Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
ADOPSI GOOGLE APPS FOR EDUCATION DI PERGURUAN TINGGI: SEBUAH KOLABORASI REAL-TIME DOSEN DAN MAHASISWA ADOPTION OF GOOGLE APPS FOR EDUCATION AT UNIVERSITIES: A REALTIME COLLABORATION OF LECTURERS AND STUDENTS Intan Putri Cahyani Prodi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pancasakti Jln. Halmahera KM. 1 Kota Tegal. (0283) 357784. e-Mail:
[email protected] diterima: 4 Januari 2016 | direvisi: 15 Januari 2016 | disetujui: 18 Januari 2016
ABSTRACT Cloud-computing technology present as an impact of the changing cultural environment and competitive ecosystem of Higher Education in the world, including Indonesia. Cloud computing is actually a combination use of computer technology ("computing") and the development of Internet-based ('cloud'). Higher education is considered ideal for the diffusion of innovation because they have a core that can encourage innovation and there are frequently changes in faculty or department’s level, pedagogical and technological. This study pointed out a uniqueness where lecturers (digital immigrant) and students (digital native) could collaborate in realtime by adopting cloud-computing technology, namely Google's Google Apps for Education (GAFE), in the learning system. Diffusion-innovation theory of Rogers will be in depth elaborated to explain the process of adoption of new kind of communication technologies which is currently becoming trendsetter. This type of study is qualitative descriptive with grounded theory method involving several universities in Central Java that are already using GAFE technology during the last three years, i.e. UNNES, UDINUS, and UNISSULA. This study used purposive sampling with total sample of 12 people who are lecturers and students, GAFE active users in learning system. The results showed lecturers especially junior lecturers have a central role as a facilitator of learning technologies in deciding what to use. Common interest is the main reason behind. Though lecturers and students came from different generation but both of them adopted GAFE Keywords : Difussion Innovation, Cloud Computing Technology, GAFE, Digital Immigrant, Digital Native
ABSTRAK Teknologi komputasi awan atau sering dikenal dengan cloud computing hadir sebagai sebuah dampak perubahan lingkungan budaya dan ekosistem yang kompetitif pada Pendidikan Tinggi di dunia, termasuk Indonesia. Cloud computing ini sejatinya merupakan gabungan pemanfaatan teknologi komputer (‘komputasi’) dan pengembangan berbasis Internet (‘awan’). Pendidikan tinggi dianggap sangat ideal untuk difusi inovasi karena mereka memiliki jantung yang bisa mendorong inovasi dan selalu ada perubahan baik di level fakultas atau jurusan, pedagogis serta teknologi. Studi ini akan mengangkat keunikan dimana dosen (digital immigrant) dan mahasiswa (digital native) dapat berkolaborasi secara realtime dengan mengadopsi teknologi cloud computing milik Google yaitu Google Apps for Education (GAFE) dalam sistem pembelajaran. Teori difusi inovasi milik Rogers akan dielaborasi secara mendalam untuk menjelaskan proses adopsi teknologi komunikasi jenis baru yang sekarang tengah menjadi trendsetter ini. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode grounded yang melibatkan beberapa Perguruan Tinggi di Jawa Tengah yang sudah menggunakan teknologi GAFE selama tiga tahun terakhir, yaitu UNNES, UDINUS, dan UNISSULA. Pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 12 orang yang merupakan dosen dan mahasiswa pengguna aktif GAFE dalam
sistem pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan dosen terutama dosen junior memiliki peranan sentral
183
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
sebagai fasilitator dalam memutuskan teknologi pembelajaran apa yang akan digunakan. Kesamaan kepentinganlah yang menjadi faktor utama mengapa walaupun berbeda generasi, namun dosen dan mahasiswa bisa mengadopsi GAFE. Kata Kunci: Difusi Inovasi, Teknologi Cloud Computing, GAFE, Digital Immigrant, Digital Native,
I.
urutan keempat active reach sebanyak 57.28% dan waktu kunjungan per orang sekitar 7 jam 1 menit 41 detik (Straubhaar, 2013: 264) Hal di atas juga semakin dikuatkan oleh internet reputation Google yang juga terbukti sangat bagus. Hal ini dilihat dari kriteria trustworthiness yang mencapai skor 94, vendor reliability mencapai skor 94, privacy mencapai skor 94 dan perolehan skor 92 untuk child safety. (http://www.statshow.com/www/google.com diakses 10 Januari 2016) Salah satu implementasi Cloud Computing Google yaitu Google Apps for Education. Google Apps for Education (GAFE) adalah layanan google untuk dunia pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA/MA/SMK dan perguruan tinggi. Google memberi solusi untuk komunikasi yang terintegrasi dengan email, kalender dan obrolan/ diskusi dan solusi berkolaborasi dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Pepita Gunawan, Indonesian Education Lead for Google Southeast Asia, GAFE adalah serangkaian aplikasi dengan sinergisitas dan kolaborasi real time antara mahasiswa, dosen, dan staff di kampus yang bisa diakses menggunakan PC computer, notebook, tablet, bahkan smartphone. Termasuk di dalamnya aplikasi Email, Calendar, Sites, Docs/Drive, Groups, video, social media yang dapat diintegrasikan dengan Learning Management System di kampus dengan Google yang bertindak sebagai vendor. (https://www.google.co.id/intl/id/edu/products/prod uctivity-tools/ diakses 10 Januari 2016)
PENDAHULUAN
Perubahan selalu terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia termasuk teknologi komunikasi. Teknologi komunikasi berubah di setiap generasi dengan kecenderungan mengikuti Hukum Moore, salah satunya Cloud Computing. Cloud computing ini sejatinya merupakan gabungan pemanfaatan teknologi komputer (‘komputasi’) dan pengembangan berbasis Internet (‘awan’). Kemajuan yang signifikan dalam bidang Information & Communication Technology (ICT) secara umum dan munculnya situs jejaring sosial (SNS) dan aplikasi Web 2.0 lainnya, secara khusus, menyebabkan meningkatnya pertumbuhan dan popularitas Cloud Computing. Melalui penggunaan teknologi virtualisasi, Cloud Computing menjanjikan untuk menghilangkan kebutuhan untuk pemeliharaan mahal dari perangkat keras (hardware) komputer dan menyediakan sejumlah pengguna yang beragam dengan menggunakan serangkaian sumber fisik untuk saling berbagi yang sama. Dengan adanya Cloud Computing kita hanya membutuhkan PC atau laptop serta koneksi internet. Bahkan kita tidak lagi membutuhkan harddrive untuk menyimpan data.
(Straubhaar, 2013: 263) Salah satu perusahaan IT yang terus berinovasi dan memperluas bisnis perangkat lunak internet berupa Cloud Computing yaitu Google. Berdasarkan hasil survey Nielsen NetView bulan Januari 2010, Google termasuk dalam sepuluh properti website dan perusahan IT terpopuler di dunia. Goole berhasil menduduki peringkat pertama dengan active reach sebanyak 79.83% dan waktu kunjungan per orang sekitar 2 jam 1 menit 33 detik. Google berhasil mengalahkan Yahoo! yang menduduki peringkat kedua dengan active reach sebanyak 66.97% dan waktu kunjungan per orang sekitar 2 jam 8 menit 51 detik, Microsoft di urutan ketiga dengan active reach sebanyak 59.80% dan waktu kunjungan per orang sekitar 1 jam 29 menit 52 detik dan Facebook di
Adapun fitur utama GAFE antara lain 1.
Gmail Gmail pada fitur GAFE berbeda dengan Gmail pada umumnya yang berdomain @gmail.com karena domain email yang ada akan disesuaikan dengan nama sekolah atau kampus seperti misalnya
[email protected] sesuai dengan kesepakatan dengan Google. Google Apps 184
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
menawarkan penyimpanan hingga 30 GB per pengguna, pemfilteran spam yang canggih, dan jaminan waktu aktif sesuai Service Level Agreement (SLA) 99,9%. Semua dihosting oleh Google, tanpa biaya dan tanpa iklan untuk mahasiswa, pengajar, dan juga staf. Gmail dirancang untuk membuat siapa pun lebih produktif. Penyimpanan hingga 30 GB berarti tidak perlu menghapus apa pun, penelusuran yang canggih berarti segala sesuatunya ada dalam jangkauan, dan label serta filter membantu pengguna Pengguna tetap teratur. Gmail diberdayakan secara aman oleh web, sehingga mahasiswa dan staf pengajar dapat menjadi produktif di rumah, di jalan, atau di perangkat seluler mereka. Kotak masuk tak sekadar berisi pesan, namun juga orang. Fitur Ngobrol berupa teks, suara, dan video berarti bahwa mahasiswa dan dosen dapat melihat siapa yang sedang online dan langsung terhubung. Tidak ingin mahasiswa Pengguna menggunakan fitur obrolan? Ingin membatasi siapa yang dapat mengirim email kepada siapa? Semua itu ada di kontrol administrator.
4.
Documents GAFE memiliki fitur documents yang terdiri atas spreadsheet dan presentasi. Pada spreadsheet memiliki fitur yang hampir sama dengan Ms Words dan MS Excel. Kita dapat menyimpan dan membagikan daftar, melacak proyek, menganalisis data, dan melacak hasil dengan editor spreadsheet canggih Google dengan melibatkan beberapa orang dan realtime. Sedangkan untuk presentasi, kita dapat membuat slide yang indah dengan editor presentasi Google, yang mendukung hal-hal seperti video yang disematkan, animasi, dan transisi slide dinamis. Setelah selesai kita bisa mempublikasikan presentasi Pengguna di web sehingga siapa saja dapat melihatnya, atau membagikan presentasi itu secara pribadi. 5.
