OPINI AKUNTAN [WTP] SEBAGAI PERTIMBANGAN DALAM MENETAPKAN SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DIPERIKSA
Oleh: Nur Hidayat Dosen FE UNJANI Cimahi dan D3 FE UNPAD Bandung Kandidat Doktor (S3) Akuntansi PPs UNPAD Bandung Konsultan Akuntansi Pajak TAXAcc Consulting Bandung
Abstract Recently, accountant opinion mainly unqualifield opinion (WTP) is exploited optimaly, considering to get the unqualifield opinion management accountant has attempted to present the financial statement transparency which has been conducted refers to Financial Accounting Standard (SAK) and there is no unvalid presentation it means that the financial statement has refered to standardized process of presen-tation. There are five opinion types which can be given by accountant to financial statement which has been audited by public accountant, (1) undualified opinion (wajar tanpa pengecualian), (2) unqualified opinion with explanatory language (pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku), (3) qualified opinion (pendapat wajar dengan pengecualian), (4) adverse opinion (pendapat tidak wajar), and (5) disclaimer opinion (pendapat tidak memberikan pendapat). Unqualifield opinion is a result of professional works of an Public Accoun-tant that confessed its independency, so feasible when unqualifield opinion has the huge benefits either formaly and materialy. Keyword Keyword: accountant opinion, uqualifield opinion (WTP), and tax audit
1
I. Pendahuluan Perusahaan yang telah berusaha untuk mengelola kegiatan usahanya secara profesional dan transparan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan (good
corporate governance) membutuhkan opini dari akuntan publik atas laporan keuangannya, untuk membuktikan bahwa perusahaannya telah berjalan sesuai dengan harapan para investor dan pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) PSA No. 29 ada lima jenis opini yang dapat diberikan oleh akuntan terhadap laporan keuangan yang telah dilakukan audit oleh akuntan publik,
(1) pendapat wajar tanpa
pengecualian (unqualified opinion), (2) pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku (unqualified opinion with explanatory language), (3) pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (4) pendapat tidak wajar (adverse opinion), dan (5) pendapat tidak memberikan pendapat (disclaimer opinion). Untuk memberikan opini tersebut, laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan harus dilakukan proses audit sesuai dengan standar dan prosedur, yang dilakukan oleh akuntan publik independen. Opini akuntan publik diharapkan dapat membantu untuk memberikan kepercayaan kepada investor dan para pengguna laporan keuangan lainnya (termasuk Direktorat Jenderal Pajak/DJP) bahwa perusahaan telah melaksanakan pembukuan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP atau PABU). Ciri-ciri laporan keuangan yang diberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh akuntan publik adalah telah mematuhi SAK secara konsisten dan akuntan dapat meyakini bahwa tidak terdapat salah saji yang material dalam penyajian laporan keuangan tersebut terhadap semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuatu entitas (Sukrisno Agoes, 2003). Opini akuntan publik memiliki sifat normatif mematuhi standar yang telah ditetapkan, dan secara substantif pemberian opini didasari oleh transaksi yang benar-benar terjadi sehingga tidak diragukan lagi obyektifitas dan relevansinya (substantive over form/substansinya mengungguli bentuk formalnya).
2
II. Landatasan Teoritis 2.1. Laporan Keuangan dalam Perspektif Perpajakan Hasil akhir dari proses akuntansi adalah penyajian laporan keuangan, dari laporan keuangan tersebut diharapkan dapat memberikan informasi dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi yang digunakan untuk kepentingan internal maupun kebutuhan eksternal, salah satu kebutuhan eksternal yang sangat penting adalah sebagai dasar dalam perhitungan kewajiban pajak perusahaan. Entitas bisnis (badan atau orang pribadi yang memilih menggunakan pembukuan) diwajibkan menyampaikan laporan keuangan dalam setiap tahunnya, laporan tersebut berupa: laporan laba rugi dan neraca untuk dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak, laporan ini dilengkapi dengan daftar penyusutan aktiva tetap dan [akan lebih baik bila dilengkapi pula dengan rekonsiliasi fiskal]. Lampiran berupa laporan keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT dan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak (WP) yang menyelenggarakan pembukuan. Karena begitu pentingnya fungsi laporan keuangan, sehingga SPT yang tidak dilampiri oleh laporan keuangan dapat dianggap tidak disampaikan. Laporan keuangan selain berkait dengan kewajiban PPh Badan atau PPh Orang Pribadi atas laba usaha yang dilaporakan dalam SPT, ada beberapa kewajiban perpajakan lainnya yang berkait erat dengan laporan keuangan, hal ini yang menjadikan penyajian laporan keuangan sangat penting dan signifikan.
