DINAMIKA ILMU AGAMA DENGAN ILMU UMUM DI PESANTREN SALAFI DAN MODERN
Iu Rusliana Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Abstraksi Secara epistemologis, ilmu agama Islam mengalami dilematisme. Tuntutan kontekstualisasi atas berbagai problem yang dialami umat Islam mendesak dilakukan. Sementara, secara institusi, ilmu agama Islam yang dipelajari dan dikembangkan oleh pesantren kian tersisih keberadaannya. Terjadilah dinamika yang saling mengakomodasi dan menegasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum di kalangan pesantren. Dari hasil riset yang dilakukan, nampaknya pesantren modern lebih mampu mengadopsi dan mengembangkan ilmu agama Islam. Sementara pesantren tradisional harus tersisihkan fungsinya oleh sekolah umum yang mulai ada di lingkungan pesantren. Waktu belajar ilmu agama Islam yang semakin sedikit menjadi salah satu penyebabnya. Kata-kata kunci: Pesantren Salafi, Pesantren Modern, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Abstract Epistemologically, Islamic studies also have dilemmas. Institutionally, it has been learnt and developed by Pesantren (Islamic Boarding School) is more ignored. The problems in ummah need contectuality approach in Islamic studies. The dialectics between Islamic studies and science make happened. By using case study method, that condition is deep-observed toward traditional (salafi) and modern (khalaf) Islamic Boarding School.If it is viewed of developing Islamic studies function, modern Islamic Boarding School is more able to adopt and develop Islamic studies. Meanwhile, traditional Islamic Boarding School had to be ignored its function by Formal School located near Pesantren. Moreover, students of traditional Islamic school have less time to study, and it becomes the cause of it. Key words: Salafi Islamic School, Modern Islamic School, Islamization of knowledge
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
A. PENDAHULUAN Umat Islam dewasa ini dihadapkan pada pilihan untuk mempelajari ilmu agama Islam -sebagai pondasi akidah, tuntunan praktik keagamaan dan pemahaman nilai kehidupan- dengan ilmu umum sebagai bekal kehidupan di dunia dan akhirat secara seimbang. Sebagai pilar utama kemajuan peradaban manusia, ilmu pengetahuan modern yang lebih banyak dihasilkan oleh ilmuwan Barat, membuat umat Islam di posisi yang dilematis. Dilematismenya dicirikan oleh beberapa hal: pertama, mempelajari ilmu pengetahuan dari Barat jika tidak hati-hati menyebabkan kepribadian yang terpecah. Karena, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, melainkan sarat nilai. Pondasi ontologi, epistemologi dan aksiologi yang menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan Barat banyak bertolak belakang dengan ajaran Islam, bahkan dapat menapikan keimanan. Asumsi ontologi yang materialistik menyebabkan segala hal yang bersifat metafisik ditolak karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak valid sebagai sebuah pengetahuan. Jelas saja soal ini dapat menyebabkan sikap anti agama. Karena bagaimanapun, agama pondasinya adalah keyakinan kepada yang sifatnya metafisik. Kedua, kurikulum pada level praktik metodologis sebuah epistemologi pun lebih banyak didesain berdasarkan epistemologi Barat. Hal ini pula yang ditegaskan oleh Taha J al-‘Alwani. Dalam artikel dengan judul “Toward An Islamic Alternative in Thought and Knowledge” yang dimuat The American Journal of
96
