ABSTRAK Dinamika Tarekat Syattariyah di Lingkungan Keraton Cirebon Permasalahan pokok yang akan kami bahas adalah “Dinamika Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon.” Tarekat Syattariyah adalah satu dari sekian banyak tarekat yang berkembang di Indonesia. Tarekat ini didirikan oleh Syah Abd-Allah al-Syattar (w.890 H/1485 M) yang berasal dari daerah India. Masuk ke Indonesia di bawa oleh Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M). Ia adalah seorang Ulama ahli hukum Islam (fiqh) sekaligus ahli tasawuf yang bermukim di Kerajaaan Islam Aceh pada sekitar Abad 17. Di sana Ia menjadi seorang Qadi (hakim Islam) pada zaman pemerintahan Sultanah Safiyatuddin (1645-1675).1 Kemudian tarekat ini masuk ke daerah Jawa Barat, di sebarkan oleh Syaikh Abdul Muhyi (1071-1151 H/1650-1730 M) dari Pamijahan Tasikmalaya, yang merupakan murid dari Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi ketika ia belajar di Makkah.2 Lalu melalui penelitian kami di Cirebon, di ketahui bahwa dari Pamijahan Tasikmalaya Tarekat Syattariyah kemungkinan masuk ke lingkungan Keraton Cirebon di bawa oleh Kyai Soleh Kertabasuki yang kemudian mengajarkan kepada Kyai Muhammad Arjaen, seorang Qadi di Keraton Kanoman Cirebon. Hal ini berdasarkan informasi yang terdapat pada Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Petarekan Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon (Kitab panduan bertarekat lembaga tarekat Ratu Raja Fatimah dari Keraton Kanoman Cirebon) pada keterangan mengenai silsilah Tarekat Syattariyah.3 Buku tersebut kami dapatkan dari Rama guru Bambang Irianto, salah satu mursyid (guru tarekat) di Cirebon. Alasan kami menulis tentang Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon adalah karena mengingat posisinya sebagai tarekat yang telah sangat lama di amalkan oleh komunitas Keraton Cirebon khususnya dan sebagian masyarakat Cirebon pada umumnya sehingga sedikit banyak telah mempengaruhi pola keberagamaan mereka.4 Oleh sebab itu, keberadaan Tarekat Syattariyah ini tidak dapat dipisahkan dengan sejarah perjalanan Keraton Cirebon yang dahulu merupakan salah satu basis penyebaran Islam di tanah Jawa.
1
Fathurahaman, Oman, Tarekat Syattariyah Di Minangkabau. Jakarta : Prenada Media Grup;2008 h.26 2 Yahya, Wildan M. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998. hal. viii dan 4 3
Hasil wawancara dengan Rama Guru Bambang Irianto di kediamannya di jalan Drajat pada tanggal 5 November 2008 4 Hasil wawancara dengan Rama Guru Bambang Irianto di kediamannya di jalan Drajat pada tanggal 5 November 2008
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan juga nikmat yang begitu banyak sehingga dengan ridla-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam kami panjatkan kepada Nabi Muhammad saw dan keluarganya. Dan tak lupa pula kepada para Sahabat dan pengikutnya yang saleh sampai akhir zaman. Penulis tentu tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dari berbagai pihak, olehs sebab itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik secara moral maupun material, sehingga kuliah dan skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih terutama penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Abdul.Chair, selaku Dekan Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Usep Abdul Matin, SAg., MA., MA. selaku pembimbing skripsi yang telah dengan sabar dan telaten membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. 3. Bapak Drs.H.M.Ma’ruf Misbah, MA. selaku ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang telah dengan sabar dan telaten membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. 4. Bapak Drs.Saidun Derani, MA, selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu proses skripsi ini dan Bapak H.Nurhasan, SAg, MA. selaku dosen seminar skripsi. 5. Bapak-bapak serta Ibu-ibu dosen Fakultas Adab dan Humaniora, terutama kepada dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang telah
memberikan ilmunya selama masa kuliah, serta staf-staf pegawai akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora maupun pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para stafstafnya yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan bagi penulis untuk mendapatkan buku-buku bacaan pada saat masa kuliah dan saat menyelesaikan skripsi ini. 7. Ibuku tercinta, Ummi Anah Muzayyanah, untuk segala budi baik, jasa dan dukungannya! baik berupa dukungan finansial maupun moral. Untuk Babah KH. Fahim Chawi atas segala budi baiknya, selamat jalan dan kesejahteraan semoga menaungimu selalu!. Untuk Abah KH.Shiddiq atas segala jasa-jasanya, selamat jalan dan kesejahteraan semoga menaungimu selalu!. 8. Rama Guru Nurbuwat Purbaningrat dan Keluarga serta Rama Guru Bambang Irianto dan Keluarga, atas segala bantuannya dan keramahtamahannya. 9. Hananira Prabaning Sasmita (Yayu Noening) terima kasih atas “kemurahan hatinya” selama di Kalibata. Dan Kg Babas atas segala dukungan dan bantuannya. Demikianlah ucapan terima kasih Penulis, semoga Allah membalas amal dan kebaikan mereka dengan balasan yang berlipat ganda... .amiin...ya Robbal Alamin...!!!. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan semua pihak Kalibata, Penulis
yang
memerlukannya. Mei
2009
DAFTAR ISI ABSTRAK......................................................................................................................i KATA PENGANTAR...........................................................................................................iii DAFTAR ISI...........................................................................................................................vi BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1 A. Latar belakang Masalah......................................................................................1 B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................................5
C.
Arti Penting Penelitian.......................................................................................6
D.
Metodologi Penelitian........................................................................................7
E.
Sistematika Penulisan.........................................................................................9
BAB II DEFINISI TAREKAT...........................................................................................11 A.
Definisi Tarekat dan Tujuan Tarekat................................................................11
B.
Kaitan Tarekat Dengan Tasawuf......................................................................15
C.
Sejarah Singkat Perkembangan Tarekat di Nusantara.....................................17
BAB III TINJAUAN HISTORIS TENTANG TAREKAT SYATTARIYAH DAN KERATON CIREBON........................................................................................22 A.
Profil Tentang Tarekat Syattariyah :
1.
Sejarah Berdiri dan Berkembang Tarekat Syattariyah................................22
2.
Masuknya
Tarekat
Syattariyah
ke
Nusantara
Perkembangannya.......................................................................................26
dan
B.
Profil Tentang Keraton Cirebon :
1.
Sejarah Singkat Pendirian Keraton Cirebon...............................................31
2.
Terbaginya Keraton Cirebon Menjadi Beberapa Keraton..........................38
3.
Pengguron Kaprabonan...............................................................................45
C.
Asal-usul
Tarekat
Syattariyah
Masuk
ke
Lingkungan
Keraton
Cirebon..........49
BAB
IV
DINAMIKA TAREKAT SYATTARIYAH
DI LINGKUNGAN
KERATON CIREBON.........................................................................................................52 A. Perguruan, Guru dan Murid Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon............................................................................................................52 1.
Perguruan Tarekat Syattariyah (Pengguron) di
Lingkungan
Keraton
Cirebon........................................................................................................52 2.1 Guru Tarekat Syattariyah (Mursyid) di Lingkungan Keraton Cirebon........55 2.2
Pengangkatan Mursyid Di Lingkungan Keraton Cirebon...........................58
3.
Murid Tarekat Syattariyah (Salik) di Lingkungan Keraton Cirebon...........62
B. Silsilah Tarekat Syattariyah di Lingkungan Keraton Cirebon.........................65 C.
Amalan Suluk Tarekat Syattariyah :
1.
Amalan-amalan Wajib Tarekat Syattariyah................................................72
2.
Tatakrama Dalam Berdzikir Tarekat Syattariyah.......................................75
D.
Sebahagiaan Ajaran Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon :
1.
Tingkatan Murid Tarekat Syattariyah........................................................77
2.
Ajaran Teosofi Martabat Pitu (Martabat Tujuh)........................................81
E.
Kegiatan-Kegiatan Rutin Beberapa Pengguron Tarekat Di Lingkungan
Keraton Cirebon............................................................................................................87 Bab V PENUTUP Kesimpulan......................................................................................................90 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Menurut Aboe Bakar Atjeh, istilah tarekat merujuk kepada jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Jalan atau petunjuk ini kemudian di teladani oleh para Sahabat Nabi saw dan Tabi'in sampai kepada para ulama dan guru tarekat sebagai penerus jalan Nabi tersebut. Guru tarekat yang memberikan petunjuk dan pimpinan ini dinamakan mursyid. Biasanya, para mursyid itu memberikan ijazah kepada murid mereka yang telah mampu melaksanakan jalan atau syariat dalam keseharian mereka dengan baik.5 Sehubungan dengan pengertian tarekat tersebut, Mulyadi Kartanegara, guru besar dalam bidang filsafat Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menyatakan bahwa tarekat bisa kita pahami dalam dua pengertian : Pengertian pertama, tarekat dalam pengertian jalan spiritual menuju Tuhan. Pengertian kedua, adalah tarekat sebagai persaudaraan suci yang memanifestasikan suasana dimana berkumpul seorang mursyid dengan para muridnya dalam rangka melaksanakan praktek ritual ketarekatan yang berupa wirid dan nasehatnasehat spiritual yang bersumber dari ajaran-ajaran pokok tarekat. Pada pengertian yang kedua dari tarekat inilah merujuk kepada bentuk organisasi tarekat itu sendiri, seperti Qadiriyah, Syadziliyah dan Syattariyah ini.6 Dari penjelasan tentang pengertian tarekat baik dari Aboe Bakar Atjeh maupun dari Mulyadi Kartanegara tadi, dapat diambil kesimpulan bahwa tarekat memiliki kaitan yang erat dengan tasawuf. Alasannya, tasawuf adalah usaha untuk membersihkan jiwa agar menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Sedangkan, tarekat adalah jalan yang harus ditempuh
5 6
Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani: Solo; 1985 hal. 67. Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga:Jakarta; 2006 hal.37
oleh setiap sufi sebagai orang yang mengamalkan ajaran tasawuf untuk mencapai keridla’an Allah SWT. Dengan demikian, tarekat itu berkembang dari ajaran tasawuf.7 Dari uraian diatas, bisa kita ambil pelajaran bahwa melalui studi tasawuf dan tarekat ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri, serta mengamalkannya secara benar. Aboe Bakar Atjeh juga mengemukakan demikian. Bahkan, ia menambahkan bahwa kecenderungan masyarakat untuk kembali kepada ajaran tasawuf melalui ajaran tarekat cukup beralasan, karena secara historis kehadiran tarekat bermula sebagai upaya untuk mengatasi krisis akhlak yang terjadi di masyarakat Islam pada masa lalu, yaitu penyimpangan dari praktik-praktik sunah Nabi Muhammad saw yang sangat jauh. Pada saat kaum Muslimin mengalami kemuduran dan mulai terjerumus ke dalam kehidupan berlebihan dan dosa, gerakan sufi lah yang memelihara jiwa keagamaan di kalangan kaum muslimin. Disamping itu, kaum sufi menjadi perantara penyebar agama Islam keluar dari kawasan Timur Tengah, salah satunya ke Indonesia.8 Perkembangan tarekat di Indonesia menurut para pakar sejarah Indonesia adalah dimulai pada abad ke-13 Masehi,
berbarengan dengan gencarnya proses islamisasi
organisasi-organisasi tarekat mulai berkembang, sehingga seringkali disimpulkan bahwa suksesnya penyebaran agama Islam di Indonesia adalah karena aktivitas pemimpin tarekat.9 Perkembangan tarekat ini bermula dari Aceh yang terkenal dengan sebutan kota serambi Mekah Indonesia. Menurut keterangan Drewes, Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Aceh pada abad VII M, atau ada juga yang mengatakan pada abad XIII. Pertumbuhan dan penyebaran agama Islam secara pasti sendiri terjadi pada saat Kerajaan Aceh mengalami masa jaya, khususnya dimulai pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda Mahkota
7
Lihat Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam. Jakarta: pustaka Firdaus ; 2000 hal 14 dan juga Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:LP3ES, 1982), h.324 8 Atjeh,Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani: Solo; 1985 hal. 68 9 Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES; 1982 hal.140
Alam Syah (1606-1616), yang ditandai dengan banyaknya para alim ulama dan kaum intelektual yang datang dan berdomisili di Kerajaan Aceh.10 Salah satu tarekat yang sudah semenjak dahulu masuk ke Nusantara adalah Tarekat Syattariyah, yakni semenjak abad XVII.11 Tarekat ini masuk ke Nusantara di bawa oleh Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M). Ia sekembalinya dari Haramayn menetap di Aceh, disana ia menjadi pusat perhatian, baik dari kalangan masyarakat kebanyakan maupun kalangan istana karena kedalaman pengetahuannya. Ia bahkan dipercaya oleh Sultanah Safiyatuddin (1645-1675), raja perempuan Kerajaan Aceh, untuk menjadi Qadli Malik al-Adil, pemuka agama yang bertanggung jawab terhadap berbagai masalah sosial keagamaan. Masa kembalinya Syaikh Abdurrauf Ali al-Jawi al-Sinkili ini dianggap sebagai awal masuknya Tarekat Syattariyah ke dunia Melayu-Indonesia.12 Kemudian Tarekat Syattariyah tersebar di Jawa Barat melalui salah satu murid dari Syaikh Abdurrauf bin Ali al-jawi, yaitu Syaikh Abdul Muhyi (1071-1151 H/1650-1730 M) yang berasal dari daerah Pamijahan, Tasikmalaya. Ia disebut-sebut sebagai “wali kesepuluh” dari Wali songo (yang berarti “sembilan wali”) karena begitu berpengaruhnya beliau dalam penyebaran Islam di pulau Jawa terutama di daerah Jawa Barat.13 Dari Pamijahan, Tasikmalaya, Tarekat Syattariyah masuk ke lingkungan Keraton Cirebon kemungkinan di bawa oleh Kyai Muhammad Soleh yang berasal dari desa Kertabasuki, Cirebon yang mengajarkan Tarekat Syattariyah kepada kepada Kyai Muhammad Arjaen, seorang Qadi di Keraton Kanoman Cirebon. Ia mengambil tarekat ini dari Kyai Hasanuddin dari kampung Safarwadi, murid dari Kyai Abdullah Safarwadi Pamijahan Tasikmalaya, murid
10
Hawash, Abdullah. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. Al-Ikhlas, Surabaya; tt.,hal.30. 11 Yahya, Wildan M. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998. h.viii 12 Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-TarekatMuktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004 hal.162. 13 Yahya, Wildan M. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998. h.viii
dari Syaikh Abdul Muhyi.14 Hal ini berdasarkan informasi yang terdapat pada Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Petarekan Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon (Kitab panduan bertarekat lembaga tarekat Ratu Raja Fatimah dari Keraton Kanoman Cirebon) pada keterangan mengenai silsilah Tarekat Syattariyah.15 Dari semenjak awal masuknya sampai dengan saat ini, Tarekat Syattariyah telah ikut mewarnai corak keberagamaan masyarakat di lingkungan Keraton Cirebon yang menjadikan Tarekat Syattariyah tidak dapat di pisahkan dengan rentang sejarah perjalanan Keraton Cirebon.16 Berangkat dari fakta sejarah bahwa Tarekat Syattariyah mempunyai andil dalam proses penyebaran Islam di Jawa Barat dan posisinya sebagai tarekat yang menjadi pegangan di lingkungan Keraton Cirebon inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang dinamika-dinamika yang terjadi pada Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon. adapun judul penelitian ini adalah : “Dinamika Tarekat Syattariyah di Lingkungan Keraton Cirebon”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah Permasalahan pokok yang akan kami bahas adalah “Dinamika Tarekat Syattariyah di Lingkungan Keraton Cirebon“ Secara etimologi Dinamika bermakna “kegiatan” atau “keadaan gerak”,17 sehingga objek dari kajian skripsi ini adalah pembahasan tentang segala kegiatan atau aktivitas dari Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon. Kemudian yang dimaksud dengan “lingkungan Keraton” adalah perguruan tarekat (Pengguron) yang menginduk kepada Keraton Kaprabonan Cirebon sebagai pusat Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon. Karena para mursyid dari pengguron-pengguron Tarekat Syattariyah yang di maksud secara historis dan geneologis berasal dari keluarga Keraton 14
Adapun tahun wafatnya kyai Muhammad Soleh Kertabasuki,Kyai Arjaen dan Kyai Hasanuddin safarwadi tidak kami temukan. Ketiganya di perkirakan hidup di masa akhir abad 18 sampai 1850 an. Hal ini berdasarkan wawacara dengan Rama guru bambang I pada tanggal 5 November 2008 15 Adapun kepastian tahun dari peristiwa tersebut tidak kami dapatkan. Hasil wawancara dengan Rama guru Bambang Irianto di kediamannya di jalan Drajat pada tanggal 5 November 2008. 16 Hasil wawancara dengan Rama guru Bambang Irianto di kediamannya di jalan Drajat pada tanggal 5 November 2008. 17 Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Popular, Surabaya: Penerbit Kartika t,th
Kaprabonan Cirebon. Pengguron-pengguron ini yang tersebar di wilayah Kotamadya dan Kabupaten Cirebon seperti Pengguron Tharekat agama Islam yang di pimpin oleh Rama guru Nurbuwat. Hal ini menjadi menarik mengingat tidak banyak buku yang mengupas tentang dinamika yang terjadi pada Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon. Dalam rangka menghasilkan tulisan yang komprehensif dan sesuai dengan aturan penulisan ilmiah, maka kami akan merunut pembahasan sesuai dengan tema yang kami pilih. Pembahasan di mulai tentang tarekat meliputi : Definisi dan tujuan tarekat, kaitan tarekat dengan tasawuf, dan sejarah perkembangannya di Nusantara, lalu disusul dengan pembahasan tentang profil Tarekat Syattariyah secara umum meliputi: sejarah berdirinya Tarekat Syattariyah dan perkembangannya, masuknya tarekat ini ke Nusantara, kemudian disusul dengan pembahasan tentang profil Keraton Cirebon yang merupakan wilayah penelitian, meliputi : Sejarah singkat berdirinya Kerajaan Cirebon, terbaginya Kerajaan Cirebon menjadi beberapa Keraton, dan asal-usul masuknya Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon. Dan tulisan ini ditutup dengan pembahasan tentang Dinamika Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon meliputi : tentang pengguron atau perkumpulan tarekat, guru tarekat (mursyid), murid tarekat, silsilah tarekat, amalan tarekat, sebagian ajaran-ajaran tarekat serta kegiatan-kegiatn rutin pengguron atau perkumpulan tarekat yang merupakan sempalan dari Keraton Kaprabonan Cirebon. Agar pembahasan tidak melebar kemana-mana, pembahasan akan dipandu oleh beberapa pertanyaan utama yang saya ingin jawab melalui skiripsi ini : 1. Bagaimana asal-usul masuknya Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon? 2. Sebagai tarekat yang dijadikan sebagai pegangan hidup bagi komunitas Keraton Cirebon, Tarekat Syattariyah
mempunyai ajaran dan amalan yang masih di pegang dan di
praktekkan sampai saat ini oleh sebagian masyarakat disana. apa sajakah itu? dan siapa sajakah mursyid Tarekat Syattariyah di sana saat ini? 3. Bagaimanakah dinamika-dinamika yang mengiringi perjalanan Tarekat Syattariyah di
sana? 4. Dan bagaimanakah kegiatan Tarekat Syattariyah di pengguron-pengguron (perguruan tarekat) yang menginduk kepada Keraton Kaprabonan Cirebon saat ini?
C. Arti Penting Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai media informasi dan media belajar baik bagi para pelajar maupun cendekiawan dalam rangka mengetahui lebih dalam tentang eksistensi Tarekat Syattariyah yang ada di lingkungan Keraton Cirebon.
D. Metode Penelitian Adapun metode penulisan yang dipakai didalam penulisan skripsi ini meliputi lima bagian, yaitu : Pemilihan topik, Heuristik, Kritik, Interpretasi dan Historiografi yang akan kami bahas secara rinci satu persatu. 1. Pemilihan Topik Tema skripsi ini adalah : “Dinamika Tarekat Syattariyah di Lingkungan Keraton Cirebon“ Alasan kami memilih tema ini karena rasa ketertarikan kami terhadap Tarekat Syattariyah yang telah begitu lama di amalkan oleh komunitas di lingkungan Keraton Cirebon yang notabene juga telah ikut mewarnai corak keislaman masyarakat di sana.18 Disamping itu, alasan kami memilih topik ini adalah keinginan kami untuk lebih mempopulerkan Tarekat Syattariyah baik di kalangan akademisi UIN Syarif Hidayatullah pada khususnya maupun masyarakat pada umumnya 2. Heuristik
18
Keterangan dari Rama guru Bambang Irianto dalam sesi wawancara pada tanggal 5 November di kediamannya di jalan Drajat kotamadya Cirebon.
Heuristik adalah pengumpulan data dari sumbernya yaitu pengumpulan data-data yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi ini.19 Pengumpulan data tersebut antara lain di peroleh melalui: 1.
Penelitian Lapangan Penelitian yang bersumber dari para guru tarekat (mursyid) tarekat Syattariyah di
lingkungan Keraton Cirebon, melalui : a. Sumber lisan, sumber lisan ini diperoleh melalui teknik wawancara langsung terhadap orang yang memahami betul tentang tarekat ini di lingkungan Keraton Cirebon, dalam hal ini adalah Rama guru Bambang Irianto. Ia adalah salah seorang mursyid (guru tarekat) Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton dan juga masih kerabat Keraton. Yang kedua adalah Rama guru Nurbuwat. Ia juga adalah mursyid Tarekat Syattariyah di Keraton dan masih kerabat Keraton. b. Sumber tertulis, yaitu data yang dikumpulkan melalui dokumentasi baik dokumen pribadi seperti manuskrip, catatan atau karangan tentang ajaran-ajaran Tarekat Syattariyah dan juga dokumen resmi tarekat seperti aturan-aturan dan risalah yang dikeluarkan oleh mursyid dan tentang Tarekat Syattariyah di Keraton Cirebon dalam hal ini adalah naskah Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon (Kitab panduan bertarekat lembaga tarekat Ratu Raja Fatimah dari Keraton Kanoman Cirebon) yang kami dapatkan dari Rama guru Bambang Irianto. Isi dari naskah kitab ini masih menjadi acuan bagi praktek ketarekatan di Pengguron (perguruan tarekat) Lam alif yang di pimpin oleh Rama guru Bambang Irianto. 2.
