DIM R-KUHP Pandangan Komnas HAM untuk Pembaruan KUHP
1. Perlindungan terhadap Hak Individu
R-KUHP (draft tahun 2008) Ps. 537 (2) khusus pada kalimat “dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan”
Kriminalisasi terhadap Martabat Individu Pandangan Komnas HAM R-KUHP ini terlihat tujuan untuk melindungi kehormatan dan reputasi individu. Perlindungan atas kehormatan individu ini harus dilihat hubungannya dengan keberadaan hak lainnya, yaitu hak atas kebebasan berbicara, berekspresi dan kebebasan pers, yang juga harus dilindungi oleh negara. Pada keduanya jangan sampai ada pembenturan antara perlindungan martabat individu dengan perlindungan atas hak kebebasan berbicara dan berekpresi. Jangan sampai justru ada kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi dan berbicara karena terlalu dominan melindungi kehormatan dan reputasi individu. Maka diperlukan rumusan delik yang jelas dalam kaitannya untuk menghindari pemberangusan terhadap kebebasan pers (sebagai bentuk hak atas kebebasan berbicara dan berekspresi). Didalam redaksi pasal ini masih terdapat potensi kriminalisasi terhadap kalangan pers karena rumusan pasalnya begitu luas. Sehingga masih harus dibatasi dan dibuat sangat detil terhadap bentuk perbuatan seperti apa yang dapat dikriminalisasikan sebagai perbuatan yang menyerang kehormatan.
-
-
R-KUHP (draft tahun 2008) Ps. 212 (1) “..menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ MarxismeLeninisme..” Ps. 221, “..mengumpulkan.., penulisan..” Ps. 227 (c) “..membawa alat pemotret..” Ps. 229, “..memberikan surat, berita..” Ps. 266, “..menyiarkan..”
Kriminalisasi terhadap Hak untuk Mengetahui (Hak atas Informasi) Pandangan Komnas HAM Tindak-tindak pidana ini memliki kaitan yang erat dengan keberadaan ‘hak mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan’ yang mengganggu kepentingan individu, moralitas masyarakat (public morality) maupun keamanan Negara. Aktifitas mencari dan menyampaikan pada rumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tersebut terlihat dengan gamblang sekali membawa implikasi terhadap hak untuk mengetahui (right to know). Pihak yang paling terkena dampak terhadap tindak-tindak pidana tersebut adalah aktifitas intelektual, aktifitas hak asasi manusia, seniman, dan jurnalistik. Maksud perancang R-KUHP merumuskan tindak-tindak pidana tersebut adalah untuk memberi perlindungan terhadap kepentingan Negara dan masyarakat atau ‘public morality’. Jelas tidak ada yang salah dengan maksud tersebut. Akan tetapi karena terlalu eksesif cakupan tindak pidana yang dirumuskan, akibatnya pasal-pasal tersebut tidak memberi jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia dan 1
-
-
-
-
Ps. 273 (1), “..Setiap orang yang menyiarkan..” dan (2), “..pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya” Ps. 285, “..menyiarkan, mempertunjukkan..” Ps. 287 (1) “..yang menyiarkan, mempertunjukkan..” Ps. 289, “.. menyiarkan, mempertunjukkan..” Ps. 292, “..menyiarkan, mempertunjukkan..” Ps. 307 (1) “..menyiarkan berita bohong..” Ps. 308, “.. menyiarkan berita yang tidak pasti, berita yang berlebihan, atau berita yang tidak lengkap..” Ps. 406, “.. menyiarkan..” Ps. 468, “.. menyebarluaskan, menyiarkan,”
kebebasan dasar –sebagaimana di jamin dalam Amandemen II UUD 1945, UU No. 39/1999, dan UU No. 11/2005. Selain membatasi hak untuk mengetahui (rght to know)– dalam bentuk kebebasan mencari dan memperoleh informasi, pasal-pasal ini akan menjadi batu sandungan yang serius terhadap kebebasan pers (freedom of the press). Pasal-pasal itu terlalu berat pada perindungan kepentingan Negara dan masyarakat, dan terlalu curiga kepada hak dan kebebasan individu, ide “keseimbangan” terlihat tidak begitu aplikatif disini.