Islamic Social Sciences, al-‘Alwani mengungkapkan model pendidikan yang dikotomis antara model tradisional dengan sekular diperoleh generasi muda muslim. Anehnya, al-‘Alwani, banyak ilmuwan muslim menerima gagasan ilmu pengetahuan dari Barat secara filosofis, bahkan dalam praktik pendidikan yang dikembangkannya. Akibatnya terjadi proses alienasi baik dari sisi mental maupun keyakinannya kepada wahyu sebagai sumber kebenaran. Ketiga, faktanya, jika tidak mempelajari ilmu pengetahuan modern akan menyebabkan ketertinggalan yang dialami umat Islam semakin parah. Karena itu, dibutuhkan perangkat analisis yang kritis sehingga sisipan nilai yang ada dalam ilmu pengetahuan Barat tidak itu serta diterima. Membutuhkan saringan nilai yang kuat dan kritis. Keempat, masih berkembang pemahaman bahwa ilmu pengetahuan dari Barat sebaiknya tidak dipelajari, bahkan dihukumi haram. Orang atau kelompok yang mempelajarinya dianggap tidak lagi menganut ajaran Islam yang murni. Situasi dilematisme tersebut digambarkan oleh Isma’il Raji Al-Faruqi sebagai dualisme model pendidikan yang semakin memperburuk kondisi pendidikan Islam. Di satu sisi modelnya modern, di sisi lain bersifat konservatif yang tidak relevan dengan persoalan kemodernan. Akibatnya lulusan sekolah tradisional tidak mampu bersaing dengan lulusan sekolah modern (AlFaruqi, 2003: 12-13). Salah satu bentuk respon dan jalan keluarnya, berkembanglah wacana islami-
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
sasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan yang telah cukup lama diwacanakan oleh para sarjana muslim terkemuka seperti Isma’il Raji’ Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Taha J al-‘Alwani, Osman Bakar dan yang lainnya, Isma’il Raji’ Al-Faruqi misalnya menyatakan bahwa kalangan muda banyak yang dibaratkan oleh para ilmuwan muslim di perguruan tinggi Islam (AlFaruqi, 2003:34). Karena itu, menjadi kepentingan mendasar untuk mengembangkan islamisasi ilmu pengetahuan. Sementara, Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan bahwa islamisasi ilmu bukanlah labelisasi. Tidak pula semua yang berasal dari Barat harus ditolak. Setidaknya ketika akan dilakukan program islamisasi, ilmuwan muslim harus memahami pandangan dunia Islam dan memahami peradaban Barat (Al-Attas, 1993:291). Di Indonesia sendiri, wacana islamisasi ilmu sudah berkembang sejak tahun 1970-an. Namun secara serius menjadi satu proyek dan dimplementasikan dalam kerangka besar pengembangan ilmu baru dilakukan sejak tahun 2000-an. Salah satunya dengan perubahan status dari institut ke universitas pada beberapa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di bawah Kementerian Agama RI. Dalam level operasional, ilmu dipelajari, dirawat, diwariskan dan dikembangkan secara formal oleh lembaga pendidikan. Dalam hal ilmu agama Islam, tentu saja peran tersebut dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam.
Islamisasi ilmu adalah pilihan dialektis yang dilakukan intelektual muslim merespon persoalan ilmu agama dan ilmu umum ketika harus dipelajari seorang muslim. Tentu saja ada rangkaian panjang dimulai dari kerangka epistemologis hingga proses pengajaran dan isi dari pelajaran yang disampaikan seorang guru atau dosen. Dinamika ilmu agama Islam dengan ilmu umum memunculkan satu proses pengembangan ilmu dengan prinsip atstsâbit (kemapanan) dan prinsip almutahawwil (berubah) sebagaimana digagas oleh Ali Ahmad Said (populer disebut Adonis) dalam lembaga pendidikan Islam. B. PEMBAHASAN 1. Konsep Ilmu Dalam kajian filsafat, konsep ilmu menjadi pertanyaan mendasar tentang bagaimana manusia mengetahui, apa sajakah yang sah sebagai pengetahuan sejati dan sesuatu yang mungkin diketahui. Bidang filsafat yang mempelajari hakikat ilmu disebut epistemologi. Konsep dasar ilmu lah yang menjadi penentu pada upaya pengembangannya baik oleh individu maupun lembaga pendidikan yang bertugas mempelajari, merawat, mewariskan dan mengembangkan ilmu. Islam sebagai agama wahyu pun memberikan perhatian yang utama kepada ilmu. Faktanya, al-Qur’an memberikan posisi istimewa pada ilmu. Setidaknya sebanyak 105 kali disebut dalam kalam ilahi yang diwahyukan kepada Muhammad Saw tersebut.
