Seminar Nasionai Peternakan dan Veleriner 2000
DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG SUHARDONO, Z . KOSASIH, dan SuDRAIAT
Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114 ABSTRAK
Infeksi cacing Fasciola gigantica pada ternak erat kaitannya dengan tingginya populasi siput Lymnaea rubiginosa, induk semang antara cacing tersebut. Kejadian infeksi ini biasanya tinggi pada ternak yang dipelihara pada agro-ekosistim sawah tanaman padi . Namun adanya laporan kejadian fasciolosis pada kerbau rawa di Kalimantan Selatan yang mencapai 77% agsk beda dari fenomena yang ada, mengingat siput L. rubiginosa tidak dapat berkembang biak dengan baik pada habitat berair yang dalam seperti di rawa tersebut . Oleh karena itu telah dilakukan penelitian tentang dinamika populasi siput L. rubiginosa dan infeksinya dengan larva trematoda dalam siput tersebut, serta melakukan pemeriksaan ulang kejadian fasciolosis pada kerbau rawa dengan melakukan pemeriksaan feses terhadap adanya telur cacing hati . Sampel siput dan feses diambil setiap 6-8 minggu sekali selama setahun di daerah Kecamatan Danau Panggang, Kabuparten Hulu Sungai Utara, Kalsel . Hasil pemeriksaan sebanyak 752 sampel feses ternyata memang ada fluktuasi infeksi cacing hati antara 2,3% hingga 32,8% dengan rataan sebesar 20,1%. Sedang dari pemeriksaan sampel siput~ juga ditemukan fluktuasi tangkapan antara 0-40 siput, namun selama penelitian ini dilakukan tidak ditemukan satu siputpun yang terinfeksi oleh larva cacing Fgigantica ataupun trematoda lainnya. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa angka prevalensi fasciolosis pada kerbau rawa di daerah tersebut hanya 20,1% tidak setinggi laporan terdahulu. Juga ada dugaan kuat bahwa infeksi baru cacing F. gigantica pada kerbau rawa tedadi sekitar bulan Mei. Kate kunci : Lymnaea rubiginosa, fasciolosis, kerbau PENDAHULUAN Di Indonesia, kejadian fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola gigantica tersebar luas pada ternak ruminansia (KRANEVELD, 1924 ; EDNEY dan MUCHUS, 1962 ; SUHARDONO et al., 1988) dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh cacing hati ini diperkirakan tidak kurang dari Rp . 513 miliar setiap tahunnya (ANON, 1991a) . HasiI survey terpadu antara Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah V, sub Balai Penelitian Veteriner dan Dinas Peternakan TUI kabupaten Hulu Sungai Utara (ANON, 1991b) menemukan bahwa fasciolosis pada kerbau kalang di kecamatan Danau Panggang mencapai angka 77%, dimana populasi kerbau di daerah ini lebih dari 7.200 ekor dan merupakan populasi kerbau tertinggi di lahan rawa. Temuan fasciolosis pada kerbau rawa ini sangat menarik karena siput L. rubiginosa yang berperan sebagai induk semang antara cacing hati ini, tidak dapat berkembang-biak dengan baik pada habitat yang berair dalam (KENDALL, 1954 ; BORAY, 1973 ; SCHILLHORN VAN VEEN, 1980 ; WIDJAJANTI, 1989 ; SUHARDONO dan COPEMAN, 2000), melainkan pada habitat yang berair bersih, mengalir lamban dsn dangkal serta teduh seperti pada habitat sawah tanaman padi . Sedang lahan rawa di kecamatan Danau Panggang relatif berair dalam, keruh kecoklatan, kualitas air di beberapa tempat kurang baik untuk konsumsi manusia (PUTU et al., 1993) clan banyak alur-alur sungai yang berarus cukup deras . Sedangkan siput L. rubiginosa merupakan satu-satunya spesies yang menjadi induk semang antara cacing F. gigantica di Indonesia (VAN BENTHEM JUTTING, 1956 ; MUKHLIS, 1985, BHALERAO, 1933). Hasil penelitian SUHARDONO et al. (1989) menyatakan bahwa untuk menimbulkan fasciolosis pada ternak di suatu daerah dengan 492
