TINJAUAN TEORITIS
Ide dan Gagasnn Pembaruan Desa Pandangan teoritis gagasan pembaruan desa dapat dikaji melalui pemaparan mengenai terminologi yang digunakan oleh intelektual atau aktivisnya. Penguatan otonomi desa diharapkan menciptakan keterlepasan desa dari dominasi dan hegemoni negara. Perjuangan hams dilakukan. Menurut banyak tokoh yang konsem terhadap pembangunan desa bahwa kata kunci yang paling tepat untuk menjelaskannya adalah dengan mengunakan paradigma pembaruan. Dimana kata kunci tersebut dapat dimaknai sebagai suatu proses yang mengharapkan perubahan. Pembaruan (pembaharuan) merupakan suatu proses mengembangkan cara yang baru. Dalam konteks pembaruan sosial merupakan suatu transformasi gagasan, nilai-nilai, dan tata kelalcuan dilakukan untuk melakukan perubahan dalam sistem dan stmktur masyarakat dan bagian-bagiannya untuk mendapatkan hal baru. Secara terminologi pembaruan dan/atau pembaharuan akan dibahas sedikit mengacu pada beberapa pakar. Akan tetapi penulis akan mencoba melakukan pilihan salah satu atas dua terminologi tersebut. Ada dua pilihan yang digunakan oleh para pakar yaitu: Pertama, pilihan terminologi atas kata "pembaruan" dilakukan oleh Juliantara dan kawan-kawan yang konsern terhadap penggerakan lokalitas kekuatan yang berbasiskan pada gerakan masyarakat. Pembaruan menjadi suatu yang sinergi berjalannya kekuatan lokal dari bawah mendorong sistem pemerintahan di atasnya, artinya adahya negosiasi elit dan masyarakat sebagai arus bawah (Juliantara, 2000: xx). Seperti apa yang disebutnya sebagai Pembaruan Desa Bertumpu Pada Yang Terbawah. Juliantara (2002: 97) mencoba memberikan gambaran tentang pc~nbaruan dcsa scbngai suatu transformasi pembahan sosial - untuk mengubah wajah desa menjadi lebih baik dan lebih bermakna. Penyebutan desa menjadi wajah baru dimaksudkan sebagai desa dengan tiga fondasi yaitu demokrasi, keadilan, dan kemajuan. Dari hasil beberapa pertemuan konsolidasi di Bandungan, \fogyakarta, dan Garut, Pambudi3 (2003)
' Seorang aktivis gerakan sosial dari Padepokan Budaya LAPPERA di Prambanan, yang konsern pada pengembangan masyarakatmiskin untuk maju di bidang sosial dan budaya terutama pendidiknn kerakyatan.
dalam epilognya memberikan pengertian pembaruan desa sebagai agenda menyeluruh dan terbuka bagi upaya memperkuat massa rakyat4 di semua lapisan dan golongan bagi terbentuknya tatanan masyarakat desa yang bersendikan keadilan. Menurutnya cita-cita pembaruan desa membutuhkan daya dukung yang kuat melalui sejumlah tindakan yang maju d m terorgnnisir. Pada pandangan ini Juliantara mencoba melihat bagaimana faktor dominan atas keterpurukan dan permasalahan yang dialami oleh desa. Faktor yang menjadi perhatiannya adalah terjadinya stagnasi politik dan ekonomi oleh karena itu yang harus dilakukan adalah menciptakan suatu dorongan terhadap kelembagaan masyarakat yang secara politis harus dapat menyeimbangkan kekuatan supradesa (negara). Sehingga, pada terminologi yang dipakai menurut penulis bahwa komunitas dan kelembagaan masyarakat masih kurang dianggap sebagai suatu entitas yang berbasis pada nilai-nilai sosial n~asyarakatnya.Sebagai basis sosial, kehidupan warganya sangat tergantung pada hubungan-hubungan bermasyarakat di antara mereka. Artinya, kecenderungan masyarakat untuk melakukan hubungan dengan pihak-pihak supradesa juga tidak lepas dari kondisi dan kuatnya nilai-nilai sosialbudaya yang hidup di antara masyarakat itu sendiri. Sehingga, masyarakat sebagai suatu komunitas sosial-budaya masih kurang memperhatikan permasalahan hubungan politik dengan supradesa,
Kedua, pilihan terminologi atas kata pernbaharuanSdikuatkan oleh bukunya Sutoro Eko. Pilihan atas terminologi "pembaharuan" digunakan dan dipopulerkan oleh ilmuwan sosial yang konsern terhadap pembangunan desa seperti Sutoro Eko Yunanto. Pembaharuan desa menumtnya, yang juga sebagai seorang akadernisi dari STPMD/APMD dan peneliti dari IRE (Insfifute For Research And
Empowerment), dalam bukunya "Manifesto Pembahaman Desa" (2005: 9), yang sekaligus menjadi rektor di perguruan tinggi tersebut hingga 17 November 2006,
' Menumt pcnulis massa rakyat merupakan terminologi yang lebih provokatif untuk menciptakan lmoge
hubungan kumpulan individu dcngm negara, namun dalam kacamata Sosi~loeipenulis tidal; &an menggunakannya, sclama masyarakat mempakm entitls yang berkumpulnya interaksi sosial dan hubungan intensif di antara anggotanya, Minya setiap orang (termasuk yang punya jabatan politik) merupkan bagian dari anggota masyaral;at. Sehingga penulis tidak mencobamemisahkannya dalam sekat yang lebih provokatif, reperti disebutkan di alas.
' Sebenamva dalam igtilah lata bahasa Indonesia tidak , ielos oenrakuannva. kvrena di Kamus Besar Bahasa lndonesia tidak . . ,~~ ~~
~
~
-
~~
~
dijclaskan sscara tcraend~rs,mclainkan J g c l ~ r l md., .!I>!ownj
n~engatakanbahwa sejauh ini pernbaharuan desa bukanlah teori yang komplet dan utuh, yang mempunyai dayo dcskripsi dill1 eksplanasi
secara kuat dan
sistematis. Pembaharuan desa sebenarnya menrpakan embrio teori preskripsi (berorientasi ke depan) tentang perubahan desa inenuju kehidupan desa yang demokratis, mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Pembaharuan desa-sebagai
teori preskripsi-mengandung
dua dimensi
penting yaitu: pertama, refleksi terhadap pengalaman masa lalu, baik secara empirik maupun paradigmatik. Secara enlpirik, refleksi yang berdasarkan atas kehancuran struktural kehidupan desa (demokrasi, otonomi, kesejahteraan dan keadilan) akibat dari negaranisasi dan kapitalisasi. Secara paradigmatik, pembaharuan desa juga sebagai bentuk refleksi atas kegagalan modemisasi paradigma (developmentalisme) dan struktur kekuasaan otoritarian-sentralistik yang berjalan selama Orde Baru. Ide pembaharuan desa dapat disetarakan dengan konsep integrated rural livelihood yang merupakan kritik atas pembangunan desa terpadu (integrated rural development) atau konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered deveIopme17l) yang lahir sebagai kritik atas pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Akhimya, secara eksplisit dijelaskan bahwa pembaharuan desa adalah transformasi sosial, atau perubahan berkelanjutan yang dirckayasa melalui perubahan ilmu pengetahuan baradigma, konsep, cara pandang, dan lain-lain) yang mur~culdari perguruan tinggi, reformasi kebijakan (policy reform) yang clilancarkan pemerintah serta gerakan sosial (social movement) dari masyarakat maupun NGOs. Wacana pembaruan desa rnempakan gagasan orisinil dari kalangan NGOs yang mereka bangun dari pengalaman panjang (Sutoro Eko, 2005: 17). Eko dalarn bukunya tersebut juga mengafirmasi pendapat dari para pakar yang memberikan pilihan terhadap terminologi pembaruan. Walaupun tanpa mengkritisi pendapat para pakar di atas, Sutoro Eko mencoba menggunakan terminologi "pembaharuan" tersebut sebagai cara pandang untuk melakukan
. . atas kata pembaharuan proses analisa pembahan desa. Bagi Sutoro Eko6 p111han adalah terjemahan dari reform (dari bahasa Inggris bukan renewly), konsep seperti itu setelah diturunkan ke dalam bahasa Indonesia menurutnya tidak banyak Hasil wawancara di STPMDIAPMD dengan yang bersangkutan, dengan tema Manifesto Pembahman Desa.
berbeda. Artinya, pilihan atas terminologi ini adalah suatu treadmark dari masingmasing tokoh di atas, walaupun suatu pilihan ini seharusnya menimbulkan kosekuensi akademis yang pada akhirnya memberikan turunan-turunan atas paradigma yang dibangun, ideologi, strategi pembaruan yang dipilih, dan hingga instrumen di lapangan. Menurut ~ k o ' , bukunya tersebut memang belum terselesaikan secara sempuma, pada ltesen~patanyang akan datang - pada edisi revisi akan dilengkapi mengenai turunan atas terminologi pembaharuan yang dipilihnya. Para poses tersebut Juliantara sudah terlebih dahulu memberikan gambaran atas turunan dari terminologi yang dipilihnya, yang secara ideologi lebih menganggap pilihan atas salah satu terminologi di atas adalah terkait dengan latar belakang dari para aktor dibelakang pilihan tesebut. Untuk memberikan gambaran pada kedua pemikiran di atas, penjelasan dan turunannya akan diperlengkap secara ringkas seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini (halaman selanjutnya).
