DAMPAK BIAYA TRANSAKSI TERHADAP PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN DI SULAWESI UTARA
DISERTASI
FEMI HADIDJAH ELLY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :
“DAMPAK BIAYA TRANSAKSI TERHADAP PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN DI SULAWESI UTARA”
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2008
Femi Hadidjah Elly NRP: A161024021
ABSTRACT FEMI HADIDJAH ELLY. Impact of Transaction Cost on Economic Behavior of Households Farming Cattle and Plant in North Sulawesi (BONAR M. SINAGA as Chairman, SRI UTAMI KUNTJORO and NUNUNG KUSNADI as Members of the Advisory Committee) Households allocate their family resources to catlle farming activities. Cattle farming is one of the source of income for the household expenditure. Households are subject to transaction cost when selling their cattle. Higher transaction cost will reduce income of the households. The objective of this research is to analyze the transaction cost structure, to develop economic model of households farming cattle and plants with regard to the transaction cost, to analyze effect of transaction cost on the household economic decision in using input, production and household expenditure, and to analyze impact of change of transaction cost, price of input and output on using input, production, income and expenditure of the households engaged in farming cattle and plants in North Sulawesi. This research applies a survey method. The samples of this research are 194 households in Minahasa District and 233 households in Bolaang Mongondow under a simple random sampling. The model is estimated with 2SLS method and the analysis of impact uses simulation. The results of the analysis show that the model can explain the effect of transaction cost. The transaction cost affects the decision in using input, production and household expenditure. The change of transaction cost, input and output price have impacts on using input, income and expenditure of the households engaged in farming cattle and plants in North Sulawesi. Keywords : transaction cost, household economics, cattle and plant farming
RINGKASAN FEMI HADIDJAH ELLY, Dampak Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, SRI UTAMI KUNTJORO dan NUNUNG KUSNADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Ternak sapi di Sulawesi Utara mempunyai masa depan dan potensi pasar yang menggembirakan. Selain memberikan tambahan pendapatan kepada rumahtangga petani peternak, ternak sapi juga merupakan sumber pendapatan daerah melalui perdagangan ternak antar pulau. Adanya prospek perdagangan ternak sapi yang baik dan konsumsi lokal serta permintaan yang semakin meningkat, maka perlu diadakan peningkatan jumlah populasi ternak sapi. Usaha ternak sapi di Sulawesi Utara sebagian besar merupakan usaha peternakan rakyat dan sampai saat ini masih dikelola secara tradisional. Kondisi ini yang menyebabkan produksi ternak sapi di Sulawesi Utara rendah dan mutu produksinya bervariasi, serta bersifat padat karya. Fenomena lain, sebagian besar pedagang mendatangi petani peternak untuk membeli ternak sehingga harga jual peternak dikurangi dengan biaya transpor. Berapa besar biaya transpor ditentukan sepihak oleh pembeli tidak diketahui oleh peternak akibatnya terjadi imperfect market. Harga yang diterima peternak lebih murah dibanding apabila peternak menjual sendiri. Selain itu, rumahtangga juga menggunakan perantara dan sebagai balas jasa, rumahtangga memberikan upah kepada perantara. Berapa besar upah yang diberikan rumahtangga juga ditentukan oleh perantara. Implikasinya biaya transaksi adalah masalah yang mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam produksi, alokasi tenaga kerja maupun keputusan konsumsi. Peningkatan biaya transaksi menyebabkan terjadinya kegagalan pasar (market failure). Menurut Matungul, et al. (2006), biaya transaksi yang sangat tinggi dapat mempengaruhi pasar input dan pasar output. Selanjutnya Dutilly-Diane, et al. (2003) mempelajari kegagalan pasar pada rumahtangga petani peternak. Fenomena-fenomena seperti dijelaskan di atas merupakan perilaku rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman sebagai produsen dalam aktivitas ekonomi. Rumahtangga sebagai produsen berusaha meningkatkan produktivitas dengan tujuan peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan ini berkaitan dengan peningkatan konsumsi, juga sangat berkaitan dengan harga output dan harga input. Harga yang diterima rumahtangga ditentukan oleh pedagang, disisi lain harga input terus meningkat disebabkan kondisi perekonomian Negara kita yang berdampak sampai ke daerah-daerah. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah adanya kebijakan pemerintah dalam hal penentuan harga. Perilaku rumahtangga dalam pengambilan keputusan terhadap aktivitas ekonomi perlu diketahui untuk menentukan kebijakan dalam upaya meningkatkan keadaan ekonomi rumahtangga. Sehingga perlu dilakukan analisis secara simultan untuk mengkaji keterkaitan keputusan rumahtangga serta pengaruh biaya transaksi terhadap keputusan rumahtangga tersebut. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis struktur dan besarnya biaya transaksi dalam usaha ternak sapi – tanaman, (2) Membangun model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi – tanaman dengan memasukkan
komponen biaya transaksi, (3) Menganalisis pengaruh biaya transaksi terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman dalam penggunaan input, produksi dan pengeluaran, dan (4) Menganalisis dampak perubahan biaya transaksi, harga dan upah terhadap penggunaan input, produksi, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Sulawesi Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah survey terhadap petani usaha ternak sapi rakyat di Sulawesi Utara dengan cara wawancara dan menggunakan kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juli 2006 - Pebruari 2007. Jenis data yang digunakan adalah data cross section dan data time series dengan sumber data adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden. Sedang data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini serta data hasil penelitian yang dipublikasi (Sinaga, 1996). Wilayah penelitian yaitu kabupaten, kecamatan dan desa ditentukan secara purposive. Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah daerah yang populasi ternak sapi terbanyak dan sebagai basis ternak sapi. Kedua Kabupaten ini juga sebagai wilayah yang mendapat bantuan ternak sapi maupun bentuk uang dari pemerintah. Kecamatan dan desa ditentukan yang mempunyai jumlah ternak sapi terbanyak dengan komoditas dominan jagung untuk Minahasa dan komoditas dominan kelapa untuk Bolaang Mongondow. Kecamatan di Minahasa yaitu Tompaso dan Kawangkoan. Kecamatan di Bolaang Mongondow yaitu BolangItang, Lolak, Lolayan dan Dumoga Barat. Rumahtangga petani peternak disetiap desa dibatasi untuk rumahtangga yang memiliki ternak sapi minimal 2 (dua) ekor dan pernah menjual ternak sapi. Berdasarkan jumlah petani peternak disetiap desa sampel ditentukan rumahtangga dengan cara simple random sampling (Sinaga, 1995). Jumlah rumahtangga sebesar 194 untuk Minahasa dan 233 untuk Bolaang Mongondow. Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Hasil penelitian menunjukkan biaya perantara penjualan sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding di Minahasa. Hal ini disebabkan sebagian besar rumahtangga didatangi pedagang, sehingga tidak punya pilihan lain untuk menjual ternak, kurangnya informasi pembeli, harga dan informasi berat badan ternak. Biaya transpor rumahtangga di Bolaang Mongondow juga lebih besar, yang disebabkan rumahtangga di Bolaang Mongondow menanggung biaya pedagang datang ke lokasi peternakan yaitu sebesar 66.11 %. Model yang dibangun menunjukkan biaya transaksi mempengaruhi keputusan produksi, alokasi tenaga kerja serta pengeluaran konsumsi. Biaya transaksi tersebut melanggar asumsi separable (Sadaulet and de Janvry, 1995). Dalam keputusan produksi biaya transaksi mempengaruhi harga output yang dinyatakan sebagai harga bayangan. Harga bayangan mempengaruhi produksi sapi dan produktivitas jagung. Biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga untuk penggunaan input produksi. Biaya transaksi mempengaruhi upah tenaga kerja dinyatakan sebagai upah bayangan. Selanjutnya, upah bayangan mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam penawaran dan permintaan tenaga kerja. Secara teori, biaya transaksi mempengaruhi pasar tenaga kerja. Biaya transaksi juga mempengaruhi keputusan konsumsi yang dinyatakan sebagai total pendapatan rumahtangga.
Peningkatan biaya perantara penjualan sapi, transpor penjualan jagung/ kopra dan harga output bagi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow memberikan dampak lebih baik dibanding peningkatan biaya perantara penjualan sapi, harga input dan upah maupun biaya perantara penjualan sapi, harga ouput, harga input dan upah. Peningkatan biaya perantara, biaya transpor penjualan jagung/kopra dan harga output mengakibatkan respon peningkatan sisi produksi terutama produksi dan penjualan sapi, penurunan penawaran tenaga kerja sebagai buruh tani, peningkatan penerimaan dan pendapatan usaha ternak, total pendapatan rumahtangga akibatnya pengeluaran rumahtangga juga meningkat. Penurunan biaya perantara penjualan sapi, peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra dan harga output bagi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow memberikan dampak positif lebih baik dibanding penurunan biaya perantara penjualan sapi, peningkatan komponen biaya transaksi lainnya, harga input dan upah maupun penurunan biaya perantara penjualan sapi, peningkatan komponen biaya transaksi lainnya, harga output, harga input dan upah. Penurunan biaya perantara biaya perantara penjualan sapi, peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra dan harga output bagi rumahtangga petani usaha ternak sapi di Sulawesi Utara mengakibatkan peningkatan produksi dan penjualan sapi, penurunan penawaran tenaga kerja sebagai buruh tani, peningkatan penerimaan, pendapatan usaha ternak sapi dan total pendapatan rumahtangga. Akibatnya pengeluaran konsumsi juga meningkat. Kata kunci : Biaya transaksi, ekonomi rumahtangga, usaha ternak sapi-tanaman
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK BIAYA TRANSAKSI TERHADAP PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN DI SULAWESI UTARA
FEMI HADIDJAH ELLY
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi : Ujian Tertutup : DR HENNY K. DARYANTO, MSc (Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor) Ujian Terbuka : 1. DR IR I WAYAN RUSASTRA, MA (Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor) 2. DR IR HARIANTO, MS (Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Judul Disertasi
: DAMPAK BIAYA TRANSAKSI TERHADAP PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN DI SULAWESI UTARA
Nama Mahasiswa
:
Nomor Pokok
: A 161 024 021
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Femi Hadidjah Elly
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Prof. Dr.Ir.Sri Utami Kuntjoro, MS Anggota
Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 30 JUNI 2008
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara dengan bapak A. Elly dan ibu A.J. Mongan. Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 7 Pebruari 1962. Pada tahun 1990, penulis menikah dengan Mustar Mararu, SH dan dikaruniai dua orang putra, Indrabayu Pratama Mararu dan Wahyu Prasetyo Mararu. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1973 di Sekolah Dasar Katolik Amurang Kabupaten Minahasa. Pada tahun 1977 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat pertama di SMP Negeri I Tolitoli (Sulawesi Tengah) dan tahun 1981 menyelesaikan pendidikan tingkat atas di SMA Laboratorium IKIP Negeri Manado. Pada tahun 1981 penulis masuk perguruan tinggi di Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado Jurusan Sosial Ekonomi, lulus tahun 1986. Tahun 1995 penulis masuk program S2 di Program Pascarasarjana Universitas Gajah Mada, lulus tahun 1997 dan bulan Pebruari 2003 penulis masuk program S3 di Program Pascasarjana IPB, Bogor. Pada tahun 1987 penulis bekerja sebagai karyawan di Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Utara di Unit Pengembangan Ternak Tampusu. Pada tahun 1988 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado sampai sekarang.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Adapun judul disertasi adalah Dampak Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Disertasi ini mempelajari perilaku ekonomi rumahtangga petani peternak sapi dalam menghadapi biaya transaksi penjualan ternak sapi. Penulisan disertasi ini dapat diselesaikan berkat arahan dan bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan yang indah ini, dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, selaku ketua komisi pembimbing yang dengan penuh ketulusan, perhatian dalam membimbing serta telah memberikan motivasi dan kepercayaan kepada penulis. 2. Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kuntjoro, MS, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan ketulusan dan kesabaran serta memberikan kesejukan hati dalam membimbing penulis. 3. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan ketulusan, keseriusan dan ketelitian dalam membimbing penulis. 4. Prof. Dr. Ir. Lucky W. Sondakh, MEc selaku Rektor Universitas Sam Ratulangi, Manado yang telah memberikan dukungan moril selama penulis studi. 5. Prof. Dr. Ir. J. Paruntu, MSc, selaku mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado yang telah memberikan ijin untuk melanjutkan studi di IPB, Bogor.
6. Prof. Dr. Ir. Dolfie Mokoagouw, MS, selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado yang telah memberikan dukungan moril. 7.
Prof. Dr. Ir. D.A. Kaligis, DEA, selaku mantan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB, Bogor.
8. Ir. B.J. Sondakh, MS dan Ir A. Salendu, MS, selaku mantan dan ketua jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Unsrat Manado yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB, Bogor. 9. Ketua Program Studi dan staf pengajar pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan selama penulis mengikuti kuliah di IPB, Bogor. 10. Kepala Dinas Kehewanan dan Staf di Kabupaten Minahasa, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan serta staf di Kabupaten Bolaang Mongondow yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian. 11. Camat Tompaso, Kawangkoan, BolangItang, Lolak, Lolayan dan Dumoga Barat yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian. 12. Kepala Desa Toure, Pinabetengan, Tonsewer, Tempok, Tondegesan dan Kawangkoan, Saleo, Bohabak, Biontong, Lolak, Mongkoinit, Mopusi, Lolayan, Mopait, Kinomaligan, Wangga Baru, Kosio dan Ibolian yang telah memberikan penginapan dan membantu penulis dalam melakukan penelitian. 13. Dr Arrijani, Ir E. Wantasen, Ir I. Potabuga, Ir M. Mondo, Ir Sri Rahayu, O. Rawis dan Ferry Monintja, sebagai enumerator, yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.
14. Teman-teman angkatan 2002 dan 2003 yang telah memberikan dorongan serta semangat bagi penulis saat kuliah, ujian prelim sampai penulisan disertasi. 15. Mustar Mararu, SH, Indrabayu P. Mararu dan Wahyu P. Mararu, suami dan anak tercinta yang telah mengijinkan, memberikan dukungan moril, materil serta segala ketulusan dan pengorbanan terhadap penulis. 16. Mama dan papa, Ibu dan Aba (Alm) mertua, Oma, Tante Ros, adik-adik, adik ipar serta keponakan yang telah memberikan dukungan doa terhadap penulis. Tak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu. Penulisan disertasi ini tidak luput dari kekurangan maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juni 2008
Femi Hadidjah Elly
Judul Disertasi
:
DAMPAK BIAYA TRANSAKSI TERHADAP PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PETERNAK SAPI DI SULAWESI UTARA
Nama Mahasiswa
:
Femi Hadidjah Elly
Nomor Pokok
:
A 161 024 021
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Ketua Anggota
: :
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kuntjoro, MS Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Penguji Luar Komisi
: Dr. Ir. I Wayan Rusastra
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Harianto, MS
Ujian Terbuka Hari Tanggal Pukul Tempat
: : : :
Senin 30 Juni 2007 09.00-selesai Ruang Sidang Gedung Rektorat Lt Kampus IPB Darmaga Bogor
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………...
xx
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………...
xxvi
I. PENDAHULUAN……………………………………………………...
1
1.1. Latar belakang……………………………………………………..
1
1.2. Perumusan Masalah………………………………………………..
9
1.3. Tujuan Penelitian…………………………………………………..
14
1.4. Manfaat Penelitian…………………………………………………
15
1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian…………………………....
15
II. TINJAUAN STUDI EMPIRIK………………………………………....
17
2.1. Usaha Ternak Sapi Tradisional…………………………………….
17
2.2. Pengembangan Usaha Ternak Sapi………………………………..
23
2.3. Kebijakan Subsektor Peternakan dalam Peningkatan Pendapatan………………………………………………………...
28
2.4. Model Ekonomi Rumahtangga……………………………………
36
2.5. Biaya Transaksi dalam Ekonomi Rumahtangga…………………..
53
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS……………………………….
61
3.1. Teori Ekonomi Rumahtangga……………………………………...
61
3.1.1. Konsep Alokasi Waktu Becker’s…………………………....
61
3.1.2. Konsep Rumahtangga Chayanov……………………………
69
3.1.3. Konsep Rumahtangga Barnum-Squire………………………
73
3.1.4. Konsep Rumahtangga Low………………………………….
77
3.2. Model Dasar Perilaku Rumahtangga………………………………
80
3.3. Perilaku Ekonomi Keputusan Peternak Sapi………………………
86
3.4. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Peternak…………………
94
3.5. Pengaruh Biaya Transaksi………………………………………….
101
IV. METODOLOGI PENELITIAN..............................................................
108
4.1. Metode Penelitian………………………………………………….
108
4.2. Jenis Data dan Sumber Data……………………………………….
108
4.3. Penentuan Lokasi…………………………………………………..
108
4.4. Penentuan Sampel………………………………………………….
109
4.5. Metode Analisis……………………………………………………
110
4.5.1. Model Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi–Jagung di Minahasa…………………………...
112
4.5.1.1. Blok Produksi…………………………………….....
112
4.5.1.2. Blok Penggunaan Input…………………………......
114
4.5.1.3. Blok Biaya Produksi………………………………..
118
4.5.1.4. Blok Biaya Transaksi…………………....................
120
4.5.1.5. Blok Pendapatan Rumahtangga…………………….
121
4.5.1.6. Blok Pengeluaran Rumahtangga…………………....
124
4.5.1.7. Blok Surplus Pasar dan Konsumsi Jagung………….
125
4.5.2. Model Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi–Kelapa di Bolaang Mongondow…………….....
126
4.5.2.1. Blok Produksi………………………………………..
126
4.5.2.2. Blok Penggunaan Input……………………………...
128
4.5.2.3. Blok Biaya Produksi………………………………...
130
4.5.2.4. Blok Biaya Transaksi……………………..................
131
4.5.2.5. Blok Pendapatan Rumahtangga…………………......
132
4.5.2.6. Blok Pengeluaran Rumahtangga………………….....
134
4.5.2.7. Blok Surplus Pasar………………………………......
136
4.6. Identifikasi Model………………………………………………….
137
4.7. Validasi Model……………………………………………………..
138
4.8. Simulasi Model………………………………………………...
139
xv
V. DESKRIPSI WILAYAH DAN RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN....................................
143
5.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian……………………………….
143
5.1.1. Kabupaten Minahasa………………………………………...
145
5.1.2. Kabupaten Bolaang Mongondow…………………………....
146
5.1.3. Biaya Transaksi dan Peraturan Daerah ……………..............
147
5.2. Karakteristik Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman………………….......................................................
148
5.3. Keadaan Usaha Ternak Sapi……………………………………….
153
5.3.1. Pemilikan Ternak…………………………………………....
153
5.3.2. Penjualan Ternak Sapi………………………………………
160
5.4. Perilaku Rumahtangga……………………………………………..
164
5.4.1. Produksi……………………………………………………..
165
5.4.2. Penggunaan Input…………………………………………....
171
5.4.3. Biaya Produksi……………………………………………....
179
5.4.4. Biaya Transaksi……………………………………………...
183
5.4.5. Total Biaya…………………………………………………..
184
5.4.6. Pendapatan…………………………………………………..
185
5.4.7. Pengeluaran………………………………………………….
193
VI. STRUKTUR BIAYA TRANSAKSI.......................................................
195
6.1. Biaya Transaksi dalam Usaha Ternak Sapi………………………...
195
6.2. Biaya Transaksi dalam Usaha Jagung……………………………...
202
6.3. Biaya Transaksi dalam Usaha Kelapa...............................................
202
6.4. Efisiensi Usaha..................................................................................
203
VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN....................................
208
7.1. Perilaku Produksi………..................................................................
212
7.1.1. Produksi Sapi..........................................................................
214
xvi
7.1.2. Penjualan Ternak Sapi……....................................................
218
7.1.3. Produktivitas Jagung………………………………...............
222
7.1.4. Produktivitas Kelapa………………………….......................
225
7.1.5. Luas Lahan Garapan Jagung……………...............................
228
7.2. Perilaku Penggunaan Input Produksi…………................................
231
7.2.1. Permintaan Rumput…………………………….....................
232
7.2.2. Permintaan Benih Jagung…………………………................
237
7.2.3. Permintaan Pupuk Urea……………………………………..
240
7.2.4. Permintaan Pupuk TSP…………………………...................
243
7.3. Perilaku Penggunaan Input Tenaga Kerja……….............................
247 [
7.3.1. Penawaran Tenaga Kerja Keluarga untuk Sapi……………...........................................................
248
7.3.2. Penawaran Tenaga Kerja Keluarga untuk Jagung…………...........................................................
255
7.3.3. Penawaran Tenaga Kerja Keluarga untuk Kelapa ………………………………..........................
260
7.3.4. Permintaan Tenaga Kerja Luar Keluarga untuk Jagung…………………………...................................
262
7.3.5. Permintaan Tenaga Kerja Luar Keluarga untuk Kelapa…………………………...................................
267
7.3.6. Permintaan Tenaga Kerja Ternak Sapi untuk Jagung…………………………...................................
269
7.3.7. Permintaan Tenaga Kerja Ternak Sapi untuk Kelapa…………………………...................................
272
7.3.8. Curahan Kerja Keluarga…………..........................................
273
7.4. Perilaku Biaya Sarana Produksi dan Biaya Tenaga Kerja...........................................................................
280
7.5. Perilaku Biaya Transaksi..................................................................
282
7.5.1. Biaya Perantara Penjualan Sapi…………………..................
285
7.5.2. Biaya Transpor Penjualan Jagung…………………...............
289
7.5.3. Biaya Transpor Penjualan Kopra …………………...............
291
2
.
xvii
7.6. Perilaku Penerimaan dan Pendapatan………………………...........
292
7.7. Perilaku Pengeluaran Rumahtangga.................................................
294
7.7.1. Konsumsi Pangan……………................................................
294
7.7.2. Konsumsi Non Pangan………………....................................
300
7.7.3. Investasi Pendidikan………...................................................
303
7.7.4. Konsumsi Jagung………………............................................
307
7.7.5. Surplus Pasar Kelapa..............................................................
310
VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN...................................................
312
8.1. Hasil Validasi Model………………………………………………
312
8.2. Dampak Perubahan Biaya Transaksi, Harga dan Upah....................
319
8.2.1. Peningkatan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Biaya Transpor Penjualan Jagung/Kopra dan Harga Output.....................................................................
322
8.2.2. Peningkatan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Biaya Transpor Penjualan Jagung/Kopra, Harga Input dan Upah..............................................................
323
8.2.3. Peningkatan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Biaya Transpor Penjualan Jagung/Kopra, Harga Output, Harga Input dan Upah......................................
325
8.2.4. Penurunan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Peningkatan Biaya Transaksi Lainnya dan Harga Output............................................................................
326
8.2.5. Penurunan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Peningkatan Biaya Transaksi Lainnya, Harga Input dan Upah..................................................................................
327
8.2.6. Penurunan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Peningkatan Biaya Transaksi Lainnya, Harga Output, Harga Input dan Upah.................................................
329
8.3. Dampak Peningkatan Harga dan Upah pada Kondisi Ada Biaya Transaksi dan Tidak Ada Biaya Transaksi......................
332
xviii
8.3.1. Peningkatan Harga Sapi dan Harga Jagung/Kopra........................................................................
333
8.3.2. Peningkatan Harga Sapi, Harga Jagung/ Kopra, Harga Input dan Upah...............................................
336
8.4. Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap Produksi Sapi dan Alokasi Tenaga Kerja pada Kondisi Ada Biaya Transaksi Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi.............................................................
337
8.4.1. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Produksi........................
337
8.4.2. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Alokasi Tenaga Kerja..........................................................................
339
IX. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………....
348
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..
352
LAMPIRAN.............................................................................................
362
xix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Populasi Ternak Sapi di Sulawesi Utara Tahun 2000-2004………...
5
2.
Produksi Daging Sapi di Sulawesi Utara Tahun 2000-2004……….
6
3.
Total Konsumsi Protein Hewani Asal Ternak di Sulawesi Utara Tahun 2000-2004…………………………………………….
6
Perdagangan Antar Pulau Ternak Sapi di Sulawesi Utara Tahun 1997- 2000…………………………………………………..
8
5.
Realisasi Investasi Sub Sektor Peternakan Tahun 1999-2000………
29
6.
Nama Peneliti Terdahulu Berdasarkan Model Ekonomi Rumahtangga dan Analisis yang Digunakan......................................
53
Nama Kabupaten, Kecamatan, Desa Terpilih dan Jumlah Responden di Sulawesi Utara……………………………………….
110
8.
Luas Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara...........................................
144
9.
Populasi Ternak Sapi di Kabupaten dan Kota Provinsi Sulawesi Utara………………………………………………………
145
Karakteristik Rumahtangga Petani Usaha Ternak SapiTanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow.............................
149
Rata-rata Jumlah Pemilikan Ternak Sapi Berdasarkan Umur Oleh Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007...............
156
Rata-rata Penjualan Jagung Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman dan Konsumsi Jagung oleh Ternak Sapi di Minahasa, Tahun 2006-2007.............................
167
Alokasi Produksi Kelapa Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman untuk Dikonsumsi, Dijual dan Diolah Jadi Kopra di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007…………....
169
Jumlah Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman yang Menjual dalam Bentuk Buah Kelapa dan Kopra di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007...........................................
169
Rata-rata Konsumsi Rumput dan Jagung serta Jumlah Ternak Sapi yang Dimiliki Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007.........................................................
172
4.
7.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
xxi
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Rata-rata Penggunaan Benih, Pupuk dan Harga Pembelian oleh Rumahtangga Petani Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa, Tahun 2006-2007…………………..................................
172
Rata-Rata Curahan Kerja Suami, Isteri dan Anak pada Setiap Usaha Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007...............
174
Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja Sewa oleh Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007.........................................................
175
Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Ternak Sapi dan Kegiatan Usaha Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007..............
177
Rata-rata Curahan Kerja Anggota Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman Sebagai Buruh Tani di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007....................................
178
Rata-Rata Biaya Sarana Produksi Sapi yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007...................................
179
Rata-rata Biaya Sarana Produksi Jagung yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa, Tahun 2006-2007...............................................................................
181
Biaya Sarana Produksi Sapi, Jagung dan Kelapa yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007...............
181
Rata-rata Biaya Tenaga Kerja yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007..........................................
183
Rata-rata Biaya Transaksi Setiap Usaha yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007....................................
184
Rata-rata Biaya Usaha Ternak Sapi, Usaha Jagung dan Kelapa yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Peternak Sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007................................................................................
185
Rata-rata Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usaha Ternak Sapi – Jagung Rumahtangga Petani Peternak Sapi di Minahasa, Tahun 2006-2007..............................................................
187
xxii
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
Rata-rata Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usaha Ternak Sapi – Kelapa Rumahtangga Petani Peternak Sapi di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007.......................................
189
Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman untuk Setiap Usaha di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007…………………...............
190
Pengeluaran Konsumsi Pangan, Non Pangan dan Investasi Pendidikan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow..............................................
193
Jumlah Rumahtangga Petani Ternak Sapi-Tanaman Menurut Lokasi Penjualan Sapi Di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007................................................................................
196
Rata-rata Biaya Transaksi Usaha Ternak Rumahtangga Petani Peternak Sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007………....................................................................
197
Rata-rata Biaya Transpor Usaha Ternak Rumahtangga Petani Peternak Sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007................................................................................
199
Rata-rata Biaya Transaksi Usaha Jagung Rumahtangga Petani Peternak Sapi di Minahasa, Tahun 2006-2007........................
202
Rata-rata Biaya Transaksi Usaha Kelapa Rumahtangga Petani Peternak Sapi di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007................................................................................
203
Rasio Biaya Transaksi Penerimaan, Total Biaya dan Pendapatan pada Rumahtangga Petani Peternak Sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007………...
204
Hasil Parameter Dugaan, Elastisitas Produksi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow...…..................................................................
213
Hasil Parameter Dugaan, Elastisitas Penggunaan Input Produksi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow…………………………….......................
233
Hasil Parameter Dugaan, Elastisitas Penggunaan Input Tenaga Kerja Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow…..............................................
249
[
36.
37.
38.
39.
xxiii
Hasil Parameter Dugaan, Elastisitas Penggunaan Input Tenaga Kerja Sebagai Buruh Tani Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow………..........
274
Hasil Parameter Dugaan, Elastisitas Biaya Perantara Sapi, Transpor Penjualan Jagung/Kopra Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow……….............................................................
285
Hasil Parameter Dugaan, Elastisitas Pengeluaran Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow…………………......................
295
Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Jagung di Minahasa…………………….......................
313
44.
Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Kelapa di Bolaang Mongondow………........................
314
45.
Dampak Peningkatan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Biaya Transpor Penjualan Jagung/Kopra, Harga Output, Harga Input dan Upah Terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow………………….............................................
320
Dampak Penurunan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Peningkatan Biaya Transaksi Lainnya, Harga Output, Harga Input dan Upah Terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow..................................................
321
Dampak Peningkatan Harga Output Terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman pada Kondisi Ada Biaya Transaksi dan Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi di Minahasa dan Bolaang Mongondow……...........
334
Dampak Peningkatan Harga Output, Harga Input dan Upah Terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak SapiTanaman pada Kondisi Ada Biaya Transaksi dan Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi di Minahasa dan Bolaang Mongondow………………………….................................
335
40.
41.
42.
43.
46.
47.
48.
xxiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Suplai dan Permintaan Sebagai Fungsi Harga Pasar dan Biaya Transaksi (Minot, 1999)…………………………………
58
2.
Alokasi Waktu Rumahtangga……………………………………….
67
3.
Model Rumahtangga Usahatani Chayanov………………………….
71
4.
Model Rumahtangga Usahatani Barnum-Squire……………………
76
5.
Keterkaitan Input, Aktivitas dan Output Pada Usaha ternak Sapi…………………………………………………...
87
6.
Model Bioekonomi Ternak Sapi (Denham and Spreen, 1986)……...
92
7.
Biaya Transaksi dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya………
105
8.
Penentuan Responden di Lokasi Penelitian…………………………
109
9.
Saluran Pemasaran Ternak Sapi di Sulawesi Utara............................
162
10.
Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Produksi Sapi di Minahasa pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara Dan Tidak Ada Biaya Transaksi………………….............
338
Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Produksi Sapi di Bolaang Mongondow pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi………………
338
Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Penawaran Tenaga Kerja pada Usaha Ternak Sapi di Minahasa pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi……………….........................................
339
Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Penawaran Tenaga Kerja Keluarga pada Usaha Ternak Sapi di Bolaang Mongondow pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi……………….........................................
340
Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Penawaran Tenaga Kerja pada Keluarga pada Usaha Jagung di Minahasa pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi….............................................................
341
1.
11.
12.
13.
14.
xxv
15.
16.
17.
18.
19.
Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Penawaran Tenaga Kerja Keluarga pada Usaha Kelapa di Bolaang Mongondow pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada BiayaTransaksi……………….........................................
342
Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Permintaan Tenaga Kerja Sewa pada Usaha Jagung di Minahasa pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi………………..........................................................
344
Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Permintaan Tenaga Kerja Sewa pada Usaha Kelapa di Bolaang Mongondow pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi………………..................................
345
Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Curahan Kerja Keluarga Sebagai Buruh Tani di Minahasa pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi………………...........................................................
346
Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Curahan Kerja Keluarga Sebagai Buruh Tani di Bolaang Mongondow pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi……………….........................................
347
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1.
2.
3.
Halaman
Variabel, Kode dan Definisi Variabel Model Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow..................................................
362
Program Estimasi Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Jagung di Minahasa Metode 2SLS PROC SYSLIN SAS/ETS Versi 9.0…………………………...........
369
Print Out Hasil Estimasi Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Jagung di Minahasa Metode 2SLS PROC SYSLIN SAS/ETS Versi 9.0…………………………...........
372
xxvii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub sektor dalam sektor pertanian merupakan bagian integral dari keberhasilan sektor pertanian di Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan sektor peternakan diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani peternak, mendorong diversifikasi pangan dan perbaikan kualitas gizi masyarakat serta pengembangan ekspor. Adanya perbaikan tingkat pendapatan dan kesejahteraan rakyat, konsumsi protein hewani diperkirakan akan terus meningkat disamping peluang dan potensi pasar domestik, komoditas peternakan juga mempunyai potensi pasar ekspor yang cukup besar. Peternakan di Indonesia mempunyai potensi cukup baik untuk dikembangkan, karena potensi sumberdaya yang cukup besar. Berdasarkan potensi yang ada ini maka sub sektor peternakan mempunyai peluang investasi dalam pengembangannya. Peluang investasi ini disebabkan beberapa hal, yaitu : (1) pasar dalam negeri merupakan potensi yang sangat besar dan menjanjikan dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, (2) adanya globalisasi perdagangan seperti WTO, AFTA dan APEC menjadi peluang pasar yang besar apabila pengusaha nasional dapat memanfaatkannya, (3) berkembangnya industri-industri yang membutuhkan bahan baku hasil-hasil peternakan seperti industri pengalengan dan pengolahan daging, sosis, industri pengolahan susu, mentega dari susu, industri pakan ternak dan lainlain, dan (4) pemanfaatan diversifikasi produk karena sifat produk peternakan yang mudah rusak dan penurunan kualitas diperlukan pengolahan lebih lanjut. Hal ini
2
memberikan peluang pengembangan industri pengolahan lainnya untuk dapat meningkatkan nilai tambah lebih lanjut. Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 1.6 persen per tahun, diikuti dengan peningkatan pendapatan dan perubahan pola konsumsi pangan asal hewani terutama daging dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang meningkat. Kenaikan permintaan ini belum mampu terpenuhi dengan produksi ternak sapi Indonesia. Kenyataan ini dapat dilihat dari produksi sapi yang ada selama kurun waktu 1998-2002 mengalami penurunan 0.97 persen (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2003). Oleh sebab itu sub sektor ini masih potensial untuk dikembangkan masyarakat petani dalam rangka meningkatkan pendapatan. Peternakan di Sulawesi Utara merupakan salah satu bagian dalam pembangunan sektor pertanian. Kegiatan ekonomi yang berbasis peternakan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang memiliki prospek ke depan. Salah satu strategi pembangunan wilayah yang potensial mengintegrasikan antar sektor dan antar wilayah adalah pengembangan agribisnis. Agribisnis berbasis peternakan memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi sumber pertumbuhan sektor pertanian yang baru. Disamping itu agribisnis peternakan merupakan sumber bahan pangan strategis sepanjang masa, seperti daging, telur, susu dan produk olahannya (Saragih, 2000). Konsentrasi perkembangan agribisnis peternakan mengikuti faktor keunggulan wilayah (local comparative advantage) yang relevan dengan kebutuhan sistem agribisnis peternakan itu sendiri. Kontribusi peternakan terhadap pembangunan ekonomi di Sulawesi Utara dapat dilihat pada pertumbuhan PDRB yaitu sebesar 4.86 persen tahun 2004. Dengan
3
demikian kemajuan pembangunan ekonomi Sulawesi Utara sekarang dan masa mendatang masih bersumber pada peternakan. Salah satu fenomena yang cukup relevan untuk dikaji dalam kaitannya dengan agribisnis peternakan yaitu sejauhmana kontribusi peternakan dalam menunjang pembangunan ekonomi wilayah Sulawesi Utara. Penggunaan lahan pertanian di Sulawesi Utara semakin kecil disebabkan beralihnya fungsi lahan menjadi lahan pemukiman. Kondisi ini menyebabkan strategi pembangunan pertanian tidak lagi berdasarkan penggunaan lahan luas (non land base agriculture). Salah satu alternatif yang dapat menunjang penggunaan lahan yang tidak berorientasi penggunaan lahan luas adalah usaha ternak sapi. Secara geografis, Sulawesi Utara adalah salah satu daerah yang sangat strategis untuk kawasan Asia Pasifik merupakan pintu gerbang lalu lintas keluar masuknya aneka barang perdagangan. Keadaan ini memberikan peluang pasar bagi usaha-usaha yang ada termasuk usaha ternak sapi. Ternak sapi merupakan salah satu ternak yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Sulawesi Utara. Ternak ini memiliki peran dalam penyediaan bahan makanan berupa daging, sebagai salah satu sumber pendapatan bagi rumahtangga petani peternak di pedesaan dan sumber tenaga kerja. Ternak selain sebagai penyedia lapangan kerja, tabungan dan sumber devisa yang potensil serta untuk perbaikan kualitas tanah. Ternak sapi di Sulawesi Utara telah dijadikan sebagai ternak andalan yang ditetapkan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah khususnya dari subsektor peternakan. Sulawesi Utara mempunyai potensi pengembangan usaha ternak sapi cukup tinggi jika ditinjau dari potensi sumberdaya alam seperti ketersediaan sumberdaya
4
lahan, pakan, sumberdaya ternak, sumberdaya manusia serta permintaan. Potensi permintaan baik untuk konsumsi daging lokal maupun antarpulau. Bila dilihat dari pemanfaatan lahan, masih banyak lahan yang tersedia belum dimanfaatkan sebagai kawasan peternakan. Total luas wilayah Sulawesi Utara sebesar 1 527 219 ha, sekitar 8.28 persen atau seluas 126 462 ha merupakan lahan semak dan alang-alang (BPS, 2005), yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi lahan usaha peternakan. Ketersediaan pakan berupa hijauan pada padang rumput yang tumbuh secara alamiah di sekitar perkebunan dan limbah pertanian selama ini merupakan sumber pakan utama bagi usaha ternak sapi. Selama ini petani peternak sapi lokal menggunakan pakan organik yang dapat memberikan keuntungan bagi petani peternak maupun konsumen. Keuntungan bagi petani peternak adalah pakan organik murah dan mudah diperoleh. Sedangkan keuntungan bagi konsumen, ternak sapi lokal yang diberi pakan organik menghasilkan daging yang lebih sehat. Untuk pengembangan usaha ternak sapi dapat diusahakan penanaman jenis rumput gajah atau rumput setaria bersamaan dengan leguminosa pada batas-batas perkebunan rakyat atau pada lahan yang belum dimanfaatkan. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara telah melalukan berbagai langkah dalam menunjang pengembangan peternakan ini. Kebijakan pemerintah yang dilakukan diantaranya adalah dengan memberikan bantuan baik dalam bentuk ternak sapi maupun dalam bentuk uang kepada kelompokkelompok petani yang dibentuk pemerintah. Bantuan ternak diberikan dalam rangka pengembangan kawasan integrasi ternak sapi di Kabupaten Minahasa yang terdiri dari beberapa kecamatan. Sedangkan bantuan dana diberikan untuk usaha kegiatan
5
kelompok BPLM (Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat) di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaang Mongondow. Perkembangan populasi ternak sapi di Sulawesi Utara tahun 2000 – 2004 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Populasi Ternak Sapi di Sulawesi Utara Tahun 2000-2004
Tahun
Jumlah Ternak Pertumbuhan (Ekor) (%) 2000 276 524 2001 132 514 -52.08 2002 132 739 0.17 2003 134 624 1.42 2004 124 444 -7.56 Sumber : Kantor Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara, Tahun 2005
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 populasi ternak sapi mengalami penurunan yang sangat besar yaitu 52.08 persen kemudian tahun 2002 dan 2003 mengalami peningkatan walaupun naiknya sangat kecil. Pada tahun 2004 populasi ternak sapi mengalami penurunan lagi sebesar 7.56 persen. Penurunan populasi ternak ini disebabkan beberapa hal diantaranya tingkat penerapan tehnologi rendah, tingkat kematian ternak tinggi, tingkat kelahiran rendah dan pemeliharaan sebagai usaha sampingan. Namun, bila dilihat dari produksi daging (termasuk daging sapi) ternyata pada tahun 2004 mengalami peningkatan sebesar 5.78 persen (Tabel 2). Bila dilihat dari sumberdaya manusia, Sulawesi Utara mempunyai tenagatenaga tehnis bidang peternakan yaitu sarjana-sarjana peternakan dan dokter hewan, serta penyuluh bidang peternakan. Juga terdapat inseminator yang telah dilatih khusus oleh pemerintah. Keadaan ini sangat menunjang pengembangan usaha ternak sapi bila semua tenaga-tenaga ahli dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
6
Tabel 2. Produksi Daging Sapi di Sulawesi Utara Tahun 2000-2004 Tahun
Produksi Daging Pertumbuhan (Kg) (%) 2000 18 321 142 2001 19 236 851 4.99 2002 20 230 816 5.17 2003 20 429 071 0.98 2004 21 609 680 5.78 Sumber : Kantor Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara, Tahun 2005
Permintaan
daging
untuk
konsumsi
lokal
beberapa
tahun
terakhir
menunjukkan peningkatan cukup signifikan sehingga merupakan peluang pasar yang baik untuk pengembangan ternak sapi potong. Kondisi ini dapat dilihat dari peningkatan konsumsi protein hewani lima tahun terakhir (Tabel 3). Tabel 3. Total Konsumsi Protein Hewani Asal Ternak di Sulawesi Utara Tahun 2000-2004 Konsumai (Kg) Konsumsi Prot Hewani (Gram/Kap/Hari) Daging Telur Susu 2000 13 079 923 4 854 043 3.58 2001 13 659 823 4 969 686 3.72 2002 14 576 196 5 113 812 6 863 000 4.01 2003 15 763 342 6 261 571 7 000 000 4.47 2004 17 656 677 6 681 450 9 000 000 4.80 Sumber : Kantor Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara, Tahun 2005
Tahun
Tabel 3 menunjukkan konsumsi protein hewani asal ternak sebesar 3.58 gram per kapita per hari (tahun 2000) menjadi 4.80 gram per kapita per hari (tahun 2004) atau meningkat sebesar 34.08 persen. Bila dibandingkan dengan target kebutuhan protein hewani sebagaimana direkomendasikan pemerintah berdasarkan hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1993 sebesar 6 gram per kapita per hari, berarti tingkat pencapaian tahun 2004 sudah sebesar 80.00 persen. Konsumsi protein hewani asal
7
ternak yang bersumber dari daging (termasuk daging sapi) juga mengalami peningkatan. Populasi ternak maupun produksi daging pada tahun tertentu mengalami penurunan, namun konsumsi protein hewani asal ternak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Banyaknya pemotongan ternak sapi pada tahun 2004 mencapai 17 422 ekor atau 13.40 persen dari populasi ternak sapi keseluruhan yaitu 124 444 ekor. Hal ini di luar ternak sapi yang diantarpulaukan. Tahun 2005 pemotongan ternak meningkat menjadi 17 683 ekor (angka sementara) (Laporan Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara, 2005). Kecenderungan meningkatnya permintaan daging sapi setiap tahunnya, seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, tingkat pendapatan dan pertumbuhan ekonomi serta kesadaran akan pentingkan protein hewani dimasing-masing wilayah. Ternak sapi di Sulawesi Utara mempunyai masa depan dan potensi pasar yang menggembirakan. Selain memberikan tambahan pendapatan kepada petani peternak, ternak sapi juga merupakan sumber pendapatan daerah melalui perdagangan ternak antar pulau. Sulawesi Utara setiap tahun melakukan perdagangan ternak sapi atau mengantarpulaukan melalui pelabuhan Bitung dan Labuan Uki yaitu ke Maluku, Irian Jaya, Jakarta dan Kalimantan Timur (Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara, 2005). Perdagangan antar pulau ternak sapi di Sulawesi Utara tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tahun 1998 perdagangan antar pulau ternak sapi mengalami penurunan sebesar 13.43 persen, namun tahun 1999 dan 2000 mengalami peningkatan masing-masing sebesar 6.89 persen dan 9.67 persen.
8
Tabel 4. Perdagangan Antar Pulau Ternak Sapi di Sulawesi Utara Tahun 1997- 2000 Jumlah Ternak (Ekor) 1997 6 700 1998 5 800 1999 6 200 2000 6 800 Sumber : Disperindag SULUT, 2002 Tahun
Pertumbuhan (%) -13.43 6.89 9.67
Adanya prospek perdagangan ternak sapi yang baik dan konsumsi lokal yang semakin meningkat, juga adanya permintaan hotel-hotel berbintang dan restoran maka perlu diadakan peningkatan jumlah populasi ternak sapi. Mengingat pada tahun 2004 populasi ternak mengalami penurunan maka kemungkinan besar permintaan pasar yang ada tidak dapat dipenuhi. Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya impor ternak sapi maupun daging sapi. Jadi lambatnya pertumbuhan produksi sapi lokal, seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk menyebabkan pasokan daging sapi tidak mencukupi. Berdasarkan pemikiran dan kenyataan tersebut di atas, maka tantangan ke depan adalah bagaimana memberdayakan ekonomi rakyat melalui pembangunan peternakan pedesaan secara terpadu. Untuk memberdayakan ekonomi rakyat tidak lepas dari permasalahan ekonomi rumahtangga pedesaan. Rumahtangga yang dimaksud adalah rumahtangga petani peternak sapi sebagai pelaku utama dalam kegiatan ekonomi peternakan rakyat. Dalam kaitannya dengan rumahtangga tersebut perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis kondisi ekonomi dan perilaku rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara.
9
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan data sensus pertanian tahun 2003 rumahtangga petani di Indonesia berjumlah 2 486 675 dan 305 314 petani diantara jumlah tersebut terdapat di Sulawesi Utara. Berdasarkan jumlah rumahtangga petani di Sulawesi Utara, 63 577 merupakan rumahtangga peternak (Sensus Pertanian, 2003). Data ini dijadikan sebagai penunjang dilakukannya penelitian rumahtangga peternak di Sulawesi Utara khususnya peternak sapi. Usaha ternak sapi di Sulawesi Utara sebagian besar merupakan usaha peternakan rakyat dan sampai saat ini masih dikelola secara tradisional. Peternakan rakyat menurut KEPMEN No. 404 tahun 2002 adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan, jumlah maksimum kegiatannya untuk ternak sapi potong adalah 100 ekor. Namun usaha peternakan tersebut belum mencapai maksimum seperti dinyatakan dalam KEPMEN tersebut. Ciri-ciri usaha ternak rakyat adalah skala usahanya kecil, motif produksi rumahtangga, dilakukan sebagai usaha sampingan, menggunakan tehnologi sederhana yang masih tradisional. Pengertian tehnologi tradisonal disini adalah (i) pemilihan bibit kurang baik (induk maupun pejantan), (ii) penggunaan pejantan apa adanya, (iii) perkandangan yang sangat sederhana, (iv) manajemen pakan kurang baik yaitu pemberian pakan secara umum digembalakan di kebun dan lahan-lahan umum, dan (v) kontrol kesehatan ternak kurang dilakukan. Kondisi ini yang menyebabkan produksi ternak sapi di Sulawesi Utara rendah dan mutu produksinya bervariasi, serta bersifat padat karya. Karakteristik rumahtangga petani peternak sapi selain melakukan kegiatan pertanian seperti perkebunan (kelapa), menanam padi, palawija dan tanaman
10
musiman lainnya juga beternak sapi. Namun karakter utama rumahtangga petani peternak menunjukkan usaha ternak adalah usaha sampingan keluarga yang turun temurun dan kebanyakan dikerjakan oleh anggota keluarga. Penggunaan tenaga kerja anggota rumahtangga dalam mengelola usaha ternak dilaksanakan secara bergantian dan tidak dibatasi secara khusus. Dalam hal ini berpeluang untuk memanfaatkan seluruh anggota rumahtangga dalam usaha sampingan tersebut, sehingga jumlah unit usaha dan tenaga kerja yang terserap tidak mengalami variasi dari tahun ke tahun. Karakter lain yang sangat mempengaruhi usaha ternak adalah modal usaha tidak memadai untuk pengembangan usaha. Terdapat tiga unsur utama yang menentukan produktivitas ternak sapi yaitu (1) penggunaan bibit, (2) pakan yang diberikan, dan (3) pengelolaan. Pengelolaan usaha ternak sapi sepenuhnya tergantung peran rumahtangga petani peternak. Pengelolaan ini mencakup pengambilan keputusan dalam hal : jumlah ternak yang dipelihara, cara-cara pemeliharaan dan perkandangan, cara memberi pakan, jenis pakan yang diberikan, pemeliharaan kesehatan ternak, cara penanganan hasil ternak, pemasaran, pengaturan reproduksi, dan pengaturan tenaga kerja. Tenaga kerja anggota keluarga dialokasikan untuk bekerja pada usaha ternak dan usahatani diantaranya usahatani tanaman kelapa, tanaman pangan dan tanaman lainnya. Dalam usaha ternak sapi, tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk memberi pakan, memandikan ternak dan memindahkan ternak dari satu tempat ke tempat yang lain. Bila terjadi kekurangan pakan berupa rumput atau jerami maka petani peternak sapi dan anggota keluarganya mencari rumput di tempat lain yang jauh dari lahan pertaniannya.
11
Kemampuan rumahtangga petani peternak sapi dalam meningkatkan produksi ternak sebagai sumber pendapatan ditentukan oleh faktor internal maupun eksternal rumahtangga. Faktor internal dimaksud diantaranya luas lahan, skala ternak, bibit, pakan, jumlah dan kualitas tenaga kerja, modal serta penguasaan tehnologi. Juga termasuk umur, pengalaman, pendidikan formal maupun pendidikan informal (penyuluhan). Sedangkan faktor eksternal adalah kebijakan pemerintah seperti penyediaan infrastruktur dan regulasi terhadap output dan input produksi ternak. Beberapa kebijakan pemerintah yang telah dicanangkan di Sulawesi Utara dalam rangka pengembangan kawasan integrasi ternak sapi diantaranya bantuan ternak sapi induk dan program usaha kegiatan kelompok BPLM. Bantuan berupa ternak induk diberikan bagi rumahtangga petani peternak di Kabupaten Minahasa tahun 1996-2000. Kenyataan di lapangan menunjukkan tingkat kematian ternak sapi induk cukup tinggi yaitu 14.7 sampai 36.40 persen. Tingkat kematian ternak paling tinggi adalah di Kecamatan Dimembe. Sedangkan program usaha kegiatan kelompok BPLM diberikan bagi rumahtangga petani peternak di Minahasa, Bolaang Mongondow, Sangihe Talaud dan Kotamadya Bitung tahun 2001-2004. Pada rumahtangga dengan bantuan BPLM, tingkat kematian ternak sapi rendah tetapi tingkat kelahirannya juga rendah yaitu di bawah 50 persen. Hal ini disebabkan dampak faktor internal petani peternak maupun faktor eksternal seperti dijelaskan di atas. Tujuan program bantuan pemerintah adalah untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga petani peternak. Bantuan ternak ini diharapkan sebagai ternak potong, jadi tujuan pemeliharaannya untuk penggemukan. Hasil penelitian Suwandi (2005)
12
menunjukkan bahwa pemeliharaan ternak sapi untuk pembibitan memerlukan waktu selama 16.0 bulan. Sedangkan pemeliharaan untuk penggemukan sapi hanya sekitar enam bulan. Namun karena petani peternak adalah rumahtangga yang tidak orientasi bisnis seperti pengusaha peternakan, ternak sapi digunakan sebagai tenaga kerja untuk mengolah lahan pertanian dan untuk mengangkut hasil-hasil pertanian. Rumahtangga petani peternak mempunyai persepsi yang berbeda dengan pemerintah. Walaupun sebenarnya tenaga kerja ternak juga merupakan sumber pendapatan bagi rumahtangga. Hal ini mengindikasikan bahwa salah satu penyebab usaha ternak sapi tidak bisa berkembang karena tujuan program pemerintah dalam memberikan bantuan berbeda dengan tujuan rumahtangga dalam memelihara ternak. Dalam menghadapi permasalahan tersebut diperlukan kebijakan lebih tepat agar perbedaan persepsi antara pemerintah dan rumahtangga dapat diminimalkan. Fenomena lain yang terjadi di Sulawesi Utara, ternak sapi yang dijual adalah ternak yang sudah tua atau ternak afkir sehingga harga yang dibayar pedagang sesuai kondisi ternak. Walaupun demikian, ternak sebagai tenaga kerja dapat dijadikan alternatif penambah pendapatan bagi rumahtangga bila ternak disewa oleh petani lain. Selain itu, dalam hal penjualan yang dilakukan peternak sebagian besar pedagang yang mendatangi peternak sehingga harga yang dijual peternak dikurangi dengan biaya transaksi diantaranya biaya transportasi. Berapa besar biaya transaksi yang ditentukan sepihak oleh pembeli tidak diketahui oleh peternak yang mengakibatkan terjadinya imperfect market. Dengan demikian harga yang diterima peternak lebih murah dibanding apabila peternak menjual sendiri. Dalam melakukan transaksi penjualan sapi, rumahtangga juga menggunakan perantara. Sebagai balas jasa,
13
rumahtangga memberikan upah kepada perantara. Berapa besar upah yang diberikan rumahtangga juga ditentukan oleh perantara. Upah perantara tersebut juga dinyatakan sebagai biaya transaksi. Implikasinya biaya transaksi adalah masalah yang mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam produksi, alokasi tenaga kerja maupun keputusan konsumsi. Peningkatan biaya transaksi menyebabkan terjadinya kegagalan pasar (market failure). Menurut Matungul, et al. (2006), biaya transaksi yang sangat tinggi dapat mempengaruhi pasar input dan pasar output. Selanjutnya Dutilly-Diane, et al. (2003) mempelajari kegagalan pasar pada rumahtangga petani peternak. Fenomena-fenomena seperti dijelaskan di atas merupakan perilaku rumahtangga petani peternak sebagai produsen dalam aktivitas ekonomi. Rumahtangga sebagai produsen dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak apakah sebagai ternak potong atau ternak kerja dengan tujuan peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan ini berkaitan dengan peningkatan konsumsi. Semakin tinggi pendapatan yang diperoleh rumahtangga maka ada kecenderungan peningkatan pengeluaran untuk konsumsi. Namun peningkatan pendapatan juga sangat berkaitan dengan harga output maupun harga input. Harga yang diterima rumahtangga ditentukan oleh pedagang, disisi lain harga input terus meningkat disebabkan kondisi perekonomian Negara kita yang berdampak sampai ke daerah-daerah. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah adanya kebijakan pemerintah dalam hal penentuan harga output maupun harga input. Perilaku rumahtangga dalam pengambilan keputusan terhadap aktivitas ekonomi perlu diketahui untuk menentukan kebijakan dalam upaya meningkatkan
14
keadaan ekonomi rumahtangga. Semua keputusan rumahtangga baik keputusan pengaturan
tenaga
kerja,
keputusan
produksi,
keputusan
konsumsi
saling
mempengaruhi satu sama lain. Sehingga perlu dilakukan analisis secara simultan untuk mengkaji keterkaitan keputusan rumahtangga serta pengaruh biaya transaksi terhadap keputusan rumahtangga tersebut. Berdasarkan pemikiran di atas, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1.
Bagaimana struktur dan berapa besar biaya transaksi usaha ternak sapi – tanaman di Sulawesi Utara.
2.
Bagaimana model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi – tanaman di Sulawesi Utara dengan memasukkan komponen biaya transaksi.
3.
Bagaimana pengaruh biaya transaksi terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi - tanaman dalam penggunaan input, produksi dan pengeluaran di Sulawesi Utara.
4.
Bagaimana dampak perubahan biaya transaksi, harga output dan harga input terhadap penggunaan input, produksi, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Sulawesi Utara.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan maka penelitian ini secara umum bertujuan mempelajari dampak biaya transaksi terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi - tanaman di Sulawesi Utara. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
15
1.
Menganalisis struktur dan besarnya biaya transaksi usaha ternak sapi – tanaman di Sulawesi Utara.
2.
Membangun model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi – tanaman di Sulawesi Utara dengan memasukkan komponen biaya transaksi.
3.
Menganalisis
pengaruh
biaya
transaksi
terhadap
keputusan
ekonomi
rumahtangga
petani usaha ternak sapi - tanaman dalam penggunaan input,
produksi dan pengeluaran rumahtangga di Sulawesi Utara. 4.
Menganalisis dampak perubahan biaya transaksi, harga output dan harga input terhadap penggunaan input, produksi, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani usaha ternak sapi - tanaman di Sulawesi Utara.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai : 1.
Penambah pengetahuan dalam rangka pengembangan ilmu ekonomi khususnya ilmu ekonomi rumahtangga dan pembangunan peternakan.
2.
Bahan masukan bagi pengambil kebijakan bidang peternakan untuk peningkatan pendapatan rumahtangga petani usaha ternak sapi - tanaman pada khususnya dan pendapatan masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya.
3.
Bahan acuan untuk penelitian lanjutan.
1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survei dan pengamatan langsung untuk memperoleh data primer, dengan ruang lingkup dan keterbatasan sebagai berikut :
16
1.
Wilayah penelitian di Sulawesi Utara dibatasi pada daerah dengan populasi ternak sapi tertinggi dan merupakan daerah basis peternakan sapi yaitu Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaang Mongondow.
2.
Penelitian ini dilakukan pada level rumahtangga petani peternak sapi tradisional di Sulawesi Utara. Penelitian ini mempelajari perilaku ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-jagung di Minahasa dan usaha ternak sapi-kelapa di Bolaang Mongondow.
3.
Dalam penelitian ini tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja sewa tidak didisagregasikan berdasarkan tenaga kerja suami, isteri dan anak atau tenaga kerja pria dan wanita.
4.
Biaya transaksi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah biaya transaksi penjualan sapi dari rumahtangga petani peternak sapi ke pedagang pengumpul, petani peternak sapi ke tukang potong/RPH dan petani peternak ke petani lain.
5.
Biaya transaksi dalam pasar tenaga kerja tidak dianalisis dalam penelitian ini.
6.
Kebijakan pemerintah sebagai salah satu faktor penunjang pengembangan usaha ternak sapi di Sulawesi Utara. Kebijakan yang dipelajari diantaranya kebijakan harga output dan harga input. Penelitian ini juga mempelajari dampak non kebijakan diantaranya biaya transaksi dan peningkatan upah.
II. TINJAUAN STUDI EMPIRIK 2.1. Usaha Ternak Sapi Tradisional Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja dan modal untuk menghasilkan produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi tergantung pada tiga unsur yaitu bibit (breeding), pakan (feeding) dan pengelolaan (management). Pada usaha ternak sapi tradisional yang pemeliharaannya secara ekstensif belum memperhatikan ketiga unsur tersebut. Penelitian tentang usaha ternak sapi di beberapa daerah menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi masih ekstensif. Hasil penelitian Achmad (1983) menunjukkan pada umumnya petani memelihara ternak sebagai usaha sambilan dan kurang mempertimbangkan segi ekonominya. Penelitian Achmad dilakukan duapuluhan tahun yang lalu namun kenyataannya kondisi usaha ternak sapi masih seperti penelitian Achmad. Kondisi inilah yang menyebabkan produktivitas ternak sapi dalam jumlah maupun kemampuan untuk menyediakan daging sangat rendah. Unsur pengelolaan (management) mencakup pengelolaan breeding, feeding, perkandangan, kesehatan ternak. Pengelolaan juga mencakup penanganan hasil ternak, pemasaran dan pengaturan tenaga kerja. Pemilihan bibit yang baik dan perkawinan ternak belum menjadi perhatian bagi peternak. Di Kacamatan Lolayan populasi ternak sapi pedet (0-1 tahun) hanya sekitar 1.79 persen dari populasi sapi yang ada (Sugeha, 1999). Populasi sapi anak baik jantan maupun betina di Maluku Utara sekitar 5.4 sampai 12.1 persen dari populasi ternak yang ada. Sedangkan sapi dara dan jantan muda berkisar 4.6 sampai 10.9 persen, dengan tingkat mortalitas 4.5 sampai 5.8 persen (Hoda, 2002). Hal ini mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan
18
populasi ternak lambat disebabkan ternak sapi dewasa dimanfaatkan sebagai tenaga kerja. Menurut Santoso dan Tuherkih (2003), lambatnya perkembangan ternak sapi potong disebabkan oleh dua faktor yang bertentangan yaitu populasi ternak yang ada sedikit namun disisi lain jumlah ternak sapi yang dipotong banyak. Salah satu cara mengatasi berkurangnya produktivitas hijauan makanan ternak adalah dengan dilakukannya sistem pertanaman campuran seperti yang pernah diteliti Yuhaeni et al., (1983). Sistem tersebut merupakan pola penanaman yang bermanfaat bagi ternak maupun tanaman pangan. Hasil penelitian Yuhaeni et al., (1983) menunjukkan adanya beberapa keuntungan yang diperoleh dengan pertanaman campuran antara jagung dan leguminosa. Keuntungan tersebut diantaranya hasil total menjadi lebih tinggi, masalah hama menjadi berkurang sehingga dapat meningkatkan pendapatan usahatani dan penggunaan lahan menjadi lebih efisien. Sistem ini dapat dilakukan dengan mudah dan telah dilakukan oleh petani peternak di Sulawesi Utara. Hanya saja hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kombinasi atau pola penanaman campuran tersebut dapat dilakukan agar diperoleh hasil yang maksimal. Ternak sapi dijual dalam bentuk berat hidup, sehingga penanganan hasil ternak belum dilakukan oleh petani peternak. Penjualan ternak dilakukan apabila anggota keluarga membutuhkan uang cash untuk konsumsi atau investasi dalam usahanya, pendidikan maupun kesehatan. Di desa Kanonang II Kecamatan Kawangkoan penjualan ternak sapi selain karena ada kebutuhan keluarga juga bila ternak sudah tua dan afkir. Karakteristik penjualan ternak sapi di Kecamatan Kawangkoan ini berbeda dengan daerah lain di Sulawesi Utara. Ternak sapi yang masih muda ditukar (blantik) dengan sapi yang sudah bisa digunakan sebagai tenaga
19
kerja (Somba, 2003). Di Kecamatan Kawangkoan terdapat pasar blantik yang kegiatannya jual beli ternak sapi. Kegiatan ini dilakukan oleh rumahtangga petani peternak setiap minggu sekali pada hari kamis. Penelitian ini akan mencoba mempelajari perilaku rumahtangga dalam aktivitas ekonomi pada pasar blantik tersebut. Penelitian Suwandi (2005) menunjukkan penjualan ternak sapi di Kabupaten Sragen juga melalui blantik. Blantik sama dengan pedagang perantara yang wilayah kerjanya meliputi tingkat dusun, desa sampai lintas kabupaten. Di Sragen penguasaan pasar didominasi oleh keberadaan blantik yang lebih mempunyai posisi tawar, walaupun dengan modal yang terbatas. Karakteristik ini berbeda dengan di Minahasa. Tenaga kerja yang dialokasikan untuk usaha ternak adalah tenaga kerja anggota keluarga. Pekerjaan yang dilakukan adalah memindahkan ternak dari lahan pertanian yang satu ke lahan yang lain. Pekerjaan tersebut dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore hari dan bila masih tersedia rumput atau limbah pertanian yang bisa dikonsumsi ternak. Apabila terjadi kekurangan rumput atau limbah maka anggota keluarga mencari rumput ditempat lain yang agak jauh dari lokasi kebun atau pertanian mereka. Aktivitas ini terjadi di daerah mana saja sesuai laporan beberapa peneliti (Limbong, 1989; Sugeha, 1999; Hoda, 2002 dan Somba, 2003). Petani peternak memilih cabang usaha ternak dengan tujuan untuk peningkatan pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarganya. Fungsi ternak bagi rumahtangga petani adalah sebagai sumber pendapatan, sumber protein hewani, sumber tenaga kerja dan sebagai penghasil pupuk. Fungsi lain dari ternak adalah sebagai ternak bibit dan tabungan rumahtangga (Santoso et al., 1983). Usaha ternak merupakan penunjang terhadap pendapatan rumahtangga petani peternak
20
khususnya dan masyarakat pedesaan umumnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani peternak. Besarnya kontribusi tergantung jenis ternak yang digunakan, cara pemeliharaan dan alokasi sumberdaya yang tersedia dimasing-masing wilayah. Teufel et al., (2005) dalam penelitiannya terhadap rumahtangga peternak kambing menemukan bahwa kontribusi ternak kambing sebesar 12.0 persen dari total pendapatan rumahtangga di Punjab (Pakistan). Penelitian di pusat dan bagian timur Himalaya wilayah India tersebut menunjukkan ternak ruminansia yang dikelola rumahtangga adalah ternak sapi, kambing, kerbau dan domba (Rao and Saxena, 1994 dalam International Center for Integreted Mountain Development, 1998). Pemilikan ternak sapi terbesar yaitu 47.5 persen, diikuti oleh ternak kambing 15.8 persen, kerbau 12.3 persen dan domba 10.4 persen. Dalam penelitian International Center for Integreted Mountain Development (1998) juga ditemukan kontribusi ternak sebesar 20.0 persen terhadap pendapatan rumahtangga di bukit dan gunung Himalaya India. Demikian pula rumahtangga petani peternak di wilayah Sulawesi Utara dapat mengandalkan pendapatan yang bersumber dari usaha ternaknya. Besarnya pendapatan bersumber dari ternak sapi pada rumahtangga di Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow berkisar antara 29.0 sampai 42.0 persen dari total pendapatan (Sugeha, 1999). Hasil penelitian Hoda menunjukkan pendapatan petani peternak dari ternak sapi lebih besar dibanding dengan di Kecamatan Lolayan. Kontribusi pendapatan berasal dari ternak sapi di Maluku Utara berkisar 36.4 sampai 39.9 persen (Hoda, 2002). Ternak dan tanaman adalah sumber utama rumahtangga pedesaan di Sahelian zones Afrika (Dutilly-Diane et al., 2003). Suatu lahan yang
21
miskin unsur hara, curah hujan tinggi dan kurangnya sumber air irigasi, wilayah tersebut mempunyai keunggulan komparatif untuk produksi ternak. Menurut Suwandi (2005), penerapan usahatani padi sawah-sapi potong pola CLS (Crop-Livestock System) meningkatkan produksi padi sebesar 23.6 persen dan keuntungan sebesar 14.7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan non-CLS. Ternak sapi merupakan salah satu alternatif untuk dikembangkan di Sulawesi Selatan. Pernyataan ini ditunjang dengan informasi bahwa 39.0 persen dari total rumahtangga pertanian berkecimpung dalam usaha ternak sapi. Namun sistem pemeliharaan ternak sapi secara ekstensif menyebabkan produktivitasnya rendah sehingga pendapatan yang dicapai tidak maksimal. Umumnya ternak ini berfungsi sebagai tenaga kerja dan sebagai penarik beban untuk transportasi atau pengangkut hasil-hasil pertanian termasuk ternak sapi di Sulawesi Utara (Limbong, 1989; Sugeha, 1999; Hoda, 2002 dan Somba, 2003). Ternak sapi dapat juga berfungsi sebagai penghasil pupuk yang biasanya disebut dengan pupuk kompos. Pupuk kompos merupakan hasil ikutan peternakan dan bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian tanaman pangan. Lebih lanjut hasil ikutan peternakan tersebut dapat digunakan sebagai sumber energi biogas. Hasil ikutan peternakan ini bukan hanya dari ternak sapi potong tetapi juga dari ternak sapi perah (Hasnudi, 1991). Hal ini mengindikasikan bahwa integrasi ternak sapi dengan tanaman dapat memberi manfaat bagi ternak tersebut maupun bagi tanaman. Ternak menghasilkan pupuk bagi peningkatan produksi tanaman sedangkan tanaman dapat menyediakan pakan hijauan bagi ternak. Pupuk kompos dapat dimanfaatkan petani peternak di Sulawesi Utara sebagai sumber pendapatan yang
22
selama ini belum menjadi perhatian mereka. Hal ini telah dimanfaatkan oleh petani di Kabupaten Sragen (Suwandi, 2005). Nefri (2000) mempelajari perusahaan peternakan sapi potong dengan menggunakan analisis Goal Programming. Perusahaan tersebut berlokasi di Sukabumi, dulunya merupakan perusahaan industri rumahtangga sekarang menjadi perusahaan ternak sapi berskala besar. Pemeliharaannya bukan lagi secara ektensif tetapi sudah secara intensif dengan orientasi bisnis. Pada saat Indonesia dilanda krisis ekonomi tahun 1998 dikarenakan jatuhnya nilai rupiah, perusahaan tidak melakukan impor sapi tetapi beralih ke sapi lokal. Namun, dalam kenyataannya permintaan daging sapi terjadi peningkatan yang melebihi kapasitas produksi. Untuk memenuhi permintaan yang jauh melebihi kapasitas produksi, perusahaan melakukan impor daging segar sebesar 25 persen dari kapasitas produksi. Dengan menggunakan bibit lokal perusahaan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 3 589 640,- per hari. Hal ini mengindikasikan walaupun peternak menggunakan bibit lokal tapi pemeliharaannya secara intensif memberikan keuntungan memadai bagi rumahtangga. Penelitian Hendayana dan Yusuf (2003) menunjukkan keuntungan usaha penggemukan sapi potong sekitar 29.0 persen dari total biaya dalam satu periode pemeliharaan. Ternak sapi merupakan plasma nutfah yang potensial dan secara genetik mempunyai kemampuan adaptasi tinggi terhadap lingkungan tropis. Pertimbangan pemeliharaan ternak sapi dapat dilakukan dengan melihat peranannya terhadap rumahtangga. Produktivitasnya dapat ditingkatkan dengan melibatkan rumahtangga petani peternak sapi tersebut maupun pemerintah. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan cara memperbaiki efisiensi produksinya, antara lain meningkatkan
23
kelahiran pedet, memperpendek jarak beranak dan memperpanjang masa produksi serta mengoptimalkan pengelolaan program perkawinan, guna penyediaan bakalan. Ternak sapi dipelihara oleh rumahtangga petani peternak dengan melibatkan anggota keluarganya. Ternak sapi merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih rumahtangga sebagai penunjang pendapatan mereka. Ternak tersebut dijadikan sebagai tabungan untuk sewaktu-waktu dijual dengan jumlah uang yang diterima cukup besar dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga dan anggotanya. Walaupun kenyataannya ternak sapi masih dipelihara secara tradisional, tetapi karena melibatkan rumahtangga sehingga perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Berdasarkan kondisi yang ada maka dirasakan perlu mempelajari lebih dalam tentang aktivitas rumahtangga petani peternak sapi baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Namun sebelum membahas lebih lanjut, perlu pemahaman sejauhmana pengembangan usaha ternak sapi yang dikelola rumahtangga tersebut.
2.2. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Usaha ternak sapi yang bersifat tradisional dikelola rumahtangga dan anggota keluarganya. Usaha ternak sapi ini merupakan tumpuan rumahtangga pedesaan dalam peningkatan kesejahteraan mereka. Dalam rangka peningkatan pendapatan rumahtangga petani peternak sapi yang selanjutnya mengarah ke peningkatan kesejahteraan maka usaha tersebut dapat dikembangkan ke arah yang lebih baik. Pengembangan usaha ternak sapi sebagai usaha ternak keluarga atau usaha rumahtangga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor pendidikan, penggunaan input, pemasaran, kredit, kebijakan dan perencanaan,
24
penyuluhan serta penelitian (Pambudy, 1999). Faktor pendidikan anggota rumahtangga petani peternak dapat mempengaruhi keputusan produksi. Chavas et al., (2005) dalam penelitiannya memasukkan variabel pendidikan (education) dalam menganalisis karakteristik rumahtangga dan usahatani. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin mudah anggota keluarga mengadopsi tehnologi akibatnya produksi usahatani dapat ditingkatkan dengan rasional untuk mencapai keuntungan maksimum. Input pertanian yang digunakan petani peternak dapat berupa penggunaan lahan, bibit, pakan, tenaga kerja dan modal. Alokasi penggunaan input secara efisien dapat mempengaruhi usaha ternak rumahtangga. Dengan semakin berkurangnya lahan pertanian yang beralih ke lahan pemukiman menyebabkan petani peternak harus mempunyai alternatif dalam peningkatan pendapatan mereka. Rumahtangga dapat mengatur pola tanam secara bergantian ataupun campuran. Alternatif yang lain adalah rumahtangga dapat meningkatkan usaha ternak yang dapat diintegrasikan dengan tanaman pangan ataupun tanaman perkebunan seperti kelapa. Seperti yang dinyatakan Imam (2003), pola pengembangan peternakan yang dapat dikembangkan adalah diversifikasi ternak sapi dengan lahan persawahan, perkebunan dan tambak. Penelitian yang mirip dilakukan oleh Suwandi (2005) yaitu adanya penerapan pola usahatani padi sawah-sapi potong. Pengembangan usaha ternak sapi dengan sistem ini dapat meningkatkan produksi dan keuntungan bagi petani dengan lahan sempit. Menurut Djayanegara dan Ismail (2004), tujuan pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak adalah meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi impor bahan pangan terutama sapi hidup dan daging.
25
Penggunaan bibit ternak sapi dapat mempengaruhi produktivitas usaha ternak seperti telah dijelaskan dalam kajian usaha ternak. Kondisi ternak sapi lokal saat ini (Wijono, et al., 2003) telah mengalami degradasi produksi dan ditemukan bentuk tubuhnya yang kecil. Hal ini diakibatkan mutu genetik sapi lokal yang semakin menurun. Semakin baik bibit ternak sapi walaupun bibit lokal tetapi merupakan bibit hasil seleksi maka produksi dapat ditingkatkan sehingga pendapatan dapat meningkat. Demikian halnya dengan pakan yang diberikan, semakin baik pakan maka produktivitas ternak sapi semakin meningkat. Pakan merupakan sarana produksi yang sangat penting bagi ternak karena berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan. Namun, dalam usaha penggemukan sapi tidak terbatas pada penggunaan input pakan saja. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah perbaikan aspek pemeliharaan berupa perbaikan kandang dan pemanfaatan limbah untuk pakan. Selain itu menurut Hendayana dan Yusuf (2003), perlu upaya untuk mengantisipasi keberlanjutan usaha melalui penanaman hijauan sebagai pakan serta pembuatan hay (rumput dan jerami) dalam menghadapi musim kemarau . Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha ternak merupakan tenaga kerja keluarga, sehingga dengan peningkatan keterampilan maka dapat meningkatkan produktivitas ternak. Modal yang sering merupakan kendala sangat mempengaruhi usaha ternak keluarga. Hasil penelitian Somba (2003) menunjukkan salah satu kendala pada kelompok usaha ternak sapi Torona di Kawangkoan adalah kendala modal. Kurangnya modal menyebabkan usaha ternak tidak dapat dikembangkan. Pemasaran juga dapat merangsang produktivitas usaha ternak sapi yang dikelola rumahtangga. Ternak sapi dijual oleh rumahtangga apabila rumahtangga
26
membutuhkan uang cash. Sehingga rumahtangga tidak dapat menentukan harga. Selain itu, pedagang ternak sapi yang mendatangi petani peternak untuk membeli ternak sapi. Hasil penelitian Mondo (2002) menunjukkan pedagang yang berfungsi sebagai peternak biasanya mendatangi petani peternak untuk membeli ternak. Ternak sebelum dipotong atau diantarpulau digemukkan oleh pedagang tersebut sehingga harga ternak menjadi lebih tinggi. Harga ternak yang layak dapat mendorong rumahtangga untuk meningkatkan produktivitas usahanya. Kredit yang diberikan kepada petani peternak dapat berupa kredit dalam bentuk cash atau dalam bentuk ternak. Kredit ini dapat mempengaruhi usaha ternak yang dikelola rumahtangga. Anderson (1990) menganalisis kredit dalam kaitannya dengan tenaga kerja rumahtangga. Hasil analisisnya menunjukkan semakin tinggi kredit yang diperoleh maka produktivitas usaha ternaknya dapat ditingkatkan, selanjutnya rumahtangga dapat meningkatkan penggunaan tenaga kerja. Kebijakan dan perencanaan dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka mendorong pengembangan usaha ternak sapi yang dikelola rumahtangga. Kebijakan tersebut harus mempertimbangkan kondisi usaha ternak sapi yang ada. Beberapa hasil penelitian seperti telah dikemukakan sebelumnya menunjukkan bahwa usaha ternak sapi merupakan usaha sambilan dan bersifat ekstensif. Kebijakan dan perencanaan yang telah dicanangkan pemerintah harus dibarengi dengan strategi agresif dan strategi diversifikatif seperti yang dinyatakan Hoda (2002). Penyuluhan yang intensif dan kontinyu baik bagi petani peternak maupun penyuluh dan inseminator dapat mendorong produktivitas usaha ternak keluarga. Gould and Saupe (1989) menganalisis umur, pendidikan dan pelatihan (training)
27
sebagai variabel rumahtangga yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dalam off-farm, pekerjaan usahatani dan home-production. Pelatihan yang dimaksud menyangkut penyuluhan yang bertujuan mengubah perilaku sumberdaya petani peternak ke arah yang lebih baik. Beberapa falsafah penyuluhan adalah: (1) penyuluhan menyandarkan programnya pada kebutuhan petani; (2) penyuluhan pada dasarnya adalah proses pendidikan untuk orang dewasa yang bersifat non formal. Tujuannya untuk mengajar petani, meningkatkan kehidupannya dengan usahanya sendiri, serta mengajar petani untuk menggunakan sumberdaya alamnya dengan bijaksana; dan (3) penyuluh bekerja sama dengan organisasi lainnya untuk mengembangkan individu, kelompok dan bangsa. Penelitian yang intensif dan terus menerus harus dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga penelitian dalam hal ini perguruan tinggi. Penelitian ini dilakukan selain untuk menemukan inovasi baru juga untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh petani peternak khususnya petani peternak sapi. Dengan adanya pemecahan masalah petani peternak sapi maka dapat mendorong produktivitas usaha ternak yang dikelola rumahtangga. Pengembangan usaha ternak dari tradisional dapat beralih ke semi-intensif mengingat usaha ini dikelola rumahtangga yang memanfaatkan anggota keluarganya. Kemudian untuk mengarah ke intensif banyak hal yang harus ditingkatkan, diantaranya modal usaha. Rumahtangga belum mampu menyediakan modal untuk usaha ternak yang intensif. Tenaga kerja harus yang professional bukan lagi tenaga kerja anggota keluarga. Contoh usaha ternak yang sistem pemeliharaannya intensif adalah perusahaan peternakan sapi potong di Sukabumi. Perusahaan tersebut
28
malakukan impor bibit, menggunakan tenaga professional, memberikan pakan konsentrat (Nefri, 2000). Pengembangan usaha ternak ke arah semi-komersial dapat dilakukan dengan dukungan pemerintah. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan usaha ternak sapi yang dikelola rumahtangga dapat ditingkatkan kearah lebih baik. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah pembentukan kelompok usaha ternak. Peternakan secara berkelompok menurut Fagi, et al. (2004) memiliki keuntungan diantaranya (a) memperkuat posisi tawar petani dalam pemasaran, (b) mengadakan sarana bersamasama, dan (c) memupuk modal. Selain itu, dengan kelompok memudahkan pemerintah menetapkan strategi agresif dan diversifikatif. Kedua strategi tersebut adalah untuk peningkatan pengetahuan bagi petani peternak dan anggota keluarganya. Peningkatan pengetahuan dapat terjadi bila secara terus menerus diberikan penyuluhan bagi rumahtangga dan anggota keluarganya. Kebijakan pemerintah dalam hal pengembangan usaha ternak akan dibahas lebih rinci pada poin selanjutnya.
2.3. Kebijakan Subsektor Peternakan dalam Peningkatan Pendapatan Peternakan di Indonesia umumnya didominasi oleh peternak rakyat berskala kecil dan diusahakan sebagai usaha sambilan. Oleh karena itu salah satu sumberdaya yang menjadi relatif sangat langka bagi petani peternak adalah sumberdaya modal. Dalam upaya pengembangan bidang peternakan sekaligus dalam rangka membantu petani peternak kecil, pemerintah telah menggulirkan berbagai paket kredit sebagai sumber pembiayaan bagi petani peternak, baik dari sumber keuangan formal (pemerintah dan swasta) maupun non formal (kredit individu dan bagi hasil).
29
Dalam menunjang pembangunan peternakan, pemerintah melakukan berbagai cara untuk mengurangi ketergantungan impor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Upaya yang dilakukan yaitu membuka peluang investasi dan peluang pasar sektor peternakan melalui pengembangan investasi nasional dengan meningkatkan peran swasta dalam pembangunan peternakan untuk pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2004). Target investasi yang dilakukan terhadap sub sektor peternakan tahun 19992000 (Tabel 5) mengalami penurunan sebesar 25.0 persen. Penurunan terjadi baik terhadap pra produksi peternakan, produksi dan pasca produksi dengan prosentase penurunan yang sama. Dari target investasi tersebut, jumlah yang terealisasi tahun 1999-2000 juga menurun baik untuk pra produksi, produksi maupun pasca produksi. Tabel 5. Realisasi Investasi Sub Sektor Peternakan Tahun 1999-2000 Uraian
Tahun
Pertumbuhan Tahun 1999-2000 (%Tahun)
1999 2000 1. Pra produksi Target (Juta Rp) 290 674 218 481 Realisasi (Juta Rp) 395 175 333 630 Persentase (%) 136 153 2. Produksi Target (Juta Rp) 308 071 231 557 Realisasi (Juta Rp) 552 079 440 770 Persentase (%) 179 190 3. Pasca Produksi Target (Juta Rp) 290 674 218 481 Realisasi (Juta Rp) 385 665 325 600 Persentase (%) 133 149 4. Jumlah Total Target (Juta Rp) 889 419 668 518 Realisasi (Juta Rp) 1 332 919 1 100 000 Persentase (%) 150 165 Sumber : Direktorat Pengembangan Peternakan, 2004.
-25.0 -16.0 12.0 -25.0 -20.0 6.0 -25.0 -16.0 12.0 -25.0 -17.0 10.0
30
Besarnya penurunan untuk pra produksi dan produksi masing-masing adalah 16.0 persen dan untuk tahap produksi 20.0 persen. Pada tahap pra produksi maupun pasca produksi dari investasi yang ditargetkan ternyata yang terealisasi pada tahun 1999-2000 sebesar 12.0 persen. Sedangkan pada tahap produksi dari target investasi yang terealisasi hanya sebesar 6.0 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun terjadi penurunan target investasi terhadap sub sektor peternakan. Pemerintah sebagai motivator, akselerator, regulator, fasilitator dan promotor sangat berperan dalam pembangunan peternakan. Dalam rangka pembangunan peternakan, berbagai cara telah ditempuh oleh pemerintah Sulawesi Utara. Namun pembangunan peternakan sangat terkait dengan sumberdaya yang ada. Sehingga kebijakan pemerintah perlu dilakukan berdasarkan potensi daerah tersebut. Program Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara tahun 2005 dalam rangka pembangunan peternakan adalah peningkatan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing komoditas peternakan, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan komoditas unggulan daerah. Dalam rangka peningkatan ketahanan pangan dengan sasaran (1) tersedianya pangan yang cukup aman, (2) tersedianya pakan ternak, (3) meningkatnya keragaman produksi, dan (4) meningkatnya kemampuan masyarakat mengatasi kerawanan pangan, pemerintah melakukan beberapa hal yaitu : (1) pengembangan kawasan inti peternakan yaitu pengembangan ternak unggul, berproduksi tinggi ditingkat petani, (2) pengendalian penyakit hewan, (3) pengembangan bibit dan pakan ternak, dan (4) penguatan kelembagaan, yaitu : (a) pengembangan kelembagaan petani (kelompok tani ternak), (b) pengembangan kelembagaan penyuluhan (PPL, BPP, Penyuluh Swakarsa).
31
Sasaran program peningkatan nilai tambah dan daya saing produk yaitu (1) berkembangnya usaha-usaha pertanian, (2) meningkatnya kualitas/daya saing produk, dan (3) tersedianya lapangan kerja di pedesaan. Kegiatan pokok program ini adalah pengembangan usaha bidang sector peternakan yang meliputi : (1) pengembangan usaha sektor hulu (menyangkut: pengembangan usaha pembibitan peternakan, usaha jasa alat dan mesin, pengembangan unit pelayanan sapronak, penumbuhan kredit mikro pedesaan, dan usaha pakan ternak), (2) pengembangan usahatani (menyangkut : pembinaan dan kemitraan usaha, pembinaan dan pengembangan penerapan tehnologi,
pengembangan
usahatani
terpadu
serta
pengembangan
usaha
penggemukan, usaha jasa inseminasi buatan (IB), usaha kawin alam, pengembangan beras organik), dan (3) pengembangan usaha sektor hilir/industrialisasi pertanian berbasis pedesaan (menyangkut : pengembangan UP3HP, pengembangan produk olahan (diversifikasi produk), pengembangan Rice Milling Unit, dan fasilitas sarana pengolahan hasil). Sasaran program peningkatan kesejahteraan petani adalah (1) meningkatnya kapasitas, posisi tawar dan pendapatan petani/pelaku usaha pertanian, (2) meningkatnya akses petani terhadap sumberdaya produktif, dan (3) meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petani. Kegiatan pokok program ini menyangkut: (1) pemberdayaan peternakan melalui BPLM, (2) pengembangan sumberdaya peternak dan petugas, dan (3) usaha meningkatkan posisi tawar petani. Sasaran program pengembangan komoditas ungulan daerah adalah (1) peningkatan kawasan sentra, (2) meningkatnya nilai tambah, (3) diversifikasi produk, dan (4) pengembangan usaha peternakan. Kegiatan pokok program ini adalah
32
menyangkut : (1) integrasi jagung – ayam buras, (2) pengembangan ternak babi, dan (3) pengembangan komoditas unggulan sapi potong. Permasalahannya, kenyataan dilapang menunjukkan program pemerintah tidak berjalan sebagaimana yang dicanangkan. Apakah benar program yang dijalankan tersebut berhasil seratus persen, terutama untuk pengembangan usaha ternak sapi. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan program yang dicanangkan pemerintah tersebut. Program yang dicanangkan pemerintah sebaiknya dibarengi dengan penerapan strategi agresif maupun strategi diversifikatif dalam pengembangan usaha ternak sapi. Strategi ini dapat diadopsi dari penelitian Hoda (2002) yang dianggap relevan dengan kondisi usaha ternak sapi di Sulawesi Utara. Salah satu faktor penunjang produktivitas ternak sapi seperti dijelaskan di atas, yaitu ketersediaan hijauan makanan ternak. Ketersediaan hijauan ini diperlukan agar petani tidak tergantung pada limbah pertanian. Penanaman hijauan makanan ternak dapat dilakukan dibawah pohon kelapa yang tidak dimanfaatkan atau pada lahan-lahan tidur lainnya. Hijauan yang dapat ditanam misalnya rumput Setaria yang tahan kering (Hoda, 2002), leguminosa atau pohon-pohon dan jenis rumput lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan. Penanaman leguminosa dapat memberikan keuntungan yang menunjang produksi hijauan. Keuntungannya adalah tertekannya pertumbuhan gulma sehingga persaingan unsur hara yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan rumput menjadi kecil (Yuhaeni et al., 1983). Indikasinya akan terjadi peningkatan produktivitas hijauan makanan ternak. Penyuluhan yang dicanangkan sebagai program pemerintah bagi petani peternak juga merupakan strategi agresif maupun strategi diversifikatif. Penelitian
33
Soenarjo yang dilakukan pada tahun 1983 masih dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam rangka pengembangan usaha ternak sapi. Hal ini dimungkinkan mengingat kondisi usaha ternak saat ini, di Sulawesi Utara ternyata masih bersifat ekstensif atau tradisional. Soenarjo (1983) menyarankan petani peternak diwajibkan untuk diberikan penyuluhan secara intensif. Tujuan penyuluhan ini agar usaha ternak secara tradisional dapat beralih ke usaha komersial yaitu dengan orientasi bisnis untuk memperoleh keuntungan. Dengan pengetahuan yang diberikan petani peternak dapat memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam pengelolaan usaha ternak sapi. Namun penyuluhan tidak hanya sekedar pemberian materi, tetapi harus dibarengi dengan praktek. Hal ini agar petani peternak betul-betul terampil dalam hal menyeleksi bibit ternak yang baik, dapat menentukan pakan yang sesuai kuantitas maupun kualitasnya dan dapat mengontrol kesehatan ternak sapi. Dalam menjalankan penyuluhan serta pelatihan keterampilan peternak sebaiknya dibentuk kelompok-kelompok petani
peternak.
Pemerintah
telah
mencanangkan program pengembangan kelembagaan dalam bentuk kelompok petani peternak. Namun, kelompok yang dibentuk sesuai program pemerintah dengan pertimbangan tertentu yaitu adanya bantuan yang akan diberikan kepada kelompok. Pertimbangan ini yang menyebabkan kelompok-kelompok yang ada tidak terorganisir dan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kelompok yang dibentuk seharusnya mendapat pembinaan langsung oleh pemerintah dengan intensif dan kontinyu. Contoh kelompok petani peternak yang telah dibentuk dan terorganisir dengan baik dan mendapat binaan khusus adalah kelompok tani ternak Torona. Kelompok ini terdapat di desa Kanonang II Kecamatan Kawangkoan yang beranggota sebanyak 28
34
orang. Studi Somba (2003) yaitu mempelajari aktivitas ekonomi kelompok Torona tersebut. Kelompok ini terdiri dari rumahtangga petani peternak dengan pekerjaan utama kepala keluarga, 51.53 persen sebagai petani peternak sapi. Pemeliharaan ternak sapi oleh anggota kelompok masih secara tradisional dengan tujuan pemeliharaan ternak adalah untuk tenaga kerja. Tenaga kerja ternak dimanfaatkan untuk mengolah lahan, membajak sawah dan mengangkut hasil-hasil pertanian. Ternak dibiarkan dilahan-lahan pertanian untuk mencari hijauan makanan ternak. Usaha ternak sapi anggota kelompok Torona merupakan usaha rumahtangga, tenaga kerja yang digunakan dalam mengelola usahanya adalah tenaga kerja anggota keluarga. Kelebihan petani peternak sebagai anggota kelompok dibanding rumahtangga petani peternak individual adalah bibit yang digunakan walaupun masih bibit ternak lokal tetapi sudah diseleksi. Selain itu, ternak sapi merupakan ternak lokal hasil persilangan. Perkawinan ternak bukan lagi dengan cara alami tetapi dengan cara inseminasi buatan (IB) untuk memperoleh bibit unggul. Ternak yang lahir dilakukan vaksinasi sesuai kebutuhan dan diberi obat apabila ternak sakit. Kelompok Torona ini terorganisir dengan baik dan mendapat binaan secara intensif dan kontinyu. Kendala yang dihadapi petani peternak anggota kelompok adalah kendala modal (Somba, 2003). Kendala ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah dapat mencari investor untuk melakukan investasi dalam rangka pengembangan usaha ternak sapi. Pengembangan lembaga penyuluhan sesuai program yang dicanangkan harus betul-betul dijalankan dengan melakukan pembinaan dan pelatihan bagi penyuluh termasuk
petugas
inseminasi
(inseminator).