2.1.1. Laporan Keuangan Lampiran SPT Laporan keuangan yang lebih tepat dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh WP Badan (1771) atau SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi (1770) yang memilih menggunakan pembukuan, adalah laporan keuangan komersial dengan alasan sebagai berikut: Pertama, laporan keuangan yang disusun adalah untuk kepentingan umum (general purpose ) sehingga memungkinkan untuk digunakan oleh siapa saja yang memerlukan, termasuk untuk kepentingan pajak.
3
Kedua, walaupun pada sisi tertentu WP mengetahui kriteria apa saja dalam penyajian laporan keuangan fiskal, tetapi WP kapasitasnya bukan sebagai fiskus, sehingga tidak sewajarnya bila menyajikan laporan keuangan fiskal.
Ketiga, dengan menyusun laporan keuangan komersial tidak perlu menyusun laporan keuangan fiskal, karena komponen laporan keuangan fiskal telah terdapat dalam laporan keuangan komersial, hanya diperlukan rekonsiliasi (koreksi) fiskal. Bila lampiran SPT Tahunan PPh melampirkan laporan keuangan khusus (laporan keuangan fiskal), perusahaan punya keharusan pula untuk menyusun laporan keuangan komersial, hal ini akan menjadikan kerja yang kurang atau bahkan tidak tepat. Dengan demikian, cara yang lebih tepat dalam melampirkan laporan keuangan untuk SPT Tahunan adalah melampirkan laporan keuangan komersial yang dilengkapi dengan penjelasan koreksi fiskal, yang cukup memberi penjelasan mengenai laba-rugi berdasarkan koreksi fiskal sehingga dapat untuk dijadikan dasar dalam penghitungan kewajiban pajak sesuai UU No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) dan relevan dengan yang dikehendaki oleh pasal 28 ayat [7] UU No. 28 Tahun 2007 (UU KUP).
2.1.2. Keterkaitan Laporan Keuangan dengan Kewajiban Perpajakan Laporan keuangan selain memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan pengguna internal, laporan keuangan juga diperlukan bagi pihak-pihak eksternal, keterkaitan laporan keuangan bagi pihak eksternal yang cukup signifikan adalah keterkaitan dengan institusi perpajakan, karena lembaga ini yang dipercaya oleh pemerintah untuk mengumpulkan penerimaan negara dari sektor pajak dan seperti telah dimaklumi bahwa pendapatan negara dari sektor ini melebihi dari jumlah 70%nya dari seluruh jumlah pendapatan negara, hal ini menunjukkan betapa besar pengaruhnya sektor pajak bagi sebuah negara dan ini artinya pendapatan dari sektor pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Ada beberapa kewajiban pajak bagi WP yang sangat berkait dengan laporan keuangan, dan hal ini hampir terjadi pada setiap WP. Pertama Pertama: PPh Badan dan PPh Orang Pribadi yang memilih menggunakan pembukuan, dasar
4
untuk menghitung penghasilan kena pajak (PKP) dan dasar menghitung kewajiban PPh-nya adalah laba dari kegiatan usaha, untuk mengetahui besarnya laba secara sistematis adalah melalui laporan laba-rugi (income statement) dalam laporan ini akan menyajikan pendapatan usaha, beban-beban usaha (termasuk harga pokok), selisih antara jumlah pendapatan dan beban usaha.
Kedua, kewajiban PPN dan PPn BM, bila komponen dalam pendapatan tersebut terdapat BKP/JKP yang terutang PPN dan atau penyerahan barang mewah yang terutang PPn BM, maka laporan laba rugi juga berkait dengan kewajiban PPN yang besarnya diperhitungkan melalui PPN Keluaran dikurangi dengan PPN Masukan, serta perhitungan PPn BM yang harus disetor.
Ketiga Ketiga, kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, yang penghasilannya di atas PTKP, beban gaji yang dibayarkan kepada karyawan adalah merupakan komponen beban yang menjadi pengurang pendapatan dalam laporan laba-rugi yang disajikan oleh perusahaan, bila perusahaan ingin membesarkan beban dengan “menggelembungkan” beban gaji karyawan, maka akan dimatchkan dengan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan dan bila tidak sinkron maka jelas ini terdapat indikasi penggelapan pajak dengan modus membesarkan beban untuk mengurangi laba perusahaan.
