Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
DINAMIKA HUBUNGAN-HUBUNGAN DALAM STRUKTUR AGRARIS STUDI MENGENAI RESISTENSI PENDUDUK PEDESAAN DI KALI LORO Gutomo Bayu Aji1
Pendahuluan Tiga ilustrasi singkat mengenai KUD (Koperasi Unit Desa), Pak Ka, dan pemuda berikut merupakan bagian kecil dari rencana jangka panjang penelitian struktur agraris di Kali Loro2. Ketiga ilustrasi singkat itu dipilih sebagai contoh bukan karena mereka mewakili kelas-kelas mereka tetapi karena cerita-cerita biasa yang terjadi sehari-hari mengenai mereka itu merupakan bagian penting dari dinamika hubungan-hubungan kelas dalam struktur agraris di Kali Loro. Cerita-cerita biasa yang terjadi sehari-hari mengenai KUD, Pak Ka, dan pemuda itu dikumpulkan selama tahap eksplorasi tahun lalu. Ulasan singkat ini bertujuan untuk membuka jalan (=menimbulkan ide) dan mempertajam masalah yang akan diteliti secara lebih mendalam dalam penelitian struktur agraris di Kali Loro.
Resistensi: Perspektif Scottian Cerita keseharian mengenai KUD, Pak Ka, dan pemuda itu dikumpulkan karena selama ini selain kurang mendapat perhatian, juga kurang mendapat tempat dalam hubungan-hubungan kelas di pedesaan. Sebagian besar peneliti lebih tertarik untuk melihat sejarah pemberontakanpemberontakan besar petani yang berlangsung secara sporadis sepanjang tahun. Hal ini bukannya tidak penting, tetapi pemberontakan-pemberontakan besar yang terjadi di kalangan petani selama orde pemerintahan itu pun kurang mendapatkan kajian yang memuaskan, dan sebagian besar telah ditumpas dengan mudah. Penelitian yang, barangkali, akan berguna, lebih tepat, dan memuaskan adalah mengkaji hubungan-hubungan kelas biasa yang terjadi sehari-hari. Scott telah mengawali “upaya ketidakpuasan” ini dengan rendah hati, dengan cara mendengarkan dan mengumpulkan cerita-cerita biasa yang terjadi sehari-hari yang tidak pernah menjadi kepala berita di media massa dan mengkajinya secara mendalam dalam hubunganhubungan kelas di pedesaan Asia Tenggara. Pendekatan pertama yang digunakan berkaitan dengan definisi perlawanan kelas, yang tidak dimaksudkan untuk mengatur suatu pembenaran, melainkan untuk menyoroti masalah-masalah konseptual yang dihadapi dalam pengertian perlawanan itu. Dengan demikian, definisi itu bersifat hipotetis yang masih diuji (oleh Scott sendiri) dan digunakan untuk mendekati cerita-cerita biasa yang terjadi sehari-hari mengenai KUD, Pak Ka, dan pemuda di Kali Loro berikut. Agar mudah dimengerti dan dapat diterima secara luas, Scott mendefinisikan perlawanan itu sebagai berikut. “Perlawanan (resistance) penduduk desa dari kelas yang lebih rendah adalah tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutantuntutan (misalnya sewa, pajak, penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas 1 Asisten peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. 2 Penelitian ini adalah bagian dari ‘re-study Kali Loro’ yang telah dilakukan oleh Ben White dan Ann Stoler pada tahun 1972-1973.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini.” (Scott, 1993: 302)
Tiga segi dari definisi itu menurutnya memerlukan ulasan singkat. Pertama, tidak ada keharusan bagi perlawanan untuk mengambil bentuk aksi bersama. Kedua, -- dan ini merupakan masalah yang pelik -- tujuan-tujuan dibentuk ke dalam definisi itu. Ketiga, definisi ini mengakui apa yang dinamakan perlawanan simbolis atau ideologis (misalnya gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan, penarikan kembali sikap hormat) sebagai bagian tak terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas (Scott, 1993: 303). Ketiga segi dari perlawanan itu membawa implikasi konseptual yang berbeda dengan perlawanan kelas yang “sesungguhnya” yang diajarkan oleh Leninisme dan yang dianut oleh demokrasi kapitalis. Perlawanan yang “sesungguhnya”, demikian diperdebatkan, bersifat (a) terorganisasi, sistematis, dan kooperatif, (b) berprinsip atau tanpa pamrih, (c) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan/atau (d) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Sebaliknya, penggabungan perspektif perlawanan kelas Gerald Mullin dan Eugene Genovese yang diartikan oleh Scott di atas hasilnya mirip sebuah dikotomi antara perlawanan sungguh di satu pihak dan “tanda-tanda kegiatan” yang bersifat insidental atau epifenomenal di pihak lain, yang bersifat, (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat ‘untung-untungan’ dan berpamrih (nafsu akan kemudahan), (c) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan/atau (d) dalam maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada (Scott, 1993: 105). Apabila dihadapkan pada bentuk-bentuk perlawanan bergaya Brechtian seperti yang dipikirkan oleh Scott ini, misalnya, bekerja seenaknya, mengelabui, menghambat, berpura-pura, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, pura-pura bodoh, mencuri kecil-kecilan, mencopet, taat dibuat-buat, memfitnah, pembakaran, sabotase, dan sebagainya, mungkin kita akan dihadapkan pada pembedaan antara apa yang disebut sebagai tindakan-tindakan perorangan yang bercirikan pamrih dan perlawanan. Scott melihat persoalan ini dari tujuan yang lebih dominan, walaupun ia segera berargumen bahwa fusi antara keduanya itu membentuk tenaga vital sebagai sumber yang menjiwai perlawanan petani dan proletar. Argumentasi yang lebih sistematis adalah apabila aksi-aksi seperti itu berubah menjadi pola yang tetap (sekalipun tidak terkoordinasi, apalagi terorganisasi), kita berhadapan dengan perlawanan (Scott, 1993:310). Dua Kategori Resistensi Dalam karyanya yang lain, Domination and the Art of Resistance Hidden Transcript (1990), Scott meletakkan pengertian perlawanan ini dalam konteks hubungan-hubungan dominasi dan subordinasi. Perlawanan terjadi, sebagaimana definisi di atas, dari kelompok-kelompok subordinat (kelas-kelas rendahan) ke kelompok-kelompok dominan (kelas-kelas atasan), yang dinilai E.P. Thompson, berlangsung dalam suatu proses perjuangan kelas, menemukan titik-titik pertentangan kepentingan dalam suatu dialektika penemuan identitas kelas dan kesadaran kelas. Pengertian dominasi dan subordinasi itu diuraikan oleh Scott sebagai berikut. "These forms of domination are institutionalized means of extracting labor, goods, and services from a subject population. They embody formal assumptions about superiority and inferiority, often in elaborate ideological form, and a fair degree of ritual and ‘etiquette’ regulates public conduct within them. In principle at least, status in this system of domination is ascribed by birth, mobility is ritual nil, and
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
subordinated groups are granted few if any political or civil rights. Althought they are highly institutionalized, these forms of domination typically contain a strong element of personal rule” (Scott, 1990: 21).
Dalam konteks hubungan-hubungan kelas-kelas yang dominan dan kelas-kelas yang subordinat ini, Scott membagi perlawanan itu dalam dua kategori. Pertama, public transcript yang dikarakteristikkan dengan interaksi terbuka antara kelas-kelas tersubordinasi dengan kelas-kelas yang mendominasi. Kedua, hidden transcript yang dikarakteristik dengan interaksi tidak langsung, terutama yang dicirikan dengan sifat-sifat offstage.3
Struktur Agraris Pendekatan kedua yang merupakan basis struktural dari isu pokok penelitian perlawanan biasa yang terjadi sehari-hari berdasarkan kelas dan hubungan-hubungan kelas yang dominan dan subordinat ini adalah konsep struktur agraris (agrarian structure). Struktur agraris ini merupakan konsep abstrak atau alat analitis untuk menganalisis struktur masyarakat agraris (agrarian society/agrarian social system) serta sumber-sumber dan dinamika perubahannya, dengan pendekatan political economy (= multidisipliner) 4. Konsep yang saya gunakan secara dini untuk kepentingan penulisan tahap eksplorasi ini, bukannya bermaksud menyederhanakan, tetapi dapat diberikan batasan pengertian sementara sebagai berikut, ‘unsur-unsur dan kesatuankesatuan serta hubungan-hubungan di antara unsur-unsur dan kesatuan-kesatuan itu dalam suatu masyarakat agraris’. Apabila batasan pengertian sementara itu dimanfaatkan sebagai alat analisis awal, setidaktidaknya kita akan dapat membedakan konsep struktur agraris itu dengan struktur-struktur lain dari dua aspek yang berbeda. Pertama, dari unsur-unsur (kesatuan-kesatuan atau komponenkomponen) yang terlibat di dalamnya. Unsur-unsur ini berbeda dengan unsur-unsur ‘abstrak’ seperti yang dimaksudkan oleh ahli-ahli ilmu ekonomi pertanian yang disebutnya sebagai faktorfaktor produksi, yaitu tanah, tenaga kerja, dan modal (land, labour, and capital ), melainkan unsurunsur manusiawi (the human components) dan kesatuan-kesatuan sosial (social groups) seperti yang tertuang dalam ungkapan menarik sebagai berikut: Bukan ‘tanah’, tetapi mereka yang menguasai tanah Bukan ‘tenaga kerja’, tetapi mereka yang bekerja di atas tanah itu, dan Bukan ‘modal’, tetapi mereka yang menguasai modal (Not ‘land’ but landowners;
not ‘labour’ but labourers; not ‘capital’ but capitalists) (White, 1999).