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
97
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
Bahkan, dengan kata jadiannya, istilah ilmu disebut tidak kurang dari 744 kali. Untuk menyebutkan secara terinci, kata-kata jadian itu disebut dalam bentuk dan frekuensi sebagai berikut; `alima (35), ya`lamu (215), i`lam (31), yu`lamu (1), `ilm (105), `alim (18), ma`lum (13), `alamin (73), `alam (3), a`lam (49), `alim/`ulama (163) `allam (4) `allama (12), yu`alimu (16), `ulima (3), mu`allam (1), ta`allama (2). Dari kata jadian itu timbul berbagai pengertian seperti: mengetahui, pengetahuan, orang yang berpengetahuan, yang tahu, terpelajar, paling mengetahui, memahami, mengetahui segala sesuatu, lebih tahu, sangat mengetahui, cerdik, mengajar, belajar, orang yang menerima pelajaran/diajari, mempelajari; juga pengertian-pengertian seperti tanda (`alam), alamat, tanda batas, tanda peringatan, segala kejadian alam, segala yang ada dan segala yang dapat diketahui (Raharjdo, 1996:531). Istilah ilmu tidak cukup hanya kalau dicari pengertiannya dari kata-kata yang berasal dari akar kata `alima (tahu) saja. Sebab kata tahu itu tidak hanya diwakili oleh kata tersebut. Paling tidak ada beberapa kata yang mengandung pengertian 'tahu' seperti `arafa, dhara, khabara, sya`ara, ya`isa, ankara, bashirah dan hakim. Kata-kata jadian dalam alQur'an yang berasal dari kata `arafa sendiri umpamanya disebut sebanyak 34 kali (Raharjdo, 1996:532). Bahkan menurut M Quraish Shihab (2007571), al-Qur'an menggunakan kata ilmu dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali. Antara lain sebagai proses pencapaian ilmu pengetahuan dan
98
objek ilmu pengetahuan, tentang sumber-sumber ilmu pengetahuan, disamping klasifikasi dan ragam disiplinnya. Sehingga sebagian ilmuan muslim berpendapat bahwa ilmu menurut al-Qur'an mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; baik tentang ilmu-ilmu fisika (empirik) maupun meta fisika (non empirik). Ilmu sendiri dipahami sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Al-Bâqillânî mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang sesuatu apa adanya (Rosenthal, 1970: 53). Sesuatu apa adanya mengandung makna filosofis yang mendasar. Dasar ontologi menentukan konsep apaadanya tersebut. Jika bangun epistemologi ilmu pengetahuan Barat menganut materialisme, maka tidak akan cocok dengan konsep ontologi Islam yang meletakkan keesaan Allah, tauhid, sebagai hakikat mendasar ketika membicarakan hakikat segala sesuatu. Ini lah yang membedakan ilmuilmu Islam dengan ilmu Barat. Dasar ontologinya sangat berbeda. Akibat lanjutannya, pada wilayah metodologi dan nilai ilmu pengetahuan itu sendiri berbeda antara di Islam dan Barat. Jika epistemologi Barat berdasarkan prinsip positivisme dan ilmu pengetahuan bersifat bebas nilai, lain halnya dengan epistemologi Islam yang juga menyertakan wahyu dan pengetahuan kehadiran sebagai bagian dari epistemologinya. Dalam hal aksiologi pun, ilmu pengetahuan Islam sarat nilai. Iman, ilmu dan amal menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Artinya, ilmu meliputi di
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
dalamnya iman dan amal kebaikan. Demikian juga, iman harus berdasarkan ilmu dan diamalkan dalam keseharian. Sementara, amal harus disertai iman dan ilmu. Dalam artikel ini, ketika disebut ilmu agama adalah keseluruhan ilmu yang memberikan tuntunan aqidah dan ibadah kepada seorang muslim yang memiliki akar epistemologis dari sumber al-Qur’an dan al-Hadits. Contohnya adalah ilmu kalam, fiqih, ushul fiqih, tafsir, ulumul qur’an dan ulumul hadits. Sementara itu ilmu umum adalah seluruh ilmu tentang ayat-ayat kauniyah baik ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora. Secara epistemologis, paradigmanya dikembangkan di Barat. 2. Pesantren Dalam tradisi Jawa, “santri” sering digunakan dalam dua pengertian, yaitu pengertian sempit dan pengertian luas. Pengertian sempit “santri” adalah seorang pelajar sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren atau orang yang mendalami agama. Sedangkan pengertian luasnya adalah seseorang anggota penduduk di Jawa yang menganut Islam dengan sunguhsungguh yang rajin sembahyang pergi ke masjid pada waktu-waktu shalat, meskipun belum pernah mengenyam pendidikan agama di pesantren, karena pendidikan agama Islam di Jawa tidak mesti harus diperoleh dari lembaga pendidikan pesantren, tetapi bisa diperoleh dari keluarga, masjid, majelismajelis ta’lim di perkampungan dan lainnya (Abdul Mughits, 2008: 121).
