Copy Bahan Bukti Karya Tulis Nomor 25
DISAIN SISTEM JARINGAN PASAR INDUK DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PASAR INDUK HORTIKULTURA DI PROVINSI JAWA TIMUR (Disajikan dalam rangka Seminar Peran Ekonomi Rakyat Dalam Pengembangan Agribisnis/Pasar Induk)
Oleh: Dompak Napitupulu Dr. Nuhfil Hanani
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2002
DISAIN SISTEM JARINGAN PASAR INDUK DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PASAR INDUK HORTIKULTURA DI PROVINSI JAWA TIMUR
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian di Jawa Timur masih tetap dianggap terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi dikarenakan potensi sumberdayanya yang besar dan beragam, besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, serta menjadi basis pertumbuhan
ekonomi khususnya di pedesaan.
Pada masa datang
pengembangan sektor pertanian dihadapkan pada dua tantangan pokok sekaligus, yakni tantangan eksternal dan internal.
Tantangan eksternalnya adalah adanya era liberalisasi
perdagangan yang dicirikan dengan adanya persaingan bebas berdasarkan keunggulan komparatif, sehingga menuntut pengembangan
produk pertanian yang lebih efisien.
Sedangkan tantangan internalnya adalah adanya era demokratisasi di Indonesia yang menuntut pembangunan pertanian yang memberdayakan wilayah dan masyarakat, serta tantangan
keterpaduan antara pengembangan
industri dan pertanian
melalui sistim
pengembangan agribisnis. Konsekwensi dari tantangan ini adalah arah pengembangan sektor pertanian
haruslah
mengarah pada pengembangan
pertanian
dalam sistem
agribisnis yang akses ke pasar internasional. Sejalan dengan tuntutan tersebut, maka pemerintah Provinsi Jawa Timur mengantisipasinya dengan rencana
kebijakan pendirian Pasar Induk Agribisnis. Pasar
Induk Agribisnis ini nantinya diharapkan akan menjamin petani kecil
yang bercorak
tradisional akan mampu dirubah dalam sistem agribisnis modern, yang mampu akses terhadap informasi pasar sehingga mampu memasarkan produknya dalam pasar yang lebih luas atau pengembangan pasar komoditi yang berorientasi ekspor. Kebijakan ini nantinya diharapkan akan mampu menumbuh kembangkan pengembangan agribisnis di Jawa Timur, sehingga pada gilirannya akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja, serta akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Rencana pemberdayaan petani tersebut melalui modernisasi system agribisnis, diperlukan penyiapan kelembagaan petani yang mantap serta ditunjang dengan dukungan
kelembagaan lainnya yang mendukung baik dalam aspek transfer teknologi, perkreditan, maupun dukungan pemasaran. Tujuan a. Mengidentifikasi jenis komoditi hortikultura brand spesifik lokasi Jawa Timur yang layak dikembangkan. b. Merumuskan disain sistem jaringan sub pasar induk agribisnis pada daerah- daerah. c. Mengidentifikasi kelembagaan yang telah ada yang berpotensi untuk menjadi motor penggerak Klinik Agribisnis, serta mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan kelembagaan. Metode Penelitian Penelitian ini dibatasi pada lingkup kajian pengembangan sistem jaringan pasar induk komoditas hortikultura yang terdiri dari buah-buahan, sayuran dan bunga-bungaan. Dari aspek subyek, penelitian ini meliputi : 1). Identifikasi jenis hortikultura brand spesifik lokasi Jawa Timur, 2). Disain sistem jaringan sub pasar induk agribisnis pada daerahdaerah, dan 3). Disain kelembagaan petani yang menunjang agribisnis hortikultura di tingkat daerah. Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data Primer dihimpun dengan metode survei, sementara data sekunder dihimpun dengan menggunakan metode pencatatan langsung dari instansi yang terkait dengan subyek penelitian. Sistem Jaringan Pasar Induk Pemasaran produk hortikultura pada
sembilan daerah Kabupaten yang diteliti
masih disalurkan melalui Tengkulak, Pedagang Pengumpul, Pedagang Besar, dan Pengecer. Tengkulak yang sekaligus menjadi titik awal dari seluruh sistem saluran tataniaga yang ditemui masih merupakan pilihan utama bagi produsen dalam memasarkan hasil produknya. Hasil data penelitian menunjukkan bahwa 73 % petani sampel memilih untuk memasarkan produk hortikultura yang dihasilkan melalui Tengkulak. Secara umum saluran pemasaran produk hortikultura di Provinsi Jawa Timur dapat dilihat pada Gambar 1.
