LAPORAN PENELITIAN BERBASIS PUBLIKASI INTERNASIONAL
DISAIN MATERIAL ABSORBER GELOMBANG MIKRO SENYAWA DASAR (La, Ba)(Mn, Ti)O3 MELALUI PROSES PENGAHALUSAN MEKANIK DAN SONIKASI DAYA TINGGI
SITTI AHMIATRI SAPTARI 19770416 2005 01 2 008
PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Azza Wa Jalla, Robb Alam Semesta. Yang tidak ada ilah yang pantas disembah kecuali Allah. Yang seluruh detail alam semesta bersaksi bahwa pernyataan tersebut adalah benar adanya. Kemudian sholawat dan salam semoga tercurah bagi Muhammad bin Abdullah, satu-satunya manusia yang mendahului manusia dalam setiap kebaikan. Tidak ada satupun kebaikan kecuali kita telah diajarkan dan tidak ada satupun kebaikan kecuali kita telah dilampaui oleh Rosulullah saw. Penulis bersyukur kepada Allah SWT karena hanya atas rahmat dan petunjuk-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana penelitian ini Penulis sadar bahwa laporan hasil penelitian ini tidak luput dari kekurangan, namun penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Jakarta, Desember 2014
Sitti Ahmiatri Saptari
ii
DAFTAR ISI Kata Pengantar ………………………………………………………………
ii
Abstrak ………………………………………………………………………
iii
Daftar Isi …………………………………………………………………….
iv
Bab 1 Pendahuluan …………………………………………………………
1
1.1. Latar Belakang ………………………………………………………....
1
1.2. Rumusan Masalah …………………………………………………….
2
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………………
4
1.4.Batasan Penelitian ………………………………………………………
4
1.5.Manfaat Penelitian ………………………………………………………
4
Bab 2 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………..
5
2.1. Struktur Kristal …………………………………………………………
5
2.2. Teori Dasar Sinar X ……………………………………………………
11
2.3. Metode Analisis Rietvield ………………………………………………
19
2.4. Magnetisasi Material ……………………………………………………
23
2.5. Mechanical Alloying ……………………………………………………
27
2.6. Sonikasi …………………………………………………………………
30
2.7. Absorpsi Gelombang Elektromagnet …………………………………..
33
2.8. Gelombang Mikro ………………………………………………………
40
2.9. Scanning Electron Microscope …………………………………………. 41 2.10. Teori Double Exchange ………………………………………………. 44 2.11. Teori Interaksi Superexchange ………………………………………… 47 2.12. Ligand Field Theory …………………………………………………… 48 2.13. Lantanum Manganat …………………………………………………… 53 2.14. Mekanisme Serapan Gelombang Mikro ……………………………….. 60 Bab 3 Metode Penelitian …………………………………………………….
79
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………….
79
3.2. Alat dan Bahan ………………………………………………………….
82
3.3. Preparasi Pembentukkan Fasa Tunggal ………………………………… 83 3.4. Karakterisasi Sampel …………………………………………………… 89 Bab 4 Hasil dan Pembahasan ………………………………………………..
iv
103
4.1. Karakterisasi TGA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 …………………….
103
4.2. Karakterisasi XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ……………………
115
4.3. Karakterisasi Sifat Magnet Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ……………
125
4.4. Karakterisasi VNA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ……………………
131
4.5. Pembuatan Nano Partikel Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 Melalui Prosese Sonikasi …………………………………………...
137
4.6. Diskusi ………………………………………………………………….
142
Bab 5 Kesimpulan …………………………………………………………… 147 Referensi …………………………………………………………………….
v
148
ABSTRAK Judul : Disain Material Absorber Gelombang Mikro Senyawa Dasar (La, Ba)(Mn, Ti)O3 Melalui Proses Penghalusan Mekanik dan Sonikasi Daya Tinggi Beberapa tahun terakhir ini, polusi interferensi gelombang elektromagnet cukup serius muncul akibat perkembangan yang pesat dari bisnis alat komunikasi, seperti telepon selular dan sistem radar. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya sistem peralatan berbasis elektronik dan sistem keamanan yang sangat vital. Material lantanum manganat La1-xAxMnO3 (A : Sr, Ba, Ca)
telah beberapa
dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para peneliti. Hal ini disebabkan karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, sehingga lantanum manganat dapat menjadi kandidat yang potensial sebagai material penyerap gelombang mikro pada frekuensi tinggi. Sintesa senyawa La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 (x = 0, 0,02, 0,04, dan 0,06) dengan metode reaksi padatan mekanisme penghalusan mekanik telah berhasil dilakukan. Karakterisasi XRD (X Ray Diffraction) menunjukkan bahwa seluruh sampel adalah fasa tunggal dengan struktur krisatal monoklinik.
Tahap
berikutnya material disonikasi selama 5 jam, sehingga ukuran partikel rata-rata mengecil dari 5,02 µm menjadi 0,36 µm. Kurva histerisis sampel dari hasil karakterisasi permagraph menunjukkan bahwa sampel termasuk material magnet lunak. Ditemukan pula bahwa ketika ukuran partikel rata-rata mengecil maka harga saturasinya naik dan medan koersitifitasnya menurun. Sifat penyerapan gelombang mikro sampel diteliti dengan menggunakan VNA (Vector Network Analyzer) pada rentang frekuensi 8 – 12 GHz. Nilai Reflection Loss optimum diperoleh pada frekuensi 11,4 GHz sebesar -13,6 dB untuk sampel dengan penghalusan mekanik saja, dan -24,4 dB untuk sampel dengan dua kali proses yakni penghalusan mekanik dan sonikasi daya tinggi. Kata kunci: material absorber, lanthanum manganat, penghalusan mekanik, sonikasi, ukuran partikel
iii
iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Material perovskite lantanum manganat La1-xAxMnO3 (A : Sr. Ba. Ca) telah beberapa dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para ilmuwan. Hal ini disebabkan karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, serta adanya fenomena magnetoresistansi yakni perubahan resistansi listrik ketika ada medan magnet eksternal [1-8]. Sifat magnetoresistensi ini diaplikasikan untuk sensor magnetik dan juga penyimpanan data (data storage) [9]. Selain itu. material lantanun manganat juga memiliki sifat serapan gelombang mikro sebagaimana hasil penelitian Zhou dkk [10-12]. Mereka merekayasa struktur LMO dengan menggantikan secara parsial La dengan Sr dan Mn dengan Fe. Rekayasa struktur senyawa tersebut telah melahirkan sifat baru disamping GMR atau CMR yaitu memiliki kemampuan menyerap gelombang elektromagnetik khususnya pada jangkauan frekuensi ultra tinggi (GHz). Di sisi lain, perkembangan teknologi khususnya pada bidang elektronik, telekomunikasi, dan teknologi informasi (TI) telah dan sedang berjalan begitu pesat pada akhir-akhir ini dan telah ikut mempengaruhi kehidupan dan aktivitas manusia sehari-hari. Tidak dapat disangkal lagi, pengenalan teknologi komunikasi semakin canggih. Berbagai jenis perangkat teknologi media elektronik dan informasi dalam era globalisasi seperti saat ini maka penggunaan gelombang elektromagnetik (EM) berbagai frekuensi khususnya frekuensi tinggi semakin intensif. Dapat dipastikan sebagai implikasi langsung dari masuknya teknologiteknologi canggih pada bidang elektronik, komunikasi, dan informasi tersebut, atmosfir sekitar aktivitas kehidupan manusia
sudah dan akan terpolusi oleh
pembawa gelombang elektromagnetik (EM) termasuk EM dengan frekuensi ultra tinggi (GHz). Implikasi negatif dari perkembangan pesat tersebut adalah berbagai sistem peralatan berbasis elektronik seperti sistem kontrol elektronik dan sistem keamanan peralatan yang sangat vital bahkan keselamatan dan kesehatan manusia
1
kini menghadapi suatu ancaman baru datang dari atmosfir sekitar yaitu interferensi gelombang elektromagnetik atau Electromagnetic Interferences (EMI) [13-15]. Sebagai contoh, berbagai peralatan elektronik dan telekomunikasi seperti komunikasi nirkabel (wireless communication), jaringan area terbatas. maupun aplikasi pada transportasi udara dan sistem pertahanan udara militer (deteksi RADAR) dapat terganggu berupa interupsi yang menyebabkan tidak berfungsinya atau terganggunya system [16]. Tidak terkecuali juga sistem kontrol elektronik baik itu pada kegiatan industri maupun kegiatan keselamatan dan kesehatan di rumah sakit ikut terancam oleh efek EMI. Jelaslah pada masa-masa mendatang penggunaan gelombang-gelombang elektromagnetik pada berbagai jangkau frekuensi akan makin intensif dan ancaman EMI pada kehidupan manusia semakin nyata. Sejalan dengan perkembangan baru yang memberi dampak positif dan negatif pada kehidupan manusia tersebut maka diperlukan berbagai usaha untuk tetap bisa mengakomodir masuknya teknologi baru namun secara bersamaan juga diperlukan usaha-usaha penyeimbangan dan perbaikan untuk meminimalkan dampak negatifnya. Sebagai seorang peneliti dalam bidang Ilmu Material. pengusul ikut terpanggil untuk dapat berpartisipasi dan berkontribusi dalam mencari solusi terhadap dampak negatif dengan memperkenalkan material penyerap gelombang elektromagnetik. Dalam kegiatan ini pengusul mengusulkan suatu kegiatan penelitian dengan judul “Disain Material Absorber Gelombang Mikro Senyawa Dasar (La.Ba)(Mn.Ti)O3 Melalui Penghalusan Mekanik dan Sonikasi Daya Tinggi”, merupakan kegiatan sintesa material fokus pada rekayasa struktur LMO menjadi senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x = 0 – 1.0. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [17] menemukan bahwa nanopartikel La0.6Sr0.4MnO3 yang dibuat dengan metode sol gel
mampu
menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai 12 GHz. Reflection loss (RL) optimal -41.1 dB pada frekuensi 8.2 GHz dengan
2
ketebalan 2.2 mm, bandwidth dengan haga RLkurang dari -10 dB dicapai pada daerah frekuensi 5.5-11.3 GHz. Dalam laporannya Cheng juga mengungkapkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya semakin baik. Oleh karena itu pengusul mencoba membuat disain sintesa material penyerap gelombang mikro yang mampu menghasilkan material dengan ukuran partikel yang berskala nano. Proses pemaduan mekanik atau mechanical alloying telah terbukti dapat menjadi teknik alternatif dalam pembuatan alloy baik itu berbasis logam maupun berbasis oksida logam seperti senyawa-senyawa oksida dalam material keramik. Hasil penghalusan material dengan proses ini memerlukan perlakuan sintering untuk melangsungkan reaksi padat atau solid state reaction. Sebagai produk akhir dari proses ini adalah material dengan ukuran partikel dalam orde beberapa mikron [18]. Prinsip dasar destruksi ultrasonik adalah terbentuknya gelembung vakum (cavity) oleh gelombang ultrasonik pada cairan. Cavity yang terbentuk kemudian collapse dengan kecepatan tinggi dan dapat menghasilkan tekanan dan temperatur yang sangat tinggi. Jika terdapat partikel disekeliling cavity tersebut. maka saat terjadi penghacuran cavity partikel-partikel akan bertumbukan dengan kecepatan yang sangat tinggi dan memungkinkan terjadinya pengecilan ukuran karena energi yang dihasilkan lebih besar dari energ ikat antar grain pada material kristalin yang getas [19]. Oleh karena itu, dapat diduga kombinasi teknik pemaduan mekanik dan sonifikasi
dengan
frekuensi
berdaya
tinggi
tersebut
diharapkan
dapat
menghasilkan material yang berukuran nano partikel. Kedua teknik preparasi material tersebut akan diterapkan pada sintesa material sistem La0.67Ba0.33Mn1xTixO3
dengan x = 0 – 0.06 untuk menghasilkan material elektrik-magnetik sistem
nanokomposit sebagai senyawa utama material penyerap gelombang mikro. Karakterisasi material mencakup sifat sifat elektrik. magnetik dan absorpsi gelombang mikro.
3
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut a. Mensintesa senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0–0.06 dengan ukuran nanopartikel. b. Mengetahui struktur kristal senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0– 0.06. c. Mengetahui
karakteristik
magnetik
senyawa
La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3
dengan x=0–0.06. d. Mengetahui karakteristik absorpsi senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0–0.06.
1.4. Batasan Penelitian Kajian penelitian ini hanya dibatasi pada pembuatan sampel dengan variasi konsentrasi nilai x = 0 – 0.06. Selanjutnya sampel hanya dikarakterisasi dengan PSA, SEM, XRD, Permagraph, VSM dan VNA.
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini di lakukan dengan harapan mendapatkan material nanopartikel La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 yang dapat diaplikasikan sebagai material penyerap gelombang mikro.
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Struktur Kristal Zat padat yang terdapat di alam ini bila ditinjau secara mikrostruktur dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu zat padat yang memiliki susunan atom tidak teratur ( non kristal ) dan zat padat yang memiliki susunan atom yang teratur (kristal) [20]. Kristal didefinisikan sebagai material padat yang letak atom-atomnya membentuk barisan yang teratur rapih secara periodik dalam pola tiga dimensi, sehingga memiliki sifat fisika maupun kimia serba sama di seluruh bagiannya, adapun yang termasuk bahan-bahan kristal seperti: semua logam, sebagian besar keramik dan beberapa polimer.
2.1.1. Kisi kristal Cara paling sederhana untuk memahami kisi kristal adalah dengan membayangkan atom-atom dalam kristal berupa titik-titik. Setiap titik-titik mempunyai lingkungan yang serba sama, sehingga satu sama lain tidak dapat dibedakan walaupun dipandang dari segala arah. Bila tiap-tiap titik tersebut dihubungkan maka akan diperoleh kisi-kisi yang teratur dan periodik memenuhi ruang. Gambar 2.1 adalah ilustrasi yang menunjukan kisi sebuah suatu sistem kristal [21].
5
Gambar 2.1. Sistem dan kisi kristal
2.1.2. Parameter Kisi Panjang tiap-tiap ruang sel yang searah dengan sumbu kristalografi disebut dengan tetapan kisi (lattice constant), dan dinamakan dengan parameter kisi sumbu a, b, dan c. Sudut yang dibentuk oleh garis bc, ac, dan ab berturut-turut disebut dengan α, β, γ . Gambar 2.2 adalah ilustrasi dari parameter kisi.
6
Gambar 2.2. Parameter kisi
2.1.3. Sistem kristal Terdapat tujuh sistem kristal yang dikembangkan menjadi empat belas kisi bravais dalam pengelompokan struktur kristal. Pengelompokan ini berdasarkan pada karakteristik unit selnya, antara lain sifat-sifat vektor basis, sudut antar vektor basis dan karakteristik elemen simetrinya. Pada karakteristik unit sel terdapat sifat-sifat geometri kristal antara lain ; indeks Miller, bidang kristal (hkl) dan konstanta kisi. Pada Gambar 2.3 ditunjukkan tujuh system krsital berikut pengembangan empat belas kisi bravaisnya.
7
Gambar 2.3 Tujuh sistem kristal dan 14-kisi bravais [20]
8
Tabel 2.1 Tujuh sistem kristal [21] Sistem Kristalografi Triklinik
Panjang sumbu dan sudut a≠b≠c
Kisi Bravais
Simbol Kisi
Simple
P
Simple
P
α ≠ β ≠γ =90 0 Monoklinik
a≠b≠c
5
α = β =90 0 ≠ γ ataua ≠ Base – centered b≠c
C
α = γ = 900 ≠ β a≠b≠c
Simple
P
α = β =γ =90 0
Base centered
C
Face centered
F
Body centered
I
a=b≠c
Simple
P
α = β =γ =90 0
Body centered
I
Trigonal/
a=b=c
Simple
P
Rombohedral
α = β =γ ≠ 90 0 < 120 0
Hexagonal
a=b≠c
Simple
P
a=b=c
Simple
P
α = β =γ =90 0
Face centered
F
Body centered
I
Ortorombik
Tetragonal
α = β = 90 0 γ =120 0 Kubus
9
2.1.4. Indeks Miller Misalkan x adalah fraksi perkalian dari vektor basis a, y adalah fraksi perkalian dari vektor b dan z adalah perkalian dari vektor basis c, maka invers dari ketiga fraksi dapat dikalikan dengan suatu bilangan sedemikian rupa sehingga ketiga fraksi (triplet) menghasilkan bilangan bulat terkecil. Triplet atau set bilangan bulat ini disebut indeks miller, diberi simbol (hkl). Hubungan ketiga indeks miller ini akan membentuk bidang yang disebut dengan bidang Bragg.
Gambar 2.4. Bidang kristal pada berbagai indeks miller [21]
10
2.1.5. Jarak Bidang Kristal ( d ) Untuk mengetahui jarak antara bidang di dalam kristal adalah harus mengetahui indeks miller dari bidang-bidang tersebut. Misalkan jarak antar bilangan diberi symbol dhkl , maka secara matematis hubungan antara dhkl dengan indeks miller basis kostanta kisi untuk sistem orthorombik, dapat ditulis sebagai berikut: (2.1) dimana : h k l itu merupakan bidang kristalografi atau indeks miller.
2.2. Teori Dasar Sinar-X Sinar-X adalah salah satu bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang antara 0,01 – 100 Ǻ. Karena berbentuk gelombang maka energi yang dimiliki oleh foton sinar-X ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan [22] berikut: (2.2) Dengan h konstanta planck ( 6,626 x 10-34 [J.s] ), c kecepatan cahaya ( 3 x 108 m/s) dan λ sebagai panjang gelombang [m]. Sehingga untuk sinar-X dengan panjang gelombang 1 Ǻ ( 10-10 m ) akan memiliki energi sebesar 1,9898 x 10-15 Joule atau 12400,8 eV. Dengan energi yang demikian besar, sinar-X dapat mengionisasi elektron terdalam dari beberapa unsur ringan seperti pada Tabel 2.2 [23]
11
Tabel 2.2 Energi ionisasi beberapa atom ringan
Atom
Energi Ionisasi (eV) I
II
III
IV
V
VI
VII
H
14
1
He
25
55
4
Li
5
76
123
9
Be
9
18
154
218
16
Be
8
25
38
260
341
25
C
11
24
48
64
393
492
36
N
14
30
48
78
98
523
668
49
Sinar-x ditemukan dengan tidak sengaja oleh seorang professor Fisika Wilhelm K. Rontgen 8 November 1895 ketika sedang melakukan percobaan dalam laboratorium yang berada di lantai dua apartemennya di Würzburg, Bavaria (sekarang bagian dari German). Dia melakukan percobaan dengan menggunakan tabung sinar katoda dengan sumber tegangan DC sebesar 20 Volt dan dengan menggunakan koil dia dapat menaikan tegangan sampai 35000 Volt dengan cara memutus secara periodik aliran arus ke rangkaian sebanyak 8 kali per detik. Dia menyimpulkan bahwa radiasi dengan kemampuan tembus yang besar dapat ditimbulkan jika elektron dengan energi kinetik yang besar menumbuk materi. Radiasi ini dapat menembus bahan dengan mudah, menyebabkan bahan fosforesen berkilau dan menghitamkan plat foto. Karena sifat-sifat dari radiasi ini belum diketahui maka pada saat itu dinamakan sinar-X. Daya tembus sinar-X akan bertambah dangan bertambahnya energi kinetik elektronnya, juga intensitas yang makin besar dengan bertambahnya jumlah elektron.