Penelitian kepustakaan, Yaitu data yang di peroleh dari buku, majalah, koran, internet atau artikel yang berisi
informasi tentang tarekat Syattariyah untuk mendukung data yang telah di peroleh melalui sumber lisan dan sumber tulisan yang keduanya adalah sumber referensi utama. 19
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. (Jakarta,Logos,1999), hal.55-58
Sedangkan dalam teknis penulisannya kami berpedoman pada buku panduan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah yang di terbitkan oleh UIN Jakarta Press, Jakarta, 2002. 3. Kritik Kritik sumber adalah suatu kegiatan untuk menilai data-data yang diperoleh dengan maksud agar mendapatkan suatu data yang otentik atau asli dan mendapatkan suatu data yang kredibel atau dapat dipercaya.20 4. Interpretasi Interpretasi adalah suatu kegiatan untuk menguraikan, menganalisa lalu mengumpulkan semua bahan sumber yang diperoleh serta berhubungan dengan fakta-fakta yang ada.21 5. Historiografi Historiografi adalah langkah-langkah untuk menyajikan hasil penafsiran atau interpretasi fakta sejarah ke dalam suatu bentuk tulisan (penulisan sejarah).22
E. Sistematika Penulisan Tulisan ini dibuat untuk membahas masalah
"Dinamika Tarekat Syattariyah di
Lingkungan Keraton Cirebon". Dalam rangka untuk menyelesaikan pembahasan tersebut maka disusun sistematika penulisan agar mengarah, runtut dan merupakan pemikiran yang terpadu untuk mempermudah jalannya pembahasan skripsi dan agar sesuai dengan tujuan yang dimaksud maka sistematika penulisan dibagi menjadi 5 bab yaitu sebagai berikut : Bab pertama adalah Pendahuluan, Pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, arti penting penelitian, metode penelitian, dan ditutup dengan sistematika penulisan. Pada bab kedua, kami akan membahas tentang definisi dan
20
Kuntowidjoyo.Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta,Yayasan Benteng Budaya, cet.III,1999) hal.55 21 Ibid, hal.55 22 Kuntowidjoyo.Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta,Yayasan Benteng Budaya, cet.III,1999) hal.55
tujuan tarekat,
kaitan tarekat dengan tasawuf dan di tutup dengan sejarah singkat
perkembangan tarekat di Nusantara. Bab ketiga terdiri atas dua bagian: Bagian pertama, berisi pembahasan tentang tinjauan historis tentang Tarekat Syattariyah yang membahas tentang : Sejarah berdiri dan berkembang Tarekat Syattariyah, dan asal usul masuknya Tarekat Syattariyah ke Nusantara dan perkembangannya. Bagian kedua, berisi pembahasan tentang Keraton Cirebon, yang membahas tentang : Sejarah Singkat Pendirian Keraton Cirebon, riwayat tentang Keraton Cirebon yang terbagi menjadi beberapa Keraton, dan bab ini ditutup dengan pembahasan asal-usul Tarekat Syattariyah masuk ke lingkungan Keraton Cirebon. Bab keempat berisi pembahasan tentang dinamika yang terjadi pada sub tema tentang Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon yang terdiri dari : Perguruan Tarekat Syattariyah (pengguron), guru Tarekat Syattariyah (mursyid) dan murid Tarekat Syattariyah, silsilah Tarekat Syattariyah, amalan suluk, yang terdiri dari : amalan-amalan wajib dan tatakrama dalam berdzikir Tarekat Syattariyah. Kemudian pembahasan di lanjutkan dengan pembahasan tentang sebahagiaan ajaran Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon, yakni Tingkatan murid Tarekat Syattariyah dan ajaran Teosofi Martabat pitu (Martabat Tujuh). Dan bab ini ditutup dengan kegiatan-kegiatan rutin
beberapa
pengguron tarekat di lingkungan Keraton Cirebon. Bab kelima adalah penutup yang terdiri atas : kesimpulan, daftar pustaka, dan lampiran.
BAB II TAREKAT SEBAGAI BAGIAN DARI AJARAN ISLAM
A.
Definisi Dan Tujuan Tarekat
1.
Definisi Tarekat Menyangkut pengertian tarekat sebagai persaudaraan suci yang memanifestasikan
suasana di mana berkumpul seorang mursyid (guru tarekat) dengan para muridnya dalam rangka melaksanakan praktek ritual ketarekatan yang berupa wirid dan nasehat-nasehat spiritual yang bersumber dari ajaran-ajaran pokok tarekat, Oman Faturahman, dalam disertasinya yang berjudul Tarekat Syattariyah di Minangkabau, menyatakan bahwa sebagai sebuah organisasi, tarekat di bangun di atas landasan sistem dan hubungan yang erat dan khas antara seorang guru (mursyid) dengan para muridnya. Hubungan mursyid dan murid ini merupakan pilar terpenting dalam organisasi tarekat. Hubungan tersebut diawali dengan sebuah pernyataan kesetiaan (bai’at) dari seseorang yang hendak menjadi murid tarekat kepada seorang syaikh tertentu sebagai mursyid.23 Kembali kepada pengertian pertama dari tarekat sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, Syaikh Junaid, menyatakan bahwa tarekat tidak terbatas jumlahnya. Karena amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT juga banyak sejumlah dengan jiwa hamba Allah SWT. Karena itu, pokok ajaran tarekat yang akan di amalkan oleh para pengikutnya juga banyak : zikir, ketenangan hati, dan pelaksanaan segala bentuk ibadah, termasuk sembahyang, puasa, zakat, haji dan jihad. Macam lain dari pokok amalan tarekat adalah melalui kekayaan, seperti mengeluarkan zakat dan membiayai amal kebajikan. Macam lainnya adalah membersihkan jiwa dari kebimbangan dunia akan
23
h.26
Fathurahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta : Prenada Media Grup;2008
kerakusan hawa nafsu dengan cara khalwat (menyepi dari keramaian manusia) dan mengurangi tidur, dan mengurangi makan-minum. Apapun macamnya, proses pelaksannan tarekat mengharuskan kita menyelaraskan diri dengan sya'riat dan sunah Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini Syaikh Junaid menyatakan bahwa : "Semua tarekat itu tidak berfaidah bagi hamba Allah jika tidak menurut (sesuai) dengan sunah Rasul".24 Sesuai dengan pernyataan Syaikh Junaid tersebut, Aboe Bakar Atjeh menerangkan bahwa tujuan-tujuan tarekat tersebut akan berpengaruh terhadap keabsahan sebuah tarekat sebagai sebuah organisasi di mata para ulama.25 Melihat penjelasan di atas tersebut, maka tiap-tiap tarekat yang diakui sah oleh ulama harus mempunyai lima dasar. Dasar pertama, menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan. Dasar kedua, mendampingi guru teman se-tarekat untuk meneladani segala tingkahnya. Dasar ketiga, meninggalkan rukhsah (keringanan hukum) dan ta'wil (penafsiran terhadap teks al-Qur'an) untuk kesungguhan. Dasar keempat mengisi waktu dengan doa dan wirid. Dasar kelima, mengekang hawa nafsu dari niat berbuat dosa dan selalu berbuat amal baik untuk menuju keselamatan baik di dunia dan akhirat.26 Dasar hukum atau dalil naqli (dalil yang di ambil dari al-Qur'an atau al-Hadist) yang melegitimasi keberadaan tarekat merupakan bagian dari ajaran Islam yang biasa di gunakan oleh kaum sufi adalah sebagai berikut di bawah ini:
a. Firman Allah SWT :
24
Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal. 170 Ibid, hal. 70 26 Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal. 70 25
Artinya: "Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu, benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar. " (QS Al-Jinn/ 72:16). b. Firman Allah SWT :
Artinya: "Maka barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah, hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan siapa pun dalam beribadah kepada Tuhan." (QS Al-Kahfi/ 18:110).
2. Tujuan Tarekat Dalam menjelaskan tentang tujuan tarekat, Aboe Bakar Atjeh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat menyatakan : “Tujuan sebenarnya dari tarekat adalah membimbing manusia untuk menjadi lebih dekat kepada Allah SWT dengan mengamalkan amalan-amalan yang telah di gariskan oleh para guru tarekat yang berasal dari guru pertama tarekat sebagai pendiri tarekat, yang mana amalan-amalan ini di dapatkan dari guru tarekat ke guru tarekat sebelumnya melalui rangkaian silsilah sanad yang terus bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai peletak dasar ajaran agama Islam”.27 Sehubungan dengan pembahasan tentang tujuan tarekat, Syaikh Najmuddin al-Kubro, salah satu tokoh sufi, menjelaskan bahwa tujuan dari tarekat adalah ma'rifat, yakni pengenalan Tuhan dengan sebenar-benarnya. Hal ini bisa di jelaskan dengan pernyataan bahwa tarekat adalah pelaksanaan dari syari’at yang merupakan uraian dari ajaran Islam. Sedangkan hakikat adalah keadaan hati, dan ma’rifat adalah tujuan pokok,. Contoh 27
Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal.67
hubungan antara syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat adalah praktek ibadah bersuci atau thaharah dalam syari'at dengan air atau tanah. Ketika praktek bersuci tersebut di sertai dengan hati yang bersih dari selain Allah maka itu adalah praktek tarekat yang bertujuan untuk mencapai ma'rifat. Karena itu, orang Islam tidak dapat berhenti pada syari'at atau aturan-aturan ibadah saja, tetapi dengan memasuki tarekat. Kemudian dari tarekat itulah akan sampai kepada hakikat, bahkan akhirnya kepada ma’rifat. Melihat proses tarekat seperti itu, Najmuddin mengibaratkan syari'at itu sebagai perahu, tarekat sebagai lautan, dan hakikat sebagai mutiara, dan ma’rifat sebagai keindahan mutiara. Orang tidak dapat mendapatkan keindahan mutiara dengan tanpa perahu dan laut.28
Ket: Perahu
: Tarekat
Laut
: Syari’at
Mutiara
: Hakikat
Keindahan mutiara
: Ma’rifat
B. Kaitan Tarekat Dengan Tasawuf Oman Fathurahman dalam disertasinya yang berjudul
Tarekat Syattariyah di
Minangkabau menyatakan bahwa dalam tradisi keilmuwan Islam, istilah tarekat sama sekali tidak dapat di pisahkan dari apa yang di sebut dengan tasawuf. Tentu saja tidak demikian sebaliknya, karena tasawuf bisa saja terpisah tanpa ada hubungan langsung dengan tarekat. Pada periode awal Islam, tasawuf adalah adalah salah satu bentuk keberagaman seseorang 28
Ibid, hal 70
yang sifatnya sangat pribadi, dan tidak terlembagakan dalam sebuah tarekat. Seseorang yang masuk ke dunia tasawuf bermaksud semata utuk menegaskan hubungan spiritual dirinya sebagai hamba (a‘bid) dengan Tuhannya sebagai yang di sembah (Ma’bud). Hubungan antara ‘abid dan Ma’bud dalam dunia tasawuf yang lebih menekankan aspek batin ini umumnya di pahami sebagai berbeda dengan hubungan antara a‘bid dan Ma’bud yang di atur melalui doktrin-doktrin fiqh yang lebih bersifat lahir. Pada perkembangan Islam berikutnya, pola hubungan spiritual dalam dunia tasawuf ini semakin tersebar ke berbagai bagian dunia Islam serta kemudian terlembagakan melalui organisasi tarekat.29 Pendapat Oman Fathurahman ini di perkuat oleh pendapat Muhaimin dalam bukunya Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon. Ia menyatakan bahwa tarekat biasanya diasosiasikan dengan tasawuf. Tujuan seseorang mendalami tarekat muncul setelah ia menempuh jalan sufi (tasawuf) melalui penyucian hati (tasfiyatul qalbi). Kemudian ia menambahkan bahwa pada prakteknya, tasawuf merupakan adopsi ketat dari prinsipprinsip Islami dengan jalan mengerjakan seluruh perintah wajib dan sunah agar mendapat ridla Allah. Hasil sampingan dari pengamalan tasawuf, jika ridla Allah diperoleh, adalah berupa kemampuan mengetahui kebenaran ilahi atau ilmu hakikat, meskipun tidak selalu berakhir demikian. Pencapaian kebenaran ini disebut dengan ma’rifat, yang secara literal berarti mengetahui realitas (gnosis). Ma’rifat adalah mengetahui hakikat, esensi kebenaran ilahi. Hakikat ini dapat diperoleh dengan mengikuti tasawuf, atau penyucian hati. Konon bagi banyak orang, melakukan tasawuf -meskipun tidak esensial- jauh lebih mudah dan leluasa jika dilaksanakan dengan cara mengikuti tarekat tertentu. Apapun jalan yang dipilih seseorang, yang menjadi pra syarat untuk mengikuti tarekat adalah pelaksanaan syariat. Sebagaimana tidak setiap Muslim menjalankan syariat, tidak setiap Muslim yang menjalankan syari’at ingin menjalankan tarekat. Pada gilirannya, tidak semua Muslim yang
29
Fathurrahman, Oman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta : Prenada Media Grup;2008 h.25
mengikuti tarekat dapat mencapai hakikat dan mengalami ma’rifah.30 Senada dengan Muhaimin, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dimensi Mistik Dalam Islam, menyatakan bahwa secara sederhana tasawuf adalah usaha untuk membersihkan jiwa agar menjadi lebih dekat dengan Tuhan, sedangkan tarekat adalah jalan yang harus ditempuh oleh setiap sufi (orang yang mengamalkan ajaran tasawuf) untuk mencapai tujuan yaitu keridla’an Allah SWT. Segi sosial dan praktis dalam tasawuf yang nantinya akan berpengaruh pada ajaran-ajaran tarekat, seperti mengabdi ke sesama manusia karena Allah SWT, bisa kita ketahui dari batasan-batasan seperti yang diberikan oleh Syaikh Junayd dan Syaikh Nuri yang menyatakan bahwa: “Tasawuf tidak tersusun dari praktek dan ilmu (teori), tetapi merupakan akhlak”, dan “ siapa pun yang melebihimu dalam nilai akhlak, berarti melebihimu dalam tasawuf”. Maksudnya ialah bertindak sesuai dengan perintah dan hukum Allah yang dipahami dalam pengertian rohaninya yang terdalam tanpa mengingkari bentukbentuk luarnya. Cara hidup semacam ini hanya mungkin dilaksanakan lewat pengabdian penuh kasih.31 Jadi, dari uraian diatas, baik dari Oman, Muhaimin maupun Schimmel, dapat di ambil pengertian bahwa tarekat sangat erat kaitannya dengan tasawuf. tarekat merupakan pengamalan dari doktrin-doktrin tasawuf atau diprakarsai olehnya. Pengamalan tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial. Yaitu dengan menjalankan praktek-praktek dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, dan mempratekkan disiplin dalam beribadah (riyadlah) dalam rangka mendapatkan keridlaan Allah SWT dan kemudian mendapatkan ma’rifat.32 Sebagai penutup dari apa yang telah kami utarakan diatas tentang kaitan antara tasawuf dan tarekat, berikut ini saya akan kutip pernyataan dari Profesor Simuh, Guru Besar Filsafat 30
Muhaimin AG. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon. Jakarta: Logos; 2002 lihat hal.338 31 Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam. Jakarta: pustaka Firdaus ; 2000 hal 14 32 Leksikon Islam. Jakarta: Pustaka Azet Perkasa; 1988. II, hal 707
Islam dari UIN Kalijaga Yogyakarta, dalam bukunya Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam : “Bahwa tarekat adalah klimaks terakhir dari pengembangan pengamalan dan penerapan ajaran tasawuf. Dengan munculnya ikatan-ikatan ketarekatan ( baca: perkumpulan tarekat) ini terjadi perubahan besar dalam pengamalan tasawuf. Tasawuf yang sejak pemunculannya merupakan gerakan individual dan hanya bisa di nikmati oleh kalangan elit kerohanian, berubah menjadi gerakan massal dari kaum muslimin. Tasawuf yang semula merupakan renungan dan aktivitas individual secara mandiri dan bebas, berubah menjadi ikatan yang ketat antara guru dan murid dengan pola guru-sentris”.33
C.
Sejarah Singkat Perkembangan Tarekat Di Nusantara Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya
tarekat di
Indonesia pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan tasawuf di Indonesia, dan perkembangan tasawuf di Indonesia sejalan atau beriringan dengan proses Islamisasi. Sehingga dinyatakan bahwa perkembangan tarekat di Indonesia sejalan dengan perkembangan Islam di Indonesia.34 Awal dari perkembangan tarekat bermula dari Aceh, karena Islam pertama kali masuk ke Nusantara adalah ke wilayah Aceh (atau yang dulu di kenal dengan nama Samudera Pasai). Menurut keterangan Drewes, Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Aceh pada abad VII M, atau ada juga yang mengatakan pada abad XIII. Pertumbuhan dan penyebaran agama Islam secara pasti sendiri terjadi pada saat Kerajaan Aceh mengalami masa jaya, khususnya dimulai pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah (1606-1616) yang ditandai dengan banyaknya para alim ulama dan kaum intelektual yang datang dan berdomisili di Kerajaan Aceh.35 Berkaitan dengan suburnya berbagai pemikiran tasawuf yang berkembang di Aceh pada
33
Simuh. Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Jaya; April 1997 hal 207 34 Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES; 1982 hal.140 35 Hawash, Abdullah. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Al-Ikhlas, Surabaya; tt.,hal.30.
abad VII M, yang nantinya akan berujung pada perkembangan tarekat di Nusantara, Wildan Yahya, dalam bukunya Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, mengemukakan pandangannya bahwa hal tersebut pada umumnya disebabkan oleh dua faktor yang tidak bisa diabaikan. Faktor pertama adalah bahwa Kerajaan Aceh sebagai kerajaan yang bernuansa Islam nantinya apabila ditinjau dari sudut pandang geografis mempunyai letak yang sangat strategis sekali dalam lalu lintas niaga di Asia Tenggara. Selat Malaka senantiasa dilalui oleh kapal-kapal besar dan kecil yang sebagian besar datang dari negeri-negeri yang telah kuat pengaruh Islamnya. Hal ini kemudian menyebabkan adanya interaksi lanjutan dimana banyak pedagang muslim dari Timur Tengah, India, Gujarat, dan lain-lain yang berniaga di Aceh sekaligus mengembangkan agama Islam di sana. Faktor kedua adalah bahwa Sultan Aceh atau pemimpin Kerajaan Aceh waktu itu, yang bernama Iskandar Muda Mahkota Alam Syah adalah seorang sultan yang menghormati ajaran agama (Islam), serta mencintai alim ulama dan kaum intelektual. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang besar dari sultan Aceh, bahkan lebih utama dari masalahmasalah lainnya. Sebagai seorang sultan yang berwibawa, Iskandar Muda Mahkota Alam Syah juga selalu mendapat sambutan yang baik dari kalangan rakyat yang terus mematuhi perintah dan kebijakannya. Hal ini dikarenakan Sultan Iskandar Muda adalah seorang sultan yang adil dan dikenal taat beragama.36 Pada masa awal perkembangan tarekat di Nusantara, pusat penting yang mempengaruhi perkembangan tarekat adalah India (Gujarat) yang dari tempat ini di duga Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri (ketiganya berasal dari Aceh) belajar mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah (pemimpin para mursyid). Namun pada abadabad berikutnya berbagai cabang India dari beberapa tarekat besar sampai ke Indonesia melalui jalur Mekkah dan Madinah. Melalui cara ini pula Tarekat Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian berpengaruh luas di 36
Yahya, Wildan M. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998. h.85
Indonesia.37 Mengenai perkembangan tarekat di Nusantara, Sri Mulyati, dalam bukunya TarekatTarekat Muktabarah di Indonesia, menyatakan bahwa Qadiriyah adalah tarekat pertama yang disebut-sebut dalam sumber-sumber pribumi. Di Jawa juga terdapat pengaruh tarekat Qadiriyah, terutama di Cirebon dan Banten. Menurut tradisi rakyat setempat, Syaikh Abd alQadir al-Jailani pernah datang ke Jawa, bahkan masih dapat menunjukkan kuburannya. Indikasi lain tentang pengaruh Qadiriyah di Banten dan di daerah-daerah lainnya di Jawa, seperti Cirebon adalah pembacaan kitab Manaqib (biografi) Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani pada kesempatan tertentu di kehidupan beragama di sana.38 Pada tahun 1928, di Indonesia sudah ada tarekat yang mendominasi, yaitu Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dan Tijaniyah.39 Bahkan Tarekat Syattariyah sudah menjadi bagian integral dari Keraton Cirebon semenjak dari abad 17.40 Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Tarekat, Aboe Bakar Atjeh menyatakan bahwa corak atau varian tarekat-tarekat di Nusantara itu banyak sekali, Ada tarekat-tarekat yang merupakan induk yang diciptakan oleh tokoh-tokoh tasawuf- aqidah, dan ada tarekattarekat yang merupakan pecahan dari tarekat induk yang sudah dipengaruhi oleh pendapat syaikh-syaikh tarekat yang lebih terkemudian atau oleh keadaan setempat dan keadaan bangsa yang menganut tarekat-tarekat itu. Banyak diantara perpecahan tarekat-tarekat itu diberi istilah-istilah yang sesuai dengan tempat perkembangannya. Tarekat Naqsyabandiyah misalnya banyak ditulis orang dalam bahasa dan memakai istilah-istilah Persia.41 Tarekat yang sudah diakui keabsahannya, dinamakan tarekat Mu'tabarah. Ada dua
37
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat . Bandung: Mizan; 1995 hal. 188 Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004 hal.13-14 39 Pijper.Gf,Pragmenta Islamica : Beberapa Studi Mengenai Islam Di Indonesia Awal Abad Xx, (Jakarta:UI Press), h.81. 40 Informasi ini kami dapatkan dari wawancara dengan mursyid tarekat Syattariyah di Cirebon, Rama guru Bambang I melalui wawancara pada tanggal 5 November 2008 di kediamannya di jalan Drajat, Cirebon. 41 Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal 75 38
syarat yang harus di penuhi oleh sebuah tarekat yang di akui Mu’tabarah, syarat pertama adalah amalan dan ajaran tarekat tidak bertentangan dengan al-Qur,an dan Hadist. Syarat kedua adalah silsilah dari tarekat tersebut harus sampai kepada Nabi Muhammad saw.42 Di Indonesia sendiri telah ada badan yang khusus menumpahkan perhatiannya kepada tarekattarekat, yaitu Jamiyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah Indonesia yang disingkat JATMI yang bernaung dibawah Majelis Ulama Indonesia. Lembaga yang sama juga didirikan oleh organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang bernama Jamiyyah ahli Thariqah al-Mu'tabarah alNahdliyyah yang disingkat JATMAN.43
42
Informasi ini kami dapatkan dari wawancara dengan mursyid Tarekat Syattariyah di Cirebon, Rama guru Bambang I melalui wawancara pada tanggal 5 November 2008 di kediamannya di jalan Drajat, Cirebon. 43 Lihat : Nu Online : http//www.Nuonline.com. entry : JATMAN
BAB III TINJAUAN HISTORIS TENTANG TAREKAT SYATTARIYAH DAN KERATON CIREBON
A.
Profil Tarekat Syattariyah
1.
