PARADIGMANASIKHDAN MANSUKHDALAM PENAFSIRAN AL-QURAN
(KAnAN IMPLIKASI HUKUM DAN KEWENANGAN PENERAPAN)
Ahmad Fauzan Direktur Pondok Pesantren Raudbatus Syubban, Pati, Jawa Tengab Email:
ABS'fltACf Knowledge of nasikh and mansiikh (abrogating and abrogated verses in the holy al-Quran) concept is the biggest proof of dialectical exchanges in between revelation and reality. Abrogation is an effort to tnt)a#aa1~e a law and distreat it, either invalidating means to discharge it totally from tiliiwah (recitation) or to let the containing ve1"Se exists as an elll•.ael'tce that the law was, applied and repealed. This discuss about the theory of niisikh mansiikh Zn(;lUi:UnP its starting point and paradigm progress, the method to know certain verses have niisikh or mansiikh polemic in ar:':OT,'1a1'Zce to existence of niisikh and the tmjfJti(;atl(On of its theory to exegesis.
Keywords: exegesis.
50
and mansiikh, paradigm, polemic, implication,
INSYIRAH, Jumal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Paradigma niisikh dan mamiikh dalam Penasiran Al-Qur'an
~.I.~yo}0~pJl ~i 01~1;f t.,-lIJ ~\JI i~.a.i.rJ1 01 aJJb..il d' ;;jy:. ~ij .~IJ ~}I ~ ai-y.J1 J ~I J~~I
Pi J.L4 ~ 0i ~l \a Jtk.)'IJ .~ i~J Pi Jtk.l Js~ .!l~ 0i 0~pS' b yoY ~I .!lfi 0i ~lJ ,;;J~I ;f
4.P
j J
·t~
~ ;f t.,-lIJ ~\JI i ~ jJ~ J} d' aJUiI ~ J 4.>-.,-l1 } a.::.:.-\JI ~4~1 a.iP ~>J ,~~ ~I .s.4~J ,~p .~I Js- o}~IJ 'rJiAlI ~yoy. J1d1 J..LJ:.I JUiIJ ,01~1 'j~~1 'J..LJ:.I JUiI ,~~~I ,t.,-lIJ ~\JI : ~I y"Y~ .~I
A.
ASUMSI DASAR
Pernahaman seseorang terhadap suatu teks yang dalam hal ini adalah teks al Quran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik intern maupun ekstern. Faktor intern lebih terkait dengan kualitas pribadi seseorang ill dalam menganalisis suatu teks tertentu. Sedangkan faktor ekstern lebih ditekankan pada penguasaan terhadap ilmu-itm:u bantu yang relevan yang terkait dengan teks yang dimaksud. Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi dalam Tafsir wa alMufassinn telah menginventarisir sedikitnya ada lima belas ilmuilmu bantu yang harus dikuasai oleh· seseorang untuk memahami teks al-Quran, salah satu di antaranya adalah 'ilm al-niisikh wal-al mansiikh (Ichwan, 2002: 278). Begitu pentingnya ilmu ini, seperti diungkapkan oleh JalaI al Din al-SuyiithI mengutip pendapat para imam "tidak dibenarkan bagi seorang untuk menafsirkan al-Quran kecuaH setelah ia mengetahui niisikh mansiikb (al-SuyiithI, tt: 20).
VoL 2; No. 1, Juni 2014
51
Ahmad Fauzan
Diskursus tentang konsep niisikb dan mansiikb dalam alQuran sampai saat ini masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Pernyataan ini bukan tidak beralasan sebab menurut Nasr Hamid Abu Zaid bahwa kajian tentang konsep nasakb dalam dataran keagamaan akan memunculkan dua pertanyaan besar yang harus dijawab diantaranya : Pertama, bagaimana mengkompromikan antara konsep nasakb (perubahan teks) ini dengan keyakinan umum adanya wujud aziili darl teks yang berada di Laub al-MabjUzb. Keaua, problem pengumpulan aI-Quran yang terjadi pada
masa khalifah Abu Bakar al-Shiddlq yang mengkaitkan antara nasakb dengan problem pengumpulan aI-Quran yaitu yang terkait dengan contoh-contoh yang dikemukakan oleh para ulama yang beranggapan bahwa sebagian dan teks telah terlupakan darl ingatan manusia ((al-SuyUthI, tt: 278-279).
B.
MUNCULNYA TEORI NASAKH
Pemikiran mengenai pembatalan ayat-ayat al-Quran telah ada abad pertama hijrlyah, karena ide tersebut sudah ,,.uu,,unmazhab-mazhab hukum awal. IbrahIm al-Nakha'iCw. 96 dikabarkan telah menyatakan bahwa ayat 106 surah al-Maidah telah dibatalkan. Munculnya teorl ini dimungkinkan karena para ahli dan ahli hukum tidak dapat mendamaikan ayat-ayat yang nampaknya bertentangan, kemudian mereka mengemukakan teorl tersebut Mereka menganggap ayat-ayat berikut ini mendukung teorl tersebut (Hasan, 1994: 58): Apa saja yang Kami batalkan atau Kami jadikan dilupakan, Kami datangkan yang lebih baik atau yang setara dengannya. Tidaklah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Al-Baqarah: 106). (2) Dan manakala Kami satu untuk wahyu (yang lain) Allah lebih mengetahui apa yang diwahyukannya mereka mengatakan: "Sesungguhnya kamu hanya membuat saja (An-Nahl: 101). (3) Allah menghapus y.,
52
INSYlRAH, Jumal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Paradigma niisikh dan mansiikh dalam Penasiran Al-Qur'an
apa yang dikehendaki-Nya dan mengukuhkannya apa yang dikehendaki-Nya dan pada-Nyalah induk segala kitab (Ar-Ra'd: 39). Margoliouth berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Hasan, sebelum akhir abad ke 2 H, bahwa Imam Syafi'I adalah sebagai penggagas konsep nasakh yang pertama (Afdawaiza, 2001: 6).
