Jurnal EKSEKUTIF Volume 12
No. 2 Desember 2015
Dosen Indonesia V Dosen Swedia: Pengembangan Dosen Untuk Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara
Yudithia Dian Putra STIE IBMT Surabaya
[email protected], twitter :@infodosen
ABSTRACT Profesi Dosen Di Indonesia merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan pendidikan Tinggi di Indonesia. Didalam artikel ini membahas perbandingan karir dari dosen di Indonesia dan Dosen Diluar Negeri. Walaupun fungsi dasar yang dijalankan oleh dosen di Indonesia dengan dosen di luar negeri sama, dalam beberapa hal detail banyak perbedaan yang fundamental. Berbagai perbedaan yang terjadi sistemik itu dimungkinkan menjadi faktor penyebab kenapa kualitas pendidikan tinggi kita kalah jauh dengan di negara-negara maju.
Keywords: Dosen, Karir Dosen, Pendidikan Tinggi PENDAHULUAN Peranan dosen merupakan faktor utama dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Dalam hal pengembangan karir seorang dosen sebagai pendidik professional dan ilmuan pada perguruan tinggi, maka dosen yang bersangkutan harus menjalankan unsur utama yaitu Tridarma Perguruan Tinggi yaitu; pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, hal ini telah diatur sesuai ketentuan undang-undang guru dan dosen (UU no. 14 2005) yang berlaku secara nasional. Dengan demikian pentingnya pengembangan karier dosen ini tidak sedikit perguruan tinggi dan pemerintah menghabiskan anggaran untuk biaya yang cukup besar untuk pe ningkatan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, biaya penelitian, seminar nasional dan internasional, biaya publikasi ilmiah, baik nasional maupun internasional. Sehingga akreditasi dari program studi sebagai homebase dosen tersebut menjadi semakin meningkat dan mempunyai reputasi yang baik dimata masyarakat. Dengan reputasi yang semakin baik banyak universitas di wilayah negeri ini dan internasional menjadi terkenal karena kemampuan para dosennya yang bekerja melaksanakan tugas-tugasnya dengan konsisten dan baik. Simplifikasi isu pendidikan tinggi dapat dibagi menjadi beberapa bagian antara lain (1) terabaikannya pengembangan potensi dosen oleh universitas; (2) rendahnya mutu pembelajaran dan proses pendidikan; (3) menurunya potensi pengembangan universitas; (4) menurunnya kinerja kelembagaan secara menyeluruh dan (5) rendahnya minat belajar mahasiswa. Kejadian- kejadian tersebut jika dianalisa secara lebih mendalam, maka terjadi dari hal – hal yang bersifat umum kepada hal- hal yang lebih spesifik yakni menurunnya kompetensi professional dosen yang tentunya diakibatkan oleh beberapa faktor sebagai pendukung. Hal diatas terjadi bukan dalam kurun waktu yang sebentar, namun dalam kurun waktu satu decade terakhir dan dibuktikan dengan menurunnya jumlah mahasiswa baru, terutama pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS), rendahnhya pencitraan publik, serapan rancangan kerja 381
Jurnal EKSEKUTIF Volume 12
No. 2 Desember 2015
yang kurang optimal serta masalah-masalah lain yang secara langsung ataupun tidak langung berkaitan dengan minat belajar mahasiswa seperti prestasi akademik dan non akademik diperlukan adanya peningkatan. Di satu pihak jumlah dosen yang berlatar pendidikan S1 masih cukup besar (23,5 %), di pihak perguruan tinggi dituntut menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan, kecakapan-keterampilan, motivasi dan kemandirian agar mampu hidup, berkarya dan beradaptasi dengan dunia yang terus berubah dan berkembang. Dengan demikian diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan profesional dosen, agar dapat menghasilkan lulusan sesuai dengan yang diharapakan. Kemampuan profesional bukan sesuatu yang statis, tetapi dinamis terus dibina dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan perubahan. Sudah dipahami oleh banyak kalangan, dosen adalah profesi khas, karena ia mendidik anak bangsa menjadi sarjana, magister dan doktor. Mayoritas anak bangsa ini masih bergelar S-1 dan sejak satu dekade terakhir ini mulai banyak yang bergelar S-2, baik berprofesi sebagai dosen maupun non-dosen. Tetapi sayang, di prodi-prodi tertentu di suatu PTS misalnya, jumlah dosen yang bergelar S-2 nyaris nol. Rekrutmen dosen bergelar S-2 untuk prodi tertentu tidaklah mudah, karena isu linieritas juga sangat dipertimbangkan dalam proses rekrutmen dan pada saat yang sama tidak bisa mengajukan diri untuk memperoleh jabatan karir akademik. Apabila proses jabatan karir dosennya terkendala, maka pengembangan prodi pun tertatih-tatih. Potensi mahasiswa dan lulusan prodi berkurang, bahkan berakhir pada status tidak diakreditasi. Mengingat begitu besarnya peranan perguruan tinggi dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang bermutu, dan begitu strategiknya kedudukan dosen dalam proses pendidikan dan pembelajaran di perguruan tinggi dan untuk mengetahui dan mengatasi kendala atau kesulitan yang terjadi khususnya di dunia pendidikan, maka pengembangan karir dosen di perguruan tinggi sangat relevan . Hal ini mendesak untuk dilakukan sebab jika tidak, maka akan memberikan dampak yang sangat signifikan yakni menurunnya kepercayaan masyarakat untuk masuk ke jenjang pendidikan tinggi, melemahnya pencitraan pendidikan tinggi swasta, menurunnya minat belajar mahasiswa, melemahnya mutu layanan pendidikan dan pembelajaran, melemahnya minat dosen untuk mengembangkan prestasi mengajarnya. Dan sebaliknya jika sistem ini dilakukan, maka akan memberikan dampak positif bagi pengembangan insitusional secara menyeluruh dan pengembangan personel dosen yang mengarah pada peningkatan kompetensi profesional yang semestinya menjadi tuntutan dan kebutuhan masyarakat pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta. Dilema Dosen Indonesia Berkarir menjadi Dosen di Indonesia Dosen di Indonesia diuji lagi. Pemerintah RI dalam hal ini adalah Kementerian PAN dan RB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) merilis peraturan baru tentang Jabatan Akademik Dosen. Aturan ini menandaskan, dosen harus bergelar doktor (S-3) kalau ingin naik jabatan menjadi Lektor Kepala. Langkah pun diambil dengan cara melarang pengajuan jabatan ke Lektor Kepala dengan menggunakan dokumen offline dan wajib menggunakan Aplikasi SIPKD (Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen). Peraturan sebelumnya mensyaratkan jenjang pendidikan dosen minimal S-2 (magister) dengan sejumlah syarat lain seperti angka kum yang memenuhi jumlah dan distribusinya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dampak selanjutnya, kesempatan rakyat Indonesia yang dijamin UUD 1945 untuk menjadi cerdas dan terdidik apik, minimal S-1, berkurang bahkan pupus, baik yang di kota-kota terutama yang kelas ekonomi menengah ke bawah, apalagi yang di daerah-daerah. Jumlah sarjana berkurang karena ada yang meninggal dan pada saat yang sama, produksinya pun berkurang karena prodi-prodinya tutup lantaran tidak terakreditasi. Langkah yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini memang sudah sangat jelas dan terukur. Menurut Berg (2001) Menjadi Dosen di Swedia adalah sebuah 382