Seminar Nasional Pelernakan dan Veleriner 1000
tingkat prevalensi 50% ternyata infeksi larva F. gigantica pada siput L. rubiginosa hanya sebesar 0,07% dari 9000 siput yang diperiksa . Infeksi cacing hati dapat terjadi karena ternak memakan larva infektif(metaserkaria) cacing hati yang menempel pada hijauan atau lewat air minum (BORAY, 1963 ; HODASi, 1972) . Metaserkaria diproduksi oleh siput L. rubiginosa dalam bentuk serkaria clan siput ini berperan sebagai pabrik yang memprodusi sejumlah besar serkaria tersebut. Berhubung fasciolosis merupakan penyakit lingkungan yakni sumber infeksi berada di sekeliling dimana ternak dipelihara, maka faktor-faktor untuk terjadi penularan cacing hati pada ternak harus saling berdekatan . Tiga komponen yang harus selalu ada di suatu lingkungan tertentu untuk terjadinya penularan penyakit ini adalah : agen infeksi (metaserkaria F. gigantica), ternak peka (kerbau) dan siput induk semang antara (L. rubiginosa) . Dari laporan kejadian fasciolosis yang mencapai 77% (ANON, 1991 a) ini berarti intensitas penularan cukup tinggi. Tingginya intensitas penularan dapat terjadi antara lain karena rumput secara luas tercemar oleh metaserkaria atau habitat sangat sempit dan selalu ditinggali siput dan ternak secara bersamaan. Pencemaran oleh metaserkaria secara luas pada rumput di rawa terjadi karena jumlah siput L. rubiginosa yang terinfeksi larva cacing hati cukup tinggi, seperti hainya di suatu daerah irigasi dimana populasi siput selalu tinggi . Ternak clan siput tingggal dalarr. satu habitat yang sempit sehingga penularan (lewat rumput) berlangsung dengan cepat . Tingginya populasi siput dalam habitat sempit tersebut dapat terjadi karena siput terkonsentrasi di suatu tempat sebagai akibat iklim yang kurang menguntungkan di musim kemarau. Kedua kemungkinan di atas perlu dibuktikan lewat penelitian mana yang lebih berperan sebagai penyebab tingginya kejadian fasciolosis pada kerbau rawa. MATERI DAN METODE Curah hujan Rawa di Kalimantan adalah rawa banjir, dimana selama musim penghujan sebagian daratan akan tertutup oleh air akibat hujan dan meluapnya air sungai . Untuk itu data curah hujan sangat diperlukan dalam penelitian ini untuk melihat naik turunnya air rawa. Data curah hujan bulanan diperoleh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) kecamatan Danau Panggang . Data ini dipakai untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang ketersediaa habitat basah untuk perkembangbiakan siput air, L. rubiginosa, dimana siput tersebut merupakan induk semang antara cacing F. gigantica. Dinamika populasi siput Lymnaea rubiginosa Penelitian dinamika popualasi siput L. rubiginosa yang merupakan induk semang antara cacing F. gigantica dilakukan dengan cara mengkoleksi dan memeriksa siput. Disamping dinamika populasi siput, dalam pengamatan lapangan ini juga dilihat sebaran dan adanya infeksi larva F. gigantica pada siput . Sampel siput diambil dari 5-10 tempat dan masing-masing tempat diamati sekitar 5 titik pengamatan. Penelitian dilakukan di dua desa (Bararawa dan Sapala), Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Seiatan . Dengan menemukan siput yang terinfeksi oleh larva F. gigantica maka daerah dimana siput dikumpulkan dapat dianggap sebagai daerah sumber penularan fasciolosis .