Sejarah Berdiri Dan Berkembang Tarekat Syattariyah
Abdullah al-Syaththar (1402-1485) dari india adalah pendiri Tarekat Syattariyah. Beliau sendiri berasal dari Mekkah. Muhammad Arif, guru tarekat (mursyid) dari Abdullah al-Syaththar, mengirim al-Syaththar ke India untuk membuat sistematika ilmu Tasawuf yang telah berkembang luas pada waktu itu. Semula al-Syaththar bertempat di Jwnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota Muslim di daerah Malwa (Multan). Di kota ini, Abdullah Al-Syaththar bersama murid-muridnya kemudian melakukan dialog dengan tokoh-tokoh sufi dari berbagai daerah. Tarekat yang diajarkan dalam jama’ah ini kemudian disebut sesuai dengan namanya, yakni Tarekat Syattariyah.44 Tarekat Syattariyah sesungguhnya memiliki akar keterkaitan dengan tradisi Transoxania, yaitu sebuah ajaran-ajaran yang berisi ilmu dan hikmah-hikmah sufi (tarekat) yang pada silsilahnya akan terhubung kepada imam Ja’far Shadiq melalui Syaikh Abu Yazid al-Bushthomi.45 Keterkaitan ini di sebabkan oleh silsilah Tarekat Syattariyah itu sendiri yang terhubung sampai kepada Syaikh Abu Yazid al-Isyqi, bahkan kepada Abu Yazid al-Busthami (w.260 H/873 M), dan imam Ja’far al-Shadiq
44
Yahya, Wildan M. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998 hal. 54. 45 Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004 hal. 154.
(w.146 H/763M).46 Tidak mengherankan kemudian jika Tarekat ini dikenal dengan nama Tarekat Isyqiyyah di Iran, atau Tarekat Bisthamiyah di Turki Ustmani, yang sekitar abad ke-5 H cukup populer di wilayah Asia Tengah, sebelum akhirnya pengaruh Tarekat Bisthamiyah memudar dan pengaruhnya digantikan oleh Tarekat Naqsyabandiyah.
Tarekat
Isyqiyah
atau
Bisthamiyah
tersebut
mengalami
kebangkitannya kembali setelah Syah Abd Allah al-Syattar mengembangkannya di wilayah India, dan menyebutnya sebagai Tarekat Syattariyah. Sejak itu, Tarekat Syattariyah selalu dihubungkan dengan jenis tasawuf India, meskipun nama Abu Yazid al-Isyqi dan Abu Yazid al-Busthami tetap menjadi sandaran dalam tradisi silsilahnya untuk menghubungkan sampai kepada Imam Ja’far al-Shadiq, dan akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad saw.47 Sebagai sebuah gerakan ekspansi keagamaan, Tarekat Syattariyah pada periode ini lebih diarahkan pada perjuangan untuk meningkatkan nilai moral dan spiritual melalui penyebaran berbagai ajaran Islam. Dalam upayanya ini, Syah Abd Allah alSyattar
beserta
para
pengikutnya
mengembangkan
kecenderungan
untuk
beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih banyak dipengaruhi ajaran atau ritual Hindu. Memang, disatu sisi sikap akomodatif para penganut Tarekat Syattariyah seperti ini lebih mudah menarik perhatian non muslim untuk memeluk ajaran Islam, dan bahkan hal ini dianggap sebagai kunci sukses perkembangan ajaran Tarekat Syattariyah. 48 Syah Abd Allah al-Syattar menulis sebuah kitab berjudul Latha’if al-Ghoibiyyah, yang berisi tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Tarekat Syattariyah, yang disebutnya 46
Ibid, hal. I54 Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004 hal. 154. 48 Ibid, hal. 154-155. 47
sebagai cara tercepat untuk mencapai tingkat ma’rifat, yaitu kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya sehingga ia mengenal akan keagunganNya. Karyanya ini kemudian disempurnakan oleh dua murid utamanya, Syaikh Muhammad A’la, yang dikenal sebagai Syaikh Qadi Bengal (Qazam Syattari), dan Syaikh Hafiz Jawnpur. Yang disebut
terakhir
tercatat
sebagai
murid
Syah
Abd
Allah
yang
berjasa
mengembangkan silsilah Tarekat Syattariyah di India bagian utara melalui muridnya, Syaikh Budhdhan. Kemudian, murid spiritual dari Syaikh Budhdhan ini, yakni Syaikh Baha’uddin, menulis pula sebuah kitab berjudul Risalah Syattariyyah, yang juga berisi tentang prinsip ajaran Tarekat Syattariyah. Penting untuk dicatat bahwa dalam silsilah Tarekat Syattariyah yang berkembang, khususnya di dunia Melayu-Indonesia, nama dua murid Syah Abd Allah yang disebut diatas, yakni Syaikh Qadi Bengal dan Syaikh Hafiz Jawnpur, tidak pernah dijumpai. Nama yang menempati posisi sebagai sebagai khalifah Tarekat Syattariyah setelah Syah Abd Allah adalah Imam Qadhi alSyaththari, Syaikh Hidayat Allah al-Sarmasti, Syaikh Haji Hudhuri, dan Syaikh Muhammad Gauts.49 Perkembangan Tarekat Syattariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat terutama setelah berada di bawah mursyid penggantinya yang keempat, yakni Syaikh Muhammad Gauts Gwaliori yang meninggal pada tahun 1562 M. Tokoh ini mengarang buku al-Jawahir al-Khomsah, yang nantinya banyak menyedot minat dan perhatian berbagai kalangan, termasuk ilmuwan Barat. Ia merupakan khalifah (pemimpin para mursyid) Tarekat Syattariyah yang paling berhasil memapankan doktrin dan ajaran Tarekat Syattariyah. Selain Jawahirul Khomsah ia pun menulis
49
Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004, hal. 155.
sejumlah kitab yang berisi pokok ajaran Tarekat Syattariyah, antara lain: Kilid Makhzan, Dama’ir Basa’ir, dan Kanz al-Tauhid. Akan tetapi, penting untuk di catat bahwa diantara kitab-kitab tentang Syattariyah yang muncul di India ini, hanya Jawahir al-Khomsah yang tersosialisasi kepada para ulama Tarekat Syattariyah generasi berikutnya50. Mursyid penggantinya adalah Syaikh Wajih al-Din, yang banyak menulis buku dan sempat mendirikan madrasah, juga mendapat gelar “Wali Akbar Gujarat”, yang merupakan sebuah pengakuan dari masyarakat muslim di Gujarat atas ketinggian ilmu dan derajatnya.51 Dari Syaikh Wajih al-Din inilah Tarekat Syattariyah diturunkan kepada Sayyid Sibgat Allah bin Ruh Allah Jamal Al-Barwaji (w,1015 H/1606 M0 kelahiran India dari orang tua asal Persia. Sibgat Allah adalah juga kawan karib dari Syaikh Fadl Allah alBurhanpuri al-Hindi (w. 1029 H/1620 M). Murid-muridnya datang dari berbagai kalangan. Yang paling terkemuka diantaranya, dan yang kemudian menjadi penerusnya dalam Tarekat Syattariyah adalah Ahmad al-Syinawi (lahir 975 H/1567 M) dan Ahmad al-Qusyasyi (991-1071 H/ 1583-1660 M). Dua orang inilah yang paling bertanggung jawab atas sosialisasi ajaran Sibgat di Haramayn. Setelah al-Syinawi wafat, tanggung jawab atas penyebaran ajaran Tarekat Syattariyah di Haramayn benar-benar diambil oleh al-Qusyasyi. Dalam hal ini, integritas keilmuwan alQusyasyi tidak perlu diragukan lagi. Ia merupakan seorang penulis dan pengarang produktif pada masanya. Pada perkembangan berikutnya, melalui murid-muridnya yang datang dari berbagai kalangan, al-Qusyasyi juga dianggap sebagai yang paling bertanggungjawab dalam transmisi ajaran neosufisme melalui Tarekat Syattariyah ke 50
Ibid, hal 156. Yahya, Wildan M. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998, hal. 55. 51
berbagai penjuru dunia, termasuk ke wilayah Melayu-Indonesia. Diantara muridmuridnya, yang penting disebut dalam konteks ini adalah Ibrahim al-Kurani (10231102 H/1614-1690 M), dan Syaikh Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M).52
2.
Masuknya Tarekat Syattariyah Di Nusantara Dan Perkembangannya
Tarekat Syattariyah yang berkembang pesat di Gujarat, India, menyebar ke Indonesia, khususnya Aceh dan Jawa akibat dari Kesibukan dan keramaian arus lalu lintas perdagangan dari Arab dan Persia ke Gujarat dan dari Gujarat ke Malaka kemudian ke Pasai (Aceh). Dan seorang tokoh sufi bernama Fadlullah Burhanpuri (w. 1029 H/1620 M), penulis buku al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Naby, kemudian dinyatakan sebagai tokoh yang sangat besar jasanya dalam pengembangan ajaran Syattariyah di Nusantara.53 Disamping Syaikh Fadlullah Burhanpuri (w. 1029 H/1620 M) yang berjasa dalam pengembangan Tarekat Syattariyah di wilayah Nusantara, ada pula tokoh-tokoh dari generasi setelahnya yang juga turut berperan besar dalam penyebaran tarekat ini, yakni Syaikh Abdul Ra’uf bin Ali al-Jawi al-Sinkili dan Syaikh Yusuf al-Taj al-Makassari. Kedua Ulama besar ini mendapatkan ijazah Tarekat Syattariyah dari Syaikh Ahmad alQusyasyi dan Syaikh Ibrahim al-Kurani, keduanya adalah mursyid Tarekat Syattariyah yang sangat berpengaruh di tanah Haramain pada abad XVII. Diantara tiga tokoh Tarekat Syattariyah yang telah disebutkan, tampaknya Syaikh Abdurrauf al-Sinkili lah yang paling berperan besar terhadap perkembangan tarekat ini terutama di wilayah 52
Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004 hal.160-161. 53 Yahya, Wildan M. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998, hal. 55.
Aceh. Ia kembali dari Haramayn pada awal paruh kedua abad 17 tepatnya pada tahun 1661 M. Setahun setelah guru utamanya, al-Qusyasyi, meninggal dunia. Seperti dijelaskan dalam salah satu kitab karangannya, Umdat al-Muhtajin, al-Sinkili menghabiskan waktu sekitar 19 tahun di Haramayn untuk belajar tentang berbagai ilmu penegetahuan Islam, seperti tafsir, hadist, fiqih tasawuf, kalam, dan lain-lain. Ia belajar berbagai pengetahuan agama tersebut kepada sekitar 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Makkah, Madinah dan lain-lain. Masa kembalinya al-Sinkili dari Haramayn ini dapat dianggap sebagai awal masuknya Tarekat Syattariyah ke dunia Melayu-Indonesia. Sejauh ini tidak ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa tarekat ini telah hadir sebelumnya.54 Di Aceh, al-Sinkili segera menjadi pusat perhatian, baik dari kalangan masyarakat kebanyakan maupun kalangan istana karena kedalaman pengetahuannya. Ia bahkan dipercaya oleh Sultanah Safiyatuddin (1645-1675), raja perempuan Kerajaan Aceh, untuk menjadi Qadli Malik al-Adil, pemuka agama yang bertanggung jawab terhadap berbagai masalah sosial keagamaan. Di bawah kekuasaan Sultanah, al-Sinkili lebih mudah mensosialisasikan gagasan-gagasan keagamaannya. Lebih dari itu, di Aceh, alSinkili juga tampaknya berada dalam waktu yang tepat untuk menjadi semacam penengah bagi konflik keagamaan yang terjadi akibat kontroversi atau perdebatan panjang antara para penganut doktrin ajaran wahdat al- wujud atau wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dengan Nuruddin al-Raniri. Diantara murid-murid al-Sinkili, yang paling terkemuka diantaranya adalah Syaikh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat dan Syaikh Abdul Muhyi dari
54
Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004 hal.162.
Pamijahan di Tasikmalaya, Jawa Barat. Kedua murid al-Sinkili ini berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah Tarekat Syattariyah, dan menjadi tokoh sentral di wilayahnya masing-masing. Syaikh Burhanuddin menjadi khalifah utama bagi semua khalifah Tarekat Syattariyah di wilayah Sumatera Barat pada periode berikutnya. Sementara itu, Syaikh Abdul Muhyi menjadi salah satu mata rantai utama yang terhubung ke silsilah Tarekat Syattariyah di wilayah Jawa Barat khususnya, dan Jawa pada umumnya.55 Dalam beberapa sumber lain
disebutkan pula bahwa al-Sinkili mempunyai
seorang murid terkemuka lain di wilayah Semenanjung Melayu, yakni Abdul Malik bin Abdullah (1089-1149 H/1678-1736), yang lebih dikenal sebagai Tok Pulau Manis dari Trengganu. Berikutnya, dalam naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah AlSalihin Syaikh Burhanuddin Ulakan Yang Mengembangkan Agama Islam Di Daerah Minangkabau hasil salinan Imam Maulana Abdul Manaf Amin di jelaskan bahwa adanya murid al-Sinkili yang berasal dari wilayah Bugis, Sulawesi Selatan, yaitu Syaikh Da’im bin Syaikh Abdullah al-Malik al-Amin.56 Konon, Syaikh Da’im juga pernah menjabat sebagai qadli (hakim) besar kerajaan Aceh. Mempertimbangkan reputasi keilmuwan al-Sinkili dan memperhatikan rentang hidupnya yang relatif panjang, yakni hingga akhir abad 17 (1693), barangkali patut diduga bahwa selain muridmurid yang telah diketahui keberadaannya dari berbagai sumber yang berserakan
55
Ibid, hal 163. Adapun waktu penyalinan kitab Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah Al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan Yang Mengembangkan Agama Islam Di Daerah Minangkabau yang di lakukan oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin (tidak kami ketahui tahun kelahiran dan kematiannya) tidak kami temukan. 56
tersebut, sesungguhnya masih banyak lagi murid al-Sinkili lain yang tidak terdokumentasikan dalam berbagai catatan.57 Sebagaimana tadi telah dijelaskan bahwa dari Syaikh Abdul-Ra’uf Al-Sinkili inilah Tarekat Syattariyah tersebar di tanah Jawa melalui salah satu muridnya, yaitu Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, yang disebut-sebut sebagai “wali kesepuluh” dari Wali songo karena begitu berpengaruhnya beliau dalam penyebaran Islam di pulau Jawa terutama di daerah Jawa Barat, sekaligus dalam penyebaran Tarekat Syattariyah.58 Wildan Yahya dalam bukunya “Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan” menyatakan bahwa Tarekat Syattariyah disebarkan oleh Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan ke segenap wilayah Jawa Barat, termasuk di daerah Cirebon. Dikarenakan beliau dalam perjalanannya menemukan ”gua” di Pamijahan sempat mampir dan menetap di daerah Darma, Kuningan Jawa Barat selama empat tahun. Syaikh Abdul Muhyi disamping menyebarkan agama Islam pada penduduk setempat, juga mengajarkan Tarekat Syattariyah. Tarekat ini pun, dengan demikian menyebar sampai ke daerah Cirebon.59
B.
Profil Tentang Keraton Cirebon
Sebelum kita membahas tentang sejarah berdiri Kerajaan Cirebon, ada baiknya kita bahas sekilas tentang keadaan geografis dan sosial wilayah Cirebon pada saat ini. Pembahasan ini bisa membantu kita memahami Keraton Cirebon.
57
Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004 hal 165 58 Yahya, Wildan M. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998. hal viii 59 Ibid, 57
Pada saat ini, yang dikenal sebagai daerah Cirebon adalah bekas Karesidenan Cirebon yang terdiri dari Kotamadya Cirebon dengan empat Kabupaten, yaitu: Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan Cirebon. Luas daerah ini kira-kira 5,642, 569 km, dengan populasi kira-kira 4,5 juta jiwa pada tahun 1990. Sebagai perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, di sebelah timur Cirebon berbatasan dengan Kabupaten Brebes, di utara dan timur laut dengan laut Jawa, sebelah barat dengan Kabupaten Indramayu dan Majalengka dan di selatan dengan Kabupaten Kuningan. Gunung Ciremai yang terletak di sebelah barat-daya adalah gunung api yang masih aktif dan tertinggi di Jawa Barat (3.076 m) serta tertinggi kedua di Jawa setelah gunung Semeru (3.676 m). Di lereng gunung Ciremai terdapat sejumlah sumber belerang dan air panas. Sumber belerang dan air panas yang terbesar terdapat di Sangkanhurip, 20 km selatan kota Cirebon dan Gempol, 10 km ke arah barat kota. Secara administratif, Cirebon adalah bagian propinsi Jawa Barat. Berdasarkan sistem administratif, Kabupaten dan Kotamadya memiliki status sama. Masingmasing berada di bawah kepemimpinan gubernur Jawa Barat. Setingkat di bawah Kabupaten dan Kotamadya adalah Kecamatan. Beberapa Kecamatan punya Kemantren, gabungan dari beberapa desa, yang dikepalai oleh seorang mantri selaku pembantu camat. Satu Kecamatan biasanya terdiri atas 10 hingga 12 desa atau Kelurahan. Tiap desa atau Kelurahan dipimpin oleh kepala desa atau lurah, yang dulu dikenal dengan sebutan kuwu atau kepala desa. Sebagai tingkat administrasi paling bawah, Kelurahan masih dibagi lagi menjadi beberapa dusun. Dusun itu dulu disebut Rukun Warga atau RW). Dusun dipimpin oleh kepala dusun, yang mengkoordinir beberapa Rukun Tetangga (RT). Sementara RT terdiri atas sejumlah rumah tangga;
jumlah terbanyak adalah 70 kepala keluarga (KK). RT dikepalai oleh ketua RT dan merupakan unit terkecil di desa.60 Kotamadya dan Kabupaten Cirebon, terletak antara 108050' Bujur Timur, dan 60030' dan 7000' Lintang Selatan. Luasnya 984,15 km persegi atau kira-kira 2,15% propinsi Jawa Barat. Area ini terbentang dari barat ke timur sepanjang 54 km dan dari utara ke selatan 39 km. Tahun 1991 populasinya 1.524.267 jiwa sekabupaten, sementara kota Cirebon sendiri berpopulasi 254.486 jiwa. Proporsi laki-laki dan perempuan kira-kira 49% berbanding 51%. Kepadatan penduduk Kabupaten mencapai 1.549 per km persegi, sementara di Kotamadya 6.812 per km persegi. Kabupaten Cirebon terdiri atas 21 kecamatan, 8 kemantren, dan 424 desa, sedang kota Cirebon terdiri dari 5 Kecamatan dan 22 Kelurahan. Bagian utara Kabupaten Cirebon bertekstur datar dan berada 20 meter diatas permukaan laut (dpl). Sekitar 80% daerahnya adalah dataran dan sisanya di sebelah selatan adalah pegunungan. Seluruh tanahnya merupakan lahan pertanian, dengan 62,88% daerah persawahan. Selain padi, kacang tanah, jagung, ketela pohon dan tebu juga ditanami. Hanya 17% permukiman, 12% untuk perkebunan kopi, tembakau, karet dan sisanya hutan lindung sebesar 4%, dan lain-lain sebesar 5%. Kira-kira 52 % dari penduduknya adalah petani. 32 % dari GDP (Gross Domestic Product) atau pendapatan asli daerah (PAD) setempat berasal dari sektor ini. Perdagangan merupakan mata pencaharian bagi 12% dari jumlah penduduk Cirebon. Hal ini memberi sumbangan tebesar kedua setelah pertanian. Kota Cirebon termasuk produsen rokok yang penting. Pabrik terbesar dimiliki oleh perusahaan tembakau 60
Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon. Jakarta: Logos; 2002 hal. 320.
Amerika Inggris (British American Tobacco atau BAT). Hasil lainya adalah peralatan, bahan kimia, tekstil (termasuk batik), semen, tembikar, perabot, kerajinan rotan, gula, ikan dan minyak mentah. Semua ini membuat orang Cirebon menjadi masyarakat urban dan maju.61
1. Sejarah Singkat Pendirian Keraton Cirebon Dalam menjelaskan sejarah pendirian Keraton Cirebon, kita tidak bisa lepas dari riwayat tentang dua tokoh yang paling berperan di dalamnya, yaitu Pangeran Cakra buana yang berjuluk Mbah Kuwu Cerbon sebagai peletak dasar Keraton Cirebon, yang semula merupakan daerah pesisir yang di pimpin oleh seorang kepala suku adat, dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai pendiri resmi dari sistem Keraton di Cirebon.62 Karena itu, dalam menjelaskan sejarah pendirian Keraton Cirebon, kami akan menjelaskan riwayat dari kedua tokoh tersebut dan keterlibatan mereka berdua dalam pendirian Keraton Cirebon.
a. Pangeran Cakrabuana (meninggal dunia 1479) Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama Subang Larang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecil Pangeran Cakrabuana adalah Raden Walangsungsang. Setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara. Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam karena mengikuti ibunya, Subanglarang. Sementara saat itu (abad 16), ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang 61
Ibid, hal. 320. wawancara kami dengan rama guru Bambang I dikediamannya pada tanggal 5 november 2008, rekaman dari wawancara terebut ada pada kami. 62 Hasil
Sunda) yaitu Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.63
Setelah Ibunya meninggal, Raden Walangsungsang pergi meninggalkan Keraton, disusul oleh nyai Larasantang. Keduanya tinggal di rumah seorang pendeta Budha yang bernama ki Gedeng Danuwarsih yang memiliki seorang putri yang cantik yang bernama Nyai Indang Geulis. Raden Walangsungsang kemudian menikahi puteri pendeta ini dan setelah itu mereka pergi berguru agama Islam kepada Syaikh Dzatul Kahfi yang konon berdasarkan isyarat mimpi yang menyuruhnya untuk memeluk agama Islam, Kemudian ia diberi nama baru yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti menjadi Haji Abdullah Iman. Setelah tamat belajar di pesantren Syaikh Dzatul Kahfi, ia dianjurkan oleh gurunya untuk membuka daerah baru yang diberi nama tegal alang-alang atau Kebon Pesisir, di mana tinggal disana paman dari istrinya nyai Indang Geulis.64 Raden Walangsungsang alias Ki Samadullah berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-Alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini dengan nama “Caruban” yang artinya campuran. Ditempat ini bukan hanya bercampur berbagai etnis, melainkan agamanya sangat beragam. Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ketanah suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang, karena Nyai Indang Geulis sedang hamil tua. Di tanah suci inilah, adiknya dinikahi oleh Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Muhammad yang merupakan keturunan dari Bani
63
Wildan, Dadan.Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat, Edisi Selasa, 8 Juni 2004. dan Permana, Aan Merdeka. Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 17 Juni 2004, yang di ambil dari: www.Google.com. 64 Lubis, Nina dkk. Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint Jatinangor; Juli 2000 hal 29.