12
Pada Gambar 2.5 diperlihatkan skema dari produksi sinar-X didalam sebuah tabung katoda. Beda potensial Ua akan mempercepat gerakan elektron dari katoda ke target anoda, sedangkan Uh menentukan banyaknya elektron yang terlepas dari katoda. Elektron yang terlepas akan menumbuk target anoda sehingga akan kehilangan sebagian besar atau seluruh energi kinetiknya ketika mengalami tumbukan dengan dengan atom target; energi inilah yang berubah menjadi sinar-X.
Gambar 2.5. Skema produksi sinar-X [23]
13
2.2.1. Brehmsstrahlung Elektron yang bergerak cepat dari katoda akan mengenai target anoda dan mengalami penghentian mendadak. Berdasarkan teori elektromagnetik, muatan listrik yang mengalami percepatan akan meradiasikan gelombang elektromagnetik dan elektron yang bergerak cepat yang tiba-tiba dihentikan jelas mengalami percepatan. Sinar-X brehmsstrahlung atau “breaking radiation” merupakan produksi sinar-x yang dihasilkan dari penghentian elektron yang bergerak dengan kecepatan yang tinggi oleh inti atom target. Kekuatan sinar-x yang dihasilkan merupakan selisih energi kinetik elektron mula-mula dan energi elektron setelah mengalami penghentian. Gambar 2.6 menjelaskan bagaimana proses terjadinya sinar-X bremsstarhlung dan spektrum sinar-X tungsten pada berbagai potensial pemercepat [23].
Gambar 2.6. Sinar-X bremsstarhlung [23]
14
2.2.2 Sinar-X Karakteristik Pada Gambar 2.7 terlihat dua puncak dengan intensitas yang tajam pada panjang gelombang tertentu dari target unsur molybdenum. Puncak-puncak ini timbul pada berbagai panjang gelombang tertentu untuk masing-masing bahan target dan asalnya adalah penataan kembali struktur elektron atom target setelah diganggu oleh tembakan elektron energi tinggi.
Gambar 2.7. Sinar-X karakteristik [23]
Elektron dari katoda yang bergerak dengan percepatan yang cukup tinggi, dapat mengenai elektron dari atom target (anoda) sehingga menyebabkan elektron tereksitasi dari atom, selanjutnya elektron lain yang berada pada sub kulit yang lebih tinggi akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh elektron tersebut dengan memancarkan sinar-X yang memiliki energi sebanding dengan selisih level energi elektronnya.
15
Mekanisme munculnya K dan K adalah ketika kekosongan terjadi pada kulit kulit-K (n=1), elektron dari kulit di atasnya (L, M, N dst) akan turun mengisi kekosongan tersebut sambil memancarkan foton dengan energi yang merupakan selisih energi dari kulit elektron asal (L,M,N dst) dan kulit-K . Sinar-X yang dihasilkan oleh elektron dari L ke K dinamakan sinar-X Kα dan sinar-X Kβ untuk dari M ke K. Sedangkan pada kulit-L akan menghasilkan sinar-X Lα untuk transisi M ke L dan Lβ untuk transisi N ke L dan seterusnya. Sedangkan kekosongan pada kulit yang ditinggalkan elektron untuk mengisi level energi dibawahnya akan diisi oleh elektron dengan level energi yang ada diatasnya dan seterusnya sehingga dihasilkan sinar-X dengan berbagai panjang gelombang.
2.2.3. X-Ray Diffractometer (XRD) Pada tahun 1912, Max Von Laue menyatakan bahwa panjang gelombang sinar-X ternyata bersesuaian dengan jarak antar atom-atom dalam kristal. Dengan alasan itu dia mengusulkan untuk menggunakan kristal untuk mendifraksikan sinar-X dengan kisi kristal berlaku sebagai kisi tiga dimensi. Sebuah kristal terdiri dari deretan atom yang teratur letaknya, masingmasing
atom
dapat
menghamburkan
gelombang
elektromagnetik
yang
mengenainya. Berkas sinar-X monokromatik yang jatuh pada sebuah kristal akan dihamburkan ke segala arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom, pada arah tertentu gelombang hambur itu akan berineraksi konstruktif sedangkan yang lain berinteraksi destruktif. Atom-atom dalam kristal membentuk keluarga bidang datar dengan masing-masing keluarga mempunyai jarak tertentu untuk tiap komponen bidangnya. Analisis ini diusulkan oleh W. L. Bragg pada tahun 1913, yang kemudian bidang-bidang tersebut dinamai bidang Bragg.
16
Ketika suatu bidang kristal disinari, maka akan terjadi dua kemungkinan interferensi akibat difraksi atom-atom penyusun kristalnya; pertama interferensi konstruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling menguatkan karena mempunyai fasa yang sama dan kedua intrferensi destruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling melemahkan. Kedua jenis interferensi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Berkas sinar-x konstruktif dan destruktif [23]
17
Gambar 2.9. Hamburan sinar-X pada kristal
Syarat yang diperlukan agar sinar-X membentuk interaksi konstruktif dapat dilihat pada Gambar 2.9 diatas. Suatu berkas sinar-X dengan panjang gelombang λ jatuh pada kristal dengan sudut θ terhadap permukaan bidang Bragg yang jarak diantaranya d. Berkas sinar mengenai atom Z pada bidang pertama dan atom B pada bidang berikutnya, dan masing-masing atom akan menghamburkan sebagian berkas tersebut pada arah rambang. Interferensi konstruktif hanya terjadi antara sinar yang terhambur sejajar dengan beda jarak jalannya tepat λ, 2 λ, 3 λ dan seterusnya. Jadi beda jarak jalan harus n λ, dengan n sebagai bilangan bulat. Maka syarat Bragg untuk berkas hamburan konstruktif adalah -
Sudut jatuh dan sudut hambur kedua berkas harus sama
-
2d sin θ = n λ ; n = 1, 2, 3, ... dst karena sinar II harus menempuh 2d sin θ lebih jauh dari sinar I, bilangan bulat n menyatakan orde berkas sinar yang dihamburkan.
18
Gambar 2.10 Skema XRD [23]
2.3. Metode Analisis Rietveld Metode tradisional untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif pada teknik Difraksi sinar-X biasanya melibatkan pengukuran intensitas dari puncak yang terpilih dan membandingkannya dengan data standar seperti International Committee Difraction Data (ICDD). Bagaimanapun, metoda ini sangat membosankan, disamping memerlukan data standar yang sangat bervariasi pada saat muncul keganjilan intensitas yang disebabkan oleh penyimpangan sudut. Sehingga terkadang hasil analisisnya sulit untuk dipertanggungjawabkan. Disamping itu pula metode ini tak dapat lagi memberikan hasil yang akurat jika
19
terdapat banyak puncak-puncak yang saling tumpang tindih (overlap) sehingga akan menyebabkan hilangnya rincian informasi yang terkandung di dalam profil puncak difraksi tersebut. Dengan demikian diperkenalkan metode baru untuk menganalisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk. Dasar untuk analisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk secara lengkap pertama kali diperkenalkan oleh Rietveld tahun 1969. Rietveld menunjukkan bahwa kemungkinan mereplika hasil sebuah pengukuran pola difraksi dengan pola hitungan/kalkulasi. Kelebihannya adalah di kala terjadi kesalahan yang disebabkan oleh penyimpangan intensitas dari preparasi cuplikan atau ketidaksempurnaan model struktur cenderung akan meninggalkan sisa intensitas baik negative maupun positif selama factor-faktor dari kalkulasi tersebut tidak diubah oleh Taylor tahun 1991. Kemudian para peneliti lain seperti Hewat tahun 1973, Wiles & Young tahun 1981, Will, Huang dan Parrish tahun 1983, Hill dan Howard tahun 1986, dan Taylor tahun 1991 melengkapi hasil refinement program Rietveld ini dengan memberikan sebuah parameter kualitas. Setiap titik pada pola difraksi dipandang sebagai satu pengamatan tunggal yang kemungkinan mengandung kontribusi dari sejumlah refleksi Bragg yang berbeda. Pada setiap posisi sudut atau setiap titik pada profil pola difraksi, jumlah kontribusi intensitas akibat overlap dapat dihitung berdasarkan nilai parameterparameter yang didapat dengan asas perhitungan Siroquant. Siroquant adalah suatu program analisis multi fasa jenis Rietveld yang dapat mereplika pola difraksi hasil pengukuran/observasi dengan memanfaatkan least-square fitting routine, yaitu melakukan penyesuaian faktor skala sampai pola yang dihitung terbaik mendekati pola difraksi yang terukur. Sehingga perbedaan yang dihasilkan dari pola difraksi observasi dan kalkulasi ditandai dengan derajat tingkat replikasinya. Derajat tingkat replika (degree of fit) dilambangkan dengan sebuah parameter statistik χ2 (chi-squared). Idealnya nilai dari chi-squared χ2 = 1. Namun nilai ini sangat sulit dicapai, umumnya kurang dari 3. Namun program Rietveld versi Izumi (1994) memberikan parameter lain, dimana goodness of fit yang dilambangkan dengan parameter S terbaik kurang dari 1,3 [24].
20
2.3.1. Prinsip Dasar Prinsip dasar analisis Rietveld adalah mencocokkan (fitting) profil puncak perhitungan terhadap profil puncak pengamatan. Pencocokan profil tersebut dilakukan dengan menerapkan prosedur perhitungan kuadrat terkecil non linear yang diberi syarat batas. Jadi analisis Rietveld tidak lain adalah problem optimasi fungsi non linear dengan pembatas (constraints). Sehingga minimumkan fungsi obyektif dapat dinyatakan sebagai berikut : N
f ( x) wi yi (o) yi (c)
2
(2.3)
i 1
dengan wi ( 1/ yi (o)) dan yi (o) berturut-turut adalah faktor bobot (weighting factor) dan intensitas pengamatan (observation) pada posisi 2i . Sedangkan yi(c) merupakan intensitas perhitungan (calculation).
2.3.2. Persamaan Profile Pola Difraksi Fungsi intensitas secara fisis yang dinyatakan : I (k ) s Fk (hkl ) ML(k ) 2
(2.4)
dengan s, Fk(hkl), M, dan L berturut-turut adalah factor skala, factor struktur, multiplisitas, dan faktor Lorentz-polarization. Persamaan tersebut menyatakan bahwa banyaknya elektron akan didifraksikan hanya jika sudut hamburan () sama dengan sudut Bragg ( k ). Jadi fungsi intensitas tidak lain adalah persamaan intensitas garis. Namun pada kenyataannya bahwa pengukuran intensitas difraksi tersebut tidak terbentuk garis tetapi berupa puncak-puncak Bragg yang melebar.
21
Berdasarkan hasil pengembangan program analisis Rietveld ini bahwa fungsi bentuk puncak merupakan fungsi pseudo-voigt yang telah dimodifikasi, yakni kombinasi linear dari fungsi Gauss dan fungsi Lorentz dengan tinggi puncak dan lebar penuh setengah tinggi puncak maksimum (FWHM) tidak sama. Fungsi pseudo-Voigt yang telah dimodifikasi dituliskan sebagai berikut : 2 2 2 k G 2 C exp 4 ln 2 H k (G )
(2.5)
2 2 2 k 2 2 2 k 1 At H k ( L) tan k
1 1 4
dengan 1 2 (1 ) H k ( L) C H k (G ) 2 4 ln 2
1
H k (G) U (tan k Cs )2 V (tan k Cs ) W
H k ( L)
(2.6)
1
(2.7)
2
H k (G)
(2.8)
Pada persamaan-persamaan (2.5) komponen Gauss,
hingga (2.8) di atas, = fraksi
H k (G) = FWHM komponen Gauss,
H k ( L) = FWHM
komponen Lorentz, Cs 0 atau 0,6 dan 1 At 2 2 k = faktor koreksi tan k
2
bentuk puncak asimetris. Faktor koreksi bentuk asimetris perlu diberikan karena pada sudut hamburan yang sangat rendah dan sangat tinggi, puncak-puncak difraksi menjadi tidak simetris akibat terbatasnya divergensi vertikal berkas. A =
22
parameter asimetris dan t = konstanta yang diberi nilai +1, 0 atau -1 tergantung pada apakah selisih (2 2k ) berturut-turut positif, nol atau negatif. Persamaan (2.8) menyatakan ketergantungan H k (G) pada k , U V dan W disebut parameter FWHM. Bila korelasi antara parameter-parameter FWHM sangat tinggi, maka Cs sebaiknya diberi nilai 0,6. Dalam persamaan
(2.6)
terdapat lima buah parameter variabel yakni : U, V, W, dan . Fungsi bentuk puncak dapat diubah-ubah tergantung pada berapa nilai parameter . Jika = 1 bentuk puncak memenuhi fungsi Gauss dan bentuk puncak memenuhi fungsi Lorentz jika diberi nilai 0. Parameter variabel memiliki daerah nilai : 0 1. Untuk pola difraksi neutron, profile puncak difraksinya tepat memenuhi fungsi Gauss ( = 1). Dengan demikian nilai intensitas profile pola difraksi pada posisi 2i dapat dihitung dengan mengalikan persamaan (2.3) dengan persamaan (2.5), setelah dikoreksi dengan fungsi latar belakang yib (c) dan fungsi orientasi “preferred” Pk , diperoleh : yi (c) s Fk (hkl ) M k Pk L(k )G(2i ) yib (c) 2
(2.9)
k
melambangkan penjumlahan jika terdapat puncak-puncak Bragg yang saling k
tumpang tindih. Penjumlahan dilakukan terhadap semua refleksi yang dianggap masih dapat menyumbangkan intensitasnya pada yi (c) [22].
2.4.
Magnetisasi Material Ketika suatu material ditempatkan pada medan magnet, maka material
tersebut akan mengalami magnetisasi. Momen magnet persatuan volume yang terbentuk dalam material disebut magnetisasi M. Pada suatu material dengan n
23
magnetic dipole atomic elementer persatuan volume dengan masing-masing m momen magnet, maka saat momen-momen ini tersusun secara paralel akan memiliki magnetisasi yang disebut magnetisasi saturasi M [25]. Parameter yang penting adalah suseptibilitas magnetic
, yang menyatakan kualitas dari suatu
material magnetic, yang dirumuskan :
(2.10)
dimana H adalah kuat medan magnet eksternal. Medan magnet dapat di deskripsikan sebagai dua vektor, yaitu induksi magnet B dan medan magnet H yang memiliki hubungan seperti pada persamaan dalam kondisi vakum berikut ini (2.11)
Dimana
adalah permeabilitas pada ruang vakum (4 x 10-7 Hz/m)
Ketika sebuah material diletakkan pada medan magnet, maka material tersebut akan mengalami magnetisasi. Magnetisasi ini dinyatakan dengan vektor M, yang menyatakan besaran momen magnet persatuan volume. Induksi magnetik didalam material dinyatakan dengan
(2.12)
Jika magnetisasi diinduksi oleh medan magnet H, maka magnetisasi yang ada akan berbanding lurus dengan medan magnet, yaitu :
24
(2.13)
Dimana koefisien
disebut suseptibilitas magnetic material. Jadi persamaan B
dan H dapat dinyatakan dengan (2.14) Pada bahan ferromagnetic, nilai
dan
tidak memiliki nilai yang konstan.
Permeabilitas dan suseptibilitas sangat dipengaruhi oleh medan magnet luar. Kurva magnetisasi mempresentasikan densitas fluks induksi magnet B terhadap kekuatan medan magnet luar untuk bahan ferromagnetic dapat dilihat pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11. Kurva Histerisis [26]
25
Kurva magnetisasi untuk bahan yang belum termagnetisasi disebut dengan initial curve magnetization. Kurva diawali dengan permeabilitas awal, dengan bertambahnya medan magnet H, induksi magnetic B dengan cepat naik (disebut dengan easy magnetization) dan selanjutnya menjadi menjadi lebih rendah hingga tercapai nilai maksimum tertentu atau disebut dengan saturasi magnetik. Jika medan magnet H diturunkan kembali, maka fluks induksi magnet B juga ikut turun, tetapi lebih pelan dari medan magnet H nya. Dengan kata lain, menurunnya kurva magnetisasi tidak mengikuti kurva ketika medan magnet dinaikkan pertama kali. Dengan demikian, terdapat sisa/residu induksi medan magnet B (remanen) ketika medan magnet telah mencapai nol. Untuk mengembalikan B kembali ke nol, diperlukan medan magnet negative yang disebut dengan coercive force. Jika medan magnet negative terus dinaikkan, maka material akan termagnetisasi dengan arah polaritas kearah negative. Ketika medan magnet dinaikkan hingga nol, maka juga akan didapati residu induksi medan magnet –B yang membutuhkan medan magnet positif untuk membuat induksi medan magnet menjadi nol kembali. Kurva seperti ini yang disebut dengan kurva loop histerisis [25]. Berdasarkan koersivitasnya, bahan magnetik dapat dibedakan menjadi soft magnetic dan hard magnetic. Untuk bahan yang memiliki koersivitas yang besar (di atas 10 kA/m) disebut hard magnetic, sedangkan untuk bahan yang memiliki koersivitas kecil (dibawah 1 kA/m) disebut soft magnetic [26].
26
Gambar 2.12. Kurva histerisis material hard magnetic dan soft magnetic [25]
2.5. Mechanical Alloying Proses mechanical alloying dengan mekanisme mechanical milling atau pun dengan menggunakan high energy ball milling (HEBM) pada prinsipnya adalah pengurangan ukuran butir atau partikel dan proses substitusi yang diakibatkan oleh tumbukan yang terus menerus antar bola logam (ball mill) dan sampel di dalam alat milling, seperti pada Gambar 2.13. Aplikasi metode mechanical alloying seperti pada Gambar 2.14 [27].
27
Gambar 2.13. Prinsip dan tahapan dari mechanical alloying [28]
28
Gambar 2.14. Aplikasi metode mechanical alloying [27]
Parameter yang harus diperhatikan di dalam proses mechanical milling, yang akan mempengaruhi kualitas produk akhir dari serbuk yang dicampur adalah seperti pada Gambar 2.15 [29].
29
Gambar 2.15. Parameter-parameter di dalam proses mechanical milling [29]
Ball mill adalah alat yang baik untuk grinding banyak material menjadi bubuk halus. Ball Mill digunakan untuk menggiling berbagai jenis tambang dan bahan lainnya. Ada dua jenis proses grinding yaitu proses kering dan proses basah. Setelah bahan mengalami proses grinding maka bahan padat akan berubah: ukuran, bentuk partikelnya, dan lain-lainnya.