Seminar Nasional Pelernakan clan Veteriner 2000
Kejadian infeksi cacing hati Fasciola gigantica pada kerbau rawa Untuk kegiatan ini dilakukan pengambilan spesimen feses kerbau baik dari kalang maupun langsung dari ternaknya . Sampel feses diperiksa untuk menemukan telur cacing hati, F. gigantica setelah sebelumnya diproses dengan cara pengenclapan . Setiap kunjungan ke lapangan, pengambilan sampel feses dilakukan pada 5-10 kalang di dua desa (Bararawa clan Sapala), clan dari masingmasing kalang diambil spesimen feses antara 5-20 buah. HASIL DAN PEMBAHASAN Curah hujan Rata-rata curah hujan per bulan selama 10 tateun terakhir antara tahun 1990-1999 dapat dilihat dalam Tabel l ., dengan rataan curah hujan sebesar 133,9 mm setiap bulannya, terenclah 32,7 mm (Agustus) clan tertinggi 252,8 mm (Desember). Bulan-bulan basah dengan curah hujan lebih dari 100 mm tetjadi antara Oktober-Mei, sedangkan Juni-September merupakan bulan kering. Pada bulanbulan kering ini banyak rawa yang mengering menjadi daratan lagi. Pada waktu penelitian dilakukan, curah hujan tahun 1999 (l .895 mm) lebite tinggi dari rata-rata curah hujan 10 tahun terakhir (1 .606,6 mm), namun sejak bulan April curah hujannya suclah kurang dari 100 mm. Sehingga bulan keringnya berlangsung selama 6 bulan (April-September) . Tabel 1. Rata-rata curah hujan selama 10 tateun terakhir antara 1990-1999 di kecamatan Danau panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan Bulan Apr Curah hujan (mm) Had hujan Curah hujan (trum) Hari hujan
Mei
1990-1999 147,5 117,5
lumlah
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Jan
Feb
Mar
44
54,4 32,7 4,6 3,1
42,1 3,9
109,6
183,6 11,8
252,8 14,2
230 10,6
156,7 9,9
226,4 11,6
1 .606,6
7,8
79 7
160 10
221 14
241
387
313
14
10
244 17
1 .895 116
9,7
7,7
4,9
1999 90 7
43 6
47
39
31
4
3
6
18
98,7
Dinamika populasi siput Lymnaea rubiginosa Pada awal penelitian berlangsung naik (Januari s/d Maret 1999) keadaan air di rawa seclang pasang. Populasi siput L. rubiginosa amat sangat rendah (hanya ditemukan 4 siput/orang/jam) . Rendahnya populasi siput ini mungkin berkaitan dengan volume air yang amat berlimpah (rawa sedang pasang) sehingga siput terbawa arus dan tersebar kemana-mana. Sedang untuk penetapan angka prevalensi infeksi larva F. gigantica pada siput cliperlukan jumlah siput yang banyak (minimal 1000 siput pada setiap pengamatan) (SUHARDONO et al., 1989), sehigga jumlah siput yang clikumpulkan tidak cukup untuk penetapan prevalensi tersebut. Pada pemeriksaan siput untuk bulanbulan Mei, Agustus clan Oktober 1999 ditemukan kurang dari 5 siput per orang jam, sedangkan pada bulan Juli dapat ditemukan hingga 40 siput. Tidak satupun siput hasil tangkapan ditemukan adanya infeksi larva cacing F. gigantica di dalamnya. Koleksi siput pada bulan Juli 1999 tersebut (pada saat air suclah surut, Curah hujan hampir mencapai titik terenclah Tabel 1) sehingga siput akan terkumpul di tempat-tempat yang rendah, cekungan-cekungan, atau pada alur-alur air yang arusnya tidak deras . Sedang pada puncak musim kemarau (Agustus) populasi siput sudah menurun lagi (tangkapan 0-5 49 4
Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000
siput per orang jam) hal ini berkaitan antara lain bahwa cekungan-cekungan sudah mulai mengering dan dipakai untuk kubangan kerbau, tanah mulai terbelah-belah yang menunjukkan kekeringan mencapai puncaknya sehingga walaupun masih ada hujan pada bulan ini, namun tidak cukup untuk membentuk genangan-genangan air . Kejadian infeksi cacing Fasciola gigantica pada kerbau rawa Berdasarkan pemeriksaan 752 sampel feses kerbau terhadap adanya telur cacing F. gigantica (Tabel 2) secara keseluruhan tidak menunjukkan tingkat kejadian infeksi fasciolosis yang tinggi (angka kumulatif prevalensi 20,1 %) dan terlihat adanya fluktuasi prevalensi fasciolosis dari bulan ke bulan pengamatan yang berkisar antara 2,3 s/d 38,2% . Pada bulan Juli 1999 tidak dapat dilakukan pengambilan sampel feses