Hasyim (kakek Rasulullah saw) putra Sultan Nurul Alim. Beliau ini seorang putra dari penguasa kota Ismailliyah dan wilayah Palestina, bawahan dari kesultanan Mesir. Nyai Lara Santang inipun diganti namanya menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari segi Geneologi dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salah seorang dari wali songo, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad saw.65 Setelah perkawinan adiknya, ki Samadullah yang bergelar Haji Abdullah Iman memutuskan kembali ke Jawa dengan maksud mengembangkan agama Islam di tanah leluhurnya. Setibanya di tanah air, ia mendirikan masjid Jalagrahan, kemudian membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Disanalah ia meneruskan tugasnya sebagai pembantu Ki Danusela, Kuwu Caruban. setelah Ki Danusela meninggal, Ki Samadullah diangkat menjadi kuwu Caruban dan di gelari Pangeran Cakrabuana.66 Pakuwan Caruban kemudian ditingkatkan menjadi Nagari Caruban Larang. Dengan demikian, pangeran Cakrabuana menjadi penguasa Nagari yang juga merangkap ulama. Selanjutnya, ia mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi sebagai Sri Margana. Pemberian gelar ini, dapat dianggap sebagai cara untuk melegitimasikan kekuasaan Pangeran Cakrabuana. Bagi pendiri desa dalam masyarakat tradisional, hal seperti ini sudah lumrah. Cara untuk melegitimasikan kekuasaan, bukan hanya melalui pembuatan silsilah geneologi, seperti yang dilakukan pengarang Carita Purwaka Caruban Nagari untuk melegitimasikan Sunan 65
Ibid, hal.29. Lubis, Nina dkk. Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint Jatinangor; Juli 2000 hal 30. 66
Gunung Jati sebagai penguasa sekaligus sebagai wali penyebar Islam di tanah Sunda.67
b. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) (1448-1568)
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir tahun 1448. Ayah beliau adalah
Syarif
Abdullah
bin
Nur
Alam
bin
Jamaluddin
Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah seorang muballigh dan musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syaikh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syaikh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syaikh putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syaikh Muhammad Shahib Mirbath. Syaikh Shahib Mirbath ini adalah ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya terhubung sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain. Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya, Syaikh Mawlana Akbar.68 Syarif Hidayatullah yang dibesarkan di negara ayahnya, setelah berusia dua puluh tahun, pergi berguru kepada beberapa ulama di Mekkah dan Baghdad selama beberapa tahun. Setelah itu ia kembali ke Mesir, negeri ayahandanya. Ketika ayahnya meninggal dunia, ia diminta menggantikan posisi ayahnya, tetapi permintaan itu ditolaknya. Bahkan ia meminta adiknya untuk yang bernama Nurullah menggantikan dirinya. Ia sendiri memilih untuk pergi ke Jawa guna menyebarkan
67 68
Ibid, hal 30. Sumber : Wikipedia: www.Google.com. entry : Sunan Gunung Jati
agama Islam. tokoh Nurullah ini, dalam sumber lain disebutkan sebagai orang Pasai (Aceh), yang nantinya merantau ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam, dan terkenal sebagai Fatahillah atau Faletehan. Dalam perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah singgah di Gujarat selama beberapa waktu, kemudian singgah pula di Pasai dan tinggal di rumah seorang ulama yang bernama Syarif Ishaq. Setelah beberapa lama, Syarif Hidayatullah meneruskan perjalanannya dan singgah di Banten yang waktu itu penduduknya sudah ada yang beragama Islam, berkat syi’ar yang dilakukan oleh Sunan Ampel. Syarif Hidayatullah merasa sangat tertarik untuk belajar kepada wali yang berasal dari Jawa timur ini. Ketika Sunan Ampel ini pulang, Syarif Hidayatullah ikut pergi ke Ampel dan tinggal di sana untuk memperdalam syi’ar Islam dari Sunan Ampel. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya yang tergabung dalam
Walisongo, Syarif Hidayatullah diminta untuk
menyebarkan agama Islam di tanah Sunda. Maka Syarif hidayatullah Pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwak (kakak dari ibu) nya, Pangeran Cakrabuana.69 Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke desa Sembung Pasambangan, dekat Giri Amparan Jati, pada tahun 1475, (ada naskah yang menyebut tahun 1470).70 Di sana ia mengajar agama Islam menggantikan Syaikh Dzatul Kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-Lahan, ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian diberi gelar Syaikh Maulana Jati atau Syaikh Jati. Syaikh Jati mengajar juga di Dukuh Babadan. Disana ia menemukan jodohnya yaitu Nyai Babadan yang 69
Lubis, Nina dkk. Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint Jatinangor; Juli 2000. Hal. 31. 70 Ibid, hal 31
merupakan puteri Ki Gedeng Babadan. Tidak lama kemudian isterinya sakit dan meninggal dunia. Syaikh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati yang merupakan puteri Pangeran Cakrabuana. Ini merupakan pernikahan dengan saudara sepupu. Setelah itu, Syaikh Jati menikah lagi dengan Nyai Lara Baghdad, puteri sahabat Syaikh Dzatul Kahfi. Syaikh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan Agama Islam disana. Ternyata di Banten, Bupati Kawunganten sangat tertarik terhadap ajarn-ajaran Syaikh Jati, sehingga ia masuk Islam dan memberikan adikanya untuk diperistri oleh Syaikh Jati. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten lahirlah Pangeran Sebakingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin, pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu pangeran Cakrabuana meminta agar Syaikh Jati menggantikan kedudukannya, dan Syarif Hidayatullah pun kembali lagi ke Caruban. Disana ia di nobatkan oleh pamannya sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah Caruban Larang dari sebuah nagari (kampung) mulai berkembang sebagai pusat sebuah Kesultanan dan namanya pun diganti menjadi Cerbon yang kemudian menjadi Cirebon.71 Berdasarkan riwayat diatas, Syarif Hidayatullah disamping seorang wali adalah seorang raja, berbeda dengan para wali yang lain yang hanya berkonsentrasi pada hal-hal serius dan menyerahkan urusan dunia kepada raja. Dengan demikian, Syarif Hidayatullah adalah pemimpin religius sekaligus pemimpin politik. Seandainya ia mau, bisa saja ia melembagakan negara agama atau menggunakan agama untuk melaksanakan kepentingan politik. Namun, karena kearifannya, ia lebih memilih
71
Lubis, Nina dkk. Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint Jatinangor; Juli 2000, hal 31-32.
yang pertama daripada yang kedua. Ia menjaga hubungan baik dengan para pemimpin Islam pada saat itu, tapi ia tidak bermaksud menjadikan Cirebon sebagai pusat kekuasaan politik. Ia bahkan memanggil kembali pamannya, Cakrabuana, ke Cirebon untuk menghadiri pertemuan Walisongo. Itulah sebabnya, menurut hikayat ini, Cirebon tidak pernah berkembang menjadi negara penting, seperti dicatat oleh De Graaf dan Pigeaud (1989).72 Syarif Hidayatullah terlalu religius untuk berambisi menjadi raja dengan kekuasaan politis yang kuat. Apalagi ia memiliki Sebakingking, putra dari pernikahannya dengan putri bangsawan Banten. Sebakingking kemudian dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin. Demikianlah, ia merasa puas bahwa putranya di Banten cukup kuat secara politis sehingga ia merasa tidak berkepentingan untuk mengejar kekuasaan di Cirebon sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada misi agama. Di samping itu, putra-putranya di Cirebon, Jayakelana yang menikahi Ratu Pembayun, seorang putri Raden Fatah, raja Demak, dan Bratakelana yang menikahi Ratu Mas Nyawa, yang juga putri Raden Fatah, mendahuluinya meninggal dunia tak lama setelah perkawinan mereka berdua. Kemudian, saudara tiri Bratakelana, yaitu Pangeran Pasarean, yang semestinya menjadi penerus tahtanya, juga meninggal. Duka cita yang bertubi-tubi ini menjadikannya semakin arif dan ia kembali mencurahkan seluruh perhatiannya pada agama. Sementara pada saat yang sama, ia berharap putranya yang di Banten punya kekuasaan yang lebih besar lagi. Cucunya, Pangeran Swarga, putra Pangeran Pasarean, yang menggantikan Syarif di Cirebon, masih kanak-kanak dan belum mampu memimpin pemerintahan. Ketika Panembahan Ratu, putra dari Pangeran
72
Lubis, Nina dkk. Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint Jatinangor; Juli 2000. hal 31-32.
Swarga, menggantikan ayahnya, Kerajaan Cirebon
tertinggal sementara Banten
menjadi Kerajaan yang masyhur sebanding dengan Mataram di Jawa tengah.73
2. Terbaginya Keraton Cirebon Menjadi Beberapa Keraton
Sebelum membicarakan tentang pecahnya Kerajaan Cirebon, akan kami paparkan terlebih dahulu sekilas situasi Keraton Cirebon setelah Sunan Gunung Jati wafat sampai masa terpecahnya kerajaan menjadi tiga Keraton. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi Keraton Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565. Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat Keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dipegang oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta dan memerintah sebagai raja Cirebon secara resmi sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta Keraton Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.74 Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta Keraton jatuh kepada Pangeran Emas yang merupakan putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar 73
Ibid, hal. 33. Wildan, H.Dadan, Dr. M.Hum, Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat, Edisi Selasa, 8 Juni 2004. dan Permana, Aan Merdeka. Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 17 Juni 2004, yang di ambil dari: www.Google.com 74
Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon dari 1570 sampai 1649 atau selama kurang lebih 79 tahun.75 Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Keraton Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim. Hal ini disebabkan oleh keadaan bahwa ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya yakni Panembahan Adiningkusuma, yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Pemekaran
Keraton (baca :
pecahnya Keraton) sebagai simbol kekuasaan, terjadi ketika Keraton Cirebon berada di masa Panembahan Girilaya ini. Menurut berita dari Residen Cirebon yang bertanggal 1 Oktober 1684, setelah Panembahan Girilaya berkuasa di Cirebon, ia dipanggil ke Mataram bersama-sama dengan kedua orang tuanya "untuk menghormati keangkatannya sebagai penguasa" 76 dan tinggal di Mataram selama 12 tahun tidak kembali lagi ke Cirebon. Setelah Panembahan Girilaya meninggal, pada tahun 1662, kedua puteranya yang tinggal di Mataram diakui haknya sebagai pengganti ayahnya, tetapi tidak di perkenankan kembali ke Cirebon. Setelah Kerajaan Mataram Islam jatuh ke tangan Trunojoyo dari Madura yang di bantu oleh para pelarian dari Makassar, kedua pangeran Cirebon, yang merupakan putera dari Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang
75
Ibid, dari halaman yang sama Maksudnya adalah untuk menghormati atas diangkatnya panembahan Girilaya sebagai raja Cirebon, Amangkurat I, raja Mataram, mengundang ia dan kedua orangtuanya ke Mataram. Hal ini terjadi sebab hubungan antara Kerajaan Cirebon dan Mataram telah terjalin sangat erat. Lihat: Lubis, Nina dkk. Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Jatinangor Bandung: Alqaprint; Juli 2000 hal 38. 76
tidak di perkenankan meninggalkan Mataram oleh Sultan Amangkurat I, jatuh ke tangan Trunojoyo sebagai tawanan.77 Menurut Jonge, berdasarkan dokumen yang bertanggal 17 September 1677, diberitakan bahwa setelah dari Cirebon ada permintaan kepada Banten untuk membebaskan keduanya dari Mataram, maka Sultan Ageng menyetujui permintaan tersebut, lalu dikirimkanlah sejumlah perahu. Tanpa diketahui oleh Trunojoyo, kedua Pangeran itu dilarikan oleh orang-orang Banten dan dibawa ke Banten. Riwayat ini menurut Caeef berdasarkan dokumen 17 September 1676. Setelah tiba di Banten, Sultan Banten menganugerahi kedua Pangeran Cirebon tersebut, yaitu Martawijaya dan Kartawijaya, sebagai Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman. selanjutnya keduanya dikembalikan ke Cirebon pada tahun 1678. Tindakan Sultan Ageng Tirtayasa ini tampaknya dimaksudkan agar Cirebon menjadi daerah "buffer" (penyangga) antara Banten dengan Batavia dan Mataram, dan juga agar kedua Sultan Cirebon membantu Banten dalam upaya menaklukkan Sumedang dan daerahdaerah Priangan (wilayah Sunda) lainnya. Pihak kerabat Cirebon sendiri tampaknya menerima keadaan ini dengan prasangka baik, mengingat Banten dan Cirebon didirikan oleh leluhur yang sama yaitu Sunan Gunung Jati.78 Sejak 1678 itulah di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu :
77
Lubis, Nina dkk. Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Jatinangor Bandung: Alqaprint; Juli 2000 hal 38. Dan informasi ini selaras dengan apa yang dituturkan oleh Rama guru Bambang I ketika kami mewawancarainya di kediamannya di bulan November. Lihat daftar wawancara pada bab V 78 Ibid, hal 38.
Pertama, Keraton (Kesultanan) Kasepuhan yang di pegang oleh Pangeran Martawijaya dengan gelar Sultan Raja Syamsuddin dan dikenal sebagai Sultan Sepuh I (1677-1703);
Kedua, Keraton (Kesultanan) Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Muhammad Badriddin yang dikenal sebagai Sultan Anom I (1677-1723);
Ketiga, Keraton (Kesultanan) Panembahan yang dikepalai oleh pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).79
Martawijaya, Kartawijaya diangkat sebagai sultan dan mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan Keraton masing-masing. Sementara putra terkecil, Pangeran Wangsakerta, tidak diangkat menjadi sultan, melainkan hanya diangkat sebagai Panembahan dan tidak memiliki wilayah kekuasaan atau Keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabonan (Paguron/Pengguron), yaitu tempat belajar para intelektual Keraton. Dalam tradisi Kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi Keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.80 Tidak berhenti sampai di situ pembagian kekuasaan Keraton Cirebon terjadi, pada tahun 1697, Keraton (Kesultanan) Kasepuhan terbagi lagi menjadi dua menjadi
79
Lubis, Nina dkk. Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Jatinangor Bandung: Alqaprint; Juli 2000 hal 39 80 Wildan, H.Dadan, Dr. M.Hum, Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat, Edisi Selasa, 8 Juni 2004. dan Permana, Aan Merdeka. Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 17 Juni 2004
Kasepuhan dengan sultannya Pangeran Adipati Anom dan Kacirebonan dengan pimpinannya Pangeran Aria Cirebon. Pembagian ini terjadi akibat Pangeran Aria Cirebon bertengkar dengan kakaknya, karena keduanya ingin mendapatkan kekuasaan. Dan setelah konflik berlangsung selama dua tahun, akhirnya sang kakak mengalah dan berbagi kekuasaan. Keduanya, Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Aria, mendapatkan masing-masing 2000 cacah serta daerah apanage yang dulu menjadi milik ayahnya. Sejak tahun 1699 itulah di Cirebon terdapat empat keluarga penguasa yaitu, keluarga Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Panembahan.81 Menurut sumber lain, Pepakem Cirebon, sebuah buku tentang hukum adat Cirebon yang dikompilasikan oleh residen Hasselar, hanya ada dua Kesultanan di Cirebon setelah Panembahan wafat,82 yaitu Keraton (Kesultanan) Kasepuhan dan Keraton) Kesultanan Kanoman. Hal ini dapat di jelaskan sebagai berikut. Pada tahun 1768, Sultan Kacirebonan di buang ke Maluku karena dianggap melakukan kesalahan berat, dan Keratonnya di bubarkan. Tanah Keraton miliknya dikembalikan ke Keraton (Kesultanan) Kasepuhan. Akibatnya, di Cirebon tinggallah tiga Keraton seperti sebelum tahun 1697. Selanjutnya pada tahun 1773, Panembahan Cirebon meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan tanah serta Keraton miliknya di bagi antara Kasepuhan dan Kanoman, Soal pembagian harta dan Keraton bila sorang sultan meninggal dunia tanpa meninggalakan keturunan yang bakal menjadi pewarisnya memang sudah di atur dalam suatu perjanjian 4 Agustus 1699, sebagai kelanjutan
81
Lubis, Nina dkk. Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Jatinangor Bandung: Alqaprint; Juli 2000 hal 40. 82 Menurut hasil wawancara kami dengan Rama guru Bambang I diketahui bahwa Keraton Panembahan tidak lagi eksis selepas meninggalnya Pangeran Wangsakerta.
proses pembagian Keraton (Kesultanan) Kasepuhan menjadi dua seperti yang telah di paparkan diatas, sehingga tinggallah dua Keraton lagi, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.83 Tetapi, pada akhir abad ke-18 terjadi peristiwa yang mengubah wajah Keraton Cirebon. Keraton Cirebon yang semenjak tahun 1773 cuma terdiri dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, kembali menjadi tiga Keraton, ditambah dengan Keraton Kacirebonan II. Peristiwa ini di awali dengan kabar Sultan Sepuh, pemegang kekuasaan atas Keraton (Kesultanan) Kasepuhan yang memerintah sejak tahun 1781, sakit ingatan, dan pemerintahan dalam Keraton dijalankan oleh beberapa administrator. Ketika Sultan Sepuh wafat pada tahun 1787, ia digantikan oleh kerabatnya, yang tiba-tiba saja meninggal dunia pada tahun 1791. Sementara itu, putranya masih sangat kecil, sehingga pemerintahan diserahkan kepada walinya hingga tahun 1799. Situasi kacau timbul pada tahun 1793 ketika putra Sultan Cirebon yang dibuang ke Maluku dahulu, melakukan pemberontakan. Ia ditangkap dan dibawa ke Batavia. Sultan Anom yang sudah tua meninggal tahun 1798, digantikan bukan oleh putra mahkota melainkan oleh putra Sultan Anom yang lain, Abu Sholeh Imaduddin (1803-1811).84 Hal ini menimbulkan kekacauan yang mencapai puncaknya pada tahun 1802 ketika banyak orang Cina di Cirebon mati terbunuh. Akibatnya putra mahkota, Raja Kanoman, ditangkap oleh pihak kolonial Belanda dan dibawa ke Batavia. Ribuan rakyat protes ke Batavia, namun mereka dihalau oleh tentara Kolonial kembali ke Karawang, Jawa barat. Raja Kanoman pun dibuang ke Ambon.
83
Lubis, Nina dkk. Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Jatinangor hal Bandung: Alqaprint; Juli 2000, 41. 84 Wildan, H.Dadan, Dr. M.Hum, Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat, Edisi Selasa, 8 Juni 2004. dan Permana, Aan Merdeka, Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 17 Juni 2004.
Ketika Daendels menjadi Gubernur Jenderal di indonesia pada tahun 1808, Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon atas desakan para ulama. Raja Kanoman diberi 1000 cacah milik Panembahan Cirebon (Pangeran Wangsakerta, putra dari Panembahan Girilaya) yang wafat tahun 1773, dan Raja Kanoman kembali membangun Keraton Kacirebonan yang pernah dibubarkan pada tahun 1768. Tetapi, para penguasa Kacirebonan tidak diizinkan oleh pihak kolonial memakai gelar “Sultan”, mereka hanya memakai gelar “Pangeran”.85 Segala aturan dibuat Deandels khusus untuk Keraton (Kesultanan) Kacirebonan. Surat keputusan Kolonial (Reglement) dikeluarkan untuk mengatur hak dan kekuasaan Keraton (Kesultanan) baru ini sehingga Kesultanan baru itu hanyalah ”hiasan” belaka. Intinya kekuasaan politik sang sultan, termasuk sultan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dihapus. Mereka hanyalah pegawai pemerintah biasa dan diberi gaji.86 Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari Keraton-Keraton Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Keraton (Kesultanan) Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon/Kota Cirebon, surat keputusan yang mengatur status kota Cirebon. Sesuai dengan Geemente Cheirebon, kota Cirebon mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa. Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.87
85
Lubis, Nina dkk. Sejarah dan perkembangan kota-kota lama di Jawa Barat. Jatinangor Bandung: Alqaprint; Juli 2000. hal. 41-42. 86 Diambil dari : www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/1201/wis02.html 87 Wildan, H.Dadan, Dr. M.Hum, Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat, Edisi Selasa, 8 Juni 2004. dan Permana, Aan Merdeka, Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 17 Juni 2004.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati. Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian Keraton-Keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN). Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.88
3.
Keraton/Pengguron Kaprabonan Melalui penelitian yang saya lakukan, baik melalui wawancara dengan Rama guru
Bambang I, salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah di Cirebon, survey pustaka di Perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun melalui pencarian informasi di situs-situs Internet, maka saya menemukan ada dua versi tentang asalusul Keraton atau Pengguron Kaprabonan ini: Versi Pertama menyebutkan bahwa Kaprabonan adalah sebuah lembaga pusat kegiatan ketarekatan Syattariyah yang
88
Wildan, H.Dadan, Dr. M.Hum, Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat, Edisi Selasa, 8 Juni 2004. dan Permana, Aan Merdeka, Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 17 Juni 2004.
didirikan oleh Adipati Raja Kaprabon pada tahun 1682. Lembaga ini di sebut dengan pengguron dalam bahasa Jawa Cirebon kuno, yang berarti perguruan tarekat. Adipati Raja Kaprabon ini adalah putra dari Pangeran Kartawijaya, Sultan Kanoman pertama keturunan ke-6 dari pendiri Keraton Cirebon, Sunan Gunung Jati. Sehingga Kaprabonan masih termasuk keluarga Keraton Kanoman. Adipati Raja Kaprabon sebenarnya adalah pewaris Kesultanan Kanoman yang menggantikan ayahnya. Namun ia menolak menjadi raja dan lebih tertarik di bidang spiritual. Lalu ia berinisiatif mendirikan lembaga pengguron Kaprabonan yang bergerak di bidang pendidikan Islam khususnya Tarekat. Di samping itu, keadaan politik di dalam Keraton yang telah dikuasai oleh kolonial Belanda pada saat itu turut andil dalam penolakannya menjadi seorang raja dan lebih memilih untuk mendirikan pengguron Kaprabonan. Akhirnya ia di beri sebidang tanah oleh ayahandanya, Pangeran Kertawijaya, di daerah Kepatihan tidak jauh dari Keraton Kanoman untuk mendirikan pengguron Kaprabonan. Jadi, Keraton atau pengguron Kaprabonan tidak memiliki kekuasaan secara politis. Versi Kedua menjelaskan bahwa Keraton Kaprabonan ini adalah lanjutan dari Keraton Panembahan yang dahulu di dirikan oleh Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon di tahun 1677 ketika Keraton Cirebon terbagi menjadi tiga (Kasepuhan, Kanoman dan Panembahan). Sehingga Keraton Kaprabonan tetap memiliki kekuasaan secara politis. 89 Pada awalnya Kaprabonan ini berfungsi sebagai tempat pengajaran agama Islam (Diniyyah) dan sebagai pusat aktivitas ketarekatan bagi pengikut Syattariyah yang di peruntukkan untuk komunitas Keraton Kanoman dan juga untuk masyarakat umum.
89
Hasil wawancara kami dengan Rama guru Bambang I pada bulan November 2008 di kediamannya, rekaman dari wawancara tersebut ada pada kami.
Sampai sekarang, kegiatan tersebut masih berjalan dan dikunjungi oleh banyak orang, termasuk pengunjung dari Malaysia dan Brunei. 90 Namun dalam perkembangannya, yakni dimulai pada tahun 1960-an perguruan tarekat (pengguron) Syattariyah tidak hanya di Keraton Kaprabonan saja, tetapi juga berkembang keluar batas dari Keraton dan menyebar di wilayah Kotamadya dan Kabupaten Cirebon, penyebaran perkumpulan tarekat ini terjadi karena areal Keraton Kaprabonan yang seharusnya di peruntukkan bagi tempat tinggal dari keluarga Kaprabonan, tetapi di perjual-belikan kepada para pengusaha dari etnis Tionghoa, sehingga diikuti dengan penyebaran tempat tinggal para guru (mursyid) Tarekat Syattariyah, yang masih menjadi keluarga Keraton Kaprabonan, keluar dari lingkungan Keraton karena lahan yang dapat menampung semua angggota Keraton semakin berkurang. Alasan lain dari kepindahan para keluarga Keraton Kaprabonan keluar dari Keraton adalah karena untuk lebih mempermudah bagi para mursyid untuk mendampingi dan membimbing para pengikut tarekat melihat bahwa tempat tinggal mereka yang wilayahnya tersebar merata di Kotamadya dan Kabupaten Cirebon.91
90
Hasil wawancara kami dengan Rama guru Bambang I pada bulan November 2008 di kediamannya, rekaman dari wawancara tersebut ada pada kami. 91 Berdasarkan wawancara dengan Rama Guru Nurbuwat pada 23 Oktober 2008 di kediamannya, rekaman dari wawancara tersebut ada pada kami.
