of the Agreement between the republic of Indonesia and Japan for an Eco nomic Partnership.” Bank Indone sia. Accessed December 9, 2012. http://www.bi.go.id/NR/rdon lyres/C3A644ED-2502-47959D30-83A4B45E5109/9489/ joinstatementepaindonesiajapan. pdf. JFTC. “Outline Slide for June 28, 2012.”
KPPU. “Ratification on Text Explanation of the IJEPA.” 2007.
KPPU. “Text Explanation on the Competi tion Chapter of IJEPA (Indonesian Version).” December 19, 2007. KPPU. “Chapter III: The Follow-Up the Implementation Agreement of IJ EPA on Competition (Indonesian Version).” December 19, 2007. KPPU. “Minutes of meeting between Japan International Coopera tion Agency and Authorities concerned of the Government of Republic of Indonesia on the Jap anese technical cooperation proj ect for competition policy project
47
(phase 2) in Indonesia: the At tached Document,“ 2009.
KPPU. “Project Design Matrix: Project for Competition Policy (Phase II) Annex 1,” 2009.
KPPU. “Outputs and Activities in Record of Discussions (RD),” 2010. KPPU. “Form Digest Green Book 2009,” 2009.
“Law Number 5 Year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Prac tices and Unfair Business Compe tition.” KPPU. Accessed December 8, 2012. http://eng.kppu.go.id/ wp-content/uploads/2010/04/ uu-en.pdf.
ama09/02.html.
International ments
Organization
Docu‐
“Day 5 Conference end without con sensus.” WTO. Accessed Decem ber 3, 2012. http://www.wto. org/english/thewto_e/minist_e/ min03_e/min03_14sept_e.htm.
“Pemberitahuan Merger 2011.” KPPU. Accessed October 28, 2012. h t t p : / / w w w. kp p u . g o . i d / i d / merger/daftar-notifikasi/pub likasi-pemberitahuan/pemberi tahuan-merger-2011/.
“Ratification Agreement between the Republic of Indonesia and Japan for an economic Partnership.” Di rectorate General of International Trade Cooperation. Accessed De cember 8, 2012. http://ditjen kpi.kemendag.go.id/website_ kpi/Umum/IJEPA/Perpres%20 36%202008.pdf. “Technical assistance offered and con tributed by the Japan Fair Trade Commission.” JFTC, 2004. Ac cessed December 3, 2012, http://www.jftc.go.jp/eacpf/05/ menu.2004.pdf.
“The Antimonopoly Act: Chapter II Pri vate Monopolization and Unrea sonable Restraint of Trade.” JFTC. Accessed September 23, 2012. http://www.jftc.go.jp/en/legisla tion_guidelines/ama/amended_ 48
Journal of World Trade Studies
Climate change, labelling, international standards and the Technical Barriers to Trade Agreement: Are they in (dis)harmony? Michelle Ayu & Joachim Monkelbaan
Abstract Climate change and trade are two separate realms that inevitably interact with each other. Trade, representing more than half of global GDP by some accounts, may play a pivotal role in efforts to combat climate change and to reduce greenhouse gas emissions. The WTO Agreements were not specifically composed for climate change purposes. Labelling and international standards may be used as a trade tool whose application may influence consumer preferences and shift markets. In the context of climate change, labelling may effectively inform consumers about international standards and, in particular, the carbon footprint of products. In the context of WTO Agreements, labelling is governed by the Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement). This article investigates the compatibility of the TBT Agreement in governing labelling aimed at mitigating climate change and it elaborates tensions at the nexus between climate change and trade in the context of labelling. This article eventually argues that climate change, labelling, international standards and the TBT Agreement can be in harmony. Further arrangements, which will close more gaps in the relation between the TBT Agreement and measures aimed at combating climate change, are required to alleviate (possible) tensions in practice. Keywords: Climate change, labelling, international standards, World Trade Organization, Agreement on Technical Barriers to Trade. A. INTRODUCTION Labelling and international stan dards play an important role in promot ing energy efficiency, reducing emissions levels, and mitigating climate change. La belling may be employed to inform con sumers about international standards constituted in products, to communicate carbon footprint data and to gauge ener gy efficiency performance and the level of emission reduction. Besides, label ling can facilitate trade, spread knowl edge, disseminate innovative advances in technology and foster the sharing of good management and conformity as sessment practices. Volume V, Number 2, November 2015
The application of labelling and in ternational standards may in turn raise awareness of consumers on their green house gas emissions, which consequent ly is meant to shift consumers and manu facturers’ behaviour. A study conducted in 2014 by Vincenzina Caputo, Rodolfo M. Nayga Jr and Riccardo Scarpa reveals that consumers tend to value the CO2 la bel at least as much and sometimes even more than the food miles label.1 Vincenzina Caputo, Rodolfo M. Nayga Jr and Riccardo Scarpa. “Food miles or carbón emis sions? Exploring labelling preference for food 1
49
Labelling and international stan dards are important for climate action and their significance may increase in the future. For example, the total projected CO2 emissions from the residential sec tor in the United States would have been 8 per cent higher by 2020 if the energyefficiency standards for household ap pliances had not been put in place.
Climate change and trade are two distinct realms that inevitably interact with each other. As unilateral and mul tilateral trade liberalization has brought down tariffs, the market access effects of labelling and international standards as a part of climate change law and policy can have competitiveness impacts on trade and investment.2
The WTO provides a framework of disciplines to facilitate global trade and serves as a forum to negotiate further trade openness under the architecture of multilateral trade cooperation.3 The WTO plays accordingly an important role in bridging climate policy and trade transport footprint with a stated choice study.” Australian Journal of Agricultural and Resource Economics 57, no. 4 (2013), p. 465.
World Trade Organization. World Trade Report 2005: Exploring the links between trade, standards and the WTO. Geneva: World Trade Organization, 2005. Accessed July 30, 2015. ht tps://www.wto.org/english//res_e/booksp_e/ anrep_e/world_trade_report05_e.pdf, p. 29. For instances, there are 14,900 international standards published by the ISO and a database of around 650,000 standards (national, regional and international) from about 21 countries is maintained by Perinom, a consortium of Euro pean standards organizations. 2
World Trade Organization. “The multilateral trading system and climate change: Introduc tion.” Accessed July 19, 2014. http://www.wto. org/english/tratop_e/envir_e/climate_intro_e. htm. 3
50
policy.4 Considering the importance of la belling for informing international stan dards aimed at reducing greenhouse gas emissions, this article analyses how the WTO covers the dynamic nexus between climate change, international standards and labelling. From the outset, the WTO recognizes the rights and the sovereign ty of its members to set diverse levels of policies to reach their respective le gitimate objectives as long as they do not constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries. In the context of setting in ternational standards, WTO members may therefore set distinct levels of inter national standards in order to achieve their respective legitimate objectives. However, this discretion to determine various levels of legitimate objectives on international standards may possibly be harnessed to veil protectionist measures that have discriminatory consequences.5 In the context of the WTO, the TBT Agreement has become a main legal in strument when it comes to labelling and international standards.6 In the TBT Agreement, labelling may be classified either as technical regulation or as stan Ludivine Tamiotti, et. al. Trade and Climate Change: A report by the United Nations Environment Programme and the World Trade Organization. Geneva: World Trade Organization, 2009. Accessed July 30, 2015. http://www.wto.org/ english/res_e/publications_e/trade_climate_ change_e.htm, p. 124. 4
Please note that how a measure is justified in the WTO framework as protectionist will not be discussed in this article. 5
The WTO is a treaty consisting of the um brella agreement, the Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization, and its subsidiary agreements, containing of detailed rules. The TBT Agreement is one of its subsidiary agreement. 6
Journal of World Trade Studies
dard. The TBT Agreement is aimed to guarantee that the technical regulations, standards and conformity assessment procedures7 do not constitute unneces sary barriers to international trade while recognizing the right of WTO members to take regulatory measures to achieve their legitimate objective. Among other legitimate objectives, according to Ar ticle XX of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), the legitimate objectives may be: protection of the en vironment, protection of human health of safety, protection of animal or plant life or health, prevention of deceptive practices, national security require ments and quality requirements.8 The aim of this article is to clarify the governance of labelling and interna tional standards in the TBT Agreement. This article presents the nexus of tech nical regulations, standards and label ling under the TBT Agreement and (pos sible) tensions of technical regulation, standards and labelling particularly in the context of climate change and the TBT Agreement. The wider purpose of this article is to point out the tensions between climate policies and trade poli cies in the context of labelling and the related important considerations for policy makers.
International Organization for Standardiza tion. “What is conformity assessment?” Accessed May 15, 2014. http://www.iso.org/iso/home/ about/conformity-assessment.htm. 7
Artixle XX, the General Agreement on Tariffs and Trade 1994. Accessed July 30, 2015. https:// www.wto.org/english/docs_e/legal_e/06-gatt. pdf and must be read with https://www.wto. org/english/docs_e/legal_e/gatt47_e.pdf. 8
Volume V, Number 2, November 2015
B. THE NEXUS BETWEEN THE TERMS ‘TECHNICAL REGULATIONS’, ‘STANDARDS’ AND ‘LABELLING’ As explicitly mentioned in Annex 1.1 and 1.2 of the TBT Agreement, the TBT Agreement establishes a clear dis tinction between the terms ‘technical regulations’ and ‘standards’.9 According to the definition, the main and essential distinction between the terms ‘technical regulations’ and ‘standards’ is its com pliance. Technical regulations require man datory compliance. On the other hand, the compliance of standards is not man datory. In addition, standards have to be approved by a recognized body that provides for common and repeated use, rules, guidelines or characteristics for products or related processes and pro duction methods.
The TBT Agreement defines the following terms: i) ‘technical regulation’: Document which lays down product characteristics or their relat ed processes and production methods, including the applicable administrative provisions, with which compliance is mandatory. It may also in clude or deal exclusively with terminology, sym bols, packaging, marking or labelling require ments as they apply to a product, process or production method; and ii) ‘standard’: Document approved by a recognized body, that provides, for common and repeated use, rules, guidelines or characteristics for products or related proc esses and production methods, with which com pliance is not mandatory. It may also include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging, marking or labelling requirements as they apply to a product, process or production method. See further: Annex 1, Technical Barriers to Trade Agreement. Accessed July 30, 2015. ht tps://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/17tbt.pdf. 9
51
The definitions of both technical regulations and standards in Annex 1 of the TBT Agreement identically mention the term ‘labelling requirements.’ There fore, labelling requirements may accord ingly fall under either technical regula tions or standards.
Whether a labelling scheme falls under the technical regulation or stan dards may be ambiguous. The criteria employed to classify whether labelling requirements are a technical regulation or a standard relate to the fact whether compliance is mandatory or not. The finding brought in a new perspective on how technical regulation is identi fied and how labelling is classified. The finding brought in the panel report of United States – Measures Concerning the Importation, Marketing and Sale of Tuna and Tuna Products (US – Tuna II (Mexico))10, which was subsequently af firmed by the Appellate Body report of the US –Tuna II (Mexico), stated: 11 “Compliance … is ‘mandatory’ … if the document in which [the regulations] are contained has the effect of regulating in a le gally binding or compulsory fashion the characteristic at issue, and if it thus prescribes
Panel Report, United States – Measures Con cerning the Importation, Marketing and Sale of Tuna and Tuna Products (US – Tuna II (Mexico)), WT/DS381/R (September 15, 2011). 10
Para. 7.111, Panel Report, United States – Measures Concerning the Importation, Mar keting and Sale of Tuna and Tuna Products (US – Tuna II (Mexico)), WT/DS381/R (September 15, 2011). The labelling requirement in the US – Tuna II (Mexico) case leaves no discretion to resort to any other standard to inform consum ers about the dolphin-safety of tuna than to meet the specific requirements of the measure and is the only standard available to address the issue. 11
52
or imposes in a binding or compulsory fashion that a cer tain product must or must not possess certain characteristics, terminology, symbols, packag ing, marking or labels or that it must or must not be produced by using certain processes and production methods. By con trast, compliance with the char acteristics or other features laid out in the document would not be ‘mandatory’ if compliance with them was discretionary or ‘voluntary’”.
Conversely, the dissenting opinion expressed at the Panel of the US – Tuna II case may be worth considering. The dissenting opinion mentioned: “Both Annex 1.1 and Annex 1.2 refer to labelling requirements. Labelling requirements can thus be technical regulations or standards. The criteria wheth er labelling requirements are a technical regulation or a stan dard relates to the fact whether compliance is mandatory or not. In order to give any sense to the term ‘labelling require ment’ as used both in Annex 1.1. and 1.2, the requirement that compliance is mandato‐ ry cannot relate to the obliga‐ tion to meet certain require‐ ments to be allowed to use the label, but to the question whether a labelling scheme is compulsory – i.e. whether products must use a label in order to be marketed – or voluntary – i.e. products may be marketed with or with‐ out the label. As indicated by the Appellate Body in EC – As bestos, a technical regulation must “regulate the character istics of products in a binding or compulsory fashion” and “a ‘technical regulation’ has the ef fect of prescribing or imposing
Journal of World Trade Studies
one or more ‘characteristics’ – ‘features’, ‘qualities’, ‘attri butes’, or other ‘distinguishing mark’”.315 A labelling require ment which is a technical regu lation would thus impose to a product the obligation to use the label and to fulfil the re lated labelling requirements. If however compliance with the labelling requirement and use of the label is not mandatory, the labelling requirement has to be seen as a standard. Ar guing that the mere fact that a product is prohibited from us ing a label if it does not fulfil these standards makes compli ance compulsory would leave no space for voluntary labelling schemes as standards.” 12 (em phasis added)
Despite having been affirmed by the Appellate Body report, the opaque na ture of the distinction between techni cal regulations and standards in the TBT Agreement remains disputable.