Kiminalisasi terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia; Tindak Pidana Genosida R-KUHP (draft tahun 2008) Pandangan Komnas HAM Ps. 394 (1) “..menghancurkan atau dari rumusan tersebut paling tidak terdapat beberapa catatan: memusnahkan seluruh atau 1. R-KUHP dan UU No.26/2000 menggunakan istilah “menghancurkan” atau ”memusnahkan. Padahal sebagian kelompok bangsa..” dalam teks asli Statuta Roma istilah yang digunakan adalah “to destroy” (menghancurkan). Penggunaan istilah “memusnahkan” dirasakan berlebihan sehingga dapat mengundang beragam interpretasi. 2. Masalah yang paling krusial adalah minimnya pedoman unsur-unsur kejahatan ini dalam R-KUHP. Tidak ditemukan sedikitpun penjelasan mengenai kejahatan ini. Tidak adanya penjelasan dalam RKUHP mengenai elemen of crimes ini akan melemahkan tingkat kejahatan yang sangat serius dari kejahatan genosida tersebut. 3. Delik “baru” yang dirumuskan dalam R-KUHP tersebut jelas kita perlukan. Tetapi menjadi masalah adalah inkonsistensi dan inkompetensi dalam pengadopsian secara menyeluruh kejahatan 2
internasional tersebut. tidak dirumuskannya degan rinci unsur-unsur delik (element of crimes) atas tindak pidana kemanusiaan. Kiminalisasi terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia; Tindak Pidana Kemanusiaan R-KUHP (Draft tahun 2008) Pandangan Komnas HAM - Pasal 395 (1) “..yang melakukan Pada kejahtan ini berlaku ‘Convention on non-Applicability of Statutory Limitation to war Crimes and salah satu perbuatan yang dilakukan Crimes Against Humanity’, yang disyahkan PBB pada 1968. Jadi ada perbedaan menyangkut asasnya sebagai bagian dari serangan yang dengan pidana umum; terkait dengan istilah “penganiayaan”dalam pasal ayat (1) huruf (h). Istilah itu meluas atau sistemik.. serangan sebenarnya tidak sesuai dengan teks dalam Statuta Roma, yang menggunakan istilah “persecution”, yang tersebut ditujukan secara langsung kurang pas diterjemahkan menjadi “pengeniayaan”. terhadap penduduk sipil berupa: h. penganiayaan terhadap suatu Kemudian penggunaan kata “secara langsung” (pasal 395 ayat 1) tidaklah sesuai dengan teks Statuta kelompok tertentu atau Roma, yang menggunakan kata “directed”. Selanjutnya adalah bagaimana R-KUHP membuat rumusan perkumpulan”. delik terhadap tindak pidana Internsional tersebut. Istilah yang digunakan dalam R-KUHP adalah “tindak pidana kemanusiaan”, bukan “kejahatan terhadap kemanusiaan” sebagaimana dalam UU No. 26/2000 yang menjadi rujukan perancang R-KUHP tersebut. Kriminalisasi terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia; Tindak Pidana Penyiksaan R-KUHP (Draft tahun 2008) Pandangan Komnas HAM Pasal 404 Pasal 404 merupakan perumusan ulang dari rumusan “penyiksaan” dalam Konvensi Dipidana... setiap pejabat publik atau orang-orang lain Internasional Menentang Penyiksaan. Tapi dengan beberapa modifikasi, seperti yang bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau mengganti kata “mengancam” dengan kata “digerakkan”, dan kata “persetujuan” setiap orang yang bertindak karena digerakkan atau menjadi “sepengetahuan”. Sebagai tindak pidana yang lahir dari kewajiban terhadap sepengetahuan seorang pejabat publik, yang melakukan Konvensi Menentang Penyiksaan itu, maka seharusnya kriminalisasi yang dilakukan oleh perbuatan yang menimbulkan penderitaan atau rasa sakit konvensi internasional tersebut tidak diubah terlalu jauh. Hal ini merupakan inkonsistensi yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang dalam pengadopsian norma internasional. dengan tujuan untuk memperoleh dari orang tersebut atau pihak ketiga informasi atau pengakuan, menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau dicurigai telah dilakukan atau dengan tujuan untuk melakukan intimidasi atau memaksa orang-orang tersebut atau atas dasar suatu alasan diskriminasi dalam segala bentuknya Kriminalisasi terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia; Tindak Pidana Perdagangan Orang (Perempuan dan Anak) 3