karena kerbau berada di hujann, sehingga angka prevalensi fasciolosis tidak dapat diukur. Angka prevalensi tertinggi dalam penelitian ini (38,2%) tercatat pada bulan Maret 2000 clan bila dibandingkan dengan laporan hasil survai terpadu tahun 1990-1991 (ANON, 1991) di lokasi yang sama melaporkan kejadian fasciolosis mencapai 77% ternyata hanya setengahnya. Berdasarkan analisis curah hujan selarna 10 tahun terakhir (1990-1999) bahwa pola curah hujan normal sehingga dapat diasumsikan bahwa di daerah tersebut ticlak ada perubahan yang berarti dalam penularan penyakit. Untuk itu prevalensi fasciolosis dapat dikatakan juga ticlak mengalami perubahan yang berarti . Dengan demikian, perbedaan angka prevalensi infeksi cacing hati pada kerbau rawa ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan, antara lain: cara pengambilan sampel feses yang berbeda clan waktu (bulan) pengambilan feses yang tidak sama. Namun bila dilihat dari populasi siput L. rubiginosa yang sangat rendah dan tidak ditemukannya sumber infeksi dalam penelitian ini maka diyakini bahwa prevalensi fasciolosis pada kerbau rawa memang tidak tinggi . Hal ini didukung oleh penelitian SUHARDONO et al. (1989) yang melaporkan bahwa untuk menghasilkan tingkat kejadian fasciolosis yang tinggi (lebih dari 50%) pada ternak hanya diperlukan infeksi siput oleh larva F. gigantica sangat rendah (sekitar 0,07% dari 9000 siput yang diperiksa). Langkanya siput L. rubiginosa, bahkan pada saat air sudah surutpun (Juli 1999 tangkapan siput 40 per orang jam) tidak ditemukan infeksi larva cacing F. gigantica di lokasi penelitian ini, demikian juga hasil tangkapan siput yang sangat rendah ikut mendukung rendahnya prevalensi fasciolosis pada kerbau rawa. Tabel 2. Hasil pemeriksaan feses terhadap telur cacing hati Fasciola gigantica pada kerbau rawa antara bulan Januari 1999 s/d Maret 2000 di kecamatan Danau Panggang, Kabupaten HSU Bulan Januari 1999 Februari 1999 Maret 1999 Mei 1999 Juli 1999 Agustus 1999 Oktober 1999 Desember 1999 Januari 2000 Maret 2000
n (%)
86 (2 .3) 75 (6,7) 62 (14,5) 80(10,0)
0(0)
18(16,7) 55(20,0) 108 (16,7) 110 (31,8 157 (38,2)
Telur cacing Fasciola gigantica dalam feses EPG rata-rata 0,03 0,05
0,19 0,10
-
0,20 1,30 0,20
0,90
0,53 Keterangan : N = jumlah feses kerbau yang diperiksa, % = persentase feses kerbau positif
Kisaran EPG 0-1 0-1 0-2 0-1
-
0-2 0-53 0-2 0-33 0-11
495
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
Dari data prevalensi fasciolosis pada kerbau rawa dalam penelitian ini terlihat bahwa pada pengambilan sampel bulan Januari dan Maret 2000 terjadi lonjakan lebih dari satu setengah kali lipat dari rata-rata revalensinya (20,1%). Kenaikan tingkat prevalensi tersebut berkaitan dengan adanya infeksi baru oleh cacing F. gigantica pada ternak kerbau pada bulan-bulan sebelumnya. Cacing F. gigantica pada kerbau untuk tumbuh sejak masuk tubuh (tertelan) hingga menjadi dewasa memproduksi telur memerlukan waktu antara 22-32 minggu (WIEDOSARI, tidak dipublikasikan) yang merupakan periode prepaten (PPP) cacing hati pada kerbau . Sehingga dapat disimpulkan bahwa angka prevalensi fasciolosis yang tinggi pada pengambilan sampel bulan Januari dan Maret 2000 tersebut, karena ternak mendapatkan infeksi baru sekitar bulan Mei 1999. Hal ini senada dengan hasil penelitian SUHARDONO (1997) pada sapi potong, dimana tingkat kejadian fasciolosis meningkat sekitar 4 bulan (PPP cacing hati pada sapi) setelah infeksi baru. Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang dilakukan SUHARDONo dan KOSASIH (2000) dalam menetapkan infeksi baru oleh cacing F. gigantica pada kerbau rawa berdasarkan penemuan cacing muda ternyata memiliki kesamaan waktu. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Rendahnya populasi siput Lymanea rubiginosa, induk semang antara cacing Fasciola gigantica di Indonesia, mengindikasikan rendahnya angka prevalensi infeksi cacing F. gigantica pada kerbau rawa di kecamatan Danau Panggang .