Kedua, hubungan-hubungan di antara unsur-unsur manusiawi dan kesatuan-kesatuan sosial itu akan menunjukkan bentuk dari struktur agraris. Pada disiplin ekonomi politik klasik, yang paling disoroti adalah hubungan antara mereka yang bekerja (di pertanian) dan mereka yang 3 Offstage ini mengambil perumpamaan pentas teater yang perilaku dan penampilan para pemain teater ini berbeda antara bermain di atas pentas (panggung) yang bepura-pura dengan di belakang panggung yang merupakan perilaku dan penampilan asli sehariharinya. 4 Struktur ini perlu dilihat sebagai sesuatu kekuatan yang mempengaruhi perilaku manusia, tetapi tidak menentukannya. Dalam catatan internnya, White (1999) menjelaskan bahwa struktur ini menyangkut satu obsesi dalam ilmu sosial, yaitu usaha untuk menerangkan hubungan antara gejala-gejala yang terdapat pada tingkat makro-mikro, global-lokal, struktur-pelaku, dan masyarakat-individu.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
tidak bekerja, tetapi mengklaim sebagian dari hasil kerja tersebut berdasarkan atas penguasaan mereka akan faktor-faktor produksi nontenaga kerja: tanah dan/atau modal (dan/atau kuasa politik/power).5 Kedua pendekatan yang saling mengisi itu, yang pertama memberikan makna dinamis dalam konteks hubungan-hubungan dominasi dan subordinasi, dan yang kedua memberikan basis struktural yang mempengaruhi kekuatan-kekuatan—tetapi tidak menentukan—konteks hubungan-hubungan tersebut serta perlawanan, akan digunakan secara aplikatif-terintegratif sebagai konsep abstrak atau alat analisis awal untuk menganalisis cerita-cerita biasa berdasarkan kelas yang terjadi sehari-hari mengenai KUD, Pak Ka, dan pemuda berikut. Dengan demikian, tujuan-tujuan dari penulisan tahap eksplorasi ini akan mengandung bias makna ganda dalam rencana-rencana penelitian jangka panjang selanjutnya yaitu, selain mengangkat dan mempertajam masalah sebagaimana dikemukakan di atas, juga bersifat menguji hipotesis tentang perlawanan itu. Kali Loro dalam Perkembangan Zaman Kali Loro mempunyai posisi geografis yang strategis. Desa ini berada di sisi sebelah timur kaki bukit Pegunungan Menoreh hingga ke perbatasan aliran Sungai Progo yang airnya mengalir sepanjang tahun dan merupakan sumber dari dua saluran irigasi primer (selokan) Mataram dan Kalibawang di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Di bagian tengah desa itu, yang dekat dengan konsentrasi areal persawahan penduduk dilalui oleh Sungai Tinalah yang cukup besar dan memberikan matapencaharian bagi sebagian penduduk pada musim kemarau menjadi penambang batu dan pasir. Dengan demikian, areal persawahan di desa ini dikelilingi oleh dusundusun dan diapit oleh Sungai Tinalah di sisi timurnya dan Selokan Kalibawang di sisi baratnya yang merupakan sumber irigasi primer areal persawahan serta mata air bagi sebagian besar penduduk dusun di atasnya yang berdiam tepat di kaki bukit itu.6 Jarak dari kota Yogyakarta ke desa ini adalah 26 km, yang dapat ditempuh kurang dari satu jam dengan sarana perjalanan darat. Jarak desa ini ke kota Yogyakarta melalui ibu kota Kabupaten Kulonprogo yaitu Wates adalah 31 km. Ibu kota kecamatan Kalibawang berjarak 7 km ke arah utara dari desa ini. Dibandingkan dengan desa-desa lain dalam satu wilayah kecamatan, desa ini tampak paling menonjol, baik dalam produksi pertanian tanaman pangan terutama padi maupun infrastruktur fisiknya. Areal produksi pertanian, tanaman padi, di desa ini mencapai 640 ha, terluas daripada desa-desa lain, dan beberapa pusat pelayanan publik seperti BRI, KUD, LSM, sekolahan dari SD sampai SLTA, pasar, kios telepon, dan pusat pertokoan sebagian besar terkonsentrasi di desa ini.7 Di persimpangan jalan desa ini terdapat terminal penghubung angkutan darat antarkota yang tumbuh secara liar, tetapi justru telah memberikan pelayanan tunggu bagi penduduk desa menuju ke Yogyakarta, Wates, Muntilan, dan Samigaluh. Pertumbuhan penduduk desa ini adalah (-)0.33 (tabel intercensal growth tahun 1990). Hal ini antara lain disebabkan migrasi keluar (program transmigrasi) yang cukup besar ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, yang telah dilakukan penduduk sejak awal pemerintahan Orde Baru. Di 5 Pembagian tersebut masih jauh terlalu kasar. Selain ketiga kelompok sosial itu, sebenarnya terdapat banyak kelompok sosial lainnya dalam setiap masyarakat agraris. Di samping itu, dalam kenyataannya para aktor tersebut sering overlap (merangkap): seorang petani kecil bisa menjadi landowner, labourer, dan capitaliust sekaligus, seorang tuan tanah merangkap menjadi pedagang, aparat negara, pelepas uang, majikan, dsb. Lihat catatan intern untuk Tim ‘re-study Kali Loro’, Ben White/3 vii ’99. 6 Penduduk yang tinggal di kaki bukit dan di sepanjang Selokan Kalibawang itu masih diuntungkan dengan adanya sumber mata air Kali Kembar yang airnya mengalir jernih sepanjang tahun dan menjadi konsumsi rumah tangga penduduk. 7 Pasar di desa ini merupakan pasar terbesar di wilayah Kecamatan Kalibawang. Penduduk dari luar kecamatan seperti dari daerah (pegunungan) Samigaluh biasanya menganggap bahwa pasar di desa itu sebagai pasar yang besar selain Pasar Kenteng. Mereka menjual hasil-hasil buminya ke dua pasar itu yaitu pada hari Kliwon untuk pasar di desa ini dan Wage untuk Pasar Kenteng.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
samping itu, banyak penduduk menjadi TNI yang harus bertugas ke luar desa, dan banyak pemuda yang mencari pekerjaan ke kota menjadi buruh, terutama di kawasan Jabotabek. Menurut penuturan salah seorang informan, pertumbuhan penduduk yang minus antara lain, “karena keberhasilan program KB yang telah dikenal penduduk sejak tahun 1975 dan adanya perubahan pandangan orang tua terhadap nilai anak: jumlah anak yang semakin banyak akan semakin memberatkan orang tua dalam mencukupi kebutuhan biaya hidup rumah tangga, seperti halnya biaya sekolah yang semakin mahal”. “Umumnya orang tua di desa ini”, demikian penuturannya, “hanya mampu membiayai anaknya sampai tingkat SLTA”. “Mereka malu apabila anaknya tidak bisa lulus dari tingkat SLTP, tetapi mereka tidak mampu kalau diminta membiayai anaknya sampai tingkat perguruan tinggi”. Sampai tahap eksplorasi ini dilakukan, jumlah penduduk desa ini adalah 9.771 orang, terdiri dari 4.092 laki-laki dan 5.079 perempuan, dan tergabung ke dalam 2.252 kepala keluarga, yang seluruhnya menempati areal wilayah desa seluas 11,7 km2. Tempat tinggal penduduk terkonsentrasi di daerah dataran yang landai di sepanjang aliran Sungai Progo dan Tinalah yang tidak jauh dari areal persawahan. Daerah ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi desa yang dilalui oleh sarana transportasi darat berupa bus antarkota, colt angkutan desa, dan kelompokkelompok ojek yang siap melayani jasa angkutan sampai tujuan selama 24 jam. Beberapa pengusaha desa juga mengonsentrasikan usahanya di daerah ini. Daerah-daerah yang berada di kaki bukit hingga ke punggung bukit itu memiliki kepadatan penduduk yang relatif rendah. Mereka umumnya mengerjakan sawah-sawah penduduk yang tinggal di pusat desa. Selain menjadi buruh tani, mereka juga memanfaatkan tegalan yang letaknya terpencar di lereng bukit itu, serta mengerjakan pekerjaan-pekerjaan non-farm seperti anyam kepang dan menjual kayu bakar kepada penduduk di daerah pusat. Daerah-daerah di kaki bukit ini lebih mirip sebagai daerah pinggiran yang dalam hubungan-hubungan pekerjaan pertanian tergantung kepada penduduk di daerah pusat itu.
