1
I.
I.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Di Indonesia ada beberapa bangsa kambing (Capra hircus) yang sudah
dikarakterisasi fenotipenya. Kambing gembrong adalah salah satu jenis kambing yang memiliki penampilan yang spesifik dan di Indonesia hanya terdapat di Bali. Kambing ini diberi nama kambing gembrong oleh masyarakat setempat karena bulunya yang panjang dan lebat terutama pada yang jantan dengan bulu dibagian muka sering menutupi matanya. Keberadaan kambing gembrong menambah keragaman hayati yang ada di Bali sehingga perlu dipertahankan dan dapat merupakan aset daerah. Namun dewasa ini, populasi kambing gembrong terus berkurang karena beberapa kendala yang dihadapi oleh peternak di lapangan seperti gangguan oleh anjing hutan yang sering memangsa kambing ini terutama di malam hari dan juga banyak yang menderita penyakit scabies (Yupardhi, 1998). Pemeliharaan kambing gembrong dilakukan secara ekstensif bersamasama kambing jenis lain seperti kambing peranakan etawa (PE hasil persilangan kambing kacang dan etawa) dan kambing kacang. Karena bulu yang lebat dan kadang menutupi mata, kambing gembrong yang paling sulit menghindar dari serangan predator (anjing hutan) sehingga populasinya cepat berkurang. Oleh karena ini untuk mempertahankan plasma nutfah kambing gembrong sebagai aset daerah Bali, tindakan pelestarian dan pengembangannya perlu dilakukan. Bantuan iptek dan manajemen sangat dibutuhkan oleh para petani/peternak kambing khususnya kambing gembrong melalui peran perguruan tinggi serta pemerintah daerah dengan instansi terkait.
2
Dewasa ini produksi bulu kambing gembrong banyak dibutuhkan oleh para nelayan yaitu dimanfaatkan sebagai umpan mancing ikan di laut. Andaikata populasi kambing gembrong ini dapat ditingkatkan dan dikembangkan bukan tidak mungkin bulu-bulu yang dihasilkannya dapat digunakan untuk tujuan yang lebih inovatif seperti aneka kreasi seni (Bali adalah sumber para seniman yang kreatif) atau untuk bahan tekstil, dan lain-lain. Dengan demikian Bali akan memiliki aset komoditi ternak andalan lain (selain sapi bali) yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia. Faktor yang sangat menentukan tingkat keberhasilan dalam peternakan adalah tersedianya bibit, baik kualitas maupun kuantitas. Kualitas bibit ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik juga terkait dengan tingkat kelangsungan hidup. Faktor lingkungan dapat ditangani dengan pemberian pakan yang memadai, serta tatalaksana pembudidayaan yang baik, sedangkan faktor genetik dapat ditempuh dengan melakukan seleksi terarah dan berkelanjutan. Perbaikan mutu bibit secara genetik ditentukan oleh variasi genetik dan struktur populasi induknya. Pengetahuan tentang data - data genetik ini sangat diperlukan dalam pemuliaan. Perkembangan teknik molekuler seperti teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) mampu mengamplifikasi untai DNA hingga mencapai konsentrasi tertentu sehingga cukup tinggi untuk dianalisis. Produk PCR ini dapat disekuensing untuk mengetahui sekuen DNA suatu individu. Bersamaan dengan berkembangnya teknik komputer, telah mempermudah para peneliti untuk mendapatkan data genetik. Informasi mengenai keragaman genetik dapat diperoleh melalui beberapa cara, diantaranya dengan menggunakan DNA
3
mikrosatelit (Puja dan Sulabda 2009), AFLPs, SNPs, Y-chromosomal DNA atau menganalisis DNA mitokondria (mtDNA) (Lenstra, 2005). DNA mitokondria merupakan materi genetik yang diturunkan secara maternal dan tidak mengalami rekombinasi. Analisis mtDNA ini lebih sensitif dibandingkan dengan analisis protein yang sudah banyak dilakukan (Ratnayani dkk, 2007). Keragaman genetik suatu spesies merupakan sumberdaya biologi primer di dalam reproduksi sehingga untuk mengembangbiakkan suatu spesies perlu diketahui variasi genetiknya. Keragaman genetik yang diidentifikasi dari frekuensi alel, proporsi lokus polymorfik dan heterosigositas adalah cerminan dari pertumbuhan, kelangsungan hidup, ketahanan terhadap penyakit serta kemampuan dalam mengkonversi pakan dan perubahan lingkungan. Populasi dengan keragaman genetik tinggi akan memiliki peluang hidup yang semakin tinggi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Heterosigositas yang tinggi memungkinkan perbaikan mutu genetik populasi dengan eksploitasi gen – gen yang menguntungkan.
1.2.
Rumusan Masalah Asal usul kambing gembrong di Bali belum diketahui dan belum ada
penelitian yang melaporkannya.Untuk penelusuran tentang hal ini, maka beberapa pendekatan perlu dilakukan. Dalam penelitian ini akan ditelusuri tentang : 1. Bagaimana keragaman DNA mitokondria kambing gembrong ? 2. Bagaimanakah kekerabatan kambing gembrong dengan kambing kacang
dan kambing PE yang ada di Bali?
4
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui keragaman genetik kambing gembrong melalui keragaman
DNA mitokondrianya 2. Mengetahui kekerabatan kambing gembrong dengan kambing kacang dan
kambing PE yang ada di Bali 1.4.
Manfaat Penelitian Dengan mengetahui tingkat keragaman genetik dan kekerabatan kambing gembrong maka dapat diperkirakan asal mula atau penyebab munculnya kambing gembrong di Bali dan membantu penentuan strategi pemuliaan kambing gembrong tersebut.
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistematika dan Karakteristik Kambing Menurut Davendra and Mcleroy (1982), sistematika kambing adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animals
Phylum : Chordata Group
: Cranita (Vertebrata)
Class
: Mammalia
Order
: Artiodactyla
Sub-order
: Ruminantia
Famili
: Bovidae
Sub Famili
: Caprinae
Genus
: Capra atau Hemitragus
Spesies : - Capra hircus - Capra ibex - Capra caucasica - Capra pyrenaica - Capra falconeri Kambing merupakan salah satu jenis binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing liar jantan maupun betina memiliki tanduk sepasang, namun tanduk pada kambing jantan lebih besar. Kambing, umumnya mempunyai jenggot, dahi cembung, ekor agak ke atas, dan kebanyakan berbulu lurus dan kasar. Panjang tubuh
6
kambing liar, tidak termasuk ekor, adalah 1,3 - 1,4 m, sedangkan ekornya 12 - 15 cm. Bobot yang betina 50 - 55 kg, sedangkan yang jantan bisa mencapai 120 kg (Sinar Tani, 2007). Kambing liar tersebar dari Spanyol ke arah timur sampai India, dan dari India ke utara sampai Mongolia dan Siberia. Habitat yang disukainya adalah daerah pegunungan yang berbatu-batu. Kambing sudah dibudidayakan manusia kira-kira 8000 hingga 9000 tahun yang lalu. Di alam aslinya, kambing hidup berkelompok 5 sampai 20 ekor. Dalam pengembaraannya mencari makanan, kelompok kambing ini di pimpin oleh kambing betina yang paling tua. Kambing jantan berfungsi sebagai penjaga keamanan rombongan. Waktu aktif mencari makannya siang maupun malam hari. Makanan utamanya adalah rumput-rumputan dan dedaunan (Chen et al. 2005). Di Indonesia ada beberapa bangsa kambing yang sudah dikarakterisasi fenotipenya. Dari bangsa ternak kambing lokal Indonesia tersebut yang termasuk kategori besar adalah kambing peranakan etawa (PE) dan kambing muara, kambing kategori sedang adalah kambing kosta, gembrong dan kategori kecil adalah kambing kacang, kambing samosir dan kambing marica. Diperkirakan masih banyak lagi bangsa kambing lokal Indonesia yang belum dapat dikarakterisasi dan sebagian mungkin sudah hampir punah atau jumlah populasinya sudah mendekati punah yang belum sempat dieksplorasi potensi keragaman genetiknya untuk dimanfaatkan sebagai sumber peningkatan mutu genetik kambing di Indonesia (Sinar Tani, 2007).