2.
Angka prevalensi fasciolosis pada kerbau rawa berdasarkan penemuan telur cacing dalam feses sebesar 20% dnn mulai naik pada awal musim penghujan .
Karena ada dugaan yang sangat kuat bahwa infeksi baru oleh cacing F. gigantica pada kerbau rawa di daerah ini terjadi pada bulan Mei, maka dugaan ini perlu dibuktikan sehingga penularan penyakit dapat dicegah . DAFTAR PUSTAKA 1991a. Data ekonomi akibat penyakit hewan 1990. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Petemakan, Departemen Pertanian .
ANoNYMOus .
1991b. Penelitian Penyakit pada kerbau rawa di kecamatan Danau Panggang, kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan . Penelitian bersama antara sub Balitvet Banjarbaru, BPPH wilayah V dan Dinas Petemakan Dt. 1I kabupaten Hulu Sungai Utara.
ANoNYMous.
BHALERAO,
G.D. 1933. Preliminary note on the life-history of the common liver-fluke in India, Fasciola
gigantica. Indian J. Anim. Sci. 3:120-121 .
BORAY,
J.C. 1973 . Epidemiological control of fasciolosis and paramphistomosis in sheep and cattle. Proc.
No. 19 Course for Veterinarians (The J.D. Stewart Course for 1973) on Parasitology and Epidemiology).
The post graduate committee in veterinary science. The University ofSydney. 19:238-257. EDNEY, J.M. and A. Muctn,ts . 1962. Fascioliasis in indonesian Livestock . Veterinariae 2:49 .
J.K.M. 1972. The output ofcercariae of Fasciola hepatica by Lymnaea truncatula and the distribution ofmetacercarise on grass . Parasitology 64:53-60 .
HoDAsi,
KENDALL, S .B . KRANEvELD,
1954. Fascioliasis in Pakistan. Annals Tropical Medicine Parasitology 48:307!313 .
F .C. 1924. Bijdrage tot de therapie der distomatosis in Nederlandsch-Indie. Nederlandsch-Indie
Bladen von Diereneskunde 36 :3-63 .
496
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner2000
SCHILLHGRN vAN VEEN, T.W . 1980 Fascioliasis (Fasciola gigantica) in West Africa: A review. Veterinary Bulletin 50 :529-533 . SuHARDONO. 1997. Epidemiology and Control of Fasciolosis by Fasciola gigantica in Ongole Cattle in West Java. PhD thesis . Biomediacal and Tropical Veterinary Science, James Cook University, Australia. SuHARDoNo, S. BACw, and K.S . WAHyuNING. 1989 . Usah a pengendalian fascioliasis secara biologis . Warta Penelitian Pengembangan Pertanian. 11 :6 . SUtARDONO and D.B . COPEMAN. 2000 . Population dynamics of snail Lymnaea rubiginosa in rice fields and its infection with larvae of trematodes in the subdistrict of surade-west java . Jllmu Ternak Vet. (In press). SuHARDONO, S. WiDJAJANTI dan S. PARTouTomo. 1998 . Strategi penanggulangan fasciolosis oleh fasciola gigantica secara terpadu pada temak yang dipelihara di lahan pertanian dengan sistim irigasi intensif. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Nopember 1997 . hal. 122-135. SuHARDONo dan Z. KosAsui. 2000 . Infeksi baru Fasciola gigantica sebagai alat untuk menetapkan strategi pengendalian fasciolosis melalui pemberian flukisida pada kerbau rawa Di propinsi kalimantan selatan. Seminar Nasional dan Pameran teknologi peternakan dan Veteriner. Bogor, 17-19 September 2000. vAN BENTHw JLrrrrNG, W.S.S . 1956 . Systematic studies on the non-marine molluscs of the Indo-Australian archipelago . V. Critical revision of the Javanese fresh water gastropods. Treubia 23 :454-461 . WIDJAJANTi, S. 1989 Studies on the biology of Lymnaea rubiginosa . M.Sc thesis, Tropical Veterinary Science and Agriculture . James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia