Dinamika Struktur-Agen dan Perubahan Internasional: Hegemoni AS vs World Polity pasca 911 Lia Nihlah Najwah4 Abstract The primary aims of this writing are; First, to identify the dichotomy between reality and ideality, knowledge and power in international relations; second; to analyze contemporary global realitas. This research observed the growth of world polity after 911, especially after the global campaign of terrorism under Bush’ administration. The used method is kualitative research. The research which comes from theories and are used as the basic of analysis, phenomenon or facts which have the similarity or anomaly found out in some theories then, to observe the current changes in international politics. The analysis and the problem solving are delivered descriptively; the writer elaborated the thought and normative view of constructivism group about world polity and is confronted with the change of America’s hegemony after 911. The writer also added critics and another perspective of other thinkers to support the objectivity for this writing. Reflection of both idea and normative value to reality is the prime note which is used as a tool of analysis besides elaborate the concept of world polity. This writing conclude that: (1).World polity is not a single system, even though the breaking law is done by U.S, World polity has been differentiated and strong rooted in social international life. In other word, the action of U.S will not influence to the sustainability of world polity.
Keywords: world polity, constructivim, social international life
Pendahuluan Kaum konstruktivis memiliki dua asumsi utama dalam mengkaji dinamika struktur internasional modern. Pertama; bahwa struktur setiap asosiasi maupun organisasi manusia secara mendasar dipandang sebagai kekuatan ideasional. Kedua; identitas dan kepentingan aktor tidak terbentuk secara alami, melainkan dikonstruksi oleh pertukaran ide dan pengetahuan. Karena kedua asumsi inilah maka konstruktivis dikenal sebagai pandangan idealisme struktural. Dimana kaum konstruktivis menerima asumsi kaum idealis tentang kekuatan ide dalam kehidupan sosial, namun disisi lain menolak cara pandang individualis yang meyakini bahwan struktur membatasi individu. Bagi kaum konstruktivis struktur sosial dibentuk dan ditransformasi oleh aktor melalui pentukaran ide dan gagasan antar aktor. Yang dinamis dan mungkin bertransformasi sesuai dengan trend dan dinamika sosial yang berlaku pada saat Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
52
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
itu (Wendt:1999:1). Asumsi ini membuka penjelasan tentang perubahan dalam struktur internasional yang diakibatkan oleh dinamika hubungan struktur-agen. Pasca Perang Dingin merupakan era yang penuh dengan optimisme tentang perdamaian dan kemakmuran dan kemajuan teknologi. Berbagai tren yang menjanjikan opitimisme era baru yang disinyalir merupakan wujud transformasi global antara lain: Pertama, Globalisasi ekonomi, sosial dan budaya juga secara signifikan mendorong meningkatnya peran politik aktor non negara dalam politik global. Melalui International Non Governmental Organization (INGO’s), gerakan sosial global dan berbagai bentuk jejaring internasional lainnya, masyarakat global secara aktif memberi pengaruh yang besar terhadap berkembangnya isu-isu baru dalam kebijakan politik internasional. Sebagai contoh peran Green peace dalam mempengaruhi kebijakan negara tentang penyelamatan lingkungan global. Namun disisi lain, perkembangan politik internasional pasca perang dingin diwarnai dengan Perubahan politik Luar Negeri AS. Kebijakan luar negeri AS pada masa awal pasca Perang Dingin, AS menjadi satu-satunya kekuatan global yang paling menonjol setelah Uni Soviet mengalami keruntuhan.
Amerika Serikat sejak Perang Dunia II berhasil
menciptakan tatanan global terpadu, melalui keterlibatan beragam aktor-negara dan non negara, demokrasi, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta nilai-nilai multilateralisme (Ruggie;1998). AS pasca Perang Dingin Amerika Serikat mendukung institusionalisasi world polity khususnya kepemimpinannya (Ruggie:1998).
dalam
Pasca
penegakan
911
cenderung
hukum,
HAM,
menunjukkan
dan bahwa
Demokrasi AS
lebih
mengutamakan kepentingan domestiknya. Politik luar negeri AS yang selalu mengedepankan aspek kerjasama internasional dan multilateralisme berubah seiring dengan sikap agresif yang ditunjukkan AS dalam perang global melawan terorisme. Setelah deklarasi perang Bush, menyerang Irak diwujudkan pada tahun 2003, komunitas internasional mengadakan protes terhadap keputusan unilateral AS.
Gerakan
anti
perang
Irak
terjadi
di
berbagai
pelosok
dunia
(http://edition.cnn.com/2003/US/02/15/sprj.irq.protests.main). Komunitas global menunjukkan global menganjurkan AS menggunakan kekuatan diplomatis dan
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
53
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
mempercayakan pada mekanisme PBB dan Badan Atom Internasional (IAEA) dalam menyelesaikan keputusan invasi Irak, namun AS tetap menjalankan aksi unilateral untuk menyerang Irak dan menghukum Saddam Husein dengan dalih penegakan HAM dan demokrasi yang terdapat di Middle East atau Timur Tengah (http//www.theguardian.com/world/2004/sep/16/iraq). Fakta-fakta diatas menunjukkan dua hal penting, yakni Pertama, pelanggaran AS terhadap nilai-nilai multilateral melalui mekanisme organisasi internasional dalam perang invasi Irak padahal, sejak berakhirnya Perang Dingin AS merupakan negara yang mengedepankan mekanisme multilateral dalam penyelesaian persoalan internasional.