R-KUHP (draft tahun 2008) Pasal 552 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut
Pandangan Komnas HAM Rumusan delik tindak pidana perdagangan orang dapat mengidentifikasi tiga unsur pokoknya; pertama adalah “tindakan”, yang meliputi perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang; kedua adalah unsur “dengan ”, yang meliputi kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang; ketiga adalah, elemen “tujuan”, yang terdiri dari mengeksploitasi, atau perbuatan yang dapat menjadikan orang tersebut tereksploitasi. Dengan perumusan yang demikian, maka sebuah tindak pidana perdagangan manuasia dapat terpenuhi bila salah satu dari tiga unsur pokok tersebut dilakukan. Misalnya, seorang melakukan perekrutan dengan menggunakan pemanfaatan posisi kerentanan untuk tujuan mengeksploitasi maka orang tersebut telah memenuhi delik ini. Apa yang hendak dikemukakan adalah, bahwa pelaku kejahatan tidak perlu melakukan semua elemen materiil –mulai dari mata rantai “merekrut” hingga “mengeksploitasi”– untuk dapat dikenakan dakwaan melakukan kejahatan perdagangan orang. Maka sebagai gantinya, harus dibuktikan secara formil bahwa setiap orang yang terlibat dalam salah satu unsur kejahatan tersebut berada dalam mata-rantai kejahatan yang terorganisasi.
2. Perlindungan terhadap Kepentingan Umum (Public Morality)
R-KUHP (draft tahun 2008) Pasal 286 Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok berdasarkan jenis kelamin,
Kriminalisasi terhadap Golongan Penduduk Pandangan Komnas HAM Perubahan yang terjadi bila dibandingkan antara R-KUHP dengan KUHP sekarang, terlihat dari dihilangkannya kata “menyatakan rasa permusuhan, kebencian“, dan diganti dengan “penghinaan” saja. Selain itu formulasi deliknya juga diubah, dari delik formil diubah menjadi delik materil, yakni dengan mempersyaratkan “terjadinya keonaran di dalam masyarakat” untuk ada atau tidaknya delik tersebut. Perubahan rumusan delik ini, menurut perancangnya, merupakan langkah mendemokratisasi “haatzaai artikelen” –yang terkenal sebagai draconian law dimasa Orde baru 4
umur, cacat mental, atau cacat fisik..
itu. Tujuan penyusun R-KUHP mengkreasi “demokratisasi” terhadap pasal-pasal “inciting hate” KUHP yang berlaku sekarang, menunjukkan keinginan untuk melindungi keharmonisan di dalam masyarakat. Di sisi lain juga menunjukkan keinginan untuk melindungi kebebasan berekspresi. meskipun formulasi deliknya sudah di rubah menjadi delik materiil untuk kejahatan penghinaan terhadap golongan-golongan penduduk ini, ia masih tetap menusakan persoalan bagi terancamnya kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi –terutama terhadap wartawan, karena “keonaran” dewasan ini begitu mudah direkayasa untuk terjadi oleh mereka yang memiliki power
R-KUHP (draft tahun 2008)
Kejahatan terhadap Agama dan Kehidupan Beragama Pandangan Komnas HAM
- Ps. 341, “.. menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama..” - Ps. 342, “..menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya..” - Pasal 343, “..mengejek, menodai, atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan..” - Ps. 344 (1) “..menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar.. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 343..” - Pasal 345, “..menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama” - Pasal 347, “..mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah..”