Tabel 1 Rata-rata Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Kabupaten Kulonprogo, Kecamatan Kalibawang, dan Kali Loro, 1961 - 1990 Kabupaten Kulonprogo Tahun
Total
Pertumbuhan Antar Sensus (%)
Kecamatan Kalibawang Total
Pertumbuhan Antar Sensus (%)
27 334
Kali Loro Pertumbuhan Antar Sensus (%)
Total
1961
337 154
8 483
1971
371 103
0.96
29 035
0.61
8 530
0.06
1980
380 685
0.28
29 143
0.04
8.537
0.01
1990
372 209
(-)0.22
27 214
(-)0.68
8 257
(-)0.33
Sumber: White (1999).
Dinamika dalam Hubungan-Hubungan Struktur Agraris di Kali Loro Ilustrasi singkat kira-kira 25 tahun yang lalu mengenai komposisi struktur agraris di Kali Loro menunjukkan bahwa dari 478 rumah tangga yang disurvei tahun 1972-1973, 6 persen rumahtangga memiliki lebih dari separo luas tanah sawah yang ada, 37 persen rumah-tangga tidak memiliki tanah, dan 40 persen rumah-tangga lainnya bekerja di sektor pertanian untuk memenuhi S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
kebutuhan dasar mereka akan beras. Dengan kata lain, 75 persen rumah tangga di Kali Loro waktu itu harus mencukupi kebutuhan subsistensi mereka dari sumber-sumber lain, selain kepemilikan tanah dan tanah-tanah garapan mereka yang kecil. Sumber-sumber itu antara lain adalah buruh upahan di sektor pertanian (buruh tani), bentuk-bentuk variasi dari pedagang pasar (bakulan: bakul eyek, mendreng, bakul adang-adang, dll.), produksi kerajinan rumah tangga (seperti anyam kepang dan anyam tikar, membuat slondok, gula aren, dll.), dan hasil-hasil pekarangan yang dapat dijual atau dikonsumsi sendiri (Stoler, 1975). Komposisi ini barangkali agak berbeda dengan kualifikasi teoretis di atas karena tidak memperhitungkan unsur-unsur atau kesatuan-kesatuan sosial lain seperti pemodal (capitalist). Jumlah (persentase) unsur-unsur atau kesatuan-kesatuan lain di luar sektor pertanian juga kurang diperhitungkan secara analitis. Penjelasannya barangkali terletak pada perbedaan konteks historis waktu itu yang belum memungkinkan berbagai bentuk variasi sektor-sektor di luar pertanian dianalisis ke dalam komposisi penting (dominan) struktur agraris, kecuali kepemilikan tanah yang secara dominan menunjukkan mendekati corak murni (feodalisme). Dalam pengamatan awal, akitivitas nonfarm itu semakin tumbuh secara variatif. Sebagian aktivitas nonfarm adalah kelanjutan dari yang lama, seperti anyam kepang (yang ternyata sudah dikenal penduduk sejak zaman penjajahan), membatik, menenun lurik, dan menenun stagen (yang saat ini telah hilang akibat akumulasi modal). Di samping itu, berbagai usaha nonfarm yang baru juga muncul. Seperti ungkapan orang-orang tua mereka dulu, “suk mben ki ono krikil mlebu kendil”, artinya adalah pada suatu saat nanti ada orang yang bekerja untuk mencukupi nafkah hidupnya dengan cara mengumpulkan dan menjual batu di kali. Sekarang, pekerjaan ini dikenal sebagai penambang batu dan pasir. Di Kali Loro, jumlah orang yang bekerja sebagai penambang batu dan pasir cukup besar, terutama pada musim kemarau, kaitannya dengan munculnya jualbeli dan pengolahan batu dan pasir di pabrik penggilingan batu khususnya milik Pak Ka. Kehadiran pabrik penggilingan batu milik Pak Ka, di samping telah menyerap sejumlah tenaga kerja pertanian menjadi buruh pabrik, juga memberikan peluang besar bagi penambang tradisional untuk mengumpulkan dan menjual batu dan pasir dari Sungai Progo dan Sungai Tinalah. Peralihan bentuk surplus dari para penambang tradisional ke Pak Ka mulai terjadi ketika Pak Ka menempatkan alat-alat berat di sepanjang sungai itu untuk menggantikan tenaga-tenaga mereka mengumpulkan batu dan pasir.8 Dari cerita kecil mengenai Pak Ka ini terlihat bagaimana Pak Ka, buruh pabrik, dan penambang tradisional itu telah mengisi komposisi struktur agraris (nonfarm) sekarang ini. Usaha perdagangan juga telah memberikan kesempatan bagi pedagang-pedagang pendatang yang menempati lokasi strategis di sekitar persimpangan empat dekat pasar desa. Daerah ini sekarang tumbuh menjadi pusat pelayanan publik seperti pemerintahan, perbankan, informasi, pegadaian, koperasi, jual-beli, kredit, jasa transportasi, pendidikan, dan pelayanan sosial seperti LSM. Jasa transportasi angkutan darat, misalnya, dimanfaatkan bukan hanya oleh anak-anak sekolah, tetapi juga oleh golongan PNS, karyawan swasta, dan pedagang ulang alik. Di luar aktivitas non-farm di dalam konteks hubungan-hubungan antardusun di desa itu, masalah kepemilikan tanah mengalami pergeseran. Elit-elit lama yang dicirikan dengan besarnya jumlah kepemilikan tanah, kini mengalami ukuran-ukuran yang melorot. Di salah satu dusun di kaki bukit itu, dahulu seorang elit menguasai tanah seluas 2,9 ha, kini di dusun itu seorang --yang apabila dapat dikatakan elit-- memiliki tanah seluas 8000 m2, atau melorot lebih dari tiga kali dari elit lama. Pola pewarisan tanah telah menjadi mekanisme penyempitan kepemilikan tanah ini. 8 Kini, sebagian Sungai Progo dan Sungai Tinalah itu dinilai penduduk seperti milik Pak Ka. Truk-truk yang berasal dari luar daerah yang akan mengambil batu dan pasir di kedua sungai itu harus seizin Pak Ka.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Sejumlah besar generasi kedua sejak penelitian 1972--1973 itu, kini hanya memiliki tanah seluas kurang dari 0,5 ha (kemungkinan besar banyak di antara mereka kehilangan kepemilikan tanahnya karena proses jual-beli tanah).9 Posisi elit-elit lama mengalami pergeseran dan memberikan kemungkinan bagi kelompok-kelompok kecil orang yang mampu mengakses usahausaha di sektor nonfarm secara komparatif untuk muncul dan tumbuh sebagai elit-elit baru di desa itu. Di samping jenis usaha jasa dan perdagangan yang memberikan keuntungan lebih cepat, pekerjaan PNS seperti guru dan dosen, pegawai pemerintahan desa, dokter, dan bidan Puskesmas, serta TNI telah mengisi komposisi tengah struktur agraris di Kali Loro. Dalam komposisi kelas-kelas rendahan, hubungan-hubungan ini semakin rumit karena terjadinya overlap di antara kedudukan-kedudukan kerja dalam dunia kerja mereka yang subordinat. Sebagai contoh, seorang petani penggarap pada musim tanam padi menggarap tanah garapannya seluas 1.000 m2 (dengan sistem bagi hasil: maro) bersama istri dan anakanaknya. Pada saat yang hampir bersamaan, si istri bekerja sebagai buruh tandur di sawah orang lain dan anyam kepang pada malam harinya, sementara suami menjadi buruh cangkul. Begitupun ketika musim panen tiba, rumah tangga itu menawarkan tenaga-tenaga derep untuk memanen padi, yang hasilnya akan dibagi (maro) dengan si pemilik sawah setelah dikurangi bawon. Pada saat yang sama, si istri menjadi buruh derep yang mendapatkan bawon 1/6--1/8 dari petani atau 1/10--1/12 dari penebas. Pada musim palawija, suami dan istri bersama-sama mengumpulkan batu dan pasir di Sungai Tinalah untuk dijual ke Pak Ka. Cerita-cerita kecil ini memberikan pintu masuk untuk melihat bentuk-bentuk peralihan surplus dari satu bentuk dan tangan ke bentuk dan tangan orang lain, yang pada prinsipnya semakin mengumpul ke tangan-tangan kelas-kelas yang semakin dominan, misalnya dari sistem bawon itu ke tebasan, dari penggunaan luku/garu ke traktor, dari tandur ke tabela (tanam benih langsung dengan menggunakan mesin), dan dari lesung penumbuk padi ke mesin giling yang dikuasi oleh segelintir orang. Komposisi kelas-kelas rendahan ini, melalui argumentasi-argumentasi kecil di atas, diasumsikan telah semakin solid – setidak-tidaknya mengalami perubahan bentuk peralihan surplus sejak 25 tahun terakhir, dalam arti, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dunia kelaskelas rendahan ini menunjukkan suatu proses identifikasi ke dalam kelas-kelas. Meminjam istilah Scott (1993), dunia mereka itu semakin terbentuk ke dalam suatu subkultur (lokalisme), yang jika diibaratkan ikan, subkultur itu adalah airnya; ‘ikan tidak berbicara tentang air’. Artinya, subkultur itu akan terjelaskan, meminjam istilah Thompson di atas, di dalam suatu proses penemuan titiktitik pertentangan kepentingan menuju perjuangan kelas dan dimulainya identifikasi terhadap kelas-kelas mereka.