Silsilah Empat Keraton Cirebon92 1.Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) (1448-1568 M)
Fatahillah (1568-1570)
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Panembahan Ratu II (Girilaya) (1649-1667)
2.P. Martawijaya (Sultan Sepuh I) (1677-1703)
3.P. Kertawijaya
4.P. Wangsakerta
(Sultan Anom I) (1677-1723)
(Sultan Panembahan)
(1677-1713)
5. Adipati Anom (1699 -....) 6. P.Aria (1699 -....)
92
7.Adipati Raja Kaprabon (1682 -...)
Wildan, H.Dadan, Dr. M.Hum, Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat, Edisi Selasa, 8 Juni 2004. Lubis, Nina dkk. Sejarah dan perkembangan kota-kota lama di Jawa Barat. Jatinangor Bandung: Alqaprint; Juli 2000. hal. 41-42. Permana, Aan Merdeka, Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 17 Juni 2004. dan wawancara dengan Rama guru Nurbuwat pada 23 Oktober 2008 di kediamannya.
Keterangan : 1.
Pendiri Kerajaan Cirebon
2.
Sultan pertama Keraton Kasepuhan
3.
Sultan pertama Keraton Kanoman
4.
Sultan Keraton Panembahan (Menurut satu versi, setelah P. Wangsakerta wafat, Keraton panembahan ini tidak lagi eksis, di karenakan ia tidak memiliki keturunan)
5.
Sultan kedua Keraton Kasepuhan
6.
Sultan pertama Keraton Kacirebonan
7.
Sultan pertama Keraton/Pengguron Kaprabonan.
C.
Asal-Usul Tarekat Syattariyah Masuk ke Lingkungan Keraton Cirebon Melalui penulusuran saya melalui wawancara dengan Rama guru Nurbuwat,
mursyid Tarekat Syattariyah di Cirebon, dan melalui penelitian kepada silsilah Tarekat Syattariyah yang terdapat pada naskah Kitab Dadalan Petarekan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah (Kitab panduan bertarekat lembaga tarekat Ratu Raja Fatimah dari Keraton Kanoman Cirebon) 93 diketahui bahwa setidak-tidaknya terdapat dua jalur Tarekat Syattariyah masuk ke lingkungan Keraton Cirebon : Jalur pertama, Menurut keterangan yang saya peroleh dari Rama guru Nurbuat Purbaningrat, salah satu mursyid di lingkungan Keraton Cirebon, menyebutkan bahwa Tarekat Syattariyah masuk di lingkungan Keraton Cirebon sejalan dengan masuk dan tersebar agama Islam di tanah Cirebon. Ini dimulai dengan datangnya Syaikh Nurjati atau Syaikh Dzatul Kahfi yang datang ke tanah Carbon (nama Cirebon zaman dahulu) jauh sebelum Sunan Gunung Jati. Syaikh Nurjati di Cirebon 93
dan
Naskah ini kami Dapat dari Rama Guru Bambang I, salah satu keluarga Keraton Kaprabonan Muryid Tarekat Syattariyah di sana.
sekaligus
menyebarkan agama Islam sekaligus mengajarkan ajaran dan amalan Syattariyah kepada masyarakat Cirebon, yang pada saat itu sebagian besar masih menganut agama Hindu (Sunda wiwitan). Namun pengajaran tarekat ini tidak serta merta langsung dilakukan oleh Syaikh Nurjati kepada para pengikutnya, melainkan beliau terlebih dahulu mematangkan pengamalan syari’at Islam dengan mengajarkan dan mencontohkan ajaran-ajaran agama Islam sebagai pondasinya, Hal ini selaras dengan tujuan tarekat sebagai jalan “khusus” dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT yang tidak bisa langsung dilakukan tanpa pondasi syari’at yang kuat. Dalam hal ini syari’at diibaratkan sebagai laut, tarekat sebagai perahunya dan hakikat sebagai mutiaranya. Meskipun begitu dalam proses perekrutan anggota tarekat, beliau bertindak selektif. Hanya orang yang dianggap mampu saja yang dapat mengambil amalan tarekat atau menjadi anggota tarekat. Tongkat kepemimpinan Tarekat Syattariyah dilanjutkan oleh Pangeran Cakrabuana, paman dari Sunan Gunung Jati. Hal ini terjadi pada saat ia menjadi penguasa tanah Cirebon. Kemudian, setelah Pangeran Cakrabuana meninggal dunia, Tarekat Syattariyah dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Disamping menggantikan Pangeran Cakrabuana di bidang spiritual (Tarekat Syattariyah), Sunan Gung Jati juga menggantikan posisi Pangerana Cakrabuana sebagai penguasa tanah Cirebon.94 Memang pada saat itu di Kerajaan (Keraton) Cirebon, seorang raja adalah juga merangkap sebagai pemimpin spiritual. Setelah Sunan Gunung Jati mangkat, tongkat kepemimpinan Tarekat Syattariyah terbagi-bagi kepada para putranya namun masih dalam satu komunitas tunggal yang dipimpin oleh sultan-sultan
94
Namun Berdasarkan buku Sunan Gunung Jati (naskah Mertasinga) diketahui bahwa Sunan mengambil Gunung Jati Tarekat Syattariyah dari Syaikh Jumadil Kubro di Mekkah ketika beliau sedang menuntut ilmu disana. Makanya tidak mengherankan jika pada daftar silsilah tidak terdapat nama Syaikh Syarif Hidayatullah maupun H.Abdullah Iman (Mbah kuwu Cirebon).
Keraton Cirebon. Hal tersebut terus berlangsung sampai pada abad 17. Pada saat itu, Kerajaan Cirebon terbagi menjadi dua Kesultanan (Keraton), Kasepuhan dan Kanoman. Kasepuhan di pimpin oleh Sultan Sepuh Raja Zaenuddin dan Kanoman dipimpin oleh Adipati Raja Kaprabon. Kemudian, Kesultanan Cirebon mengalami pergolakan politik, dimana kolonial Belanda berhasil menaklukkan dan menguasai dua Kesultanan tersebut, sehingga mengakibatkan perguruan (pengguron) Tarekat Syattariyah tidak lagi dapat difokuskan di lingkungan Keraton. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Sultan Kanoman, Adipati Raja Kaprabon, yang tidak menyukai adanya kaum kolonial yang menguasai Keraton. Kemudian Adipati Raja Kaprabon menyingkir dan membuat Keraton sendiri yang di fokuskan untuk kegiatan tarekat, Keraton ini kemudian dikenal dengan Kaprabonan. Dan semenjak itu yang berhak menjadi mursyid Tarekat Syattariyah adalah keturunan dari Kaprabonan berdasarkan kesepakatan dari semua kalangan di lingkungan Keraton Cirebon. Hal ini terus berlangsung hingga saat ini.95 Jalur kedua, berdasarkan dari silsilah yang terdapat pada Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Petarekan Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon (Kitab panduan bertarekat lembaga tarekat Ratu Raja Fatimah dari Keraton Kanoman Cirebon) yang kami dapat dari Rama guru Bambang I, salah seorang mursyid tarekat di lingkungan Keraton Kaprabonan, diketahui bahwa tarekat ini masuk ke lingkungan Keraton Cirebon di bawa dari Tasikmalaya yang sanadnnya terus menyambung sampai Syaikh Abdul Muhyi, yang kondang sebagai penyebar agama Islam di Tasikmalaya dan
95
Berdasarkan wawancara dengan Rama guru Pangeran Nurbuwat, salah seorang Mursyid Tarekat Syathariyah dari keratin Kaprabonan. Copi dari hasil dari wawancara ada pada kami.
sekaligus adalah mursyid Tarekat Syattariyah.96 Yang pertama kali membawa tarekat ini ke lingkungan Keraton Cirebon adalah Kyai Muhammad Soleh yang berasal dari desa Kartabasuki Cirebon. Beliau mengambil tarekat ini dari Syaikh Haji Muhammad Hasanudin yang berasal dari desa Safarwadi Pamijahan Tasikmalaya, Jawa Barat. yang kemudian menurunkan tarekat ini kepada Kyai Mas Muhammad Arjaen, seorang penghulu (qadli) dari Kesultanan Kanoman yang menurunkan kepada Ratu Raja Fatimah putri dari kanjeng Gusti Sultan Anom dari Kesultanan Kanoman.97
96
Lihat Yahya, Wildan M. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998 97 Dari jalur silsilah inilah sebagian mursyid tarekat berasal, seperti Rama guru bambang Irianto. Salinan daftar silsilah Tarekat Ratu Raja Fatimah kami dapatkan dari Bapak Bambang I, salah seorang mursyid Tarekat Syathariyah dari Keraton Kaprabonan
Bab IV
Dinamika Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon
A. Perguruan, Guru dan Murid Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon 1. Perguruan Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon Lembaga yang mewadahi para pengikut Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon disebut dengan Pengguron, dalam bahasa Jawa Cirebon kuno yang berarti perguruan tarekat; yakni, tempat para pengikut Tarekat Syattariyah berkumpul untuk memperoleh ajaran dari sang mursyid. Dalam dunia tasawuf, pengguron ini dapat disamakan dengan Zawiyah yang dalam tradisi tasawuf bermakna pojok (tempat bagi para calon sufi belajar kebersihan hati). Menurut Rama guru Nurbuwat, salah satu mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon, Tarekat Syattariyah pada masa Pangeran Cakrabuana atau Mbah Kuwu Cirebon dan Kanjeng Sunan Gunung Jati pengguron Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon hanya ada di Keraton Pakungwati, yang merupakan Keraton pertama yang dibangun di Kerajaan Cirebon. Pada masa ini, semua kegiatan tarekat di lakukan baik oleh Mbah Kuwu Cirebon (w. 1479) maupun Sunan Gunung Jati (1448-1568) berbarengan dengan kegiatan sosial dan politik Keraton Cirebon. Pada saat itu, yakni pada masa kepemimpinan Mbah Kuwu Cirebon dan Sunan Gunung Jati dari rentang awal abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-16, di Kerajaan Cirebon, seorang raja adalah juga merangkap sebagai pemimpin spiritual. Kondisi tersebut di pertahankan oleh Sultan-Sultan sesudahnya (yang masih keturunan Sunan Gunung
Jati) sampai pada pemerintahan Adipati Raja Kaprabon (bertahta 1682), keturunan ke-tujuh dari Sunan Gunung Jati, pada abad ke-17.98 Pada saat itu Keraton Cirebon sudah dikuasai oleh kolonial Belanda, bahkan pengaruh mereka pada otoritas Keraton sudah sedemikian besar, sehingga sebagian pihak keluarga keraton yang dipimpin oleh Adipati Raja Kaprabon tidak menyukai keadaan politik seperti ini. Hal ini mendorong Adipati Raja Kaprabon untuk mendirikan Pengguron Kaprabonan sebagai basis bagi para pengikut tarekat Syattariyah. Pengguron Kaprabonan ini biasa disebut dengan pengguron tunggal yang berarti “perguruan yang satu” sebagai pusat bagi para pengikut Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon dalam menjalankan ritual-ritual tarekat.99 Kegiatan Tarekat Syattariyah berlangsung di pengguron tunggal Keraton Kaprabonan yang memiliki area yang cukup luas sebagai warisan dari Pangeran Adipati Kaprabon, keturunan kelima dari Sunan Gunung Jati. Namun dalam perkembangannya, pada tahun 60-an pengguron Tarekat Syattariyah tidak hanya terpusat di wilayah Keraton saja, tetapi juga berkembang keluar batas dari Keraton dan menyebar di wilayah Kotamadya dan Kabupaten Cirebon seiring dengan menyebarnya tempat tinggal para mursyid Tarekat Syattariyah yang di jadikan sebagai pengguron keluar dari area Keraton. Penyebaran perkumpulan tarekat ini terjadi karena area Keraton Kaprabonan yang seharusnya di peruntukkan bagi tempat tinggal keluarga Kaprabonan banyak yang di perjual-belikan oleh sebagian keluarga Keraton kepada para pengusaha dari etnis Tionghoa. Hal ini menyebabkan lahan yang dapat menampung semua angggota Keraton berkurang. Lebih dari itu, 98
Adapun kepastian tahun tidak kami dapatkan dalam penelusuran kami. Informasi ini kami dapat dari hasil wawancara dengan Rama guru Nurbuwat dan Rama guru Bambang I ditempat terpisah di 23 Oktober dan 5 November 2008. Salinan rekaman dari wawancara ada pada kami 99
keluarga Keraton Kaprabonan pindah keluar dari Keraton itu adalah untuk lebih mempermudah dalam mendampingi dan membimbing para pengikut Tarekat Syattariyah. Karena itu, tempat tinggal para mursyid Tarekat Syattariyah yang di jadikan sebagai pengguron inipun menyebar di Kotamadya dan Kabupaten Cirebon.100 Menurut penuturan Rama guru Nurbuwat bahwa tujuan awal didirikannya pengguron Tarekat Syattariyah adalah untuk memperkuat keimanan kaum Muslim. Sebab, menurutnya, ilmu tarekat berisi suatu jalan untuk menuju hakikat hidup yang mana akan membawa manusia itu sendiri mengenali nikmatnya keimanan. Dengan mengenal tarekat serta mengamalkannya, diharapkan manusia dapat menjadi lebih optimis dan dinamis dalam mengarungi kehidupan ini.101 Menurut penuturannya, dalam rentang perjalanan sejarah, pengguron Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon mengalami pasang surut. Ketika kolonial Belanda mulai menguasai Keraton diawal abad 17, Kolonial Belanda membatasi kegiatan pengguron secara ketat supaya kepentingan mereka atas Keraton tidak terganggu. Dan kegiatan tarekat Syattariyah lebih bebas paska kemerdekaan. Meskipun demikian, pada saat tahun 60-an kegiatan tarekat sangat diawasi oleh orang-orang komunis (PKI) dan DI/TII. Barulah pada zaman Orde Baru kegiatan tarekat di pengguron-pengguron menjadi leluasa kembali sampai dengan saat ini. Hal ini terjadi karena faktor terbesar yang menghambat kegiatan Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon pada saat itu adalah persoalan politik. Sehingga ketika status Keraton Cirebon pasca berdirinya negara kesatuan republik Indonesia hanyalah simbol belaka atau tidak mempunyai kekuasaan secara politis, maka secara otomatis kegiatan Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon kembali berjalan.102
100
Berdasarkan wawancara dengan Rama guru Nurbuwat pada 23 Oktober 2008 di kediamannya, rekaman dari wawancara tersebut ada pada kami 101 Ibid, rekaman wawancara tersebut ada pada kami 102 Ibid, rekaman wawancara tersebut ada pada kami
Meskipun begitu, kegiatan ketarekatan Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon akhir-akhir ini (akhir tahun 2008, saat sesi wawancara berlangsung) sangat menurun tajam. Bahkan ada beberapa pengguron yang tidak lagi menjalankan praktek ketarekatan. Hal ini, Menurut Rama guru Bambang Irianto, salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon, disebabkan kondisi masyarakat saat ini yang terbawa arus modernisasi dan terpengaruh budaya-budaya Barat yang lebih mendahulukan aspek materi dan hal-hal keduniaan dan melupakan aspek spiritual.103
2.1 Guru Tarekat (Mursyid) Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon Seperti yang telah di jelaskan pada bab II tentang definisi tarekat, bahwa sebagai sebuah organisasi, tarekat di bangun di atas landasan sistem dan hubungan yang erat dan khas antara seorang guru (mursyid) dengan muridnya. Hubungan mursyid dan murid ini dianggap sebagai pilar terpenting dalam organisasi tarekat. Hubungan tersebut di awali sebuah pernyataan kesetiaan (bai’at) dari seseorang yang hendak menjadi murid tarekat kepada seorang syaikh tertentu sebagai mursyid.104 Istilah “mursyid” disematkan kepada para guru yang membimbing para murid atau salik dengan mengajarkan wirid, tatakrama dan ajaran-ajaran tarekat. Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam tarekat. Ia tidak saja merupakan seorang pemimpin yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan sehari-hari, agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan tidak terjerumus kedalam ma’siyat, berbuat dosa besar atau dosa kecil, yang segera harus
103
Hasil wawancara dengan Rama guru Bambang I pada 5 November 2008 di kediamannya di jalan Drajat Cirebon. Rekaman wawancara tersebut ada pada kami 104 Lihat Fathurahman, Oman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta : Prenada Media Grup;2008 h.26
ditegurnya, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi kedudukannya dalam tarekat. Ia merupakan perantara dalam ibadat antara murid dan Tuhan. Demikian keyakinan dari kalangan ahli-ahli tarekat.105 Oleh karena itu jabatan mursyid tidaklah dapat di pangku oleh sembarangan orang, meskipun ia mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang tarekat. Tetapi yang terpenting adalah ia harus mempunyai kebersihan rohani dan kehidupan batin yang murni. Bermacam-macam nama yang tinggi diberikan kepada mursyid menurut kedudukannya. Misalnya nussak, yaitu orang yang mengerjakan segala amal dan perintah agama. Ubbad, yaitu orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadat. Mursyid, yaitu orang yang mengajar dan memberi contoh kepada murid-muridnya. Imam, seorang pemimpin tidak saja dalam sisi ibadat dalam sisi keyakinan. Syaikh atau Mursyid, yaitu kepala dari kumpulan tarekat, dan kadang-kadang dinamakan juga dengan nama kehormatan, yaitu Sadat yang artinya penghulu atau orang yang dihormati dan diberi kekuasaan penuh. 106 Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya “Tanwirul Qulub fi Mu’amalati Ilmil Ghuyub” (Mesir, 1343 H), mursyid merupakan penghubung atau wasilah antara murid-muridnya dan Tuhannya. Mursyid juga merupakan pintu yang harus dilalui murid menuju kepada Tuhannya. Seorang salik atau murid tarekat yang tidak mempunyai mursyid, maka mursyidnya adalah syetan. Ia tidak boleh tampil kemuka dan memberikan petunjuk-petunjuk kepada orang lain kecuali sesudah memperoleh pendidikan yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari gurunya
105 106
Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar ilmu Tarekat, Solo: Ramadani; 1985 hal 79 Ibid hal. 79
yang berhak dan mempunyai silsilah pendidikannya sampai kepada Nabi Muhammad saw.107 Dalil-dalil yang menguatkan tentang peranan guru tarekat (mursyid) adalah sebagai berikut :
a. al-Quran :
اﻟﻤُ ْﺘﻬ َْﺪ َو ِﻣ ﯾَﻦُْﻀِﻞﻠْﻠ ْ َ ﻓَﻦْ ﲡَِﺪَ َﯿﺎﻟوَُِ ﻣُﺮ ِﺪﺷًْا
ﻣَﻦ ﳞ َْ ا ُﺪِ ﻓَﻬُﻮ
Artinya :
“Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah ia tidak akan memperoleh 'Waliyyam Mursyida' (pembimbing kerohanian)”. (Q.S. Al-Kahfi 17).108
b. Perkataan dari ahli tasawuf, Syaikh Abu Yazid Al-Busthami : Man laa Syaikhun Mursyidun lahu fa Mursyidu hu ‘sy-syaithaan artinya: “Barangsiapa tidak memiliki guru yang berderajat Mursyid, maka ia dibimbing oleh setan”. Aboe Bakar Atjeh dalam bukunya Pengantar ilmu Tarekat, menyatakan bahwa seorang mursyid mempunyai tanggung jawab yang berat. Diantaranya ada tujuh, Pertama, seorang mursyid harus alim dan ahli dalam memberikan tuntunantuntunan kepada murid-muridnya dalam ilmu fiqh, aqa'id dan tauhid. Kedua, seorang mursyid mengenal atau arif dengan segala sifat-sifat kesempurnaan hati, adab-adabnya,
107
kegelisahan
jiwa
dan
penyakitnya,
juga
mengetahui
cara
Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar ilmu Tarekat, Solo: Ramadani; 1985 hal 79
108
Sumber dari : istayn.files.wordpress.com/2007/12/pibsi di ambil dari www Google.com
menyehatkan kembali serta memperbaikinya sebagai pemula. Ketiga, seorang mursyid mempunyai belas kasihan terhadap orang Islam, khusus terhadap muridmuridnya. Keempat, hendaknya seorang mursyid pandai menyimpan rahasia-rahasia murid-muridnya. Kelima, seorang mursyid tidak menyalahgunakan amanah muridnya, tidak mempergunakan harta benda murid-muridnya itu dalam bentuk dan pada kesempatan apa pun juga. Begitu juga seorang mursyid tidak boleh menginginkan apa yang ada pada mereka, kecuali jika sang murid menghadiahkan secara ikhlas kepada sang mursyid. Keenam, seorang mursyid tidak sekali-kali memerintah murid-muridnya itu dengan suatu perintah, kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas dikerjakan oleh si murid. Ketujuh, seorang mursyid mengusahakan segala ucapannya bersih dari pengaruh nafsu dan keingian, terutama tentang ucapan-ucapan yang akan membekas pada kehidupan batin para muridnya. Masih banyak lagi syarat-syarat seorang mursyid yang berkaitan dengan keidealan relasi antara seorang mursyid dan murid.109
2.2 Pengangkatan Mursyid Di Lingkungan Keraton Cirebon Melalui penulusuran kami diketahui bahwa syaikh atau mursyid atau guru Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon biasa di sebut dengan Rama guru. Mursyid di lingkungan Keraton Cirebon biasanya masih keturunan dari Keraton Cirebon baik dari Keraton Kasepuhan, Kanoman atau Kacirebonan. Namun semenjak didirikannya Keraton Kaprabonan pada masa Adipati Raja Kaprabon di abad 17 sebagai Keraton yang khusus untuk mengurusi tarekat, maka semua mursyid tarekat
109
Untuk mengetahui syarat-syarat seorang mursyid secara lengkap lihat : Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadhani; 1985 hal 81-83
Syattariyah harus dari keturunan Keraton Kaprabonan. Kebijakan ini telah disepakati oleh semua pihak Keraton Cirebon.110 Di lingkungan Keraton Cirebon, pengangkatan seorang mursyid baru diserahkan kepada mursyid lama dengan mendapat restu dari Sultan Keraton Kaprabonan sebagai pemegang otoritas spiritual di lingkungan Keraton Cirebon . Hal ini merupakan salah satu tradisi yang sudah berjalan lama. 111 Pengangkatan seorang mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon tidaklah seperti pengangkatan seorang sultan yang berdasarkan atas keturunan atau geneologi. Jadi, seorang mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon tidak secara otomatis mengangkat anaknya sebagai penerus. Boleh jadi ia mengangkat keponakannya atau muridnya sebagai mursyid. Yang menjadi pertimbangan bagi seorang mursyid dalam menentukan penggantinya adalah kemampuan sang calon penggantinya dalam menghayati ajaran dan amalan tarekat serta ditambah dengan wawasan yang luas tentang ilmu agama. Tetapi memang akan lebih baik jika seorang mursyid Tarekat Syattariyah itu seseorang yang masih memiliki pertalian darah dengan Rasulullah saw atau masih termasuk ahlul bait.112 Pengguron-pengguron Tarekat Syattariyah di Cirebon ada dua macam; yang pertama adalah pengguron yang mempunyai nama resmi sebagai sebuah lembaga, dan yang kedua adalah yang tidak memiliki nama khusus sebagai sebuah lembaga. Berikut adalah daftar nama-nama pengguron (perguruan tarekat) beserta dengan 110
Hasil wawancara kami dengan Rama guru Nurbuwat pada 23 Oktober 2008 di kediamannya di jalan Pegajahan,kotamadya Cirebon. rekaman wawancara tersebut ada pada kami 111 Seseorang yang telah layak menjadi seorang mursyid dalam istilah Cirebon adalah sudah dapat narek atau mengajarkan tarekat. Hasil wawancara dengan Rama guru Bambang I pada 5 November 2008 di kediamannya di jalan Drajat Cirebon. Rekaman wawancara tersebut ada pada kami.. 112 Hasil wawancara dengan Rama guru Bambang I pada 5 November 2008 di kediamannya di jalan Drajat Cirebon. Rekaman wawancara tersebut ada pada kami
mursyid yang memimpinnya. Pengguron-pengguron ini menginduk kepada Keraton Kaprabonan Cirebon. Daftar ini adalah hasil dari wawancara saya dengan Rama guru Bambang Irianto, salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon : 1. Pengguron Keraton Kaprabonan, berkedudukan di Keraton Kaprabonan Cirebon yang dipimpin oleh Rama guru Pangeran Hempi. 2. Pengguron
Tharekat Agama Islam, berkedudukan di Pegajahan Kotamadya
Cirebon yang dipimpin oleh Rama guru Pangeran
Muhammad Nurbuwat
Purbaningrat. 3. Pengguron Krapyak, berkedudukan di lingkungan Keraton Kanoman Kotamadya Cirebon yang dipimpin oleh Rama guru Pangeran Muhammad Afiyah. 4 Pengguron Lam Alif, berkedudukan di Drajat Kotamadya Cirebon yang dipimpin oleh Rama guru Raden Bambang I. 5. Pengguron Rama guru Pangeran Muhammad Hilman yang berkedudukan di lingkungan Keraton Kaprabonan Kotamadya Cirebon. 6. Pengguron Rama guru Pangeran Muhammad Atho’ yang berkedudukan di Drajat Kotamadya Cirebon. 7. Pengguron Rama guru Pangeran Insan Kamil yang berkedudukan di Pegajahan Kotamadya Cirebon yang di teruskan oleh murid-muridnya di daerah Trusmi yang kemudian mendirikan usaha batik.113
3. Murid / Salik Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon 113
Hasil dari wawancara kami dengan Rama guru Bambang I dikediamannya di jalan Drajat kotamadya Cirebon pada 5 November 2008. rekaman wawancara tersebut ada pada kami. Untuk nama terakhir, kegiatan Ketarekatan sudah tidak berjalan lagi namun usaha batiknya masih terus berjalan
Aboe Bakar Atceh dalam bukunya, Pengantar Ilmu Tarekat, menyatakan bahwa pengikut suatu tarekat dinamakan murid atau ikhwan, yaitu orang yang menghendaki pengetahuan dan petunjuk dalam segala amal ibadatnya. Dalam dunia tasawuf, murid ini dikenal juga dengan nama Salik. Murid-murid itu sendiri terdiri dari laki-laki maupun perempuan, baik yang sudah dewasa maupun yang sudah lanjut umurnya. Murid-murid itu tidak hanya berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang diajarkan atau melakukan segala sesuatu yang dilatihkan guru kepadanya yang berasal dari ajaran-ajaran tarekat. Tetapi, murid itu harus patuh kepada beberapa adab dan akhlak yang ditentukan untuknya, baik terhadap mursyidnya, terhadap dirinya maupun terhadap saudara-saudaranya setarekat serta terhadap sesama muslim. Segala sesuatu yang berkaitan dengan itu diperhatikan sungguh-sungguh oleh mursyid suatu tarekat karena pada kepribadian para muridnya itulah bergantung berhasil tidaknya perjalanan suluk tarekat yang dia tempuh. Ajaran-ajaran tarekat dan latihan-latihan tarekat akan kurang berfaedah manakala semua itu tidak berbekas kepada perubahan akhlak dan budi pekerti sang murid.114 Proses pengangkatan murid di pengguron Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon, seperti yang di jelaskan oleh Rama guru Nurbuwat, salah seorang mursyid di lingkungan Keraton Cirebon, bersifat selektif. Jadi tidak semua orang bisa langsung masuk Tarekat Syattariyah. Bagi mereka yang menginginkan masuk tarekat harus terlebih dahulu melalui tiga tahap : 1.