2.6.
Sonikasi Prinsip kerja sonikasi adalah pemberian gelombang ultrasonik dengan
frekuensi sekitar 20 kHz pada cairan sehingga menimbulkan propagasi gelombang dalam bentuk siklus compression (kompresi) - rarefaction (ekspansi) sesuai
30
dengan frekuensinya. Siklus ini menciptakan gelembung vakum (cavity). Gelembung vakum yang dihasilkan memiliki kecepatan yang sangat tinggi (~400 km/h) dan saat gelombang vakum tersebut hancur (implode), akan dihasilkan temperatur lokal yang sangat tinggi (~5000 oK), tekanan yang sangat tinggi (~1000 atm) serta cooling rate yang sangat cepat (109 K/sec) [30]. Gambar 2.16 memperlihatkan mekanisme pembentukan dan penghancuran gelembung vakum dalam satu siklus sonikasi. Terlihat bahwa gelembung vakum semakin membesar sejalan dengan waktu dengan kompresi dan ekspansi yang mengikuti amplitudo gelombang ultrasoniknya sampai pada saat gelembung tersebut hancur. Jika terdapat partikel atau ion di sekeliling gelembung tersebut maka akan terjadi tumbukan antar partikel dan ion yang akan menghasilkan dua keadaan yaitu pengecilan ukuran partikel atau proses ultrasonic destruction dan perbeseran partikel atau proses sonochemistry.
Gambar 2.16. Proses terjadinya cavity oleh ultrasonik [19]
Ultrasonic destruction dimulai dari partikel dengan ukuran besar kemudian diperkecil dengan bantuan sonikasi.
Gambar 2.17 memperlihatkan
proses pengecilan ukuran partikel dengan proses sonikasi pada TiO2 [31]. Ukuran partikel semakin kecil dengan bertambahnya waktu sonikasi. Ukuran partikel 31
berkisar diantara 200 - 250 nm sebelum proses sonikasi. Setelah proses sonikasi ukuran partikel mengalami pengecilan secara berturut-turut menjadi sekitar 50, 20 dan 10 nm dengan bertambahnya waktu sonikasi. Selain itu dimensi partikel semakin berbentuk bola dan distribusi ukuran yang semakin seragam dengan pengecilan ukuran partikel. Hasil tersebut menunjukan bahwa sonikasi efektif untuk mengecilkan ukuran partikel sampai pada skala nano terutama pada top down synthesis.
Gambar 2. 17. Reduksi partikel dengan sonikasi [31]
Sonochemistry dimulai dari ion atau partikel yang bereaksi atau beraglomerasi sehingga membentuk partikel yang lebih besar dengan bantuan sonikasi. Gambar 2.18 menunjukan proses untuk menghasilkan partikel dengan ukuran yang lebih besar dengan menggunakan sonikasi pada Zn [32]. Serbuk Zn yang berukuran sekitar 5 m diultrasonik 1.5 jam sehingga menghasilkan aglomerasi dengan ukuran partikel sekitar 50 m.
32
Gambar 2.18. Aglomerasi dengan bantuan sonikasi [32]
2.7. Absorpsi Gelombang Elektromagnet Pada dasarnya suatu
material jika dikenai gelombang electromagnet
maka akan mengalami interaksi antara material dengan gelombang electromagnet. Misalkan suatu bahan memiliki ketebalan x dikenai gelombang electromagnet dengan intensitas
maka gelombang electromagnet akan mengalami attenuasi
sehingga intensitas yang keluar dari material menjadi
(2.15)
dengan µ adalah konstanta. Dari persamaan (2.15) terlihat semakin tebal bahan maka energi gelombang electromagnet semakin banyak yang diserap.
x Gambar 2.19. Skema absorpsi gelombang electromagnet
33
Namun seiring dengan perkembangan zaman, material absorber yang dibutuhkan adalah bahan yang tipis tapi memiliki kemampuan absorpsi yang maksimal. Selain karena ketebalan suatu bahan, absorpsi gelombang elektomagnet juga terjadi akibat interaksi gelombang dengan material yang menghasilkan efek rugi-rugi energy yang umumnya didisipasikan dalam bentuk panas. Dalam hal ini material absorber dibagi menjadi dua yakni material dielektrik dan magnetic. Pada bahan dielektrik energy gelombang electromagnet diserap sehingga terjadi polarisasi yang mengikuti arah medan listrik. Ketika gelombang electromagnet berubah-ubah terhadap waktu maka arah polarisasi juga berubah-ubah sehingga terjadi gesekan antar molekul yang menimbulkan panas.
Gambar 2.20. Pengaruh medan listrik pada bahan dielektrik (telah diolah kembali)
Hal yang analog juga terjadi pada bahan ferromagnetik. Ketika medan magnet mengenai bahan ferromagnet maka energy gelombang electromagnet akan digunakan untuk menyearahkan momen magnet. Untuk material absorber yang baik dibutuhkan bahan magnetic yang memiliki koersifitas yang rendah. Karakteristik dielektrik dan magnetik suatu bahan direpresentasikan oleh permitifitas kompleks dan permeabilitas kompleks [33] (2.16) (2.17)
34
Dimana
, tanda ‘ dan ‘’ bagian real dan imaginer. Impedansi yang tiba
pada material ditunjukkan (2.18)
Dimana d adalah ketebalan sampel,
adalah faktor propagasi kompleks
(2.19)
f adalah frekuensi dan c adalah kecepatan gelombang elektomagnet dalam ruang vakum. Reflektifitas radiasi electromagnet, Γ, dalam gelombang normal yang tiba pada permukaan material ditunjukkan
(2.20)
Dan reflection loss- nya, R (dB), didefinisikan sebagai
=
(2.21)
Dimana
adalah bilangan kompleks dan
adalah impedansi pada ruang hampa.
35
adalah modulus dari . Sedangkan
(2.22)
Nilai
H/m dan
F/m, sehingga diperoleh
. Kondisi impedansi yang cocok saat
menunjukkan bahwa
terjadi penyerapan yang sempurna. Secara umum criteria material absorber yang baik haruslah memiliki permeabilitas dan permitifitas yang tinggi. Selain itu diperlukan resistifitas yang tinggi dan saturasi magnet tinggi.
2.7.1. Permeabilitas Permeabilitas (H·m−1) atau (N·A−2) adalah ukuran kemampuan suatu bahan untuk mensupport pembentukan medan magnet dalam dirinya. Dengan kata lain adalah tingkat magnetisasi bahan akibat respons terhadap medan magnet yang diterapkan. Permeabilitas konstan (μ0), juga dikenal sebagai konstanta magnetik atau permeabilitas ruang bebas adalah ukuran jumlah hambatan yang ditemui ketika membentuk medan magnet dalam kondisi vakum (µ0 = 4π×10−7 ≈ 1.2566370614… × 10−6 H·m−1 or N·A−2). Dalam elektromagnetisme, medan magnet H mempengaruhi sekumpulan dipol magnetik menghadirkan medan magnet B dalam media tertentu, termasuk migrasi dipole dan reorientasi dipole magnetik. Hubungannya dengan permeabilitas adalah (2.23)
Dalam bahan feromagnetik, hubungan antara B dan H non-linearitas dan membentuk pola hysteresis. Dalam media nonlinear, permeabilitas dapat bergantung pada kekuatan medan magnet. Secara umum, permeabilitas tidak konstan, karena dapat bervariasi terhadap posisi dalam medium, frekuensi medan yang
diterapkan,
kelembaban,
suhu,
36
dan
parameter-parameter
lainnya.
Permeabilitas relatif, kadang-kadang dilambangkan dengan simbol μr, adalah rasio permeabilitas media terhadap permeabilitas ruang bebas, μ0. (2.24)
Permeabilitas sebagai fungsi frekuensi dapat berupa nilai-nilai riil atau kompleks. Dalam prakteknya, permeabilitas umumnya sebagai fungsi frekuensi. Pada frekuensi tinggi, medan magnet H dan B saling bertautan satu sama lainnya dengan beberapa jeda waktu sehingga terbentuk permeabilitas kompleks. Sedangkan pada frekuensi rendah, medan magnet H dan B linier dan sebanding satu sama lain melalui beberapa permeabilitas skalar. Sehingga medan magnet H dan B dapat didefinisikan sebagai : (2.25) Dengan
adalah penundaan fase B dari H. Permeabilitas merupakan rasio dari
medan magnet B dengan medan magnet H, maka dapat ditulis sebagai (2.26)
sehingga permeabilitas menjadi bilangan kompleks. Dengan rumus Euler, permeabilitas kompleks dapat diterjemahkan menjadi (2.27)
Sedangkan rasio antara bagian imajiner terhadap riil dari permeabilitas komplek ini disebut dengan loss tangent permeabilitas. (2.28)
37
2.7.2. Permitivitas Permitivitas (F.m-1) adalah ukuran kemampuan suatu bahan ketika membentuk medan listrik dalam suatu media. Dengan kata lain, permitivitas adalah ukuran berapa besar medan listrik mempengaruhi dan dipengaruhi oleh media dielektrik. Permitivitas medium menggambarkan seberapa banyak fluks medan listrik yang dihasilkan per unit muatan dalam media itu. Fluks medan listrik berlebih yang ada dalam bahan dengan permitivitas tinggi (per unit muatan) dapat mengakibatkan efek polarisasi. Permitivitas secara langsung berkaitan dengan kerentanan medan listrik yang merupakan ukuran seberapa mudah polarisasi dielektrik terjadi dalam merespon medan listrik. Dengan demikian, permitivitas dapat didefinisikan sebagai : (2.29)
dengan εr adalah permitivitas relatif bahan, dan ε0 = 8,854187817... × 10-12 F.m-1 adalah permitivitas vakum. Sebuah spektrum permitivitas dielektrik umumnya sebagai fungsi frekuensi, sehingga permitivitas relatifnya menjadi permitivitas komplek yang dinotasikan sebagai ε’ dan ε”. ε’ dan ε” berturut-turut menunjukkan permitivitas bagian riil dan imajiner. Dengan demikian permitivitas relatif dapat didefinisikan sebagai : (2.30) Sedangkan rasio antara bagian imajiner terhadap riil dari permeabilitas komplek ini disebut juga dengan loss tangent permitivitas. (2.31)
Loss tangent ini yang memberikan ukuran berapa besar daya yang hilang dalam bahan terhadap daya yang diserap.
38
2.7.3. Reflection Loss Telah banyak diketahui bahwa parameter dielektrik dan magnetik meliputi vektor medan listrik E, medan magnet H, medan induksi B, diplacement D, polarisasi P, dan magnetisasi M. Interaksi medan listrik dalam bahan mengikuti pola yang mirip dengan interaksi magnetik dalam bahan. Salah satu syarat yang harus
dipenuhi
untuk
aplikasi
praktis
sebagai
penyerap
gelombang
elektromagnetik adalah bahwa bahan ini harus memiliki nilai permeabilitas dan permitivitas setinggi mungkin dengan saturasi magnet yang tinggi. Permitivitas dalam farad per meter dan permeabilitas dalam henry per meter. Dalam hal penyerapan energi gelombang EM, keseluruhan interaksi dapat diwakili oleh impedance matching dari material (Zin) yang bersifat dielektrik dan magnetik dengan impedance udara sebagai fungsi frekuensi. Penyesuai impedansi adalah hal yang penting dalam rentang frekuensi gelombang mikro. Suatu saluran transmisi yang diberi beban yang sama dengan impedansi karakteristik mempunyai standing wave ratio (SWR) sama dengan satu, dan mentransmisikan sejumlah daya tanpa adanya refleksi gelombang. Juga efisiensi penyerapan menjadi optimum jika tidak ada daya yang direfleksikan. Matching mempunyai pengertian memberikan impedansi yang sama dengan impedansi karakteristik gelombang elektromagnetik. (2.32)
(2.33) (2.34)
Dengan RL, Zin, Zo, o, o, r, r, f, c, dan d berturut-turut adalah reflection loss, impedance bahan absorber, impedance gelombang EM di udara, permeabilitas udara, permitivitas udara, permeabilitas relatif bahan, permitivitas relatif bahan, 39
frekuensi, kecepatan cahaya, dan ketebalan bidang absorp bahan. Jadi secara umum impedance bahan absorber dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik ditentukan oleh sifat permeabilitas dan permitivitas bahan absorber, sedangkan faktor ekstrinsik ditentukan oleh faktor ketebalan bidang bahan absorp.
2.8. Gelombang Mikro Gelombang electromagnet ketika sampai pada material maka sebagian gelombang tersebut akan direfleksikan dan sebagian lagi diabsorpsi. Karakter ini bisa kita manfaatkan untuk mengurangi pantulan radiasi. Beberapa material memantulkan banyak radiasi namun ada juga yang hampir tidak memantulkan sama sekali. Sebagai contoh air, yang hampir tidak memantulkan radiasi sama sekali oleh karena itu air termasuk absorber yang bagus. Material magnetic misalnya ferit juga dapat menyerap gelombang electromagnet. Hal ini dikarenakan adanya perubahan arah momen magnetic ketika dikenai medan electromagnet [34]. Gelombang mikro adalah bagian dari gelombang electromagnet yang memiliki daerah frekuensi sekitar 0,3-300 GHz atau panjang gelombang 1m-1mm. Gelombang mikro digunakan pertama kali untuk teknologi RADAR pada awal perang dunia kedua. Saat ini gelombang mikro umum digunakan sebagai oven microwave atau pun perangkat-perangkat komunikasi dan teknologi informasi. Gelombang mikro dibagi dalam beberapa daerah jangkauan yang telah ditetapkan secara internasional (Tabel 2.3).
40
Tabel 2.3. Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro [35].
2.9.
Simbol
Daerah Frekuensi (GHz)
L
1.22 - 1.70
R
1.70 - 2.60
S
2.60 - 3.95
H
3.95 - 5.85
C
5.85 - 8.20
X
8.20 - 12.4
Ku
12.4 - 18.0
K
18.0 - 26.5
Ka
26.5 - 40.0
U
40.0 - 60.0
E
60.0 - 90.0
F
90.0 - 140.0
G
140.0- 220.0
Scanning Electron Microscope (SEM) Scanning Electron Microscope (SEM) adalah suatu alat yang digunakan
untuk mengamati dan menganalisis karakteristik strukturmikro dari material baik yang konduktif maupun non konduktif. Dibandingkan dengan MO, SEM mempunyai daya pisah (resolusi) yang lebih tinggi yaitu 5nm, sehingga SEM dapat menghasilkan perbesaran hingga 500.000 kali. Perbedaan daya pisah ini
41
ditimbulkan dari sumber radiasi yang berbeda. Elektron sebagai sumber radiasi pada SEM mempunyai panjang gelombang yang jauh lebih pendek dari pada sinar foton pada MO. Berkas elektron primer yang datang mengenai permukaan benda uji akan berinteraksi dan menghasilkan berbagai macam sinyal secara serentak, sinyalsinyal tersebut diantaranya adalah elektron, sinar-X dan foton. Secara skematik ditunjukan pada Gambar 2.21.
Interaksi elektron primer dengan benda uji
tersebut mengakibatkan hamburan elektron (elastic scattering) dan hamburan nonelastik (inelastic scattering).
Gambar 2.21. Interaksi antara electron primer dengan benda uji
Hamburan elastik ditimbulkan akibat adanya tumbukan berkas elektron primer dengan inti atom benda uji (sampel) tanpa perubahan energi. Pada saat terjadinya hamburan elastik, arah komponen kecepatan elektron, v, akan berubah, tetapi besarnya |v| relatif konstan, sehingga energi kinetik E = 1/2 mev2, dengan me adalah massa elektron, tidak berubah. Dalam hal ini energi sebesar <1eV 42
dipindahkan dari elektron [primer ke benda uji, perpindahan energi ini relatif kecil bila dibandingkan dengan energi elektron primer sebesar 10 keV, karenanya perpindahan enrgi tersebut dapat diabaikan. Hamburan elektron dari permukaan benda uji setelah berkas elektron primer masuk ke dalam benda uji dan melintasi jarak beberapa nm dengan distribusi energi 0≤E≤Eo, dimana Eo adalah energi elektron p[rimer, disebut sebagai backscattered electron (elektron terhambur balik – BSE). Hamburan nonelastik (inelastic scattering) diakibatkan adanya tumbukan elektron primer dengan elektron benda uji. Dalam proses tumbukan ini terjadi perpindahan energi dari elektron primer ke atom dan elektron benda uji, sehingga terjadi penurunan energi kinetik dari berkas elektron. Energi yang berada dalam benda uji tersebut akan didistribusikan dan menghasilkan sinyal-sinyal yang digunakan untuk analisis mikro. Sinyal-sinyal tersebut adalah secondary electron (elektron sekunder – SE), Auger electron, continuum X-ray atau bremsstrahlung, characteristic X-ray dan secondary fluorescence emission. Secondary electron (elektron sekunder) adalah elektron yang dipancarkan dari benda uji akibat dari interaksi antara berkas elektron primer dengan elektronelektron pada pita penghantar benda uji. Interaksi ini hanya menghasilkan perpindahan energi yang relatif rendah (3-5 eV) ke elektron pita penghantar. Karena elektron sekunder ini mempunyai energi rendah, maka elektron-elektron ini mudah dibelokan pada sudut tertentu dan menimbulkan bayangan topografi, dengan kata lain elektron sekunder dari suatu area tertentu akan memberikan informasi benda uji pada area tersebut dalam bentuk image (citra) . Mekanisme terbentuknya citra pada SEM meliputi beberapa hal penting diantaranya; sistem scanning untukpembentukan citra, mekanisme kontras sebagai hasil interaksi elektron dan benda uji, karakteristik detektor dan pengaruhnya terhadap kualitas citra, kualitas sinyal dan pengaruhnya terhadap kualitas citra dan proses pen-sinyal-an untuk tampilan pada layar monitor. Ilustrasi proses pembentukan citra pada SEM diilustrasikan pada Gambar 2.22.
43
Gambar 2.22. Skematis pembentukan citra pada SEM
2.10. Teori Double Exchange (DE) Mekanisme Double Exchange (DE) merupakan tipe magnetik exchange yang muncul diantara ion yang berdekatan dengan keadaan oksidasi yang berbeda [36]. Teori ini pertama kali diajukan oleh Zener (1951) dan mempunyai implikasi yang penting dari sifat magnetik dari suatu material. Energi sistem berada pada nilai terendah jika spin inti yang bertetangga saling sejajar atau parallel. Demikian juga dengan keadaan spin elektron, energi akan menjadi lebih rendah ketika spin elektron parallel dengan spin inti ion Mn [37]. Teori ini sesuai dengan aturan Hund untuk membuat energi sistem menjadi seminimal mungkin. Aturan pertama Hund menyatakan bahwa energi akan minimum bila susunan spin-spin elektron saling sejajar satu dengan yang lainnya.