2.2. Karakteristik Kambing Gembrong, Kambing Kacang dan Kambing Peranakan Etawa (PE)
7
Data dasar tentang produktivitas kambing gembrong belum banyak terungkap. Menurut Rumich (1967) ada bangsa kambing di pantai Timur pulau Bali yang ciri – cirinya berbeda dengan jenis kambing kacang ataupun kambing PE. Ukuran tubuh kambing ini berada antara kambing PE dan kambing kacang, Masyarakat setempat menyebutnya dengan kambing gembrong karena kata gembrong berasal dari bahasa Bali yang artinya bulu yang lebat dan panjang. Kambing gembrong yang terdapat di Kabupaten Karangasem memiliki ciri khas adalah berbulu panjang. Panjang bulu berkisar 15-25 cm, bahkan rambut pada bagian kepala sampai menutupi muka dan telinga. Rambut panjang terdapat pada kambing jantan, sedangkan kambing gembrong betina berbulu pendek berkisar 5-8 cm. Warna tubuh kambing gembrong pada umumnya atau dominan putih (61,5%) tapi ada sebagian yang berwarna coklat muda (23,08%) dan coklat (15,38%). Pola warna tubuh umumnya adalah satu warna sekitar 69,23% dan sisanya terdiri dari dua warna 15,38% dan tiga warna 15,38%. Rataan litter size kambing gembrong adalah 1,25. Rataan bobot lahir tunggal 2 kg sedangkan yang kembar dua 1,5 kg. Tingkat kematian prasapih 20% (Sinar Tani, 2007). Matram dkk. (1993) melaporkan bahwa dalam kondisi pemeliharaan tradisional diperoleh bobot badan kambing jantan dewasa 32 – 45 kg, tinggi gumba 58 – 65 cm, lingkar dada 73 – 86 cm dan panjang badan 56 – 65 cm. sedangkan kambing gembrong betina dewasa memiliki bobot badan 21 – 31 kg, tinggi gumba 49 – 60 cm, lingkar dada 70 – 82 cm dan tinggi badan 50 – 61 cm. Kambing gembrong dapat dikawinkan pada umur 6 bulan sehingga beranak pertama kali pada umur 12 bulan dengan tipe kelahirannya berkisar antara lahir tunggal sampai kembar tiga.
8
Asal usul kambing ini belum ditemukan secara pasti. Kambing ini memiliki nilai ekonomis yang lebih dibandingkan dengan kambing kacang dan PE karena dapat menghasilkan daging dan kulit juga menghasilkan bulu. Menurut Robinson (1972), kambing ini merupakan bangsa kambing tersendiri. Namun sampai saat ini kambing gembrong ini belum banyak mendapat perhatian yang serius dari masyarakat. Hal ini tercermin dari sistem pemeliharaannya yang masih sangat tradisional dan tidak berbeda dengan pemeliharaan kambing yang lain, digembalakan di lokasi umum sehingga hanya tergantung pada alam. Sebagai akibatnya sebagian kambing terlihat terkena scabies (Yupardhi, 1998). Kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia, tetapi juga terdapat di Malaysia dan Philipina. Kambing kacang sangat cepat berkembang biak, pada umur 1518 bulan sudah bisa menghasilkan keturunan. Kambing ini cocok sebagai penghasil daging dan kulit dan bersifat prolifik, sifatnya lincah, tahan terhadap berbagai kondisi dan mampu beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan yang berbeda termasuk dalam kondisi pemeliharaan yang sangat sederhana (Sinar Tani, 2007). Kambing peranakan etawa (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing etawa (asal India) dengan kambing kacang, yang penampilannya mirip etawa tetapi lebih kecil. Kambing PE tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu. Keturunan yang penampilannya mirip kacang disebut bligon atau jawa randu, yang merupakan tipe pedaging. Ciri khas kambing PE antara lain; bentuk muka cembung melengkung dan dagu berjanggut, terdapat gelambir di bawah leher yang tumbuh berasal dari sudut janggut, telinga panjang, lembek menggantung dan ujungnya agak berlipat, ujung tanduk agak melengkung, tubuh tinggi, pipih, bentuk garis punggung mengombak ke belakang, bulu tumbuh panjang di bagian leher, pundak, punggung dan paha, bulu paha panjang dan tebal (Sinar Tani, 2007).
9
2.3. Keragaman Genetik Pengertian keragaman hayati atau biodiversitas mengacu pada macam dan kelimpahan spesies, komposisi genetik, komunitas, ekosistem dan bentang alam tempat hidupnya. Biodiversitas mencakup tumbuhan, binatang, jamur, bakteri dan mikroorganisme yang lain. Biodiversitas juga mengacu pada keragaman gen, spesies dan ekosistem. Keragaman genetik mencakup variasi dalam material genetik, seperti gen dan kromosom. Keragaman spesies (taksonomi) kebanyakan diintepretasikan sebagai variasi di antara dan di dalam spesies, mencakup variasi satuan taksonomi seperti filum, famili, genus dan sebagainya (Indrawan dkk., 2007). Keragaman genetik terdapat dalam empat level organisasi: antar spesies, antar populasi, antar individu,dalam populasi dan dalam individu. Keragaman antar spesies sebagai manifestasi dari keragaman genetik walaupun pembedaan spesies dengan mudah tanpa mengetahui komposisi gennya (Indrawan dkk., 2007). Keragaman genetik dalam sebuah populasi organisme terutama dihasilkan oleh tiga mekanisme; mutasi, perpasangan alel secara bebas atau rekombinasi dan migrasi gen dari satu tempat ketempat lain (Suryanto, 2003; Elrod dan Stansfield, 2007). Keragaman genetik di antara populasi dari suatu spesies bisa sangat besar. Demikian juga dalam populasi kebanyakan populasi alami, perbedaan genetik di antara individu sering juga besar. Akhirnya keragaman genetik terdapat di dalam suatu individu bilamana ada dua alel untuk gen yang sama merupakan perbedaan konfigurasi DNA yang menduduki lokus yang sama pada suatu kromosom (Sofro, 1994).
10
Besarnya keragaman di dalam suatu spesies tergantung pada jumlah individu, kisaran penyebaran geografinya, tingkat isolasi dari populasi dan sistem genetiknya. Peran penting juga dilakukan oleh proses-proses seleksi alami dan antropogenik, serta juga faktor-faktor yang berpengaruh pada perubahan spasial dan temporal pada komposisi genetik dari spesies atau populasi. Keragaman genetik penting bagi kemampuan spesies dan populasi beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan dan karena itu merupakan persyaratan bagi kelangsungan hidupnya. Keragaman yang bersifat genetik juga dapat bermanfaat dalam usaha memperbaiki suatu spesies yang dibudidayakan melalui kegiatan seleksi dan pemuliaan (Sugama et al., 1998) Pada spesies yang berkembang biak secara seksual, setiap populasi lokal mengandung kombinasi gen tertentu. Jadi, suatu spesies merupakan kumpulan populasi yang berbeda secara genetik satu sama lain.