Mastuhu (1991) menyebutkan bahwa dalam keberadaannya, pesantren sangat dipengaruhi oleh pemikiran Imam alGhazali, khususnya dalam praktek pendidikan yang dilaksanakannya (fiqihsufistik). Fiqih sufistik adalah suatu bentuk pemahaman agama yang dapat ditempatkan di bawah bendera aliran teologi Ahl al-sunnah wa al-Jama`ah Aliran ini dipopulerkan oleh Imam Al-Gazali (w. 1111 M). Kekentalan pengaruh al-Ghazali pada pesantren ini bukan saja terbatas pada pahama fiqih-sufistik, tetapi juga dalam praktek pendidikannya. Beberapa buku yang menjadi rujukan utama dalam pendidikan dan pengajaran diacu dari buku al-Ghazali, misalnya, Adab al-Ta`lim wa al-Muta`alim, Ihya ulumuddin, dan sebagainya. Pemikiran al-Ghazali ini juga tidak terkecuali sangat mempengaruhi terhadap konsep kurikulum pesantren, baik dari segi filosofis, psikologis dan sosiologis. Salah satu ciri dan bentuk pesantren yang paling menonjol adalah wataknya yanga sangat ditentukan oleh Kiai yang sekaligus menjadi pimpinannya, di samping masyarakat yang mendukung pesantrennya (Departemen Agama, 1975: 52). Pada pesantren tradisional (salaf), kurikulumnya banyak juga yang belum dalam bentuk dokumen tertulis, tetapi masih terbatas pada pengertian “hiden curriculum” yang bersumber dari pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh kiainya (teacher experience).
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
99
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
Atas dasar ini, tidak heran jika masalah-masalah seperti: pembobotan mata pelajaran, penjenjangan kelas, alokasi waktu, penentuan usia belajar dan lain-lain belum ditemukan di pesantren model salaf. Kegiatan proses pembelajaran dilakukan dengan prinsip bahwa Kiai tidak melakukan penambahan terhadap materi pelajaran yang diberikannya jika materi lama belum dikuasai oleh santri (Lias, 1997: 59-60). Dalam proses mempelajari, merawat, mewariskan dan mengembangkan ilmu agama Islam, keberadaan pesantren menjadi institusi penting. Pesantren berarti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam (Haidar Putra Daulay, 2001:7). Hakikatnya pesantren itu merupakan institusi pendidikan Islam. Namun secara sosiologis, memiliki simbol sosial dan pranata sosial di masyarakat. Hal ini karena pondok pesantren memiliki modalitas sosial khas yaitu ketokohan Kiai, santri, mandiri dan jaringan sosial kuat dengan faktor alumni (Zainul Mun’im, 2009). Kharisma Kyai dan peran sosialnya yang menonjol membuat pesantren memiliki posisi penting bagi suatu masyarakat. Secara terminologis, pondok pesantren merupakan institusi sosial keagamaan yang menjadi wahana pendidikan bagi umat Islam yang ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Pondok pesantren dalam terminologi keagamaan merupakan institusi pendidikan Islam, namun demikia Pesantren mempunyai icon sosial yang memiliki pranata sosial di masyarakat. Hal ini karena pondok pesantren memiliki modalitas sosial yang
100
khas, yaitu: 1) ketokohan Kiai, 2 ) santri, 3) independent dan mandiri, dan 4) jaringan sosial yang kuat antar alumni pondok pesantren (Zainul Mun’im, 2009). Kegiatan utama yang dilakukan dalam pesantren adalah pengajaran dan pendidikan Islam. Hal ini menuntut kualitas seorang Kiai tidak sekedar sebagai seorang ahli tentang pengetahuan keislaman yang mumpuni, tetapi juga sebagai seorang tokoh panutan untuk diteladani dan diikuti. Melalui kegiatan belajar, seorang Kiai mengajarkan pengetahuan keislaman tradisional kepada para santrinya yang akan meneruskan proses penyebaran Islam tradisional (Djohan Effendi, 2010: 41). Secara umum, pesantren memiliki tipologi yang sama, yaitu sebuah lembaga yang dipimpin dan diasuh oleh Kiai dalam satu komplek yang bercirikan: adanya masjid atau surau sebagai pusat pengajaran dan asrama sebagai tempat tinggal santri, di samping rumah tempat tinggal kiai, dengan “kitab kuning” sebagai buku pegangan. Menurut Mustofa Bisri (2007: 11) di samping ciri lahiriah tersebut, masih ada ciri umum yang menandai karakteristik pesantren, yaitu kemandirian dan ketaatan santri kepada Kiai yang sering dianggap sebagai pengkultusan. Ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren (Hasyim, 1998:39). Unsurunsur pokok pesantren, yaitu Kiai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendi-
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
Iu Rusliana
dikan pesantren pendidikan lainnya.