Petani
Tengkulak
Pedagang Pengumpul
Pengecer Lokal
Pengecer Luar Kabupaten
Pedagang Besar dalam Kabupaten
Pedagang Besar Luar Kabupaten
Eksportir
Gambar 1. Pola Umum Saluran Tataniaga Produk Hortikultura di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002 Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa terdapat 19 (sembilan belas) pola saluran pemasaran produk hortikultura pada lokasi penelitian yakni: 1. 2. 3. 4. 5.
Petani – Pengecer Petani – Pedagang Besar Luar Kabupaten Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar Kabupaten Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar Kabupaten– Pengecer Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar Kabupaten – Pedagang Besar Luar Kabupaten 6. Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar Luar Kabupaten 7. Petani – Pedagang Pengumpul – Pengecer desa atau Kabupaten 8. Petani – Tengkulak – Pedagang Besar Kabupaten 9. Petani – Tengkulak – Pedagang Besar Kabupaten – Pengecer 10. Petani – Tengkulak – Pedagang Besar Kabupaten – Pedagang Besar Luar Kabupaten 11. Petani – Tengkulak – Pedagang Besar Kabupaten – Eksportir 12. Petani – Tengkulak – Pedagang Besar Luar Kabupaten
13. Petani – Tengkulak – Pengecer 14. Petani – Tengkulak – Pedagang Pengumpul 15. Petani – Tengkulak – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar Kabupaten 16. Petani – Tengkulak – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar Kabupaten – Pengecer 17. Petani – Tengkulak – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar Kabupaten – Pedagang Besar Luar Kabupaten 18. Petani – Tengkulak – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar Luar Kabupaten 19. Petani – Tengkulak – Pedagang Pengumpul – Pengecer Semakin banyak pelaku pasar (channel) yang berpartisipasi pada sistem pemasaran berarti semakin besar alternatif pilihan yang tersedia dalam usaha memasarkan komoditas yang diperdagangkan.
Namun demikian, semakin banyak pelaku pemasaran yang
menyusun pola pemasaran tertentu maka akan semakin besar margin tataniaga antara petani produsen dan konsumen akhir yang secara implisit dapat menyebabkan saluran tataniaga semakin tidak efisien. Struktur Pasar Produk Hortikultura Teori ekonomi menyediakan beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur struktur pasar, namun tiga yang paling umum digunakan adalah market share, concentration,dan
barriers to entry.
Dalam penelitian ini struktur pasar produk
hortikultura di Provinsi Jawa Timur diukur dengan menggunakan tiga indikator tersebut. Hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa hingga 95 %
petani responden
mengetahui informasi harga yang berlaku serta 91 % diantaranya mengatakan memiliki kebebasan untuk menjual kepada siapapun. Namun sebagaimana yang ditemukan di lapangan, umumnya petani produsen telah memiliki langganan Tengkulak yang menjadi penyalur awal dari komoditi yang mereka hasilkan.
Ikatan emosional, kepercayaan,
kemudahan transaksi, dan faktor lokasi tempat tinggal menjadi alasan utama bagi petani untuk memilih Tengkulak yang menjadi pelanggan.
Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa setidaknya 66,6 % dari pedagang tengkulak yang terdapat pada suatu wilayah dikenal oleh petani dan setidaknya pernah memasarkan produk hortikultura yang dihasilkan melalui para tengkulak tersebut. Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa belum cukup alasan untuk mengatakan struktur tataniaga produk hortikultura di lokasi
penelitian bersifat monopolistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecuali pada sistem saluran pemasaran komoditas Nenas di Blitar yang hanya dilayani oleh 4 pedagang Tengkulak, rata rata daerah penelitian memiliki setidaknya 8 pedagang tengkulak yang telah menjadi pelanggan petani produsen. Satu hal yang perlu dicermati dalam struktur pasar komoditas hortikultura di daerah Provinsi Jawa Timur adalah tersiratnya suatu kendala memasuki pasar bagi pedagang baru (barriers to entry) yang terbangun baik secara natural maupun secara sengaja oleh para pedagang perantara yang sudah eksis terlebih dahulu. Sistem pembayaran panjar yang dilakukan dapat menjadi senjata yang ampuh bagi para pedagang perantara untuk tetap berlangganan dengan petani produsen atau lembaga perantara sebelumnya.
