DISERTASI PERCERAIAN PEREMPUAN BALI DAN PENYELESAIANNYA DI KOTA DENPASAR : KAJIAN BERDASARKAN PERSPEKTIF GENDER
IDA AYU PUTU MAHYUNI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
DISERTASI
PERCERAIAN PEREMPUAN BALI DAN PENYELESAIANNYA DI KOTA DENPASAR : KAJIAN BERDASARKAN PERSPEKTIF GENDER
IDA AYU PUTU MAHYUNI NIM 1190371008
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
ii
PERCERAIAN PEREMPUAN BALI DAN PENYELESAIANNYA DI KOTA DENPASAR : KAJIAN BERDASARKAN PERSPEKTIF GENDER
Disertasi untuk memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Program pascasarjana Universitas Udayana
IDA AYU PUTU MAHYUNI NIM 1190371008
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
: Ida Ayu Putu Mahyuni
NIM
: 1190371008
Program Studi
: Program Doktor Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Udayana
Judul Disertasi
: Perceraian Perempuan Bali dan Penyelesaiannya Di Kota Denpasar : Kajian Berdasarkan Perspektif Gender
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi peraturan mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 28 Maret 2016 Yang membuat pernyataan,
Ida Ayu Putu Mahyuni NIM 1190371008
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sanghyang Widhi Wasa) atas rahmat-Nya/Asung Kertha Wara Nugraha-NYa penulis berhasil menyusun disertasi dengan judul “Perceraian Perempuan Bali dan Penyelesaiannya di Kota Denpasar : Kajian Berdasarkan Perspektif Gender. Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat Prof. Dr. A.A.Bagus Wirawan, S.U., yang telah bersedia menjadi promotor, yang penuh semangat membimbing, memberikan motivasi dan saran selama penulis mengikuti studi program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya juga disampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. I Gusti Ayu Agung Ariani, S.H.,M.S., selaku kopromotor I, dan Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum., sebagai kopromotor II, yang telah meluangkan waktunya setiap saat untuk membimbing, memberikan saran secara cermat dan sangat teliti guna penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada yang terhormat Rektor Universitas Udayana, Prof.Dr.dr.Ketut Suastika.,Sp.P.D-KEMD., dan mantan Rektor Prof.Dr.dr.IMade Bakta,Sp.P.D. (KHOM) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan doktor di Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada yang terhormat Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S. (K).,Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., Asisten Direktur II Prof.Made Sudiana Mahendra, Ph.D., Ketua Program Studi Doktor (S-3) Kajian Budaya Universitas
v
Udayana Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., dan Sekretaris Dr. Putu Sukardja, M.Si,. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama menempuh pendidikan Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada para dosen pada Program S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana angkatan 2011 atas ilmu pengetahuan yang sangat berharga yang telah diberikan selama penulis kuliah, yaitu Prof. Dr. I Gde Widja., Prof.Dr.I Gde Parimartha, M.A., Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Prof. Dr. A.A.Bagus Wirawan, S.U., Prof.Dr.A.A.Ngurah Anom Kumbara, M.A., Prof. Dr. I.Gde
Semadi
Astra.,
Prof.Dr.Ir.Sulistyawati,
M.S.,M.M.,MM.s.,
D.Th.,
Prof.Dr.Emiliana Mariyah, M.S., Prof. Dr. Aron Meko Mbete, Dr. Putu Sukardja, M.Si., Dr. I Gde Mudana, M.Si., dan Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga juga penulis ucapkan kepada yang terhormat tim penguji disertasi, Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., Dr.Putu Sukardja, M.Si., Dr. I Gde Mudana, M.si., Prof. Dr. A.A.Bagus Wirawan,S.U.,Prof. Dr.I Gusti Ayu Agung Ariani,S.H,.M.S., Dr. Ni Made Wiasti, M.Si, dan Dr. Ni Made Ruastiti,SST.M.Si, yang telah banyak memberikan masukan, baik berupa saran, arahan, dan bimbingannya guna penyempurnaan disertasi ini. Pada kesempatan ini tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Prof, Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A., mantan Dekan, Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S., Ketua Program Studi Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
vi
Dra. A.A. Ayu Rai Wahyuni, M.Si., atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada staf pegawai Program Doktor (S-3) Kajian Budaya Universitas Udayana, yakni Putu Sukaryawan, Dra. Ni Luh Witari, Ni Wayan Ariyati, S.E., A.A. Ayu Indrawati, I Nyoman Chandera, ,Putu Hendrawan, Cok Istri Murniati, S.E., Ketut Budi Astra dan Komang Yuliartini atas segala bantuan administrasi dan pelayanan akademik dan perpustakaan khususnya berkaitan dengan penyelesaian disertasi ini. Kepada para informan, yakni G.N. Putu Budiasa (staf Pegawai Bagian Hukum Perkara Perdata Perceraian Pengadilan Negeri Denpasar); I Wayan Jaman (Klian adat Banjar Sari Buana), Dr. Luh Riniti Rahayu (Ketua LSM Bali Sruti); Luh Putu Anggreni, S.H. (Ketua P2TP2A Kota Denpasar); Ni Nengah Budawati, S.H. (Ketua LBH Apik Bali);
Yastini,S.H. (Ketua LBH Bali); Dr. Putu
Dyatmikawati (Ketua Pusat Konsultasi hukum Keluarga Ayu Nulus); serta informan lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas informasi yang diberikan sesuai dengan data yang dicari dalam rangka penyelesaian disertasi ini. Dalam kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan ucapkan terima kasih banyak kepada para informan, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah bersedia memberikan data tentang masalah gender hubungannya dengan perceraian yang dialaminya, dan sangat berguna bagi kelengkapan dan kelancaran dalam penyelesaian disertasi ini
vii
Kepada teman-teman angkatan tahun 2011, yaitu: A.A. Rai Sita Laksmi., Gusti Suci Murni, I Wayan Mudana, Cok. Ratna Cora S, I Ketut Wenten Aryawan, A.A. Raka,
I Gst. Ngr. Seramasara, Lingua Sanjaya Usop, I Nyoman Arba