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
dengan
lembaga
3. Dinamika Ilmu Agama Dan Ilmu Umum Ilmu agama dan ilmu umum adalah produk sejarah manusia. Menjadi problematis ketika yang memproduksi ilmu agama dan ilmu umum itu berbeda dari sisi agama, ideologi dan nilai yang dianut. Karena ilmu agama dan ilmu umum hakikatnya membawa nilainya masing-masing. Sebagai seorang muslim, prinsip keseimbangan harus menjadi pegangan. Karena itu, baik ilmu agama maupun ilmu umum sama-sama dibutuhkan. Dengan begitu akan lahir sosok yang taat dan kokoh aqidahnya namun jenius dalam pengembangan sains dan teknologi. Dialektika ilmu agama dan ilmu umum terjadi di lingkungan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam. Semakin terasa ketika sekolah umum mulai didirikan dan menjadi bagian dari pesantren. Tuntutan zaman dan desakan para alumni serta visi pendidikan Kiai adalah faktor-faktor didirikannya sekolah umum baik SD/MI (Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah), SLTP/MTs (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/Madrasah Tsnawiyah) dan SLTA/MA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/Madrasah Aliyah) di lingkungan pesantren. Ini pula yang terjadi di Pesantren Sukamiskin, misalnya. Pengembangan ilmu agama Islam di Pesantren Sukamiskin berdasarkan pada kurikulum baku yang dikembangkan pesantren salafi,
yang menurut K.H. Abdul Aziz H, merujuk kepada pesantren Lirboyo (dokumentasi wawancara, 11 Juni 2012). Dibagi menjadi delapan kelas, dimulai dari kelas 0 kecil, O besar, kelas 1 sampai 6, kurikulumnya sudah sedemikian rupa didesain dan disesuaikan. Mata pelajaran yang diajarkan pun berupa kitab-kitab yang telah ditentukan, sesuai standar pesantren salafi, dengan merujuk kepada Pesantren Lirboyo. Mengikuti guru adalah bagian dari mencari keberkahan ilmu. Inovasi dilakukan oleh Pesantren Sukamiskin dengan menerjemahkan kitab ke dalam Bahasa Sunda. Itu pun sesungguhnya dilakukan oleh pendiri awal, K.H. Raden Muhamman bin Alqo (Ajengan Sepuh). Ajengan Sepuh lah yang dengan rajin menerjemahkan dan mengajarkan teknik mentasrif kitab kuning ke dalam Bahasa Sunda. Hingga kini, di Pesantren Sukamiskin, bahasa yang dipergunakan adalah Sunda. Sebuah ciri khas yang unik, karena umumnya di berbagai pesantren di Jawa Barat pun, masih menggunakan bahasa Jawa sebagai teknik yang lebih mudah dalam mentasrif kitab. Di Pesantren Sukamiskin, sekolah tingkat MI, MTs dan MA telah didirikan. Tapi model pengajarannya mengikuti kurikulum yang mengikuti Kementerian Agama. Kurikulum pesantren dan sekolah umum sifatnya terpisah. Dinamika ilmu agama dan ilmu umum dalam pesantren salafi terlihat dari posisinya dalam proses pengajaran kepada santri. Sifatnya saling menegasi ketika Kiai tidak mampu mengakomo-
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
101
Iu Rusliana
dasi ilmu umum pembelajarannya.
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
dalam
proses
Salah satu ciri khas yang menonjol dari pesantren modern terlihat dalam sistem pendidikan yang dikembangkannya. Demikian juga dengan AlBasyariyah. Pesantren ini mengintegrasikan pendidikan pesantren dengan pendidikan umum. Integrasi antara kurikulum pendidikan pesantren dengan pendidikan umum dalam pesantren modern tersebut adalah turunan dari visi pesantren yang berbunyi: Mencetak peserta didik menjadi generasi yang berwatak intelek (ahli dzikir), menjadi lembur ilmu, majelis disiplin, kancah ibadah, wahana perjuangan mencapai fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Ilmu agama dengan ilmu umum dikemas dalam kurikulum tersendiri dalam format Tarbiyatul Mu’allimîn wal Mu’allimât al-Islamiyyah (TMI). Model ini mampu menggabungkan ilmu umum dan ilmu agama Islam dalam satu sistem pengajaran. Prosentasenya adalah 75 persen ilmu agama Islam, 25 persen ilmu umum setingkat SLTP dan SLTA. Jika dilihat dari proses pengembangan ilmu, meski tidak berkembang pesat, dapat disimpulkan bahwa pesantren modern mampu mengadaptasi dan melakukan akomodasi ilmu umum dalam kemasan kurikulum pesantrennya. Sehingga santri tidak harus secara khusus belajar kitab kuning, karena memang belajarnya disatukan dengan sistem klasikal di TMI. Tentu saja, pilihan untuk memisahkan kajian ilmu agama dengan ilmu umum dalam kurikulum berbeda atau