44
Teori Double Exchange (DE) merupakan salah satu dari sekian banyak teori pertukaran yang ada dalam material. Mekanisme Double Exchange (DE) pada material perovskite manganites terjadi perpindahan spin elektron yang parallel pada tetangga terdekat dengan melakukan dua kali hopping secara bersamaan dari Mn3+ ke Mn4+ melalui O2-. Pada sistem sampel LaSrMnO3, yang berperan sebagai ion ialah atom Mn karena atom Mn telah menjadi ion Mn3+ dan Mn4+ akibat adanya doping unsur Sr pada site La. Zener (1951) telah mendapatkan persamaan yang menggambarkan korelasi antara konduktivitas listrik terhadap sifat magnetiknya, yang dikaitkan terhadap temperatur Curie (Tc) ferromagnetik pada sistem sampel La1-xAxMnO3 (A = Ca atau Sr), tetapi hanya berlaku untuk variasi doping Berikut persamaan yang menyatakan hubungan tersebut (2.35)
Dimana
x
adalah
konsentrasi
doping
A
(untuk
),
, h = konstanta Planck, e = muatan elektron, T adalah temperature, dan Tc adalah temperature Curie.
Berdasarkan persamaan (2.16)
dapat diketahui bahwa untuk sistem sampel La1-xAxMnO3 dimana membuka hubungan linier antara magnetoresistansi terhadap magnetisasi dari sampel, sehingga dapat disimpulkan konduktivitas listrik dan sifat magnetik sampel saling berhubungan.
45
Gambar 2.23. Skema Teori Double Exchange (DE) [38]
Gambar 2.23 mengilustrasikan mekanisme Double Exchange (DE) yang terjadi pada Mn3+-O-Mn4+. Elektron dari orbital eg pada ion Mn3+ melompat ke orbital O2- dan secara bersamaan elektron pada orbital 2p O2- melompat ke orbital eg ion Mn4+ yang kosong. Kedua elektron yang terlibat dalam pertukaran harus memiliki spin yang sama (sesuai prinsip larangan pauli). Hal ini menyebabkan terjadinya sifat feromagnetik dari elektron eg [35]. Teori lebih lanjut telah dilakukan oleh Anderson & Hasegawa yang menyatakan bahwa sudut antara spin inti ion Mn tetangga terdekat turut mempengaruhi pada proses Double Exchange (DE) [39]. Hal ini diperkuat oleh de Gennes [40] membahas tentang batas besarnya coupling Hund (JH), spin elektron pada eg terikat pada inti spin t2g yang mengubah parameter hopping (t), yang dipenuhi oleh persamaan berikut :
(2.36)
Dimana θij adalah sudut antara spin inti pada t2g yang berdekatan dengan ion manganese, dan tij hanya bergantung pada orientasi relatif pada dua spin. Energi
46
kinetik pada elektron eg adalah sebanding terhadap t. Dengan demikian, jika spin tersusun secara feromagnetik (spin parallel) maka nilai t akan maksimum sehingga resistivitas sampel bernilai minimum [39].
2.11. Teori Interaksi Superexchange Superexchange
merupakan
coupling
kuat
antara
interaksi
spin
antiferomagnetik terhadap tetangga terdekat kation melalui anion non magnetik [41]. Gagasan bahwa pertukaran dapat dimediasi oleh sebuah atom non magnetik telah diajukan pada tahun 1934, dan secara resmi dikembangkan oleh Anderson pada tahun 1950. Pada superexchange, interaksi magnetik antara ion yang berdekatan di mediasi oleh ion non-magnetik dengan spin elektron yang berpasangan. Hal ini merupakan interaksi yang lazim terjadi pada oksida manganiat terisolasi, dimana ion penghubungnya adalah O2-. Pada kasus manganat, orbital yang telibat adalah orbital eg yang kosong dari ion Mn dan orbital 2p pada O2- yang terisi. Jadi elektron pada orbital 2p pada O2- terbagi diantara dua ion Mn yang berdekatan yang mengisi orbital eg yang kosong. Ini merupakan transfer elektron secara tidak langsung yang menjadi ciri khas dari mekanisme interaksi superexchange [36]. Berikut gambar yang mengilustrasikan proses terjadinya interaksi superexchange.
47
Gambar 2.24. Mekanisme interaksi superexchange (a) sesama ion Mn3+ dan (b) sesama ion Mn4+ [41].
2.12. Ligand Field Theory (LFT) Ligand Field Theory (LFT) merupakan salah satu teori yang digunakan untuk menjelaskan struktur elektronik kompleks [42].
Awalnya teori ini adalah
aplikasi dari Crystal Field Theory (CFT). Menurut LFT, interaksi antara metal transisi dan ligand muncul karena adanya gaya tarik antara muatan positif pada metal sebagai kation bebas dengan muatan negatif pada elektron yang tidak berikatan pada ligand. Ketika ligand tertarik mendekati ion metal, elektronelektron pada ligand juga akan semakin mendekati elektron-elektron yang ada pada orbital d, sehingga menghasilkan gaya tolak diantara kedua muatan yang sama tersebut. Elektron-elektron pada orbital d yang mempunyai jarak paling dekat dengan ligand akan memiliki energi yang lebih tinggi di bandingkan dengan yang lain, sehingga akan terjadi perbedaan energi. Perbedaan energi ini disebut dorbital splitting energy. Oktahedral kompleks merupakan bentuk paling umum yang membentuk ikatan dengan metal-metal transisi. Lima orbital d dalam kation logam transisi
48
terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, dimana probabilities density elektron berbanding lurus dengan satuan level energi yang akan ditempati elektron pada orbital d tersebut, dan adanya ligand akan menimbulkan pemisahan level energi pada beberapa sub orbitalnya.
Gambar 2.25. Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan kompleks [42]
Gambar 2.25 di atas menyatakan bahwa medan listrik negatif sferik di sekitar kation logam akan menghasilkan tingkat energi total yang lebih rendah dari tingkat energi kation bebas yang disebabkan karena adanya interaksi elektrostatis. Interaksi repulsif antara elektron dalam orbital logam dan medan listrik mendestabilkan sistem dan sedikit banyak mengkompensasi stabilisasinya. Sekarang ion tidak berada dalam medan negatif yang seragam, tetapi dalam logam yang dihasilkan oleh enam ligand yang terkoordinasi secara octahedral pada atom logam. Medan negatif dari ligand disebut medan ligand. Level energi yang lebih rendah diberi simbol t2g (triply degenerate orbital) dan level energi yang lebih tinggi diberi simbol eg (exited degenerate orbital). Bila ligand ditempatkan di sumbu, reaksi repulsifnya lebih besar untuk orbital eg
dari pada untuk t2g
, dan orbital eg di
stabilkan dan orbital t2g distabilkan dengan penstabilan yang sama. Perbedaan 49
energi antara orbital t2g dan eg sangat penting dan energi rata-rata orbital-obital ini dianggap sebagai skala nol. Bila perbedaan energi dua orbital eg dan tiga orbital t2g dianggap Δo, tingkat energi eg adalah
dan energi total t2g adalah
.
Gambar 2.26. Splitting octahedral pada level d5 [42]
Ion logam transisi memiliki 0 sampai 10 elektron d dan bila orbital d yang terbelah diisi dari tingkat energi rendah, konfigurasi elektron
yang
berkaitan dengan masing-masing ion didapatkan. Jika tingkat energi nol ditentukan sebagai tingkat energi rata-rata, energi konfigurasi elektron relatif terhadap energi nol adalah
(2.37)
Nilai ini disebut energi penstabilan medan ligand (Ligand Field Stabilization Energy LFSE). Konfigurasi elektron dengan nilai LFSE lebih kecil (dengan
50
memperhitungkan tanda minusnya). LFSE merupakan parameter penting untuk menjelaskan kompleks medan transisi. Syarat lain selain tingkat energi yang diperlukan untuk menjelaskan pengisian elektron dalam orbital t2g dan eg adalah energi pemasangan (pairing energy Pe), yaitu energi yang diperlukan untuk memasangkan dua elektron dalam level energi yang sama namun dengan syarat spin berlawanan. Ada dua kemungkinan yang muncul bila ada 4 jumlah elektron di orbital d. orbital yang energinya lebih rendah t2g lebih disukai, tetapi pengisian orbital ini akan memerlukan energi pemasangan (Pe). Energi totalnya menjadi
(2.38)
Bila elektron mengisi orbital yang energinya lebih tinggi eg, maka energi totalnya menjadi
(2.39) Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field) karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [42]. Pada keadaan high-spin state ∆O > Pe, konfigurasi t2g4 lebih disukai dan konfigurasinya disebut medan kuat (strong field) karena gaya tolakan yang terjadi lebih besar dibandingkan pada kasus low-spin state. Sedangkan pada keadaan lowspin state ∆O < Pe yaitu konfigurasi t2g3 eg1 lebih disukai dan disebut konfigurasi medan lemah (weak field) atau konfigurasi elektron spin tinggi.
51
Gambar 2.27. Spin state pada weak field dan strong field ligand untuk d4 sistem [42]
Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field) karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [42]. Pada sifat elektrik dari lantanum manganat La1-xSrxMnO3 sangat terkait dengan adanya ion manganese dengan valensi yang berbeda. Untuk x = 0 dan 1 ion manganese hanya memiliki satu jenis valensi dan biasanya bersifat antiferromagnetic-insulator (AF-I). Untuk konsentrasi doping intermediate, ion manganese muncul dengan valensi yang berbeda, dan mengubah sifatnya menjadi ferromagnetic- metallic (F-M). Orbital yang aktif secara elektronik adalah orbital d manganese, dimana konfigurasi keadaan dasar dari trivalent dan quadrivalent Mn adalah 3d4 dan 3d3. Kelima orbital d masing-masing dapat mengakomodasi elektron dengan satu spin up dan satu spin down akan terpecah (splitting) akibat adanya medan kristal octahedral yang berasal dari 6 atom oksigen yang berada disekeliling ion Mn. Pemisahan energi ini membagi orbital d menjadi tiga orbital pada energi rendah t2g
dan dua orbital pada level energi yang lebih tinggi eg
52
. Terjadinya pemisahan orbital ini berada pada orde 1,5 eV, sehingga elektron mengisi pada keadaan orbital dengan spin maksimum sesuai dengan aturan Hund. Oleh karena itu, konfigurasi elektronik pada Mn3+ adalah , dan Mn4+ adalah
[3].
Gambar 2.28. Struktur elektronik dari Mn3+ dan Mn4+ sebelum dan setelah adanya distorsi Jahn-Teller [3]
Gambar 2.28 mengilustrasikan splitting Jahn-Teller, energi dari Mn3+ menjadi lebih rendah sekitar 0,6 eV, sedangkan Mn4+ tidak mengalami apapun akibat distorsi octahedron oksigen [42].
2.13. Lantanum Manganat Lantanum manganat, La1-xAxMnO3, dapat dianggap sebagai sistem biner yang terdiri dari larutan padat LaMnO3 dan AMnO3, untuk x = 0 dan x = 1. G.H Jonker dan J.H Van Saten [43] adalah pelopor penelitian bahan perovskite pada
53
tahun 1950, dengan
menerbitkan kilasan dari sistem biner bahan perovskite
seperti LaMnO3 – CaMnO3, LaMnO3 – SrMnO3, dan LaMnO3 – BaMnO3.
2.13.1. Struktur Kristal Lantanum Manganat Struktur kristal lantanum manganat merupakan turunan dari struktur perovskite, yang memiliki formula umum ABO3. Gambar 2.29 menunjukkan struktur perovskite kubik yang ideal. Dalam lantanum manganat kedudukan A diisi oleh ion La3+ dan jika x>0 maka disubstitusi kation Ca2+, Sr2+, Ba2+, dan lain-lain. Sedangkan kedudukan B diisi oleh ion Mn.
Gambar 2.29. Struktur perovskite ideal [3]
Kestabilan struktur perovskite tergantung pada ukuran ion kedudukan A dan B. Jika ada ketidakcocokan antara ukuran ion kedudukan A dan B dalam kisi dimana mereka berada maka stuktur perovskite akan mengalami distorsi. Goldschmidt [4] mendefinisikan faktor toleransi sebagai berikut
(2.40)
54
Dengan rA dan rB adalah jari-jari ion kedudukan A dan kedudukan B, secara bertuturut-turut., dan rO adalah jari-jari ion oksigen. Struktur perovskite kubik yang ideal didapatkan jika harga t*=1. .Norby dkk [5] melaporkan bahwa material dasar dari lantanum manganat, LaMnO3, memiliki struktur ortorombik pada suhu ruang. Berbeda halnya dengan lanthanum manganat yang telah didoping oleh ion lain, strukturnya tergantung dari ion dopingnya, variasi konsentrasi ion doping, temperatur, dan lain-lain. Untuk La1-xSrxMnO3 ketika harga x sekitar 0,1 memiki struktur ortorombik namun saat x=0,175 memiliki struktur rombohedral [6]. Ju dkk [7] memperoleh struktur La0,62Ba0,38MnO3 adalah kubik dengan parameter kisinya 3,906 Å. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sergei [44] La1-xBaxMnO3, saat 0≤x≤0,05 memiliki struktur ortorombik, saat 0,1≤x≤0,25 strukturnya rombohedral sedangkan saat 0,27≤x≤0,5 strukturnya kubik. Transformasi fasa struktur ini biasanya disertai dengan perubahan fasa magnetik dan elektriknya.
2.13.2. Sifat Magnetik Lantanum Manganat Karakteristik mendasar dari manganat dengan valensi campuran adalah hubungan yang dekat antara transport elektronik dan kemagnetan. Ciri utamanya adalah transisi simultan dari antiferomagnetik dengan sifat isolator ke feromagnetik dengan sifat konduktor akibat adanya substitusi pada kedudukan A. Teori dasar dari fenomena ini telah dikemukan oleh Zener tahun 1951 [36] , yang memperkenalkan konsep double exchange, yaitu terjadi karena transfer elektron yang bergantung pada spin dari ion Mn3+ ke Mn4+ pada tetangga terdekat melalui ion O2-. Teori ini selanjutnya diperbarui oleh Anderson dan Hasegawa tahun 1953 [39] dan de Gennes tahun 1960 [40] yang melibatkan distorsi Jahn-Taller. Schiffer dan Ramirez [45] pada tahun 1995 melakukan penelitian tentang diagram fase magnetik dari La1-x CaxMnO3 dengan variasi konsentrasi 0≤x≤1 (Gambar 2.30). Ketika x=0 dan x=0,1 bahan bersifat feromagneti isolator pada temperature rendah dengan temperature Currie sekitar 160K. Diantara x=0,2 dan x=0,45 bahan bersifat feromagnetik logam dan menunjukkan fenomena colossal
55
magnetoresistance (CMR). Untuk x lebih besar dari 0,45 bahan bersifat antiferomanetik isolator.
Gambar 2.30. Diagram fase La1-x CaxMnO3 [45]
Penelitian diagram fase magnetik La1-xBaxMnO3 (Gambar 2.31) dilakukan oleh Ju dkk [46]. Sampel keramik padatan La1-xBaxMnO3 (x=0; 0,06; 0,13; 0,19; 0,25; 0,31; 0,38; 0,44; 0,5; 0,63; 0,75; 0,88; 1,0) dibuat dengan metode solid state reaction. Bahan La2O3, BaCO3, dan MnCO3 dicampur selanjutnya dipanaskan pada suhu 1100oC-1300oC kemudian dikalsinasi pada suhu 1400oC-1550oC. Sifat magnetic dikarakterisasi dengan menggunakan SQUID (superconducting quantum interference device). Ditemukan bahwa bahan bersifat feromagnetik untuk seluruh harga x, namun terdapat tiga fase. Untuk wilayah konsentrasi doping yang rendah bahan bersifat feromagnetik isolator, wilayah 0,2≤x≤0,5 bahan bersifat feromagnetik logam, sedangkan untuk konsentrasi doping yang tinggi bahan bersifat feromagnetik dengan multiphase.
56
Gambar 2.31. Diagram fase La1-xBaxMnO3 [46]
Urushibara dkk [6] pada tahun 1995 melakukan pendopingan Sr terhadap LaMnO3, ketika doping Sr kecil bahan bersifat isolator. Saat x mencapai titik kritis yakni sekitar 0,17 bahan bersifat metalik diserta dengan munculnya sifat feromagnetik. Digram fase dari La1-xSrxMnO3 dapat dilihat pada Gambar 2.32.
57
Gambar 2.32. Diagram fase La1-xSrxMnO3 [6]
2.13.3. Sifat Absorbsi Gelombang Elektromagnet Lantanum Manganat Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [17] menemukan bahwa nanopartikel La0,6Sr0,4MnO3 yang dibuat dengan metode sol gel
mampu
menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai 12 GHz. Reflection loss (RL) optimal -41,1 dB pada frekuensi 8,2 GHz dengan ketebalan 2,2 mm, bandwidth dengan haga RLkurang dari -10 dB dicapai pada daerah frekuensi 5,5-11,3 GHz (Gambar 2.33). Dalam laporannya Cheng juga mengungkapkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya semakin baik.
58
Gambar 2.33. Hubungan refletation loss dengan frekuensi gelombang mikro pada La0,6Sr0,4MnO3 [17]
Zhou dkk pada tahun 2007 [12] melaporkan bahwa nanopartikel La0,8Ba0,2MnO3 memiliki sifat absorbsi gelombang mikro pada frekuensi 2-18 GHz, dengan puncak 13 dB pada frekuensi 6,7 GHz, dan bandwidth absorbing diatas 10 dB pada frekuensi 1,8 GHz. Nanopartikel La0,8Ba0,2MnO3 dibuat dengan metode sol-gel dari bahan dasar La2O3, Mn(C2H4O2)2, dan Ba(OH)2 dengan berat fraksi mol 2:5:1. Bahan dasar tersebut dicampur bersama pada suhu 70oC selama 6 jam dan selanjutnya dikalsinasi pada suhu 800oC selama 2 jam.
Kurva
hubungan antara frekuensi dan flection lossnya dapat dilihat pada Gambar 2.34.
59
Gambar 2.34. Hubungan antara reflektansi dan frekuensi gelombang mikro pada La0,8Ba0,2MnO3 [12]
2.14.
Mekanisme serapan gelombang mikro Gelombang mikro adalah gelombang EM yang berada pada jangkauan 300
MHz – 300 GHz dengan panjang gelombang antara 1m – 1mm [47]. Gelombang mikro mematuhi hukum-hukum optik seperti transmisi, absorpsi dan refleksi yang tergantung pada karakteristik material. Ilustrasi skematis pada Gambar 2.35 memperlihatkan bahwa materialmaterial yang bersifat transparan akan meneruskan gelombang mikro secara sempurna tanpa ada yang diserap dan didisipasikan dalam bentuk panas. Hal yang sama terjadi pada konduktor namun tidak ada gelombang mikro yang diteruskan maupun diserap, melainkan dipantulkan kembali dengan sempurna, sehingga material yang bersifat konduktif seperti logam merupakan reflektor yang baik.