Kedua, AS melanggar HAM dalam
investigasi tahanan dan peradilan terduga pelaku teror, padahal AS merupakan negara yang gencar mengkampanyekan nilai-nilai HAM. Ketiga, AS menjadikan penegakan Demokrasi sebagai pembenaran terhadap aksi unilateralnya di Irak. Kebijakan politik luar negeri yang dikeluarkan AS akan berdampak bagi negara lain bahkan bagi sistem internasional itu sendiri. Apakah perubahan komitmen global AS akan berimplikasi pada stagnasi universalisasi nilai-nilai tersebut pada komunitas internasional? Struktur dan agen dalam sistem internasional saling berhubungan satu sama lain, struktur dapat mempengaruhi perilaku agen, namun, agen dapat mentransformasi struktur. Dalam tulisan ini penulis ingin melihat bagaimanakah dinamika tersebut berimplikasi terhadap perubahan internasional, dengan menggunakan tinjauan teoritis dalam melihat dampak perilaku agen terhadap perubahan proses dalam struktur world polity pasca 911. Dinamika Struktur-Agen dan perubahan Internasional Durkheim mendefinisikan struktur sebagai organisasi sistem, atau kumpulan hukum yang mana unit-unit tersebut dikombinasikan untuk mendukung totalitas sistem. (Durkheim dalam Scmandt, (1960), alih Bahasa (2002;139). Kaum fungsionalis mendefinisikan sturuktur sebagai fenomena dan fakta-fakta sosial yang telah terpola. Struktur merupakan sesuatu yang eksternal dari tindakan manusia dan sumber pengendali tindakan manusia (Gidden:1995, alih Bahasa 2003:20). Struktur dibentuk secara mandiri oleh agen yang mempola tindakan sosial. Dengan demikian perilaku agen senantiasa terpola oleh struktur, namun disisi lain agen dapat mereproduksi dan mentransformasi struktur
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
54
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
(Gidden:1995, alih bahasa 2003: 20-21). Struktur dalam pandangan Gidden praktek sosial yang direproduksi dari hubungan transformatif. Struktur dapat terlihat melalui organisasi sosial atau tidak terlihat namun memiliki “sifat-sifat struktural”. Ia menunjukkan bahwa struktur itu ada. Sifat-sifat struktural ini merupakan jejak-jejak perilaku tertentu namun dijadikan acuan bagi tindakan agen yang berpengetahuan. Hal inilah yang oleh Gidden disebut sebagai prinsip struktur. Para pemikir Hubungan Internasional secara tradisional mendefinisikan struktur dalam istilah-istilah material
seperti
distribusi
kekuatan dan
memperlakukan struktur sebagai sebuah pembatasan bagi aktor-aktor(Barnet, Dalam: Baylis,dan Smith (2005); 267), artinya, perilaku aktor dalam memaksimalkan perolehan kepentingan nasionalnya dibatasi oleh proses dan regulasi dalam struktur internasional. Namun bagi kaum kontruktivis struktur bukan hanya aspek material belaka melainkan dituntun pula oleh aspek ideasional. Dengan mengidentifikasi sebuah struktur normatif, konstruktivis mencatat bagaimana struktur-struktur juga didefinisikan secara kolektif oleh ideide yang ada seperti halnya pengetahuan, aturan, kepercayaan, dan norma-norma yang tidak hanya membatasi aktor, mereka juga mengkonstruksi kategorikategori makna dan juga menetapkan identitas-identitas dan kepentingankepentingannya, dan mendefinisikan standar-standar kepemimpinan yang tepat. (Barnet, Dalam: Baylis, and Smith (2005); 267) Aktor-aktor yang mematuhi norma-norma tidak hanya karena keuntungan dan biaya-biaya untuk melakukan hal demikian tetapi juga karena berhubungan dengan makna diri dan makna tindakan yang dilakukan. (Barnet, Dalam: Baylis, dan Smith (2005); 267) Struktur dalam sistem sosial internasional terdiri dari tiga elemen yakni; kondisi material, kepentingan dan ide (Wendt;1999;139), ketiganya berbeda dan berada dalam ranah yang berbeda dalam menjelaskan regulasi sosial. Kondisi material merupakan bagian dari kepentingan aktor, namun keduanya memiliki ranah penjelasan yang berbeda. Misalnya perolehan terhadap akses minyak di Timur tengah pasca invasi AS di Irak tidak dapat disamakan dengan penjelasan kepentingan AS untuk mempertahankan status quo nya di kawasan Timur Tengah. Kepentingan dikonstitusikan sebagai bagian dari ide, namun keduanya
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
55
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
tidaklah sama, tanpa ide tidak aka nada kepentingan, tanpa kepentingan tidak akan ada kondisi material yang bermakna dan tanpa perolehan material tidak ada realitas (Wendt;1998;139). Dalam kajian teori sistem struktur dapat dibagi jadi dua berdasarkan proses-proses
yang
terjadi
di
dalamnya:
Pertama,
struktur
mikro
(Wendt;1998;147) atau unit level (Waltz 1979), yakni menggambarkan proses atau interaksi yang terjadi antar unit dalam system. Dalam hal ini berkaitan dengan individu atau level nasional. Kedua, struktur makro (Wendt;1998;150), interaksi antar negara sebagai aktor atau unit sistem merupakan hal yang dijelaskan. Menurut pandangan realist makro struktur menjelaskan proses distribusi kekuatan internasional. Dalam system yang anarki negara-negara akan senantiasa melakukan perimbangan kekuatan dengan negara lain hingga menjadi yang terkuat atau akan tereliminasi dari system, sedangkan konstruktivist memaknai struktur makro sebagai proses isomorfisme institusi antar negaranegara modern. (Wendt;1998;151). Struktur makro dibentuk oleh budaya seperti; norma, aturan-aturan, institusi, konvensi, ideologis, kebiasaan dan hukum. Keseluruhannya disusun melalui pengetahuan bersama yang telah terkonstitusi dan menjadi pedoman perilaku antar unit (Wendt;1998;160). Bagi kaum
