DISEMINASI TEKNOLOGI PERTANIAN DAN PERMASALAHANNYA (Study Kasus di Provinsi Bengkulu) Edi Basuno dan Yusuf Pusat Studi Ekonomi dan Kibajakan Pembangunan Pertanian BPTP NTT ABSTRAK Diseminasi hasil pengkajian merupakan tahapan penting dalam siklus perencanaan suatu institusi pengkajian. Kinerja institusi pengkajian dapat dilihat dari tingkat adopsi teknologi. Melalui kegiatan pengumpulan data dasar (baseline study), peran BPTP sebagai sumber teknologi pertanian dapat dievaluasi kinerjanya. Oleh karena itu, keikutsertaan petani dalam penentuan paket teknologi merupakan hal yang mutlak. Sebanyak 120 petani dilibatkan dalam kegiatan ini, yang terdiri dari 43 petani kooperator dan sisanya petani mantan koopertator dan petani disekitar lokasi kegiatan. Respon dan persepsi petani terhadap teknologi pertanian yang dihasilkan oleh BPTP Bengkulu bervariasi dan petani yang mengatakan cukup puas, kurang puas dan tidak puas terhadap kinerja BPTP berturut-turut adalah 33, 44 dan 21 persen. Peran kontak tani sebagai sumber informasi utama cukup penting, disusul oleh peran penyuluh dan BPTP, seperti dinyatakan oleh 64, 22 dan 12 persen dari responden. Dalam hal mencari informasi teknologi baru, ternyata petani cukup aktif, seperti ditunjukkan oleh 55 persen responden. Pertemuan kelompok tani menjadi tempat penting dalam mencari informasi oleh 24 persen responden. Media cetak dipilh oleh 17 persen dan media elektronik justru kurang populer (8 %). Sebanyak 39 persen responden menyatakan bahwa teknologi BPTP sudah sesuai dengan kebutuhan mereka. Berdasar jenis lahannya, responden di lahan irigasi lebih banyak yang menyatakan sesuai, dibanding responden di lahan kering, yaitu 48 dibanding 11 persen. Sebagai pendorong didalam penerapan teknologi, inisiatif sendiri menjadi pendorong utama (32 %), disusul PPL (24 %). Staf BPTP dan ketua kelompok tani perannya relative kurang signifikan. Peningkatan peran BPTP untuk mampu merespon kebutuhan petani menjadi isu strategis dimasa datang. Disamping itu, BPTP harus terus mengembangkan pendekatan partisipatif dalam menentukan teknologi spesifik lokasi yang dikembangkan. Kata kunci: Diseminasi teknologi, studi pendasaran, AEZ, Bengkulu. PENDAHULUAN Provinsi Bengkulu merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan dominasi sektor pertaniannya sebagai penyumbang terbesar Produk Domestik Regional Bruto. Potensi lahan yang dominan di Provinsi Bengkulu adalah lahan kering, sehingga prospek pengembangan sektor pertanian di masa depan akan sangat baik karena kegiatan perekonomian masih berbasis pada sektor primer (Diperta. Bengkulu, 1998). Secara berkelanjutan pemerintah melalui Departemen Pertanian memotivasi penggunaan teknologi pertanian dalam rangka mewujudkan pertanian yang modern, maju dan efisien (Badan Litbang, 1999). Badan Litbang. Pertanian sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam hal pelaksanaan penelitian da pengembangan pertanian di Indonesia, pada tahun 1994 telah memutuskan untuk mendesentralisasikan pengkajian teknologi pertanian, melalui pembentukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) sebagai unit pelaksana dari Badan Litbang Pertanian (Adnyana, et. all. 1999). Relatif rendahnya tingkat adopsi teknologi yang dihasilkan BPTP menjadi alasan utama untuk memotivasi lembaga ini. Oleh karena itu, BPTP tidak ada pilihan lain, kecuali meningkatkan tingkat adopsi teknologi bagi penggunanya melalui pengemangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan petani, disamping sesuai dengan sumberdaya lokal yang tersedia, baik alam (lahan, infrastruktur) maupun manusia (FAO, 1993). Kesemuanya ini harus dilakukan dalam rangka pemberdayaan petani menjadi petani yang inovatif, sejahtera dan tidak adanya diskriminasi di masyarakat petani (FAO, 1998). Berbagai penyebab rendahnya dampak teknologi dan manfaat yang diperoleh petani antara lain (Tim Asistensi, 2000): (i) kurang sesuainya teknologi yang diperkenalkan dengan kondisi dan kebutuhan petani, (ii) terbatasnya kemampuan finansial petani, sehingga menjadi penyebab rendahnya akses petani