60
Material Type
Penetration
Transparent (no Heat)
Total Transmission
Conductor (no Heat)
None
Absorber (material are heated)
Partial to total absorption
Gambar 2. 35 Jenis interaksi gelombang pada material [48]
Idealnya material penyerap gelombang mikro harus memiliki komponen magnetik dan dielektrik yang sesuai dengan jangkauan frekuensi gelombang mikro yang akan berinteraksi dengan material tersebut. Mekanisme serapan yang terjadi pada material penyerap gelombang mikro akan lebih mudah dipahami jika membagi interaksi gelombang mikro dan material penyerap ke dalam komponen elektrik dan magnetik.
2.14.1 Rugi-rugi akibat osilasi medan elektrik Terdapat dua mekanisme yang terjadi pada rugi-rugi material nonmagnetik, yaitu: rugi-rugi dielektrik dan rugi-rugi konduksi. Rugi-rugi konduksi mendominasi bahan dengan nilai konduktifitas tinggi seperti logam, sedangkan rugi-rugi dipolar mendominasi bahan dielektrik seperti isolator. Jika gelombang mikro berinteraksi dengan material dielektrik, maka medan internal yang ditimbulkan akan menginduksi gerak translasi dari muatan bebas atau berikatan seperti elektron atau ion, dan membuat muatan kompleks seperti dipol berotasi. Momen inersia, tahanan elastis dan gaya gesek di dalam material akan melawan efek yang dihasilkan oleh medan induksi tersebut dan menghasilkan efek rugi-rugi elektrik. Ilustrasi pada Gambar 2.36 memperlihatkan polarisasi medan litrik terhadap sebuah dipol. Pada frekuensi rendah, arah medan listrik berubah dengan
61
lambat sehingga dipol memiliki cukup waktu untuk mengikuti perubahannya, namun dengan bertambahnya frekuensi, momen inersia dan gaya gesek akan menghasilkan hambatan sampai pada frekuensi dimana tidak lagi terjadi rotasi. Gesekan dan momen inersia yang menyertai penyearahan dipol mengakibatkan disipasi energi dalam bentuk panas.
Gambar 2. 36. Mekanisme polarisasi oleh medan listrik [49]
Rugi-rugi dielektrik terbagi dalam empat segmen yang bersesuaian dengan daerah frekuensi terjadinya, yaitu: ionik, dipolar, atomik dan elektronik seperti pada Gambar 2.37 berikut:
Gambar 2.37. Mekanisme rugi rugi dielektrik [49]
Pada material dielektrik seperti isolator, displacement (D) berbanding lurus dengan medan elektrik gelombang mikro (E) menurut persamaan 2.41 berikut: 62
(2. 41)
sehingga nilai permitivitas bahan dapat ditulis seperti persamaan 2.42 berikut:
(2.42)
untuk medan elektrik yang berubah terhadap waktu, nilai permitivitas merupakan suatu besaran kompleks seperti persamaan 2.43 berikut:
(2.43) dengan o sebagai permitivitas ruang hampa (8.86 x 10-12 F/m), r sebagai permitivitas relatif ril yang menunjukan besar energi gelombang mikro yang tersimpan dalam material dan r
adalah permitivitas relatif imajiner yang
menunjukan besar energi gelombang mikro yang terdisipasi. Ilustrasi pada gambar 2.38 menunjukan perubahan nilai permitivitas material terhadap induksi gelombang mikro sebagai fungsi frekuensi yang dikenal dengan nama Debye relaxation [50]. Kombinasi permitivitas ril dan imajiner merupakan penentu daerah frekuensi kerja material.
Gambar 2.38. Model relaksasi Deby [49]
63
Hubungan antara translasi atau rotasi muatan yang terinduksi gelombang mikro dan rugi-rugi elektrik disebut dengan loss tangent dielektrik (tan) seperti yang deskripsikan melalui persamaan 2.44 berikut:
2. 44
dengan σ sebagai konduktifitas bahan (S/m) yang disebabkan oleh konduksi ion atau perubahan arus dan f sebagai frekuensi. Persamaan 2.44 memperlihatkan bahwa makin besar nilai konduktifitas maka makin besar pula serapannya, sehingga penggunaan konduktor sebagai bahan penyerap sangatlah logis. Namun demikian nilai konduktifitas logam yang tinggi akan menyebabkan arus eddy yang menghasilkan medan magnet dengan arah berlawanan, sehingga konduktor merupakan reflektor yang baik pula. Jumlah daya per unit volume (W/m3) yang diserap oleh material elektrik dapat ditulis menurut persamaan 2.45 berikut:
2. 45
dengan
sebagai nilai mutlak medan elektrik internal karena induksi (V/m)
dengan asumsi bahwa daya tersebut tersebar merata ke seluruh material sehingga kesetimbangan termal telah tercapai. Terlihat bahwa daya yang terserap berubah secara linier dengan frekuensi, permitivitas relatif ril, loss tangent, namun berubah dengan kuadrat medan elektrik internal.
2.14.2 Rugi-rugi akibat osilasi medan magnet Serupa dengan material dielektrik, material magnetik akan menghasilkan efek magnetisasi seperti pada persamaan 2.46 berikut:
2.46
dengan B sebagi magenisasi total (T), H sebagai medan magnet induksi (A/m),
64
M sebagai magnetisasi di dalam material (A/m) dan
sebagai permeabilitas
ruang hampa (4 x 10-7 H/m). Jika medan induksi cukup kecil, maka nilai magnetisasi dalam material akan proporsional dengan intensitas medan tersebut, sehingga permeabilitas relatif (r) akan bernilai konstan seperti deskripsi persamaan 2.47 berikut:
2.47
Disipasi energi pada material magnetik akibat karena perubahan medan magnet oleh gelombang mikro dapat dideskripsikan melalui persaman 2.48 berikut:
2.48 dengan demikian loss tangent magnetik (tan ) pada material dapat ditulis seperti persamaan 2.49 berikut: 2.49
Jumlah daya per unit volume (W/m3) yang diserap oleh material magnetik dapat ditulis menurut persamaan 2.450 berikut:
2.50
Persamaan 2.50 serupa dengan persamaan 2.45, namun loss tangent pada material magnetik terdiri dari oleh loss tangent histerisis (tan h), arus eddy (tan e) dan residual (tan r) menurut persamaan 2.51 berikut:
2.51
Rugi-rugi residual didominasi oleh rugi-rugi resonansi dan rugi-rugi relaksasi oleh domain-domain magnet pada material magnetik dan umumnya terjadi pada frekuensi yang tinggi [50].
65
2.14.2.1.
Rugi-rugi histerisis
Kurva histerisis material feromagnetik merupakan bentuk disipasi energi selama proses magnetisasi dan demagnetisasi. Disipasi energi (Wh) per unit volume dalam material magnetik dapat ditulis seperti persamaan 2.52 berikut:
2.52
Selama proses magnetisasi dan demagnetisasi, terjadi fenomena penyimpanan energi dalam bentuk kumpulan domain-domain magnet yang searah (remanen magnetik) dan disipasi dalam bentuk panas yang dihasilkan dari pergerakan domain-domain magnetik tersebut. Rugi-rugi histerisis bergantung pada sifat intrinsik, porositas, ukuran grain dan impuritas material magnetiknya [50]. Fenomena ini dikenal sebagai refleksi histerisis yang mempunyai hubungan nonlinier antara induksi magnetik (H) dan magnetisasi (B) yang terjadi dalam material. Dua parameter penting yang menghasilkan rugi-rugi histerisis adalah saturasi magnetik dan koersivitas yang membentuk kurva histerisis seperti pada Gambar 2.39 berikut:
Gambar 2.39 Kurva histerisis feromagnetik [51]
66
2.14.2.2. Rugi-rugi oleh arus eddy Konduktifitas material merupakan faktor penting dalam hal disipasi oleh arus eddy. Ketika gelombang mikro mengenai permukaan konduktor maka elektron-elektron bebas akan terinduksi dan menghasilkan gaya gerak listrik (GGL) dengan arah tegak lurus arah induksi sehingga menyebabkan terjadinya aliran arus yang melingkar pada permukaan konduktor dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi medan induksi. Aliran arus ini akan mengalami efek resistansi dan induktansi karena sifat intrinsik dan ekstrinsik material. Faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya arus eddy adalah skin depth () atau kedalaman penetrasi medan magnet pada material. Skin depth berhubungan dengan rapat arus pada kedalaman tertentu relatif terhadap rapat arus di permukaan. Nilai skin depth tergantung pada frekuensi, konduktifitas, permebilitas dan berkurang menurut 1/e dari permukaan seperti deskripsi pada gambar 2.40 berikut:
Gambar 2.40. Mekanisme arus eddy dan skin depth [52]
Skin depth didapatkan dari persamaan 2.53 berikut:
67
2.53
Gambar 2.40 dan persamaan 2.53 menunjukan bahwa arus eddy dapat dihindari dengan mengurangi ukuran sampel menjadi lebih kecil dari nilai skin depth-nya.
Gambar 2.41. Kontribusi arus eddy terhadap linewidth frekuensi serapan [53]
Gambar 2.41 menunjukan variasi ukuran sampel dan jenis sampel terhadap frekuensi serapan. Untuk ukuran sampel yang sama, meningkatnya nilai koersivitas akan menggeser daerah serapan material ke frekuensi yang lebih tinggi. Untuk jenis material yang sama, meningkatnya ukuran sampel akan menggeser daerah serapan ke frekuensi yang lebih rendah. Dengan demikian untuk menentukan jangkauan frekuensi serapan yang tepat maka pemilihan material magnetik dan ukuran sampel menjadi faktor yang sangat penting. Untuk sampel dengan ukuran yang lebih besar dari nilai skin depth, disipasi energi oleh arus eddy dapat ditulis seperti persamaan 2.54 berikut:
2.54
68
Disipasi energi akan berbeda untuk tiap material
namun secara umum akan
meningkat dengan kuadrat nilai frekuensi, induksi medan magnet, dimensi sampel (r untuk bola dan silinder) dan meningkat secara linier dengan konduktifitas seperti deskripsi pada persamaan 2.55 berikut:
2.55
Material magnetik dengan nilai konduktifitas tinggi dan memiliki perbandingan ukuran sampel dengan nilai skin depth yang sangat besar akan mengalami fenomena arus eddy ketika berinteraksi dengan gelombang mikro. Material ferromagnetik Nd2Fe14B dan SmCo5 merupakan hard-magnet dengan koersivitas 3 kali lebih besar dari koersivitas BHF, namun karena konduktifitasnya yang tinggi menghasilkan arus eddy mendominasi serapannya. Konduktifitas pada material ferrite terjadi karena pertukaran elektronelekton valensinya dan peningkatan temperatur akan meningkatkan konduktifitas seperti deskripsi persamaan 2.56 berikut:
2. 56
dengan Ep sebagai energi aktifasi dan k sebagai konstanta Boltzman (1.38 x 10-23 J/K), persamaan 2.56 memperlihatkan bahwa kontribusi arus eddy akan semakin signifikan pada temperatur tinggi sehingga material ferrite dengan resistivitas tinggi menjadi pilihan untuk aplikasi pada temperatur tinggi.
69
2.14.2.3.
Rugi-rugi oleh resonansi domain wall
Peristiwa resonansi yang terjadi antara material magnetik dengan gelombang mikro dibagi dalam dua mekanisme yaitu domain wall resonance dan spin elektron resonance. Domain wall resonance adalah resonansi yang terjadi pada domain-domain magnet oleh induksi gelombang mikro. Spin elektron resonance adalah resonansi yang terjadi pada elektron yang sedang berpresisi pada arah medan magnet internal oleh induksi gelombang mikro. Ferromagnetic resonace (FMR) adalah istilah lain dari spin elektron resonance . DMR terjadi pada frekuensi diantara 0.1 - 0.3 dari nilai FMR [50]. Perubahan orientasi domain magnet oleh karena induksi magnetik akan menghasilkan restoring forces (gaya pemulih) dengan arah yang berlawanan. Momen inersia domain wall dan gesekan dengan sesama domain akan menghasilkan hambatan berupa disipasi energi menurut persamaan 2.57 berikut:
2.57
dengan x sebagai perubahan orientasi domain wall, m sebagai massa domain, β sebagai faktor damping atau redaman yang dipengaruhi oleh porositas, impuritas dan cacat kristal, k sebagai stiffness atau koefisien kekakuan yang merupakan nilai intrinsik material, Ms sebagai magnetisasi total material dan B(t) sebagai medan magnet induksi gelombang mikro.
Persamaan 2.56 memperlihatkan bahwa
semakin besar ukuran domain dan semakin banyak cacat (porositas, impuritas dan cacat kristal) yang tekandung dalam material maka energi yang didisipasikan akan semakin besar. Material yang memiliki redaman relatif kecil akan menghasilkan DMR karakteristik pada frekuensi tertentu menurut persamaan 2.58 berikut:
2.58
70
Pada grain yang sangat kecil (rgrain rsingle-domain), DMR menjadi kurang signifikan (DMR 0) dan pada domain tunggal (k 0), tidak terjadi DMR (DMR = 0) [54]. Perbedaan nilai permeabilitas fungsi frekuensi terhadap monodomain dan multidomain pada material ferrite diperlihatkan oleh gambar 2.42 berikut:
Gambar 2.42 Pengaruh ukuran butir terhadap permiabilitas [54]
Pada frekuensi rendah (10 - 50 MHz) nilai permeabilitas ril multidomain ( 27.5) mencapai 7 kali nilai permeabilitas ril monodomain ( 4), namun pada frekuensi tinggi (500 - 1500 MHz) nilai permeabilitas ril multidomain turun dan mendekati nilai permeabilitas ril monodomain. Nilai permeabilitas imajiner multidomain menunjukan efek serapan pada frekuensi yang lebar (10 – 1500 MHz) dengan serapan maksimal pada frekuensi karakteristik (75 MHz), sebaliknya permeabilitas imajiner
monodomain
menunjukan bahwa serapan mulai terjadi pada frekuensi tertentu (100 MHz) dan meningkat dengan kenaikan frekuensi.
71
2.14.2.4 Rugi-rugi oleh resonansi feromagnetik (FMR) Struktur magnetik material ferro-magnetik dapat direpresentasikan dengan banyaknya spin elektron yang tidak berpasangan menurut persamaan 2.59 berikut:
2.59
dengan g sebagai faktor pemisahan spektroskopis (~2), µB adalah Bohr magneton (9.274 x 10-24 Am2) dan S sebagai jumlah spin yang tidak berpasangan. Total momen magnet pada sistem kristal sepenuhnya tergantung pada momen magnet spin elektron yang tidak berpasangan. Momen magnet spin tersebut akan mengalami torsi dari medan magnet intrinsik kristal sehingga menghasilkan gerak presisi dengan frekuensi Larmor menurut persamaan 2.60 berikut:
2.60
dengan γ sebagai rasio giroskopik (
) dan Ha
sebagai medan anisotropi kristal. Karena
maka frekuensi resonansi
material magnetik dapat dituliskan kembali seperti persamaan 2.61 berikut:
2.61
Mekanisme resonansi ferro-magnetik (FMR) dapat diilustrasikan secara sederhana pada Gambar 2.43 berikut:
72
Gambar 2.43. MekanismeFMR oleh gelombang miro terhadap rotasi magnetik disekitar medan anisotropis: (a) gerakan berpresisi sekitar medan anisotropi Hz oleh microwave Hrf ; (b) presisi elektron saat mendisipasikan energi [50]
Jika arah medan magnetik gelombang mikro tegak lurus terhadap medan statik material dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi resonansinya, maka energi gelombang mikro tersebut akan menghasilkan torsi yang membuat jari-jari elektron yang sedang berpresisi menjadi lebih besar, dengan kata lain memiliki level energi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Gerak presisi pada level energi yang lebih tinggi tersebut akan menghasilkan vibrasi kristal dalam bentuk gelombang spin atau magnon. Faktor masa, koefisien kekakuan, porositas, impuritas dan cacat kristal akan menghalangi pergerakan magnon tersebut dan menghasilkan disipasi. Proses tersebut yang mengakibatkan terjadinya serapan energi gelombang mikro oleh efek FMR.
2.14.2.5 Rugi-rugi magnetik oleh proses relaksasi Relaksasi magnetik merupakan proses kompleks yang melibatkan begitu banyak faktor. Ilustrasi pada gambar 2.44 menunjukan proses relaksasi magnetik yang mengakibatkan terjadinya disipasi dan merupakan penjelasan bagaimana mekanisme damping pada FMR terjadi. Kumpulan gelombang spin yang tereksitasi oleh gelombang mikro akan mendistribusikan energinya melalui dipolar interaction, exchange interaction, atau melalui interaksi pembawa muatan, lattice vibration dan relaksasi ion. Selain rugi-rugi intrinsik, perlu
73
diperhatikan kontribusi rugi-rugi ekstrinsik seperti ketidaksempurnaan struktur kristal yang bergantung pada proses penumbuhan dan kondisi pembentukan kristalnya, keacakan orientasi anisotropis ( polycrystallinity), porositas, kekasaran permukaan, grain boundaries dan kecepatan relaksasi. Proses relaksasi spin dapat diklasifikasikan ke dalam 2, 3 dan 4-magnon menurut reprensentasi
Hamiltonian
[55]
2-magnon
berhubungan
dengan
ketidakhomogenan dalam material magnetik yang mencakup ketidaksempurnaan struktur kristal, porositas, kekasaran permukaan dan impuritas. 3-magnon berhubungan dengan dipolar interaction yaitu interaksi antar domain-domain magnet berjangkauan panjang namun lemah yang bertanggung jawab mememecah domain tunggal material ferro atau ferri-magnetik menjadi domain-domain yang lebih kecil dengan arah yang saling berlawanan untuk meminimalisasi energi sistem. 4-magnon berhubungan dengan exchange interaction yaitu interaksi berjangkauan pendek namun kuat antar domain-domain magnet yang bertanggung jawab menjaga arah domain-domain tetap pada arah yang sama. Kombinasi semua magnon tersebut akan menghasilkan efek kombinasi yang menginduksi pembawa muatan, relaksasi ion, lattice vibration dan akhirnya didisipasikan dalam bentuk panas.