Betapa
kuatnya ikatan yang dibangun oleh pedagang perantara juga terlihat dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa kadang kala terdapat kecurangan yang dilakukan oleh lembaga perantara dalam membayar sisa nilai produk yang ditransaksikan sebelumnya.
Namun
dengan alasan telah menjadi pelanggan yang ‘terpercaya’ petani tetap menjalin hubungan dengan lembaga perantara tersebut. Secara ringkas dapat dilihat bahwa struktur pemasaran produk hortikultura di lokasi penelitian, meskipun tidak bersifat monopsoni, memiliki kecenderungan untuk bersifat monopolistis. Hal ini terlihat dengan telah cukup banyaknya partisipan pedagang perantara yang mengisi sistem saluran pemasaran yang ditemui. Perilaku Pasar Produk Hortikultura Secara teoritis, market conduct (perilaku pasar) sangat dipengaruhi oleh struktur lembaga perantara yang menyusun pasar. Market conduct meliputi kebijakan ataupun perilaku pelaku pasar dalam memasarkan produk yang dimiliki dan terhadap sesama pemasar yang menjadi saingannya..
Dalam kajian ini perilaku pemasaran produk
hortikultura yang diteliti dikaji melalui perilaku lembaga perantara dalam melakukan transaksi jual beli dengan petani produsen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pembelian hasil produk hortikultura dari petani oleh pedagang perantara bervariasi dari sistem ijon, tebasan hingga pembelian berdasarkan berat. Sebagaimana umumnya yang terjadi adalah harga yang diterima petani, meskipun ditentukan secara tawar menawar, relatif sangat rendah. Disamping itu, hasil penelitian juga menunjukkan kebiasaan petani untuk memilih pedagang perantara baik
Pengijon, Penebas, ataupun Tengkulak yang sama dari waktu ke waktu.
Modal
kepercayaan serta hubungan emosional yang dibina oleh pedagang perantara diduga menjadi faktor penentu dalam hal ini. Namun demikian perlu untuk dicermati bahwa untuk beberapa komoditas hortikultura tertentu sudah terlihat peran petani dalam menentukan baik kualitas maupun harga produk yang dihasilkannya.
Petunjuk yang
mengarah pada munculnya bargaining power bagi petani terlihat pada transaksi delapan komoditas hortikultura. Dalam pelaksanaan transaksi, hasil penelitian menunjukkan bahwa tak satupun transaksi produk hortikultura dilokasi penelitian dilakukan dengan sistem kredit, bahkan pada transaksi komoditas tertentu di beberapa lokasi penelitian pembayaran dilakukan dengan sistem panjar (ijon). Market Performance Hortikultura Guna menyederhanakan analisis yang digunakan maka saluran pemasaran yang digunakan sebagai pendekatan adalah saluran pemasaran yang paling umum ditemui yakni yang terdiri dari
Pedagang Tengkulak yang membeli langsung dari petani produsen,
Pedagang Pengumpul, Pedagang Besar Kabupaten serta Pedagang Besar Luar Kabupaten yang membeli langsung dari pedagang Tengkulak di tingkat Desa atau Kecamatan. Analisis dilakukan dengan mengunakan asumsi bahwa harga jual pedagang perantara awal adalah menjadi harga beli pedagang perantara berikutnya. Hasil analisis data menunjukkan bahwa Saluran tataniaga produk hortikultura di Provinsi Jawa Timur telah mengarah pada penciptaan performance yang positip. Hasil wawancara dengan pedagang Tengkulak menunjukkan bahwa penentuan harga atas komoditi yang dipasarkan lebih banyak ditentukan oleh harga pasar yang berlaku di lokasi pemasaran. Namaun demikian, hasil analisis margin pemasaran menunjukkan bahwa share keuntungan terbesar dinikmati oleh pedagang pengumpul sebesar 43,24%, menyusul pedagang besar kota sebesar 27,82%, pedagang pengecer sebesar 26,21%, pedagang pengumpul sebesar 16,92% dan tengkulak sebesar 9,93%.. Market Externalitas Komoditas Hortikultura Hasil survei menunjukkan bahwa tanggapan petani terhadap keinginan pembeli tentang produk yang dihasilkannya tercermin pada pemenuhan kualitas, harga, berat dan system pembayaran antara petani dan pembeli. Dari data hasil penelitian dapat dilihat