Pembinaan
inseminator
dapat
35
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, rasa disiplin dan tanggungjawab inseminator dalam melakukan inseminasi buatan. Soenarjo (1983) menyimpulkan bahwa pembinaan inseminator mengakibatkan adanya efisiensi reproduksi kelompok ternak sapi betina yaitu meningkat sebesar 33.15 sampai 61.25 persen. Perdagangan antar pulau ternak sapi di Sulawesi Utara setiap tahunnya mengalami peningkatan. Kegiatan ini perlu adanya intervensi oleh pemerintah baik dalam hal harga ternak maupun dalam penentuan batas minimum bobot ternak sapi yang akan dipasarkan. Pemerintah harus menetapkan batas minimum bobot ternak sapi seperti yang dilakukan pemerintah Sulawesi Selatan (Laporan Limbong, 1989). Tujuan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dalam usaha ternak, peningkatan kualitas ternak dan peningkatan pendapatan peternak. Dengan penetapan batas minimum bobot ternak, petani peternak termotivasi untuk meningkatkan berat badan ternak sapi sehingga ternak dapat terjual dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini telah dilakukan oleh seorang pedagang ternak sapi di Kecamatan Tomohon. Pengembangan usaha ternak ditunjang dengan kebijakan pemerintah yang relevan, akan berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan rumahtangga. Namun karakteristik aktivitas rumahtangga petani peternak perlu dipelajari mengingat program pemerintah yang dicanangkan harus disesuaikan dengan kondisi rumahtangga. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan tergantung pada kondisi usaha ternak rumahtangga di suatu wilayah tersebut. Untuk mempelajari karekteristik rumahtangga petani peternak akan dikaji model-model ekonomi rumahtangga untuk usaha-usaha lain.
36
2.4. Model Ekonomi Rumahtangga Penelitian spesifik terhadap model ekonomi rumahtangga usaha ternak apakah usaha ternak ruminansia (sapi, kambing dan domba), ternak babi, ternak unggas belum banyak dilakukan. Penelitian usaha ternak yang telah banyak dilakukan adalah penelitian pada level usaha ternaknya bukan level rumahtangga. Pada level rumahtangga dipelajari bahwa rumahtangga berfungsi sebagai produsen sekaligus konsumen dan penyedia tenaga kerja. Selama ini penelitian yang dilakukan mempelajari secara spasial dari sisi produksi ataupun konsumsi rumahtangga. Yang menarik dalam penelitian rumahtangga petani peternak sapi adalah karakteristik usaha ternak dari tahun ke tahun tidak mengalami perkembangan. Usaha ini dikelola oleh rumahtangga dan anggotanya dengan sistem pemeliharaan masih tradisional. Padahal usaha ternak sapi merupakan alternatif usaha yang dapat dikembangkan dan tidak membutuhkan areal yang besar. Apalagi dengan adanya masalah pengalihan lahan pertanian menjadi lahan pemukiman, maka usaha ternak sapi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai usaha rumahtangga untuk menunjang pendapatan. Dalam penelitian ini sangat dibutuhkan untuk mempelajari model ekonomi rumahtangga yang telah banyak diteliti baik pada wilayah Indonesia maupun luar Indonesia. Model-model ekonomi rumahtangga tersebut diantaranya model rumahtangga pengusaha industri dan rumahtangga petani untuk beberapa komoditas pertanian dan rumahtangga petani nelayan, juga model rumahtangga petani peternak di luar Indonesia. Studi-studi ekonomi rumahtangga yang dilakukan secara keseluruhan adalah untuk mempelajari aktivitas rumahtangga. Aktivitas rumahtangga mencakup aktivitas
37
produksi, konsumsi dan pengalokasian tenaga kerja. Aktivitas produksi dalam rumahtangga dikaitkan dengan pengalokasian tenaga kerja keluarga maupun luar keluarga. Aktivitas produksi tersebut dilakukan untuk menghasilkan pendapatan baik pendapatan dalam usaha rumahtangga maupun di luar usaha rumahtangga. Pendapatan yang diperoleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga dan anggotanya. Kebutuhan anggota rumahtangga dipenuhi dari konsumsi pangan maupun non pangan. Beberapa penelitian yang dilakukan terhadap rumahtangga pengusaha industri bertujuan untuk mempelajari keputusan ekonomi yang meliputi alokasi waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga pengusaha dan pekerja (Nugrahadi, 2001; Negoro, 2003; Ariyanto 2004; Zairani, 2004 dan Elistiawaty, 2005). Nugrahadi (2001) melakukan penelitian pada industri produk jadi rotan di Kota Medan yaitu penelitian dengan unit analisis rumahtangga. Lebih spesifik lagi studi-studi tersebut mempelajari alokasi waktu kerja, kontribusi pendapatan dan pola pengeluaran rumahtangga. Tujuan lain adalah mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
ekonomi
rumahtangga.
Dalam
mempelajari
aktivitas
ekonomi
rumahtangga sangat berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga dampak kebijakan pemerintah terhadap keputusan ekonomi rumahtangga juga merupakan salah satu tujuan dalam studi tentang rumahtangga. Analisis simulasi yang dilakukan tujuannya untuk melihat suatu dampak perubahan kebijakan terhadap kesejahteraan rumahtangga. Dampak kebijakan yang dianalisis pada rumahtangga pengusaha dan pekerja industri rotan adalah dampak perubahan karakteristik usaha terhadap keputusan
38
ekonomi rumahtangga (Nugrahadi 2001). Karakteristik usaha tersebut menyangkut kebijakan harga, perubahan skala dan curahan kerja. Variasi harga input maupun harga output berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi rumahtangga suatu industri. Kondisi ini perlu suatu intervensi dari pemerintah agar rumahtangga bisa memperoleh harga yang layak. Dalam kaitan dengan kebijakan harga tersebut, Negoro (2003) menggunakan analisis simulasi untuk mempelajari dampak kebijakan harga input dan harga output terhadap curahan waktu kerja dan pengeluaran rumahtangga. Simulasi Elistiawaty (2005) juga menyangkut dampak kebijakan harga input maupun harga output. Dampak kebijakan terhadap curahan waktu kerja dan pengeluaran rumahtangga ini dipelajari juga oleh Ariyanto (2004) dengan melihat dampak perubahan eksternal. Perubahan eksternal meliputi peningkatan gaji pokok, jam lembur serta penghapusan jam lembur. Sedangkan Zairani (2004) yang mempelajari peluang kerja dan keputusan ekonomi rumahtangga pengusaha kecil di Kota Bogor kasus penerapan kredit usaha kecil, namun tidak melakukan analisis simulasi. Berbeda
dengan
peneliti-peneliti
di
atas,
Syukur
(2002)
mencoba
menganalisis keberlanjutan dan perilaku ekonomi peserta skim kredit rumahtangga miskin. Modal adalah salah satu input penting dalam menunjang proses produksi suatu usaha. Usaha tersebut apakah usaha pertanian maupun non pertanian. Kendala yang sering dihadapi rumahtangga terlebih rumahtangga miskin adalah kendala modal. Modal untuk rumahtangga dapat diperoleh melalui kredit dari lembagalembaga perkreditan. Tujuan penelitian Syukur adalah untuk menganalisis mekanisme penyaluran dan pengembalian (delivery mechanism) skim kredit dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembalian kredit. Kemudian keberlanjutan dan
39
perilaku ekonomi rumahtangga peserta skim kredit karya usaha Mandiri juga sebagai tujuan penelitian ini. Selanjutnya, analisis simulasi dilakukan untuk melihat dampak kebijakan terhadap kesejahteraan rumahtangga miskin peserta skim kredit. Pendapatan rumahtangga miskin yang diteliti Syukur, tidak didisagregasi berdasarkan pendapatan yang diterima oleh rumahtangga dan anggota keluarganya (Syukur, 2002). Padahal dalam kenyataannya karakteristik rumahtangga miskin melibatkan semua anggota keluarganya untuk memperoleh pendapatan. Pendapatan dan curahan kerja dapat mencakup dalam usaha dan luar usaha. Curahan kerja berdasarkan curahan kerja pria, wanita dan anak. Konsumsi dihitung berdasarkan konsumsi pangan maupun non pangan. Dalam analisis juga termasuk variabel jumlah angkatan kerja keluarga, pendapatan siap dibelanjakan, tabungan, investasi, pajak, dan biaya operasional. Variabel investasi adalah investasi usaha dan investasi pendidikan (Nugrahadi, 2001; Negoro, 2003; Ariyanto 2004; Zairani, 2004 dan Elistiawaty, 2005). Biaya operasional dalam bentuk biaya bahan baku, biaya bahan bakar, biaya pewarnaan dan modal mesin (Nugrahadi, 2001). Elistiawaty memasukkan investasi pendidikan sebagai variabel endogen. Curahan waktu rumahtangga tidak dibedakan oleh Syukur (2002) antara pria, wanita dan anak. Dalam kenyataan, waktu yang dicurahkan oleh pria dewasa dalam pekerjaan lebih tinggi dibanding dengan waktu wanita dewasa dan anak. Dalam perencanaan suatu usaha sebaiknya sumberdaya, responsibilitas, pekerjaan dan manfaat didistribusikan antara pria, wanita dan anak. Hal ini mengindikasikan perlunya suatu analisis gender. Kebutuhan analisis gender, terutama berhubungan dengan peranan wanita dalam sistem usahatani rumahtangga (Gabriel, 1995). Studi
40
dalam usaha industri atau usaha lainnya juga diperlukan analisis gender. Dalam kenyataannya wanita dapat mengalokasikan tenaga kerjanya untuk industri maupun usaha lainnya. Penelitian Ariyanto (2004) membahas lebih jauh peranan gender dalam ekonomi rumahtangga, sehingga analisis yang dilakukan berdasarkan model rumahtangga pekerja pria dan pekerja wanita. Model rumahtangga pekerja pria mencakup alokasi waktu suami maupun waktu isteri, pendapatan suami dan isteri. Alokasi waktu suami dianalisis terhadap alokasi waktu bekerja dalam maupun luar industri, waktu suami untuk rumahtangga dan perjalanan suami. Alokasi waktu isteri yang bekerja dalam maupun luar industri, untuk rumahtangga dan perjalanannya juga dianalisis. Variabel-variabel tersebut juga dianalisis sebagai model rumahtangga pekerja wanita. Variabel seperti pengalaman, pendidikan isteri, umur, jumlah tanggungan keluarga, jumlah anak sekolah dan dummy jenis upah dimasukkan Negoro (2003) dalam penelitiannya. Untuk mengetahui peluang kerja Zairani (2004) menganalisisnya dengan menggunakan model logit yang didasarkan pada fungsi kumulatif logistik. Sedangkan keputusan ekonomi rumahtangga menyangkut aspek-aspek curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dianalisis secara simultan (Nugrahadi, 2001; Negoro, 2003; Ariyanto 2004; Zairani, 2004 dan Elistiawaty, 2005). Aset dimasukkan sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi konsumsi, variabel lamanya meminjam, kredit usaha dan variabel dummy pekerjaan utama serta dummy sektor usaha mempengaruhi pendapatan (Zairani, 2004). Produksi tidak dianalisis secara simultan oleh Zairani. Produksi merupakan salah satu
41
aktivitas ekonomi rumahtangga pengusaha industri. Berdasarkan produksi yang dihasilkan dapat diperoleh pendapatan. Sehingga apabila tidak mempunyai data produksi maka dapat dilakukan proxy berdasarkan pendapatan. Penelitian yang diuraikan di atas menyangkut penelitian aktivitas ekonomi rumahtangga pengusaha pada industri yang berbeda. Selanjutnya akan dibahas aktivitas ekonomi rumahtangga petani untuk beberapa komoditas pertanian, termasuk usaha nelayan dan usaha ternak. Suprapto (2001) menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga di Irian Jaya terhadap 30 rumahtangga petani yang mengelola kakao. Ambarsari (2005) juga mempelajari usahatani pekebun kakao tapi lokasi berbeda dengan Suprapto. Andriati (2003) dan Anwar (2005) mempelajari aktivitas ekonomi rumahtangga petani padi dilokasi yang berbeda. Sedangkan Sawit (1993) dan Kusnadi (2005) mempelajari multioutput. Penelitian yang mempelajari rumahtangga petani peternak diantaranya oleh Ngqangweni dan Delgado (2003) di Provinsi Limpopo. Menurut Ngqangweni dan Delgado (2003) bahwa keputusan aktivitas ekonomi rumahtangga peternak di area semi-arid dilakukan oleh rumahtangga dan anggota keluarganya. Barret, et al. (2004) mempelajari perilaku pemasaran ternak pada level rumahtangga di Kenya Bagian Utara dan Ethiopia Bagian Selatan. Penelitian lain yang berkaitan dengan rumahtangga peternak yaitu oleh Best (1987), Gulelat (2002), Dutilly-Diane, et al. (2003) dan Maltsoglou dan Rapsomanikis (2005). Best (1987) mempelajari ternak di pekarangan dan mata pencaharian rumahtangga di Serawak berkaitan dengan innovasi dan perbaikan. Dutilly-Diane et al. (2003) mempelajari perilaku rumahtangga pada kegagalan pasar berkaitan dengan manajemen sumberdaya alami
42
dalam rangka meningkatkan produksi ternak di Sahel. Sedangkan Maltsoglou and Rapsomanikis
(2005)
mempelajari
kontribusi
ternak
terhadap
pendapatan
rumahtangga di Vietnam. Seperti pada studi-studi rumahtangga industri, rumahtangga usahatani juga bertujuan untuk mempelajari keputusan ekonomi rumahtangga produksi, konsumsi dan alokasi waktu kerja. Produksi yang diamati merupakan jumlah produksi usahatani (Suprapto, 2001; Andriati, 2003; Ambarsari, 2005; dan Anwar, 2005), nelayan (Muhammad, 2002) dan ternak yang dihasilkan oleh anggota rumahtangga. Konsumsi rumahtangga berdasarkan konsumsi pangan dan non pangan. Konsumsi pangan berdasarkan produksi sendiri maupun yang dibeli dipasar. Pengeluaran untuk konsumsi dilakukan berdasarkan pendapatan rumahtangga dan anggotanya. Selain pengeluaran untuk konsumsi, rumahtangga juga mengalokasikan pendapatannya untuk pengeluaran investasi baik investasi usaha maupun investasi pendidikan dan kesehatan. Pendapatan anggota rumahtangga berasal dari usahataninya sendiri, usahatani lain dan dari non pertanian. Pendapatan rumahtangga yang dianalisis sebagai pengeluaran merupakan pendapatan yang dibelanjakan (Andriati, 2003; Ambarsari, 2005, dan Anwar, 2005). Suprapto (2001) menganalisis pendapatan yang dibelanjakan sebagai total pendapatan (TR). Studi menyangkut pendapatan telah dilakukan oleh Hyun et al. (1979) terhadap rumahtangga di Korea. Rumahtangga menabung lebih besar dari pendapatan mereka yaitu empatperlima bersumber dari pendapatan sementara mereka dan sisanya dari pendapatan tetap. Sebagian produksi yang dihasilkan rumahtangga dijual dipasar dan sebagian dikonsumsi. Selisih antara produksi dan konsumsi atau digunakan sebagai bibit
43
dikenal dengan surplus produksi atau disebut dengan marketable surplus. Dalam analisis aktivitas ekonomi rumahtangga petani, marketable surplus dianalisis sebagai salah satu aktivitas rumahtangga (Sawit, 1993; Suprapto, 2001 dan Anwar, 2005). Fokus utama penelitian Mitch (1990) adalah mengukur respon suplai tenaga kerja atau marketable surplus terhadap perubahan harga dan variabel eksogenus lain. Ada dua hal menurut Mitch yang mendorong rumahtangga semi subsisten untuk menyimpan persediaan pangan hasil utama yaitu pertama, rumahtangga ingin meminimumkan ketergantungan mereka pada pasar lokal untuk kebutuhan dasar pangan dan menyimpan stok makanan sebagai kemungkinan gangguan suplai yang tidak diantisipasi. Kedua, persediaan hasil utama yang diproduksi merupakan perilaku profit-seeking dalam respon pergerakan harga yang tergantung musim. Rumahtangga petani, nelayan dan peternak berusaha mengalokasikan semua tenaga kerja keluarganya (pria, wanita dan anak) (Suprapto, 2001; Hendayana dan Togatorop, 2003) untuk menambah pendapatan mereka. Alokasi tenaga kerja anggota keluarganya yaitu alokasi dalam usahatani sendiri maupun di luar usahatani. Pada usaha nelayan curahan kerja dianalisis berdasarkan curahan kerja melaut, agroindustri dan non perikanan (Muhammad, 2002). Dalam mengelola usahataninya, rumahtangga selain menggunakan tenaga kerja anggota keluarga juga tenaga kerja luar keluarga (Sawit, 1993; Andriati 2003; Ambarsari, 2005 dan Kusnadi, 2005). Curahan kerja berasal dari dalam maupun luar keluarga terdiri dari tenaga kerja pria dewasa (Muhammad, 2002), pria dan wanita (Kusnadi, 2005), pria dewasa dan wanita dewasa, buruh tani pria dan wanita (Andriati, 2003). Menurut Chavas, et al. (2004) menyatakan bahwa tenaga kerja rumahtangga secara khas terdiri dari pria,
44
wanita dan anak. Curahan waktu kerja sesuai hasil penelitian Hendayana dan Togatorop (2003) adalah kegiatan on-farm dalam memelihara ternak menunjukkan persentase paling besar. Curahan waktu kerja kegiatan on-farm usaha ternak di Jawa Barat sebesar 31.9 persen dan di Sumatera Utara sebesar 48.7 persen. Sebaliknya pada kegiatan non-farm yakni masing-masing 44.4 persen dan 17.5 persen. Lebih lanjut menurut Hendayana dan Togatorop, curahan waktu kerja berhubungan dengan tingkat pendapatan rumahtangga. Curahan waktu kerja tinggi menghasilkan pendapatan tinggi, curahan waktu kerja tinggi menghasilkan pendapatan rendah. Curahan waktu kerja rendah menghasilkan pendapatan tinggi dan curahan waktu kerja rendah dapat menghasilkan pendapatan rendah. Rumahtangga mengkombinasikan beberapa input dalam proses produksi usahataninya. Input yang digunakan dalam usahatani tanaman pangan diantaranya bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja (Suprapto, 2001; Andriati, 2003; Ambarsari, 2005, Anwar, 2005 dan Kusnadi, 2005). Muhammad (2002) memasukkan input yang digunakan sebagai biaya operacional, terdiri dari biaya perawatan alat tangkap, biaya kerusakan ringan, biaya perbekalan trip melaut, retribusi dan biaya BBM. Dalam penelitian Kusnadi (2005), input yang dianalisis adalah harga bayangan dari input tersebut. Harga bayangan dinyatakan sebagai nilai produktivitas marjinal input usahatani yang diturunkan dari fungsi produksi usahatani. Harga bayangan tergantung tingkat penggunaan input sendiri dan seperangkat penggunaan input lainnya. Adanya harga bayangan input merupakan spesifikasi persamaan simultan yang dilakukan Kusnadi (2005). Penggunaan harga bayangan input usahatani dapat menangkap adanya ketidaksempurnaan pasar input yang dihadapi rumahtangga.
45
Aktivitas
ekonomi
rumahtangga
dapat
mempengaruhi
kesejahteraan
rumahtangga dan anggotanya. Untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga dan anggotanya tersebut maka perlu dukungan dari pemerintah. Intervensi pemerintah dapat dilakukan dalam bentuk kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas yang selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga dan keluarganya. Studi aktivitas ekonomi rumahtangga, mempelajari dampak kebijakan pemerintah terhadap keputusan rumahtangga dapat dianalisis dengan pendekatan analisis simulasi. Dalam usahatani tanaman pangan, kebijakan yang biasanya disimulasi adalah kebijakan harga baik harga output maupun harga input (Sawit, 1993; Andriati 2003; Anwar, 2005 dan Kusnadi, 2005). Walaupun demikian beberapa penelitian pada level rumahtangga tersebut tidak melakukan simulasi kebijakan (Suprapto, 2001 dan Ambarsari 2005). Simulasi kebijakan yang dianalisis Andriati (2003) adalah dampak kebijakan perubahan harga gabah. Analisis simulasi untuk melihat dampak kebijakan peningkatan harga padi, penurunan harga pupuk, peningkatan upah tenaga kerja dan penambahan luas lahan garapan. Anwar (2005) juga menganalisis respon produksi dan konsumsi pangan rumahtangga petani dengan simulasi perubahan kebijakan harga. Menurut Ngqangweni dan Delgado (2003), pemerintah melakukan intervensi dalam mempermudah rumahtangga miskin menginvestasi ternak untuk memperbaiki mata pencaharian mereka. Kebijakan pemerintah diantaranya : (1) meningkatkan peran lembaga perkreditan, (2) memperbaiki infrastruktur antara pedesaan dan perkotaan, (3) memberikan pendidikan keterampilan kepada anak muda, (4) mengontrol sumberdaya padang penggembalaan untuk menghindari penggembalaan
46
berlebih dan erosi tanah, dan (5) melakukan investasi padang penggembalaan dan menetapkan petugas pengontrol penggunaan lahan tersebut. Penelitian model rumahtangga pertanian telah dilakukan oleh Sawit (1993) tentang A Farm Household Model For Rural Household Of West Java Indonesia. Tujuan umum Sawit adalah menganalisis pengaruh variasi kebijakan pemerintah, terutama harga produk dan input, pada pendapatan dan tenaga kerja pedesaan. Dalam analisisnya diperhitungkan (1) pemisahan tenaga kerja, karena pria dalam keluarga mempunyai opportunities lebih besar untuk bekerja terutama dalam aktivitas non pertanian. Suami dan isteri mempunyai peranan yang berbeda dalam menghasilkan utilitas, (2) karakteristik rumahtangga yang dapat berpengaruh pada tingkat produksi maupun konsumsi rumahtangga, dan (3) kondisi eksogenus seperti harga produk, input serta kondisi pasar tenaga kerja. Sawit (1993) menyimpulkan bahwa pemahaman perilaku produksi dan konsumsi rumahtangga usahatani adalah penting dalam rangka mengantisipasi efek kebijakan pada pendapatan rumahtangga, tenaga kerja dan kesejahteraan. Ini meliputi pemahaman bagaimana rumahtangga pedesaan melakukan penyesuaian ke kebijakan pemerintah seperti harga input dan harga output. Untuk beternak, keputusan yang diambil oleh rumahtangga tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya kondisi wilayah menyangkut iklim, kelembaban dan cuaca, ketersediaan pakan, infrastruktur untuk menunjang pemasaran hasil, kekayaan, pendapatan dan lembaga kredit. Ngqangweni dan Delgado (2003) melakukan penelitian terhadap 585 rumahtangga di 24 desa wilayah Limpopo. Analisis data dilakukan dengan menggunakan model ekonometrika (Probit
47
dan Tobit). Studi ini menguji pengaruh kekayaan, pendapatan, lembaga perkreditan dan ketersediaan air (di Indonesia dikenal dengan adanya Irigasi) terhadap keputusan rumahtangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumahtangga dengan aset fisik dan akses terbaik untuk jasa kredit adalah lebih memugkinkan untuk beternak. Adanya sumber air di pedesaan tersebut lebih memungkinkan rumahtangga untuk beternak. Kepala rumahtangga sebagai pembuat keputusan, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan kepala rumahtangga yang lebih berpengalaman, punya peluang untuk beternak. Sedangkan kepala rumahtangga yang kurang pengalaman melakukan migrasi dan mencari pekerjaan di kota. Berdasarkan keadaan iklim semiarid yang menunjang usaha ternak, rumahtangga lebih menyukai melakukan perluasan lahan untuk beternak dari pada berusahatani lainnya. Keputusan tentang jumlah ternak yang dipelihara dipengaruhi oleh variabel kekayaan, pendapatan, lembaga perkreditan dan ketersediaan air. Dalam mempelajari aktivitas ekonomi rumahtangga petani peternak masih terbatas pada keputusan rumahtangga dalam beternak seperti yang diteliti Ngqangweni dan Delgado (2003). Keputusan rumahtangga dalam beternak ini masih merupakan keputusan rumahtangga sebagai produsen. Berdasarkan hasil studi rumahtangga pada usahatani misalnya tanaman pangan, keputusan rumahtangga lebih luas mencakup keputusan sebagai produsen sekaligus konsumen dan penyedia tenaga kerja. Sehingga penelitian rumahtangga petani peternak sudah sepatutnya menjadi perhatian. Best (1987) melakukan penelitian ekonomi rumahtangga berkaitan dengan pemeliharaan ternak di pekarangan sebagai mata pencaharian mereka. Gulelat (2003)
48
juga melakukan penelitian rumahtangga peternak dihubungkan dengan ukuran pemeliharaan ternak di Sesfontein Namibia. Demikian pula Barret, et al. (2004) dalam penelitiannya mempelajari rumahtangga peternak berkaitan dengan perilaku pemasaran ternak. Penelitian Maltsoglou dan Rapsomanikis (2005) juga berkaitan dengan rumahtangga, bertujuan memprediksi peranan usaha ternak untuk rumahtangga miskin di Vietnam dan mengidentifikasi efektifitas rumahtangga yang ditargetkan
untuk
penurunan
tingkat
kemiskinan
melalui
kebijakan
yang
mempengaruhi sektor peternakan. Studi-studi yang dilakukan terhadap rumahtangga peternak di atas semuanya berkaitan dengan produktivitas usaha ternak. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam teori ekonomi rumahtangga menyangkut peran rumahtangga sebagai produsen, konsumen maupun penyedia tenaga kerja. Diantara studi-studi tersebut, salah satu studi yang dilakukan di luar Indonesia yaitu oleh Dutilly-Diane (2003) yang mempelajari ekonomi rumahtangga petani peternak berkaitan dengan peran rumahtangga sebagai produsen, sekaligus sebagai konsumen. Penelitian ekonomi rumahtangga petani peternak sapi dilakukan dengan memodifikasi variabel-variabel sesuai penelitian-penelitian pada usahatani tersebut di atas. Variabel-variabel yang ingin ditambahkan penulis diantaranya variabel biaya transaksi. Biaya transaksi sangat mempengaruhi pasar input maupun pasar output dari rumahtangga petani peternak sapi. Berdasarkan kajian empiris di atas, studi-studi menyangkut bidang peternakan sebagian besar masih terbatas pada level usaha ternaknya belum banyak pada level rumahtangga.
Studi
yang
mempelajari
level
rumahtangga
kaitan
dengan
49
peternakanpun kebanyakan masih pada sisi produksinya. Jadi orientasi penelitian lebih banyak mempelajari sisi produksinya, apakah melihat efisiensi produksi dan prospek pengembangannya (Hoda, 2002; Somba, 2003). Ataukah melihat optimalisasi usaha peternakan (Sugeha, 1999; Nefri, 2000 dan Nenepath, 2001). Lebih khusus lagi Suwandi (2005) mempelajari integrasi pola padi sawah-sapi potong namun pada level usahataninya. Padahal usahatani pola padi - ternak sapi potong di Kabupaten Sragen dikelola oleh rumahtangga. Interaksi Crop-livestock seperti studi Suwandi juga telah dilakukan oleh Eguienta (2002) di Vietnam Bagian Selatan. Sementara studi-studi rumahtangga telah banyak dilakukan namun kebanyakan mempelajari perilaku ekonomi rumahtangga pada usaha industri maupun usahatani tanaman pangan. Berdasarkan fenomena di atas, dengan keterbatasan yang ada penelitian ini akan memfokuskan untuk mempelajari karakteristik rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi utara. Penelitian ekonomi rumahtangga yang telah dilakukan berdasarkan ekonomi makro maupun ekonomi mikro. Penelitian-penelitian yang dibahas sebelumnya dengan melihat sisi ekonomi mikro rumahtangga baik rumahtangga pengusaha industri, petani tanaman pangan, nelayan maupun
peternak. Penelitian dari sisi
makro diantaranya oleh Roebeling (2006). Roebeling menganalisis perluasan perilaku rent seeking mempengaruhi faktor intensitas, produktivitas dan keberlangsungan lingkungan dalam sektor peternakan. Roebeling (2006) menganalisis portfolio dengan data series waktu. Analisis yang digunakan adalah pendekatan ekonometrika dengan model keseimbangan regional dan rumahtangga usahatani.
50
Studi-studi ekonomi rumahtangga seperti dikaji sebelumnya menggunakan model analisis yang berbeda-beda dengan argumen masing-masing peneliti tergantung data serta variabel dan daerah penelitian. Beberapa peneliti menggunakan data primer dengan jenis data cross section. Sebagian peneliti dalam studinya menggunakan metode analisis dengan pendekatan ekonometrika secara simultan (Asmarantaka, 2007; Bakir, 2007 dan Priyanti, 2007). Sebagian lagi menggunakan metode pendekatan ekonometrika secara simultan tapi analisisnya secara parsial. Metode analisis dalam model ekonomi rumahtangga apakah rumahtangga pengusaha ataupun rumahtangga pertanian, sangat penting diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan peranan rumahtangga sebagai produsen, konsumen sekaligus penyedia tenaga kerja. Menurut Kusnadi (2005) bahwa ada dua terminologi penting yang digunakan dalam model penelitian rumahtangga, yaitu model rekursif dan model
non
rekursif.
Analisis
ekonomi
rumahtangga menggunakan model
ekonometrika persamaan simultan berkaitan erat dengan model rekursif dan non rekursif. Dalam tulisan Kusnadi (2005) dengan terperinci menjelaskan argumennya menggunakan model ekonometrika persamaan simultan yang digunakan dalam penelitian ekonomi rumahtangga. Argumen ini belum diperhatikan oleh penelitipeneliti lain. Berdasarkan penelitian Kusnadi tersebut, akan dicoba untuk diaplikasi dan dimodifikasi dalam penelitian ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara. Secara teori, hal yang membedakan rumahtangga dengan perusahaan adalah perilaku rumahtangga sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Sebagai produsen rumahtangga berperilaku memaksimumkan keuntungan, sebagai konsumen
51
rumahtangga berperilaku memaksimumkan utilitas. Sedangkan perusahaan dalam proses produksinya berperilaku memaksimumkan keuntungan. Berkaitan dengan perbedaan tersebut dapat disimpulkan, aktivitas ekonomi rumahtangga berhubungan dengan keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Sedangkan aktivitas perusahaan adalah pada keputusan produksi saja. Model analisis yang ditetapkan tergantung apakah keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi tetapi tidak sebaliknya, atau apakah keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi dan sebaliknya. Apabila keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi, tidak sebaliknya maka hal ini merupakan perilaku rumahtangga yang separabel. Pemecahan masalah perilaku rumahtangga yang separable dapat dilakukan secara recursive. Demikian sebaliknya keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi dan sebaliknya maka ini merupakan perilaku rumahtangga non separabel. Pemecahan masalah keputusan tersebut dapat dilakukan secara non-recursive. Menurut Kusnadi (2005), istilah rekursif menunjukkan hubungan simultan yang satu arah dari produksi ke konsumsi, tidak sebaliknya. Sedangkan non rekursif menunjukkan hubungan simultan yang timbal balik antara produksi dan konsumsi. Penelitian Kusnadi (2005) tentang perilaku ekonomi rumahtangga petani dalam pasar persaingan tidak sempurna. Analisis yang digunakan adalah model simultan dengan pemecahan secara non-recursive. Model pemecahan ini dilakukan karena tidak berlakunya salah satu asumsi separabel yaitu pasar output maupun pasar input bersaing sempurna. Dalam analisis Kusnadi ini, khususnya mempelajari variabel harga yang dinyatakan sebagai harga bayangan.
52
Sebagian besar penelitian mengenai ekonomi rumahtangga yang telah dikaji di atas, menggunakan pendekatan ekonometrika dengan model simultan tapi pemecahan masalahnya secara rekursif (Nugrahadi, 2001; Negoro, 2003; Ariyanto, 2003; dan Anwar, 2005). Secara teori, pemecahan masalah secara rekursif dilakukan dengan dua tahap, tahap pertama pemecahan masalah produksi dan tahap kedua pemecahan masalah konsumsi. Chavas, et al. (2004) menganalisis level rumahtangga untuk menangkap pentingnya aktivitas off-farm, menggunakan analisis ekonometrika dengan model Tobit. Penelitian Muhammad (2002) menganalisis keterkaitan antara peubah dalam sistem persamaan produksi, curahan kerja, pendapatan dan konsumsi dengan menggunakan model ekonometrika secara simultan. Namun baik pasar output maupun pasar input yang dilihat adalah bersaing sempurna maka dinyatakan bahwa analisisnya secara simultan yang separabel. Pada pasar persaingan sempurna rumahtangga adalah price taker (Kusnadi, 2005). Secara teoritis bahwa pemecahan separabel dilakukan bila berlaku asumsi pasar output maupun pasar input bersaing sempurna. Dalam penelitian Muhammad, hal ini dapat dilihat dari variabel harga output maupun harga input sebagai variabel eksogen. Salah satu ciri yang membedakan analisis ekonometrika secara simultan separable dan non separable dapat dilihat dari harga bayangan sebagai variabel endogen. Kusnadi (2005) dalam penelitiannya memasukkan harga input dan harga output sebagai variabel endogen. Harga output maupun harga input adalah harga bayangan. Harga bayangan menurut Kusnadi diukur dari nilai produktivitas marginal input usahatani. Nilai tersebut diturunkan dari fungsi produksi usahatani. Kusnadi menduga harga bayangan input melalui pendugaan fungsi produksi usahatani.
53
Berdasarkan kajian studi empiris terdahulu tentang ekonomi rumahtangga, selanjutnya akan diringkas pada Tabel 6. Tabel 6. Nama Peneliti Terdahulu Berdasarkan Model Ekonomi Rumahtangga dan Analisis Yang Digunakan Peneliti Hyun, et al., (1979) Best 1987 Mitch (1990) Sawit (1993) Suprapto (2001) Nugrahadi (2001) Gulelat (2002) Muhammad (2002) Syukur (2002) Ngqangweni and Delgado (2003) Dutilly-Diane, et al., (2003) Negoro (2003) Andriati (2003) Chavas, et al.,(2004) Baret, et al., (2004) Ariyanto (2004) Zairani (2004) Elistiawaty (2005) Anwar (2005) Ambarsari (2005) Kusnadi (2005) Maltsoglou and Rapsomanikis (2005) Roebeling (2006) Asmarantaka (2007) Bakir (2007) Priyanti (2007)
Petani X
Model Ekonomi RT Peternak Nelayan
Lain
X X X X X X X X X X
Analisis Simultan Lain X X X X X X X X X X X X X
X X X
X X X X
X X X X X X X
X X X X
X
X X X
X
X
X
X X X
X X X
2.5. Biaya Transaksi dalam Ekonomi Rumahtangga Dalam topik ini akan dibahas beberapa hasil penelitian menyangkut biaya transaksi (transction cost) yang berkaitan dengan perilaku rumahtangga. Hal ini
54
mengingat, biaya transaksi adalah sangat penting dalam rumahtangga usahatani. Biaya transaksi dapat mempengaruhi proses produksi, pengalokasian tenaga kerja dan pengeluaran konsumsi. Secara empirik dan berdasarkan teori ekonomi rumahtangga, keputusan produksi dan konsumsi rumahtangga usahatani adalah non separabel. Rumahtangga melakukan proses produksi untuk memaksimumkan keuntungan dengan pengalokasian tenaga kerja secara efisien dan efektif untuk memperoleh pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk pengeluaran rumahtangga dalam rangka memenuhi kebutuhan rumahtangga dan keluarganya. Perilaku rumahtangga tersebut satu sama lainnya saling mempengaruhi sehingga dalam penelitian ini dilakukan analisis non separabel dengan pemecahan secara non rekursif. Pada pasar kompetitif, informasi tentang harga yang berlaku tersedia. Dalam pasar beras menurut Lanzona and Everson (1997), terjadi incomplete information, adanya ketidakpastian dan biaya pemasaran lainnya. Terjadinya incomplete dalam persetujuan atau struktur penguasaan oleh rekan perdagangan terutama sebagai respon second best. Persetujuan dan struktur tersebut menyebabkan inefisien dalam produktivitas dan distribusi pendapatan tidak merata. Lofgren and Robinson (1999) melakukan penelitian terhadap rumahtangga dikaitkan dengan biaya transaksi. Dalam penulisannya Robinson membuat pengembangan dua model yaitu : (1) model rumahtangga non separabel dengan biaya transaksi dan pilihan regim pasar (surplus, self-sufficiency atau defisit) sebagai endogenus untuk produksi dan konsumsi. Model yang dikembangkan adalah model optimasi; dan (2) model rumahtangga yang lebih luas dengan menggunakan model CGE (Computable General Equilibrium). Hasil penelitian Lofgren and Robinson
55
(1999) menunjukkan bahwa sangat penting menggunakan pendekatan spesifikasi non separabel untuk rumahtangga. Non separabilitas tersebut juga dapat digunakan sebagai implikasi kebijakan. Jaleta and Gardebroek (2007) juga melakukan penelitian tentang perilaku rumahtangga. Dalam modelnya Jaleta and Gardebroek menjelaskan keputusan alokasi tenaga kerja dan lahan rumahtangga antar aktivitas produksi tanaman pangan dengan memperhitungkan ketidaksempurnaan pasar. Ketidaksempurnaan pasar ini disebabkan karena adanya biaya transaksi yang tinggi dalam pasar. Asumsi bahwa biaya transaksi untuk pembelian dan penjualan adalah berbeda untuk rumahtangga yang sama dan komoditas yang sama. Model rumahtangga usahatani non separabel disesuaikan untuk estimasi ekonometrika dalam keputusan alokasi tenaga kerja dan lahan pada regim partisipasi pasar yang berbeda. Ketidaksempurnaan pasar yang terjadi pada rumahtangga, berdasarkan teori ekonomi dinyatakan sebagai suatu kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar juga terjadi bila terdapat biaya transaksi pada aktivitas rumahtangga. Adanya biaya transaksi melanggar salah satu asumsi separabel. Biaya transaksi digunakan sebagai salah satu variabel yang digunakan dalam penelitian Dutilly-Diane, et al. (2003). Penelitian Dutilly-Diane, et al., (2003) mempelajari kegagalan pasar pada rumahtangga petani peternak. Tulisan Dutilly-Diane, et al didasarkan pada adanya biaya transaksi yang tinggi untuk pasar pangan dan produktivitas produksi pangan melalui perbaikan teknik manajemen sumberdaya alami. Kondisi tersebut dapat mendorong ekspansi perekonomian peternakan dan menangkap keunggulan komparatif regional dalam aktivitas tersebut. Lebih lanjut menurut Dutilly-Diane, et al. (2003), dalam pengembangan model perilaku rumahtangga membuktikan aktivitas
56
pangan dan ternak saling melengkapi. Pada kondisi ini terdapat biaya transaksi yang tinggi pada pasar pangan dan strategi pasar pangan rumahtangga adalah endogen. Biaya transaksi dalam Dutilly-Diane, et al. (2003) adalah sebagai penentu harga. Hal ini dilakukan mengingat jenis data yang digunakan adalah data cross section sehingga harga input maupun harga output tidak bervariasi. Penelitian Evenson, et al. (2000) tentang supervisi dan biaya transaksi pada usahatani padi di Bicol, Philipina. Hasil penelitiannya menunjukkan biaya transaksi dalam pasar tenaga kerja secara khas meningkat disebabkan karena dua tipe masalah informasi yaitu (1) moral hazard karena usaha kerja yang benar tidak mudah diuji dan dilaksanakan, dan (2) pemilihan yang merugikan karena informasi pada atribut pekerja heterogen tidak dengan mudah tersedia. Biaya transaksi yang tinggi sangat mempengaruhi pasar input dan pasar output (Matungul, et al. 2006). Hipotesis Matungul, et al. (2006) dalam penelitiannya menunjukkan tingkat pendapatan dari penjualan tanaman pangan yang dihasilkan rumahtangga skala kecil di KwaZuluNatal, Afrika Selatan dipengaruhi biaya transaksi dan karakteristik usahatani. Sedangkan Mathijs and Vranken (2006) memasukkan variabel skala usaha, lingkup usahatani, jangka waktu dan kecepatan usahatani dalam penelitiannya. Keempat variabel tersebut merupakan rancangan eksternal berkaitan dengan biaya transaksi, dinyatakan sebagai variabel dummy. Penelitian Collisson, et al., (2005) difokuskan pada analisis biaya pemasaran dan biaya transaksi sepanjang saluran pemasaran dari tingkat usahatani. Obyek penelitian pada tujuh kelompok komoditas strategis yaitu ketela, kopi, kapas, susu, ikan dan maizena. Birthal, et al. (2006) juga melakukan penelitian berkaitan dengan biaya transaksi dengan mencoba mengkuantitatifkan
57
biaya transaksi nyata pada tingkat produsen, yaitu biaya perjalanan, komunikasi, penyimpanan, penurunan kualitas dan kuantitas selama perjalanan, kredit, penyuluhan, biaya komisi dan waktu personel (untuk sendiri dan yang disewa). Faktor struktural seperti infrastruktur transportasi secara umum diasumsikan dapat menggeser kurva suplai ke kanan. Hasil penelitian Minot menunjukkan bahwa kasus yang terjadi untuk pasar pangan di negara berkembang, dengan perbaikan infrastruktur transportasi tidak hanya menggeser suplai produk pertanian ke kanan tetapi juga meningkatkan elastisitas suplai produk pertanian. Misalkan rumahtangga memasukkan biaya transaksi (t) dalam menjual atau membeli suatu komoditas. Biaya transaksi disini digambarkan sebagai biaya transportasi dan biaya lain seperti biaya negosiasi. Asumsi biaya transaksi sama untuk penjual maupun pembeli. Besarnya secara proporsional terhadap volume penjualan dan pembelian. Biaya transaksi terjadi antara harga pasar eksogenus (misalnya, Hp) dan harga bayangan (shadow price) endogenus (misalnya, Hb). Biaya transaksi tergantung apakah rumahtangga sebagai pembeli atau penjual, dengan kata lain apakah rumahtangga defisit atau surplus. Apabila rumahtangga defisit maka Hb = Hp + t; sedangkan bila surplus maka Hb = Hp - t. Pada saat yang sama, posisi net dari rumahtangga tergantung pada hubungan antara harga bayangan (Hb) dan autarki harga bayangan (AHB). Autarki harga bayangan ini terjadi pada kondisi rumahtangga self-sufficient. Rumahtangga net buyer jika Hb < AHB, sebaliknya rumahtangga net seller jika Hb > AHB. Kombinasi kedua hubungan tersebut di atas adalah untuk net buyer, Hb=Hp+t
AHB atau Hp>AHB+t.
58
Hasil penelitian Minot (1999), secara agregat suplai dan permintaan dibuat ilustrasi seperti Gambar 1.
Price S(t=a)
S(t=0)
D(t=0) D(t=a)
Kuantitas
Gambar 1. Suplai dan Permintaan Sebagai Fungsi dari Harga Pasar dan Biaya Transaksi (Minot, 1999)
Gambar 1 menunjukkan dengan adanya biaya transaksi menyebabkan penawaran dan permintaan lebih in elastis, tetapi pengaruhnya tidak seragam untuk setiap range harga berbeda. Rumahtangga baik net seller maupun net buying respon terhadap perubahan harga. Biaya transaksi adalah biaya-biaya dalam pengaturan kontrak, atau persetujuan transaksi antara pembeli dan penjual, termasuk biaya penanganan dan biaya pengiriman. Apabila pedagang perantara atau pengecer berdekatan dengan pembeli berarti pedagang dan perantara tersebut dapat mengurangi biaya transaksi. Selain biaya-biaya tersebut, informasi juga merupakan biaya transaksi (Matungul et
59
al., 2006). Informasi adalah penting sebagai fasilitas transaksi. Apabila dalam bertransaksi tidak tersedia informasi yang lengkap maka biaya transaksi lebih tinggi. Biaya transaksi dapat mempengaruhi pasar tenaga kerja. Lanzona and Everson (1997) mengukur pengaruh biaya transaksi penjualan beras terhadap partisipasi pasar tenaga kerja dan upah yang diperoleh. Asumsi Lanzona and Everson, harga pembelian dan harga penjualan berbeda untuk rumahtangga yang berbeda. Perbedaan harga ini digunakan untuk menghitung biaya transaksi di pedesaan yang dikaitkan dengan standar partisipasi pasar tenaga kerja dan persamaan upah. Biaya transaksi menyebabkan pendapatan yang diterima petani berbeda untuk petani yang punya lahan dan tanpa lahan, area pedesaan dan perkotaan serta pria dan wanita. Dalam pasar tenaga kerja, masalah informasi mempunyai dua konsekuensi utama pada kualitas pekerja dan kontribusi mereka terhadap pasar output (Lanzona and Everson, 1997). Pertama, apabila pekerja telah membuat kontrak dan tidak memperhatikan produktivitas kerjanya, majikan tidak dapat mengukur secara penuh produktivitas dengan pembayaran yang ditetapkan. Kondisi demikian berarti majikan berhadapan dengan permasalahan moral hazard. Kedua, pekerja heterogen, produkivitas potensial mereka tidak diketahui oleh majikan. Disini, majikan juga berhadapan dengan permasalahan moral hazard. Konsekuensi tersebut dapat menyebabkan terjadinya biaya transaksi supervisi yang tinggi. Biaya supervisi ini merupakan salah satu komponen biaya transaksi. Dalam model separabel, asumsi tenaga kerja adalah homogen, upah pasar dihitung untuk semua pekerja dalam rumahtangga, apakah net seler unit tenaga kerja atau tidak. Keputusan produksi tidak tergantung keputusan konsumsi dan leisure.
60
Namun dengan asumsi adanya biaya transaksi dan tenaga kerja rumahtangga tidak bersubstitusi sempurna maka model separabel tidak berlaku. Dalam kenyataan heterogenitas tenaga kerja dapat menyebabkan perbedaan tehnikal dalam marjinal produktivitas antara tipe tenaga kerja yang berbeda. Heterogenitas tenaga kerja dapat menyebabkan non separabilitas. Hal ini dapat terjadi apabila pasar tidak mampu menilai produktivitas pekerja, sehingga upah yang dibayar tidak sesuai. Permasalahan moral hazard dalam pasar tenaga kerja dapat menyebabkan substitusi tidak sempurna antara tenaga kerja rumahtangga dan tenaga kerja sewa. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa asumsi penting dalam non separabilitas adalah adanya ketidaksempurnaan pasar. Lanzona and Everson (1997) mengemukakan bahwa jika pasar tidak menyewa tenaga kerja maka keseimbangan permintaan tenaga kerja rumahtangga adalah ditentukan oleh marginal revenue product (MRP) tenaga kerja dan marginal rate of substitution rumahtangga antara leisure dan pendapatan. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas, perilaku ekonomi rumahtangga petani peternak di Sulawesi Utara dimodifikasi dengan menggunakan model analisis simultan non separable. Penelitian ini dengan pertimbangan bahwa terdapat biaya transaksi pada pasar pangan maupun pasar ternak, sehingga biaya transaksi dimasukkan sebagai variabel endogen dalam model. Harga tidak bervariasi sehingga dalam penelitian ini digunakan biaya transaksi sebagai pegukuran untuk menentukan perilaku rumahtangga petani peternak sapi. Biaya transaksi ini menggambarkan dampak wilayah dan perbedaan lokasi terdekat dengan kota sebagai pusat perekonomian.
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Teori Ekonomi Rumahtangga Komponen rumahtangga dalam suatu sistem farm-household adalah suatu konsep yang fleksibel. Konsep rumahtangga ini menyangkut bagian keluarga pertanian dan lebih sering berhubungan dengan anggota keluarga secara luas. Hal ini biasanya menyangkut beberapa jumlah, lebih banyak atau lebih sedikit, rumahtangga dan petani atau sejenisnya yang saling tergantung. Untuk mempelajari rumahtangga petani peternak diperlukan pemahaman konsep-konsep rumahtangga yang dikemukakan beberapa ahli ekonomi rumahtangga. Dalam melaksanakan kegiatan usahatani, rumahtangga bertujuan memaksimumkan keuntungan. Tujuan rumahtangga memaksimumkan keuntungan berkaitan dengan pengalokasian tenaga kerja. Konsep alokasi tenaga kerja dapat dikaji berdasarkan apa yang ditemukan Becker. Pengembangan lebih lanjut dari konsep alokasi tenaga kerja adalah konsep-konsep perilaku rumahtangga pertanian. Beberapa model farm household behaviour telah dikembangkan dan diuji dengan menggunakan pendekatan new home economic (Ellis, 1988b). Konsep rumahtangga pertanian tersebut diantaranya yang dikemukakan oleh Chayanov, Barnum-Squire dan Low.
3.1.1. Konsep Alokasi Waktu Becker’s Alokasi waktu oleh Becker (1976) dimulai dengan perilaku perorangan dalam memaksimumkan fungsi utilitasnya. Dengan asumsi rumahtangga mengkonsumsi barang dan jasa yang dibeli dari pasar, K1, K2,…,Kn. Dalam bentuk paling sederhana, rumahtangga memaksimumkan utilitasnya dapat dinyatakan sebagai fungsi umum :
62
U = U(K1, K2,…,Kn)
(3.1)
Untuk memaksimumkan utilitas dalam mengkonsumsi barang dan jasa yang dibeli dari pasar seperti tersebut di atas, rumahtangga diperhadapkan dengan kendala anggaran. Nilai barang dan jasa yang dibeli di pasar harus sama dengan pendapatan yang diterima rumahtangga. Pendapatan tersebut berasal dari upah dan pendapatan lain. Secara matematis kendala anggaran dapat ditulis sebagai : m
∑H K i =1
i
i
= I =G+O
i = 1,2,…n
(3.2)
dimana : Ki
= konsumsi barang dan jasa yang dibeli dipasar
Hi
= harga barang dan jasa ke-i
I
= total pendapatan
G
= pendapatan dari upah
O
= pendapatan selain upah
Dalam maksimisasi utilitas dengan kendala anggaran tersebut dapat menghasilkan FOC sebagai berikut :
∂U = λH i ∂K i
i = 1,…,n
(3.3)
dimana:
∂U ∂K i
= MUi adalah tambahan kepuasan dari konsumsi barang dan jasa ke-i
λ
= Lagrangiang multiplier adalah tambahan kepuasan dari pendapatan
Berdasarkan teori pilihan konsumen maka dari fungsi utilitas dapat diturunkan fungsi permintaan barang dan jasa yang dikonsumsi. Persamaan (3.3) menunjukkan
63
perilaku konsumsi dalam teori permintaan. Secara teori, jumlah barang dan jasa yang diminta berhubungan negatif dengan harga barang tersebut. Selanjutnya pada harga yang sama, semakin tinggi pendapatan maka jumlah barang dan jasa yang dibeli cenderung semakin meningkat. Menurut Becker (1976), waktu seperti sumberdaya lain adalah langka dan rumahtangga mengalokasikan waktu secara optimal. Rumahtangga diperlakukan sebagai unit produksi, mereka mengkombinasikan barang-barang kapital dan bahan mentah, bersama-sama dengan waktu tenaga kerja, untuk memproduksi barangbarang akhir yang siap dikonsumsi atau R-goods. Utilitas diperoleh secara langsung oleh rumahtangga dari variasi konsumsi barang-barang akhir. Teori permintaan konsumen tradisional diasumsikan bahwa barang-barang yang dibeli di pasar dimasukkan secara langsung ke dalam fungsi utilitas. Dalam pendekatannya, diasumsikan rumahtangga memproduksi barang akhir berkontribusi secara langsung ke utilitas. Seperti telah dinyatakan di atas rumahtangga diasumsikan mengkombinasikan waktu dan barang-barang yang dibeli di pasar untuk memproduksi komoditas pokok yang secara langsung dimasukkan ke dalam fungsi utilitas mereka. Komoditas yang dihasilkan tersebut merupakan barang yang siap dikonsumsi, yang dinyatakan sebagai R. Fungsi utilitas rumahtangga dengan mengkonsumsi barang R dapat dinyatakan sebagai berikut : U = U(R1, R2,…,Rn) dimana : Ri
= komoditas yang siap dikonsumsi (i = 1,2,…,n)
(3.4)
64
Aspek penting yang lain dari teori Becker, yaitu adanya tehnologi produksi rumahtangga. Fungsi produksi rumahtangga dalam menghasilkan komoditas akhir yang siap dikonsumsi adalah: Ri = R (KBi, Wi)
i = 1,2,…,n
(3.5)
Dalam formulasi ini rumahtangga sebagai keduanya produsen dan konsumen yang memaksimumkan utilitas. Kuantitas R-goods adalah dari barang-barang pasar (KBI) dan kuantitas waktu (Wi) yang digunakan dalam produksi. Wi menunjukkan aspek perbedaan waktu. Kombinasi waktu dan barang-barang pasar melalui fungsi produksi adalah untuk menghasilkan komoditas pokok Ri. Rumahtangga memilih kombinasi terbaik dengan cara yang sederhana untuk memaksimumkan fungsi utilitas.
Implikasinya
rumahtangga
mencoba
memaksimumkan
utilitas
dan
meminimumkan biaya produksi. Rumahtangga akan merespon perubahan dalam harga barang-barang pasar, opportunity cost dari waktu (tingkat upah), pendapatan, perubahan dalam produktivitas barang-barang pasar dan waktu yang digunakan dalam proses produksi. Fungsi produksi tersebut di atas dapat dinyatakan sebagai kendala produksi. Dalam memaksimumkan utilitas rumahtangga dihadapkan pada beberapa kendala yaitu kendala produksi, pendapatan dan waktu. Kendala pendapatan yang dihadapi rumahtangga dapat dinyatakan sebagai : m
∑H K i =1
i
i
= I =G+O
(3.6)
Kendala pendapatan merupakan total pengeluaran rumahtangga untuk membeli barang-barang konsumsi sama dengan total pendapatan yang diperoleh dari nilai
65
tenaga kerja yang diupah dan pendapatan selain upah. Sedangkan kendala waktu yang dihadapi rumahtangga dalam mengkonsumsi barang akhir merupakan total waktu yang digunakan untuk menghasilkan barang akhir sama dengan waktu rumahtangga yang tersedia dikurangi dengan waktu yang dipakai untuk bekerja. Kendala waktu yang dihadapi rumahtangga dapat dinyatakan sebagai : m
∑W i =1
i
= Wk = W − Wg
(3.7)
dimana: Wi
= jumlah waktu yang dipakai untuk memproduksi barang R ke-i
Wk
= jumlah waktu yang dikonsumsi
W
= jumlah waktu yag tersedia
Wg
= jumlah waktu yang dipakai untuk bekerja
Becker memperkenalkan konsep pendapatan penuh (full income) ke dalam teori rumahtangga. Pendapatan penuh (IF) sebagai pendapatan uang maksimum yang dapat dicapai rumahtangga dengan semua waktu dan sumberdaya lain yang dicurahkan untuk memperoleh pendapatan dengan tidak memperhatikan konsumsi. Rumahtangga dapat menghabiskan pendapatan penuh secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah untuk membeli barang-barang pasar dan secara tidak langsung untuk memproduksi barang akhir yang siap dikonsumsi (non-market
goods) termasuk penggunaan waktu rumahtangga. Jika rumahtangga mengalokasikan waktu mereka untuk menghasilkan barang rumah atau barang akhir yang siap dikonsumsi (R-goods), mereka tidak memperoleh pendapatan. Implikasinya bahwa individu dalam rumahtangga dapat mengalokasikan kendala waktu mereka apakah
66
untuk memproduksi barang akhir, bekerja, dan santai dalam tujuan untuk memaksimumkan fungsi utilitas rumahtangga. Rumahtangga dapat memaksimumkan utilitasnya dengan mengkonsumsi barang-barang akhir (R) yang dihasilkan rumahtangga. Barang-barang akhir tersebut dihasilkan berdasarkan kombinasi input yang dibeli dipasar dengan waktu, R = R(KBi, Wi). Asumsi : rumahtangga menghasilkan hanya satu barang akhir, R. Implikasinya waktu yang tersedia oleh rumahtangga digunakan untuk memproduksi satu barang akhir, sehingga dalam fungsi utilitas hanya menyangkut faktor satu barang siap dikonsumsi (R) dan leisure (S). Dalam hal ini harga merupakan harga tunggal untuk input yang digunakan dalam menghasilkan satu barang siap dikonsumsi. Waktu yang tersedia oleh rumahtangga dialokasikan untuk beberapa penggunaan. Alokasi waktu yang dinyatakan Becker ini dapat dinyatakan dalam bentuk kurva dengan melihat hubungan antara barang akhir yang diproduksi rumahtangga dengan alokasi penggunaan waktu tersebut. Pemikiran ini sama dengan yang dinyatakan Ellis (1988), sehingga pemahaman selanjutnya dari konsep Becker seperti dapat dilihat dalam Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan total waktu yang tersedia untuk semua aktivitas rumahtangga dan anggota keluarganya. Waktu yang tersedia tersebut dikategorikan dalam tiga komponen yaitu, waktu bekerja dirumah, waktu bekerja di luar rumah dan waktu untuk santai (leisure). Waktu bekerja dirumah yaitu waktu yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang yang siap dikonsumsi (home production), waktu bekerja di luar rumah yaitu waktu yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan. Sedangkan waktu santai adalah waktu yang digunakan untuk istirahat.
67
R
R g’
U
B C g
O
I
E2
TP
U E1 A
W1
W2
W
Gambar 2. Alokasi Waktu Rumahtangga
Sumbu vertikal pada Gambar 2 merupakan jumlah barang siap dikonsumsi yang dihasilkan rumahtangga (R), sedangkan sumbu horizontal menunjukkan waktu yang tersedia oleh rumahtangga (OW). Waktu yang digunakan rumahtangga untuk bekerja dirumah adalah sebesar OW1, sedangkan waktu yang digunakan untuk kerja di luar rumah dan menghasilkan pendapatan yaitu sebesar W1W2. Waktu sisa dari waktu yang tersedia merupakan waktu santai atau waktu istirahat yaitu sebesar W2W. Penggunaan waktu yang dialokasikan rumahtangga menghasilkan fungsi produksi yang dinyatakan sebagai kurva total produksi (TP). Fungsi produksi menggambarkan transformasi waktu bekerja di rumah ke dalam barang konsumsi akhir R. Bila bekerja di luar rumah, rumahtangga memperoleh pendapatan. Setiap peningkatan jam kerja akan menghasilkan pendapatan tertentu. Total pendapatan yang diterima rumahtangga dinyatakan sebagai OI yang merupakan total pendapatan
68
riil. Titik I mewakili opportunity cost penuh dari waktu rumahtangga yang diperoleh dengan nilai total jam yang tersedia (W) pada tingkat upah riil sama dengan G/h.
Opportunity cost dari waktu ditunjukkan oleh upah riil, g. Keseimbangan rumahtangga dalam menghasilkan produk akhir dicapai pada titik E1, yaitu pada saat tambahan produk bekerja di rumah sama dengan upah riil (MPP = G/h). Pada kondisi ini kurva total produksi bersinggungan dengan garis tingkat upah riil (gg’), dengan waktu yang digunakan sebesar OW1 dan produk akhir yang dihasilkan sebesar OC. Kombinasi antara barang akhir produksi rumah dengan waktu santai menghasilkan utilitas tertentu yang digambarkan sebagai kurva indiferens (UU). Keseimbangan rumahtangga dalam mengkonsumsi barang akhir dicapai pada titik E2, yaitu pada saat Marginal Rate of Substitution dari waktu santai, MRSS (MUS/MUR) sama dengan rasio opportunity cost waktu santai terhadap harga pasar input produk akhir (G/h). Kondisi seperti diuraikan di atas dengan asumsi tingkat upah yang berlaku adalah konstan. Apabila terjadi perubahan tingkat upah (cet. par) maka kondisi tersebut akan berubah karena dengan berubahnya tingkat upah menyebabkan pendapatan yang diterima rumahtangga cenderung berubah. Perubahan tingkat pendapatan ini akan mempengaruhi alokasi waktu rumahtangga yang tersedia untuk waktu bekerja dirumah, waktu kerja di luar rumah dan waktu santai. Teori alokasi waktu yang dijelaskan Becker merupakan teori alokasi waktu antara aktivitas yang berbeda. Inti teori ini adalah asumsi rumahtangga sebagai produsen dan sebagai konsumen. Rumahtangga memproduksi komoditas dengan
69
mengkombinasikan input barang dan waktu berdasarkan aturan minimisasi biaya teori tradisional perusahaan. Kuantitas komoditas yang diproduksi ditentukan oleh maksimisasi fungsi utilitas dengan kendala harga dan batasan sumberdaya. Sumberdaya diukur melalui pendapatan penuh yaitu jumlah pendapatan uang dan kehilangan waktu dan barang yang digunakan untuk mendapat kepuasan. Harga komoditas diukur dari jumlah biaya input barang dan waktu.
3.1.2. Konsep Rumahtangga Chayanov Pada prinsipnya konsep Chayanov mengemukakan model rumahtangga pertanian berperan sebagai produsen maupun konsumen. Pemikiran Chayanov bahwa rumahtangga membuat keputusan subyektif menyangkut jumlah tenaga kerja keluarga dalam proses produksi usahatani untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya. Dalam pengambilan keputusan disini, terjadi trade off antara pekerjaan usahatani yang drudgery dan kegunaan pendapatan. Konsep rumahtangga pertanian Chayanov lebih ditekankan pada dua tujuan rumahtangga yang berlawanan tersebut yaitu orientasi pendapatan atau work-avoidance. Pemikiran ini muncul didasarkan pada kenyataan bahwa pekerjaan usahatani merupakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik lebih besar. Alasan inilah yang menyebabkan rumahtangga berusaha menghindari pekerjaan usahatani tersebut. Ellis (1988) menyatakan kondisi ini sebagai drudgery averse. Faktor utama yang mempengaruhi trade off
tersebut adalah ukuran
rumahtangga dan komposisi antara anggota keluarga yang bekerja dan tidak bekerja atau dinyatakan sebagai struktur demografi. Struktur demografi ini merupakan ciri
70
konsep Chayanov yang membedakannya dengan Becker. Model Chayanov dapat berlaku bila memenuhi beberapa kondisi yang merupakan asumsi kunci (Ellis, 1988), diantaranya : (1) tidak ada pasar tenaga kerja, (2) sebagian output usahatani dikonsumsi oleh rumahtangga dan sebagian dijual dengan harga pasar yang berlaku, (3) semua rumahtangga mempunyai akses fleksibel pada lahan untuk penanaman, dan (4) setiap masyarakat (sebagai norma sosial) memperoleh pendapatan minimum yang menyebabkan rumahtangga sebagai suatu unit mempunyai tingkat konsumsi minimum. Konsep Chayanov selanjutnya menggambarkan perilaku rumahtangga dalam pengambilan keputusan aspek produksi maupun aspek konsumsi. Asumsi teori ekonomi rumahtangga, perilaku rumahtangga bertujuan memaksimumkan produksi sekaligus memaksimumkan utilitasnya. Komponen-komponen utama dalam model Chayanov tersebut lebih jelas dapat dipelajari melalui kurva seperti pada Gambar 3. Sumbu vertikal pada Gambar 3 menunjukkan output usahatani, namun karena asumsi Chayanov bahwa output yang dihasilkan rumahtangga dijual sehingga output dinyatakan sama dengan pendapatan (output yang dinilai dengan uang). Sedangkan sumbu horizontal menunjukkan total waktu tenaga kerja rumahtangga yang tersedia. Total waktu ini ditentukan oleh jumlah pekerjaan. Seperti konsep Becker, Chayanov juga mengalokasikan waktu yang tersedia tersebut untuk aktivitas yang berbeda. Perbedaannya Becker mengalokasikan waktunya untuk tiga kategori penggunaan yaitu penggunaan waktu kerja di rumah, waktu kerja untuk memperoleh pendapatan dan waktu untuk santai. Namun konsep Chayanov, alokasi total waktu yang tersedia hanya untuk pekerjaan usahatani dan waktu untuk santai.
71
U1
Y/I
U2
Y/I TVP
E1
Ie U1 Imin
Imin
U2
O
Te
Tmax
T
Gambar 3. Model Rumahtangga Usahatani Chayanov Dalam proses produksi usahatani diasumsikan output dihasilkan dengan menggunakan input tunggal yaitu tenaga kerja. Respon output yang dihasilkan pada berbagai tingkat penggunaan input tenaga kerja digambarkan sebagai fungsi produksi yang dinyatakan dengan kurva nilai total produksi (TVP). Kurva ini dinyatakan sebagai kurva nilai total produksi karena output dinilai dengan uang seperti telah dikemukakan sebelumnya. Berdasarkan prinsip teori produksi maka fungsi produksi disini bersifat diminishing marginal return. Fungsi produksi secara fungsional dapat dinyatakan sebagai: Y = Hq f(T) cet par., Y adalah total pendapatan keluarga, Hq adalah harga output dan T adalah input tenaga kerja. Lahan dianggap tetap sehingga dalam fungsi produksi tidak menangkap akses lahan. Kurva indiferens yang dicapai oleh rumahtangga menggambarkan jumlah utilitas tertentu. Utilitas tertentu ini dicapai dengan mengkombinasikan antara
72
konsumsi pendapatan atau waktu santai. Fungsi utilitas dapat dinyatakan sebagai U = U(I,S), I merupakan pendapatan rumahtangga dan S adalah waktu santai. Kemiringan kurva indiferens menggambarkan jumlah perubahan pendapatan yang disebabkan perubahan satu unit waktu santai. Peningkatan waktu santai menyebabkan pendapatan yang diperoleh rumahtangga dari kerja akan menurun. Kemiringan kurva indiferens tersebut dapat dinyatakan sebagai tingkat upah subyektif dari rumahtangga. Tingkat relatif upah subyekif ini dibatasi dengan kebutuhan rumahtangga dalam memenuhi standar hidup minimum yang dapat diterima (pada Gambar 3 ditunjukkan dengan Imin). Sedangkan jumlah maksimum hari-hari kerja penuh yang dilakukan anggota rumahtangga dibatasi pada jumlah tenaga kerja maksimum, Tmax tertentu. Kedua kondisi tersebut ditentukan oleh struktur demografi rumahtangga yaitu berdasarkan pada ukuran keluarga dan banyaknya pekerja. Struktur demografi tersebut yang menentukan apakah anggota rumahtangga akan bekerja pada usahatani untuk memperoleh pendapatan ataukah memilih untuk santai. Apabila tidak ada waktu santai yang dapat mengkompensasi turunnya pendapatan (MUS =0) maka bentuk kurva indiferens bersinggungan dengan kurva konsumsi minimum (cenderung berbentuk horisontal). Hal ini merupakan suatu kendala. Keseimbangan rumahtangga dalam mengkombinasikan konsumsinya dicapai pada saat kurva indiferens bersinggungan dengan kurva nilai total produksi (titik E1) dengan pendapatan sebesar Pe dan waktu penggunaan tenaga kerja dalam usahatani sebesar Te. Keseimbangan pada titik E1 yang dicapai oleh rumahtangga merupakan keseimbangan tertinggi. Kondisi ini dapat dicapai dengan penggunaan tehnologi produksi tertentu.
73
Ringkasnya dapat dinyatakan, dalam memaksimumkan utilitas pada model Chayanov, rumahtangga menghadapi tiga kendala yaitu : kendala fungsi produksi : Y = Hq f(T), kendala pendapatan minimum (I ≥ Imin) dan kendala jumlah waktu kerja pada usahatani yang tersedia maksimum (T ≤ Tmax). Dengan pemecahan matematik maka keseimbangan tertinggi tercapai pada saat kemiringan kurva indiferens sama dengan kemiringan nilai produk marjinal, MUH/MUY = ∂Y/∂H = MVPL. Kondisi keseimbangan seperti dijelaskan di atas akan berubah bila terjadi perubahan struktur demografi yang merupakan penekanan konsep Chayanov. Apabila ukuran keluarga dan banyaknya pekerja dalam rumahtangga berubah maka menyebabkan terjadi perubahan tingkat konsumsi minimum, sehingga rasio konsumsi per pekerja berubah. Perubahan ini berdampak pada perubahan keseimbangan output, tenaga kerja dan pendapatan keluarga. Terjadinya perubahan keseimbangan ini menyebabkan keseimbangan fungsi produksi dengan kurva indifirens akan berubah. Perkembangan selanjutnya dari model Chayanov adalah munculnya konsep Barnum-Squire dan konsep Low (Ellis, 1988c).
3.1.3. Konsep Rumahtangga Barnum-Squire Konsep rumahtangga pertanian yang dikemukakan Chayanov didasarkan pada cabang teori ekonomi neoklasik yang mengarah sebagai new home economics. Barnum dan Squire mengembangkan konsep rumahtangga pertanian sebagian bersumber dari new home economics. Model Barnum-Squire ini sangat penting selama dalam lingkup prediksi respon rumahtangga usahatani untuk merubah variabel domestik (ukuran dan struktur keluarga) dan pasar (harga output, harga input, tingkat
74
upah serta tehnologi). Asumsi model Barnum-Squire yang dikemukakan Ellis (1988c) adalah sebagai berikut : (1) adanya pasar tenaga kerja sehingga rumahtangga usahatani dapat menyewa tenaga kerja di dalam atau luar pada tingkat upah pasar tertentu, (2) lahan yang tersedia untuk rumahtangga usahatani tetap, (3) aktivitas rumah (yang menghasilkan barang akhir) dikombinasikan dengan waktu santai dan diperlakukan sebagai barang konsumsi yang sama untuk tujuan maksimisasi utilitas, (4) pilihan penting dari rumahtangga adalah antara konsumsi output sendiri (P) dan menjual output untuk memenuhi kebutuhan konsumsi non farm dan (5) ketidakpastian dan perilaku terhadap risiko diabaikan. Asumsi ini sangat berbeda dengan asumsi Chayanov. Dalam model Barnum-squire usahatani diberlakukan sebagai unit produksi konvensional seperti rumahtangga. Berdasarkan asumsi model Barnum-Squire, dapat dinyatakan bahwa rumahtangga memaksiumkan utilitas dalam mengkonsumsi waktu yang digunakan untuk produksi barang siap dikonsumsi dikombinasikan dengan waktu santai, konsumsi output sendiri dan pembelian barang-barang industri. Fungsi utilitasnya dapat dinyatakan sebagai U = U(WR, Kh, KI), WR adalah waktu yang digunakan untuk produksi barang akhir dikombinasikan dengan waktu santai, Kh adalah konsumsi output sendiri dan KI adalah konsumsi barang industri. Tingkat kepuasan tersebut dipengaruhi oleh ukuran rumahtangga antara pekerja (worker) dan tanggungan. Dasar pemikiran ini muncul berdasarkan konsep Chayanov. Dalam memaksimumkan utilitas rumahtangga dihadapkan pada beberapa kendala yaitu : pertama, kendala fungsi produksi : Y = f(L, T, V), Y adalah produksi yang dihasilkan, L adalah lahan untuk penanaman (tetap), T adalah total tenaga kerja rumahtangga maupun tenaga
75
kerja sewa, dan V adalah input variabel lain. Kedua, kendala waktu : W = WR + WU + WG, WR adalah waktu yang digunakan untuk produksi barang akhir dan santai (kombinasi), WU adalah waktu yang digunakan untuk bekerja di usahatani dan WG adalah waktu yang digunakan untuk bekerja dan mendapat upah. Ketiga, kendala pendapatan : H(Y-Kh) ± gWG – vV = mKI. Kendala pendapatan ini menunjukkan bahwa penerimaan bersih rumahtangga tidak boleh melebihi pengeluaran terhadap barang. Bila kendala waktu dan kendala pendapatan digabungkan maka diperoleh kendala pengeluaran tunggal yang ditambahkan dalam konsep pendapatan penuh : I = gWR + hKh + mKI = ∏ + gW; gWR adalah opportunity cost dari waktu yang digunakan untuk produksi barang akhir, hKh adalah nilai pasar konsumsi output sendiri, mKI adalah nilai pembelian, ∏ adalah keuntungan dan gW adalah nilai implisit dari total waktu rumahtangga. Perilaku rumahtangga untuk memaksimumkan utilitas dalam mengkonsumsi barang seperti diuraikan di atas dapat dinyatakan dalam bentuk kurva (Gambar 4). Sumbu vartikal pada Gambar 4 menunjukkan output usahatani. Sedangkan sumbu horizontal menggambarkan waktu yang tersedia (W) dialokasikan oleh rumahtangga dalam tiga penggunaan. Ketiga alokasi waktu tersebut yaitu waktu yang digunakan oleh anggota keluarga untuk bekerja di usahatani (OW1), waktu bekerja untuk memperoleh pendapatan (W1W2), dan waktu untuk menghasilkan produk akhir kombinasi dengan waktu santai (W2W). Fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai kurva total produksi (TP) yang menunjukkan hubungan penggunaan waktu dengan total output usahatani. Rumahtangga dalam mengkombinasikan konsumsi barang dinyatakan sebagai kurva
76
indiferens (UU). Kurva indiferens dicapai untuk tingkat tertentu dari utilitas yang ditentukan berdasarkan perbedaan kombinasi waktu di rumah (waktu produksi barang akhir dan waktu santai), konsumsi output sendiri dan pergeseran garis upah gg’. Garis gg’ menunjukkan biaya upah relatif dari produksi usahatani. Opportunity cost dari waktu ditunjukkan oleh upah relatif G/h. Garis OI dengan kemiringan G/h menggambarkan peningkatan total biaya tenaga kerja yang penggunaannya meningkat. Titik I menunjukkan total biaya implisit dari semua unit waktu yang tersedia untuk rumahtangga apakah tenaga kerja keluarga atau luar keluarga.
Y
Y g’ U
B
TP I’
E1
A U
O
E2
I
g
W1
W2
W
Gambar 4. Model Rumahtangga Usahatani Barnum-Squire Keseimbangan rumahtangga usahatani dalam produksi dicapai pada saat garis upah gg’ bersinggungan dengan kurva fungsi produksi (pada titik E2). Titik keseimbangan yang dicapai ini juga menentukan tambahan pendapatan penuh, I untuk
77
model produksi. Keseimbangan rumahtangga usahatani dalam konsumsi dicapai pada saat kurva indiferens bersinggungan dengan garis upah gg’ (pada titik E1). Titik keseimbangan ini menentukan tingkat konsumsi output usahatani sendiri (Kh) dan tingkat penawaran pasar (Y-Kh). Kondisi di atas hanya berlaku bila tingkat upah serta harga output tetap. Apabila terjadi perubahan tingkat upah atau perubahan harga output maka keputusan rumahtangga dalam menghasilkan output, bekerja pada usahatani, konsumsi output sendiri maupun penjualan pasar akan berubah. Implikasinya kondisi keseimbangan fungsi produksi dan kurva indiferens akan berubah dengan berubahnya rasio harga G/h. Selain itu kondisi juga akan berubah bila ukuran dan komposisi keluarga berubah. Variabel-variabel ini akan berpengaruh terhadap keputusan konsumsi rumahtangga. Berdasarkan konsep pemikiran dalam model Barnum-Squire ini menunjukkan adanya interaksi antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi.
3.1.4. Konsep Rumahtangga Low Seperti model Barnum-Squire, Allan Low mengembangkan dan menerapkan model rumahtangga usahatani yang bersumber sebagian dari Chayanov dan sebagian lagi dari new home economic (Ellis, 1988c). Model Low mempunyai perbedaan asumsi dan penekanan dari model Barnum-Squire. Kondisi yang menjadi perhatian Low adalah : (1) adanya pasar tenaga kerja dengan tingkat upah bervariasi untuk kategori tenaga kerja yang berbeda, khususnya antara laki-laki dan wanita. Hal ini berbeda dari asumsi tingkat upah pasar tunggal dalam model Barnum-Squire; (2) akses terhadap lahan secara fleksibel dari rumahtangga usahatani menurut ukuran
78
keluarga. Hal ini sama dengan model Chayanov dan berbeda dari asumsi lahan yang tetap dalam model Barnum-Squire; (3) harga pangan di tingkat rumahtangga usahatani semi subsisten berbeda dengan tingkat retail yang mana pangan dapat dibeli di pasar. Hal ini berbeda dengan harga pangan tunggal yang diasumsikan dalam model Barnum-Squire; dan (4) adanya defisit pangan rumahtangga usahatani dengan menyewakan tenaga kerja keluarga. Hal ini berbeda dengan model Barnum-Squire tentang surplus pangan rumahtangga usahatani yang sebagian besar menyewa tenaga kerja (hire in) daripada menyewakan keluar (hire out). Kondisi pertama mengimplikasikan bahwa perbedaan anggota rumahtangga mempunyai perbedaan potensial untuk penerimaan upah. Beberapa anggota mempunyai keunggulan komparatif lebih besar dalam bekerja dan menghasilkan pendapatan dibanding yang lain. Kondisi kedua menunjukkan input lahan dapat ditingkatkan secara paralel dengan input tenaga kerja. Kondisi ketiga dan keempat menunjukkan defisit pangan rumahtangga, jumlah tenaga kerja untuk melakukan produksi pangan subsisten tidak tergantung pada farm gate price dari pangan tetapi pada rasio upah terhadap harga retail pembelian pangan. Konsep Low lebih menekankan pada defisit pangan dan melihat hubungan antara tenaga kerja dengan pendapatan riil. Tenaga kerja diasumsikan terdiri dari tiga individu dengan usia kerja dan waktu yang berbeda. Ketiga individu mempunyai produktivitas tenaga kerja yang sama dalam produksi usahatani subsisten, tetapi mempunyai upah yang berbeda. Dalam konsep Low tersebut tidak membahas pada aspek konsumsi. Pemikiran Low pada perilaku produksi dengan melihat defisit pangan rumahtangga. Low memisahkan penggunaan tenaga kerja pria dan wanita, hal
79
ini berbeda dengan konsep Barnum-Squire. Namun ide dasar kedua konsep ini sama yaitu alokasi tenaga kerja yang optimal dalam fungsi produksi. Konsep serupa dengan Becker dikembangkan oleh Bryant (1990). Bryant (1990) membahas teori work-leisure dari rumahtangga. Rumahtangga memperoleh kepuasan dari tiga barang yang dibedakan sebagai : barang dan jasa yang dibeli di pasar (dikatakan sebagai barang-barang pasar, KB), barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh keluarga (home good, R) dan waktu santai individu (S). Fokus analisis Bryant pada keputusan penggunaan waktu keluarga, dengan kendala batasan waktu. Jadi alokasi keputusan berhubungan dengan waktu seseorang atau keluarga. Teori rumahtangga usahatani sering digunakan sebagai analisis alokasi tenaga kerja rumahtangga dalam pertanian di Negara berkembang (Sicular, 1986). Dalam penelitian ekonomi rumahtangga petani peternak, berlaku kombinasi teori rumahtangga yang telah dijelaskan di atas. Lahan yang digunakan rumahtangga adalah tertentu tidak bisa diperluas, malahan dengan adanya alih fungsi lahan maka lahan usahatani yang ada bisa berkurang. Hal yang dapat dilakukan rumahtangga petani peternak adalah pola usahatani dapat disesuaikan dengan kondisi lahan yang ada. Rumahtangga dapat melakukan perluasan penanaman komoditas tertentu dengan mengurangi penanaman komoditas yang lain. Untuk lahan perkebunan kelapa dapat dimanfaatkan sebagai tanaman pangan dikombinasikan dengan tanaman makanan ternak berupa hijauan atau leguminosa. Rumahtangga mengalokasikan tenaga kerja untuk proses produksi usaha ternak, usahatani kelapa maupun usahatani lainnya. Peningkatan proses produksi dilakukan untuk meningkatkan pendapatan dalam rangka memaksimumkan
80
keuntungan. Rumahtangga menggunakan tenaga kerja keluarga dapat juga menyewa dari luar keluarga. Tenaga kerja pada saat tertentu dapat digunakan untuk pekerjaan yang lain di luar pertanian. Pekerjaan di luar usahatani dengan memanfaatkan waktu luang dalam pekerjaan usahatani. Tenaga kerja ternak dapat dimanfaatkan untuk mengolah lahan rumahtangga juga dapat disewa oleh rumahtangga lain. Disini tenaga kerja ternak juga merupakan sumber pendapatan. Rumahtangga bertujuan juga memaksimumkan utilitasnya. Utilitas dapat dicapai oleh rumahtangga dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Konsumsi barang dan jasa baik dari pangan maupun non pangan. Semakin tinggi pendapatan yang diperoleh rumahtangga maka pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga dan anggota keluarganya semakin tinggi. Implikasi fenomena ini menunjukkan bahwa rumahtangga dapat memaksimumkan pendapatan sekaligus memaksimumkan utilitasnya. Dalam rangka memaksimumkan utilitasnya rumahtangga mengalokasikan tenaga kerja keluarganya untuk memproduksi barang-barang akhir. Berarti dibutuhkan waktu untuk home production, seperti dalam konsep Becker. Namun demikian, rumahtangga petani peternak selain mencurahkan waktunya untuk produksi pertanian, juga mencurahkan waktu untuk aktivitas kerja lain di luar produksi rumah.
3.2. Model Dasar Perilaku Rumahtangga Dalam teori ekonomi, masalah keputusan produksi, keputusan konsumsi dan keputusan suplai tenaga kerja, perilakunya dianalisis secara terpisah (separable) (Sadoulet and de Janvry, 1995). Produsen memaksimumkan net revenue berhubungan dengan level produk dan input, dengan kendala ditentukan oleh harga pasar, input
81
tetap dan tehnologi. Konsumen memaksimumkan utilitas berkenaan dengan kualitas barang yang dikonsumsi, dengan kendala ditentukan harga pasar, pendapatan siap dibelanjakan, karakteristik rumahtangga dan selera. Pekerja memaksimumkan utilitas berhubungan dengan pendapatan dan home time (sering dinyatakan sebagai leisure) dengan kendala ditentukan upah pasar, total waktu yang tersedia dan karakteristik pekerja. Dalam teori ekonomi rumahtangga keputusan produksi, keputusan konsumsi dan suplai tenaga kerja saling terintegrasi dan dianalisis secara simultan. Singh, et al., (1986) menggunakan Basic Model dalam kajian empiris khususnya dalam perilaku rumahtangga pertanian. Tujuan rumahtangga adalah untuk mencapai kepuasan mereka. Inilah yang merupakan kriteria utama ahli ekonomi membedakan rumahtangga dengan unit sosial yang lain (Bryant, 1990). Rumahtangga diasumsikan memaksimumkan fungsi utilitas sebagai berikut : U = U(Kp, KB, KS)
(3.8)
dimana: U
=
utilitas rumahtangga yang ingin dicapai
Kp
=
konsumsi komoditas pokok pertanian
KB
=
konsumsi komoditas yang dibeli
KS
=
konsumsi waktu santai
Hal ini akan berbeda bila konsumen secara individu memaksimumkan utilitasnya. Tujuan dasar teori perilaku konsumen adalah untuk menjelaskan bagaimana pilihan konsumen yang rasional, apa yang akan dikonsumsi, bagaimana menghadapi
variasi
harga
dengan
pendapatan
yang
terbatas.
Dengan
mempertimbangkan fungsi utilitas konsumen secara individu adalah U = (K, Z)
82
dimana K adalah vektor kuantitas dari n komoditas pada keputusan konsumsi. Z adalah karakteristik individual. Jumlah pendapatan yang siap dibelanjakan, D, sebagai kendala anggaran H’K = D dimana H’ adalah n-dimensi baris vektor harga. Fungsi tujuan konsumen adalah memaksimumkan utilitas berhubungan q dengan kendala H’K = D. Ini dapat ditulis sebagai : Max U(K,Z) + λ(D- H’K). λ adalah suatu
Lagrange multiplier. Pemecahan masalah maksimisasi ini menghasilkan set dari fungsi permintaan n : K1 = K1(H, D, Z), i=1,2,…,n. Set fungsi tersebut merupakan fungsi permintaan konsumen secara individu. Lazear and Michael (1988) mengemukakan model utilitas keluarga dengan mempertimbangkan keluarga terdiri dari satu orang dewasa dan satu orang anak, asumsi bukan barang publik. Rumahtangga dalam memaksimumkan fungsi utilitas dibatasi oleh beberapa kendala diantaranya kendala pendapatan, waktu dan produksi. Dalam model keputusan kerja off-farm, Caillavet, et al., (1994) mengasumsikan rumahtangga memaksimumkan utilitas dengan kendala batasan anggaran. Dalam mempelajari perilaku rumahtangga, rumahtangga menghadapi kendala pendapatan tunai. Total pengeluaran rumahtangga sama dengan total penerimaan dikurangi biaya usahatani. Ketersediaan waktu juga merupakan salah satu kendala rumahtangga. Total ketersediaan waktu merupakan penjumlahan konsumsi waktu santai dan input tenaga kerja keluarga. Selain itu kendala produksi atau tehnologi produksi juga merupakan kendala yang dihadapi rumahtangga. Produksi merupakan fungsi dari total input tenaga kerja dan input lahan yang digunakan. Kendala-kendala tersebut adalah : 1. Pendapatan tunai
HBKB = Hp (Y-Kp) – g(T-F)
2. Waktu
KS + F = W
(3.9) (3.10)
83
3. Teknologi produksi
Y = Y (T,L)
(3.11)
dimana : HB
=
harga barang yang dibeli
Hp
=
harga komoditi pokok
Y
=
produksi rumahtangga dari bahan pokok
g
=
tingkat upah
T
=
total input tenaga kerja
F
=
input tenaga kerja keluarga
Y-Kp =
surplus
W
=
total persediaan waktu rumahtangga
L
=
jumlah lahan rumahtangga yang tetap
Dalam persamaan kendala pendapatan terlihat selisih antara T dan F yang menunjukkan keseimbangan penggunaan tenaga kerja rumahtangga pada usahatani sendiri dan luar usahatani. Apabila (T-F) positif berarti rumahtangga menyewa tenaga kerja luar keluarga, sebaliknya apabila (T-F) negatif berarti rumahtangga menawarkan tenaga kerja ke luar (off-farm). Kondisi model di atas dapat berlaku apabila dibatasi dengan beberapa asumsi. Asumsi tersebut diantaranya : (1) input variabel lain seperti pupuk dan pestisida dihilangkan, (2) kemungkinan produksi yang lebih dari satu diabaikan, (3) tenaga kerja keluarga dan luar keluarga adalah substitusi sempurna (perfect substitution) dan dapat ditambahkan secara langsung, (4) produksi diasumsikan rendah risiko (riskless), dan (5) rumahtangga sebagai price taker untuk ketiga pasar (HB, Hp dan g tidak dibuat oleh keputusan rumahtangga).