Jurnal EKSEKUTIF Volume 12
No. 2 Desember 2015
kepercayaan besar publik dan pemerintah terhadap keilmuan tertentu, tentunya hal ini juga dipengaruhi dengan ditunjang dengan sistem penggajian yang layak. Karena Dosen adalah termasuk dalam abstract worker dalam sudut pandang etnosentrik. Abstract Worker didefinisikan sebagai pekerja yang berdedikasi dan loyal terhadap pekerjaannya karena memiliki tanggung jawab terhada keluarga dan anak-anaknya selain tanggung jawab terhadap pekerjaanya, maka pengukuran dan jenjang karir sebagai dosen sangat fleksibel karena dinilai dari prestasi kerjanya. Lebih lanjut Dowd (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa menjadi berkarir menjadi dosen adalah sebuah profesi karir yang memiliki 2 pilihan yaitu terbatas dan tidak terbatas yang tergantung terhadap individu masing. Lebih lanjut Kaplan (2005) membagi atas 4 tipologi karir dosen
Sumber: (Berg (2001) Seharusnya tidak ada perdebatan lagi bahwa kinerja penelitian kita memang masih memprihatinkan. Berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya dari Kemristekdikti dan SCImago, sebanyak 5.000 makalah ilmiah telah diterbitkan di Indonesia pada tahun 2015. Indonesia memiliki sekitar 250.000 dosen. Dengan mengabaikan peneliti yang tersebar di berbagai lembaga penelitian dan Puslitbang Kementerian, maka rata-rata produktivitas menulis dosen hanyalah sebanyak 0,02 makalah per tahun. Sebetulnya rendahnya produktivitas menulis ini cukup aneh. Selama studi doktoral di luar negeri, dosen-dosen kita rata-rata mampu untuk menghasilkan paling sedikit satu makalah ilmiah per tahun. Artinya, secara individual tidak ada yang salah dengan kapabilitas dosen Indonesia. Memang muncul beberapa pendapat bahwa rendahnya produktivitas menulis dikarenakan beban administrasi yang menumpuk. Namun kenyataannya, dosen-dosen senior yang tugas administrasinya relatif sudah berkurang, produktivitas artikel ilmiahnya pun tidak tinggi. Jika kemudian setelah kembali dari tugas belajar produktivitas menulis dosen menjadi
383
Jurnal EKSEKUTIF Volume 12
No. 2 Desember 2015
mandek, kemungkinan kesalahan ada di sistem pengelolaan penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari table dibawah: Tabel Kinerja Penelitian Swedia dan Indonesia KRITERIA DURASI PENELITIAN
SWEDIA Jangka panjang, 2–5 tahun.
DANA PENELITIAN
Euro 250 ribu – 1,5 juta (Rp 3,7 M – 22,5 M) per proposal. Ya. Sebagai pekerja riset yang direkrut di awal mulainya penelitian. Gaji/beasiswa bulanan mahasiswa S-3 dibayarkan dari dana penelitian. Tidak termasuk dalam RAB. Tidak dimungkinkan diambil dari dana penelitian. Sebagai prasyarat wajib di beberapa hibah. Industri atau NGO wajib memberikan dana atau kompensasi lain yang setara. Cukup sering. Baik sebagai mitra yang menyokong sebagian dana penelitian, atau sebagai pemberi dana utama.
KETERLIBATAN MAHASISWA S-3
HONOR BAGI PENELITI (DOSEN) KERJASAMA DENGAN INSTITUSI NONKAMPUS (INDUSTRI ATAU NGO) DANA PENELITIAN DARI DENGAN INSTITUSI NONKAMPUS (INDUSTRI ATAU NGO)
INDONESIA Sebagian jangka panjang s/d 3 tahun. Sebagian terbatas di satu tahun anggaran. Rp 50 juta – 1 M per proposal.per tahun. Ya. Sebagai asisten riset yang mendapatkan sejumlah honor (bukan beasiswa bulanan) sesuai dengan ketentuan.
Termasuk dalam RAB. Besarannya sesuai dengan ketentuan. Jarang ada prasyarat keterlibatan industri atau NGO dalam proyek penelitian.
Jarang. Biasanya industri atau NGO memberikan dana ke kampus sebagai kompensasi atas jasa proyek konsultansi/pelatihan yang telah diberikan dosen.