Wirawan, Salman Alfarisi, I Nyoman Wiratmaja, I Wayan Kondra, Ketut Muka Pendet., Refly, I Nyoman Sudipa, Michiko Okada, Ervantia Restulita, Abdul Alim, Grece Langi, Wayan Kandia, Ketut Kodia, La Batia, Maria Rahayu, Mustaman, I Made Suantina, Linda Suryana, I Gede Suardana, I Made Suastana, I Ketut Supir, Sahrun, I Nyoman Wardi, dan I Wayan Munggah. Terima kasih atas keakraban persahabatan kita semua, bersama mengikuti kuliah, berdiskusi bersama, saling bertukar pikiran, dan saling membantu yang tidak akan pernah hilang dari ingatan penulis. Pada kesempatan ini tidak lupa juga penulis ucapan rasa hormat dan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang keduanya sudah almarhum, yaitu: Ida Bagus Nyoman Swandha dan Jero Rasmin yang telah membesarkan, dan selama hidupnya selalu menanamkan nilai-nilai yang bijak, baik dalam kehidupan keluarga, maupun masyarakat dan negara terutama dalam mengamalkan dan menerapkan ilmu pengetahuan. Rasa terima kasih juga penulis ucapkan kepada kakak dan adik penulis, Ida Ayu Ketut Asmani Swandha, S.H., Ida Bagus Made Putra S. S.H., dan Ida Bagus Ketut Jayanegara S. S.H., atas doa dan motivasinya selama penyelesaian studi ini. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya juga penulis ucapkan kepada suami terkasih dan tercinta, Drs. Ida Bagus Ketut Astina, M.Si., yang dengan sepenuh hati dan rasa sayang selalu memberikan motivasi dan doa, serta selalu
viii
mengingatkan pada penulis untuk tidak pernah menyerah dalam menyelesaikan disertasi ini. Kepada kedua anakku tersayang, Ida Bagus Fredi Pradnya Paramitha, SST. Par., dan Ida Bagus Wicaksana Herlambang, S. Sos., yang dengan suka rela dan penuh semangat, mengantar mamah mencari data yang diperlukan serta selalu menghibur di kala hati sedang galau berkaitan dengan penyelesaian disertasi ini, terima kasih atas motivasinya. Semoga semua doa dan amal yang diberikan kepada penulis didengar dan mendapatkan balasan berupa kedamaian dan kebahagiaaan serta kesuksesan dari Ida Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, Astungkara.
ix
ABSTRAK
Perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dan penyelesaiannya : kajian berdasarkan perspektif gender menjadi fokus dalam penelitian ini. Perempuan yang hidup dalam masyarakat dengan budaya patrilineal seperti masyarakat Bali akan menghadapi berbagai manifestasi ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender. Kenyataan ini didukung oleh semakin tingginya data jumlah perkara perceraian termasuk dialami oleh perempuan Bali di Kota Denpasar. Latar belakang ini memunculkan beberapa masalah yang sangat perlu dibongkar dan diantisipasi, seperti (1) Mengapa terjadi perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender? (2) Bagaimana penyelesaian perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender? (3) Apa implikasi perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender? Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan mengantisipasi serta menanamkam pemahaman tentang ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender yang dihadapi terutama oleh perempuan Bali terkait perceraiannya. Data diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam, teknik triangulasi, dan studi dokumen. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis gender dan analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan hal yang berikut. Pertama, penyebab perceraian perempuan Bali, karena adanya kekerasan berupa, kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga, dan kekerasan fisik. Kedua, penyelesaian perceraian perempuan Bali dilakukan di Pengadilan sesuai dengan U.U. No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan penyelesaian secara adat. Ketiga, perceraian perempuan Bali selain berimplikasi terhadap pihak keluarga mantan istri, mantan suami, dan pihak keluarga yang terkait dalam perceraian, juga berimplikasi terhadap nilai kesetaraan gender Kata kunci: perceraian, perempuan Bali, gender, dan perspektif gender.
x
ABSTRACT
The divorce of Balinese women in Denpasar city and the solution : analysis based on gender perspective becomes the focus of this observation. Women living in the society with patrileneal culture like Balinese society will face various unfair manifestations of culture and structure because of gender difference. This fact is supported by the rising of data of total divorce case including those that are faced by Balinese women in Denpasar city. The background of this problem makes some problems that are important to be dismantled and anticipared, firstly: (1) why is there divorce of the Balinese women viewed from gender perspective in Denpasar city? (2) How is the solution of the divorce of Balinese women viewed from perspective gender in Denpasar city? And (3) what is he implication of the divorce of Balinese women viewed from perspective gender in Denpasar city? This observation has purpose to dismantle, anticipate and impose the understanding of the unfair of culture and structure because of gender difference that is faced especially by Balinese women in relation with their divorce. Data is taken through observation, deep interview, triangulation technic and document study. Data processing is done by using gender analysis and qualitative data analysis. The result of analysis is as follows. First, the cause of the divorce of Balinese women is because there is violence in form of psychic violence, neglection of household and phisical violence. Second, the solution of the divorce of Balinese women is done in court according to the Laws number 1 Year 1974 about Marriage and solution based on custom. Third, the divorce of Balinese women beside giving the implication to the family of ex-wife, ex-husband, and family party that is related to the divorce, also giving implication to the gender equality value. Key words: divorce, Balinese women, gender, and gender perspective
xi