C.
PERGESERAN PARADIGMA NASIKH-MANS[tKH
Dalam mendefinisikan pengertian nasakh, ulama berpegang pada dua teks ayat al-Quran, salah satunya Makkiyah dan yang lain Madaniyah. Teks Makkiyah adalah firman Allah:
hendaklah kamu mpmill'lta ~~~~ann1~at@orn:np·~n1np
UI:JI':tnlzva Sesungguhnya kekuasaannya
Vol. 2, No.1, Juni 2014
53
Ahmad Fauzan
menurunkan al-Qumn itu dan Tuhanmu dengan benar, untuli meneguhkan (boo) orang-orangyang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kahar gembira hagi orang-orangyang berserah din (kepada Allah)". Dan sesungguhnya Kami mengetahui babwa mereka berkata: .. "Se5unggu,hn~a al-QuTiin it!J- diqjarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal hahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya hahasa 'ajam, sedang al-Qumn adalah dalam hahasa Arab yang terang (An-Nahl: 98-103).
Konteks teks ayat tersebut adalah membaca al-Qurin dan mengawalinya dengan meminta perlindungan dari setan, kemudian sanggahan terhadap tuduhan mengada-ada dan penjelasan bahwa al-Qurin berasal dari sisi Allah yang dibawa turon oleh ar-riih ai-amfn, dan juga sanggahan terhadap orang-orang kaftr Mekah bahwa sebenarnya ada orang yang mendektekan aI-Quean kepada Muhammad. Dalam konteks ini penggantian ayat dengan ayat lain berarti perobahan hukum yang ada pada suatu teks dengan teks lain dengan tetap mempertahankan kedua teks tersebut. Oleh karena itu, struktur ayat mengikuti pola kondisional (syarat), sementara isi kalimat (jawab syarat), berupa tuduhan orang-orang Mekah terhadap Muhammad sebagai kebohongan. Arti dati tuduhan ini adalah bahwa mereka menganggap di dalam teks ada kontradiksi (Zaid, 2002: 142). Teks lain yang dipegang ulama dalam menetapkan makna nasakh adalah teks Madaniyah, yaitu ftrman Allah :
54
INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Paradigma niisikh dan mansiikh dalam Penasiran Al-Qur'an
Terjemahannya : Orang-orang kafir dan kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturnnkannya suatu kebaikan kepadamu dan Tuhanmu. Allah menentukan siapa yang fa kehendaki untuk diben rahmat-Nya (kenabian). Allah mempunyai karnnia yang besar. Ayat apa saja yang Kami nasakh atau Kami jadikan manusia melupakannya akan Kami datangkan yang lebih baik atau sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi milik Allah. Kamu sekalian tidaklah memiliki pelindung ataupun penolong selain Allah. Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada rasul kamu seperti Bani /srail meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Barangsiapa menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dan jalan yang lurns CAI-Baqarah: 105-106).