Perbedaan genetik ini
diwujudkan sebagai perbedaan di antara populasi dalam sifat morfologi, fisiologi, kelakuan, dan sejarah hidup (life history). Sifat-sifat genetik (genotipe) mempengaruhi sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe) (Indrawan dkk., 2007). Seleksi alami pada awalnya bekerja pada level fenotipik, memihak kepada atau tidak menguntungkan untuk sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe). Lukang gen (gene pool) yaitu agregat total gen pada suatu populasi pada suatu waktu, akan berubah
ketika organisme dengan fenotipe yang kompatibel dengan
lingkungan akan lebih mampu bertahan hidup dalam jangka lama dan akan berkembang biak lebih banyak dan meneruskan gen-gennya lebih banyak pula ke generasi berikutnya (Elrod dan Stansfield, 2007).
11
Besarnya keragaman genetik dalam populasi lokal sangat beragam. Populasi kecil
yang berbiak secara aseksual dan terisolasi, sering memiliki
keragaman genetik yang kecil di antara individu, sedangkan pada populasi besar dan berbiak secara seksual sering memiliki variasi yang besar. Dua faktor utama yang bertanggung jawab kepada adanya variasi ini, yaitu
cara bereproduksi
(seksual atau aseksual) dan ukuran populasi (Indrawan dkk, 2007). Pada populasi seksual, gen direkombinasi pada setiap generasi, menghasilkan genotipe baru. Kebanyakan keturunan spesies seksual mewarisi separuh gennya dari induk betina dan separuhnya lagi dari induk jantan, dengan demikian susunan genetiknya berbeda dengan kedua induknya atau dengan individu yang lain di dalam populasi. Adanya mutasi yang menguntungkan, yang pada awalnya muncul pada suatu individu dapat direkombinasi dalam kurun waktu tertentu pada populasi seksual. Sebaliknya, keturunan individu aseksual secara genetik identik dengan induknya. Satu-satunya sumber kombinasi gen dalam populasi aseksual adalah mutasi (perubahan dalam material genetik yang diwariskan ke keturunannya). Mutasi mungkin terjadi spontan (kekeliruan dalam replikasi material genetik) atau terjadi karena pengaruh faktor eksternal (misal radiasi dan bahan kimia tertentu). Mutasi terjadi di dalam gen yang terdapat pada molekul DNA (deoxyribonucleic acid). Populasi aseksual mengakumulasi keragaman genetiknya hanya pada laju mutasi gennya. Mutasi yang menguntungkan pada individu aseksual yang berbeda tidak mungkin mengalami rekombinasi gen dan muncul pada suatu individu seperti layaknya pada populasi seksual. Kombinasi gen yang menguntungkan akan lebih besar pada populasi seksual daripada populasi aseksual.
12
Dalam jangka panjang, keragaman genetik akan lebih lestari dalam populasi besar daripada dalam populasi kecil. Melalui efek damparan genetik (genetic drift yaitu perubahan dalam lukang gen dari suatu populasi kecil yang berlangsung semata-mata karena proses kebetulan), suatu sifat genetik dapat hilang dari populasi kecil dengan cepat (Indrawan dkk., 2007). 2.4. DNA Mitokondria Mitokondria adalah subsellular penting organel, yang bertanggung jawab untuk mengoksidasi reaksi dalam siklus asam trikarboksilat, pemindahan elektron dan metabolisme energi di dalam sel dan mempunyai suatu material genetik tersendiri yang disebut mitochondria genome ( mtDNA). DNA mitokondria mengandung 37 gen pengode untuk 2 rRNA, 22 tRNA, dan 13 polipeptida yang merupakan sub unit kompleks enzim yang terlibat dalam fosforilasi oksidatif, yaitu subunit 1, 2, 3, 4, 4L, 5, dan 6 dari kompleks I, subunit b (sitokrom b) dari kompleks III, subunit I, II, dan III dari kompleks IV (sitokrom oksidase) serta subunit 6 dan 8 dari kompleks V (Kohcer dan White, 1989 dalam Yusuf, 1989) Dua rantai yang menyusun material genome itu dikenal sebagai rantai berat (H-strand) dan rantai ringan (L-strand) oleh karena perbedaan bobot molekul sebagai hasil komposisi dasar berbeda. Tiga belas gen yang mengkode protein yaitu 12 adalah H-strand dan hanya satu adalah L-strand. Daerah noncoding sebagian besar pada area D-loop, yang mempunyai peranan fungsional di dalam replikasi transkripsi. Urutan genom mitokondria dan perbandingan pengaturan gen dapat dipakai untuk melihat hubungan phylogenetik masa lampau (Hou et al., 2006).
13
Menurut Tapio dan Grigaliunaite, (2003) genom mitokondria yang terdiri atas gen-gen penyandi rRNA 12S dan 16S, 22 tRNA, dan 13 protein sub unit kompleks enzim rantai respirasi, juga memiliki urutan nukleotida non penyandi yang disebut dengan daerah Displacement Loop (D-Loop). Keunikan dari daerah D-Loop adalah memiliki tingkat polimorfisme yang tertinggi dalam mtDNA. Daerah D-Loop bersifat sangat variabel dan mempunyai laju evolusi lima kali lebih cepat dibandingkan daerah lain dalam genom mitokondria. DNA mitokondria banyak ditemukan pada sel-sel atau jaringan yang memiliki aktivitas metabolit tertinggi atau pada daerah-daerah yang memerlukan ATP dalam jumlah banyak, seperti pada bagian ekor sel sperma, sel epitel yang aktif membelah pada jaringan epidermis kulit dan sel otot jantung (Anderson et a.1981 dalam Hartati dan Maksum. 2004). Ada tiga karakteristik mtDNA yang dapat dijadikan alat yang signifikan untuk keperluan analisis. Pertama, mtDNA mempunyai copy number yang tinggi, meskipun di dalam sel yang tidak mengandung inti. Jumlah copy per sel yaitu sekitar 1000-10.000 sehingga mtDNA dapat digunakan untuk analisis sampel dengan jumlah DNA yang sangat terbatas, atau DNA yang mudah terdegradasi, apabila analisis DNA inti tidak dapat dilakukan. Kedua, mtDNA diturunkan secara maternal sehingga setiap individu pada garis keturunan ibu yang sama akan mempunyai tipe mtDNA yang identik. Ketiga, mtDNA mempunyai laju polimorfisme yang tinggi dengan laju evolusinya sekitar 5-10 kali lebih cepat dari DNA inti (Ratnayani dkk, 2007) D-loop merupakan daerah yang mempunyai tingkat polimorfisme tertinggi dalam mtDNA. Terdapat dua daerah hipervariabel dengan tingkat
14
variasi terbesar antara individu-individu yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. (Ratnayani dkk., 2007). DNA mitokondria (mtDNA) telah mewakili unsur genomik yang paling informatif untuk menguraikan asal ternak. Hingga kini, sekuen mitokondria telah secara luas dipelajari pada sapi, babi, domba, kuda, anjing, keledai, dan kambing. Studi sebelumnya pada kambing domestik yang identifikasi melalui mtDNA menghasilkan sedikitnya empat garis keturunan utama (Chen et al., 2005). Garis keturunan A adalah yang paling berbeda dan secara luas penyebarannya ke semua benua. Garis keturunan B adalah dari timur dan Asia selatan, mencakup Mongolia, Laos, Malaysia, Pakistan, dan India. Garis keturunan C dengan frekwensi rendah di Mongolia, Switzerland, Slovenia, Pakistan, dan India. Garis keturunan D adalah jarang dan hanya diamati di Pakistan dan kambing lokal India. Waktu penyimpangannya dari antara empat garis keturunan (lebih dari 200,000 tahun yang lalu) jauh didahului waktunya dari proses penjinakan di sekitar 10,000 tahun yang lalu (Chen et al., 2005). DNA mitokondria (mtDNA) memiliki sejumlah sifat genetik khas yang membedakannya dari genom inti. Pada mamalia DNA mitokondria hanya diturunkan lewat jalur ibu tanpa rekombinasi. DNA mitokondria pada sel anak seluruhnya disumbangkan oleh ibu dan sperma sama sekali tidak berkontribusi. Keunikan sistem penurunan yang menarik ini telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang yaitu penentuan hubungan kekerabatan, studi evolusi dan migrasi global manusia modern, bidang forensik dan identifikasi penyakit genetik. Keunikan lain dari mtDNA yaitu memiliki laju mutasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
15
DNA inti yaitu laju mutasi menetap gen-gen mtDNA 10-17 kali lebih cepat daripada yang terlibat dalam fosforilasi oksidatif yang dikode oleh DNA inti. DNA mitokondria berbeda dengan DNA inti pada lokasi, urutan, kuantitas dalam sel, dan cara pewarisannya (dari orang tua ke anak). Sel hanya memiliki satu inti sel yang mengandung 2 set kromosom, yaitu satu set paternal dan satu set maternal. Akan tetapi sel dapat mengandung ratusan hingga ribuan mitokondria dan masing-masing mitokondria dapat mengandung beberapa copy mtDNA. DNA inti memiliki jumlah basa yang lebih banyak dibandingkan DNA mitokondria, tetapi molekul mtDNA terdapat dalam jumlah copy yang jauh lebih banyak daripada molekul DNA inti. Karakteristik mtDNA ini sangat berguna pada situasi di mana jumlah DNA sampel sangat terbatas, seperti sampel-sampel yang diambil dari kasus kriminal yaitu rambut, tulang, gigi, cairan tubuh (air liur, air mani, darah) (Tapio dan Grigaliunaite, 2003). 2.5.
Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction) adalah suatu
metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali ditemukan oleh Kary B. Mullis (1985). Metode ini sekarang telah banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik baik berupa molekul DNA maupun RNA (Yuwono, 2006). Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA, ukuran panjang primer, komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik (Suryanto, 2003). Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA
16
cetakan; yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan. (2) oligonukleotida primer; yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15 – 25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesa rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP dan (4) enzim DNA pilomerase yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006). Prinsip dasar PCR dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan terpisah menjadi rantai tunggal. Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan suhu panas (95 ºC) selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 ºC sehingga primer akan menempel pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hydrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Suhu 55 ºC yang dipergunakan untuk menempelkan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37 ºC), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang lebih tinggi (55 ºC), spesifikasi reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan efisiensinya akan menurun (Yuwono, 2006). Primer yang dipergunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5’-fosfat dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses penempelan biasanya dilakukan selama 1-2 menit. Setelah penempelan oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 ºC selama 1,5 menit. Pada suhu ini
17
DNA polymerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hydrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang baru terbentuk dengan adanya ikatan hydrogen, selanjutnya didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95 ºC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono, 2006). Reaksi-reaksi tersebut diatas diulang lagi sampai 25 – 30 kali siklus sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target didalam campuran reaksi. Pada umumnya konsentrasi DNA polymerase Taq menjadi terbatas setelah 25-30 siklus amplifikasi.
III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Indonesia memiliki banyak plasma nutfah kambing lokal serta silangannya dengan kambing luar (impor). Masing – masing kambing tersebut memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri yang secara fenotipe dapat dibedakan satu
18
sama lainnya. Secara umum kambing lokal memiliki sifat adaptasi yang lebih baik terhadap lingkungannya, tetapi memiliki kelemahan dalam produktivitas seperti daging dan susu. Kambing lokal kebanyakan tidak dipelihara secara intensif sehingga keberadaannya semakin langka. Hal ini perlu dicegah karena keberadaan kambing lokal sebagai sumber genetik sangatlah penting. Di Bali terdapat 3 jenis kambing yaitu kambing kacang, kambing PE dan kambing gembrong. Dari ketiga jenis kambing ini, yang memiliki keunikan tersendiri terutama bulunya yang lebat yaitu kambing gembrong. Pertumbuhan kambing ini agak lambat dengan ukuran tubuh yang relatif kecil pada pemeliharaan yang masih bersifat ekstensif oleh peternak di Bali. Populasi kambing gembrong yang semakin langka akibat dimangsa oleh predator (anjing hutan) menyebabkan ada kecendrungan kambing ini dikawinkan secara inbreeding. Perkawinan sedarah dari sudut pemuliaan perlu dihindari, karena ada kecendrungan menghasilkan keturunan yang lebih jelek dari induknya. Perkawinan sedarah menyebabkan kecilnya keragaman genetik dari suatu populasi. Hal ini akan berdampak pada rendahnya respons yang terjadi bila tindakan pemuliaan dilakukan melalui seleksi dalam kelompok atau jenisnya sendiri (seleksi within breed). Kambing gembrong dengan bulunya yang panjang dan indah sangat perlu dilestarikan dan dikembangkan. Untuk tujuan pelestarian dan pengembangannya melalui program pemuliaan, maka data genetik secara molekuler kambing gembrong ini perlu diungkap. Kambing gembrong ini belum jelas asal usulnya, sehingga perlu ada upaya penelitian untuk mengungkap bagaimana kekerabatan kambing gembrong dengan
19
kambing lokal lainnya. Bagan kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1. 3 jenis kambing di Bali: Kambing Kacang, PE dan Gembrong
Kambing Gembrong memiliki fenotip yang unik / spesifik dan memberi manfaat tambahan bagi peternak
Kambing Gembrong mulai langka dan terancam punah
Kambing Gembrong merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan
Hubungan kekerabatan K.gembrong dengan K.kacang dan PE perlu diketahui
Keragaman genetik Kambing gembrong perlu diketahui
Analisis mtDNA Kambing gembrong, kambing kacang dan kambing PE perlu dilakukan
Gambar 3.1. Bagan Kerangka Konsep Penelitian IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
20
Sampel darah kambing gembrong diambil dari tempat pemeliharaannya di dusun Sawe, Kabupaten Jembrana, sedangkan sampel darah kambing kacang dan PE diambil dari kambing – kambing yang dipelihara peternak di Desa Kubu, Kabupaten Karangasem. Analisis darah dilakukan di Laboratorium Biomedika, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar pada bulan April – Mei 2010. 4.2. Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah kambing gembrong sebanyak 12 ekor, kambing kacang 3 ekor dan kambing PE 3 ekor. Perlengkapan ekstraksi DNA dengan PureLinkTM genomic DNA Purification Kit dari Invitrogen, SuperScriptTM III One-Step PCR System with Platinum® Taq DNA Polymerase (Invitrogen), Rmix-dNTP, MgSO4, gel agarose 1 %, buffer TAE (Tris acetic EDTA), etidium bromide, loading dye, marker 100 bp DNA Ladder (Invitrogen), primer CAP-F (5'-CGTGTATGCAAGTACATTAC-3') dan CAP-R (5'-CTGATTAGTCATTAGTCCATC-3'), yang merupakan primer spesifik untuk kambing (Luikart et al., 2001) Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah venoject, handle, jarum, centrifuge, alat pendingin, tabung eppendorf besar dan kecil beserta rak, gelas ukur, pinset, pipet mikro (micropipette), tips, oven, laminar air flow, Thermocycler Eppendorf Mastercycler personal atau PTC-100TM Programable Thermal Controller MJ Research Inc, elektroforesis, UV reader dan film Polaroid. 4.3. Pengambilan Sampel Darah