konstrutivist,
pengetahuan
bersama
merupakan“intersubjective
understanding”. Pengetahuan bersama, dapat saja di konstruksi oleh agen atau struktur. Ketika institusionalisasi berhasil terjadi maka nilai-nilai dan norma baru akan masuk dalam struktur internasional dan menjadi budaya global. Sedangkan proses didefinisikan sebagai hubungan yang terpola antar unit-unit yang terjadi dalam sistem yang termanifestasi dalam beragam derajat hubungan maupun halangan yang di atur oleh struktur (Durkheim dalam Scmandt, (1960), alih Bahasa (2002;139). Proses-proses yang terjadi dalam sistem akan mempengaruhi pikiran sosial (social mind). Pikiran sosial (social mind) menurut Durkheim merupakan kekuatan pengekang yang kuat pada individu. Namun demikian, efektifitasnya tergantung pada tingkat solidaritas atau kohesi yang ada dalam sistem tersebut. (Scmandt, (1960), alih Bahasa (2002); 635) Semakin kuat solidaritas dan kohesi antar unit, maka akan semakin efektif pikiran sosial mempengaruhi tindakan unit atau individu. Dalam sistem
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
56
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
internasional yang anarkhi, perubahan dapat saja terjadi struktur dan agen merupakan dampak dari perilaku manusia. Dinamika dalam proses struktur dan perilaku agen hanya merupakan praktik perilaku manusia. (Wendt;1998;313). Namun, jika sebuah norma dan nilai telah menjadi praktek budaya dan sosial, maka akan sangat sulit melakukan perubahan terhadapnya. Kemungkinan transformasi akibat perilaku agen adalah konstruksi norma-norma baru dalam struktur internasional. World Polity World Polity merupakan gabungan dari dua kata yakni: world (dunia), dan Polity (tata pemerintahan). “Polity“ secara etimologis berarti “tata negara” atau “bentuk pemerintahan”. Berdasarkan makna kata tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa ”world polity” berarti ”bentuk pemerintahan dunia” atau “tatanan global”. Jadi secara umum World polity memiliki kesamaan istilah dengan ”World Order” atau tatanan dunia. Dalam istilah lain World polity dikenal juga dengan istilah International Polity (Ruggie:1998) atau Global Polity (Higgot dan Outgoard:2002) keragaman istilah yang digunakan ini membingungkan para pengkaji institusionalisasi politik internasional modern. Para sosiolog mendefinisikannya sebagai sistem dimana nilai-nilai dibuat melalui kesepakatan kolektif dari sebuah otoritas. Sistem ini dikonstitusi oleh seperangkat aturan yang dibentuk pada model-model, aturan, dan institusi (Goodman, dan Jinks, Toward an Institutional theory of Sovereigntyhttp//www.law.harvard.edu). sedangkan Brown (1992:7) mendefinisikan world Polity sebagai, the worldwild configuration of system of enforceable societal relations in the world.
Jika merujuk dari definisi tersebut world polity
digambarkan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari negara-negara beserta organisasi serta aturan yang dibentuk didalamnya. Dalam world polity negara-negara merupakan bagian dari jejaring global, yakni tatanan sosial budaya internasional. Secara struktural alokasi tanggungjawab dan otoritas tetap diserahkan sepenuhnya pada negara berdaulat, sebagai aktor kunci yang memiliki otoritas mengkonstruksikan tujuan kolektif, dan memberikan sarana atau program-program untuk memproduksinya, para pejabat negara bukanlah satu-satunya pihak yang terkait dengan penciptaan
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
57
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
nilai-nilai yang otoritatif, peranan kaum epistemik, organisasi internasional (IGO), organisasi non negara (INGO), profesi dan gerakan transnasional lainnya (World Polity Theory,-http//www.globalpolicy.edu). Menurut Ruggie dan Meyer terciptanya Budaya dunia (World Culture) merupakan tujuan konstruksi world polity, (Jason Beckfield, the Social Structure of the World Polity-www.chicagogsb.edu.pdf). Budaya global didefinisikan sebagai seperangkat model yang diimplementasikan secara universal yang mendefinisikan aktor otoritatif, tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan bagaimanakah cara mencapainya (Beckfield, www.chicagogsb.edu.pdf). Budaya global tidak hanya terdiri dari regulative rules, namun juga constitutive rules yakni, frames, model yang menuntun perilaku rasional aktor, yakni perilaku yang tidak hanya didasari oleh kepentingan nasional mereka melainkan pertimbangan aktor terhadap Identitas dan nilai kolektif juga merupakan bagian dari rasionalisasi tindakan negara. Konstruksi world polity dapat dilakukan melalui sebuah proses institusionalisasi (Ruggie: 1998).
Institusionalisasi dalam konsepsi Ruggie,
meliputi segala aspek hubungan internasional yang menunjukkan “mutual intelligibility“ pada perilaku kolektif aktor, melalui mekanisme komunikasi dan tahapan
organisasional
yang
memungkinkan
pencapaian
tersebut.