The labelling requirements, whose compliance is mandatory, are classi fied under the technical regulations. Conversely, the labelling requirements, whose compliance is voluntary, may be categorized under standards. The dis tinctive compliance nature between technical regulations and standards bur dens dissimilar notification obligations between both categories. Measures con sidered as technical regulations have to be notified to the WTO Secretariat, while measures deemed as standards may be notified on a voluntary basis. Para. 7.151, Panel Report, United States – Measures Concerning the Importation, Market ing and Sale of Tuna and Tuna Products (US – Tuna II (Mexico)), WT/DS381/R (September 15, 2011). 12
Volume V, Number 2, November 2015
C. TENSIONS: CLIMATE CHANGE, LABELLING AND THE TBT AGREEMENT Although the WTO recognizes sus tainable development as its central prin ciple13, the WTO Agreements were not designed to specifically tackle the issue of climate change. Consequently, the in terplay between the WTO and climate change regimes may result some ten sions. Labelling schemes are used as a means to gauge environmental effective ness and to promote energy-efficiency policy. Their application may inevitably build up consumer awareness, accep tance of labels (credibility and under standing) and changes in consumer and manufacturer behaviour.14 Hence, the application of labelling schemes may im pact competitiveness of a market. This article attempts to compile
The term ‘sustainable development’ is ex plicitly mentioned in the preamble of the Mar rakesh Agreement establishing the World Trade Organization: “Recognizing that their relations in the field of trade and economic endeavour should be conducted with a view to raising standards of living, ensuring full employment and a large and steadily growing volume of real income and ef fective demand, and expanding the production of and trade in goods and services, while allowing for the optimal use of the world’s resources in accordance with the objective of sustainable development, seeking both to protect and preserve the environment and to enhance the means for doing so in a manner consistent with their re spective needs and concerns at different levels of economic development. ” (Emphasis added) 13
Ludivine Tamiotti, et. al, op. cit., p.124.
14
53
tensions that emerged or may occur be tween the applications of labelling, in ternational standards, in particular for the purpose of climate change, and the TBT Agreement. These tensions may be come useful information as well as con siderations for policy-makers. 1. Non-product-related process and production methods and the TBT Agreement
Processes and production methods (PPMs) refer to criteria of governing in ternational trade in goods and services according to the inputs and process technologies utilised in their produc tion.15 PPMs play a pivotal role for the environmental impacts and the emis sion of the GHGs. For example, the use of energy-efficient technology in the production method of a product directly affects emissions reduction. Therefore, PPMs are important criteria which may bring essential environmental benefits. In the debate over trade and envi ronment, PPMs are the subject of many controversies.16 The applicability of en vironmental PPMs creates controversy
Robert Read, “Process and Production Meth ods and the Regulations of International Trade.” In The WTO and the Regulation of International Trade: Recent Trade Disputes between the European Union and the United States, edited by Nicholas Perdikis and Robert Read, 239 – 267. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2005. Accessed July 30, 2015. http://www.oas. org/dsd/Tool-kit/Documentos/ModuleIIIdoc/ Read%20Article%20on%20PPMs.pdf, p.239.
due to the following reasons:17
“First, a PPM can restrict trade or make it harder and costlier for an exporter to supply a for eign market. Second, PPMs are a signal from importing coun tries to exporting countries about the environmental prac tices and laws that the import ing country thinks the export ing country should have.”
PPMs are classified according to how the products were produced.18 PPMs are categorized as product-related PPMs (pr-PPMs) and non-product-relat ed PPMs (npr-PPMs). The key issue of these two categories is the influence of process and production methods on fi nal products. If a process and production method will affect the final product to be treated differently in its use, handling or disposal, this is pr-PPMs. Converse ly, if the final products will appear the same despite its process and production method and, thus, no different treatment on the final products are needed, this is npr-PPMs. The PPMs are explicitly pronounced by several WTO Agreements. Several WTO Agreements confirm that PPMs af fect trade.19 PPMs related technical regu lations, standards and labels fall explicit
15
Steve Charnovitz, “The Law of Environmen tal “PPMs” in the WTO: Debunking the Myth of Illegality.” Yale Journal of International Law 27, no. 1 (2002), p. 59. 16
54
Steve Charnovitz, op. cit., p. 62.
17
���������������������������������������� Laurens J. Ankersmit and Jessica C. Law rence, “The Future of Environmental Labelling: US – Tuna II and the Scope of the TBT.” Legal Issues of Economic Integration 39, no. 1 (2012), p. 135. 18
Aaron Cosbey in ICTSD Bridges: Between trade and sustainable development. “The WTO and PPMs: Time to Drop a Taboo.” Accessed February 3, 2014. http://www.ictsd.org/down loads/bridges/bridges5-1.pdf, p. 11. 19
Journal of World Trade Studies
ly under the TBT Agreement.20 PPMs that fall outside the scope of the TBT Agree ment may fall either in the Agreement in the Application of Sanitary and Phytos anitary Measures (SPS Agreement) or in the GATT.21 In general, the WTO Agreements distinguished between pr-PPMs and npr-PPMs; discriminatory treatment on the basis of pr-PPMs, which have differ ent physical characteristic as the final result of the product, is permissible in WTO law.22
In connection to the issue of prPPM in the GATT, the Appellate Body in Japan – Alcoholic Beverages II stipulat ed that likeness may be determined by comparing products on the basis of (i) product characteristics, (ii) end-uses, (iii) consumer preferences and (iv) tariff classification.23 Moreover, the Appellate Body in the EC – Asbestos case added Patrick Low, Gabrielle Marceau and Julia Reinaud. “The Interface between the Trade and Climate Change Regimes: Scoping the Issues.” Journal of World Trade 46, no. 3 (2012), p. 523. 20
This article will not discuss the issue of PPMs which fall under the SPS Agreement. Note that the preamble of the SPS Agreement explic itly pronounced that the GATT provisions related to the use of sanitary or phytosanitary measures, particularly Article XX(b) GATT regarding the general exception clause, apply to the SPS Agree ment. 21
The United Nations Environment Pro gramme Division of Technology, Industry and Economics, Economics and Trade Branch; and the International Institute for Sustainable De velopment. Environment and Trade: A handbook - 2nd edition. Manitoba: International Institute for Sustainable Development, 2005. Accessed July 30, 2015. http://www.unep.ch/etb/areas/pdf/ envirotrade_handbook_2005.pdf, p. 54. 22
Patrick Low, Gabrielle Marceau and Julia Re inaud, loc. cit., p. 494. 23
Volume V, Number 2, November 2015
the competitive relationship between imported and domestic products as a determinant to justify likeness of prod ucts.24 A PPM can affect the like product determination if it affects a competitive relationship.25 Therefore, the compari son of products on the basis of productrelated PPMs may simply be determined as unlike due to its distinct product char acteristics. Conclusively, there will be no conflict created concerning the likeness justification for pr-PPMs, provided that the final products will be distinctive.
The issue of npr-PPMs is essential in the context of climate change and the re duction of greenhouse gases emissions. The npr-PPMs base a number of energyefficiency and emission-reduction stan dards and labelling schemes.26 In the WTO Agreements, there are no explicit reference to the issue of npr-PPMs. Unlike the pr-PPMs, the issue of npr-PPMs may be problematic. In the WTO context, discriminatory treatment is not allowed for products which are considered like products. Products in cluded in the npr-PPMs will remain like products and cannot in turn be treated differently. Under the category of nprPPMs, there will be no traceable distinc tion resulting from the process and pro duction method of products. Although products have different processes and production methods and may have dif Para. 101, Appellate Body Report, European Communities – Measures Affecting Asbestos and Products Containing Asbestos (EC – Asbestos), WT/DS135/AB/R (March 12, 2001). 24
Inside U.S. Trade. “Experts sees possible opening in WTO rules for certain PPMs” Ac cessed January 29, 2014. http://www.agritrade. org/pressroom/documents/IUSTarticle.pdf,p. 1. 25
Ludivine Tamiotti, et. al, op. cit., p.126.
26
55
ferent environmental impacts, there are no traceable product characteristics that may justify the products to be treated differently. In the context of GATT, harnessing the npr-PPMs as a factor to treat product differently will consequently infringe the non-discrimination principle under the GATT.27 Nevertheless, the infringe ment accorded to the issue of the nprPPMs may be justified by referring to the general exception clause provided by the GATT. Article XX of the GATT refers to the general exception clause. Two-tier analysis requirements are required to justify GATT-inconsistent environmental measures through the general exception clause. The measure has to firstly fall un der at least one of the exception listed under Article XX. Secondly, the measure has to satisfy the requirements of the chapeau, of Article XX. The chapeau of Article XX requires that the measure is not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjus tifiable discrimination between coun tries where the same conditions prevail and is not a disguised restriction on in ternational trade. In conjunction with the issue of climate change, Article XX of the GATT provides two relevant exceptions to not complying with GATT obligations, i.e. point (b) and (g) of Article XX of the
�������������������������������������������� The non-discrimination principle is particu larly pronounced under Article I of the GATT, which entails the Most-Favoured-Nation (MFN) treatment obligation, and Article III of the GATT, which pertains to the national treatment obliga tion. 27
56
GATT. WTO members may seek excep tions from GATT provisions on the ba sis that the measures taken are “neces sary to protect human, animal or plant life or health”28; and measures which are “relating to the conservation of exhaust ible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption.”29 Unlike the GATT, the application of the npr-PPMs under the TBT Agree ment has been a matter of controversy among academics and practitioners.30 The TBT Agreement has a different ap proach than the GATT in providing spac es to obtain various level of legitimate objectives, including climate change. The GATT provides an exhaustive list of general exceptions in Article XX accom modating various legitimate objectives. As an exception, the application of the general exception depends whether an infringement against GATT obligations exists. Unlike the GATT, the TBT Agree ment provides a non-exhaustive list of various legitimate objectives. The TBT Agreement does not place targeting a le gitimate objective as an exception of in fringing any TBT Agreement obligations. In conclusion, in the framework of the TBT Agreement, pursuing a legitimate ��������������������������������������������� Article XX (b), the General Agreement on Tar iffs and Trade 1994. Accessed July 30, 2015. ht tps://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/06gatt.pdf and must be read with https://www. wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_e.pdf. 28
Article XX (g), the General Agreement on Tariffs and Trade 1994, ibid. 29
Johannes Norpoth. “Mysteries of the TBT Agreement Resolved? Lessons to Learn for Cli mate Policies and Developing Country Export ers from Recent TBT Disputes.” Journal of World Trade 47, no. 3 (2013), p. 577. 30
Journal of World Trade Studies
objective is a rights and not an exception.
The development of treaty interpre tations of WTO Agreements, including the GATT and the TBT Agreement, has to be managed in a harmonious way in or der to obtain consistent interpretations. Regardless the different application on how the GATT and the TBT Agreement provide a space to pursue a legitimate objective, the GATT and the TBT Agree ment have to accordingly be interpreted in a consistent way.
In the Annex 1.1 of the TBT Agree ment, the words “their related” confine the scope of the TBT Agreement only to pr-PPMs.31 Meanwhile, the US – Tuna I case resumed that the npr-PPMs may solely be examined under the GATT.32 It seems to be inefficient if the npr-PPMs are possibly justifiable under the GATT, while the more transparent pr-PPMs are subject to the more stringent require ments of the TBT Agreement.33 The US – Tuna II (Mexico) case is important for the nexus between nprPPMs and the TBT Agreement. Notwith standing the finding of the US – Tuna I, the Panel of US – Tuna II came to a contradictory finding. In its finding, the npr-PPM measures may fall under the TBT Agreement based on the second
���������������������������������������� Laurens J. Ankersmit and Jessica C. Law rence, op. cit., p. 136. In addition, Annex 1.1 of the TBT Agreement states “Document which lays down product characteristics or their related processes and production methods, including the applicable administrative provisions, with which compliance is mandatory”(emphasis add ed). 31
���������������������������������������� Laurens J. Ankersmit and Jessica C. Law rence, ibid. 32
�������������������������������������������� Patrick Low, Gabrielle Marceau and Julia Re inaud, op. cit., p. 522. 33
Volume V, Number 2, November 2015
sentence of Annex 1.1 of the TBT Agree ment. The second sentence of Annex 1.1 of the TBT Agreement clearly indicates that labelling including its application to a product, process or production method falls under the scope of the TBT Agree ment. This sentence does not establish the division of PPMs.
Considering that there was no par ticular appeal on the coverage of the npr-PPM in the TBT Agreement brought by the US to the Appellate Body in the US – Tuna II (Mexico) case, there may be a differing finding pertaining to the appli cability of the npr-PPM measures in the TBT Agreement in the future. Neverthe less, the Appellate Body report in the US – Tuna II (Mexico) seemingly accepted that labelling is covered by TBT Agree ment. If the Appellate Body had the op posite view pertaining to the coverage of the TBT Agreement on labelling, the dispute would not make further findings about labelling in the framework of the TBT Agreement.