Kalangan ulama dalam mendefinisikan nasakh mengalami pergeseran dan perbedaan, sehingga memunculkan perdebatan yang seru di antara mereka. Secara etimologis, term 11.asakh memiliki beberapa pengeruan. Nasakh ada kalanya berarti meniadakan (aliziilah) Cal-AshfahanI, tt: 511), seperti firman Allah SWT : lolu\ ~ ~\ lui ~ {.J~\ ~(Al-Hajj: 52). Contoh lain : ~I~I~ artinya matahari menghilangkan bayang-bayang, ~'~1 <:,..rI!~, artinya angin menghapuskan jejak perjalanan. Terkadang nasakh berarti penggantian (al-tabdil), seperti firman Allah: "':1 ul..S..o "':1 W~I~!, artinya dan apabila Kami letakkan suatu tempat ayat yang lain sebagai penggantinya (an-Nahl: 101). Nasakb kadang-kadang juga diartikan mengubah dalam hal warisan taniisukh al-mauiiris, yaitu pengaHhan warisan dari satu orang ke orang Demikian juga nasakh berarti pemindahan atau pengutipan (al-naql), yaitu dati satu tempat ke tempat berarti mengutip atau satu
2, No.1, Juni 2014
55
Ahmad Fauzan
baik dari segi kata (al-la/zh) maupun penulisannya (al-khath) (Sukardi, 2003: 149). Nasakh juga bisa diartikan al-Ibtbal (J~~O yakni membatalkan Kamaluddin, 1992: 133 dan Baidowi, 2000: 120). Nasakbjuga berarti mengkhususkan (,O! 0 ~) (Shalih, 1988: 262). Dalam fiqih klasik, apabila digunakan dalam konteks alQUr8n, nasakh memiliki tiga arti. Pertama, berarti bahwa aI-Quean membatalkan hukum yang dinyatakan dalam kitab-kitab samawi yang terdahulu seperti kitab perjal!jian lama dan kitab perjanjian barn. Kedua, ia diterapkan pada penghapusan sejumlah ayat-ayat al-Quran yang teksnya telah dihapuskan dari eksistensinya. Ketiga, berarti pencabutan sebagian dari perintah-perintah terdahulu yang ada di dalam al-Quran oleh wahyu yang datang kemudian (Hasan, 1994: 54). Menurut istilah (terminologO, nasakb ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara' dengan dalil hukum (kbitbab) syara' yang lain. Kata nasakb yang menghapus dapat diartikan dengan "Allah" seperti terlihat dalam I,tJ.:.o tl ~~..:;,\.; ~ t'.io:!1 VA ~ Lo (AlBaqarah: 106), dengan ayat atau sesuatu yang dengannya nasakb diketahui seperti dikatakan j u.s .io:!~ ~ 4.:!~ ~ (ayat ini menghapus ayat anu)j dan juga dengan hukum yang menghapuskan hukum yang lain (al-Qattan, 1996: 327). Menurut pendapat lain, nasakb adalah menghilangkan keumuman nasb yang terdahulu atau membatasi kemutlakannya. Ada juga yang berpendapat bahwa nasakb adalah mengangkat hukum syara' dengan dalil syara 'yang datang kemudian (Supiana, 2002: 150). Adapun para ulama mutaakbirin membuat defmisi sebagai berikut: "menghapuskan hukum syara' dengan daIil syara' yang datang kemudian". DaIil yang demikian itu biasa disebut dengan aI-nasikb (yang mengbapus). Sedang hukum yang pertama disebut sebagai al-mansiikh. (yang terbapus). Sementara itu penghapusan hukum tersebut dinamakan al-nasakh (Ichwan, 2002: 281). Ada juga yang mendefinisikan bahwa nasakb adalah mengganti teks dengan teks lain dengan tetap mempertahankan kedua teks tersebut Zaid, 2002: 145). 56
INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Paradigma niisikb dan mansiikb dalam Penasiran Al-Qur'an
D.
CARA MENGETAHUI NASAKH
Bagi para ahli yang memandang adanya nasakh dalam alQuran mengharuskan melalui jalan sebagai berikut: Pertama, nasakh yang shafih dad Rasulullah saw. untuk nasakh yang shafih (eksklusij), nasikh itu langsung menjelaskan mansfikhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas (Sukardi, 2002: 173). Kedua, keterangan para sahabat. Ketiga, perlawanan yang tidak dapat dikompromikan serta mengetahui tiirikh turunnya ayat-ayat itu. Jadi dalam masalah nasakh ini tidak boleh bersandar pada tafsir para mufassir atau ijtihad para mujtahid saja. Demikian pendapat yang disampaikan oleh Ibnu Hassar (Hamzah, 1997: 162-163). Adapun Manna' al-Qattan berpendapat bahwa untuk mengetahui nasikh dan mansukh ada beberapa cara yaitu : Pertama, keterangan tegas dad Nabi atau sahabat seperti hadist : 1"3 s;; !.9 ; ..:..;.S (ro-S'l.J..lol9J) .LA)gj.& ~t )~l o)Lj \.)L (Dulu aku pemah melarangmu berziarah kubur, maka kini berziarah kuburlah (hadist Hakim). Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah orang yang dibunuh di dekat sumur Maunnah. Kedua, kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh. Ketiga, mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah (al-Qattan: 1996: 330). sebagaimana mengatakan sebagai berikut :
atas senada dengan pendapat dalam nfh""",rn
"Persoalan nasakh harus ........«."',u. .,.«.u pada informasi yang dari Rasulullah saw atau sahabat yang mengatartU;~U":f.} oleh
mu-
Vol. 2, No.1, Juni 2014
57
Ahmad Fauzan
para mUjtahid tanpa penukilan yang sbabib dan jelas dari Nabi atau sahabat, sebab nasakh mengandung makna menghapus suatu hukum dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi saw. Sedangkan landasannya adalah naql (teks aI-Quran dan al-Sunnah) dan fakta sejarah, bukan pendapat atau hasil ijtihad (Ichwan,.2oo2: 292). E.