Institusionalisasi dalam world polity dapat diterapkan pada dua domain. Pertama, hubungan antar negara (among state). Kedua, sistem negara-negara (system of states); institusi dan organisasi internasional. Dalam mendefinisikan respon kolektif (collective respond) negara, Ruggie membedakan tiga level institusionalisasi yang terdiri dari: komunitas episteme (epistemic communities), rezim internasional (international regimes).dan Organisasi formal internasional (formal international organizations). (Ruggie;1998;45-50) Pertama,
epistemic
communities.
Institusionalisasi
tidak
hanya
melibatkan jaringan organisasi sebagai representasi tindakan negara, namun peran kaum epistemik juga diperlukan, dimana hubungan politik dapat divisualisasikan. Dalam pengertian ruggie komunitas epistemik, kemudian dikatakan terdiri dari peran-peran interrelasi yang tumbuh dikalangan “episteme“: mereka membebaskan anggota-anggotanya membuat konstruksi
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
58
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
yang sesuai tentang realitas sosial. Misalnya: peran kaum epistemik dalam memetakan dan mengkonstruksikan sistem Westphalia, peran kaum epistemik terhadap universalisasi isu HAM global dan isu lingkungan. Kedua, international regimes. Level ini merujuk pada sebuah perangkat ekspektasi mutual, aturan-aturan, regulasi-regulasi, rencana-rencana organisasi energienergi, dan komitmen-komitmen finansial yang telah diterima oleh sekelompok negara. Misalnya: rancangan untuk mengamankan material-material nuklir sipil, melibatkan kewajiban-kewajiban untuk mengumpulkan aspek-aspek perilaku nasional yang dikhususkan pada undang-undang rezim tersebut. Ketiga, international organizations. Dalam pandangan Ruggie organisasi internasional merupakan bagian yang paling kongkret dari tiga bentuk institusionalisasi world polity. Proses-proses institusionalisasi menghubungkan perilaku aktor-aktor didalamnya dalam satu arah yang secara teoritis dan empiris mungkin. Dalam struktur organisasi internasional pula, respon kolektif dinegosiasikan. Ia mewakili perjanjian bahwa aspek-aspek tertentu dari perilaku nasional, dan bukan lainnya akan diinstitusionalisasi secara internasional. Dan juga seperti situasi kolektif, manifestasi respon-respon kolektif yang ada secara inheren tidak stabil. Ruggie juga memandang penting peranan asosiasi internasional lainnya. Misalnya: organisasi lingkungan dan organisasi non-proliferasi nuklir. Institusionalisasi berusaha mengkontekstualisasikan model internasional berdasarkan situasi kolektif negara-negara. Dalam pengertian yang diajukan Ruggie, situasi kolektif merupakan sebuah lingkungan sosial, ia tidak muncul secara alami, tetapi keluar dari pola-pola pertukaran dan dominasi internasional. Hal ini berarti bahwa ekspresi yang diberikan oleh situsi kolektif, tidak akan menangkap situasi-situasi individual dari semua partisipan secara setara dengan baik, dan tidak akan menegaskan situasi individual dari partisipan tinggal secara sempurna. Kemampuan yang dimiliki individual negara dalam mempengaruhi yang lain bergantung pada kemampuannya mengkomunikasikan kepentingan dan kemampuannya mendominasi partisipan lainnya. Ketika perilaku dan tindakan negara telah terinstitusionalisasi yang mana kolektivitas telah merangkul elemen-elemen otoritas (negara) kedalam otoritas internasional, atau “governance”. Namun yang dimaksud dengan
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
59
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
otoritas internasional disini bukanlah antara negara dengan otoritas diatasnya, antara desentralitas negara dengan sentralitas, atau seperti hubungan superordinat dan subordinat seperti yang banyak dijadikan sebagai landasan berpikir para pengkaji politik internasional dewasa ini. Namun menyangkut entitas yang m emiliki legitimasi kolektif atas aktor lainnya. Inilah istilahkan oleh Ruggie sebagai “transordinat” yang merupakan peralihan atas kesenjangan superordinat dan subordinat. Konsep ini mengedepankan pada aksi kolektif yang muncul dari ide dan identitas yang kemudian membentuk kepentingan aktor. Menyikapi Hegemoni AS pasca 911 (Ruggie: 1998) dalam analisisnya berpendapat bahwa dalam sejarah kepemimpinannya AS tidak memiliki sejarah pertentangan dengan tatanan dunia, bahkan Amerika Serikat telah membiarkan tatanan global tumbuh dengan suburnya. Jika AS memiliki watak imperial, maka potensi kekuasaan lain yang mengancam supremasinya tidak akan dapat tumbuh dan berkembang. Kekuatan ekonomi, militer dan budaya yang dimilikinya digunakan untuk kepentingan dan egoisme AS. Dengan kata lain, AS memiliki potensi kekuasaan yang cukup besar didunia, bahkan untuk mendesain sebuah sistem imperial sekalipun, namun AS tidak melakukannya. Kepemimpinan global AS secara konseptual diistilahkan sebagai hegemoni. Antonio Gramsci secara sederhana mendefinisikan hegemoni sebagai kepemimpinan kultural dan material. Meskipun dalam tataran politik internasional
konsepsi
ini
tidak
sepenuhnya
serupa
dengan
konsepsi
kepemimpinan domestik, namun hegemoni dalam hubungan internasional dapat terjadi, bahkan negara-negara hegemon seperti: Romawi, China, Inggris, dan AS telah membuktikan eksistensinya dalam sejarah perdaban manusia. Hegemoni secara sederhana dipahami sebagai penyerahan legitimasi kepemimpinan dari sekelompok individu atau masyarakat terhadap satu individu. Antonio Gramsci berpendapat hegemoni terjadi manakala kepemimpinan satu kelompok terhadap kelompok lainnya melahirkan konsensus dan legitimasi kekuasaan bagi sang hegemon (Saiful;2003;107), hegemoni diraih secara politis dan melalui upayaupaya kultural dan intelektual untuk menciptakan uniformitas pandangan dalam sebuah masyarakat.
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
60
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
Pada awalnya kajian-kajian tentang hegemoni ditujukan pada ranahranah kekuasaan domestik, Robert W. Cox (1983), memulai kajian-kajian fenomena politik internasional menggunakan perspektif gramscian, banyak ilmuwan hubungan internasional mulai menggunakan konsep ”hegemoni”. Hegemoni digunakan untuk menjelaskan fenomena kepemimpinan suatu negara terhadap negara lainnya dalam sistem dunia. Robert W. Cox berpendapat bahwa konsepsi umum gramsci menawarkan alternatif pendekatan teoritik dalam mainstream, dan yang terpenting adalah tawaran bagi ilmuwan hubungan internasional untuk menggunakan beberapa konsep inovatif yang menjanjikan untuk mengiluminasi mekanisme hegemoni dalam level internasional. Hegemoni dicapai dalam lingkup masyarakat sipil dengan cara konsensus, ketika kelas otoritatif telah membentuk kesadaran global dan melakukan universalisasi norma, nilai sehingga membentuk harmoni politik dan etika antara dominan dan kelompok sub ordinat.(Germain dan Kenny: 2006;52 ). Selanjutnya, perspektif Gramscian lebih banyak digunakan dalam menjelaskan fenomena ekonomi dan politik internasional, terutama berkaitan dengan kemunculan fenomena transnasionalisme dan”hegemoni Amerika”. Secara umum, hegemoni dipandang sebagai kepemimpinan positif atau dikenal dengan”kepemimpinan konsensus”. Namun, pemimpin terkadang melakukan tindakan koersif. Dualitas wajah hegemoni tersebut menjadi jalan tersendiri bagi munculnya multi interpretasi tentang hegemoni. Dalam praktik politik internasional hegemoni cenderung dipahami sebagai”imperialisme”. Beberapa pemikir hubungan internasional seperti halnya kaum neorealis dan neomarxis bahkan para intelektual post-kolonial, memandang skeptis hegemoni sebagai bentuk kepemimpinan dalam pengertian positif. Hegemoni cenderung dipahami sebagai imperialisme negara-negara kuat terhadap negara-negara lain, sebagaimana dalam hirarki kekuasaan dikenal dengan relasi super-ordinat dan sub-ordinat. Anggapan ini menguat seiring dengan perilaku sang hegemon yang cenderung menampilkan kepemimpinan koersifnya. Kaum neorealis berpendapat hegemoni merupakan rekayasa sistemik yang diatur oleh pengauasa guna menjaga supremasinya. Kaum neoliberal dan konstruktivis justru memandang hegemoni sebagai sesuatu yang positif. Bahkan dalam beberapa kasus
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
61
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
kepemimpinan global AS cenderung dinggap sebagai “benign hegemony” atau “benevolent hegemony”. (Agnew;2005;1). Lembaga-lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa- Bangsa, WTO, IMF dan Bank Dunia tidak terlepas dari prakarsa besar AS. Dibidang militer AS membangun koalisi dengan negaranegara Eropa dalam NATO dan menjamin keamanan Korea Selatan dan Jepang dalam payung militer mereka. Sejalan dengan Agnew, Nye, menafsirkan hegemoni Amerika Serikat sebagai kepemimpinan yang baik dan positif, merespon dan menyelesaikan masalah-masalah kolektif global yang mana negara-negara lain, belum tentu memiliki kemampuan menyelesaikannya baik melalui mekanisme institusi maupun melalui kesepakatan internasional. (Agnew;2005;27-28) menurut Nye, praktek hegemoni AS pasca perang ditujukan untuk mewujudkan global currency, global enforcement of norms of conduct, interventions on behalf of human rights, aspek –aspek tersebut hanya bisa disediakan oleh super power terakhir yang masih ada. Kepemimpinan global Amerika Serikat lebih banyak menggunakan soft power ketimbang hard power dalam dunia yang plural dan terfragmentasi. Dalam dua abad hegemoni AS terlihat perbedaan sumber hegemoni, jika pada abad ke 20 AS mengedepankan pada universalisasi norma seperti nilai-nilai liberal, multilateralisme, hak asasi manusia dan demokrasi, sementara pada abad ke 21 AS mengedepankan sumber hegemoninya pada penguasaan teknologi skala global dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi global dalam memperkuat soft powernya, jangkauan pengaruhnya tidak hanya pada negara lain, namun juga terhadap apa yang (Ruggie :1998) istilahkan sebagai “global public domain” (domain publik global). Dalam penjelasan tabel yang disusun oleh Joseph Nye berikut ini, kita dapat mengamati secara detail tentang karakteristik soft power AS yang membedakan kepemimpinannya dengan negara hegemon pada periode sebelumnya, yakni Inggris, Perancis, Belanda, dan spanyol.
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
62
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
Pada dasarnya, perdebatan akademisi tentang kepemimpinan global AS jika dicermati secara mendalam didasarkan pada pemilahan dua dimensi hegemoni itu sendiri. John Agnew, mendeskripsikan perdebatan ini dengan baik. Dikotomi
persuasif-koersif
dan
hard-soft
power,
bagi
John
Agnew,
mengarahkan cara pandang mereka tentang hegemoni. Kaum neo-marxis dan neorealis menitikberatkan pada kepemimpinan koersif, sehingga mereka memandang hegemoni dengan pandangan skeptis. Disisi lain kaum neoliberal dan konstruktivis menitikberatkan sisi persuasi dalam rekayasa sistem hegemoni, memandang AS sebagai hegemon yang baik (benign hegemon). Negara-negara diwilayah Eropa dan Asia timur telah mendapati betapa nyaman dan murahnya bergantung pada kekuatan dan diplomasi AS untuk menjamin keamanan mereka. AS menjalankan kesepatan ini selama berpulu-puluh tahun. (Huntigton, Bush, dik: 2005: 253) Dalam memahami hegemoni AS yang perlu diperhatikan tidak hanya kebijakan luar negeri dan pengaruhnya terhadap dinamika politik global, namun yang terpenting adalah ide, prinsip dan nilai moral yang mendasari hegemoni AS. Prinsip-prinsip dasar demokrasi dan nilai liberal membawa pengaruh besar pada pola pikir dan prinsip hidup bangsa AS, demikian juga para pemimpinnya.
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
63
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
Dengan mengenyampingkan sejenak motivasi praktis dan pragmatis yang senantiasa mengawal implementasi nilai-nilai tersebut. Kaum konstruktivis yakin identitas sebagai bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi kebebasan inilah yang mengarahkan perilaku hegemoni AS kearah kebaikan. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan asumsi dasar konstruksi tentang pengaruh identitas sebagai penentu lain perilaku negara selain kepentingan material. Analisis pengaruh hegemoni AS terhadap world polity dapat dikerucutkan pada pembahasan konstruktivis tentang hubungan struktur-agen dalam hubungan sosial internasional. Problematika Agen-struktur adalah bagaimana berfikir tentang hubungan antara agen dan struktur. Solusi yang diajukan pada permasalahan agen struktur adalah mencoba dan menemukan sebuah
cara
memahami
bagaimana
agen-agen
dan
struktur-struktur
mengkonstitusi satu sama lain (Barnet, Social Constructivist, dalam, Baylis dan Smith (2005;267). Realitas hegemoni Amerika Serikat dan ide normatif konstruktivisme tentang world polity adalah dua hal yang kontradiktif. Seperti halnya perbedaan antara normativitas dan relativitas, antara ranah ide dan realitas, atau antara dimensi nilai dan politik dalam kehidupan manusia. Hal ini merupakan tantangan bagi kaum konstruktivis, namun satu hal yang menarik dari kajian kaum konstruktivis adalah pintu refleksi yang senantiasa terbuka dan menjembatani antara ide dan realitas. Walaupun mereka mengidealkan pembentukan struktur normatif global, namun kaum konstruktivis seperti halnya John Gerard Ruggie, tidak menafikkan terjadinya transformasi sosial internasional yang pada akhirnya mempengaruhi transformasi dalam institusi dan praktik world polity. Dalam kerangka normatifitasnya, world polity relatif stabil namun tidak berarti statis, atau dalam bahasa konstruktivisme tidak terbebas dari konteks sosial-historis yang meliputinya maupun dinamika keduanya. Ruggie dalam analisisnya menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya kontekstualisasi world polity berdasarkan perubahan dinamika politik internasional yang diakibatkan oleh dinamika perilaku unit-unit dalam sistem internasional. Namun, perubahan tersebut tidak terjadi pada “ideational factor”, melainkan pada institusi-institusi, praktik-praktik rezim yang langsung
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
64
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
bersinggungan dengan unit-unit sistem dan perilaku unit itu sendiri. Norma, nilai dan aturan-aturan internasional yang telah mengakar dalam budaya global (World Culture) akan tetap eksis meskipun terjadi pelanggaran norma, nilai dan aturan dalam perilaku politik negara hegemon. Kecendrungan agresifitas hegemoni AS hanya membawa perubahan pada sebagian kecil dalam struktur global, seperti hukum dan aturan tambahan tentang terorisme. Meskipun AS dalam praktek perang Irak dan Afganistan cenderung menggunakan kekuatan unilateral, namun kejahatan terorisme merupakan perang baru yang tidak terdeteksi pelaku dan target serangannya. Sel-sel terorisme akan dengan mudah menghancurkan kepentingan AS dan barat diseluruh dunia, oleh karenanya AS memerlukan mekanisme multilateral dalam universalisasi norma anti terorisme di abad ke 21. Aktor atau unit yang mempengaruhi sistem memiliki kekuatan yang dominan, namun jaringan global yang telah terbentuk tidak akan dapat dijangkau secara keseluruhan. Dalam world polity unit-unit tidak hanya negara bangsa, melainkan juga publik internasional. (Ruggie:1998) Jaringan masyarakat global tersebut disamping mempengaruhi pengambilan kebijakan internasional, mereka juga mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah domestik. Dan kekuatan inilah Berkaitan dengan hegemoni AS memang seperti halnya kaum neorealis, konstruktivis berpendapat meskipun dominasi kekuasaan AS dan penggunaan kekuatan unilateralnya mempengaruhi institusi dan prkatik-praktik world polity, akan tetapi perubahan tersebut tidak mengarahkan dunia pada sentralisasi kekuasaan
atau
merubah
sistem
internasional
menjadi
sistem
yang
hirarkis(Ruggie:1998). Martinelli (From World System to World Society, Journal of World System Research vol.XI, Desember, 2005-http://Jwsr.ucr.edu) Menekankan pada peran besar negara sebagai elemen utama dalam world polity, namun world polity bukanlah sistem tunggal yang tersentralisasi, melainkan merupakan jejaring global yang terdiri dari keragaman unit dan struktural. Meskipun negara memiliki peran utama dalam world polity, namun sistem global kontemporer dibangun melalui semangat demokrasi dimana partisipasi elemen-elemen world society dipertimbangkan dalam penyelesaian masalah internasional. Globalisasi
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
65
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
dan perkembangan teknologi membawa perubahan besar dalam tata sosial internasional kontemporer. Jaringan global yang kompleks tersebut terdiri dari ragam aktor dan asosiasi. Di abad ke-21, world society tidak lagi terbatas pada peran negara bangsa, melainkan aktor-aktor diluar negara. Tumbuhnya interdependensi dan interkonesifitas antara masyarakat dan negara ditunjukkan melalui ragam indikator. Hal ini dapat dilihat dari deretan jumlah dan tipe perjanjian organisasi pemerintah internasional (IGO’S); dari ekspor-impor sampai pada level investasi, dari elektronika, komunikasi dan transportasi, agama, budaya, bahasa, dan dari militer sampai lingkungan hidup serta masalahmasalah kependudukan Namun, Martinelli (From World System to World Society, Journal of World System Research vol.XI, Desember, 2005http://Jwsr.ucr.edu) mengakui bahwa meskipun kompleksitas dan konektivitas jaringan global tersebut kian mendunia, namun hal tersebut tidak dapat disimpulkan sebagai eksistensi world society melebihi peran negara bangsa. Komponen utama world polity masih tetap negara. Kreasi tersebut diartikan sebagai dunia yang semakin berdekatan dan diintegrasi oleh kekuatan dan praktik umum, ini adalah elemen penting bagi munculnya kekuatan world society, namun bukanlah kondisi maksimal bagi world society untuk eksis dalam sistem dunia. Kekuatan world society justru terletak pada terintegrasinya mereka dalam sistem negara. Dengan demikian elemen-elemen nasional dan regional world society dapat memberi masukan kebijakan pada negara bangsa. Interkonektivitas jaringan world society melalui gerakan-gerakan dan asosiasi transnasional menjadikan gerakan mereka lebih terorganisir dan terarah. Gerakan mereka sebagai agen konstruksi norma dalam akar-akar jaringan sosial bahkan labih masif dari jaringan negara bangsa dalam world polity. Betapa tidak jaringan ini terbebas dari perdebatan yang panjang dalam organisasi dan rezim internasional dan bebas dari pertimbangan”cost and benefit” yang menghalangi tercapainya kondisi isomorphisme institusional negara. Penutup Dalam kerangka normatifitasnya world polity relatif stabil namun tidak berarti statis, atau dalam bahasa konstruktivisme tidak terbebas dari konteks sosial-historis yang meliputinya maupun dinamika keduanya. Pendapat inilah
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
66
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
yang menempatkan konstruktivisme pada kondisi relativitas kebenaran. Pertama, konstruktivis mengakui bahwa ide normatif tentang pembentukan world polity tidaklah terlepas dari ruang dan waktu. Kebenaran tentang world polity tidak dapat dilihat melalui kacamata makro atau sistemik, melainkan melalui tataran mikro. Dengan demikian eksistensi ditentukan bukan oleh keseluruhan, melainkan pada lokus-lokus yang tersebar pada berbagai aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat global. Kedua, perubahan dalam world polity dapat saja terjadi. John Gerard Ruggie dalam analisisnya menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya kontekstualisasi world polity berdasarkan perubahan dinamika politik internasional yang diakibatkan oleh dinamika perilaku unit-unit dalam sistem internasional. Namun, perubahan tersebut tidak terjadi pada “ideational factor”, melainkan pada institusi-institusi, praktikpraktik rezim yang langsung bersinggungan dengan unit-unit sistem dan perilaku unit itu sendiri. Kecendrungan agresifitas hegemoni AS hanya membawa perubahan pada sebagian kecil dalam struktur global, seperti hukum dan aturan tambahan tentang terorisme dan keamanan manusia. Ketiga, meskipun aktor atau unit yang mempengaruhi sistem memiliki kekuatan yang dominan, namun jaringan global yang telah terbentuk tidak akan dapat dijangkau secara keseluruhan. Dalam world polity unit-unit tidak hanya negara bangsa, melainkan juga publik internasional. Jaringan masyarakat global tersebut disamping mempengaruhi
pengambilan
kebijakan
internasional,
mereka
juga
mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah domestik. Dan kekuatan inilah yang berada diluar jangkauan agresifitas AS. Ide tentang world
polity
mengidealkan adanya kesederajatan,
kesepahaman antara negara, terkhusus berkaitan dengan norma, dan prinsipprinsip global. Meskipun negara merupakan aktor utama dalam world polity akan tetapi negara bukanlah satu-satunya aktor yang berhak menentukan nilai dan kecendrungan kultural global. World polity mengidealkan peran besar organisasi dan institusi internasional sebagai sentral tatanan sosial internasional. Dalam struktur sosial global semacam inilah nilai-nilai global, atau dalam bahasa kaum konstruktivis popular dikenal sebagai “global public goods”, diintitusionalisasi, dihabitualisasi dan diinternaliasi, sehingga pola pikir dan
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
67
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
