DOFF
VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015
ISSN 2442-7756
A T R I U M
A T R I U M JURNAL ARSITEKTUR
JURNAL ARSITEKTUR
VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015
Diterbitkan Oleh: Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana
ATRIUM
Vol. 1
No. 1
Hlm. 1-92
Yogyakarta, Mei 2015
ISSN 2442-7756
ISSN 2442-7756
A t r I u m Jurnal arsitektur Volume 1, Nomor 1, Mei 2015 Jurnal ATRIUM adalah sarana komunikasi bidang Arsitektur berupa hasil penelitian, studi kepustakaan, maupun tulisan ilmiah terkini. Edisi perdana terbit pada Mei 2015 dengan frekuensi terbit dua kali dalam setahun, pada bulan Mei dan November. Arti ATRIUM adalah ruang bersama, tempat berbagi para anggota dalam sebuah keluarga. ATRIUM sebagai salah satu konsep Arsitektur yang dikenal di berbagai belahan dunia dengan berbagai nama lokalnya ini dipilih untuk menamai jurnal ini.
Dewan Redaksi: Prof. Ir. Titien Saraswati, M.Arch., Ph.D. Ir. Mahatmanto, M.T. Ir. Priyo Pratikno, M.T. Linda Octavia, S.T., M.T.
Mitra Bebestari: Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch. Prof. Ir. Lilianny S. Arifin, M.Sc., Ph.D. Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D. Assoc. Prof. Ir. Johannes Widodo, M.Sc., Ph.D. Dr. Ir. Yuswadi Saliya, M.Arch. Prof. Ir. Antariksa, M.Eng., Ph.D. Prof. Dr. Ir. Ananto Yudono, M.Eng.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Universitas Kristen Petra Universitas Gadjah Mada National University of Singapore Universitas Katolik Parahyangan Universitas Brawijaya Universitas Hasanuddin
Alamat Redaksi: Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Arsitektur dan Desain Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo 5 – 25, Yogyakarta 55224 Telepon : (0274) 563929 pesawat 504 Ponsel : 081803143353 Email :
[email protected]
Redaksi menerima sumbangan artikel di bidang Arsitektur dan akan ditelaah oleh Mitra Bebestari. Artikel bukan plagiat, dan menjadi tanggung jawab penulis apabila terbukti plagiat. Artikel yang dimuat merupakan pandangan penulis dan tidak mewakili pandangan Redaksi.
Jurnal ATRIUM diterbitkan oleh: Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
ISSN 2442-7756
A t r I u m Jurnal arsitektur Volume 1 Nomor 1 Mei 2015
DAFTAR ISI
INTERPRETASI MAKNA PADA WARUNG KOPI ACEH Riza Aulia Putra, Agus S. Ekomadyo
1 - 10
TAMAN KOTA DI SURABAYA SEBAGAI URBAN PARKS Muhd. Arief Al Husaini
11 - 18
ELEMEN ARSITEKTUR, INTERIOR DAN SIGNAGE UNTUK MENEMUKAN JALAN DAN BRANDING UNIVERSITAS KRISTEN PETRA Gunawan Tanuwidjaja, Nerissa Arviana Wijaya, Lavenia Widyanto, Stephanie Seaver Wiarta, John Kenley Sugianto
19 - 28
PERSPEKTIF KONSERVASI ARSITEKTURAL PADA MASYARAKAT JAWA Johannes Adiyanto
29 - 38
STUDI TENTANG LOKASI BENTENG-BENTENG DI SURAKARTA (1672, 1743, 1756, 1832) Bimo Hernowo
39 - 48
PERAN PEREMPUAN DALAM MERUMAH Koniherawati, Priyo Pratikno
49 - 60
KAJIAN ANTITESIS HEGELIAN DALAM ARSITEKTUR Muhammad Nurwahyu, Murni Rachmawati, Josef Prijotomo
61 - 74
RELASI STRUKTUR MASYARAKAT DAN TATA ZONASI PERMUKIMAN ADAT DI DESA NGGELA, ENDE-FLORES Fabiola T.A. Kerong
75 - 92
EDITORIAL Jurnal Arsitektur ATRIUM penyemai pemikiran, karya, dan gagasan mengenai arsitektur dan masalah lingkungan binaan. Tinjauan pembahasan dilakukan secara multi disiplin diantaranya: masalah perkotaan, lansekap kota, kawasan urban, permukiman, perumahan sederhana, perumahan kelas menengahatas, desain kontrol, arsitektur etnik dan arsitektur vernakular. Pada nomor perdana ini disajikan delapan makalah dengan topik bahasan yang berbeda sebagaimana paparan berikut. Interpretasi Riza Aulia Putra dkk. terhadap ruang komunal yaitu pemaknaan warung kopi yang kini menjelma menjadi ikon bagi kota-kota di Banda Aceh. Muhammad Arief al Husaini merinci bahwa keberadaan taman kota di Surabaya masih diperlukan jumlah dan besarannya sehingga beberapa taman perlu diperluas. Tentang signage dan interior yang dilakukan oleh Gunawan Tanuwidjaja dkk., meninjau beberapa gedung dan ruang-ruang di kampus Universitas Kristen Petra Surabaya, disimpulkan bahwa sebagian sudah sangat familier bagi penggunanya dan memenuhi persyaratan, namun pada bagian tertentu masih perlu ditingkatkan. Johannes Adiyanto membahas preservasi dan konservasi arsitektur sebagaimana dipersepsikan oleh orang Jawa. Bimo Hernowo berpendapat bahwa di Kota Surakarta selain terdapat Benteng Vastenberg juga ada dua benteng lain yang sekarang sudah susah dikenali site dan bentuknya. Fabiola T.A. Kerong membahas hierarki letak bangunan rumah terhadap tata ruang permukiman desa adat, dengan temuan bahwa struktur masyarakat yang berhierarkis itulah yang menentukan tata letak rumah dan desa adat. Studi tentang jender oleh Koniherawati dkk., membahas hubungan perempuan dengan penciptaan selubung fisik mulai dari baju hingga pembuatan rumah tinggal pada masa lalu yang banyak digumuli oleh para perempuan. Lalu telaah tentang filsafat Hegel yang dilakukan oleh Muhammad Nurwahyu. Mengkaji teorema ”antitesis” Hegel untuk diterapkan dalam metode perancangan arsitektur. Redaksi Jurnal Arsitektur ATRIUM mengucapkan terima kasih kepada para penyaji, mitra bebestari dan sidang pembaca terhormat.
Salam, Dewan Redaksi
INTERPRETASI MAKNA PADA WARUNG KOPI ACEH Studi Kasus: Warung Kopi Solong di Banda Aceh Riza Aulia Putra1, Agus S. Ekomadyo2 1,2
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132 email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Tradisi berkumpul untuk silaturahmi pada masyarakat Aceh sudah lama terbentuk. Warung kopi merupakan salah satu artefak dari tradisi atau budaya berkumpul pada masyarakat Aceh. Warung kopi merupakan tempat terjadinya interaksi sosial dan berbagai aktivitas lainnya. Salah satu contoh kasus yang diambil yaitu pada warung kopi Solong yang berada di Kota Banda Aceh. Tujuan penulisan ini adalah untuk menelusuri ruh atau genius loci yang membuat warung kopi Aceh terus hidup dan berkembang. Dengan menggunakan pemikiran dari Norberg-Schulz maka akan dikaji dan ditelusuri lebih jauh mengenai citra, ruang dan karakter yang membentuk genius loci pada warung kopi Aceh sehingga membuat masyarakat Aceh memilih warung kopi sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas dan interaksi sosial. Dengan mengkaji unsur tersebut akan didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah tempat yaitu makna, identitas dan sejarah tempat tersebut. Kata kunci: tempat, ruang interaksi, genius loci, warung kopi
Abstract Title: The Interpretation of Meaning in Aceh Coffee Shop The gathering tradition in Acehnese people for silaturrahmi has long been established. A coffee shop is one of the artefacts from Aceh traditions or gathering culture for Acehnese people. Coffee shop is a place for social interaction and other various activities. One example of case that was taken is Solong Coffee shop located in the city of Banda Aceh. The purpose of this paper is to explore the spirit or genius loci that makes coffee shop in Aceh continue to live and thrive. By using the thinking of Norberg-Schulz, it will be studied and explored for more about image, space and character that create the genius loci in a Aceh coffee shop to attract the Acehnese people to choose the coffee shop as a place to do their various activities and social interaction. Reviewing these elements will obtain many factors that affect a place such as the meaning, identity and history of the place. Keywords: place, interaction space, genius loci, coffee shop
Pendahuluan Kopi merupakan salah satu ikon bagi masyarakat Aceh. Hal ini dikarenakan keunikan dan karakter yang dimiliki oleh kopi Aceh itu sendiri. Aceh telah dikenal dengan kopinya yang khas. Potensi kopi Aceh yang cukup baik ini terus berkembang hingga saat ini. Kopi
menjadi media interaksi sosial antar masyarakat Aceh. Hal ini dikarenakan menikmati secangkir kopi di warung kopi telah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh, khususnya bagi kaum pria. Tradisi ini telah berkembang turun temurun pada masyarakat Aceh. Tradisi berkumpul dan melakukan interaksi sosial ini juga 1
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 1-10
dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman yang sangat kuat pada masyarakat Aceh. Pentingnya silaturahmi menjadi poin utama sehingga membuat masyarakat Aceh sering berkumpul. Warung kopi merupakan artefak dari tradisi atau budaya berkumpul masyarakat Aceh. Budaya berkumpul di warung kopi dalam masyarakat Aceh merupakan wujud kebudayaan berbentuk aktivitas. Aktivitas ini lahir dari kebiasaan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat Aceh khususnya di kota Banda Aceh (Koentjaraningrat, 1974). Budaya berkumpul ini sudah menjadi kebiasaan turun temurun pada masyarakat Aceh. Hal ini dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam yang begitu kuat pada kehidupan masyarakat Aceh yang mengharuskan masyarakat untuk menjaga dan menjalin silaturahmi dalam kehidupan bermasyarakat. Agama Islam memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari (Sufi, 2004). Interaksi sosial dan berbagai kegiatan lainnya seperti kegiatan politik, bisnis dan ekonomi, diskusi-diskusi ilmiah dan sebagainya dapat terjadi di warung kopi. Hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya jumlah warung kopi yang hadir di Aceh khususnya di kota Banda Aceh. Banda Aceh menjadi pilihan bagi para pengembang usaha dikarenakan fungsinya sebagai ibukota provinsi Aceh yang pertumbuhan ekonominya lebih berkembang dibandingkan daerah lainnya di provinsi Aceh. Warung kopi telah membentuk tempat dan makna bagi masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh lebih memilih warung kopi dari pada tempat lainnya sebagai ruang interaksi sosial dan aktivitas lainnya. Kondisi ini dapat 2
berlangsung karena adanya ruh atau spirit yang menjaga identitas atau karakter dari kopi Aceh yang oleh Norberg-Schulz disebut dengan genius loci sehingga eksistensi dari warung kopi dapat terus bertahan dan berkembang. Genius loci dapat tercipta dari kemampuan masyarakat suatu daerah untuk menerima pengaruh luar secara selektif dan melalui proses kreatif melahirkan ciptaan baru yang unik dan tidak terdapat dalam wilayah asal budaya tersebut (Arif, 2008). Genius loci merujuk pada kecerdasan lokal yang dibangun antara masyarakat pada lingkungan fisik yang mewadahi kegiatannya. Dengan pendekatan genius loci, maka setiap tempat akan dinilai maknanya bagi komunitas yang memanfaatkannya (Ekomadyo, 2012). Melalui penelitian ini akan diungkap bagaimana makna yang terbentuk pada warung kopi sebagai identitas yang menjadi bagian sejarah bagi masyarakat Aceh. Dengan menggunakan konsep tempat (place) dari Norberg-Schulz maka akan ditinjau lebih jauh mengenai citra, ruang dan karakter yang membentuk genius loci pada warung kopi. Dengan keempat hal tersebut akan ditemukan ruh atau spirit of place pada warung kopi yang membuat warung kopi di Banda Aceh terus berkembang dan ramai dikunjungi oleh masyarakat Aceh.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan memaparkan fakta dan fenomena yang ada dalam lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi langsung untuk mengamati perilaku dan aktivitas pada warung kopi Aceh. Selain itu juga
Putra, Interpretasi Makna pada Warung Kopi Aceh
dilakukan wawancara berhadaphadapan (face-to-face interview) dengan manager warung kopi dan wawancara dalam kelompok (focus group interview) dengan pengunjung warung kopi. Warung kopi Aceh yang menjadi sampel pada penelitian ini adalah warung kopi Solong yang terletak di kota Banda Aceh, Aceh. Data yang telah diperoleh kemudian akan dianalisis berdasarkan pemikiran dari Norberg-Schulz mengenai konsep place (tempat) sehingga dapat diketahui faktor yang membentuk genius loci pada warung kopi Aceh.
Makna dan Tempat dalam Arsitektur Makna (meaning) merupakan fungsi psychic (berkaitan dengan kekuatan batin) yang bergantung pada proses identifikasi dan menunjukkan sense of belonging. Makna dari setiap objek terdiri dari hubungan dengan objek yang lainnya, yang terdiri dari kumpulan-kumpulan objek. Makna akan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, politik dan fenomena budaya lainnya. Makna yang ditemukan dalam sebuah tempat merupakan genius loci atau ruh yang menjadi pembangkit kehidupan pada tempat tersebut (Norberg-Schulz, 1980). Tempat (place) dapat diartikan sebagai ruang yang memiliki karakter, atmosfir atau makna tertentu. Sebuah place adalah sebuah space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Sebuah space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void, dan sebuah space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya daerahnya (Zahnd, 1999). Places diidentifikasikan dengan sesuatu yang tidak berubah. Sense of
place yang terdapat didalamnya, karakter atau identitas akan relatif stabil. Hal inilah yang sering dihubungkan dengan spirif of place atau genius loci yang dikemukakan oleh Norberg-Schulz (Dovey, 2010) Place memiliki karakter sebagai elemen pembentuknya. Karakter ini ditentukan oleh material dan keadaan formal dari place seperti kondisi tanah tempat kita berjalan, kondisi langit di atas kepala, atau yang lebih umum yaitu keadaan di sekitar place itu sendiri. Ada tiga hal yang membentuk sebuah place yaitu meaning, identity dan history. Sebuah place akan memiliki spirit of place atau yang disebut oleh Norberg-Schulz sebagai genius loci jika memiliki unsur-unsur di atas. Genius loci merupakan konsep Romawi. Menurut kepercayaan kuno Romawi setiap sesuatu yang berdiri memiliki genius, yang menjaga spirit suatu tempat (a guardian spirit). Spirit ini yang memberikan kehidupan untuk manusia dan tempat, menemani mereka dari lahir sampai kematian dan menentukan karakter mereka. Place akan kehilangan identitasnya jika faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya tidak diwujudkan dengan menghormati genius loci. Untuk menghormati genius loci bukan berarti harus menggunakan model lama. Namun itu berarti menentukan sebuah identitas place dan menginterpretasikannya dengan berbagai cara bahkan dalam cara baru (Norberg-Schulz, 1980). Berdasarkan pemikiran Norberg-Schulz ada empat aspek yang dapat digunakan untuk menelusuri genius loci pada suatu tempat, yaitu citra, ruang, karakter dan genius loci itu sendiri. Dengan menelusuri keempat aspek tersebut maka akan didapatkan faktorfaktor yang dapat mempengaruhi 3
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 1-10
sebuah tempat yaitu makna, identitas dan kesejarahan tempat tersebut.
Gambar 1. Unsur-unsur untuk menelusuri genius loci pada sebuah tempat menurut Norberg-Schulz Sumber: Norberg-Schulz, 1980
Warung Kopi sebagai Artefak Budaya Masyarakat Aceh Budaya berkumpul di warung kopi pada masyarakat Aceh awalnya dilakukan hanya untuk menikmati secangkir kopi dan menjalin silaturahmi dengan karib kerabat. Namun pada saat ini telah terjadi perubahan dan pergesaran fungsi dari warung kopi sebagai sebuah tempat (place). Warung kopi telah menjadi multifungsi untuk berbagai keperluan seperti tempat pertemuan, membahas pekerjaan, mengerjakan tugas bagi pelajar dan mahasiswa dan sebagainya. Tidak hanya berhenti disitu, warung kopi telah berkembang menjadi destinasi wisata. Kebiasan masyarakat Aceh yang suka berkumpul di warung kopi dan banyaknya warung kopi di sepanjang jalan kota Banda Aceh membuat setiap pendatang yang mengunjungi kota Banda Aceh turut berkeinginan untuk mencoba merasakan kopi Aceh. Hal ini membuat warung kopi menjadi salah satu destinasi wisata yang dapat meningkatkan nilai pariwisata Aceh di sektor wisata kuliner.
4
Hidupnya warung kopi di Banda Aceh dikarenakan tingginya partisipasi dari masyarakat untuk mengunjungi dan melakukan aktivitas di warung kopi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keunikan kopi Aceh itu sendiri, sajian kuliner khas Aceh yang disediakan, kenyamanan tempat pada warung kopi, fasilitas tambahan seperti layanan ruang meeting dan wifi, atraksi penyajian kopi Aceh oleh barista, suasana yang informal, view tertentu pada warung kopi, teman atau pengunjung yang datang pada warung kopi tersebut dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut yang membuat masyarakat Aceh lebih memilih untuk melakukan berbagai aktivitas di warung kopi dibandingkan dengan di tempat atau restoran-restoran lainnya.
Gambar 2. Budaya/tradisi berkumpul di warung kopi Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Warung kopi hadir untuk berbagai keperluan. Menerima tamu atau wisatawanpun sering dilakukan di warung kopi. Hal ini dilakukan karena kegiatan-kegiatan di warung kopi dapat dilakukan secara informal dan lebih terbuka. Secara tidak langsung ini akan berdampak pada promosi kopi aceh itu sendiri.
Putra, Interpretasi Makna pada Warung Kopi Aceh
Sebagai ruang interaksi sosial, warung kopi muncul dengan beragam bentuk dan gaya arsitektur, mulai dari yang berbentuk dan bergaya arsitektur tradisional atau etnik sampai yang bergaya modernpun ikut hadir. Beragam jenis bangunan warung kopi ini telah menciptakan citra tersendiri bagi kota Banda Aceh. Citra ini diperlukan sebagai salah satu yang membentuk identitas serta wajah arsitektur kota. Tanpa citra, arsitektur tidak ada (Arif, 2008). Salah satu warung kopi yang banyak dikunjungi oleh masyarakat Aceh adalah warung kopi Solong. Warung kopi solong merupakan salah satu warung kopi yang berada di kota Banda Aceh sejak tahun 1974. Warung kopi Solong telah mendapat kepercayaan dari masyarakat karena memiliki cita rasa kopi yang sangat kuat. Disamping itu pengunjung yang datang pada warung kopi Solong juga menjadi magnet bagi pengunjung lainnya untuk datang pada warung kopi ini. Oleh karena itu, warung kopi Solong terus ramai dikunjungi oleh masyarakat Aceh dari pagi hari hingga malam hari. Awalnya warung kopi Solong merupakan warung kopi dengan suasana konvensional yang berada di kawasan permukiman warga. Seiring dengan perkembangan waktu, warung kopi Solong terus berkembang hingga mengubah tampilannya menjadi lebih modern dan hingga saat ini telah memiliki 4 cabang di kota Banda Aceh.
Gambar 3. Warung kopi solong dengan suasana konvensional (bentuk lama) Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Gambar 4. warung kopi solong dengan suasana modern (bentuk baru) Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Namun ada hal yang menarik pada warung kopi Solong. Meskipun warung kopi ini telah mengubah tampilannya menjadi lebih modern, namun ada hal yang unik dan masih dipertahankan sebagai ciri khas warung kopi Aceh itu sendiri, yaitu kopi dan proses penyajiannya yang khas. Kedua hal ini telah menjadi keunikan tersendiri bagi warung kopi dan menjadikannya ruh atau genius loci yang mampu menarik masyarakat Aceh untuk datang dan melakukan aktivitas di warung kopi.
5
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 1-10
Gambar 5. Kopi Aceh dan proses penyajiannya Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Citarasa kopi yang kuat dan adanya sajian khusus yang ditawarkan membuat warung kopi ini terus berkembang. Warung kopi Solong memiliki salah satu jenis minuman hasil racikan sendiri yang sangat diminati oleh masyarakat Aceh. Minuman tersebut disebut sanger yang terbuat dari campuran kopi dengan sedikit susu dan sedikit gula. Yang membedakannya dengan kopi susu biasa adalah perpaduan dan komposisi antara kopi dengan susunya. Proses penyajiannya yang khas pun juga mempengaruhi dari rasa sanger tersebut.
Gambar 6. Minuman sanger di warung kopi Solong Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Telaah Makna dan Tempat pada Warung Kopi Solong di Banda Aceh Warung kopi sebagai ruang interaksi sosial masyarakat kota menjadi salah satu tujuan dari masyarakat untuk saling berinteraksi. Fenomena ini 6
tentunya berlangsung karena adanya ruh atau spirit yang ada pada warung kopi Aceh sehingga masyarakat lebih memilih untuk saling berinteraksi di warung kopi. Hal ini menyebabkan perkembangan dan pertumbuhan warung kopi di Banda Aceh terus meningkat terutama setelah terjadinya peristiwa tsunami tahun 2004 silam. Dengan menggunakan kerangka teori dari Norberg-Schultz, maka akan ditelaah makna tempat pada warung kopi solong di Banda Aceh melalui citra, ruang, dan karakter sehingga mendapatkan genius loci yang menjadi ruh atau spirit dari warung kopi tersebut. Citra Warung Kopi: Interaksi Sosial Masyarakat Aceh melihat warung kopi sebagai tempat untuk melakukan interaksi sosial. Dengan media secangkir kopi, mereka dapat melakukan pertemuan dan berbagai kegiatan lainnya di warung kopi. Berbagai bentuk kegiatan dan aktivitas dapat terjadi pada warung kopi di masa kini. Hal ini terjadi dikarenakan telah terjadi pergeseran makna pada fungsi tempat (place) di warung kopi. Warung kopi yang dulunya hanya didatangi oleh kaum lelaki kini tidak lagi demikian. Kaum wanitapun telah ramai mendatangi warung kopi. Hal ini disebabkan tujuan masyarakat mengunjungi warung kopi bukan semata untuk mendapatkan secangkir kopi, akan tetapi lebih kepada perilaku sosial untuk berkumpul bersama teman atau rekan kerja. Perilaku sosial ini tentu membutuhkan tempat (place). Oleh karena itu warung kopi hadir sebagai upaya penyediaan tempat untuk aktivitas interaksi sosial tersebut. Warung kopi hadir tidak lagi sebagai kebutuhan semata, melainkan telah menjadi gaya hidup dengan berbagai fasilitas penunjang yang mendukung
Putra, Interpretasi Makna pada Warung Kopi Aceh
seperti adanya layanan internet dan sebagainya. Namun makna inti dari warung kopi sendiri sebagai ruang sosial tidaklah hilang. Manager warung kopi Solong (Sarbaini, 35 tahun) menjelaskan bahwa hampir seluruh pengunjung yang datang ke warung kopinya bertujuan untuk bertemu dengan teman atau relasi bisnis sambil menikmati secangkir kopi. Kopi telah menjadi media yang menarik orang untuk berinteraksi di warung kopi. Arti interaksi sosial disini tidak sebatas pada sesama masyarakat Aceh, melainkan juga interaksi terhadap masyarakat dari luar Aceh seperti wisatawan. Nilai-nilai budaya masyarakat Aceh untuk memuliakan tamu (peumulia jamee) atau melayani tamu dengan sebaik-baiknya tetap dipegang kuat oleh masyarakat Aceh. Sehingga warung kopi sebagai place menyediakan ruang untuk terjadinya interaksi sosial tersebut. Terdapat dua jenis warung kopi Solong di Banda Aceh, yaitu warung kopi Solong bentuk lama dengan desain konvensional dan bentuk baru dengan desain yang lebih modern. Interaksi sosial terjadi pada warung kopi Solong dengan bentuk lama maupun pada warung kopi Solong dengan bentuk baru. Ini memperlihatkan bahwa warung kopi dengan desain konvensional ataupun warung kopi dengan desain modern tidak mempengaruhi pandangan masyarakat dalam melihat warung kopi sebagai tempat untuk melakukan interaksi sosial dan aktivitas lainnya.
Gambar 7. Warung kopi sebagai ruang interaksi sosial pada bentuk lama (atas) dan bentuk baru (bawah) Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Ruang: Wadah Interaksi Sosial Untuk mewadahi aktivitas interaksi sosial diperlukan space atau ruang untuk kegiatan tersebut. Pada warung kopi umumnya makna ruang yang dipahami di sini dalam lingkup makna fisik. Ruang tersebut memiliki dimensi dan batasan yang jelas. Interaksi sosial terjadi pada sebuah meja dengan beberapa kursi sesuai dengan pengunjungnya. Terdapat dua jenis interaksi yang terjadi pada warung kopi. Pertama yaitu interaksi antar sesama pengunjung. Ini merupakan interaksi utama yang melibatkan pengunjung yang satu dengan yang lainnya. Interaksi ini memiliki beragam jenis tujuan, seperti tujuan sosial, politik, ekonomi dan bisnis, serta tujuan edukasi. Disamping itu juga terdapat interaksi antar pengunjung dengan pelayan warung kopi. Interaksi ini hanya sebatas pada proses pelayanan saja. Kedua interaksi ini dapat saling bersinggungan dalam sebuah ruang.
7
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 1-10
Gambar 8. Pola interaksi mikro (atas) dan makro (bawah) dalam sebuah warung kopi Sumber: Hasil analisis, 2015
Jika ditinjau dari segi besaran dan batasannya, interaksi yang terjadi pada warung kopi dapat dibedakan menjadi interaksi secara mikro dan makro. Interaksi sosial secara mikro dapat didefinisikan oleh sebuah meja dengan beberapa kursi sesuai dengan jumlah pengunjungnya. Kopi menjadi media yang mengikat interaksi tersebut. Sedangkan interaksi sosial secara makro didefinisikan sebagai interaksi yang terjadi antara beberapa interaksi mikro yang terdapat dalam warung kopi tersebut. Karakter : Keunikan Warung Kopi Dari penjelasan dan analisis yang dilakukan sebelumnya, terdapat keunikan dan kekhasan yang dimiliki oleh warung kopi Aceh yaitu kopi Aceh itu sendiri serta proses penyajiannya yang khas. Kedua hal ini telah menjadi karakter bagi warung kopi di Aceh. Keunikan ini merupakan bagian yang dipertahankan pada warung kopi baik pada warung kopi dengan bentuk lama maupun warung kopi dengan bentuk baru (modern). Kopi Aceh menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan ramainya masyarakat mengunjungi dan melakukan aktivitas di warung kopi. Kopi Aceh memiliki cita rasa yang 8
khas sehingga dengan kelebihan ini kopi aceh telah menjadi media pengikat untuk interaksi masyarakat. Kopi aceh juga lazim dihidangkan bersama dengan makanan-makanan ringan khas Aceh. Kopi Aceh memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kopikopi lainnya, khususnya dalam proses penyajiannya. Proses penyajian kopi Aceh telah menjadi warisan turuntemurun dan menjadi identitas bagi kopi Aceh itu sendiri. Kopi Aceh disajikan oleh seorang barista (sebutan untuk penyaji kopi) yang sudah memiliki keahlian tersebut. Keunikan ini menjadi salah satu faktor yang menjadi daya tarik bagi wisatawan yang belum pernah melihat proses penyajian kopi Aceh.
Gambar 9. Kekhasan warung kopi Aceh Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Meskipun warung kopi Solong hadir dalam bentuk baru yang modern, ada keunikan yang telah menjadi karakter warung kopi yang dipertahankan yaitu kopi itu sendiri dan proses penyajiannya. Dengan adanya keunikan yang kuat pada kopi Aceh dan proses penyajiannya, maka ini menciptakan genius loci yang kuat pula pada warung kopi sebagai tempat. Karakter ini memberikan eksistensi kepada warung kopi sehingga membuat masyarakat memilih warung kopi sebagai tempat untuk melakukan interaksi sosial dan berbagai aktivitas lainnya. Analisis pola interaksi pada warung kopi dapat dilihat pada tabel 1.
Putra, Interpretasi Makna pada Warung Kopi Aceh Tabel 1. Analisis interaksi pada warung kopi Aceh Warung Kopi Bentuk Lama Mikro Makro
Warung Kopi Bentuk Baru Mikro Makro
Kopi
Penyajian kopi
-
Dapur penyajian
Dapur penyajian
Sumber: Hasil analisis, 2015
Genius Loci: Kopi sebagai Pengikat Silaturahmi Genius loci dapat didefinisikan sebagai ruh atau spirit pada suatu tempat yang menjaga dan membuat tempat tersebut hidup. Eksistensi warung kopi Aceh terus berkembang dikarenakan adanya genius loci yang menyebabkan ketertarikan masyarakat Aceh untuk melakukan interaksi sosial dan beragam aktivitas lainnya di warung kopi. Genius loci pada warung kopi hadir dari perannya sebagai ruang interaksi sosial bagi masyarakat. Warung kopi menjadi wadah untuk berbagai aktivitas sosial, politik, ekonomi bahkan edukasi.
Pada warung kopi Solong di Banda Aceh, genius loci yang ditemukan adalah kopi Aceh atau kopi Solong itu sendiri dan proses penyajiannya. Kopi Solong telah memiliki citarasa yang khas sehingga telah mendapat kepercayaan dari masyarakat Aceh.
Gambar 10. Kopi sebagai genius loci pada warung kopi Sumber: Dokumentasi Putra, 2015 9
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 1-10
Kesukaan masyarakat Aceh terhadap kopi menjadikannya alasan untuk masyarakat berkumpul pada warung kopi. Kopi membentuk ruang interaksi, mulai dari ruang mikro, makro bahkan sampai ke ruang kota. Kopi telah menjadi sebagai media pengikat interaksi masyarakat Aceh.
Kesimpulan Jika ditelaah melalui konsep “place” dari Norberg-Schultz maka diperlukan makna, identitas dan sejarah pada warung kopi sebagai sebuah place. Makna dalam place warung kopi terbentuk karena perannya sebagai ruang interaksi sosial atau wadah silaturahmi bagi masyarakat Aceh. Warung kopi telah menjadi tempat bagi masyarakat Aceh untuk bertukar pikiran dan melakukan berbagai kegiatan lainnya. Warung kopi telah menjadi identitas yang melambangkan simbol dari nilai-nilai perkawanan dan kekerabatan pada masyarakat Aceh. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh sejarah pada masyarakat Aceh yang sering berkumpul untuk silaturahmi. Tradisi berkumpul pada masyarakat Aceh ini dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam yang melekat kuat pada masyarakat Aceh. Warung kopi di Aceh mempunyai makna, identitas dan sejarahnya tersendiri yang berbeda dengan warung kopi di daerah lainnya. Hal inilah yang membuat warung kopi Aceh memiliki karakter dan ciri khas tersendiri. Karakter ini yang menjadi ruh pada warung kopi sehingga membuat masyarakat tertarik untuk datang ke warung kopi dan menjadikan eksistensi kopi Aceh terus bertahan dan berkembang sampai saat ini.
