Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
(Ecosystem Approach to Fisheries Management)
Kajian pada perikanan di Wilayah Kabupaten Lembata
Disusun Oleh Donny Bessie FPIK Universitas Kristen Arta Wacana Kupang Dwi Ariyogagautama WWF-Indonesia
Juni 2012 1
DAFTAR ISI Daftar Isi ..................................................................................................................................... 2 Daftar Tabel ................................................................................................................................ 3 Daftar Gambar ............................................................................................................................ 4 Kata Pengantar ............................................................................................................................ 5 I
Pendahuluan ........................................................................................................................ 6 1.1 Latar Belakang.............................................................................................................. 6 1.2 Tujuan dan Manfaat Studi ............................................................................................. 9
II
Sekilas Kondisi Perikanan .................................................................................................. 10 2.1 Kabupaten Lembata .................................................................................................... 10 2.1.1Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Lembata .................................................. 10 2.1.2Statistik Perikanan Kabupaten Lembata ...................................................................... 12
III Metode Penilaian Performa Indikator EAFM ..................................................................... 13 3.1 Pengumpulan data....................................................................................................... 13 3.2 Analisa Komposit ....................................................................................................... 14 IV Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan ............................................................................ 16 4.1 Hasil Penilaian PerIndikator Pada Domain Sumberdaya Ikan Kabupaten Lembata ...... 16
V
4.1.1
Domain Sumberdaya Ikan .................................................................................... 16
4.1.2
Domain Habitat dan Ekosistem ............................................................................ 25
4.1.3
Domain Teknis Penangkapan Ikan ....................................................................... 37
4.1.4
Domain Sosial ..................................................................................................... 45
4.1.5
Domain Ekonomi ................................................................................................. 50
4.1.6
Domain Kelembagaan .......................................................................................... 57
Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan ......................................................................... 65
VI Kesimpulan dan Rekomendasi ........................................................................................... 69 6.1 Kesimpulan................................................................................................................. 69 6.2 Rekomendasi .............................................................................................................. 70 Daftar Pustaka........................................................................................................................... 71 Lampiran .................................................................................................................................. 73
2
DAFTAR TABEL Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP 713 & WPP 714... 7 Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan .....................
8
Tabel 3. Komposisi Alat Tangkap di Kabupaten Lembata ....................................
12
Tabel 4. Lokasi Pengambilan Data Survey EAFM ...............................................
14
Tabel 5. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera....
15
Tabel 6. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan..........................................
16
Tabel 7. Analisis Komposit Domain Habitat dan Ekosistem..................................
25
Tabel 8. Analisis Komposit Domain Teknis Penangkapan Ikan ...........................
37
Tabel 9. Analisis Komposit Domain Sosial............................................................ . 45 Tabel 10. Analisis Komposit Domain Ekonomi .....................................................
50
Tabel 11. Analisis Komposit Domain Kelembagaan.................................................
57
Tabel 12. Status dan Performa Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Lembata…….. 65 Tabel 13. Elemen Dasar Rencana Pengelolaan Perikanan.........................................
67
3
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan ...............................................
6
Gambar 2.
Peta Kabupaten Lembata .................................................................
11
Gambar 3.
Grafik CPUE Kabupaten Lembata peridoe 2006 – 2010 ..................
19
Gambar 4.
Agregat Domain Sumberdaya Ikan ..................................................
24
Gambar 5.
Agregat Domain Habitat dan Ekosistem ..........................................
35
Gambar 6.
Agregat Domain Teknis Penangkapan Ikan .....................................
44
Gambar 7.
Agregat Domain Sosial....................................................................
48
Gambar 8.
Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap .......
52
Gambar 9.
Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap....
53
Gambar 10.
Saving Ratio Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap ...................
54
Gambar 11.
Saving Ratio Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap ...............
55
Gambar 12.
Agregat Domain Ekonomi ...............................................................
55
Gambar 13.
Agregat Domain Kelembagaan ........................................................
64
4
KATA PENGANTAR Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No. 31 tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45 tahun 2009. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting. Kabupaten Lembata sebagai salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur memiliki potensi sumberdaya perikanan ekonomis yang menjanjikan disepanjang perairan Lembata seluas 3.393,995 km² telah menopang perekonomian daerah. Kebijakan yang berdampak berkelanjutannya sektor kelautan dan perikanan sudah menjadi urgensi dalam setiap sendi kebijakan daerah. Melalui kajian EAFM yang bersifat komprehensif, meliputi domain Sumberdaya ikan, Teknologi Penangkapan, Habitat dan ekosistem, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan diharapkan dapat menggambarkan performa pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang diterapkan di kabupaten Lembata. Laporan Kajian EAFM ini dapat dijadikan salah satu acuan sebagai dasar pembuatan perencanaan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di kabupaten Lembata agar lebih efisien dan terfokus. Demikian laporan ini dibuat, semoga dapat bermanfaat bagi sebesar-besarnya bagi pengembangan sector kelautan dan perikanan di Kabupaten Lembata secara berkelanjutan dan bertanggungjawab.
Kalabahi, Juli 2012
Tim Penyusun
5
BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang beragam dan
melimpah pada lautnya yang mencapai luas sekitar 5,8 juta km2. Estimasi potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia diperkirakan oleh kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011 sebesar 6.520.300 ton/tahun. Potensi tersebut terdiri atas 55,9% dari perikanan pelagis kecil,22,3% berasal dari perikanan demersal, 17,6% perikanan pelagis besar, 2,2% perikanan ikan karang konsumsi, 1,5% bersumber dari udang Penaeid, 0,4% berasal dari cumi-cumi dan 0,1% berasal dari lobster. Besarnya potensi perikanan yang tersebar di perairan Indonesia, membuat KKP membagi perairan di Indonesia menjadi 11 bagian yang sering disebut dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), hal ini dilakukan untuk mengefesiensikan pengelolaan perikanan yang ada. Perhitungan estimasi potensi perikanan, pengkajian stock assesment hingga kebijakan perikanan selalu berdasarkan 11 WPP tersebut. Berikut pembagian WPP di Indonesia :
Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (KepMen No, 45 tahun 2011)
6
Berdasarkan Kepmen KP 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bersinggungan dengan 3 WPP yang ada, dengan potensi sumberdaya ikan sebesar 26,1% dari total 1.699,4 Ton pertahunnnya, yang daerah itu berada di WPP 573 mulai dari Perairan Samudera Hindia bagian selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian barat, WPP 713 yaitu dari Perairan Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali dan WPP 714 yaitu Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda. Sedangkan Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor termasuk dalam 2 WPP yaitu WPP 573 dan WPP 714. Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP 713 dan WPP 714 (KepMen 45 tahun 2011) Kelompok Sumberdaya Ikan
Ikan Pelagis Besar Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal Udang Penaeid Ikan Karang konsumsi Lobster Cumi-Cumi Total Potensi (1.000 ton/tahun)
Samudera Hindia (WPP 573) 201,4 210,6 66,2 5,9 4,5 1,0 2,1 491,7
Selat MakasarLaut Flores (WPP 713) 193,6 605,4 87,2 4,8 34,1 0,7 3,9 929,7
Laut Banda (WPP 714) 104,1 132,0 9,3 32,1 0,4 0,1 278,0
Total
499,1 948 162,7 10,7 70,7 2,1 6,1 1.699,4
Melalui Kepmen ini, KKP juga sudah mengestimasi besaran pemanfaatan perikanan berdasarkan WPP yang ada. Pendugaan status pemanfaatan perikanan tersebut digolongkan menjadi 4 bagian yaitu Over exploited (O), Fully exploited (F), Moderate (M), dan Moderate to Exploited (M-F).
7
Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia (KepMen 45 tahun 2011)
Namun dalam assessment potensial (KepMen 45 tahun 2011 ) oleh KKP ini, yang dilakukan hanya mempertimbangkan kondisi pemanfaatan perikanannya saja, sedangkan aspek ekosistem, aspek sosek dan kelembagaan masih belum terkaji dalam format yang baku. Untuk itu sejak tahun 2010 hingga saat ini WWF Indonesia dalam hal ini berinisiasi dalam memfasilitasi pembuatan Indikator pengelolaan perikanan yang berbasis ekosistem bersama Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementrian Kelautan dan Perikanan dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dengan konsep tersebut dinamakan Ecosystem Approach for Fisheries Management (EAFM).EAFM merupakan indikator asessment perikanan yang akan dilakukan bertahap di masing-masing WPP yang ada di Indonesia. Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor yang merupakan kabupaten kepulauan yang memiliki 2 WPP yaitu WPP 573 dan 714. Pendataan di kedua kabupaten ini penting dilakukan mengingat semakin meningkatnya permintaan pasar akan produk perikanan diwilayah timur Indonesia termasuk ketiga kabupaten ini. Tanpa diimbangi oleh pendataan dari sisi ekosistem, sosek, teknik penangkapan yang ada dan 8
kelembagaan yang tergabung dalam EAFM sebagai dasar pengelolaan perikanan tentunya hal ini akan berdampak semakin tidak terarahnya kebijakan perikanan dalam mendukung perikanan
yang berkelanjutan dalam meningkatkan perekonomian
kabupaten. Melalui pendataan perikanan berdasarkan indikator EAFM ini, diharapkan dapat menjadi baseline data bagi pemerintah baik itu di KKP pusat dan Pemerintah masingmasing kabupaten dan akan menjadi data pendukung untuk dalam pembentukan kawasan konservasi dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) masing-masing kabupaten, untuk mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir dan sekitarnya. 1.2
Tujuan dan Manfaat Studi Kegiatan ini memiliki tujuan,antara lain : 1. Mengumpulkan data indikator EAFM di kabupaten Lembata 2. Pembaharuan pemetaan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut 3. Mengumpulkan data dasar perikanan didesa yang memiliki aktivitas perikanan yang tinggi. (Perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan demersal).
9
BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN
2.1.
Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Lembata
2.1.1
Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Lembata Kabupaten Lembata merupakan satu kabupaten yang seluruh wilayah daratannya
dikelilingi oleh laut, karena kabupaten ini merupakan satu pulau tersendiri, yaitu Pulau Lembata (Lomblen). Secara geografis Kabupaten Lembata terletak pada 080 04’ – 080 40’ Lintang Selatan dan 1220 38’ –1230 57’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut: Utara berbatasan dengan Laut Flores, Selatan berbatasan dengan Laut Sawu, Timur berbatasan dengan Selat Marica (Kabupaten Alor) dan Barat berbatasan dengan Selat Lamakera dan Selat Boleng (Kabupaten Flores Timur). Kabupaten Lembata merupakan satu kabupaten yang terbentuk sejak tahun 2000.Kabupaten ini, seluruh wilayah daratannya dikelilingi perairan laut, karena kabupaten ini merupakan satu pulau tersendiri yaitu Pulau Lembata (Lomblen/Kawula). Luas seluruh wilayah Kabupaten Lembata adalah sebesar 4.660,37 km2 yang terdiri dari luas wilayah daratan 1.266,38 km2 (27,17%) dan luas wilayah perairan 3.393,995 km2 (72,83%) (Lembata dalam Angka, 2011) Secara administratif pemerintahan Kabupaten Lembata terdiri dari 9 (Sembilan) kecamatan yang terdiri atas 144 desa.Desa/kelurahan yang tergolong dalam desa pesisir yaitu sebanyak 90 desa/kelurahan (62,5%) dan jumlah desa yang bukan tipologi desa pesisir sebanyak 54 desa (37,5%). Kabupaten Lembata pada umumnya beriklim tropis dengan musim kemarau atau kering yang berlangsung lebih lama yakni dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan berlangsung dari bulan November sampai bulan Maret.Kondisi ini menyebabkan jumlah curah hujan sangat sedikit, tidak menentu dan tidak merata.Selama musim kemarau berlangsung angin bertiup dari tenggara (southeast monsoon wind) yang kering sebaliknya pada musim hujan, angin bertiup dari barat laut (northwest monsoon wind) yang basah, dan sangat mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim di wilayah Kabupaten Lembata. 10
Secara potensi biodiversitas di Kabupaten Lembata memiliki 16 jenis bakau dengan luasan 1185,167 ha disepanjang pesisir, sedangkan jenis lamun yang ditemukan sebanyak 8 jenis dengan luasan padang lamun sebesar 2.490,161 Ha. Tutupan karang hidup di kabupaten Flores Timur secara umum berkisar 22,77%-71,97% yang termasuk dalam kondisi baik, luasan terumbu karang tercatat sebesar 3.996,977 ha, jenis karang batu yang tercatat sebanyak 345 jenis dari 19 suku/famili dan sedangkan ikan karang yang tercatat sebanyak 210 jenis yang termasuk dalam 33 suku (WWF, 2009)
Gambar 2. Peta Kabupaten Lembata 2.1.2. Statistik Perikanan Kabupaten Lembata Penduduk Kabupaten Lembata sampai pada tahun 2011 berjumlah 115.213 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 31.085, dengan tingkat kepadatan rumah tangga sebesar 25 dan penduduk sebesar 91 jiwa/km. Dari jumlah tersebut penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 54.122 jiwa (46,98%) dan perempuan sebanyak 61.091jiwa (53,02%). Kecamatan Nubatukan memiliki jumlah penduduk paling banyak yakni 30.237 (26,24%) dengan tingkat kepadatan 183jiwa/km2, menyusul Kecamatan 11
Buyasuri sebanyak 19.119 jiwa (16,60%) dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi sebesar 183 jiwa/km2. Terdapat 5 kategori armada yang dapat dijumpai di kabupaten ini yang terhitung sebanyak 1.277 armada, 32,5% (415 armada) merupakan sampan, 25,8% (330 armada) adalah perahu papan, 10,8% (138 armada) adalah motor tempel, 21,4%(273 armada) adalah kapal motor < 5 GT dan 9,5% (121 armada)adalah kapal motor >5 GT. Alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Lembata digolongkan menjadi 9 kategori alat tangkap dengan jumlah 880 buah/set. Berikut tabel jumlah alat tangkap yang ditemukan di Kabupaten Lembata: Tabel 4. Alat Tangkap Ikan di Kabupaten Lembata ( Data Statistik Perikanan Tangkap Provonsi NTT, 2008) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Alat Tangkap
Jumlah
Pesentase (%)
Payang/Lampara Pukat Pantai Pukat Cincin Jaring Insang Bagan Huhate Pancing Tonda Pancing Lainnya Alat Lainnya
24 30 30 162 30 30 50 265 259
2,7 3,4 3,4 18,4 3,4 3,4 5,7 30,1 29,4
12
BAB III METODE PENILAIAN PERFORMA INDIKATOR EAFM
3.1. Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan untuk Survey EAFM mencakup 6 Indikator, antara lain: Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan, Habitat, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan. Dalam pengumpulan data dibagi menjadi 2 proses yaitu melalui data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan denganpengambilan data yang dilakukan dengan metode interview dan observasi terarah secara kualitatif melalui kuesioner perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan karang (demersal) kepada responden rumah tangga perikanan. Interview akan dilakukan secara perorangan Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini : a.
Nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5 tahun (tentatif), diutamakan lebih dari 10 tahun.
b.
Bersedia diwawancarai.
c.
Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi berdasarkan kriteria Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada
d.
Jumlah sampel tidak terikat, wawancara hanya menargetkan terpenuhinya semua informasi yang dibutuhkan.
e.
Perwakilan terhadap pemilik kapal yang mengoperasikan armada penangkapan, pemilik kapal yang tidak mengoperasikan kapal dan ABK Pengambilan data Sekunder dalam survey ini yaitu dengan observasi kajian
ilmiah, dokumen laporan pemerintah dan Kebijakan nasional dan daerah yang mencakup pengelolaan wilayah pesisir dan laut di kabupaten Lembata Dalam Metode penentuan lokasi, berdasarkan pada hal-hal berikut ini : a.
Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi berdasarkan kriteria Jumlah RTP, Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada
b.
Merupakan daerah yang dikelola dalam perrencanaan tata ruang wilayah atau zonasi
13
Pemilihan lokasi pendataan perikanan dilakukan pada 3 jenis perikanan tangkap yang terdapat di kabupaten Lembata, yaitu: perikanan Pelagis Besar (Tuna), Pelagis kecil dan Demersal (Ikan Karang). Desa yang teridentifikasi sebanyak 8 desa yang terbagi atas 6 Kecamatan di kabupaten Lembata. Berikut lokasi survei yang teridentifikasi: Tabel 4. Lokasi Pengambilan Data Survey EAFM Kecamatan Desa No 1 2 3 4 5 6 7 8
Buyasuri Omesuri Nubatukan Lebatukan Lebatukan Nagawutung Wulandoni Wulandoni
Tobotani Balauring Hadakewa Lewoleba Tengah Waijarang Babokerong Pantai Harapan Leworaja (Labala)
2.2. Analisa Komposit Domain Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan Ikan, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan yang terdapat pada kuesinoer (Terlampir) akan diberikan nilai berdasarkan status atau kondisi terkini pada saat kajian EAFM dilakukan. Penentuan nilai status untuk setiap indikator dalam domain habitat dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3. Semakin baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga berkontribusi besar terhadap capaian EAFM. Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator yang bersangkutan atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot. Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Kemudian, nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model) seperti terlihat pada Tabel berikut ini:
14
Tabel 5. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera Nilai Agregat Komposit 100-125
Model Bendera
Deskripsi/Keterangan Buruk
126-150
Kurang
151-200
Sedang
201-250
Baik
251-300
Baik Sekali
15
BAB IV ANALISIS TEMATIK WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN 4.1. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Lembata 4.1.1. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Sumberdaya Ikan Domain Sumberdaya ikan terdapat 6 indikator yang dikaji dalam penentuan status pada kondisi sumberdaya ikan, gambaran mengenai indikatorindikator yang termasuk dalam domain sumberdaya ikan berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini :
Tabel 6. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan INDIKATOR
DEFINISI/ PENJELASAN
MONITORING/ PENGUMPULA N Logbook, Enumerator, Observer
SKOR
BOBOT (%)
NILAI
1 = menurun tajam 2 = menurun sedikit 3 = stabil atau meningkat
2
40
80
KRITERIA
1. CPUE Baku
CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandarisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan.
2. Ukuran ikan
- Panjang total - Panjang standar - Panjang karapas / sirip (minimum dan maximum size, modus)
Interview, Sampling program secara reguler untuk LFA (Length Frequency Analysis)
1 = trend ukuran ratarata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar
2
20
40
3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity).