' Hasil
w a w a n c a r a y a n g d i l a k u k a n di R u a n g R e h t o r S T P M D l A P M D Y o g y a k a r t a .
9
Tabel 1. Usaha Pemetaan Dua Kuhu Tcrnii~~ologi Perjuangnn Perubahan Sosial Politik Sistem Pernerintallan Desa
Surnbcr: diolah dari Juliantara (2002). dan Eko (2005).
Dalam kaitannya dengan perjuallgan desa atas kuatnya negara yang sentralistik maka pembaruan desa menjadi alternatif utama dan pertama dalam mensukseskannya. Pembaruan desa (Village reforriz) nlenjadi suatu terminologi
Qalam bukunya, S~ttoroEko lid* menjelzkan, tetapi strategi ini diperolch berhadasarkan hasil wawancara dengan yang benangkutan. Walaupun diakui bahwa Manifesto Pembahnruan D:sa yang telah dilerbitkan belum lengkap, dia merensanakan unhik menerbitkan edisi refini yang dibnmpkan dapnt rnelrngkapi keh~ranpan,berdesarka~hanyak tokoh yang tela;~mcnajukan kritik.
baru dalam transformasi sosia19 seperti halnya ideologi gender yang pemah digagas oleh almarhum Mansour Fakih (1997: 65). Pembaruan desa juga menjadi dasar dalam rAgka melakukan perubahan sistem dan struktur desa. Setidaknya ada cara hidup yang baru yang dapat terlaksana di desa dalam rangka mendukung ke dalam otonomi desa. Menurut penulis dalarn konteks kekinian jalan pen~baruandesa merupakan suatu agenda terbesar yang memungkinkan tercapainya "wajah desa yang bard"' Pembaruan desa sangat diharapkan mengubah desa menjadi lebih baik, adil, mandiri, dan sejahtera yang berlandaskan pada demokrasi masyarakat. Pandangan penulis tersebut merupakan suatu konseptt~aliasimengenai kondisi masyarakat desa yang ideal secara akademis. Artinya, pembaruan desa bukan agenda parsial. Oleh karena itu penulis melihat bahwa pembaruan desa merupakan suatu transformasi sosial, ekonomi, dan politik desa yang secara struktural diharapkan dapat memberikan perubahan kebaikan pada masyarakat desa sebagai subjek pembangunan di wilayahnya. Walaupun beberapa pakar pembaruan desa sudah terlebih dahulu memberikan pengertian yang beragam. Seperti, Dadang Juliantara (2002) sebagai prakarsa pembaruan desa, Himawan Pambudi (2003) dan Sutoro Eko (2005). Konsep pembaman desa yang sudah dijelaskan di atas merupakan suatu kerangka perubahan yang diharapkan banyak pihak. Konsep teoritis ini mencoba menciptakan suatu pemikiran yang diharapkrul dapat memberikan sumbangan atas gerakan pembebasan desa untuk melepaskan kuatnya cengkraman (hegemoni) negara (supradesa) yang pada akhirnya menghancurkan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat setempat (lokal). Oleh karena itu, pada dasamya pembaruan desa adalah suatu konsep berasal dari luar masyarakat desa. Sepe~tidiungkapkan oleh Sutoro Eko bahwa pembaruan desa adalal~suatu konsep yang berparadigma preskripsi dan perubahan yang diharapkan adalah suatu wacana yang diturunkan oleh para akademisi dan para aktivis NGOs (Non-Goverment Organizations). Gerak pembaruan seyogyanya dilakukan dari bawah untuk memberikan sinergi ams pembaruan dari tingkat atas desa. Pembaruan mencoba melakukan 9Transfomasi sosial yang dimaksud adalnll se~~ikaca~ll proses pcnciptnan hubangan yang secara fundamental mempakan suatu vane barn dan lebih baik. Hubuncnn vanc . - dimaksud adal.ah hubun~anyang tcrstruktur dan eksploitatif menjadi hubungan m k t u r rang tanpa cbplot!alti, hdhu!i:on )ang Jorn~nnttfdm l h c ~ c m o pcrlu ~ l ~ dub& mcnjadt stnhtur sosialpolitlk yang non-represtsf, stnrktur gender long nlrndomi,u.st pcretlpualt c k ~ ~ j o rlrullur J ~ )ring mcnihcbaikm
.
-
-
intemalisasi wacana kepada para pihak di tingkat desa hingga supradesa agar tercapai suatu pemahaman yang menyeluruh terliadap pembebasan yang diiarapkan. Jadi untuk memperjelas pembahasan tcntang penibaruan desa dapat
kita terjemahkan dalam suatu pernahaman ideologi pembebasan seperti yang pemah muncul di dataran Eropa. Pembaruan desa sebagai ideologi rnenciptakan suatu alternatif gerakan dengan strategi perubahan sosial-politik dalam ranglca menciptakan suatu capaian (goals) yaitu menjadi wajah desa yang baru berdasarkan pada Desa yang demokratis, otonom, sejahte1.a dan berkeadilan. Untuk rnencapai goals yang diagendakan proses internalisasi gagasan dan ide tadi harus dilakukan. Pertanyaannya adalah bagaimana proses itu dilakukan? Internalisasi seperti apa yang dilakukan adalah pertanyaan untuk memperjelas posisi kalangan NGOs yang mencoba melakukan masifikasi gagasan pembaruan desa hingga di tingkat gressroot. Internalisasi yang diberikan oleh para kelompok intelektual dari para kalangan NGOs dapat dilakukan pada pembaruan pola pikir, pola tindak, pola tanduk.1° Perubahan dilakukan dari pola-pola perilaku yang dahulu kita hanya manut (menerima) karena hegernoni dan dominasi rezim otoriter Orde Baru, menjadi pola perilakku yang menghargai pola pikir kritis dan kreatif dalam koridor atau batasan demokratisasi clan keadilan. Pada masa itu, perjuangan yang sedikit saja berbeda dengan kehendak pernerintah rnaka kita akan dicap sebagai subversif, yang tidak sesuai dengan kehendak pemerintah langsung dianggap sebagaipembangkang. Pada masa sekarang atmosfir dcmokrasi sudah lebih banyak berkembang. Inilah dasar-dasar pembaruan yang ditindaklanjuti. Ole11 karena itu, untuk
mencapai suatu tindak lanjut ke dcpan adalah sctidaknya ada tiga ha1 yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, produk apa saja yang baik dari sistem yang lama harus kita hormati dan kita tingkatkan, dan lanjutkan kepada rnasyarakat. Sistem yang baik dan mendapat partisipasi, hams dikembangkan sernaksimal mungkin dengan potensi sumber daya yang sudah dimiliki. Kedua, hal-ha1 yang tidak sesuai dengan kehendak masyarakat harus diperbaiki, dan dalam kondisi yang -
-~
Pcmbahan pola pikir, pola tindak, d m paln tanrluk merupsknn kel,cnd& bcrsnnln nntnra masynrakat dan M i v i s intelektual yang lelah mcldakan penyadarm terhodnp lhepe~noniparndiomatik kepcmimpinan yang centralistik dan diterima oleh penduduk desa tanpa pmses kcabnli bcrpikir kritis dnn krentil mcnsiknpi fcnomena keterlindasm sosial d m politik sebagai syarat dari eksploitasi ekono~niole11negara yang sangal knpitnlistik. 'I'
sangat memprihatinkan hams dirubah. Dan ketigcr, sesuatu yang belum ada akan tetapi baik dan dikehendaki oleh masyarakat dcngan didukung oleh pontensi sumber daya yang ada maka hams di-create. Evaluasi ini dapat dilakukan dalam bentuk sistem, lembaga atau secara personal. Untuk lebih jelas membedakan gambaran ringkas mengenai pembaruan desa dan hegemoni desa, dipaparkan melalui tabel 3 di bawah ini. Penggambaran konseptualisasi secara administrasi di tingkat desa sehingga pemahaman tentang pembaruan desa dan hegemoni desa dikontekskan dalam wilayah pemerintahan desa. Tabel 2. Pembaruan Desa dan Hegemoni pada analisa hubungan antara pemerintahan desa dengan masyaralcat desa
El Pemerintahan stabil kuat El Masyarakat yang kuat El Konsensus sadar El Keseimbangan sinergis El Pemberdayaan politik El Legitimasi sosial Revolusi aktif
Desa: Gl Pernerintahan stabil kuat IZi Masyarakat yang lemah PI Konsensus kepatuhan El Keseimbangan semu El Eksploitasi politik IZi Legitimasi politik Gl Revolusi pasif
Tertatihnya Menuju Gerakan Pembaruan Desa Pada akhir tahun 1993, isu hak inasyarakat adat mewarnai berbagai inisiatif perlawanan kelompok-kelompok tertindas, baik dalam kerangka kerja penguatan organisasi rakyat, maupun dalam kerangka kerja advokasi kebijakan publik baik perbailcan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat itu sendiri