102
sebaliknya, menyinergikan antara ilmu umum dan ilmu agama dalam satu kurikulum tak terlepas dari pandangan filosofis tentang ilmu meliputi hakekat, metode dan nilai ilmu itu sendiri. Pemahaman Kyai mengenai hakekat ilmu dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, Kyai memahami ilmu agama sebagai ilmu yang terpisah sama sekali dengan ilmu umum. Meski membuka sedikit akomodasi terhadap ilmu umum, itu terbatas untuk ilmu-ilmu yang sifatnya dibutuhkan masyarakat, seperti ilmu kedokteran atau keterampilan komputer. Dalam hal ini, merujuk ke Imam AlGhazali, ilmu agama wajib dipelajari setiap individu sebagai wajib ‘ain. Sementara ada ilmu yang sifatnya fardu kifayah. Bagi Kyai di pesantren Sukamiskin misalnya, ilmu itu dibagi menjadi fardlu a’in dan fadlu kifayah. Ilmu fardlu a’in adalah ilmu agama Islam yang sifatnya dasar. Sementara ilmu fardlu kifayah adalah ilmu yang wajib dikuasai oleh sebagian saja dalam komunitas masyarakat, misalnya ilmu alat atau ilmu tafsir. Kedua, Kyai yang memahami ilmu agama dan ilmu umum harus bersamaan dipelajari agar tergabung sedari awal. Sebuah proses rumit yang butuh keberanian dan tentu saja konsep epistemologi yang mendalam dan kritis. Islamisasi ilmu pengetahuan pada level sederhana yang sudah terpraktikan dalam proses pembelajaran di kurikulum. Dalam level praktik di lembaga pendidikannya, pandangan para kyai tentang hakekat pendidikan, secara teoritis dapat dibagi dua kelompok, yakni
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
para kyai yang memiliki pandangan tektualis dan kontekstualis. Mereka yang berpikiran tektualis cenderung mempertahankan bentuk pesantrennya (kurikulum pendidikannya) secara tradisional, salafiyah. Kurikulum yang dikembangkan tetap merujuk kepada sistem lama. Kasus pesantren Sukamiskin yaitu tetap merujuk kepada apa yang telah dirumuskan oleh Ajengan Sepuh (K.H. Raden Muhammad bin Alqo). Sementara kurikulumnya adalah merujuk ke Pesantren Lirboyo. Sedangkan mereka yang berfikiran kentektualis cenderung berupaya mengadakan pembaharuan bagi pelaksanaan pendidikan di pesantrennya, seperti melaksanakan kegiatan-kegiatan yang tidak sekedar aspek-aspek ilmu keagamaan saja. Jika dilihat corak pemikiran para kyai sebagai pendiri dan pemilik pesantren di Kota dan Kabupaten Bandung ini, secara murni tidak ada yang murni berpikiran tekstualis, terbukti umumnya semua pesantren telah memberikan perhatian, paling itu berupaya memberikan ilmu pengetahuan yang dapat mempersiapkan santri untuk bekal kehidupan di dunia dan di akhirat kelak berupa keterampilan-keterampilan kerja. Dalam kata lain, tidak ada pesantren yang hanya menitikberatkan pada pendidikan keagamaan saja. Perbedaannya hanya terdapat pada segi penekanan atau aksentuasi saja. Misalnya terdapat Kyai yang lebih mengutamakan pendidikan keagamaan untuk bekal kehidupan akhirat, sementara ada yang memandang perlu adanya keseimbangan. Pandangan
ini akan tercermin pada corak pendidikan (kurikulum) pesantren masingmasing. Sejalan dengan pandangan ontologis di atas, maka pandangan kyai tentang hakekat ilmu pengetahuan ini ditemukan ada yang lebih menekankan supremasi ilmu-ilmu keagamaan di atas ilmu-ilmu pengetahuan umum, ada pula yang memandang secara berimbang. Bahkan secara lebih rinci, dapat dilihat terdapat kyai yang lebih mengunggulkan satu cabang ilmu tertentu, seperti tasawuf, fikih, teologi, qur`an, hadis dan sebagainya. Namun sebagaimana layaknya pesantren yang berbasis pada faham fikih sufistik al-Ghazali, penekanannya lebih pada aspek ilmu-ilmu fikih dan akhlak, tetapi terdapat juga yang lebih menekankan pada ilmu al-Qur`an dan teologi (Ahlussunnah). Semua kyai pemilik pesantren di Kota dan Kabupaten Bandung ini memandang bahwa ilmu untuk kehidupan dunia itu penting, namun ada sebagian, sebagaimana paham al-Ghazali, ilmu dunia yang diperlukan hanyalah ilmu-ilmu untuk kepentingan kehidupan (keterampilan untuk hidup), seperti pertukangan, pertanian, menjahit, dan sebagainya. Sebagian lagi terdapat kiai yang sudah berpandang jauh terhadap pentingnya ilmu-ilmu yang bukan sekedar untuk kehidupan praktis saja, tetapi memandang perlu ilmu dan teknologi berdasarkan kemajuan pengetahuan dan teknologi sekarang.