Kasus I: KUD Simbol Perlawanan Kaum Tani Satu pertanyaan awal akan segera muncul dari benak kita. Mengapa bukan kelas-kelas atasan yang mengambil alih bentuk-bentuk surplus itu yang menjadi simbol perlawanan kaum tani, tetapi justru KUD? Jawabannya terletak pada penilaian Thompson mengenai titik-titik pertentangan kepentingan kelas tersebut. Jawaban ini tidak sedang mengatakan bahwa petani gagal dalam mengidentifikasi titik-titik pertentangan kepentingan kelas dan proses selanjutnya, tetapi justru sebaliknya bahwa proses perjuangan kelas petani telah mengidentifikasi titik persinggungan yang penting antara pengambilalihan surplus yang dilakukan oleh kepentingan para bakul dan kerja 9 Sampel 20 rumah tangga yang disurvei secara intensif selama satu tahun di Kali Loro saat ini adalah generasi kedua yang memiliki tanah kurang dari 0,5 ha.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
samanya dengan pengurus (terutama ketua) yang menggunakan dalih (manipulasi) kekuasaan. Di satu sisi, titik persinggungan itu merepresentasikan kelas-kelas dominan, yang dalam hal ini disimbolisasikan dengan KUD. Di sisi lain, petani telah mengidentifikasi peralihan bentuk surplus dari yang semula menjadi hak petani kemudian diambilalih oleh para bakul bekerja sama dengan pengurus (terutama ketua) KUD. Penjelasan atas persoalan ini perlu dikembalikan kepada aspek historis yang membentuk lembaga itu. KUD di Kali Loro ini adalah KUD perintis yang diresmikan pertama kali oleh Sri Paku Alam pada tahun 1969 (waktu itu bernama BUUD: Badan Usaha Unit Desa) di Kali Loro. Peresmian waktu itu dilakukan bersama 4 KUD lainnya, masing-masing mewakili kabupaten di Propinsi DIY, yang dimaksudkan untuk mengembangkan perekonomian tingkat desa melalui sistem usaha koperasi.10 Salah satu sasaran utamanya adalah petani, di samping usaha kecil (perajin, pedagang, dan pengusaha kecil) yang berbasis pada pengembangan ekonomi rumah tangga secara kooperatif. Melalui sistem usaha ini diharapkan masyarakat pedesaan akan tetap terpola dalam suatu hubungan-hubungan sosial bersama yang dicirikan dengan gotong-royong dan kekeluargaan. Bentuk akhir dari sistem usaha semacam ini adalah suatu masyarakat yang bercorakkan sosialisme sebagaimana yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Peresmian bersama KUD se-Propinsi DIY di Kali Loro itu setidak-tidaknya telah memberikan kebanggaan bersama penduduk desa itu, yang di sisi lain juga telah menanamkan tanggung jawab moral bersama untuk melanjutkan keberhasilan yang telah dicapai. Dua sisi ingatan ini agaknya telah melekat di benak petani sehingga apabila saat ini mereka diminta penjelasannya mengenai KUD, aspek-aspek sejarah itu secara implisit atau eksplisit tidak akan lepas dari bagianbagian penjelasannya. Petani kecewa dengan KUD saat ini, yang hal itu tampak dari cerita-cerita kebanggaan dan tanggung jawab moral masa lalu, yang kini telah pudar. Apabila kita menemui petani saat ini, kemudian bercakap-cakap dan menanyakan secara eksplisit tentang peran dan fungsi KUD, kita akan segera mendengarkan cerita-cerita kekecewaan dan ketidakpuasan. Apabila kita bertanya lagi mengenai apa yang sudah dilakukan untuk membangun lembaga kebanggaan petani ini, terkesan ia tidak berdaya; hanya bercerita tentang ketidakmampuan KUD melayani kebutuhan petani, atau mengkritik, mencemooh, membeberkan kelemahan, kecurangan, dsb. (Tabel 2). Jawaban itu memberikan sanggahan bahwa petani bukannya tidak berdaya, tetapi senjata-senjata perlawanan semacam itulah yang saat ini dimiliki oleh kaumnya.
Tabel 2 Persepsi dan Resistensi Petani terhadap KUD di Kali Loro Persepsi Petani
Resistensi Fisik
Resistensi Simbolik
1. Tidak transparan a. Usulan petani tidak diperhatikan b. Laporan rapat direkayasa
a. Tidak ikut rapat
a. Mengkritik di belakang
b. Malas berpendapat
b. Diam c. Ngrasani (menggosip)
c. Pemotongan dana
10 Sistem ini diperkenalkan oleh Mohammad Hatta (Wakil Presiden I RI) yang kemudian dikenal sebagai bapak koperasi Indonesia untuk membentuk suatu masyarakat yang bercorak sosialisme.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
2. Peran dan fungsi terbatas a. Tidak menampung gabah petani
a. Petani menjual padi ke penebas
b. Pelayanan terbatas jasa penggilingan padi dan jual-beli kebutuhan rumah tangga
b. Petani membeli benih, pupuk, dan obat ke bakul dan toko pertanian di Muntilan
c. Melayani para bakul
c. Tidak membeli ke KUD
a. Menggerutu b. Menggerutu
3. Citra buruk ketuanya a. Mantan camat yang dipecat b. Pandai berkelit c. Mengabaikan suara petani
a. Enggan berhubungan
a. Ngrasani (menggosip)
b. Malas berdebat
b. Diam
c. Mencemooh
c. Kecewa
d. Mengkritik
d. Ngrasani (menggosip)
d. Tidak ada reorganisasi Sumber: Diolah dari Data Wawancara, 1999
Senjata-senjata ini adalah senjata-senjata biasa yang dimiliki petani yang pada saat ini sangat mungkin tidak memiliki akibat-akibat revolusioner. Sangat mungkin bahwa senjata-senjata itu hanya semakin mempertajam hubungan-hubungan kelas atasan dan kelas-kelas bawahan serta di sisi lain me-lumer-kan subkultur masing-masing kelas, dan tidak berakibat pada pemberontakanpemberontakan yang sesungguhnya. Benar bahwa di tengah suasana selepas kerja di sawah, selepas gotong royong memperbaiki tanggul yang jebol, atau pada saat mereka bersama-sama membahas persoalan itu, maka kata-kata yang keluar dari ucapan mereka seolah-olah ingin membakar KUD itu. Seorang mantan kadus menyinggung pengalamannya berhubungan dengan KUD semasa menjabat sebagai kadus dulu. Ia menceritakan dan menunjukkan bagaimana korupsi sudah biasa terjadi di KUD. Tiba-tiba seorang petani menyahut, “Kalau begitu Pak Mantan dulu juga korupsi!” “Orang seperti saya ini kalau korupsi pun hanya mendapatkan bagian yang sedikit”, jawab mantan kadus itu. Kemudian sepertinya Pak Mantan ingin membalik menunjukkan kebobrokan yang terjadi di KUD. Berbagai korupsi dibeberkannya, seperti bagaimana dana-dana yang dialokasikan untuk pembangunan, tetapi justru dikorupsi. Secara spontan, tiba-tiba seorang petani muda berteriak penuh semangat, “sulut wae (bakar saja!).” Semangat yang luar biasa meledak-ledak di dada petani muda itu hanya berlangsung di belakang, dan benar pada hari itu tidak terjadi revolusi KUD di Kali Loro. Kita akan mendengarkan semangat yang luar biasa hebat ini bahkan setiap hari, di setiap kesempatan mereka berkumpul, atau kepada petani muda yang kita tanyakan secara emosional. Jawaban yang kita dengarkan seolah-olah besok pagi akan terjadi revolusi KUD di Kali Loro. Apabila Lenin mendengar hal ini, barangkali tidak akan ada artinya bagi kemajuan partai, tetapi itulah senjata-senjata biasa yang dimiliki oleh kaum tani untuk melawan kelas-kelas dominan setiap hari di Kali Loro. Mengkritik, mencemooh, membeberkan kelemahan dan kecurangan KUD, dan sebagainya. di belakang bukannya tanpa makna. Petani dengan jelas melihat bagaimana surplus itu dialihkan dari satu bentuk ke bentuk lain yang di satu sisi merugikan petani dan di sisi lain memberikan keuntungan
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