10
Daftar Pustaka Arif, K. A. (2008). Ragam citra Kota Banda Aceh. Bandung: Pustaka Bustanussalatin. Dovey, K. (2010). Becoming place. New York: Routledge. Ekomadyo, A. S. (2012). Menelusuri “genius loci" pasar tradisional sebagai ruang sosial urban di Nusantara. Semesta Arsitektur Nusantara. Malang: Universitas Brawijaya. Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, mentalitet dan pembangunan. Jakarta: Gramedia. Norberg-Schulz, C. (1980). Genius loci:Towards a phenomenology of Architecture. London: Academy Editions London. Sufi, R., & Wibowo, A. B. (2004). Budaya masyarakat Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Zahnd, M. (1999). Perancangan kota secara terpadu: Teori Perancangan Kota dan penerapannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
TAMAN KOTA DI SURABAYA SEBAGAI URBAN PARKS Muhd. Arief Al Husaini Pasca Sarjana Perancangan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perancangan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Keputih Sukolilo 60111, Surabaya
[email protected]
Abstrak Surabaya adalah salah satu kota metropolitan di Indonesia. Kota besar umumnya memiliki mobilitas kegiatan tinggi dan keterbatasan-keterbatasan dalam kota. Keterbatasan tersebut terkait lansekap kota seperti ketersediaan lahan, kualitas udara, dan ruang interaksi sosial. Hal tersebut berimbas pada kualitas hidup masyarakat dalam kota. Dalam rangka mencapai kualitas hidup dan kebutuhan ruang interaksi, kota Surabaya banyak menyediakan taman. Taman memiliki banyak tingkatan, namun untuk sebuah kota besar sudah seharusnya memiliki taman setingkat urban parks. Oleh karena itu akan dilakukan analisa apakah taman-taman di Surabaya sudah tergolong urban parks. Analisis taman kota di Surabaya dilakukan dengan membandingkan tinjauan kepustakaan mengenai urban parks dan fakta lapangan. Taman yang diteliti adalah taman yang dianggap mewakili taman kota Surabaya yaitu Taman Bungkul dan Taman Apsari. Hasil analisis disimpulkan bahwa taman tersebut belum termasuk golongan urban parks. Kata kunci: Surabaya, tingkatan taman, urban parks
Abstract Title: Urban Parks in Surabaya Surabaya is one of the metropolitan cities in Indonesia. Large cities are generally high mobility and limitations in the city. The limitations related to the urban landscape such as the availability of land, air quality, and social interaction space. It is an impact on the quality of life in the city. In order to achieve the quality of life and the need for interaction space, providing plenty of Surabaya city park. The park has many levels, but to a large city should already have a garden level of urban parks. Therefore, it will be analyzed whether the parks in Surabaya is considered urban parks. Analysis of city park in Surabaya through comparing review of literature on urban parks and facts on the ground. The research of parks uses, parks that can represent surabaya's park, taman bungkul dan taman apsari. The results of the analysis concluded that the park has not belonged to urban parks. Keywords: Surabaya, level of park, urban parks
Pendahuluan Secara keilmuwan lansekap kota termasuk dalam kajian perancangan kota dengan muara ilmu pada arsitektur. Oleh karena itu kajian ini akan memberikan sumbangsih pengembangan keilmuan khususnya pada ruang lingkup perancangan kota
dan umunya pada arsitektur. Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pemusatan, distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Rob (1979) mengatakan 11
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 11-18
dalam bukunya Urban Space lansekap adalah suatu sistem yang menyeluruh yang didalamnya ada hubungan biotik dan abiotik serta termasuk hubungan manusia. Dapat dipastikan bahwa jika berbicara mengenai urban landscape adalah bicara mengenai keterbatasanketerbatasan pada kota. Keterbatasan pada kota berupa mahalnya harga lahan di kota hal tersebut imbas dari keterbatasan lahan, umumnya pada kota besar permasalahan ekologi akan menjadi permsalahan utama seperti ketersediaan air, udara bersih, dan penghijauan kota. Selain itu faktor keindahan kota perlu diperhatikan. Surabaya sebagai ibukota provinsi sekaligus menjadi pusat pemerintah provinsi Jawa Timur. Surabaya tergolong kota metropolitan, hal tersebut menyebabkan berpusatnya kegiatan pemerintah, perdagangan, industri, dan sosial di pusat kota. Tingginya mobilitas kegiatan tersebut membutuhkan sebuah taman di kota sebagai ruang interaksi manusia dan lingkungan perkotaan. Surabaya sebagai kota metropolitan sudah seharusnya memiliki taman sekelas urban park. Urban park didefinisikan sebagai daerah ruang terbuka digambarkan sebagian besar didominasi oleh vegetasi dan air, dan umumnya untuk keperluan umum. Dalam kajian analisa ini akan dilakukan pengamatan pada dua taman yaitu Taman Bungkul dan Taman Apsari. Dua taman ini dianggap telah mewakili taman-taman di Surabaya. Taman Bungkul dianggap mewakili karena meraih penghargaan The 2013 Asian Townscape Award dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai taman terbaik se-Asia pada tahun 2013. Sedangkan Taman Apsari dianggap 12
mewakili karena lokasi yang strategis berada di pusat kota Surabaya. Oleh karena itu dua taman ini sebagai taman terbaik dan lokasi paling strategis di Surabaya dapat memberikan gambaran hasil, apakah taman di Surabaya sudah tergolong urban park.
Gambar 1. Taman Bungkul Sumber: Dokumentasi Hendz, 2013
Gambar 2. Taman Apsari Sumber: Dokumentasi Husaini, 2015
Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini sebagai upaya mengetahui apakah taman-taman kota di Surabaya sudah tergolong urban park, sehingga nanti akan diketahui apakah Surabaya sudah memiliki urban park atau belum. Hal ini berguna umumnya bagi daerah lain dan khususnya pemerintah Surabaya sebagai evaluasi dalam upaya penyediaan ruang terbuka yang baik untuk masyarakat, peningkatan kualitas kota dan ekologi.
Kajian Pustaka Pengertian Urban Parks Urban parks adalah salah satu bidang kajian dalam urban landscape. Urban
Husaini, Taman Kota di Surabaya sebagai Urban Parks
Parks didefinisikan sebagai daerah ruang terbuka, dimana sebagian besar didominasi oleh vegetasi dan air, dan umumnya untuk keperluan umum. Pengertian lain taman kota adalah taman yang berada di lingkungan perkotaan, yang dapat mengantisipasi dampak-dampak perkembangan kota, serta dapat dinikmati oleh seluruh warga kota. Fungsi Urban Parks Secara umum tujuan dari urban park adalah untuk meningkatkan kualitas hidup di perkotaan. Kualitas hidup bisa dari kategori sehat, ekonomi, sosial, dan budaya. Selain itu juga mengatur keindahan kota dan ekologi.
Gambar 3. Skema fungsi urban parks Sumber: Anna Chiesura, 2003
Menurut Zoer‟aini (1997) manfaat dari taman sebagai berikut : 1. Fungsi Lanskap Perlindungan terhadap kondisi fisik alami seperti angin, sinar matahari, bau, dan sebagainya. 2. Fungsi Pelestarian Lingkungan Taman kota menjaga kualitas lingkungan kota. - Menurunkan suhu kota, - Meningkatkan oksigen kota, - Penyaring debu dan meminimalisir polusi, - Perlindungan erosi tanah, - Peredam kebisingan kota, dan - Ruang hidup Flora dan Fauna. 3. Fungsi Estetika Ukuran, bentuk warna, dan tekstur dan vegetasi menjadi faktor yang mempengaruhi kualitas estetika.
Tingkatan Taman Kota Ada persyaratan ruang publik untuk kegiatan dan interaksi sosial masyarakat. Menurut Fairfax Country Authority persyaratan taman kota dihitung berdasarkan jumlah bruto luas lantai (GFA) ruang, dan jumlah orang yang diharapkan untuk hidup dan / atau bekerja dalam pengembangan. Menurut Office of Community Revitalization & Reinvestment (OCRR) membagi beberapa tingkatan sebagai berikut: 1. Pocket Park Pocket park adalah taman kota kecil yang biasanya luasnya kurang dari 1 hektar. Pocket park umumnya berlokasi berdekatan lingkungan terdekat dengan pedestrian yang padat memberikan ruang untuk berinteraksi sosial, istirahat sejenak, bermain anak, membaca, dan makan. Berada pada kegiatan yang padat diantara bangunan, retail atau kantor. Contoh pocket park adalah Paley Park, New York, Ny. 2. Common Green Common Green adalah sebuah taman yang lebih besar (setidaknya berukuran 1 hektar) yang terdapat berbagai fungsi dan selalu di pusat kota. Mudah diakses dari area komersial dan perumahan. Dapat digunakan untuk fungsi-fungsi Sosial seperti pertunjukan, pasar dan festival. Contoh Common green adalah Adams & Sangamon Park, Chicago, IL. 3. Civic Plaza Civic plaza adalah ruang pertemuan publik. Taman ini berlokasi dekat dengan kendaraan umum, persimpangan penting, mudah diakses oleh jaringan jalan perkotaan. Taman ini lebih ditekankan pada hardscape seperti perkerasaan, bangku, dan air mancur. Luas yang cukup untuk menampung festival, pasar seni, dan konser. Selain itu ada ruang intim dan ruang terbuka luas. Umumnya taman
13
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 11-18
ini minimal 1 hektar. Contohnya adalah Union Square, San Francisco, CA. 4. Recreation-Focused Park Recreation-focused park adalah taman yang memberikan fasilitas rekreasi bagi warga dan pekerja di dekatnya. Ini adalah taman aktif dengan kegiatan olahraga. Contohnya adalah Quincy Park, Arlington, VA. Dikutip dari sumber lain, masih terdapat tingkatan lain pada urban park, yaitu: 5. Local Area Taman lokal adalah sebuah ruang terbuka yang menyediakan fasilitas rekreasi jarak pendek untuk penduduk lokal berbagai blok perencanaan dalam rencana local area. Fasilitas rekreasi akan lebih ke arah fasilitas rekreasi masyarakat hirarki lebih rendah dari metropolitan park dan urban park. 6. Neighbourhood Park Neighbourhood park adalah sebuah ruang terbuka yang ditujukan untuk olahraga dan fasilitas rekreasi pasif/ kegiatan pemukiman penduduk. Berfungsi sebagai ruang luar untuk komunitas hunian yang memiliki fasilitas rekreasi anak dan rekreasi aktif skala kecil. Luas antara 0,2-1 Ha. Menampung sekitar 3000 orang. 7. Playground Playground merupakan kawasan ruang terbuka yang dialokasikan untuk fasilitas rekreasi harian anak usia sekolah dan balita yang tinggal di sekitar daerah perumahan masingmasing/lingkungan yang lebih kecil. Ini akan menjadi bagian dari persyaratan sepuluh persen dari penyediaan ruang terbuka dalam setiap proyek pembangunan. Menampung sekitar 1000 orang dengan ukuran 0,6 Ha.
14
8. Green Connectors Green Connectors adalah ruang hijau, yang akan mengaitkan pejalan kaki dan cycleway pada ruang terbuka metropolitan, lokal dan lingkungan. Koridor hijau dimaksudkan sebagai akses tingkat menengah terbentuk dari rute dan pejalan kaki dan sepeda. Elemen Pertimbangan Urban Parks LPM Putrajaya (2001) mengatakan elemen-elemen yang harus diperhatikan dalam perencanaan taman kota. Elemen tersebut sebagai pemicu keberhasilan sebuah taman kota. Berikut elemen-elemen urban park : 1. Lokasi Pemilihan lokasi yang tepat adalah esensi keberhasilan taman kota. Bagaimana secara baik taman kota berhubungan dengan jaringan kota dan area publik. Sebaiknya taman kota langsung ditemukan di jalan utama kota. 2. Akses dan Jarak Penglihatan Perencanaan fisik dan visual akses sangat penting kesuksesan taman kota. Jalur pedestrian harus terlihat dan sirkulasi harus relatif mudah. Bagaimanapun taman kota didesain cantik namun akan kosong dan tidak dimanfaatkan jika sulit ditemukan. Pertimbangkan jarak pandang, penanda, dan keamanan akses. 3. Fungsi Fungsi adalah kunci pembeda jenis dan tipe taman kota. Cara taman tergantung kebutuhan sebuah area. Pastikan tipe taman secara komprehensif untuk direkomendasikan berdasarkan konteks distrik dan pertimbangan guna lahan disekitarnya agar kompitibel. 4. Bentuk Bentuk mengacu pada penyususnan elemen taman dan bagaimana merespon kebutuhan pengguna,
Husaini, Taman Kota di Surabaya sebagai Urban Parks
perhatian ekologi, dan mempengaruhi sekeliling. Pastikan streetscape disediakan disekitar tepi taman ke jalan. Bentuk juga mencerminkan ekspektasi fungsi. 5. Fasilitas Fasilitas disediakan untuk kenyamanan, pendukung kegiatan, dan penampakan karakter taman. Pengunjung dapat mengidentifikasi identitas, gaya, dan meraskan taman. 6. Program Program mengacu pada kemampuan sebuah ruang untuk kegiatan dan acara yang berbeda-beda ukuran dan jenis seperti festival, pasar, konser, dan acara olahraga. 7. Perawatan Perawatan kualitas tinggi taman kota harus dijaga secara reguler untuk menjamin keamanan, kesehatan, dan kenyamanan pengunjung. Ketersediaan investasi finansial untuk menjaga kualitas lingkungan, material, dan fasilitas. Sebaiknya proses perancangan material mempertimbangkan persyaratan perawatan. Rujukan Rancangan Urban Park: Millenium, Chicago di Illinois, US Analisis Millenium Park melalui elemen pertimbangan urban park (The Burnham Plan Centennial, 2008) : 1. Lokasi Millenium Park berada di jalan utama Monroe Street, Randolph Street, Columbus Drive, Michigan Avenue. 2. Luas Area Luas area Millenium Park adalah 24, 5 acre atau 99.000 m2 atau 99 hektar.
Gambar 4. Lokasi milenium park Sumber: The Burham Plan Centennial, 2008
3. Akses dan Jarak pandang - Akses eksternal menuju area taman mudah karena berada di jalan utama; Monroe Street, Randolph Street, Columbus Drive, Michigan Avenue. - Akses internal dalam taman disediakan pedestrian yang luas untuk berjalan antar fasilitas dan pusat permainan, serta jalan-jalan dalam tanam. 4. Fungsi Fungsi dari urban park ini sebagai ruang publik kota yang mewadahi banyak kegiatan seperti open scace, garden, grant park, theathre, sky, bikecycle, dan plaza. 5. Bentuk Bentuk mengacu pada unsur-unsur fisik taman dan bagaimana mereka dirancang untuk merespon kebutuhan pengguna, masalah ekologi, dan pengaruh sekitarnya seperti bangunan yang berdekatan, topografi dan jalanjalan. 6. Fasilitas Fasilitas akan memberikan kenyamanan, kegiatan pendukung, dan menambahkan detail dan karakter pada pengguna. Mereka dapat berkomunikasi dengan identitas, gaya atau merasakan taman. Selain itu 15
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 11-18
pengunjung dapat menentukan jenis kegiatan yang akan terjadi pada ruang yang disediakan. 7. Program Program mengacu pada kemampuan ruang untuk acara yang berbeda ukuran dan jenis seperti festival, pasar (bazar), konser, multi event sport. Pertimbangkan desain fleksibel sehingga berbagai acara dapat berlangsung.
Terakhir
membandingkan/pencocokan fakta objek penelitian dengan kajian pustaka, dan Terakhir penarikan kesimpulan. Cara memperoleh data penelitian : Survei/pengamatan lapangan, Data dari web resmi pemerintah Surabaya dan web lansekap, dan Wawancara mahasiswa Arsitektur ITS domisili Surabaya
Pembahasan Penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan fakta-fakta yang ditemukan pada taman dan literatur.
Gambar 5. Lokasi milenium park Sumber: The Burham Plan Centennial, 2008
8. Maintenance Perawatan pada Milenium Park pengabungan dana pemerintah dan donasi privat yang dikelola oleh Conservacy Alliance. Perawatan setidaknya menghabiskan $1 million/year.
Metode Penelitian Penelitian ini berbentuk penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah suatu metode dengan jalan mengumpulkan data, mengklarifikasi dan menginterpertasikannya (nastir, 1999). Tahapan pada penelitian, yaitu: Pengumpulan kajian pustaka mengenai urban parks, Pengumpulan dan klarifikasi data dan temuan fakta tentang Taman Bungkul dan Taman Apsari,
16
Taman Bungkul berlokasi di jalan besar Raya Darmo, namun hanya ada satu jalan yang terhubung dan taman berada di sekitar area permukiman. Ketersediaan dan layout parkir yang tidak memenuhi kebutuhan pengguna taman. Luas taman tidak memenuhi kriteria urban park karena luas taman ini hanya 1 hektar. Sebagai area public tidak disediakan banyak ragam fasilitas terutama terkait program yang membutuhkan ukuran dan jenis yang berbeda serta keintiman area. Selain itu kegiatan olahraga yang diusung juga tidak olahraga aktif dan beragam. Dalam proses perancangan taman ini meniadakan large scale intervention atau keterlibatan masyarakat (community) dalam memberikan masukan dan saran sesuai kebutuhan pada taman. Artinya taman dilakukan secara mandiri oleh pemerintah baik dalam proses perancangan, pendanaan, dan perawatan. Seharusnya secara teori urban landscape harus memenuhi aspek large scale intervention.
Husaini, Taman Kota di Surabaya sebagai Urban Parks Tabel 1. Fakta Taman Bungkul
Tabel 2. Fakta Taman Apsari
Aspek Taman Bungkul Lokasi Jalan Raya Darmo Luas 10.000 m2 / 1 hektar Daya Dibawah 3000 orang tampung - Akses eksternal, akses mudah karena taman berada disisi jalan Akses & - Akses internal, dalam taman jarak disediakan pedestrian way Jarak pandang tidak tertutup, tidak ada parkir khusus dan luas. Taman ini dirancang untuk sarana Fungsi hiburan rakyat dan sebagai ruang publik Merupakan lambang keindahan dan kesetaraan. Bentuk taman berdasarkan pengaturan letak Bentuk berbagai macam fasilitas yang mengacu konsep sport, education, dan entertainment Beeberapa fasilitas olahraga, edukasi, dan hiburan pada taman ini, seperti : skateboard track dan BMX track, Fasilitas plaza terbuka, hotspot area, small green park, small green park dengan kolam air mancur, permainan anak, pujasera, dan musholla. Dapat digunakan sesuai dengan jenis Program dan acara : Festival, pasar, olahraga, dan pusat komunitas Tidak ada dana dari swasta dan dana Perawatan murni dari pemerintah. Sumber: Hasil analisis, 2015
Aspek Taman Apsari Lokasi Jalan Pemuda Luas 5.3000 m2 / 0,53 hektar Daya Dibawah 2500 orang tampung - Akses eksternal, mudah karena taman berada pusat kota Akses & - Akses internal, dalam taman jarak disediakan pedestrian way Jarak pandang tidak tertutup, tidak terlalu luas dan khusus. Digunakan untuk olahraga ringan dan Fungsi ruang terbuka komunitas. Bentuk alamai menyesuaikan site taman. Susunan penutup tanah. Bentuk Disediakan landmark dari patung Joko Dolok dan Gubernur Suryo sebagai lambang semangat. Fasilitas olahraga seperti jogging track. Fasilitas hiburan seperti taman Fasilitas bunga, air mancur, monumen patung Joko Dolok dan Gubernur Suryo. Dapat digunakan sesuai dengan jenis Program dan acara : Olahraga dan pusat komunitas Tidak ada dana dari swasta dan dana Perawatan murni dari pemerintah. Sumber: Hasil analisis, 2015
Secara kebutuhan luas masih dibawah urban park yaitu 0,5 hektar. Hal yang sama didapati bahwa ketersediaan dan layout parkir belum memenuhi kebutuhan taman. Fasilitas masih tergolong untuk olahraga ringan dan komunitas kecil. Serta tidak ada area privat. Tidak melakukan proses large scale intervention dalam proses taman, baik diawal perancangan (era kolonial Belanda) maupun re-desain setelah ambil alih oleh pemerintah. Selain itu juga terkait pendanaan, pengelolan dan perawatan yang hanya diserahkan ke dinas pertamanan kota Surabaya tanpa melibatkan campur tangan masyarakat (community/Alliance).
Hasil dan Kesimpulan Kesimpulan fakta yang ditemukan dari kedua taman ini yaitu taman berada di lingkungan permukiman dan hanya satu jalan besar yang terhubung, luas dibawah 1 hektar, daya tampung ideal dibawah 3000 orang, kegiatan olahraga ringan, serta kegiatan komunitas kecil, dan dana perawatan murni dari pemerintah kota. Berdasarkan kesimpulan fakta yang ditemui kedua taman yang dibandingkan dengan kajian literatur menunjukkan ciri-ciri Taman Bungkul dan Taman Apsari lebih tepat digolongkan dengan kategori neighbourhood park. Neighbourhood park adalah sebuah ruang terbuka yang ditujukan untuk olahraga dan fasilitas rekreasi 17
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 11-18
pasif/kegiatan pemukiman penduduk. Berfungsi sebagai ruang luar untuk komunitas hunian yang memiliki fasilitas rekreasi anak dan rekreasi aktif skala kecil. Luas antara 0,2-1 Ha. Menampung sekitar 3000 orang. Sedangkan urban park sendiri adalah sebagai daerah ruang terbuka, dimana sebagian besar didominasi oleh vegetasi dan air, dan umumnya untuk keperluan umum. Menurut kajian preseden dicirikan dengan berada pada simpul jalan besar, fasilitas yang banyak dan olahraga aktif, adanya unsur ekologi, program yang beragam, privat dan public area, dan ada campur tangan swasta terhadap dana dan manajemen pengelolaan. Jadi kesimpulan akhir bahwa kota Surabaya belum memiliki urban park. Hasil penelitian ini memberikan masukan ataupun koreksi pada pemerintah Surabaya bahwa taman yang disediakan saat ini adalah taman kota yang tingkatannya dibawah urban park. Seharusnya predikat kota metropolitan berbanding lurus dengan adanya urban park agar memenuhi tingginya kebutuhan akan ruang luar. Akhirnya penelitian ini memberikan implikasi keilmuan tentang penerapan taman kota di Surabaya, dimana selanjutnya pemerintah dapat memprogramkan taman kota yang tepat sekelas urban park.
Daftar Pustaka Andersson, E. (2006). Urban landscapes and sustainable cities. Swedia: The Resilience Alliance. Chiesura, A. (2003). The role of urban parks for the sustainable city. Netherlands: Science Direct. Hall, L. B. (2012). Urban parks. Northern Virginia: Tyson. 18
Konijnendijk, C.C., Annerstedt, M., Nielson, A.B., & Maruthaveeran, S. (2012). Benefit of urban parks. Copenhagen & Alnarp: IFPRA (The International Federation of Parks and Recreation Administration). Kusuma, B. N., Annas, R. D., Putri, A. D., & Septianto, E. (2014, April). Telaah penerapan kriteria sustainable site pada perumahan ditinjau dari aspek ruang terbuka hijau. Bandung: Reka Karsa. Loures, L., Santos, R., & Panagopoulos, T. (2007, Oktober). Urban parks and sustainable city planning - The case of Portimio, Portugal. Portugal: WSEAS Transcations on Environment and Development. LPM Putrajaya. (2001). Manual of physical planning guidelines for Putrajaya local plan Precinct 7, 8, 9, and 10. Putrajaya: Perbadanan Putrajaya. Moughtin, C., Tanner, O., & Tiesdell, S. (1999). Urban design ornament and decoration. UK: Architectural Press. Rouge National Park Innitiative. (2012). Rouge National Urban Park Concept. Canada: Park Canada Agency. Simonds, J. O. (1961). Landscape Architecture: The shaping of man‟s natural. New York: McGraw-Hill Prof Med/Tech. The Burnham Plan Centennial. (2008). Burnham pavilions in Millennium Park Concept Summary. Chicago: Bold Plans Big Dreams.
ELEMEN ARSITEKTUR, INTERIOR DAN SIGNAGE UNTUK MENEMUKAN JALAN DAN BRANDING UNIVERSITAS KRISTEN PETRA Gunawan Tanuwidjaja1, Nerissa Arviana Wijaya2, Lavenia Widyanto3, Stephanie Seaver Wiarta4, John Kenley Sugianto5 1
Dosen Program Studi Arsitektur,2Mahasiswa Program Studi Desain Interior,3Mahasiswa Program Studi Manajemen Pemasaran,4&5Mahasiswa Program Studi Arsitektur, Universitas Kristen Petra, Surabaya, Indonesia 1
[email protected] ,
[email protected]
Abstrak Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya merupakan Universitas swasta terkemuka di Surabaya. UKP memiliki kelebihan pada kualitas fasilitas dan pelayanan pendidikan. Hal ini sangat terlihat dalam desain bangunan kampus yang berperan sebagai elemen - elemen wayfinding arsitektur, interior dan signage, terutama pada tiga bangunan utama seperti Gedung W (Gedung Radius Prawiro), Gedung EH (Entrance Hall) dan Gedung T. Selanjutnya Elemen - elemen ini juga telah mendukung “branding” Universitas serta terintegrasi dalam sistem wayfinding kampus terintegrasi di Universitas Kristen Petra. Kata Kunci: wayfinding, branding, Universitas Kristen Petra
Abstract Title: Architectural, Interior Elements and Signage for Wayfinding and Branding in Petra Christian University Petra Christian University (PCU) is a leading private University in Surabaya. PCU possessed advantage in facility‟s quality as well as educational service. This was clearly visible in the campus building design that played as architecture, interior and graphic wayfinding elements, especially in W Building (Radius Prawiro Building), EH Building (Entrance Hall) and T Building. Further these elements could also support the University‟s Branding and were integrated in the PCU‟s integrated wayfinding system. Keywords: wayfinding, branding, Petra Christian University
Pendahuluan Universitas Kristen Petra Surabaya merupakan universitas swasta terkemuka di Surabaya. Keunggulan Universitas Kristen Petra terletak dalam kualitas pendidikannya dan juga layanan mahasiswanya. Selain itu desain arsitektur modern bangunan ini juga memberikan citra yang menarik pada kampus ini. Walaupun demikian terdapat rencana dari pengelola untuk
meningkatkan kemudahan menemukan jalan dan branding dari bangunanbangunan awal yang dibangun dengan Signage Master Plan yang terintegrasi.
Tinjauan Pustaka Wayfinding adalah proses menemukan jalan menuju suatu Sedangkan spatial orientation proses seorang individu
untuk lokasi. adalah untuk 19
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 19-28
memahami ruang di sekitarnya (Passini, 1984). Proses-proses ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: 1. Kemampuan individu manusia; 2. Proses kognisi dan peta kognisi yang terbangun dalam pikiran individu; 3 Environmental information (Informasi lingkungan) yang mencakup: architectural wayfinding element, signage system, other sensory information. Karena ingin fokus pada elemen arsitektur penunjang sistem wayfinding dan orientasi maka hanya faktor ini disusun agar bisa diintegrasikan. Boulding (1956) dan Lynch (1960) menyampaikan bahwa kemampuan individu untuk mengingat bangunan yang menarik juga disebabkan oleh sifat legibility dan imageability bangunan itu. Sifat legibility mencakup kemudahan untuk dipahami dari bangunan sedangkan imageability berkaitan dengan ciri khusus bangunan yang mengingatkan individu terhadapnya. Lynch (1960) menemukan adanya 5 elemen arsitektur untuk wayfinding yaitu path, node, landmark, district dan edge pada skala urban. Passini (1984) menemukan 5 elemen ini juga pada bangunan komersial di Montreal. Landmark bangunan merupakan toko, bioskop, meja informasi, patung, lansekap, elemen struktur dan elemen dekoratif. Path dalam skala bangunan berupa koridor, promenade, koridor di dalam galeri, tangga, eskalator, elevator, yang tergolong lebih lanjut sebagai horizontal path dan vertical path yang seharusnya terintegrasi. Sementara node pada bangunan merupakan pertemuan sirkulasi dan aula pertemuan. Dan sebuah tempat berkumpul dapat menjadi Landmark sekaligus Node. Edge pada bangunan 20
merupakan dinding pembatas terutama dinding luar bangunan (Passini, 1984). Sedangkan District dalam skala bangunan [Zoning] merupakan berupa zona yang berukuran luas yang memiliki fungsi serupa seperti pertokoan. Atau pada pendidikan dapat berupa zona laboratorium, zona kelas dan zona kantor. Signage adalah petunjuk yang digunakan untuk menunjukkan arah, lokasi dsb. Dibuat oleh pakar, yang harus dengan mudah dapat dipahami oleh semua kalangan sebagai sarana penujuk arah atau area (Passini, 1984) Pizzuti-Ashby dkk. melakukan tes persepsi kualitatif kepada mahasiswa University College of the Fraser Valley (UCFV). Responden diminta untuk mendokumentasikan dengan foto bangunan yang memberikan kesan positif tentng kampusnya. Kesan ini juga memberikan keuntungan berupa branding dan juga rekomendasi pengembangan kampus. Hal ini juga digunakan sebagai salah satu dasar bagaimana mengumpulkan branding pada mahasiswa (http://www.ufv.ca/media/assets/institu tionalresearch/Campus_Snapshot_Stud y.pdf)
Metode Penelitian Metode yang dipilih dalam riset ini ialah: Metode Post Occupancy Evaluation (POE) (Friedman, Zimring, & Zube, 1978) terutama dengan direct observation dilakukan pada saat pengumpulan data mengenai elemen wayfinding dari aspek arsitektural bangunan. Kemudian dilakukan penelitian tentang kesulitan menemukan jalan dan elemen yang membantu proses menemukan jalan tersebut dengan kuesioner online yang
Tanuwidjaja, Elemen Arsitektur, Interior dan Signage untuk Menemukan Jalan …
dilengkapi dengan foto (Sanoff, 1991). Kemudian dilakukan wayfinding simulation sesuai rekomendasi Visual Research (Sanoff, 1991). Bagian pertama dari riset ini bersifat kuantitatif dengan purposive sampling karena melibatkan 147 responden dari semua Program Studi di UKP, tetapi kemudian dilakukan simulasi menemukan jalan yang melibatkan 5 responden sehingga bersifat kualitatif. Simulasi menemukan jalan ini dilakukan pada 3 bangunan yaitu Gedung W dan Gedung EH serta Gedung T. Pada simulasi ini juga dicatat berbagai temuan tentang kekuatan elemen menemukan jalan baik arsitektur, interior maupun signage serta kesan positif terhadap branding UKP (http://library.usu.ac.id/download/fkm/f km-rozaini.pdf)
menjadi kesan “branding” utama dari UK Petra, Gedung ini terdiri atassepuluh lantai, mewadahi kelas Magister Teknik Sipil, ruang kelas, laboratorium komputer, perpustakaan, ruang rektorat, ruang konferensi, dan tempat berkumpul utama di lantai 1 yang bernama “Sunken Court” (atau dikenal oleh mahasiswa dan alumni sebagai Kolam Jodoh). Ruang ini merupakan elemen menarik dan digunakan untuk mahasiswa mengerjakan tugas atau untuk menunggu. Gedung EH (Entrance Hall) di area kampus utama (yang berdekatan dengan Gedung W) merupakan pintu masuk dari kompleks UK Petra. Tetapi karena perubahan fungsi, gedung ini kurang terkenal dibandingkan Gedung W tersebut. Gedung EH ini memfasilitasi kegiatan kantor pelayanan mahasiswa, bank, kantor humas UK Petra, kantor biro administrasi kerjasama dan pengembangan, ruang multifungsi untuk menunggu masuk ke Auditorium UK Petra dan kelas-kelas. Karena itu gedung ini juga sering digunakan oleh mahasiswa. Sementara Gedung T terletak di area kampus barat oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Prodi Sastra Tionghoa. Gedung ini menampung berbagai ruang seperti kantor-kantor, kantin, klinik UK Petra, ruang kelas serta ruang audio visual.