POLEMIK NAsIKH-MANSfiKH D1 MATAPENDUKUNG DANPENGINGKARNYA
Diskursus nasakb sudah ada bersamaan dengan munculnya keinginan umat Islam untuk mempelajari al-Qurin secara mendalam sejak periode sahabat hingga sekarang. Bersamaan dengan munculnya diskursus nasakh ini, perbedaan pendapat di kalangan ulama sulit untuk dihindarkan, baik dari peristilahan hingga hakikat nasakh sendiri dalam aI-Quran. Secara garis besar ada dua kelompok pendapat yang membicarakan nasakh ini; pertama kelompok yang setuju (pro), dan kedua kelompok yang tidak setuju (kontra), yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahini (Shalih, 1996: 341). Pada masa jauh sebelum Abu Muslim al-Isfahani,' mayoritas ulama tanpa ragu menetapkan ayat-ayat yang termasuk nisikh dan ayat-ayat yang termasuk mansiikh. Abu Qisim yang dikenal dengan Abu Salamah telah menyatakan bahwa dalam aI-Quran hanya sekitar 43 surat yang tidak lerdapat di dalamnya nisikh dan ma11Siikh. Selebihnya 25 surat terdapat di dalamnya flisikh mansiikhj 6 surat nisikh saja dan 40 surat mansiikh saja (Supiana, 2002: 154). Adapun al-Suyiithi mereduksi jumlah ayat yang dicabut hingga menjadi dua puluh, dari yang semuia 500 ayat. Sementara al-Dahlawi (17031762) mengompromikannya hingga tinggal 5 ayat, yakni Q.S. alBaqarah: 180 oleh aI-Nisi': 11; al-Baqarah: 240 oleh al-Baqarah: 234; al-AnfiU: 65 oleh al-AnfiU: 66; al-Ahzab: 52 oleh al-Ahzab: 50 dan al-Mujadilah: 12 oleh aI-Mujadilah: 13 (http://www.pikiran-rakyat. com!cetak/2oo7/092007/24/ramadan02).
INSYlRAH, Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Paradigma niisikh dan mansiikb dalam Penasiran Al-Qur'an
Perbedaan yang mengundang pro dan kontra di kalangan ulama terjadi ketika mereka memasuki pembahasan kata ayat yang terdapat pada ayat 106 surah al-Baqarah. Syeikh Muhammad Abduh (1325 H) dan Abu Muslim aI-IsfahanI (322 H) termasuk yang kontra terhadap nasakb mengartikan kata ayat dengan mukjizat. Atas dasaf itu, ia lebih suka menyebut kata nasakh dengan istilah lain yaitu takbsblsb (pengkhususan) untuk menghindari pengertian adanya pembatalan hukum aI-Quran yang diturunkan Allah. Takbsblsb merilerlukan adanya hubungan dengan kalimat (konteks atau qarfnab) sebelumnya atau berikutnya atau yang menyertainya. Takbsblsb dapat terjadi pada berita-berita hadist. Di antara dalil-dalil yang melandasi pengkhususan ialah fikiran dan perasaan, di samping Kitabullah dan Sunnah Rasul. Secara bahasa, kata "ayaf' mempunyai beberapa pengertian, di antaranya: berarti mu'jizat, tanda, ungkapan, bukti dan petunjuk, perkara yang mengagumkan dan juga bisa diartikan kelompok (Rumi, 1999: 152). Menurut kubu ini (kontra), yang dinasakh oleh Allah adalah mukjizat, bukan ayat aI-Quran, baik bacaan atau hukumnya, apalagi keduanya, yakni hukum sekaligus bacaannya. Hasbi ash-Shiddiqi yang termasuk tidak sepakat dengan terjadinya nasakh aI-Quran menurunkan argumentasi ulama yang semazhab dengannya, yaitu Abu Muslim aI-IsfahanI yang mengatakan: Jika dihukumi ada ayat yang telah dimansiikhkan dalam aI-Quran berarti telah membatalkan sebagian isinya. Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa di dalam aI-Quran ada yang batal (ada yang salah). Lebih Ianjut, al-IsfahanIberargumentasi, seperti dikutip Hasbi, bahwa di dalam aI-Quran sendiri ada ayat yang menerangkan bahwasanya Allah tidak bakal mendatangkan kebatilan: "Tidak datang kepadanya (al-Quriin) kebatilan, baik di muka maupun di belakangnya"(Fushshilat: 42).
Jadi, dalam kelompok yang kontra terhadap nasakh bahwa adanya ayat-ayat yang kelihatannya bertentangan satu dengan lainnya
Vol. 2, No.1, Juni 2014
Ahmad Fauzan
sesungguhnya ayat tersebut bisa dikompromikan atau digabungkan, misalnya dengan jalan mentakwil salah sam ayar yang dipandang kontradiksi tersebut (Rumi, 1999: 134 dan Nurhaedi, 2000: 89), Contohnya:
~')l~)' 1JP.~Yi.J1 ~yJl rS~' ~ \~, ~ ~ ~.J!""i\ J "Telab ditetapkan atasmu jika seseorang kamu mengbembuskan nafas pengbabisan, jika ia meninggalkan barta agar membuat wasiat untuk ibu bapaknya dan kaum kerabat yang terdekat" (Al-Baqarah: 180).
Menurut al-IsfahiinI ayat ini tidak bertentangan dengan ayat mauiiris (Rumi, 1999: 135). Ayat mauiiris tersebut berbunyi :
cJ~ ~ ~ r:.fo i.J\.i i.Jll'" i)J\ b (An-Nisa: 11)4
~ fi.:ill
rSJ)J JI ~ Ai, ~~
9...... ;1\ 4J.io~'J ~ts i.JI J ~Y l.o ~ ~ uJiti\
kelompok yang pro terhadap nasakh, mengartikan dengan im sendiri 1992: 133).