terhadap input produksi, (iii) petani enggan mengadopsi teknologi dengan pertimbangan tertentu, meskipun sebenarnya mereka memahami keunggulan suatu teknologi. Dalam ilmu komunikasi petani responden dapat digolongkan ke dalam penerima pesan (komunikan) sedangkan pencipta teknologi atau sumber teknologi dapat dikategorikan sebagi penyampai pesan (komunikator). Menurut Steverin and Tankard (1979), komunikasi merupakan proses di mana seorang komunikator menyampaikan pesan-pesannya (biasanya dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikan). Teknologi itu sendiri merupakan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Walaupun manusia menggunakan sekitar 70 persen waktunya untuk berkomunikasi namun karena komunikasi tersebut belum tentu dilakukan secara efektif, maka pesan-pesan yang disampikan belum tentu dapat diterima dengan baik oleh komunikan (Berlo,1981). Perubahan perilaku yang dimaksud di sini menyangkut perubahan yang terjadi pada kawasan pengetahuan, sikap dan tindakan/keterampilan. Dalam upaya mengenal dan memahami perilaku petani, beberapa karakteristik dan perilaku petani dengan kelompoknya perlu diperhatikan yaitu (Berlo,1981): (1) petani yang memiliki cukup modal dan proaktif dalam mencari informasi inovasi dan teknologi maju serta menerapkannya untuk memperoleh manfaat yang menguntungkannya, biasa disebut aggressive farmers, (2) petani yang sekalipun tidak memiliki modal yang cukup, namun mereka mencoba menerapkan teknologi maju dalam usahataninya sekalipun tidak secara penuh (innovative farmers), (3) petani yang karena ketidakmampuan menyediakan modal, yang akhirnya petani tidak dapat menerapkan teknologi maju sekalipun keinginannya besar (unfortunate farmers), dan (4) petani yang sekali pun memiliki kemampuan permodalan yang kuat namun tidak ada keinginan untuk menerapkan teknologi maju, karena berbagai pertimbangan pribadi dan bahkan cenderung menolak, biasa disebut petani kolot (laggard farmers). Sebagai penyedia teknologi pertanian utama di Provinsi Bengkulu, BPTP Bengkulu telah memberikan kontribusi terhadap penerapan teknologi spesifik lokasi (IP2TP, Bengkulu, 2000). Tingkat kontribusi tersebut dapat direfleksikan antara lain oleh respon dan persepsi pengguna akhir (petani) terhadap paket teknologi yang dihasilkan. Semakin bermanfaat suatu paket teknologi akan semakin baik respon dan persepsi petani terhadap kinerja BPTP Bengkulu. Diharapkan berbagai paket teknologi yang telah dihasilkan, dalam jangka menengah dan panjang akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan keuntungan usaha taninya.
METODOLOGI Metodologi penelitian meliputi lokasi penelitian, klasifikasi wilayah penelitian berdasarkan agroekosistem utama, kerangka penarikan contoh dan jumlah responden, pengelompokan rumah tangga petani berdasarkan luas penguasaan lahan dan pendapatan per kapita dan metode analisis data. Hasil analisis dijadikan dasar untuk mengukur dampak pengkajian pada masing-masing wilayah dalam survai pendasaran pada waktu yang akan datang. Kajian ini ini dilaksanakan di Kabupaten Bengkulu Selatan, yang meliputi dua zona sistem usaha tani (farming system zona) yaitu: (1) lahan kering; (2) lahan beririgasi. Penarikan contoh dilakukan secara acak berstrata (stratified random sampling). Strata yang digunakan adalah provinsi, kabupaten dan karakteristik AEZ. Responden adalah petani kooperator atau mantan kooperator litkaji dan petani yang berada disekitar lokasi litkaji. Sebanyak 120 sampel petani dilibatkan dalam kegiatan, yang terdiri dari 43 petani kooperator dan sisanya non kooperator. Analisis deskriptif dan tabulasi silang digunakan untuk memperoleh informasi yang komprehensif tentang data hasil studi pendasaran ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber dan Jenis Informasi Teknologi Sebagian besar responden (55%) mengakui bahwa PPL merupakan sumber informasi utama, disusul oleh kontak tani seperti diakui oleh 19 persen responden. Staf BPTP Bengkulu sebagai sumber informasi hanya diakui oleh 10 persen responden. Apabila dilihat dari aspek perbedaan zonanya, staf BPTP Bengkulu sama sekali tidak dikenal oleh responden dari zona lahan kering (Tabel 1). Namun hal ini tidak mengherankan, mengingat biasanya lokasi zona lahan kering sulit dijangkau, sehingga tingkat interaksi petani lahan kering dan demikian pula tingkat pemahaman mereka terhadap BPTP relatif terbatas. Dengan semangat untuk memberdayakan petani, kendala isolasi tersebut semestinya dapat diatasi. Dengan kata lain, petani pada zona lahan kering pun harus mendapatkan perhatian sebagaimana petani lainnya pada zona lahan beririgasi. Tabel 1.