Gambar 1. Rancangan Penelitian Sumber: Hasil analisis, 2015
Hasil dan Pembahasan Gedung W atau Gedung Radius Prawiro di area kampus utama merupakan gedung utama yang
Gambar 2. Peta tapak UKP Sumber: Hasil survei, 2015 21
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 19-28
Elemen wayfinding arsitektur dan interior yang menjadi branding Universitas Kristen Petra Elemen arsitektur yang menandai Gedung W ialah terdapatnya sebuah lapangan hijau di depan gedung tersebut yang dikenali sebagai node berkumpulnya sivitas akademika UKP pada saat acara-acara penting seperti Petra Parade (acara kesenian pada Dies Natalis), wisuda, dll. Karena itu lapangan ini menjadi elemen yang sangat penting dalam membantu mahasiswa menemukan jalan sekaligus branding UKP. Petra dan atau yang sekarang disebut Gedung Radius Prawiro terdiri dari 10 lantai.
Gambar 4. Sunken court di Gedung W sebagai landmark dan node yang menarik Sumber: Hasil survei, 2015
Sementara itu sebuah Patung Torso dari drg. Tan Tjiauw Yong (Rektor pertama UKP) ditemukan sebagai landmark yang menarik di Gedung EH UKP. Patung ini dikenal karena posisinya yang strategis, bentuknya yang unik serta dikelilingi tempattempat duduk. Selain itu saaat ini lokasi ini dipakai untuk mengantar jemput mahasiswa.
Gambar 3. Lapangan hijau di depan Gedung W sebagai Landmark dan Node yang menarik Sumber: Hasil survei, 2015
Bagian lain dari Gedung W ialah Sunken Court atau dikenal sebagai Kolam Jodoh. Sunken Court ini dikenal sebagai Landmark dan Node yang menarik. Hal ini disebabkan karena ruang ini berada di lantai 1 Gedung W yang sangat strategis, posisinya yang lebih rendah dari selasar, serta sering digunakan berbagai kegiatan, seperti: dengar pendapat dari Badan Eksekutif Mahasiswa, pameran dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Petra Parade dll.
22
Gambar 5. Patung torso drg. Tan Tjiauw Yong di Gedung EH sebagai Landmark yang menarik Sumber: Hasil survei, 2015
Selain itu, di Gedung EH ini ditemukan bagian Ruang Student Service (pusat pelayanan mahasiswa di UKP) sebagai Landmark. Di ruang ini terjadi semua pelayanan terkait kebutuhan mahasiswa yang menyebabkan ruang ini sering dikunjungi dan juga karena desainnya yang futuristik. Di depan ruang ini juga terdapat lobby yang menarik dan cukup besar sehingga dikenali sebagai node. Biasanya ruang ini juga dipakai
Tanuwidjaja, Elemen Arsitektur, Interior dan Signage untuk Menemukan Jalan …
sebagai ruang pre-function pada saat wisuda atau Dies Natalis. Selain itu juga terdapat berbagai elemen penunjang interior berupa DIVO 3.0 yang merupakan papan pengumuman dan peta digital di UKP serta elemen ramp yang menghubungkan ke auditorium UKP di lantai 2 gedung ini.
Gambar 6. Ruang Student Service di Gedung EH sebagai Landmark yang menarik Sumber: Hasil survei, 2015
Gambar 7. Tangga utama Gedung T sebagai landmark yang menarik Sumber: Hasil survei, 2015
Auditorium UKP juga merupakan landmark dan zoning yang cukup dikenal karena bentuk dan intensitas penggunaan untuk pertemuan, seminar, acara, dan pentas secara megah. Karena itu elemen ini juga membantu menemukan jalan dan memperkuat branding UKP juga.
Kesulitan Menemukan Jalan di UKP secara Umum Tetapi selain temuan-temuan tentang elemen-elemen penemuan jalan ini juga ditemukan masih terdapat kesulitan menemukan jalan pada mahasiswa. Hal ini dapat ditunjukan dalam grafikgrafik tersebut. Seratus empat puluh tujuh responden dari hampir semua jurusan direkrut untuk mengisi kuesioner online tentang kesulitan menemukan jalan dan elemen-elemen yang membantu menemukan jalan di UKP. Distribusinya tergambar dalam gambar 8 di bawah ini.
Sementara elemen landmark yang menarik di Gedung T ialah tangga utama gedung tersebut. Tangga ini dikenali karena letaknya yang terlihat secara langsung dari pintu masuk kampus barat. Kemudian juga menghubungkan langsung dengan Gedung T lantai dua yang merupakan kantor Fakultas Ekonomi, Prodi Manajemen, Prodi Akuntansi, Program Magister Ekonomi dll.
Gambar 8. Grafik profil responden studi kesulitan menemukan jalan pada responden di seluruh Gedung UKP Sumber: Hasil analisis, 2015 23
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 19-28
Dan didapati bahwa gedung-gedung UKP termasuk mudah ditemukan, karena hanya 4-23% dari responden pernah tersasar di gedung-gedung ini. Persentase Responden Tersasar ini dijelaskan lebih detail sebagai berikut: Responden tersasar di Gedung W:15% Responden tersasar di Gedung EH: 12% Responden tersasar di Gedung T: 19% Responden tersasar di Gedung A: 6% Responden tersasar di Gedung B: 6% Responden tersasar di Gedung C: 4% Responden tersasar di Selasar Gedung W-EH-A-B-C: 21% Responden tersasar di Gedung P: 23% Responden tersasar di Gedung I: 12% Dan beberapa temuan alasan kesulitan menemukan jalan di Gedung W disebabkan oleh: 5% karena tidak menemukan penanda yang jelas 4% karena bentuk koridor/selasar/ jalan yang membingungkan 1% karena sulit menemukan letak lift/tangga 1% karena pengelompokkan ruang (zoning) yang kurang jelas 1% karena posisi signage (petunjuk arah) yang tidak tepat 1% karena penamaan/penomoran ruangan yang membingungkan 29% Lebih dari satu alasan Sementara itu Dan beberapa temuan alasan kesulitan menemukan jalan di Gedung W disebabkan oleh: 6% karena tidak menemukan penanda yang jelas 24
1% karena sulit menemukan letak lift/tangga terpisah) 1% karena pengelompokkan ruang (zoning) yang kurang jelas 1% karena signage (petunjuk arah) yang tidak terbaca (not readable) 7% karena penamaan/ penomoran ruangan yang membingungkan 30% lebih dari satu alasan Terakhir juga dideteksi alasan kesulitan menemukan jalan di Gedung W disebabkan oleh: 6% karena tidak menemukan penanda yang jelas 3% karena sulit menemukan letak lift/tangga 1% karena posisi signage (petunjuk arah) yang tidak tepat 1% karena signage (petunjuk arah) yang tidak terbaca (not readable) 1% karena penamaan/ penomoran ruangan yang membingungkan 29% lebih dari satu alasan
Gambar 9. Grafik distribusi penyebab kesulitan menemukan jalan pada responden di Gedung W Sumber: Hasil analisis, 2015
Tanuwidjaja, Elemen Arsitektur, Interior dan Signage untuk Menemukan Jalan … No Pertanyaan
1 Gambar 10. Grafik distribusi penyebab kesulitan menemukan jalan pada responden di Gedung EH Sumber: Hasil analisis, 2015
2
Gambar 11. Grafik distribusi penyebab kesulitan menemukan jalan pada responden di seluruh Gedung T Sumber: Hasil analisis, 2015
Kesulitan Menemukan Jalan di UKP dalam Wayfinding Simulation Kesulitan menemukan jalan ini juga dikonfirmasi oleh 5 responden yang melakukan simulasi menemukan jalan (wayfinding simulation) di Gedung WEH serta Gedung T. Ternyata pada simulasi ini ditemukan beberapa hal. Tabel 1. Hasil simulasi dan temuan di Gedung W dan EH No Pertanyaan Jawaban Gedung W dan EH Jalur Gedung W Pergerakan dan EH
Alasan
3
Jawaban 1. Pintu Masuk EH 2. Auditorium (K201) 3. EH303 4, Ruang Konferensi (W1007) 5. Perpustakaan 6. W306
Alasan
Responden 1 Simulasi tanpa dibantu alat apapun Waktu 15 menit 48 Tersasar Simulasi detik karena lift tidak membuka di lantai tertentu sehingga harus turun dulu dan naik lift yang lain Responden 2 Simulasi dibantu dengan peta manual (diasumsikan akan sama dengan peta di dalam Smartphone) Waktu 12 menit 0 Tidak Simulasi detik pernah tersasar Responden 3 Simulasi dibantu dengan Peta Digital (DIVO) di EH1 Waktu 17 menit 45 Tersasar, Simulasi detik penamaan Auditorium dengan nama K201 kurang dikenal, lupa posisi karena DIVO tidak bisa bergerak 25
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 19-28 No Pertanyaan
Jawaban
Alasan seiring dengan responden.
Sumber: Hasil analisis, 2015 Tabel 2. Hasil simulasi dan temuan di Gedung T No Pertanyaan
Jawaban
Alasan
Gedung T Jalur Pergerakan
4
Gambar 12. Denah Gedung W yang cenderung simetris membuat kesulitan membedakan bagian-bagian dalam ruang itu Sumber: Hasil analisis, 2015
Responden 4 Simulasi tanpa dibantu alat apapun Waktu Simulasi
5
Gedung T 1. Pintu Utama Gedung T Lantai 2. T518 3. T501 4. T326 4. T211 5. T 101 (Poliklinik)
9 menit 40 detik
Tidak pernah tersasar
Responden 5 Simulasi dibantu dengan peta manual (diasumsikan akan sama dengan peta di dalam Smartphone) Waktu Simulasi
13 menit 0 detik
Gambar 13. Denah Gedung EH yang memiliki dinding pemisah dan tangga yang tertutup membuat kesulitan untuk menemukan kelas-kelas dari Ruang Auditorium Sumber: Hasil analisis, 2015 Tersasar karena jarang ke lantai T1 dan tidak tahu nama ruang Poliklinik
Sumber: Hasil analisis, 2015
Gambar 14. Denah Gedung EH yang sangat jelas Sumber: Hasil analisis, 2015
Dapat disimpulkan bahwa beberapa layout Gedung UKP sudah 26
Tanuwidjaja, Elemen Arsitektur, Interior dan Signage untuk Menemukan Jalan …
memfasilitasi pengguna mudah menemukan jalan seperti Gedung T. Tetapi di sisi lain dibutuhkan alat bantu lain seperti peta digital (DIVO 3.0) dan signage. Karena itu Signage Master Plan yang terintegrasi dengan Elemen Arsitektur UKP sangat diperlukan. Integrasi dengan Signage Master Plan di UKP Sebuah Signage Master Plan diusulkan seperti pada Gambar 15 sebagai berikut. Untuk setiap lantai Gedung UKP disusun, sejumlah desain signage juga diciptakan oleh Marvin Ade Santoso, S.Sn. dengan arahan penulis pertama dan Tim Signage UKP lainnya yang berasal dari Unit Perencana Fisik Kampus UKP. Simulasi juga dilakukan untuk mengevaluasi keterbacaan signage ini bersama sejumlah responden.
Gambar 16. Letak Signage horizontal yang membantu pengguna menemukan ruangan yang diinginkan yang diletakkan di daerah Node di UKP Sumber: Hasil analisis, 2015
Gambar 17. Signage horizontal yang membantu pengguna menemukan ruangan yang diinginkan Sumber: Hasil analisis, 2015
Gambar 15. Signage Master Plan UKP Sumber: Hasil analisis, 2015
Gambar 18. Letak Signage Vertikal yang membantu Pengguna menemukan lantai atau ruangan yang diinginkan yang diintegrasikan dengan lift di UKP. Sumber: Hasil analisis, 2015. 27
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 19-28
Kesimpulan Didapati ternyata terdapat beberapa elemen arsitektur dan interior untuk menemukan jalan yang cukup mudah diingat di UKP yang juga memberikan branding yang kuat. Tetapi di sisi lain ternyata pada saat dilakukan simulasi menemukan jalan, signage tambahan tetap diperlukan untuk membantu menemukan jalan dan berorientasi. Signage Master Plan harus dikembangkan di UKP agar dapat meningkatkan kemudahan menemukan jalan dan akhirnya juga menunjang branding UKP yang sudah baik saat ini.
Ucapan Terima Kasih Gambar 19. Signage Vertikal yang membantu Pengguna menemukan lantai atau ruangan yang diinginkan. Sumber: Hasil analisis, 2015
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada Unit Perencana Fisik Kampus (UPFK) UKP, dalam hal ini: Kepala UPFK Ir. Evelin C. Pattikawa, M.T., Ary Sunantiyo, A.Md., Luis Susanti, A.Md., Marvin Ade Santoso, S.Sn. yang mendukung riset ini.
Daftar Pustaka
Gambar 20. Letak Signage agar tidak menggunakan Lift yang tidak membuka di lantai tertentu. Sumber: Hasil Analisis, 2015.
Gambar 21. Signage agar tidak menggunakan Lift yang tidak membuka di lantai tertentu. Sumber: Hasil Analisis, 2015. 28
Boulding, K. (1956). The image. Ann Arbor: University of Michigan Press. Friedman, A., Zimring, C., & Zube, E., (1978). Environmental design evaluation. New York: Plenum Lynch, K. (1960). The image of the city. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. Passini, R., (1984), Wayfinding in architecture. Environmental Design Series Volume 4. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Sanoff, H., (1991). Visual research methods in design. New York: Van Nostrand Reinhold.
PERSPEKTIF KONSERVASI ARSITEKTURAL PADA MASYARAKAT JAWA Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas Sriwijaya Jl. Raya Palembang-Prabumulih KM 32 Inderelaya, Sumatera Selatan Email:
[email protected] atau
[email protected]
Abstrak Umumnya pada bangunan tradisional di Indonesia banyak menggunakan kayu sebagai material utamanya. Konsekuensi dari material ini pada iklim tropis lembab adalah mudah lapuk. Bangunan memerlukan perawatan dan penggantian material secara lebih sering dibandingkan dengan bangunan dengan material batu. Fokus kajian ini adalah pada bangunan rumah masyarakat Jawa. Pada naskah primbon, perbaikan rumah setara dengan pembuatan rumah baru, dan tidak hanya menyangkut masalah teknis tapi juga kaitan rumah dengan alam dan cita-cita penghuni di masa depan. Dengan pemahaman tersebut bagaimana pemahamanan konservasi di masyarakat Jawa? Subyek kajian adalah naskah Jawa tentang bangunan (primbon, kawruh kalang dan kawruh griya). Metode yang digunakan adalah metode hermeneutik dari Paul Ricouer. Dengan tiga tahapan yaitu tahap pertama „konstruksi‟ pemahaman konservasi dalam budaya Jawa dengan metode analisis konten. Tahap kedua adalah validasi dari pemahaman tersebut dengan menghadirkan kasus Dusun Ngibikan. Tahap ketiga adalah tahapan diskusi dengan melakukan penyandingan aspek filsafati dari pemikiran Ricouer tentang „history, memory and forgetting‟. Kajian eksplorasi ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Jawa konservasi tidak hanya tentang bangunan. Dalam filsafat Jawa bahwa hidup adalah sekedar singgah minum, sehingga konservasi adalah sebuah proses, bukan hasil; konservasi bersifat dinamis dan berubah, bukan sesuatu yang permanen dan tetap. Kata kunci: naskah jawa, metode hermeneutik dan konservasi.
Abstract Title: Architectural Conservation Perspective In Javanese Community Traditionally, Indonesian, with tropical climate, use wooden material for their building. The consequences of that material and the tropical climate is building cannot durable compare stone material. The building needs renewal more frequently and sometimes reconstruction.This study focus in Java building (houses) and their culture. In Javanese manuscripts (primbon), repairing the house is the same level with build the new one. To repair or to build the house for Javanese is not only the technical aspect (like structure or the form), but also about the connection with nature and their expectation in the future. Based on that understanding what the meaning of the conservation in Javanese culture? The subject for this study is architectural Javanese manuscripts (Primbon, Kawruh Kalang, and Kawruh Griya). This study uses hermeneutics method by Paul Ricouer. There are three steps: step one is to build the conservation understanding in Javanese culture, using content analysis. Step two is validation. This step using Ngibikan Village for case study. Step three is discussion. This step exploring the philosophical aspect in Javanese culture and compare with Ricouer thinking about „history,memory and forgetting‟. The result of this exploration studies that for Javanese culture, conservation not only discuss about building. Based on Javanese philosophy that live only „stop‟ for drink (urip mung mampir ngombe), the conservation is a process, not result; the conservation is dynamic or change, not permanent or unchanged. Keywords: architectural Javanese manuscripts, hermeneutic method and conservation. 29
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 29-38
Pendahuluan Material dalam arsitektur pada tahun 2014 menjadi perbincangan yang cukup ramai dibicarakan disebabkan keikutsertaan Indonesia dalam International Architecture Exhibition ke 14 di Venesia. Topik yang diangkat adalah “Ketukangan: Kesadaran Material”. Rem Koolhaas, sebagai kurator utama kegiatan ini, mengajak tiap negara untuk melakukan napak tilas, menelusuri dan menggali kejadian-kejadian, informasi-informas, srta pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam khazanah arsitektur masing-masing (Armand, Sopandi, Hutama, Hartanto, & Tardiyana, 2014, hal. 12). Tim kurator Indonesia menjelajahi material-material yang pernah mengisi kesejarahan arsitektural di Indonesia yaitu kayu, batu bata, baja, beton dan bambu. Pada pembahasan kayu dinyatakan bahwa: “Tradisi membangun dengan kayu telah mengakar dan secara luas menjadi pengetahuan umum dalam masyarakat. Namun demikian, pengetahuan tradisional di Indonesia selalu diturunkan secara lisan; catatan tertulis mengenainya baru hadir setelah awal abad-19, yang kemudian besar karena pengeruh kehadiran bangsa Belanda” (Armand, Sopandi, Hutama, Hartanto, & Tardiyana, 2014, hal. 26) Material kayu menjadi material utama karena Indonesia mempunyai hutan hujan tropis dengan luas 52,4% luas wilayah indonesia dan memiliki 4.000 jenis pohon yang berpotensi untuk digunakan sebagai kayu bangunan, akan tetapi baru 400 jenis yang diidentifikasi memiliki nilai ekonomi dan 260 jenis diantaranya digolongkan sebagai kayu perdagangan (Armand, Sopandi, Hutama, Hartanto, & Tardiyana, 2014, hal. 24). 30
Dalam tradisi Jawa, terdapat dua jenis naskah/literatur yang menegaskan peran sentral material kayu – terutama kayu jati – dalam arsitektur Jawa yaitu: kawruh griya yang merupakan panduan bagi calon pemilik rumah; dan kawruh kalang yang merupakan manual book bagi para tukang, terutama tukang kayu dalam proses pendirian bangunan. (Armand, Sopandi, Hutama, Hartanto, & Tardiyana, 2014, hal. 26). Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Indonesia berada di iklim tropis lembab yang mempunyai karakteristik tertentu, seperti pada tabel berikut Tabel 1. Karakteristik Zona Tropis Lembab Ekuator ZONE
Warm humid equatorial
Approximate latitude range 7 ½ N – 7½S
Natural vegetation
Typical cultivation
Climate
Tropical rain forest
Banana, palm oil
Warm with high humidity and rainfall
Sumber: Diolah dari Evans, 1999
Dengan karakteristik iklim di Indonesia dengan kelembaban tinggi (antara 30% sampai 98%, tergantung pada lokasi) dan hujan (hingga 700mm per tahun) (Prianto, Bonneaud, Depecker, & Peneau, Vol 1, Number 2, 2000); maka tingkat kelapukan material kayu amat sangat dimungkinkan. Konsekuensinya penggantian elemen arsitektural pada rumah secara periodik dilakukan. Disisi lain, menurut UU no 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 1 ayat 28 dinyatakan bahwa: Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
Adiyanto, Perspektif Konservasi Arsitektural pada Masyarakat Jawa
Pengertian Undang-undang diatas adalah mengacu pada pemahaman dasar tentang konservasi yang diungkapkan oleh Filden yang menyatakan“...Conservation consists of actions taken to prevent decay, and within this objective it also includes management of change and presentation of the object so that the objects‟ messages are made comprehensible without distortion”.. Feilden kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa konservasi arsitektural jauh lebih kompleks karena (1) bangunan harus berdiri terus; (2) faktor ekonomis; (3) bangunan sangat terpengaruh kondisi cuaca; (4) perlu kolaborasi lintas ilmu dalam mengerjakan konservasi bangunan (Feilden, 2003, hal. vii). Forsyth secara bijak menyatakan bahwa: Every building, however humble, possesses a history, and buildings from different periods and regions are unique. All historic buildings undergo cycles of alteration in their lifetime. Typically, minor repairs are carried out periodically, with programmes of major maintenance, renovation and modification taking place at less frequent intervals. This pattern may alternate with periods of relative inactivity and perhaps neglect. Major changes are usually made to buildings to modify or extend their use, to update their style, and particularly to repair fi re damage. (Forsyth, 2007, hal. 5) Dengan pengertian-pengertian dasar diatas, kertas kerja ini mencari jawab atas pertanyaan: bagaimanakah bangunan Jawa mempertahankan keberadaannya? lalu apakah kegiatan tersebut termasuk dalam pemahaman konservasi, baik dalam pemahaman undang-undang maupun dalam pemahaman umum?
Metode Metode studi eksplorasi ini menggunakan hermenutik Ricouer, yang disebutnya sebagai hermenutical phenomenology (Ricouer, 1975). Hermeneutic phenomenology, being the process of interpreting and describing human experience to understand the central nature of that experience, is well positioned as a suitable methodology for human sciences research.... Hermeneutic phenomenology is not a method of research but, rather, both a theoretical perspective and a methodology, a strategy or plan that lies behind the method employed in a particular study (Tan, Wilson, & Olver, 2009). Tan dan kawan-kawan lebih lanjut menjelaskan bahwa ada tiga tahapan dalam hermeneutik fenomenologi yaitu: Explanation, interpretation, and understanding. Pada studi eksplorasi ini juga terbagi atas tiga tahapan, yang didasarkan pada pemahaman tiga tahapan diatas yaitu: tahap pertama „konstruksi‟ pemahaman konservasi dalam budaya Jawa dengan metode analisis konten. Tahap kedua adalah validasi dari pemahaman tersebut dengan menghadirkan kasus Dusun Ngibikan. Tahap ketiga adalah tahapan diskusi dengan melakukan penyandingan aspek filsafati dari pemikiran Ricouer tentang „history, memory and forgetting‟.
Pemahaman Konservasi Arsitektural Jawa Konstruksi Pemahaman Pada tahapan pemahaman yang mengkontruksi pemahaman konservasi Jawa dihadirkan beberapa naskah yang
31
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 29-38
memuat pengertian dan cerita tentang proses perbaikan rumah. Pada naskah Primbon Betaljemur Adammakna dinyatakan bahwa „mendirikan‟ rumah adalah proses yang setara dengan „perbaikan‟ rumah, seperti yang termuat pada pasal 177 dan 178, sebagai berikut: 177.Petungan ngedeake utawa ndandani omah Miturut wiwite dina lan pasarane, neptune digunggung banjur kapetung, kerta, yasa, candhi, rogoh, sempoyong. Yen tiba: kerta, oleh kasugihan, yasa bisa kuwat, candhi, rahayu slamet, rogoh, sring kelangan, sempoyong, sring ngalih adoh utawa ora awet. 178. Petung ngedeake utawa ndandani omah Minurut wiwite dina lan pasarane, neptune digunggung banjur kapetung : sri, kitri, candhi, rogoh, sempoyongan. Yen tiba: sri, sugih dhayoh. Kitri, karejeken, werdi, sugih anak. Candhi keringan. Rogoh, sring kemalingan. Sempoyong, sring kapaten. (Tjakraningkrat, 2013). Secara bebas dapat diartikan sebagai berikut: 177. Perhitungan mendirikan rumah atau memperbaiki rumah Menurut awalnya hari dan pasaran, neptu (nilai jumlah angka dari suatu hari dan pasaran), dijumlahkan lalu diperhitungkan pada kerta, yasa, candhi, rogoh, sempoyang. Jika jatuh pada: kerta, mendapat kekayaan; yasa, mendapatkan kekuatan; candhi mendapatkan keselamatan; rogoh, sering terjadi kehilangan; sempoyong, sering berpindah jauh atau tidak tahan lama. 178. Perhitungan mendirikan memperbaiki rumah.
32
atau
Menurut awalnya hari dan pasaran, neptu dijumlahkan lalu diperhitungan pada sri, kitri, candhi, rogoh, sempoyongan. Jika jatuh pada sri, sering mendapatkan tamu; kitri, mendapatkan rejeki,mendapatkan kebaikan, banyak anak; candhi mendapatkan kekeringan; rogoh sering tertimpa kecurian; sempoyongan sering tertimpa kematian. Dari naskah Primbon terungkap bahwa kedudukan memperbaiki rumah dan mendirikan rumah setara. Disamping itu ternyata dalam proses perbaikan/ membangun rumah terdapat „prediksi‟ di masa depan. Kejadian tertentu akan terjadi jika perhitungannya jatuh pada watak tertentu. Prijotomo menggarisbawahi bahwa: “Primbon bukan memberikan kepastian akan adanya efek psikologik(al) tertentu, tetapi memanfaatkan (meng„antisipasi‟) efek psikologik(al) sebagai sebuah alat untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan penggal demi penggal aturan dan tatanan arsitektur. (Prijotomo, 2004, hal. 63-65). Pada naskah Kawruh Griya – Kapatihan 1882 (merupakan sumber utama dari Disertasi Josef Prijotomo) diceritakan pada bagian pambuka bahwa pada masa kuno, griya orang Jawa dibuat dari batu. Tetapi kemudian diubah menjadi bermaterial kayu karena lebih ringan, tidak membahayakan dan mudah dalam pengerjaannya. Sambungan pada konstruksi bermaterial batu mempunyai kelemahan pada sendi-sendi sambungan yang menjadi alur atau aliran air, sehingga akan retak dan rusak. Akibatnya bangunan akan rubuh. Jika bermaterial batu, maka bangunan akan rubuh secara bersamaan dan membahayakan penghuninya,
Adiyanto, Perspektif Konservasi Arsitektural pada Masyarakat Jawa
sedangkan jika bermaterial kayu, akan mudah dalam proses penggantian bagian yang lapuk dan tidak akan rubuh secara bersamaan. Bagian yang paling awal diubah dari batu ke kayu adalah bagian atap, sedangkan bagian dinding masih bermaterial batu. Namun sejalan berjalannya waktu, dinding juga diubah dengan material kayu. (Prijotomo, 2006, hal. 303-304). Kayu yang dipilih juga mempunyai berbagai ketentuan. Menurut kepercayaan orang Jawa, pohon jati itu mempunyai angsar (= daya pengaruh) baik dan buruk. Yang memiliki angsar baik bisa membawa banyak rejeki, keselamatan dan sebagainya. Sebaliknya, yang angsarnya jelek, dapat mendatangkan kemelaratan, kecelakaan dan sebagainya (Prijotomo, 2006, hal. 305). Interpretasi yang bisa dilakukan terhadap naskah Kawruh Griya ini adalah bahwa karena iklim (curah hujan yang cukup tinggi) maka konsekuensinya material pembentuk hunian perlu sering diperbaiki/ diperbaharui. Material batu ternyata juga rentan terhadap curah hujan yang tinggi, dan juga membawa akibat pada keselamatan penghuninya. Jadi dipilihlah kayu sebagai material atapnya, karena mudah pengerjaannya dan lebih ringan sehingga tidak terlalu berbahaya. Disamping itu juga kayu mempunyai angsar (=daya pengaruh) kepada pemiliknya dikemudian hari. Disini ada konteks iklim yang mendorong pemilihan material bahan bangunan; terdapat perubahan material walau secara bentuk masih tetap sama (....pada waktu itu sudah banyak sendisendi persambungan yang retak, hanya bentuknya saja yang tetap asli yaitu bangunan yang diberi nama: candrakini... (Prijotomo, 2006, hal. 304)), dan ada pertimbangan
kemudahan penggantian dan keamanan. Material kayu juga mempunyai pengaruh pada kehidupan penghuninya disuatu saat nanti, sehingga perlu dilakukan pemilihan kayu yang cermat. Pada naskah kawruh kalang – Sasrawirjatmo memang tidak mengatakan secara langsung tentang „perbaikan‟ atau daya pengaruh material bahan bangunan. Kawruh kalang – Sastrawirjatmo secara khusus ditulis bertujuan sebagai „panduan‟ para tukang. Disamping itu secara khusus naskah ini ditulis ulang dan dipublikasikan karena banyaknya, saat itu, orang Jawa terpikat dengan proses pembangunan barat. (Prijotomo, 2006, hal. 337- 338). Namun pada naskah ini terungkap bahwa sistem konstruksi bangunan Jawa amat mudah di „lepaspasang‟. Contoh pada bab V ada bahasan tentang pembuatan sunduk. “Sunduk yang dimasukkan dalam sakaguru itu memiliki sundung pamanjang yang sama dengan panjang dari pamidhangan pamanjang, lebarnya disamakan dengan tebal dari midhangan tadi, sedang tebal dari sunduk adalah seperemat kurangnya dari tebal midhanga”. (Prijotomo, 2006, hal. 349). Sunduk berfungsi „pengunci‟ hubungan antara sistem struktur, namun tidak seperti paku yang sistem strukturnya „rigid‟ (struktur rangka kaku) tapi dengan sunduk maka sistem strukturnya menjadi sistem „goyang/lentur‟ (struktur rangka lentur). Di satu sisi sistem struktur rangka lentur ini sesuai dengan kondisi geografis di Jawa yang sering terjadi gempa. Disini bangunan akan ikut „bergoyang‟ dengan „gempa‟, disini konsep „kuat lentur‟ bukan „kuat kaku‟ seperti sistem struktur yang biasa digunakan pada bangunan kolonial.
33
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 29-38
Namun hal lain yang bisa dipelajari disini adalah dengan adanya sistem sunduk maka tiap bagian dari bangunan bisa di „lepas-pasang‟ secara „mandiri‟ tanpa harus kuatir bangunan akan rubuh atau mempengaruhi sistem struktur yang lain. Konsep „lepaspasang‟ ini merupakan solusi jika ada satu sistem struktur yang sudah lapuk dan perlu dilakukan perbaikan atau penggantian. Dengan hadirnya primbon, kawruh griya dan kawruh kalang, terjabarkan bahwa proses perbaikan bangunan Jawa setara dengan pendirian bangunan „baru‟, material kayu dipilih karena lebih ringan daripada material kayu, iklim tropis (curah hujan dan panas sinar matahari) akan mempercepat lapuknya material bahan bangunan sehingga akan sering dilakukan perbaikan dan penggantian material tersebut, dan sistem struktur yang digunakan juga mendukung terjadinya perbaikan dan penggantian tersebut. Validasi Pemahaman Naskah-naskah diatas perlu di validasi dengan kasus arsitektural. Untuk kasus yang dihadirkan adalah proses rekonstruksi Dusun Ngibikan. Jabaran proses rekonstruksi Dusun Ngibikan telah dijelaskan oleh Adiyanto pada Journal Nakhara (Adiyanto, Vol. 7 October 2011). Pada kasus Dusun Ngibikan, masyarakat melakukan rekonstruksi „ruang hidupnya‟ dari material-material yang tidak hancur akibat gempa, yang sebagian besar berupa material kayu. Dusun Ngibikan merupakan dusun tempat mandor dan tukang kayu yang biasa mengikuti Eko Prawoto, seorang arsitek profesional. Kemampuan dasar ini amat berguna dalam proses rekonstruksi ini. Eko Prawoto dan Maryono, mandor yang biasa bekerja 34
dengan Eko Prawoto, mengambil prakarsa dalam proses rekonstruksi ini. Didukung dengan bantuan dari harian Kompas, Eko Prawoto, Maryono dan masyarakat Dusun Ngibikan melakukan proses rekonstruksi hunian mereka. Bentuk rumah yang dipakai sebagai „modul‟ dasar hunian mengambil bentuk atap rumah kampung dengan bahan penutup atap non-asbestos fiber cement dengan pertimbangan lebih ringan dibanding dengan genteng „kodok‟ yang dulu mereka gunakan.