NASAKH DALAM AL-QuRAN
utama dalam berwahyu yang terhapus
wahyu tetapi hukumnya berlaku (nasakb al-tiliiwab diina al-bukm) (Arnal, 2001: 225). ketiga kategori ini yang banyak berkaitan langsung dengan otentisitas dan intregitas musbaf
60
INSYJRAH, Jumal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Paradigma niisikh dan mansiikb dalam Penasiran Al-Qur'an
'usmani yaitu yang pertama dan ketiga. Berikut ini pembahasan dari ketiga kategori yaitu ; Pertama, nasakh tilawah dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari 'Aisyah ia berkata:
~ ~ ~~ ~LA~ ~~.J fo. Jyl
\.4 wlS
~ (.)\J): ~J ~ .ll\ ~.ll\ J~.J ~fo. ~LA~
.,
.:,\.(..,)A \...r7' ~
•( U..J"'"
Kata-kata 'Aisyah "lima susuan ini termasuk ayat al-Quran yang dibaca pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya karena ia tidak terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian dijawab bahwa yang dimaksud dengan perkataan 'Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu telah dinasakh (dihapuskan), tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang, kecuali sesudah Rasulullah wafat, sebagian orang masih tetap membacanya (al-Qattan, 1999: 336). Dalam Mushaf Ubay diriwayatkan bahwa dalam surat 98 ia memiliki sebuah ayat ekstra berikut ini :
Artinya: "Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah al-Hanifiyyah, bukan Yahudi dan bukan pula Nasrani Maka barangsiapa yang berbuat bail< tidak akan diingkari jerih payahnya".
Rima ayat di atas yakni ab hingga taraf tertentu bisa dikatakan relatif cocok dengan rima ayat-ayat dalam surah 98, tetapi seandainya ini betul-betul bagian al-Quran, maka bentuk awalnya pasti agak berbeda, karena kata-kata 41~, ~J9+.! .4! .;!; >yang alasan
Vol. 2, No.1, Juni 2014
61
Ahmad Fauzan
penggunaan kata-kata bentukannya cukup jelas di dalam al-Qudin, dalam ayat ini terHhat merupakan kata bentukan yang asing dalam pemakaian kitab sud tersebut (Amal, 2001: 227). Bukhari meriwayatkan dari Anas Ibn Malik yang menceritakan bahwa sehubungan dengan orang-orang yang wafat dalam pertempuran Bir Ma'unna turun suatu ayat al-Qudin yang pada masa belakangan dihapus. Teks ayat tersebut seperti direkam Itqan adalah:
Artinya: "Sampaikanlah kepada kaum kami hahwa kami telah
bertenm tuhan kami dan dia ridla kepada kami serta kami pun ridla kepada-Nya.
Varian ayat ini sangat banyak dan bahkan dituturkan dalam bentuk hadits. Kenyataan ini dengan jelas membuktikan asal usulnya sebagai bukan bagian al-Quran, sekalipun uslub bisa dipandang dan memang memanfaatkan kosakata quranik (Amal, 2001: 228-229). Kedua, wahyu yang terhapus teks atau baeannya tetapi hukumnya masih berlaku (nasakh al-tiliiwah diina al-hukm) contoh ",,-, ... n~
muneul dalam beberapa Hteratur adalah ayat yang mengungkapkan bentuk hukuman raj am bagi orang yang berzina. beberapa riwayat 'Umar bin Khaththab memandangnya seayatnya berbunyi sebagai berikut :
atas 62
Bahasa Arab
Stud1
Paradigma niisikb dan mansiikb dalarn Penasiran Al-Qur'an
riwayat tersebut bahwa posisi semula ayat ini berada di dalam QS al-Ahzab 33, tetapi gagasan ini terlihat tidak logis karena ayat-ayat dalam surat itu ber-rima dalam -a, sedangkan ayat di atas ber-rima dengan -im. Sementara itu dalam riwayat al-BukharI menyebutkan bahwa posisi semula ayat tersebut adalah di dalam QS an-Nur 24. Riwayat kedua ini lebih logis dibandingkan dengan yang pertama, sebab di samping memiliki kecocokan rima dalam QS an-Nur 24, salah satunya berisi tentang perbuatan zina yang dilakukan laki-laki dan wanita. Namun terdapat perbedaan antara keduanya di mana dalam an-Nfu 24 terdapat batasan hukuman perbuatan zina dengan cambukan, sementara dalam ayat di atas tidak demikian (Ichwan, 2002: 297). Ketiga wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara J
teks atau bacaannya masih terdapat dalam mushaf Cnasakh al-hukm dUlla tilawah). Misalnya nasakh hukum ayat 'iddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Ayat tersebut berbunyi :
~\ tcWA ~\ Jj'i ~J 40.1 Jj\ i.:.lJ.J~J ~
:.;..,g~ 0;.ll\ J
<::: \-.p-\
..;:F JyJl
Artinya; "Orang-orang yang diwafatkan dan kalangan kamu
(umat Islam) dan akan meninggalkan istn maka dia harus berwasiat bagi itu berupa tabun tidak rumab istrinya"(AI-Baqarah: 240).