Interview, Sampling program secara reguler
1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%)
3
15
45
16
INDIKATOR
DEFINISI/ PENJELASAN
MONITORING/ PENGUMPULA N Logbook, observasi, interview
4. Komposisi spesies
Jenis target dan non-target (discard dan by catch)
5. Spesies ETP
Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES
Survey dan monitoring, logbook, observasi, interview
6. "Range Collapse" sumberdaya ikan
SDI yang mengalami tekanan penangkapan akan "menyusut" biomassa-nya secara spasial sehingga semakin sulit / jauh untuk ditemukan/dicari.
Survey dan monitoring, logbook, observasi, interview
SKOR
BOBOT (%)
NILAI
1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dgn nontarget 3 = proporsi target lebih banyak 1= banyak tangkapan spesies ETP; 2= sedikit tangkapan spesies ETP; 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap 1 = semakin sulit; 2 = relatif tetap; 3 = semakin mudah
2
10
20
1
5
5
3
10
30
1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2= fishing ground jauh 3= fishing ground relatif tetap jaraknya
3
KRITERIA
Agregat
220
4.1.1.1 Indikator CPUE Sesuai pada tabel indikator Catch Per Unit Effort (CPUE) Baku dalam domain Sumberdaya Ikan memiliki bobot terbesar dibandingkan indikator lainnya, yaitu disebut dengan killer indikator sebesar 40 point. Hal ini dikarenakan kuatnya hubungan antara CPUE dengan status biomass stock ikan, sehingga indicator ini banyak digunakan sebagai pengganti pada parameter biomasa, manakala data biomassa tidak tersedia (Modul EAFM, 2012). CPUE didefinisikan sebagai laju tangkap perikanan per tahun yang diperoleh dengan menggunakan data time series, minimal selama 5 tahun. 17
Sedangkap effort atau upaya penangkapan ikan itu sendiri diartikan jumlah waktu yang dihabiskan untuk menangkap ikan di wilayah perairan tertentu. Tujuan perlunya menganalisa indikator ini adalah untuk mengetahui trend perubahan stock perikanan dari waktu ke waktu. Trend CPUE yang cenderung menurun, dapat dijadikan sebagai indikasi dampak negatif terhadap stok ikan atau bahkan kecenderungan overfishing. Oleh karena itu nilai CPUE tertinggi adalah ketika penangkapan ikan yang banyak namun tetap memberikan ruang ikan untuk bereproduksi dan berkembang untuk terus mendukung penangkapanyang lestari.
Gambar 3. Grafik CPUE Kabupaten Lembata peridoe 2006 – 2010 Berdasarkan analisa data statistik perikanan provinsi NTT selama 5 tahun (tahun 2006-2010) di kabupaten Lembata bentuk grafik CPUE pada gambar no.3 menunjukkan tren penurunan pada 3 tahun terakhir yaitu pada tahun 2008-2010, sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan responden dalam kaitan dengan hasil tangkapan per unit usaha (CPUE), menunjukkan bahwa nelayan menyatakan tidak terjadi perubahan signifikan, 67,65% nelayan berpendapat jumlah hasil tangkap relatif tidak berubah/sama, 19,12% responden menyatakan jumlah hasil tangkap meningkat, dan 13,24% responden yang menyatakan telah terjadi penurunan jumlah hasil tangkapan. Menurunnya tangkapan ikan pertrip pada perikanan pelagis dan demersal menunjukan bahwa status penangkapan cenderung tidak efektif, meningkatnya effort atau usaha penangkapan trip sepanjang tahun tidak diiringi dengan peningkatan produksi hasil tangkapan yang signifikan.Penambahan usaha 18
penangkapan seperti menambah armada penangkapan atau meningkatkan intensitas
penangkapan
dan
waktu
penangkapan
yang
ada
perlu
mempertimbangkan laju reproduksi ikan yang berbeda-beda. Kebijakan perikanan tangkap di Kabupaten Lembata kedepannya diharapkan perlu adanya pengaturan dalam penangkapan, baik berupa pengaturan alat tangkap yang lebih selektif, pengaturan wilayah tangkap dengan pengaturan zonasi, atau juga pengaturan pada musim penangkapan tertentu.
4.1.1.2 Indikator Ukuran Ikan Pengambilan data indikator ukuran ikan hal ini dilakukan bertujuan mengetahui ukuran panjang ikan sebagai data untuk analisis frekuensi panjang (length frequency analysis) yang selanjutnya akan dapat diduga laju eksploitasi dari suatu unit stok ikan. Jika terjadi penurunan nilai ukuran ikan secara temporal maka mengindaksikan terjadinya kecenderungan tangkap lebih (overfishing) pada perairan tersebut. (Jackson et al., 2001; Orensanz et al., 1998, dalam Modul EAFM, 2012). Kedewasaan ikan yang siap bertelur dapat ditentukan melalui ukuran ikan, oleh karena itu tren mengecilnya ukuran jenis ikan tertentu yang tertangkap menunjukan terganggunya pola reproduksi ikan tersebut sehingga akan berdampak pada produktivitas hasil tangkapan diperairan tersebut kedepannya. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa 82,86% responden (baik untuk nelayan ikan pelagis kecil, pelagis besar dan demersal) lebih setuju ukuran ikan dalam lima tahun terakhir relatif berukuran sama, 2,86% responden menyatakan ukuran ikan yang ditangkap lebih kecil. Secara umum hasil analisa menunjukan pada status sedang atau kriteria 2 yang menyatakan ukuran ikan yang didapatkan dalam 5 tahun terakhir relatif tetap, indikator ini menunjukan bahwa menurut mayoritas persepsi responden perikanan di Kabupaten Lembata cenderung belum terjadi penangkapan berlebih. Dalam mempertahankan kondisi perikanan ini perlu juga disikapi dengan adanya pengembangan teknik penangkapan yang selektif pada ukuran ikan dewasa dan menerapkan kebijakan yang menganut kehati-hatian dalam melakukan penambahan effort untuk penangkapan ikan demersal.
19
4.1.1.3 Indikator Proporsi Ikan Yuana (Juvenile) Indikator selanjutnya adalah mengetahui proporsi ikan yuana (juvenile) dalam penangkapan nelayan berdasarkan alat tangkapnya.Secara definisi Ikan yuana (juvenile) merupakan ukuran suatu tahap dalam pertumbuhan ikan yang belum masuk kategori ukuran dewasa (mature). Unit satuan yang digunakan untuk indikator proporsi ikan yuana yang ditangkap ialah (ton, kg, % proporsi) yang dibandingkan dengan biomasa ikan secara keseluruhan dari hasil tangkapan untuk setiap alat tangkap pada perairan tertentu yang diamati. Indikator ini dapat menggambarkan ukuran mata jarring suatu alat tangkap yang digunakan. dengan demikian jika ikan ukuran yuana pada setiap penangkapan memiliki proporsi yang lebih besar, mengindikasikan bahwa ukuran mata jaring yang digunakan terlalu kecil dan perlu disesuaikan kembali dengan ukuran ikan yang sudah dewasa (Modul EAFM, 2012). Indikator proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap diberikan status sedang (nilai 30) dengan kriteria 2 yaitu terjadi penangkapan ikan belum dewasa (juvenile) sebanyak 30-60% dari setiap hasil tangkapan. Indikator ini menyediakan pilihan yang bersifat luas untuk penggolongan keberlanjutan yang buruk dan baik. Untuk ikan-ikan yang belum dewasa tertangkap lebih dari 60% dari total tangkapan, maka penggolongan keberlanjutan termasuk buruk karena penangkapan juvenile berlebih akan berdampak pada reproduksi ikan yang rendah atau terjadi perubahan pola repoduksi dengan berkurangnya ukuran jenis ikan yang tertangkap (mengecil), Sebaliknya keberlanjutan termasuk baik, bila yang belum dewasa tertangkap kurang dari 30% dari total tangkapan. Pemahaman nelayan terhadap identifikasi dan pentingnya penangkapan ikan dewasa tergolong tinggi, berdasarkan wawancara 74,07% responden dapat membedakan ikan dewasa, 12,35% tidak dapat membedakan, dan 13,58% tidak menjawab. Menurut responden yang dapat membedakan tersebut 78,96% menjawab di Kabupaten Lembata pada sepanjang musim penangkapan rata-rata ikan yuwana (juvenile) tergolong kecil yaitu dibawah 30%, sedangkan 18,9% responden menjawab mendapatkan jenis ikan juvenile berkisar 30-60% dan 2,13% responden tidak menjawab. Spesies ikan juvenile yang sering ditangkap nelayan pada perikanan demersal yaitu: Kerapu, Kakap dan (Kaburak, Kamera), sedangkan pada 20
perikanan pelagis yaitu Tuna, cakalang, tongkol, layang, layar, mahi-mahi, sembe dan banyar (kombong). Performa pada indikator ini cukup baik, namun perlu tetap dipertahankan, yaitu melalui serangkaian upaya sosialisasi terhadap ukuran tangkap yang layak tiap jenis perikanan ekonomis baik perikanan demersal dan pelagis dan juga perlu adanya menegaskan kembali aturan alat tangkap yang selektif terutama pada ukuran mess size jaring. Upaya selanjutnya adalah perlu adanya pendataan secara berkala terhadap ukuran ikan ekonomis disetiap lokasi pendaratan ikan hasil tangkapan, sehingga akan terlihat tren ukuran penangkapan permusim per alat tangkap untuk lebih memperkuat analisa data pada indikator ini.
4.1.1.4 Indikator Komposisi spesies Indikator komposisi spesies merupakan ukuran biomassa spesies tertentu yang menjadi target penangkapan dan spesies yang bukan target penangkapan terhadap jumlah seluruh hasil tangkapan dari suatu alat tangkap. Tujuan dari penentuan indeks komposisi spesies ialah untuk mengetahui komposisi spesies ikan dan non-ikan yang menjadi target penangkapan dan yang bukan target penangkapan atau dengan kata lain non target (bycatch). Penentuan proporsi ikan tersebut dilakukan terhadap hasil tangkapan suatu alat tangkap di daerah yang diamati. Interpretasi indikator untuk nilai komposisi spesies yaitu dengan melihat tingkat selektifitas alat tangkap yang digunakan untuk menangkap stock ikan. Jika hasil tangkapan dari suatu alat tangkap didapati spesies non target (bycatch) proporsinya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang menjadi target penangkapan, menunjukan bahwa alat tangkap tersebut tidak selektif (Modul EAFM, 2012). Dalam analisa indikator komposisi spesies melalui interview terhadap responden menyatakan hasil tangkapan ikan non target sulit teridentifikasi dikarenakan nelayan tidak secara khusus mentargetkan hasil tangkapan, terkecuali pada alat tangkap purse seine pelagis kecil dan pancing tuna. Pada alat tangkap tersebut teridentifikasi adanya tangkapan non target yang tergolong jenis biota yang dilindungi seperti Lumba-lumba dan penyu, umumnya tangkapan tersebut masih dalam kondisi hidup dan dilepas, namun masih ada responden yang 21
memanfaatkan penyu hasil tangkapan non target untuk dimakan dan dijual. Penangkapan sampingan perlu disikapi terutama pada jenis-jenis biota yang dilindungi secara undang-undang atau jenis yang terancam punah dan stocknya di alam kurang. Tangkapan sampingan yang cukup besar adalah hiu terdata dalam setahun terakhir 30 ekor hiu tertangkap tidak sengaja dengan alat tangkap pancing. Berdasarkan hal tersebut disarankan perlu adanya kegiatan sosialisasi jenis-jenis biota yang dilindungi berdasarkan Undang-undang yang berlaku, pengembangan teknologi yang selektif dan cara penangkapan yang efisien untuk ikan target perlu dikembangkan. Pembuatan modul cara tangkap yang ramah lingkungan untuk perikanan demersal dan pelagis merupakan salah satu media dalam peningkatan kapasitas nelayan di kabupaten Lembata.
4.1.1.5 Indikator Spesies ETP Indikator spesies Endangered species, Threatened species, and Protected species (ETP) atau Jenis biota yang terancam punah, rentan dan yang sudah dilindungi. Menurut kategori IUCN Red List Endangered (EN) atau Genting species diartikan sebagai jenis biota yang tidak termasuk dalam terancam kritis (Critically endangered) namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan dimasukkan ke dalam kategori Extinct in the Wild jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti tidak dilakukan. Sedangkan peraturan jenis biota yang dilindung dalam perundangan di Indonesia tercakup dalam lampiran Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa di nelayan di desa target penelitian cukup memahami jenis-jenis biota yang dilindungi tersebut. 61,54%. responden menyatakan jenis biota yang dilindungi antara lain : paus, lumbalumba, penyu, Napoleon, hiu, dan duyung. 6,59% responden tidak memahami jenis biota yang dilindungi dan 31,87% tidak menjawab. Dalam sepanjang tahun 2011, data hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masih tertangkapnya spesies-spesies yang dilindungi diluar nilai kearifan lokal yang terdapat didaerah tersebut yaitu: Penyu 46 ekor, Lumba-lumba 14 ekor, 22
Batu laga 10 ekor, Duyung 2 ekor, nautilius 12 ekor. Prinsip kehati-hatian berlaku pada indikator ini setidaknya penangkapan ETP lebih dari 3 ekor sudah tergolong buruk. Hal ini dikarenakan jenis-jenis ETP sebagai bagian ekosistem dan rantai makanan jika mengalami ketidakstabilan akan berpengaruh terhadap ekosistem yang ada. Dikarenakan tidak semua jenis biota ETP dipahami oleh masyarakat, oleh karena itu perlu adanya sosialisasi mengenai jenis-jenis biota ETP disetiap kegiatan kemasyarakat dan juga adanya penerapan aturan yang tegas dalam perdagangannya merupakan salah satu solusi dalam mengurangi pemanfaatan biota yang terancam punah, rentan punah dan diindungi. Sosialisasi terhadap biota yang dilindungi lainnya juga tetap dilakukan karena tidak semua daftar biota dilindungi dipahami oleh masyarakat, contohnya seperti pemanfaatan terhadap batu laga dan Nautilius.
4.1.1.6 Indikator Range Collapse Indikator "Range Collapse" dalam indikator sumberdaya ikan dapat diartikan suatu fenomena yang umum terjadi pada stok ikan jika stok ikan yang bersangkutan mengalami kondisi overfishing. Secara teknis, didefinisikan sebagai yakni pengurangan drastis wilayah/ruang spasial ekosistem laut yang biasanya dihuni oleh stok ikan tertentu. Untuk menentukan ada tidak range collapse ini, maka indikator yang paling mudah adalah melihat apakah terjadi indikasi terhadap semakin sulitnya mencari lokasi penangkapan ikan (fishing ground), karena secara spasial, wilayah penangkapan ikan menjadi semakin jauh dari lokasi fishing ground sebelumnya. Unit yang digunakan untuk indikator range collapse sumberdaya ikan ialah dilihat berdasarkan hasil tangkapan per upaya (CPUE) secara temporal dari tahun ke tahun serta seberapa jauh jarak tempuh (mil atau km) untuk setiap kali trip penangkapan ikan dibandingkan jarak pada tahun-tahun sebelumnya (Modul EAFM, 2012). Berdasarkan hasil analisa interview, responden menyatakan 19,97% nelayan demersal dan pelagis setuju bahwa lokasi penangkapan responden semakin jauh, 62,96% menyatakan sama saja, 1,23% menyatakan lokasi penangkapan (fishing ground) semakin dekat dan 16,05% tidak menjawab. Penangkapan semakin jauh umumnya masih dilakukan dalam perairan Lembata, 23
kecuali pada nelayan purse seine yang menangkap hingga perairan Delang, kabupaten Flores Timur. Upaya pengaturan pemanfaatan perikanan pada lokasi tangkapan tertentu dan musim tertentu di sepanjang perairan kabupaten Lembata perlu diperhatikan dalam upaya mengurangi tekanan perikanan dalam beberapa titik fishing ground saja, terutama pada perikanan pelagis pengaturan alat tangkap, alat bantu penangkapan seperti rumpon dan musim penangkapan merupakan solusi yang baik dalam menjaga hasil penangkapan nelayan yang berkelanjutan.
Gambar 4. Agregat Domain Sumberdaya Ikan Berdasarkan nilai komposit di tiap indikator seperti ditunjukan pada gambar no. 4. Secara keseluruhan domain sumberdaya ikan di Lembata diberikan status baik atau dalam bendera berwarna hijau dengan nilai komposit 220 dari pengukuran maksimal 300. Pengelolaan perikanan yang baik dalam domain ini perlu memperhatikan dari setiap indikator yang masih perlu ditingkatkan. 3 indikator dalam domain ini berstatus sedang yaitu CPUE, Ukuran ikan, dan komposisi spesies yang ditangkap serta 1 indikator dalam kondisi buruk yaitu pemanfaatan spesies ETP. Indikator tersebut secara umum dapat ditingkatkan melalui adanya pengaturan wilayah tangkap yang dapat tertuang dalam rencana zonasi Kawasan Konservasi Perairan Daerah, yang didalamnya mengatur alat tangkap, alat bantu tangkap dan musim penangkapan yang disesuaikan dengan tipe nelayan didaerah masing-masing. Indikator yang perlu mendapat perhatian selanjutnya adalah penangkapan sampingan berupa jenis-jenis biota yang rentan terhadap kepunahan dan 24
dilindungi secara hukum. Memberikan pemahaman lebih dalam terhadap jenisjenis biota yang dilindungi di masyarakat Lembata untuk tidak menangkap, melepaskan jika tidak sengaja tertangkap dan tidak membeli hasil tangkapan tersebut kemudian diimbangi dengan adanya pembinaan oleh petugas pemantauan merupakan solusi yang efektif dalam meminimalisir pemanfaatan biota ETP tersebut. Pengembangan teknik atau cara tangkap ikan yang lebih selektif dalam meminimalkan tangkapan ikan juvenile dan non-target perlu dilakukan dan disosialisasikan oleh pemerintah daerah ke nelayan. BMP (Better Management Practices) untuk perikanan tangkap dan budidaya yang dikembangkan oleh WWF-Indonesia merupakan salah satu panduan yang dapat dijadikan acuan dalam pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab di kabupaten Lembata. Upaya dalam mempertahankan sumberdaya ikan demersal dan pelagis di perairan kabupaten Lembata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sudah seharusnya menjadi prioritas kebijakan Pemerintah Daerah. Memastikan pengelolaan perikanan yang baik untuk kepentingan masyarakat dan sumberdaya laut dapat dimulai dengan mendorong adanya penguatan kebijakan dalam pengumpulan informasi perikanan yang konsisten sebagai basis data pengelolaan perikanan yang dapat dipertanggungjawabkan.
25
4.1.2. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Habitat dan Ekosistem Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain habitat dan ekosistem berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.