Gambar 1 Model rumah rekonstruksi Dusun Ngibikan Sumber: Prawoto, 2010, http://ruang17.wordpress.com/2010
Bentuk dasar itu tidaklah baku, tapi penghuni dapat mengkreasikan dan berkreasi dengan material yang ada. Dalam kasus Dusun Ngibikan, proses rekonstruksi akibat gempa menggunakan material kayu, karena pada saat itu material kayu tidak hancur karena gempa seperti halnya material batu bata. Kayu dengan mudah dibentuk ulang dan digunakan kembali sebagai konstruksi utama sebuah hunian. Bentuk hunian juga menyesuaikan dengan material yang ada. Inspirasi bentuk hunian adalah atap rumah kampung dengan beberapa modifikasi, antara lain adalah penutup atap yang lebih ringan dari material
Adiyanto, Perspektif Konservasi Arsitektural pada Masyarakat Jawa
yang digunakan sebelum terjadinya gempa.
Diskusi Di tahap diskusi ini dipertanyakan bagaimana pola pikir „perbaikan‟ bagi masyarakat Jawa itu sendiri, apa yang seharusnya dipertahankan dan apa yang boleh diubah, dalam konteks konservasi.
Gambar 2 Beberapa kombinasi rumah hasil rekonstruksi Sumber: Pangarsa, 2008
Jika dikaitkan dengan bahasan sebelumnya yang mengungkap pemikiran-pemikiran berdasarkan naskah Jawa. Kasus Ngibikan membuktikan beberapa hal, antara lain proses rekonstruksi merupakan proses pembangunan rumah „baru‟. Proses pembangunan „baru‟ ini terbukti dengan adanya beberapa ritual yang biasa dilakukan dalam proses pendirian rumah baru, antara lain ritual slametan saat proses kontruksi atap telah selesai.
Gambar 3 Ritual Slametan pada rekonstruksi hunian di Dusun Ngibikan Sumber: : Prawoto, 2010, http://ruang17.wordpress.com/2010
Dalam konteks konservasi ada hal yang dipertahankan ada hal yang diabaikan. Kwanda menyatakan bahwa terdapat dua teori konservasi, yaitu: Teori pertama dikenal sebagai teori klasik konservasi yang berkembang di Eropa sejak abad 19, dan berpandangan bahwa keberadaan nilai penting suatu objek terlepas dari masyarakatnya yang tidak boleh mengalami perubahan apapun, seperti tercermin pada Manifesto SPAB (1877). Teori kedua dikenal dengan teori kontemporer berkembang pada tahun 1980an yang melihat pusaka budaya harus berakar pada masyarakat yang menciptakan, memberi makna, dan yang memutuskan bangunan apa yang dapat dipilih sebagai bangunan pusaka budaya. (Kwanda, 2013). Hal yang menarik adalah kedua teori ini mempunyai kesamaan pada pemahaman „mempertahankan‟. Jika dikaitkan dengan proses „perbaikan‟ bangunan Jawa, seperti yang terjadi di Ngibikan, apakah rekonstruksi hunian di dusung Ngibikan bukan sebagai sebuah proses/usaha konservasi? Pada keadaan inilah pemahaman filosofis bisa menjelaskan hal tersebut. Ricouer secara khusus menulis buku tentang memory, history and forgetting. Memori adalah sebuah „pemanggilan kembali‟ kejadian masa lalu “...the memory is said to arise as the presence of the absent” (Ricoeur, 2004, hal. 38). Memori tidak terkait dengan waktu tertentu (Ricoeur, 2004, hal. 6). Hal ini 35
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 29-38
berbeda dengan history /sejarah yang mempunyai kaitan dengan tempat (Ricoeur, 2004, hal. 149) dan bersifat kronologis (dalam ruang lingkup waktu tertentu) dan tercatat/tertulis (Ricoeur, 2004, hal. 138). Bagaimana dengan „melupakan/ forgetting?
process and to learn to desire the future even more keenly; they have no idea how ahistorically they think and act despite all their history, nor that their concern with history stands in the service, not of pure knowledge, but of life" (Ricoeur, 2004, hal. 289)
There is forgetting wherever there had been a trace. But forgetting is not only the enemy of memory and of history. One of the these to which I am most attached is that there also exists a reserve of forgetting, which can be a resource for memory and for history, although there is no way to draw up a score sheet for this battle of the giants. This double valence of forgetting is comprehensible only if the entire problematic of forgetting is carried to the level of the historical condition that underlies the totality of our relations to time. Forgetting is the emblem of the vulnerability of the historical condition taken as a whole. (Ricoeur, 2004, hal. 284)
Sejarah dipelajari untuk tidak hanya semata untuk pengetahuan tetapi untuk kehidupan. Jika konservasi hanyalah sebuah usaha „membekukan‟ dan tidak terkait dengan masa depan, maka kegiatan konservasi hanyalah kegiatan pengarsipan belaka. Hal pengarsipan sebenarnya juga berguna untuk masa depan, sebab pengarsipan tidak mengulang kejadian masa lalu tapi persiapan kita untuk merespon masa depan.
Proses melupakan/forgetting tidak benar-benar anti sejarah atau memori tapi menyisakan „jejak‟/trace yang bisa digunakan untuk dasar keterkaitan dengan masa sebelumnya. Jabaran Ricoeur ini membuktikan bahwa proses mengenang dan menghormati sejarah tidak harus dengan „membekukan‟ bangunan atau kawasan bersejarah tersebut. Pembelajaran tentang kehidupan bukan saja berada di masa lalu, dan pembelajaran tersebut bukan saja dengan cara „membekukan‟ tapi juga menghargai proses. Ricouer mengutip pernyataan Nietzche yang mengatakan: "..believe that the meaning of existence will come ever more to light in the course of a „process‟ they look backward only to understand the present by observation of the prior 36
“...the question of the archive is not, we repeat, a question of the past. This is not the question of a concept dealing with the past which might already be at our disposal or not at our disposal, an archivable concept of the archive. It is a question of the future, the question of the future itself, the question of a response, of a promise and of a responsibility for tomorrow” (Derrida, Vol. 25, No. 2, 1995). Jika kita kembalikan ke kejadian rekonstruksi Dusun Ngibikan, yang dilakukan oleh warga dusun adalah sebuah proses melangkah ke depan berdasarkan kejadian masa lampau. Penentuan material atap yang lebih ringan dari yang digunakan sebelumnya, konstruksi kayu yang diambil dari sisa-sisa bangunan akibat gempa adalah sebuah proses „konservasi‟ masyarakat Jawa. Menggunakan „jejak‟ memori akan masa lalu untuk menatap masa depan. Hal ini setara dengan jabaran Primbon yang menyatakan angsar (daya
Adiyanto, Perspektif Konservasi Arsitektural pada Masyarakat Jawa
pengaruh) material kayu kehidupan di masa depan.
terhadap
Jadi bagi masyarakat Jawa, konservasi bukan hanya sekedar „membekukan‟ bangunan, akan tetapi lebih pada proses kehidupan selanjutnya. Proses perbaikan rumah setara dengan proses membangun rumah baru. Memori yang tersusun dalam naskah sejarah (history) ditempatkan sebagai landas pijak ke masa depan, sebuah proses „pelupaan dan pengingatan‟ (forgetting and rememberance) (Widyarta, 2012) Memory as an act of being is inscribed in traces, or survivals of a past, which mark every ongoing inscription. ... Memory is discontinuous and always related to the act of being narrated. ... In short, we do not make stories out of our memories, because memories exist only within our narratives. (Santos, 2001)
Kesimpulan Jabaran diatas menunjukkan bahwa masyarakat menyetarakan antara perbaikan rumah dengan pembangunan rumah baru. Di dalam proses perbaikan/pembangunan rumah/ bangunan baru tersebut memperhatikan aspek material dan konstruksi yang sesuai dengan keadaan geografis serta iklim lokal. Disamping itu juga ada „harapan‟ yang ingin dituju dalam proses pembangunan/perbaikan tersebut di masa depan. Pemilihan material serta ukuran mempengaruhi harapan tersebut. Proses pelupaan dan pengingatan sangat tergambar dalam proses konstruksi bangunan Jawa, sehingga pemahaman konservasi „modern‟ yang hanya menitikberatkan pada „pembekuan bangunan‟ (pemahaman
dari teks “tidak boleh merubah apapun dari bangunan”) bukanlah konsep yang cocok untuk masyakat Jawa. Jika dikaitkan dengan pemahaman filosofis Jawa bahwa kehidupan di dunia hanya sekedar singgah untuk minum, maka konsekuensi arsitekturalnya adalah rumah/hunian adalah sebuah „tempat singgah‟/ shelter. Jadi yang dipertahankan dari nilai filsafat itu adalah cara berproses/ cara berpikir. Hal ini terbukti pada kasus Dusun Ngibikan. Hancurnya rumah/hunian mereka akibat gempa tidak „menghancurkan‟ kehidupan, karena yang dipandang bukan bangunan rumah/ hunian tersebut, akan tetapi proses kehidupannya. Dengan pemahaman ini maka proses rekonstruksi dusun Ngibikan dapat berlangsung dengan cepat, sebab orientasi konservasi adalalah konservasi proses kehidupan. Jadi bagi masyarakat Jawa, konservasi mempunyai pemahaman sebagai sebuah proses bukan hasil, sebuah kegiatan aktif dan dinamis, bukan „pembekuan‟ dan pasif.
Daftar Pustaka Adiyanto, J. (Vol. 7 October 2011). Ngibikan village spirituality design in Javanese Architecture. Nakhara, Journal of Environmental Design and Planning , 89 - 102. Armand, A., Sopandi, S., Hutama, D., Hartanto, R., & Tardiyana, A. D. (2014). Ketukangan: Kesadaran material . Jakarta : Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Derrida, J. (Vol. 25, No. 2, 1995). Archieve fever: A Freudian impression. Diacritics , 9-63. Evans, M. (1999). Tropical design . Dalam D. Adler, Metric 37
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 29-38
Handbook Planning and Design Data (pp. 37-1- 37-11). Oxford: Architectural Press . Feilden, B. M. (2003). Conservation of historic building (3rd edition). Oxford: Architecture Press. Forsyth, M. (2007). Understanding historic building conservation . Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Kwanda, T. (2013). Otensitas takbenda dalam tradisi konservasi di Kompleks Ki Buyut Trusmi, Cirebon. Seminar Nasional Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara. Denpasar: Universitas Udayana. Pangarsa, G. W. (2006). Merah putih arsitektur Nusantara. Yogyakarta: Andi Offset. Pangarsa, G. W. (2008). Arsitektur untuk kemanusiaan: Teropong visual culture atas karya-karya Eko Prawoto. Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Prianto, E., Bonneaud, F., Depecker, p., & Peneau, J.-P. (Vol 1, Number 2, 2000). Tropical-humid architecture in natual ventilation efficient point of view. International Journal on Architectural Science, 80-95. Prijotomo, J. (2004). Suasana psikologikal sebagai sarana berarsitektur: kasus primbon Jawa. Dalam J. Prijotomo, Kembara Kawruh Arsitektur Jawa (pp. 53 - 66). Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Prijotomo, J. (2006). (Re)-Konstruksi Arsitektur Jawa: Griya Jawa dalam tradisi tanpatulisan. Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika. Prijotomo, J., & Sulistyowati, M. (2010). Nusantara Architecture as tropical architecture. Surabaya: ITS Press. 38
Ricoeur, P. (1975). Phenomenology and Hermeneutics. Symposium paper to be read (pp. 85 -102). Meeting of the Western Division of the American Philosophical Association: Blackwell . Ricoeur, P. (2004). Memory, history, forgetting . Chicago: University of Chicago Press. Santos, M. S. (2001). Memory and narrative in Social Theory . Time & Society , 163-189. Silaban, F. (1983). Idealisme Arsitektur dan kenyataan di Indonesia. Dalam E. Budihardjo, Menuju Arsitektur Indonesia (pp. 75 89). Bandung: Alumni. Tan, H., Wilson, A., & Olver, I. (2009). Ricoeur's Theory of Interpretation: An instrument for data interpretation in Hermeneutic Phenomenology. International Journal of Qualitative Methods . Tjakraningkrat, H. (2013). Kitab primbon Betaljemur Adammakna. Yogyakarta: CV. Buana Raya. Widyarta, M. N. (2012). Pencitraan jati diri melalui Modernisme. Dalam PDA. Tegang Bentang: Seratus tahun perspektif arsitektur di Indonesia (hal. 6063). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
STUDI TENTANG LOKASI BENTENG-BENTENG DI SURAKARTA (1672, 1743, 1756, 1832) Bimo Hernowo Architectural History, Department History and Art History, Utrecht University, Drift 6, 3512 BS Utrecht, the Netherlands Email:
[email protected]
Abstrak Benteng di Surakarta (Vastenburg) didirikan pada tahun 1745 (Soedarmono, Kusumastuti, 2002). Sebagian dokumen mengatakan benteng dibangun pada tahun 1743 yang mengacu pada De Grootmoedigheid (De VOC Site, 2015). Tujuan paper ini adalah mendiskusikan bahwa kemungkinan terdapat beberapa Benteng di Surakarta. Argumentasi ini diangkat berdasarkan perjalanan William Barrington D´Almeida dalam bukunya Live in Java: with Sketches of the Javanese, Vol. II tahun 1864 yang mengatakan bahwa terdapat benteng di Surakarta didirikan tahun 1672, yang dibangun berdasarkan ide desain Vauban dan Descartes. Terdapat bukti lain yaitu dokumentasi: sebuah peta “geprojecteerde fort van Soeracarta” tahun 1756 yang ternyata posisinya sangat cocok dengan bukti sisa-sisa Benteng dari foto udara yang terletak di pingiran sungai Bengawan Semanggi. Sebuah analisis pembuktikan lokasi benteng-benteng di Surakarta yang di bangun tahun 1672,1743,1756 dan 1832 akan diterapkan berdasarkan bukti dokumen, peta dan foto udara. Hasil akhir dari paper ini adalah daftar dan deskripsi benteng-benteng yang ada di Surakarta. Kata kunci: Benteng, Vastenburg, de grootmoedigheid, Surakarta, Soeracarta, D'Almeida
Abstract Title: Study on the Location of Surakarta´s Forts (1672, 1743, 1756, 1832) The Fortress in Surakarta (Vastenburg) was established in 1745 (Soedarmono, Kusumastuti, 2002). Some documents mention that the fort was built in 1743 referring to it as the De Grootmoedigheid (De VOC Site, 2015).The purpose of this paper is to discuss the possibility that there might be some other fortresses in Surakarta. This argument is based on descriptions given by William Barrington D'Almeida in Java documented in his book Live in Java: with Sketches of the Javanese, Vol. II in 1864 in which it is stated that a fort was established in Surakarta in 1672, that was built based on Vauban and Descartes design ideas. There is further evidence: A map of "geprojecteerde fort van Soeracarta" dated to the year 1756 which turned out to be matching closely to the fortress‟s remains that can be seen today on the aerial photographs of the suburbs of Bengawan Semanggi. An analysis will be applied to proof the locations of several fortresses in Surakarta build in 1672,1743,1756 and 1832 based on documents, maps and aerial photographs. The result of this paper is a list and description of fortresses in Surakarta. Keywords: Fortress, Vastenburg, de grootmoedigheid, Surakarta, Soeracarta, D'Almeida
Pendahuluan Menurut Soedarmono, Kusumastuti, (2002) Benteng di Surakarta (Vastenburg) didirikan pada tahun
1745. Pada dokumen lain disebutkan bahwa benteng ini dibangun pada tahun 1743 mengacu pada benteng kecil yang dikenal sebagai De Grootmoedigheid (De VOC Site, 2015). Benteng dengan 39
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 39-47
arsitektur unik itu dibangun tahun 1755, dan selesai tahun 1779. Benteng tersebut dibangun menggantikan sebuah pos dagang milik Belanda yaitu De Grootmoedigheid yang dibangun tahun 1743, di dekat Bandar Beton, di tepi Bengawan Solo. De Grootmoedigheid merupakan salah satu rantai jaringan sistem pertahanan yang dibangun Belanda untuk mengamankan jalur perdagangannya di Jawa (Soedarmono, Kusumastuti, 2002). Makalah ini membahas tentang kemungkinan adanya beberapa benteng lain di Surakarta selain Vastenburg dan De Grootmoedigheid yang selama ini sering ditulis dalam pembahasan dan makalah sebelumnya. Selain itu, selama ini kedua benteng tersebut sering dianggap terletak di lokasi yang sama. Pada temuan penulis, berdasarkan yang ditulis oleh William Barrington D'Almeida dalam bukunya Live in Java: with Sketches of the Javanese, Vol. II tahun 1864 dinyatakan bahwa terdapat benteng yang didirikan di Surakarta pada tahun 1672, hal tersebut merupakan suatu informasi baru, yang patut untuk ditelusuri. Berdasarkan penelusuran penulis tentang sebuah peta Belanda "geprojecteerd benteng van Soeracarta" pada tahun 1756, diketahui bahwa peta tersebut ternyata cocok dengan foto udara sisa-sisa benteng di kawasan pinggiran Bengawan Semanggi (Hernowo, 2014). Di dekat lokasi tersebut juga ditemukan sisa-sisa benteng lain dengan ukuran yang lebih kecil yang diduga merupakan sisa-sisa benteng kota yang diduga citadel tahun 1672 tersebut. Paper ini bertujuan untuk menjawab dan membuktikan pertanyaan yang selama ini ada tentang keberadaan benteng selain Benteng Vastenburg 40
(1832) di Surakarta. Dalam paper ini juga akan diterapkan analisis sederhana dengan membandingkan bukti dokumen, peta dan foto udara. Perjalanan D´Almeida 1864 “I do not know the exact date when the fort was built, but I am probably not far wrong is saying about the year 1672. Its construction is very similar to that of strongholds I had seen in Java. The walls, which are not angulated, after the plan of Vauban or Descartes, are washed with a dark slate couloured preparation, a though the nation were in the deepest mourning” (D´Almeida, 1864: 51-52).
Pada tahun 1864 D´Almeida menceritakan perjalanannya menyusuri sungai Bengawan Solo dari Madioen (Madiun) melalui Ngawie (Ngawi) menuju ke Soerakarta (Surakarta). Saat itu diceritakan bahwa ia melihat kota Solo yang indah dari pinggiran sungai Bengawan. Dikatakan bahwa saat itu terdapat sebuah benteng yang diperkirakan dibangun tahun 1672 yang tidak jauh berbeda dengan desain benteng-benteng di Jawa lainnya. Desain benteng ini didasarkan pada ide pemikiran desain Sébastien Le Prestre de Vauban (1633-1707) dan Rene Descartes (1596-1650). Dari apa yang dinyatakan D´Almeida tersebut lalu muncul pertanyaan, Benteng manakah yang disebutkan oleh D´Almeida tersebut?, sementara ini kita hanya mengenal bahwa lokasi benteng di Surakarta hanyalah di lokasi tempat berdiri Benteng Vastenburg sekarang ini, padahal pada kenyataannya bahwa di Surakarta berdasarkan bukti-bukti yang ada, sangat dimungkinkan bahwa kota ini memiliki lebih dari satu benteng dengan lokasi yang berbeda.
Hernowo, Studi tentang Lokasi Benteng-Benteng di Surakarta (1672, 1743, 1756, 1832)
Metode Pertama, dalam paper ini kami menerapkan dokumen studi dari sumber dokumen perjalanan D´Almeida 1864 serta literatur-literatur lain yang mendukung. Kedua, membuat analisis perbandingan dari foto udara yang kami dapat dari dapat dari Google Earth 2015 pada lokasi ditemukan sisa-sisa tembok benteng, yang kemudian kami sesuaikan dengan lokasi yang mungkin dan sesuai dengan gambaran denah lokasi benteng berdasarkan denah Geprojecteerde fort van Soeracarta 1756 dari Nationaal Archief Den haag.
arah kompas yang sama serta unsur. landmark berupa sungai, serta sisa benteng yang ada.
Gambar 1a. Temuan sisa benteng dari foto udara (2015). Sumber: Hasil reka penulis dengan sumber Google maps 2015
Hasil dan Pembahasan Berdasarkan data dan dokumen yang penulis telusuri, maka penulis memperkirakan bahwa; Pertama, benteng yang di ceritakan berdiri tahun 1672 oleh D´Almeida (1864) . Kedua, benteng De Grootmoedigheid yang dikatakan bediri pada tahun 1743, yang kemudian di modifikasi dengan dengan rencana desain benteng “geprojecteerde fort van Soeracarta” tahun 1756, dan yang ketiga adalah benteng Vastenburg tahun 1832 yang berdasarkan desain A.H.B. von Neidschutz . Argumentasi bahwa terdapat benteng yang berbeda lokasi dengan yang selama ini diperkirakan (dari lokasi benteng Vastenburg), bahwa modifikasi benteng Surakarta terletak pada satu lokasi yang berbeda. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan foto udara yang ternyata cocok dengan lokasi benteng“geprojecteerde fort van Soeracarta” tahun 1756 dari peta dokumen di Nationaal Archief, Den haag (Gambar 1b dan 2). Dalam hal ini diketahui dari kecocokan lokasi dan
Gambar 1b. Denah rencana benteng di Surakarta tahun 1756 Sumber: Archief National Den Haag, dalam Hernowo, 2014
Gambar 2. Perbandingan temuan sisa benteng dari foto udara (2015) Sumber: Hasil reka penulis dengan sumber Google maps 2015
41
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 39-47
Lokasi De Grootmoedigheid “The fort lies in the centre of the town, from which four roads branch off in opposite directions. It is surrounded by a deep ditch, continually filled with water, which is fed by two large tanks. The walls are mounted with guns of a large calibre, some of which, in case of an insurrection, could be easily directed against the outer gates of the Kraton, situated at no great distance” (D´Almeida, 1864: 50).
benteng De Grootmoedigheid disebelah kediaman Susuhunan di Soeracarta (Surakarta). Benteng tersebut dimaksudkan untuk melindungi raja tetapi sekaligus juga untuk mempertahankan diri melawannya (De VOC Site, 2015). Diceritakan bahwa posisi keraton nampaknya dilematis dengan keberadaan benteng yang tidak begitu jauh dengan kawasan tempat tinggal Sunan. Benteng De Grootmoedigheid (1743) dibangun dimasa pemerintahan Gubernur Jendral VOC, Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1705-1750). Dia adalah seorang keturunan bangsawan dari Ostfriesland, Jerman, memimpin VOC pada tahun 1743 hingga 1750. Banyak kemajuan yang terjadi di Hindia Belanda saat itu antara lain banyak diadakannya fasilitas sekolah, kantor pos, rumah sakit dan surat kabar (Ostfriesischelandschaft, 2015). Bangunan lain yang dibangun termasuk buitenzorg atau istana bogor pada tahun 1747.
Gambar 3. Denah Benteng Vastenburg, Surakarta 1832 Sumber: Archief Nationaal Den Haag, dalam Hernowo, 2014
Pada sekitar tahun 1680 kerajaan Mataram terpaksa bekerja sama dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Kerjasama ini kadangkadang menyulitkan VOC karena sang raja tidak dapat diandalkan. Dukungan VOC kepada Pakoeboewono II pada tahun 1743, berakibat bahwa raja memberikan hak penguasaan tanah di pantai utara Jawa kepada kumpeni. Mereka mengendalikan saat itu seluruh bagian dipulau Jawa serta membangun 42
Setelah tahun 1756 benteng De Grootmoedigheid digantikan oleh sebuah benteng yang lebih besar yang disebut Vastenburg (De VOC Site, 2015). Informasi tersebut bisa saja berarti, terdapat kemungkinan bahwa benteng De Grootmoedigheid itu digantikan sekaligus berpindah lokasi di lokasi Vastenburg sekarang ini. Di buktikan dengan Gambar 2, terdapat sisa-sisa bangunan benteng yang sama persis dengan rencana desain benteng Soeracarta tahun 1756 yang berlokasi kira 1 km sebelah timur Sitihinggil Keraton Kasunan Surakarta. Tempat tersebut tidak jauh dari desa Sawahan dan daerah Ngepung. Nama Ngepung bisa jadi sangat berkaitan dengan sejarah pengepungan benteng tersebut atau justru posisi benteng tersebut mengepung kawasan tertentu pada
Hernowo, Studi tentang Lokasi Benteng-Benteng di Surakarta (1672, 1743, 1756, 1832)
masa itu. Jadi posisi De Grootmoedigheid bukan di daerah Beton seperti yang di sampaikan oleh sejarawan Solo Soedarmono dan Kusumastuti, selama ini, melainkan di terletak di kawasan Kedung Lumbu. Menurut cerita D´Almeida bahwa lokasi benteng 1672 terletak dipinggir sungai Bengawan. Diduga bahwa sungai Bengawan Semanggi adalah sungai yang cukup besar pada masa itu. Pada gambar 4a, 5 a dan 5b, bisa dilihat dengan jelas bahwa sungai tempat citadel tersebut merupakan sungai dan masih hidup hingga tahun 1745 hingga 1945 yang pada tahun 1837 justru sungai tersebut tidak nampak. Kemungkinan saat itu terjadi pembesaran dan pengecilan aliran sungai. Sehingga apabila benar, berarti kemungkinan bahwa De Grootmoedigheid adalah benteng yang kedua, setelah citadel tahun 1672 yang letaknya saling berdekatan.
Gambar 4b. Peta Solo tahun 1821 Sumber: Van Bruggen et. al, 1998
Peta Kota Surakarta
Gambar 5a. Perkiraan lokasi benteng 1672 pada peta Soerakarta 1837 Sumber: Nationaal Archief, Den Haag
Gambar 4a. Perkiraan lokasi benteng 1672 pada Peta Desa Sala tahun 1745 Sumber: Modifikasi penulis, Journal of the Batavian Society NB. XXXVII, 1745 43
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 39-47 Sumber: Hasil reka penulis , D´Almeida 1864, De VOC Site 2015, Nationaal Archief, Den Haag, Van Beek 1990 dan Google maps 2015 .
Gambar 5b. Perkiraan lokasi benteng 1672 peta Soerakarta 1945 Sumber: Nationaal Archief, Den Haag
“Cota Blunda” “Facing the fort are a number of European house; and behind it is situated the Cota Blunda, or the old Dutch quarter, the only part of the town in which, till within late years, for their safety and protection from the natives, who used to be troublesome and dangerous, European inhabitant were permitted to reside” ( D´Almeida, 1864: 51).
Gambar 6. Analisis lokasi litadel 1672, De Grootmoedigheid1743, Geprojecteerde Fort van Soeracarta 1756 dan Vastenburg 1832. 44
Benteng yang di bangun tahun 1672 itu berhadapan dengan kawasan hunian Eropa, menghadap kearah timur, mengarah ke sungai Bengawan (Gambar 1a dan 1b). Cota Blunda, terletak di sebelah barat Benteng 1756. Cota Blunda yang dimaksud oleh D´Almeida disini adalah kata Kota Belanda atau kawasan pemukiman Eropa yang bisa di interpretasikan bukan hanya pada Loji Wetan melainkan bisa merupakan kawasan Kedung Lumbu, Pasar Kliwon. Kawasan disekitar Benteng 1672 dan geprojecteerde fort van Soeracarta 1756, yang kemungkinan awalnya terletak di dalam atau disekitar citadel atau benteng kota di pinggiran sungai Bengawan Semanggi berbentuk setengah lingkaran. Di tempat itu disebutkan sebagai tempat yang aman bagi penghuni berdarah Eropa tersebut. Jalan “Peppay” “To the left, beyond the road, a portion of the old Kraton‟s ruined walls was just visible though the tangled network of wild plants and trees. On the right hand is the Peppay road, so called from a small river which runs past it, dividing the Chinese from the European quarter” (D´Almeida, 1864: 51).
Jika kita melihat peta tahun 1837, sebagai acuan terdekat dengan suasana tahun yang di hadapi D´Almeida tahun 1864 (Gambar 5a). Maka kita bisa memperkirakan bahwa di kawasan kota Belanda yang disebutkan, bisa jadi bukanlah kawasan Loji Wetan melainkan kawasan di sekitar stasiun Solo Kota atau stasiun sangkrah. Hal ini bisa dibuktikan bahwa biasanya posisi stasiun kota terletak sangatlah
Hernowo, Studi tentang Lokasi Benteng-Benteng di Surakarta (1672, 1743, 1756, 1832)
berdengkatan dengan kawasan kota tua. Di duga jalan Peppay yang dimaksud adalah jalan di sepanjang sungai Pepe adalah disekitar (sebelah utara) Jl. Demangan (Gambar 6). Di kawasan ini, di sebelah utara Sungai Pepe, merupakan kawasan Chinese Wijk atau Pecinan (Gambar 7). Pertemuan antara Sungai Bengawan dan sungai Pepe ikut menentukan sejarah Kota Solo. Menurut Kuntowijoyo (2000) bahwa, pemilihan lokasi Keraton Surakarta di desa Sala pada abad 18-an didasarkan atas pertemuan Kali Pepe dengan Bengawan Semanggi yang disebut tempuran. Kali Pepe juga menjadi urat nadi pedagangan ke dalam kota Solo saat itu.
Perkiraan Bentuk Benteng 1672
Gambar 8a. Benteng kota Leiden 1649 Sumber: Blaeu, 1649
Dari kawasan kota tua/ kota Belanda di Pasar Kliwon (jl. Sungai Negara, jl. Pelagunan, jl. Serayu, jl Cemp., dan lain-lainnya), bila kita memadang sebelah kiri kita akan sudah bisa melihat tembok Benteng Baluwarti ( Benteng Keraton), hal ini persis seperti yang di ungkapkan oleh D´Almeida (1864:51).
Gambar 8b. Benteng Covorden desain tahun 1672
Gambar 7. Kawasan pecinan di pinggir sungai Pepe, 1930 Sumber: Koleksi Tropen Museum, Belanda
Gambar 9a. Perkiraan bentuk citadel 1672 dengan gaya desain Vauban dan Descartes
Sumber: Coevorden, 1672
Sumber: Rekayasa perkiraan penulis dan Google maps 2015
45
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 39-47
Gambar 9b. Sketsa perkiraan bentuk citadel 1672 dengan gaya desain Vauban dan Descartes Sumber: Rekayasa perkiraan penulis, 2015
Berdasarkan data lapangan dan survey maka di perkirakan bahwa benteng/ citadel 1672 di Surakarta diperkirakan mirip dengan bentuk melingkar seperti pada gambar 8a ,8b, 9a dan 9b. Namun sayangnya sisa-sisa benteng tersebut sudah banyak yang hilang sehingga susah dikenali in situ.
Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat benteng lain selain benteng Vastenburg di Surakarta yang terletak di kawasan Kedung Lumbu. Sehingga dari studi ini dapat diperkirakan dan disimpulkan bahwa di Surakarta terdapat tiga benteng ; pertama Benteng tahun 1762 dan kedua adalah Benteng tahun 1743 yang dimodifikasi tahu 1756, sedangkan, benteng yang ketiga adalah Vastenburg tahun 1832 (Gambar 6). Berikut ini adalah penjelasan secara detil akan masing-masing benteng tersebut: Benteng Tahun 1672- Diduga benteng inilah yang ditemui D´Ameilda tahun 1864. Benteng ini identik dengan gaya desain Sébastien Le Prestre de Vauban (1633-1707) dan Rene Descartes (1596-1650) yang kemungkinan 46
berbentuk melingkar seperti gambar dengan citadel dipinggiran sungai abad-17-an dipinggiran sungai Bengawan Semanggi (Gambar 8a,8b,9a dan 9b). Bila hal ini terbukti, berarti bahwa sebelum Keraton Carta soera (Kartasura) pindah ke Surakarta tahun 1745, benteng ini sudah dibangun yang diperkirakan keberadaannya seiring dengan masa keberadaan Keraton Pleret (1647-1681) di Bantul. Sehingga kemungkinan bahwa sejarah kota Solo sebenarnya dimulai jauh sebelum tahun 1745 (saat Keraton pindah dari Kartasura). Benteng Tahun 1743 dan 1756Benteng De Grootmoedigheid kemungkinan terletak berdekatan dengan terduga lokasi sisa-sisa banteng 1672, yaitu pada kawasan Kedung Lumbu dan kawasan yang di tengarai sebagai kawasan Cota Blunda (Gambar 1a, 1b, 6 ,9a dan 9b). Benteng Tahun 1832-Benteng Vastenburg dibangun masa Gubernur Jendral Johannes van den Bosch (17801844) yang berkuasa tahun 1830 hingga tahun 1833 (Biegman, 2014) , berdasarkan denah benteng tahun 1832 yang digambar oleh Letnan sappeurs A.H.B. von Neidschutz, terletak pada lokasi di pinggir jl. sudirman (Gambar 3).
Rekomendasi Penulis merekomendasikan perlunya dilakukan studi lebih lanjut berkaitan dengan pembuktian artefak di kawasan Kedung Lumbu dan sekitarnya untuk melihat secara detil sisa-sisa benteng 1672, 1743, 1756 dipinggiran sungai Bengawan Semanggi serta melakukan studi lebih detil tentang kawasan ini.
Hernowo, Studi tentang Lokasi Benteng-Benteng di Surakarta (1672, 1743, 1756, 1832)
Daftar Pustaka Biegman, G.J.F (2014). Hikayat tanah Hindia, sejarah Hindia Belanda dari zaman Pra-Hindu hingga abad ke 19. Yogyakarta: Octopus Publishing House. D´Almeida, W.B. (1864). Live in Java: with sketches of the Javanese. Vol. II. London: Hurst and Blackett Publisher. Hernowo, B. (2014). Vastenburg, benteng pengunci. Presentasi pada Seminar dan Diskusi Membangun Kota Solo yang Bervisi Kebudayaan, Vastenburg mau dibawa kemana?, Sabtu, 6 Desember 2014, Balai Sujatmoko, Indonesia. Kuntowijoyo (2000). The Making of a modern urban ecology: Social and economic history of Solo, 19001915. Jurnal Lembaran Sejarah no 3. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Soedarmono, K. (2002). Sejarah dan nasionalisme di Benteng Vastenburg. Bahan-bahan dari karya penelitian Solo Heritage Society. Van Beek, A.(1990). Life in the Javanese Kraton, Singapore: Oxford University Press.
Van Bruggen , M.P., Wassing, R. S.,e.a.(1998). Djokja en Solo beeld van de Vostendsteden, Purmerend: Asia Mayor. ______(1745) Journal of the Batavian Society NB. XXXVII.
47
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 39-47
48
PERAN PEREMPUAN DALAM MERUMAH Koniherawati1, Priyo Pratikno2 1)
Staf pengajar Program Studi Desain Produk, Fakultas Arsitektur dan Desain UKDW 2) Staf pengajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Arsitektur dan Desain UKDW Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Perempuan, dalam hal ini ibu, memiliki peran utama dalam membangun dan memelihara rumah, sebagaimana sejak dulu ditunjukkan oleh berbagai suku bangsa di dunia. Berbagai peran ibu ditunjukkan dalam memberi perlindungan, kenyamanan, dan rasa aman bagi bayinya hingga anggota keluarganya yang telah dewasa. Ibu juga seseorang yang memberikan nuansa bagi rumahnya melalui berbagai kegiatan seperti mengolah makanan hingga cara berhias diri. Upaya mengumpulkan material bangunan, menghias, dan mengisi bermacam perabot rumah tinggal terkait erat dengan aktivitas ibu yang amat dominan itu. Penelitian ini merupakan upaya menggali permasalahan merancang yang dilakukan para perempuan pada masa lalu yang ditujukan untuk mendapatkan pembenaran pada desain-desain seni dan arsitektur. Penelitian ini berdasarkan studi literatur ini menunjukkan peran ibu dalam membangun, mengelola, dan memaknai sebuah rumah tinggal. Metoda dilakukan dengan mencari data dari sumber sekunder kemudian merangkaikan aspek-aspek yang dapat untuk digunakan membangun asumsi dan hipotesa. Berdasarkan penelusuran terhadap informasi yang diperoleh disimpulkan bahwa perempuan sebagai ibu rumah tangga memiliki peran signifikan dalam membentuk rumah secara budaya maupun secara fisikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang berstatus ibu sangat dominan dalam memberi nuansa dan bentuk pada sebuah rumah. Kata kunci: Dominasi perempuan, fungsi rumah, dan wujud rumah tangga.
Abstract Title: The Roles of Wemen in Domestic Activities Women, especially mother, has a major role in build and maintain a home, as shown by various ethnic groups in the world. The various roles of woman indicated in protection, give a sense of comfort, and safety for the baby and all family member. Mother is person who gives a shade of home through food processing activities and how to primp her self. The efforts collecting building materials, to decorate, and chose home furnishings are dominant activities that mother does. This study is explore the problems of designing of home by women in the past were intended to justify the design of art and architecture. This study based on literature that shows the role of the mother in build, manage, and interpreting a house. The method of this study base on secondary data and then weave every aspects to build the hypotheses. These information show that women as housewives have a significant role in shaping the house as culturally or physically. The results showed that women as mother very dominant in giving the feel and shape of house. Keywords: Female domination, home function, and character of home.
Pendahuluan ”Like a shell, the house can open to others, and like a fortress it can protect
against them...” (Martin dan Laffon, 2004)
Manusia purba melindungi dirinya dari ancaman binatang buas dan keganasan 49
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 49-60
alam dengan tinggal dalam gua. Seorang bayi akan merasa nyaman dan aman dalam dekapan ibunya, dan merasa hangat tubuhnya dalam balutan selendang gendong di dada ibunya. Jadi ‟rumah‟ adalah tempat berlindung yang menyebabkan penghuninya akan merasa nyaman dan aman walau apapun bentuk dan material yang pembentuk tempat perlindungan tersebut. Perihal ini berlaku bagi seluruh mahluk hidup seperti hewan laba-laba yang tinggal dalam rumah perlindungannya yang berupa rajutan benang. Begitu pula dengan seekor ulat yang berumahkan kepompong, ataupun burung dengan sarang yang dirajutnya di tangkai pepohonan. Maka rumah dibangun sebagai perlindungan diri dengan beragam kemungkinan material berdasarkan kebutuhan dan situasi di lingkungan alam yang menyediakan berbagai segala potensi yang ada.
Gambar 1. Di Papua rumah dibangun setinggi pohon diantara hutan lebat untuk menghindari binatang buas Sumber: Laffon, 2004
50
Gambar 2. Di daerah Kunduz, Afganistan, dinding sekeliling rumah dilapisi lumpur, sementara lubang pintu dan jendela kecil untuk melindungi diri dari suhu udara yang dingin dimalam hari Sumber: Laffon, 2004
Sejak keluarga berumah secara menetap, peran perempuan dalam membentuk atau membangun rumah tinggal amat dominan. Sejarah menunjukkan bahwa membangun rumah selalu diperankan oleh perempuan atau istri. Di Kenya Afrika Selatan dominasi perempuan dalam beberapa aspek lebih besar dibandingkan dengan peran lelaki atau suami. Para perempuan bertugas mengumpulkan kulit binatang untuk dirangkai menjadi sebuah penutup atap yang berupa tenda. Sejak dari kegiatan memasang, menurunkan dan menggulung penutup tenda bangunan dilakukan oleh perempuan.
Gambar 3. Di Kamerun suku Pygmy membangun tenda atau rumah sebagai tempat persinggahan dimalam hari dan untuk menyimpan makanan Sumber: Laffon, 2004
Koniherawati, Peran Perempuan dalam Merumah
Sebagaimana diketahui penduduk Kenya pada saat itu masih sering berpindah tempat tinggalnya. Rumah menjadi kulit kedua yang memberi kehangatan dan kenyamanan, sebagaimana digambarkan bagaimana fungsi rumah yang seperti seorang perempuan, ibu, dalam memberikan perlindungan pada insan yang rapuh yakni bayi yang masih lemah.
tinggal terutama dalam menentukan berbagai ornamen, hingga rancangan perabot rumah. Bagi perkembangan studi tentang jender, penelitian ini memperkuat pendapat bahwa perempuan merupakan aktor utama dalam membentuk suasana dan karakter rumah tangga melalui ketrampilan mengolah potensi alamnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Gambar 4. Suku Turkana di Kenya, Afrika, menyiapkan tenda dikerjakan oleh perempuan dengan cepat dalam waktu yang singkat Sumber: Laffon, 2004
Lingkup penelitian ini membahas masalah jender dalam hubungannya dengan pembentukan rumah tinggal. Ketrampilan para perempuan dalam menggunakan elemen-elemen alami untuk membuat rumahnya melalui ketrampilan merajut, menganyam dan menjalin. Perkembangan sejarah rumah tinggal diberbagai wilayah terkait dengan peran perempuan dalam partisipasinya mengupayakan, membangun, dan memelihara rumahnya, menjadi contoh menajamkan proses kreatif seorang perancang.
Studi Pustaka Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini berupaya memahami peran perempuan dalam membangun rumah dan rumah tangga. Menguak peran perempuan dalam menentukan wujud arsitektur rumah tinggalnya juga dalam hal memberikan warna pada budaya merumah termasuk perilaku anggota keluarga. Informasi hasil penelitian ini mempertegas pembentukan ruang dalam bangunan berdasarkan jender. Manfaat Penelitian Penelitian ini membantu para arsitek dalam berkonsep dan merancang rumah
Menurut Laffon (2004), rumah tinggal dibangun sebagai bagian dari strategi manusia melindungi dirinya dari ancaman binatang buas dan keganasan alam. Lebih detil lagi disebutkan bahwa bagi seorang bayi dekapan ibunya, dan merasakan kehangatan tubuh ibunya merupakan tempat berlindung yang menyebabkan merasa nyaman dan aman. Apapun bentuk dan materialnya hal ini merupakan gagasan dasar yang berlaku bagi seluruh mahluk hidup tidak terbatas manusia saja. Bagi Hannah (2002), rumah yang melindungi itu dihasilkan dari metoda yang unik seperti merajut, menganyam, 51
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 49-60
adalah bagian dari tektonika pembuatan sambungan komponen arsitektur yang harus ada dan terjamin pada kekuatannya juga pada keselarasannya. Mengacu pendapat keduanya baju, rumah dan perlindungan masyarakat manusia akan menghadirkan keterpesonaan baik secara natural maupun kultural membenamkan kita pada suasana hal indah itu. Dalam menghayati karya arsitektur rumah tinggal hingga baju yang dipakai selalu berujung pada bagaimana cara terbentuknya stabilitas keseutuhan (unity), komposisi yang lengkap (completly) sesuai dengan kehendak dan cara pandang yang memakainya. Teknis pembuatan kain menjadi baju dan penyusunan elemen bangunan menjadi rumah tinggal tersebut memberi kemungkinan bagi pengembangan rancangan untuk kebutuhan masa kini. Pendapat Hannah kini berkembang melalui teknik konstruksi yang lebih efisien serta tidak lagi terbatas pada ketrampilan tangan. Sedangkan Laffon memberi kemungkinan baru bahwa cara melindungi diri tidak lagi tergantung pada hal-hal yang lebih bersifat fisikal tetapi juga yang bersifat transenden.
Prosedur dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian terapan yang akan digunakan untuk mendesain karya tentang pelindung fisik seperti halnya baju hingga rumah tinggal. Berdasarkan kebiasaan masyarakat dimasa lalu dalam membuat pelindung fisik yaitu baju dan rumah, yang ternyata didalamnya peran wanita sangat dominan, yang dari kasus tersebut diperoleh konsep desain maupun teknik penyusunan elemen dan 52
bahan dasarnya. Terdapat kesamaan dalam pembuatan baju sebagai pelindung fisik individual, dan konstruksi rumah sebagai pelindung keluarga, yakni selain urusan ketrampilan dan talenta masyarakatnya juga harus memberikan kepuasan secara lahiriah dan batiniah bagi penggunanya. Cara pembuatan alat perlindungan tersebut secara teknis masih dilakukan oleh masyarakat masa kini. Tektonika arsitektur sebagai upaya mewujudkan bangunan memiliki kesamaan dengan upaya mewujudkan kain hingga baju. Konsep pembuatan baju dan rumah dimasa lalu membuka peluang dalam merancang pelindung diri dan rumah serta menjadi inspirasi bahwa rancangan masa datang akan tetap melanjutkan prinsip perancangan yang selalu melibatkan ketrampilan tangan. Hal tersebut juga terjadi pada metode pembuatan kain sebagai bahan dasar baju. Berdasarkan pemikiran sebagaimana di atas, pengembangan prinsip tektonika dan konsep desain tersebut pada akhirnya dapat digunakan untuk rancangan instalasi baju sebagaimana fungsinya yang melindungi. Metode Penelitian Berdasarkan tujuan yang diharapkan, maka rancangan penelitian yang digunakan berupa penelitian yang bersifat diskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan kondisi dan karakteristik yang ada diberbagai tempat sebagaimana ditunjukkan dari literatur yang ada. Metode ini dipakai untuk penelitian kali ini yang mengkaji proses pembentukan alat pelindung, termasuk rumah tinggal, sebagai perwujudan dari upaya mengembangan desain berdasarkan preseden dimasa lalu.
Koniherawati, Peran Perempuan dalam Merumah
Metode Pengumpulan Data Observasi lapangan terhadap aktivitas perempuan masa kini dalam membuat karya seni yang berkaitan dengan dekorasi dan pengadaan elemen interior rumah tinggal. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan survey langsung guna mendapatkan data-data yang terkait dengan penelitian ini. Studi Literatur berupa teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengumpulkan referensi atau sumber bacaan serta melakukan pengkajian teori khususnya terkait dengan aspek dan aktivitas pembentuk rumah.
sekadar untuk urusan makan. Bahkan di India, dapur dianggap sebagai tempat suci.
Gambar 5. Di tengah hutan Afrika api merupakan rahasia untuk bertahan hidup bagi suku Pygmy Sumber: Hannah, 2002
Metode Analisis Data Dalam tahapan analisis ini, dilakukan dengan cara melakukan perbandingan antara teori-teori yang ada dengan kondisi lapangan dalam hal ini penggumpulan data-data terkait, sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu konsep tentang peran perempuan dalam konteks jender dengan rumah tinggal.
Hasil dan Pembahasan Perempuan ”The house is personified feminized taking on the form of a primordial belly and cradle of life-or it echoes the cavity of the tomb...”
Rumah sebagai tempat berlindung sering diibaratkan seperti seorang ibu, perempuan, yang memberi kehangatan pada bayi anak-anaknya. Di beberapa kelompok budaya atau daerah, perempuan digambarkan sebagai nyonya-ratu dapur. Yakni tempat untuk seluruh anggota keluarga membutuhkan dirinya lebih dari
Gambar 6. Para perempuan suku Mafuru di Maluku menyiapkan makanan di bawah atap di luar rumahnya Sumber: Laffon, 2004
Sementara itu orang-orang suku Pygmy menganggap perempuan sebagai ‟men of fire‟. Sebegitu pentingnya api yang sangat dibutuhkan oleh semua orang untuk mengusir kegelapan di lebatnya hutan tempat mereka berhuni. Dari api 53
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 49-60
pula mereka merasa aman dari serangan gajah liar yang sering mengganggu di perkampungan penduduk. Tak pelak pula api akan memberikan rasa hangat, secara fisikal, di dalam tenda menjelang malam tiba. Di Siberia api juga menjadi ruh, spirit, kehidupan yang tidak pernah pergi dari dalam tubuh manusia. Maka api selalu dijaga agar tetap menyala tak pernah padam. Menghias
bangunan. Lubang-lubang udara yang kecil itu menyerupai kedua mata sedangkan pintu rumah menggambarkan mulutnya. Maka tanpa disadari berhias yang dilakukan oleh para perempuan adalah sebuah proses mencipta pada tradisi dimasa lalu. Perempuan juga melakukan kegiatan menghias, atau tepatnya mendekorasi, rumahnya sebagaimana yang dilakukan oleh banyak suku bangsa di belahan dunia. Beberapa contoh dapat dilihat di gambar di bawah ini.
Gambar 7. Perempuan Tamberna, Togo, membuat tatto pada tubuh perempuan terutama yang masih muda sebagai media ungkapan simbolik melalui hiasan yang bermotif etnik Sumber: Hannah, 2002
Naluri menghias yang dilakukan para perempuan tersebut merambah ke wilayah yang lebih pribadi seperti merajah tubuhnya. Di wilayah Togo Utara di benua Afrika penduduk Tamberna membuat hiasan rumah sebagai simbol yang berhubungan sangat erat dengan bumi, yakni tempat asal usul manusia. Bumi digambarkan sebagai asal-usul kelahirannya yaitu rahim ibu. Lahir dari rahim ibu, yang sebelumnya telah dipelihara di dalam kandungan selama si ibu hamil, kemudian setelah lahir dirawat dan dilindungi ibu. Torehan tekstur pada dinding rumah adalah penangkapan visual terhadap wajah dan tubuh perempuan yang dicetak pada dinding 54
Gambar 8. Motif tekstur tampilan dinding rumah menggunakan sintak tubuh manusia Sumber: Hannah, 2002
Bahan Bangunan Ketika membangun, dan khususnya pada tahap menghiasi rumah, orang selalu didorong untuk melakukan dialog dengan lingkungannya. Sebagai contoh pada saat memilih materialnya selalu akan mencari bahan dasar dari potensi yang ada di lingkungannya. Menggunakan bahan, kemudian merespon kebutuhannya selalu dikompromikan dengan potensi alam sekitarnya. Demikian pula pendekatan yang dilakukan dalam menentukan
Koniherawati, Peran Perempuan dalam Merumah
teknologi selalu mengupayakan untuk mengembangkan apa yang sudah ada. Bahkan pada suku yang sering berpindah, nomad, untuk membangun tenda atau rumahnya akan selalu bergantung pada potensi alam yang ditemuinya.
Gambar 11. Kebiasaan orang Nigeria membuat tenda dari kulit binatang dengan dihiasi dengan gambar warna-warni bermotif geometri Sumber: Hannah, 2002
Gambar 9. Tenda suku bangsa Kirghiz, di wilayah danau Karakol, Tiongkok, menggunakan warna putih untuk meneguhkan simbol akan datangnya kekayaan atau kemakmuran Sumber: Sumber: Hannah, 2002
Gambar 12. Di Afrika Barat menghias rumah sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para perempuan Sumber: Hannah, 2002
Gambar 10. Desain flora orang-orang TharDesert, India, menggambarkan tetumbuhan dengan pasta yang bahannya tepung beras Sumber: Hannah, 2002
Gambar 13. Rumah orang Massai, Kenya. Membangun rumah merupakan kegiatan para wanita. Menggunakan tiang kayu dan ranting pohon untuk rangka strukturalnya kemudian di atasnya dilapisi tanah liat yang dicampur kotoran hewan terutama kerbau Sumber: Hannah, 2002 55
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 49-60
prosentase terbesar materialnya dibuat dari tanah liat dan air yang ada disekitarnya seumpamalah sebuah transformasi simbolik dari daging dan darah yang ada pada tubuhnya. Tubuh dan jasad manusia menjadi personifikasi elemen-elemen alam yang akan dimanfaatkan untuk kaumnya. Merajut dan Menganyam
Gambar 14. Orang-orang Shilluck, Sudan Selatan, merangkai ilalang berbentuk lingkaran untuk rangka bangunan tendanya Sumber: Hannah, 2002
Gambar 15. Perempuan Pygmy, Kongo, menjahit dedaunan yang lebar-lebar untuk pelingkup tendanya Sumber: Hannah, 2002
Sebagai sebuah karya aktivitas para perempuan itu merupakan proses budaya yang menghasilkan produk budaya, sebagai usaha untuk mengatasi alam, memberi makna atas kehidupannya. Rumah tinggal yang 56
”Menganyam, merajut dan menjalin adalah kegiatan-kegiatan mendasar dalam kebudayaan. Telaah etnologis membuktikan bahwa tindakan menganyam dan menenun batang dan ranting pohon dan kemudian kulit binatang untuk menjadi tenda adalah tindakan awal membuat hunian, jauh ketika manusia masih nomad” (Mahatmanto, 1999).
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa keahlian teknik masa lalu, tradisional, yang dimiliki oleh para perempuan dalam membangun rumahnya semenjak dulu, kini mulai luruh. Bakat dan ketrampilan perempuan sebagai anugerah alam masih melekat dan dapat ditemui dalam berbagai aktivitas keseharian. Namun demikian kemampuan tersebut tergeser oleh perkembangan teknologi dan dunia lelaki yang semakin menguasai kemampuan membangun. Ketrampilan perempuan dalam mengolah serat, yang kini lebih dikenal sebagai fiber, pada masa lalu merupakan domain perempuan. Ketrampilan tersebut amat luas cakupannya, mulai dari membuat kain untuk dipakai, perkakas rumah, menghias ruangan, hingga membuat tenda sebagai rumah tinggalnya. Semakin hari kebutuhan menjadi semakin beragam hingga domain perempuan tersebut lama kelamaan dilakukan pula oleh para lelaki. Dan pada perkembangannya kini ketrampilan itu tidak lagi khas dilakukan oleh perempuan saja.
Koniherawati, Peran Perempuan dalam Merumah
Gambar 16. Anyaman bambu sebagai bahan bangunan Sumber: Frick, 1997
Gambar 17. Rajutan tali untuk berbagai kebutuhan rumah tangga Sumber: Betsky, 1995
Tindakan menganyam, merajut dan menenun menjadi dasar ketrampilan berarsitektur di Nusantara. Rangkaian bilah bambu, kayu, rotan untuk bidang lebar yang berfungsi sebagai dinding, atap dan penyekat ruang masih banyak dijumpai. Begitu pula dengan raguman ijuk, ilalang, dan bambu menjadi bagian dari kerajinan rakyat yang sebagian digunakan untuk perkakas sedang sebagian lagi menjadi barangbarang seni kriya. Aplikasi Kekinian Ketrampilan perempuan yang kini sudah sangat umum dibuat dan digunakan, tanpa harus membedakan jenis kelamin pembuatnya, juga merambah pada dunia seni kriya dan seni instalasi. Para seniman meman-
faatkannya untuk mendesain berbagai gagasan dengan konsep yang lebih kontemporer. Berdasar pada konsep yang sama dengan penciptaan dimasa lalu, pengertian baju sebagai penutup tubuh diindentikkan dengan rumah sebagai pelindung tubuh pula. Kesamaan fungsi antara rumah dan baju yakni sebagai pelindung dari sengatan matahari, cucuran air hujan, berkembang menjadi konsep desain kontemporer yang beraura feminis. Menggunakan kata ‟costume‟ sebagai titik tolak berkonsep dikembangkanlah costume tersebut menjadi ”recycle costume” dan seterusnya. Sebuah konsep penciptaan yang terdiri atas gabungan pemikiran dimasa lalu dengan kondisi nyata masa kini yaitu ketika sampah menjadi masalah lingkungan hidup yang dipandang sangat serius. Penulis menggagaskan recycle costume guna mengetuk perasaan masyarakat agar melakukan penetrasi keprihatinan bersama yang sesungguhnya dapat dikurangi melalui kreativitas yang bertolak dari kearifan masa lalu. Berjalannya waktu yang menjadi kendaraan budaya untuk berkembang dan berubah, sesungguhnya tidak sertamerta harus mengikis kearifan masa lalu dengan teknologi modern. Seperti dalam kasus pembangunan rumah sejak masa lalu yang menggunakan bahan-bahan alami seperti ranting, kulit binatang, sudah selayaknya dimaknai dengan kemajuan berfikir masa kini. Bertambahnya penduduk dunia serta tuntutan keinginan yang menjadi sangat beragam harus diantisipasi dengan teknologi dan sains yang lebih canggih. Teknologi yang tetap aman bagi manusia dan aman bagi keberlangsungan alam ini. 57
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 49-60
Daur ulang perlu dikembangkan lebih lanjut. Penggunaan bahan plastik yang tidak terurai dan tidak terbarukan memberi inspirasi bagi ilmuwan dan seniman untuk memanfaatkan bagi fungsi yang lebih aplikatif hingga pencitraan yang lebih mengarah pada gaya hidup.
Gambar 18. Recycle Costume, terwujud dengan menyampurkan serat plastik, benang, dan kain perca menjadi komposisi 125 x 150 x 15 Sumber: Dokumentasi Koniherawati, 2008
Istilah ‟limbah modern‟ seperti bangkai peralatan elektronik yang berumur pendek, kemasan makanan dan minuman, sudah dipikirkan proses pendaurulangannya. Namun demikian tak dapat disangkal limbah-limbah tersebutlah yang kini memberikan masalah bagi lingkungan hidup. Dewasa ini masalah sampah plastik sudah merambah pada perdagangan komoditas pertanian. Dahulu mengangkut sayur dari kebun ke pasar dengan keranjang bambu yang dapat dipakai berulang kali. Sekarang pengepakan menggunakan kerancang plastik yang setelah dipakai sekali saja akan berakhir di bak sampah. Hal ini menimbulkan pertanyaan [1] mengapa selalu berbahan plastik [2] bagaimana 58
akhir dari sampah plastik tersebut [3] kemana barang bekas itu pergi dan berakhir. Aktualisasi konsep masa lalu tentang penggunaan bahan-bahan alami yang pernah dilakukan para ibu untuk penciptaan baju atau rumah sebagai ruang yang melindungi dan memberikan kenyamanan, keamanan secara fungsional merupakan cara berfikir yang handal dan menyeluruh, komprehensif. Pengembangan konsep lama tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti memberi ‟isian‟ pada sebuah ‟kerangka‟. Isian merupakan elemen ornamental sekaligus elemen strukturan yang memberi kekuatan dan menjaga stabilitas bentuk. Sebagaimana dalam tradisi membatik kain. Kerangka harus diisi dengan berbagai rupa titik dan garis, yang dalam bahasa Jawa diistilahkan ‟isen-isen‟. Memberi isian tentu saja agar bentuk tidak kosong serta untuk sebuah pencapaian estetika keindahan (beauty). Isian juga menjadi sebuah cara menuju kestabilitasan keseutuhan (unity), sehingga komposisi menjadi lengkap (completly). Sebagaimana juga dituntut pada sebuah baju, costume, perlu terbentuk oleh tuntutan yang menyeluruh sesuai dengan prinsip dasarnya (design principle).
Gambar 19. Isen-isen batik yang melengkapi pola rancangan batik tradisional Sumber: Susanto, 1980
Koniherawati, Peran Perempuan dalam Merumah
bahan bekas dengan konsep yang dilakukan para perempuan dimasa lalu yang diberi judul Recycle Costume.
Kesimpulan
Gambar 20. Pesona rancangan pada siang hari Sumber: Dokumentasi Koniherawati, 2008
Gambar 21. Pesona rancangan pada malam hari Sumber: Dokumentasi Koniherawati, 2008
Keragaman bahan semisal kain perca, plastik fiber, serta elemen pendukung lainnya yang lebih kasar dan kokoh menjadi aspek komposisi bentuk yang juga telah dilakukan oleh para perempuan masa lalu dalam lingkungannya yang serba terbatas. Contoh pengolahan komposisi oleh penulis yang menggunakan beragam
Seni mendirikan bangunan khususnya rumah tinggal tidak terlepas dari kegiatan menyusun satuan demi satuan bahan yang direncanakan melindungi kegiatan penghuni. Rajutan dan hubungan satuan-satuan elemen bangunannya menjadi bagian penting dalam konteks tektonika berasitektur. Arsitektur selalu merangkai keterkaitan relasional antara ruang, tempat, struktur, dan bahan bangunan (space, place, structure and material). Bahwa penciptaan tempat untuk ‟ada‟ si manusia tersebut memerlukan penegasan teritori ruang melalui teknik membangun. Sebagaimana pula dalam membuat baju, bahan bangunan menjadi titik tolak dalam proses membangun. Manipulasi bahan oleh alat dan tekniknya tentu akan menghasilkan karya yang bernilai dan khas seduai dengan potensi alam yang menjadi lokasinya. Semisal pada wilayah penghasil bambu akan memiliki teknik pengolahan bambu dengan peralatan yang sesuai, selanjutnya akan membutuhkan tata cara, prosedur, yang memang cocok untuk bambu. Terobosan pada salah satu dari ketiganya akan membuka khasanah yang tidak habis dicari kemungkinan-kemungkinannya yang lebih baru. Teknik merajut, menganyam, merupakan tektonika pembuatan sambungan, joint, yang harus ada dan terjamin pada kekuatannya juga pada keselarasannya. Dialog berjumpanya bahan-bahan yang berbeda disatukan seperti layaknya perjumpaan yang selalu berlimpah dengan potensi untuk 59
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 49-60
berbagai penafsiran. Seperti apa pertemuan berbagai aspek tersebut berlangsung pada akhirnya akan terbentuk sebuah dominasi, saling berpautan keduanya, serta saling jalinjalinan atau saling menolak. Kesemuanya dapat hadir berdasarkan konsep pemikiran yang melatarbelakanginya. Dekorasi dan menghias ruang arsitektur merupakan kegiatan penciptaan keindahan. Pada akhirnya hadirlah keterpesonaan baik secara natural maupun secara kultural, adat, yang membenamkan kita pada suasana hal indah itu. Dalam menghayati keindahan akan menyadarkan bahwa kelumrahan telah dilampaui, sebagaimana penciptaan yang sederhana maupun yang rumit dapat menggiring pemerhati pada keindahan yang mengungkap kebenaran. Kebenaran tentang bagaimana sebuah karya arsitektur itu dibangun, dirangkai, serta bagaimana bahanbahan yang menjadi elemennya berbicara seperti apa adanya, serta saling berdialog satu dengan yang lain.
Daftar Pustaka Betsky, A. (1995). Building sex. New York: William Morron. Frick, H. (1997). Pola struktural dan teknik bangunan di Indonesia. Jogjakarta: Kanisius. Hannah, GG. (2002). Elemen of design. New York: Princeton Architectural Press. Laffon, C. (2004). A home in the world: House and culture. New York: Harry N Abrams. Mahatmanto.(1989). The tectonic architecture of YB Mangunwijaya. Jogjakarta: Cemeti Art Gallery. Rupp, W., dkk. (1989). Construction materials for interior design. New York: Library of Design. 60
Susanto, SK S. (1980). Seni kerajinan batik Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan.
KAJIAN ANTITESIS HEGELIAN DALAM ARSITEKTUR Muhammad Nurwahyu1, Murni Rachmawati2, Josef Prijotomo3 1
Mahasiswa Pascasarjana Arsitektur Alur Teori, Sejarah dan Kritik Arsitektur 2,3 Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Email:
[email protected]
Abstrak Tulisan ini mencoba mengemukakan keberadaan antitesis Hegelian, yang dapat digunakan sebagai cara berpikir dalam proses perancangan arsitektur. Akan tetapi dengan posisi antitesis yang berada dalam ranah filsafat, maka butuh adanya penyandingan terhadap hal yang serupa dalam arsitektur. Penyandingan dilakukan dengan menggunakan metode kritik deskriptif. Hasil penyandingansimpul ini dapat saja menjadi titik berangkat penggunaan antitesis Hegelian dalam pengembangan rancangan arsitektur. Dalam penelitian ini antitesis dibuktikan setara dengan architecture of difference sebagai bildung. Kesetaraan tersebut ditunjukkan melalui dialog arsitektur. Dengan kesetaraan tersebut, antitesis menjadi terdefinisi dalam arsitektur dan terjelaskan posisinya dalam arsitektur. Kata kunci: antitesis hegelian, arsitektur, architecture of difference, bildung.