Dalam kategori ini (penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap) ada dapat diambil antara Pertama, al-Quran samping untuk dibaca untuk diketahui dan hukumnya, Kalamullah Pada umumnya nasakh membacanya mendapat pahala. untuk meringankan, maka tilawah untuk mengingatkan akan nikmat kesuHtan (masyaqqah) (al-
Vol. 2) No.1, Juni 2014
63
Ahmad Fauzan
G.
SIAPA YANG BEKWENANG MELAKUKAN NASAIOI
Pengarang buku Manihil aI-'In-an mengemukakan bahwa para ulama berselisih paham tentang boleh tidaknya Nabi Saw menasakb ayat-a),at aI-Quran. ~1anjutIlya merekayang membolehkannya secara teoritis berbeda paham pula apakah daIam kenyataan faktual ada hadist nabi yang menasakh ayat atau tidak. Menurutnya al-Syafi'i, Ahmad, dan Ahl aI-Zahir menolak walaupun secara teoritis dapatnya sunnah menasakb aI-Quean. SebaIiknya Imam Malik, para pengikut mazhab Hanafi dan mayoritas para teolog, baik dari Asy'ariyah maupun Mu'tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya nasakh tersebut. Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya sunnah nabi yang menasakb aI-Qurin Chttp/kajian islam.wordpress. com/2007/06/26/soal nasikh dan mansUkh). Kontradiksi tersebut muncullebih disebabkan karena tidak adanya pembedaan antara teks-teks keagamaan Cal-nushUsh aldiniyyah) dan juga tidak dipahaminya batas-batas yang memisahkan antara teks-teks tersebut. Secara teoritis, menurut al-Zarqani nasakh dibedakan ke daIam empat bagian, di antarany~: Pertama, nasakh aI-Quran dengan aI-Qurlin. Kedua, nasakh aI-Quran dengan sunnah. Ketiga, nasakh sunnah dengan aI-Quran. Keempat, nasakh sunnah dengan sunnah. Kategori yang disebutkan pertama nasakh aI-Quran dengan aI-Quran telah diakui kebolehannya. Hal ini didasarkan ftrman Allah'QS al-Baqarah: 106: "Ayatmanasajayang Kami nasakhkan atau Kami jadikan mtmusia lupa kepadanya Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannyd'. Artinya yang sebanding dengan aI-Quean hanyaIah aI-Quean. Sedangkari untuk kategori yang disebutkan kedua nasakh al-Quran dengan sunnah para ulama berbeda pendapat (Ichwan, 2002: 299-300). Perbedaan tersebut ada dua pandangan yaitu: pertama, ulama yang membolehkan terjadinya nasakh aI-Qurlin dengan sunnah, dan kedua ulama yang menolak adanya nasakh aI-Quran dengan 64
INSYIRAH, Jumal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Paradigma niisikh dan mansiikh dalam Penasiran Al-Qur'an
sunnah. Kelompok yang membolehkannya adalah Malik, Abu Hanifah dan MU'tazilah dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Sebagaimana firman Allah: Dan tiada/abyang diucapkan itu menurut kemauan bawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain banyalab wabyu yang diwabyukan kepadanya (An-Najm: 3),
Meskipun mereka sepakat tentang kebolehan sunnah menasakh al-Quran namun mereka berbeda pendapat tentang status sunnah yang dijadikan sebagai instrumen nasakh. Pertama, Golongan Mu'tazilah bahwa sunnah yang menasakh haruslah hadist mutawatir. Kedua, golongan Hanafiyah tidak mensyaratkan yang mutawatir, tetapi hadist yang masyhur dapat menimbulkan arti yakin, bisa menasakh sebagian teks-teks al-Quran. Ketiga, golongan Ibnu Hazm bahwa sunnah dapat menasakh al-Quran sekaHpun hanya hadist ahad (Ichwan, 2002: 301-302). Adapun kelompok yang menolak nasakh al-Quran dengan sunnah seperti yang diwakili oleh Syafi'I, AhH Zahir dan Ahmad (alQattan, 1999: 334) dengan berargumentasi pada firman Allah SWT: Apa saja yang Kami bapuskan atau Kami jadikan manusia lupa kepadanya Kami datangkan yang lebib baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. (al-Baqarah : 106)
Menurut Imam Syafi'I ayat ini menjelaskan bahwa teks alQumn yang dinasakh atau manusia dijadikan lupa kepadanya akan diganti dengan teks yang Iebih baik dan sebanding dengannya. Artinya bahwa yang mendatangkan baik atau yang sebanding dengannya adalah Allah sendm. Sebab kembali ITp,--.F)rl"l dinasakh dengan sunnah karena sunnah berasal dari Rasulullah dan di sisi lain sunnah tidak baik dan tidak sebanding dengan al-Quran (Ichwan, 2002: 303).
2, No.1, Juni 2014
65
Ahmad Fauzan
H.