Sumber teknologi usaha tani yang diterapkan di Kab.Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu menurut zona, 2000 Zona Sumber teknologi usaha tani Jumlah Lahan Beririgasi Lahan Kering yang diterapkan N % N % N % PPL 53 60 11 40 64 55 Staf BPTP Bengkulu 12 13 12 10 Kontak Tani 18 20 4 14 22 19 Lainnya 5 6 13 46 18 15 Tidak tahu 1 1 1 1 Jumlah 89 100 28 100 117 100
Sumber: Data primer, diolah
Lebih dari 50 persen responden mengaku terus mencari informasi mengenai teknologi usaha tani dan 23 persen lainnya tidak melakukan hal yang sama. Jika dilihat per zonanya, proporsi petani dari zona lahan beririgasi lebih banyak yang aktif mencari informasi. Proporsi petani lahan kering yang menjawab tidak tahu pun jauh lebih banyak (64 vs 9%) seperti disajikan pada Tabel 2. Hal ini dapat menunjukkan bahwa petani pada lahan beririgasi lebih aktif dan lebih kreatif untuk mencari sendiri informasi yang dibutuhkannya. Fakta semacam ini dapat dijadikan acuan dalam melakukan kegiatan pemberdayaan petani, bahwa petani pada lahan kering harus lebih intensif penyuluhannya karena mereka kurang aktif dalam mencari informasi tentang teknologi pertanian yang sebetulnya mungkin mereka butuhkan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Tabel 2. Kegiatan mencari informasi tentang teknologi menurut zona, 2000 Zona Mencari informasi tentang Jumlah Lahan Lahan Kering teknologi pertanian Beririgasi N % N % N %
Ya Tidak Tidak tahu Jumlah
54 27 8 89
61 30 9 100
10 18 28
36 64 100
64 27 26 117
55 23 22 100
Sumber: Data primer, diolah
Jenis media komunikasi yang paling sering dimanfaatkan oleh petani responden dalam mencari informasi adalah komunikasi secara langsung (face to face), yaitu dalam bentuk berbagai pertemuan, seperti diakui oleh 23,3 persen responden. Media cetak disusul dengan media elektronik merupakan jenis media kedua dan ketiga yang dimanfaatkan oleh petani responden dalam mencari informasi. Sejalan dengan kegiatan mencari informasi yang sudah dibahas sebelumnya, proporsi petani lahan kering yang menjawab tidak tahu jauh lebih besar (53 vs 35%). Namun petani lahan kering memanfaatkan media lainnya lebih banyak dibandingkan dengan petani lahan beririgasi (25 vs 8%), seperti dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kegiatan mencari informasi tentang teknologi usaha tani menurut jenis media komunikasi dan zona, 2000 Media komunikasi yang Zona dimanfaatkan Jumlah Lahan Beririgasi Lahan Kering responden N % N % N % Cetak 17 19 3 11 20 17 Elektronik 6 7 3 11 9 8 Acara pertemuan 28 31 28 23,3 Lainnya 7 8 7 25 14 12 Tidak tahu 31 35 15 53 46 39 Jumlah 89 100 28 100 117 100 Sumber: Data primer, diolah
Alasan utama petani responden tidak mencari informasi adalah karena mereka tidak tahu harus berbuat apa atau bagaimana mencarinya, seperti dikatakan oleh 62 persen responden (Tabel 4). Alasan lainnya, yakni informasi sudah cukup hanya diakui oleh seorang responden dan alasan keterbatasan usaha tani, diakui oleh 9 persen responden. Sebanyak 11 persen mengatakan bahwa informasi baru selalu datang dari petugas penyuluh, sehingga tidak perlu aktif mencari. Disamping itu, ada responden yang menyatakan tidak berminat untuk mencari informasi, yaitu sebanyak 6 persen.