perilaku aktor akan mencerminkan nilai-nilai global tersebut. Peranan ide dan norma sebagai pengarah dan penuntun perilaku negara di era modern, diyakini kaum konstruktivis dimasa depan menjadi sumbangan terbesar bagi perdamaian dunia. Meningkatnya interdependensi global menjadikan dunia sebagai sebuah jejaring yang kait mengait. Jika salah satu mengalami masalah maka yang lainnya pun terkena dampaknya. Disamping itu meningkatnya peran aktor-aktor non negara dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan negara baik melalui penciptaan norma maupun dalam ranah gerakan, mendukung demokratisasi sistem global, dimana desentralisasi kekuasaan yang menjadi ciri khasnya dapat mengurangi tumbuh dan berkembangnya despotisme global. Namun tidak selamanya apa yang manusia pikirkan, dapat dilaksanakan secara mutlak dalam masyarakat. Kontradiksi world polity dengan hegemoni AS secara prinsipil memang bukanlah hal baru dalam politik internasional. Setiap konstruksi ide dalam kehidupan sosial senantiasa mengalami tentangan baik dari nilai-nilai awal masyarakat ataupun aktor bahkan penguasa dominan dalam masyarakat. Dimensi normatif dalam hubungan sosial internasional, senatiasa dibenturkan dengan identitas dan kepentingan negara yang berlainan. Hal ini sejalan dengan logika anarki, differensiasi dan distribusi kekuasaan dalam hubungan internasional sebagai mana konsepsi struktur internasional ala Kenneth Waltz. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa peristiwa 11 September 2001 telah membawa dampak yang cukup besar terhadap konfigurasi politik global pasca 911. Dominasi war on terrorism sebagai ikon kebijakan luar negeri AS, menjadikan negara adidaya ini mengesampingkan tanggung jawab internasionalnya
sebagai
penjaga
demokrasi,
perlindungan
HAM,
dan
perdamaian dunia. Pelanggaran AS terhadap komitmen internasionalnya dan pengingkarannya terhadap mekanisme multilateral menarik dibahas. Oleh karenanya penulis tertarik meneliti lebih jauh tentang bagaimana pendapat kalangan akademisi terhadap perilaku despotik AS, dan bagaimana pula pengaruhnya terhadap nilai-nlai normatif world polity. Dalam pandangan konstruktivis, AS tidak berbeda dengan negara
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
68
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
lainnya yakni, sebagai aktor atau agen dalam struktur internasional yang kompleks. Sebagai negara pada umumnya AS memiliki kepentingan nasional yang harus diperjuangkan. Sebagai negara adidaya AS memiliki supremasi ekonomi, militer, politik dan diplomasi yang tidak tertandingi, dengan demikian AS dapat memanfaatkan sumber daya dan kekuatan nasionalnya untuk memaksimalkan pencapaian kepentingan dalam negerinya. Namun disisi lain posisi dilematis AS dan identitasnya sebagai negara hegemon yang baik membatasinya untuk melakukan tindakan sewenang-wenang. hal inilah yang menyebabkan AS senentiasa menjaga identitasnya sebagai benign hegemon. Ketika serangan terrorisme tahun 2001, mengancam keamanan nasionalnya, maka tanggung jawab internasional tersebut perlahan-lahan menyusut. Akibatnya ketidakseimbangan antara tanggung jawab luar negeri dan domestik pun terjadi. AS pun mulai bergerak tanpa bendungan, mencari sarangsarang terorisme keseluruh dunia dengan segala cara, termasuk dengan melanggar komitmen internasionalismenya. Bagi kaum konstruktivis, meskipun struktur internasional telah mapan, namun ketika negara memiliki kedaulatan dan masing-masing ingin
memperjuangkan
kepentingannya di
kancah
internasional, maka tidak ada hirarkhi diatas negara yang dapat menghalanginya kecuali komunitas sosialnya. Oleh karenanya konstruktivis tdak memberikan alternatif bagi domain publik global dalam menghadapi despotisme AS. Bagi konstruktivis normatifitas hanyalah penyeimbang realitas, sehingga yang terjadi kemudian adalah relatifitas. Yakni posisi dialektis diantara keduanya. REFERENSI Buku: Gidden, Antony, (1995) The constitution of the society: the Outline Theory of Structuration, Cambridge (alih Bahasa: 2003) Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial, Pedati, Pasuruan Henry J. Scmandt, (1960), A History of Political Philosophy, [alih bahasa, Ahmad Huntington, Samuel, P., Bush. George, W., dkk, (2005), Amerika dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta, Freedom Institute, dan Yayasan Obor Indonesia Ougaard, Morten dan Higgott, Richard (2002) Towards Global Polity, New York and London: Routledge
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
69
Lia Nihlah Najwah : Dinamika Struktur-Agen Perubahan Internasional “Hegemoni AS vs World Polity pasca 9 11
Ruggie, John G. (1998), Constructuring the World Polity, Essays on International Institutionalizations, New York and London: Rouledge Randall D. Germain and Michael Kenny, Engaging Gramsci: International Relations Theory and New Gramscian, dalam: Theories of International Politics Volume IV: Contemporary Reflexive Approaches In International Relations, London: Sage Publications, 2006. Wendt, Alexander (1999), Social Theory of International Politics, London: Cambridge Website: Albert Martinelli, From World System to World Society, Journal of World System Research vol.XI, Desember, 2005, (http://Jwsr.ucr.edu) Social Constructivism: Introductions to International Relations www.oup.com Jackson, Chapter 6. Social Constructivism, www.sam.sdu. Jason Beckfield, the Social Structure of the World Polity. -www.chicagogsb.edu. John Gerard Ruggie, Reconstituting Global Public Domain: Issues, Actor and Factor, working paper of the corporate social responsibility initiative. No. 6, Harvard University, 2004-http//www.ksg.harvard.edu UN Global Counter-Terrorism Strategy, http://www.un.org/en/sc/ctc/action.html World Polity Theory, (http// www.globalpolicy.edu/)
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
70