IMPLIKASI NAslKH MANSUKH TERHADAP PENAFSIRAN
Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syariat baik al-Quran maupun hadist setiap ketentuan hukum itu harus jelas, pengertiannya tidak boleh meragukan supaya kepastian hukumnya terjamin. Semua segi yang dapat menjelaskan kondisi sesungguhnya maksud ketentuan hukum itu harus disoroti dan didalami, rrusalnya segi bahasanya, proses terjadinya hubungannya antara ketentuan hukum itu dengan dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam hal in! harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan itu atau memperkuat salah satu di antaranya. Jika tingkat interpretasi sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi antara kedua ketentuan hukum itu juga harus teratasi maka pada tingkat inilah dipersoalkan CSukardi, 2002: 174), maka metode nasikh mansiikh diperlukan. Dengan tidak dapat dikompromikannya ayat-ayat yang bertentangan inilah teorl nasakh menjadi alternatif. Teorl nasakh in! dioperasikan dengan menilai ayat-ayat yang turun lebih awal dibatalkan atau dihapuskan oleh ayat-ayat yang diwahyukan kemudian (Baidowi, 2000: 108). Metode nasakh dapat digunakan mereka yang mendukung adanya teorl nasikh-mansiikh yaitu "''-,'-''-u .... dengan adanya dam yang kedua (yang metode nasakh yang dimaksud adalah yang U>LU'... o.au,....U
Pendapat tentang nasakh ini didukung oleh Muhammad aI-Thaba'thaba'I menganggap terjadinya nasakh ini sangat mungkin terjadi, mengingat al-Quran diturunkan dalam rentan masa 66
INSYIRAH, Jurnal I1mu Bahasa Arab dan Studi Islam
Paradigma niisikh dan mansiikh dalam Penasiran Al-Qur'an
yang panjang dengan ragam situasi yang berbeda-beda. Ketentuan hukum ayat mansUkh yang bersifat sementara dan terbatas, melalui proses nasakh dinyatakan berakhir keberlakuannya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan (Arif, 2002: 114 dan Thaba'thaba'I, 1972: 6667). Sayyid Quthb juga mengakui adanya nasakh dalam al-Quran. Ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan kandungan ayat 106 surat al-Baqarah. Beliau mengemukakan bahwa pada ayat itu al-Quran menandaskan tentang perihal nasakh yakni peralihan (ta'di!) sebagian perintah ataupun ketentuan hukum seiring perkembangan masyarakat muslim secara khusus sesuai konteks ayat tadi menyangkut peralihan qiblat ataupun ketentuan hukum yang ada pada kitab terdahulu (Arif, 2002: 115-116). Terhadap implikasi nasakh dalam penafsiran, maka mufassir berpandangan nasakh terjadi sewaktu adanya dua ayat yang saling menafikan itu berdasarkan bentuk lahiriah lafadz keduanya, sehingga ayat yang terakhir turun menasakh ayat yang turun sebelumnya (Sukardi, 2002: 154-155). Dengan demikian, dalam menafsirkan ayat-ayat yang di dalamnya terdapat nasikh mansUkh, maka yang dijadikan sandaran hanya pada ayat yang datang belakangan (yang menasakh), bukan pada ayat yang mansukh (dihapus). Sebagai contoh tentang nasakb albukm diina al-tiliiwab (hukumnya dihapus tetapi tulisannya tidak) seperti apa yang diungkapkan oleh al-ZarqanI dari ayat : Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa), membayar fuiyab, yaitu makan seorang miskin (Al-Baqarah: 184), dinasakh oleh ayar: Karena itu, barangsiapa di antara kamu (di negeri tempat tinggalnyaJ pada bulan ia berpuasa pada bulan itu (Al-Baqarah: 185).
Ayat yang pertama tetap termaktub dalam mushaf, tetapi karena hukumnya dinasakh oleh yang kedua, maka hukumtidak berlaku Jadi penafsiranyang dijadikan sandaran.
VoL 2, No.1, Juni 2014
67
Ahmad Fauzan
Adapun jika mengikuti pedoman Mahmod Mohammed Taha (Afdawaiza, 2001: 10), maka harus mengaktualisasikan ayatayat periode Mekkah (ayat-ayat yang diturunkan sebelum hijrah) karena ayat-ayat yang terkandung pada era itu sangat menghargai perbeClaart, persamaari,egaIitefoan non cflSkrirrifuatif. Menurutnya, ayat-ayat yang terdapat dalam periode Mekkah memiliki karakteristik yang dibutuhkan bagi umat Islam pada saat ini. Proses tersebut meIalui jalur niistkb-maruiikbyang dalam_tradisi keilmuwan keislaman klasik telah diakui sebagai satu medium untuk melerai ketegangan antara dua atau lebih ayat yang seolah bertentangan (Syaukani, 2006: 140-141). Dengan demikian, bagi Taha, ayat-ayat periode Mekkah sebenamya didasarkan pada kebutuhan situasi dan kondisi yang tidak lagi sesuai dengan semangat ayat-ayat periode Madinah, maka ayatayat periode Madinah dimansiikh oleh ayat-ayat periode Mekkah. Jadi dalam penafsirannya-pun jika dikontekskan dengan situasi kekinian, maka ayat-ayat periode Mekkah sangat relevan untuk diterapkan kembali.
I.