Begitu luas delik agama dirumuskan oleh perancang R-KUHP. Bahasa yang digunakan sangat bersifat subjektif, dan mengandung makna yang beragam (lack of clarity). Contohnya, “…menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya”, dan “…di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan”. Setiap orang akan dengan mudah dituduh mengejek, menghasut, menghina dan sebagainya, hanya karena orang tersebut misalnya membuat puisi yang mempertanyakan keadilan Tuhan. Ketentuan-ketentuan ini akan berpotensi berbenturan dengan hak-hak konstitusional individu, khususnya berkenaan dengan kebebasan berpikir dan berekspresi. Perluasan delik agama ini terlihat cenderung mengarah pada apa yang disebut sebagai “overcriminalization”. Seharusnya yang dilindungi melalui hukum pidana adalah “freedom of religion”. Kalau hal ini yang ingin dilindungi, maka menurut hukum hak asasi manusia internasional, yang harus dilindungi adalah ”respecting peoples rights to practice the religion of their choice”, bukan melindungi ”respecting religion”. Sedangkan yang di atur dalam R-KUHP ini lebih banyak di tujukan kepada perlindungan ”respecting religion”, ketimbang “respecting peoples rights to practice the religion of their choice”.
Kejahatan terhadap Kesusilaan; Tindak Pidana Perzinahan dan “Kumpul Kebo” 5
- Ps. 483(1) “Dipidana karena zina.. a. persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya.. e. laki-laki dan perempuan yang masingmasing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan
Antara KUHP dan R-KUHP, terjadi perumusan tindak pidana zina atau permukahan (overspel) dan perbuatan cabul dengan lebih luas. Delik yang diperluas semula adalah persetubuhan diluar nikah yang dilakukan suka-sama-suka oleh laki-laki dan perempuan yang sama-sama terikat perkawinan (Ps. 284 KUHP), menjadi perbuatan zina tidak lagi terbatas pada adultery tetapi juga mencakup “fornication”, yakni zina yang dilakukan oleh orang yang belum terikat perkawinan. Yang ditolak adalah pendapat yang ingin mengubah delik zina menjadi delik umum, bukan lagi delik aduan. Pendapat yang membela dengan serius delik zina bukan lagi sebagai delik aduan.
Kejahatan terhadap Kesusilaan; Pornografi dan Pornoaksi Pornografi dalam pengertian pelacuran telah mengejala dalam masyarakat kita baik secara terselubung maupun tidak. Oleh karena itu tidak sulit untuk mencapai kesepakatan bahwa usaha ini seperti halnya pelacuran selayaknya dikutuk dan diancam hukuman berat. Bila tidak dicegah distribusinya bisa membuat produk pornografi meluas dengan cepat dikalangan masyarakat. Yang tidak kita sepakati dari R-KUHP ini adalah rumusannya yang rancu, yang menyamarkan semua materi yang “sexually explicit” seagai pornografi. Resikonya sangat besar kalau kerancuan melihat persoalan pornografi ini tidak dikoreksi, yakni terberangusnya hak-hak individu atas privacy (right to privacy), kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat, dan mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan gagasan lewat media apapun. Apa yang dimaksud R-KUHP ini dengan istilah pornoaksi. Adalah sebagai “perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotica di muka umum” (pasal 202). Perbuatan yang dimaksud, dalam rumusan pasal-pasalnya dirumuskan sebagai “mempertontonkanalat kelamin, melakukan aktivitas seksual atau melakukan hubungan seks di muka umum” (pasal 475). Selain itu, juga dirumuskan sebagai “perbuatan mempertontonkan gerakan atau tarian erotis atau peragaan orang yang melakukan hubungan seks” (pasal 476). Dengan urusan ini, para konseptor R-KUHP ini sekaligus ingin mengontrol indecent, porno dan moralitas pribadi. Delik pornoaksi dalam R-KUHP ini tidak memenuhi syarat minimum kompetensi yang harus dituntut. Selain itu, delik pornoaksi itu hanya menambah daftar panjang “crime without victim” yang terdapat dalam R-KUHP ini. Yang dijangkau oleh delik ini bukan lagi terfokus pada “bodily and psychological integrity” –sebagaimana yang terdapat dalam KUHP sekarang, melainkan sudah merambah pada pengaturan terdapat moralitas pribadi. Itu artinya, konseptor delik ini telah membawa masuk Negeri ke dalam ruang-ruang pribadi setiap orang. 6
3. Perlindungan terhadap Kepentingan Negara
R-KUHP (draf tahun 2008) Pasal 212 (1) ....menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara... (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan: a. terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau kerugian harta kekayaan... b. terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang mengakibatkan orang menderita luka berat... c. terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang mengakibatkan matinya..