RINGKASAN Munculnya isu tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang berujung dengan perceraian menjadi latar belakang munculnya masalah ini. Isu kekerasan dan perceraian tersebut didukung oleh jumlah data perceraian tahun 2004 dan 2015 menunjukkkan peningkatan yang sangat signifikan. Perceraian di Kota Denpasar juga menempati peringkat pertama di Bali. Fenomena ini mengundang pertanyaan, bukankah kekerasan terhadap perempuan maupun perceraian tidak dibenarkan oleh ajaran Hindu. Perceraian juga bertentangan dengan tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jenis kekerasan apa pun yang dilakukan terhadap perempuan merupakan manifestasi dari ketidakadilan gender. Oleh karena itu kekerasan yang menyebabakan terjadinya perceraian sudah tentu sangat bertentangan dengan citacita mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Dengan kenyataan ini memunculkan keyakinan bahwa perempuan, terutama perempuan yang hidup dalam masyarakat yang masih kuat menganut budaya patrilineal seperti di Bali tentu akan menghadapi berbagai manifestasi ketidakadilan gender terkait dengan perceraiannya. Berdasarkan atas latar belakang masalah tersebut, muncul beberapa masalah yang perlu dikaji dari perspektif gender, yakni (1) Mengapa terjadi perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender? (2) Bagaimana penyelesaian perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender ? (3) Apa implikasi dan makna perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender, baik terhadap perempuan Bali yang bercerai maupun pihak keluarga yang terkait dengan perceraian. Penelitian ini secara umum bertujuan mengungkap dan mengantisipasi, serta menanamkan pemahaman tentang ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender yang dihadapi terutama oleh perempuan Bali di Kota Denpasar terkait dengan perceraiannya. Tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) untuk mengetahui, memahami dan menganalisis
penyebab perceraian
perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender. (2) untuk mengetahui, memahami dan menganalisis penyelesaian perceraian perempuan Bali xii
di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender; (3) untuk mengetahui, memahami dan menginterpretasi implikasi dan makna perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender, baik terhadap pihak yang bercerai maupun pihak keluarga yang tarkait dengan perceraian tersebut. Secara teoretis penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat pada (1) bidang ilmu sosial dan budaya, terutama bidang ilmu sejarah agar lebih memfokuskan kajian penelitiannya pada sejarah kontemporer khususnya terhadap kelompok masyarakat yang masih termarginalisasi; (2) kepada Program Kajian Budaya Program Pascasarjana UniversitasUdayana menambah ilmu pengetahuan yang kritis sesuai dengan salah satu fokus kajiannya yakni mengungkap masalahmasalah kelompok masyarakat yang masih termarginalisasi, termasuk masalah isu gender hubungannya dengan ideologi/kekuasaan budaya. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terutama (1) bagi pihak yang peduli terhadap masalah gender dan perceraian, baik pihak masyarakat, pemerintah, perguruan tinggi, LSM, LBH, P2TP2A dan pihak lain dalam
mengantisipasi
dan
menanamkan
pemahaman
terhadap
masalah
ketidakadilan gender. (2) pihak pengambil kebijakan adat dan pihak pengambil kebijakan hukum nasional untuk terus melakukan penyempurnaan terhadap Keputusan MUDP Bali maupun Alasan Dalam Surat Gugatan Perceraian yang masih dapat memperlemah posisi perempuan khususnya dalam memperoleh hak asuh anak atau hak lain. (3) masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, dapat digunakan sebagai pedoman dalam memahami dan menanamkan nilai kesetaraan dan keadilan gender dalam melakukan peran gender dalam perceraian. Penelitian ini juga menggunakan beberapa kajian pustaka yang relevan. Kajian pustaka perlu dilakukan untuk mendapatkan inspirasi juga menghindari penelitian yang sudah ditulis oleh orang lain tidak diulang lagi dalam penelitian ini sehingga dapat dibuktikan keasliannya. Secara metodologis, penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan kegiatan langsung melalui metode penelitian ilmiah, yang meliputi rancangan penelitian, penentuan lokasi penelitian, penentuan informan, jenis dan sumber data yang digunakan, teknik pengumpuan data (observasi, wawancara mendalam, instrumen
xiii
penelitian, teknik triangualasi, dan studi dokumen). Teknik analisis data dalam penelitian ini digunakan analasis gender yang mengacu pada Harvard, meliputi: kegiatan, kontrol, akses, dan manfaat, baik terhadap laki-laki maupun perempuan, sebelum maupun setelah perceraian. Penelitian ini juga dilengkapi dengan analisis data kualitatif yang mengacu pada Miles & Huberman, meliputi reduksi, penyajian dan penarikan simpulan. Untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini digunakan beberapa teori kritis posmodernisme yang relevan dengan pokok permasalahan, seperti teori hegemoni, teori dekonstruksi, dan teori posfeminisme. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa penyebab perceraian perempuan Bali erat kaitannya dengan manifestasi ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender. Adapun menifestasi ketidakadilan gender penyebab perceraian perempuan Bali meliputi : kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga, dan kekerasan fisik. Meskipun tidak setiap kekerasan terkait dengan masalah ketidakadilan budaya dan struktur, namun dalam penelitian ini kekerasan dimaksud berkaitan erat dengan ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender. Dari 18 informan, baik laki-laki maupun perempuan yang paling sering dialami secara berurutan adalah kekerasan psikis (0,66%), penelantaran rumah tangga (0,22%) dan kekerasan fisik (0,11%). Jenis kekerasan ini dialami secara bervariasi. Seorang informan perempuan ataupun laki-laki bisa mengalami dua atau lebih jenis dan pemicu kekerasan bahkan ada hampir semua jenis dan pemicu kekerasan tersebut. Kekerasan psikis dalam penelitian ini dapat dipicu oleh beberapa faktor, seperti beban kerja dan beban ekonomi secara gender, stereotip (pelabelan negatif) terhadap perempuan, intervensi negatif pihak ketiga dalam keluarga, dan perselingkuhan. Perbedaan peran secara gender menyebabkan perempuan Bali mengalami beban kerja domestik yang cukup berat. Budaya patrilineal juga menyebabkan perempuan Bali tidak mempunyai hak waris keluarga akibatnya ketika menikah mereka umumnya tidak membawa harta tatadan (bawaan) baik berupa hadiah maupun warisan dari orang tuanya. Dalam perkawinan selain ekonomi keluarga masih dikontrol oleh suami, juga masih ada informan yang selama bertahun-tahun tidak diberikan nafkah lahir dan batin oleh pihak suami,