Tabel 7. Analisis Komposit Domain Habitat dan Ekosistem INDIKATOR 1.
Kualitas perairan
DEFINISI/ PENJELASAN
MONITORING/ PENGUMPULAN
Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun) Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan
Data sekunder, sampling, monitoring, >> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab >> Survey : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu)
Eutrofikasi
2. Status lamun
Luasan tutupan, densitas dan jenis Lamun.
Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT. >> Sampling dan monitoring : Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org)
SKOR
BOBOT (%)
NILAI
1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar
3
20
33,33
1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi ; 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU
1
1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi; 2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi; dan 3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi 1=tutupan rendah, 29,9%; 2=tutupan sedang, 3049,9%; 3=tutupan tinggi, 50%
1
15
37,5
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20
9,97 atau H’>3)
3
KRITERIA
2
26
3.
Status mangrove
4. Status terumbu karang
Kerapatan, nilai penting, perubahan luasan dan jenis mangrove
> Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover).
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan >> Survey : Plot sampling
1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; 3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%
3
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,209,97 atau H’>3)
3
1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal
2
1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi
2
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Survey : Transek (2 kali dalam setahun) >> Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan
1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 2549,9%; 3=tutupan tinggi, >50%
2
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,209,97 atau H’>3)
3
15
37,5
15
37,5
5. Habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling).
Luasan, waktu, siklus, distribusi, larva drift, spill over, dan kesuburan perairan
Fish Eggs and Larva survey, GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi
1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik
1
15
15
6. dan
Tingkat produktivitas
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara
1=produktivitas rendah;
1
10
10
Status
27
produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
perairan estuari
7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
>> Survey : 2 kali dalam setahun >> Citra satelite dengan resolusi tinggi - minimal dilakukan 2 kali setahun dengan diikuti oleh survey lapangan Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring
2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi
> State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi > state of impact (key indikator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)
10
10
1
Agregat
180,83
4.1.2.1 Indikator Kualitas Perairan Indikator kualitas perairan merupakan indikator dengan bobot terbesar pada domain habitat ini. Hal dikarenakan indicator ini dievaluasi dalam rangka mengetahui kualitas dan kesehatan lingkungan perairan, serta mengetahui tingkat percemaran perairan yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap keseluruhan ekosistem atau habitat laut.
10
Lebih
lanjut,
pencemaran perairan ini didefinisikan sebagai dampak negatif (pengaruh yang membayakan) bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem perairan, serta kesehatan manusia, dan nilai guna lainnya dari ekosistem perairan tersebut. Suatu perairan dikatakan tercemar jika salah satu dari parameter baku 28
mutu air melebihi ambang batas atau standar pencemaran yang telah ditetapkan. Standar pencemaran atau baku mutu air di Indonesia ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kualitas perairan mencakup karakteristik fisika, kimia, dan biologi perairan, yaitu suatu ukuran tentang kondisi relatif suatu perairan terhadap standar yang ditentukan untuk kesehatan ekosistem di dalamnya. Kualitas perairan dapat ditentukan oleh keberadaan dan kuantitas kontaminan serta oleh faktor fisik dan kimia seperti pH, konduktifitas, oksigen terlarut, salinitas dll. Dalam melakukan kajian EAFM terdapat tiga sub-indikator
kualitas
perairan yang
penting untuk diukur yaitu keberadaan limbah yang dapat dideteksi secara klinis dan visual, tingkat kekeruhan perairan, dan eutrofikasi (Modul EAFM, 2012).
Tabel 8. Kualitas air laut (BLHD Kabupten Lembata, 2011) Parameter Fisika 1. Kecerahan 2. Kekeruhan 3. TSS 4. Temperatur Kimia
Satuan Kualitas
I
Baku Mutu II III
IV
M NTU mg/l o C
6.8 0 335.8 27.82
1. pH
-
2. Salinitas 3. DO 4. BOD5 5. COD 6. NO2-N 7.. Klor
‰ mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7.5 6-9 6-9 6-9 5-9 28.74 6.056 6 4 3 0 1.724 2 3 6 12 10 25 50 100 12.34 0.684 10 10 20 20 65.32 0,03 0,03 0,03 0
50
50
400
400
Di dalam tabel tersebut, kriteria mutu air dibagi dalam 4 (empat) kelas yaitu: Kelas I (satu), air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air minum, dan atau peruntukan lain yang imempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas II (dua), air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk 29
mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas III (tiga), air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air
untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas IV (empat), air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi,pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. (Modul EAFM, 2012). Berdasarkan data hasil penelitian BLHD yang ditunjukan pada tabel 8 diatas. menunjukkan kisaran nilai kualitas perairan laut (fisik dan kimia) masih termasuk dalam baku mutu. Faktor fisik perairan tergolong pada kategori I yaitu dibawah nilai 50 mg/L, begitu juga dengan faktor kimia seperti ditemukan pada pH, DO, BOD, COD, NO2N. Namun pada kandungan Clor diidentfikasi melebihi baku mutu yang disaratkan pada kelas IV sekalipun. Kajian lebih lanjut dalam melihat kondisi kandungan Clor dilaut perlu dilakukan. Diharapkan melalui riset tersebut dapat diketahui akar permasalahan dan strategi penurunannya.
4.1.2.2 Indikator Status Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, dengan
kedalaman
sampai dengan 4 meter. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun bahkan ditemukan tumbuh sampai kedalaman 8–15 meter dan 40 meter. Kajian
pada indikator ini bertujuan untuk mengetahui
tutupan
densitas (kerapatan) lamun, serta keberadaan jenis lamun di suatu
dan
wilayah.
Ekosistem padang lamun sangat penting artinya bagi kehidupan penyu hijau dan dugong, karena tumbuhan ini merupakan sumber makanan bagi kedua jenis hewan yang dilindungi tersebut. Selain itu, ekosistem padang lamun juga dikenal sebagai daerah asuhan berbagai juvenil ikan dan sebagai daerah perlindungan dari predator bagi ikan-ikan kecil. Beberapa studi menyatakan bahwa telah ditemukan 360 spesies ikan yang berasosiasi dengan padang lamun. Spesies yang bernilai 30
ekonomi dan dominan adalah siganid (Baronang). Berbagai fungsi penting ekosistem lamun tersebut mendasari bahwa status padang lamun merupakan salah satu indikator yang penting untuk diketahui dengan tujuan untuk mengetahui kualitas dan produktivitas ekosistem perairan; untuk mengetahui keberhasilan rekruitmen suatu biota; dan untuk mengetahui daerah pemijahan dan asuhan berbagai biota perairan yang dapat mendukung ketersediaan sumberdaya ikan (Modul EAFM, 2012). Berdasarkan hasil kajian Survey Ekologi di kabupaten Lembata tahun 2009 oleh WWF menunjukan luasan lamun di kabupaten Lembata tergolong sedang yaitu tutupan lamun berkisaran 16,5% -48,3%. Tutupan terendah terdapat di Tanjung Baja Kecamatan Omesuri dan Tertinggi di Lokasi Pasir Putih, kecamatan Nagawutun. Sedangkan berdasarkan analisa Citra Aster pada tahun 2009 teridentifikasi luasan lamun di Kabupaten Lembata adalah 2.490,16 ha. Dari 13 jenis lamun yang ditemukan di sepanjang perairan Indonesia (Den Hartog 1970 dalam Modul EAFM, 2012), di perairan kabupaten Lembata teridentifikasi sebanyak 7 (tujuh) spesies lamun yang dijumpai. Ketujuh spesies tersebut antara lain: Enhalus accoroides, Thalasia hemprichii, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, dan Halophyla sp. Persen tutupan lamun tertinggi yaitu di lokasi Pasir Putih sebesar 48,3% dan tutupan terendah di lokasi Tg. Baja sebesar 16,5%. Keberadaan lamun di perairan kabupaten Lembata perlu dijaga dikarenakan secara alami fungsi fisikakimia lamun dapat memperlambat laju abrasi pantai, karena lamun merupakan perangkap sedimen (sedimen trap) dan fungsi penting lainnya adalah lamun dapat mengendapkan zat pencemar untuk diolah kembali oleh biota pengurai (detritus), sehingga mendukung perbaikan kualitas perairan secara alami.
4.1.2.3 Indikator Status Mangrove Hutan mangrove seringkali disebut dengan hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Bila dibandingkan dengan hutan daratan, hutan mangrove memiliki produktifitas primer yang paling tinggi. Hutan mangrove dapat memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting sebagai sumber energi bagi biota yang hidup di perairan sekitarnya. 31
Secara singkat, mangrove merupakan ekosistem pesisir yang penting bagi manusia dengan banyak manfaat dan fungsi diantaranya: Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen; Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove; daerah asuhan (nursery ground); daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya; pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya dan juga dapat menjadi tempat wisata. Berdasarkan pada berbagai fungsi penting mangrove, maka indikator mangrove merupakan salah satu indikator yang penting dalam kajian EAFM. Tingkat kerapatan, nilai penting, keanekaragaman, dan perubahan luasan mangrove merupakan informasi yang dibutuhkan untuk melihat kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove di suatu wilayah pesisir. Evaluasi atau kajian kondisi mangrove dilakukan dalam rangka mengetahui kualitas dan produktivitas ekosistem; untuk mengetahui keberhasilan rekruitmen terutama bagi spesiesspesies penting yang siklus hidupnya berada pada ekosistem mangrove; dan untuk mengetahui kondisi daerah pemijahan dan asuhan berbagai jenis ikan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove (Modul EAFM, 2012). Penilaian pada indikator status mangrove dapat dianalisa berdasarkan 4 kriteria yaitu : Kerapatan pohon bakau, Keanekaragaman jenis, perbandingan Luasan bakau, dan Indeks Nilai Penting (INP) direrata berdasarkan analisa di ke 4 kriteria tersebut diberikan status sedang. Berikut analisa per kriteria yang dapat dianalisa, berdasarkan hasil penelitian WWF (2009), di 10 stasiun yang diteliti di Kabupaten Lembata menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pohon berkategori tinggi yaitu dengan rata-rata 8.323 pohon/hektar, kerapatan ini menunjukan kondisi yang baik dalam mendukung pertumbuhan mangrove didaerah tersebut baik mencakup faktor suhu, salinitas dan substrat (Romadhon, A, 2008), Sedangkan keanekaragaman bakau cukup tinggi dengan hasil sampling ditemukan 16 jenis bakau dari 9 famili, Jenis bakau yang ditemukan antara lain : Acrostichum speciosum, Avicennia alba, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera hainessii, Ceriops decandra, Ceriops Tagal, Lumnitzera racemosa, Nypa Fruticans, Pandanus tectorius, Phemphis acidula, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, 32
Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, dan Xylocarpus moluccensis. Tercatat juga luasan bakau yang dapat diidentifikasi berdasarkan citra Aster tahun 2009 seluas 1.185,17 ha, berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan bahwa luasan hutan bakau cenderung tetap. Sementara Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 – 300 %, dari 10 lokasi yang dilakukan sampling di kabupaten Lembata didapatkan nilai rata-rata 144,16%
yang
termasuk dalam kondisi sedang. Adapun jenis-jenis mangrove yang memiliki INP dominan, disetiap stasiunnya ditunjukan pada tabel dibawah ini : Tabel 9. Jenis Bakau dengan nilai indeks penting di Kabupaten Lembata (WWF, 2009) No Desa 1 Desa Pasir Putih
Kecamatan Jenis Bakau Nagawutung Lumnitzera racemosa
INP (%) 138.14
2
5
Kelurahan Lewoleba Timur (St.1) Kelurahan Lewoleba Timur (St.2) Kelurahan Lewoleba Utara Desa Pada
Nubatukan
Rhizophora mucronata
6
Desa Beutaran
Ile Ape
Sonneratia alba
7
Desa Laranwutun
Ile Ape
Rhizophora apiculata
3 4
Nubatukan
Ceriops decandra 97.60
Nubatukan
Lumnitzera racemosa
Nubatukan
Sonneratia alba
169.45 122.42 126.91 117.08 151.23
8
Desa Kolongtobo
Ile Ape
Rhizophora apiculata
9
Desa Palilolon (St.1)
Ile Ape
Rhizophora apiculata
200.81 187.04 10
Desa Palilolon (St.2)
Ile Ape
Bruguiera gymnorrhiza 130.91
Jenis yang memiliki nilai penting dalam ekosistem mangrove tersebut ditiap stasiun sampling seharusnya lebih diprioritaskan untuk dijaga dan dilestarikan disamping juga jenis lainnya, karena nilai penting jenis ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove dan nilai penting dari tiap jenis
33
mangrove sangat tergantung pertumbuhan mangrove yang didukung oleh ketersediaan nutrient dan bahan oganik (Supriharyono dalam Romadhon , 2008)
4.1.2.4 Indikator Status Terumbu Karang Seperti halnya ekosistem Mangrove dan Padang Lamun, Terumbu karang juga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi dan ombak besar, serta sebagai aset pariwisata bahari yang banyak menghasilkan devisa bagi negara. Ditinjau dari aspek ekonomi, terumbu karang memberikan sumbangan yang cukup besar untuk sektor perikanan. CAESAR (1996) menyatakan bahwa terumbu karang
yang
termasuk
dalam
kategori
sangat
baik
dapat
menyumbangkan 18 ton ikan per km2/tahun, sedangkan yang termasuk dalam kategori baik dan cukup adalah sebesar 13 ton/km2 /tahun dan 8 ton/km 2 /tahun. Apabila dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada di perairan Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar $US dari aspek perikanan, wisata dan perlindungan laut. Nilai ini belum termasuk nilai manfaat terumbu karang sebagai pelindung pantai, bahan bangunan, sumber pangan serta obat-obatan. Namun demikian, terumbu karang juga merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia yang tidak terkendali, dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Kajian kondisi terumbu karang bertujuan untuk mengetahui persentase tutupan karang hidup dan keanekaragaman jenis karang di dalam suatu wilayah. Persentase tutupan karang hidup ini merupakan indikator kondisi terumbu karang dimana semakin tinggi tutupan karang hidup maka semakin baik kondisi dan produktifitas perikanan, terutama ikan-ikan yang secara langsung berasosiasi dengan terumbu karang. Sedangkan keanekaragaman jenis terumbu karang merupakan indikator kesehatan lingkungan perairan. Kondisi terumbu karang
dievaluasi
dalam
rangka
mengetahui
kualitas dan
produktivitas
ekosistem. Selain itu, tutupan karang hidup dan keanekaragaman jenis terkait
langsung
dengan
keberhasilan
juga
rekruitmen; dan untuk mengetahui
daerah pemijahan dan asuhan di suatu perairan (Modul EAFM, 2012) Status terumbu karang di Kabupaten Lembata secara umum termasuk dalam kategori sedang dengan kisaran kondisi tutupan karang sebesar 22,117% 34
63,17%. Pada data dasar ditahun 2009 melalui Survey ekologi, terdapat 2 stasiun dalam kondisi baik (57,43% - 63,17%) di perairan Batu Tara dan Tanjung Batu, 5 sta stasiun dalam kondisi sedang (27,23 % - 48,60%, dan 1 stasiun dalam kondisi kurang baik (22,77 %). Teridentifikasi terdapat 345 jenis karang yang terbagi dalam 19 famili yang tersebar di seluas 3,996.98 ha di perairan kabupaten Lembata. Indeks keanekaragaman karang yang dijumpai di 8 stasiun pengamatan tergolong tinggi dengan kisaran 2,745 – 3,688. Pemerataan jenis karang relatif seragam untuk 7 stasiun, kecuali pada stasiun Desa Babokerong. Tabel 10. Kondisi terumbu karang di kabupaten Lembata (WWF,2009)
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Lokasi Sampling Desa Babokerong Desa Pasir Putih Tanjung Komi Tanjung Madu Tanjung Baja Ile Ape Tanjung Tuak Gunung Batu Tara
Tutupan Karang (%) 22,77 48,56 35,67 57,43 48,6 40,40 38,17 63,17
Indeks Keanekaragaman (H') 2.745 3.688 3.424 3.654 3.512 3.183 3.664 3.565
Kategori Rendah Sedang Sedang Baik Sedang Sedang Sedang Baik
4.1.2.5 Indikator Habitat Unik atau Khusus Habitat unik atau khusus didefinisikan sebagai habitat atau spesies khusus yang mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang sangat tinggi, sehingga perlu mendapat perhatian khusus dalam pemantauannya. Informasi tentang lokasi-lokasi spawning ground, nursery ground, feeding ground, dan upwelling sangat penting untuk menentukan bahwa suatu perairan memiliki habitat unik/khusus yang berperan dalam mendukung keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Selain itu, spesies endemik, langka, dan terancam punah adalah
beberapa
kriteria
lain
yang
dapat dipakai dalam
menentukan
habitat/spesies unik/langka. Hal ini penting dikaji karena lokasi-lokasi tersebut merupakan tempat bagi berbagai jenis ikan tumbuh dan berkembangbiak, yang pada akhirnya dapat mendukung kegiatan perikanan di sekitarnya. 35
Indikator habitat/spesies unik/khusus dievaluasi dalam rangka untuk memberikan dasar yang kuat bagi pengelolaan perikanan
yang harus
dilakukan baik melalui Pengaturan dengan system buka tutup berdasarkan musim (open close area season), pengaturan alat tangkap, penentuan lokasi tangkap (fishing ground), atau pun dengan pengembangan kawasan konservasi perairan. Dengan mengetahui habitat-habitat unik/khusus tersebut, maka pengelola perikanan dapat dengan mudah memetakan dan mengatur bagaimana pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat dijelaskan kepada stakeholders terkait dan diimplementasikan secara optimal (Modul EAFM, 2012). Kajian ilmiah (riset) terkait habitat penting seperti lokasi peneluran ikan, lokasi peneluran penyu, feeding ground penyu, lokasi-lokasi migrasi beberapa ikan endemik, langka, dan terancam punah seperti paus dan duyung belum teridentifikasi. Wilayah ini sangat penting sebagai daya dukung sumberdaya perikanan disuatu area dan dengan mengetahui habitat penting pengelolaan sumberdaya laut akan lebih terfokus dan efisien dalam wilayah tertentu namun berdampak luas. Dalam mendukung rencana pengelolaan perikanan disarankan Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan lembaga penelitian atau akademisi dan LSM dalam melakukan kajian habitat penting ini.Mengelola habitat penting dengan memprioritaskannya dalam zona perlindungan atau zona inti sangat direkomendasikan. Hal ini dikarenakan habitat tersebut memiliki dampak ekologis yang berpengaruh terhadap ekosistem lainnya, sehingga perlu diprioritaskan untuk dikelola.