Sites Mahasiswa juga dapat membuat website tanpa menulis kode apapun. Semudah menulis dokumen. Dan, untuk menghemat lebih banyak waktu, Pengguna dapat menyediakan ratusan template siap pakai untuk mereka. Administrator dapat mengelola izin berbagi situs di lingkup universitas, dan penulis dapat berbagi dan mencabut akses file setiap saat. Google Sites dapat digunakan pada browser di komputer PC, Mac, dan Linux sehingga dosen, mahasiswa, dan staf tidak perlu membeli atau mengunduh perangkat lunak.
2.
Kalender Hamparkan beberapa kalender untuk melihat saat orang-orang tersedia - cara terbaik untuk mengelola jadwal informasi akademik, misalnya. Google Kalender mengirimkan undangan dan mengelola RSVP (Répondez S'il Vous Plaît). Google Kalender diintegrasikan ke dalam Gmail dan dapat dioperasikan bersama dengan aplikasi kalender populer. Kalender dapat dibagi ke seluruh bagian baik dari tingkat jurusan, fakultas, universitas atau dengan kolega tertentu. Beragam kontrol izin berbagi membantu menjaga keamanan dan privasi.
Alasan mengapa Google memilih bekerjasama dengan Perguruan Tinggi sebagai tempat pengadopsi Google Apps for Education yang berbasis Cloud Computing yaitu karena pendidikan
tinggi sangat ideal untuk difusi inovasi karena dua alasan yaitu pertama, kebebasan tingkat individu, penelitian dan fakultas adalah jantung yang bisa mendorong inovasi dan kedua, perubahan di level fakultas atau jurusan, perubahan pedagogis dan teknologi adalah selalu konstan (Barone, 2003; Duderstadt, 2000; Watson, 2007).
3.
Drive Google Drive di perangkat Mac, PC, Android, atau iOS Pengguna memberi Pengguna satu tempat untuk versi terbaru file Pengguna dari mana saja. Bagikan file satu per satu atau seluruh folder dengan orang tertentu atau seluruh tim atau bahkan kontraktor, mitra, dan konstituen. Buat dan balas komentar di file untuk mendapatkan masukan atau menambahkan ide. Mulai dengan hingga 30 GB kapasitas gratis untuk setiap pengguna.
Dalam disertasinya, Watson mengungkapkan bahwa “Universities of the 21st century are seeking to remain relevant in a rapidly 185
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
changing social and cultural landscape … they have the potential to affect change locally, through interactions with individual faculty, and globally, as those faculty then exercise new ideas, practices, and technologies.” (Watson, 2007:2)
keilmuan baik secara hardskill maupun sofskill untuk meningkatkan daya saing di tingkat global, mengingat Indonesia sudah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN. (UU No.14/2015 tentang Guru dan Dosen)
Informasi, komunikasi, dan teknologi merupakan tiga hal penting dalam kehidupan manusia yang tidak bisa dipisahkan. Sekarang ini kita memasuki era masyarakat informasi dimana kita hidup dan beraktivitas di dalamnya. Produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi informasi menjadi kunci utama aktivitas sosial dan ekonomi. Dalam masyarakat informasi, jumlah manusia yang menggunakan media komunikasi serta intensitas waktu yang dihabiskan meningkat secara tajam, baik di negara maju maupun negara berkembang. Bahkan hingga melahirkan sebuah generasi baru yaitu digital native, yaitu mereka yang lahir selama atau setelah pengenalan umum teknologi digital dan telah melalui interaksi dengan teknologi digital sejak usia dini, serta memiliki pemahaman mendalam tentang berbagai konsep teknologi. (Straubhaar, 2013: 24-25) Di dalam buku Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology dijelaskan terdapat dua kategorisasi generasi yang terkait siklus evolusi IT Literacy, yaitu digital native dan digital immigrant. Digital native adala mereka yang lahir setelah tahun 1980an dan memiliki karakteristik utama yaitu generasi yang multitasking, berpikir parallel, senang menggunakan berbagai macam media dalam satu waktu serta memiliki beragam sumber informasi. Generasi ini sering disebut sebagai Generasi Y dan Generasi Z . Sedangkan digital immigrant adalah mereka yang lahir sebelum tahun 1980 dengan karakteristik utama berupa keterbatasan sumber, cenderung fokus pada satu aktivitas, memiliki akses media yang terbatas, serta berpikir secara sekuensial dan dikenal juga dengan istilah generasi X. (Straubhaar, 2013: 255)
Hingga saat ini sudah ada lebih dari 50 kampus ternama di seluruh Indonesia yang mengadopsi GAFE dan Jawa Tengah menjadi salah satu lokasi adopter generasi pertama. Terdapat tiga Perguruan Tinggi yang merupakan pelopor untuk Gone Google yaitu Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), dan Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA). UNISSULA mendeklarasikan Gone Google pada tanggal 18 Januari 2013, disusul oleh UDINUS pada tanggal 13 Februari 2013 dan UNNES pada tanggal 4 April 2013. Menurut Pepita Gunawan selaku Edu Lead Indonesia Google Apps Supporting. Program. Ketiga perguruan tinggi tersebut dipilih oleh Google karena telah memiliki kesiapan infrastruktur yang memadai, memiliki budaya cyber yang cukup kuat serta potensi loyalitas sebagai end user Google. Menurut Rosenberg (2001), seiring dengan meningkatnya dan berkembangnya penggunaan ICT ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, dan (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi dalam pembelajaran dilakukan dengan menggunakan berbagai platform teknologi media termasuk teknologi komputasi awan. Interaksi antara dosen dan mahasiswa tidak lagi hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka. Dosen dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan mahasiswa. Demikian pula mahasiswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space dengan memanfaatkan teknologi digital. Oleh karena itu dosen dituntut untuk menguasai ICT agar dapat mengembangkan dan mengaplikasikannya dalam dunia pembelajaran. Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan dan kesempatan yang lebih luas kepada mahasiswa dalam proses pembelajaran agar mampu menguasai 186
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
Jika dikaitkan dengan perbedaan karakteristik antara dosen dan mahasiswa, mereka adalah dua generasi yang berbeda dimana mayoritas dosen adalah para digital immigrant sedangkan para mahasiswa merupakan generasi digital native. Namun pada kenyataannya justru dosen dan mahasiswa di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA mengadopsi Google Apps for Education dalam proses pembelajaran mereka. Oleh karena proses adopsi Google oleh dosen dan mahasiswa yang berbeda generasi di ketiga kampus tersebut menjadi menarik untuk diteliti mengingat UNNES, UDINUS, dan UNISSULA adalah kampus generasi pertama yang Gone Google baik di Jawa Tengah maupun di Indonesia. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain (1) mengapa dosen dan mahasiswa di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA mengadopsi GAFE?, (2) bagaimana proses adopsi GAFE di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA?, dan (3) bagaimana dosen sebagai digital immigrant dan mahasiswa sebagai digital native dengan segala keunikannya dapat mencapai mutal understanding dan berkolaborasi secara realtime dengan mengadopsi GAFE? Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan alasan di balik adopsi Google Apps for Education (GAFE), proses adopsi teknologi cloud computing milik Google yaitu Google Apps for Education (GAFE) di berbagai Perguruan Tinggi di Jawa Tengah serta mengangkat keunikan dimana dosen (digital immigrant) dan mahasiswa (digital native) dapat berkolaborasi secara realtime dengan mengadopsi GAFE dalam sistem pembelajaran. Secara akademis atau teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menguji teori teknologi komunikasi yaitu difusi inovasi dalam proses adopsi Google Apps for Education (GAFE) sehingga bisa memberikan kontribusi bagi peneliti selanjunya serta melengkapi penelitian sebelumnya terutama pada disiplin ilmu komunikasi dengan konsentrasi komunikasi strategis. Kemudian dalam tataran praktis, riset ini ditujukan kepada UNNES, UDINUS dan UNISSULA supaya dosen dan mahasiswa dapat berkolaborasi dalam pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi dengan memanfaatkan Google Apps for Education (GAFE) secara optimal Dalam
tataran sosial, riset ini diharapkan mampu memberikan arahan kepada publik tentang pergeseran lansekap (perkembangan lingkungan budaya dan ekosistem yang kompetitif) Pendidikan Tinggi di bidang teknologi komunikasi dan bagaimana aplikasi teknologi tersebut dapat dimaanfatkan dalam proses pembelajaran, khususnya oleh Perguruan Tinggi melalui Google Apps for Education (GAFE). . Penelitian tentang teknologi cloud computing tertuang dalam paper milik Constantinos K. Coursaris, Wietske van Osch , Jieun Sung dari Michigan State University yang berjudul A “Cloud Lifestyle”: The Diffusion of Cloud Computing Applications and the Effect of Demographic and Lifestyle Clusters. Sebagai teknologi baru, mereka bertiga tertarik menganalisis proses adopsi dan penggunaan Cloud Computing dengan mempertimbangkan karakteristik pengguna akhir, meliputi segmentasi demografis, gaya hidup dan pengetahuan yang relevan. Tujuan dari penelitian ini antara lain meneliti faktor-faktor konstektual dan atribut inovasi dari teknologi Cloud Computing yang mempengaruhi maksud adopsi dengan menggunakan partial-least square (PLS), mengidentifikasi berbagai segmentasi perilaku gaya hidup, dan meneliti peran dari berbagai konteks, persepsi dan maksud yang berbeda dalam proses adopsi dengan analisis kluster