Abstract Title: Study of Hegelian Antithesis in Architecture This paper tries to expose hegelian antithesis existence, that can be used as a way of thinking in architecture design process. With antithesis that lies in philosophy scope, then it needs to be settled with similar thing in architecture. The settlement will be set by using descriptive critique method. The result of the settlement can become a starting point for the usage of Hegelian antithesis in architecture design exploration. In this paper, antithesis proven to be equal with architecture of difference as bildung. Those equality shown in the architecture dialogue. With this equality, antithesis become defined and known its position in architecture. Keywords: Hegelian antithesis, architecture of difference, bildung.
Pendahuluan Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah seorang filsuf besar di era romantisisme Jerman. Karya karya yang dihasilkannya cenderung kontroversial karena seringkali kontradiktif terhadap pemikiran para pemikir besar lain di jamannya. Contoh paling besar adalah saat Hegel membahas manifestasi Immanuel Kant mengenai korelasi realita dengan
eksistensi. Kant menyatakan bahwa realita selalu berada di balik wujud eksistensi. Hal tersebut dikritik oleh Hegel dengan menyatakan bahwa realita termanifestasi pada wujud eksistensi dengan dasar pemikiran bahwa „alasan‟ adalah yang mendasari keberadaan realita. Dengan diposisikannya alasan sebagai dasar dari penentuan nyata atau tidaknya sesuatu, maka kenyataan adalah segala sesuatu yang rasional. Oleh karenanya 61
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 61-74
realita temanfestasi pada wujud eksistensi sebagai yang rasional dan berimbas pada pemahaman bahwa segala hal dalam kehidupan bersifat dinamis (Sorensen, 2003). Pemikiran Hegel yang seringkali kontradiktif terhadap pemikir lainnya muncul sebagai akibat cara memandangnya yang berbeda dari pemikir lainnya. Dengan dasar ini pulalah ia mencetuskan triadik tesisantitesis-sintesa. Hegel mengemukakan ketiga entitas tersebut sebagai hasil berpikir yang diawali dengan kehadiran tesis. Tesis dianggap sebagai hal yang dinamis sehingga patut diuji yang diwakilkan oleh antitesis. Dari pengujian tersebut, dapat ditarik simpulan lebih lanjut yang berupa sintesa. Triadik ini tidak berhenti pada sintesa karena pemikiran Hegel yang menganggap segala hal dalam kehidupan bersifat dinamis. Dengan begitu sintesa diposisikan kembali sebagai tesis dan proses berulang kembali. Di sini terlihat vitalnya posisi antitesis sebagai entitas yang mampu menjembatani tesis menjadi sintesa (yang diposisikan kembali menjadi tesis kembali). Tanpa adanya antitesis maka tesis menjadi sintesa mutlak yang tidak lagi dinamis. Sebagai hasil dari filsafat pemikiran, antitesis diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan arsitektur. Dengan pengertian antitesis yang berada pada ruang gerak filsafat pemikiran, maka wajar jika antitesis diharapkan untuk bisa dikembangkan dan digunakan dalam mengkaji, mengapresiasi, bahkan lebih jauh lagi merancang arsitektur. Akan tetapi, perlu adanya penegasan posisi antitesis dalam arsitektur, khususnya berpikir merancang arsitektur. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang cenderung bersifat teoritis. Yang dapat 62
dikembangkan lebih luas dan atau mendalam untuk kepentingan perancangan. Bahasan penelitian ini akan berpusat pada antitesis buah pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang akan diterjemahkan dalam ranah arsitektur melalui re-intepretasi dari Dennis Hollier (1992). Utamanya dalam dialektika kesadaran yang menjurus pada pemikiran proses malihan tesisantitesis-sintesa. Akan tetapi tidak mengambil pernyataan Hegel dalam membahas arsitektur secara mentah mentah (sebagai hasil pengembangan dari dialektika kesadarannya yang dianggap masuk di dalam ranah arsitektur), karena pemikiran Hegel dalam ranah arsitektur memiliki banyak celah kecerobohan pembahasan sebagai yang non-arsitektural (filsafat dan sejarah). Penelitian ini mencoba memantapkan keberadaan dan posisi antitesis dalam ranah arsitektur.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode kritik deskriptif yang digunakan untuk menemukan sandingan antitesis pada ranah arsitektur. Metode kritik deskriptif dikenalkan oleh Wayne Attoe bersamaan dengan dua kritik lainnya, yakni kritik normatif dan kritik intepretif. Metode kritik deskriptif cenderung memaparkan secara terperinci mengenai pokok bahasan, sedangkan kritik normatif lebih memusatkan perhatian pada aturan, standar, doktrin, sistem yang membantu dalam menjustifikasi suatu hal misalkan justifikasi terhadap estetika sebuah bangunan yang ditinjau melalui aturan golden section. Kritik Intepretif lebih memusatkan perhatian pada upaya menunjukkan kesan,
Nurwahyu, Kajian Antitesis Hegelian dalam Arsitektur
pengingat terhadap obyek lain (referensial), pembandingan ataupun penyandingan dengan obyek lain maupun pembelaan bagi obyek kaji terhadap satu pandangan. Dengan kajian penelitian yang memusatkan perhatian pada hal yang masih sangat jarang dikaji, maka digunakan kritik deskriptif sebagai upaya untuk menjabarkan obyek kajian yakni antitesis dalam dialektika Hegelian dalam ranah arsitektur.
dan memikirkan pertanyaan lain: Bukankah ketakutan terhadap sebuah kesalahan sudah merupakan sebuah kesalahan itu sendiri? Sebenarnya ketakutan ini mengandaikan sesuatu, sebenarnya banyak sekali, sebanyaknya kebenaran; keragu-raguan dan simpulan-simpulannya didasarkan pada suatu asumsi yang klaimnya terhadap kebenaran belum diuji (Heidegger, 2002).
Pernyataan-pernyataan Hegel digunakan sebagai dasar berpikir untuk mendekati posisi dan kaidah antitesis yang dimaksud agar kajian tetap berada di jalur yang ilmiah. Hasil kajian tersebut berupa pen-ciri-an yang selanjutnya dicari gayutnya dengan arsitektur melalui peng-analogi-an. Kritik deskriptif yang dilakukan terhadap antitesis Hegelian ini didukung dengan analisa terhadap teksteks pembantu yang merupakan hasil dari kritisi terhadap teks Hegel yang telah dilakukan sebelumnya dan teksteks yang bersentuhan langsung dengan dunia arsitektur. Teks-teks pendukung tersebut sekaligus menjadikan penelitian menjadi lebih terarah dan lebih aktual dibandingkan sekedar menelaah dari tulisan Hegel saja.
To liberate ourselves from fear, we realize the fearing outweighs the actual victimization, the actual crime. Ideologies change, can change, are open to resignification. Epstein dalam Ellin 1995
Antitesis dalam Dialektika Kesadaran Hegelian Proses berpikir manusia tak lepas dari insting kritis. Ilmu pengetahuan yang telah ada tak luput dari insting kritis manusia, utamanya jika terkait dengan sesuatu yang janggal dan dikhawatirkan akan menyesatkan. Dasar berpikir ketakutan akan jatuh pada kesalahan, membuat orang dalam waktu yang bersamaan curiga terhadap ilmu. Maka orang jangan melupakan kemungkinan membalik prosedur ini dengan menempatkan ketidakpercayaan persis dalam ketidakpercayaan ini
Oleh karenanya ketika ketakutan tersebut datang, maka dibutuhkan adanya sifat keterbukaan terhadap perubahan paradigma yang selama ini telah melekat dalam diri kita dan orang lain dan hendaknya kita tidak takut dengan perbedaan pemikiran dengan orang lain seperti yang disampaikan oleh Epstein di atas. Death, if that is what we wish to call this unreality, is the most terrible thing of all and sustaining death‟s work is what demands the greatest stregth. Impotent beauty detests conceptualisation, because it requires beauty to do thing it is incapable of doing. Now, the life of the spirit is not life that cringes at death and saves itself from destruction, but life that can bear death and is preserved in it. Hegel dalam Hollier, 1992
Dalam bukunya, Hegel mencoba mengemukakan ide pertentangan ekstrim dari fenomena yang terjadi dalam kehidupan. Kematian yang dianggap sebagai hal yang menakutkan bagi mayoritas manusia diusahakan untuk diperlambat, dipungkiri dan 63
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 61-74
dihindari. Dan hal ini dirasa naif oleh Hegel. Hingga dia berusaha merealitaskan pola pikir perlawanan manusia terhadap kematian tersebut dengan sekedar memenuhi kualitas hidup yang baik dalam hidupnya, bukan melawan kematian itu sendiri. Sebuah pemikiran yang tidak sematamata kritis, namun dirasionalkan menjadi sebuah logika yang riil, menjauhi absurditas. Pemikiran ini menurut Hegel merupakan gejolak pemikiran dalam kesadaran tertinggi manusia. Pertentangan dengan rasio yang tidak mutlak kebenarannya, akan tetapi dapat menjadi sebuah jalan keluar sebagai alternatif dari konsep yang telah dipahami selama ini. Dari cara berpikir seperti diatas, muncul pemikiran mengenai antitesis. Menempatkan pemutarbalikan prosedur, menempatkan ketidakpercayaan, memikirkan kemungkinan baru yang mungkin dalam proses berpikir akan mengarahkan kita pada batas kesadaran fenomenal. Batas kesadaran fenomenal ini akan muncul seiring perasaan skeptis yang tidak lain merupakan manifestasi dari rasa putus asa terhadap pemahaman, pengertian, pendapatpendapat normatif dan tanpa menghiraukan apakah itu merupakan pemikiran murninya ataukah telah tersangkut paut dengan pemikiran orang lain (Heidegger, 2002). Batas kesadaran fenomenal ini akan membantu memunculkan sebuah pranala konsep atau pengetahuan (bukan ilmu pengetahuan). Dimana ketika nantinya diuji diharapkan konsep ini akan memenuhi hasrat untuk mendapatkan sebuah kebenaran yang mana tetap terjadi dualisme. Apakah konsep dalam kesadaran ini akan mengguncang konsep pengetahuan yang telah tertanam dalam benak kita, ataukah kebenaran akan menggubah 64
gugusan konsep pengetahuan dalam alam bawah sadar kita (Heidegger, 2002). Proses penyusupan konsep kesadaran ini tentunya wajib diikuti oleh pemahaman ke tidak niscayaan akan sesuatu yang absolut dalam pengetahuan, karena akan membelenggu dan menyudutkan kesadaran yang muncul dalam diri kita. Pemahaman ilmu pengetahuan sebagai sebuah media, sebuah instrumen aktif bagi diri kita untuk mencari kebenaran akan mempermudah proses mediasi menuju kebenaran (Heidegger, 2002). Akan tetapi, usaha kritis penyusunan konsep kesadaran menggubah pengetahuan yang ada bukanlah upaya memungkiri yang absolut, akan tetapi menilik dan mengkaji konsep kebenaran yang selama ini telah ada lalu menyandingkan, mengasosiasikan dengan realitas kesadaran yang muncul dalam benak kita. Oleh karenanya jika ilmu pengetahuan digunakan sebagai media aktif untuk menguji sebuah konsep kesadaran, maka akan terjadi proses yang memiliki koridor fleksibel namun sekaligus menjadi titik awal eksplorasi dari konsep kesadaran tersebut. Artinya ilmu pengetahuan akan digunakan sebagai alat uji, yang sekaligus menjadi landasan berpikir ataupun argumen pendukung bagi konsep kesadaran. “Only that which is simple constitutes a beginning” Hegel dalam Science of Logic diapdopsi Hollier, 1992
Proses pengujian konsep kesadaran dapat terjadi dan dilakukan apabila diketahui titik awal dari konsep nya secara utuh. Hal ini merupakan sebuah akibat dari konsep kesadaran yang merupakan proses pencarian kebenaran berdasar pada penelusuran origin;
Nurwahyu, Kajian Antitesis Hegelian dalam Arsitektur
origin yang dijadikan sebagai hal yang mendasari sebuah ke-berada-an. Hegel melihat absolut sebagai sebuah permulaan yang kompleks, sesuatu yang sebenarnya bisa dipecah dan ditelusuri untuk dicari asal mulanya, wujud origin nya. Untuk mendapatkan sebuah origin, Hegel memandang beberapa aspek yang penting dan berkaitan dengan penelusuran sebuah materi dari non-materi. Aspek-aspek yang dimaksud merupakan aspek kesejarahan, konsep, kronologi, logika, fakta dan hukum yang ada (Hollier, 1992). Dari runtutan kejadian inilah maka muncul antitesis.
merupakan sebuah proses memikirkan kemungkinan baru, maka antitesis tidak dimaksudkan untuk semata-mata menjadi oposisi dari tesis – akan tetapi proses penilikan kembali terhadap tesis. Proses penilikan kembali terhadap dasar keberadaan dari sebuah tesis beserta hal yang menyebabkan wujud dari ke-berada-annya. Sehingga dapat ditarik sebuah pendefinisian antitesis menurut Hegel, bahwa antitesis adalah bagian dari proses pemikiran yang mempertanya-kan keberadaan tesis melalui dasar keberadaannya dan aspek-aspek yang menyertainya.
Setelah melalui penjabaran singkat mengenai kemunculan antitesis berdasarkan dialektika kesadaran Hegel, lalu apakah definisi antitesis sebenarnya bagi Hegel? Sebelum menjabarkan definisi antitesis menurut Hegel, mari kita tilik definisi dari Hegel menurut intepretasi dari orang lain.
Dari kajian pustaka mengenai antitesis Hegel di atas, dapat diringkas menjadi beberapa pernyataan kunci sebagai berikut:
“…2. Pada Fichte dan Hegel “antitesis” merupakan hal kedua dari 3 serangkai (triade), yang melawan tesis. Oposisi dari tesis dan antitesis dipecahkan oleh sintesis, hal ketiga dari tiga serangkai itu” Bagus, 1996
Menilik dari pendefinisian antitesis di atas, dapat kita ambil sebuah simpulan awal bahwasanya antitesis merupakan satu dari tiga bagian dalam proses triade yang mana akan diakhiri atau disimpulkan melalui sebuah sintesa, dimana antitesis ini dipastikan sebagai bentuk oposisi yang menentang tesis. Akan tetapi jika dikembalikan dari runtutan proses pemikiran Hegel dalam dialektika kesadarannya, definisi tersebut tidaklah sepenuhnya tepat (bagi Hegel). Karena dalam pemikiran Hegel, disebutkan bahwa antitesis juga
1. Antitesis merupakan hasil dari proses berpikir yang dilandasi kesadaran manusia dan menyebabkan beda antara obyek satu terhadap obyek lainnya. 2. Antitesis merupakan entitas mandiri di luar tesis yang dapat digunakan sebagai bahan pengujian tesis namun sekaligus juga hasil dari pengembangan tesis. 3. Antitesis akan didapati melalui pemutarbalikan prosedur, menempatkan ketidakpercayaan terhadap keabsolutan dan memikirkan kemungkinan baru. 4. Antitesis adalah hasil dari upaya kritis menanggapi tesis bukan upaya memungkiri tesis, dengan menilik dan mengkaji tesis yang diposisikan sebagai konsep kebenaran yang telah ada, melalui realitas kesadaran yang muncul dalam benak kita. Artinya antitesis tidak semata-mata ditujukan sebagai oposisi dari tesis. 5. Antitesis membutuhkan pengetahuan mengenai origin dari tesis, sehingga antara tesis dan antitesis 65
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 61-74
memiliki kesetaraan sebagai syarat dari sebuah dialog untuk mendekati kebenaran. Antara Beginning dan Origin dalam Arsitektur Definisi antitesis merupakan hasil dari tindak mempertanyakan keberadaan tesis melalui dasar keberadaannya dan aspek-aspek yang menyertainya. Perlu diingat juga bahwa antitesis merupakan satu bagian dari sistem triadik yakni tesis-antitesis-sintesa. Jika arsitektur merupakan topik dalam berbicara mengenai antitesis, maka dibutuhkan penjelasan mengenai aspek-aspek penentu dalam menghasilkan antitesis pada topik arsitektur. Dengan demikian antitesis yang sebelumnya berada dalam ranah filsafat dapat digunakan dalam topik bahasan arsitektur. Dengan diketahuinya antitesis sebagai hasil dari pengembangan tesis bukan sekedar pertentangan dari sebuah tesis, maka selayaknya kita meninjau apakah sebuah antitesis dalam arsitektur dapat hadir tanpa tesis. Jika kita meninjau sebuah antitesis sebagai hasil pengembangan dari sebuah tesis, maka bisa dikatakan bahwa antitesis memiliki perbedaan dan juga kesamaan dengan tesis. Dan bagi tesis, antitesis memiliki hal yang malih dan juga ajek terhadapnya. Malih di sini diartikan berubah dari tesis baik dari segi wujud maupun manifetasi dari wujud, sedangkan ajek diartikan tetap pada kriteria yang dimiliki tesis baik dari segi wujud maupun manifestasi dari wujud tesis. Keajekan ini dikatakan oleh Hegel sebagai origin; sebagai pengikat atau kesamaan antara tesis terhadap antitesis (Hollier 1992). Artinya, origin merupakan hal yang ajek ditemui pada tesis dan antitesis. Apakah origin dapat disetarakan dengan sebuah beginning? Tentu saja 66
tidak. Jika kita meninjau sebuah beginning sebagai sebuah origin, maka hasil yang didapatkan tentu merupakan perulangan semata. Karena beginning merupakan sebuah entitas mandiri yang memiliki origin sendiri. sehingga dapat dikatakan bahwa sebuah beginning pun memiliki origin. Artinya origin merupakan entitas yang lebih kecil daripada beginning. Jika demikian, maka origin satu arsitektur dengan arsitektur lainnya tidak selalu sama, namun belum tentu juga bertentangan ataupun berbeda. Dari pernyataan Hollier dalam menanggapi Hegel di atas, maka dapat diringkas menjadi beberapa pernyataan kunci sebagai berikut: 1. Origin merupakan hal tunggal yang ajek ditemui pada tesis dan antitesis. 2. Origin berbeda dari beginning, origin merupakan entitas yang lebih kecil dari beginning. Dinamika dalam Arsitektur Arsitektur merupakan entitas yang gayut dengan fashion. Gayutnya arsitektur terhadap fashion ini menyebabkannya berubah seiring zaman. Akan tetapi perubahan ini bukan hanya pada tampian semata, melainkan konsisten pada tiap elemen arsitektur. Perubahan seiring zaman ini dapat ditinjau pada perkembangan arsitektur mulai zaman neo litikum hingga era arsitektur pasca postmodern kiwari ini. Kebutuhan terhadap perubahan merupakan tuntutan yang sudah sewajarnya dipenuhi dalam segala aspek kehidupan, begitu pula bagi arsitektur. Perkembangan arsitektur merupakan imbas dari adanya evolusi maupun revolusi pada kehidupan manusia sebagai pengangan, pembuat, pengguna, pemikir maupun penikmat
Nurwahyu, Kajian Antitesis Hegelian dalam Arsitektur
arsitektur. Simak saja pada malihnya pandangan arsitektur klasik menuju arsitektur modern. Keberadaan revolusi industri pada sebagian besar wilayah di benua Eropa berimbas pada paradigma ber-arsitektur dari yang simbolik romantik menjadi pragmatik. Lalu dari modern menjadi post modern yang berambisi mengubah pandangan pragmatik dalam arsitektur karena kebosanan. Nature dan nurture manusia menjadi pokok dari perubahan ber-arsitektur yang berimbas pada perubahan arsitektur. Meskipun begitu, pe-langgam-an arsitektur modern maupun klasik ini merupakan satu bentuk tradisi karena sudah berjalan lebih dari satu generasi. Pada tradisi tersebut dapat ditinjau adanya hal-hal yang terulang maupun berubah pada tiap-tiap obyek arsitektur yang ada. Ignasi de Sola-Morales (1996) mengungkapkan kekagumannya pada arsitektur kontemporer sebagai pendobrak paradigma pengulangan terhadap tradisi arsitektur klasik maupun modern. Tradisi ini diubah dengan tanpa mengindahkan tradisi yang ada sebagai hal baku yang perlu untuk diulang. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa arsitetktur yang ada tidak lagi dibutuhkan. Keberadaan arsitektur yang menguikuti tradisi tersebut masih dapat diberlakukan sebagai referensi lintas waktu yang digunakan sebagai pembelajaran. “Similarly, these architectonic types and models are used to synthesize divergent references to past time.” Ignasi de Sola Morales, 1996
Dengan adanya referensi lintas waktu yang telah dihimpun, pengetahuan mengenai tradisi arsitektur yang telah ada dapat dihindari pengulangannya. Pengulangan yang dimaksud tidak serta merta melupakan arsitektur sebagai
entitas yang kompleks, yang jika terdapat kerancuan padanya akan dapat menyebabkannya tak lagi menjadi arsitektur. Perlu ada pembatasan pada pembedaan antar entitas, namun sekaligus perlu juga adanya kesetaraan di antaranya. Ignasi de Sola Morales menyampaikan kesetaraan ini sebagai limit. Limit diungkapkan oleh Ignasi de Sola Morales sebagai berikut: “The limit exists by virtue of the tension between who wish to instrumentalize it and the indefinite into which it disappears.” Ignasi de Sola Morales, 1996
Keberadaan limit menjadi satu batasan (boundary) yang wajib diulang sebagai satu kebakuan yang mengikat entitas satu dengan yang lainnya sebagai entitas yang sahih sebagai arsitektur. Dengan demikian pembedaan pada arsitektur menjadi lebih berbatas dalam pengertian yang memiliki keterikatan dengan limit tersebut. Limit bagi Ignasi de Sola Morales berada pada ambang antara keberadaan yang padanya dapat diberi instrumentalisasi, dan sekaligus tanpa adanya limit tersebut maka eksistensi entitas yang dimaksud tidak lagi ber-ada. Ini menunjukkan bahwa sebuah entitas dapat saja memuat elemen lain selain limit, namun seketika limit tersebut dihilangkan maka seketika entitas tersebut dapat saja di-mal-intepretasikan sebagai entitas lain. Dengan adanya limit ini maka arsitektur menjadi dinamis dalam ke-arsitekturalannya. Antitesis dalam Dinamika Arsitektur Antitesis merupakan entitas tunggal hasil dari proses berpikir dialektis. Proses berpikir yang dimaksud adalah siklus berpikir yang berlanjut demi mencapai atau setidaknya mendekati kebenaran. Dalam mendekati 67
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 61-74
kebenaran dibutuhkan dialog. Hegel mengkonstruksikan dialog secara lebih sederhana menjadi malihan tiga entitas. Sebuah tesis dikonfrontasi oleh antitesis untuk lebih lanjut digunakan untuk membentuk sintesa. Sintesa ini sendiri nilai kebenarannya sangat mungkin tidak mutlak, akan tetapi setidaknya lebih mendekati kebenaran dibandingkan tesis di awal. Lantas sintesa diposisikan kembali menjadi sebuah tesis yang kemudian dikonfrontasi kembali oleh antitesis dan tahapan tersebut dilakukan kembali secara berkelanjutan sebagaimana di intepretasikan oleh Sorensen, (2003).1 Dengan demikian, secara gamblang antitesis merupakan satu entitas pembanding dalam dialog dengan tesis untuk merumuskan sintesa baru. Maka antitesis menjadi entitas tunggal yang berbeda dari tesis. Dengan sifat tunggalnya, antitesis berbeda terhadap tesis secara signifikan, akan tetapi ada batasan yang harus dimunculkan sebagai kesetaraan dari dua hal tersebut. Tanpa adanya kesetaraan dalam dan di antara keduanya, maka dialog tidak dapat dilakukan. Katakan saja secara sederhana raja tidak dapat berdialog dengan merpati karena keduanya tidak memiliki kesetaraan untuk dapat berdialog, namun seorang raja dapat berdialog dengan punggawa. Keadaan sama sekali berbeda antara kedua entitas tidak dapat diharapkan untuk berdialog.
1
Pendapat Sorensen menjadi penegasan bahwa tidak ada sintesis yang secara murni dan utuh bertahan secara ajek. Sintesis, bagaimanapun dalam dialektika akan menjadi entitas yang tidak stabil dan akan menemui kondisi yang lebih utuh melalui dialog yang berkelanjutan. Lebih rumit dibandingkan dengan yang dikemukakan oleh Hegel.
68
Dialog menjadi hal yang paradox karena entitas yang terlibat diharuskan setara namun berbeda. Artinya butuh adanya batasan untuk menentukan kedua entitas tersebut agar dapat berdialog. Dalam pemikiran Hegel, batasan ini sendiri diwakili oleh origin; sebagai titik berangkat atau asal. Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa origin berbeda terhadap beginning. Origin lebih berpusat pada pembatasan identikal entitas, bukan representasi maupun manifestasi meskipun dapat terrepresentasi maupun termanifestasi kan. Beginning yang paling sederhana pun, tidak dapat memiliki kesederhanaan yang dapat serta merta digunakan sebagai origin. Artinya beginning bukan merupakan origin meskipun mampu merepresentasikan origin. Origin pada satu entitas berbeda dengan entitas lain. Jika dalam arsitektur, agaknya origin menjadi Hegel secara serta merta memposisikan simbol sebagai origin akibat kerancuan terhadap pola pikirnya sendiri. Kesadaran dalam memposisikan tujuan dan maksud (means) dan kenyataan pada akhirnya (ends) agaknya dilupakan oleh Hegel.2 Semestinya dengan cara berpikir Hegel yang memposisikan realita dan persepsi secara berbeda, sudah seharusnya Hegel menyadari perbedaan antara maksud dan kenyataan pada akhirnya. Jika Hegel menyadari perbedaan ini, maka Hegel akan dapat mengkonstruksikan origin secara konsisten baik dalam maksud dan kenyataan yang terjadi. 2
Hegel yang awalnya memposisikan means sebagai pusat perhatian, membahas dengan menggunakan ends sebagai pusat perhatiannya, yakni arsitektur sebagai tempat manusia berkumpul, sedangkan means menjadi sama sekali dilupakan oleh Hegel.
Nurwahyu, Kajian Antitesis Hegelian dalam Arsitektur
Pada arsitektur, adanya „maksud‟ dan „kenyataan yang terjadi‟ menjadi fenomena pembelajaran. Bagaimana tidak, arsitektur yang termanifestasi dalam obyek bisa jadi memiliki „maksud‟ dan „kenyataan yang terjadi‟ yang sangat berbeda. Perbedaan tersebut bisa jadi menjadikan obyek arsitektur sebagai sebuah kegagalan. Kegagalan ini dapat menjadi sebuah preseden bias antara maksud terhadap kenyataan. Dengan adanya preseden dari beda antara maksud terhadap kenyataan ini lantas arsitektur menjadi entitas yang dinamis, senantiasa mengalami pergerakan. Pergerakan ini sendiri tidak hanya muncul dari pembelajaran terhadap kegagalan, namun juga karena hasrat manusia terhadap inovasi. Dengan munculnya pergerakan dalam arsitektur, lantas menjadikan arsitektur menjadi entitas yang dinamis. Arsitektur wajib berubah jika ada suatu kondisi yang berubah atau muncul gejala baru. Pada akhirnya simpulannya mengenai origin menjadi bergeser dari fokus bahasan awalnya. Means di sini tidak dimaksudkan sebagai „cara‟ karena Hollier memposisikan means dan ends secara linier. Means dianggap sebagai peraduan kepada tuhan sedangkan ends dianggap sebagai tempat berkumpul.
dengan kekinian merupakan sebuah kepastian. Lantas hal baru ini menjadi antitesis dari yang lampau atau yang sudah ada sebelumnya. Kita tidak hanya berbicara mengenai pembedaan langgam -lebih dari itu, identitas antar individu arsitektur sudah sewajarnya berbeda. Lantas mengapa kita perlu meninjaunya dari sudut pandang antitesis Hegel? Karena Hegel memposisikan realita sebagai hal yang dinamis (Sorensen, 2003).
Percontohan dinamika dalam arsitektur ini dapat kita lihat pada munculnya gerakan arsitektur modern yang muncul sebagai respon dari revolusi industri. Dengan demikian arsitektur yang awalnya berdiri dalam lingkup pemikiran klasik yang simbolis dan romantis beringsut secara signifikan menjadi arsitektur modern yang cenderung pragmatis dan ekonomis. Kondisi dinamis yang demikian jika ditinjau dari dialektika Hegel adalah sebuah kewajaran. Kemunculan hal baru sebagai hasil dari pemikiran yang meninjau hal lampau dibandingkan
Dalam dialog, yang dibutuhkan adalah pembicara dan lawan bicara. Pembicara bisa dikatakan sebagai yang membuka pembicaraan, sedangkan lawan bicara adalah sebagai yang menanggapi pembicara. Meninjau dari segi waktu, maka pembicara adalah yang lebih dulu melontarkan pernyataan atau pertanyaaan untuk kemudian lawan bicara menanggapinya dan begitu seterusnya. Akan tetapi dalam berdialog, penggal pembicaraan bisa jadi mengalami pergeseran topik sehingga posisi lawan bicara justru
Dengan kepastian bahwa arsitektur adalah hal yang dinamis, maka cara pandang Hegel bersesuaian untuk digunakan dalam meninjau dan merancang arsitektur.
Antitesis dan Dialog Arsitektur Arsitektur sebagai entitas yang dinamis secara jelas mengandung perbedaan antara satu sama lain. Dengan kondisi yang demikian maka sudah sepatutnya untuk menemui kesepakatan mengenai “arsitektur” dan “bukan arsitektur” sebagai tolok ukur kesetaraan dalam dialog. Tanpa adanya kesetaraan, maka tidak akan ada dialog bisa saja yang terjadi adalah epilog maupun sekedar prolog ataupun monolog.
69
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 61-74
menjadi pelontar pernyataan atau pertanyaan yang lantas ditanggapi oleh pembicara. Dengan demikian, dalam sebuah dialog antara pembicara dan lawan bicara posisinya bisa jadi bertukar, bergantung pada penggal dialog per topik bahasan. Begitu pula jika arsitektur diposisikan sebagai sebuah diskursus melalui dialog. Antara pembicara dan lawan bicara butuh dijelaskan entitasnya masing-masing, sehingga dapat terjadi dialog. Jika kita memposisikan antitesis yang masih berada di ranah filsafat secara langsung dalam dialog arsitektur, maka jelas tidak akan ada dialog, yang ada hanyalah dua prolog linear atau epilog pengantar satu sama lain. Maka dibutuhkan tindak penyetaraan antitesis ke dalam ranah arsitektur. Penyetaraan ini dapat dilakukan dengan meninjau karakter antitesis sebagai lawan bicara dibandingkan dengan perbedaan dalam arsitektur. Sehingga arsitektur di sini ditinjau sebagai konsistensi yang mengalami malihan. Antara arsitektur satu dan lainnya pasti malih karena tiap arsitektur pasti spesifik. Yang tidak spesifik bisa dinyatakan sebagai bukan arsitektur. Malihan sendiri bisa berada dalam rentang waktu maupun jarak. Jika kita meninjau perubahan dalam rentang waktu dan jarak, maka kita meninjau arsitektur layaknya sebuah perjalanan. Dalam sebuah perjalanan, arsitektur mengalami pergeseran-pergeseran menuruti sudut pandang manusia sebagai subyek penentu. Lantas arsitektur yang dilalui menjadi sebuah pelajaran dalam melanjutkan perjalanan. Jika demikian, maka pandangan manusia tak akan sama dari waktu ke waktu, dari tempat satu ke tempat lain.
