DINAMIKA OVARIUM DAN DETEKSI KEBUNTINGAN DINI PADA KAMBING KACANG (Capra hircus)
SANTOSO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dinamika Ovarium dan Deteksi Kebuntingan Dini pada Kambing Kacang (Capra hircus) ialah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013 Santoso NIM B352110041
RINGKASAN SANTOSO. Dinamika Ovarium dan Deteksi Kebuntingan Dini pada Kambing Kacang (Capra hircus). Dibimbing oleh AMROZI, BAMBANG PURWANTARA dan HERDIS. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari gambaran ultrasonografi dinamika ovarium dan deteksi kebuntingan dini pada kambing kacang. Sebanyak enam ekor kambing kacang digunakan pada penelitian ini. Kambing yang digunakan sehat secara klinis, berumur 2-3 tahun dan bersiklus reproduksi normal. Sinkronisasi estrus dilakukan dengan menyuntikan prostaglandin dengan dosis 0,5 mg/kg bobot badan pada fase luteal. Pengamatan dinamika ovarium dilakukan setiap hari menggunakan ultrasonografi transrektal. Deteksi kebuntingan dini dilakukan sepuluh hari setelah perkawinan alami menggunakan ultrasonografi transrektal. Deteksi kebuntingan diperkuat dengan gambaran profil progesteron plasma darah yang dievaluasi menggunakan metoda radioimmunoassay. Ovulasi folikel dominan (5.7±0.8 mm) terjadi 50±14 jam setelah penyuntikan prostaglandin. Gelombang folikel yang teramati terdiri atas tiga dan empat gelombang folikel dengan panjang siklus estrus selama 20±1.1 hari. Diameter maksimum folikel dominan tercapai dalam 3.1±0.6 hari dan diameter maksimum folikel preovulatori 6.5±0.5 mm pada siklus estrus ke-1. Pada siklus etsrus ke-2, diameter maksimum folikel dominan tercapai dalam 3.1±1.6 hari dan diameter maksimum folikel preovulatori 7.1±0.5 mm. Korpus luteum (CL) pada siklus estrus ke-1 teramati 2.0±0.5 hari setelah ovulasi sampai dengan 2.8±0.8 hari menjelang ovulasi berikutnya. Pada siklus estrus ke-2, CL teramati 3.0±0.4 hari setelah ovulasi sampai dengan 3.3±1.0 hari menjelang ovulasi berikutnya. Deteksi kebuntingan dini teramati pada hari ke-20 dengan diameter vesikel embrionik 0.5±0.0 cm. Fetus teramati pada hari ke-22 dengan panjang fetus 0.4±0.1 cm dan kadar hormon progesteron 2.6±0.0 ng/mL. Rata-rata pertumbuhan fetus sampai hari ke-30 kebuntingan ialah 0.16±0.0 cm per hari. Diameter uterus meningkat dari hari ke-14 (0.8±0.3 cm) sampai hari ke-30 (3.6±0.2 cm) dan tebal uterus meningkat dari hari ke-14 (0.4±0.2 cm) sampai hari ke-30 (1.8±0.2 cm). Kata kunci: kambing kacang, kebuntingan, ovarium, ultrasonografi transrektal
SUMMARY SANTOSO. Ovarian Dynamic and Early Pregnancy Detection in Kacang Goat (Capra hircus). Supervised by AMROZI, BAMBANG PURWANTARA and HERDIS. The growth of follicles in the ovaries of goats was important to learn to maximize the development of reproductive techniques. The researchs were conducted to study the ovarian dynamics and the earliest pregnancy detection in the kacang goat. Six non pregnant kacang goats were used in this research. They were clinically healthy, 2-3 years old and showed normal estrous cycles. The estrous cycles of the kacang goats were synchronized by using prostaglandin 0.5 mg/kg body weight during luteal phase. The ovarian dynamics were observed daily by using transrectal ultrasonography. The pregnancy detections were carried out ten days after natural breeding by using transrectal ultrasonography. The pregnancy detections measurement with blood plasma progesteron profile were evaluated by radioimmunoassay. Ovulation of the dominant follicles (5.7±0.8 mm) were occurred 50±14 hours after injection of prostaglandin. Follicular development consists of three or four follicular waves during 20±1.1 days of an estrous cycle. The dominant follicles reached the maximum diameter in 3.1±0.6 days from wave emergence and the preovulatory dominant follicle diameter was 6.5±0.5 mm at first estrous cycle. The second estrous cyle, dominant follicles reached the maximum diameter in 3.1±1.6 days from wave emergence and the preovulatory dominant follicle diameter was 7.1±0.5 mm. The corpus luteum of kacang goat at first estrous cycle was observed 2.0±0.5 days after ovulation up to 2.8±0.8 days before the next ovulation. The corpus luteum of kacang goat at second estrous cyle was observed 3.0±0.4 days after ovulation up to 3.3±1.0 days before the next ovulation. The early pregnancy was detected on days 20 after mating with diameter of embryonic vesicle was 0.5±0.0 cm. The fetuses were detected on day 22 with diameter crown-ramp was 0.4±0.1 cm and levels of the progesterone 2.6±0.0 ng/mL. The development of the fetus was 0.16±0.0 cm per day until days 30 of pregnancy. The diameter of uterus increased from days 14 (0.8±0.3 cm) until days 30 (3.6±0.2 cm), and thickness of uterus increased from days 14 (0.4±0.2 cm) until days 30 (1.8±0.2 cm). Keywords: kacang goat, ovaries, pregnancy, transrectal ultrasonography
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DINAMIKA OVARIUM DAN DETEKSI KEBUNTINGAN DINI PADA KAMBING KACANG (Capra hircus)
SANTOSO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr drh Iman Supriatna
Judul Tesis : Dinamika Ovarium dan Deteksi Kebuntingan Dini pada Kambing Kacang (Capra hircus) Nama : Santoso NIM : B352110041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
drh Amrozi, PhD Ketua
Dr drh Bambang Purwantara, MSc Anggota
Prof (R) Dr drh Herdis, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biologi Reproduksi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr drh M. Agus Setiadi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 12 Juni 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah reproduksi kambing betina, dengan judul Dinamika Ovarium dan Deteksi Kebuntingan Dini pada Kambing Kacang (Capra hircus). Terima kasih penulis ucapkan kepada drh Amrozi, PhD sebagai ketua komisi pembimbing, Dr drh Bambang Purwantara, Msc dan Prof Dr drh Herdis, MSi selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingannya, perhatian dan nasehat. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr drh M. Agus Setiadi sebagai Ketua Program Studi serta semua staf pengajar dan karyawan Program Studi Biologi Reproduksi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis sampai selesainya penyusunan tesis ini. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir Listyani Wijayanti Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi, Ir Nenie Yustiningsih, MSc Direktur Pusat Teknologi dan Produksi Pertanian Deputi TAB-BPPT, Dr. Suhendar I Sachoemar Kepala Bidang Teknologi Produksi Perikanan dan Peternakan PTPPTAB BPPT dan Tim Peternakan BPPT yang telah membantu penulis secara moril dan materil sehingga selesainya tesis ini. Kepada ibu Arti Suryaningsih Djohan, penulis sampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya atas bantuan materi dan sarana penelitian selama menempuh pendidikan pada Program Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh Andriyanto, MSi dan drh Dedi R Setiadi sebagai rekan kerja selama penelitian. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan pada Program Studi BRP dan IBH 2011. Rasa hormat dan terima kasih penulis persembahkan kepada Ayahanda Giyono, ibunda Ny. Rukiyem dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Demikian pula kepada pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan perhatian, saran serta kritik yang membangun penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Akhirnya penulis persembahkan karya ilmiah untuk istri tercinta drh Diah Nurhayati. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan sektor peternakan di Indonesia.