yang semakin besar kepada bakul yang akhirnya akan menjerat leher petani. Keterlibatan keluarga ketua KUD cukup besar karena ternyata di antara bakul yang memborong pupuk ke KUD itu adalah saudara (kandung [?]) dari istri ketua KUD itu.11 Bakul-bakul itu berasal dari luar kecamatan, seperti yang diduga, saudara istri ketuanya itu berasal dari Samigaluh. Akibat pemborongan pupuk KUD ini, sebagian petani tidak mendapatkan persediaan pupuk. Mereka harus membeli ke bakul atau ke toko-toko pertanian yang harganya lebih mahal daripada harga KUD. Sistem kooperatif yang tujuannya untuk saling menguntungkan antara petani dan KUD itu telah dilanggar. Sebagian keuntungan beralih ke bakul (dan ketua KUD) dan bakul-bakul itu kemudian akan menjerat leher petani dengan menaikkan harga pupuk dari KUD hingga mencapai Rp200,00 per kg. Dalam proses kolusi ini sangat mungkin ketua KUD mengambil peran yang penting karena sifat kepemimpinannya yang feodal: bapakisme, yang menganggap bahwa hubungan kerja itu seperti hubungan bapak-anak. Tanpa persetujuan ketua, persekongkolan ini tidak mungkin terjadi dan dalam kasus ini ketua bisa mengambil keuntungan dari bakul. Semakin represif ketua maka semakin tinggi pula bakul akan menjerat leher petani sehingga senjatasenjata perlawanan mereka itu lebih diarahkan kepada ketua KUD daripada bakul. Hubunganhubungan kekerabatan semacam itu juga memberikan kontrol bagi perlawanan petani “mengingat masih saudara sendiri”. Seorang petani muda yang memiliki “semangat revolusioner” yang saya temui secara intensif misalnya, merasa sangat nggak enak karena ternyata ketua KUD itu adalah saudara tetangganya. Hubungan antara petani muda itu dengan tetangganya selama ini terjalin erat karena merupakan tetangga dekat satu dusun, yang dalam batas-batas toleransi mereka bahkan masih bisa dianggap sebagai sedulur dewe (saudara sendiri) – dalam konteks hubungan-hubungan ketetanggaan face to face setiap hari. Pertimbangan kedekatan hubunganhubungan kerabat ini telah menjadi kontrol revolusi.
Kasus II: Sapi Perah dan Represivitas Simbolik Di luar konteks hubungan-hubungan dominasi dan subordinasi antara kelas-kelas atasan yang direpresentasikan oleh bakul-bakul pupuk dari luar kecamatan yang memanfaatkan bentuk hubungan kerja sama maternalistik dengan istri ketua KUD, dan kelas-kelas rendahan yang tersubordinasi akibat pengambilalihan (berarti dominasi: pendudukan) surplus oleh kelas-kelas atasan itu yang diwakili oleh petani-petani kecil dan penggarap, muncul kekuatan baru yang berasal dari dunia non-farm. Kekuatan itu bersifat unik karena telah membalik posisi kelas rendahan ke kelas atasan, posisi kelas atasan ke kelas rendahan, dan menetapkan sejumlah orang di posisi kelas-kelas yang sama. Reposisi dalam hubungan-hubungan antarkelas ini terkait dengan cerita Pak Ka yang memulai usahanya dari nol hingga mencapai kerajaan bisnis sekarang. Dengan demikian, tahapan-tahapan posisi kelas ia lalui, dan melibatkan hubungan antarkelas rendahan dan atasan. Oleh karenanya, merupakan suatu cerita unik yang menarik untuk dicermati. Pak Ka terkesan menonjol dalam berhitung dibandingkan dengan teman-temannya dahulu yang sama-sama duduk di bangku sekolah. Nilai matematikanya 10 dan diakui cerdas. Ia tidak menyelesaikan perguruan tinggi karena alasan biaya, di samping keinginannya yang kuat untuk berbisnis. Bangku kuliah pun ditinggalkannya, dan ia mulai menjajagi bisnis mendreng. Pekerjaan ini ditekuninya cukup lama sehingga ia dikenal sebagai bakul mendreng. Biasanya ibu-ibu rumah 11 Ketua KUD itu adalah Pak P yang dikenal masyarakat sebagai seorang mantan camat yang dipecat karena kasus korupsi dan “main perempuan”. Sejak pemecatan itu, ia ditempatkan di Kali Loro menjadi ketua KUD dan sudah 20 tahun hingga sekarang. Ia terkenal julik (mendekati licik) dan pandai berkelit.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
tangga banyak yang menjadi konsumennya. Bukan hanya di sekitar tempat tinggalnya, wilayah operasi Pak Ka mencapai Godean (Kabupaten Sleman) dan sebagian Purworejo. Barang-barang dagangannya dikonsumsi laris dengan cara kredit. Dalam pikiran Pak Ka, barang yang dikreditkan itu merupakan tabungan untuk meraih impiannya. Setiap malam ia menghitung barang-barang yang dikreditkan kepada penduduk itu di atas kertas di kamarnya. Sampai larut malam terlihat oleh kakaknya ia menghitung keuntungan yang akan diraihnya. Terkadang ia ngengleng (berdiam diri sendirian sambil menatapkan pandangannya kosong) dan dikatakan oleh kakaknya bahwa adiknya telah edan (gila). Pak Ka sadar betul ketika dikatakan gila oleh kakaknya, tetapi ia tetap percaya diri bahwa keuntungan yang akan diraihnya dari barang-barang yang dikreditkannya itu akan memberikannya keuntungan yang besar. Penarikan kredit itu berlangsung tahun demi tahun, ia tarik satu per satu kredit itu dan ia tabung untuk mewujudkan cita-citanya membeli sebuah truk. Pada masa penarikan kredit itu, Pak Ka juga menggali pengalaman kerja kasaran di kelas rendahan seperti menjadi kuli bangunan, kuli tambang pasir, kernet bus, dan mencarikan penumpang bus di perempatan jalan desa itu. Pekerjaan yang paling mengesankan baginya adalah diajak teman-teman sebayanya ikut menaikkan batu dan pasir ke atas truk, kemudian ia diberi uang oleh mereka sebagai jasa tenaganya. Pekerjaan ini yang kemudian membentuk cita-citanya menjadi pengusaha batu dan pasir. Mendekati awal tahun 1980-an, Pak Ka sudah memiliki sebuah truk yang dioperasikan untuk mengangkut batu dan pasir ke proyek-proyek bangunan. Keuntungan pun diraihnya, dan ia tetap memegang prinsip ¼ dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga dan ¾ untuk modal usahanya. Melalui jaringan awal bisnisnya dan keuntungan-keuntungan yang terus dikembangkan, truk demi truk ia miliki. Pada awal dekade 1990-an ia sudah memiliki 45 buah truk yang terdiri dari truk-truk besar dan kecil. Kebutuhan akan tanah pun mendesak, setidak-tidaknya untuk tempat parkir truk-truk itu. Tanah-tanah pekarangan di sekitar rumahnya yang sekarang ini telah menjadi miliknya digunakan untuk memarkir truk. Beberapa tahun sebelum itu, ia mendirikan sebuah pabrik penggilingan batu dengan peralatan mesin yang sebagian ia ciptakan sendiri. Pada awal berdirinya pabrik itu, ada sekitar 15 sampai 20 orang yang bekerja secara intensif yang terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anakanak. Tenaga kerja yang lain dan yang cukup besar adalah sopir truk yang merupakan armada bisnis Pak Ka. Biasanya seorang kontraktor menanyakan kepada sopir truk itu. Artinya, sopir truk ini telah menjadi pengembang jaringan bisnis Pak Ka. Di samping usahanya ini, tingkat pembelian Pak Ka terhadap tanah-tanah penduduk cukup tinggi. Dalam hal tanah sawah, misalnya, ia kini memegang 30 sertifikat tanah sawah, 15 sertifikat tanah pekarangan, dan 100 ekor sapi yang digaduhkan. Kebutuhan akan tenaga kerja untuk menjalankan semua fungsi bisnisnya ini terhitung cukup tinggi, belum terhitung orang-orang yang bekerja di dalam rumah tangganya, dan yang mengurusi 2 toko bangunan di rumahnya. Menurut penuturan Pak Ka, pada akhir tahun 1998, jumlah tenaga kerja seluruhnya mencapai 170 orang, termasuk orang-orang yang dahulu sering mengajaknya untuk menaikkan batu dan pasir ke atas truk dan memberinya uang lelah kepadanya, sekarang menjadi tenaga kulinya. Banyak di antara mereka yang dahulu bersikap biasa dengan Pak Ka dan terkadang harus menyuruh dengan nada yang agak keras, sekarang kelihatan tunduk dan patuh di hadapannya. Memandang wajahnya pun orang-orang ini kurang percaya diri sehingga seringkali kalau berbicara sambil mengerjakan sesuatu yang harus ia kerjakan dengan baik di hadapan Pak Ka. Sikap angker Pak Ka muncul di samping karena posisinya yang dominan dalam dunia nonfarm, juga karena dikenal penduduk memiliki kekuatan gaib/magis yang siap membantunya.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Kekuatan gaib itu berasal dari ingon-ingonan buto ijo.12 Kekuatan ini telah memberikan kontrol yang sangat ketat kepada pekerjanya untuk tidak berbuat curang, mencuri kecil-kecilan, mengutil, dsb. (Tabel 3).