21
Sampel darah kambing diambil sebanyak 4 ml melalui vena jugularis dengan menggunakan jarum dan ditampung pada tabung venoject yang mengandung lithium heparin sebagai antikoagulan. Kemudian tabung yang telah berisi darah diletakkan dalam termos dingin. 4.4. Ekstraksi Sel Darah Putih Darah kambing diambil 1 ml, dimasukkan kedalam eppendorf lalu disentrifuse dengan kecepatan 2000 – 3000 rpm selama 1 menit. Supernatant dibuang kemudian ditambahkan aquabidest dan dihomogenkan dengan cara mengocok membentuk angka delapan. Larutan disentrifuse dengan kecepatan 2000 – 3000 rpm selama 1 menit. Supernatant dibuang, sedangkan endapannya (berupa gel) disimpan didalam freezer untuk selanjutnya digunakan untuk isolasi DNA. 4.5. Ekstraksi DNA dari Sel Darah Putih, Daging dan Hati Sel darah putih yang telah diisolasi dipanaskan pada suhu 100 ºC selama 5 menit, kemudian dihomogenkan dengan mikropastel. Sedangkan untuk daging dan hati diambil 0,1 gram jaringan kemudian digerus dengan mikropastel. Masing – masing ditambahkan 180 µl digestion buffer dan dihomogenkan kembali dengan mikropastel. Setelah homogen ditambahkan 20 µl proteinase K, kemudian diinkubasi pada suhu 55 ºC selama 1 – 4 jam dengan sesekali divortek lalu disentrifuge dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit. Supernatannya diambil, lalu dimasukkan kedalam tabung baru dan ditambahkan 20 µl RNAse A, kemudian divortek dan diinkubasi selama 2 menit. Kemudian ditambahkan 200 µl binding buffer, dan divorteks. Selanjutnya ditambahkan 200 µl etanol, dan
22
kemudian dipindahkan ke spin collum. Sentrifuse dilakukan pada 10.000 rpm selama 1 menit, buang flow, kemudian dipindahkan ke spin collum baru. Penambahan 500 µl wash buffer1 dilakukan sebelum disentrifuse pada kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit, buang flownya lalu ditambahkan 500 µl wash buffer 2, disentrifuse dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit. Flow dibuang, dipindahkan ke tabung 1,5 ml, kemudian ditambahkan 150 µl Elution buffer. Inkubasikan dilakukan selama 1 menit dan disentrifuse pada 14.0000 rpm selama 1 menit kemudian disimpan pada suhu -20 ºC sampai dipergunakan lebih lanjut 4.6. PCR dan Squensing Teknik PCR dilakukan dengan SuperScriptTM III One Stept System with Platinum® Taq DNA Polymerase (Invitrogen). PCR dilakukan dalam total volume 10 µl yang mengandung 5 µl Rmix buffer (dNTP) +Mg, masing – masing 1,2 µl primer CAP-F dan primer CAP-R, 0,25 µl super script III Rt Platinum Taq mix, 2 µl DNA yang telah diisolasi dan 0,35 µl ddH2O. Tabung PCR dimasukkan ke dalam Thermocycler
Eppendorf
Mastercycler
personal
atau
PTC-100TM
Programable Thermal Controller MJ Research Inc. Reaksi PCR dilakukan pada mesin penyiklus panas yang telah diprogram dengan kondisi; Pemanasan pertama pada suhu 950C selama 7 menit, diikuti oleh 39 siklus yang terdiri atas denaturasi 45 detik pada suhu 940C, annealing 45 detik pada suhu 500C, dan 1 menit ekstensi pada suhu 720C. Setelah 39 siklus selesai, kemudian diikuti 5 menit pada suhu 720C untuk memperoleh fragmen yang sempurna dan pendinginan selama 30 menit.
23
Setelah PCR, 3 µl volume produk ditambahkan dengan 1 µl loading dye (Bromphenol-blue dan Cyline Cyanol) dan selanjutnya dielektroforesis pada gel agarose 1% yang telah diisi etidium bromide dengan konsentrasi 25 µg/ml bersama dengan marker 100 bp DNA Ladder (Invitrogen). Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 100 v selama 30 menit. Visualisasi DNA dilakukan dengan UV dan didokumentasikan dengan kamera dan film Polaroid. Setiap produk PCR dianalisis menggunakan reaksi sequencing rantai tunggal (Single-strand sequensing reaction) dan dianalisis dengan menggunakan automated DNA sequencer di Lembaga Eijkman, Jakarta. 4.7. Analisis Data Sekuen Sekuen diurut dengan menggunakan Program MEGA 4 (Tamura et al., 2007). Hasil sekuen daerah D-loop mtDNA setiap haplotipe dibandingkan dengan sequen kambing-kambing yang diunduh dari Genebank. Rekonstruksi pohon filogeni menggunakan metode neighbour-joining (Saitou & Nei. 1987; Tamura, et al., 2004).
24
V. HASIL PENELITIAN
5.1. Komposisi Genetik dan Frekuensi Haplotipe DNA mitokondria (mtDNA) telah dapat diekstraksi dengan baik dari sel darah putih 12 ekor kambing gembrong yang terdiri dari tujuh jantan (GJ1, GJ2, GJ3, GJ4, GJ5, GJ6, GJ7) dan lima betina (GB1, GB2, GB3, GB4, GB5), tiga kambing kacang (KC1, KC2, KC3) dan tiga kambing PE (PE1, PE2, PE3). Seluruh D-loop mtDNA kambing yang diuji tersebut dapat diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer CAP-F (5'-CGTGTATGCAAGTACATTAC-3') dan primer CAP-R (5'-CTGATTAGTCATTAGTCCATC-3'). Panjang produk PCR yang diamplifikasi adalah sekitar 550 bp. Hasil elektroforesis produk amplifikasi PCR disajikan pada Gambar 5.1. Setelah produk PCR disekuen dihasilkan sekuen mtDNA D-loop kambing gembrong sepanjang 550 bp.
Dari sekuen tersebut terlihat ada satu tempat
polimorfik (polimorphic site) dari dua haplotipe kambing gembrong yang diperoleh yaitu pada sekuen nomor 231 (Tabel 5.1), sedangkan gambar elektroferogram dari sekuen polimorfik disajikan pada Gambar 5.2. Haplotipe 1 memiliki sekuen C (Citosin) sedangkan pada haplotipe 2 dengan sekuen T (Timin). Frekuensi haplotipenya adalah 83,3 % untuk haplotipe 1 (kambing gembrong1) yang terdiri dari 5 kambing gembrong jantan dan 5 kambing gembrong betina (GJ1, GJ4, GJ5, GJ6, GJ7, GB1, GB2, GB3, GB4, GB5) dan 16,7 % untuk haplotipe 2 (kambing gembrong2) yang diwakili oleh dua sampel kambing gembrong jantan (GJ2 dan GJ3).
25
LD GJ1
GJ2
GJ3
GJ4
GJ5
GJ6
GJ7
GB1
GB5
KC1
KC2
KC3
PE1
PE2
PE3
GB2 GB3
1000 bp
600 bp
100 bp
LD
GB4
DK
HK
1000 bp 600 bp
100 bp
Gambar 5.1. Hasil amplifikasi mtDNA dari darah kambing gembrong jantan (GJ) dan betina (GB), kambing kacang(KC), kambing PE (PE), mtDNA daging kambing (DK) dan hati kambing (HK)
Tabel 5.1.