xiv
dalam perkawinan muncul beberapa kasus, pihak istri yang menjadi tulang punggung keluarga karena suami tidak mempunyai pekerjaan tetap menyebabkan ada informan selain menanggung beban kerja juga beban ekonomi dalam keluarga. Ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender juga erat kaitannya dengan penelantaran rumah tangga. Meskipun tidak semua penelantaran rumah tangga disebabkan karena ketidakadilan budaya, namun dalam penelitian ini penelantaran dimaksud berkaitan erat dengan ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender. Budaya patrilineal memandang nilai lakilaki lebih bermakna daripada nilai dan posisi perempuan, sehingga dalam perkawinan seringkali anak perempuan menjadi korban penelantaran orang tuanya. Walaupun konsep ini tidak sepenuhnya benar, namun masih ada orang tua yang tega menelantarkan anak/anak-anak perempuannya, seperti tidak diberikan nafkah hidup, biaya pemeliharaan dan biaya sekolah serta ada memutuskan hubungan pasidikaran terutama terhadap anak perempuan yang tinggal bersama ibunya. Penyelesaian perceraian perempuan Bali umumnya dilakukan melalui penyelesaian di pengadilan. Dari 18 informan penyelesaian perceraian perempuan Bali yang paling banyak dilakukan secara berurutan adalah di pengadilan (0,72%), adat (0,22%) dan musyawarah (0,05%).Dalam salah satu butir dari Keputusan MUDP Bali dan pada salah satu Alasan Dalam Surat Gugatan Perceraian yang dapat menyebabkan lemahnya posisi perempuan/pihak istri untuk mendapatkan hak asuh terhadap anak terutama anak laki-laki. Misalnya : 1.Alasan Dalam Surat Gugatan Perceraian antara lain disebutkan, perceraian dapat terjadi karena alasan/alasan-alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Alasan ini dapat memperlemah
posisi perempuan karena pihak perempuan/istrilah yang umumnya meninggalkan rumah. Muncul kasus bahwa alasan ini dapat digunakan oleh pihak yang berkepentingan, misalnya pihak suami untuk memutarbalikkan fakta. Meskipun kenyataannya pihak istri mempunyai alasan/alasan-alasan pergi dari rumahnya selama dua tahun berturut-turut dan tinggal di rumah orang tuanya karena suami
xv
telah menelantarkannya dan berselingkuh dengan perempuan lain. Akan tetapi alasan/alasan-alasan itu sulit untuk dibuktikan. Jika yang bersangkutan ingin melakukan tuntutan, namun tidak mempunyai cukup biaya untuk melakukannya. 2. Dalam salah satu butir keputusan MUDP Bali disebutkan, setelah bercerai, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa. Keputusan ini juga masih bias gender yang hanya menguntungkan secara sepihak, yaitu pihak Purusa, karena tidak ada dibuat keputusan sebaliknya. Akibatnya, muncul kasus ketika anak berada pada pihak purusa, pihak pradana (pihak istri) sulit untuk dapat menemui anak/anak-anaknya. Implikasi perceraian perempuan Bali terhadap pihak yang bercerai, seperti terhadap mantan istri. Setelah perempuan Bali kembali ke rumah asal dan diterima baik oleh orang tua atau anggota keluarga asalnya dengan status mulih deha, maka yang bersangkutan akan kembali berstatus gadis melakukan hak dan kewajibannyaa dalam keluarga asalnya, tetapi yang bersangkutan tetap dianggap tidak mempunyai hak atas warisan orang tuanya layaknya saudara laki-lakinya. Muncul kasus terutama bagi informan perempuan yang belum atau tidak mempunyai rumah sendiri akan tinggal menempel di rumah orang tuanya atau saudara laki-lakinya. Kasus lain, misalnya terhadap perempuan Bali yang berstatus nyerod (turun kasta) akan lebih banyak menghadapi keruwetan adat setelah yang bersangkutan bercerai, karena dalam beberapa hal yang bersangkutan akan dibedakan, misalnya dalam penggunaan bahasa dalam percakapan, tidak diperkenankan untuk memberikan bekas makanannya (tidak saling parid ke parid), atau ketentuan tradisi ataupun keyakinan lain yang masih berlaku terutama di lingkungan keluarga asalnya. Ketika bercerai perempuan yang bersangkutan juga terpaksa tidak mengikutsertakan anakanaknya, karena jika mengajak tinggal di rumah keluarga ataupun orang tuanya, persoalannya akan menjadi lain. Implikasi perceraian perempuan Bali terhadap mantan suami dapat dilihat dari masalah ketidakadilan budaya yang disebabkan oleh perbedaan gender terkait dengan perceraiannya. Meskipun mayoritas perempuan/mantan istri yang
xvi
mengalami ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender dalam perceraiannya, kenyataannya laki-laki/ mantan suami pun dapat menjadi korbannya. Sementara itu ada seorang laki-laki yang sudah sah bercerai dengan istrinya, merasa tidak mendapatkan keadilan karena kenyataannya yang bersangkutan sangat sulit menemui anak laki-lakinya yang tinggal bersama pihak ibu dari anak tersebut hingga berumur 12 tahun. Selama itu, ia merasa sangat kecewa dan terus memperjuangkan anak laki-laki semata wayang itu karena berdasarkan tradisi dan keyakinan masyarakat Bali Hindu, anak laki-laki ditetapkan menjadi hak pihak purusa ( pihak ayah dari anak tersebut). Implikasi perceraian terhadap status suami dan status istri setelah bercerai sesuai butir 1 Keputusan MUDP Bali, Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri) dalam perkawinan biasa kembali ke rumah asalnya dengan status mulih deha, kembali melaksanakan kewajiban dan haknya di lingkungan keluarga asal. Berdasarkan hukum adat Bali, mantan suami tetap melanjutkan kedudukannya sebagai kerama banjar atau kerama desa disesuaikan dengan keadaannya atau statusnya. Ketentuan hukum adat yang kedua ini tidak memberikan ketentuan yang jelas khususnya terhadap perempuan yang berstatus mulih deha hubungannya dengan kedudukannya sebagai kerama banjar atau kerama desa. Akibatnya masih ada sejumlah informan perempuan (0,27%) belum memahami mengenai kedudukannya sebagai kerama banjar atau kerama desa setelah berstatus mulih deha. Ketentuan hukum adat tersebut tampaknya masih bias gender. Implikasi perceraian perempuan Bali terhadap anak menyebabkan anak, terutama anak perempuan mengalami ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender. Berbeda dengan anak laki-laki, anak perempuan jarang diperhitungkan dalam perceraian orang tuanya. Meskipun konsep ini tidak sepenuhnya berlaku terutama bagi keluarga yang sudah berpikiran moderat yang memberikan perlakuan yang adil, baik terhadap anak laki-laki maupun perempuan, namun adakalanya pihak keluarga yang masih berpandangan konvensional, masih terikat pada tradisi dan keyakinan yang berlaku di lingkungan keluarga atau masyarakat yang menganggap bahwa anak perempuan kurang atau tidak penting dalam keluarga purusa. Kasus yang dialami oleh anak perempuan selama sejak