Hasil dari PLS menunjukkan efek signifikan dari atribut inovasi pada maksud perilaku untuk menggunakan Cloud Computing. Sedangkan analisis kluster mengungkap ada tiga kluster gaya hidup, yaitu Traditionalist, Hedonic Yuppies, dan Intelligent Bussinessman. Dari ketiga kluster di atas, Hedonic Yuppies sangat kuat dalam mencerminkan “Cloud Lifestyle”. Selain itu penelitian ini juga mengungkap pentingnya variabel gaya hidup dan demografis untuk memahami, menjelaskan dan memprediksi adopsi. Peneliti menggunakan Teori Difusi Inovasi dari Rogers (2003) yang menjelaskan bagaimana inovasi atau ide baru disebarluaskan dalam sistem sosial dari waktu ke waktu, memfokuskan diri pada pengetahuan, perubahan sikap dan 187
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi adopsi inovasi. Teori Difusi Inovasi digunakan untuk menganalisis seperangkat karakteristik inovasi dengan lebih luas, yaitu (1) relative advantage, (2) complexity, (3) compatibility, (4) observability, dan (5) triability. Selain lima faktor tersebut, Ostlund (1974) juga menambahkan risiko sebagai salah satu atribut inovasi. Risiko disini yaitu, ketidakpastian yang dirasakan dalam pembelian situasi-sebagai prediktor tambahan perilaku niat orang untuk mengadopsi. Risiko munculnya produk masa depan yang baru dan lebih baik serta keamanan dan privasi negatif mempengaruhi keputusan adopsi. Seperti disebutkan di atas, Cloud Computing dikaitkan dengan risiko keamanan dan privasi, maka, ini mungkin berpengaruh negatif terhadap adopsi. Menarik dari pendapat Coursaris dan Kim (2013) mengenai kerangka kegunaan kontekstual, peneliti menyarankan bahwa kegunaan dan konsekuensi kegunaan (termasuk adopsi) dipengaruhi oleh 4 rangkaian faktor kontekstual yaitu (1) User, (2) Environment, (3) Technology, dan (4) Task/Activity characteristics Dalam penelitian ini, peneliti menggali tiga faktor kontekstual yang semuanya berkedudukan sebagai variabel anteseden yaitu (1) tekanan social dari kelompok rujukan untuk melakukan perilaku tertentu, (2) tingkat paparan sebelumnya terhadap teknologi terkait, dan (3) kesadaran masyarakkat dan informasi tentang teknologi baru. Studi ini juga menggunakan model Brand Strategy Research (BSR) yang menawarkan operasionalisasi multidimensi yang paling menyeluruh dan secara khusus berguna untuk menciptakan kluster motivasi dalam adopsi teknologi. BSR berfokus pada lima konstruksi yang bersama-sama menjelaskan gaya hidup konsumen, yaitu karakter, jenis rumah tangga,
informasi profesional, hobi dan minat, dan nilainilai. Berdasarkan model BSR, penelitian ini akan menggunakan segmentasi gaya hidup untuk membedakan antara beberapa kelompok konsumen berdasarkan dimensi gaya hidup di samping variabel demografi, teknologi, dan kontekstual, untuk memberikan penjelasan yang lebih holistik dan pemahaman yang lebih kaya dari proses adopsi yang terkait dengan aplikasi ”note” pada Cloud Computing Studi ini fokus pada aplikasi “note” pada Cloud Computing, yaitu aplikasi editing dokumen yang dapat digunakan pada halaman web dan perangkat mobile serta mendukukung sinkronisasi dan update otomatis , sejumlah pilihan penyimpanan dan berbagi. Penelitian ini menggunakan random sampling pada 1721 respondent yang tinggal di AS dan berumur minimal 18 tahun. Selanjutnya data yang dipakai hanya sebanyak 402 orang sedangkan sisanya sebanyak 1319 didiskualifikasi. Semua skala dalam kuesioner, kecuali untuk skala untuk pengetahuan, yang diadaptasi dari studi yang ada. Selanjutnya, semua skala, kecuali untuk skala untuk pengetahuan, diukur sepanjang skala Likert lima poin mulai dari "sangat tidak setuju" untuk "sangat setuju". Hasil penelitian membuktikan bahwa atribut inovasi memiliki dampak yang signifikan pada keinginan menggunakan inovasi dan dari tiga faktor konstekstual yang berkedudukan sebagai variabel anteseden, pengaruh sosial menjadi faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi atribut inovasi. Berbagai teori Teori Difusi Inovasi milik Rogers dkk (2003) dianggap paling sesuai untuk menyelidiki proses adopsi teknologi dalam pendidikan tinggi dan lingkungan pendidikan karena telah dipelajari dan diuji selama lebih dari 30 tahun dan menjadi salah satu model teori yang bisa diaplikasikan dalam berbagai disiplin 188
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
Untuk mengurangi ketidakpastian individu seharusnya diinformasi tentang keuntungan dan kerugian untuk membuat mereka sadar tentang konsekuensinya. Inovasi dalam penelitian ini adalah Google Apps for Education (GAFE).
ilmu termasuk ilmu komunikasi (Medlin, 2001; Parisot, 1995). Rogers mendefinisikan adopsi sebagai sebuah keputusan untuk secara penuh menggunakan salah satu inovasi sebagai salah satu cara praktik terbaik dari perilaku yang tersedia dan penolakan adalah sebuah keputusan untuk tidak mengadopsi sebuah inovasi. Selain itu Rogers mendefinisikan difusi sebagai proses dimana inovasi dikomunikasikan melalui channel tertentu secara terus-menerus di antara anggota dari sebuah sistem sosial.(Rogers, 2003 : 5)
Menurut Rogers komunikasi adalah proses dimana partisipan menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lain untuk mencapai pemahaman bersama. Komunikasi ini terjadi melalui channel antar sumber. Sumber adalah individu atau institusi yang memulai pesan sedangkan channel adalah cara dimana pesan disalurkan dari sumber kepada penerima. Media massa dan komunikasi interpersonal adalah dua channel komunikasi. (Rogers, 2003 : 10) Para peneliti menggolongkan saluran komunikasi (1) dari segi sifatnya: interpersonal dan media massa, (2) dari asalnya: lokalit dan kosmopolit. Kajian dan penelitian yang lalu
Terdapat empat elemen utama dalam difusi inovasi, yaitu (1) inovasi, (2) saluran komunikasi, (3) waktu, dan (4) sistem sosial. Inovasi merupakan ide, praktik atau proyek yang dianggap baru oleh individu atau unit lain untuk diadopsi. Ketidakpastian menjadi penghalang dari adopsi inovasi. Konsekuensi inovasi memungkinkan untuk menciptakan ketidakpastian. Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi dalam diri individu atau sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan terhadap sebuah inovasi.
Gambar 1- Model Tahapan Proses Keputusan Inovasi Figure 1- A Model of Stage in Innovation Decision Process Sumber : Everett M. Rogers. (2003). Diffusion of Innovations, 5th Edition. Hal 170
189
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
tersebut. Apa, bagaimana, dan kenapa menjadi pertanyaan kritis dalam fase pengetahuan. Dalam hal ini reputasi dari unit (baik itu individu ataupun institusi) yang mengeluarkan inovasi sangat mempengaruhi dalam pembentukan pengetahuan individu. Reputasi ini berkaitan dengan frame of references dan field of experience. Menurut, field of experience dalam proses difusi inovasi adalah praktik sebelumnya (previous practice). Praktik sebelumnya merupakan standar familiar dimana inovasi diintepretasikan dengan baik sehingga menurunkan ketidakpastian. Tingkat adopsi ide baru
menunjukkan bahwa saluran komunikasi ini memainkan peranan yang berbeda dalam menciptakan pengetahuan atau dalam membujuk orang agar merubah sikap mereka terhadap inovasi. Saluran juga berbeda bagi pengguna awal ide baru dan pengguna akhir. (Rogers, 2003 : 197-198) Seringkali aspek waktu diabaikan dalam hampir semua riset perilaku. Proses difusi inovasi, kategorisasi pengadopsi, dan tingkat adopsi semuanya melibatkan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial. Sedangkan sistem sosial merupakan serangkaian unit terkait yang terikat dan bergabung dalam penyelesaian masalah untuk mencapai tujuan tertentu. Karena difusi inovasi terjadi dalam sistem sosial maka ini dipengaruhi struktur sosial dari sistem sosial. Menurut Rogers, struktur adalah pengaturan berpola dari unit-unit yang ada dalam sebuah sistem. (Rogers, 2003 : 10) Dalam penelitian ini yang menjadi sistem sosial yaitu Perguruan Tinggi di Jawa Tengah khususnya kota Semarang yang sudah menggunakan Google Apps for Education. Dalam bukunya, Rogers menggambarkan tahapan proses keputusan dalam mengadopsi sebuah inovasi untuk memberikan pemahaman kepada kita bagaimana sebuah inovasi bisa berhasil atau gagal untuk diadopsi. Berikut ini merupakan model tahapan dalam proses keputusan adopsi inovasi.