PENUrUP
AI-Quran sejak pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sampai sekarang ini mempunyai visi dan misi yang tetap. Artinya bahwa prinsip dasar dan tujuan utama aI-Quran yang hendak disampaikan kepada umat ini tidak peroah berubah. Hanya saja semangat aI-Quean itu bisa saja berbeda manakala ditangkap oleh obyek yang berbeda pula, sehingga pemahaman seseorang terhadap al-Quran-pun dapat saja atau kurang tepat. lni terjadi karena respon seseorang terhadap ai-Quean pada kurun waktu tertentu akan berbeda dengan respon seseorang yang hidup pada kurun waktu lainnya. Kondisi seperti ini sangat tepat memerlukan ilmu bantu nasikh mansiikh, karena ilmu ini bersandarkan kepada keterangan dari
68
INSYIRAH, Jumal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Paradigma niisikb dan mansiikb dalam Penasiran Al-Qur'an
nabi, sahabat, maupun aspek sejarahnya. Menyangkut pemahaman terhadap ayat-ayat yang dianggap kontradiksi, pengetahuan mengenai nasikh mansUkh ini amat penting, paling tidak akan memberi solusi terhadap ayat-ayat yang bertentangan tersebut, terutama bagi kalangan yang pro terhadap nasakh-mansUkh. Adapun bagi kalangan yang kontra terhadap nasikh mansUkh (yang dipelopori oleh Abu Muslim ai-Isfahan!) yang juga dianut oleh Hasbi ashShiddiqy, maka jalan yang ditempuh mengenai ayat-ayat yang pemahamannya berbeda adalah dengan mengkompromikan ayat-ayat tersebut. Seorang intelektual dati Sudan, Mahmood Muhammed Taha, termasuk yang sepakat adanya nasikh mansukh dalam arti penundaan. Ayat-ayat yang tumn di Mekkah sudah saatnya diterapkan kembaH oleh umat Islam masa kini. Bagi Taha ayat-ayat yang tumn di Mekkah banyak mengandung kemiripan dengan situasi sekarang seperti menjunjung tinggi terhadap HAM, egaliterisme, perbedaan, persamaan, egaliter dan non diskriminatif. Maka ayat-ayat Madaniyah dimansukh oleh ayat-ayat Makkiyah.
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan terjemahannya, Departemen Agama edisi bam revisi terjemah 1989. Afdawaiza, Redefinisi Konsep Nasakh: Studt Alas Pemikiran Abdullah Ahmad Ai-Naim, Jurnal AI-Quran dan Hadist, Vol.2, No.1, Juli 2001. Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah AI-Quriin, Yogyakarta ; (FKBA), Fomm Kajian Budaya dan AshfahanI, Raghib, MuJamlMufradatAlfodzai-Quran, Beirut: Daml Fikr, t.t.
Shidiqy, Muhammad Hasbi al-, Sejarah dan Pengantar Iimu alQuriin dan Tafsir, Pustaka 1997.
VoL 2, No. l,juni 2014
69
Ahmad Fauzan
Baidowi, Ahmad, Nasikh MamUkh dalam Pandangan Tabatabai, Jumal al-Quran dan Hadist, Vol I, No.2, Januari 2000. Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembah Suci: Kritik Atas Hadisthadist Sahih, Yogyakarta: Pilar Media, 2005. Hamzah, Muchotob, Studi al-Quriin Komprehensif, Yogyakarta: Gama Media, 2003. Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Agah Gamadi (pel'lj), Bandung: Pustaka, 1994. http://www.pikiran-rakyat.comlcetak/2oo71092oo7124/ramadan02. Ichwan, Nor, Memahami Bahasa al-Quriin: Refleksi Atas Persoalan Linguistik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Marzuki, Kamaluddin, Ulum al-Quriin, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1992. Masyhur, Kahar, Pokok-pokok Ulumul Quran, Qakarta: Rineka Cipta, 1992. Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsudin (ed), Studi Al-Quriin
Kontemporer: Wacana Barn Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quriin: Kritik Terhadap UluKhoiron Nahdliyyin, : LKlS, 2002.
Teori Nasakh Al-Qudin dan VoL I, No.1. Juli
Jurnal
'''1'"" .... " Khalil,
AmiruJ Hasan dan MUlhalmrriad Press, 1996.
fi
Beirut: Dar al-'Ilm
al-MaUiyfu, 1988.
_ _ _ _, Membahas Ilmu-Ilmu AI-Quriin, daus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. 70
: Tim Pustaka Fir-
INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Shihab, Quraisy, http/kajian islam. Wordpress.com/2007106/26/soal nasikh dan mansiikh. Supiana, dan Karman, M, Ulumul Quran dan P~nMetod() logi Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, 2002. Sukardi K.D (ed), Belajar Mudah Ulum Al-Qutiin : Studi Kbazanah Rmu~,.tI",~: Lentera Basritama, 2002. Suyfithi, Jalal aI-Din AiJ{lal...Rahman, Al-:lkpn ji 'Uliim al-Qur'iin, Juz Il,Beinlt,: D~ al-Fikr, t.t. Syaukani, Imam, Rekonstntksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, Jakarta: Raja Grafmdo Persada, 2006. Thaba'thaba'i, Muhammad Husain, Al-Mi:ziin ji TafSir al-Qur'iin, Beirut: Muassasah Li al A'lam at Matbuah, 1972. Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan, 1994.