26
Sekuen Polimorfik mtDNA D-loop Kambing Gembrong Jantan (GJ) dan Betina (GB), serta Kambing PE dan Kambing Kacang (KC) Kode #GJ1 #GJ2 #GJ3 #GJ4 #GJ5 #GJ6 #GJ7 #GB1 #GB2 #GB3 #GB4 #GB5 #KC1 #KC2 #KC3 #PE1 #PE2 #PE3
Sekuen ATA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
TAG ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
TAC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
ATT ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
AAA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
CGA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
TCC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
ACA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
TGC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
ATA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
TTA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
AGC ..T ..T ..C ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
ACG ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
ATC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
[240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240] [240]
231
231
Gambar 5.2. Elektroferogram Sekuen Polimorfik mtDNA Kambing Gembrong Haplotipe 1 (atas) dan Haplotipe 2 (bawah)
5.2. Konstruksi Pohon Filogeni Konstruksi filogeni untuk melihat hubungan kekerabatan kambing gembrong dengan kambing kacang, kambing PE dan kambing yang berasal dari
27
beberapa negara di dunia menggunakan program MEGA4. Hasil konstruksi filogeni disajikan pada Gambar 5.3. sedangkan matrik jarak genetiknya disajikan dalam Tabel 5.2. Dari Gambar 5.3. dan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa kambing gembrong haplotipe 1 memiliki hubungan genetik yang sangat dekat (jarak genetik 0,000) dengan kambing kacang maupun kambing PE yang dipelihara di Bali. Sedangkan kambing gembrong haplotipe 2 memiliki kekerabatan yang sangat dekat (jarak genetik 0,000) dengan kambing lokal asal Asia Timur C. hircus HV1. Jarak genetik haplotipe 1 dengan haplotipe 2 hanya 0,014.
Tabel 5.2. Matrik Jarak Genetik Kambing Gembrong haplotipe 1, 2, Kambing Kacang, Kambing PE dan Beberapa Kambing di Dunia 1
no
2
3
4
5
6
7
8
9
1 Kambing_gembrong_1 2 Kambing_gembrong_2
0,014
3 Kambing_kacang
0,000
0,014
4 Kambing_Peranakan_Etawa
0,000
0,014
0,000
5 C._hircusSN31_China
0,000
0,014
0,000
0,000
6 C._hircusHN5
0,073
0,089
0,073
0,073
0,073
7 C._hircus_SN23
0,422
0,454
0,422
0,422
0,422
0,338
0,014
0,000
0,014
0,014
0,014
0,089
0,454
9 C._hircusHN23
0,458
0,492
0,458
0,458
0,458
0,367
0,106
0,492
10 C._hircusLW26
0,678
0,729
0,678
0,678
0,678
0,545
0,243
0,729
8 C._hircusHV1_Eastern_Asi a
0,220
28
Dari Gambar 5.3. juga terlihat bahwa berdasarkan uji bootstrap, kambing gembrong haplotipe 1, kambing gembrong haplotipe2, kambing kacang dan kambing PE memiliki kekerabatan (sibling) 99% dalam 500 replikasi. Kambing gembrong haplotipe 1 dengan kambing gembrong haplotipe 2 dan C. hircus HN5 memiliki sibling 100 % dalam 500 replikasi, atau dengan kata lain ketiga haplotipe itu berada dalam satu kelompok dengan probabilitas 100% dalam 500 replikasi.
29
C. hircus France 1
49 34
C. hircus Italia C. hircus Portugal 1
4
C. hircus CH78 Austria C. hircus England 1
29
C. hircus CH757 Spain 2
3
C. hircus CH823 Switzerland 2
9
C. hircus CH696 Romania
21
C. hircus Polandia
11
C. hircus 1P Sicily
33
C. hircus Norweigia C. hircus Irelandia 10
C. hircus Malta
35
C. hircus Sweden
47 21
C. hircus Portugal 2 C. hircus Slovenia
8
6
C. hircusLW26
17
C. hircus Greece C. hircus Iceland
6
C. hircus CH129 England 2
45
C. hircus Wales
51
C. hircus Ukraina 64
C. hircus Slovakia
16
C. hircus Denmark
28
C. hircus Switzerland 1
15
C. hircus CH1
29
C. hircus YCW4
36
C. hircus Germany 39
100
7
C. hircus Cyprus C. hircus CH1 Albania
C. hircus Zimbabwe1
28 82
C. hircus CH945 Zimbabwe2
70
C. hircus South Afrika 1 C. hircus South Afrika 2
C. hircusHN23 C. hircus CH130 France 2
32 93
C. hircus Spain 1 C. hircus SN23 C. hircusHN5 66
Kambing gembrong 2 C. hircusHV1 Eastern Asia
100 99
Kambing gembrong 1 Kambing kacang
64 Kambing Peranakan Etawa
C. hircusSN31 China 0,02
Gambar 5.3.
30
Analisis Filogenetik mtDNA Kambing Gembrong, Kacang, PE dan Kambing dari Berbagai Negara di Dunia. VI. PEMBAHASAN
6.1. Komposisi Genetik dan Frekuensi Haplotipe Informasi mengenai keragaman genetik dapat diperoleh melalui beberapa cara, diantaranya dengan menggunakan DNA mikrosatelit (Puja dan Sulabda 2009), AFLPs, SNPs, Y-chromosomal DNA atau menganalisis DNA mitokondria (mtDNA) (Lenstra, 2005). DNA mitokondria (mtDNA) telah mewakili unsur genomik yang paling informatif untuk menguraikan asal ternak. Hingga kini, sekuen mitokondria telah secara luas dipelajari pada sapi, babi, domba, kuda, anjing, keledai, dan kambing (Chen et al., 2005). Dalam penelitian ini DNA mitokondria dapat diisolasi dari sel darah putih kambing dengan kwalitas yang serupa dengan DNA mitokondria yang diisolasi dari jaringan otot/daging maupun hati kambing.