Accordingly, the US Tuna II (Mex ico) case seemingly clarified the TBT Agreement coverage on the npr-PPMs that fall under the categories explicitly mentioned by the second sentence of Annex 1.1 of the TBT Agreement, i.e. ter minology, symbols, packaging, marking or labelling requirements. Nonetheless, the categories outside what are explic itly mentioned in the second sentence of the Annex 1.1 of the TBT Agreement, i.e. outside terminology, symbols, packag ing, marking or labelling requirements, remain unresolved. Accordingly, the is sue of the TBT Agreement coverage on the npr-PPMs remains debatable and has no definite clarity yet among WTO members. Despite the fact that the npr-PPMs may contribute to mitigate GHG emis
57
sions, many countries argue that dis criminatory measures based on nprPPMs are inconsistent with the WTO.34 Should the discriminatory measures ac corded to the npr-PPMs be justifiable, it is envisaged to create challenges and complexities. For instance, in reference to the justification whether a measures is necessary to pursue a legitimate ob jective or is a disguised protectionism. 2. International standards governance: The interplay between obligations and flexibility
In line with the growing economic interdependence that results from in ternational trade, the function of inter national standards is increasingly im portant. International standards are an essential means of facilitating compat ibility and interoperability for interme diate products as they zigzag their way to the final consumer in a globalized world where value chains are increas ingly prevalent.35 In general, the TBT Agreement strongly encourages WTO members to use relevant international standards as the basis for their technical regulations. In the context of WTO Agreements, such
���������������������������������������� World Trade Organization: The WTO Insti tute for Training and Technical Cooperation. “De tailed Presentation of Environmental Require ments and Market Access, including Labelling for Environmental Purposes.” Accessed July 30, 2015. https://ecampus.wto.org/admin/files/ Course_385/Module_2423/ModuleDocuments/ TE_Req-L2-R2-E.pdf, p. 23. 34
���������������������������������������� Erik Wijkstrom and Devin McDaniels. “Im proving regulatory governance: International standards and the WTO TBT Agreement.” Journal of World Trade 47, no. 5 (2013), p. 1014. 35
58
international standards are mentioned in particular in Article 2.436, 2.537 and 5.438 of the TBT Agreement. The TBT Agreement provides WTO members flexibilities to set standards and to em ����������������������������������������������� Article 2.4, Technical Barriers to Trade Agree ment. Accessed July 30, 2015. https://www.wto. org/english/docs_e/legal_e/17-tbt.pdf. Article 2.4 states: “Where technical regulations are re quired and relevant international standards ex ists or their completion is imminent, Members shall use them, or the relevant parts of them, as a basis for their technical regulations except when such international standards or relevant parts would be an ineffective or inappropriate means for the fulfilment of the legitimate objectives pursued, for instance because of fundamental climatic or geographical factors or fundamental technological problems”. 36
Article 2.5, Technical Barriers to Trade Agreement. Accessed July 30, 2015. https:// www.wto.org/english/docs_e/legal_e/17-tbt. pdf. Article 2.5 mentions: “Whenever a techni cal regulation is prepared, adopted or applied for one of the legitimate objectives explicitly mentioned in paragraph 2, and is in accordance with relevant international standards, it shall be rebuttably presumed not to create an unneces sary obstacle to international trade”. 37
Article 5.4, Technical Barriers to Trade Agreement. Accessed July 30, 2015. https:// www.wto.org/english/docs_e/legal_e/17-tbt. pdf. Article 5.4 says: “In cases where a positive assurance is required that products conform with technical regulations or standards, and relevant guides or recommendations issued by international standardizing bodies exist or their completion is imminent, Members shall ensure that central government bodies use them, or the relevant parts of them, as a basis for their con formity assessment procedures, except where, as duly explained upon request, such guides or recommendations or relevant parts are inappro priate for the Members concerned, for, inter alia, such reasons as: national security requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the environment; fundamental climat ic or other geographical factors; fundamental technological or infrastructural problems”. 38
Journal of World Trade Studies
ploy relevant international standards on the appointed standards. Article 2.2 of the TBT Agreement mentions the term ‘inter alia’ twice, i.e. pertaining to the list of legitimate objectives as well as relevant elements of consideration for risk assessment. The term ‘inter alia’ indicates the open list of both the legiti mate objectives and considerations for risk assessment. Furthermore, Article 2.2 of the TBT Agreement states that a technical regulation set for a legitimate objective by a member will be presumed not to create an unnecessary obstacle to international trade as long as it is in accordance with relevant international standards. In the panel report of the USTuna II (Mexico) case, the panel defined an international standard as a standard that is adopted by an international stan dardizing body and is made to the pub lic.39 Nevertheless, WTO members are al lowed not to use relevant international standards when such international stan dards or relevant parts would be an in effective or inappropriate means for the fulfilment of their respective legitimate objectives pursued. Furthermore, the TBT Agreement obliges WTO members
Para. 7.663, Panel Report, United States – Measures Concerning the Importation, Mar keting and Sale of Tuna and Tuna Products (US – Tuna II (Mexico)), WT/DS381/R (September 15, 2011). The panel added that it must consti tute a document, established by consensus and approved by a recognized body, that provides, for common and repeated use, rules, guidelines or characteristics for activities or their results, aimed at the achievement of the optimum degree of order in a given context (paras. 7.666-672, 6.36-38) and be ‘open on a non-discriminatory basis to the relevant bodies of at least all WTO members in accordance with the principle of openness as described in the TBT Committee Decision’ (paras. 7.687-691). 39
Volume V, Number 2, November 2015
to notify whenever a relevant interna tional standard does not exist or the technical content of a proposed techni cal regulation is not in accordance with the technical content of relevant inter national standards.
Governing international standards is a complex issue. Each WTO member has the sovereignty to set the subject and the level of legitimate objectives. Each member may choose its relevant international standard applied in a par ticular goods or service. Consequently, the standards governance differs from member to member. Concerning the use of relevant international standards as stipulated in Article 2.4 of the TBT Agree ment, the following three-step analysis may resume a measure to be in violation of Article 2.4 of the TBT Agreement: (i) the existence or imminent completion of a relevant international standard; (ii) whether the international standard has been used as a basis for the technical regulation; and (iii) whether the inter national standard is an effective or in appropriate means for the fulfilment of the legitimate objectives pursued, tak ing into account fundamental climatic or geographical factors or fundamental technological problems.40
The non-harmonized governance of international standards setting may con stitute inevitable-international-trade barriers, among other possible tensions: 1. The more-stringent governance of standards and choice of relevant
Para. 48, the TBT Agreement, World Trade Organization. “WTO Analytical Index: Guide to WTO Law and Practice.” Accessed January 17, 2015. https://www.wto.org/english/res_e/ booksp_e/analytic_index_e/analytic_index_e. htm. 40
59
international standards are trade barriers for some WTO members which set more-lenient standard governance. The more-stringent standards, which are in accordance with relevant international stan dards, are rebuttably presumed not to create an unnecessary obstacle to international trade. Therefore, the more-stringent standards may not be fulfilled by some members and hamper international trade.
2. There is no consensus and precise methods on how to quantify a car bon-footprint.41 The proliferation of carbon-footprint standards may raise a question how the carbon content is evaluated. Furthermore, the lack of having a uniformed means in evaluating carbon content and in applying a particular carbonfootprint standard globally add the tension on a carbon-footprint. 3. The TBT Agreement does not name particular international standardiz ing bodies to set international stan dards. Ensuring international stan dards, which are in consonant with the objectives of the TBT Agreement, may be challenging since the nature of every international standardizing body may (not) be in line with the objectives of the TBT Agreement.
4. The tension of having duplication of relevant international standards in particular goods and services may be undeniable due to flexibilities given by the TBT Agreement. The TBT Agreement has not pronounced Olga Nartova. “Carbon labelling: Moral, eco nomic and legal implication in a world trade environment.” NCCR Trade Regulation Working Paper no. 2009/5 (February 2009), p. 4. 41
60
particular international standardiz ing body. In consequence, there is a growing competitiveness among in ternational standardizing bodies.
In the context of setting climate change as a legitimate objective, it still remains unclear which climate change standards could be regarded as ‘inter national standards’ in line with the ob jective of the TBT Agreement.42 On one hand, the non-harmonized governance of international standards may be used to set protectionist policies covered as climate change objectives. On the other hand, there should be discretion for put ting legitimate, non-discriminatory and effective measures in place for address ing climate change. 3. The WTO coverage on private standards
The TBT Agreement disciplines standardizing bodies and principles for international standardizing bodies. Nev ertheless, the TBT Agreement’s main focus is on technical regulations instead of standards.43 In this regard, the TBT Agreement treats standards separately.44 The TBT Agreement is restrictive in ac commodating the issue of private stan dards. Joost Pauwelyn, “Carbon Leakage Measures and Border Tax Adjustments under WTO law” In Research Handbook on Environment, Health, and the WTO, edited by Geert Van Calster and Denise Prévost, 448 – 506. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2013, p. 481. 42
���������������������������������������� Erik Wijkstrom. “TBT and “Private Stand ards”.” Accessed July 30, 2015. https://www. wto.org/english/tratop_e/sps_e/private_stand ards_june07_e/wijkstrom_e.ppt. 43
Erik Wijkstrom, TBT and Private Standards, ibid. 44
Journal of World Trade Studies
Appleton opined that:45
“Private labelling schemes fall outside the Agreement because (i) they are not promulgated by recognised standardising bodies; (ii) they do not rely on ‘standards’ as defined in Annex 1; (iii) the non-governmental bodies in question may not sat isfy the conditions of Annex 1.8 of the TBT Agreement; and (iv) the TBT probably does not ap ply to standards governing nprPPMs.”
In connection with private stan dards46, the TBT Agreement does not specifically mention the term ‘private standardisation organizations’. Annex 1 of the TBT Agreement only explicitly defines the terms ‘technical regulation’, ‘standards’, ‘conformity assessment pro cedures’, ‘international body or system’, ‘regional body or system’, ‘central gov ernment body’, ‘local government body’ and ‘non-governmental body’. In this re gard, the question may be whether pri vate standardisation organizations may be incorporated in one of the specific definitions under Annex 1 of the TBT Agreement.
Private standards and private label ling schemes are discerned as a response to consumer demand and perhaps even as a means of creating demand.47 Private Arthur E. Appleton. “Linking Energy, Climate Change and WTO Law: The Role of the WTO in the Energy and Climate Change Debate.” Ac cessed February 30, 2014. https://www.iisd. org/pdf/2009/climate_change_labeling.pdf. 45
Note that private standards are set by pri vate standardizing organizations. 46
Arthur E. Appleton. “Private climate change standards and labelling schemes under the WTO Agreement on Technical Barriers to Trade.” In 47
Volume V, Number 2, November 2015
parties may be construed into two cat egories, i.e. entities which are not organs of the State but which nevertheless exer cise elements of governmental authority and private corporations or individuals that are not organs of State under inter nal law and that do not exercise elements of governmental authority.48 Private standards and private labelling schemes are operated on a voluntary basis. There is a debate whether the TBT Agreement may govern the proliferation of private standards and private label ling schemes. Appleton argued that:49 “The definition of standard in Annex 1.2 uses the phrase ‘document approved by a ‘rec ognized body’. The phrase ‘rec ognized body’ is undefined and the TBT Agreement does not state who must recognize such bodies. For an entity not iden tified in the WTO Agreement, a panel is likely to determine whether the entity is: (i) rec ognized by one or more WTO
International Trade Regulation and the Mitigation of Climate Change: World Trade Forum, ed ited by Thomas Cottier, Olga Nartova and Sadeq Z. Bigdeli, 131 - 152. Cambridge: Cambridge University Press, 2009, p. 150.
Samir R. Gandhi. “Voluntary Environmental Standards: The Interplay between Private Initia tives, Trade Rules and the Global Decision-Mak ing Processes.” Paper presented at the third glo bal administrative law seminar, Viterbo, June 15 – 16, 2007. Accessed July 30, 2015. http://www. iilj.org/gal/documents/Ghandienvironment. pdf, p. 13. See also: The GATT Panel decision in the Japan=Restrictions on the Import of Cer tain Agricultural Products case, BISD 35S/163, adopted 2 February 1988 (Japan Agricultural Products), at para. 5.2.2.2. 48
Arthur E. Appleton. “Supermarket labels and the TBT Agreement: Mind the gap.” Accessed February 30, 2014. http://www.wcl.american. edu/blr/04/1appleton.pdf. 49
61
members as a standardization body, (ii) involved with the ac tivities of international stan dardization organizations (ISO, IEC, etc.), (iii) open to involve ment from other WTO mem bers, and (iv) has accepted the Code, (v) whether any WTO Members apply ‘standards’ promulgated by the entity, and (vi) if the aim of its ‘standards’ further a legitimate objective within TBT Article 2.2.”
If private standards and private la belling schemes are deemed to fall un der the TBT Agreement, Article 4 of the TBT Agreement (Preparation, Adoption and Application of Standards) as well as Annex 3 of the TBT Agreement (Code of Good Practice for the Preparation, Adop tion and Application of Standards) will be applicable. In his article, Appleton elaborates further governance of private standards and private labelling accord ing to the TBT Agreement as follows:50 “Standardizing bodies that are bound by the Code or have accepted its obligations are required to accord mostfavoured-nation and national treatment to like products. Their standards must not cre ate unnecessary obstacles to international trade, and they are required to use relevant international standards when they exist or their completion is imminent.”