Tirakat (dalam bahasa Cirebon kuno yang artinya, latihan batin), yaitu bentuk pelatihan dalam mengendalikan nafsu sebelum
114
Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal 84
seorang calon murid tarekat membay'at tarekat. Tirakat ini pada masa dahulu, yaitu dari masa awal masuknya tarekat ke wilayah Cirebon sampai masuknya arus modernisasi, dilakukan dengan "bertapa", yaitu dengan uzlah yakni menyendiri di tempat yang sepi dengan
"puasa mutih" : berpuasa yang berbuka hanya
dengan air putih, selama jangka waktu yang ditentukan oleh sang mursyid. Tetapi pada saat ini proses tirakat tidak harus dengan beruzlah namun dapat di lakukan dengan konsultasi kepada mursyid tentang "menata hati" yang dilakukan secara periodik. 2.
Ngabdi ning wong akeh, (dalam bahasa Cirebon kuno, yang berarti mengabdi kepada masyarakat), pada masa dahulu, dilakukan dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat seperti membersihkan masjid, jalanan dan membantu seseorang yang sedang ditimpa kesusahan. Pada saat ini, proses mengabdi ini dapat dilakukan dengan shadaqah kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan si murid atau dengan membantu secara ekonomi kepada masyarakat yang kurang mampu.
3.
Ngawula (dalam bahasa Cirebon kuno, yang berarti mengabdi kepada sang mursyid). Dahulu, ngawula ini dilakukan dengan menemani dan melayani segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sang mursyid dalam jangka waktu yang ditentukan oleh sang mursyid. Namun pada saat ini, ngawula dapat dilakukan dengan tidak harus menemani sang mursyid, tetapi cukup dengan menuruti atas segala yang diperintahkan oleh sang mursyid dalam
rangka mematangkan sang murid sebelum dia menjalankan semua amalan tarekat. Setelah sang calon murid itu telah menyelesaikan ketiga syarat diatas barulah ia dapat masuk menjadi anggota Tarekat Syattariyah.115 Menurut penuturan Rama guru Nurbuwat, bahwa hampir semua alasan pengikut Tarekat Syattariyah di Cirebon masuk menjadi anggota tarekat adalah mencari Ridlo Allah dan hidup tentram di dunia. Namun ada beberapa orang yang masuk menjadi anggota tarekat dikarenakan stress dalam menjalani hidup. Orang yang semacam ini sebelum masuk menjadi anggota tarekat dia harus mengadakan terapi psikologis melalui konsultasikonsultasi (yang bersifat spiritual) dengan badal (pengganti mursyid) sampai jiwanya sehat dan stabil.116 Bahkan menurut Rama guru Bambang Irianto, disamping mencari Ridlo Allah dan hidup tentram di dunia ada juga murid tarekat yang masuk tarekat dikarenakan adalah untuk mengetahui hakikat tarekat dan ilmu-ilmu Cirebon. Ketika mereka merasa nyaman dengan ilmu itu maka mereka meneruskannya. Ada juga beberapa dari mereka yang karena menderita stress dan ketika mereka tahu bahwa ada tarekat, akhirnya mereka mau bergabung.117 Dari penelitian saya terhadap dua pengguron Tarekat Syattariyah disana, yaitu Pengguron Tharekat Agama Islam yang dipimpin oleh Rama guru Nurbuwat dan Pengguron Lam Alif yang di pimpin oleh Rama guru Bambang Irianto, diketahui bahwa para pengikut tarekat di sana berasal dari berbagai macam latar belakang atau status sosial; ada yang dari kalangan pedagang, pengusaha, petani para santri bahkan sampai kyai. 115
Hasil wawancara dengan Rama guru Nurbuwat di kediamannya pada 23 Oktober 2008, rekaman percakapanya ada pada kami 116 Hasil wawancara dengan Rama guru Nurbuwat di kediamannya pada 23 Oktober 2008, rekaman percakapanya ada pada kami 117 Hasil wawancara dengan Rama guru Bambang I di kediamannya pada tanggal 5 November 2008, rekaman percakapanya ada pada kami
Kemudian kegiatan tarekat, seperti pem-bay'at-an (pengambilan sumpah bagi anggota baru tarekat) atau pengajian-pengajian yang berhubungan dengan ilmu tarekat tidak selalu dilaksanakan di pengguron, terkadang kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung di tempat para murid, seperti yang dilakoni oleh Rama Guru Nurbuwat. Ia biasa melakukan kegiatan silaturrahmi kedaerah-daerah minimal enam bulan sekali. Daerah-daerah yang dikunjungi antara lain ; Tasikmalaya, Kuningan, Kabupaten Cirebon, daerah Tanggungan Kabupaten Brebes, daerah Bumi Ayu abupaten brebes, Daerah Aji Barang (Purwokerto), Cilacap, dan Ciamis. Serta beberapa murid perorangan dari daerah Jakarta, Kuningan, dan Tegal.118
B. Silsilah Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon Silsilah bagi seorang mursyid atau guru tarekat (di lingkungan Keraton Cirebon dikenal dengan Rama guru) merupakan syarat yang penting untuk mengajarkan atau memimpin
suatu tarekat. Begitupula bagi mereka yang ingin
menggabungkan diri kepada suatu tarekat. Mereka hendaklah mengetahui secara sungguh-sungguh nisbat atau hubungan guru-gurunya itu sambung-menyambung antara satu sama lain sampai kepada Nabi Muhammad saw, karena yang demikian itu dianggap perlu, sebab bantuan kerohanian yang diambil dari guru-gurunya itu harus benar, dan jika tidak benar atau tidak bersambung sampai kepada Nabi maka bantuan tersebut dianggap terputus dan bukan merupakan warisan dari Nabi Muhammad saw. Murid atau salik tarekat hanya membuat bay’at, sumpah setia atau janji untuk melaksanakan semua amalan-amalan tarekat.119
118
Hasil wawancara dengan Rama guru Bambang I dan Rama guru Nurbuwat di tempat terpisah pada tanggal 28 oktober dan 5 November 2008. 119 Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 , hal.97
Silsilah adalah merupakan hubungan nama-nama yang sangat panjang yang satu sama lain saling bertalian, biasanya tertulis rapi dengan bahasa Arab di atas sepotong kertas, yang diserahkan kepada murid tarekat sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan dan petunjuk-petunjuk (irsyad) dan peringatan-peringatan (talqin).120 Berdasarkan penelitian saya di lingkungan Keraton Cirebon, setidak-tidaknya saya menemukan dua jalur silsilah Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon, yaitu : 1.
Silsilah dari Keraton Kanoman, Cirebon. Silsilah ini berdasarkan dari naskah Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Petarekan Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon (Kitab panduan bertarekat lembaga tarekat Ratu Raja Fatimah dari Keraton Kanoman Cirebon). Pada Silsilah ini akan tersambung kepada Syaikh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya (salah seorang wali yang sudah sangat dikenal dan Kuburannya banyak di ziarahi orang) dan terus sampai kepada Syaikh Abdullah al-Syattar (pendiri tarekat) sampai kepada Nabi Muhammad saw. Adapun yang pertama kali membawa tarekat ini ke lingkungan Keraton Cirebon dari Pamijahan, Tasikmalaya adalah Kyai Muhammad Soleh yang berasal dari desa Kartabasuki Cirebon, yang kemudian menurunkan tarekat ini kepada Kyai Mas Muhammad Arjaen dari Kesultanan Kanoman yang menurunkan kepada Ratu Raja Fatimah putri dari kanjeng Gusti Sultan Anom dari Kesultanan Kanoman.121
120
Ibid, hal 97 Salinan daftar silsilah Tarekat Ratu Raja Fatimah kami dapatkan dari Rama guru Bambang I salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah dari Keraton Kaprabonan dan kami cantumkan dalam lampiran,babV . 121
2.
Silsilah dari Keraton Kaprabonan, Cirebon. Silsilah ini tidak tersambung kepada Syaikh Abdul Muhyi, namun berawal dari Syaikh Sofiyyuddin Kanoman yang mem-bay’at dari Imam Qodli Hidayat bin Yahya yang mem-
bay’at dari Haji Muhammad bin Muktasim yang mem-bay’at dari Syaikh Abdullah bin Abdul Qohar yang mem-bay’at dari Syaikh Imam Tobri dari Mekkah yang mem-bay’at dari Syaikh Abdul Wahab yang mem-bay’at dari Syaikh Khotib Qubbatul Islam yang mem-bay’at dari Syaikh ‘Alimur Robbani yang mem-bay’at dari Syaikh Ahmad bin Quraisy Asy-Syanawi dan pada Syaikh Ahmad inilah silsilah dari Keraton Kaprabonan akan bertemu dengan silsilah dari Keraton Kanoman dan akhirnya akan sampai kepada Nabi Muhammad saw.122 Menurut Rama guru Bambang Irianto, bahwa sebagian silsilah pengguronpengguron yang menginduk kepada Keraton Kaparabonan mempunyai jalur yang sama dengan dua jalur silsilah diatas. Namun tidak menutup kemungkinan jika masih terdapat jalur-jalur silsilah Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon selain dari dua jalur tersebut.123
C. Amalan Suluk Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon Suluk berasal dari bahasa Arab yang berarti “perjalanan”. Dalam dunia tasawuf, suluk adalah perjalanan di jalan spiritual menuju sang sumber (Allah SWT). Ini adalah metode perjalanan melalui berbagai keadaan dan kedudukan, di bawah bimbingan seorang guru spiritual (mursyid, pir, syaikh,). Seseorang yang menempuh jalan ini disebut salik. Sang
122
Silsilah ini kami peroleh dari Rama guru P.Nurbuwat dari Keraton Kaprabonan melalui wawancara di kediamannya pada 23 Oktober 2008. Rekaman dari wawancara terebut ada pada kami 123 Hasil wawancara dengan Rama guru Bambang I di kediamannya pada tanggal 5 November 2008, rekaman percakapanya ada pada kami.
hamba yang telah jauh berjalan menuju Allah adalah yang telah sungguh-sungguh menunjukkan penghambaannya kepada Allah SWT.124 Menurut Simuh, bahwa tarekat itu pada dasarnya terdiri atas dua bagian. Yakni mujahadah yang berupa renungan batin, dan berbagai macam riyadlat atau latihan rohani yang ditentukan dan diatur oleh para sufi (mursyid) sendiri. Adapun aspek kedua yang dalam teori mistik disebut via contemplativa, berupa amalan-amalan praktis sebagai sarana pemusatan pikiran dan kesadaran hanya pada zat Allah dengan penuh emosional. Berbagai macam amal yang mereka jadikan wasilah untuk konsentrasi ini, terutama adalah zikir.125
1. Amalan-Amalan Wajib Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon Pada
sub bab ini saya akan memaparkan amalan-amalan Wajib dan
tatakrama (adab) dalam berdzikir yang menjadi rutinitas bagi penganut Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon. Amalan wajib ini kami nukil dari naskah Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon (Kitab panduan bertarekat lembaga tarekat Ratu Raja Fatimah dari Keraton Kanoman Cirebon), yang menjadi kitab pegangan bagi para pengikut Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon. Naskah ini saya dapatkan dari Rama guru Bambang Irianto, salah satu mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon.126 Naskah ini menggunakan bahasa Jawa Cirebon kuno, sehingga dalam rangka menghasilkan informasi yang bermanfaat, saya terjemahkan ke dalam bahasa
124
hal.268
125
Amstrong, Amatullah. Kunci Memasuki Dunia Tasawuf . Bandung: Mizan; Desember 2006
Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Jaya: April 1997 hal. 208-209 126 Naskah ini kami dapatkan dari Rama guru Bambang Irianto dalam sesi pertemuan saya dengan beliau di kediamannya di jalan Drajat Kotamadya Cirebon pada tanggal 5 Novembar 2008. Salinan Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah kami letakkan pada Lampiran pada bab V.
Indonesia dengan mengkonfirmasikannya kepada Rama guru Bambang Irianto selaku mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon. Berikut ini adalah amalan-amalan wajib bagi para penganut Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon berdasarkan pada naskah Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon : Amalan-amalan wajib ini di kerjakan setiap hari, yakni :
Mengerjakan shalat sunat Awwabin dua raka’at atau lebih (jika lebih banyak akan lebih baik), dikerjakan setelah shalat Maghrib dan shalat sunat rawatib. Berikut niat shalat Awwabin : Usholli Sunnatal Awwabin rak’ataini mustaqbilal qiblati ada’an lillahi Taa’la Allahu Akbar. Artinya : “saya niat shalat sunat awwabin dua raka’at dengan menghadap ke qiblat, karena Allah Taa’la”.
Kemudian setelah mengerjakan shalat sunat Awwabin membaca :
Istighfar
sebanyak 10x yakni : AstaghfirullahalAdzim. Artinya : “Saya
memohon ampun kepada Allah yang Maha agung dari segala dosa”
Shalawat
sebanyak 10x yakni : Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina
Muhammad. Artinya : “Semoga segala penghormatan dari Allah SWT terlimpahkan kepada Nabi Muhammad”
Membaca Dzikir 100x (masing-masing Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x dan Allahu Akbar 33 x, sehingga total berjumlah 99x, yang kemudian digenapkan 100 dengan membaca "Laa ilaaha Illallah Wahdahu Laa Syariikalahu Lahulmulku LahulHamdu Yuhyi wa Yumiitu wahuwa ala kulli Syay’in Qodiir". Artinya : “Tiada Tuhan selain Allah dengan ke-esa-anNya, tiada yang menyekutukanNya, segala pujian dan kerajaan hanyalah
milikNya, Dia yang menghidupkan dan mematikan, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu”).
Kemudian membaca Shalawat kepada Nabi Muhammad saw lagi sebanyak 10x dan membaca surat al-Ikhlas 10x dan surat al-Fatihah sebanyak 3x
Mengerjakan Shalat sunat Witir (shalat yang bilangan raka’at nya berjumlah ganjil dan dikerjakan sebagai penutup shalat-shalat malam /Qiyam al-Lail) minimal satu raka’at setelah shalat Isya’ dan shalat sunat Rawatib nya (shalat ba’diyah Isya’) berikut adalah adalah niat shalat sunat Witir :
"Usholli Sunnatal Witri tsalatsa raka’atin mustaqbilal qiblati adaan lillahi Taa’la Allahu Akbar". Artinya : “Saya niat shalat sunat Witir tiga raka’at dengan menghadap kiblat karena Allah Ta’ala” Dan setelah mengerjakan shalat Witir kemudian membaca :
Istighfar
10x, yakni : AstaghfirullahalAdzim
Shalawat
10x, yakni : Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad
Tahlil
300x, yakni : Laa Ilaaha Illallah. Artinya : “Tiada Tuhan selain
Allah”
Shalawat
al-Fatihah
Kemudian setiap kali setelah shalat Dzuhur dan ‘Asar membaca bacaan
10x, yakni : Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad 3x
yang sebagaimana dibaca setelah shalat Maghrib kecuali surat al-Ikhlas.
Mengerjakan puasa sunat secara rutin 3 hari setiap bulannya dengan diberi kebebasan untuk memilih harinya.
2. Tata Krama (Adab) Dalam melakukan Dzikir Tarekat Syattariyah Berdasarkan informasi yang saya peroleh melalui wawancara dengan Rama guru Bambang Irianto, diketahui bahwa dalam melakukan amalan dzikir, seorang murid Tarekat Syattariyah dituntut untuk melakukan tatakrama. Berikut ini adalah tatakrama dzikir Tarekat Syattariyah
di pengguron Tarekat Syattariyah Keraton
Cirebon. Tata krama dzikir Tarekat Syattariyah ini kami nukil dari salinan Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon127, antara lain : Lima diantaranya dilakukan sebelum melakukan ritual dzikir, yakni :
Taubat dari segala dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan
Mandi atau Wudlu sebagai tanda simbolis dari pertaubatan
Diam sambil mengasah konsentrasi agar dapat menghasilkan Shidiq Dzikri, yakni menyibukkan hati dalam mengingat lafadz Allah sehingga ketika lisan mengucapkan kalimah tauhid (Laa Ilaaha Illallah) hati dapat menyelaraskan.
Meminta bantuan (Nida’) kepada sang guru/syaikh dengan jalan membayangkan wajah gurunya tersebut.
Memohon kepada Allah SWT, dan agar lebih cepat diterima olehNYA maka melalui wasilah (perantara) Nabi Muhammad saw. Dan untuk mendapatkan wasilah kepada Nabi saw, dilakukan melalui wasilah guru tarekat (mursyid).
12 Tata krama dilaksanakan ketika sedang melaksanakan ritual dzikir, yakni : 127
Duduk di tempat yang suci dari najis
Sesi wawancara berlangsung pada tanggal 5 November 2008 di kediaman beliau di jalan Drajat Kotamadya Cirebon. Naskah ini kami dapatkan dari Rama guru Bambang Irianto dalam sesi pertemuan tersebut. Salinan Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah kami letakkan pada Lampiran pada bab V.
Meletakkan telapak tangan diatas kedua paha
Memberi wewangian pada tempat dilaksanakannya Dzikir
Mengenakan pakaian yang harum
Memilih tempat yang gelap
Memejamkan kedua belah mata
Membayangkan kehadiran sang guru di depannya
Berlaku “Shidiq” dalam berdzikir (seperti pada poin ketiga pada ritual sebelum melakukan dzikir)
Ikhlas hatinya dalam berdzikir
Memilih kalimat “Laa Ilaaha Illallah” dalam berdzikir
Mengerti terhadap makna dzikirnya
Hatinya menafikan segala sesuatu yang maujud kecuali kepada Allah SWT
3 Tatakrama yang dilakukan setelah dzikir, yaitu :
Bersikap diam setelah membaca dzikir
Memutus nafas dari nafas yang memburu
Mencegah untuk meminum yang mengiringi ritual berdzikir.