Hal ini sejalan dengan
pernyataan Tapio dan Grigaliunaite (2003), yang menyatakan DNA mitokondria dapat diisolasi dari rambut, tulang, gigi, cairan tubuh (air liur, air mani, darah). Menurut Anderson et al.(1981) dalam Hartati dan Maksum (2004), DNA mitokondria banyak ditemukan pada sel-sel atau jaringan yang memiliki aktivitas metabolit tertinggi atau pada daerah-daerah yang memerlukan ATP dalam jumlah banyak, seperti pada bagian ekor sel sperma, sel epitel yang aktif membelah pada jaringan epidermis kulit dan sel otot jantung. Segmen mtDNA yang dapat digunakan untuk analisis keragaman genetik suatu organisme adalah mtDNA control region atau D-loop region, yaitu bagian hypervariable noncoding dari mitokondria. Dua belas fragmen DNA mitokondria
31
(mtDNA) kambing gembrong dan enam dari kambing kacang dan kambing PE dapat diamplifikasi dengan teknik PCR. Panjang produk PCR yang diamplifikasi adalah sekitar 550 bp. Menurut Chen et al. (2005) penggunaaan primer CAP-F (5'- CGTGTATGCAAGTACATTAC-3') dan CAP-R (5'-CTGATTAGTCATTAG TCCATC-3') menghasilkan amplifikasi fragmen DNA 579 bp. Sedangkan Naderi et al. (2007) menyatakan primer ini dapat mengamplifikasi fragmen DNA 598 bp yang berhubungan dengan 15.653 sampai 16.250 bp total sekuen mtDNA kambing. Ini mengindikasikan bahwa primer yang dipergunakan merupakan primer yang spesifik untuk kambing. Hasil analisis dari sekuen mtDNA menunjukkan hanya ada satu tempat polimorfik (polimorphic site) dari dua haplotipe kambing gembrong yang diperoleh. Hal ini berbeda dengan pernyataan Ratnayani, dkk (2007) yang menyatakan DNA mitokondria memiliki laju mutasi yang sangat besar. Lebih lanjut disebutkan mtDNA mempunyai laju polimorfisme yang tinggi dengan laju evolusinya sekitar 5-10 kali lebih cepat dari DNA inti. Namun demikian laju mutasi yang cepat dengan jumlah populasi yang terbatas pada kambing gembrong kemungkinan telah terjadi mutasi balik ke tipe asalnya. Menurut Elrod dan Stansfield (2007) perubahan sekuen nukleotida dapat kembali menjadi sekuens awalnya yang disebut dengan mutasi balik (reverse) atau mutasi mundur (back). Perubahan pada segmen DNA yang sangat kecil, biasanya melibatkan satu nukleotida tunggal atau pasangan nukleotida disebut mutasi titik (point). Disamping itu, perubahan sekuen DNA yang sangat kecil, sehingga tidak
32
mempengaruhi asam amino yang dikode (mutasi bisu/silent) (Elrod dan Stansfield, 2007). Haplotipe merupakan keragaman genetik dari setiap individu dalam spesies yang sama didasarkan atas polimorfisme urutan nukleotida. Kedua haplotipe masih memiliki hubungan genetik yang sangat dekat. Polimorfik pada daerah D-loop mtDNA tidak menyebabkan perubahan fenotipe kambing gembrong yang diuji. Hal ini karena daerah D-loop merupakan daerah non coding yang tidak terekspresikan. Daerah ini hanya berperan dalam regulasi dan inisiasi dari replikasi dan transkripsi mtDNA (Boore, 1999). Keragaman genetik dapat muncul karena seleksi alam, pengaruh lingkungan, mutasi dan perkawinan. Faktor – faktor tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan susunan genetik individu dan selanjutnya menjadi susunan genetik dalam populasi (Wibowo, 2001). Disini juga terlihat bahwa kambing gembrong yang masih ada di Bali memiliki keragaman genetik yang sangat rendah. Hal ini diduga bahwa telah terjadi inbreeding dalam perkembangbiakan kambing gembrong tersebut. Silang dalam secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya individu-individu yang cendrung mengarah ke homozigot. Menurut Frankham (2005) konektivitas dan ukuran populasi mempengaruhi keragaman genetik populasi yang selanjutnya akan mempengaruhi keberadaan individu di alam. Bagi populasi kecil dan tidak memiliki banyak pilihan terhadap pasangan, persilangan dalam atau perkawinan sedarah (inbreeding) dapat terjadi. Besarnya keragaman genetik dalam populasi lokal sangat beragam. Populasi kecil
yang berbiak secara aseksual dan terisolasi, sering memiliki
33
keragaman genetik yang kecil di antara individu, sedangkan pada populasi besar dan berbiak secara seksual sering memiliki keragaman yang besar (Indrawan, dkk. 2007). Keragaman genetik suatu organisme juga disebabkan oleh adanya mutasi. Mutasi mungkin terjadi spontan (kekeliruan dalam replikasi material genetik) atau terjadi karena pengaruh faktor eksternal (misal radiasi dan bahan kimia tertentu). Mutasi terjadi di dalam gen yang terdapat pada molekul DNA. Kambing gembrong memiliki populasi kecil dengan sebaran tempat pemeliharaan yang terbatas. Hal ini menyebabkan faktor lingkungan yang diterima sama pada semua individu. Peluang mutasi akan lebih besar apabila terdapat faktor lingkungan yang ekstrim. Rendahnya keragaman genetik ini akan mengancam keberadaan kambing gembrong, karena menyebabkan rendahnya daya adaptasi terhadap cekaman lingkungan. Disamping itu menyulitkan dalam pemuliaan kambing gembrong. Dalam jangka panjang, keragaman genetik akan lebih lestari dalam populasi besar daripada dalam populasi kecil. Melalui efek damparan genetik (genetic drift) suatu sifat genetik dapat hilang dari populasi kecil dengan cepat (Indrawan dkk., 2007). Lebih lanjut disebutkan tekanan silang dalam muncul ketika kedua induk memiliki alela resesif yang bersifat merugikan bertemu melalui proses perkawinan sehingga menghasilkan jumlah individu yang lebih rendah pada generasi berikutnya. 6.2. Konstruksi Pohon Philogenetik Dari Gambar 5.3. terlihat kambing gembrong haplotipe 1 memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan kambing kacang dan kambing PE yang
34
dipelihara di Bali.
Hal ini mengindikasikan bahwa induk dari ketiga jenis
kambing tersebut kemungkinan berasal dari salah satu jenis kambing tersebut. Telah diketahui bahwa kambing PE adalah hasil persilangan kambing kacang betina dengan kambing etawa jantan, sehingga sangat dimungkinkan kambing gembrongpun induknya adalah kambing kacang. Sedangkan kambing kacang sudah tentu induknya adalah kambing kacang. Permasalahannya adalah mengapa fenotipe kambing gembrong berbeda dengan kedua jenis kambing yang lain (kacang dan PE). Apakah mungkin bulu panjang yang dimiliki kambing gembrong akibat mutasi gen penentu panjang bulu yang dibawa kambing kacang. Hal ini perlu diteliti lebih mendalam. DNA Mitokondria diturunkan secara maternal sehingga setiap individu pada garis keturunan ibu yang sama akan mempunyai tipe mtDNA yang identik (Ratnayani, dkk., 2007). Namun apabila dilihat Gambar 5.3. yang didukung dengan nilai bootstrap yang tinggi terlihat adanya kekerabatan yang sangat dekat dari ketiga jenis kambing ini dengan kambing lokal asal Cina (Capra hircus SN31). Sedangkan kambing gembrong haplotipe 2 kekerabatannya lebih dekat dengan kambing lokal asal Asia Timur C. hircus HV1. Hal ini menunjukkan bahwa kambing gembrong masuk ke dalam spesies Capra hircus. Hasil pengujian dengan metode boostraping yang ditampilkan dalam setiap percabangan philogeni pada Gambar 5.3. menunjukkan cabang filogeni dari clade kambing gembrong haplotipe 1 dengan kambing kacang dan kambing PE memiliki nilai bootstrap 64 yang artinya 64% dari 500 replikasi kambing-kambing tersebut memiliki kekerabatan (sibling), dan kambing – kambing tersebut 99% sibling dengan kambing gembrong haplotipe 2. Sedangkan
kedua haplotipe
35
kambing gembrong berada dalam satu kelompok dengan C. hircus HN5 dengan probabilitas 100% dalam 500 replikasi. Kambing gembrong memiliki tingkat mutasi yang rendah dan fenotipe keturunannya relatif stabil. Hal ini kemungkinan kambing gembrong merupakan salah satu ras dari spesies Capra hircus. Menurut Elrod dan Stansfield (2007), sebuah ras adalah bagian dari populasi satu spesies yang saling mengawini dan terisolasi secara fenotipik, genetis dan biasanya juga geografis. Cabang pada pohon filogeni mewakili hubungan antar unit yang menggambarkan hubungan keturunan dengan leluhur, sedangkan panjang cabang menggambarkan jumlah perubahan evolusioner yang terjadi antara dua nodus (Li dan Graur, 1991). Analisis pohon filogeni ini menunjukkan bahwa penanda molekuler Dloop mtDNA dengan primer CAP-F (5'-CGTGTATGCAAGTACATTAC-3') dan CAP-R
(5'-CTGATTAGTCATTAGTCCATC-3')
yang
mewakili
panjang
nukleotida 550 bp dapat digunakan sebagai penanda genetik yang menunjukkan hubungan kekerabatan antara kambing gembrong, kambing kacang dan kambing PE sangat dekat. Akan tetapi, primer tersebut kurang spesifik untuk membedakan kambing gembrong, kambing kacang dan kambing PE. Untuk itu, perlu diteliti primer yang lebih spesifik atau menggunakan primer yang mengamplifikasi bagian lain dari mtDNA seperti pada daerah sitokrom. Mengingat keragaman genetik kambing gembrong yang sangat rendah dan juga populasinya sangat kecil, maka sangat diperlukan perhatian dari berbagai pihak untuk melestarikan keberadaan kambing gembrong sebagai sumber plasma
36
nutfah yang bernilai tinggi. Perlu dilakukan system pemeliharaan yang lebih intensif agar kambing gembrong tidak punah. Data genetik ini dapat digunakan untuk menilai sistem perkawinan, hibridisasi, aliran gen, ukuran populasi yang efektif dan keberlangsungan hidup populasi. Data genetik juga dapat digunakan untuk menentukan manajemen unit, identifikasi individu, dan spesies. Semua faktor tersebut merupakan informasi penting yang berhubungan dengan ekologi spesies, untuk manajemen dan konservasi (Deyoung dan Honeycutt, 2005).