xvii
sebelum kedua orang tuanya akhirnya sah bercerai sudah ditelantarkan oleh pihak ayahnya, tidak diberikan nafkah hidup, dan kemudian pihak ayahnya juga memutuskan hubungan pasidikaran dengan anak perempuannya yang tinggal bersama ibu dari anak tersebut. Implikasi perceraian perempuan Bali terhadap harta perkawinan khususnya bagi perempuan Bali tidak banyak dipersoalkan, selain perempuan Bali jarang membawa harta tatadan (harta bawaan) pada saat menikah (dengan status kawin keluar), juga karena ekonomi dalam keluarga umumnya dikontrol oleh pihak suami. Adapun penghasilan yang diperoleh pihak istri sebagian besar dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga, sehingga tidak ada penghasilan untuk ditabung atau diinvestasikan selama perkawinan. Akibatnya, ketika terjadi perceraian, yang bersangkutan hanya pasrah, menunggu belas kasihan pihak suami yang dianggap cukup mampu untuk memberikan sebagian dari hartanya, baik untuk kelangsungan hidupnya terutama untuk anak/anak-anak yang tinggal bersamanya. Namun kenyataannya masih ada pihak mantan suami yang cukup mampu melepaskan tanggung jawabnya untuk memberikan nafkah terhadap anak yang tinggal bersama ibu dari anak tersebut. Implikasi perceraian perempuan Bali terhadap orang tua pihak yang bercerai terutama yang sering dihadapi oleh perempuan yang sudah berstatus nenek masih melakukan peran gendernya seperti, mengurus, mengantar –jemput sekolah anak bahkan ada yang ikut membiayai keperluan hidup anak tersebut karena orang tua dari anak tersebut bercerai dan juga kesibukannya bekerja. Selain itu implikasi perceraian perempuan Bali juga bermakna terhadap munculnya kesadaran dalam memahami nilai kesetaraan gender. Hal ini dimaknai dengan munculnya perubahan pola berpikir dan sikap sejumlah informan perempuan maupun laki-laki. Bagi perempuan Bali kesadaran akan hak-haknya, kemandiriannya secara finansial, tingkat pendidikan dan pekerjaan dijadilkan sebagai modal untuk semakin berani diceraikan atau menggugat cerai suami apabila tidak mendapatkan perlakuan yang adil atau mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Dari ketiga masalah tersebut, dapat ditarik beberapa simpulan, yang berikut :
xviii
Manifestasi ketidakadilan gender penyebab perceraian perempuan Bali meliputi : kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga, dan kekerasan fisik yang mayoritas menjadi korbannya adalah perempuan/istri. Dari jenis kekerasan tersebut, yang paling sering dialami secara berurutan dan bervariasi dari 18 informan adalah kekerasan psikis (0,66%), penelantaran rumah tangga (0,22%), dan kekerasan fisik (0,11%). Budaya patrilineal yang sudah tertanam dan tersosialisasi secara mantap dan lama masih kuat mengikat dan memengaruhi masyarakat pendukungnya menyebabkan, baik informan laki-laki maupun perempuan masih ada yang beranggapan bahwa ketidakadilan gender yang dihadapi dan dialami itu bukan hal yang terberi atau hasil konstruksi sosial dan budaya, namun merupakan hal yang wajar, bahkan ada informan yang beranggapan bahwa tradisi dan keyakinan yang tidak adil gender itu sebagai kodrat, seolah-olah tidak dapat diubah, dan peran gender perempuan seakan-akan tidak dapat dipertukarkan dengan peran gender laki-laki. Selain itu karena memang ada tradisi yang melarang laki-laki turut berpartisipasi untuk melakukan peran gender perempuan. Pandangan atau anggapan seperti ini seringkali baru disadari setelah mereka bercerai. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perceraian baru dapat dikatakan sah apabila penyelesainnya dilakukan di pengadilan sesuai dengan undang-undang
tentang perkawinan
tersebut. Konsekuensinya, sering kali pihak yang berniat bercerai mengabaikan penyelesaian perceraiannya secara adat, mereka lebih memilih langsung melakukan penyelesaian perceraiannya di pengadilan, sedangkan secara adat hanya sebatas melaporkan diri kepada pihak adat bahwa yang bersangkutan sudah sah bercerai melalui penyelesaian di pengadilan. Dari 18 informan, penyelesaian perceraian terbanyak dilakukan adalah: melalui penyelesaian di pengadilan Negeri Denpasar (0,72%), adat (0,22%) dan musyawarah (0,05%). Penting untuk diketahui terutama bagi perempuan/ istri, meninggalkan rumah selama 2 (dua) tahun berturut-turut bisa menjadi alasan bagi suami untuk minta cerai. Perceraian perempuan Bali tidak hanya berimplikasi terhadap pihak keluarga, seperti mantan istri, mantan suami dan pihak-pihak keluarga yang terkait dengan perceraian, juga bermakna terhadap perubahan pola berpikir dan perubahan
xix
sikap sejumlah informan perempuan maupun laki-laki dalam memahami makna kesetaraan gender dalam perceraian. Hal ini terjadi tidak terlepas dari kesadaran perempuan Bali terhadap hak-hak mereka, kemandiriannya secara finansial, tingkat pendidikan, dan pekerjaan yang dimilikinya. Di antara hasil penelitian ini ada beberapa hal yang merupakan temuan. (1) muncul kasus dialami mantan istri yang masih bertanggung jawab sepenuhnya atas anak/anak-anak setelah bercerai tanpa lagi mendapatkan nafkah dari mantan suami, walaupun kenyataannya pihak suami cukup mampu untuk memberikan nafkah pada keluarganya. Setelah perceraian seharusnya pihak ayah tetap bertanggung jawab terhadap anak/anak-anak mereka yang tinggal bersama ibu dari anak tersebut. (2) satu kasus selain suami menelantarkan juga memutuskan hubungan pasidikaran dengan anak- anak perempuannya yang tinggal bersama ibu dari anak-anak tersebut.