Keempat Keempat, kewajiban memotong Pasal Pasal 4 ayat [2] Final atas sewa tanah dan atau bangunan, yang ditempati/digunakan oleh perusahaan, hal ini berkait dengan beban sewa yang terdapat dalam komponen beban laporan labarugi, tidak berbeda dengan PPh 21, PPh Final pun sangat berkait dengan laba yang dicantumkan dalam laporan laba-rugi. PPh Pasal 23 atas jasa-jasa pihak ketiga yang berkait dengan transaksinya.
Kelima, bagi perusahaan yang usaha pokoknya memberikan jasa seperti konsultan juga berkait dengan PPh Pasal 23 atas pendapatan jasa yang artinya hal ini berkait dengan pencantuman pendapatan pada laporan laba-rugi.
Keenam Keenam, adanya pengurangan atau penambahan aktiva tetap berupa tanah dan/atau bangunan yang tercantum dalam neraca, juga berkait dengan kewajiban BPHTB yang diwajibkan untuk melunasinya bagi pembeli dan PPh atas penjualan tanah dan atau bangunan dari segi penjual. Dan sehubungan dengan kepemilikan/
5
penggunaan/penguasaan atas tanah dan bangunan juga diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Ketujuh Ketujuh, kenaikan aktiva tetap yang terdapat dalam neraca melalui mekanisme penilaian kembali (revaluasi) juga merupakan obyek pajak. Pelaksanaan revaluasi aktiva tetap mengacu pada pasal 19 ayat [1] UU PPh. Selisih penilaian kembali antara harga pasar dan nilai buku suatu aktiva, merupakan obyek pajak penghasilan yang bersifat final.
Kedelapan Kedelapan, pembagian dividen, adanya pembagian dividen didahului oleh pengumuman pembagian dividen kepada pemegang saham. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat [1] UU PPh, terutangnya dividen menimbulkan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23. Dividen yang dibagi berkaitan erat dengan laba ditahan (retained earning) yang disajikan dalam neraca dan berkait pula dengan laba yang tercantum dalam laporan laba-rugi.
Kesembilan, WP yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan keuangan atau menyampaikan laporan keuangan yang isinya tidak benar, yang dapat berakibat merugikan Negara, diancam pidana penjara maksimal enam tahun dan denda paling banyak empat kali dari jumlah pajak yang tidak atau kurang disetor (Pasal 39 [1] UU KUP). Hal ini menunjukkan betapa laporan keuangan memiliki berbagai keterkaitan (koherensi) yang kuat dengan berbagai kewajiban pajak, baik kewajiban membayar (pajak) atau timbulnya utang pajak, dan dapat pula timbul kewajiban untuk memotong pajak kepada pihak lain sehubungan dengan aktivitas usaha. Begitu pentingnya laporan keuangan dalam perpajakan, sampai-sampai SPT yang dilaporkan tanpa dilampiri dengan laporan keuangan dapat dianggap tidak disampaikan. Dan bahkan gara-gara menyampaikan laporan keuangan palsu, WP dapat dikatagorikan melakukan tindak pidana yang diancam dengan sanksi penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak empat kali dari jumlah pajak terutang atau yang tidak/kurang disetor.
6
2.2. Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan pajak, bila dilihat dari pengertian secara definitif adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Hananto Bwoga, et. al., 2005) Sistem self assesment dalam peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia yang mulai diterapkan sejak reformasi sistem perpajakan tahun 1983 sangat berpengaruh bagi WP, satu sisi WP diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang tetapi di sisi lain mengharuskan WP untuk siap menghadapi pengujian kepatuhan atas pajak yang dilaporkan. Pemeriksaan sampai saat ini masih dipandang sebagai momok yang menakutkan dan terkesan angker bagi WP, harus dipahami sebagai hal yang wajar, karena selama ini masih sangat banyak WP yang tidak memahami apa sesungguhnya hakekat pemeriksaan itu sendiri, atau karena pengalaman empiris WP terhadap pemeriksaan memang menunjukkan fakta yang demikian. Hal ini bisa terjadi karena masih adanya oknum fiskus (pemeriksa) yang berprilaku menakutkan sehingga image pemeriksaan sebagai “hantu perpajakan” sulit untuk dihilangkan. Dalam praktek perpajakan yang sehat seharusnya pemeriksaan tidak lagi dipandang sebagai hal yang menakutkan, hal ini dapat dibangun melalui: Pertama Pertama, meningkatkan profesionalisme petugas pemeriksa melalui pendidikan pemeriksaan pajak berkelanjutan dan komprehensif yang tidak hanya memahami tugasnya sebagai pemeriksa tetapi juga memahami siapa yang diperiksa, sejalan dengan yang dinyatakan reformasi ditubuh DJP yang mulai menempatkan dirinya sebagai agen pelayanan kepada WP, sehingga DJP dituntut untuk memahami WP secara utuh, atau diistilahkan “knowing your tax payer”. Kedua Kedua, meningkatkan penanaman moral dan etika bagi pemeriksa, sehingga pemeriksa dapat menghilangkan image pemeriksaan yang menakutkan karena ulah oknum fiskus yang tidak bermoral, memeras dan mengintimidasi WP,
7
dan yang terpenting lagi adalah hilangkan target pribadi pemeriksa yang ingin memperoleh pendapatan ekstra dari WP.