37
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa DNA mitokondria (mtDNA) kambing gembrong dapat teramplifikasi dengan baik. Dari analisis sekuen mtDNA ditemukan
satu tempat polimorfik dengan dua haplotipe, dengan
demikian keragaman genetik kambing gembrong rendah. Kambing gembrong memiliki kedekatan kekerabatan dengan kambing kacang dan kambing PE. 7.2. Saran Perlu ada penelitian lanjutan dengan menggunakan primer mtDNA yang lebih spesifik atau menggunakan primer yang mengamplifikasi bagian lain dari mtDNA seperti pada daerah sitokrom, agar dapat dipakai sebagai penanda molekuler dalam membedakan kambing gembrong dengan kambing kacang dan PE. Mengingat keragaman genetik kambing gembrong yang rendah maka perlu dilakukan
manajemen
pemeliharaan
secara
intensif
untuk
menghindari
perkawinan inbreeding agar keberadaannya dapat berkembang dan lestari.
38
DAFTAR PUSTAKA Boore, J. L. 1999. Animal Mitochondrial Genomes. Nucleic Acid Res. 27(8): 1767-1780 Chen, S. Y., Y. H. Su, S. F. Wu, T. Sha and Y. P. Zhang. 2005. Mitochondrial diversity and phylogeographic structure of Chinese domestic goats. Molecular phylogenetics and Evolution. 37: 804–814 Devendra, C. and G.B. McLeroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Longman Group Limited, Harlow, Essex, UK. Deyoung, R.W. and Honeycutt, R.L. 2005. The Molecular Toolbox: Genetic Techniques in Wildlife Ecology and Management. Journal of Wildlife Management. 69(4):1362-1384. Elrod, S. dan W. Stansfield. 2007. Genetika. (Damaring Tyas W. Pentj). Jakarta: Erlangga. Frankham, R. 2005. Genetic and Extinction. Biol Conserv. 126:131-140 Hartati, Y. W dan I. P. Maksum. 2004. Amplifikasi 0,4 kb daerah D-loop DNA Mitokondria dari Sel Epitel Rongga Mulut untuk Keperluan Forensik. FMIPA. Universitas Padjajaran. Hou, W., Y. Chen, X. Wu, J. Hu, Z. Peng, J. Yang, Z. Tang, C. Zhou, Y. Li, S. Yang, Y. Du, L. Kong, Z. Ren, H. Zhang dan S. Shui. 2006. A Complete Mitochondrial Genome sequence of Asian Black bear Sichuan Subspecies (Ursus thibetanus mupinensis). Int. J. Biol. Sci. 3(2):85-90 Indrawan, M., R. B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Kumar, S., K. Tamura and M. Nei. 2004. MEGA 3.1. Intergrated Software for molecular evolutionary Genetics Analisis and sequence aligment briefings in bioinformatics 5:150-163 Lenstra, J. A. 2005. Evolutionary and Demographic History of Sheep and Goats Suggested by Nuclear, mtDNA and y-chromosome Markers. The role of biotechnology. Villa Gualino, Turin, Italy Li, W. and D. Graur. 1991. Fudamental of Moluculer Evolution. Sinauer Associates Inc. Sunderland. Luikart, G., Gielly, L., Excoffier, L., Vigne, J.D., Bouuvet, J., Taberlet, P.2001. Multiple maternal origin and weak phylogeographic structure in domestic goats. Proc.Natl. Acad. Sci. USA 98, 5927-5932.
39
Matram, B., I D. K. H. Putra, W. Wirtha, W. S. Yupardhi dan I G. A. A. Putra. 1993. Pemurnian dan Kinerja Kambing gembrong di Bali Timur. Laporan Penelitian FAFET UNUD Denpasar. Naderi, S., R. Hamid-Reza, P. Taberlet, S. Zundel, R. Seyed-Abba, N. Hamid-Rez, M. A. A. El-Barody, O. Ertugru and F. Pompanon. 2007. Large-Scale Mitochondrial DNA Analysis of the Domestic Goat Reveals Six Haplogroups with High Diversity. http:// www.plosone.org Ratnayani, K., I N. Wirajana dam A. A. I. A. M. Laksmiwati. 2007. Analisis Variasi Nukleotida Daerah D-Loop DNA Mitokondria pada Satu Individu Suku Bali Normal. Jurnal Kimia 1(1):7-14 Puja, I K. dan I N. Sulabda. 2009. Karakteristik genetik kambing Gembrong dari Karangasem Bali menggunakan DNA Mikrosatelit. Biota 14 (1):45-49 Robinson, D.W. 1972. Livestock in Indonesia. Res. Rep. No 1 Centre Anim. Press and Dev. Bogor Rumich, B. 1967. The Goat of Indonesia. FAO Regional Office. Bangkok Saitou, N. and Nei M. 1987. The neighbor-joining method: A new method for reconstructing phylogenetic trees. Molecular Biology and Evolution 4:406-425. Sinar Tani. 2007. Tujuh Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Edisi 25 April – 1 Mei. Sofro, A. S. M. 1994. Keanekaragaman Genetik. Andi Offset. Yogyakarta Sugama. K., T. Wardoyo, K. Matsuda and S. Kumagai. 1998. Present Status of grouper (Cromileptes altivelis) Seed Production in Indonesia. Fifth Asian Fisheries Forum Chiang Mai. Thailand. Suryanto. D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa Teknik Genetika Molekuler. Program Studi Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. ©2003 Digitized By Usu Digital Library Tamura, K., Nei, M. & Kumar S. (2004) Prospects for inferring very large phylogenies by using the neighbor-joining method. PNAS 101:1103011035. Tamura K, Dudley J, Nei M & Kumar S (2007) MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology and Evolution 10.1093/molbev/msm092
40
Tapio, M. and I. Grigaliunaite. 2003. Use of Mitochondrial DNA as a Genetic Marker in Domesticated Mamalia. Ekologija (Valinius). Nr.1 Yupardi, W. S. 1998. Gambaran Fisologis Darah Kambing Gembrong Penderita Skabies. Majalah Kedokteran Unud. 29 (100). Yusuf, M.1998. Genetika Molekuler. Program Studi Bioteknologi, Program Pascasarjana IPB. Bogor.