Tabel 4. Alasan responden tidak mencari informasi menurut zona, 2000 Zona Alasan tidak mencari Jumlah Lahan Beririgasi Lahan Kering informasi N % N % N % Informasi sudah cukup 1 4 1 1 Kegiatan UT terbatas 8 9 3 10 11 9 Info. baru dari PPL/lain2 13 14 13 11 Tidak berminat 3 3 1 4 7 6 Lainnya 4 5 9 32 13 11 Tidak tahu 61 69 14 50 75 62 Jumlah 89 100 28 100 120 100 Sumber: Data primer, diolah
Telah disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan BPTP Bengkulu telah diketahui oleh lebih dari 50 persen responden. Hal ini tampaknya bukan karena BPTP Bengkulu memang sudah dikenal dengan baik berkaitan dengan kinerja dan kontribusinya terhadap masyarakat, tetapi karena responden tersebut merupakan petani kooperator untuk kegiatan Litkaji di BPTP Bengkulu, sehingga otomatis mereka mengetahui keberadaan BPTP. Proporsi petani responden yang tidak mengetahui keberadaan BPTP Bengkulu di lahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan petani di lahan beririgasi (89 vs 31%). Sebaliknya proporsi responden yang tahu keberadaan BPTP di zona irigasi lebih tinggi dibanding di zona lahan kering (69 vs. 11 persen), seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Pengetahuan responden mengenai keberadaan BPTP Bengkulu menurut zona, 2000 Zona Tahu keberadaan BPTP Jumlah Lahan Beririgasi Lahan Kering Bengkulu N % N % N % Ya 61 69 3 11 64 55 Tidak
28
31
25
89
54
35
Jumlah
89
100
28
100
117
100
Sumber: Data primer, diolah
Sumber informasi utama bagi responden tentang keberadaan BPTP Bengkulu selain PPL adalah Staf BPTP Bengkulu. PPL dikatakan sebagai sumber utama dalam mengetahui keberadaan BPTP karena PPL adalah petugas lapangan yang relatif dekat dengan petani, sedang staf BPTP berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan pengkajian (Tabel 6). Sedangkan sumber informasi yang berasal dari media cetak dan dari aparat pemerintah relatif tidak berarti. Lebih dari 40 persen responden tidak mengetahui dari mana informasi tentang keberadaan BPTP Bengkulu tersebut berasal. Besar kemungkinan asalnya dari sesama teman petani yang walaupun tidak terliput dalam kuesioner, tetapi interaksi mereka cukup intensif sehingga memungkinkan terjadi transfer pengetahuan antar petani.
Tabel 6. Sumber pengetahuan tentang BPTP Bengkulu menurut zona, 2000 Zona Sumber pengetahuan tentang Jumlah Lahan Lahan Kering keberadaan BPTP Bengkulu Beririgasi N % N % N % PPL 28 31 2 7 30 26 Staf BPTP Bengkulu 29 33 29 25 Media cetak 1 4 1 1 Aparat pemerintah 1 4 1 1 Lainnya 4 5 2 7 6 5 Tidak tahu 28 32 22 78 50 42 Jumlah 89 100 28 100 117 100 Sumber: Data primer, diolah
Sampai berapa jauh pengetahuan petani tentang BPTP Bengkulu disajikan pada Tabel 7. Pengetahuan ini dibagi atas: (a) mengetahui namanya saja, (b) mengetahui fungsinya sebagai sumber teknologi dan (c) mengetahui sebagai tempat berkumpulnya para peneliti. Persentase responden yang mengetahui nama BPTP dan tidak mengetahui nama BPTP sama sekali, masing-masing 30 persen. Responden yang mengetahui fungsi BPTP sebagai sumber teknologi 24 persen dan yang mengetahui sebagai tempat berkumpulnya para peneliti sebanyak 4 persen. Tabel 7 juga memperlihatkan jika dilihat menurut zona, maka petani responden di lahan kering paling banyak mengetahui BPTP dari aspek lainnya (36%). Sedangkan yang mengetahui BPTP Bengkulu dari fungsinya jauh lebih kecil, yaitu 4 persen untuk lahan kering dan 30 persen untuk lahan irigasi. Tabel 7. Pengetahuan responden tentang BPTP Bengkulu menurut zona, 2000 Zona Aspek pengetahuan Jumlah Lahan Beririgasi Lahan Kering responden N % N % N % Tahu namanya saja Tahu fungsinya Tempat peneliti berkumpul Lainnya Tidak tahu Jumlah
27 27 5 4 26 89
30 30 6 5 29 100
8 1 10 9 28
28 4 36 32 100
35 28 5 14 35 117
30 24 4 12 30 100