Sumber: diolah Peneliti Sebagai kaum terdidik, dosen selalu bekerja berbasiskan metodologi. Artinya, jika semua tahapan diikuti dengan benar, hasil yang diharapkan bakal tidak terlalu jauh melenceng dengan yang diklaim oleh si pembuat metodologi. Begitu pula untuk kasus ini. Tulisan ini ditujukan untuk membahas sebuah “metodologi” pengelolaan penelitian yang mengacu kepada dunia pendidikan tinggi di negeri Swedia. Walaupun pasti ada variasinya, secara umum kaidahkaidah pengelolaan penelitian di sana tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain yang memiliki budaya riset unggul. Semua kegiatan penelitian di Swedia berada di bawah pengelolaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan. Salah satu organ dari Kemdikbud Swedia adalah SWO (The Sweden Organisation for Scientific Research). Setiap tahunnya, SWO menyalurkan sekitar 6 triliun rupiah dana riset bagi perguruan tinggi dan lembaga penelitian di Swedia. Sesuai dengan filosofi riset yang merupakan sebuah proses bertekun dengan sabar dan teliti, SWO menetapkan bahwa penelitian dilakukan dalam jangka panjang, selama dua s/d lima tahun. Sebetulnya, DIKTI juga telah mengakomodasi penelitian multi–years, misalnya melalui skim PUSNAS dan RAPID. Walaupun untuk penelitian-penelitian desentralisasi, rata-rata masih terbatas dalam satu tahun anggaran. 384
Jurnal EKSEKUTIF Volume 12
No. 2 Desember 2015
Kita semua mafhum bahwa terbatasnya waktu penelitian adalah sebuah hambatan besar. Tidak hanya minimalisnya hasil yang didapat karena seringkali penelitian baru dimulai bulan April, terkadang dosen juga lebih sibuk mengurusi bon-bon pengeluaran dibandingkan penulisan makalah ilmiah.
Ringkasan perbandingan antara dosen Indonesia dengan dosen di Swedia dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Perbandingan Karir Dosen Kategori
Indonesia
Swedia
Fungsi yang
Pendidikan, penelitian,
Pendidikan, penelitian, pengabdian
dijalankan
pengabdian masyarakat
masyarakat
Jenjang karir
Asisten Ahli, Lektor, Lektor
Lecturer, Assistant Professor,
Kepala, Guru Besar
Associate Professor, Professor
Master
Doktor, dengan pengalaman post-
Entry level
doctoral. Beberapa negara mempersyaratkan Habilitation Tenure/permanent
Cukup mudah dengan sistem
Cukup sulit dengan sistem penilaian
position
penilaian yang rigid
yang fleksibel
Produktivitas
Rendah
Tinggi
Relasi dengan
Tinggi, dalam bentuk proyek
Tinggi, dalam bentuk proyek
industri
konsultansi
penelitian
Sistem remunerasi
Cukup fleksibel.
Full time employment. Tidak
Dimungkinkan untuk
dimungkinkan untuk menambah gaji
menambah gaji dosen dari
dosen dari kegiatan lain-lain
penelitian
kegiatan lain-lain
Sumber: diolah Peneliti
1. Fungsi yang dijalankan Ciri utama dari satu pekerjaan adalah fungsi yang dijalankan. Untuk dosen, fungsi tersebut tertera dalam tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pendidikan terkait dengan kegiatan belajar mahasiswa, seperti kuliah, membimbing tugas akhir, mengembangkan diktat kuliah, dll. Penelitian adalah kegiatan penyelidikan yang dilakukan secara sistematis di bidang yang diampu oleh dosen. Biasanya, luaran dari kegiatan penelitian adalah makalah ilmiah dan paten. Fungsi ketiga, pengabdian masyarakat, mudahnya adalah kontribusi dosen terhadap kemajuan masyarakat berdasarkan keahliannya masing-masing.