Tabel 3 Persepsi dan Resistensi Pekerja dan “Penduduk yang Melawan” Pak Ka di Kali Loro Persepsi Pekerja dan Penduduk
Resistensi Fisik
Resistensi Simbolik
Kaya karena curang, kolusi dengan aparat pemerintah desa dan kecamatan13
Penduduk memasang TPR Ngrasani (menggosip) pada ruas jalan masuk ke sungai yang dilalui truk-truk Pak Ka
Pelit dan mahal
Mengutil (mencuri) barang Seruan peringatan, “jangan kecil-kecilan seperti mur dan kerja di sana”; “jangan beli di sekrup, mencuri waktu kerja, sana”. memperlambat kerja, dsb. Tidak membeli barang ke toko Pak Ka.
Memeras, keras, dan tegelan Malas berhubungan kerja, mencuri waktu, merusak mesin, dan keluar kerja
Menggerutu
Kontrolnya sangat ketat
Mencuri waktu dan mengelabuhi.
Menggerutu
Punya “buto ijo”, setiap kekayaannya ada yang “nunggoni” (menunggui)
Mencari lambaran dan “memagari” rumahnya.14
Ngrasani (menggosip)15
Sumber: Data Wawancara, Diolah, 1999
Kontrol ketat yang diberikan atas bentuk-bentuk perlawanan semacam itu adalah kematian yang dilakukan secara magis oleh buto ijo.16 Kekuatan simbolik ini terkesan sangat represif, bukan 12 Dalam pengetahuan lokal penduduk, “buto ijo” ini disebut sebagai persugihan yang akan membantu orang yang ngingu (memeliharanya) untuk menjadi kaya dengan cara memberikan nyawa seseorang untuk santapan buto ijo ini, bahkan nyawa itu terkadang harus anaknya sendiri. 13 Menurut Pak W, luas tanah yang digunakan untuk pabrik penggilingan batu itu adalah tanah kas desa yang disewa Pak Ka seharga Rp300.000,00 per tahun. Untuk mengeksploitasi batu dan pasir Sungai Progo dan Tinalah, Pak Ka menyogok aparat pemerintah kecamatan sebesar Rp1,5 juta per tahun, kantor desa Rp1,5 juta per tahun, dusun Rp500 ribu per tahun, dan Polsek Rp1 juta per tahun. 14 Kasus ini terjadi pada Pak Sar yang rumahnya berdekatan dengan lahan penampungan batu milik Pak Ka. Menurut S batas antara tanah Pak Sar dan Pak Ka telah “dipagari” (diberi pagar kekuatan magis). 15 Salah satu rasan-rasan itu adalah, “makani ki yo makani, ning ojo sedulur dhewe njuk dipakake ngono kuwi. Nek arep makami ki
ngglok wong njobo kono” (“memberi makan “buto ijo” itu boleh saja, tetapi jangan “saudara” sendiri diumpankan. Kalau mau memberi makan itu cari orang luar desa sana”). Wawancara dengan S, 1999. 16 Dalam ingatan penduduk, kematian yang ada kaitannya dengan “buto ijo” ini sudah menimpa kepada 15 orang yang meninggal dunia, termasuk anak pak K sendiri. Kematian yang diakibatkan oleh “buto ijo” ini tidak akan masuk dalam persoalan delik hukum, karena tidak terjangkau hukum positif.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
hanya kepada pekerjanya, tetapi juga kepada penduduk desa. Di kalangan penduduk desa, sebisa mungkin berhubungan langsung dengan Pak Ka itu dihindari karena berhubungan langsung berarti memasuki suatu wilayah represivitas simbolik. Orang yang memasuki wilayah itu setidaktidaknya harus siap apabila suatu saat akan perang. Untuk mengantisipasi hal itu penduduk berupaya melambari (memberikan dasar kekuatan magis pada dirinya) dengan berbagai kekuatan magis yang ia percayai, ia dapati dan miliki. Seorang sopir truk Pak Ka pernah melakukan perlawanan melalui cara ini dan menghasilkan bentuk-bentuk perlawanan, seperti masa bodoh dengan aturan represif Pak Ka, ndablek (cuek), tidak mengikuti aturan yang sudah ditentukan Pak Ka, ngeyel (membantah), dan mengutil (mencuri) kecil-kecilan, di samping melambari diri dengan kekuatan magis itu dalam kerangka perlawanan biasa di kalangan kelas-kelas rendahan merupakan upaya perlawanan simbolik yang dahsyat.17 Bagi buruh-buruh pabrik penggilingan batu Pak Ka, bentuk-bentuk dominasi (pendudukan) itu bukan hanya menyentuh alam pikiran simbolik sebagaimana kekuatan represivitas simbolik di atas, tetapi juga pemaksaan-pemaksaan yang harus dilakukan dan menerima apa yang diberikan oleh Pak Ka kepadanya secara minimal. Dihitung dari jam kerjanya yang sangat panjang (10 s.d. 12 jam per hari) dan tekanan upah yang sangat rendah, peralihan bentuk surplus dari buruhburuh itu ke tangan Pak Ka sangat mungkin terjadi, dengan dalih menguasai modal dan alat produksi serta berkuasa. Senjata seperti ini sering digunakan Pak Ka untuk menggertak buruhburuhnya, misalnya saat mesin pabrik itu rusak pada pukul 18.00, saat buruh-buruh itu akan pulang, dibentak oleh Pak Ka, “Kalau tidak dibenahi sekarang, besok mau kerja apa?” Pembenahan mesin itu terkadang memakan waktu sampai pukul 23.00 dan tidak ada kompensasi baginya. Alasan Pak Ka cukup sederhana, “Kalau tidak mau diupah sekian ya sudah, pergi sana, masih banyak orang lain yang ingin bekerja.”18 Walaupun Pak Ka dijauhi penduduk di sekitarnya, banyak orang yang datang ke Pak Ka dari luar desa untuk menawarkan tenaga kepadanya. Atas dasar kenyataan ini maka Pak Ka tidak pernah risau apabila buruh-buruhnya mogok kerja karena mereka akan dipecat begitu saja (tanpa proses hukum dan tanpa pesangon). Eksploitasi semacam ini dilakukan dengan cara mengklaim sebagian dari hasil kerja yang dihasilkan oleh buruh dengan dalih menguasai alat produksi: modal dan kekuasaan (power). Sistem dominasi ini telah memperlakukan buruh-buruh itu sebagai sapi perah. Mereka dieksploitasi tenaganya untuk memperkaya bisnis Pak Ka. Seorang buruh di pabrik penggilingan batu itu paling kecil mendapatkan upah sebesar Rp4.000,00 per hari dan terbesar Rp20.000,00 per hari. Buruh yang mendapatkan upah terbesar ini hanya seorang yaitu operator buldozer yang apabila bekerja dalam proyek pembangunan fisik di luar Pak Ka upahnya bisa mencapai dua kali lipatnya. Umumnya, buruh-buruh itu upahnya kurang dari Rp7.000,00 per hari, sedangkan seorang buruh bangunan yang bekerja antara pukul 08.00 s.d. 16.00 upahnya juga sebesar itu masih ditambah makan siang, minum, dan makanan kecil pada pagi dan sore harinya. Buruh di pabrik penggilingan batu milik Pak Ka ini sama sekali tidak mendapatkan makan dan minum, jenis pekerjaannya lebih berat, tingkat polusinya sangat tinggi, risiko kecelakaannya besar, jaminan keamanan dan keselamatan kerja tidak ada, terkadang masih dipaksa lembur oleh Pak Ka karena kalau tidak mengikuti perintahnya, ancaman pemecatan mungkin akan terjadi esok paginya. Jam kerja itu terkadang harus ditambah apabila pada malam harinya Pak Ka mendapat pesanan, dan esok harinya sudah harus diantarkan ke pelanggan, maka esok paginya itu buruh-buruh sudah mulai bekerja pukul 04.00 sampai selesai pada jam kerja hari-hari yang sama, tetapi sama sekali tidak mendapatkan kompensasi. 17 Hasil wawancara dengan informan kunci bernama S, 1999. 18 Wawancara dengan Pak W, seorang buruh pabrik penggilingan batu milik Pak K, 1999.