D. Beberapa Ajaran Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon 1. Tingkatan Murid / Salik Tarekat Syattariyah Berikut ini adalah ajaran Tarekat Syattariyah tentang tingkatan murid atau salik yang sedang menjalani amalan tarekat dalam rangka taqarrub atau mendekat kepada Allah SWT dari Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Petarekan Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon (Kitab panduan bertarekat lembaga tarekat Ratu Raja Fatimah dari Keraton Kanoman Cirebon) :
Adapun sifat-sifat murid itu ada empat perkara, pertama murid mubtadi’, kedua murid mutawassit, yang ketiga murid kamil dan keempat murid kamil mukammil. Adapun murid mubtadi’ yaitu murid yang berbuat maksiat banyak namun hatinya hanya tertuju semata-mata tiada lain kepada Allah Ta’ala, makanya hatinya itu salim (selamat) dari arah yang sesungguhnya dari perbuatan syirik dan munafik, ilmunya sudah berpegang pada hadist dan dalil serta iman kepada yang ghaib dari arah perbuatan dan getaran hatinya, serta mengabdi dan beribadah semata-mata untuk memperoleh ridla Allah taa’la. Dan dzikirnya mubtadi’ adalah lisannya mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah” sedangkan hatinya menyebut tiada dzat yang aku sembah kecuali Allah. Dan fana’ nya adalah fana’ pada af’al nya, sedangkan maqomnya adalah maqam parawwa, alamnya alam nasut yaitu orang ahl al-syari’ah. Adapun murid mutawassit itu adalah yang sudah bersih hatinya dari getaran hati seluruhnya (kepada selain Allah), maka dinamai hatinya itu hati Tawajjud dari arah senantiasa ingat kepada Allah. Ilmunya adalah ilmu Ainal yaqin dari arah tiada yang diingat didalam khotirnya. Dan imannya hadir dari arah tingkah laku dan pengabdiannya adalah ibadah, Tegasnya mengabdi karena cintanya kepada Allah, dan dzikir mutawassit yaitu lisannya mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah” sementara hatinya menyebut tiada yang aku sertai kecuali Allah. Dan fana’nya didalam sifat, maqomnya adalah maqom jama’, adapun dari arah yang tiada yang diingat didalam hatinya (kecuali Allah) dan alamnya itu alam malakut dari sudut ingatnya (kepada Allah) seperti Malaikat. Ini adalah kelompok orang ahli thariqah. Adapun murid kamil yaitu murid yang sudah bersih hatinya dan seluruh suasana rohaninya dari memperhatikan selain Allah. Keadaannya menjauhi dari seluruh (daya tarik) makhluk, maka dinamakan hatinya adalah hati mujarrod dari
arah semata-mata hanya bersama Allah, dan untuk (memperoleh ridlo) Allah berkaitan dengan keadaannya yang menjauhi dari bagian-bagian makhluk keseluruhannya, sedangkan ilmunya adalah haqqul yaqin. Dari arah penyadaran yang konsisten pada hakekat bukan pada kesemuan (majazi), dan imannya adalah iman kamil. Dari arah pandangan selalu bersama Allah dan hanya karena Allah, dan pengabdiannya semata-mata ibadah, tegasnya berbakti karena sepenuhnya menerima ketentuan Allah serta dzikirnya dzikir muntaha, yaitu menyebut tiada yang mawjud kecuali Allah karena pandangannya dan wujudnya karena Allah, bercakap-cakap karena Allah, gerak-gerak dan bertingkah laku serta diamnya karena Allah. Keadaannya menjauhi dari perbuatan yang sejenis kasabiyah (usaha insaniyah), alamnya adalah alam jabarut. Tegasnya dari arah tenggelam didalam suasana bathiniyah secara utuh, serta fana’ nya tenggelam di dalam dzat Allah ta’la, dan maqomnya adalah maqom jam’ul jama’, dari arah yang tetap dalam naungan Allah ta’ala. Yaitu orang ahli haqiqah. Adapun murid kamil mukammil, maka murid yang sangat kuat pandangannya (syuhudnya) dan keter-tenggelaman-nya di dalam dzatnya Allah ta’ala, maka dapat dikatakan hatinya itu hati Robbany yaitu dari arah keterliputannya pada naungan Allah ta’ala dan ilmunya adalah akmalul yaqin, dan imannya adalah iman kamil mukammil dan pengabdiannya, perbuatan dan dzikirnya itu menyebut kalimah thoyyibah dengan berbagai sebutan, adakalanya keluar dari lisannya itu “Laa ilaaha Illallah” atau “Illallah...Illallah” atau “Allah...Allah” atau “Huwallah...Huwallah” atau “Allah Huwa...Allah Huwa” atau “huwa...huwa” atau “laa...laa” atau “illa...illa” atau “a...a...a” atau “huwa...huwa...huwa” atau “hu...hu...hu” atau “La..la..la..la”
atau
“a..a..a..a” atau “Illa..Illa..Illa..Illa” atau
atau
“Aaaa..Aaaa..Aaaa..Aaaa”
“Aaaah...Aaaah” atau “Uh...Uh”
atau “Ih...Ih” atau sebutan lain dari yang
demikian. “Hal demikian itu seperti : tangisnya, geraknya, dan seluruh perhatiannya yaitu dzikirnya dan dan pujian-pujiannya itu tetap tenggelam di dalam dzat Allah ta’ala, kondisinya tidak untuk mengetahui hal ihwal makhluk termasuk terhadap dirinya sendiri sehari-hari. Beribadah kepada Allah setiap hari bukan dari arah telah sirna dan lebur dalam dzatnya, adapun fana’nya adalah fanaul fana’ dan maqomnya adalah maqom baqo’,dan alamnya itu lahut yaitu orang ahli ma’rifah.128
2. Ajaran Teosofi Martabat Pitu Yang Di Kaitkan Dengan Mitos Penciptaan Alam Dalam buku Martabat Alam Tujuh karya Santrie, A.M. (1987) disebutkan bahwa Syaikh Abdul Rauf Singkel, ulama kenamaan dari Aceh, ketika membawa Tarekat Syattariyah ke ke bumi Nusantara beliau juga mengajarkan tentang teosofi Martabat Tujuh tentang tujuh tahap penciptaan, hal ini memberikan pengertian akan arti penting ajaran martabat tujuh di dalam lingkungan Tarekat Syattariyah, termasuk di lingkungan Tarekat Syattariyah Keraton Cirebon. Sehingga kami juga menganggap penting untuk membahasnya. Pada Sub bab ini kami mencoba memaparkan tentang teosofi Martabat Pitu (Martabat Tujuh) yang di kaitkan dengan mitos penciptaan alam yang beredar di kalangan Keraton Cirebon, khususnya di lingkungan Pengguron Krapyak, yang dahulu dipimpin oleh Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, sekarang di teruskan oleh
128
berdasarkan wawancara dengan Rama guru Bambang I pada 5 November 2008 di kediamannya di jalan Drajat Kotamadya Cirebon, salinan Kitab Dadalan Syattariyah Ratu Raja Fatimah kami letakkan di bagian lampiran babV. rekaman percakan kami dengan narasumber ada pada kami.
putranya Pangeran Muhammad ‘Afiyah. Ajaran ini saya nukil dari buku Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal : Potret Dari Cirebon 129: Pengertian bahwa mikrokosmos adalah refleksi dari makrokosmos muncul dalam mitos Cirebon tentang penciptaan manusia. Di kalangan Keraton Cirebon, 7 tahap (martabat pitu) penciptaan alam digunakan untuk melukiskan penciptaan manusia. Menurut tradisi ini, jauh sebelum manusia dilahirkan mereka berada di Alam Ahadiyah, yang merupakan tahap pertama. Dalam tahap ini eksistensi seseorang belum terbayangkan karena secara fisik tidak ada. Tahap kedua adalah Alam Wahdah, saat terjadi kehamilan ketika ovum dibuahi oleh sperma. Tahap ketiga disebut Alam Wahidiyah. Pada tahap ini, sel telur setelah dibuahi membelah diri dan tumbuh menjadi segumpal cairan kental, kemudian menjadi segumpal darah dan kemudian menjadi segumpal daging. Tahap ke empat, Alam Arwah, yaitu ketika segumpal daging menunjukkan tanda-tanda pergerakan, pertanda Allah telah meniupkan ruh ke dalam jiwa dan membuat hidup. Tahap ke lima, Alam Mitsal, adalah saat gumpalan daging menjadi embrio, potensi yang akan berkembang menjadi anggota tubuh. Selanjutnya adalah Alam Ajsam, tahap ke enam ketika embrio berkembang menjadi fisik lengkap deengan anggota badan dan organ khusus: kepala, rambut, tubuh, tangan, kaki, jari, dan kuku kaki. Secara keseluruhan, bentuk ini masih lemah, hingga akhirnya, tahap ke tujuh, bentuk ini mencapai bentuk terakhir dan memasuki Alam Insan Kamil, tahap manusia sempurna. pada tahap
129
Lihat : Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon. Jakarta: Logos; 2002 hal.74-80.
terakhir ini, manusia baru telah siap untuk keluar dari rahim dan sang Ibu telah siap melahirkan.130
E. Kegiatan-Kegiatan Rutin Lembaga Pengguron Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon Seperti yang telah dibahas pada sub bab tentang Pengguron-pengguron Tarekat Syattariyah di halaman 54 dan 55, bahwa Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon pada saat ini selain berbasis di Keraton Kaprabonan, juga berbasis di pengguron-pengguron (perguruan-perguruan Tarekat Syattariyah), yang tempatnya tidak hanya di area Keraton, tetapi berada di tempat tinggal para mursyid yang tersebar baik di wilayah Kotamadya maupun Kabupaten Cirebon. Mengingat banyaknya pengguron tersebut, maka saya memilih dua pengguron yang masih menjadi bagian pengguron Keraton Kaprabonan. Yang pertama adalah Pengguron Tharekat Agama Islam yang dipimpin oleh Rama guru Pangeran Nurbuwat Purbaningrat yang berkedudukan di jalan Pegajahan Kotamadya Cirebon. Pengguron yang kedua adalah Pengguron Lam Alif yang dipimpin oleh Rama guru Bambang Irianto yang berkedudukan di jalan Gerilyawan Drajat Kotamadya Cirebon.
Adapun kegiatan-kegiatan umum Pengguron Tharekat Agama Islam pimpinan Rama guru Pangeran Nurbuwat adalah : Merayakan hari-hari besar Islam; maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, Nisfu Sya’ban dan dibulan Puasa mengadakan Shalat Taraweh Berjama’ah di mushola pengguron, serta shalat I’ed bersama.
130
Ajaran ini kemudian kami konfirmasikan kepada Rama guru Bambang I sebagai salah seorang narasumber kami di lingkungan Keraton Cirebon,wawancara berlangsung pada tanggal 5 November 2008 dikediamannya, rekaman wawancara tentang hal ini masih kami pegang .
Dibulan Dzul Hijjah; dilaksanakan pemotongan hewan kurban bersama dan pelatihan Shalat I’edul Kurban.
Kegiatan-kegiatan rutin Pengguron Tharekat Agama Islam pimpinan Rama guru Pangeran Nurbuwat adalah : Pengajian rutin Satu
minggu sekali setiap malam Jum’at di mushola
pengguruan Ritual manaqiban Syekh Abdul Qodir al-Jailani sebulan sekali yakni pada Jum’at kliwon Kegiatan silaturrahmi kedaerah-daerah minimal enam bulan sekali. Daerahdaerah yang dikunjungi antara lain : Tasikmalaya, Kuningan, Kabupaten Cirebon, Tanggungan Brebes, Bumi Ayu, Aji Barang (Purwokerto), Cilacap, dan Ciamis. Serta beberapa murid perorangan dari daerah Jakarta, Kuningan dan Tegal. Menurut Rama guru Nurbuwat, sebenarnya pengguron tidak bersifat umum sehingga bebas untuk disiarkan, karena ilmu tarekat adalah hakikat dan bersifat eksklusif, sehingga ada persyaratan terlebih dahulu untuk menjadi anggota tarekat.131 Adapun kegiatan-kegiatan di Pengguron Lam Alif
pimpinan Rama guru Bambang
Irianto, adalah : Pengajaran tata cara berzdikir Tarekat Syattariyah yang di kolaborasikan dengan ilmu pernapasan bagi para murid pengguron. Kegiatan ini dilaksanakan seminggu dua kali, yaitu pada hari Jum’at pagi dan Minggu pagi bertempat di kediamannya di Jalan Gerilyawan, Drajat, Kotamadya Cirebon.132
131
Lihat Bab IV sub bab Murid/ Salik, Hasil wawancara dengan Rama guru Nurbuwat berlangsung di kediamannya pada 23 Oktober 2008, rekaman percakapanya ada pada kami 132 Wawancara berlangsung pada tanggal 5 November 2008 di kediamannya di jalan Drajat, Kotamadya Cirebon. Rekaman wawancara ada pada kami.
Bab V KESIMPULAN Dari hasil penelitian tentang dinamika Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon ini, dapat saya simpulkan sebagai berikut : 1). Melalui penulusuran saya melalui wawancara dengan Rama guru Nurbuwat, mursyid Tarekat Syattariyah di Cirebon, dan dari melihat silsilah Tarekat Syattariyah yang terdapat pada naskah Kitab Dadalan Petarekan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah (Kitab panduan bertarekat lembaga tarekat Ratu Raja Fatimah dari Keraton Kanoman Cirebon) diketahui bahwa setidak-tidaknya terdapat dua jalur Tarekat Syattariyah masuk ke lingkungan Keraton Cirebon : Pertama, Menurut keterangan yang saya peroleh dari Rama guru Nurbuat Purbaningrat, salah satu mursyid di lingkungan Keraton Cirebon, menyebutkan bahwa Tarekat Syattariyah masuk di lingkungan Keraton Cirebon sejalan dengan masuk dan tersebar agama Islam di tanah Cirebon. Ini dimulai dengan datangnya Syaikh Nurjati atau Syaikh Dzatul Kahfi yang datang ke tanah Carbon (nama Cirebon zaman dahulu) jauh sebelum Sunan Gunung Jati. Syaikh Nurjati di Cirebon menyebarkan agama Islam sekaligus mengajarkan ajaran dan amalan Syattariyah kepada masyarakat Cirebon secara selektif, yang pada saat itu sebagian besar masih menganut agama Hindu (Sunda wiwitan). Kedua, Berdasarkan dari silsilah yang terdapat pada naskah Kitab Dadalan Petarekan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah (Kitab panduan bertarekat lembaga tarekat Ratu Raja Fatimah dari Keraton Kanoman Cirebon) yang kami dapatkan dari Rama guru Bambang I, salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Kaprabonan, diketahui bahwa tarekat ini masuk ke lingkungan Keraton Cirebon di bawa dari Tasikmalaya yang sanadnnya terus menyambung sampai Syaikh Abdul Muhyi, yang
kondang sebagai penyebar agama Islam di Tasikmalaya dan sekaligus adalah mursyid Tarekat Syattariyah. Yang pertama kali membawa tarekat ini ke lingkungan Keraton Cirebon adalah Kyai Muhammad Soleh yang berasal dari desa Kartabasuki Cirebon. Beliau mengambil tarekat ini dari Syaikh Haji Muhammad Hasanudin yang berasal dari desa Safarwadi Pamijahan Tasikmalaya, Jawa Barat. yang kemudian menurunkan Tarekat ini kepada Kyai Mas Muhammad Arjaen, seorang penghulu (qadli) dari Kesultanan Kanoman yang menurunkan kepada Ratu Raja Fatimah putri dari kanjeng Gusti Sultan Anom dari Kesultanan Kanoman. 2). Amalan-amalan wajib bagi para penganut Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon berdasarkan pada naskah Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon (Kitab panduan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah dari Keraton kanoman Cirebon) terdiri dari 13 poin. Tetapi dari 13 poin tersebut sebenarnya terdiri dari 9 amal ibadah, yaitu : 1). Mengerjakan shalat sunat Awwabin 2). Membaca Istighfar 3). Membaca Shalawat 4). Membaca Dzikir 5). Membaca Surat al-Ikhlas 6). Membaca Surat al-Fatihah 7). Mengerjakan Shalat sunat Witir 8). Membaca Tahlil dan 9). Mengerjakan puasa sunat. Untuk selengkapnya dapat di lihat di sub Bab IV tentang Amalan Suluk. 3). Dalam rentang perjalanan sejarah, pengguron Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon mengalami pasang surut. Ketika kolonial Belanda mulai menguasai Keraton diawal abad 17, Kolonial Belanda membatasi kegiatan pengguron secara ketat supaya kepentingan mereka atas Keraton tidak terganggu. Dan kegiatan Tarekat Syattariyah lebih bebas paska kemerdekaan. Meskipun demikian, pada tahun 1960-an, kegiatan tarekat sangat diawasi oleh orang-orang komunis (PKI) dan organisasi Darul Islam/Tentara Islam indonesia (DI/TII). Barulah pada zaman Orde Baru kegiatan tarekat di pengguron-pengguron menjadi leluasa kembali sampai dengan saat ini. Hal ini terjadi karena faktor terbesar yang menghambat kegiatan Tarekat Syattariyah di lingkungan
Keraton Cirebon pada saat itu adalah persoalan politik. Sehingga ketika status Keraton Cirebon pasca berdirinya negara kesatuan republik Indonesia hanyalah menjadi simbol belaka atau tidak mempunyai kekuasaan secara politis, maka secara otomatis kegiatan Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon
kembali berjalan. Hal ini
berdasarkan penuturan Rama guru Nurbuwat, salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon, dalam sesi wawancara dengan kami. 4). Menurut Rama guru Bambang Irianto, salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon, Kegiatan ketarekatan Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon akhir-akhir ini (akhir tahun 2008, saat sesi wawancara berlangsung) sangat menurun tajam. Bahkan ada beberapa pengguron yang tidak lagi menjalankan praktek ketarekatan. Hal ini, menurutnya, disebabkan karena kondisi masyarakat saat ini yang terbawa arus modernisasi dan terpengaruh budaya-budaya Barat yang lebih mendahulukan aspek materi dan hal-hal keduniaan sehingga melupakan aspek spiritual.
DAFTAR FOTO-FOTO
Keraton Kasepuhan, Cirebon
Rama Guru Bambang Irianto (Mursyid Tarekat Syattariyah, Cirebon)
Gerbang Pengguron Kaprabonan, Cirebon
Rama Guru Bambang Irianto bersama Penulis di kediamannya di Jl. Drajat, Cirebon.
Rama Guru Nurbuwat (Mursyid Tarekat Syattariyah, Cirebon)
Kitab Dadalan Syattariyah, Cirebon (di ambil dari buku “Tarekat Syattariyah Di Minangkabau” karya: Oman Fathurrahman)
Rama Guru Nurbuwat bersama penulis di kediamannya di Jl.Pegajahan, Cirebon.
Kitab Dadalan Syattariyah, Cirebon (koleksi: Rama Guru Nurbuwat)
Kitab Dadalan Syattariyah, Cirebon (koleksi : Rama Guru Bambang I)
KERATON KACIREBONAN CIREBON
KERATON KANOMAN CIREBON
MASJID SANG CIPTA RASA CIREBON
Daftar Footnote Bab I Atjeh,Aboe Bakar. Pengantar ilmu Tarekat, Ramadani: Solo; 1985 hal. 67.
Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga:Jakarta; 2006 hal.37 Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES; 1982 hal.140 Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah popular, Surabaya: Penerbit Kartika t,th Hasil wawancara dengan Rama Guru Bambang I,salah satu Mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon pada tanggal 5 November 2008 di kediamannya di jalan Drajat, Cirebon.
Bab II Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal.67 Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon. Jakarta: Logos;2002 lihat catatan kaki pada hal.337 Qutbuddin al-Ibadi, Al-Tasfuja Fi Ahwal Al-Sufiya, Or Sufisme, ed. Ghulam Muhammad Yusufi (teheran, 1347 H/1968), hal.15 Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam. Jakarta: pustaka Firdaus ; 2000 hal.45 Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga:Jakarta; 2006 hal.37 Ali,Yunasril. Membersihkan Tasawwuf dari Syirik, Bid'ah, dan Khurafat. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya;cet. III 1992, hal. 54 Fathurahaman, Oman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta : Prenada Media Grup;2008 h.26 Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam. Jakarta: pustaka Firdaus ; 2000 hal. 16 Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal.67
Fathurahaman, Oman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta : Prenada Media Grup;2008 h.25 Muhaimin AG. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon. Jakarta: Logos; 2002 lihat hal.338 Leksikon Islam. Jakarta: Pustaka Azet Perkasa; 1988. II, hal 707 Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal. 68 Simuh. Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Jaya; April 1997 hal 207 Dhofier ,Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES; 1982 hal.140 Yahya, Wildan. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi. Bandung: Refika Aditama; Juni 2007 Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat . Bandung: Mizan; 1995 hal. 188 Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-Tarekat Mu'tabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana; Desember 2004 hal.13-14 Pijper.Gf,Pragmenta Islamica : Beberapa studi mengenai Islam di Indonesia awal abad XX, (Jakarta:UI Press), h.81 Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal 75 Lihat Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal 75-76
Bab III Yahya, Wildan M. Menyingkap tabir rahasia spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998 hal 54 Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004 hal.154 Yahya, Wildan M. Menyingkap tabir rahasia spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998, hal 55 Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004 hal.160-161
Yahya, Wildan M. Menyingkap tabir rahasia spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998, hal 55 Mulyati, Sri (et.al). Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; Desembar 2004 hal.162 Yahya, Wildan M. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Jakarta: Rosda karya; 1998. hal 56 Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon. Jakarta: Logos; 2002 hal. Lubis, Nina dkk. Sejarah Dan Perkembangan Kota-Kota Lama Di Jawa Barat. Bandung :Alqaprint Jatinangor; Juli 2000 hal 29 Hasil wawancara kami dengan rama guru Bambang I dikediamannya pada tanggal 5 november 2008, rekaman dari wawancara terebut ada pada kami Sulendraningrat P.S, Babad Tanah Sunda-Babad Cirebon, Cirebon :Februari 198 Hasil wawancara dengan Rama guru Bambang I pada bulan November 2008. rekaman wawancara ini ada pada kami. Lubis, Nina dkk. Sejarah Dan Perkembangan Kota-Kota Lama Di Jawa Barat. Jatinangor Bandung: Alqaprint; Juli 2000 hal 38 Hasil wawancara kami dengan Rama guru Bambang I pada bulan November 2008 di kediamannya. rekaman dari wawancara tersebut ada pada kami. Berdasarkan wawancara dengan Rama guru Pangeran Nurbuat, salah seorang Mursyid Tarekat Syathariyah dari keratin Kaprabonan. Copy dari hasil dari wawancara ada pada kami. Salinan daftar silsilah Tarekat Ratu Raja Fatimah kami dapatkan dari Bapak Bambang I, salah seorang Mursyid Tarekat Syathariyah dari keraton Kaprabonan.