Gambar 2.44. Klasifikasi frekuensi relaksasi [56]
74
2.14.3 Impedansi gelombang dan reflektifitas Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mekanisme serapan gelombang oleh material dielektrik dan magnetik secara terpisah. Namun demikian untuk mendapatkan material penyerap gelombang mikro yang baik maka sifat dielektrik dan magnetik perlu dipadukankan dalam satu material. Paduan sifat magnetik dan dielektrik tersebut mengakibatka analisis menjadi semakin kompleks. Metode impedansi dan reflektivitas menjadi alternatif yang cukup komperhensif untuk memahami fenomena yang terjadi di dalam material penyerap gelombang mikro. Interaksi gelombang elektromagnetik dengan materi dapat didefinisikan dengan koefisien refleksi (R) dan absorpsi (A) seperti persamaan 2.62 dan 2.63 berikut:
2.62
2.63
dengan EI sebagai intensitas sumber, ER sebagai intensitas refleksi dan EA sebagai intensitas absorpsi. Persamaan 2.62 dan 2.63 dapat ditulis kembali dalam bentuk impedansi menurut persamaan 2.64 dan 2.65 berikut [57]:
2.64
75
2. 65
dimana : 2. 66
2.67
Propagasi gelombang mikro dengan material penyerap akan menghasilkan nilai ZL yang bergantung pada konduktifitas, permitivitas dan permeabilitas. Nilai o = 8.85 x 10-12 Fm-1 dan o = 1.26 x 10-6 Hm-1, sehingga Z0 = 377 Ω. Persamaan 2.65 memperlihatkan bahwa material yang sangat konduktif akan menghasilkan nilai impedansi yang sangat kecil dan
), akibatnya
yang menunjukan bahwa seluruh gelombang mikro akan
dipantulkan dengan beda fasa 180o. Material penyerap gelombang mikro yang baik harus mempunyai nilai
dan nilai
, sehingga seluruh energi
gelombang mikro akan diserap oleh material dan terjadi impedance matching atau ZL = Z0 = 377 Ω. Kemampuan suatu material penyerap gelombang mikro diukur berdasarkan nilai reflektivitas pada persamaan 2.68 berikut:
76
2. 68
Material penyerap dengan nilai RL sebesar -20 dB akan menyerap 90% energi gelombang mikro yang mengenainya. Gambar 2.11 menunjukan hubungan antara RL dengan persentasi gelombang yang dipantulkan kembali oleh material.
0 -5 -10
RL (dB)
-15 -20
-20
-25
-25 -30
-30
-35
-35
-40
-40
-45
-45
-50
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
-50 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Reflection (%) Gambar 2. 45 Reflection loss and reflectivity correlation Telah diolah kembali [51, 54]
Karena material penyerap harus memiliki reflektivitas yang sangat kecil, maka persamaan 2.66 ditulis kembali menjadi persamaan 2.69 berikut [57]
2.69
77
sehingga:
2. 70
dengan ZL sebagai impedansi sampel, Z0 sebagai impedansi udara, c sebagai kecepatan cahaya di udara, f sebagai frekuensi, d sebagai tebal sampel, sebagai permeabilitas kompleks dan sebagai permitivitas kompleks. Oleh karena nilai permeabilitas relatif dan permitivitas relatif sangat bergantung pada frekuensi, maka tujuan melakukan rekayasa material adalah untuk menghasilkan material penyerap gelombang mikro yang memiliki nilai RL sekecil mungkin dan jangkauan frekuensi serapan yang selebar mungkin.
78
BAB 3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yakni, pertama sintesis fasa tunggal system La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 (x = 0, 0,02, 0,04 dan 0,06) dengan metode penghalusan
mekanik.
Kedua,
memperkecil
ukuran
partikel
system
La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan melakukan proses sonikasi. Secara lengkap, proses penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 3.1. Sistem La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 yang telah disintesa pada tahap pertama selanjutnya diproses dengan alat sonikator untuk memperkecil ukuran partikel. Proses penelitian tahap kedua dapat dilihat pada Gambar 3.2.
3.1. Waktu dan Tempat penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai November 2014. Untuk tahap preparasi/pembuatan sampel dilakukan di laboratorium Departemen Fisika FMIPA UI. Sedangkan tahap karakterisasi sampel dilaksanakan di PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Departemen Fisika FMIPA UI, BATAN
Serpong, Fakultas Teknik UI, dan LIPI Bandung.
79
Preparasi Material
Bahan-bahan dasar
XRD
Pencampuran (Mixing)
Proses penghalusan mekanik
PSA
Kalsinasi
Kompaksi
Sintering
Karakterisasi
Pengolahan data dan Analisis
Gambar 3.1. Skema pembentukan fasa tunggal system La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3
80
Material absorber system La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3
Grinding
Proses sonikasi
Heating
Material absorber nanopartikel
Karakterisasi
Pengolahan data dan Analisis
Gambar 3.2. Skema proses sonikasi
81
3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan sebagai berikut: a.
Timbangan digital. digunakan untuk menimbang bahan dasar
b.
Spatula. beaker glass
c.
Dies (cetakan specimen/sampel) berbentuk silindris.
d.
Planetary Ball Milling untuk mencampur serbuk bahan dasar
e.
Bola baja (ball mill) digunakan untuk menumbuk campuran di dalam vial Planetary Ball Milling.
f.
Furnace (dapur pemanas) untuk men-sintering sampel
g.
Universal testing machine atau pressing mechine digunakan untuk membuat/mengkompaksi sampel (green body).
h.
Cawan kramik digunakan untuk tempat sampel ketika disintering
i.
Sonikator dengan frekuensi daya tinggi untuk memperkecil ukuran partikel.
j.
X Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk melihat struktur kristal sampel
k.
Permagraph Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH digunakan untuk pengujian sifat magnetik sampel
l.
Vector Network Analyzer (VNA) digunakan untuk pengujian sifat absorber sampel.
m. Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel sampel. Bahan habis pakai yang digunakan sebagai berikut n. Serbuk bahan dasar La2O3. MnCO3. BaCO3. dan TiO2 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.1 o.
Tissue. Aquabidest
p.
Serbuk karbon diunakan untuk membersihkan vial planetary ball mill
q.
PVAc. digunakan sebagai perekat pada saat mencetak spesimen dengan kompaksi.
r. Sabun cream diunakan untuk membersihkan vial dan ball mill s.
Aseton digunakan sebagai pembersih dan campuran proses milling.
82
3.3.
Preparasi Pembentukkan Fasa Tunggal
3.3.1. Bahan Dasar Preparasi sampel dilakukan di laboratorium Fisika UI Depok dengan metode reaksi padatan menggunakan mechanical milling (proses penghalusan mekanik).
Bahan-bahan dasar yang digunakan untuk membuat fasa tunggal
sistem La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 adalah La2O3, BaCO3, MnCO3, dan TiO2 produk Aldrich dengan tingkat kemurnian pro analisis seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Bahan Dasar Penelitian
No.
Nama
Formula
Mr
Produk
Kemurnian
La2O3
325,78
Aldrich
99,9%
BaCO3
197,31
Aldrich
99,9%
MnCO3
114,92
Aldrich
99,9%
TiO2
79,88
Aldrich
99,9%
Kimia 1.
Lantanum oksida
2.
Barium karbonat
3.
Mangan karbonat
4.
Titanium dioksida
Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dibuat melalui metode reaksi padatan menggunakan milling dari prekursor berbahan dasar oksida yaitu La2O3, BaCO3, MnCO3, dan TiO2. Komposisi sampel yang akan dibuat dihitung secara stoikiometri dengan perbandingan persen bobot (%wt) dari masing-masing senyawa menurut persamaan reaksi berikut : La2O3(s) + BaCO3(s) + (1-x)MnCO3(s) + xTiO2(s) La0,67Ba0,33Mn(1-x)TixO3 + CO2(g) + O2(g)
83
Hasil perhitungan dari persamaan reaksi diatas diperoleh massa bahan dasar yang diperlihatkan pada Tabel 3.2
Tabel 3.2. Massa bahan dasar sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Sampel
X
La2O3 (g)
BaCO3 (g)
MnCO3 (g)
TiO2 (g)
1
0
6,79
4,05
7,15
0,00
2
0,02
6,80
4,05
7,01
0,10
3
0,04
6,80
4,06
6,87
0,20
4
0,06
6,80
4,06
6,73
0,30
Setelah mengetahui massa bahan-bahan dasar yang dibutuhkan, bahanbahan dasar ditimbang dengan menggunakan neraca digital type Libror AE-210 merek Shimadzu dengan kapasitas 200,0000 gram, skala terkecil 0,0001 gram (Gambar 3.3)
84
Gambar 3.3. Neraca digital Shimadzu
Selanjutnya bahan-bahan dasar tersebut dicampur dan dihaluskan melalui proses mechanical milling untuk waktu milling efektif 40 jam dengan Planetary Ball Mill (Gambar 3.4). Rasio antara bola dan material adalah 10 : 1. Untuk menghindari kerusakan alat milling karena adanya peningkatan suhu motor yang terlalu tinggi, maka untuk setiap satu siklus milling selama 30 menit, proses dihentikan selama 30 menit untuk pendinganan motor.
85
Gambar 3.4. Planetary Ball Mill
Mechanical milling adalah teknik yang efektif untuk memperkecil ukuran partikel dan memadukan beberapa senyawa ke dalam suatu fasa baru. Selama proses berlangsung serbuk-serbuk bahan dasar terjebak dalam bola-bola yang saling bertumbukan, sehingga mengakibatkan terjadinya deformasi dan proses fracture, kemudian terjadi cold welding dari serbuk-serbuk secara elementer. Selanjutnya sampel dikalsinasi untuk menghilangkan impuritas selama 10 jam dengan suhu 800oC. Sebelum dipanaskan, semua sampel dikompaksi terlebih dahulu dengan menggunakan alat pencetak pellet (Gambar 3.5).
86
Gambar 3.5. Alat kompaksi
Kemudian semua sampel dipanaskan sampai temperatur 1200oC selama 10 jam dengan menggunakan tube furnace High Temperature Furnace merk Termolyne (Gambar 3.6).
Gambar 3.6. High temperature Furnice Thermolyne 46100
87
3.3.2. Proses Sonikasi Untuk memperkecil ukuran partikel digunakan proses sonikasi daya tinggi (Gambar 3.7). Prinsip dasar proses ini adalah terbentuknya gelembung vakum oleh gelombang ultrasonik pada cairan. Gelembung vakum yang terbentuk kemudian runtuh dengan kecepatan tinggi dan dapat menghasilkan tekanan dan temperatur yang sangat tinggi. Jika terdapat partikel disekeliling gelembung vakum tersebut, partikel-partikel akan bertumbukan dengan kecepatan yang sangat tinggi dan memungkinkan terjadinya pengecilan ukuran karena energi yang dihasilkan lebih besar dari energi ikat antar butir pada sampel.
Gambar 3.7. Sonikator
88
3.4. Karakterisasi Sampel 3.4.1. Thermogravimetric analysis (TGA) Dasar dari TGA adalah mengamati perubahan massa sampel terhadap kenaikan temperatur. Kurva kontinu perubahan massa terhadap temperatur diperoleh ketika sampel dipanaskan dengan kecepatan yang seragam. Kurva thermogravimetric (TG) umumnya merupakan plot antara penurunan massa pada sumbu y (ordinat) dan kenaikan temperatur pada sumbu x (absis). Karakterisasi sampel dengan TGA dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta. TGA (TA Instrument) tersebut menggunakan gas oksigen dan nitrogen.
Gambar 3.8. TGA
89
3.4.2. Difraksi Sinar-X (XRD) Analisa kuantitas dan kualitas fasa-fasa yang ada dalam sampel menggunakan XRD merek Shimadzu. Berkas sinar-x dihasilkan dari tube anode Cu, dengan panjang gelombang 1,5405Å, mode: continous-scan, step size: 0,2 dan timer per step 0,5 detik, dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta.
Gambar 3.9. Alat Difraksi sinar-X (XRD) Shimadzu-7000
90
3.4.3. SEM Karakterisasi dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan untuk mengetahui morfologi dari sampel. Karakterisasi SEM dilakukan di PTBIN BATAN, Serpong. Dengan spesifikasi alat Jeol JED-2300.
Gambar 3.10. Scanning Electron Microscope (SEM)
91
3.4.4. Permagraf Karakterisasi dengan permagraph dilakukan dengan tujuan mengetahui sifat magnetik dari sampel, seperti saturasi dan koersifitas magnet. Karakterisasi permagraf dilakukan di laboratorium UI Depok.
Gambar 3.11. Permagraf
92
3.4.5. Vibrating Sample Magnetometer Alat VSM tipe OXFORD VSM1.2H merupakan salah satu jenis peralatan yang digunakan untuk mempelajari sifat magnetic bahan. Dengan alat ini akan diperoleh informasi mengenai besaran-besaran sifat magnetik sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva histerisis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.12.
Gambar 3.12. Alat Vibrating Sample Magnetometer (VSM) tipe OXFORD VSM1.2H
93
Semua bahan mempunyai momen magnetic jika ditempatkan dalam medan magnetic. Momen magnetic per satuan volume dikenal sebagai magnetisasi. Secara prinsip ada dua metode mengukur besar magnetisasi tersebut, yaitu metode induksi (induction method) dan metode gaya (force method). Pada metode induksi, magnetisasi diukur dari sinyal yang ditimbulkan/diinduksikan oleh cuplikan yang bergetar dalam lingkungan medan magnet pada sepasang kumparan. Sedangkan pada metode gaya pengukuran dilakukan pada besarnya gaya yang ditimbulkan pada cuplikan yang berada dalam gradient medan magnet. VSM adalah salah satu alat ulur magnetisasi yang bekerja berdasarkan metode induksi. Pada metode ini, cuplikan yang akan diukur magnetisasinya dipasang pada ujung bawah batang kaku yang bergetar secara vertikal dalam lingkungan medan magnet luar H. Jika cuplikan termagnetisasi secara permanen ataupun sebagai respon dari adanya medan magnet luar, getaran ini akan mengakibatkan perubahan garis gaya magnetik. Perubahan ini akan menginduksi/menimbulkan suatu sinyal tegangan AC pada kumparan pengambil (pick-up atau sense coil) yang ditempatkan secara tepat dalam sistem medan magnet ini. Dengan memakai hokum Biot-Savart untuk sistem medan dipole, tegangan induksi diberikan sebagai : V Afm G(x,y,z)
(3.1)
A
: amplitude getaran cuplikan,
f
: frekuansi getaran cuplikan,
m
: momen magnetik,
G(x,y,z) : fungsi sensitivistas, yang ditunjukkan adanya kebergantungan sinyal pada posisi cuplikan dalam system kumparan
Selanjutnya sinyal AC ini akan dibaca oleh rangkaian pre-amp dan Lock-in amplifier. Frekuensi dari Lock-in amplifier diset sama dengan frekuensi getaran sinyal referensi dari pengontrol getaran cuplikan. Lock-in amplifier ini akan membaca sinyal tegangan dari kumparan yang sefasa dengan sinyal referensi.
94
Kumparan pengambil biasanya dirangkai berpasangan dengan kondisi lilitan yang berlawanan. Hal ini untuk menghindari terbacanya sinyal yang berasal dari selain cuplikan,misalnya dari akibat adanya perubahan medan magnet luar itu sendiri. selanjutnya dalam proses pengukuran, medan magnet luar yang diberikan, suhu cuplikan, sudut dan interval waktu pengukuran dapat divariasikan melalui kendali computer. Komputer akan merekam data tegangan kumparan sebagai fungsi medan magnet luar, suhu, sudut ataupun waktu.
3.4.6. Pengukuran Resistivitas menggunakan Four Point Probe (FPP) Alat Four Point Probe (FPP) digunakan untuk melihat perubahan resistansi sampel dengan dan tanpa medan magnet. Jadi, dengan menggunakan alat Four Point Probe (FPP) dapat menentukan nilai magnetoresistansi setiap sampel La0,67Sr0,33Mn1-xFexO3 untuk masing-masing komposisi x. Alat ukur Four Point Probe (FPP) memiliki komponen utama yaitu : 1. Perangkat computer : yang terdiri dari CPU, monitor, keybord dan mouse 2. Sumber arus DC : Programmable DC Power Suplly TSX1820P buatan Thurlby-Thadar, digunakan untuk mengukut rapat arus kritis superkonduktor, daerah pengukuran 10 mA sampai dengan 20 A 3. Sumber arus konstan DC :
2554 DC Voltage Current Standard buatan
Yokogawa, digunakan untuk mengukur cuplikan yang memiliki resistansi tinggi, daerah pengukuran 1 A sampai dengan 10 mA. 4. Voltmeter : 181 Nanovoltmeter merek Keithley. 5. Alat pengontrol suhu : Lake Shore Cryotronics 201 Thermometer. 6. Alat pembangkit magnet (coil electromagnetic) 7. Fou Point Probe merek Jandel, dengan spesifikasi jarak antar probe 1 mm. massa probe 70+ gram, dan bahan probe adalah Tungten Carbida (TC). Alat Four Point Probe (FPP) terdiri dari empat kabel keluaran, terdiri dari dua kabel yang dihubungkan dengan voltmeter dan dua kabel lainnya dihubungkan dengan sumber arus konstan. Sumber arus DC dihubungkan dengan
95
coil elektromagnetik yang akan digunakan sebagai sumber pembangkit medan magnet. Skematik peralatan ini diperlihatkan sebagai berikut :
Gambar 3.13. Skematik alat ukur Four Point Probe (FPP)
Langkah-langkah persiapan a. Sampel yang diukur dipersiapkan dalam bentuk padatan (berbentuk silinder) dengan ukuran diameter maksimumnya adalah 15 mm dan ketebalan maksimum 5 mm. b. Permukaan sampel yang telah dipersiapkan harus bersih, sehingga sampel terbebas dari oksida-oksida pengotor dan diusahakan permukaannya rata. c. Sampel diletakkan pada sampel holder d. Sampel siap untuk diukur.
Langkah-langkah pengukuran Pengukuran ini dikontrol dengan menggunakan komputer. Apabila program ini dijalankan, akan tampil dialog box menu GPIBJc. a) Pada gambar 3.14, terilhat ada 4 icon, terletak dibagian bawah layar monitor, yakni : start, stop, konfigurasi dan main menu.
96
Gambar 3.14. Kotak dialog pengukuran magnetoresistansi pada FPP
b) Icon konfigurasi diklik satu kali, maka kursor akan berpindah ke panel parameter isian I (Ampere). Jika I (Ampere) diisi 0,01, artinya nilai minimum arus yang dialirkan pada sampel adalah 0,01 Ampere. c) Tombol ENTER ditekan, kursor berpindah ke lokasi parameter ΔI. Harga ΔI diisi 0,01, artinya nilai maksimum perubahan arus yang diinginkan adalah 0,01 Ampere. Point b) dan c) ini digunakan untuk mengontrol perubahan medan magnet pada coil dengan memasukkan sumber arus awal dan delta arusnya. d) Tombol ENTER ditekan, kursor berpindah ke lokasi parameter range Volt. Harga range Volt diisi 0,002, artinya nilai maksimum tegangan yang akan diukur adalah 2 mV e) Tombol Enter ditekan, kursor berpindah ke lokasi file dan mengisi nama file yang kita kehendaki untuk setiap perlakuan sampel. f) Tombol ENTER ditekan, maka akan muncul informasi pada layar : 1. Alat anda sudah tersambung dengan baik. 2. Parameter konfigurasi belum benar 3. Alat anda belum tersambung dengan PC Jika informasi (1) muncul, berarti data konfigurasi yang dimasukkan sudah benar dan bisa dilanjutkan kelangkah berikutnya. Jika informasi (2) muncul, berarti ada kesalahan pada nilai parameter konfigurasi. Jika informasi (3) yang
97
muncul, berarti ada sebagian alat yang belum tersambung dengan baik pada PC. g) Klik icon start satu kali, maka pengukuran dimulai. h) Jika grafik pada layar monitor sudah terbentuk, maka pengukuran dihentikan dengan mengklik satu kali pada icon stop i) Kemudian mouse dipindahkan ke icon main menu, di klik satu kali dan pada monitor muncul kembali ke menu pilihan gambar 3.10. j) Selanjutnya keluar dari menu pengukuran masuk ke file data ini dengan mengklik dua kali F10 Exit, klik start, pilih program, klik Windows-Explorer, pilih Newgpib, kemudian klik dua kali File data hasil pengukuran k) Data hasil pengukuran dapat dibaca dengan menggunakan program excel Microsoft for windows.