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Kasus III: Pembangkangan dan Pemalsuan Identitas Politik Pertanyaan senada barangkali akan segera muncul sebagaimana dalam pemaparan KUD di atas, mengapa pemuda? Apa hubungannya dengan struktur agraris? Jawaban pertanyaan ini tidak akan kita temukan dalam uraian teoretis di muka. Pada kenyataannya, kelompok-kelompok pengacau pun memiliki peran yang penting dalam dinamika hubungan-hubungan struktur agraris. Siapa yang dicirikan free riders (pembonceng) oleh, misalnya, Popkin (1986)? Salah satu jawabannya adalah pengacau. Mengapa? Karena pengacau adalah orang yang mengambil keuntungan dari kerja keras orang-orang lain, dari kerja keras kelas-kelas rendahan, yang menjadi centeng kelas-kelas atasan, sebaliknya, merongrong kewibawaan kelas-kelas atasan, dengan sedikit kesadaran politik, menjadi begal (pada masa lalu), atau sekedar pelampiasan emosional dari kecemburuan sosial. Sekarang sudah jelas bagaimana pengacau telah mengambil alih surplus penduduk atas suatu legitimasi kekuatan (power), bahkan dengan cara semena-mena, memaksa, menteror, dan membunuh. Dalam hubungan-hubungan kelas seperti itu, kelompok-kelompok pengacau menjadi penting untuk diperhitungkan dalam komposisi struktur agraris. Apabila kita mencermati siapa-siapa yang menjadi pengacau di Kali Loro, jawabannya hampir terletak pada keterkaitan antara gerombolan, pemuda, dan tawuran. Pada sisi yang umum, keterkaitan antara ketiganya seperti mengidetifikasikan suatu kehidupan pemuda yang kelam: mabuk, judi, mencuri, main perempuan, berkelahi, dsb. Tidak semuanya melekat pada identitas pemuda yang kemudian disebut pengacau. Banyak pemuda yang mengalami kehidupan kelam seperti itu yang bukan pengacau. Inti dari persoalan ini adalah meletakkan pembangkangan pemuda dalam suatu konstelasi penting komposisi struktur agraris. Pembangkangan bisa terjadi dari dominasi orang-orang tua mereka terhadap kepatuhan. Keterkaitan antara gerombolan, pemuda, dan tawuran barangkali bisa diletakkan dalam konteks hubungan-hubungan dominasi dan subordinasi semacam itu. Perlawanan terhadap sistem dominasi itu (tampaknya ini juga mendapat pengaruh dari budaya populer kota) berupa keacuhan mereka terhadap persoalan ekonomi rumah tangga yang dihadapi oleh orang-orang tua. Apabila dalam praktek kehidupan sehari-hari orang tua mereka mengajarkan suatu perjuangan hidup melalui kerja sebagai: petani, petani penggarap, buruh tani, dan kegiatan-kegiatan non-farm lainnya, pemuda ini mengambil posisi yang seenaknya. Mengacuhkan ajaran-ajaran hidup seperti itu dan terbuai dalam suatu keinginan hidup enak tanpa kerja keras.19 Kebiasaan nongkrong (duduk-duduk biasanya bergerombol di pinggir jalan) yang dilakukan, baik malam maupun siang hari, bukanlah suatu retorika dari persoalan pengangguran di desa itu, tetapi lebih sebagai suatu penolakan terhadap kerja pertanian yang sampai sekarang digeluti orang-orang tua mereka. Apabila orang-orang tua mereka berkubang dalam suatu perjuangan hidup, pemuda ini menggantungkan hidup dari perjuangan itu (menolak perjuangan hidup). Dalam konteks hubungan ini, apa bedanya pemuda itu dengan pengacau, yang juga mengambil keuntungan dari kerja keras kelas-kelas atasan dan bawahan? (mengambilalih surplus dari perjuangan kelas mereka walaupun terhadap orang-orang tua mereka sendiri). Melalui argumentasi kecil ini pemuda akan diletakkan dalam suatu hubungan-hubungan kelas biasa yang terjadi sehari-hari, yang perjuangan kelas mereka itu dilakukan dengan cara menemukan titik-titik pertentangan kepentingan kepatuhan yang dipaksakan oleh kelas-kelas dominan terhadap posisi kelas subordinasinya. Cerita-cerita mengenai pemuda berikut bukan untuk menganalisis lebih jauh mengenai pembangkangan mereka terhadap dominasi orang-orang tua, melainkan sebagai 19 Gaya kehidupan populer semacam ini tampaknya juga berpengaruh pada kehidupan remaja Kali Loro, terutama remaja-remaja perempuan. Iklan dan Sinetron, dalam acara televisi, barangkali memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menanamkan gaya hidup populer.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
suatu kategori kelas, mereka memiliki dunianya (subkultur) yang dalam cerita-cerita singkat berikut akan dijadikan basis (kultural) pembangkangan sekelompok pemuda. Cerita mengenai pembangkangan sekelompok pemuda berikut mengambil momentum penting dari proses berlangsung pemilu tahun 1999. Momentum ini tampaknya dapat menjelaskan peran pemuda dalam perubahan sosial, kaitannya dengan wilayah perlawanan mereka yang terbuka (public transcript), yang dalam penjelasan di atas merupakan penemuan titik-titik pertentangan terhadap wilayah perlawanan orang-orang tua mereka yang berbasis pada kebutuhan hidup sehari-hari (hidden transcript) di satu sisi, dan yang merupakan pembangkangan mereka terhadap tradisi perlawanan orang-orang tua itu serta dominasinya terhadap posisi kelas subordinasi mereka, di sisi yang lain. Dengan demikian, dalam tradisi Scottian, wilayah perlawanan pemuda ini dicirikan dengan interaksi terbuka (open interaction) antara kelas-kelas subordinasinya terhadap kelas-kelas negara yang dalam hal ini diperankan oleh partai-partai politik yang dominan. Cerita ini bermula dari pemasangan bendera menjelang pemilu yang dianjurkan oleh kepala desa. Sebagaimana yang dianjurkan pemerintah pusat, pada hari pelaksanaan kampanye partai politik, massa masing-masing partai itu boleh berkampanye yang salah satunya ditandai dengan pemasangan bendera partai-partai politik mereka. Sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat, kepala desa juga menganjurkan warganya untuk memasang bendera-bendera partai politik itu baik di depan rumah maupun di jalan desa. Untuk merespons anjuran pemerintah pusat ini kepala desa mengerahkan sejumlah orang suruhan melalui kepala dusun masing-masing untuk memasang bendera-bendera partai politik di jalan utama tempat tinggal mereka masing-masing. Gerakan pemasangan bendera ini menghadapi persoalan di Dusun Se dengan sekelompok pemuda yang biasa nongkrong di sepanjang jalan yang akan digunakan untuk pemasangan bendera itu. Sejak sebelum hari pemasangan bendera ini, sekelompok pemuda itu telah menolak memasang bendera-bendera partai-partai politik di sepanjang jalan tempat mereka nongkrong. Alasannya bersumber dari banyaknya peristiwa kekerasan dan kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah yang berhubungan dengan masa-masa kampanye ini:20 “Kalau sampai terjadi kerusuhan di daerah ini, siapa yang akan bertanggung jawab? Paling-paling kita sendiri yang akan bertanggung jawab. Orang pusat (pengurus partai politik pusat) belum tentu bertanggung jawab”. Atas dasar itu mereka menolak memasang bendera partai politik di sepanjang jalan tempat mereka nongkrong. Konflik yang lebih serius muncul ketika anjuran kepala desa itu sampai ke daerah mereka. Dengan segala kemungkinan risiko yang akan diambil oleh kepala desa, mereka mengatakan kepada orang-orang suruhan kepala desa itu untuk tidak memasang bendera di daerah mereka: “Mas, mangke panjenengan aturke kaleh Kepala Desa, menawi kepareng pemuda dusun S mriki mboten masang bendera kemawon” (Mas, nanti tolong disampaikan ke Kepala Desa, kalau boleh pemuda dusun S di sini tidak usah memasang bendera saja), demikian dikatakannya. Orang-orang suruhan itu pun tidak jadi memasang bendera dan menyampaikan alasan itu kepada kepala desa. Barangkali anjuran itu tidak dihiraukan kepala desa, pada malam harinya bendera-bendera itu dilanjutkan dipasang. Perintah ini menimbulkan konflik yang semakin buruk karena pada keesokan harinya bendera-bendera itu telah rusak: sobek, tumbang, dan hilang. Beberapa yang tersisa akhirnya dicabuti kembali oleh orang-orang suruhan kepala desa ini dan daerah itu kembali kosong dari bendera-bendera partai-partai politik.