84
Ketiga kendala tersebut yaitu kendala pendapatan, kendala waktu dan kendala tehnologi produksi merupakan kendala tunggal dalam rumahtangga. Apabila kendala tehnologi produksi (3.11) dan kendala waktu (3.10) dapat disubstitusikan ke dalam kendala pendapatan (3.9), diperoleh bentuk persamaan : HBKB = Hp .Y(T, L) – HpKp – GT + GW – GKS
(3.12)
Dalam fungsi kendala tunggal persamaan (3.12), selisih nilai total output dengan total biaya tenaga kerja merupakan keuntungan usahatani seperti persamaan berikut : [Hp. Y(T,L) – GT] = ∏
(3.13)
maka fungsi kendala tunggal menjadi : HBKB + HpKp + GKS = GW + ∏
(3.14)
Persamaan (3.14) menunjukkan HBKB + HpKp + GKS merupakan total pengeluaran rumahtangga dalam mengkonsumsi komoditas yang dibeli di pasar (KB), komoditas pokok pertanian (Kp) serta waktu santai (KS). Sedangkan jumlah keuntungan dengan nilai stok waktu merupakan pendapatan penuh (full income). Konsep pendapatan penuh ini dikembangkan oleh Becker seperti dijelaskan dalam konsep alokasi waktu, dengan waktu yang tersedia diukur sebagai eksplisit. Jadi untuk memaksimumkan utilitas rumahtangga, keuntungan usahatani (HpY – GT) dimasukkan dalam persamaan kendala. Rumahtangga dapat memilih tingkat konsumsi untuk ketiga komoditas dan total input tenaga kerja ke dalam produksi pertanian, dengan asumsi rumahtangga price taker dalam pasar tenaga kerja sehingga seluruh tenaga kerja dinilai menurut upah pasar. Dengan menggunakan Lagrangiang diperoleh FOC sebagai berikut : Hp∂Y/∂T = G
(3.15)
85
Marginal revenue product of labor sama dengan tingkat upah. Persamaan (3.15) hanya terdiri dari variabel T (sebagai endogenus), variabel lainnya (KB, KP, KS) tidak nampak sehingga tidak mempengaruhi pilihan rumahtangga. Dari persamaan tersebut dapat dipecahkan untuk T sebagai fungsi dari harga (Hp, G), parameter teknologi dari fungsi produksi dan areal lahan yang tetap. T* = T*(Hp, G, L)
(3.16)
dimana : T*
=
tingkat penggunaan atau permintaan input tenaga kerja
G
=
harga input variabel
L
=
input tetap
Persamaan (3.16) di atas menunjukkan bahwa dalam keputusan produksi dapat dilakukan secara bebas dari keputusan konsumsi dan suplai tenaga kerja. Persamaan (3.16) disubstitusikan ke dalam RHS persamaan (3.14) untuk mendapatkan nilai pendapatan penuh (P*) melalui pilihan input tenaga kerja. Persamaan (3.14) menjadi: HBKB + HpKp + GKS = P*
(3.17)
Dalam memaksimumkan utilitas dengan kendala baru menghasilkan FOC : ∂U/∂KB
= λ HB
(3.18)
∂U/∂Kp
= λ Hp
(3.19)
∂U/∂KS
= λG
(3.20)
HBKB + HpKp + GKS = P* yang merupakan kondisi standar dari teori permintaan konsumen. P* adalah pendapatan penuh saat keuntungan maksimum. Pemecahan persamaan (3.17) menghasilkan kurva permintaan standar sebagai : KB = KB (HB, Hp, G, P*)
(3.21)
86
Kp = Kp (HB, Hp, G, P*)
(3.22)
KS = KS (HB, Hp, G, P*)
(3.23)
Ketiga fungsi permintaan di atas menunjukkan permintaan barang konsumsi tergantung pada harga barang, harga input dan pendapatan. Pada kasus rumahtangga pertanian, pendapatan ditentukan oleh aktivitas produksi rumahtangga. Hal ini mengikuti perubahan dalam faktor yang mempengaruhi produksi yang akan merubah P* (pendapatan penuh) dan perilaku konsumsi. Perilaku konsumsi tergantung perilaku produksi, tidak sebaliknya. Berdasarkan pemikiran yang diuraikan di atas, ternyata bahwa rumahtangga memaksimumkan kepuasannya dihadapkan dengan kendala pendapatan, tehnologi produksi dan waktu. Hal ini berbeda dengan konsumen sebagai individu dalam memaksimumkan kepuasannya. Konsumen sebagai individu dalam memaksimukan kepuasannya hanya menghadapi satu kendala yaitu kendala anggaran. Implikasi ini menunjukkan bahwa rumahtangga dalam mengkonsumsi barang dan jasa tergantung pada produksi. Pemecahan masalah produksi dan konsumsi seperti diuraikan di atas dapat dilakukan secara recursive karena model konsumsi dan produksi dianalisis secara terpisah (separable).
3.3. Perilaku Ekonomi Keputusan Peternak Sapi Usaha ternak sapi merupakan suatu proses menghasilkan produk berupa daging dan susu serta ternak sebagai tenaga kerja dengan mengkombinasikan input atau faktor produksi. Dalam teori ekonomi, input atau faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi secara umum terdiri dari lahan, tenaga kerja dan
87
modal. Input-input ini juga sebenarnya sebagai input yang digunakan dalam proses usaha ternak sapi. Crotty (1980) membagi input yang digunakan dalam memproduksi ternak sapi ke dalam tiga kategori yaitu lahan, waktu dan input lain (seperti pada Gambar 5).
INPUT
WAKTU LAHAN
TENAGA KERJA INPUT LAIN
AKTIVITAS
OUTPUT
BETERNAK SAPI +PEDAGING +PEKERJA BETERNAK SAPI BIBIT BETERNAK SAPI PERAH
+DAGING +JASA TK +PUPUK
Calves
+SUSU +PUPUK
Gambar 5. Keterkaitan Input, Aktivitas dan Output Pada Ternak Sapi
Gambar 5 tersebut menunjukkan proses penggunaan input dalam aktivitas ekonomi pemeliharaan ternak sapi menghasilkan output berupa produk akhir maupun produk antara. Input yang digunakan adalah input waktu, lahan dan input lain. Aktivitas ekonomi yang dimaksud adalah aktivitas dalam pemeliharaan ternak sapi daging dan sapi pekerja, ternak sapi bibit dan ternak sapi perah. Ternak sapi daging
88
dan pekerja menghasilkan produk akhir berupa daging, jasa tenaga kerja ternak dan pupuk. Ternak sapi bibit menghasilkan bibit sebagai produk antara. Sedangkan ternak sapi perah menghasilkan susu sebagai produk antara dan menghasilkan pupuk sebagai produk akhir. Waktu mempengaruhi aktivitas pemeliharaan ternak sapi pedaging/ pekerja dan ternak sapi bibit, tapi tidak mempengaruhi aktivitas pemeliharaan ternak sapi perah. Lahan dan input lain mempengaruhi ketiga aktivitas pemeliharaan ternak sapi. Lahan adalah tertentu, yaitu spesifik untuk ternak sapi, bukan merupakan alternatif penggunaan. Dengan asumsi, lahan tetap baik kuantitas maupun kualitasnya, maka dalam analisis ekonomi sumberdaya lahan adalah konstan sedangkan input lain bervariasi. Waktu digunakan sebagai input untuk ternak sapi, alasannya bahwa waktu pemeliharaan ternak sapi berbeda-beda tergantung tujuan produksinya. Ternak sapi dengan tujuan penggemukan dapat dipotong dan dikonsumsi sekarang, atau dapat ditahan untuk penggemukan lebih lanjut dan dikonsumsi yang akan datang. Ternak sapi yang dimanfaatkan sebagai tenaga kerja dapat dipotong dan dikonsumsi sekarang, atau dipertahankan untuk memberikan jasa melebihi umur kerjanya. Ternak sapi bibit, penggemukan atau untuk tenaga kerja dapat mencapai dewasa dengan lambat atau proses pematangannya dipercepat tergantung pada pakan. Implikasinya agar ternak sapi dapat mencapai produktivitas yang diinginkan sesuai tujuan pemeliharaan dapat dilakukan pemberian pakan yang sesuai. Pakan yang diberikan bukan hanya dilihat dari kuantitas tapi kualitasnya. Keputusan menentukan apakah tujuan pemeliharaan ternak sapi untuk bibit ataukah dipotong sangat berhubungan dengan waktu. Waktu bukan sebagai input bagi sapi perah. Hal ini
89
disebabkan karena proses produksi sapi perah tidak dapat dipercepat atau diperlambat. Pada periode kebuntingan sapi perah selama sembilan bulan tidak dipengaruhi gizi pakan atau faktor lain. Input lain dikategorikan kedalam tiga subkategori. Tiga tujuan pemeliharaan ternak sapi dikenal sebagai : pertama, ternak sapi untuk tenaga kerja atau untuk pemotongan membutuhkan input lain, dinyatakan sebagai V1. Kedua, ternak sapi dibesarkan untuk pembibitan membutuhan input lain, dinyatakan sebagai V2. Ketiga, pemeliharaan sapi perah membutuhkan input lain, dinyatakan sebagai V3. Input lain disini merupakan ternak sapi bakalan yang digunakan sebagai bibit. Pada perusahaan ternak sapi pedaging dan sebagai tenaga kerja membutuhkan input lain (V1) dari ternak yang dilahirkan. Ternak sapi dipelihara untuk pembibitan menghasil ternak sapi sebagai bibit. Ternak sapi ini sebagai produk antara dan membutuhkan input lain (V2) dari ternak yang dilahirkan. Ternak sapi bibit tersebut menghasil bibit untuk perusahaan sapi perah dan dipelihara perusahaan lain untuk menghasilkan susu. Ternak sapi yang menghasilkan susu merupakan produk akhir yang membutuhkan input lain (V3) dan ternak sapi yang dilahirkan sebagai produk antara. Ternak sapi perah melahirkan anak yang digunakan sebagai input V1 pada perusahaan sapi penggemukan dan sebagai tenaga kerja. Sebagian sapi yang dilahirkan ini juga merupakan input V2 bagi perusahaan pembibitan. Ternak sapi anak dari perusahaan pembibitan masuk sebagai input produk akhir pada sektor ternak sapi V3 dalam perusahaan sapi perah. Peternak sapi dengan sistem pemeliharaan subsisten memproduksi sapi dan susu untuk konsumsi keluarga, atau untuk penggunaan tenaga kerja pada lahan milik
90
sendiri. Namun peternak subsisten berusaha mengorganisir produksi dengan memaksimumkan net benefit mereka. Penggunaan tenaga kerja berhubungan dengan biaya dan berhubungan dengan produksi ternak atau susu. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan maka produksi ternak atau susu semakin meningkat. Peternak memproduksi ternak atau susu tidak memperhatikan apakah ternak atau susu untuk dijual di pasar atau untuk konsumsi sendiri. Atau apakah tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja dalam keluarga ataukah tenaga kerja luar keluarga (disewa). Permasalahan yang lebih kompleks dalam usaha ternak sapi yaitu dengan empat aktivitas (anak sapi, susu, produksi sapi bibit dan beternak sapi untuk daging dan tenaga kerja). Input yang digunakan adalah V1, V2, dan V3, dengan dua produk akhir yaitu susu dan daging atau jasa tenaga kerja. Peternak sapi berhubungan dengan mengalokasikan sumberdayanya V1, V2, V3 untuk memaksimumkan net benefit atau
net revenue (NR). Penting untuk mengidentifikasi net revenue (NR) sebelum mempertimbangkan bagaimana memaksimumkannya. Penggunaan sumberdaya mempengaruhi net
revenue (NR) yang dihasilkan oleh aktivitas untuk menghasilkan produk akhir yaitu beternak sapi untuk pedaging atau untuk pekerja dan beternak sapi perah. Perhatian pada aktivitas ini difokuskan pada aktivitas menghasilkan net revenue (NR). Berdasarkan pemikiran di atas, rumahtangga akan memutuskan apakah pemeliharaan ternak sapinya untuk ternak perah, ternak sapi pedaging atau jasa tenaga kerja. Dalam penelitian ini, ternak sebagai obyek penelitian adalah ternak sapi lokal yang menghasilkan daging dan jasa tenaga kerja. Di Sulawesi Utara ternak sapi dikenal dengan istilah “dwi fungsi” yang menghasilkan daging dan digunakan
91
sebagai tenaga kerja. Keputusan ekonomi pemeliharaan ternak sapi seperti di atas merupakan keputusan produksi. Aktivitas ekonomi keputusan produksi ternak sapi tersebut dilakukan oleh rumahtangga. Rumahtangga meningkatkan produktivitas beternak sapi dalam rangka peningkatan pendapatan mereka. Peningkatan pendapatan ini berdampak terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Sehingga rumahtangga harus memutuskan untuk memaksimumkan net revenue atau memaksimumkan keuntungan. Tujuan ini merupakan tujuan rumahtangga sebagai produsen. Selain berperan sebagai produsen rumahtangga petani peternak berperan juga sebagai konsumen. Implikasinya rumahtangga berusaha memaksimumkan keuntungan sekaligus net utilitas-nya. Net revenue atau keuntungan rumahtangga petani peternak diperoleh dari selisih antara penjualan ternak sapi dengan biaya produksi. Biaya produksi terdiri dari biaya sapronak berupa bakalan, pakan dan obat-obatan. Dalam menganalisis ekonomi untuk peternakan, perlu pemahaman model bioekonomi ternak sapi tersebut. Alasan utama model bioekonomi sebagai pilihan dalam menganalisis adalah model ini biasanya digunakan sebagai manajemen (Denham and Spreen, 1986). Keterkaitan antara model biologi dan model ekonomi yang dinyatakan sebagai model bioekonomi ternak sapi dapat dilihat pada Gambar 6. Dalam usaha peternakan sapi, produktivitas ternak ditentukan oleh tiga unsur yang saling mempengaruhi yaitu bibit, pakan dan manajemen. Ketiga unsur ini dinyatakan dalam sub model biologi, sub model ekonomi dan sub model manajemen. Lingkungan mempengaruhi proses biologi pastura (sub model biologi pastura), proses biologi ternak sapi (sub model biologi ternak sapi) dan usaha pemeliharaan ternak sapi sebagai proses ekonomi (sub model ekonomi pemeliharaan ternak sapi).
92
SUB MODEL BIOLOGI PASTURA + PERTUMBUHAN + KUANTITAS + KUALITAS L I N G K U N G A N
SUB MODEL BIOLOGI TERNAK SAPI +PERTUMBUHAN +REPRODUKSI
SUB MODEL EKONOMI USAHA TERNAK SAPI + PEDAGING + JASA TENAGA KERJA
SUB MODEL EKONOMI PRODUK TERNAK SAPI +DAGING +JASA TENAGA KERJA +PUPUK
+BIAYA +HARGA PASAR +PERMINTAAN
+Bibit +Jumlah Ternak +Penggembalaan
MANAJEMEN
+Bibit +Kandang +Pakan +TK ternak +Pupuk
Tanaman
+LAPANGAN KERJA +PENDAPATAN +KEUNTUNGAN
Gambar 6. Model Bioekonomi Ternak Sapi (Denham and Spreen, 1986)
93
Sub model biologi pastura merupakan proses biologi yang menghasilkan hijauan
baik
rumput
maupun
leguminosa.
Dampak
lingkungan
tersebut
mempengaruhi pertumbuhan, kuantitas dan kualitas hijauan sebagai makanan ternak. Sub model biologi ternak sapi merupakan proses biologi dalam menghasilkan ternak sapi. Lingkungan dan sumberdaya pakan bermanfaat bagi ternak mempengaruhi produksi dan reproduksi ternak sapi yang dihasilkan. Dalam sub model ini mampu memprediksi karakteristik produksi ternak seperti pertumbuhan dan atau reproduksi ternak. Sub model ekonomi pemeliharaan ternak sapi merupakan aktivitas ekonomi penggunaan input dalam menghasilkan produksi ternak sapi. Lingkungan dan pertumbuhan serta reproduksi ternak sapi mempengaruhi produksi ternak sapi sebagai ternak sapi pedaging atau ternak sapi pekerja. Pada proses ini dapat ditentukan beberapa keuntungan bila ternak dipelihara sampai dewasa dan dipertahankan dengan kualitas yang sama. Proses dalam aktivitas ekonomi pemeliharaan ternak sapi menentukan sub model ekonomi produk akhir ternak sapi berupa daging, jasa tenaga kerja dan pupuk. Dalam sub model ekonomi ini dipengaruhi oleh faktor biaya, harga pasar dan permintaan pasar. Sub model biologi dan ekonomi ini mempengaruhi sub model manajemen. Sebaliknya sub model manajemen mempengaruhi sub model biologi dan ekonomi. Sub model manajemen ini menyangkut penggunaan bibit ternak sapi, perkandangan, pakan (kuantitas maupun kualitas). Selain itu manajemen menyangkut penggunaan bibit hijauan, jumlah ternak, penggembalaan dan irigasi (dalam penelitian ini tidak dianalisis karena pakan yang dikonsumsi ternak berasal dari limbah pertanian).
94
Manajemen juga menyangkut tenaga kerja ternak sapi dan pupuk yang berdampak terhadap aktivitas usaha kelapa dan tanaman pangan yang dilakukan rumahtangga. Sub model biologi, sub model ekonomi dan sub model manajemen mempengaruhi ketersediaan lapangan kerja, pendapatan dan keuntungan rumahtangga. Berdasarkan hubungan tersebut, dengan mengasumsikan model biological secara efektif dioperasikan, output dapat bermanfaat untuk proyeksi ekonomi.
3.4. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Peternak Model perilaku rumahtangga petani peternak yang akan dibangun berdasarkan tujuan penelitian. Secara teoritis, rumahtangga petani peternak dalam aktivitas ekonominya menjalankan tiga peran sekaligus, yaitu sebagai produsen, konsumen dan penghasil tenaga kerja. Ketiga peran ini dijalankan secara simultan. Rumahtangga sebagai produsen bertujuan untuk memaksimumkan keuntungannya. Sedangkan rumahtangga sebagai konsumen bertujuan memaksimumkan utilitasnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, rumahtangga sebagai produsen maupun konsumen harus mampu membuat pilihan ekonomis dan mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan aktivitas ekonominya. Model keseimbangan secara subyektif dari rumahtangga petani menekankan saling ketergantungan antara perilaku produksi dan konsumsi. Bila keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi, bukan sebaliknya dinamakan sebagai separable, jadi model produksi dan konsumsi adalah
recursive (Coyle, 1994, Caillavet, 1994 dan Sadoulet and de Janvry, 1995). Model perilaku rumahtangga yang separable terjadi apabila pasar output maupun pasar input bersaing sempurna, mencakup perbedaan kategori tenaga kerja
95
keluarga. Semua harga yang berlaku dikategorikan sebagai variabel eksogen. Produk yang dihasilkan dan input yang digunakan dapat diperdagangkan, tanpa biaya transaksi. Dalam kasus ini, keputusan produksi dan konsumsi/kerja adalah berkaitan dengan harga, yaitu sebagai penentu opportunity cost untuk semua produk dan input yang dimiliki rumahtangga. Secara khusus kasus ini terjadi pada pasar tenaga kerja dan tanpa biaya transaksi. Hal ini berlaku apakah rumahtangga mengkonsumsi produk miliknya sendiri atau menjual untuk membeli kebutuhan konsumsi mereka. Demikian juga apakah rumahtangga menggunakan tenaga kerja miliknya ataukah menyewa untuk kebutuhan memproduksi. Pada kondisi ini, rumahtangga berperilaku memutuskan produksi, konsumsi/kerja jika terjadi sekuensial. Ringkasnya dalam model separable, kapan saja harga adalah eksogenus dan pasar dapat digunakan meskipun harga penjualan dan pembelian tidak identik. Bilamana model rumahtangga separable, dapat dipecahkan secara rekursif dengan dua step yaitu pemecahan masalah produksi dan pemecahan masalah konsumsi secara terpisah seperti dijelaskan di atas. Pemecahan masalah produksi berdasarkan variasi harga pasar output maupun input. Sedangkan pemecahan masalah konsumsi berdasarkan pilihan konsumsi rumahtangga dan kondisi leisure dari keuntungan usahatani (Lambert and Magnac, 1994). Implikasi model separabel adalah keputusan produksi tidak dipengaruhi keputusan konsumsi rumahtangga, di lain sisi keputusan konsumsi tergantung pada keputusan produksi rumahtangga. Untuk menunjukkan peranan perbedaan harga tenaga kerja dalam model rumahtangga pedesaan dipertimbangkan
kasus yang lebih sederhana dan non-recursive. Pemecahan
permasalahan rumahtangga dilakukan dengan mengintegrasikan keputusan produsen,
96
keputusan konsumen dan keputusan pekerja dalam rumahtangga. Dalam kasus rumahtangga, pembuat keputusan menganalisis secara simultan dalam produksi, konsumsi dan kerja. Ketiga masalah tersebut diintegrasikan ke dalam satu masalah rumahtangga tunggal. Masalah tersebut dipecahkan secara non-recursive. Berdasarkan pembahasan di atas, maka pemecahan masalah produksi dan konsumsi dengan separabel bila menggunakan asumsi : (1) pasar kompetitif dan komplet, (2) biaya transaksi nol, (3) substitusi sempurna dalam produksi antara tenaga kerja keluarga dan luar keluarga, (4) substitusi sempurna dalam konsumsi antara pekerja off-farm dan on-farm, dan (5) produksi usahatani tidak tergantung konsumsi rumahtangga. Pemahaman selanjutnya tentang pendekatan separabel pada model ekonomi rumahtangga petani peternak dapat dipelajari berdasarkan model dasar contoh berikut. Dengan mengasumsikan bahwa rumahtangga mengkonsumsi dua set barang yaitu R1 dan R2 yang dinyatakan sebagai fungsi utilitas sebagai berikut : U = U(R1, R2,…,Rn)
(3.24)
Fungsi produksi untuk barang konsumsi R adalah : Ri = Ri(KB, KP, KS, F, Z)
i = 1,2,…,n
(3.25)
dimana : KB
=
konsumsi barang yang dibeli di pasar,
KP
=
konsumsi barang rumahtangga,
KS
=
konsumsi waktu santai,
F
=
input tenaga kerja keluarga,
pokok
pertanian
yang
diproduksi
97
Z
=
karakteristik rumahtangga (seperti umur, pendidikan, ukuran rumahtangga).
Fungsi utilitas rumahtangga dapat dinyatakan sebagai berikut : U = U(R1(KB,KP,KS,F,Z),R2(KB,KP,KS,F,Z),…,Rn(KB,KP,KS,F,Z))
(3.26)
Dalam memaksimumkan utilitas dari konsumsi barang tersebut di atas, rumahtangga dapat memilih bundel konsumsi yang optimal. Rumahtangga dalam memaksimumkan utilitas juga dihadapkan pada beberapa kendala diantaranya kendala tehnologi produksi, kendala anggaran dan kendala waktu. Kendala tehnologi produksi yang dihadapi rumahtangga dinyatakan sebagai : YP = YP(L, T, V, N)
(3.27)
yaitu rumahtangga dalam memproduksi barang pokok untuk konsumsi dipengaruhi lahan (L), total input tenaga kerja (T), input variabel lain (V) dan tenaga kerja ternak sapi (N). Pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi harus sama dengan pendapatan rumahtangga dari nilai produksi yang dijual dikurangi pendapatan tenaga kerja ditambah pendapatan bukan tenaga kerja. Kendala pendapatan dapat dinyatakan : HBKB = Hp(Y-Kp) – g(T-F) + E dimana : HBKB
=
total pengeluaran untuk konsumsi barang yang dibeli di pasar,
Hp(Y-Kp) = nilai produksi yang dijual dipasar yaitu produksi produk pertanian yang diperoleh dikurangi jumlah konsumsi dikali dengan harga. g(T-F)
= total pendapatan yang diperoleh dari tenaga kerja yang diupah yaitu selisih antara total tenaga kerja dengan tenaga kerja keluarga dikali upah.
E
=
pendapatan yang diperoleh selain tenaga kerja yang diupah.
98
Rumahtangga juga menghadapi kendala waktu. Ketersediaan waktu harus sama dengan konsumsi waktu santai ditambah input tenaga kerja keluarga. Kendala waktu tersebut dapat dinyatakan sebagai : KS + F = W
(3.28)
Dengan mensubstitusikan persamaan kendala produksi dan kendala waktu ke dalam kendala anggaran diperoleh kendala seperti : HBKB + HpKp + GKS = GW + ∏ +E
(3.29)
∏ = HPYP(L, T, V, N) – gT adalah pengukuran keuntungan usahatani. HBKB + HpKp + GKS merupakan total pengeluaran rumahtangga dalam mengkonsumsi komoditas yang dibeli di pasar (KB), komoditas pokok pertanian (Kp) serta waktu santai (KS). Sedangkan jumlah keuntungan (∏) dengan nilai stok waktu (GW) dan pendapatan bukan tenaga kerja (E) merupakan pendapatan penuh (full income). Berdasarkan fungsi utilitas dan kendala tunggal, rumahtangga dapat memilih apakah tingkat konsumsi untuk barang-barang konsumsi R melalui konsumsi KB, Kp, dan KS atau total input tenaga kerja yang dimasukkan dalam produksi pertanian. Dengan menggunakan Lagrangiang diperoleh FOC untuk tenaga kerja merupakan fungsi dari harga (Hp, G), parameter teknologi dari fungsi produksi dan areal lahan yang tetap, T* = T*(Hp,G, L, N) dimana : T*
=
tingkat penggunaan atau permintaan input tenaga kerja,
G
=
harga input variabel,
L
=
input tetap,
(3.30)
99
N
=
tenaga kerja ternak
Keuntungan dalam pendapatan penuh dapat dimaksimisasi melalui pilihan input tenaga kerja yang sesuai dengan mensubstitusi T kedalam kendala pendapatan penuh diperoleh : HBKB + HpKp + GKS = P* Nilai
pendapatan
penuh
(3.31) dihubungkan
dengan
perilaku
maksimisasi
keuntungan. Maksimisasi fungsi utilitas dengan kendala T* = T*(Hp,G, K, L) dapat menghasilkan kurva permintaan standar dari bentuk : Kj = Kj (HB, Hp, G, R1, R2,…,Rn, P*; Z)
j = 1,2,…,n
(3.32)
Berdasarkan persamaan (3.32) dapat dinyatakan permintaan tergantung pada harga dan pendapatan juga karakteristik rumahtangga. Pada rumahtangga pertanian semi subsisten, pendapatan ditentukan oleh aktivitas produksi rumahtangga, dapat dinyatakan bahwa perubahan dalam input mempengaruhi produksi. Perubahan input ini seperti introduksi tehnologi baru akan mempengaruhi produksi. Hal ini akan berpengaruh terhadap perilaku konsumsi. Jadi perilaku konsumsi dapat digambarkan sebagai : Kj = Kj (HB, Hp, G, R1, R2,…,Rn, P*(L,T,V,N); Z)
(3.33)
Persamaan (3.33) adalah tergantung dari perilaku produksi yang digambarkan dalam fungsi produksi YP = YP (L,T,V,N). Lebih lanjut persamaan ini dapat digambarkan dalam persamaan pengeluaran sebagai berikut : HjKj = E (HB, Hp, G, P*(L,T,V,N); Z)
(3.34)
Persamaan (3.34) di atas menunjukkan permintaan diturunkan dari permintaan barang (R). Persamaan permintaan untuk barang R dapat dinyatakan :
100
Ri = Ri (Kj (HB, Hp, G, P*(L,T,V,N); Z)
i = 1,2,…,n
(3.35)
Implikasi persamaan (3.35) menunjukkan perilaku konsumsi barang oleh rumahtangga dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan rumahtangga. Hal ini menunjukkan selama produksi tidak dipengaruhi oleh pilihan konsumsi rumahtangga maka bentuk model ini adalah model separable yang pemecahannya secara recursive. Berdasarkan fenomena di atas ternyata bahwa perilaku produksi rumahtangga mempengaruhi perilaku konsumsi yang terjadi melalui perubahan pendapatan. Perilaku ini dapat dilihat dari persamaan permintaan barang. Sedangkan perilaku konsumsi mempengaruhi perilaku produksi dapat dilihat melalui karakteristik rumahtangga. Perubahan internal dalam rumahtangga misalnya terjadinya perubahan struktur demografi rumahtangga. Struktur demografi rumahtangga ini dapat dilihat dari ukuran keluarga dan jumlah pekerja. Apabila terjadi perubahan struktur keluarga yang berdampak pada jumlah konsumsi maka akan menyebabkan terjadi perubahan rasio konsumsi dan pekerja. Rumahtangga akan mengurangi waktu santai dengan menambah waktu untuk bekerja dan memperoleh pendapatan. Implikasinya rumahtangga dapat meningkatkan pendapatan yang diperoleh dari peningkatan alokasi waktu kerja pada usahatani dengan mengurangi waktu santai mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa perilaku konsumsi dapat mempengaruhi perilaku produksi. Keputusan produksi dan konsumsi adalah non-separable bilamana terjadi kegagalan pasar. Dalam hal ini variabel yang mempengaruhi keputusan konsumsi seperti kekayaan, total tenaga kerja dalam keluarga, harga barang konsumen dan karakteristik rumahtangga juga dapat mempengaruhi keputusan produksi (Vakis, et al., 2004)
101
Pada model rumahtangga petani peternak sapi dalam penelitian ini perilaku konsumsi, produksi maupun suplai tenaga kerja akan dianalisis secara simultan. Perilaku produksi mempengaruhi perilaku konsumsi sebaliknya perilaku konsumsi mempengaruhi perilaku suplai tenaga kerja dan produksi. Dalam perilaku ekonomi rumahtangga petani peternak terdapat biaya transaksi, sehingga asumsi dalam model pendekatan separabel seperti tersebut di atas tidak berlaku karena dalam memasarkan produksinya rumahtangga menanggung biaya transaksi. Implikasinya salah satu asumsi di atas tidak berlaku, pemecahan masalah produksi, masalah konsumsi dan suplai tenaga kerja dapat dilakukan dengan cara pendekatan non-recursive. 3.5. Pengaruh Biaya Transaksi Pada rumahtangga petani peternak berlaku adanya biaya transaksi. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa rumahtangga melakukan aktivitas ekonomi mengeluarkan biaya. Biaya tersebut meliputi biaya produksi dan biaya transaksi. Kondisi perekonomian Negara kita yang dilanda krisis moneter sangat berdampak sampai pada daerah-daerah. Dampak ini berpengaruh terhadap harga produk dan harga input. Peningkatan harga produk dan harga input disebabkan tingginya biaya transpor. Faktor penyebab tingginya biaya transpor adalah naiknya harga BBM. Secara teori biaya transpor merupakan salah satu biaya dalam biaya transaksi. Adanya biaya transaksi tersebut melanggar asumsi separable (Sadoulet et al., 1995). Naiknya biaya transaksi menyebabkan terjadinya kegagalan pasar (market failure). Dalam teori ekonomi, salah satu kegagalan pasar yang terjadi disebabkan karena adanya biaya transaksi. Apabila biaya transaksi lebih besar karena adanya
102
ketidak-sempurnaan pasar menyebabkan produk yang dapat diproduksi secara efisien tidak terjadi. Hal inilah yang mengakibatkan kegagalan pasar. Biaya transaksi dapat menyangkut faktor internal dan eksternal usahatani. Dalam hal ini dapat dilihat dari perbedaan antara rancangan internal dan ekternal usahatani atau struktur penguasaan. Rancangan internal menunjukkan hubungan struktur penguasaan antara pemilik usahatani, manajer (dalam hal ini rumahtangga dapat sebagai pemilik dan sebagai manajer) dan pekerja. Rancangan eksternal menunjukkan hubungan struktur penguasaan rumahtangga dalam pasar. Rancangan internal dan eksternal dicirikan oleh masalah moral hazard sebagai hasil biaya organisasi atau biaya transaksi internal dan biaya menggunakan pasar atau biaya transaksi eksternal. Rancangan internal ditentukan oleh hubungan
principal-agent antara rumahtangga dan pekerja usahatani. Moral hazard dalam usahatani adalah suatu konsekuensi kombinasi dari sulitnya menghubungkan usaha untuk output dalam tim produksi. Rancangan eksternal menunjukkan hubungan
principal-agent dalam pasar, misalnya transaksi dengan kompetitor, supplier sumberdaya, pembeli, bank dan sebagainya. Masalah moral hazard dikarenakan biaya transaksi menggunakan pasar. Biaya transaksi pasar dapat menghasilkan ketidak-sempurnaan dalam pasar input maupun pasar output. Rancangan eksternal dalam rumahtangga petani peternak mencakup pilihan dari lingkup usaha ternak (scope), jangka waktu usaha (span), kecepatan usaha (speed) dan skala usaha (scale). Lingkup usaha ternak menunjukkan jumlah aktivitas yang dikerjakan dalam produksi usaha ternak (diversifikasi produk) dan off-farm. Berkaitan dengan jangka waktu, biaya transaksi akan meningkat sebagai hasil
103
spesifikasi produksi dalam rantai produk vertikal. Masalah jangka waktu ini menyangkut penjualan output. Kecepatan usaha menunjukkan tingkat inovasi pengembangan bisnis usaha ternak. Kecepatan usaha dapat dilihat dari apakah rumahtangga melakukan investasi dalam usahanya atau tidak. Sedangkan skala usaha menunjukkan ukuran usaha pada aktivitas usaha ternak dalam rumahtangga. Skala usaha dilihat dari total output usahatani. Tujuan untuk melakukan transaksi tidak hanya menyangkut output tetapi juga berkaitan dengan usahatani seperti lahan, tenaga kerja, mesin-mesin serta pembelian input dan jasa (Sartorius, 2006). Biaya transaksi digambarkan sebagai biaya untuk memperoleh barang dan jasa dengan tehnologi tertentu. Biaya transaksi dapat terjadi sebagai hasil tehnologi, bagian tenaga kerja, lokasi pasar atau pelaku-pelakunya. Menurut Allen and Lueck (2004), biaya transaksi adalah penting dalam pertanian karena alam (seperti musim, cuaca juga penyakit) dapat berpengaruh dalam proses menghasilkan output dan hal ini membatasi petani untuk spesialisasi. Biaya transaksi dapat terjadi mulai dari akivitas penanaman, panen dan distribusi. Aktivitas tersebut terjadi baik pada petani skala besar maupun petani skala kecil. Petani dengan skala kecil dapat menghasilkan biaya transaksi lebih tinggi dibanding petani skala besar. Biaya transaksi menurut Williamson (2008) berkaitan dengan kelembagaan. Berdasarkan teori ekonomi neoklasik dan ekonomi modern, biaya transaksi berhubungan dengan biaya bukan harga dalam pertukaran komersial. Biaya-biaya tersebut mencakup biaya dalam memasarkan, waktu negosiasi, dan biaya-biaya jaminan dalam kontrak seperti biaya honor. Dalam pengertian sempit pemasaran
104
pertanian menunjukkan aktivitas distribusi suatu produk dari tingkat usahatani sampai ke tangan konsumen akhir. Dalam hal ini terdapat biaya penanganan, biaya transpor, biaya penyimpanan, biaya prosesing, biaya pengepakan, biaya pasar, biaya manajemen risiko dan biaya perantara. Berdasarkan pengertian di atas, biaya transaksi dapat diklasifikasikan sebagai biaya yang nyata (tangible) dan biaya tidak nyata (intangible). Biaya yang nyata menyangkut biaya transportasi, biaya penanganan, penyimpanan, prosesing, pengepakan, biaya pasar, manajemen risiko, upah perantara, biaya komunikasi dan biaya legal lainnya. Sedangkan biaya tidak nyata menyangkut biaya ketidakpastian dan moral hazard. Besar kecilnya biaya transaksi tergantung dari pasar, kebijakan, jasa pendukung serta informasi. Selanjutnya biaya tersebut dapat mempengaruhi keputusan
rumahtangga.
Biaya
transaksi
mempengaruhi
perilaku
ekonomi
rumahtangga petani peternak. Perilaku ekonomi rumahtangga dapat menyangkut keputusan produksi, konsumsi juga keputusan dalam investasi dan pemasaran. Biaya transaksi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya terlihat pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan setiap rumahtangga melakukan aktivitas ekonomi seperti keputusan produksi, konsumsi, investasi dan pemasaran. Keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi, sebaliknya keputusan konsumsi mempengaruhi keputusan poduksi. Keputusan produksi mempengaruhi keputusan investasi dan pemasaran, sebaliknya keputusan investasi dan pemasaran mempengaruhi keputusan produksi. Keputusan konsumsi mempengaruhi keputusan investasi dan pemasaran, sebaliknya keputusan investasi dan pemasaran mempengaruhi keputusan konsumsi.
105
KONDISI SOSIAL EKONOMI KEPUTUSAN PRODUKSI PASAR
KEBIJAKAN
RUMAH TANGGA PETANI PETERNAK
KEPUTUSAN KONSUMSI
JASA PENDUKUNG KEPUTUSAN INVESTASI & PEMASARAN INFORMASI
BIAYA TRANSAKSI
VARIABEL : -KARAKTERISTIK RT -BANK -LISTRIK -KOPERASI -JARAK -LAHAN
Gambar 7. Biaya Transaksi dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya
106
Perilaku rumahtangga petani peternak dipengaruhi oleh pasar, kebijakan, jasa pendukung dan informasi. Pasar dalam hal ini menyangkut pasar lokal, provinsi, nasional dan internasional. Kebijakan pemerintah termasuk peraturan dan regulasi. Sedangkan jasa pendukung berupa infrastruktur, kredit, penawaran input dan penyuluhan. Perilaku rumahtangga juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi rumahtangga seperti umur, pengalaman, pendidikan formal, kredit, luas lahan, skala usaha, jumlah dan kualitas tenaga kerja, modal dan penguasaan tehnologi. Variabelvariabel ini merupakan faktor internal dari rumahtangga. Pasar dan kebijakan mempengaruhi biaya transaksi. Biaya transaksi tersebut dipengaruhi oleh variabel karakteristik rumahtangga, bank, listrik, koperasi, jarak dan lahan. Karakteristik rumahtangga diantaranya struktur demografi mempengaruhi biaya transaksi. Hal ini dapat dilihat dari ketergantungan rasio c/w. Rumahtangga dengan c/w rendah berarti jumlah pekerja lebih besar dari beban konsumsi, menghadapi unit biaya transaksi yang rendah. Kondisi ini disebabkan jumlah pekerja lebih banyak sehingga akses output yang dijual lebih besar. Semakin banyak pekerja on-farm, semakin banyak pangan dihasilkan untuk surplus. Jumlah anak sekolah dan anak tidak bekerja secara negatif mempengaruhi partisipasi pemasaran dalam rumahtangga karena sebagian besar pangan yang diproduksi digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Anggota rumahtangga yang lebih berpengalaman
cenderung
melakukan
kontrak
personal
dan
menggunakan
kesempatan dalam penjualan hasilnya dengan biaya yang rendah. Disini rumahtangga menghadapi biaya transaksi terendah.
107
Rumahtangga yang mempunyai rekening bank dapat meningkatkan kontak dengan perkotaan sebagai tempat penjualan dan pembelian input. Adanya listrik cenderung dapat menurunkan biaya transaksi, dalam hal ini rumahtangga dapat mengakses informasi melalui radio dan televisi. Rumahtangga sebagai anggota koperasi dengan mudah dapat melakukan proses produksi dan memasarkan hasil usahanya. Hal ini berdampak positif dalam penurunan biaya transaksi dan dapat memperbaiki saluran pemasaran. Jarak pasar dan lokasi usahatani mempengaruhi biaya transaksi. Ukuran lahan juga mempengaruhi biaya transaksi karena semakin besar biaya tetap maka biaya transaksi semakin besar. Implikasinya variabel yang mempengaruhi biaya transaksi tersebut dapat mempengaruhi keputusan produksi, konsumsi, investasi dan pemasaran. Biaya transaksi juga mempengaruhi keputusan-keputusan rumahtangga tersebut. Variasi dan kualitas pemasaran ditentukan oleh biaya transaksi yang sebaliknya mempengaruhi tingkat pendapatan rumahtangga. Tingkat pendapatan rumahtangga mempengaruhi keputusan produksi maupun keputusan konsumsi. Berdasarkan fenomena tersebut dapat dinyatakan bahwa biaya transaksi sangat penting untuk implikasi kebijakan. Dalam perilaku ekonomi rumahtangga petani peternak, variabel-variabel yang mempengaruhi biaya transaksi akan dimasukkan dalam model analisis, kecuali bank dan koperasi. Rumahtangga petani peternak tradisional diduga tidak mempunyai rekening bank. Variabel-variabel biaya transaksi diduga mempengaruhi keputusan produksi, konsumsi, investasi dan pemasaran pada rumahtangga petani peternak.
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Metode Penelitian Penelitian menggunakan metode survei pada sampel rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Sulawesi Utara. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara kepada responden petani peternak dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan.
4.2. Jenis Data dan Sumber Data Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juli 2006 sampai Pebruari 2007. Jenis data yang digunakan adalah data cross section dan data time series, dari sumber data adalah data primer dan data sekunder. Data primer (cross section setahun) diperoleh dari wawancara langsung dengan responden. Sedangkan data sekunder (time series tahunan) diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini serta data hasil penelitian yang dipublikasi (Sinaga, 1996).
4.3. Penentuan Lokasi Kabupaten, kecamatan dan desa sebagai wilayah penelitian ditentukan secara purposive. Kabupten Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah daerah yang populasi ternak sapi terbanyak dan sebagai basis ternak sapi. Kedua Kabupaten ini juga sebagai wilayah yang mendapat bantuan ternak sapi maupun bentuk uang dari pemerintah. Kecamatan dan desa di Kabupaten Minahasa adalah kecamatan dan desa yang mempunyai jumlah ternak sapi terbanyak dengan komoditas dominan jagung. Sedangkan Kecamatan dan desa di Kabupaten Bolaang Mongondow adalah
109
kecamatan dan desa yang mempunyai jumlah ternak sapi terbanyak dengan komoditas dominan kelapa.
4.4. Penentuan Sampel Petani peternak disetiap desa sampel dibatasi untuk rumahtangga petani peternak yang memiliki ternak sapi minimal 2 (dua) ekor dan pernah menjual ternak sapi. Berdasarkan jumlah rumahtangga petani peternak sapi disetiap desa sampel ditentukan rumahtangga petani peternak sapi-tanaman dengan metode simple random sampling (Sinaga, 1995) dan dapat dilihat pada Gambar 8.
SULAWESI UTARA KABUPATEN : MINAHASA
KABUPATEN : BOLAANG MONGONDOW
KECAMATAN : TOMPASO, KAWANGKOAN
KECAMATAN : BOLANGITANG, LOLAK, LOLAYAN, DUMOGA BARAT
DESA :
DESA : SALEO,BOHABAK,BIONTONG, LOLAK,MONGKOINIT, MOPUSI,LOLAYAN,MOPAIT, KINOMALIGAN, WANGGA BARU,KOSIO,IBOLIAN
TOURE, PINABETENGAN, TONSEWER,TEMPOK, TONDEGESAN, KANONANG II
SAMPEL : 194 RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPIJAGUNG
SAMPEL : 233 RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPIKELAPA
Gambar 8. Penentuan Rumahtangga di Lokasi Penelitian
110
Nama kabupaten, kecamatan dan desa serta jumlah rumahtangga sampel dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nama Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Jumlah Rumahtangga Sampel di Sulawesi Utara No 1
Kabupaten Minahasa
Kecamatan 1. Tompaso
2. Kawangkoan
2
Bolaang Mongondow
1. BolangItang
2. Lolak 3. Lolayan
4. Dumoga Barat
1. Toure 2. Pinabetengan 3. Tonsewer 4. Tempok 1. Todegesan 2.Kanonang II
Jumlah Rumahtangga 36 33 34 31 33 27
1. Saleo 2. Bohabak 3. Biontong 1. Lolak 2. Mongkoinit 1. Mopusi 2. Lolayan 3. Mopait 1. Kinomaligan 2. Wangga Baru 3. Kosio 4. Ibolian
194 10 11 13 20 16 25 23 22 19 23 28 23
Desa
233
4.5. Metoda Analisis Rumahtangga petani usaha ternak sapi di Sulawesi Utara menjual ternak sapi apabila ada kebutuhan mendesak. Permasalahannya rumahtangga menghadapi biaya transaksi yang cukup tinggi dalam memasarkan ternaknya. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut maka salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis struktur dan besarnya biaya transaksi pada usaha ternak sapi,
111
usaha jagung dan kelapa di Sulawesi Utara. Untuk menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini digunakan analisis deskriptif dan tabulasi. Berdasarkan hasil kajian terhadap studi-studi empiris, model dasar ekonomi rumahtangga, dan perilaku ekonomi keputusan peternak sapi yang telah dibahas sebelumnya, dalam penelitian ini dikembangkan model aktivitas ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Sulawesi Utara. Model rumahtangga tersebut mencakup produksi, penggunaan input (tenaga kerja dan sarana produksi), biaya transaksi, biaya produksi, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja keluarga, tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja ternak. Tenaga kerja keluarga adalah sumberdaya yang sangat penting dalam usahatani kecil. Ternak berfungsi sebagai input pada usahatani yaitu untuk membajak, mengangkut dan dapat menghasilkan pupuk kandang. Ternak sapi dapat memanfaatkan lahan yang tidak terpakai dalam usahatani, dapat menggunakan tenaga kerja yang seharusnya menganggur (secara musiman), serta untuk mengkonversikan residu tanaman bernilai rendah menjadi produk ternak yang bernilai tinggi. Ternak sapi sebagai tenaga kerja yang digunakan untuk proses produksi usahatani jagung dan usaha kelapa dapat disewa oleh petani yang tidak mempunyai sapi. Ternak sapi merupakan sumber pendapatan alternatif. Untuk menjawab tujuan kedua, dibangun model persamaan simultan. Model terdiri dari perilaku produksi, input produksi, input tenaga kerja, biaya transaksi dan pengeluaran untuk konsumsi. Biaya transaksi dimasukkan dalam model dan mempengaruhi perilaku rumahtangga dalam pengambilan keputusan baik produksi, alokasi tenaga kerja maupun keputusan konsumsi.
112
Untuk menjawab tujuan ketiga dan keempat, digunakan pendekatan model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Model analisis yang dibangun adalah model usaha ternak sapi-jagung serta usaha ternak sapi-kelapa. Model ekonomi
rumahtangga petani usaha ternak sapi-jagung di Minahasa dan model
ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-kelapa di Bolaang Mongondow mencakup persamaan (aktivitas) produksi, penggunaan input, biaya transaksi, biaya produksi, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Aktivitas ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman baik untuk usaha ternak sapi - jagung maupun usaha ternak sapi – kelapa pada masing-masing model saling terkait.
4.5.1. Model Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Jagung di Minahasa 4.5.1.1. Blok Produksi Produksi berdasarkan teori ekonomi merupakan suatu proses menghasilkan produk dengan cara mengkombinasikan input lahan, tenaga kerja dan modal. Rumahtangga petani peternak sapi dalam menghasilkan berbagai komoditas pertanian menggunakan berbagai input. Berbagai komoditas yang dihasilkan diantaranya komoditas berasal dari usaha ternak sapi. Dalam usaha ternak sapi output yang dihasilkan dapat berupa daging dan jasa tenaga kerja. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, dalam blok produksi yang dipelajari adalah produksi ternak sapi dan penjualan ternak sapi. Produksi ternak sapi dipengaruhi oleh harga bayangan, jumlah permintaan rumput, konsumsi jagung dan pengalaman usaha. Sedangkan penjualan sapi dipengaruhi oleh harga bayangan sapi dan produksi sapi. Bentuk persamaan produksi sapi dan penjualan sapi adalah :
113
Produksi Sapi PROS = a0 +a1 HTSB+a2 JRUM+a3 KONJ+a4 LBS+U1 ……………..[4.1] Penjualan Sapi PROSJ = b0 + b1 HTSB + b2 PROS + U2 ……………………………..[4.2] Harga Bayangan Sapi HTSB = HTS – BTRS…………………………………………………..[4.3] dimana : PROS : Produksi sapi (Kg); PROSJ : Penjualan sapi (Kg); HTS : Harga ternak sapi (Rp/kg); HTSB : Harga bayangan sapi (Rp/kg); BTR : Total biaya transaksi (Rp/tahun); JRUM : Jumlah rumput (Kg); KONJ : Konsumsi jagung (Kg); LBS : Pengalaman beternak sapi (Tahun); : Peubah pengganggu; Ui Hipotesis : a1, a2, a3, a4 > 0; b1, b2 > 0. Produksi jagung yang dianalisis adalah produktivitas jagung dan luas lahan garapan jagung. Produksi jagung merupakan perkalian antara produktivitas jagung dan luas lahan garapan jagung. Produktivitas jagung dipengaruhi oleh harga bayangan jagung, tenaga kerja sewa, tenaga kerja sapi, penerimaan penjualan sapi dan pendapatan luar usahatani. Luas garapan jagung dipengaruhi oleh penawaran tenaga kerja keluarga dan permintaan tenaga kerja sewa pada usaha jagung, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk TSP dan penerimaan penjualan ternak sapi. Bentuk persamaan produktivitas jagung, luas lahan garapan jagung dan harga bayangan adalah: Produktivitas Jagung PRODJ
=
c0 +c1 HJGB+c2 TKLJ+c3 TKSJ +c4 RUTSJ+c5 PLUT+U3 …….[4.4]
114
Luas Lahan Garapan Jagung LHNJ =
d0+d1 TKDJ+d2 TKLJ+d3 JPUJ+d4 JBJ +d5 JPTJ+ d6 RUTSJ+U4 ………………………………………………………[4.5]
Produksi Jagung PROJ =
PRODJ*LHNJ……………………………………………………..[4.6]
Harga Bayangan Jagung HJGB =
HJG – BTRJ……………………………………………………….[4.7]
dimana : PRODJ PROJ LHNJ HJGB TKDJ TKLJ TKSJ JPUJ JBJ JPTJ RUTSJ PLUT BTRJ
: : : : : : : : : : : : :
Produktivitas jagung (Kg/tahun); Produksi Jagung (Kg/tahun); Luas garapan jagung (Ha); Harga jagung bayangan (Rp/kg); Tenaga kerja keluarga (Jam/tahun); Tenaga kerja sewa (Jam/tahun); Tenaga kerja ternak sapi (Jam/tahun); Jumlah pupuk urea utk jagung (Kg/tahun); Jumlah benih jagung (Kg/tahun); Jumlah pupuk TSP utk jagung (Kg/tahun); Penerimaan penjualan sapi (Rp/tahun); Pendapatan luar usahatani (Rp/tahun); Biaya transaksi usaha jagung (Rp/tahun);
Hipotesis : c1, c2, c3, c4, c5 > 0; d1, d2, d3, d4, d5, d6 > 0. 4.5.1.2. Blok Penggunaan Input Rumahtangga dalam melakukan proses produksi baik usaha ternak sapi maupun usahatani lainnya menggunakan input. Input-input tersebut ada yang disediakan rumahtangga namun ada yang diperoleh dari luar rumahtangga. Rumahtangga petani tidak memproduksi semua jenis komoditas yang dibutuhkan. Beberapa barang atau komoditas diproduksi di luar rumahtangga (pasar input). Apabila rumahtangga menerapkan tehnologi pada usahanya maka ketergantungan terhadap pasar input lebih besar dibanding rumahtangga dengan usahatani tradisional.
115
Penggunaan tenaga kerja pada usaha ternak sapi merupakan curahan kerja anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena usaha ternak sapi yang ada merupakan usaha sampingan dengan sistem pemeliharaan masih tradisional. Sedangkan penggunaan tenaga kerja pada usaha jagung merupakan curahan kerja anggota keluarga maupun penggunaan tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak. a. Permintaan Input Produksi Input produksi yang dianalisis adalah permintaan rumput, benih, pupuk urea dan pupuk TSP. Secara fungsional jumlah permintaan rumput dipengaruhi harga rumput, produksi sapi dan harga jagung. Jumlah permintaan benih dipengaruhi harga benih, luas lahan garapan dan biaya transaksi usaha jagung. Jumlah permintaan pupuk urea merupakan fungsi harga pupuk urea, harga pupuk TSP, luas lahan garapan jagung, penerimaan usaha ternak sapi dan biaya transaksi jagung. Sedangkan jumlah permintaan pupuk TSP dipengaruhi fungsi rasio harga jagung dan harga pupuk TSP, harga pupuk urea, harga pupuk KCl, luas lahan garapan jagung dan total pengeluaran. Secara matematis jumah permintaan input dapat dilihat pada persamaan berikut. Jumlah Permintaan Rumput JRUM =
e0 + e1 HRUM + e2 PROS + e3 HJG + U5 ……………………….[4.8]
Jumlah Permintaan Benih JBJ
=
f0 + f1 HBJ + f2 LHNJ + f3 BTRJ + U6…………………………….[4.9]
Jumlah Permintaan Pupuk Urea JPUJ =
g0+g1 HPUJ+ g2 HPTJ+g3 LHNJ+g4 RUTS+g5 BTRJ+U7………[4.10]
Jumlah Permintaan Pupuk TSP JPTJ =
h0+h1 RHPTJ+h2 HPUJ+h3 HPKJ+h4 LHNJ+h5 TP+U8………..[4.11]
116
dimana : JRUM JBJ JPUJ HRUM HJG HBJ HPUJ HPTJ HPKJ RHPTJ RUTS TP
: : : : : : : : : : : :
Jumlah Rumput (Kg/tahun); Jumlah benih jagung (Kg/tahun); Jumlah pupuk urea utk jagung (Kg/tahun); Harga Rumput (Rp/kg); Harga jagung (Rp/kg); Harga benih jagung (Rp/kg); Harga pupuk urea (Rp/kg); Harga pupuk TSP (Rp/kg); Harga pupuk KCl (Rp/kg); Rasio harga jagung dan harga pupuk TSP (Rp/tahun); Penerimaan usaha ternak sapi (Rp/tahun); Total Pengeluaran (Rp/tahun);
Hipotesis : e1< 0, e2, e3 > 0; f1, f3 < 0, f2 > 0; g1, g5< 0, g2, g3, g4 > 0; dan h1, h5 < 0, h2, h3, h4 > 0. b. Penggunaan Tenaga Kerja Keluarga Peran rumahtangga petani peternak sapi dalam pengembangan usaha peternakan sangat ditentukan oleh bagaimana rumahtangga tersebut dapat mengambil keputusan. Pengambilan keputusan diantaranya meliputi keputusan dalam pengaturan peluang kerja dalam dan luar rumahtangga dan pengalokasian waktu kerja. Curahan kerja anggota keluarga pada usaha ternak sapi maupun usaha jagung dan curahan kerja sebagai buruh tani. Rumahtangga juga menggunakan tenaga kerja sewa dalam usaha jagung serta menggunakan tenaga kerja sapi dalam mengolah lahan usaha jagung. Secara fungsional penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja, curahan kerja sebagai buruh tani dan biaya sarana produksi sapi. Sedangkan penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi, permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha jagung, produksi jagung dan biaya sarana produksi jagung. Secara matematis bentuk persamaan tenaga kerja dapat dilihat pada :
117
Tenaga Kerja Keluarga dalam Usaha Sapi TKDS =
i0 + i1 UTKB + i2 CTDUO + i3 BSPS + U9………………………..[4.12]
Tenaga Kerja Keluarga dalam Usaha Jagung TKDJ =
j0 + j1 UTKBJ + j2 TKDS + j3 TKLJ + j4 PROJ + j5 BSPJ + U10 …………………………………...........[4.13]
Upah Bayangan UTKB = UTK + BTRS……………………………………………………….[4.14] UTKBJ= UTK + BTRJ……………………………………………………….[4.15]
dimana : TKDS CTDUO UTK UTKB UTKBJ PROJ BSPS BSPJ BTRS
: : : : : : : : :
Penawaran TK kel utk usaha ternak sapi (Jam/tahun); Curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (Jam/tahun); Upah tenaga kerja (Rp/jam) Upah bayangan tenaga kerja (Rp/jam); Upah tenaga kerja dalam UT jagung bayangan (Rp/jam); Produksi jagung (Kg/tahun); Biaya sarana produksi sapi (Rp/tahun); Biaya sarana produksi jagung (Rp/tahun); Biaya transaksi UT sapi (Rp/tahun);
Hipotesis : i2 < 0, i1, i3 > 0; dan j2, j3 < 0, j1, j4, j5 > 0. c. Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Pada usaha jagung, rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa. Permintaan tenaga kerja sewa dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung, total pengeluaran konsumsi pangan dan investasi sumberdaya manusia, penerimaan penjualan sapi dan surplus produksi jagung. Bentuk persamaan permintaan tenaga kerja luar keluarga adalah : TKLJ =
k0 + k1 UTKBJ+k2 TKDJ+k3 TP1+k4 RUTSJ+k5 SPJ+U11……...[4.16]
dimana : TP1 SPJ
: Total pengeluaran konsumsi pangan dan ISM (Rp/tahun); : Surplus produksi jagung (Kg/tahun);
Hipotesis : k1, k2, k3 < 0, k4, k5 > 0.
118
d. Penggunaan Tenaga Kerja Ternak Tenaga kerja sapi di Minahasa dimanfaatkan sebagai pengangkut dan pengolah lahan (untuk bajak). Tenaga kerja ternak sapi dalam usaha jagung dipengaruhi upah sewa sapi bayangan, permintaan tenaga kerja sewa usaha jagung, penawaran tenaga kerja keluarga usaha jagung dan luas lahan garapan jagung. Bentuk persamaan penggunaan tenaga kerja ternak sapi adalah : TKSJ =
l0 + l1 USSB+l2 TKLJ +l3 TKDJ+ l4 LHNJ+U12…………………...[4.17]
USSB = UTK + BTR…………………………………………………………[4.18]
dimana : USSB : Upah sewa sapi bayangan (Rp/jam); Hipotesis : l2 < 0, l1, l3, l4 > 0. e. Curahan Tenaga Kerja Sebagai Buruh Tani Curahan tenaga kerja sebagai buruh tani dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi, penawaran tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan penerimaan usaha ternak sapi. Bentuk persamaannya adalah : CTDUO =
m0 + m1 UTKBJ + m2 TKDS + m3 TKDUL + m4 ANG + m5 PFO + m6 RUTSJ + U13…………………..................[4.19]
dimana : TKDUL ANG PFO
: Penawaran TK kel utuk UT lain (Jam/tahun); : Jumlah anggota keluarga (Orang); : Pendidikan formal KK (Tahun);
Hipotesis : m2, m3, m5, m6 < 0, m1, m4 > 0. 4.5.1.3. Blok Biaya Produksi Rumahtangga membutuhkan biaya dalam proses produksi usaha ternak sapi dan usaha jagung. Dalam penelitian ini usaha ternak sapi dikombinasikan dengan usaha jagung, sehingga biaya produksi yang dianalisis merupakan biaya usaha ternak
119
sapi dan biaya usaha jagung. Biaya produksi dalam usaha ternak sapi adalah biaya sarana produksi terdiri dari biaya rumput, biaya obat-obatan, biaya pejantan dan biaya konsumsi jagung. Biaya konsumsi jagung merupakan biaya yang diperhitungkan. Jagung yang dikonsumsi merupakan jagung milik sendiri yang khusus ditanam oleh rumahtangga untuk konsumsi ternak sapi. Biaya tenaga kerja dalam usaha ternak sapi merupakan biaya yang diperhitungkan. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja yang digunakan dalam usaha sapi merupakan tenaga kerja keluarga. Sedangkan biaya produksi yang dikeluarkan dalam usaha jagung adalah biaya tenaga kerja dan biaya sarana produksi.
a. Biaya Sarana Produksi Ternak Sapi Biaya sarana produksi ternak sapi merupakan penjumlahan dari biaya pembelian rumput, biaya obat-obatan, biaya sewa pejantan dan biaya konsumsi jagung. Bentuk persamaannya merupakan persamaan identitas adalah : BSPS
= BRUM + OBT + BPJ + BKONJ………………………………...[4.20]
BRUM = JRUM*HRUM BKONJ = KONJ*HJG
dimana : BRUM OBT BPJ BKONJ
: : : :
Biaya pembelian rumput (Rp/tahun); Biaya obat-obatan (Rp/tahun); Biaya sewa pejantan (Rp/tahun); Biaya konsumsi jagung (Rp/tahun);
b. Biaya Sarana Produksi Jagung Biaya sarana produksi jagung merupakan penjumlahan biaya benih jagung, biaya pembelian pupuk urea, biaya pembelian pupuk TSP dan pembelian pupuk KCL. Bentuk persamaannya adalah :
120
BSPJ = BBJ + BPUJ + BPTJ + BPKJ……………………………………...[4.21]
dimana : BBJ BPUJ BPTJ BPKJ
: : : :
Biaya benih jagung (Rp/tahun); Biaya pupuk urea (Rp/tahun); Biaya pupuk TSP (Rp/tahun); Biaya pupuk KCl (Rp/tahun);
c. Biaya Tenaga Kerja Biaya tenaga kerja yang disewa rumahtangga dalam proses produksi jagung merupakan penjumlahan biaya tenaga kerja keluarga (biaya yang diperhitungkan) dan biaya tenaga kerja sewa (biaya yang dibayarkan). Bentuk persamaannya : BTKJ
=
BTKDJ + BTKLJ +RSLS………………………………………[4.22]
BTKDJ =
TKDJ*UTK
BTKLJ =
TKLJ*UTK
RSLS
TKSJ*UTK
=
dimana : BTKJ BTKDJ BTKLJ RSLS
: : : :
Biaya tenaga kerja usaha jagung (Rp/tahun); Biaya tenaga kerja keluarga yang diperhitungkan(Rp/tahun); Biaya tenaga kerja sewa yang dibayarkan(Rp/tahun); Penerimaan penyewaan ternak sapi (dihitung) (Rp/ekor);
4.5.1.4. Blok Biaya Transaksi Biaya transaksi merupakan biaya yang ditanggung rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman dalam penjualan ternak sapi, penjualan jagung dan pembelian input usaha jagung. Biaya transaksi penjualan sapi terdiri dari biaya perantara, biaya transpor, biaya retribusi dan biaya administrasi. Sedangkan biaya transaksi penjualan jagung terdiri dari biaya transpor penjualan jagung, biaya transpor pembelian bibit dan pupuk. Biaya perantara penjualan sapi merupakan salah satu komponen biaya transaksi dipengaruhi penjualan sapi dan harga ternak sapi. Sedangkan biaya transpor
121
penjualan jagung dipengaruhi harga jagung dan konsumsi jagung. Bentuk persamaan biaya perantara penjualan sapi dan biaya transpor penjualan jagung adalah : Biaya Perantara Penjualan Jagung BPER =
n0 + n1 PROSJ + n2 HTS + U14…………………………………[4.23]
Biaya Transpor Penjualan Jagung BTPJ =
O0 + O1 HJG + O2 KONJ + U15…………………………………..[4.24]
Biaya Transaksi Usaha Sapi BTRS = BPER + BTRA + BRET + BADM………………………………[4.25] Biaya Transaksi Usaha Jagung BTRJ = BTPJ + BTPB + BTPP……………………………………………..[4.26] Total Biaya Transaksi BTR
= BTRS + BTRJ………………………………………………………[4.27]
dimana : BPER BTRA BRET BADM BTPJ BTPB BTPP
: : : : : : :
Biaya perantara penjualan sapi (Rp/tahun); Biaya transpor penjualan sapi (Rp/tahun); Biaya retribusi penjualan sapi (Rp/tahun); Biaya administrasi penjualan sapi (Rp/tahun); Biaya transpor penjualan jagung (Rp/tahun); Biaya transpor pembelian benih (Rp/tahun); Biaya transpor pembelian pupuk (Rp/tahun);
Hipotesis : n1, n2 > 0; o2 < 0, o1> 0. 4.5.1.5. Blok Pendapatan Rumahtangga Pendapatan rumahtangga adalah pendapatan yang diperoleh dari usaha ternak sapi, usaha jagung, usahatani lain, luar usahatani, buruh tani, usaha lain dan pendapatan tenaga kerja sapi yang disewakan. Rumahtangga melakukan keputusan mencurahkan waktu kerja luar usaha dalam rangka memperoleh pendapatan lain untuk memaksimumkan kepuasan mereka.
122
a. Penerimaan Usaha Ternak Sapi Penerimaan rumahtangga selain diperoleh dari penjualan ternak sapi juga dari penyewaan ternak sapi oleh petani lain, dengan demikian penerimaan rumahtangga terdiri dari penerimaan hasil penjualan ternak dan hasil penyewaan ternak sapi. Penerimaan hasil penjualan ternak merupakan perkalian penjualan sapi dan harga ternak sapi. Sedangkan penerimaan sewa ternak merupakan perkalian jumlah ternak yang disewakan dengan harga sewa sapi. Bentuk persamaan penerimaan usaha ternak sapi adalah: RUTS
= RUTSJ + RSTS + RSLS………………………………………...[4.28]
RUTSJ
= PROS*HTS
dimana: RSTS
: Penerimaan penyewaan ternak sapi (dibayar) (Rp/ekor);
b. Pendapatan Usaha Ternak Sapi Pendapatan rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya produksi dan biaya transaksi penjualan ternak sapi pada usaha ternak sapi diukur dalam rupiah per tahun. Bentuk persamaan pendapatan usaha ternak sapi adalah : PUTS =
RUTS - TBPS – BTRS…………………………………………..[4.29]
Total Biaya Produksi Sapi TBPS
=
BTKDS =
BSPS + BTKDS…………………………………………………..[4.30] TKDS*UTK
dimana: PUTS TBPS BTKDS
: Pendapatan usaha ternak sapi (Rp/tahun); : Total biaya produksi ternak sapi (Rp/tahun); : Biaya tenaga kerja keluarga usaha sapi (diperhitungkan)(Rp/tahun)
123
c. Pendapatan Usaha Jagung Pendapatan usaha jagung diperoleh dari penjualan jagung diukur dalam rupiah per tahun dikurangi total biaya jagung. Bentuk persamaan pendapatan usaha jagung : PUJ
=
RUJ – TBJ…………………………………………………………[4.31]
RUJ
=
PROJ*HJG
Total Biaya Jagung TBJ
=
TBPJ + BTRJ……………………………………………………..[4.32]
TBPJ
=
BSPJ + BTKJ……………………………………………………...[4.33]
dimana: PUJ RUJ TBJ BTKJ
: : : :
Pendapatan usaha jagung (Rp/tahun); Penerimaan penjualan jagung (Rp/tahun); Total biaya usaha jagung (Rp/tahun); Biaya tenaga kerja dalam usaha jagung (Rp/tahun);
d. Total Pendapatan Rumahtangga Total pendapatan rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman diperoleh dari
penjumlahan pendapatan usaha ternak sapi dan pendapatan usaha jagung,
pendapatan usahatani lain, pendapatan buruh tani, pendapatan luar usahatani dan pendapatan usaha lain. Bentuk persamaan total pendapatan rumahtangga adalah : TPRT
dimana : TPRT PUTL PBTN PLUT PUL
=
: : : : :
PUTS + PUJ + PUTL + PBTN + PLUT + PUL……………….[4.34]
Total pendapatan rumahtangga (Rp/tahun); Pendapatan usahatani lain (Rp/tahun); Pendapatan buruh tani (Rp/tahun) = CTDUO*UTK; Pendapatan luar usahatani (Rp/tahun); Pendapatan usaha lain (Rp/tahun);
e. Pendapatan Siap Dibelanjakan Pendapatan siap dibelanjakan rumahtangga merupakan total pendapatan rumahtangga dikurangi pajak. Bentuk persamaannya adalah :
124
PSD
=
TPRT - TAX……………………………………………………….[4.35]
dimana : PSD : Pendapatan siap dibelanjakan (Rp/tahun); TAX : Total pajak atau retribusi (Rp/tahun);
4.5.1.6. Blok Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman merupakan berapa besar uang yang dikeluarkan rumahtangga untuk konsumsi pangan, konsumsi non pangan, serta investasi sumberdaya manusia yang terdiri dari investasi pendidikan dan investasi kesehatan. Pengeluaran konsumsi ditentukan oleh variabel ukuran dan struktur demografi rumahtangga. Variabel ini penting untuk pendapatan yang diperoleh dan pengeluaran yang potensial.
a. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan dipengaruhi jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga dan total pendapatan rumahtangga. Bentuk persamaan konsumsi pangan : KP
dimana : KP
=
p0 + p1 ANG + p2 PFO + p3 TPRT + U16 ……………………...[4.36]
: Konsumsi pangan (Rp/tahun);
Hipotesis : p1, p2, p3 > 0. b. Konsumsi Non Pangan Konsumsi non pangan dipengaruhi pendidikan kepala keluarga, jumlah angkatan kerja, dan total pendapatan rumahtangga. Bentuk persamaan konsumsi non pangan adalah : KNP
=
q0 + q1 PFO + q2 JAKK +q3 TPRT + U17……………………….[4.37]
dimana : KNP : Konsumsi non pangan (Rp/tahun); JAKK : Jumlah angkatan kerja (Orang)
125
Hipotesis : q1, q2, q3 > 0. c. Investasi Pendidikan Investasi sumberdaya manusia merupakan total investasi pendidikan dan investasi kesehatan. Sedangkan investasi pendidikan dipengaruhi pendidikan kepala keluarga, tabungan dan total pendapatan rumahtangga. Bentuk persamaannya adalah : ISM
= IPD + IKE…………………………………………………………..[4.38]
IPD
= r0+ r1 PFO+r2 TAB+r3 TPRT+U18…………………………………[4.39]
dimana : ISM : Investasi sumberdaya manusia (Rp/tahun); IPD : Investasi pendidikan (Rp/tahun); IKE : Investasi kesehatan (Rp/tahun); TAB : Jumlah tabungan (Rp/tahun); Hipotesis : r1, r2, r3 > 0. d. Total Pengeluaran Total konsumsi merupakan penjumlahan konsumsi pangan dan konsumsi non pangan. Sedangkan total pengeluaran rumahtangga merupakan penjumlahan total konsumsi dan investasi sumberdaya manusia oleh rumahtangga petani peternak sapi. Bentuk persamaannya adalah : KT
= KP + KNP……………………………………………………………[4.40]
TP
= KT + ISM…………………………………………………………...[4.41]
dimana : KT TP
: Konsumsi total (Rp/tahun); : Total pengeluaran (Rp/tahun);
4.5.1.7. Blok Surplus Pasar dan Konsumsi Jagung Perubahan dalam surplus pasar dikarenakan kombinasi dampak perubahan tehnologi dan komersialisasi. Intinya, perubahan surplus pasar akan meningkatkan pendapatan yang menyebabkan pengeluaran untuk konsumsi semakin meningkat.
126
Surplus pasar yang dihitung adalah surplus pasar jagung. Surplus pasar ternak sapi dalam penelitian ini tidak dihitung. Hal ini disebabkan rumahtangga tidak mengkonsumsi ternak sapi. Konsumsi jagung adalah konsumsi oleh ternak sapi. Bentuk persamaan surplus pasar dan konsumsi jagung adalah : Surplus Pasar SPJ
=
PROJ – KONJ……………………………………………………..[4.42]
Konsumsi Jagung KONJ =
dimana : SPJ
s0 + s1 BRUM + s2 RUTSJ + s3 PROJ + U19……………………..[4.43]
: Surplus pasar jagung (Kg/tahun);
Hipotesis : s1, s2, s3 > 0.
4.5.2. Model Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Kelapa di Bolaang Mogondow 4.5.2.1. Blok Produksi Blok produksi yang dipelajari adalah produksi ternak sapi dan penjualan sapi. Produksi sapi dipengaruhi harga bayangan ternak sapi, permintaan rumput dan penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi. Sedangkan penjualan sapi dipengaruhi harga bayangan sapi, produksi sapi dan total biaya. Bentuk persamaan fungsi produksi dan penjualan ternak sapi adalah Produksi Sapi PROS
=
a0 + a1 HTSB+ a2 JRUM+a3 TKDS + U1…………………...[4.44]
=
b0 + b1 HTSB + b2 PROS + b3 TB + U2……………………..[4.45]
Penjualan Sapi PROSJ
127
Harga Bayangan Sapi HTSB
= HTS – BTRS…………………………………………………...[4.46]
dimana : PROS PROSJ JRUM TKDS HTS HTSBS BTRS TB Ui Hipotesis : a1, a2, a3
: Produksi sapi (Kg); : Penjualan sapi (Kg); : Jumlah rumput (Kg/tahun); : Penawaran TK kel utk usaha ternak sapi (Jam/tahun); : Harga ternak sapi (Rp/kg); : Harga bayangan sapi (total sapi) (Rp/tahun); : Biaya transaksi usaha ternak sapi (Rp/tahun); : Total biaya (Rp/tahun); : Peubah pengganggu; > 0 dan b1, b2, b3 > 0.
Produksi kelapa yang dianalisis adalah produktivitas kelapa. Luas lahan dianggap tetap sehingga tidak dianalisis dalam model ini. Produktivitas kelapa dipengaruhi harga bayangan kopra, jumlah pohon kelapa, jumlah pupuk urea kelapa, permintaan tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak sapi dalam usaha kelapa. Bentuk persamaan fungsi produktivitas kelapa adalah Produktivitas Kelapa PRODK
=
c0 +c1 HKOB+c2 JPK+c3 JPUK +c4 TKLK+ c5TKSK+U3 …...[4.47]
Produksi Buah Kelapa PROB
=
PRODK*LHNK……………………………………………….[4.48]
Harga Bayangan Kopra HKOB
=
HKO – BTRK…………………………………………………..[4.49]
dimana : PRODK PROB LHNK JPK JPUK TKLK TKSK HKO
: : : : : : : :
Produktivitas kelapa (Kg/tahun); Produksi buah kelapa (Kg/tahun); Luas Lahan Kelapa (Ha); Jumlah pohon kelapa (Pohon); Jumlah pupuk urea utk usaha kelapa (Kg/tahun); Tenaga kerja sewa untuk kelapa (Jam/tahun); Tenaga kerja ternak sapi (Jam/tahun); Harga kopra (Rp/kopra)
128
HKOB BTRK
: Harga bayangan kopra (Rp/kg); : Biaya transaksi kopra (Rp/tahun);
Hipotesis : c1, c2, c3, c4, c5 > 0.
4.5.2.2. Blok Penggunaan Input Penggunaan input terdiri dari permintaan input produksi dan input tenaga kerja dalam usaha ternak sapi dan usaha kelapa. Input produksi hanya permintaan rumput. Permintaan pupuk urea pada usaha kelapa tidak dimasukkan dalam model karena hanya sebagian rumahtangga menggunakan pupuk urea untuk usaha kelapa. a. Jumlah Permintaan Rumput Jumlah permintaan rumput dipengaruhi harga rumput, produksi sapi, penerimaan usaha ternak sapi dan penerimaan usaha kelapa. Bentuk persamaannya : JRUM
=
d0 +d1 HRUM+d2 PROS+d3 RUTS+d4 RUK+U4………………..[4.50]
dimana : HRUM : Harga rumput (Rp/kg); RUTS : Penerimaan usaha ternak sapi (Rp/tahun); RUK : Penerimaan usaha kelapa (Rp/tahun); Hipotesis : d1 < 0, d2, d3, d4 > 0.
b. Penggunaan Tenaga Kerja Keluarga Penggunaan tenaga kerja pada usaha sapi merupakan curahan kerja anggota keluarga. Hal ini disebabkan usaha sapi yang ada merupakan usaha sampingan dengan sistem pemeliharaan tradicional, sehingga rumahtangga memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Penggunaan tenaga kerja pada usaha kelapa adalah curahan kerja anggota keluarga, penggunaan tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak. Curahan kerja anggota keluarga pada usaha ternak sapi dipengaruhi oleh upah bayangan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa dan
129
produksi sapi. Sedangkan curahan kerja keluarga dalam usaha kelapa dipengaruhi oleh upah bayangan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi, permintaan tenaga kerja sewa dalam usaha kelapa dan produksi kopra. Bentuk persamaan penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi dan kelapa adalah : Tenaga Kerja Keluarga dalam Usaha Sapi TKDS
= e0 + e1 UTKB + e2 TKDK + e3 PROS + U5……………………..[4.51]
Tenaga Kerja Keluarga dalam Usaha Sapi TKDK
=
f0 + f1 UTKB+f2 TKDS+f3 TKLK+f4 PROK+U6……………….[4.52]
Upah Bayangan Tenaga Kerja UTKB
= UTK + BTPK……………………………………………………[4.53]
dimana : TKDK : PROK : UTK : UTKB : BTPK : Hipotesis : e2 < 0 dan
Penawaran TK kel utk usaha kelapa (Jam/tahun); Produksi kopra (Kg/tahun); Upah tenaga kerja (Rp/jam); Upah bayangan tenaga kerja (kelapa) (Rp/jam); Biaya transaksi kopra (Rp/tahun); e1, e3 > 0; f2, f3 < 0 dan f1, f4 > 0.
c. Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Pada usaha kelapa, rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa. Penggunaan tenaga kerja yang disewa rumahtangga dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja, produksi buah kelapa, jumlah angkatan kerja dan curahan kerja sebagai buruh tani. Bentuk persamaan permintaan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa adalah : TKLK
=
g0 +g1UTKB+g2 PROB+g3 JAKK+g4CTDUO+U7……………..[4.54]
Hipotesis : g1, g3 < 0 dan g2, g4 > 0.
130
d. Penggunaan Tenaga Kerja Ternak Tenaga kerja ternak di Bolaang Mongondow digunakan untuk pengangkutan dan membajak lahan sawah. Penggunaan tenaga kerja ternak dipengaruhi upah sewa sapi bayangan dan surplus pasar kelapa. Bentuk persamaannya adalah : TKSK
=
h0 + h1 USSB + h2 SPK + U8…………………………………….[4.55]
USSB
=
USS + BTRK……………………………………………………..[4.56]
dimana : USSB SPK USS Hipotesis : h1, h2, h3
: Upah sewa sapi bayangan (Rp/jam); : Surplus pasar kelapa (Kg/tahun); : Upah sewa sapi (Rp/jam); > 0.
e. Curahan Tenaga Kerja Sebagai Buruh Tani Curahan tenaga kerja sebagai buruh tani dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, total pengeluaran dan produksi sapi. Bentuk persamaannya adalah : CTDUO
=
i0 +i1 UTKB+i2 ANG+i3 TP+i4 PROS+U9…………………[4.57]
dimana : ANG : Jumlah anggota keluarga (Orang); PFO : Pendidikan formal KK (Tahun); TP : Total pengeluaran (Rp/tahun); Hipotesis : i3, i4 < 0, i1, i2 > 0. 4.5.2.3. Blok Biaya Produksi Dalam melakukan proses produksi usaha ternak sapi maupun usaha kelapa, rumahtangga membutuhkan biaya. Seperti di Minahasa, biaya produksi yang dikeluarkan rumahtangga untuk usaha ternak sapi hanya biaya sarana produksi. Rumahtangga tidak menggunakan tenaga kerja sewa dalam usaha ternak sapi. Sedangkan biaya produksi yang dikeluarkan untuk usaha kelapa baik biaya tenaga
131
kerja maupun biaya sarana produksi kelapa tidak masuk dalam model. Berbeda dengan di Minahasa, biaya sarana produksi ternak sapi hanya terdiri dari biaya rumput dan biaya obat-obatan. Bentuk persamaannya adalah : BSPS
=
BRUM =
dimana : BSPS BRUM OBT
BRUM + OBT……………………………………………………[4.58] JRUM*HRUM
: Biaya sarana produksi sapi (Rp/tahun); : Biaya rumput (Rp/tahun); : Biaya obat-obatan (Rp/tahun);
4.5.2.4. Blok Biaya Transaksi Seperti pada model Minahasa, biaya transaksi merupakan biaya yang ditanggung rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman dalam penjualan ternak sapi maupun penjualan kelapa. Biaya transaksi penjualan sapi terdiri dari biaya perantara, biaya transpor, biaya retribusi dan biaya administrasi. Sedangkan biaya transaksi penjualan kopra terdiri dari biaya transpor penjualan kopra dan biaya penyimpanan kopra. Biaya perantara penjualan sapi merupakan salah satu komponen biaya transaksi penjualan sapi dipengaruhi harga sapi, penjualan sapi dan jarak pasar. Sedangkan biaya transpor penjualan kopra dipengaruhi harga kopra dan tenaga kerja ternak sapi pada usaha kelapa. Bentuk persamaannya : Biaya Perantara Penjualan Sapi BPER =
j0 + j1 HTS+j2 PROSJ +j3 JARP+U10……………………................[4.59]
Biaya Transpor Penjualan Kopra BTPK =
k0 + k1 HKO + k2 TKSK + U11……………………………………[4.60]
Biaya Transaksi Usaha Sapi BTRS = BPER + BTRA + BRET + BADM………………………………...[4.61]
132
Biaya Transaksi Usaha Kelapa BTRK = BTPK + BSIM……………………………………………………...[4.62] Total Biaya Transaksi BTR
= BTRS + BTRK……………………………………………………...[4.63]
dimana : BPER BTRA BRET BADM BTPK BSIM JARP
: : : : : : :
Biaya perantara penjualan sapi (Rp/tahun); Biaya transpor penjualan sapi (Rp/tahun); Biaya retribusi penjualan sapi (Rp/tahun); Biaya administrasi penjualan sapi (Rp/tahun); Biaya transpor penjualan kopra (Rp/tahun); Biaya simpan kopra (Rp/tahun); Jarak pasar (Km);
Hipotesis : j3 < 0 dan j1, j2 > 0; k2 < 0 dan k1> 0. 4.5.2.5. Blok Pendapatan Rumahtangga Sama seperti di Minahasa, pendapatan rumahtangga adalah pendapatan yang diperoleh rumahtangga petani peternak dari usaha ternak sapi, usaha kelapa, usahatani lain, buruh tani, luar usahatani dan pendapatan usaha lain.
a. Penerimaan Usaha Ternak Sapi Penerimaan rumahtangga selain diperoleh dari penjualan ternak sapi juga diperoleh dari penyewaan ternak sapi oleh petani lain. Penerimaan rumahtangga terdiri dari penerimaan hasil penjualan ternak dan penerimaan hasil penyewaan ternak sapi. Penerimaan hasil penjualan ternak merupakan perkalian penjualan sapi dan harga sapi. Sedangkan penerimaan sewa ternak merupakan perkalian jumlah ternak yang disewakan dan harga sewa sapi. Bentuk persamaannya: RUTS
= RUTSJ + RSTS + RSLS………………………………………...[4.64]
RUTSJ
= PROS*HTS
RSLS
= TKSK*USS
133
dimana: RSTS RSLS
: Penerimaan penyewaan ternak sapi (dibayar) (Rp/ekor); : Penerimaan penyewaan ternak sapi (dihitung) (Rp/ekor);
b. Pendapatan Usaha Ternak Sapi Pendapatan rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya produksi dan biaya transaksi penjualan ternak sapi diukur dalam rupiah per tahun. Bentuk persamaannya adalah : PUTS
=
RUTS - TBPS – BTRS…………………………………………[4.65]
Total Biaya Produksi Sapi TBPS
= BSPS + BTKDS………………………………………………….[4.66]
dimana: PUTS TBS TBPS BTKDS
: : : :
Pendapatan usaha ternak sapi (Rp/tahun); Total biaya usaha ternak sapi (Rp/tahun); Total biaya produksi sapi (Rp/tahun); Biaya TK keluarga usaha ternak sapi (diperhitungkan)(Rp/tahun);
c. Pendapatan Usaha Kelapa Pendapatan usaha kelapa diperoleh dari penjualan kopra dan buah kelapa diukur dalam rupiah per tahun dikurangi biaya produksi dan biaya transaksi penjualan kopra. Bentuk persamaan pendapatan usaha kelapa dan total biaya kelapa adalah : PUK
=
RUK - TBPK - BTRK…………………………………………...[4.67]
RUK
=
PROBJ*HBK + PROK*HKO
Total Biaya Produksi Kelapa TBPK
=
(JPUK*HPUK)+(JGAR*HGAR)+BTKK……………………...[4.68]
BTKK =
BTKDK + BTKLK……………………………………………….[4.69]
BTKDK =
TKDS*UTK
BTKLK =
TKLK*UTK
dimana: PUK
: Pendapatan usaha kelapa (Rp/tahun);
134
RUK TBPK JPUK HPUK JGAR HGAR BTKK BTKDK BTKLK
: : : : : : : : :
Penerimaan penjualan kelapa dan kopra (Rp/tahun); Total biaya produksi kelapa (Rp/tahun); Jumlah pupuk urea untuk kelapa (Kg/tahun); Harga pupuk urea untuk kelapa (Rp/kg); Jumlah garam (Kg/tahun); Harga garam (Rp/kg); Biaya TK usaha kelapa (Rp/tahun); Biaya TK keluarga usaha kelapa (diperhitungkan)(Rp/tahun); Biaya TK sewa usaha kelapa (dibayar) (Rp/tahun);
d. Total Pendapatan Rumahtangga Total pendapatan rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman diperoleh dari penjumlahan pendapatan usaha sapi dan pendapatan usaha kelapa, pendapatan usahatani lain, pendapatan buruh tani, pendapatan luar usahatani dan pendapatan usaha lain. Bentuk persamaan total pendapatan rumahtangga adalah sebagai berikut : TPRT
dimana : TPRT PUTL PBTN PLUT PUL
=
: : : : :
PUTS + PUJ + PUTL + PBTN + PLUT + PUL……………….[4.70]
Total pendapatan rumahtangga (Rp/tahun); Pendapatan usahatani lain (Rp/tahun); Pendapatan buruh tani (Rp/tahun); Pendapatan luar usahatani (Rp/tahun); Pendapatan usaha lain (Rp/tahun)
e. Pendapatan Siap Dibelanjakan Pendapatan siap dibelanjakan rumahtangga merupakan total pendapatan rumahtangga dikurangi pajak. Bentuk persamaannya adalah : PSD
=
TPRT - TAX……………………………………………………….[4.71]
dimana : PSD : Pendapatan siap dibelanjakan (Rp/tahun); TAX : Total pajak atau retribusi (Rp/tahun); 4.5.2.6. Blok Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman merupakan berapa besar uang yang dikeluarkan rumahtangga untuk konsumsi pangan, konsumsi
135
non pangan, serta investasi sumberdaya manusia yang terdiri dari investasi pendidikan dan investasi kesehatan. Pengeluaran untuk konsumsi ditentukan oleh variabel ukuran dan struktur demografi rumahtangga. Variabel ini penting untuk pendapatan dan pengeluaran yang potensial. a. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga dan total pendapatan rumahtangga. Bentuk persamaan konsumsi pangan adalah : KP dimana : KP
=
l0 + l1 ANG + l2 PFO + l3 TPRT + U12………………….[4.72]
: Konsumsi pangan (Rp/tahun);
Hipotesis : l1, l2, l3 > 0. b. Konsumsi Non Pangan Konsumsi non pangan dipengaruhi pendidikan kepala keluarga, jumlah angkatan kerja, dan total pendapatan rumahtangga. Bentuk persamaannya adalah: KNP = m0 + m1 ANG+m2 PFO+m3 TPRT+U13…………………….[4.73] dimana : KNP : Konsumsi non pangan (Rp/tahun); Hipotesis : m1, m2, m3 > 0.
c. Investasi Pendidikan Investasi sumberdaya manusia merupakan total investasi pendidikan dan investasi kesehatan. Investasi pendidikan dipengaruhi jumlah anak sekolah dan total pendapatan rumahtangga. Bentuk persamaan investasi pendidikan adalah : ISM
= IPD + IKE…………………………………………………………..[4.74]
IPD
= n0 + n1 JAS + n3 TPRT + U14……………………………………...[4.75]
136
dimana : ISM IPD IKE JAS
: : : :
Investasi sumberdaya manusia (Rp/tahun); Investasi pendidikan (Rp/tahun); Investasi kesehatan (Rp/tahun); Jumlah anak sekolah (Orang);
Hipotesis : n1, n2, n3 > 0. d. Total Pengeluaran Total konsumsi merupakan penjumlahan konsumsi pangan dan konsumsi non pangan. Sedangkan total pengeluaran rumahtangga merupakan penjumlahan total konsumsi dan investasi sumberdaya manusia oleh rumahtangga petani peternak sapi. Bentuk persamaannya adalah : KT
= KP + KNP…………………………………………………………….[4.76]
TP
= KT + ISM…………………………………………………………...[4.77]
dimana : KT TP
: Konsumsi total (Rp/tahun); : Total pengeluaran (Rp/tahun);
4.5.2.7. Blok Surplus Pasar Perubahan dalam surplus pasar dikarenakan kombinasi dampak perubahan tehnologi dan komersialisasi. Intinya, perubahan surplus pasar akan meningkatkan pendapatan yang menyebabkan pengeluaran konsumsi semakin meningkat. Surplus pasar yang dihitung adalah surplus pasar kelapa. Bentuk persamaan surplus pasar kelapa adalah : SPK
=
o0 + o1 HBK + o2 PROB + o3 TP + o3 BTRK + U15……………...(4.78)
dimana : SPK : Surplus pasar kelapa (Kg/tahun); HBK : Harga buah kelapa (Rp/kg); Hipotesis : o1, o2, o3, o4 > 0. Definisi dan pengukuran variabel dapat dilihat pada Lampiran 1.
137
4.6. Identifikasi Model Identifikasi model dilakukan agar dapat menentukan metode estimasi yang akan digunakan. Identifikasi model ditentukan berdasarkan dua kondisi yaitu kondisi order dan rank (Koutsoyiannis, 1977). Kedua kondisi ini harus dipenuhi oleh persamaman agar dapat diidentifikasi. Untuk keperluan identifikasi setiap persamaan perilaku, dalam penelitian ini hanya didasarkan pada kondisi order. Kondisi order secara matematis dapat dilihat dari persamaan :
(K − M ) ≥ (G − 1) dimana : K M G
= Jumlah keseluruhan peubah endogen dan predeterminan, = Jumlah peubah endogen dan peubah eksogen dalam persamaan, = Jumlah keseluruhan persamaan (jumlah persamaan endogen),
Pada kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol. Jika (K-M) = (G-1) maka persamaan dikatakan exactly identified dan jika (K-M) < (G-1) maka persamaan dikatakan underidentified. Jika (K-M) > (G-1) maka persamaan dikatakan over identified. Jika sistem persamaan atau model secara keseluruhan adalah under-identified maka tidak satupun tehnik ekonometrika yang dapat dilakukan untuk mengestimasi parameter tersebut. Jika sistem persamaan exactly identified, maka tehnik yang digunakan adalah Indirect Least Squares (ILS), dan jika over identified maka digunakan Two Stage Least Squares (2 SLS) atau Three Stage Least Squares (3SLS). Dalam model penelitian ini, untuk model usaha ternak sapi-jagung di Minahasa terdapat 43 persamaan yang terdiri dari 19 persamaan struktural (perilaku) dan 23 persamaan identitas. Berarti jumlah peubah endogen sebesar 43 persamaan
138
dan peubah eksogen sebanyak 44 peubah. Untuk model usaha ternak sapi-kelapa di Bolaang Mongondow terdapat 35 persamaan yang terdiri dari 15 persamaan struktural (perilaku) dan 20 persamaan identitas. Berarti jumlah peubah endogen sebesar 35 persamaan dan peubah eksogen sebanyak 40 peubah. Total peubah endogen dan eksogen dalam persamaan (maksimum) adalah sebesar 7 peubah, sehingga untuk usaha ternak sapi-jagung di Minahasa diperoleh K = 88, M = 7 dan G = 43. Sedangkan untuk usaha ternak sapi-kelapa di Bolaang Mongondow diperoleh K = 72, M = 7 dan G = 35, dengan demikian model yang dibangun menghasilkan persamaan over identified. Model over identified akan menghasilkan perkiraan untuk parameter persamaan struktural atau perilaku.