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
103
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
Sejalan dengan pandangan ontologis dan epistemologis di atas, para kiai umumnya berpandangan bahwa manusia yang paling sempurna itu ialah manusia yang dapat hidup dengan bahagia di dunia dan di akhirat kelak. Hanya saja penjabaran pemahaman tentang manusia yang berbahagia di dunia dan di akhirat tersebut sebagaimana pandangan ontologis dan epistemologisnya ada yang lebih menekankan pada kebahagiaan di akhirat ada yang menghendaki keseimbangan antara keduanya. Lebih spesifik lagi, terdapat Kyai yang berpandangan bahwa manusia akan bahagia di dunia dan akhirat jika yang bersangkutan memiliki akhlak Islam yang sempurna (akhlakul karimah). Ada yang memandang jika mengusai dan mengamalkan al-qur`an. Ada juga yang memandang mereka yang memiliki iman yang sempurna. Dan ada pula yang memandang mereka yang berbahagia tersebuit adalah mereka yang memiliki iman, ilmu dan amal yang baik dan sempurna (insan kamil). Pandangan kiai tentang nilai kehidupan di atas melahirkan pandangan kiai tentang tujuan pendidikan, yang akan diuraikan pada disain kurikulum selanjutnya. Di lingkungan pesantren modern dan salafi, mendapatkan berkah dari ilmu harus dilalui dengan proses yang ketat menjalankan etika proses belajar. Misalnya etika kepada guru, sesama santri, kepada kitab suci al-Qur’an, kitab hadits, kitab kuning karya para ulama dan seterusnya. Berkah itu pula yang menjadikan, para Kyai di pesantren salafi enggan mengubah pelajaran kitab yang
104
diajarkan, demi menghormati guru dan memperoleh keberkahan. Dinamika ilmu agama dan ilmu umum di lingkungan pesantren juga terkait dengan pandangan sosiologis. Pengembangan kurikulum pesantren salah satunya ditentukan oleh pandangan di bidang kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan pemerintahan, dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Berkaitan dengan perkembangan kehidupan sosial budaya, politik dan pemerintahan, para Kyai memandang bahwa kehidupan sekaran gini telah berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan, baik menyangkut akhlak, moral dan dan berbagai pelanggaran terhadap larangan agama. Keadaan tersebut sangat membahayakan bagi kehidupan anak dan remaja. Oleh karena itu upaya untuk membentengi dengan cara menyiapkan anak agar mereka dapat menangkal bahaya yang mengancamnya setiap saat tersebut. Begitu juga dengan persoalan buadaya, masyarakat telah banyak dipengaruhi oleh budaya asing yang amal merusak pola hidup masyarakat. Pelestarian budaya memang penting tetapi harus buadaya yang sesuai dengan ajaran Islam atau yang tidak dilarang oleh ajaran Islam, seperti seni dan budaya yang dapat mendorong orang untuk meningkatkan amaliah dan ibadahnya kepada Allah. Berkenaan dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, para Kiai melihatnya sebagai sesuatu yang memang nyata adanya, namun tidak
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
semua Kiai mempunyai perhatian khusus tentang ini, bahkan sementara kiai ada yang tidak memberikan perhatian serius dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, dalam arti menyikapinya dalam bentuk kegiatan pendidikan di pesantren.
karena memang belajarnya disatukan dengan sistem klasikal di TMI.