Bab IV
Informasi ini kami dapat dari hasil wawancara dengan Rama Guru Nurbuwat dan Rama Guru Bambang I ditempat terpisah di 23 Oktober dan 5 November 2008. Salinan rekaman dari wawancara ada pada kami Berdasarkan wawancara dengan Rama Guru Nurbuwat pada 23 Oktober 2008 di kediamannya, rekaman dari wawancara tersebut ada pada kami. Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadani; 1985 hal 79 Untuk mengetahui syarat-syarat seorang mursyid secara lengkap lihat : Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadhani; 1985 hal 81-83 Hasil wawancara kami dengan Rama Guru Nurbuwat pada 23 Oktober 2008 di kediamannya di jalan Pegajahan,kotamadya Cirebon. rekaman wawancara tersebut ada pada kami. Hasil wawancara dengan Rama Guru Bambang I pada 5 November 2008 di kediamannya di jalan Drajat Cirebon. Rekaman wawancara tersebut ada pada kami. Hasil wawancara dengan Rama Guru Bambang I pada 5 November 2008 di kediamannya di jalan Drajat Cirebon. Rekaman wawancara tersebut ada pada kami. Hasil dari wawancara kami dengan Rama Guru Bambang I dikediamannya di jalan Drajat kotamadya Cirebon pada 5 November 2008. rekaman wawancara tersebut ada pada kami. Untuk nama terakhir, kegiatan Ketarekatan sudah tidak berjalan lagi namun usaha batiknya masih terus berjalan. Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 hal 84 Hasil wawancara dengan Rama Guru Nurbuwat di kediamannya pada 23 Oktober 2008, rekaman percakapanya ada pada kami. Hasil wawancara dengan Rama Guru Nurbuwat di kediamannya pada 23 Oktober 2008, rekaman percakapanya ada pada kami. Hasil wawancara dengan Rama Guru Bamabang I di kediamannya pada tanggal 5 November 2008, rekaman percakapanya ada pada kami. Atjeh, Aboe Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani; 1985 , hal.97 Salinan daftar silsilah Tarekat Ratu Raja Fatimah kami dapatkan dari Bapak Bambang I salah seorang Mursyid Tarekat Syattariyah dari keraton Kaprabonan dan kami cantumkan dalam lampiran.
Silsilah ini kami peroleh dari Rama Guru P.Nurbuwat dari keraton Kaprabonan melalui wawancara di kediamannya pada 23 Oktober. Rekaman dari wawancara terebut ada pada kami. Salinan dari kitab dadalan Ratu Raja Fatimah kami dapatkan dari Rama Guru Bambang I dari Keraton Kaprabonan Cirebon dan kami cantumkan di bagian lampiran. Adapun tiga nama terakhir dari silsilah tidak terdapat dalam kitab dadalan Syattariyah, akan tetapi kami dapat hasil wawancara kami dengan salah satu mursyid Tarekat Rama Guru Bambang Irianto. Kemudian menurutnya, silsilah dari Ratu raja Fatimah ke P.Ismail Ernawa masih dalam status ‘kemungkinan’ (tidak diriwayatkan secara pasti) asumsinya berdasarkan fakta bahwa P.Ismail mempunyai kitab dadalan Syattariyah milik Ratu Raja Fatimah. Wawancara berlangsung pada 23 Oktober di kediamannya. Hasil rekaman dari wawancara tersebut ada pada kami. Amstrong, Amatullah. Kunci memasuki dunia Tasawuf . Bandung: Mizan; Desember 2006 hal.268 Simuh. Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Jaya: April 1997 hal 208-209 Salinan kitab dadalan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah kami dapatkan dari Rama Guru Bambang I dan kami letakkan pada Lampiran pada bab V. Salinan kitab dadalan Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah kami dapatkan dari Rama Guru Bambang I dan kami letakkan pada Lampiran pada bab V. berdasarkan wawancara denagn Rama Guru Bambang I pada 5 November 2008 di kediamannya, salinan kitab dadalan Syattariyah Ratu Raja Fatimah kami letakkan di bagian lampiran dan rekaman percakan kami dengan narasumber ada pada kami. Salinan dari kitab dadalan Syattariyah Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon kami tempatkan pada bagian lampiran. Adapun rekaman percakapan kami dengan narasumber, Rama Guru Bambang I ada pada kami.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA
Responden
:
Jabatan
:
Rama Guru Nurbuwat Mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon
Koresponden Tempat
: :
Muhammad Khamdi Di kediamannya di jalan Pegajahan, Kotamadya Cirebon
Tanggal
:
27 Oktober 2008
K = Koresponden R = Responden
1.
K
: Kapankah masuknya Tarekat Syattariyah ke lingkungan Keraton Cirebon?
R
: Tarekat Syattariyah masuk ke Cirebon bersamaan dengan masuknya Islam
yaitu dibawa oleh Syekh Dzatul Kahfi yang mulai menyebarkan Islam di daerah Giri Amparan Jati. Pada zaman Kanjeng Sunan Gunung Jati bersamaan dengan pesatnya perkembangan Islam ikut berkembang pula tarekat syatariah. Tarekat Syattariah ini bersifat selektif karena
ada beberapa persyaratan yang diajukan oleh Guru atau Mursyid bagi orang yang ingin masuk tarekat. Namun pengajaran Tarekat ini tidak serta merta langsung dilakukan oleh Syaikh Nurjati kepada para pengikutnya, tetapi beliau terlebih dahulu mematangkan pengamalan Syari’at Islam sebagai pondasinya, Hal ini selaras dengan tujuan Tarekat sebagai jalan “khusus” dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT yang tidak bisa langsung dilakukan tanpa pondasi Syari’at yang kuat, Syariat diibaratkan sebagai perahu, Tarekat sebagai perahunya dan hakikat sebagai mutiaranya. Meskipun begitu dalam proses perekrutan anggota Tarekat, beliau bertindak selektif, hanya orang yang dianggap mampu saja yang dapat mengambil amalan Tarekat atau menjadi anggota Tarekat. Dan tongkat kepemimpinan Tarekat Syattariyah dilanjutkan oleh Pangeran Cakrabuana, yang lebih dikenal dengan Mbah Kuwu Cirebon yang merupakan paman dari Sunan Gunung Jati, ketika beliau menjadi penguasa tanah Cirebon, Yang kemudian menurunkannya kepada Sunan Gunung Jati yang sekaligus juga menggantikannya sebagai penguasa tanah Cirebon. Memang pada saat itu di kerajaan Cirebon, seorang Raja adalah juga merangkap sebagai pemimpin spiritual. Setelah Sunan Gunung Jati mangkat, tongkat kepemimpinan Tarekat Syattariyah terbagi-bagi kepada para putranya namun masih dalam satu komunitas tunggal yang dipimpin oleh sultan-sultan keraton Cirebon, hal tersebut terus berlangsung sampai pada abad 17, yang kemudian, akibat gejolak politik yang menimpa kesultanan Kasepuhan Cirebon yang pada saat itu di pegang oleh sultan Badriddin, dimana Belanda berhasil menaklukkan dan menguasi kesultanan, pengguron (perguruan) Tarekat Syattariyah tidak lagi dapat di fokuskan di lingkungan keraton. Hal ini akibat ketidakpuasan sebagian keluarga keraton yang tidak menyukai adanya kaum kolonial yang menguasai keraton, Mereka lalu menyingkir dan membuat keraton sendiri yang di fokuskan untuk kegiatan Tarekat, keraton ini kemudian dikenal dengan Keprabonan. Dan semenjak itu yang berhak menjadi Mursyid Tarekat
Syattariyah adalah keturunan dari Keprabonan berdasarkan kesepakatan dari semua kalangan di lingkungan keraton Cirebon. Hal ini terus berlangsung hingga saat ini. 2. K : Apa maksud dan tujuan didirikannya pengguron Tarekat Syatariah? R : Untuk memperkuat keimanan kaum Mu’minin sebab ilmu tarekat adalah berisi suatu jalan untuk menuju hakikat hidup, yang mana akan membawa manusia itu sendiri menjadi mengenali nikmatnya keimanan. dengan mengenal tarekat dan mengikutinya, serta mengamalkannya diharapkan manusia dapat menjadi lebih optimis dan dinamis dalam mengarungi kehidupan ini. Dalam sejarahnya pengguron tarekat Syattariah pada akhirnya tidak difokuskan di keraton setelah pada zaman sultan Badaruddin maka pengguron dipisahkan dari keraton hal ini berlangsung pada abad 17, yang berhak menjadi mursyid adalah keturunan keraton Keprabonan berdasarkan kesepakatan dari semua unsur di keraton.
3.
K :
Bagaimana pasang surut
pennguron Tarekat Syattariyah dilingkungan
keraton Cirebon? R:
Ketika belanda mulai menguasai keraton (diawal abad 17) kegiatan sangat
dibatasi. Dan setelah Negara ini merdeka kegiatan Tarekat Syattariyah lebih bebas. Pada saat tahun 60-an kegiatan tarekat sangat diawasi oleh orang-orang komunis (PKI) dan DI/TII.Pada zaman Orde Baru kegiatan Tarekat di pengguron-pengguron menjadi leluasa kembali sampai dengan saat ini.
4. K : Dari mana saja status sosial para pengikut Tarekat Syattariah di pengguron ini? R : Status para pengikut tarekat syatariah disini sangat beragam; ada yang pengusaha namun yang paling banyak adalah kaum petani dan pedagang. 5. K : Apa alasan para pengikut tarekat masuk menjadi anggota tarekat?
R : Hampir semua alasan pengikut Tarekat masuk menjadi anggota tarekat adalah mencari Ridlo Allah dan hidup tentram di dunia. Namun ada beberapa orang yang masuk menjadi anggota tarekat dikarenakan stress dalam menjalani hidup. Orang yang semacam ini sebelum masuk menjadi anggota tarekat dia harus mengadakan terapi Psikologi melalui konsultai-konsultasi (yang bersifat spiritual) dengan badal (pengganti Mursyid) sampai jiwanya sehat dan stabil. 6.
K : Bagaimanakah proses pengangkatan murid tarekat Syattariyah ? apakah ada
syarat-syarat khusus untuk menjadi anggota tarekat ? R : Proses pengangkatan Murid di pengguron Tarekat Syattariyah di lingkungan keraton Cirebon bersifat selektif. Jadi tidak semua orang bisa langsung masuk Tarekat Syattariyah. Bagi mereka yang menginginkan masuk Tarekat harus terlebih dahulu melalui tiga tahap :
4.
Tirakat, yaitu bentuk pelatihan dalam mengendalikan nafsu sebelum seorang calon murid tarekat membay'at tarekat. Tirakat ini pada masa dahulu dilakukan dengan "bertapa" yaitu dengan uzlah
yakni menyendiri di tempat yang sepi dengan
"puasa
mutih" yakni berpuasa yang berbuka hanya dengan air putih, selama jangka waktu yang ditentukan oleh sang mursyid, namun pada saat ini proses tirakat tidak harus dengan beruzlah namun dapat di lakukan dengan konsultasi kepada mursyid
tentang
"menata hati" yang dilakukan secara periodik. 5.
Ngabdi kepada masyarakat, pada masa dahulu dilakukan dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat seperti membersihkan masjid, jalanan dan membantu seseorang yang sedang ditimpa kesusahan. Namun pada saat ini ngabdi ini dapat
dilakukan dengan sadaqah kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan si murid atau dengan membantu secara ekonomi kepda masyarakat yang kurang mampu. 6.
Ngawula, yakni mengabdi kepada sang mursyid, pada saat dahulu Ngawula ini dilakukan dengan menemani dan melayani segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sang mursyid dalam jangja waktu yang ditentukan oleh sang mursyid. Namun pada saat ini Ngawula dapat dilakukan dengan tidak harus menemani sang mursyid tetapi cukup dengan menuruti atas segala yang diperintahkan oleh sang mursyid dalam rangka mematangan sang murid sebelum dia menjalankan semua amalan Tarekat.
7.
K : Apa pengaruh amalan tarekat terhadap jiwa para pengikutnya? R : Pengaruhnya adalah dapat mendatangkan ketentraman hati dan optimis dalam
hidup serta dinamis. 8.
K : Bagaimana proses pengangkatan seorang mursyid tarekat Syattariyah di
lingkungan keraton Cirebon ? R : Adapun proes pengangkatan seorang mursyid tarekat Syattariyah di lingkungan keraton sendiri diserahkan sepenuhnya kepada mursyid lama, jika ia menemukan orang yang cocok dijadian sebagai mursyid ya maka dia akan mengangkatnya sebagai mursyid baru dengan mendapat restu dari Sultan keraton Keprabonan sebagai pemegang otoritas spiritual di lingkungan keraton Cirebon
9. K : Apa saja kegiatan-kegiatan rutin pengguron Syatariah?
R : Untuk syiar, pengguron tidak bersifat umum, karena ilmu tarekat adalah hakikat dan bersifat eksklusif, sehingga ada persyaratan terlebih dahulu untuk menjadi anggota tarekat. Adapun kegiatan-kegiatan umum pengguron adalah : -
Merayakan hari-hari besar Islam; maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nisfu Sa’ban dan dibulan Puasa mengadakan Shalat Tarawih Berjama’ah di mushola pengguron serta shalat I’ed bersama.
-
Dibulan Dzul Hijjah; dilaksanakan pemotongan hewan kurban bersama dan pelatihan Shalat I’edul Qurban.
-
Pengajian rutin : Satu minggu sekali setiap malam jum’at di mushola pengguron Ritual manakiban Syekh Abdul Qodir Al-jailani sebulan sekali yakni pada jum’at kliwon Kegiatan silaturrahmi kedaerah-daerah minimal enam bulan sekali. Daerahdaerah yang dikunjungi antara lain : Tasikmalaya, Kuningan, Kabupaten Cirebon, daerah Tanggungan Kabupaten Brebes, daerah Bumi Ayu abupaten brebes, Daerah Aji Barang (Purwokerto), Cilacap, dan Ciamis. Serta beberapa murid perorangan dari daerah Jakarta, Kuningan dan Tegal.
HASIL WAWANCARA
Responden
:
Rama Guru Bambang Irianto
Jabatan
:
Mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan
Keraton
Cirebon
Koresponden
:
Muhammad Khamdi
Tempat
:
Di kediamannya di jalan Drajat, Kotamadya
:
5 November 2008
Cirebon Tanggal
K = Koresponden R = Responden
1. K R
: Ada berapakah Keraton di Cirebon pada saat ini ? : Pada saat ini terdapat 4 keraton di Cirebon, yaitu : Kasepuhan, Kanoman,
Kacirebonan, dan Keprabonan. Masing-masing dari empat keraton ini dimiliki oleh empat sultan yang seluruhnya masih merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati, sebagai pendiri Kerajaan Cirebon 2. K : Kapan keraton Keprabonan didirikan?
R : Pada awalnya keraton Cirebon hanya ada satu yang didirikan yaitu keraton Pakungwati, manakala diperintah oleh Panembangan Girilaya yang dimakamkan di Imogiri Kota Yogyakarta, Keraton sempat vakum selama 16 tahun lamanya yang di pegang oleh Putra ke-3 dari Panembangan Giri Raya yaitu Pangeran Wangsa Kerta. Dan setelah pangeran Giri Raya meninggal, Panembangan Tirtayasa (Raja Banten) berinisiatif mencari Putra-putra dari Pangeran Giri Raya dengan bantuan para Teliksandi nya untuk di jadikan raja di keraton. Setelah ditemukan dua orang putra kakak beradik dari pangeran Giri Laya dengan tebusan ketika ada pemberontakan Trunojoyo di daerah Kediri,kemudian dijadikanlah keduanya Raja. Anak pertamanya dijadikan Raja dari keraton kasepuhan dan adiknya dijadikan Raja di keraton Kanoman. Dan itu semua disebut dengan Kacirebonan Awwal. Setelah lama, keturunan dari Kacirebonan dianggap putus atau tidak ada lagi oleh karenanya Kacirebonan dianggap tidak ada dan Keraton yang diakui hanya dua itu tadi yakni Kasepuhan Dan Kanoman. Pada hakikatnya Kacirebonan tidaklah putus, itu hanyalah politik dari Belanda saja karena kacirebonan dianggap berbahaya oleh Belanda. Hingga sekarang pun keturunan dari Kacirebonan masih ada namun tidak mau untuk memunculkan diri karena takut dibunuh oleh orang-orang belanda 133. Setelah Raja Kanoman ( Sultan Muhammad Badridin) mempunyai anak yang berhak manjadi Raja dan ingin memberi kekuasan pada anaknya, namun anak dari sultan Kanoman tidak menginginkan untuk menjadi Raja karena beliau lebih tertarik dalam hal Spiritual dan Pendidikan. Oleh karenanya beliau meminta untuk memisahkan diri dari kerajaan dan mendirikan sebuah tempat semacam Pondok Pesantren dengan seizin Ramanya, setelah beliau memisahkan diri, beliau diberi Tanah oleh Ramanya di daerah Keprabonan. Dan berdirilah sebuah Pengguron Islam di daerah Keprabonan.dan dari situlah sejarah Keraton Keprabonan berdiri.
133
Sebenarnya keterangan ini tidak berhubungan dengan pendirian tarekat Syattariyah tapi proes perjalanan sejarah Keraton Cirebon. Berdirinya tarekat syattariyah baru terjadi pada zaman Sultan badriddin dari kesultanan Kanoman di abad 17
Dan menurut salah satu versi sejarah menyebutkan bahwa memang pada asalnya kesultanan keprabonan adalah sebuah Pengguron Islam. Suatu ketika ketika kesultanan kanoman yang pertama yang dipimpin oleh Sultan Khaeruddin, pecah menjadi dua yang dipimpin oleh anaknya yakni sultan Muhammad Abu Sholeh dan Sultan Khaeruddin Dua yang pada akhirnya mendirikan kesultanan kacirebonan Akhir.
3.
K
: Adakah keturunan dari Kacirebonan yang melarikan diri ke pedalaman dan
mendirikan Pondok Pesantren? R
: Kalau dari Kacirebonan sendiri yang lari kepedalaman itu tidak ada yang
mendirikan Pondok Pesantren melainkan mereka hanya menjadi orang biasa yang hidup dengan bekerja biasa, hingga sekarangpun demikian; ada yang menjadi PNS, bekerja di Perusahaan, DLL. Adapun yang mendirikan Pondok Pesantren itu kebanyakan dari keturunan Kanoman atau kasepuhan dengan tujuan untuk mempercedas keturunan mereka agar tidak kalah dengan Belanda.
4. K
: Dari mana saja latar belakanag atau status sosial dari pengikut tarekat Syattariyah
di pengguron Rama berasal ? R : Kebanyakan berasal dari kalangan pondok pesantren, baik dari para santri ataupun para kyai. Kemudian juga banyak berasal dari kalangan pengusaha, pedagang, anakanak seolah dari SLTA
5.
K : Apa saja motif atau tujuan mereka masuk tarekat? R
:
Motif dan tujuan mereka masuk tarekat adalah untuk mengetahui apa sih
sebenarnya tarekat itu dan bagaimana sih sebenarnya ilmu-ilmu Cirebon itu dan ketika mereka merasa nyaman dengan ilmu itu maka mereka meneruskannya, ada juga beberapa
dari mereka yang karena menderita stress dan ketika merea tahu bahwa kita mendirian tarekat ahirnya mereka mau bergabung
6 K : Pada saat ini, ada berapa pengguron yang merupakan sempalan dari keraton Keprabonan dan siapa sajakah yang menjadi mursyidnya ?
R
: Daftar nama-nama pengguron (perguruan Tarekat) beserta dengan mursyid
yang memimpin Tarekat Syattariyah yang merupakan sempalan dari keraton Keprabonan Cirebon, antara lain : 1. Pengguron Keraton Keprabonan, berkedudukan di keraton Keprabonan Cirebon dipimpin oleh Rama guru M.Ra’fan Hasyim yang merupakan wakil dari Rama guru Pangeran Hempi. 2. Pengguron
Tharekat Agama Islam, berkedudukan di Pegajahan kotamadya
Cirebon dipimpin oleh Rama Guru Pangeran Muhammad Nurbuat Purbaningrat. 3. Pengguron Krapyak, berkedudukan di lingkungan keraton Kanoman kotamadya Cirebon dipimpin oleh Rama guru Pangeran Muhammad Afiyah 4 Pengguron Lam Alif, berkedudukan di Drajat kotamadya Cirebon dipimpin oleh Rama Guru Raden Bambang I. 5. Pengguron
Rama guru Pangeran Muhammad Hilman berkedudukan di
Perumahan Arum Sari daerah Sumber Kabupaten Cirebon 6. Pengguron Rama guru Pangeran Muhammad Atho’ berkedudukan di Drajat kotamadya Cirebon
7. Pengguron Rama guru Pangeran Insan Kamil berkedudukan di Pegajahan Kotamadya Cirebon yang di teruskan oleh murid-muridnya di daerah Trusmi yang kemudian mendirikan usaha batik..
7. K : Seperti yang telah dijelaskan oleh bapak, bahwa kegiatan Tarekat Syattariyah di lingkungan keraton Cirebon sekarang ini tidak hanya terbatas di keraton Keprabonan tetapi sudah menyebar menjadi beberapa pengguron, Apakah Amalan tarekat syatariah diseluruh pengguron itu sama? R : Secara prinsip adalah sama, cuma ada sedikit perbedaan Variasi yang kurang signifikan dari setiap-setiap daerah atau pengguron.
8.
K : Bagaimana menurut bapak tentang ajaran "Martabat tujuh" yang merupakan
ajaran yang menonjol dari Tarekat Syattariyah ? R : Sebenarnya tidak ada kesepakatan secara formal oleh para rama guru tentang suatu ajaran tarekat, namun masing-masing rama guru akan menyetujui terhadap ajaran Tarekat yang datang dari seorang rama guru yang telah di sepakati kwalitasnya. Jadi pendapat kami tentang ajaran martabat tujuh yang beredar di kalangan pengguron Krapyak adalah secara teoritis kami membenarkannya.
9.
K : Bagaimana pengaruh wirid tarekat terhadap kehidupan spiritual mereka ? R : Pengaruhnya adalah dapat mendatangkan ketentraman hati dan optimis dalam
hidup serta dinamis.
10. sama?
K
: Apakah semua tata cara dzikir dan tata kramanya di semua penggguron itui
R
: Secara prinsip umum itu sama Cuma ada sedikit perbedaan variasi dalam
mempraktekkan dzikir tersebut.
11.
K : Dalam naskah kitab Dadalan kitab Syattariyah Ratu Raja Fatimah tertulis pada
urutan silsilah tarekat bahwa tarekat Syattariyah ini di bawa ke Cirebon oleh Kyai Muhammad Soleh dari Kertabasuki Cirebon, kesimpulan ini saya lahir berdasarkan fakta bahwa Kyai Muhammad Soleh inilah yang berasal dari Cirebon berdasarkan penisbatan daerah di akhir namanya, bagaimana menurut Rama ? R : Itu bias saja dari bukti tertulis, tapi bukan hanya itu saja.dari bukti-bukti yang lain dinyatakan bahwa Sunan Gunung Jati juga mempelajari Tarekat Syattariyah. Dan ada juga dari jalur-jalur yang lain. Jadi masuknya Tarekat Syattariyah ke Cirebon perlu di kaji lebih lanjut, tapi yang sudah pasti adalah yang sudah di sebut tadi (Sunn Gunung Jati dan Kyai Muhammad Soleh dari Kertabasuki).
12.
K : Disebutkan dalam naskah Mertasinga bahwa Sunan Gunung Jati mempelajari
Tarekat Syattariyah dari Syaikh Jumadil Kubro ketika beliau belajar di Mekah, namun dalam dua jalur silsilah yang kami dapatkan baik yang berasal dari Keraton Kanoman dan dari Kaprabonan tidak terdapat nama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati? R
: Jadi memang opini yang menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati itu mengambil
Tarekat Syattariyah itu hanya berdasarkan riwayat dari mulut ke mulut yang beredar di kalangan Keraton Cirebon bahwa Sunan Gunung Jati itu mengamalkan Tarekat Syattariyah.