(Zakaria, 2004: 46). Perspektif penegakan hak masyarakat adat kemudian juga mewamai gerakan rakyat yang didorong oleh NGOs melalui issue gerakan yang lain, seperti gerakan petani, reforma agraria, pengelolaan dan pengusahaan lingkungan, gerakan konservasi, gerakan perempuan,
ekonomi, politik,
pembaruan desa dan lain sebagainya. Pada gerakan agraria melihat bahwa sumber-sumber agraria berada di wilayah pedesaan semakin terancam oleh keserakahan ideologi kapitalisme dan eksploitasi sumber daya yang hanya
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan berdarnpak pada kerusakan lingkungan dan penghancuran nilai-nilai lokalitas (local wisdom). Oleh karena itu, altematif gerakan dilakukan dengan memberikan pcnyadaran kepada pemerintah dengan sasaran pada kebijakan yang memihak kepada dcsa dalam arti yang lebih luas. Penguatan kelembagaan desa sebagai salah satu alternatif gerakan dalarn melindungi sumber daya agraria di desa. Seperti yang dilakukan oleh gerakan reforma agraria (GRA), gerakan pembaruan desa juga menjadikan kebijakan sebagai tujuan utama dalam perubahan posisi dan kemandirian desa. Penguatan basis masyarakat tani yang berada di desa merupakan strategi lain dalarn mendorong rerubahan kebijakan. Terutama kalau kita melihat paradigma pembangunan yang dipilih ole11 pemerintahan Orde Baru merupakan pemicu
bmerang
krisis ekono~iii1998-an. Walaupun, pembangunan dapat
dikatakan berhasil dalam kurun waktu pemerintahan Orde Baru, terutama ketika pengukuran yang dilakukan adalah menggunakan parameter GNP. Artinya, pada setiap tahapan REPELITA peningkatan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia dikatakan meningkat. Pernbangunan juga terjadi llingga ke pelosok pedesaan, terutama dengan masuknya pemerintahan negara ke desa sejak diundangkannya UU No. 5 Tahun 1979 (tentang Pemerintahan Desa) dengan harapan dapat mempermudah support bantuan dari Pusat. Namun apakah dengan kondisi demikian
- dengan
meningltatnya pendapatan perkapita masyarakat
-
dapat diiatakan pembangunan dinikmati secara merata? Jawaban atas ha1 di atas tidak akan diberikan dengan melakukan bahasan konseptual atas wacana akademis yang mengarallkan pilihan atas paradigma pembangunan suatu negara. Hal ini harus dibuktikan dengan kenyataan selanjutnya atas pilihan itu. Terbukti, bahwa krisis yang dialami oleh bangsa Idonesia
merupakan
paramclcr
kogagalan
~x~nhnnguni~n bcrparadigrna
materialistis. Resesi dunia - tahun 1996 - tentang danlpak global yang menjadi penyebab krisis ekonomi di Indonesia pertengahan tahun 1997 merupakan awal kesadaran masyarakat bahwa pembangunan yang dilakukan oleh Orde Baru ternyata tidaklah nyata. Hingar-bingar pembangunan yang selama ini dijargonkan oleh rezim Pembangunan seketika runtuh. Hingga pada 21 Mei 1998, penguasa
rezim Orde Baru menyatakan mundur karena dororigan yang kuat dari gerakan massa. Penguatan gerakan massa menampakkan eksistensinya secara nyata. Gerakan agraria, gerakan petani dan gerakan politik lokal menjadi semakin kuat melakukan perlawanan terhadap negara. Terutama gerakan ke arah perubahan (reform) sistem dan struktur pemerintahan negara yang otoritarian. Gerakan atas
tuntutan pembahan tersebut mengalami pertumbuhan yang telah dilakukan pada
awal tahun 1990-an. Gerakan perubahan pada awalnya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, dilakukan di daerah-daerah yang jauh dari keramaian, terutama dalarn melakukan koordinasi dan penggagasan (diskursus) yang secara konseptual sangat bertentangan dengan paradigma negara. Seperti, pertemuan yang dilakukan oleh kalangan organisasi non-pemerintah (NGOs) saat memuskan strategi perjuangan yang bertajuk "Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam di
Dalam Kawasan Hutan" di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 - 29 Mei 1993. Pertemuan ini menurut Arimbi Heru Putri (aktor kunci pertemuan) sengaja di-setting dengan tema yang dikemas sedemikian rupa dan dilakukan ditempat yang relatif terpencil untuk nlet~ghindnri halnngan dari pihak yang berwajib (Zakaria, 2004: 44-45). Tidak hanya itu, gerakan-gerakan mahasiswa yang memulai dengan pendidikan politik (dikpol) digerakan dalam wilayahtersembunyi dengan harapan mengurangi intemensi para intelegen negara.di Hal itu dilakukan karena penyusupan inlelejen negnra hingga pada aksi masa gerakan mahasiswa yang merupakan kekuatan moral akademis dianggapnya sebagai kekuatan politik yang menghambat. Seperti juga dilakukan oleh gerakan-gerakan mahasiswa. Sebut saja dikpol pergerakan
-
- untuk menciptakan kader-kader aktivis
yang dilakukan oleh mahasiswa dari Universitas Jadabadra
Yogyakarta pada pertengahan tahun 1998 dilakukan di pedalaman Sleman (DI Yogyakarta), keluar dari wilayah ring road utara masuk ke dalam gang-gang kecil yang belum teraspal dan di rumah-rumah penduduk yang dirasakan mendukung terhadap gerakan-gerakan yang mereka lakukan. Penyelenggaraan kursus dan pelatihan juga dilakukan oleh banyak LSM atau NGOs. Awal proses pembentukan gerakan dilakukan dengan suatu kursus
atau pelatihan, seperti kursus yang diadakan oleh gerakan agraria. Gerakan seperti ini menyatakan dirinya sebagai aktivis gerakarl pembaruan agraria, dengan semangatnya tentang jargon "Menyatakan Keadilan Agraria" mengadakan kursus intensif untuk para aktivis gerakan pembaruan agraria. Sasaran pembaruan agraria adalah tidak hanya pada tataran ide-ide tentang pemaknaan atas sumber-sumber agraria. Sasarannya yang paling sangat memberikan hckuatan gerakan pembaruan agraria adalah usahanya untuk melakukan perubahan struktur agraria yang timpang, termasuk di dalamnya penataan sistem produksi rakyat, dan penataan pedesaan melalui organisasi rakyat desa. Proses pembaruan agraria harus memperhatikan secara langsung kehendak dan inisiatif dari masyarakat (desa) secara langsung (reform by leverage) yang berdasarkan dan atau bersumber pada inisiatif pada kepentingan masyarakat (Fauzi dan Juliantara, 2000: i-ii). Gerakan petani di desa juga dilakukan karena masuknya intewensi atas surnber-sumber agraria dan pengelolaamya. Masuknya i n t e ~ e n s i revolusi hijau, dan penyerobotan tanah-tanah masyarakat desa merupakan suatu fenomena yang sangat memprihatinkan bangsa, terutama pada tahun 70-an hingga tahun 80-an. Selanjutnya pada tahun 90-an adalah saatnya gerakan masyarakat bangkit melakukan perjuangan, perjuangan pembaruan dari masyarkat terkecil, tertindas, dan ternlarginalkan di desa. Pada masa selanjutnya pembaruan desa menjadi wacana sekaligus gerakan perubahan pada gerakan penguatan kelembagaan. Kelembagaan tidak hanya diharapkan pada kekuatan gerakan masyarakat yang terkoordinir dalam lembaga masyarakat, hingga organisasi yang legal dan formal, melainkan di tingkat desa, pemerintahan desa pada akhimya diharapkan dapat n~enjadikuat untuk menggerakan masyarakat desa yang lebih adil dan demokratis sebagai kekuatan desa yang mandjri menuju otonomi desa. Gerakan masyarakat yang terbentuk dalam beragam latar belakang adalah gejolak yang ditimbulkan oleh ranah politik penguasa yang tidak adil. Penguasa menggunakan kebijakan dan perundangannya untuk melakukan penekanan kepada masyarakat, bingga di tingkat nadir dan memprihatinka~l. Ten~tama, gerakan pembman desa yang pada akhirnya muncul sebagai salah satu gerakan masyarakat yang berlatarbelakang ketidakadilan pemerintah terhadap desa. Posisi
desa selalu diabaikan secara politik menggunakanfloaiing mass dan secara sosial budaya diluluh-lantahkan kelembagaan desa yang dimiliki terutama bagi komunitas masyarakat di luar Jawa oleh kebijakan negnra tentang desa. Demikian dipaparkan dinarnika yang dialami oleh desa akibat ketidakadilan pemerintah terhadap desa.