4.7.Validasi Model Menurut Sitepu dan Sinaga (2006), simulasi dilakukan dengan tujuan untuk mencari model yang tepat dan bagaimana perubahan peubah endogen sebagai suatu fungsi dari satu atau lebih peubah eksogen. Kriteria ini ditentukan oleh kriteria goodness of fit statistics. Beberapa nilai-nilai ukuran statistik yang tersedia digunakan untuk menilai kemampuan suatu model dalam melakukan simulasi. Untuk mengetahui apakah suatu model cukup baik maka dilakukan validasi model, sehingga manfaat validasi model adalah untuk mengetahui apakah model yang digunakan menggambarkan informasi aktual dengan baik. Atau untuk mengetahui apakah model dapat menghasilkan nilai ramalan untuk peubah endogen yang tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai aktualnya. Validasi model menggunakan kriteria statistik Root Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Squares Percent Error (RMSPE),
139
koefisien determinasi (R2) dan Theil’s Inequality Coefficient (U). Persamaan masingmasing kriteria statistik menurut Koutsoyiannis (1977) dan Pindyck and Rubinfeld (1991), adalah :
RMSE =
(1 / n ) * ∑ (S i − Ai )2
RMSPE = 100 * U=
(1 / n ) * ∑ {(S i − Ai ) / Ai }2
(1 / n ) * ∑ (S i − Ai )2 (1 / n ) * ∑ (S i )2 + (1 / n ) * ∑ ( Ai )2
dimana: n
= Jumlah pengamatan,
Si
= Nilai simulasi contoh ke-I,
Ai
= Nilai aktual contoh ke-i
Kriteria RMSE, RMSPE dan U Theil’s, menunjukkan apakah suatu model akan semakin baik sebagai penduga atau tidak. Semakin kecil nilai RMSE, RMSPE dan U Theil’s akan semakin baik penduga model yang digunakan. Jika U=0 berarti estimasi model yang dihasilkan adalah semakin baik, dan jika U=1 maka estimasi model semakin jelek. Nilai R2 untuk membandingkan antara data actual dengan data hasil estimasi peubah endogen (Pindyck and Rubinfeld, 1991).
4.8. Simulasi Model
Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam rangka pengembangan peternakan khususnya pada usaha ternak sapi diantaranya pemberian bantuan dalam
140
bentuk ternak atau dana cash. Bantuan ini dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya peningkatan pendapatan rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman yang selanjutnya dapat meningkat kesejahteraan mereka. Pemerintah melakukan investasi peternakan untuk mengantisipasi adanya impor ternak dan produk ternak yaitu daging sapi. Namun kenyataan di lapang menunjukkan bahwa program yang dilakukan pemerintah kurang berhasil. Masalah lain, rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman menghadapi biaya transaksi dalam penjualan ternak sapi. Kasus tersebut sangat diperlukan intervensi pemerintah dalam hal bagaimana meminimalkan biaya transaksi agar penerimaan yang diperoleh dari penjualan ternak sapi lebih tinggi. Apabila biaya transaksi tidak bisa dihindari maka upaya yang dapat dilaksanakan adalah peningkatan harga output (harga sapi). Harga output dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan bobot minimum penjualan ternak sapi. Naiknya biaya transaksi dibarengi naiknya harga output diharapkan mempunyai dampak positif terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman. Cara lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah perlu dipertimbangkan untuk membangun suatu lembaga yaitu koperasi agar ke depan rumahtangga dapat menjual ternaknya melalui koperasi. Berdasarkan kondisi tersebut di atas maka dilakukan analisis simulasi biaya transaksi, harga dan upah. Analisis ini dilakukan untuk mempelajari dampak perubahan : harga ouput, harga input, upah tenaga kerja, biaya transaksi maupun dampak penurunan biaya perantara penjualan sapi terhadap perilaku ekonomi rumahtangga. Analisis perubahan tersebut akan dilakukan adalah kombinasi dengan
141
perubahan sebesar 10 persen. Peningkatan ini dilakukan berdasarkan kenyataan di lapangan bahwa biaya perantara penjualan sapi setiap tahunnya mengalami peningkatan dan pada saat penelitian biaya perantara penjualan sapi berkisar antara 10-20 persen. Penekanan biaya perantara dapat dilakukan dengan cara rumahtangga menjual sendiri ternaknya atau melalui koperasi. Harga ternak sapi juga mengalami peningkatan setiap tahunnya namun harga ternak sapi di Sulawesi Utara lebih murah dibanding daerah lain. Harga kopra yang diterima rumahtangga lebih murah dibanding bila rumahtangga menjual di pabrik minyak goreng. Analisis simulasi di Minahasa dan Bolaang Mongondow dilakukan dengan berbagai skenario, yaitu : Skenario 1 (S1) =
Peningkatan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga sapi dan harga jagung/kopra.
Skenario 2 (S2) =
Peningkatan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga rumput, harga urea dan upah tenaga kerja.
Skenario 3 (S3) =
Peningkatan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga sapi, harga jagung/kopra, harga rumput, harga urea dan upah tenaga kerja.
Skenario 4 (S4) =
Penurunan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga sapi dan harga jagung/ kopra.
Skenario 5 (S5) =
Penurunan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga rumput, harga urea dan upah tenaga kerja.
Skenario 6 (S6) =
Penurunan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga sapi, harga jagung/kopra, harga rumput,
142
harga urea dan upah tenaga kerja. Skenario 7 (S7) =
Peningkatan harga sapi dan harga jagung/kopra pada kondisi ada biaya transaksi dan kondisi tidak ada biaya transaksi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow.
Skenario 8 (S8) =
Peningkatan harga sapi, harga jagung/kopra, harga rumput, harga urea dan upah pada kondisi ada biaya transaksi dan kondisi tidak ada biaya transaksi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow.
V. DESKRIPSI WILAYAH DAN RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN Pada bagian ini akan dibahas keadaan umum wilayah penelitian dan keadaan umum rumahtangga petani peternak sapi sebagai responden. Keadaan umum wilayah sebagai penunjang pengembangan peternakan khususnya pengembangan usaha ternak sapi sehingga perlu dipelajari dalam penelitian ini. Keadaan wilayah tersebut di Sulawesi Utara menyangkut keadaan kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow. Keadaan rumahtangga yang dimaksud yaitu karakteristik dan perilaku rumahtangga. Karakteristik rumahtangga meliputi umur, lama pendidikan (baik formal maupun informal), pengalaman berusaha ternak sapi serta jumlah anggota keluarga, jumlah anak sekolah dan jumlah angkatan kerja. Perilaku rumahtangga menyangkut perilaku ekonomi yang meliputi :1) kegiatan produksi, 2) curahan kerja, 3) pendapatan; dan 4) pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga petani peternak.
5.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado terletak antara 00 15‘ – 5
0
34‘ LU dan 1230 07‘ – 127 0 10‘ BT. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sulawesi, Republik Philipina dan Laut Pasifik. Sebelah Timur dengan Laut Maluku, sebelah Selatan dengan Teluk Tomini dan sebelah Barat dengan Provinsi Gorontalo. Wilayah Sulawesi Utara terdiri dari 6 Kabupaten dan 3 Kota dengan luas wilayah sebesar 15.221,06 km2 (Tabel 8). Kabupaten Bolaang Mongondow merupakan Kabupaten terluas yaitu 8 358.04 km2 (54.35 %), kemudian diikuti Kabupaten Minahasa Selatan 2 079.14 km2 (13.52%), Kepulauan Talaud 1 250.92 km2 (8.14%), Minahasa 1 117.15 km2 (7.27
144 %), Minahasa Utara 1 024.39 km2 (6.66 %), Kepulauan Sangihe 936.25 km2 (6.09%), Kota Bitung 338.08 km2 (2.20%), Kota Manado 158.82 km2 (1.03%) dan yang terkecil Kota Tomohon seluas 114.20 km2 (0.74 %). Tabel 8. Luas Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara
Kabupaten/Kota
Luas (Km2)
1. Bolaang Mongondow 2. Minahasa Selatan 3. Kepulauan Talaud 4. Minahasa 5. Minahasa Utara 6. Kepulauan Sangihe 7. Kota Bitung 8. Kota Manado 9. Kota Tomohon Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara (2005)
8 358.04 2 079.14 1 250.92 1 117.15 1 024.39 936.25 338.08 158.82 114.20
% 54.35 13.52 8.14 7.27 6.66 6.09 2.20 1.03 0.74
Jumlah penduduk Sulawesi Utara berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2003 sebesar 2 154 234 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 140.09 jiwa/km2. Penduduk Sulawesi Utara dibagi dalam 2 kelompok yaitu penduduk yang masuk kelompok angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk usia kerja yang masuk angkatan kerja berjumlah 364 364 jiwa (50 908 jiwa sedang mencari pekerjaan). Sedangkan penduduk yang masuk bukan angkatan kerja berjumlah 251 680 jiwa (60 632 jiwa yang bersekolah dan 148 720 jiwa mengurus rumahtangga). Berdasarkan laporan BPS (2005) bahwa luas daratan provinsi Sulawesi Utara sebesar 1 516 876 Ha terdiri dari lahan sawah 64 457 Ha (4.25%), lahan kering 1 452 419 Ha (95.75%). Tanaman perkebunan yang potensial adalah kelapa (258 293 Ha), cengkeh (77 581 Ha), pala (11 247 Ha), kopi (9 733 Ha) dan coklat (10 517 Ha).
145
Ternak sapi sudah lama dikenal dan tersebar di setiap Kabupaten dan Kota di Sulawesi Utara. Populasi ternak sapi di Sulawesi Utara yang terbanyak terdapat di Kabupaten Bolaang Mongondow, kemudian diikuti oleh Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Kepulauan Sangihe dan Talaud, Kota Tomohon, Kota Manado, dan populasi terkecil di Kota Bitung. Populasi Ternak Sapi di tiap Kabupaten dan Kota dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Populasi Ternak Sapi di Kabupaten dan Kota Provinsi Sulawesi Utara (Ekor) Kabupaten / Kota Populasi Ternak Sapi Kabupaten 1. Bolaang Mongondow 70 556 2. Minahasa 20 280 3. Kepulauan Sangihe 4 392 4. Kepulauan Talaud 5. Minahasa Selatan 14 233 6. Minahasa Utara 7 929 Kota 1. Manado 1 814 2. Bitung 1 349 3. Tomohon 2 305 Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara (2005) Data Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaang Mongondow merupakan daerah basis ternak sapi. Berdasarkan daerah basis ternak tersebut maka kedua kabupaten tersebut dijadikan lokasi contoh penelitian tentang ekonomi rumahtangga petani peternak sapi. 5.1.1. Kabupaten Minahasa Kabupaten Minahasa dengan ibu Tondano memiliki luas sekitar 1 029.82 km2 dan secara administratif terdiri dari 18 Kecamatan, 154 Desa dan 38 Kelurahan.
146
Sebelah Utara berbatasan dengan laut Sulawesi, kota Manado, kota Tomohon. Sebelah Timur berbatasan dengan laut Maluku, kabupaten Minahasa Utara dan Kota Tomohon. Sebelah Selatan berbatasan dengan laut Maluku dan Kota Tomohon. Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon. Kabupaten Minahasa berdasarkan laporan Dinas Kehewanan (2007) memiliki topografi bergunung-gunung yang membentang dari utara ke selatan. Daerah ini beriklim tropis dan mengenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kelembaban udara relatif tinggi berkisar rata-rata antara 84 sampai 93 persen dan rata-rata suhu minimum dan maksimum berkisar 19.250 dan 27.180 C. Jumlah penduduk di Minahasa tahun 2004 sebanyak 303 544 jiwa, dengan kepadatan penduduk per km2 sebesar 291 jiwa. Jumlah rumahtangga tercatat sebanyak 83 810 KK dan sekitar 87.85 persen atau 73 623 KK bekerja pada sektor pertanian. Data ini sebagai penunjang dilakukannya penelitian pada rumahtangga petani khususnya rumahtangga petani peternak sapi.
5.1.2. Kabupaten Bolaang Mongondow Luas Kabupaten Bolaang Mongondow mencapai 8 358.04 km2 dan secara administratif terdiri dari 27 Kecamatan dan 278 Desa. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sulawesi, sebelah Timur dengan Kabupaten Minahasa, sebelah Selatan dengan Teluk Tomini dan sebelah Barat dengan Provinsi Gorontalo. Keadaan topografi Kabupaten Bolaang Mongondow berdasarkan Laporan BPS SULUT (2005) terdiri dari dataran dan pegunungan dengan letak ketinggian
147
bervariasi antara 50-2 000 m di atas permukaan laut. Daerah ini mempunyai iklim tropis relatif basah dengan curah hujan yang tinggi mencapai 2 000-3 000 mm pada setiap tahunnnya. Iklim daerah ini termasuk iklim tipe A (Schmidt dan Ferguson) pada daerah dataran tinggi, dan pada daerah dataran rendah termasuk iklim tipe B. Penggunaan lahan di Bolaang Mongondow dibagi menurut penggunaan lahan bukan sawah dan penggunaan lahan untuk sawah. Lahan bukan sawah termasuk lahan perkebunan (15.28 persen) termasuk perkebunan kelapa didalamnya. Jumlah penduduk tahun 2005 sebanyak 472 890 jiwa dengan mata pencaharian terbesar petani (sekitar 69.14 persen) (Dinas Pertanian dan Peternakan Bolaang Mongondow, 2005). Hal ini juga sebagai penunjang penelitian di Bolaang Mongondow terhadap rumahtangga petani khususnya rumahtangga petani peternak sapi. 5.1.3. Biaya Transaksi dan Peraturan Daerah Usaha ternak sapi selain memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumahtangga, juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Pendapatan daerah bidang peternakan diperoleh dari izin usaha pertanian dan peternakan, pungutan retribusi ternak serta hasil-hasilnya. Kondisi tersebut merupakan wujud nyata otonomi daerah. Otonomisasi daerah didasarkan pada undang-undang No 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Pelaksanaan otonomi daerah pada dasarnya adalah upaya pengelolaan sumberdaya alam untuk menunjang pembangunan daerah. Berkaitan dengan sub sektor peternakan telah ditetapkan beberapa peraturan daerah diantaranya PERDA No 10 Tahun 2000 tentang Rumah
148
Potong Hewan (RPH), walaupun masih terbatas pada kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong dengan tarif Rp 4 000. Kemudian PERDA No 19 Tahun 2001 tentang Izin Usaha Hasil Pertanian Peternakan serta pungutan retribusi. Pungutan retribusi menyangkut retribusi pengeluaran termasuk penjualan ternak, terutama pengeluaran ke luar daerah Sulawesi Utara (Pemda Bolaang Mongondow, 2005). Tarif dan retribusi diatur berdasarkan PERDA provinsi Sulawesi Utara No 3 Tahun 2003. Besarnya keterangan pengeluaran/pemasukan ternak adalah Rp 50 000 dan pengeluaran/pemasukan bibit ternak (aneka ternak) adalah Rp 10 000. Sedangkan keterangan pengeluaran/pemasukan ternak potong Rp 25 000. Kenyataan di lapangan surat keterangan pengeluaran ternak sebesar Rp 10 000 rupiah dikenakan bagi pembeli. Bagi rumahtangga petani peternak dikenakan Rp 10 000 per ekor setelah ternak sapi terjual dan Rp 2 000 per ekor setiap masuk pasar blantik. Dalam penelitian ini disebut biaya administrasi dan biaya retribusi sebagai komponen biaya transaksi. Namun biaya retribusi belum diatur dalam PERDA provinsi Sulawesi Utara No 3 Tahun 2003 tersebut (Pemda SULUT, 2003). 5.2. Karakteristik Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman Karakteristik rumahtangga menyangkut karakteristik kepala keluarga maupun ibu rumahtangga di Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow. Karakteristik rumahtangga petani peternak sapi tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Karakteristik rumahtangga sangat penting dipelajari karena dapat mempengaruhi perilaku ekonomi rumahtangga, dengan kata lain karakteristik rumahtangga dapat mempengaruhi keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Dalam pengambilan keputusan
149
produksi termasuk bagaimana keputusan mengalokasikan tenaga kerja untuk memperoleh pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk pengeluaran konsumsi rumahtangga baik konsumsi pangan maupun non pangan.
Tabel 10. Karakteristik Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Karakteristik RT Rata-Rata Umur (Tahun) : - Kepala Keluarga - Ibu RT Rata-rata Pendidikan Formal (Tahun) : - Kepala Keluarga - Ibu RT Pendidikan Non Formal (%) Rata-rata Pengalaman Usaha (Tahun) Rata-rata Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Rata-rata Jumlah Anak Sekolah (Orang) Rata-rata Jumlah Angkatan Kerja (Orang)
Minahasa
Bolaang Mongondow
49.00 46.00
44.88 41.38
8.00 8.00 58.25 20.00 4.00 0.50 1.00
8.33 7.80 33.47 14.93 3.42 1.13 1.13
Dalam teori ekonomi rumahtangga, keputusan konsumsi mempengaruhi keputusan produksi, sebaliknya keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi berkaitan dengan karakteristik rumahtangga. Apabila terjadi perubahan internal dalam rumahtangga dapat berdampak pada konsumsi yang menyebabkan terjadi perubahan rasio konsumsi dan pekerja. Semakin tinggi konsumsi maka rasio tersebut semakin besar sehingga rumahtangga harus menambah waktu untuk bekerja dan mendapatkan pendapatan. Implikasinya, rumahtangga yang mempunyai struktur demografi lebih besar membutuhkan waktu untuk bekerja lebih besar. Hasil penelitian seperti terlihat pada Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata umur petani peternak sapi sebagai kepala keluarga di Minahasa sebesar 49 tahun atau
150
berkisar antara 23 – 74 tahun. Rata-rata umur ini lebih besar dibanding rata-rata umur petani peternak sapi di Bolaang Mongondow yaitu sebesar 44.88 tahun atau berkisar antara 24 – 72 tahun. Demikian pula rata-rata umur ibu rumahtangga di Minahasa yaitu 46 tahun, lebih besar rata-rata umur ibu rumahtangga di Bolaang Mongondow yaitu sebesar 41.38 tahun. Namun berdasarkan hasil penelitian dapat dinyatakan bahwa sebagian besar petani peternak sapi di daerah penelitian masih dikategorikan sebagai usia produktif. Tingkat pendidikan petani peternak sebagai kepala keluarga maupun ibu rumahtangga di Minahasa mulai dari tidak tamat SD sampai dengan tamat Perguruan Tinggi dengan rata-rata lama pendidikan sebesar 8 tahun. Sedangkan tingkat pendidikan di Bolaang Mongondow mulai dari tidak tamat SD sampai dengan tamat SMA dengan rata-rata lama pendidikan petani peternak sebagai kepala keluarga berkisar 8.33 tahun dan 7.80 tahun untuk ibu rumahtangga. Pendidikan
petani
peternak
merupakan
faktor
yang
mempengaruhi
pengembangan usaha ternak sapi. Dalam hal ini, pendidikan dapat mempengaruhi keputusan produksi. Semakin tinggi pendidikan, petani peternak semakin dapat mengadopsi teknologi. Selanjutnya petani peternak dapat meningkatkan produksi dengan rasional untuk mencapai keuntungan maksimal. Demikian pula, tingkat pendidikan dapat mempengaruhi keputusan konsumsi rumahtangga. Semakin tinggi pendidikan maka petani peternak dapat meningkatkan konsumsi dengan rasional untuk mencapai utilitas yang maksimal. Pendidikan informal dalam hal ini penyuluhan dapat mempengaruhi responden dalam beternak sapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 113 (58.25 %)
151
petani peternak di Minahasa pernah mengikuti penyuluhan pertanian dan sisanya 81 (41.75 %) petani peternak belum pernah mengikuti penyuluhan. Sedangkan petani peternak di Bolaang Mongondow sekitar 78 (33.48 %) petani peternak pernah mengikuti penyuluhan pertanian dan sisanya 155 (66.52 %) belum pernah mengikuti penyuluhan. Penyuluhan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengembangan usaha ternak sapi. Namun, penyuluhan yang pernah diikuti petani peternak di kedua kabupaten bukan penyuluhan bidang peternakan. Petani peternak sebagai kepala keluarga baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow umumnya telah berpengalaman memelihara sapi. Rata-rata pengalaman beternak sapi untuk petani peternak di Minahasa sebesar 20 tahun, lebih tinggi dibanding rata-rata pengalaman beternak sapi di Bolaang Mongondow yaitu berkisar 14.93 tahun. Pengalaman beternak sapi ini juga dapat mempengaruhi keputusan berproduksi bagi petani peternak. Diduga semakin lama beternak sapi maka petani peternak dapat meningkatkan produksi ternak sapi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada awal mulai beternak, sebagian petani peternak memperoleh bibit sebagai warisan orangtua, sebagian sebagai warisan dan beli sendiri. Sebagian petani peternak membeli sendiri ternaknya sebagai bibit atau bibit diperoleh dengan cara ditukar misalnya ditukar kebun. Bibit yang diperoleh petani peternak di Minahasa sekitar 71 petani peternak (36.60 %) merupakan warisan orangtua. Sekitar 46 petani peternak (23.71 %) memperoleh bibit pada awal beternak dengan cara beli dan sebagian merupakan warisan. Selanjutnya, sekitar 57 petani peternak (29.38 %) membeli bibit ternak sapi pada awal mulai beternak sapi, dan sekitar 20 petani peternak (10.31%) memperoleh bibit dengan cara tukar kebun.
152
Sedangkan di Bolaang Mongondow sekitar 111 petani peternak (47.64 %) memperoleh bibit dari orangtua (warisan), 83 petani peternak (35.62 %) membeli bibit sendiri, sisanya 39 petani peternak (16.74 %) membeli bbit dan sebagian warisan. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dinyatakan bahwa usaha ternak yang ada di Sulawesi Utara merupakan usaha ternak yang diusahakan secara turun temurun. Rata-rata jumlah anggota keluarga di Minahasa sebanyak 4 orang, lebih besar dibanding dengan di Bolaang Mongondow (rata-rata 3.42 orang). Jumlah anggota keluarga di Minahasa termasuk anak sekolah (rata-rata 0.5 orang) dan angkatan kerja (rata-rata 1 orang). Demikian juga jumlah anggota keluarga di Bolaang Mongondow termasuk anak sekolah dan angkatan kerja dengan jumlah rata-rata 1.13 orang baik anak sekolah maupun angkatan kerja. Jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi baik keputusan produksi maupun keputusan konsumsi. Dalam penelitian ini, peneliti juga mempelajari kondisi sosial dari petani peternak. Kondisi ini perlu diperhatikan karena berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani peternak sapi, dengan anggapan kondisi tersebut sebagai penunjang tingkat pendapatan maupun pengeluaran rumahtangga petani peternak sapi. Sebagian besar tanah pekarangan dan rumah di Minahasa merupakan milik rumahtangga petani peternak (50%). Sisanya 50 % adalah milik orang tua atau lainnya. Walaupun jenis rumah permanen hanya sekitar 26.29%, 3.09 % semi permanen, 6.70 % berasal dari bambu dan 63.92% berasal dari papan (rumah panggung). Sedangkan status rumah dan pekarangan di Bolaang Mongondow sekitar 83.00 % milik sendiri
dan 17.00 % milik orangtua atau lainnya. Jenis rumah
permanen dimiliki oleh 50.21 % rumahtangga, 29.18 % semi permanen, 15.45 %
153
rumah papan dan 5.15 % rumah bambu. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dinyatakan bahwa di Sulawesi Utara masih terdapat petani peternak yang dikategorikan sebagai orang miskin. Sebagian besar petani peternak sapi di Minahasa sudah menggunakan listrik dalam arti mempunyai meteran listrik. Hanya 12.37% petani peternak di Minahasa belum memasang listrik. Sedangkan di Bolaang Mongondow sekitar 16.74 % yang belum mempunyai meteran listrik. Sumber air di Minahasa berasal dari sumur dan PAM Desa. Sekitar 10.82% bersumber dari sumur, sisanya 89.18 % merupakan sumber PAM desa. Hasil penelitian di Minahasa juga menunjukkan 91.28 % petani peternak sudah memiliki televisi dan 30.93% memiliki radio. Sedangkan di Bolaang Mongondow, 71.24 % sudah memiliki TV dan 24.03 % masih memiliki radio. Hal ini menunjukkan petani peternak sudah mengenal teknologi dan sudah bisa memperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya dari media elektronik yang ada. Keadaan tersebut sangat menunjang pengembangan usaha ternak sapi di Sulawesi Utara.
5.3. Keadaan Usaha Ternak Sapi Keadaan usaha ternak yang dibahas dalam penelitian ini menyangkut pemilikan dan penjualan ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow. 5.3.1. Pemilikan Ternak Ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow sebagian besar masih dipelihara secara tradisional. Dalam arti belum memperhatikan tiga unsur keberhasilan usaha ternak yaitu breeding, feeding dan management. Hal ini disebabkan usaha ternak sapi yang ada merupakan usaha sambilan. Hasil penelitian
154
menunjukkan bibit sapi di Bolaang Mongondow berasal dari hasil perkawinan alamiah antara induk dan pejantan lokal. Keadaan tersebut menunjukkan petani peternak belum memperhatikan cara pemilihan bibit yang baik. Berbeda dengan di Bolaang Mongondow, petani peternak di Minahasa bersedia mengeluarkan uang untuk membayar pejantan. Mereka berusaha mencari pejantan terbaik untuk dikawinkan dengan sapi betinanya walaupun pejantan tersebut berada di desa lain. Biaya mengawinkan ternak sapi dengan pejantan yang baik di Minahasa (sewa pejantan) berkisar antara Rp 50 000 – Rp 125 000/sekali kawin. Menurut hasil wawancara, besarnya sewa pejantan ditentukan berdasarkan kondisi sapi betina. Bila sapi betina “bagus” (kulit putih licin tidak hitam, kaki belakang simetris, ekor halus ujung warna hitam, mempunyai tanda di dahi) maka biaya sewa pejantan lebih mahal. Jenis sapi (bangsa sapi) baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow untuk setiap petani peternak berbeda-beda. Jenis sapi tersebut diantaranya sapi PO, Sumba, Bacan, Bali dan Lokal. Sebagian besar pemilikan sapi di Minahasa adalah sapi sumba yaitu dimiliki oleh 116 petani peternak (59.79%), sapi PO dimiliki oleh 73 petani peternak (37.63 %), 5 petani peternak (2.58 %) memiliki jenis sapi bacan. Sapi sumba bulunya putih sedangkan sapi PO terdapat bercak abu-abu pada bulunya. Di Bolaang Mongondow, sekitar 96 (41.20 %) petani peternak memelihara jenis sapi Bacan, 24 (10.30%) petani peternak memelihara sapi Bali, 102 (43.78%) petani peternak memelihara sapi lokal dan 11 (4.72%) petani peternak memelihara jenis sapi sumba (4.72%). Pemilihan bibit belum menjadi perhatian bagi petani peternak di Bolaang Mongondow. Tipe sapi bacan lebih besar dibanding sapi bali dan sapi lokal. Namun sapi sumba dan PO lebih besar dari ketiga jenis sapi sebelumnya.
155
Tujuan pemeliharaan sapi di daerah penelitian bukan untuk penggemukan (fattening) ataupun pembibitan. Tetapi tujuan pemeliharaan adalah “dwi fungsi”, yaitu sebagai pekerja sekaligus pedaging bila sapi dijual atau sudah afkir. Pada tahun 2004, di Bolaang Mongondow terdapat Perusahaan Penggemukan Sapi Potong (yaitu di desa Poyuyanan, kecamatan Passi) dengan jumlah ternak 19 ekor. Namun pada tahun 2006, perusahaan tersebut tutup dan baru sekali menjual ternak yaitu pada bulan Pebruari 2005 (Potabuga, 2007). Dugaan peneliti bahwa penyebab utama adalah pemilik bukanlah peternak sehingga tidak ada naluri beternak dari si pemilik. Selain itu pemilik tidak punya pengetahuan beternak sapi. Pemilik hanya memiliki modal. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang dapat fasilitas Kredit Penggemukan Sapi (RCP = Rural Credit Project) dari pemerintah. Sapi dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari dilepas di bawah pohon kelapa. Pengembangan ternak sapi ke arah yang lebih baik dapat dilakukan dengan cara perbaikan kualitas bibit sapi. Dalam hal ini perlu dilakukan introduksi IB, walaupun hal ini bukan satu-satunya cara untuk mengatasi peningkatan kualitas bibit. Menurut informasi ada kasus yang pernah terjadi bahwa sapi betina yang dikawinkan dengan sistem IB tidak berhasil. Ternak yang lahir dari hasil IB tersebut mati karena ternaknya sangat besar sehingga induk tidak mampu melahirkannya. Walaupun demikian sistem IB sangat dibutuhkan dan perlu keterampilan inseminator untuk menentukan jenis sapi mana yang cocok untuk dikawinkan. Rata-rata pemilikan sapi oleh petani peternak saat penelitian di Minahasa adalah sebesar 6 ekor dan di Bolaang Mongondow 3.93 ekor. Jumlah ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 11.
156
Tabel 11. Rata-rata Jumlah Pemilikan Ternak Sapi Berdasarkan Umur oleh Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Umur Sapi (Tahun)
Jumlah Pemilikan (Ekor) Jantan Betina
Total (Ekor)
(%)
Minahasa : <1 1-2 2.1 - 3 >3 Sub Total Bolaang Mongondow <1 1-2 2.1 - 3 >3 Sub Total
1.09 0.10 0.27 0.05 1.51
1.10 1.10 1.15 1.14 4.49
2.19 1.20 1.42 1.19 6.00
36.50 20.00 23.67 19.83 100.00
0.34 0.26 0.24 0.40 1.24
0.23 0.18 0.33 1.95 2.69
0.57 0.44 0.57 2.35 3.93
14.50 11.20 14.50 59.80 100.00
Data Tabel di atas menunjukkan rata-rata populasi ternak betina di Minahasa dan Bolaang Mongondow lebih tinggi dibanding ternak sapi jantan. Kondisi tersebut menunjukkan rumahtangga petani peternak sapi masih mempertahankan sapi betina terutama di Minahasa. Rata-rata populasi ternak sapi di Minahasa lebih banyak tetapi ternak sapi berumur di atas tiga tahun populasinya di Minahasa paling sedikit yaitu sekitar 19.83% dari jumlah ternak sapi yang dimiliki. Sebaliknya di Kabupaten Bolaang Mongondow, ternak sapi di atas tiga tahun populasinya terbanyak yaitu sekitar 59.80%. Kondisi ini menunjukkan bahwa rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa masih mempertahankan populasi ternak sapi di bawah satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian tersebut ternyata pemilikan sapi anakan di Bolaang Mongondow lebih sedikit, disisi lain ternak sapi di atas tiga tahun di Minahasa lebih banyak. Keadaan ini menunjukkan produktivitas ternak sapi yang ada
157
di Sulawesi Utara dianggap rendah. Konsekuensinya populasi ternak sapi rendah. Salah satu penyebab rendahnya populasi ternak sapi di Sulawesi Utara adalah ternak sapi dewasa baik jantan maupun betina produktif dimanfaatkan sebagai tenaga kerja sampai sapi tersebut berumur > 10 tahun. Faktor lain yang juga menyebabkan rendahnya populasi ternak sapi adalah terjadinya pemotongan betina produktif dan penjualan ternak sapi anakan. Kondisi di atas terjadi disebabkan adanya peningkatan permintaan daging sapi dan ternak sapi bibit baik lokal maupun dari luar daerah. Peningkatan permintaan disebabkan adanya kecenderungan naiknya pendapatan masyarakat dan naiknya jumlah penduduk. Permintaan luar daerah terhadap sapi anakan juga mengalami peningkatan. Hal ini terjadi setiap saat dan tidak ada intervensi dari pemerintah. Di Minahasa, sebagian besar ternak sapi adalah milik sendiri (98.97 %) dan sisanya milik orang lain (1.03%) dengan sistem bagi hasil. Sedangkan di Bolaang Mongondow sekitar 8 rumahtangga (3.43 %) memelihara ternak sapi milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil baik di Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah sama yaitu bila ternak lahir pertama menjadi bagian pemilik ternak dan ternak yang lahir kedua menjadi bagian peternak sapi. Sebagian besar petani peternak sapi yang menjadi sampel di daerah penelitian belum pernah mendapatkan bantuan ternak sapi dari pemerintah maupun swasta. Keberhasilan ternak sapi selain tergantung pada bibit juga pakan (feeding). Berdasarkan hasil penelitian, rumahtangga belum memperhatikan pemberian pakan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Pemberian pakan untuk ternak sapi bila ternak dikandangkan (tujuan pemeliharaan penggemukan maupun pembibitan) adalah
158
berupa hijauan (70 %) dan konsentrat (30 %). Kenyataannya, pakan yang diberikan hanya berupa rumput yang tumbuh liar ataupun rumput jagung ataupun limbah pertanian. Ternak sapi di Minahasa selain diberikan rumput jagung sebagai pakan juga rumput “letup”. Sebagian besar petani peternak menanam rumput tersebut dibawah tanaman jagung. Di Bolaang Mongondow, ternak sapi dipelihara di bawah pohon kelapa, rumput yang dimakan adalah rumput yang tumbuh liar di bawah pohon tersebut. Pagi hari sekitar jam 06.00, ternak dibawa ke kebun kelapa yang jauh, ternak dilepas dan dibiarkan merumput. Pada sore hari sekitar jam 18.00, sebagian peternak membawa ternaknya dan diikat di kebun paling dekat dengan rumah tinggal. Di Minahasa, pada pagi hari sekitar jam 06.00 ternak dibawa ke kebun dan dibiarkan merumput di sekitar kebun. Sore hari ternak di bawa pulang dan diikat di halaman rumah atau di bawah kolong rumah bagi penduduk yang memiliki model rumah panggung. Petani peternak memotong rumput liar atau rumput jagung dan diberikan kepada ternak setelah ternak di rumah pada sore dan malam hari. Di Minahasa, jagung ditanam selain untuk dijual, 20-25 % diberikan kepada ternak. Dua minggu setelah jagung berbuah, pohon jagung dipotong dan diberikan kepada ternak. Indikasinya, petani peternak di Minahasa sudah memberikan pakan jagung untuk pertumbuhan ternaknya. Hal ini yang menyebabkan berat badan sapi di Minahasa lebih besar dibanding di Bolaang Mongondow untuk jenis sapi dan umur yang sama. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan usaha ternak sapi adalah pengelolaan (management). Pengelolaan diantaranya mencakup pengelolaan bibit, pakan, perkandangan, kesehatan ternak, penanganan hasil ternak, pemasaran dan pengaturan tenaga kerja. Seperti telah diuraikan sebelumnya, usaha ternak sapi
159
merupakan usaha ternak rakyat yang dikelola secara sambilan sehingga rumahtangga petani peternak sapi belum memperhatikan pemilihan bibit yang baik. Hal ini lebih khusus terjadi bagi rumahtangga di daerah Bolaang Mongondow. Demikian juga mengenai pemberian pakan. Rumahtangga petani peternak hanya memanfaatkan limbah pertanian dan rumput liar. Walaupun di wilayah Minahasa petani peternak sapi memanfaatkan jagung muda (selain limbahnya) sebagai pakan namun jagung muda tersebut belum tentu sudah memenuhi syarat kualitas pakan yang baik. Untuk mengatasi masalah pakan, dalam hal ini rumput, ada berbagai cara yang dapat dilakukan oleh rumahtangga dan perlu ditunjang oleh pemerintah. Cara tersebut diantaranya, pertama, perlu diintroduksi pakan hijauan (rumput dan leguminosa) di bawah pohon kelapa (khusus untuk wilayah Bolaang Mongondow). Kedua, limbah pertanian dapat dibuat hay atau silase. Hal ini dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pakan apabila terjadi kemarau panjang. Ketiga, perlu dilakukan pertanian campuran antara jagung dan leguminosa. Hal tersebut telah dilakukan di Minahasa. Rumahtangga petani peternak menanam jagung tumpang sari dengan kacang merah (brenebon), kacang tanah atau ditanam bergantian antara jagung dan kacang merah atau kacang tanah. Tanaman leguminosa selain bermanfaat sebagai pakan juga dapat menyuburkan lahan pertanian. Namun di Minahasa rumput kacangkacangan berupa limbah hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil rumahtangga. Petani peternak di daerah penelitian belum memperhatikan soal perkandangan walaupun di Minahasa ternak pada sore hari dibawa pulang ke rumah tetapi sebagian besar dibiarkan di halaman rumah. Petani peternak sapi juga belum memperhatikan kesehatan ternak. Di Bolaang Mongondow, ternak yang sakit hanya diberikan obat-
160
obatan tradisional berupa daun-daunan atau obat-obat warung untuk manusia. Di Minahasa, petani peternak berusaha mencari petugas kesehatan ataupun penyuluh bila ternaknya sakit. Salah satu faktor penyebab pemeliharaan yang tradisional adalah kurangnya pengetahuan, ditunjang juga dengan kurangnya modal yang dimiliki rumahtangga. Untuk mengatasi hal ini diperlukan penyuluhan dan intervensi pemerintah dalam hal pengontrolan penyakit ternak sapi. Berdasarkan kondisi seperti di jelaskan di atas, usaha ternak sapi di kedua lokasi perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dalam memberikan bantuan ternak sapi, pemerintah harus memperhatikan tatalaksana pemeliharaan ternak sapi. Bantuan tersebut harus ditunjang dengan bibit yang baik, pemanfaatan pakan yang berkualitas serta kontrol terhadap kesehatan ternak sapi. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka menunjang keberhasilan usaha ternak sapi di Sulawesi Utara ke arah yang lebih baik.
5.3.2. Penjualan Ternak Sapi Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumahtangga petani peternak sapi di kedua lokasi penelitian menjual ternak sapi karena adanya kebutuhan keluarga. Kebutuhan keluarga tersebut diantaranya adalah : bila ada anggota keluarga yang sakit, kebutuhan pendidikan anak, kebutuhan membangun rumah, membeli lahan pertanian, untuk membeli input pertanian dan lain sebagainya. Saluran pemasaran ternak sapi di Sulawesi Utara berbeda-beda untuk setiap rumahtangga petani peternak sapi. Saluran pemasaran ternak sapi tersebut melalui pedagang maupun petani lain. Pedagang yang dimaksud adalah pedagang lokal
161
maupun pedagang luar daerah. Pedagang juga adalah pedagang pengumpul maupun pedagang sebagai tukang potong sapi. Namun transaksi penjualan ternak sapi baik melalui pedagang, tukang potong atau petani lainnya selalu menggunakan perantara. Transaksi yang terjadi di pasar blantik Kotamobagu tidak seramai di pasar blantik Kecamatan Kawangkoan Minahasa. Di pasar blantik Kawangkoan setiap minggunya merupakan tempat pertemuan pedagang-pedagang sapi dari berbagai daerah maupun lokal Sulawesi Utara. Pasar blantik ini sudah berdiri sejak tahun 1960-an. Yang menarik di pasar blantik, perilaku yang terjadi selain dapat memberikan pendapatan bagi penjual ternak (rumahtangga) juga terhadap perantara. Pengunjung yang datang di pasar blantik bukan hanya pembeli atau penjual atau tukang blantik tetapi juga masyarakat sekitar khusus untuk menonton transaksi-transaksi yang terjadi. Transaksi di pasar blantik tersebut terjadi sekali dalam seminggu yaitu setiap hari kamis. Pasar blantik ini juga memberikan pemasukan bagi pemerintah baik pemerintah daerah maupun Dinas Kehewanan Kabupaten Minahasa melalui retribusi dan biaya administrasi. Skema saluran pemasaran ternak sapi dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 terlihat, transaksi ternak sapi yang terjadi yaitu dari petani peternak sapi disalurkan ke pedagang pengumpul, tukang potong sapi ataupun ke petani lain. Pedagang pengumpul yang melakukan transaksi berasal dari daerah Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Ternak sapi dari pedagang pengumpul dijual ke petani dan tukang potong maupun pedagang antar pulau. Sebagian besar rumahtangga di Minahasa menjual ternak sapi melalui pedagang pengumpul dan tukang potong di pasar blantik, hanya sebagian kecil pedagang pengumpul yang mendatangi rumahtangga.
162
Petani
Pedagang pengumpul
Tukang Potong/RPH
Pedagang Antar Pulau
Pasar Tradisional
Petani Peternak
Tukang bakso
Konsumen
Rumah makan
Konsumen
Konsumen
Tukang potong Sapi/RPH
Swalayan
Tukang bakso
Konsumen
Rumah makan
Konsumen
Konsumen
Petani
Gambar 9. Saluran Pemasaran Ternak Sapi di Sulawesi Utara
163
Sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow menjual ternak didatangi pedagang baik pedagang pengumpul maupun tukang potong sapi. Setiap transaksi yang terjadi melalui perantara. Perantara memperoleh upah sebagai balas jasanya dalam penjualan ternak sapi. Adanya perantara tersebut disebabkan karena terjadinya asymetri information di tingkat rumahtangga sebagai pemilik ternak sapi yang menyebabkan terjadinya biaya transaksi. Dalam hal ini rumahtangga di Bolaang Mongondow sebenarnya menanggung biaya transpor pedagang yang datang di lokasi, sehingga harga yang diterima lebih kecil. Pedagang pengumpul yang ada di daerah penelitian maupun dari luar daerah menyalurkan ternak sapi ke petani, tukang potong dan ada yang mengantarpulaukan. Menurut informasi beberapa pedagang pengumpul, ternak yang dikumpulkan dijual di desa-desa di Sulawesi Utara juga diluar daerah diantaranya : Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Pada saat penelitian, salah seorang petani peternak di Bolaang Mongondow masih melakukan penjualan antar pulau dengan tujuan Balikpapan. Untuk Minahasa tidak ada lagi pedagang yang mengantarpulaukan ternak sapi. Sesuai hasil wawancara dengan 4 (empat) pedagang (tukang potong ternak sapi) yang berada di pasar blantik bahwa tahun 2002 terakhir mereka mengantarpulaukan ternak sapi. Pedagang membeli ternak kemudian dipelihara selama beberapa bulan, sebagai upaya meningkatkan berat badan sapi, selanjutnya diantarpulaukan. Tujuan antar pulau ternak sapi tersebut di antaranya Balikpapan, Irian dan Pulau Jawa. Sekarang ini pedagang-pedagang tersebut tidak lagi mengantarpulaukan ternak sapi disebabkan beberapa pedagang dari Balikpapan datang sendiri ke Sulawesi Utara untuk membeli ternak sapi. Adanya transaksi yang dilakukan pedagang dari luar daerah tanpa kontrol
164
dari pemerintah, sehingga terjadi pembelian/pengeluaran ternak sapi yang menyebabkan populasi ternak sapi di Sulawesi Utara semakin menurun. Transaksi melalui tukang potong ternak sapi yaitu tukang potong yang berada di beberapa kota kabupaten di Sulawesi Utara dan kota Manado. Tukang potong menyalurkan daging sapi ke pasar-pasar tradisional maupun pasar swalayan di kabupaten dan kota Manado. Kemudian tukang bakso, rumah makan maupun konsumen membeli melalui pasar tradisional ataupun pasar swalayan. Penjualan melalui tukang potong sapi disalurkan ke pasar tradisional dan swalayan. Namun, penjualan ke pasar tradisional dan swalayan sebagian melalui rumah potong hewan (RPH) di Kota Manado untuk dipotong dan sebagian tidak. RPH dalam hal ini sebagai pengontrol kesehatan ternak sapi yang akan dipotong. Dari RPH kemudian disalurkan ke pasar tradisional dan pasar swalayan. Sebagian ternak dipotong untuk dijual di pasar swalayan maupun pasar tradisional yang berada di kota Manado maupun kabupaten Minahasa (Tomohon dan Tondano). Apabila ternak sapi dipotong di RPH dapat memberikan keuntungan bagi konsumen daging sapi. Keuntungannya adalah ternak sapi tersebut sudah layak dipotong baik dari segi higienes maupun segi kehalalan. Pemotongan ternak di RPH dikenakan retribusi untuk keterangan kesehatan ternak dan keterangan hasil ikutan ternak.
5.4. Perilaku Rumahtangga Perilaku rumahtangga dipelajari berdasarkan perilaku ekonomi rumahtangga yang menyangkut produksi, penggunaan input produksi dan tenaga kerja, biaya produksi, biaya transaksi, pendapatan rumahtangga dan pengeluaran.
165
5.4.1. Produksi Produksi dipelajari berdasarkan integrasi usaha ternak sapi dan tanaman. Di Minahasa menyangkut kombinasi usaha ternak sapi-jagung, sedangkan di Bolaang Mongondow menyangkut kombinasi usaha ternak sapi-kelapa. Produksi ternak sapi baik di Bolaang Mongondow maupun Minahasa dihitung berdasarkan pertambahan berat badan ternak sapi selama setahun. Rata-rata produksi ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow masing-masing sebesar 330.99 kg dan 249.15 kg. Data tersebut menunjukkan produksi sapi dalam kg berat hidup di Minahasa lebih banyak dibanding di Bolaang Mongondow. Produksi sapi berkaitan dengan penggunaan input produksi maupun input tenaga kerja. Input produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pakan dan obat-obatan. Input pakan dihitung berdasarkan jumlah konsumsi rumput oleh sapi di lokasi penelitian. Sedangkan input tenaga kerja akan dibahas lebih lanjut pada poin tenaga kerja. Pada usaha penggemukan sapi, sapi bakalan (umur ± 6 bulan) merupakan input usaha ternak. Dalam penelitian ini biaya bakalan tidak dihitung karena usaha ternak sapi yang ada merupakan usaha ternak tradisional yang dipelihara sebagai usaha sambilan. Selain itu, seperti telah dijelaskan sebelumnya, usaha ternak sapi yang ada merupakan usaha turun temurun. Dalam penelitian ini penggunaan bibit dianggap tidak mempengaruhi keuntungan. Konsumsi pakan di Minahasa dan Bolaang Mongondow berupa rumput. Tujuan usaha ternak sapi bukan khusus pedaging tapi selain sebagai ternak kerja sekaligus sebagai pedaging. Kondisi ini menyebabkan ternak tidak diberikan konsentrat yang berfungsi sebagai makanan penguat. Khusus Minahasa, makanan
166
tambahan yang diberikan berupa jagung muda beserta daunnya. Walaupun pemberiannya tidak kontinyu tapi tergantung musim tanam jagung. Sedangkan di Bolaang Mongondow pakan berasal dari rumput liar dan limbah pertanian. Rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow menggunakan obat-obat apabila sapi sakit dan dinyatakan dalam bentuk biaya. Input produksi lain adalah sapi penjantan dan dinyatakan dalam bentuk biaya pejantan. Dalam penelitian ini produksi jagung dipelajari khusus untuk daerah Minahasa. Rumahtangga di daerah Minahasa sengaja ditentukan berdasarkan rumahtangga petani peternak sapi yang menanam jagung. Dalam hal ini rumahtangga di Minahasa dapat memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan dan kotoran ternak dapat dijadikan pupuk kompos. Pupuk kompos ini dapat digunakan untuk usahatani tanaman pangan. Limbah pertanian dapat dibuat hay atau silase untuk mengatasi bila terjadi musim kemarau. Namun pembuatan hay dan silase tersebut belum dikaji secara ilmiah. Pakan berkualitas dapat meningkatkan produksi ternak sapi. Bila rumahtangga petani peternak sapi dapat membuat pupuk kompos maka selain mengurangi biaya input, pupuk tersebut dapat dijual ke petani lainnya. Sistem ini dikenal dengan integrated farming system antara ternak sapi-jagung (Djajanegara dan Ismail, 2004). Sistem usahatani ini dapat memberikan manfaat bagi rumahtangga, namun belum dilakukan sepenuhnya oleh rumahtangga di Minahasa. Sistem usahatani tersebut di atas dapat diimplementasikan di daerah penelitian namun perlu intervensi pemerintah. Peran pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator untuk memberikan penyuluhan ataupun pelatihan bagi rumahtangga petani peternak sapi. Penyuluhan dimaksud adalah bagaimana cara pembuatan hay dan
167
silase, sampai pada pembuatan pupuk kompos. Pemerintah dapat melakukan pembentukan kelompok tani ternak sapi sebagai percontohan agar kegiatan tersebut dapat lebih efisien dan efektif. Dalam hal ini pemerintah juga dapat melibatkan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penunjang lainnya. Rata-rata produksi dan konsumsi jagung dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rata-rata Penjualan Jagung Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman dan Konsumsi Jagung oleh Ternak Sapi di Minahasa, Tahun 2006-2007 Uraian
Rata-rata (Kg)
Penjualan Konsumsi Produksi
4 670.88 1 327.66 5 998.54
(%) 77.87 22.13 100.00
Rata-rata luas areal jagung yang dimiliki rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa sebesar 0.83 ha. Jagung bukan sumber pendapatan utama bagi rumahtangga di Minahasa. Namun dalam penelitian ini rumahtangga petani peternak sapi sebagai sampel sengaja ditentukan yang menanam jagung. Jagung ditanam tumpang sari dengan tanaman kacang-kacangan atau ditanam secara bergilir. Produksi jagung dipengaruhi input produksi dan input tenaga kerja. Input produksi dalam penelitian ini meliputi luas lahan, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk TSP dan jumlah pupuk KCl. Penjualan jagung oleh rumahtangga adalah sebesar 77.87 persen dan konsumsi ternak sebesar 22.13 persen. Dalam penelitian ini, produksi kelapa dipelajari untuk Bolaang Mongondow. Peneliti ingin mempelajari sejauhmana pengembangan ternak sapi diintegrasikan dengan tanaman tahunan (dalam hal ini kelapa dalam). Sekarang ini sebagian besar
168
lahan dibawah pohon kelapa tidak dimanfaatkan. Ternak sapi diikat di bawah pohon kelapa dan dapat memanfaatkan rumput tersebut, kemudian kotoran ternak dijadikan sebagai pupuk. Pupuk bermanfaat bagi tanaman kelapa maupun tanaman lainnya. Lahan di bawah pohon kelapa dapat ditanami hijauan. Apabila siklus tersebut terjadi secara berkesinambungan maka produktivitas pakan baik kualitas maupun kuantitas dapat ditingkatkan. Di sisi lain, rumahtangga petani peternak dapat memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk sehingga dapat menyuburkan tanah dan mengurangi biaya pembelian pupuk. Sistem usahatani tersebut dikenal sebagai integrated farming system. Berdasarkan hasil penelitian, rumahtangga belum melakukan sistem integrasi tersebut. Ternak sapi diikat di bawah pohon kelapa tetapi rumput yang dimakan adalah rumput liar yang tumbuh di bawah pohon kelapa. Implementasi sistem ini dapat berjalan apabila ada intervensi pemerintah atau perguruan tinggi sebagai lembaga penelitian untuk mengintroduksi hijauan di bawah pohon kelapa. Kelapa merupakan sumber pendapatan utama bagi sebagian rumahtangga di Bolaang Mongondow. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar produksi kelapa dibuat kopra. Namun di Kecamatan Amurang telah berdiri pabrik tepung kelapa menyebabkan pada tiga tahun terakhir sebagian rumahtangga menjual dalam bentuk buah. Produksi, kopra, penjualan dan konsumsi kelapa dapat dilihat pada Tabel 13. Produksi kelapa yang dibuat kopra adalah sebesar 67.40 persen dan dijual dalam bentuk buah hanya sebesar 31.24 persen. Pembuatan kopra sekitar 300 - 450 buah kelapa untuk setiap 100 kg kopra. Rata-rata jumlah buah yang diproses menjadi kopra adalah sebesar 8 378.05 buah. Rata-rata penjualan dalam bentuk kopra sebesar
169
3345.26 kg per tahun. Pembuatan kopra membutuhkan waktu cukup lama dan biaya produksinya cukup tinggi. Hal ini yang menyebabkan sebagian rumahtangga petani peternak sapi mulai beralih dengan menjual dalam bentuk buah kelapa. Penyebab lain, adanya pabrik tepung kelapa seperti dijelaskan di atas.
Tabel 13. Alokasi Produksi Kelapa Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi Tanaman untuk Dikonsumsi, Dijual dan Diolah Jadi Kopra di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Uraian
Jumlah Buah Kelapa (Butir)
Dikonsumsi Dijual Diolah Jadi Kopra Produksi Kelapa
170.07 3 882.94 8 378.05 12 431.06
(%) 1.37 31.24 67.40 100.00
Berdasarkan produksi kopra menunjukkan masih banyak rumahtangga petani peternak sapi yang membuat kopra walaupun biayanya cukup tinggi. Jumlah rumahtangga yang menjual kopra dan buah kelapa dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Jumlah Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman Yang Menjual dalam Bentuk Buah Kelapa dan Kopra di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Bentuk Penjualan Kopra Buah Kelapa Total
Jumlah Rumahtangga (Unit) (%) 148 63.52 85 36.48 233 100.00
Jumlah rumahtangga yang menjual dalam bentuk kopra lebih besar dibanding menjual buah kelapa. Hal ini disebabkan kopra merupakan produk ekspor yang
170
sewaktu-waktu harganya dapat meningkat tergantung nilai tukar rupiah terhadap dollar. Faktor lain, sejak zaman dahulu rumahtangga di Sulawesi Utara sudah memproduksi kopra. Selain itu, pabrik minyak goreng di Sulawesi Utara membeli dalam bentuk kopra bukan buah kelapa. Produksi kelapa tergantung pada input produksi dan input tenaga kerja. Input produksi yang dimaksud adalah input lahan (luas lahan) dan penggunaan pupuk. Walaupun input lahan tidak bisa ditambah dalam waktu dekat. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata luas lahan yang ditanami kelapa adalah sebesar 1.23 ha dengan rata-rata umur kelapa 30.66 tahun (8 sampai 90 tahun). Sedangkan penggunaan pupuk urea untuk petani peternak hanya sebagian kecil (30 %). Pupuk Urea yang diberikan untuk tanaman kelapa dicampur dengan garam dapur. Cara pemberian ini hanya berlaku bagi beberapa petani kelapa. Berdasarkan pengalaman petani, pupuk urea dicampur dengan garam dapat meningkatkan produksi buah kelapa dan daging buah kelapa menjadi lebih tebal. Secara ilmiah belum dapat dibuktikan. Sebagian petani peternak tidak melakukan perlakuan untuk meningkatkan produksi kelapa. Selain itu produksi kelapa yang ada di pinggir pantai lebih banyak, buahnya lebih berat karena daging buah lebih tebal sehingga untuk menghasilkan kopra 100 kg diperlukan 300 buah kelapa. Hal ini berbeda dengan daerah yang lebih jauh dari pantai (diperlukan 400 – 450 buah kelapa untuk 100 kg kopra). Produksi kelapa juga dipengaruhi oleh jumlah pohon kelapa. Jumlah pohon kelapa berkisar antara 50 sampai 500 pohon atau rata-rata 111.80 pohon. Di Minahasa, tanaman jagung bukan usahatani yang utama. Tanaman jagung ditanam khusus untuk pakan sapi walaupun konsumsi sapi hanya sekitar 20-25 persen
171
dari produksi. Usahatani utama adalah hortikultura yaitu tanaman kacang merah (brenebon), bawang merah dan tomat. Beberapa rumahtangga menanam kacang tanah dan kacang hijau. Sebagian memiliki tanaman tahunan berupa cengkeh. Jenis ternak yang dipelihara selain sapi adalah ternak babi, kambing, kuda, ayam, itik dan anjing. Untuk Bolaang Mongondow, selain usaha kelapa, rumahtangga petani peternak sapi juga berusaha kebun coklat, cengkeh dan kopi. Terdapat usaha jagung, padi, kacang tanah, kacang hijau, cabe dan sayur-sayuran. Beberapa rumahtangga memelihara ternak ayam, itik, kambing sebagai sumber pendapatan mereka.
5.4.2. Penggunaan Input Penggunaan input baik di Minahasa maupun Bolaang Mongodow masingmasing dibahas penggunaan input produksi dan input tenaga kerja. Penggunaan input produksi dilihat dari permintaan rumput yang dikonsumsi sapi dan input produksi usaha jagung. Khusus Minahasa konsumsi rumput ditambah konsumsi jagung. Penggunaan input produksi dalam usaha kelapa yaitu berupa pupuk urea. Namun hanya sebagian kecil rumahtangga di Bolaang Mongondow yang menggunakan pupuk urea untuk kelapa sehingga tidak dibahas dalam penelitian ini. Konsumsi rumput oleh ternak sapi per tahun dapat dilihat pada Tabel 15. Data Tabel 15 tersebut di atas menunjukkan rata-rata konsumsi rumput per ekor per hari lebih besar di Minahasa dibanding di Bolaang Mongondow. Hal ini menunjukkan rumahtangga di Minahasa lebih memperhatikan masalah pakan, walaupun konsumsi tersebut belum sesuai dengan yang dianjurkan yaitu konsumsi rumput sekitar 10 persen dari berat badan ternak.
172
Tabel 15. Rata-rata Konsumsi Rumput dan Jagung serta Jumlah Ternak Sapi Yang Dimiliki Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 [
Lokasi A. Minahasa - Konsumsi Rumput - Konsumsi Jagung B. Bolaang Mongondow
Konsumsi Rumput (Kg/Tahun) (Kg/Ekor/Hari)
Jumlah Ternak (Ekor) 6.00
16 856.23 1 327.66 10 440.61
7.70 0.61 7.28
3.93
Penggunaan input produksi pada usaha jagung dijelaskan dari permintaan benih jagung, pembelian pupuk urea, TSP dan KCl. Rata-rata jumlah benih, jumlah pupuk urea, TSP dan KCl dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Rata-rata Penggunaan Benih, Pupuk dan Harga Pembelian oleh Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa, Tahun 2006-2007
Uraian Benih Pupuk - Urea - TSP - KCl
Jumlah Penggunaan (Kg) 61.19
Harga (Rp/Kg) 1 987.11
220.36 176.31 115.46
1 120.00 1 700.00 2 800.00
Sebagian besar rumahtangga menggunakan pupuk untuk merangsang pertumbuhan jagung. Pupuk KCl hanya digunakan sebagian kecil rumahtangga. Jenis benih yang digunakan adalah Manado Kuning, hibrida dan benih lokal. Input tenaga kerja yang digunakan rumahtangga di Minahasa dan di Bolaang Mongondow adalah tenaga kerja keluarga, tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak sapi. Input tenaga kerja keluarga yang dimaksud yaitu curahan tenaga kerja dalam
173
keluarga dalam usaha ternak sapi, usaha jagung dan usaha kelapa, curahan kerja sebagai buruh tani. Tenaga kerja sewa yang dimaksud adalah penggunaan tenaga kerja sewa dalam usaha jagung dan kelapa. Input tenaga kerja yang digunakan untuk usaha ternak sapi di kedua kabupaten berupa tenaga kerja keluarga. Input tenaga kerja yang digunakan untuk usaha jagung di Minahasa adalah tenaga kerja keluarga, luar keluarga dan tenaga kerja ternak. Tenaga kerja ternak sapi digunakan untuk membajak sawah, ladang dan mengangkut output usahatani. Selain itu, ternak sapi digunakan untuk mengangkut material bangunan (batu, kerikil) dan kayu. Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha kelapa di Bolaang Mongondow adalah tenaga kerja keluarga, tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja ternak sapi. Tenaga kerja ternak sapi digunakan untuk mengangkut buah kelapa dan kopra, bajak sawah, ladang dan angkut material serta angkut kayu. Penggunaan input tenaga kerja keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga terdiri dari pria dan wanita. Untuk tenaga kerja keluarga suami dan anak pria dinyatakan sebagai tenaga kerja pria. Sedangkan tenaga kerja keluarga istri dinyatakan sebagai tenaga kerja wanita. Hasil
penelitian
baik
di
Minahasa
maupun
Bolaang
Mongondow
menunjukkan tenaga kerja anak tidak ditemukan. Beberapa hasil penelitian diantaranya Chavas et al. (2004) mengukur input tenaga kerja awal adalah jumlah anak < 15 tahun. Input tenaga kerja anak dalam penelitian ini adalah berumur di atas 15 tahun sehingga diukur sebagai tenaga kerja pria dewasa. BPS Sulawesi Utara (2005) juga mengukur anak lebih dari 15 tahun sebagai input tenaga kerja pria
174
dewasa. Penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi, usaha jagung dan usaha kelapa serta usahatani lainnya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Rata-rata Curahan Kerja Suami, Isteri dan Anak pada Setiap Usaha Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Usaha A. Minahasa : 1. Usaha Ternak Sapi 2. Usaha Jagung 3. Usahatani Lainnya B. Bolaang Mongondow: 1. Usaha Ternak Sapi 2. Usaha Kelapa 3. Usahatani Lainnya
Suami HOK Jam
Isteri HOK Jam
Anak (dewasa) HOK Jam
365.00 533.78 0.00 0.00 42.00 203.74 33.48 157.67 153.06 684.52 118.66 399.78
0.00 29.75 103.78
0.00 145.23 578.61
365.00 494.66 44.57 225.49 134.37 328.25
0.00 0.00 106.84
0.00 0.00 271.93
0.00 0.00 0.00 0.00 63.93 142.30
Rumahtangga mengalokasikan tenaga kerja keluarganya (suami, isteri dan anak) pada usaha ternak sapi paling tinggi dibanding pada usaha jagung dan usahatani lainnya. Hal ini disebabkan alokasi kerja untuk usaha ternak sapi dilakukan setiap hari. Kegiatan usaha ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow hanya dilakukan oleh kepala keluarga. Curahan kerja yang dilakukan adalah memindahkan ternak sapi (pagi dan sore), mencari rumput, memberi makan dan memandikan ternak sapi. Kegiatan usaha jagung di Minahasa dilakukan oleh petani peternak sebagai kepala keluarga, isteri dan anak pria dewasa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, penyiangan I dan penyiangan II, panen dan penjemuran. Selanjutnya, kegiatan usaha kelapa di Bolaang Mongondow dilakukan oleh petani peternak sebagai kepala keluarga dan anak pria dewasa. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya adalah panjat pohon kelapa,
175
mengumpulkan kelapa, mengangkut, mengupas dan pembuatan kopra (membelah, memanggang, mengeluarkan daging buah dari tempurung). Dalam melakukan proses produksi usaha ternak sapi seperti dijelaskan di atas, rumahtangga tidak menggunakan tenaga kerja sewa. Namun dalam proses produksi usaha jagung dan kelapa, rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa. Penggunaan tenaga kerja sewa dalam teori ekonomi dinyatakan sebagai permintaan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja sewa dalam usaha jagung di Minahasa dan usaha kelapa di Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja Sewa oleh Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Tenaga Kerja A. Minahasa - Tenaga Kerja Pria - Tenaga Kerja Wanita - Total B. Bolaang Mongondow - Panjat Kelapa - Kumpul Kelapa - Pembuatan Kopra - Total
Penggunaan Tenaga Kerja Sewa Hari (HOK) (Jam) (%) 9.68 6.02
40.30 29.23 69.53
57.96 42.04 100.00
11.32 77.78 12.61
90.55 135.17 302.69 528.41
17.14 25.58 57.28 100.00
Jam kerja sewa di Minahasa didominasi oleh tenaga kerja pria yaitu sebesar 57.96 persen, tenaga kerja wanita hanya sebesar 42.04 persen. Artinya di Minahasa masih mengandalkan tenaga pria untuk bekerja di usahatani jagung. Kegiatan tenaga kerja sewa dalam usaha jagung adalah untuk pengolahan lahan dan penyiangan serta panen. Pengolahan lahan dilakukan pria dewasa, penyiangan sebagian dikerjakan pria dewasa dan sebagian oleh tenaga kerja wanita.
176
Tenaga kerja sewa yang digunakan untuk usaha kelapa adalah hanya tenaga kerja pria. Sebagian besar rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa untuk panjat kelapa. Jam kerja untuk pembuatan kopra lebih tinggi dibanding kegiatan yang lain. Pembuatan kopra terdiri dari kegiatan belah kelapa, panggang dan mengeluarkan daging kelapa. Panggang kelapa membutuhkan waktu paling kecil dua kali 24 jam. Ternak sapi di Sulawesi Utara dimanfaatkan untuk membajak sawah dan ladang, juga digunakan untuk mengangkut produk pertanian berupa kelapa dan kopra, padi serta produk pertanian lainnya. Pekerjaan membajak dilakukan untuk lahan milik rumahtangga ataupun milik orang lain. Produk pertanian yang diangkut baik milik sendiri maupun milik orang lain. Dalam hal ini ternak sapi merupakan alternatif pendapatan dari sewa untuk bajak atau angkut. Ternak sapi digunakan sebagai pekerja mulai ternak berumur 1.5 tahun sampai lebih dari 10 tahun. Berarti terjadi pengurasan tenaga ternak menyebabkan ternak tidak bisa berkembang. Ternak membajak lahan di Minahasa dan Bolaang Mongondow sehari selama 5-8 jam. Penggunaan tenaga kerja ternak sapi di lokasi penelitian, baik untuk lahan sendiri maupun lahan orang lain dapat dilihat pada Tabel 19. Rata-rata penggunaan tenaga kerja sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding Minahasa baik untuk lahan sendiri maupun orang lain. Tenaga kerja sapi memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Penggunaan tenaga kerja ternak sapi untuk lahan sendiri lebih kecil dibanding disewa orang lain. Alokasi waktu ternak sapi yang disewa petani lain di Minahasa sekitar 52,07 dan sekitar 47.07 persen disewa petani lain di Bolaang Mongondow.
177
Tabel 19. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Ternak Sapi dan Kegiatan Usaha Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Kegiatan Usaha A. Minahasa : - Usaha Jagung - Kegiatan Usaha Lain - Usaha Petani Lain Total B. Bolaang Mongondow - Usaha Kelapa - Kegiatan Usaha Lain - Usaha Petani Lain Total
Penggunaan Tenaga Ternak Sapi Hari (HOK) (Jam) (%) 8.55 23.76 38.44
48.59 126.57 190.26 365.42
13.30 34.63 52.07 100.00
14.09 41.55 60.57
177.86 136.42 286.64 600.92
29.60 22.70 47.70 100.00
Tenaga kerja ternak sapi digunakan untuk angkut kelapa, upah Rp 25 000 per hari (Rp 3 125 per jam), angkut jagung Rp 2 500 per karung, kacang tanah Rp 2 500 per karung, bawang merah Rp 5 000 per karung. Angkut padi Rp 3 000 per karung, tomat Rp 1 000 per karung dan kopra Rp 5 000 per karung. Tenaga kerja sapi untuk mengolah lahan (membajak sawah dan ladang) baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow disewa dengan upah Rp 30 000 per hari (Rp 3 750 per jam). Ternak sapi juga digunakan untuk mengangkut kayu, upah berkisar Rp 150 000 - Rp 250 000 per kubik dan angkut meterial (batu dan pasir) dengan upah Rp 20 000 per kubik. Rumahtangga petani peternak sapi mengalokasikan waktu mereka untuk mencari nafkah baik dalam usahatani maupun non usahatani dan dapat memberikan pendapatan. Rumahtangga dan seluruh anggota keluarganya baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow mengalokasikan seluruh waktu untuk mengurus rumahtangga, sekolah serta kegiatan sosial di desa. Alokasi waktu yang dilakukan rumahtangga dan anggota keluarga, dalam teori ekonomi rumahtangga lebih dikenal
178
dengan curahan kerja. Curahan kerja adalah jumlah hari dan jam kerja yang dicurahkan seluruh anggota keluarga untuk mencari nafkah dalam usahatani (on farm) maupun luar usahatani (off farm). Curahan kerja rumahtangga dan anggota keluarganya dinyatakan sebagai buruh tani. Curahan kerja anggota ruamhtangga (suami, istri dan anak dewasa) untuk usahatani orang lain dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Rata-rata Curahan Kerja Anggota Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman Sebagai Buruh Tani di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Tenaga Kerja Suami - HOK - Jam Isteri - HOK - Jam Anak (dewasa) - HOK - Jam Total Jam Kerja
Minahasa Jumlah (%) 114.00 782.69 117.04 860.49 198.00 1481.55 3 124.73
Bolaang Mongondow Jumlah (%)
25.05
122.45 784.01
26.78
27.54
115.86 807.54
27.59
47.41 100.00
182.53 1335.52 2 927.07
45.63 100.00
Buruh tani merupakan pekerjaan yang lebih mudah diperoleh dan membutuhkan tenaga kasar bukan tenaga terampil. Curahan kerja anak (dewasa) sebagai buruh tani baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow adalah paling besar yaitu masing-masing 47.41 persen dan 45.63 persen, kemudian diikuti curahan kerja isteri masing-masing 27.54 persen dan 27.59 persen. Curahan kerja suami adalah paling kecil yaitu masing-masing sebesar 25.05 persen dan 26.78 persen. Hal ini disebabkan curahan kerja suami lebih banyak untuk usaha ternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow.
179
5.4.3. Biaya Produksi Biaya produksi terdiri dari biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja. Biaya produksi dipelajari berdasarkan usaha ternak sapi – jagung untuk Minahasa dan usaha ternak sapi - kelapa di Bolaang Mongondow. Biaya yang dikeluarkan petani peternak sapi untuk penggunaan input dinyatakan sebagai biaya sarana produksi. Biaya sarana produksi dalam penelitian ini dihitung biaya sarana produksi usaha ternak sapi, biaya sarana produksi usaha jagung dan biaya sarana produksi usaha kelapa. Biaya sarana produksi sapi merupakan jumlah input pakan (rumput) dikalikan harga dan biaya obat-obatan serta biaya sewa pejantan khususnya di Minahasa. Besar kecilnya biaya produksi tergantung pada jumlah permintaan rumput untuk konsumsi, besarnya biaya obat-obatan dan biaya mengawinkan ternak. Harga rumput untuk Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah Rp 400-500 per kg. Harga ini merupakan harga proxy dari harga rumput apabila rumahtangga membeli rumput. Total biaya sarana produksi sapi dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Rata-rata Biaya Sarana Produksi Sapi Yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Sarana Produksi Sapi 1. Rumput 2. Konsumsi Jagung 3. Obat-obatan 4. Pejantan Total
Bolaang Mongondow Minahasa Biaya (Rp) Biaya (Rp) (%) (%) 6 770 430.15 80.48 6 511 192.70 99.16 1 460 426.00 17.36 62 414.95 0.74 55 386.27 0.84 118 917.50 1.42 8 412 188.60
100.00 6 566 578.97
100.00
180
Biaya sarana produksi terbesar baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow adalah biaya rumput yaitu masing-masing sebesar 80.48 persen dan 99.16 persen. Untuk Minahasa ditambah biaya konsumsi jagung sebesar 17.36 persen. Rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow menggunakan obatobatan apabila ternak sapi sakit. Biaya obat dihitung berdasarkan berapa besar uang yang dikeluarkan untuk membeli obat. Biaya obat tersebut sudah termasuk biaya vitamin apabila ternak yang sedang bunting disuntik dengan vitamin. Khusus untuk Minahasa, rumahtangga petani peternak sapi mengeluarkan sewa pejantan untuk kawin dengan ternaknya. Sedangkan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow mengawinkan ternaknya secara alamiah dan tidak memperhatikan pejantan yang baik. Hasil penelitian menunjukkan kualitas ternak sapi lebih baik di Minahasa untuk jenis dan umur sapi yang sama. Biaya sarana produksi jagung dihitung berapa besar uang yang dikeluarkan rumahtangga untuk membeli input. Biaya tersebut merupakan penjumlahan dari jumlah benih jagung dikali harga, jumlah pupuk urea dikali harga, jumlah pupuk TSP dikali harga, dan jumlah pupuk KCl dikali harga. Harga input benih jagung, pupuk urea, TSP dan KCl serta biaya sarana produksi dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 menunjukkan biaya sarana produksi terbesar adalah biaya pembelian pupuk TSP yaitu sebesar 37.11 persen. Harga benih tergantung varietas jagung. Harga benih berbeda untuk beberapa rumahtangga petani peternak karena jenis varietas/benih jagung yang digunakan berbeda. Harga pupuk urea, TSP dan KCl adalah sama untuk setiap rumahtangga. Jenis benih yang digunakan adalah Manado Kuning, hibrida dan benih lokal. Biaya produksi terbesar adalah pembelian pupuk
181
TSP, kemudian diikuti pembelian pupuk urea, pembelian pupuk KCl dan paling kecil biaya pembelian benih jagung.
Tabel 22. Rata-rata Biaya Sarana Produksi Jagung Yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Jagung di Minahasa, Tahun 2006-2007 Sarana Produksi Jagung Benih Pupuk : - Urea - TSP - KCl Total
Biaya (Rp) 79 443.30 246 837.60 299 779.90 181 639.20
(%) 9.84 30.56 37.11 22.49
807 700.00
100.00
Biaya sarana produksi di Minahasa terdiri dari biaya sarana produksi sapi dan jagung, sedangkan di Bolaang Mongondow terdiri dari biaya sarana produksi sapi dan kelapa. Total biaya sarana produksi dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Biaya Sarana Produksi Sapi, Jagung dan Kelapa Yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Biaya Sarana Produksi 1. Usaha Ternak Sapi 2. Usaha Jagung 3. Usaha Kelapa
Minahasa1 Biaya (Rp) (%) 8 412 188.60 91.24 807 700.00 8.76 0.00 0.00
Bolaang Mongondow2 Biaya (Rp) (%) 6 566 578.97 99.19 0.00 0.00 53 755.36 0.81
Total 9 219 888.60 100.00 6 620 334.33 Keterangan:1=Usaha ternak sapi-jagung; 2=Usaha ternak sapi-kelapa
100.00
Biaya sarana produksi terbesar baik Minahasa maupun Bolaang Mongondow adalah biaya sarana produksi sapi yaitu masing-masing 91.24 persen dan 99.19 persen. Total biaya sarana produksi sapi di Bolaang Mongondow lebih rendah
182
dibanding Minahasa disebabkan rumahtangga di Bolaang Mongondow sebagian besar tidak menggunakan sarana produksi kelapa. Dalam produksi usaha ternak sapi, rumahtangga di Minahasa menyewa pejantan. Selain itu rumahtangga menggunakan input pupuk urea, TSP dan KCl untuk usaha jagung, sedangkan untuk usaha kelapa hanya menggunakan pupuk urea dengan biaya sebesar Rp 53 755.36. Biaya tenaga kerja di Minahasa dihitung berdasarkan biaya tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi, biaya tenaga kerja keluarga, biaya tenaga kerja sewa dan biaya sewa sapi dalam usaha jagung. Sedangkan biaya tenaga kerja di Bolaang Mongondow dihitung berdasarkan biaya tenaga kerja keluarga pada usaha sapi, biaya tenaga kerja keluarga, biaya tenaga kerja dan biaya sewa sapi dalam usaha kelapa. Total biaya sarana produksi dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Rata-rata Biaya Tenaga Kerja Yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Tenaga Kerja 1. TK Kel Pada UT Sapi 2. TK Kel Usaha Jagung3 3. TK Kel Usaha Kelapa3 4. TK Sewa Usaha Jagung 5. TK Sewa Usaha Kelapa 6. TK Ternak Sapi Total
Minahasa1 Biaya (Rp) (%) 2 032 850.00 45.15 1 930 911.94 42.89 0.00 0.00 264 993.50 5.89 0.00 0.00 273 318.75 6.07 4 502 074.19 100.00
Bolaang Mongondow2 Biaya (Rp) (%) 1 237 881.70 27.76 0.00 0.00 564 286.47 12.66 0.00 0.00 1 421 414.24 29.66 1 333 950.00 29.92 4 557 532.41 100.00
Keterangan:1=Usaha ternak sapi-jagung; 2=Usaha ternak sapi-kelapa 3=Biaya TK diperhitungkan Biaya tenaga kerja sewa pada usaha kelapa terdiri dari biaya pembuatan kopra dan biaya kupas kelapa untuk kelapa yang dijual dalam bentuk buah, masing-masing sebesar Rp 1 322 340.74 dan Rp 99 073.50. Biaya tenaga kerja keluarga dan biaya tenaga kerja ternak sapi dinyatakan sebagai biaya diperhitungkan dan biaya tenaga
183
kerja sewa dinyatakan sebagai biaya dibayar. Hal ini disebabkan ternak sapi yang digunakan adalah ternak sapi milik rumahtangga. Sewa pengangkutan kelapa dihitung berdasarkan sewa harian sapi yaitu Rp 25 000 per hari (Rp 3 125 per jam). Sewa bajak Rp 3 750 per jam, angkut jagung Rp 2 500 per karung, angkut kacang merah Rp 2 500 per karung, bawang merah Rp 5 000 per keranjang, padi Rp 3 000 per karung, angkut material bangunan (batu, pasir, kerikil) Rp 20 000 per kubik dan angkut kayu bervariasi menurut jenis kayu Rp 60 000 – Rp 250 000 per kubik. 5.4.4. Biaya Transaksi Dalam melakukan transaksi penjualan ternak sapi, rumahtangga menanggung biaya transaksi. Biaya tersebut diantaranya biaya perantara, biaya transpor, biaya retribusi dan biaya administrasi. Struktur biaya transaksi dijelaskan pada bab selanjutnya. Untuk lebih jelas, besarnya biaya transaksi usaha ternak sapi, usaha jagung dan usaha kelapa dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Rata-Rata Biaya Transaksi Setiap Usaha Yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Usaha 1. Usaha Ternak Sapi 2. Usaha Jagung 3. Usaha Kelapa Total
Minahasa1 Biaya (Rp) (%) 797 035.30 85.67 133 332.19 14.33 0.00 0.00 930 367.49
100.00
Bolaang Mongondow2 Biaya (Rp) (%) 892 263.01 69.18 0.00 397 405.83 30.82 1 289 668.84
Keterangan:1 = Usaha ternak sapi-jagung; 2 = Usaha ternak sapi-kelapa
100.00
184
Berdasarkan data hasil penelitian seperti pada Tabel 25 tersebut, ternyata biaya transaksi terbesar adalah biaya usaha ternak sapi baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow. Biaya transaksi penjualan sapi lebih tinggi di Bolaang Mongondow disebabkan rumahtangga menjual ternak didatangi pedagang sehingga biaya transpor pedagang ke lokasi peternakan ditanggung oleh rumahtangga. Dalam hal ini rumahtangga di Bolaang Mongondow menerima harga penjualan ternak sapi lebih rendah. Ternak sapi dijual dalam bentuk ternak hidup dengan harga Rp 35 000 per kg. Harga ternak sapi baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow ditentukan oleh perantara. Biaya transaksi dalam usaha jagung diantaranya biaya transpor penjualan jagung, biaya transpor pembelian benih dan biaya transpor pembelian pupuk urea, TSP dan serta KCl. Pada usaha kelapa rumahtangga juga menanggung biaya transaksi yang terdiri dari biaya transpor penjualan kopra dan biaya penyimpanan. Struktur biaya transaksi dijelaskan pada bab selanjutnya.
5.4.5. Total Biaya Total biaya dibahas berdasarkan total biaya usaha ternak sapi, usaha jagung dan kelapa. Total biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow merupakan penjumlahan biaya sarana produksi sapi, biaya tenaga kerja keluarga (diperhitungkan), tenaga kerja sewa (dibayar), biaya tenaga kerja sapi (diperhitungkan) dan biaya transaksi. Rata-rata biaya pada usaha ternak sapi, usaha jagung dan usaha kelapa di Minahasa dan Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Tabel 26.
185
Tabel 26. Rata-rata Biaya Usaha Ternak Sapi, Usaha Jagung dan Kelapa Yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Biaya Setiap Usaha A. Usaha Ternak Sapi 1. Biaya Sarana Produksi 2. Biaya Tenaga Kerja Kel3 3. Biaya Transaksi 4. Sub Total B. Usaha Tanaman 1. Biaya Sarana Produksi 2. Biaya TK Keluarga3 3. Biaya TK Sewa 4. Biaya TK Ternak Sapi3 5. Biaya Transaksi 6. Sub Total
Minahasa1 Biaya (Rp) (%)
Bolaang Mongondow2 Biaya (Rp) (%)
8 412 188.60 2 032 850.00 797 035.30 11 242 073.90
74.82 18.08 7.10 100.00
6 566 578.97 1 237 881.70 892 263.01 8 696 723.68
75.51 14.23 10.26 100.00
807 700.00 1 930 911.94 264 993.50 273 318.75 133 332.19 3 410 256.38
23.68 56.62 7.77 8.02 3.91 100.00
53 755.36 564 286.47 1 421 414.24 1 333 950.00 397 405.83 3 770 811.90
1.43 14.96 37.70 35.38 10.53 100.00
Keterangan:1= Usaha ternak sapi-jagung; 2= Usaha ternak sapi-kelapa 3= Biaya TK diperhitungkan Biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow yang tertinggi adalah biaya sarana produksi sapi yaitu masing-masing 74.82 persen dan 75.51 persen. Biaya sarana produksi pada usaha ternak sapi lebih tinggi di Minahasa dibanding Bolaang Mongondow. Hal ini disebabkan rumahtangga di Minahasa menyewa pejantan, sedangkan di Bolaang Mongondow mengawinkan ternak secara alami. Faktor lain, ternak sapi di Minahasa mengkonsumsi jagung yang diperhitungkan sebagai biaya. Rata-rata jumlah ternak di Minahasa juga lebih banyak. Curahan kerja pada usaha ternak sapi juga lebih besar sehingga biaya tenaga kerja yang diperhitungkan lebih besar. 5.4.6. Pendapatan Rumahtangga petani peternak sapi dan anggota keluarga di Minahasa dan Bolaang Mongondow mencurahkan kerja untuk mencari nafkah. Yang dimaksud
186
mencari nafkah adalah kepala keluarga dan anggota keluarga dalam rumahtangga bekerja untuk mendapatkan uang, dinyatakan sebagai penerimaan. Penerimaan dikurangi biaya-biaya merupakan pendapatan. Pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga dalam rumahtangga, dihitung berdasarkan usaha ternak sapi - jagung dan usaha ternak sapi - kelapa. Pendapatan usaha ternak sapi diperoleh dari nilai akhir dikurangi nilai awal ditambah nilai sapi terjual (Soekartawi et al.,1986). Nilai akhir dihitung berdasarkan produksi setahun sebelum penelitian dikali harga. Nilai awal yaitu nilai ternak saat penelitian. Sedangkan nilai sapi terjual adalah produksi ternak terjual selama satu tahun dikali harga. Di Minahasa ternak sapi diintegrasikan dengan tanaman jagung. Sumber penerimaan usaha ternak sapi - jagung adalah penerimaan usaha ternak sapi, menyewakan tenaga kerja ternak sapi (dibayar), penawaran tenaga kerja ternak sapi di lahan sendiri (diperhitungkan), penjualan pupuk kompos (diperhitungkan), usaha jagung dan penjualan limbah jagung segar. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya usaha ternak sapi, usaha jagung, pembuatan kompos dan konsumsi limbah jagung (diperhitungkan). Pendapatan dari sewa ternak sapi sebagai tenaga kerja bervariasi, besarnya tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ternak sapi diantaranya angkut kelapa, kopra, bajak sawah atau ladang, angkut output usahatani lainnya serta angkut material dan kayu. Ternak sapi yang digunakan untuk lahan sendiri dihitung sebagai biaya dan pendapatan diperhitungkan. Penerimaan dan pendapatan usaha ternak sapi jagung di Minahasa dapat dilihat pada Tabel 27.
187
Tabel 27. Rata-rata Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usaha Ternak Sapi – Jagung Rumahtangga Petani Peternak Sapi di Minahasa, Tahun 2006-2007
Uraian Penerimaan : 1. Usaha Ternak Sapi 2. Menyewakan Ternak Sapi (Dibayar) 3. Penjualan Pupuk Kompos (Diperhitungkan) 4. Usaha Jagung 5. Limbah Jagung Segar (Diperhitungkan) Total Penerimaan Biaya – biaya: 1. Usaha Ternak Sapi 2. Usaha Jagung 3. Biaya Pembuatan Kompos (Diperhitungkan) 4. Konsumsi Limbah Jagung (Diperhitungkan) Total Biaya Pendapatan (Total Penerimaan- Total Biaya)
Penerimaan, Biaya dan Pendapatan (Rp) (%) 11 639 628.90 1 070 212.50 3 066 000.00 6 598 394.00 3 896 000.00 26 270 235.40
44.31 4.07 11.67 25.12 14.83 100.00
11 242 073.90 3 410 256.38 459 900.00 3 896 000.00 19 008 230.28 7 262 005.12
59.14 17.94 2.42 20.50 100.00
Berdasarkan penerimaan usaha ternak sapi - jagung yang diperoleh, dapat direkomendasikan perlu dilakukan pengembangan usaha ternak sapi di Sulawesi Utara. Hal ini sangat membantu bagi rumahtangga petani peternak sapi untuk meningkatkan pendapatan mereka. Sewa ternak sapi merupakan alternatif pendapatan bagi rumahtangga. Penggunaan tenaga ternak sapi di beberapa desa penelitian seperti Lolayan dan Dumoga sudah mulai beralih ke penggunaan traktor untuk mengolah lahan sawah (bajak). Namun masih banyak petani yang menggunakan tenaga kerja sapi. Input traktor untuk bajak sewanya lebih mahal, yaitu Rp 700 000 per ha selama 2 hari kerja tetapi dengan ternak sapi hanya Rp 150 000 per ha untuk 5 hari kerja. Perlu perhatian cukup serius untuk pengembangan usaha ternak tersebut, ditunjang dengan pemberian pakan berkualitas dan pengontrolan terhadap penyakit ternak sapi.
188
Pada usaha sapi-jagung, penerimaan bersumber dari usaha sapi yaitu yang terbesar (44.31 %), kemudian usaha jagung (25.12 %), limbah jagung segar (14.83%), penjualan pupuk kompos (11.67%) dan yang terkecil tenaga sapi yang disewakan (4.07%). Implikasinya usaha ternak sapi di Minahasa dapat diandalkan rumahtangga sebagai sumber pendapatan mereka. Sumber penerimaan usaha ternak sapi – kelapa di Bolaang Mongondow adalah penerimaan usaha ternak sapi, menyewakan tenaga kerja sapi (dibayar), penawaran tenaga kerja sapi di lahan sendiri (diperhitungkan), penjualan pupuk kompos (diperhitungkan), usaha kelapa dan penjualan hijauan segar (diperhitungkan). Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya usaha ternak sapi, usaha kelapa, biaya pembuatan kompos, biaya konsumsi hijauan segar dan biaya pengolahan lahan untuk penanaman hijauan (diperhitungkan) (Tabel 28). Pada usaha sapi – kelapa penerimaan bersumber dari penjualan hijauan segar (71.87%), usaha ternak sapi (12.84%), penjualan kopra (6.35%), menyewakan ternak sapi (3.14%), penjualan pupuk kompos (2.93%) dan penjualan buah kelapa (yang terkecil yaitu 2.87%). Fenomena ini menunjukkan lahan di bawah kelapa yang menganggur dapat ditanami hijauan yaitu berupa rumput dan leguminosa. Hal ini selain dapat meningkatkan kesuburan lahan kelapa juga dapat menjadi sumber pendapatan rumahtangga. Penjualan kopra dihitung per 100 kg kopra dengan harga yang berlaku Rp 230 000 per 100 kg. Namun harga yang diterima rumahtangga dikurangi biaya penyimpanan sehingga penerimaan lebih kecil. Selain itu, uang transpor penjualan kopra ditanggung rumahtangga. Dalam penjualan kopra, pedagang pengumpul yang
189
mendatangi rumahtangga sehingga uang transpor dikurangi dari harga kopra yang dibayarkan. Harga kopra yang berlaku di pabrik minyak goreng Kecamatan Amurang maupun PT. Bimoli Bitung sebesar Rp 295 000 per 100 kg, dengan demikian keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul sebesar 22.03 persen setiap 100 kg.