Sumber: Data primer, diolah
Keterlibatan petani responden dalam kegiatan pengkajian di BPTP disajikan pada Tabel 8. Sebagian responden (39%) sudah terlibat pada kegiatan BPTP, terutama untuk petani responden di lahan beririgasi. Untuk lahan kering bahkan responden sama sekali tidak ada yang mengetahui apa pun tentang kegiatan BPTP. Hal ini memperkuat dugaan bahwa perhatian BPTP Bengkulu masih dikonsentrasikan pada zona lahan irigasi, dengan katan lain, teknologi pertanian yang dihasilkannya masih bias untuk usaha tani di lahan irigasi. Sekali lagi, hasil studi menunjukkan perlunya para pengkaji BPTP juga memberi perhatikan kepada petani lahan kering, mengingat potensi lahan kering di provinsi ini jauh lebih besar dibandingkan lahan irigasi. Dengan demikian, penciptaan teknologi atau komponen teknologi yang mengindahkan teknologi lokal (indigenous technology) perlu terus dipacu dalam rangka memberdayakan petani lahan kering tersebut. Tabel 8. Keterlibatan responden dalam kegiatan BPTP Bengkulu, menurut zona, 2000 Zona Terlibat dalam kegiatan Jumlah Lahan Beririgasi Lahan Kering BPTP N % N % N % Ya 45 51 45 39 Tidak
44
49
28
100
55
61
Jumlah
89
100
28
100
117
100
Sumber: Data primer, diolah
Jenis keterlibatan responden dalam kegiatan BPTP Bengkulu bermacam-macam diantaranya: (a) sebagai kooperator, (b) sebagai peserta temu aplikasi teknologi atau temu informasi teknologi dan (c) penerima media komunikasi/diseminasi. Sebanyak 36 persen responden mengaku dilibatkan sebagai petani kooperator dan sebesar satu persen lainnya sebagai peserta temu informasi. Tetapi yang kurang menggembirakan adalah bahwa sebagian besar responden (60%) tidak tahu sama sekali dalam kegiatan apa mereka dilibatkan, seperti disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Keterlibatan responden dalam kegiatan BPTP Bengkulu menurut zona, 2000 Terlibat sebagai Kooperator Peserta temu informasi Lainnya Tidak tahu Jumlah
Zona Lahan Beririgasi N % 42 47 1 1 2 2 44 50 89 100
Lahan Kering N 1 27 28
% 4 94 100
Jumlah N 42 1 3 71 117
% 36 1 3 60 100
Sumber: Data primer, diolah
Dari hasil survai terlihat bahwa 47 persen responden berminat untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan BPTP dan 49 persen lainnya tidak dapat menentukan apakah berminat untuk berpartisipasi dalam kegiatan BPTP Bengkulu. Persentase responden yang kurang berminat atau bahkan tidak berminat sama sekali relatif kecil yaitu masing-masing hanya 4 dan 1 persen saja (Tabel 10). Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa proporsi responden di lahan kering yang berminat pada kegiatan BPTP lebih tinggi dibanding respnden dilahan irigasi, yaitu masing-masing 54 persen dan 45 persen. Tabel 10. Minat responden berpartisipasi dalam kegiatan BPTP Bengkulu, menurut zona, 2000 Zona Minat untuk berpartisipasi Jumlah Lahan Beririgasi Lahan Kering dalam kegiatan BPTP N % N % N % Berminat 40 45 15 54 55 47 Kurang berminat 3 3 1 4 4 3 Tidak berminat 1 1 1 1 Tidak tahu 45 51 12 42 57 49 Jumlah 89 100 28 100 117 100 Sumber: Data primer, diolah
Secara keseluruhan sebagian besar petani responden (53%) mengetahui jenis teknologi yang dihasilkan oleh BPTP. Diperkirakan responden tersebut berasal dari lahan irigasi, atau bahkan berasal dari kooperator kegiatan BPTP. Bagi responden di lahan kering, hampir semuanya (90 %) tidak mengetahui jenis teknologi hasil BPTP, karena selama ini tidak terlibat dalam kegiatan BPTP. Hal ini mengindikasikan perlunya perhatian BPTP diarahkan juga ke petani lahan kering yang juga perlu ditingkatkan sesuai potensi yang tersedia. Tingkat Kesesuaian dan Pendorong Adopsi Teknologi Terjadinya adopsi suatu teknologi oleh petani dimungkinkan kalau teknologi tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani. Adopsi