bahwa pada umumnya petani menyatakan puas terhadap kualitas (58,82%), berat dari hasil produksi (70,59%) dan sistem pembayaran (64,71%) yang ditentukan oleh pembeli. Hal ini diduga karena sistem pemasaran produk hortikultura telah berjalan cukup lancar dan telah terjadi komunikasi antara petani selaku penjual dengan pedagang selaku pembeli, namun dari sisi harga pada umumnya petani merasa cukup puas mengingat masih terdapat peluang untuk meningkatkan harga apabila petani mengetahui informasi harga. Aktivitas Kelompok Tani Dalam Pemasaran Produk Hortikultura Data hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (88,24%) kelompok tani hortikultura di lokasi penelitian tidak melakukan penanaman secara bersamasama. Hal ini disebabkan oleh: (1) tanaman tahunan yang ditanam sudah lama ditanam, sehingga umurnya berbeda dan (2) untuk tanaman semusim biasanya penanamannya tergantung dari ketersediaan lahan untuk diolah dan ketersediaan tenaga kerja. Sebanyak 52,94% tidak mempunyai informasi pasar tingkat bersama dan hanya 47,06% petani mempunyai informasi pasar bersama. Informasi pasar ini pada umumnya didapatkan dari sesama petani dengan cara gethok tular. Sebagian besar petani (94,12%) tidak melakukan proses pemanenan dan pascapanen bersama, mengingat kebutuhan tenaga kerja untuk panen dipenihi dengan cara mengupahkan kepada tenaga kerja upahan. Seluruh kelompok petani (100,00%) tidak ada yang melakukan prosesing bersama, sortasi/grading bersama, packing bersama dan pemasaran bersama. Identifikasi Respon dalam Sub-pasar Induk Hasil survei menunjukkan bahwa keberadaan sub-pasar induk disetujui oleh mayoritas pelaku pemasaran hortikultura di Jawa Timur ( 89,80 % responden), sedangkan sisanya (10,20 %) menyatakan tidak setuju. Rincian jajak-pendapat tentang keberadaan sub pasar induk terlihat pada Tabel 4.8. Sedangkan pihak yang menaruh harapan tentang keberadaan sub-pasr induk dari hasil survei tercermin dalam identifikasi respon daerah yang menyetujui dengan jawaban seperti berikut: 1) Letak sub-pasr induk, 2) Pengelola sub-pasar induk dan 3 ) Fasilitas sub pasar pasar-induk
Tabel 1. Respon Daerah Terhadap Keberadaan Sub-pasar Induk Responden
Kelompok Tani Pedagang Diperta Jumlah : Persentase :
Jawaban Setuju Tidak Setuju 12 1 23 4 9 44 5 89,80 % 10,20 %
Mayoritas (68,18%) dari responden yang setuju adanya sub pasar induk, memilih sub pasar induk diletakkan di sentra produksi hortikultura. Hal ini umumnya mempunyai alasan kriteria sebagai berikut : 1.
Efisiensi transportasi dan biaya
2.
Karakteristik produk hortikultura yang mudah rusak menuntut untuk ‘segera’ dikirim ke tempat tujuan. Selanjutnya dalam hal pengelolaan Sub Pasar Induk sebagian besar (52,27%)
memilih dikelola oleh gabungan antara asosiasi pedagang, petani dan instansi. Mereka berharap bahwa dengan model pengelolaan seperti itu akan terwakili semua pihak (lembaga pemasaran) yang terlibat dan pengelolaannya diharapkan dapat lebih terbuka. Urutan kedua (22,72%) mengusulkan pengelola sub-pasar induk adalah pihak lainnya yakni instansi pemerintah yang berwenang dan atau pihak swasta sehingga diharapkan dapat lebih professional, berpengalaman serta dapat berposisi netral. Fasilitas yang didambakan oleh hampir semua (84,09%) para pelaku pemasaran hortikultura dalam sub-pasar induk antara lain adalah: fisik pasar, informasi dan penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan fasilitas untuk pemasaran produk hortikultura semakin berkembang tidak sekedar fisik pasar, dengan alasan : 1.