Budaya
patrilineal
menyebabkan
munculnya
pandangan
yang
menganggap bahwa anak perempuan tidak penting dalam keluarga purusa. (3) seorang informan laki-laki merasa kecewa karena selama bertahun-tahun sejak bercerai dengan istrinya tidak diperkenankan bertemu dengan anak laki-laki semata wayang. Informan tersebut mempunyai pandangan kuat terhadap tradisi dan keyakinan bahwa anak terutama anak laki-laki, baik dalam perkawinan maupun perceraian sepenuhnya menjadi hak pihak purusa yaitu pihak ayah dari anak tersebut. (4) muncul kasus yang dialami empat informan perempuan yang sudah berstatus nenek masih melakukan peran gendernya mengasuh, memperhatikan, mengantar-jemput cucunya sekolah, dan ada ikut membiayai keperluan hidupnya. Hal ini dilakukan karena ayah/ibu dari anak tersebut masih bekerja. Selain itu di antara hasil penelitian ini ada yang merupakan makna : (1) dua (0,11%) informan perempuan yang sudah mandiri secara finansial. (2) empat (0,22%) informan yang sudah memiliki pekerjaan sebagai PNS, delapan (0,44%) sebagai pekerja swasta. (3) lima (0,27%) yang memiliki pendidikan setingkat sarjana (S-1 dan S-2), tiga (0,16%) orang setingkat D1dan D3, dan lima (0,27%) setingkat SMA, dan selebihnya ada yang SMP, bahkan ada satu (0,05%) yang tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar. Semua ini merupakan modal yang dimiliki oleh perempuan Bali untuk semakin berani menentukan sikap apabila mendapatkan
xx
perlakuan kasar dan hak yang tidak adil gender (3) Selain itu terdapat juga informan laki-laki yang mengalami perubahan pola berpikir dan sikap dalam menanamkan pemahaman terhadap nilai kesetaraan gender khususnya dalam melakukan peran gender dalam perceraian. Berdasarkan temuan penelitian di atas bahwa selain ideologi budaya patrilineal menimbulkan berbagai manifestasi ketidakadilan budaya dan struktur yang dialami terutama oleh perempuan Bali dalam perceraiannya, di sisi lain perceraian juga menimbulkan perubahan pola berpikir dan sikap sejumlah perempuan Bali untuk semakin berani dalam mengambil keputusan apabila tidak mendapatkan hak yang adil dan perlakuan kekerasan, baik sebelum maupun setelah bercerai. Sesuai dengan teori hegemoni dari Gramsci dan teori dekonstruksi yang dikemukakan
oleh
Derrida,
ideologi
dan
tradisi
yang
dapat
menimbulkanketidaksetaraan gender harus dikritik atau diantisipasi agar tidak menimbulkan ketimpangan gender dalam masyarakat postmodern seperti saat ini. Berdasarkan uraian di atas dapat diajukan beberapa saran atau rekomendasi yang berikut kepada : Pertama, masyarakat, pemerintah, perguruan tinggi, lembaga bantuan hukum, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak lain yang bersimpati terhadap masalah gender untuk secara terus-menerus mensosialisasikan kepada segenap lapisan masyarakat, laki-laki maupun perempuan mengenai masalah ketidakadilan gender khususnya yang berkaitan dengan perceraian, baik melalui penyuluhan, pelayanan dan pemberdayaan, seminar, penelitian, dan upaya lainnya. Kedua, pihak MUDP Bali agar terus-menerus menyosialisasikan tentang keputusan adat yang berlaku yang merupakan hasil keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali berkitan dengan perceraian karena hal ini masih kurang dilakukan. Disamping juga membuat aturan yang jelas mengenai upacara adat bagi pasutri yang bercerai, seperti upacara mepamit dalam upacara adat pasutri yang bercerai. Upacara mepamit bagi pasutri yang bercerai tetap penting dilakukan untuk meredakan adanya saling bermusuhan dan dendam di antara mereka juga dengan kedua pihak keluarga pasutri yang bercerai apalagi masih ada anak/anak-anak hasil dari perkawinannya. Oleh karena itu sebaiknya upacara itu juga dilakukan oleh
xxi
pihak mantan suami sebagai permakluman pada orang tua atau leluhur pihak mantn istri Ketiga, masyarakat, khususnya para informan, perempuan ataupun laki-laki dapat menanamkan pemahaman terhadap nilai kesetaraan gender sesuai dengan peran gender masing-masing tanpa menimbulkan ketidakadilan gender khususnya berkaitan dengan perceraian.