Kejahatan terhadap Ideologi Negara Pandangan Komnas HAM Dalam R-KUHP ini terdapat perluasan dalam bentuk-bentuk perbuatan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana terhadap Negara, salah satu yang mencolok adalah dirumuskannya kejahatan terhadap keamanan Negara (crimes against national security). Selain tetap mempertahankan pasalpasal “haatzaai artikelen” yang terdapat dalam KUHP sekarang, R-KUHP juga mempertahankan pasal-pasal berkaitan dengan tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden, serta tindak pidana terhadap kewajiban dan hak kewarganegaraan. Delik ini dirumuskan dengan rumusan delik materiil, bukan dengan rumusan delik formil. Dengan rumusan dalam bentuk delik materil tersebut, maka terlebih dahulu harus dipenuhi dua syarat ini, yakni: (i) melawan hukum; dan (ii) adanya kehendak (intention). Itu berarti menuduh orang mnenyebarkan ideology Komunisme atau mengganti Pancasila, terlebih dahulu syarat- syarat tersebut harus dipenuhi. Kalau pernyataan ini benar, maka menyebarluaskan Komunisme baik media apapun boleh, asal tidak secara “melawam hukum”. Begitu pula dengan mengganti Pancasila, perbuatan itu harus dibuktikan “Intention-nya” ada atau tidak (dolus specialis). Walaupun rumusannya telah dirumuskan sedemikian rupa, perumusan kejahatan ini masih perlu untuk ditinjau ulang terutama dilihat dari aspek perlindungan hak asasi manusia. Makna frasa “melawan hukum” yang dimaksud dalam rumusan pasal tersebut merujuk pada penyebaran dan pengembangan komunisme/ Marxisme-Lenisme di muka umum melalui media apapun. Atau maksudnya penyebaran ajaran itu sendiri di muka umum sudah merupakan tindakan melawan hukum, lalu apa hubungan logis atau causa antara penyebaran ajaran dengan timbulnya kerusuhan? Apakah maksud penyusun pasal 212 hendak menyatakan, bahwa penyebaran ajaran Komunisme/ Marxisme-Lenisme dapat menimbulkan kerusuhan? Atau penyusun pasal ini bermaksud menyatakan, bahwa meskipun pihak penyebar ajaran melakukannya secara damai, namun bila mengundang reaksi pihak lain yang menolaknya, dan kemudian pihak lain yang menolak itu melakukan kerusuhan, fakta ini sudah cukup untuk menjadi syarat dijatuhkannya pidana sepuluh tahun kepada pihak yang menyebarluaskan ajaran tersebut. 7
Kontruksi rumusan pasal ini seharusnya dapat menggambarkan hubugan logis keduanya itu sebagai causa. Mengapa hubungan ini harus jelas betul di rumuskan, karena penyebaran suatu ajaran, apakah itu komunisme atau kapitalisme atau isme-isme yang lain, secara universal diakui sebagai perbuatan yang sah dan dijamin oleh hukum dan instrument internasional hak asasi manusia. Yang dilarang oleh hukum hak asasi manusia internasional maupun hukum hak asasi nasional adalah anjuran untuk menggunakan kekerasan secara melawan hukum untuk mencapai suatu tujuan. Pasal 212 ini tetap menjadi “pasal karet”, mengandung sejumlah ketidakjelasan yang membuka pintu pada multitafsir (yang berarti melanggar prinsip (excerta). Ambiguitas dalam perumusan delik tersebut pada akirnya dapat mengakibatkan timbulnya ketidakpastian, yang selanjutnya dapat beresiko pada penyalahgunaannya oleh elite yang menguasai Negara untuk tujuan memberangus musuh-musuh politiknya.