Tabel 28. Rata-rata Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usaha Ternak Sapi – Kelapa Rumahtangga Petani Peternak sapi di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Uraian Penerimaan : 1. Usaha Ternak Sapi 2. Menyewakan Ternak Sapi (Dibayar) 3. Penjualan Pupuk Kompos (Diperhitungkan) 4. Penjualan Kopra 5. Penjualan Buah Kelapa 6. Produksi Hijauan Segar (Diperhitungkan) Total Penerimaan Biaya – biaya: 1. Usaha Ternak Sapi 2. Usaha Kelapa 3. Biaya Pembuatan Kompos (Diperhitungkan) 4. Konsumsi Hijauan Segar 5. Pengolahan Lahan utk Hijauan (Diperhitungkan) Total Biaya Pendapatan (Total Penerimaan- Total Biaya)
Penerimaan, Biaya dan Pendapatan (Rp) (%) 8 794 298.84 2 149 800.00 2 008 230.00 4 348 896.83 1 965 631.60 49 200 000.00 68 466 857.27
12.84 3.14 2.93 6.35 2.87 71.87 100.00
8 696 723.68 3 770 811.90 301 234.50 8 606 700.00 23 808 454.25 45 183 924.33
19.25 8.35 0.67 19.05 52.68 100.00
23 282 932.94
Pendapatan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa selain berasal dari usaha ternak sapi dan jagung, juga berasal dari usahatani lain, luar usahatani dan usaha lain. Demikian pula di Bolaang Mongondow, pendapatan rumahtangga selain berasal dari usaha ternak sapi dan kelapa, juga berasal dari usahatani lain, luar usahatani dan usaha lain.
190
Total pendapatan rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow merupakan penjumlahan dari pendapatan usaha ternak sapi, usaha jagung, usaha kelapa, usahatani lain, buruh tani, luar usahatani dan usaha lain. Total pendapatan yang diperoleh bervariasi tergantung besar kecilnya sumber-sumber penerimaan di daerah tersebut. Selain itu tergantung input produksi yang digunakan. Faktor lain yang mempengaruhi pendapatan adalah harga output dan harga input. Total pendapatan rumahtangga dapat dilihat pada tabel 29.
Tabel 29. Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani Usaha Ternak SapiTanaman untuk Setiap Usaha di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Usaha A. Minahasa : 1. Usaha Ternak Sapi 2. Usaha Jagung 3. Usahatani Lain 4. Buruh Tani 5. Non Pertanian 6. Usaha Lain Total Pendapatan Tax Pendapatan Siap Belanja B. Bolaang Mongondow: 1. Usaha Ternak Sapi 2. Usaha Kelapa 3. Usahatani Lain 4. Buruh Tani 5. Non Pertanian 6. Usaha Lain Total Pendapatan Tax Pendapatan Siap Belanja
Pendapatan (Rp)
(%)
4 073 867.50 3 188 137.62 13 739 778.90 11 253 103.56 9 516 396.60 5 980 434.10 47 751 718.28 22 284.79 47 729 433.49
8.53 6.68 28.77 23.57 19.93 12.52 100.00
4 034 370.70 21 383 702.60 14 983 504.52 6 920 791.25 4 667 298.50 3 411 743.00 55 401 410.57 32 085.59 55 369 324.98
7.28 38.59 27.05 12.49 8.43 6.16 100.00
191
Sumber pendapatan usahatani lain di wilayah penelitian berupa : kacang hijau, kacang tanah, kacang merah (brenebon), hortikultura seperti : bawang merah, cabe, ketimun dan kacang panjang, juga dari tanaman tahunan lainnya seperti cengkeh, kopi, dan coklat. Sumber pendapatan lainnya adalah bersumber dari usaha ternak ayam, itik, kambing, kuda, babi dan anjing. Seperti telah dijelaskan, sumber pendapatan utama rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa bukan berasal dari jagung tetapi berasal dari tanaman hortikultura dan kacang-kacangan. Sedangkan sumber pendapatan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow adalah usaha kelapa. Pendapatan luar usahatani (buruh tani) di Minahasa dan Bolaang Mongondow merupakan pendapatan yang diperoleh dari curahan tenaga kerja keluarga untuk usahatani orang lain (off farm). Selanjutnya penerimaan petani peternak sapi selain bersumber dari usahatani (on farm), di luar usahatani (off farm) juga dari usaha non pertanian (non farm). Pendapatan non pertanian yang diperoleh setiap rumahtangga bervariasi tergantung keahlian masing-masing. Pendapatan non pertanian diperoleh dari usaha dagang, usaha industri, usaha angkutan, pertambangan, pegawai negeri dan swasta. Pendapatan non pertanian yang diperoleh rumahtangga di Minahasa lebih tinggi dibanding di Bolaang Mongondow. Hal ini disebabkan sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi dan anggotanya di Minahasa mempunyai pekerjaan sebagai pedagang yang sering dinyatakan sebagai “tibo-tibo”. Selain pendapatan dari usaha ternak, usaha jagung, usaha kelapa, usahatani lain, buruh tani dan non pertanian, rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa maupun Bolaang Mongondow memperoleh pendapatan dari usaha lain. Pendapatan
192
usaha lain seperti tukang dan joki ternak kuda. Di Minahasa sebagian anggota rumahtangga menjadi joki kuda sekaligus pemelihara ternak kuda. Kontribusi pendapatan terbesar untuk rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa adalah bersumber dari pendapatan usahatani lain (28.77%). Kemudian diikuti pendapatan buruh tani (23.57 %), pendapatan non pertanian (19.93 %), pendapatan usaha lain (12.52 %), pendapatan usaha ternak sapi (8.53 %) dan yang terkecil pendapatan usaha jagung (6.68 %). Pendapatan terbesar rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow bersumber dari usaha kelapa merupakan pendapatan diperhitungkan (38.59%). Hal ini terjadi apabila lahan di bawah pohon kelapa ditanami hijauan makanan ternak sapi. Kemudian diikuti pendapatan usahatani lain (27.05%), buruh tani (12.49 %), pendapatan non pertanian (8.42 %), pendapatan usaha ternak sapi (7.28 %) dan pendapatan terkecil adalah bersumber dari usaha lain (6.16 %). Data tersebut menunjukkan bahwa usaha ternak sapi merupakan usaha sampingan. Berdasarkan kontribusi pendapatan berasal dari usaha ternak sapi seperti tersebut di atas dapat dinyatakan usaha ternak sapi dapat dikembangkan ke arah yang lebih baik. Hal ini disebabkan usaha ternak sapi dapat menunjang pendapatan rumahtangga di Sulawesi Utara. Namun pengembangan tersebut perlu intervensi pemerintah, agar pendapatan yang diperoleh dapat ditingkatkan. Perlu pertimbangan adanya kebijakan perbaikan harga output, penurunan harga input atau intervensi dalam meminimalkan biaya transaksi. Pendapatan yang diperoleh tersebut dialokasikan untuk kebutuhan anggota rumahtangga dalam rangka memaksimumkan utilitas mereka.
193
5.4.7. Pengeluaran Rumahtangga mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga anggotanya, sehingga pendapatan yang diperoleh akan dialokasikan untuk pengeluaran konsumsi seluruh anggota rumahtangga. Pengeluaran untuk konsumsi terdiri dari kebutuhan pokok dan pengeluaran kebutuhan non pokok. Kebutuhan pokok terdiri dari kebutuhan pangan dan non pangan. Kebutuhan pangan seperti beras, ikan, sayuran, susu dan kebutuhan hidup sehari-hari lainnya. Sedangkan pengeluaran non pangan terdiri dari minyak tanah/kayu bakar, listrik, bensin, sabun, pakaian, kesehatan, sosial/rekreasi/hajatan, sewa rumah/kontrak dan kebutuhan non pangan lainnya. Total pengeluaran konsumsi pangan, non pangan dan investasi pendidikan dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30. Pengeluaran Konsumsi Pangan, Non Pangan dan Investasi Pendidikan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Kabupaten A. Minahasa 1. Konsumsi Pangan 2. Konsumsi Non Pangan 3. Investasi Pendidikan Total B. Bolaang Mongondow 1. Konsumsi Pangan 2. Konsumsi Non Pangan 3. Investasi Pendidikan Total
Pengeluaran Konsumsi (Rp) (%) 7 999 416.31 4 029 784.10 1 103 711.30 13 132 911.71
60.91 30.69 8.40 100.00
4 029 784.10 4 112 656.90 1 385 843.30 9 528 284.30
42.29 43.16 14.55 100.00
Rata-rata pengeluaran rumahtangga lebih tinggi di Minahasa dibanding Bolaang Mongondow. Hal ini terutama dilihat dari konsumsi pangan. Ternyata bahwa
194
pengeluaran konsumsi pangan di Minahasa lebih tinggi yang menunjukkan rumahtangga di Minahasa lebih memperhatikan soal makanan. Selain itu pengeluaran untuk beras bagi rumahtangga di Minahasa cukup tinggi. Sebaliknya konsumsi non pangan lebih tinggi di Bolaang Mongondow. Hal ini mengindikasikan rumahtangga mulai memperhatikan kebutuhan non pangan. Pengeluaran untuk investasi pendidikan di Bolaang Mongondow lebih tinggi dibanding di Minahasa. Hal ini disebabkan anak usia sekolah di Bolaang Mongondow lebih banyak yaitu rata-tara 1.13 orang. Sedangkan rata-rata jumlah anak sekolah di Minahasa sebesar 0.5 orang. Pengeluaran rumahtangga selain untuk kebutuhan pokok pangan dan non pangan, rumahtangga juga mengalokasikan pendapatan mereka untuk tabungan. Namun sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi menabung uangnya bukan di Bank atau koperasi, tetapi dalam bentuk arisan. Kenyataan ini menunjukkan akses rumahtangga petani peternak sapi terhadap bank sangat kecil.
VI. STRUKTUR BIAYA TRANSAKSI
Berdasarkan tujuan penelitian pertama, dalam bab ini akan dibahas besarnya biaya transaksi berdasarkan usaha ternak sapi – jagung di Minahasa dan usaha ternak sapi – kelapa di Bolaang Mongondow. Kemudian dikaji rasio biaya transaksi dan total biaya
produksi serta rasio biaya transaksi dan penerimaan, rasio biaya transaksi dan pendapatan serta biaya transaksi dan harga ternak sapi pada usaha ternak sapi, usaha jagung dan usaha kelapa.
6.1. Biaya Transaksi dalam Usaha Ternak Sapi Biaya transaksi dalam usaha ternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow adalah biaya yang dikeluarkan rumahtangga mulai aktivitas pembelian input, aktivitas proses produksi sampai distribusi ternak. Masing-masing biaya transaksi tersebut dihitung per volume penjualan atau per kg ternak sapi. Dalam penelitian ini, biaya transaksi yang dianalisis untuk usaha ternak sapi
adalah biaya transaksi pada saat penjualan ternak sapi. Hal ini disebabkan usaha ternak yang ada merupakan usaha turun temurun sehingga rumahtangga tidak membeli bibit ternak. Komponen biaya transaksi dalam usaha ternak sapi diantaranya biaya perantara penjualan sapi, biaya transpor penjualan sapi, biaya retribusi penjualan sapi dan biaya administrasi penjualan sapi. Besarnya komponen biaya transaksi tergantung lokasi penjualan ternak sapi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa rumahtangga di Minahasa sebagian besar menjual ternak di pasar blantik. Sedangkan sebagian besar rumahtangga di Bolaang Mongondow menjual ternak dengan didatangi
196
pedagang. Lokasi penjualan ternak sapi dan jumlah responden dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Jumlah Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman Menurut Lokasi Penjualan Sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Lokasi Penjualan
Jumlah Rumahtangga (Unit) (%)
A. Minahasa 1. Pasar Blantik 2. Dirumah Petani Peternak Total B. Bolaang Mongondow 1. Pasar Blantik 2. Dirumah Petani Peternak 3. Di Pelabuhan Total
165 29 194
85.50 14.50 100.00
25 190 18 233
10.73 81.55 7.72 100.00
Berdasarkan data Tabel di atas menunjukkan, rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa 85.50 persen (165 rumahtangga) menjual ternaknya di pasar blantik, sisanya 14.50 persen menjual dirumah petani peternak atau didatangi pedagang. Sebaliknya rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow 81.55 persen (190 rumahtangga) menjual di rumah atau didatangi pedagang. Sekitar 10.74 persen menjual di pasar blantik dan sisanya 7.72 persen menjual keluar daerah yaitu di pelabuhan Boroko. Hal ini disebabkan, pertama, lokasi penelitian di Minahasa berdekatan dengan pasar blantik, sehingga ternak sapi dapat digiring tanpa menggunakan kendaraan. Sedangkan lokasi penelitian di Bolaang Mongondow sebagian besar jauh dari pasar blantik. Kedua, sudah menjadi tradisi di Minahasa untuk menjual ternak di pasar blantik yang pada awalnya pasar blantik tersebut berfungsi sebagai tempat pertukaran ternak (barter).
197
Rumahtangga menjual ternak baik di pasar blantik maupun dirumah petani peternak menanggung biaya transpor, biaya retribusi dan biaya administrasi. Namun penjualan ternak sapi di pasar blantik maupun dirumah atau didatangi pedagang menanggung biaya perantara. Biaya-biaya yang terjadi pada saat transaksi dilakukan baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow dinyatakan sebagai variabel transaction cost. Menurut Benham and Benham (2001) bahwa ada dua tipe biaya transaksi yang dikenal yaitu : (1) fixed transaction cost; dan (2) variable transaction cost. Fixed transaction cost adalah investasi spesifik yang dinyatakan dalam menentukan susunan kelembagaan, sedangkan variable transaction cost adalah biaya yang tergantung pada jumlah atau volume transaksi. Rata-rata biaya transaksi penjualan ternak sapi per kg dan komponennya sesuai hasil penelitian di Minahasa dan Bolaang Mongondow dapat dilihat pada tabel 32.
Tabel 32. Rata-rata Biaya Transaksi Usaha Ternak Sapi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Komponen Biaya Transaksi 1. Biaya Transpor 2. Biaya Perantara 3. Biaya Administrasi 4. Biaya Retribusi Total
Minahasa (Rp/Kg) (%) 805.98 13.49 5 065.11 84.80 85.25 1.43 16.64 0.28 5 972.98 100.00
Bolaang Mongondow (Rp/Kg) (%) 861.79 13.88 5 194.75 83.64 97.71 1.57 56.79 0.91 6 211.04 100.00
Data pada Tabel 32 menunjukkan bahwa total biaya transaksi (Rp/kg) di Minahasa lebih kecil dibanding di Bolaang Mongondow. Hal ini disebabkan di pasar blantik Minahasa terdapat perantara yang cukup banyak sehingga rumahtangga petani peternak sapi dapat memilih perantaranya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
198
sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa menjual ternaknya di pasar blantik. Perantara menentukan harga ternak sapi sesuai berat badan dan tidak diketahui oleh petani peternak. Dalam hal ini baik di pasar blantik maupun di lokasi peternak tidak tersedia fasilitas timbangan ternak sapi, sehingga proses tawar menawar yang terjadi berdasarkan berat badan ternak sapi yang tidak diketahui rumahtangga petani peternak sapi. Berapa besar berat ternak sapi ditentukan oleh perantara. Hal ini yang menyebabkan harga jual yang diterima rumahtangga lebih kecil. Biaya perantara sudah ditentukan perantara sekitar 10-20 persen dari harga ternak yang terjual. Selanjutnya persentase komponen biaya transaksi yang terbesar baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow adalah biaya perantara penjualan ternak sapi yaitu masing-masing sebesar 84.80 persen dan 83.64 persen, walaupun biaya perantara yang ditanggung rumahtangga di Minahasa lebih kecil dibanding petani peternak sapi di Bolaang Mongondow. Biaya perantara merupakan biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi terhadap jasa perantara dalam penjualan ternak sapi. Besarnya biaya perantara di Minahasa dan Bolaang Mongondow disebabkan perantara yang berperan untuk menghubungkan antara rumahtangga dan pedagang. Dalam hal ini, rumahtangga petani peternak sapi tidak mempunyai informasi pembeli atau pedagang dan khususnya di Bolaang Mongondow juga tidak mempunyai informasi harga per ekor ternak sapi. Fenomena ini menunjukkan rumahtangga petani peternak sapi berada pada posisi tawar yang lemah. Walaupun rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa masih bisa memilih perantara mana yang bisa diterima sebagai
199
penghubung. Berdasarkan kondisi tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa rumahtangga petani peternak sapi menghadapi struktur pasar tidak sempurna (imperfect competition). Biaya perantara penjualan sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding di Minahasa. Hal ini disebabkan bahwa sebagian besar rumahtangga di Bolaang Mongondow didatangi pedagang, sehingga rumahtangga tidak mempunyai pilihan lain untuk menjual ternaknya. Berdasarkan Tabel 32 juga menunjukkan biaya transpor yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding rumahtangga di Minahasa yaitu masing-masing sekitar 13.88 persen dan 13.49 persen. Biaya transpor rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa terdiri dari biaya transpor ke pasar blantik dan biaya transpor pedagang ke rumah petani. Sedangkan biaya transpor rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow terdiri dari biaya transpor ke pasar blantik, biaya transpor ke rumah petani dan biaya transpor ke pelabuhan (Tabel 33).
Tabel 33. Rata-Rata Biaya Transpor Usaha Ternak Sapi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Biaya Transpor 1. Ke Pasar Blantik 2. Ke Rumah Petani 3. Ke Pelabuhan Total
Minahasa (Rp/Kg) (%) 680.35 84.41 125.63 15.59 805.98 100.00
Bolaang Mongondow (Rp/Kg) (%) 164.59 19.10 569.73 66.11 127.47 14.79 861.79 100.00
Tabel 33 menunjukkan biaya transpor rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding di Minahasa. Biaya transpor yang
200
ditanggung rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow adalah biaya transpor ke pasar blantik sebesar 19.10 persen, biaya transpor pedagang yang datang ke rumah petani peternak yaitu sebesar 66.11 persen dan biaya transpor ke pelabuhan sebesar 14.79 persen. Biaya transpor pedagang ke rumah petani peternak sapi adalah terbesar menyebabkan biaya transaksi yang ditanggung rumahtangga di Bolaang Mongondow lebih tinggi dan tidak diketahui rumahtangga. Dalam hal ini pedagang menentukan harga lebih murah karena biaya transpor pedagang dikurangi dari harga beli pedagang tersebut. Akibatnya harga per ekor ternak sapi yang diterima rumahtangga di Bolaang Mongondow lebih rendah. Sebagian rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow juga menanggung biaya transpor pada saat menjual ternak di pelabuhan Boroko, dalam hal ini tidak dilakukan oleh rumahtangga di Minahasa. Biaya transpor pedagang yang datang ke rumah ditanggung rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa lebih kecil (15.59 persen) bila dibandingkan biaya transpor ke pasar blantik (84.41 persen). Hal ini disebabkan pedagang yang datang ke rumah petani adalah pedagang yang berdomisili di desa tersebut dan desa lain sekitar lokasi peternakan dan tidak menggunakan kendaraan. Sebaliknya, biaya transpor yang ditanggung rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow adalah biaya transpor pedagang yaitu sebesar 66.11 persen yang ditentukan pedagang. Pedagang tersebut menggunakan kendaraan dari tempat asal pedagang yaitu berasal dari kota Manado dan Minahasa. Biaya administrasi adalah biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi pada saat ternaknya terjual. Biaya administrasi yang ditanggung
201
rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa yaitu masing-masing sebesar 1.57 persen dan 1.43 persen. Hal ini disebabkan rumahtangga di Bolaang Mongondow membayar administrasi di desa lebih besar yaitu sekitar Rp 10 000 sampai Rp 15 000 per ekor. Sedangkan rumahtangga di Minahasa membayar administrasi di pasar blantik sebesar Rp 10 000 per ekor. Di pasar blantik kabupaten Minahasa terdapat petugas dinas pasar dan dinas kehewanan, sehingga setiap terjadi transaksi maka rumahtangga langsung membayar biaya administrasi. Biaya transaksi tersebut sudah ditentukan oleh pemerintah. Berarti setiap terjadi transaksi ada kontrol dari pemerintah. Namun biaya administrasi tersebut belum sesuai PERDA. Biaya administrasi sesuai PERDA di Sulawesi Utara Rp 50 000 per ekor untuk pengeluaran ternak sapi potong. Biaya retribusi merupakan biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi pada saat masuk di pasar blantik dan biaya retribusi yang dibayar ke desa. Besarnya biaya retribusi yang ditanggung rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding rumahtangga di Minahasa yaitu masingmasing sebesar 0.91 persen dan 0.28 persen. Hal ini disebabkan sebagian rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow membayar retribusi di desa yang ditentukan lebih tinggi yaitu sekitar Rp 5 000 sampai Rp 10 000 per ekor. Sedangkan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa membayar retribusi di pasar blantik sekitar Rp 2 000 per ekor. Namun biaya retribusi tersebut belum sesuai PERDA. Biaya retribusi sesuai PERDA di Sulawesi Utara Rp 25000 per ekor untuk ternak sapi potong.
202
6.2. Biaya Transaksi dalam Usaha Jagung Biaya transaksi yang terjadi pada usaha jagung mulai pembelian input sampai pada distribusi produk jagung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, biaya transaksi pada usaha jagung terdiri dari biaya transpor penjualan jagung, biaya transpor pembelian benih dan biaya transpor pembelian pupuk (Tabel 34).
Tabel 34. Rata-Rata Biaya Transaksi Usaha Jagung Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Jagung di Minahasa, Tahun 2006-2007 Komponen Biaya Transaksi 1. Biaya Transpor Penjualan Jagung 2. Biaya Transpor Pembelian Benih 3. Biaya Transpor Pembelian Pupuk Total
Biaya (Rp/Kg)
(%) 8.73 5.59 33.13
18.40 11.78 69.82
47.45
100.00
Tabel 34 menunjukkan biaya transpor pembelian pupuk merupakan biaya transaksi terbesar yaitu sekitar 69.82 persen dari total biaya transaksi per kg jagung. Kemudian diikuti dengan biaya transaksi penjualan jagung sekitar 18.40 persen dan yang terkecil adalah biaya pembelian benih sebesar 11.78 persen. Besarnya biaya transpor pembelian pupuk merupakan biaya terbesar disebabkan harga pupuk ditentukan oleh pedagang, selain itu pupuk diantar oleh pedagang sehingga harga pupuk ditambah dengan biaya transpor. Fenomena seperti dijelaskan di atas menunjukkan rumahtangga menghadapi struktur pasar tidak sempurna.
6.3. Biaya Transaksi dalam Usaha Kelapa Biaya transaksi yang terjadi pada usaha kelapa tidak seperti pada usaha jagung. Biaya transaksi pada usaha kelapa terdiri dari biaya transpor penjualan kopra dan biaya penyimpanan kopra (Tabel 35). Brithal et al. (2006) mengkuantitatifkan biaya transaksi
203
pada tingkat produsen termasuk biaya penyimpanan dan penurunan kualitas suatu produk. Biaya penyimpanan dihitung berdasarkan biaya kadar air kopra menurut istilah pedagang. Kopra yang kadar airnya tinggi berarti biayanya lebih tinggi lagi. Cara mengatasinya yaitu kopra disimpan atau dijemur.
Tabel 35. Rata-Rata Biaya Transaksi Usaha Kelapa Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Kelapa di Bolaang Mongondow, Tahun 20062007 Komponen Biaya Transaksi 1. Biaya Transpor Penjualan Kopra 2. Biaya Penyimpanan Total
Biaya (Rp/Kg) 26.33 90.61 116.94
(%) 22.52 77.48 100.00
Tabel 35 menunjukkan bahwa biaya penyimpanan merupakan biaya terbesar yaitu 77.48 persen, kemudian diikuti biaya transpor penjualan kopra sebesar 22.52 persen per kg kopra. Walaupun biaya transpor lebih kecil dibanding biaya penyimpanan namun biaya tersebut dapat mempengaruhi penerimaan pada usaha kelapa. Harga penjualan kopra ditentukan oleh pedagang. Kemudian harga yang diterima rumahtangga adalah harga yang sudah dikurangi biaya penyimpanan dan biaya transpor penjualan kopra. Dalam hal ini rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow menghadapi struktur pasar tidak sempurna (imperfect competition) dalam penjualan kopra. 6.4. Efisiensi Usaha Efisiensi usaha dalam penelitian ini diukur berdasarkan usaha ternak sapi, usaha ternak sapi - jagung dan usaha ternak sapi - kelapa. Kriteria untuk melihat
204
efisiensi diantaranya rasio biaya transaksi/penerimaan, rasio biaya transaksi/biaya dan rasio biaya transaksi/pendapatan. Biaya transaksi dapat menentukan efisiensi usaha ternak sapi per kg ternak sapi, usaha ternak sapi - jagung di Minahasa dan usaha ternak sapi - kelapa di Bolaang Mongondow (Tabel 36).
Tabel 36. Rasio Biaya Transaksi terhadap Penerimaan, Total Biaya dan Pendapatan pada Rumahtangga Petani Usaha Ternak SapiTanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 20062007 Uraian
Minahasa (Rp/Kg) Rasio
Bolaang Mongondow (Rp/Kg) Rasio
A. Ternak Sapi 1. Biaya Transaksi1 5 972.98 6 211.04 2. Penerimaan 1 35 000.00 0.17 35 000.00 0.18 1 3. Total Biaya 22 347.43 0.27 25 949.52 0.24 4. Pendapatan1 12 652.57 0.47 9 050.48 0.69 2 B. Usaha Sapi-Tanaman 1. Biaya Transaksi 6 020.43 6 327.98 2. Penerimaan3 79 368.67 0.08 274 801.75 0.02 3 3. Total Biaya 57 428.41 0.10 181 352.29 0.03 4. Pendapatan3 21 940.26 0.27 93 449.46 0.07 Keterangan: 1 = Dihitung untuk ternak sapi terjual 2 = Usaha ternak sapi-jagung di Minahasa; Usaha ternak sapi-kelapa di Bolaang Mongondow 3 = Termasuk penerimaan, biaya dan pendapatan yang diperhitungkan Biaya transaksi ternak sapi menunjukkan biaya yang ditanggung rumahtangga petani peternak sapi pada saat melakukan transaksi penjualan ternak sapi yang dihitung per kg ternak sapi. Penerimaan adalah harga yang diterima rumahtangga per kg ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Total biaya adalah biaya ternak sapi terjual per kg yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow, terdiri dari biaya rumput (Rp/kg), biaya tenaga kerja (Rp/kg), biaya obat (Rp/kg) dan biaya transaksi (Rp/kg). Sedangkan pendapatan
205
adalah penerimaan penjualan ternak sapi (Rp/kg) dikurangi total biaya ternak sapi terjual (Rp/kg). Tabel 36 menunjukkan bahwa rasio biaya transaksi dan penerimaan per kg ternak sapi hidup pada usaha ternak sapi rumahtangga petani peternak di Minahasa lebih kecil dibanding di Bolaang Mongondow yaitu masing-masing sebesar 0.17 dan 0.18. Artinya dengan penerimaan usaha ternak sapi sebesar Rp 1 maka rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow masing-masing akan menanggung biaya transaksi sebesar Rp 0.17 dan Rp 0.18. Hasil ini lebih kecil dibanding hasil penelitian Anggraini untuk nelayan kincang (sebesar 0.24) (Anggraini, 2005). Rasio biaya transaksi dan total biaya ternak sapi per kg pada usaha ternak sapi rumahtangga petani peternak di Minahasa lebih besar dibanding rumahtangga di Bolaang Mongondow yaitu masing-masing sebesar 0.27 dan 0.24. Artinya dengan total biaya ternak sapi per kg sebesar Rp 1 maka rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan di Bolaang Mongondow akan menanggung biaya transaksi masingmasing sebesar Rp 0.27 dan Rp 0.24. Nilai rasio biaya transaksi dan pendapatan per kg ternak sapi rumahtangga petani peternak di Minahasa lebih kecil dibanding Bolaang Mongondow yaitu masing-masing sebesar 0.47 dan 0.69. Artinya dengan pendapatan per kg ternak sapi sebesar Rp 1 maka rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow masing-masing akan menanggung biaya transaksi sebesar Rp 0.47 dan Rp 0.69. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha ternak sapi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa lebih efisien. Hal ini disebabkan kualitas ternak sapi untuk
206
jenis dan umur yang sama di Minahasa lebih baik. Selain itu, rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow tidak mempunyai informasi harga sehingga penerimaan per ekor ternak sapi lebih kecil disebabkan biaya transaksi yang ditanggung mereka lebih tinggi. Efisiensi dapat ditingkatkan bila informasi lebih baik. Rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow juga menanggung biaya transpor pedagang yang datang ke rumah peternak dan ditentukan oleh pedagang. Rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow menanggung biaya sarana produksi lebih besar yang disebabkan harga rumput lebih tinggi. Kondisi di atas akan berbeda apabila rasio biaya transaksi/penerimaan, biaya transaksi/biaya dan biaya transaksi/pendapatan dihitung berdasarkan integrasi usaha. Seperti terlihat pada Tabel 36, penerimaan, biaya dan pendapatan per kg usaha ternak sapi yang dihitung adalah penerimaan, biaya dan pendapatan yang dibayar dan diperhitungkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa integrasi usaha ternak sapi-jagung rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa lebih efisien dibanding apabila usaha ternak sapi tanpa integrasi. Demikian pula integrasi usaha ternak sapi-kelapa rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow lebih efisien dibanding apabila usaha ternak sapi tanpa integrasi. Menurut Bamualim, et al (2004), keuntungan langsung integrasi usaha ternak sapi-tanaman pangan adalah peningkatan pendapatan dari penjualan ternak dan jagung. Sedangkan keuntungan tidak langsung adalah perbaikan kualitas tanah akibat pemberian pupuk kandang pada lahan sawah tadah hujan. Selanjutnya menurut Kariyasa dan Kasryno (2004) bahwa usaha ternak sapi akan efisien jika manajemen pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman
207
sebagai sumber pakan bagi ternak itu sendiri. Integrasi usaha ternak sapi-tanaman juga dapat dilakukan sebagai upaya meminimalkan biaya transaksi (Whinston, 2003 dan Williamson, 2008). Dalam hal ini dibutuhkan peran pemerintah untuk memberikan penyuluhan, agar rumahtangga petani peternak sapi mengembangkan pola usaha ternak sapi terintegrasi dengan tanaman. Perlu pembentukan kelompokkelompok usaha ternak sapi, sebagai salah satu upaya memperbaiki kelembagaan penjualan ternak sapi. Usaha ternak sapi dilakukan dengan berkelompok memiliki keuntungan diantaranya memperkuat posisi tawar petani dalam penjualan ternak (Fagi, et al. 2004; Fagi dan Kartaatmadja, 2004).
VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN Untuk menjawab tujuan penelitian ini telah dilakukan analisis perilaku rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara dengan menggunakan program SAS 9.0. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dalam bab ini akan dibahas hasil estimasi model ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara. Perilaku ekonomi rumahtangga dipelajari berdasarkan usaha ternak sapi – jagung dan usaha ternak sapi – tanaman kelapa. Usaha ternak sapi-jagung spesifik untuk Minahasa dan usaha ternak sapi - kelapa spesifik untuk Bolaang Mongondow. Pembahasan bab ini mencakup (1) perilaku produksi (sapi, jagung, kelapa); (2) perilaku penggunaan input produksi; (3) perilaku penggunaan tenaga kerja; (4) perilaku biaya transaksi, dan (5) perilaku pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi. Data yang digunakan adalah data cross section, dengan analisis pertama dilakukan adalah analisis estimasi parameter. Model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Sulawesi Utara yang dibangun merupakan model persamaan simultan. Hasil estimasi parameter diperoleh berdasarkan hasil respesifikasi yang berulang-ulang sehingga tanda-tanda parameter dari setiap variabel sesuai dengan yang diharapkan. Dalam hal ini model yang dibangun merupakan model yang bermakna sesuai kriteria ekonomi. Kriteria ekonomi dimaksud yaitu dengan memperhatikan arah (sign) dan besaran (size) dari parameter yang diduga (Koutsoyiannis, 1977). Model yang dibangun merupakan model yang bermakna sesuai kriteria ekonomi, walaupun belum memuaskan menurut kriteria statistik. Kriteria statistik
209
dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) dan uji t statistik. Nilai R2 persamaan perilaku di Kabupaten Minahasa lebih besar 0.50 hanya sebanyak 52.63 persen dari jumlah persamaan perilaku dan sisanya 47.37 persen nilai R2 lebih kecil 0.50. Sedangkan untuk Kabupaten Bolaang Mongondow, nilai R2 lebih besar 0.50 hanya sebanyak 46.67 persen dan sisanya 53.33 persen nilai R2 lebih kecil 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas pada sebagian besar persamaan struktural hanya mampu menjelaskan variasi peubah endogennya dalam proporsi yang lebih kecil. Kenyataan ini disebabkan karena data yang digunakan merupakan data cross section yaitu data yang diambil pada saat yang bersamaan (data satu titik waktu) menyebabkan variasi datanya kecil. Hasil ini terjadi juga untuk penelitian yang dilakukan oleh Kusnadi (2005), Asmarantaka (2007) dan Priyanti (2007). Menurut Kusnadi (2005), hasil estimasi parameter dengan menggunakan data cross section sulit memperoleh R2 yang tinggi. Dalam hal ini tanda parameter hasil estimasi yang dipentingkan dan telah sesuai harapan. Berdasarkan nilai uji t statistik yang telah dilakukan baik untuk model ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa maupun Bolaang Mongondow menunjukkan sebagian besar peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh terhadap peubah endogennya pada taraf nyata 15 persen. Selanjutnya, nilai uji F sesuai hasil estimasi menunjukkan bahwa sebagian besar model regresi secara statistik nyata pada taraf nyata <.0001. Beberapa penelitian yang telah dikaji menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga dalam beternak masih merupakan keputusan rumahtangga sebagai produsen. Penelitian ini, baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow mempelajari keputusan rumahtangga sebagai produsen sekaligus konsumen dan
210
penyedia tenaga kerja. Model pemecahan yang dilakukan karena tidak berlakunya salah satu asumsi separable yaitu adanya biaya transaksi. Adanya biaya transaksi pada aktivitas rumahtangga dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan pasar (market failure). Biaya transaksi dinyatakan sebagai penentu harga. Hal ini sejalan dengan penelitian Dutilly-Diane, et al., (2003). Biaya transaksi yang tinggi sangat mempengaruhi pasar input dan pasar output (Matungul, et al., 2006). Lofgren and Robinson (1999) membahas pengembangan model rumahtangga usahatani nonseparable dengan biaya transaksi dan regim pasar apakah rumahtangga surplus, self sufficient atau defisit untuk produksi dan konsumsi. Selanjutnya, penelitian Kusnadi (2005) memasukkan harga input dan harga output sebagai peubah endogen. Dalam penelitian Kusnadi harga output maupun harga input adalah harga bayangan. Harga bayangan diukur dari nilai produktivitas marjinal input yang diturunkan dari fungsi produksi usahatani. [
Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data cross section
sehingga harga output dan harga input maupun upah tenaga kerja tidak bervariasi. Dengan biaya transaksi menyebabkan harga output dan upah tenaga kerja bervariasi. Harga output dan upah tenaga kerja dalam penelitian ini adalah peubah endogen yang dinyatakan sebagai harga dan upah bayangan. Komponen biaya transaksi penjualan sapi yaitu biaya perantara penjualan sapi maupun biaya transpor penjualan jagung dan biaya transpor penjualan kelapa juga dinyatakan sebagai peubah endogen. Model yang dibangun menunjukkan biaya transaksi mempengaruhi keputusan produksi, pengalokasian tenaga kerja serta pengeluaran konsumsi. Adanya biaya transaksi tersebut melanggar asumsi separable (Sadaulet and de
211
Janvry, 1995). Dalam keputusan produksi, biaya transaksi mempengaruhi harga output yang dinyatakan sebagai harga bayangan. Kemudian harga bayangan mempengaruhi produksi. Biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga untuk penggunaan input produksi. Dalam pengalokasian tenaga kerja, biaya transaksi mempengaruhi upah tenaga kerja dinyatakan sebagai upah bayangan. Selanjutnya, upah bayangan mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam penawaran dan permintaan tenaga kerja. Secara teori, biaya transaksi mempengaruhi pasar tenaga kerja. Biaya transaksi mempengaruhi keputusan konsumsi yang dinyatakan sebagai total pendapatan rumahtangga. Untuk menjawab tujuan kedua telah dibangun model ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara. Model ekonomi rumahtangga di Minahasa dalam penelitian ini terdiri dari 19 persamaan struktural dan 24 persamaan identitas. Sedangkan model ekonomi rumahtangga di Bolaang Mongondow terdiri dari 15 persamaan struktural dan 20 persamaan identitas. Untuk menjawab tujuan ketiga telah dianalisis estimasi perilaku masingmasing peubah endogen. Peubah endogen untuk Minahasa yaitu : produksi sapi, penjualan sapi, produkivitas jagung, luas lahan garapan jagung, jumlah permintaan rumput, permintaan benih jagung, permintaan pupuk urea dan TSP, penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi dan jagung, permintaan tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak sapi untuk jagung, curahan tenaga kerja untuk buruh tani, biaya perantara penjualan sapi, biaya transpor penjualan jagung, konsumsi pangan dan non pangan, investasi pendidikan dan konsumsi jagung. Peubah endogen dalam model rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow yaitu : produksi sapi, penjualan sapi, produktivitas kelapa,
212
jumlah permintaan rumput, penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi dan penawaran tenaga kerja untuk usaha kelapa, permintaan tenaga kerja sewa, tenaga kerja ternak sapi untuk usaha kelapa, curahan tenaga kerja sebagai buruh tani, biaya perantara penjualan sapi, biaya transpor penjualan kopra, konsumsi pangan, konsumsi non pangan, investasi pendidikan dan surplus produksi kelapa. Perilaku ekonomi rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow dengan mempelajari biaya transaksi dan faktor lain yang mempengaruhi peubah endogen dan respon masing-masing peubah endogen.
7.1. Perilaku Produksi Perilaku produksi yang dianalisis untuk rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa adalah produksi sapi dan produksi jagung. Produksi sapi terdiri dari dua persamaan perilaku dan satu persamaan identitas. Persamaan perilaku terdiri dari persamaan produksi ternak sapi (PROS) dan penjualan sapi (PROSJ). Kemudian produksi jagung terdiri dari dua persamaan perilaku yaitu persamaan perilaku produktivitas jagung (PRODJ), persamaan luas lahan garapan jagung (LHNJ) dan persamaan identitas untuk produksi jagung (PROJ). Perilaku produksi rumahtangga di Bolaang Mongondow adalah produksi sapi dan produksi kelapa. Produksi sapi terdiri dari dua persamaan perilaku dan satu persamaan identitas. Persamaan perilaku terdiri dari persamaan produksi sapi (PROS) dan penjualan sapi (PROSJ). Untuk usaha kelapa terdapat satu persamaan perilaku yaitu produktivitas kelapa (PRODK) dan satu persamaan identitas untuk produksi buah kelapa (PROB) (Tabel 37). Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 37, selanjutnya dibahas respon masing-masing peubah endogen perilaku produksi.
213
Tabel 37. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Produksi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow
Minahasa Variabel
Kode
Parameter Estimasi
Produksi Sapi PROS Intersep Harga Bay Sapi HTSB 0.00717* Kons Rumput JRUM 0.00416* Kons Jagung KONJ 0.00729 Lama Beternak LBS 2.39987* TK Kel utk Sapi TKDS Penjualan Sapi PROSJ Intersep -24.028 Harga Bay Sapi HTSB 0.00009 Produksi Sapi PROS 0.71466* Total Biaya TB Produktivits Jagung PRODJ Intersep -31020.3 Harga Bay Jagung HJGB 20.8556 TK Luar utk Jagung TKLJ 47.2051* TK Sapi utk Jagung TKSJ 190.736* Penerimaan Penj Sapi RUTSJ 4.125E-6 Pendapatn Luar UT PLUT 0.00013* Produktivita Kelapa PRODK Intersep Harga Bay Kopra HKOB Jumlah Pohon Kelapa JPK Pupuk Urea JPUK TK Luar utk Kelapa TKLK TK Sapi utk Kelapa TKSK Luas Lahan Jagung LHNJ Intersep -0.3042 TK Kel utk Jagung TKDJ 0.00037* TK Luar utk Jagung TKLJ 0.00136* Benih Jagung JBJ 0.00366* Pupuk Urea JPUJ 0.00099* Pupuk TSP JPTJ 0.00264* Penerimaan Penj Sapi RUTSJ 8.0E-09* Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Bolaang Mongondow
Elastisitas
Parameter Estimasi
Elastisitas
0.62256 0.21088 0.01496 0.14605 -
-89.799 0.00238 0.03697* 0.03604
0.1433 1.0003 0.0332
0.00261 1.96163 -
-48.698 0.00094 0.12766* 4.36E-6*
0.3324 0.7471 0.4818
0.52305 0.58039 2.28325 0.01150 0.29769
-
-
-
-32437.3 2.52877* 347.096* 26.9665* 11.3689* 221.573
0.0665 3.1216 0.1564 0.3136 0.3713
0.16210 0.08325 0.04970 0.97086 0.55465 0.11231
-
-
214
7.1.1. Produksi Sapi Produksi sapi (PROS) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB), jumlah konsumsi rumput (JRUM), konsumsi jagung (KONJ) dan pengalaman beternak sapi (LBS). Sedangkan produksi sapi (PROS) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB), jumlah konsumsi rumput (JRUM) dan penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi (TKDS). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa harga bayangan diperoleh dari selisih antara harga ternak sapi hidup dan biaya transaksi. Peubah harga bayangan dinyatakan apabila kondisi rumahtangga surplus (Minot, 1999). Dalam penelitian ini rumahtangga petani peternak menjual ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga dinyatakan rumahtangga surplus. Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007), produksi sapi selain dipengaruhi harga ternak sapi hidup, juga dipengaruhi oleh jumlah jerami segar, jumlah bakalan, jumlah konsentrat dan jumlah obat sapi. Hal ini disebabkan usaha ternak sapi di Sulawesi Utara merupakan usaha ternak rakyat yang dipelihara secara tradisional. Dalam hal ini ternak sapi dibiarkan merumput sendiri sehingga konsumsi rumput adalah rumput yang tumbuh liar ataupun limbah pertanian ditambah dengan konsumsi jagung (untuk Minahasa). Pada penelitian ini jumlah rumput di proxy dari jumlah rumput yang dikonsumsi apabila petani peternak membeli rumput. Selain itu, perilaku beternak sapi sebagai usaha turun temurun sehingga jumlah bakalan tidak bisa diperhitungkan dalam penelitian ini. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen produksi sapi (PROS) di Minahasa telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-
215
masing peubah harga bayangan ternak sapi (HTSB), jumlah rumput (JRUM), konsumsi jagung (KONJ) dan pengalaman beternak sapi (LBS) menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ternak sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi pada Tabel 37 juga menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen produksi sapi (PROS) di Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan sapi (HTSB), jumlah rumput (JRUM) dan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi (TKDS) menyebabkan terjadinya peningkatan produksi sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi menunjukkan peubah harga bayangan ternak sapi, jumlah permintaan rumput dan pengalaman beternak sapi di Minahasa masing-masing berpengaruh nyata terhadap produksi sapi pada taraf nyata 15 persen. Sedangkan peubah harga bayangan ternak sapi dan penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak sapi di Bolaang Mongondow masing-masing berpengaruh tidak nyata terhadap produksi sapi pada taraf nyata 15 persen. Peubah jumlah konsumsi rumput berpengaruh nyata terhadap produksi sapi pada taraf nyata 15 persen. Biaya transaksi dalam penelitian ini mempengaruhi harga bayangan. Peningkatan biaya transaksi menyebabkan harga bayangan semakin kecil, akibatnya ada kecenderungan menurunnya produksi sapi. Hal ini disebabkan usaha sapi merupakan usaha sambilan sehingga biaya transaksi yang semakin tinggi menyebabkan harga yang diterima rumahtangga semakin kecil. Kondisi tersebut mengakibatkan kemauan berusaha semakin menurun, rumahtangga tidak berusaha meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara. Secara teoritis, biaya transaksi mempengaruhi perilaku rumahtangga dalam keputusan produksi.
216
Hasil analisis menunjukkan kenaikan harga bayangan ternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow masih bisa mendorong rumahtangga meningkatkan produksi ternaknya. Perbedaannya, harga bayangan ternak sapi memberikan pengaruh sangat besar terhadap produksi sapi di Minahasa sedangkan di Bolaang Mongondow pengaruhnya kecil. Jumlah permintaan rumput berdampak cukup besar terhadap produksi ternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow. Semakin banyak permintaan rumput untuk konsumsi maka produksi sapi diharapkan semakin meningkat. Dalam hal ini pakan utama ternak sapi adalah rumput. Peubah konsumsi jagung di Minahasa berpengaruh tidak nyata terhadap produksi ternak sapi. Dalam hal ini, jumlah konsumsi jagung pengaruhnya kecil terhadap produksi ternak sapi. Hal ini disebabkan karena ternak sapi dibiarkan merumput sendiri atau diberikan rumput liar dan limbah pertanian. Jagung dikonsumsi ternak pada saat musim tanam dan dalam setahun dua sampai tiga kali tanam. Sebaliknya di Bolaang Mongondow ternak sapi tidak mengkonsumsi jagung kecuali limbah jagung. Seperti telah dijelaskan di Minahasa rumahtangga petani peternak sapi menanam jagung khusus untuk diberikan ke ternak. Demikian pula pengalaman dalam beternak sapi di Minahasa mendorong rumahtangga meningkatkan produksi sapi dan pengaruhnya cukup besar. Sedangkan di Bolaang Mongondow pengalaman berusaha dianggap tidak mempengaruhi peningkatan produksi ternak sapi. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak sapi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi sapi. Ketersediaan tenaga kerja keluarga pada usaha ternak sapi yang semakin tinggi di Bolaang Mongondow akan
217
mendorong rumahtangga meningkatkan produksi sapi. Walaupun ketersediaan tenaga kerja keluarga tersebut pengaruhnya kecil dalam peningkatan produksi. Sedangkan di Minahasa penawaran tenaga kerja keluarga di anggap tidak mempengaruhi produksi sapi. Hal ini disebabkan tenaga kerja sudah tertentu dengan jumlah ternak sapi lebih besar dibanding di Bolaang Mongondow. Besarnya nilai elastisitas produksi sapi terhadap peubah harga bayangan sapi, jumlah konsumsi rumput, konsumsi jagung dan pengalaman beternak sapi di Minahasa masing-masing lebih kecil satu. Hasil ini menunjukkan produksi sapi tidak responsif terhadap harga bayangan sapi. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa walaupun usaha sapi merupakan usaha sambilan namun pemeliharaan sapi dilakukan rumahtangga secara turun temurun. Disini peningkatan biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan penurunan produksi. Sejalan dengan penelitian Priyanti (2007), produksi sapi tidak responsif terhadap peubah harga sapi hidup dan jumlah jerami segar. Demikian pula produksi sapi tidak responsif terhadap konsumsi rumput. Kenyataan di Minahasa menunjukkan bahwa rumput yang dikonsumsi merupakan rumput liar atau limbah pertanian, sehingga peningkatan konsumsi rumput kurang direspon dengan peningkatan produksi sapi. Secara teori, kualitas rumput liar ataupun limbah pertanian belum bisa menjamin apakah sudah memenuhi standar nilai nutrisi hijauan. Rumahtangga berusaha menambah jagung muda sebagai konsumsi ternak sapi. Namun, penanaman jagung dalam setahun sangat terbatas. Hal inilah yang menyebabkan produksi sapi juga tidak responsif terhadap konsumsi jagung. Selanjutnya, hasil analisis juga menunjukkan bahwa produksi sapi tidak responsif terhadap pengalaman beternak sapi. Kondisi ini disebabkan dalam meningkatkan produksi dipengaruhi oleh
218
penggunaan input. Selain penggunaan input dan kondisi sosial, peningkatan produksi sapi juga dipengaruhi oleh ketersediaan dana. Permintaan rumput sebagai salah satu input yang mempengaruhi peningkatan produksi sapi di Bolaang Mongondow. Jumlah permintaan rumput berdampak cukup besar terhadap produksi sapi. Semakin banyak permintaan rumput untuk konsumsi maka produksi sapi diharapkan semakin meningkat. Kenyataan menunjukkan produksi sapi sangat responsif terhadap permintaan rumput. Hal ini disebabkan pakan utama bagi ternak sapi adalah rumput, sehingga respon permintaan rumput sangat tinggi bagi produksi sapi. Kondisi ini berbeda dengan penelitian Priyanti (2007), bahwa produksi sapi tidak responsif terhadap peubah harga sapi hidup dan jumlah jerami segar. Di Bolaang Mongondow, rumput yang dikonsumsi sapi sebagian besar rumput liar dan limbah pertanian. Berbeda dengan di Minahasa yang menanam jagung sebagai pakan sapi.
7.1.2. Penjualan Ternak Sapi Penjualan Sapi (PROSJ) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB) dan produksi sapi (PROS). Sedangkan penjualan Sapi (PROSJ) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB), produksi sapi (PROS) dan total biaya (TB). Rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow menjual ternaknya apabila ada kebutuhan yang mendesak apakah karena kebutuhan pendidikan, konsumsi, kesehatan ataupun untuk kebutuhan proses produksi usahatani (pembelian bibit atau upah tenaga kerja) dan sebagainya. Apalagi bila ada peningkatan harga ternak akan mendorong rumahtangga menjual ternaknya. Namun bila terjadi peningkatan
219
biaya transaksi mengakibatkan rumahtangga mengurangi jumlah penjualan ternak sapi. Hal ini disebabkan dengan biaya transaksi yang semakin tinggi maka harga yang diterima semakin kecil, akibatnya penerimaan rumahtangga makin kecil. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen penjualan sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan sapi dan produksi sapi di Minahasa menyebabkan terjadinya peningkatan penjualan ternak sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Demikian pula peubah harga bayangan ternak, produksi sapi dan total biaya di Bolaang Mongondow menyebabkan naiknya penjualan ternak sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan peubah harga bayangan sapi di Minahasa berpengaruh tidak nyata terhadap penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Hal ini disebabkan rumahtangga menjual ternak apabila ada kebutuhan mendesak. Kenaikan biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap penurunan penjualan sapi. Atau sebaliknya peningkatan harga memotivasi rumahtangga untuk meningkatkan penjualan ternak sapi. Sedangkan produksi sapi di Minahasa berpengaruh nyata terhadap penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Produksi sapi berdampak cukup besar terhadap penjualan sapi. Rumahtangga berusaha memaksimumkan utilitasnya dengan cara meningkatkan pengeluaran konsumsi terutama untuk kebutuhan pokok. Pengeluaran konsumsi tergantung pada pendapatan yang diterima rumahtangga. Kondisi ini menunjang rumahtangga untuk meningkatkan penjualan apabila produksi sapi terus meningkat. Kenyataan ini menunjukkan perubahan produksi sapi sangat berpengaruh terhadap penjualan sapi.
220
Peubah harga bayangan sapi di Bolaang Mongondow juga berpengaruh tidak nyata terhadap penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Hal ini disebabkan rumahtangga menjual ternak apabila ada kebutuhan mendesak. Rumahtangga didatangi perantara kemudian perantara menawarkan untuk membeli ternak sapi mereka. Pada saat tertentu rumahtangga mencari pembeli tetapi melalui perantara, namun hal tersebut jarang terjadi. Apalagi bila ada peningkatan harga akan mendorong rumahtangga menjual ternaknya. Peningkatan biaya transaksi mengakibatkan rumahtangga mengurangi jumlah penjualan ternak sapi. Hal ini disebabkan dengan biaya transaksi yang semakin tinggi maka harga yang diterima semakin kecil dan penerimaan rumahtangga semakin kecil. Matungul, et al., (2006) mengemukakan tingkat pendapatan penjualan produk usahatani termasuk usaha ternak, salah satunya dipengaruhi biaya transaksi. Sebaliknya peningkatan harga memotivasi rumahtangga untuk meningkatkan penjualan sapi. Produksi sapi dan total biaya masing-masing berpengaruh nyata terhadap penjualan ternak sapi pada taraf nyata 15 persen. Seperti di Minahasa, rumahtangga berusaha memaksimumkan utilitasnya dengan cara meningkatkan pengeluaran konsumsi terutama untuk kebutuhan pokok. Pengeluaran konsumsi baik konsumsi kebutuhan pokok maupun non pokok tergantung pada pendapatan yang diterima rumahtangga. Kondisi ini menunjang rumahtangga untuk meningkatkan penjualan apabila produksi sapi terus meningkat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perubahan produksi sapi sangat berpengaruh terhadap penjualan sapi. Faktor lain yang menentukan penjualan sapi adalah total biaya usaha kelapa dan usaha sapi. Selain pengeluaran konsumsi kebutuhan pokoknya, rumahtangga juga membutuhkan budget untuk melakukan proses produksi. Pada
221
kondisi ini total biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk proses produksi usahataninya sangat berpengaruh terhadap penjualan sapi. Besarnya nilai elastisitas penjualan sapi di Minahasa terhadap masingmasing peubah harga bayangan sapi dan produksi sapi lebih kecil satu. Penjualan sapi tidak responsif terhadap harga bayangan sapi. Artinya peningkatan biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan penjualan sapi. Seperti telah dijelaskan di atas, kondisi ini disebabkan rumahtangga di Minahasa menjual sapi apabila ada kebutuhan apakah untuk pendidikan, kesehatan, atau untuk proses produksi. Penjualan sapi juga tidak responsif terhadap produksi sapi. Walaupun produksi sapi mempunyai pengaruh sangat besar terhadap penjualan sapi namun perubahannya agak lambat. Hal ini disebabkan penjualan sapi tergantung kebutuhan rumahtangga. Penjualan sapi di Bolaang Mongondow tidak respons terhadap peningkatan biaya transaksi. Usaha sapi merupakan usaha sambilan namun ternak sapi dapat dijual sewaktu-waktu bila rumahtangga membutuhkan uang dan dapat dijual dengan cepat. Sehingga walaupun biaya transaksi cukup tinggi tidak mempengaruhi rumahtangga untuk tidak menjual ternaknya. Demikian pula penjualan sapi di Bolaang Mongondow tidak responsif terhadap produksi sapi. Hal ini disebabkan penjualan sapi untuk sebagian besar rumahtangga di Bolaang Mongondow tergantung kebutuhan rumahtangga. Selanjutnya penjualan sapi juga tidak responsif terhadap total biaya yang dikeluarkan rumahtangga. Dalam hal ini, rumahtangga di Bolaang Mongondow seperti di Minahasa lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Untuk biaya produksi bersumber dari pendapatan usahatani yang lain.
222
7.1.3. Produktivitas Jagung Produksi jagung khusus dipelajari di Minahasa. Produktivitas jagung (PRODJ) secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan jagung (HJGB), tenaga kerja luar keluarga untuk usaha jagung (TKLJ), tenaga kerja ternak sapi untuk lahan jagung (TKSJ), penerimaan penjualan sapi (RUTSJ) dan pendapatan luar usahatani (PLUT). Harga bayangan seperti telah dijelaskan sebelumnya merupakan selisih antara harga jagung dengan biaya transaksi untuk usaha jagung. Dalam melakukan proses produksi rumahtangga memerlukan budget yang diperoleh dari penerimaan rumahtangga apakah bersumber dari usaha jagung, usahatani lain, usaha ternak, maupun penerimaan lainnya. Dalam penelitian ini produksi jagung dibangun sebagai persamaan identitas. Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007) yang membangun persamaan produksi padi sebagai persamaan struktural. Asmarantaka (2007) membangun model produktivitas padi sebagai fungsi harga urea, tenaga kerja keluarga dan dummy pendidikan. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen produktivitas jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan jagung, tenaga kerja luar keluarga (sewa) untuk usaha jagung, tenaga kerja ternak sapi untuk lahan jagung, penerimaan penjualan ternak sapi serta pendapatan luar usahatani menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Semakin tinggi biaya transaksi menyebabkan harga jagung yang diterima rumahtangga semakin kecil. Hal ini mengakibatkan ada kecenderungan penurunan produktivitas jagung.
223
Hasil estimasi juga menunjukkan peubah harga bayangan jagung dan penerimaan penjualan sapi masing-masing berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas jagung pada taraf nyata 15 persen. Fenomena ini menunjukkan peningkatan biaya transaksi jagung pengaruhnya kecil terhadap penurunan produktivitas jagung. Hal ini disebabkan sebagian produksi jagung yaitu sekitar 20 - 25 persen (dalam bentuk jagung muda) diberikan kepada sapi sebagai pakan. Selain itu, rumahtangga membutuhkan budget untuk dialokasikan sebagai pengeluaran konsumsi mereka. Kondisi ini menyebabkan biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap produktivitas jagung. Dalam hal ini walaupun biaya transaksi untuk usaha jagung meningkat, rumahtangga tetap menanam jagung. Rumahtangga memerlukan budget untuk meningkatkan produktivitas jagung. Namun pendapatan yang diperoleh rumahtangga bersumber dari berbagai kegiatan yang menghasilkan uang, sehingga penerimaan penjualan ternak sapi pengaruhnya kecil terhadap produktivitas jagung. Penggunaan tenaga kerja sewa, tenaga kerja ternak sapi dan pendapatan luar usahatani masing-masing berpengaruh nyata terhadap produkivitas jagung pada taraf nyata 15 persen. Dalam pengelolaan usaha jagung, rumahtangga menyewa tenaga kerja luar. Beberapa kegiatan dalam usaha jagung membutuhkan banyak tenaga luar diantaranya penyiangan dan panen jagung. Pengaruh tenaga kerja sewa ini sangat besar terhadap produktivitas jagung. Kondisi ini disebabkan ketersediaan tenaga kerja rumahtangga terbatas dan jam kerja keluarga juga dialokasikan untuk kegiatan usahatani lain. Tenaga kerja ternak sapi digunakan untuk membajak lahan usaha jagung. Pengaruhnya sangat besar terhadap produktivitas jagung. Untuk pengolahan lahan
224
membutuhkan biaya tenaga kerja yang cukup besar, sehingga karena keterbatasan budget maka rumahtangga memanfaatkan tenaga kerja ternak sapi. Pendapatan rumahtangga bersumber dari berbagai usahatani yang dikelola, luar usahatani, usaha lain dan sebagainya. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga selain dialokasikan untuk kebutuhan pokok rumahtangga, juga dialokasikan untuk proses produksi usahatani. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam pengelolaan usaha jagung membutuhkan budget. Salah satu sumber budget adalah pendapatan luar usahatani. Dalam penelitian ini pendapatan luar usahatani cukup berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas jagung. Produktivitas jagung sangat responsif terhadap perubahan jam kerja ternak sapi. Rumahtangga di Minahasa berusaha meminimumkan biaya produksi dengan memanfaatkan tenaga ternak sapi. Penggunaan tenaga ternak sapi berdampak sangat besar terhadap produkivitas jagung. Selanjutnya nilai elastisitas produktivitas jagung terhadap peubah harga bayangan jagung, tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung, penerimaan penjualan sapi dan pendapatan luar usahatani lebih kecil satu. Produktivitas jagung tidak responsif terhadap harga bayangan jagung. Hal ini disebabkan sebagian jagung dikonsumsi ternak sehingga naiknya biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan produktivitas. Priyanti (2007) melaporkan bahwa produksi padi tidak responsif terhadap harga padi. Sedangkan Asmarantaka (2007) tidak menganalisis pengaruh harga padi terhadap produktivitas padi. Produktivitas jagung tidak responsif terhadap tenaga kerja luar keluarga untuk usaha jagung, penerimaan penjualan ternak sapi dan pendapatan luar usahatani. Penggunaan tenaga kerja sewa sangat berpengaruh terhadap
225
produktivitas jagung. Namun karena keterbatasan budget, produktivitas jagung tidak responsif terhadap perubahan permintaan tenaga kerja sewa. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga sebagian juga dialokasikan untuk kebutuhan pokok rumahtangga. Kondisi inilah yang menyebabkan produktivitas jagung tidak responsif terhadap pendapatan dari penjualan ternak sapi. Semua pendapatan yang diperoleh rumahtangga termasuk pendapatan luar usahatani dialokasikan untuk kebutuhan pokok. Pendapatan luar usahatani cukup berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas jagung. Walaupun demikian produktivitas jagung tidak responsif terhadap pendapatan luar usahatani. Hal ini disebabkan semua pendapatan yang diperoleh rumahtangga dialokasikan juga untuk usaha jagung.
7.1.4. Produktivitas Kelapa Dalam penelitian ini produksi kelapa dipelajari dari perilaku produktivitas kelapa di Bolaang Mongondow. Perilaku penggunaan lahan untuk kelapa tidak dipelajari karena dalam jangka waktu pendek dianggap rumahtangga tidak melakukan ekspansi lahan kelapa. Dalam melakukan ekspansi memerlukan modal besar. Berbeda dengan penelitian Bakir (2007) yang mempelajari perilaku produktivitas kelapa sawit dan luas arealnya. Produktivitas kelapa (PRODK) secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan kopra (HKOB), jumlah pohon kelapa (JPK), jumlah pupuk urea untuk kelapa (JPUK), tenaga kerja sewa (TKLK) dan tenaga kerja ternak sapi untuk usaha kelapa (TKSK). Harga bayangan kopra merupakan selisih antara harga kopra dengan biaya transaksi penjualan kopra. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen produktivitas kelapa telah sesuai
226
kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan kopra, jumlah pohon kelapa, jumlah pupuk urea untuk kelapa, tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak sapi untuk usaha kelapa menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas kelapa sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan harga bayangan kopra, jumlah pohon kelapa, jumlah urea untuk kelapa dan tenaga kerja sewa untuk kelapa masingmasing berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa pada taraf nyata 15 persen. Sedangkan tenaga kerja ternak sapi untuk kelapa berpengaruh tidak nyata. Semakin tinggi biaya transaksi menyebabkan harga yang diterima rumahtangga semakin kecil akibatnya ada kecenderungan penurunan produktivitas kelapa. Biaya transaksi dihitung berdasarkan biaya transpor penjualan kopra yang ditanggung rumahtangga dan biaya penyimpanan kopra. Biaya-biaya tersebut ditentukan oleh pedagang. Brithal et al. (2006) mengkuantitatifkan biaya transaksi pada tingkat produsen termasuk biaya penyimpanan dan penurunan kualitas suatu produk. Peningkatan biaya transaksi tersebut pengaruhnya cukup besar terhadap penurunan produktivitas kelapa. Disisi lain rumahtangga membutuhkan penerimaan yang lebih tinggi untuk menanggulangi kebutuhan mendesak. Rumahtangga menyewakan pohon kelapanya ke pedagang untuk mengatasi kebutuhan yang mendesak tersebut. Walaupun produktivitas kelapa tidak responsif terhadap biaya transaksi. Pendapatan rumahtangga bersumber dari berbagai kegiatan yang menghasilkan uang, sehingga produktivitas kelapa tidak responsif terhadap naiknya biaya transaksi. Jumlah pohon kelapa berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas kelapa. Semakin banyak pohon kelapa yang dimiliki atau yang dikelola
227
rumahtangga maka produksi kelapa yang dipanen semakin banyak. Berbeda dengan penelitian Bakir (2007), yang menunjukkan jumlah pohon kelapa sawit pengaruhnya
kecil
terhadap
produktivitas
kelapa
sawit.
Hasil
analisis
menunjukkan produktivitas kelapa di Bolaang Mongondow responsif terhadap jumlah pohon kelapa. Kenyataan di lapangan menunjukkan produktivitas kelapa semakin menurun yang disebabkan lahan di bawah kelapa merupakan lahan marjinal dengan tingkat kesuburan yang rendah. Selain itu umur pohon kelapa yang ada berkisar 8-90 tahun sehingga produksinya masih sedikit ataupun buah kelapanya kecil-kecil untuk umur kelapa lebih tua. Dalam usaha peningkatan produktivitas kelapa, rumahtangga dapat melakukan integrasi usaha ternak sapi dengan usaha kelapa. Integrasi ini dapat bermanfaat bagi kesuburan lahan kelapa. Kotoran ternak dapat dijadikan sebagai pupuk, disisi lain lahan di bawah pohon kelapa dapat ditanami hijauan (rumput atau leguminosa) yang berfungsi sebagai pakan sekaligus dapat menyuburkan lahan. Dalam hal ini produktivitas kelapa responsif terhadap jumlah pohon kelapa. Penggunaan pupuk urea berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas kelapa. Kenyataan di lapangan menunjukkan sebagian besar lahan di bawah pohon kelapa di Bolaang Mongondow merupakan lahan marjinal, namun sebagian besar rumahtangga tidak melakukan upaya untuk meningkatkan kesuburan lahannya. Kondisi tersebut berdampak terhadap produktivitas buah kelapa. Sebagian rumahtangga menggunakan pupuk urea sebagai upaya meningkatkan produktivitas kelapa. Semakin banyak pupuk urea yang digunakan maka produktivitas kelapa semakin meningkat. Perlakuan tersebut menunjukkan produktivitas kelapa tidak responsif terhadap peningkatan permintaan pupuk urea.
228
Permintaan tenaga sewa dapat mempengaruhi peningkatan produktivitas kelapa. Dalam proses produksi usaha kelapa sangat dibutuhkan tenaga terampil, terutama untuk panjat kelapa. Untuk pekerjaan panjat kelapa, rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa. Hal ini disebabkan panjat kelapa merupakan pekerjaan yang mempunyai risiko tinggi. Selain itu, panen buah kelapa sebaiknya dilakukan tepat pada waktunya yaitu tiap tiga bulan sekali panen. Walaupun produktivitas kelapa tidak responsif terhadap permintaan tenaga kerja sewa. Penawaran tenaga kerja ternak sapi sangat menentukan dalam usaha kelapa. Sebagian lokasi kebun kelapa di Bolaang Mongondow agak jauh dari perkampungan yaitu sekitar 1 - 15 km. Kondisi tersebut sangat membutuhkan tenaga ternak sapi sebagai pengangkut. Walaupun produktivitas kelapa tidak responsif terhadap penawaran ternak sapi tersebut. Hal ini disebabkan tenaga ternak sapi dimanfaatkan sebagai tenaga sewa oleh rumahtangga lain untuk mengangkut output pertanian, angkut material bangunan (batu, krikil), angkut kayu dan bajak lahan.
7.1.5. Luas Lahan Garapan Jagung Luas lahan garapan jagung (LHNJ) secara bersama-sama dipengaruhi penggunaan input baik input tenaga kerja maupun input produksi dan penerimaan penjualan ternak sapi (RUTSJ). Input tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja keluarga (TKDJ) dan tenaga kerja sewa (TKLJ) untuk usaha jagung. Sedangkan input produksi terdiri dari jumlah penggunaan benih jagung (JBJ), jumlah penggunaan pupuk urea (JPUJ) dan pupuk TSP untuk usaha jagung (JPTJ). Hal ini sejalan dengan penelitian Priyanti (2007) bahwa luas areal panen padi
229
diantaranya dipengaruhi jumlah benih padi, jumlah pupuk urea, jumlah obat dan jumlah tenaga kerja keluarga untuk padi. Luas areal padi dalam Asmarantaka (2007) dipengaruhi harga padi, harga urea, traktor dan total pendapatan. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi peubahpeubah yang mempengaruhi peubah endogen luas lahan garapan jagung (LHNJ) telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masingmasing peubah tenaga kerja keluarga (TKDJ) dan tenaga kerja sewa untuk usaha jagung (TKLJ), jumlah benih jagung (JBJ), jumlah pupuk urea (JPUJ), pupuk TSP (JPTJ) dan penerimaan penjualan ternak sapi (RUTSJ) menyebabkan terjadinya peningkatan luas lahan garapan sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan peubah tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja sewa untuk jagung, jumlah benih jagung, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk TSP dan penerimaan penjualan sapi masing-masing berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan jagung pada taraf nyata 15 persen. Hal ini disebabkan sebagian produksi jagung (dalam bentuk jagung muda) diberikan kepada sapi sebagai pakan. Kenyataan ini menunjukkan perubahan penawaran tenaga kerja keluarga berdampak cukup besar bagi rumahtangga untuk memperluas lahan jagung atau menambah periode tanam jagung. Permintaan tenaga kerja mempunyai pengaruh cukup besar terhadap luas lahan garapan jagung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya jagung ditanam untuk kebutuhan pakan sapi. Dalam hal ini rumahtangga berusaha untuk menambah jam kerja sewa walaupun harus mengeluarkan dana untuk pembayaran upah. Kemampuan untuk menambah benih jagung mendorong rumahtangga memperluas lahan garapan jagung. Semakin luas lahan jagung diharapkan
230
produksi jagung meningkat, sehingga rumahtangga tidak kesulitan memperoleh pakan sapi. Kemampuan dalam membeli benih berpengaruh sangat besar bagi pengembangan usaha jagung. Kemampuan rumahtangga dalam membeli pupuk juga dapat mendorong rumahtangga memperluas lahan garapan jagung. Pengaruhnya cukup besar yang disebabkan kebutuhan pakan bagi sapi. Input pupuk TSP berpengaruh sangat besar bagi rumahtangga untuk melakukan ekspansi usaha jagung. Ekspansi tersebut membutuhkan budget cukup besar. Salah satu sumber budget adalah pendapatan penjualan sapi. Pendapatan ini cukup berpengaruh terhadap perluasan lahan jagung. Nilai elastisitas luas lahan garapan jagung terhadap peubah tenaga kerja keluarga, tenaga kerja sewa untuk usaha jagung, jumlah benih jagung, jumlah pupuk urea dan pupuk TSP masing-masing lebih kecil satu. Perluasan lahan garapan jagung dipengaruhi tenaga kerja keluarga. Namun rumahtangga mengalokasikan tenaganya untuk berbagai kegiatan menyebabkan penambahan lahan jagung ini tidak responsif terhadap penggunaan tenaga kerja keluarga. Permintaan tenaga kerja sewa cukup berpengaruh terhadap perluasan lahan jagung. Rumahtangga petani peternak sapi mempunyai keterbatasan budget untuk membayar upah sehingga perluasan lahan garapan jagung tidak responsif terhadap permintaan tenaga kerja sewa. Tersedianya budget menyebabkan rumahtangga mempunyai kemampuan untuk membeli input produksi, termasuk kemampuan membeli benih jagung dan pengaruhnya cukup besar terhadap perluasan usaha jagung. Namun penambahan lahan jagung ini tidak responsif terhadap penambahan benih jagung. Pupuk urea juga sebagai salah satu input yang mempengaruhi peningkatan produksi jagung. Kemampuan rumahtangga dalam
231
membeli input ini cukup mempengaruhi rumahtangga untuk melakukan ekspansi. Namun penambahan lahan tidak responsif terhadap permintaan pupuk urea. Sebagai upaya memaksimalkan pendapatan usaha jagung, rumahtangga menyediakan budget untuk membeli input pupuk TSP. Rumahtangga berusaha menambah jumlah pupuk TSP. Penggunaan pupuk TSP tersebut pengaruhnya cukup besar bagi rumahtangga untuk melakukan ekspansi. Walaupun penambahan lahan garapan jagung tidak responsif terhadap penambahan permintaan pupuk TSP ini. Budget yang disediakan rumahtangga berasal dari berbagai sumber pendapatan, diantaranya pendapatan penjualan sapi. Pendapatan ini cukup berpengaruh terhadap perluasan lahan jagung. Hasil analisis menunjukkan luas lahan garapan jagung juga tidak responsif terhadap pendapatan penjualan sapi. Kenyataan di atas sejalan dengan penelitian Priyanti (2007) yang menunjukkan luas areal lahan padi tidak responsif terhadap jumlah benih padi, jumlah urea, jumlah pestisida dan tenaga kerja keluarga. Selanjutnya Asmarantaka (2007) menyatakan areal padi tidak responsif terhadap harga padi dan pendapatan total, namun responsif terhadap harga urea dan traktor.
7.2. Perilaku Penggunaan Input Produksi Perilaku penggunaan input produksi yang dianalisis untuk Minahasa adalah penggunaan input produksi sapi dan produksi jagung. Penggunaan input produksi sapi hanya satu persamaan struktural yaitu jumlah konsumsi rumput (JRUM). Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007) yang menganalisis blok penggunaan input produksi sapi terdiri dari bakalan ternak sapi, jumlah jerami segar, jumlah konsentrat dan jumlah obat sapi. Dalam penelitian ini jumlah
232
bakalan tidak dianalisis, rumput yang diberikan rumput segar (rumput liar, limbah pertanian dan jagung muda), rumahtangga tidak memberikan konsentrat dan bila ternak sakit diberikan obat-obat tradisional ataupun disuntik apabila ternak sudah parah menurut petani peternak. Penggunaan input produksi jagung terdiri dari tiga persamaan struktural yaitu persamaan jumlah benih jagung (JBJ), jumlah pupuk urea (JPUJ) dan jumlah pupuk TSP (JPTJ). Sedangkan perilaku penggunaan input produksi yang dianalisis untuk Bolaang Mongondow adalah penggunaan input produksi sapi yaitu permintaan rumput. Hasil estimasi perilaku penggunaan input dapat dilihat pada Tabel 38. Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 38, selanjutnya akan dibahas respon masing-masing peubah endogen.
7.2.1. Permintaan Rumput Jumlah permintaan rumput (JRUM) oleh rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga rumput (HRUM), produksi sapi (PROS) dan harga jagung (HJG). Sedangkan jumlah permintaan rumput (JRUM) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga rumput (HRUM), produksi sapi (PROS), penerimaan usaha sapi (RUTS) dan penerimaan kelapa (RUK). Seperti dijelaskan sebelumnya, konsumsi rumput diproxy dari jumlah rumput yang dikonsumsi apabila rumahtangga membeli rumput. Harga rumput baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow diproxy dengan harga rumput di lokasi penelitian yaitu Rp 400 - Rp 500 per kg untuk Minahasa dan Rp 450 - Rp 500 per kg untuk Bolaang Mongondow. Berdasarkan teori produksi, penggunaan input dipengaruhi harga output, harga input produksi tersebut dan harga input lain.
233
Tabel 38. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Penggunaan Input Produksi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Minahasa Variabel
Kode
Parameter Estimasi
Jumlah Rumput JRUM Intersep 6331.25 Harga Rumput HRUM -20.865 Produksi Sapi PROS 7.34073* Harga Jagung HJG 14.9526 Penerimaan UT Sapi RUTS Penerimaan Kelapa RUK Jumlah Benih Jagung JBJ Intersep 36.1388 Harga Benih Jagung HBJ -0.0015* Luas Lahan Jagung LHNJ 38.0107* Biaya Transaksi Jagung BTRJ -0.5089* Jumlah Urea Jagung JPUJ Intersep -4294.4 Harga Pupuk Urea HPUJ -4.6084* Harga Pupuk TSP HPTJ 5.68684* Luas Lahan Jagung LHNJ 148.363* Penerimaan UT Jagung RUTS 3.064E-7 Biaya Transaksi Jagung BTRJ -2.4953* Jumlah TSP Jagung JPTJ Intersep -1545.6 Rasio Harga TSP & RHPTJ -520.83* Harga Jagung Harga Pupuk Urea HPUJ 2.13351 Harga Pupuk KCl HPKJ 0.02106* Luas Lahan Jagung LHNJ 143.953* Total Pengeluaran TP -1.25E-6 Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Elastisitas
Bolaang Mongondow Parameter Estimasi
Elastisitas
-0.49512 0.144143 0.975773 -
1752.0 -0.811 15.753* 0.0002* 0.0001*
-0.027 0.5823 0.2674 0.0515
-0.07285 0.77986 -1.18633
-
-
-23.3719 43.9188 0.55520 0.02156 -1.07546
-
-
-4.55889
-
-
0.35439 0.33516 0.67314 -0.09385
-
-
Hasil estimasi untuk rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa seperti pada Tabel 38 menunjukkan semua tanda peubah yang mempengaruhi permintaan rumput telah sesuai kriteria ekonomi. Peubah harga rumput bertanda negatif artinya naiknya harga rumput menurunkan permintaan
234
rumput sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda positif untuk produksi sapi dan harga jagung berarti naiknya produksi sapi dan harga jagung masing-masing menyebabkan permintaan rumput naik sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan harga rumput dan harga jagung masingmasing berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah permintaan rumput pada taraf nyata 15 persen. Peubah produksi sapi berpengaruh nyata terhadap permintaan rumput. Usaha ternak sapi di Minahasa merupakan usaha sambilan disebabkan rumahtangga tidak memiliki modal yang cukup untuk pembelian input termasuk pembelian rumput. Sehingga naiknya harga rumput menyebabkan rumahtangga berusaha menurunkan permintaan rumput. Walaupun pengaruh harga rumput terhadap permintaan rumput tidak nyata. Rumput yang dikonsumsi berasal dari lokasi kebun, pembelian rumput dilakukan pada waktu tertentu yaitu bila terjadi musim kemarau yang panjang. Selain itu, ternak dipelihara secara tradisional, salah satu ciri adalah ternak sapi dibiarkan merumput dilahan-lahan pertanian. Rumput yang dikonsumsi merupakan rumput yang tumbuh liar ataupun limbah pertanian yang dianggap cukup sebagai konsumsi ternak, namun kualitasnya tidak memenuhi sandar gizi bagi ternak sapi. Biaya transaksi tidak mempengaruhi permintaan rumput. Hal ini disebabkan rumput dibeli dan dibawa oleh penjual rumput, sehingga rumahtangga tidak mengeluarkan biaya transaksi. Apabila harga jagung
meningkat rumahtangga
memilih
menjual
jagungnya. Pendapatan yang diperoleh dialokasikan sebagai pengeluaran kebutuhan pokok. Namun karena sudah menjadi tradisi, sebagian jagung yang ditanam untuk konsumsi ternak, peningkatan harga jagung pengaruhnya sangat kecil bagi permintaan rumput.
235
Semakin tinggi produksi sapi kebutuhan terhadap pakan semakin tinggi. Peningkatan produksi sapi cukup berpengaruh terhadap permintaan rumput. Walaupun ternak dibiarkan merumput sendiri, namun dengan bertambahnya produksi maka ketersediaan rumput semakin tidak mencukupi. Untuk mengatasi hal ini rumahtangga terpaksa meningkatkan permintaan rumput dengan cara beli atau mencari lokasi pertanian yang lebih jauh sebagai tempat merumput sapi. Nilai elastisitas permintaan rumput terhadap peubah harga rumput, produksi sapi dan harga jagung masing-masing lebih kecil satu. Artinya permintaan rumput tidak responsif terhadap harga rumput. Hal ini disebabkan ketersediaan rumput dilahan-lahan pertanian semakin berkurang, apalagi dengan terjadinya musim kemarau yang panjang menyebabkan rumahtangga harus membeli rumput. Sesuai dengan hasil penelitian Priyanti (2007) bahwa jumlah permintaan jerami segar tidak responsif terhadap harga jerami. Semakin banyak produksi sapi kebutuhan rumput semakin meningkat. Namun perubahan permintaan rumput ini tidak responsif terhadap produksi sapi. Di Minahasa konsumsi ternak berasal dari jagung dan limbahnya sehingga pada saat musim tanam rumahtangga belum membeli rumput. Selain itu kebutuhan konsumsi rumput belum menjadi perhatian bagi rumahtangga. Konsumsi rumput seharusnya sekitar 10 persen dari berat badan ternak sapi. Rumahtangga menanam jagung selain sebagai sumber pendapatan juga untuk kebutuhan konsumsi ternak. Kenaikan harga mendorong rumahtangga menjual jagungnya. Namun harga jagung pengaruhnya sangat kecil terhadap permintaan rumput. Permintaan rumput tidak responsif terhadap harga jagung. Rumahtangga masih dapat memanfaatkan rumput liar dan limbah pertanian lain sebagai pakan.
236
Hasil estimasi sesuai Tabel 38 juga menunjukkan semua tanda untuk peubah yang mempengaruhi peubah jumlah permintaan rumput oleh rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow telah sesuai kiteria ekonomi. Harga rumput berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan rumput pada taraf nyata 15 persen. Sedangkan produksi sapi, penerimaan usaha sapi dan penerimaan usaha kelapa masing-masing berpengaruh nyata terhadap jumlah permintaan rumput. Seperti di Minahasa, usaha sapi di Bolaang Mongondow merupakan usaha sambilan dan turun temurun. Rumahtangga tidak memiliki modal yang cukup untuk pembelian input termasuk pembelian rumput. Naiknya harga rumput menyebabkan rumahtangga berusaha menurunkan permintaan rumput. Rumput yang dikonsumsi berasal dari lokasi kebun, sehingga pembelian rumput dilakukan pada waktu tertentu yaitu bila terjadi musim kemarau yang panjang. Selain itu, ternak sapi dipelihara secara tradisional, salah satu ciri adalah ternak sapi dibiarkan merumput dilahan pertanian. Rumput yang dikonsumsi merupakan rumput liar atau limbah pertanian yang dianggap cukup sebagai konsumsi ternak namun kualitasnya tidak memenuhi sandar gizi bagi ternak sapi. Jumlah permintaan rumput tersebut tidak responsif terhadap harga rumput. Seperti di Minahasa, biaya transaksi dianggap tidak mempengaruhi permintaan rumput. Semakin tinggi produksi sapi kebutuhan terhadap pakan semakin tinggi. Naiknya produksi sapi berpengaruh terhadap permintaan rumput. Ternak dibiarkan merumput sendiri, namun bertambahnya produksi menyebabkan ketersediaan
rumput
semakin
tidak
mencukupi.
Rumahtangga
berusaha
meningkatkan permintaan rumput dengan cara beli atau mencari lokasi pertanian yang lebih jauh sebagai tempat merumput sapi. Namun seperti di Minahasa,
237
permintaan rumput tidak responsif terhadap produksi sapi. Hal ini disebabkan kebutuhan konsumsi rumput belum menjadi perhatian bagi rumahtangga. Penerimaan usaha ternak sapi di Bolaang Mongondow sangat menentukan permintaan rumput untuk konsumsi ternak. Dalam melakukan proses produksi, rumahtangga membutuhkan budget. Semakin tinggi penerimaan usaha sapi mendorong rumahtangga menaikkan permintaan input termasuk permintaan rumput. Namun permintaan rumput tersebut tidak responsif terhadap penerimaan usaha sapi. Hal ini disebabkan rumput merupakan makanan utama bagi ternak dan dapat dipenuhi dari rumput-rumput yang tumbuh liar dan limbah pertanian. Penerimaan usaha kelapa merupakan sumber penerimaan utama bagi rumahtangga di Bolaang Mongondow. Penerimaan tersebut dialokasikan selain untuk kebutuhan pokok juga untuk kebutuhan proses produksi usaha sapi. Semakin tinggi penerimaan usaha kelapa, pengaruhnya cukup besar bagi peningkatan permintaan rumput. Namun permintaan rumput tidak responsif terhadap penerimaan usaha kelapa. Fenomena tersebut menunjukkan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow tetap berusaha memenuhi kebutuhan pakan sapi walaupun tidak ada peningkatan pendapatan. Pemenuhan kebutuhan pakan tersebut dilakukan dengan cara ternak sapi dilepas di kebun yang agak jauh.
7.2.2. Permintaan Benih Jagung Jumlah permintaan benih (JBJ) secara bersama-sama dipengaruhi harga benih jagung (HBJ), luas lahan garapan jagung (LHNJ) dan biaya transaksi pada usaha jagung (BTRJ). Priyanti (2007) membangun model permintaan benih padi dipengaruhi pendapatan usahatani, jumlah kredit dan tenaga kerja usahatani padi.
238
Dalam penelitian ini, permintaan input produksi juga dipengaruhi biaya transaksi. Biaya transaksi merupakan biaya yang ditanggung rumahtangga pada saat membeli input dan menjual output. Secara teoritis, biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam berproduksi termasuk keputusan dalam permintaan input. Biaya transaksi mempengaruhi harga yang diterima mengakibatkan penurunan penerimaan sehingga dapat mengurangi budget dalam berproduksi. Hasil estimasi pada Tabel 38 menunjukkan semua tanda peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen permintaan benih telah sesuai kiteria ekonomi. Peubah harga benih jagung dan biaya transaksi pada usaha jagung masing-masing bernilai negatif artinya peningkatan harga benih jagung dan biaya transaksi jagung masing-masing menyebabkan penurunan permintaan benih sebesar nilai estimasi parameternya. Sedangkan peubah luas lahan garapan jagung bernilai positif artinya perluasan lahan garapan jagung menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan benih jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi di Minahasa juga menunjukkan baik peubah harga benih jagung (HBJ), luas lahan jagung (LHNJ) maupun biaya transaksi jagung (BTRJ) masing-masing berpengaruh nyata terhadap permintaan benih jagung pada taraf nyata 15 persen. Sesuai teori ekonomi, naiknya harga input menyebabkan penurunan permintaan input tersebut. Dalam melakukan proses produksi jagung rumahtangga membutuhkan budget, namun rumahtangga mempunyai keterbatasan budget untuk usaha jagung disebabkan pendapatan dialokasikan juga untuk kebutuhan pokok. Apabila terjadi peningkatan harga benih jagung menyebabkan rumahtangga berusaha mengurangi permintaan input tersebut. Sebagian jagung ditanam untuk kebutuhan konsumsi ternak. Rumahtangga berusaha memperluas
239
lahan garapan jagung ataupun menambah periode tanam. Perluasan lahan tersebut berdampak sangat besar terhadap permintaan benih jagung. Peningkatan permintaan benih jagung dibatasi oleh budget yang dimiliki rumahtangga. Tersedianya budget dipengaruhi biaya-biaya yang dikeluarkan mulai dari pembelian input sampai pada proses produksi usaha jagung. Biaya transaksi pembelian input produksi untuk usaha jagung mempengaruhi budget yang tersedia. Semakin tinggi biaya transaksi penjualan jagung maupun biaya transaksi pembelian benih dan pembelian pupuk menyebabkan harga jagung yang diterima rumahtangga semakin kecil sehingga pendapatan semakin kecil. Selanjutnya kenyataan tersebut berdampak cukup besar bagi penurunan permintaan benih jagung. Hal ini disebabkan biaya transaksi mengurangi budget yang tersedia bagi rumahtangga. Nilai elastisitas jumlah permintaan benih jagung terhadap biaya transaksi jagung adalah lebih besar satu, artinya jumlah permintaan benih jagung responsif terhadap biaya transaksi penjualan jagung. Fenomena ini menunjukkan biaya transaksi yang ditanggung rumahtangga sangat mempengaruhi permintaan benih jagung. Peningkatan biaya transaksi langsung direspon rumahtangga untuk menurunkan permintaan benih. Rumahtangga mempunyai keterbatasan budget usahatani sehingga peningkatan biaya transaksi mengurangi budget yang ada. Besarnya nilai elastisitas permintaan benih jagung terhadap peubah harga benihnya maupun luas lahan garapan jagung masing-masing lebih kecil satu. Peubah permintaan benih jagung tidak responsif terhadap peubah harganya. Harga benih berpengaruh tidak nyata terhadap penurunan pembelian benih jagung dan perubahan harga benih tidak langsung direspon rumahtangga di Minahasa untuk
240
menurunkan permintaan benih. Budget yang tersedia terbatas sehingga semakin mahal benih jagung rumahtangga cenderung mengurangi pembeliannya. Sejalan dengan teori ekonomi, harga input berhubungan negatif dengan permintaan input. Di Minahasa jagung ditanam selain sebagai konsumsi ternak juga sebagai sumber pendapatan namun permintaan benih tergantung harganya. Luas garapan jagung sangat berpengaruh terhadap permintaan benih. Fenomena tersebut didorong karena kebutuhan rumahtangga di Minahasa maupun kebutuhan ternak untuk konsumsi rumput. Namun perluasan lahan tidak langsung direspon oleh rumahtangga dengan meningkatkan permintaan benih jagung. Hal ini disebabkan karena keterbatasan budget rumahtangga seperti dijelaskan di atas.
7.2.3. Permintaan Pupuk Urea Jumlah permintaan pupuk urea (JPUJ) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga pupuk urea (HPUJ), harga pupuk TSP (HPTJ), luas lahan garapan jagung (LHNJ), penerimaan usaha sapi (RUTS) dan biaya transaksi jagung (BTRJ). Seperti Bakir (2007) dan Asmarantaka (2007) memasukkan peubah harga urea dan luas lahan dalam model persamaan permintaan urea. Dalam membangun model, Priyanti (2007) tidak memasukkan variabel harga urea untuk padi. Penerimaan usaha sapi mempengaruhi permintaan pupuk urea untuk jagung. Hal ini sejalan dengan penelitian Bakir (2007), Asmarantaka (2007 dan Priyanti (2007) yang memasukkan pendapatan dalam model permintaan input. Penelitian ini memasukkan biaya transaksi dalam usaha jagung dengan anggapan, biaya transaksi dapat mengurangi budget rumahtangga sehingga secara langsung dapat mempengaruhi permintaan pupuk urea.