2.2.1. Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak Berdasarkan ketentuan pasal 29 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2007, dijelaskan lebih lanjut bahwa tujuan pemeriksaan pajak adalah menetapkan jumlah pajak terutang. Dalam pasal 29 KUP UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2007, dinyatakan:
Direktur Jendral Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2.2.2. Jenis Pemeriksaan Pajak Secara garis besar pemeriksaan dibagi dalam dua kategori pemeriksaan. Pertama Pertama, Pemeriksaan Lapangan, yaitu pemeriksaan yang meliputi suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya dan atau tujuan lain yang dilakukan di tempat WP. Kedua Kedua, Pemeriksaan Kantor, yaitu pemeriksaan yang meliputi suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di kantor, hanya dapat dilaksanakan dengan Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK) (Gunadi, 2002). Dari dua kategori pemeriksaan, pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor tersebut dapat dibagi dalam beberapa jenis pemeriksaan, yaitu 1) pemeriksaan rutin, 2) pemeriksaan kriteria seleksi, 3) pemeriksaan khusus, 4) pemeriksaan wajib pajak lokasi, 5) pemeriksaan tahun berjalan, 6) pemeriksaan bukti
permulaan,
dan 7)
pemeriksaan terintegrasi [khusus untuk
WP
group/holding] (Dialog Pemeriksaan Pajak, 2002, lihat pula Gunadi, 2002).
8
2.2.3. Langkah-langkah Pemeriksaan Pajak a. Mempelajari Laporan Pemeriksaan terdahulu Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: 1) Menganalisa SPT dan Laporan Keuangan Wajib Pajak Tujuan analisa adalah untuk mendeteksi adanya ketidakwajaran harga penjualan atau pembelian di antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Untuk itu diperlukan angka-angka rasio. Angka-angka rasio tersebut dibandingkan dengan rasio-rasio berdasarkan laporan keuangan Wajib Pajak tahun-tahun sebelumnya, rasio-rasio dari perusahaan sejenis (yang diperoleh misalnya melalui hasil pemeriksaan dari perusahaan sejenis, atau konfirmasi ke Pusat Pengolahan Data dan Informasi Perpajakan), atau sumber-sumber lainnya. Perlu ditekankan bahwa hasil analisa ini baru merupakan indikasi yang perlu diperhatikan secara khusus pada saat mendapatkan pembuktian di lapangan. Rasio-rasio yang perlu dianalisa meliputi: a) Rasio Laba Kotor dan Laba Bersih Indikasi yang dapat diperoleh dari analisa rasio ini adalah sebagai berikut: (1) Apabila rasio laba kotor lebih kecil dibandingkan dengan rasio laba kotor dari perusahaan sejenis, kemungkinan adanya harga tidak wajib yang mempengaruhi jumlah penjualan atau jumlah harga pokok; (2) Apabila rasio laba bersih lebih kecil dibandingkan dengan rasio laba bersih
dari perusahaan sejenis,
kemungkinan adanya
pembebanan harga tidak wajar yang mempengaruhi biaya umum/biaya tidak langsung/biaya operasi (seperti: biaya bunga, biaya riset dan pengem-bangan atau alokasi biaya kantor pusat/induk perusahaan terhadap kantor cabang/anak perusahaan yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak). b) Rasio Operasi c) Rasio Tingkat Hasil Aktiva
9
Analisa ROA bertujuan memperoleh petunjuk apakah ada penambahan aktiva yang berasal dari peminjaman atau penyewaan aktiva dengan beban bunga/sewa yang tidak wajar. Apabila ROA lebih kecil dari ROA perusahaan sejenis, kemungkinan terdapat pinjaman untuk membeli aktiva atau penyewaan aktiva yang dibebani dengan biaya bunga/sewa yang kurang wajar. d) Perputaran Persediaan e) Rasio Laba Bersih terhadap Biaya Operasi Tujuannya adalah untuk mengetahui kewajaran biaya operasi yang terserap pada hasil penjualan barang, sebagai indikasi kemungkinan kekurang-wajaran transfer pricing bila dihubungkan dengan tingkat perputaran persediaan yang rendah. Dari kombinasi rasio antara di atas dapat diurai suatu hubungan akalnya sebagai berikut : Bilamana rasio laba kotor dan rasio laba bersih kelihatannya normal, tetapi perputaran persediaan dan rasio laba bersih terhadap biaya operasi (termasuk bunga) adalah rendah, hal ini menunjukkan adanya pergeseran pembiayaan persediaan dari induk perusahaan/pusat terhadap anak perusahaan/cabang. f) Rasio Hutang terhadap Modal Sendiri Tujuannya adalah untuk mendeteksi struktur permodalan sehubungan dengan peminjaman dan pembebanan bunga yang dapat diperkenankan. 2) Identifikasi Masalah .