Hegernoni dan Dominasi: Negara Kuat Kekuasaan dan Negara dalam konsepsi idealis dikemukakan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) yang memberikan corak khas." Menurutnya, kekuasaan yang melampaui hak-hak transendental individu menandai negara absolut karena negara tidak lain dari penjelmaan "Roh Absolut" (Great Spirit). Dengan demikian, dalam rangka gagasannya mengenai kekuasaan negara, pemegang kekuasaan (state atithority) ialah aka1 impersonal dan perwujudan kehendak kolektif (general will) dalam bentvk nanusia. Kekuasaan kepala negara, karenanya, bersifat mutlak di mana ia bisa saja mendengarkan
suara wakil-wakil rakyat sekalipun keberadaan ha1 tersebut tidak bersifat mengikat. Negara adalah tujuan (kekuasaan) itu sendiri sehingga rakyat atau individu harus mengabdi dan diabdikan untuk negara: individu tidak memiliki makna dalam totalitas negara -ia hams lebur di dalam kesatuan negara. Manusia, dalam pandangan Hegel, ialah makhluk rasional dan memiliki kesadaran din sehingga ia akan sangat mengkultuskan kebebasan; namun, ia menyangsikan kemampuan manusia untuk mengendalikan nafsunya seandainya kebebasan sejati diberikan secara penuh kepada manusia. Dengan kata lain, kebebasan manusia hams berada di bawah kontrol kekuasaan. Konsepsi kekuasaan dan Negara dalam pandangan materialistis tidak dapat dilepaskan dari penjelasan pandangan intelektual materialisme historis, Karl Marx " Sepeni dikemukakan oleh Ahmad Suhelmi dalam kajiannya tenlang petnikiran polilik Barar: "dati sudut pemikiran politik, gagasan Barat mengenai Negan (scde), bkunsaan, keadilaa, demnkmsi secara genealogis historis-inlelektual berakar pada fradid politik negara-negara kola (tip stares ataupolrs) zoman pcrndabsn Yunani klasik ...". Lihat Suhelmi. Ahmad, Pemikiron Politik Borar Kojion Sejorah Perkembongon Penzikiran h'egaro, Masyorokal, don Kekuasnan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Uma, 2001, ha1 258-260.
(1818-1883), seorang filsuf materialisme dari Jerman. Pandangan atau konsepsi materialisme historis-nya, Marx melihat kekuasaaan tidak bekerja semata pada level politis. Materialisme historis melihat anatomi masyarakat sebagai tersusun dari infrastuktur (basis) dan superstn~ktur(elit) di mana struktur kekuasaan ekonomis dapat dimaknai dalam konteks masyarakat kapitalis selalu merupakan hubungan penindasan oleh kelas pemilik modal (borjuis) terhadap kelas pekej a
yang menandai basis merepresentasikan diri pada level superstn~kturdalam bentuk institusi-institusi negara, hukum, dan sistem-sistem kepercayaaan atau ideologi yang berlaku dalam suatu masyarakat. Struktur negara kapitalis secara historis merupakan suatu pentahapan menuju pada perkembangan lanjut menjadi negara sosialis yang didominasi oleh kelompok proletar dengan proses revolusi proletariat (ploreturiat otorituriun). Dengan kata lain, struktur kekuasaan politis yang menjelma dalarn keberadaaan negara tidnk lain dnri pada cerminan struktur kekuasaaan di bidang ekonomi, yang dapat dipahami bahwa tingkat kesadaran hubungan antara individu dan masyarakat .I2 Pada pandangan tersebut di atas, bidang ekonomi dapat disebut sebagai basis struktur (basic structure) bahwa dari hukum perkembangan masyarakat yang disebutkan tersebut ekonomi menjadi dasar dari segala perkembangan masyarakat (materialisme dialektik). Sedangkan dalam perkembangan kehidupan masyarakat terdapat dua dimensi kehidupan yang saling bedialektika yaitu pertama, yang disebutkan di atas sebagai basis struktur. Dan kedua, disebut dimensi suprastruktur (superstructure). Pada dimensi kedua, bagi Marx, yang dipengaruhi oleh kehidupan materialistis ekonomik, seperti institusi-institusi sosial, terutama negara.13 Gramsci rnencoba menginterpretasikannya kembali tentang suprastmktur tersebut. Kalau Marxis klasik mengatakan bahwa masyarakat sipil berada pada " Dalam pandangan Patria d m Arlcf (15199 133-145). konrepv mllr.rl~Id 1lh:lt d m psndmgan >lam tcntang kondiss material d G masyarakat scbagai b a l s d a r ~rhlkrur s ~ s l adm l kcr3d~mnm ~ n ~ r s thl:lk~ x d ~ l n mlacamat3 rcpcni in1 Ncgara pun muncul dari hubungan-hubungan produksi, dan bukan berasal dari cita pikiran manusia, atau dalam bahasa liberalisme disebut sebagai kcingin& rnmusia-uni& bekolektif didasarkan pada poses produksi tersebut
"lbid. (b: 176j bahwa pandangan Marx (dan rekannya Engels) bahwa pengabdian negara tidak kepada seluruh kcpentingan masyarakat (banya kcpada kelas dominas) yang pengaruhnya cukup loas itu, merupkan h a i l dari pandangan filsafat tentang masyarakat d m sejarah, yang dike& deng& materialisme historis. Inti konsep tersebut addah bahwa h u h m perkcmbangm masyarakaf yang mengikuti lhukum materialisme dialektik sebagai fundamental ontologisnya. Inti pandangan ini adalah bahwa pekembangan masyarakat ditentukan oleh bodang produksi ekonomi, yang merupakan basistruktur, sedangkan dua dimcnsi kehidapan masyarakaf lainnyn, scpeni instimsi-institusi sosial lainnya, terutama ncgara dan bcnbk-bcntuk kcsadaran sorial nicrupaken bangunan atas atau si,pcvxlr~4ll,re.