20 Peristiwa-peristiwa itu seperti yang pernah terjadi beberapa kali di Yogyakarta antara massa pendukung PPP dan PDI Perjuangan, dan di daerah-daerah pantai utara Pulau Jawa seperti di Demak, Jepara, dan Pekalongan antara massa pendukung PPP dan PKB yang mengakibatkan: luka-luka, bahkan sampai terjadi kematian.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Tabel 4 Persepsi dan Resistensi Pemuda terhadap Partai Politik (Golkar) di Kali Loro Persepsi Pemuda
Resistensi Fisik
Resistensi Simbolik
Tidak bertanggung jawab terhadap kerusuhan massa
Tidak memasang bendera. Tidak ikut kampanye.
Pasif, diam, tidak antusias, tidak peduli.
Golkar adalah partai kaya
“Mencuri” uangnya
Memalsukan identitas politik
Golkar sangat dominan (pada masa Orde Baru)
Pura-pura memasang bendera Golkar
Seruan moral ABG (Asal Bukan Golkar)
Sumber: Data Wawancara, Diolah, 1999.
Peristiwa ini membawa konsekuensi yang serius bagi sekelompok pemuda itu. Kepala desa memanggil mereka ke kantor desa untuk dimintai keterangannya mengenai peristiwa itu (mereka menyebutnya disidang). Perdebatan pun tak terhindarkan antara mereka dengan kepala desa. Di satu sisi, kepala desa menggunakan legitimasi milik umum sehingga jalan itu bisa digunakan oleh siapa saja asal tidak merusak. Sementara di sisi lain, pemuda bersikeras tidak bersedia memasang bendera itu dengan alasan tersebut di atas. Perdebatan itu pun akhirnya dimenangkan kepala desa atas legitimasi publik, dengan suatu syarat dari pemuda, bersedia memasang apabila disediakan seluruh bendera partai-partai politik yang ada di Kecamatan Kalibawang. Pada malam harinya, giliran kepala dusun mengadakan rapat dusun untuk membicarakan masalah ini. Perdebatan kembali terjadi antara kelapa dusun yang menggunakan alasan yang sama dengan kepala desa dan pemuda yang menyarankan, “simpatik ki yo simpatik, ning ra sah ketok-ketok
banget ngono kuwi, wong yo nek keno kerusahan sing keno yo awake dewe, wong pusat durung karuhan gelem tanggung jawab” (simpatik itu boleh saja, tetapi tidak usah kelihatan seperti itu, kalau terkena kerusuhan kita sendiri yang menanggung, pengurus partai pusat belum tentu bertanggung jawab), dan kelompok orang tua yang cenderung pasif menunggu persetujuan bersama. Perdebatan kembali dimenangkan oleh kepala dusun dan disepakati untuk memasang semua bendera partai politik. Pada keesokan harinya orang-orang suruhan kepala desa yang dipimpin oleh kepala dusun kembali memasang bendera-bendera partai-partai politik itu. Pada saat orang-orang suruhan kepala desa ini memasang bendera partai politik Golkar, kebetulan ada sejumlah orang yang berpakaian korpri melintas di jalan itu. Sembari memperlambat kendaraannya, orang-orang yang berada di dalam mobil itu mengacungkan jempolnya sambil berseru, “top… top…” (bagus… bagus…). Spontan salah seorang yang memasang bendera itu menjawab, “top mbahmu!” (bagus kakekmu). Menurut penuturan Pak Si yang kebetulan kemenakannya juga ikut memasang bendera Golkar itu, “orang-orang suruhan itu hanya menginginkan uangnya sebesar Rp7.000,00 dari setiap pemasangan bendera Golkar.“ Secara berkelakar Pak Si ini juga mengatakan bahwa, “Saya juga mau kalau cuma masang bendera Golkar. Satu bendera Rp10.000,00. Sini tak pasange 5 di depan rumah saya, biar dapat Rp50.000,00.“21 Dari cerita terakhir ini terlihat bagaimana sebenarnya partai Golkar ini telah disiasati oleh sekelompok pemuda yang menunjukkan di depan publik seolah-olah mendukung Golkar, tetapi sebenarnya hanya menginginkan uangnya. Cerita ini telah menunjukkan suatu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda itu secara terbuka dengan cara 21 Wawancara dengan informan S, 1999.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
memalsukan identitas politik mereka. Di samping itu, dari cerita kecil ini juga diketahui bagaimana sebenarnya kekayaan partai Golkar itu telah dirampas/dicuri yang bahkan dilakukan secara terbuka di depan publik. Pada suatu malam setelah pemasangan bendera itu, beberapa orang melihat dua orang yang mengendarai sepeda motor berjalan pelan membawa pedang dan berhenti di setiap bendera Golkar merusaknya: mengiris-iris bendera itu, membacok tiangnya, dan mencabut tiang-tiang bendera itu. Orang-orang yang melihat peristiwa itu hanya diam saja seolah-olah tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Mereka membiarkan kedua orang itu merusak bendera Golkar. Peristiwa ini mengagetkan penduduk pada keesokan harinya. Berita mengenai perusakan bendera itu dengan cepat tersebar ke seluruh desa. Mereka membicarakan peristiwa ini secara diam-diam dan segera beralih pembicaraan atau pergi ketika ada orang datang. Dalam beberapa hari bendera-bendera Golkar yang rusak itu dibiarkan begitu saja tanpa ada orang yang mengurusinya. Atas inisiatif kepala desa, kemudian bendera-bendera Golkar itu dibersihkan sehingga jalan utama desa itu kembali kosong dari bendera Golkar, kecuali di depan rumah kepala desa. Mulai peristiwa itu tidak ada penduduk desa yang kembali memasang bendera Golkar di sepanjang jalan utama desa ini. Bendera partai-partai politik yang lain masih berkibar sampai hari kampanye dinyatakan selesai.22 Sekelompok pemuda yang menolak pemasangan bendera itu pun seperti tidak mengetahui peristiwa itu. Mereka justru telah mengidentifikasi pelakunya dari orang-orang desa yang lain, yang kemungkinan besar menurut dugaan mereka adalah orang-orang suruhan. Siapakah pelakunya dalam insiden kecil yang menimpa Golkar ini bukan menjadi pokok bahasan utama cerita ini. Cerita ini ingin menunjukkan bagaimana perlawanan terhadap sistem dominasi yang lebih besar yaitu negara yang diperankan oleh partai politik itu telah dilakukan secara terbuka. Penutup: Interpretasi Kasus I, II, dan III Cerita-cerita singkat di atas setidak-tidaknya telah menunjukkan bagaimana dinamika hubungan-hubungan dalam struktur agraris itu telah mendorong kesatuan-kesatuan yang ada ke dalam polarisasi sosial yang semakin tajam yaitu ke dalam kelas-kelas sosial yang saling bertentangan. Cerita-cerita mengenai perlawanan (resistensi itu) telah menjadi fenomena biasa yang bisa terjadi setiap saat dalam kehidupan sehari-hari. Gaya-gaya perlawanan semacam ini telah menunjukkan suatu pola yang semakin dianggap umum yang ditujukan kepada kelas-kelas yang dominan. Menurut Scott (1983) fenomena yang semakin menunjukkan pola yang umum semacam ini bisa dikategorikan sebagai suatu bentuk-bentuk perlawanan. Oleh karenanya, hubungan-hubungan sosial di antara kelas-kelas sosial yang tersubordinasi dengan kelas-kelas sosial yang mendominasi itu juga semakin memberikan konteks normal bagi berlakunya sejarah perjuangan kelas.
Daftar Pustaka Popkin, Samuel L., 1986. Petani Rasional, Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri, Jakarta. Scott, James C., 1983. “Api Kecil dalam Pertentangan Kelas”, Kajian Malaysia, I, 1, June. -------. 1990. Domination and the Art of Resistance Hidden Transcripts, Yale University Press, New Haven and London. 22 Peristiwa ini barangkali cukup berpengaruh terhadap perolehan suara Golkar di Kali Loro yang merosot pada urutan keempat. Urutan pertama ditempati PKB, PDI Perjuangan, dan PAN. Pencatatan KPPS Desa Kali Loro, Juni, 1999.
S.291, May 25, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
-------. 1993. Perlawanan Kaum Tani, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Stoler, Ann. 1975. “Class Structure and Female Autonomy in Rural Java”, the Seventy-fourth Annual Meeting of the American Anthropological Association, San Francisco, December. White, Ben dan Irwan Abdullah, 1999. “Rural development, security and household welfare: 25 years of change in a Javanese village, 1973-1998”, paper contributed to the Workshop on ‘The Economic Crisis and Social Security in Indonesia’, Nijmegen, The Netherlands 7-9 January. White, Ben. 1999. “Struktur Agraris”, catatan intern untuk Tim Kali Loro, BW/3.vii.
S.291, May 25, 2000