sendiri merupakan proses membandingkan yang relatif lama dari petani. Hanya teknologi yang sudah terbukti memberikan manfaat langsung dalam jangka pendek yang akan cepat diadopsi. Untuk menggali hal-hal yang berkaitan dengan tingkat kesesuaian dan pendorong adopsi teknologi, maka responden ditanya pendapatnya tentang kesesuaian teknologi yang dihasilkan oleh BPTP Bengkulu. Hasilnya, sebagian besar responden (61 %) responden tidak mengetahui tingkat kesesuaiannya. Bahkan untuk zona lahan kering, 89 persen tidak mengetahui tentang kesesuaian teknologi, relatif lebih
tinggi dari zon lahan irigasi. Tingkat kesesuaian teknologi dibedakan menjadi beberapa katagori, mulai dari sesuai 100 persen sampai sesuai kurang dari 10 persen. Informasi ini memberikan indikasi seberapa jauh teknologi yang dihasilkan BPTP memperoleh apresiasi dari petani. Jika dilihat per zonanya, maka hal tersebut sejalan dengan hasil studi bawa hanya sebagian kecil responden di lahan irigasi yang mengatakan bahwa teknologi yang dihasilkan oleh BPTP Bengkulu 100 persen sesuai dengan kebutuhannya. Dua belas persennya lainnya mengaku bahwa teknologi hasil BPTP Bengkulu hanya sesuai 75-99 persen saja dan 8 persen lainnya mengaku sesuai dengan 50-74 persen dari kebutuhannya dan 7 persen lainnya hanya sesuai dengan 10-49 persen dari kebutuhannya (Tabel 11). Tidak diperolehnya informasi dari responden di lahan kering menunjukkan rendahnya pemahaman petani di wilayah tersebut terhadap kegiatan yang selama ini dilakukan oleh BPTP yang cenderung belum berpihak pada wilayah lahan kering. Tabel 11. Tingkat kesesuaian teknologi introduksi BPTP Bengkulu dengan kebutuhan menurut zon, 2000 Zona Tingkat kesesuaian teknologi Jumlah Lahan Lahan Kering dengan kebutuhan responden Beririgasi (%) N % N % N % 100 8 9 8 7 75-99 14 16 14 12 50-74 9 10 9 8 10-49 7 8 1 4 8 7 1-9 6 7 4 14 10 8 Tidak tahu 45 50 23 82 68 58 Jumlah 89 100 28 100 117 100
responden,
Sumber: Data primer, diolah
Banyak pihak-pihak, baik orang maupun organisasi yang menjadi pendorong petani untuk menerapkan teknologi introduksi di antaranya: (a) atas inisiatif sendiri, (b) PPL dan (c) ketua kelompok tani. Tabel 12. menyajikan persentase responden dalam kaitannya dengan pihak yang menjadi pendorong dalam menrapkan teknologi. Secara keseluruhan, sebagian besar petani responden menerapkan teknologi introduksi karena dorongan diri sendiri (32%), sdangkan PPL menjadi pendorong bagi 24 persen petani responden. Staf BPTP dan Ketua Kelompok Tani perannya relatif terbatas karena masing-masing hanya mendorong 7 dan 10 persen responden di lahan irigasi dalam penerapan teknologi. Tabel 12. Pendorong responden dalam menerapkan teknologi introduksi BPTP, menurut zona, 2000 Zona Pendorong penerapan teknologi Jumlah Lahan Lahan Kering introduksi oleh petani responden Beririgasi N % N % N % Inisiatif sendiri 25 28 12 43 37 32 PPL 27 30 1 4 28 24 Staf BPTP Bengkulu 6 7 6 5 Ketua Kelompok Tani 9 10 9 8 Lainnya 2 2 4 14 6 5 Tidak tahu 20 23 11 39 31 26 Jumlah 89 100 28 100 117 100 Sumber: Data primer, diolah
Motivasi petani responden dalam menerapkan teknologi introduksi pun bermacam-macam. Ada yang hanya mencoba-coba, ada juga yang meyakini bahwa teknologi introduksi tersebut mampu meningkatkan nilai tambah. Selain itu ada pula petani responden yang menerapkan teknologi introduksi hanya karena toleransi pada teman sesama petani. Secara keseluruhan, 20 persen petani responden menerapkan teknologi introduksi karena coba-coba dan 15 persen saja dari mereka yang meyakini bahwa teknologi tersebut dapat meningkatkan nilai tambah. Petani responden yang menerapkan teknologi karena toleransi kepada sesama teman dan lainnya masing-masing hanya 3 persen (Tabel 13).
Namun jika dilihat per zonanya maka proporsi petani yang coba-coba di lahan kering lebih besar dibandingkan dengan petani di lahan beririgasi, yaitu 28 vs. 17 persen. Juga tidak seperti sebelumnya, proporsi petani yang tidak tahu di lahan beririgasi lebih besar dibandingkan dengan petani di lahan kering (64 vs. 50%). Tabel 13. Motivasi responden dalam menerapkan teknologi introduksi BPTP,menurut zona, 2000 Zona Pendorong penerapan teknologi Lahan Lahan Kering Jumlah introduksi oleh petani responden Beririgasi N % N % N % Mencoba-coba 15 17 8 28 23 20 Yakin terhadap nilai tambah 14 16 3 11 17 14 Toleransi sesama petani 3 3 3 3 Lainnya 3 11 3 3 Tidak tahu 57 64 14 50 71 60 Jumlah 89 100 28 100 117 100 Sumber: Data primer, diolah
Kendala dalam Menerapkan Teknologi Dalam menerapkan teknologi, tentunya petani berhadapan dengan berbagai kendala. Sebagian besar petani di lahan beririgasi menghadapi kendala dalam menerapkan teknologi, sedang di lahan kering, karena tidak terlibat dalam kegiatan BPTP, maka hampir semuanya tidak mengemukakan adanya kendala. Berbagai kendala yang dihadapi petani, terutama responden di lahan irigasi dalam menerapkan teknologi di antaranya: (a) kendala teknis, (b) ketersediaan komponen teknologi dan (c) tidak terjangakunya harga input produksi. Secara keseluruhan, kendala teknis dialami oleh 10 persen petani responden dan 8 persen petani responden mengalami kesulitan dalam menyediakan unsur teknologi, serta 5 persen lainnya menemui kesulitan karena harga input teknologi tidak terjangkau. Pada zona lahan kering, lebih banyak responden yang mengalami kendala teknis dibandingkan dengan responden petani pada zona lahan beririgasi (18 vs. 8%). Sebaliknya kendala ketersediaan unsur teknologi lebih banyak dihadapi oleh petani responden di zona lahan beririgasi (9 vs. 4%). Secara rinci kendala yang dihadapi responden dalam menerapkan teknologi, disajikan pada Tabel 14. Tingginya responden yang tidak merespon pertanyaan yang berkaitan dengan kendala menunjukkan keterbatasan kapasitas responden dalam mengemukakan pendapatnya. Hal ini merupakan kondisi umum dari petani yang wawasan dan pengalaman bekerjasama dengan BPTP masih terbatas.
Tabel 14. Kendala dalam menerapkan teknologi introduksi BPTP, menurut zona, 2000 Jenis kendala Kendala teknis Ketersediaan unsur teknologi Harga terlalu mahal Lainnya Tidak tahu Jumlah
Zona (Berlo,1981) Lahan Beririgasi Lahan Kering N % N % 7 8 5 18 8 9 1 4 6 9 59 89
7 10 66 100
22 28
78 100
Jumlah N 12 9 6 9 81 117
% 10 8 5 8 69 100
Sumber: Data primer, diolah
Dalam menghadapi kendala-kendala tersebut, petani responden di lahan irigasi pada umumnya berhubungan dengan PPL dan Ketua Kelompk tani, sedang di lahan kering petani melaporkannya kepada PPL dan aparat pemerintah selain PPL. Staf BPTP, karena kedudukannya relative jauh dari lokasi kegiatan, maka tidak menjadi pilihan petani dalam mengadukan kendala yang dihadapi. Hal ini sekaligus merupakan indikasi bahwa staf BPTP kurang populer atau kurang intensif berinteraksi dengan para petani, baik petani dari zona lahan beririgasi maupun petani dari zona lahan kering.