'momen' basis struktur,14 tapi bagi Granlsci justru mcngalisisnya sebagai bagian dari suprastruktur. Pada pandangan suprastrukturls Gramsci meliha! bahwa terdapat dua tingkat yaitu: pertarnu, adalah 'rnasj~arakat sipil' yaitu kumpulan organisme yang biasa disebut privat. Masyarakat sipil merupakan faktor kunci untuk memahami pekembangan kapitalis. Din adalah supra struktur
yang
mewakili faktor aktif dan positif dari perkembangan sejarah, dan merupakan hubungan-hubungan budaya dan ideologi yang kompleks, kehidupan intelektual dan spiritual, serta ekspresi politik dari hubungan-hubungan yang lebih dari sekedar dari pada struktur. Dimensi kedua dari suprastruktur Gramsci adalah 'masyarakat politik'. Batasan masyarakat politik disebutkan sebagai tempat muncuhlya praktek-praktek kekerasan secara Iuas (polisi dan aparat kekerasan lainnya) dan tempat terjadinya pendirian biokrasi negara. Birokrasi ncgara diidcntifikasikan sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan dan institusi pendidikan. Perkembangan teori pada tahun 1998 tentang wacana hegemoni dan dominasi negara semakin kuat dan masif di kalangan aktivis gerakan sosial. Usulan para aktivis sebagai refleksi atas kajian tersebut adalah melakukan pemecahan atas kuatnya hegemoni negara, yang harus dilakukan secara segera. Secara historinya, teori hegemoni dan dominasi mencuat dalam realitas akademis adalah sebagai sumbangan dari pemikiran Antonio Gramsci. Munculnya pandangan ini adalah sebagai kritik atas analisis kelas dan yang dianggap masih sangat sempit. Analisis hegemoni Gramsci mencoba menjelaskan realitas hegemoni ideologi dan kultural. Gramsci (1972) merupakan sebagai salah seorang yang mengkritik terhadap tafsiran Marxisme Ortodoks yang masih dianggapnya terldu
mekanistik
dan
sangat
deterministik
ekonomi.
Pandangannya
mengungkapkan penindasan struktur kelas. Pelanggengan penindasan struktur kelas ini menurutnya dapat dianzlisis menggunakan pendekatan hegemoni dan " Ibid, (h: 178). Gramsci mulai mengkrilisi dclemiois~neMarnisn,~orlodoks tcnfnng basis dan supra suuktur. Konsepsi Manisan klasik mengatlkan bahwa masyarkat sipil berada pada 'momon' basis struklur. Namun Gramsci justru menganalisisnya sebagai bagiandari suprastruktur. " Suprssbukhtr dalam pandangan Gramsci terdiri dari masyarakat sipil dan masyarakat politik, rnenurut Sirwanla disebulkan scbagai bagian dari negara M i n y a , pandangan Gramsci menycbutkan tentang masyarakat sipil dan masyarakat politik adalah bagian dari eksistensi negara. Selanjutnya, negara dalam pandangan Gramsci disebutnya sebagai insrumen heeemoni vane bcnifat orivat. dan meruoakan suatu komoleks dari nktiuitas nraktis dnn teoritis dimana kclas penguasa . . , lid& hmya mcmpcnahankan dominar~n)annm.lnjugn metnpcn,fel, pr.rrul.tjunn Jar, kclonlpul: lam )ang bcrJds dl b w a h kckuasaannya Ncgara adalah masyarakal pohuk dnambnh mu)amk;lt s~pll( S ~ r u l n l a ,2006 Kclast Kckuaslm. Tclaah Pcrnik~ranAntonto Gramcst dalam lionlrks Po11t1kIttd.)n~s~a Kdnrcrnp.rrer, Yog) ?k.tna hfcd13W~cana.2006 51)
.
dominasi yang melanggengkan stntktur kelas dan itleologi masyarakat (Fakih
1997: 4,36). Perkembangan selanjutnya analisis tentang hegemoni bagi Gramsci dapat digunakan untuk membedakan atas kuatnya dominasi terhadap perilaku masyarakat. Bagi Gramsci kuatnya dorninasi dilakukan dengan beragam kekuatan fisik (phisicly) yang membuat masyarakat mer~jadi takut dan menjadi tidak berdaya. Pandangan dominasi melihat bahwa manusia melakukan penguasaannya terhadap manusia lain selal~ldidasari olch sarnna yang snh, tcrutatna dalatn ha1 ini adalah negara sebagai suatu lembaga sosial yang besar (the big social institutions). Artinya negara hanya dianggap sebagai lembaga yang berfungsi
sebagai legalisasi atas penguasaan manusia yang lainnya dalam lingkup makro. Dominasi lebih berorientasi kekerasan menjadi sangat kuat. Seperti yang diungkapkan oleh Karim (1999: 13) bahwa pendapat Weber dan Trotsky sepakat menyebutkan tentang penguasaan manusiat6 atas negara selalu didasari oleh kekerasan (violence). Dalam ha1 ini negara akan anarkhis, sewenang-wenang dan otoriter. Hal yang paIing nyata ciapat dicontohkan adalah dominasi kekuatan seorang penguasa otoriter dimana rniliter dipakai sebagai ujung tombak melakukan stabilitas manajernen negara. Pandangan tersebut sangat terasa di masa pemerintahan Orde Baru yang mengarusutamakan kepentingan keamanan dengan menggunakan perangkat militer (TNI) hingga di tingkat desa (Babinsa). Hegemoni sebagai kasanah masih abstrak dalam kacamata awam temtama masyarakat desa berpengaruh terhadap kestabilan melakukan pengaturan sistem sosial. Hegemoni masuk dalam pola pikir dan ideologi masyarakat, sehingga tanpa sadar membuat masyarakat terhanyut pada suatu kondisi kerelaan dan menciptakan dunia kehendak para penguasa. Solusi dalam rangka melakukan perlawanan terhadap kekuatan hegemoni bagi Gramsci adalah dengan melakukan penyadaran terhadap masyarakat. Penyadaran dilakukan di tingkatan ideologi untuk menimbulkan daya kritis dari pemikiran rnasyarakat terhadap kekuatan ideologi negara yang hegemonik. Batasan analisa hegemoni mencangkup satuan negara, namun demikian hegemoni dapat terjadi pada setiap lini kehidupan 16
Mecurut penulis, bahwa perebutan negara oleh manunia sebagai suntu pcrsaingnn antuk menguasai negara scbagai institusi formal yang menunguntungkan. Dalam ha1 ini, bagi individu atau kelompok yang menguasai negara dengan cara paksa (violence) maka kecenderungan untuk rnelakukan tindakan .nnnrkhis sernakin besar.
masyarakat, jika masyarakat tidak melakukan kegiatail lirjtis atas fenomena sosial yang melingkupi individu dan masyarukat. 17 Perlawanan terhadap hegemoni juga perlu dilakukan dengan melakukan penyadaran peran dan posisi atas status terbentuknya negara. Masyarakat perlu disadarkan dengan melihat hubungan kesetaraan antara negara dan warga negara. Kesadaran tersebut minimal menlberikan penlahaman bahwa negara adalah bentukan dari warga negara. Seperti diungkapkan oleh Rousseau dan juga Lock yang menganggap negara sebagai kehendak umum, pada awalnya kehendak manusia diarahkan untuk kepentingannya
sendiri, kelompoknya, akan tetapi
kehendak mereka tidak bersatu, tcrkadang berlawanan. Kepercayaan pada kehendak mum itulah yang menjadi basis bagi konstruksi negara Rousseau (Patria & Arief, 1999: 95). Lanjutnya rakyat liarus berkumpul menyatakan ,
kehendaknya melalui peiundang-undangan yang diputuskannya, sehingga posisi pemerintah hanyalah sekedar "panilia" yang bertugas nlelaksanakan keputusan rakyat. Jadi, menurut Suseno (1987: 81) bahwa rakyat memerintah sendiri secara langsung - apa yang dikehendaki rakyat itulah hukum
-
maka negara menjadi
republik, respublica, atau urusan umum. Pada pandangan di atas terlihat bahwa struktur kepenguasaan pemerintahan negara haruslah berbasiskan dari tingkat bawah yaitu, masyarakat. Pembentukkan negara republik yang dipilih oleh founding father Indoilesia adalah memberikan rakyatnya. Akan tetapi, pada proses peluang sebesar-besamya ucituk kc~nak~iiuran perjalanannya
berdampak
pada
depolitisasi
terhadap
masyarakyat-yang
sesungguhnya memiliki kedaulatan tertinggi. Kebangkitan birokrasi militer menurut Antlov (2003: 9) merupakan ciri kentara dari kebangkitan Orde Baru. Akhimya, ha1 ini berdampak luar biasa dalanl pe~nbentukankekuasaan yang oleh Arief Budiman (1996: 86-87) disebutkan sebagai rezim. Kuatnya kekuasaan Orde
Baru disebutnya sebagai rezim yang telah menjadi militer sebagai kekuatan otoriter yang menghambat perkembangan demokrasi di negeri ini. Hegemoni merupakan suatu rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus dari pada melalui penindasan terhadap kelas sosial yang
" Lebih
Pelajar.