Dalam mempelajari berkas Wajib Pajak/berkas data, temuan dari laporan keuangan, analisa rasio dan data/informasi yang tersedia tersebut di atas sehubungan dengan transfer pricing (pembebanan harga dalam hubungan istimewa, haruslah disimpulkan dengan mengidentifikasi masalah-masalah antara lain : a) Perusahaan-perusahaan dan pihak yang terkait dalam prkatek pembebanan harga yang tidak wajar;
10
b) Kebijaksanaan dan metode pembebanan harga dari perusahaanperusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan kemungkinan motivasinya; c) Tipe-tipe
transaksi
yang
dipengaruhi
oleh
praktek-praktek
pembebanan harga yang tidak wajar; d) Produk-produk khusus yang dipengaruhi oleh praktek-praktek pembebanan harga yang tidak wajar; e) Kasus-kasus harga yang ditinggikan (over pricing) dan harga yang direndahkan (under pricing) dalam transaksi dalam negeri dan impor/ekspor. 3) Melakukan Pengenalan Usaha Usaha Wajib Pajak dapat dipahami dengan mempelajari isian daftar pertanyaan dan hasil wawancara secara langsung dengan Wajib Pajak yang diperiksa data dari pihak ketiga. 4) Menentukan Ruang Lingkup Pemeriksaan Berdasarkan hasil dari mempelajari berkas Wajib Pajak, analisis laporan keuangan, identifikasi masalah dan pengenalan usaha sehubungan dengan kasus-kasus mengenai hubungan istimewa ini, dapat ditentukan ruang lingkup dan arah pemeriksaan. 5) Penyusunan Program Pemeriksaan 6) Menentukan Buku-buku, Catatan-catatan dan Dokumen-dokumen yang Akan Dipinjam. Buku-buku dan catatan-catatan Wajib Pajak seringkali tidak cukup memberikan informasi atas masalah transfer pricing, sehingga perlu dipinjam dokumen-dokumen yang memberi penjelasan yang lebih baik misalnya: a) Laporan Keuangan Konsolidasi sebagai suatu kesatuan ekonomi dari pihak yang terkait; b) Perjanjian lisensi (Licencing Agreement); c) Perjanjian franchise (Franchising Agreement);
11
d) Perjanjian kredit (Loan Agreement); e) Kontrak penjualan/pembelian (Selling/Purchasing Contract); f) Perjanjian pembebanan biaya bersama (Costs Sharing Agreement). Dokumen-dokumen
tersebut
perlu
dikembangkan
sebagai
dasar
pembuktian dalam pemeriksaan, dan dilampirkan dalam LPP serta disimpan dalam KKP. b. Pelaksanaan Pemeriksaan Urut-urutan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana digariskan dalam Pedoman Pemeriksaan Pajak tetap dilaksanakan, yang perlu ditekankan dalam melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa ialah: 1) Melakukan penilaian Sistem Pengendalian Intern 2) Melakukan konfirmasi kepada pihak ketiga Dalam melakukan pemeriksaan kasus transfer pricing, konfirmasi kepada pihak ketiga adalah sangat penting untuk meneguhkan kebenaran data/ informasi yang diperoleh dari Wajib Pajak. c. Pembuatan Laporan Pemeriksaan Pajak Laporan Pemeriksaan Pajak sebagai ikhtisar hasil pemeriksaan Wajib Pajak dengan hubungan istimewa, harus mengungkapkan dengan jelas : 1) Bagian Umum: Mengenai gambaran kegiatan Wajib Pajak. Harus jelas menggambarkan bagan organisasi perusahaan yang terkait tentang: - Sifat keterkaitan; - nama perusahaan/pihak yang terkait; - kepemilikan saham; - lokasi dan alamat; - arus transaksi dan kegiatan; - Penjelasan yang penting mengenai hubungan istimewa. 2) Bagian Umum: Mengenai daftar lampiran. Sedapat mungkin dilampirkan: - Laporan Keuangan Konsolidasi, dan