dipengaruhi oleh gagasan lama yang menggantikan. Jelas, namun, jika ide baru yang benar-benar selaras dengan praktek yang ada, tidak akan ada inovasi, setidaknya dalam pikiran pengadopsi potensial. Sebuah pengalaman negatif dengan satu inovasi dapat mempengaruhi adopsi inovasi masa depan. Negativisme inovasi adalah sejauh mana kondisi kegagalan suatu inovasi pada adopter potensial untuk menolak inovasi di masa mendatang. Ketika satu ide gagal, pengadopsi potensial dikondisikan untuk melihat semua inovasi masa depan dengan kekhawatiran. (Rogers, 2003:171) Inovasi teknologi menciptakan semacam ketidakpastian dalam pikiran pengadopsi potensial (tentang konsekuensi yang diharapkan), serta menggambarkan kesempatan untuk mengurangi ketidakpastian dalam arti yaitu informasi teknologi. Jenis terakhir dari pengurangan potensial dari ketidakpastian (informasi yang terkandung dalam inovasi teknologi itu sendiri) menunjukkan kemungkinan keberhasilan inovasi dalam pemecahan kebutuhan yang dirasa atau masalah yang dihadapi seseorang. Keuntungan ini memberikan motivasi yang mendorong seseorang untuk memaksimalkan usaha dengan mendalami dan mempelajari tentang inovasi. Setelah kegiatan mencari informasi tersebut dapat mengurangi ketidakpastian tentang konsekuensi yang
A. Knowledge Stage Lawrence (1981) sebagai seorang sosiolog mencoba menjelaskan apa saja yang terjadi dalam tahap pembentukan pengetahuan. Dalam tataran kognitif ini, individu belajar tentang keberadaan inovasi dan mencari informasi tentang inovasi 190
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
perubahan dibanding yang lebih lambat
diharapkan atas inovasi ke tingkat yang dapat ditoleransi bagi masing-masing individu, keputusan mengenai adopsi atau penolakan akan serta merta dibuat. (Rogers, 2003 : 13)
Generalisasi 6
Selama tahap pengetahuan, individu juga mencoba untuk menentukan apakah inovasi itu dan mengapa inovasi itu bekerja. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membentuk tiga tipe dari pengetahuan, yaitu (1) awareness knowledge yang merepresentasikan keberadaan inovasi, (2) how-to-knowledge yang mengandung informasi tentang bagaimana cara menggunakan inovasi secara benar, dan (3) principle knowledge yang melibatkan prinsip fungsi yang mendeskripsikan bagaimana sebuah inovasi bekerja. Karakteristik sosioekonomi individu dianggap memiliki pengaruh dalam tahap pengetahuan. Dengan kata lain, orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan keadaan sosioekonomi yang lebih tinggi lebih cepat tahu mengenai inovasi tertentu. Dalam bukunya, Rogers merangkum berbagai generalisasi temuan penelitian tentang pengetahuan awal tentang inovasi yang dijelaskan dalam tabel berikut ini:
Generalisasi 7
Sumber: Everett M. Rogers. (2003). Diffusion of Innovations, 5th Edition. 174 1. Persuasion Stage Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap negatif atau positif terhadap inovasi tetapi pembentukan sikap yang baik ataupun tidak baik terhadap inovasi. Namun tidak selalu mengacu langsung atau tidak langsung menjadi adopsi atau menolak. Tahap persuasi lebih fokus pada afektif. Tingkat ketidakpastian lanjutan tentang fungsi inovasi dan penguatan sosial dari pihak lain mempengaruhi pendapat dan keyakinan individu tentang inovasi tersebut. Evaluasi subjektif kelompok rujukan terdekat yang mengurangi ketidakpastian tentang hasil inovasi biasanya lebih kredibel. (Rogers, 2003:175)
Tabel 1. Generaliasi Pengetahuan Awal tentang Inovasi Table 1. Early Knowledge Generalization of Innovation Generalisasi 1
Generalisasi 2
Generalisasi 3
Generalisasi 4
Generalisasi 5
Orang yang mengetahui inovasi lebih awal memiliki partisipasi sosial yang lebih banyak dibanding yang lebih lambat Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih bersifat kosmopolit dibanding yang lebih lambat
2. Decision Stage
Orang yang mengetahui inovasi lebih awal memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibanding yang lebih lambat Orang yang mengetahui inovasi lebih awal memiliki status sosial yang lebih tinggi dibanding yang lebih lambat Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih terekspos pada saluran-saluran komunikasi media massa dibanding yang lebih lambat Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih terekspos pada saluran-saluran komunikasi interpersonal dibanding yang lebih lambat Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih terekspos memiliki lebih banyak kontak agen
Tahap keputusan dalam proses keputusaninovasi terjadi ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) terlibat dalam kegiatan yang mengarah pada pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk memanfaatkan sepenuhnya suatu inovasi sebagai tindakan terbaik yang tersedia. Penolakan adalah keputusan untuk tidak mengadopsi suatu inovasi. (Rogers, 2003 : 177) Pada tahap ini individu memilih untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Jika inovasi memiliki basis percobaan sementara, biasanya akan diadopsi secara lebih cepat karena hampir setiap individu pertama kali ingin mencoba inovasi dalam situasi mereka sendiri dan kemudian datang dengan 191
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
keputusan adopsi. Percobaan yang mewakili ini dapat mempercepat proses keputusan terhadap inovasi. (Rogers, 2003 : 177) Terdapat 2 macam penolakan, yaitu (1) Active rejection di mana individu mencoba inovasi dan berpikir akan mengadopsi, namun kenyataannya dia memutuskan untuk tidak mengadopsi dan (2) Passive rejection di mana individu tidak berpikir sama sekali untuk mengadopsi (Rogers, 2003:178)
mengenai Computer Self-Efficacy (CSE) dalam Ruang Lingkup Usia dalam Penggunaan Teknologi Informasi. Wina menemukan bahwa mereka yang berumur 15 hingga 25 tahun memiliki tingkat CSE tertinggi dan terbaik dibandingkan kategori umur lainnya yaitu 26-35 tahun dan 36-49 tahun. Bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan responden, responden yang berusia 36-49 tahun menyatakan beberapa kesulitan bagi mereka untuk mempelajari komputer. Alasan pertama, mereka mengenal komputer atau mempelajarinya pada saat mereka memasuki tingkat perguruan tinggi sehingga mereka mengenalnya pada saat berusia 18/19 tahun. Akan tetapi bagi mereka yang berusia 15 hingga 25 tahun sudah mendapatkan pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi dari SD ataupun SMP. Alasan kedua, respoden dengan usia 36-49 tahun mengatakan sulit bagi mereka belajar di usia yang sudah tua karena mereka lama untuk mengingat dan mudah untuk melupakan apa yang mereka pelajari jika tidak menjadi sebuah kebiasaan. Alasan terakhir, masalah dalam penggunaan komputer yang lebih banyak menggunakan bahasa Inggris. Responden yang berusia 36-49 tahun mengeluhkan sulitnya untuk mengerti berbagai program dan menu yang ada di dalam komputer karena penggunaan bahasa Inggris yang menjadi faktor utamanya.
3. Implementation Stage Dalam tahap ini, inovasi sudah berada dalam posisi praktis. Ketidakpastian tentang hasil inovasi masih menjadi masalah dalam fase ini. Oleh karenanya orang yang melakukan implementasi butuh bantuan teknis dari agen perubahan dan pihak lain untuk mengurangi tingkatan ketidakpastian tersebut. Reinvention biasanya juga terjadi pada tahap ini. Reinvention sendiri yaitu sejauh mana sebuah inovasi diubah atau dimodifikasi oleh pengguna dalam proses adopsi dan implementasi. Semakin banyak reinvention yang terjadi maka akan semakin cepat pula inovasi diadopsi dan menjadi diinstitusionalkan. (Rogers, 2003:180) 4. Confirmation Pada tahap ini individu cenderung akan mencari dukungan untuk keputusannya. Karena bergantung pada dukungan, diskontinyuitas umum terjadi selama tahap konfirmasi. Diskonyuitas ini terjadi dalam dua cara, yaitu (1) replacement discontinuance dimana individu menolak inovasi dan selanjutnya mengadopsi inovasi yang lebih baik untuk menggantikan inovasi sebelumnya dan (2) disenchantment discontinuance dimana individu menolak inovasi karena mereka merasa tidak puas dengan kinerja inovasi tersebut (Rogers, 2003:184) Christ Roberts (2008) dalam salah satu tulisannya yang berjudul Personal Computers di buku Communication Technology Update, generasi anak kuliah sekarang berada pada gelombang pertama digital native yang kehidupannya, budayanya, identitasnya terikat dengan komputer dan Computer-Mediated Communication. Hal
II. METODOLOGI Penelitian tentang adopsi Google Apps for Education (GAFE) pemanfaatan di Perguruan Tinggi: sebuah kolaborasi real-time dosen dan mahasiswa menggunakan pendekatan kualitatif karena kedudukan penelitian didasarkan atas interpretasi subyek, dan temuan penelitian terikat konteks. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggambarkan atau mendeskripsikan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan (Kriyantono, 2006: 57). Sedangkan jenis penelitiannya adalah deskriptif karena bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta dan sifat obyek tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah grounded. Grounded theory merupakan prosedur penelitian sekaligus teori baru yang bertujuan menghasilkan
tersebut semakin diperkuat oleh hasil penelitian oleh Wina Nurfitriani (2013) 192
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
atau mengembangkan teori baru. Grounded adalah sebuah pendekatan yang refleksif dan terbuka, di mana pengumpulan data, pengembangan konsepkonsep teoritis, dan ulasan literature berlangsung dalam proses yang berkelanjutan (Daymon dan Holloway, 2008: 180). Penelitian ini menggunakan grounded karena permasalahan penelitian tepat didekati dengan grounded, di mana penelitian ini fokus pada rangkaian peristiwa, tindakan, dan aktivitas individual maupun kolektif yang berkembang dari waktu ke waktu dan dalam konteks tertentu. Dalam metode grounded ada beberapa prosedur penelitian. Prosedur-prosedur itu adalah perbandingan konstan, pengajuan pertanyaan yang bersifat generatif dan berhubungan dengan konsep secara sistematis, sampling teoritis, prosedur pengkodean secara sistematis, kerangka penelitian yang memadatkan konsep, dan variasi dan integrasi konseptual (Denzin dan Lincoln, 2009: 351). Menurut Strauss dan Corbin metode pengumpulan datanya hampir sama dengan penelitian kualitatif lainnya, yaitu wawancara (mendalam) dan observasi lapangan yang didukung dengan dokumentasi dalam berbagai bentuk. (Denzin dan Lincoln, 2009: 350) Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) dan Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) yang merupakan Perguruan Tinggi di Jawa Tengah dipilih menjadi situs penelitian. Alasan pemilihan lokasi penelitian yaitu karena ketiga Perguruan Tinggi tersebut sudah mengadopsi Google Apps for Education (GAFE) lebih dari dua tahun. Menurut Rogers, proses adopsi dikatakan sempurna bila telah memenuhi kurun waktu sekurang-kurangnya dua tahun sehingga ketiga Perguruan Tinggi tersebut dianggap memenuhi syarat. Dalam menentukan unit analisis peneliti menggunakan purposive sampling yaitu pengambilan sample berdasarkan kriteria tertentu yang harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian (Johnston, 2009:208). Teknik ini mencakup orang-orang yang akan diseleksi atas kriteria-kriteria tertentu yang dibuat peneliti berdasarkan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini unit analisisnya adalah adalah dosen dan mahasiswa di UNNES, UDINUS, UNISSULA yang aktif
menggunakan GAFE dalam sistem pembelajaran sebanyak 12 orang, di mana masing-masing Perguruang Tinggi diwakili oleh 2 orang dosen dan 2 orang mahasiswa. Untuk penelitian yang menggunakan metode grounded theory, teknik pengumpulan data yang akan digunakan antara lain, (Yin, 2006: 103-118) 1.