70
Snodgrass dan Coyne (2006) menyatakan arsitektur sebagai bildung. Bildung didefinisikan sebagai pematangan diri dalam bahasa jerman. Bildung sendiri merupakan cara terlayak manusia untuk mengembangkan potensi dan kapasitas natural. Pernyataan ini dilandasi oleh pernyataan Hegel yang dikutip oleh Gadamer dalam Snodgrass dan Coyne (2006) berikut: “When a man gives himself over to work so wholly that it becomes distanced from his personal need and private desires, he not only allows what he makes to assume its own form but does the same to himself. In the selfness of serving, he becomes himself more fully.”
Ide utama pernyataan Hegel adalah bahwa dalam bildung satu entitas menawarkan dirinya pada entitas lain, namun secara bersamaan menjadikan entitas pemberi menjadi lebih menjadi dirinya sendiri. Artinya dengan melepas diri kepada diri lain, kita akan mendapatkan manfaat yakni menjadi lebih utuh. Melepas diri di sini dapat diartikan pergi ke tempat lain yang asing. Dengan proses yang demikian maka arsitektur juga menjadi lebih utuh dengan sendirinya. Dapat dibayangkan bahwa dalam perjalanan arsitektur ini tidak akan ada pemberhentian yang ajek. Yang ada hanyalah tempat pemberhentian sementara layaknya pada stasiun. Perjalanan akan berlanjut untuk menjadikan arsitektur lebih utuh lagi. Inilah sebabnya kita tidak diijinkan untuk berpuas diri pada langgam tertentu. Dengan meng-ajekkan arsitektur pada langgam tertentu, maka arsitektur tak lagi dinamis – tak lagi mendekati keutuhan. Perjalanan arsitektur untuk mendekati arsitektur yang utuh tak dapat dipungkiri menjadikan arsitektur satu
Nurwahyu, Kajian Antitesis Hegelian dalam Arsitektur
dan arsitektur lain sebagai stasiun pemberhentian sementara yang berbeda-beda. Lantas dengan beda ini apakah arsitektur berpaling menjadi arsitektur yang bukan arsitektur? Jika demikian maka perjalanan ini tidak lagi menjadi milik arsitektur, melainkan perjalanan yang bukan arsitektur. Perlu diingat keadaan beda ini harus memiliki satu benang merah yang tebal sebagai yang mempertahankan keberlangsungan dialog. Sehingga jika kita butuh untuk menjadikan individu arsitektur menjadi stasiun pemberhentian sementara, maka kita kita harus mendeskripsikannya tetap sebagai arsitektur, namun berbeda. Jika kita meninjau perjalanan arsitektur sebagai proses yang menimbulkan beda, maka tentu ada hal ajek hingga menjadikan entitas tersebut tetap arsitektur. Malih dan ajek ini perlu dibatasi, apa-apa yang harus ajek untuk dapat dikatakan sebagai arsitektur dan apa-apa yang dapat dan perlu malih sebagai arsitektur yang bildung. Dengan meninjau malih dan ajek dalam arsitektur ini tampaknya kita dapat merujuk perihal antitesis kepada architecture of repetition and difference dari Ignasi de Sola-Morales. Arsitektur yang Berbeda sebagai Antitesis dalam Arsitektur Dalam Sykes (2010), kata antitesis digunakan untuk menimbulkan kesenjangan antara arsitektur seharihari terhadap karya rancang Gehry. Sykes mengutarakan kesenjangan antara arsitektur sehari-hari dengan arsitektur Gehry dari kacamata keseharian yang sifatnya biasa, tipikal dan lokal terhadap yang monumental dan atau ikonik. Dari persepsi yang demikian lantas apakah arsitektur satu sama lain hanya berbeda dalam hal keseharian dan tidaknya? Tentu saja tidak. Pemikiran ini akan menyebabkan
keterjebakan terhadap satu pandangan tertentu. Artinya dalam kasus ini seorang arsitek akan terbelenggu hanya pada lokalitas saja. Bisa jadi upaya Gehry yang menghadirkan karakter monumental tersebut justru untuk mengembangkan area lokal di mana rancangannya ditempatkan. Jika demikian, bukankah Gehry justru bersifat loyal terhadap ke-lokal-an tanpa harus terbatas pada yang bersifat lokal? Bagaimanapun, dari pernyataan ini dapat kita lihat bahwa ada beda yang nyata dalam arsitektur. Meski begitu, perbedaan ini tidak muncul secara tiba-tiba dan tanpa prinsip pegangan. Jika semua rancangan dibuat secara semena-mena (arbitrary), maka yang hadir adalah arsitektur tanpa arsitektur, sehingga rancangan tersebut tidak dapat diposisikan sebagai lawan bicara dalam dialog. Arsitektur yang mengulang dan yang berbeda (architecture of repetition and difference) memberi kesan pertanyaan yang terkait langsung dengan subyek dan kemungkinan ontologi yang mendasari obyek.3 Terkait dengan subyek dan ontologi, maka arsitektur perulangan dan perbedaan secara tegas mengungkapkan tautannya dengan cara pikir manusia. Hal ini disebabkan oleh subyek dan dasar ontologi berkutat pada manusia sebagai pelaku aktif dalam menghadirkan kesan dan persepsi, sehingga keaktifan akal pikir manusia menjadi aspek utama yang memberikan penilaian kepada arsitektur entah itu sebagai perulangan atau perbedaan.
3
Morales mengarahkan arsitektur sebagai produk dari manusia yang memiliki memori mengenai obyek dan sekaligus memiliki kemampuan mengembangkannya
71
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 61-74
Dengan dimunculkannya pemikiran architecture of repetition and difference ini maka arsitektur telah dinyatakan sebagai hasil perilaku aktif akal pikir manusia. Tampak bahwa ada benang merah antara architecture of repetition and difference dengan antitesis sebagai yang sama-sama sebuah hasil dari perilaku aktif akal pikir yang berpotensi besar menimbulkan beda terhadap yang lainnya. Antitesis dan arsitektur yang berbeda, merupakan sebuah hasil yang jika dikaitkan dengan bildung, maka menjadi hasil yang akan berubah terhadap yang lampau. Bisa juga hasil ini digunakan sebagai titik berangkat baru dibandingkan yang lampau. Namun bisa jadi hanya menjadi pengetahuan sebagai yang harus ditinggalkan. Dengan dinamika yang demikian, maka antitesis maupun arsitektur yang berbeda dapat menjadi tujuan dan sekaligus titik berangkat perubahan pada yang mendatang. Dengan posisinya sebagai tujuan dan sekaligus titik berangkat, maka antitesis dan arsitektur yang berbeda dapat diperlakukan sebagai hal yang signifikan dalam sebuah proses perancangan. (Bildung) Tesis
Antitesi s
Sintes a
Antitesis diposisikan Antitesis sebagai hasil diposisikan sebagai pembelajaran pembelajar Dialektika berlanjut, sintesa kembali diposisikan sebagai Gambar 1. Antitesis sebagai bildung tesis Sumber: Hasil analisis, 2015
72
(Bildung) Architecture
Difference
Architecture of difference diposisikan sebagai hasil pembelajaran
Architecture
Architecture of difference diposisikan sebagai pembelajar
Dinamika Arsitektur berlanjut
Gambar 2. Architecture of difference sebagai bildung Sumber: Hasil analisis, 2015
Dalam perihal architecture of repetition and difference, dinyatakan oleh Morales sebagai dua hal yang dibatasi oleh limit atau batas. Batas ini dinyatakan sebagai hal yang tidak dapat dieliminasi. Seketika hal tersebut dieliminasi, maka seketika itu pula obyek dinyatakan sebagai bukan arsitektur. Batas ini sekaligus merupakan inti yang dapat dikembangkan. Dengan adanya batas ini, maka ke depannya ada dua kemungkinan yang muncul; apakah sebuah perancangan akan bertolak pada pengulangan batas dan instrumentasinya, ataukah mengulangi batas dengan merubah instrumentasinya. Dari sinilah muncul dua kategori yang kontras namun ambivalen, seperti mencintai namun sekaligus membenci satu hal. Dengan batas yang demikian, maka terdapat kesamaan antara batas yang dibicarakan dalam architecture of difference dengan asal usul (origin) yang dibicarakan dalam antitesis Hegel. Keduanya merupakan hal yang tidak dapat di-eliminasi dan sekaligus menjadi inti yang dapat dikembangkan. Dengan kesamaan pada pencirian yang demikian dapatkah diinduksikan menjadi pernyataan bahwa antitesis dalam arsitektur adalah architecture of difference? Jika kita meng-analogi-kan antitesis dengan arsitektur yang
Nurwahyu, Kajian Antitesis Hegelian dalam Arsitektur
berbeda (architecture of difference) sebagai hasil pikir dalam dua ranah yang berbeda – arsitektur dan filsafat –, maka kita akan mendapati bahwa keduanya adalah setara. Arsitektur yang berbeda merupakan „antitesis‟ yang berada dalam ranah arsitektur.
Kesimpulan Arsitektur perbedaan dan antitesis sama-sama merupakan hasil perilaku aktif akal manusia yang berpotensi besar menimbulkan beda terhadap yang lainnya. Dengan diposisikannya arsitektur perbedaan sebagai tujuan sekaligus titik berangkat, maka tampak adanya kesamaan dengan antitesis dalam sebuah bildung. Antitesis menjadi tujuan dan sekaligus titik berangkat. Keduanya dapat menjadi hal yang signifikan dalam proses perancangan. Antitesis dan arsitektur yang berbeda, keduanya perlu dibatasi sebagai upaya mempertahankannya dalam dialog. Antitesis dibatasi oleh origin, sedangkan arsitektur yang berbeda dibatasi oleh limit. Keduanya merupakan dua hal yang sama-sama tidak dapat di-eliminasi dan sekaligus menjadi inti yang dapat dikembangkan. Penelitian ini dapat dikembangkan dan diperdalam terlebih dahulu pada elemen dan aspek-aspek terkait, untuk dapat digunakan sebagai landasan praktis baik dalam mengapresiasi maupun merancang arsitektur.
Terima Kasih Kepada Tuhan YME beserta rasul dan tuntunannya yang selalu menjadi pedoman hidup. Papa (alm.) dan mama yang senantiasa mendukung dalam berbagai bentuk untuk menuntut ilmu lebih jauh dan lebih dalam. Kakakkakak yang senantiasa memotivasi
dalam segala aspek. Istri yang setia mendampingi dan memberi semangat yang luar biasa. Mertua yang selalu mendoakan dan memberikan dukungannya. Ir. Murni Rachmawati, MT dan Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Ars yang bersedia dengan ikhlasnya menuntun dalam mengkonstruksikan pemikiran dan memberikan kritik yang membangun dan rekan-rekan Pasca sarjana ITS yang telah menyediakan waktu untuk berbagi pemikiran. Para reviewer (peninjau) dan redaksi yang telah memfasilitasi kehadiran tulisan ini di tengah pembaca.
Daftar Pustaka Attoe, W. (1978). Architecture and critical imagination. Cichester: John Wiley and Sons. Bagus, L. (1996). Kamus filsafat. PT. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Benjamin, A. E. (2001). Architectural Philosophy. London: The Athlone Press. Heidegger, M. (2002). Dialektika kesadaran, perspektif Hegel. Yogyakarta: Ikon Teralitera. Hollier, D. (1992). Against architecture: The writings of George Bataille. London: The MIT Press. Kaufmann, W. A. (1996). Hegel: Reinterpretation, texts, and commentary. London: Weidenfeld & Nicolson. Morales, I.S., Whiting, S., Thompson, G. (1996). Differences: topographies of contemporary Aachitecture. London: The MIT Press. Snodgrass, A. dan Coyne, R. (2006). Interpretation in architecture: Design as a way of thinking. Oxon: Routledge.
73
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 61-74
Sorensen, R. (2003). A brief history of the paradox and the labyrinths of mind. New York: Oxford University Press. Sykes, A. K.. (2010). Constructing a new agenda: Architectural theory 1993-2009. New York: Princeton Architectural Press.
74
RELASI STRUKTUR MASYARAKAT DAN TATA ZONASI PERMUKIMAN ADAT DI DESA NGGELA, ENDE-FLORES Fabiola T.A. Kerong Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Flores (Uniflor) Email:
[email protected]
Abstrak Permukiman adat di Desa Nggela merupakan salah satu permukiman adat yang masih bertahan keasliannya di Kabupaten Ende-Flores dan merupakan tempat tinggal dari para pemimpin adat yang tergabung dalam suatu struktur masyarakat dan terdapat juga zona-zona yang membagi permukiman adat ini menjadi beberapa wilayah. Penelitian ini akan mencari tentang relasi antara struktur masyarakat dan tata zonasi di permukiman adat ini dan faktor-faktor lain yang mendukung relasi antara kedua hal tersebut. Metode kualitatif dengan pendekatan secara naturalistik hasil penelitian ini menemukan adanya pengaruh struktur masyarakat terhadap tata zonasi permukiman adat. Selain dari pada itu, ada faktor-faktor lain yang berpengaruh pada tata zonasi yaitu faktor kosmologi, sejarah, proteksi, aktivitas, dan teritori elemen-elemen sakral. Kata kunci: Permukiman adat di Desa Nggela, struktur masyarakat, tata zonasi
Abstract Title: Community Structure and Zone System Relationship of Nggela Traditional Settlement at Ende, Flores
Nggela traditonal housing in one of the indigenous settlements that still persist authenticity in Ende-Flores. The traditional leaders who are members of a community structure still exist there and this indigenous settlements are divided into some districts. This study attempts to grasp the relationship between the community structure and zoning, furthermore are there other factors that influencing those relationship. This study applied qualitative methods with naturalistic approach. This study found that the community structure influence zoning system, together wioth other factors, like cosmology, history, protection, activities and sacred territory elements. Keywords: The tradition settlement in Nggela, society structure, zoning system
Pendahuluan Desa Nggela merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten Ende Propinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya Desa Nggela berada di wilayah Kecamatan Wolojita dengan jumlah penduduk sesuai perhitungan di tahun 2011 berjumlah 1120 jiwa (BPS Kabupaten Ende, 2012: 5). Desa ini memiliki permukiman adat yang hanya
dihuni oleh orang-orang yang memiliki posisi dan peran yang penting bagi kehidupan masyarakat Nggela yang tergabung dalam struktur masyarakat. Selain dari pada itu, dalam permukiman adat ini terdapat zonazona yang membagi permukiman adat ini menjadi beberapa wilayah. Pola permukiman adat di Kabupaten Ende selalu dilihat dalam hubungan dengan tempat asal manusia pertama 75
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 75-92
Suku Ende-Lio yaitu Gunung Lepembusu. Berdasarkan pertimbangan inilah ujung permukiman adat Suku Ende-Lio selalu mengarah ke Gunung Lepembusu dan arah berlawanan mengarah ke daerah paling rendah yaitu lautan. Sesuai pertimbangan kosmologis yang mempertahankan keseimbangan antara dua titik ekstrim, dan kaitannya dalam permukiman yaitu ulu (kepala) dan eko (hilir) dan terdapat puse (pusat) sebagai pusat permukiman adat. Ulu dihubungkan dengan matahari terbit atau ke arah gunung Lepembusu sedangkan eko ke arah matahari terbenam atau berlawanan dengan gunung tempat asal-usul nenek moyang Suku Ende (Mbete dkk, 2008: 131). Permukiman adat Desa Nggela terdapat Mosalaki-Mosalaki/pimpinan adat yang berjumlah 16 orang dengan 14 rumah adat dan terdapat juga rumah-rumah adat yang merupakan rumah adat pendukung yang biasanya merupakan keturunannya. Terkait dengan tata zonasi di permukiman adat, dalam Baja mengatakan bahwa fungsi dari zonasi membantu pengguna/pengambil keputusan ruang untuk dapat mengidentifikasi dan mengenal perbedaan yang ada dalam suatu ruang wilayah/kawasan (Baja, 2012: 85). Dalam permukiman adat di Desa Nggela zona-zona sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka dan masih dipertahankan sampai sekarang. Seperti yang diungkapkan oleh Snyder dan Catanese bahwa dalam masyarakat tradisional yang khususnya pada mula terbentuknya suatu hunian, penataannya sering didasarkan pada hal yang suci, karena religi dan ritual menjadi pusat, sehingga tempat tinggal atupun permukiman yang terbentuk dapat menunjukan suatu makna yang berarti (Snyder dan Catanese, 1984: 18). 76
Adanya struktur masyarakat dan tata zonasi dipermukiman adat ini sangat menarik untuk ditelusuri lebih dalam, sehingga dalam penelitian ini hal-hal yang yang akan dicari adalah relasi antara struktur masyarakat dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela dan faktor-faktor lain yang membentuk tata zonasi permukiman adat. Teori yang digunakan sebagai konsep dasar dalam membahas fenomena ini adalah teori semiotika yang dipelopori oleh Saussure. Saussure dalam Budiman mengatakan bahwa semiotik merupakan suatu ilmu umum yang mempelajari tentang tanda-tanda dalam kehidupan masyarakat (Budiman, 2011: 1). Adanya sistem petanda dan penanda Saussure dalam Barthes memberikan penekanan pada kandungan mental dari petanda dengan menyebutnya sebagai konsep, dan satusatunya hal yang membedakannya dari penanda adalah bahwa penanda merupakan mediator (Barthes, 1994: 36-37). Teori semiotika ini dapat digunakan untuk melihat pola pemukiman dari aspek ruang, bentuk, dan permukimannya secara konsep ruang, keyakinan masyarakat, fungsi, dan aktivitasnya. Selain teori semiotika digunakan juga teori spasial. Teori ini dipakai untuk melihat aspek fungsional dari pembagian ruang dan fungsinya serta aktivitas yang dilakukan di dalamnya yang kemudian dikaitkan dengan distribusi tata ruang fungsi-fungsi, hubungan ketataruangan. Selain dari pada itu, aspek fisik yang dilihat adalah objek fisik yang dikaitkan dengan distribusi bentuk fisik rumah-rumah adat, elemen-elemen yang dikeramatkan, dan ruang luar yang terbentuk.
Kerong, Relasi Struktur Masyarakat dan Tata Zonasi Permukiman Adat ...
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan secara naturalistik, karena lebih mampu mengungkap realitas ganda; lebih mengungkapkan hubungan wajar antara penetliti dengan responden; dan karena metode kualitatif lebih sensitif dan adaptif terhadap peran berbagai pengaruh timbal-balik (Muhadjir, 1996: 113). Menurut Masyhuri dan Zainuddin bahwa data yang diperoleh dapat berupa naratif, deskriptif, dalam katakata mereka yang diteliti, dokumen pribadi, catatan lapangan, dan artifak (Masyhuri dan Zainuddin, 2008: 17). Struktur masyarakat dilihat dari hierarki, kronologi terbentuknya struktur organisasi ini, serta peran masing-masing anggota di dalamnya. Tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela yang dilihat dari beberapa aspek yaitu sejarah, orientasi, hierarki ruang luar, kepercayaan, topografi, dan kondisi alam. Teknik pengambilan sample dalam penelitian ini yaitu dengan purposive sampling yang dilanjutkan dengan teknik snowball sampling. Sejarah Permukiman Adat di Desa Nggela Di awal kisah diceritakan bahwa A (panggilan untuk laki-laki) Nggoro, isterinya Ni (panggilan untuk wanita) Mbuja serta keempat anaknya merupakan keluarga pertama yang membuka lahan di Desa Nggela sebagai tempat tinggal mereka. Setelah beberapa waktu A Nggoro akhirnya membangun dua rumah lagi untuk anak-anaknya (Wora, 2008: 6 ). Setelah itu mulai berdatangan keluarga A Tua, A Meko, dan A Ame Ndoka yang kemudian membangun rumah disekitar rumahnya A Nggoro. Mereka kemudian membangun sebuah altar dari tumpukan batu-batu yang dijadikan
tempat untuk melakukan upacaraupacara adat yang berlokasi di tengahtengah kampung kecil ini yang biasa disebut dengan Kanga Ria. Setelah beberapa tahun kemudian sebuah kapal dari dari Jawa yang yang dikepalai oleh A Jaya berlabuh di pantai Nggela dan secara tidak sengaja bertemu dengan Ni Nggela yang merupakan anak dari A Nggoro. Terjadi kesalahpahaman maka A jaya harus menikah dengan Ni Nggela dan membangun rumah di Selatan dari rumah-rumah sebelumnya dan berada di depan dari rumah tinggal Ni Nggela. A Nggoro yang melihat kecerdasan dari A Jaya akhirnya menyerahkan kekuasaan untuk memimpin upacaraupacara adat kepada A jaya. Pada abad ke-16 bangsa Portugis masuk ke Indonesia dan pada saat masuk ke pulau Flores dan karena perang yang terjadi saat itu, mereka melarikan diri sampai pada pantai Nggela dan masuk sampai ke Desa Nggela. Mereka kemudian meminta izin kepada pimpinan Desa saat itu untuk tinggal dan menetap di Desa Nggela, setelah diberi izin oleh pemimpin Nggela saat itu, kemudian mereka menjemput keluarga yang berada di Malaka untuk ikut menetap di Desa Nggela. Bangsa Portugis kemudian menempati wilayah di sebelah Selatan dari rumah A jaya yang sudah menjadi pemimpin saat itu. Permukiman Adat di Desa Nggela Desa Nggela khususnya wilayah permukiman adatnya merupakan kawasan budidaya daerah permukiman (BAPEDA Kabupaten Ende, 2011). Desa Nggela ini dipimpin oleh seorang kepala desa, dan juga seorang pemimpin adat yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan Mosalaki Ine Ame. 77
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 75-92
U
Gambar 1. Lokasi Desa Nggela Sumber: BAPEDA Kabupaten Ende
Secara geografi, batas Desa Nggela sebelah utara oleh Desa Pora, sebelah timur dibatasi oleh sungai yang biasa disebut dengan Ae Wala dan Desa Wologawi, sebelah selatan dengan Laut Sawu, dan sebelah barat dengan sungai yang biasa disebut dengan Ae Ba‟i dan Desa Nuamulu. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Masyarakat Nggela pada umumnya memeluk agama Katolik, namun sebelum masuknya agama Katolik masyarakat Desa Nggela menganut kepercayaan animisme. Permukiman adat ini telah dipasang pipa-pipa untuk didistribusikan ke rumah-rumah untuk mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan air. Sumber air yang mengalir ke permukiman adat ini berasal dari mata air Ae Wando yaitu salah satu mata air yang ada di Desa Nggela. Selain dari pada itu ada juga mata air yang biasa disebut Ae Nggela. Air ini tidak didistribusikan ke permukiman adat karena posisi Ae Nggela ini berada pada ketinggian yang lebih rendah dari pada permukiman adat. Selain kedua mata air ini dan pendistribusiannya ke permukiman adat, untuk penerangan pada malam
78
hari, listrik sudah dipasang pada tiap rumah adat di permukiman adat ini. Dalam permukiman adat ini terdapat beberapa elemen-elemen yang pada umumnya dikeramatkan oleh masyarakat karena faktor peninggalan dari nenek moyang mereka. Elemenelemen dalam permukiman adat ini adalah sebagai berikut: (1) 14 buah rumah adat inti; (2) tujuh buah rumah adat pendukung; (3) 16 buah rumah penduduk biasa; (4) Kanga Ria (tempat upacara adat yang terdapat kuburan nenek moyang dan Tubumusu sebagai lambang dari kehadiran Allah); (5) Puse Nua (simbol pusat dari permukiman adat); (6) Rate Lambo (kuburan nenek moyang yang berbentuk perahu); (7) Kopo Kasa (pagar batu sebagai pembatas permukiman adat). Selain dari pada itu terdapat juga beberapa batu yang tersebar di sekitar ruang luar permukiman adat yang dikeramatkan dan tidak boleh diinjak ataupun disentuh oleh siapapun. Berikut ini adalah kondisi dari permukiman adat di Desa Nggela: 1. Orientasi permukiman Nggela.
dan adat
topografi di Desa
Kerong, Relasi Struktur Masyarakat dan Tata Zonasi Permukiman Adat ...
Pada umumnya di Kabupaten Ende orientasi permukiman adat adalah pada arah Gunung Lepembusu yang berada di sebelah utara dan arah yang berlawanan yaitu laut di sebelah selatan dengan main entrance berada di sebelah utara permukiman adat. Permukiman adat ini berada di dekat daerah curam di sebalah Timur dan Selatan, permukiman penduduk biasa di sebelah Barat dan berada di tengahtengah antara gunung dan laut. 2. Sirkulasi permukiman adat di Desa Nggela. Ruang tengah di permukiman adat ini merupakan ruang kosong dengan beberapa elemen sakral dan pada umumnya rumah-rumahnya menghadap ke ruang luar di tengah permukiman adat (Gambar 3) kecuali salah satu rumah adat yang bertugas untuk memantau daerah pantai sehingga arah hadapnya ke arah laut/ Selatan. Ruang luar yang berada di tengah-tengah permukiman ini pada umumnya jarang digunakan oleh masyarakat untuk bersosialisasi atau
U
melakukan aktivitas lain, selain terdapat elemen-elemen sakral di sekitarnya, juga terdapat batu-batu keramat dan biasanya ruang luar ini digunakan untuk kegiatan adat saja. Sesuai dengan orientasi dan kondisi topografi permukiman adat ini dapat dilihat adanya suatu sumbu axis yang membentuk pola pada permukiman adat ini. Sehingga pola yang terbentuk pada permukiman adat ini merupakan pola linear dengan pusat aktivitas upacara adat berada di tengah diantara dua deretan rumah adat. Seperti yang dikatakan oleh Ching bahwa sumbu merupakan sarana dasar dalam organisasi bentuk dan ruang yang berupa suatu garis yang terbentuk oleh dua buah titik di dalam ruang (Ching, 2000: 322). Dalam sumber yang sama Ching mengatakan bahwa kondisi bersumbu dapat muncul tanpa menghadirkan keadaan simetris, secara stimulasi keadaan simetris tidak dapat muncul tanpa adanya sebuah sumbu yang membentuknya (Ching, 2000: 330).
U
Main entrance Daerah curam Permukiman Penduduk
Daerah curam
S Gambar 3. Topografi horizontal Sumber: Analisis Kerong, 2013
Gambar 2. Orentasi dan topografi permukiman adat Sumber: Google Earth, dikembangkan Kerong, 2013
79
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 75-92
U
U A A
A B A
A A
Gambar 4. Sirkulasi Sumber: Dikembangkan Kerong, 2013
C Gambar 5. Sumbu axis Sumber: Dikembangkan Kerong, 2013
Pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa ruang tengah pada permukiman adat ini bersifat mengikat karena arah hadap rumah-rumahnya mengarah ke ruang kosong ini. Hal ini disebabkan karena kegiatan ritual yang dilakukan di tengah-tengah permukiman adat. Selain dari pada itu, dengan arah hadap tiap rumah di permukiman adat pada satu mencerminkan sifat kekeluargaan dan keakraban dalam masyarakatnya. Pada Gambar 5, menunjukkan sumbu axis yang membentuk pola permukiman adat ini. Sumbu axis yang pada umumya berbentuk linear seperti yang telah diungkapkan Ching, Apabila dilihat pada permukiman adat ini sumbu axis tidak sepenuhnya berbentuk linear dan sedikit menyerupai lengkungan. Namun pada dasarnya tetap berbentuk linear, karena pada jaman dahulu, masyarakat tradisional tidak mengenal adanya sumbu axis yang berbentuk garis lurus. Masyarakat tradisional membangun tempat tinggalnya berdasarkan keyakinan mereka akan sesuatu yang bersifat suci dan juga penyesuaian dengan kondisi alam disekitarnya. 3. Zona makro dan zona meso Pada umumnya masyarakat di Desa Nggela bermata pencaharian sebagai 80
Keterangan: A: Arah hadap B: Sirkulasi C: Sumbu axis
petani sehingga terdapat sawah dan ladang sebagai sumber untuk mendapatkan makanan tiap hari. Letak dari sawah dan ladang berada mengelilingi permukiman penduduk di Desa Nggela. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5, yaitu pembagian zona secara makro di Desa Nggela. Sedangkan zona secara meso yaitu penzoningan pada permukiman adat di Desa Nggela yang berada di tengah Desa Nggela. Zonasi yang dilakukan pada permukiman adat ini lebih mengarah pada zonasi secara fungsi dan aktivitas yang dilakukan. Semakin ke tengah maka sifat zona tersebut menjadi cenderung semakin bersifat sakral serta aktivitas ritual yang dilakukan di tengah Desa Nggela secara makro, dan pelataran adat secara meso. Jika menghubungkan antara zona makro dan zona meso maka dapat disimpulkan bahwa zonasi ini bersifat terpusat. Kedua zona ini, pada bagian pusat merupakan bagian inti. Pada zona makro merupakan permukiman adat yang merupakan permukiman awal, sedangkan pada zona meso merupakan wilayah ini tempat berlangsungnya upacara-upacara adat dan tempatnya elemen-elemen permukiman yang dikeramatkan.
Kerong, Relasi Struktur Masyarakat dan Tata Zonasi Permukiman Adat ...
U
F
E
U
C
B
A
D E
Gambar 6. Zona Makro Sumber: Google Earth, dikembangkan Kerong, 2013
F
Gambar 7. Zona Meso Sumber: Google Earth, dikembangkan Kerong, 2013
Keterangan: A: Permukiman adat B: Permukiman penduduk biasa C: Sawah dan ladang D: Zona inti E: Zona sosialisasi F: Zona perumahan adat
Struktur Masyarakat Permukiman Adat di Desa Nggela Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di lapangan dengan Bapak Doan (2013), ke-16 Mosalaki yang tinggal di ke-14 rumah buah adat inti serta perannya masing-masing adalah sebagai berikut: Tabel 1. Struktur Masyarakat No
Pemimpin adat
Tugas dan peran
1
Mosalaki Ine Ame (Pemimpin)
Mengawasi dan mengontrol kerja dari Mosalaki Pu‟u, dan Mosalaki-Mosalaki lainnya.
2
Mosalaki Pu‟u (Pelaksana)
3
Mosalaki Ria Bewa (Hakim)
Memimpin tiap upacara adat, menobatkan atau melantik Mosalakimosalaki dan memberikan sesajian di beberapa tempat yang dikeramatkan. Hakim untuk mengatasi masalah-masalah pelanggaran adat di Desa Nggela.
4
Mosalaki Turu Tena Nata Ae (Pendukung 1)
Bersama-sama dengan Mosalaki Pu‟u untuk memulai dan merencanakan upacara adat dan jadwal pelaksanaannya.
Rumah adat Sa‟o Labo
Gambar
Sa‟o Ria
Sa‟o Leke Bewa
Sa‟o Ria
81
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 75-92 No
Pemimpin adat
Tugas dan peran
5
Mosalaki Ruu Tuu Jaga Tau Rara (Pendukung 2) Mosalaki Tau Kowe Uwi (Pendukung 3)
Memberikan sangsi pada orang yang melakukan pelanggaran. Menjaga atau lebih tepatnya memantau Kanga Ria, agar tidak disalahgunakan orang yang tidak berkepentingan di atasnya. Mengantarkan tamu ke Sa‟o Ria dan juga menjaga pintu masuk ke permukiman adat.
6
Rumah adat Sa‟o Ria Sa‟o Meko
Sa‟o Tua
7
Mosalaki Dai Ulu Nua (Pendukung 4)
8
Mosalaki Tau Piara Nggo Lamba (Pendukung 5)
9
Mosalaki Tau Tunu (Pendukung 6)
10
Mosalaki Ndeto Au 1 (Anggota 1)
Memberikan keputusan layak atau tidaknya denda yang diberikan orang yang melakukan pelanggaran.