12
- Perjanjian-perjanjian penting 3) Bagian Umum: Mengenai Data Informasi yang tersedia. Harus dijelaskan data yang dikumpulkan dari pihak ketiga sebagai pembanding maupun pembuktian dalam pemeriksaan. 4) Bagian Pelaksanaan Pemeriksaan: Mengenai Penilaian Pemeriksa atas pospos yang diperiksa. Harus jelas mengungkapkan penilaian pos yang diperiksa sehubungan dengan metode-metode pembebanan harga yang tidak wajar yang dilakukan Wajib Pajak serta pengaruh-pengaruh lainnya yang penting. 5) Bagian Kesimpulan: Mengenai usul sebagai hasil kesimpulan pemeriksaan. Kemungkinan pengusulan pemeriksaan pada pihak yang terkait sehubungan dengan kurangnya informasi yang tersedia dalam penentuan penghasilan dari Wajib Pajak yang diperiksa.
2.2.4. Teknik dan Metode Pemeriksaan 1. Teknik Pemeriksaan Dalam kegiatan pemeriksaan dipergunakan teknik-teknik pemeriksaan seperti yang diuraikan dalam Pedoman Pemeriksaan Pajak. 2. Metode-metode Pemeriksaan Kewajaran Harga Penentuan harga pasar wajar dalam hubungan istimewa, dilakukan dengan menguji angka-angka dalam SPP melalui suatu pendekatan perhitungan tertentu mengenai penghasilan dan biaya. Metode tersebut termasuk metode tidak langsung, yang antara lain dikenal beberapa metode seperti berikut ini: a. Metode harga pasar sebanding (Comparable uncontrolled price method); b. Metode harga jual minus (Sales minus/Resale price method); c. Metode harga pokok plus (Cost plus method);
13
2.2.4. Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan WP Peranan penerimaan pajak dalam mendukung pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun senantiasa meningkat. Dalam APBN-P Tahun 2008 misalnya, kontribusi pajak dalam mendukung pembiayaan negara mencapai angka Rp609,227 triliun dari total pendapatan berjumlah Rp894,990 triliun,
itu artinya hampir mencapai 70%
pendapatan dalam APBN bersumber dari penerimaan perpajakan (Business News 7655/28 April 2008). Bahkan dalam APBN-P tahun 2009 misalnya, kontribusi pajak dalam mendukung pembiayaan negara mencapai angka Rp652,122 triliun dari total pendapatan berjumlah Rp871,640 triliun, itu artinya 74,8% pendapatan dalam APBN bersumber dari penerimaan pajak (Business News 7843/5 Agustus 2009). Hal ini menunjukkan, bahwa peranan pajak akan semakin menentukan bagi jalannya roda pemerintahan saat ini dan di masa yang akan datang. Sejak diterapkannya sistem self assesment dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia, peranan positif Wajib Pajak (WP) dalam memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya menjadi semakin mutlak diperlukan. Dengan sistem ini, WP dipercaya penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Sebagai konsekuensinya DJP berkewajiban untuk melakukan pelayanan, pengawasan, pembinaan, dan penerapan sanksi perpajakan. Salah satu bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap WP tersebut adalah melalui pemeriksaan pajak. Dengan demikian, pemeriksaan pajak tidak lain merupakan pagar penjaga agar WP tetap berada pada koridor peraturan perpajakan. Selanjutnya, DJP berkewajiban pula untuk melakukan penegakan hukum (law enforcement) agar proses dan pelaksanaan sistem self assessment tersebut tetap berada pada aturannya, baik undang-undang maupun peraturan lainnya. Penegakan hukum ini menjadi upaya untuk menciptakan keadilan melalui penerapan peraturan perpajakan secara fair, konsisten, dan konsekuen. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak WP yang belum melaporkan kewajiban perpajakannya dengan sebenarnya, sehingga penerimaan pajak selama ini belum optimal. Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak tersebut, DJP