Sebagian responden di zona lahan beririgasi (46%) mengaku bahwa mereka mempunyai sumber teknologi lain di samping BPTP Bengkulu, yaitu teknologi yang bersumber dari dinas teknis dan pihak swasta, kontak tani, media elektronik dan pihak perguruan tinggi. Hal ini berbeda dengan responden di zona lahan kering yang menyatakan tidak memiliki sumber teknologi, sebagai akibat dari terbatasnya peluang mereka dalam mengenal teknologi. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Tingkat kepuasan responden terhadap teknologi BPTP dipengaruhi oleh responden yang tidak hanya terdiri dari kooperator, tetapi juga non-kooperator. Secara umum, respon petani terhadap teknologi relatif rendah. Informasi teknologi yang diterima non-koperator umumnya terbatas, tetapi mereka ingin menjadi kooperator karena melihat ada manfaat. Petani secara aktif mencai informasi teknologi pertanian yang baru dari berbagai sumber. Kontak antar petani dalam suatu kelompok tani merupakan hal yang umum dilakukan petani. Teknologi BPTP dinilai sesuai oleh sebagian petani dengan tingkat kesesuaian yang bervariasi, dari 100 persen sesuai sampai yang sesuai kurang dari 10 persen. Hampir 60 persen responden tidak memahami tentang kesesuaian teknologi. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan mereka terhadap keberadaan BPTP. Berbagai kendala dalam pengenalan teknologi perlu diminimalkan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip pengembangan teknologi, yaitu didasarkan atas sumberdaya lokal dan partisipasi petani. Peran BPTP dapat ditingkatkan dengan membawa BPTP lebih dekat ke petani pengguna. Terbatasnya promosi keberadaan BPTP dan teknologi yang tidak secara langsung merespon kebutuhan petani menyebabkan BPTP kurang diketahu oleh petani. Dimasa depan hal seperti ini perlu dijadikan tantangan dan memerlukan strategi yang tepat. Implikasi Kebijakan Pada setiap proyek perlu memulai kegiatannya dengan melakukan pengumpulan data dasar (baseline study). Persiapan pengumpulan data dasar perlu dilakukan secara matang, sehingga lokasi yang terpilih merupakan lokasi yang sesuai untuk dikembangkan lebih lanjut, dengan teknologi pertanian sebagai entry point. Pola yang dipakai hendaknya pola pemberdayaan, sehingga proses partisipasi memegang peran kunci. Pola pendekatan yang sama dapat digunakan di tempat lain yang memiliki karakteristik sama, sehingga terdapat peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya pengkajian. Data dasar hendaknya diarahkan sesuai dengan tujuan kegiatan yang dilaksanakan. Informasi yang dikumpulkan harus fokus pada kondisi awal responden dan lingkungannya, sebelum suatu teknologi diperkenalkan. Kondisi tersebut kemudian dibandingkan secara periodik setelah teknologi di adopsi oleh masyarakat. Dampak suatu teknologi tidak hanya diamati langsung terhadap rumah tangga tani, tetapi juga pada hal-hal lain, seperti informasi munculnya kios saprotan, bertambahnya jumlah pedagang pengumpul, jumlah anak-anak usia sekolah yang bersekolah, perubahan konsumsi sehari-hari, peningkatan frekuensi bepergian ke luar desa dsb. Perubahan dari hal-hal tersebut relatif lebih mudah diamati tanpa melibatkan petani dalam wawancara. DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O., Erwidodo, L. I. Amin, S. Partohardjono, Suwandi, E. Getarawan, dan Hermanto. 1999. Panduan umum pelaksanaan penelitian, pengkajian dan diseminasi teknologi pertanian. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Agency for Agricultural Research and Development. 1999. Strategic Plan: Agency for Agricultural Research and Development 1999 - 2004. Berlo, D.K. 1981. Principles of communication. University of Chicago. Chicago.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bengkulu. 1999. Laporan Tahunan 1998. Tanaman Pangan Provinsi Bengkulu, Bengkulu..
Dinas Pertanian
F.A.O. 1993. Guidelines for the conduct of training course in the farming Systems development. FAO, Rome. FAO. 1998. SEAGA Brochure. Socioeconomic and gender analysis programmed. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu . 2001. Profil Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu (mimeo/unpublished). Steverin, W. J. and J. W. Tankard. 1979. Communication on theories. Hasthing House Publisher. New York. Tim Asistensi. 2000. Laporan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penelitian dan pengkajian 1999/2000 dan 2000 di BPTP Lembang. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Pertanian.
TA Litbang