Sesuai dengan perubahan paradigma pemasaran yang menuntut kecepatan, ketepatan dan keterbukaan
2.
Tuntutan kualitas dan kontinuitas produk, membutuhkan pengendalian stock penyimpanan sehingga tidak semua harus segera dipasarkan.
Kinerja Sistem Pemasaran Produk Hortikultura Kinerja sistem pemasaran produk hortikultura dalam kesempatan ini, sebagaimana umumnya dilakukan oleh para peneliti ilmu pemasaran, secara keseluruhan digambarkan dari kondisi Struktur Pasar, Market Conduct, dan Market Performance dari pemasaran. Hasil olahan data kinerja sistem pemasaran bahwa secara umum sistem pemasaran produk hortikultura di Provinsi Jawa Timur masih cenderung mengarah pada bentuk pasar monopolistik (monopsonistis). Meski terdapat jumlah pedagang yang cukup banyak pada setiap tingkatan lembaga pemasaran, namun hanya sejumlah kecil diantaranya yang memiliki akses lebih banyak dengan petani. Sebagai misal jumlah Pedagang Tengkulak pada level desa di Kabupaten Magetan adalah 40 orang (responden pedagang), namun berdasarkan pengakuan petani hanya terdapat 8 orang pedagang. Hal ini secara implisit menunjukkan terdapat sedikit pedagang Tengkulak yang relatif lebih besar dari pedagang lain sehingga lebih dikenal oleh petani produsen.
Transaksi produk umumnya akan
memusat pada 8 (delapan) pedagang tengkulak tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem saluran pemasaran produk hortikultura di Provinsi Jawa Timur masih cenderung pada bentuk pasar tidak bersaing sempurna. Pasar persaingan monopolistis (monopsonistis) cenderung tidak dioperasikan pada tingkat penggunaan input yang full employment dan cenderung beroperasi pada tingkat keuntungan diatas normal. Pasar menjadi tidak efisien dan kesejahteraan petani produsen dan konsumen dapat menjadi berkurang. Pengadaan sub-pasar induk diharapkan dapat menjawab kealpaan dari beberapa aspek pada kinerja pasar yang telah eksis selama ini. Pasar yang terpusat dan dikunjungi oleh cukup banyak produsen dan pedagang dapat meningkatkan iklim persaingan pada pasar tersebut. Kesejahteraan petani produsen pada satu sisi dan konsumen di sisi lainnya dengan demikian dapat lebih ditingkatkan. DISAIN JARINGAN SUB-PASAR INDUK Konsep dan Fungsi SubPasar Induk Berdasarkan hasil survei lapang serta menangkap aspirasi para pelaku pasar hortikultura, maka yang dimaksud dengan Sub Pasar Induk disini adalah : suatu pasar yang menampung dan memasarkan hasil produksi hortikultura setempat yang berposisi sebagai pasar tingkat Kabupaten atau di bawahnya, yang lokasinya berada di dekat sentra produksi
hortikultura. Selanjutnya keberadaan Sub Pasar Induk dapat diwujudkan dengan harapan memiliki kriteria sebagai berikut : 1.
Menunjang efisiensi transportasi dan biaya.
2.
Sentra produksi cukup luas dengan kemampuan produksi yang cukup tinggi.
3.
Produk yang dihasilkan dapat kontinyu.
4.
Terletak pada tempat yang strategis dimana produk dapat segera dikirim ke tempat tujuan, untuk menghindari kerusakan.
5.
Disamping terdapat produsen selaku penjual, juga ada pedagang yang mau membeli.
Adapun fungsi yang diharapkan dari Sub Pasar Induk ini antara lain adalah : a.
Sebagai tempat terminal agribisnis produk-produk hortikultura dari lokasi produsen sebelum menuju kota tujuan pemasaran.
b.
Sebagai tempat transaksi jual-beli antara petani produsen dengan para tengkulak maupun pedagang pengumpul.
c.
Sebagai tempat penympanan dan contoh produk manakala sambil menunggu sarana transportasi atau waktu yang tepat sebelum dikirim ke kota tujuan.
d.