C. PENUTUP Dinamika ilmu agama Islam dengan ilmu umum dalam pesantren tidak dapat dihindarkan. Pesantren modern dinilai mampu mengakomodasi ilmu umum dan mengemasnya dalam kurikulum khusus. Hal ini tidak lepas dari konsep ilmu yang dipahami oleh kalangan pesantren. Di kalangan Pesantren Salafiah, ilmu dipahami sebagaimana ulama salaf dulu memahami ilmu. Kurikulum dan metode pengajaran antara ilmu agama dengan ilmu umum terpisah sama sekali. Sementara di pesantren modern, ilmu agama Islam dengan ilmu umum dikemas dalam kurikulum tersendiri dalam format Tarbiyatul Mu’allimîn wal Mu’allimât al-Islamiyyah (TMI). Model ini mampu menggabungkan ilmu umum dan ilmu agama Islam dalam satu sistem pengajaran. Prosentasenya adalah 75 persen ilmu agama Islam, 25 persen ilmu umum setingkat SLTP dan SLTA. Apabila dilihat dari proses pengembangan ilmu, meski tidak berkembang pesat, dapat disimpulkan bahwa pesantren modern mampu mengadaptasi dan melakukan akomodasi ilmu umum dalam kemasan kurikulum pesantrennya. Sehingga santri tidak harus secara khusus belajar kitab kuning,
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
105
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
Bakar, Osman, (2008), Tauhid dan Sains;
DAFTAR PUSTAKA
Perspektis Islam Tentang Agama dan Adonis
(Ali
Ahmad
Said),
(2007)
Arkeologi Sejarah Pemikiran ArabIslam (diterjemahkan oleh Khairon Nahdiyyin), Volume 1, Yogyakarta: LKiS
(diterjemahkan
oleh
Khairon Nahdiyyin), Volume 2, Yogyakarta: LKiS
(diterjemahkan
oleh
Khairon Nahdiyyin), Volume 3, Yogyakarta: LKiS
(diterjemahkan
M.S.
Nasrullah),
Bandung: Pustaka Hidayah --------- (1998), Hierarki Ilmu; Membangun Pikir
(diterjemahkan
Islamisasi oleh
Ilmu
Purwanto),
Bandung; Mizan Daulay, Haedar Putra (2001), Historis dan
Madrasah,
Yogyakarta:
Tiara
Wacana Dhofier, Zamakhsyari, (1994), Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan
------------, (2009) Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam
dan
Eksistensi Pesantren, Sekolah dan
-----------, (2009) Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam
Liputo
Rangka
---------- , (2007) Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam
Sains (diterjemahkan oleh Yuliani
Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES
oleh
Faruqi, Al, Isma’il Raji, (2003), Islamisasi
Khairon Nahdiyyin), Volume 4,
Pengetahuan (diterjemahkan oleh
Yogyakarta: LKiS
Anas
Alwani, al, Taha J, (1989), Toward An
Mahyuddin),
Bandung:
Penerbit Pustaka
Islamic Alternative in Thought and
--------------- (1995), Tauhid (diterjemahkan
Knowledge, dalam The American
oleh Rahmani Astuti), Bandung:
Journal of Islamic Social Sciences,
Penerbit Pustaka
Volume 6 Nomor 1, 1989
106
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
Mughits, Abdul, ( 2008), Kritik Nalar
Tim
Penyusun Barat
al-Attas,
(1995),
Syed
Muhammad,
Prolegomena
to
Terpadu
Pondok Pesantren Propinsi Jawa
Fiqh Pesantren, Jakarta: Kencana Naquib
Direktori
Tahun
Kanwil
the
2006,
Departemen
Bandung: Agama
Propinsi Jawa Barat
Metaphisycs of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The
Wahid,
Abdurrahman,
(2010),
Worldview of Islam. Kuala Lumpur;
Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta:
ISTAC
LKiS
-------------- (1993), Islam and Secularism,
Yin, Robert K. (2009). Studi Kasus Desain & Metode. Jakarta: Rajawali Press
Kuala Lumpur: ISTAC --------------- (1989), Islam and the Philosophy of Science, Kuala Lumpur: ISTAC
Dokumen Lembaga Raharjdo, Dawam (1996), Ensiklopedi al-
Qur'an, Jakarta: Paramadina Rosenthal,
Franz
Triumphant;
(1970), The
dan
dokumen
Pesantren
Sukamiskin
Knowledge
Concept
Data
of
- Data dan dokumen Pesantren AlBasyariyah
Knowledge In Medieval Islam, Leiden: E.J. Brill Shihab, M Quraish, (2007) Membumikan
Wawancara
al-Qur'an, Bandung: Mizan K.H. Abdul Aziz H, Pimpinan Pondok Sugiyono. (2009). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012
Pesantren Sukamiskin, 11 Juni 2012
107
Iu Rusliana
Ilmu Agama dan Umum di Pesantren Salafi dan Modern
Ustadz Endang Suhendi, S.Ag, Wakil Pimpinan Pondok Pesantren AlBasyariyah, 25 Juni 2012
108
Mimbar Studi/Volume XXXVI/Nomor 1/Januari – Juni 2012