Sa‟o Ame Ndoka
11
Mosalaki Gao Lo Kaka Taga (Anggota 2)
Membantu MosalakiMosalaki lain dalam melaksanakan upacara adat.
Sa‟o Sambajati
12
Mosalaki Tau Dai Ulu Ae (Anggota 3)
Memantau ke arah pantai apabila terdapat kapal asing yang mendekati pantai Nggela.
Sa‟o Wewa Mesa
13
Mosalaki Ndeto Au 2 (Anggota 4)
Menentukan layak atau tidaknya denda yang diberikan orang yang melakukan pelanggaran.
Sa‟o Bewa
14
Mosalaki Bei Nggo (Anggota 5)
Memainkan alat musik pada saat tertentu. Selain dari itu beliau hanya membantu MosalakiMosalaki lain dalam melaksanakan upacara adat.
Sa‟o Watu Gana
82
Menjaga dan merawat gong dan alat musik sejenis ketipung/bongo sebagai alat musik yang digunakan dalam upacaraupacara adat. Menjaga dan merawat Keda yang merupakan tempat musyawarah bagi para Mosalaki.
Sa‟o Pemoroja
Sa‟o Ndoja
Gambar
Kerong, Relasi Struktur Masyarakat dan Tata Zonasi Permukiman Adat ... No
Pemimpin adat
Tugas dan peran
15
Mosalaki Ndeto Au 3 (Anggota 6)
16
Mosalaki Tau Sani (Anggota 7)
Menentukan layak atau tidaknya denda yang diberikan orang yang melakukan pelanggaran dan sebagai penjaga permukiman adat di bagian Selatan. Membantu Mosalaki lain dalam melaksanakan upacara-upacara adat.
Rumah adat Sa‟o Embulaka
Gambar
Sa‟o Tana Tombu
Sumber: Observasi lapangan, 2013
Dari hasil penelitian dan juga wawancara kepada beberapa Mosalaki (hasil wawancara, 2013) maka dapat diperoleh bentuk dari struktur masyarakat di permukiman adat ini. Lihat Gambar 8. Pemimpin Pelaksana Hakim
Pendukung 1
Anggota 1
Pendukung 2
Anggota 2
Pendukung 3
Anggota 3
Pendukung 4
Anggota 4
Pendukung 5
Anggota 5
Anggota 6
Pendukung 6
Anggota 7
Gambar 8. Bentuk struktur masyarakat Sumber: Analisis Kerong, 2013
Berdasarkan Gambar 8, dapat dilihat bahwa dalam struktur masyarakat di permukiman adat ini dipimpin oleh seorang Mosalaki Ine Ame (pemimpin), seorang pelaksana (Mosalaki Pu‟u) yang memimpin dan melaksanakan tiap upacara adat, dan seorang hakim sebagai tiga besar dalam struktur masyarakatnya. Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela Pola permukiman adat di Desa Nggela sesuai data yang diperoleh dari kantor Desa Nggela dan didukung oleh
wawancara kepada bapak Doan (2013), bahwa permukiman adat di Desa Nggela terbagi atas 4 kelompok zona yaitu: 1. Bhisu Deko Ghele (zona periode I) Bhisu Deko Ghele (Gambar 9) adalah zona bagian utara dalam permukiman adat yang merupakan zona paling awal berada di sejarah kedatangan nenek moyang masyarakat di Desa Nggela. Dalam zona ini terdapat rumah-rumah adat inti yaitu: Sa‟o Labo, Sa‟o Tua, Sa‟o Meko, dan Sa‟o Ame Ndoka. 83
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 75-92
Selain itu terdapat 4 buah rumah adat pendukung (Poa Paso) dan 6 buah rumah penduduk. Selain itu terdapat Kanga Ria/pelataran adat yang merupakan tempat dilaksanakan upacara-upacara adat para Mosalaki yang boleh berada di atasnya. Di atas pelataran adat ini terdapat Tubumusu/ simbol Allah yang berupa sebuah batu lonjong dan batu-batu ceper dan kuburan nenek moyang mereka yaitu pemimpin dan pelaksana. Posisi zona yang berada di utara permukiman adat menunjukkan posisi tertinggi karena secara kosmologi wilayah utara adalah daerah paling sakral sebagai asal usul nenek moyang mereka yang berasal dari Utara. Karena beberapa hal tersebut, maka perlakuan masyarakat sekitar disekitar zona ini tentunya berbeda dengan yang lain karena merupakan zona sakral. Hal ini untuk lebih menghormati posisi pemimpin dan pelataran adat sebagai elemen sakral. 2. Bhisu One (zona periode II) Bhisu one (Gambar 9) yang merupakan zona yang berada di tengah-tengah atau pusat sesuai dengan arti dari „One‟ yaitu pusat. Dalam zona ini terdapat rumah-rumah adat inti yaitu: Sa‟o Ria, Sa‟o Pemoroja, dan Sa‟o Ndoja, 1 buah rumah adat pendukung (Poa Paso) dan sebuah rumah yang tidak diberi nama. Elemen lain dalam zona ini selain rumah-rumah adat terdapat Puse Nua yang merupakan titik pusat permukiman adat yang dilambangkan dengan sebuah batu lonjong dan batubatu ceper. Terdapat juga sebuah kuburan yang berbentuk perahu (Rate Lambo) yang merupakan kuburan seorang yang dianggap sebagai arsitek pada jaman itu karena berjasa atas pembangunan rumah-rumah adat yang akhirnya masih dipertahankan sampai sekarang. Selain dari pada itu, terdapat 84
batu-batu yang sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka yang msih dipertahanan dan tidak boleh disentuh ataupun diinjak oleh siapapun karena akan dipercaya akan membawa kemalangan bagi yang menyentuh atau menginjaknya. Secara kosmologi zona ini berada di tengah-tengah permukiman yang artinya tingkat kesakralan zona ini berada dibawah setelah zona periode I. Dengan adanya titik pusat permukiman, kuburan perahu, dan selain itu terdapat batu-batu keramat, membuat ruang luar dalam zona ini juga tidak bersifat umum bagi untuk masyarakat. 3. Bhisu Mbiri (zona periode III) Zona ini merupakan zona yang berada berhadapan dengan zona periode II yang merupakan kumpulan masyarakat asli dan pendatang. Bhisu Mbiri (Gambar 10) menurut Bapak Hani Wadhi (hasil wawancara, 2013) arti dari Mbiri merupakan sebuah nama orang yang digunakan dan akhirnya sampai sekarang tetap digunakan. Dalam zona ini terdapat empat buah rumah-rumah adat inti yaitu: Sa‟o Leke Bewa, Sa‟o Wewa Mesa, Sa‟o Sambajati, dan Sa‟o Watu Gana dan tujuh buah rumah penduduk dan tidak ada rumah-rumah adat pendukung. Dalam zona ini terdapat sebuah batu yang merupakan batu keramat yang berada di depan dari rumah adat Sa‟o Watu Gana. Batu ini tidak boleh disentuh ataupun diinjak. 4. Bhisu Embulaka (zona periode IV) Zona periode IV (Gambar 10) merupakan zona untuk kelompok masyarakat dari Portugis yang datang menetap di permukiman adat ini. Dalam zona periode IV ini terdapat
Kerong, Relasi Struktur Masyarakat dan Tata Zonasi Permukiman Adat ...
rumah-rumah adat inti yaitu: Sa‟o Embulaka, Sa‟o Bewa, dan Sa‟o Tana Tombu. Satu buah rumah adat pendukung dan tiga buah rumah penduduk, dan terdapat juga sebuah kayu peninggalan dari seorang Misionaris dari Portugis, dimana kayu ini menjadi kayu keramat karena tidak boleh disentuh ataupun disentuh oleh siapapun. Secara kosmologi, zona ini berada di Selatan yang bermakna bahwa tingkat kesakralannya paling rendah dari zonazona sebelumnya, dilihat juga dengan elemen-elemen yang ada pada zona ini. Selain itu posisinya juga menjadi penjaga permukiman adat untuk bahaya
yang datang dari arah selatan atau dari arah pantai. Dalam permukiman adat ini terdapat dua ruang kosong atau ruang luar yaitu yang berada di tengah-tengah permukiman adat dan yang berada diantara deretan rumah-rumah adat dibagian Barat dan pagar pembatas (Kopo Kasa). Ruang pada tengahtengah permukiman adat ini jarang digunakan untuk aktivitas umum karena adanya elemen-elemen sakral disekitarnya. Sedangkan ruang diantara deretan rumah-rumah adat dibagian Barat dan pagar pembatas biasa digunakan untuk tempat berolahraga untuk para pemuda (Gambar 11).
U
U
A B
F
C D
G
E
Gambar 9. Zona periode I dan II Sumber: Analisis Kerong, 2013
H
H I
Gambar 10. Zona periode III dan IV Sumber: Analisis Kerong, 2013
Keterangan: A: Zona periode I B: Pelataran adat C: Pusat permukiman D: Kuburan perahu E: Zona periode II F: Zona periode III G: Batu keramat H: Kayu keramat I: Zona periode IV
85
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 75-92
U
U
A B
Gambar 11. Ruang Luar Sumber: Analisis Kerong, 2013
C D E
Gambar 12. Hierarki Ruang Luar Sumber: Analisis Kerong, 2013
Keterangan: A: Ruang luar utama B: Ruang publik C: Ruang sakral D: Ruang transisi E: Ruang profan
Berdasarkan Gambar 11, ruang luar pada tengah-tengah permukiman (A) dikategorikan sebagai ruang luar utama. Dalam ruang A terdapat elemen-elemen yang dikeramatkan dan tempat untuk aktivitas adatnya sehingga perlakuan masyarakat berbeda pada ruang ini karena mereka tidak bisa sembarangan beraktifitas di dalamnya, apabila penduduk yang berada di utara permukiman adat hendak ke arah pantai, mereka cenderung mengambil jalan di samping permukiman adat. Sedangkan pada ruang B dikatakan ruang publik karena tempat untuk para pemuda bersosialisasi dengan melakukan olahraga dan lain-lain. Seperti yang dikatakan oleh Laurenz bahwa ruang publik adalah area terbuka yang dapat dicapai oleh siapa saja pada waktu kapan saja dan tanggung jawab pemeliharaannya kolektif (Laurenz, 2004: 140-141). Namun ruang publik ini bersifat tertutup hanya pada saat dilakukan upacara adat. 86
Sedangkan pada Gambar 12, merupakan korelasi antara sifat ruang luar dan tata zonasi permukiman adat dan terdapat ruang sakral, ruang transisi, dan ruang profan. Bertens mengatakan bahwa bagi orang beragama ada bagian ruang yang sakral, berarti bagian-bagian ruang yang penuh dengan kekuatan, disamping bagian-bagian ruang lain yang tidak bersifat sakral dan akibatnya tidak mempunyai struktur dan keteguhan (Bertens, 2003: 143-144). Relasi Struktur Masyarakat dan Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela Zona periode I merupakan zona tempat tinggal dari pemimpin dan apabila dikaitkan antara posisinya dalam struktur masyarakat dan di dalam tata zonasi, maka keduanya memiliki posisi paling tinggi. Pemimpin sebagai orang pertama dalam struktur masyarakat, sedangkan zona periode I merupakan zona paling sakral dan berpengaruh
Kerong, Relasi Struktur Masyarakat dan Tata Zonasi Permukiman Adat ...
dibandingkan dengan zona lainnya. Lihat Gambar 13. Zona periode I dikatakan sebagai zona paling sakral karena ditandai dengan adanya pelataran adat yang di atasnya terdapat simbol Allah dan kuburan nenek moyang mereka. Pelataran adat ini merupakan tempat dilaksanakan upacara-upacara adat yang sudah berlangsung sejak jaman nenek moyang mereka. Zona periode II merupakan tempat tinggal dari pelaksana dalam struktur masyarakat. Apabila dikaitkan dengan zona periode II, maka keduanya berada pada posisi kedua baik dalam struktur masyaraktnya maupun dalam tata zonasi. Hal ini dapat dilihat juga dengan adanya elemen yang berada di zona periode II yang terdapat titik pusat permukiman adat sebagai simbol pusat permukiman adat dan kuburan perahu sebagai simbol penghargaan masyarakat kepada asal nenek moyang mereka dalam pembangunan rumahrumah adat pada saat itu. Lihat Gambar 15.
U
Zona periode III merupakan zona tempat tinggal dari hakim yang merupakan orang ke tiga dalam struktur masyarakatnya. Apabila dikaitkan dengan zona periode III, maka keduanya menempati posisi ketiga baik dalam struktur masyarakatnya maupun dalam tata zonasi. Lihat Gambar 14. Hal ini dilihat dari elemen sakral di sekitar zona ini yang hanya terdapat sebuah batu keramat yang dipertahankan sampai sekarang oleh masyarakat. Apabila dikaitkan antara peran hakim dan tata zonasi maka, hakim berada diposisi tengah-tengah yang artinya dalam menjalankan tugas diharapkan untuk bersikap adil dan tidak memihak pada siapapun yang melanggar. Relasi antara struktur masyarakat dan tata zonasi lebih terlihat pada posisi ketiga orang di atas. Sedangkan posisi ke-13 Mosalaki dalam struktur masyarakat sesuai dengan perkembangan permukiman adat ini.
U
Titik pusat permukiman Hakim
Pelataran adat
Kuburan perahu Batu keramat
Pemimpin Pelaksana
Gambar 13. Pemimpin dalam Zona periode I Sumber: Analisis Kerong, 2013
Gambar 14. Pemimpin dan hakim dalam Zona periode II dan III Sumber: Analisis Kerong, 2013
87
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 75-92
Berdasarkan Gambar 13 dan 14, dapat dilihat bahwa struktur masyarakat mempengaruhi tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela. Posisi pemimpin didukung oleh posisinya dalam zona periode I yang merupakan zona tersakral dibandingkan dengan zonazona lain karena adanya pelataran adat sebagai pusat dilaksanakan upacara adat. Begitu pula dengan posisi pelaksana dan hakim dalam zona masing-masing. Faktor-Faktor Lain Pembentuk Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela Relasi struktur masyarakat dan tata zonasi permukiman adat selain dipengaruhi oleh hierarki sebagai faktor utama yang menentukan hubungan diantara keduanya, berikut ini merupakan faktor-faktor pendukung yang menentukan relasi antara struktur masyarakat dan tata zonasi. Beberapa faktor ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor kosmologi Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, secara kosmologi permukiman adat ini berorientasi pada arah gunung dan laut sesuai dengan mitos dalam masyarakat. Dalam hal ini maka semakin ke arah utara maka cenderung lebih bersifat sakral. Dilihat dari posisi pemimpin dan zona periode I, maka keduanya berada di posisi sakral di permukiman adat ini. Posisi pemimpin dalam struktur masyarakatnya di dukung oleh posisinya yang berada pada zona sakral dalam permukiman adat ini. Posisi pelaksana berada pada zona periode II yang merupakan zona dengan tingkat sakral setelah zona periode I, begitu juga dengan posisi hakim yang berada pada zona periode III yang tingkat kesakralannya berada 88
setelah zona periode II. Secara kosmologi posisi pelaksana dan hakim berada pada posisi diantara arah utara dan selatan, yang artinya berada diantara zona sakral dan profan. Hal ini dapat dilihat relasi antara struktur masyarakat dan tata zonasi permukiman adat ini dipengaruhi juga oleh kosmologi. 2. Faktor sejarah Sesuai dengan sejarah permukiman adat ini pertama yang datang dan membangun tempat tinggal di permukiman adat ini adalah pemimpin dalam struktur masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat bahwa posisi pemimpin sebagai penguasa permukiman adat saat itu yang kemudian memberi izin kepada kelompok lain baik masyarakat yang berasal dari sekitar permukiman adat maupun masyarakat yang berasal dari luar. Setelah kedatangan kelompok dari Jawa maka pemimpin memberikan wilayah kepada mereka untuk membangun tempat tinggal yaitu di bagian selatan dari rumah-rumah yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini dapat dilihat kuasa pemimpin sangat berpengaruh karena sebagai pendatang tidak boleh membangun tempat tinggal di atas atau lebih tinggi posisinya dari rumah pemimpin. 3. Faktor pertahanan Berdasarkan posisi tiap zona dalam permukiman adat ini, maka dapat dilihat adanya tiap zona memiliki fungsi dalam hal pertahanan untuk mengantisipasi adanya bahaya yang datang dari luar permukiman adat baik dari darat maupun dari arah laut. Pada zona periode I terdapat satu rumah adat yang bertugas sebagai pengantar tamu masuk ke permukiman dan merangkap sebagai penjaga
Kerong, Relasi Struktur Masyarakat dan Tata Zonasi Permukiman Adat ...
permukiman adat dari bahaya yang datang dari arah utara. Pada zona periode II terdapat sebuah rumah adat pendukung yang berada di tengahtengah permukiman adat yang tugasnya untuk menjaga area permukiman adat bagian tengah dan elemen-elemen sakral yang berada pada zona periode II. Selain dari pada itu posisi yang berada di tengah permukiman adat dilindungi oleh ketiga zona yang berada di sebelah utara, selatan, dan timur dari zona ini. Pada zona periode III terdapat sebuah rumah adat yang bertugas memantau ke
arah selatan atau arah laut apabila terdapat kapal-kapal asing yang hendak berlabuh di pantai Desa Nggela. Tugas tersebut didukung oleh posisi arah hadap rumah adatnya yang mengarah ke arah laut. Pada zona periode IV terdapat sebuah rumah adat yang bertugas untuk menjaga permukiman adat dari bahaya yang datang dari selatan. Hal ini menunjukkan tugas dan peran tiap anggota dalam struktur masyarakat berpengaruh pada posisinya dalam tata zona dalam permukiman adat ini.
U Zona periode I Zona periode II Zona periode III Zona periode IV
Gambar 15. Zona kronologi kedatangan nenek moyang Sumber: Analisis Kerong, 2013
U A
Keterangan: A: Penjaga bagian utara permukiman adat B: Penjaga bagian tengah permukiman adat C: Penjaga ke arah laut dari permukiman adat D: Penjaga bagian selatan permukiman adat
C B D
Gambar 16. Pertahanan di permukiman adat Sumber: Analisis Kerong, 2013
89
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 75-92
4. Faktor aktivitas Pada ruang luar yang berada di tengah permukiman adat merupakan ruang yang mengikat rumah-rumah adat dan merupakan orientasi utama dalam hal arah hadap tiap rumah. Pada umumnya di sekitar ruang luar ini merupakan tempat dilaksanakan upacara adat. Selain dari pada itu, adanya elemenelemen sakral yang terdapat di sekitarnya membuat masyarakat tidak melakukan aktivitas diluar aktivitas adat. Pusat dari aktivitas adat ini berada pada pelataran adat yang berada pada zona periode I. Para Mosalaki melakukan upacara adat, dan dalam beberapa upacara adat pemimpin tidak ikut serta di dalamnya karena tugas memimpin upacara adat sudah diberikan kepada pelaksana. Dalam hal ini tugas pemimpin hanya mengawasi jalannya upacara adat dari rumah adatnya dan apabila terjadi kesalahan, maka pemimpin berhak memberikan peringatan. 5. Faktor teritori elemen-elemen sakral Teritori merupakan wilayah atau daerah dan teritorialitas adalah wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang (Laurens, 2004: 124). Tiap zona dalam permukiman adat di Desa
U
A C
B
D
90
Nggela merupakan wilayah yang sudah dianggap sebagai wilayah hak masingmasing penghuni dalam tiap zona. Tiap penghuni pada masing-masing zona bertanggung jawab atas wilayahnya baik dalam melindungi elemen-elemen sakral yang ada di sekitarnya, maupun dalam tugas menjaga pertahanan permukiman adat sesuai dengan posisi masing-masing zona. Pada zona periode I terdapat pelataran adat sebagai pusat kegiatan adat, dan dalam zona ini terdapat Mosalaki yang bertugas untuk menjaga dan mengontrol pelataran adat ini. Pada zona periode II terdapat titik pusat permukiman adat dan kuburan perahu. Tugas untuk menjaga dan mengontrol kedua elemen sakral ini adalah Mosalaki pendukung dari kelompok rumah adat pendukung. Zona periode III terdapat batu keramat yang terdapat di depan rumah adat Sa‟o Watu Gana. Posisi batu ini berada di depan rumah adat ini maka secara otomatis Mosalaki dari rumah adat inilah yang bertugas menjaga dan merawat batu ini. Pada zona periode IV terdapat kayu keramat peninggalan Portugis, dan terdapat Mosalaki yang bertugas untuk menjaga dan merawatnya.
Keterangan: A: Penjaga elemen sakral pada zona periode I B: Penjaga elemen sakral pada zona periode II C: Penjaga elemen sakral pada zona periode III D: Penjaga elemen sakral pada zona periode IV Gambar 17. Posisi penjaga dan elemen-elemen sakral Sumber: Analisis Kerong, 2013
Kerong, Relasi Struktur Masyarakat dan Tata Zonasi Permukiman Adat ...
Berdasarkan Gambar 17, maka dapat dilihat bahwa pada tiap zona memiliki elemen-elemen sakral yang menjadi simbol dan juga terdapat Mosalaki yang bertugas untuk menjaga dan mengontrolnya. Dalam hal ini juga dapat dilihat peran dari struktur masyarakat dalam tata zonasi yang terwujud pada tugas dan peran dari anggota-anggotanya dalam mempertahankan permukiman adat di Desa Nggela.
Kesimpulan 1. Dalam permukiman adat di Desa Nggela, struktur masyarakat mempengaruhi tata zonasi. Semakin tinggi posisinya dalam struktur masyarakat, maka mempengaruhi posisinya dalam tata zonasi. Hal ini dapat dilihat pada posisi pemimpin dalam zona periode I, pelaksana dalam zona periode II, dan hakim dalam zona periode III. 2. Faktor-faktor lain yang mendukung adanya relasi antara struktur masyarakat dan tata zonasi permukiman adat ini adalah faktor kosmologi yaitu semakin ke utara maka, semakin tinggi posisi baik dalam struktur masyarakat maupun dalam tata zonasi. Faktor sejarah dapat dilihat pada posisi pemimpin sebagai orang yang pertama kali memasuki dan membangun rumah di permukiman adat ini, tepatnya pada zona periode I. Faktor proteksi, dilihat dengan adanya MosalakiMosalaki yang bertugas menjaga pertahanan permukiman adat ini di tiap zona. Faktor aktivitas, dapat dilihat dari aktivitas-aktivitas adat yang dilakukan di atas pelataran adat oleh para Mosalaki. Faktor terakhir yaitu faktor area teritori yang dibatasi oleh elemen-elemen sakral yang dilihat dari posisi
elemen-elemen sakral di tiap zona dan Mosalaki-Mosalaki yang bertugas untuk menjaga dan mengontrolnya.
Daftar Pustaka Baja, S. (2012). Perencanaan tata guna lahan dalam pengembangan wilayah (Pendekatan spasial dan aplikasinya). Yogyakarta: ANDI Barthes, R. (1994). Elemen-elemen Semiologi. Yogyakarta: Jalasutra. Bertens, K. (2003). Keprihatinan moral. Yogyakarta: Kanisius. BPS Kabupaten Ende (2012). Wolojita dalam angka. Ende: Badan Pusat Statistik. Budiman, K. (2011). Semiotika visual. Yogyakarta: Jalasutra. Ching, F.D. K. 2000. Arsitektur: Bentuk, ruang, dan tatanan. Jakarta: Erlangga. Laurens, J. M. (2004). Arsitektur dan perilaku manusia. Jakarta: Grasindo Mashyuri dan Zaenuddin, M. (2008). Metodologi penelitian pendekatan praktis dan aplikatif. Malang: Refika Aditama. Mbete, A. dkk. (2004). Khazanah budaya lokal di kabupaten Ende. Ende: Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Ende. Muhadjir, N. (1996). Metode penelitian kualitatif. Yogyakarta: Refika Aditama Rapoport, A. (1969). House form and cultures. Milwaukee: University of Wisconsin. Snyder, J. C. dan Catanese A. J. (1984). Pengantar arsitektur. Jakarta: Erlangga. 91
ATRIUM, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 75-92
Wora, T. R. (2008). Sejarah berdiri kampung adat dan budaya Nggela. Ende. Yunus, H. S. (1999). Struktur tata ruang kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daftar Informan 1. Nama
: Laka Doane Marianus Pekerjaan : Kepala Desa Waktu wawancara : April 2013 2. Nama : Hani Wadhi Pekerjaan : Pensiunan Guru Waktu wawancara : April 2013
Daftar Istilah A
: Panggilan untuk laki-laki dan biasanya berada di awal nama. Ae : Air Bhisu : Kumpulan rumah-rumah yang berdekatan Ine Ame : Bapak dan mama KangaRia : Pelataran adat Mosalaki : Orang yang memiliki peran dan tugas dalam masyarakat Nggela Ni : Panggilan untuk wanita dan biasanya berada di awal nama Poa Paso: Rumah adat pendukung Puse Nua: Pusat kampung Sa‟o : Rumah Tubumusu: Simbol Allah
92
PETUNJUK PENGIRIMAN NASKAH TATA TULIS NASKAH: 1. 2. 3.
4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13.
14. 15. 16.
Kategori naskah ilmiah hasil penelitian (laboratorium, lapangan, kepustakaan), ulasan dan naskah diskusi. Naskah hasil penelitian memuat Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan (dan Saran), serta Referensi atau Daftar Pustaka. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, diketik pada kertas A-4 spasi tunggal dengan batas (margin) atas, kanan dan bawah masing-masing 3 cm, dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas. Panjang naskah 10-15 halaman, dan untuk naskah diskusi maksimum 5 halaman. Judul harus singkat, jelas, tidak lebih dari 14 kata, cetak tebal, huruf capital, di tengah-tengah kertas. Untuk diskusi, judul mengacu pada naskah yang dibahas (nama penulis naskah yang dibahas ditulis sebagai catatan kaki). Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, di bawah judul, disertai institusi asal penulis di bawah nama. Harus ada kata kunci (keywords) dari naskah tersebut, minimal 2 (dua) kata kunci. Daftar kata kunci diletakkan setelah abstrak. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, maksimum 200 kata, 1 spasi. Abstrak tidak perlu untuk naskah diskusi. Judul Bab ditulis di tengah-tengah naskah, cetak tebal, huruf capital. Gambar, grafik, tabel dan foto harus disajikan secara jelas. Tulisan dalam gambar, grafik, dan tabel tidak boleh lebih kecil dari 6 point. Nomor dan judul untuk gambar, grafik, dan foto diletakkan di bawah gambar, grafik, dan foto, dan di tulis/diletakkan di tengah. Di bawahnya lalu dituliskan sumber gambar, grafik, dan foto. Untuk nomor dan judul tabel diletakkan di atas tabel, di tengah. Sumber tabel diletakkan di bawah tabel, ditulis ditengah. Untuk kutipan dan penulisan Referensi atau Daftar Pustaka, mengacu pada A.P.A. Style (lihat bagian Penulisan Sumber Pustaka). Rumus-rumus hendaknya ditulis sesederhana mungkin untuk menghindari kesalahan pengetikan. Ukuran huruf dalam rumus paling kecil 6 point. Definisi notasi dan satuan yang dipakai dalam rumus disatukan dalam daftar notasi. Daftar Notasi diletakkan sebelum Referensi/Daftar Pustaka. Naskah dikirim ke alamat e-mail:
[email protected] Naskah belum pernah dipublikasikan oleh media cetak lain. Redaksi berhak menolak atau mengedit naskah yang diterima. Naskah yang tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan akan dikembalikan.
PENULISAN SUMBER PUSTAKA: Penulisan sumber pustaka mengikuti A.P.A. Style. Sumber pustaka dituliskan langsung di dalam body naskah dan di bagian Referensi/Daftar Pustaka. Jadi tidak perlu dituliskan di catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote). Sebagai berikut:
A. Penulisan Sumber Pustaka di dalam body naskah: Penulisan sitasi sebagai berikut: 1.
Satu penulis. Contoh (3 contoh): Fisher (1999) mengatakan bahwa …. Menurut Saraswati (2014) …. …. dalam hal ini karena strukturnya kurang kuat (Supriyo, 2001).
2.
Lebih dari 1 penulis. Contoh (3 contoh): Gabrill dan Kaslow (2000) mengatakan …. Menurut Saraswati dan Haryangsah (2003) …. …. tidak terlepas dari fungsi bangunan industri (Sugianto dan Mochtar, 2005).
3.
Ada 3-5 penulis. Contoh (1 contoh): Saat disebutkan pertama kali, ditulis: Menurut Baldwin, Bevan, dan Beshalke (2000) …. Disebutkan selanjutnya, ditulis: Menurut Baldwin et al. (2000) ….
4.
Lebih dari 5 penulis. Contoh: Sandrina, et al (2003) ….
B. Penulisan Sumber Pustaka pada Referensi atau Daftar Pustaka: Indenting sekitar 5 huruf atau 1 tab. 1.
Buku dengan 1 pengarang. Baxter, C. (1997). Race equality in health care and education. Philadelphia: Balliere Tindal.
2.
Buku dengan editor yang juga sebagai salah satu penulisnya. Stock, G. & Campbell, J. (Eds.). (2000). Engineering in the human germline: An exploration of the science and ethics of altering the genes we pass to our children. New York: Oxford University Press.
3.
Buku dengan lebih dari 1 pengarang. Walrath, C., Bruns, E., Anderson, K. (2000). The nature of expanded school mental health services in Baltimore City. Baltimore: Alpha Omega.
4.
Brosur (pamflet), tanpa pengarang, tanpa tanggal. Inside the doors: A guide book of Elfreth‟s Alley homes (Brochure). (tanpa tanggal). Philadelphia: Elfreth‟s Alley Association.
5.
Bab (chapter) dalam buku dengan editor. Roy, A. (1995). Psychiatric emergencies. Dalam H.I. Kaplan & B.J. Saddock (Ed.), Comprehensive textbook of psychiatry (edisi ke-6, hal. 1739-1752). Baltimore: Williams & Wilkins.
6.
Disertasi, thesis, skripsi. Saraswati, T. (1997). Housing and neighbourhood change (Disertasi S3, The University of Melbourne, 1997. Tidak dipublikasikan).
7.
Dokumen Negara. Departemen Pendidikan Nasional. (2010). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 17 tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di Perguruan Tinggi. Jakarta: Depdiknas RI.
8.
Artikel di jurnal ilmiah. Roy, A. (1982). Suicide in chronic schizophrenia. British Journal of Psychiatry, 141, 171-177.
9.
Artikel di majalah. Greenberg, G. (2001, August 13). As good as dead: Is there really such a thing as brain death? New Yorker, 36-41.
10. Film, motion picture. Grazer, B. (Producer), & Howard, R. (Director). (2001). A beautiful mind [Motion picture]. U.S.: Universal Picture. 11. Artikel di koran, tanpa nama penulis. Mad-cow may tighten blood-donor curbs. (2001, April 19). The Gazette [Montreal], hal. A13. Bila versi elektronik: Mad-cow may tighten blood-donor curbs. (2001, April 19). The Gazette [Montreal], hal. A13. Diunduh 25 Agustus 2001, dari database Lexis-Nexis. 12. Web site. Web site hanya bisa dituliskan alamatnya di body naskah, namun tidak bisa dituliskan di Referensi atau Daftar Pustaka.
Naskah dikirim ke e-mail Redaksi:
[email protected] TEMPLATE dan PETUNJUK PENULISAN NASKAH dapat diunduh melalui link: https://www.mediafire.com/?8dsooqobwha81q9 Alamat Redaksi: Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Arsitektur dan Desain Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo 5 – 25 Yogyakarta 55224 Telepon: (0274) 563929 pesawat 504 Ponsel: 081803143353
- ATRIUM -