2.
3.
4.
Dokumentasi Dokumen digunakan untuk mendukung dan menambahkan bukti dari sumber-sumber lain. Teknik dokumentasi bertujuan untuk mengumpulkan data-data sekunder yang diperoleh dengan cara mengumpulkan dan mempelajari dokumentasi tertulis, serta dokumen-dokumen lain yang relevan. Buku, jurnal, thesis, disertasi serta tulisan di internet atau media massa yang berkaitan dengan penelitian digunakan dalam rangka mendukung penelitian ini. Rekaman arsip Pengumpulan data dalam penelitian ini juga memanfaatkan sumber – sumber yang berasal dari arsip-arsip Perguruan Tinggi dan proses pembelajaran yang sudah dilaksanakan. Rekaman-rekaman arsip ini dapat digunakan bersama-sama dengan sumber-sumber informasi yang lain dalam penelitian. Sumbersumber arsip dapat menghasilan informasi kualitatif maupun kuantitatif. Wawancara Teknik wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data primer. Wawancara dilakukan secara mendalam dengan menggunakan panduan wawancara atau interview guide, ataupun pertanyaan – pertanyaan yang sifatnya spontan muncul saat wawancara. Wawancara ini bersifat luwes, susunan pertanyaan dan susunan kata – kata dalam pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial-budaya responden yang dihadapi. Observasi langsung Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi non partisan, yaitu dengan mengamati langsung objek yang diteliti.
Setelah data-data terkumpul selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data kualitatif dimulai dari analisis berbagai data yang berhasil dikumpulkan peneliti di lapangan. Data yang 193
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
terkumpul baik melalui wawancara mendalam, dokumen-dokumen serta rekaman arsip. Kemudian data tersebut diklarifikasikan ke dalam kategori tertentu. Setelah melakukan klarifikasi, peneliti melakukan pemaknaan terhadap data. Pemaknaan ini merupakan prinsip dasar penelitian kualitatif, yaitu realitas ada pada pikiran manusia, realitas adalah hasil konstruksi sosial manusia. Setelah pemaknaan atau intrepetasi, penelitian kemudian berteori untuk menjelaskan dan berargumentasi tentang temuannya (Kriyantono,2006:192 :197). Menurut Denzin dan Lincoln (2009: 350) terdapat beberapa strategi umum yang dapat dilakukan dalam analisis data, yaitu (1) memasukkan informan dalam daftar yang berbeda, (2) membuat matriks kategori dan menempatkan bukti-bukti ke dalam kategori tersebut, (3) menciptakan analisis data – flowchart dan perangkat lainnya- guna memeriksa data yang bersangkutan, dan (4) memasukkan informan ke dalam urutan kronologis/ menggunakan skema waktu atau kelompok tertentu. Jenis analisis data dalam analisis umum yang digunakan adalah mendasarkan pada proposisi teori, menganalisa dengan mendasarkan pada proposisi teori yang menuntun dalam penelitian. Proposisiproposisi ini akan membantu menfokuskan perhatian pada data tertentu dan mengabaikan data yang lain. Bentuk analisis yang digunakan adalah bentuk analisis dominan dengan penjodohan pola dengan membandingkan antara kenyataan dan hipotesa/ dugaan-dugaan yang berdasarkan teori dan konsep. Goodness criteria atau uji kualitas data sangat dibutuhkan untuk memastikan data yang disampaikan dalam penelitian ini terpercaya dan dipastikan kebenarannya. Uji kualitas data yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan kepercayaan (kredibilitas/ credibility) dan ketergantungan (dependability). Jenis uji kredibilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah respondent balidation or member validation, yaitu upaya peneliti untuk mendapatkan konfirmasi dari pihak yang diteliti. Ada tiga aspek yang perlu mendapatkan konfirmasi anatara lain (1) apa yang dikatakan oleh narasumber penelitian (2) melakukan konfirmasi dengan group partisipan dan (3) memberikan hasil jadi dari penelitian yang dilakukan
kepada para subjek penelitian. Sedangkan ketergantungan pada dasarnya sama dengan reliabilitas. Reliabilitas merupakan syarat bagi validitas. Hanya dengan data yang reliable, maka akan dapat diperoleh data yang valid. Untuk mendapatkan data yang reliable hasil penelitian kita dapat dinilai oleh kolega, seperti peers review baik sejak desain penelitian maupun hasil penelitian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Alasan di balik Adopsi Google Apps for Education Jutaan mahasiswa, tenaga kependidikan, dan dosen yang tersebar di berbagai Perguruan Tinggi di seluruh dunia (tidak hanya di Indonesia) menggunakan Google Apps for Education (GAFE) karena berbagai manfaat yang bisa didapat sekaligus. Selain itu bagi pihak universitas sendiri merupakan kerjasama yang menguntungkan karena dengan bekerjasama dengan Google mereka sudah menghemat sekitar $5 untuk setiap akun per tahun. Berikut adalah berbagai alasan di balik adopsi GAFE yang dikemukakan oleh dosen dan mahasiswa UNNES, UDINUS dan UNISSULA. 1. Keamanan Faktor keamanan menjadi pertimbangan pertama sebelum para dosen dan mahasiswa memutuskan untuk mengadopsi GAFE. Mayoritas informan menyatakan, “Kami tertarik menggunakan GAFE karena adanya sistem keamanan yang handal. Dimana privasi pengguna terjaga dan yang paling penting semua dicadangkan. Sehingga tidak perlu khawatir data hilang sewaktu-waktu. Berbeda dengan ketika kita menggunakan flashdisk atau hardisk untuk menyimpan data. Ketika rusak atau hilang, maka data kita ikut hilang. Selain memiliki data, user juga dapat mengontrol data tersebut.” Hal tersebut semakin diperkuat oleh Primagain, pihak yang ditunjuk resmi oleh Google dalam membantu mempercepat tingkat adopsi Google Apps for Education di tiga kampus tersebut. “GAFE berisi lusinan fitur keamanan penting yang secara khusus dirancang agar data pengguna tetap aman, terlindung, dan berada dalam kontrol 194
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
pengguna. Data adalah milik pengguna dan aplikasi memungkinkan pengguna untuk mengontrolnya, termasuk kepada siapa dan bagaimana pengguna membagikannya. Jaringan pusat data Google memberikan keamanan dan jaminan yang luar biasa. Selain itu semua data pengguna GAFE akan dicadangkan secara otomatis di server Google. Sehingga bila terjadi hal-hal tidak diinginkan, pengguna tetap bisa langsung mulai bekerja tanpa hambatan. Sebagai catatan, setiap data yang pengguna masukkan ke Google Apps adalah milik pengguna, dan hal itu disebutkan dalam kontrak Google. Informasi Pengguna aman dari organisasi lain, meskipun semua itu ada pada server yang sama. Berbagai aplikasi yang canggih dan mudah digunakan secara langsung membantu administrator mengelola hal-hal seperti pengguna, dokumen, dan layanan, dan tetap melacak penggunaan serta data melalui dasbor. Dan tentu saja pengguna adalah pemilik data sepenuhnya, bukan Google. Pusat data Google yang dirancang dan dibangun untuk aplikasi tidak menyertakan perangkat keras maupun lunak yang tidak diperlukan. Ini akan mengurangi jumlah kerentanan yang berpotensi dapat dieksploitasi.” “Tidak hanya itu, GAFE menawarkan lapisan keamanan tambahan dengan autentikasi dua faktor, yang sangat mengurangi risiko pembajak mencuri nama pengguna dan sandi. Google juga mengenkripsi sesi browser secara otomatis dengan SSL untuk pengguna Apps tanpa memerlukan VPN atau infrastruktur lainnya yang rumit dan mahal. Hal ini membantu melindungi data pelajar dan pendidik saat melintas di antara browser pengguna dan pusat data Google. Tim keamanan informasi Google secara berkesinambungan memantau jaringan global pusat data Google. Banyak di antara mereka yang memiliki gelar tingkat lanjut dan merupakan tokoh pemikir yang menetapkan praktik keamanan info untuk industri Google. Google Apps dan pusat data Google juga telah lulus audit SSAE 16 / ISAE 3402 Tipe II SOC 2 dan telah meraih sertifikasi ISO 27001. Google Apps diatur oleh kebijakan privasi yang terperinci, yang menjamin Google tidak akan berbagi atau menyalahgunakan informasi pribadi yang dimasukkan ke dalam sistem Google. Google mematuhi hukum privasi AS yang berlaku, dan
Persyaratan Layanan Google Apps dapat menjabarkan dengan detail kewajiban dan kepatuhan Googleterhadap peraturan FERPA (UU Hak Pendidikan dan Privasi Keluarga). Google juga terdaftar dalam perjanjian Safe Harbor AS-UE, yang membantu memastikan bahwa kepatuhan perlindungan data Google memenuhi standar Uni Eropa untuk lembaga pendidikan.” 2. Tetap Terhubung Sebagai salah satu teknologi cloud computing, semua yang ada di Google Apps for Education (GAFE) otomatis disimpan di “awan” dan 100% diberdayakan oleh web. Ini berarti bahwa email, dokumen, kalender, dan situs dapat diakses dan diedit di hampir semua perangkat seluler atau tablet kapan saja dan di mana saja. 3. Kolaborasi real-time Seiring dengan perkembangan teknologi di dunia pendidikan, belajar bersama dalam waktu nyata dan jarak jauh bukanlah sebuah hal yang mustahil. Seperti pengalaman yang dirasakan oleh mahasiswa di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA. Berikut adalah hasil wawancara dengan Aditya Ati Ningsih, Mahasiswa FE UNISSULA angkatan 2013 “Baru kali ini saya bisa mengerjakan tugas kelompok secara bersama-sama tanpa harus bertatap muka. Dengan adanya GAFE, kami bisa mengerjakan tugas kelompok kapanpun juga saat kami mengingingkannya entah itu dari rumah, dari kampus, dari kost, dan hebatnya langsung diawasi oleh dosen yang bersangkutan secara real-time. Hal tersebut tentu saja memudahkan kami sebagai mahasiswa jika menemui kendala atau kesulitan dalam menyelesaikan tugas yang berbentuk paper atau presentasi.” Sedangkan dosen yang memiliki kewajiban melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi juga merasa terbantu dengan adanya teknologi Google Apps for Education. Kesibukan tidak lagi menjadi kendala untuk tetap berkomunikasi dengan rekan 195
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
sejawat dan para mahasiswa dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan. Cepat dan mudah berkolaborasi adalah yang membedakan Google Apps dengan aplikasi yang lain. Situs web dan alat pembuatan dokumen Google menawarkan pengeditan waktu nyata, kontrol berbagi yang canggih, dan kompatibilitas tanpa kendala merupakan lingkungan yang ideal untuk belajar di era TGIF ini. Dengan Google Documents, cukup berbagi dengan beberapa klik dan setiap mahasiswa di kelas, pengguna memiliki akses ke versi yang tepat dari setiap spreadsheet, dokumen, atau presentasi. Setiap orang dapat membuka dan mengedit pada saat yang bersamaan. Tidak perlu lagi mengirim bolak-balik lampiran dan beberapa versi melalui email yang tidak dapat pengguna lacak. Selain itu baik dekat maupun jauh, mahasiswa dan staf dapat mengatur obrolan video langsung dari kotak masuk Gmail pengguna atau membuka dokumen yang sama dan mengeditnya bersama-sama seolah-olah mereka duduk di depan komputer yang sama.
menyortir dan mengarsipkan), dan dapat dibagikan dengan siapa pun di universitas hanya dengan sekali klik. 5. Teknologi Informasi yang Kasat Mata Penggunaan Google Apps for Education (GAFE) akan lebih menghemat waktu dalam mengelola infrastruktur Teknologi Informasi pengguna. Dosen, mahasiswa dan administrator selalu memiliki akses ke perangkat lunak terbaru, termasuk fitur terbaru dan pembaruan keamanan. Pengguna tidak perlu membeli atau mengelola server dan segalanya dapat dikelola dari satu antarmuka. Dengan kata lain penggunaan aplikasi ini benarbenar gratis. Terlebih lagi organisasi pengguna dapat aktif dan berjalan di Apps dalam hitungan menit, dengan alamat email yang disesuaikan (
[email protected]). Jika pengguna belum memiliki alamat web, Google dapat membantu pengguna membuatnya. Dan saat pelajar dan staf baru bergabung, pengguna dapat menambahkan pengguna baru hanya dengan beberapa klik. Google Apps for Education (GAFE) tidak hanya gratis, tetapi pengguna tidak perlu membeli atau memelihara server sendiri atau perangkat lunak klien, sehingga pengguna juga akan menghemat uang pada hal tersebut. Google Apps diperbarui secara otomatis, sehingga rekan-rekan pengguna di divisi TI dapat melupakan kerepotan mengunduh dan menerapkan tambalan atau menghadapi risiko keamanan akibat pembaruan yang tertunda. Google mempermudahnya dengan mengelola segalanya, termasuk pembaruan produk, melalui server Google. Selain itu tak perlu menunggu bertahun-tahun untuk peningkatan versi produk. Apps diperbarui setiap saat pengguna masuk ke sistem, sehingga pengguna mendapatkan fitur terbaru segera setelah fitur tersebut siap. Hampir setiap minggu Google juga membuat pembaruan yang dapat menguntungkan bagi organisasi Pengguna. Selain itu, pengguna hanya membutuhkan browser internet untuk menggunakan dan menjaga Apps tetap diperbarui. Artinya, Pengguna tidak perlu
4. Kerja Tuntas Alasan keempat yang menjadikan Google Apps for Education (GAFE) diadopsi oleh para dosen dan mahasiswa yaitu kerja tuntas. Kerja tuntas disini maksudnya adalah GAFE dapat membantu mengefisienkan tugas-tugas akademik seperti menulis esai dan penjadwalan kelas. Sekelompok mahasiswa dapat bekerja sama dalam sebuah tugas di Google Documents, melihat perubahan secara waktu-nyata daripada menunggu versi dikirim melalui email. Mahasiswa dapat melihat persis kapan dosen mereka senggang dan sebaliknya dengan Google Kalender. Dengan menyingkirkan hal-hal yang menyia-nyiakan waktu, Apps meluangkan waktu pengguna untuk belajar dan mengajar. Dengan menggunakan Google Apps tidak ada waktu yang akan terbuang untuk mencari email, dokumen, situs proyek, atau file yang sulit ditemukan. Dengan Google Apps, semua dokumen pelajar dan pendidik pengguna berada dalam satu tempat, dapat ditemukan dengan cepat dengan penelusuran canggih Google (tidak perlu lagi 196
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
lagi memasang dan memelihara perangkat keras atau perangkat lunak klien khusus, sehingga dapat menghemat waktu Pengguna dalam upaya mengoperasikan semua perangkat tersebut.
keputusan difusi inovasi milik Rogers (2003) yaitu relative advantage, complexity, compatibility, observability, triability. relative advantage adalah sejauh mana inovasi dianggap lebih baik daripada gagasan yang digantikan, complexity memiliki pengertin sejauh mana inovasi dianggap sulit dipahami dan digunakan, sedangkan compatibility merupakan sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan pengadopsi potensial, observability sendiri yaitu sejauh mana hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain, dan triability adalah sejauh mana suatu inovasi dapat dieksperiman secara terbatas sehingga memungkinkan individu untuk melakukan “percobaan dan pembelian”. (Rogers, 2003:175)
6. Go Green Alasan terakhir yang terkadang luput dari perhatian adalah dengan beralih ke Google Apps membantu mengurangi pengeluaran perguruan tinggi secara keseluruhan dan dampak perguruan tinggi terhadap lingkungan. Apps diberdayakan oleh pusat data hemat energi milik Google, sehingga intensitas karbon dan energi yang digunakan lebih sedikit daripada server milik sendiri. Berikut merupakan alasan kenapa salah satu manfaat Google Apps for Education adalah Go Green. Selain itu pindah ke cloud berarti pengguna dapat menghemat biaya untuk infrastruktur TI dan listrik. Gunakan Gmail: memindahkan inang email Pengguna dari yang dimiliki sendiri ke gemawan dapat membuat pengguna hemat energi hingga 80x lebih besar. Alat kolaborasi seperti obrolan video dan dokumen bersama membantu pelajar dan pendidik merasa seperti mereka berada di ruang yang sama. Pengguna akan mengurangi pencetakan eksternal, biaya perjalanan antara kampus, dan keseluruhan jejak lingkungan Pengguna. Menurut Pepita Gunawan, Pepita Gunawan, Indonesian Education Lead for Google Southeast Asia, Google adalah perusahaan netral karbon.
B. Proses Adopsi Google Apps for Education di Perguruan Tinggi Google Apps for Education (GAFE) pertama kali dirilis sekitar bulan Oktober 2006. Namun di Indonesia sendiri GAFE baru dikenal setelah tahun 2010 itupun oleh kalangan terbatas. Tidak lama setelah itu Google mulai mengajak kerjasama Perguruan Tinggi di Indonesia, termasuk di antaranya Universitas Semarang (UNNES), Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), dan Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA). Setelah melakukan berbagai persiapan untuk proses adopsi Google Apps for Education (GAFE), UNISSULA akhirnya mendeklarasikan Gone Google pada tanggal 18 Januari 2013, disusul oleh UDINUS pada tanggal 13 Februari 2013 dan UNNES pada tanggal 4 April 2013. Pepita Gunawan selaku Edu Lead Indonesia Google Apps Supporting. Program mengatakan
“Perlu diketahui, Google mencapai posisi ini melalui kombinasi pusat data hemat energi, pembelian energi yang dapat diperbarui, dan penyeimbangan karbon bermutu tinggi. Ini berarti bahwa Google Apps (dan semua produk yang Pengguna gunakan di awan Google) memiliki dampak “benar-benar nol” terhadap lingkungan dan itu telah dijadikan salah satu komitmen.”
“Sekarang ini Brasil, Rusia, Indonesia, Meksiko (BRIM) sedang menjadi fokus Google untuk digarap, salah satunya di bidang pendidikan. BRIM merupakan 4 negara berkembang yang memiliki potensi sebagai end-user Google. Oleh karena itu kami memiliki target dimana setiap kampus yang sudah bekerja sama dengan Google dalam dua tahun sudah secara penuh mengadopsi Google Apps
Keenam alasan di atas menjelaskan atribut inovasi yang melekat dalam Goggle Apps for Education yang ada pada tahapan persuasi yang sudah dijelaskan dalam model tahapan proses 197
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
for Education (GAFE). Oleh karena itu Perguruan Tinggi yang kami pilih harus memiliki persyaratan minimal seperti telah memiliki kesiapan infrastruktur yang memadai, memiliki budaya cyber yang cukup kuat serta yang paling penting memiliki potensi loyalitas sebagai end user Google.”
berisi calon adopter, para opinion leader dilibatkan ke dalam serangkaian training for trainer dan workshop yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerjasama dengan Primagain (pihak ketiga yang resmi ditunjuk oleh Google). Seperti yang
disarikan Rogers dalam bukunya di Chapter 8 mengenai Opinion Leader dan Diffusion Network dimana ketika calon adopter terlibat dalam jaringan difusi interpersonal yang heterofii mereka cenderung akan mencari opinion leader yang (1) memiliki SES lebih tinggi, (2) memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, (3) mendapat terpaan media massa yang lebih baik, (4) lebih kosmopolit, (5) memiliki kontak yang baik dengan agen perubahan, (6) lebih inovatif (Rogers, 2003: 307)
Dalam proses adopsi GAFE di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA, mereka menggunakan dua channel komunikasi yaitu media massa dan komunikasi interpersonal. Saluran media massa adalah cara penyaluran pesan yang menggunakan perantara massa seperti website universitas, sosial media, surat kabar, dsb yang memungkinkan seseorang atau sedikit sumber menjangkau banyak audien. Media massa dapat (1) menjangkau audien lebih luas dan lebih cepat, (2) Menciptakan pengetahuan dan menyebarkan informasi, (3) Mengubah sikap-sikap yang kurang teguh. (Rogers, 2003 : 197-198) Pembetukan dan perubahan sikap yang teguh paling baik diakukan oleh saluran antar pribadi, tetapi saluran komunikasi antar pribadi juga penting dalam proses pembentukan pengetahuan untuk menghindari adanya mispersepsi. Saluran antar pribadi melibatkan pertemuan tatap muka antara dua orang atau lebih. Saluran ini lebih efektif untuk menghadapi penolakan dan keengganan pada sebagian komunikasi. Hal terbaik yang bisa dilakukan melalui komunikasi antar pribadi yaitu (1) pertukaran informasi bisa dua arah. Seseorang dapat memperoleh kejelasan atau informasi tambahan tentang inovasi dari orang lain. Ciri jaringan antar pribadi kadang-kadang memungkinkan mengatasi rintangan-rintangan sosiologis pemilihan terpaan, persepsi dan penyimpanan dan (2) mengajak orang atau mengubah sikap-sikap yang telah dipegang teguh. Peranan saluran antar pribadi terutama penting dalam membujuk seseorang untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi. (Rogers, 2003 : 197-198) Dalam penelitian ini komunikasi interpersonal yang digunakan dalam membantu proses adopsi Google Apps for Education (GAFE) yaitu para opinion leader dan Google Student Champion. Sebelum diterjunkan ke dalam jaringan difusi yang
Sedangkan Google Student Champion merupakan agent of change yang terlibat dalam proses adopsi, namun khusus bagi calon adopter mahasiswa. Untuk memudahkan dalam pengimplementasian GAFE, maka setiap kampus mengadakan seleksi untuk mendapatkan Google Student Champion yang nantinya bertugas sebagai agen perubahan terkait sosialisasi penggunaan GAFE di lingkungan kampus. Untuk menjadi Google Student Champion harus memenuhi kriteria seperti, prestasi akademik yang bagus (IPK > 3.5), bisa berbahasa Inggris baik aktif maupun pasif, memiliki kemampuan komunikasi dan presentasi yang baik, memiliki kepribadian menarik, memiliki softskill dan hardskill tentang ICT serta memiliki passion yang tinggi terhadap perkembangan teknologi ICT. Jika dilihat dari sudut pandang orang-orang yang diubah (the Client System), Agen Perubahan dalam buku The Change Agent's Guide to Innovation in Education (Ronald G. Havelock, 1973 : 8-9) berperan dalam 4 kemungkinan yaitu (1) sebagai katalis dimana agen perubahan perlu untuk mengatasi alasan seperti calon adopter yang tidak ingin berubah dan tetap mengingkan hal yang sama seperti sekarang. Agen perubahan perlu tahu tentang hal-hal apa saja yang membuat calon adopter berlaku demikian, (2) sebagai pemberi solusi dimana agen prubahan harus tahu kapan dan bagaimana 198
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
menawarkan solusi kepada calon adopter sesuai dengan kebutuhan mereka, (3) penolong selama proses adopsi berlangsung dimana Karena calon adopter tidak ahli dalam “bagaimana untuk berubah”, maka agen perubahan yang merupakan sekumpulan orang dengan kemampuan problem solver tertentu bisa membantu mereka. Sebagai process helper, agen perubahan dapat menyediakan asistensi seperti menunjukkan pada klien bagaimana untuk mengenali dan mendefinisikan kebutuhan, menunjukkan pada klien bagaimana untuk mendiagnosis masalah dan membentuk tujuan, menunjukkan pada klien bagaimana untuk memperoleh sumber yang relevan, dan (4) sebagai penghubung berbagai sumber. Sumber disini maksudnya bisa beragam, dari bantuan financial, solusi pengetahuan, pengetahuan dan kemampuan dalam mendeteksi masalah, memformulasi dan mengadopsi solusi dan kepiawaian dalam proses perubahan itu sendiri. Sumber juga bisa terdiri dari orang-orang dengan waktu, energi dan motivasi untuk membantu. Oleh karenanya, agen prubahan yang baik harus bisa menghubungkan calon adopter dengan berbagai sumber yang mereka butuhkan baik di dalam sistem maupun di luar sistem. Baik opinion leader maupun Google Student Champion, keduanya berperan baik langsung maupun tidak langsung di setiap tahap dalam proses adopsi Google Apps for Education (GAFE). Tahapan tersebut antara lain (1) knowledge stage, (2) persuasion stage, (3) decision stage, (4) implementation stage, dan (5) confirmation stage. Dalam tataran kognitif sendiri, individu belajar tentang keberadaan inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa, bagaimana, dan kenapa menjadi pertanyaan kritis dalam fase pengetahuan. Oleh karenanya reputasi dari institusi yang mengeluarkan inovasi sangat mempengaruhi dalam pembentukan pengetahuan individu. Reputasi ini berkaitan dengan frame of references dan field of experience dimana kedua hal tersebut sangat mempengaruhi keputusan adopsi individu. Menurut Rogers, field of experience dalam proses difusi inovasi adalah praktik sebelumnya (previous practice). Praktik sebelumnya merupakan standar familiar dimana inovasi diintepretasikan
dengan baik sehingga menurunkan ketidakpastian.
Tingkat adopsi ide baru dipengaruhi oleh gagasan lama yang menggantikan. Jelas, namun, jika ide baru yang benar-benar selaras dengan praktek yang ada, tidak akan ada inovasi, setidaknya dalam pikiran pengadopsi potensial. Sebuah pengalaman negatif dengan satu inovasi dapat mempengaruhi adopsi inovasi masa depan. Negativisme inovasi adalah sejauh mana kondisi kegagalan suatu inovasi pada adopter potensial untuk menolak inovasi di masa mendatang. Ketika satu ide gagal, pengadopsi potensial dikondisikan untuk melihat semua inovasi masa depan dengan kekhawatiran. (Rogers, 2003:225) Seperti yang ditekankan oleh Pepita Gunawan bahwa GAFE memiliki banyak aplikasi yang bisa disinergikan ke dalam sistem yang sudah ada. “Dengan GAFE, kalender akademik yang sudah ada di kampus bisa disinergikan dengan Google Calender yang bisa diakses setiap saat oleh mahasiswa dan dosen. Selain itu fasilitas email dari GAFE juga bisa dimanfaatkan untuk notifikasi gaji bagi semua dosen dan juga karyawan” Keberhasilan Google Apps for Education yang berbasis Cloud Computing salah satunya ditentukan oleh reputasi vendor yang mengeluarkan inovasi tersebut (dalam hal ini Google). Google sendiri pada bulan Januari 2010 masuk dalam 10 properti website terpopuler di dunia bahkan menduduki peringkat pertama mengalahkan vendor popular lainnya seperti Yahoo, Amazon, Facebook, dll. Selain itu internet reputation yang dimiliki Google juga sangat bagus karena skor yang dicapai untuk kriteria trustworthiness, vendor reliability, privacy dan child safety menunjukkan angka lebih dari 90. Hal tersebut semakin menguatkan bahwa Google memang memiliki reputasi yang baik dan diakui secara mendunia. Dalam berbagai penelitian di ranah psikologi sendiri menyatakan bahwa reputasi perusahaan mempengaruhi sisi kognitif, dan selanjutnya berimbas pada aspek afektif berupa keputusan awal para calon pengguna dalam proses 199
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
pengambilan keputusan (dalam Shuang-Yueh Pui, 2010)
yang terakhir untuk mengadopsi itu. Dengan demikian, keputusan inovasi mereka biasanya membutuhkan waktu lebih lama dari yang dibutuhkan inovator dan early adopter. 4. Late Majority : Sceptical, meliputi sepertiga dari seluruh anggota sistem sosial yang menunggu sampai sebagian besar rekanrekan mereka mengadopsi inovasi. Meskipun mereka skeptis tentang inovasi dan hasil-hasilnya, kebutuhan ekonomi dan tekanan teman sebaya dapat menuntun mereka untuk adopsi inovasi. 5. Laggards : Traditional, Laggard memiliki pandangan tradisional dan mereka lebih skeptis tentang inovasi dan agen perubahan dibanding dengan late majority. Laggard cenderung memutuskan setelah melihat apakah inovasi tersebut berhasil diadopsi oleh anggota lain dari sistem sosial di masa lalu. Karena semua karakteristik ini, periode inovasi-keputusan laggard relatif panjang. Sebagai tambahan Rogers mengkategorikan 5 jenis pengadopsi ini ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) Earlier Adopter, yang terdiri dari innovator, early adopter dan early majority dan (2) Later Adopter, yang terdiri dari late majority dan laggard. Rogers mengidentifikasi perbedaan keduanya terletak pada SES, kepribadian, perilaku komunikasi yang secara positif berkorelasi dengan daya inovasi. (Rogers, 2003 : 245-251)
C. Google Apps for Education : Titik Temu Digital Immigrant dan Digital Native Dalam difusi inovasi dikenal adanya kategori adopter dimana mereka merupakan kategori pengadopsi merupakan klasifikasi dari anggota sistem sosial atas dasar daya inovasi. Daya inovasi sendiri merupakan sejauh mana unit individu atau lainnya relatif lebih awal dalam mengadopsi ideide baru dibanding anggota lain dari sistem
mereka. Braak menyebutkan bahwa daya inovasi relatif stabil, dikonstruksi sosial, ketergantungan dengan inovasi yang mengindikasikan keinginan individu untuk mengubah praktik kesehariannya. (Rogers, 2003: 242) Beberapa kategori pengadopsi yang ditawarkan oleh Rogers, antara lain 1. Innovators : Venturesome, merupakan individu yang ingin merasakan pengalaman dari ide-ide baru yang ada. Oleh karenanya mereka harus
siap untuk mengatasi inovasi yang tidak menguntungkan dan gagal serta tingkat tertentu ketidakpastian tentang inovasi. Inovator juga menjadi penjaga gawang yang membawa inovasi ke dalam sistem. 2. Early adopters : Respectable, Early adopter
lebih dibatasi oleh batas-batas dari sistem sosial. Dengan demikian, sebagai role model, sikap Early adopter terhadap inovasi itu penting. Evaluasi subyektif mereka tentang inovasi dapat mencapai anggota lain dari sistem sosial melalui jaringan interpersonal. Early adopter menempatkan stempel persetujuan pada ide baru dengan mengadopsi 3.
Melihat karakteristik yang dimiliki maka dosen dan mahasiswa yang ada di tiga Perguruan Tinggi yang menjadi tempat penelitian termasuk dalam kategori earlier adopter, khususnya early majority terkait adopsi Google Apps for Education (GAFE). Inilah yang menjadi salah satu titik temu dosen yang merupakan digital immigrant dengan mahasiswa yang merupakan generasi digital native. Dalam proses pembelajaran dosen memiliki peranan sentral sebagai fasilitator termasuk memutuskan media atau teknologi apa yang akan digunakan dalam pembelajaran dan juga pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Ketika dosen memutuskan untuk menggunakan GAFE sebagai
Early majority : Deliberate, Walaupun Early majority memiliki interaksi yang baik dengan anggota lain dalam sistem sosial namun mereka tidak memiliki peran kepemimpinan seperti yang dimiliki oleh early adopter, Early majority
mengadopsi inovasi sebelum bagian lain dari rekan-rekan mereka mengadopsi itu. Mereka sengaja dalam mengadopsi suatu inovasi dan mereka bukan sebagai yang pertama maupun 200
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
teknologi komunikasi dalam sistem pembelajaran, maka secara otomatis mahasiswa akan mengadopsi teknologi yang sama dengan dosennya. Disinilah kesamaan kepentingan menjadi faktor utama mengapa walaupun berbeda generasi, namun dosen dan mahasiswa bisa sama-sama menggunakan GAFE. Namun yang menjadi catatan penting di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA mayoritas dosen yang mengadopsi GAFE adalah mereka para dosen junior sedangkan dosen senior masih nyaman dengan pembelajaran konvensional atau menggunakan teknologi komunikasi yang biasa mereka gunakan. Hal tersebut menjadi relevan jika dikaitkan dengan faktor lain yang mempengaruhi adopsi seperti mobilitas sosial dan keinginan menggunakan reputasi (personal branding)
stage. Sedangkan kesamaan kepentingan menjadi faktor utama mengapa walaupun berbeda generasi, namun dosen sebagai digital immigrant dan mahasiswa sebagai digital native bisa sama-sama mengadopsi GAFE berkolaborasi secara realtime dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi.
B. Saran 1. Dosen junior sebaiknya lebih aktif mempersuasi dosen senior untuk mencoba Google Apps for Education (GAFE) sehingga ke depannya dosen senior juga mengadopsi dan menggunakan GAFE 2. Perguruan Tinggi lain di Jawa Tengah khususnya dan di Indonesia umumnya yang belum bekerja sama dengan Google untuk bisa segera bekerja sama dengan Google dan mengadopsi Google Apps for Education karena inovasi ini memberikan banyak manfaat dalam proses pembelajaran dan juga sangat meguntungkan dari segi finansial. 3. Perguruan Tinggi yang akan mengadopsi Google Apps for Education sebaiknya membuat riset awal supaya menemukan strategi komunikasi yang tepat sehingga tingkat adopsi Google Apps for Education bisa mencapai 100% serta output sesuai dengan yang diharapkan
IV. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Lansekap pendidikan di bidang teknologi pembelajaran mengalami perubahan yang revolusioner dengan hadirnya teknologi cloud computing. Google Apps for Education (GAFE) menjadi salah satu teknologi cloud computing yang cukup berhasil dimanfaatkan di Perguruan Tinggi oleh para dosen dan mahasiswa. Keamanan, tetap terhubung, kolaborasi real-time, kerja tuntas teknologi informasi kasat mata, go-green menjadi alasan GAFE diadopsi di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA. Proses adopsi GAFE di ketiga kampus yang berlokasi di Semarang ini menggunakan dua channel komunikasi yaitu media massa dan komunikasi interpersonal. Media massa yang digunakan antara lain seperti website universitas, sosial media, surat kabar. Sedangkan dalam penelitian ini komunikasi interpersonal yang digunakan dalam membantu proses adopsi Google Apps for Education (GAFE) yaitu para opinion leader dan Google Student Champion. Baik opinion leader maupun Google Student Champion, keduanya berperan baik langsung maupun tidak langsung di setiap tahap dalam proses adopsi Google Apps for Education (GAFE). Tahapan tersebut antara lain (1) knowledge stage, (2) persuasion stage, (3) decision stage, (4) implementation stage, dan (5) confirmation
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berperan dalam proses penelitian, di antaranya pimpinan Peguruan Tinggi, dosen dan mahasiswa di lingkungan Universitas Semarang (UNNES), Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), dan Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang, Primagain, Edu Lead Indonesia Google Apps Supporting. Program, Indonesian Education for Google Southeast Asia, Google Student Champion, Google Student Ambassador.
DAFTAR PUSTAKA Brown,
Lawrence
A.
(1981),
Innovation
Diffusion: A New Perpevtive. New York: Methuen and Co Coursaris, Constantinos K. , Wietske van Osch and Jieun Sung. (2013). A “Cloud Lifestyle”: The 201
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
Diffusion of Cloud Computing Applications and the Effect of Demographic and Lifestyle Clusters. Michigan State University. th (Presented in 2013 46 Hawaii International Conference on System Sciences
Teknologi Komunikasi (Internet) dikalangan. Pondok Pesantren Muhammadiyah. Jurnal Adopsi Teknologi. Watson, C. E. (2007). Self-Efficacy, The InnovationDecision Process, And Faculty In Higher Education: Implications For Faculty Development. Doctor of Philosophy Dissertation, Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg, VA. ETD database
Denzin, N.K, & Lincoln Y.S. (2009). Hanbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Grant, August E. and Jennifer H. Meadows. (2008). Communication Technology Upate & Fundamental, 11th Edition. Oxford: Focal Press.
Nurfitriani, Wina. (2013). Computer Self Efficacy dalam Ruang Lingkup Usia dalam Penggunaan Teknologi Informasi. http://www.academia.edu/7236218/computer_ selfefficacy_dalam_ruang_lingkup_usia_dala m_penggunaan_teknologi_informasi diakses 21 Juli 2014 pukul 09:15 WIB
Havelock , G. Ronald. (1973). The Change Agent's Guide to Innovation in Education. USA : Educational Technology Publication, Inc Kriyantono, Rachmat. (2009). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Rogers, E. M. (2003). Diffusion of Innovations (5th ed.). New York, NY: Free Press. Straubhar , Joseph, Robert La Rose, and Lucinda Davenport. (2013). Media Now : Understanding Media, Culture, and Technology , 8th Edition. Boston: Wadsworth Cengage Learning. Medlin, B.D. (2001). The factors that may influence a faculty member's decision to adopt electronic technologies in instruction (Doctoral dissertation, Virginia Polytechnic Institute and State University, 2001). ProQuest Digital Dissertations. (UMI No. AAT 3095210). Parisot, A.H. (1995). Technology and teaching: The adoption and diffusion of technological innovations by a community college faculty (Doctoral dissertation, Montana State University, 1995). ProQuest Digital Dissertations. (UMI No. AAT 9542260).
Romadlan,
Said.
(2010).
Difusi
Inovasi 202