Bogor, Agustus 2013 Santoso
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kambing Sinkronisasi Estrus dan Deteksi Estrus Dinamika Folikel Pengukuran Aktivitas Ovarium dengan Ultrasonografi Pemeriksaan Kebuntingan Dini dengan Ultrasonografi Hormon Progesteron
4 4 4 5 6 6 7
3 METODE Bahan Alat Prosedur Analisis Data
9 10 10 12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Ovarium dan Respons Estrus Deteksi Kebuntingan Dini Analisis Hormon Progesteron
13 13 20 22
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
25 25 25
DAFTAR PUSTAKA
26
DAFTAR TABEL 1 Hari timbulnya gelombang folikel awal (GA) dan tercapainya preovulatori folikel dominan (GM) selama 2 siklus estrus 2 Visualisasi respons estrus selama sinkronisasi estrus
18 19
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka penelitian 2 Prosedur pelaksanaan penelitian 3 Diameter CL, gelombang folikel dan folikel ovulasi selama 7 hari sebelum penyuntikan hormon prostaglandin sampai dengan ovulasi 4 Gambaran ultrasonografi korpus luteum, folikel, folikel dominan dan korpus rubrum sebelum penyuntikan hormon prostaglandin (H 8) sampai dengan ovulasi 5 Gambaran ultrasonografi korpus luteum, folikel, folikel dominan dan korpus rubrum selama 1 siklus estrus 6 Rataan diameter CL selama siklus estrus pada siklus estrus ke-1 dan siklus estrus ke-2 7 Nilai rataan jumlah folikel yang dikelompokkan dalam kelas folikel ø < 2 mm, ø 2-2.9 mm, ø 3-3.9 mm, ø 4-4.9 mm dan ø > 5 mm selama 7 hari sebelum penyuntikan hormon prostaglandin sampai dengan ovulasi 8 Diameter folikel dengan 3 dan 4 gelombang folikel serta folikel ovulasi pada siklus estrus ke-1 9 Diameter folikel dengan 3 dan 4 gelombang folikel serta folikel ovulasi pada siklus estrus ke-2 10 Gambaran ultrasonografi kebuntingan kambing kacang 11 Nilai rataan diameter uterus, tebal uterus dan panjang fetus pada kambing kacang (n=3) selama kebuntingan hari ke-14 sampai hari ke30 12 Nilai rataan konsentrasi hormon progesteron (n=2) selama siklus estrus pada siklus estrus ke-1, siklus estrus ke-2 dan kebuntingan hari ke-18 sampai ke-30 13 Profil hormon progesteron dan rataan diameter CL pada 2 individu kambing selama siklus estrus pada siklus estrus ke-1 dan siklus estrus ke-2
2 9 13
14 14 15
16 16 17 21
21
22
23
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kambing kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang potensial sebagai sumber protein hewani. Kambing kacang memiliki daya reproduksi tinggi dan bersifat prolifik, yaitu sering melahirkan anak kembar 2 (Sodiq dan Abidin 2008). Bobot kambing kacang betina dapat mencapai 20-30 kg (Hastono dan Bintang 2008). Kambing kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga dapat hidup baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Kambing kacang merupakan tipe kambing pedaging. Persentase berat kepala, testikel, usus halus, paru-paru dan hati kambing kacang jantan lebih tinggi pada daerah dataran tinggi, sehingga karkas yang dihasilkan oleh kambing kacang pada daerah dataran tinggi lebih rendah jika dibandingkan dengan dataran rendah (Likadja 2009). Perkembangan produksi dan populasi kambing saat ini masih belum optimal. Peningkatan produksi dan populasi dapat dilakukan dengan memperbaiki kualitas reproduksi baik pejantan maupun betina. Kualitas reproduksi kambing betina dapat diperbaiki melalui informasi karakteristik pola siklus estrus serta deteksi kebuntingan dini. Informasi ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam reproduksi kambing betina. Ovarium memegang peranan penting dalam proses reproduksi hewan betina. Ovarium disamping berfungsi sebagai kelenjar eksokrin (menghasilkan sel telur), juga berfungsi sebagai kelenjar endokrin (menghasilkan hormon estrogen dan progesteron). Aktivitas perkembangan folikel dan korpus luteum (CL) hingga dihasilkan sel telur terjadi pada ovarium dalam kapasitasnya sebagai kelenjar eksokrin. Pada fungsi kelenjar endokrin, terjadi pengaturan tinggi atau rendahnya kadar konsentrasi hormon estrogen dan progesteron agar aktivitas ovarium tetap berlangsung dengan baik (Bartlewski et al. 2011). Keberhasilan program perkawinan ditentukan oleh tingkat kebuntingan. Efisiensi program perkawinan melalui informasi status kebuntingan dini sangat penting dan bermanfaat bagi usaha pengelolaan dan pengembangbiakan kambing. Deteksi kebuntingan dini yang akurat dapat meningkatkan efisiensi produksi pada kambing penghasil susu. Pengaturan manajemen yang baik dilakukan dengan membedakan sedini mungkin antara ternak bunting dan tidak bunting sehingga dapat menekan biaya produksi (Gonzalez et al. 2004). Penggunaan ultrasonografi (USG) dalam bidang reproduksi telah meningkatkan pengetahuan tentang fisiologi dan pengendalian reproduksi hewan. Penggunaan USG telah digunakan dalam mempelajari ovarium pada ternak ruminansia besar dan 10 tahun kemudian baru digunakan pada ternak ruminansia kecil (Adams 1999). Pengamatan dinamika ovarium yang dilakukan setiap 24 jam dalam satu siklus estrus dan deteksi kebuntingan dini dengan memanfaatkan USG pada kambing di Indonesia belum pernah dilaporkan. Mengingat pentingnya informasi perkembangan ovarium, waktu terjadinya ovulasi serta deteksi kebuntingan dini, maka perlu dilakukan penelitian dinamika ovarium dan deteksi kebuntingan dini pada kambing. Penelitian dinamika ovarium difokuskan pada perkembangan folikel dan CL yang didukung oleh data profil hormon progesteron yang diperiksa dengan metoda radioimmunoassay (RIA) dan pengamatan tingkah
2 laku estrus. Analisis konsentrasi hormon progesteron di dalam plasma darah diperlukan untuk membandingkan aktivitas CL yang diamati menggunakan USG (Kaulfuss et al. 2006; Simões et al. 2007). Pengukuran terhadap konsentrasi hormon dan pengamatan terhadap tingkah laku dapat digunakan untuk memperkuat akurasi pengamatan terhadap aktivitas ovarium.
Perumusan Masalah Pengembangan kambing kacang sebagai salah satu plasma nuftah Indonesia memerlukan kajian efisiensi potensi reproduksi. Ovarium sebagai kelenjar eksokrin dan endokrin memegang peranan penting dalam proses reproduksi hewan betina. Reproduksi hewan sebagai bagian dari program perkawinan sangat ditunjang oleh kemampuan deteksi kebuntingan dini. Konsep penelitian ini ialah melihat waktu terjadinya estrus pada kambing kacang berdasarkan aktivitas ovarium yang didukung oleh analisis konsentrasi hormon progesteron dan visualisasi estrus, serta deteksi kebuntingan dini (Gambar 1). Penggunaan USG dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran jelas dan nyata terhadap perubahan aktivitas ovarium secara terukur. Perkembangan ovarium kambing khususnya pada kambing kacang dapat diamati dan diikuti dalam satu siklus estrus. Aktivitas ovarium yang akan terlihat ialah gelombang folikel dan CL. Konsentrasi hormon progesteron berkorelasi positif dengan pertumbuhan, perkembangan dan degenerasi CL sehingga digunakan sebagai pendukung status ovarium yang diamati. Visualisasi estrus dapat teramati melalui gejala tingkah laku betina, warna mukosa vulva, bentuk vulva, lendir vulva dan suhu vulva. Gambaran aktivitas ovarium yang diperoleh digunakan sebagai pedoman dalam menentukan kondisi ovarium kambing ketika akan dilakukan program perkawinan. Keberhasilan program perkawinan sangat ditentukan oleh tingkat kebuntingan. Keberhasilan dalam mendeteksi kebuntingan dini akan meningkatkan efisiensi produksi ternak dengan mengurangi kehilangan waktu untuk menghasilkan anak akibat kesalahan pendugaan kebuntingan.
Gambar 1 Kerangka penelitian
3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mempelajari karakteristik pola siklus estrus pada kambing berdasarkan dinamika ovarium dan analisis hormon progesteron. 2. Mempelajari tingkah laku estrus berdasarkan visualisasi (respons estrus) dan waktu yang tepat untuk dilakukannya perkawinan pada kambing. 3. Mengkaji metode deteksi kebuntingan dini setelah perkawinan alami pada kambing dengan USG.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Pedoman dalam penentuan waktu perkawinan yang tepat pada kambing melalui pengamatan aktivitas ovarium dalam satu siklus estrus menggunakan ultrasonografi (USG). 2. Memberikan informasi data dasar karakteristik pola siklus estrus pada kambing betina khususnya kambing kacang. 3. Memberikan informasi pemeriksaan kebuntingan dini pada kambing.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kambing Siklus reproduksi pada hewan betina diawali dengan tercapainya pubertas, bersiklus normal, bunting dan partus. Siklus estrus mulai terjadi saat betina sudah mengalami dewasa kelamin (pubertas), ketika ovarium mengalami proses perkembangan folikel (folikulogenesis) dan pematangan oosit primer. Folikel dan oosit primer pada tahapan ini telah memiliki kemampuan memberikan respons terhadap rangsangan hormon gonadotropin (Senger 2003; Bartlewski et al. 2011; Fatet et al 2011). Kambing betina dikatakan dewasa ketika mengalami siklus estrus pertama kali, terjadi pada umur 8-12 bulan. Kambing kacang mencapai pubertas pada umur 6 bulan dan menghasilkan anak pada umur 12 bulan, anak yang dilahirkan umumnya kembar (Sodiq dan Abidin 2002). Siklus estrus pada kambing antara 20-22 hari dengan masa berahi berlangsung selama 1-2 hari (Edey 1983). Estrus dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu keturunan, umur, musim dan kehadiran kambing jantan (Hafez dan Hafez 2000; Fatet et al 2011). Hasil penelitian Ismail (2009) melaporkan bahwa umur berpengaruh terhadap onset dan intensitas estrus pada ternak kambing. Ternak yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu kali memperlihatkan gejala estrus lebih awal dan penampakan estrus yang sangat jelas. Ternak yang belum pernah melahirkan memperlihatkan onset estrus lambat dan intensitas estrus yang kurang jelas. Siklus estrus terdiri atas 4 periode yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Periode proestrus dan estrus dikenal sebagai fase folikuler atau estrogenik. Pada periode ini terjadi proses folikulogenesis dan hormon steroid didominasi oleh estrogen. Periode metestrus dan diestrus dikenal sebagai fase luteal atau progesteronik. Pembentukan CL dimulai dan keberadaannya tetap dipertahankan hingga akhir periode diestrus, hormon steroid yang dominan pada periode ini ialah progesteron (Senger 2003; Peter et al. 2009; Fatet et al 2011).