14
berupaya melakukan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak melalui pemeriksaan pajak (Hidayat, 2005). Dengan adanya pemeriksaan pajak tersebut diharapkan akan menambah tingkat kepatuhan bagi WP (Mahry, 2003), karena memang salah satu tujuan penting dalam pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan WP (Pasal 29 UU No. 28 tahun 2007), yang diharapkan pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan penerimaan. WP dapat diibaratkan seperti mahasiswa yang tengah mengikuti ujian, yang harus tetap diawasi secara terus menerus. Karena bila tidak diawasi, mahasiswa mungkin saja akan curang (menyontek). Demikian pula WP bisa saja tidak melakukan kewajibannnya sebagaimana mestinya, bila fiskus
tidak
melakukan pengawasan. Pengawasan terhadap WP perlu dilakukan guna meningkatkan kepatuhan, yang diharapkan akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak (Mahry, 2003). Tapi pengawasan yang dilakukan selama ini belum maksimal karena tidak didukung
data yang diperlukan, belum lagi adanya pemeriksaan yang masih
disalahgunakan oleh “oknum pemeriksa” untuk memeras WP (Hidayat, 2005a). Untuk mengatasi hal ini, DJP telah melakukan perjanjian kerjasama dengan berbagai pihak, mulai dari Pemda seluruh Indonesia, perguruan tinggi, dan pihak lainnya. Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, DJP juga melakukan upaya intensifikasi (mencari sumber-sumber objek pajak yang belum tergarap), ekstensifikasi (menjaring subjek-subjek pajak baru yang selama ini belum terdaftar sebagai WP), dan penyisiran (penelusuran ke tempat-tempat sentra bisnis tertentu yang potensial) (Hidayat, 2005b). Hal ini, diperkuat dengan pernyataan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution yang dilansir oleh harian Bisnis Indonesia (Nopember 2006) bahwa pemerintah (DJP) akan meningkatkan persentase jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) yang akan diperiksa. Untuk mendukung rencana tersebut DJP akan menambah tenaga fungsional pemeriksa. Fungsi pemeriksaan pajak adalah untuk melaksanakan tujuan pemeriksaan pajak, yakni meningkatkan kepatuhan (menguji kepatuhan WP seperti yang tertuang dalam UU No. 28 tahun 2007 tentang KUP), namun beberapa tahun
15
terakhir tujuan pemeriksaan bukan saja sekedar menguji kepatuhan, tetapi tujuan yang lebih pragmatis dan lebih penting adalah menjalankan fungsi pemajakan (fungsi budgeter) sebagai sumber penerimaan negara.
III. Pembahasan 3.1. Pertimbangan Memanfaatkan Opini Akuntan dalam Pemeriksaan Unsur-unsur yang diperiksa oleh fiskus adalah SPT yang disampaikan berikut lampiran-lampirannya berupa laporan keuangan dan data-data lainnya yang diperlukan. Laporan keuangan yang digunakan oleh pemeriksa pajak sebagai dasar dalam menetapkan besaran penghasilan kena pajak (PKP) sehingga dapat dihitung jumlah pajak terutang (Pasal 28 UU No. 28 tahun 2007).