Gambar 3.15. Rangkaian Alat Four Point Probe (FPP)
3.4.7. Vector Network Analyzer Pengujian sifat penyerapan gelombang elektromagnetik menggunakan peralatan Vector Network Anayzer (VNA). Sistem kerja Vector Network Anayzer (VNA) adalah menganalisis efek refleksi dan transmisi sumber gelombang elektromagnet yang dihasilkan dari sinyal frekuensinya seperti terlihat pada Gambar 3.16 dan Gambar 3.17.
98
Gambar 3.16. Vector Network Analyzer – Advantest type R3770
Gelombang datang (S11) dari Port 1 dan gelombang pantul diterima juga oleh Port 1 serta gelombang transmisi (S21) diterima oleh Port 2.
Gambar 3.17. Skema Perambatan Gelombang Elektromagnetik dalam Air Line Wave Guide
Pengujian refelection loss (RL) terhadap sampel diukur dengan menggunakan alat Vector Nework Analyzer tipe ADVANTEST R3770 dengan rentang frekuensi pengujian dilakukan pada frekuensi 5 GHz hingga 18 GHz dengan prototipe 300 KHz – 20 GHz. Untuk analisis refleksi dan transmisi
99
gelombang mikro sampel berbentuk bulk dengan diameter 15 mm dan ketebalan 2 mm. Dalam hal penyerapan energi gelombang EM, keseluruhan interaksi dapat diwakili oleh impedansi dari material (Zin) yang bersifat dielektrik dan induktif.
Gambar 3.18. Skematik proses absorpsi gelombang elektomagnetik
Analisa refleksi (S11) dan transmisi (S21) pada gelombang mikro dilakukan pada frekuensi 1 – 20 GHz menggunakan model matematik Nicholson-Ross-Weir (NRW) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.18 [58]. Prosedur model NRW ini diturunkan dari persamaan berikut : (3.2)
Kedua parameter ini dapat diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan vector network analyzer. Sedangkan hubungan antara S11 dan S21 sebagai factor koefisien refleksi dan transmisi ditunjukkan pada persamaan berikut ini. (3.3)
(3.4) (3.5)
100
Gambar 3.19. Model matematik Nicholson-Ross-Weir [58]
Dari kedua persamaan diatas dapat diperoleh permeabilitas relative menurut persamaan sebagai berikut : (3.6)
Dimana 0 panjang gelombang ruaang hampa dan c is adalah panjang gelombang cut off dari karakteristik adapter dan waveguide. (3.7)
101
Sedangkan permitivitas relative dapat didefiniskan sebagai : (3.8)
Dimana d adalah ketebalan bahan absorp, r adalah permitivitas relative, µr adalah permeabilitas relative, g adalah panjang gelombang di dalam sampel, and merupakan konstata propagasi dari bahan. Berdasarkan teori reflection loss radiasi elektromagnetik RL (dB) dalam gelombang normal pada permukaan material lapis tunggal dengan sebuah penghantar sempurna dapat didefinisikan sebagai: (3.9)
dimana Z0 adalah karakteristik impedansi ruang hampa Z0 = (0 / 0)1/2 377
(3.10)
Zin adalah imput impedansi adalah metal-backed lapisan penyerapan gelombang mikro. (3.11)
Zin adalah normalisasi input impedansi yang sama dengan rasio Zin terhadap Z0, 0, 0 adalah permeabilitas dan permitivitas kompleks dari media komposit, c adalah kecepatan cahaya pada ruang hampa, f adalah frekuensi dan d adalah ketebalan penyerap. Kondisi impedansi yang matcing jika Z0 = Zin yang merepresentasikan sifat penyerapan sempurna. Bandwidth penyerapan 10 dB berarti frekuensi bandwidth dapat mencapai 90 % dari reflection loss, jika bandwidth penyerapan adalah 20 dB berarti frekuensi bandwidth dapat mencapai 99 % reflection loss.
102
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakterisasi TGA (Thermogravimetric Analysis) Sampel La0,67Ba0,33Mn1xTixO3
Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 disintesa dari beberapa bahan dasar yaitu La2O3, BaCO3, MnCO3, dan TiO yang memiliki tingkat kemurnian rata-rata diatas 99%. Seluruh bahan dasar tersebut dimilling dengan Planetary Ball Mill selama 40 jam. Hasil milling tersebut selanjutnya dikarakterisasi dengan alat TGA (Thermogravimetric Analysis) yang memliki kemampuan mengkarakterisasi sampel dari 0oC sampai 1000oC. Hasil TGA sampel dengan variasi nilai x yang selesai dimilling dapat dilihat dalam Gambar 4.1. Dari hasil TGA tersebut tampak terdapat penurunan berat sampel ketika terjadi kenaikan suhu sekitar 50oC – 800oC. Penurunan berat sampel dimungkinkan karena ada ion karbon yang berasal dari bahan dasar BaCO3 mau pun MnCO3 terbuang
ketika terjadi pemanasan. Atas dasar inilah tahapan
selanjutnya dilakukan kalsinasi pada suhu 800oC selama 10 jam untuk menghilangkan impuritas-impuritas yang ada.
103
Gambar 4.1. Kurva TGA Sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
104
Gambar 4.2. Kurva TGA bahan dasar BaCO3 Selain
sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3, bahan dasar yang mengandung
karbonat yakni BaCO3 dan MnCO3 dikarakterisasi pula dengan TGA (Gambar 4.2 dan 4.6). Gambar 4.2 menunjukkan ada dua tahapan penurunan massa sampel terhadap kenaikan suhu yakni antara suhu 200oC – 400oC dan antara suhu 800oC – 1000oC. Dan yang menarik, antara suhu 400oC-800oC terdapat kenaikan massa terhadap kenaikan temperatur. Namun dari kurva TGA tersebut belum terlihat adanya
garis horizontal yang menandakan tidak ada lagi penurunan massa
senyawa BaCO3 terhadap kenaikan suhu.
105
Untuk mengetahui proses dekomposisi senyawa BaCO3, senyawa tersebut dipanaskan dengan variasi suhu 825oC dan 1200oC selanjutnya dikarakterisasi dengan XRD. Pola difraksi sinar X dari senyawa dasar BaCO3 dan yang telah dipanaskan dapat dilihat pada Gambar 4.3 sampai Gambar 4.5.
1600
BaCo3
1400 1200
Intensitas
1000 800 600 400 200 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Sudut dua theta Gambar 4.3. Pola difraksi sinar X bahan dasar BaCO3 dengan variasi pemanasan
106
90
1400
BaCO3 825oC
1200
Intensitas
1000 800 600 400 200 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Sudut dua theta
Gambar 4.4. Pola difraksi sinar X BaCO3 dengan pemanasan 825oC
107
90
800
BaCO3 1200oC
Intensitas
600
400
200
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Sudut dua theta Gambar 4.5. Pola difraksi sinar X BaCO3 dengan pemanasan 1200oC
Pola difraksi sinar X BaCO3 yang telah dipanaskan dengan variasi suhu diidentifikasi puncak-puncaknya dengan melihat
International Centre for
Diffraction Data (ICDD). Dari hasil pencocokan dengan PDF diketahui bahwa BaCO3 dengan pemanasan 825oC
menunjukkan tetap merupakan senyawa
BaCO3 (00-045-1471). Sedangkan untuk senyawa BaCO3 yang dipanaskan dengan suhu 1200oC terdapat tiga fasa yakni fasa BaCO3 (00-045-1471) dengan struktur ortorombik, fasa BaCO4 (00-003-0659), dan fasa BaO (00-022-1056) dengan struktur kubik. Adanya fasa BaCO4 inilah yang memungkinkan terjadinya kenaikan massa seperti tampak pada kurva TGA. Reaksi dekomposisi yang mungkin terjadi pada tahap ini adalah
108
3 BaCO3 + ½ O2
BaCO3 + BaCO4 + BaO +CO2
Dari kurva TGA bahan dasar MnCO3 (Gambar 4.6) terdapat beberapa tahapan yang menandakan terjadinya perubahan MnCO3 menjadi manganat oksida Mn2O3 atau Mn3O4 tergantung suhu kalsinasi.
Gambar 4.6. Kurva TGA bahan dasar MnCO3
109
Untuk mengetahui perubahan yang terjadi, bahan dasar MnCO3 dipanaskan pada suhu 300oC, 525oC, 700oC, dan 1100oC selanjutnya dilakukan karakterisasi XRD. Profil XRD bahan dasar MnCO3 yang telah dipanaskan pada suhu bervariasi dapat dilihat pada Gambar 4.7 sampai Gambar 4.11.
2000 1800
MnCO3
1600
Intensitas
1400 1200 1000 800 600 400 200 0
10
20
30
40
50
60
70
Sudut dua theta Gambar 4.7. Pola difraksi sinar X bahan dasar MnCO3
110
80
90
1400
MnCO3 300oC
1200
Intensitas
1000
800
600
400
200 0
10
20
30
40
50
60
70
Sudut dua theta Gambar 4.8. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 300oC
111
80
90
1400
MnCO3 525oC
1200
Intensitas
1000
800
600
400
200 0
10
20
30
40
50
60
70
Sudut dua theta Gambar 4.9. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 525oC
112
80
90
2500
MnCO3 700oC
Intensitas
2000
1500
1000
500
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Sudut dua theta
Gamabar 4.10. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 700oC
113
90
450
MnCO3 1100oC
400
Intensitas
350
300
250
200
150 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Sudut dua theta
Gambar 4.11. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 1100oC
Berdasarkan identifikasi puncak-puncak pola difraksi yang bersumber dari Crystallography Open Database (COD) dapat diketahui bahwa pola difraksi untuk bahan dasar MnCO3 dengan pemanasan 300oC dan 525oC tetap senyawa MnCO3 (COD 96-900-7692). Sedangkan pola difraksi MnCO3 dengan pemanasan 700oC mengikuti pola difraksi senyawa Mn2O3 (COD 96-900-7521). Dan untuk pola difraksi MnCO3 dengan pemanasan 1100oC sesuai dengan pola difraksi senyawa Mn3O4 (COD 96-900-1964). Agar lebih jelas hasil tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.1.
114
Tabel 4.1. Hasil karakterisasi MnCO3 dengan variasi temperatur pemanasan Temperatur pemanasan (oC)
Senyawa
300
MnCO3
525
MnCO3
700
Mn2O3
1100
Mn3O4
Tabel 4.1 menunjukkan ada dua tahap dekomposisi MnCO3, tahap pertama MnCO3 + O2
½ Mn2O3 + CO2 + ¾ O2
Tahap pertama ini berhubungan dengan reaksi MnCO3 dan oksigen sehingga membentuk fase Mn2O3 dan melepaskan karbon dioksida dan oksigen. Sedangkan untuk tahap kedua reaksi dekomposisinya Mn2O3
⅔ Mn3O4 + ⅙ O2
Tahap kedua ini berhubungan dengan transformasi Mn2O3 menjadi Mn3O4 diikuti dengan pelepasan oksigen.
4.2. Karakterisasi XRD (X-Ray Diffraction) Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 Bahan-bahan dasar yang membentuk sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 yakni La2O3, BaCO3, MnCO3, dan TiO2 sebelumnya
dikarakterisasi dengan XRD.
Selanjutnya dilakukan proses sintesis seperti yang telah dijelaskan pada Bab 3, sehingga terbentuk sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 , kemudian dikarakterisasi dengan XRD. Perbandingan pola difraksi sinar X keempat bahan dasar dan pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dapat dilihat pada Gambar 4.12.
115
0
10
2250
20
30
40
50
60
70
80
90
50
60
70
80
90
La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
1500 750 0 1500
TiO
2
1000 500
Intensitas
0 2000 MnCO
1500
3
1000 500 0 1500
BaCO
3
1000 500 0 1320
La O 2 3
880 440 0 0
10
20
30
40
Sudut dua theta
Gambar 4.12. Pola difraksi sinar X bahan dasar dan sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
116
Gambar 4.12 menunjukkan adanya perbedaan antara pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan pola difraksi sinar X bahan-bahan dasar penyusunnya. Hal ini ditandai dengan perbedaan sudut dua theta puncak-puncak difraksi antara sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dan bahan-bahan dasar. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa proses eksperimen yang dilakukan
telah berhasil
membuat sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 . Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan variasi x=0; 0,02; 0,04; dan 0,06 dapat di lihat pada Gambar 4.13 sampai Gambar 4.16.
7000 6000
La0,67Ba0,33MnO3
5000
Intensitas
4000 3000 2000 1000 0 10
20
30
40
50
60
70
Sudut dua theta
Gambar 4.13. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33MnO3
117
80
La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
2000
Intensitas
1500
1000
500
0
10
20
30
40
50
60
70
Sudut dua theta
Gambar 4.14. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
118
80
2000
La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3
Intensitas
1500
1000
500
0
10
20
30
40
50
60
70
Sudut dua theta
Gambar 4.15. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3
119
80
2500
La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
Intensitas
2000
1500
1000
500
0 10
20
30
40
50
60
70
80
Sudut dua theta
Gambar 4.16. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
Pola difraksi sinar X sampel La,.67Ba0,33Mn1-xTixO3 untuk seluruh variasi nilai x memperlihatkan pola difraksi yang sama, ditandai dengan puncak-puncak pada sudut dua theta yang hampir sama. Selajutnya dilakukan refinement dengan menggunakan software GSAS. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan variasi x ditunjukkan pada Gambar 4.17 sampai dengan Gambar 4.20
120
. Gambar 4.17. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33MnO3
121
Gambar 4.18. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
122
Gambar 4.19. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3
123
Gambar 4.20. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
Hasil refinement GSAS tersebut memberikan informasi bahwa seluruh sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan harga x = 0,02; 0,04; dan 0,06 telah terbentuk fasa tunggal dengan struktur kristal monoklik dan grup ruang I 1 2/c 1 . Beberapa data hasil refinement GSAS dapat dilihat pada Tabel 4.2. Harga χ2 yang diperoleh yakni dibawah 1,3 dan wRP dibwah 10% menunjukkan bahwa data yang dihasilkan dapat diterima dengan baik. Dari hasil refinement tersebut tampak bahwa pengaruh doping Ti terhadap strutur kristal ataupun perubahan parameter kisinya tidak terlalu berpengaruh. Ditandai dengan tetanpnya struktur kristal untuk setiap variasi konsentrasi x, dan harga parameter kisi yang tidak mengalami perubahan secara signifikan.
124
Tabel 4.2. Hasil refinement GSAS sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Sampel
a(Å)
b(Å)
c(Å)
Β
χ2
wRp
Densitas (g/cm3)
La0,67Ba0,33MnO3
5,538 5,534 7,830 89,922 1,239 0,077
6,678
La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 5,534 5,538 7,829 89,955 1,187 0,079
6,676
La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3 5,550 5,520 7,812 90,097 1,265 0,083
6,690
La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3 5,560 5,513 7,804 90,166 1,321 0,082
6,689
4.3. Karakterisasi Sifat Magnet Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 Sifat magnet sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dikarakterisasi dengan menggunakan permagraf. Kurva histerisis hasil karakterisasi permagraf sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan variasi harga x dapat dilihat dalam Gambar 4.21 sampai dengan Gambar 4.24.
125
0.15 0.10
J(T)
0.05 0.00 -0.05 -0.10
La0,67Ba0,33MnO3 -0.15 -2000
-1500
-1000
-500
0
500
1000
1500
H(kA/m)
Gambar 4.21. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33MnO3
126
2000
0.15
0.10
J(T)
0.05
0.00
-0.05
-0.10
La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 -0.15 -2000
-1500
-1000
-500
0
500
1000
1500
H(kA/m)
Gambar 4.22. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
127
2000
0.06 0.04
J(T)
0.02 0.00 -0.02 -0.04
La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3
-0.06 -2000
-1500
-1000
-500
0
500
1000
1500
H(kA/m)
Gambar 4.23. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3
128
2000
0.04
J(T)
0.02
0.00
-0.02
La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
-0.04
-2000
-1500
-1000
-500
0
500
1000
1500
2000
H(kA/m)
Gambar 4.24. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
Bentuk kurva histerisis hasil permagraf pada Gambar 4.21 sampai dengan Gambar 4.24
menunjukkan bahwa sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
termasuk
material soft magnetic. Gambar tersebut juga memperlihatkan adanya harga saturasi yang cenderung menurun seiring dengan meningkatnya nilai komposisi x pada sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3. Agar lebih jelas kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dapat dilihat pada Gambar 4.25.
129
0.15
0.10
J(T)
0.05
0.00
-0.05
x=0 x=0,02 x=0,04 x=0,06
-0.10
-0.15 -2000
-1500
-1000
-500
0
500
1000
1500
2000
H(kA/m)
Gambar 4.25. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan variasi x
130
0.14
Saturasi (T)
0.12
0.10
0.08
0.06
0.04
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
Variasi x
Gambar 4.26. Grafik medan saturasi terhadap variasi x
4.4.
Karakterisasi VNA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 Kurva reflection loss (RL) sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ditunjukkan
pada Gambar 4.27 sampai dengan Gambar 4.30. Berdasarkan kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 , harga frekuensi dan reflection loss saat absorpsi maksimum dapat di lihat pada Tabel 4.3.
131
2
La0,67Ba0,33MnO3
Reflection Loss (dB)
0
-2
-4
-6
-8
-10 8
9
10
11
Frekuensi (GHz)
Gambar 4.27. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33MnO3
132
12
2
La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
0
Reflection Loss (dB)
-2 -4 -6 -8 -10 -12 -14 8
9
10
11
Frekuensi (GHz) Gambar 4.28. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
133
12
La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3
Reflection Loss (dB)
0
-5
-10
-15 8
9
10
11
Frekuensi (GHz) Gambar 4.29. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3
134
12
La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
Reflection Loss (dB)
0
-5
-10
-15 8
9
10
11
Frekuensi (GHz)
Gambar 4.30. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
135
12
0 -2
Reflection Loss (dB)
-4 -6 -8 -10
x=0 x=0,02 x=0,04 x=0,06
-12 -14 8
9
10
11
12
Frekuensi (GHz)
Gambar 4.31. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Tabel 4.5. Reflection Loss (RL) sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Sampel
Frekuensi (GHz)
RL (dB)
X= 0
11,45
-5,79
X = 0,02
11,46
-13,26
X = 0,04
11,40
-11,20
X = 0,06
11,40
-12,90
Dari Gambar 4.31 dan Tabel 4.5. terlihat bahwa sampel dengan variasi konsentrasi x = 0,02 atau La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 memiliki sifat absorpsi yang terbaik, dengan nilai reflection loss optimum -13,26 dB pada daerah frekuensi 11,46 GHz.