241
Hasil estimasi pada Tabel 38 menunjukkan semua tanda peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen permintaan pupuk urea telah sesuai dengan kriteria ekonomi. Harga pupuk urea dan biaya transaksi usaha jagung bernilai negatif. Artinya naiknya harga pupuk urea dan biaya transaksi usaha jagung masing-masing dapat menurunkan permintaan input pupuk urea untuk jagung. Hasil ini sesuai dengan teori produksi, semakin tinggi harga input ada kecenderungan rumahtangga menurunkan permintaan input tersebut. Selanjutnya, biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam berproduksi. Sedangkan harga pupuk TSP, luas lahan jagung dan penerimaan usaha sapi bernilai positif. Artinya peningkatan peubah harga pupuk TSP, luas lahan garapan jagung dan penerimaan usaha sapi masing-masing menyebabkan peningkatan permintaan pupuk urea untuk jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan peubah harga pupuk urea, harga pupuk TSP, luas lahan garapan jagung dan biaya transaksi penjualan jagung masingmasing berpengaruh nyata terhadap permintaan pupuk urea pada taraf nyata 15 persen. Semakin tinggi harga urea berpengaruh cukup besar bagi rumahtangga untuk mengurangi permintaan urea. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dana yang ada. Secara teori ekonomi produksi, permintaan input juga dipengaruhi harga input lain. Harga pupuk TSP cukup berpengaruh bagi permintaan pupuk urea. Pupuk TSP dapat mensubstitusi penggunaan pupuk urea, walaupun secara teori kedua pupuk tersebut tidak saling substitusi karena masing-masing mempunyai manfaat yang berbeda. Ekspansi lahan garapan jagung sangat mempengaruhi permintaan pupuk urea. Bila rumahtangga siap melakukan ekspansi konsekuensinya rumahtangga
242
juga harus menaikkan permintaan pupuk untuk peningkatan produksi jagung. Biaya
transaksi
sangat
mempengaruhi
rumahtangga
untuk
menurunkan
permintaan urea. Fenomena yang sama dengan perilaku permintaan input lain, biaya transaksi menyebabkan harga yang diterima semakin kecil akibatnya penerimaan semakin kecil sehingga budget semakin kecil. Dalam menghadapi biaya transaksi yang semakin tinggi rumahtangga cenderung mengurangi permintaan pupuk urea. Peubah penerimaan usaha sapi di Minahasa berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan pupuk urea. Dalam proses produksi usaha jagung penggunaan pupuk urea sudah tertentu untuk luas lahan tertentu. Peningkatan pendapatan usaha sapi pengaruhnya kecil terhadap permintaan pupuk urea. Besarnya nilai elastisitas peubah jumlah permintaan pupuk urea terhadap peubah harga pupuk urea, harga pupuk TSP dan biaya transaksi penjualan jagung masing-masing lebih besar satu. Artinya, peubah jumlah permintaan pupuk responsif terhadap masing-masing harga pupuk urea, harga pupuk TSP dan biaya transaksi penjualan jagung. Peningkatan biaya transaksi langsung direspon rumahtangga dengan mengurangi permintaan pupuk urea pada usaha jagung. Harga urea berpengaruh terhadap permintaan urea untuk usaha jagung. Hal ini ditunjang dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa peningkatan harga urea langsung direspon rumahtangga petani peternak sapi dengan penurunan permintaan urea pada usaha jagung. Berbeda dengan penelitian Asmarantaka (2007) yang melaporkan permintaan urea tidak responsif terhadap harganya. Kenyataan di lapangan menunjukkan pola usaha jagung selain bergilir juga tumpangsari dengan tanaman kacang-kacangan. Tanaman kacang-kacangan
243
tersebut diantaranya kacang merah, kacang tanah dan kacang hijau. Tanaman kacang-kacangan memproduksi unsur hara N di dalam tanah sehingga dapat mensubstitusi penggunaan pupuk urea. Nilai elastisitas peubah jumlah permintaan pupuk terhadap luas lahan jagung dan penerimaan yang bersumber dari usaha sapi besarnya masing-masing lebih kecil satu. Artinya, jumlah permintaan pupuk tidak responsif terhadap luas lahan garapan jagung dan penerimaan usaha sapi. Hasil ini sejalan dengan penelitian Bakir (2007) dan Priyanti (2007) yang menyatakan permintaan pupuk urea untuk usahatani padi tidak responsif terhadap pendapatan usahatani. Berbeda dengan hasil penelitian Asmarantaka (2007), bahwa permintaan urea responsif terhadap luas lahan padi.
7.2.4. Permintaan Pupuk TSP Permintaan pupuk TSP (JPTJ) dalam penelitian ini secara bersama-sama dipengaruhi rasio harga pupuk TSP dan harga jagung (RHPTJ), harga pupuk urea (HPUJ), harga pupuk KCl (HPKJ), luas lahan jagung (LHNJ) dan total pengeluaran (TP). Harga pupuk TSP sebagai variabel yang mempengaruhi jumlah permintaan input di Minahasa, dalam penelitian ini di proxy dengan rasio harga pupuk TSP dan harga penjualan jagung. Asmarantaka (2007) dalam penelitiannya menyatakan permintaan pupuk TSP untuk padi dipengaruhi harga TSP, areal padi, nilai input lain dan investasi alat-alat pertanian. Hasil estimasi Tabel 38 menunjukkan semua tanda untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen jumlah TSP telah sesuai kriteria ekonomi. Perubahan rasio harga pupuk TSP dan harga jagung maupun total pengeluaran
244
rumahtangga bernilai negatif. Artinya peningkatan rasio harga dan total pengeluaran rumahtangga masing-masing dapat menyebabkan penurunan permintaan TSP sebesar nilai estimasi parameternya. Sedangkan tiga peubah lain harga urea, harga KCl dan luas lahan jagung yang mempengaruhi permintaan TSP bernilai positif. Artinya peningkatan harga urea, harga KCl dan luas lahan garapan jagung masing-masing dapat menyebabkan peningkatan permintaan TSP sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan rasio harga TSP dan harga jagung, harga KCl dan luas lahan jagung masing-masing berpengaruh nyata terhadap permintaan TSP pada taraf nyata 15 persen. Harga urea dan total pengeluaran masing-masing berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan TSP. Seperti telah dijelaskan di atas, secara teori harga input mempengaruhi permintaan input tersebut. Kenyataan di lapang menunjukkan rasio harga TSP dan harga jagung berdampak terhadap penurunan permintaan TSP. Rumahtangga mempunyai keterbatasan budget, dengan budget tertentu rumahtangga cenderung menurunkan permintaan input bila harga input tersebut naik. Harga KCL berdampak sangat besar terhadap permintaan TSP. Walaupun secara biologi hal ini tidak rasional, namun kenyataan di lapang rumahtangga cenderung meningkatkan permintaan TSP apabila harga KCl meningkat. Hal ini disebabkan keterbatasan budget bagi rumahtangga. Sejalan dengan teori ekonomi produksi, peningkatan harga suatu input cenderung mengakibatkan peningkatan permintaan input yang lain. Luas lahan garapan jagung sangat mempengaruhi permintaan pupuk TSP. Rumahtangga akan menyediakan budget yang cukup untuk perluasan lahan usaha
245
jagung atau penambahan periode tanam, dengan demikian permintaan input produksi akan terpenuhi. Rumahtangga cenderung meningkatkan permintaan pupuk TSP sebagai input apabila lahan yang digunakan untuk proses produksi usaha jagung semakin besar. Selanjutnya harga input urea mempengaruhi permintaan pupuk TSP. Semakin tinggi harga pupuk urea menyebabkan rumahtangga
cenderung
meningkatkan
permintaan
pupuk
TSP.
Namun
pengaruhnya cukup kecil. Bila ditinjau berdasarkan teori biologi hal ini tidak bisa terjadi karena pupuk P tidak bisa disubstitusi dengan pupuk N. Namun kenyataan di lapang menunjukkan sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi memberikan pupuk dengan tujuan meningkatkan produksi tetapi tidak memperhitungkan berapa standar kebutuhan masing-masing pupuk untuk sekian hektar lahan. Pada kondisi budget yang tersedia sangat terbatas, naiknya total pengeluaran rumahtangga menyebabkan terjadinya penurunan permintaan pupuk TSP, namun pengaruhnya cukup kecil. Besarnya nilai elastisitas permintaan TSP terhadap peubah harga permintaan urea, permintaan KCl, luas lahan jagung dan total pengeluaran masing-masing lebih kecil satu. Artinya permintaan TSP tidak responsif terhadap masing-masing peubah harga urea, harga KCl, luas lahan garapan jagung maupun total pengeluaran. Sedangkan nilai elastisitas permintaan TSP terhadap peubah rasio harga TSP dan harga jagung bernilai lebih besar satu. Hal ini menunjukkan permintaan TSP responsif terhadap peubah rasio harga TSP dan harga jagung. Sejalan dengan penelitian Asmarantaka (2007) yang menyatakan permintaan TSP untuk padi responsif terhadap harga pupuk tersebut. Namun menurut Bakir (2007) dan Priyanti (2007), permintaan pupuk P (TSP) tidak responsif terhadap harganya.
246
Permintaan TSP sangat responsif terhadap rasio harga pupuk dan harga jagung. Hal ini disebabkan keterbatasan budget yang ada sehingga naiknya rasio harga TSP dan harga jagung langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan pemakaian TSP. Rumahtangga tidak memperhatikan standar kebutuhan pemakaian TSP dalam satu lahan tertentu. Sejalan dengan teori ekonomi produksi, permintaan input berhubungan negatif dengan harga input tersebut. Budget yang dimiliki rumahtangga sangat mempengaruhi permintaan input. Keterbatasan budget menyebabkan naiknya harga urea tidak langsung direspon rumahtangga dengan menaikkan TSP. Secara biologi hal ini rasional karena masing-masing jenis pupuk berbeda standar kebutuhannya untuk lahan tertentu. Selain itu urea tidak bisa disubstitusi dengan TSP. Permintaan TSP juga tidak responsif terhadap harga KCl, hal ini disebabkan sebagian besar rumahtangga tidak memperhatikan penggunaan KCl, penggunaan TSP sudah tertentu. Artinya walaupun harga KCl berdampak sangat besar terhadap naiknya permintaan TSP, namun kenaikan harga KCl tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan permintaan TSP. Permintaan TSP tidak responsif terhadap luas lahan garapan jagung. Walaupun perluasan lahan berdampak sangat besar terhadap permintaan TSP, namun perluasan lahan tersebut tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan permintaan TSP. Kenyataan ini dapat dilihat bahwa sebagian rumahtangga tidak menggunakan TSP dalam usaha jagung. Permintaan pupuk TSP tidak responsif terhadap pengeluaran rumahtangga. Hal ini disebabkan permintaan pupuk sudah tertentu, sehingga peningkatan pengeluaran rumahtangga tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan permintaan pupuk.
247
7.3. Perilaku Penggunaan Input Tenaga Kerja Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini baik bagi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa maupun Bolaang Mongondow, dibagi ke dalam penawaran tenaga kerja dan permintaan tenaga kerja. Penawaran dan permintaan tenaga kerja dihitung berdasarkan jam kerja per hari selama satu tahun. Sejalan dengan Kusnadi (2005), Asmarantaka (2007) dan Priyanti (2007), namun berbeda dengan penelitian Muhammad (2002) dan Bakir (2007), yang menggunakan hari orang kerja (HOK per tahun). Perilaku penggunaan tenaga kerja rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dianalisis untuk penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi, usaha jagung, usahatani orang lain (buruh tani) dan tenaga ternak sapi di lahan usaha jagung. Juga analisis permintaan tenaga kerja pada usaha jagung. Tenaga kerja keluarga pada usaha sapi hanya terdapat satu persamaan struktural yaitu tenaga kerja keluarga (TKDS). Hal ini disebabkan usaha sapi hanya merupakan usaha sambilan sehingga rumahtangga tidak menggunakan tenaga kerja sewa. Seperti penelitian Priyanti (2007), rumahtangga di Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur tidak menggunakan tenaga kerja sewa dalam usaha ternaknya. Perilaku penggunaan tenaga kerja di Bolaang Mongondow dianalisis untuk penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi, usaha kelapa, usahatani orang lain (buruh tani) dan tenaga ternak sapi pada usaha kelapa. Juga analisis permintaan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa. Tenaga kerja keluarga pada usaha sapi di Bolaang Mongondow juga hanya terdapat satu persamaan struktural yaitu tenaga kerja keluarga usaha sapi (TKDS).
248
Tenaga kerja dalam usaha jagung di Minahasa terdiri dari tiga persamaan struktural yaitu persamaan tenaga keluarga (TKDJ), tenaga kerja sewa (TKLJ) dan tenaga ternak sapi untuk lahan jagung (TKSJ). Terdapat satu persamaan struktural untuk curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (CTDUO). Demikian pula di Bolaang Mongondow tenaga kerja dalam usaha kelapa terdiri dari tiga persamaan struktural yaitu persamaan tenaga kerja keluarga (TKDK), tenaga kerja sewa (TKLK) dan tenaga ternak sapi untuk lahan kelapa (TKSK). Terdapat satu persamaan struktural untuk curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (CTDUO). Hasil estimasi perilaku penggunaan input produksi dan input tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 39. Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 39, selanjutnya akan dibahas respon masing-masing variabel endogen.
7.3.1. Penawaran Tenaga Kerja Keluarga Untuk Sapi Penawaran tenaga keluarga pada usaha ternak (TKDS) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (CTDUO) dan biaya sarana produksi sapi (BSPS). Model yang dibangun Priyanti (2007) menunjukkan tenaga kerja keluarga pada usaha ternak sapi dipengaruhi oleh tenaga kerja keluarga pada usahatani padi, curahan kerja keluarga, umur, upah tenaga kerja dan pengeluaran rumahtangga. Hasil estimasi menunjukkan semua tanda estimasi peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja keluarga usaha sapi di Minahasa telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah bayangan tenaga kerja adalah positif. Artinya naiknya upah bayangan menyebabkan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi naik sebesar nilai estimasi parameternya.
249
Tabel 39. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Penggunaan Input Tenaga Kerja Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Minahasa Variabel
Kode
Parameter Estimasi
TK Kel utk UT Sapi TKDS Intersep 415.571 Upah Bayangan TK UTKB 0.00031 Curahan Kerja Kel CTDUO -0.0171* Biaya Sarana Prod Sapi BSPS 0.00002* TK Kel utk Kelapa TKDK Produksi Sapi PROS TK Kel utk Jagung/ TKDJ Kelapa Intersep -1064.6 Upah Bayangan TK UTKB 0.38250* TK Kel utk UT Sapi TKDS -0.0174 TK Luar utk Jagung TKLJ -2.6932* Produksi Jagung PROJ 0.00007 Biaya Sarana Prod Jag BSPJ 0.00011* TK Luar utk Kelapa TKLK Produksi Kopra PROK TK Luar utk Jagung/ TKLJ Kelapa Intersep 217.038 Upah Bayagan TK UTKB -0.0353 TK Kel utuk Jagung TKDJ -0.1257* Pengeluaran utk Kons TP1 -6.55E-7 Pangan & Invest SDM Penerimaan Penj Sapi RUTSJ 1.65E-6* Surplus Pasar Jagung SPJ 0.00017* Produksi Kelapa PROB Jumlah Angkatan Kerja JAKK Curahan Kerja Kel CTDUO TK Sapi utk Jagung/ TKSJ Kelapa Intersep -946.32 Upah Bay Sewa Sapi USSB 0.16673* TK Luar utk Jagung TKLJ -0.0386 TK Kel utk UT Jagung TKDJ 0.06581* Luas Lahan Jagung LHNJ 32.1804* Surplus Pasar Kelapa SPK Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Elastisitas
Bolaang Mongondow Parameter Estimasi
Elastisitas
0.0058 -0.0340 0.2745 -
-6437.8 2.1697* -0.670* 0.1067*
14.809 -0.1557 0.1159
2.7279 -0.0376 -0.3739 0.0020 0.2576 -
-6.2339 0.0282* -0.1986* -0.0985* 0.0111*
2.0052 -0.8541 -0.3107 0.2166
-0.8620 -0.4567 -0.0620
6729.34 -2.0071* -
-19.812 -
0.1816 0.0155 -
0.0003* -6.8181 0.00901
0.0003 -0.0108 0.0062
0.8965 -0.0161 0.0501 0.0021 -
16.3798 0.00036 0.0001*
0.9138 0.0795
250
Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi yang menunjukkan naiknya upah tenaga kerja menyebabkan produsen (dalam penelitian ini rumahtangga) cenderung menaikkan penawaran tenaga kerja. Apabila biaya transaksi naik, upah bayangan naik mengakibatkan rumahtangga cenderung menaikkan jam kerja keluarga untuk usaha sapi. Dalam hal ini biaya transaksi mempengaruhi penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi. Sejalan dengan teori, biaya transaksi dapat mempengaruhi pasar tenaga kerja. Lanzona and Everson (1997) mengukur pengaruh biaya transaksi penjualan beras terhadap partisipasi pasar tenaga kerja dan upah yang diperoleh. Pasar tenaga kerja menurut Evenson et al., (2000) adalah tergantung pada biaya transaksi. Selanjutnya Jaleta and Gardebroek (2007) menjelaskan keputusan alokasi tenaga kerja dengan memperhitungkan ketidaksempurnaan pasar yang disebabkan adanya biaya transaksi. Biaya transaksi dapat mempengaruhi upah tenaga kerja yang berlaku, dengan biaya transaksi semakin tinggi berarti upah yang dibayarkan rumahtangga akan meningkat. Upah bayar rumahtangga dalam penelitian ini dinyatakan sebagai upah bayangan. Apabila biaya transaksi meningkat maka upah bayangan naik mengakibatkan rumahtangga cenderung meningkatkan
jam
kerja
keluarga
untuk
usaha
sapi.
Biaya
transaksi
mempengaruhi penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak sapi. Berdasarkan hasil penelitian, rumahtangga dalam melakukan proses produksi sapi tidak menggunakan tenaga kerja sewa. Hal ini disebabkan karena ternak sapi dipelihara secara tradisional dan hanya sebagai usaha sambilan. Ratarata pemilikan ternak sapi sebesar 6 ekor untuk setiap rumahtangga, dengan demikian jam kerja pemeliharaan ternak sapi sudah tertentu dan cenderung
251
memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan di atas sebagai penunjang bagi rumahtangga menambah jam kerja keluarga untuk usaha ternak sapi bila terjadi peningkatan biaya transaksi. Tanda peubah biaya sarana produksi juga positif. Artinya peningkatan biaya sarana produksi menyebabkan peningkatan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Tersedianya budget tertentu menyebabkan peningkatan biaya sarana produksi akan menjadi kendala bagi rumahtangga. Kenyataan ini menunjukkan, apabila biaya sarana produksi meningkat, rumahtangga cenderung menambah jam kerja keluarga. Peubah curahan kerja keluarga sebagai buruh tani bernilai negatif. Artinya naiknya curahan kerja keluarga sebagai buruh tani menyebabkan penurunan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Rumahtangga dalam rangka memaksimumkan utilitasnya berusaha meningkatkan pendapatan. Pendapatan tersebut diantaranya bersumber dari pekerjaan buruh tani. Rumahtangga akan menambah jam kerja sebagai buruh tani untuk memperoleh pendapatan yang lebih banyak. Fenomena ini menyebabkan rumahtangga cenderung mengurangi jam kerja untuk usaha sapi. Sejalan dengan Priyanti (2007) yang menyatakan penambahan jam kerja sebagai buruh tani menyebabkan rumahtangga cenderung menurunkan jam kerja untuk usaha sapi. Hasil estimasi juga menunjukkan peubah upah bayangan tenaga kerja berpengaruh tidak nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi di Minahasa. Seperti dijelaskan di atas, usaha ternak sapi merupakan usaha sambilan yang dicirikan diantaranya dikelola oleh rumahtangga dan setiap rumahtangga hanya memelihara beberapa ekor sehingga dinyatakan sebagai usaha
252
ternak sapi rakyat. Bila terjadi peningkatan biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi. Hal ini disebabkan jam kerja yang dialokasikan untuk usaha sapi sudah tertentu. Peubah curahan tenaga kerja sebagai buruh tani berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja untuk sapi. Rumahtangga membutuhkan budget untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut rumahtangga berusaha mengalokasikan tenaga kerja sebagai buruh tani. Semakin tinggi kebutuhan rumahtangga maka jam kerja sebagai buruh tani cenderung meningkat. Apabila jam kerja sebagai buruh tani meningkat pengaruhnya besar terhadap penawaran tenaga kerja pada usaha sapi. Rumahtangga menurunkan jam kerja pada usaha ternak sapi dengan cara mencari lokasi yang lebih dekat untuk mengikat ternak sapi dan ternak dibiarkan merumput sendiri di lahan pertanian. Peubah biaya sarana produksi juga berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja. Apabila terjadi kenaikan biaya produksi akan menyebabkan jam kerja untuk proses produksi usaha sapi meningkat. Hal ini dilakukan rumahtangga untuk menghindari peningkatan biaya produksi karena keterbatasan budget. Fenomena tersebut pengaruhnya sangat besar bagi rumahtangga untuk menambah jam kerja pada usaha sapi. Alokasi kerja rumahtangga dalam usaha sapi diantaranya untuk mencari rumput sebagai pakan. Naiknya harga rumput dapat meningkatkan biaya sarana produksi sapi. Untuk menghindari hal ini, rumahtangga menambah jam kerja mencari rumput di lokasi yang lebih jauh. Nilai elastisitas penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi terhadap semua peubah yang mempengaruhinya yaitu upah bayangan tenaga kerja, curahan tenaga kerja keluarga untuk usahatani orang lain dan biaya sarana
253
produksi sapi masing-masing lebih kecil satu. Fenomena ini menunjukkan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi tidak responsif terhadap masingmasing upah bayangan tenaga kerja, curahan kerja sebagai buruh tani maupun biaya sarana produksi. Sejalan dengan analisis Priyanti (2007), bahwa penggunaan tenaga kerja keluarga untuk sapi diantaranya tidak responsif terhadap upah tenaga kerja. Usaha ternak sapi sebagai usaha sambilan sehingga jam kerjanya sudah tertentu. Naiknya biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan menambah jam kerja keluarga untuk usaha sapi, dengan kata lain dampak peningkatan biaya transaksi terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi sangat kecil. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi tidak responsif terhadap curahan kerja keluarga sebagai buruh tani. Walaupun rumahtangga membutuhkan pendapatan untuk memaksimumkan utilitasnya namun rumahtangga tidak cepat merespon dengan menurunkan jam kerja pada usaha sapi. Hal ini disebabkan alokasi jam kerja keluarga untuk usaha sapi sudah tertentu diantaranya untuk memindahkan ternak dari satu lokasi ke lokasi lainnya, mencari rumput maupun memandikan ternak. Hasil analisis Priyanti (2007) menunjukkan penggunaan tenaga kerja keluarga untuk sapi diantaranya tidak responsif terhadap curahan kerja keluarga. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi tidak responsif terhadap biaya sarana produksi sapi. Seperti telah dijelaskan di atas, rumahtangga mempunyai budget tertentu untuk digunakan dalam usaha sapi. Budget tersebut dialokasikan untuk biaya rumput, biaya obat, biaya pejantan dan biaya jagung. Walaupun kenaikan biaya-biaya tersebut dampaknya cukup besar terhadap penawaran tenaga
254
kerja keluarga pada usaha sapi namun rumahtangga tidak langsung merespon dengan menaikkan jam kerja untuk usaha sapi. Hal ini disebabkan jam kerja pada usaha sapi sudah tertentu. Apabila faktor-faktor lain tetap, kegiatan dalam usaha sapi tidak langsung berubah dengan berubahnya biaya sarana produksi. Penawaran tenaga kerja untuk usaha ternak sapi (TKDS) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan (UTKB), tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa (TKDK) dan produksi sapi (PROS). Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja keluarga untuk sapi telah sesuai kriteria ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian di Bolaang Mongondow, rumahtangga dalam melakukan proses produksi sapi juga tidak menggunakan tenaga kerja sewa. Hal ini disebabkan karena sapi dipelihara secara tradisional dan hanya sebagai usaha sambilan. Rata-rata pemilikan sapi hanya sebesar 3.93 ekor untuk masing-masing rumahtangga. Jam kerja pemeliharaan sapi sudah tertentu dan cenderung memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan di atas sebagai penunjang bagi rumahtangga petani menambah jam kerja keluarga untuk usaha sapi bila terjadi peningkatan biaya transaksi. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi sangat responsif terhadap upah bayangan tenaga kerja. Biaya transaksi yang tinggi dapat mengurangi budget rumahtangga. Untuk itu rumahtangga petani peternak berusaha meningkatkan penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi. Faktor lain yang sangat mempengaruhi penawaran tenaga kerja keluarga usaha sapi di Bolaang Mongondow adalah penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha kelapa. Semakin tinggi penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa
255
menyebabkan semakin berkurang penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi. Fenomena tersebut sesuai dengan teori ekonomi, bahwa penawaran tenaga kerja keluarga suatu usahatani tertentu saling bersubstitusi dengan tenaga kerja keluarga usahatani lain. Hal ini disebabkan biaya produksi pada usaha kelapa sangat tinggi sehingga rumahtangga berusaha meningkatkan tenaga kerja keluarga dalam usaha kelapa dengan cara mengurangi penawaran tenaga kerja dalam usaha sapi. Walaupun penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa. Hal ini disebabkan alokasi tenaga kerja keluarga untuk setiap usahatani sudah tertentu. Produksi sapi berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi. Artinya produksi sapi semakin banyak mengakibatkan kebutuhan jam kerja keluarga untuk ternak sapi semakin meningkat. Walaupun penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi tidak responsif terhadap produksi sapi tersebut. Hal ini disebabkan tenaga kerja keluarga sudah tertentu.
7.3.2. Penawaran Tenaga Kerja Keluarga Untuk Jagung Penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung (TKDJ) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi (TKDS), tenaga kerja luar keluarga untuk usaha jagung (TKLJ), produksi jagung (PROJ) dan biaya sarana produksi jagung (BSPJ). Model yang dibangun peneliti lain untuk tanaman pangan padi berbeda dengan model penelitian ini. Asmarantaka (2007) menganalisis pengaruh luas lahan padi, pendapatan dan jumlah keluarga terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk padi. Sedangkan Priyanti (2007) menganalisis pengaruh upah,
256
tenaga kerja keluarga untuk sapi, curahan kerja sebagai buruh tani dan pengeluaran rumahtangga terhadap penggunaan tenaga kerja keluarga untuk padi. Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja keluarga pada usaha jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah bayangan tenaga kerja adalah positif. Artinya naiknya upah bayangan tenaga kerja menyebabkan naiknya penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Fenomena ini sesuai teori ekonomi yang menunjukkan peningkatan upah tenaga kerja menyebabkan produsen (dalam penelitian ini rumahtangga) cenderung meningkatkan penawaran tenaga kerja. Peningkatan upah bayangan tersebut disebabkan adanya peningkatan biaya transaksi. Naiknya biaya transaksi menyebabkan rumahtangga cenderung meningkatkan jam kerja pada usaha jagung. Kenyataan ini disebabkan rumahtangga mempunyai keterbatasan budget. Naiknya biaya transaksi menyebabkan rumahtangga cenderung meningkatkan jam kerja keluarga untuk meminimumkan biaya tenaga kerja. Peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi mempunyai tanda negatif. Artinya naiknya tenaga kerja keluarga untuk sapi menyebabkan terjadinya penurunan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha jagung. Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi, penawaran tenaga kerja keluarga pada usahatani tertentu bersubstitusi dengan tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain. Sejalan dengan hasil analisis Priyanti (2007), bahwa peningkatan tenaga kerja keluarga pada usaha sapi menyebabkan turunnya tenaga kerja keluarga untuk usaha padi. Peubah permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung mempunyai tanda negatif. Artinya naiknya tenaga kerja luar keluarga menyebabkan terjadinya
257
penurunan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Seperti peubah tenaga kerja keluarga untuk sapi, fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi, permintaan tenaga kerja luar keluarga pada usaha jagung bersubstitusi dengan tenaga kerja keluarga untuk usahatani tersebut. Tanda peubah produksi jagung adalah positif. Artinya setiap peningkatan produksi jagung menyebabkan naiknya penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Kegiatan tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung seperti pengolahan lahan, tanam, penyiangan dan penjemuran. Anggota rumahtangga dapat menambah jam kerjanya untuk penjemuran apabila produksi jagung meningkat. Berdasarkan hasil analisis tanda peubah biaya sarana produksi jagung adalah positif. Artinya penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung meningkat dengan
meningkatnya
biaya
sarana
produksi
jagung.
Sebagai
upaya
memininumkan biaya produksi usaha jagung, anggota rumahtangga akan menambah jam kerjanya agar tidak menyewa tenaga kerja luar bila terjadi peningkatan biaya sarana produksi. Hasil estimasi juga menunjukkan upah bayangan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Fenomena ini menunjukkan biaya transaksi mempunyai dampak yang besar terhadap peningkatan jam kerja keluarga. Semakin tinggi biaya transaksi maka upah bayangan semakin tinggi menyebabkan alokasi tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung semakin tinggi. Kenyataan tersebut terjadi dalam rangka rumahtangga memininumkan biaya produksi.
258
Tenaga kerja luar keluarga untuk jagung berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Ternyata peningkatan tenaga kerja sewa sangat berpengaruh bagi rumahtangga untuk menurunkan jam kerja keluarga pada usaha jagung. Fenomena ini disebabkan beberapa hal diantaranya rumahtangga mempunyai budget yang cukup untuk membayar upah. Selain itu, panen jagung dilakukan secara gotong royong sesama petani dan diberikan upah. Tenaga kerja sewa kebanyakan untuk kegiatan penyiangan dan panen jagung. Peubah biaya sarana produksi jagung berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Adanya keterbatasan budget menyebabkan rumahtangga berusaha menambah jam kerjanya dan dampaknya cukup besar. Rumahtangga petani peternak sapi dalam melakukan proses produksi berusaha meminimumkan biaya sarana produksi. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi berpengaruh tidak nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung. Hal ini disebabkan jam kerja pada usaha jagung sudah tertentu sehingga peningkatan tenaga kerja keluarga untuk sapi pengaruhnya cukup kecil terhadap penurunan jam kerja keluarga pada usaha jagung. Sesuai hasil analisis produksi jagung berpengaruh tidak nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung. Hal ini disebabkan peningkatan produksi jagung cukup kecil karena lahan yang ada sudah tertentu sehingga dampaknya juga kecil terhadap peningkatan jam kerja keluarga untuk jagung. Besarnya nilai elastisitas peubah penawaran tenaga kerja keluarga terhadap peubah upah bayangan lebih besar satu. Artinya penawaran tenaga kerja
259
keluarga responsif terhadap peubah biaya transaksi. Hal ini disebabkan keterbatasan budget sehingga rumahtangga berusaha meminimumkan biaya produksi untuk sewa tenaga kerja. Naiknya upah tenaga kerja yang disebabkan peningkatan biaya transaksi langsung direspon rumahtangga untuk meningkatkan jam kerja keluarga pada usaha jagung. Secara teori, biaya transaksi mempengaruhi pasar tenaga kerja (Lanzona and Everson, 1997). Semakin tinggi biaya transaksi, upah semakin tinggi menyebabkan penawaran tenaga kerja semakin bertambah. Berbeda dengan analisis Priyanti (2007) yang menyatakan bahwa penggunaan tenaga kerja keluarga untuk padi tidak responsif terhadap upah tenaga kerja. Nilai elastisitas penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung terhadap empat peubah lain yang mempengaruhinya yaitu tenaga kerja keluarga untuk sapi, permintaan tenaga kerja sewa untuk jagung, produksi jagung dan biaya sarana produksi jagung masing-masing lebih kecil satu. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja untuk sapi. Hal ini disebabkan penambahan jam kerja keluarga untuk sapi cukup kecil sehingga tidak langsung direspon rumahtangga untuk menurunkan jam kerja keluarga pada usaha jagung. Selain itu jam kerja keluarga pada usaha jagung sudah tertentu. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja sewa untuk jagung. Hal ini disebabkan rumahtangga masih dapat menyediakan tenaga kerja keluarga dan jam kerjanya sudah tertentu, sehingga peningkatan tenaga kerja sewa tidak langsung direspon dengan penurunan jam kerja keluarga untuk jagung. Sesuai analisis, penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap produksi jagung. Artinya produksi jagung mempunyai dampak
260
yang kecil terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung. Hal ini disebabkan tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk berbagai kegiatan usahatani maupun luar usahatani sehingga jam kerja untuk usaha jagung sudah tertentu. Fenomena tersebut menyebabkan peningkatan produksi jagung tidak langsung direspon rumahtangga dengan menaikkan jam kerja keluarganya. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap biaya sarana produksi jagung. Artinya peningkatan biaya sarana produksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan tenaga kerja keluarga. Seperti dijelaskan di atas, tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk berbagai kegiatan dan jam kerja sudah tertentu.
7.3.3. Penawaran Tenaga Kerja Keluarga Untuk Kelapa Penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha kelapa (TKDK) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi (TKDS), tenaga kerja luar keluarga untuk usaha kelapa (TKLK) dan produksi kopra (PROK). Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubahpeubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja keluarga pada usaha jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah bayangan tenaga kerja adalah positif. Artinya apabila biaya transaksi meningkat maka rumahtangga cenderung meningkatkan jam kerja untuk usaha kelapa. Kegiatan rumahtangga dalam usaha kelapa diantaranya kumpul kelapa, kupas, pembuatan kopra dan angkut kelapa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, biaya transaksi yang terjadi pada usaha kelapa yaitu biaya transpor penjualan
261
kopra dan biaya penyimpanan kopra. Biaya transaksi ini dapat mempengaruhi upah yang dibayar rumahtangga. Disisi lain rumahtangga mempunyai keterbatasan budget. Naiknya biaya transaksi menyebabkan rumahtangga cenderung meningkatkan jam kerja keluarga untuk meminimumkan biaya produksi. Ternyata, penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa sangat responsif terhadap upah bayangan tenaga kerja yang disebabkan karena biaya transaksi. Semakin tinggi biaya transaksi, upah bayangan semakin tinggi menyebabkan alokasi tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa semakin tinggi. Peubah penawaran tenaga kerja untuk sapi mempunyai tanda negatif. Artinya peningkatan tenaga kerja keluarga untuk sapi menyebabkan terjadinya penurunan penawaran tenaga kerja pada usaha kelapa dan pengaruhnya sangat besar. Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa penawaran tenaga kerja pada usahatani tertentu bersubstitusi dengan tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain. Sejalan dengan hasil analisis Priyanti (2007), bahwa peningkatan tenaga kerja keluarga pada usaha sapi menyebabkan penurunan tenaga kerja keluarga untuk usahatani padi. Namun penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi. Hal ini disebabkan jam kerja pada usaha kelapa sudah tertentu. Rumahtangga menyewa tenaga kerja untuk panjat kelapa, kumpul, kupas, pembuatan kopra dan angkut. Peubah permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk kelapa mempunyai tanda negatif. Artinya peningkatan tenaga kerja sewa menyebabkan terjadinya penurunan penawaran tenaga kerja pada usaha kelapa sebesar nilai estimasi parameternya. Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa permintaan tenaga kerja sewa pada suatu usahatani bersubstitusi dengan
262
tenaga kerja keluarga untuk usahatani tersebut. Penawaran tenaga kerja tidak responsif terhadap permintaan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa. Hal ini disebabkan tenaga kerja sewa sudah tertentu terutama untuk panjat kelapa. Tanda peubah produksi kopra adalah positif. Artinya naiknya produksi kopra menyebabkan penawaran tenaga kerja untuk usaha kelapa naik sebesar nilai estimasi parameternya. Sewa pembuatan kopra cukup mahal akibatnya jam kerja keluarga untuk pembuatan kopra semakin meningkat, walaupun tidak semua rumahtangga dapat melakukan proses produksi kopra. Penawaran tenaga kerja tersebut juga tidak responsif terhadap produksi kopra.
7.3.4. Permintaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Untuk Jagung Rumahtangga di Minahasa menggunakan tenaga kerja sewa dalam proses produksi usaha jagung apabila budget yang ada mencukupi. Kegiatan tenaga kerja sewa dalam usaha jagung seperti pengolahan lahan, pemupukan, penyiangan dan panen. Permintaan tenaga sewa untuk jagung (TKLJ) secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), tenaga kerja keluarga untuk jagung (TKDJ), pengeluaran konsumsi pangan dan investasi sumberdaya manusia (TP1), penerimaan penjualan sapi (RUTSJ) dan surplus produksi jagung (SPJ). Priyanti (2007) membangun model permintaan tenaga kerja luar keluarga dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah tenaga kerja keluarga pada sapi, curahan kerja keluarga, upah tenaga kerja dan penerimaan usahatani. Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubahpeubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja luar keluarga pada usaha jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah bayangan
263
tenaga kerja adalah negatif. Artinya peningkatan upah bayangan menyebabkan turunnya permintaan tenaga sewa untuk usaha jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Berdasarkan teori ekonomi, peningkatan upah tenaga kerja menyebabkan rumahtangga cenderung menurunkan permintaan tenaga kerja. Apabila upah yang berlaku meningkat disebabkan peningkatan biaya transaksi maka rumahtangga cenderung menurunkan jam kerja tenaga sewa untuk usaha jagung. Hal ini disebabkan rumahtangga mempunyai keterbatasan budget, dengan demikian rumahtangga berusaha mengurangi tenaga kerja sewa pada usaha jagung dalam rangka meminimumkan biaya produksi. Sejalan dengan penelitian Priyanti (2007) yang menyatakan upah berhubungan negatif dengan penggunaan tenaga kerja sewa untuk usaha padi. Peubah penawaran tenaga kerja untuk jagung mempunyai tanda negatif. Artinya peningkatan tenaga kerja keluarga menyebabkan terjadinya penurunan permintaan tenaga kerja pada jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi, penawaran tenaga kerja pada usahatani tertentu bersubstitusi dengan tenaga kerja sewa untuk usahatani tersebut. Berdasarkan hasil analisis, peubah pengeluaran konsumsi dan investasi sumberdaya manusia mempunyai tanda negatif. Artinya peningkatan pengeluaran konsumsi dan investasi sumberdaya manusia menyebabkan terjadinya penurunan permintaan tenaga kerja pada usaha jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Kenyataan tersebut disebabkan keterbatasan budget sehingga rumahtangga cenderung menurunkan permintaan tenaga kerja sewa apabila terjadi peningkatan pengeluaran konsumsi dan investasi sumberdaya manusia.
264
Tanda peubah penerimaan penjualan sapi adalah positif. Artinya setiap peningkatan penerimaan penjualan sapi ada kecenderungan rumahtangga menaikkan permintaan tenaga kerja sewa untuk jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Penerimaan penjualan sapi dimanfaatkan sebagai budget untuk membayar upah tenaga kerja. Selanjutnya, hasil analisis menunjukkan tanda peubah surplus produksi jagung adalah positif. Artinya semakin tinggi surplus jagung menyebabkan semakin meningkatnya permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha jagung. Kenyataan ini menunjukkan semakin tinggi penjualan jagung maka rumahtangga mempunyai budget membayar tenaga kerja yang lebih banyak. Hasil estimasi juga menunjukkan upah bayangan tenaga kerja berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan tenaga kerja sewa untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Berdasarkan teori, biaya transaksi dapat mempengaruhi pasar tenaga kerja. Semakin tinggi biaya transaksi, upah tenaga kerja yang berlaku semakin tinggi menyebabkan permintaan tenaga kerja sewa semakin berkurang. Namun rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa untuk kegiatan-kegiatan tertentu sehingga kenaikan upah yang disebabkan biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap penurunan jam tenaga kerja sewa. Terutama untuk kegiatan panen jagung dilakukan secara gotong royong dan sudah menjadi trandisi. Peubah pengeluaran konsumsi pangan dan investasi sumberdaya manusia berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja sewa untuk usaha jagung sudah tertentu kegiatannya sehingga peningkatan pengeluaran konsumsi pangan dan investasi sumberdaya manusia berdampak kecil terhadap penurunan permintaan jam kerja tenaga luar keluarga (sewa).
265
Berdasarkan hasil analisis, peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung berpengaruh nyata terhadap permintaan tenaga kerja sewa untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Artinya naiknya penawaran tenaga kerja keluarga berdampak cukup besar terhadap penurunan jam kerja sewa pada jagung. Hal ini disebabkan rumahtangga berusaha meminimumkan biaya tenaga kerja dengan mengurangi jam kerja tenaga sewa. Berkurangnya jam kerja tenaga sewa menyebabkan budget yang dialokasikan untuk upah tenaga kerja makin kecil. Peubah penerimaan penjualan ternak sapi berpengaruh nyata terhadap permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung. Rumahtangga memerlukan budget untuk membayar sewa tenaga kerja. Kondisi ini menunjukkan semakin tinggi penerimaan penjualan ternak sapi pengaruhnya besar terhadap peningkatan jam tenaga kerja yang disewa. Keadaan tersebut menyebabkan rumahtangga mempunyai budget yang cukup untuk membayar upah sewa. Surplus pasar jagung berpengaruh nyata terhadap permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung. Semakin banyak jagung yang bisa dijual maka rumahtangga mempunyai kemampuan untuk membayar upah tenaga sewa. Dalam hal ini rumahtangga memperoleh pendapatan dari penjualan jagung yang dapat dimanfaatkan sebagai budget untuk usaha jagung. Besarnya nilai elastisitas peubah permintaan tenaga kerja luar keluarga terhadap peubah upah bayangan lebih kecil satu. Artinya permintaan tenaga kerja sewa pada usaha jagung tidak responsif terhadap upah yang disebabkan biaya transaksi. Rumahtangga berusaha meminimumkan biaya produksi untuk sewa tenaga kerja, namun tenaga kerja sewa sudah tertentu sehingga naiknya upah karena biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan mengurangi
266
jam kerja sewa. Sejalan dengan hasil analisis Priyanti (2007) yang menyatakan bahwa penggunaan tenaga kerja sewa tidak responsif terhadap upah tenaga kerja. Nilai elastisitas permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung terhadap pengeluaran konsumsi dan investasi sumberdaya manusia lebih kecil satu. Artinya permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap pengeluaran konsumsi dan investasi sumberdaya manusia. Hal ini disebabkan pendapatan yang diterima dialokasikan untuk berbagai pengeluaran dan sudah tertentu dengan tenaga kerja sewa tertentu. Semakin tinggi pengeluaran konsumsi
dan
investasi
sumberdaya
manusia
tidak
langsung
direspon
rumahtangga dengan menurunkan tenaga kerja sewa. Nilai elastisitas permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung terhadap peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung, penerimaan penjualan sapi dan surplus produksi jagung masing-masing lebih kecil satu. Permintaan tenaga luar keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap penawaran tenaga keluarga untuk jagung. Kegiatan dalam usaha jagung berbeda-beda, diantara kegiatan tersebut ada yang tidak mampu dikerjakan anggota rumahtangga. Berdasarkan kenyataan ini, peningkatan penawaran tenaga kerja keluarga tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan jam kerja tenaga sewa. Permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap penerimaan penjualan sapi. Artinya walaupun penerimaan penjualan sapi merupakan budget bagi rumahtangga namun naiknya penerimaan tersebut tidak langsung direspon dengan peningkatan jam kerja tenaga sewa. Rumahtangga juga membutuhkan budget untuk kebutuhan pokok mereka.
267
Peubah permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap surplus produksi jagung. Artinya walaupun surplus produksi jagung sangat berpengaruh terhadap peningkatan permintaan tenaga kerja sewa, namun peningkatan surplus tersebut tidak langsung direspon oleh rumahtangga dengan menaikkan jam kerja tenaga sewa. Hal ini disebabkan jam kerja sewa sudah tertentu untuk kegiatan tertentu dalam usaha jagung.
7.3.5. Permintaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Untuk Kelapa Di Bolaang Mongondow, rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa dalam proses produksi kelapa apabila budget yang ada mencukupi. Kegiatan tenaga sewa dalam usaha kelapa diantaranya panjat, kumpul kelapa, kupas kelapa dan panggang kopra (fufu) serta angkut. Upah panjat kelapa sebesar Rp 1000 - Rp 1250 per pohon. Kumpul kelapa Rp 25 000 per hari, kupas Rp 20 sampai Rp 25 per biji, pembuatan kopra Rp 25 000 per 100 kg kopra, tetapi ada juga bagi hasil. Upah tersebut tergantung upah yang berlaku di masing-masing daerah. Permintaan tenaga kerja luar untuk kelapa (TKLK) secara bersama-sama dipengaruhi oleh upah bayangan tenaga kerja (UTKB), produksi kelapa (PROB), jumlah angkatan kerja (JAKK) dan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (CTDUO). Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja luar keluarga pada usaha kelapa telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah bayangan tenaga kerja adalah negatif. Artinya biaya transaksi naik maka upah bayangan naik menyebabkan penurunan permintaan tenaga sewa untuk usaha kelapa sebesar nilai estimasi parameternya
268
dan pengaruhnya cukup besar. Hal ini disebabkan rumahtangga mempunyai keterbatasan budget. Rumahtangga berusaha mengurangi tenaga sewa dalam rangka meminimumkan biaya produksi. Permintaan tenaga kerja sewa untuk kelapa sangat responsif terhadap biaya transaksi. Tenaga sewa yang dapat dikurangi yaitu kegiatan untuk kumpul, kupas kelapa dan proses produksi kopra. Faktor lain yang mempengaruhi permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha kelapa adalah produksi kelapa. Semakin tinggi produksi kelapa maka permintaan tenaga kerja sewa semakin tinggi dan pengaruhnya sangat besar. Pekerjaan yang membutuhkan tenaga sewa untuk usaha kelapa diantaranya panjat, kumpul dan kupas kelapa serta pembuatan kopra. Produksi kelapa semakin banyak berarti membutuhkan tenaga sewa lebih besar. Walaupun permintaan tenaga kerja sewa tidak responsif terhadap produksi kelapa. Peubah jumlah angkatan kerja dalam rumahtangga mempunyai tanda negatif. Artinya semakin besar jumlah angkatan kerja dalam rumahtangga menyebabkan terjadinya penurunan permintaan tenaga kerja sewa sebesar nilai estimasi parameternya. Fenomena ini disebabkan kegiatan-kegiatan seperti kumpul kelapa, kupas, pembuatan kopra dapat ditangani oleh anggota rumahtangga yang sudah dikategorikan sebagai angkatan kerja. Walaupun jumlah angkatan kerja tersebut pengaruhnya kecil terhadap penurunan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa. Hal ini ditunjang dengan hasil penelitian bahwa permintaan tenaga kerja sewa tidak responsif terhadap jumlah angkatan kerja dalam keluarga. Jumlah tenaga kerja sewa sudah tertentu dengan kegiatan tertentu. Tanda peubah curahan kerja keluarga sebagai buruh tani adalah positif. Artinya curahan kerja keluarga sebagai buruh tani menyebabkan peningkatan
269
permintaan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa. Sebagian besar rumahtangga bekerja sebagai buruh tani. Pekerjaan tersebut dilakukan mengingat panen kelapa dilakukan setiap tiga bulan sekali (kwartalan). Demikian pula untuk usahatani lain tergantung musim tanam. Rumahtangga membutuhkan budget untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Kenyataan tersebut menyebabkan rumahtangga meningkatkan jam kerjanya sebagai buruh tani. Peningkatan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani menyebabkan rumahtangga meningkatkan permintaan tenaga sewa, walaupun pengaruhnya kecil. Selain itu, permintaan tenaga kerja sewa pada kelapa tidak responsif terhadap curahan kerja keluarga sebagai buruh tani.
7.3.6. Penawaran Tenaga Kerja Ternak Sapi Untuk Jagung Tenaga kerja sapi dimaksud adalah tenaga sapi yang digunakan rumahtangga untuk mengolah lahan usaha jagung. Penawaran tenaga kerja sapi (TKSJ) secara bersama-sama dipengaruhi upah sewa sapi bayangan (USSB), tenaga kerja sewa untuk usaha jagung (TKLJ), tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung (TKDJ) dan luas lahan jagung (LHNJ). Penelitian Priyanti (2007) tidak menggunakan tenaga kerja sapi. Sedangkan dalam penelitian Asmarantaka (2007) menunjukkan rumahtangga menggunakan tenaga kerja traktor untuk mengolah lahan usaha padi. Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja sapi pada usaha jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi upah bayangan tenaga kerja sapi adalah positif. Artinya naiknya upah bayangan tenaga kerja sapi meningkatkan penawaran tenaga kerja sapi untuk usaha jagung sebesar nilai estimasi
270
parameternya. Biaya transaksi semakin tinggi menyebabkan upah sewa sapi semakin tinggi. Kenyataan tersebut menunjukkan peningkatan biaya transaksi menyebabkan rumahtangga cenderung menaikkan tenaga kerja ternak sapi. Tanda peubah luas lahan garapan jagung adalah positif. Artinya perluasan lahan jagung menyebabkan peningkatan penawaran tenaga kerja sapi. Kenyataan di lapangan, tenaga kerja sapi digunakan untuk mengolah (membajak) lahan. Semakin luas lahan untuk jagung maka jam kerja ternak sapi semakin tinggi. Berdasarkan estimasi, tanda peubah tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung adalah positif. Artinya semakin tinggi tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung maka penggunaan tenaga kerja sapi semakin meningkat. Tenaga kerja sapi digunakan sebagai tenaga kerja untuk membajak lahan dan tenaga kerja keluarga sebagai komplemen bagi tenaga kerja sapi untuk usaha jagung. Peubah tenaga kerja luar keluarga untuk jagung mempunyai tanda negatif. Artinya peningkatan tenaga kerja sewa untuk jagung menyebabkan terjadinya penurunan penawaran tenaga kerja sapi. Untuk pekerjaan pengolahan lahan dapat dilakukan oleh tenaga kerja sewa. Sehingga tenaga kerja luar keluarga dapat bersubstitusi dengan tenaga kerja ternak sapi. Hasil estimasi juga menunjukkan upah bayangan sewa sapi berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Rumahtangga menggunakan tenaga kerja sapi untuk pengolahan lahan dan sudah tertentu. Kenaikan upah tenaga kerja yang disebabkan biaya transaksi dampaknya kecil terhadap penambahan jam kerja sapi. Peubah tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung berpengaruh sangat nyata terhadap penawaran tenaga kerja sapi pada taraf nyata 15 persen. Hal ini
271
disebabkan karena tenaga kerja sapi saling melengkapi dengan tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung dan pengaruhnya sangat besar terhadap peningkatan jam kerja ternak sapi untuk pengolahan lahan usaha jagung. Berdasarkan estimasi, peubah tenaga kerja sewa untuk jagung berpengaruh tidak nyata terhadap penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Artinya peningkatan permintaan tenaga kerja sewa pengaruhnya kecil terhadap turunnya jam kerja ternak sapi pada usaha jagung. Hal ini disebabkan sapi adalah milik sendiri sehingga rumahtangga tidak membutuhkan budget yang besar untuk bayar upah. Selain itu, dengan menggunakan tenaga ternak sapi, waktu untuk olah lahan lebih kecil. Disini tenaga kerja sapi tidak responsif terhadap tenaga kerja sewa untuk usaha jagung. Peubah luas lahan garapan berpengaruh sangat nyata terhadap penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung. Rumahtangga memanfaatkan tenaga kerja sapi untuk mengolah lahan usaha jagung. Perluasan lahan mempunyai pengaruh sangat besar terhadap peningkatan tenaga kerja sapi. Besarnya nilai elastisitas peubah penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung terhadap upah bayangan sewa sapi lebih kecil satu. Artinya penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung tidak responsif terhadap upah sewa sapi bayangan. Peningkatan upah sewa sapi karena biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap penawaran tenaga kerja sapi dan naiknya upah karena biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan tenaga kerja sapi. Biaya transaksi berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja dan berlaku juga bagi tenaga kerja sapi. Sehingga makin tinggi biaya transaksi maka upah semakin tinggi menyebabkan penawaran tenaga kerja sapi semakin tinggi.
272
Nilai elastisitas tenaga kerja sapi untuk jagung terhadap luas lahan jagung lebih kecil satu. Artinya tenaga kerja sapi untuk jagung tidak responsif terhadap luas lahan garapan jagung. Walaupun luas lahan jagung sangat berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja sapi, namun perluasan lahan usaha jagung tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan jam kerja ternak sapi. Tenak sapi juga disewa oleh rumahtangga lain untuk mengolah lahan maupun pengangkut output pertanian dan material. Nilai elastisitas penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung terhadap tenaga kerja keluarga untuk jagung lebih kecil satu. Artinya penawaran tenaga kerja sapi tidak responsif terhadap tenaga kerja keluarga dalam jagung. Dalam hal ini tenaga kerja keluarga dapat digantikan dengan tenaga sewa dalam usaha jagung.
7.3.7. Penawaran Tenaga Kerja Ternak Sapi Untuk Kelapa Di Bolaang Mongondow, tenaga kerja ternak sapi digunakan rumahtangga dalam usaha kelapa adalah untuk angkut buah kelapa dan angkut kopra. Sewa angkut kelapa Rp 25 000 per hari, angkut kopra Rp 4 000 sampai Rp 5 000 per koli. Dalam satu ret bisa capai 7-8 koli kopra. Penawaran tenaga kerja ternak sapi (TKSK) secara bersama-sama dipengaruhi oleh upah bayangan sewa sapi (USSB) dan surplus pasar kelapa (SPK). Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja ternak sapi pada usaha kelapa telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah tenaga kerja sapi bayangan adalah positif. Artinya biaya transaksi meningkat maka upah bayangan tenaga kerja sapi naik. Kondisi ini menyebabkan peningkatan penawaran tenaga kerja sapi untuk usaha
273
kelapa sebesar nilai estimasi parameternya. Biaya transaksi dapat mempengaruhi upah sewa sapi. Seperti pada upah sewa tenaga kerja manusia, upah bayangan sewa sapi merupakan upah sewa sapi ditambah biaya transaksi. Walaupun pengaruh biaya transaksi terhadap penawaran tenaga kerja ternak sapi sangat kecil. Hal ini disebabkan penawaran tenaga kerja sudah tertentu baik kegiatan maupun jam kerja ternak sapi. Namun keterbatasan budget menyebabkan rumahtangga berupaya meningkatkan jam kerja ternak sapi milik sendiri, sebagai upaya meminimalkan biaya produksi. Penawaran tenaga kerja sapi tidak responsif terhadap biaya transaksi pada usaha kelapa tersebut. Faktor surplus pasar kelapa merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penawaran tenaga kerja ternak sapi dan pengaruhnya sangat nyata. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, alokasi tenaga kerja sapi adalah sebagai pengangkut kelapa dan kopra. Semakin banyak surplus pasar kelapa, jam kerja ternak sapi meningkat, walaupun penggunaan tenaga kerja sapi tidak responsif terhadap surplus pasar kelapa. Pengangkutan kopra untuk sebagian besar dilakukan oleh pedagang.
7.3.8. Curahan Kerja Keluarga Curahan kerja keluarga sebagai buruh tani dilakukan rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman dalam rangka peningkatan pendapatan untuk memaksimumkan utilitas mereka. Curahan kerja sebagai buruh tani (CTDUO) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi (TKDS), tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain (TKDUL), jumlah anggota keluarga (ANG), pendidikan kepala
274
keluarga (PFO) dan penerimaan penjualan sapi (RUTSJ). Sedangkan di Bolaang Mongondow curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (CTDUO) secara bersamasama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), jumlah anggota keluarga (ANG), total pengeluaran (TP) dan produksi sapi (PROS). Hasil estimasi perilaku curahan kerja sebagai buruh tani di Minahasa dan Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Tabel 40. Hasil analisis pada Tabel 40 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen curahan kerja keluarga (CTDUO) di Minahasa dan Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi peubah upah bayangan tenaga kerja (UTKB) dan jumlah anggota keluarga (ANG) di Minahasa masing-masing bernilai positif. Tanda positif peubah upah bayangan tenaga kerja artinya semakin tinggi biaya transaksi menyebabkan upah bayangan semakin tinggi. Tabel 40. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Penggunaan Input Tenaga Kerja Sebagai Buruh Tani Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Minahasa Variabel
Kode
Parameter Estimasi
Curahan Kerja CTDUO Keluarga Intersep -1859.0 Upah Bayangan TK UTKB 0.81140 TK Kel utk UT Sapi TKDS -0.4743* TK Kel utk UT Lain TKDUL -0.5081* Jumlah Anggota Kel ANG 374.74* Pendidikn Kepala Kel PFO -102.51* Penerimaan Penj Sapi RUTSJ -0.0003* Total Pengeluaran TP Produksi Sapi PROS Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Elastisitas
0.5138 -0.2403 -0.1698 1.2363 -0.7685 -0.3295 -
Bolaang Mongondow Parameter Estimasi
0.13216* 289.739* 7.611E-6
-0.2735
Elastisitas
6.6561 1.3483 0.0208 -0.1202
275
Kondisi tersebut mengakibatkan rumahtangga cenderung meningkatkan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Hal ini disebabkan semakin tingginya kebutuhan rumahtangga baik untuk kebutuhan pokok maupun kebutuhan non pokok. Namun upah bayangan tenaga kerja berpengaruh tidak nyata terhadap peubah endogen curahan kerja keluarga sebagai buruh tani pada taraf nyata 15 persen. Peningkatan upah karena biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap peningkatan jam kerja sebagai buruh tani. Kenyataan di lapang menunjukkan jam kerja sebagai buruh tani sudah tertentu. Curahan kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap upah karena biaya transaksi. Semakin tinggi jumlah anggota keluarga, semakin tinggi curahan kerja keluarga sebagai buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Jumlah anggota keluarga sangat berpengaruh terhadap curahan kerja keluarga sebagai buruh tani. Jumlah anggota keluarga berkaitan dengan struktur demografi rumahtangga, sehingga semakin tinggi rasio konsumsi dan pekerja (C/W) maka semakin tinggi kebutuhan rumahtangga untuk konsumsi. Rumahtangga berusaha memperoleh pendapatan dengan mengalokasikan tenaganya untuk pekerjaan apapun. Semakin banyak anggota keluarga kemungkinan besar dapat meningkatkan curahan kerja sebagai buruh tani. Besarnya nilai elastisitas menunjukkan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani responsif terhadap jumlah anggota keluarga. Rumahtangga membutuhkan
penerimaan
untuk
memaksimumkan
utilitasnya,
sehingga
rumahtangga berusaha mengalokasikan tenaga kerjanya untuk bekerja dan mendapatkan uang. Pekerjaan buruh tani merupakan salah satu sumber pendapatan
rumahtangga.
Bertambahnya
anggota
rumahtangga
sangat
berpengaruh terhadap peningkatan curahan kerja keluarga dan sangat respon.
276
Tanda peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi adalah negatif. Artinya semakin tinggi penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi menyebabkan semakin berkurangnya alokasi tenaga kerja untuk buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Pada musim kemarau, rumahtangga akan kesulitan mendapatkan lahan yang memenuhi syarat untuk ternak sapi merumput. Berdasarkan keadaan ini maka rumahtangga berusaha menambah jam kerja mencari rumput atau mencari lokasi yang lebih jauh untuk ternak sapi merumput. Pada kondisi ini jam kerja yang dialokasikan sebagai buruh tani harus dikurangi. Sesuai dengan teori ekonomi, penawaran tenaga kerja pada usahatani tertentu saling bersubstitusi dengan tenaga kerja pada usahatani lainnya. Peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi berpengaruh nyata terhadap peubah endogen curahan kerja keluarga sebagai buruh tani pada taraf nyata 15 persen. Usaha ternak sapi di Minahasa walaupun merupakan usaha sambilan namun telah dilakukan secara turun temurun dan merupakan sumber pendapatan juga sebagai sumber tenaga kerja. Besarnya nilai elastisitas menunjukkan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi. Rumahtangga membutuhkan budget untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan untuk proses usahatani. Berdasarkan kenyataan ini, peningkatan jam kerja dalam usaha sapi tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan jam kerja sebagai buruh tani. Tanda peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain adalah negatif. Artinya penambahan jam kerja keluarga untuk usahatani lain menyebabkan pengurangan jam kerja keluarga untuk buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk usahatani
277
lain berpengaruh nyata terhadap peubah endogen curahan kerja keluarga sebagai buruh tani pada taraf nyata 15 persen. Tujuan usahatani lain adalah untuk peningkatan pendapatan juga sebagai penunjang usaha sapi. Sehingga pada saatsaat tertentu penawaran tenaga kerja pada usahatani lain bisa berubah. Perubahan ini berpengaruh terhadap curahan kerja sebagai buruh tani. Besarnya nilai elastisitas peubah curahan kerja keluarga sebagai buruh tani terhadap penawaran tenaga kerja keluarga dalam usahatani lain lebih kecil satu. Artinya curahan kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain. Walaupun penawaran tenaga kerja untuk usahatani lain cukup berpengaruh terhadap curahan kerja keluarga namun peningkatan jam kerja keluarga tersebut tidak langsung direspon rumahtangga dengan mengurangi jam kerja sebagai buruh tani. Hal ini disebabkan rumahtangga berusaha mengalokasikan tenaganya untuk memperoleh pendapatan. Salah satu sumber pendapatan adalah bekerja sebagai buruh tani. Tanda peubah pendidikan kepala keluarga adalah negatif. Artinya semakin tinggi pendidikan kepala keluarga menyebabkan alokasi jam kerja sebagai buruh tani semakin berkurang. Kenyataan di lapang menunjukkan kepala keluarga yang menyandang tingkat pendidikan lebih tinggi mempunyai pekerjaan yang lebih baik dari buruh tani. Pekerjaan sebagai buruh tani merupakan pekerjaan kasar yang lebih mengandalkan tenaga fisik. Peubah pendidikan kepala keluarga berpengaruh nyata terhadap peubah endogen curahan kerja keluarga sebagai buruh tani pada taraf nyata 15 persen. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka rumahtangga cenderung mengalokasikan tenaganya untuk pekerjaan yang tidak mengandalkan tenaga kasar dengan kata lain beralih dari
278
tenaga kerja buruh tani ke pekerjaan yang lebih baik. Besarnya nilai elastisitas menunjukkan peubah curahan kerja keluarga sebagai buruh tani terhadap pendidikan kepala keluarga tidak responsif terhadap pendidikan kepala keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan tidak langsung direspon rumahtangga dengan mengurangi jam kerjanya sebagai buruh tani. Hal ini disebabkan pekerjaan sebagai buruh tani lebih mudah diperoleh dibanding pekerjaan yang membutuhkan tingkat pendidikan lebih tinggi. Tanda peubah penerimaan penjualan sapi adalah negatif. Artinya setiap peningkatan penerimaan penjualan sapi akan menyebabkan penurunan jam kerja sebagai buruh tani. Kenyataannya bila penerimaan yang diperoleh lebih tinggi, rumahtangga tidak akan mengalokasikan tenaganya sebagai buruh tani. Seperti telah dijelaskan, pekerjaan buruh tani mengandalkan tenaga fisik, sehingga bila rumahtangga memperoleh pendapatan usaha lain yang lebih besar maka pekerjaan buruh tani akan ditinggalkan. Peubah penerimaan penjualan sapi berpengaruh nyata terhadap peubah endogen curahan kerja keluarga sebagai buruh tani pada taraf nyata 15 persen. Rumahtangga mengalokasikan tenaga kerjanya untuk kegiatan-kegiatan usahatani maupun non usahatani agar memperoleh pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk kebutuhan rumahtangga apakah kebutuhan pokok atau kebutuhan non pokok. Semakin tinggi penerimaan yang bersumber dari penjualan sapi mengakibatkan rumahtangga akan mengurangi alokasi kerjanya sebagai buruh tani. Nilai elastisitas menunjukkan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap penerimaan penjualan sapi disebabkan jam kerja sebagai buruh tani sudah tertentu. Selain itu, rumahtangga
279
berusaha memperoleh pendapatan melalui pekerjaan yang lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Biaya transaksi juga dapat mempengaruhi penawaran tenaga kerja sebagai buruh tani di Bolaang Mongondow. Peubah upah bayangan tenaga kerja mempunyai tanda positif. Artinya semakin tinggi biaya transaksi, upah bayangan semakin tinggi akibatnya rumahtangga cenderung meningkatkan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Semakin tinggi biaya transaksi mendorong rumahtangga menaikkan jam kerja sebagai buruh tani dan pengaruhnya cukup nyata. Hal ini disebabkan semakin tingginya kebutuhan pokok dan non pokok rumahtangga. Curahan kerja keluarga tersebut sangat responsif terhadap biaya transaksi. Pekerjaan sebagai buruh tani merupakan salah satu sumber pendapatan bagi rumahtangga. Nilai estimasi jumlah anggota keluarga adalah positif artinya semakin tinggi jumlah anggota keluarga, semakin tinggi curahan kerja keluarga sebagai buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Seperti di Minahasa, jumlah anggota keluarga di Bolaang Mongondow berkaitan dengan struktur demografi rumahtangga, dengan demikian semakin tinggi rasio konsumsi dan pekerja (C/W) maka semakin tinggi kebutuhan rumahtangga untuk konsumsi. Disini rumahtangga berusaha memperoleh pendapatan dengan mengalokasikan tenaganya untuk pekerjaan apapun. Pengaruh jumlah anggota rumahtangga sangat nyata terhadap curahan kerja sebagai buruh tani. Curahan kerja keluarga sebagai buruh tani responsif terhadap jumlah anggota keluarga. Rumahtangga membutuhkan penerimaan untuk memaksimumkan utilitasnya, dengan demikian rumahtangga berusaha mengalokasikan tenaga kerjanya untuk bekerja dan
280
mendapatkan uang. Berdasarkan fenomena tersebut, semakin meningkatnya anggota rumahtangga sangat berpengaruh terhadap peningkatan curahan kerja keluarga, dengan kata lain, semakin bertambahnya anggota keluarga langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan jam kerja sebagai buruh tani. Faktor peubah total pengeluaran mempengaruhi curahan tenaga kerja sebagai buruh tani, walaupun pengaruhnya kecil. Rumahtangga membutuhkan penerimaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan non pokok dan kebutuhan untuk proses usahatani. Semakin tinggi kebutuhan tersebut menyebabkan rumahtangga berusaha meningkatkan jam kerja sebagai buruh tani. Curahan kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap total pengeluaran rumahtangga. Produksi sapi yang semakin banyak menyebabkan rumahtangga harus mengurangi curahan kerjanya sebagai buruh tani. Rumahtangga berusaha mengalokasikan tenaganya lebih banyak untuk usaha sapi, walaupun pengaruhnya kecil. Selanjutnya, curahan tenaga kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap produksi sapi. Rumahtangga berusaha mengikat/melepas ternaknya di lokasi kebun yang lebih dekat sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk pindah ternak. 7.4. Perilaku Biaya Sarana Produksi dan Biaya Tenaga Kerja Perilaku biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja merupakan biaya yang dianalisis untuk usaha sapi dan jagung di Minahasa. Biaya tersebut terdiri dari tiga persamaan identitas yaitu biaya sarana produksi sapi (BSPS), biaya sarana produksi jagung (BSPJ) dan biaya tenaga kerja untuk jagung (BTKJ).
281
Biaya sarana produksi sapi merupakan penjumlahan biaya pembelian rumput, biaya obat-obatan, biaya sewa pejantan dan biaya pembelian jagung. Rumahtangga di Minahasa menyewa pejantan untuk dikawinkan dengan ternak sapi betina mereka. Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007), yang menyatakan bahwa rumahtangga memelihara ternak sapi dengan membeli bakalan, sehingga tidak ada sewa pejantan. Konsumsi jagung dihitung berdasarkan jumlah jagung yang dikonsumsi ternak di Minahasa selama setahun dikali harga jagung. Biaya sarana produksi jagung (BSPJ) merupakan penjumlahan dari biaya pembelian benih (JBJ*HBJ), pupuk urea (JPUJ*HPUJ), TSP (JPTJ*HPTJ) dan KCl (JPKJ*HPKJ). Pada usahatani lain seperti penelitian Asmarantaka (2007) (usahatani padi, ubikayu dan kopi) dan Priyanti (2007) (usahatani padi), persamaan sarana produksi juga dianalisis sebagai persamaan identitas. Biaya tenaga kerja pada usaha jagung (BTKJ) merupakan penjumlahan biaya tenaga kerja keluarga (BTKDJ) dan biaya tenaga kerja sewa (BTKLJ). Biaya tenaga kerja keluarga adalah biaya tenaga kerja yang diperhitungkan. Demikian pula tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi dianalisis sebagai biaya tenaga kerja yang diperhitungkan (BTKDS), namun dalam penelitian ini tidak dipelajari perilakunya. Biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja mempengaruhi peubah endogen lainnya yaitu peubah produksi sapi jual (PROSJ), penawaran tenaga kerja dalam keluarga untuk usaha sapi (TKDS), penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung (TKDJ) dan pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan, konsumsi non pangan dan investasi sumberdaya manusia (KP, KNP, ISM) yang diproxy dengan total pendapatan rumahtangga (TPRT).
282
Perilaku biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja rumahtangga di Bolaang Mongondow dianalisis untuk usaha sapi dan kelapa. Biaya tersebut terdiri dari tiga persamaan identitas yaitu biaya sarana produksi sapi (BSPS), biaya sarana produksi kelapa (BSPK) dan biaya tenaga kerja untuk usaha kelapa (BTKK). Biaya sarana produksi sapi di Bolaang Mongondow berbeda dengan di Minahasa yaitu merupakan penjumlahan biaya pembelian rumput dan biaya obatobatan. Biaya sarana produksi kelapa (BSPK) merupakan penjumlahan dari biaya pembelian pupuk urea (JPUK*HPUK) dan biaya garam dapur (JGAR*HGAR). Biaya sarana produksi kelapa sawit sesuai hasil penelitian Bakir (2007) terdiri dari biaya pembelian pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCl dan pestisida. Biaya tenaga kerja pada usaha kelapa (BTKK) merupakan penjumlahan biaya tenaga kerja keluarga (BTKDK) dan biaya tenaga kerja sewa pada kelapa (BTKLK). Biaya tenaga kerja keluarga merupakan biaya tenaga kerja yang diperhitungkan. Tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi juga dianalisis sebagai biaya tenaga kerja yang diperhitungkan (BTKDS), namun dalam penelitian ini tidak dipelajari perilakunya, hanya dimasukkan sebagai biaya yang mempengaruhi penerimaan usaha ternak sapi.
7.5. Perilaku Biaya Transaksi Perilaku biaya transaksi di Minahasa dianalisis baik untuk usaha sapi maupun jagung. Persamaan biaya transaksi terdiri dari dua persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan struktural adalah biaya perantara penjualan ternak sapi (BPER) dan biaya transpor penjualan jagung (BTPJ).
283
Biaya perantara penjualan sapi (BPER) dan biaya transpor penjualan jagung (BTPJ) merupakan salah satu komponen dalam biaya transaksi usaha sapi dan biaya transaksi usaha jagung. Sedangkan persamaan identitas adalah biaya transaksi penjualan sapi (BTRS), biaya transaksi pada usaha jagung (BTRJ) serta total biaya transaksi pada usaha sapi dan usaha jagung (BTR). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, biaya transaksi penjualan sapi terdiri dari biaya transpor (BTRA), biaya perantara (BPER), biaya administrasi (BADM) dan biaya retribusi (BRET). Selanjutnya, biaya transaksi pada usaha jagung terdiri dari komponen biaya transpor penjualan jagung (BTPJ), biaya pembelian benih jagung (BTPB) dan biaya pembelian pupuk (BTPP). Biaya perantara penjualan sapi (BPER) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga sapi (HTS) dan penjualan sapi (PROSJ). Biaya perantara penjualan sapi (BPER) adalah upah sewa perantara saat penjualan sapi. Biaya ini merupakan komponen biaya terbesar dalam biaya transaksi pada usaha sapi. Biaya transpor penjualan jagung (BTPJ) secara bersama-sama dipengaruhi harga jual jagung dan konsumsi jagung. Konsumsi jagung dianalisis dalam penelitian ini karena sebagian jagung ditanam untuk konsumsi ternak sapi dalam bentuk jagung muda. semakin tinggi konsumsi jagung maka jumlah jagung yang dijual rumahtangga semakin kecil sehingga mempengaruhi biaya transaksi. Perilaku biaya transaksi rumahtangga di Bolaang Mongondow dianalisis untuk usaha sapi maupun kelapa. Persamaan biaya transaksi terdiri dari dua persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan struktural adalah biaya perantara penjualan sapi (BPER) dan biaya transpor penjualan kopra (BTPK).
284
Biaya perantara penjualan sapi (BPER) dan biaya transpor penjualan kopra (BTPK) merupakan salah satu komponen dalam biaya transaksi usaha sapi dan biaya transaksi usaha kelapa. Sedangkan persamaan identitas adalah biaya transaksi penjualan sapi (BTRS), biaya transaksi pada usaha kelapa (BTRK) serta total biaya transaksi pada usaha sapi dan usaha kelapa (BTR). Seperti di Minahasa, biaya transaksi penjualan sapi di Bolaang Mongondow terdiri dari biaya transportasi (BTRA), biaya perantara (BPER), biaya administrasi (BADM) dan biaya retribusi (BRET). Selanjutnya, biaya transaksi pada usaha kelapa terdiri dari komponen biaya transpor penjualan kopra (BTPK) dan biaya penyimpanan kopra (BSIM). Biaya perantara penjualan sapi (BPER) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga jual sapi (HTS), penjualan sapi (PROSJ) dan jarak pasar (JARP). Biaya transpor penjualan kopra (BTPK) secara bersama-sama dipengaruhi harga kopra dan tenaga kerja ternak sapi. Tenaga kerja sapi di analisis dalam penelitian ini karena sebagian rumahtangga dalam menjual kopra menggunakan gerobak untuk angkutan kopra ke pedagang. Biaya perantara merupakan upah yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi sebagai jasa dalam penjualan sapi. Biaya ini merupakan komponen biaya terbesar dalam biaya transaksi pada usaha sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Biaya transpor merupakan biaya yang dikeluarkan apabila ternak sapi dijual dirumah petani, di pasar blantik maupun luar wilayah peternakan. Sebagian besar petani peternak di Minahasa menjual di pasar blantik. Tenaga kerja yang menggiring ternak ke pasar diberi upah yaitu dinyatakan sebagai biaya transpor. Di Bolaang Mongondow sebagian besar rumahtangga didatangi
285
pedagang, hanya sebagian kecil rumahtangga yang menjual di pasar blantik. Biaya retribusi adalah biaya yang dikeluarkan pada saat menjual sapi di pasar blantik. Sebagian rumahtangga petani peternak sapi membayar retribusi di kantor desa yang juga dinyatakan biaya retribusi. Biaya administrasi merupakan biaya yang dikeluarkan apabila ternak sapi dijual di pasar blantik, diantarprovinsikan dan diantarpulaukan. Biaya administrasi dinyatakan sebagai biaya surat jalan sapi. Sebagian rumahtangga di Bolaang Mongondow membayar biaya administrasi di kantor desa. Biaya transaksi dalam penelitian ini dipelajari berdasarkan penjualan sapi melalui pedagang pengumpul, tukang potong dan petani lain. Pedagang pengumpul baik berasal dari daerah lain di Sulawesi Utara maupun luar daerah (Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Balikpapan). Berbeda dengan penelitian Collison, et al., (2005) yang menganalisis biaya transaksi sepanjang saluran pemasaran dari tingkat usahatani. Hasil estimasi perilaku biaya transaksi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Tabel 41. Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 41, selanjutnya akan dibahas respon masing-masing peubah endogen.
7.5.1. Biaya Perantara Penjualan Sapi Hasil estimasi pada Tabel 41 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen biaya perantara penjualan sapi (BPER) baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi peubah harga sapi bernilai positif. Artinya semakin tinggi harga, ada kecenderungan biaya perantara penjualan sapi semakin tinggi. Biaya perantara ditentukan perantara berdasarkan harga sapi yang terjual.
286
Tabel 41. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Biaya Perantara Penjualan Sapi, Biaya Transpor Penjualan Jagung/Kopra Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Bolaang Minahasa Mongondow Variabel Kode Parameter Estimasi
Biaya Perantara BPER Penjualan Sapi Harga Ternak Sapi HTS 0.144718* Penjualan Sapi PROSJ 0.482728 Jarak Pasar JARP Biaya Transpor BTPJ Penjualan Jagung Intersep -1.93930 Harga Penj Jagung HJG 0.011966 Konsumsi Jagung KONJ -0.00366* Biaya Transpor BTPK Penjualan Kopra Intersep Harga Kopra HKO TK Ternak Sapi TKSK Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Elastisitas
Parameter Estimasi
Elastisitas
0.9758 0.0112 -
0.1213* 2.7887* -4.019*
0.9908 0.3305 -0.049
0.7029 -0.1346
-
-
-
4.5867 0.0205* -0.180
1.7154 -0.142
Harga sapi berpengaruh sangat nyata terhadap peubah endogen biaya perantara penjualan sapi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa pada taraf nyata 15 persen. Artinya naiknya harga sapi sangat berpengaruh terhadap peningkatan biaya perantara penjualan sapi. Hal ini disebabkan upah perantara ditentukan berdasarkan harga jual. Semakin tinggi harga jual berarti upah yang ditentukan perantara karena jasanya dalam melakukan transaksi semakin besar. Besarnya nilai elastisitas menunjukkan peubah biaya perantara penjualan sapi tidak responsif terhadap peningkatan harga jual sapi. Seperti telah dijelaskan diatas, transaksi jual beli sapi oleh rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dilakukan perantara. Besarnya upah perantara tergantung berapa harga sapi yang terjual, walaupun responnya kecil.
287
Estimasi peubah penjualan sapi (PROSJ) bernilai positif. Artinya peningkatan penjualan sapi menyebabkan terjadinya peningkatan biaya perantara penjualan sapi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa menjual sapi di pasar blantik. Transaksi penjualan sapi yang terjadi bukan antara pemilik sapi dengan pembeli tetapi melalui perantara. Perantara mendapat upah sebagai balas jasa baik dari pemilik, berarti semakin banyak sapi yang dijual maka biaya perantara sebagai upah semakin besar. Penjualan sapi oleh rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa berpengaruh tidak nyata terhadap biaya perantara penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Artinya naiknya penjualan sapi pengaruhnya kecil terhadap peningkatan biaya perantara. Selanjutnya besarnya nilai elastisitas menunjukkan peubah biaya perantara penjualan sapi terhadap produksi sapi jual tidak responsif terhadap peningkatan penjualan sapi. Penjualan sapi di Minahasa dilakukan pada waktu-waktu tertentu misalnya pada saat hari raya, atau tahun ajaran baru. Sebagian besar rumahtangga menjual sapi beberapa ekor sekaligus dalam setahun. Selain itu biaya perantara penjualan sapi sudah tertentu, tinggi rendahnya biaya perantara bukan ditentukan rumahtangga tetapi tergantung perantara walaupun masih ada negosiasi. Kenyataan ini menunjukkan peningkatan penjualan sapi tidak bisa langsung direspon rumahtangga dengan menaikkan biaya transaksi. Estimasi peubah harga sapi di Bolaang Mongondow bernilai positif. Artinya setiap peningkatan harga jual sapi, ada kecenderungan kenaikan biaya perantara. Peningkatan harga jual sapi pengaruhnya sangat nyata terhadap biaya perantara. Penjualan sapi di Bolaang Mongondow menggunakan jasa perantara dan sebagai balas jasa rumahtangga memberikan upah. Upah tersebut ditentukan
288
oleh perantara tergantung harga sapi yang terjual. Semakin tinggi harga sapi yang diterima rumahtangga maka biaya perantara semakin tinggi. Walaupun biaya perantara penjualan sapi tidak responsif terhadap harga jual sapi. Salah satu faktor yang mempengaruhi biaya perantara adalah penjualan sapi. Faktor penjualan sapi berpengaruh nyata terhadap biaya perantara dan hubungannya positif. Semakin banyak jumlah sapi yang dijual maka biaya perantara semakin besar. Berbeda dengan di Minahasa, di Bolaang Mongondow sebagian besar rumahtangga menjual sapi di lokasi peternakan. Rumahtangga dikunjungi pedagang apakah pedagang pengumpul ataupun tukang potong dengan menggunakan jasa perantara. Kenyataannya biaya perantara di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding di Minahasa. Walaupun biaya perantara tersebut tidak responsif terhadap penjualan sapi. Sebagian rumahtangga menjual sapi di Kecamatan Boroko untuk diantarprovinsikan ataupun diantarpulaukan. Faktor lain yang mempengaruhi biaya perantara penjualan sapi di Bolaang Mongondow adalah jarak pasar dengan lokasi peternakan dan pengaruhnya nyata. Seperti dijelaskan di atas, perilaku penjualan sapi di Bolaang Mongondow bukan di pasar blantik seperti di Minahasa. Pedagang mengunjungi rumahtangga melalui perantara, sehingga biaya transpor pedagang tersebut dikurangi dari pembelian sapi tanpa diketahui rumahtangga. Pada kondisi ini, harga yang diterima dalam seekor ternak lebih murah dibanding di Minahasa, walaupun pedagang membeli ternak dengan harga Rp 35 000 per kg berat hidup. Namun, harga tergantung berat badan sapi yang tidak diketahui rumahtangga. Negosiasi antara rumahtangga dan perantara terjadi setelah adanya tawar menawar berat badan sapi. Biaya transpor pedagang ditanggung rumahtangga. Sebagian rumahtangga petani di Bolaang
289
Mongondow menjual sapi di Boroko. Untuk sampai di Boroko, rumahtangga mengeluarkan biaya perantara lebih rendah. Keadaan ini menunjukkan semakin jauh jarak pasar maka biaya perantara semakin kecil. Tetapi biaya perantara penjualan sapi tersebut tidak responsif terhadap jarak pasar. Fenomena ini menunjukkan penerimaan rumahtangga lebih kecil karena selain memberikan upah ke perantara, rumahtangga juga menanggung biaya transpor dari pedagang yang tidak diketahui berapa besar biaya transpor tersebut.
7.5.2. Biaya Transpor Penjualan Jagung Hasil estimasi di Minahasa sesuai pada Tabel 41 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen biaya transpor penjualan jagung (BTPJ) telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi harga jagung (HJG) bernilai positif. Artinya semakin tinggi harga jual jagung menyebabkan biaya transpor penjualan jagung semakin tinggi. Hasil penelitian menunjukkan rumahtangga menjual jagung di pasar kecamatan. Kendaraan yang digunakan untuk mengangkut jagung adalah milik salah satu penduduk di desa tersebut. Setiap kenaikan harga jual jagung maka rumahtangga dikenakan biaya transpor yang lebih tinggi. Pembayaran transpor dilakukan pada saat jagung telah terjual. Estimasi peubah jumlah konsumsi jagung oleh ternak sapi bernilai negatif. Artinya semakin banyak jagung dikonsumsi maka ada kecenderungan penurunan biaya transpor penjualan jagung. Hal ini disebabkan bahwa bila jagung dikonsumsi oleh ternak semakin meningkat maka surplus jagung untuk dijual makin kecil sehingga biaya transpor yang ditanggung rumahtangga juga semakin kecil. Sebagian besar rumahtangga di lokasi penelitian (di Minahasa) menanam
290
jagung dengan tujuan untuk dijual. Namun sebelum dijual sebagian jagung dimanfaatkan sebagai makanan ternak sapi, sehingga konsumsi ternak sapi tersebut dianggap dapat mengurangi biaya transpor penjualan jagung. Hasil analisis estimasi menunjukkan harga jagung berpengaruh tidak nyata terhadap peubah endogen biaya transpor penjualan jagung pada taraf nyata 15 persen. Artinya, naiknya harga jagung di Minahasa pengaruhnya kecil terhadap peningkatan biaya transpor penjualan jagung. Rumahtangga bisa menggunakan angkutan lain yang lebih murah. Selanjutnya, peubah konsumsi jagung oleh ternak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen biaya transpor penjualan jagung pada taraf nyata 15 persen. Artinya, peningkatan konsumsi jagung oleh ternak sangat berpengaruh terhadap pengurangan biaya transpor penjualan jagung disebabkan semakin banyak jagung dikonsumsi oleh ternak maka jumlah jagung yang dijual semakin sedikit. Rumahangga tidak menanggung biaya transpor lebih besar. Dampaknya biaya transaki yang dikeluarkan rumahtangga juga semakin kecil. Nilai elastisitas peubah biaya transpor penjualan jagung terhadap harga jual jagung dan konsumsi jagung masing-masing lebih kecil satu. Artinya, biaya transpor penjualan jagung di Minahasa tidak responsif terhadap peningkatan harga jual jagung. Makin tinggi harga jagung langsung direspon rumahtangga dengan menaikkan biaya transpor. Hal ini disebabkan dengan harga lebih tinggi, penerimaan dari penjualan jagung lebih tinggi, namun responnya kecil. Nilai elastisitas peubah biaya transpor penjualan jagung terhadap konsumsi jagung lebih kecil satu. Artinya biaya transpor penjualan jagung tidak responsif terhadap konsumsi jagung. Konsumsi jagung pengaruhnya kecil terhadap penurunan biaya transpor penjualan jagung. Biaya transpor dihitung
291
berdasarkan banyaknya ret pengangkutan ke tempat tujuan. Biaya transpor penjualan jagung tergantung jumlah yang dijual dan harga yang berlaku.
7.5.3. Biaya Transpor Penjualan Kopra Hasil analisis pada Tabel 41 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen biaya transpor penjualan kopra (BTPK) di Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi harga kopra bernilai positif. Artinya naiknya harga jual kopra menyebabkan biaya transpor penjualan kopra naik. Sebagian besar rumahtangga petani peternak menjual kopra dijemput oleh pedagang menyebabkan harga yang dibayar ke rumahtangga semakin kecil karena sudah dikurangi biaya transpor. Fenomena ini menunjukkan semakin tinggi harga penjualan kopra maka biaya transpor penjualan kopra yang ditanggung rumahtangga semakin besar. Biaya transpor penjualan kopra tersebut responsif terhadap harga kopra. Penjualan kopra di lokasi penelitan lebih murah dibanding dijual di pabrik-pabrik minyak goreng di Sulawesi Utara. Bila menjual di pabrik biaya transpor yang ditanggung rumahtangga lebih besar. Faktor lain yang mempengaruhi biaya transpor penjualan kopra adalah tenaga kerja sapi. Semakin tinggi jam kerja sapi, biaya transpor penjualan kopra semakin kecil. Hal ini disebabkan sebagian besar penjualan kopra dijemput oleh pedagang.
Apabila
rumahtangga
mengangkut
sendiri
kopranya
dengan
menggunakan gerobak maka biaya transpor penjualan kopra lebih murah. Pedagang yang membeli kopra menggunakan kendaraan pick up sebagai pengangkut kopra di lokasi perkebunan kelapa. Biaya transpor yang ditanggung
292
dihitung sebagai upah apabila ternak disewa rumahtangga lain. Semakin banyak penggunaan tenaga kerja sapi maka biaya transpor semakin berkurang. Walaupun biaya transpor penjualan kopra tidak responsif terhadap tenaga kerja sapi.
7.6. Perilaku Penerimaan dan Pendapatan Perilaku penerimaan dan pendapatan di Minahasa dianalisis untuk usaha sapi, jagung, usahatani lain, buruh tani, luar usahatani dan usahalain. Penerimaan dan pendapatan terdiri dari lima persamaan identitas yaitu penerimaan usaha sapi (RUTS), pendapatan usaha sapi (PUTS), pendapatan usaha jagung (PUJ), total pendapatan rumahtangga (TPRT) dan pendapatan siap dibelanjakan (PSD). Penerimaan
usaha
sapi
merupakan
penjumlahan
penjualan
sapi,
pendapatan sewa ternak sapi sebagai tenaga kerja baik perhitungan maupun dibayar. Pendapatan usaha sapi merupakan selisih penerimaan dengan total biaya. Penerimaan usaha sapi dalam penelitian ini mempengaruhi produktivitas jagung yang diproxy dengan komponen penerimaan penjualan sapi (RUTSJ) sebagai budget dalam usaha jagung. Penerimaan usaha sapi juga mempengaruhi perluasan lahan garapan jagung, pembelian pupuk urea, penyewaan tenaga kerja luar untuk usaha jagung, curahan kerja sebagai buruh tani, konsumsi jagung untuk sapi, pengeluaran rumahtangga yang diproxy dengan total pendapatan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa. Pendapatan usaha jagung merupakan selisih antara penerimaan dan total biaya usaha jagung. Penerimaan usaha jagung sebagai budget rumahtangga mempengaruhi pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan, investasi sumberdaya manusia yang di proxy dengan total penerimaan rumahtangga.
293
Total penerimaan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa merupakan penjumlahan semua pendapatan rumahtangga yang bersumber dari usaha sapi, usaha jagung, usahatani lain, buruh tani, luar usahatani dan usahatani lain dikurangi biaya sarana produksi, biaya tenaga kerja dan biaya transaksi. Sedangkan pendapatan siap belanja merupakan selisih antara total penerimaan rumahtangga dengan pajak. Perilaku penerimaan dan pendapatan di Bolaang Mongondow dianalisis untuk usaha sapi, usaha kelapa, usaha jagung dan usahatani lain, buruh tani, luar usahatani dan usahalain. Penerimaan dan pendapatan terdiri dari lima persamaan identitas yaitu penerimaan usaha sapi (RUTS), pendapatan usaha sapi (PUTS), pendapatan usaha kelapa (PUK), total pendapatan rumahtangga (TPRT) dan pendapatan siap dibelanjakan (PSD). Seperti di Minahasa, penerimaan usaha sapi di Bolaang Mongondow merupakan penjumlahan penjualan sapi dengan pendapatan sewa ternak sapi perhitungan dan sewa sapi dibayar. Pendapatan usaha sapi merupakan selisih penerimaan dengan total biaya. Pendapatan usaha kelapa merupakan selisih antara penerimaan kelapa dengan total biaya usaha kelapa. Penerimaan usaha kelapa sebagai budget rumahtangga yang di proxy dengan total penerimaan rumahtangga mempengaruhi pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan, konsumsi non pangan, investasi sumberdaya manusia. Total
penerimaan
rumahtangga
merupakan
penjumlahan
semua
pendapatan rumahtangga yang bersumber dari usaha sapi, usaha kelapa, total usahatani lain dengan usaha jagung, buruh tani, luar usahatani dan usahatani lain dikurangi biaya sarana produksi, biaya tenaga kerja dan biaya transaksi.