Sinkronisasi Estrus dan Deteksi Estrus Sinkronisasi estrus ialah upaya memperpendek atau memperpanjang 1 siklus estrus (fase luteal) sekelompok ternak betina, sehingga respons estrus diperlihatkan dalam waktu yang relatif serentak. Protokol sinkronisasi estrus sangat membantu dalam pelaksanaan teknik reproduksi, terutama inseminasi buatan (Letelier et al. 2011). Sinkronisasi estrus dapat dicapai dengan menggunakan terapi hormon (Abecia et al. 2011). Letelier et al. (2011) mengungkapkan mekanisme kerja hormon dalam sinkronisasi estrus dapat meniru kegiatan CL (progesteron atau berbasis progestagen) atau menghilangkan CL yang selanjutnya akan menginduksi fase folikuler hingga terjadi ovulasi. Prostaglandin merupakan golongan hormon yang berfungsi meregresi (melisis) CL. Prostaglandin ialah agen luteolitik yang banyak digunakan pada ruminansia kecil untuk sinkronisasi estrus. Respon dari CL untuk prostaglandin
5 F2α (PGF2α) dibatasi antara 3 dan 14 hari dari siklus estrus. Pemberian PGF2α akan mempengaruhi waktu praovulasi LH surge dan selanjutnya terjadi ovulasi (Amiridi 2012). Deteksi estrus pada kambing dapat dilakukan secara visual atau melihat perubahan fisik vulva. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiyono et al. (2011) menyatakan bahwa perubahan gambaran fisik vulva yang khas pada kambing bligon sepanjang siklus estrus hanya ditemukan pada saat hewan estrus. Gambaran fisik tersebut tampak jelas ketika betina menunjukkan tingkah laku berupa kesediaan untuk dinaiki pejantan (sexual receptivity ) dan/atau berusaha mengejar dan menaiki pejantan serta mengibas-ibaskan ekor. Pada kondisi itu alat kelamin luar (vulva) membengkak, terlihat lendir vagina yang bersifat bening dan viscous keluar dari vulva, serta terjadi perubahan warna mukosa vulva dari merah muda menjadi kemerahan.
Dinamika Folikel Proses folikulogenesis berlangsung dalam beberapa tingkatan, yakni folikel primer, sekunder, tertier, de graaf (folikel antral) dan preovolatori. Seiring dengan berlangsungnya proses tersebut, di dalam folikel juga terjadi proses pematangan ovum atau oogenesis. Folikel-folikel dan proses perkembangannya berlangsung di bagian cortex yang berada tepat di bawah tunica albuginea (Senger 2003; Peter et al. 2009; Bartlewski et al. 2011). Dinamika folikel pada kambing yang bersiklus dikarakteristikkan dengan pola gelombang. Aktivitas folikular meningkat dan interval antar gelombang menjadi lebih pendek ketika awal fase luteal. Pada pertengahan hingga akhir fase luteal, folikel yang tidak tumbuh mencapai ukuran 4 mm bukan bagian dari gelombang folikel, folikel tersebut merupakan kelompok folikel yang dinamis. Folikel yang mengalami ovulasi ialah folikel dengan ukuran terbesar pada saat luteolisis (De Castro et al. 1999). Dinamika folikel dan produksi hormon estrogen berbeda antara setiap gelombang folikel. Gelombang folikel pertama dan gelombang ovulatori aktif menghasilkan estradiol. Gelombang yang muncul pada pertengahan fase luteal tidak berhubungan dengan perubahan konsentrasi estradiol di dalam serum. Perbedaan pola ini berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi progesteron yang dihasilkan saat gelombang folikel berkembang (De Castro et al. 1999). Hasil studi ultrasonografi harian menunjukkan bahwa siklus interovulatori kambing ditandai dengan pola gelombang perkembangan folikel. Gelombang folikel melibatkan sekelompok folikel kecil, kemudian 1 atau 2 folikel mampu berkembang menjadi folikel dominan sehingga dapat tumbuh dengan diameter lebih dari 5 mm. Gelombang folikel dapat terjadi berkisar antara 2-5 gelombang per siklus (Menchaca dan Rubianes 2002).
6 Pengukuran Aktivitas Ovarium dengan Ultrasonografi Ultrasonografi bekerja dengan cara merekam transmisi gelombang suara yang berasal dari organ target yang dilihat pada satu waktu. Gelombang suara yang dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan dengan ultrasonografi ialah 1-10 MHz (Jainudeen dan Hafez 2000; Lavin 2007). Frekuensi gelombang suara yang paling optimal untuk ultrasonografi ialah 5.0-7.5 MHz. Frekuensi ini berdasarkan tingkat penetrasi yang diharapkan untuk menembus jaringan target dan resolusi yang ditampilkan pada layar monitor. Pada frekuensi rendah akan diperoleh tampilan detail yang kurang baik tetapi penetrasi jaringan yang lebih baik, sedangkan pada frekuensi yang tinggi akan diperoleh tampilan detail yang baik tetapi kedalaman penetrasi jaringan yang kurang baik (Lavin 2007). Transduser dengan frekuensi 3.5 MHz baik digunakan untuk ultrasonografi secara trans-abdominal pada kambing, domba dan babi. Transduser dengan frekuensi 5.0-7.5 MHz baik digunakan untuk ultrasonografi secara transrektal pada ternak kuda, sapi serta domba (Jainudeen dan Hafez 2000). Mannion (2006) membagi gambaran ultrasonografi menjadi tiga yaitu putih (hyperechoic), abu-abu (hypoechoic) dan hitam (anechoic). Hyperechoic menampilkan warna putih pada sonogram atau memperlihatkan echogenitas yang lebih tinggi dibandingkan sekelilingnya, contohnya tulang, udara, kolagen dan lemak. Hypoechoic akan menampilkan warna abu-abu gelap pada sonogram atau memperlihatkan area dengan echogenitas lebih rendah jika dibandingkan dengan sekelilingnya, contohnya jaringan lunak. Anechoic menampilkan warna hitam pada sonogram dan memperlihatkan transmisi penuh dari gelombang, contohnya cairan. Gambaran ultrasonografi yang terlihat ditentukan oleh ketebalan jaringan. Semakin tebal (padat) suatu jaringan maka semakin banyak gelombang yang dipantulkan sehingga semakin terang (putih) tampilan pada layar monitor. Tulang akan berwarna putih sedangkan cairan akan berwarna gelap (Jainudeen dan Hafez 2000; Lavin 2007). Karakteristik yang diamati dari gelombang folikel pada aktivitas ovarium menggunakan USG antara lain (1) diameter folikel terbesar antara gelombang yang berbeda, (2) dua atau lebih folikel per gelombang yang mencapai diameter 5 mm atau lebih, (3) tingkat pertumbuhan folikel pada hari pertama dengan ukuran 3 mm hingga mencapai diameter maksimum, (4) saat fase luteal berlangsung, (5) selama pertengahan hingga akhir fase luteal, (6) folikel yang mengalami ovulasi, (7) folikel yang mengalami ovulasi ganda dan (8) waktu terjadinya ovulasi ganda (Rubianes dan Menchaca 2003).
Pemeriksaan Kebuntingan Dini dengan Ultrasonografi Deteksi kebuntingan dini dan penentuan jumlah anak yang akan dilahirkan memiliki arti penting dalam meningkatkan efisiensi reproduksi pada kambing (Suguna et al. 2008). Pemeriksaan kebuntingan dini dapat dilakukan dengan metode USG transrektal, pemeriksaan konsentrasi hormon progesteron dan deteksi pregnancy-associated glycoprotein (PGA) (Gonzalez et al. 2004).
7 Pemeriksaan kebuntingan dini dengan metode USG didasarkan atas terbentuknya vesikel embrionik (Martinez et al. 1998; Suguna et al. 2008). Hasil pemeriksaan yang memperlihatkan anechoic (hitam pada layar) akibat terbentuknya cairan awal konsepsi diasumsikan terjadi kebuntingan. Vesikel embrionik diukur pada diameter maksimal dan awal terbentuknya embrio dideteksi dengan bentuk struktur memanjang di dalam lumen uterus (Martinez et al. 1998). Hasil penelitian deteksi kebuntingan dini dengan metode USG transrektal memperlihatkan tingkat keakuratan yang sama dengan deteksi PGA. Pemeriksaan kebuntingan dini hari ke-26 pada kambing diperoleh tingkat keakuratan sebesar 99.4% (Gonzalez et al. 2004). Penelitian dengan menggunakan USG transrektal B mode dapat digunakan untuk mendeteksi kebuntingan dengan memperlihatkan vesikel embrionik, embrio yang tepat dan detak jantung pada kambing (Suguna et al. 2008). Metode USG transrektal juga dapat digunakan untuk menentukan jumlah fetus, jenis kelamin fetus, usia kebuntingan dan waktu kelahiran (Rivas 2005; Amer 2010).