136
4.5. Pembuatan Nano Partikel Sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,03Ti0,03 Melalui Proses Sonikasi
Ukuran partikel sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,03Ti0,03 setelah milling selama 40 jam di ukur dengan PSA (particle size analyser), hasilnya dapat dilihat pada Gaambar 4.32. Dari Gambar 4.32 diperoleh ukuran partikel rata-rata sebesar 5016 nm.
d=5016 nm
Gambar 4.32. Ukuran partikel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses milling 40 jam
Gambar 4.33 memperlihatkan ukuran partikel setelah proses re-milling selama 10 jam. Ukuran partikel rata-rata sampel setelah proses re-milling 10 jam diperoleh sebesar 2886 nm. Setelah sampel di re-milling selanjutnya dilakukan proses sonikasi terhadap sampel selama 3 jam. Dari proses sonikasi diperoleh
137
ukuran partikel rata-rata sampel sebesar 358,3 nm (Gambar 4.34). Hasil ini membuktikan bahwa proses sonikasi efektif untuk memperkecil ukuran partikel.
d=2886 nm
Gambar 4.34. Ukuran partikel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses remilling 10 jam
138
d=358,3 nm
Gambar 4.35. Ukuran partikel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses sonikasi Sampel yang telah melalui prose re-milling dan sonikasi selanjut dikarakterisasi sifat magnetnya dengan menggunakan VSM. Gambar 4.36 menunjukan perbandingan kurva histerisis antara sampel yang telah melalui proses re-milling dan proses sonikasi. Dari Gambar 4.36 memperlihatkan bahwa harga saturasi tetap dan penurunan koersifitas meskipun kecil.
139
4 3 2
M(emu/gram)
1 0 -1 -2 -3
remilling sonikasi
-4 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
H(Tesla)
Gambar 4.36. Kurva histerisis La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses remilling dan sonikasi
140
Gambar 4.37 menunjukkan serapan yang diperoleh sampel setelah proses sonikasi. Terlihat bahwa serapan tertinggi terjadi pada frekuensi 11,4 GHz dengan nilai reflection loss maksimum sebesar 24,44 GHz. Dari spectrum reflection loss ini menunjukan bahwa nilai serapan semakin baik ketika ukuran partikel semakin mengecil.
0
Reflection Loss (dB)
-5
-10
-15
-20
-25 8.0
8.5
9.0
9.5
10.0
10.5
11.0
11.5
12.0
Frekuensi (GHz)
Gambar 4.37. Kurva Reflection Loss (RL) La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses sonikasi
141
4.6. Diskusi Pola difraksi sinar X dan hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3, (x = 0; 0,02; 0,04; dan 0,06) , menunjukkan bahwa sintesis system La0,67Ba0,33Mn1xTixO3,
(x = 0; 0,02; 0,04; dan 0,06) tersebut telah berhasil membuat sampel satu
fasa dengan struktur kristal monoklinik. Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3, (x = 0; 0,02; 0,04; dan 0,06) fasa tunggal diperkuat dengan hasil pengamatan SEM (Gambar 4.38) yang memperlihatkan morfologi permukaan sampel.
Gambar 4.38. Morfologi permukaan sampel x = 0,02
142
Gambar 4.39. Morfologi permukaan sampel x = 0,04
Gambar 4.39. Morfologi permukaan sampel x = 0,06
143
Berdasarkan referensi [5], bahan lanthanum manganat LaMnO3 memiliki sifat antiferomagnet atau paramagnet isolator. Ketika kedudukan Mn3+ sebagian disubstitusi oleh ion divalent Ba2+ komposisinya menjadi La1-xBaxMnO3 dengan keadaan oksidasi La1-x3+Bax2+Mn1-x3+Mnx4+O32- maka ion Mn hadir sebagai ion Mn3+ dan ion Mn4+. Electron 3d4+ dari ion Mn3+ bersifat mobile karena ada kelebihan satu electron dibanding dengan electron 3d3+ dari ion Mn4+ yang terlokalisasi. Electron bebas dari ion Mn3+ inilah yang dapat melompat melalui ion O2- menuju tetangganya ion Mn4+, karena keadaan oksidasinya berbalik maka lompatan tersebut dapat terus berlangsung (Gambar 2.24). Proses interaksi ini menyebabkan bahan bertransisi menjadi feromagnet metalik. Dalam eksperimen ini dapat dilihat bahwa kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33MnO3 merupakan bahan yang bersifat feromagnet (Gambar 2.11). Kurva histerisis La0,67Ba0,33MnO3 menunjukkan harga koersifitas yang sangat kecil sehingga bahan ini termasuk material feromagnet lunak (soft magnetic) [25]. Begitu pula dengan kurva histerisis seluruh sampel lainnya memiliki koersifitas kecil yang mengindikasikan bahwa seluruh sampel termasuk material soft magnetic. Kurva histerisis hasil karakterisasi sampel La0,67Ba0,33MnO3 yang didoping dengan Ti pada site Mn, menunjukkan adanya kecenderungan penurunan harga magnetisasi seiring bertambahnya doping Ti. Hal ini dimungkinkan ketika sampel didoping Ti mengakibatkan ion Mn3+ menjadi berkurang, sehinga interaksi double exchange antara ion Mn3+ dan Mn4+ yang berkontribusi terhadap terjadinya fenomena feromagnet pun berkurang. Keadaan oksidasi sampel menjadi La0,673+Ba0,332+Mn0,67-x3+Tix3+Mn0,334+O3. Pada kondisi ini hadir pula interaksi super exchange menandai adanya sifat antiferomagnetnya bertambah. Jika kita kembalikan ke definisi bahwa magnetisasi adalah jumlah momen magnet per satuan volume maka jumlah momen magnet pada sampel berkurang seiring bertambahnya harga x.
144
Untuk sampel LBMO dengan doping Ti menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi doping Ti tidak memberikan perubahan absorpsi yang signifikan. Padahal dari hasil karakterisasi magneticnya diperoleh bahwa magnetisasi menurun seiring bertambahnya harga x, hal ini mengindikasikan bahwa sampel LBMO doping Ti memiliki sifat listrik yang meningkat. Kemungkinan ini diperkuat dengan hasil penelitian pengujian sampel dengan menggunakan four point probe . Pengukuran ini dilakukan ketika tidak ada medan eksternal (H=0) dan dilakukan pada suhu ruang. Nilai resistivitas (ρ) sampel La0,67Ba0,33Mn1xTixO3
dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Nilai resistivitas sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Resistivitas (Ohm.cm)
X=0
96
X=0,02
178
X=0,04
365
X=0,06
1612
Dari data Tabel 4.8 diplot menjadi grafik yang dapat dilihat pada Gambar 4.40.
145
1800 1600
Resistivitas (Ohm.cm)
1400 1200 1000 800 600 400 200 0 0
0,02
0,04
0,06
Sampel variasi X
Gambar 4.40. Grafik perubahan resistivitas terhadap variasi x pada sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
146
BAB 5 KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah
1. Sampel fasa tunggal La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 untuk seluruh variasi harga x telah berhasil disintesa. Berdasakan hasil refinement diketahui bahwa struktur kristal sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 adalah monoklinik dengan space group I 1 2/c 1. 2. Bentuk kurva histerisis hasil permagraph menunjukkan bahwa sampel La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 termasuk material soft magnetic. Kurva histerisis sampel juga memperlihatkan adanya kecenderungan harga saturasi semakin menurung seiring dengan meningkatnya harga x. 3. Seluruh sampel memperlihatkan adanya absorpsi gelombang mikro pada rentang frekuensi 8 -12 GHz. Performa absorpsi gelombbang mikro yang terbaik
adalah
sampel
La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3.
Reflection
loss
maximumnya adalah -13,26 dB saat frekuensi 11,46 GHz. 4. Proses sonikasi daya tinggi secara efektif mampu memperkecil ukuran partikel sampel, dari ukuran partikel rata-rata 2886 nm menjadi 358,3 nm 5. Karakteristik serapan semakin baik ketika ukuran partikel mengecil yakni reflection loss maksimumnya -24,44 dB pada frekuensi 11,4 GHz.
147
REFERENSI
[1]
J. Zhang, F. Wang, P. Zhang, and Q. Yan, “Effect of Fe doping on magnetic properties and magnetoresistance in La1.2Sr1.8Mn2O7,” J. Appl. Phys. 86, pp. 1604-1606, 1999.
[2]
A. Tiwari and K. P. Rajeev, “Metal-insulator in La0.67Sr0.33Mn1-xFexO3,” J. Appl. Phys. 86 , pp. 5175-5178, 1999.
[3]
A. R. Dinesen, “Magnetocaloric and magnetoresistive properties La0.67Ca0.33-xSrxMnO3,” Disertasi: Technical University of Denmark, 2004.
[4]
V. Goldschmidt, Geochemistry, Oxford University Press, 1958.
[5]
P. Norby, I. G. Krogh Andersen, E. K. Andersen, and N. H. Andersen, “The crystal structure of lanthanum manganate (III), LaMnO3, at room temperature and at 1273K under N2,” J. Solid State Chem. 119 , pp. 191196, 1995.
[6]
A. Urushibara, Y. Moritomo, T. Arima, A. Asamitsu, and Y. Tokura, “Insulator-metal transition and giant magnetoresistance in La1-xSrxMnO3,” Physical Review B 51, pp. 14103–14109, 1995
[7]
H. L. Ju, Y. S. Nam, J. E. Lee, and H. S. Shin, “Anomalous magnetic properties and magnetic phase diagram of La1-xBaxMnO3,” J. Magnetism & Mag. Mat. 219 , pp. 1-8, 2000.
[8]
I. A. Serrano, M. L. Lopez, C. Pico, and M. L. Veiga, “CMR in a manganite with 50% of Ti in the Mn sites,” Solid State Sciences 8, pp. 3743, 2006.
[9]
H.
Jifan
and
H.
Qin,
“Enhancement
of
room
temperature
megnetoresistance in La0.67Sr0.33Mn1-xTixO3 manganites," J. Mat. Sci. Eng. B 90, pp. 146-148, 2002.
148
[10]
K. S. Zhou, D. Wang, L. S. Yin, D. M. Kong, and K. L. Huang, The Chinese Journal of Nonferrous Metals 16 , pp. 754-757, 2006.
[11]
K. S. Zhou, D. Wang, K. L. Huang, L. S Yin, Y. P. Zhou, and S. H. Gao, “Characteristics of permittivity and permeability spectra in range of 2-18 GHz microwave frequency for La1-xSrxMn1-yByO3 (B = Fe, Co, Ni),” Trans. Nonferrous Met. Soc. China 17 , pp. 1294-1299, 2007.
[12]
K. S. Zhou, J. Deng, L. S. Yin, S. H. Mao, and S. H. Gao, “Microwave absorbing
properties
of
La0.8Ba0.2MnO3
nanoparticles,”
Trans.
Nonferrous Met. Soc. China 17 , pp. 947-950, 2007. [13]
Y. L. Cheng, J. M. Dai, D. J. Wu, and Y. P. Sun, “Electomagnetic and microwave
absorption
properties
of
carbonyl
iron/La0.6Sr0.4MnO3
composites,” J. Magnetism and Magnet Mat. 322, pp. 97-101, 2010. [14]
D. I. Kim, S. J. Kim, and
J. M. Song, “Dependence on preparation
temperature of the microwave absorption properties in absorbers for mobile phones,” J. Korean Phys. Soc 43, pp. 269-272, 2003. [15]
L. W. Deng, J. J. Jiang, S. C. Fan, Z. K. Feng, W. Y. Xie, X. C. Zhang, and H. H. He,
“GHz microwave permeability of CoFeZr amorphous
materials synthesized by two-step mechanical alloying,” J. Magnetism and Magnet Mat. 264, pp 50-54, 2003. [16]
M. R, Meshram, N. K. Agrawal, B. Sinha, and P. S. Misra, “A syudy on the behavior of M-type barium hexagonal ferrite based microwave absorbing paints,” Bull. Mater. Sci. 25, pp. 207-214, 2001.
[17]
Y. L. Cheng, J. M. Dai, X. B. Zhu, D. J. Wu, Z. R. Yang, and Y. P. Sun, “Enhanced microwave absorption properties of intrinsically core/shell structured La0,6Sr0,4MnO3 nanoparticles,” Nanoscale Res. Lett. 4, pp. 1153-1158, 2009.
[18]
L. Lu, Mechanical Alloying, Singapore, 2009.
149
[19]
D. A. Cobley and P. T. Mason, (den 23 March 2010). I-Connect007. Hämtat från I-Connect007: http://www.pcbdesign007.com den 10 June 2013
[20]
C. Kittle, Introduction Solid State Physic, Addison Wesley, 1994
[21]
M. Hikam, Kristalografi dan Teknik Difraksi, Universitas Indonesia ,2007.
[22]
A. Beiser, Modern Physics, 1987.
[23]
B. D..Cullity, Element of XRD, Addison Wesley, 1956.
[24]
GSAS Manual
[25]
W. D. Callister, Material Science and Engineering, Wiley and Son ,2000.
[26]
G. Bertotti, Hysteresis in Magnetism for Physicists, Materials Scientists, and Engineers, 1998.
[27]
P. R. Soni, Mechanical Alloying Fundamentals and Applications, 2001.
[28]
Suryanarayana, Mechanical Alloying and Milling, 2004.
[29]
M. S. El-Eskandarany, Mechanical Alloying for Fabrication of Advanced Engineering , 2001.
[30]
T. Heielscher, ”Ultrasonic Production of Nano-Size Dispersions and Emulsions, Dans European Nano Systems Workshop, 2005.
[31]
A. Primo, A. Corma, and H. Garcia, ” Titania supported gold nanoparticles as photocatalyst,” Physical Chemistry Chemical Physics 13, pp. 886-910, 2011.
[32]
T. Prozorov, R. Prozoro, and K. S. Suslick, ”High Velocity Interparticle Collisions Driven by Ultrasound, American Chemical Society 126, pp. 13890-13891, 2004.
150
[33]
Y. C. Qing, W. C. Zhou, S. Jia, F. Luo, and D. M. Zhu, “Electromagnetic and microwave absorption properties of carbonyl iron and carbon fiber filled epoxy/silicone resin coatings,” Appl. Phys. A 100, pp. 1177-1181, 2010
[34]
N. Andersson, R. Andersson, V. Bergman, M. Ek, and K. Mamberg, Royal Institute of Technology Stockholm Sweden, 2006.
[35]
Y. Liu, D.J. Sellmyer, and D. Shindo, Handbook of Advance Magnetic Materials, Springer , 2006.
[36]
C. Zener, “Interaction between the d-shells in the transition metal. II. Ferromagnetic compound of manganese with perovskite structure,” J. Phys. Rev. 82 , pp. 403-405, 1951.
[37]
M. B. Salamon, “The physics of manganites: structure and transport,” Review of Modern Physics 73 ,2001.
[38]
J.C.
Chapman, Phase Coexistence in Manganites, University of
Cambridge, 2005. [39]
P. W. Anderson and H. Hasegawa, “Consideration on double exchange,’ Physical Review 100 , pp. 675–681, 1955
[40]
P. G. de Gennes, “Effect of double exchange in magnetic crystals,” Physical Review 118 , pp. 141-154, 1960.
[41]
P. W. Anderson, “ Antiferromagnetism, Theory of superexchange,” Phys. Rev. 75 ,1950.
[42]
Ismunandar, Kimia Anorganik, 2004
[43]
G. H. Jonker and J. H. van Santen, “Ferromagnetic compound of manganese with perovskite structure,” Physica XVI , pp. 337-349, 1950.
151
[44]
S. V. Trukhanov, “Magnetic and magnetotransport
properties
of
La1-xBaxMnO3-x/2 perovskite manganites,” J. Mat. Chem. 13 , pp. 347352, 2003. [45]
P. Schiffer, A. P. Ramirez, W. Bao, and S. W. Cheong, “Low temperature magnetoresistance and the magnetic phase diagram of La1-xCaxMnO3,” Phys. Rev. Lett. 75 , pp. 3336-3339, 1995
[46]
H. L. Ju, Y. S. Nam, J. E. Lee, H. S. Shin, “Anomalous magnetic properties and magnetic phase diagram of La1-xBaxMnO3,” J. Magnetism & Mag. Mat. 219 , pp 1-8, 2000.
[47]
ITU International Telecommunications Union. Hämtat från International Telecommunications Union: http://www.itu.int, den 20 November 2013.
[48]
K. E. Haque, ”Microwave energy for mineral treatment processes—a brief review,” International Journal of Mineral Processing 57, pp. 1-24, 1999.
[49]
Agilent Technology, Basic of measuring dielectric properties of materials. Agilent, 2006.
[50]
A. J. Moulson and J. M. Herbert, Electroceramics 2nd Edition: Materials. Properties. Application. England: John Wiley and Sons, 2003.
[51]
Y. Liu, , D. J. Sellmyer, and D. Shindo, Handbook of advance magnetic material Vol 1: Nanostructural effects. New York: Springer, 2006.
[52]
NDT Education. About Us: Nondestructive Testing (NDT) Education Resource Center. Hämtat från Nondestructive Testing (NDT) Education Resource Center: http://www.ndt-ed.org, den 9 May 2013
[53]
J. R. Truedson, K. D. McKinstry, P. Kabos, and C. E. Patton, ”High-field effective linewidth and eddy current losses in moderate conductive singlecrystal M-type barium hexagonal ferrite disks at 10-60 GHz,” Journal Applied Physics 74, pp 1-8, 1993.
152
[54]
E. P. Wohlfart, Handbook of magnetic material Vol.3. Netherlands: NorthHolland, 1982.
[55]
U. Ozgur, Y. Alivov, and H. Morkoc, ”Microwave ferrites, part 1: fundamental properties,” Journal of Matererial Sciences: Material and Electronic 20, pp.789–834, 2009.
[56]
E.F. Schloemann, ”Intrinsic low-field loss in microwave ferrites,” Magnetics, IEEE Transactions, 34, pp.3830-3836,2008.
[57]
M. V. Akhterov, Microwave Absorption in Nanostructures. Santa Cruz: University of California, 2010.
[58]
A. M. Nicolson and G. F. Ross, ”Measurement of the intrinsic properties of materials by time-domain techniques,” IEEE Transaction on Intrumentation and Measurement 19, pp. 377-382, 1970
153