294
Sedangkan pendapatan siap belanja merupakan selisih antara total penerimaan rumahtangga dengan pajak.
7.7. Perilaku Pengeluaran Rumahtangga Perilaku pengeluaran rumahtangga dan surplus dalam penelitian ini terdiri dari empat persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri dari konsumsi pangan (KP), konsumsi non pangan (KNP), investasi pendidikan (IPD) dan konsumsi jagung (KONJ). Sedangkan persamaan identitas terdiri dari total konsumsi (KT), total pegeluaran (TP), investasi sumberdaya manusia (ISM) dan surplus jagung (SPJ). Perilaku pengeluaran rumahtangga dan surplus di Bolaang Mongondow terdiri dari empat persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri dari konsumsi pangan (KP), konsumsi non pangan (KNP), investasi pendidikan (IPD) dan surplus pasar kelapa (SPK). Sedangkan persamaan identitas terdiri dari total konsumsi (KT), total pegeluaran (TP) dan investasi sumberdaya manusia (ISM). Hasil estimasi perilaku pengeluaran rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 42. Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 42, selanjutnya akan dibahas respon masing-masing peubah endogen.
7.7.1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan (KP) secara bersama-sama dipengaruhi jumlah anggota keluarga (ANG), pendidikan formal kepala keluarga (PFO) dan total pendapatan rumahtangga (TPRT). Konsumsi pangan merupakan pengeluaran kebutuhan pokok rumahtangga. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Muhammad (2002), Kusnadi (2005), Asmarantaka (2007), Bakir (2007) dan Priyanti (2007).
295
Hasil analisis pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi konsumsi pangan telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi peubah jumlah anggota keluarga bernilai positif. Artinya naiknya jumlah anggota keluarga menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi pangan sebesar nilai estimasi parameternya. Estimasi peubah tingkat pendidikan kepala keluarga bernilai positif. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga, konsumsi pangan naik sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda peubah total pendapatan rumahtangga adalah positif. Artinya semakin tinggi total pendapatan rumahtangga maka konsumsi pangan semakin meningkat sebesar nilai estimasi parameternya. Apabila tingkat pendapatan rumahtangga
semakin
tinggi,
mereka
dapat
mengalokasikannya
untuk
pengeluaran konsumsi pangan dalam rangka memaksimumkan utilitasnya. Hasil estimasi juga menunjukkan jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan total pendapatan rumahtangga masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap peubah endogen konsumsi pangan pada taraf nyata 15 persen. Penambahan anggota keluarga pengaruhnya sangat besar terhadap
peningkatan
konsumsi
pangan.
Konsumsi
pangan
tergantung
karakteristik rumahtangga diantaranya struktur demografi rumahtangga dapat dilihat dari ketergantungan rasio C/W. Rumahtangga dengan C/W tinggi berarti jumlah anggota rumahtangga yang mengkonsumsi lebih besar dari pekerja dengan demikian konsumsi pangan lebih tinggi. Bertambahnya anggota keluarga maka kebutuhan beras dan lauk pauk makin meningkat menyebabkan pengeluaran semakin meningkat.
296
Tabel 42. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Pengeluaran Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Bolaang Mongondow
Minahasa Variabel
Kode
Parameter Estimasi
Konsumsi Pangan KP 3123100 Intersep Jumlah Anggota Kel ANG 1083476* 121564.3* Pendidikn Kepala Kel PFO Total Pendapatan RT TPRT 0.00390* Konsmsi Non Pangan KNP 2596139 Intersep 123988.1* Pendidikan Kepala Kel PFO Jumlah Angkatan Kerja JAKK 471818.6* Total Pendapatan Kel TPRT 0.002304 Jumlah Anggota Kel ANG Investasi Pendidikan IPD -118982 Intersep 150394.6* Pendidikan Kepala Kel PFO -0.05553 Tabungan TAB Total Pendapatan RT TPRT 0.002335* Jumlah Anak Sekolah JAS Konsumsi Jagung KONJ 496.0788 Intersep Biaya Rumput BRUM 0.000011 Penerimaan Penj Sapi RUTSJ 4.699E-6 Produksi Jagung PROJ 0.006414* Surplus Pasar Kelapa SPK Intersep Harga Buah Kelapa HBK Produksi Kelapa PROB Total Pengeluaran TP Biaya Transaksi kopra BTRK Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Elastisitas
Parameter Estimasi
Elastisitas
0.47406 0.12080 0.01427
3181763 834881* 137392* 0.06114*
0.24460 0.08810 0.01674 -
-1274999 139355* 0.06728* 627293*
0.2824 0.5024
1.08311 -0.0393 0.0620 -
0.02204* 1293502*
0.4885 1.0547
0.10812 0.07940 0.09094
-
-
-
6050.961 4.42578* 0.00956* 0.00020* 9.37203*
0.1624 0.0097 0.2462 0.0204
0.3144 0.1262 0.2070
0.5211
Bila faktor-faktor lain tetap, semakin tinggi pendidikan pengaruhnya cukup besar terhadap peningkatan konsumsi pangan. Tingkat pendidikan berperan penting terhadap alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan terutama menyangkut pola konsumsi rumahtangga. Naiknya pendapatan rumahtangga
297
berdampak terhadap peningkatan konsumsi rumahtangga. Semakin tinggi pendapatan, daya beli rumahtangga terhadap komoditas pangan semakin tinggi. Nilai elastisitas peubah konsumsi pangan terhadap jumlah anggota keluarga lebih kecil satu. Artinya konsumsi pangan tidak responsif terhadap jumlah anggota keluarga. Walaupun jumlah anggota keluarga berpengaruh cukup besar terhadap konsumsi pangan namun bertambahnya anggota keluarga tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan konsumsi pangan. Kenyataan ini menunjukkan rumahtangga di Minahasa sudah rasional dalam mengalokasikan pengeluaran untuk konsumsi pangan. Hasil analisis nilai elastisitas peubah konsumsi pangan terhadap pendidikan kepala keluarga lebih kecil satu. Artinya konsumsi pangan tidak responsif terhadap tingkat pendidikan kepala keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan,
rumahtangga
semakin
rasional
mengalokasikan
pengeluaran
konsumsi pangan. Rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa mulai menerapkan pola hidup sederhana, konsumsi pangan bukan berdasarkan kuantitasnya tapi lebih memperhatikan kualitas. Hasil analisis menunjukkan nilai elastisitas peubah konsumsi pangan terhadap total pendapatan rumahtangga lebih kecil satu. Artinya konsumsi pangan tidak responsif terhadap total pendapatan rumahtangga. Walaupun pendapatan total yang diperoleh rumahtangga berdampak cukup besar terhadap konsumsi pangan. Hal ini disebabkan karena pendapatan yang diperoleh rumahtangga akan dialokasikan bukan hanya untuk kebutuhan pokok tetapi juga untuk kebutuhan non pokok seperti kebutuhan non pangan, pendidikan, kesehatan dan usahatani.
298
Konsumsi pangan (KP) oleh rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi jumlah anggota keluarga (ANG), pendidikan formal kepala keluarga (PFO) dan total pendapatan rumahtangga (TPRT). Konsumsi pangan merupakan pengeluaran untuk kebutuhan pokok rumahtangga yang harus dipenuhi karena menyangkut kebutuhan sehari-hari. Konsumsi pangan terutama berkaitan dengan struktur demografi rumahtangga. Hasil estimasi pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubahpeubah yang mempengaruhi konsumsi pangan telah sesuai kriteria ekonomi. Jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan total pendapatan rumahtangga masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap peubah endogen konsumsi pangan pada taraf nyata 15 persen. Jumlah anggota keluarga bernilai positif. Artinya naiknya jumlah anggota keluarga, maka konsumsi pangan naik sebesar nilai estimasi parameternya. Jumlah anggota keluarga merupakan karakteristik rumahtangga yang dapat mempengaruhi pengeluaran konsumsi dan pengaruhnya sangat nyata. Naiknya anggota keluarga maka kebutuhan beras dan lauk pauk meningkat akibatnya pengeluaran juga meningkat. Walaupun respon perubahannya tidak elastis, karena anggota keluarga tidak berubah dalam jangka pendek dan rumahtangga juga sudah rasional dalam mengalokasikan pengeluaran konsumsi pangan. Faktor karakteristik rumahtangga lain yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah tingkat pendidikan kepala keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi pangan sebesar nilai estimasi parameternya. Konsumsi pangan merupakan konsumsi bahan-bahan pokok yang harus dipenuhi oleh setiap rumahtangga.
299
Seperti di Minahasa, kepala keluarga yang menyandang tingkat pendidikan lebih tinggi akan berusaha meningkatkan pengeluaran untuk konsumsi pangan anggota keluarganya. Tingkat pendidikan berperan penting terhadap alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan terutama menyangkut pola konsumsi rumahtangga petani peternak sapi. Pengaruh tingkat pendidikan sangat nyata terhadap konsumsi pangan, walaupun responnya sangat kecil yang disebabkan konsumsi pangan sudah tertentu. Semakin tinggi tingkat pendidikan, rumahtangga juga semakin rasional dalam mengalokasikan pengeluaran konsumsi pangan. Rumahtangga mulai menerapkan pola hidup sederhana dengan konsumsi pangan bukan berdasarkan kuantitasnya tapi lebih memperhatikan kualitas. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga merupakan faktor penentu besar kecilnya pengeluaran konsumsi pangan. Tanda peubah total pendapatan rumahtangga adalah positif. Artinya semakin tinggi total pendapatan rumahtangga [[
maka konsumsi pangan rumahtangga semakin meningkat sebesar nilai estimasi parameternya. Apabila tingkat pendapatan rumahtangga semakin tinggi, mereka dapat mengalokasikannya untuk pengeluaran konsumsi pangan dalam rangka memaksimumkan utilitasnya. Semakin tinggi pendapatan rumahtangga maka daya beli rumahtangga terhadap komoditas pangan semakin tinggi. Pengaruh pendapatan sangat nyata terhadap konsumsi pangan, walaupun respon perubahannya sangat kecil. Hal ini disebabkan konsumsi pangan sudah tertentu dan rumahtangga berpikir rasional untuk mengalokasikan pendapatannya. Sehingga pendapatan yang diperoleh rumahtangga akan dialokasikan bukan hanya untuk kebutuhan pokok tetapi juga untuk kebutuhan non pokok seperti kebutuhan non pangan, pendidikan, kesehatan dan usahatani.
300
7.7.2. Konsumsi Non Pangan Konsumsi non pangan (KNP) diantaranya konsumsi minyak tanah/kayu bakar, listrik/air, kesehatan, pakaian/sepatu/sabun, kebutuhan sosial/rekreasi dan sebagainya. Konsumsi non pangan (KNP) secara bersama-sama dipengaruhi pendidikan kepala keluarga, jumlah angkatan kerja dan total pendapatan rumahtangga. Hasil analisis pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen konsumsi non pangan telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi peubah tingkat pendidikan kepala keluarga bernilai positif. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka konsumsi non pangan naik sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda peubah jumlah angkatan kerja bernilai positif. Artinya naiknya jumlah angkatan kerja keluarga menyebabkan naiknya konsumsi non pangan sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda peubah total pendapatan rumahtangga adalah positif. Artinya semakin tinggi total pendapatan rumahtangga, konsumsi non pangan semakin meningkat sebesar nilai estimasi parameternya. Tingkat pendapatan rumahtangga semakin tinggi, mereka dapat mengalokasikannya untuk pengeluaran konsumsi non pangan dengan lebih tinggi. Peubah pendidikan kepala keluarga dan jumlah angkatan kerja keluarga masing-masing berpengaruh nyata terhadap konsumsi non pangan pada taraf nyata 15 persen. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan berdampak cukup besar terhadap naiknya konsumsi non pangan. Kepala keluarga yang menyandang tingkat pendidikan lebih tinggi sudah memperhatikan konsumsi non pangan.
301
Semakin tinggi jumlah angkatan kerja juga berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi non pangan. Hal ini berkaitan dengan rasio konsumsi dan pekerja dalam rumahtangga. Semakin rendah rasio C/W maka pengeluaran konsumsi non pangan makin tinggi. Keadaan ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah angkatan kerja keluarga pengaruhnya cukup besar terhadap peningkatan konsumsi non pangan di lokasi penelitian. Peubah total pendapatan rumahtangga berpengaruh tidak nyata terhadap konsumsi non pangan pada taraf nyata 15 persen. Artinya peningkatan pendapatan rumahtangga pengaruhnya kecil terhadap peningkatan konsumsi non pangan rumahtangga. Hal ini disebabkan pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk berbagai kebutuhan baik kebutuhan pokok, kebutuhan non pokok termasuk kebutuhan proses produksi usahatani. Nilai elastisitas peubah konsumsi non pangan terhadap pendidikan kepala keluarga lebih kecil satu. Artinya konsumsi non pangan tidak responsif terhadap pendidikan kepala keluarga. Walaupun pendidikan kepala keluarga berdampak cukup besar terhadap peningkatan konsumsi non pangan. Kenyataan ini menunjukkan rumahtangga sudah mulai rasional dalam mengalokasikan pengeluaran dengan tidak mengutamakan konsumsi non pangan. Besarnya nilai elastisitas peubah konsumsi non pangan terhadap jumlah angkatan kerja keluarga lebih kecil satu. Artinya konsumsi non pangan tidak responsif terhadap jumlah angkatan kerja keluarga. Walaupun jumlah angkatan kerja keluarga berdampak cukup besar terhadap peningkatan konsumsi non pangan. Struktur demografi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa mempengaruhi pengeluaran konsumsi non pangan. Dampak struktur demografi
302
dapat dilihat dari rasio konsumsi dan pekerja (C/W). Semakin tinggi pekerja, rasionya makin kecil sehingga konsumsi non pangan makin tinggi. Nilai elastisitas peubah konsumsi non pangan terhadap total pendapatan rumahtangga lebih kecil satu. Artinya konsumsi non pangan tidak responsif terhadap total pendapatan rumahtangga. Walaupun peningkatan pendapatan rumahtangga berdampak cukup besar terhadap peningkatan konsumsi non pangan. Dalam hal ini rumahtangga tidak mengutamakan konsumsi non pangan. Konsumsi non pangan di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga dan total pendapatan rumahtangga. Hasil analisis pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen konsumsi non pangan telah sesuai kriteria ekonomi. Peubah jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga dan total pendapatan rumahtangga masing-masing berpengaruh nyata terhadap konsumsi non pangan pada taraf nyata 15 persen. Peubah jumlah anggota keluarga bernilai positif. Artinya semakin banyak anggota keluarga maka konsumsi non pangan semakin meningkat. Pengeluaran kebutuhan non pangan diantaranya pengeluaran minyak tanah, kayu bakar, pakaian/sepatu, sabun, kesehatan dan sosial. Semakin banyak anggota rumahtangga maka kebutuhan untuk konsumsi non pangan tersebut makin meningkat, sehingga pengeluaran untuk kebutuhan tersebut juga meningkat. Pengaruh jumlah anggota keluarga sangat nyata terhadap konsumsi non pangan, walaupun tidak responsif. Estimasi peubah tingkat pendidikan kepala keluarga bernilai positif. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga menyebabkan naiknya
303
konsumsi non pangan sebesar nilai estimasi parameternya. Peningkatan tingkat pendidikan tersebut pengaruhnya nyata terhadap pengeluaran konsumsi non pangan. Kepala keluarga yang menyandang tingkat pendidikan lebih tinggi sudah memperhatikan pengeluaran konsumsi non pangan bagi keluarganya. Konsumsi non pangan tidak responsif terhadap pendidikan kepala keluarga. Kenyataan ini menunjukkan rumahtangga sudah mulai rasional dalam mengalokasikan pengeluaran dengan tidak mengutamakan konsumsi non pangan. Tanda peubah total pendapatan rumahtangga adalah positif. Artinya semakin tinggi total pendapatan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow maka konsumsi non pangan semakin meningkat sebesar nilai estimasi parameternya. Apabila tingkat pendapatan rumahtangga semakin tinggi, mereka dapat mengalokasikannya untuk pengeluaran konsumsi non pangan. Peningkatan pendapatan rumahtangga tersebut pengaruhnya sangat besar terhadap peningkatan konsumsi non pangan rumahtangga. Hal ini disebabkan pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk berbagai kebutuhan baik kebutuhan pokok, kebutuhan non pokok termasuk kebutuhan proses produksi usahatani. Namun konsumsi non pangan tidak responsif terhadap total pendapatan rumahtangga. Dalam hal ini rumahtangga tidak mengutamakan konsumsi non pangan.
7.7.3. Investasi Pendidikan Investasi pendidikan rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi oleh pendidikan kepala keluarga, tabungan dan total pendapatan rumahtangga (TPRT).
304
Estimasi peubah tingkat pendidikan kepala keluarga bernilai positif. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga menyebabkan pengeluaran untuk pendidikan semakin tinggi sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda peubah tabungan bernilai negatif. Artinya peningkatan tabungan dapat menyebabkan terjadinya penurunan pengeluaran untuk investasi pendidikan sebesar nilai estimasi parameternya. Total pendapatan rumahtangga petani peternak sapi bernilai positif. Artinya
semakin
tinggi
total
pendapatan
rumahtangga
maka
semakin
meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan sebesar nilai estimasi parameternya. Apabila tingkat pendapatan semakin tinggi maka rumahtangga petani peternak sapi dapat mengalokasikannya untuk pengeluaran investasi pendidikan dengan proporsi lebih besar. Rumahtangga di Minahasa lebih memperhatikan peningkatan kualitas sumberdaya manusianya. Hasil estimasi menunjukkan peubah pendidikan kepala keluarga berpengaruh nyata terhadap peubah endogen investasi pendidikan pada taraf nyata 15 persen. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga berdampak cukup besar terhadap peningkatan investasi pendidikan. Kepala keluarga yang menyandang tingkat pendidikan lebih tinggi sudah memperhatikan tingkat pendidikan anggota keluarganya. Estimasi peubah tabungan berpengaruh tidak nyata terhadap peubah investasi pendidikan pada taraf nyata 15 persen. Hal ini dapat dinyatakan bahwa penambahan jumlah tabungan keluarga pengaruhnya cukup kecil terhadap peningkatan investasi pendidikan. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam hal ini sangat diperlukan budget dalam rangka peningkatan
305
sumberdaya manusia. Tabungan dapat diandalkan sebagai penanggulangan apabila ada kebutuhan mendesak di masa yang akan datang atau pada akhir tahun. Namun kenyataan di lapangan, rumahtangga menabung dalam bentuk arisan untuk digunakan sebagai pengeluaran konsumsi pada hari natal dan tahun baru. Berdasarkan fenomena tersebut, peningkatan tabungan berdampak kecil terhadap penurunan investasi pendidikan. Dalam hal ini pendidikan dianggap mempunyai peranan penting bagi anggota keluarga. Peubah total pendapatan rumahtangga petani peternak sapi berpengaruh tidak nyata terhadap investasi pendidikan pada taraf nyata 15 persen. Artinya naiknya pendapatan rumahtangga pengaruhnya kecil terhadap naiknya investasi pendidikan. Biaya pendidikan sudah tertentu, sehingga peningkatan total pendapatan
rumahtangga
pengaruhnya
kecil
terhadap
naiknya
investasi
pendidikan. Pendidikan bagi anggota keluarga di Minahasa sangat berperan penting dan diutamakan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Namun pendapatan yang diperoleh dialokasikan juga untuk pengeluaran lain. Nilai elastisitas peubah investasi pendidikan terhadap pendidikan kepala keluarga lebih besar satu. Artinya investasi pendidikan responsif terhadap pendidikan kepala keluarga. Tingkat pendidikan kepala keluarga berdampak cukup besar terhadap investasi pendidikan anggota keluarganya. Kenyataan ini menunjukkan pendidikan berperan penting bagi rumahtangga. Investasi pendidikan merupakan pengeluaran yang dialokasikan untuk menunjang peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mencapai kualitas sumberdaya manusia yang layak sangat ditunjang dengan tingkat pendidikan kepala keluarga.
306
Besarnya nilai elastisitas peubah investasi pendidikan terhadap tabungan lebih kecil satu. Artinya investasi pendidikan tidak responsif terhadap tabungan. Peningkatan
tabungan
pengaruhnya
kecil
terhadap
penurunan
investasi
pendidikan. Tabungan bersaing dengan pengeluaran untuk investasi pendidikan. Seperti telah dijelaskan di atas, rumahtangga menabung dengan harapan di hari tua atau diakhir tahun ada budget yang dapat dialokasikan untuk kebutuhan pangan maupun non pangan. Namun demikian, peningkatan tabungan tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan investasi pendidikan. Nilai elastisitas peubah investasi pendidikan terhadap total pendapatan rumahtangga lebih kecil satu. Artinya investasi pendidikan tidak responsif terhadap total pendapatan rumahtangga. Walaupun peningkatan pendapatan rumahtangga mempunyai pengaruh cukup besar terhadap investasi pendidikan. Dalam hal ini pengeluaran untuk investasi pendidikan sudah tertentu. Investasi pendidikan di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi jumlah anak sekolah dan total pendapatan rumahtangga. Hasil analisis pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi investasi pendidikan telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi peubah jumlah anak sekolah bernilai positif. Artinya semakin tinggi jumlah anak sekolah dalam rumahtangga menyebabkan pengeluaran untuk pendidikan semakin tinggi sebesar nilai estimasi parameternya. Pengaruh jumlah anak sekolah tersebut nyata terhadap investasi pendidikan. Pengeluaran investasi pendidikan sangat responsif terhadap jumlah anak bersekolah dalam keluarga. Hal ini dilakukan rumahtangga untuk meningkatkan sumberdaya manusianya.
307
Pendapatan yang diterima rumahtangga juga dialokasikan untuk pengeluaran pendidikan. Peubah total pendapatan rumahtangga bernilai positif. Artinya semakin tinggi total pendapatan rumahtangga maka makin tinggi pengeluaran pendidikan sebesar nilai estimasi parameternya. Apabila tingkat pendapatan rumahtangga semakin tinggi, mereka dapat mengalokasikannya untuk investasi pendidikan dengan proporsi yang lebih besar. Pengaruh pendapatan tersebut sangat nyata terhadap investasi pendidikan, walaupun responnya kecil disebabkan sebagian anak tersebut masih dalam usia sekolah selain itu biaya pendidikan sudah tertentu.
7.7.4. Konsumsi Jagung Di Minahasa sebagian jagung yang ditanam dimanfaatkan sebagai konsumsi sapi. Konsumsi jagung secara bersama-sama dipengaruhi biaya pembelian rumput, penerimaan penjualan sapi dan produksi jagung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, konsumsi jagung merupakan perhitungan konsumsi jagung oleh ternak sapi. Hasil estimasi pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen konsumsi jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Rumahtangga mempunyai keterbatasan budget sehingga rumahtangga berusaha meminimumkan biaya sarana produksi. Meningkatnya pembelian rumput menyebabkan rumahtangga akan beralih menambah jagung sebagai konsumsi ternak sapi. Estimasi peubah biaya pembelian rumput bernilai positif. Artinya semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk pembelian rumput menyebabkan konsumsi jagung oleh ternak makin meningkat sebesar nilai estimasi parameternya. Hal ini
308
dilakukan rumahtangga sebagai upaya meminimumkan biaya sarana produksi sekaligus meningkatkan kualitas pakan. Tanda peubah penerimaan penjualan sapi bernilai positif. Artinya bertambahnya penerimaan dari penjualan sapi menyebabkan peningkatan konsumsi jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Kenyataan di lapang menunjukkan rumahtangga berusaha meningkatkan kualitas pakan dengan mengurangi jagung yang dijual. Bertambahnya penerimaan penjualan sapi menyebabkan
konsumsi
jagung
meningkat.
Rumahtangga
tidak
perlu
meningkatkan penjualan jagung sebagai sumber penerimaan. Untuk menutupi biaya yang dikeluarkan digunakan penerimaan dari penjualan sapi. Peubah produksi jagung bernilai positif. Artinya naiknya produksi jagung, meningkatkan konsumsi jagung oleh ternak sebesar nilai estimasi parameternya. Kenyataan di lapang, sebagian produksi jagung diberikan ke ternak dalam bentuk jagung muda beserta limbahnya. Fenomena ini sebagai upaya peningkatan kualitas pakan dan untuk mengatasi kekurangan rumput. Hasil estimasi menunjukkan peubah biaya pembelian rumput dan penerimaan penjualan sapi masing-masing berpengaruh tidak nyata terhadap peubah endogen konsumsi jagung oleh ternak pada taraf nyata 15 persen. Artinya semakin tinggi biaya rumput dampaknya kecil terhadap peningkatan konsumsi jagung. Hal ini disebabkan jagung yang ditanam sebagai konsumsi ternak sapi, namum ketersediaannya tergantung musim tanam. Setiap tahun musim tanam jagung 2 sampai 3 kali malahan ada yang hanya sekali tanam. Bila faktor lain tetap, peningkatan penerimaan penjualan sapi pengaruhnya kecil terhadap
312
VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN Berdasarkan teori, keputusan rumahtangga berkaitan dengan keputusan curahan kerja, produksi dan pengeluaran konsumsi. Pada bab ini akan dibahas bagaimana dampak perubahan beberapa peubah terhadap keputusan rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Sulawesi Utara. Petani peternak sapi di Sulawesi Utara dipelajari berdasarkan usaha ternak sapi – jagung di Minahasa dan usaha ternak sapi – kelapa di Bolaang Mongondow. Perubahan-perubahan dimaksud merupakan perubahan kebijakan dan non kebijakan yang berdampak terhadap keragaan ekonomi rumahtangga. Keragaan ekonomi rumahtangga dapat diukur secara langsung melalui perubahan produksi, curahan kerja dan konsumsi. Perubahan-perubahan tersebut terlihat dari perubahan peubah endogen sebagai akibat perubahan peubah kebijakan dan non kebijakan dalam model simulasi. Dalam penelitian ini model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapitanaman di Sulawesi Utara, baik Minahasa maupun Bolaang Mongondow, dibangun dalam bentuk sistim persamaan simultan. Hubungan antara peubah endogen, eksogen maupun instrumen kebijakan dan non kebijakan terkait secara simultan. Selanjutnya sebelum dilakukan skenario simulasi, perlu dilakukan validasi model. 8.1. Hasil Validasi Model Hasil validasi yang dinyatakan dengan nilai RMSPE dan nilai U’Theil model perilaku ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Tabel 43 dan Tabel 44.
313
Tabel 43. Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Jagung di Minahasa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Peubah Endogen Produksi Ternak Sapi Penjualan Sapi Produktivitas Jagung Luas Lahan Garapan Jagung Jumlah Rumput Jumlah Benih Jagung Jumlah Pupuk Urea Jagung Jumlah Pupuk TSP Jagung TK Keluarga UT Sapi TK Keluarga UT Jagung TK Luar Keluarga UT Jagung TK Ternak Sapi UT Jagung Curahan Kerja Keluarga Biaya Perantara Penjualan Sapi Biaya Transpor Penj Jagung Konsumsi Pangan Konsumsi Non Pangan Investasi Pendidikan Konsumsi Jagung Biaya Sarana Produksi Sapi Biaya Sarana Produksi Jagung Biaya Tenaga Kerja Jagung Biaya Transaksi Sapi Biaya Transaksi Jagung Biaya Transaksi Total Penerimaan Usaha Ternak Sapi Pendapatan Usaha Ternak Sapi Pendapatan UT Jagung Total Pendapatan Rumahtangga Pendapatan Siap Belanja Investasi Sumberdaya Manusia Konsumsi Total Total Pengeluaran Surplus Pasar Jagung Harga Bayangan Ternak Sapi Harga Bayangan Jagung Upah Bayangan TK Upah Bayangan TK Jagung Upah Sewa Sapi Bayangan Total Biaya Produksi Sapi Total Biaya Jagung Total Biaya Produksi Jagung Produksi Jagung
Kode PROS PROSJ PRODJ LHNJ JRUM JBJ JPUJ JPTJ TKDS TKDJ TKLJ TKSJ CTDUO BPER BTPJ KP KNP IPD KONJ BSPS BSPJ BTKJ BTRS BTRJ BTR RUTS PUTS PUJ TPRT PSD ISM KT TP SPJ HTSB HJGB UTKB UTKBJ USSB TBPS TBJ TBPJ PROJ
RMSPE 36.4937 63.9013 28086.2 79.4879 26.4789 156.8 83.2432 147.0 36.8239 129.0 363.4 3878.7 135731 74.1584 56.6328 61.7411 117.3 1.0402E8 317.1 51.8257 64.7547 44.2815 32.7980 12.8139 32.3383 48.5404 2057.1 67901.0 3367.7 3407.1 2509.9 29.0430 35.9511 287661 26.9535 3.3750 16.0124 0.1690 15.7571 41.7274 33.0000 33.0009 49829.7
U-Theil 0.1613 0.2165 0.9347 0.2989 0.1514 0.3424 0.2512 0.2679 0.1379 0.4119 0.4136 0.8753 0.3528 0.2740 0.4353 0.0950 0.2247 0.4895 0.4594 0.1831 0.1790 0.3207 0.2228 0.0680 0.2215 0.1640 0.2763 0.7778 0.7125 0.7125 0.4695 0.1229 0.1429 0.7700 0.0532 0.0172 0.1459 0.0008 0.1455 0.1593 0.2129 0.2129 0.7678
314
Tabel 44. Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Kelapa di Bolaang Mongondow No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Peubah Endogen Produksi Ternak Sapi Penjualan Sapi Produktivitas Kelapa Jumlah Rumput TK Keluarga Usaha Ternak Sapi TK Keluarga Usaha Kelapa TK Luar Keluarga Usaha Kelapa TK Ternak Sapi Usaha Kelapa Curahan Kerja Keluarga Biaya Perantara Penjualan Sapi Biaya Transpor Penjualan Kelapa Konsumsi Pangan Konsumsi Non Pangan Investasi Pendidikan Surplus Pasar Kelapa Biaya Transaksi Sapi Biaya Transaksi Kopra Biaya Transaksi Total Biaya Sarana Produksi Sapi Penerimaan Usaha Ternak Sapi Pendapatan Usaha Ternak Sapi Total Biaya Produksi Sapi Pendapatan Usaha Kelapa Total Biaya Produksi Kelapa Biaya TK Usaha Kelapa Total Pendapatan Rumahtangga Pendapatan Siap Belanja Investasi Sumberdaya Manusia Konsumsi Total Total Pengeluaran Harga Bayangan Ternak Sapi Harga bayangan kopra Upah Bayangan Sapi Upah Bayangan Sewa Sapi Produksi Buah Kelapa
Kode PROS PROSJ PRODK JRUM TKDS TKDK TKLK TKSK CTDUO BPER BTPK KP KNP IPD SPK BTRS BTRK BTR BSPS RUTS PUTS TBPS PUK TBPK BTKK TPRT PSD ISM KT TP HTSBS HKOB UTKB USSB PROB
RMSPE 36.0714 154.4 803.6 30.1003 54.0518 14697.9 6577.4 51.5813 142667 21.5220 205851 71.6116 76.8773 32805608 564.0 20.6081 102925 19.4000 29.8438 29.0360 40.0819 25.9262 375.9 98.3359 131.2 17.1271 17.1490 398.6 23.4705 23.3052 13.2978 130.2 0.3205 56.6498 803.6
U-Theil 0.2204 0.2936 0.3198 0.2018 0.1585 0.4161 0.2805 0.3589 0.4236 0.1961 0.1425 0.1102 0.2782 0.3682 0.9509 0.1857 0.0303 0.1858 0.1955 0.2011 0.2303 0.1705 0.0543 0.2099 0.2248 0.0890 0.0891 0.3389 0.1156 0.1293 0.0283 0.0034 0.0016 0.3949 0.4233
315
Model simultan yang dibangun untuk model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa terdiri dari 43 peubah endogen dan 35 peubah endogen di Bolaang Mongondow. Berdasarkan hasil validasi pada Tabel 43 menunjukkan 25 peubah endogen (58.14 persen) mempunyai nilai RMSPE lebih kecil 100 persen. Atau kesalahan estimasi 25 peubah endogen tersebut lebih kecil 100 persen. Sedangkan hasil validasi pada Tabel 44 menunjukkan 21 peubah endogen (60.00 persen) mempunyai nilai RMSPE lebih kecil 100 persen. RMSPE semakin kecil menurut Sitepu dan Sinaga (2006) dapat digunakan sebagai peramalan. RMSPE bernilai lebih kecil 100 persen artinya nilai prediksi dapat mengikuti kecenderungan data historinya dengan tingkat kesalahan di bawah 100 persen pada setiap persamaan. Hasil RMSPE dalam penelitian ini kurang baik bila dibanding Bakir (2007) tetapi masih lebih baik dibanding Priyanti (2007). Namun RMSPE pada model perilaku ekonomi rumahtangga Bolaang Mongondow lebih baik dibanding model perilaku ekonomi rumahtangga untuk Minahasa. Nilai U-Theil juga sering digunakan dalam validasi model. Nilai statistik UTheil selalu bernilai antara 0 dan 1 (Sitepu dan Sinaga, 2006). Nilai U-Theil mendekati nol mengindikasikan bahwa model mengikuti data aktualnya dengan baik. Apabila nilai U-Theil semakin mendekati nol maka model tersebut merupakan model yang baik. Hasil validasi beberapa penelitian menggunakan besaran minimum dan maksimum serta patokan angka tertentu (Kusnadi, 2005; Bakir, 2007; Asmarantaka, 2007 dan Priyanti, 2007). Penelitian ini mengikuti hasil penelitian Bakir (2007) yang menggunakan nilai U-Theil < 0.30 dan nilai U-Theil > 0.30 sebagai patokan.
316
Hasil analisis validasi menunjukkan peubah endogen dengan nilai U-Theil < 0.30 untuk model perilaku ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-jagung di Minahasa, sebanyak 27 (62.79 persen)
dan sisanya 16 (37.21 persen) peubah
endogen dengan nilai U-Theil > 0.30. Sedangkan untuk Bolaang Mongondow, peubah endogen dengan nilai U-Theil < 0.30 sebanyak 26 (74.29 persen) dan sisanya 11 (25.71 persen) peubah endogen dengan nilai U-Theil > 0.30. Nilai U-Theil di atas menunjukkan model perilaku ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-kelapa di Bolaang Mongondow lebih baik dibanding Minahasa. Namun berdasarkan hasil analisis validasi dapat dinyatakan model simultan dalam penelitian ini cukup baik. Model yang dibangun dapat digunakan untuk simulasi perubahan peubah eksogen dalam rumahtangga petani usaha ternak sapi - tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Menurut Sitepu dan Sinaga (2006) bahwa statistik U-Theil dapat diuraikan ke dalam komponen bias (UM), variance (US) dan covariance (UC). Komponen bias (UM) menunjukkan bahwa error estimasi dengan nilai yang diharapkan adalah nol. Komponen ragam (US) menunjukkan bahwa kemampuan model untuk menggantikan variasi dari peubah dependen, dengan nilai yang diharapkan juga adalah nol. Selanjutnya komponen kovarians (UC) mengukur random error yang menunjukkan bahwa error simulasi adalah berfluktuasi karena acak, dengan nilai yang diharapkan adalah satu. Hasil analisis nilai komponen bias (UM) menunjukkan dalam model Minahasa terdapat 17 (42.50 persen) peubah endogen yang mempunyai nilai lebih kecil 0.2. Sedangkan dalam model Bolaang Mongondow terdapat 31 (88.57 persen)
317
peubah endogen yang mempunyai nilai lebih kecil 0.2. Model yang dibangun dalam penelitian ini masih cukup baik. Sejalan dengan Pindyck and Rubinfeld (1991), Sitepu dan Sinaga (2006) yang menyatakan model memiliki kemampuan prediksi yang cukup baik dengan hasil penyimpangan nilai rata-rata simulasi dan aktualnya sangat rendah apabila nilai UM lebih kecil 0.2. Walaupun model Bolaang Mongondow lebih baik dibanding Minahasa. Dalam model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-jagung di Minahasa terdapat 16 (37.21 persen ) peubah endogen dan dalam model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-kelapa Bolaang Mongondow terdapat 13 (37.14 persen) peubah endogen yang mempunyai nilai komponen varians (US) mendekati nol. Komponen varians ini mengindikasikan sebagian besar peubah endogen kurang mampu menggantikan variasi peubah dependen. Berdasarkan kondisi ini dapat dinyatakan bahwa model yang dibangun kurang baik. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa dalam model ekonomi rumahtangga di Minahasa hanya terdapat 21 (48.84 persen) peubah endogen dan dalam model Bolaang Mongondow hanya 25 (71.43 persen) peubah endogen yang mempunyai nilai komponen kovarians (UC) mendekati satu. Error simulasi tidak bervariasi karena acak. Berdasarkan hasil analisis tersebut ternyata model yang dibangun kurang baik. Walaupun model ekonomi rumahtangga di Bolaang Mongondow lebih baik dibanding di Minahasa. Kenyataan di atas disebabkan data yang digunakan adalah data cross section sehingga nilai komponen varians (US) sebagian besar peubah endogen cukup tinggi dan sebagian besar peubah endogen model ekonomi di Minahasa mempunyai nilai
318
komponen kovarians (UC) yang relatif sangat kecil. Namun model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow yang dibangun dalam penelitian ini dianggap cukup baik bila dilihat dari nilai RMSPE dan U-Theil. Dalam beberapa penelitian menggunakan RMSPE dan U-Theil sebagai penunjang bahwa model yang dibangun cukup baik. Selain itu, tanda parameter sudah sesuai kriteria ekonomi, secara umum model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Sulawesi Utara valid dan memiliki kemampuan prediksi yang cukup baik. Berdasarkan hasil analisis validasi, model penelitian ini layak untuk dijadikan dasar simulasi kebijakan maupun non kebijakan. Untuk menjawab tujuan penelitian keempat telah dilakukan analisis simulasi dengan melihat dampak perubahan biaya transaksi, harga dan upah terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Sulawesi Utara. Berdasarkan hasil analisis validasi seperti dijelaskan di atas, model dapat digunakan untuk simulasi (Pindyck and Rubinfeld, 1991; Sitepu dan Sinaga, 2006). Perubahan yang dilakukan pada penelitian ini dengan kombinasi lebih dari satu perubahan biaya transaksi, harga dan upah yaitu 8 (delapan) skenario. Peubah biaya transaksi, harga dan upah dilakukan dengan perubahan sebesar 10 persen untuk semua peubah biaya transaksi, harga dan upah. Perubahan sebesar 10 persen tersebut didasarkan pada hasil penelitian di Sulawesi Utara yang menunjukkan biaya perantara penjualan ternak sapi berkisar antara 10-20 persen. Demikian pula dengan Priyanti (2007) yang melakukan simulasi sebesar 10 persen untuk setiap perubahan peubah kebijakan dan non kebijakan.
319
Biaya transaksi menyebabkan terjadi kegagalan pasar (market failure). Menurut Sadaulet and de Janvry (1995) bahwa biaya transaksi tersebut melanggar asumsi
separable.
pengalokasian
Biaya
tenaga
transaksi
kerja
serta
dapat
mempengaruhi
pengeluaran
konsumsi.
proses
produksi,
Biaya
transaksi
mempengaruhi harga sapi, harga jagung maupun upah tenaga kerja. Biaya transaksi menurut Dutilly-Diane, et al (2003) adalah sebagai penentu harga. Hal ini yang menyebabkan harga dan upah bervariasi dan dinyatakan sebagai harga bayangan dan upah bayangan. Harga dan upah bayangan dinyatakan sebagai peubah endogen. Biaya transaksi yang sangat tinggi menurut Matungul, et al., (2006) sangat mempengaruhi pasar output dan pasar input. Dalam hal ini juga mempengaruhi pasar tenaga kerja. Analisis simulasi yang dilakukan adalah perubahan biaya transaksi dikombinasikan dengan harga output, harga input dan upah. Selanjutnya analisis simulasi juga dilakukan perubahan harga output, harga input, upah tenaga kerja baik pada kondisi ada biaya transaksi, kondisi tidak ada biaya perantara dan kondisi tidak ada biaya transaksi di Minahasa dan Bolaang Mongondow.
8.2. Dampak Perubahan Biaya Transaksi, Harga dan Upah Perubahan biaya transaksi yang disimulasi dilakukan dengan dua cara yaitu pertama peningkatan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan biaya transpor penjualan jagung, harga output, harga input dan upah tenaga kerja (Tabel 45). Kedua, penurunan biaya perantara sapi dikombinasikan dengan peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga output, harga input dan upah tenaga kerja (Tabel 46).
320
Tabel 45. Dampak Peningkatan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Biaya Transpor Penjualan Jagung/Kopra, Harga Output, Harga Input dan Upah Terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow
(%) Peubah Endogen Produksi Ternak Sapi Penjualan Sapi Produktivitas Jagung/Kelapa Luas Lahan Jagung Jumlah Rumput Jumlah Benih Jagung Jumlah Urea Jagung Jumlah TSP Jagung TK Kel Usaha Ternak Sapi TK Kel Usaha Jagung/Kelapa TK Luar Kel Jagung/Kelapa TK Sapi Usaha Jagung/Kelapa Curahan Kerja Keluarga Biaya Perantara Sapi Biaya Transpor Jagung/Kopra Konsumsi Pangan Konsumsi Non Pangan Investasi Pendidikan Konsumsi Jagung Surplus Pasar Jagung/Kelapa Produksi Jagung/Kelapa Biaya Sarana Produksi Sapi Biaya Sarana Produksi Jagung Biaya TK Usaha Jagung/Kelapa Biaya Transaksi Sapi Biaya Transaksi Jagung/Kopra Biaya Transaksi Total Penerimaan Usaha Ternak Sapi Pendapatan Usaha Ternak Sapi Pendapatan Usaha Jagung/Kelapa Total Pendapatan RT Total Pengeluaran RT Harga Bayangan Sapi Harga Bayangan Jagung/Kopra Upah Bayangan Upah Bayangan Sewa Sapi
Skenario 1 Mina- Bolaang Hasa Mong 11.58 22.54 12.83 27.43 10.02 1.77 74.02 11.44 20.98 50.65 35.98 89.76 8.46 1.76 -24.09 7.27 38.95 -0.45 11.14 0.23 -11.03 -0.83 10.00 10.00 10.00 10.00 11.01 3.50 12.71 8.52 36.49 8.28 64.65 95.28 1.40 94.99 1.04 27.25 20.78 50.09 -2.02 1.48 6.63 7.38 12.25 0.58 6.67 7.35 15.93 29.52 6.23 37.20 115.25 8.76 103.78 16.89 14.14 5.28 10.77 10.39 9.91 10.98 4.26 0.02 4.26 0.02
Skenario 2 MinaBolaang hasa Mong 0.03 25.50 0.00 30.92 14.01 -43.61 47.73 -4.96 20.32 30.64 -188.28 160.27 3.51 157.82 97.04 -57.60 -13.08 -202.30 20.02 8.77 32.81 64.74 10.00 10.00 10.00 10.00 6.85 1.42 7.91 3.46 22.70 3.36 48.31 72.19 -0.14 71.96 -23.01 14.52 32.07 -0.47 74.43 -173.71 6.63 7.38 12.25 0.58 6.67 7.35 4.55 21.64 -7.80 -2.50 72.18 51.29 64.57 6.86 8.80 2.15 -1.52 -1.09 -0.50 -0.06 7.87 9.93 7.87 9.66
Skenario 3 Mina- Bolaang hasa Mong 12.83 52.73 12.83 52.73 17.98 -41.72 130.77 6.69 45.76 93.85 -141.99 256.16 13.14 161.38 71.06 -60.69 29.81 -202.27 22.43 9.02 20.43 63.56 10.00 10.00 10.00 10.00 19.58 5.53 22.61 13.46 64.91 13.09 119.79 177.59 1.43 177.03 -21.92 45.62 59.83 57.94 72.32 -174.52 6.63 7.38 12.25 0.58 6.67 7.35 19.30 57.69 -8.65 41.51 205.83 60.72 184.61 26.71 184.62 8.35 10.77 10.39 9.91 10.98 7.87 9.93 7.87 9.66
Keterangan : Skenario 1 = Peningkatan biaya perantara sapi, biaya transpor jagung/kopra, harga sapi dan harga jagung/kopra sebesar 10 %. Skenario 2 = Peningkatan biaya perantara sapi, biaya transpor jagung/kopra, harga rumput, harga pupuk urea dan upah tenaga kerja sebesar 10%. Skenario 3 = Peningkatan biaya perantara sapi, biaya transpor jagung/kopra, harga sapi, harga jagung/kopra, harga rumput, harga pupuk urea dan upah tenaga kerja sebesar 10%.
321
Tabel 46. Dampak Penurunan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Peningkatan Biaya Transaksi Lainnya, Harga Output, Harga Input dan Upah Terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow
(%) Peubah Endogen Produksi Ternak Sapi Penjualan Sapi Produktivitas Jagung/Kelapa Luas Lahan Jagung Jumlah Rumput Jumlah Benih Jagung Jumlah Urea Jagung Jumlah TSP Jagung TK Kel Usaha Ternak Sapi TK Kel Usaha Jagung/Kelapa TK Luar Kel Jagung/Kelapa TK Sapi Usaha Jagung/Kelapa Curahan Kerja Keluarga Biaya Perantara Sapi Biaya Transpor Jagung/Kopra Konsumsi Pangan Konsumsi Non Pangan Investasi Pendidikan Konsumai Jagung Surplus Pasar Jagung/Kelapa Produksi Jagung/Kelapa Biaya Sarana Produksi Sapi Biaya Sarana Produksi Jagung Biaya TK Usaha Jagung/Kelapa Biaya Transaksi Sapi Biaya Transaksi Jagung/Kopra Biaya Transaksi Total Penerimaan Usaha Ternak Sapi Pendapatan Usaha Ternak Sapi Pendapatan Usaha Jagung/Kelapa Total Pendapatan RT Total Pengeluaran RT Harga Bayangan Sapi Harga Bayangan Jagung/Kopra Upah Bayangan Upah Bayangan Sewa Sapi
Skenario 4 Mina- Bolaang Hasa Mong 12.80 22.66 14.20 31.39 1.39 1.78 73.16 11.62 23.56 50.00 35.42 89.49 7.19 5.94 -10.21 -17.50 28.10 -0.45 -6.88 0.25 -11.17 -0.96 -10.00 -10.00 10.00 10.00 8.31 3.81 9.60 9.27 27.55 9.01 47.74 69.84 1.52 69.63 1.04 23.10 23.35 49.74 3.20 -4.60 -6.95 -10.64 12.25 0.59 -6.83 -10.56 12.64 32.42 3.35 40.12 87.08 10.56 78.36 18.39 10.68 5.75 13.87 13.06 9.91 10.98 -4.36 0.02 -4.36 0.02
Skenario 5 MinaBolaang hasa Mong 1.36 28.23 1.50 34.54 0.86 -43.60 47.01 -4.76 22.53 30.08 -188.76 160.05 2.52 161.94 108.83 -82.34 -22.31 -202.30 1.97 8.79 32.57 64.62 -10.00 -10.00 10.00 10.00 4.75 1.66 5.49 4.04 15.75 3.92 33.90 50.50 -0.05 50.34 -23.01 11.37 34.49 -0.79 79.30 -180.39 -6.95 -10.64 12.25 0.59 -6.83 -10.56 1.25 23.95 -11.79 -0.49 50.38 53.26 44.79 8.01 6.10 2.50 1.59 1.58 -0.50 -0.06 10.03 9.93 -0.74 9.66
Skenario 6 Mina- Bolaang Hasa Mong 13.81 55.83 15.29 68.55 4.63 -41.72 129.34 6.81 48.34 92.77 -142.88 255.63 11.38 165.56 90.05 -85.47 14.95 -202.27 4.49 9.03 20.53 63.41 -10.00 -10.00 10.00 10.00 15.94 5.83 18.41 14.19 52.85 13.80 96.88 143.16 1.54 142.72 -21.92 39.94 62.66 57.32 80.15 -181.20 -7.22 -10.64 12.25 0.59 -6.83 -10.56 15.87 60.58 -10.15 44.24 167.71 62.70 150.30 28.16 20.49 8.81 13.87 13.06 9.91 10.98 10.03 9.93 -0.74 9.66
Keterangan : Skenario 4 = Penurunan biaya perantara sapi, peningkatan biaya transpor sapi, administrasi, retribusi, transpor jagung/kopra, harga sapi dan harga jagung/kopra sebesar 10%. Skenario 5 = Penurunan biaya perantara sapi, peningkatan biaya transpor sapi, administrasi, retribusi, transpor jagung/kopra, harga rumput, pupuk urea dan upah sebesar 10%;. Skenario 6 = Penurunan biaya perantara sapi, peningkatan biaya transpor sapi, administrasi, retribusi, transpor jagung/kopra, harga sapi dan harga jagung/kopra harga rumput, harga pupuk urea dan upah tenaga kerja sebesar 10 %.
322
8.2.1. Peningkatan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Biaya Transpor Penjualan Jagung/Kopra dan Harga Output Perubahan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga sapi dan harga jagung/kopra (S1) memberikan dampak positif terhadap sebagian besar aktivitas ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow (Tabel 45). Perubahan biaya perantara dikombinasikan dengan harga output mengakibatkan respon total biaya transaksi yang ditanggung rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow mengalami peningkatan. Kasus ini masih merespon rumahtangga meningkatkan produksi sapi, penjualan sapi dan produktivitas jagung/kelapa. Hal ini diduga disebabkan respon peningkatan harga sapi lebih besar dibanding respon peningkatan biaya perantara penjualan sapi. Walaupun respon produksi sapi dan penjualan sapi rumahtangga di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding di Minahasa. Akibatnya permintaan rumput dan konsumsi jagung oleh ternak sapi (khusus di Minahasa) mengalami peningkatan. Perubahan biaya perantara dikombinasikan dengan harga output juga mengakibatkan rumahtangga petani di Minahasa merespon dengan meningkatkan penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi yang disubstitusi dengan penurunan tenaga kerja keluarga pada usaha jagung. Dalam hal ini rumahtangga juga merespon dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha jagung. Berbeda dengan rumahtangga di Minahasa, dampak perubahan biaya perantara dikombinasikan dengan harga output bagi rumahtangga di Bolaang Mongondow adalah respon permintaan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa
323
mengalami penurunan sebagai upaya untuk mensubstitusi peningkatan tenaga kerja keluarga pada usaha sapi dan kelapa. Fenomena tersebut disebabkan dengan naiknya biaya transaksi mengakibatkan budget rumahtangga untuk proses produksi usaha kelapa berkurang. Hal ini menyebabkan rumahtangga mempunyai keterbatasan untuk membayar biaya tenaga kerja. Rumahtangga juga merespon dengan mengurangi jam kerja sebagai buruh tani. Dampak lain peningkatan biaya perantara dikombinasikan dengan harga output adalah rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow merespon dengan peningkatan pengeluaran konsumsi pangan, non pangan dan investasi pendidikan. Fenomena ini disebabkan penerimaan dan pendapatan usaha sapi dan usaha jagung/ kelapa mengalami peningkatan. Selanjutnya total pendapatan rumahtangga mengalami peningkatan.
8.2.2. Peningkatan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Biaya Transpor Penjualan Jagung/Kopra, Harga Input dan Upah Peningkatan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga rumput, harga urea dan upah tenaga kerja (S2) memberikan dampak negatif bagi sebagian aktivitas ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow (Tabel 45). Peningkatan biaya perantara sapi dikombinasikan dengan biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga input dan upah tersebut mengakibatkan total biaya transaksi masih mengalami peningkatan. Dalam hal ini rumahtangga di Bolaang Mongondow masih merespon dengan meningkatkan produksi sapi dan penjualan sapi. Sedangkan respon produksi sapi bagi rumahtangga di Minahasa sangat kecil
324
malahan penjualan sapi tidak mengalami perubahan. Usaha sapi merupakan usaha sambilan namun usaha tersebut sangat menunjang pendapatan rumahtangga petani peternak di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Ternak sapi merupakan tabungan dan sewaktu-waktu dapat dijual dengan cepat. Disisi lain, rumahtangga di Bolaang Mongondow merespon dengan penurunan produktivitas kelapa. Naiknya biaya perantara dibarengi dengan naiknya harga input dan upah mengakibatkan budget rumahtangga semakin berkurang. Rumahtangga petani di Bolaang Mongondow menyewakan pohon kelapa ke pedagang. Akibatnya produksi kelapa berkurang. Kasus tersebut juga mengakibatkan rumahtangga petani peternak di Minahasa merespon dengan menurunkan permintaan tenaga kerja sewa dalam usaha jagung untuk mensubstitusi penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi dan jagung. Berbeda dengan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow. Dalam hal ini rumahtangga di Bolaang Mongondow menurunkan penawaran tenaga kerja keluarga dan permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha kelapa. Peningkatan biaya transaksi sangat mempengaruhi penerimaan rumahtangga apalagi dibarengi dengan peningkatan upah tenaga kerja. Namun penawaran tenaga kerja sapi mengalami peningkatan baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow. Dampak lain peningkatan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga input dan upah adalah rumahtangga baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow dapat merespon dengan peningkatan penerimaan usaha ternak sapi. Namun respon pendapatan usaha ternak sapi mengalami penurunan. Hal ini disebabkan respon biaya sarana produksi sapi dan biaya tenaga kerja usaha sapi yang ditanggung rumahtangga di Minahasa
325
dan Bolaang Mongondow mengalami peningkatan. Malahan respon total biaya produksi sapi rumahtangga di Bolaang Mongondow mengalami peningkatan cukup besar. Dalam kondisi ini, respon total pendapatan rumahtangga petani peternak sapi baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow masih meningkat, akibatnya rumahtangga merespon dengan meningkatkan pengeluaran diantaranya pengeluaran untuk konsumsi pangan, non pangan dan pengeluaran investasi pendidikan.
8.2.3. Peningkatan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Biaya Transpor Penjualan Jagung/Kopra, Harga Output, Harga Input dan Upah Peningkatan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga sapi, harga jagung/kopra, harga rumput, harga urea dan upah tenaga kerja (S3) memberikan dampak positif bagi sebagian besar aktivitas ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow (Tabel 45). Peningkatan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga output harga input dan upah tenaga kerja mengakibatkan respon total biaya transaksi rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow mengalami peningkatan. Keadaan ini menunjukkan bahwa rumahtangga masih merespon dengan peningkatan produksi sapi dan penjualan sapi serta produktivitas jagung. Namun produksi kelapa rumahtangga di Bolaang Mongondow mengalami penurunan, akibatnya respon produktivitas kelapa juga mengalami penurunan. Kasus ini mengakibatkan rumahtangga meningkatkan penawaran tenaga kerja keluarga baik untuk usaha sapi maupun usaha jagung serta permintaan tenaga kerja
326
sewa untuk usaha jagung. Khusus untuk rumahtangga di Bolaang Mongondow, kasus ini mengakibatkan respon penawaran tenaga kerja keluarga dan permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha kelapa menurun. Hal ini disebabkan budget rumahtangga berkurang akibat peningkatan biaya perantara dikombinasikan dengan upah tenaga kerja. Selanjutnya jam kerja sebagai buruh tani oleh rumahtangga petani peternak di Minahasa dan Bolaang Mongodow mengalami peningkatan. Dampak lain kasus di atas adalah respon penerimaan dan pendapatan usaha ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow meningkat. Selanjutnya kasus ini menyebabkan respon total pendapatan rumahtangga baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow masih mengalami peningkatan. Akibatnya pengeluaran konsumsi pangan, non pangan dan investasi pendidikan meningkat.
8.2.4. Penurunan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Peningkatan Biaya Transaksi Lainnya dan Harga Output Skenario simulasi ini dilakukan sebagai upaya mempelajari bagaimana dampaknya apabila terjadi penurunan biaya perantara sementara komponen biaya transaksi lainnya naik. Ke depan rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara dapat menekan biaya perantara penjualan ternak sapi. Caranya dengan melakukan penjualan sendiri atau melalui suatu wadah misalnya koperasi atau kelompok. Penurunan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga sapi dan harga jagung/kopra (S4) memberikan dampak positif bagi sebagian aktivitas ekonomi rumahtangga petani tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow (Tabel 46).
usaha ternak sapi-
327
Perubahan tersebut di atas mengakibatkan penurunan total biaya transaksi baik untuk rumahtangga di Minahasa maupun Bolaang Mongondow. Akibatnya respon produksi sapi dan penjualan sapi mengalami peningkatan. Namun respon produktivitas jagung mengalami penurunan yang disebabkan respon penawaran tenaga kerja ternak sapi untuk usaha jagung mengalami penurunan. Respon penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi di Minahasa mengalami peningkatan yang disubstitusi dengan penurunan penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung. Dalam hal ini rumahtangga juga merespon dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha jagung. Respon penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi rumahtangga di Bolaang Mongondow meningkat yang disubstitusi dengan penurunan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha kelapa. Namun respon permintaan tenaga kerja sewa usaha kelapa juga menurun. Sebaliknya respon penawaran tenaga kerja sapi meningkat. Demikian pula jam kerja sebagai buruh tani menurun. Kasus di atas mengakibatkan penerimaan dan pendapatan usaha ternak sapi serta total pendapatan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow mengalami peningkatan. Respon ini mengakibatkan pengeluaran konsumsi rumahtangga juga mengalami peningkatan.
8.2.5. Penurunan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Peningkatan Biaya Transaksi Lainnya, Harga Input dan Upah Penurunan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga rumput, harga urea dan upah tenaga kerja (S5)
328
memberikan dampak negatif bagi sebagian aktivitas ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow (Tabel 46). Penurunan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga input dan upah tenaga kerja mengakibatkan penurunan total biaya transaksi. Akibatnya respon produksi sapi dan penjualan sapi mengalami peningkatan. Namun rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow merespon dengan menurunkan produktivitas kelapa sebagai akibat penurunan produksi kelapa. Hal ini disebabkan penurunan permintaan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa, dengan kata lain, respon peningkatan upah lebih besar dibanding penurunan biaya transaksi. Penawaran tenaga kerja keluarga usaha sapi dan jagung rumahtangga di Minahasa mengalami peningkatan yang disubstitusi dengan penurunan permintaan tenaga kerja sewa untuk jagung. Sedangkan rumahtangga di Bolaang Mongondow merespon dengan meningkatkan tenaga kerja keluarga pada usaha sapi serta penurunan penawaran tenaga keluarga dan permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha kelapa. Hal ini disebabkan kurangnya budget yang tersedia sebagai akibat naiknya upah menyebabkan rumahtangga menyewakan pohon kelapa ke pedagang. Kasus tersebut di atas mengakibatkan respon penerimaan usaha sapi bagi rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow meningkat, namun pendapatan usaha sapi menurun. Hal ini disebabkan total biaya produksi sapi meningkat. Dalam hal ini respon total pendapatan rumahtangga masih mengalami peningkatan. Akibatnya pengeluaran rumahtangga masih meningkat.
329
8.2.6. Penurunan Biaya Perantara Penjualan Sapi, Peningkatan Biaya Transaksi Lainnya, Harga Output, Harga Input dan Upah Penurunan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga sapi, harga jagung/kopra, harga rumput, harga urea dan upah tenaga kerja (S6) masih memberikan dampak positif bagi sebagian aktivitas ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow (Tabel 46). Penurunan biaya perantara penjualan sapi dikombinasikan dengan peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga output, harga input dan upah tenaga kerja mengakibatkan respon penurunan total biaya transaksi. Akibatnya respon produksi sapi dan penjualan sapi mengalami peningkatan. Dalam hal ini rumahtangga di Bolaang Mongondow merespon dengan menurunkan produktivitas kelapa sebagai akibat penurunan produksi kelapa. Rumahtangga di Minahasa merespon dengan meningkatkan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi dan jagung serta permintaan tenaga kerja sewa pada usaha jagung. Sedangkan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow selain merespon dengan meningkatkan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi, juga rumahtangga merespon dengan menurunkan tenaga kerja keluarga dan permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha kelapa. Dalam hal ini respon penawaran tenaga kerja ternak sapi serta curahan kerja sebagai buruh tani di Minahasa dan Bolaang Mongondow mengalami peningkatan.
330
Penerimaan dan pendapatan usaha sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow mengalami peningkatan. Selanjutnya total pendapatan rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow meningkat akibatnya pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan, non pangan dan investasi pendidikan meningkat. Biaya transaksi dalam hal ini bukan merupakan instrumen kebijakan. Disini biaya transaksi dinyatakan sebagai instrumen non kebijakan. Dalam penelitian ini biaya transaksi penting dipelajari mengingat rumahtangga menghadapi biaya transaksi yang cukup tinggi dalam melakukan transaksi penjualan sapi. Skenario-skenario di atas merupakan alternatif skenario yang dapat dijadikan dasar penentuan kebijakan oleh pengambil kebijakan baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow. Dalam hal ini diperlukan intervensi pemerintah untuk melakukan penentuan sesuai alternatif skenario. Skenario yang dapat dipilih adalah skenario yang memberikan dampak positif bagi aktivitas ekonomi rumahtangga. Kombinasi peningkatan biaya perantara penjualan sapi, transpor penjualan jagung/kopra, harga sapi dan harga jagung/kopra (S1) mengakibatkan peningkatan sebagian besar aktivitas ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow terutama sisi produksi. Alternatif ini dapat dijadikan dasar penentuan kebijakan oleh pemerintah. Sebagai pembanding maka dibuat alternatif skenario lain. Salah satu alternatif yang dilakukan adalah peningkatan biaya perantara penjualan sapi dan biaya transpor penjualan jagung/kopra dikombinasikan dengan harga input dan upah (S2). Hal ini dilakukan mengingat rumahtangga tidak bisa menghindari adanya peningkatan biaya transaksi bersamaan peningkatan harga input
331
dan upah. Kenaikan harga input seperti harga rumput dan urea merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi rumahtangga. Selain itu, dalam melakukan proses produksi rumahtangga sering menghadapi kendala keterbatasan budget dan lebih bermasalah bila terjadi kenaikan upah. Alternatif perubahan kebijakan dan non kebijakan ini memberikan dampak negatif terhadap sebagian aktivitas ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Walaupun perubahan kebijakan dan non kebijakan tersebut memberikan dampak positif bagi sisi produksi terutama pada sisi produksi sapi dan penjualan sapi. Yang menarik, fenomena ini memberikan dampak negatif terhadap produktivitas kelapa yang disebabkan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow mengurangi penawaran tenaga kerja keluarga dan permintaan tenaga kerja sewa dalam usaha kelapa. Alternatif skenario ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penentuan kebijakan bila dibanding dengan skenario satu. Rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow juga seringkali menghadapi biaya transaksi penjualan sapi, transpor penjualan jagung/kopra serta masalah peningkatan harga input dan upah tenaga kerja. Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, alternatif skenario yang dapat dipilih adalah peningkatan biaya perantara penjualan sapi dan biaya transpor penjualan jagung/kopra dikombinasikan dengan peningkatan harga sapi dan harga jagung/kopra (skenario 1). Perubahan tersebut memberikan dampak positif terhadap hampir semua aktivitas ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow. Tujuan penentuan kebijakan adalah untuk peningkatan alokasi input tenaga kerja dan input produksi, peningkatan pendapatan serta peningkatan pengeluaran konsumsi. Dalam
332
penelitian ini skenario 3 memberikan dampak negatif terhadap produktivitas dan alokasi tenaga kerja dalam usaha kelapa yang cukup besar. Alternatif skenario lain yang dapat dilakukan adalah penekanan biaya perantara. Penekanan biaya perantara dapat dilakukan apabila rumahtangga menjual sendiri ternaknya atau dijual melalui suatu lembaga seperti koperasi. Berdasarkan alasan tersebut dilakukan skenario penurunan biaya perantara dikombinasikan dengan peningkatan biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra, harga sapi dan harga jagung/kopra (S4). Kemudian penurunan biaya perantara dicoba dikombinasikan dengan peningkatan biaya transaksi lainnya dan harga input, upah tenaga kerja (S5). Berdasarkan hasil kedua skenario dicoba lagi alternatif skenario lain yaitu penurunan biaya perantara dikombinasikan dengan komponen biaya transaksi lainnya, harga output, harga input dan upah tenaga kerja (S6). Dalam jangka waktu panjang, alternatif skenario yang dapat dipilih dan dilakukan oleh pemerintah untuk petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah Skenario 4.
8.3. Dampak Peningkatan Harga dan Upah pada Kondisi Ada Biaya Transaksi dan Tidak Ada Biaya Transaksi Dalam penelitian ini dilakukan simulasi untuk melihat dampak perubahan harga dan upah terhadap aktivitas ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapitanaman dengan membandingkan kondisi ada biaya transaksi dan kondisi tidak ada biaya transaksi. Kondisi tidak ada biaya transaksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kondisi bila tidak memperhitungkan biaya transaksi atau kondisi tanpa pengaruh biaya transaksi. Untuk mempelajari keadaan tersebut dilakukan simulasi
333
dengan dua skenario, yaitu (1) peningkatan harga output (S7) terhadap aktivitas ekonomi rumahtangga petani (Tabel 47); dan (2) peningkatan harga output, harga input dan upah tenaga kerja (S8) terhadap aktivitas ekonomi rumahtangga petani di Minahasa dan Bolaang Mongondow (Tabel 48).
8.3.1. Peningkatan Harga Sapi dan Harga Jagung/Kopra Peningkatan harga output menyebabkan peningkatan sebagian besar aktivitas ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow, terutama sisi produksi sapi. Pada kondisi tidak ada biaya transaksi respon produksi dan penjualan sapi lebih tinggi dibanding kondisi ada biaya transaksi. Artinya apabila rumahtangga petani peternak tidak menanggung biaya transaksi maka rumahtangga akan merespon dengan meningkatkan produksi ternak sapi dan penjualan ternak sapi. Respon peningkatan pendapatan usaha ternak sapi lebih besar pada kondisi tidak ada biaya transaksi. Hal ini disebabkan pada kondisi tidak ada biaya transaksi, naiknya harga sapi akan direspon rumahtangga dengan menaikkan penjualan sapi. Kenyataan lain, respon total pendapatan rumahtangga meningkat lebih besar pada kondisi tidak ada biaya transaksi. Tidak adanya biaya transaksi menyebabkan rumahtangga petani di Minahasa mempunyai budget untuk menyewa tenaga kerja dalam usaha tani jagung. Dalam kondisi tidak ada biaya transaksi respon permintaan tenaga kerja sewa pada usaha jagung mengalami peningkatan lebih besar. Kondisi inilah yang menyebabkan pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi lebih kecil pada kondisi tidak ada biaya transaksi. Demikian pula peningkatan total pendapatan di Bolaang Mongondow lebih besar pada kondisi tidak ada biaya transaksi.
334
Tabel 47. Dampak Peningkatan Harga Output Terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman pada Kondisi Ada Biaya Transaksi dan Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi di Minahasa dan Bolaang Mongondow (%) Skenario 7 Peubah Endogen Minahasa Bol-Mong BT TBT BT TBT Produksi Ternak Sapi 11.85 12.36 21.07 22.14 Penjualan Sapi 13.11 13.70 26.85 34.54 Produktivitas Jagung/Kelapa 12.14 2.86 1.49 5.93 Luas Lahan Jagung 88.98 75.01 Jumlah Rumput 11.48 11.56 20.64 21.76 Jumlah Benih Jagung 71.98 52.35 Jumlah Urea Jagung 53.59 37.36 Jumlah TSP Jagung 100.11 90.61 TK Kel UT Sapi 9.35 7.86 1.91 -11.48 TK Kel UT Jagung/Kelapa -28.18 -17.00 11.59 4.42 TK Luar Kel Jagung/Kelapa 45.33 53.71 -1.61 18.30 TK Sapi UT Jagung/Kelapa 13.23 0.78 0.31 0.60 Curahan Kerja Keluarga -12.23 -11.26 -0.42 -6.86 Biaya Perantara Sapi 10.06 * 11.43 * Biaya Transpor Jagung/Kopra -90.50 * 9.08 * Konsumsi Pangan 12.73 9.71 3.46 3.86 Konsumsi Non Pangan 14.70 11.21 8.41 8.99 Investasi Pendidikan 42.18 32.19 8.18 8.96 Konsumai Jagung 75.59 56.54 Surplus Pasar Jagung/Kelapa 111.68 83.07 1.52 1.72 Produksi Jagung/Kelapa 111.34 82.82 0.86 3.41 Biaya Sarana Produksi Sapi 30.05 25.28 20.47 19.60 Biaya Sarana Produksi Jagung 61.79 51.03 Biaya TK Usaha Jagung/Kelapa -2.51 0.76 1.63 14.95 Biaya Transaksi Sapi 7.99 * 10.82 * Biaya Transaksi Jagung -9.09 * 2.17 * Biaya Transaksi Total 7.88 * 10.81 * Penerimaan UT Sapi 16.58 17.08 29.14 30.15 Pendapatan UT Sapi 4.64 4.72 36.72 37.11 Pendapatan UT Jagung/Kelapa 133.34 101.73 8.71 7.76 Total Pendapatan RT 119.98 121.55 16.67 16.24 Total Pengeluaran RT 16.35 12.48 5.22 5.88 Harga Bayangan Sapi 10.46 9.56 9.87 8.76 Harga Bayangan Jagung/Kopra 14.44 9.99 10.82 9.22 Upah Bayangan 4.65 0.11 0.08 0.04 Upah Bayangan Sewa Sapi 5.03 -0.71 0.08 -0.06
Keterangan : Skenario 7 BT TBT * -
= = = = =
Peningkatan harga sapi dan harga jagung/kopra. Kondisi ada biaya transaksi. Kondisi tidak ada biaya transaksi. Tidak relevan. Tidak ada aktivitas.
335
Tabel 48. Dampak Peningkatan Harga Output, Harga Input dan Upah Terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman pada Kondisi Ada Biaya Transaksi dan Tidak Ada Biaya Transaksi di Minahasa dan Bolaang Mongondow (%) Skenario 8 Peubah Endogen Minahasa Bol-Mong BT TBT BT TBT Produksi Ternak Sapi 13.36 13.45 51.98 54.26 Penjualan Sapi 14.79 14.88 63.54 67.97 Produktivitas Jagung/Kelapa 10.35 20.34 -41.98 -37.56 Luas Lahan Jagung 132.97 151.39 Jumlah Rumput 6.75 6.76 45.13 46.54 Jumlah Benih Jagung 125.25 95.27 Jumlah Urea Jagung -116.07 -104.81 Jumlah TSP Jagung 271.47 256.85 TK Kel UT Sapi 14.55 12.23 161.00 148.14 TK Kel UT Jagung/Kelapa 64.37 81.52 -53.66 -63.59 TK Luar Kel Jagung/Kelapa 40.10 41.90 -203.34 -183.52 TK Sapi UT Jagung/Kelapa 24.67 12.12 9.08 9.84 Curahan Kerja Keluarga 18.55 16.35 63.94 57.52 Biaya Perantara Sapi 10.10 * 13.48 * Biaya Transpor Jagung/Kopra -189.50 * 8.46 * Konsumsi Pangan 22.35 17.67 5.45 5.48 Konsumsi Non Pangan 25.81 20.40 13.28 13.35 Investasi Pendidikan 74.09 58.57 12.91 12.98 Konsumai Jagung 137.45 107.77 Surplus Pasar Jagung/Kelapa 104.05 159.51 1.53 1.75 Produksi Jagung/Kelapa 103.41 159.02 -22.09 -19.55 Biaya Sarana Produksi Sapi 50.16 42.65 59.17 58.54 Biaya Sarana Produksi Jagung 76.10 58.76 Biaya TK Usaha Jagung/Kelapa 71.40 76.77 -173.54 -179.70 Biaya Transaksi Sapi 8.02 * 12.76 * Biaya Transaksi Jagung -19.04 * 2.01 * Biaya Transaksi Total 7.84 * 12.73 * Penerimaan UT Sapi 20.17 22.36 56.98 59.31 Pendapatan UT Sapi -11.69 -9.76 40.74 41.63 Pendapatan UT Jagung/Kelapa 235.03 185.81 6.43 6.82 Total Pendapatan RT 210.73 166.58 26.34 27.88 Total Pengeluaran RT 28.72 22.81 8.24 8.16 Harga Bayangan Sapi 10.45 9.56 9.59 7.76 Harga Bayangan Jagung/Kopra 14.83 9.99 10.83 9.22 Upah Bayangan 8.28 2.90 9.97 4.14 Upah Bayangan Sewa Sapi 8.62 2.90 9.71 9.58
Keterangan : Skenario 8 BT TBT * -
= Peningkatan harga sapi, harga kopra, harga rumput, harga pupuk urea dan upah tenaga kerja. = Kondisi ada biaya transaksi. = Kondisi tidak ada biaya transaksi. = Tidak relevan. = Tidak ada aktivitas.
336
8.3.2. Peningkatan Harga Sapi, Harga Jagung/Kopra, Harga Input dan Upah Peningkatan harga sapi, harga jagung/kopra dikombinasikan dengan harga rumput, harga urea dan upah memberikan dampak negatif bagi sebagian aktivitas ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Walaupun perubahan harga dan upah tersebut masih menyebabkan rumahtangga merespon dengan meningkatkan produksi sapi dan penjualan sapi. Namun pada kondisi tidak ada biaya transaksi respon produksi rumahtangga dan penjualan sapi lebih tinggi. Dalam hal ini adanya biaya transaksi dapat mengurangi budget rumahtangga. Yang menarik, respon pendapatan rumahtangga petani usaha ternak sapitanaman di Minahasa bersumber dari usaha ternak sapi menurun baik pada kondisi tidak ada biaya transaksi maupun ada biaya transaksi. Hal ini disebabkan respon peningkatan upah lebih besar dampaknya terhadap biaya tenaga kerja. Selain itu, biaya sarana produksi sapi juga meningkat karena adanya peningkatan harga rumput. Walaupun penurunan pendapatan usaha sapi lebih besar pada kondisi tidak ada biaya transaksi. Kenyataan lain menunjukkan respon produksi kelapa bagi rumahtangga di Bolaang Mongondow menurun yang direspon dengan penurunan produktivitas kelapa. Hal ini disebabkan respon peningkatan upah lebih besar dari peningkatan harga output. Rumahtangga merespon dengan mengurangi penawaran tenaga kerja keluarga dan permintaan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa. Pada kondisi ada biaya transaksi, rumahtangga merespon dengan penurunan beberapa aktivitas ekonomi lebih besar dibanding pada kondisi tidak ada biaya transaksi.
337
8.4. Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap Produksi Sapi dan Alokasi Tenaga Kerja pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi Dalam penelitian ini dilakukan simulasi peningkatan masing-masing harga ternak sapi dan upah sebesar 5 persen sampai 25 persen. Hal ini dilakukan untuk melihat hubungan harga dan produksi sapi serta hubungan upah dengan alokasi tenaga kerja di Minahasa dan Bolaang Mongondow baik pada kondisi ada biaya transaksi, kondisi tidak ada biaya perantara maupun kondisi tidak ada biaya transaksi.
8.4.1. Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap Produksi Peningkatan harga ternak sapi memberikan dampak positif bagi produksi sapi baik pada kondisi ada biaya transaksi, kondisi tidak ada biaya perantara maupun kondisi tidak ada biaya transaksi. Hubungan harga sapi dan produksi sapi pada kondisi ada biaya transaksi, tidak ada biaya perantara maupun tanpa biaya transaksi di Minahasa dan Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa setiap peningkatan harga ternak sapi mengakibatkan peningkatan produksi sapi baik pada kondisi ada biaya transaksi, tidak ada biaya perantara maupun tidak ada biaya transaksi di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Pada tingkat harga sapi yang sama, misalnya harga sebesar Rp 3 800, produksi sapi pada kondisi tidak ada biaya perantara lebih besar dibanding pada kondisi ada biaya transaksi. Pada harga yang sama produksi sapi pada kondisi tidak ada biaya transaksi lebih besar dibanding kondisi ada biaya transaksi dan kondisi tidak ada biaya perantara. Dalam hal ini pada kondisi tidak ada biaya transaksi akan mendorong rumahtangga untuk meningkatkan produksi sapi lebih banyak.
338
40000
Harga Sapi (Rp/Kg)
39000
38000
37000
36000 340
350
360
370
380
Produksi Sapi (Kg/Tahun) Produksi Sapi Kondisi Ada Biaya Transaksi
Produksi Kondisi Tidak Ada Biaya Perantara
Produksi Sapi Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 10. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Produksi Sapi di Minahasa pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi
Harga Sapi (Rp/Kg)
44000
42000
40000
38000
36000 550
650
750
850
950
Produksi Sapi (Kg/Tahun) Produksi Sapi Kondisi Ada Biaya Transaksi Produksi Sapi Kondisi Tidak Ada Biaya Perantara Produksi Sapi Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 11. Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap Produksi Sapi di Bolaang Mongondow pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi
339
8.4.2. Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap Alokasi Tenaga Kerja Berdasarkan teori ekonomi, peningkatan upah memberikan dampak positif terhadap penawaran tenaga kerja keluarga dan curahan kerja sebagai buruh tani. Sebaliknya peningkatan upah memberikan dampak negatif terhadap permintaan tenaga kerja sewa. Hubungan upah (Rp/jam) dan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha ternak sapi (jam/tahun) pada kondisi ada biaya transaksi, kondisi tidak ada biaya perantara dan kondisi tidak ada biaya transaksi baik di Minahasa maupun
Upah Tenaga Kerja (Rp/Jam)
Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13.
4500
4300
4100
3900 573
575
577
579
Tenaga Kerja Keluarga Usaha Sapi (Jam/Tahun) TK Keluarga Usaha Sapi Kondisi Ada Biaya Transaksi TK Keluarga Usaha Sapi Kondisi Tidak Ada Biaya Perantara TK Keluarga Usaha Sapi Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 12. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Penawaran Tenaga Kerja pada Usaha Ternak Sapi di Minahasa pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak Ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 12 dan 13 menunjukkan upah berhubungan positif dengan penawaran tenaga kerja pada usaha ternak sapi di Minahasa. Peningkatan upah menyebabkan tenaga kerja keluarga pada usaha ternak sapi meningkat. Pada tingkat upah yang
340
sama, rumahtangga akan mengaloksikan tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi lebih besar pada kondisi tidak ada biaya perantara dibanding kondisi tidak ada biaya transaksi. Rumahtangga juga akan mengaloksikan tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi lebih besar pada kondisi ada biaya transaksi dibanding kondisi tidak ada biaya perantara dan kondisi tidak ada biaya transaksi. Adanya biaya transaksi mengurangi budget rumahtangga menyebabkan mereka menambah jam kerja tenaga keluarga untuk meminimalkan biaya produksi. Dalam hal ini kurva hubungan upah dan penawaran tenaga kerja keluarga lebih elastis pada usaha sapi rumahtangga petani peternak di Bolaang Mongondow. Kondisi ini menunjukkan biaya transaksi sangat berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja keluarga di Bolaang Mongondow.
Upah Tenaga Kerja (Rp/Jam)
4800
4400
4000
3600 500
1000
1500
2000
2500
Tenaga Kerja Keluarga Usaha Sapi (Jam/Tahun) TK Keluarga Usaha Sapi Kondisi Ada Biaya Transaksi TK Keluarga Usaha Sapi Kondisi Tidak Ada Biaya Perantara TK Keluarga Usaha Sapi Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 13. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Penawaran Tenaga Kerja Keluarga pada Usaha Ternak Sapi di Bolaang Mongondow pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi
341
Hubungan upah dan penawaran tenaga kerja pada usaha jagung/kelapa pada kondisi ada biaya transaksi, kondisi tidak ada biaya perantara dan kondisi tidak ada biaya transaksi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow dapat dilihat pada
Upah Tenaga Kerja (Rp/Jam)
Gambar 14 dan Gambar 15. 4600
4300
4000
3700 300
450
600
750
Tenaga Kerja Keluarga Usaha Jagung (Jam/Tahun) TK Keluarga Usaha Jagung Kondisi Ada Biaya Transaksi TK Keluarga Usaha Jagung Kondisi Tidak Ada Biaya Perantara TK Keluarga Usaha Jagung Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 14. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Penawaran Tenaga Kerja Keluarga pada Usaha Jagung di Minahasa pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi Upah tenaga kerja berhubungan positif dengan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha jagung di Minahasa (Gambar 14). Seperti hubungan upah dan penawaran tenaga kerja pada usaha sapi, peningkatan upah tenaga kerja mengakibatkan peningkatan tenaga kerja keluarga pada usaha jagung. Pada tingkat upah sama, penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung pada kondisi tidak ada biaya perantara lebih besar dibanding kondisi tidak ada biaya transaksi. Selanjutnya, penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung pada kondisi tidak
342
ada biaya transaksi lebih besar dibanding kondisi tidak ada biaya perantara dan kondisi ada biaya transaksi. Hal ini disebabkan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha jagung bersubstitusi dengan tenaga kerja sewa pada usaha jagung.
Upah Tenaga Kerja (Rp/Jam)
4800
4400
4000
3600 -100
-50
0
50
100
Tenaga Kerja Keluarga Usaha Kelapa (Jam/Tahun) TK Keluarga Usaha Kelapa Kondisi Ada Biaya Transaksi TK Keluarga Usaha Kelapa Kondisi Tidak Ada Biaya Perantara TK Keluarga Usaha Kelapa Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 15. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Penawaran Tenaga Kerja Keluarga pada Usaha Kelapa di Bolaang Mongondow pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi
Upah tenaga kerja (Rp/jam) berhubungan negatif dengan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha kelapa (jam/tahun) di Bolaang Mongondow (Gambar 15). Fenomena ini menunjukkan dengan naiknya upah mengakibatkan rumahtangga menurunkan penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha kelapa. Hal ini dilakukan sebagai upaya mensubstitusi peningkatan tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi. Hal ini bertentangan dengan teori ekonomi, bahwa semakin tinggi upah maka rumahtangga mencurahkan tenaga kerja keluarga untuk usahatani tertentu. Dalam
343
kasus di Bolaang Mongondow rumahtangga menghadapi kendala budget untuk membayar upah tenaga kerja dalam proses pembuatan kopra, sehingga rumahtangga menyewakan pohon kelapa ke pedagang. Walaupun pada tingkat upah yang sama rumahtangga akan mencurahkan tenaga kerja keluarga lebih besar dalam kondisi tidak ada biaya perantara dibanding kondisi ada biaya transaksi. Selanjutnya, rumahtangga akan mencurahkan tenaga kerja keluarga lebih besar dalam kondisi tidak ada biaya transaksi dibanding kondisi tidak ada biaya perantara dan kondisi tidak ada biaya transaksi. Fenomena ini menunjukkan pengaruh biaya transaksi sangat besar terhadap penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha kelapa. Hubungan upah (Rp/jam) dan permintaan tenaga kerja sewa pada usaha jagung/kelapa (jam/tahun) pada kondisi ada biaya transaksi, kondisi tidak ada biaya perantara dan kondisi tidak ada biaya transaksi rumahtangga petani peternak sapi baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17. Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa upah tenaga kerja berhubungan negatif dengan permintaan tenaga kerja luar keluarga (sewa) pada usaha jagung di Minahasa dan usaha kelapa di Bolaang Mongondow. Peningkatan upah tenaga kerja mengakibatkan penurunan tenaga kerja sewa pada usaha jagung. Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi, bahwa semakin tinggi upah maka permintaan tenaga kerja sewa semakin berkurang baik pada kondisi ada biaya transaksi, kondisi tidak ada biaya perantara maupun kondisi tidak ada biaya transaksi. Namun fenomena di Minahasa menunjukkan bahwa pada kondisi ada biaya transaksi dengan tingkat upah yang sama rumahtangga akan menggunakan tenaga kerja sewa lebih besar pada usaha
344
jagung. Hal ini disebabkan tenaga kerja sewa pada jagung bersubstitusi dengan tenaga kerja keluarga pada usaha jagung. Selain itu, sudah menjadi tradisi di Minahasa rumahtangga akan menggunakan tenaga kerja sewa pada usaha jagung walaupun biaya transaksi meningkat.
Upah Tenaga Kerja (Rp/Jam)
4600
4400
4200
4000
3800 30
50
70
90
Tenaga Kerja Sewa Usaha Jagung (Jam/Tahun) TK Sewa Usaha Jagung Kondisi Ada Biaya Transaksi TK Sewa Usaha Jagung Kondisi Tidak Ada Biaya Perantara TK Sewa Usaha Jagung Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 16. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Permintaan Tenaga Kerja Sewa Pada Usaha Jagung di Minahasa pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi Berbeda dengan di Minahasa, rumahtangga petani di Bolaang Mongondow akan menyewa tenaga kerja lebih banyak pada kondisi tidak ada biaya transaksi dengan tingkat upah yang sama. Naiknya biaya transaksi mengakibatkan budget rumahtangga petani di Bolaang Mongondow semakin berkurang sehingga mereka mengurangi permintaan tenaga kerja sewa.
345
Upah Tenaga Kerja (Rp/Jam)
4800
4400
4000
3600 -1590
-1190
-790
-390
10
Tenaga Kerja Sewa Usaha Kelapa (Jam/Tahun) TK Sewa Usaha Kelapa Kondisi Ada Biaya Transaksi TK Sewa Usaha Kelapa Kondisi Tidak Ada Biaya Perantara TK Sewa Usaha Kelapa Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 17. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Permintaan Tenaga Kerja Sewa pada Usaha Kelapa di Bolaang Mongondow pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi
Hubungan upah tenaga kerja (Rp/jam) dan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (jam/tahun) baik pada kondisi ada biaya transaksi, kondisi tidak ada biaya perantara penjualan maupun kondisi tidak ada biaya transaksi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Gambar 18 dan Gambar 19. Gambar 18 dan 19 menunjukkan bahwa upah tenaga kerja berhubungan positif dengan curahan kerja sebagai buruh tani rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Peningkatan upah tenaga kerja mengakibatkan peningkatan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani baik pada kondisi ada biaya transaksi, kondisi tidak ada biaya perantara maupun kondisi tidak
346
ada biaya transaksi rumahtangga petani di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi, bahwa semakin tinggi upah tenaga kerja
Upah Tenaga Kerja (Rp/Jam)
maka curahan kerja keluarga sebagai buruh tani semakin tinggi. 4500
4300
4100
3900 1000
1200
1400
1600
1800
Curahan Kerja Sebagai Buruh Tani (Jam/Tahun) Curahan Kerja Buruh Tani Kondisi Ada Biaya Transaksi Curahan Kerja Buruh Tani Kondisi Tidak Ada Biaya Perantara Curahan Kerja Buruh Tani Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 18. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Curahan Kerja Keluarga Sebagai Buruh Tani di Minahasa pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi Namun biaya transaksi bagi rumahtangga di Minahasa pengaruhnya kecil bagi curahan kerja keluarga. Dalam hal ini pada tingkat upah yang sama, rumahtangga akan mencurahkan jam kerja sebagai buruh tani lebih besar pada kondisi tidak ada biaya transaksi. Hal ini disebabkan curahan kerja sebagai buruh tani bersubstitusi dengan penawaran tenaga kerja pada usaha sapi di Minahasa. Rumahtangga petani peternak di Minahasa menawarkan tenaga kerja keluarga lebih besar pada usaha sapi untuk kondisi ada biaya transaksi dengan tingkat upah yang sama.
Upah Tenaga Kerja (Rp/Jam)
347
4800
4400
4000
3600 1000
1500
2000
2500
Curahan Kerja Buruh Tani (Jam/Tahun) Curahan Kerja Buruh Tani Kondisi Ada Biaya Transaksi Curahan Kerja Buruh Tani Kondisi Tidak Ada Biaya Perantara Curahan Kerja Buruh Tani Kondisi Tidak Ada Biaya Transaksi
Gambar 19. Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Curahan Kerja Keluarga Sebagai Buruh Tani di Bolaang Mongondow pada Kondisi Ada Biaya Transaksi, Tidak ada Biaya Perantara dan Tidak Ada Biaya Transaksi Berbeda dengan di Minahasa, petani peternak sapi di Bolaang Mongondow akan mencurahkan tenaga kerja keluarga sebagai buruh tani lebih besar pada kondisi ada biaya transaksi dengan tingkat upah yang sama. Hal ini disebabkan pada tingkat upah yang sama rumahtangga petani di Bolaang Mongondow akan menawarkan tenaga kerja keluarga lebih besar pada usaha kelapa untuk kondisi tidak ada biaya transaksi. Fenomena ini terjadi sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga karena adanya keterbatasan budget.