Sebagai pusat informasi bagi petani maupun pedagang yang dapat memberikan informasi tentang: harga lokal, harga tempat lain, volume produksi yang ada, volume permintaan saat itu, nama produsen dan nama pemesan/pembeli beserta alamatnya.
e.
Sebagai forum komunikasi: antar petani produsen, antar pedagang, antar petani dengan pedagang, antar pelaku pasar dengan fasilitator (Pemda)..
f.
Sebagai terminal angkutan barang:
truk dan mobil pic-up yang siap untuk
mengangkut produk hortikultura ke kota tujuan. g.
Berbagai Pelayanan Penunjang seperti : perbankan, komunikasi (wartel dan warnet), sertifikasi produk dll. Untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan yang timbul dikaitkan dengan
perbaikan kinerja kelembagaan dalam hubungannya dengan pelaku jaringan harus dilihat dari sisi peranan dan kepentingan masing-masing jenjang kelembagaan serta dengan mengidentifikasi peranan dan aktivitas pelaku jaringan sehingga dapat dipahami kebutuhan dan wewenangnya masing-masing. Dalam hal ini, Sub Pasar Induk diharapkan mampu berperan sebagai terminal agribisnis dengan melaksanakan perdagangan yang lengkap untuk menyerap seluruh hasil produksi pertanian khususnya hortikultura untuk melayani
para pembeli/pedagang pengumpul dan pedagang besar antar daerah maupun propinsi atau untuk tujuan kota besar. Untuk memberikan peran yang semestinya pada Sub Pasar Induk serta menghindari perdagangan pintas yang tidak terkontrol khususnya bagi kepentingan Pemda Tk. II untuk pelaksanaan Otoda, maka seyogjanya diterapkan Sistem Distribusi Spasial yang membagi pelaku pasar tiap ordo seperti Tabel 2 berikut. Tabel 2. Matrik Sistem Distribusi Spasial bagi Pelaku Pasar Tiap Wilayah Wilayah Pelaku Pasar
Kabupaten
Pemasok/Penjual
Petani/Produsen
Pembeli
Tengkulak Pedagang Pengumpul Koperasi/KUD
Komoditas Utama
Sayuran, buah, beras, palawija, ubiubian, bunga/tanaman hias Ikan, daging, telur, ayam Produk agroindustri, saprodi, produk unggulan daerah dll
Komoditas lain
Propinsi -Pedagang Pengumpul -Koperasi Pasar -Produsen besar -Asosiasi -Pedagang Penampung -Pedagang Grosir -Super Market -Distributor -Eksportir -Suplier Lokal Sayuran, buah, ikan, daging, ayam, telur Beras, palawija, agroindustri dll.
Keberadaan Sub Pasar Induk menempati posisi yang strategis dimana pada jenjang distribusi spasial Sub Pasar Induk di kabupaten dapat menyerap sebagian besar produk pertanian dan khususnya produk hortikutura daerah dan menyalurkannya ke Pasar Induk di Tingkat Provinsi. Sub Pasar Induk diharapkan juga dapat menampung seluruh pesananpesanan dari luar kabupaten untuk diinformasikan kepada para pedagang tengkulak dan pengumpul daerah . Mekanisme Jaringan Sub-pasar Induk Dalam rangka mewujudkan mekanisme kerja yang menjamin terciptanya iklim keseimbangan, keselarasan, dan keterpaduan, Pemda perlu berperan aktif dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif antara lain melalui kerjasama kemitraan antara
petani dengan pengusaha yang memiliki jaringan dengan Sub Pasar Induk. Landasan kerjasama tersebut antara lain adalah : 1.
Keterbukaan informasi antara sesama pelaku bisnis, baik petani maupun pedagang.
2.
Saling
menguntungkan
(win-win solution)
dimana
tidak
ada
pihak yang
dimenangkan dan ada pihak yang dikalahkan. 3.
Jujur (fair-play) dalam bisnis, dimana tidak ada pihak yang mengakali pihak lain (yang lemah).
4.
Menjunjung tinggi etika bisnis, sehingga saling menghormati dan saling percaya.
5.
Saling membina dan mendidik, dalam rangka memberikan pengetahuan pengembangan usaha secara bersama-sama demi suksesnya pemasaran produk unggulan daerah.