Bagi
perusahaan tertentu (mis. PT Tbk) laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik (AP) atau Kantor Akuntan Publik (KAP) dan tidak jarang telah mendapatkan opini WTP. SPT yang disampaikan oleh WP (PT Tbk) yang dilampiri laporan keuangan yang telah mendapatkan opini WTP pun masih dilakukan pemeriksaan pajak dan bahkan dapat diterbitkan/dikoreksi dengan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) oleh DJP. Oleh sebab itu, BAPEPAM dan pelaku usaha (WP) yang terdaftar di bursa menuntut perlakuan perpajakan yang memiliki keberpihakan bagi WP PT Tbk, terlebih bagi yang telah memperoleh opini WTP. Keberpihakan dimaksud menurut Hidayat (2009a) adalah perlakuan yang berbeda, misalnya tarif lebih rendah dari tarif yang berlaku bagi WP (non PT Tbk), dan tuntutan lainnya yaitu memfungsikan opini akuntan (WP PT Tbk yang laporan keuangannya telah diuadit oleh akuntan publik dan mendapat opini WTP agar tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali WP terindikasi melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan masalah keuangan, akuntansi, atau masalah perpajakan). Kenyataannya, opini akuntan saat ini seolah-olah tidak berarti apa-apa bagi DJP. Hal ini membuat banyak perusahaan enggan mencatatkan sahamnya di bursa untuk menjadi PT Tbk dan perusahaan juga enggan dan merasa tidak perlu menggunakan jasa audit atas laporan keuangan, karena laporan keuangan yang
16
telah diaudit tidak mempunyai daya guna yang lebih luas termasuk untuk kepentingan pelaporan pajak, padahal biaya yang dikeluarkan untuk jasa audit relatif mahal, sehingga mengauditkan laporan keuangan dianggap akan memperoleh manfaat yang tidak seimbang dengan biaya yang telah dikeluarkan (Hidayat, 2009b). Dengan demikian, sudah saatnya DJP memanfaatkan opini akuntan WTP sebagai salah-satu pertimbangan dalam menetapkan WP yang akan dilakukan pemeriksaan pajak. DJP dapat pula memanfaatkan opini akuntan WTP sebagai dasar dalam menetapkan besaran koreksi dalam Surat Tagihan Pajak (STP), koreksi dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan koreksi dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
IV. Penutup Untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan antara manfaat dengan biaya yang dikeluarkan, salah satunya
adalah dengan meningkatkan manfaat opini
akuntan WTP secara optimal, terutama yang berkait dengan masalah perpajakan. Opini akuntan WTP dijadikan pertimbangan dalam penetapan WP yang akan diperiksa dan bahkan dapat dijadikan dasar dalam penerbitan penetapan pajak (STP) dan Surat Ketetapan Pajak (SKPKB dan SKPKBT). Apabila kondisi di atas tidak segera dibenahi, dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi dunia akuntansi dan bahkan imbasnya dapat merambah ke DJP, hal-hal yang dapat terjadi, misalnya: (1) Perusahaan enggan mendaftarkan/listing di bursa efek, (hal ini, bertentangan dengan semangat memajukan Bursa Efek Indonesia), (2) Perusahaan enggan untuk mengauditkan laporan keuangannya, sehingga akan sulit mencari laporan keuangan yang objektif, informatif, dan transparan (3) Perusahaan besar (PT Tbk) akan memecah perusahaannya (delisting) menjadi perusahaan kecil, dengan demikian akan meningkatkan jumlah WP tetapi tidak meningkatkan penerimaan pajak, bahkan dapat memperkecil jumlah penerimaan pajak.
17
Daftar Pustaka Agoes, Sukrisno. 2003. Pengaruh Penerapan Standar Auditing, Penerapan Standar Pengendalian Mutu dan Kualitas Jasa Audit terhadap Tingkat Kepercayaan Pengguna Laporan Akuntan Publik, Disertasi PPs UNPAD (tidak dipublikasikan) Business News. 2008. Business News No. 7655, edisi 28 April 2008 Business News. 2009. Bunsiness News No. 7843, edisi 5 Agustus 2009 Bwoga, Hananto, et. al. 2005. Pemeriksaan Pajak di Indonesia, Jakarta: Grasindo Gunadi. 2002. Kebijakan Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Berita Pajak, No. 1464/ Tahun XXXIV/1 April 2002, hal. 43-46 Hidayat, Nur. 2005a. Menolak Hasil Pemeriksaan Pajak, Jurnal Perpajakan Indonesia, Vol. 5 No. 1, Agustus 2005 Hidayat, Nur. 2005b. Upaya Mengoptimalkan Penerimaan Pajak, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Terapan, Vol. 1 No. 2, September 2005 Hidayat, Nur. 2009a. Berdayakan Opini Akuntan. Harian Kontan, edisi 19 Januari 2009 hal. 23 Hidayat, Nur. 2009b. Mengoptimalkan Opini Akuntan dalam Pemeriksaan Pajak. Jurnal Ekonomi Manajemen dan Akuntansi Portofolio, Vol. 6, No. 1, Mei 2009 hal. 31-40 IAI. 2001. Standar Profesional Akuntan Publik, Jakarta: Salemba Empat IAI. 2007. Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta: Salemba Empat Mahry, Irfitriyani. 2003. Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Kepatuhan WP dalam Melunasi Tunggakan Pajak, Tesis Program MM – UNPAD (tidak dipublikasikan) UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacaya Perpajakan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan
18