xxii
GLOSARIUM
awig-awig
:
peraturan desa pakraman di Bali
desa pakraman
:
kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri
diskriminasi
:
perbedaan
perlakuan
terhadap
sesama
manusia
berdasarkan jenis kelamin dominasi
:
kedudukan berkuasa dari kelompok jenis kelamin tertentu (laki-laki) terhadap pihak jenis kelamin lainnya (perempuan)
feminin
:
karakteristik seksual yang bersifat keperempuan
feminisme
:
Suatu paham/pandangan yang merujuk pada kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di dalam keluarga, perkawinan, dan perceraian serta tindakan/gerakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut
gender
:
konsep yang merujuk pada perbedaan laki-laki dan perempuan yang dibedakan atas dasar peran, status, sifat, dan kepantasannya yang dikonstruksi secara sosial dan budaya
gunakaya
:
harta bersama dalam perkawinan
xxiii
kasta/wangsa
:
suatu label yang diberikan kepada kelompok orang ada sesuai dengan pekerjaan dan fungsinya
kerja prosuksi
:
pekerjaan
domestik
yang
dikerjakan
perempuan
misalnya memasak juga pekerjaan yang menghasilkan sesuatu untuk dikonsumsi oleh keluarga sering kali dianggap bukan sebagai kerja produksi reproduksi
:
berkaitan dengan reproduksi biologis perempuan artinya perkembangan
fisik
umat
manusia
atau
pengembangbiakan umat manusia MUDP
:
organisasi tempat berhimpunnya desa pakraman yang ada di Bali, baik hubungannya dengan Parahyangan, Pawongan, maupun Palemahan
marginalisasi
:
usaha membatasi/pembatasan, peminggiran yang terjadi pada
perempuan;
pembatasan
atau
peminggiran
biasanya berwujud upaya-upaya untuk menggiring perempuan pada pekerjaan-pekerjaan domestik secara alamiah/kodrati merupakan pekerjaan perempuan mepejati
:
melangsungkan upacara di sanggah/merajan (tempat persembahyangan keluarga mantan suami sebagai permakluman
memutuskan
hubungan
dengan
keluarganya secara hukum adat (permisi meninggalkan pihak keluarga suami karena perceraian) mulih deha
:
sebutan dan status bagi anak perempuan yang kawin keluar kemudian bercerai dan kembali pulang ke rumah asal dan diterima secara baik oleh orang tua atau keluarganya sehingga kembali berstatus gadis
xxiv
nyerod
:
status untuk perempuan golongan triwangsa yang melakukan perkawinan dengan laki-laki yang kastanya lebih rendah
pasidikaran
:
hak yang dimiliki oleh seseorang khususnya berkaitan dengan adat dan agama
pejati
:
sarana
banten
(sesajen)
sebagai
sarana
persembahyangan prajuru
:
pengurus dalam sistem kelembagaan adat di Bali
pesamuan agung
:
suatu pertemuan tingkat tinggi prajuru adat untuk membahas sesuatu berkaitan tentang hukum adat.
perspektif gender
:
suatu kajian dari sudut pandang gender, artinya mengkaji
masalah
laki-laki
dan
perempuan
hubungannya secara gender purusa
:
status seseorang yang mempunyai kewajiban dan hak sebagai penerus keturunan orang tua.
pradana
:
suatu istilah untuk menyebut status perempuan pada budaya Bali
perkawinan biasa
:
suatu bentuk perkawinan dalam hal ini perempuan yang kawin mengikuti pihak suami masuk anggota keluarga suami
stereotip
:
konsepsi atau pelabelan sifat terhadap kelompok jenis kelamin tertentu berdasarkan prasangka dan subjektif, umumnya bersifat negatif, sehingga menimbulkan diskriminasi yang merugikan kelompok jenis kelamin yang diberikan label tersebut
xxv
subordinasi
:
kedudukan bawahan, kelas kedua (perempuan) terhadap pihak yang dominan (laki-laki); peranan dan hasil kerja perempuan selalu dinilai lebih rendah daripada peranan dan hasil kerja laki-laki
sudra wangsa
:
golongan terakhir dalam sistem pelapisan sosial pada masyarakat Bali
sistem patrilineal
:
sistem yang menarik atau melacak garis keturunan dari garis ayah (laki-laki)
swadharma
: kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh para ahli, baik
kewajiban
adat
kemasyarakatan,
kewajiban
keluarga maupun kewajiban keagamaan swadikara
:
hak di lingkungan keluarga asal
tri wangsa
:
tiga dari pelapisan sosial pada masyarakat Bali, yakni brahmana, ksatria, dan waisia
xxvi
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..……………...…i HALAMAN PERSYARATAN GELAR……………………….………………...ii LEMBAR PENGESAHAN……………..………………………………………..iii PANITIA PENGUJI………………………………………….….…………….…iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………………….….……………..v UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………….……………….vi ABSTRAK……………………………………………………....………………..xi ABSTRACT………….……………………………………………..……………..xii RINGKASAN…………………………………………………..……………….xiii GLOSARIUM………………………………………………….….…………...xxiv DAFTAR ISI………………………………………………..……….……… xxviii DAFTAR TABEL………………………………………….…….…………
xxxii
DAFTAR GAMBAR…………………………………….……….………… xxxiii
BAB I PENDAHULUAN…………………..……………..………………………………1 1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………….1 1.2 Rumusan Masalah……………………………….……………………..……………….12 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………….………………13