Pengusaha diharapkan dapat diberikan kesempatan seluas-luasnya dalam pendirian Sub Pasar Induk, sehingga memberikan iklim usaha yang kondusif yang mendorong para pengusaha mengambil peran mulai dari pembuatan proposal, investasi hingga pengelolaan usaha-usaha jasa penunjang pasar. Desain Teknis Sub Pasar Induk Bangunan Teknis Rancangan bangunan Sub Pasar Induk secara teknis diharapkan merupakan tempat yang dapat menampung fungsi-fungsi sebagai berikut : a.
Terminal agribisnis
: membutuhkan tempat transit sementara produk-produk
pertanian dimana truk-truk pembawa barang dapat memasuki lokasi pasar, bentuk : jalan lebar dan atapnya tinggi. b.
Tempat transaksi & Lelang : membutuhkan tempat yang dirancang untuk pertemuan jual-beli atau lelang antara petani produsen dengan para pedagang tengkulak maupun pengumpul.
c.
Tempat penympanan dan contoh produk : membutuhkan tempat yang dirancang dapat digunakan untuk :1). Penyimpanan misalnya dengan suhu dingin dan 2). Show room untuk ruang pamer contoh-contoh produk yang ditawarkan..
d.
Pusat informasi : Tempat dirancang yang dilengkapi dengan sarana : 1). papan data dan 2). ruang komputer & internet
e.
Sebagai forum komunikasi : membutuhkan tempat untuk pertemuan antar petani produsen, antar pedagang, antar petani dengan pedagang, antar pelaku pasar dengan fasilitator (Pemda)..
f.
Sebagai terminal angkutan barang : membutuhkan tempat parkir angkutan barang yang siap untuk melayani mengangkut produk hortikultura ke kota tujuan.
g.
Berbagai Kantor dan Pelayanan Penunjang seperti : kantor perbankan, komunikasi (wartel dan warnet), kantor sertifikasi produk dll.
Pengelola Sub Pasar Induk Pengelola Sub Pasar Induk diharapkan merupakan gabungan yang terdiri dari asosiasi pedagang, petani dan instansi Pemerintah, namun yang menjadi koordinator adalah pihak Pemda dalam hal ini Perusahaan Pasar Daerah.. Sub Pasar Induk ini dikepalai oleh seorang Kepala Pasar yang dibantu oleh seorang Kepala Tata Usaha dan beberapa divisi. Organisasi pengelolaan Sub Pasar Induk ini dapat terbagi dalam divisi-divisi sebagai berikut : Kepala Pasar Kepala Tata Usaha
Divisi Lelang & Transaksi
Divisi Lingkungan & Kebersihan
Divisi Informasi & Komunikasi
Divisi Retribusi & Pajak
Gambar 2. Struktur Organisasi Sub Pasar Induk Penutup Dalam rangka pelaksanaan Otoda
bagi daerah-daerah sentra hortikultura
keberadaan Sub Pasar Induk memberikan peluang untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), antara lain melalui kegiatan-kegiatan perdagangan, transportasi, sewa stand, retribusi pasar dll. Disamping itu keberadaan Sub Pasar Induk tersebut akan mendorong pertumbuhan perekonomian daerah serta memberikan kesempatan kerja bagi tenaga kerja
daerah. Pelaksanaan ini perlu didukung oleh adanya Peraturan Daerah (Perda) dalam rangka untuk memberikan iklim usaha yang kompetitif serta dapat memotivasi bagi para pengusaha daerah untuk ikut bergabung di dalamnya. Untuk mewujudkan Sub-pasar
induk yang efisien dan diminati oleh para pelaku
pemasaran produk hortikultura, maka patut direkonendasikan hal-hal sebagai berikut : 1.
Pembangunan dan pengelolaan sub-pasar induk diharapakan tidak ditinjau dari sisi bisnis saja, tetapi juga sebagai sarana untuk mendorong perekonomian daerah yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
2.
Perlu dikaji lebih lanjut tentang : a.
Kelayakan ekonomi pembangunan sub-pasar induk
b.
Kelayakan ekonomi dan teknis pengemasan produk
c.
Kelayakan ekonomis sistem transportasi angkutan dalam menunjang pemasaran produk pertanian daerah
d.
Strategi pemasaran produk hortikultura daerah