4.1.2.6 Indikator Produktivitas Estuary Indikator selanjutnya adalah menganalisa produktivitas estuary dan perairan sekitarnya. Perlu diketahui bahwa defiisi Estuari adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar maupun air laut. Karena partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik, substrat dasar estuari biasanya kaya
36
akan bahan organik, yang menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria. Tujuan dari kajian produktifias estuary dan perairan sekitarnya ini adalah untuk mengetahui kualitas dan produktivitas perairan yang dihitung dari konsentrasi klorofil a; Selain itu, indikator ini dapat menjelaskan tentang pentingnya suatu estuari sebagai daerah asuhan bagi beberapa spesies perikanan yang bernilai ekonomis (Modul EAFM, 2012). Indikator status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya tidak dapat dianalisis tidak tersedianya data primer dan sekunder menyangkut produktivitas estuari di Kabupaten Lembata. Oleh karena itu penilaian pada indikator ini diasumsikan yang terendah. Pentingnya mengetahui informasi indikator ini bagi kabupaten Lembata yaitu produktivitas estuarin menyediakan unsur hara bagi ekosistem laut. Semakin tinggi produktivitas perairan estuari, maka
akan
semakin
besar
peran
estuari
dalam
mendukung produksi
sumberdaya ikan di perairan sekitarnya.
4.1.2.7 Indikator Perubahan Iklim Terhada Kondisi Perairan dan Habitat Indikator terakhir pada domain ini adalah pengaruh perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. Indikator ini perlu diketahui untuk menunjukan semakin besar dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat, maka keberlanjutan sumberdaya perikanan semakin terancam, sehingga diperlukan strategi adaptasi dan mitigasi untuk menekan pengaruh perubahan iklim tersebut. Perubahan iklim dapat menyebabkan kenaikan suhu udara,
kenaikan
suhu
permukaan
laut,
dan
peningkatan
konsentrasi
karbondioksida di udara. Pengaruh perubahan iklim ini sangat mempengaruhi kondisi perairan, perubahan musim perikanan, kejadian kekeringan dan kebanjiran, serta degradasi terumbu karang akibat tingginya suhu permukaan laut yang menyebabkan pemutihan/bleaching. Pada indikator ini tidak teridentifikasi adanya penelitian yang secara spesifik terkait dampak perubahan iklim terhadap biota laut, Kajian lebih lanjut untuk pengaruh perubahan iklim terhadap kabupaten Lembata perlu dilakukan.
37
Gambar 5. Agregat Domain Habitat dan Ekosistem
Berdasarkan nilai komposit di tiap indikator seperti ditunjukan pada gambar no.5 Secara keseluruhan domain habitat dan ekosistem di Kabupaten Lembata diberikan status sedang atau kuning dengan nilai komposit 180,83 dari nilai total komposit 300. Terdapat indikator dan subindikator yang tidak teridentifikasi dikarenakan kekurangan data di wilayah survey yaitu pada indikator kualitas perairan dan produktivitas estuari, dengan dasar tersebut diberikan performa terendah yaitu 1. Domain habitat akan sangat menentukan kelimpahan dan keanekaragaman sumberdaya ikan yang terdapat di dalamnya. Secara umum, semakin baik kondisi habitat maka kelimpahan dan keanekaragaman sumberdaya semakin baik. Perlunya upaya Pemerintah Daerah dalam mendorong pengumpulan data terkait pengecheckan kualitas air dan status produktivitas estuaris perlu diketahui dan diidentifikasi kondisinya sebagai satu bagian habitat yang tidak bisa dipisahkan. Baik buruknya kualitas air dan produktivitas estuarine akan mempengaruhi kesehatan ekosistem didalamnya yang termasuk terumbu karang, lamun dan bakau yang berpengaruh terhadap produktivitas perikanan disuatu perairan.
38
4.1.3. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Teknis Penangkapan Ikan Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain teknis penangkapan ikan berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.
Tabel 11. Analisis Komposit Domain Teknis Penangkapan Ikan INDIKATOR 1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.
DEFINISI/ PENJELASAN Penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku. Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI
MONITORING/ PENGUMPULA N Laporan hasil pengawas perikanan, survey
SKOR
BOBOT (%)
NILAI
1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
1
30
30
Sampling ukuruan ikan target/ikan dominan.
1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm
2
25
50
KRITERIA
3. Fishing capacity dan Effort
Besarnya kapasitas dan aktivitas penangkapan
Interview, survey, logbook
1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1
2
15
30
4. Selektivitas penangkapan
Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal
Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey
1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)
3
15
45
Survey/monito ring fungsi, ukuran dan jumlah kapal.
1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (3050% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal
2
10
20
Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan.
Sampling kepemilikan sertifikat
1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%
1
5
5
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Agregat
180
39
4.1.3.1 Indikator Metode Penangkapan Ikan yang bersifat destruktif dan/atau ilegal Indikator ini merupakan indikator dengan bobot terbesar dalam domain teknik penangkapan. Hal ini dikarenakan penangkapan ikan yang merusak dan atau ilegal merupakan ancaman yang paling besar bagi kelestarian ekosistem pesisir dan laut di Indonesia, terutama ekosistem terumbu karang. Dampak dari praktek-praktek penangkapan ikan yang destruktif dan atau ilegal tersebut, kini mulai dirasakan oleh masyarakat nelayan, khususnya untuk nelayan perikanan karang, yang semakin sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan. Secara definisi metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif atau merusak adalah cara menangkap ikan yang dapat menimbulkan kerusakan secara langsung, baik terhadap habitat (tempat hidup dan berkembang biak) ikan maupun terhadap sumber daya ikan itu sendiri. dimaksud menangkap
dengan metode penangkapan ikan ikan
yang melanggar atau
Sementara, yang
yang ilegal adalah cara
bertentangan
dengan ketentuan
peraturan yang berlaku, baik ditingkat lokal, nasional, regional maupun internasional (Modul EAFM, 2012). Kriteria penilaian baik atau buruknya indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem di suatu perairan, adalah dengan melihat jumlah kasus pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal tersebut. Dengan demikian, unit yang digunakan untuk indikator ini adalah jumlah kasus pelanggaran. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 81 responden yang tersebar di 8 desa pesisir menginformasikan bahwa terdapat aktivitas perikanan yang merusak dengan jumlah rata-rata frekuensi aktivitas diwilayah Tanjung Atadei 2-3 kali/bulan, Perairan Ile Ape hingga tanjung baja teridentifikasi sebanyak 20 kali/bulan dan aktivitas tertinggi di selat leur sebanyak 35 kali/bulan per tahun sejak 2011-2012, pelanggaran terhadap aktivitas perikanan didominasi oleh penggunaan bom ikan sebagai penyebab terbesar, selebihnya adalah penangkapan penyu dan pengambilan karang. Lokasi yang menjadi wilayah aktivitas merusak tersebut antara lain : Perairan Pada, Teluk Ile Ape, Lewotolok, Tanjung Baja, 40
Selat Leur, Tobotani, Tanjung Naga, Perairan selatan Lembata, dan, Tanjung Wakatua. Intensitas lokasi pengeboman ikan tertinggi adalah diwilayah Perairan Tobotani dan Lembata bagian selatan, mulai dari Tanjung Naga hingga Tanjung Atadei. Pengawasan terhadap sumberdaya perairan kabupaten Lembata sudah dilakukan secara intensif oleh pihak yang berwenang. Peningkatan pada kapasitas masyarakat dalam membantu pengawasan akan lebih mengefesiensikan aktivitas pengawasan di perairan Lembata, begitu pula dengan menguatkan aturan formal terhadap kearifan lokal yang ada akan dalam mekanisme pengawasan. Seperti yang ditemukan di Desa Leworaja dengan membuat perdes dalam mengelola sumberdaya perairan.
4.1.3.2 Indikator Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan didefinisikan sebagai penggunaan alat tangkap dan dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya ikan. Penentuan indikator ini dilakukan
karena modifikasi alat
tangkap dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Umumnya alat tangkap yang dimodifikasi tanpa memperhatikan peraturan atau panduan yang telah ditetapkan pemerintah akan berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan. Sebagai contoh: penggunaan rumpon yang berlebihan dengan jarak yang sangat berdekatan. Hal tersebut, tentu akan mengganggu pola ruaya atau migrasi ikan, sehingga siklus hidup sumber daya ikan akan terhalangi atau terpotong, yang pada akhirnya menyebabkan sumber daya ikan akan menipis (depletion) dan bahkan bisa habis atau punah Berdasarkan pengumpulan data dikabupaten Lembata modifikasi alat tangkap teridentifikasi pada alat tangkap jaring, dan purse seine. Diketahui 12,5% responden memodifikasi tidak hanya ukuran mata jaring namun juga dalam pengoperasian jarring dilakukan pada kedalaman yang lebih dibandingkan biasanya. Tangkapan sampingan yang didapatkan dengan modifikasi ini yaitu pari 41
dan hiu. Pengumpulan data langsung terhadap ukuran ikan secara berkala perlu dilakukan dalam mengidentifikasi dampak negative terhadap modifikasi alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Kabupaten Lembata.
4.1.3.3 Indikator Fishing capacity Fishing capacity didefinisikan sebagai jumlah hasil tangkapan ikan maksimum yang dapat dihasilkan pada periode waktu tertentu (tahun) oleh satu kapal atau armada bila dioperasikan secara
penuh,
dimana
upaya
dan
tangkapan tersebut tidak dihalangi oleh berbagai tindakan pengelolaan perikanan
yang menghambatnya. Satuan unit yang digunakan untuk fishing
capacity adalah ton/tahun. Fishing capacity menjadi input control dalam manajemen perikanan tangkap. Input perikanan yang berlebih berpotensi menimbulkan kapasitas yang berlebih (over capacity). Overcapacity yang berlangsung terus menerus akan menyebabkan overfishing, sehingga hal ini tentu saja akan dapat menghambat terwujudnya perikanan yang berkelanjutan dan lestari (Modul EAFM, 2012). Penggunaan indikator ini ditujukan untuk mengetahui tingkat intensitas penangkapan ikan dan perkiraan dampaknya terhadap kelestarian sumber daya ikan di suatu wilayah perairan tertentu. Berdasarkan interview 56,79% responden menyatakan hasil tangkapan sama saja dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2008 - 2012) dan 71,6% responden menyatakan ukurannya tidak berubah. baik untuk nelayan ikan pelagis kecil/besar dan demersal, sedangkan trip penangkapan yang dilakukan per alat tangkap menurut responden yaitu: jaring insang hanyut/dasar 8 jam, pancing tuna 5 jam, pancing dasar 10 jam, bagan 8-10 jam dan purse seine 5 jam. Sedangkan sesuai dengan analisa data perikanan tangkap , indikator fishing capacity dan effort diberikan status buruk. Hasil analisa menunjukkan bahwa hasil tangkapan per unit usaha (CPUE) menunjukan tren penurunan pada tahun 2006 sampai 2009 dan mulai menurun nilainya pada tahun 2008. Hal ini menunjukan bahwa aktifitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pelagis cenderung meningkat dengan menambahkan effort dalam penangkapannya, melalui lamanya waktu melaut dan frekuensi trip terutama pada musim puncak. Penilaian keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam 42
pengelolaan perikanan dapat diindikasikan dengan meningkat atau menurunnya kecenderungan fishing capacity dan effort. Bila kecenderungannya relatif tetap, apalagi menurun, maka pengelolaan perikanannya dapat dianggap berhasil dalam mengendalikan input perikanan, namun sebaliknya, pengelolaan perikanan dianggap belum berhasil, bila kecenderungannya selalu terus meningkat. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata perlu menegaskan kembali penggunaan alat tangkap yang selektif dengan mengatur ukuran mata jarring yang sesuai dengan peraturan yang berlaku, pengaturan frekuensi trip pada alat tangkap purse seine pada perikanan pelagis sehingga memberikan kesempatan ikan target berkembangbiak.
4.1.3.4 Indikator Selektivitas Penangkapan Ikan Selektivitas penangkapan didefinisikan sebagai aktivitas penangkapan ikan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan.Pemilihan indikator ini dilakukan karena selektivitas penangkapan yang rendah akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Kriteria penilaian baik atau buruknya indikator selektivitas penangkapan dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem di suatu perairan, adalah dengan menghitung prosentase penggunaan alat tangkap yang tergolong tidak atau kurang selektif terhadap jumlah total alat tangkap yang ada di suatu perairan tertentu. Alat tangkap yang tergolong memiliki selektivitas tinggi antara lain : Pancing; jaring insang; alat pengumpul kerang; jaring angkat (bagan perahu, bagan tancap), pukat cincin (purse seine), perangkap (Sero, Bubu). Sedangkan yang tergolong selektivitas rendah antara lain : Pukat hela (pukat udang, pukat ikan); pukat kantong (lampara, pukat pantai);dan muroami (Modul EAFM, 2012). Indikator selektivitas penangkapan diberikan status baik yaitu alat tangkap yang kurang selektif berada < 50% berdasarkan proporsi alat tangkap yang digunakan oleh responden yang diwawancarai. Analisa prosentase penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang selektif (PS') sebesar 13,41%, karena dari total 12 jenis alat tangkap yang digunakan (bagan apung, bubu, jaring insang dasar, jaring insang hanyut, lampara, pancing ulur, pancing 43
tonda, pancing tegak, pancing lainnya, pancing gurita, purse seine, pukat kombong) terdapat 2 alat tangkap yang berselektivitas rendah yaitu: lampara dan purse seine. Hasil serupa juga ditemukan jika menggunakan data statistik perikanan tangkap provinsi NTT tahun 2010. Alat tangkap yang kurang selektif di kabupaten Lembata sebanyak 84 unit yang terdiri atas lampara, purse seine dan pukat pantai sebesar 9,6% dari jumlah total alat tangkap sebanyak 875 unit (bandingkan daftar acuan selektivitas alat tangkap versi EAFM, 2012). Prosentase alat tangkap yang tergolong kurang selektif sangat rendah ditemukan di kabupaten Lembata merupakan hal yang baik, namun perlu dicermati dalam intensitas penggunaanya yang dikombinasikan dengan alat bantu berupa rumpon.
Semakin efektifnya
penangkapan ikan target memicu
berkembangnya jumlah rumpon yang tidak terkontrol disepanjang perairan utara kabupaten Lembata. Tercatat rumpon yang terdapat disepanjang perairan utara desa Balauring mencapai 31-39 unit sejak oktober 2011 – Maret 2012. Tanpa adanya pengaturan jumlah pemasangan sesuai KepMen KKP No.30 tahun 2004 akan berdampak tidak saja jumlah stok ikan pelagis yang berkurang, menggangu migrasi perikanan tuna, jalur pelayaran namun akan terjadi konflik horizontal diantara nelayan yang berakibat terjadinya pemutusan rumpon diantara nelayan. Perlunya kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengaturan jumlah rumpon yang terpasang perairan kabupaten Lembata perlu segera dibuat dalam mendukung perikanan yang berkelanjutan.
Gambar…. Jumlah rumpon di desa Balauring Oktober 2011-Maret 2012 (WWF, 2012)
44
4.1.3.5 Indikator Kesesuaian Fungsi dan Ukuran Kapal Penangkapan Ikan dengan Dokumen Legal Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal didefinisikan sebagai perbandingan antara dokumen surat legal yang dimiliki dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Pemilihan indikator ini dilakukan, karena bila antara surat ijin yang dikeluarkan berbeda dengan aktivitas kenyataan yang ada, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar aturan atau illegal fishing, dan secara tidak langsung tentunya akan berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan. Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan mungkin mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggungjawab (responsible fisheries) (Modul EAFM, 2012). Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal diberikan status sedang dengan kriteria 30-50% responden dengan armada >5GT tidak memiliki kesesuaian fungsi dan ukuran kapal. Berdasarkan hasil interview 41,67% responden dengan kapal >5 GT memliki izin, sedangkan 58,33% tidak berizin. Mayoritas responden yaitu sebesar 85,19% menggunakan armada dibawah 5 GT, inventarisasi terhadap armada dibawah 5 GT tetap perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah, sehingga selain mempermudah analisa kesesuaian fungsi dan ukuran kapal, informasi ini dapat digunakan dalam analisa indikator fishing capacity.
4.1.3.6 Indikator Sertifikasi Awak Kapal Perikanan Sesuai dengan Peraturan Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dapat didefinisikan sebagai awak kapal perikanan yang telah memenuhi
syarat
kecakapan tertentu untuk bekerja diatas kapal. Sertifikasi awak kapal dilakukan dengan manfaat untuk penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab oleh awak kapal perikanan. Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengestimasi tingkat prosentase sampel kapal penangkapan ikan yang dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat sesuai dengan peraturan dan perkiraan penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab di suatu wilayah perairan tertentu (Modul EAFM, 2012). 45
Analisa indikator sertifikasi awak kapal perikanan di kabupaten Lembata sulit dilakukan karena semua responden bekerja dibawah armada ukuran <10 GT sehingga tidak disyaratkan untuk memiliki sertifikasi awak kapal sesuai acuan pada PP No.7 tahun 2000. Sebaiknya indikator ini perlu disesuaikan kembali dengan mempertimbangkan armada kecil yang berada diperairan kabupaten Lembata. Faktor keselamatan pada aktivitas penangkapan (Sea Safety) di daerah dengan dominasi armada kecil menjadi salah satu indikator yang perlu dipertimbangkan dalam domain ini.