309
peningkatan konsumsi jagung. Konsumsi jagung oleh ternak di Minahasa sudah tertentu disebabkan penanaman jagung juga sudah tertentu. Estimasi peubah produksi jagung berpengaruh nyata terhadap konsumsi jagung pada taraf nyata 15 persen. Artinya peningkatan produksi jagung pengaruhnya sangat besar terhadap peningkatan konsumsi jagung. Rumahtangga berusaha meningkatkan kualitas pakan, sehingga semakin banyak produksi jagung maka jumlah jagung muda yang diberikan ke ternak semakin banyak. Seperti telah dijelaskan bahwa rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa menanam jagung sebagai upaya meningkatkan kualitas pakan sapi. Hasil analisis menunjukkan nilai elastisitas peubah konsumsi jagung terhadap biaya pembelian rumput lebih kecil satu. Artinya konsumsi jagung tidak responsif terhadap biaya pembelian rumput. Rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa tidak merespon peningkatan konsumsi jagung karena meningkatnya biaya rumput. Seperti dijelaskan di atas bahwa ketersediaan jagung terbatas karena tergantung musim tanam. Pada waktu-waktu tertentu rumahtangga membutuhkan rumput sebagai pakan walaupun diperoleh dengan cara beli. Hal ini dialami rumahtangga pada saat musim kemarau. Nilai elastisitas peubah konsumsi jagung terhadap penerimaan penjualan sapi lebih kecil satu. Artinya konsumsi jagung tidak responsif terhadap penerimaan penjualan ternak sapi. Walaupun penerimaan penjualan ternak sapi meningkat menyebabkan peningkatan konsumsi jagung oleh ternak. Hal ini disebabkan konsumsi jagung sudah tertentu selain itu ketersediaannya terbatas karena tergantung musim tanam. Nilai elastisitas peubah konsumsi jagung terhadap produksi jagung lebih kecil satu. Artinya konsumsi jagung tidak responsif terhadap produksi jagung.
310
Peningkatan produksi jagung pengaruhnya sangat besar terhadap konsumsi jagung oleh ternak. Namun peningkatan produksi jagung tidak langsung direspon rumahtangga petani peternak sapi dengan meningkatkan konsumsi jagung oleh ternak. Hal ini disebabkan rumahtangga membutuhkan budget untuk dialokasikan sebagai pengeluaran. Walaupun produksi jagung meningkat pengaruhnya sangat kecil terhadap konsumsi jagung.
7.7.5. Surplus Pasar Kelapa Surplus pasar kelapa (SPK) rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga buah kelapa (HBK), produksi buah kelapa (PROB), total pengeluaran (TP) dan biaya transaksi penjualan kopra (BTRK). Hasil analisis pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen surplus pasar kelapa telah sesuai kriteria ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian rumahtangga menjual buah kelapa dengan harga Rp 450 per kg. Semakin tinggi harga mendorong rumahtangga menjual kelapa dalam bentuk buah bukan kopra. Pengaruh harga cukup tinggi terhadap penjualan buah kelapa. Hal ini disebabkan dalam proses pembuatan kopra membutuhkan biaya produksi yang cukup besar. Walaupun surplus kelapa tidak responsif terhadap harga kelapa. Produksi buah kelapa berpengaruh sangat nyata terhadap surplus pasar kelapa. Artinya semakin banyak buah kelapa menyebabkan surplus pasar kelapa semakin banyak. Sebagian rumahtangga menjual kelapa dalam bentuk buah kelapa. Hal ini dilakukan karena penjualan dalam bentuk buah tidak
311
membutuhkan tenaga kerja sewa lebih banyak. Tenaga kerja yang dibutuhkan hanya untuk mengupas buah kelapa sehingga biaya yang dikeluarkan untuk biaya tenaga kerja lebih sedikit. Walaupun surplus kelapa di daerah penelitian tidak responsif terhadap produksi kelapa. Rumahtangga membutuhkan pendapatan untuk dialokasikan sebagai pengeluaran baik untuk kebutuhan pokok, non pokok maupun proses usaha kelapa. Total pengeluaran dihitung dari total pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan, non pangan dan investasi pendidikan. Peningkatan total pengeluaran menyebabkan terjadinya peningkatan surplus pasar kelapa dan pengaruhnya nyata. Namun surplus pasar kelapa tidak responsif terhadap total pengeluaran. Dalam hal ini masih ada sumber pendapatan yang lain. Biaya transaksi penjualan kopra terdiri dari biaya transpor penjualan kopra dan biaya penyimpanan kopra. Biaya transaksi tersebut mempengaruhi surplus pasar kelapa. Peningkatan biaya transaksi dapat mendorong rumahtangga untuk meningkatkan surplus pasar kelapa. Penjualan dalam bentuk buah kelapa untuk menghindari adanya biaya transaksi penjualan kopra yang cukup tinggi. Namun surplus pasar kelapa tidak responsif terhadap biaya transaksi. Sebagian besar rumahtangga masih menjual dalam bentuk kopra. Hal ini disebabkan pedagang yang membeli buah kelapa masih sangat kurang. Buah kelapa sebagai bahan baku pembuatan tepung kelapa, sedangkan kopra merupakan produk ekspor dan sebagai bahan baku minyak goreng.
IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
9.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
1.
Pangsa biaya perantara penjualan sapi (%) adalah komponen terbesar dari struktur biaya transaksi usaha ternak sapi di Sulawesi Utara. Dimana pangsa biaya perantara penjualan sapi (%) di Bolaang Mongondow lebih kecil dari Minahasa. Meskipun pangsa biaya perantara penjualan sapi di Bolaang Mongondow lebih kecil, tetapi jumlah biaya perantara penjualan sapi (Rp) di Bolaang Mongondow lebih besar dari Minahasa. Total biaya transaksi penjualan sapi (Rp) di Bolaang Mongondow lebih besar dari Minahasa, karena jumlah biaya transpor, biaya perantara, biaya administrasi dan biaya retribusi penjualan sapi (Rp) di Bolaang Mongondow lebih besar.
2.
Model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman yang dibangun dapat menjelaskan dengan baik pengaruh biaya transaksi terhadap perilaku ekonomi rumahtangga usaha ternak sapi - jagung di Minahasa dan usaha ternak sapi – kelapa di Bolaang Mongondow.
3.
Biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam penggunaan input, produksi dan pengeluaran. Biaya transaksi dinyatakan sebagai harga bayangan sapi, jagung, kopra dan upah bayangan tenaga kerja. Harga bayangan mempengaruhi keputusan produksi sapi, produktivitas jagung dan produktivitas kelapa. Biaya transaksi mempengaruhi keputusan permintaan input usaha jagung. Upah bayangan mempengaruhi keputusan penawaran tenaga kerja
349
keluarga, permintaan tenaga kerja sewa, curahan tenaga kerja sebagai buruh tani dan penawaran tenaga kerja ternak sapi. 4.
Kombinasi peningkatan biaya transaksi (biaya perantara penjualan sapi, biaya transpor penjualan jagung/kopra) dan harga output memberikan dampak positif terbaik terhadap pendapatan dan kesejahteraan (pengeluaran) rumahtangga petani usaha ternak sapi – jagung di Minahasa dan usaha ternak sapi – kelapa di Bolaang Mongondow.
5.
Kombinasi penurunan biaya transaksi (biaya perantara penjualan sapi), peningkatan biaya transaksi (biaya transpor penjualan sapi, biaya administrasi, biaya retribusi, biaya transpor penjualan jagung/kopra) dan harga output memberikan dampak positif terbaik terhadap pendapatan dan kesejahteraan (pengeluaran) rumahtangga petani usaha ternak sapi – jagung di Minahasa dan usaha ternak sapi – kelapa di Bolaang Mongondow.
9.2.
Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil penelitian maka terdapat beberapa implikasi kebijakan yang
dapat menunjang pengembangan usaha ternak sapi di Sulawesi Utara, khususnya menunjang aktivitas ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman. Implikasi kebijakan tersebut diantaranya : 1.
Rumahtangga petani usaha ternak sapi – tanaman di Sulawesi Utara mengeluarkan biaya perantara cukup tinggi. Rumahtangga petani usaha ternak sapi-kelapa di Bolaang Mongondow menjual ternak dengan didatangi pedagang yang menyebabkan biaya transportasi lebih tinggi. Dalam menghadapi kasus ini,
350
diperlukan suatu lembaga sebagai wadah yang dapat memberikan informasi pembeli dan harga. Hal ini dapat membantu rumahtangga dalam penjualan ternak sapi dan tidak dipermainkan pedagang. Perlu dibangun pasar blantik di Bolaang Mongondow. Selain itu, diperlukan intervensi pemerintah untuk mengupayakan sarana dan prasarana terutama timbangan ternak sapi di Sulawesi Utara. Perlu peningkatan kualitas ternak sapi dengan cara inseminasi buatan terutama di Bolaang Mongondow. 2.
Biaya perantara penjualan sapi oleh rumahtangga petani usaha ternak sapi – tanaman di Sulawesi Utara cukup tinggi, ada kecenderungan setiap tahun mengalami peningkatan dan tidak dapat dihindari oleh rumahtangga. Perlu intervensi pemerintah dalam peningkatan harga ouput dan regulasi penetapan bobot minimum penjualan sapi sebagai upaya untuk mengimbangi peningkatan biaya transaksi. Kenaikan harga output dapat mengkompensasi adanya kenaikan biaya transaksi, harga input dan upah tenaga kerja. Upaya ini dapat direspon rumahtangga dengan meningkatkan penggunaan input, produksi sapi, total pendapatan dan pengeluaran rumahtangga.
3.
Adanya program otonomisasi daerah menyebabkan pemerintah menetapkan biaya administrasi dan retribusi penjualan ternak sapi lebih tinggi sebagai pendapatan daerah. Akibatnya biaya transaksi yang ditanggung rumahtangga akan lebih tinggi, sehingga perlu upaya penurunan biaya perantara. Ke depan perlu intervensi pemerintah untuk perbaikan kelembagaan (misalnya koperasi) sebagai upaya penekanan biaya perantara.
351
4.
Usaha ternak sapi di Sulawesi Utara perlu diarahkan ke sistem integrasi usaha tenak sapi-tanaman. Sistem ini sebagai upaya meminimalkan biaya transaksi, sehingga perlu bantuan pemerintah untuk memberikan penyuluhan serta pembentukan kelompok-kelompok tani ternak
9.3.
Saran Penelitian Lanjutan Dalam rangka pengembangan usaha ternak sapi diperlukan pengkajian lebih
lanjut menyangkut : 1.
Perlu dibangun suatu model perilaku ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman dengan mendisagregasikan curahan tenaga kerja keluarga suami, isteri, anak dan penggunaan tenaga kerja sewa pria, wanita dalam usaha jagung.
2. Perlu penelitian lanjutan menyangkut biaya transaksi penjualan sapi mulai dari pedagang, tukang potong sapi sampai pada konsumen. 3. Biaya transaksi mempengaruhi pasar tenaga kerja, sehingga perlu dikaji biaya transaksi yang terjadi antara pekerja dan petani usaha ternak sapi-tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, P. 1983. Problem Reproduksi Pada Ruminansia Besar di Yogyakarta. Proceeding. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Alderman, H and Sahn, D.E. 1993. Substitution Between Goods and Leisure in a Developing Country. American Journal Agricultural Economics. 74 (4): 875883. Allen, D.W and D. Lueck. 2004. The Nature of The Farm. Contracts, Risk and Organization in Agriculture. The MIT Press. Ambarsari, D.N. 2005. Analisis Ekonomi Rumahtangga Petani Pekebun Kakao di Kabupaten Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor Anderson, J. 1990. Rural Credit and the Mix Between Permanent and Temporary Wage Labor Contracts in Pernambuco, Brazil. American Journal of Agricultural Economics, 75 (5): 1139-1157. Andriati. 2003. Perilaku Rumahtangga Petani Padi Dalam Kegiatan Ekonomi Di Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anggraini, E. 2005. Analisis Biaya Transaksi dan Penerimaan Nelayan dan Petani di Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anwar, K. 2005. Analisis Respon Produksi dan Konsumsi Pangan Rumahtangga Petani : Simulasi Perubahan Kebijakan Harga. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ariyanto, A. 2004. Alokasi Waktu Dan Ekonomi Rumahtangga Pekerja Pada Sektor Industri Formal Berdasarkan Gender. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asmarantaka, R.W. 2007. Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Di Tiga Desa Pangan dan Perkebunan Di Provinsi Lampung. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Instutut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2003. Sensus Pertanian. Angka Nasional Hasil Pendaftaran Rumahtangga. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Sulawesi Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Manado.
353
Bakir, L.H. 2007. Kinerja Perusahaan Inti Rakyat Kelapa Sawit Di Sumatera Selatan : Analisis Kemitraan dan Ekonomi Rumahtangga Petani. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Instutut Pertanian Bogor, Bogor. Bamualim, A., R.B. Wirdahayati dan M. Boer. 2004. Status dan Peranan Sapi Lokal Pesisir di Sumatera Barat. Prosiding Seminar. Sistem Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta Selatan. Barret, C.B., M.F. Bellemare and S.M. Osterloh. 2004. Household-Level Livestock Marketing Bahavior Among Northern Kenyan and Sourthen Ethiopian Pastoralists. Departement of Applied Economics and Management. Cornell University, Ithaca. Becker, G.S. 1971. The Economic Approach to Human Behavior. The University of Chicago Press, Chicago. Benham, A and L. Benham. 2001. Marketng Methods and Income Generation Amongst Small-Scale Farmers in Two Communal Areas of Kwazulu-Natal, South Africa. School of Agricultural Sciences and Agribusines. University of Natal, Pietermaritz Burg, South Africa. Procceding. http://ifmaoline.org/pages/con_full Articles php. Best, J. 1987. Homestead Livestock and Household Livelihood in Sarawak: Innovations versus Improvements. Community Development Journal, Oxford. Birthal, P.S., P.K. Joshi and A. Gulati. 2006. Vertical Coordination in High-Value Food Commodities: Implication for Smallholder. International Food Policy Research Institute (IFPRI) and National Centre for Agricultural Economics Policy Research (NCAP), New Delhi. Bryant, W. K. 1990. The Economic Organization of the Household. Cambridge University Press, New York. Chavas, J. P; R. Petrie and M. Roth. 2005. Farm Household Production Efficiency : Evidence From the Gambia. American Journal of Agricultural Economics. Vol 87 (1) : 160-179. Caillavet, F., H. Guyomard and R. Lifran. 1994. Agricultural Household Modelling and Family Economics. Elsiver, New York. Collisson, C., U. Kleih., D. Burnett., A. Munganga., J. Jagwe and R.B. Fenis. 2005. Transaction Cost Analysis for Selected Crops with Export Potential in Uganda. International Institute of Tropical Agriculture, Nigeria.
354
Coyle, B.T. 1994. Duality Approaches to the Specification of Agricultural Household Models. In: Caillavet, F., H. Guyomard and R. Lifran. 1994. Agricultural Household Modelling And Family Economics. Elsiver, New York. Crotty, R. 1980. Cattle, Economics and Development. Commonwealth Agricultural, Bureau. Denham, S.C and T.H. Spreen. 1986. Introduction to Simulation of Beef Cattle Production. In: Spreen, T.H and D.H. Laughlin. Simulation of Beef Cattle Poduction System and Its Use in Economic Analysis. Westview Press/Boulder, London. Dinas Kehewanan. 2007. Laporan Evaluasi Kinerja Tahun 2006. Dinas Kehewanan Kabupaten Minahasa, Tondano. Dinas Perindustrian dan Perdagangan. 2002. Laporan Tahunan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara, Manado. Dinas Pertanian dan Peternakan. 2005. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Utara, Manado. Dinas Pertanian dan Peternakan. 2005. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, Kotamobagu. Direktorat Pengembangan Peternakan. 2003. Informasi Peluang Investasi Agribisnis Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Direktorat Pengembangan Peternakan. 2004. Kebijakan Pemerintah Untuk Mendorong Peluang Investasi Agro Industri Subsektor Peternakan dan Persaingan di Era Globalisasi. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Djajanegara, A dan I.G. Ismail., 2004. Manajemen Sarana Usahatani dan Pakan dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar. Sistem Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta Selatan. Dutilly-Diane, C., E. Sadoulet and A. de Janvry. 2003. Household Behavior Under Market Failures: How Natural Resource Management in Agriculture Promotes Livestock Production in the Sahel. Department of Agricultural and Resource Economics. University of California, Berkeley. Elistiawaty. 2005. Ekonomi Rumahtangga Pengusaha Industri Kecil Tenun Sutera Di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
355
Ellis, F. 1988a. Peasant dalam Peasant Economics. Farm Households and Agrarian Development. Cambridge University Press, Cambridge. Ellis, F. 1988b. The Drudgery-Averse Peasant dalam Peasant Households and Agrarian Development. Cambridge Cambridge. Ellis, F. 1988c. The Farm Household Peasant dalam Peasant Households and Agrarian Development. Cambridge Cambridge.
Economics. Farm University Press, Economics. Farm University Press,
Eguienta, Y., C. Martin., P. Lecomte., O. husson and J.C. Castella. 2002. CropLivestock Interactions in Northern Vietnam: Issues, Diversity of Farmers’ Responses and Alternatives for Sustainable Integration of Animals in Upland Agricultural System. International Rice Research Institute, Philippines. Evenson, R.E., A. Kimhi and S. DeSilva. 2000. Supervision and Transaction Costs : Evidence From Rice Farms in Bicol, the Philippines. Yale University, New Haven. Fagi, A.M., A. Djajanegara., K. Kariyasa dan I.G. Ismail., 2004. Keragaman Inovasi Kelembagaan dan Sistem Usahatani Tanaman – Ternak di Beberapa Sentra. Prosiding Seminar. Sistem Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta Selatan. Fagi, A.M. dan S. Kartaatmadja., 2004. Dinamika Kelembagaan Sistem Usahatani Tanaman-Ternak dan Diseminasi Tehnologi. Prosiding Seminar. Sistem Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta Selatan. Gabriel., 1995. Elements of Farm – Household System : Boundaries, Household and Resources. http://elements of farm household system. Gould, B.W and W.E. Saupe, 1989. Off-Farm Labor Market Entry and Exit. American Journal of Agricultural Economics, 71 (4) : 960-969. Gulelat, W. 2002. Household Herd Size Among Pastoralists in Relation to Overstocking and Rangeland Degradation (Sesfontein, Namibia). International Institute for Geo-Information Science and Earthobservation Enschede, Netherlands. Hasnudi. 1991. Analisis Faktor-faktor Lingkungan Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Produktivitas Ternak Sapi “Crash Program Project”. (Studi Kasus pada Enam Desa di Sumatera Utara). Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
356
Hendayana, R dan M.H. Togatrop. 2003. Struktur Curahan Waktu Kerja dan Pendapatan Peternak. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor. Hendayana, R dan Yusuf. 2003. Kajian Adopsi Tehnologi Penggemukan Sapi Potong Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Di Nusa Tenggara Timur. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor. Hoda, A. 2002. Potensi Pengembangan Sapi Potong Pola Usaha Tani Terpadu Di Wilayah Maluku Utara. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hyun, K.N, D.W. Adams and L.J. Hushak. 1979. Rural Household Saving Behavior in South korea 1962-76. American Journal of Agricultural Economics, 61 (3) : 142-152. Imam, H.M.S. 2003. Strategi Usaha Pengembangan Peternakan Berkesinambungan. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. International Center For Integreted Mountain Development. 1989. Livestock Development in Mixed Crop Farming System. Issues in Mountain Development. http://international center for integrated mountain development. Jaleta, M and C. Gardebroek. 2007. Land and Labour Allocation Decision in the Shift from Subsistence to Comercial Agriculture. http://.sls.wau.nl/Ml/Response/ Debello_revised.pdf Kariyasa, K dan F. Kasryno., 2004. Dinamika Pemasaran dan Prospek Pengembangan Ternak Sapi di Indonesia. Prosiding Seminar. Sistem Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta Selatan. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd, London. Kusnadi, N. 2005. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Dalam Pasar Persaingan Tidak Sempurna di Beberapa Provinsi Di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusnadi, U., P. R. Soeharto, dan M. Sabrani. 1983. Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah Yang Tergantung Dalam Koperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Proceeding. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Lambert, S and T. Magnac. 1994. Measurement of Implicit Price of Family Labour in Agriculture: An Application to Cote D’Ivoire. In : Caillavet, F., H. Guyomard and R. Lifran. 1994. Agricultural Household Modelling and Family Economics. Elsiver, New York.
357
Lanzona, R and R.E. Evenson. 1997. The Effect of Trnsaction Costs on Labor Market Participation and Earnings: Evidence From Rural Philippine Markets. Economic Growth Center, Yale University. New Haven, Connecticut 065208269 Lazear, E.P and R.T. Michael. 1988. Allocation of Income Within The Household. The University of Chicago, Press, Chicago 60637 Lebdosukoyo, S. 1983. Pemanfaatan Limbah Pertanian Untuk Menunjang Kebutuhan Pakan Ruminansia. Proceeding. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Limbong, F.T. 1989. Alternatif Pengembangan Ternak sapi Rakyat Di Kabupaten Bone – Sulawesi Selatan. Tesis Magister Sains. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lofgren, H and S. Robinson. 1999. To Trade or Not To Trade: Non-Separable Farm Household Models in Partial and General Equilibrium. International Food Policy Research Institute. Trade and Macroeconomics Division International Food Policy Research Institute 2033 K Street, N.W. Washington, D>C. 20006 U.S.A. Mondo, M. 2002. Analisis Keuntungan Perdagangan Antar Pulau Ternak Sapi di Sulawesi Utara. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Sam Ratulangi, Manado. Maltsoglou, I and G. Rapsomanikis. 2005. The Contribution of Livestock to Household Income in Vietnam: A Household Typology Based Analysis. Food an Agriculture Organization-Animal Production and Health Division. Viale delle Terme, Caracalla. Mathijs, E and L. Vranken. 2006. Farm Restructuring and Production Efficiency in Transition Agriculture. Katholieke Universiteit, Leuven. Matungul, P.M., G.F. Ortmann and M.C. Lyne. 2006. Marketing Methods and Income Generation Amongst Small-Scale Farmers in Two Communal Areas of Kwazulu-Natal, South Africa. School of Agricultural Sciences and Agribusiness. University of Natal, Pietermaritzburg. Minot, N. 1999. Effect of Transaction Cost on Supply Respone and Marketed Surplus : Simulations Using Non-Separable Household Model. Internatioal Food Policy Researh Institute Washington, D.C. http://www.cgiar.org/ifpri Mitch, R. 1990. Household Inventories and Marketed Surplus in Semisubsistence Agriculture. American Journal of Agricultural Economics, 72 (3): 664-675.
358
Muhammad, S. 2002. Ekonomi Rumahtangga Nelayan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Di Jawa Timur : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mulyadi, H., Sumadi., Supiyono dan Pusporini., 1983. Pendugaan Nilai Genetik Secara Progeny Test Dari Sapi Pejantan di Perusahaan Susu “Santa Maria” Rowoseneng, Temanggung. Proceeding. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Nefri, J. 2000. Optimalisasi dan Daya saing Usaha Peternakan Sapi Potong. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Negoro, N.B. 2003. Ekonomi Rumahtangga Pengusaha Dan Pekerja Industri Kecil Gerabah Di Sentra Industri Gerabah Kasongan Kabupaten Bantul. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nenepath, S.H. 2001. Optimalisasi Diversifikasi Ternak Sapi Potong Pada Usahatani Lahan Kering di Kabupaten Jayapura-Irian Jaya. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ngqangweni, S and C. Delgado. 2003. Decision on Livestock Keeping in the SemiArid Areas of Limpopo Province. Extension and Rural development. Department of Agricultural Economics. University of Pretoria, Pretoria. North and Thomas. 1973. Transaction Cost – Dictionary Definition of Transaction Cost. http://economics.about.conv/library/glossary/blglossary-full,htm. Nugrahadi, E.W. 2001. Keputusan Ekonomi Rumahtangga Pengusaha dan Pekerja Industri Produk Jadi Rotan Di Kota Medan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pambudy, R. 1999. Perilaku Komunikasi, Perilaku Wirausaha Peternak, dan Penyuluhan Dalam Sistem Agribisnis Peternakan Ayam. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pemerinatah Bolaang Mongondow. 2005. Keputusan Bupati Bolaang Mongondow Nomor 114 Tahun 2005 Tentang Penyesuaian Struktur dan Besarnya Tarif Sementara Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Retribusi Penggantian Biaya cetak Peta dan Pelayanan Jasa Ketatausahaan. Kabuapen Bolaang Mongondow, Kotamobagu. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. 2003. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta dan Pelayanan Jasa Ketatausahaan. Provinsi Sulawesi Utara, Manado.
359
Pindyck, R.S and D.L. Rubenfeld. 1998. Econometrics Models and Economic Forecasts. Fourth Edition. Irwin McGraw-Hill, Boston. Priyanti, A. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman Ternak Terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Instutut Pertanian Bogor, Bogor. Priyono, B.M. 2004. Biaya Transaksi dan Pengaruhnya Dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rao and Saxena. 1994. In : International Center For Integreted Mountain Development. 1989. Livestock Development in Mixed Crop Farming System. Issues in Mountain Development. http://international center for integrated mountain development. Roebeling, P. 2006. Imperfect Markets, Institusional Rents, and Incentives for Sustainable Intensification of Livestock Production System in The Atlantic Zone of Costa Rica. Ministry of Agriculture and Livestock (MAG). CINPEUNA, Costa Rica. Sadoulet, E and A. de Janvry. 1995. Household Models. In : Quantitative Development Policy Analysis. John Hopkins University Press. Baltimore. Santoso., Abubakar dan A.R. Siregar. 1983. Respon Peternak Terhadap Hasil Silangan Sapi Lokal X Sapi Ras di Daerah Jombang. Proceeding. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Santoso, D and E. Tuherkih. 2003. Meningkatkan Pengelolaan Lahan Untuk Memacu Pengembangan Ternak Ruminansia. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor. Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Kumpulan Pemikiran. Edisi Milenium. Pustaka Wirausaha Muda, Bogor. Sariubang, M.A., A. Syam and A. Nurhayu. 2003. Sistem Usahatani Tanaman-Ternk pada Lahan Kering Dataran Rendah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan. http://www.sulsel.litbang.deptan.go.id. 2007. Sartorius, K. 2006. The Cost Efficiency of Small Farm Inclusion in Agribusiness Supply Chains. http://www.wits.ac.za/accountary/staff/sartoriusk/research/ Sawit, M.H. 1993. A Farm Household Model For Rural Household of West Java, Indonesia. A Thesis Submitted in Fulfilment of the Requirements for the Award of the Degree of Doctor of Philosophy from The University of
360
Wollongong. Departement of Economics Northfield Av., Wollongong NSW 2522. Sicular, T. 1986. Using a Farm-Household Model to Analyze Labor Allocation on a Chinese Collective Farm. In: I. Singh, L. Squire, J. Strauss (Eds). Agricultural Household Models : Extentions, Applications, and policy. The Johns Hopkins University Press, Baltimore. Sinaga, B.M. 1995. Metode Sampling. Makalah Disampaikan pada Penataran DosenDosen Perguruan Tinggi Swasta. Materi Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi di Cisarua, Bogor 19-23 Juni 1995. Direktorat Perguruan Tinggi Swasta, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Sinaga, B.M. 1996. Metode Pengumpulan Data. Makalah Disampaikan pada Pelatihan Singkat Metodologi dan Manajemen Penelitian Bidang Pertanian, Cisarua Bogor 16-23 Desember 1996. Proyek Pengembangan Sebelas Lembaga Pendidikan Tinggi Bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitepu, R.K dan B.M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Singh, I., L, Squire and J, Strauss. 1986. The Basic Model: Theory, Empirical Results and Policy Conclusions. In: I. Singh, L. Squire, J. Strauss (Eds). Agricultural Household Models : Extentions, Applications, and policy. The Johns Hopkins University Press, Baltimore. Soekartawi, A. Soeharjo, J.L. Dillon dan J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Australian Universities International Development Program. UI Press, Indonesia, Jakarta. Soenarjo, C. 1983. Beberapa Faktor Penyebab Rendahnya Efisiensi Reproduksi dan Usaha Meningkatnya Pada Ternak Sapi Betina Peranakan Ongole di Daerah Inseminasi Buatan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Somba, S.S. 2003. Strategi Pengembangan Ternak Sapi Di Desa Kanonang II Kecamatan Kawangkoan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Sam Ratulangi, Manado. Sugeha, H.S. 1999. Optimasi Usahatani Terpadu Dalam Kaitannya dengan Pengembangan Ternak Sapi di Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang
361
Mongondow. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Sam Ratulangi, Manado. Suprapto, T. 2001. Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Irian Jaya. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suwandi. 2005. Keberlanjutan Usahatani terpadu Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu Di Kabupaten Sragen : Pendekatan RAP-CLS. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syukur, M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumahtangga Miskin. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Taufel, N; K. Kuettner and C. Gall. 2005. Contribution of Goat Husbandry to Household Income in the Punjab: A Review. University of Hohenheim In : Small Ruminant Research, Band 28 Helf 2. http://Contribution of Goat Husbandry to Household (30-7-2005). Whinston, M.D., 2003. On the Transaction Cost Determinants of Vertical Integration. Oxford University Press. http://ideas.repec.org/a/oup/jleorg/v19v2003ilpl-23. Html[080708]. Download 7 Juli 2008. Vakis, R., E. Sadoulet., A. de Janvry and C. Cafiero. 2004. Testing for Separability in Household Models with Heterogeneous Behavior: A Mixture Model Approach. Department of Agriculture and Research Economics. University of California, Berkeley. Wijono, D.B., D.E. Wahyono., P.W. Prihandini., A.R. Siregar., B. Setiadi dan L. Affandhy. 2003. Performans Sapi Peranakan Ongole Muda Pascacreening. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor. Williamson, O.E., 2008. Transaction-Cost Economics: The Governance of Contractual. Relations. University of Pennsylvania. http://www.jstor.org/pss/ 725118. Yuhaeni, S., M.E. Siregar dan Lugiyo. 1983. Pengaruh Pertanaman Campuran Leguminosa Capolo dengan Beberapa Jenis Rumput Terhadap Produktivitas Hijauan Makanan Ternak. Proceeding. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Zairani, D. 2004. Analisis Peluang Kerja dan Keputusan Ekonomi Rumahtangga Pengusaha Kecil di Kota Bogor (Kasus Penerapan Kredit Usaha Kecil). Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
363
Lampiran 1.
Variabel, Kode dan Definisi Variabel Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow
No 1 1.
Variabel 2 Anggota Keluarga
Kode 3 ANG
2.
Biaya Administrasi
BADM
3.
Biaya Benih Jagung
4.
Biaya Perantara
BPER
5.
Biaya Pejantan
BPJ
6.
Biaya Pupuk KCl
BPKJ
7.
Biaya Pupuk TSP
BPTJ
8.
Biaya Pupuk Urea
BPUJ
9.
Biaya Rumput
BRUM
10.
Biaya TK Usaha Jagung
BTKJ
11.
Biaya TK Keluarga Usaha Jagung
BTKDJ
12.
Biaya TK Sewa Usaha Jagung
BTKLJ
13.
Biaya Transpor Pembelian Benih
BTPB
BBJ
Definisi Variabel 4 Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan (Orang) Biaya administrasi yang dikeluarkan rumahtangga pada saat ternak sapi terjual (Rupiah/ tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga utk membeli benih jagung (HBJ*JBJ) (Rupiah/tahun) Biaya yang dikeluarkan rumah untuk perantara pada saat penjualan ternak (Rupiah/tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk membayar sewa pejantan (Rupiah/tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk membeli pupuk KCl (HPKJ* JPKJ) (Rupiah/ tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk membeli pupuk TSP (HPTJ* JPTJ) (Rupiah/ tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk membeli pupuk Urea (HPUJ* JPUJ) (Rupiah/ tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga pada saat membeli rumput (HRUM* JRUM) (Rupiah/ tahun) Biaya tenaga kerja dalam usaha jagung terdiri dari biaya TK dalam usaha jagung (BTKDJ) dan biaya TK sewa dalam usaha jagung (BTKLJ) (Rupiah/tahun) Biaya TK yang diperhitungkan dalam usaha jagung (BTKDJ= TKDJ*UTK) (Rupiah/tahun) Biaya TK yang dibayar dalam usaha jagung (BTKLJ=TKLJ* UTK) (Rupiah/tahun) Biaya transpor yang dikeluarkan rumahtangga untuk pembelian benih (Rupiah/tahun)
Ket 5 Eksogen
Persamaan 6 -
Eksogen
-
Eksogen
-
Endogen
Struktural
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
364
Lampiran 1. Lanjutan 1 14.
2 Biaya Transpor Penjualan Jagung
3 BTPJ
15.
Biaya Transpor Pembelian Benih
BTPP
16.
Biaya Transpor Penjualan Kelapa
BTPK
17.
Total Biaya Transaksi
18.
Biaya Transpor Penjualan Sapi
BTRA
19.
Biaya Transaksi Usaha Jagung
BTRJ
20.
Biaya Transaksi Penjualan Kopra
BTRK
21.
Biaya Transaksi Penjualan Sapi
BTRS
22.
Biaya Retribusi
BRET
23.
Biaya Simpan Kopra
BSIM
24.
Biaya Sarana Produksi Jagung
BSPJ
BTR
4 Biaya transpor yang dikeluarkan rumahtangga untuk penjualan jagung (Rupiah/tahun) Biaya transpor yang dikeluarkan rumahtangga utk pembelian pupuk urea, TSP, KCl (Rupiah/tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk pengangkutan kopra (Rupiah/tahun) Penjumlahan biaya transaksi penjualan sapi dan biaya transaksi penjualan jagung/kopra (Rupiah/ tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk membayar upah pekerja yang menggiring ternak untuk dijual ke pasar blantik, transpor pedagang yang datang ke lokasi peternakan dan biaya transpor ke pelabuhan (Rupiah/ tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga penjualan jagung dan pembelian pupuk merupakan penjumlahan biaya transpor penjualan jagung dan biaya pembelian pupuk (Rupiah/tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga pada saat penjualan kopra yaitu penjumlahan biaya transpor penjualan kopra dan biaya penyimpnan kopra (Rupiah/tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga pada saat penjualan sapi merupakan penjumlahan biaya perantara, biaya transpor, biaya retribusi dan biaya administrasi (Rupiah/tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga pada saat pembayaran retribusi waktu masuk pasar blantik dan di kantor desa (Rupiah/ tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga tergantung kadar air kopra dan ditentukan pedagang (Rupiah/ tahun) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga berupa biaya benih, biaya urea, biaya TSP dan KCl (Rupiah/tahun)
5 Endogen
6 Struktural
Eksogen
-
Endogen
Stuktural
Endogen
Identitas
Eksogen
Identitas
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
Eksogen
Identitas
Eksogen
Identitas
Eksogen
Identitas
365
Lampiran 1. Lanjutan 1 25.
2 Biaya Sarana Produksi Sapi
26.
Curahan Kerja Kel Sebagai Buruh Tani
CTDUO
27.
Harga Benih Jagung
HBJ
28.
Harga Buah Kelapa
HBK
29.
Harga Jagung
HJG
30.
Harga Bayangan Jagung
HJGB
31.
Harga Kopra
HKO
32.
Harga KCl
HPKJ
33.
Harga TSP
HPTJ
34.
Harga Urea
HPUJ
35.
Harga Ternak Sapi
36.
Harga Bayangan Kopra Harga Rumput
37.
38. 39. 40. 41. 42.
43. 44.
Harga Bayangan Ternak Sapi Harga Bayangan Ternak Sapi Investasi Kesehatan Investasi Pendidikan Investasi Sumber daya Manusia Jumlah Angkatan Kerja Jarak
3 BSPS
HTS
HKOB HRUM
HTSB HTSBS IKE IPD ISM
JAKK JARP
4 Biaya yang dikeluarkan rumahtangga berupa biaya rumput, biaya obat dan biaya pejantan (Rupiah/tahun) Curahan tenaga kerja keluarga dan anggotanya sebagai buruh tani (Rupiah/tahun) Harga pembelian benih jagung (Rupiah/kg) Harga jual buah kelapa yang berlaku di Bolaang Mongondow (Rupiah/kg) Harga jagung yang berlaku di Minahasa (Rupiah/Kg) Selisih harga jagung dan biaya transaksi usaha jagung (Rupiah/ kg) Harga jual kopra yang berlaku di Bolaang Mongondow (Rupiah/ kg) Harga pembelian pupuk KCl untuk jagung (Rupiah/kg) Harga pembelian pupuk TSP untuk jagung (Rupiah/kg) Harga pembelian pupuk urea untuk jagung (Rupiah/kg) Harga ternak sapi hidup yang berlaku di Sulawesi Utara (Rupiah/kg) Selisih harga kopra dan biaya transaksi penjualan kopra (Rp) Harga beli rumput yang berlaku di Bolaang Mongondow (Rupiah/ kg) Selisih harga sapi dengan biaya perantara penjualan sapi (Rupiah) Selisih harga sapi dengan biaya transaksi penjualan sapi (Rupiah) Pengeluaran rumahtangga untuk biaya kesehatan (Rupiah/tahun) Pengeluaran rumahtangga untuk biaya pendidikan (Rupiah/tahun) Pengeluaran rumahtangga untuk biaya kesehatan dan pendidikan (Rupiah/tahun) Jumlah anggota keluarga yang termasuk usia kerja (Tahun) Jarak pasar dengan lokasi peternakan (km)
5 Endogen
6 Identitas
Endogen
Struktural
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Endogen
Struktural
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Eksogen
-
366
Lampiran 1. Lanjutan 1 45.
2 Jumlah Anak Sekolah Jumlah Benih Jagung
3 JAS
47.
Jumlah Pohon Kelapa
JPK
48.
Jumlah TSP Jagung
JPTJ
49.
Jumlah Urea Jagung
JPUJ
50.
Jumlah Urea Kelapa
JPUK
51.
Jumlah Rumput
JRUM
52.
Konsumsi Non Pangan
KNP
53.
Konsumsi Jagung
KONJ
54.
Konsumsi Pangan
KP
55.
Konsumsi Total
KT
56.
Lama Beternak Sapi
LBS
57.
Luas Lahan
LHNJ
58.
Biaya obat-obatan
OBT
59.
Pendapatan Buruh Tani
PBTN
60.
Pendidikan KK
PFO
61.
Pendapatan Luar Usahatani
PLUT
62.
Produksi Buah Kelapa
PROB
46.
JBJ
4 Jumlah anggota keluarga yang termasuk usia sekolah (orang) Jumlah permintaan benih jagung oleh rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa (Kg) Jumlah pohon kelapa yang dimiliki rumahtangga saat penelitian (Pohon) Jumlah permintaan pupuk TSP yang digunakan rumahtangga untuk lahan jagung (Kg/tahun) Jumlah permintaan pupuk urea yang digunakan rumahtangga untuk lahan jagung (Kg/tahun) Jumlah permintaan pupuk urea yang digunakan rumahtangga untuk lahan pohon kelapa (Kg/ tahun) Jumlah rumput yang dikonsumsi ternak sapi (Kg/tahun) Pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi non pangan (Rupiah/ tahun) Konsumsi Jagung oleh Ternak di Minahasa (Kg/tahun) Pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan (Rupiah/tahun) Total pengeluaran rumahtangga un-tuk konsumsi pangan dan non pangan (Rupiah/tahun) Pengalaman petani peternak dalam berusaha ternak sapi (Tahun) Luas lahan garapan jagung rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa (Ha) Biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk membeli obatobatan (Rupiah/tahun) Pendapatan yang diterima rumahtangga bersumber dari pekerjaan pada usahatani orang lain (Rupiah/tahun) Tingkat pendidikan kepala keluarga (Tahun) Penerimaan rumahtangga yang bersumber dari luar usahatani dikurangi biaya (Rupiah/tahun) Jumlah produksi buah kelapa selama 4 kwartal (Buah/tahun)
5 Eksogen
6 -
Endogen
Struktural
Eksogen
-
Endogen
Struktural
Endogen
Struktural
Eksogen
-
Endogen
Struktural
Endogen
Struktural
Endogen
Struktural
Endogen
Struktural
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Endogen
Struktural
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
Identitas
367
63.
Endogen
Struktural
5 Endogen
6 Struktural
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
Endogen
Struktural
Endogen
Struktural
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Eksogen
-
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Eksogen
-
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Eksogen
-
Lampiran 1. Lanjutan 1 63.
2 Produktivitas Jagung
3 PRODJ
64.
PRODK
65.
Produktivitas Kelapa Produksi Jagung
66.
Produksi Kopra
PROK
67.
Produksi Sapi
PROS
68.
Penjualan Sapi
PROSJ
69.
Pendapatan Siap Belanja
PSD
70.
Pendapatan Usaha Jagung
PUJ
71.
Pendapatan Usaha Kelapa
PUK
72.
Pendapatan Usaha Lain
PUL
73.
Pendapatan Usahatani Lain
PUTL
74.
Pendapatan Usahaternak Sapi
PUTS
75.
Rasio Harga Jagung/TSP
76.
Penerimaan Usaha Kelapa
RUK
77.
Penerimaan Buah Kelapa
RUKB
78.
Penerimaan Kopra
RUKK
79.
Penerimaan Usaha Ternak Sapi Penjualan Ternak Sapi
RUTS
80.
PROJ
RHPTJ
RUTSJ
4 Produksi jagung dibagi luas lahan jagung selama setahun (Kg) Rasio produksi kelapa dengan luas lahan kelapa (Kg/tahun) Produktivitas jagung dikali luas lahan garapan jagung (Kg/tahun) Jumlah kopra yang dihasilkan saat penelitian (Kg/tahun) Pertambahan berat badan sapi selama setahun (Kg/tahun) Penjualan sapi saat penelitian (Kg) Total pendapatan rumahtangga yang dikurangi pajak (Rupiah/ tahun) Penerimaan rumahtangga yang bersumber dari usaha jagung dikurangi biaya (Rupiah/tahun) Penerimaan rumahtangga yang bersumber dari usaha kelapa dikurangi biaya (Rupiah/tahun) Penerimaan rumahtangga yang bersumber dari usaha lain dkurangi biaya (Rupiah/ tahun) Penerimaan rumahtangga yang bersumber dari usahatani lain dikurangi biaya (Rupiah/ tahun) Penerimaan rumahtangga yang bersumber dari usaha ternak sapi dikurangi biaya (Rupiah/tahun) Rasio harga penjualan jagung dan harga pembelian pupuk TSP (Rupiah/kg) Penerimaan yang diperoleh rumahtangga dari usaha kelapa (Rupiah/tahun) Penerimaan yang diperoleh rumahtangga dari penjualan buah kelapa (Rupiah/tahun) Penerimaan yang diperoleh rumahtangga dari penjualan kopra (Rupiah/tahun) Penerimaan usaha ternak sapi (Rupiah/tahun) Penerimaan penjualan ternak sapi (PROS*HTS) (Rupiah/tahun)
368
Lampiran 1. Lanjutan 1 81.
2 Penerimaan Sewa Sapi
3 RSTS
82.
Penerimaan Sewa Sapi Lahan Sendiri
RSLS
83.
Surplus Pasar Jagung
SPJ
84.
Surplus Pasar Kelapa
SPK
85.
Pajak
TAX
86.
Tabungan
TAB
87.
Total Biaya
TB
88.
Total Biaya Usaha Jagung
TBJ
89.
Total Biaya Usaha Kelapa
TBK
90.
Total Biaya Produksi Jagung Total Biaya Produksi Kelapa Total Biaya Produksi Jagung Total Biaya Usaha Sapi
TBPJ
91. 92. 93.
TBPK TBPS TBS
94.
TK keluarga Usaha Jagung
TKDJ
95.
TK Keluarga Usaha Kelapa
TKDK
96.
TK Keluarga Usaha Sapi
TKDS
4 Penerimaan sewa ternak sapi sebagai tenaga kerja (Rupiah/ tahun) Penerimaan sewa ternak sapi sebagai tenaga kerja pada lahan sendiri (Rupiah/tahun) Surplus pasar untuk jagung yaitu prod buah jagung dikurangi konsumsi jagung oleh ternak (Kg/ tahun) Surplus pasar untuk kelapa yaitu prod buah kelapa dikurangi konsumsi sendiri (Buah/tahun) Pembayaran pajak oleh rumahtangga baik pajak tanah, pajak bumi dan bangunan (Rupiah/ tahun) Tabungan rumahtangga untuk arisan (Rupiah/tahun) Total biaya yang dikeluarkan rumahtangga berupa biaya produksi, biaya tenaga kerja dan biaya transaksi untuk usaha ternak sapi maupun usaha kelapa (Rupiah/tahun) Total biaya yang dikeluarkan rumahtangga pada usaha jagung (Rupiah/tahun) Total biaya yang dikeluarkan rumahtangga pada usaha kelapa (Rupiah/tahun) Total biaya produksi jagung (Rupiah/tahun) Total biaya produksi kelapa (Rupiah/tahun) Total biaya produksi sapi (Rupiah/tahun) Total biaya yang dikeluarkan rumahtangga pada usaha ternak sapi(Rupiah/tahun) Penawaran tenaga kerja keluarga dan anggotanya dalam usaha jagung (Jam/tahun) Penawaran tenaga kerja keluarga dan anggotanya dalam usaha kelapa (Jam/tahun) Penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi (Jam/ tahun)
5 Eksogen
6 -
Endogen
Identitas
Endogen
Struktural
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Eksogen
-
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Endogen
Struktural
Endogen
Struktural
Endogen
Struktural
369
Lampiran 1. Lanjutan 1 97.
2 TK Keluarga Usahatani Lain
3 TKDUL
98.
TK Sewa Usaha Jagung TK Sewa Usaha Kelapa TK Sapi Usaha Jagung
TKLJ
99. 100.
TKLK TKSJ
101.
TK Sapi Usaha Kelapa
102.
Total Pengeluaran
TP
103.
Total Pendapatan Pendapatan RT
TPRT
104.
Upah Tenaga Kerja
UTK
105.
Upah Bayangan Tenaga Kerja
UTKB
106.
Upah Sewa Sapi
USS
107.
Upah Sewa Sapi Bayangan
USSB
TKSK
4 Penawaran tenaga kerja keluarga dan anggotanya dalam usahatani lain (Jam/ tahun) Permintaan tenaga kerja sewa dalam usaha jagung (Jam/tahun) Permintaan tenaga kerja sewa dalam usaha kelapa (Jam/tahun) Penawaran tenaga kerja ternak sapi dalam lahan jagung milik sendiri (Jam/tahun) Penawaran tenaga kerja ternak sapi dalam lahan kelapa milik sendiri (Jam/tahun) Total pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan, non pangan dan investasi kesehatan dan pendidikan (Rupiah/tahun) Pendapatan rumahtangga dari berbagai sumber seperti pendapatan usaha ternak sapi, usaha jagung, usaha kelapa, usahatani lain, buruh tani, luar usahatani dan usaha lain (Rupiah/ tahun) Upah tenaga kerja yang berlaku di Minahasa dan Bolaang Mongondow (Rupiah/jam) Upah tenaga kerja dikurangi biaya transpor penjualan kelapa (Rupiah/jam) Upah sewa sapi yang berlaku di Minahasa dan Bolaang Mongondow (Rupiahp/jam) Upah sewa sapi yang berlaku dikurangi biaya transaksi penjualan kelapa (Rupiah/jam)
5 Eksogen
6 -
Endogen
Struktural
Endogen
Struktural
Endogen
Struktural
Endogen
Struktural
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
Eksogen
-
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
Endogen
Identitas
370
Lampiran 2. Program Estimasi Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Jagung di Minahasa Metode 2SLS PROC SYSLIN SAS/ETS Versi 9.0 DATA D1; SET FEMI; BRUM = BSPS = BBJ = BPUJ = BPTJ = BPKJ = BSPJ = BTKDS = BTKDJ = BTKLJ = RSLS = BTKJ = TBPS = TBPJ = BTRS = BTRJ = BTR = TBS = TBJ = TB = RUTSJ = RUTS = PUTS = PROJ = SPJ = RUJ = PUJ = PBTN = PLUT = TPRT = PSD = KT = ISM = TP = TP1 = RHPTJ = BKONJ = HTSBS = HTSB = HJGB = UTKB = UTKBJ = USSB = RUN;
JRUM*HRUM; BRUM+OBT+BPJ; JBJ*HBJ; JPUJ*HPUJ; JPTJ*HPTJ; JPKJ*HPKJ; BBJ+BPUJ+BPTJ+BPKJ; TKDS*UTK; TKDJj*UTK; TKLJj*UTK; TKSJj*USS; BTKDJ+BTKLJ+RSLS; BSPS+BTKDS; BSPJ+BTKJ; BRET+BTRA+BPER+BADM; BTPJ+BTPB+BTPP; BTRS+BTRJ; TBPS+BTRS; TBPJ+BTRJ; TBS+TBJ; PROS*HTS; RUTSJ+RSLS+RSTS; RUTS-TBS; PRODJ*LHNJ; PROJ-KONJ; PROJ*HJG; RUJ-TBJ; RBTS+RBTI+RBTA; PLUTS+PLUTI; PUTS+PUJ+PUTL+PBTN+PLUT+PUL; TPRT-TAX; KP+KNP; IPD+IKE; KT+ISM; KP+ISM; HPTJ/HJG; KONJ*HJG; HTS-BTRS; HTS-BTR; HJG-BTPJ; UTK1+BTRS; UTK1+BTRJ; USS+BTRJ;
371
PROC SYSLIN 2SLS DATA=D1; ENDOGENOUS
PROS PROSJ PRODJ LHNJ JRUM JBJ JPUJ JPTJ TKDS TKDJj TKLJj TKSJj CTDUOj BPER BTPJ KP KNP IPD KONJ BSPS BSPJ BTKJ BTRS BTRJ BTR RUTS PUTS PUJ TPRT PSD ISM KT TP SPJ HTSBS HJGB UTKB UTKBJ USSB TBPS TBJ TBPJ PROJ;
INSTRUMENTS LBS HRUM HBJ HPUJ HPTJ HPKJ RHPTJ JPKJ TP1 TKDULj ANG PFO HTS HJG TAB BRUM RUTSJ OBT BKONJ BBJ BPJ BPUJ BPTJ BPKJ BTKDJ BTKLJ BTRA BADM BRET BTPB BTPP RSTS RSLS TBS TBJ PUTL PBTN PLUT PUL TAX IKE JAKK RUJ UTK; MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL
PROS PROSJ PRODJ LHNJ JRUM JBJ JPUJ JPTJ TKDS TKDJj TKLJj TKSJj CTDUOj BPER BTPJ KP KNP IPD KONJ
IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY
BSPS BSPJ BTKJ BTRS BTRJ BTR RUTS PUTS PUJ TPRT PSD ISM KT TP SPJ
= = = = = = = = = = = = = = = = = = =
HTSBS JRUM KONJ LBS / NOINT; HTSBS PROS; HJGB TKLJj TKSJj RUTSJ PLUT; TKDJj TKLJj JPUJ JBJ JPTJ RUTSJ; HRUM PROS HJG; HBJ LHNJ BTRJ; HPUJ HPTJ LHNJ RUTS BTRJ; RHPTJ HPUJ HPKJ LHNJ TP; UTKB CTDUOj BSPS; UTKBJ TKDS TKLJj PROJ BSPJ; UTKBJ TKDJj TP1 RUTSJ SPJ; USSB TKLJj TKDJj LHNJ; UTKBJ TKDS TKDULj ANG PFO RUTSJ; PROSJ HTS / NOINT; HJG KONJ; ANG PFO TPRT; PFO JAKK TPRT; PFO TAB TPRT; BRUM RUTSJ PROJ;
= = = = = = = = = = = = = = =
BRUM+OBT+BPJ+BKONJ; BBJ+BPUJ+BPTJ+BPKJ; BTKDJ+BTKLJ; BTRA+BPER+BADM+BRET; BTPJ+BTPB+BTPP; BTRS+BTRJ; RUTSJ+RSTS+RSLS; RUTS-TBS; RUJ-TBJ; PUTS+PUJ+PUTL+PBTN+PLUT+PUL; TPRT-TAX; IPD+IKE; KP+KNP; KT+ISM; PROJ-KONJ;
372
IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY RUN; QUIT;
HTSBS HJGB UTKB UTKBJ USSB TBPS TBJ TBPJ PROJ
= = = = = = = = =
HTS-BTRS; HJG-BTRJ; UTK1+BTRS; UTK1+BTRJ; UTK1+BTR; BTKDS+BSPS; TBPJ+BTRJ; BSPJ+BTKJ; PRODJ*LHNJ;
373
Lampiran 3. Print Out Hasil Estimasi Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Jagung di Minahasa Metode 2SLS PROC SYSLIN SAS/ETS Versi 9.0 The SAS System 19:45 Tuesday, June 22, 2008 1 The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PROS Dependent Variable PROS Label PROS Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 21390484 5347621 418.27 <.0001 Error 190 2429173 12785.12 Uncorrected 194 23817871 Total Root MSE 113.07131 R‐Square 0.89802 Dependent Mean 330.99436 Adj R‐Sq 0.89587 Coeff Var 34.16110 NOTE: The NOINT option changes the definition of the R‐Square statistic to: 1 ‐ (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label HTSBS 1 0.007182 0.000924 7.77 <.0001 JRUM 1 0.004141 0.001466 2.82 0.0053 JRUM KONJ 1 0.007235 0.014485 0.50 0.6180 KONJ LBS 1 2.397179 0.634513 3.78 0.0002 LBS
374
The SAS System 19:45 Tuesday, June 22, 2008 2 The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PROSJ Dependent Variable PROSJ Label PROSJ Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 1308837 654418.4 183.73 <.0001 Error 191 680311.1 3561.838 Corrected Total 193 1990945 Root MSE 59.68114 R‐Square 0.65800 Dependent Mean 215.04848 Adj R‐Sq 0.65442 Coeff Var 27.75241 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐24.0278 41.71578 ‐0.59 0.5558 Intercept HTSBS 1 0.000088 0.001346 0.07 0.9479 PROS 1 0.714660 0.037282 19.17 <.0001 PROS
375
The SAS System 19:45 Tuesday, June 22, 2008 3 The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PRODJ Dependent Variable PRODJ Label PRODJ Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.052E10 2.1038E9 44.52 <.0001 Error 188 8.8835E9 47252807 Corrected Total 193 1.94E10 Root MSE 6874.06770 R‐Square 0.54215 Dependent Mean 4059.85116 Adj R‐Sq 0.52997 Coeff Var 169.31822 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐31020.3 40219.81 ‐0.77 0.4415 Intercept HJGB 1 20.85564 36.88198 0.57 0.5724 TKLJj 1 47.20514 12.67875 3.72 0.0003 TKLJj TKSJj 1 190.7355 13.48793 14.14 <.0001 TKSJj RUTSJ 1 4.125E‐6 0.000125 0.03 0.9737 PLUT 1 0.000128 0.000074 1.73 0.0855
376
Lampiran 4. Program Validasi Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Jagung di Minahasa Metode 2SLS PROC SYSLIN SAS/ETS Versi 9.0 DATA D1; SET FEMI; BRUM = BSPS = BBJ = BPUJ = BPTJ = BPKJ = BSPJ = BTKDS = BTKDJ = BTKLJ = RSLS = BTKJ = TBPS = TBPJ = BTRS = BTRJ = BTR = TBS = TBJ = TB = RUTSJ = RUTS = PUTS = PROJ = SPJ = RUJ = PUJ = PBTN = PLUT = TPRT = PSD = KT = ISM = TP = TP1 = RHPTJ = BKONJ = HTSBS = HTSB = HJGB = UTKB = UTKBJ = USSB = RUN;
JRUM*HRUM; BRUM+OBT+BPJ; JBJ*HBJ; JPUJ*HPUJ; JPTJ*HPTJ; JPKJ*HPKJ; BBJ+BPUJ+BPTJ+BPKJ; TKDS*UTK; TKDJj*UTK; TKLJj*UTK; TKSJj*USS; BTKDJ+BTKLJ+RSLS; BSPS+BTKDS; BSPJ+BTKJ; BRET+BTRA+BPER+BADM; BTPJ+BTPB+BTPP; BTRS+BTRJ; TBPS+BTRS; TBPJ+BTRJ; TBS+TBJ; PROS*HTS; RUTSJ+RSLS+RSTS; RUTS-TBS; PRODJ*LHNJ; PROJ-KONJ; PROJ*HJG; RUJ-TBJ; RBTS+RBTI+RBTA; PLUTS+PLUTI; PUTS+PUJ+PUTL+PBTN+PLUT+PUL; TPRT-TAX; KP+KNP; IPD+IKE; KT+ISM; KP+ISM; HPTJ/HJG; KONJ*HJG; HTS-BTRS; HTS-BTR; HJG-BTPJ; UTK+BTRS; UTK+BTRJ; USS+BTRJ;
377
PROC SIMNLIN DATA=D1 SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL;
ENDOGENOUS
PROS PROSJ PRODJ LHNJ JRUM JBJ JPUJ JPTJ TKDS TKDJj TKLJj TKSJj CTDUOj BPER BTPJ KP KNP IPD KONJ BSPS BSPJ BTKJ BTRS BTRJ BTR RUTS PUTS PUJ TPRT PSD ISM KT TP SPJ HTSBS HJGB UTKB UTKBJ USSB TBPS TBJ TBPJ PROJ;
INSTRUMENTS LBS HRUM HBJ HPUJ HPTJ HPKJ RHPTJ JPKJ TP1 TKDULj ANG PFO HTS HJG TAB BRUM RUTSJ OBT BKONJ BBJ BPJ BPUJ BPTJ BPKJ BTKDJ BTKLJ BTRA BADM BRET BTPB BTPP RSTS RSLS TBS TBJ PUTL PBTN PLUT PUL TAX IKE JAKK RUJ UTK; PARAMETERS
A1 B0 C0 C4 D0 D4 E0 F0 G0 G4 H0 H4 I0 J0 J4 K0 K4 L0 L4 M0 M4 N1 O0 P0 Q0 R0 S0
PROS PROSJ PRODJ
= = =
LHNJ
=
JRUM JBJ
= =
0.007166 -24.0278 31020.3 4.125E-6 -0.30416 0.003664 6331.250 36.13875 -4294.42 3.064E-7 -1545.60 143.9526 415.5707 -1064.58 0.000066 217.0378 1.615E-6 -946.325 32.18042 -1859.03 374.7444 0.482728 -1.93930 3123100 2596139 -118982 496.0788
A2 B1 C1 C5 D1 D5 E1 F1 G1 G5 H1 H5 I1 J1 J5 K1 K5 L1
0.004160 0.000088 20.85564 0.000128 0.000369 0.002644 -20.8645 -0.00151 -4.60842 -2.49527 -520.829 -1.25E-6 0.000312 0.382498 0.000114 -0.03531 0.000171 0.166732
M1 M5 N2 O1 P1 Q1 R1 S1
0.811399 -102.510 0.144718 0.011966 1083476 123988.1 150394.6 0.000011
A3 0.007287 B2 0.714660 C2 47.20514 D2 D6 E2 F2 G2
A4 2.399869 C3 190.7355
0.001355 8.015E-9 7.340725 39.01067 5.686840
D3 0.000992
H2 2.133511
H3 0.021069
I2 -0.01709 J2 -0.01741
I3 0.000019 J3 -2.69319
K2 -0.12566
K3 -6.55E-7
L2 -0.03858
L3 0.065807
M2 -0.47435 M6 -0.00003
M3 -0.50812
O2 P2 Q2 R2 S2
-0.00366 121564.3 471818.6 -0.05553 4.699E-6
E3 14.95259 F3 -0.50892 G3 148.3633
P3 Q3 R3 S3
0.003898 0.002304 0.002335 0.00641;
A1*HTSBS+A2*JRUM+A3*KONJ+A4*LBS; B0+B1*HTSBS+B2*PROS; C0+C1*HJGB+C2*TKLJj+C3*TKSJj+C4*(HTS*PROS)+ C5*PLUT; D0+D1*TKDJj+D2*TKLJj+D3*JPUJ+D4*JBJ+D5*JPTJ+ D6*(HTS*PROS); E0+E1*HRUM+E2*PROS+E3*HJG; F0+F1*HBJ+F2*LHNJ+F3*BTRJ;
378
JPUJ JPTJ
= =
TKDS TKDJj TKLJj
= = =
TKSJj CTDUOj
= =
BPER BTPJ KP KNP IPD KONJ BSPS BSPJ BTKJ BTRS BTRJ BTR RUTS PUTS PUJ TPRT PSD ISM KT TP SPJ HTSBS HJGB UTKB UTKBJ USSB TBPS TBJ TBPJ PROJ
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
RUN; QUIT;
G0+G1*HPUJ+G2*HPTJ+G3*LHNJ+G4*RUTS+G5*BTRJ; H0+H1*(HPTJ/HJG)+H2*HPUJ+H3*HPKJ+H4*LHNJ+ H5*TP; I0+I1*UTKB+I2*CTDUOj+I3*BSPS; J0+J1*UTKBJ+J2*TKDS+J3*TKLJj+J4*PROJ+J5*BSPJ; K0+K1*UTKBJ+K2*TKDJj+K3*(KP+ISM)+ K4*(HTS*PROS)+K5*SPJ; L0+L1*USSB+L2*TKLJj+L3*TKDJj+L4*LHNJ; M0+M1*UTKBJ+M2*TKDS+M3*TKDULj+M4*ANG+M5*PFO+ M6*(HTS*PROS); N1*PROSJ+N2*HTS; O0+O1*HJG+O2*KONJ; P0+P1*ANG+P2*PFO+P3*TPRT; Q0+Q1*PFO+Q2*JAKK+Q3*TPRT; R0+R1*PFO+R2*TAB+R3*TPRT; S0+S1*(HRUM*JRUM)+S2*(HTS*PROS)+S3*PROJ; (HRUM*JRUM)+OBT+BPJ+(HJG*KONJ); (HBJ*JBJ)+(HPUJ*JPUJ)+(HPTJ*JPTJ)+(HPKJ*JPKJ); (UTK*TKDJj)+(UTK*TKLJj); BTRA+BPER+BADM+BRET; BTPJ+BTPB+BTPP; BTRS+BTRJ; (HTS*PROS)+RSTS+(USS*TKSJj); RUTS-TBPS-BTRS; (HJG*PROJ)-TBJ; PUTS+PUJ+PUTL+PBTN+PLUT+PUL; TPRT-TAX; IPD+IKE; KP+KNP; KT+ISM; PROJ-KONJ; HTS-BTRS; HJG-BTPJ; UTK+BTRS; UTK+BTRJ; UTK+BTR; (UTK*TKDS)+BSPS; TBPJ+BTRJ; BSPJ+BTKJ; PRODJ*LHNJ;
379
Lampiran 5. Program Simulasi Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Jagung di Minahasa Metode 2SLS PROC SYSLIN SAS/ETS Versi 9.0 DATA D1; SET FEMI; BRUM = BSPS = BBJ = BPUJ = BPTJ = BPKJ = BSPJ = BTKDS = BTKDJ = BTKLJ = RSLS = BTKJ = TBPS = TBPJ = BTRS = BTRJ = BTR = TBS = TBJ = TB = RUTSJ = RUTS = PUTS = PROJ = SPJ = RUJ = PUJ = PBTN = PLUT = TPRT = PSD = KT = ISM = TP = TP1 = RHPTJ = BKONJ = HTSBS = HTSB = HJGB = UTKB = UTKBJ = USSB =
JRUM*HRUM; BRUM+OBT+BPJ; JBJ*HBJ; JPUJ*HPUJ; JPTJ*HPTJ; JPKJ*HPKJ; BBJ+BPUJ+BPTJ+BPKJ; TKDS*UTK; TKDJj*UTK; TKLJj*UTK; TKSJj*USS; BTKDJ+BTKLJ+RSLS; BSPS+BTKDS; BSPJ+BTKJ; BRET+BTRA+BPER+BADM; BTPJ+BTPB+BTPP; BTRS+BTRJ; TBPS+BTRS; TBPJ+BTRJ; TBS+TBJ; PROS*HTS; RUTSJ+RSLS+RSTS; RUTS-TBS; PRODJ*LHNJ; PROJ-KONJ; PROJ*HJG; RUJ-TBJ; RBTS+RBTI+RBTA; PLUTS+PLUTI; PUTS+PUJ+PUTL+PBTN+PLUT+PUL; TPRT-TAX; KP+KNP; IPD+IKE; KT+ISM; KP+ISM; HPTJ/HJG; KONJ*HJG; HTS-BTRS; HTS-BTR; HJG-BTPJ; UTK+BTRS; UTK+BTRJ; USS+BTRJ;
380
*HTS *HJG BPER BTPJ *HRUM *HPUJ *UTK *BPER
= = = = = = = =
1.10*HTS; 1.10*HJG; 1.10*BPER; 1.10*BTPJ; 1.10*HRUM; 1.10*HPUJ; 1.10*UTK; 0.90*BPER;
RUN; PROC SIMNLIN DATA=D1 SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL;
ENDOGENOUS
PROS PROSJ PRODJ LHNJ JRUM JBJ JPUJ JPTJ TKDS TKDJj TKLJj TKSJj CTDUOj KP KNP IPD KONJ BSPS BSPJ BTKJ BTRS BTRJ BTR RUTS PUTS PUJ TPRT PSD ISM KT TP SPJ HTSBS HJGB UTKB UTKBJ USSB TBPS TBJ TBPJ PROJ;
INSTRUMENTS LBS HRUM HBJ HPUJ HPTJ HPKJ RHPTJ JPKJ TP1 TKDULj ANG PFO HTS HJG TAB BRUM RUTSJ OBT BKONJ BBJ BPJ BPUJ BPTJ BPKJ BTKDJ BTKLJ BTRA BADM BRET BTPB BTPP RSTS RSLS TBS TBJ PUTL PBTN PLUT PUL TAX IKE JAKK RUJ UTK BPER BTPJ; PARAMETERS
A1 B0 C0 C4 D0 D4 E0 F0 G0 G4 H0 H4 I0 J0 J4 K0 K4 L0 L4 M0 M4 P0 Q0 R0 S0
0.007166 -24.0278 31020.3 4.125E-6 -0.30416 0.003664 6331.250 36.13875 -4294.42 3.064E-7 -1545.60 143.9526 415.5707 -1064.58 0.000066 217.0378 1.615E-6 -946.325 32.18042 -1859.03 374.7444 3123100 2596139 -118982 496.0788
A2 B1 C1 C5 D1 D5 E1 F1 G1 G5 H1 H5 I1 J1 J5 K1 K5 L1
0.004160 0.000088 20.85564 0.000128 0.000369 0.002644 -20.8645 -0.00151 -4.60842 -2.49527 -520.829 -1.25E-6 0.000312 0.382498 0.000114 -0.03531 0.000171 0.166732
M1 M5 P1 Q1 R1 S1
0.811399 -102.510 1083476 123988.1 150394.6 0.000011
A3 0.007287 B2 0.714660 C2 47.20514 D2 D6 E2 F2 G2
A4 2.399869 C3 190.7355
0.001355 8.015E-9 7.340725 39.01067 5.686840
D3 0.000992
H2 2.133511
H3 0.021069
I2 -0.01709 J2 -0.01741
I3 0.000019 J3 -2.69319
K2 -0.12566
K3 -6.55E-7
L2 -0.03858
L3 0.065807
M2 M6 P2 Q2 R2 S2
M3 -0.50812
-0.47435 -0.00003 121564.3 471818.6 -0.05553 4.699E-6
E3 14.95259 F3 -0.50892 G3 148.3633
P3 Q3 R3 S3
0.003898 0.002304 0.002335 0.00641;
381
PROS PROSJ PRODJ
= = =
LHNJ
=
JRUM JBJ JPUJ JPTJ
= = = =
TKDS TKDJj TKLJj
= = =
TKSJj CTDUOj
= =
*BPER *BTPJ KP KNP IPD KONJ BSPS BSPJ BTKJ BTRS BTRJ BTR RUTS PUTS PUJ TPRT PSD ISM KT TP SPJ HTSBS HJGB UTKB UTKBJ USSB TBPS TBJ TBPJ PROJ RUN;
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
A1*HTSBS+A2*JRUM+A3*KONJ+A4*LBS; B0+B1*HTSBS+B2*PROS; C0+C1*HJGB+C2*TKLJj+C3*TKSJj+C4*(HTS*PROS)+ C5*PLUT; D0+D1*TKDJj+D2*TKLJj+D3*JPUJ+D4*JBJ+D5*JPTJ+ D6*(HTS*PROS); E0+E1*HRUM+E2*PROS+E3*HJG; F0+F1*HBJ+F2*LHNJ+F3*BTRJ; G0+G1*HPUJ+G2*HPTJ+G3*LHNJ+G4*RUTS+G5*BTRJ; H0+H1*(HPTJ/HJG)+H2*HPUJ+H3*HPKJ+H4*LHNJ+ H5*TP; I0+I1*UTKB+I2*CTDUOj+I3*BSPS; J0+J1*UTKBJ+J2*TKDS+J3*TKLJj+J4*PROJ+J5*BSPJ; K0+K1*UTKBJ+K2*TKDJj+K3*(KP+ISM)+ K4*(HTS*PROS)+K5*SPJ; L0+L1*USSB+L2*TKLJj+L3*TKDJj+L4*LHNJ; M0+M1*UTKBJ+M2*TKDS+M3*TKDULj+M4*ANG+M5*PFO+ M6*(HTS*PROS); N1*PROSJ+N2*HTS; O0+O1*HJG+O2*KONJ; P0+P1*ANG+P2*PFO+P3*TPRT; Q0+Q1*PFO+Q2*JAKK+Q3*TPRT; R0+R1*PFO+R2*TAB+R3*TPRT; S0+S1*(HRUM*JRUM)+S2*(HTS*PROS)+S3*PROJ; (HRUM*JRUM)+OBT+BPJ+(HJG*KONJ); (HBJ*JBJ)+(HPUJ*JPUJ)+(HPTJ*JPTJ)+(HPKJ*JPKJ); (UTK*TKDJj)+(UTK*TKLJj); BTRA+BPER+BADM+BRET; BTPJ+BTPB+BTPP; BTRS+BTRJ; (HTS*PROS)+RSTS+(USS*TKSJj); RUTS-TBPS-BTRS; (HJG*PROJ)-TBJ; PUTS+PUJ+PUTL+PBTN+PLUT+PUL; TPRT-TAX; IPD+IKE; KP+KNP; KT+ISM; PROJ-KONJ; HTS-BTRS; HJG-BTPJ; UTK+BTRS; UTK+BTRJ; UTK+BTR; (UTK*TKDS)+BSPS; TBPJ+BTRJ; BSPJ+BTKJ; PRODJ*LHNJ;
382
Lampiran 6. Print Out Hasil Simulasi Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Jagung di Minahasa Metode 2SLS PROC SYSLIN SAS/ETS Versi 9.0
1. Peningkatan Biaya Perantara Sapi, Biaya Transpor Jagung, Harga Sapi dan Harga Jagung The SAS System 08:47 Tuesday, June 15, 2008 13 The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PROS 194 194 331.0 115.3 376.6 33.4452 PROS PROSJ 194 194 215.0 101.6 247.9 23.9846 PROSJ PRODJ 194 194 4059.9 10026.7 234797 109082 PRODJ LHNJ 194 194 0.8253 0.7109 1.5982 0.3991 LHNJ JRUM 194 194 16856.2 5291.7 18838.6 394.5 JRUM JBJ 194 194 41.1856 41.1610 70.8949 20.5339 JBJ JPUJ 194 194 220.4 150.2 335.2 85.4250 JPUJ JPTJ 194 194 176.3 138.6 355.8 83.5953 JPTJ TKDS 194 194 533.8 151.0 624.1 47.2781 TKDS TKDJj 194 194 360.6 188.1 148.7 172.1 TKDJj TKLJj 194 194 49.7835 44.1865 145.9 69.8100 TKLJj TKSJj 194 194 48.5928 36.9801 901.5 554.9 TKSJj CTDUOj 194 194 1060.7 1045.0 805.2 544.7 CTDUOj KP 194 194 7999416 1970965 9787272 1890319 KP KNP 194 194 4029784 2119892 5086521 1012718 KNP IPD 194 194 1103712 1840780 2174679 957606 IPD KONJ 194 194 688.8 571.0 3114.2 1933.0 KONJ BSPS 194 194 6951763 2173984 11525447 2351634 BSPJ 194 194 807700 644825 1299542 461732 BTKJ 194 194 1802171 760220 1100593 404303 BTRS 194 194 6463.2 3093.3 6974.8 3397.1 BTRJ 194 194 47.4471 13.0711 48.3198 13.2713 BTR 194 194 6510.7 3093.4 7023.1 3397.2 RUTS 194 194 15606313 4878402 23332916 3798946 PUTS 194 194 6658336 5273368 9475336 2918446 PUJ 194 194 8148338 62707266 4.6399E8 3.6571E8 TPRT 194 194 30248031 64052416 4.8891E8 3.6657E8 PSD 194 194 30225747 64050046 4.8888E8 3.6657E8 ISM 194 194 1208531 1844276 2279499 962870 KT 194 194 12029200 3612041 14873793 2798899 TP 194 194 13237732 4658275 17153291 3630678 SPJ 194 194 9077.1 57163.2 381422 299574 HTSBS 194 194 28691.4 3190.8 31695.3 3503.1 HJGB 194 194 1093.3 14.0543 1163.9 19.3971 UTKB 194 194 10189.1 3087.1 10749.0 3391.0 UTKBJ 194 194 3773.3 60.1729 3774.2 60.2567 USSB 194 194 10236.6 3087.3 10749.0 3391.0 TBPS 194 194 8941514 2386800 13850605 2516317 TBJ 194 194 2609919 1192593 2400184 689938 TBPJ 194 194 2609871 1192597 2400136 689942 PROJ 194 194 9765.9 57534.8 384536 301507
383
2. Peningkatan Biaya Perantara Sapi, Biaya Transpor Jagung, Harga Rumput, Harga Pupuk Urea dan Upah Tenaga Kerja The SAS System 08:47 Tuesday, June 15, 2008 17 The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PROS 194 194 331.0 115.3 380.8 32.8650 PROS PROSJ 194 194 215.0 101.6 250.9 23.5259 PROSJ PRODJ 194 194 4059.9 10026.7 251802 109506 PRODJ LHNJ 194 194 0.8253 0.7109 2.1194 0.4098 LHNJ JRUM 194 194 16856.2 5291.7 18031.4 403.8 JRUM JBJ 194 194 41.1856 41.1610 91.2258 20.8513 JBJ JPUJ 194 194 220.4 150.2 ‐103.5 86.8498 JPUJ JPTJ 194 194 176.3 138.6 667.8 84.4884 JPTJ TKDS 194 194 533.8 151.0 651.0 62.9156 TKDS TKDJj 194 194 360.6 188.1 335.1 230.8 TKDJj TKLJj 194 194 49.7835 44.1865 136.3 94.9441 TKLJj TKSJj 194 194 48.5928 36.9801 993.0 550.9 TKSJj CTDUOj 194 194 1060.7 1045.0 1089.9 546.8 CTDUOj KP 194 194 7999416 1970965 10543193 2253724 KP KNP 194 194 4029784 2119892 5533325 1255235 KNP IPD 194 194 1103712 1840780 2627495 1224024 IPD KONJ 194 194 688.8 571.0 4157.1 2601.5 KONJ BSPS 194 194 6951763 2173984 13189613 3170691 BSPJ 194 194 807700 644825 1367537 480912 BTKJ 194 194 1802171 760220 1935587 578053 BTRS 194 194 6463.2 3093.3 6974.8 3397.1 BTRJ 194 194 47.4471 13.0711 48.3198 13.2713 BTR 194 194 6510.7 3093.4 7023.1 3397.2 RUTS 194 194 15606313 4878402 24012322 3917590 PUTS 194 194 6658336 5273368 8148055 2978181 PUJ 194 194 8148338 62707266 6.5924E8 4.9188E8 TPRT 194 194 30248031 64052416 6.8283E8 4.9198E8 PSD 194 194 30225747 64050046 6.8281E8 4.9198E8 ISM 194 194 1208531 1844276 2732315 1227699 KT 194 194 12029200 3612041 16076517 3422060 TP 194 194 13237732 4658275 18808832 4543018 SPJ 194 194 9077.1 57163.2 542182 402986 HTSBS 194 194 28691.4 3190.8 31695.3 3503.1 HJGB 194 194 1093.3 14.0543 1163.9 19.3971 UTKB 194 194 10189.1 3087.1 11121.6 3390.4 UTKBJ 194 194 3773.3 60.1729 4146.8 65.8134 USSB 194 194 10236.6 3087.3 11121.6 3390.4 TBPS 194 194 8941514 2386800 15857293 3414381 TBJ 194 194 2609919 1192593 3303173 811187 TBPJ 194 194 2609871 1192597 3303124 811191 PROJ 194 194 9765.9 57534.8 546339 405587
384
3. Peningkatan Biaya Perantara Sapi, Biaya Transpor Jagung, Harga Sapi, Harga Jagung, Harga Rumput, Harga Pupuk Urea dan Upah Tenaga Kerja The SAS System 08:47 Tuesday, June 15, 2008 21 The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PROS 194 194 331.0 115.3 337.6 33.8090 PROS PROSJ 194 194 215.0 101.6 219.7 24.2570 PROSJ PRODJ 194 194 4059.9 10026.7 243656 108937 PRODJ LHNJ 194 194 0.8253 0.7109 1.3568 0.4013 LHNJ JRUM 194 194 16856.2 5291.7 16066.2 396.3 JRUM JBJ 194 194 41.1856 41.1610 61.4784 20.6309 JBJ JPUJ 194 194 220.4 150.2 ‐217.6 85.8946 JPUJ JPTJ 194 194 176.3 138.6 488.0 84.4203 JPTJ TKDS 194 194 533.8 151.0 595.6 38.8291 TKDS TKDJj 194 194 360.6 188.1 386.0 153.8 TKDJj TKLJj 194 194 49.7835 44.1865 91.2668 61.7899 TKLJj TKSJj 194 194 48.5928 36.9801 973.5 556.3 TKSJj CTDUOj 194 194 1060.7 1045.0 1201.9 544.3 CTDUOj KP 194 194 7999416 1970965 9420543 1717202 KP KNP 194 194 4029784 2119892 4869758 891024 KNP IPD 194 194 1103712 1840780 1955000 817685 IPD KONJ 194 194 688.8 571.0 2805.1 1719.6 KONJ BSPS 194 194 6951763 2173984 10372928 1905221 BSPJ 194 194 807700 644825 861802 468512 BTKJ 194 194 1802171 760220 1959359 415751 BTRS 194 194 6463.2 3093.3 6974.8 3397.1 BTRJ 194 194 47.4471 13.0711 48.3198 13.2713 BTR 194 194 6510.7 3093.4 7023.1 3397.2 RUTS 194 194 15606313 4878402 21043777 3730221 PUTS 194 194 6658336 5273368 8223195 2939464 PUJ 194 194 8148338 62707266 3.7116E8 2.9597E8 TPRT 194 194 30248031 64052416 3.9483E8 2.9722E8 PSD 194 194 30225747 64050046 3.948E8 2.9722E8 ISM 194 194 1208531 1844276 2059819 824139 KT 194 194 12029200 3612041 14290301 2493301 TP 194 194 13237732 4658275 16350120 3170055 SPJ 194 194 9077.1 57163.2 336318 266537 HTSBS 194 194 28691.4 3190.8 28179.9 3482.8 HJGB 194 194 1093.3 14.0543 1053.7 18.4485 UTKB 194 194 10189.1 3087.1 11121.6 3390.4 UTKBJ 194 194 3773.3 60.1729 4146.8 65.8134 USSB 194 194 10236.6 3087.3 11121.6 3390.4
385
TBPS 194 194 8941514 2386800 12813607 2052563 TBJ 194 194 2609919 1192593 2821209 711630 TBPJ 194 194 2609871 1192597 2821161 711635 PROJ 194 194 9765.9 57534.8 339123 268257
4. Penurunan Biaya Perantara Sapi, Peningkatan Biaya Transpor Sapi, Administrasi, Retribusi, Transpor Jagung, Harga Sapi dan Harga Jagung, Harga Rumput, Harga Pupuk Urea dan Upah Tenaga Verja The SAS System 08:47 Tuesday, June 15, 2008 45 The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PROS 194 194 331.0 115.3 380.7 33.0473 PROS PROSJ 194 194 215.0 101.6 250.9 23.6819 PROSJ PRODJ 194 194 4059.9 10026.7 216384 89754.9 PRODJ LHNJ 194 194 0.8253 0.7109 1.5903 0.3929 LHNJ JRUM 194 194 16856.2 5291.7 18869.1 392.4 JRUM JBJ 194 194 41.1856 41.1610 70.5862 20.3299 JBJ JPUJ 194 194 220.4 150.2 333.8 84.6556 JPUJ JPTJ 194 194 176.3 138.6 355.3 83.1217 JPTJ TKDS 194 194 533.8 151.0 616.8 36.7562 TKDS TKDJj 194 194 360.6 188.1 175.9 135.3 TKDJj TKLJj 194 194 49.7835 44.1865 134.5 52.8413 TKLJj TKSJj 194 194 48.5928 36.9801 755.3 457.7 TKSJj CTDUOj 194 194 1060.7 1045.0 803.9 544.6 CTDUOj KP 194 194 7999416 1970965 9549565 1675585 KP KNP 194 194 4029784 2119892 4946019 862712 KNP IPD 194 194 1103712 1840780 2032287 785381 IPD KONJ 194 194 688.8 571.0 2794.3 1471.8 KONJ BSPS 194 194 6951763 2173984 11149680 1800035 BSPJ 194 194 807700 644825 1296561 459925 BTKJ 194 194 1802171 760220 1159275 339574 BTRS 194 194 6463.2 3093.3 6086.4 2797.1 BTRJ 194 194 47.4471 13.0711 48.3198 13.2713 BTR 194 194 6510.7 3093.4 6134.7 2797.3 RUTS 194 194 15606313 4878402 22671288 3472928 PUTS 194 194 6658336 5273368 9217822 2895191 PUJ 194 194 8148338 62707266 4.0327E8 2.7848E8 TPRT 194 194 30248031 64052416 4.2792E8 2.795E8
386
PSD 194 194 30225747 64050046 4.279E8 2.795E8 ISM 194 194 1208531 1844276 2137107 791930 KT 194 194 12029200 3612041 14495585 2420380 TP 194 194 13237732 4658275 16632692 3060347 SPJ 194 194 9077.1 57163.2 331731 228094 HTSBS 194 194 28691.4 3190.8 32583.7 2935.4 HJGB 194 194 1093.3 14.0543 1163.9 19.3971 UTKB 194 194 10189.1 3087.1 9860.6 2791.4 UTKBJ 194 194 3773.3 60.1729 3774.2 60.2567 USSB 194 194 10236.6 3087.3 9860.6 2791.4 TBPS 194 194 8941514 2386800 13447379 1926440 TBJ 194 194 2609919 1192593 2455884 669034 TBPJ 194 194 2609871 1192597 2455836 669039 PROJ 194 194 9765.9 57534.8 334525 229565
5. Penurunan Biaya Perantara Sapi, Peningkatan Biaya Transpor Sapi, Administrasi, Retribusi, Transpor Jagung, Harga Rumput, Harga Pupuk Urea dan Upah Tenaga Verja The SAS System 08:47 Tuesday, June 15, 2008 33 The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PROS 194 194 331.0 115.3 384.1 32.6335 PROS PROSJ 194 194 215.0 101.6 253.3 23.3603 PROSJ PRODJ 194 194 4059.9 10026.7 223313 90052.8 PRODJ LHNJ 194 194 0.8253 0.7109 2.1063 0.4004 LHNJ JRUM 194 194 16856.2 5291.7 18055.7 402.4 JRUM JBJ 194 194 41.1856 41.1610 90.7144 20.5528 JBJ JPUJ 194 194 220.4 150.2 ‐105.7 85.7366 JPUJ JPTJ 194 194 176.3 138.6 666.8 83.8396 JPTJ TKDS 194 194 533.8 151.0 640.9 47.6508 TKDS TKDJj 194 194 360.6 188.1 372.3 175.8 TKDJj TKLJj 194 194 49.7835 44.1865 120.7 70.5582 TKLJj TKSJj 194 194 48.5928 36.9801 847.5 454.9 TKSJj CTDUOj 194 194 1060.7 1045.0 1090.8 546.1 CTDUOj KP 194 194 7999416 1970965 10222386 1894003 KP KNP 194 194 4029784 2119892 5343705 1016475 KNP IPD 194 194 1103712 1840780 2435324 961857 IPD KONJ 194 194 688.8 571.0 3723.8 1942.7 KONJ BSPS 194 194 6951763 2173984 12674742 2375360 BSPJ 194 194 807700 644825 1362156 478384 BTKJ 194 194 1802171 760220 2023623 465640 BTRS 194 194 6463.2 3093.3 6086.4 2797.1
387
BTRJ 194 194 47.4471 13.0711 48.3198 13.2713 BTR 194 194 6510.7 3093.4 6134.7 2797.3 RUTS 194 194 15606313 4878402 23321363 3546081 PUTS 194 194 6658336 5273368 8014003 2901206 PUJ 194 194 8148338 62707266 5.7708E8 3.6739E8 TPRT 194 194 30248031 64052416 6.0053E8 3.6788E8 PSD 194 194 30225747 64050046 6.0051E8 3.6787E8 ISM 194 194 1208531 1844276 2540143 966879 KT 194 194 12029200 3612041 15566091 2806517 TP 194 194 13237732 4658275 18106234 3642648 SPJ 194 194 9077.1 57163.2 474938 300935 HTSBS 194 194 28691.4 3190.8 32583.7 2935.4 HJGB 194 194 1093.3 14.0543 1163.9 19.3971 UTKB 194 194 10189.1 3087.1 10233.2 2790.8 UTKBJ 194 194 3773.3 60.1729 4146.8 65.8134 USSB 194 194 10236.6 3087.3 10233.2 2790.8 TBPS 194 194 8941514 2386800 15301273 2558429 TBJ 194 194 2609919 1192593 3385828 757467 TBPJ 194 194 2609871 1192597 3385779 757471 PROJ 194 194 9765.9 57534.8 478662 302878
6. Penurunan Biaya Perantara Sapi, Peningkatan Biaya Transpor Sapi, Administrasi, Retribusi, Transpor Jagung, Harga Sapi, Harga Jagung, Harga Rumput, Harga Pupuk Urea dan Upah Tenaga Kerja The SAS System 08:47 Tuesday, June 15, 2008 41 The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PROS 194 194 331.0 115.3 384.1 32.6335 PROS PROSJ 194 194 215.0 101.6 253.3 23.3603 PROSJ PRODJ 194 194 4059.9 10026.7 223313 90052.8 PRODJ LHNJ 194 194 0.8253 0.7109 2.1063 0.4004 LHNJ JRUM 194 194 16856.2 5291.7 18055.7 402.4 JRUM JBJ 194 194 41.1856 41.1610 90.7144 20.5528 JBJ JPUJ 194 194 220.4 150.2 ‐105.7 85.7366 JPUJ JPTJ 194 194 176.3 138.6 666.8 83.8396 JPTJ TKDS 194 194 533.8 151.0 640.9 47.6508 TKDS TKDJj 194 194 360.6 188.1 372.3 175.8 TKDJj TKLJj 194 194 49.7835 44.1865 120.7 70.5582 TKLJj TKSJj 194 194 48.5928 36.9801 847.5 454.9 TKSJj CTDUOj 194 194 1060.7 1045.0 1090.8 546.1 CTDUOj KP 194 194 7999416 1970965 10222386 1894003 KP
388
KNP 194 194 4029784 2119892 5343705 1016475 KNP IPD 194 194 1103712 1840780 2435324 961857 IPD KONJ 194 194 688.8 571.0 3723.8 1942.7 KONJ BSPS 194 194 6951763 2173984 12674742 2375360 BSPJ 194 194 807700 644825 1362156 478384 BTKJ 194 194 1802171 760220 2023623 465640 BTRS 194 194 6463.2 3093.3 6086.4 2797.1 BTRJ 194 194 47.4471 13.0711 48.3198 13.2713 BTR 194 194 6510.7 3093.4 6134.7 2797.3 RUTS 194 194 15606313 4878402 23321363 3546081 PUTS 194 194 6658336 5273368 8014003 2901206 PUJ 194 194 8148338 62707266 5.7708E8 3.6739E8 TPRT 194 194 30248031 64052416 6.0053E8 3.6788E8 PSD 194 194 30225747 64050046 6.0051E8 3.6787E8 ISM 194 194 1208531 1844276 2540143 966879 KT 194 194 12029200 3612041 15566091 2806517 TP 194 194 13237732 4658275 18106234 3642648 SPJ 194 194 9077.1 57163.2 474938 300935 HTSBS 194 194 28691.4 3190.8 32583.7 2935.4 HJGB 194 194 1093.3 14.0543 1163.9 19.3971 UTKB 194 194 10189.1 3087.1 10233.2 2790.8 UTKBJ 194 194 3773.3 60.1729 4146.8 65.8134 USSB 194 194 10236.6 3087.3 10233.2 2790.8 TBPS 194 194 8941514 2386800 15301273 2558429 TBJ 194 194 2609919 1192593 3385828 757467 TBPJ 194 194 2609871 1192597 3385779 757471 PROJ 194 194 9765.9 57534.8 478662 302878