385
Jurnal EKSEKUTIF Volume 12
No. 2 Desember 2015
Jika dibandingkan dengan di negara-negara maju, fungsi yang dijalankan adalah sama saja. Untuk fungsi pertama dan kedua, dosen di luar negeri jelas juga mengajar dan meneliti. Terkait dengan fungsi ketiga, di beberapa negara tidak disebutkan secara eksplisit bahwa dosen harus melakukan kegiatan pengabdian masyarakat. Namun jika diamati, rata-rata dosen di mancanegara menjalin kerjasama dengan industri. Walaupun tajuknya adalah dalam rangka kegiatan penelitian, namun keterlibatan industri dapat juga dianggap ekuivalen dengan komponen tridharma perguruan tinggi yang ketiga. Untuk itu, kita simpulkan bahwa dosen di Indonesia dan dosen di luar negeri menjalankan fungsi yang sama. 2. Jenjang karir Dari sisi jenjang karir dosen, kurang lebih pun sama antara di Indonesia dengan di luar negeri, hanya berbeda nama saja. Jabatan fungsional dosen yang dikenal di Indonesia adalah Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan Guru Besar. Diluar Negeri Supervisi Jenjang karir sangat Fleksibel karena tidak diukur melalui tridharma, namun melalui Prosedur Observasi Pengukuran dan Wawancara oleh Pimpinan (Mather (2015). Beberapa orang menyamaratakan tiga jabatan fungsional terakhir dengan Assistant Professor, Associate Professor, dan Full Professor. Sedangkan untuk jabatan Lecturer, masih terjadi perdebatan apakah posisi ini setara dengan Asisten Ahli. Hal ini dikarenakan tidak semua negara mengenal posisi Lecturer. Tetapi kalau saya, lebih memilih untuk menganggap dua posisi itu ekuivalen. Kalau melihat tanggung jawab pekerjaan, kira-kira pun sama. Guru Besar dan Full Professor adalah orang yang bisa bertindak sebagai promotor mahasiswa doktoral. Sedangkan Asisten Ahli dan Lecturer, mereka pada umumnya hanya bisa membimbing mahasiswa maksimal pada jenjang magister. 3. Entry level Perbedaan cukup mencolok mulai terlihat jika kita membandingkan entry level. Di Indonesia, kualifikasi pendidikan minimal yang Anda butuhkan kalau ingin menjadi dosen adalah master (S-2). Jaman dulu bahkan cukup bermodalkan gelar sarjana (S-1) kita sudah bisa mendaftar menjadi dosen. Sedangkan di negara-negara maju, mempunyai gelar doktor (S-3) adalah syarat wajib. Itu pun masih belum cukup. Pada umumnya, para doktor yang baru lulus terlebih dulu akan menempuh posisi post-doctoral sekitar 1-2 tahun, baru kemudian mendaftar sebagai dosen. Sistem yang agak berbeda terjadi di Perancis, Jerman, dan Austria. Disana, para doktor baru yang ingin menjadi dosen harus menulis Habilitation, semacam riset lanjutan dari disertasi doktoralnya yang ditempuh dalam masa 2-3 tahun. 4. Tenure/permanent position Di Indonesia, memperoleh posisi tetap (tenure) itu mudah. Sedangkan di negara-negara maju, memperoleh permanent position itu sulit. Kembali ke poin no. 3 (entry level). Setelah lulus S-3, menempuh post-doc dan diterima sebagai Assistant Professor, seorang dosen di luar negeri harus bekerja keras supaya posisinya bisa permanen. Di banyak negara, Assistant Professor sifatnya kontraktual dan merupakan masa percobaan (probationary period). Untuk bisa permanen menjadi Associate Professor, biasanya dibutuhkan sejumlah publikasi ilmiah di top international journals dalam jangka waktu 3-5 tahun. Secara resmi, setiap kali naik jabatan hanya dibutuhkan satu makalah di jurnal. Sisanya bisa dipenuhi dari makalah di prosiding, unsur pendidikan seperti mengajar dan membimbing, dan pengabdian masyarakat. Hal ini terkait dengan sistem penilaian angka kredit kita yang terkait dengan kum (poin) dari unsur tridharma pendidikan tinggi. Di luar negeri tidak seperti itu. Publikasi ilmiah adalah faktor utama untuk menilai kinerja seorang dosen.