detail lihat Patria, Nezar & And; ArieT, 1999. Antonio Gmmsci: Neg:~redan Hegernoni, Y o g y a k m : Pustaka
lain. Hegemoni dapat dilakukan dcngan bebagai cnra, nlisalnya rnelalui institusiinstitusi yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung terhadap struktur kognitif masyarakat. Hegemoni dapat dipaharni secara mudah menjadi suatu upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Seperti pada masyarakat borjuis di Eropa yang berllasil memanipulasi kesadaran para buruh, sehingga mereka setuju dengan ideologi ltapitalisn~edan kehilangan militansi revolusionemya. Ataupun, kekuasaan negara hanya bisa dicapai setelah penegakan hegemoni tertentu dalam masyarakatnya Menurut Patria dan Arief (1999: 125) bahwa analisa Gramsci juga terkait dengan teori penyesuaian dari Fcminu yang mcnangkap tiga kategori perbedaan penyesuaian yang dilakukan ole11 manusia yaitu melalui 1) rasa takut, 2) karena terbiasa, dan 3) karena kesadaran dan persetujuan. Tipe yang ketiga yang kemudian dipakai oleh Gramsci untuk menladankan gagasannya yang disebut sebagai Hegemoni. Hegemoni dirnaknai sebagai suatul perw~judandari proses dasar konsensus atau persetujuan. Hegemoni memunculkan komitmen yang berjalan pada dua lini yaitu komitmen aktif dan kornitmen pasif. Yang yertama, merupakan konsensus yang didasarkan pada posisi kelas yang tinggi, sah yang secara historis berkembang dalam dunia produksi. Yang kedua, merupakan suatu konsensus yang diterima oleh kelas bawah, kelas pekerja (proletar). Pada komitmen yang kedua kemunculan konsensus bukan karena kelas yang terhegemoni menganggap struktur sosial yang ada (hasil konsensus) itu sebagai keinzingan mereka (kelas bawah). Menurut Gramsci ha1 tersebut terjadi karena mereka (kelas bawah) kekurangan basis konseptual yang rnembentuk kesadaran yang kemungkinan mereka memahami realitas sosial secara efektif. Pada akhir proses pernbentukan konsensus ini menurutnya dimaknai sebagai gejala integrasi budaya.Is Dari gejala integrasi budaya, Gramsci melihat ada dua faktor yang penting yaitu: pendidikan dan mekanisme kelernbagaan.19 Yang pertarna dilihat sebagai la Bagi Oramsci gejala integrasi budaya merupakan konsensus terselubung dm hanya rnernperkuat hegemoni kelas boquis dengan mengaburkan sifat-sifal yang sesungg!hnyn (Pnrria & Ariei 1999: 127).
'' ibid.
kegagalan pendidikan karena pendicii!..ni~tidal< pemai~menyedinkail kemu~~gkinan membangkitkan kemampuan untulc berlri!iil. seca;a k~itisdan sistematis bagi kaunl buruh. Yang kedua, bah~van1ek:lnisnlt: kclembagai!n ciilihat aebagai bentukan "tangan-tangan" keionipok
yang bcrkuasa unt:~k n:cnentukan ideologi yang
mendominir. Hegemoni menurut Gramsci memiliki tingkatan yaitu: I ) hegemoni integral. Hegemoni ini ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan inteletual yang kokoh. Hegemoni integral tampak pada hubungan organis antara pemerintah dan yang diperintah.
2) hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Pada hegemoni kedua inilah integrasi dapat mengalami disintegrasi yang tampak dari konflik yang tersembunyi di bawah realitas sosial. Artinya, mentalitas masyarakat tidak secara sungguh-sungguh selaras dengan mentalitas dan pemikiran kelas yang dominan.
3) hegemoni minimum (mininlal hegenzoty). Menurut Gramsci hegemoni tingkatan ketiga inilah yang merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah dibandingkan dengan dua bentuk di atas. Pada kerangka ~ r a m s c i ~melihat ' hegemoni memulai dari tiga batas konseptualisasi yaitu: ekonomi, negara (political society) dan masyarakat sipil
(civil society). Perfamu, ekonorni dimaknai sebagai batas konseptualisasi yang digunakan untuk mengartikan mode of production yang paling dominan dalam sebuah masyarakat. Cara produksi terdiri dari teknik produksi dan hubungan sosial produksi yang ditumbuhkan atas munculnya perbedaan kelas-kelas sosial dalam arti kepemilikan produksi. Kedua, mengenai batasan negara (politic~lsociety) dibatasi pada tempat munculnya praktek-praktek kekerasan (polisi dan aparat kekerasan lainnya) dan tempat terjadinya pendirian birokrasi negara. Birokrasi dimaknai sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan dan institusi pendidikan.
Ketiga, adalah batasan civil society menunjuk pada organisasi lain di luar negara dalam sebuah formasi sosial di luar bagian sistem produksi material dan ekonomi, yang didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen di luar
* Ibid: 136. Patria dm Arief (1999) rnerujuk pada karya Gramrci (1976: 245) yang betjudul Seteclions From 7'he Prism Notebook, Quintin Hoate dan Nowell Smith (ed),international Publisher, New York.
batasan di atas. Sebagai komponen utama masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai sebuah institusi religius. Pada masyarakat yang terhegemoni tidak dapat memberikan masukan yang signifikan terhadap penentuan nasib dan kemerdekaannya. Hegemoni dilakukan juga dengan menggunakan kekerasan fisik menggunakan strategi militerisasi yang membuat takut masyarakat. Penarikan politik dari tingkat desa (f7onting mass) dibarengi juga dengan masuknya militer ke desa untuk mendukung suksesnya program-program pemerintah dan kampanye Golkar-yang
notabene adalah
identik dengan partai pemerintah. Seperti, penggunaan kekuatan militer ke daerahdesa untuk institusionalisasi dan inovasi revolusi hijau dalam intensivikasi pertanian dan program keluarga berencana (KB)?' Masyarakat desa menjadi terkonstruk menjadi masyarakat tertindas, ndeso, dan dianggap bodoh. Pada kondisi inilah desa tidak dapat melakukan fungsi sosial-budaya, ekonomi, dan politik secara mandiri dan bebas, karena kehilangan kesadaran kelasnya sebagai masyarakat desa. Demokratisasi dan otonomi adalah jalan tengah untuk memberikan suatu mang menuju tingkat partisipasi menuju lepasnya dominasi dan hegemoni negara terhadap masyarakat, yang hams dilakukan dengan menggunakan gerakan sosial untuk memutus ketidaksadara inasyarakat desa.