R-KUHP (draf tahun 2008) -
-
Ps. 264, “..menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat..” Ps. 265, “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden..” Ps. 266, “..Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden..”
Kejahatan terhadap Martabat Presiden Pandangan Komnas HAM Kontrol yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Presiden dan wakil Presiden selaku Pimpinan pemerintah mempunyai dinamikanya sendiri. Sehingga bias saja dalam proses menjalankan fungsi kontrolnya itu digunakan kata yang bombastis atau kalimat-kalimat yang keras dengan tujuan untuk menekan atau memperoleh perhatian dari pimpinan pemerintah. Ini sesuatu yang lumrah dalam Negara demokrasi. Namun bisa saja kata atau kalimat yang keras, tajam dan acap menyinggung perasaan dipersepsi sebagai sebuah penghinaan oleh yang bersangkutan. Sebuah informasi yang benar tentang perilaku seorang pejabat pemerintah atau lembaga Negara yang diungkapkan oleh seorang wartawan, bisa saja dipersepsikan oleh si pejabat pemerintah sebagai penghinaan. Dengan terungkapnya fakta tersebut lalu kemudian timbul keributan, tanggung jawab pidana bagi timbulnya kegaduhan itu semsetinya ada di pundak pejabat yang telah menutupi kebenaran atau tidak jujur, bukan pada pihak pengungkap fakta. Jadi mengubahnya menjadi delik materiil bukan lantas disebut “demokratis”. Sebab kendati sudah dirmuskan dengan delik materiil, pasal tersebut teatp mengandung potensi untuk disalahgunakan oleh penjabat pemerintah. Maka potensi pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan dasar, seperti kebebasan berekspresi, hak atas 8
memperoleh informasi dan seterusnya, masih tetap membayangi di masa depan. Bila pimpinan pemerintah merasa dihina atau difitnah merupakan bentuk reaksi dari sikap subyektif dari yang bersangkutan. Hukum di Negara manapun memberi hak kepada yang bersangkutan untuk menuntut pihak yang didakwa melakukan penghinaan. Selanjutnya kita serahkan kepada hakim untuk menilainya. Jadi seharusnya delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ini merupakan delik aduan. Namun demikian, penjelasan pasal 262 R-KUHP yang menyatakan penghinaan dapat dituntut tanpa perlu pengaduan sangat tidak tepat. Rumusan yang demikian ini, yang menjadkan delik ini sebagai delik umum, akan sangat terbuka bagi peluang penyalahgunaannya oleh penguasa yang berakibat terlanggarnya hak atas kebebasan berekspresi.