Nevertheless, should private stan dards and private labelling scheme not be covered and fall outside the purview of the TBT Agreement, the inability of the TBT Agreement to cover private Arthur E. Appleton. “Supermarket labels and the TBT Agreement: Mind the gap,” op. cit. 50
62
standards and the proliferation of pri vate standards in itself may result de facto non-tariff barriers to trade. Manu facturers will face various private stan dards that act as as trade barriers, in particular for smaller suppliers that may find it challenging to comply with the standard. Due to the absence of WTO coverage of private standards, there will be little room to bring the issue to the WTO dispute settlement should a dispute emerges. Private schemes may disadvantage exports from smaller pro ducers in developing countries without necessarily bringing the environmental benefits that such schemes are expected to deliver .51 D. CASE STUDY: THE EUROPEAN UNION AND CERTAIN MEMBER STATES – CERTAIN MEASURES ON THE IMPORTATION AND MARKETING OF BIODIESEL AND MEASURES SUPPORTING THE BIODIESEL INDUSTRY (WT/ DS459/1)52
This article refers to a WTO dispute “The European Union and certain mem ber states – certain measures on the importation and marketing of biodiesel and measures supporting the biodiesel industry (WT/DS459/1) as a case study. This dispute reveals an example of pos Arthur E. Appleton. “Private climate change standards and labelling schemes under the WTO Agreement on Technical Barriers to Trade,” op. cit., p. 150. 51
Request for Consultations, European Union and Certain Member States – Certain Measures on the Importation and Marketing of Biodiesel and Measures supporting the Biodiesel Industry, WT/DS459/1 (May 15, 2013). 52
Journal of World Trade Studies
sible tensions between climate change and trade realms.
The European Union (EU) adopted Directive 2009/28/EC of the Europe an Parliament and of the Council of 23 April 2009 on the promotion of the use of energy from renewable sources and amending and subsequently repealing Directives 2001/77/EC and 2003/30/ EC which are subsequently applied on various policies by the EU members. In the field of renewable energy, the Direc tive set a sustainability criterion with which biofuels and bioliquids have to comply in order to be taken into account when measuring compliance with the targets of the EU members. The biofuels and bioliquids which fulfilled this crite rion may benefit from (financial) incen tives for their use. The EU regulation is based on concerns over the real bene fits that biofuels can deliver in terms of GHG savings once the indirect land use change (ILUC) impacts of biofuels are taken into account.
The sustainability criteria set, among other criteria, by the EU require: (i) biofuels must produce in the saving of at least 35% of greenhouse gas emis sions with respect to fossil fuels; and (ii) biofuels feedstock production can not occur on certain types of land with a specific function or status before 2008.
Argentina, the complainant in the dispute, has no objection to the use of sustainability criteria and a calculation method of greenhouse gas emissions savings. Argentina questions the thresh old of 35% of greenhouse gas emissions with respect to fossil fuels. The soybean biodiesel produced in Argentina has only 31% of the default value. Hence, the soybean biodiesel of Argentina cannot fulfil the sustainability criteria set by the EU. Argentina argues that the threshold Volume V, Number 2, November 2015
is arbitrary, not based on scientific justi fications, and not based on a recognized international norm or standard.
The dispute is still at the consulta tion stage in the WTO dispute settlement process upon the submission of this ar ticle.53 Any developments and possible resulted findings from this dispute will be important in projecting the interface between climate and trade regimes. E. CONCLUSION
The nexus between trade, in the context of multilateral trading system, and climate change regimes, labelling and international standards may be used as effective instruments in reduc ing greenhouse gas emissions. Further more, the relation may facilitate as a tool to measure the level of carbon emitted in products. However, the relevant WTO Agreement covering the issue of label ling and international standards, the TBT Agreement, is not particularly aimed at governing climate change. Therefore, the compatibility of the TBT Agreement with measures to combat climate change in the form of labelling and international standards becomes increasingly impor tant. The findings of related cases adju dicated by Panel or Appellate Body of the WTO dispute settlement and special trade concerns raised by WTO members on the trade and environment and the TBT committee meetings (are meant to) close some gaps between the area of standards covered by the TBT Agree ment and climate change policies.
53
This article is submitted on July 30th, 2015.
63
Nevertheless, noting the distinct governance of technical regulations, standards and labels among countries may still bring along ambiguities for the trade community and be used as a tool for disguised protectionism. More over, the uncertainty whether the TBT Agreement accommodates the issue of npr-PPMs outside the terminologies ex plicitly mentioned in Annex 1 of the TBT Agreement and the issue of private stan dards governance may result trade bar riers and unresolved tensions.
Climate change, labelling, interna tional standards and the TBT Agreement are not yet in an absolute harmony. Fur ther arrangements are needed for mak ing the TBT Agreement more compat ible and accommodative with various measures aimed at combating climate change, including the application of la belling and international standards. BIBLIOGRAPHY Regulations Technical Barriers to Trade Agreement. Accessed July 30, 2015. https:// www.wto.org/english/docs_e/ legal_e/17-tbt.pdf.
The General Agreement on Tariffs and Trade 1994. Accessed July 30, 2015. https://www.wto.org/eng lish/docs_e/legal_e/06-gatt.pdf must be read with https://www. wto.org/english/docs_e/legal_e/ gatt47_e.pdf. Books
Appleton, Arthur E. “Private climate change standards and labelling schemes under the WTO Agree 64
ment on Technical Barriers to Trade.” In International Trade Regulation and the Mitigation of Climate Change: World Trade Forum, edited by Thomas Cottier, Olga Nartova and Sadeq Z. Bigdeli, 131 - 152. Cambridge: Cambridge University Press, 2009.
Pauwelyn, Joost. “Carbon Leakage Measures and Border Tax Ad justments under WTO law” In Research Handbook on Environ ment, Health, and the WTO, edited by Geert Van Calster and Denise Prévost, 448 – 506. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2013. Read, Robert. “Process and Production Methods and the Regulations of International Trade.” In The WTO and the Regulation of International Trade: Recent Trade Disputes between the European Union and the United States, edit ed by Nicholas Perdikis and Rob ert Read, 239 – 267. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2005. Accessed July 30, 2015 . http://www.oas.org/dsd/Toolkit/Documentos/ModuleIIIdoc/ Re a d % 2 0 A r t i c l e % 2 0 o n % 2 0 PPMs.pdf. Tamiotti, Ludivine, et. al. Trade and Climate Change: A report by the United Nations Environment Programme and the World Trade Organization. Geneva: World Trade Organization, 2009. Accessed July 30, 2015. https://www.wto.org/ english/res_e/booksp_e/trade_ climate_change_e.pdf.
The United Nations Environment Pro gramme Division of Technology, Industry and Economics, Eco nomics and Trade Branch; and Journal of World Trade Studies
the International Institute for Sustainable Development. Environment and Trade: A handbook - 2nd edition. Manitoba: Interna tional Institute for Sustainable Development, 2005. Accessed July 30, 2015. http://www.unep. ch/etb/areas/pdf/envirotrade_ handbook_2005.pdf.
World Trade Organization. World Trade Report 2005: Exploring the links between trade, standards and the WTO. Geneva: World Trade Orga nization, 2005. Accessed July 30, 2015. https://www.wto.org/eng lish//res_e/booksp_e/anrep_e/ world_trade_report05_e.pdf. Articles
Ankersmit, Laurens J. and Jessica C. Law rence. “The Future of Environ mental Labelling: US – Tuna II and the Scope of the TBT.” Legal Issues of Economic Integration 39, no. 1 (2012): 127 - 147.
Caputo, Vincenzina, Rodolfo M. Nayga Jr and Riccardo Scarpa. “Food miles or carbón emissions? Explor ing labelling preference for food transport footprint with a stated choice study.” Australian Journal of Agricultural and Resource Economics 57, no. 4 (2013): 465 – 482.
Charnovitz, Steve. “The Law of Environ mental “PPMs” in the WTO: De bunking the Myth of Illegality.” Yale Journal of International Law 27, no. 1 (2002): 59 - 110.
Gandhi, Samir R. “Voluntary Environ mental Standards: The Interplay between Private Initiatives, Trade Rules and the Global DecisionVolume V, Number 2, November 2015
Making Processes.” Paper pre sented at the third global admin istrative law seminar, Viterbo, June 15 – 16, 2007. Accessed July 30, 2015. http://www.iilj.org/ gal/documents/Ghandienviron ment.pdf.
Low, Patrick, Gabrielle Marceau and Julia Reinaud. “The Interface between the Trade and Climate Change Regimes: Scoping the Issues.” Journal of World Trade 46, no. 3 (2012): 485 – 544. Nartova, Olga. “Carbon labelling: Moral, economic and legal implication in a world trade environment.” NCCR Trade Regulation Working Paper no. 2009/5 (February 2009): 1 – 26.
Norpoth, Johannes. “Mysteries of the TBT Agreement Resolved? Les sons to Learn for Climate Policies and Developing Country Export ers from Recent TBT Disputes.” Journal of World Trade 47, no. 3 (2013): 575 - 600. Wijkström, Erik and Devin McDaniels. “Improving regulatory gover nance: International standards and the WTO TBT Agreement.” Journal of World Trade 47, no. 5 (2013): 1013 - 1046. Cases
United States – Measures Concerning the Importation, Marketing and Sale of Tuna and Tuna Products (US – Tuna II (Mexico)), WT/DS381/R (September 15, 2011).
European Communities – Measures Af fecting Asbestos and Products Containing Asbestos (EC – Asbes tos), WT/DS135/AB/R (March 65
12, 2001).
European Union and Certain Member States – Certain Measures on the Importation and Marketing of Biodiesel and Measures support ing the Biodiesel Industry, WT/ DS459/1 (May 15, 2013). Websites
Appleton, Arthur E. “Linking Energy, Climate Change and WTO Law: The Role of the WTO in the En ergy and Climate Change Debate.” Accessed February 30, 2014. https://www.iisd.org/pdf/2009/ climate_change_labeling.pdf.
Appleton, Arthur E. “Supermarket labels and the TBT Agreement: Mind the gap.” Accessed February 30, 2014. http://www.wcl.american.edu/ blr/04/1appleton.pdf.
Cosbey, Aaron in ICTSD Bridges: Be tween trade and sustainable de velopment. “The WTO and PPMs: Time to Drop a Taboo.” Accessed February 3, 2014. http://www. ictsd.org/downloads/bridges/ bridges5-1.pdf.
tratop_e/sps_e/private_stan dards_june07_e/wijkstrom_e.ppt.
World Trade Organization. “The multi lateral trading system and climate change: Introduction.” Accessed July 19, 2014. http://www.wto. org/english/tratop_e/envir_e/ climate_intro_e.htm. World Trade Organization. “WTO Ana lytical Index: Guide to WTO Law and Practice.” Accessed January 17, 2015. https://www.wto.org/ english/res_e/booksp_e/analyt ic_index_e/analytic_index_e.htm.
World Trade Organization: The WTO Institute for Training and Tech nical Cooperation. “Detailed Pre sentation of Environmental Re quirements and Market Access, including Labelling for Environ mental Purposes.” Accessed July 30, 2015. https://ecampus.wto. org/admin/files/Course_385/ Module_2423/ModuleDocu ments/TE_Req-L2-R2-E.pdf.