" Lcbih lanjul lihat Hans Antlov, 2003. Negsra Dalam Dess: Palronai Kepcmin~pinan Loka1, Yogy.nkarla: Lappera Pustaka U m a
Hegemoni dan Gerakan Pcmb:jruan Dcsa Usaha dalam bentuk pergerakan atau gerakan sosiai hams dilakukan untuk melakukan perebutan terhadap kuatnya hegemoni clan dominasi negara, termasuk menciptakan ruang yang otonon? dan dcmokratis atas usaha dan keberdayaan masyarakat yang lebih bermakna dan mcnciptaltan kemandiriannya. Pembaruan desa harus diwujudkan dalam gerakan sosial. Untuk mendefinisikan wacana tersebut secara teoritis gambaran Sztompka tentang gerakan sosial akan dijelaskan terlebih dahulu sebagai landasan teoritisnya. Menun~tSztompka (1995: 274) All
these are social movements. Artinya, seluruh gerakan yang d~lakukanmasyarakat untuk melakukan tuntutan pembahan atau pernbaruan dapat dianggap sebagai kita dapat tnelihat beberapa penekanan kelompok atau gerakan sosial. Walaup~~n mengenai gerakan sosial nienurui bcbcrapa pahar sepcrti yang dikutip oleh Sztompka: Blumer (195 1: 199) menyebutkan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk membangun tatanan kehidupan yang baru; Lang & Lang (1961:
507) menyebutkan upaya kolektif untuk mengubah tatanan sosial; Slemser (1962:
3) menyebutkan bahwa gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengubah norma dan nilai; Turner & Killian (1972: 246) rnenyebutkan bahwa Gerakan Sosial merupakan tindakan kolektif berkelanjutan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu; Lauer (1976: xiv) menyebutkan bahwa gerkaan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengendalikan arah pcrubahan. Akhimya, disimpulkan olch S~lompka(1995: 275-6) bahwa gerakan sosial dapat didefinisikan sebagai: I) Kolektivitas orang yang bertindak bersama; 2) Tujuannya dan tindakannya adalah pe~ubahantertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama; 3) Kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendall derajatnya daripada organisasi formal; 4) Tindakannya mempunyai dcrajal sponlanilns rclatif ttnggi namun tak terlembaga dan bentuknya tak konvensional. Hal yang sangat dominan dalam gerakan sosial adalah keterkaitannya dengan proses pcrubahan sosial sebagai basis yang sangat menentukan. Pandangan di atas memperlihatkan bahwa geraltan sosial merupakan suatu kekuatan kolektif yang melnkukan usaha-usaha pengen6a:;dn perubahan secara
terarah dalam bentuk yang sangat fleksibel, mulai dari yang gerakan spontanitas sampai gerakan-gerakan yang terlen~baga.Sebagai contohnya kita dapat melihat -pandangan tersebut dalanl kekuatan mahasiswa dan masyarakat pada awal Mei
1998 hingga a i r tahun 1998. Gerakan yang mereka lakukan merupakan gerakan sosial menuntut perubahan struktur kelembagaan dan lengsernya kepemirnpinan Orde Baru. Gerakan sosial seperti ini dapat dianggap sebagai penyebab utama perubahan
dari bawah dalam sistem kenegaraan dan pemerintahan saat itu.
Walaupun kita tidak dapat menafikkan bahwa untuk mewujudkan harapan mencapai keberhasilan diperlukan suatu kondisi yang diperlukan dan cukup untuk mencapai suatu perubahan yaitu: I ) Gerakan sosial hams terjadi dalam lingkungan sosial yang kondusif, 2) berhadapan dengan struktur yang menguntungkan dan mendukungnya. Artinya, kondisi sosial, ekonomi, dan politik pun bukanlah satunya faktor yang memberikan keleluasaan kesuburan kemunculan gerakan sosial, akan tetapi elemen luar sebagai pendukung gerakan juga sangat memberikan pengaruh besar terhadap eksistensi dan seberapa kuat suatu gerakan sosial. Gerakan sosial juga bisa jadi merupakan suatu akibat, dampak dari suatu momentum kejadian atau suatu gejala yang menyertai proses sosial tertentu, seperti munculnya modemisasi, penindasan oleh pemerintah, perubahan regulasi yang dilakukan oleh pemerintah. Gerakan sosial tidak akan pemah muncul dalam suatu kondisi kevakuman, akan tetapi dapat muncul dalam suatu kondisi sejarah tertentu yang berkaitan dengan proses sosial. Gerakan sosial dalam proses perubahannya mempengaruhi jalannya sejarah. Pada kondisi demikian, penulis menyebutkan bahwa gerakan tersebut adalah gerakan sosial responsif untuk menciptakan suatu rekonstruksi secara kritis fenomena ketidakadilan. Sztompka (1995: 278) mengutip pendapatnya Burns, dkk (1985: iv) yang menyebutkan bahwa Social movements are the bearers ofsocial structure in the
form of acquired rule systems through their actions and transactions. Gerakan sosial merupakan pengemban struktur sosial dalam bentuk sistem aturan yang diperoleh dan pada waktu yang bersamaan gerakan ini menciptakan, mencipta ulang dan merombak sistem hukum melalui aksinya. Pada saat yang sama gerakan sosial menjadi prod& dan sekaligus menjadi produsen atas suatu pola-pola sosial,
seperti yang disebutkan oleh Dieter Rucht (198%:306) bahwa social movements are at the same time products and producers of socie!al patterns Though they act within a historically created nrrd relatively stable ,fr.ame, they also actively participate in changing political clisvcourses, polver constellation, and cultural symbols ( d i i t i p oleh Sztompka 1995: 278). Penulis juga perlu memperhatikan bahwa gerakan sosial bertindak tidak hanya dalam suasana historis yang diciptakan dan dalam suasana yang relatif stabil, namun gerakan ini juga secara aktif berpartipasi mengubah percaturan politik, konstelasi kekuasaan, dan simbol kultural, bahkan menciptakan suatu relasi-relasi sosial yang b m . Gerakan perubahan sosial ini membutuhkan suatu kekuatan sosial politik yang sangat besar. Setidaknya, ada energi dan atau motor penggerak yang dapat menjalankannya. Gerakan sosial sebagai kekuatan aksi yang dilakukan oleh civil society merupakan suatu parameter beraktivitasinya dan dinamika partisipasi yang dilakukan masyarakat. Seperti yang disebutkan oleh Suwondo (2005: 197) bahwa masyarakat sipil yang mengarah pada suatu tempat atau arena (public sphere) di mana masyarakat masuk ke dalam hubungan dengan negara. Sehingga gerakan sosial merupakan suatu bagian kecil dari aktivitas dari civil society yang sangat diharapkan sebagai kekuatan penyeimbang (cozmter balance) dari kekuatan negara yang mempunyai kecenderungan arogan dan otoriter. Dalam Negara otoriter dan sentralistik kondisi seperti ini kemunculmnya tidak diharapkan oleh negara. Namun, apakah dalam kondisi seperti ini tidak ada kemungkinan untuk munculnya suatu gerakan sosial ke arah pembaruan yang dapat mengangkat kembali citra civil society dalam nlana dapat menjalankan fungsinya? Menurut Suwondo (2005: 200) bahwa keberbasilan perkembangan civil sociefy ada
beberapa faktor yang dapat membentuk kondisi civil society yang relative lebih baik seperti: 1) kondisi ekonomi yang sudah mapan di bawah; 2) sistem politik lokal yang fungsional; 3) kepe~ninlpinanelite lokal yang dapat diteladani; 4) tradisi partisipasi desa untuk mandiri di bidang politik dan ekonomi. Setidaknya, kalaupun faktor di atas tidak berjalan menciptakan gerakan sosial, menurut Soemardjan (1986) bahwa melihat perubahan sosial di Yogyakarta hams juga memperhatikan aktor berpengaruh yang secara structural mempunyai kewenangan untuk melakukan inisiasi perubahan.
