DISERTASI
KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG
NI NYOMAN SUNARIANI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
DISERTASI
KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG
NI NYOMAN SUNARIANI NIM 1090671012
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 i
KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI NYOMAN SUNARIANI NIM 1090671012
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii
iii
Disertasi ini telah Diuji pada Ujian Terbuka Pada Tanggal 28 Mei 2014
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 1386/UN 14.4/HK/2014 Tanggal 14 Mei 2014
Penanggung Jawab : Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) Ketua
: Prof. Dr. Made Budiarsa, MA
Promotor
: Prof. Dr. Made Sukarsa, SE., MS
Ko Promotor I
: Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP
Ko Promotor II
: Dr. A.A.I.N Marhaeni, SE., MS
Anggota
: 1.
Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS
2.
Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS
3.
Prof. Dr. I Wayan Gede Supartha, SE., SU
4.
Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi
5.
Dr. I. G.W. Murjana Yasa, SE., M.Si
6.
Dr. Drs. I Ketut Djayastra, SU
7.
Dr. I. B. Putu Purbhadharmaja, SE., ME
8.
Dr. I. A. Nyoman Saskara, SE., Msi
9.
Dr. I Gede Sudjana Budiasa, SE., M.Si
10. Dr. I Putu Gde Sukaatmadja, SE., MP
iv
v
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis, haturkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/karunia-Nya, sehingga disertasi dengan judul: Kontribusi Pelaksanaan ritual Terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung, dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. Dalam proses penyelesaian studi doktoral ini tidak lepas dari bimbingan, arahan dan dukungan penuh semangat dari Promotor, Ko Promotor, Penguji, para dosen pengampu mata kuliah dan bersama pihak terkait lainnya. Karenanya pada kesempatan ini dengan rasa syukur yang mendalam dari penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada: Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD.KEMD beserta Pembantu-pembantu Rektor atas kesepakatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) dan Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa, MA., Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D, selaku Asisten Direktur II beserta seluruh staf di Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti kuliah hingga selesai. Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS Guru Besar Fakultas Ekonomi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar atas berkenannya sebagai Promotor. Pengalaman dan kearifan beliau sebagai ilmuan ekonomi senior serta telah membimbing, mengarahkan, mendorong dan tidak henti-hentinya selalu memberi semangat penulis. Kesan ketulusan beliau sangat dirasakan penulis selalu siap membimbing dan diskusi kapan dan dimana saja serta mengirimkan jurnal-jurnal untuk menambah referensi agar disertasi lebih bermakna bagi penulis, masyarakat umat Hindu, dan peneliti lainnya, untuk senantiasa dapat menyelesaikan disertasi ini sesuai tujuan studi. Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP Guru Besar Fakultas Ekonomi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar sebagai Ko Promotor I dengan kecerdasan, keluasan wawasan dan ketegasan beliau sebagai ilmuan senior, telah memberikan bimbingan, mengarahkan dan makna tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan studi dan disertai ini dengan penuh ketekunan. vi
Dr. AAIN. Marhaeni, SE., MS Dosen Senior Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Denpasar sebagai Ko Promotor II, ditengah-tengah kesibukan dan aktivitas beliau yang padat selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Ekonomi (MIE) Universitas Udayana dengan kecerdasan, ketekunan dan kearifan beliau sebagai ilmuan tetap meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memberi motivasi serta makna tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan studi dan disertai ini dengan penuh semangat. Ketua Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana Denpasar Prof . Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP dan Sekretaris Program Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS yang memberi kesempatan menempuh Program Doktor dan tidak segan-segannya selalu memberi semangat dan mengawasi secara kontinyu sebelum dan sesudah kuliah serta memacu penyelesaian disertasi dengan lancar dan baik. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, SE., MS., Pembantu Dekan I Dr. I G W. Murjana Yasa, SE., MSi, Pembantu Dekan II Prof. Dr. Made Wardana, SE., MSi, Pembantu Dekan III Dr. Gerianta Wirawan Yasa, SE., MSi, beserta Staf yang memberi kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti kuliah di Program Doktor hingga selesai. Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS Sekretaris Jurusan Dr.I.B Purbadharmaja, SE., ME beserta staf yang telah memberi kesempatan kuliah di Jurusan Ekonomi Pembangunan pada Program Doktor Ilmu Ekonomi hingga selesai. Kepada para penguji disertasi: Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS, Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP, Dr. AAIN. Marhaeni, SE., MS, Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS, Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS, Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi, Dr. I Wayan Bagia, MSi, Prof. Dr. I Wayan Gede Supartha, SE., SU telah bersedia menguji dengan memberikan masukan, sanggahan, koreksi dan saran hingga disertasi ini dapat terwujud. Para dosen pengampu mata kuliah selama menempuh kuliah Prof. Ketut Nehen, M.Ec Ph.D, Prof. Dr. Ketut Sudibia, SE., SU, Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS, Prof. Dr. I Wayan Sudirman, SE., SU, Prof. Dr. Ketut Rahyuda, MSIE, Prof. I Wayan Tjatera, SE., MSc,Ph.D (almarhum), Prof. Dr. IKG Bendesa, MADE, Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D, Prof Dr. Dewa Ngurah Suprapta, MSc, Prof. Dr. Ketut Ardana, MA, Dr. Ketut Putra Erawan, Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP, Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS, vii
Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS, Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi, Dr. I G W. Murjana Yasa, SE., MSi telah meletakkan dasar-dasar teori, memperkaya wawasan dan cara berpikir ilmiah yang kritis, dengan keahlian masing-masing untuk dapat menyelesaikan disertasi ini. Dosen pengampu mata kuliah penunjang disertasi (MKPD) Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS dan Dr. I G W. Murjana Yasa, SE., MSi dengan kecerdasan dan keahlian sebagai ilmuan telah memberikan dasar-dasar teoritis menjadi bekal yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian disertasi ini. Pada kesempatan ini terimakasih disampaikan penulis kepada Bupati Badung, Kepala Perpustakaan BPS Provinsi Bali, Kepala Perpustakaan BPS Kabupaten Badung, Kepala Perpustakaan Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Kepala Desa dan Bendesa Adat Desa Abiansemal, dengan kerendahan hati Ida Pedanda Geriya Agung (sebagai Yajamana karya/penanggungjawab karya) Desa Abiansemal, Ida Pedanda Geriya Kajeng dan Ida Pedanda Geriya Samping Desa Abiansemal serta Ida Pedanda Geriya Jumpayah Mengwi telah memberi wawasan, saran terkait dengan proses ritual. Bapak I Nyoman Geriya sebagai Pemangku Pura, masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal serta para pemasok bahan ritual sebagai responden, yang telah memberi ijin, kesempatan untuk mencari data selama penelitian dilaksanakan. Dr. Putu Ngurah Suyatna Yasa,SE., MSi. dari Universitas Warmadewa telah memberi motivasi, semangat dan kesediaannya menjadi moderator, Dr. I.B Purbadharmaja, SE., ME, Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP., Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. telah bersedia menjadi tim pembahas dalam seminar kolokium, Dr. Ir. Made Sudarma, MS. dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Dr. I Wayan Kandi Wijaya, SE., MM. dari Universitas Ngurah Rai, Dr. I.B. Made Agung Dwijatenaya, M.Si., Dr. Paulus Kurniawan, MBA., Drs. I Nyoman Rasmen Adi, MSi dan I Wayan Suriana,ST., MT dari Universitas Pendidikan Nasional, membantu dan memotivasi dalam penyelesaian disertasi ini. Tidak lupa pula penulis sampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. I Gusti Gorda, M.S, (almarhum) beserta keluarga telah memberi inspirasi dan semangat kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Drs. Ketut Sambereg, MM beserta keluarga yang telah memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis untuk menjadi seorang dosen dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Ketua Perkumpulan Pendidikan Nasional Dr. A.A.A. Tini Rusmini Gorda, SH, MH, Sekretaris Perkumpulan Pendidikan Nasional Denpasar Dr. A.A.A. Sri viii
Rahayu Gorda, SH, MH telah memberi ijin, dukungan semangat, teladan dalam penyelesaian disertasi ini. Rektor Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Prof. Dr. Gede Sri Dharma, D.B.A., Dr. A.A.N. Eddy Supriyadinata Gorda, S.Sos.,MM sebagai Direktur Sumber Daya Manusia, Prof. Dr. I.B. Raka Suardana, SE., MM sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Ni Ketut Elly Sutrisni, SH., MM sebagai Direktur Lembaga Penjamin Mutu, teman-teman dosen, karyawan dan karyawati di lingkungan Universitas Pendidikan Nasional dan Kopertis Wilayah VIII Denpasar telah memberikan ijin, kesempatan dan dukungan baik moral maupun material dalam menyelesaikan disertasi dan studi ini. Penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada seluruh guru yang telah membimbing dan mendidik penulis sejak di Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Dengan rasa hormat dan bakti serta terimakasih disampaikan kepada Ayah kandung I Ketut Rauh dan Ayah mertua I Wayan Kebek (almarhum) dan untuk Ibu kandung Ni Ketut Dalem dan Ibu mertua Ni Made Lanus tercinta yang kini beliau berdua sedang sakit namun tetap memberikan semangat kerjanya, rasa kasih sayang telah mendoakan beserta seluruh keluarga besar di Singaraja dan di Ubud, dengan penuh memberikan semangat sehingga penulis dapat melampaui masa-masa sulit dalam penyelesaian disertasi ini. Terimakasih penulis sampaikan secara khusus kepada suami tercinta Prof. Dr. Ir. I Nyoman Wijaya, MS telah mendampingi selama 28 tahun atas pengertian, keikhlasan serta dukungannya dalam menyelesaikan studi ini baik moral maupun spiritual sehingga penulis merasa ringan dalam penyelesaian disertasi ini, anak-anak tersayang dr. Ni Putu Yuni Anggreni Pande, sekarang sedang menempuh Spesialis Penyakit Dalam, Ni Made Dewi Wijayanti Pande, SE.,MM dan Ni Nyoman Utami Wijayaswari Pande mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan saudara kandung satu-satunya Ni Luh Suci Anawati, kakak dan adik ipar, keponakan dan cucu semua yang telah memberikan dukungan, motivasi dan semangat pada penulis untuk menyelesaikan studi ini. Seluruh teman-teman dan sahabat angkatan ke-2 periode September 2010 program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana yang telah memberi dukungan penuh kepada penulis dalam kehadirannya selama sidang-sidang berlangsung, kesediaannya dalam berdiskusi, kebersamaannya dalam suka dan duka selama menempuh studi dan penyelesaian disertasi ini, untuk itu penulis ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya. ix
Kepada staf Program Doktor Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Universitas Udayana Ni Komang Sri Mariatini dan Eka Putrawan terimakasih dan atas jasa-jasa dalam menfasilitasi masa perkuliahan, sidang-sidang ujian hingga terselesaikannya disertasi ini. Penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan mulia kepada semua pihak yang telah memberi bantuan yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala bantuan dan amal perbuatan Bapak, Ibu dan Saudara sekalian mendapatkan balasan dari Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada akhirnya penulis bersyukur dapat menyelesaikan disertasi ini dengan kesadaran penuh bahwasannya disertasi ini belum sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Semoga karya ilmiah ini dapat memberi secercah manfaat dan harapan kepada para pembaca dalam perkembangan ilmu.
Denpasar, Mei 2014 Penulis
Ni Nyoman Sunariani
x
ABSTRAK KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG Pembangunan daerah Bali adalah pembangunan yang berwawasan budaya dan adat istiadat dan bertumpu pada konsep Tri Hita Karana yang dijiwai oleh Agama Hindu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Esensi pelaksanaan ritual merupakan persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, Pitra Rna). Kehidupan masyarakat Bali merupakan masyarakat yang religius karena intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu. Intensitas pelaksanaan ritual mengkibatkan transaksional bahan-bahan ritual. Fenomena yang berkembang di masyarakat bahwa pelaksanaan ritual di satu sisi cenderung menghabiskan biaya besar dan waktu yang tidak sedikit (komersialisasi). Melalui penelitian studi kasus pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung untuk mengkanter fenomena tersebut. Bagaimana manfaat pelaksanaan ritual Agama Hindu dari perspektif sosial, budaya dan ekonomi, berapa besar Multiplier effect pengeluaran ritual dan berapa besar tambahan pendapatan pemasok bahan ritual serta bagaimana pengaruh ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja. Tujuan penelitian untuk mengetahui manfaat ritual dari perspektif sosial, budaya dan ekonomi, besarnya Multiplier effect dan besarnya tambahan pendapatan pemasok serta pengaruh ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Metode penelitian kuantitatif, mempelajari hubungan antarvariabel, metode pengumpulan data primer berdasarkan cross saction, dengan kuesioner, In-depth Interview melalui informan kunci dan ahli dan triangulasi. Jumlah populasi 130 responden merupakan data jenuh atau sensus. Alat analisis Structural Equation Model diolah menggunakan Analysis of Moment Structural versi 20,0. Hasil penelitian, pelaksanaan ritual selain berfungsi religious juga berimplikasi positif terhadap sosial yaitu perubahaan sikap perilaku beragama, budaya yaitu mampu melestarikan nilai-nilai kearifan lokal, dan ekonomi yaitu adanya perubahan sikap berusaha. Pelaksanaan ritual Agama Hindu memiliki multiplier effect sebesar 2,37 dapat meningkatkan pendapatan pemasok bahan ritual sebesar 72,06 persen. Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja sebesar 0,79. Hal ini mengindikasikan meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar Abiansemal khususnya, dan Bali umumnya. Kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja sebesar 35,4 persen, yang artinya variasi kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Kontribusi kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 90,2 persen, yang artinya variasi kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi kesempatan kerja.
Kata Kunci: Pelaksanaan ritual, multiplier effect, kesempatan kerja, kesejahteraan masyarakat
xi
ABSTRACT THE CONTRIBUTION OF RITUAL PERFORMANCE TO EMPLOYMENT OPPORTUNITIES AND COMMUNITY WELFARE: A CASE STUDY OF MLASPAS AND NGENTEG LINGGIH AT THE PASEK PRETEKA TEMPLE ABIANSEMAL VILLAGE, ABIANSEMAL SUB-DISTRICT BADUNG REGENCY Development of Bali based on culture and custom activities and the concept of Tri Hita Karana which is inspired by the of Hinduism religion to enhance the welfare of society. Ritual performance is essentially a holy offering based on trust and a genuine and sincere belief which has been passed on from generation to generation which is likened to obligations or debts that need to be paid off and is framed within the concept of Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, and Pitra Rna). Balinese society is a religious society because of the intensity of the ritual performances. The intensity of the ritualistic performances brings about transactions of ritual materials. Growing phenomenon in the society is that ritual performances on the one hand tend to take substantial time and cost a lot of money (commercialization). Through the case study of the ritual performance of Mlaspas and Ngenteg Linggih in Abiansemal Village Badung Regency is phenomenon counter, the research questions are: What are the advantages of the ritual performance of Hinduism from the social, cultural and economic perspective, How big is the multiplier effects of ritual expenditure and what is the influence of the rituals on the welfare either directly or indirectly through employment opportunities. The purpose of the study is to know the benefits of rituals from the social, cultural, and economic perspective; the magnitude of multiplier effects; and the influence of rituals on the community welfare either directly or indirectly through employment opportunities. The methods employed in this study were quantitative research methods, the explanation of qualitative analysis, the method of collecting cross-sectional primary data through questioner, in-depth interviews with key and expert informants and triangulation, a population of 130 heads of households were saturated data/census. Structural Equation Model Analysis tool was processed using Analysis of Moment Structural vertion 20,0. The results of this study show that ritual performances, besides having religious functions, also have a positive impact on social behaviour, the change in attitude of religion, which is able to preserve the cultural values of local genius and the economy, that is, a change in the attitude of making businesses. Ritualistic Hinduism has a multiplier effect of 2.37, thus increasing the additional revenue of suppliers amounting to 72.06 percent. And Implementation of rituals had positive and significant impact on the welfare of the people, either directly or indirectly through employment opportunities of 0,79 around Abiansemal sub-district in particular, and Bali in general. Contribution of ritual performance to employment opportunities was 35.4 percent, which means that the variation of employment is determined by variations in the implementation of the ritual. The contribution of employment opportunities to the community welfare was 90.2 percent, which means that variations in the welfare of society were determined by variations in employment opportunities. Keywords:
Implementation of the ritual the multiplier effect, employment opportunities, community welfare
xii
RINGKASAN KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG
Ni Nyoman Sunariani Pembangunan daerah Bali adalah pembangunan yang berwawasan budaya dan adat istiadat dan bertumpu pada konsep Tri Hita Karana yang dijiwai oleh Agama Hindu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Esensi pelaksanaan
ritual merupakan persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, dan Pitra Rna). Kehidupan masyarakat Bali mengalami perubahaan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern dan postmodern. Perubahan
tersebut berpengaruh pada pola produksi, pola distribusi, dan pola konsumsi rumah tangga antara lain pengeluaran upacara (ritual) Agama Hindu. Pola konsumsi rumah tangga mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Kehidupan masyarakat Bali merupakan masyarakat yang religius karena intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu. Intensitas pelaksanaan ritual mengkibatkan transaksional bahan-bahan ritual. Fenomena yang berkembang di masyarakat bahwa pelaksanaan ritual Agama Hindu di satu sisi cenderung menghabiskan biaya besar dan waktu yang
tidak sedikit (komersialisasi). Melalui penelitian studi kasus pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung layak dilakukan untuk mengkanter fenomena tersebut. Makna pelaksanaan ritual Mlaspas
dan Ngenteg Linggih dalam Agama Hindu merupakan proses pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap, moral dan perilaku dalam menata kehidupan menuju kualitas hidup yang lebih sempurna lahir bathin. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan
xiii
terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung? 2) Berapa besar Multiplier Effect pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih? 3) Berapa besar tambahan pendapatan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih? 4) Bagaimana pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih? 5) Bagaimana pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih? Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, (2) Mengetahui besarnya Multiplier Effect pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, (3) Mengetahui tambahan pendapatan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, (4) Menganalisis pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih, dan (5) Menganalisis pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Hipotesis dalam penelitian ini ada tiga, yaitu (1) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja, (2) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, dan (3) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Landasan teori penelitian ini mengacu pada Teori Konsumsi Keynes (1936) menggambarkan análisis pengeluaran konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan, artinya pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan naik sebagai grand theory. Konsep Max Weber (1930) bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, konsep Bourdieu (1977) Social Capital, dimana aktivitas agama mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan aktivitas sosial. Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) bahwa agama adalah sebuah sistem budaya dengan segala macam makna dan simbolisme di dalamnya xiv
membangun motivasi yang kuat dan tahan lama hubungannya dengan struktur masyarakat. Apabila pengeluaran konsumsi masyarakat semakin besar maka dapat meningkatkan Multiplier Effect,
konsep kesempatan kerja dan konsep
kesejahteraan mengacu pada kriteria BPS, 2011. Penelitian ini mempelajari hubungan antarvariabel, metode pengumpulan data primer berdasarkan cross saction dengan kuesioner In-depth Interview pada informan kunci dan ahli dan triangulasi. Jumlah populasi 130 responden merupakan data jenuh atau sensus. Alat analisis Structural Equation Model (SEM) diolah menggunakan Analysis of Moment Structura (AMOS) versi 20,0. Simpulan penelitian ini, pelaksanaan ritual selain berfungsi religious juga berimplikasi positif terhadap manfaat sosial yaitu perubahaan sikap perilaku beragama, manfaat budaya yaitu mampu melestarikan nilai-nilai kearifan lokal/local genius, dan manfaat ekonomi adanya perubahan sikap berusaha. Pelaksanaan ritual Agama Hindu memiliki multiplier effect sebesar 2,37 yang artinya semakin besar pengeluaran ritual maka dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebanyak 2,37 kali jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat. Tambahan pendapatan pemasok sebesar 72,06 persen dari total pengeluaran ritual. Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja sebesar 0,79 yang artinya meningkatnya perekonomian regional Badung khususnya, dan Bali umumnya. Kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja sebesar 35,4 persen, yang berarti variasi kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual selanjutnya kontribusi kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 90,2 persen, yang berarti variasi kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi kesempatan kerja. Temuan dalam penelitian ini adalah: (1) Kesadaran yang tinggi masyarakat pengempon pura walaupun relatif terbatas secara ekonomi tetapi berdasarkan srada bhakti dan lascarya kepada Sang Pencipta, (2) Kecenderungan angka pengganda konsumsi dari tahap I ke tahap II dan III semakin kecil, sedangkan angka pengganda untuk tahap III relatif kecil yang disebabkan marginal propensity to saving lebih besar marginal propensity to consume (MPS > MPC). xv
Hal ini tidak sejalan dengan konsep Keynes bahwa kecenderungan negara-negara kaya, pendapatannya lebih banyak ditabung daripada dikonsumsi (MPS > MPC). Sebaliknya kecenderungan negara-negara miskin pendapatannya lebih banyak untuk konsumsi daripada ditabung (MPC > MPS). (3) Sementara ini banyak opini yang mengatakan bahwa pengeluaran ritual kurang di rasakan oleh masyarakat, namun secara empiris dalam penelitian ini angka pengganda yang dihasilkan dari pelaksanaan ritual relatif cukup besar, sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi Bali pada umumnya, dan Badung pada khususnya. (4) Aktivitas ritual umat Hindu di Bali, lebih banyak dikerjakan oleh tenaga perempuan, sehingga perempuan Hindu memiliki peranan lebih penting untuk dapat terselenggaranya kegiatan ritual yang baik dan lancar (labda karya). (5) Pelaksanaan ritual Agama Hindu mempunyai pengaruh terhadap pendapatan, aktivitas ekonomi, dan aktivitas kehidupan sosial masyarakat umat Hindu di Bali. Pendapat ini sesuai dengan Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977), dan Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973). Saran yang disampaikan dalam penelitian ini berikut. (1) Mengingat pelaksanaan ritual memiliki multiplier effect, masyarakat sekitarnya disarankan perlu melestarikan bahan-bahan utama yang dibutuhkan dalam ritual secara berkelanjutan/sustainable serta upaya mengurangi impor barang kebutuhan ritual Agama Hindu di Bali. (2) Mengingat fenomena yang berkembang di masyarakat bahwa Agama Hindu identik dengan biaya besar, disarankan meningkatkan pemahaman agama dengan membaca buku-buku agama dan menanyakan maknamakna ritual kepada yang berkompeten maka biaya ritual diharapkan berkurang. (3) Mengingat intensitas tenaga kerja perempuan dalam ritual memiliki peran sangat tinggi, disarankan perempuan Hindu mampu menerapkan manajemen waktu. (4) Disarankan untuk penelitian berikutnya, agar menghitung multiplier effect pelaksanaan ritual Agama Hindu sampai tahap terakhir dan variabel lain yang mendukung pelaksanaan ritual, yaitu kesenian (wewalian) yang berbasis budaya religius.
xvi
DAFTAR ISI Halaman JUDUL ...........................................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................
iii
PANITIA PENGUJI UJIAN TERBUKA .......................................................
iv
SURAT PERNYATAAN PLAGIAT .............................................................
v
UCAPAN TERIMAKASIH ...........................................................................
vi
ABSTRAK ....................................................................................................
xi
ABSTARCT .................................................................................................. xii RINGKASAN ................................................................................................ xiii DAFTAR ISI ................................................................................................. xvii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xxi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xxiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxvi BAB
I
PENDAHULUAN .......................................................................
1
1.1. Latar Belakang ......................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................. 21 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................. 22 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................... 23
BAB
II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 24 2.1. Teori Konsumsi Keynes ......................................................... 24 2.1.1 Faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi ................ 38 2.1.2 Investasi ....................................................................... 40 2.1.3 Multiplier Effect .......................................................... 44 2.1.4 Harapan dan Persepsi ................................................... 50 2.2.Perkembangan Agama Hindu di Bali ...................................... 53 2.2.1 Stratifikasi Sosial Masyarakat Hindu ............................ 57 2.2.2 Hubungan Agama dan Ekonomi .................................. 59 2.2.3 Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih ....... 63 xvii
2.2.4 Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi Pelaksanaan Ritual ........................................................................... 71 2.3.Kesempatan Kerja ................................................................... 73 2.3.1 Pengertian kesempatan kerja ........................................ 73 2.3.2 Penyerapan tenaga kerja ................................................ 76 2.4.Kesejahteraan ......................................................................... 82 2.4.1 Pengertian kesejahteraan ............................................... 82 2.4.2 Kriteria kesejahteraan .................................................... 87 2.4.3 Pengukuran kesejahteraan ............................................. 90 2.5.Originalitas Penelitian ............................................................ 92 2.6.Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu .................................... 95 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .............. 101 3.1 Kerangka Berpikir .................................................................. 101 3.2 Kerangka Konsep Penelitian .................................................... 107 3.2.1 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif ........................... 107 3.2.2 Kerangka Konsep Penelitian Asosiatif ............................ 110 3.3 Hipotesis ................................................................................ 113 BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................. 114 4.1. Rancangan Penelitian ............................................................ 114 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 116 4.3. Subyek dan Obyek Penelitian ................................................ 118 4.4. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ......... 119 4.4.1 Identifikasi ................................................................... 119 4.4.2 Definisi Operasional Variabel ....................................... 119 4.5. Jenis dan Sumber Data .......................................................... 125 4.5.1 Jenis Data .................................................................... 125 4.5.2 Sumber Data ................................................................ 125 4.6. Populasi, Sampel Penelitian dan Informan ............................ 126 4.6.1 Populasi Penelitian ....................................................... 126 4.6.2 Penentuan Informan Kunci dan Ahli.............................. 128 xviii
4.6.3 Metode Pengumpulan Data .......................................... 129 4.7. Instrumen Penelitian .............................................................. 131 4.7.1 Pengujian Validitas Kuesioner ...................................... 131 4.7.2 Pengujian Reliabilitas Kuesioner................................... 132 4.7.3 Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ......................... 133 4.8.Teknik Analisa Data ............................................................... 138 4.8.1 Analisis Deskriptif ....................................................... 138 4.8.2 Analisis Kuantitatif ....................................................... 138 4.8.3 Analisis Interaksi Secara Interpretif untuk Desain Kualitatif ..................................................................... 150
BAB V
HASIL PENELITIAN .................................................................. 153 5.1 Deskripsi Karakteristik Desa Adat Abiansemal .................... 153 5.2 Deskripsi Tentang Profil Responden ..................................... 156 5.3 Deskripsi Informan Kunci dan Ahli ....................................... 162 5.4 Deskripsi Hasil Penelitian Kualitatif ..................................... 164 5.4.1 Deskripsi Manfaat Sosial, Budaya dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura ......................... 164 5.4.2 Besarnya Multiplier Effect pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal ................................................................... 184 5.4.3 Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal.............................................. 190 5.5 Hasil Penelitian Kuantitatif .................................................... 193 5.5.1 Evaluasi asumsi SEM ................................................... 194 5.5.2 Hasil pengujian analisis faktor konfirmatori (CFA) ....... 197 5.5.3 Analisis pengaruh dengan SEM .................................... 202 5.5.4 Modifikasi model .......................................................... 212
BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................... 220 6.1 Manfaat yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih ...................... 220 xix
6.2 Besarnya Multiplier effect pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal ..... 231 6.3 Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih ............................................... 235 6.4. Pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka ............ 238 6.4.1 Pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka ............................................................... 240 6.4.2 Pengaruh kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat ................................................................... 241 6.5 Pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja ................................................................... 243 6.6 Temuan penelitian.................................................................. 244 6.7 Keterbatasan penelitian .......................................................... 245 6.8 Implikasi hasil penelitian ....................................................... 246 BAB VII PENUTUP .................................................................................... 248 7.1 Simpulan ............................................................................... 248 7.2 Saran ..................................................................................... 249 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 251 LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................. 289 DAFTAR ISTILAH ........................................................................... 325 PHOTO-PHOTO ................................................................................ 332
xx
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2000 Tahun 2006-2010 (juta rupiah) ................................................................
6
Tabel 1.2 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Penggunaan Tahun 2006 – 2010 (juta rupiah) ..................................................................................
7
Tabel 2.1 Posisi Penelitian Terdahulu yang Berhubungan dengan Pengeluaran Konsumsi.................................................................. 97 Tabel 4.1 Definisi Operasional Indikator Variabel Pelaksanaan ritual (PR)... 122 Tabel 4.2 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesempatan Kerja (KK) . 123 Tabel 4.3 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM) ......................................................................... 124 Tabel 4.4. Jumlah Responden Rumah Tangga Pengempon Pura Yang Melaksanakan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung Tahun 2012 ................................ 126 Tabel 4.5 Jumlah Responden Pemasok Bahan- Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Tahun 2012 ............................................................................................. 127 Tabel 4.6 Kriteria Responden Penelitian Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2012 ............................................................................................. 127 Tabel 4.7 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Pelaksanaan Ritual (PR) ................................................................................... 134 Tabel 4.8 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Kesempatan Kerja (KK) ................................................................................... 135 Tabel 4.9 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM) ......................................................................... 137 Tabel 4.10 Indeks Pengujian Kelayakan (Goodness of Fit Index) SEM........... 149 Tabel 5.1 Alokasi Waktu dan Tenaga kerja Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (Orang/Mandays) ..................................... 160 Tabel 5.2 Alokasi Waktu dan Tenaga Kerja Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (selama 63 hari/orang/mandays) .............. 161
xxi
Tabel 5.3 Identitas Informan Kunci dan Ahli Dalam Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal,Kabupaten Badung Tahun 2012 ................................. 163 Tabel 5.4 Ringkasan Manfaat Secara Sosial, Budaya dan Ekonomi Berkenaan dengan Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 ................................................................. 182 Tabel 5.5 Hasil Perhitungan Multiplier effect Pemasok Tahap I Komponen Bahan-Bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, 2012 .................................................. 185 Tabel 5.6 Hasil Perhitungan Multiplier effect Penyalur Tahap II BahanBahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 ................................................................. 186 Tabel 5.7 Hasil Perhitungan Multiplier effect Produsen Tahap III BahanBahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 ................................................................. 187 Tabel 5.8 Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan-Bahan Ritual dan Non Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung .................................................. 191 Tabel 5.9 Assessment of normality (Group number 1) variabel Pelaksanaan Ritual............................................................................................ 195 Tabel 5.10 Assessment of normality (Group number 1) variabel Kesempatan Kerja............................................................................................. 196 Tabel 5.11 Assessment of normality (Group number 1) variabel Kesejahteraan Masyarakat ............................................................ 197 Tabel 5.12 Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Pelaksanaan Ritual ........................................................ 199 Tabel 5.13 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Pelaksanaan Ritual ............................................. 199 Tabel 5.14 Regression Weights:(Group number 1 - Default model) Indikator Kesempatan Kerja ........................................................................ 200 Tabel 5.15 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesempatan Kerja ............................................ 200 Tabel 5.16 Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesejahteraan Masyarakat ............................................................ 202 Tabel 5.17 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesejahteraan Masyarakat ................................. 202 Tabel 5.18 Regression Weight (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ....................... 206 xxii
Tabel 5.19 Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) ................................. 207 Tabel 5.20 Standarized Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) .... 207 Tabel 5.21 Evaluasi Goodness of Fit ............................................................. 210 Tabel 5.22 Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) .......................................................................................... 211 Tabel 5.23 Modification Indices (Group number 1 - Default model) Covariances: (Group number 1 - Default model) ........................... 212 Tabel 5.24 Standarized Regression Weight Direct Effects Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) ............................................................................................ 214 Tabel 5.25 Standardized Regression Weight Indirect Effects Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) .................................................. 214 Tabel 5.26 Evaluasi Kriteria Kesesuaian (Goodness of Fit Index) Full Model Perbandingan Model Sebelum Modifikasi dengan Setelah Modifikasi .................................................................................... 217 Tabel 5.27 Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) Sebelum dan Setelah adanya Modifikasi model ................. 218 Tabel 6.1 Rata-rata Multiplier effect Tahap I, II, III Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 ......................................................................... 232
xxiii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1
Kurve Teori Konsumsi Keynes ................................................ 28
Gambar 2.2
Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif ............... 32
Gambar 2.3
Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Daur Hidup .......................... 34
Gambar 2.4
Kurve Pengaruh Pendapatan Terhadap Konsumsi .................... 39
Gambar 3.1
Kerangka Berpikir .................................................................... 106
Gambar 3.2
Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif Analisis Multiplier Effect ....................................................................................... 110
Gambar 3.3
Kerangka Konsep Penelitian Assosiatif (Hubungan) ................. 112
Gambar 4.1
Lokasi Penelitian, Peta Administrasi Wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung Provinsi Bali ............................................................................ 118
Gambar 4.2
Diagram Jalur Kontribusi Pelaksanaan Ritual terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat .................... 141
Gambar 4.3
Model Pengukuran Variabel Pelaksanaan Ritual....................... 143
Gambar 4.4
Model Pengukuran Variabel Kesempatan Kerja ....................... 144
Gambar 4.5
Model Pengukuran Variabel Kesejahteraan Masyarakat ........... 145
Gambar 4.6
Hubungan Interaktif Alur Data Penelitian Kualitatif (Miles dan Huberman, 1984) ..................................................................... 151
Gambar 5.1
Persentase makna kepercayaan dan keyakinan dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ............................................................................. 166
Gambar 5.2
Persentase makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .............................................................................. 167
Gambar 5.3
Persentase makna Mecaru dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ............................... 168
Gambar 5.4
Persentase makna melasti dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................................ 169
Gambar 5.5
Persentase makna Nyegara Gunung dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................. 170
Gambar 5.6
Persentase makna Banten dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................................ 171
Gambar 5.7
Persentase makna labda karya dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................. 172
xxiv
Gambar 5.8
Persentase makna kehidupan sosial dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 173
Gambar 5.9
Persentase makna gotong royong dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansema .................. 174
Gambar 5.10 Persentase makna iuran pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................................ 175 Gambar 5.11 Persentase makna bahan-bahan ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 176 Gambar 5.12 Persentase makna pengeluaran ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 177 Gambar 5.13 Persentase makna kesempatan berusaha dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ......... 178 Gambar 5.14 Persentase makna multiplier effect dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. ................. 179 Gambar 5.15 Persentase makna perubahan sikap dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 180 Gambar 5.16 Persentase Tambahan Pendapatan atau Pengeluaran BahanBahan Ritual (Juta Rp dan %) Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung........ 192 Gambar 5.17 Confirmatory Factor Analysis Variabel Pelaksanaan Ritual ...... 198 Gambar 5.18 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesempatan Kerja ....... 200 Gambar 5.19 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesejahteraan Masyarakat ............................................................................... 201 Gambar 5.20 Model Hubungan Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ...................................... 203 Gambar 5.21 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat ................................................ 204 Gambar 5.22 Koefisien Regresi Model Variabel Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) ........................................................................................ 205 Gambar 5.23 Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ...................................... 213 Gambar 5.24 Koefisien Regresi Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ........ 216 Gambar 6.1
Tambahan pendapatan Pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 2012 ......................................................... 236
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Questioner ........................................................................... 289
Lampiran 2
Dudonan Karya Mlaspas dan Ngentig Linggih Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung ............................................................... 299
Lampiran 3
Data Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pra Riset ........ 302
Lampiran 4
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pelaksanaan Ritual (X)............................................................................. 303
Lampiran 5
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kesempatan Kerja (Y1) ........................................................................... 304
Lampiran 6
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kesejahteraan Masyarakat (Y2) ........................................... 305
Lampiran 7
Identitas Responden Pengemon Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal Kabupaten Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian) ............................................................................ 306
Lampiran 8
Identitas Responden Pemasok Bahan-Bahan Ritual di Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal Kabupaten Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian) ..................................... 308
Lampiran 9
Identitas Responden Pemasok Tahap I Bahan-Bahan Ritual di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian) ............................................................................ 309
Lampiran 10
Identifikasi Tahap II Penyalur Bahan-Bahan Ritual di Pura Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian) ............................................................................ 310
Lampiran 11
Lampiran 12
Persentase Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh Pengempon Pura dengan terlaksana Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (pada bulan penelitian). ........................................................................... 311 Tabulasi Skor Jawaban 130 Responden ............................... 312
Lampiran 13 Lampiran 14
CFA untuk Pelaksanaan Ritual ............................................ 316 CFA untuk Kesempatan Kerja ............................................. 317 xxvi
Lampiran 15
CFA untuk Kesejahteraan Masyarakat ............................... 318
Lampiran 16
Regression Weights (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 319
Lampiran 17
Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat ............................................ 320
Lampiran 18
Analisis Model Pengukuran dengan Determinasi ................. 321
Lampiran 19
Regression Weights (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 322
Lampiran 20
Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat.............. 323
Lampiran 21
Regression Weights (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 324
xxvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat menimbulkan berbagai kesenjangan salah satunya adalah kesenjangan pendapatan dan kesenjangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja. Pembangunan dikatakan berhasil apabila mampu membangkitkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Perluasan pembangunan ekonomi Indonesia, membutuhkan percepatan (acceleration) transformasi ekonomi agar kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dapat diwujudkan lebih dini melalui perubahan pola pikir bahwa keberhasilan pembangunan membutuhkan kolaborasi bersama tiga pilar yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta. Partisipasi tiga pilar tersebut melalui model kerjasama pemerintah dan swasta. Pemerintah Pusat dan Daerah harus membangun linkage semaksimal mungkin untuk mendorong pembangunan daerah sekitar pusat pertumbuhan ekonomi dengan tiga strategi yaitu strategi peningkatan potensi wilayah melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di dalam koridor ekonomi, strategi memperkuat konektivitas nasional, serta strategi meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MP3EI 2011-2025). Pembangunan Provinsi Bali adalah pembangunan berwawasan budaya, adat
istiadat
dan
Agama
Hindu,
artinya
1
pembangunan
direncanakan,
2
dilaksanakan, dan dievaluasi dengan berorientasi pada kebudayaan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terwujudnya manusia dan masyarakat Bali sebagai kesatuan sosial yang utuh, berkeadilan, damai, sehat, sejahtera lahir bathin, humanis, ekologis dan bertumpu pada konsep Tri Hita Karana yang dijiwai oleh Agama Hindu dan didukung oleh sumber daya manusia yang handal untuk melaksanakan pembangunan. Landasan pembangunan Daerah Bali adalah Kebudayaan Bali yang dijiwai Agama Hindu dan konsep Tri Hita Karana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan menyeimbangkan tujuan
pembangunan ekonomi, pelestarian kebudayaan, dan lingkungan hidup (Sukardja, 2012). Selama tiga dasawarsa belakangan ini masyarakat Bali mengalami perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern dan postmodern atau globalisasi. Globalisasi membawa perubahan ekonomi, sosial-budaya, komunikasi, transportasi, dan politik global. Pandangan ini didukung oleh Teori Ritzer (2003), globalisasi cenderung mengekspor bentuk-bentuk kosong (nothing) ke seluruh dunia ketimbang mengekspor bentuk-bentuk yang penuh dengan isi (something). Yang disebut belakangan ini lebih besar kemungkinannya untuk ditolak oleh setidaknya beberapa kultur dan masyarakat karena isinya bertentangan dengan budaya lokal. Agama Hindu sebagai identitas religius manusia Bali, Abdullah (2008) menegaskan bahwa globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan
3
mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik sosial. Malahan cara-cara orang mempraktikkan agama juga
mengalami
perubahan,
bukan
karena
agama
mengalami
proses
kontekstualisasi sehingga agama melekat di dalam masyarakat, tetapi juga karena budaya yang mengkontekstualisasikan agama itu merupakan budaya global dengan tata nilai yang berbeda. Dalam konteks ini khususnya dalam fenomena keberagaman ditandai dengan adanya transformasi sistem pengetahuan, sistem nilai, sistem tindakan keagamaan. Perubahan tersebut berpengaruh pada pola produksi, pola distribusi, dan pola konsumsi masyarakat terutama pada unit rumah tangga antara lain pengeluaran upacara (ritual) Agama Hindu. Variabel pengeluaran tersebut Geriya (2000), dipengaruhi oleh dimensi ruang, waktu, dan tempat. Ketiga dimensi ini dapat mempengaruhi perubahan ekonomi, sosial, dan kebudayaan Bali. Komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga makanan dan non makanan, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor-impor. Struktur perekonomian Bali dengan melihat keunggulan kompetitif pada sektor pariwisata (dengan keindahan alam, seni, budaya, dan adat istiadat) sebagai leading sector memiliki karakteristik yang unik, mengakibatkan kelompok perekonomian sektor tersier menjadi lebih dominan dibandingkan dengan sektor primer dan sekunder.Terjadinya transformasi struktur ekonomi dari perekonomian primer ke sektor tersier ini telah membawa dampak terhadap penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian semakin ditinggalkan dan mengalir ke sektor industri dan
4
jasa. Bila dilihat dari peran sektor sekunder dan tersier dari segi pendapatan terus mengalami peningkatan sebaliknya sektor primer terus mengalami penurunan. Kontribusi per sektor terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bali tahun 2006-2010 atas dasar harga konstan 2000, rata-rata perkembangan dari tahun 2006-2010 per sektor sebesar 2,22 persen. Rata-rata perkembangan sektor tertinggi adalah sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) 6,35 persen sektor tertinggi kedua adalah sektor pertanian 4,06 persen. Sedangkan rata-rata terendah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0,12 persen. Dilihat dari share per sektor tahun 2010 ternyata didominasi oleh sektor PHR sebesar 32,51 persen meningkat jika dibandingkan tahun 2009 sebesar 32,33 persen disusul sektor pertanian sebesar 19,09 persen dan kemudian sektor jasajasa sebesar 14,03 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB terus mengalami penurunan pada pendapatan sebesar 59,3 persen tahun 1971 turun menjadi 19,86 persen tahun 2009 turun lagi menjadi 19,09 persen tahun 2010 (BPS Provinsi Bali, 2011). Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, mengakibatkan kesempatan kerja pada sektor pertanian turun dari 67,5 persen tahun 1971 menjadi 34,2 persen tahun 2009, namun tingkat kesempatan kerja diluar sektor pertanian cukup tinggi dari 96,87 persen tahun 2009 meningkat menjadi 96,94 persen tahun 2010 dengan begitu tingkat pengangguran terbuka turun dari 3,13 persen tahun 2009 menjadi 3,06 persen tahun 2010. Peningkatan kontribusi di sektor pariwisata yaitu 31,8 persen tahun 1971 meningkat menjadi 65,6 persen tahun 2009, kontribusi sektor ini terhadap kesempatan kerja tetap mendominasi dibandingkan
5
dengan sektor lainnya. Perkembangan penyerapan tenaga kerja pada sektor pariwisata dari 22,2 persen tahun 1971 meningkat menjadi 43,8 persen tahun 2009. Demikian juga sektor manufaktur tahun 1971 sebesar 8,9 persen meningkat menjadi 16,2 persen tahun 2009. Hal ini dapat memperluas kesempatan kerja maka penyerapan tenaga kerja sebesar 10,3 persen tahun 1971 meningkat menjadi 21,9 persen tahun 2009. (BPS Provinsi Bali, 2010; Bendesa, 2012). Membaiknya perekonomian Bali, ditandai dengan kenaikan pendapatan per kapita masyarakat yang cukup tinggi dari Rp 35.791,00 tahun 1971 meningkat menjadi Rp 6,14 juta tahun 2005 meningkat lagi sebesar Rp 16,21 juta tahun 2009, kenaikan pendapatan per kapita mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2009 mencapai 5,33 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,5 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Badung tahun 2008- 2010 mengalami fluktuasi, tahun 2008 tumbuh sebesar 6,91 persen, tahun 2009 tumbuh 6,39 persen dan tahun 2010 tumbuh sebesar 6,48 persen. Pertumbuhan tahun 2010 diukur dari peningkatan nilai PDRB Badung atas dasar harga konstan 2000 yaitu dari Rp 5,20 triliyun tahun 2008 menjadi Rp 5,89 triliyun tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan diikuti oleh perluasan kesempatan kerja yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan pendapatan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat meningkat jika dalam periode yang sama pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penduduknya (BPS Provinsi Bali, 2011; BPS Kabupaten Badung, 2011).
6
Perubahan struktur ekonomi wilayah Bali akan mempengaruhi kontribusi per sektor PDRB Kabupaten Badung tahun 2006-2010 atas dasar harga konstan 2000 dapat dilihat Tabel 1.1 Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2000 Tahun 2006-2010 (juta rupiah) Sektor 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, gas &air bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) 7. Pengangkut dan Komunikasi 8. Keuangan, perseroan dan jasa perusahaan 9. Jasa-jasa
PDRB
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata Share perkemban 2010 gan (%) (%)
430.924,17
437.752,93
441.420,28
454.730,00
487.777,86
3,19
8.420,73
5.357,25
5.547,53
5.762,93
5.943,97
-6,45
131.865,12
138.748,48
145.449,18
154.496,64
169.686,79
-2,02
71.320,02
77.004,26
53.441,39
57.429,90
61.489,21
-3,43
214.699,14
224.869,28
235.989,79
244.570,08
253.702,89
4,27
2.062.508,63
2.196.234,96
2.339.908,62
2.507.451,41
2.689.069,79
6,86
1.091.037,32
1.223.330,40
1.368.719,75
1.470.624,33
1.554.512,01
9,29
134.586,06
137.864,79
141.307,44
144.597,37
148.971,87
2,57
403.194,44
418.969,34
434.764,02
457.587,49
482.259,01
4,58
4.548.555,63
4.860.131,70
5.196.125,34
5.528.320,09
5.886.369,03
2,10
7,32 0,12 2,39 2,10
5,26 36,63 36,50
2,21 7,49
100,00
Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2011
Berdasarkan Tabel 1.1 rata-rata perkembangan tahun 2006-2010 per sektor sebesar 2,10 persen. Rata-rata perkembangan sektor tertinggi adalah sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 9,29 persen dan tertinggi kedua sektor PHR 6,86 persen, sedangkan rata-rata terendah adalah perkembangan dari sektor pertambangan dan penggalian negatif 6,45 persen. Dilihat dari share per sektor tahun 2010 ternyata didominasi oleh sektor PHR sebesar 36,63 persen turun dari tahun 2009 sebesar 38,05 persen. Disusul sektor pengangkutan dan komunikasi turun 36,50 persen tahun 2010 menjadi 33,78 persen tahun 2009 dan juga sektor pertanian turun dari 7,65 persen tahun 2009 menjadi 7,32 persen tahun 2010.
7
PDRB Kabupaten Badung per kapita atas dasar harga konstan meningkat dari tahun 2008 sebesar Rp 10,41 juta menjadi Rp 10,59 juta tahun 2009 dan meningkat lagi tahun 2010 menjadi Rp 10,83 juta. Kenaikan pendapatan per kapita ini lebih mendekati kenaikan daya beli. Sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan dari satu sisi, bahwa pembangunan daerah Badung telah mampu meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Kenaikan pendapatan per kapita
Kabupaten Badung mempengaruhi pola pengeluaran konsumsi rumah
tangga. Pengelompokan pengeluaran menjadi pengeluaran makanan dan pengeluaran non makanan digunakan untuk melihat kecenderungan konsumsi rumah tangga dari waktu ke waktu. Kecenderungan tersebut biasanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, selera dan lingkungan. Perkembangan PDRB Kabupaten Badung atas dasar harga konstan menurut penggunaan tahun 2006-2010, seperti ditunjukkan Tabel 1.2. Tabel 1.2 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Penggunaan Tahun 2006 – 2010 (juta rupiah) Komponen Penggunaan
2006
1. Konsum RT 2. Konsum Lembaga Nirlaba 3. Konsum Pemerintah 4. Pembentukan Modal Dom Bruto 5. Perubahan Stok
2.910.858,10
% 45,99
2007 2.296.339,04
% 47,25
2008 2.374.631,72
%
2010
%
%
2009
45,70
2.510.810,16
45,42
2.733.153,03
46,43
17.792,38
0,39
19.678,77
0,40
20.997,37
0,40
23.688,88
0,43
25.239,80
0.43
240.894,00
5,30
254.018,85
5,23
277.388,29
5,34
287.412,57
5,20
309.979,58
5,27
696.279,09
15,31
1.078.620,19
22,19
1.308.633,58
25,18
1.460.369,85
26,42
1.642.728,51
27.91
12.426,75
0,27
13.743,72
0,28
16.046,64
0,31
19.440,82
0,35
20.848,92
0.35
6.414.101,31
141,01
6.781.053,95
139,52
8.204.318,14
157,89
8.822.993,24
159,60
9.672.025,16
164,31
5.725.058,99
125,87
6.090.269,34
125,31
7.027.439,58
135,24
8.033.683,19
145,32
9.076.336,29
154,19
4.548.555,63
100,00
4.860.131,70
100,00
5.196.125,34
100,00
5.528.320,09
100,00
5.886.369,03
100.00
6. Ekspor
7. Impor
PDRB
Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2011.
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan per kapita Kabupaten Badung tahun 2010 atas dasar harga konstan diikuti dengan
8
meningkatnya pengeluaran konsumsi rumah tangga tahun 2006 sebesar 45,99 persen meningkat sebesar 46,43 persen tahun 2010. Peningkatan konsumsi rumah tangga dalam lima tahun terakhir, perubahan perilaku konsumsi secara signifikan dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan perkapita, kesempatan kerja meningkat dari sebesar 95,42 persen tahun 2007 menjadi 98,75 persen tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi tumbuh dari sebesar 6,39 persen tahun 2009 menjadi sebesar 6,48 persen tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan diikuti oleh perluasan kesempatan kerja yang akhirnya berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan. Engel mengemukakan bahwa semakin tinggi pengeluaran rumah tangga dapat mengindikasikan semakin sejahtera masyarakatnya. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010 Kabupaten Badung, antara lain pola konsumsi makanan rata-rata sekitar 40,22 persen dari total pengeluaran untuk makanan. Selama lima tahun terakhir pola konsumsi makanan penduduk Kabupaten Badung relatif tidak banyak mengalami perubahan. Pola konsumsi non makanan antara lain untuk keperluan upacara adat dan agama tahun 2010 sebesar 5,41 persen turun dari tahun 2006 mencapai 10,61 persen (BPS Kabupaten Badung, 2011). Hasil Susenas 2010 Provinsi Bali, pengeluaran upacara adat dan agama tahun 2010 sebesar 8,38 persen lebih kecil jika dibandingkan tahun 2009 sebesar 9,78 persen karena tahun 2009 dilaksanakan Karya Agung Panca Balikrama di Pura Besakih Kabupaten Karangasem (BPS Provinsi Bali, 2010). Pengeluaran upacara adat dan agama dari tahun 1993-2001 berkisar 4,99 persen sampai 6,18 persen pada waktu yang sama. Pengeluaran ritual termasuk
9
pengeluaran konsumsi masyarakat Hindu di Bali tahun 2002 dengan rasio 10,42 persen dari pendapatan rumah tangga. Jumlah pengeluaran untuk ritual sebanyak Rp 437,150 ribu per rumah tangga per bulan atau Rp 5,246 juta per tahun, terdiri atas pengeluaran untuk dewa yadnya dan butha yadnya, namun pengeluaran untuk rsi yadnya, pitra yadnya, dan manusa yadnya dalam penelitian ini tidak diperoleh sehingga kecilnya rasio pengeluaran ritual terhadap pendapatan di atas sangat wajar (Sukarsa, 2005). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kebahagian Rumah Tangga Indonesia menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kinerja pemerintah. Pengukuran keberhasilan IPM adalah dapat mengakses hasil pembangunan dalam meningkatkan pendapatan atau daya beli, kesehatan yaitu angka harapan hidup (AHH), dan pendidikan yaitu angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah. Perkembangan IPM di Provinsi Bali terus mengalami peningkatan mencapai peringkat 16 Nasional tahun 2010, capaian IPM seiring dengan membaiknya perekonomian Bali. Peringkat IPM Kabupaten Badung menurut Kabupaten/Kota di Bali periode tahun 2006-2010 terus mengalami peningkatan. IPM Kabupaten Badung tahun 2010 pencapaian pembangunan manusia yaitu angka harapan hidup adalah 71,8 Tahun, angka melek huruf sebesar 92,92 persen dan rata-rata lama sekolah adalah 9,38 tahun serta kemampuan daya beli sebesar Rp 638,13 ribu (BPS Kabupaten Badung, 2011). IPM Kabupaten Badung tahun 2010 mencapai 75,02 peringkat 2 setelah Kota Denpasar peringkat 1 mencapai 77,94 untuk tingkat provinsi sedangkan di
10
tingkat nasional IPM Kabupaten Badung berada peringkat 84. Secara sederhana, IPM dapat menggambarkan keberhasilan pembangunan pada suatu wilayah secara spesifik sehingga digunakan sebagai alat ukur kinerja dari pemerintah suatu wilayah. Kesejahteraan masyarakat penduduk Kabupaten Badung semakin membaik karena meningkatnya PDRB perkapita dan distribusi pendapatan semakin baik atau semakin merata dengan keberhasilan IPM Kabupaten Badung (BPS Kabupaten Badung, 2011). Upacara (ritual) yadnya adalah pengorbanan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan, dimana spirit yadnya melandasi setiap pikiran, perkataan dan perbuatan masyarakat umat Hindu di Bali. Yadnya merupakan aktivitas bersama, bukan aktivitas personal secara material, sehingga yadnya menjadi sumber kehidupan sosial yang harmonis. Jadi pada tatanan sosial, yadnya merupakan sebuah ritualisasi kehidupan masyarakat. Manusia beryadnya sebagai upaya untuk membayar hutang kepada Hyang Widhi dan sekaligus untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Hyang Widhi. Kitab Bhagavadgita, IX: 22 bahwa Yadnya yaitu: ”Mereka yang memuja aku sendiri, merenungkan aku senantiasa, kepada mereka aku bawakan apa yang mereka perlukan dan aku lindungi apa yang mereka miliki”. Ketika melaksanakan sesuatu ritual kepada Hyang Widhi maka Hyang Widhi akan memberikan segala apa yang diinginkan oleh manusia dan sekaligus melindungi apa yang dimilikinya. Hubungan timbal balik dalam bentuk ”take and give” antara Hyang Widhi dengan umat-Nya menyatunya lingga dan yoni (Wiyana, 2012). Titib (2001) kepercayaan umat Hindu di Bali, melaksanakan ritual menunjukkan rasa bhakti (syukur) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
11
(Tuhan yang Maha Esa). Sesuai perkembangan sosio-kultural yang terjadi pada masyarakat sekitarnya, maka ritual dilakukan dengan membuat banten yang terdiri atas buah-buahan, kue, janur, dan bunga. Bahan-bahan tersebut ditempatkan pada sebuah tempat yang khusus, dan harus terjaga kesuciannya. Kearifan lokal dalam organisasi adat istiadat merupakan keunikan lokal berbasis konsepsi Tri Hita Karana dan mendapat apresiasi universal. Esensi kearifan lokal adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa relegiusitas, subyektivitas
manusia
dan
konstruksi penalaran
yang
berempati pada
persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk jagadhita berkelanjutan. Sementara, Sukarsa (2005) menyatakan pendapatan untuk pemenuhan dharma termasuk pengeluaran ritual sepertiga atau 33,3 persen, karena pendapatan untuk tujuan hidup (moksha) melalui dharma, artha, dan kama. Sisanya sepertiga kedua dikeluarkan untuk artha dan sepertiga yang terakhir untuk kama seperti makan, pakaian atau kebutuhan lain. Selanjutnya, Kiriana (2008) mengatakan yadnya merupakan kewajiban bagi umat Hindu untuk melaksanakannya, didasari keyakinan alam semesta beserta isinya diciptakan melalui yadnya. Esensi pelaksanaan ritual adalah persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan turun temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, Pitra Rna) (Wijayananda, 2004). Persembahan suci yang tulus iklas yang dilakukan dalam kehidupan ini bukan saja dilihat sebagai kewajiban membayar hutang Tri Rna, namun memiliki makna dari
12
hukum Karmaphala. Agama Hindu mengajarkan bahwa perbuatan yang baik akan membuahkan hasil yang baik, sedang perbuatan yang buruk akan menghasilkan keburukan. Suhardana (2010), Hukum Karmaphala terdiri atas Sancita Karmaphala yaitu perbuatan masa lalu hasil dinikmati sekarang; Prarabda Karmaphala yaitu perbuatan hidup sekarang hasil dinikmati sekarang; dan Kryamana Karmaphala yaitu hasil perbuatan sekarang dinikmati setelah lahir kembali. Sejalan dengan hasil studi Sumadi (2008), keyakinan merupakan wujud pengamalan ajaran hukum karma phala bahwa setiap perbuatan akan membuahkan hasil. Nilai dasar yang dapat menuntun perjalanan hidup manusia di dunia ini menurut Suhardana (2010) bahwa konsep Tri Kaya Parisuda meliputi manacika yaitu berpikir yang baik dan suci; wacika yaitu berkata yang baik dan benar; dan kayika yaitu berbuat yang baik dan jujur. Selanjutnya, konsep Tri Guna meliputi satwam adalah kebaikan; rajas adalah keangkuhan atau rakus; dan tamas adalah malas. Menurut Setiawina (2011) ketika konsep Tri Kaya Parisuda dan Tri Guna dihubungkan menghasilkan sembilan pilar pedoman kehidupan manusia. Manusia memiliki pemahaman yaitu berpikir yang baik dan suci, berkata yang baik dan benar, dan berbuat yang baik dan jujur. Selanjutnya sadar atau tidak sadar manusia cenderung berpikir rakus, berkata angkuh, berbuat angkuh dan malas berpikir, malas berkata, dan malas berbuat. Sembilan pilar pedoman kehidupan manusia, Setiawina mengkaitkan dengan makna hukum Karmaphala yaitu Sancita Karmaphala artinya setiap manusia menikmati hasil perbuatan masa lalu dengan penuh kesadaran; Prarabda
13
Karmaphala artinya tanpa disadari manusia menikmati hasil perbuatan hidup sekarang; dan Kryamana Karmaphala artinya setiap manusia tidak akan tahu kenikmatan yang akan dirasakannya nanti setelah lahir kembali, kecuali mempunyai keyakinan. Dalam penelitian ini, pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih yang dilakukan masyarakat Abiansemal ketika dihubungkan dengan konsep Tri Kaya Parisuda, Tri Guna, dan Karmaphala berarti pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih mempunyai hubungan terhadap hukum Karmaphala dari perspektif mana melihatnya. Ritual Ngenteg Linggih Titib (2012) merupakan ritual mensthanakan Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada pelinggih bangunan suci yang dibangun. Ngenteg Linggih mupuk padagingan adalah ritual ngenteg linggih yang dilaksanakan setiap sepuluh atau tiga puluh tahun sekali, dengan melaksana ritual menanam padagingan baru untuk merevitalisasi pura yang telah berdiri puluhan tahun sebelumnya. Setiap bangunan yang baru selesai dibangun oleh umat Hindu, bangunan pelinggih atau pura selalu dilaksanakan ritual Mlaspas, bahkan untuk pelinggih atau pura tidak cukup hanya diplaspas saja, masih ada ritual lanjutan disebut ritual Ngenteg Linggih. Makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih dalam Agama Hindu merupakan proses pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap, moral dan perilaku dalam menata kehidupan menuju kualitas hidup yang lebih sempurna lahir bathin (Wijayananda, 2005 dan Wikarma, 1999). Terlahirkan suatu kehidupan yang baru, hidup penuh dengan kebajikan dan rasa cinta kasih diwujudkan dalam Tri-kayaparisudda yaitu Manasika, Wacika, dan Kayika merupakan perbuatan yang baik
14
dan suci, benar, dan jujur lebih lanjut menerima dan mensyukuri (Rwa-Bhineda) dalam kehidupan ini (Ardhana, 2002). Pada awalnya ritual merupakan salah satu bentuk dari religiositas yang diidentifikasi, Dhavamony (1995) ada empat macam yaitu: tindakan magis dalam pelaksanaannya menggunakan bahan-bahan yang diyakini memiliki kekuatan mistis;
tindakan
religius
kultus
para
leluhur;
ritual
konstitutif
yang
mengungkapkan hubungan sosial dengan melaksanakan upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan; dan ritual faktitif yang bertujuan untuk mendapatkan perlindungan dan kekuatan salah satunya adalah kesejahteraan materi. Ritual yang dilaksanakan oleh umat Hindu tentu saja tidak dapat secara tegas digolongkan ke dalam pembagian-pembagian yang tersebut di atas, karena ritual Hindu merupakan salah satu dari tiga cara untuk mengekspresikan kesujudan umat terhadap Tuhan-Nya. Selama setahun ada 420 hari terdapat 108 hari untuk ritual dewa yadnya secara rutin yaitu purnama-tilem, kajeng-klion, tumpek, galungan kuningan, nyepi kalau ditambah dengan ritual tidak rutin seperti mlaspas dan ngenteg linggih, peringatan hari lahir (piodalan), manusa yadnya, rsi yadnya, dan pitra yadnya maka waktu dan biaya yang diperlukan akan bertambah banyak (Sudharta, 2003; Purwita,1992; Rawi, 2010). Pengeluaran pelaksanaan ritual bagi masyarakat merupakan salah satu pencerminan pemahaman agama. Pemahaman Agama Hindu dapat dilakukan melalui tiga pendekatan Triguna (1994) dengan memahami filosofi agama (tattwa), cara melakukan upacara ritual dalam bentuk yadnya (upakara), dan
15
melalui
pelaksanaan
beretika
dalam
kehidupan
masyarakat
(susila).
Sesungguhnya pelaksanaan ritual hendaknya dilandasi dengan tulus iklas dan hati yang suci atau sraddha bakthi, lascarya dan sastra agama. Kualitas yadnya dalam pelaksanaan ritual bukanlah diukur dari besar, lama dan megahnya ritual itu sendiri Wijayananda (2005) mengatakan Satwika Yadnya merupakan ritual yang dilaksanakan berdasarkan kepercayaan, keyakinan, dan pemahaman tattwa, susila dan upacara maka kewajiban membayar hutang Tri Rna dilandasi korban suci tulusikhlas (lascaryaning manah) berpedoman pada sastra agama. Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, menyebutkan: ”Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmana”. Artinya siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima (Pradnya, 2010). Tujuan agama adalah moksartham jagadhita ya ca hiti dharma. Triguna (1994) yang artinya mencapai moksa dengan terwujudnya kesejahteraan lahir bathin, kebahagian dan keharmonisan di dunia yang diperoleh melalui jalan dharma, terakhir ritual yang dilaksanakan dapat menimbulkan ikatan emosional religius. Smith (1759) The Theory of Moral Sentiments bahwa agama memberi semangat spiritual yang tinggi pada ilmu ekonomi dan pesan yang terkandung (moralitas, religious value, sosial walfare, public needs dan solidarity), budaya religi yaitu pengejawantahan nilai-nilai ajaran agama dipedomani sebagai suluh dan jalan duniawi (Skousen, 2006). Setiap kali pelaksanaan ritual menimbulkan pengeluaran konsumsi ritual baik secara kuantitas maupun kualitas. Diduga pengeluaran konsumsi ritual ini
16
telah bergeser menjadi konsumsi sekunder dan ada kecenderungan bergeser ke arah primer untuk masyarakat Hindu di Bali sebagai dampak perubahan aspekaspek kehidupan masyarakat umat Hindu. Beberapa hasil studi telah terbukti bahwa pengeluaran konsumsi mempunyai gerak yang searah (slope yang positif) dengan pendapatan. Konsep Keynes, kecenderungan di negara-negara kaya pendapatan
lebih
banyak
di
tabung
daripada
dikonsumsi
sebaliknya
kecenderungan di negara-negara miskin pendapatan lebih banyak dikonsumsi daripada ditabung maka semakin kaya suatu keluarga nilai dan arah tersebut semakin kecil. Bedanya pola pengeluaran konsumsi dalam penelitian ini mengikuti teori klasik dan neoklasik. Teori Klasik Keynes (1936) mengatakan bahwa pengeluaran konsumsi selalu dihubungkan dengan pendapatan artinya pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan naik. Perilaku konsumsi masyarakat dapat dilihat dari pola pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dari waktu ke waktu, biasanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, selera, dan lingkungan. (Mankiw, 2007). Pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan naik, telah dibuktikan hasil penelitian (Yan Wang, 1995 di China; Engel, 1957 di Malaysia Barat; Narayan et al., 1999 di Tanzania; Malucio et al.,1999 di Afrika Selatan; Tridimas, 1988 di Yunani; Hermanto et al. ,1986 di Indonesia; Sigit, 1985 di Indonesia; Sutomo, 1989 di Indonesia; Van de Walle ,1988 di Indonesia; Syukur, 2000 di Indonesia; Pemberton, 1997; Suriastini, 2010 di Bali; dan Sukarsa, 2005 di Bali).
17
Pemahaman agama seseorang, seperti misalnya penguasaan tentang filsafat agama akan mempengaruhi besar kecilnya tingkatan ritual yang diselenggarakan. Tingkatan ritual dalam Agama Hindu ada tiga tingkat Surayin (2002), tingkat besar (utama), tingkat menengah (madya), dan tingkat kecil (nista masing-masing tingkat dibagi tiga tingkat menjadi sembilan tingkat. Di samping itu, besar kecil ritual yang dilaksanakan masyarakat berdasarkan prinsip Desa, Kala, Patra. Desa bermakna tempat sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada daerah tertentu. Kala berarti waktu, artinya kapan ritual itu dilaksanakan pada waktu yang tepat atau hari baik secara sekala niskala. Patra berarti ritual yang dilaksanakan tersebut layak/patut atau tidak layak bagi seseorang terutama dari segi kedudukan sosialnya (Zoetmulder, 2000). Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973), studi tentang agama menganalisis makna dalam simbol-simbol agama dan hubungannya dengan struktur masyarakat dan psikologi individu (Pals, 2001). Pelaksanaan ritual dan kesempatan kerja mendukung konsep Max Weber (1930), bukunya
The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Bourdieu (1977) konsep Social Capital, aktivitas agama mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lain. Fenomena tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Durkheim (2003) dan Turner et al. (1966) bahwa dalam kehidupan beragama terjadi integritas sosial. Kehidupan sosial beragama masyarakat pengempon pura di Desa Abiansemal dalam melakukan aktivitas ritual dapat saling berinteraksi maka menimbulkan integritas sosial.
18
Aktivitas agama dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya yaitu kesempatan kerja mendukung hasil penelitian (Choi, 2004 di Los Angeles Amerika; Ellison et al., 1994 di Amerika; Lochart, 2005; Wijaya, 2012 di Bali; Puspa, 2010 di Bali). Hubungan aktivitas agama dengan kesejahteraan masyarakat hasil penelitian (Goody, 1961; Wijaya, 2012 di Bali; Grootaert, 1998; Bronsteen et al., 2009; Qomariah, 2009 di Jawa Timur). Kesempatan kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan ketersedianya pekerjaan atau lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari kerja. Rahardja (2008) permintaan tenaga kerja dalam teori ekonomi mikro dapat diartikan sebagai kesempatan kerja, hasil penelitian (Sulistyaningsih, 1997 di Indonesia; Syaukani et al., 2002; Soepono, 1993, 2001 di Provinsi Yogyakarta dan di Kabupaten Badung; Purwanti, 2009 di Kabupaten Bangli; Udjianto, 2007 di Yogyakarta; Zam, 2002 di Kota Pekanbaru Riau; Ferlini, 2011 di Sumatera Barat). Terjadinya multiplier effect adalah apabila pengeluaran konsumsi semakin besar mengakibatkan tambahan pendapatan masyarakat yang lebih besar dalam kegiatan ekonomi, hasil penelitian (Horváth et al., 1999 di Washington DC; Syahza, 2004 di Kota Pekanbaru Riau; Wijaya, 1991 di Indonesia). Intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali mengakibatkan terjadi transaksional bahan-bahan ritual dan mampu memperluas kesempatan kerja sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi Bali yang berbasis ekonomi spiritual. Perkembangan sektor industri pariwisata di Bali sangat dirasakan dampak positif dengan pendapatan masyarakat yang meningkat, kecenderungan umat Hindu melaksanakan ritual lebih semarak dan jor-joran.
19
Fenomena yang berkembang di tengah-tengah masyarakat umat Hindu bahwa pelaksanaan ritual Agama Hindu di satu sisi cenderung menghabiskan biaya besar dan waktu yang tidak sedikit (komersialisasi). Agama Hindu identik dengan beban, rumit, susah dan memberatkan umat (Yupardhi, 2012). Secara empiris umat Hindu banyak waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan upacara adat dan agama yang kadang-kadang tidak dimengerti (Suardika, 2006). Kehidupan masyarakat umat Hindu di Bali sekarang, ini bukan bentuk dari tradisi nak mula keto (gugon tuwon). Ini adalah mitos baru dalam kehidupan Hindu Bali modern, di sisi lain kekawatiran umat Hindu akan lunturnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pengaruh modernisasi di tengah-tengah gerusan globalisasi. Untuk
memberikan
jawaban
yang
mengkanter
fenomena
yang
berkembang di masyarakat saat ini, maka layak dilakukan penelitian studi kasus Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung, dengan pertimbangan kuatnya tradisi gotong royong
yaitu konsep ngayah, menyamabraya, ngoopin, metetulung dalam
aktivitas adat istiadat dan Agama Hindu. Dalam rangka pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, tanggal 20 April 2012. berdasarkan hasil musyawarah seluruh pengempon pura bahwa tingkatan ritual yang digunakan adalah Madyaning Utama artinya tingkatan ritual menengah tetapi yang besar sesuai kerangka dasar Agama Hindu (tattwa, susila, upacara, sebagai Yajamana karya Ida Pedanda Geriya Agung Desa Abiansemal dan Prawartaka karya atau manggalaning karya.
20
Sarana prasaran upakara dibuat secara gotong royong oleh 108 kepala keluarga (KK) sebagai pengempon pura, hal ini dianggap lebih efisien ketimbang membeli karena bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih sebagian besar tersedia di sekitar Abiansemal dan hanya sebagian kecil dipasok dari luar daerah Bali. Tingginya permintaan bahan-bahan ritual dapat menciptakan kesempatan kerja dan menghasilkan multiplier effect serta dapat meningkatkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pemasok bahan ritual maka dapat meningkatkan perekonomian regional Abiansemal khususnya, dan Bali umumnya. Proses pembuatan sarana ritual memerlukan curahan waktu kerja yang tinggi dan tenaga kerja cukup banyak baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan dengan tingkat
mobilitas tenaga kerja cukup tinggi perlu
mensinergikan sistem manajemen tradisional dengan manajemen modern untuk efektif dan efisiennya pekerjaan. Manajemen modern Terry (1986) yaitu perencanaan (planning), organisasi (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling) (Saragih, 1982; Mannulang, 2001). Dalam penelitian ini, masyarakat pengempon pura mensinergikan manajemen tradisional dengan manajemen modern, dalam menyusun panitia (manggalaning karya atau prawartaka karya) dan jadwal acara (dodunan karya) secara sekala niskala, mulai persiapan,
pelaksanaan,
pengawasan
dan
melakukan
evaluasi
terhadap
pelaksanaan ritual. Seluruh rangkaian ritual ini mulai 25 Pebruari hingga 27 April 2012 (selama 63 hari). Total biaya pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal adalah sebesar Rp188,568 juta. Sumber dana dari iuran pura (ayah-ayahan) masing-masing KK pengempon pura
21
sebesar Rp 2 juta rupiah dan sumbangan (punia) baik dalam bentuk uang maupun material (Bendahara Karya, 2012). Setelah dipahami uraian latar belakang masalah tersebut dan selama ini belum ada penelitian tentang “Kontribusi Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan judul penelitian, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. 1) Bagaimana manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung? 2) Berapa besar Multiplier Effect pengeluaran pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung? 3) Berapa besar tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung? 4) Bagaimana pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal? 5) Bagaimana pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal?
22
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini dapat dijelaskan dalam uraian sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung. 2) Untuk mengetahui besarnya Multiplier Effect pengeluaran pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung. 3) Untuk mengetahui tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan
ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung. 4)
Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal.
5) Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini meliputi manfaat secara teoritis dan secara praktis sebagai berikut. 1) Secara Teoritis, yaitu untuk membuktikan Teori Konsumsi Keynes (1936), konsep Max Weber (1930), konsep Bourdieu (1977), Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) dan konsep Multiplier Effect, dengan demikian dapat
23
memperkuat hasil penelitian terdahulu tentang hubungan pengeluaran konsumsi dengan pendapatan, hubungan aktivitas agama dengan ekonomi, dan besarnya pengeluaran konsumsi mempengaruhi Multiplier Effect. 2) Secara Praktis a) Pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali memiliki Multiplier Effect dalam ekonomi regional melalui peningkatan kesempatan kerja dan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi Abiansemal khususnya, dan Bali umumnya. b) Masyarakat sekitar Abiansemal perlu mengembangkan bahan-bahan ritual utama yang dibutuhkan secara berkelanjutan dalam upaya mengurangi impor bahan ritual. c) Masyarakat umat Hindu mampu melestarikan nilai-nilai kearifan lokal di tengah-tengah gempuran modernisasi dan aktivitas Agama Hindu bisa dijadwalkan sesuai manajemen modern agar semua terakomodasi secara baik atau menerapkan manajemen waktu. d) Sebagai referensi dan pedoman bagi umat Hindu untuk mampu memprediksi pengeluaran ritual dengan model yang sama.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan acuan Teori Konsumsi The General Theory dari John Maynard Keynes (1936) sebagai teori utama (Grand Theory) dan di dukung oleh konsep Max Weber (1930) bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Pierre Bourdieu (1977) konsep Social Capital, dan Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) sebagai Middle Range Theory serta beberapa teori sebagai application theory, yaitu konsep Multiplier Effect Keynes, konsep kesempatan kerja dan konsep kesejahteraan, teori tersebut selanjutnya diuraikan sebagai berikut. 2.1 Teori Konsumsi Keynes Teori Konsumsi Keynes (1936) sebagai teori utama (Grand Theory) dalam The General Theory menggambarkan bahwa análisis pengeluaran konsumsi selalu dihubungkan dengan pendapatan, artinya pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan naik. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan
pendapatan yang
dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan. Hubungan pengeluaran konsumsi dengan berbagai pendapatan digambarkan dalam ekonomi makro adalah fungsi konsumsi. Fungsi konsumsi menunjukkan hubungan antara tingkat pengeluaran konsumsi dengan tingkat pendapatan pribadi yang siap dibelanjakan. Konsep Keynes ini didasarkan hipotesis bahwa ada hubungan empiris yang stabil antara konsumsi dengan
24
25
pendapatan. Secara nasional konsumsi merupakan komponen dari pendapatan nasional. Rumusan pendapatan nasional menurut Samuelson (2004): GNP = C + I + G + NX.............................................................................. (2.1) dimana, GNP (Gross National Product) adalah pendapatan, C adalah konsumsi, I adalah investasi, G adalah pengeluaran pemerintah, dan NX menunjukkan ekspor netto (Mankiw, 2007; Gordon, 2000; Sukirno, 2008). Perhitungan pendapatan nasional menurut Lindauer (1971) terdapat beberapa perkiraan yang tidak termasuk di dalamnya antara lain nilai pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan sendiri, pembayaran tunjangan bagi penganggur, pensiunan, orang jompo, kegiatan ilegal atau perjudian, dan pembayaran retribusi pada negara. Bagi masyarakat (Hindu) di Bali yang taat melaksanakan ajaran agama mempunyai hubungan negatif terhadap kegiatan yang bersifat negatif sesuai dengan pendapat Lindauer bahwa hasil kegiatan ilegal tidak dimasukkan ke dalam pendapatan keluarga. Namun kecendrungan dewasa ini banyak negara yang telah mengubahnya menjadi kegiatan yang legal menurut Suroso (1992) sebagaimana dikutip oleh Karim (2002). Dari aspek pendapatan nasional dapat dirumuskan (Gordon, 2000): GNP = C + S + T + (X – M) .............................................................................(2.2) dimana, GNP (Gross National Product) adalah pendapatan, C adalah konsumsi, S adalah tabungan, T adalah pajak, dan X-M menunjukkan ekspor dikurangi impor. Khusus pengeluaran konsumsi dibedakan menjadi pengeluaran konsumsi rumah tangga (C) dan pengeluaran pemerintah (G). Keynes menggambarkan hubungan
26
pola pengeluaran konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan. Hal ini dinyatakan dengan persamaan: Fungsi konsumsi: C = Ca + b. Y....................................................................... (2.3) dimana, C adalah konsumsi masyarakat riil, Ca adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan keluarga nol (Y = 0), b adalah hasrat konsumsi marginal, dan Y adalah pendapatan nasional riil. Keseimbangan makroekonomi secara tidak langsung memberikan gambaran mengenai kesempatan kerja dan pengangguran yang terwujud dalam perekonomian. Teori klasik berkeyakinan perekonomian selalu mencapai kesempatan kerja penuh (Lindauer, 1971; Mangkusubroto, 1998; Sukirno, 2008). Hipotesis yang mempengaruhi konsumsi dikemukakan oleh beberapa peneliti seperti, James Duesenberry (1949), Milton Friedman (1957), Franco Modligiani (1963) dalam (Denburg, 1976). Menurut Keynes, pengeluaran konsumsi riil yang dilakukan oleh sektor rumah tangga ditentukan terutama oleh besarnya pendapatan riil keluarga tersebut. Sisa pendapatan keluarga yang tidak dikonsumsi merupakan tabungan. Selain faktor utama tadi, ada juga faktor demografis, jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, kekayaan, status sosial, dan faktor lainnya yang menentukan komposisi dan perilaku pengeluaran konsumsi. Keadaan ekonomi keluarga juga dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain pertama, jumlah kekayaan yang dimiliki, keluarga yang mempunyai kekayaan
lebih
banyak
cenderung
melakukan
konsumsi
lebih
banyak
dibandingkan dengan keluarga yang tidak mempunyai kekayaan walaupun
27
mempunyai pendapatan yang sama. Jumlah kekayaan ini termasuk juga jaminan hari tua seperti asuransi, tabungan atau bunga deposito, dan pendapatan dari saham. Kedua, seseorang akan mengeluarkan pendapatan untuk konsumsi dari pendapatan rata-rata yang akan diperoleh pada masa datang dibandingkan dengan pendapatan yang diterima saat ini (Denburg, 1976). Berdasarkan konsep pendapatan yang berkembang saat ini untuk tujuan pengeluaran konsumsi dengan berbagai hipotesis berikut. 1). Hipotesis pendapatan absolut (Absolut Income). Konsep ini pertama kali diciptakan oleh John Maynard Keynes (1936) mengatakan jumlah pengeluaran konsumsi perlu memperhatikan variabel kemakmuran, tingkat bunga, dan distribusi pendapatannya (Denburg, 1976). Pengeluaran konsumsi lebih banyak dikeluarkan oleh seseorang yang mempunyai kekayaan bersih lebih banyak walaupun jumlah pendapatannya sama. Kekayaan bersih adalah selisih antara semua kekayaan yang dimiliki dikurangi utang atau kewajiban yang harus dibayar. Peranan suku bunga terhadap pengeluaran konsumsi secara teori menunjukkan bahwa naiknya suku bunga akan mendorong konsumen untuk menambah pengeluaran konsumsi yang ada sekarang sampai pada tingkat pendapatan yang lebih baik untuk menambah tabungannya. Hal ini bertujuan untuk persiapan setelah pensiun atau membiayai orang tua di kemudian hari. Jadi tidak semua masyarakat akan menambah tabungan walaupun ada kenaikan tingkat suku bunga.
28
Keynes mengatakan bahwa kecenderungan konsumsi marginal (Marginal Propensity to Consume/MPC) kelompok masyarakat kaya lebih rendah daripada masyarakat miskin sebaliknya kecenderungan menabung marginal (Marginal Propensity to saving/MPS) kelompok masyarakat miskin lebih kecil daripada masyarakat kaya. Pengeluaran konsumsi akan meningkat jika dilakukan distribusi pendapatan dari kelompok masyarakat kaya ke kelompok masyarakat miskin sebanyak selisih kecenderungan konsumsi marginal dikalikan dengan nilai distribusi pendapatan. Menurut Keynes, terdapat hubungan antara pengeluaran konsumsi dan pendapatan nasional dimana pengeluaran konsumsi dan pendapatan nasional dinyatakan dalam tingkat harga konstan. Pendapatan nasional yang terjadi saat ini, bukan pendapatan nasional yang lalu ataupun yang diramalkan (Mankiw, 2007). Dalam bentuk grafis, fungsi konsumsi Keynes, seperti pada Gambar 2.1. Konsumsi (C)
Y=Y
C
Co
O
Pendapatan (Y)
Gambar 2.1 Kurve Teori Konsumsi Keynes Sumber: Mankiw, 2007
29
Berdasarkan Gambar 2.1 kurve konsumsi berbentuk garis lengkung dan memotong sumbu vertikal. Apabila menggambarkan kurve konsumsi berbentuk garis lurus, hal ini hanyalah untuk menyederhanakan saja. Berpotongan dengan sumbu vertikal berarti bahwa nilainya pasti positif dan dalam bentuk persamaan perpotongan ini disimbolkan dengan Co. Konsep ini memperkuat hasil penelitian (Sigit, 1985; Hermanto, 1986; Syukur, 2002; Malucio et al.,1999; Sukarsa, 2005; dan Wijaya, 2012) bahwa pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan. 2) Hipotesis Pendapatan Permanen (Permanent Income Hypothesis) Teori konsumsi hipotesis pendapatan permanen yang dikembangkan oleh Milton Friedman (1957) dalam bukunya A Theory of Consumption Function, mengatakan pendapatan dibagi dua jenis, yaitu: pendapatan permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory income). Pendapatan permanen merupakan bentuk pendapatan yang diterima secara periodik dan jumlahnya dapat diperkirakan sebelumnya, misalnya pendapatan gaji. Pendapatan sementara merupakan bentuk pendapatan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Pendapatan sementara ini dapat berbentuk tambahan (bonus dan menang lotre) ataupun berbentuk pengurangan, misalnya biaya pengobatan sakit yang tiba-tiba pada pendapatan permanen. Pengeluaran konsumsi seseorang dipengaruhi oleh pendapatan permanen secara proporsional. Apabila terjadi kenaikan pendapatan sementara yang positif (positive transitory income), maka pengeluaran konsumsinya juga akan mengalami kenaikan, begitu pula sebaliknya.
30
Friedman menjelaskan teori hipotesis pendapatan permanen tadi memulai dari anggapan bahwa konsumen bersikap ekspektasi rasional sesuai pendapat Hall dalam mengalokasikan pendapatan yang diperoleh semasa hidupnya diantara kurun waktu yang dihadapinya serta menghendaki pola konsumsi yang kurang lebih merata dari waktu ke waktu. Menurut teori ini, konsumsi permanen konsumen mempunyai hubungan yang positif dan proporsional dengan pendapatannya. Dalam bentuk persamaan dapat dituliskan: Cp = k Yp dimana, Cp adalah konsumsi permanen; Yp adalah pendapatan permanen; k adalah angka konstan. k atau angka konstan menunjukkan bagian atau proporsi pendapatan permanen yang dikonsumsi yang nilainya antara nol sampai satu (0 < k < 1). Nilai k ini relatif stabil dan merupakan fungsi dari suku bunga (r), selera konsumen (u), dan rasio antara kekayaan menusiawi dan kekayaan non manusiawi (w), hubungan ini dapat dituliskan berikut: k = f (r, u, w) fungsi utilitasnya homothetic sehingga rumah tangga akan memilih konsumsi optimal yang sebanding dengan umur teknis dan sumber-sumber yang dimiliki. Konsep ini memperkuat hasil penelitian Yan Wang (1995) masyarakat China menunjukkan pendapatan permanen sangat tergantung pada (gaji dan bonus), pendapatan tidak rutin (hadiah dan tunjangan), dan faktor-faktor lain seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pengalaman pekerjaan diukur umur, status pekerjaan, dan domisili kepala keluarga. Kesimpulan Yan Wang bahwa masyarakat China pendapatan permanen dibentuk oleh variabel diatas sehingga kemakmuran yang dicapai melalui pendapatan permanen.
31
Selanjutnya, memperkuat hasil penelitisan Hatzinikolaou (1999) melakukan estimasi pengeluaran agregat konsumen dari pendapatan sekarang sesuai dengan permanent-income di Yunani. Hatzinikolaou berkesimpulan bahwa pajak yang semakin rendah dikenakan kepada konsumen, akan lebih banyak menstimulasi konsumen dibandingkan jika dikenakan pajak lebih tinggi. Permanent-income hypothesis sering dipakai dalam membuat kebijakan ekonomi makro. Konsep ini juga menguatkan hasil penelitian Davies et al. (2000) yang mengatakan pajak konsumsi lebih baik dikenakan dibandingkan dengan pajak pendapatan para pekerja terutama untuk konsumsi barang-barang publik, seperti pendidikan. Sebagaimana juga hasil penelitian (Pecarino, 1993; Lukas, 1990) mempunyai kesimpulan yang sama walaupun memakai modelnya sendiri, yaitu pajak konsumsi lebih baik daripada pajak-pajak pendapatan atas modal. 3) Hipotesis Pendapatan Relatif (The Relative Income) Teori hipotesis pendapatan relatif dikemukakan pertama kali oleh Duesenberry (1949) seorang ekonom Amerika dalam bukunya Income, Saving and Theory of consumer Behavior. Menurut teori ini, pola konsumsi seseorang ditentukan terutama oleh pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Apabila pendapatan berkurang pada periode tertentu, konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluaran konsumsi, untuk menutupnya, mereka mengurangi tabungannya. Dalam jangka panjang konsumsi berubah secara proporsional dengan pendapatan, akan tetapi dalam jangka pendek konsumsi berubah dalam proporsi yang lebih kecil dari perubahan pendapatan. Selain tingkat pendapatan, kondisi lingkungan disekitar tempat tinggal konsumen juga
32
mempengaruhi pola konsumsi seorang konsumen. Seseorang akan selalu berusaha hidup seperti tetangganya, maka ketika pendapatan turun, maka tidak akan menurunkan konsumsinya seperti apabila pendapatannya naik, tetapi akan mempertahankan tingkat konsumsinya tidak terlalu jauh dengan tingkat konsumsi tertinggi yang pernah dicapainya. Pola konsumsi jangka pendek akan menunjukkan hubungan tingkat konsumsi dan pendapatan, tetapi dalam jangka panjang konsumsi akan berubah secara proporsional dengan perubahan pendapatan. Bila kurve konsumsi jangka pendek digambarkan bersamaan dengan kurve konsumsi jangka panjang, bentuknya akan menyerupai gergaji. Teori Duesenberry tentang efek lingkungan tempat tinggal konsumen terhadap pola konsumsi ini disebut dengan Ratchet Effect atau efek gergaji dan hipotesisinya disebut dengan hipotesisi pendapatan relatif. Bentuk kurve Duesenberry ini adalah sebagai pada gambar 2.2. C
C = f (Y)
C B A
O
Y YA
YB
YC
Gambar 2.2 Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif Sumber: Mankiw, 2007
33
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan awal adalah sebesar OYA kemudian mengalami peningkatan sehingga konsumsi akan meningkat pula pada proporsi yang sama dari A ke B di sepanjang kurve konsumsi jangka panjang. Apabila pendapatan turun, konsumen tidak akan menurunkan konsumsinya melalui fungsi konsumsi jangka panjang ke A, tetapi penurunannya melalui titik B bila pendapatannya naik lagi, konsumen tidak akan meningkatkan konsumsinya secara proporsional, tetapi justru bergerak dari C ke B untuk mengembalikan tabungannya yang diambil selama pendapatannya turun. Jika pendapatannya masih meningkat, barulah konsumen akan meningkatkan konsumsinya sebanding dengan meningkatnya pendapatan. Dengan demikian terjadilah efek gergaji seperti Gambar 2.2 diatas. Hasil studi Duesenberry, konsumsi tergantung dari penghasilan saat ini dan penghasilan tertinggi tahun sebelumnya. Perilaku konsumsi seseorang akan tergantung pula dengan perilaku konsumsi lingkungannya. Pandangan ini diperkuat oleh J.Tobin melalui pendekatan kebiasaan menabung, yaitu dua keluarga yang memiliki pendapatan sama akan menabung dalam jumlah yang berbeda. Keluarga yang merasa kesehatan lebih baik dan kehidupan lebih terjamin akan cenderung menabung lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki kedua jaminan tersebut (Sukarsa, 2005). 4) Konsep pendapatan siklus hidup (Life Cycle). Teori konsumsi dengan memperhatikan pola pengeluaran individu selama hidupnya oleh Albert Ando, Richard Brumberg dan Franco Modligiani (Branson,
34
1979). Teori ini mencoba menjelaskan tentang perilaku konsumsi berdasarkan pada umur dalam siklus hidupnya. Secara umum, siklus hidup dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu usia 0 – 15 tahun sebagai usia belum produktif, usia 16 – 60 tahun sebagai usia produktif, dan usia diatas 60 tahun sebagai usia tidak produktif. Pada usia produktif, pendapatannya akan naik diikuti dengan tabungan untuk mengantisipasi masa pensiun. Menurut Modligiani (1963), perubahan pendapatan sepanjang hidup mengikuti perubahan harapan penghasilan di masa depan. Bentuk kurve siklus hidup sebagaimana terlihat pada gambar 2.3. C,Y
t P
II
C Y b III
I O
Waktu (t) B
T
P
M
Gambar 2.3 Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Daur Hidup Sumber: Mankiw, 2007 Berdasarkan Gambar 2.3 terdapat sumbu vertikal menunjukkan pengeluaran konsumsi (C) dan besarnya pendapatan (Y), sedangkan sumbu horizontal menunjukkan fungsi dari waktu ke waktu. Y merupakan kurve pendapatan dan C merupakan kurve konsumsi. Pada siklus I, dimulai dari
35
usia nol tahun. Setelah dilahirkan, membutuhkan pengeluaran untuk konsumsi, seperti untuk susu, pakaian, biaya dokter, dan lain sebagainya. Disisi lain, ketika pendapatan nol maka pengeluaran lebih besar daripada pendapatan sehingga terjadi dissaving. Setelah melalui tahap B dimana orang tersebut sudah memasuki usia produktif dan memasuki fase angkatan kerja (labour force) sehingga dapat menghasilkan pendapatan. Pada tahap II, dapat membiayai konsumsinya dan dapat menabung (saving) apabila pendapatan lebih besar daripada konsumsinya. Seiring dengan waktu, tingkat pendapatan meningkat sampai dengan puncaknya di titik t dan setelah itu mengalami penurunan sampai akhirnya mencapai tahap III. Pada tahap III ini, kembali mengalami dissaving karena memasuki usia nonproduktif. Dalam analisisnya, teori ini menggunakan asumsi bahwa konsumen bersikap rasional. Artinya, konsumen berusaha memaksimalkan kepuasan dari aliran pendapatan yang diterimanya selama fase tertentu dengan batasan anggaran (budget constraint). Sumber pendapatan menurut Ando-Brumberg dan Modligiani dibedakan menjadi dua sumber pendapatan, yaitu tenaga kerja sebagai sumber labour income, dan kekayaan sebagai sumber property income. Dari dua sumber pendapatan tersebut, dapat dibuat suatu fungsi konsumsi dalam persamaan. L
Ct = c Y t + c At dimana, C adalah jumlah pengeluaran konsumsi; YL adalah labour income atau pendapatan dari tenaga kerja; A adalah kekayaan bersih konsumen; c adalah marginal propensity to consume; t adalah waktu.
36
Konsep ini memperkuat hasil penelitian Pemberton (1997) menemukan ketidak pastian pendapatan pada masa depan sangat mempengaruhi pilihan konsumsi. Temuan lain juga ditemukan Pemberton bahwa properties sangat mempengaruhi pola konsumsi, terutama pada masyarakat miskin. Engel (1957) dalam Boediono dan McCawley (1984), mengenai pengaruh penghasilan terhadap konsumsi rumah tangga. Namun konsumsi rumah tangga juga dipengaruhi oleh beberapa indikator seperti
jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin,
domisili, asal usul dan agama dari anggota keluarga, jumlah aktiva lancar yang dipegang dan harga dari barang-barang (asset). Hasil penelitian Engel di Belgia temuannya bahwa penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan berkurang dengan naiknya penghasilan. Penelitian empiris yaitu hubungan fungsional, bukan antara penghasilan dengan konsumsi (makanan), tetapi juga untuk barang-barang lain keperluan rumah tangga selain makanan. Selanjutnya, memperkuat hasil penelitian Malucio et al. (1999) mengatakan pengaruh modal sosial terhadap pengeluaran rumah tangga di Afrika Selatan. Menggunakan data panel tahun 1993 dan 1998 untuk instrumen modal sosial menggunakan beberapa variabel lag modal sosial tahun 1993, rata-rata pendidikan, umur kepala rumah tangga di kuadratkan dengan jumlah total kelompok dalam masyarakat. Hasil analisis dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dari data tahun terpisah (1993 dan 1998) mereka menemukan bahwa tahun 1993 modal sosial rumah tangga dan modal sosial masyarakat tidak berpengaruh positif terhadap pengeluaran rumah tangga.
37
Sebaliknya tahun 1998 bahwa modal sosial rumah tangga meningkat 10 persen dan masyarakat mampu meningkatkan pengeluaran rumah tangga sebesar 1,2 persen. Pengeluaran untuk konsumsi barang bertujuan untuk menyediakan kebutuhan rumah tangga saat ini, sedangkan pengeluaran untuk barang-barang investasi bertujuan meningkatkan standar hidup untuk tahun-tahun mendatang. Investasi adalah komponen pendapatan nasional yang mengkaitkan masa kini dan masa depan. Pengeluaran investasi memainkan peranan penting tidak hanya pada pertumbuhan jangka panjang namun juga siklus bisnis jangka pendek karena investasi merupakan unsur pendapatan nasional yang paling sering berubah (Mankiw, 2007). Pendapatan keluarga masyarakat umat Hindu dipergunakan untuk pengeluaran konsumsi umum dan pengeluaran konsumsi untuk yadnya. Yadnya diartikan sebagai persembahan suci yang tulus iklas. Yadnya yang ditujukan pada panca yadnya (Puwita, 1992; Pudja, 1999). Dalam penelitian ini, pola pengeluaran konsumsi ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal merupakan pengembangan teori konsumsi dapat dirumuskan berikut: C = C1 + C2 dimana C1 merupakan konsumsi umum terdiri atas makanan, minuman, pakaian dan lain-lain dan C2 adalah
pengeluaran konsumsi ritual panca yadnya. Di
samping itu, pola pengeluaran konsumsi ritual dipengaruhi oleh Desa-Kala-Patra, struktur, dan peraturan berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat umat Hindu di Desa Adat masing-masing di Bali. Dalam masyarakat Hindu juga dikenal adanya prinsip perbuatan manusia mengumpulkan kekayaan (artha) hendaknya
38
dikendalikan oleh nafsu (kama) yang berlandaskan kebaikan dan kebenaran (dharma) untuk mencapai tujan hidup (artha) yaitu menyatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa (moksha). 2.1.1 Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Konsumsi Adanya anggapan bahwa pengeluaran konsumsi ditentukan oleh pendapatan
hanyalah
bersifat
untuk
menyederhanakan
analisis.
Dalam
kenyataannya, pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh faktor yang bersifat ekonomi, sosial, dan budaya. Faktor yang ikut menentukan besar kecilnya pengeluaran konsumsi suatu masyarakat berikut. 1) Distribusi pendapatan nasional.
Apabila
besarnya MPC seluruh
masyarakat sama, maka bagaimanapun distribusi pendapatan tidak akan berpengaruh terhadap fungsi konsumsi masyarakat tersebut. Dalam kenyataannya tidak ada satu negarapun di dunia yang distribusi pendapatannya sama dan marata antar penduduk. Biasanya penduduk yang berpendapatan tinggi MPC-nya lebih rendah daripada penduduk yang berpendapatan rendah. Dengan demikian kebijakan pemerintah yang bertujuan memeratakan distribusi pendapatan akan mengakibatkan naiknya MPC masyarakat. Bentuk kurve pengaruh pendapatan terhadap konsumsi, sebagaimana terlihat pada gambar 2.4.
39
C/tahun C’ C C’
c C’ C O y
Y/tahun
Gambar 2.4 Kurve Pengaruh Pendapatan Terhadap Konsumsi Sumber: Suparmono, 2004 Gambar 2.4, C merupakan kurve konsumsi sebelum adanya kebijakan distribusi pendapatan dan C’ adalah kurve konsumsi setelah kebijakan distribusi pendapatan. Dengan tingkat pendapatan nasional sebesar y pengeluaran konsumsi masyarakat sebelum kebijakan distribusi pendapatan adalah Oc dan setelah kebijakan distribusi pendapatan adalah Oc’. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memerankan distribusi pendapatan, dapat dicapai dengan menggunakan sistem pajak progresif. 2) Jumlah kekayaan masyarakat dalam bentuk alat likuid. Dengan asumsi tingkat pendapatan sama, semakin banyak alat likuid yang ada dalam masyarakat, maka semakin besar pengeluaran konsumsi masyarakat tersebut dibandingkan dengan keadaan masyarakat yang memiliki alat likuid lebih sedikit.
40
3) Banyak barang konsumsi tahan lama. Kepemilikan barang-barang tahan lama (consumers durables) akan mempengaruhi pengeluaran masyarakat untuk konsumsi. Pengaruh kepemilikan barang tahan lama terhadap pengeluaran konsumsi adalah mengurangi pengeluaran masyarakat, menambah pengeluaran masyarakat, dan barang tahan lama biasanya harganya relatif mahal. 4) Kebijakan finansial perusahaan. 5) Ramalan masyarakat akan perubahan harga di masa datang. Harapan konsumen mengenai perubahan harga di masa akan datang sangat berpengaruh dalam pola pengeluaran konsumsi. Apabila konsumen memperkirakan akan terjadi kenaikan harga di masa yang akan datang, maka konsumen tersebut akan meningkatkan permintannya atas barang dan jasa tersebut melebihi yang dibutuhkan walaupun pendapatannya tetap. Sebaliknya apabila konsumen memperkirakan akan terjadi penurunan harga di masa datang, maka konsumen tersebut akan menunda untuk membeli barang dan jasa yang dibutuhkan. 2.1.2 Investasi Investasi pada dasarnya merupakan pengeluaran perusahaan untuk penyelenggaraan kegiatannya, yaitu menghasilkan barang dan jasa. Pengeluaran tersebut dapat berupa pengeluaran untuk pembelian tanah, pembangunan pabrik, pembelian mesin untuk produksi, dan bentuk pengeluaran lainnya. Secara umum, investasi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu investasi tetap perusahaan, perubahan persediaan, dan investasi perumahan. Dalam makro ekonomi yang
41
menentukan tingkat investasi, yaitu tingkat keuntungan yang diramalkan akan diperoleh suku bunga, ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan, kemajuan teknologi, tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya, dan keuntungan yang akan diperoleh perusahaan (Sukirno, 2008). Teori Pertumbuhan Harrord-Domar dikembangkan oleh dua ekonom sesudah Keynes yaitu Harrord (1939) dan Domar (1947) dalam Arsyad (2010). Model ini merupakan konsep tingkat pertumbuhan jangka panjang, yaitu jumlah jam kerja yang tersedia tumbuh secara mantap dan efisiensi pekerja naik, ini menunjukkan konsep laju pertumbuhan natural dalam sistem Harrord sebagai kondisi pertumbuhan seimbang maka output dan kapital harus juga tumbuh dengan laju pertumbuhan natural yang sama. Salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi adalah adanya iklim investasi yang baik yang ditunjang oleh produktivitas yang tinggi. Dengan adanya investasi berarti akan menambah kapasitas input dalam proses produksi hingga pada akhirnya akan menambah output dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Mengingat pentingnya investasi maka pemerintah dituntut untuk memiliki daya saing investasi yang tinggi. Masih rendahnya iklim investasi di Indonesia dibanding negara-negara tetangga mengharuskan adanya perbaikan iklim investasi. Kewajiban ini bukan saja menjadi tugas atau tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat dan pemerintahan secara umum (Todaro, 2006). Investasi merupakan komponen kedua dari pembelanjaan agregat, sifatnya tidak stabil dan menjadi salah satu konjungtur dalam perekonomian. Dari
42
sudut pandang ekonomi makro (dari sisi pengusaha) menurut Samuelson (2004) apabila suku bunga rendah akan lebih banyak investasi yang dilakukan tetapi sebaliknya pada tingkat suku bunga tinggi, terjadi pengurangan jumlah investasi. Investasi adalah pengeluaran-pengeluaran untuk barang-barang modal dalam perekonomian atau investasi dalam teori ekonomi adalah pengeluaran untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam perekonomian, fluktuasi perekonomian sering disebabkan oleh fluktuasi investasi. Fungsi investasi dalam model pertumbuhan adalah kaitannya dengan konsep multiplier effect dan konsep acceleration. Multiplier effect dalam kaitannya dengan fungsi investasi bahwa tambahan investasi menghasilkan tambahan yang lebih besar lagi (tambahan berganda) pada hasil produksi dan pendapatan. Konsep percepatan (acceleration) pada pokoknya didasarkan stok modal (tambahan investasi) dikehendaki oleh pengusaha, tergantung tingkat permintaan terhadap hasil produksinya. Tingkat permintaan agregatif itu ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional. Investasi neto (tambahan stok modal) berkaitan dengan kenaikan tingkat pendapatan nasional. Fungsi investasi dalam
perekonomian
Arsyad
(2010)
komponen
pengeluaran
agregat,
meningkatkan kapasitas berproduksi dimasa yang akan datang dan perkembangan teknologi untuk meningkatkan produktivitas (Sukirno, 2007). Pengeluaran investasi tetap bisnis mencakup investasi peralatan produksi dan investasi residensial (investasi tanah atau rumah dan investasi persediaan). Model investasi tetap bisnis atau model neoklasik mengkaji manfaat dan biaya investasi, faktor
43
utama yang menentukan investasi secara umum adalah tingkat keuntungan, suku bunga, ekonomi, teknologi, dan pendapatan nasional. Pendekatan Harrod Domar, investasi mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi karena investasi menentukan tingkat pendapatan secara aktual melalui multiplier effect dan investasi juga menambah persediaan stok modal di masa datang untuk mencapai tingkat pendapatan secara maksimal. Menurut Sukirno (2007), Harrod-Domar mengarahkan perhatiannya pada pertumbuhan produksi dan pendapatan yang dapat mendorong para investor untuk melakukan investasi yang diperlukan guna menjaga tingkat ekuilibrium pendapatan pada pekerjaan penuh (full employment), maka pendapatan maupun output keduanya harus meningkat pada laju pertumbuhan yang sama pada saat kapasitas produksi meningkat. Tingkat investasi yang diperlukan tergantung dari ekspektasi para investor tentang laju pertumbuhan pendapatan di masa datang, yaitu sejauh mana laju pertumbuhan itu dianggap memadai investasi yang hendak dilaksanakan. Domar memandang pada pertumbuhan investasi yang lajunya melalui asas multiplier dapat meningkatkan pendapatan guna mencapai keadaan yang seimbang (Boediono, 1982; Todaro, 2006; Subandi, 2011). Todaro (2006) pertumbuhan ekonomi Harrod Domar bahwa tingkat pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) ditentukan secara bersama-sama oleh ratio saving serta ratio modal-output nasional (k). Dengan persamaan: tingkat pertumbuhan pendapatan nasional secara ’positif’ berbanding lurus dengan ratio saving (yakni semakin banyak GDP yang di tabung dan di investasikan, maka
44
pertumbuhan GDP yang dihasilkan lebih besar) dan secara ’negatif’ berbanding terbalik terhadap ratio modal-output dari suatu perekonomian (yakni semakin besar ratio modal-output nasional/k, maka tingkat pertumbuhan GDP akan semakin rendah). Selanjutnya, semakin banyak yang di tabung (S) dan di investasikan (I), maka laju pertumbuhan perekonomian akan semakin cepat. Tingkat pertumbuhan aktual yang dapat dijangkau pada setiap tingkat tabungan dan investasi, banyaknya tambahan output yang didapat dari tambahan satu unit investasi dapat diukur dengan kebalikan ratio modal-output k, karena ratio yang sebaliknya yakni 1/k adalah ratio output-modal (ratio output-investasi). Selanjutnya, dengan mengalikan tingkat investasi baru S = I / Y dengan tingkat produktivitasnya, 1/k maka akan didapat tingkat pertumbuhan dimana pendapatan nasional atau GDP akan naik (Todaro, 2006). Dalam penelitian ini, pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, menyebabkan adanya transaksional bahanbahan ritual. Pelaksanaan ritual menghasilkan multiplier effect melalui peningkatan konsumsi, peningkatan output, kesempatan kerja, pendapatan tenaga kerja, dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi regional Bali umumnya dan Abiansemal khususnya. 2.1.3 Multiplier Effect Keynes
menunjukkan
bahwa
kenaikan
pengeluaran
pemerintah
mendorong adanya kenaikan pendapatan yang lebih besar, yaitu ΔY lebih besar dari ΔG. Multiplier effect pada pengeluaran pemerintah sebagai rasio antara
45
kenaikan pendapatan dengan kenaikan pengeluaran pemerintah. Keynes mengatakan bahwa multiplier effect lebih tinggi pada saat masyarakat lebih banyak mengkonsumsi. Besarnya angka multiplier effect menggambarkan perbandingan jumlah pertambahan atau pengurangan pendapatan nasional dengan jumlah pertambahan atau pengurangan pengeluaran agregat yang telah menimbulkan perubahan pendapatan nasional (Mankiw, 2007; Samuelson, 2004; Sukirno, 2008). Proses ini berlangsung terus menerus hingga tidak terjadi kelebihan pengeluaran
agregat,
keadaan
ini
menciptakan
tingkat
keseimbangan
perekonomian. Untuk mengetahui besarnya pertambahan pendapatan nasional yang diakibatkan oleh pertambahan sejumlah pengeluaran tertentu. (Samuelson, 2004; Mankiw, 2007) model multiplier effect digunakan persamaan: ΔY= (ΔC+ΔI+ΔG +ΔX)................................................................................. (2.4) dimana, ΔY adalah pertambahan pendapatan nasional dari proses multiplier, MPC (marginal propensity to consume) adalah kecenderungan konsumsi marjinal dan ΔC, ΔI, ΔG, ΔX (tambahan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan tambahan ekspor). Angka multiplier effect (kc) konsumsi adalah perubahan pendapatan terhadap perubahan konsumsi yang diproksikan dengan perubahan autonomons consumption/konsumsi ketika pendapatan nol, yang besarnya dengan formula: kc =
=
..............................................................................................(2.5)
(Samuelson, 2004; Mankiw, 2007; Sukirno, 2008)
46
Pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi juga lebih tinggi. Ketika pengeluaran meningkat maka ada tambahan pendapatan, itu juga meningkatkan konsumsi, yang selanjutnya meningkatkan pendapatan kemudian meningkatkan konsumsi, dan seterusnya. Mankiw dalam model ini kenaikan pengeluaran menyebabkan kenaikan pendapatan yang lebih besar. Menurut Arsyad (2010) adalah:
k=
(
.
)
..................................................................... (2.6)
dimana: k adalah kenaikan pendapatan dari suatu kegiatan ekonomi yang baru didalam masyarakat, MPC1 adalah proporsi pendapatan daerah yang dibelanjakan di daerah dan PSY adalah bagian dari pengeluaran daerah yang menghasilkan pendapatan bagi daerah. Pola Hubungan pengeluaran konsumsi dengan pendapatan atau fungsi konsumsi Keynes, menunjukkan fungsi konsumsi dengan tiga alasan yang diduga Keynes. Pertama, kecenderungan mengkonsumsi marjinal (MPC), c adalah antara nol dan satu, ketika pendapatan naik menyebabkan konsumsi dan tabungan meningkat. Dengan kata lain MPC sebagai perbandingan diantara pertambahan konsumsi (ΔC) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan disposibel (ΔY). Menurut Mankiw (2007) dan Sukirno (2008), dihitung dengan formula: MPC = Kedua,
..................................................................................................... (2.7) kecenderungan
mengkonsumsi rata-rata (Average Propensity to
Consume/APC) turun ketika pendapatan naik. Dengan kata lain APC sebagai perbandingan di antara tingkat konsumsi (C) dengan tingkat pendapatan disposebel (Yd). Menurut Mankiw (2007) dan Sukirno (2008), dihitung dengan formula:
47
APC =
.................................................................................................... (2.8)
Ketiga, konsumsi ditentukan oleh pendapatan sekarang (Mankiw, 2007 dan Sukirno, 2008). Menurut Keynes adalah fungsi konsumsi jangka pendek, digambarkan sebagai garis lurus, C menunjukkan perpotongan garis vertikal dan b merupakan kemiringan fungsi konsumsi. Bahwa fungsi konsumsi ini menunjukkan tiga alasan Keynes, yaitu pertama, karena MPC, b adalah antara nol dan satu, sehingga pendapatan tinggi menyebabkan konsumsi dan tabungan tinggi juga. Kedua, APC adalah AC =
=
"
+ b, ketika Y meningkat,
"
turun dan begitu pula APC =
turun. Ketiga, tingkat bunga tidak dimasukkan dalam persamaan sebagai determinan konsumsi. Jadi fungsi Konsumsi Keynes (Sukirno, 2008). C = a + b Yd ............................................................................................... (2.9) dimana, a adalah konstanta atau autonomous consumption (pengeluaran konsumsi ketika pendapatan nol atau Yd=0). b adalah MPC (perbandingan atau rasio di antara pertambahan konsumsi/ΔC dan pertambahan pendapatan disposebel/ΔY), dan Yd adalah pendapatan dispossable atau pendapatan yang siap dikonsumsi. Analisis Input-Output (I-O) adalah teknik pengukuran ekonomi daerah (regional). Teknik ini dikenalkan oleh Leontief (1951) digunakan untuk melihat keterkaitan (linkages) antar industri untuk permintaan dan penawaran. Multiplier effect yang mampu dihasilkan oleh suatu sektor terhadap sektor lainnya. Secara sederhana total output yang dihasilkan oleh setiap sektor produksi merupakan penjumlahan antara total permintaan (final demand) dan proporsinya untuk memenuhi kebutuhan sektor produksi lainnya.
48
Konsep ini memperkuat hasil penelitian Horváth et al. (1999) pariwisata dalam ekonomi regional memiliki multiplier effect melalui peningkatan output, kesempatan kerja, pendapatan tenaga kerja, dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Begitu pula Leontief (1985) menunjukkan di tingkat nasional, regional dan metropolitan pariwisata memiliki multiplier effect terhadap peningkatan output, pendapatan dan kesempatan kerja. Selanjutnya, memperkuat hasil penelitian Syahza (2004) menunjukkan perkebunan kelapa sawit memiliki multiplier effect dan meningkatkan kesejahteraan petani. Begitu pula hasil penelitian Wijaya (1991) pengeluaran pemerintah mempunyai angka pengganda dan mendorong kenaikan pendapatan dan produksi secara berganda sepanjang perekonomian
belum
mencapai
tingkat
kesempatan
kerja
penuh
(full
employment). Dalam penelitian ini, multiplier effect pengeluaran konsumsi ritual dapat dinyatakan berikut. 1) Perubahan pengeluaran konsumsi ritual (ΔC) dapat menciptakan kesempatan kerja yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan pendapatan pemasok bahan ritual (ΔYo) menghasilkan Angka Pengganda Konsumsi (Consumption multiplier effect). Perubahan pendapatan pemasok bahan ritual (ΔYo) mengakibatkan perubahan pengeluaran konsumsi dan saving (ΔCo dan ΔSo). Acceleration terjadi ketika ada perubahan pengeluaran konsumsi (ΔCo) mengakibatkan perubahan pengeluaran konsumsi (ΔCl). Lefried effect adalah ΔC hingga ΔCl. Perubahan pengeluaran konsumsi (ΔCl) dapat menciptakan kesempatan
49
kerja yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan pendapatan (ΔY1) maka menghasilkan multiplier effect dan seterusnya. Perubahan pendapatan (ΔY1) mengakibatkan perubahan pengeluaran konsumsi dan saving (ΔC1 dan ΔS1). Perubahan pendapatan (ΔY1) mengakibatkan perubahan pengeluaran konsumsi (ΔC1) yang menyebabkan acceleration dan seterusnya. 2)
Konsep multiplier effect pengeluaran ritual adalah: Pendapatan keseimbangan : Y =
− ( + )
(a) Jika terdapat tambahan pengeluaran ritual sebesar Δa, maka Y + ΔY = −
( +Δ
+ I)
= − ( +I) + − (Δ ) ΔY = − . Δ multiplier effect pengeluaran ritual : kc = (b) C pengeluaran ritual =
= − =
yang dalam hal ini =
ΔC pengeluaran ritual = Δ C=
+ bYd Yd = 0 , C =
dimana:
adalah konstanta atau autonomous consumption
(pengeluaran ketika Yd=0), b adalah MPC (
), dan Yd adalah
pendapatan dispossable atau pendapatan yang siap dikonsumsi, walaupun masyarakat pengempon pura tidak memiliki pendapatan namun tetap dapat melaksanakan ritual karena C adalah pengeluaran ritual yang dilakukan masyarakat pengempon pura secara tulus iklas
50
berdasarkan kepercayaan dan keyakinan (srada bhakti dan lascarya). 3)
Y
=C+S
Y
= f (C)
ΔY = f (Δa) dimana: Y adalah pendapatan pemasok bahan-bahan ritual; C adalah pengeluaran ritual masyarakat pengempon pura; ΔY adalah tambahan pendapatan pemasok; dan Δa adalah tambahan pengeluaran ritual. Berdasarkan pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih maka terjadi perubahan pengeluaran masyarakat pengempon pura (ΔCo) mengakibatkan perubahan konsumsi (ΔCl) terjadi acceleration untuk mendorong tumbuhnya kesempatan kerja bagi pemasok bahan ritual sehingga
menghasilkan multiplier
effect sebagai
akibat
adanya
pengeluaran ritual yang lebih besar dapat meningkatnya pendapatan pemasok bahan ritual, meningkatnya tambahan pendapatan pemasok dapat mengakibatkan meningkatnya pengeluaran konsumsi pemasok (ΔC1)
dan perubahan saving (ΔS1). Selanjutnya, pengeluaran ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih mengakibatkan meningkatnya pendapatan pemasok, meningkatnya pendapatan pemasok dapat mengakibatkan meningkatnya
pengeluaran
konsumsi
pemasok
dan
sisanya
diinvestasikan atau ditabung. 2.1.4 Harapan dan Persepsi Teori harapan (expectancy theory), Nelson mengatakan bahwa teori harapan pada dasarnya memiliki tiga karakteristik, yaitu: persepsi mengarah pada suatu kinerja; persepsi dihargai berupa gaji atau pujian; nilai diberikan berupa
51
imbalan. Harapan
variabel seperti tingkat harga, tingkat bunga, tingkat
pendapatan dan sebagainya. Harapan bisa memainkan peranan penting misalnya jika pendapatan aktual naik menyebabkan harapan pengeluaran konsumsi pendapatan naik pula (Setiawina, 2003). Perilaku yang diharapkan dalam pekerjaan akan meningkat jika seseorang merasakan adanya hubungan yang positif antara usaha-usaha yang dilakukannya dengan kinerja. Perilaku-perilaku tersebut selanjutnya meningkat jika ada hubungan positif antara kinerja yang baik dengan imbalan yang mereka terima, terutama imbalan yang bernilai bagi dirinya. Harapan-harapan memainkan peranan ganda yang sangat penting sebagai dasar analisis Keynes yaitu berubahnya harapan keuntungan investasi pada masa datang. Motivasi merupakan hasil dari seberapa besar seseorang menginginkan imbalan. Perkiraan bahwa upaya yang dilakukan akan menimbulkan prestasi yang diharapkan, perkiraan ketika berprestasi menghasilkan perolehan imbalan atau instrumentalis. Menurut Hall, kombinasi hipotesis pendapatan permanen
dan
ekspektasi rasional menunjukkan bahwa konsumsi mengikuti jalan acak. Artinya jika hipotesis pendapatan permanen benar dan konsumen mempunyai ekspektasi rasional maka perubahan pada konsumsi sepanjang waktu yang tidak dapat diprediksi, ini dikatakan mengikuti jalan acak (Mankiw, 2007). Terbentuknya persepsi dimulai dengan pengamatan yang melalui proses hubungan melihat, mendengar, menyentuh, merasakan, dan menerima sesuatu hal yang kemudian seseorang menyeleksi, mengorganisasi, dan menginterpretasikan
52
informasi yang diterimanya menjadi suatu gambaran yang berarti. Terjadinya pengamatan ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lampau dan sikap seseorang dari individu. Persepsi dapat berubah sesuai dengan perkembangan pengalaman, perubahan kebutuhan, dan sikap dari seseorang. Vincent mengatakan pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi persepsi seseorang karena manusia biasanya akan menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Keinginan dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam hal membuat keputusan Vincent (1997). Manusia cenderung menolak tawaran yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pada umumnya yang mempengaruhi persepsi, Rakhmat et al. (1999) faktor fungsional diantaranya kebutuhan, pengalaman, motivasi, perhatian, emosi dan suasana hati, faktor struktural diantaranya intensitas rangsangan, ukuran rangsangan, perubahan rangsangan dan pertentangan rangsangan, dan faktor kultural yaitu norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh individu. Cara pengukuran persepsi, pada dasarnya persepsi dapat diasosiasikan dengan pendapat, opini atau sikap (attitude). Mar’at (1982) menyatakan persepsi merupakan aspek kognitif dari sikap, maka untuk mengukur persepsi dapat digunakan instrumen pengungkapan sikap. Pendekatan untuk mengungkap sikap yaitu melalui wawancara langsung, observasi dan pernyataan sikap. Persepsi terhadap suatu objek ada tiga metode, yaitu skala Likert, metode Thurstone dan skala Guttman. Skala Likert menyajikan alternatif jawaban kepada responden dalam lima alternatif. Kendati demikian, dalam kenyataannya dapat dimodifikasi menjadi dua atau tiga pilihan. Masing-masing jawaban memiliki bobot nilai tertentu sesuai arah penyataan sikap atau persepsi. Sementara itu dalam bentuk
53
Thurstone, responden dituntut untuk memiliki dua atau tiga pernyataan pendiriannya terhadap butir-butir pernyataan persepsi yang telah disusun menurut intensitas dari yang paling kuat sampai yang paling rendah atau lemah (Sugiyono, 2010). Konsep ini memperkuat hasil penelitian Guritno et al. (2005) bahwa persepsi karyawan mengenai perilaku kepemimpinan, kepuasan kerja dan motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Begitu pula hasil penelitian Zin et al. (2004) mengatakan persepsi positif terhadap kualitas kerja dan komitmen organisasi. 2.2 Perkembangan Agama Hindu di Bali Pencetus pertama agama sebagai ilmu atau science, dalam suatu orasi ilmiah Max Muller di Royal London Institute pada bulan Februari 1870. Max Muller (1870) mendapat inspirasi bahwa agama harus dijelaskan tanpa bantuan wahyu supernatural. Artinya bersifat terbuka seperti aktivitas manusia dan secara teori dapat menjelaskan mengapa ada, apa tujuannya, dan bagaimana muncul (Pals, 2001). Kemudian pada pertengahan dasawarsa tahun 1800-an para ahli mulai memikirkan bahwa metode dan materi tentang agama siap untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan tanpa dasar dan asal mula agama dan sebaliknya merumuskan secara sistematis yang berdasarkan otoritas ilmu (science). Semenjak itu mulai diadakan penelusuran agama dari banyak segi, seperti arkeologi, sejarah, mitologi, etnologi, antropologi, ekonomi. Metodologi diperlukan guna memaknai hidup beragama suatu masyarakat merupakan hal penting, bukan saja karena fungsi agama penting bagi kehidupan agama sebagai sumber daya spiritual, juga karena alasan kognitif dan praktis yaitu pemahaman,
54
penjelasan, memprediksi gejala, dan pemecahan permasalahan sosial (Atmaja, 2002). Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) dalam Pals (2001) lebih tertarik mengkaji budaya non barat di Asia Tenggara khususnya di Indonesia (Jawa dan Bali). Untuk itulah, Geertz bersama istrinya Hildred mengadakan penelitian lapangan. Salah satu teori Geertz yang dijadikan landasan dalam penelitian ini adalah teori tentang agama. Religious artinya yang berhubungan dengan agama. Geertz mengatakan agama dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem simbol yang berperan; membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara; merumuskan konsepsi-konsepsi tatanan kehidupan yang umum; membungkus konsepsi-konsepsi dengan suatu faktualitas sehingga; suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik. Berdasarkan teori Geertz, bahwa agama adalah sebuah sistem budaya dengan segala macam simbolisme di dalamnya dan dapat membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, juga tahan lama. Elemen-elemen agama menurut Geertz adalah pandangan dunia dan etos terpadukan dalam ritual-ritual agama (Santosa, 2010). Menurut Triguna (2000) menyatakan simbol adalah merupakan pemahaman terhadap obyek. Tujuan dan isi dari simbolisme adalah untuk menyampaikan hakekat dalam bentuk mental kultural dan spiritualisme seperti misalnya: Arca, gambar, rupa, dan sikap adalah simbol. Bali sebagai pulau tempat berkembangnya Agama Hindu berdasarkan sejarah Hindu juga berkembangnya suatu tatanan sosial budaya baru dalam kehidupan beragama di Bali, yang semakin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas, perlu diimbangi
55
dengan peningkatan pengetahuan dan pemahaman agama
yang dilaksanakan
sesuai adat istiadat, budaya, dan Desa-Kala-Patra atau tempat–waktu–keadaan (Mantra, 1992). Pandangan Triguna dan Mantra didukung oleh teori Geertz yaitu terjalinnya tradisi keagamaan muslim, hindia dan animistic penduduk asli (abangan) melalui simbol, ide, ritual, adat istiadat, kebiasaannya, adanya pengaruh agama dalam setiap pojok dan celah kehidupan jawa (Pals, 2001). Perkembangan Agama Hindu di Bali dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi arkeologi dan sisi sejarah agama. Perbedaan kedua pendekatan ini pada skala waktu pengamatan obyek perkembangan agama serta pemeluknya. Kedua pengamatan ini diharapkan diperoleh gambaran terhadap perkembangan Agama Hindu di Bali. Sisi arkeologi banyak ditemukan pada penggalian di Desa Sembiran, Bali Utara yaitu terbukti bahwa Bali pada abad satu sesudah Masehi telah berhubungan dengan pedagang India. Jenis barang yang diperdagangkan ketika itu berupa tembikar dan tekstil (Ardika, 1997). Dari sisi sejarah masuknya masyarakat Hindu ke Bali dapat diartikan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok penganut kepercayaan (sekte) dan kasta. Sekte-sekte di Bali terutama abad sembilan dan sepuluh banyak sekte muncul di Bali. Secara garis besar semua sekte tersebut dikelompokkan ke dalam penganut Ciwa dan Budha (Goris, 1986). Jika diteliti lebih dalam, sekte-sekte yang berkembang di Bali dapat dikelompokkan menjadi sembilan yaitu sekte ciwasidhanta, sekte pacupata, sekte bhairawa, sekte wesnawa, sekte bodha atau sogata, sekte brahmana, sekte sri, sekte sora atau penyembah surya, dan sekte
56
ganapatya atau penyembah ganeca. Dari sembilan sekte ini yang terbanyak pengikutnya adalah sekte ciwa-sidhanta. Sebaliknya menurut Goris (1986) sekte yang ada di Bali hanya delapan sekte yaitu pasupatya, budha, bairawa, waisnawa, budha sogatha, Brahma, sora, dan ciwa sidhanta (Sudharta, 1993). Tidak terdapat indikasi adanya perbedaan tingkatan lebih rendah atau lebih tinggi di antara sekte-sekte ini. Sekte menunjukkan penekanan pada kepercayaan yang dipuja atau disembah seperti sekte ciwa-sidhanta pemuja dewa Ciwa, sekte bhairawa pemuja Durga (Dewa kematian), sekte wesnawa pemuja Dewa Wisnu dan Dewi Sri, sekte bodha atau sogata penganut Budha Mahayana yang tantris, sekte brahmana penganut tradisi (smrti), sekte Rsi kelompok masyarakat yang telah menyucikan diri agar dapat memimpin upacara, sekte sora pemuja Dewa Surya, sekte ganeca pemuja Dewa gana (Dewa pembasmi gangguan). Sebagian dari sekte-sekte ini sekarang banyak yang tidak diketahui keberadaannya. Kehidupan beragama di Bali terjadi perubahan, datangnya ahli agama dari Jawa Timur, di antaranya Mpu Kuturan melebur delapan atau sembilan sekte menjadi hanya tiga sekte atau aliran, yaitu Siwa, Budha dan waisnawa. Hal ini merupakan keputusan musyawarah diadakan di Samuhan Tiga Desa Bedulu dalam Sarad. Ketiga aliran inipun dinyatakan tidak ada yang mempunyai kedudukan di atas atau di bawah satu sama lain. Pendeta ketiga aliran masingmasing mempunyai fungsi sesuai dengan yang telah diputuskan oleh hasil musyawarah. Berdasarkan teori struktural fungsional dari Talcott Parsons. Teori ini mempunyai warna yang jelas tentang keragaman yang ada dalam kehidupan
57
sosial. Parsons mengembangkan teori ini dengan konsep AGIL yaitu Adaptation (mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan), Goal attainment (mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan), Intergration (mengatur hubungan di antara komponen-komponen secara maksimal) dan Latency pattern maintenance (pemeliharaan pola-pola yang sudah ada). Pada dasarnya perkembangan Agama Hindu cukup pesat, dimana umat Hindu semakin menyadari eksistensinya sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, dengan jalan selalu mendekatkan diri kepada-Nya melalui jalan bhakti yaitu melakukan ritual. Di balik semua itu persembahyangan serta ritual yang begitu semaraknya dan taatnya dilaksanakan oleh umat Hindu, telah terbukti dapat meningkatkan rasa kebersamaan, kesetaraan (gender), toleransi atau solidaritas sosial sesama umat manusia, dan dapat menciptakan kesempatan kerja sebagai penyedia bahan-bahan ritual, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir bathin. Pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali mempunyai nilai multiplier, kegiatan ritual setahun terdapat 108 rangkaian ritual kecil dan besar kendatipun bukan itu yang menjadi tujuannya (Purwita, 1992). 2.2.1 Stratifikasi Sosial Masyarakat Hindu Stratifikasi sosial merupakan salah satu konsep sosiologi yang dikenal pada setiap struktur masyarakat, baik dalam struktur masyarakat tradisional maupun masyarakat yang sudah modern (Budiana, 2004). Stratifikasi sosial didefinisikan adanya dua kelompok atau lebih bertingkat (ranked group) dalam satu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya mempunyai kekuasaan, hakhak istimewa, dan prestise yang tidak sama pula (Sanderson, 2000).
58
Menurut Sanderson munculnya stratifikasi sosial ini karena adanya latar belakang masyarakat yang mempunyai perbedaan derajat dalam pengaruh sosial antar kelompok dalam suatu masyarakat tertentu bukan individu. Ketidaksamaan terjadi dalam masyarakat tanpa membedakan kekayaan kelompok. Namun, ketidaksamaan sosial mengimplikasikan ketidaksamaan antar individu, bukan antar suatu kelompok yang berlainan. Ketergantungan pada keanggotaan akan mempengaruhi tingkat stratifikasi seperti tingkat kekuasaan, hak istimewa prestise individu. Mendefinisikan stratifikasi dalam masyarakat pertama kali muncul pada tipe masyarakat hortikultural intensif, pemburu dan tipe masyarakat sederhana. Umumnya masyarakat terbagi dalam tiga strata sosial, yaitu pengusaha, subpengusaha dan massa.
Pada masyarakat agraris kaum petani merupakan
bagian terbesar dari populasi dan kelas tereksploitasi, kelas pengusaha dan pemerintah memiliki kekayaan dan kekuasaan, dan kelas budak, pengolah tanah, dan pelayan. Stratifikasi masyarakat Hindu di Bali sekarang berasal dari ajaran Catur Warna bersumber pada wahyu Tuhan yang terhimpun dalam kitab suci weda. Dalam penerapan terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem kasta di India dan sistem wangsa di Bali (Sukarsa, 2005). Dalam beberapa bidang seperti pemerintahan, politik, ekonomi, dan hukum makin tampak adanya kesetaraan. Namun, dalam bidang sosial budaya dan keagamaan seperti pergaulan sehari-hari sangat tampak adanya penggunaan sistem yang salah dipakai oleh umat Hindu, yaitu bidang keagamaan dan adat istiadat pengkotakan atau membeda-bedakan golongan menurut Titib (2007), hal ini menjadi sumber konflik yang tidak putus-
59
putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia (khususnya di Bali). Sistem kasta, menurut Arimbawa (Bali Post, 2004) di Bali dikenal dengan nama Catur Wangsa merupakan produk budaya. Klasifikasi kasta menurut Korn (1932) dalam Sukarsa (2005), meliputi Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra. Begitu pula dengan hasil studi Suacana (2005) dampak negatif globalisasi terhadap Agama Hindu dan Budaya Bali antara lain di bidang moralitas dan solidaritas cenderung bermanifes menjadi potensi konflik seperti misalnya konflik antaretnis khususnya etnis Bali dengan non-Bali, konflik antarkelas yang berlatar belakanng ekonomi, konflik antarkelompok/kasta, konflik antar Hindu tradisional dan Hindu modern, dan konflik antar Kabupaten/Kota (Titib, 2007). 2.2.2 Hubungan Agama dengan Ekonomi Keterkaitan dan keterhubungan agama dengan ekonomi, akan sangat tergantung pada aktivitas sosial yang dilakukan masyarakat, seperti yang dikemukakan Bourdieu (1977) konsep Social Capital, Max Weber (1930) buku terkenal The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, dan Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) dalam penelitian ini. Hubungan agama dengan ekonomi dilihat dari aktivitas agama dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya (Giddens, 1985; Guiso et al., 2002; Skousen, 2006; Barro et al, 2002, Field, 2011). Bourdieu (1977), konsep modal sosial (social capital) merupakan kasanah ilmu ekonomi yang dipakai karena teori ini memiliki beberapa ciri yang mampu menjelaskan hubungan kekuasaan terakumulasi melalui investasi, warisan, dan dapat memberikan keuntungan sesuai dengan kesempatan yang
60
dimiliki disebut sebagai modal (modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolisme). Hubungan agama dengan ekonomi (ekonomi spiritual), bahwa aktivitas sosial atau agama mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya (Coleman, 1992; Putnam, 1995; Field, 2011). Max Weber (1930), mengatakan perkembangan ekonomi dipengaruhi oleh agama. Pandangan Weber lebih menekankan peran agama (spiritual) yaitu nilai-nilai, norma-norma ketimbang aspek material sehingga aktivitas agama mampu menciptakan kondisi kondusif pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Perubahan sosial yang diakibatkan revolusi politik, industri, dan urbanisasi membawa perubahan religiusitas masyarakat dalam kaitan antara agama dan ekonomi. Weber mengatakan aktivitas agama mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan aktivitas lain. (Barro et al., 2002; Uppal, 1986; Knack, 2001; Skousen, 2006; Blum et al., 2001; Guiso et al., 2002). Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) artinya yang berhubungan dengan agama, bahwa agama adalah sebuah sistem budaya dengan segala macam makna simbolisme didalamnya, dan dapat membangun motivasi yang kuat dan tahan lama serta hubungan struktur masyarakat. Dalam interprestasi budaya dan agama, aktivitas agama berimplikasi terhadap ekonomi dan non ekonomi. Hal ini sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) bahwa upacara-upacara ritual dan ibadah berfungsi meningkatkan solidaritas sosial masyarakat serta memperkokoh kehidupan beragama (Pals, 2001). Karl Marx (1818-1883) menyatakan bahwa Agama telah menjadi bagian integral dari kebudayaan manusia selama beribu-ribu tahun, tetapi baru dalam dua
61
abad terakhir agama dapat dijelaskan melalui analisis kritis dan ilmiah. Kapan agama mulai muncul, apa motifnya, apa rasional irasional, apa agama mampu memenuhi kebutuhan individu atau kebutuhan sosial, agama begitu universal dan kuat pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Pemikir-pemikir terkemuka di abad modern, dari Karl Marx yang lebih banyak mengkritisi kapitalisme daripada mengembangkan sosialisme. Dalam hubungan agama dan ekonomi, apapun yang dinilai tentang reduksionisme Marx, satu hal yang tak dapat diperdebatkan keterkaitan kehidupan agama dan realitas sosial dan ekonomi (Skousen, 2006). Konsep gotong royong (ngayah), didasari atas semangat spiritual akan keyakinan dan kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi, sehingga mereka meninggalkan aktivitas kesehariannya. Ritual dapat mendekatkan dinamika umat dalam hubungan sosial yang semakin produktif, dinamis dan terciptanya kondisi sosial yang kondusif untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran, wacana dan perilaku sosial yang memberi rasa aman, damai, dan kebersamaan. Di tengah persaingan global, fenomena pergulatan penerapan teori ekonomi sebagai satu pemecahan tarik menarik antara satu aliran dengan aliran lain. Mulai abad pertengahan ketika prinsip-prinsip etika yang mewarnai ilmu ekonomi mulai ditinggalkan, nilai ekonomi yang sekuler mendapat tempat dihati masyarakat dan sangat populer (Spiegel, 1996). Sukarsa (2009), seperti siang berganti malam, The Moral Sentiment-nya Adam Smith (1759) memberi semangat spritual yang tinggi pada ilmu ekonomi. Pesan tersebut seperti: selflove, moralitas, justice, equality, equity, humanity, religious values, social welfare, public needs, public interests, solidarity. Hal ini
62
memiliki makna sebagai modal sosial untuk memberi semangat spiritual di dalam ilmu ekonomi. Sistem ekonomi yang diwarisi sekarang sangat kental peninggalan pemikir klasik dan neoklasik. Semua aliran dalam sistem ekonomi diatas hanya menekankan pada ekonomi material yaitu menerapkan prinsip perilaku produsen dalam ilmu ekonomi liberal, bahwa tujuan produksi adalah untuk memaksimalkan profit (profit maximizing). Dalam teori ekonomi, profit maximizing secara sederhana dilakukan melalui dua cara, yaitu mengurangi biaya (cost reducing) di satu sisi dan menaikkan pendapatan (revenue increasing). Banyak hal yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang agraris-religius. Kegagalan dari konsep ekonomi material seperti pasar yang dibentuk berdasarkan permintaan dan penawaran yang diatur oleh kekuatan daya beli; homoeconomicus yaitu manusia dalam tindakannya adalah rasional artinya jika memperoleh keuntungan dibuat maksimal dan ketika rugi diusahakan rugi sekecil-kecilnya; efisiensi dalam persaingan bebas ketika tidak efisien akan bangkrut lalu keluar pasar atau free exit and free entry (Sukarsa (2010). Sebagian besar umat Hindu meyakini bahwa ritual agama memberikan manfaat, baik secara nyata maupun tidak nyata seperti pelestarian nilai budaya, peningkatan kesadaran beragama, dan memberikan implikasi pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat Bali umumnya dan umat Hindu khususnya. Secara teoritis nilai-nilai agama yang diyakini akan mewarnai keputusan apapun dalam kehidupan termasuk perilaku ekonominya. Dalam kehidupan masyarakat, agama (religius) dengan ekonomi memiliki hubungan saling berkaitan (integral) dari
63
beberapa pendapat keduanya saling mempengaruhi disebut ekonomi spiritual (Hindu). Sukarsa (2009) mengatakan tujuan hidup secara ekonomi adalah memaksimumkan kepuasan, keuntungan dengan sarana faktor alam, modal, tenaga kerja dan keahlian atau skill. Tujuan hidup menurut Agama Hindu yaitu mencapai moksha melalui Dharma, Artha dan Kama. Konsep ini mendukung hasil penelitian Wijaya, 2012. 2.2.3 Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih Pelaksanaan Ritual merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan daripada upakara di dalam salah satu yadnya (Mas, 2001; Surayin, 2002). Selain itu, upacara juga berarti perlakuan, pelayanan atau pengamatan (Pals, 2001). Kitab Bhagavadgita IX.27, yaitu: ”apapun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau makan, yang engkau persembahkan dan engkau amalkan, tanpa apapun yang engkau laksanakan, wahai putra Kunti (Arjuna) lakukan itu sebagai persembahan kepada-Ku”. Ritual dilakukan untuk
membangun
semangat
umat
senantiasa
mendekatkan diri antara sesama diwujudkan dengan saling hormat menghormati dan yang paling utama adalah mendekatkan diri kepada Tuhan (Wiana, 2004). Melaksanakan ritual adalah tindakan agama yang berupa tindakan simbolis sebagai perwujudan dari makna religius dan cara mengungkapkan sikap-sikap religius seperti keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan dalam diri mengakibatkan perubahan ontologis pada manusia dan mentranformasikannya kepada situasi yang baru (Pals, 2001). Makna ritual merupakan aktivitas bhakti dengan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (Wijayananda, 2005). Upacara merupakan ritual
64
yang berdemensi sosial religius, juga sarat dengan makna sosial-budaya. Karena secara tidak langsung menjadi ajang pertemuan warga masyarakat Desa Adat dari berbagai status sosial, budaya dan ekonomi datang bersama-sama ikut berperan atas kelangsungan ritual dan menghaturkan sembah bhakti berupa sarana banten kehadapan Sang Hyang Widhi. Yadnya merupakan pengorbanan suci yang tulus iklas dan tanpa pabrih (srada bakthi dan lascarya), melaksanakan yadnya adalah suatu kewajiban. Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, menyebutkan ”Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmana”. Artinya, siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima (Pradnya, 2010). Untuk itu, beragama Hindu sangat sederhana cukup dengan daun, bunga, buah dan air saja sudah diterima oleh Tuhan, terlebih lagi dengan hati yang tulus iklas. Agama Hindu berorientasi pada kultur Bali kemudian memberi argument bahwa Hindu adalah agama yang universal dan fleksibel sehingga Hindu tetap Ajeg dan terus berkembang tanpa meninggalkan makna kehinduan. Sradha bhakti merupakan salah satu aspek keimanan yang perlu ditanamkan kepada generasi muda hindu, dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini perlu dilakukan agar kehidupan yang damai dan harmonis dapat dicapai, sesuai dengan tujuan Agama Hindu yaitu Mokshartam Jagadhita Ia Ca Iti Dharma. Artinya untuk mencapai kebahagiaan lahir bathin baik di dunia maupun di akhirat atau sekala niskala (Titib, 2001; Wiana, 2004).