Hormon Progesteron Progesteron disintesis dari pregnenolon, yang berasal dari kolesterol. Progesteron dihasilkan oleh CL, kelenjar adrenal dan plasenta selama kebuntingan. Progesteron disimpan dalam jaringan lemak. Progesteron bertanggung jawab dalam mengendalikan sekresi Luteinizing Hormone (LH) dari hipofisa anterior (Abecia et al. 2011). Hormon progesteron dihasilkan oleh CL setelah 5 hari onsent estrus. Korpus luteum merupakan bentuk dari sel-sel folikel yang mengalami ovulasi. Pengeluaran progesteron menyebabkan konsentrasi hormon tersebut meningkat dan tetap dipertahankan pada tingkat tinggi (> 1 ng/mL) selama 16 hari. Selama fase luteal, gonadotropin dipengaruhi oleh pertumbuhan folikel yang terus berlanjut seperti gelombang tetapi progesteron akan menghambat terjadinya ovulasi. Pada akhir fase luteal, 16-18 hari setelah estrus, PGF2α akan disekresikan oleh uterus yang akan menginduksi regresi CL (luteolisis) dan terjadi penurunan sekresi progesteron. Penurunan konsentrasi plasma progesteron secara bertahap akan menghilangkan penghambatan sekresi hormon gonadotropin dan fase folikuler baru kembali dimulai (Fatet et al. 2011). Konsentrasi hormon progesteron berbeda secara signifikan pada kambing dengan 3 atau 4 gelombang. Konsentrasi progesteron tertinggi terjadi pada awal fase luteal yang dapat menyebabkan meningkatnya folikel sehingga dapat mempercepat kemunculan gelombang berikutnya (Menchaca dan Rubianes 2002). Peningkatan konsentrasi progesteron yang tinggi mendorong perubahan folikel dan mengurangi pertumbuhan folikel besar sehingga akan memunculkan gelombang lain secara terus menerus. Pengaruh progesteron dapat diberikan melalui negatif feedback oleh anterior pituitary di hypothalamus yang mengatur pengeluaran LH dan/atau secara langsung oleh folikel dominan yang mengatur aksi gonadotropin. Pada saat itu, luteolisis akan mempengaruhi turunnya progesteron dan folikel besar akan menghasilkan estradiol dalam jumlah besar serta dominasi kelompok folikel subordinat akan hilang (De Castro et al. 1999).
8 Analisis konsentrasi hormon progesteron pada hewan bunting dapat dilakukan 3 minggu setelah dilakukan perkawinan. Analisis ini harus didukung dengan pengamatan tanda-tanda berahi pada hari ke-21 setelah program perkawinan. Kambing dapat kembali estrus jika terjadi kegagalan dalam pembuahan dan tidak menunjukan gejala estrus kembali jika terjadi kebuntingan. Gejala tidak estrus kembali yang ditunjukkan oleh kambing bunting sama dengan karakteristik pada kambing bersiklus panjang atau dalam kondisi kebuntingan palsu (Gonzalez et al. 2004).
9
3 METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai dengan Februari 2013. Penelitian dilakukan di kandang percobaan, Unit Rehabilitasi Reproduksi, Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor. Pengamatan dinamika ovarium dengan USG dimulai 7 hari sebelum sinkronisasi estrus sampai dengan dua siklus estrus atau ovulasi ke-3. Pengamatan diawali dengan sinkronisasi estrus ketika fase luteal untuk mempermudah pengamatan (Gambar 2). Sinkronisasi dilakukan dengan menyuntikan prostaglandin (Noroprost® 0.5%, Norbrook, UK) dengan dosis 0.5 mg/kg bobot badan secara intramuscular. Pengamatan respons estrus (visualisasi) dilakukan dengan menggunakan pejantan pengusik (teaser) yang dipasang apron. Koleksi darah untuk analisis hormonal dilakukan setiap 2 hari dan diintensifkan menjadi 1 hari menjelang terjadinya estrus (proestrus). Pengamatan USG kebuntingan dimulai hari ke-10 setelah perkawinan. Pengamatan selanjutnya dilakukan setiap 2 hari sampai kebuntingan berumur 30 hari. Analisis hormon progesteron sebagai kontrol dalam deteksi kebuntingan dilakukan pada hari ke-18, 20, 22, 24, 26, 28 dan 30 setelah perkawinan.
Gambar 2 Prosedur pelaksanaan penelitian
10 Bahan Penelitian ini menggunakan 6 ekor kambing kacang betina berumur 2-3 tahun dengan bobot badan 15-20 kg yang pernah melahirkan dan memiliki siklus reproduksi normal. Kambing dipelihara dalam kandang secara berkelompok. Pakan yang diberikan berupa hijauan (2 kg/ekor/hari) dan konsentrat (0.2 kg/ekor/hari), serta air minum secara ad libitum. Kambing diberikan obat cacing, multivitamin dan antibiotik sebelum dilakukan penelitian. Pemeriksaan hormon progesteron menggunakan Progesteron [125I] RIA Kit Ref: RK-460M (IZOTOP, Institute of Isotopes Ltd., Budapest).
Alat Alat yang digunakan ialah ultrasound ALOKA model SSD-500 (ALOKA Co.LTD, Jepang) yang dilengkapi dengan linear probe 7.5 MHz (ALOKA Co.LTD, Jepang). Gambar hasil pengamatan berupa foto yang dicetak dengan termal printer (SONY UP-895 MD, Jepang). Linear probe dimodifikasi dengan menambahkan gagang sepanjang 30 cm sehingga dapat digunakan secara per rectal.
Pengamatan Ovarium Pengamatan dilakukan dengan menempatkan kambing kacang pada kandang jepit, feses yang berada di dalam rektum dikeluarkan agar memperjelas pengamatan. Probe dilumuri dengan gel untuk mengurangi iritasi mukosa rektum dan sebagai media untuk penghantaran gelombang suara ultrasonik. Probe dimasukkan menyusuri ventral rektum mengarah ke vesica urinaria dilanjutkan ke bagian anterior sehingga diperoleh gambaran organ reproduksi. Pengamatan dinamika ovarium terdiri atas folikel dan CL dilakukan setiap 24 jam dan diintensifkan setiap 12 jam menjelang ovulasi. Pertumbuhan folikel dan CL diukur berdasarkan diameter terbesar pada gambaran ultrasonografi dengan menggunakan built in calliper ultrasound. Pengukuran folikel dilakukan terhadap diameter folikel terbesar antara gelombang yang berbeda, dua atau lebih folikel per gelombang yang mencapai diameter 5 mm atau lebih, folikel yang mengalami ovulasi dan folikel yang mengalami ovulasi ganda. Pengamatan pertumbuhan folikel dilakukan terhadap gelombang awal, fase pertumbuhan, fase regresi dan gelombang akhir. Jumlah folikel yang teramati dikelompokan berdasarkan diameter yaitu < 2 mm, 2-2.9 mm, 3-3.9 mm, 4-4.9 mm dan ≥ 5 mm.
Visualisasi Respons Estrus dan Perkawinan Pengamatan estrus dilakukan setiap 4 jam setelah penyuntikan hormon prostaglandin dan menjelang estrus pada siklus berikutnya dengan menggunakan jantan pengusik yang dipasang apron. Tingkah laku betina terhadap jantan pengusik diberi skor 3 jika diam dinaiki, skor 2 jika diam serta menolak dinaiki dan skor 1 jika menolak jantan pengusik. Perubahan warna mukosa vagina diberikan skor 3 untuk merah, skor 2 untuk merah muda dan skor 1 untuk merah
11 muda kepucatan. Pembengkakan vulva diberi skor 3 jika mengalami pembengkakan, skor 2 jika vulva hanya mengalami sedikit pembengkakan dan skor 1 jika vulva keriput. Kekentalan lendir estrus diberi skor 3 jika lendir bersifat viscous, bening menggantung atau membasahi sekitar vulva, skor 2 jika jumlahnya sedikit dan skor 1 jika tidak ada sekreta. Perkawinan dilakukan secara alami setelah pengamatan dua siklus estrus atau ovulasi yang ke-3.
Pengamatan Kebuntingan Dini dengan Ultrasonografi Pengamatan kebuntingan dengan USG dimulai hari ke-10 setelah perkawinan dan selanjutnya diamati setiap 2 hari sampai hari ke-30 setelah perkawinan. Variabel yang diamati pada pemeriksaan kebuntingan dini yaitu waktu munculnya cairan embrionik, diameter vesikel embrionik, waktu terbentuknya fetus, panjang fetus, diameter uterus dan tebal uterus.