Gambar 6. Agregat Domain Teknis Penangkapan Ikan
Secara keseluruhan domain teknis penangkapan ikan di Lembata diberikan status sedang atau kuning dengan nilai komposit 180 dari nilai total nilai komposit 300. 6 indikator yang diuji/dianalisis terdapat 1 indikator yang berstatus baik yaitu selektivitas penangkapan), 3 indikator berstatus sedang dan 2 indikator lainnya berstatus buruk. Masih teridentifikasinya aktivitas destructive fishing yang cukup tinggi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap rendahnya status domain Teknik penangkapan ikan dan juga berpengaruh negatif terhadap domain lainnya terutama pada domain habitat dan ekosistem. Begitu pula dengan indikator Fishing capacity terutama pada perikanan pelagis walaupun dalam status sedang namun kapasitas input perikanan juga perlu diperhatikan, yakni 46
frekuensi penangkapan alat tangkap kurang selektif yang dikombinasikan dengan tingginya jumlah rumpon yang terdapat disepanjang perairan utara kabupaten Lembata, berdasarkan data CPUE aktivitas penambahan effort namun tidak diiringi dengan peningkatan hasil tangkapan yang signifikan dalam jangka waktu yang panjang (5 tahun). Oleh karena itu perlunya kebijakan yang mengatur atau mnegelola penggunaan alat bantu penangkapan rumpon yang dikombinasikan dengan alat tangkap yang kurang selektif seperti lampara dan purse seine. Menguatkan aturan formal terhadap kearifan lokal yang ada akan dalam mekanisme pengawasan sumberdaya laut dikabupaten Lembata juga perlu didorong. Seperti yang ditemukan di Desa Leworaja dengan membuat perdes dalam mengelola sumberdaya perairan dan Perdes yang terdapat di desa Babokerong perlu diperkuat secara kelembagaan dan aturan oleh Pemerintah Daerah. Pendataan lebih lanjut terhadap dampak terhadap modifikasi alat tangkap yang terjadi di kabupaten Lembata perlu dilakukan dengan mengukur panjang ikan target ekonomis yang menjadi prioritas kabupaten secara berkala. Pengumpulan data ini dapat digabungkan dalam kegiatan pencatan hasil tangkapan ikan yang dilakukan secara rutin dalam pengambilan data sensus perikanan tangkap. Inventarisasi armada yang digunakan nelayan perlu juga dilakukan proses registrasi di Dinas terkait dalam upaya meningkatkan performa dalam indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal, terutama pada armada penangkapan tuna yang didominasi oleh armada < 5 GT tidak secara langsung. Walaupun tidak wajib memiliki surat izin kapal dengan ukuran demikian sebaiknya tetap dilakukan inventaris. Hal ini juga dapat mendukung ketelusuran (tracebility) produk unggulan tuna di kabupaten Lembata.
47
4.1.4. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Sosial Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain sosial berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.
Tabel 12. Analisis Komposit Domain Sosial DEFINISI/ PENJELASAN Keterlibatan pemangku kepentingan//
MONITORING/ PENGUMPULAN Recording partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan.
2. Konflik perikanan
Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector.
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)
Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan
Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim) Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif
INDIKATOR 1. Partisipasi pemangku kepentingan
1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 %
1
BOBOT (%) 40
1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun
1
35
35
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan
3
25
75
KRITERIA
SKOR
Agregat
NILAI 40
125
4.1.4.1 Indikator Partisipasi Pemangku Kepentingan Partisipasi pemangku kepentingan merupakan frekuensi keiikutsertaan pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Jumlah kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti oleh pemangku kepentingan dihitung
kemudian
dibandingkan
dengan
seluruh
kegiatan
pengelolaan
sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi yang diteliti. Pengukuran partisipasi pemangku kepentingan ini bertujuan untuk melihat keaktifan pemangku kepentingan dalam seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Tingkat keaktifan pemangku kepentingan sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin aktif pemangku 48
kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan (Modul EAFM, 2012). Indikator partisipasi pemangku kepentingan diberikan status buruk, hal ini didasarkan hasil interview yang didapatkan 94,12% responden menyatakan tidak adanya keterlibatan dan kesepakatan dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Sedangkan 5,88% responden lainnya menyatakan adanya keterlibatan dan kesepakatan dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, kegiatan dan kesepakatan tersebut antara lain: bersih pantai, membahas jenis dan ukuran tangkapan, membahas alat tangkap yang boleh digunakan, dan sharing ilmu budidaya Pelibatan masyarakat dalam setiap proses pembangunan mulai dari pembuatan perencanaan, implementasi, pemantauan hingga evaluasi perlu dilakukan, diketahui bahwa salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam perencanaan adalah melalui kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) baik ditingkat desa hingga kabupaten.
4.1.4.2 Indikator Konflik Perikanan Konflik perikanan merupakan pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat perebutan fishing ground (resources conflict) dan benturan alat tangkap (fishing gear conflict). Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat pertentangan kebijakan (policy conflict) pada kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan antar sektor. Konflik diukur dengan frekuensi terjadinya konflik sebagai unit indikator. Indikator ini bertujuan untuk melihat potensi kontra produktif dan tumpang tindih pengelolaan
yang
berakibat
pada kegagalan implementasi
kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan. Semakin tinggi
frekuensi
perikanan, semakin sulit pengelolaan sumberdaya perikanan.
konflik
Demikian pula
sebaliknya, semakin rendah frekuensi terjadinya konflik diharapkan semakin mudah implementasi pengelolaan sumberdaya perikanan (Modul EAFM, 2012). Berdasarkan data wawancara dengan responden teridentifikasi terdapat konflik antar alat tangkap diantara nelayan pemancing dengan nelayan yang menggunakan pukat dan pursesein dirumpon. Konflik lainnya yang intensif terjadi sejak tahun 2010 yaitu adanya konflik kewilayahan antara nelayan Balauring 49
dengan nelayan Pole and line asal Flores Timur yang melakukan penangkapan diwilayah perairan Lembata. Tercatat sebanyak 10-15 konflik. Jenis dan frekuensi konflik ini harus menjadi perhatian semua stakeholder yang punya kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Rumpon kembali menjadi isu social yang berdampak negatif dalam pengelolaan perikanan di kabupaten Lembata jika tidak dikelola dengan baik, seperti dijelaskan didalam domain teknis penangkapan. Faktor pengawasan yang efesien dalam meminimalisir penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan terus diuupayakan, mendorong system pelaporan yang efektif ditingkat masyarakat menjadi agenda yang juga perlu diprioritaskan oleh Dinas dan aparat terkait.
4.1.4.3 Indikator Pemanfaatan Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan ukuran dari keberadaan serta keefektifan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Ada tidaknya pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti oleh efektif tidaknya penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi yang diteliti. Tingkat keefektifan penerapan pengetahuan lokal sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin efektif penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan diberikan status sedang, karena teridentifikasi adanya Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Lembata seperti larangan menggunakan pukat harimau, dilarang menggunakan bom dan potas serta pengambilan ikan tidak boleh merusak karang. Berdasarkan wawancara 19,12% responden menyatakan kearifan lokal berlaku kurang lebih 100 tahun .
50
Identifikasi lebih lanjut dalam kearifan lokal adat yang terdapat di kabupaten Lembata perlu dilakukan, sehingga memperkuat penyusunan pengelolaan perikanan yang akan saling mengisi antara aturan formal dan informal yang terjadi di masyarakat.
Gambar 7. Agregat Domain Sosial
Secara keseluruhan domain sosial di Kabupaten Lembata diberikan status sedang dengan nilai komposit 125 dari nilai total komposit 300, 2 indikator berstatus buruk yaitu Partisipasi pemangku kepentingan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dan 1 indikator berstatus buruk, yaitu indikator konflik perikanan. Pentingnya meningkatkan pemahaman dan mengefisiensikan pelibatan masyarakat dalam setiap pembangunan terutama dalam pengelolaan wilayah laut sangat dibutuhkan, kajian lebih mendetail di setiap desa pesisir perlu diidentifikasi lebih lanjut, dikarenakan kearifan lokal yang ada pun masih bisa diperkuat untuk mendukung pengelolaan perikanan yang lebih selektif dan tetap mengakomodir nilai-nilai budaya setempat. Meminimalisir konflik perikanan dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan yang efektif dan penegakan hukum yang tegas terhadap pemanfaatan perikanan yang merusak baik pihak nelayan lokal maupun nelayan luar dan pengaturan dalam pemanfaatan wilayah tangkap secara bersama dengan alat tangkap yang berbeda sebaiknya juga diatur untuk menghindari adanya konflik horizontal bagi nelayan dengan alat tangkap yang berbeda.
51
4.1.5. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Ekonomi Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain ekonomi berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.
Tabel 13. Analisis Komposit Domain Ekonomi INDIKATOR 1. kepemilikan aset
2. Nilai Tukar Nelayan (NTN)
DEFINISI/ PENJELASAN perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat :aset usaha perikanan atau aset RT.
MONITORING/ PENGUMPULAN Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan
Rasio penerimaan terhadap pengeluaran.
Pengumpulan data NTN menggunakan sumber sekunder (BPS dan PUSDATIN) yang dikumpulkan setiap tahun Arahan frekuensi survey (atau penggunaan note/catatan yang ada di lapangan, mis: pengumpul ikan) dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan
3. Pendapatan rumah tangga (RTP)
Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP
4. Saving rate
menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap income
2
BOBOT (%) 35
2
30
60
1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan ratarata UMR, 3 = > rata-rata UMR
2
20
40
1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman
1
15
15
KRITERIA 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%) 1 = kurang dari 100,
SKOR
70
2 = 100, 3 = lebih dari 100
Agregat
185
4.1.5.1 Indikator Kepemilikan Aset Kepemilikan aset merupakan perbandingan antara jumlah aset produktif yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset produktif dari rumah tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan sebaliknya. Aset produkstif merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, budidaya ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan,
NILAI
bahkan kegiatan ekonomi lainnya
seperti pertanian. Pengukuran
52
kepemilikan aset ini bertujuan untuk melihat kemampuan rumah tangga nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya (Modul EAFM, 2012). Data penelitian menunjukkan 11,11% responden menyatakan bahwa terjadi penurunan aset produktif berupa mesin dan alat tangkap, sementara 88,89% menyatakan tidak terjadi pertambahan (tetap) aset produktif yang mendukung pekerjaan sebagai nelayan. Aset produktif yang teridentifikasi berupa alat tangkap, mesin perahu, armada penangkapan, lahan, dan generator sedangkan aset non produktif berupa barang elektronik seperti TV, sound system dan DVD/VCD player. Walaupun terjadi penurunan aset produktif responden masih memiliki aset non produktif. Priortas responden terhadap asset non produktif masih lebih besar dibandingkan usaha produktif yang justru dapat untuk mendukung usaha/mata pencaharian.
4.1.5.2 Indikator Nilai Tukar Nelayan Indikator selanjutnya adalah Nilai Tukar Nelayan yang didefinsikan sebagai rasio perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran rumah tangga nelayan. Pengukuran nilai tukar ini bertujuan untuk melihat kemampuan rumah tangga nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan primer (pangan) maupun kebutuhan sekunder (non pangan) (Modul EAFM, 2012). Berdasarkan data NTN yang dikeluarkan pada Permen. No.15 tahun 2012 Nilai Tukar Nelayan di bulan Desember 2011 adalah 105,83. Nilai ini tergolong dalam kategori baik yaitu diatas nilai 100. Hal ini menunjukan bahwa kebutuhan primer nelayan Lembata sudah terpenuhi dengan baik.
4.1.5.3 Indikator Pendapatan Rumah Tangga Perikanan Pendapatan rumah tangga perikanan merupakan seluruh pendapatan yang diterima rumah tangga nelayan, yang bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga serta anggota rumah tangga, baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang perikanan. Ukuran pendapatan adalah rupiah/kepala keluarga/bulan. Indikator pendapatan rumah tangga menggunakan upah minimum regional (UMR) sehingga bila pendapatan rumah tangga sama 53
dengan UMR maka rumah tangga perikanan tersebut dapat dikatakan tidak miskin (Modul EAFM, 2012).
Gambar 8. Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap
Berdasarkan hasil analisa indikator pendapatan rumah tangga (RTP) pada perikanan pelagis dikabupaten Lembata termasuk dalam kategori Baik. Gambar 8 menunjukkan bahwa dari 6 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan untuk kategori perikanan pelagis, didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp. 1.020.416/bulan untuk alat tangkap jaring insang dan tertinggi untuk alat tangkap lampara sebesar Rp. 5.959.083/bulannya, dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan pelagis di Kabupaten Lembata sudah cukup baik berdasarkan nilai UMR Provinsi NTT Rp. 825.000 pada tahun 2011.
54
Gambar 9. Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap
Berbeda halnya dengan pendapatan nelayan ikan demersal seperti ditunjukan pada Gambar 9, dari 3 jenis alat tangkap yaitu bubu, jarring insang, pancing didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp. 550.185/bulan untuk alat tangkap bubu dan tertinggi untuk alat tangkap jarring insang sebesar Rp. 806.142/bulannya, dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan perikanan demersal dengan 3 alat tangkat tersebut masih rendah karena kisaran nilai RTP perikanan demersal masih dibawah nilai UMR Provinsi NTT. Pemasaran perikanan demersal di kabupaten Lembata masih terbatas untuk konsumsi lokal, harga jual pun tergolong rendah contoh pada jenis ikan kerapu umumnya dijual dengan harga Rp.10.000- Rp.20.000/ekor, dan harga kakap merah Rp.10.000/ekor dengan ukuran. Hal ini berbeda dengan perikanan pelagis yang sudah memiliki pasar yang lebih baik sehingga harga jual lebih tinggi dengan memperhitungkan harga perkilogram.
4.1.5.4 Indikator Rasio Tabungan atau Saving Ratio Rasio tabungan atau saving ratio (SR) merupakan rasio perbandingan antara selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dengan pendapatannya. Pengukuran rasio tabungan (SR) ini bertujuan untuk melihat potensi rumah tangga nelayan dalam menyimpan kelebihan pendapatannya (Modul EAFM, 2012) 55
Gambar 10.
Saving Ratio Perikanan Pelagis dan Demersal per Jenis Alat Tangkap
Berdasarkan hasil analisa pada indikator saving rate pada nelayan pelagis dan demersal status buruk. Data penelitian menunjukkan nilai tertinggi saving ratio pada alat tangkap alat tangkap Pancing pelagis, Bagan Apung dan Lampara sebesar 53,63%, 46,46% dan 38,52%. dan terendah pada alat tangkap bubu yang mendapatkan nilai minus yaitu 147,64% (Gambar 10). Data ini memberikan gambaran bahwa nelayan di Kabupaten Lembata pada umumnya sulit untuk menabung, pengelolaan keuangan rumah tangga kurang berjalan dengan baik dengan ditunjukan bahwa tingkat pengeluaran nelayan jauh lebih besar dibandingkan pendapatan disektor perikanan, seperti pada alat tangkap jarring insang dan pancing. Namun disisi lain, banyak responden juga tidak memberikan informasi yang sesuai. terkait pengeluaran rumah tangga dan penghasilan tambahan
dari
rumah
tangga
perikanan
tersebut,
sehingga
pendataan
perekonomian yang lebih detail perlu dikaji lebih lanjut.
56
Gambar 12. Agregat Domain Ekonomi
Berdasarkan perhitungan komposit yang ditunjukan pada gambar 12. Secara keseluruhan domain ekonomi di Kabupaten Lembata diberikan status sedang dengan nilai komposit 185 dari nilai komposit total sebesar 300. Hal ini dikarenakan 3 indikator yang diuji/dianalisis semua indikator dalam status sedang dan 1 indikator dibawah standar kriteria. Kajian lebih lanjut terkait tingkat menabung nelayan masih perlu dilakukan, dikarenakan Rasio tingkat menabung atau Saving Rate merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat nelayan. Memberikan pemahaman terhadap
management
ekonomi
rumah
tangga
dengan
memprioritaskan
pengeluaran produktif, pendidikan, dan kesehatan dapat menata kembali kesejahteraan masyarakat nelayan di Lembata dengan tingkat pendapatannya yang cukup sederhana.
57
4.1.6. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Kelembagaan Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain kelembagaan berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini Tabel 14. Analisis Komposit Domain Kelembagaan DEFINISI/ PENJELASAN
MONITORING/ PENGUMPULAN
1. Kepatuhan terhadap prinsipprinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)
Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal
Monitoring ketaatan: 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas, 2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya
2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan
Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya
INDIKATOR
3. Mekanisme pengambilan keputusan
Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan
SKOR
BOBOT (%)
NILAI
1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
1
25
37,5
Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran
1
1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, 2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya 3) replikasi kearifan lokal
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap
2
22
52,8
Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah
2
Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1) ketersediaan alat, orang 2) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman)
1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif 1= tidak ada alat dan orang; 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan
2
1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman
3
1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif
3
18
36
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
KRITERIA
3
58
1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya
3
4. Rencana pengelolaan perikanan
Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud
Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner: 1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah 2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat
1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
1
15
15
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
3
11
27,5
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung
3
Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap: 1) Ada atau tidak, berapa kali 2) Materi
1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan
2
9
27
6. Kapasitas pemangku kepentingan
AGREGAT
4.1.6.1 Indikator Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat) Dalam bidang perikanan, berbagai peraturan baik formal maupun informal telah banyak dibuat untuk menjamin keberlanjutan perikanan. Beberapa peraturan formal guna menjamin perikanan berkelanjutan telah dikeluarkan dalam berbagai skala.
Pada lingkup internasional, telah ditetapkan Code
of
Conduct
for
Responsible Fisheries (CCRF) sebagai menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek perikanan yang bertanggungjawab. Pada 59
197,8
level nasional, telah dikeluarkan berbagai perundangan dalam skala tingkat keputusan
yang
berbeda-beda
mulai
dari
undang-undang,
peraturan
pemerintah, keputusan menteri dan sampai peraturan daerah terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Demikian halnya di tingkat masyarakat, sebagian masyarakat pesisir di
Indonesia
telah
mengembangkan
aturan
dan
norma-norma
dalam
mengelola sumberdaya perikanan. Hukum adat tersebut terbukti sampai saat ini masih dapat diterapkan dengan baik karena mengikat masyarakat secara sosial yang ditandai dengan aspek kepatuhan (comlience) terhadap aturan. Kapatuhan kadangkala tidak menjadi longgar ketika dibangun dalam bentuk hukum formal. Hukum positif (formal) seringkali
alpa
dalam
mendorong
kesadaran
masyarakat untuk mentaatinya. Tetapi hukum sosial sebagaimana yang terjadi dalam hukum adat seringkali justru membangun kesadaran masyarakat untuk mentaatinya (Modul EAFM, 2012). Indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal diberikan status sedang. Hasil wawancara dengan pihak DKP menyebutkan bahwa dalam setahun tercatat 3 pelanggaran, yaitu: 1) Perijinan tidak lengkap dengan kategori ringan dan dilakukan pembinaan serta melengkapi dokumen sesuai kebutuhan, 2) Pelanggaran daerah penangkapan dengan kategori ringan dan dilakukan pembinaan, 3) Cara penangkapan tidak ramah lingkungan dengan kategori berat dan dilakukan sosialisasi, pembinaan, pemberian sanksi dan denda sesuai peraturan daerah yang berlaku. Untuk pelangaran terhadap aturan non formal tidak ada informasi pelanggaran. Berdasarkan hasil kajian aktivitas pelanggaran penangkapan merusak terus terulang dibeberapa wilayah perairan kabupaten Lembata, seperti yang telah dijelaskan pada Domain teknik penangkapan berkisar 20-35 pemboman tiap bulan dibeberapa
wilayah
kabupaten
Lembata.
Besarnya
angka
pelanggaran
menggambarkan masih kurangnya kepatuhan terhadap hukum formal maupun informal diwilayah perairan kabupaten Lembata. Hukum informal itu sendiri masih belum berjalan efektif terutama ketika pelaku berasal dari luar daerah kabupaten Lembata. Solusi yang sebaiknya dilakukan tidak hanya meningkatkan 60
wilayah cakupan pengawasan daerah perairan, pengembangan sistem pengawasan melalui aturan non formal juga perlu diperkuat di kabupaten Lembata. Mengembangkan kembali kearifan lokal yang ada dalam mendukung pemanfaatan perikanan yang lestari dengan hukuman sosial, serta perlu juga adanya serangkaian pendidikan mengenai pemanfaatan dan perlindungan kawasan laut yang berkelanjutan diwilayah pesisir kabupaten Lembata.
4.1.6.2 Indikator Kelengkapan Aturan Main dalam Pengelolaan Perikanan Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai tingkat ketersediaan regulasi (peraturan), peralatan, petugas dan infrastruktur pengelolaan perikanan lainnya dan ada tidaknya penegakan aturan main serta efektifitasnya dalam pengelolaan perikanan. Peraturan yang lengkap menjadi dasar dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Kelengkapan peraturan tidak secara otomatis dapat terimplementasi dengan baik. Oleh karena itu dibutuhkan adanya penegakan aturan tersebut. Ketersediaan aturan saja tidak cukup dan menjamin terlaksananya aturan dengan baik. Tetapi harus diskusi dengan penegakan hukum yang nyata. Sehingga aturan yang dibuat bersifat fungsional (Modul EAFM, 2012). Indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan diberikan status sedang. Adanya beberapa peratuan yang mendukung upaya pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Lembata, yaitu: Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 6 Tahun 2005 tentang Retribusi Penggantian Biaya Administrasi dan Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 10 tahun 2007 tentang Retribusi Usaha Perikanan. Selebihnya menggunakan peraturan nasional yaitu mengacu pada UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan, UU No.45 tahun 2009 tentang perubahan UU No.31 tahun 2004, UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil, Kepmen No.45 tahun 2000 tentang perizinan usaha penangkapan ikan, Kepmen No.10 tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan, Kepmen No. 45 tahun 2009 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan, Permen No. 5 tahun 2008 tentang Usaha Perikanan tangkap, Permen No.2 Tahun 2011 tentang Jalur 61
Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Penegelolaan Perikanan. Dari sisi jumlah aturan formal yang ada terdapat dalam jumlah yang tetap, sementara jumlah pelanggaran yang tercatat pihak dinas terdapat pelanggaran yang sudah diproses atau ditetapkan statusnya dan dilakukan penegakan aturan main masih dianggap belum berjalan efektif. Sarana dan prasarana yang tersedia sudah cukup dengan adanya speed boat sebagai kapal pengawas, namun aparat yang tersedia masih kurang. Kendala lainnya adalah minimnya biaya operasional pengawasan, sehingga pengawasan belum mencakup keseluruhan perairan. Adanya upaya dan kesadaran masyarakat dalam membantu pengawasan terhadap tindak pidana di laut dan membantu dalam memberikan informasi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di laut perlu terus didorong. Program Pokmaswas yang dijalankan di beberapa desa telah dilakukan oleh DKP kabupaten Lembata. Perlunya memperkuat kapasitas anggota masih perlu ditingkatkan didalam kelompok masyarakat tersebut.
4.1.6.3 Indikator Mekanisme Pengambilan Keputusan Mekanisme
kelembagaan
didefinisikan
sebagai
metode/prosedur
kelembagaan dalam masyarakat dibangun. Kelembagaan itu sendiri menurut Douglas North, Shaffer (1995) and Coase sebagai peraturan formal dan informal yang mengatur atau mempengaruhi perilaku masyarakat seiring interaksi mereka dalam aktivitas politik dan ekonomi. Tujuan penggunaan indikator ini dalam domain kelembagaan adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan. Mekanisme kelembagaan memastikan bahwa semua sistem pengelolaan telah tersedia. Semua aturan main telah disepakati dan menjadi prosedur baku dalam pengelolaan perikanan (Modul EAFM, 2012) Berdasarkan hasil analisa pada indikator ini di Kabupaten Lembata digolongkan dalam status Baik. Dalam perijinan usaha perikanan, mekanisme pengambilan keputusan dilakukan dengan mengundang semua stakeholder yang berkepentingan ada dalam sebuah workshop untuk membahas tentang perijinan usaha perikanan, dan hasil workshop dibuatkan rekomendasi kepada pemerintah 62
daerah dan DPR (contoh prosedur perijinan yang disepakati: pengajuan permohonan, verifikasi kelengkapan dokumen, proses perijinan, dan dokumen perijinan). Setiap keputusan yang dihasilkan (misalnya perijinan usaha perikanan) berjalan baik dan efektif, karena verifikasi dilakukan secara bersama dari tingkat yang paling bawah sampai dikeluarkannya dokumen perijinan namun masih ada beberapa hal seperti jalur penangkapan kapal-kapal nelayan setempat yang belum diatur
4.1.6.4 Indikator Rencana Pengelolaan Perikanan Berdasarkan UU No.31/2004 tentang perikanan yang diubah menjadi UU No,45/2009 tentang perikanan pasal 7 ayat 1 huruf a menjelaskan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, menteri menetapkan rencana pengelolaan perikanan (RPP). RPP merupakan pedoman dan acuan dengan mempertimbangkan aspek ekologi,
ekonomi dan sosial dalam
merencanakan, memanfaatkan dan mengawasi kegiatan perikanan. RPP dapat dibangun berbasis kawasan perairan (perairan pesisir, perairan umum) atau berbasis komoditas perikanan (RPP perikanan Bilih, RPP perikanan lemuru, dst). RPP mutlak diperlukan sebagai stadar operasional dalam melaksanakan tata kelola perikanan yang bertanggungjawab. Dengan demikian unit kegiatan dari indikator RPP adalah ada tidaknya RPP dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang dimaksud dan sejauhmana RPP tersebut dijalankan (Modul EAFM, 2012) dilevel Pemerinta Daerah identifikasi terkait RPP dapat dilakukan disetiap kebijakan daerah yang mendukung pengelolaan perikanan berbasis ekosistem, seperti pada dokumen RTRW, Rencana Induk Kelautan dan Perikanan, Peraturan Daerah maupun Surat Keputusan Bupati. Berdasarkan hasil analisa Rencana Pengelolaan Perikanan dari dokumen perencanaan yang daerah belum teridentifikasi, baik yang meliputi RTRW dan Renstra. Dokumen yang teridentifikasi hanya berkaitan dengan penegakan aturan yaitu pembentukan kelompok masyarakat pengawasan (Pokmaswas). Minimnya perencanaan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dalam pembangunan, dikhawatirkan pemanfaatan perikanan tidak terarah dengan baik. Penilaian performa pemanfaatan perikanan melalui Kajian EAFM dapat menjadi dasar 63
dalam pembuatan Rencana Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan baik dalam jangka pendek (tahunan) hingga jangka panjang yang terakomodir dalam RTRW.
4.1.6.5 Indikator Tingkat sinergisitas antar kebijakan dan lembaga dalam pengelolaan perikanan Tingkat sinergisitas antar kebijakan dan lembaga dalam pengelolaan perikanan dapat diartikan sebagai adanya keterpaduan gerak dan langkah antar lembaga dan antar kebijakan dalam pengelolaan perikanan sehingga tidak memunculkan adanya konflik kepentingan dan benturan kebijakan.Adapun tingkat sinergitas yang diukur meliputi unsur perizinan, unsur operasional pengelolaan perikanan, dan unsur konservasi dan pemulihan (Modul EAFM, 2012) Indikator
tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan
perikanan diberikan status baik. Misalkan dalam perijinan adanya koordinasi dengan lembaga lain (perhubungan dan dinas pendapatan daerah), sementara dalam upaya penanganan kasus-kasus IUU Fishing adanya dukungan operasional penangkapan dan penanganan kasus (Polri, TNI AL, Kejaksanaan), serta dalam kerja sama antar lembaga tersebut berkomitmen untuk saling berkolaborasi. Kajian dokumen kebijakan masih lebih banyak mengadopsi UndangUndang nasional, oleh karena itu pendadaran dilevel kebijakan daerah perlu didorong untuk menjawab permasalahan yang bersifat lokal. Melalui keterlibatan Pemerintah Daerah dalam mendorong tahapan EAFM kedalam rencana pengelolaan perikanan merupakan suatu bentuk sinergitas kebijakan yang meliputi lintas SKPD.
4.1.6.6 Kapasitas Pemangku Kepentingan Pengelolaan perikanan ditentukan oleh seberapa jauh kapasitas pemangku kepentingan dalam mengelola perikanan. Ketersediaan peraturan tidak menjamin dapat ditafsirkan dengan baik tanpa didukung oleh kapasitas pemangku kepentingan yang memadai. Kapasitas pemangku kepentingan menentukan baik buruknya kebijakan yang akan dipilih dalam pengelolaan perikanan. Kapasitas pemangku kepentingan juga terlibat dalam menafsirkan perundangan yang 64
berlaku terkait dengan pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat kompetensi pemangku kepentingan, maka efektifitas pengelolaan perikanan semakin terjamin (Modul EAFM, 2012) Berdasarkan hasil analisa indikator kapasitas pemangku kepentingan diberikan status sedang. Teridentifikasi kegiatan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem. Pernah mengikuti kegiatan perencanaan dan konsep pengelolaan perikanan tetapi belum difungsikan secara optimal. Saat ini DKP terus mendorong upaya perlindungan laut mulai dari pengaturan wilayah tangkap di Teluk Lewoleba hingga mendorong adanya perdes perlindungan laut. Upaya pengelolaan perikanan dengan memperhatikan unsur ekosistem pendukungnya perlu dilakukan secara sinergis di kabupaten ini.
Gambar 13. Agregat Domain Kelembagaan Secara keseluruhan domain kelembagaan di Kabupaten Lembata diberikan status sedang dengan nilai komposit 197,8 dari nilai total komposit 300, dari 6 indikator yang diuji/dianalisis 2 indikator yang berstatus buruk yaitu tingkat kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggungjawab dan belum teridentifikasinya rencana pengelolaan perikanan, sedangkan 4 indikator lainnya berstatus baik dan sedang. Domain kelembagaan sebagai domain yang mengkaji penataan institusi (institutional arrangements) yang ditentukan oleh beberapa unsur seperti aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan 65
operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Modul EAFM, 2012) baik dilevel Pemerintahan dan juga lembaga adat melalui kearifan lokal) . Kepatuhan terhadap prinsip-prisip perikanan yang bertanggungjawab baik yang formal maupun berupa hukum adat, menjadi ukuran paling penting dalam menjamin keberlanjutan perikanan, oleh karena ketegasan rencana pengelolaan perikanan yang efektif baik berupa dokumen legal hingga hukum sosial perlu didorong juga implementasinya dalam perencanaan daerah.
66
BAB V ANALISIS KOMPOSIT WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN
Dari hasil analisis komposit tematik yang telah dilakukan untuk setiap aspek pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Lembata, tahapan selanjutnya adalah mengestimasi keragaan agregat wilayah pengelolaan perikanan dengan menggunakan teknis komposit antar tematik. Hasil estimasi tematik masing-masing aspek kemudian digabung menjadi satu indeks dengan asumsi tidak ada perbedaan bobot masing-masing aspek. Dengan kata lain, dalam analisis agregat seluruh aspek dianggap penting (Adrianto dkk, 2012).
Hasil
analisis komposit agregat selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini.
Tabel.15 Status dan Performa Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Lembata Nilai Komposit
Domain Sumberdaya Ikan Habitat & ekosistem
220
Deskripsi Baik
180,83
Sedang
Teknik Penangkapan Ikan
180
Sedang
Sosial
125
Sedang
Ekonomi
185
Buruk
Kelembagaan
197,8
Sedang
Aggregat
181,44
Sedang
Berdasarkan hasil analisis indeks dekomposit untuk Ecosystem Approach to Fisheries Management di Kabupaten Lembata menunjukan status sedang dengan flag modeling berwarna kuning dengan nilai akhir agregat sebesar 184,44 dari nilai maksimal 300. Domain yang perlu mendapat mendapat perhatian yaitu: Domain Sumberdaya Ikan pada aktivitas penangkapan Spesies ETP, Domain Habitat & Ekosistem (untuk indikator estuary),
Domain
Teknik
Penangkapan
kualitas perairan dan produktivitas Ikan
(untuk
indikator
metode
penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau illegal, kesesuaian fungsi dan 67
ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, dan sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan), Domain Sosial pada indikator konflik perikanan, Domain Ekonomi pada indikator Saving ratio dan Domain Kelembagaan yaitu pada indikator Keberadaan Rencana Pengelolaan Perikanan. Meningkatkan performa pengelolaan perikanan di kabupaten Lembata sebaiknya memprioritaskan indikator yang masih dalam kondisi rendah seperti yang disebutkan diatas. Adapun peningkatan kebijakan yang ditawarkan tertuang dalam tabel berikut ini : Tabel 15. Analisa Peningkatan Indikator EAFM di Kabupaten Lembata No 1
Domain Sumberdaya Ikan
Indikator
Solusi
Pemanfaatan Spesies
Sosialisasi mengenai jenis-jenis biota
ETP
ETP di masyarakat dan penerapan aturan yang tegas dalam perdagangan biota ETP
2
Habitat dan
Pengelolaan Habitat
Kajian lebih lanjut dalam identifikasi
Ekosistem
unik/khusus
habitat penting seperti tempat peneluran penyu, habitat duyung dan peneluran ikan.
Status dan produktivitas
Kajian lebih lanjut dalam terhadap
Estuari dan perairan
kondisi klorofil pada daerah estuarine
sekitarnya
dan perairan sekitarnya
Perubahan iklim
Kajian lebih lanjut terhadap dampak
terhadap kondisi
perubahan iklim di kabupaten kepulauan
perairan dan habitat
yang mencakup upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
3
Teknologi
Metode penangkapan
Melakukan pengawasan diwilayah timur
Penangkapan
ikan yang bersifat
kabupaten Lembata dan menguatkan
destruktif dan atau
kelembagaan kearifan lokal yang ada
illegal
dalam
mendukung
mekanisme
pengawasan. Sertifikasi awak kapal
Mendorong upaya sosialisasi mengenai
perikanan sesuai dengan
keselamatan kapal bagi nelayan (Sea 68
4
Sosial
peraturan.
Safety)
Partisipasi pemangku
Mendorong pelibatan masyarakat dalam
kepentingan
setiap proses pembangunan mulai dari pembuatan perencanaan, implementasi, pemantauan hingga evaluasi kebijakan
Konflik Perikanan
Mendorong pengaturan penangkapan ikan pelagis di wilayah tangkap yang sama antara pancing dan lampara atau purse seine yang menggunakan alat bantu penangkapan rumpon. Perlunya membuat kesepakatan bersama dengan pemerintah kabupaten Flores Timur
dalam
pengaturan
wilayah
tangkap nelayan Flores Timur (andon) 5
Ekonomi
Saving rate
Kajian lebih lanjut terhadap saving rate perlu dilakukan dan secara paralel mendorong rumah
peningkatan
tangga
kapasitas
perikanan
dalam
mengelola ekonomi rumah tangga 6
Kelembagaan
Kepatuhan terhadap
Mendorong
upaya
pemanfaatan
prinsip-prinsip
perikanan bertanggungjawab melalui
perikanan yang
aturan non formal yaitu melalui kearifan
bertanggung jawab
lokal hukuman sosial, serta perlu juga
dalam pengelolaan
adanya
perikanan yang telah
mengenai
pemanfaatan
ditetapkan baik secara
perlindungan
kawasan
formal maupun non-
berkelanjutan
formal (Alat)
kabupaten Lembata
Ketersediaan Rencana
Mendorong
Pengelolaan Perikanan
pengelolaan perikanan dalam lingkup
serangkaian
pendidikan
laut
diwilayah
pembuatan
dan yang pesisir
rencana
kabupaten.
69
Potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Lembata yang relatif besar sebagai sumber perekonomi kabupaten, dan didukung dengan kondisi habitat ekosistem yang masih baik tidak saja menunjang perikanan namun juga disektor pariwisata ini menjadi modal bagi pemerintah daerah dan stakeholder lainnya dalam mendukung peningkatan perekonomian rumah tangga nelayan. Perlunya
meningkatkan
instrument
Pengelolaan
Perikanan
yang
berkelanjutan perlu diatur dalam perumusan format pengelolaan perikanan berkelanjutan dan lestari, dalam bentuk yang baku dan dapat diterapkan, yaitu membuat Dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Kabupaten Lembata sebagai acuan dalam pengelolaan perikanan. Dalam konteks proses perencanaan RPP di atas, Kusumastanto dkk (2006), menyarankan agar peran stakeholders selalu muncul dalam setiap tahapan mulai dari formulasi sampai evaluasi. Dengan demikian, pendekatan partisipatif menjadi salah satu syarat utama dalam proses penyusunan RPP, karena prinsip dasar dari RPP adalah sifat komprehensif dan holistik dari sistem perikanan yang akan menjadi subjek pengelolaannya. Elemen dasar RPP yang disarankan Kusumastanto dkk (2006) seperti terlihat pada Tabel 17, yaitu: Tabel 13. Elemen Dasar Rencana Pengelolaan Perikanan No
Elemen 1 Prinsip-prinsip pengelolaan
1.1 Misi 1.2 Tujuan Pembangunan dan Pengelolaan Perikanan 1.3 Kebijakan dan Perencanaan Perikanan 1.4 Profil Wilayah 2 Profil Perikanan 2.1 Keterkaitan antar Sektor 2.2 Keadaan Umum Perikanan 2.3 Industri Perikanan 3 Pengelolaan Perikanan 3.1 Proses dan Perencanaan Perikanan 70
3.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir 3.3 Peraturan Perikanan 3.4 Wilayah Perikanan 3.5 Kerangka Organisasi Pengelolaan 3.6 Riset Perikanan dan Statistik 3.7 MCS (Monitoring, Control, and Surveillance) dalam Pengelolaan Perikanan 3.8 Inspeksi, perizinan, dan Sistem Lisensi 4 Pembangunan Perikanan 4.1 Visi Pemerintah tentang Perikanan 4.2 Visi Sektor Produksi (penangkapan ikan dan budidaya) 4.3 Visi Pengolahan Hasil Perikanan 5 Pengelolaan Perikanan Spesifik 6 Opsi Pengelolaan Perikanan 7 Glosarium
Pengelolaan perikanan di Kabupaten Lembata sebaiknya mengadopsi pemikiran Fauzi (2005), yaitu kebijakan sektor perikanan dan kelautan yang Back to the Future. Back to the Future untuk pengelolaan perikanan dan kelautan menawarkan suatu pendekatan dengan menggunakan informasi ekosistem (termasuk kebijakan perikanan dan kelautan) masa lalu (back) untuk dijadikan panduan kebijakan di masa mendatang (to the future). Secara ringkas Back to the Future kebijakan sektor perikanan menawarkan tiga program utama restorasi yang harus dilakukan (back) untuk menciptakan sektor perikanan kelautan yang sehat di masa mendatang (to the future), yaitu: 1. Restorasi ekosistem harus menjadi pertimbangan utama program KKP (termasuk dinas perikanan dan kelautan di daerah), karena restorasi ini adalah amanat utama World Fisheries Day. Restorasi ekosistem tidak saja menyangkut perbaikan ekosistem pesisir dan laut yang rusak akibat alam maupun antropogenik (bom, racun, dsb), namun juga menyangkut usaha meng-update dan menyempurnakan pendugaan stok sumberdaya.
71
2. Back to the Future kebijakan perikanan ke depan juga harus didasarkan pada restorasi institusi. Salah satu masalah krusial pengelolaan perikanan adalah tereduksinya peranan institusi lokal yang sebenarnya memiliki daya tahan lebih baik daripada institusi top down. 3. Restorasi ekonomi. Hakikatnya etika ekonomi harus direstorasi yaitu menyangkut perubahan cara pandang terhadap sumberdaya perikanan yang tidak boleh diperlakukan sebagai “engine of growth” semata.
72
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1.
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Analisis indeks dekomposit EAFM di Kabupaten Lembata menunjukan status sedang dengan flag modeling berwarna kuning dan nilai akhir agregat sebesar 181,44. Domain yang perlu diprioritaskan dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan kedepannya yaitu: Domain Sumberdaya Ikan pada aktivitas penangkapan Spesies ETP, Domain Habitat & Ekosistem (untuk indikator produktivitas estuary), Domain Teknik Penangkapan Ikan (untuk indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau illegal, dan sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan), Domain Sosial pada indikator partisipasi pemangku kebijakan dan konflik perikanan, Domain Ekonomi pada indikator saving ratio dan Domain Kelembagaan yaitu pada indikator Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan dan Keberadaan Rencana Pengelolaan Perikanan. 2. Aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated perikanan (IUU Fishing) di perairan Timur terutama Kabupaten Lembata sudah harus segera ditangani serius oleh aparat penegak hukum dan stakeholder lainnya, karena akan menghambat upaya-upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan 3. Mengkolaborasikan penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan dalam pembuatan dokumen perencanaan daerah perlu didorong dalam mendukung upaya-upaya pengelolaan perikanan.
73
6.2.
Rekomendasi Beberapa rekomendasi yang diberikan pada hasil penelitian ini, yaitu:
1. Perlu adanya serial diskusi lintas SKPD, akademisi dan masyarakat dalam membahas peningkatan nilai komposit pada analisa EAFM sebagai dasar Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). 2. Penegakan hukum lebih diefisiensikan dengan mengakomodir hukum adat atau non formal yang berlaku di masyarakat. Perlu adanya kajian lebih lanjut dalam mengidentifikasi aturan non formal sebagai peluang penegakan hukum secara sosial. 3. Perlunya membuat mekanisme implementasi pencatatan, pengumpulan dan analisa hasil tangkapan perikanan perlu diperkuat tidak hanya di tingkat private sektor namun juga didesa pesisir sebagai data primer yang akurat dalam pengkajian Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem dan juga mendukung informasi statistik perikanan kabupaten. 4. Perlunya menindaklanjuti kajian EAFM sebagai basis pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dalam dokumen perencanaan daerah baik jangka pendek dalam bentuk Renstra dan juga jangka panjang dalam bentuk RTRW. 5. Metode analisa data pada indikator EAFM memiliki tingkatan keakuratan data yang disesuaikan dengan kondisi yang ada dilokasi survey, terutama pada Domain Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan, Habitat dan Ekosistem dan Ekonomi. Metode pengumpulan data yang diutamakan adalah data primer dan kajian ilmiah, salah satu yang mendukung hal ini adalah data logbook perikanan dan kajian ilmiah. Data persepsi masyarakat melalui interview dilakukan untuk memperkuat justifikasi hal tersebut. 6. Perlunya mendorong penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan didalam dokumen perencanaan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Lembata
74
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L, Abdulah H, Achmad F, Audillah A, Handoko AS, Imam M, Mukhlis K, Sugeng HW, dan Yusli W., 2012. Modul Penilaian Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan (EAFM). Jakarta: Direktorat Sumberdaya Ikan, WWF-Indonesia, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Adrianto L, Arsyad AM, Ahhmad S, dan Dede IH., 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia. PT Penerbit IPB Press. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lembata, 2011. Lembata dalam Angka 2011. Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2006. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2007. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2008. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2009. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2010. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fauzi A., 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan. Penerbit PT. Gramedia Utama. Jakarta. Fauzi A dan Suzy Anna., 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Utama. Jakarta. Kusumastanto, T, Luky Adrianto, dan Ario Damar., 2006. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Lain A. H.,2011. Analisis Ekologi–Ekonomi Pengelolaan Perikanan berbasis Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara). Tesis Pasca Sarjana, Intitut Pertanian Bogor.
75
Sumardjono M, Nurhasan I, Ernan R, dan Damai AA., 2011. Pengaturan Sumberdaya Alam Antara yang Tersurat dan Tersurat. Kajian Kritis Undang-undang Terkait Penataan Ruang dan Sumberdaya Alam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Romadhon, A. 2008. Kajian Nilai Ekologi Melalui Inventarisasi dan Nilai Indeks Penting (INP) Mangrove Terhadap Perlindungan Lingkungan di Kepulauan Kangean. Embryo Vol.5 No.1 Widodo J dan Suadi., 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. WWF, 2009. Survei Ekologi Kabupaten Lembata. Laporan Kegiatan. Yayasan WWF Indonesia, Solor-Alor Project. Lembata, NTT.
76
Lampiran 1. Kuesioner Perikanan Karang dan Pelagis KUISIONER PERIKANAN KARANG DAN PELAGIS Interviewer
:
Tanggal
:
Nama Nelayan
: .................................
Anggota keluarga
: ......orang
Alamat
: ................................. Umur
Pendidikan
: ..................................
: .......Tahun
Lama melakukan pekerjaan sebagai nelayan : ............ Tahun Alat Tangkap yang digunakan
: ............
A.
INDIKATOR KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA
1.
Jenis dan ukuran ikan apa saja yang paling sering Anda tangkap? Berapa rata-rata jumlah tangkapan ikan setiap trip.
Target Penangkapan
Jenis
1. Demersal (Ikan batu)
a. Kerapu......... b. Kerapu......... c. Kerapu......... a. Kakap........... b. kakap........... c. Kakap........... a. Tuna Sirip Kuning b. Tuna Mata Besar c. Tongkol d. Cakalang a. Banyar (Kombong) b. Kembung c. Layang/Terbang d. Golok-golok (Parang) e. Tembang f. Belo-belo g. Sembe/Lember
2. Pelagis Besar 3. Pelagis Kecil
Panjang (cm)
Berat/ Ekor (Kg)
Jumlah Tangkapan/Trip (Kg) Pun Sed Pace cak ang klik
Harga Ikan (Rp) Pun cak
Sed ang
Pace klik
4. Ikan jenis Lainnya
77
2.
3.
Jenis dan jumlah tangkapan sampingan ikan/hewan lain yang tertangkap tidak sengaja / bukan target tangkapan. a. ……………………………………………
Jumlah/berat : ………………………………..
b. ……………………………………………
Jumlah/berat : ………………………………..
c. ……………………………………………
Jumlah/berat : ………………………………..
Apakah ada penanganan tangkapan sampingan :
a. Mati dan dibuang dan dilepas
b. Diambil untuk dimakan sendiri /dijual
c. Masih hidup
Penanganan/perlakuan lain : 4.
Dalam 5 tahun terakhir, bagaimana ukuran ikan hasil tangkapan yang diperoleh? a. Lebih besar b. Relatif Sama saja c. Lebih kecil d. Tidak Tahu
5.
Dalam 5 tahun terakhir, bagaimana jumlah ikan hasil tangkapan yang anda peroleh? a. meningkat lebih dari 2 kali lipat d. berkurang tidak sampai setengahnya b. meningkat tidak sampai 2 kali lipat e. berkurang sampai setengahnya c. sama saja f. berkurang sampai lebih dari setengahnya
6.
Apabila jumlah hasil tangkapan meningkat, menurut anda faktor apa yang paling berperan ? a. Ikannya bertambah banyak d. Tidak Tahu b. Alat penangkapan ikan bertambah baik e. ...........................................
Lainnya:
c. Iklim mendukung (cuaca yang baik)
(Sebutkan)
7.
Apakah Bapak dapat membedakan anak ikan (Ikan belum dewasa) yang ikut tertangkap ? Ya - Tidak
8.
Bagaimana komposisi ikan juvenil (anakan) yang tertangkap dibandingkan ikan dewasa dalam 1-5 tahun sebelumnya : Kalender Perikanan
Jenis Ikan Kerapu
Kakap
Tuna
Cakalang Tongkol
Layang
Musim Puncak Musim Sedang Musim Paceklik Isi dengan persentase komposisi juvenil yang tertangkap <30% dari hasil tangkapan, 30-60% dari hasil tangkapan, >60% dari hasil tangkapan atau tidak tahu 78
9.
Menurut Anda, Bagaimana jarak lokasi tangkapan anda sekarang dibandingkan 5 – 10 tahun sebelumnya a. Semakin Jauh Salah satu)
b. Semakin dekat
c. Sama saja (Pilih
10.
Apakah Anda tahu tentang hewan-hewan laut yang tidak boleh ditangkap? Ya Tahu - Tidak Tahu, Jika Tahu, sebutkan apa saja? ......................................
11.
Apakah Anda atau nelayan lain pernah menangkap hewan-hewan laut, seperti dibawah ini dan dalam kurun waktu 1-5 tahun dan berapa jumlahnya? a. b. c. d.
12.
Lumba-lumba : .............. ekor Paus : ...............ekor Duyung : ...............ekor Penyu : ...............ekor
e. Kima : ...............ekor f. Batu Laga : ...............ekor g. Akar Bahar : ...............ekor h. Nautilus : ...............ekor
Jelaskan bagaimana nelayan menentukan Daerah Penangkapan Ikan (DPI)sebelum melakukan operasi penangkapan? a. Berdasarkan pengalaman b. Informasi dari nelayan yang lain c. Informasi dari pelabuhan/dinas kelautan dan perikanan (data arus, pasang surut, suhu permukaan, dll) d. Lainnya, jelaskan……………………………………
13. No.
Sebutkan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) yang sering didatangi oleh nelayan: Nama Daerah Penangkapan Ikan
Jarak dari FB*) (mil;km;jam)**)
Ikan dominan tertangkap
Bulan apa saja
1. 2. 3. 4. *)
FB = Fishing Base; FG = fishing ground
**) Bila satuannya jam, sebutkan kecepatan rata-rata mesin kapal yang digunakan. 14. Daerah penangkapan ikanmana yang paling sering didatangi nelayan? Mengapa? 15. Sebutkan daerah pengkapan ikanterjauh yang pernah dicapai oleh nelayan? Mengapa?
79
B. INDIKATOR HABITAT - Lingkungan 1.
Apakah Anda mengetahui kondisi Ikan bertelur yang tertangkap? Ya - Tidak. Jika ya, sebutkan:
Jenis Ikan
Berat
Panjang
(Kg)
(Cm)
Lokasi Penangkapan
Bulan
Tanggal (bulan purnama /gelap)
Musim Angin
Ciri-Ciri ikan bertelur/ Akan Kawin
C. INDIKATOR PRAKTEK PENANGKAPAN IKAN 1.
Jenis alat tangkap apa yang Anda gunakan: ..............................................................................
2.
Konstruksi alat tangkap, ukuran (nomor) dan jenis bahan yang Anda digunakan: .................... a. Ukuran Mata Kail b. Jenis dan Ukuran Senar c. Panjang dan besaran mata jaring
3.
No
: : :
Cara penangkapan ikan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang merusak di sekitar lokasi Anda: Jenis Pelanggaran
1.
Bom Ikan
2.
Potasium
3.
Pengambilan Karang
4
Penangkapan penyu atau telur penyu
5
………………..
Frekuensi Lokasi Aktivitas
Asal Pelaku
/Tahun
Bulan kejadian
(Kali)
80
4.
Jenis Ikan yang tertangkap berdasarkan alat tangkap yang digunakan: Jenis Umpan
Alat Tangkap
Jenis Ikan
Umpan Hidup (jenis Ikan)
Umpan Mati (jenis Ikan)
Alat Bantu Penangkapan*
Umpan buatan (Bahan)
*Alat Bantu penangkapan : Rumpon, Lampu,dll 5.
Apakah ada modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan dilokasi anda? Ya Ada - Tidak Ada :
Kalau ada, jelaskan dalam tabel berikut Alat tangkap modifikasi
6.
Bagian yang dimodifikasi
Jenis Tangkapan
Ukuran ratarata
Jenis non target yang tertangkap
Apakah ada modifikasi alat tangkap yang dilakukan nelayan sehingga bisa mengakibatkan kerusakan sumberdaya/lingkungan? Ya ada - Tidak ada. Kalau Ada, jelaskan modifikasi alat tangkapnya dan akibatnya yang merusak ............................
7. No.
Trip Penangkapan berdasarkan alat tangkapan Alat Tangkap
Jumlah Trip*
Jumlah hari libur melaut/Tahun
1. 2. 3. 4. *) jam per hari atau hari per trip.
81
8.
Jika nelayan tidak melaut/libur, apa sebabnya? (istirahat, cuaca, hari besar agama,dll) Sebutkan!
9.
Kegiatan apa yang dilakukan jika tidak melaut?
D. INDIKATOR SOSIAL 1. Sebutkan ada atau tidak adanya koperasi nelayan atau asosiasi/kelompok/forum nelayan: a. b. c.
Ada (Namanya: ....................................) Tidak Ada Tidak Tahu
2. Jika ADA, Apakah Anda menjadi Anggota atau Tidak? Apa alasan Anda? a. Jadi Anggota, Alasan: .................................... b. Tidak Jadi Anggota, Alasan: ................................... 3. Sudah berapa lama Anda menjadi Anggota? a. b.
Kurang dari 1 tahun 1 – 3 tahun
c. d.
3 – 6 tahun Lebih dari 6 tahun
4. Apa manfaat yang Bapak peroleh dari kelompok tersebut? ..................................... 5. Jika TIDAK ADA, Apakah Anda membutuhkan koperasi nelayan atau asosiasi/kelompok/forum nelayan? a. b.
BUTUH, Alasan: ........................... TIDAK BUTUH, Alasan: .........................
6. Apa aktivitas koperasi atau asosiasi/kelompok/forum nelayan di daerah Bapak? ......................................... Apakah ada aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan Sumberdaya Ikan? Tidak Ada / Ada, sebutkan ................................. 7. Apakah ada kelompok informal seperti masyarakat/pemuka adat atau kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan? a. Tidak ada b. Ada tetapi tidak berhubungan dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) c. Ada dan berhubungan dan pengelolaan SDA. 8. Apa saja yang diatur dalam aturan adat tersebut? Sebutkan: ....................................... Sudah berapa lama aturan adat tersebut? a. kurang dari 50 tahun b. 50-100 tahun c. Lebih dari 100 tahun 9. Apakah aturan adat tersebut sudah diformalkan? Berupa.............. (Perdes, Perda, Kesepakatan tertulis)
Ya
- Tidak
82
10. Apa manfaat aturan adat tersebut bagi nelayan? Sebutkan: ............................ 11. Dalam melakukan pekerjaan menangkap ikan, apakah ada sistem kerja dengan bos/koordinator/ ponggawa tempat menjual ikan? YA / TIDAK 12. Jika YA, bagaimana keterikatan sistem kerja bos/koordinator dengan nelayan? a. Nelayan terikat sepenuhnya b. Ada tetapi nelayan tidak terikat sepenuhnya c. Tidak terikat sama sekali 13. Konflik apa yang pernah/terjadi di daerah Anda terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan a. Konflik perebutan wilayah penangkapan di: ...................................…………... Penyebab: ...................................................................................................... Frekuensi kejadian: 1) setiap melaut 2) setiap minggu 3) setiap bulan b.
Konflik antar jenis alat tangkap yaitu: ........................................................... Penyebabnya: ................................................................................................. Frekuensi kejadian: 1) setiap melaut 2) setiap minggu 3) setiap bulan
c.
4) Setiap tahun 5) Tidak Pernah
Konflik antar peraturan/kebijakan yang ada, yaitu: ........................................ Penyebabnya: .................................................................................................. Frekuensi kejadian: 1) setiap melaut 2) setiap minggu 3) setiap bulan
d.
4) Setiap tahun 5) Tidak Pernah
4) Setiap tahun 5) Tidak Pernah
Konflik antar sektor yaitu antara penangkapan ikan, budidaya, pelabuhan/dermaga, kawasan konservasi, pembangunan/reklamasi, jalur pelayaran, pencemaran karena limbah industri, pariwisata, lintas batas negara, dan lain-lain (SEBUTKAN JENIS SEKTOR YANG PERNAH Atau MENGALAMI KONFLIK) Yaitu: ........................................................................................................... Penyebab: ................................................................................................... Frekuensi kejadian: 1) setiap melaut 4) Setiap tahun 2) setiap minggu 5) Tidak Pernah 3) setiap bulan
83
E. INDIKATOR EKONOMI 1. Anggota keluarga/tanggungan dan penghasilan : Tanggungan
Umur (Tahun)
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan (Rp/bulan)
Istri Anak 1 Anak 2 Keponakan Orang tua 2. Aset apa saja yang Bapak miliki pada 1 tahun yang lalu dibandingkan saat ini Bertambah/ Bertambah/ Aset Non Aset Produktif 2011 2012 2011 2012 Produktif Berkurang Berkurang Perahu
Televisi
Mesin
Sound system
Alat Tangkap
DVD/VCD Player
Sepeda Motor
Play station
Lemari es Generator HP Tanah/Lahan Rumah
3.
Unit/Armada Penangkapan
Jumlah armada Bahan utama
kayu/fiber/besi/………..
Ukuran (m)
p:
Tahun & pembelian
l:
d:
GT :
Harga : Rp.
tempat
Umur ekonomis :
Perijinan Armada
Ada / Tidak Ada
Palka
Jumlah :
(Buah)
Volume:
tahun (m3/ton)
Dinding terbuat dari : stereofoam/fibre/kayu/………………… *)
Ambil foto kapal/perahu tampak samping (seluruh badan kapal) dan tampak depan (tinggi haluan tepat di depan pandangan) 84
4. Karakteristik Mesin Kapal/Perahu : No. 1. 2.
3. 4.
Karakteristik Mesin Kapal Jenis mesin (pilih salah satu) Mesin utama : - Merk - Kekuatan/daya - Bahan bakar (solar, bensin,…) Mesin bantu : - Merk - Kekuatan/daya - Bahan bakar (solar, bensin,…) Tempat pembelian Harga mesin - Mesin utama - Mesin tambahan
Ukuran/Satuan (inboard/outboard) .............................. .............................. .............................. .............................. .............................. .............................. ..............................
(HP/PK)
(HP/PK)
.............................. ..............................
(Rp.) (Rp.)
5. Mesin kapal/perahu dibeli dengan cara : tunai/kredit/……….. Jelaskan cara pembayarannya : ……………………………………………………………………………… 6.
Alat Tangkap Karakteristik Alat Tangkap
No. 1.
Karakteristik Alat Tangkap*) Jenis alat tangkap : .............................................. .............................................. .............................................. 2. Jumlah piece 3. Ukuran mata jaring**) 4. Jumlah pancing per piece 5. Tempat pembelian 6. Harga alat tangkap siap pakai *) buat sketsa alat tangkapnya
Keterangan (Ukuran/Satuan) P = .................................................. m P = .................................................. m P = .................................................. m .............................................. (buah) .............................................. (cm/inc) .............................................. buah .............................................. .............................................. (Rp.)
**) khusus untuk purse seine/Lampara 7.
Bahan/alat tangkap dibeli dengan cara : tunai/kredit/…………… Jelaskan cara pembayarannya ………………………………………………………………………………
8.
Sebutkan komposisi nelayan yang mengoperasikan alat tangkap terdiri dari : - Nahkoda : orang - Fishing master : orang - ABK : orang Jelaskan Sistem Bagi Hasil antara pemilik kapal dengan nahkoda, KKM, ABK) :
*) Jika dalam 1 kapal nelayan lebih dari 1 orang 9.
Apakah pemilik kapal ikut dalam operasi penangkapan? -Ya
- Tidak
85
10.
Biaya Perawatan/Perbaikan Biaya Perawatan Kapal/Perahu, Mesin kapal dan Alat Tangkap per tahun : Kapal Alat Tangkap Mesin Utama Mesin Tambahan Peralatan lain
o o o o o 11.
: : : : :
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
............................... ............................... ............................... ............................... ...............................
per tahun/bulan per tahun/bulan per tahun/bulan per tahun/bulan per tahun/bulan
Operasi Penangkapan Ikan
Kebutuhan Perbekalan Melaut Tiap Trip: No
Jenis Perbekalan
Jumlah *)
Harga/satuan*)
*)
1
Solar
2
Bensin
3
Minyak Tanah
4
Konsumsi (makanan+rokok)
5
Es
6
Garam
7
Air
8
……………….…………………
*) Sebutkan satuannya: liter, m3, ton, balok, dst. 12. Bagaimana cara pembayaran Tunai/Kredit/..............
bahan
perbekalan
melaut
diatas?
Jelaskan!.................. 13. Bagaimana Hasil tangkapan nelayan berdasarkan kalender musim ikan : Kategori Musim Ikan
Bulan Melaut
Rata-rata produksi per trip (kg/trip)
Jenis ikan dominan
Harga per jenis ikan dominan
-
-
-
-
Musim sedang
-
-
-
-
Musim paceklik
-
-
-
-
Musim puncak
Lokasi Penangka pan
86
14. Apakah Anda memiliki sumber pendapatan lain selain menjual hasil tangkapan ikan? Jika ada, sebutkan: .................................................... Berapa pendapatannya: Rp. ............................. Hari – Minggu – Bulan 15. Kebutuhan untuk keperluan keluarga sehari-hari: o o o o o o o o 16.
Sekolah anak Listrik/Air Belanja dapur Pengobatan Rekreasi Belanja Lain Bayar hutang Pengeluaran lain
......... : Rp. : Rp. ......... : Rp. ......... : Rp. ......... : Rp. ......... : Rp. ......... : Rp. ......... : Rp. .........
per minggu – bulan – tahun per minggu – bulan per hari – bulan – minggu per bulan – tahun per bulan – tahun per bulan – tahun per bulan – tahun per bulan – tahun
Pendapatan Nelayan & Sistem Bagi Hasil: Sebutkan perkiraan pendapatan kotorBapak per bulan atau per trip dari kegiatan penangkapan ikan: Tertinggi Sedang Terkecil
17.
Rp .............................. Rp .............................. Rp ..............................
bulan/trip (Coret yang tidak perlu) bulan/trip (Coret yang tidak perlu) bulan/trip (Coret yang tidak perlu)
Sebutkan perkiraan pengeluaran bapak per bulan atau per trip dari kegiatan penangkapan ikan: Tertinggi Sedang Terkecil
18.
: : :
: : :
Rp .............................. Rp .............................. Rp . ..............................
bulan/trip (Coret yang tidak perlu) bulan/trip (Coret yang tidak perlu) bulan/trip (Coret yang tidak perlu)
Apakah anda punya tabungan ? a. ya
b. tidak
Kalau “ya” berupa apa ? a. b. c. d. e. 19.
tabungan di bank tabungan di koperasi tanah hewan (seperti sapi, dll) lainnya,sebutkan.......................................................
Dalam 2-3 tahun terakhir, bagaimana kondisi tabungan ? a. meningkat
b. sama saja
c. turun
87
Lampiran 2. Kuesioner Kelembagaan INDIKATOR KELEMBAGAAN
Interviewer
:
…………………….
Nama Umur Pendidikan Alamat Lembaga / Posisi Berapa lama di bidang ini
Tanggal : …………………….
: ................................ : ................................ : ................................ : ................................ : ................................ : ................................
Domain Kelembagaan (Kuisioner Khusus Aparat dan atau LSM) 1. Berapa kali pelanggaran dalam 1 (satu) tahun yang dilakukan oleh nelayan? 2. Apa jenis pelanggaran yang biasa dilakukan ? Untuk menjawab pertanyaan ini, isikan dalam kolom berikut dengan memberikan chek list ( ) sesuai jawaban. No
Kriteria 1)
Jenis Pelanggaran a
b
c
d
Penindakan 2) e
1)
Kriteria pelanggaran apa saja yang ditemukan
2)
a. Kesesuaian fisik dan administrasi untuk kapal b. Penggunaan alat tangkap terlarang c. Perijinan yang tidak lengkap d. Pelanggaran terhadap daerah penangkapan e. Cara/Metode penangkapan yang tidak ramah lingkungan Bentuk penindakan apa yang dilakukan pada setiap pelanggaran ?
3)
Kategori pelanggaran a. Berat
b. Sedang
Kategori 3) a
c. Ringan
88
b
c
3. Kebijakan apa saja yang berlaku dalam pengelolaan perikanan di wilayah ini ? a.Perijinan usaha penangkapan b. Operasionalisasi penangkapan (armada dan alat tangkap) c. Konservasi dan pemulihan d. .......................................... 4. Bagaimana kelengkapan peraturan nasional yang anda gunakan dalam pengelolaan perikanan ? coba sebutkan ? No
Lingkup peraturan
Jenis Peraturan Nasional
Kelengkapan A
1
Perijinan usaha penangkapan
1)
B 2)
C 3)
1. 2. 3.
2
Operasonalisasi penangkapan (kapal dan alat)
1. 2. 3.
3
Upaya konservasi dan pemilihan
1. 2. 3.
Ket : 1) ada ;
2) ada tapi tidak lengkap;
3) tidak ada
5. Jika ”B (ada tapi tidak lengkap)”, maka bagaimana jumlah peraturan nasional tersebut ? a. Ada tapi jumlahnya berkurang b. Ada tapi jumlahnya tetap c. Ada dan jumlahnya bertambah 6. Bagaimana kelengkapan peraturan daerah (yang sesuai dengan peraturan nasional) yang anda gunakan dalam pengelolaan perikanan selama ini ? coba sebutkan ? No
Lingkup Peraturan
Jenis Peraturan Daerah
Kelengkapan A 1)
1
Perijinan usaha penangkapan
B 2)
C 3)
1. 2. 3.
2
operasonalisasi penangkapan (kapal dan alat)
1. 2. 3. 89
3
upaya konservasi dan pemulihan
1. 2. 3.
Ket : 1) ada ;
2) ada tapi tidak lengkap;
3) tidak ada
7. Jika ”B (ada tapi tidak lengkap)”, bagaimana jumlah peraturan daerah tersebut ? a. Ada tapi jumlahnya berkurang b. Ada tapi jumlahnya tetap c. Ada dan jumlahnya bertambah 8. Jika dibandingkan dengan peraturan yang lama, apakah ada peraturan yang baru dibuat ? a. ada, jika ada sebutkan : -
............................................................................. ............................................................................. .............................................................................
b. tidak ada 9. Jika dibandingkan dengan peraturan yang lama, apakah ada peraturan yang dihapuskan ? a. ada, jika ada sebutkan : -
............................................................................. ............................................................................. .............................................................................
b. tidak ada 10. Peraturan apa lagi yang masih kurang dalam pengelolaan perikanan di wilayah ini? Sebutkan ....................................... 11. Bagaimana penegakan aturan/hukum terhadap pelanggaran yang terjadi? a. Tidak ada penegakan aturan b. Ada penegakan aturan namun tidak efektif; c. Ada penegakan aturan main dan efektif 12. Bagaimana keberadaan aparat dalam menjalankan penegakan aturan/hukum terhadap pelanggaran yang terjadi? a. Tidak ada aparat; b. Ada aparat tetapi tidak cukup; c. Jumlah aparat cukup. 13. Jenis alat/sarana (seperti speed boat) menjalankan penegakan aturan/hukum terhadap pelanggaran yang terjadi? 90
a. Speedboat/kapal : CUKUP b. Biaya operasional : CUKUP c. Lainnya: ........................ : CUKUP
- TIDAK CUKUP - TIDAK CUKUP - TIDAK CUKUP
14. Setelah dilakukan tindakan berupa teguran atau hukuman, apakah pelanggaran yang sama masih terjadi oleh pelaku yang sama? a. Ya masih terjadi, karena................................... Tidak lagi, karena ............................... 15. Lembaga apa saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan terkait dengan hal-hal berikut terkait dengan pengelolaan perikanan di wilayah anda ? a. Perijinan usaha penangkapan 1) ........... 2) ........... 3) ........... b. Operasionalisasi penangkapan (armada dan alat tangkap) 1) ........... 2) ........... 3) ........... c. Konservasi dan pemulihan 1) ........... 2) ........... 3) ........... 16. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan yang diambil dalam pengelolaan perikanan di instansi/wilayah anda yang terkait dengan hal-hal sebagai berikut : (Gambarkan dengan bagan) i.Perijinan usaha penangkapan .............................................................. ii.Operasionalisasi penangkapan (armada dan alat tangkap) .............................................................. iii.Konservasi dan pemulihan .............................................................. 17. Bagaimana efektivitas pengambilan keputusannya ?(coret yang tidak perlu) a. Perijinan usaha penangkapan (efektif / tidak efektif) Jelaskan : .............................................................................................................................. b. Operasionalisasi penangkapan (armada dan alat tangkap) (efektif / tidak efektif) Jelaskan : .............................................................................................................................. 91
c.Konservasi dan pemulihan (efektif / tidak efektif) Jelaskan :............................................................................................................. 18. Apakah masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan di wilayah Anda ? a. Ya
b. Tidak
19. Jika “Ya”, apakah memiliki kewenangan untuk menentukan/membuat keputusan? a. Ya 20.
b. Tidak
Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan ? ..............................................................................................................................
21. . Apakah anda (instansi) punya rencana pengelolaan perikanan (RPP) mengenai pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem ? 22. Apakah RPP tersebut dijalankan ? a. Ya
b. Tidak
23. Jika “ya”, bagaimana pelaksanaannya ? a. Belum sepenuhnya dijalankan b. Sudah dijalankan sepenuhnya 24. Apakah ada hambatan/permasalahan dalam pelaksanaannya ? .............................................................................................................................. 25. Jika “tidak”, kenapa tidak membuat RPP, apakah ada hambatan ? Jelaskan: .............................................................................................................................. 26. Apakah dalam mengeluarkan perijinan mengadakan koordinasi dengan lembaga lain? a. ya
b. tidak
27. Jika “ya”, lembaga apa saja yang terlibat dalam proses perijinan tersebut ? .............................................................................................................................. 28.
Apakah adakah dukungan dari lembaga luar dalam penegakan aturan yang dikeluarkan oleh dinas kelautan dan perikanan ? a. ya
b. tidak
29. Apakah ada aktivitas penegakan aturan yang merupakan aturan lembaga lain yang mendukung kegiatan operasional penangkapan ? a. ya
b. Tidak
92
30. Jika “ya”, lembaga apa yang melakukan ? .............................................................................................................................. Apakah ada kegiatan konservasi dan pemulihan di daerah ini ? a. ya
b. tidak
31. Jika “ya”, lembaga apa yang melakukan ? .............................................................................................................................. 32. Apakah ada konflik antar lembaga dalam pengelolaan kawasan konservasi ? a. ya
b. tidak
33. Jika “ya”, lembaga apa saja yang tidak bersinergi/konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi ? .............................................................................................................................. 34. Sebutkan kebijakan yang anda keluarkan terkait dengan perijinan, operasional penangkapan, konservasi dan pemulihan dalam pengelolaan perikanan ? Lembaga mana saja yang mengeluarkan? dan bagaimana sifat dari kebijakan tersebut ? (tuliskan jawaban dalam kolom yang disediakan) No
Kebijakan
Lembaga yang mengeluarkan
Sifat kebijakan A
I
B
C
Perijinan
1 2 3 II
Operasional penangkapan
1 2 3 II
Konservasi dan Pemulihan
1 2 3 Ket :
A = Kebijakan perijinan saling mendukung B = Kebijakan perijinan tidak saling mendukung C = Kebijakan perijinan saling bertentangan
93
35. Berapa kali anda mendapatkan penyuluhan perikanan tangkap? a. < 2 kali per bulan b. 2 – 4 kali per bulan
c. 5 – 10 kali per bulan d. > 10 kali per bulan
36. Apakah penyuluhan yang dilakukan bermanfaat bagi usaha perikanan tangkap anda? a. Sangat bermanfaat c. bermanfaat e. tidak bermanfaat b. agak bermanfaat d. kurang bermanfaat 37. Apakah anda pernah mengikuti pelatihan perikanan tangkap?: a.Ya
b. Tidak
38. Jika Ya, dalam 2-3 tahun terakhir berapa kali anda mengikuti pelatihan? a. satu kali
b. 2 – 4 kali
c. lebih dari 4 kali
39.Menurut anda apakah pelatihan yang anda ikuti bermanfaat bagi usaha perikanan tangkap anda? a. sangat bermanfaat c. bermanfaat e. tidak bermanfaat b. agak bermanfaat d. kurang bermanfaat 40. Apakah pernah mengikuti kegiatan pelatihan terkait dengan pengelolaan perikanan ? a. ya
b. Tidak
41. Program pengembangan kapasitas apa saja yang pernah diikuti untuk meningkatkan kemampuan dalam EAFM ? Sebutkan waktu kapan (bulan apa atau tahun berapa) a. Pelatihan: ..............................Waktu: .......................................... b. Workshop: ............................. Waktu:............................................ c. Seminar: .............................. Waktu:............................................... d. Studi Banding: ....................... Waktu:.............................................. e. Tugas Belajar: ........................ Waktu:....................................... f.
Program lain: .......................... Waktu:..................................
42. Apakah pelatihan yang ada sesuai/cocok atau tidak dengan profesi yang dikerjakan ? a. ya
b. tidak
43. Jika ada, materi apa saja yang diterima ? ........................................................................................................................................ 44. Siapa yang memberikan materi ? ...................................................................................................................... 45. Bagaimana anda melaksanakan pekerjaan, setelah dan sebelum anda mengikuti pelatihan ? - Sebelum : ...................................................................................................... - Sesudah
: ......................................................................................................
94
46. Bagaimana tingkat kapasitas stakeholder perikanan yang ada dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan 1) Aparat instansi teknis a. Sangat Paham b. c. Kurang d. 2) Aparat instansi lain a. Sangat Paham b. c. Kurang d. 3) Akademisi/Peneliti a. Sangat Paham b. c. Kurang d. 4) Petugas keamanan a. Sangat Paham b. c. Kurang d. 5) Industri/Pengusaha a. Sangat Paham b. c. Kurang d. 6) Nelayan/Masyarakat a. Sangat Paham b. c. Kurang d. 7) Lainnya......................... a. Sangat Paham b. c. Kurang d. Sangat Kurang
Sedang Sangat Kurang Sedang Sangat Kurang Sedang Sangat Kurang Sedang Sangat Kurang Sedang Sangat Kurang Sedang Sangat Kurang Sedang
47. Apakah di wilayah ini ada satu dokumen peraturan yang merangkul semua lembaga terkait dalam pengelolaan perikanan di wilayah Anda? ADA - TIDAK ADA 48. Jika ADA, sebutkan nama dokumen peraturan tersebut: ................................. 49. Lembaga yang mengeluarkan dokumen tersebut: ................................... 50. Berdasarkan dokumen tersebut, apakah ada satu lembaga/badan yang memiliki otoritas tunggal dalam menentukan pengelolaan perikanan di wilayah tersebut? YA - TIDAK 51. Sebutkan nama lembaganya: ....................... 52. Jika YA, apakah otoritas tunggal ini sudah dijalankan? YA - BELUM. 53. Jika YA, Sudah berapa lama dijalankan? 54. Jika TIDAK, lembaga apa saja yang melakukan pengelolaan perikanan di wilayah ini? 55. Sebutkan lembaga/instansi/badan apa saja: .................................. Lembaga apa yang paling dominan? ...................... Mengapa? .................................
95