65
Triguna (1994) menyatakan bahwa ritual dapat dipandang secara horizontal (stages along the life circles), jika upacara dilakukan ditempat kecil maupun besar seperti di panti, dadia, merajan, sekehe, subak, banjar, desa. Di pihak lain jika ritual dipandang secara vertikal selalu dikaitkan dengan ritual alam bawah (bhuta), alam tengah (manusia), dan alam atas (dewa). Proses ritual bisa dilakukan melalui salah satu jalan yaitu yadnya atau korban. Korban itu ditujukan kepada, Tuhan, orang suci, manusia, binatang, dan alam (Drucker, 1996). Pelaksanaan ritual Panca Yadnya berarti lima pengorbanan suci yang tulus iklas, menurut Suhardana (2010), yaitu meliputi: Dewa Yadnya adalah korban suci yang tulus iklas yang dipersembahkan kehadapan Tuhan Yanga Maha Esa dan segala Dewa perwujudannya; Rsi Yadnya adalah korban suci kepada para rsi atau orang suci menurunkan ajaran-ajaran agama kepada umatnya sehingga rukun, aman, tenteram, dan damai lahir bathin; Pitra Yadnya adalah korban suci secara tulus iklas kepada orang tua (ibu dan bapak) serta para leluhur; Manusia Yadnya merupakan korban suci yang tulus iklas demi untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia; dan Bhuta Yadnya adalah pengorbanan suci yang tulus iklas kepada para Bhuta dan Kala atau untuk semua mahluk hidup (Mas Putra, 1988; Surayin, 2002). Yadnya sesungguhnya bukanlah kegiatan sebatas upacara upakara saja. Upacara dan upakara hanyalah merupakan bagian dari yadnya itu sendiri, sedangkan kerja dan ketulus-iklasan yang melandasi upacara dan upakara itu sebagai wujud persembahan kepada Tuhan itulah yang sesungguhnya merupakan yadnya. Beryadnya tentulah memiliki tujuan yang pasti, yakni dalam rangka
66
menuju kelepasan. Menurut Wijayananda (2004), dalam Manawa Dharmasastra VI.35, disebutkan bahwa pikiran baru dapat ditujukan kepada kelepasan setelah tiga hutang (Tri Rna) terbayar. Begitu pula dalam Kitab Suci Bhagavadgita III.10.12.13 disebutkan Rna (hutang) itu ada karena Tuhan telah melakukan Yadnya. Sabda Agung itu berbunyi: ”saha-yajnah prajah srstva purovaca prajapatih, anena prasavisyadhvam esa vo’stv ista-kama-dhuk”. Artinya pada zaman dahulu kala prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: Dengan ini engkau akan berkembang biak dan akan menjadi kamandhuk dari keinginanmu (Bhagavadgita III.10). ”istan bhogan hi vo deva dasyante yajna-bhavitah, tair dattan apradayaibhyo yo bhunkte stena eva sah”. Artinya sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa-dewa karena yadnyamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri (Bhagavadgita III.12). ”yadnya-sistasinah santo mucyante sarva-kilbisaih, bunjate te tv agham papa ye pacanty atma –karanat”. Artinya ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang hanya memasak makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya mereka itu memakan dosanya sendiri (Bhagavadgita III.13). Seloka 13 di atas menyatakan bahwa yadnya berupa persembahan makanan setiap hari perlu dilakukan. Menyantap makanan sisa dari yang telah disajikan itu dianggap bebas dari dosa dan kesalahan (Pudja, 1999). Untuk membayar ketiga jenis hutang tersebut kemudian melaksanakan Panca Yadnya dengan tujuan membayar hutang (Tri Rna) kepada tiga komponen tersebut. Pemahaman agama seseorang, misalnya penguasaan tentang filosofi agama akan mempengaruhi besar kecilnya penyelenggaraan upacara ritual agama. Wikarman (1999) mengatakan pelaksanaan ritual yaitu: tingkat nista, yang tergolong kecil, tingkat madya yang tergolong menengah dan tingkat utama yang tergolong besar. Masing-masing tingkat terdiri dari tiga, yaitu tingkat nista
67
(nistaning nista, madyaning nista, utamaning nista); tingkat madya (nistaning madya, madyaning madya, utamaning madya), tingkat utama (nistaning utama, madyaning utama, utmaning utama) (Surayin, 2002; Suhardana, 2008). Makna Mlaspas merupakan upacara pembersihan bangunan dengan memberikan unsur-unsur kekuatan secara spritual. Ngenteg Linggih pada bangunan suci (pelinggih) merupakan
pensthanaan beliau yang dipuja agar
secara abadi (enteg) pada tempat (linggih). Makna Ngenteg Linggih merupakan proses pembelajaran diri dalam perwujudan sikap, moral dan prilaku dalam menata kehidupan, menuju kualitas hidup yang lebih sempurna lahir bathin Wikarman (1999). Ritual Mlaspas bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewata atau Bhatara-Bhatari berkenan melinggih di Pura. Ritual Ngenteg Linggih menurut Rigveda X.121.10 yaitu: ”Om Hyang Prajapati, Pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha kuasa mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita-cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada kami”. Artinya makna ritual menyucikan dan mensakralkan niyasa tempat memuja Hyang Widhi. Tujuan ritual Ngenteg Linggih adalah untuk menyucikan atau mensakralkannya sthanakan Hyang Widhi dan manifestasi-manifestasinya sehingga bangunan itu memenuhi syarat simbol (Titib, 2012). Berdasarkan tahapan-tahapan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih yang dilaksanakan, yaitu: Makna Ngenteg Linggih (tujuan dan harapan) berarti kokoh berpegang pada tata susila atau etika yang berlandaskan ajaran-ajaran Agama Hindu. Ngenteg Linggih dengan Bagia Pulakerti maknanya semoga dapat menumbuhkan atau mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan bersama dan semua mahluk hidup; Makna Ngingkup (kebersamaan dan kesetaraan) berarti mampu
68
mewujudkan satunya Trikaya Parisuda (pikiran, perkatan, perilaku); Makna Mangun Hayu (tujuan atau harapan) yaitu membangun, menumbuhkan, menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan keselamatan; Makna Ngremekin (pembelajaran diri) berarti menata kehidupan atau meningkatkan kualitas hidup; Makna Makebat Daun (meresapi) artinya ilmu pengetahuan yang pelajari dapat bermanfaat; Makna Ngebekin (menghayati) artinya ilmu pengetahuan yang dimiliki
dibarengi
dengan
penghayatan
yang
benar;
Makna
Nyenduk
(pengamalan) berarti menjabarkan dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki dilandasi cinta kasih yang tulus demi kemajuan dan kesejahteraan bersama; Makna Nyegara Gunung (keseimbangan dan kebijakan) artinya hendaknya dalam diri lahir suatu kehidupan yang baru, sikap mental dan prilaku menuju kebajikan dilandasi kaidah-kaidah ajaran Agama Hindu (Wijayananda, 2005; Titib, 2012; Wiyana, 2012). Sejalan dengan hasil studi sumini, keyakinan dan kepercayaan untuk melaksanakan yadnya sebagai kewajiban untuk membayar hutang (Rna) yang mengandung nilai-nilai filosofi ajaran agama dan budaya. Makna yang terkandung dari Banten Sarad dalam upacara Ngenteg Linggih adalah makna religius, makna pendidikan etika, etos kerja adanya dorongan untuk bekerja dengan tekun untuk suksesnya upacara yadnya di Desa Bona, Kabupaten Gianyar sumini (2008). Mantra (1992), kebiasaan adat istiadat setempat juga mempengaruhi besar kecilnya ritual yang dilaksanakan masyarakat. Jadi ada unsur kebiasaan atau budaya masyarakat setempat yang lebih populer dikenal dengan istilah DesaKala-Patra (tempat–waktu–keadaan). Desa bermakna sesuai dengan kebiasaan
69
atau budaya Desa Pakraman atau Desa Adat tertentu. Kala adalah waktu artinya kapan upacara itu dilaksanakan harus sesuai dengan waktu yang tepat, ditinjau dari segi agama dan adat istiadat. Patra berarti upacara yang dilakukan layak secara sosial budaya dan agama. Pelaksanaan ritual merupakan persembahan sesuai dengan tattwa adalah hulu atau paling atas, susila adalah madya atau tengah, dan upacara merupakan hilir (Sudibya, 1997; Triguna, 1994; Kuiper, 1996). Dalam Kitab Suci Bhagawadgita, IV. 28 dikatakan: ’dravya-yajnas tapo-yajna yoga-yajna tathapare, svadhyaya-jnana-yajnas ca yatayah samsita-vratah’. Artinya: ada yang beryadnya harta, beryadnya tapa, beryadnya yoga dan yang lain ada pula yang beryadnya dengan pengekangan diri, svadhaya dan yadnya dalam ilmu pengetahuan, demikianlah orang yang taat dalam tapanya dan terkendali (Pudja, 1999). Yadnya harta (kekayaan) merupakan salah satu persembahan untuk berhubungan dengan Tuhan di samping tapa, yoga, swadyaya (pengekangan diri) dan yadnya ilmu pengetahuan (jnana). Yadnya harta terlihat persembahan masyarakat berupa persembahan sesajen dalam upacara-upacara di Bali. Konsep lain seperti yang ada dalam Regveda X, 90 mengatakan bahwa yadnya yang berbentuk upacara atau persembahan para dewa akan memelihara manusia dan dengan yadnya pula manusia memelihara para dewa. Jadi dengan saling memelihara satu sama lain maka manusia akan mencapai kebahagiaan (Mantra, 1996; Sura 2000). Di samping itu, yadnya dilakukan manusia karena keyakinannya bahwa setiap manusia lahir ke dunia mempunyai tiga jenis utang (Tri-Rna), yaitu utang pada Dewa (Dewa-Rna), leluhur (Pitra-Rna), dan pendeta guru (Rsi-Rna). Ketiga utang manusia tersebut harus dibayar dengan yadnya. Jadi
70
dengan yadnya ini berarti manusia telah mengatakan rasa terima kasih kepada Tuhan atas kemurahan dan anugrah-Nya terhadap umat manusia. Melakukan yadnya dapat diartikan memohon kepada Tuhan agar manusia dijauhkan dari segala mara bahaya serta pengaruh-pengaruh jahat yang sering mengganggu ketentraman hidup manusia juga agar diberikan kebahagiaan secara universal. Tujuan hidup manusia untuk Dharma, Artha, Kama, Moksa (Sonvir, 2001). Pada dasarnya manusia berusaha mencapai keseimbangan antara sekala dan niskala. Sukerti (1989), mengatakan bahwa yadnya yang berarti mempersembahkan yang disimbolkan dalam bentuk ritual. Ritual memberi makna sosial religius apabila dilaksanakan dengan konsep yadnya yang sesuai dengan petunjuk sastra Agama Hindu (Drucker, 1996; Purwita, 1992; Pudja, 1999). Masyarakat Bali tidak akan lepas dari kegiatan sosial budaya, Bali yang penduduknya mayoritas beragama Hindu memiliki etos kerja yang berlandaskan pada ajaran Agama Hindu terlihat pada serangkaian kegiatan ritual masyarakat Hindu dalam melaksanakan pemujaan dengan jalan membuat sesajen sebagai bahan persembahan untuk tercipta keselarasan, keharmonisan, etika, dan estitika sesuai konsep Tri Hita Karana dan menunjukkan rasa bakti yang mendalam kepada yang disembah maka pengeluaran ritual berpengaruh terhadap kesejahteraan lahir bathin maka masyarakat Bali disebut sebagai masyarakat yang religius. Mirca Eliade dalam Dhavamony, (1995 )menyatakan ritual merupakan agama tindakan. Tindakan agama ini merupakan tindakan simbolis sebagai perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap
71
religius. Lebih jauh Eliade mengatakan pula, bahwa ritual mengakibatkan perubahan ontologis pada manusia dan mentranformasikannya kepada situasi keberadaan yang baru. Max Weber melihat fakta ini dalam ekonomi dan agama yang di kenal seluruh dunia (Schumacher, 1973). Selanjutnya dalam Islam dikatakan akal dan kalbu tadi merupakan dua unsur penting sebagai sumber insani dalam Allah menciptakan manusia di antara enam unsur yaitu cahaya Tuhan (nur lal-Ilahi/sirrullah=sinar Ida Sang Hyang Widhi Wasa), ruh (atman), kalbu nurani (pengrasa), otak (penglokika), nafsu (kama) dan rogo (raga) (Surozo, 1992; Zoetmulder, 2000; Dhavamony, 1995). 2.2.4 Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi Pelaksanaan Ritual Putnam (1933), modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma-norma dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat bertalian dengan akar budaya, etika dan moral yang diwujudnyatakan dalam perilaku saling bantu dan kerjasama (Fukuyama, 1995). Lebih lanjut Coleman (1990) berpendapat bahwa modal sosial adalah atribut struktur dimana kekerabatan umumnya dan keluarga khususnya merepresentasikan inti dari masyarakat. Menurut Coleman modal sosial melekat dalam struktur sosial dan memiliki karakteristik publik good dan memiliki kedudukan setara dengan financial capital, physical capital, dan human capital.Lebih jauh oleh Bank Dunia (1998) dinyatakan modal sosial adalah norma-norma dan hubungan sosial yang melekat dalam struktur sosial masyarakat dan memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan kegiatan serta mencapai tujuan yang diinginkan. Sejalan dengan hasil penelitian Narayan et al. (1999) menyatakan bahwa modal sosial
72
merupakan norma-norma, kepercayaan, dan jaringan kerja komunitas dan masyarakat secara bersama-sama mencapai tujuan bersama. Dalam penelitian ini, manfaat sosial pelaksanaan ritual bagi masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal adanya kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun, kewajiban membayar hutang Dewa Rna kepada Ida sang hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dan adanya pula interaksi sosial diantara pengempon pura dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama. Manfaat budaya menurut Bourdieu yang dinyatakan memiliki dimensi pengetahuan, cita rasa, kemampuan praktis dan membedakan hal yang baik dan buruk maka modal budaya akan sangat terikat dengan sejarah dan konstruksi sosial masyarakat di suatu wilayah. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1997) kebudayaan merupakan sistem religi dan kesenian, maka akan sangat sesuai dengan posisi budaya, agama, adat dan seni dalam masyarakat Hindu di Bali seperti yang dikemukakan oleh Geertz (1973). Dalam penelitian ini, manfaat budaya pelaksanaan ritual bagi masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal mampu memelihara tradisi gotong royong (ngayah, menyamabraya,
ngoopin,
metetulung,
salulung
sabayantaka,
parasparos
sarpanaya, adhiluhung). Manfaat ekonomi menurut konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977) dan Ritzer (2003) sesungguhnya aktivitas sosial yang dilakukan masyarakat memberi implikasi bagi penggunaan sumber-sumber ekonomi yang juga sebagai modal capital. Selanjutnya, hasil penelitian (Wijaya, 1991; Wijaya, 2012) telah terjadi perubahan-perubahan sosial budaya akibat pertumbuhan
73
ekonomi masyarakat yaitu perubahan sikap berusaha secara ekonomi. Dalam penelitian ini, manfaat ekonomi pelaksanaan ritual bagi masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal adanya perubahan sikap berusaha untuk penguatan struktur perekonomian masyarakat Abiansemal khususnya dan masyarakat Bali umumnya. Manajemen modern yang terjadi di sebuah organisasi adalah mencari keuntungan (profit) seperti sebuah perusahaan memiliki ciri organisasinya berstruktur secara formal dengan kaedah-kaedah yang jelas, kepemimpinan menggunakan power sebagai sebuah kekuasaan, tujuannya terukur seperti profit, efektif dan efisien. Sementara model manajemen tradisional berbeda ciri yang dimiliki, seperti dilaksanakan pada organisasi sosial, yang tidak semata mata profit oriented, namun lebih mementingkan kebersamaan, tidak formal, kaedahnya abstrak, pembagian tugas tidak tegas, sifat kepemimpinannya partisipatif. Kelebihannya adalah mengandalkan kebersamaan dan solidaritas dalam mencapai tujuan, tidak ada batasan tegas individu dan kelompok, hal ini dapat menjadikan modal yang tidak ternilai adanya. Dalam penelitian ini, manfaat sosial, budaya, dan ekonomi dalam manajemen ritual maka diperlukan cara atau sinergi antara manajemen tradisional dengan manajemen modern menjadi lebih tepat diterapkan dalam aktivitas yang sifatnya sosial yang melibatkan masyarakat masal seperti pelaksanaan ritual agama (Hindu) di Bali. 2.3 Kesempatan Kerja 2.3.1 Pengertian Kesempatan Kerja Kesempatan Kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan atau ketersediaan pekerjaan (lapangan kerja untuk diisi oleh para pencari kerja).
74
Rahardja (2008) permintaan tenaga kerja dalam teori ekonomi mikro, dapat diartikan sebagai kesempatan kerja. Jika upah tenaga kerja naik, perusahaan lebih selektif dalam menggunakan tenaga kerja, akibatnya kesempatan kerja berkurang dan sebaliknya jika upah tenaga kerja turun, akibatnya kesempatan kerja meningkat. Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan tenaga kerja. Secara umum kesempatan kerja adalah sebagai suatu keadaan yang mencerminkan jumlah dari total angkatan kerja yang dapat diserap dan ikut secara aktif dalam kegiatan perekonomian. Pekerja adalah penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja. Esmara (1986) kesempatan kerja merupakan jumlah penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan, artinya semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja. Kesempatan kerja merupakan tenaga kerja yang mampu diserap dan berpartisipasi dalam pembangunan. Kesempatan kerja yang memungkinkan orang bekerja secara terusmenerus sampai mereka pensiun disebut kesempatan kerja permanen dan kesempatan kerja temporer adalah bekerja dalam waktu yang relatif singkat (Sagir, 1994; Sukirno, 2007; Swasono et al., 1993). Kegiatan ekonomi di masyarakat membutuhkan beberapa faktor-fakor produksi, salah satunya adalah tenaga kerja. Kebutuhan akan tenaga kerja itu dapat juga disebut sebagai kesempatan kerja atau peluang kerja. Kesempatan kerja itu sendiri adalah suatu keadaan yang menggambarkan terjadinya lapangan usaha (pekerjaan) untuk diisi pencari kerja. Kesempatan kerja di Indonesia dijamin dalam UUD 1945 pada pasal 27 ayat 2 yang berbunyi: Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dari bunyi UUD 1945
75
pasal 27 ayat 2 bahwa pemerintah Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja bagi anggota masyarakat karena hal ini berhubungan dengan usaha masyarakat untuk mendapat penghasilan. Kesempatan kerja dapat diartikan dengan banyaknya orang yang dapat ditampung untuk bekerja pada suatu perusahan atau instansi dan sejumlah lapangan pekerjaan lainnya. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 104 tahun 1993 tentang Tugas Pokok dari Departemen Tenaga Kerja adalah menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran serta mengembangkan sumberdaya manusia dan meningkatkan kesadaran akan produktivitas, efektivitas, efisiensi dan kewirausahaan serta etos kerja yang produktif.
Pada dasarnya pembangunan
daerah pada bidang ekonomi dititikberatkan untuk mengurangi tingkat kemiskinan,
meningkatkan
penyediaan
lapangan
kerja,
memperbaiki
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan mengurangi ketimpangan antar daerah. Yang paling utama bagi daerah adalah penciptaan lapangan kerja (Syaukani et al., 2002). Keberhasilan sebuah pemerintahan salah satunya dilihat dari seberapa jauh pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan meningkat (Sulistyaningsih, 1997). Pertumbuhan ekonomi daerah sangat dipengaruhi oleh kuantitas maupun kualitas sumberdaya yang dimilikinya, baik sumberdaya fisik (kekayaan alam) maupun sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia tidak hanya jumlah pendudukdan tingkat pendidikannya, namun juga pandangan hidup mereka,
76
tingkat kebudayaan, sikap atau penilaian mereka terhadap pekerjaan dan besar kecilnya keinginan untuk memperbaiki diri secara kreatif dan otonom (Todaro, 2006). Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai faktor yang positif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti menambah jumlah tenaga produktif dan pertumbhan penduduk yang lebih besar berarti makin besar ukuran pasar domistiknya. Namun demikian, pertumbuhan penduduk baik positif maupun negative bagi pembangunan ekonomi tergantung pada kemampuan system perekonomian yang bersangkutan untuk menyerap dan secara produktif memanfaatkan tambahan tenaga kerja tersebut. Oleh karena itu, informasi mengenai kesempatan kerja secara sektoral sangat diperlukan dalam menyusun perencanaan pembangunan ekonomi daerah. Kegiatan atau sektor basis/ekspor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah (wilayah) yaitu kegiatan baik penghasil produk maupun jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah (Taringan, 2005). 2.3.2 Penyerapan Tenaga Kerja Penyerapan angkatan kerja menjadi salah satu indikator penting keberhasilan pembangunan baik tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota. Tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir bathin. Salah satu tujuan pembangunan adalah menciptakan kesempatan kerja sebanyakbanyaknya agar angkatan kerja dapat terserap dalam pembangunan untuk menekan angka pengangguran. Kesempatan kerja yang tersedia di Bali tidak cukup memadai untuk peningkatan produktivitas pekerja, hal itu berdasarkan hasil
77
analisis terhadap data jumlah penduduk yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu yang meningkat dalam kurun dua tahun terakhir Murjana (2012). Kesempatan kerja dimaknai sebagai lapangan pekerjaan atau kesempatan yang tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan ekonomi atau produksi. Dengan demikian pengertian kesempatan kerja nyata mencakup lapangan pekerjaan yang masih lowong. Kesempatan kerja nyata bisa juga dilihat dari jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia, yang tercermin dari jumlah penduduk usia kerja (15 tahun) ke atas yang bekerja. Kesempatan kerja merupakan partisipasi seseorang dalam pembangunan baik dalam arti memikul beban pembangunan maupun dalam menerima kembali hasil pembangunan. Angkatan kerja dalam berbagai pembangunan ekonomi berimplikasi luas terhadap aktivitas perekonomian secara keseluruhan. Semakin banyak angkatan kerja yang bekerja berpengaruh pada meningkatnya daya beli masyarakat kemudian mendorong perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan produksi dan melakukan ekspansi usaha baru sesuai kebutuhan masyarakat. Penambahan produksi dan penambahan usaha baru identik dengan perluasan kesempatan kerja (Esmara, 1986, Swasono et al., 1993). Pandangan Lewis (1954) teori pembangunan terutama pada transformasi struktural (structural transformation) suatu perekonomian subsisten. Model dua sektor pertama kali dikembangkan Lewis teori Kelebihan Pekerja, pembangunan di negara-negara dunia ketiga yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja, yaitu sektor tradisional yang subsisten dengan produktivitas tenaga kerja yang sangat rendah atau bahkan nol. Transformasi tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern karena pertumbuhan kesempatan kerja dengan tingkat upah di
78
kota lebih tinggi 30 persen dari tingkat pendapatan rata-rata. Jadi pengalihan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor industri merupakan inti dari teori Kelebihan Pekerja (Todaro, 2006 ; Subandi, 2011). Model Lewis pada kenyataannya mengandung beberapa kelemahan, yaitu: Pertama, transformasi tenaga kerja dan kesempatan kerja di sektor modern sebanding dengan tingkat akumulasi modal dan reinvestasi di sektor modern. Namun kenyataannya, menunjukkan bahwa sebagian besar reinvestasi justru dilakukan untuk mengembangkan industri dengan teknologi, sehingga penyerapan tenaga kerja sektor pertanian akan berjalan lamban. Kedua, terjadi kelebihan tenaga kerja di perdesaan sedangkan di perkotaan terjadi penyerapan faktor-faktor produksi secara optimal (full employment). Ketiga, pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor modern dapat menjamin kelangsungan upah riil, kenyataannya upah tenaga kerja sektor industri cenderung meningkat dari waktu ke waktu baik secara absolut maupun secara riil. Lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh John Fei Gustav Ranis untuk memperbaiki kelemahan model Lewis dengan penekanan pada masalah surplus tenaga kerja yang tidak terbatas. Teori ekonomi dualistik Fei-Ranis, mengkaitkan penyerapan pekerja di sektor industri dengan titik balik (turning point) dalam pembangunan ekonomi. Model Fei-Ranis membagi tahap perubahan transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri berdasarkan pada produktivitas marjinal tenaga kerja dengan tingkat upah dianggap konstan. Tenaga kerja diasumsikan melimpah sehingga tenaga kerja sektor pertanian yang
79
mempunyai produktivitas marjinal (Marginal Physical Productivity = MPP) mendekati atau sama dengan nol (Todaro, 2006). Berdasarkan konsep yang digunakan oleh International Labour Organization (ILO) sebagai Organisasi Buruh Internasional, penduduk usia kerja 15 tahun keatas juga menurut BPS. Tenaga kerja sebagai angkatan kerja (economically active) adalah penduduk yang bekerja dan menganggur, sedangkan tenaga kerja bukan angkatan kerja (non economically active) yaitu penduduk yang sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Di negara-negara yang sedang berkembang daya serap tenaga kerja tidak memadai, artinya pertambahan jumlah tenaga kerja yang mampu mendapatkan pekerjaan di sektor industri kecil, sedangkan
sisanya
dengan terpaksa akan
menerima pekerjaan dengan
produktivitas yang rendah, terutama di sektor pertanian dan jasa. Namun kenyataannya,
dewasa
ini dari
berbagai
hasil
survei
yang
dilakukan
memperlihatkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang, kesempatan kerja di bidang industri telah mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Bahkan dengan laju penyerapan yang sama dengan negara-negara maju karena pertumbuhan industri kecil yang cepat terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Keberadaan usaha berskala kecil dan menengah merupakan tumpuan sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, terbukti mampu memberikan sumbangan nyata
dalam
penyerapan
tenaga
kerja.
Dalam
ekonomi
kewilayahan,
keseimbangan umum perekonomian suatu daerah sebenarnya akan tercapai apabila penyerapan tenaga kerja sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia
80
dalam masyarakat (labor demand=labor supply). Berdasarkan IPM pembangunan tenaga kerja memiliki dua makna, yaitu makna subyek pembangunan tenaga kerja artinya tenaga kerja sebagai pelaku dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi (input faktor produksi) dan makna obyek pembangunan tenaga kerja artinya tenaga kerja sebagai unsur yang diprioritaskan untuk peningkatan kualitas hidup (quality of life) yang mencakup peningkatan pendapatan, kesehatan dan pendidikan (Todaro, 2006; BPS, 2011). Tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menyediakan kesempatan kerja (employment rate). Tingkat kesempatan kerja merupakan suatu ukuran yang menunjukkan proporsi orang yang bekerja dalam angkatan kerja. Programprogram pembangunan bidang ketenagakerjaan diarahkan: (1) Perluasan dan pengembangan kesempatan kerja seperti program mengurangi pengangguran dan bekerja sesuai jam kerja normal (minimal 35 jam seminggu), sasarannya adalah memperluas kesempatan kerja dalam berbagai bidang usaha dan menciptakan tenaga kerja mandiri melalui pengembangan kewirausahaan dan informasi pasar kerja. (2) Peningkatan kualitas dan produtivitas tenaga kerja. (3) Perlindungan dan pengembangan lembaga tenaga kerja (Subandi, 2011; BPS, 2011). Kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang menunjukkan tersedianya lapangan pekerjaan sehingga semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja dalam proses produksi sesuai dengan keahlian dan keterampilan. Kesempatan kerja (emplyoment) adalah suatu keadaan yang menggambarkan ketersediaan lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari kerja. Dengan
81
demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas tenaga kerja (RPJMN Bali, 2004-2009). Lapangan kerja di sektor basis adalah fungsi permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan internal/permintaan lokal). Kegiatan non basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan lokal sehingga permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat. Banyak variabel untuk menentukan sektor basis atau bukan, diantaranya pendapatan, output total, nilai tambah, lapangan kerja atau kesempatan kerja dan sebagainya. Soepono (1993) di Provinsi Yogyakarta yaitu kesempatan kerja nyata lebih disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional dan komponen bauran industri. Masih menggunakan variabel kesempatan kerja, hasil studi Soepono (2001) di Kabupaten Badung, hasilnya semakin besarnya kesempatan kerja total yang ditimbulkan oleh perubahan (kenaikan) pada pertumbuhan sektor basis. Penentuan kesempatan kerja juga dilakukan oleh Zam (2003) di Kota Pekanbaru, Riau hasilnya kesempatan kerja dipengaruhi oleh rasio pertumbuhan ekonomi. Udjianto (2007), kesempatan kerja total yang dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor basis dan non basis di wilayah Provinsi Yogyakarta. Mendukung hasil studi Soepono, Zam dan Udjianto, hasil studi Purwanti (2009) kesempatan kerja di Kabupaten Bangli dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan kesempatan kerja di Provinsi Bali dan keunggulan kompetitif. Sedangkan komponen bauran industri mempengaruhi secara negatif yang berarti komponen ini menyebabkan laju kesempatan kerja mengalami penurunan. Dalam penelitian ini, kesempatan kerja mengacu pada konsep BPS menunjukkan tingkat
kesempatan kerja merupakan suatu ukuran yang
82
menunjukkan proporsi orang yang bekerja dalam angkatan kerja meliputi lapangan usaha atau perluasan dan pengembangan kesempatan kerja, kualitas kesempatan kerja, kuantitas kesempatan kerja, dan sifat kesempatan kerja (BPS, 2011). 2.4. Kesejahteraan 2.4.1 Pengertian Kesejahteraan Keberhasilan pembangunan suatu negara ditunjukkan oleh meningkatnya kesejahteraan masyarakat (welfare society). Secara makro kesejahteraan rumah tangga dapat didekati dengan hukum Engel, menyatakan pengeluaran makanan terhadap pengeluaran rumah tangga akan semakin berkurang dengan pendapatan yang meningkat. Nicholson (2002), dalam kondisi harga barang dan selera masyarakat tetap maka peningkatan pendapatan menunjukkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Lebih lanjut bentuk kepuasan obyektif dan kebahagiaan subyektif maka peningkatan kualitas hidup manusia menunjukkan peningkatan kesejahteraan (Bronsteen et al., 2009). Hidup sejahtera merupakan keinginan setiap orang, suatu kondisi dimana orang dalam keadaan makmur, sehat, aman sentosa dan harmonis. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 menyebutkan bahwa keadaan sejahtera adalah terpenuhinya kehidupan dan penghidupan sosial baik material maupun spiritual seperti rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir bathin. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Keluarga sejahtera tidak hanya tercukupi kebutuhan material tetapi juga harus didasarkan pada perkawinan
83
yang sah, tercukupi kebutuhan spiritual, memiliki hubungan yang harmonis antar anggota keluarga dan antar masyarakat sekitar lingkungan. Pandangan Spicker, Midgley, Tracy dan Livermore, Thompson yang dipergunakan Suharto (2006) bahwa kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar kepada pemerintah untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Kesejahteraan sosial mengandung empat makna, yaitu: (1) Kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan nonmaterial. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi. (2) Pelayanan sosial dalam bentuk jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal. (3) Tunjangan sosial khusus diberikan kepada orang miskin, cacat, pengangguran, kemalasan dan ketergantungan. (4 Proses yang dilakukan oleh perorangan,
lembaga-lembaga
sosial,
masyarakat
maupun
badan-badan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (makna pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (makna kedua) dan tunjangan sosial (makna ketiga). Stiglitz et al. (2011), menyatakan kesejahteraan memiliki rumusan yang multidimensi,
dimensi-dimensi tersebut
meliputi stándar
hidup material
(pendapatan, konsumsi dan kekayaan), kesehatan, pendidikan, aktivitas individu termasuk bekerja, suara politik dan tata pemerintahan, hubungan dan kekerabatan sosial, lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan), ketidakamanan baik
84
yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat dan mengukurnya diperlukan data obyektif dan subyektif. Nordhaus et al., Beckerman, Gilbert et al., Colin Clark, dan Bennet juga dipergunakan dalam Arsyad (2010) bahwa indikator kesejahteraan masyarakat yaitu tingkat pendapatan nasional, konsep NEW (Net Economic Welfare) tingkat penyesuaian pendapatan masyarakat dengan tingkat harga di setiap negara dan tingkat kesejahteraan setiap negara berdasarkan pada data yang tidak bersifat moneter (non-monetary indicators) yaitu pendidikan dan kesehatan. Amartya Sen, dalam Inequality Reexamined (1992), pemenang Nobel Ekonomi 1998, menegaskan kunci utama dalam pencapaian derajat kesejahteraan ditentukan oleh ketersediaan akses dan aspek kebebasan. Misalnya, askes terhadap kebutuhan pokok seperti makanan, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan. Lebih lanjut Sen menyebutkan bahwa kapabilitas seseorang harus merefleksikan kemampuannya melakukan aktivitas hidup. Melek huruf, misalnya, memungkinkan orang untuk membaca. Temuan Sen, tidak ada jaminan bahwa masalah kurang pangan otomatis terhindari walau makanan berlimpah. Sebab, masalah kelaparan terkait dengan soal apakah harganya terjangkau atau barang terkait bisa diperoleh karena distribusinya yang baik. Dalam kasus beras misalnya, walaupun pemerintah menyatakan bahwa pasokan beras berlebihan, banyak warga masyarakat masih mengeluh tentang mahalnya harga beras. Di sinilah pentingnya masalah aksesibilitas. Sen menunjukkan, dalam kasus India, kurang pangan terjadi justru ketika jumlah produksi pangan per kapita meningkat, seperti halnya yang
85
terjadi di Cina. Dengan demikian, persoalannya bukanlah pada jumlah produksi pangan per kapita, tetapi lebih pada soal akses terhadap makanan itu sendiri. Teori neo-liberal berakar pada karya klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith (1776) The Wealth of Nation, dan Frederick Hayek (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas laissez faire yang disebutkan sebagai ide yang mengunggulkan mekanisme pasar bebas. Teori yang berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran dan manajemen ekonomi. Sistem negara kesejahteraan yang menekankan pentingnya manjemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi manajemen-permintaan (demand-management economics). Konsep kesejahteraan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bahwa keluarga dapat dikatakan sejahtera: keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan pokok sandang, pangan, perumahan, sosial dan agama; keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarga; keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan agama keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk disamping terpenuhi
kebutuhan
pokoknya.
Sri-Edi
Swasono
(2001)
peningkatan
kesejahteraan sosial berdasarkan pasal 33 UUD 1945 merupakan keberhasilan
86
pembangunan bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal dalam Eriyatno (2011). Kesejahteraan Masyarakat salah satu adalah tercapainya tingkat pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah). Kualitas sumber daya manusia diukur menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara konseptual IPM meliputi angka harapan hidup, angka melek hurup dan rata-rata lama sekolah dan standar hidup layak atau pendapatan. Kesejahteraan ekonomi masyarakat meningkat jika dalam periode yang sama pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penduduknya. Secara umum indikator kesejahteraan masyarakat yaitu pendapatan, pendidikan dan kesehatan (BPS Bali, 2011). Pandangan Pareto dalam Miller (2000), bahwa dalam pertukaran yang menguntungkan salah satu pihak tanpa merugikan pihak lain sudah merupakan peningkatan kesejahteraan. Pandangan Pareto berbeda dengan pandangan Matthew (1998) sebaliknya pertukaran yang tidak menguntungkan salah satu pihak bahkan ada yang rugi, akan mengakibatkan kemerosotan kesejahteraan sosial. Kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh besarnya pendapatan per kapita masyarakat tersebut. Pendapatan per kapita digunakan sebagai indikator pembangunan dan tingkat kemajuan ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakat antara negara maju dengan negara sedang berkembang (Arsyad, 2010). Mankiw (2007) bahwa kesejahteraan merupakan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia sesuai dengan standar kualitas hidup manusia seperti sandang,
87
kesehatan, rumah, pendidikan, pendapatan, manfaat sosial atau spiritual. Teori optimum solution dari Karim (2002) pengalihan kekayaan dari orang kaya kepada fakir miskin melalui Zakat, Infak, Shadaqah (ZIS) ternyata menggeser fungsi kesejahteraan sosial ke kanan artinya terjadi peningkatan kesejahteraan secara total baik bagi orang miskin maupun orang kaya yang dipergunakan Multifiah, (2011). 2.4.2 Kriteria Kesejahteraan Kesejahteraan penting untuk dipahami karena berhubungan dengan tujuan pemberdayaan ekonomi rakyat yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai
kriteria
ekonomi
kesejahteraan
berguna
dalam
mempertimbangkan suatu kebijakan, pihak mana menjadi lebih baik (better-off) dan mana yang menjadi lebih buruk (worse-off) atau dengan kata lain, siapa yang menerima keuntungan (gainers) dan siapa yang menderita (lossers). Kriteriakriteria kesejahteraan selanjutnya dijelaskan dengan mengutip dari berbagai sumber, seperti Miller dan Meiners (2000), Jehle dan Reny (2001), Rintuh dan Miar (2005), Pindyck dan Rubinfeld (2008) yaitu sebagai berikut. 6) Kriteria Pareto Optimal, para ekonom kurang menyukai perbandingan kepuasan antar pribadi. Untuk analisis kesejahteraan menggunakan konsep efisiensi ekonomi (Economic efficiency) yaitu efisiensi teknis (perbandingan output fisik dengan input fisik), dan efisiensi ekonomi (perbandingan nilai output terhadap input). Menurut Pareto Efficient, kesejahteraan sosial adalah situasi dapat menjadi lebih baik tanpa mengakibatkan orang lain menjadi lebih buruk.
88
Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat kriteria dipenuhi, yaitu: Pertama, rata-rata tingkat subtitusi marjinal dalam konsumsi harus sama untuk semua konsumen (tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik tanpa membuat konsumen yang lain buruk). Kedua, rata-rata tingkat transformasi marjinal di dalam produksi harus sama untuk semua produk. Ketiga, biaya sumber daya marjinal harus sama dengan produk pendapatan marjinal untuk semua proses produksi. Keempat, rata-rata subtitusi marjinal konsumsi harus sama dengan rata-rata transformasi marjinal dalam produksi. Mencapai suatu keadaan yang disebut Pareto-Optimal atau Preto-Efficient, harus dipenuhi tiga kondisi marjinal, yaitu efisien dalam pertukaran, efisien dalam pengalokasian faktor produksi, dan efisien dalam memproduksi barang-barang. Setiap persaingan ekonomi haruslah Pareto Efficient di mana alokasi sumber daya dapat dicapai melalui mekanisme persaingan pasar bebas dengan redistribusi awal yang memadai. Inilah yang kemudian menjadi pesan moral dari Neoliberalisme (Eriyatno, 2011). 7) Kriteria Cardinal, pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap utility. Berlaku hukum law of diminishing utility artinya masyarakat yang berpendapatan tinggi akan memperoleh marginal utility yang lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang berpendapatan rendah. Jadi untuk meningkatkan kesejahteraan pendapatan
diantara
masyarakat
anggota
harus dilakukan redistribusi
masyarakat.
Kesejahteraan
maksimum
masyarakat akan tercapai apabila distribusi pendapatan merata di antara
89
masyarakat, kriteria ini mengasumsikan bahwa marginal utility daripada uang adalah sama bagi setiap masyarakat. 8) Kriteri Bentham, bahwa perbaikan welfare akan terjadi apabila tersedia barang-barang dalam jumlah yang semakin banyak. Ini berarti welfare total adalah penjumlahan utility dari individu-individu dalam masyarakat. Menurut kriteria ini, bila terdapat perubahan positif welfare total berarti terdapat perbaikan kesejahteraan walaupun sebenarnya dalam perubahan itu terdapat anggota masyarakat yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Implikasi kriteria ini mengasumsikan adanya komparasi antar individual di antara masyarakat yang menikmati manfaat dengan masyarakat yang menderita kerugian (loss)
karena adanya perubahan
dalam
masyarakat
yang
bersangkutan. 9) Kriteria Kaldor-Hicks, perubahan merupakan perbaikan jika pelaku ekonomi (agen ekonomi) yang beruntung dari adanya perubahan dapat membayar ganti rugi kepada ekonomi yang menderita kerugian dan besarnya keuntungan yang diperoleh adalah lebih besar dari ganti rugi yang dibayarkan. 10) Kriteria Ganda Scitovsky, bahwa peran kebijakan ekonomi adalah mempertahankan pekerja (employment) dan stabilitas harga (price stability). 11) Kriteria Bergson fungsi kesejahteraan sosial (Social walfare function), Bergson mengungkapkan perubahan hanya dapat dilakukan jika masyarakat mempunyai fungsi kesejahteraan sosial. Tujuan fungsi kesejahteraan sosial merupakan pertimbangan nilai yang diperlukan untuk merevisi kondisi
90
kesejahteraan
ekonomi
maksimal,
fungsi
ini
bernilai
riil
dan
terdeferensialkan. 2.4.3 Pengukuran Kesejahteraan Pengukuran kesejahteraan dapat dilihat dari dimensi materi dan non materi. Kesejahteraan materi dapat diukur dengan pendekatan konsumsi. Mayer et al. (2003) mengungkapkan secara konseptual bahwa konsumsi lebih tepat digunakan untuk mengukur kesejahteraan dibandingkan dengan pendapatan, karena konsumsi merupakan pengukuran yang lebih langsung dari kesejahteraan. Kesejahteraan nonmateri seperti pendidikan dan kesehatan. Pengukuran status kesehatan dapat diukur seperti pengukuran kesehatan secara umum, penyakit secara medis, pengobatan yang dijalani, aktivitas fisik, hubungan sosial dan kesehatan psikologi, mental, emosional tentang sulit tidur, perasaan takut, gelisah dan tentang kebahagiaan (Easterlin, 2001). Semakin besar pengeluaran rumah tangga dapat mengindikasikan semakin sejahtera masyarakatnya, masyarakat cenderung memiliki pengeluaran non makanan lebih besar dari konsumsi makanan (Engel, 1957). Selanjutnya dari lembaga CIFOR (Center for International Forestry Research) Cahyat et al. (2007) melakukan pemantauan kesejahteraan dengan mengambil kasus di Kutai Barat, Kalimantan Timur mengemukakan bahwa kesejahteraan diukur dengan kriteria, yaitu kesejahteraan subyektif, kesejahteraan dasar (kesehatan, kekayaan, pengetahuan), dan lingkungan pendukungnya (lingkungan alam, ekonomi, sosial, politik, dan infrastruktur).
91
Menurut Stiglitz, et al. (2011), mengukur kesejahteraan yang harus diperhitungkan adalah standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan); tingkat kesehatan; tingkat pedidikan; aktivitas termasuk bekerja; hak politik dan keadilan serta kebebasan;
hubungan sosial; lingkungan hidup; dan
ketidakamanan baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Lebih lanjut Stiglitz, et al. (2011), mengatakan bahwa kesejahteraan subyektif mencakup berbagai aspek berbeda (atas hidupnya, kebahagiannya, kepuasannya, emosi positif ). Pengukuran kuantitatif atas aspek-aspek subyektif berpeluang menghasilkan bukan hanya ukuran kualitas hidup yang baik, melainkan juga pemahaman yang lebih baik atas determinan-determinannya jauh melampaui persoalan pendapatan masyarakat dan kondisi materialnya. Semua dimensi tersebut menunjukkan kualitas hidup manusia dan untuk mengukurnya diperlukan data obyektif sebagai indikator kesejahteraan seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selanjutnya, Grinols (1994) mengukur kesejahteraan bukan saja dari dimensi materi namun
juga
dilihat dari dimensi nonmateri yaitu kebutuhan ketentraman, kedamaian, hubungan kekeluargaan harmonis, berperilaku mulia, bertaqwa berdasarkan nilainilai spritual dan moral (Chapra, 2001). Secara umum indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, dan tingkat pendidikan sehingga mampu meningkatkan
IPM
masyarakat.
Hubungan
ketiga
dimensi
ini
saling
mempengaruhi yaitu dengan peningkatan pendapatan dapat meningkatkan tingkat pendidikan keluarga dan meningkatkan tingkat kesehatan keluarga. IPM telah
92
menjadi sebuah indikator yang diadopsi oleh negara-negara di dunia sebagai salah satu pencapaian pembangunan manusia (BPS Bali,2011). Berdasarkan berbagai kriteria untuk mengukur derajat kesejahteraan, maka dalam penelitian ini pengukuran terhadap kesejahteraan masyarakat digunakan indikator kesejahteraan berdasarkan indikator Badan Pusat Statistik dengan memodifikasi sebagaimana kriteria yang dikemukakan oleh Amartya Sen, Stiglitz, et al.
Walaupun sulit diberikan pengertian, namun kesejahteraan
memiliki beberapa kata kunci, yaitu terpenuhi kebutuhan dasar, sehat, damai dan selamat, beriman dan bertaqwa. Untuk mencapai kesejahteraan itu manusia melakukan berbagai macam usaha di bidang pertanian, perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan keagamaan. Manusia juga melakukan upaya-upaya secara individu serta berkelompok. Sebagaimana yang akan diteliti, bahwa pada dasarnya tujuan yang hendap dicapai dengan adanya pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa abiansemal, Kabupaten Badung adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja. Kesempatan kerja yang meningkat diharapkan dapat meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat lahir bathin. 2.5 Originalitas Penelitian Penelitian dengan tentang Kontribusi Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Mlaspas Dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Justifikasi penelitian ini cukup penting sebagai berikut.
93
12) Penelitian tentang pelaksanaan ritual belum banyak dilakukan di Indonesia, sedangkan di luar negeri penelitian consumption culture behavior banyak dilakukan namun spesifikasi kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat belum pernah dilakukan. 13) Secara teoritis penelitian tentang pengeluaran pelaksanaan ritual memiliki angka pengganda (multiplier effect) baik secara religius maupun secara sosial, budaya dan ekonomi, selanjutnya model penelitian ini, belum banyak dilakukan di Indonesia terutama di Bali sedangkan di luar negeri penelitian Estimating the Multiplier Effects of Tourism Expenditures cukup banyak. 14) Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian yakni pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif, sebagai penelitian populasi dengan studi kasus tentang kearifan lokal/local genius hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu. Penelitian ini. menggunakan analisis model SEM untuk menguji hipotesis penelitian ,juga merupakan ciri orisinalitas penelitian ini dan sekaligus membedakaan penelitian ini dibanding dengan penelitian terdahulu. 15) Intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu mendorong pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh perluasan kesempatan kerja yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan pendapatan masyarakat, walaupun sektor pariwisata tetap mendominasi kesempatan kerja lebih banyak ketimbang sektor lainnya di Bali. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dipergunakan sebagai rujukan penelitian sebelumnya, diantaranya.
94
16) Subyek penelitian adalah kesejahteraan masyarakat. Obyek penelitian adalah kepala keluarga yang melaksanakan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek Preteka Desa Abiansemal dan pemasok bahan-bahan ritual. 17) Bahan-bahan ritual yang dipergunakan sekitar 90,91 persen diperoleh disekitar Abiansemal dan sisanya 9,09 persen dari luar daerah seperti kain kasa, dan minyak goreng. 18) Pelaksanaan ritual ini memiliki angka pengganda (multiplier effect) melalui peningkatan output, pendapatan, kesempatan kerja, dan melalui percepetan pertumbuhan ekonomi. Di samping itu bahwa aktivitas Agama Hindu mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya. 19) Penelitian ini menggunakan tiga variabel laten yang terdiri atas satu variabel exogenous ( pelaksanaan ritual), satu variabel antara ( kesempatan kerja), dan satu variabel endogenous (kesejahteraan masyarakat). Pelaksanaan ritual direfleksikan dengan lima indikator yaitu labda karya, manggala karya, keharmonisan, tenaga kerja, dan bahan ritual. Kesempatan kerja direfleksikan dengan empat indikator yaitu lapangan usaha, kualitas kesempatan kerja, kuantitas kesempatan kerja, dan sifat kesempatan kerja. Kesejahteraan masyarakat direfleksikan dengan empat indikator, yaitu tingkat pendapatan, derajat pendidikan, derajat kesehatan, dan kondisi kehidupan sosial. 20) Penelitian ini menggunakan beberapa indikator yang berasal dari kearifan lokal/local genius atau local wisdom masyarakat umat Hindu di Bali yaitu labda karya dan manggala karya.
95
2.6 Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu 1) Hasil penelitian terkait dengan pengeluaran konsumsi yang pernah dilakukan Tabel 2.1 berikut hasil-hasil studi terdahulu menggunakan satu atau lebih variabel pengeluaran konsumsi dari sepuluh variabel yang dipetakan berikut. Friedman (1957), pengeluaran konsumsi tidak akan berubah pada pendapatan sementara (temporer) kalaupun terjadi perubahan pendapatan permanen. Pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan permanen rumah tangga. Engel (1957) di Malaysia Barat terhadap 200 keluarga pekerja menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, asset, jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, letak geografis, agama. Modligiani (1963), konsumsi seseorang dipengaruhi oleh pendapatan, kekayaan (tabungan), jenis pekerjaan. Duesenberry (1949), pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan dan kekayaan. Deacon dan Firebaugh (1981), pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan, jumlah anggota keluarga, umur, pendidikan. Sigit H. (1985), pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan, kekayaan, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan. Hermanto et al. (1986) di Jawa bahwa konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, umur, jenis kelamin,
pendidikan, domisili. Sutomo (1989) di Indonesia kenaikan
pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan baik secara persentase maupun secara absolud. Purwita (1992) di Bali menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang beragama Hindu dikeluarkan dalam bentuk pengeluaran konsumsi dan pengeluaran yadnya,
maka pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh
pendapatan, kekayaan, jumlah anggota keluarga, sosial. Yan Wang (1995) di
96
China menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan permanen, umur, pendidikan, jenis pekerjaan, pengalaman pekerjaan, domisili. Pemberton (1997), pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan dan kekayaan. Pudja (1999) di Bali menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang beragama Hindu dikeluarkan dalam bentuk pengeluaran konsumsi dan pengeluaran yadnya, maka pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan, kekayaan, jumlah anggota keluarga, umur, letak geografis, sosial. Malucio, et al. (1999) di Afrika Selatan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, umur, pendidikan, sosial. Syukur (2002) bahwa pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan, kekayan, umur, pendidikan, status sosial. Sukarsa (2005) menunjukkan bahwa besar kecilnya pengeluaran ritual di Bali secara signifikan dipengaruhi oleh pendapatan sementara (transitory) yang diperoleh keluarga, kekayaan, jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, letak geografis, sosial. Suriastini (2010) bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, umur, pendidikan, pekerjaan, domisili. Wijaya (2012 bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, umur, jenis kelamin, pekerjaan, domisili, sosial. Tabel 2.1 menunjukkan posisi penelitian yang terkait
dengan
pengeluaran konsumsi berdasarkan beberapa penelitian terdahulu. Hampir semua pengeluaran konsumsi mempunyai hubungan kausalitas dengan variabel lainnya.
97
Tabel 2.1 Posisi Penelitian Terdahulu yang Berhubungan dengan Pengeluaran Konsumsi Studi Konsumsi Peneliti Friedman Engel Desenberry Modigliani Deacon & Firebaugh Sigit H Hermanto et al. Sutomo Purwita Yan Wang Pemberton Pudja Malucio et al. Syukur Sukarsa Suriastini Wijaya
Tahun
1957 1957 1949 1963 1981 1985 1986 1989 1992 1995 1997 1999 1999 2002 2005 2010 2012
Pendpt
Keka yaan
1 x x x x x x x x x x x x x x x x x
2
Jumlah anggota klrg 3
x x x
Umur
Jenis klmn
Pdd kan
Domi sili
Peker jaan
4
5
6
8
7
x
x
x
x
x x x
Pajak Sosial
x
9
10 x
x
x x x
x x x
x
x
x
x
x x x x x x
x x x x
x x
x
x
x x
x
x x
x
x x
x
x x
x x x
x x x
x x x x x
Sumber: Sukarsa ( 2005: 67) Keterangan: tanda silang (X) menunjukkan posisi obyek studi yang dilakukan.
2) Penelitian terdahulu yang terkait dengan kesempatan kerja, yaitu: Syaukani et al. (2002), keberhasilan sebuah pemerintahan salah satunya dilihat dari seberapa jauh pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berpengaruh terhadap peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan
masyarakat
akan
meningkat.
Soepono
(1993)
bahwa
kesempatan kerja yang ada di Provinsi Yogyakarta dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi nasional dan bauran industri. Keunggulan kompetitif tidak memiliki peranan yang penting karenan selama periode penelitian (1980-1990)
kesempatan
kerja
justru
menunjukkan
ketidakunggulan
kompetitifnya. Soepono (2001) kesempatan kerja yang ada di Kabupaten Badung dipengaruhi oleh aktivitas pariwisata maka berbagai fasilitas pariwisata disediakan agar wisatawan merasa nyaman berada di Bali.
98
Purwanti (2009) melakukan penelitian analisis kesempatan kerja sektor di Kabupaten Bangli, hasil yang diperoleh bahwa kesempatan kerja di Kabupaten Bangli dipengaruhi oleh sektor pertanian secara positif dan keunggulan kompetitif di Provinsi Bali. Udjianto (2007) penelitian kesempatan kerja menggunakan variabel pendapatan untuk melihat sektor basis dan non basis dengan wilayah studi di Yogyakarta. Zam (2002) di Kota Pekanbaru Riau hasil yang diperoleh bahwa penentuan sektor basis dan non basis dapat menggunakan beberapa variabel makro mempengaruhi kesempatan kerja. Ferlini (2011) di Sumatera Barat bahwa strategi peningkatan kesempatan kerja yang perlu dilakukan adalah pengendalian jumlah penduduk dan angkatan kerja melalui peningkatan pendidikan baik kuantitas ataupun kualitas, kebijakan umum regional khususnya
sektoral
pengembangan
usaha.
dan
memberikan
Sulistyaningsih
kemudahan (1997),
investasi
keberhasilan
bagi sebuah
pemerintahan salah satunya dilihat dari seberapa jauh pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat
sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat
akan
meningkat. 3) Penelitian terdahulu mengenai kesejahteraan masyarakat yang
pernah
dilakukan yaitu: Bronsteen et al. (2009: 1641) mengatakan salah satu tanggungjawab utama pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau warganya. Kesejahteraan dalam bentuk kepuasan obyektif dan kebahagiaan subyektif untuk mengukur kualitas hidup manusia. Stiglitz,
99
et al. (2011), mengukur kesejahteraan yang harus diperhitungkan adalah standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan), tingkat kesehatan, tingkat pedidikan, aktivitas termasuk bekerja, hak politik dan keadilan serta kebebasan, hubungan sosial, lingkungan hidup, dan keidakamanan baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Grinols (1994) dan Chapra (2001) mengukur kesejahteraan bukan saja dari dimensi materi namun juga dilihat dari dimensi nonmateri yaitu kebutuhan ketentraman, kedamaian, hubungan kekeluargaan harmonis, berperilaku mulia, bertaqwa berdasarkan nilai-nilai spritual dan moral. Amartya Sen (1992), menegaskan kunci utama dalam pencapaian derajat kesejahteraan ditentukan oleh ketersediaan akses dan aspek kebebasan. Misalnya, askes terhadap kebutuhan pokok seperti makanan, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan. Kendrick dalam Simanjuntak (1985) bahwa derajat kesejahteraan ditentukan oleh produktivitas sumberdaya dimana produktivitas tersebut sangat tergantung kepada kondisi kesehatan, tingkat pendidikan dan besarnya modal. Semakin tinggi tingkat kesehatan, tingkat pendidikan dan besarnya modal, semakin produktif faktor produksi untuk meningkatkan produktivitas atau pendapatan (kesejahteraan) suatu perekonomian. Karena itu bagi rumah tangga miskin bantuan berupa modal usaha, beasiswa dan fasilitas kesehatan akan sangat menentukan perubahan ekonomi atau kesejahteraan. 4) Penelitian terdahulu mengenai angka pengganda (multiplier effect) yang pernah dilakukan, yaitu Horváth et al. (1999) di Washington DC bahwa pariwisata memiliki multiplier effect dalam ekonomi regional melalui peningkatan output, kesempatan kerja, pendapatan tenaga kerja, dan
100
meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Leontief (1985) untuk 80 negara di tingkat nasional, regional dan metropolitan mengatakan pariwisata memiliki multiplier effect terhadap peningkatan output, pendapatan dan kesempatan kerja. Syahza (2004) menunjukkan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Daerah Riau tahun 2003 memiliki multiplier effect sebesar 2,48 sehingga kesejahteraan petani kelapa sawit meningkat sebesar 1,74 persen. Wijaya (1991) bahwa pengeluaran pemerintah mempunyai multiplier effect dan mendorong kenaikan pendapatan dan produksi secara berganda sepanjang perekonomian belum mencapai tingkat kesempatan kerja penuh (full employment).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir pada penelitian ini dibangun berdasarkan latar belakang masalah, kajian teori, dan beberapa penelitian terdahulu. Landasan teoritis penelitian ini mengacu pada Teori Konsumsi Keynes (1936) sebagai Grand Theory. Konsep Max Weber (1930), konsep Bourdieu (1977), dan Teori Religiusitas Geertz (1973) sebagai Middle Range Ttheory serta beberapa teori sebagai Application Theory, seperti konsep Multiplier Effect, konsep Kesempatan Kerja, dan konsep Kesejahteraan Masyarakat. Teori Konsumsi Keynes (1936) sebagai teori utama (Grand Theory) dalam The General Theory menggambarkan bahwa análisis pengeluaran konsumsi selalu dihubungkan dengan pendapatan, artinya pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan naik. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan
pendapatan yang
dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan (Mankiw,2007; Gordon,2000; Samuelson, 2004). Menurut Keynes dalam Denburg (1976), pengeluaran konsumsi riil yang dilakukan oleh sektor rumah tangga ditentukan terutama oleh besarnya pendapatan riil keluarga tersebut. Sisa pendapatan keluarga yang tidak dikonsumsi merupakan tabungan atau investasi. Konsep ini memperkuat hasil penelitian (Engel, 1957 di Belgia; Sigit, 1985 di Indonesia; Hermanto et al., 1986 di Indonesia; Tridimas, 1988 di Yunani; Narayan et al.,1999 di Tanzania; Syukur, 101
102
2002 di Indonesia; Malucio et al.,1999 di Afrika Selatan; Yan Wang, 1995 di China; Hatzinikolaou, 1999 di Yunani; Pemberton, 1997; Suriastini, 2010; dan Sukarsa, 2005 di Bali; Wijaya, 2012 di Bali) pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan. Konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977). Pandangan Weber tentang buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism lebih menekankan peran agama (spiritual) yaitu nilai-nilai, norma-norma ketimbang aspek material sehingga aktivitas agama mampu menciptakan kondisi kondusif pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Selanjutnya, pandangan Bourdieu konsep social capital merupakan kasanah ilmu ekonomi yang dipakai karena konsep ini memiliki beberapa ciri yang mampu menjelaskan hubungan kekuasaan terakumulasi melalui investasi yang disebut sebagai modal (modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolisme). Berkaitan dengan hal ini, hubungan agama dan ekonomi (ekonomi spiritual) maka aktivitas agama mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya (Giddens, 1985). Teori Rilegiusitas Clifford Geertz (1973) bahwa agama menganalisis makna dalam simbol-simbol agama dan membangun motivasi yang kuat dan tahan lama serta hubungannya dengan struktur masyarakat (Pals, 2001). Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Goody, 1961; Guiso at al., 2009; Triguna, 2000; Sukarsa, 2005; Wijaya, 2012; Sumini, 2008; Gunadha, 2009; Putrawan, 2011, dan Puspa, 2010). Esensi pelaksanaan ritual menurut Wijayananda (2004) merupakan persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan turun temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna. Setiap kali pelaksanaan ritual menimbulkan pengeluaran konsumsi ritual baik secara kuantitas maupun kualitas.
103
Untuk memperkuat pandangan ini, Desa Pakraman sebagai ujung tombak yang strategis dalam menjaga ketahanan adat, budaya, dan Agama Hindu (Gunadha, 2009). Diduga pengeluaran konsumsi ritual ini telah bergeser menjadi konsumsi sekunder dan ada kecenderungan bergeser ke arah primer untuk masyarakat Hindu di Bali sebagai dampak perubahan aspek-aspek kehidupan masyarakat umat Hindu. Beberapa hasil studi telah terbukti bahwa pengeluaran konsumsi mempunyai gerak yang searah (slope yang positif) dengan pendapatan. Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi yang menjadi salah satu tujuan percepatan (acceleration) pembangunan ekonomi yang dilaksanakan di tingkat nasional dan regional. Terjadinya pertumbuhan ekonomi seiring dengan adanya perubahan investasi, distribusi output, struktur ekonomi, peningkatan kontribusi sektor industri dan jasa. Harrod (1939) dan Domar (1947) mengatakan pertumbuhan ekonomi bersumber dari peningkatan modal melalui investasi dan tabungan. Tingginya pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh perluasan kesempatan kerja yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan pendapatan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat (Todaro, 2006; Arsyad, 2010). Konsep
kesempatan
kerja
merupakan
suatu
keadaan
yang
menggambarkan ketersediaan lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari kerja. Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas tenaga kerja. Rahardja (2008) permintaan tenaga kerja dalam teori ekonomi mikro, dapat diartikan sebagai kesempatan kerja. Jika upah tenaga kerja naik, perusahaan lebih selektif dalam menggunakan tenaga kerja, akibatnya kesempatan kerja berkurang dan sebaliknya jika upah tenaga kerja turun, akibatnya kesempatan kerja meningkat. Esmara (1986) kesempatan kerja merupakan jumlah penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan, artinya
104
semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja. Penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Kriteria konsep Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat kesempatan kerja merupakan suatu ukuran yang menunjukkan proporsi orang yang bekerja dalam angkatan kerja (BPS, 2011). Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Choi, 2004 di Los Angeles Amerika; Ellison et al., 1994 di Amerika; Sulistyaningsih, 1997 di Indonesia; Lochart, 2005; Ferlini, 2011 di Sumatera Barat ; Purwanti, 2009; Puspa, 2010; Wijaya, 2012; dan BPS Provinsi Bali , 2011). Konsep kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari dimensi materi dan non materi seperti pendapatan, pendidikan dan kesehatan (Mayer et al., 2003) Namun kesulitan untuk mengukur pendapatan membuat tingkat kesejahteraan secara
moneter
didekati dengan
besarnya
pengeluaran. Meskipun
laju
pertumbuhan ekonomi tidak secara otomatis dapat memberi jawaban atas berbagai macam persoalan kesejahteraan, hal ini tetap merupakan unsur penting setiap program pembangunan yang dirancang untuk mengentaskan kemiskinan. Kesejahteraan masyarakat meningkat jika dalam periode yang sama pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penduduknya (Todaro, 2006). Stiglitz, et al. (2011), mengukur kesejahteraan yang harus diperhitungkan adalah standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan); tingkat kesehatan;
tingkat pedidikan;
aktivitas termasuk bekerja;
hak politik dan
keadilan serta kebebasan; hubungan sosial; lingkungan hidup; dan ketidakamanan baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Grinols (1994) mengukur kesejahteraan
105
bukan saja dari dimensi materi namun juga dilihat dari dimensi nonmateri yaitu kebutuhan
ketentraman,
kedamaian,
hubungan
kekeluargaan
harmonis,
berperilaku mulia, bertaqwa berdasarkan nilai-nilai spritual dan moral (Chapra, 2001). Mengacu kriteria konsep Badan Pusat Statistik (BPS) indikator kesejahteraan masyarakat meliputi yaitu tingkat pendapatan (daya beli masyarakat), tingkat kesehatan (angka harapa hidup), dan tingkat pendidikan (angka melek huruf)
dan rata-rata lama sekolah (BPS Provinsi Bali, 2011).
Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Amartya Sen, 1992 di India; Engel, 1957 di Malaysia Barat; Stiglitz et al., 2011; Grootaert, 1998; Bronsteen et al., 2009; dan Qomariah, 2009 di Jawa Timur). Konsep multiplier effects Samuelson (2004) merupakan kenaikan pendapatan lebih besar dari kenaikan pengeluaran dari suatu kegiatan ekonomi. Keynes mengatakan bahwa multiplier effects lebih tinggi pada saat masyarakat lebih banyak mengkonsumsi. Besarnya nilai multiplier menggambarkan perbandingan jumlah pertambahan atau pengurangan pendapatan nasional dengan jumlah pertambahan atau pengurangan pengeluaran agregat yang telah menimbulkan perubahan pendapatan nasional (Sukirno, 2008; Skousen, 2006) Peranan investasi dalam perekonomian adalah sangat penting untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi maka investasi harus ditingkatkan baik pemerintah maupun pihak swasta. Meningkatnya investasi dapat menumbuhkan kesempatan kerja yang lebih luas juga memiliki angka pengganda (multiplier effect). Dengan adanya Multiplier effect pendapatan masyarakat meningkat, meningkatnya pendapatan atau daya beli berarti kesejahteraan masyarakat meningkat. Intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali, mempunyai
106
multiplier effect, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekonomi spiritual, menciptakan kesempatan kerja sebagai pemasok bahan ritual pada akhirnya dapat meningkatkan
pendapatan atau kesejahteraan masyarakat
pemasok. Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian multiplier effect (Syahza, 2004 di Riau; Wijaya, 1991 di Indonesia; Horvath et al., 1999 di Washingto DC; Leontief, 1985; dan Wijaya, 2012 di Bali). Sekema kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka pikir penelitian sebagaimana Gambar 3.1.
Kajian Empiris
Kajian Teoritis 1. Teori Konsumsi Keynes (1936) 2. Konsep Konsep Max Weber (1930) buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism 3. Konsep Bourdieu (1977) social capital 4. Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) 5. Konsep Multiplier Effect 6. Konsep Kesempatan Kerja (BPS, 2011) 7. KonsepKesejahteraan Masyarakat (BPS, 2011)
1. Pengeluaran konsumsi: Yan Wang ,1995; Engel 1957; Hermanto,1986; Malucio et al.,1999; Narayan et al., 1999; Sukarsa, 2005; Wijaya,2012, 2. Pelaksanaan Ritual: Purwita,1992; Sumini,2008;Gunadha, 2009; Triguna, 2000; Sukarsa,2005; Putrawan, 2011; Wijaya, 2012. 3.Kesempatan Kerja: Sulistyaningsih 1997; Soepono,1993,2001;Ellison et al.,1994;Zam,2002;Choi,2004; Lochart,2005;Udjianto,2007; Purwanti,2009;Ferlin,2011; Wijaya,2012; BPS,2011 4.Kesejahteraan: Amartya Sen,1992; Stiglitz,et.al.,2011; Cahyat et al. 2007; Wijaya,2012; BPS, 2011. 5.Multiplier Effect: Wijaya,1991; Horvath et al.,1999; Syahza,2004; Wijaya,2012.
Masalah
Hipotesis
Analisis 1. Kualitatif 2. Kuantitatif
Temuan Disertasi
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir
107
3.2 Kerangka Konsep Penelitian 3.2.1 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif Berdasarkan kajian konsep multiplier effect Keynes adalah apabila pengeluaran konsumsi masyarakat semakin besar maka dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar multiplier effect kali jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat. Kajian empiris yang tertuang dalam kerangka pikir, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan ritual merupakan aktivitas agama yang dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya. Pengeluaran konsumsi ritual merupakan salah satu pengeluaran konsumsi non makanan. Pengeluaran ritual mengakibatkan adanya transaksional bahan-bahan ritual dapat menyebabkan perubahan investasi. Perubahan investasi menyebabkan tumbuhnya kesempatan kerja dan mempercepatan pertumbuhan ekonomi maka mengakibatkan perubahan pendapatan pemasok dan mengahasilkan multiplier effect. Konsep multiplier effect ini didukung hasil penelitian (Wijaya, 1991; Horvath et al., 1999; Syahza, 2004). Selanjutnya, setiap kali pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali terjadi pergerakan ekonomi perdesaan dan perkotaan sebagai akibat adanya transaksional bahan-bahan ritual yang cukup besar. Semakin banyak permintaan bahan-bahan ritual semakin besar kesempatan kerja sebagai pemasok bahan-bahan ritual. Berarti intensitas pelaksanaan ritual umat (Hindu) memiliki multiplier effect. Kesempatan ini, telah dimanfaatkan bukan saja oleh masyarakat Bali juga
108
masyarakat luar, untuk memasok berbagai jenis bahan ritual, yaitu buah-buahan, pisang, janur, kelapa, dan bebek, merupakan barang
impor dari luar daerah
bahkan dari luar negeri. Apabila hal ini, terjadi terus menerus maka multiplier effect lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar daripada masyarakat Bali sendiri. Mekanisme Multiplier effect pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih
di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal berikut. Pengeluaran
pelaksanaan ritual untuk membeli 13 jenis bahan ritual merupakan tambahan pendapatan bagi pemasok (Tahap I), pendapatan pemasok dipergunakan untuk pengeluaran konsumsi dan sisanya ditabung atau diinvestasikan. Pengeluaran konsumsi pemasok merupakan pendapatan bagi penyalur (Tahap II), pendapatan penyalur dipergunakan untuk pengeluaran konsumsi dan sisanya ditabung atau diinvestasikan. Pengeluaran konsumsi penyalur merupakan pendapatan bagi petani atau produsen (Tahap III), pendapatan petani atau produsen dipergunakan untuk pengeluaran konsumsi dan sisanya ditabung atau diinvestasikan. Sementara ini, sebagian besar atau 90,91 persen bahan-bahan ritual tersedia di sekitar daerah Abiansemal dan hanya 9,09 persen bahan ritual dipasok dari luar. Berarti Multiplier effect pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Hal ini, mengindikasikan mampu mengerakkan perekonomian perdesaan bersandarkan kesetaraan, solidaritas dan kebersamaan dalam perbedaan (apang pada payu). Berkaitan dengan peran masyarakat Abiansemal khususnya dan
109
masyarakat Bali umumnya, antisipasi kebutuhan bahan-bahan ritual secara berkelanjutan. Selanjutnya, pengelompokan bahan-bahan ritual menjdi 13 jenis bahan berdasarkan besarnya nilai rupiah dari bahan-bahan ritual, yaitu: bambu, babi, uang kepeng, kelapa, bebek-ayam, beras, kain kasa, telor, pajeng, janur, pisangbuah-buahan, minyak goreng dan bunga. Besarnya pengeluaran untuk bahanbahan ritual adalah sebesar Rp 135,220 juta atau 72,06 persen sedangkan untuk bahan-bahan non ritual adalah sebesar Rp 53,348 juta atau 27,94 persen (terdiri atas biaya konsumsi, biaya bensin, biaya gas, dan biaya baju kaos). Berkaitan dengan perhitungan Multiplier effect, semestinya dilakukan sampai tahap akhir transaksi namun dalam penelitian ini, perhitungan Multiplier effect dilakukan pada Tahap I, Tahap II dan Tahap III dengan alasan, yaitu pertama, Tahap I (Pemasok/penjual ) dari 13 jenis bahan ritual yang dipasok, 5 jenis bahan transaksi berakhir di tahap ini, yaitu (bambu, babi, kelapa, bebekayam, dan telor). Tahap II (Penyalur) dari 8 jenis bahan ritual yang disalurkan, 4 bahan transaksi berakhir di tahap ini, yaitu (pajeng, janur, pisang-buah, bunga). Tahap III (Petani/Produsen) dari 4 jenis bahan ritual masih ada dua jenis bahan yaitu kain kasa dan minyak goreng yang tidak dihitung multiplier effects karena keterbatasan waktu dan dana. Skema kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka konsep penelitian deskriptif, sebagaimana Gambar 3.2.
110
Pengeluaran BahanBahan Ritual (Konsumen)
Bahan-bahan Ritual 1. Bambu dan kelabang 2. Babi 3. Uang Kepeng, dll 4. Kelapa, 5. Bebekdan Ayam 6. Beras 7. Kain Kasa 8. Telor bebek 9. Pajeng 10. Janur 11. Minyak goreng 12. Pisang dan buah 13. Bunga
Tahap I
Pendapatan Penjual/Pemasok
Pengeluaran konsumsi, dan sisanya di tabung/ investasi
Tahap II
Tahap III
Pendapatan Penyalur
Pendapatan Petani/ Produsen
Pengeluaran konsumsi, dan sisanya di tabung/ investasi
Pengeluaran konsumsi, dan sisanya di tabung/ investasi
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif Analisis Multiplier Effect.
Keterangan: Garis
Analisis multiplier effect.
3.2.2 Kerangka Konsep Penelitian Asosiatif Berdasarkan kajian teori dan kajian-kjian empiris yang tertuang dalam kerangka pikir, maka dapat dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat dan kesempatan kerja dapat dipengaruhi oleh intensitas pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal. Esensi pelaksanaan ritual merupakan pengorbanan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, Pitra Rna). Pelaksanaan ritual diukur berdasarkan indikator
labda karya, yaitu pelaksanaan ritual berjalan
sukses dan lancar sesuai jadwal ritual secara skala niskala; manggala karya, yaitu ketulusiklasan masyarakat pengempon pura menjadi panitia karya sesuai tugas dan tanggungjawabnya masing-masing; keharmonisan, yaitu hubungan yang sangat baik, serasi, harmonis antar pengempon pura; tenaga kerja, yaitu dengan
111
ketulusiklasan waktu yang dicurahkan pengempon pura untuk gotong royong selama ritual berlangsung; dan bahan ritual yang dibutuhkan sebagian besar tersedia di sekitar daerah Abiansemal. Konsep ini didukung Teori Konsumsi Keynes (1936); Teori Religiusitas Geertz (1973), Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26; Konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977) serta penelitian (Triguna, 2000;
Gunadha, 2009;
hasil
Putrawan, 2011; Puspa, 2010;
Sukarsa, 2005; Sumini, 2008; Wijaya, 2012). Kesempatan kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan tersedianya lapangan kerja yang siap diisi oleh para penawar tenaga kerja atau pencari pekerjaan. Kedudukan atau status pekerjaan dari yang mengerjakan sendiri tanpa dibantu orang lain sampai mempekerjakan karyawan dengan memberi gaji/upah. Kesempatan kerja diukur berdasarkan berdasarkan kriteria BPS dan indikator lapangan usaha, yaitu bidang usaha pada kesempatan kerja; kualitas kesempatan kerja, yaitu kualitas pekerjaan hubungannya dengan pendapatan; kuantitas kesempatan kerja, yaitu curahan jam kerja terhadap kesempatan kerja; dan sifat kesempatan kerja, yaitu kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai permanen. Konsep ini didukung konsep BPS, 2011; Esmara, 1986; dan Rahardja, 2008 serta hasil penelitian (Choi, 2004; Ellison et al., 1994; Sulistyaningsih, 1997; Lochart, 2005; Ferlini, 2011; Purwanti, 2009; dan Wijaya, 2012). Kesejahteraan Masyarakat dapat terpenuhinya kebutuhan dasar baik bersifat material maupun nonmaterial yang mencakup aspek pendapatan, pendidikan, kesehatan. keamanan, dan kehidupan sosial atau tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat lahir bathin. Kesejahteraan masyarakat diukur berdasarkan kriteria BPS dan indikator tingkat pendapatan, yaitu pendapatan riil keluarga responden yang siap dikonsumsi atau dibelanjakan; derajat pendidikan,
112
yaitu pendidikan yang dicapai secara formal (melek huruf dan ratarata lama sekolah); derajat kesehatan, yaitu rata-rata frekuwensi berobat ke rumah sakit per bulan; kondisi kehidupan sosial, yaitu keharmonisan, ketentraman, dan saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga,
antar keluaraga, antar
banjar dan antar masyarakat sekitarnya. Konsep ini didukung konsep BPS, 2011; Stiglitz, et al., 2011; dan Grinols, 1994 serta hasil penelitian (Amartya Sen, 1992; Engel, 1957; Grootaert, 1998; Bronsteen et al., 2009; dan Qomariah, 2009). Sekema kerangka konsep penelitian Asosiatif pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana Gambar 3.3. Lapangan Usaha (kk 1) Kualitas Kesempatan Kerja (kk 2)
Labda Karya (pr 1)
Kesempatan Kerja (KK)
Manggala karya (pr 2)
Keharmonisan (pr 3)
Sifat Kesempatan Kerja (kk 4)
Pelaksanaan Ritual (PR)
Tingkat Pendapatan (km 1)
Tenaga Kerja (pr 4) Bahan Ritual (pr 5)
Kuantitas Kesempatan Kerja (kk 3)
Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Derajat Pendidikan (km 2) Derajat Kesehatan (km 3) Kondisi kehidupan Sosial km 4)
Gambar 3.3 Kerangka Konsep Penelitian Assosiatif (Hubungan) Keterangan: : Variabel Laten/bentukan. : Indikator/terukur Garis : Hubungan Dimensional. Garis : Hubungan Langsung (Regresi)
113
3.3 Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep Assosiatif
sebagaimana disajikan pada
Gambar 3.3 dan tujuan studi, maka ada tiga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah seperti di bawah ini: 1) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja. 2) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. 3) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini berusaha mempelajari hubungan antar variabel sehingga merupakan penelitian relasional, seperti yang dijelaskan pada Bab 3, penelitian ini berusaha mencari hubungan antara variabel-variabel pelaksanaan ritual dan kesempatan kerja dengan variabel kesejahteraan masyarakat. Di pihak lain karena penelitian ini berusaha untuk mengumpulkan data primer dengan menggunakan kuesioner dari seluruh populasi, maka penelitian termasuk penelitian survei (Singarimbun, 1989). Unit analisis terletak pada unit kepala keluarga masyarakat pengempon pura dan pemasok bahan-bahan
ritual dengan tujuan untuk menjelaskan
hubungan kausal antarvariabel di samping hubungan relasi melalui pengujian hipotesis. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan pendekatan kuantitatif dengan format deskriptif. Format deskriptif bertujuan untuk menjelaskan, meringankan berbagai kondisi, situasi yang timbul dalam masyarakat yang menjadi obyek penelitian. Penelitian dimulai dengan metode kuantitatif berlandaskan pada filsafat positivism yaitu bertujuan menguji teori yang bersifat umum untuk menghasilkan temuan yang bersifat khusus melalui pendalaman makna dan uji hipotesis, proses pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif (Sugiyono, 2010) yang terakhir dengan generalisasi. Diduga pendekatan kuantitatif terdapat hasil verifikasi tidak sesuai dengan konsep laten sehingga dianalisis dengan menggunakan studi kualitatif.
114
115
Alasan dalam penggunaan metode ini adalah melalui kuantitatif dengan prinsip normalitas, distribusinya dengan menggunakan metode statistik sehingga sangat andal dalam hal generalisasi namun lemah pada unsur kedalam analisis, tidak mampu mengungkap penyebab permasalahan secara mendalam terutama fenomena spesifik yang tidak sejalan dengan teori. Desain kualitatif memiliki keunggulan kedalaman analisis, karena mampu menggali berbagai informasi secara mendalam melalui informan tetapi memiliki kelemahan dalam generalisasi. Karena itu penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menutupi kelemahan kedua metode tersebut (Creswell et al., 2007). Penelitian ini termasuk penelitian studi kasus pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung, data yang dikumpulkan adalah jenis data kualitatif dan kuantitatif bersumber dari data internal, cara memperoleh data primer dan waktu pengumpulan data secara cross saction yaitu pengambilan data waktu sama dan obyek yang berbeda. Jenis data kualitatif dan kuantitatif agar terungkap data deskriptif dari nara sumber atau partisipan atau responden, baik lisan maupun tulisan tentang apa yang mereka lakukan seperti yang dikemukakan oleh Spradley (1980), berangkat dari kasus namun yang ada situasi sosial (social situation) yaitu ada tempat (place), ada pelaku (actors), dan ada aktivitas (activity) dalam Sugiyono (2010). Pengumpulan data yaitu peneliti berusaha mencari fakta dan interaksi biasa dalam situasi tertentu. Sarojo (1993) memberikan pandangan bahwa berdasarkan sudut pandang fenomologis, segala sesuatu akan bergantung kepada
116
kedudukan para peneliti misalnya bagaimana terjadi peristiwa-peristiwa dan penampakan fenomena ditentukan oleh posisi para peneliti dalam Moleong (2003). Metode penelitian melalui kualitatif berangkat dari pengamatan yang mendetail konkrit pada empirical social reality sehingga terbangun grounded theory, selanjutnya berkembang menjadi subtantive theory, middle-range theory, formal theory dan akhirnya menjadi theoretical frame work (also call paradigm or theoritical system) Sugiyono (2010). 4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian Kabupaten Badung Provinsi Bali, terdiri atas enam kecamatan yaitu Kecamatan Kuta Selatan, Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Mengwi, Kecamatan Abiansemal, dan Kecamatan Petang. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal, dengan luas wilayah 69,01 km2, jumlah penduduk sebanyak 78.951 jiwa tahun 2007. Perkembangan masyarakat Desa Abiansemal dibidang adatistiadat, budaya dan agama berjalan sebagaimana mestinya, dominan lapangan usaha di sektor pertanian dengan kontribusi sektor pertanian pada PDRB hanya 9 persen. Kesempatan kerja dan tingkat kesejahteraan penduduk Kabupaten Badung Utara lebih rendah dibandingkan Kabupaten Badung Selatan, karena perbedaan letak geografis. Lebih jelasnya, lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Peta Administrasi Peta Administrasi Wilayah Desa Abiansemal,
Kecamatan Abiansemal, Kabupaten
Badung Provinsi Bali (Gambar 4.1). Penelitian ini, berlokasi di Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung, studi kasus pelaksanakan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka. Pelaksanaan ritual ini yang kedua dan yang pertama
117
dilakukan 20 tahun yang lalu yaitu tahun 1982. Jumlah masyarakat pengempon pura 108 kepala keluarga. Aktivitas ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih mulai persiapan, pelaksanaan, hingga penutupan (penyineban) semua rangkaian ini dibuat secara gotong royong (ngayah) masyarakat pengempon pura. Di dukung tradisi adat istiadat dan budaya gotong royong yang kuat dalam kehidupan sosial, budaya, dan beragama. Di samping itu, dapat meningkatkan rasa kebersamaan, solidaritas atau mempererat rasa kekeluargaan diantara pengempon pura serta meningkatkan sistem kekerabatan antar Banjar di Desa Abiansemal. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, 20 April 2012 sarana ritual dibuat secara bersamasama gotong royong (ngayah) masyarakat pengempon pura mulai 26 Pebruari hingga
27 April 2012 atau
mulai H-55 sampai H+7 (selama 63 hari).
Selanjutnya, untuk terselenggaranya ritual secara baik dan lancar (labda karya) maka perlu menerapkan manajemen karya yaitu mensinergikan antara manajemen tradisional dengan manajemen modern dalam pelaksanaan ritual sehingga tahapan-tahapan acara dapat tercapai secara sekala dan niskala (Wijaya, 2012). Tahapan aktivitas ritual mulai newasain karya skala niskala, puncak karya (hari H), nganyarin sampai dengan nyegara gunung dan masineb. Proses ritual ini dipimpin oleh enam Sulinggih (Pandita) dan satu orang Tapini. Penanggungjawab karya (pangrajeg karya) adalah Ida Pedanda Geriya Agung Desa Abiansemal, Tapini, dan Pemangku Pura Pasek Preteka. Penelitian dilakukan oleh peneliti, mulai aktivitas ritual dilakuakan adalah 26 Pebruari hingga 27 April 2012 dan ritual lanjutannya adalah bulan Oktober 2012. Selama penelitian, peneliti berpartisipasi aktif dalam aktivitas
118
ritual untuk memperoleh informasi lebih mendalam dari informan kunci dan ahli serta masyarakat pengempon pura yang lainnya.
Gambar 4.1 Lokasi Penelitian, Peta Administrasi Wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung Provinsi Bali. Sumber: BPS, 2012 Kabupaten Badung
4.3 Subyek dan Obyek Penelitian Subyek penelitian pihak-pihak yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga pengempon pura dan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal. Obyek penelitian merupakan apa yang hendak dikaji dalam penelitian adalah aktivitas pelaksanaan ritual, kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat serta Multiplier Effect pengeluaran ritual.
119
4.4 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel 4.4.1 Identifikasi Variabel Variabel adalah suatu sifat yang dapat memiliki bermacam nilai yang bervariasi (Kerlinger, 2006). Berdasarkan kerangka pemikiran dan tujuan studi yang hendak dicapai, maka variabel dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu variabel laten dan indikator. Variabel laten adalah variabel yang tidak dapat diukur secara langsung. Indikator merupakan pembentuk variabel laten yang terukur (Widarjono, 2010). Variabel yang diidentifikasi dalam penelitian ini sebagai berikut. 1) Variabel eksogen (exogenous variable) Pelaksanaan Ritual (PR) terdiri atas indikator labda karya (pr1), manggala karya (pr2), keharmonisan (pr3), tenaga kerja (pr4) dan bahan ritual (pr5). 2) Variabel Antara (Intervening variable) Kesempatan Kerja (KK) terdiri atas indikator lapangan usaha (kk1), kualitas kesempatan kerja (kk2), kuantitas kesempatan kerja (kk3), dan sifat kesempatan kerja (kk4). 3)
Variabel endogen (endogenous variable) Kesejahteraan Masyarakat (KM) terdiri atas indikator tingkat pendapatan (km1), derajat pendidikan (km2), derajat kesehatan (km3), dan kondisi kehidupan sosial (km4).
4.4.2 Definisi Operasional Variabel Berdasarkan kerangka konsep penelitian serta model struktur yang disusun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini, terdapat variabel eksogen yaitu pelaksanaan ritual, variabel antara adalah kesempatan kerja, dan variabel endogen adalah kesejahteraan masyarakat. Untuk memperoleh
120
data yang valid dan reliabel, maka perlu dilakukan pendefinisian terhadap setiap variabel tersebut. Pengukuran variabel-variabel dijabarkan dalam bentuk indikatorindikator sebagai pengukurnya. Selanjutnya diukur dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Setiap item pertanyaan berisi pernyataan atau pernyataan mengenai indikator-indikator tersebut. Menurut Johnson dan Christensen (2008), kuesioner adalah sebuah laporan instrumen pengumpulan data diri yang diisi oleh peserta penelitian. Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner dalam bentuk pernyataan, pertanyaan tertutup, dan pertanyaan terbuka. Instrumen yang berupa kuesioner dikembangkan dalam skala likert (Sugiyono, 2010; Usman et al., 2009). Setiap variabel dikembangkan ke dalam bentuk pernyataan yang mencerminkan sikap persepsi responden menurut Wijaya (2012), yakni (1) sangat setuju/sangat baik/sangat tinggi/sangat berpengalaman/sangat meningkat diberi skor 5, (2) setuju/baik/tinggi/berpengalaman/meningkat diberi skor 4, (3) cukup setuju/baik//tinggi/berpengalaman/meningkat diberi skor 3, (4) kurang setuju/baik/tinggi/berpengalaman/meningkat diberi skor 2, (5) tidak setuju/ baik/tinggi/berpengalaman/meningkat diberi skor 1. Pengukuran bertujuan agar diperoleh informasi kualitas dari variabelvariabel dalam bentuk kontinum nilai total terendah (sama dengan jumlah indikator) dan nilai total tertinggi (sama dengan jumlah skor maksimal). Seluruh data yang dianalisis merupakan data ordinal yang diukur berdasarkan persepsi dari responden,
variabel
yang diidentifikasi selanjutnya didefinisikan secara
operasional sebagai berikut.
121
1)
Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih merupakan persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Dewa Rna kepada Tuhan Yang Maha Esa
atau Ida Sanghyang Widi sesuai ajaran Agama Hindu. Variabel
pelaksanaan ritual direfleksikan dengan indikator terdiri atas: a) Labda karya adalah pelaksanaan ritual berjalan sukses dan lancar sesuai jadwal ritual (dudonan karya) secara sekala niskala. b) Manggala karya adalah ketulusiklasan masyarakat pengempon pura menjadi panitia karya sesuai tugas dan tanggungjawabnya masingmasing. c) Keharmonisan adalah hubungan yang sangat baik, serasi, harmonis antar pengempon pura. d) Tenaga kerja, yaitu dengan ketulusiklasan waktu yang dicurahkan pengempon pura untuk gotong royong selama ritual berlangsung. e) Bahan ritual yang dibutuhkan sebagian besar (90,91 persen) tersedia di sekitar daerah Abiansemal dan hanya (9,09 persen) berasal dari luar Bali. Didukung beberapa teori dan konsep, yaitu Teori Konsumsi Keynes (1936) pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan naik. Konsep Max Weber (1930) dan Konsep Bourdieu (1977), bahwa aktivitas agama mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya. Teori Religiusitas Geertz (1973), agama menganalis makna dari simbol-simbol membangun motivasi yang kuat dan tahan lama serta hubungannya dengan struktur masyarakat. Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, yaitu:
122
’Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmanah’. Artinya siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima. Penjelasan selengkapnya sebagaimana disajikan Tabel 4.1 Tabel 4.1 Definisi Operasional Indikator Variabel Pelaksanaan ritual (PR) Indikator Variabel Terukur Labda Karya (pr1) Manggala Karya (pr2) Keharmonisan (pr3) Tenaga kerja (pr4) Bahan Ritual (pr5) Sumber:
Definisi
Pengukuran
Kesuksesan, kelancaran dalam pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Ketulusiklasan masyarakat pengempon pura sebagai panitia/prawartaka karya dalam pelaksanaan ritual Hubungan yang sangat baik, harmonis, dan ketentraman sesama pengempon pura gotong royong dalam pelaksanaan ritual Ketulusiklasan waktu yang dicurahkan oleh pengempon pura untuk gotong royong dalam pelaksanaan ritual Kemudahan atau tersedia bahan-bahan ritual di sekitar lokasi ritual Abiansemal.
Skala likert 1-5 Skala likert 1-5 Skala likert 1-5 Skala likert 1-5 Skala likert 1-5
Kitab Suci Hindu Bhagavadgita, IX: 26, Teori Religiusitas Geertz (1973), Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977) dan Kriteria Lampiran 12
2) Kesempatan kerja
merupakan suatu keadaan yang menggambarkan
tersedianya lapangan kerja yang siap diisi oleh para penawar tenaga kerja atau pencari pekerjaan. Kedudukan atau status pekerjaan dari yang mengerjakan sendiri tanpa dibantu orang lain sampai mempekerjakan karyawan dengan memberi gaji atau upah. Pengukuran kriteria kesempatan kerja menurut BPS Provinsi Bali, (2011). Variabel kesempatan kerja direfleksikan dengan indikator terdiri atas: a) Lapangan usaha adalah bidang usaha pada kesempatan kerja seperti bidang usaha dagang bahan-bahan ritual dan bidang usaha jasa kesenian yang berbasis budaya religius.
123
b) Kualitas kesempatan kerja adalah kualitas pekerjaan hubungannya dengan pendapatan c) Kuantitas kesempatan kerja adalah curahan jam kerja terhadap kesempatan kerja d) Sifat kesempatan kerja adalah kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai permanen. Penjelasan selengkapnya sebagaimana disajikan Tabel 4.2 Tabel 4.2 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesempatan Kerja (KK) Indikator Variabel Terukur
Definisi
Pengukuran
Keterkaitan bidang pekerjaan responden dalam pelaksanaan ritual, misalnya usaha dagang bahan-bahan ritual Status pekerjaan responden dalam melakukan pekerjaan dari berusaha sendiri sampai memperkerjakan karyawan dengan memberikan upah/gaji Kuantitas kesempatan Curahan jam kerja responden dalam kerja melaksanakan pekerjaan, misalnya semakin (kk3) lama jumlah jam kerja maka semakin baik pendapatan Sifat kesempatan kerja Kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang (kk4) sifatnya temporer sampai permanen/ berkelanjutan Sumber: Kriteria BPS Provinsi Bali, 2011. dan Kriteria Lampiran 12 Lapangan usaha (kk1) Kualitas kesempatan kerja (kk2)
Skala likert 1-5 Skala likert 1-5
Skala likert 1-5
Skala likert 1-5
3) Kesejahteraan Masyarakat adalah dapat terpenuhinya kebutuhan dasar baik yang bersifat
material maupun nonmaterial yang mencakup aspek
pendapatan, pendidikan, kesehatan. keamanan, dan kehidupan sosial atau tercapainya tingkat
kesejahteraan masyarakat
lahir
bathin. Variabel
kesejahteraan masyarakat direfleksikan dengan indikator terdiri atas:
124
a) Tingkat pendapatan adalah pendapatan riil keluarga yang siap dikonsumsi atau dibelanjakan b) Derajat pendidikan adalah pendidikan yang dicapai secara formal (melek huruf dan ratarata lama sekolah) c) Derajat kesehatan adalah rata-rata frekuwensi berobat ke rumah sakit per bulan d) Kondisi kehidupan sosial adalah keharmonisan, ketentraman, dan saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluarga, antar banjar dan antar masyarakat sekitarnya. Pengukuran kriteria kesejahteraan masyarakat menurut BPS Provinsi Bali, (2011). Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Amartya Sen, 1992; Stiglitz et al., 2011; Grootaert, 1998; Bronsteen et al., 2009; dan Qomariah, 2009), penjelasan selengkapnya sebagaimana Tabel 4.3. Tabel 4.3 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM) Indikator Variabel Terukur
Definisi
Peningkatan pendapatan riil keluarga responden yang siap dikonsumsi atau dibelanjakan Derajat Pendidikan Peningkatan pendidikan keluarga responden (km2) terakhir yang dicapai Peningkatan derajat kesehatan keluarga Derajat Kesehatan responden, misalnya semakin sehat maka (km3) semakin kecil frekuensi berobat per bulan saling Kondisi kehidupan Keharmonisan, ketentraman, dan menghargai dan menghormati antar anggota Sosial keluarga, antar pengempon pura, antar banjar, (km4) antar masyarakat lingkungan, dan antar desa. Sumber: Kriteria BPS Provinsi Bali, 2011 dan Kriteria Lampiran 12 Tingkat Pendapatan (km1)
Pengukuran Skala likert 1-5 Skala likert 1-5 Skala likert 1-5 Skala likert 1-5
125
4.5 Jenis dan Sumber Data 4.5.1 Jenis Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dengan melakukan survei lapangan serta data sekunder sebagai supporting data berupa existing statistic data. 1) Data Primer. Pengumpulan data primer dengan kuesioner dan in-depth interview melalui informan kunci dan ahli. 2) Data Sekunder. Pengumpulan data yang berupa existing statistic data dilakukan dengan mengumpulkan data-data statistik Provinsi Bali dan Kabupaten Badung. 4.5.2 Sumber Data Data dalam penelitian ini diperoleh dari semua populasi dengan membagikan kuesioner yang dirumuskan secara terstruktur, sistematis dan expert pada permasalahan, sehingga memungkinkan data yang diperoleh merupakan data yang mempunyai nilai obyektivitas yang tinggi sesuai dengan pengetahuan atau persepsi individu tentang obyek sikap (kognitif) karena pengetahuan atau pemahaman, keterampilan (skill) dalam menghadapi persoalan yang diteliti. Pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya dengan melakukan wawancara mendalam (In-depth Interview) dengan responden dan mengumpulkan data melalui informan kunci dan ahli. Sebagai informan kunci dan ahli adalah orang yang dianggap memiliki kompetensi pada bidang yang terkait dengan pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih.
126
4.6 Populasi, Sampel Penelitian dan Informan 4.6.1 Populasi Penelitian Populasi penelitian ini adalah kepala keluarga pengempon Pura Pasek Preteka dan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal. Jumlah Kepala keluarga masyarakat pengempon pura yang tinggal di wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung adalah sebanyak 108 kepala keluarga dan 22 pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka. Jumlah populasi penelitian ini adalah 130 responden. Untuk memenuhi persyaratan analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Structural Equation Model (SEM) pengolahan data menggunakan program Analysis of Moment Structural (AMOS) versi 20,0. Semua masyarakat pengempon pura duduk dalam struktur panitia (manggalaning karya), sebagaimana disajikan Tabel 4.4. Tabel 4.4. Jumlah Responden Rumah Tangga Pengempon Pura Yang Melaksanakan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung Tahun 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Seksi
Upakara Sarana Prasarana (Bangunan) Pengadaan Bahan-Bahan Ritual Konsumsi Kesenian/hiburan (Wewalian) Transportasi dan Perlengkapan Kesehatan dan Dokumentasi Penasehat, Ketua Panitia, Sekretaris, Bendahara karya, dan Wakil Bendahara Jumlah Sumber: Panitia Karya (data diolah Peneliti), 2012
Jumlah Responden (Orang) 40 23 10 14 10 4 2 5 108
127
Responden pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung sebanyak 22 pemasok, sebagaimana disajikan Tabel 4.5. Tabel 4.5 Jumlah Responden Pemasok Bahan- Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Tahun 2012 Jumlah Responden Pemasok (Orang) 1 Bambu 5 2 Babi 2 3 Uang Kepeng, tiker dll 2 4 Kelapa 2 5 Bebek dan Ayam 1 6 Beras 2 7 Kain Kasa 2 8 Telor bebek 1 9 Pajeng 1 10 Janur 1 11 Minyak Goreng 1 12 Pisang dan buah-buahan 1 13 Bunga 1 Jumlah 22 Sumber: Panitia Karya (data diolah Peneliti), 2012 No
Bahan
Responden penelitian 130 responden terdiri dari 108 responden kepala keluarga pengempon pura dan 22 responden pemasok bahan ritual, sebagaimana disajikan Tabel 4.6 Tabel 4.6 Kriteria Responden Penelitian Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2012 No
Kriteria
1
Pengempon Pura
2
Pemasok bahan-bahan ritual Jumlah
Sumber: Panitia Karya (data diolah Peneliti), 2012
Jumlah Responden (orang) 108 22 130
128
4.6.2 Penentuan Informan Kunci dan Ahli Penelitian ini, menggunakan sampel jenuh atau penelitian sensus atau populasi, semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2010). Dalam pengumpulan data pada studi kasus Haymon et al.(2008), maka proses yang harus dilakukan, di antaranya: 1) analisis mendetail dan mendalam kasus yang dipilih, 2) berusaha memahaminya dari sudut pandang komunitas penelitian, 3) membangun komunikasi secara harmonis, 4) memahami aspek komunikasi dan pengalaman-pengalaman yang terjadi, dan 5) menjaga keharmonisan antara peneliti dengan obyek sekaligus melakukan pencatatan. Pemilihan informan dengan menggunakan kouta sampling sebagai informan dipilih 12 orang yang dianggap memiliki kompetensi pada bidang yang terkait dengan pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih terdiri atas sepuluh informan kunci dan dua informan ahli. Informan yang terpilih adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan penelitian secara mendalam dan jelas, memahami secara mendalam tentang ritual. Penentuan jumlah informan tidak menggunakan metode tertentu karena sampai saat ini belum ada panduan dalam studi kualitatif untuk menentukan berapa banyak data dan analisis apa yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan atau teori. Menurut Stainback dalam Sugiyono (2010) syarat-syarat informan berdasarkan metode spradley yaitu: responden yang memiliki pemahaman pelaksanaan ritual, sehingga mampu memberikan informasi; responden yang terlibat secara aktif dalam pelaksanaan ritual; responden yang dianggap mempunyai waktu cukup
129
memberikan informasi; responden yang mampu memberikan jawaban apa adanya; dan informan yang ditetapkan telah terdaftar sebagai responden kuantitatif. 4.6.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan denga cara sebagai berikut. 1)
Wawancara Terstruktur Teknik pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya terkait dengan variabel-variabel yang diteliti (Sugiyono, 2010). Variabel-variabel yang diteliti meliputi pelaksanaan ritual, kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi masyarakat
untuk
mendukung studi kuantitatif. Wawancara dilakukan terhadap seluruh masyarakat yang melaksanakan ritual dan para pemasok. 2)
Wawancara Mendalam (In-depth Interview) Wawancara dilakukan terhadap informan kunci untuk mendukung analisis studi kualitatif. Wawancara mendalam dilakukan secara tidak terstruktur, fleksibel dalam suasana informal dan dapat dilakukan secara berulangulang. Wawancara informal bertujuan menggali informasi lebih lengkap, lebih mendalam dan lebih jelas terutama terkait dengan persepsi mengenai manfaat yang dipetik secara sosial, budaya dan ekonomi berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Untuk mendukung validitas informasi dalam wawancara dibantu dengan alat perekam tape recorder dan kamera untuk merekam gambar ketika wawancara sedang berlangsung.
3)
Observasi Aktif Secara Tak Terstruktur Tujuannya untuk mengembangkan fokus observasi, tidak menggunakan instrumen yang baku tetapi hanya rambu-rambu pengamatan dalam studi
130
kualitatif (Sugiyono, 2010). Observasi berpartisipasi aktif dilakukan untuk melihat dan meneliti profil masyarakat pengempon pura dan pemasok meliputi: tempat dimana kegiatan dilaksanakan, pelaku yang melakukan kegiatan (ngayah) berkenaan dengan pelaksanaan ritual ini. Dalam hal ini fokus wawancara adalah konstruk yang tidak sejalan dengan landasan teori. 4)
Triangulasi Tujuan metode triangulasi bukan untuk mencari kebenaran fenomena tetapi lebih pada pemahaman peneliti terhadap apa yang ditemukan (Stainback, 1988). Triangulasi merupakan pengumpulan data sekaligus menguji kredibilitas data dengan menggunakan metode triangulasi teknik dan triangulasi sumber (Miles dan Huberman, 1984 dalam Moleong, 2002). Triangulasi teknik adalah metode pengumpulan data dengan teknik yang berbeda untuk informan kunci yang sama, yakni dengan mencatat hasil wawancara, merekam menggunakan tape recorder dan memotret dengan kamera. Triangulasi sumber adalah metode pengumpulan data dari informan (nara sumber) yang berbeda-beda dalam hal ini terhadap 12 informan kunci (Sugiyono, 2010). Triangulasi juga dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh dari responden melalui questioner dengan data yang diperoleh dari informan melalui in-depth interview, sedangkan data in-depth interview dibandingkan dengan observasi aktif secara langsung, metode triangulasi ini bertujuan untuk meningkatkan reliabilitas data penelitian. Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh.
131
4.7 Instrumen Penelitian Pada metode kualitatif instrumen penelitian yang digunakan adalah dengan cara wawancara mendalam dengan membawa pedoman wawancara yang dilengkapi dengan buku catatan, kamera, recorder, dan lain sebagainya (Sugiyono,2010). Manfaat sosial, budaya dan ekonomi yang diperoleh masyarakat pengemppon pura dengan terlaksana ritual ini, Menurut Asch (1946), bahwa persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi yang dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, adanya stimulus hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu lain. Metode kuantitatif instrumen penelitian yang digunakan adalah berupa kuesioner yang diisi oleh responden (Sugiyono, 2010). Variabel-variabel penelitian didasarkan atas indikator pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan sehingga menjadi suatu instrumen penelitian. Instrumen yang disusun peneliti berdasarkan kajian literatur dan kuesioner tersebut belum pernah digunakan atau diuji kesahihannya, baik oleh peneliti sendiri mapun orang lain. Oleh sebab itu, sebelum digunakan untuk pengumpulan data di lapangan, maka perlu diuji tentang kesahihan (validity) dan keandalan (reliable). 4.7.1
Pengujian Validitas Kuesioner Uji Validitas kuesioner (daftar pertanyaan) dilakukan untuk mengetahui
kemampuan suatu daftar pertanyaan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.
132
Daftar pertanyaan yang digunakan dalam penelitian belum diketahui tingkat validitas dan reliabilitasnya. Untuk itu dilakukan uji validitas setiap item pertanyaan dan reliabilitas dari daftar pertanyaan yang digunakan pada penelitian ini. Suatu instrumen ukur yang tidak reliabel atau tidak valid akan memberikan informasi yang tidak akurat mengenai keadaan subyek atau individu yang dikenai tes itu. Apabila informasi yang keliru itu dengan sadar atau tidak sadar digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan suatu kesimpulan dan keputusan maka tentulah kesimpulan dan keputusan itu tidak akan merupakan kesimpulan dan keputusan yang tepat (Saifuddin Azwar, 2006 ) . Kriteria pengujian validitas adalah dengan membandingkan rhitung dengan rtabel, pada taraf signifikan 95 persen atau = 5 persen. Menurut Sugiyono (2010), item pertanyaan disebut valid jika butir pertanyaan memiliki rhitung > rstandar = 0,30. Dalam hal ini, yang dimaksudkan rhitung untuk setiap item pertanyaan adalah koefisien korelasi product moment antara skor masing-masing item tersebut dengan total skor seluruh item yang dinotasikan dengan Corrected Item Total Correlatian pada hasil perhitungan program SPSS untuk setiap item pertanyaan dari sebuah variable (Singgih Santoso, 2005). 4.7.2
Pengujian Reliabilitas Kuesioner Untuk menguji reliabilitas sebuah daftar pertanyaan dari sebuah variabel
penelitian
digunakan
Koefisien
Cronbach’s
Alpha.
Besarnya
Koefisien
Cronbach’s Alpha menunjukkan tingkat Reliabilitas daftar pertanyaan tersebut. Suatu konstruk variabel dikatakan reliabel jika memiliki nilai Cronbach’s > dari 0,60. Perhitungan korelasi product moment dan Koefisien Cronbach’s Alpha
133
dilakukan dengan SPSS versi 21.0. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang meliputi tiga variabel, yaitu pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat, maka uji validitas dan reliabilitas dilakukan masingmasing tiga kali. 4.7.3 Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Hasil pengolahan atau perhitungan koefisien korelasi Corrected ItemTotal Correlation dan Koefisien Cronbach’s Alpha mempergunakan program SPSS versi 21.0 untuk disajikan (Lampiran 4, 5 dan 6). 1) Analisis Validitas Variabel Pelaksanaan Ritual. Pada analisis validitas variabel pelaksanaan ritual diperlukan koefisien rhitung, nilai kritis dan kesimpulan sebagai berikut. a) Koefisien rhitung, variabel pelaksanaan ritual diukur dengan lima item pertanyaan sebagaimana tercantum pada kuesioner (Lampiran 1). Berdasarkan hasil pengolahan SPSS versi 21.0 (Lampiran 4) didapat koefisien rhitung (Corrected Item-Total Correlation) dari ke-5 item pertanyaan variabel pelaksanaan ritual (Lampiran 4). b) Pada analisis validitas ini digunakan besaran nilai kritis (batas penerimaan dan penolakan) validitas yaitu 0,30. c) Untuk menarik kesimpulan maka dibuat Tabel 4.7 dengan mengacu data (Lampiran 4).
134
Tabel 4.7 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Pelaksanaan Ritual (PR)
No
Item
1 2 3 4 5
pr1 pr2 pr3 pr4 pr5
rhitung (Corrected Item-Total Correlation) 0,356 0,524 0,733 0,790 0,306
Nilai kritis 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30
Keterangan rhitung rhitung rhitung rhitung rhitung
> rtabel; > rtabel; > rtabel; > rtabel; > rtabel;
Valid Valid Valid Valid Valid
Keterangan: pr1=labda karya, pr2=manggala karya, pr3=keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5=bahan ritual Sumber: Lampiran 4
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa semua item pertanyaan variabel pelaksanaan ritual adalah valid. Dengan demikian, maka semua item pertanyaan variabel pelaksanaan ritual tersebut adalah valid untuk mengukur variabel pelaksanaan ritual, sehingga semuanya diikut sertakan pada analisis lanjut. 2) Analisis Reliabilitas Variabel Pelaksanaan Ritual Dalam analisis ini dilakukan perbandingan Cronbach’s Alpha (koefisien hitung reliabilitas alpha) seluruh item pertanyaan pelaksanaan ritual. Dari pengolahan SPSS versi 21.0 (Lampiran 4) untuk daftar pertanyaan variabel pelaksanaan menunjukkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha = 0,758. Sedangkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha minimum ditentukan 0,60. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa Cronbach’s Alpha = 0,758> 0,60. Hal ini berarti bahwa daftar pertanyaan (kuesioner) pelaksanaan ritual adalah reliabel. Dengan demikian, maka daftar pertanyaan variabel pelaksanaan ritual yang terdiri dari 5 item pertanyaan adalah reliabel untuk mengukur variabel pelaksanaan ritual.
135
3) Analisis Validitas Variabel Kesempatan Kerja Pada analisis validitas variabel kesempatan kerja diperlukan koefisien rhitung, nilai kritis dan kesimpulan. a) Koefisien rhitung variabel kesempatan kerja diukur dengan empat item pertanyaan sebagaimana tercantum pada kuesioner (Lampiran 1). Berdasarkan hasil pengolahan SPSS versi 21.0 didapat koefisien rhitung (Corrected Item-Total Correlation) dari ke-4 item pertanyaan variabel kesempatan kerja, seperti (Lampiran 5). b) Pada analisis validitas ini digunakan besaran nilai kritis (batas penerimaan dan penolakan) validitas yaitu 0,30. c)
Untuk menarik kesimpulan maka dibuat Tabel 4.8 dengan mengacu data (Lampiran 5). Tabel 4.8 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Kesempatan Kerja (KK)
No
Item
1 2 3 4
kk1 kk2 kk3 kk4
rhitung Nilai kritis (Corrected ItemTotal Correlation) 0,501 0,30 0,323 0,30 0,486 0,30 0,515 0,30
Keterangan
rhitung rhitung rhitung rhitung
> rtabel; > rtabel; > rtabel; > rtabel;
Valid Valid Valid Valid
Keterangan: kk1=lapangan usaha, kk2=kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4= sifat kesempatan kerja Sumber: Lampiran 5
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa semua item pertanyaan variabel kesempatan kerja adalah valid. Dengan demikian, maka semua item pertanyaan variabel kesempatan kerja tersebut adalah valid untuk mengukur
136
variabel kesempatan kerja, sehingga semuanya diikut sertakan pada analisis lanjut. 4) Analisis Reliabilitas Variabel Kesempatan Kerja Dalam analisis ini dilakukan perbandingan Cronbach’s Alpha (koefisien hitung reliabilitas alpha) seluruh item pertanyaan kesempatan kerja hasil pengolahan dengan nilai 0,60. Dari pengolahan SPSS versi 21.0 (Lampiran 5) menunjukkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha = 0,660. Sedangkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha minimum ditentukan 0,60. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa Cronbach’s Alpha = 0,660> 0,60. Hal ini berarti bahwa daftar pertanyaan (kuesioner) Kesempatan Kerja adalah reliabel. Dengan demikian, maka daftar pertanyaan variabel kesempatan kerja yang terdiri dari 4 item pertanyaan adalah reliabel untuk mengukur variabel kesempatan kerja. 5) Analisis Validitas Variabel Kesejahteraan Masyarakat. Pada analisis validitas variabel kesejahteraan masyarakat diperlukan koefisien rhitung, nilai kritis dan kesimpulan. a)
Koefisien rhitung variabel kesejahteraan masyarakat diukur dengan empat item pertanyaan sebagaimana tercantum pada kuesioner (Lampiran 1). Berdasarkan hasil pengolahan SPSS versi 21.0 didapat koefisien rhitung (Corrected Item-Total Correlation) dari ke 4 item pertanyaan variabel kesejahteraan masyarakat seperti (Lampiran 6).
b) Pada analisis validitas ini digunakan besaran nilai kritis (batas penerimaan dan penolakan) validitas yaitu 0,30.
137
c) Untuk menarik kesimpulan maka dibuat tabel 4.9 dengan mengacu data (Lampiran 6). Tabel 4.9 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM)
No
Item
1 2 3 4
km1 km2 km3 km4
rhitung (Corrected Item-Total Correlation) 0,633 0,423 0,513 0,653
Nilai kritis 0,30 0,30 0,30 0,30
Keterangan rhitung rhitung rhitung rhitung
> rtabel; > rtabel; > rtabel; > rtabel;
Valid Valid Valid Valid
Keterangan: km1=tingkat pendapatan, km2=derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4= kondisi kehidupan sosial Sumber: Lampiran 6
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa semua item pertanyaan variabel kesejahteraan masyarakat adalah valid. Dengan demikian, maka semua item pertanyaan variabel kesejahteraan masyarakat tersebut adalah valid untuk mengukur variabel kesejahteraan masyarakat, sehingga semuanya diikut sertakan pada analisis lanjut. 6) Analisis Reliabilitas Variabel Kesejahteraan Masyarakat Dalam analisis ini dilakukan perbandingan Cronbach’s Alpha (koefisien hitung reliabilitas alpha) seluruh item pertanyaan Kesejahteraan Masyarakat. Dari pengolahan SPSS versi 21.0 pada Lampiran 6 menunjukkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha = 0,752. Sedangkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha minimum ditentukan 0,60. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa Cronbach’s Alpha = 0,752>0,60.
Hal ini berarti
bahwa daftar pertanyaan (kuesioner) kesejahteraan masyarakat adalah reliabel. Dengan demikian, maka daftar pertanyaan variabel kesejahteraan masyarakat yang terdiri dari 4 item pertanyaan adalah reliabel untuk mengukur variabel kesejahteraan masyarakat.
138
4.8 Teknik Analisis Data 4.8.1 Analisis Deskriptif Setelah data diperoleh dalam rangka mencapai tujuan penelitian selanjutnya dianalisis berdasarkan teknik analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan dalam penelitian ini, untuk menjawab rumusan masalah poin 1, 2, 3. Tujuan penelitian yaitu: pertama, untuk mengetahui manfaat sosial, budaya dan ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih; kedua, untuk mengetahui besarnya
multipier
effect pengeluaran ritual; dan ketiga, untuk mengetahui besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual. Menghitung besarnya multipier effect pengeluaran ritual seperti bambu, babi, uang kepeng, kepala, bebek-ayam, kain kasa, telor, pajeng, janur, pisang dan buah-buahan, minyak goreng, dan bunga (Tahap I, II, dan Tahap III). Besarnya tambahan pendapatan bagi pemasok bahanbahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih untuk 13 jenis katagori bahan-bahan ritual. 4.8.2 Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif merupakan suatu teknik analisis yang menggunakan statistik inferensial dengan uji statistik. Analisis kuantitatif digunakan untuk menjawab hipotesis dan rumusan masalah 4 dan 5. Untuk kepentingan pengujian secara statisik, hasil pengukuran variabel menggunakan indikator-indikator yang menghasilkan skala nominal atau ordinal ditransformasi supaya berbentuk nilai skala interval bahkan skala ratio.
139
Pengolahan data menggunakan program AMOS versi 20,0 model SEM digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. SEM adalah teknik statistik multivariate yang merupakan kombinasi antara analisis faktor dan analisis (korelasi), bertujuan untuk menguji hubungan-hubungan antar variabel yang ada pada sebuah model, baik itu antar indikator dengan konstruknya. Adapun penggunaan SEM dalam penelitian ini didasari atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. SEM memiliki fleksibelitas yang lebih tinggi bagi peneliti untuk menghubungkan antara teori dan data (Ghozali, 2010). Fenomena yang diteliti bersifat multidemensi (multi indikator) sehingga dibutuhkan suatu model komprehensif yang sekaligus dapat menjadi teknik yang mampu mengakomodasi penelitian multidimensi (Widarjono,2010). Regresi umumnya hanya dapat menganalisis satu hubungan pada suatu waktu. Sementara SEM sebagai perluasan dan kombinasi beberapa teknik multivariat memungkinkan melakukan pengujian serangkaian hubungan yang rumit secara simultan. SEM memungkinkan peneliti menjawab pertanyaan penelitian yang bersifat regresif atau dimensional. Melalui SEM, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa demensi sebuah konstruk sekaligus mengukur pengaruh antar faktor yang telah diidentifikasi. Analisis jalur (Path Analysis) merupakan bentuk khusus dari SEM, untuk itu didalam membuat model analisis jalur, seharusnya dilakukan berdasarkan landasan teori yang ada (Widarjono, 2010). Dukungan teoritik atau hasil penelitian atau pendapat menunjukkan adanya kontribusi pelaksanaan ritual dengan kesejahteraan masyarakat melalui kesempatan kerja.
140
Membuat sebuah model SEM (Model Specification) berbasis teori. Tahapan ini merupakan pengabsahan model artinya teori yang digunakan berfungsi sebagai justifikasi atas model yang digunakan oleh peneliti. Bahwa adanya hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih. Justifikasi teoritis pada penelitian ini dapat dilihat pada kerangka pikir. Selanjutnya Ferdinand, 2006; Solimun, 2004; Widarjono, 2010; dan Santoso, 2005) menyatakan adapun tahapan pokok yang dilakukan untuk menggunakan SEM dalam penelitian ini sebagai berikut. 1) Mengkonstruksi Diagram Jalur Pengembangan diagram jalur bermanfaat untuk menunjukkan alur hubungan kausal antara variabel eksogen dan endogen. Menggunakan diagram jalur lebih mudah bagi peneliti untuk melihat antar variabel yang diteliti. Menurut Widarjono (2010) ada beberapa konversi yang digunakan dalam menganalisis SEM ketika menggunakan metode grafik. Variabel laten digambarkan oleh lingkaran atau elips. Variabel indikator digambarkan oleh bujursangkar atau persegi panjang. Variabel error digambarkan oleh lingkaran atau elips yang lebih kecil dari variabel laten. Sedangkan hubungan antara variabel dijelaskan dengan menggunakan baik tanda panah satu arah maupun tanda panah dua arah. Berdasarkan model persamaan struktural karena setiap persamaan menjelaskan hubungan kausal yaitu variabel eksogen pelaksanaan ritual terhadap variabel endogen kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Lebih jelasnya, digambarkan diagram jalur (Path diagram), seperti Gambar 4.2
141
e14 e1
e2
e3
e4
e5
kk1
pr1
kk2
pr2
KKPR
KK
pr3
pr4
e8
kk4
e9
km
e10
1
KMPR
e7
kk3
β KMKK
PR
e6
km2
e11
km3
e12
km4
e13
KM
pr5
e15
Gambar 4.2 Diagram Jalur Kontribusi Pelaksanaan Ritual terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat. Keterangan: PR =Pelaksanaan Ritual, pr1=Labda Karya, pr2=Manggala Karya, pr3=Keharmonisan, pr4=Tenaga Kerja, pr5=Bahan ritual. KK=Kesempatan Kerja, kk1=Lapangan usaha, kk2=Kualitas Kesempatan Kerja, kk3=Kuantitas Kesempatan Kerja, kk4=Sifat Kesempatan Kerja. KM=Kesejahteraan Masyarakat, km1=Tingkat Pendapatan, km2=Derajat Pendidikan, km3= Derajat Kesehatan, km4= Kondisi kehidupan Sosial. e = Kesalahan struktural (structural error), β = Koefisien jalur PR ke KK dan KM, = Gamma.
2) Mengkonversi Diagram jalur ke dalam Persamaan Struktural dan Spesifikasi Model Pengukuran a) Persamaan
Struktural,
tahap
pertama
yang
dilakukan
adalah
mengkonversi diagram jalur menjadi persamaan struktural. Konversi diagram jalur kedalam persamaan struktural diformulasikan sebagai media untuk menjelaskan terjadinya hubungan sebab akibat antar
142
konstruk. Dalam penelitian ini diagram jalur diterjemahkan menjadi persamaan struktural sebagai berikut. KK = KKPR PR+ e14
..........................................................................................................(4.1)
KM = KMPR PR + e15............................................................................................................(4.2) KM = KMKK KK + e15........................................................................................................(4.3) Dimana, PR= Pelaksanaan Ritual, KK= Kesempatan Kerja, KM= Kesejahteraan Masyarakat, β= Koefisien jalur PR ke KK dan KM, e = Kesalahan struktural (structural error). b) Model Pengukuran,
tahap
kedua
adalah
pengembangan
model
pengukuran (measurement model) untuk mendapatkan model pengukuran yang sesuai. Measurement model adalah bagian dari model SEM yang terdiri atas sebuah variable laten (konstruk) dan beberapa variable manifest (indicator) yang menjelaskan variable tersebut (Santoso, 2011). Lebih lanjut dikatakan tujuan pengujian adalah untuk mengetahui seberapa tepat variable-variabel manifest tersebut dapat
menjelaskan
variable laten yang ada. Pada penelitian ini dikembangkan 3 (tiga) model pengukuran untuk tiga variabel laten atau konstruk yang berbeda, yaitu sebagai berikut. 1. Model pengukuran variabel Pelaksanaan Ritual (PR) 2. Model pengukuran variabel Kesempatan Kerja (KK) 3. Model pengukuran variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM)
143
(1) Model pengukuran variabel Pelaksanaan Ritual (PR) Model pengukuran variabel pelaksanaan ritual, didukung Teori Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977), Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, Teori Religiusitas Geertz (1973). Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian (Goody, 1961; Guiso at al., 2009; Triguna, 1994; Geriya, 2000; Sumini, 2008; Sukarsa, 2005; dan Wijaya, 2012), dengan indikator seperti disajikan Gambar 4.3 e1
pr1
λ1 e2
pr2
λ2 e3
pr3
e4
pr4
e5
pr5
λ3
PR
λ4 λ5
Gambar 4.3 Model Pengukuran Variabel Pelaksanaan Ritual Keterangan: PR=Pelaksanaan Ritual, pr1=Labda Karya, pr2=Manggala Karya, pr3= Keharmonisan, pr4= Tenaga Kerja, pr5= Bahan ritual
Persamaan spesifikasi model pengukuran untuk variabel (konstruk) Pelaksanaan Ritual (PR) adalah: pr1 = λ1 PR + e1 .................................................................................(4.4) pr2 = λ2 PR + e2 ............................................................................... (4.5) pr3 = λ3 PR + e3 .................................................................................(4.6)
144
pr4 = λ4 PR + e4 .................................................................................(4.7) pr5 = λ5 PR + e5 .................................................................................(4.8) dimana: PR = Pelaksanaan Ritual, pr1 = Labda Karya, pr2 = Manggala Karya pr3 = Keharmonisan, pr4 = Tenaga Kerja, pr5 = Bahan Ritual, e = Kesalahan pengukuran (measurement error). (2) Model pengukuran variabel Kesempatan Kerja (KK) Model pengukuran variable kesempatan kerja, didukung kriteria BPS, 2011 selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Choi, 2004; Ellison et al., 1994; Sulistyaningsih, 1997; Lochart, 2005; Ferlini, 2011; Purwanti, 2009; Puspa, 2010; Wijaya, 2012; BPS Provinsi Bali , 2011), indikator seperti disajikan Gambar 4.4 kk1
e6
kk2
e7
kk3
e8
kk4
e9
λ1 KK
λ2 λ3 λ4
Gambar 4.4 Model Pengukuran Variabel Kesempatan Kerja Keterangan: KK = Kesempatan Kerja , kk1 = Lapangan usaha kk2 = Kualitas Kesempatan Kerja, kk3 = Kuantitas Kesempatan Kerja kk4 = Sifat Kesempatan Kerja
Persamaan spesifikasi model pengukuran untuk variabel (konstruk) Kesempatan Kerja (KK) adalah: kk1 = λ1 KK + e6
. ..........................................................................(4.9)
kk2 = λ2 KK + e7
..........................................................................(4.10)
145
kk3 = λ3 KK + e8
..........................................................................(4.11)
kk4 = λ4 KK + e9
..........................................................................(4.12)
dimana: KK = Kesempatan Kerja, kk1 = Indikator lapangan usaha, kk2 = Indikator Kualitas Kesempatan Kerja, kk3 = Indikator Kuantitas Kesempatan Kerja, kk4= Indikator Sifat Kesempatan Kerja, e = Kesalahan pengukuran (measurement error) (3) Model pengukuran variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM) Model pengukuran variable kesempatan kerja, didukung kriteria BPS, 2011 selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Amartya Sen, 1992; Chapra, 2001; Grinols, 1994; Stiglitz, et.al., 2011; Wijaya, 2012; dan BPS Bali, 2011), indikator seperti disajikan Gambar 4.5 km1
e10
km2
e11
km3
e12
km4
e13
λ5 λ6 KM λ7 λ8
Gambar 4.5 Model Pengukuran Variabel Kesejahteraan Masyarakat Keterangan: KM = Kesejahteraan Masyarakat, km1=Tingkat Pendapatan, km2 = Derajat Pendidikan, km3 = Derajat Kesehatan, km4 = Kondisi kehidupan Sosial
Persamaan
spesifikasi
model
pengukuran
untuk
variabel
(konstruk) kesejahteraan masyarakat adalah: km1 = λ KM + e10
..........................................................................(4.13)
km2 = λ KM + e11 .............................................................................(4.14)
146
km3 = λ KM + e12 ............................................................................(4.15) km4 = λ KM + e13 ..............................................................................(4.16) Dimana: KM = Kesejahteraan Masyarakat, km1= Indikator Tingkat Pendapatan, km2= Indikator Derajat Pendidikan, km3= Indikator Derajat Kesehatan, km4= Indikator Kondisi kehidupan Sosial, e= Kesalahan pengukuran (measurement error) 3) Pemilihan Matriks Input dan Pendugaan Model Penggunaan data input untuk SEM dapat berupa matriks korelasi atau matriks kovarians. Input data berupa matriks kovarian, bilamana tujuan dari analisis adalah pengujian suatu model yang telah mendapat justifikasi teori. Sedangkan matriks korelasi digunakan untuk melihat pola hubungan tetapi tidak melihat penjelasan total. Sebelum dilakukan estimasi, terlebih dahulu dilakukan perubahan data individu dari hasil observasi kedalam bentuk matriks kovarian atau matriks korelasi. 4) Pengujian Identifikasi Model Struktural Identifikasi berkaitan dengan apakah tersedia cukup informasi untuk mengidentifikasi adanya solusi dari persamaan struktural. Permasalahan yang muncul bisa unidentified atau under identified dan bisa over identified yang mengakibatkan proses pendugaan tidak menghasilkan penduga yang unik, dan model tidak bisa dipercaya. Gejala yang muncul akibat adanya masalah identifikasi antara lain terdapat standard error satu atau beberapa koefisien terlalu besar, ketidakmampuan program menyajikan matriks informasi yang
147
seharusnya disajikan seperti varians error yang negatif dan terjadi korelasi yang tinggi (>0,9) antar koefisien hasil dugaan. 5) Model Uji Kelayakan (Goodness of Fit) dan Uji Signifikasi a). Uji Kelayakan Model Langkah pertama yang ditempuh adalah memeriksa kesesuaian data input dan asumsi yang diperlukan SEM, seperti kriteria goodness-of-Fit meliputi absolute fit indices, incremental fit indices, parsimony fit indeces (Ferdinan, 2006; Widarjono, 2010). Kriteria goodness-of-Fit, yang umum dipergunakan dalam analisis SEM, juga digunakan dalam penelitian ini disajikan sebagai berikut. (1) Uji Chi Squares (X2). Tujuan pengujian Chi Squares adalah untuk mengetahui apakah matriks kovarians sampel berbeda secara signifikan dengan matrik kovarians estimasi. Suatu model dipandang baik atau layak apabila Chi Squares-nya memiliki nilai yang rendah. Semakin kecil nilai (X2) maka akan semakin baik model tersebut dan menghasilkan tingkat probability yang mempunyai p > 0,05. (2) Goodness of Fit Index (GFI). Indeks ini menghitung proporsi tertimbang antara jumlah varians dalam estimated covariance matrix dengan jumlah varians dalam sample covarians matrix. GFI memiliki rentang nilai antara 0 sampai dengan 1 (0 ≤ GFI ≤ 1). Semakin tinggi nilai GFI atau mendekati 1 maka semakin layak model. Model dianggap layak bila nilai GFI ≥ 0,09 (Widarjono, 2010).
148
(3) Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI). Uji AGFI merupakan uji GFI yang disesuaikan. AGFI mempunyai rentang nilai antara 0 dan 1 (0 ≤ AGFI ≤ 1). Semakin mendekati 1 nilai AGFI maka semakin baik model. Namun tidak ada nilai yang pasti untuk menentukan apakah model layak. Sebagai Cut off Value adalah bila AGFI ≥ 0,80 sebagai model yang layak (goodness of fit) (Widarjono, 2010). (4) Root Mean Squares Residual (RMSR). RMSR merupakan indeks untuk mengkompensasi chi-square statistic dalam sampel besar. Jika nilai RMSR lebih kecil atau sama dengan 0,08 maka model adalah baik (fit). (5) Comparative
Fit
Index
(CFI).
Indeks
ini
pada
dasarnya
membandingkan angka Non Centrality Parameter pada berbagai model. CFI memiliki rentang nilai antara 0 sampai 1, dengan ketentuan jika nilai mendekati 1 maka model yang dibuat dianggap sesuai (fit). Pada umumnya nilai di atas 0,9 menunjukkan model sudah fit (Santoso, 2011). (6) Tucker Lewis Index (TLI). TLI merupakan suatu incremental fit index yang membandingkan model yang diuji dengan baseline model. Nilai TLI yang diperlukan untuk sebuah model yan dianggap sesuai (model dapat dianggap fit) adalah yang mendekati angka 1 (Santoso, 2011) Berdasarkan uraian di atas, maka kelayakan hasil pengujian Goodness of Fit model pada SEM harus memiliki ketentuan sebagaimana yang tertera Tabel 4.8 (Ferdinnd, 2006).
149
Tabel 4.10 Indeks Pengujian Kelayakan (Goodness of Fit Index) SEM Goodness of Fit Index X2 –chi square Significan Probability RMSEA CFI AGFI CMIN/DF TLI CFI Sumber: Ferdinnd, 2006
Cut-Off Value Diharapkan kecil ≥ 0,05 ≤ 0,08 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≤ 2,0 ≥ 0,95 ≥ 0,95
b). Uji Signifikansi Hubungan antar variable di dalam model SEM adalah hubungan kausl sebagaimana hubungan dalam analisis regresi. Ada tidaknya hubungan kausal diuji dengan menggunakan uji statistika t. Melalui uji statistika t diketahui apakah variable laten signifikan atau tidak terhadap variable laten lainnya. Dalam penelitian nilai e yang digunakan adalah 0,05 dengan demikian jika nilai t hitung lebih besar nilai table (e = 0,05) maka variable laten dikatakan signifikan, dan jika tidak maka tidak signifikan (Widarjono, 2010). Selanjutnya asumsi yang harus dipenuhi saat menggunakan metode SEM diantaranya, yaitu: Penggunaan SEM membutuhkan jumlah sampel yang besar; Uji normalitas yang dilakukan pada SEM ada dua tahapan (menguji normalitas untuk setiap variable dan pengujian normalitas secara bersama-sama yang disebut multivariate normality); Mendeteksi adanya outlier diukur dengan metode mahalanobis, sebuah data termasuk outlier jika mempunyai angka p1 dan p2 kurang dari 0,05. Jika terdapat data outlier maka data tersebut haruslah dihapus langkah berikutnya dilaksanakan uji normalitas dan deteksi outlier dapat diulang kembali (Widarjono, 2010).
150
4.8.3 Analisis Interaksi Secara Interpretif untuk Desain Kualitatif Analisis kualitatif adalah untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan
atau
menggambarkan
data
yang
telah
terkumpulkan
sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum atau generalisasi. Termasuk dalam statistik deskriptif antara lain adalah penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, pengukuran tendensi sentral (Modus, median, mean), perhitungan penyebaran data (perhitungan rata-rata dan standard deviasi) dan perhitungan persentase (Sugiyono, 2010). Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawacara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang telah terhimpun untuk
memperoleh
jalan
pengetahuan
mengenai
data
tersebut
dan
mengkomunikasikan apa yang telah ditemukan. Oleh karena data dalam penelitian ini berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, paragraf-paragraf yang dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat deskriptif sebagai ciri khas dari penelitian kualitatif, maka teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif dengan menggunakan kalimat walaupun tidak menutup kemungkinan terdapat data yang berupa angka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman dalam Moleong (2002) bahwa analisis deskriptif dilakukan melalui tiga jalur kegiatan yang merupakan satu kesatuan, yaitu: reduksi data; penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi dalam waktu bersamaan. Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan variabel laten yang tidak sesuai dengan landasan teoritis sebagai variabel yang mempengaruhi. Tahapan analisis meliputi berikut ini. 1) Analisis sebelum di lapangan yaitu analisis dilakukan terhadap hasil studi pendahuluan dipergunakan sebagai fokus penelitian sementara. Fokus
151
penelitian dapat mengalami perubahan tergantung fenomena yang ditemukan dilapangan. 2) Analisis data lapangan yaitu analisis secara langsung terhadap jawaban yang diberikan informan bila jawaban kurang memuaskan maka peneliti akan memberikan pertanyaan lanjutan sampai diperoleh data yang dianggap kredibel. Proses wawancara dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas dengan menggunakan metode Miles dan Huberman (Sugiyono, 2010) seperti terlihat Gambar 4.6. Penyajian Data
Pengumpulan Data Reduksi
Kesimpulan-kesimpulan Penarikan/ Verifikasi Gambar 4.6
Hubungan Interaktif Alur Data Penelitian Kualitatif (Miles dan Huberman, 1984)
Sumber: Sugiyono (2010)
Setelah data terkumpul, tindakan peneliti selanjutnya reduksi data, yaitu poses merangkum data dengan memilah hal-hal pokok dan memfokuskan pada hal-hal penting sesuai dengan fokus studi untuk memudahkan mencari data dan melengkapi data berikutnya yang diperlukan dalam analisis. Tahap berikutnya adalah data display, yaitu penyajian data dalam bentuk uraian singkat hubungan antar katagori secara naratif. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk memudahkan pemahaman terhadap kejadian dilapangan
serta
memudahkan
proses
berikutnya.
Tahap
terakhir
152
verification atau kesimpulan sekaligus merupakan temuan dalam penelitian dengan menggunakan desain kualitatif. 3) Analisis Pasca Lapangan yaitu analisis tema kultural (discovering cultural thema). Mencari hubungan diantara domain, dan bagaimana hubungan dengan keseluruhan sesuai fokus analisis atau obyek studi (Sugiyono, 2010). Keseluruhan tahapan analisis dengan pendekatan kualitatif bertujuan untuk menemukan kebaharuan atas permasalahan penelitian yang belum mampu diverifikasi melalui pendekatan kuantitatif, yaitu konstruk yang memiliki kontribusi yang tidak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat sehingga hasil analisis kualitatif memberikan penguatan argumentasi guna memvalidasi dan mereliabilitasi kesimpulan penelitian yaitu kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat di Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung. Seluruh proses studi juga bertujuan menemukan faktor-faktor penyebab secara pasti analisis yang tidak positif terhadap kesejahteraan masyarakat menjadi temuan dalam studi desertasi ini dan selanjutnya merupakan informasi sangat penting
dalam pertimbangan
pengambilan keputusan untuk pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Badung.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Deskripsi Karakteristik Desa Adat Abiansemal Bentuk Desa di Bali terutama didasarkan atas kesatuan tempat. Disamping kesatuan wilayah maka sebuah desa merupakan pula suatu kesatuan keagamaan yang ditentukan oleh suatu kompleks pura desa yang disebut Kahyangan Tiga, yaitu Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Dalem. Ada kalanya Pura Puseh dan Pura Bale Agung dijadikan satu dan disebut Pura Desa. Adat istiadat daerah Bali adalah tata kehidupan tradisional masyarakat Bali yang bersumber pada Agama Hindu. Salah satu adat istiadat yang sampai saat ini masih terlihat adalah mengenai pola perkampungan masyarakat Bali seperti halnya masyarakat Desa Adat Abiansemal kebiasaan-kebiasaan masyarakat Desa Abiansemal melakukan kegiatan adat dengan sistem gotong royong masih kuat ini tercermin setiap aktivitas adat selalu melibatkan krama Desa Adat Abiansemal. Perkampungan adalah disamakan dengan desa yang merupakan satu kesatuan wilayah desa pada masyarakat Bali dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 Desa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Desa Dinas merupakan kesatuan administratif yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa berada di bawah Camat, Desa Adat yang dikepalai oleh seorang Bendesa Adat (Rivai Abu, 1996). Dasar pembentukan Desa Adat dan Desa Dinas memiliki persyaratan yang berbeda,
153
154
sehingga wilayah dan jumlah penduduk pendukung sebuah Desa Dinas tidak selalu sama dengan Desa Adat. Eksistensi Desa Adat di Bali berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 6 Tahun 1986, yang mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat Adat di Propinsi Daerah Bali. Kelembagaan Desa Adat bersifat permanen dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu Desa Adatnya sendiri sebagai suatu wadah, dan adat istiadatnya sebagai isi dari wadah tersebut. Desa Adat Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung merupakan suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali. Desa Adat dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu: Parahyangan (mewujudkan hubungan manusia dengan pencipta-Nya yaitu Hyang Widhi), Pelemahan (mewujudkan hubungan manusia dengan alam lingkungan tempat tinggalnya), dan Pawongan (mewujudkan hubungan antara sesama manusia, sebagai makhluk ciptaan-Nya). Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung, dikepalai oleh seorang Kepala Desa bernama IB. Bisma Wirawan, SH dan Banjar Adat dipimpin oleh seorang Bendesa Adat yaitu Made Kandra Suraga. Desa Adat Abiansemal Kabupaten Badung merupakan kesatuan masyarakat dimana warganya mengkonsepkan dan mengkolektifkan secara bersama upacara-upacara keagamaan yakni upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya, dan Pitra Yadnya dalam Panca Yadnya dengan dasar ikatan adat istiadat dan sistem gotong royong (ngayah) dan terikat oleh adanya tiga pura utama
155
(Kahyangan Tiga) yaitu pura Puseh, pura Desa, dan pura Dalem dan memiliki sembilan Banjar adat. Luas wilayah Desa Abiansemal adalah 3,96 Km2 dengan batas-batas wilayah yaitu: Utara berbatasan dengan Setra Kembengan, Selatan berbatasan dengan Sungai Campuan Gerih, Barat berbatasan dengan Sungai Yeh Cani, dan Timur berbatasan Sungai Ayung. Desa Abiansemal meliputi wilayah administrasi terdiri dari 9 (sembilan) dusun atau banjar adat yaitu: Banjar Juwet, Banjar Pande, Banjar Kedampal, Banjar Batan Buah, Banjar Belawan, Banjar Banjaran, Banjar Aseman, Banjar Keraman, dan Banjar Sempidi. Kondisi geografi Desa Abiansemal dengan ketinggian tanah dari permukaan laut 80-100 meter termasuk dataran rendah dengan curah hujan rendah. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan adalah 2,5 km, jarak dari ibu kota kabupaten 17 km, sedangkan jarak dari ibu kota provinsi 17 km. Luas pertanahan di wilayah ini adalah 1.995.470 Ha, dari keseluruhan luas wilayah Desa Abiansemal diperuntukan untuk jalan 23.070 Km2, sawah dan ladang adalah seluas 237,275 Ha, pemukiman atau perumahan seluas 193,375 Ha, jalur hijau seluas 830 Ha, perkuburan seluas 3,740Ha. Untuk Pasar Desa seluas 0,200 Ha, perkantoran seluas 0,200 Ha, tanah pekarangan 193,375 Ha, tanah tegalan 259,160 Ha, tanah perkebunan rakyat 11,250 Ha, tanah Desa lain-lain seluas 0,200 Ha, penggunaan tanah sawah untuk irigasi teknis adalah 243,625 Ha. Penduduk Desa Abiansemal dapat dibedakan berdasarkan: Jumlah penduduk sebanyak 6.168 orang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 3.158 orang dan penduduk perempuan sebanyak 3.010 orang; Kewarganegaraan WNI
156
yaitu 6.168 orang; Jumlah Kepala Keluarga adalah 1645 KK; dan jumlah penduduk berdasarkan Agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang terbanyak adalah Agama Hindu 6.088 orang, Agama Islam sebanyak 75 orang dan Agama Kristen hanya 5 orang. Kelompok umur yang terbanyak adalah 25 tahun ke bawah sebesar 2.805 orang atau 40,48 persen dan kelompok umur terkecil adalah 55 tahun keatas hanya berjumlah 494 orang atau 8,01 persen. Menurut tingkat pendidikan terbanyak adalah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat adalah 2.887 orang atau
48,18
persen sedangkan tamat pendidikan yang terkecil
Sekolah Dasar (SD) ke bawah sebanyak 96 orang atau 1,62 persen. Kelompok tenaga kerja terbanyak adalah 57 tahun keatas sebesar 36,75 persen sebagai katagori tenaga kerja usia lanjut sedangkan persentase terkecil kelompok umur 19 tahun kebawah hanya sebanyak 10,98 persen. Mata pencaharian
terbanyak
sebagai pedagang dan kerajinan bambu adalah 33,10 persen sedangkan persentase mata pencaharian terkecil sebagai pegawai negeri hanya 18,64 persen. Sebagaimana umumnya masyarakat Hindu Di Bali, Desa Adat Abiansemal memiliki Pura Kahyangan Tiga yaitu Pura Dalem tidak bisa dipisahkan dari Pura Puseh dan Pura Desa dan satu Pura Subak (Monografi Desa Abiansemal, 2011). 5.2 Deskripsi Tentang Profil Responden Responden dalam penelitian ini berjumlah 130, yaitu 108 responden pengempon pura dan 22 responden pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan
157
Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka yang diteliti di Desa Abiansemal. Dari hasil kuesioner yang telah diisi oleh 130 responden, menunjukkan bahwa jumlah responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 123 orang atau 94,6 persen dan responden perempuan sebanyak 7 orang atau 5,4 persen, profil responden sebagai berikut. 1) Dilihat dari umur responden rata-rata 46,81 tahun atau 47 tahun, umur termuda 23 tahun dan tertua 70 tahun. Kelompok umur pengempon pura dan pemasok menunjukkan umur yang dominan adalah 55 tahun ke atas sebanyak 33,08 persen artinya usia responden terutama pengempon pura Pasek sebagian besar sudah berusia lanjut, memudahkan dalam pelaksanaan ritual. Walaupun umur responden 55 tahun keatas, bagi masyarakat pengempon pura dan pemasok tidak menjadi hambatan. Pada umumnya, kegiatan ritual bagi masyarakat Hindu di Bali cenderung dilaksanakan oleh masyarakat usia tua seperti tukang banten (perempuan) dan tukang sate banten (laki-laki). Masyarakat umat Hindu yang berumur 55 tahun ke atas dianggap memahami mekanisme pelaksanaan ritual sesuai ajaran agama. 2) Dari segi pendidikan, dominan responden tamatan Sekolah Dasar sebanyak 56 orang atau 43,08 persen, tingkat pendidikan terendah adalah Sekolah Dasar 44 orang atau 33,85 persen. Keberadaan masyarakat pengempon pura dan pemasok tidak terpengaruh tingkat pendidikan formal, tamatan SD sudah mampu untuk mengatur pelaksanaan ritual karena diperlukan adalah keterampilan dan lingkungan kehidupan masyarakat Bali yang religius. Artinya eksistensi masyarakat Hindu di Desa Adat Abiansemal terutama beberapa
158
masyarakat pengempon pura memiliki pemahaman pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih. 3) Mata pencaharian responden, dominan sebagai petani dan usaha kerajinan bambu adalah 46 orang atau 35,38 persen, pedaganng sebanyak 29 orang atau 22,31 persen dan mata pencaharian paling sedikit adalah sebagai pegawai negeri 14 orang atau 10,76 persen. Keberadaan rumah tangga pengempon pura sebagai petani penggarap milik Geriya, pengerajin bambu, dan pegawai swasta di perusahaan Aqua Mambal. 4) Rata-rata usia usahanya 3,6 tahun, usia terendah 1 tahun dan tertua 10 tahun. Usia usaha dominan adalah antara 2 sampai 5 tahun atau 45,45 persen, usia usaha pemasok bahan ritual sangat terkait dengan semakin meningkatnya intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali. Hal ini, mendorong baik masyarakat Bali maupun masyarakat luar memanfaatkan kesempatan berusaha sebagai pemasok, penyalur ataupun sebagai produsen/petani bahan-bahan ritual.
Langkah strategi
yang dilakukan oleh masyarakat pemasok
mengembangkan usaha yang telah ada atau mengembangkan usaha baru ditempat lain. Dari 22 responden pemasok bahan ritual yang diteliti, rata-rata tenaga kerja yang mampu diserap 3 orang dengan rata-rata jumlah jam kerja adalah 8 jam per hari (Lampiran 9). 5) Rata-rata pendapatan rumah tangga responden pengempon pura pada bulan penelitian adalah sebesar Rp 4,56 juta, pendapatan terendah adalah Rp 1,90 juta dan pendapatan tertinggi adalah Rp 7,60 juta per bulan (Lampiran 7). Ratarata pendapatan pemasok pada bulan penelitian adalah sebesar Rp 4,70 juta.
159
Responden pemasok dengan pendapatan terendah adalah Rp 2,50 juta dan tertinggi adalah Rp 9,50 juta (Lampiran 8). Pendapatan tertinggi pedagang beras sebesar Rp 9,50 juta, tinggi rendah pendapatan pedagang beras dipengaruhi oleh permintaan bukan tingkat harga. Artinya berapapun harga beras pasti akan dibeli oleh konsumen karena beras merupakan salah satu kebutuhan pokok. Untuk permintaan bahan-bahan ritual, sebagaimana umumnya di Bali sangat dipengaruhi oleh musim dan hari raya Agama Hindu (dewasa ayu atau musim rerahinan) yaitu dewasa ngaben, upacara Panca Balikrama, Purnama Tilem, Kajeng keliwon dan hari raya besar GalunganKuningan, berapapun harga bahan-bahan ritual pasti akan dibeli. 6) Rata-rata pengeluaran konsumsi ritual rumah tangga pengempon pura pada bulan penelitian adalah sebesar Rp 2,20 juta. Responden dengan pengeluaran terendah adalah Rp1,90 juta dan tertinggi adalah Rp 4,70 juta (Lampiran 7). Pengeluaran ritual umat Hindu di Bali sepertiga dari pendapatan untuk beryadnya, sepertiga kedua untuk artha dan sepertiga terakhir untuk kama dalam mencapai tujuan hidup. Rata-rata pengeluaran konsumsi pemasok per bulan adalah sebesar Rp 4,10 juta. Responden dengan pengeluaran terendah adalah Rp 2,20 juta dan tertinggi adalah Rp 8,50 juta per bulan (Lampiran 8). 7) Penggunaan tenaga kerja dalam pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal menunjukkan tingkat mobilisasi tenaga kerja perempuan yang cukup tinggi dibanding tenaga kerja laki-laki. Pembagian tenaga kerja dalam pelaksanaan ritual ini berdasarkan panitia atau seksi karya (Tabel 4.1) telah terspesialisasi antara tenaga
160
perempuan dan laki-laki (berdasarkan pembagian gender). Biasanya pekerjaan seperti membuat taring, bale panggung dan warung atau sesalon, mebat dilakukan oleh laki-laki. Sedangkan pekerjaan seperti mejejahitan, metanding dan prosesi upacara dilakukan oleh tenaga perempuan. Alokasi Waktu dan Tenaga kerja mulai H-6 sampai hari H Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Desa Abiansemal Kabupaten Badung 20 April 2012 , sebagaimana disajikan Tabel 5.1. Tabel 5.1 Alokasi Waktu dan Tenaga kerja Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (Orang/Mandays)
Hari
Tenaga Kerja Manday LakiLakiLaki Laki (orang)
H-6 H-5 H-4 H-3 H-2 H-1 “H” Jumlah
Tenaga Kerja Peremp (orang)
Jumlah Total Manday Laki-laki dan Manday Perempuan Perempuan Laki-laki dan (orang) Perempuan
22 86 65 70 115 120 222
77 301 227,5 245 402,5 420 777
25 85 90 95 120 115 232
131,25 446,25 472,5 498,75 630 603,75 1218
47 171 155 165 235 235 454
208,25 747,25 700 743,75 1032,5 1023,75 1995
700
2450
992
4000,5
1462
6450,5
Sumber: Data Primer (diolah oleh Peneliti), 2012 Tabel 5.1 menunjukkan bahwa alokasi tenaga kerja terlihat mulai H–6 sampai hari H diperlukan total tenaga kerja laki-laki dan tenaga perempuan sebanyak 1462 rang. Jika total semua orang yang datang ngayah dan dikonversi dengan mandays (laki-laki dewasa 8 mandays dan perempuan dewasa 0,8 mandays) adalah 6450,5 mandays tepatnya 6450 mandays.
161
Alokasi penggunaan tenaga kerja
laki-laki dan perempuan
(berdasarkan gender) serta waktu pelaksanaan ritual, sebagaimana ditunjukkan Tabel 5.2. Tabel 5.2 Alokasi Waktu dan Tenaga Kerja Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (selama 63 hari/orang/mandays) Pengempon Jumlah Jumlah Pura Tenaga Kerja Rata-rata (orang) Tenaga Kerja/ hari (orang) Laki-Laki 5669 90 Perempuan 6174 98 Total 11843 188
Jumlah Rata-rata Jam Kerja/hari (jam) 4 8 12
Rata-rata Upah Manday Tenaga Kerja/ Laki-laki hari pada bulan dan Penelitian (Rp) Perempuan 80.000 60.000 140.000
2835 4630,5 7465,5
Sumber: Data Primer (diolah oleh Peneliti), 2012 Tabel 5.2 menunjukkan, alokasi waktu dan total tenaga kerja lakilaki dan tenaga perempuan selama 63 hari (H-55 sampai H+7) mulai persiapan ritual sampai ritual berakhir sebanyak 11.843 orang, rata-rata jumlah tenaga kerja laki-laki 90 orang /hari dan perempuan 98 orang /hari dengan rata-rata jumlah jam kerja per hari perempuan 8 jam lebih besar dari laki-laki 4 jam per hari, tenaga perempuan memiliki peranan lebih besar dari tenaga laki-laki dalam pelaksanaan ritual Agama Hindu. Jika total semua orang yang datang ngayah dan dikonversi dengan mandays adalah 7465,5 mandays tepatnya 7466 mandays. Berdasarkan pendekatan Hari Orang Kerja (HOK) dikonversi dengan upah tenaga kerja yang berlaku di Desa Abiansemal selama bulan penelitian bahwa biaya swadaya tenaga kerja laki-laki dan tenaga perempuan selama 63 hari adalah sebesar = Rp 597,240 juta ditambahkan dengan biaya
162
pengeluaran ritual yang telah dikeluarkan sebesar = Rp 188,568 juta maka total biaya pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal menjadi sebesar =.Rp785,808 juta. Namun selama ini biaya swadaya tenaga kerja laki-laki dan tenaga perempuan dalam aktivitas adat, budaya, dan agama terutama pengorbanan waktu dan mandays tenaga kerja laki-laki dan perempuan tidak pernah diperhitungkan secara ekonomi, hal ini berdasarkan pengorbanan yang tulus iklas, kepercayaan dan keyakinan umat (Hindu) di Bali. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa ketika pengorbanan waktu tenaga kerja laki-laki dan tenaga perempuan dihitung dengan pendekatan ekonomi, andaikan menggunakan tenaga kerja yang dibayar maka ada pendapatan tenaga kerja laki-laki sebesar Rp 226,800 juta (28,86 persen) dan tenaga kerja perempuan sebesar Rp 370,440 juta (47,14 persen). Ini dapat juga diartikan bahwa dalam kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat umat (Hindu) di Bali nilai pengorbanan tenaga perempuan lebih besar dari nilai pengorbanan tenaga laki-laki. Temuan penelitian ini, menunjukkan bahwa aktivitas ritual lebih banyak dikerjakan oleh tenaga perempuan sehingga perempuan Hindu memiliki peranan lebih penting untuk dapat terselenggaranya kegiatan ritual yang baik dan lancar (labda karya). 5.3 Deskripsi Informan Kunci dan Ahli Informasi kunci untuk mendukung desain penelitian kualitatif berjumlah 12 orang dengan identitas sebagaimana terlihat pada Tabel 5.4. Informan kunci
163
sebanyak 12 orang berasal dari pengempon pura sebanyak 7 orang, pemasok bahan-bahan ritual 3 orang, dan 2 orang merupakan informan ahli (sulinggih dan tapini). Responden yang menjadi informan kunci diwawancarai sebelumnya sesuai kriteria yang telah ditetapkan ditambah dua informan ahli dengan metode spradley menentukan informan yang akan diwawancarai, tujuannya adalah untuk menggali informasi yang lebih mendalam dan komprehensif terkait fokus obyek penelitian. Peranan informan ahli dalam penelitian indepth interview ini adalah sumber informasi penting tentang makna, fungsi dan tujuan pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Jumlah informan sebanyak 12 orang dianggap mencukupi dalam penelitian dengan menggunakan desain kualitatif, sebagaimana ditunjukkan Tabel 5.3 Tabel 5.3 menunjukkan informan kunci dari pengempon pura yaitu pemangku pura dan tokoh pengempon pura adalah Wayan Parek, I Nyoman Subur, dan Ni Wayan Suji dianggap memahami makna dan fungsi pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih sesuai filosofi Agama Hindu. Tabel 5.3 Identitas Informan Kunci dan Ahli Dalam Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal,Kabupaten Badung Tahun 2012 No
Nama Informan
1
Nyoman Griya
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Wayan Parek I Nyoman Subur Wayan Gendra Wayan Murya Ni Wayan Suji Ni Made Rotini Wyn Sarka LuhGdeRusmini Ibu Prasetiawati IdaPedandaGeriya Agung Ida Dayu Anggreni
Umur (Th) 60 63 55 4 49 55 45 55 61 40 77 51
Pendidikan
Pekerjaan
Keterangan
SMP
Petani Penggarap
Pemangku Pura
SD SD SMA SMA SMP SMA SMA SMP SMA SMA S1
Petani Penggarap Buruh Peg. Swasta PNS Tukang banten Peg.Swasta Peternak/Gianyar Dagang Beras Pedag.Ps Blahkiu Pandita/Sulinggih Guru
Koord.Karya Ketua Panita Karya Koord. Acara Bendahara Karya Koord upakara Sekret.Panitia Karya Pemasok bebek-ayam Pemasok beras Pemasok kain kasa Koord Pandita (ahli) Tapini (ahli)
Sumber: Hasil Penelitian di Desa Abiansemal, 2012
164
Menurut Ida Pedanda Geriya Agung sebagai informan ahli pada upacara Ngingsah Beras tentang makna Ngenteg Linggih adalah proses pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap, moral dan perilaku dalam menata kehidupan yang lebih sempurna lahir bathin. Makna Mepada Wewalungan artinya melakukan ritual terhadap semua hewan (satwa) yang akan dipersembahkan sebagai korban suci dalam ritual ini, yaitu kucit butuhan, anjing belangbungkem (bahasa Bali), kambing, angsa dan lain-lainnya. Makna beras sebagain bija beras yang dimakan berarti menanam benih-benih kebajikan dalam tubuh manusia itu sendiri (Wawancara, 7 April 2012). 5.4 Deskripsi Hasil Penelitian Kualitatif 5.4.1 Deskripsi Manfaat Sosial, Budaya dan Ekonomi yang Diperoleh Masyarakat Pengempon Pura Desain kualitatif dipergunakan untuk meneliti secara mendalam mengenai rumusan masalah pertama, untuk mengetahui manfaat sosial, budaya dan ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngeteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung. Hasil penelitian lapangan mengenai manfaat sosial, budaya, dan ekonomi yang diperoleh dari 108 responden masyarakat pengempon pura adalah positif. Ritual ini dilaksanakan berdasarkan kepercayaan dan keyakinan turun temurun dari masyarakat pengempon pura dalam membayar kewajiban hutang pada Dewa Rna, yaitu hutang kepada Tuhan yang Maha Esa (Ida Sang Hyang widhi). Informasi kunci dan ahli untuk mendukung desain kualitatif berjumlah 12 orang dengan identitas sebagaimana terlihat pada Tabel 5.3. Wawancara
165
mendalam dilakukan di rumah dan di pura setelah
pengempon pura gotong
royong (ngayah), sedangkan wawancara dengan Sulinggih di rumah. Wawancara terhadap pemasok dilakukan langsung di masing-masing tempat usaha. Hasil wawancara dicatat dengan seksama dalam buku catatan khusus, diabadikan dengan camera photo. Wawancara dan kuesioner tentang manfaat sosial, budaya, dan ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngeteg Linggih. Desa Abiansemal dalam kehidupan sehari-hari, terjadi interaksi sosial antar warga dalam aktivitas adat istiadat, budaya, dan agama. Makna pelaksanaan ritual sesuai ajaran agama, di samping mempererat sistem kekerabatan, kebersamaan dan solidaritas ketimbang komersialisasi. Pada dasarnya, manfaat sosial, budaya, dan ekonomi yang diperoleh pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngeteg Linggih di Pura pasek Preteka yang mencerminkan makna meliputi: 1) Kepercayaan dan Keyakinan, 2) Mlaspas dan Ngenteg Linggih, 3) Mecaru, 4) Melasti, 5) Nyegara Gunung, 6) Banten, 7) Labda Karya,8) Kondisi Kehidupan Sosial, 9) Gotong Royong, 10) Iuran Pura, 11) Bahan-Bahan Ritual, 12) Pengeluaran Ritual, 13) Kesempatan Berusaha, 14) Multiplier Effect, dan 15) Perubahan Sikap Perilaku. Dijelaskan dengan melakukan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan hasil penelitian dan jawaban responden sebagaimana disajikan (Lampiran 11) dari beberapa makna aktivitas ritual selanjutnya diuraikan berikut ini.
166
1) Makna Kepercayaan dan Keyakinan dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.1 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STB
TB
CB
B
SB
Sosial
1,85% 98,15%
Budaya
3,70% 96,30%
Ekonomi
8,33% 91,67%
STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik
Gambar 5.1 Persentase makna kepercayaan dan keyakinan dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.1 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat baik pertama manfaat sosial sebesar 98,15 persen, artinya masyarakat pengempon pura memiliki kepercayaan dan keyakinan turun temurun kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi) dan kewajiban membayar hutang Tri Rna sesuai ajaran agama. Manfaat budaya sebesar 96,30 persen, artinya masyarakat pengempon pura melaksanakan tradisi ritual setiap hari (ngejot), hari-hari suci 15 hari (purnama-tilem, kajengkliwon), enam bulan (tumpek, galungan, kuningan, saraswati), dan satu tahun (nyepi), dan manfaat ekonomi sebesar 91,67 persen, artinya modal kepercayaan dan keyakinan memiliki peranan penting dalam aspek ekonomi. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 Maret 2012 dengan I Nyoman Geriya (Pemangku Pura Pasek Preteka) bersama tokoh pura, yaitu
167
I Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni Made Suji. Ungkapan tersebut diperoleh dari beberapa masyarakat pengempon pura bahwa: ”Melaksanakan upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka merupakan bentuk pengorbanan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Dewa Rna. Berdasarkan hasil keputusan bersama oleh masyarakat pengepon pura, seyogyanya dilakukan mengingat upacara seperti ini pertama kali dilakukan 20 tahun yang lalu tepatnya tahun 1982 dan kedua tahun 2012, karena pembangunan pelinggih Bale Pelik, renovasi pada Pelinggih Kawitan Tumpang Tiga dan Pelinggih Ratu Nyoman. Apabila upacara ini tidak dilaksanakan masyarakat meyakini dan percaya bahwa merasa tidak tenang, adanya yang sakit-sakitan dan hidup tidak rukun/harmonis antar pengempon pura. Konsep meyadnya yang dipahami masyarakat umat Hindu di Desa Abiansemal adalah upacara dilakukan dengan tulus iklas, yadnya mempunyai makna dari yadnyalah semua ini ada”. 2)
Makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.2 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STB
TB
CB
B
SB
Sosial
3,70%96,30
Budaya
4,63%95,37
Ekonomi
6,48%93,52
STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik
Gambar 5.2 Persentase makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.2 menunjukkan responden memberikan
jawaban sangat
baik pertama manfaat sosial sebesar 96,30 persen, artinya masyarakat pengempon pura mampu mewujudkan sikap dan perilaku yang lebih baik dalam menata kehidupan sosial. Manfaat budaya sebesar 95,37 persen,
168
artinya setiap pelinggih pura yang baru di bangun dan diperbaiki biasanya umat Hindu di Bali melakukan ritual penyucian atau pembersihan (sakralisasi) secara skala niskala sesuai ajaran Agama Hindu dan manfaat ekonomi sebesar 93,52 persen, artinya besar kecilnya biaya ritual dipengaruhi oleh Desa-kala-patra dan tingkatan upacara yang dipergunakan. Selanjutnya didukung hasil wawancara,
2 April 2012 dengan Ida
Pedanda Griya Agung Desa Abiansemal tentang makna Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Informasi salah seorang informan ahli mengatakan: ”Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, Mlaspas artinya penyucian (sakralisasi) dan Ngenteg Linggih berarti mensthanakan beliau pada pelinggih. Makna Ngenteg Linggih sebagai pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap dan perilaku dalam menata kehidupan menuju kualitas hidup yang lebih baik lahir bathin. Tingkat upacara ini adalah madyaning utama artinya ritual yang dipergunakan tergolong menengah dan utama sesuai ajaran Agama”. 3)
Makna Mecaru dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.3 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STB
TB
CB
B
SB
Sosial
4,63% 95,37
Budaya
6,48% 93,52
Ekonomi
7,41% 92,59
STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik
Gambar 5.3 Persentase makna Mecaru dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.3 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat baik pertama secara sosial adalah sebesar 95,37 persen, artinya menciptakan
169
keseimbangan dan keharmonisan kekuatan alam semesta secara sekala niskala, manfaat budaya sebesar 93,52 persen, artinya biasanya upacara pecaruan dilakukan sebelum puncak
karya (hari H) sesuai tingkatan
upakara dan manfaat ekonomi adalah sebesar 92,59 persen, artinya besar kecilnya biaya pecaruan berdasarkan jenis dan tingkatan upakara sesuai Desa-Kala-Patra. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida Pedanda Griya Agung Desa Abiansemal bersama Pemangku dan tokoh masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka, seperti dikatakan informan ahli: ”Mecaru merupakan ritual untuk menciptakan keseimbangan alam atau keharmonisan antara yang menumbuhkan kebaikan dan ketidakbaikan (antara yang positif dan negatif). Jenis caru yang dilaksanakan di Pura Pasek Preteka adalah Caru Tawur (Mecaru Gede) dengan caru hewan beraki empat, yaitu kambing”. 4) Makna melasti dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STS
TS
CS
S
SS
Sosial
2,78% 97,22
Budaya
4,63% 95,37
Ekonomi
6,48% 93,52
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
Gambar 5.4 Persentase makna melasti dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.4 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat setuju pertama secara sosial adalah sebesar 97,22 persen, artinya membangun
170
persahabatan, melestarikan alam melalui semangat kebersamaan diantara pengempon pura, manfaat budaya adalah sebesar 95,37 persen, artinya tradisi melasti menyucikan Ida Bhatara dengan pratima-pratimanya ke laut terkait upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya dan manfaat ekonomi adalah sebesar 93,52 persen, artinya upacara melasti memiliki nilai ekonomi, yaitu pantai yang dijadikan tempat upacara melasti dimanfaatkan pedagang makanan dan minuman. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida Pedanda Griya Agung. Berikut informasi dari salah seorang informan: ”Melasti artinya menyucikan simbol-simbol Tuhan (Ida Batara) di Pura Pasek Preteka ke laut (Segara) Seseh Badung. Makna melasti membangun persahabatan dengan sesama dan alam lingkungan serta melestarikannya, bertujuan memotivasi umat secara spiritual”. 5) Makna Nyegara Gunung dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.5 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STS
TS
CS
S
SS
Sosial
4,63% 95,37%
Budaya
5,56% 94,44%
Ekonomi
7,41% 92,59%
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
Gambar 5.5 Persentase makna Nyegara Gunung dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.5 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat setuju manfaat sosial sebesar 95,37 persen, artinya menghaturkan puji syukur
171
dan terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasi-Nya, manfaat budaya sebesar 94,44 persen, artinya laut dan gunung sebagai sumber kehidupan manusia dan manfaat ekonomi adalah sebesar 92,44 persen, artinya berbagai kehidupan laut dan gunung mampu memberikan segala kebutuhan hidup manusia materi nonmateri dan lahir bathin secara berkelanjutan. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida Pedanda Griya Agung dan pemangku Pura Pasek Preteka, seperti dikatakan informan: ”Nyegara Gunung bermakna menghaturkan puji syukur dan rasa terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Purusa-Predhana. Makna Nyegara Gunung yaitu laut dan gunung merupakan sumber kehidupan, lahirnya suatu kehidupan yang baru, hidup penuh dengan kebajikan dan rasa cinta kasih diwujudkan dalam Tri-kaya-parisudda (pikiran, perkataan dan berprilaku yang baik dan benar), menerima dan mensyukuri dua dimensi (Rwa-Bhineda). Tempat Nyegara Gunung, Nyegara/laut adalah Pura Mumbul Blahkiuh dan Gunung Pura Bukit Sari Sangeh”. 6) Makna Banten dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.6 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STS
TS
CS
S
SS
Sosial
2,78% 97,22
Budaya
4,63% 95,37
Ekonomi
6,48% 93,52
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
Gambar 5.6 Persentase makna Banten dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.6 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat setuju pertama manfaat sosial sebesar 97,22 persen, artinya banten merupakan sarana
172
sembahyang dan simbol-simbol berdasarkan tattwa, susila dan upacara, manfaat budaya adalah sebesar 95,37 persen, artinya banten perpaduan buahbuahan, bunga dan janur dengan sentuhan seni budaya, adat dan agama secara artistik, dan manfaat ekonomi adalah sebesar 93,52
persen, artinya
mengakibatkan permintaaan (transaksional) bahan-bahan ritual seperti buahbuahan, jajan, janur dan bunga. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida Dayu Anggareni sebagai tapini Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten dari Geriya Agung, seperti misalnya informasi berikut: ”Banten sebagai sarana upakara pada dasarnya adalah sebagai nyasa atau simbol-simbol dari Siwa-Linga. Dari sekian banyak keberadaan atau wujud bebanten, yaitu Ngenteg Linggih dengan banten Bagia Pulakertti bermakna dengan kokoh (pageh) berpegang pada tata susila atau prilaku yang selalu berlandaskan ajaran Agama Hindu, semoga dapat mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan bersama dan semua mahluk hidup”. ”Banten di Bali merupakan ciri khas yang unik, daya cipta yang relegius dan mengandung budaya, seni, adat dan Agama berdasarkan Desa-Kala-Patra. Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal antara lain banten sarad/Pregembal, banten Pengenteg, sate tungguh/sate tegeh/gayah dan lain-lainnya”. 7)
Makna Labda karya dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.7 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STB
TB
CB
B
SB
Sosial
4,63%95,37
Budaya
6,48%93,52
Ekonomi
7,41%92,59
STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik
Gambar 5.7 Persentase makna labda karya dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
173
Gambar 5.7 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat baik pertama manfaat sosial sebesar 95,37 persen, artinya pelakasanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih berjalan lancar, sukses sesuai jadwal karya, manfaat budaya sebesar 93,52 persen, artinya tradisi gotong royong, kebersamaan, solidaritas, semangat spiritual dan etos kerja sebagai modal suksesnya ritual, dan manfaat ekonomi adalah sebesar 92,59 persen, artinya adanya efisiensi biaya ketika sarana ritual dibuat secara gotong royong, yaitu berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Pemangku Pura Pasek Preteka I Nyoman Geriya dan Wayan Parek dan Ni Made Suji sebagai koordinator upakara, seperti dikatakan informan kunci: ”Labda Karya pada hakekatnya ritual yang dilaksanakan berjalan sukses dan lancar sesuai dodunan karya, dilandasi dengan sraddha bhakti, lascarya dan sastra Agama Hindu”. 8) Makna kehidupan sosial dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.8 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STS
TS
CS
S
SS
Sosial
2,78% 97,22%
Budaya
4,63% 95,37%
Ekonomi
6,48% 93,52%
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
Gambar 5.8 Persentase makna kehidupan sosial dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
174
Gambar 5.8 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat setuju, pertama manfaat manfaat sosial sebesar 97,22 persen, artinya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pengempon pura saling menghormati, menghargai antar pengempon pura, antar banjar dan antar masyarakat, manfaat budaya adalah sebesar 95,37 persen, artinya berdasarkan tradisi adat dan agama kegiatan ritual dilakukan dengan gotong royong, kebersamaan, solidaritas, semangat spiritual dan etos kerja dan manfaat ekonomi adalah sebesar 93,52 persen, artinya adanya efisiensi biaya ketika sarana ritual dibuat secara gotong royong, yaitu berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan I Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Ungkapan tersebut diperoleh dari beberapa masyarakat pengempon pura bahwa: ”Kondisi kehidupan sosial masyarakat pengempon pura adalah harmonis dengan kekeluargaan, kebersamaan, dan solidaritas yang tinggi (paras paros sarpanaya, sagilik saguluk salulung sabayantaka) antar anggota keluarga, antar keluarga pengempon pura, antar banjar, antar masyarakat lingkungan, dan antar desa”. 9)
Makna gotong royong dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.9 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STB
TB
CB
B
SB
Sosial
3,70% 96,30%
Budaya
1,85% 98,15%
Ekonomi
6,48% 93,52% STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik
.
B=Baik SB=Sangat baik
Gambar 5.9 Persentase makna gotong royong dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansema Sumber: Lampiran 11
175
Gambar 5.9 menunjukkan responden memberikan
jawaban sangat
baik pertama manfaat budaya adalah sebesar 98,15 persen, artinya tradisi gotong royong masih kuat dan berkembang dalam kehidupan masyarakat adat Desa Abiansemal, manfaat sosial adalah sebesar 96,30 persen, artinya menunjukkan kebersamaan, solidaritas, toleransi kehidupan beragama dan bermasyarakat, dan manfaat ekonomi adalah sebesar 93,52 persen, artinya adanya efisiensi ketika kegiatan ritual dikerjakan secara gotong royong dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 Maret
2012 dengan I
Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Informasi dari masyarakat pengempon pura mengatakan: ”Pada hakekatnya konsep gotong royong (ngayah) dalam pelaksanaan upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih yang didasari semangat spiritual dan etos kerja yang dimiliki oleh seluruh pengempon pura dalam bentuk kebersamaan dan kekeluargaan. Aktivitas ngayah dilakukan selama 63 hari sesuai jadwal karya (dodunan karya)”. 10) Makna iuran pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.10 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STS
TS
CS
S
SS
Sosial
3,70% 96,30%
Budaya
4,63% 95,37%
Ekonomi
8,33% 91,67%
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
Gambar 5.10
Persentase makna iuran pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber: Lampiran 11
176
Gambar
5.10 menunjukkan
responden memberikan jawaban sangat
setuju pertama manfaat sosial sebesar 96,30 persen, artinya pembayaran iuran pura sebagai bentuk tanggungjawab bersama masyarakat pengempon pura, manfaat budaya sebesar 95,37 persen, artinya tradisi membayar iuran pura menunjukkan rasa memiliki, kebersamaan, solidaritas dalam kegiatan adat dan agama, manfaat ekonomi sebesar 91,67 persen, artinya besar kecil biaya ritual ditanggung bersama dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 Maret 2012 dengan I Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Informasi dari masyarakat pengempon pura mengatakan:
”Penentuan besarnya iuran pura yang dikenakan kepada masing-masing KK adalah sebesar Rp 2 juta berdasarkan kesepakatan masyarakat pengempon pura, berdasarkan semangat relegius, rasa memiliki dan tanggungjawab bersama untuk keselamatan, ketentraman, kerukunan, dan kebersamaan sebagai generasi yang akan datang sesama pengempon pura pasek preteka di Desa Abiansemal”. 11)
Makna bahan-bahan ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.11 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STS
TS
CS
S
SS
Sosial
5,56% 94,44%
Budaya
7,41% 92,59%
Ekonomi
3,70% 96,30%
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
Gambar 5.11
Persentase makna bahan-bahan ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber : Lampiran 11
177
Gambar 5.11 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat setuju pertama secara ekonomi adalah sebesar 96,30 persen, artinya bahan ritual sebagian besar tersedia di daerah sekitar Abiansemal dan harga lebih murah,
manfaat secara sosial adalah sebesar 94,44 persen, artinya
masyarakat pengempon pura lebih mudah memperoleh bahan ritual, dan manfaat secara budaya adalah sebesar 92,59 persen, artinya masyarakat umat Hindu mampu melestarikan dan mengembangkan bahan-bahan ritual secara berkesinambungan. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 23 April Nyoman Subur, Ni Made Suji, Wayan Murya,
2012 dengan I
dan Wayan Gendera
masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka, seperti dikatakan informan kunci: “Mengingat begitu banyaknya jenis dan bahan-bahan ritual yang diperlukan dalam pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali, seperti bambu, kelapa, beras, pisang buah-buahan, janur, bebek-ayam, telor, babi, bunga dan lain-lain. Bahan ritual yang dibutuhkan dalam ritual ini 90,91 persen tersedia sekitar Abiansemal dan hanya 9,09 persen dari luar”. 12)
Makna pengeluaran ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.12 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
STS
TS
CS
S
SS
Sosial
4,63% 30,56 64,81
Budaya
3,70% 32,41 63,89
Ekonomi
4,63% 35,19 60,18
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
Gambar 5.12 Persentase makna pengeluaran ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber: Lampiran 11
178
Gambar 5.12 menunjukkan responden memberikan jawaban persepsi sangat setuju, maanfaat sosial sebesar 64,81 persen, artinya konsep meyadnya dalam Agama Hindu dengan tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan, manfaat budaya sebesar 63,89 persen, merupakan tradisi umat Hindu melaksanakan ritual secara turun temurun nak mule keto (gugon tuwon), dan manfaat ekonomi adalah sebesar 60,18 persen, artinya konsep meyadnya dalam Agama Hindu tidak memperhitungkan besar kecilnya pengeluaran ritual karena berdasarkan tulus iklas (srada bhakti). Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan I Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Informasi dari koordinator upakara mengatakan bahwa: ”Pengeluaran ritual ini untuk membuat banten (pajegan/gebogan) sudah ditetapkan oleh panitia pura sesuai jadwal tentang jumlah dan KK yang seharusnya membuat. Yadnya dalam bentuk persembahan dan korban suci yang tulus iklas dalam beryadnya diyakini dari yadnyalah semua ini ada seperti lahir, hidup, sehat, rukun, damai sentosa, saling menghargai dan menghormati antar individu di masyarakat Desa Abiansemal”. 13)
Makna kesempatan berusaha dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.13 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STS
TS
CS
S
SS
Sosial
8,33% 91,67%
Budaya
9,26% 90,74%
Ekonomi
2,78% 97,22%
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
Gambar 5.13
Persentase makna kesempatan berusaha dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber: Lampiran 11
179 Gambar 5.13 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat setuju pertama manfaat ekonomi sebesar 97,22 persen, artinya dapat menciptakan kesempatan kerja dibidang ritual, manfaat sosial sebesar 91,67 persen, artinya mampu membuat jaringan (net working), saling percaya (trust), saling membagi dan saling memberi, dan manfaat budaya adalah sebesar 90,74 persen, artinya mampu menjaga, melestarikan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kearifan lokal yang unik. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 20 Oktober 2012 dengan Ida Dayu Anggareni sebagai tapini dan Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten, seperti dikatakan informan ahli: ”Bahwa Yadnya di Bali merupakan momentum untuk berbagi dengan sesama. Setiap kali pelaksanaan ritual memerlukan banyak bahan-bahan ritual. Memotivasi tumbuhnya jiwa kreativitas dan kesempatan berusaha. Ibu-ibu rumah tangga pengempon pura, sebelumnya bekerja sebagai buruh bangunan dan usaha pengerajin bambu,dan sekarang membuat alat-alat upakara, bekerjasama dengan Geriya sebagai produsen banten”. ”Menurut Ida Ayu Mirah dari Geriya Agung bahwa bekerja di Geriya Agung sebagai pengayah dan tukang banten dengan upah seorang pengayah antara Rp 40 ribu sampai Rp 45 ribu per hari sedangkan sebagai tukang banten adalah dibayar sebesar Rp 65 ribu hingga Rp 70 ribu per hari, ditambah makan, jajan dan kopi gratis serta tetap diberi bonus seperti satu stel baju, hal ini memberi kesempatan warga pengempon pura pasek preteka untuk menambah penghasilan keluarga”. 14) Makna multiplier effect dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.14 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STS
TS
CS
S
SS
Sosial
7,41% 92,59%
Budaya
8,33% 91,67%
Ekonomi
1,85% 98,15%
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
Gambar 5.14
Persentase makna multiplier effect dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber: Lampiran 11
180 Gambar 5.14 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat setuju pertama secara ekonomi adalah sebesar 98,15 persen, artinya dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli, manfaat kedua secara sosial adalah sebesar 92,59 persen, artinya masyarakat penghasil bahan-bahan upacara yang tadinya memproduksi saat dibutuhkan, sekarang produknya lebih kontinyu dengan menitipkan pada masyarakat pedagang di lingkunganya dan manfaat ketiga secara budaya adalah sebesar 91,67 persen, artinya tradisi mekemit awalnya hanya dilakukan oleh pengempon pura laki-laki yang tua, sekarang seluruh komponen masyarakat (generasi muda) ikut berpartisipasi. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 April
2012 dengan Ida
Dayu Anggareni sebagai tapini dan Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten, seperti misalnya informasi berikut: “Intensitas pelaksanaan upacara Agama Hindu, mengakibatkan tingginya permintaan bahan-bahan ritual sehingga pengeluaran ritual memiliki multiplier effect bagi masyarakat Bali ataupun masyarakat luar. Kenyataannya aktivitas ritual menyebabkan adanya pergerakan ekonomi secara regional di Bali”. 15)
Makna perubahan sikap dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.15 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
STS
TS
CS
S
SS
Sosial
1,85% 98,15%
Budaya
5,56% 94,44%
Ekonomi
6,48% 93,52%
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
Gambar 5.15 Persentase makna perubahan sikap dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber: Lampiran 11
181
Gambar 5.15 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat setuju, manfaat sosial adalah sebesar 98,15 persen, artinya pada hakekatnya mampu meningkatkan sikap dan perilaku hidup sehari-hari lebih baik sesuai Tri- kaya- parisudda, manfaat budaya adalah sebesar 94,44 persen, artinya menunjukkan
sikap
toleransi,
saling
menghargai,
menghormati
persaudaraan, dan perduli lingkungan dan manfaat ketiga secara ekonomi adalah sebesar 93,52 persen, artinya perubahan sikap pelaksanaan ritual kearah lebih efisien atau tidak boros. Selanjutnya didukung hasil wawancara, 26 April 2012 dengan I Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Ungkapan tersebut diperoleh dari beberapa masyarakat pengempon pura bahwa: “Aktivitas pelaksanakan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pengempon pura, perubahan sikap hidup sehari-hari seperti adanya sikap kekeluargaan, kebersamaan, keharmonisan, perduli terhadap lingkungan, saling menghargai dan menghormati antar pengempon pura dan antar banjar di Desa Abiansemal”. Ringkasan
Gambar 5.1 sampai Gambar 5.15, tentang manfaat sosial,
budaya dan ekonomi bagi masyarakat pengempon pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual, sebagaimana disajikan Tabel 5.4
182
Tabel 5.4 Ringkasan Manfaat Secara Sosial, Budaya dan Ekonomi Berkenaan dengan Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 No Makna SOSIAL BUDAYA 1 Kepercaya Kewajiban membayar Kebiasaan melaksanakan an dan hutang Tri Rna ritual setiap hari, 15 hari, 6 Keyakinan berdasarkan ajaran bulan, dan satu tahun Agama Hindu (nyepi) 2 Upacara Proses pembelajaran diri Ritual penyucian/ Mlaspas dalam menata kehidupan pembersihan (sakralisasi) dan untuk mewujudkan sikap pelinggih/pura baru yang Ngenteg dan perilaku solidaritas, dibangun /diperbaiki secara Linggih kebersamaan melalui sekala niskala sesuai Agama gotong royong Hindu 3 Mecaru Menciptakan Sebagai tradisi sebelum keseimbangan dan upacara utama harmonisasi agar dilaksanakan/diawali kekuatan alam upacara pecaruan sesuai menumbuhkan kebaikan tingkat upacara. secara sekala niskala 4 Melasti Membangun Tradisi melasti menyucikan persahabatan dan Ida Bhatara dengan simbolmelestarikan alam simbol (pratimamelalui semangat pratimanya) ke laut berjuang, dan semangat kebersamaan diantara pengempon pura 5 Nyegara Menghaturkan puji Tradisi Adat dan Agama Gunung syukur dan terima kasih sebelum nyineb karya kehadapan Tuhan Yang dilakukan upacara nyegara Maha Esa, dengan segala gunung, laut dan gunung manifestasi-Nya sebagai sumber dan akar kehidupan manusia 6 Banten Banten merupakan Tradisi banten yang dibuat sarana sembahyang secara artistik perpaduan sebagai simbol-simbol buah-buahan, bunga dan berdasarkan tattwa, janur dengan sentuhan seni susila dan upacara budaya, adat dan agama 7 Labda Pelakasanaan ritual Adanya tradisi gotong karya berjalan lancar dan sukses royong, kebersamaan , sesuai jadwal karya solidaritas, semangat spiritual dan etos kerja balam umat Hindu. 8 Kehidupan Dalam kehidupan sehari- Tradisi Adat dan Agama Sosial hari pengempon pura kegiatan ritual dilakukan saling menghormati, dengan gotong royong/ menghargai antar kebersamaa, solidaritas, pengempon pura, antar semangat spiritual dan etos
EKONOMI Modal kepercayaan dan keyakinan penting dalam ekonomi Besar kecilnya biaya ritual dipengaruhi oleh tingkatan upacara dan Desa-Kala-Patra.
Besar kecilnya biaya pecaruan tergantung jenis caru dan tingkat upacara sesuai DesaKala-Patra. Pantai tempat melasti dimanfaatkan sebagai tempat berdagang makanan dan minuman.
Berbagai kehidupan laut dan gunung mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan. Terjadi permintaaan (transaksional) bahanbahan ritual setiap kali pelaksanaan ritual. Adanya efisiensi biaya pengeluaran ritual dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Adanya efisiensi biaya pengeluaran ritual dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
183
No Makna
SOSIAL banjar, dan antar masyarakat Abiansemal. 9 Gotong Menunjukkan royong kebersamaan, solidaritas, toleransi kehidupan beragama dan bermasyarakat di Desa Abiansemal 10 Iuran pura Pembayaran iuran pura sebagai bentuk tanggungjawab bersama masyarakat pengempon pura 11 BahanSebagian besar bahanbahan bahan ritual tersedia dan ritual dipasok dari di sekitar Abiansemal
BUDAYA
EKONOMI
kerja Tradisi ngayah, ngoopin, metetulung, menyamebraya yang berkembang dalam masyarakat Desa Abiansemal
Adanya efisiensi ketika kegiatan ritual dikerjakan secara gotong royong dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Tradisi membayar iuran Besar kecil biaya ritual pura menunjukkan rasa ditanggung bersama memiliki, solidaritas dalam dengan prinsip berat kegiatan adat dan agama sama dipikul ringan sama dijinjing. masyarakat umat Hindu Setiap kali pelaksanaan mampu mengembangkan ritual terjadi permintaan bahan-bahan ritual secara (transaksional) bahanberkelanjutan. bahan ritual dalam jumlah yang cukup banyak di sekitar Abiansemal 12 Pengeluar Ritual dilakukan dengan Sudah merupakan tradisi Pengeluaran ritual an ritual tulus iklas berdasarkan umat Hindu cenderung pengaruhi oleh kepercayaan dan melaksanakan ritual lebih pendapatan keyakinan semarak menunjukkan status 13 Kesempata Mampu membuat Mampu menjaga dan Mampu menciptakan n berusaha jaringan, saling percaya melestarikan nilai-nilai kesempatan kerja, (trust), saling membagi budaya spiritual yang unik menumbuhkembangkan dan saling memberi (local genius). jiwa wirausahaan, meningkatkan pendapatan 14 Multiplier Masyarakat penghasil Tradisi mekemit secara Meningkatkan effect bahan-bahan upacara bergilir tradisi mekemit pendapatan dan daya beli yang tadinya awalnya hanya dilakukan masyarakat memproduksi saat oleh pengempon pura lakidibutuhkan, sekarang laki yang tua, sekarang produknya lebih kontinyu seluruh komponen asyarakat dengan menitipkan pada (generasi muda) ikut masyarakat pedagang di berpartisipasi sambil lingkunganya membuat katik sate dan hiasan pelinggih. 15 Perubahan Pada hakekatnya mampu Menunjukkan sikap Perubahan sikap kearah sikap meningkatkan sikap dan toleransi, saling lebih efisiensi dan tidak perilaku hidup sehari-hari menghargai, menghormati boros seperti beralih lebih baik sesuai tri kaya persaudaraan, dan perduli profesi dari pengerajin parisuda lingkungan bambu menjadi tukang banten dan pengayah tukang banten. Sumber: Gambar 5.1 sampai dengan Gambar 5.15
184
5.4.2 Besarnya Multiplier Effect Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek Preteka Desa Abiansemal Informasi yang diperoleh melalui In-deft Interview, menjawab rumusan masalah dua untuk mengetahui besarnya multiplier effect pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek Preteka Desa Abiansemal. Menghitung multiplier effect pengeluaran ritual untuk 13 jenis bahan-bahan ritual meliputi: bambu, babi, uang kepeng, kelapa, bebek dan ayam, beras, kain kasa, telor, pajeng, janur, pisang dan
buah-buahan, minyak goreng dan bunga.
Pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka merupakan pendapatan bagi pemasok (Tahap I), sebagian pendapatan pemasok digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan. Pengeluaran konsumsi Tahap I merupakan pendapatan bagi penyalur (Tahap II), sebagian pendapatan penyalur digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan. Pengeluaran konsumsi Tahap II merupakan pendapatan bagi produsen atau petani (Tahap III), sebagian pendapatan digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan. Selanjutnya analisis Multiplier effect pelaksanaan ritual Tahap I, Tahap II dan Tahap III berikut. a) Untuk Tahap I Multiplier effect Tahap I pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, untuk 13 jenis bahan-bahan ritual, yaitu meliputi: bambu, babi, uang kepeng, kelapa, bebek-ayam, beras, kain kasa, telor, pajeng, janur, pisang-buah-buahan, minyak goreng, dan bunga. Selanjutnya dari 13 jenis bahan ritual yang dipasok, 5 bahan ritual berakhir di tahap ini, yaitu bambu, babi, kelapa, bebek-ayam, dan telor, sebagaimana disajikan Tabel 5.5
185
Tabel 5.5 Hasil Perhitungan Multiplier effect Pemasok Tahap I Komponen Bahan-Bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, 2012 Y1
Y2
(Juta Rp)
(Juta Rp)
No
Bahan-Bahan Ritual
1
Bambu
21,8
66,6
44,83
2
Babi
8,5
29,76
21,26
3
Uang Kep
8,2
29,09
4
Kelapa
7,3
15,19
5
Bebek-Ayam 9,5
6
Beras
7 8
C1
Bahan Ritual Tahap II -
C2
ΔC
15,5
52,5
37,0
0,83
0,17
5,88
7,5
24,0
16,5
0,78
0,22
4,55
-
20,89
8,0
22,5
14,5
0,69
0,31
3,23
7,89
7,1
12,6
5,5
0,70
0,30
3,33
-
16,75
7,25
8,5
13,5
5,0
0,69
0,31
3,23
-
13,5
20,62
7,12
12,5
17,6
5,1
0,72
0,28
3,57
Kain kasa
9,5
15,38
5,88
7,5
10,2
2,7
0,46
0,54
1,85
Telor
2,8
8,48
5,68
2,5
6,5
4,0
0,70
0,30
3,33
-
9
Pajeng
5,2
10,81
5,61
3,9
7,5
3,6
0,64
0,36
2,78
10
Janur
4,6
8,28
3,68
4,2
6,7
2,5
0,68
0,32
3,13
11
Pisang, Bh
4,5
7,25
2,75
3,5
5,4
1,9
0,69
0,31
3,23
12
M.Goreng
3,5
6,03
2,53
2,5
3,5
1,0
0,40
0,60
1,67
13
Bunga
3,65
4,22
0,57
2,3
2,65
0,35
0,61
0,39
2,56
Rata-Rata
7,89
18,34
10,46
6,58
14,24
7,67
0,66
0,34
3,26
8
Keterangan:
ΔY (Juta Rp)
MPC=ΔC/ΔY (Juta (Juta Rp) (Juta Rp) Rp)
MPS
Multiplier
Y1= pendapatan awal, Y2 = pendapatan total, ΔY = perubahan pendapatan Y1 dan
Y2, C1 pengeluaran awal, C2 = pengeluaran total, ΔC = perubahan pengeluaran C1 dan C2, MPC = marginal propensity to consume, MPS = marginal propensity to saving. Sumber: Lampiran 9
Tabel 5.5 menunjukkan pengeluaran ritual Tahap I dari 13 jenis bahanbahan ritual memiliki rata-rata Multiplier effect sebesar 3,26 yang artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga bertambah sebesar 3,26 kali jumlah pengeluaran konsumsi. Besarnya Multiplier effect Tahap I terbesar pertama adalah bahan bambu sebesar 5,88, artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga bertambah sebesar 5,88 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan seterusnya. b) Untuk Tahap II Multiplier effect Tahap II pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, untuk 8 jenis bahan-bahan ritual, yaitu meliputi: uang kepeng, beras, kain kasa, pajeng, janur, pisang-
186
buah-buahan, minyak goreng, dan bunga. Selanjutnya dari 8 jenis bahan ritual yang dipasok, 4 bahan ritual berakhir di tahap ini, yaitu pajeng, janur, pisangbuah-buahan, dan bunga. Pada Tahap II analisis Multiplier Effect untuk 8 jenis bahan-bahan ritual, sebagaimana disajikan Tabel 5.6 Tabel 5.6 Hasil Perhitungan Multiplier effect Penyalur Tahap II Bahan-Bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 BahanBahan Ritual
Y1
Y2
ΔY
C1
C2
ΔC
(Juta Rp)
(Juta Rp)
(Juta Rp)
(Juta Rp)
(Juta Rp)
(Juta Rp)
MPC=ΔC/ΔY
MPS
1
Uang Kep
5,45
9,50
4,05
4,25
6,60
2,35
0,58
0,42
2,38
2
Beras
6,50
7,65
1,15
4,50
5,20
0,70
0,61
0,39
2,56
3 4
Kain Kasa Pajeng
4,82 4,10
5,50 4,70
0,68 0,60
4,20 3,60
4,40 3,95
0,20 0,35
0,29 0,58
0,71 0,42
1,42 2,38
5
Janur
3,50
3,70
0,20
3,40
3,55
0,15
0,75
0,25
4,00
6
Pisang,Bh
2,50
3,50
1,00
2,20
2,50
0,30
0,30
0,70
1,43
7
M.Goreng
3,50
3,75
0,25
3,40
3,50
0,10
0,40
0,60
1,67
8
Bunga Rata-rata
1,25 3,95
1,55 4,98
0,30 1,03
1,10 3,33
1,26 3,87
0,16 0,54
0,53 0,51
0,47 0,49
2,14 2,25
No
Multiplier
Bahan Ritual Tahap III 4
Sumber: Lampiran 10
Tabel 5.6 menunjukkan pengeluaran ritual Tahap II dari 8 jenis bahanbahan ritual memiliki rata-rata Multiplier effect sebesar 2,25 yang artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga bertambah sebesar 2,25 kali jumlah pengeluaran konsumsi. Besarnya Multiplier effect Tahap II terbesar pertama adalah bahan janur sebesar 4,00, artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga bertambah sebesar 4,00 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan seterusnya. c) Untuk Tahap III Multiplier effect Tahap III pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, untuk 4 jenis bahan-bahan ritual, yaitu meliputi: uang kepeng, kain kasa, beras, dan minyak goreng.
187
Selanjutnya dari 4 jenis bahan ritual yang dipasok, 2 bahan ritual berakhir di tahap ini, yaitu beras dan uang kepeng. Pada Tahap III analisis Multiplier Effect untuk 4 jenis bahan-bahan ritual, masih ada dua jenis bahan ritual yaitu kain kasa dan minyak goreng yang tidak dihitung multiplier effect karena pabrik atau
produsen kain kasa dan minyak goreng ada di luar Bali,
sebagaimana disajikan Tabel 5.7 Tabel 5.7 Hasil Perhitungan Multiplier effect Produsen Tahap III Bahan-Bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 No
Bahan-Bahan Ritual
Y1
Y2
ΔY
C1
C2
ΔC
MPC=ΔC/ΔY
MPS
Multiplier
(Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp)(Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp)
1
Uang Kepeng
4,50
7,80
3,50
4,60
0,33
0,67
1,50
2
Beras
2,50
3,90
1,40
3,30
2,40
3,20
0,80
1,10
0,57
0,43
2,33
3
Kain Kasa
2,50
3,50
1,00
2,20
2,40
0,20
0,20
0,80
1,25
4
M.Goreng
1,10
3,30
2,20
1,05
1,55
0,50
0,23
0,77
1,30
Rata-rata
3,8
3,48
0,33
2,66
2,56
0,1
0,33
0,67
1,59
Sumber: Lampiran 10
Tabel 5.7 menunjukkan pengeluaran ritual Tahap III dari 4 jenis bahanbahan ritual memiliki rata-rata Multiplier effect sebesar 1,59 yang artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan
pemasok
juga
bertambah sebesar 1,59 kali jumlah pengeluaran konsumsi. Besarnya Multiplier effect
Tahap III terbesar pertama adalah beras sebesar 2,33 artinya apabila
pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan
pendapatan
pemasok
juga
bertambah sebesar 2,33 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal menggunakan beras sebesar 3,78 persen dari total pengeluaran ritual. Pada dasarnya beras sebagai bahan membuata jajan dan memiliki makna mendalam yaitu ketika beras digunakan sebagai bija
188
saat sembayang dan di makan memiliki makna menanam benih-benih kebijakan, beras merupakan lambang Amertha, sementara menurut Sudarsan (2000) beras adalah sebagai lambang atau simbol dari udara sebagai cerminan Sang Hyang Bayu. Beras (tepung) sebagai bahan utama dipergunakan untuk membuat jajan perlengkapan banten sarad dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Dari informan kunci diperoleh informasi yang simetris dengan hasil deskriptif multiplier effect Tahap I, II, dan III bahwa pelaksanaan ritual memiliki multiplier effect dan tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual. Intensitas kegiatan upacara Panca Yadnya di Bali dapat menciptakan peluang usaha atau kesempatan kerja di sektor nonformal, untuk menyediakan bahan-bahan ritual. Informasi tersebut diperoleh dari beberapa pemasok bahan-bahan ritual meliputi berikut ini: 1) Nyoman Arka sebagai peternak telor bebek di Banjar Pande Desa Abiansemal wawancara 29 April 2012, seperti informasi berikut ini: ”Semakin sering ada kegiatan ritual permintaan telor semakin meningkat, hal ini mendorong semangat memelihara bebek petelor. Harga telor yang semakin mahal, namun resiko besar, yaitu bebek banyak mati ketika ada virus flu burun. Sulitnya mencari lahan yang habis panen dan harga kontrak lahan semakin hari semakin tinggi untuk tempat melepas bebek-bebek peliharaannya. Dengan adanya ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, dapat meningkatkan penjualan telor. Biasanya telor dijual setiap tiga hari sekali kepasar Blahkiuh, selama 2 bulan (Maret-April 2012) telor sudah dibeli oleh pengempon pura sehingga ada penghematan biaya tranportasi dan berkurangnya resiko telor pecah. Hasil penjualan telor bebek sebesar Rp 5,7 juta selama dua bulan dengan keuntungan bersih sebesar 30 persen”. 2) Bapak Nyoman Raka sebagai pengusaha bebek dan ayam di Singakerta Kaje Kabupaten Gianyar wawancara 29 April 2012, seorang pemasok:
seperti dikatakan salah
189
”Selain sebagai pengusaha dan pengepul bebek, ayam dan telor juga bekerjasama dengan beberapa kelompok peternak bebek dan ayam sekitar Badung Utara, Tabanan dan Gianyar. Resiko usaha seperti ini besar ketika ada virus flu burung. Tingginya intensitas pelaksanaan ritual umat Hindu di Bali sangat menguntungkan usahanya karena permintaan semakin hari semakin banyak terutama telor,bebek, dan ayam untuk keperluan ritual ditambah menjamurnya usaha rumah makan atau kuliner makanan”. 3) Lain halnya dengan penuturan Ibu Mangku Eka, sebagai pemasok bahanbahan ritual seperti uang kepeng, tiker, ngiyu, besek, benang, jejahitan, kacang-kacangan dan lain-lain wawancara 29 April 2012, mengatakan bahwa: ”Pada awalnya tidak menjual bahan-bahan ritual seperti sekarang ini, seiring dengan pelaksanaan ritual di Bali semakin hari semakin meningkat maka permintaaan bahan-bahan ritualpun meningkat. Berdasarkan pertimbangan dan melihat peluang usaha menjual bahan-bahan ritual prospeknya cukup menguntungkan sehingga membuka usaha kedua di Banjar Banjaran Desa Abiansemal mulai pertengahan tahun 2011 dan usaha pertama ada di pasar Blahkiuh sehingga saat ini memiliki dua usaha. Pelaksanaa ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka sangat menguntungkan karena lokasi ritual dekat dengan lokasi usahanya, harga sama dengan di pasar maka pihak pura cenderung membeli bahanbahan disini daripada ke pasar Blahkiuh”. 4) Pengakuan pedagang janur Wayan Sugita (47 Tahun) sedurungne tiang ngadep busung miwah selepaan manten kedik (sebelumnya dia berjualan janur dan selepaan sedikit) wawancara 22 April 2012, mengatakan berikut ini:. ”Mulai usaha janur dilakukan dirumah, yaitu Banjar Banjaran Desa Abiansemal, melihat permintaan janur semakin hari semakin banyak karena aktivitas upacara Agama Hindu semakin hari semakin meningkat dari tingkatan upacara kecil sampai upacara besar seperti upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih, Piodalan di Pura-Pura dan lain-lainnya. Berarti prospek bisnis janur sangat menguntungkan maka mulai mengembangkan usaha dengan mencari tempat/lokasi yang lebih strategis yaitu di daerah Penarungan Desa Abiansemal, mengembangkan usaha sebagai suplier janur wilayah Abiansemal baik janur lokal maupun janur dari Jawa. Setiap hari minimal penjualan janur 16 sampai 25 gabung per hari, harga rata-rata Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu rupiah per gabung”. 5) Seperti penuturan Ibu Luh Gde Rusmini pedagang beras UD.Dharma Sari Di Desa Abiansemal, sebagai pemasok beras pada pelaksanaan upacara Mlaspas
190
dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal wawancara 22 April 2012, seperti berikut ini: ”Mengatakan hasil penjualan beras selama dua bulan upacara di Pura Pasek Preteka mengalami kenaikan sebesar 15 persen per bulan dari biasanya sebesar Rp10 juta hingga Rp15 juta per bulan. Kondisi yang sama juga dirasakan oleh Nyoman Sudama pedagang beras UD.Dharma Yasa Di Desa Abiansemal juga menuturkan bahwa penjualan berasnya meningkat selama dua bulan upacara berlangsung sebesar 14 persen per bulan dari biasanya sebesar Rp 8 juta hingga Rp 10 juta per bulan”. 6) Menurut informasi yang disampaikan Ibu Prasetiawati (45 tahun) dan Ibu Arini (50 tahun) pedagang kain kasa dan alat-alat ritual di Pasar Blahkiuh Wawancara 29 April 2012, seperti berikut: ”Menurut Ibu Prasetiawati pedagang kain kasa dan alat-alat ritual di Pasar Blahkiuh dapat tambahan berjualan sebesar Rp 3,75 juta per dua bulan, sama juga yang disampaikan oleh Ibu Arini, pedagang kain kasa dan alat-alat ritual di Pasar Blahkiuh rata-rata memperoleh tambahan penjualan sebesar Rp 2,5 juta per dua bulan selama ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal”. 5.4.3 Besarnya Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek Preteka Desa Abiansemal
Tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual. Pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih merupakan tambahan pendapatan bagi pemasok. Pengeluaran bahan-bahan yang dipergunakan dalam pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal adalah sebesar Rp 188,568 juta, untuk bahan-bahan ritual sebesar Rp 135,220 juta (72,06 persen) terdiri atas 13 jenis bahan ritual, yaitu: bahan bambu, babi, uang kepeng (pis bolong), kelapa, bebek-ayam, beras, kain kasa, telor, pajeng (tedung), janur, pisang-buah-buahan, miyak goreng, dan bunga. Sedangkan bahan-bahan non ritual sebesar Rp 53,348 juta (27,94 persen) berupa biaya
191
konsumsi, bensin, gas, dan baju kaos. Bahan-bahan ritual yang dibutuhkan tersedia di sekitar Abiansemal sebesar 90,91 persen dan hanya 9,09 persen luar daerah seperti kain kasa dan minyak goreng. Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal mengakibatkankan adanya permintaan (transaksional) bahan-bahan ritual dan non ritual, sebagaimana disajikan Tabel 5.8. Tabel 5.8 Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan-Bahan Ritual dan Non Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung No I
Bahan-Bahan
Tambahan Pendapatan Pemasok (Rp)
Bahan-Bahan Ritual 1. Bambu 2. Babi 3. Uang kepeng, Tikar 4. Kelapa 5. Bebek-Ayam
44.829.000 21.264.000 20.898.000 7.899.000 7.253.000
23,77 11,27 11,08 4,18 3,84
6. Beras 7. Kain Kasa
7.129.000 5.888.000
3,78 3,12
8. Telor
5.680.500
3,01
9. Pajeng 10. Janur 11. Pisang- Buah-buahan
5.618.500 3.677.000 2.745.000
2,97 1,94 1,52
12. Minyak Goreng 13. Bunga
2.534.000 575.000
1,34 0,30
135.220.000
72,06
53.348.000
27,94
188.568.000
100,00
Jumlah II
Presentase (%)
Bahan-bahan Non Ritual (biaya konsumsi. Gas, Bensin dan Baju Kaos) Total Pengeluaran Ritual
Sumber: Data Primer (diolah oleh Peneliti), 2012
Berdasarkan Tabel 5.8 besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan ritual sebesar Rp 135,220 juta (72,06 persen) dari total pengeluaran bahan ritual. Pengelompokan beberapa jenis bahan-bahan ritual berdasarkan besarnya nilai
192
rupiah pengeluaran bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal terbesar pertama adalah bahan bambu sebesar Rp 44,829 juta (23,77 persen), kedua babi sebesar Rp 21,264 juta (11,27 persen), ketiga uang kepeng (pis bolong) sebesar Rp 20,898 juta (11,08 persen) dan seterusnya dari total pengeluaran ritual, sebagaimana disajikan Gambar 5.16
13 Bunga 0,575 (0.30%)
TAMBAHAN PENDAPATAN PEMASOK (Juta Rp dan %)
12 Minyak Goreng 2,534 (1,34%)
1 Bambu 44,829 (23.77%)
Non Ritual 53,348 (27.94%)
2 Babi 21,264 (11.27%)
11 Pisang- Buah 2,745 (1,52%)
10 Janur 8 6 3,677 Beras 5 Telor (1,94%) 7,129 Bebek-Ayam 5,680 7 (3.78%) 9 7,253 (3.01%) Kain Kase Pajeng (3.84%) 5,888 5,618 (3.12%) (2.97%)
3 Uang kepeng 20,898 (11.08%) 4 Kelapa 7,899 (4.18%)
Gambar 5.16 Persentase Tambahan Pendapatan atau Pengeluaran Bahan-Bahan Ritual (Juta Rp dan %) Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung Sumber: Tabel 5.8
Gambar 5.16 menunjukkan tambahan pendapatan pemasok bahan ritual bambu sebesar Rp 44,829 juta (23,77 persen) hampir seperempat dari total penggunaan bahan-bahan ritual.
Ini menunjukkan betapa besarnya peranan
193
bambu dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal dibandingkan dengan bahan-bahan ritual yang lainnya. Dalam kegiatan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, fungsi bambu cukup dominan, dipergunakan membuat sarana upakara seperti sanggah surya, taring tempat melakukan aktivitas persiapan ritual dan aktivitas wewalian dan bale panggung tempat para Sulinggih memimpin ritual. Sebagaimana dominan bahan bambu dalam kegiatan ritual Hindu namun tidak kalah pentingnya daging babi. Pada umumnya, umat Hindu di Bali setiap kegiatan ritual selalu ada aktivitas mengolah daging babi maka tambahan pendapatan pemasok babi sebesar Rp 21,264 juta (11,27 persen) baik untuk kelengkapan ritual maupun untuk adat sebagai budaya kebersamaan,
solidaritas
(menyamabraya,
metetulung,
ngoopin,
ngayah)
mencerminkan interaksi sosial antar Krama Banjar Desa Adat di Bali. Tambahan pendapatan pemasok uang kepeng sebesar Rp 20,898 juta (11,08 persen) dan seterusnya. 5.5 Hasil Penelitian Kuantitatif Analisis kuantitatif dilakukan bukan untuk menghasilkan sebuah model, tetapi ditujukan untuk mengkonfirmasi model hipotesis melalui data empirik. Model hipotesis sebagaimana paparan dalam Bab III tentang kerangka pemikiran. Data empirik didapat dari 130 responden, setiap responden diminta untuk menjawab kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas berkaitan dengan variabel pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.
194
Dengan demikian diperoleh jawaban responden yang ditabulasi dengan Microsoft Excel sebagaimana ditampilkan Lampiran 12. Data Lampiran 12 selanjutnya diproses dengan program statistik Amos versi 20.0 untuk uji Normalitas, CFA dan uji pengaruh dengan SEM berdasarkan asumsi-asumsi dalam Structural Equation Modeling (SEM) untuk menguji kelayakan model. 5.5.1. Evaluasi Asumsi SEM Evaluasi atas asumsi-asumsi SEM didahului dengan evaluasi normalitas untuk mengetahui kenormalan data. Analisis normalitas data digunakan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh dan dikumpulkan memiliki distribusi normal atau tidak. Untuk analisis normalitas data digunakan nilai kritis skweness dan nilai kurtosis. Analisis distribusi normalitas sangat diperlukan jika jumlah datanya (n) < 100 buah (Nunnally dan Sujana dalam Husaini Usman, 2009:109), namun demikian untuk ukuran sampel >100 masih dipandang perlu uji normalitas. Jika data yang diperoleh berdistribusi normal, maka memungkinkan dilaksanakan analisis parametrik. Untuk evaluasi normalitas dilakukan uji skweness dan uji kurtosis. Uji skweness digunakan untuk melihat kemencengan/kecondongan penyebaran data, sedangkan kurtosis untuk melihat keruncingan penyebaran data.
Menurut
Suharyadi (2003), data memiliki penyebaran yang menceng atau condong bila nilai kritis (c.r.) untuk skweness besar dari ± 3,00. Data disebut memiliki penyebaran yang runcing bila nilai kritis (c.r.) untuk kurtosis > 3,00. Data dapat dinyatakan menyebar normal jika nilai kritis (c.r) untuk skweness maupun kurtosis
195
tidak lebih besar dari ± 2,58. Pada penelitian ini digunakan kriteria menurut Ferdinand (2006). Uji normalitas dilakukan pada data setiap indikator variabel laten, yaitu data variabel pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hasil proses Confirmatory Factor Analysis (CFA) program Amos Versi 20.0 terhadap data penelitian untuk setiap variabel laten pada Lampiran 12 diperoleh hasil pengolahan assessment of normality pada Amos Versi 20.0 seperti terlihat pada Lampiran 13 sampai dengan Lampiran 15. a. Uji Normalitas Data Variabel Pelaksanaan Ritual Berdasarkan Lampiran 13 dapat dibuat Tabel 5.9 di bawah ini. Tabel 5.9 Assessment of normality (Group number 1) variabel Pelaksanaan Ritual Variable pr5 pr4 pr3 pr2 pr1 Multivariate
min 3,000 3,000 3,000 3,000 3,000
max 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000
skwe -,077 -,025 -,049 -,013 -,120
c.r. -,358 -,118 -,227 -,059 -,560
kurtosis ,302 ,164 -,863 -,172 -,634 4,052
c.r. ,703 ,381 -2,009 -,400 -1,476 2,761
Sumber : Lampiran 13
Tabel 5.9 menunjukkan dari 5 indikator variabel pelaksanaan ritual tidak ada yang memiliki c.r untuk skweness > ± 2,58. Ini berarti sebaran data untuk semua indikator adalah normal ditinjau dari kecondongan. Dilihat dari kurtosis (keruncingan), tidak ada indikator variabel pelaksanaan ritual yang memiliki nilai c.r. > 2,58. Ini berarti, bila dilihat dari kurtosis (keruncingan) dapat dikatakan bahwa penyebaran data untuk semua indikator variabel pelaksanaan ritual adalah menyebar normal (tidak runcing). Dengan demikian
196
ditinjau dari normalitas data (kecondongan dan keruncingan), dapat dinyatakan data untuk 5 indikator variabel pelaksanaan ritual adalah menyebar normal. Artinya, untuk analisis selanjutnya, variabel laten pelaksanaan ritual diwakili oleh 5 indikator tersebut. b. Uji Normalitas Data Variabel Kesempatan Kerja Berdasarkan Lampiran 14 dapat dibuat Tabel 5.10 di bawah ini. Tabel 5.10 Assessment of normality (Group number 1) variabel Kesempatan Kerja Variable kk4 kk3 kk2 kk1 Multivariate
min 3,000 3,000 3,000 3,000
max 5,000 5,000 5,000 5,000
skwe ,020 ,025 ,057 ,010
c.r. ,092 ,116 ,266 ,046
kurtosis -,546 ,822 ,058 -,400 1,819
c.r. -1,270 1,913 ,135 -,930 1,496
Sumber : Lampiran 14
Tabel 5.10 menunjukkan tidak ada indikator variabel kesempatan kerja yang memiliki c.r untuk skweness > ± 2,58. Ini berarti sebaran data untuk semua indikator kesempatan kerja adalah normal ditinjau dari kecondongan. Dilihat dari kurtosis (keruncingan), tidak ada indikator kesempatan kerja yang memiliki nilai c.r. > 2,58. Ini berarti, bila dilihat dari kurtosis (keruncingan) dapat dikatakan bahwa penyebaran data untuk semua indikator kesempatan kerja adalah menyebar normal (tidak runcing). Dengan demikian ditinjau dari normalitas data, dapat dinyatakan data untuk 4 indikator variabel kesempatan kerja adalah menyebar normal. Artinya, untuk analisis selanjutnya, variabel laten kesempatan kerja diwakili oleh 4 indikator tersebut.
197
c. Uji Normalitas Data Variabel Kesejahteraan Masyarakat Berdasarkan Lampiran 15 dapat dibuat Tabel 5.11 di bawah ini. Tabel 5.11 Assessment of normality (Group number 1)
variabel Kesejahteraan Masyarakat Variable km4 km3 km2 km1 Multivariate
min 3,000 3,000 3,000 3,000
max 5,000 5,000 5,000 5,000
skwe -,175 -,222 ,018 -,025
c.r. -,816 -1,033 ,086 -,117
kurtosis -1,060 ,974 ,167 -,718 3,405
c.r. -2,468 2,268 ,389 -1,670 2,801
Sumber : Lampiran 15
Tabel 5.11 menunjukkan tidak ada indikator variabel kesejahteraan masyarakat yang memiliki c.r untuk skweness > ± 2,58. Ini berarti sebaran data untuk semua indikator adalah normal ditinjau dari kecondongan. Dilihat dari kurtosis (keruncingan), tidak ada indikator kesejahteraan masyarakat yang memiliki nilai c.r. > 2,58. Ini berarti, bila dilihat dari kurtosis (keruncingan) dapat dikatakan bahwa penyebaran data untuk semua indikator kesejahteraan masyarakat adalah menyebar normal (tidak runcing). Dengan demikian ditinjau dari normalitas data, dapat dinyatakan data untuk 4 indikator variabel kesejahteraan masyarakat adalah menyebar normal. Artinya, untuk analisis selanjutnya, variabel laten kesejahteraan masyarakat diwakili oleh 4 indikator tersebut. Dengan terpenuhinya normalitas semua
sebaran data untuk setiap
variabel laten, maka uji parametrik dapat dilanjutkan. 5.5.2. Hasil Pengujian Analisis Faktor Konfirmatori (CFA) Analisis faktor konfirmatori digunakan untuk menguji unidimensionalitas dari dimensi-dimensi yang menjelaskan variabel laten dari model tersebut, apakah
198
seluruh indikator yang dipakai dalam penelitian merupakan pembentuk variabel laten pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat. Analisis faktor konfirmatori ini juga dimaksudkan untuk menganalisis tingkat validitas dari data yang ada dalam penelitian. Artinya, apakah indikator yang digunakan memiliki kebermaknaan yang cukup untuk mendefinisikan variabel laten
yang
dibentuk.
Ferdinand
(2006)
sebuah
indikator
signifikan
mengkonvirmasi variabel laten jika memiliki koefisien lamda () ≥ 0,50 dan nilai kritis (C.R) ≥ 2,00 serta nilai probabilitas < 0,05. Berdasarkan model penelitian dari model persamaan struktural seperti paparan dalam Bab III tentang kerangka pemikiran, maka dilakukan analisis faktor konfirmatori menggunakan komputer dengan menggunakan program Amos versi 20.0, yaitu sebagai berikut. a)
Analisis faktor konfirmatori terhadap variabel Pelaksanaan Ritual Untuk analisis faktor konfirmatori (CFA) variabel Pelaksanaan Ritual digunakan hasil pengolahan data pada Lampiran 13. Berdasarkan Lampiran 13 dapatlah ditampilkan Gambar 5.17 dan Tabel 5.12 dan Tabel 5.13 berikut.
Gambar 5.17 Confirmatory Factor Analysis Variabel Pelaksanaan Ritual Keterangan: pr1 = labda karya, pr2 = manggala karya, pr3 = keharmonisan, pr4 = tenaga kerja, pr5 = bahan ritual Sumber : Lampiran 13
199
Tabel 5.12 Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Pelaksanaan Ritual Estimate
S.E.
C.R.
P
Label
pr1
<---
PR
1,000
pr2
<---
PR
1,280
,181
7,091
*** par_1
pr3
<---
PR
1,334
,200
6,671
*** par_2
pr4
<---
PR
1,239
,172
7,189
*** par_3
,771
,145
5,314
*** par_4
pr5 <--PR Sumber : Lampiran 13
Tabel 5.13 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Pelaksanaan Ritual Estimate pr1
<---
PR
pr2 <--PR pr3 <--PR pr4 <--PR pr5 <--PR Sumber : Lampiran 13
,603 ,839 ,758 ,865 ,557
Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori terhadap indikator variabel pelaksanaan ritual, baik dalam bentuk diagram maupun dalam bentuk tabel, diketahui bahwa Standardized Regression Weight () untuk ke-5 indikator lebih besar dari 0,50 serta koefisien C.R. lebih besar dari 2,00 dan nilai probabilitas ke-5 indikator lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berarti < 0,001). Dengan demikian dapat dikatakan ditinjau dari CFA, bahwa ke-5 indikator adalah kuat untuk mengkonfirmasi variabel laten Pelaksanaan Ritual. Untuk itu ke-5 indikator tersebut dapat diikut sertakan pada analisis lebih lanjut.
200
b) Analisis faktor konfirmatori terhadap variabel Kesempatan Kerja Untuk analisis faktor konfirmatori (CFA) variabel kesempatan kerja digunakan hasil pengolahan data pada Lampiran 14. Berdasarkan Lampiran 14 dapatlah ditampilkan Gambar 5.18 dan Tabel 5.14 dan Tabel 5.15 berikut.
Gambar 5.18 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesempatan Kerja Keterangan : kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja Sumber : Lampiran 14 Tabel 5.14 Regression Weights:(Group number 1 - Default model) Indikator Kesempatan Kerja Estimate S.E. C.R. P kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,136 ,252 4,507 *** kk3 <--- KK ,943 ,218 4,323 *** kk4 <--- KK 1,329 ,294 4,518 *** Sumber : Lampiran 14 Tabel 5.15 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesempatan Kerja
Label par_1 par_2 par_3
Estimate kk1
<---
KK
,527
kk2
<---
KK
,673
kk3 <--kk4 <--Sumber : Lampiran 14
KK KK
,603 ,680
Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori terhadap indikator variabel Kesempatan Kerja, baik dalam bentuk diagram maupun dalam
201
bentuk tabel, Diketahui bahwa Standardized Regression Weight () untuk ke-4 indikator lebih besar dari 0,50 serta koefisien C.R. lebih besar dari 2,00 dan nilai probabilitas ke-4 indikator lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berarti < 0,001).
Dengan demikian dapat dikatakan ditinjau dari CFA, bahwa ke-
4 indikator adalah kuat untuk mengkonfirmasi variabel laten Kesempatan Kerja. Untuk itu ke-4 indikator tersebut dapat diikut sertakan pada analisis lebih lanjut. c)
Analisis faktor konfirmatori terhadap variabel Kesejahteraan Masyarakat Untuk analisis faktor konfirmatori (CFA) variabel Kesejahteraan Masyarakat digunakan hasil pengolahan data pada Lampiran 15. Berdasarkan Lampiran 15 dapatlah ditampilkan Gambar 5.19 dan Tabel 5.16 dan Tabel 5.17 berikut.
Gambar 5.19 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesejahteraan
Masyarakat Keterangan : km1= tingkat pendapatan, km2 = derajat pendidikan, km3 = derajat kesehatan, km4 = kondisi kehidupan sosial Sumber : Lampiran 15
202
Tabel 5.16 Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Indikator Kesejahteraan Masyarakat
km1 km2 km3 km4
<--<--<--<---
KM KM KM KM
Estimate
S.E.
C.R.
P
1,000 ,784 ,735 ,868
,120 ,108 ,150
6,536 *** 6,810 *** 5,777 ***
Label par_1 par_2 par_3
Sumber : Lampiran 15 Tabel 5.17 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesejahteraan Masyarakat
Estimate km1
<---
KM
,742
km2
<---
KM
,688
km3
<---
KM
,740
km4 <--KM Sumber : Lampiran 15
,592
Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori terhadap indikator variabel kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk diagram maupun dalam bentuk tabel. Diketahui bahwa Standardized Regression Weight () untuk ke-4 indikator lebih besar dari 0,50 serta koefisien C.R. lebih besar dari 2,00 dan nilai probabilitas ke-4 indikator lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berarti < 0,001). Dengan demikian dapat dikatakan ditinjau dari CFA, bahwa ke-4 indikator adalah kuat untuk mendefinisikan variabel laten kesejahteraan masyarakat. Untuk itu ke-4 indikator tersebut dapat diikut sertakan pada analisis lebih lanjut. Setelah terpenuhinya uji CFA untuk semua variabel laten maka dapat dilanjutkan dengan Uji pengaruh dengan SEM. 5.5.3. Analisis Pengaruh dengan SEM Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat, ditambah lagi
203
dengan hipotesis yang dirumuskan pada Bab III, maka analisis data dilakukan dengan menggunakan Model Persamaan Struktural (SEM) yang merupakan sekumpulan teknik statistik yang memungkinkan dilakukannya pengujian serangkaian hubungan yang relatif rumit secara simultan (Ferdinand, 2002; Solimun, 2004). Adapun hipotesis yang diuji adalah: H1 : Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja H2 : Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat H3 : Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja Mengacu pada hipotesis tersebut, maka dikembangkan model hubungan antar variabel seperti Gambar 5.20.
Gambar 5.20
Model Hubungan Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat
Dari Gambar 5.20, dapat dibuat model persamaan struktural Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), Kesejahteraan Masyarakat (KM) sebagai berikut.
204
H1 : KK = KKPR PR + e14, berpengaruh langsung (Direct Effect) PR terhadap KK, H2 : KM = KMPR PR + e15, berpengaruh langsung (Direct Effect) PR terhadap KM, H3 : KM = KMKK KK + e15, berpengaruh langsung (Direct Effect) KK terhadap KM dan pengaruh tidak langsung (Indirect Effect) PR terhadap KM melalui KK
Besarnya pengaruh setiap variable konstruk di dalam model dianalisis dengan membandingkan pengaruh langsung (direct effect), pengaruh tidak langsung (indirect effect), dan pengaruh total (total effect) antar variable dalam model. Menurut Ferdinand (2006), efek langsung (direct effect) adalah koefisien dari semua garis koefisien dengan anak panah satu ujung. Efek total adalah penjumlahan dari variable langsung dan tidak langsung atau adanya pengaruh dari berbagai hubungan. Model pada Gambar 5.21 selanjutnya dilengkapi dengan hubungan setiap variabel laten dengan indikatornya atau item pertanyaan masing-masing, hingga dapat ditampilkan model diagram jalur yang semakin lengkap seperti ditampilkan pada Gambar 5.21.
Gambar 5.21 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat Sumber : Lampiran 17
205
Mengacu pada Gambar 5.21 terlihat jumlah indikator masing-masing variabel laten pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat. Skor jawaban responden terhadap setiap indikator tersebut disajikan pada Lampiran 12. Skor jawaban responden pada Lampiran 12 diolah dengan statistik Full Model SEM menggunakan software AMOS for windows versi 20.0 hingga diperoleh tampilan grafik seperti dan hasil Regression Weights seperti Lampiran 16. Dari hasil pengolahan data pada Lampiran 18 dilakukan analisis Full Model SEM. Untuk keperluan analisis pertama-tama ditampilkan gambar hasil pengolahan SEM, sebagaimana Gambar 5.22.
Gambar 5.22 Koefisien Regresi Model Variabel Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3= keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5= bahan-bahan ritual, kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial. Sumber : Lampiran 17
206
Berdasarkan Gambar 5.22 dilakukan analisis model pengukuran dengan parameter lamda, analisis model struktural, analisis determinasi, Goodness of fit untuk kontribusi pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat. 1)
Analisis Pengujian Model Pengukuran dengan Parameter Lamda (i) Pengujian parameter yang dilakukan adalah pengujian parameter lamda (i). Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui validitas setiap indikator penelitian. Untuk pengujian parameter lamda (i) digunakan nilai standardized estimate (regression weight) berupa loading factor. Apabila nilai standardized estimate (regression weight) (i) > 0,50, nilai C.R > ttabel = 2,000, dan Probabiliy < = 0,05, maka loading factor parameter lamda (i) indikator tersebut dinyatakan signifikan (Ferdinand, 2002). Hal ini berarti, indikator tersebut valid. Untuk keperluan pengujian parameter lamda (Lampiran 16) berikut yang memuat loading factor/lamda (i), C.R, Probability (P), seperti disajikan Tabel 5.18. Tabel 5.18 Regression Weight (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat
pr1 <--- PR pr2 <--- PR pr3 <--- PR pr4 <--- PR pr5 <--- PR kk1 <--- KK kk2 <--- KK kk3 <--- KK kk4 <--- KK km1 <--- KM km2 <--- KM km3 <--- KM km4 <--- KM Sumber : Lampiran 16
Estimate 1,000 1,132 1,288 1,102 ,761 1,000 1,018 1,012 1,155 1,000 ,866 ,846 1,105
S.E.
C.R.
P *** *** *** ***
Label
,149 ,172 ,142 ,128
7,585 7,507 7,775 5,928
par_4 par_5 par_6 par_7
,205 ,196 ,235
4,976 *** par_8 5,171 *** par_9 4,918 *** par_10
,132 ,118 ,170
6,549 *** par_11 7,173 *** par_12 6,503 *** par_13
207
Berdasarkan Tabel 5.18
dapat dilihat bahwa semua indikator
variabel laten memiliki standardized estimate (regression weight) berupa loading factor atau lamda (i) > 0,50, nilai kritis C.R. > 2,000 serta memiliki probabilitas lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berari < 0,001). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua indikator variabel laten tersebut adalah valid atau signifikan untuk merefleksikan variabel laten. 2) Analisis Model Persamaan Struktural Persamaan struktural Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), terhadap Kesejahteraan Masyarakat (KM ), yaitu berpengaruh langsung (Direct Effect) PR terhadap KK; berpengaruh langsung (Direct Effect) PR terhadap KM; dan berpengaruh langsung (Direct–Indirect Effect) PR terhadap KM melalui KK. Pengujian model dilakukan menggunakan koefisien regresi untuk variabel pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat melalui tabel output dari sub menu view atau set sebagaimana Lampiran 21. Berdasarkan hasil perhitungan koefisien regresi (regression weight) yang dapat dilihat pada Lampiran 18 dapat dibuat Tabel output seperti disajikan dalam Tabel 5.19 Tabel 5.19 Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)
KK <--- PR KM <--- PR KM <--- KK Sumber : Lampiran 16
Estimate ,464 ,517 ,704
S.E. ,115 ,124 ,182
C.R. 4,038 4,171 3,860
P Label *** H1 *** H2 *** H3
Tabel 5.20 Standarized Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) Estimate KK <--- PR ,571 KM <--- PR ,499 KM <--- KK ,552 Sumber : Lampiran 18
Tabel 5.19 dan Tabel 5.20 menunjukkan sebagai berikut.
208
Pelaksanaan
ritual
terhadap
kesempatan
standardized estimate (regression weight) sebesar
kerja
memiliki
0,571 dengan C.r
(Critical ratio) = identik dengan nilai t-hitung) sebesar 4,038 pada probability = ***. Nilai C.R (Correlation Regression) 4,038 > 2,000 dan Probability = *** < 0,05 menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja adalah positif. Pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat memiliki standardized estimate (regression weight) sebesar
0,499 dengan Cr
(Critical ratio = identik dengan nilai t-hitung) sebesar 4,171 pada probability = ***. Nilai CR (Correlation Regression) 4,171 > 2,000 dan Probability = *** < 0,05 menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat adalah positif. Kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat memiliki standardized estimate (regression weight) sebesar 0,552 dengan Cr (Critical ratio = identik dengan nilai t-hitung) sebesar 3,860 pada probability = ***. Nilai CR (Correlation Regression) 3,860 > 2,000 dan Probability = *** < 0,05 menunjukkan bahwa kesempatan kerja terhadap kesejahteraan kasyarakat adalah positif. Pelaksanaan
ritual
terhadap
kesejahteraan
masyarakat
menunjukkan positif baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja sebesar 0,315
209
Memperhatikan standardized estimate untuk variabel Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM), maka dapat dibuat model persamaan struktural sebagai berikut. (1)
KK= KKPR PR + e14= 0,571 PR + e14: berarti pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja teruji kebenarannya.
(2) KM= KMPR PR + e15 = 0,499 PR + e15 berarti pelaksanaan ritual berpengaruh positif
dan
signifikan
terhadap
kesejahteraan
masyarakat
teruji
kebenarannya. (3)
KM=
KMKK
KK
+
e15 = 0,552 KK
+
e15:
berarti
kesempatan kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat teruji kebenarannya. Pengaruh tidak langsung pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kesempatan kerja sebesar 0,315. Pengaruh total pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja sebesar 0,814. Dinyatakan ketiga hubungan menunjukkan pengaruh positip terhadap variabel endogen. Tabel 5.21 3) Analisis Goodness of Fit Berdasarkan kriteria uji, Chi-square (2), Relatif Chi-square (2/df), RMSEA, GFI, AGFI, TLI, dan CFI di atas dan nilai Goodness of Fit hasil pengolahan Amos for windows versi 20.0 sebagaimana ditampilkan pada Gambar 5.22 maka dapat dibuat Tabel 5.21.
210
Tabel 5.21 Evaluasi Goodness of Fit Goodness of Fit Index
Cut-of Value
Chi-square (2 )
Diharapkan kecil
Hasil Model Utama 138,539
2,235*) Relatitive Chi-square (2/df) 3,00 Probability > 0,05 0,000 RMSEA 0,098+) 0,08 GFI 0,857+) 0,90 AGFI 0,790 0,90 TLI 0,862+) 0,94 CFI > 0,94 0,891+) Keterangan: *) Memenuhi Goodness of fit +) Marginal Sumber : Gambar 5.23
Keterangan Kurang baik Baik Kurang baik Marginal Marginal Kurang Baik Marginal Marginal
Tabel 5.21 menunjukkan nilai cut-of-value dan goodness of fit hasil model satu kriteria yang terpenuhi serta ada empat marginal dari delapan kriteria yang dipakai. Kriteria yang terpenuhi adalah Relatif Chi-square (CMIN/DF) dan yang marginal adalah RMSEA, GFI, TLI dan CFI. Berhubung baru satu kriteria yang memenuhi syarat dan empat yang marginal dari delapan kriteria yang disyaratkan, maka model di atas dapat dinyatakan sebagai model yang belum baik (Solimun, 2004 ). 4) Analisis Model Pengukuran dengan Determinasi Berikut ini dilakukan analisis Model Pengukuran dengan koefisien Determinasi kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Analisis model pengukuran dengan determinasi digunakan untuk mengetahui besarnya sumbangan variabel eksogen terhadap variable endogen. Untuk analisis ini digunakan Square Multiple Correlation.
Besarnya Square
Multiple Correlation dapat dilihat pada Tabel 5.22 berikut.
211
Tabel 5.22 Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) Estimate KK KM Sumber : Lampiran 18
,326 ,869
Square Multiple Correlation yang nilainya masing-masing untuk kesempatan kerja = 0,326 dan kesejahteraan masyarakat = 0,869 sebagaimana terlihat pada Tabel 5.22. Menurut Ferdinand (2002), nilai Square Multiple Correlation untuk variabel kesempatan kerja R2 = 0,326 maka besarnya Determinasinya = 0,326 x 100 persen = 32,6 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perubahan kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Untuk variabel kesejahtaraan masyarakat
R2 = 0,869 maka besarnya Determinasinya = 0,869 x 100
persen = 86,9 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perubahan kesejateraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual melalui kesempatan kerja. Dari keseluruhan analisis di atas dapat disimpulkan semua indikator untuk pelaksanaan ritual, kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat adalah valid. Bila dilihat dari Model persamaan struktural di atas menunjukkan Regression Weight (), terdapat dua variabel eksogen pengaruhnya positip terhadap variable endogen. Dari
hasil Evaluasi
Goodness of Fit menunjukkan baru satu kriteria yang terpenuhi (Chisquare/df) dan empat kriteria yang marginal (RMSEA, GFI, TLI dan CFI) dari delapan kriteria yang ada. Dengan demikian maka model tersebut belum dapat dinyatakan sebagai model yang baik (belum memenuhi
212
Goodness of fit) dan dipandang perlu diadakan modifikasi model untuk dapat meningkatkan kecocokan model (Goodness of fit) (Solimun, 2004). Secara teori, Ferdinand (2006) mengatakan ada dua cara memodifikasi untuk meningkatkan nilai Goodness of fit, yaitu pertama dapat dilakukan dengan tidak mengikut sertakan indikator yang memiliki koefisien Standarized Regression Weight antara indikator λ (loading factor) kecil; kedua dengan mengkorelasikan beberapa indikator yang memiliki nilai Modifikasi Indeks (M.I.) yang besar. 5.5.4 Modifikasi Model Pada Modifikasi ini dilakukan dengan mengkorelasikan beberapa error yang memiliki koefesien Modifikasi Indeks (M.I) besar. Untuk keperluan tersebut maka berikut ini ditampilkan Tabel 5.23 yang memuat koefisien Modifikasi Indek > 8,00 yang didapat dari Lampiran 18. Tabel 5.23 Modification Indices (Group number 1 - Default model) Covariances: (Group number 1 - Default model) M.I. Par Change e13 <--> e14 11,629 e3 <--> e13 14,785 e2 <--> e4 14,081 e1 <--> e14 9,544 Sumber : Lampiran 18
-,059 ,089 ,045 ,048
Dari koefisien Modifikation Indeks (M.I.) Tabel 5.23, modifikasi model dilakukan dengan mengkorelasikan antar error yang memiliki Modifikation Indek (M.I.) > 8,000 dalam rangka memperbaiki Goodness of fit maka e13 yang dikorelasikan dengan e14; e3 yang dikorelasikan dengan e13; e2 yang dikorelasikan dengan e4; dan e1 yang dikorelasikan dengan e14
213
Dengan menghubungkan beberapa error di atas maka dapat dihasilkan model modifikasi, seperti Gambar 5.23
Gambar 5.23
Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat.
Keterangan: pr1=labda karya, pr2=manggala karya, pr3=keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5=bahan-bahan ritual, kk=lapangan usaha, kk2=kualitas kesempatan kerja, kk3=kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km=tingkat pendapatan, km2=derajat pendidikan, km3=derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial Sumber : Lampiran 20
Setelah model modifikasi Gambar 5.23 dilakukan pengolahan, maka didapat hasil pengolahan SEM sebagai berikut. 1) Standarized Regression Weight (Lamda:i). Indikator pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat hasil yang lebih baik dari hasil model utama (Lampiran 15). Berdasarkan Lampiran 19 semua indikator variabel laten memiliki standardized estimate (regression weight) berupa loading factor atau lamda (i) > 0,50, nilai kritis C.R. > 2,000 serta memiliki probabilitas lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berari < 0,001). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua indikator variabel laten tersebut adalah valid atau signifikan untuk merefleksikan variabel laten.
214
2) Analisis Model Persamaan Struktural Pengujian model modifikasi dilakukan menggunakan koefisien regresi untuk variabel pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat melalui tabel output dari sub menu view/set sebagaimana Lampiran 21. Berdasarkan hasil perhitungan koefisien regresi (regression weight) yang dapat dilihat pada Lampiran 21 dapat dibuat hubungan antar variabel di dalam model SEM dibagi menjadi tiga kategori yaitu pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung dan pengaruh total, seperti disajikan dalam Tabel 5.24 dan Tabel 5.25. Tabel 5.24 Standarized Regression Weight Direct Effects Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) Estimate KK <--- PR KM <--- PR KM <--- KK Sumber : Lampiran 21
,595 ,399 ,657
Tabel 5.25 Standardized Regression Weight Indirect Effects Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) PR KK KK ,000 ,000 KM ,391 ,000 Sumber : Lampiran 21
KM ,000 ,000
Berdasarkan analisis jalur (path analysis), Tabel 5.24 dan Tabel 5.25, dinyatakan ketiga pengaruh menunjukkan positif terhadap variabel endogen berikut. 1) Koefisien jalur pelaksanaan ritual berpengaruh langsung terhadap kesempatan kerja sebesar 0,595 dengan nilai CR sebesar 4,343 > 2,00 menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja adalah positif. Dengan demikian,
215
hipotesis kerja pertama yang menyatakan pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja dapat diterima. 2) Koefisien
jalur
pelaksanaan
ritual
berpengaruh
langsung
terhadap
kesejahteraan masyarakat sebesar 0,399 dengan nilai CR sebesar 3,309 > 2,00 menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat adalah positif. Dengan demikian, hipotesis kerja kedua yang menyatakan pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat dapat diterima. 3) Koefisien jalur kesempatan kerja berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 0,657 dengan nilai CR sebesar 4,159 > 2,00 menunjukkan bahwa kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat adalah positif. Dengan demikian, hipotesis kerja ketiga yang menyatakan kesempatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat dapat diterima. 4) Pengaruh tidak langsung pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kesempatan kerja sebesar 0,391. Pengaruh total pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja sebesar 0,79. Memperhatikan standardized estimate untuk variabel pelaksanaan ritual kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat maka dapat dibuat model persamaan struktural sebagai berikut. KK =
KKPR
PR
+
e14= 0,595 PR
+
e14: berarti pengaruh pelaksanaan ritual
terhadap kesempatan kerja adalah positif yang teruji kebenarannya.
216
KM =
KMPR
PR
terhadap
+
e15 = 0,399 PR
kesejahteraan
+
e15 berarti pengaruh pelaksanaan ritual
masyarakat
adalah
positif
yang
teruji
kebenarannya. KM =
KMKK
KK
+
e15= 0,657 KK
+
e15 berarti kesempatan kerja terhadap
kesejahteraan masyarakat adalah positif yang teruji kebenarannya. Berdasarkan hasil perhitungan koefisien regresi yang dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 21 dapat dibuat Tabel output seperti disajikan Gambar 5.24.
Gambar 5.24 Koefisien Regresi Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat Sumber : Lampiran 20
3) Analisis Goodness of Fit Hasil modifikasi model dengan mengkorelasikan beberapa error indikator yang memiliki Modification Index (M.I.) > 8,000 maka dapat dilakukan perbandingan Goodness of Fit antara model modifikasi utama dengan model hasil modifikasi. Perbandingan yang dilakukan meliputi:
217
besarnya koefisien Goodness of Fit, koefisien Regression Weight antar variabel endogen dengan eksogen, dan Square Multiple Correlation, sebagaimana disajikan koefisien determinasi Tabel 5.26. Tabel 5.26 Evaluasi Kriteria Kesesuaian (Goodness of Fit Index) Full Model Perbandingan Model Sebelum Modifikasi dengan Setelah Modifikasi Goodness of Fit Index
Cut-of Value
Chi-square (2 )
Diharap kan kecil 3,00 > 0,05 0,08 0,90 0,90 0,95 0,95
Relatitive Chi-square (2/df) Probability RMSEA GFI AGFI TLI CFI KK PR (y1x) KM PR (y2x) KM KK (βy2y1) Square Multiple Correlation KK Square Multiple Correlation KM
Model Model Sebelum Setelah Modifikasi Modifikasi
Keterangan
138,539
88,218
Lebih baik
2,235*) 0,000 0,098+) 0,857+) 0,790 0,862+) 0,891+) 0,571 0,499 0,552 0,326 0,869
1,521*) 0,006 0,064*) 0,912*) 0,861+) 0,942*) 0,957*) 0,595 0,399 0,657 0,354 0,902
Lebih baik Lebih baik Lebih baik Lebih baik Lebih baik Lebih baik Lebih baik Lebih baik Lebih jelek Lebih baik Lebih baik Lebih baik
Keterangan: *) Memenuhi Goodness of fit +) Marginal ++) Signifikan --) Tidak Signifikan Sumber: Gambar 5.25 Bila dilihat dari Goodness of fit, terlihat model hasil modifikasi menunjukkan perbaikan pada seluruh indikator dari delapan indikator yang ada. Model sebelum yang semula ada satu buah yang memenuhi syarat dan empat buah marginal, menjadi lima buah indikator yang memenuhi syarat yaitu Relatitive Chi-square (2/df), RMSEA, GFI, TLI dan CFI. Bila dilihat dari Regresion Weight variabel eksogen terhadap variabel endogen ternyata
218
pada modifikasi model, terdapat peningkatan pada dua koefisen regresi (Standarized Regresion Weight) dan satu lainnya mengalami penurunan. Dari analisis di atas, dapat dinyatakan bahwa melakukan model modifikasi telah dapat meningkatkan kesesuaian model (Goodness of fit). Berhubung telah ada empat buah indikator yang memenuhi syarat goodness of fit, maka model telah dipandang bagus (good of fit). Hal ini sesuai dengan Solimun (2004) kriteria hasil modifikasi lebih dari dua memenuhi syarat tegas dinyatakan apabila lebih dari dua kriteria maka model dipandang baik. Dengan demikian dipandang tidak perlu mengadakan modifikasi lebih lanjut. 4) Analisis Model Pengukuran dengan Determinasi Hasil analisis Model Pengukuran dengan koefisien Determinasi kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Analisis model pengukuran dengan determinasi digunakan untuk mengetahui besarnya sumbangan variabel eksogen terhadap variable endogen setelah adanya modifikasi model. Untuk analisis ini digunakan Square Multiple Correlation. Besarnya Square Multiple Correlation Sebelum adanya Modifikasi model (Tabel 5.22) dan besarnya Square Multiple Correlation setelah adanya modifikasi model, terlihat kedua buah mengalami peningkatan, seperti ditunjukkan Tabel 5.27. Tabel 5.27 Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) Sebelum dan Setelah adanya Modifikasi model Sebelum Modifikasi model Estimate KK ,326 KM ,869 Sumber : Lampiran 18 dan 21
Setelah Modifikasi model Estimate ,354 ,902
219
Square Multiple Correlation menurut Ferdinand (2002)
yang nilai
masing-masing untuk kesempatan kerja = 0,354 dan kesejahteraan masyarakat = 0,902 sebagaimana terlihat pada Tabel 5.27. Nilai Square Multiple Correlation untuk variabel kesempatan kerja R2 = 0,354 maka besarnya Determinasinya = 0,354 x 100 persen = 35,4 persen dan untuk variabel kesejahtaraan masyarakat R2 = 0,902 maka besarnya Determinasinya = 0,902 x 100 persen = 90,2 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan sebagai berikut. 1) Variabel kesempatan kerja R2 = 35,4 persen dapat dinyatakan bahwa perubahan kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. 2) Variabel kesejahtaraan masyarakat R2 = 90,2 dapat dinyatakan bahwa perubahan kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan rritual melalui kesempatan kerja. Dalam penelitian ini, kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja adalah sebesar 35,4 persen artinya perubahan kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Sedangkan kontribusi kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat adalah sebesar 90,2 persen artinya perubahan kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual dan variabel lain melalui kesempatan kerja.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Manfaat yang Diperoleh Masyarakat Pengempon Pura Dengan Terlaksana Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih Berdasarkan hasil penelitian dan jawaban responden sebagaimana
disajikan pada Bab V dan (Lampiran 11) dari beberapa makna pelaksanaan ritual, maka manfaat sosial, budaya, dan ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, dapat diuraikan berikut. 1) Makna Kepercayaan dan Keyakinan. Manfaat sosial yaitu sikap saling percaya dan yakin dengan melaksanakan ritual ini masyarakat pengempon pura merasa tenang dan tentram. Manfaat budaya yaitu dengan melaksanakan ritual ini masyarakat pengempon pura percaya dan yakin mampu melestarikan tradisi gotong royong dalam adat istiadat dan agama. Manfaat ekonomi bagi masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual ini percaya dan yakin tumbuh rasa memiliki dan bertanggungjawab secar ekonomi. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Geertz (1973) agama menganalisis makna dalam simbol-simbol agama dan membangun motivasi yang kuat dan tahan lama serta hubungannya dengan struktur masyarakat (Pals, 2001). Sejalan dengan konsep Bourdieu (1977) tentang Social Capital bahwa sikap saling percaya (mutual trust) adalah kunci bagi kerjasama, modal sosial merupakan alat untuk menciptakan kepercayaan karena modal sosial memiliki pengaruh terhadap budaya dan ekonomi serta dapat
220
221
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) bahwa upacara-upacara ritual dan ibadah berfungsi meningkatkan solidaritas sosial masyarakat serta memperkokoh kehidupan beragama. Menurut Kitab Suci Bhagawad Gita Bab III pasal 13 yang berbunyi berikut.‘yajna-sistasinah santo mucyante sarvakilbisaih, bhunjate te tagham papa ye pacanty atma-karanat’. Artinya ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa. Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, menyebutkan ”Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmana”. Artinya, siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima (Pradnya, 2010). Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, II: 47, menyebutkan” Karmany Eva Dhikaraste Ma phalesu Kadacana Ma Karma Phala Heturbur Mate sango stua Akarmany” Artinya Hanya bekerja untuk kewajibanmu, Bukan hasil pekerjaan itu kuharapkan, Bukan hasil perbuatan itu yang menjadi motif dalam bekerja, Dan jangan pula hanya berdiam diri. Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Fukuyama (1995) tingkat kepercayaan dan keyakinan bertalian dengan akar budaya, etika, dan moral yang diwujudnyatakan dalam perilaku saling bantu dan kerjasama. Hasil penelitian Sumadi (2008)
keyakinan merupakan wujud
pengamalan ajaran hukum karma phala artinya, setiap perbuatan akan membuahkan hasil selanjutnya hasil penelitian Kiriana (2008) mengatakan yadnya merupakan kewajiban bagi umat Hindu untuk melaksanakannya, hal ini didasari keyakinan alam semesta beserta isinya diciptakan melalui yadnya. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Putnam (1993) terjadi kemerosotan partisipasi akibat turunnya kepercayaan.
222
2) Makna Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Manfaat sosial merupakan proses pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap dan perilaku hidup yang lebih baik lahir bathin. Manfaat budaya adalah tradisi dalam Agama Hindu untuk melakukan penyucian (sakralisasi) secara sekala niskala setiap pelinggih pura yang baru di bangun dan diperbaiki sesuai ajaran Agama Hindu. Manfaat ekonomi yaitu dengan terlaksana ritual ini menyebabkan adanya transaksional bahan-bahan ritual. Hasil penelitian ini,
terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz
(1973) dan Rigveda X.121.10, Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih yaitu “Om Hyang Prajapati,Pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha kuasa mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita-cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada kami’. Artinya, makna ritual menyucikan dan mensakralkan niyasa tempat memuja Hyang Widhi”. Kitab Bhagavadgita, IX: 22 bahwa Yadnya yaitu: ”Mereka yang memuja aku sendiri, merenungkan aku senantiasa, kepada mereka aku bawakan apa yang mereka perlukan dan aku lindungi apa yang mereka miliki”. Ketika melaksanakan sesuatu ritual kepada Hyang Widhi maka Hyang Widhi akan memberikan segala apa yang diinginkan oleh manusia dan sekaligus melindungi apa yang dimilikinya”. Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pendapat (Wijayananda, 2004; Sudarsana, 2008; danWiana, 2004) upacara hendaknya harus dibarengi dengan pemahaman akan makna dan tujuan dari suatu upacara yang dilaksanakan. Menurut Titib (2012), tujuan ritual Ngenteg Linggih adalah untuk menyucikan atau mensakralkannya mensthanakan Hyang Widhi dan manifestasi-manifestasinya sehingga bangunan itu memenuhi syarat simbol.
223
3) Makna Mecaru. Manfaat sosial yaitu menciptakan keseimbangan dan keharmonisan kekuatan alam semesta secara sekala niskala. Manfaat budaya merupakan salah satu tradisi dalam ritual tertentu umat Hindu, sebelum hari H dlaksanakan proses pencaruan untuk kelancaran ritual berikutnya. Manfaat ekonomi yaitu menyebabkan adanya transaksional bahan-bahan ritual. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973), hal ini sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) bahwa upacara-upacara ritual dan ibadah berfungsi meningkatkan solidaritas sosial masyarakat serta memperkokoh kehidupan beragama. Selanjutnya,
hasil penelitian ini
memperkuat pendapat Wikarman (1999), Wiyana (2012), dan Titib (2012) mecaru pada hakekatnya menciptakan keseimbang dan keharmonisan agar kekuatan alam yang ada menjadi seimbang antara yang positif dan negatif. 4) Makna Melasti. Manfaat sosial adalah agar ingat dalam memuja Ida Bhatara dan membangun persahabatan dengan sesama serta melestarikan alam selanjutnya bertujuan memotivasi umat secara spiritual. Manfaat budaya merupakan tradisi umat Hindu dalam ritual tertentu melakukan pembersihan kembali simbol-simbol. Manfaat ekonomi adalah dapat menumbuhkan aktivitas ekonomi ditempat ritual tersebut. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973), konsep Max Weber (1930), dan konsep Bourdieu (1977) yaitu aktivitas agama mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi. Hal ini sejalan dengan pandangan Durkheim (2003). Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat
224
pendapat (Wikarman, 1999; Wiyana, 2012; Titib, 2012, Wiana, 2004; dan Suardika, 2006). 5) Makna Nyegara Gunung. Manfaat sosial yaitu hendaknya dalam diri kita dapat terlahirkan suatu kehidupan yang baru, sikap mental, dan perilaku yang baik. Manfaat budaya merupakan tradisi rangkaian ritual sebelum berakhir dan membangun persahabatan dengan sesama umat serta alam. Manfaat ekonomi bahwa laut dan gunung merupakan sumber kehidupan, mampu memberi segala kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) dan sejalan dengan pandangan Durkheim (2003). Selanjutnya,
hasil
penelitian ini memperkuat pendapat Wijayananda (2006), Wiyana (2012), Titib (2012), Wiana (2004) dan Suardika (2006) makna upacara Nyegara Gunung hendaknya dalam kehidupan yang baru, hidup penuh dengan kebajikan dan rasa cinta kasih diwujudkan dalam Tri-kaya-parisudda (pikiran, perkataan dan berprilaku yang baik dan benar), menerima dan mensyukuri dua dimensi baik buruk (Rwa-Bhineda). 6) Makna Banten. Manfaat sosial bahwa banten sebagai sarana upakara pada dasarnya adalah nyasa atau simbol-simbol. Manfaat budaya yaitu banten Bagia Pulakertti bermakna dengan kokoh (pageh) berpegang pada tata susila atau prilaku yang selalu berlandaskan ajaran Agama Hindu. Manfaat ekonomi adalah mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan bersama dan semua mahluk hidup.
225
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) dan Kitab Bhagavadgita IX.27, yaitu: ”apapun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau makan, yang engkau persembahkan dan engkau amalkan, tanpa apapun yang engkau laksanakan, wahai putra Kunti (Arjuna) lakukan itu sebagai persembahan kepada-Ku. Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pendapat Wijayananda, 2004; Triguna, 2000; dan Titib, 2001, baahwa banten sebagai sarana upakara pada dasarnya adalah sebagai nyasa atau perwujudan atau simbol dari SiwaLinga, dari sekian banyak wujud banten dan jejahitan pada intinya ada tiga bentuk yaitu berbentuk segitiga (Tri-kona seperti penyeneng dan lainlainnya), bundar atau bulat (seperti sesayut, tamas) dan berbentuk segiempat (seperti taledan dan ceper). Banten salah satu sarana dari wujud bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala Ista-Dewata-Nya. Surayin (2005) dan Sumini (2008) banten sarad mengandung simbol buana agung dan buana alit bagi umat Hindu di Bali dan ciri khas yang unik mengkaitkan daya cipta yang religius mengandung budaya, seni, adat dan agama bercirikan Desa-Kala-Patra. 7) Makna Labda Karya. Manfaat sosial adalah ritual yang dilaksanakan berjalan sukses dan lancar sesuai dodunan karya. Manfaat budaya dilandasi semangat spritual dan etos kerja melalui kerjasama gotong royong. Manfaat ekonomi konsep berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973). Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil studi Wijaya (2012) pelaksanaan karya Panca Balikrama di Besakih berjalan labda karya karena
226
semangat spritual, etos kerja melalui kerjasama antara masyarakat Besakih dengan panitia Provinsi Bali, Kabupaten/Kota, dan seluruh umat Hindu serta berimplikasi positif terhadap kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Besakih khususnya, dan Bali umumnya. 8) Makna Kehidupan Sosial. Manfaat sosial yaitu dengan solidaritas yang tinggi bersama-sama dalam kegiatan baik suka maupun kedukaan. Manfaat budaya adalah keharmonisan, kekeluargaan, kebersamaan, dan solidaritas yang tinggi antar anggota masyarakat. Manfaat ekonomi konsep berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Hasil penelitian ini, terbukti konsep Bourdieu (1977) tentang Social Capital dan sejalan dengan pandangan Durkheim (2003). Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pandangan Wiyana (2012) dan hasil penelitian Wijaya (2012) seluruh umat Hindu di Bali dan masyarakat ikut terlibat dalam mensukseskan pelaksanaan upacara Panca Balikrama di Besakih dan Nyepi. Titib (2007) konsep kearifan lokal Salulung Sabhayantaka, Paras Parosarpanaya, Adiluhung. 9) Makna Gotong Royong. Manfaat sosial yaitu didasari semangat relegius dan etos kerja yang tinggi. Manfaat budaya dalam wujud rasa memiliki, kebersamaan, kekeluargaan, solidaritas dan tanggungjawab. Manfaat ekonomi adalah prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Hasil penelitian ini, terbukti konsep Bourdieu (1977) tentang Social Capital, sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) dan Titib (2007). Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pandangan Koentjaraningrat
227
(1997) budaya merupakan sistem gagasan, tindakan, dan tradisi kehidupan masyarakat. Wijaya (1991) mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahanperubahan sosial budaya akibat pertumbuhan ekonomi. Titib (2007) konsep Salulung Sabhayantaka, Paras Parosarpanaya, Adiluhung dengan solidaritas dan kebersamaan yang tinggi dan bersama-sama dalam kegiatan baik suka maupun kedukaan. 10) Makna Iuran Pura (Ayah-ayahan). Manfaat sosial yaitu didasari semangat srada dan lascarya.
Manfaat budaya yaitu rasa memiliki, kekeluargaan,
kebersamaan dan tanggungjawab bersama untuk kesuksesan, kelancaran. Manfaat ekonomi adalah prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Hasil penelitian ini, terbukti konsep Bourdieu (1977) Social Capital dan teori Coleman (1988) dalam social capital dengan menggunakan teori pilihan rasional yang syarat dengan prinsip ekonomi. Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Wijaya (2012) sumber dana karya Panca Balikrama di Besakih tahun 2009 adalah dari Pemerintah Provinsi Bali, Kabupaten/Kota, masyarakat Besakih dan punia seluruh umat Hindu. Sejalan pandangan terhadap konsep kebersamaan (Titib, 2007). 11) Makna Bahan Ritual. Manfaat sosial adalah bahan-bahan ritual sebagian besar tersedia sekitar Abiansemal. Manfaat budaya bahwa bahan ritual dibuat sesuai sesuai budaya (Desa-Kala-Ptra). Manfaat ekonomi yaitu menyebabkan tumbuhnya kesempatan kerja dapat meningkatkan pendapatan.
228
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Geertz (1973), konsep Max Weber (1930) dan Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26.
.
Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Wijaya (2012) karya Panca Balikrama di Besakih memberi implikasi secara sosial ekonomi berupa terciptanya peluang usaha atau kesempatan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Menurut Surayin (2002) bahan-bahan banten terdiri dari tumbuhtumbuhan, buah-buahan, hewan dan lain-lainnya. 12) Makna Pengeluaran Ritual. Manfaat sosial adalah ritual dilakukan dengan tulus iklas (srada bhakti dan lascarya). Manfaat budaya yaitu pengeluaran ritual bagi umat Hindu merupakan pengeluaran rutin. Manfaat ekonomi bahwa pengeluaran pitual tidak merupakan beban. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936) bahwa menggambarkan pengeluaran konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan artinya pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapata naik. Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian dan hipotesis (M.Friedmen: pendapatan permanen, 1967; Deusenberry: pendapatan relatif, 1949; F. Modligiani: pendapatan siklus hidup, 1963; dan Sukarsa,
2005; Yan Wang,1995;
Pemberto, 1997; Malucio et al., 1999; Wijaya, 2012). Pengeluaran ritual menurut konsep Hindu seharusnya dikeluarkan untuk ber-yadnya sebanyak sepertiga atau 33,3 persen dari pendapatan, sedangkan sepertiga yang lain untuk pemupukan artha dan sisanya untuk pemenuhan kama. Siklus hidup masyarakat umat Hindu untuk hak dan kewajiban dalam Desa Adat diatur berdasarkan prinsip Desa – Kala – Patra (tempat-waktu-layak atau pakem yang berlaku), tingkatan upakara yaitu Nista, Madya, Utama masing-masing
229
dibagi tiga menjadi sembilan tingkat serta kemampuan masyarakat di masingmasing Desa Adat Pakraman. 13) Makna
Kesempatan
Berusaha.
Manfaat
sosial
kesempatan kerja. Manfaat budaya adalah
adalah
menciptakan
mengakibatkan adanya
transaksional bahan-bahan ritual. Manfaat ekonomi yaitu berkembangnya produsen atau dagang banten dan alat-alat upakara pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan atau daya beli masyarakat pemasok bahan ritual. Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977). Selanjutnya, dan Wijaya (2012) sesungguhnya aktivitas sosial yang dilakukan masyarakat memberi implikasi bagi penggunaan sumber-sumber ekonomi sebagai modal sosial ekonomi. 14) Makna Multiplier Effect. Manfaat sosial yaitu pemasok bahan-bahan ritual bukan saja masyarakat Bali namun juga masyarakat luar. Manfaat budaya yaitu manfaat multiplier effect lebih besar manfaatnya pada pemasok. Manfaat ekonomi bahwa pelaksanaan ritual agama (Hindu) di Bali memiliki angka penggada. Apabila pengeluaran konsumsi masyarakat semakin besar menyebabkan pendapatan masyarakat juga bertambahn sebanyak multiplier effect kali jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat, kesejahteraan masyarakat meningkat secara ekonomi namun secara spritual masyarakat umat Hindu dalam melaksanakan ritual untuk mencapai konsep efisiensi tanpa mengurangi makna ritual berdasarkan tattwa, susila, dan upacara dengan prinsip Desa-Kala-Patra dan kemampuan dan terpenting didasari srada bakthi dan lascarya.
230
Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977) dan konsep Multiplier Effect Keynes bahwa semakin besar pengeluaran maka semakin besar angka Multiplier effect. Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian Wijaya, 2012); Horváth et al., 1999; Syahza, 2004; Wijaya, 1991 pengeluaran pemerintah mempunyai multiplier effect dan mendorong kenaikan pendapatan nasional. 15) Makna Perubahan Sikap. Manfaat sosial yaitu mampu meningkatkan sikap dan perilaku hidup sehari-hari lebih baik. Manfaat budaya yaitu mampu meningkat pemahaman agama melalui membaca buku-buku agama dan informasi dari yang berkompeten. Manfaat ekonomi yaitu dengan pemahaman agama yang baik diharapkan pengeluaran ritual lebih efisien. Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977) dan Teori Religiusitas Geertz (1973). Hal ini sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian Wijaya, 2012 dan Titib, 2007. Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal selain memiliki manfaat religius juga memiliki manfaat sosial, budaya, dan ekonomi. Manfaat sosial yaitu perubahan sikap perilaku beragama masyarakat pengempon pura dengan katagori sangat baik 93,77 persen artinya peningkatan pemahaman Agama Hindu dengan membaca buku-buku agama dan menanyakan makna-makna ritual kepada yang berkompeten. Manfaat budaya yaitu masyarakat pengempon pura mampu melestarikan nilai-nilai kearifan lokal/local genius dengan katagori sangat
231
baik 92,41 persen artinya dalam aktivitas adat istiadat dan agama dilakukan secara
gotong royong, kekeluargaan, dan solidaritas (ngayah, ngoopin,
metetulung, menyamabraya). Manfaat ekonomi dengan katagori sangat baik 91,60 persen artinya ada perubahan sikap berusaha masyarakat pengempon pura sebelum dan setelah ritual, bekerja sebagai tukang banten/pangayah tukang banten dan membuat serta menjual alat-alat ritual. Temuan penelitian ini, Kesadaran yang tinggi masyarakat pengempon pura walaupun relatif terbatas secara ekonomi tetapi berdasarkan srada bhakti dan lascarya kepada Sang Pencipta maka masyarakat pengempon pura dapat meningkatkan kesejahteraan bathin. 6.2
Besarnya Multiplier Effect Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Mekanisme multiplier effect bahwa pengeluaran ritual untuk 13 jenis bahan
ritual merupakan tambahan pendapatan pemasok (Tahap I) sebagian pendapatan pemasok digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan. Pengeluaran konsumsi Tahap I merupakan tambahan pendapatan bagi penyalur (Tahap II) sebagian pendapatan penyalur digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan. Pengeluaran konsumsi Tahap II merupakan tambahan pendapatan bagi produsen atau petani (Tahap III), sebagian pendapatan digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan. Rata-rata Multiplier effect Tahap I, II, dan III pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, sebagaimana disajikan Tabel 6.5.
232
Tabel 6.1 Rata-rata Multiplier effect Tahap I, II, III Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 Tahap
I (Penjual/Pemasok) II (Penyalur) III (Petani/Produsen) Rata-Rata
Bahan-Bahan Rata-Rata Ritual Multiplier Effect 13 8 4
3,26 2,25 1,59 2,37
Rang Multiplier Effect MasingMasing Tahap Terbesar –Terkecil (Bahan) 5,88 (Bambu) -1,67 (M.Goreng) 4.00 (Janur)-1,42 (Kain Kasa) 2,33 (Beras)-1,25 (Kain Kasa)
Sumber: Tabel 5.5, 5.6, dan 5.7 d) Untuk Tahap I Angka Multiplier effect terbesar pertama adalah bahan bambu sebesar 5,88 artinya apabila pengeluaran bahan bambu semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok bambu bertambah sebanyak 5,88 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan bahan bambu dalam ritual ini adalah cukup besar 23,77 persen dari total pengeluaran bahan ritual. Bambu memiliki peranan penting dalam ritual Agama Hindu di Bali (terutama dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih) sebagai bahan membuat perlengakapan sarana prasarana ritual. Ratarata multiplier effect Tahap I sebesar 3,26 berarti tambahan pendapatan pemasok lebih banyak di konsumsi daripada di tabung (MPC > MPS). Hal ini mengindikasikan bahwa meningkatnya perekonomian sekitar Abiansemal khususnya, dan Bali umumnya. e)
Untuk Tahap II Angka Multiplier effect terbesar pertama adalah bahan janur sebesar 4,00 artinya apabila pengeluaran bahan janur semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok
janur bertambah sebanyak 4,00
kali jumlah
233
pengeluaran konsumsi dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan janur dalam ritual ini adalah 1,94 persen dari total pengeluaran bahan ritual. Pada dasarnya janur identik dengan aktivitas ritual karena janur dipergunakan sebagai bahan utama dalam membuat banten dan simbol-simol perlengkapan sarana prasarana ritual. Rata-rata multiplier effect Tahap II sebesar 2,25 berarti tambahan pendapatan pemasok lebih banyak di konsumsi daripada di tabung (MPC > MPS). Hal ini mengindikasikan bahwa berkembangnya perekonomian sekitar Abiansemal khususnya, dan Bali umumnya. f)
Untuk Tahap III Angka Multiplier effect terbesar pertama adalah beras sebesar 2.33 artinya
apabila pengeluaran bahan beras semakin besar menyebabkan
pendapatan pemasok beras bertambah sebanyak 2,33 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan beras dalam ritual sebesar 3,78 persen dari total pengeluaran bahan ritual. Pada dasarnya beras sebagai bahan membuat jajan dan memiliki makna mendalam ketika beras digunakan sebagai bija saat sembayang dan beras merupakan lambang Amertha. Menurut Sudarsana (2000) beras adalah sebagai lambang atau simbol dari udara sebagai cerminan Sang Hyang Bayu. Beras (tepung) sebagai bahan utama dipergunakan untuk membuat jajan perlengkapan banten sarad dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Rata-rata multiplier effect Tahap III sebesar 1,59 dimana (MPS > MPC) berarti pendapatan pemasok lebih banyak di tabung (saving) daripada di konsumsi (MPS > MPC). Hal ini mengindikasikan bahwa MPC kecil berarti pendapatan masyarakat di tahap III juga kecil maka tidak sejalan
234
dengan konsep Keynes kecenderungan di negara kaya pendapatan lebih banyak ditabung daripada di konsumsi (MPS > MPC). Sebaliknya di negaranegara miskin pendapatan lebih banyak dikonsumsi daripada di tabung(MPC > MPS). Untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat di tingkat petani (Tahap III) diperoleh dari sektor pertanian atau tidak membeli apabila dikonversi secara ekonomi maka sejalan dengan konsep Keynes. Hasil penelitian ini, pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih memiliki rata-rata multiplier effect sebesar 2,37 yang artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga bertambah sebanyak 2,37 kali jumlah pengeluaran ritual. Berarti semakin besar pengeluaran ritual maka semakin tinggi angka Multiplier effect. Rata-rata Multiplier effect Tahap I dan Tahap II secara ekonomi cukup besar mengindikasikan pelaksanaan ritual Agama Hindu (Panca Yadnya) di Bali berimplikasi penguatan daya tahan ekonomi lokal bersandarkan kesetaraan solidaritas dan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi Bali umumnya dan Abiansemal khususnya. Rata-rata Multiplier effect Tahap III secara spritual dapat mencerminkan konsep efisiensi, dalam pelaksanaan ritual dengan pilihan nista, madya, dan utama, prinsip DesaKala-Patra, sesuai kemampuan tanpa mengurangi makna dan menerapkan manajemen waktu untuk mengkanter fenomena bahwa pelaksanaan ritual Agama Hindu biaya besar dan curahan waktu kerja tinggi. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936), konsep Max Weber (1930), konsep Bourdieu (1977), dan konsep multiplier effect Keynes semakin besar pengeluaran maka semakin tinggi angka Multiplier effect. Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian (Horvath et al., 1999; Syahza, 2004 ; Wijaya, 1991; dan Wijaya, 2012).
235
Temuan penelitian ini, Kecenderungan angka pengganda konsumsi dari tahap I ke tahap II dan III semakin kecil, sedangkan angka pengganda untuk tahap III relatif kecil yang disebabkan MPS > MPC. Kondisi ini diakibatkan oleh alokasi tambahan konsumsi karena tambahan pendapatan relatif kecil, mengingat sebagian besar tambahan konsumsi masih bersifat primer yang dapat dipenuhi dari usaha sendiri khususnya dari sektor pertanian. Hal ini tidak sejalan dengan konsep Keynes, apabila itu dikonversi secara ekonomi maka sejalan dengan konsep Keynes. Sementara ini, banyak opini yang mengatakan bahwa pengeluaran ritual kurang dirasakan oleh masyarakat, namun secara empiris dalam penelitian ini angka pengganda yang dihasilkan pelaksanaan ritual relatif cukup besar, sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi Bali pada umumnya dan Badung pada khususnya. Artinya ketika pengeluaran konsumsi ritual semakin besar, menyebabkan juga pendapatan masyarakat pemasok bertambah sebanyak multiplier effect kali jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat. 6.3
Besarnya Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek preteka
Desa Abiansemal dapat meningkatkan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual sebesar Rp 135,220 juta (72,06 persen) dari total pengeluaran ritual sebesar Rp 188,568 juta. Berarti pengeluaran ritual jangan dilihat dari sisi negatif dengan biaya besar juga memiliki sisi positif yaitu memiliki multiplier effect maka dapat meningkatkan
pendapatan
atau
kesejahteraan
masyarakat.
Hal
ini
mengindikasikan dapat meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan pemasok bahan ritual sekitar Abiansemal pada khususnya, dan Bali pada umumnya.
236
Besarnya
tambahan
pendapatan
pemasok
bahan-bahan
ritual,
sebagaimana disajikan Gambar 6.1 Tambahan Pendapatan Pemasok (%)
Gambar 6.1 Tambahan pendapatan Pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung,2012 Sumber: Tabel 5.8
Gambar 6.1 menunjukkan tambahan pendapatan pemasok bahan ritual terbesar pertama adalah bambu sebesar Rp 44.829 juta (23,77 persen) hampir seperempat dari total penggunaan bahan-bahan ritual. Ini menunjukkan betapa besarnya peranan bambu dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal dibandingkan dengan bahan-bahan ritual yang lainnya. Dalam kegiatan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, fungsi bambu cukup dominan, dipergunakan membuat sanggah surya, taring tempat melakukan aktivitas persiapan ritual dan aktivitas wewalian dan bale panggung tempat para Sulinggih memimpin ritual. Namun tidak kalah pentingnya akan daging babi
237
terbesar kedua sebesar Rp 21.264 juta (11,27 persen), sebagai tradisi kegiatan ritual di Bali selalu ada aktivitas mengolah daging babi baik untuk kelengkapan upakara
maupun
untuk
adat
sebagai
budaya
kebersamaan,
solidaritas
(menyamabraya, metetulung, ngoopin, ngayah) mencerminkan interaksi sosial antar Krama Banjar Desa Adat di Bali. Berarti semakin besar pengeluaran untuk membeli babi maka semakin besar pula tambahan pendapatan pemasok babi dan seterusnya. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936), Teori Ehrenberg et al. (1989) bahwa pendapatan dipengaruhi oleh jam kerja, dan konsep multiplier effect Keynes. Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian (Horvath et al., 1999; Syahza, 2004 ; Wijaya, 1991; Wijaya, 2012; Arini, 1996) rata-rata jumlah jam kerja ibu rumah tangga di Tohpati Kesiman Kota Denpasar sebagai pekerja di sektor publik adalah 57 jam per minggu dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 66.500 per minggu. Begitu pula hasil penelitian Sumartana (1997) rata-rata jumlah jam kerja wanita di Desa Adat Siangan Kabupaten Gianyar untuk mencari nafkah sebesar 49 jam per minggu dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 178.225 per minggu. Hasil penelitian ini, berbeda dengan hasil penelitian Marhaeni (1991) bahwa rata-rata waktu yang dicurahkan para istri di daerah Sanur Kecamatan Denpasar Selatan adalah 85 jam per minggu jauh lebih tinggi dari suami hanya 62 jam per minggu baik bekerja di sektor domestik maupun sektor publik.
238
6.4. Pengaruh Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesempatan Kerja Pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Hasil analisis menjelaskan bahwa besarnya koefisien jalur pelaksanaan ritual mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja sebesar 0,595. Artinya apabila intensitas pelaksanaan ritual semakin tinggi maka akan mengakibatkan kesempatan kerja bagi pemasok semakin tinggi. Intensitas pelaksanaan ritual yang tinggi dan berkesinambungan dapat meningkatkan kesempatan kerja, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan output untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil studi Ritzer (2003) dan Choi (2004) sesungguhnya aktivitas sosial yang dilakukan masyarakat memberi implikasi bagi penggunaan sumber-sumber ekonomi sebagai modal sosial ekonomi, sesuai dengan pandangan Wiana (2004) bahwa konsep Panca Yadnya di Bali berimplikasi penguatan daya tahan ekonomi lokal bersandarkan kesetaraan solidaritas yang luar biasa. Selain itu, pelaksanaan ritual juga membantu masyarakat di dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Hasil ini memang simetris dengan data lapangan dari informan ahli hasil wawancara mendalam 20 Oktober 2012, yaitu menurut Ida Dayu Anggareni sebagai Tapini bahwa pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat pengempon pura terutama ibu-ibu rumah tangga dalam hal ritual cukup baik, awalnya tidak mengetahui dan tidak terampil sekarang menjadi mengetahui dan trampil dan mampu bekerja di Geriya sebagai tukang banten dengan upah sebesar Rp 65 ribu hingga Rp 70 ribu per hari dan pengayah tukang banten dengan upah sebesar Rp 40 ribu hingga Rp 45 ribu per hari ditambah makan, dan kopi, hal ini memberi kesempatan warga pengempon pura pasek preteka untuk menambah penghasilan keluarga. Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja sebagaimana dikemukakan hasil penelitian oleh Ellison et al. (1994)
239
mengatakan rumah tangga yang aktif dalam kegiatan sosial (agama) berpengaruh signifikan dalam membangun jaringan network usaha. Begitu pula sesuai hasil penelitian Lochart (2005) bahwa modal sosial (program keagamaan) berpengaruh nyata terhadap masyarakat miskin dalam meningkatkan kesempatan kerja. Juga memperkuat hasil penelitian Raharja (2008) dan Wijaya (2012) bahwa pelaksanaan karya Agung Panca Balikrama berpengaruh positif terhadap kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat dilihat dari indikator perubahan pengelolaan usaha, pendapatan, dan kondisi kepemilikan aset, sebagaimana hasil wawancara mendalam 29 April 2012, yaitu Menurut Ibu Mangku Eka (49 Tahun) pada awalnya tidak menjual bahanbahan ritual seperti sekarang ini, seiring dengan pelaksanaan ritual di Bali semakin hari semakin meningkat maka permintaaan bahan-bahan ritualpun meningkat. Berdasarkan pertimbangan bahwa usaha menjual bahan-bahan ritual prospeknya cukup menguntungkan sehingga membuka usaha kedua di Banjar Banjaran Desa Abiansemal mulai pertengahan tahun 2011 dan usaha pertama ada di pasar blahkiuh sehingga saat ini memiliki dua usaha. Sejalan dengan pandangan Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten dari Geriya Agung Abiansemal mengatakan bahwa jiwa kreativitas dan semangat berusaha dengan keterampilan yang dimiliki terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga pengempon pura, sekarang tumbuh semangat berusaha membuat alat-alat upakara dan bekerja di Geriya Agung sebagai produsen banten di daerah Abiansemal, hal ini memberi kesempatan masyarakat pengempon pura untuk menambah penghasilan keluarga (wawancara, 20 Oktober 2012). Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977) bahwa aktivitas pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap aktivitas ekonomi (transaksional) bahan-bahan ritual dan aktivitas kehidupan sosial masyarakat Abiansemal khususnya dan masyarakat Bali umumnya.
240
6.4.1 Pengaruh Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesejateraan Masyarakat Pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Hasil analisis menjelaskan besarnya koefisien jalur pelaksanaan ritual mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 0,399. Artinya apabila intensitas pelaksanaan ritual meningkat maka kesejahteraan masyarakat pemasok meningkat secara ekonomi sedangkan kesejahteraan bathin masyarakat pengempon pura meningkat. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936) dan mengacu kriteria BPS Provinsi Bali, 2011. Pelaksanaan ritual menimbulkan pengeluaran konsumsi ritual yang berbanding lurus dengan pendapatan artinya pengeluaran konsumsi ritual meningkat ketika pendapatan naik, baik secara kuantitas maupun kualitas diduga pengeluaran konsumsi ritual ini telah bergeser dari konsumsi sekunder dan ada kecenderungan bergeser ke arah primer untuk masyarakat Hindu di Bali sebagai dampak perubahan aspek-aspek kehidupan masyarakat, sedangkan pengeluaran ritual ini masih mengikuti teori klasik dan neoklasik. Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian dan hipotesis (Friedman, 1957; Duesenberry,1949; Modligiani, 1963; Yan Wang, 1995; Pemberto, 1997; Malucio et al., 1999; Sukarsa, 2005). Begitu pula halnya dengan hasil penelitian Wijaya (2012) bahwa konsumsi masyarakat mengalami peningkatan yang signifikan terhadap pendapatan masyarakat selama karya Panca Balikrama, khususnya konsumsi ritual. Sesuai hasil studi Engel (1957) di Malaysia Barat, mengatakan semakin tinggi pengeluaran rumah tangga dapat mengindikasikan
241
semakin sejahtera masyarakatnya. Berbeda hasil penelitian Sukarsa (2005) terdapat pengaruh tetapi tidak signifikan pendapatan keluarga terhadap susila dan upacara dan pengeluaran menurut konsep Hindu bahwa seharusnya pendapatan yang dikeluarkan untuk ber-yadnya sebanyak sepertiga (33,3 persen) dari pendapatan, sedangkan sepertiga yang lain untuk pemupukan artha dan sisanya untuk pemenuhan kama. 6.4.2 Pengaruh Kesempatan Kerja Terhadap Kesejateraan Masyarakat Hasil analisis menjelaskan bahwa besarnya koefisien jalur kesempatan kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejateraan masyarakat sebesar 0,657. Artinya apabila kesempatan kerja meningkat, maka akan mengakibatkan kesejahteraan masyarakat meningkat secara ekonomi. Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian Syaukani et al. (2002) bahwa keberhasilan sebuah pemerintahan salah satunya dilihat dari seberapa jauh pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Sulistyaningsih (1997), penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berpengaruh terhadap peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Begitu pula halnya dengan hasil penelitian Kendrick dalam Simanjuntak (1985) bahwa derajat kesejahteraan ditentukan oleh produktivitas sumberdaya dimana produktivitas tersebut sangat tergantung kepada kondisi kesehatan, tingkat pendidikan dan besarnya modal. Semakin tinggi tingkat kesehatan, tingkat pendidikan dan besarnya modal, semakin produktif
faktor
produksi untuk meningkatkan pendapatan (kesejahteraan) suatu perekonomian. Soepono (1993) bahwa kesempatan kerja yang ada di dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi nasional dan bauran industri.
242
Berbeda dengan hasil studi Ferlini (2011) bahwa strategi peningkatan kesempatan kerja yang perlu dilakukan adalah pengendalian jumlah penduduk dan angkatan kerja melalui peningkatan pendidikan baik kuantitas ataupun kualitas, kebijakan umum regional khususnya sektoral dan memberikan kemudahan investasi bagi pengembangan usaha. Esmara (1986) kesempatan kerja merupakan jumlah penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan artinya semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja. Berbeda dengan pendapat Murjana (2012) bahwa kesempatan kerja yang tersedia di Bali tidak cukup memadai untuk peningkatan produktivitas pekerja, hal ini berdasarkan hasil analisis terhadap data jumlah penduduk yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu yang meningkat dalam kurun dua tahun terakhir. Kesempatan kerja dimaknai sebagai lapangan pekerjaan atau kesempatan yang tersedia dan siap diisi oleh pencari kerja. Sesuai hasil penelitian Wijaya (2012) bahwa karya Agung Panca Balikrama berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat dilihat dari indikator perubahan pengelolaan usaha, pendapatan, dan kondisi kepemilikan aset. Penjelasan secara deskriptif sebagaimana hasil wawancara mendalam 22 April 2012, yaitu Menurut Wayan Sugita (47 tahun) sebagai pedagang janur, seiring dengan permintaan janur semakin hari semakin banyak karena aktivitas upacara Agama Hindu semakin hari juga semakin meningkat mulai upacara kecil hingga upacara besar (upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih, Piodalan di Pura-Pura). Berarti prospek bisnis janur sangat menguntungkan sehingga mengembangkan usaha sebagai supplyer janur wilayah Abiansemal baik janur lokal maupun janur dari Jawa. Hasil penelitian ini, terbukti konsep konsep Max Weber (1930), konsep Bourdieu (1977), dan konsep multiplier effect Keynes. Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian (Bronsteen et al., 2009; Amartya Sen , 1992 ; Stiglitz
243
et al., 2011) mengukur derajat kesejahteraan terpenuhinya kebutuhan secara pisik nonpisik atau lahir bathin yaitu peningkatan pendapatan, kesehatan dan pendidikan sesuai kriteria BPS Provinsi Bali, 2011. 6.5
Pengaruh Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesejateraan Masyarakat Baik Langsung Maupun Tidak Langsung Melalui Kesempatan kerja Hasil analisis pelaksanaan ritual berpengaruh positif
dan signifikan
terhadap kesejateraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja (Lampiran
21). Pengaruh tidak langsung (indirect effect)
sebesar 0,391 ditambah pengaruh langsung (direct effect) sebesar 0,399 sehingga pengaruh total sebesar 0,790. Artinya intensitas pelaksanaan ritual meningkat maka akan mengakibatkan kesejahteraan masyarakat pemasok meningkat baik langsung maupun tidak langsung melalui peningkatan kesempatan kerja. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936), konsep Max Weber (1930), dan konsep Bourdieu (1977), aktivitas pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi (transaksional) bahan-bahan ritual dan aktivitas kehidupan sosial masyarakat Abiansemal khususnya dan umumnya masyarakat Bali, juga penelitian ini mengacu pada kriteria BPS Provinsi Bali, 2011. Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian Bronsteen et al. (2009) bahwa salah satu tanggungjawab pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan dalam bentuk kepuasan obyektif dan kebahagiaan subyektif untuk mengukur kualitas hidup manusia. Stiglitz et al. (2011) dan Amartya Sen (1992) mengukur derajat kesejahteraan terpenuhinya
244
kebutuhan secara pisik nonpisik atau lahir bathin yang mencakup peningkatan pendapatan, kesehatan dan pendidikan masyarakat. Dalam penelitian ini, kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja adalah sebesar 35,4 persen artinya perubahan kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Sedangkan kontribusi kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat adalah sebesar 90,2 persen artinya perubahan kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual dan faktor lainnya melalui kesempatan kerja. 6.6 Temuan Penelitian Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan, maka temuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Kesadaran yang tinggi masyarakat pengempon pura walaupun relatif terbatas secara ekonomi dengan berdasarkan srada bhakti dan lascarya kepada Sang Pencipta maka masyarakat pengempon pura merasa sejahtera secara bathin. 2) Kecenderungan angka pengganda konsumsi dari tahap I ke tahap II dan III semakin kecil, sedangkan angka pengganda untuk tahap III relatif kecil yang disebabkan MPS > MPC. Kondisi ini diakibatkan oleh alokasi tambahan konsumsi kecil karena tambahan pendapatan juga relatif kecil, mengingat sebagian besar tambahan konsumsi masih bersifat primer yang dapat dipenuhi dari usaha sendiri khususnya dari sektor pertanian. Hal ini tidak sejalan dengan konsep Keynes yang mengatakan bahwa kecenderungan negara kaya pendapatannya lebih banyak ditabung daripada dikonsumsi (MPS > MPC). Sebaliknya kecenderungan negara miskin pendapatannya lebih banyak
245
dikonsumsi daripada ditabung (MPC > MPS). Ketika hal ini dikonversi secara ekonomi maka sejalan dengan konsep Keynes. 3) Sementara ini, banyak opini yang mengatakan bahwa pengeluaran ritual kurang dirasakan oleh masyarakat, namun secara empiris dalam penelitian ini angka pengganda yang dihasilkan dari pelaksanaan ritual relatif cukup besar, untuk penguatan ekonomi lokal dan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi Bali pada umumnya dan Badung pada khususnya. Artinya
apabila
pengeluaran konsumsi ritual semakin besar menyebabkan pendapatan masyarakat juga bertambah sebanyak multiplier effect kali jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat. 4) Dalam kegiatan ritual umat Hindu di Bali, bahwa aktivitas ritual lebih banyak dikerjakan oleh tenaga perempuan, sehingga perempuan Hindu memiliki peranan lebih penting untuk dapat terselenggaranya kegiatan ritual yang baik dan lancar (labda karya). 5) Pelaksanaan ritual Agama Hindu mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan aktivitas kehidupan sosial masyarakat umat Hindu di Bali. Pendapat ini sesuai dengan Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977), dan Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973). 6.7 Keterbatasan Penelitian Setelah melakukan analisis hasil penelitian, diketahui bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai berikut. 1) Terbatasnya dukungan teori dan hasil penelitian dari luar ataupun dalam negeri tentang pengaruh pengeluaran konsumsi ritual terhadap kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
246
2) Dalam perhitungan multiplier effect hingga tahap III, karena untuk kain kasa dan minyak goreng produsen atau pabrik ada di luar daerah Bali. 3) Indikator yang digunakan setiap variabel masih terbatas. Untuk itu terdapat beberapa hal yang belum tercakup dalam pembahasan dan masih perlu dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut, seperti kesempatan kerja di bidang jasa budaya berbasis religius yang disebut wewalian. 6.8
Implikasi Hasil Penelitian
1) Implikasi Teori a) Hasil temuan ini secara teoritis menghasilkan suatu pembuktian yang lebih bermakna terhadap Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977), dan Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973). b) Hasil penelitian ini merupakan pengembangan Teori Konsumsi Keynes (1936) dan konsep Multiplier Effect Keynes dalam pengeluaran ritual. Penelitian
multiplier effect sektor pariwisata dan perkebunan sudah
banyak dilakukan (Horvath et al., 1999; Syahza, 2004). Ketika konsep multiplier effect dilanjutkan pada pengeluaran pelaksanaan ritual maka penelitian ini merupakan hal yang baru. c)
Penelitian spiritual terutama penelitian studi kasus Mlaspas dan Ngenteg Linggih ini merupakan jawaban yang mengkanter fenomena yang berkembang di masyarakat saat ini bahwa pelaksanaan Agama Hindu tidak efektif dan tidak efisien. Penelitian sebelumnya lebih menekankan pada filsafat, makna dan fungsi agama, pengaruh pendapatan terhadap pengeluaran ritual masyarakat Hindu di Bali serta manajemen karya (Triguna, 1994, Titib, 2007, Sumini, 2008, Sukarsa, 2005, dan Wijaya, 2012).
247
d) Hal baru bagi peneliti adalah membahas multiplier effect pengeluaran pelaksanaan ritual yang menyangkut aspek ekonomi dan aspek spiritual. Sementara itu, setiap kali pelaksanaan ritual dilihat sebagai pengeluaran atau biaya yang cukup besar yang dapat dikatakan sebagai sisi negatif. Pengeluaran pelaksanaan ritual juga memiliki sisi positif yaitu multiplier effect dan fungsi religiusitas. 2) Implikasi praktis dari temuan penelitian ini adalah a) Kebijakan dalam mengantisipasi pengaruh negatif kehidupan beragama umat Hindu di Bali dengan peningkatan pemahaman Agama Hindu yaitu membaca buku-buku agama dan bertanya pada yang berkompeten. b) Tersedianya bahan-bahan ritual pada saat berlangsungnya proses ritual Agama Hindu secara berkelanjutan di Bali. c) Perubahan sikap berusaha masyarakat dalam memanfatkan multiplier effect
yang lebih besar untuk penguatan ekonomi lokal dan sebagai
stimulus atau percepatan pertumbuhan ekonomi di Bali.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan analisis dan pembuktian yang telah dilakukan pendekatan baik melalui kualitatif maupun kuantitatif. Secara terperinci simpulan penelitian dikemukakan sebagai berikut. 7
Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal selain memiliki manfaat religius juga memiliki manfaat sosial, budaya, dan ekonomi. Manfaat sosial yaitu perubahan sikap perilaku beragama masyarakat pengempon pura peningkatan pemahaman Agama Hindu dengan membaca buku-buku agama dan menanyakan makna-makna ritual kepada yang berkompeten. Manfaat budaya yaitu masyarakat pengempon pura mampu melestarikan nilai-nilai kearifan lokal (local genius) dengan sistem gotong royong, kebersamaan, dan solidaritas dalam konsep (ngayah, ngoopin, metetulung, menyamabraya,salulung sabayantaka, parasparos sarpanaya, adhiluhung). Manfaat ekonomi yaitu adanya perubahan sikap berusaha masyarakat pengempon pura lebih kreatif dan inovatif sebelum dan setelah ritual seperti bekerja sebagai tukang banten atau pangayah tukang banten dan membuat serta menjual alat-alat ritual.
8
Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih memiliki rata-rata multiplier effect sebesar 2,37 yang artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan masyarakat pemasok juga bertambah sebanyak multiplier effect kali jumlah pengeluaran ritual. Hal ini mengindikasikan 248
249
pelaksanaan ritual Agama Hindu sebagai penguatan ekonomi lokal dan stimulus pertumbuhan ekonomi, peningkatan output, dan kesempatan kerja dapat meningkatkan pendapatan ekonomi regional Abiansemal khususnya, dan Bali umumnya. 9
Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal adalah sebesar 72,06 persen dari total pengeluaran bahan ritual. Artinya
pelaksanaan ritual dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemasok bahan ritual. 10 Pelaksanaan ritual mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja. Artinya intensitas pelaksanaan ritual dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pemasok bahan ritual di Bali. 11 Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja. Artinya intensitas pelaksanaan ritual menyebabkan kesejahteraan masyarakat pemasok
meningkat baik langsung maupun tidak langsung melalui
peningkatan kesempatan kerja. Tingkat kesejahteraan berpengaruh terhadap kehidupan sosial umat (Hindu) di Bali. Kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja sebesar 35,4 persen, yang berarti variasi kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Kontribusi kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 90,2 persen, yang berarti variasi kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi kesempatan kerja.
250
7.2 Saran Berdasarkan analisis hasil penelitian, temuan, dan keterbatasan dari penelitian ini, dirumuskan beberapa rekomendasi yang ditunjukan, baik kepada peneliti lanjutan, para praktisi maupun pemerintah. 1) Mengingat pelaksanaan ritual memiliki multiplier effect, masyarakat sekitarnya disarankan perlu melestarikan bahan-bahan utama yang dibutuhkan dalam ritual secara berkelanjutan/sustainable dalam upaya mengurangi impor barang kebutuhan ritual Agama Hindu di Bali. 2) Mengingat fenomena yang berkembang di masyarakat bahwa Agama Hindu identik dengan biaya besar (komersialisasi), disarankan meningkatkan pemahaman agama dengan membaca buku-buku agama dan menanyakan makna ritual kepada yang berkompeten sehingga biaya ritual diharapkan berkurang. 3) Mengingat mobilitas tenaga kerja perempuan dalam ritual memiliki peran sangat tinggi, disarankan pada perempuan Hindu mampu berusaha mengalokasikan waktunya secara tepat agar tidak berbenturan dengan kegiatan produktif atau menerapkan manajemen waktu. 4) Disaran untuk penelitian berikutnya, agar menghitung multiplier effect pelaksanaan ritual Agama Hindu sampai tahap terakhir dan variabel lain yang mendukung
pelaksanaan ritual, yaitu kesenian (wewalian) yang berbasis
budaya religius.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, I. 2008. Teori dan Metodelogi Studi Agama dalam Pustaka. Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya. Denpasar: Fakultas Sastra Unud. Ackley, Gardner. 1961. Macro Economic Theory. The Mcmillan Company. New York. Adams, A.M., Cekan, J. Dan Sauerborn. 1998. Towards a Conceptual Framework of Household Coping: Reflection from Rural West Africa. Africa: Journal of the International African Institute. 68(2):263-283. Ahrens, J. 1974. Consumer Expenditure Patterns: Padang 1971/1972. Bulletin of Indonesia Economic Studies (X) 3,p. 123-134. Adhikari, Krishna Prasad. 2009. Social Capital and its Downside. The Impact on Sustainability of Induced Community-Based Organization Nepal. World Development Volume 38 No (2), pp. 184-194. Aliasuddin. 2002. Zakat atas Tabungan. Mon Mata. Jurnal Ilmu-Ilmu sosial Bidang Ekonomi. Vol.4 No.2 Desember 2002. Penerbit Lembaga penelitian Universitas Syiah Kuala Darussalam. Banda Aceh, Indonesia. hal. 89-100. Allen, R.G.D. 1967. Macro Economic Theory. London: Mcmillan and Co. Ltd. Amaludin, Moch. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Studi Kasus di Desa Bulugede, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Jakarta: Universitas Indonesia. Ambrosino, Rosalie, Joseph heffernan, Guy Shuttlesworth and Robert Ambrosino. 2005. Social Rork and Social Welfare an Introduction, USA: Thomson/Brooks/Cole. Anand,S. And Harris, C. 1994. Choosing a Welfare Indicator. The American Economic Review, 84(2): 226-231. Anderson, S. Dan M.Devereux. 1989. Profit sharing and Optimal Labor Contract. Canadian Journal of Economics.Vol.22: 425-33. Anderson G.Kumenaung. 2008. Mengkaji Konsep Pemikiran pembangunan Berkelanjutan (Substained development).Jurnal Pembangunan Ekonomi dan keuangan daerah (PEKD) Vol. 1.No.2. Edisi Agustus 2008.
251
252
Angeletos, M.G., Laibson D., Andrea R., Tobacman J., dan Weinberg S. 2001. The Hyperbolic Buffer Stock Model: Calibration, Stimulation, and Empirical Evidence. Journal of Economic Perspectives. 15 (3),pp. 47-68. Ardika, I Wayan and Peter Bellwood. 1997. Sembiran: The Beginings of Indian Contact With Bali. Antiquity.65,247,pp. 221-232. ___________. 1994. Early Evidence of Indian Contact With Bali. University of Hull. Centre for South Asian Studies. Proceeding of the 5th Internasional Conference of the European Association of Southeast Asian Archaeologists in Paris. October 1994. Vol.1,pp. 139-145. Arsyad, Lincolin. 2010. Yogyakarta.
Ekonomi Pembangunan. Penerbit STIE YKPN
Arini, Ida Ayu, 1996. “Kegiatan Ekonomi Wanita Bali di Banjar Tohpati, Desa Kesiman Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar” (tesis). Studi Kependudukan. Pasca Sarjana UGM, tidak dipublikasikan. Armelly. 1995. “Dampak Kenaikan Upah Minimum Terhadap harga dan Kesempatan Kerja Study Kasus Industri Tekstil di Indonesia: Pendekatan Analisis Input-Output” (tesis) S-2 Program Pasca Sarjana fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta. Asch, S. E. 1946. Forming Impressions of Personality, Journal of Abnormal and Social Psychology. Juli 1946. pp. 258-290. Atmaja, I N. Bawa. 2002. Metodologi Penelitian Agama Hindu. Makalah disampaikan pada Penataran Dosen Agama Hindu di Denpasar. 6 s.d.11 Oktober 2000. Atmaja Jiwa. 2013. Kearifan Lokal Dalam Pemujaan Cendekiawan Diktat, Wahana, Edisi No.83 TH.xxix.Agustus 2013.ISSN:0853-4588 Atkinson, A. B. 1982. Ur Employment Wages and Government Policy. The Economics Journal, Vo. 92. Hal. 42-50. Avis,J. 2002. Social Capital Collective Intelligence and expansive Learning: Thinking Through the Connections. Bretish journal of Educational Studies,50,30,pp. 308-26. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kerjasama dengan Universitas Udayana. 2008. Bersama Menata Perubahan. Evaluasi Tiga Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di Provinsi Bali. Denpasar.
253
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I Bali. 1996. Profil Kependudukan dan Peranan Wanita di Bali. Denpasar. Badan Pusat Statistik. 2000. Sensus Penduduk Indonesia.Jakarta.:Penerbit BPS Jakarta Badan Pusat Statistik. 2010. Data Bali Membangun. Provinsi Bali: Penerbit BPS Bali Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali: Penerbit BPS Bali ___________. 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali: Penerbit BPS Bali ___________. 2010. Bali Dalam Angka Propinsi Bali: Penerbit BPS Bali ___________. 2009. Tinjauan Kinerja Perekonomian Indonesia. Triwulan II 2009: Penerbit BPS Bali ___________. 2009. Statistik Sosial Budaya Propinsi Bali: Penerbit BPS Bali Badan
Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2010. Distribusi Pendapatan dan Ketenagakerjaan Kabupaten Badung: Penerbit BPS Kabupaten Badung.
___________. 2011. Bali Dalam Angka Kabupaten Badung. Penerbit BPS Kabupaten Badung. ___________.2011. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Badung. Penerbit BPS Kabupaten Badung. ___________. 2008. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Badung Tahun 2008 (Kajian Data Susenas 2007). Penerbit:BPS Kabupaten Badung. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2011. Laporan Hasil Penyusunan PDRB dan Indikator Makro Ekonomi Bali Tahun 2011. Penerbit: BPS Bali. Barro, Robert J. and Rachel M. McCleary, 2002, Religion and Political Economy in an International Panel, manuscript, Harvard University. Bali Post. 2002. “Konflik Agama” Bali Post, 30 Oktober 2002. No.74 Tahun ke 50. ____________. 2004. “Catur Warga” Bali Post, 27 Oktober 2004. No.73 Tahun ke 57.
254
Baron, J.N., Hannan, M.T. dan Burton, M.D. 2001. Labor Pains: Change in Organisational Models and Employee Turover in Young, high-tech Firms. American Journal of Sociology, 106,4,pp. 960-1012. Barro, Robert, J. 1998. Human Capital and Growth in Cross Cuntry Regression. Journal of Economics. Harvard University No.214. Baier, Scott,L.,Gerald P. Dwyer JR.,and Robert Tamura. 2006. How Important are Capital and Total Factor Productivity for Economic Growth. Journal of Economic Inquiry. Vol.44 No.1 Januari, 006.pp.23-49. Baiquni,
M.
2006. “Pengelolaan Sumberdaya Pedesaan dan Strategi Menghidupkan Rumah Tangga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Masa Krisis (1998-2003) “(disertasi). Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Basri, F. 2003. Profil dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. Becker, Gary S. 1975. Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis. National Bureau of economic research. New York. Bendesa, Komang Gde. 2008. Ekonomi Bali dalam Perspektif Pariwisata dan Lingkungan. Makalah disampaikan pada Konggres Kebudayaan Bali Denpasar: tanggal 14-16 Juni 2008. ___________. 2012. Kebijakan dan Dampak Sektoral dalam Pembangunan Bali. Makalah disampaikan dalam seminar Analisis Kritis Pembangunan Bali, 15 Agustus 2012. Denpasar: Universitas Udayana. Berg, A. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Rajawali. Besley, Timothy. 1995. Non Market Institutions for credit and risk sharing in Low-Income Countries. The Journal of Economic Perspectives, 9(3): 115-12. Berger, S.; Harasty, C. 2002. World and Regional Employment Prospects: Halving the World’s Working Poor by 2010 (Jenewa: ILO, 2002) Budiana, I Nyoman. 2004. “Rekontruksi Sosial Perkawinan Eksogami di Tengah Perubahan Sosial di Bali” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. Boediono. 1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE-UGM. Yogyakarta.
255
Boediono dan McCawley. 1984. Bunga Rampai Ekonomi Mikro. KumpulanKumpulan Karangan Mengenai Penerapan Teori Ekonomi Mikro. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Bungin Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodelogis Kearah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ___________. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Boeke, J.H. 1953. Economic and Economic Policy in Dual Societies.New York Boisjoly, J. Duncan, G. dan Hofferth, S. 1995. Access to Social Capital. Journal of Family Issues, 16, 5,pp. 609-31. Bonner, H. 1953. Social Psychology. New York: Marican Book Company. Bourdieu, P. 1977. Cultural reproduction and Social Reproduction. Hal.487-511 dalam J. Karabel dan A.H. Halsel (eds) Power and Ideology in Education, oxford university Press. New York Bourdieu, Piere and Loic J.D. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflektive Sociology. Chicago: Univercity of Chicago Press (6/13/2009, 06:30 am). ___________. 2008. (George Ritzer – Doglas J.Goodman). Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Jakarta: Kencana Predana Media Group. Bjorklund, D.V. 2000. Children's Thinking: Developmental Function and individual Differences. 3rd Ed. Belmont, CA: Wadsworth, hal. 2-13 Butler, E. 2007. Adam Smith-a Primer, The Institute of Economic Affairs 2 Lord North Street Westminster, London. Brannen, Julia. 2004. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Bhaktivedanta Swami P.S.S.A.C. 1971. Bhagavad Gita Menurut Aslinya. Edisi pertama (edisi saku). 2006.Tim Penerjemah. Indonesia: Penebit Hanuman Sakti di bawah lisensi. The Bhaktivedanta Book Trust International. Inc. Srila Prabhupada. Bhide, Sheela. 2000. Economic and Political. Weekly Journal, Vol. 35. No.50.http://www.JSTOR.org/stable/4410053.
256
Blegen, H., Nylehn, B. 1968. Organishing the Maintenance Function: An Analytical Approach. International Journal of Production Research 7.pp. 3-32. Blum, Ulrich and Leonard Dudley, 2001, Religion and economic growth: was Weber right?, Journal of Evolutionary Economics, 11(2): 207-230. Brady, D.S. and Friedman, R.D. 1947. Saving and the Income Distribution: Studies York. International Bureau of Economic Research. pp. 247-265 Branson, William, H. 1979. Macroeconomic theory and Policy. Second Edition. New York: Harper and Row Publisher. Brigaitis. 2005. Religius Engagement and Social Capital in The Islamic Context. (Thesis) Submitted to University of North Texas. Bronfenbrener, Urie. 1986. Ecology of The Family as A Context for Human Development Research Perspectives. Journal of Development psychology, Vol 22 No.6. pp. 1-20 (10/08/2011; 12: 10 pm). Bronsteen, J. Christopher B. and Jonathan S. M. 2009. Welfare As Happiness. The Georetown Law Journal. Vol. 98,pp.1583. Electronic Copy Available at: http://ssrn.com/abstract=1397843. Brooks, Benjamin. 2008. The Natural Seletion of Organizational and Safety Culture Within a Small to Medium SizedE (SME). Journal of Safety Research 39,pp. 73-85 Bryan & Turne, 2006. Relegion And Sosial Theory, (Agama & Teori Sosial, Terj.Inyiak Ridwan Muzir), Yogyakarta: IRCiSoD Brymann, Alan. 2001. Social Research Methods. Oxford University Press Inc. NY. Browning, M. And A. Lusardi. 1996. Household Saving : Micro Theories and Micro Facts. Journal of Economic Literature, 34(4): 1797-1855. Brown, Charler, Curtis Gilray and Andrew Kohen. 1982. The Effects of Minimum Wage on Employment and Unemployment. Journal of Economics Literature. Vol.20, Juni 1982. Conway, G.R. and E. B. Barbier. 1990. After the Green Revolution: Sustainable Agriculture for Development. London. Earthscan Publication Ltd. Callinicos, Alex. 2008. The Against Third Way, Kritik Anti-Kapitalis atas Keruntuhan Ekonomi Global, Yogyakarta: Eduka.
257
Carrol, D.D., and Kimball M.S. 1996. Notes and Coments on the Concavity of the Consumption Function. Econometrica, 64.4: Hal. 981-992 Coleman, James S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. The American Journal of Sociology, Supplement: Organizations and Institution: Sociological and Economic Approaches to the Analysis of Social Structure 94,pp. 95-120. ___________. 1990. Equality and Achievement in Education. Westriew Press, Boulder. ___________.1992. Foundation of Social Theory. Cambridge MA: Harvard University Press. Cohran, W.G. 1977. Sampling Techniques. John Wiley & Son. Inc. Cohen, D. dan Prusak, L. 2001. In Good Company: How Social Capital Makes Organizations Work. Harvard Business Press. Campbell J.Y., dan Mankiw N.G., 1989. Consumption, Income, and Interest Rates. Reinterpreting the Time-Series Envidence. NBER Macroeconimics Annual: pp. 185-216. Cameron, Lisa A. Dan Worswick, Christopher. 2003. The Labor Market as a Smoothing Device: Labor Spply Responses to Crop Loss, Review of Development Eonomics, 7 (2),pp. 327-341. Corbin, Juliet. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Tata Langkah dan TeknikTeknik Teritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Covarrubias. 1972. Island of Bali. Kualalumpur: University Press Oxfford. Chapra, M. Umer. 2001. The Future of Economics: An Islamic Perspective. The Islamic Foundation, UK. Amdiar Amir, dkk (penterjemah). 2001. Shari’ah economics and Banking Institute. Jakarta. Chellius, J. Dan R.S. Smith. 1995. Profit Sharing and Employment Stability. Industrial and Labor Realtion Review.Vol.43.February: 256S273S. Christensen, L. Dan Johnson, B. 2008. Educational Research Quantitative, Qualitative, and Mixed Approaches. Sage Publications. The United States of America. Choi, Hyunsun. 2004. “Social Capital and Community Economics Development in Los Angeles Koreatown: Faith-Based Organization in Transitional Etnic Community” (dissertation). Sudmitted to University of Southerm California.
258
Choi J. J., Laibson D. Brigitte M. dan Andrew M. 2002. Defined Countribution Pensions: Plan Rules, Participant Decisions, and the Path of Least Resistance. Poterba J.,ed., Tax Policy and the Economy (Cambrindge, MA: MIT Press), 16,pp. 67-113. Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern dari Parson sampai Herbamas. (Terj. Paul S.), Jakarta: CV. Rajawali. Creswell J.W. and Clark V.L.P. 2007. Mixed Methods Research. Desiging and Conduction. The United States of America. Daly, V. And Hadjimantheou, G. 1981. Stochastic Implications of the Life Cycle Permanent Income Hypothesis: Evidence for the UK Economy. Journal of Political Economy, 89,pp. 596-599. Dally, H. 1994. Operationalizing Sustainable Development by Investing in Natural Capital. In Goodland, R. And V. Edmunson (Eds).Environmental Assesment and Development World Bank,Washington DC. Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Denison, EF. 1962. United State Economic Growth. The Journal of Business, April, pp. 1-10 Dean, J., Snell, S. 1991. Integrated Manufacturing and Job Desighn: Moderating Effect of Organizational. Imertia Academy of Management Journal 34.pp. 776-804. Deacon, Ruth E. And Francille M. Firebaugh. 1981. Family Resource Management Frinciples and Aplications. Atlantic Avebue. Boston. Deliarnov. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Denburg, T.E. and McDougl, D.M. 1976. Macroeconomics. The Measurement, Analysis and Control of Aggregate Economic Activity 5 th. Edition Tokyo The Mcmillan Company. Derrida, Jaques. 2002. Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual. (Terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra. Diener, E., dan Suh, E.M. 1999. National Differences in Subjective Well-Being. In E. Kahneman, E. Diener, & N. Schwarz (Eds.), Well-being: The Foundations of Hedonic Psychology (pp.434-450). New York: Russell Sage Foundation.
259
Donder, I Ketut. 2009. Teologi (Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah tentang Tuhan). Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya: Paramita. ___________. 2010. Tata Cara, Ritual dan Tradisi Hindu. Surabaya: Paramita. Duesenberry, J.S. 1967. Income, Saving and the Theory of Consumen Behaviour. New York. Oxford University Press. Chapter IV dan V. Durkheim, Emile. 1933. The Division of Labor in Society. Terjemahan oleh George Simpson. The Free Press. New York. ___________. 2003. Sejarah Agama (The Elementary Forms of the Religious Life). Yogyakarta: IRC.So.D. Downing R.I. 1969. National Income and Social account An Australian Study. Melbourne University Press. Dutta, Shantanu, Om Warassimhan, and Suredra Rajiv. 1999. Marketing Capability Gritical. Journal Marketing Science Vol 18 No. 4,pp. 547-568. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Terj.Kelompok studi Agama Driyarkara. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Djarwanto, 1991, Statistik Nonparametrik, Yogyakarta. BPFE Djajadingrat, S.T. 1992. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Membangun Tanpa merusak Lingkungan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Djojohadikusumo S. 1993. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Drakos, K. And Kutan, A.M. 2003. Regional Effects of terrorism on Tourism in Three Mediterranean Countries. Journal of Conflict Resolution, 47,5, October 2003, 621-641. Drucker, A. 1996. Bhagavan Sri Sathya Sai Baba. Terj. Wayan Sadia. Surabaya: UD. Paramita. Dwija, I Nengah. 2006. Revitalisasi Modal Sosial Masyarakat Bali Berbasis Kearifan Lokal dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Depbudpar RI dengan Unud. Easterlin, Richard A. 2001. Income and Happiness: Toward a Unified Theory. The Economic Journal. 111(July),pp. 465-484. Available from: http://www.blackwellpublishing.com/specialarticles/ecoj644.pdf
260
Ehrenberg, R.G. and Smith, R.S. 1989. Modern Labour Ekonomics, Theory and Public Policy, London: Scott, Foresman and Company. Einsentad. 1988. Revolusi dan Transformasi Masyarakat. Jakarta: CV Rajawali. Eisenstadt, Shmuel Noah, 1968, The Protestant Ethic and Modernization: A Comparative View. New York, Basic Books. Eisevan, Jr. Fred B. 1994. Bali Sekala & Niskala (Essays on Religion, Ritual, and Art) Singapore: Periplus Edition (HK) Ltd. Ellison, Christopher G., 1991, Religious Involvement and Subjective Well-being, Journal of Health & Social Behavior, 32(1): 80-99. Ellison, C. And Linda K. George. 1994. Religious Involvement Social Ties and Social Support in a Southeatem Community. Journal for Scientific Study of Religious. 33,pp. 46-61. Eric Schliesser. 2006. Philosophy and a Scientific of the History of Economics, Deprtment of Philosophy, Syracuse University, 541 Hallof Languages, Syracuse, NY ,pp. 1324-1170;
[email protected] Eriyatno. 2011. Membangun Ekonomi Komparatif. Strategi Meningkatkan Kemakmuran Nusa dan Resiliensi Bangsa. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Erwidodo. 1999. Modernisasi dan Penguatan ekonomi masyarakat pedesaan. Dalam Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan Sebagai Penangulangan Kemiskinan (Penyunting Hasan Basri) Cetakan Pertama hal. 3-40. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Esmara, H. 1986. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Esterly, W. dan R. Levine. 1997. Afrion’s Growth Tragedy: Policies and Ethnic Division. Quartely Journal of Economics. 112 (4),pp. 1203-1250. Fallon, Peter R. dan Lucas, Robert E.B. 2002. The Impact of Financial Crises on Labor Markets, Household Incomes, and Poverty: A Review of Evidence, World Bank Research Observer, Oxford University Press,17 (l),pp. 21-45. Fairclough, Norman. 1995. Discursus and Sosial Change. Cambridge: Polity Press. Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
261
Ferdinand, Augusty, 2006, Structural Equation Modeling, Edisi 4, BP UNDIP, Semarang. Ferdinand, Augusty. 2006. Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen Aplikasi Model-Model Rumit dalam Penelitian untuk (tesis) Magister dan (disertasi) Doktor. Fak Ekonomi UNDIP Semarang. Fehr, E. Kirchstein, G. and Riedl, A. 1996. Involuntary Unemployment and NonCompensating Wage Differentials in An Experimental Labour Market. The Economics Journal. 106 (Januari), 106-121. Fergusson, D.M.L.J.,Horwood, A.L. Beautrais. 1981. The Measurement of Family Material Well Being. Journal of Marriage and the family, 43(3): 715-725. Ferlini. 2011. Analisis Ketenagakerjaan dan Strategi Peningkatan kesempatan Kerja di Provinsi Sumatera Barat. http://www.google.com/jurnal kesempatan kerja. Field, J. 2011. Modal Sosial. Bantul: Kreasi Wacana. Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. Hamisld Hamilton, London. ___________. 1998. The End of History and The Last Man (Introduction Reproduced 2005) Penguin. ___________. 1999. Social Capital and Civil Society. Institute of Public Policy. George Mason University. ___________. 2001. Social Capital, Civil Society and Development. Third World Quarterly, 22 (1),pp. 7-200. Flavin, M. 1981. The Adjustment of Consumption to Changging Expectations About Future Income. Journal of Political Economy. Oxford University Press. Frankenberg, E.J.P. Smith and D. Thomas. 2003. Economic Shocks, wealth and Wefare. Journal of Human Resources. 38(2): 280-321. Friedman, M. 1957. A Theory of The Consumption Fuction. Princeton N.J.: Princeton University Press for National Bereau of Economic Research, Princeton.
262
Friedman, H.H. and Linda W. Friedman,(t.t), Can’Homo Spiritualis’ replace Homo Economicus in the Business Curriculum? Department of Economics Brooklyn College of the City University of New York Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1160468. Freeman,R. dan M.Wietzman. 1995. Bonuses and Employment in Japan. Journal of the Jananese and International Economics. Vol.1: 168-94 Gati Nurani, Indah. 2008. Kontribusi Industri Kecil Emping Mlinjo Terhadap Pendapatan Tenaga Kerja di Desa Pungangan, Kecamatan Lampung Kabupaten Batang. (Skripsi) UNNES. Geriya, I W. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Denpasar. Geertz, Clifford, 1973. The Interpretion Of Culture. Basic Books, New York: Inc. Publisher. ________.1995. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. Gibb, J R., Platt, G. N. And Miller. 1951. Dynamics of Participate Group. Boulder: Univercity of Colorado. Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern Suatu Analisis Karya-Karya Marx, Durkheim, Max Weber. Jakarta: UI Press (Terjemahan: Soeheba Kramadibrata). Jakarta: UI Press. Goeltom, Miranda S. 2007. Essays in Macroeconomi Policy: The Indonesia Exprience. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gorda. 1996. Manajemen Dalam Perspektif Hindu, dalam Suaspanya (2005), (tesis) (tidak dipublikasi) Gordon, Robert J., 2000. Macroeconomic. Addison Wesley Longman, Inc. Goody. 1961. Tentang Religion and Ritual: The Definitional Problem, The British Journal of Sociology.pp. 159. Gorris, R. 1986. Sekte-Sekte di Bali. Jakarta: Penerbit BharataKary Aksara. Gottfries,N. Dan T.Sjostorm. 1987. Profit Sharing, Employment Efficiency and Wage Stability. Scandinavian Journal of Economics.Vol.97: 28194. Gujarati, D. N. 2007. Dasar-Dasar Ekonometrika Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
263
Gunadha, Ida Bagus. 2009. Pemberdayaan Desa Pakraman, Sebagai Strategi Kebertahanan Adat, Budaya, dan Agama Hindu Bali, Denpasar; UNHI dan Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali. Guritno, B. Dan Waridin. 2005. Pengaruh Persepsi Karyawan mengenai Perilaku kepemimpinan, kepuasan kerja dan Motivasi Terhadap Kinerja. Jurnal Riset Bisnis Indonesia. Vol.1.No.1.Januari 2005:63-74. Guiso.L, Sapienza P., Zingales L. Religion And Economic Attitudes. People’s Opium. University of Sassari, Ente “Luigi PR. University of Chicago, NBER,&CEPR Ghozali, Imam dan Fuad. 2005. Structural Equation Modeling, Teori Konsep dan Aplikasi dengan Program LISREL. Semarang: BP.UNDIP. ___________. 2010. Structural Equation Modeling, Metode Alternatif dengan Partial Leas Square (PLS). Semarang: BP.UNDIP. Glacser, edward L., David Laibson and Bruce Sacerdote. 2002. An economic Approach to Social Capital. Economic Journal. 112 (483),pp. F437-F458. Glewwe, Paul. 1999. Why does mother”s Schooling Raise Child Health in Developing Countries? Evidence from Morroco. Journal of Human Resources 34,pp. 124-159. Granato, J. Inglehart, R. Dan Leblang, D. 1996. Culture Values, Stabe Democracy and Economics Development: A Reply American Journal of Political Science 43(3). Grinols, Earl L. 1994. Microeconomics. Houghton Mifflin Company. Boston. Toronto. Genewa, Illinois Palo Alto Princeton, New Jersey. Grootaert, C., 1998. Social Capital Housrhold Welfare and Proverty in Indonesia, Local Level Institutions.Working Paper, The World Bank: Social Development Family Environmentally and Socially Sustainable Development Network. __________. 1999. Social Capita, Housrhold Welfare and Proverty in Indonesia. Local Level Institutions. Working Paper No.6. World Bank. Griliches, Zvi. 1963. The Sourches of Mesured productivity Growth: United Stated of Agricultural, 1940-1960. Journal of Political Economy, August. pp. 333-346. __________. 1963. The Sources of Mesured productivity Growth: United Stated of Agricultural, 1940-80. Journal of Political Economy, August. pp. 333-348.
264
Gronau, R. 1976. Allocation of Time of Israeli Women. Journal of Political Economy,84 (4),pp. 201-220. Habib, Adnan. 1999. Agama Masyarakat dan Reformasi Kehidupan. Denpasar: BP. Hadi, Y Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Penerbit Buku Pustaka. Hall R.E. 1978. Stochastic Implications Of The Life-Permanent Income Hypothesis: Theory and Evidence. Journal Of Political Economy 86 (April 1978),pp. 971-987. Hansen, Lee W. Ed. 1970. Education, Income and Human Capital. Columbia University Press. New York. Hayashi, F.1982. The Permanent Income Hypothesis: Esimation and testing by Instrumental Variables. Journal of Political Economy.90,pp. 895816. Harry, Hikmat. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Hastuti, dkk. 2004. Laporan Penelitian. Evaluasi Dampak Sosial-Ekonomi Proyek Pengembangan Wilayah Berbasis Pertanian Sulawesi (SAADP): Pelajaran dari Program Kredit Mikro di Indonesia, Lembaga Peneliti. SMERU. Hermanto dan Andriati. 1995. Pola Konsumsi di Daerah Pedesaan Jawa Timur. Posiding Hasil Seminar Patanas Ke II Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hal. 40-67. Hermanto, Supena Friyatno dan Abunawan Mintoro. 1995. Pokok-Pokok Pemikiran tentang Model Penangulangan Kemiskinan Nelayan. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Hal. 463-480. Henderson, James M and Richard, E. Quant. 1980. Micro Economics Theory A Matematical Approach. Tokyo: Mc Graw-Hill International Book Company. Hicks, J.R. 1939. The Foundations of Welfare. Economic Journal. Vol 49. Desember 1939, pp. 696-712. Hill, R.
2000. Real Income, Unemployment and subjective Well-Bieng: Revisiting the Costs and Benefits of Inflation Reduction in Canada. Canadian Public Policy, 26 (4),pp. 399-414.
265
Hughes, Mathew and Robert K. Perron. 2010. Shaping and Re-Shaping Social Capital in Buyer-Supplier Relationships. Journal of Business Research:pp.2-8. Hulme, David & M. Turner. 1990. Sociology of Development Theories, Policies, and Practices. Hertfordshire : Harvester Wheatsheaf. Horvath, Endre dan Frechtling Douglas. 1999. Estimating the Multiplier Effects of Tourism Expenditures on a local Economy through a Regional Input-output Model. Jurnal of Traveo Penelitian vol.37, No.4 (Mei 199), hlm. 324-332. Hooykaas, Jacoba, Van Leeuwen Boomkamp 1961. Ritual Parification of A Balinese Tample. Amesterdam: NV. Noord Hollmasche Ungevers Maatschappij. Hooykaas, C. 1964. Agama Tirta, Five Studies In Hindu-Balinese Religion Amesterdam: NV. Noord Hollmasche Ungevers Maatschappij. Ife, Jim. 2002. Communy, 1976. City Development : Community Based Activities in an Age of Globalization. Australistera : Cath Godfrey Publisher. Illich, I. 2001. Menggugat Kaum Kapitalis. Penerjemah Loly Nuryafitri. Yogyakarta:Melibas. Ismail, Munawar. 2003. Emansipasi Nilai Lokal, Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi Pembangunan. Malang: Banyumedia Publishing. Jameson, Frederick. 1991. Posmodernisme on the Cultural Logic of Late Capitalisme. London:Verso. Jene, K. Kwon. 1986. Capital Utilization, Economics of Scale and Technical Change in The Growth of Total Factor Pruductivity : An Explanation of South Korean Manufacturing Growth. Journal of Development Ecnomics, April,pp. 75-89 (6/13/2009,07:10 am). Jhingan M.L., 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Jorgenson, D.W. 1961. The Development of Dual Economy. Economic Journal, Juni 1961, pp. 309-334. Jordan, Y. G. 1993. Economic Impact Assessment of the travel and tourism indusry visitor expenditures, tourism multipliers, input-output analysis, and case studies : a selected bibbliogrphy, intelligence cPacific Asia Travel Association, San Francisco.
266
Jonathan S., 2007. Analisis Jalur untuk Riset Bisnis dengan SPSS. Yogyakarta :Andi. Johnson,
Buerke dan Larry Christensen. 2008. Educational Research Quantitative, Qualitative, and Mixed Approaches. Third Edition. California, Sage Publication, Inc.
Johnson, Harry G. 1973. The Theory of Income Distribution, Gray-Mills Publishing Ltd, 10 juer street London S.W.11. Julissar, A. N. 2005. Pembangunan Berkelanjutan Dan Relevansinya Untuk Indonesia. Jurnal Madani. Edisi II/Nopember 2005 Kaldor, Nicholas. 1939. Welfare Propositions in Economics and Interpersonal Comparisons of Utility. Economic Journal.Vol. 49, September 1939,pp. 549-552. Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Mikro Islami. The International Institute of Islamic Thought. Indonesia. Jakarta. Kaelan. 2005. Metode penelitian Kualitatif Bidang Filsafat: Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni. Yogyakarta: Paradigma. Kayam, Umar. 1993. Perubahan Sosial Budaya Menuju Masyarakat Industri dalam Agama Demokrasi dan Perubahan Sosial (Amine d.). Yogyakarta: LKPSM. Najib. Kasryo F., h. Nataatmadja, C.A. Rasahan, Yusdja. 1986. Profil Pendapatan dan Konsumsi Pedesaan Jawa Timur. Departemen Pertanian Bogor. Kellner, Douglas (ed). 1994. Baudrillard: A Critical Reader. Cambridge USA: Blackwell. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011- 2025. Jakarta. Kerlinger, F.N. 2004. Azas-asaz Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kim, C. 1996. Measuring Deviation From the Permanent Income Hypothesis. International Economic Review. Vol.37, No.1,pp. 205-224. Kirk, Jand M.L., Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research. Bevrly Hills: Sage Publication.
267
Kirdt–Ashman, Karen K dan Grafton H. Hull, Jr. 1993. Understanding Generalist Practice. Nelson-Hall Publishers: USA Chicago. Kiriana I N. 2008. Yadnya Sebagai Praktik Pendidikan Humaniora Dalam Persepktif Metode Refleksitas Epistemik Pierre Bourdieu. Jurnal Agama Hindu, Pangkaje. Vol.VIII, No.2, Agustus 2008 Hal.150 Kochar, Anjini. 1999. Smoothing Consumption by Smoothing Income: Hours of Work Responses to Idiosyncratic Agricultural Shocks in Rural India. Review of Economics and statistics. 81 (91),pp. 50-61 Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambata. ___________. 2004. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Koslowski P. 2006. The Economy of Happiness. International Centre for Economic Research. Working Paper Series No 15.May 2006. University Amsterdam, Belanda dan ICER. Kuncoro, H. 1999. Dimensi Kualitatif Keberhasilan Perluasan Kesempatan Kerja. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 14. No. 1: 9-17. ___________. 2002. Upah Sistem Bagi Hasil Dan Penyerapan Tenaga Kerja. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol.7.No.1. Hal:45-56. Kuiper, F.B.J. 1996. Varuna and Vidusaka. Dalam Natalia Metha. Drama and Ritual of Early Hinduism. Kumpulan Artikel. Performing Arts Series oleh Richmod F.P.(editor). Notiol Banarsidass Pub. Ltd. Delhi. Khairudin. 1990. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta : Nur Cahaya Khan, Nisar A. And Saghir Ahmad Ansari. 2008. Application of new Institutional Economics to the problems of Develoment: A Survey, Abstracts Journal of Social and Economic Development 10 (1),pp. 1-32. Khan, Habibullah, Chou Fee Seng and Wong Kwei Cheong. 1990. Tourism Multiplier Effects on Singapore, Annals of Tourism Research, Vol 17., pp.408-418. Knack, Stephen and Paul J. Zak, 2001, Trust and Growth, Economic Journal 111(470): 295-321. Krueger, Jr.N.F., From Keynes: Animal Spirits to Human Spirits?: Passion as The Missing Link in Entrepreneurial Intentions, Boise State University, http://ssrn.com/akbstract=1162337 download tgl 2 Juni 2010.
268
Knack, S. 2002. Social Capital, Growth and poverty: a Survey of Gross-Country Evidence in. The Role of Social Capital an Development. Cambridge University Press. Edited by Groat acet,C, and T.Van Bastelaer. Knack, S. And Keefer, P. 1997. Does Social Capital Have Economic Poy off? A Cross-Country Investigation. Quartely Journal of Economics. 112(4),pp. 141-163. Kraybill, David and Bruce Weber. 1995. Institutional Change and Economic Development in Rutal America. America Journal of Agricultural Economics. 77,pp. 1265-1270. Layard, P.R.G. and A.A. Walter. 1978. Microeconomic Theory. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Laibson D.1997. Golden Eggs and Hyperbolic Discounting. Quarterly Journal of Economics. 62 (Mei 1997),pp. 443-477. Leiderman, L. 1980. Macroeconometric Testing of the Rational Expectations and Structural Neutrality Hypothesis for tne United States. Journal of Monetary Economics.6,pp. 69-82. Lewis,W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labour. Dalam A.N. Agarwala dan S.P. Singh (Ed.).The Economics of Underdevelopment. Oxford University Press. New York. Pp. 400449. Leontief, Wassily. 1985. Input-Output Economics, Oxford University Press, New York, 2nd ed. (1 st ed.:1966). Lee, Martyn J. 2006. Budaya Konsumen Terlahir Kembali Arah Baru Modernitas dalam Kajian Modal Konsumen dan Kebudayaan (Terjemahan: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Lochart, W. 2005. Building Bringes and Bonds: Generating Social Capital in Secular and Faith-Based Poverty-to-Work Programs, Sociology of Religion, Vol. 66,No.1.pp.45-60. Lindauer, John. 1971. Macroeconimics. Second Edition. Johwiley & Son Inc.N.Y. Magetsari, Noerhadi. 1986. Local Genius dalam Kehidupan Beragama dalam Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya. Mangkoesubroto,dkk. 1998. Teori Ekonomi makro. Yogyakarta:STIE YKPN. Mankiw Gregory.N. 2007. Makroekonomi. (Fitria Liza dan Imam Nurmawan, Pentj). Jakarta: PT. Penerbit Erlangga.
269
Mantra, I B.
1992. Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar:PT. Upada Sastra.
__________. 1995. Penentuan Sampel. Dalam: Singarimbun, M dan Effendi,S., Editor. Metode Penelitian Survei. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia. ___________. 1996. Landasan kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. ___________. 2003. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Relajar. Multifiah. 2011. ZIS untuk Kesejahteraan. UB Press. Malang. Mahendra, A.A. Oka. 1992. Kepemimpinan dalam Ajaran Hindu, dalam Cendekiawan Hindu Bicara. (Editor Putu Setia). Jakarta: Yayasan Dharma Naradha. Maluccio, J., L. Haddad dan J. May. 1999. Social Capital and Income generating in South Africa 1993-1998. IFPRi: FCND Discussion paper. No.71. Mak, James. 1989. The Economic Countribution of Travel to State Economies. Journal of Travel Research, 28 (fall): pp. 2-5. Maman Kh, U. 2006. Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mannulang, M. 2001. Organisasi dan Manajemen. Yogyakarta: Liberty. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 20112025. Cetakan Pertama 2011. Republik Indonesia. Mas, Putra. 1988. Panca Yadnya. Jakarta: Yayasan Dharma saranti. Mas’ud M. Dan Mahmud, M. 2004. Kewirausahaan. Penerbit Yogyakarta: AMP. YPKN. Marhaeni, Anak Agung Ayu Istri. 1991. Alokasi Waktu Pekerja Wanita Pada Industri Garmen di Daerah Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan. (tesis) S-2, Studi Kependudukan Pasca Sarjana UGM, Tidak Diterbitkan. Matthew Rabin. 1998. Psychology and Economics. Journal of Economic Literature, Univercity of California at Berkeley Vol.36 No.1(Mar 1998), pp. 11- 46. http://www.jstor.org/journals/aca.html.
270
Menard, Claudia. 2000. Editor. Institutional, Contracts and Organizations. Perspectives from New institutional Economics. Edward Eigar Publishing Limited. Menard, Claudia and Mary M. Shirly. 2005. Editor. Handbook of New Institutional Economics. Springer the Netherlands. Midgley, James. 2004. Pembangunan Sosial: Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Meyer, B. dan Sullivan, J. 2003. Measuring the well-being o the poor using Income and Cosumption, The journal of Human Resources. 38 (Special Issue on Income Volatility and Implications for food assistance Programs 1180-1220 Miller, Roger Le Roy. 2000. Teori Mikroekonomi Intermediate. (Haris Munandar, pentj). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Monografi Desa Abiansemal Kabupaten Badung. 1997. Monografi Desa Abiansemal Kabupaten Badung Tahun 2011. McGee, R.W., Burke, E. And Adam Smith. 1992. Pioneers in the Field of Law & Economics Published in Liverpool Law Review, Vol.14, No.2 (1992),pp. 159-171. Barry University. Mc.Callum, B.T. 1980. Rational Expectation and Macroeconomic Stabilisation Policy. Journal of Political Economy,12.pp. 716-746. McLaughlin, Kenneth J. Dan Mark Bils. 2001. Interindustry Mobility and the Cyclical Uppgrading of Labor. Journal of Labor Economics, 9(1): 94-135. Merton, Robert K. 1967. On Theoretical Sociology, Five Essays, Old And New, Including part One of Social Theory And Social Structure. New York: Collier-Macmillan Limited, London. Modigliani,F. 1986. Life Cycle. Individual Thrift and the Wealth of Nations. American Economic Review. 76 (Juni 1986),pp. 297-313. Moelyono Mauled. 2010. Menggerakkan Ekonomi Kreatif antara Tuntutan dan Kebutuhan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Moore, K.A., L. Lippman, B. Brown. 2004. Indicator of Child Well-Bieng: The Promise for Positive Youth Development. Anuals of the American Academy of Political and Social Science, 591,pp. 125-145.
271
Morduch, Jonathan. 1995. Income smoothing and Consumption Smoothing. The Journal of Economic Perspective, 9(3): 103-114. Morgan Kenneth. 1953. The Relegion of The Hindus. Reprint, 1996, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers private Limited. Moleong, Lexy. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muellbauer, J. and Portes, R. 1978. Macroeconomic Model Eith Wuantity Rationing. Economic Journal.88,pp. 788-821. Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Murphy, K. R. 1992. Is Halo a Property of a Rater, the Ratees, or the Specific Behaviors Observed? Journal of Applied Psychology. Juni 1992, pp. 494-500. Murjana Y, I G.W. 2003. Strategi Pembangunan Ekonomi Provinsi Bali (Aspek Makro Kependudukan dan Ketenagakerjaan). Kerjasama Dewan Harian Daerah 45 Provinsi Bali, ISEI Cabang Denpasar-Bali, FE Unud, dan Ikayana Alumni Universitas Udayana. Denpasar: PT. Bali Post. ___________. 2006. Kepekaan Bisnis Orang Bali (Kasus Pengusaha Pandak Gede, Kabupaten Tabanan) dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Depbudpar RI dan Unud. Murjana Yasa, IGW., A. A.A.I. Marhaeni, dan Bagus Ketut Wijaya. 1994. Pertumbuhan Penduduk, Angkatan Kerja dan Kegiatan Ekonomi Penduduk. Paper disampaikan pada Pelatihan Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Tik II Kerjasama Bappenas dengan Universitas Udayana di Denpasar. 11 Januari 1994 s/d 9 Pebruari 1994. Murjana Yasa, IGW. 2009. Penangulangan kemiskinan Berbasis Partisipasi Masyarakat di Provinsi Bali. Journal Ekonomi dan Sosial (INPUT) FE Unud: hal.86-91. Mustika, Made. 2011. Kenapa Orang Bali Kalah Telak dari Pendatang. Majalah Hindu Raditya. Juli 2011. No. 168. Nasir, Moh. 1998. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nasution, S. 1993. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta : Bumi Aksara.
272
Narayan, D., dan Pritchett, L. 1999. Cent and Socialibility. Houschold Income and Social Capital in Tanzania. Economics Development and Culture Change 47 (4 Juli),pp. 871-79. Nawawi, H. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Neary, J.P. and Stiglitz, J.E. 1983. Toward a Reconstruction of Keynesian Economics: Expectations and Constrained Equilibria. Quaterly Journal of Economics.98, Supplement, pp. 199-228. Netra, Oka I Gusti Agung. 1994. Tuntutan Dasar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti. North,
Douglass. C. 1998. Understanding Institutions. Editor by Menard, Claudia. 2000. Edward Eigar Publishing Limited.
___________. 2004. Understanding the process of economic Change. Princeton, NJ. Princeton University Press. Nicholson
Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya (IGN. Bayu Mahendra dan Abdul Aziz, pentj). Jakarta: PT.Penerbit Erlangga.
Nicholas S.S. 1999. The Response of Household Consumption to Income Tax Refunds. American Economic Review 89 (September 1999),pp. 947-958. Oppong, Christine and Katie Church. 1998. Population and Labour Policies Programe. A Field Guide to Research On seven Rules Of Women: Focussed Biographies, UNFPA. Papagapitos, Agapitos, Robert Riley. 2009. Social Trust and Human Capital Formation. Journal of Economics. Letters 102,pp. 158-160. Parimartha, I Gede. 2003. Memahami Desa Adat. Desa Dinas dan Desa Pakraman (suatu tinjauan Historis, Kritis) Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar tetap dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Udayana. tanggal 6 Desember 2003. Universitas Udayana. Tidak diterbitkan. Hal. 3-7 ___________. 2006. Sistem Pemerintahan Desa di Daerah Bali dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Depbudpar RI dengan Unud. Pramitha, P.A. P. 2009. Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli Dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekspor.Universitas Udayana Denpasar. Piramida Vol.5 No.1 Juli 2009 . ISSN19073275.
273
Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. dari Animisme EB Taylor Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C Geertz (alih bahasa Ali Noer Zaman). Yogyakarta: Qalam. Parisada Hindu Dharma. 1972. Upadesa tentang Ajaran Agama Hindu. Denpasar. Parker J. 1999. The Response of Household Consumption to Predictable Changes in Social Security Taxes. American Economic Review. 89 (September 1999),pp. 959-973. Pearce, D.W. and J.J. Wardford. 1993. World Without End Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press. Pemberton, James. 1997. Modelling and Measuring Income Uncertaninty in Life Cycle Models. Economic modelling. 14 (1997),pp. 81-98. Pecpno, p. 1993. Tax Structure and Growth in a Model with Human Capital. Journal of public economics. 52,pp. 251-271. Pendit,
Nyoman S. 1993. Hindu dalam Tafsir Modern. Dharma Sastra.
Jakarta: Yayasan
____________. 1994. Bhagavadgita. Jakarta: Dharma Nusantara.. Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS. ____________. 2003. Posrealitas: Realitas kebudayan dalam era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra. Piche, E. 1999. “Religious and Social Capital in Canada”. (Thesis) Submitted to Queen’s University Canada. Pincus, Allen and Anne Minahan. 1973. Sosial Work Practice : Model and Methode. Illinois: Peacock Publisher Inc. Pohjola M. 1987. Profit Sharing, Collective Bargaining and Employment. Journal of Institutional and Theoretical Economics. Vol.143: 334-42. Portes, Alejandro. 1998. Social capital: Its Origins and Applications in modern Sociology. Annu. Rev. Social. 1998. 24:1.24. Departement of Sociology. Princeton university. Princeton, New Jersey. Portes, A., dan Landolt, P. 2000. Social Capital: Promise and Pirfalls of its Role in Development. Journal of Latin American Studies. 32, 3,pp. 52947. Pitana, dkk. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: BP.
274
Pitana I Gede (editor). 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Penerbit BP. Pudja, G.I Gede (editor). 1999. Bhagawad Gita (Pancama Veda). Surabaya: Paramita. Prabhupada, Sri Simad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2000. Bhagawad Gita Menurut Aslinya. Jakarta: Hanuman Sakti. Pradnya,A.S.I Made, 2003.PHDI Mesti Bersinergi Sebagai Lembaga Tafsir Weda, http://hinduresearchcenter.blogspot. Com/2013 Diunduh tanggal 22 Januari 2012 Purwita, B. 1992. Upacara potong Gigi. Denpasar: Upada Sastra. Hal 5-10. Purwanti P.A.P. 2009. Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli Dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekpor. Jurnal Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Unud. Vol V No.1 Juli 2009. ISSN: 1907-3273 Putrawan, N. 2011. Komersialisasi Banten sebagai sebuah Kebutuhan Zaman. Dalam Majalah Raditya. No.166, Mei 2011, hal. 14-15. Denpasar: Yayasan Manikgeni Dharma. Putnam, R.D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. Princeton university Press. Princeton. ___________. 1995. The Prosperons Community: Social Capital and Public Life The American prospect.4, 13,pp. 11-18. Puspa, Ida Ayu Putu Tary. 2010. Komodifikasi Upacara Ngaben Dalam Era Globalisasi di Desa Pakraman Sanur Denpasar (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Qomariah, A. 2009. “Pengaruh Modal Sosial Terhadap Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah Sidogiri Pasuruan Jawa Timur)” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang. Quddus, Munir, Michel Goldsby, Mahmud Farooque. 2000. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. A Review Article. Eastem Economic Journal. 26, (1),pp. 87-98. Quigley, Kevin F.F. 1996. Human Bonds and Social Capital. Review Essays. Trust: The Social Virtues and the Creation of prosperity. By Francis Fukuyama. Free Press, 1995,457, New York:pp. 333-341
275
Radhakrishnan, S. 2003. Relegion And Society. (Ed,Yuda Triguna), Denpasar: Widya Dharma. Rahardja, P.M. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro Ekonomi & Makro Ekonomi), Edisi Ketiga. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Ratna,K. Nyoman. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Masyarakat.Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Cetakan 1. Raffo, C. Dan Ree Ves, M. 2000. Youth Transitions and Social Exclusion: Developments in Social Capital Theory. Journal of Youth Studies. 3,2,pp. 147-66. Rawi, Ketut Gde Bambang. 2011. Kalender Bali 2011. Penerbit Bali Post. Denpasar. hal 1-10. Rica, I Ketut. 2005. “Perubahan Pola Hubungan Pasisyan pada masyarakat Hindu Etnis Bali-Lombok” (tesis). Program Magister Brahma Widya Program Pascasarjana IHDN Denpasar. Ranis.G. dan Fei,J.C.H., 1964. A Theory of Economic Development. American Economic Review. Vol.51. September 1961. hlm.533-565. dan Fei,J.C.H. dan Ranis.G. Development of Labour Surplus Economiy: Theory and Poicy. Irwin, Homewood. Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern (Terjemahan Muhamad Taufik). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Reynolds, Loydg. 1993. Labour Economic and Labour Relation. New Delhi : Preatice-Hall of Idia. Private Limited. Rivai, Abu (ed). 1996. Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Bali. Denpasar : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Robbins, D. 2000. Bourdien and Culture. Sage. London. Robbins, Stephen P. 2007. Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat, hal. 174-184. Roebyantho, H. & E. Padmiati. 2007. Pemberdayaan Jaringan Pranata Sosial dalam Penguatan Ketahanan Sosial Masyarakat di provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Panelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial 12 (03),pp. 33-44. http://www.google.com.
276
Sagir, Soeharsono. 1994. Kesempatan Kerja, Ketahanan Nasional Dan Pembangunan Manusia Seutuhnya. Alumni Bandung. Saifuddin A. 2006. Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Salim, Emil. 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan. Jakarta: Intidaya Press. Salemba Infotek. 2005. Pengembangan Analisis Multivariate Dengan SPSS 12. Jakarta: Jakarta. Sallatang, MA. 1986. Kemiskinan dan Mobilitas Pembangunan (Makalah), Lembaga Penerbitan UNHAS, Ujung Pandang. Samuelson dan Nordhaus. 2004. Ilmu Makroekonomi. (Gretta, Theresa Tanoto, Bosco Carvallo, Anna Elly, Penterj.) Jakarta: PT. Media Global Edukasi. Samuelson P.A.dan W.D.Nordhaus. 1985. Macroeconomics McGraw-Hii Inc (Haris munandar.Pentj). Jakarta: Penerbi Erlangga. Samuelson P.A., W.D. Nordhaus and Gary W.Yohe. 1985. Instructors Mannual to A Company. McGraw-Hill Inc. Terjemahan oleh Dany Hutabarat. 1987. Latihan/ Tanya Jawab Ekonomi.Jakarta: Penerbit Erlangga. Samuelsson, Kurt, 1993, Religion ad Economic Action: The Protestant Ethic, the Rise of Capitalism, and the Abuses of Scholarship. Toronto: U. Toronto Press. Sampson, R. J. Dan Pandenbush, S. W. 1999. Systematik Social Observation of Public Spaces: A New Look at Disorder in Urban Neryhb Our Hoods. American Journal of Socialogy, 105,3,pp. 603-51. Sanderson, S.K.M. 2000. Sosiologi Makro Sebuah pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Farid wijidi dan S. Menno Penterj.) Jakarta. PT. Raja Grafindo Ed.2.
Santosa B. P. 2010. Kegagalan Aliran Ekonomi Neoklasikdan Relevansi Aliran Ekonomi Kelembagaan dalam Ranah Kajian Ilmu Ekonomi. Pengukuhan Guru Besar FE. Dalam Ilmu Ekonomi Universitas Diponogoro Semarang, 11 Marert 2010. Santoso Thomas. 2007. Modal Sosial dan Kinerja Organisasi. Makalah Diadaptasikan dari Pidato Pengukuhan Guru Besar FE.Universitas Kristen Petra, Surabaya, 29 Mei 2004, dan Makalah Seminar
277
Nasional di Program Pascasarjana Undiknas Denpasar. 18 Agustus 2007. Santoso, S. Budhi. 1994. Ketahanan Keluarga sebagai Basis Bagi Pembinaan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jurnal 40 Tahun 1994, Badan Litbang Kesejahteraan Sosial. Santoso, Singgih. 2007. Structural Equation Modeling Konsep dan Aplikasi dengan AMOS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. ____________. 2011. Structural Equation Modeling Konsep dan Aplikasi dengan AMOS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Saragih, M.H. 1982. Azas-Azas Organisasi dan management. Bandung: Tarsito. Sardi Martin. 1983. Agama Multidimensional. Bandung: Alumni Sajogno, Pudjiwati. 1997. The Impact of New Farming Technology on Women's Employment. Dalam IRRI (ed.), Women in Rice Farming. Aldershot: Gower Publishing Company Lemited. Sarwono, Jonathan. 1980. Memadu Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif: Mungkinkah? http://www.jonathansarwono.info/memadu.pdf. Diunduh tanggal 11 Juni 2012. Sen, Amartya. 1992. Development As Freedom. The New York: A Division of Random House Inc. Sekaran, Uma. 1992. Research Methods for Business; A Skill Building Approach, second edition. New York: John Wiley dan Sons,Inc Setiawina. Nyoman Djinar. 2003. Harapan Rasional dalam Ekonomi Makro. Denpasar: Panakom. ____________. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi (Jangkauan dan Metode), Denpasar: Panakom. ____________.2011. Sembilan Pilar Pedoman Hidup http://djinar.wordpress.com/2011 Diunduh 22 Januari 2014 Sevilla. 1993.
Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan Amiludin Tuwu. Jakarta Pen. Univ. Indonesia (UI Press).
Sigit, H, 1985. Income Distribution and Household Characteristics. Bulletin of Indonesian Economic Studies 21: Hal. 51-67 Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT.Refika Aditama
278
Simanjuntak, Payaman J. 1985. ”The Market For Educated Labor in Indonesia Some Policy Approach. P. Hd” (dissertation) Boston University. ___________.1992. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Penerbit LP3ES. Sippola, Aulikki. 2007. Developing Culturally Diverse organizations- a Participative and Empowerment-Based Method. Journal of Women in Management Review 22 (4),pp. 253-273. Suacana, I Wayan Gede. 2005. Diferensiasi Sosial dan Penguatan Toleransi Dalam Masyarakat Multikulture, dalam Jurnal Kajian Budaya Indonesia. Jurnal of Culture Studies. Nomor 3.Volume 2. 2 Januari 2005 Suardika Pasek. 2006. Memahami Bali. Kebanggaan di Balik Kegundahan. Denpasar: Bali Age. Subagiasta, I Ketut. 2006. Teologi, Filsafat dan Ritual Dalam Susastra Hindu, Surabaya: Paramita. ____________.2007. Susastra Hindu. Surabaya: Paramita Subandi. 2011. Ekonomi Pembangunan. Bandung. Alfabeta Sudarsono. 1989. Penetapan Sasaran Kesempatan Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol.4. No.1: 1-20. Sudharta, Tjok Rai. 1993. Manusia Hindu dari Kandungan Sampai Perkawinan. Denpasar. Yayasan dharma Naradha. Hal.24. Sudarma, I Wayan, 2010. Pengertian, Pengelompokan dan Tata upacara Membangun Pura. http://wwwhindubatam.com/upacara/dewayadnya/tata-upacara.html Diunduk 22 Januari 2013 Sudibya, I Gede. 1997. Hindu dan Budaya Bali. Bunga Rampai Pemikiran. Denpasar: Penerbit BP. Suharyadi dan Purwanto. S.K, 2003, Statistika Untuk Ekonomi & Keuangan Modern, Buku 1, Penerbit Salemba Empat, Jakarta Sudharsana, I.B. Putu. 2008. Ajaran Agama Hindu Filsafat Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.
279
___________.2004. Ajaran Agama Hindu, Makna Upacara Bhuta Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya. Suhardana, Komang. 2010. Kerangka Dasar Agama Hindu Tattwa-SusilaUpacara. Surabaya: Paramita. Suharto, Edi. 2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Cetakan kedua. Bandung: Aditama. Suhartini, S. dan S. Mardianto. 2001. Transfromasi Struktur Kesempatan Kerja Sektor Pertanian ke Non Pertanian di Indonesia. Majalah AgroEkonomika No.2 Oktober 2001. Jakarta: PERHEPI. Suhartini, S. Hastuti dan Pantjar Simatupang. 1995. Review Program Penangulangan Kemiskinan. Proseding Pengembangan Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Bogor. Hal 436-448. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sujipto, Nyoman. 1990. Peranan Wanita pada Desa di Bali. Studi Kasus di Banjar Puseh Kangin Desa Sanur. Kertas Kerja pada Lokakarya Nasional Peranan Wanita dalam Pembangunan Pedesaan. Cipayung. Sumartana, I Made. 1997. Analisis Korelasi Jam Kerja Wanita Terhadap Pendapatan (Studi Kasus Pada Desa Siangan Kabupaten Gianyar). Majalah Ilmiah Ekonomi Profitika. Universitas Ngurah Rai Denpasar. Vol.2 No.2 Oktober 2010, ISSN 2085-4528. Sumadi, Ketut. 2003. Ritual Agama Hindu Sebagai Daya Tarik Pariwisata Budaya Bali (Kasus Pelaksanaan Ritual di Desa Adat Kuta) Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. ___________,2008. Memaknai 100 Tahun Kebangkitan nasional: Agama dan kearifan Lokal Dalam Membangun Keharmonisan Berbangsa dan Bernegara. Jurnal Agama Hindu, Pangkaja.Vol.VIII.No.2,Agustus 2008.Hal.125 Sunarto. 2008. Analisis Peningkatan Kesempatan Kerja Di Indonesia. Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing BPPT, Jakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Vol.10.1 April 2008. Hlm.48-53.
280
Sukarsa, I Made. 2002. Pengeluaran Keluarga Menurut Konsep Hindu. Fak.Ekonomi. Universitas Udayana. ___________,2003. Aliran Ekonomi Yadnya. http://www.sarad-bali.com. ___________,2004. Sisi Ekonomi Sebuah Upacara. Kumpulan Abstrak Makalah Utama pada Seminar Nasional Konservasi Tanaman Upakara Adat Bali. LIPI. Kebun Raya Bedugul Bali. ____________,2004. Tingkat Partisipasi Wanita pada Persiapan dan Pelaksanaan Upacara Ritual di Bali Selatan. Hasil Penelitian Universitas Udayana, tidak diterbitkan. ___________,2005. ”Pengaruh Pendapatan keluarga dan pemahaman agama terhadap pengeluaran Konsumsi ritual Masyarakat hindu di Bali ditinjau dari Berbagai Dimensi waktu” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. ___________,2005b. Sisi Ekonomi Sebuah Upacara. Bulletin Studi Ekonomi. Vol.10 No.2 Tahun 2005. ISSN 1410-4628. ___________,2005b. Ilmu Ekonomi dalam Perspektif Agama Hindu. Makalah disampaikan pada Seminar Ilmiah di Universitas Dwijendra Denpasar. ___________,2008. Efisiensi Dalam Pelaksanaan Upacara. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Upacara di Bali: Dilihat dari Dimensi Spiritual Ekonomi dan Budaya. tanggal 30 april 2008 di Universitas Hindu Indonesia Denpasar. ___________,2009. Ekonomi Spritual (Makalah). Denpasar: FE. Universitas Udayana. ___________,2010. Spiritual Economi Dalam Era Globalisasi Ekonomi. Makalah disampaikan pada Seminar Regional:Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal. Tanggal 11 Juni 2010 di Universitas Udayana Denpasar. Sukerti, Ni Nengah. 1989. ”Peranan Upacara Rajaswala dalam Manusia Yadnya di Kabupaten Klungkung” (skripsi). Institut Hindu Dharma. Denpasar. Sukirno, S.
2002. Pengantar Teori makroekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
___________,2004. Makro Ekonomi. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
281
___________,2008. Makro Ekonomi Modern. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafika Persada. ___________,2007. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar kebijakan. Jakarta: Prenada Media Group. Sulistyaningsih, E. 1997. ” Dampak Perubahan Struktur Ekonomi pada Struktur Kebutuhan Kualitas Tenaga Kerja di Indonesia 1980-1990. Pendekatan Input- Output” (disertasi). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sundrum, R. M. 1973. Consumer Expenditure Patterns: An Analysis of the Socioeconomics Surveys. Bulletin of Indonesia Economic Studies (IX) 1,pp. 86-106. Suparta. 2002. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia. Denpasar: Paramita. Suriastini, Ni Wayan. 2010. ”Bertahan Hidup di Tengah Krisis, Studi dampak Jangka pendek dan menengah Tragedi Bom Bali I 2002-2005” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas GajahMada Yogjakarta. Suyana Utama, Made. 2009. Statistika Ekonomi & Bisnis. Denpasar: Udayana University Press. Surayin Ida Ayu Putu. 2002. Dewa Yadnya. Denpasar: Upada Sastra. ___________,2002. Melangkah ke Arah Persiapan Upakara-Upacara Yadnya. Surabaya: Paramita. Sutomo,S.1989. Income, Food Consumption and Estimation of Energy and Protein Intake of Households: A Study Based on The 1975 and 1980. Indonesia Sosial Accounting Matrices 25: Hal. 57-72
Soetrisno. 1982. Welfare State dan Welfare Society Dalam Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Solimun. 2004. Multivariate Analysis Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos. Fakultas MIPA Universitas Brawijaya. Malang. Sovir. 2001. 108 Mutiara Weda. Surabaya: Paramita. Soebandi, Ketut. 1981. Pura Kawitan/Pedharmaan Kahyangan Jagat. Denpasar: Guna Agung.
282
Sura, I Gde. 2000. Tata Susila Hindu. Makalah disampaikan pada Penataran Dosen Agama Hindu. Denpasar. 6 s.d. 11 Oktober 2000. Suradi et. Al. 2003. Kehidupan Sosial Budaya Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Puslitbang Kesos. Suwindia, I Gede. 2008. Relasi Antar Agama dan Kekerasan Sosial Di Indonesia. Jurnal Agama Hindu Pangkaja. IHDNVol.VIII.No.2. IHDN Denpasar. Singgih S. 2005. Statistik Parametrik dengan SPSS, Jakarta: Elex Kompitindo. Syukur, M. 2000. “Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumah Tangga Miskin” (disertasi). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Syahza, A. 2004. Dampak Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Multiplier Effect Ekonomi Pedesaan di Daerah Riau.Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru. Skousen M, Sang Maestro. 2006. Teori-Teori Ekonomi Modern. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Prenada Media. Spiegel, H.W. 1996. The Growth of Economic Thought. Duke University Press. London, pp. 465-466. Schuller, T., Baron, S. Dan Field, J. 2000. Social Capital: A Review and Critique. Hal 1-138 dalam Barron, S., Field, J. Dan Schuller T. (eds), Social Capital: Critical Perspectives, Oxford University Press. Oxford. Schumacher, E.F. 1973. Small is Beautiful. London: Penguin. Smith, David dan Phill Evans. 2004. Das Kapital Pemula. Yogyakarta: Resist Book. Smith, J.P., D. Thomas, K.Beegle, E. Frankenberg and G. Teruel. 2002. Wages Employment and Economic Shocks: Evidence from Indonesia. Journal of Population Economics, 15: 161-93. Soegiri, H. 2011. Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Timur Kondusif, Dorong Penciptaan Peluang Kerja. Disnakertransduk Provinsi Jawa Timur. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis Vol 3. No.1. April 2012: 113-122. ISSN2087-1090. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta: CV Rajawali.
283
Soepono, P. 1993. Analisis Shift-Share: Perkembangan dan Penerapan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.8 No.1. Yogyakarta. Fakultas Ekonomi UGM. ___________,2001. Teori Pertumbuhan Berbasis Ekonomi (Ekspor): Posisi dan Sumbangannya bagi Perbendaharaan Alat-alat Analisis Regional. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.16 No.1 Yogyakarta. Fakultas Ekonomi UGM Soroso, Imam Zadjuli. 1992. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam. Pen.P3EI. FE. UII. dan Pen. Tiara Wacana Yogya. Sousa-Poza, A. Dan Henneberger, F. 2004. Analyzing Job Mobility with Job Turover Intentions: An International Comparative Study. Journal of Economic Sigue, 38(1): 113-137. Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. 2006. Bhagavadgita. Alih bahasa penerjemah The Bhaktivedanta Book Trust International, Inc. Stuart-Fox, David, J. 1987. “Pura Besakih A Sudy of Balinese Relegion and Society” (tesis), Australia: The Australian National University. ___________,987. Pura Besakih, Pura, Agama Dan Masyarakat Bali, (Terj.IB. Yadnya,2010), Denpasar: Pustaka Larasan. Steuart, Ian, 1998, An Investigation into the Relationship between Religion and Economic Development, manuscript. Stiglitz, Joseph E., Amartya Sen, an Jean-Paul Fitoussi. 2011. Mengukur Kesejahteraan Mengapa Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur Yang Tepat Untuk Menilai Kemajuan. (Mutiara Arumsari dan Fitri Bintang Timur, Pentj). Bintaro: Marjin Kiri. Swasono dan Sulistyaningsih. 1993. Pengembangan Sumberdaya Manusia: Konsepsi Makro untuk Pelaksanaan di Indonesia. Jakarta: Izufa Gempita. Taryoto, Andin H. 1995. Kemiskinan dan Program Penangulangan Lingkup Departeman Pertanian. Suatu Upaya Intropeksi. Proseding Pengembangan Hasil Pertanian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hal 481-489. Tawney, Richard H., 1926, Religion and the Rise of Capitalism. New York: Harper andRow.
284
Terry, George R. 1986. Guide to Management (Prinsip-Prinsip Manajemen). Jakarta: PT. Bumi Aksara. Turner, Bryn S. 1966. Relegion and Social Theory. London: SAGE Publication Ltd. Turner, Jonathan H. 1979. Functionalism. California: The Benjamin/Cumming Publishing Company. Titib, I Made. 2001. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya Badan Litbang Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Kerjasama dengan Paramita. ___________,2009. (1) Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita. ___________,2007. Sinergi Agama Hindu dan Budaya Bali. Makalah Disampaikan Dalam Seminar Internasional Sehari IHDN, Denpasar, 27 Maret 2007 ___________,2012. Makna Upacara Ngenteg Linggih. Materi dharma Wecana dalam Upacara Ngenteg Linggih di Pura Trihita Karana. Berlin Jerman. 5 Mei 2012 Todaro, M.P. dan Stephen, C.S. 2006. Pembangunan Ekonomi. Alih Bahasa.Drs.Haris Munandar,Ma; Puji,A.I.Penerbit:Erlangga. Jakarta. Thaler R.H., and Benartzi. 2004. Save More Tomorrow Using Behavioral Economic to Increace Employee Saving. Journal of Political Economy 112,pp. S164-S187. Triguna, Yuda Ida Bagus. 1994. Pergeseran dalam Pelaksanaan Agama: Menuju Tattwa. Dalam Dinamika Masyarakat dan kebudayaan Bali. I Gede Pitana (Ed.). Denpasar: Bali Post. hal.8. ___________,2000. Perubahan Sosial dan Respon Kultural Masyarakat Hindu Bali. Widya Satya Dharma. Jurnal Kajian Hindu Budaya dan Pembangunan. Singaraja: STIE Satya Dharma. ___________,2003. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali. (Dibia. Nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali). Denpasar: Widya Dharma. ___________,2011a. Strategi Hindu. Jakarta: Pustaka Jurnal Keluarga. ___________,2011b. Mengapa Bali Unik. Jakarta: Pustaka Jurnal Keluarga.
285
Tridimas,G. 2000. The Analysis of Consumer Demand in Greece Model Selection and Dynamic Specification. Economic Modelling 17: Hal. 455-471 Udjianto, D.W. 2007. Sektor basis dan Pertumbuhan Ekonomi di Sleman Yogyakarta. Ekonomi dan Bisnis, Vol.9 No.2. Surabaya. Progran Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE.Universitas Surabaya. Unwin, L. 1996. Employer-led Realities: Apprenticeship Past and Present. Journal of Vocational Education and Training,48,1,pp. 57-68. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Edisi Kedua. Jakarta: PT Bumi Aksara. Uppal, J.S., 1986, “Hinduism and Economic Development in South Asia,” International Journal of Social Economics, 13(3):20-33. Van de Walles, Dominiqui, 1988. On the Use of the Susenas for Modelling Consumer Behaviour. Bulletin of Indonesian Economic Studies 24: Hal 107-121 Vincent, Gaspersz. 1997. Manajemen Bisnis Total dalam Era Globalisasi. Jakarta:PT.Gramedia. http://www.kajianpustaka.com/2012/10/ teori-pengertian-proses-faktor-persepsi.html. Wadhwani, S. B. 1987. Some Macroeconomic Implications of profit Sharing: Some Empirical Evidence. Economic Journal.Vol.97: 171-83. Wallis, J. dan Dolery, B. 2002. Social Capital and Local Government Capacity. Australian Journal of Public Administration,61,3,pp. 76-85. Warde, A. Martens, L. Dan Oben, W. 1999. Consumption and the problem of variety: cultural comnivorousness, social distinction and dining out. Sociology,33,1,pp. 105-27. Warde, A. dan Tampubolon, G. 2002. Social Capital. Networks and leisure Consumption. Sociological review,50,2,pp. 155-80. Weber, Max, 1930, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. London, Unwin. Worrall, Heather. 1992. Comparison of Tourism Multiplier in Scotland and Tayside, Dundee Discussion Papers in Economics. Number 35, Departement of Economics and Management, University of Dundee, Dundee. United Nations Departement for Economic and Social Information and Policy.
286
Waspodo,T.S., Suhanadji. 2004. Modernisasi dan Globalisasi: Studi Pembangunan Dalam Perspektif Global. Malang: Insan Cendekia. Weale, M. 1990. Wealth Constraints and Consumer Behaviour Economic Modelling, April 1990:165-178. Wiana I Ketut. 1994. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta: Manik Geni. ___________,1994. Yajna dan Bhakti dari Sudut Pandang Hindu. Denpasar: PT. Pustaka Manik Geni. ___________,2002. Menegakkan Makna Upacara Yajna dalam Memelihara Tradisi Veda. Denpasar:Bali Post. ___________,2000. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu I. Surabaya: Paramita. ___________,2004. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu II. Surabaya: Paramita. Wietzman, M. L. 1983. Some Macroeconomic Implications of Alternative Compensation Systems. Economic Journal, Vol.93: 763-783. Widarjono, Agus. 2010. Analisis Statistik Multivariat Terapan. UPP STIM YKPN Wijanto, S.H. 2008. Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8.Konsep & Tutorial. Yogyakarta:Graha Ilmu. Wijaya, I Nyoman. 1991. Pembangunan dan Sosial Budaya Hindu. Perilaku Keagamaan Umat Hindu di Denpasar 1980-1991. Denpasar: Pustaka Sidhanta. Wijaya, K. 2012. ”Manajemen Karya Agung Panca Balikrama di Pura Besakih dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Besakih Kabupaten Karangasem Provinsi Bali”(disertasi). Program Pasca Sarjana Denpasar, Universitas Hindu Indonesia. Wijayananda, Ida Pinandita Mpu Jaya. 2005. Makna Filosofis Upacara dan Upakara. Surabaya: Paramita. ___________. 2006. Tatanan Upacara Ngenteg Linggih. Surabaya: Paramita. Wikarman S. I Nyoman. 1999. Melaspas dan Paramita.
Ngenteg Linggih. Surabaya:
287
Windia,W. 2007. Analisis Bisnis Yang Berlandaskan Tri Hita Karana, Wahana Edisi 55 tahun XXII, Agustus, Bukit Jimbaran IKAYANA. Wirawan B. Dan Sukardja P. 2012. Pemanfaatan Potensi Sosial Budaya dalam Pembangunan Derah Bali: Pokok-Pokok Perdesaan. Makalah disampaikan dalam rangka Seminar Analisis Kritis Pembangunan Bali, 15 Agustus 2012 di Universitas Udayana. Denpasar. Wiyana, I.B.Gede. 2012.Indik Karya Agung Mungkah dan Ngenteg Linggih http://ibgwiyasa.wordpress.com Diunduh 18 September 2012 Wiyasa, Putra, Ida Bagus. 1998. Upada Sastra.
Bali dalam Perspektif Global. Denpasar:
Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Toward A Theoretical Synthesis and Policy Framework. Journal of Theory and Society,27,pp. 151-208 (6/13/2009,6:23) White, M. D. 2007. Does Homo Economicus Have a Will. Mark D. In Barbara Montero and Mark D. White, Economics and the Mind, London: Routledge, 2007,pp. 143-158. Wyatt, Thomas, and Chay Yue Wah. 2001. Perseption of QWL.: a Study of Singaporean Employees Development. Management Memo.p.8-17. Yan Wang. 1995. Permanent Income and Wealth Accumulation A CrossSectional Study of Chinese Urban and Rural Households. Economic Development and Cultural Change.12:523-550. Yuliarmi, N. N. 2011. ”Peran Pemerintah, Lembaga Adat dan Modal Sosial dalam Pemberdayaan IKM (Studi pada Industri Kerajinan di Provinsi Bali)” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas. Malang. Yang, Shu-Cen and Cheng-Kiang Farn. 2009. Social Capital, Behavioral Control, andTacit knowledge sharing-A Multi-Informant Design. International Journal of Information Management 29,PP. 210-218. Yuga, Surgana Ibed. 2008. Bali Tanpa Bali. Denpasar: Panakom Publishing. Yu, Tony Fu-Lai. 2000. A New Perspective on the Role of the Government in Economic Development Coordination Under uncertainty. School of Economics and Management, University College, The University of New South wales, Canberra, Australia. International Journal of Economics 27,PP. 994-1012.
288
Yupardhi S.2013. Upakara Umat Hindu Bali Tradisi Yang Kaku, Hura-Hura dan Tidak Mendidik. Wahana. Edisi No.83.TH.XXIX Agustus 2013. ISSN:0853-4588 Zam, S. 2002. Penentuan Subsektor Unggulan untuk Pembangunan Ekonomi Kota Pekanbaru. (tesis) Tidak dipublikasikan. Yogyakarta Zin, Razali Mat. 2004. Perception of Professional Engineers Toward Quality of Work Life and Organizational Commitment. Gadjahmada International Journal of Business. Vol.6.No.3.p.323-334. Zoetmulder, P.J. 2000. Kamus Jawa Kuno. Pen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Lampiran 1
Questioner Penelitian disertasi dengan judul KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG
NI NYOMAN SUNARIANI NIM:1090671012
PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012
289
290
Pengempon Pura Petunjuk Pengisian:
1. Pada kolom isian: Isilah dengan benar dan jujur 2. Pada kolom pilihan: coret yang tidak sesuai dengan kenyataan
Uraian
BLOK I KETERANGAN PETUGAS Pencacahan
1. Nama Petugas 2. No. Responden 3. Tanggal Wawancara 4. Tanda Tangan
BLOK II I.
PROFIL RESPONDEN PENGEMPON PURA
Identitas Pengempon Pura 1. Nama Kepala Rumah Tangga (KRT) : ................................................ ........... 2. Jenis Kelamin : laki-laki (1) perempuan (2) 3. Umur
: .................tahun (dibulatkan kebawah)
4. Pendidikan 5.
: Tamat SD/SLTP/SLTA/Deploma/ S1atau lebih
5. Pekerjaan 6. Kabupaten/ Provinsi
: .............................................................. : Badung/ Bali
7. Desa/Kecamatan
: Desa Abiansemal /Abiansemal
8. Banjar/Dusun/Lingkungan
: Keraman / Aseman / Banjaran
9. Banyak Anggota Rumah Tangga (ART): .............................................Orang 10. Luas lahan yang dimiliki :............................................................................are
291
II. Karakteristik Rumah Tangga Pengempon Pura Untuk Pewawancara: 1. Tanyakanlah terlebih dahulu nama-nama Anggota Rumah Tangga (ART). 2. Kedudukan dan hubungannya dengan Kepala Rumah Tangga (KRT) setelah semua ART tercatat pada kolom 2 dan tulis nomer pilihan hubungannya dengan kolom-kolom seterusnya. No
Nama ART
Hub dg KRT
Jenis Kel L/P
Umur (Th)
Status Pendi dikan
(1) 1 2 3 4 5 6 7
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Pekerjaan Total Pendpt Rp/ bln (8) (11)
Total Pengelur /Rp/ bln (12)
Keterangan Kolom (3): 1. Kepala RT, 2. Istri/Suami, 3. Anak kandung, 4. Anak Angkat, 5. Ibu/Bapak Kandung, 6. Menantu, 7. Cucu, 8. Saudara Kandung, 9. Keluarga lain, 10. Pembantu RT, 11. Orang lain Kolom (6): 1. Kawin. 2. Belum Kawin. 3. Janda/Duda Kolom (7):
1. Belum/sedang sekolah 2. Tamat SD/sederajat 3. Tamat SLTP/sederajat 4. Tamat SLTAsederajat
5. Tamat D-1 s.d. D-3c 6. Tamat S-1/sederajat
Kolom(8):
1.Petani, 2. Buruh/Tukang, 3. Peternak, 4.Pengerajin bambu/industri rumah tangga/Dagang, 5. PNS, 6. Peg.Swasta, 7. Dokter, 8.Bidan, 9.Perawat, 10.Montir, 11.Pembantu RT, 12. Peg.BUMN, 13.TNI, 14. POLRI, 15. Seniman, 16.Pengacara, 17.Notaris, 18.Dosen, 19. Arsitektur, 20.Pensiunan.
Petunjuk Pengisian: 1. Responden pada kolom isian: Isilah jawaban dengan benar dan jujur 2. Responden dapat mengisikan tanda ( ) pada blok yang tersedia sesuai dengan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr pilih.
3) BLOK III. INFORMASI DATA ORDINAL Jawablah berdasarkan manfaat Sosial-Budaya-Ekonomi dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, 20 April 2012, Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung (pada bulan penelitian).
No
Tingkat Penilaian Jawaban Responden
Pertanyaan 1 STS/B
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Manfaat Sosial Saya memahami makna kepercayaan dan keyakinan berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami manfaat makna Mlaspas dan Ngenteg Linggih berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna mecaru berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna melis berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna nyegara gunung berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna banten berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna labda karya berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna kehidupan sosial berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna gotong royong berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna iuran pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna bahan-bahan ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual
12
Saya memahami makna pengeluaran ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual
13
Saya memahami makna perubahan sikap berusaha berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna multiplier effect berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna perubahan sikap berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Manfaat Budaya
14 15
16 17
Saya memahami makna kepercayaan dan keyakinan berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami manfaat makna Mlaspas dan Ngenteg Linggih berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
18
Saya memahami makna mecaru berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
19
Saya memahami makna melis berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna nyegara gunung berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
20 21
Saya memahami makna banten berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
292
2 TS/B
3 CS/B
4 S/B
5 SS/B
293
22 23 24 25 26 27 28 29 30
31 32 33 34 35 36
37 38 39 40 41 42 43 44 45
Saya memahami makna labda karya berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna kehidupan sosial berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna gotong royong berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna iuran pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna bahan-bahan ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna pengeluaran ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna perubahan sikap berusaha berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna multiplier effect berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna perubahan sikap berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Manfaat Ekonomi Saya memahami makna kepercayaan dan keyakinan berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami manfaat makna Mlaspas dan Ngenteg Linggih berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna mecaru berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna melis berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna nyegara gunung berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna banten berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna labda karya berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna kehidupan sosial berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Saya memahami makna gotong royong berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna iuran pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna bahan-bahan ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna pengeluaran ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna perubahan sikap berusaha berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna multiplier effect berkenaan dengan pelaksanaan ritual Saya memahami makna perubahan sikap berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
Keterangan: Skor 1 = Sangat Tidak Baik/Setuju (STB/S) Skor 2 = Tidak Baik/Setuju (TB/S) Skor 3 = Cukup Baik/Setuju (CB/S) Skor 4 = Baik/Setuju (B/S) Skor 5 = Sangat Baik/Setuju (SB/S)
294
Petunjuk Pengisian esponden: 1. Untuk pertanyaan yang sudah disediakan pilihan jawabannya, berikan tanda () sesuai dengan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr yakini. 2. Jawablah pertanyaan berikut ini dengan cara mengisi pada titik-titik yang tersedia.