Analisis Hormon Progesteron Pengambilan sampel darah dilakukan setiap 2 hari dan diintensifkan menjadi setiap hari menjelang terjadinya estrus (proestrus). Darah diambil pada vena jugularis menggunakan tabung vakum yang mengandung anti koagulan (EDTA). Darah disentrifugasi pada 1750 G selama 10 menit untuk memperoleh plasma. Plasma yang diperoleh dituangkan ke dalam tabung microtube 2 ml, kemudian disimpan pada suhu -20⁰C sampai dilakukan analisis di laboratorium. Analisis hormon progesteron menggunakan kit RIA Progesteron [125I]. Analisis hormon progesteron dilakukan sesuai dengan prosedur yang dinyatakan dalam kit yang digunakan. Reagen diequilibrasi pada suhu kamar ketika akan digunakan. Pemberian label tabung terdiri atas jumlah total (T), pengikat standar non-spesifik (NSB) standar nol (Standar 1 = B0), standar (S2-6), kontrol (C) dan sampel (Sx). Pencampuran terhadap seluruh reagen dan sampel sebelum digunakan dilakukan secara hati-hati agar tidak terbentuk busa. Larutan standar, kontrol dan sampel sebanyak 50 µl dimasukkan ke dalam tabung yang telah diberi label. Larutan pelacak (tracer) sebanyak 100 µl dimasukkan keseluruh tabung, kemudian dimasukkan 100 µl antiserum keseluruh tabung kecuali T dan NSB. Larutan dihomogenkan dengan cara menggerakan tabung yang telah ditempatkan pada rak tabung secara perlahan selama 2-5 detik, kecuali tabung T. Larutan yang telah homogen diinkubasi selama 2 jam pada suhu kamar (20-28°C). Penempatan tabung T diletakkan terpisah dengan tabung lainnya. Botol yang berisi immunosorbent magnet dihomogenkan dengan menggerakan secara perlahan, kemudian dimasukkan ke masing-masing tabung sebanyak 500 µl (kecuali tabung T). Homogenisasi dilakukan agar tercampur dengan benar kemudian dinkubasikan selama 15 menit pada suhu kamar. Pemisahan terhadap fraksi dilakukan dengan sentrifugasi pada 1500 G selama 15 menit sehingga akan diperoleh supernatan dan endapan. Penghitungan terhadap radioaktivitas pada semua tabung dilakukan tidak kurang dari 60 detik, kemudian dilanjutkan dengan menghitung konsentrasi.
12 Prosedur Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara deskriptif. Data kelas folikel dan folikel ovulasi diolah dengan paired-samples t-test dan data skoring pada pengamatan estrus diukur dengan nilai modus. Data disajikan dalam bentuk grafik dengan perhitungan rata-rata dan standar deviasi.
13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Ovarium dan Respons Estrus Hasil ultrasonografi pada semua kambing memperlihatkan terjadinya dinamika folikular dan korpus luteum (CL). Jumlah gelombang folikel yang teramati pada H 1 sampai H 10 terdiri atas 1 gelombang folikel pada 4 ekor kambing dan 2 gelombang folikel pada dua ekor kambing (kambing b, f) (Gambar 3). Semua kambing yang diamati pada H 10 memiliki 2 CL dengan warna abu-abu (hypoechoic). Pemberian hormon prostaglandin pada fase luteal (H 8) mengakibatkan diameter CL mengecil secara cepat sehingga tidak teramati setelah 24 jam dan diikuti peningkatan diameter folikel ovulasi (Gambar 3 dan 4). Keberhasilan sinkronisasi estrus yang disertai ovulasi dengan pemberian dosis tunggal prostaglandin pada fase luteal juga telah dilaporkan pada domba garut (Amrozi dan Setiawan 2011).
), gelombang folikel ( ) dan folikel ovulasi Gambar 3 Diameter CL ( ( ) selama 7 hari sebelum penyuntikan hormon prostaglandin sampai dengan ovulasi. * Penyuntikan hormon prostaglandin; ** ovulasi
14
Gambar 4 Gambaran ultrasonografi korpus luteum (CL), folikel (F), folikel dominan (DF) dan korpus rubrum (CR) sebelum penyuntikan hormon prostaglandin (H 8) sampai dengan ovulasi
Gambar 5 Gambaran ultrasonografi korpus luteum (CL), folikel (F), folikel dominan (DF) dan korpus rubrum (CR) selama 1 siklus estrus
15 Pada siklus berikutnya, folikel mulai teramati pada H 1 dengan warna hitam (anechoic) sedangkan CL teramati pada H 2 dengan warna abu-abu (hypoechoic) setelah ovulasi (Gambar 5). Folikel yang telah mengalami ovulasi pada H 0 teramati dengan tepi folikel lebih tebal dan bagian tengah folikel sedikit memperlihatkan warna hitam dan abu-abu. Folikel ovulasi selanjutnya akan berkembang menjadi CL dengan memperlihatkan warna abu-abu. Jumlah CL yang teramati pada siklus estrus ke-1 sebanyak 2 buah pada 5 ekor kambing, sedangkan 1 ekor kambing (kambing f) teramati sebanyak 3 buah. Pada siklus estrus ke-2, jumlah CL yang teramati sebanyak 2 buah pada semua kambing. Rataan diameter CL memperlihatkan pertumbuhan yang cenderung statis (Gambar 6). Korpus luteum pada siklus estrus ke-1 teramati 2.0±0.5 hari setelah ovulasi sampai dengan 2.8±0.8 hari menjelang ovulasi berikutnya dengan puncak pertumbuhan pada H 7. Pada siklus estrus ke-2, CL teramati 3.0±0.4 hari setelah ovulasi sampai dengan 3.3±1.0 hari menjelang ovulasi berikutnya dengan puncak pertumbuhan pada H 6. Menurut Peter et al. (2009) dan Fatet et al. (2011), pembentukan CL dimulai ketika periode metestrus dan diestrus, keberadaannya tetap dipertahankan hingga akhir periode diestrus atau awal periode proestrus.
(a)
(b)
Gambar 6 Rataan diameter CL selama siklus estrus pada siklus estrus ke-1 (a) dan siklus estrus ke-2 (b). * Ovulasi pertama; ** ovulasi kedua; *** ovulasi ketiga
16
Gambar 7 Nilai rataan jumlah folikel (n=6) yang dikelompokkan dalam kelas folikel ø < 2 mm ( ), ø 2-2.9 mm ( ), ø 3-3.9 mm ( ), ø 4-4.9 mm ( ) dan ø > 5 mm ( ) selama 7 hari sebelum penyuntikan hormon prostaglandin sampai dengan ovulasi.* Penyuntikan hormon prostaglandin; ** ovulasi
) serta folikel Gambar 8 Diameter folikel dengan 3 dan 4 gelombang folikel ( ovulasi ( ) pada siklus estrus ke-1. * Ovulasi pertama; ** ovulasi kedua
17 Munculnya gelombang folikel ditandai dengan meningkatnya jumlah folikel kecil berdiameter < 2 mm (53 buah) dan diameter 2-2.9 mm (10 buah) (Gambar 7). Sebagian besar folikel kecil regresi dan hanya beberapa folikel tumbuh membentuk folikel berdiameter > 4 mm pada H 7. Penyuntikan prostaglandin pada H 8 menyebabkan penurunan jumlah yang signifikan (p<0.05) terhadap diameter folikel ≤ 3.9 mm dibandingkan pada H 10. Penurunan ini terjadi akibat folikel berkembang mencapai diameter > 4 mm serta adanya folikel yang mengalami regresi. Penelitian Barrett et al. (2002) melaporkan domba yang disuntik prostaglandin pada 4-7 hari setelah ovulasi dan diulang 9 hari kemudian memperlihatkan perkembangan folikel berdiameter 3 mm menjadi > 5 mm (folikel ovulasi) serta adanya folikel yang mengalami regresi pada folikel anovulatori yang telah mencapai diameter > 5 mm.
) serta folikel Gambar 9 Diameter folikel dengan 3 dan 4 gelombang folikel ( ovulasi ( ) pada siklus estrus ke-2. ** Ovulasi kedua; *** ovulasi ketiga Pertumbuhan folikel memperlihatkan panjang siklus estrus kambing kacang selama 20±1.1 hari pada siklus ke-1 dan ke-2. Hasil penelitian lain melaporkan panjang siklus estrus pada kambing saanen selama 21.3±0.4 hari
18 (Medan et al. 2005), sedangkan pada kambing bligon selama 19 hari (Widiyono et al. 2011). Jumlah gelombang folikel pada siklus estrus ke-1 dan ke-2 terdiri atas 3 gelombang folikel pada 1 ekor kambing (kambing c) dan 4 gelombang folikel pada 5 ekor kambing lainnya (Gambar 8 dan 9). Pertumbuhan folikel dengan 3 dan 4 gelombang folikel dilaporkan terjadi pada kambing saanen dan kambing shiba (De Castro et al. 1999; Medan et al. 2005). Gelombang folikel dalam 1 siklus estrus terdiri atas gelombang anovulasi dan preovulatori. Siklus estrus ke-1 memperlihatkan gelombang folikel anovulasi ke-1 muncul antara hari ke-1 sampai 4, gelombang folikel ke-2 antara hari ke-3 sampai 7, gelombang folikel ke-3 antara hari ke-8 sampai 13, sedangkan gelombang folikel preovulatori muncul antara hari ke-17 sampai 18. Pada siklus estrus ke-2, gelombang folikel anovulasi ke-1 muncul antara hari ke-0 sampai 5, gelombang folikel ke-2 antara hari ke-5 sampai 10, gelombang folikel ke-3 antara hari ke-9 sampai 15, sedangkan gelombang folikel preovulatori muncul antara hari ke-15 sampai 17. Folikel dominan gelombang anovulasi dan preovulatori akan mencapai diameter maksimum dalam 3.1±0.6 hari pada siklus estrus ke-1 dan 3.1±1.6 hari pada siklus estrus ke-2 setelah munculnya gelombang folikel awal (Tabel 1). Hasil penelitian Rubianes dan Menchaca (2003) melaporkan jumlah gelombang folikel pada kambing dengan siklus interovulatori antara 19 sampai 22 hari ialah 4 gelombang folikel. Gelombang ke-1 muncul pada hari ke-0, gelombang ke-2 pada hari ke-5 sampai 6, gelombang ke-3 pada hari ke-10 sampai 11 dan gelombang ke-4 pada hari ke-15. Kambing yang memiliki 3 gelombang folikel, gelombang ke-2 muncul pada hari ke-7 sampai 8 dan gelombang preovulatori muncul pada hari ke-13 sampai 14. Tabel 1 Hari timbulnya gelombang folikel awal (GA) dan tercapainya preovulatori folikel dominan (GM) selama 2 siklus estrus Jumlah gelombang Siklus ke-1 3 gel (n = 1) 4 gel (n = 5) Kisaran hari Siklus ke-2 3 gel (n = 1) 4 gel (n = 5) Kisaran hari
GA
Gel 1 GM
Gelombang anovulasi Gel 2 GA GM GA
Gel 3 GM
Gel preovulatori GA
GM
4 1.4±0.9 (1-4)
7 4.6±1.3 (4-7)
7 4.8±2.2 (3-7)
11 8.6±2.4 (7-11)
10.4±2.4 (8-13)
13±2.3 (11-16)
17 17±0.7 (17-18)
21 19.8±1.1 (19-21)
5 2.0±2.1 (0-5)
8 4.4±2.5 (2-8)
10 6.8±1.9 (5-10)
12 10.6±2.7 (8-12)
11.6±3.0 (9-15)
15.2±1.5 (14-17)
17 15.4±1.3 (15-17)
21 19.4±1.3 (19-21)
Folikel ovulasi ialah folikel dengan ukuran terbesar pada saat luteolisis (De Castro et al. 1999). Folikel ovulasi berasal dari gelombang folikel yang tumbuh dan teramati sejak H 7 dan H 8 ketika penyuntikan hormon prostaglandin serta H 17 sampai 18 selama 2 siklus estrus. Pada gelombang folikel tersebut, 1 atau 2 folikel mampu berkembang menjadi folikel dominan sehingga dapat tumbuh dengan diameter > 5 mm (Menchaca dan Rubianes 2002). Pada kambing kacang folikel tersebut rata-rata tumbuh 1.9±1.1 mm/hari dan menjelang ovulasi mencapai diameter 5.7±0.8 mm setelah penyuntikan prostaglandin serta 6.5±0.5 mm pada siklus estrus ke-1 dan 7.1±0.5 mm pada siklus estrus ke-2 (p<0.05). Perbedaan diameter folikel ovulasi pada proses sinkronisasi estrus
19 akibat adanya pemaksaan terhadap folikel preovulatori untuk tumbuh lebih cepat sehingga terjadi ovulasi. Nilai tersebut tidak berbeda dengan diameter folikel ovulasi kambing lokal di Sri Langka dan kambing saanen yaitu lebih dari 5 mm, sedangkan diameter folikel ovulasi pada kambing anglo nubian sebesar 8.3±0.4 mm (Ariyaratna dan Gunawardana 1997; Medan et al. 2005; Vázqueza et al. 2010). Lebih lanjut Rubianes dan Menchaca (2003) melaporkan bahwa pada kambing dengan folikel mencapai diameter 5 mm atau lebih dalam 1 gelombang folikel akan mengalami ovulasi. Ovulasi ganda H 10 setelah penyuntikan hormon prostaglandin (H 8) terjadi pada 5 ekor kambing, sedangkan 1 ekor kambing mengalami ovulasi tunggal. Rataan waktu ovulasi dominan folikel ialah 50±14 jam setelah penyuntikan prostaglandin. Waktu terjadinya ovulasi pada kambing kacang lebih cepat jika dibandingkan dengan kambing anglo nubian dengan interval 78.4±4.6 jam setelah penyuntikan prostaglandin (Vázqueza et al. 2010) dan multiparous corriedale dengan interval 60±0.0 jam (Rubianes dan Menchaca 2003). Ovulasi ganda siklus estrus ke-1 yang terjadi pada 5 ekor kambing kacang berasal dari gelombang folikel yang sama, sedangkan 1 ekor memperlihatkan ovulasi ganda dari gelombang folikel berbeda (kambing b). Pada siklus estrus ke-2, ovulasi ganda yang terjadi pada 3 ekor kambing berasal dari gelombang folikel yang sama (kambing a, c, d), sedangkan 3 ekor memperlihatkan ovulasi ganda dari gelombang folikel berbeda (kambing b, e, f). Ovulasi ganda terjadi bersamaan atau berselang 24 jam yang berasal dari gelombang folikel yang sama atau gelombang folikel yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Ginther dan Kot (1994) menyatakan bahwa ovulasi ganda umumnya berasal dari gelombang folikel yang sama, tetapi dalam beberapa kasus dapat berasal dari dua gelombang folikel yang berbeda. Folikel yang mengalami ovulasi ganda terjadi di hari yang sama pada sebagian besar siklus estrus kambing (Rubianes dan Menchaca 2003). Tabel 2 Visualisasi respons estrus selama sinkronisasi estrus Variabel Tingkah laku betina Dinaiki pejantan Visualisasi vulva Warna vulva Bentuk vulva Lendir vulva Suhu vagina (°C)
H 1 sampai H 7
H 8 sampai H 0 (estrus/ovulasi)
1
1
1 1 1 38.55 ± 0.47
1 1 1 38.74 ± 0.52
Visualisasi respons estrus umumnya betina tidak diam dinaiki, warna mukosa vulva merah muda kepucatan, bentuk vulva tidak mengalami kebengkakan dan tidak mengeluarkan lendir dari vulva (Tabel 2). Gejala khas terjadinya estrus diam dinaiki dan perubahan fisik vulva hanya ditunjukkan oleh 1 ekor kambing. Hasil tersebut memperlihatkan penampakan estrus pada kambing kacang tidak jelas sehingga sulit diamati. Visualisasi respons estrus siklus berikutnya tampak jelas pada 1 ekor kambing (kambing f) dengan waktu ovulasi
20 36 jam setelah timbulnya gejala estrus. Hasil penelitian Ismail (2009) melaporkan terdapat perbedaan intensitas estrus antara kambing yang pernah beranak satu kali dengan kambing yang pernah beranak dua kali atau lebih serta memiliki anak kembar pada setiap kelahirannya. Pada kambing kacang, visualisasi respons estrus tidak terlihat dengan jelas. Pengukuran suhu vagina yang dilakukan juga tidak memberikan makna, hasil yang sama juga ditemukan pada kambing bligon. Pengukuran suhu vagina kambing bligon tidak berbeda nyata antara fase metestrus, diestrus, proestrus dan estrus (Widiyono et al. 2011). Visualisasi respons estrus terkait dengan konsentrasi hormon estrogen di dalam darah. Estrogen disintesis dari testosteron yang diawali dengan adanya ikatan antara hormon follicle stimulating hormone (FSH) dengan reseptor spesifik di sel granulosa (Senger 2003). Tingginya konsentrasi dan sekresi FSH yang berasal dari pituitary anterior berhubungan dengan jumlah folikel yang berkembang hingga fase folikel de Graaf (Rusdin dan Ridwan 2006).
Deteksi Kebuntingan Dini Hasil pengamatan ultrasonografi kebuntingan kambing kacang (Gambar 10) memperlihatkan perkembangan vesikel embrionik (V) berwarna hitam (anechoic) pada H 20. Vesikel embrionik yang terbentuk merupakan indikasi awal terjadinya kebuntingan (Martinez et al. 1998; Suguna et al. 2008). Fetus teramati pada H 22 dengan memperlihatkan gambaran hypoechoic sampai hyperechoic yang dikelilingi oleh tampilan anechoic cairan embrionik. Amnion mulai terlihat pada H 30 berupa lapisan tipis hypoechoic yang mengelilingi fetus. Perkembangan vesikel embrionik mulai teramati pada H 20 dengan diameter 0.5±0.0 cm. Diameter vesikel embrionik pada kambing anglo-nubian mencapai lebih dari 0.3 cm pada hari ke-18 kebuntingan (Martinez et al. 1998). Pemeriksaan kebuntingan dini kambing boer memperlihatkan cairan embrionik dengan jelas pada hari ke-22 (Padilla-Rivas et al. 2005). Penelitian Amrozi dan Setiawan (2011) melaporkan bahwa vesikel embrionik pada domba garut dapat teramati dengan jelas pada hari ke-20 kebuntingan. Fetus mulai teramati pada H 22 kebuntingan. Martinez et al. (1998) melaporkan fetus kambing anglo-nubian teramati pada hari ke-19 kebuntingan. Fetus kambing boer pada pemeriksaan kebuntingan dini menggunakan USG teramati hari ke-28 kebuntingan (Padilla-Rivas et al. 2005). Penelitian Amrozi dan Setiawan (2011) menemukan adanya fetus domba garut pada hari ke-22 kebuntingan. Hasil pengamatan pertumbuhan fetus menunjukkan pola yang cenderung meningkat pada panjang fetus, diameter fetus dan tebal fetus (Gambar 11). Pertumbuhan fetus yang terjadi selama kebuntingan ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan panjang fetus dari H 22 (0.3 cm) sampai H 30 (0.9±0.1 cm) dengan rata-rata pertumbuhan 0.16±0.0 cm per hari. Penelitian Martinez et al. (1998) melaporkan bahwa panjang fetus kambing anglo-nubian pertama kali terdeteksi pada hari ke-19 dengan ukuran 0.53±0.3 cm dan mencapai 3.42 cm pada hari ke-40 dengan rata-rata pertumbuhan 0.14 cm per hari. Pertumbuhan fetus yang diamati juga diikuti dengan bertambahnya diameter uterus dari H 14 (0.8±0.3 cm) sampai H 30 (3.6±0.2 cm), serta tebal uterus H 14
21 (0.4±0.2 cm) sampai H 30 (1.8±0.2 cm). Pemeriksaan kebuntingan dini dengan metode USG pada kambing kacang memberikan hasil yang sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu implantasi antar ras atau spesies. Jainudeen dan Hafez (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan fetus dipengaruhi oleh faktor keturunan (spesies, berkembang biak, ukuran anak, genotipe), lingkungan (nutrisi induk, ukuran induk, keseimbangan induk, aliran darah plasenta, ukuran plasenta) dan hormon yang dihasilkan oleh plasenta (thyroid, insulin, hormon pertumbuhan, somatomedins).
Gambar 10 Gambaran ultrasonografi kebuntingan kambing kacang. (U=uterus, O=ovarium, V=vesikel embrionik, F=fetus, A=amnion)
), tebal uterus ( ) dan panjang Gambar 11 Nilai rataan diameter uterus ( fetus ( ) pada kambing kacang (n=3) selama kebuntingan hari ke-14 sampai hari ke-30
22 Analisis Hormon Progesteron Nilai rataan konsentrasi progesteron (Gambar 12) siklus estrus ke-1 pada hari ke-0 sebesar 1.2±0.2 ng/mL, kemudian mengalami peningkatan pada hari ke-6 (2.0±0.4 ng/mL). Konsentrasi progesteron mengalami penurunan pada hari ke-19 siklus estrus. Pada siklus estrus ke-2, konsentrasi progesteron sebesar 0.8±0.1 ng/mL pada hari ke-3, kemudian mulai meningkat pada hari ke-7 (1.0±0.3 ng/mL) dan mencapai puncak pada hari ke-9 (1.8±1.2 ng/mL). Penurunan konsentrasi progesteron terjadi pada hari ke-17 dan mencapai nilai terendah pada hari ke-19 (0.4±0.2 ng/mL).
(a)
(b)
(c)
Gambar 12 Nilai rataan konsentrasi hormon progesteron (n=2) selama siklus estrus pada siklus estrus ke-1 (a), siklus estrus ke-2 (b) dan kebuntingan hari ke-18 sampai ke-30 (c). * Ovulasi pertama; ** ovulasi kedua; *** ovulasi ketiga
23 Hasil yang diperoleh tidak berbeda dengan konsentrasi progesteron pada kambing bligon selama siklus estrus (0.21-0.71 ng/mL), nilai konsentrasi progesteron tertinggi terjadi pada hari ke-6 sampai 16 siklus estrus (0.7±0.69 ng/mL) (Widiyono et al. 2011). Hasil penelitian Simões et al. (2007) melaporkan konsentrasi progesteron pada kambing serrana (kambing lokal Portugis) hari ke-0 sampai 3 siklus estrus berada pada konsentrasi terendah (<0.5 ng/mL), kemudian mengalami peningkatan yang signifikan pada hari ke-4 (3.8±0.9 ng/mL) sampai hari ke-9 (9.3±1.8 ng/mL). Penelitian pada kambing dwarf (kambing lokal Pakistan) diperoleh konsentrasi progesteron pada hari ke-3 sebesar 2.1±0.5 ng/mL, kemudian meningkat pada hari ke-10 (7.6±3.4 ng/mL) dan mencapai konsentrasi maksimum pada hari ke-13 (8.5±3.0 ng/mL). Konsentrasi progesteron mulai menurun pada hari ke-17 kemudian mencapai nilai basal pada hari ke-20 (Khanum et al. 2007). (a)
(b)
) dan rataan diameter CL ( ) pada Gambar 13 Profil hormon progesteron ( 2 individu kambing selama siklus estrus pada siklus estrus ke-1 (a) dan siklus estrus ke-2 (b). * Ovulasi pertama; ** ovulasi kedua; *** ovulasi ketiga Konsentrasi progesteron pada hari ke-18 kebuntingan sebesar 2.9±0.7 ng/mL kemudian mengalami peningkatan mencapai 3.3±0.0 ng/mL pada hari ke-24 (Gambar 12). Konsentrasi progesteron mengalami penurunan pada hari ke-26 (0.7±0.5 ng/mL) tetapi meningkat kembali mencapai 3.0±0.0 ng/mL pada hari ke-30. Penurunan kadar progesteron pada hari ke-26 mengakibatkan terjadinya kematian embrio dini pada 1 ekor kambing. Hasil penelitian Gonzalez et al. (2004) melaporkan konsentrasi progesteron pada kambing perah canary hari ke-22 kebuntingan sebesar 8.42±0.23 ng/mL. Konsentrasi tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan kambing kacang pada hari yang sama yaitu
24 2.6±0.0 ng/mL. Profil hormon progesteron selama kebuntingan hari ke-18 sampai 30 memperlihatkan adanya kematian embrio dini yang disebabkan oleh rendahnya konsentrasi progesteron pada hari ke-26 sehingga tidak mampu mempertahankan kebuntingan. Profil hormon progesteron kambing a dan c pada 2 siklus estrus memperlihatkan pola yang sama dengan perkembangan CL (Gambar 13). Pada siklus estrus ke-0 sampai 3 memperlihatkan konsentrasi progesteron dan diameter CL yang mulai meningkat. Profil progesteron dan CL meningkat kembali pada hari ke-6 kemudian tetap dipertahankan sampai hari ke-16 siklus estrus. Penurunan konsentrasi hormon progesteron mulai terlihat pada hari ke-17 siklus estrus bersamaan dengan mengecilnya diameter CL. Penurunan konsentrasi hormon progesteron mengindikasikan keberadaan CL yang fungsional.
25
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Gambaran USG dari ovarium memperlihatkan siklus interovulatori kambing yang dikarakteristikkan dengan gelombang folikel. Gelombang folikel yang teramati pada penelitian ini terdiri atas 3 dan 4 gelombang folikel dengan panjang siklus estrus selama 20±1.1 hari. Perkembangan CL yang terjadi cenderung statis. Ovulasi ganda terjadi bersamaan atau berselang 24 jam yang berasal dari gelombang folikel yang sama atau gelombang folikel yang berbeda. Ovulasi terjadi pada kambing kacang ketika folikel dominan mencapai 5.7±0.8 mm setelah penyuntikan prostaglandin serta 6.5±0.5 mm pada siklus estrus ke-1 dan 7.1±0.5 mm pada siklus estrus ke-2. Folikel dominan akan mengalami ovulasi setelah 50±14 jam penyuntikan prostaglandin dengan visualisasi berupa silent estrus. Pemeriksaan kebuntingan dini menunjukkan gambaran vesikel embrionik dengan jelas pada H 20 dengan diameter 0.5±0.0 cm. Fetus mulai teramati pada H 22 kebuntingan dengan panjang fetus 0.4±0.1 cm. Rata-rata pertumbuhan fetus sampai H 30 kebutingan ialah 0.16±0.0 cm per hari. Deteksi positif kebuntingan dini pada kambing kacang terlihat pada hari ke-22 dengan kadar hormon progesteron 2.6±0.0 ng/mL.
Saran Deteksi estrus berdasarkan pemeriksaan klinis tidak jelas (nilai 1, dari skala 1-3), sehingga perlu suatu metode untuk pemeriksaan klinis gejala estrus. Pada program perkawinan kambing kacang (inseminasi buatan) yang diawali dengan sinkronisasi estus sebaiknya dilakukan pada 36-64 jam setelah penyuntikan prostaglandin (0.5 mg/kg bobot badan). Deteksi kebuntingan menggunakan USG dapat dilakukan pada hari ke-22 setelah perkawinan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi kambing kacang.
26
DAFTAR PUSTAKA Abecia JA, Forcada F, Gonzalez-Bulnes A. 2011. Hormonal control of reproduction in small ruminants. Anim Reprod Sci. 130: 173–179. doi:10.1016/j.anireprosci.2012.01.011. Adams GP. 1999. Comparative patterns of follicle development and selection in ruminants. J Reprod Fertil. 54: 17–32. Amer HA. 2010. Ultrasonographic assessment of early pregnancy diagnosis, fotometry and sex determination in goats. Anim Reprod Sci. 117: 226–231. doi:10.1016/j.anireprosci.2009.05.015. Amiridi GS, Cseh S. 2012. Assisted reproductive technologies in the reproductive management of small ruminants. Anim Reprod Sci. 130: 152- 161. Amrozi, Setiawan B. 2011. Sinkronisasi estrus dan pengamatan ultrasonografi pemeriksaan kebuntingan dini pada domba garut (Ovis aries) sebagai standar penentuan umur kebuntingan. J Ked Hewan. 5: 73-77. Ariyaratna HBS, Gunawardana VK. 1997. Morphology and morphometry of ovarian follicles in the goat. Small Ruminant Res. (26): 123- 129. Bartlewski PM, Baby TE, Giffin JL. 2011. Reproductive cycles in sheep. Anim Reprod Sci. 124: 259–268. doi:10.1016/j.anireprosci.2011.02.024. Barrett DMW, Bartlewski PM, Cook SJ, Rawlings C. 2002. Ultrasound and endocrine evaluation of the ovarian response to PGF2α given at different stages of the luteal phase in ewes. Theriogenology. 58: 1409–1424. De Castro T, Rubianes E, Menchaca A, Rivero A. 1999. Ovarian dynamics, serum estradiol and progesterone censentrations during the interovulatory interval in goats. Theriogenology. (52): 399 – 411. Edey TN. 1983. Tropical Sheep and Goats Production. Canberra: Australian University International Development Program (A.U.I.D.P). Fatet A, Bubio MTP, Leboeuf B. 2011. Reproductive cycles of goats. Anim Reprod Sci. 124: 211–219. doi:10.1016/j.anireprosci.2010.08.029. Ginther OJ, Kot K. 1994. Follicular dynamics during the ovulatory season in goats. Theriogenology. 42: 987–1001. Gonzalez F, Cabrera F, Batista M, Rodrıguez N, Alamo D, Jose Sulon J, Beckers JF, Gracia A. 2004. A comparison of diagnosis of pregnancy in the goat via transrectal ultrasound scanning, progesterone, and pregnancyassociated glycoprotein assays. Theriogenology. 62: 1108-1115. doi:10.1016/j.theriogenology.2003.12.009. Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproductive behavior. Di dalam: Hafez B dan Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animal. Ed ke-7. Baltimore (US): Lippincoltt Williams and Wilkins. Hastono, Bintang IAK. 2008. Hubungan antara bobot badan dengan onset berahi dan lama berahi pada kambing kacang. Anim Production. 10 (3): 147-150.
27 Ismail M. 2009. Onset dan intensitas estrus kambing pada umur yang berbeda. J Agroland. 16 (2): 180-186. Jainudeen MR, Hafez ESE. 2000. Gestation, prenatal physiology, and parturation. Di dalam: Hafez B dan Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animal. Ed ke-7. Baltimore: Lippincoltt Williams and Wilkins. Kaulfuss KH, Giucci E, Suss R, Wojtowski J. 2006. An Ultrasonographic Method to Study Reproductive Seasonality in Ewes Isolated from Rams. Reprod Dom Anim. 41: 416–422. doi: 10.1111/j.1439-0531.2006.00686.x. Khanum SA, Hussain M, Kausar R. 2007. Assessmen of reproductive parameters in female Dwarf goat (Capra hircus) on the basis of progesterone profiles. Anim Reprod Sci. 102:267-275. doi:10.1016/j.anireprosci.2006.11.010. Lavin LM. 2007. Radiography in Veterinary Technology. Ed ke-4. Philadelphia (US): Saunders, Elsevier. Letelier CA, Contreras-Solisa I, García-Fernándezc RA, Sánchezc MA, GarcíaPalenciac P, Sánchezc B, Ariznavarretad C, Tresguerresd JAF, Floresc JM, Gonzalez-Bulnesa A. 2011. Effects of oestrus induction with progestagens or prostaglandin analogues on ovarian and pituitary function in sheep. Anim Reprod Sci. 126: 61–69. doi:10.1016/j.anireprosci.2011.04.012. Likadja JC. 2009. Persentase non karkas dan jeroan kambing kacang pada umur dan ketinggian wilayah berbeda di Sulawesi Selatan. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan. 8(1): 29 – 35. Mannion P. 2006. Diagnostic Ultrasound in Small Animal Practice. Ed ke-1. Oxford (UK): Blackwell Science Ltd. Martinez MF, Bosch P, Bosch RA. 1998. Determination of early pregnancy and embryonic growth in goats by transrectal ultrasound scanning. Theriogenology 49: 1555 – 1565. Medan M, Watanabe G, Sasaki K, Groome NP, Sharawy S, Taya K. 2005. Follicular and hormonal dynamics during the estrous cycle in goats. J Reprod Develop. 51: 455 – 463. Menchaca A, Rubianes E. 2002. Relation between progesterone concentrations during the early luteal phase and follicular dynamics in goats. Theriogenology. 57: 1411 – 1419. Padilla-Rivas GR, Sohnrey B, Holtz W. 2005. Early pregnancy detection by realtime ultrasonography in boer goat. Small Ruminant Res. 58:87-92. doi:10.1016/j.smallrumres.2004.09.004. Peter AT, Levine H, Drost M, Bergfelt DR. 2009. Compilation of classical and contemporary terminology used to describe morphological aspects of ovarian dynamics in cattle. Theriogenology. 71: 1343 – 1357. doi:10.1016/j.theriogenology.2008.12.026. Rivas GRP, Sohnrey B, Holtz W. 2005. Early pregnancy detection by real-time ultrasonography in Boer goats. Small Rumin Res. 58: 87-92.
28 Rubianes E, Menchaca A. 2003. The pattern and manipulation of ovarian follicular growth in goats. Anim Reprod Sci. 78: 271–287. doi:10.1016/S0378-4320(03)00095-2. Rusdin, Ridwan. 2006. Pengaruh induksi cairan folikel sapi terhadap non return rate dan angka konsepsi domba ekor gemuk (Ovis aries). J Agroland. 13 (2):181-185. Senger PL. 2003. Pathways to Pregnancy and Parturition. Ed Ke-2. Washington (US): Current Conceptions, Inc. Simões J, Almeida JC, Baril G, Azevedo J, Fontes P, Mascarenhas R. 2007. Assessment of luteal function by ultrasonographic appearance and measurement of corpora lutea in goats. Anim Reprod Sci. 97: 36–46. doi:10.1016/j.anireprosci.2006.01.006. Sodiq A, Abidin Z. 2002. Kambing Peranakan Etawa Penghasil Susu Berkhasiat Obat. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Sodiq A, Abidin Z. 2008. Meningkatkan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Suguna K, Mehrotra S, Agarwal SK, Hoque M, Singh SK, Shanker U, Sarath T. 2008. Early pregnancy diagnosis and embryonic and fetal development using real time B mode ultrasound in goats. Small Ruminant Res. 80: 8086. doi:10.1016/j.smallrumres.2008.10.002. Vázqueza MI, Blancha MS, Alanisa GA, Chaves MA, Gonzalez-Bulnes A. 2010. Effects of treatment with a prostaglandin analogue on developmental dynamics and functionality of induced corpora lutea in goats. Anim Reprod Sci. 118: 42–47. doi:10.1016/j.anireprosci.2009.05.016. Widiyono I, Putro PP, Sarmin, Astuti P, Airin CM. 2011. Kadar estradiol dan progesteron serum, tampilan vulva dan sitologi apus vagina kambing bligon selama siklus berahi. J Veteriner. 12 (4): 263-268.
29
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 1982 sebagai anak kedua dari pasangan bapak Giyono dan ibu Rukiyem. Pendidikan sarjana di tempuh di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan profesi dokter hewan di tempuh di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2011 penulis diterima di Program Studi Biologi Reproduksi pada Program Pascasarjana IPB. Pada saat ini penulis bekerja sebagai Perekayasa pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Bidang kerekayasaan yang menjadi tanggung jawab penulis ialah masalah produksi dan reproduksi ternak. Selama mengikuti program S2 penulis menjadi anggota Asosiasi Reproduksi Hewan Indonesia. Karya ilmiah berjudul Sonogram Dinamika Ovarium pada Kambing Kacang (Capra hircus) akan diterbitkan pada Jurnal Veteriner. Penulis menikah dengan drh Diah Nurhayati pada tahun 2008.