International Organization for Stan dardization. “What is conformity assessment?” Accessed May 15, 2014. http://www.iso.org/iso/ home/about/conformity-assess ment.htm. Inside U.S. Trade. “Experts sees possible opening in WTO rules for cer tain PPMs” Accessed January 29, 2014. http://www.agritrade.org/ pressroom/documents/IUSTar ticle.pdf. Wijkstrom, Erik. “TBT and “Private Stan dards”.” Accessed July 30, 2015. https://www.wto.org/english/ 66
Journal of World Trade Studies
Analisis Perkembangan Integrasi Ekonomi Asean Menuju Pemberlakuan Asean Economic Community (AEC) Tahun 2015 Primadiana Yunita
Abstraksi Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan alasan yang melatarbelakangi ASEAN tetap melakukan integrasi ekonomi melalui ASEAN Economic Community pada tahun 2015 walaupun prasyarat sebagai komunitas ekonomi belum terpenuhi. Arikel ini menggunakan konsep identitas yang diutarakan oleh Amitav Acharya untuk menjelaskan bahwa keterlibatan dan kepatuhan negara dalam suatu integrasi regional jika tidak berdasarkan pemanfaatan materil yang secara matematis dapat ditentukan, maka integrasi bisa berdasarkan tatanan identitas yang berkembang di antara negara anggota untuk bersepakat mencapai suatu tujuan bersama. Artikel ini memprediksi bahwa ASEAN Economic Community tidak akan menghasilkan perubahan secara materiil terhadap masing-masing negara anggota ASEAN. Akan tetapi dengan mendorong integrasi ekonomi yang dilakukan melalui berbagai kesepakatan serta kerjasama ekonomi dalam perdagangan barang, jasa, ASEAN akan mampu memperkuat identitas kolektifnya. Kata kunci: integrasi ekonomi, AEC, identitas kolektif
A. PENDAHULUAN Penerapan ASEAN Economic Community (AEC) atau Komunitas Ekonomi ASEAN yang akan dimulai pada 31 De sember 2015 akan menjadi babak baru bagi pengembangan perekonomian ASEAN. Penerapan ASEAN Economic Community ini sebenarnya dipercepat dari jadwal semula yakni pada tahun 2020 menjadi tahun 2015. AEC dimak sudkan untuk menjadi pasar tunggal dan basis produksi, dengan pergerakan bebas barang, jasa, investasi, tenaga ker ja terampil dan aliran modal lebih bebas. AEC juga diharapkan dapat membantu perkembangan ekonomi yang merata di kawasan dan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi-sosial pada Volume V, Number 2, November 2015
tahun 2015.1
Dalam lingkup ASEAN bentuk ke sepakatan yang ada sekarang ini bukan lagi berbentuk kerja sama ekonomi na mun sudah merupakan integrasi eko nomi. Dalam literatur ekonomi dan politik dikenal ada beberapa tahapan integrasi ekonomi regional. Tahapan integrasi tersebut terdiri dari (1) Preferential Trading Area (PTA), (2) Free Trade Area (FTA), (3) Customs Union; (4) Common Market, (5) Economic and ASEAN Secretariat, ASEAN Vision 2020, ASEAN Secretariat, Jakarta, 15 December 1997. Diakses melalui www.aseansec.org/2357.htm, pada tanggal 20 Januari 2014. 1
67
Monetary Union (Economic Community). Tahapan integrasi ekonomi ini bersifat berjenjang, dari yang paling sederhana yaitu Preferential Trade Area (PTA) sam pai yang paling komprehensif yaitu Economic and Monetary Union (economic community).2
Preferential Trading Area (PTA) merupakan blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk pro duk-produk tertentu dari negara ter tentu dengan melakukan pengurangan tarif namun tidak menghilangkannya sama sekali. Free Trade Area merupa kan tahapan di mana sekelompok neg ara melakukan perjanjian untuk meng hapus seluruh hambatan perdagangan (tarif dan kuota) antarsesama anggota, namun tetap dapat memberlakukan hambatan perdagangan untuk negara lain (non-anggota). Custom union meru pakan tahapan di mana selain hambatan internal telah dihapus, ditetapkan pula tarif eksternal yang seragam untuk se tiap negara anggota.3
Common market merupakan suatu custom union yang di dalamnya ditetap kan kebijakan-kebijakan umum yang tidak hanya terbatas pada masalah perdagangan internasional saja. Economic and Monetary Union (Economic Community) merupakan common market plus di mana di dalamnya terdapat Thomas G. Aquino. What is the ASEAN Economic Community? Philippines International Symposium on “Creating the East Asian Free Trade Area (EAFTA)”hosted by Japan Economic Foundation and Korea Institute for International Economic Policy Seoul, Republic of Korea October 27 & 28, 2005. Diakses melalui http://www.kiep. go.kr/include/filedown.jsp?fname=Session2_ Dr%20Aquino.pdf&fpath=news06, pada tanggal 10 November 2014. 2
3
68
Ibid
adanya perpaduan kebijakan mengenai perpajakan, tenaga kerja, serta pemben tukan mata uang tunggal bersama (common currency) dan bank sentral tunggal. Untuk mencapai tahapan terakhir dari integrasi ekonomi tersebut terdapat se jumlah persyaratan yang harus dimiliki oleh setiap negara anggota. Persyaratan tersebut mencakup masalah moneter, fiskal, dan juga industri.4 Apabila meli hat integrasi yang tengah dilakukan oleh ASEAN yang meliputi adanya aliran be bas perdagangan (barang dan jasa), arus bebas investasi, modal dan tenaga kerja, hal ini dapat dikategorikan bahwa inte grasi yang dilakukan di ASEAN belum sampai pada tahap Komunitas Ekonomi (Economic Community).5 Selain itu, apabila melihat kondi si internal ASEAN dalam menghadapi ASEAN Economic Community yang sudah berada di depan mata ini ada beberapa permasalahan yang akan menjadi ham batan bagi negara ASEAN di antaranya adalah rendahnya transaksi perdagang an antaranegara ASEAN. Menurut data statistik perdagangan ASEAN, sampai tahun 2012, pasar di luar ASEAN adalah pasar yang besar dengan porsi sebesar 75 persen dari total ekspor ASEAN. Di ta hun 2012, ekspor ASEAN ke China adalah yang terbesar dengan porsi 31.7 persen, kemudian diikuti oleh Uni Eropa sebesar
4
Ibid
Thomas G. Aquino. What is the ASEAN Economic Community? Philippines International Symposium on “Creating the East Asian Free Trade Area (EAFTA)”hosted by Japan Economic Foundation and Korea Institute for International Economic Policy Seoul, Republic of Korea October 27 & 28, 2005. Diakses melalui http://www.kiep. go.kr/include/filedown.jsp?fname=Session2_ Dr%20Aquino.pdf&fpath=news06, pada tanggal 10 November 2014. 5
Journal of World Trade Studies
27.1 persen.6 Rendahnya perdagangan intra-ASEAN ini antara lain dikarena kan masih adanya hambatan non-tarif, perbedaan standar produk dan belum harmonisnya prosedur bea cukai. Selain itu, persoalan lain yang sama pentingnya adalah kurang populernya skema CEPT (Common Effective Preferential Tariff) dan belum kuatnya mekanisme penyele saian masalah perdagangan.7 Pada sektor jasa, sebagaimana di gariskan dalam AEC Blueprint, target yang harus dicapai hingga tahun 2013 adalah bahwa jasa yang diberikan oleh penyedia jasa luar negeri kepada peng guna jasa dalam negeri dan kepada kon sumen domestik yang sedang berada di negeri penyedia jasa harus dibebaskan. Dalam hal jasa tersebut, sebagian negara anggota ASEAN telah memenuhi target, sedangkan negara Filipina dan Vietnam belum mencapai target yang sudah di sepakati.8 Permasalahan lain yang muncul dari dalam ASEAN sendiri adalah ma sih adanya ketimpangan pembangunan ekonomi yang sangat besar antarnegara anggota di ASEAN. Hal ini dapat dilihat dari salah satu indikator yaitu pendapat ASEAN Trade Database dalam ASEAN Eco nomic Community Chartbook. 2012. Diakses melalui http://www.miti.gov.my/cms/docu mentstorage/com.tms.cms.document.Docu ment_a6d0d796-c0a81573-26b77801-cda8b cf8/AEC%20Chartbook%202012.pdf, pada tanggal 13 Maret 2014. 6
7
Luhulima et. al, hal 122.
Departemen Perdagangan Republik Indone sia. Menuju ASEAN Economic Community 2015. Diakses melalui http://ditjenkpi.kemendag. go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20 Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COM MUNITY%202015.pdf, pada tanggal 2 Februari 2014. 8
Volume V, Number 2, November 2015
an perkapita. Data menunjukkan bah wa rata-rata pendapatan perkapita ASEAN-6 (Malaysia, Singapura, Thai land, Indonesia, Filipina dan Brunei) 10 kali lebih besar daripada Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam. Negara-negara seperti Malaysia dan Singapura sudah jauh meninggalkan negara-negara yang baru saja bergabung dengan ASEAN, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, dan Viet nam (CLMV).9 Adanya ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi antara anggota ASEAN tersebut muncul karena prestasi pembangunan negara-negara ASEAN berbeda satu sama lain. Ada kelompok negara yang sudah berorientasi ekspor dengan industrialisasinya seperti Singa pura, Thailand, Indonesia, Malaysia,dan Filipina sedangkan negara lainnya masih mengandalkan sektor pertanian untuk menopang perekonomiannya. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ke depan ASEAN akan me masuki babak baru dalam sejarah or ganisasi regional tersebut, yaitu pem bentukan ASEAN Economic Community. Namun pada kenyataannya, seperti yang sudah digambarkan di atas, walaupun realita di lapangan menunjukkan bahwa sampai saat ini syarat-syarat yang ada masih belum bisa dipenuhi oleh negaranegara anggota ASEAN, para pemimpin ASEAN masih ingin melanjutkan ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015.
D. Narjoko, P. Kartika & T. Wicaksono, Narrowing the Development Gap in ASEAN, dalam M.G Plummer 7 C.S Yue, Realizing the ASEAN Economic Community: A Comprehensive Asses ment, Institute of Southeast Asian Studies, EastWest Center, 2009, p. 123. 9
69
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan ma salah dalam penelitian ini adalah me ngapa ASEAN tetap melakukan integrasi ekonomi melalui ASEAN Economic Community pada tahun 2015 walaupun pra syarat sebagai komunitas ekonomi be lum terpenuhi? C. KAJIAN PUSTAKA
Dengan jumlah penduduk 600 juta, ASEAN dianggap sebagai salah satu ka wasan regional yang paling beragam di dunia. ASEAN juga merupakan salah satu kawasan yang paling cepat berkembang di dunia. Sebagai langkah awal, berikut akan dilakukan pemetaan karya aka demik terkait dengan integrasi ASEAN dan pembentukan ASEAN Economic Community tahun 2015.
Pertama, The ASEAN Community; Unblocking the Roadblocks yang dikelu arkan oleh Institute of Southeast Asean Studies Singapore, 2008. Buku ini me nguraikan bahwa dalam perkembangan nya semenjak ASEAN dibentuk, dibutuh kan integrasi ekonomi ASEAN yang lebih mendalam. Hal ini hanya dapat diwujud kan jika ASEAN mempunyai cetak biru dalam mewujudkan dan meningkatkan kerja sama ekonomi regional ASEAN yai tu Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.10 Kedua, Christopher B. Roberts dalam jurnalnya yang berjudul The ASEAN Community: Trusting Thy Neighbour? yang dikeluarkan oleh Nanyang The ASEAN Community; Unblocking the Roadblocks. 2008 . ASEAN Study Centre report series, no. 1, Institute of Southeast Asean Studies Singa pore. 10
70
Technological University pada tahun 2007. Menurut Christopher, ASEAN se bagai organisasi regional yang mempu nyai visi untuk mewujudkan komunitas tunggal, melupakan satu hal yang meru pakan elemen penting dalam mewu judkan visinya tersebut yakni, faktor kepercayaan antara negara anggota di kawasan ini yang masih belum pernah diteliti. Dalam jurnalnya, Christopher memaparkan hasil survei menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Asia Tenggara dengan negara tetangganya dapat dikatakan rendah. Gambar 1 menunjukkan sebanyak 37,5 persen responden mengatakan bahwa mereka bisa mempercayai semua negara di Asia Tenggara untuk menjadi tetangga yang baik, sedangkan 36,1 per sen dari jumlah responden tidak yakin dan 26,4 persen respon memilih untuk menjawab tidak tahu untuk pertanya an itu. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 Filipina, Malaysia, dan Brunei adalah tiga negara yang dengan persen tase tertinggi untuk tingkat keperca yaan kepada negara lain di kawasan Asia Tenggara. Sedangkan tiga negara yang ti dak bisa percaya dengan negara-negara lain di Asia Tenggara untuk menjadi te tangga yang adalah Myanmar, Singapura dan Indonesia. Selanjutnya, sejumlah re sponden yang ada dalam surveinya dike lompokkan menjadi dua bagian yakni antara pejabat pemerintah dan akade misi. Dari hasil survei yang diurai oleh Christopher dalam surveinya dikatakan bahwa akademisi mempunyai pandang an yang yang paling sinis, sekitar 66,7 persen dari mereka menjawab tidak percaya dengan negara lain yang samasama berada di kawasan Asia Tenggara untuk pertanyaan kepercayaan sedang kan 55,3 persen responden dari kelom pok pejabat pemerintah menjawab tidak Journal of World Trade Studies
Gambar 1. Kepercayaan Masyarakat di Asia Tenggara terhadap Negara Tetangga
untuk pertanyaan yang sama .11
Selanjutnya survei yang dilakukan oleh Christopher berisi pertanyaan lebih lanjut terkait dengan kepercayaan. Res ponden diminta untuk membayangkan situasi di mana terjadi konflik bersen jata antara dua atau lebih negara-negara ASEAN dalam dua puluh tahun men datang. Sementara setengah peserta 50 persen menjawab tidak 22,3 persen menjawab ya dan selanjutnya 26,7 per sen tidak yakin. Selanjutnya, tabel Gam bar 2 menggambarkan persentase pada pertanyaan yang sama berdasarkan ke warganegaraan. Sangat menarik untuk dicatat bahwa responden dari Kamboja 28,6 persen, Thailand 41,7 persen dan Singapura 46,7 persen dianggap mem punyai risiko yang paling tinggi terha dap konflik.12 Menurut Christopher untuk mem bentuk sebuah komunitas tunggal atau ASEAN Community, ASEAN terlebih da hulu perlu mengukur persepsi keper cayaan antarnegara anggota. Frekuensi Ibid, hal 3
11
Ibid, hal 4.
12
Volume V, Number 2, November 2015
interaksi yang tinggi antara negara ang gota ASEAN ternyata tidak berbanding lurus terhadap tingginya tingkat keper cayaan. Persepsi kepercayaan sangat penting untuk dijadikan tolak ukur ter wujudnya komunitas tunggal ASEAN karena menurut Christopher sulit un tuk membayangkan adanya komunitas ASEAN tanpa adanya kepercayaan yang memadai di kalangan masyarakat nega ra-negara anggota.13
Ketiga, Bhattacharyay, Biswa Nath dalam jurnalanya yang berjudul Infrastructure Development for ASEAN Economic Integration. ASEAN mempunyai visi untuk menjadi komunitas ekonomi yang terintegrasi pada 2015. Dalam mencapai tujuan menjadikan ASEAN se bagai komunitas ekonomi yang terinte grasi pada 2015, ASEAN mengembang kan kerja sama dalam pembangunan infrastruktur yang bertujuan untuk me Christopher B. Roberts. 2007. The Asean Community: Trusting Thy Neighbour? Nanyang Tech nological University. Diakses melalui https:// dr.ntu.edu.sg/bitstream/handle/10220/4283/ rsisc110-07.pdf?sequence=2, pada tanggal 21 April 2014. 13
71
Gambar 1. Persepsi Elit Mengenai Risiko Konflik di Asia Tenggara
ningkatkan konektivitas fisik, khususnya infrastruktur di daerah perbatasan anta ra negara ASEAN. Jurnal ini memberikan gambaran tentang kuantitas dan kualitas infrastruktur yang ada di negara-negara anggota ASEAN, serta upaya-upaya yang dilakukan ASEAN dalam pembangunan infrastruktur di sektor energi, transpor tasi dan komunikasi.
Selain itu jurnal ini juga meneliti peran, dan kebutuhan pembangunan in frastruktur menuju ASEAN serta mem bahas isu-isu terkait tantangan yang akan dihadapai oleh negara-negara ASEAN dalam membangun infrastruk tur. Jurnal ini juga memberikan perki raan kebutuhan pembiayaan infrastruk tur ASEAN sampai dengan 2015, dan mengidentifikasi cara-cara untuk me menuhi permintaan ini, mengingat kri sis ekonomi global saat ini. Pada bagian akhir pemaparan jurnal, terdapat saran terkait dengan langkah-langkah yang se harusnya dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN dalam rangka mening katkan kerja sama infrastruktur ASEAN untuk mencapai visi utama ASEAN yakni komunitas ekonomi yang terintegrasi ta
72
hun 2015.14
Keempat, Soesastro dalam jurnalnya yang berjudul Accelerating ASEAN Economic Integration: Moving beyond AFTA. Salah satu kritik terhadap AEC yang diutarakan oleh Soesastro yang meng amati bahwa proses integrasi ekonomi di ASEAN memerlukan blueprint yang jelas. Tanpa tujuan yang jelas, langkahlangkah yang akan diambil juga menjadi tidak jelas pula. Oleh karena itu tanpa blueprint yang jelas dan hanya berdasar pada AFTA, AEC ini akan sulit tercapai. 15 Namun, pada tahun 2008, blueprint AEC sudah dibuat. AEC Blueprint juga menjadi batu
Bhattacharyay, Biswa Nath . 2009. Infrastructure development for ASEAN economic integration. ADBI working paper series, No. 138 Provided in Cooperation with: Asian De velopment Bank Institute (ADBI), Tokyo. Diakses melalui http://www.econstor.eu/bit stream/10419/53721/1/604642296.pdf, pada tanggal 22 April 2014. 14
H. Soesastro .2005. Accelerating ASEAN Economic Integration: Moving beyond AFTA. CSIS Working Paper Series, WPE 091. Diakses melalui http://www.eaber.org/sites/default/files/docu ments/CSIS_Soesastro_2005_3.pdf, pada tanggal 19 Mei 2014, p2. 15
Journal of World Trade Studies
loncatan untuk pembangunan ASEAN yang signifikan. Selama ini regional community building di ASEAN bersifat terbu ka dan tidak mengikat sehingga ASEAN sebagai organisasi tidak memiliki kapa sitas untuk menekan baik di tingkat na sional satu negara ataupun di tingkat regional. Dalam tulisannya Soesas tro membandingkan proses integrasi ASEAN dengan EU. Perbedaan mendasar adalah proses integrasi EU didorong oleh kekuatan institusi regional yang kuat sedangkan ASEAN masih berusaha untuk membangunnya.16
Kelima, The Asean Economic Community: A Work in Progress.17 Buku ini bertujuan untuk menjawab tiga per tanyaan berikut: (i) apakah Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) dapat dicapai pada tahun 2015, (ii) tantangan apa saja yang akan dihadapi dalam mencapai AEC tahun 2015 dan (iii) langkah-lang kah apa yang diperlukan untuk penca paian akhir. Semua jawaban tegas para ahli untuk pertanyaan pertama adalah bahwa hal itu akan sangat sulit untuk mencapai AEC pada tahun 2015 dalam hal komitmen dalam Cetak Biru AEC. Hal tersebut dikarenakan adanya bebera H. Soesastro. 2007. Implementing the ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint, dalam H. Soesastro, Deepening Economic Integration in Southeast Asia: The ASEAN Economic Commu nity and Beyond, ERIA Research Project Report 2007, No 1-2, Chiba: IDE-JETRO, 2008. Diakses melalui http://www.eria.org/publications/re search_project_reports/images/pdf/PDF%20 No.1-2/No.1-2-part2-3.pdf , pada tanggal 19 Mei 2014, p 49. 16
The Asean Economic Community : A Work in Progress. 2013. ISEAS. Diakses melalui http://images1.cafef.vn/Images/Uploaded/ DuLieuDownload/PhanTichBaoCao/AECWork Progress_051213_ADB.pdf, pada tanggal 22 April 2014. 17
Volume V, Number 2, November 2015
pa komitmen yang dibuat ke arah MEA 2015 belum dilaksanakan oleh negaranegara anggota ASEAN. Meskipun kema juan telah dibuat dalam menurunkan tarif dan beberapa rintangan ekonomi, hambatan non-tarif tetap menjadi ham batan utama untuk mewujudkan imple mentasi AEC 2015. Hambatan lainnya adalah pada komitmen yang dibuat pada liberalisasi perdagangan jasa meskipun semakin pentingnya layanan di negara ASEAN, institusi regional tetap lemah, sebagai negara anggota menjaga ke daulatan mereka. Ketika tujuan nasional berbeda dari yang regional, keputusan para pemimpin politik cenderung men dukung tujuan nasional.
Perlu adanya perbaikan masingmasing negara ASEAN untuk mem perbaiki iklim usaha dan liberalisasi perdagangan serta kebijakan investasi tanpa menunggu perjanjian regional di kawasan ASEAN. Menyadari bahwa ke senjangan pembangunan antara negara ASEAN bisa memperlambat proses AEC. Dalam konteks ini, para ahli juga melihat perlunya meningkatkan infrastruktur fisik dan elektronik di masing masing negara anggota ASEAN. Survei menun jukkan rendahnya kesadaran visi AEC dalam bisnis masyarakat di negara-neg ara ASEAN, penting memulai program untuk membuat mereka peka terhadap manfaat jangka panjang dan jangka pendek integrasi ekonomi regional.
Berbeda dengan beberapa penulis sebelumnya, pada penelitian ini penulis ingin menganalisis alasan yang melatar belakangi ASEAN untuk tetap melaku kan integrasi ekonomi melalui ASEAN Economic Community yang akan diber lakukan pada tahun 2015 walaupun prasyarat sebagai komunitas ekonomi belum terpenuhi.
73
D. KONSEP IDENTITAS Integrasi regional yang dikem bangkan oleh negara anggota ASEAN banyak dipengaruhi oleh pendekatan konstruktivisme. Adopsi proposisi dan asumsi kontruktivisme tidak lepas dari faktor sejarah dan konteks sosial yang tengah berlangsung dalam kawasan ASEAN. Berbagai pendekatan mencoba menjelaskan fenomena ASEAN dari awal pembentukan, masa krisis Asia, sampai globalisasi. Teorisasi mengenai integrasi re gional dikategorikan penulis ke dalam dua teori besar, yakni rasionalisme yang bersifat material dan konstruktivisme yang bersifat ideasional seperti iden titas, ide, dan nilai. Pemilihan teori ini dilandaskan pada pemahaman penulis bahwa keterlibatan dan kepatuhan ne gara dalam suatu integrasi regional jika tidak berdasarkan pemanfaatan materil yang secara matematis dapat ditentu kan, maka berdasarkan tatanan identi tas yang berkembang di antara negara anggota untuk bersepakat mencapai suatu tujuan bersama. Rasionalis memfasilitasi kesepakat an dan/atau sistem kooperasi tertentu dalam rangka mendukung kepentingan nasional. Aktor negara rasional menge jar kepentingan melalui kalkulasi un tung rugi dan pilihan aksi yang bisa memaksimalisasi utilitas.18 Komunikasi transnasional dan penyebaran nilai
Amitav Acharya. 2001. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problems of Regional Order. London : Rout ledge. Diakses melalui http://dl.lux.bookfi.org/ genesis/549000/3472a3b54b21965beb79b5 5ddb480938/_as/%5BAmitav_Acharya%5D_ Constructing_a_Security_Community(BookFi. org).pdf, pada tanggal 16 mei 2014, hal 22. 18
74
mampu mengubah loyalitas nasional tradisional sehingga menghasilkan ben tuk baru ikatan politik dalam integrasi regional. Akibatnya, negara juga akan membangun identitasnya sesuai dengan identitas kolektif.19
Konstruktivisme kemudian hadir untuk membawa angin segar bagi pola interaksi negara anggota ASEAN.20 Upaya pemulihan negara-negara anggota dari krisis yang membuktikan bahwa ASEAN masih sanggup bertahan dalam kons telasi internasional dijelaskan konstruk tivisme melalui penguatan identitas ber sama. Asumsi pentingnya ideologi dan identitas dalam konstruktivisme mampu menggeneralisasi kohesi regional dalam menghadapi ancaman, termasuk ancam an keamanan dan ekonomi yang dapat dicapai melalui integrasi regional. Berkembangnya perspektif kons truktivisme merupakan kritik terha dap teori-teori rasionalis dalam studi Hubungan Internasional termasuk re alisme dan institusionalisme. Kedua pendekatan terakhir percaya bahwa ker ja sama itu ditentukan melalui kalkulasi untung rugi dan mereka juga mengang gap bahwa kepentingan negara itu sudah ada pada dirinya sendiri dan eksogonus terhadap proses-proses interaksi.21 Se baliknya, kelompok konstruktivis justru percaya bahwa hanya melalui interaksi Ibid, hal 3
19
Amitav Acharya. 2001. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problems of Regional Order. London : Rout ledge. Diakses melalui http://dl.lux.bookfi.org/ genesis/549000/3472a3b54b21965beb79b5 5ddb480938/_as/%5BAmitav_Acharya%5D_ Constructing_a_Security_Community(BookFi. org).pdf, pada tanggal 16 Mei 2014, hal 15. 20
Ibid.
21
Journal of World Trade Studies
dan sosialisasi, negara terus melakukan redefinisi kepentingan-kepentingannya dan mengembangkan sebuah identitas kolektif yang membuat mereka dapat menyelesaikan persoalan-persoalan po litik, ekonomi, dan budaya. Bagi mereka kondisi-kondisi seperti anarki, dilema keamanan, politik kekuasaan tidaklah permanen dan bukanlah karakter organ ik dalam politik internasional, melain kan semua itu terbentuk secara sosial (socially constructed) dalam konstelasi politik tertentu. Di samping itu, dalam perspektif konstruktivisme, politik in ternasional juga dipandang bukan hanya semata-mata ditentukan oleh kekuatankekuatan material melainkan juga oleh faktor-faktor intersubjektif seperti gaga san, kebudayaan, ataupun identitas.
Dalam upaya menganalisis kons truksi sosial yang terjadi tidak ha nya dibutuhkan basis material namun juga faktor intersubjektif, khususnya peranan norma, proses sosialiasi dan pembangunan identitas dalam mem bentuk komunitas. Menurut Acharya, norma-norma ASEAN turut berperan dalam regionalisme di Asia Tenggara dan pembentukan identitas regional. Acharya mengklasifikasikan dua macam norma dalam ASEAN yaitu norma le gal dan norma sosial. Norma ada bu kan sekadar untuk meregulasi perilaku negara, melainkan juga meredefinisi kepentingan nasional.22 Kepentingan ne gara diklaim sebagai bukan sesuatu yang given, melainkan muncul dari proses interaksi dan sosialisasi.23 Kepenting an bersama yang lahir dari poses inter aksi dan sosialisasi meliputi pertukaran pemahaman-sendiri, persepsi realitas, Ibid, hal 3.
22
Ibid, hal 22.
23
Volume V, Number 2, November 2015
dan ekspektasi normatif antarnegara anggota.24 Kepentingan bersama dalam ranah ASEAN disepakati dalam bentuk konsensus yang merepresentasikan komitmen untuk mencari cara bergerak maju dengan menetapkan apa yang me miliki dukungan dari pihak luar.25 Menu rut Acharya, norma-norma ASEAN mem punyai pengaruh yang besar terhadap regionalisme ASEAN dan memainkan peran sentral di dalam pembangunan identitas regional ASEAN. Akan tetapi, Acharya menyadari bahwa di dalam pelaksanaannya norma-norma ASEN ti dak selalu dapat dilaksanakan.26
Code of conduct dari negara-negara anggota ASEAN tersaji dalam ASEAN way, yang berisikan norma-norma protokoler dan prosedural.27 ASEAN way juga meng akomodasi adanya peraturan mengenai hukum internasional, prinsip non-in tervensi, resolusi tanpa senjata dan lain sebagainya. ASEAN menggunakan prin sip musyawarah mufakat dalam proses pengambilan keputusannya. Tujuannya adalah menghindari adanya salah satu pihak yang dominan, dan menghindari akan adanya pemaksaan kehendak dari salah satu pihak terhadap pihak lainnya.
Selain norma, komunitas yang ter jadi di ASEAN dibentuk oleh identitas kolektif. Pembentukan identitas kolek tif dapat dilihat dari adanya we feeling atau rasa saling memiliki di antara ang gota kelompok. Identitas kolektif dapat Ibid.
24
Ibid, hal 69.