6) BLOK IV. INFORMASI DATA ORDINAL RESPONDEN PENGEMPON PURA Pelaksanaan Ritual (X), Kesempatan Kerja (Y1), dan Kesejahteraan Masyarakat (Y2)
No
Pertanyaan
A. Pelaksanaan Ritual (X) 1 2
3
4 5
6
7
8
9
10 11 12
Saya memahami makna labda karya artinya kesuksesan, kelancaran dalam pelaksanaan ritual Saya memahami ketulusiklasan masyarakat pengempon pura sebagai panitia/prawartaka karya dalam pelaksanaan ritual Saya memahami keharmonisan/ketentraman sesama pengempon pura untuk bergotongroyong dalam pelaksanaan ritual Saya memahami waktu yang dicurahkan oleh pengempon pura dalam pelaksanaan ritual Saya memahami kemudahan untuk mendapatkan bahanbahan ritual di sekitar lokasi ritual Abiansemal B. Kesempatan Kerja (Y1) Saya memahami keterkaitan bidang pekerjaan responden pelaksanaan ritual, misalnya usaha dagang bahan-bahan ritual Saya memahami status pekerjaan responden dalam melakukan pekerjaan dari berusaha sendiri sampai dengan dibantu/memperkerjakan orang lain Saya memahami curahan jam responden dalam mengerjakan pekerjaan, misalnya semakin lama jumlah jam kerja maka semakin baik pendapatan Saya memahami kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai dengan permanen, misalnya dalam usaha dagang bahan ritual. C Kesejahteraan Masyarakat (Y2) Saya memahami peningkatan pendapatan riil keluarga responden yang siap dikonsumsi/dibelanjakan Saya memahami peningkatan pendidikan keluarga responden terakhir yang ditamatkan
Saya memahami peningkatan derajat kesehatan keluarga responden, misalnya semakin sehat maka semakin rendah frekuensi berobat 13 Saya memahami keharmonisan, ketentraman, dan saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluarga pengempon pura, dan antar banjar/masyarakat desa. Keterangan: Skor 1 = Sangat Tidak Baik/Setuju (STB/S), Skor 2 = Tidak Baik/Setuju (TB/S) Skor 3 = Cukup Baik/Setuju (CB/S), Skor 4 = Baik/Setuju (B/S), Skor 5 = Sangat Baik/Setuju (SB/S)
Tingkat Penilaian Jawaban Responden 1 2 3 4 5 STB/S TB/S CB/S B/S SB/S
No 1
2
3
4 5
6
7
8 9
10 11
12
13
14
Petanyaan Berapa jam lama waktu ngayah per hari laki-laki dan perempuan berkenaan dengan pelaksanaan ritual? Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan pekerjaa sebagai pegawai/karyawan? Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan pekerjaan rumah tangga? Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan usaha? Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan pekerjaan sebagai petani? Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan kegiatan adat istiadat ? Dari mana saja sumber bahan-bahan ritual yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan ritual? Bagaimana perkembangan harga bahan-bahan ritual? Dari sekian banyak bahan –bahan yang diperlukan dalam ritual ini, mana bahan yang dianggap sulit diperoleh dalam ritual ini? Berapa pendapatan rumah tangga akibat pelaksanaan ritual? Berapa pengeluaran umum dan pengeluaran ritual tingkat rumah tangga selama pelaksanaan ritual? Bagaimana system kekerabatan/ kekeluargaan diantara pengempon pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual? Bagaimana interaksi sosial-budaya antara pengempon pura dengan masyarakat ? Bagaimana implikasi kehidupan sehari-hari masyarakat pengempon pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual?
Jawaban Laki-laki .................................................... jam Perempuan............................................ ........jam ...........................................................................
............................................................................... ............................................................................ ................................................................................
...........................................................................
......................................................................... ..............................................................................
.............................................................................
Rp.................................................................... Rp ............................Rp.......................................
.........................................................................
...........................................................................
............................................................................
SEKIAN TERIMAKASIH
295
296
BLOK I KETERANGAN PETUGAS Pencacahan
Uraian
3.
Nama Petugas
4.
No. Responden
3.Tanggal Wawancara
5. Tanda Tangan
BLOK II
PROFIL RESPONDEN PEMASOK
Identitas Pemasok Bahan Ritual:..........................................................................
a.
Nama
: ................................................
b.
Jenis Kelamin
: laki-laki (1)
c.
Umur
d.
Pendidikan
: Tamat SD/SLTP/SLTA/Deploma/S1atau lebih
e.
Usia Usaha Pemasok
: .................tahun
f.
Alamat Usaha
: .....................................................................
g.
Pekerjaan
: ...........................
h.
Kabupaten/ Provinsi
: ........................./ Bali
i.
Desa/Kecamatan
: Desa............................. / .......................
j.
Banyak Anggota Rumah Tangga : .............................................Orang
perempuan (2)
: .................tahun (dibulatkan kebawah)
297
Petunjuk Pengisian Bagi Responden: 1. Untuk pertanyaan yang sudah disediakan pilihan jawabannya, berikan tanda () sesuai dengan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr yakini. 2. Jawablah pertanyaan berikut ini dengan cara mengisi pada titik-titik yang tersedia. BLOK V. INFORMASI DATA ORDINAL RESPONDEN PEMASOK BAHAN RITUAL Pelaksanaan Ritual (X), Kesempatan Kerja (Y1), dan Kesejahteraan Masyarakat (Y2) dalam bulan penelitian. Tingkat Penilaian Jawaban Responden No Pertanyaan 1 2 3 4 5 STB/ TB/S CB/ B/S SB/S S S A. Pelaksanaan Ritual (X) 1 Saya memahami makna labda karya artinya kesuksesan, kelancaran dalam pelaksanaan ritual 2 Saya memahami ketulusiklasan masyarakat pengempon pura sebagai panitia/prawartaka karya dalam pelaksanaan ritual 3 4 5
6 7 8 9
10
Saya memahami keharmonisan/ketentraman sesama pengempon pura untuk bergotongroyong dalam pelaksanaan ritual Saya memahami waktu yang dicurahkan oleh pengempon pura dalam pelaksanaan ritual Saya memahami kemudahan untuk mendapatkan bahan-bahan ritual di sekitar lokasi ritual Abiansemal B. Kesempatan Kerja (Y1) Saya memahami keterkaitan bidang pekerjaan responden pelaksanaan ritual, misalnya usaha dagang bahan-bahan ritual Saya memahami status pekerjaan responden dalam melakukan pekerjaan dari berusaha sendiri sampai dengan dibantu/memperkerjakan orang lain Saya memahami curahan jam responden dalam mengerjakan pekerjaan, misalnya semakin lama jumlah jam kerja maka semakin baik pendapatan Saya memahami kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai dengan permanen, misalnya dalam usaha dagang bahan ritual. C Kesejahteraan Masyarakat (Y2) Saya memahami peningkatan pendapatan riil keluarga responden yang siap dikonsumsi/dibelanjakan
11
Saya memahami peningkatan terakhir yang ditamatkan
12
Saya memahami peningkatan derajat kesehatan keluarga responden, misalnya semakin sehat maka semakin rendah frekuensi berobat Saya memahami keharmonisan, ketentraman, dan saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluarga pengempon pura, dan antar banjar/masyarakat desa.
13
pendidikan keluarga responden
298
Keterangan: Skor 1 = Sangat Tidak Baik/Setuju (STB/S) Skor 2 = Tidak Baik/Setuju (TB/S) Skor 3 = Cukup Baik/Setuju (CB/S) Skor 4 = Baik/Setuju (B/S) Skor 5 = Sangat Baik/Setuju (SB/S)
No 1
2
3
4
5 6 7
8 9
10 11
12
13
14
Petanyaan Berapa jam bekerja setiap hari sebagai pemasok bahan-bahan ritual? Dalam sebulan berapa hari bekerja?
Jawaban .................................................................... ........jam
............................................................................hari
Berapa jumlah tenaga kerja yang ikut membantu sebagai ............................................................................orang pemasok? Bagaimana cara mengatur waktu antara rumah tangga dengan ................................................................................. usaha? Bagaimana cara mengatur waktu ................................................................................... antara adat dengan usaha? Bagaimana cara/sistem ....................................................................................... memperoleh bahan-bahan ritual? Dari mana saja sumber-sumber bahan ritual yang dijual selama ................................................................................. ini? Bagaimana perkembangan harga ................................................................................. bahan-bahan ritual? Dari sekian banyak bahan – bahan ritual yang dijual, mana ................................................................................. bahan yang dianggap sulit diperoleh sebagai pemasok? Berapa rata-rata omset penjualan Rp.................................................................................. per bulan? Berapa rata-rata pendapatan per bulan? Rp................................................................................. Berapa rata-rata pengeluaran per bulan?
Rp.............................................................................
Bagaimana interaksi sosialekonomi antara pemasok ................................................................................. dengan pengempon pura? Bagaimana implikasi kehidupan ............................................................................... sehari-hari pemasok ? SEKIAN TERIMAKASIH
299
Lampiran 2
DUDONAN KARYA MLASPAS, MUPUK PEDAGINGAN, NGENTEG LINGGIH, MAPEDUDUSAN ALIT, WARASPATI KALPA RING PURA PASEK PRETEKA BR. KERAMAN, DESA ABIANSEMAL, KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNG, TGL: 20 APRIL 2012 NO 1
2
3
4
RAHINA Buda Kliwon, 7 Maret 2012 Redite Wage 11 Maret 2012 SomaUma nis, 2 April 2012 Sukra Kliwon, 6 April 2012
DAUH GENAH 19.00 Pura
UPACARA Nunas Ica
UPAKARA Munggah: Pras daksina
PEMUPUT Pemangku Pura Pasek
WALI -
15.00
Pura
Ngawit nanceb salon
Pengulapan cenik, Prasista
Pemangku Pura Pasek
-
14.0 0
Pura
Netegang/ Melaspas Wewangunan
Pura
Nunas Tirta: Pura Tirta Empul Tampaksiring, Pura Sidekarya Denpasar, Pura Puncak Lempuyang Karangasem, Pura Blatung Ds Rendang Karangasem, Pura Besakih, Pura Dasar Buana , Pura Gegel Klungkung, Pura Silayuti Padang Bay, Pura Kahyangan Tiga, Pura Taman Sari Ds Abiansemal. 1.Ngingsah 2.Mendak Pengenteg
Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman, Abiansemal Pemangku Pura Pasek
Blaganjur
08.0 0
Surya, Ring Ajeng: Pregembal, Bebangkit grombong Daksina gede, Pengulapan pengambean
Surya, Ring Ajeng: pregembal 2 soroh, ayaban, pengulapan 2 soroh Surya, Ring Ajeng: Bebangkit grombong, Caru siap lima, caru Rsi Gana
Ida Pedanda Griya Agung, Br. Aseman, Abiansemal
Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman, Abiansemal
Gong negak Br Keraman,Blaga njur,Tari Rejang Dewa, Tari Sutri
Surya, Ring Ajeng: Bebangkit grombong, Caru siap lima, Daksina gede, bebek selem,Catur,Pis Satakan
Ida Pedanda Griya Samping, Br Keraman, Abiansemal
Gong negak Br Keraman Blaganjur, Tari Rejang Dewa
5
Saniscara Umanis, 7 April 2012
08.00 17.0 0
Pura
6
Redite Paing, 8 April 2012
08.0 0
Pura
7
Soma Pon, 9 April 2012
07.0 0
Pura
1.Mecaru Rsi Gana, 2.Nyimpen/ Mulang Pedagingan 3.Mendak Siwi 1.Melasti ring segara Seseh,
2.Mendak Agung, 3.Mecaru siap Lima
Ida Pedanda Griya Lebah
-
Blaganjur
300
8
Buda Kliwon, 11 April 2012
15.00
Pura
Mepada Wewalungan
Surya, Ajeng: pregembal
Ring
9
Waraspat i Umanis, 12 April 2012 Sukra Paing, 13 April 2012
15.00
Pura
Surya, Ajeng: pregembal
Ring
07.00
Pura
1.Mebat, Caru 2.Memben Caru Mecaru Gede (Tawur)
Anggara 08.00Umanis, 17.00 17 April 2012 Buda 07.00 Paing, 18 16.0 April 0 2012 Warespati 07.00 Pon, 16.0 19 April 0 2012
Pura
Ngayah
Pura
1.Mebat 2.Mepada Karya
Surya ajeng, pregembal
Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman.
Pura
1.Mebat 2.Memben Karya
Surya ajeng, pregembal
Ida Pedanda Griya Kajeng, Br Keraman
Puncak Karya
-Di panggung pura: bebangkit cagak 1, bebangkit grombong1.
1. Ida Pedanda Griya Agung (SIWA), Br Aseman.
-Di Padma: Pregembal 3. -Di Ratu Nyoman: pregembal. -Di Bale Pelik: munggah catur. -Di Bale Kulkul: pregembal. -Di Sor Piodalan: bebangkit grombong, caru
2. Ida Pedanda Griya BUDA Tegal Jadi, Tabanan. 3. Ida Pedanda Griya Jumpayah, Mengwitani, Badung.
10
11
12
13
14
Sukra Wage 20 April 2012
07.00
Pura
Dasar: siap limaKangin, AngsaKauh, KambingKaje, Celeng SelemKelod bebek bulu gulaTengah, banyakKelod kangin, bebek bulu sikepkelod kauh, cicing-Pemali 5 di Tawur. Panggung ring jabe: bebangkit cagak 1, catur 1, Sor Surya: bebangkit grombong, caru siap lima, bebek putih. Ring Pedudusan: caru,bebangkit cagak, bebangkit grombong. Ring Ajeng Ratu: bebangkit grombong. -
Ida Pedanda Griya Jumpayah, Mengwitani, Badung Ida Pedanda Griya Kajeng, Br Keraman, Abiansemal 1. Ida Pedanda Griya Agung (SIWA), Br Aseman. 2. Ida Pedanda Griya BUDA Tegal Jadi, Tabanan 3. Sri Bujangga Griya Sembung,Meng wi
Gong Alit Br.Aseman Abiansemal
Pengempon Pura LanangIstri.
-
Blaganjur
1.Wayang Lemah, Griya Meranggi Br.Beten Buah. 2.Tari Baris Gede, Br.Beten Buah. 3.Tari Topeng,Griya Dalang Br.Banjaran. 4.Tari Sutri Br.Keraman Pura Pasek. 5.Tari Rejang Dewa: anak Pura Pasek. 6. Gong Gede Br Banjaran, Gong negak Br.Aseman. 7.Tukang Kidung Br. Aseman 8.Tabuh Rah tiga seet.
Blaganjur Keraman
Br.
Gong Negak Alit, Br Aseman Abiansemal 1.Wayang Lemah, Griya Meranggi Br.Beten Buah. 2.Tari Topeng,Griya Dalang Br.Banjaran. 3.Tari Sutri Br.Keraman Pura Pasek. 4.Tari Rejang Dewa: anak Pura Pasek. 5. Gong Gede Br Banjaran. 6.Tukang
301
siap lima, bebek blang kalung.
Kidung Br. Aseman 7.Pendet Lanang-Istri, 8.Megoya 1.Tari Panyebrama 2.Tari Sekar Jagat 3.Tari Cilinaya 4.Tari Blibis 5.Tari Condong 6.Oleg Temblilingan. 7.Gong Negak Br.Aseman Prembon Gong Kokar (Tari Topeng Jauk, Barong, Tari Sisiye, Galuh, Ratna mengali, tari penasar). Blaganjur Br.Perang.
15
Saniscara Kliwon, 21 April 2012
19.00
Pura
Nganyarin
-
Pemangku Pura Pasek
16
Redite Umanis, 22 April 2012
19.00
Pura
Nganyarin
-
Pemangku Pura Pasek
17
Soma Paing, 23 April 2012
14.00
Pura
1. 2. 3. 4.
18
Anggara Pon, 24 April 2012 Buda Wage, 25 April 2012 Warespat i Kliwon, 26 April 2012
19.00
Pura
Nganyarin
-
19.00
Pura
Nganyarin
-
Pemangku Pura Pasek
07.00
Pura
Nyegara Gunung
1.Ring Mumbul, Blahkiuh: daksine gede 3, daksine cenik 10. 2.Ring Bukit Sari,Sangeh: pregembal 2, Ayaban, Prasdaksine, pengulapan. -Di panggung pura: bebangkit grombong1. -Di Ajeng: bebangkit grombong1
1.Pemangku Pura Mumbul Blahkiuh.
Blaganjur Keraman
Br.
3. Pemangku Pura Pasek.
Blaganjur Keraman
Br.
Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman.
Gong Istri Br,Keraman.
19
20
21
Sukra Umanis, 27 April 2012
14.00
Pura
Nyeduk Mekebat daun Ngebek Bangun Ayu
Nyineb
-Bebangkit grombong 3 -Ayaban Tumpeng 7.
Ida Pedanda Griya Jumpayah, Mengwitani, Badung. Pemangku Pura Pasek
Abiansemal, 1 Pebruari 2012 Ketua,
I NYOMAN SUBUR
Sekretaris
NI MADE ROTINI
Wayang
Joged
302
Lampiran 3 Data Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pra Riset No.
Pelaksan Ritual (PR)
Kesempatan Kerja (KK)
Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Resp
pr1
pr2
pr3
pr4
pr5
kk.1
kk.2
kk.3
kk.4
km.1
km.2
km.3
km.4
1
4
5
5
4
4
3
4
4
3
4
4
5
5
2
5
4
5
4
3
3
4
4
3
2
4
3
4
3
4
4
5
4
3
3
4
5
4
2
4
4
5
4
5
4
5
4
4
3
4
4
4
3
4
4
5
5
4
4
5
5
3
3
4
4
3
2
4
4
5
6
5
4
5
4
4
4
4
4
3
3
4
4
5
7
5
4
5
4
3
4
4
4
3
2
4
4
4
8
5
4
5
5
3
4
4
3
3
2
4
4
5
9
4
4
5
4
3
3
4
4
4
3
4
4
5
10
5
4
5
4
4
4
4
3
4
4
4
3
5
11
5
4
5
4
4
3
4
4
4
2
4
4
5
12
4
5
5
5
4
4
4
5
4
3
5
4
5
13
5
4
5
4
4
3
4
4
3
2
4
4
5
14
4
4
5
4
4
3
4
4
3
2
4
4
5
15
5
4
4
4
3
3
5
4
3
3
5
3
4
16
5
4
5
4
3
4
4
4
4
2
4
4
5
17
4
4
5
4
3
3
5
4
3
3
4
5
5
18
4
5
4
4
4
4
4
4
4
2
4
4
5
19
4
4
5
4
3
3
4
5
4
2
4
4
4
20
5
4
5
4
4
3
4
4
4
3
5
4
5
21
4
4
5
4
4
4
4
4
3
3
5
4
4
22
5
4
5
4
3
3
4
5
4
2
4
4
5
23
5
4
4
4
3
3
4
4
3
3
4
5
4
24
4
5
5
4
3
3
4
4
4
3
4
4
4
25
5
4
4
4
4
3
5
4
3
3
5
4
5
26
4
3
3
3
5
4
4
4
5
5
4
4
3
27
3
3
3
3
4
4
5
4
4
4
4
4
4
28
4
3
3
3
5
5
5
5
4
4
5
4
4
29
4
3
3
3
4
4
5
4
4
5
5
4
3
30
4
4
3
3
4
5
4
5
5
4
4
5
3
Sumber: Data Primer Hasil Pnelitian, 2012
303
Lampiran 4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pelaksanaan Ritual (X) Case Processing Summary N % Valid 30 100,0 a Cases Excluded 0 ,0 Total 30 100,0 a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's N of Items Alpha ,758 5
Item-Total Statistics Scale Corrected Cronbach's Variance if Item-Total Alpha if Item Correlation Item Deleted Deleted 16,80 3,269 ,356 ,771 17,23 3,082 ,524 ,716 16,70 2,079 ,733 ,628 17,30 2,700 ,790 ,627 16,90 3,541 ,306 ,779
Scale Mean if Item Deleted pr1 pr2 pr3 pr4 pr5
304
Lampiran 5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kesempatan Kerja (Y1) Case Processing Summary N % Valid 30 100,0 a Cases Excluded 0 ,0 Total 30 100,0 a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's N of Items Alpha ,660 4
kk1 kk2 kk3 kk4
Item-Total Statistics Scale Mean Scale Corrected Cronbach's if Item Variance if Item-Total Alpha if Deleted Item Correlation Item Deleted Deleted 11,97 1,275 ,501 ,560 11,53 2,051 ,323 ,664 11,47 1,775 ,486 ,577 11,93 1,375 ,515 ,539
305
Lampiran 6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kesejahteraan Masyarakat (Y2) Case Processing Summary N % Valid 30 100,0 a Cases Excluded 0 ,0 Total 30 100,0 a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's N of Items Alpha ,752 4
Item-Total Statistics Scale Corrected Cronbach's Variance if Item-Total Alpha if Item Correlation Item Deleted Deleted 12,80 1,890 ,633 ,648 12,83 2,764 ,423 ,756 12,87 2,533 ,513 ,715 12,50 2,052 ,653 ,632
Scale Mean if Item Deleted km1 km2 km3 km4
306
Lampiran 7 Identitas Responden Pengemon Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal Kabupaten Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian) No
Pengempon Pura
Jenis Klm
Umur (Th)
Pddk
Pekerjaan
Pendpt RT/Y (Rp juta) 4,20 4,60 4,50 5,20 5,60 5,50 4,40 4,50 6,40 5,20 6,50 5,20 4,60 4,20 4,10 4,20 4,50 4,10 4,50 4,40 4,50 4,20 4,50 4,30 4,60 4,90 4,50 4,30 4,50 4,50 4,50 4,60 4,50 4,20 4,30 7,60 4,40 4,50 4,30 4,50 4,50 4,40 4,20 4,40 5,80 4,20 4,40 5,60 4,20 4,10 4,30 4,10 4,60
Pengeluar Umum/C1 (Rp juta)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Nyoman Griya Made Sujana Wayan Parek Wayan Wiyana Nyoman Wirayana Wayan Bagiastra I Nyoman Subur Made Jiopani Wayan Gendra Wayan Purna Wayan Murya Nyoman Bagia Pt.Herman Suryadi Wayan Sumadi Nengah Tantera Wayan Marayasa Made Saskara Wayan Loka Ketut Marya Nyoman Suarta Ketut Sikajaya Made Kartu Wayan Sudana Made Pania Wyn Latera Nyoman Todjan Ketut Windra Made Arianta Ketut Budastra Nyoman Dana Nyoman Jingga Wyn Suartawan Made Arka Wayan Suardana Ktut Jabra Wyn Wirawan Made Sukera Ketut Gede Arianta Ketut Nike Made Winata Wayan Mustika Pt Mujana Made Sura Pt Suratmaja Wayan Suka I Md Sukarta Gd Widya Santana Wayan Krisna Made Suarjana Wayan Lodra Wayan Gryawan Ketut Patra Nym Suyana Made Wartana
laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki
60 35 63 35 29 43 55 28 44 43 49 48 28 45 43 29 30 70 66 55 38 64 41 68 35 57 50 32 41 65 60 31 51 38 60 37 37 23 55 33 55 35 60 27 43 57 35 45 44 48 60 60 34 38
SMP SMA SD SMA SMA SMA SD SMA SMA SMP SMA SMA D3 SD SD SMP SMP SD SD SD SMP SD SMP SD SMP SMA SMP SD SMA SD SD SMP SD SMA SD SMA SMP SMP SD SMA SD SMA SD SMA SMA SD SMA D3 SD SD SD SD SMA SMA
Petani Pengg Peg.Swasta Petani Pengg Wiras/Dag PNS Wiras/Dag Buruh Peg.Swasta Peg.Swasta Peg.Swasta PNS PNS Peg.Swasta Buruh Buruh Buruh Peg.Swasta Petani Pengg Wiras/Dag Wira/Dag Wiras/Dag Petani Pengg Wiras/Dag Wiras/Dag Wiras/Dag PNS Peg.Swasta Wiras/Dag Peg.Swasta Wira/Dag Buruh Wiras/Dag Peg.Swasta Buruh Buruh Wiras/Dag Peg.Swasta Peg.Swasta Petani Pengg Peg.Swasta Petani Pengg Peg.Swasta Petani Pengg Peg.Swasta PNS Wiras/Dag Peg Swasta PNS Buruh Buruh Buruh Petani Pengg Peg.Swasta Peg.Swasta
5,20
2,90
2,30 2,20 2,20 2,50 3,20 2,50 2,20 2,20 3,50 2,50 3,20 2,50 2,20 2,20 2,10 2,10 2,10 2,10 2,20 2,20 2,30 2,10 2,20 2,20 2,20 2,30 2,20 2,10 2,20 2,20 2,20 2,20 2,20 2,10 2,10 3,50 2,20 2,20 2,10 2,20 2,20 2,20 2,10 2,10 2,50 2,10 2,10 2,20 2,10 2,10 2,10 2,10 2,20 2,30
55
Wayan Arsana
laki-laki
35
SMP
Wiras/Dag
4,50
2,20
2,20
56
Ketut Ngakan Yasa
laki-laki
30
SMA
Peg,Swasta
4,80
2,60
2,20
57
I Wayan Suarta
laki-laki
46
SMA
PNS
Made Sudarsana Wayan Jawi
laki-laki laki-laki
33 50
SMA SMP
Peg.Swasta Wiras/Dag
5,40 5,20
2,90 2,90
2,40
58 59
4,50
2,30
2,20 2,20
60
Made Dwijaya
laki-laki
25
SMA
Wira/Dag
5,40
3,10
2,30
61
Made Sukadana
laki-laki
38
SMA
Peg swasta
4,60
2,40
2,20
62
Ketut Sada
laki-laki
60
SD
Petani Pengg
4,20
2,10
2,10
63
Made Sudirta
laki-laki
37
SMA
PNS
4,50
2,.30
2,20
1,90 2,30 2,10 2,20 2,20 2,60 2,10 2,10 2,60 2,50 3,10 2,50 2,30 2,00 2,00 2,10 2,10 2,00 2,20 2,10 2,10 2,00 2,20 2,00 2,20 2,50 2,20 2,20 2,20 2,30 2,20 2,30 2,20 2,00 2,10 3,50 2,10 2,30 2,20 2,20 2,20 2,10 2,10 2,20 3,20 2,10 2,30 3,20 2,10 2,00 2,20 2,00 2,50
Pengeluar Ritual/C1 (Rp juta)
307
64
Nyoman Gurya
laki-laki
42
SMP
Wiras/Dag
4,40
2,30
2,10
65
Wayan Seneng
laki-laki
36
SMP
Wiras/Dag.
5,50
3,10
2,40
66 67
Md D.Wiarta Kt Tapayasa
laki-laki laki-laki
48 52
S1 S1
PNS/guru PNS/guru
6,50
3,20
6,60
3,40
2,50 2,50
68
Md Adi Gegel S.
laki-laki
47
S1
PNS
6,50
3,50
2,50
69
Md Yuwana
laki-laki
47
SMA
Peg Swasta
5,50
3,00
2,50
70
Md Suadnyana
laki-laki
36
S1
Peg.Swasta
5,50
2,60
2,50
71
Wyn Sumantera
laki-laki
70
SD
Wiras/Dag
5,60
3,10
2,50
72
Putu Nata
laki-laki
40
SMA
Peg.Swasta
5,40
3,10
2,20
73
Wyn Sutrisna
laki-laki
46
SMA
Wiras/Dag
4,80
2,40
2,20
74
Wyn Lanus
laki-laki
55
SD
Petani
Wyn Darma
laki-laki
46
SMA
Peg.Swasta
2,30 2,50
2,20
75
4,60 4,70
76
Nym Suarka
laki-laki
39
SMK
Peg.Swasta
4,60
2,40
2,20
77
Md Suana
laki-laki
46
SMP
Buruh
4,80
2,50
2,20
78
Nym Medra Tenaya
laki-laki
46
SMA
Peg.Swasta
4,80
2,60
2,20
79
Wyn Puger
laki-laki
50
D3
Peg.Swasta
5,10
2,80
2,20
80
Wyn Suteja
laki-laki
48
SD
Wira/Dag
5,20
2,90
2,20
81
Wyn Surata
laki-laki
48
SD
Petani
4,60
2,20
2,10
82
Md Sunarya
laki-laki
30
SMP
Petani
4,50
2,30
2,20
83
WynTumbuh
laki-laki
50
SMP
Petani
4.40
2,30
2,10
84
Wyn Pasek
laki-laki
49
SMP
Petani
4,60
2,40
2,10
85
Wyn Sriadi
laki-laki
56
SD
Petani
4,50
2,30
2,20
86
Md Sulasih
laki-laki
45
SMP
Petani
WynLeseg Md Jabri
laki-laki laki-laki
58 55
SD SD
Petani Petani
1,90 2,10
2,10
87 88
4,00 4,20 4,10
2,00
2,10 2,10
89
Wyn Kerta
laki-laki
46
SD
Petani
4,40
2,20
2,20
90
Wyn Widiana
laki-laki
50
SMP
Wiras/Dag
4,40
2,30
2,10
91
Md Darma
laki-laki
58
SD
Wiras/Dag
4,80
2,60
2,20
92 93
Nym Werna Wyn Lasmana
laki-laki laki-laki
46 59
SMP SD
Wiras/Dag Petani
5,00
2,90
4,10
2,00
2,10 2,10
94
Wyn Lama
laki-laki
55
SD
Petani
4,60
2,50
2,10
95
MD Menuh
laki-laki
61
SD
Petani
4,30
2,20
2,10
96
dr. Pt Purna Dinata
laki-laki
51
S1
PNS
7,50
4,50
3,00
97
Md Rawi
laki-laki
56
SMP
Wiras/Dag
4,70
2,50
2,20
98
Wyn Manik
laki-laki
58
SD
Wiras/Dag
4,50
2,40
2,10
99
Md Mega
laki-laki
50
SD
Petani
4,30
2,20
2,10
100
Md Winata
laki-laki
39
SMP
Petani
Nym Dwipayana
laki-laki
35
SMA
PNS
2,30 2,50
2,10
101
4,40 4,60
102
Md Suwinda
laki-laki
56
SD
Petani
6,70
3,20
3,50
103
Nym Suwarna
laki-laki
55
SD
Petani
6,20
2,70
3,50
104
Wyn Rebug
laki-laki
53
SD
Petani
4,70
2,60
2,10
105
Wyn Ariada
laki-laki
42
SMP
Wiras/Dag
4,50
2,30
2,20
106
Nym Wartara
laki-laki
60
SD
Petani
Wyn Muliada Nym Sumudi Rata-Rata
laki-laki laki-laki
40 50 46,42
D2 SD
Wiras/Dag Petani
2,30 2,90 2,40 2,60
2,10
107 108
4,40 5,20 4,50 4,56
Sumber: Data Primer Hasi Penelitian, 2012
2,20
2,10
2,30 2,10 2,20
308
Lampiran 8 Identitas Responden Pemasok Bahan-Bahan Ritual di Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal Kabupaten Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian) No
Nama Pemasok
1
Wayan Murya
2
I Nyoman Subur
3
Wayan Gendera
4
Ida Bgs Pt Weda
5
Wyn Sukarta
6
Md Suwinda
7
Nym Suwarna
8
Luh Gde Rusmini
9
Nyoman Sudama
10
Wyn Wirawan
11
Wyn Dani
12
Pan Nym Raka
13
Wyn Sarka
14
Ibu Prasetiawati
15
Ibu Arini
16
Ida Bgs Rai
17
Ibu Agung
18
Ibu Mangku Eka
19
I Wayan Sugita
20
I Md Brata
21
Wayan Suartini
22
Ni Wyn Kerti
Jenis Klm
Umur (Th)
Pddk
Pekerjaan
Pendapata Pengeluar (Rp) (Rp)
laki-laki
49
SMA
PNS
5,50
3,60
laki-laki
55
SMP
Petani
2,50
2,20
laki-laki
44
SMA
Peg.Swasta
4,40
4,50
laki-laki
55
S1
Wiras/Dag
6,50
7,50
laki-laki
57
SMP
Pedagang
2,90
2,00
laki-laki
56
SMA
Petani
3,80
3,70
laki-laki
55
SMA
Petani
3,40
2,80
Perempuan
61
SMP
Pedang
7,30
7,20
laki-laki
46
S1
Pedang
6,20
5,30
laki-laki
37
SMA
Pedang
5,10
4,70
Perempuan
43
SMA
Pedang
4,40
3,50
laki-laki
57
SD
Pedang
2,80
2,50
laki-laki
55
SMA
Pedang
9,50
8,50
Perempuan
40
SMA
Pedang
6,10
4,20
Perempuan
50
SMA
Pedang
3,40
3,30
laki-laki
57
SMP
Pedang
5,20
3,90
Perempuan
50
SMA
Pedang
5,00
4,90
Perempuan
49
SMP
Pedang
3,20
3,10
laki-laki
47
SMA
Pedang
4,60
4,20
laki-laki
45
SMA
Pedang
3,50
2,50
Perempuan
48
SMP
Pedang
4,50
3,50
Perempuan
40
SMP
Pedang
3,70
2,30
Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012
Keterangan
309
Lampiran 9 Identitas Responden Pemasok Tahap I Bahan-Bahan Ritual di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian) No
Nama Pemasok
Responden
Um ur (Th )
1
Wayan Murya
49
Usi a Usa ha (Th ) 1
2
I Nyoman Subur
55
1
Bambu
3
Wayan Gendera
44
2
Bambu
4
Ida Bgs Pt Weda
55
3
Bambu
5
Wyn Sukarta
57
4
Bambu
6
Jumlah Bambu Md Suwinda
56
4
Kelapa
7
Nym Suwarna
55
5
Kelapa
8
Jumlah Kelapa Luh Gde Rusmini
61
10
Beras
9
Nyoman Sudama
46
5
Beras
10
Jumlah Beras Wyn Wirawan
37
5
Babi
11
Wyn Dani
43
2
Babi
12
Jumlah Babi Pan Nym Raka
57
6
Telor
13
Wyn Sarka
55
8
14
Ibu Prasetiawati
40
3
Bebek, Ayam Kasa
Ps Blahk
15
Ibu Arini
50
3
Kasa
Ps Blahk
16
Jumlah Kain Kase Ida Bgs Rai
57
2
Pajeng
Ps Blahk
17
Ibu Agung
50
2
PsBlahk
18
Ibu Mangku Eka
49
4
UangK epen UangK ep&
19
Jumlah I Wayan Sugita
47
2
Janur
20
I Md Brata
45
4
21
Wayan Suartini
48
2
22
Ni Wyn Kerti
40
2
M.Gore ng Pisang, Ps Blahk Bh Bunga PsBlahk
Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012
Bahan
Alamat Pemasok
Tenag aKerja
Jam Ker ja
Penjual pd Pura Pasek
Pendpt (Y1) (Rp jt)
Total Pendpt (Y2) (Rp /jt)
Pengelua ran/ C1 (Rp jt)
Pengelua ran/C2 (Rp jt)
ΔY (Rp jt) Bambu
Desa Abians Desa Abians Desa Abians Desa Abians Desa Abians Desa Abians Desa Abians Desa Abians Desa Abians Desa Abians Desa Abians Desa Abians Gianya
Desa Abians Desa Abians Ps Blahk
2
7
8,60
5,50
14,00
3,60
12,50
2
7
6,50
2,50
9,00
2,10
7,50
3
4
11,60
4,40
16,00
3,30
9,50
5
7
14,50
6,50
21,00
4,50
16,50
2
9
3,60
2,90
6,50
2,00
6,50
44,80
21,80
66,60
15,50
52,50
8,50
3,70
7,40
5
8
4,50
3,80
3
8
3,40
3,50
6,69
3,40
5,20
7,90
7,30
15,19
7,10
12,60
7,30
11,32
7,20
9,70
8
8
4,12
5
8
3,00
6,20
9,30
5,30
7,90
7,12
13,50
20,62
12,50
17,60
15,56
5,10
20,00
4,70
14,20
5
8
3
8
5,70
3,40
9,09
2,80
9,80
21,26
8,50
29,09
7,50
24,00
2
6
5,68
2,80
8,50
2,50
6,50
8
8
7,25
9,50
16,75
8,50
13,50
2
7
3,50
6,10
9,48
4,20
2
7
2,38
3,40
5,90
3,30
5,88
9,50
15,38
7,50
10,20
2
7
5,61
5,20
10,81
3,90
7,50
3
7
8,39
5,00
14,06
4,90
9,90
3
8
12,50
3,20
15,70
3,10
12,60
20,89
8,20
29,76
8,00
22,50
6,00 4,20
3
8
3,68
4,60
8,28
4,20
6,70
2
7
2,53
3,50
6,03
2,50
3,50
2
7
2,75
4,50
7,25
3,50
5,40
2
7
0.57
3,65
4,22
2,30
2,65
310
Lampiran 10 Identifikasi Tahap II Penyalur Bahan-Bahan Ritual di Pura Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian) No
Nama Responden Pemasok
Umur (Th)
Usia Usah (Th)
Bahan
Alamat Pemasok
Uang Kepeng Uang Kepeng
Psr Badung
2
8
Psr Badung
2
8
1
Ibu Eka
51
5
2
Ibu Luh Rai
50
5
3
55
3
Beras
4
Jumlah Uang Kep Wayan Mangku Ibu Luh Rai
51
5
5
Ibu Luh Rai
51
5
Kain Kase Pajeng
6
Pan Suwete
54
4
Janur
7
52
5
Pisang
8
Men Nengah Diana Ibu Nonik
46
4
9
Man Serining
53
3
Minyak goreng Bunga
Tenaga Kerja
Jam Kerja
Penjual Pendapa Pendapt Pengelua Pengelua Y1(Rp jt) Y2(Rp ran/ ran/ ΔY /jt) C1 C2 (Rp jt) (Rp jt) (Rp jt) 2,00 2,45 4,50 2,20 3,40 2,05
3,00
5,00
2,05
3,20
4,05
5,45
9,50
4,25
6,60
Pengepul Bongkase Psr Badung
6
8
1,15
6,50
7,65
4,50
5,20
2
8
0,68
4,82
5,50
4,20
4,40
Psr Badung
2
8
0,60
4,10
4,70
3,60
3,95
Petani Ds Petang Petani DsPetang Psr Badun
2
8
0,20
3,50
3,70
3,40
3,55
2
8
1,00
2,50
3,50
2,20
2,50
3
8
0,25
3,50
3,75
3,40
3,50
Petani bunga Ds.Mambal
3
8
0,30
1,25
1,55
1,10
1,26
Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012
Identifikasi Tahap III Produsen atau Petani Bahan-Bahan Ritual di Pura Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian) No
1
Nama Responden Pemasok Pak Putu
Umur (Th)
50
Usia Usaha (Th)
Barang
6
Uang Kep &Pajeng Gabah
2
Pan Kuace
55
20
3
Dari Jawa
-
5
4
Toko Murah
-
15
M.Goren g Kain Kase
Alamat Pemasok
Psr Klungkng Petani Ds.Blakh Jawa Jl.Sulawesi Denpasar
Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012
Tenaga Kerja
Jam Kerja
Penjual ΔY (Rp jt)
Pendapt Pendap Pengelua Pengelua Y1(Rp ata ran/ ran/ jt) Y2 C1 C2 (Rp /jt) (Rp jt) (Rp jt)
3
8
3,30
4,50
7,80
3,50
4,60
4
8
1,40
2,50
3,90
2,40
3,20
3
8
2,20
1,10
3,30
1,05
1,55
5
8
1,00
2,50
3,50
2,20
2,40
311
Lampiran 11
Persentase Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh Pengempon Pura dengan terlaksana Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (pada bulan penelitian). Budaya
Sosial No
Makna
1 1 TS/ STS/ B 2 CS/B3 B1
S/ B 4
SS/ B 5
STS/ B1
TS/ B2
1,85
98,15
--
-
1 Kepercayaan dan Keyakinan 2 Mlaspas dan Ngenteg Linggih 3 Mecaru
-
3,70
96,30
-
-
-
4,63
95,37
-
4
Melasti
-
2,78
97,22
5
Nyegara Gunung
-
4,63
6
Banten
-
7
Labda Karya
8 9
CS/ B3
Ekonomi
S/B 4
SS/ B5
STS/ B 1
TS/ B2
CS/ B 3
S/B 4
SS/ B5
3,70
96,30
-
-
-
8,33
91,67
-
4,63
95,37
-
-
-
6,48
93,52
-
-
6,48
93,52
-
-
-
7,41
92,59
-
-
-
4,63
95,37
-
-
-
6,48
93,5
95,37
-
-
-
5,56
94,44
-
-
-
7,41
92,59
2,78
97,22
-
-
-
4,63
95,37
-
-
-
6,48
93,5
-
4,63
95,37
-
-
-
6,48
93,52
-
-
-
7,41
92,59
Kehidupan sosial
-
2,78
97,22
-
-
-
4,63
95,37
-
-
-
6,48
93,52
Gotong Royong
-
3,70
96,30
-
-
-
1,85
98,15
-
-
-
6,48
93,52
10 Iuran Pura
-
3,70
96,30
-
-
-
4,63
95,37
-
-
-
8,33
91,67
11 Bahan-bahan ritual
-
5,56
94,44
-
-
-
7,41
92,59
-
-
-
3,70
96,30
12 Pengeluaran ritual 13 Kesempatan berusaha 14 Multiplier effect
4,6 3 -
30,56
64,81
-
-
32,41
63,89
-
-
60,18
91,67
-
-
9,26
90,74
-
-
4,6 3 -
35,19
8,33
3,7 0 -
2,78
97,22
-
7,41
92,59
-
-
-
8,33
91,67
-
-
-
1,85
98,15
15 Perubahan sikap
-
1,85
98,15
-
-
-
5,56
94,44
-
-
-
6,48
93,52
0,3 1
5,93
93,77
0,2 5
7,35
92,41
0,3 1
11,90
91,60
Rata-rata Jumlah
Sumber: Hasil penelitian (data diolah peneliti), 2012 Keterangan: Skor 1.STS/B=Sangat tidak setuju/Baik, Skor 2.TS/B =Tidak setuju/Baik, Skor 3.CS/B =Cukup setuju/Baik Skor 4.S/B =Setuju/Baik, Skor 5.SS/B =Sangat setuju/Baik
312
Lampiran 12 TABULASI SKOR JAWABAN 130 RESPONDEN No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
pr1 5 4 5 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 5 4 5 5 3 4 4 4 4 5 4 4 3 4 4 4 5 4 5 4 4 4 4 5 3 4 4 4 4 5 3 4 4 5 4 4 5 4 4 3 5 4 4 4 4 4 4 3 4 5 4 4
pr2 5 4 5 4 4 4 4 3 4 4 5 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 3 4 5 4 4 4 4 4 5 4 4 4 3 4 5 5 4 4 4 5 5 4 4 4 5 4 4 3 5 4 5 4 4 4 4 4 4 5 4 4
pr3 5 4 5 4 4 4 3 3 4 4 5 3 3 4 5 5 4 3 4 4 4 5 5 4 4 3 5 4 3 5 4 4 4 5 4 4 4 3 5 4 5 4 4 4 4 5 4 4 4 5 4 3 3 4 4 4 4 5 4 4 3 4 5 5 4
pr4 5 4 5 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 5 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 5 5 4 4 5 4 4 4 4 5 4 4 3 4 4 4 4 4 4 5 3 4 5 4 4
pr5 5 4 5 4 4 4 4 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 5 4 4 4 3 4 4 5 4 4 3 4 5 4 4 4 5 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4
kk1 5 4 5 4 4 4 4 3 4 4 5 3 5 5 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 5 5 4 3 4 5 4 4 5 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 3 5 5 3 4
kk2 5 3 5 4 4 5 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 5 4 4 4 5 4 4 4 4 5 4 4 3 4 4 4 4 5 5 4 3 4 4 4 4
kk3 4 5 5 4 4 4 4 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 5 4 4 3 4 4 5 4 4 4 4 4 3 5 4 4 4 4 4 4 3 5 4 4 4
kk4 4 4 5 4 4 5 3 3 4 4 3 3 4 4 3 3 5 3 4 4 4 4 3 3 4 3 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 4 5 4 3 3 4 4 5 4 4 4 5 3 4 4 3 4
km1 5 4 5 4 4 5 4 3 4 4 4 3 3 4 5 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 5 4 5 4 4 3 5 4 4 4 4 5 4 4 3 4 4 5 4 4 4 5 3 5 5 5 4
km2 5 4 5 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 3 4 4 3 5 5 4 4 4 4 4 4 3 5 5 4 5 4 4 5 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 5 4 4 3 4 4 4 4
km3 5 4 5 4 4 4 4 3 4 4 5 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3 5 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 5 3 4 4 4 4
km4 4 4 5 4 4 5 3 3 4 4 5 3 3 5 5 5 4 3 4 4 4 5 5 4 4 3 5 5 3 5 4 4 4 4 4 4 5 3 5 4 5 4 4 3 4 4 4 4 4 5 4 4 3 4 4 5 4 5 5 5 3 5 5 5 4
313
66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130
4 4 5 4 3 4 3 4 3 4 3 5 4 5 5 5 5 4 4 4 5 5 4 4 4 3 5 5 5 4 4 5 5 5 4 5 4 5 4 5 5 5 4 5 5 4 5 4 3 4 4 4 3 4 3 4 4 4 3 3 3 4 3 4 4
4 5 4 4 3 5 3 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 5 5 5 4 4 5 5 3 4 4 4 4 4 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 3 4 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 4 4 3 4
4 5 5 4 3 5 3 4 3 4 3 4 5 4 4 4 5 4 5 4 5 5 4 4 4 3 4 4 5 4 4 5 5 5 4 4 4 5 4 5 5 4 4 5 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 3 3 3 4
4 5 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 5 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 5 4 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4
4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 3 3 4 4 5 4 4 4 5 3 5 4 4 4 4 3 4 4 4 3 3 4 3 4 3 5 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 3 4 3 3 4 4 4 4
4 4 4 4 3 4 3 4 3 4 3 4 5 3 4 4 5 3 4 3 5 5 4 4 3 3 4 4 3 4 4 4 4 3 4 3 5 4 3 4 4 5 4 5 4 5 4 4 4 4 4 4 5 4 4 5 4 4 5 4 5 5 4 4 4
4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 5 4 4 4 4 3 5 4 4 4 5 4 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 3 4 4 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 4 4 5 4
4 3 4 3 3 5 3 4 4 4 4 4 5 5 4 4 4 4 4 5 5 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 5 4 4 5 4 4 4 4 4 4 3 4 4 5 4 4 4 5 4 4 4 4 4 5 4 4 4
4 3 4 4 3 4 3 4 3 4 3 4 4 4 3 4 5 3 3 4 5 4 4 5 4 3 5 5 4 4 5 4 4 5 4 4 5 5 4 4 5 4 5 4 4 4 5 4 3 4 5 5 5 4 4 4 4 4 5 4 4 5 4 4 4
4 4 4 3 3 3 3 4 3 4 3 5 4 4 5 4 4 3 5 3 5 3 4 4 3 3 3 5 3 4 5 5 5 3 3 4 4 5 3 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 4 3 4 4 5 4 5 4 4 4 4 5 4
4 4 4 3 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 3 4 5 4 3 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 3 4 5 5 4 5 5 4 4 5 3 4 4 4 4 3 4 5 5 4 5 4 4 4 5 5 4
4 4 4 3 3 4 3 4 3 4 3 4 4 4 5 4 4 3 4 4 5 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 5 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 3 4 4 4 3 4 3 3 5 5 4 4
4 5 5 3 3 5 3 4 4 5 4 5 4 5 4 4 5 4 5 4 5 4 4 5 4 3 4 4 4 4 5 4 4 3 4 5 5 5 4 5 4 5 4 4 4 5 4 4 3 4 3 3 3 3 4 4 3 3 4 3 3 3 3 3 4
Keterangan: Skor 1 (sangat tidak baik/setuju), Skor 2 (tidak baik/setuju), Skor 3 (cukup baik/setuju), Skor 4 (baik/setuju), Skor 5 (sangat baik/setuju)
314
Kriteria dari masing-masing indikator variabel sebagai berikut. 1. Variabel Pelaksanaan Ritual terdiri dari indikator, yaitu (1) Labda karya (kelancaran/kesuksesan) yang diukur berdasarkan jadwal acara (dodunan karya) ada 21 acara, apabila acara tercapai < 4 skor 1, apabila acara tercapai 4-8 skor 2, apabila acara tercapai 8-12 skor 3, apabila acara tercapai 12-16 skor 4, apabila acara tercapai 16-21 skor 5; (2) Manggala karya yang diukur kehadiran panitia dari 108 orang dalam 8 seksi acara, apabila panitia hadir < 14 orang skor 1, apabila panitia hadir 14-28 orang skor 2, apabila panitia hadir 28-42 orang skor 3, apabila panitia hadir 22,8-30,4 orang skor 4, apabila panitia hadir 42-108 orang skor 5; (3) Keharmonisan yang diukur kerukunan/ ketentraman selama gotong royong/ngayah 63 hari, apabila ngayah < 13 hari skor 1, apabila ngayah 13-26 hari skor 2, apabila ngayah 26-39 hari skor 3, apabila ngayah 39-52 hari skor 4, apabila ngayah 52-63 hari skor 5; (4) Tenaga kerja yang diukur waktu yang dicurahkan rata-rata setiap hari 8 jam, apabila waktu yang dicurahkan < 1 jam skor 1, apabila waktu yang dicurahkan 1-2 jam skor 2, apabila waktu yang dicurahkan 2-3 jam skor 3, apabila waktu yang dicurahkan 3-4 jam skor 4, apabila waktu yang dicurahkan 4-8 jam skor 5; (5) Bahan ritual yang diukur persentase kemudahan/tersedianya bahan ritual, apabila bahan ritual tersedia < 16,36 persen skor 1, apabila bahan ritual tersedia 16,36-32,72 persen skor 2, apabila bahan ritual tersedia 32,72-49,08 persen skor 3, apabila bahan ritual tersedia 49,08-65,44 persen skor 4, apabila bahan ritual tersedia 65,44-90,91 persen skor 5 2. Variabel Kesempatan Kerja terdiri dari indikator, yaitu (1) Lapangan usaha yang diukur jumlah usaha, apabila keberlanjutan < 4 usaha skor 1, apabila keberlanjutan 4-8-usaha skor 2, apabila keberlanjutan 8-12 usaha skor 3, apabila keberlanjutan 12-16 usaha skor 4, apabila keberlanjutan 16-22 usaha skor 5. ; (2) Kualitas kesempatan kerja yang diukur jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan < 1 orang skor 1, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan 1-2 orang skor 2, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan 2-3 orang skor 3, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan 3-4
315
orang skor 4, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan 4-8 orang skor 5; (3) Kuantitas kesempatan kerja yang diukur curahan jam kerja, apabila curahan jam kerja < 1 jam skor 1, apabila curahan jam kerja 1-2 jam skor 2, apabila curahan jam kerja 2-3 jam skor 3, apabila curahan jam kerja 3-4 jam skor 4, apabila curahan jam kerja 4-8 jam skor 5; (4) Sifat kesempatan kerja yang diukur sifat keberlanjutan usaha, apabila usia usaha < 1 tahun skor 1, apabila usia usaha 1-3,6 tahun skor 2, apabila usia usaha 3,6-5,4 tahun skor 3, apabila usia usaha 5,4-7,2 tahun skor 4, apabila usia usaha 7,2-10 tahun skor 5; keberlanjutan < 4 usaha skor 1, apabila keberlanjutan 4-8-usaha skor 2, apabila keberlanjutan 8-12 usaha skor 3, apabila keberlanjutan 12-16 usaha skor 4, apabila keberlanjutan 16-22 usaha skor 5. 3. Variabel Kesejahteraan Masyarakat terdiri dari indikator, yaitu (1) Tingkat pendapatan yang diukur total pendapatan rata-rata per bulan selama ritual, apabila total pendapatan rata-rata per bulan < Rp 3,35 juta skor 1, apabila total pendapatan rata-rata per bulan Rp 3,35 –Rp6,72 juta skor 2, apabila total pendapatan rata-rata per bulan Rp 6,72-Rp10,07 juta skor 3, apabila total pendapatan rata-rata per bulan Rp 10,07-Rp13,42 juta skor 4, apabila total pendapatan rata-rata per bulan Rp 13,42-Rp21,00 juta skor 5; (2) Derajat Pendidikan yang diukur tamat pendidikan formal, apabila tidak tamat SD skor 1, apabila tamat SD skor 2, apabila tamat SMP skor 3, apabila tamat SMA skor 4, apabila tamat SMA keatas skor 5; (3) Derajat Kesehatan yang diukur frekuensi berobat, apabila frekuensi berobat 8 kali keatas skor 1, apabila frekuensi berobat 8 -6 kali keatas skor 2, apabila frekuensi berobat 6-4 kali keatas skor 3, apabila frekuensi berobat 4-2 kali keatas skor 4, apabila frekuensi berobat kurang dari 2 kali skor 5; (4) Kondisi kehidupan sosial yang diukur adalah hubungan yang harmonis/baik, apabila hubungan antar anggota keluarga skor 1, apabila hubungan antar pengempon pura skor 2, apabila hubungan antar banjar skor 3, apabila hubungan antar masyarakat skor 4, apabila hubungan antar masyarakat dan lingkungan Desa skor 5.
316
Lampiran 13
Assessment of normality (Group number 1) Variable min max skew c.r. pr5 3,000 5,000 -,077 -,358 pr4 3,000 5,000 -,025 -,118 pr3 3,000 5,000 -,049 -,227 pr2 3,000 5,000 -,013 -,059 pr1 3,000 5,000 -,120 -,560 Multivariate
kurtosis ,302 ,164 -,863 -,172 -,634 4,052
c.r. ,703 ,381 -2,009 -,400 -1,476 2,761
Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate S.E. C.R. P Label pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR 1,280 ,181 7,091 *** par_1 pr3 <--- PR 1,334 ,200 6,671 *** par_2 pr4 <--- PR 1,239 ,172 7,189 *** par_3 pr5 <--- PR ,771 ,145 5,314 *** par_4 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate pr1 <--- PR ,603 pr2 <--- PR ,839 pr3 <--- PR ,758 pr4 <--- PR ,865 pr5 <--- PR ,557
Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3= keharmonisan, pr4= tenaga kerja, pr5= bahan-bahan ritual
317
Lampiran 14
Assessment of normality (Group number 1) Variable min max skew kk4 3,000 5,000 ,020 kk3 3,000 5,000 ,025 kk2 3,000 5,000 ,057 kk1 3,000 5,000 ,010 Multivariate
c.r. ,092 ,116 ,266 ,046
kurtosis -,546 ,822 ,058 -,400 1,819
c.r. -1,270 1,913 ,135 -,930 1,496
Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate S.E. C.R. P Label kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,136 ,252 4,507 *** par_1 kk3 <--- KK ,943 ,218 4,323 *** par_2 kk4 <--- KK 1,329 ,294 4,518 *** par_3
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate kk1 <--- KK ,527 kk2 <--- KK ,673 kk3 <--- KK ,603 kk4 <--- KK ,680
Keterangan: kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4= sifat kesempatan kerja
318
Lampiran 15
Assessment of normality (Group number 1) Variable min max skew km4 3,000 5,000 -,175 km3 3,000 5,000 -,222 km2 3,000 5,000 ,018 km1 3,000 5,000 -,025 Multivariate
c.r. -,816 -1,033 ,086 -,117
kurtosis -1,060 ,974 ,167 -,718 3,405
c.r. -2,468 2,268 ,389 -1,670 2,801
Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate S.E. C.R. P Label km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,784 ,120 6,536 *** par_1 km3 <--- KM ,735 ,108 6,810 *** par_2 km4 <--- KM ,868 ,150 5,777 *** par_3
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate km1 <--- KM ,742 km2 <--- KM ,688 km3 <--- KM ,740 km4 <--- KM ,592
Keterangan: km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4= kondisi kehidupan sosial
319
Lampiran 16
Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate S.E. C.R. P Label KK <--- PR ,464 ,115 4,038 *** H1 KM <--- PR ,517 ,124 4,171 *** H2 KM <--- KK ,704 ,182 3,860 *** H3 pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR 1,132 ,149 7,585 *** par_4 pr3 <--- PR 1,288 ,172 7,507 *** par_5 pr4 <--- PR 1,102 ,142 7,775 *** par_6 pr5 <--- PR ,761 ,128 5,928 *** par_7 kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,018 ,205 4,976 *** par_8 kk3 <--- KK 1,012 ,196 5,171 *** par_9 kk4 <--- KK 1,155 ,235 4,918 *** par_10 km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,866 ,132 6,549 *** par_11 km3 <--- KM ,846 ,118 7,173 *** par_12 km4 <--- KM 1,105 ,170 6,503 *** par_13
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
KK KM KM pr1 pr2 pr3 pr4 pr5 kk1 kk2 kk3 kk4 km1 km2 km3 km4
<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<---
PR PR KK PR PR PR PR PR KK KK KK KK KM KM KM KM
Estimate ,571 ,499 ,552 ,651 ,802 ,791 ,830 ,593 ,551 ,630 ,676 ,618 ,657 ,674 ,755 ,668
320
Lampiran 17 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 6.22Koefisien Regresi Model Variabel Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3= keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5= bahan ritual, kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial.
321
Lampiran 18 Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) Estimate ,326 ,869
KK KM
Standardized Total Effects (Group number 1 - Default model)
KK KM
PR ,571 ,815
KK ,000 ,552
KM ,000 ,000
Standardized Direct Effects (Group number 1 - Default model)
KK KM
PR ,571 ,499
KK ,000 ,552
KM ,000 ,000
Standardized Indirect Effects (Group number 1 - Default model)
KK KM
PR ,000 ,315
KK ,000 ,000
KM ,000 ,000
Modification Indices (Group number 1 - Default model) Covariances: (Group number 1 - Default model)
e13 e3 e2 e1
<--> <--> <--> <-->
M.I. Par Change e14 11,629 -,059 e13 14,785 ,089 e4 14,081 ,045 e14 9,544 ,048
322
Lampiran 19 Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Estimate S.E. C.R. P Label KK <--- PR ,466 ,107 4,343 *** H1 KM <--- PR ,407 ,123 3,309 *** H2 KM <--- KK ,856 ,206 4,159 *** H3 pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR ,977 ,142 6,891 *** par_4 pr3 <--- PR 1,244 ,166 7,515 *** par_5 pr4 <--- PR ,963 ,134 7,177 *** par_6 pr5 <--- PR ,741 ,124 5,999 *** par_7 kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK ,989 ,197 5,027 *** par_8 kk3 <--- KK ,983 ,188 5,236 *** par_9 kk4 <--- KK 1,173 ,230 5,102 *** par_10 km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,874 ,126 6,943 *** par_11 km3 <--- KM ,817 ,111 7,361 *** par_12 km4 <--- KM 1,310 ,211 6,221 *** par_13
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
KK KM KM pr1 pr2 pr3 pr4 pr5 kk1 kk2 kk3 kk4 km1 km2 km3 km4
<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<---
PR PR KK PR PR PR PR PR KK KK KK KK KM KM KM KM
Estimate ,595 ,399 ,657 ,682 ,725 ,804 ,760 ,605 ,556 ,618 ,662 ,633 ,677 ,701 ,751 ,817
323
Lampiran 20 Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 6.24 Koefisien Regresi Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat
Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3= keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5= bahan ritual, kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial.
324
Lampiran 21
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) Estimate ,354 ,902
KK KM
Standardized Total Effects (Group number 1 - Default model)
KK KM
PR ,595 ,789
KK ,000 ,657
KM ,000 ,000
Standardized Direct Effects (Group number 1 - Default model)
KK KM
PR ,595 ,399
KK ,000 ,657
KM ,000 ,000
Standardized Indirect Effects (Group number 1 - Default model)
KK KM
PR ,000 ,391
KK ,000 ,000
KM ,000 ,000
GLOSARIUM A adat istiadat : kebiasaan umum adiluhung : sangat baik altruism : sifat toleransi animistic : penganut paham animisme angayubagia : kebahagian apang pada payu : adanya keadilan artha : tujuan attitude : sikap autonomous consumption (Ca) : pengeluaran ketika pendapatan nol (Ca) ayah-ayahan : pembaran biaya ritual B Bagavadgita Bagia Pulakerti Banten peregembal better-off Bendesa adat bija/wija bhakti
: kitab suci Agama Hindu : mewujudkan kebahagiaan : simbol alam semesta : lebih baik : orang yang dipercaya oleh masyarakat dalam memimpin wilayah desa adat dengan adat istiadatnya : beras yang sudah disucikan : rasa sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa
C Catur wangsa
: empat lapisan/keturunan/soroh terdiri atas (Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra) Caru Tawur (Mecaru Gede): korban suci dari hewan berkaki empat satu unit apreman. consumption culture behaviour : perilaku budaya konsumsi cost reducing : pengurangan biaya culture : budaya cost reducing : mengurangi biaya consumption culture behaviour :perilaku budaya konsumsi D Desa- Kala-Patra (tempat–waktu/keadaan-orang) : ritual yang dapat disesuaikan dengan kondisi dan satuan ruang, waktu dan orang dudonan karya : susunan acara dunia akhirat : dunia setelah mati/dunia tidak nyata/abstrak direc Effect : pengaruh langsung Dharma, Artha dan Kama : kebaikan, kekayaan, dan kemauan/keinginan/nafsu
325
326
E esensi enteg economically active expected income expectancy theory
: inti : posisi yang dinamis : aktif secara ekonomi : pendapatan yang diharapkan : teori harapan
F filosofi : makna yang benar fit : baik/sesuai full employment : kesempatan kerja penuh free fight, free entry and free exit : strategi mengalahkan pesaing ketika tidak efisien akan bangkrut lalu keluar G Goodness of Fit Grand Theory H habitus heterogenitas homoeconomicus humanity Hukum Karmaphala
: Uji Kelayakan Model : teori utama
: tempat hidup : beraneka ragam kelompok : jika memperoleh keuntungan dibuat maksimal dan ketika rugi diusahakan rugi sekecil-kecilnya : kemanusiaan : Sancita Karmaphala yaitu hasil perbuatan dahulu dinikmati sekarang, Prarabda Karmaphala yaitu hasil perbuatan sekarang dinikmati sekarang, Kryamana Karmaphala yaitu hasil perbuatan sekarang baru bisa dinikmati setelah kelahiran nanti
I. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) : angka kualitas hidup manusia indepth Interview : wawancara mendalam incremental fit indices : angka bilangan bertahap Inequality Reexamined : memeriksa kembali ketidaksetaraan indirec effect : pengaruh tidak langsung irasional : diluar akal sehat J Justice Jnana
: keadilan : ilmu pengetahuan suci
K Karya Agung Panca Walikrama : upacara bhuta yadnya yang dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali pada saat pergantian tahun baru saka
327
berakhir dengan bilangan 0 dengan tujuan memohon keseimbangan unsur Panca Mahabutha yang dilaksanakan di pura Besakih. Kahyangan Tiga : pura Puseh, pura Desa, dan pura Dalem kajen- keliwon, purnama tilem : purnama adalah bulan penuh dan tilem adalah bulan mati. Pergantian purnama ke tilem setiap 15 hari kalbu nurani : hati nurani konversi : merubah kucit butuhan : hewan babi hitam jantan yang utuh kuluk belangbungkem : anjing jantan, warna bulunya hitam kemerah-merahan L Labda karya : ritual yang sukses dan berhasil Latency pattern maintenance : pemeliharaan pola-pola yang sudah ada leading sector : sektor utama Linkage : hubungan lingga dan yoni : simbol lingga Shiwa saktinya Yoni adalah ke-Pradhana-an Shakti. Perwujudan Lingga Yoni adalah batu berdiri di atas batu bulat local genius/local wisdom : kebiasaan/budaya lascarya : penuh keiklasan tanpa pamerih apapun M Madyaning Utama : tingkatan ritual menengah tetapi yang besar menyamabraya, metetulung, salulung sabhayantaka, paras-parosarpanaya, adiluhung : kebersamaan yang penuh dengan solidaritas. manifest : indikator makna Ngingkup (kebersamaan dan kesetaraan) : menumbuhkan, menciptakan serta membangun keselamatan dan kedamaian bagi seluruh dengan dilandasi jalinan rasa kasih yang tulus makna Mangun Hayu (tujuan atau harapan) : membangun kebaikan makna Ngremekin (pembelajaran diri) :sebagai tanda ritual sudah selesai dan berhasil makna Makebat Daun (meresapi) : salah satu proses ritual makna Ngebekin (menghayati) : dengan memiliki ilmu yang banyak hendaknya dibarengi dengan penghayatan yang benar dan dapat dijabarkan kepada umat manusia dengan penuh kebersamaan makna Nyenduk : menyampaikan terima hasih kepada sesama yang berjasa dalam proses ritual makna Nyegara Gunung : menghaturkan puji syukur dan rasa terima kasih kita kehadapan TYME dalam manifestasinya-Nya sebagai sang Hyang Purusa (gunung) dan Predhana (segara) moksha : tujuan hidup menyatu dengan Tuhan manggala karya/prawartaka karya : panitia ritual
328
Mlaspas
: upacara pembersihan bangunan pelinggih tempat sembahyang umat Hindu di Bali multiplier effects : angka pengganda/ nilai tambah Middle Range Theory : teori pendukung Mokshartam Jagadhita Ia Ca Iti Dharma : tujuan mencapai kebahagiaan lahir bathin baik di dunia maupun di akhirat atau sekala niskala measurement model : model pengukuran menyamabraya, metetulung, ngoopin: saling tolong menolong mandays : tenaga kerja laki-laki dan perempuan Mepada Wewalungan : ritual menyucikan hewan yang akan dipersembahkan sebagai korban suci metanding banten : menata/mengatur alat-alat ritual Mecaru : korban suci untuk keseimbangan alam manusia Mekiis (melasti) : ritual penyucian diri dengan berbhakti pada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan spiritual dalam rangka memperbaiki diri sesame alam mutual trust : sikap saling percaya N nak mula keto (gugon tuwon) : kebenaran yang harus diikuti newasain karya : memulai kegiatan secara sekala niskala network : jaringan nitya karma : ritual sehari-hari nothing : kosong nonprobability Sampling : teknik pengambilan sample yang tidak memberi peluang sama bagi setiap anggota populasi Ngenteg Linggih : ritual membersihkan diri agar TYME selalu dirasakan kehadirnnya ngayah : bekerja dengan tulus iklas tanpa pamberih ngejot : ritual setiap hari selesai masak Nyepi : upacara pergantian tahun saka nganyarin : satu tahapan ritual setelah hari H Ngingsah beras : ritual membersihkan beras yang akan digunakan dalam ritual nyasa :perwujudan atau simbol-simbol O overproteksi over identified P Panca Yadnya
: melindungi : lebih dari diidentifikasi
: lima jenis pengorbanan suci yang tulus iklas (Dewa yadnya pengorbanan kepada para Dewa/Tuhan, Rsi yadnya pengorbanan kepada para rsi, Manusia yadnya
329
Path Analysis Pangrajeg Karya Puncak karya public needs public interests piodalan pendapatan dispossable pelinggih pis bolong pemangku pura postmodern R Ratchet Effect Redefinisi Rsi Bojana
ritual religious value revenue increasing ritual Agamis ruh/roh reliabilitas rwa-bhineda rumit S Sakala-niskala sakralisasi sampel jenuh sattvikam yadnya
sekte
pengorbanan kepada umat manusia, pitra yadnya pengorbanan kepada para leluhur, Bhuta yadnya pengorbanan kepada para bhuta -kala / alam semesta beserta isinya : analisis jalur : yang bertangung jawab tegaknya ritual agar tetap sesuai dengan tattwa : hari H dilaksanakan ritual : kebutuhan publik : kepentingan masyarakat : peringatan hari jadi : pendapatan yang siap dikonsumsi : bangunan suci : uang kepeng yang dipergunakan dalam ritual Agama Hindu : seorang pemimpin ritual di pura : pemikiran modern/terbaru
: penghasilan tertinggi tahun sebelumnya : mendefinisikan kembali : suguhan yang diberikan oleh panitia karya kepada para Sulinggih sebagai tanda terima kasih telah menyelesaikan tugas dalam ritual : upacara :nilai-nilai agama : menaikkan pendapatan : upacara keagamaan/sakral : jiwa : keandalan : baik buruk : kesulitan yang menyusahkan
: sekala kehidupan duniawi dan niskala kehidupan spritual : ritual proses penyucian atau proses pembersihan :semua anggota populasi digunakan sebagai sampel/penelitian populasi/sensus : yadnya yang berkualitas tinggi atau dilaksanakan karena kewajiban dan dilandasi dengan ketulusan iklasan, dengan berpedoman pada sastra agama, dan dengan pemahaman dan penghayatan yang betul-betul baik terhadap apa yang dilaksanakan : sekelompok spiritual tinggi
330
sekte ciwa-sidhanta sekte pashupata sekte bhairawa sekte wesnawa sekte bodha atau sogata sekte brahmana sekte sri
: pemuja dewa Ciwa : penyembahan pada lingga/sakthi :pemuja Dewa Durga : pemuja Dewa Wisnu dan Dewi Sri : penganut Budha Mahayana yang tantris : sekte brahmana penganut tradisi (smrti) : kelompok masyarakat yang telah menyucikan diri agar dapat memimpin upacara, sekte sora : penyembah surya sekte ganapatya : penyembah ganeca selepaan : daun kelapa yang hijau selflove : sayang pada diri sendiri social capital : modal sosial social welfare : kesejahteraan sosial something : sesuatu suka-duka : baik buruk ditangung bersama suka tan pawali dukha : kesejahteraan lahir bathín sulinggih : orang yang mencapai kedudukan terhormat share : sumbangan/kontribusi sraddha : bhakti penuh keyakinan spillover effect : efek lebih lanjut stages along the life circles : ritual dapat dipandang secara horizontal supply chain : pemasok/penjual spradley :responden yang memiliki pemahaman aktual tetang lokasi penelitian structural error : kesalahan structural T take and give tapa, yoga, swadyaya tapini/serati taring, bale panggung
: hubungan timbal balik : pengendalian diri : tukang banten : tempat banten/tempat para sulinggih melakukan tugas ritual yang dibuat dari bambu Tattwa-Susila-Upacara : tiga kerangka Agama Hindu Tat twam asi : aku adalah kamu (toleransi) temporer : sementara tumpek, saraswati,galungan, kuningan : nama-nama hari raya hindu di Bali dan ritual 210 hari turning point : titik balik The Theory of Moral Sentiments : Teori Moralitas The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism : Etika Protestan dan semangat kapitalisme The General Theory : teori besar Thurstone : bentuk
331
theoretical frame work :bangun teori Tri Hita Karana : Parhyangan hubungan manusia dengan Tuhan, Pawongan hubungan manusia dengan manusia, dan Palemahan hubungan manusia dengan lingkungan alam Tri Guna : tiga jenis sifat manusia yaitu Satwam (baik), Rajas (angkuh/rakus), Tamas (malas). Tri Kaya Parisuda : tiga dasar perilaku yang harus disucikan yaitu Manahsika (berpikir yang baik dan suci, Wacika (berkata yang baik dan benar), Kayika (berbuat yang baik dan jujur) Tri Purusha Artha : tiga hal yang ingin dicapai di dalam hidup Tri-kona : tiga macam bentuk jejahitan alat-alat ritual (segi tiga, bulat, segi empat) lambang lahir – hidup - mati Tri rna : tiga jenis hutang yaitu Dewa Rna hutang kepada para Dewa, Rsi Rna hutang kepada para Rsi, Pitra Rna hutang kepada para leluhur/orang tua U Undagi : para perecana bangunan unidentified atau under identified :teridentifikasi atau di bawah diidentifikasi Uji Signifikasi : ada pengaruh nyata Upakara : sarana upacara Agama Hindu V Validity Vedis W wealth worse-off Wewalian warung atau sesalon
: kesahihan : persembahan kepada para dewa : kekayaan : lebih buruk : hiburan : tempat aktivitas penyelenggaraan ritual
Sumber: Buku Leksikon Hindu oleh IBM. Dharma Palguna (2008), Wijayananda (2004) dan Wiana (2004)
PHOTO-PHOTO
Tempat / Lokasi Penelitian
Bahan-Bahan Ritual Bambu dan Kelapa
Bahan-Bahan Ritual Kelapa dan Pisang
332
333
Persiapan tempat ritual
Bahan-Bahan Ritual dan masyarakat pengempon membuat persiapan ritual
Jenis Bahan ritual yang dibeli dari pemasok Pasar Blahkiuh dan Pasar Badung
334
Masyarakat wanita dan laki-laki membuat persiapan ritual
Masyarakat laki dan wanita membuat persiapan ritual
Masyarakat wanita membuat persiapan ritual
335
Masyarakat wanita dan laki-laki membuat persiapan ritual
Masyarakat laki-laki dan wanita membuat persiapan ritual
Masyarakat wanita dan laki-laki membuat persiapan ritual
336
Masyarakat wanita membuat persiapan ritual
Masyarakat laki-laki membuat persiapan ritual
Masyarakat wanita membuat persiapan ritual
337
Pemangku pura menata banten
Banten untuk ritual
338
Pengenteg gumi, Banten Sarad dan Pemangku Pura
Sulinggih sedang memimpin ritual pada saat puncak karya tanggal 20 April 2012
Masyarakat pengempon sedang melaksanakan ritual
339
Kesenian sakral (Wayang Lemah dan Topeng Sidakarya)
Tari Sakral (Topeng Sidakarya dan Baris Gede)
Seni Tabuh mengiringi aktivitas ritual
340
Puncak Karya Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Prateka (Tapini, tukang banten dan mahasiswa peneliti)
Upacara / ritual nyenduk di sekitar Abiansemal, 24-4-2012
Acara Nyegara Gunung ring Pura Mumbul Blahkiuh 26-4-2012
Acara Nyegara Gunung ring Pura Bukit Sari Sangeh, 26-4-2012