386
Jurnal EKSEKUTIF Volume 12
No. 2 Desember 2015
5. Produktivitas penelitian Menurut data dari SCImago, jumlah publikasi ilmiah di Indonesia pada tahun 2015 adalah 5.499 makalah. Bahkan jika dibandingkan dengan negara kecil seperti Swedia, jumlah publikasi ilmiah mereka sejumlah 50.732. Alasan klasik adalah dosen terlalu banyak melakukan pekerjaan administrasi, missal untuk mengurus kenaikan jabatan fungsional atau ketika menjadi panitia akreditasi. Penyebab yang lain adalah dosen terlalu sibuk di luar kampus untuk menambah pemasukannya. Memang tidak bisa disalahkan. Pendapatan dari kampus yang belum mencukupi membuat dosen menjual jasanya dengan menjadi konsultan, narasumber, atau tim ahli. Namun, lingkungan kerjanya juga mendorong. Selain dana riset yang tersedia, penghasilan dosen pun sudah mencukupi sehingga tidak perlu lagi sibuk di luar kampus. 6. Relasi dengan industri Meskipun kegiatan tersebut bisa dikategorikan sebagai pengabdian masyarakat, tetapi harus kita akui bahwa kontribusinya untuk kemajuan penelitian sangat minim. Pertama, sifat proyek biasanya aplikatif. Kedua, paling lama proyek berlangsung dalam satu tahun anggaran. Ketiga, output yang diharapkan perusahaan dari proyek adalah terselesaikannya masalah mereka. Sangat jarang yang menyertakan output berupa makalah ilmiah sebagai salah satu dari output proyek tersebut. Menurut Penelitian Seifert (2013) Di negara-negara maju, dosen pun menjalin kerjasama dengan industri. Namun, tujuan utamanya adalah mencari dana untuk penelitian. Bahkan, kemampuan untuk mendatangkan dana riset menjadi salah satu faktor untuk mengevaluasi kinerja seorang professor. Kerjasama yang terjalin antara kampus dengan industri biasanya berlangsung jangka panjang, sekitar 3-5 tahun. Dana yang didapat dipakai oleh dosen untuk merekrut mahasiswa S-3 yang akan melakukan penelitian. Dosen sama sekali tidak bisa mengambil keuntungan dari dana penelitian tersebut iklim di luar negeri memungkinkan hal ini terjadi. Industri di negara maju sudah familiar dengan penelitian, terbukti dengan banyaknya lulusan S-3 yang direkrut untuk menjadi peneliti di perusahaan. Sehingga, kerjasama penelitian dengan kampus dalam jangka panjang dianggap sebagai investasi yang menguntungkan. Dari sisi kampus, mereka pun mendapatkan keuntungan. Mereka mempunyai dana untuk memperkerjakan mahasiswa S-3 yang mana bakal berdampak ke jumlah publikasi kampus. 7. Sistem remunerasi Dalam hal ini Dosen di Indonesia dimungkinkan untuk mencari penghasilan di luar kampus. Sedangkan di luar negeri, pendapatan adalah hanya dari gaji saja. Meskipun mempunyai kerjasama sebanyak apapun dengan industri. Segala macam kegiatan dosen sudah termasuk ke dalam full time employment (FTE), sehingga tidak ada bayaran tambahan yang lain. Dari sini kita cermati bahwa filosofinya memang berbeda dengan di Indonesia. Contoh, dosen kalau mendapatkan dana penelitian dari DIKTI, secara legal ada sejumlah komponen dari dana riset yang bisa dimasukkan menjadi honor dosen. Jika berbicara dalam konteks yang lebih makro, di luar negeri fasilitas umum yang disediakan oleh negara sudah bagus, sehingga dosen pun tidak perlu keluar biaya ekstra untuk mendapatkan fasilitas yang lebih bagus. Contoh sederhana, di Eropa dosen tidak memiliki mobil pun tidak masalah, karena naik metro dari rumah ke kantornya nyaman. Beda dengan di Indonesia, dosen perlu memiliki mobil minimal Motor karena kalau naik angkot tidak nyaman. Belum lagi kalau berbicara masalah pendidikan anak, kesehatan, dan tunjangan yang lain.