Aktor Besar: Kepernimpinan Pemhnruan Desa Pernasalahan yang coba diangkat dari landasan pikir ini adalah menjelaskan bagaimana suatu perubahan (penlbaruan) menlpakan suatu penciptaan yang tidak dapat dilepaskan dari para aktor pencipta. Seperti, beberapa pertanyaan yang perlu diajukan: Siapa (aktor)'* berbuat apa dalam pemban~andesa? Siapa yang berbuat pembaruan desa? Orang-orang atau aktor seperti apa yang dapat melakukan pembaruan? Setidaknya kita mengetahui bahwa setiap orang atau aktor tadi dapat menjadi instnunen perubahan. Tapi selanjutnya, aktor seperti apa yang mampu melakukan proses pembaruan dalam kondisi yang sangat menghimpit, seperti sekarang. Dimana kondisi Negara ini mengalami krisis moneter, krisis ekonomi, hingga krisis kepercayaan. Pada konsep aktor ini analisa dilakukan adalah pada tingkat individual. Pada tingkat individual seperti apa yang dipilih tnerupakan suatu kendala delematis karena pada akhimya tidak semua orang menjadi subject rnalfer dalam penelitian ini. Oleh karena itu, untuk memberikan pilihan dan gambaran pada aktor yang dipilih merujuk pada pendapat Sztompka (1994: 259-261) yang mempercayai bahwa aktor besar sebagai agen dari perubahan (grenf individuals as
agents of change). Menurutnya, siapa yang membuat sejarah? Seberapa banyak sejarah itu dibuat oleh aktor? Apa sejarah yang mereka buat? Dan bagaimana sejarah mereka buat? Setidaknya dengan pertanyaan-pertanyaan itu dapat digambarkan sekilas tentang konstribusi seorang aktor pada perubahan sosial. Selanjutnya, Sztompka menjelaskan tentang aktor individual yang disebutkan menjadi tiga tipe yang berlainan, yaitu: 1) tipe perfama, terdiri dari orang biasa dalam kegiatan sehari-hari. Kebanyakan dari apa yang tejadi dalam suatu masyarakat terdiri dari orang yang berkerja, beristirahat, makan dan tidur, berpergian dan berjalan, berbicara dan menulis, tertawa dan bertengkar dan sebagainya. Pada tipe ini massa atau rakyat biasa merupakan bahan utama pembentukan masyarakat. 2) tipe kedua, terdiri dari individu yang karena kualitas pribadiiya yang khas (pengetahuan, kecakapan, bakat, keterampilan, kekuatan fisik, kecerdikan, atau kharismanya) bertindak mewakili orang lain, atas nama
* Aktor disebutkan rebagai penycbutkan kepada individu-individu di masyamkat yang mcrujuk pada konsep aklor dalam Drama Tuj i oleh Ewing Goffmm
mereka atau untuk keperntingan mereka atau memanipulasi atau menindas orang
lain, meski tanpa seijin mereka. Ini semua mencalup: pemimpin, nabi, ideolog, kepala suku, negarawan, diktator, tiran, d m sebagainya. 3) tipe kefiga, terdiri dari orang yang menduduki posisi luar biasa karena mendapat hak istimewa tertentu (terlepas dari kualitas pribadi luar biasa yang adakalanya juga mereka miliki). Peran orang besar (tipe ketiga) memungkinkan dan bahkan memerlukan tindakan yang berakibat terhadap orang lain, menentukan nasib orang lain. Dengan membuat keputusan yang mengikat dan juga melaksanakan metapower, membuat perahlran yang h a s diik~tioleh orang lain. Tergolong tipe ini adalah raja (executive), anggota dewan penvakilan rakyat (legislntive),manajer, administrator
dan sebagainya. Oleh karena itu, pada penelitian ini para aktor besar tersebut
adalah elit. Elit desa yang dimaksud adalah para tokoh yang (seharusnya) menjadi panutan masyarakat desa. Penyebutan elit desa dapat dimaknai sebagai suatu perwakilan dari tokoh-tokoh masyarakat desa, elit pemerintahan, dan tokoh-tokoh golongan seperti tokoh agama, tokoh aliran, anggota rnasyarakat yang menduduki jabatan. Kcranglca Pcmiltiritn Berangkat dari dinamika sejarah hegemoni dan dominasi negara terhadap desa ketertarikan dari penelitian ini dimulai. Tenitarna, bagaimana civil society yang selalu konsisten melakukan perlawanan terhadap kebijakan negara yang masih dianggap tidak berpihak kepada masyarakat bawah. Perubahan kebijakan negara ke arah kebaikan posisi hubungan desa dan supra desa yang telah dilakukan untuk mengeliminasi UU No S'tahun 1979 rnerupakan pintu gerbang
yang sangat memberikan sumbangan terbesar kepada proses awal dari gerakan pembaruan desa. Dimana pada masa-masa bergulirnya wacana otonomi daerah dan demokratisasi pada tahun 1999 dengan kemunculan UU No 22 tahun 1999 menyumbangkan semangat penguatan otonomi hingga di tirlgkat desa. Pada kondisi seperti ini penguatan pembaruan desa dirasakan sangat menonjol terutama yang dilakukan oleh pemerintahan desa dengan bentukan-bentukan asosiasi dan kelembagaan pembaruan penguatan kedudukan sosial politik pemerintahan desa.
Perjuangan penguatan otonomi dan demokratisasi yang terhambat secara yuridis ketika munculnya UU baru yang pada awalnya dikeluarkan karena tuntutan untuk dilakukannya perubahan (revisi) UU No 22 Tahun 1999. Perubahan peraturan tersebut menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menggantikan kesempatan penguatan otonomi dan demokratisasi rakyat desa. Artinya, munculnya UU baru tidak menambah peluang penguatan desa atas negara tetapi sebaliknya, orientasi resentralisasi sangat dominan dirasakan dengan menarik kembali pertanggungjawaban pemerintah desa kepada pemerintah di atasnya. Kondisi hegemoni yang dilakukan kekuasaan pemerintah tidak berkurang, dan sebaliknya memiliki kecenderl~ngan nienguat secara stn~ktural yang tersentralisasi dari pusat hingga di tingkat desa. Artinya hegemoni dilakukan dengan jalan sentralisasi kekuasaan pemerintah. Sentralisasi dapat dilakukan
dalam berbagai pembenaran dan berdasarkan pada persetujuan yaitu: melalui kebijakan-kebijakan pemerintah, melalui struktur sosial-politik, melalui kultur atau budaya masyarakat dan melalui pelembagaan (institusicr.~Iisasi). Untuk melakukan suatu perubahan kebijakan secara struktural dibutuhkan berbagai instrumen dan strategi termasuk penguatan kapasitas kelembagaan ke dalam. Oleh karena itu, komitmen terhadap pembaruan desa menjadi penting di segala lini perjuangan. Hal tersebut menjadi pertimbangan yang sangat menarik terhadap perjuangan pembaruan desa. Perjuangan pembaruan desa terus dilakukan dengan berbagai ragamnya. Perjuangan yang dilakukan adalah suatu capaian
(goals) terbebasnya pemerintahan dcsa dmi hegemoni dan dominasi pemerintahan di atasnya (supradesa). Hal yang dilakukan adalah menciptakan konsolidasi di desa antara masyarakat sipil dan masyarakat politik agar tercapai keseimbangan kekuatan untuk memenuhi hak dan kewajibannya secara transparan dan partisipatif. Oleh karena itu, analisa Granlsci mengenai llubungan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik dalam kontck kekuasaan kenegaraan perlu mendapatkan perhatian dalam penrllisan hasil pcnelitian ini. Gamsci melihat bahwa hubungan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik sebagai suatu kekuatan negara integral yang terjalin karena adanya tingkat hegemoni integral. Negara dalam pengertian integral diciaforship dan hegemony.
Hipotesis Pengrrah Perjuangan pembaruan desa merupakan perubahan sosial yang dilakukan pada tingkat ideologi sebagai bentuk kontra hegemoni melepaskan diri dari kek~lasaannegara yang sentralistik terutama hubungan pemerintahan desa dengan pemerintah di atasnya (supradesa) dalam menguatkan dan mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan. Hegemoni menurut Gramsci adalah suatu keniscayaan, bahwa hegemoni merupakan dominasi kepeminipinan intelektual dan moral serta dominasi politik yang menciptakan kepatuhan dan ketertundukan masyarakat sebagai hasil konsensus antara masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat politik (political
society) menjadi keharusan. Negara, (temasuk pemerintah desa) dalam kajian integral (negara integral) maka harus melakukan proses dictatorship dan hegemony. Oleh karena itu, kegagalan negara melakukan fungsi integralnya
merupakan suatu kondisi krisis hegemoni (Crisis of hegemony). Pembaruan desa merupakan suatu cara pandang aktivis pembaruan desa
untuk mencapai kondisi desa yang maju dan ideal. Ole11 karena itu, pembaruan desa menciptakan hegemoni barn dalam sistem peinerintahan desa dengan menggunakan demokratisasi yang berkeadilan untuk menciptakan ketertundukan pemerintahan desa dan masyarakatnya pada sisten~pcmcrintahan yang demokratis dan berkeadilan. Disitulah peroses keberhasilan pembaruan desa sebagai proses pembaruan hegemoni yang berkeadilan pada prinsip demokratisasi. Atau dalam kondisi sebaliknya dapat dikatakan bahtva kondisi kegagalannya disebutkan sebagai kondisi dimana pemerintahan desa mengalami krisis hegemoni.
Matrik Kerangka Pernikiran
'
Aktor
'..
pembaruan
-----re
Demokrasi & Berkeadilan
Analisa Hegemolli
L
: Arus searah (issue turunan) : Arus dialektik (koordinatif) : Arus dialektik abstrak
*-------------+