25
Ibid, hal 70.
26
Acharya, 1997 dalam Nischalke, Tobias Ingo. 2000. “Insight from ASEAN’s Foreign Policy Cooperation: The ‘ASEAN way’, a Real Spirit or a Phantom?” dalam Contemporary Southeast Asia. p. 90. 27
75
Konsep Identitas
Definisi Konseptual
Definisi Operasional
Identitas Kolektif
Komitmen terhadap multilateralisme termasuk hasrat untuk meletakkan sejumlah isu dalam agenda multilateral dan bukan lagi bilateral ataupun unilateral Pembangunan kooperasi keamanan meliputi pertahanan kolektif, kolaborasi melawan ancaman internal, dan penghitungan keamanan kooperatif dan kolektif Batasan dan kriteria keanggotaan dalam kelompok
membentuk dan menetapkan kembali kepentingan negara. Identitas kolek tif dari kelompok sosial dibentuk dan dibuat kembali dalam proses sosialisasi dan interaksi seperti halnya norma yang diperjuangkan, dibuat, dan dibuat kem bali melalui proses politik.28 Terdapat tiga indikator penting dalam identitas kolektif, yaitu: (1) komitmen terhadap multilateralisme termasuk hasrat untuk meletakkan sejumlah isu dalam agenda multilateral dan bukan lagi bilateral ataupun unilateral; (2) pembangunan kooperasi keamanan meliputi perta hanan kolektif, kolaborasi melawan an caman internal, dan penghitungan ke amanan kooperatif dan kolektif; dan (3) batasan dan kriteria keanggotaan dalam kelompok.29 Menurut Acharya, negaranegara yang berada di kawasan Asia
Tenggara adalah negara-negara dengan kemiripan kebudayaan yang tinggi, serta memiliki nilai-nilai yang terbagi secara selaras, hal tersebut kemudian memben tuk identitas regional yang bersifat “ber beda” dari yang lainnya, dengan ASEAN sebagai tempat utamanya.30
Acharya berpendapat bahwa ada nya identitas regional merupakan produk dari sosialisasi dan berkem bang di bawah kepemimpinan konside rasi politik. Acharya juga mengangkat sebuah pertanyaan mengenai apakah identitas dalam ASEAN merupakan identity in being ataukah identity in making31. Dalam artikelnya, Acharya lebih con dong kepada pernyataan bahwa ASEAN merupakan identity in the making, di Amitav Acharya. 2000. The Quest for Identity: International Relations of Southeast Asia. Diakses melalui http://www.amitavacharya.com/sites/ default/files/Quest%20for%20Identity%20 Book%20Review%20Journal%20of%20Con temporary%20Asia.pdf, pada tanggal 10 Maret 2014. 30
Ibid, hal 27.
28
Amitav Acharya. 2001. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problems of Regional Order. London : Rout ledge. Diakses melalui http://dl.lux.bookfi.org/ genesis/549000/3472a3b54b21965beb79b5 5ddb480938/_as/%5BAmitav_Acharya%5D_ Constructing_a_Security_Community(BookFi. org).pdf, pada tanggal 16 Mei 2014, hal 29. 29
76
Amitav Acharya. 2005. “Do norms and iden tity matter? Community and power in Southeast Asia’s regional order” dalam The Pacific Review. Routledge pp 95-118. 31
Journal of World Trade Studies
karenakan ASEAN telah mampu meng konstruksi rasa percaya diri di antara anggota-anggotanya, dengan saling ber bagi pandangan politik serta mengem bangkan prioritas. E. ARGUMEN UTAMA
Integrasi ekonomi yang dilakukan oleh ASEAN melalui ASEAN Economic Community pada tahun 2015 meru pakan upaya untuk membentuk identi tas kolektif dari negara-negara anggota ASEAN. Hal ini dikarenakan integrasi ekonomi yang dilakukan ASEAN tidak hanya didasarkan pada transaksi dan komunikasi yang bersifat materil se mata. Akan tetapi, ASEAN lebih banyak berfungsi sebagai sarana untuk meng hadapi ancaman di luar ASEAN. Tinda kan tersebut yang akhirnya membentuk identitas kolektif ASEAN. ASEAN Economic Community (AEC) sebagai Upaya Membangun Sense of Community Negara Anggota ASEAN
Pergeseran ASEAN dari sebuah aso siasi menjadi community, mensyarat kan ASEAN lebih menekankan pemba ngunan “sense of community” di antara negara-negara anggotanya. Komunitas ASEAN akan diwarnai pencapaian ker ja sama, solidaritas bersama melawan kemiskinan dan menikmati rasa aman termasuk keamanan insani. Peningkat an kerja sama ekonomi dalam rangka menuju terciptanya sebuah Komunitas Ekonomi ASEAN merupakan salah satu contoh upaya nyata dalam membangun sense of community ASEAN.
Kebiasaan ASEAN dalam melaku kan kerja sama ekonomi pada dasarnya memberi kesempatan kepada negaranegara anggotanya dalam hal berbagi Volume V, Number 2, November 2015
identitas, nilai-nilai dan pengertianpengertian. Dalam hal ini interaksi yang terjadi di antara negara anggota melalui hubungan-hubungan tatap muka dalam berbagai keadaan atau tata cara sesu ai dengan isi Piagam ASEAN (ASEAN Charter) di mana Piagam ASEAN meng haruskan dan mendorong lebih keras keterlibatan seluruh masyarakat ASEAN dalam pembangunan komunitas ASEAN menunjukkan bahwa ASEAN menyadari bahwa partisipasi masyarakat yang lebih luas merupakan hal yang tidak bisa dita war lagi dalam mewujudkan komunitas ASEAN 2015. Perwujudan Kerja sama ASEAN yang berpusat pada masyarakat (People Centered ASEAN) merupakan upaya yang paling realistis yang bisa dilakukan ASEAN dalam membangun sense of community. Dengan demikian, apabila para negara anggota ASEAN sa ling bertemu dalam artian berinteraksi bertatapan muka melalui kerja sama ekonomi itulah komunitas ekonomi yang aktual. Proses interaksi dan sosialisasi antarnegara anggota ASEAN melalui kerangka kerja sama ekonomi ASEAN Economic Community (AEC) yang me liputi pertukaran pemahaman-sendiri, persepsi realitas, dan ekspektasi nor matif antarnegara anggota akan mela hirkan kepentingan bersama. Kepen tingan bersama dalam hal ini adalah adanya kerja sama ekonomi akan me nyejahterakan masing-masing negara anggota ASEAN.32 Kepentingan bersama
Amitav Acharya. 2001. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problems of Regional Order. London : Rout ledge. Diakses melalui http://dl.lux.bookfi.org/ genesis/549000/3472a3b54b21965beb79b5 5ddb480938/_as/%5BAmitav_Acharya%5D_ Constructing_a_Security_Community(BookFi. 32
77
dalam ranah ASEAN yang disepakati dalam bentuk konsensus yang mere presentasikan komitmen untuk mencari cara bergerak maju dengan menetap kan apa yang memiliki dukungan dari pihak luar.33 Disepakatinya kerja sama ekonomi dalam kerangka AEC dalam bentuk konsensus juga mencerminkan bahwa dalam proses interaksi dan sosi alisasi, masing-masing negara anggota ASEAN juga menjunjung tinggi ASEAN Way yang merupakan kerangka normatif yang menekankan ketaatan dan praktik seperangkat prinsip serta norma-norma perilaku antarnegara dalam kerja sama dan pengambilan keputusan. ASEAN Way sebagai norma yang ada di ASEAN bu kan sekadar untuk meregulasi perilaku negara, melainkan juga meredefinisi ke pentingan nasional.34
Komitmen negara-negara anggota ASEAN dalam komunikasi transnasional dan penyebaran nilai mampu mengubah loyalitas nasional tradisional sehingga menghasilkan bentuk baru ikatan politik dalam integrasi regional. Kesepaham an akan kebersamaan mampu mem buat negara-negara anggota ASEAN mengesampingkan kepentingan materi al demi tujuan ASEAN Economic Community untuk mempersempit kesenjangan pembangunan dan mencapai kesejahte raan yang merata di kawasan. Kepen tingan material dilihat sebagai sesuatu yang bukan tujuan utama ketika ada tu juan lain untuk memperkuat kohesivitas kawasan yang harus dicapai. Akibatnya, negara juga akan membangun identitas nya sesuai dengan identitas kolektif.
org).pdf, pada tanggal 16 Mei 2014, hal 22. Ibid, hal 69.
33
Ibid, hal 3.
34
78
Fungsi Identitas Bagi ASEAN dalam Menghadapi China dan India Salah satu tantangan yang dihadapi ASEAN dalam meningkatkan pereko nomian kawasan adalah kebangkitan ekonomi China dan India. Kedua negara ini dikenal semakin memainkan peran strategis dalam perekonomian global. Baik China maupun India, kedua negara tersebut berusaha mencari keterlibatan yang lebih luas dengan negara-negara lainnya baik secara regional maupun global. Dalam hal ini, perlu dicatat bah wa baik China dan India telah mengam bil langkah-langkah penting untuk me ningkatkan kerja sama satu sama lain. Kebanyakan dari kepentingan China dan India di Asia Tenggara didorong ber dasarkan kepentingan mereka dan ber dasarkan prinsip saling menguntungkan di bidang ekonomi.
Integrasi menuju Komunitas Eko nomi ASEAN yang ditandai dengan ada nya kenaikan transasksi perdagangan, pergerakan modal, komunikasi, dan pertukaran masyarakat serta gagasangagasan merupakan respons dari ma sing-masing negara anggota ASEAN untuk menghadapi tuntutan yang berat dalam tataran regional. Menurut Joseph Nye, meningkatnya transaksi tidak harus menuju suatu perluasan cakupan inte grasi, namun mengintesifkan kapasitas kelembagaan sentral untuk menangani sebuah tuntutan khusus. Kolaborasi ASEAN dalam meng hadapi tantangan kebangkitan ekonomi China dan India melalui pembentuk an AEC, ASEAN secara kolektif telah melakukan identifikasi masalah ber sama terkait dengan ancaman ekonomi yang dihadapi oleh ASEAN sebagai ka wasan regional. ASEAN tidak lagi meng identifikasikan diri mereka sebagai individual negara akan tetapi sebagai ke Journal of World Trade Studies
lompok yang mengatasnamakan ASEAN.
Dalam proses identifikasi musuh bersama yang dilakukan oleh negara anggota ASEAN, terjadi proses saling mempengaruhi antarnegara sehingga memberikan bentuk terhadap struktur di kawasan regional ASEAN. Dalam in teraksi tersebut negara-negara anggota ASEAN membawa subjektivitas masingmasing yang didasarkan pada meanings yang dimiliki. Proses interaksi menye babkan terjadinya interaksi subjektiv itas dan kesepahaman tentang persepsi atau pengakuan identitas pihak lain yang selanjutnya disebut others dan diri sendiri (negara) disebut self, memun culkan konsep intersubjektivitas. Inter subjektivitas menyangkut kesepakatan ataupun pengakuan terhadap meanings bersama atau collective meanings. Ma sing-maisng pihak di dalam proses in teraksi telah sepakat tentang “sesuatu” yaitu berupa musuh, teman, ancaman, atau kerja sama.
Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional, yang dalam hal ini antarnegara di regional ASEAN. Negara-negara membangun satu sama lain hubungan mereka dan dengan demikian juga membangun anarkis in ternasional yang menegaskan hubung an mereka. Negara akan memberikan perlakuan berbeda terhadap negara atau regional lain yang menjadi musuh ataupun teman. Tindakan negara dalam sebuah kawasan regional memberikan pengaruh terhadap bentuk dari kawasan regional tersebut, sebaliknya sebuah sistem yang ada di regional juga mem berikan pengaruh pada perilaku negaranegara. Dalam proses saling mempenga ruhi itulah terbentuk apa yang disebut dengan collective meanings. Collective Volume V, Number 2, November 2015
meanings menjadi dasar terbentuknya intersubjektivitas dan kemudian mem bentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.