xxvii
1.3.1 Tujuan Umum……………………………………….….……………..13 1.3.1 Tujuan Khusus………………………………………………………..13 1.4 Manfaat Penelitian…………………….…………………………………….14 1.4.1 Manfaat Teoretis………………………………………..…………….14 1.4.1 Manfaat Praktis………………………………………..……………..14
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN…………………………………………………………16 2.1 Kajian Pustaka………………………………………………………………16 2.2 Konsep……………………………...……………………………………….25 2.2.1 Perceraian………………………………….…………………………25 2.2.2 Perempuan Bali………………………………………………………26 2.2.3 Gender……………………………………..…………………………27 2.2.4 Perspektif Gender…………………………………………………….30 2.3 Landasan Teori……………………………………….……………………..32 2.3.1 Teori Hegemoni………………………………..…………………….32 2.3.2 Teori Dekonstruksi………………………………………………….34 2.3.3 Teori Posfeminisme…………………………….…………………...39 2.4 Model Penelitian………………………………..……….…………………..39
BAB III METODE PENELITIAN…………………………….……………….42 3.1 Rancangan Penelitian………………………………….……………………42 3.2 Lokasi Penelitian……………………………………..……………………..43 3.3 Jenis dan Sumber Data………………………………………………..…….43 3.4 Instrumen Penelitian……………………………….……………………….45
xxviii
3.5 Teknik Penentuan Informan…………………………………………………46 3.6 Teknik Pengumpulan Data…………………………….….…………………47 3.6.1 Teknik Observasi…………………………………….……………….48 3.6.2 Teknik Wawancara Mendalam……………………………………….49 3.6.3 Studi Dokumen………………………………….……………………50 3.6.4 Teknik Triangulasi……………………………….……………….......51 3.7 Teknik Analisis Data………………………………………………………..51 3.8 Teknik Penyajian Hasil……………………………………….…………….57
BAB lV GAMBARAN UMUM KOTA DENPASAR DAN PERCERAIAN PEREMPUAN BALI TEMPO DULU DILIHAT DARI PERSPEKTIF GENDER…………………………………………………………….…………58 4.1 Gambaran Umum………………………...…………………………………58 4.1.1 Sejarah Singkat Kota Denpasar…………………………...………….58 4.1.2 Kondisi Geografis…………………….………………………………64 4.1.3 Keadaan Penduduk……………………………………………………67 4.2 Sistem Sosial Budaya dan Ekonomi…………………………..…………….71 4.2.1 Sistem Sosial Budaya…………………………………………………71 4.2.2 Sistem Ekonomi………………………………………………………82 4.3 Organisasi Gerakan Kesetaraan Gender…………………………………….86 4.4 Perceraian Perempuan Bali Tempo Dulu…………………………………125
BAB V PENYEBAB PERCERAIAN PEREMPUAN BALI DI KOTA DENPASAR DILIHAT DARI PERSPEKTIF GENDER …………………...132 5.1 Kekerasan Psikis…………………………….…………………………….134 5.2 Penelantaran Rumah Tangga………………………………………………160
xxix
5.3 Kekerasan Fisik……………………………………………………………171
BAB Vl PENYELESAIAN PERCERAIAN PEREMPUAN BALI DI KOTA DENPASAR DILIHAT DARI PERSPEKTIF GENDER………......................184 6.1 Penyelesaian Perceraian Melalui Pengadilan……..…..……….....................184 6.2 Penyelesaian Perceraian Melalui Adat…………….………………………..201
BAB VII IMPLIKASI DAN MAKNA PERCERAIAN PEREMPUAN BALI DI KOTA DENPASAR DILIHAT DARI PERSPEKTIF GENDER……………228 7.1 Implikasi terhadap Pihak Keluarga………………..………………………228 7.1.1 Implikasi terhadap Mantan Istri…………………………….………229 7.1.2 Implikasi terhadap Mantan Suami…………………………………..248 7.1.3 Implikasi terhadap Anak…………………………………………....259 7.1.4 Implikasi terhadap Harta Perkawinan……………………..………..265 7.1.5 Implikasi terhadap Orang Tua Pihak yang Bercerai……………….278 7.2 Makna Perceraian Perempuan Bali……………………………………….282
Bab VIII SIMPULAN DAN SARAN…………………………...…………….296 8.1 Simpulan………………..……………………………………….…………296 8.2 Temuan Penelitian……………………..…………………………………..303 8.3 Saran……………………………………………………………………….306
DAFTAR PUSTAKA……………….……………………………………………………308 LAMPIRAN………….………………………………………………………..319
xxx
Lampiran I Pedomam Wawancara…………………………………………………………………….319 Lampiran II Daftar Informan………………………………………………………………………..322
xxxi
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
4.1 Luas Wilayah Kota Denpasar……………………..……….………………..67 4.2 Penduduk Kota Denpasar Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Kepadatan Provinsi Bali Tahun 2012…………………………………………..…..……….68 4.3 Jumlah Penduduk Kota Menurut Kelompok Umur……………….…….…..70 4.4 Jumlah Sekolah dan Murid di Kota Denpasar………………………..……..80 4.5 Persentase Tenaga Kerja Menurut Lapangan Kerja Kota Denpasar……….84 5.1 Jumlah Kasus Kekerasan dari Polresta dan P2TP2A Kota Denpasar.…….178 5.2 Jenis Kekerasan Penyebab Perceraian Perempuan Bali di Kota Denpasar ..181
xxxii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR
Halaman
2.4 Model Penelitian……………………………..……………………………..39 3.1 Register Induk Perkara Perceraian di Pengadilan Negeri Denpasar…….….45 4.1 Peta Pulau Bali…………………………….………………………………..65 4.2 Peta Kota Denpasar Menurut Kecamatan…………………………………..66 4.3 Kantor dan Ketua LSM Bali Sruti……………………....…………………..93 4.4 Karyawan LSM Bali Sruti……………………..……………………………94 4.5 Kantor dan Pengacara P2TP2A Kota Denpasar………………...…………114 4.6 Kantor dan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali………………...117 4.7 Kantor dan Karyawati LBH Apik Bali………………………….………...124
xxxiii