387
Jurnal EKSEKUTIF Volume 12
No. 2 Desember 2015
KESIMPULAN Walaupun fungsi dasar yang dijalankan oleh dosen di Indonesia dengan dosen di luar negeri sama, dalam beberapa hal detail banyak perbedaan yang fundamental. Berbagai perbedaan yang terjadi sistemik itu dimungkinkan menjadi faktor penyebab kenapa kualitas pendidikan tinggi kita kalah jauh dengan di negara-negara maju. Menyelesaikan masalah hanya dari satu faktor kemungkinan besar tidak akan bisa menyelesaikan masalah pendidikan tinggi secara keseluruhan. Dibutuhkan usaha dan komitmen dari pemerintah untuk memperbaikinya. Selain itu, kritik dan masukan dari dosen sebagai pelaku utama pendidikan tinggi mutlak dibutuhkan. Jika dosen sudah puas ada di zona nyaman tanpa pernah memberikan ide-ide perbaikan, rasanya pemerintah tidak bisa selalu dijadikan kambing hitam atas rendahnya kualitas pendidikan tinggi Indonesia. Kemudian Pemerintah mengadakan pengawasan dalam penerapannya karena dunia pendidikan bukanlah industri mencari keuntungan tetapi dunia pendidikan khususnya di Indonesia dikelola untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia seperti yang diamanatkan UUD 1945 Badan pengelola PTS (yayasan) tentu perlu berpikir lebih keras untuk menyediakan sumber sumber dana baru untuk mempertahankan dosen-dosen berkualitas. Demikian juga bagi PTNBH perlu bekerja lebih cerdas menggali dana-dana baru di luar BOP (Biaya Operasional Pendidikan) yang dibayar mahasiswa. Kalau semua beban dialihkan pada peserta didik, maka universitas akan kesulitan mendapatkan bibit –bibit unggul. Dan tentu saja akan bertentangan dengan semangat keadilan, dan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Kalau tidak, dana-dana penelitian dan perawatan, fasilitas laboratorium dan kegiatan kemahasiswaan bisa terancam dialihkan. Ini tentu bukan pilihan tepat. Kebijakan ini, di satu pihak, adalah baik bagi para akademisi dan dunia akademik, sekaligus bisa menumbuhkan budaya ilmiah. Dosen juga akan jauh lebih dihargai. Tekanan ini sesungguhnya baik untuk melahirkan kehebatan baru bagi organisasi universitas. Namun di lain pihak ini juga menandakan era baru leadership perguruan tinggi yang lebih menantang.
References Baker-Doyle, K. J., 2015. NO TEACHER IS AN ISLAND:HOW SOCIAL NETWORKS SHAPE TEACHER QUALITY. Emerald Inside, pp. 367-383. Berg, E., 2014. To be or not to be – a lecturer in higher education in Sweden. Emerald Insight, 28(1), pp. 95-111. City, I. S. A. O. H. R. I. T., 2014. How To Manage Human Rights and The City. Graz: European Training and Research Centre for Human Rights and Democracy (ETC Graz). Dowd, K. O. & Kaplan, D. M., 2005. The career life of academics:Boundaried or boundaryless?. Human Relation, 58(6), pp. 699-721. Khasali, R., 2014. Kompas.com. [Online] Available at: www.kompas.com [Accessed Senin April 2016].
388
Jurnal EKSEKUTIF Volume 12
No. 2 Desember 2015
Lewis, K. E. & Bierly, M., 1986. Faculty Career Strategies Preferred by University Administrators and Faculty. Group & Organization Studies, 11(1), pp. 49-60. Mather, K. & Roger, S., 2014. The close supervision of further education lecturers: ‘You have been weighed, measured and found wanting’. Work, employment and society, 21(11), pp. 57-74. Rowley, J., 1995. A new lecturer’s simple guide to. INTERNATIONAL JOURNAL OF EDUCATIONAL MANAGEMENT, pp. 24-27.
389