Perasaan senasib sebagai negaranegara dengan perekonomian mene ngah di tengah pusaran kekuatan global dan regional dijadikan sebuah konstruk si “senasib sepenanggungan oleh ne gara-negara anggota ASEAN, sehingga pada gilirannya juga membentuk ho mogenisasi dengan mencari celah-celah kebersamaan di antara keragaman yang ada di hampir semua aspek masingmasing negara. Adanya pemikiran yang sama di antara negara anggota ASEAN juga terbukti selama 45 tahun terakhir negara-negara ASEAN mampu menahan diri untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri anggotanya. Seringkali prinsip non-interference yang dijunjung tinggi oleh ASEAN ini dipandang sebagai kelemahan ASEAN, padahal sesungguh nya dalam sikap ASEAN yang menjun jung tinggi salah satu pasal dalam ASEAN Way, merupakan kekuatan untuk ber korban dalam kepentingan dalam negeri masing-masing negara untuk mencapai kepentingan bersama kawasan. Kebang kitan China dan juga India telah me nyadarkan ASEAN bahwa mereka juga harus mengesampingkan perbedaan dan mulai mempercepat menata organ isasi serta mencari solusi terbaik di bi dang ekonomi. Penerapan ASEAN Way yang me landasi tindakan serta keputusan yang diambil oleh negara-negara anggota ASEAN dapat dikatakan berfungsi se bagai norma yang membantu untuk mengkoordinasikan nilai-nilai di antara negara-negara dan masyarakat ASEAN. Dengan adanya norma yang terwujud dalam ASEAN Way membuat pola paralel perilaku antara negara-negara di wilayah
79
ASEAN, membantu memastikan bahwa prinsip-prinsip dan praktik perilaku yang dilakukan oleh negara tetap men junjung tinggi nilai perdamaian serta tindakan menghindari perang dibagi di antara negara-negara dan memberikan kontribusi pada pengembangan rasa ko munitas. Selain itu, keberadaan komuni tas ASEAN menyiratkan bahwa normanorma kelompok tertentu negara telah memiliki efek konstitutif, dengan meng ubah identitas negara dari menjadi ak tor yang egois dan kedaulatan-terikat kepada anggota kelompok sosial berbagi kebiasaan umum perilaku damai. Perwujudan Identitas dalam Keanggotaan ASEAN
Dalam prosedur penerimaan keang gotaannya ASEAN mempunyai kriteria tersendiri. Adapun syarat serta kriteria dari keanggotaan hingga penerimaan anggota baru telah diatur dalam Piagam ASEAN. Pasal 4 pada Piagam ASEAN me nyebutkan bahwa Negara-Negara Ang gota ASEAN adalah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Rakyat Demokratik Laos, Ma laysia, Uni Myanmar, Republik Filipina, Republik Singapura, Kerajaan Thai land, dan Republik Sosialis Viet Nam.35 Sedangkan untuk prosedur penerimaan anggota baru telah diatur pada Pasal 6 Piagam ASEAN. Berdasarkan Pasal 6 dalam Piagam ASEAN tersebut dapat dikatakan bahwa penerimaan ang gota ASEAN terbatas, hal ini dapat dili hat pada kriteria anggota ASEAN yang mengharuskan letak secara geografisnya berada di kawasan Asia Tenggara, hal ini Piagam ASEAN. Diakses melalui http:// www.asean.org/archive/AC-Indonesia.pdf, pada tanggal 26 Oktober 2014. 35
80
berarti membatasi negara di luar ASEAN yang ingin bergabung.
Kriteria keanggotan terbatas yang ada di ASEAN ternyata bukan merupa kan halangan bagi ASEAN untuk menun jukkan identitasnya dalam berbagai hal. Identitas ASEAN tertuang dalam mottonya “one vision, one identity, one community”.36
Identitas regional merujuk sebuah identitas kolektif atau identitas supra nasional yang mencakup semua elemen masyarakat ASEAN. Secara sederhana, identitas regional dapat dibagi dalam elemen-elemen antara lain, identitas simbolik misalnya, ASEAN sudah me miliki logo, bendera dan sekretariat. ASEAN juga memiliki identitas simbol lain seperti acara olahraga SEA Games. Di samping itu, ada identitas yang bersi fat nilai bersama (common value). Per wujudan identitas dalam nilai bersama di ASEAN adalah dengan adanya ASEAN Way. Dengan adanya keanggotaan ASEAN yang terbatas, dapat dikatakan bahwa ASEAN mampu memanfaatkan kerja sama secara maksimal karena jumlah anggota yang terbatas memudahkan dalam pengkoordinasian kerja sama. Selain itu, sifat keanggotaan yang ter batas ternyata justru membuat iden titas ASEAN menguat dengan adanya norma serta nilai bersama yang dianut oleh ASEAN. Adanya nilai bersama yang dianut oleh ASEAN tersebut ditujukan untuk mencapai standar kepatuhan bersama negara anggota ASEAN pada perilaku baik, konsolidasi dan pengu kuhan kesetiakawanan, integrasi dan
Diakses melalui www.asean.org/news/ item/ asean-vision-2020, pada tanggal 28 Okto ber 2014. 36
Journal of World Trade Studies
keserasian ASEAN, dan mengusahakan pembangunan suatu masyarakat yang demokratis, bertoleransi tinggi seperti yang telah dimuat dalam Piagam ASEAN. F. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bah wa ASEAN Economic Community tidak menghasilkan perubahan secara materil terhadap masing-masing negara ang gota ASEAN. Akan tetapi melalui inte grasi ekonomi yang dilakukan melalui berbagai kesepakatan serta kerja sama ekonomi dalam perdagangan barang, jasa, ASEAN mampu memperkuat iden titas kolektifnya. Perwujudan identitas kolektif ASEAN ini ditunjukkan dalam beberapa hal, Pertama, negara ang gota ASEAN melalui ASEAN Economic Community secara tidak langsung telah berkomitmen untuk meletakkan isu ekonomi regional sebagai masalah ber sama dan mencari upaya penyelesaian nya melalui berbagai kerja sama mul tilateral. Komunitas Ekonomi ASEAN juga menjadi sarana bagi para anggota ASEAN untuk melakukan interaksi den gan saling bertemu dan bertatap muka. Peningkatan kerja sama ekonomi dalam rangka menuju terciptanya sebuah Ko munitas Ekonomi ASEAN merupakan salah satu contoh upaya nyata dalam membangun sense of community ASEAN. Kebiasaan ASEAN dalam melakukan ker ja sama ekonomi pada dasarnya mem beri kesempatan kepada negara-negara anggotanya dalam hal berbagi identitas, nilai-nilai dan pengertian-pengertian. Kedua, adanya Komunitas Eko nomi ASEAN menjadikan ASEAN lebih peka dalam mengidentifikasi masalah bersama yang dapat mengancam ke berlangsungan perekonomian ASEAN. Identifikasi masalah bersama ini dapat Volume V, Number 2, November 2015
dilihat dari kolaborasi negara anggota ASEAN dalam menghadapi tantangan yang bertujuan meningkatkan pereko nomian kawasan sebagai respons terha dap kebangkitan ekonomi China dan In dia. ASEAN secara kolektif menanggapi tantangan China dan India dengan men dorong pertumbuhan ASEAN Economic Community. Ketiga, keanggotaan ASEAN yang terbatas ternyata justru merupakan elemen pendukung semakin menguat nya identitas kolektif ASEAN. Identitas kolektif ASEAN secara simbol ditunjuk kan melalui adanya logo, bendera dan emblem ASEAN. Selain itu, perwujudan identitas dalam nilai bersama juga di tunjukkan melalui ASEAN Way. Di sam ping itu, ada identitas yang bersifat nilai bersama (common value). Perwujudan identitas dalam nilai bersama di ASEAN adalah dengan adanya ASEAN Way
Integrasi ekonomi yang dilakukan ASEAN akan membantu tumbuhnya perasaan adanya suatu identitas re gional, yang tidak hanya menyangkut masalah bisnis dan perdagangan, akan tetapi juga dalam hal saling membuka kesempatan untuk semakin meningkat kan identitas ASEAN. DAFTAR PUSTAKA Buku Bambang Cipto. 2010. Hubungan Inter nasional Di Asia Tenggara. Yogya karta: Pustaka Pelajar. Luhulima, dkk. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015. Yogyakarta: Pusta ka Pelajar. 81
Mas’oed, Mochtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Met odologi. LP3ES. Jakarta. Artikel Jurnal Online
Amitav Acharya. 2001. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problems of Regional Order. London : Rout ledge. Diakses melalui http:// dl.lux.bookfi.org/genesis/5490 00/3472a3b54b21965beb79b5 5ddb480938/_as/%5BAmitav_ Acharya%5D_Constructing_a_Se curity_Community(BookFi.org). pdf, pada tanggal 16 Mei 2014. Amitav Acharya. 1997 dalam Nischalke, Tobias Ingo. 2000. Insight from ASEAN’s Foreign Policy Co-op eration: The ‘ASEAN way’, a Real Spirit or a Phantom? dalam Con temporary Southeast Asia. p. 90. Amitav Acharya. 2000. The Quest for Identity: International Relations of Southeast Asia. Diakses melalui http://www.amitavacharya.com/ sites/default/files/Quest%20 for%20Identity%20Book%20 Review%20Journal%20of %20 Contemporary%20Asia.pdf, pada tanggal 10 Maret 2014.
Amitav Acharya. 2005. Do norms and identity matter? Community and power in Southeast Asia’s region al order dalam The Pacific Re view. Routledge p 95-118.ASEAN Baseline Report : Measurements to Monitor Progress towards the ASEAN Community, ASEAN Secre tariat: 2005, hlm 5. Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Menuju ASEAN Eco 82
nomic Community Diakses me lalui http://ditjenkpi.kemendag. go.id/website_kpi/Umum/Set ditjen/Buku%20Menuju%20 ASEAN%20ECONOMIC%20COM MUNITY%202015.pdf.
Piagam ASEAN. Diakses melalui http:// www.asean.org/archive/AC-In donesia.pdf, pada tanggal 28 Sep tember 2014. Peter A. Petri, Michael G. Plummer and Fan Zhai. 2010. The Economics of the ASEAN Economic Community. Diakses melalui https://www. american.edu/sis/aseanstudies center/upload/Brandeis_WP13. pdf, pada tanggal 27 September 2014, hal 13.
Rodolfo C. Severino. 2013. The rise of Chinese power and the impact on Southeast Asia. ISEAS Perspec tive. Diakses melalui http://www. iseas.edu.sg/documents/publica tion/ISEAS%20Perspective%20 2013_32.pdf, pada tanggal 3 Ok tober 2014, p 4.
Soesastro. 2005. Accelerating ASEAN Economic Integration: Moving beyond AFTA. CSIS Working Pa per Series, WPE 091. Diakses melalui http://www.eaber.org/ sites/default/files/documents/ CSIS_Soesastro_2005_3.pdf, pada tanggal 19 Mei 2014, p2. Soesastro. 2007. Implementing the ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint, dalam H. Soesas tro, Deepening Economic Inte gration in Southeast Asia: The ASEAN Economic Community and Beyond, ERIA Research Proj ect Report 2007, No 1-2, Chiba: IDE-JETRO, 2008. Diakses melalui http://www.eria.org/publica Journal of World Trade Studies
tions/research_project_reports/ images/pdf/PDF%20No.1-2/ No.1-2-part2-3.pdf , pada tanggal 19 Mei 2014, p 49.
Soesastro. 2008. Chapter 3 : Implement ing the ASEAN Economic Commu nity (AEC) Blueprint. Centre for Strategic and International Stud ies. Diakses melalui http://www. eria.org/publications/research_ project_reports/images/pdf/ PDF%20No.1-2/No.1-2-part2-3. pdf, pada tanggal 2 Oktober 2014, p 48.
Thomas G. Aquino. What is the ASEAN Economic Community? Philip pines International Symposium on “Creating the East Asian Free Trade Area (EAFTA)” hosted by Japan Economic Foundation and Korea Institute for International Economic Policy Seoul, Republic of Korea October 27 & 28, 2005. Diakses melalui http://www. kiep.go.kr/include/filedown. jsp?fname=Session2_Dr%20 Aquino.pdf&fpath=news06, pada tanggal 10 November 2014.
Volume V, Number 2, November 2015
83
Submission Guidelines
1. The manuscript should address an important research question, theoretically innovative, and methodologically diverse in trade-related issues which can be analyzed from multi disciplinary approaches.
2. The Journal of World Trade Studies (JWTS) receives manuscripts both in Eng lish and in Bahasa Indonesia. 3. The manuscript must be submitted in Microsoft Word-format and should be sent to
[email protected].
4. The manuscript submitted to JWTS should format all the text and appendix ma terials doublespaced in a standard 12-point type font 5. A complete submission comprises: a. Abstract of 150-200 words b. Manuscript with Bibliography approximately 20 – 25 pages long c. A separate electronic document or cover letter which includes: a title page with all authors’ names; the corresponding authors’ mailing address and e-mail address.
6. The manuscript submitted to JWTS must not have been published and must not be under consideration for publication elsewhere. 7. The manuscript should follow the style guidelines based on the Chicago Manu al of Style (notes and bibliography). For more detailed information on stylistic requirements, authors can also consult the Chicago Manual of Style’s website http://www.chicagomanualofstyle.org/tools_citationguide.html
84
Journal of World Trade Studies
About CWTS UGM
The Center for World Trade Studies at Universitas Gadjah Mada (CWTS UGM) was initiated by the consent and concerns among policy makers, practitioners in international trade, and Universitas Gadjah Mada (UGM) academicians on trends of unequal exchanges resulted from the current practices in international trade. As part of the so-called economic globalization processes and phenomenon, world trade is an arena where asymmetrical relations in trade among nations will eventually implicate to other aspects, such as politics, law, socio-cultural life and various public sectors including education, health, public services, food and agriculture, technology, etc. Despite its main tasks to harmonize international trade and implement nondiscriminatory principles, World Trade Organization (WTO) is an indivisible institution dealing with those unequal exchanges. As many would believe, WTO itself is indeed identical to those asymmetrical exchanges. It is in such a context that the Center is designed and developed i.e. critically investigate a variety of trends in global trade which are in turn constructive as policy inputs and recommendation of action for government officials, the public, and other private practitioners who are ready for and anticipate for issues, challenges as well as opportunities in global trade. CWTS UGM is therefore intended to be an independent research and academic institute accountable for its objective critical studies on world trade and other related issues oriented towards scientific enterprise and policy advocacy.
Center for World Trade Studies Universitas Gadjah Mada Jl. Podocarpus II, Blok C No. 7, Bulaksumur Yogyakarta 55281 Indonesia Phone/Fax: 0274-580 273 Email:
[email protected] or
[email protected] Homepage: http://cwts.ugm.ac.id
9 772087 691105