-
-
Kejahatan Penghinaan terhadap Pemerintah R-KUHP (draf tahun 2008) Pandangan Komnas HAM Ps. 284, “Setiap orang yang di muka umum Tindak pidana ini dimasukkan kedalam bab tindak pidana terhadap ketertiban umum (crimes melakukan penghinaan terhadap against public order). Tindak pidana ini sebetulnya beradal dari pasal-pasal dalam KUHP yang pemerintah yang sah yang berakibat dikenal dengan haatzai artikelen (yang sebetulnya berasal dari “British Indian Penal Code” yang terjadinya keonaran dalam masyarakat..” bersifat colonial) yang telah di rumus ulang oleh perancang R-KUHP ini sesuai dengan alam Pasal 285, “..menyiarkan, demokratik saat ini. mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh Oleh karena itu dimasukkanlah kata “berakibat terjadinya keonaran” untuk mencegah terjadinya umum, atau memperdengarkan rekaman penyalahgunaan pasal tersebut oleh penguasa. Oleh karena itu menuduh seseorang melakukan sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana “menghina” pemerintah, maka harus dibuktikan adanya atau mengakibatkan penghinaan terhadap pemerintah yang timbulnya keonaran. sah..” Dalam penjelasan R-KUHP dikatakan, bahwa haatzai artikelen telah diubah menjadi lebih “demokratis”, dengan merubah formulasi deliknya dari delik formal ke delik materiil. Pertanyaannya adalah apa bedanya dengan delik haatzai artikelen? Ternyata bedanya adalah, katakata “menyatakan rasa permusuhan dan kebencian” sudah dihilangkan, dan diganti dengan katakata “berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat”. Yang tetap dipertahankan hanyalah pada kata “penghinaan”, tetapi dengan pengertian yang sangat luas sebagaimana tercantum dalam penjelasan terhadap pasal penghinaan terhadap presiden, yakni “perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. 9
-
R-KUHP (draf tahun 2008) Pasal 663; Penyalahgunaan Jabatan, Penggelapan Uang dan Surat Berharga Pasal 664; Pemalsuan Buku atau Register Administrasi Pasal 665, Penghilangan atau Perusakan Barang dan Dokumen Pasal 666-668, Pegawai Negeri dan Hakim Yang Menerima Suap Pasal 669-672, Penyalahgunaan Kekuasaan Pasal 673, Pemaksaan dalam Jabatan dan Penyalahgunaan Kewenangan Pasal 675, Pelepasan Orang yang Ditahan Pasal 676, Tidak Memberitahukan Orang yang Ditahan Pasal 677-679, Penolakan Permintaan Keterangan Pasal 680, Melampaui Batas Kewenangan Pasal 681-682, Penyalahgunaan Pengiriman Surat dan Paket Pasal 683, Pembocoran Isi Surat, Telegram, dan Telepon
Kejahatan terhadap Jabatan Pandangan Komnas HAM R-KUHP memperlihatkan beberapa kelemahan substansial maupun teknis dalam perumusan pasalpasalnya diantaranya: Pertama, kelemahan dalam rumusan pasal tindak pidana mengenai jabatan adalah tidak digunakannya terminologi-terminologi spesifik subyek kaidah yang terdapat dalam bebagai peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini secara teknis perancang tidak melakukan upayaupaya maksimal dalam harmonisasi vertical/horizontal dalam merumuskan pasal-pasal dalam berbagai tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat. Kedua, subyek kaidah dalam rumusan tindak pidana jabatan di R-KUHP kurang merespon perkembagnan jaman, dimana pejabat yang berkaitan dengan urusan public secara luas kian berkembang tidak hanya terbatas pada pegawai negeri. Ketiga kejahatan yang dilakukan oleh profesi khusus dalam R-KUHP tidak mendapatkan tempat yang layak sebagai katagori tindak pidana yang yang juga merugikan kepentingan public. Dalam R-KUHP subyek hukum disebutkan secara eksplisit dan diancam dengan tindak pidana jabatan adalah umumnya orang yag menduduki jabtan di institusi-institusi pemerintahan. Dari segi kelengkapan penjelasan atas pengertian subyek kaidah, rumusan pasal-pasal megnenai pengertian istilah pada buku I R-KUHP pada kenyataannya tidak lengkap. Subyek hukum sebagai salah satu unsur yang sifatnya konstitutif akan menentukan isi dan wilayah penerapan jangkauan berlakunya aturan hukum, sehingga perlu diberikan penjelasan istilah sedetail serta seluas mungkin menyangkut siapa saja yang menjadi subyek kaidah dalam R-KUHP dan cenderung limitative dalam mendefinisikannya. Sementara itu subyek hukum yang dicakup dalam tindak pidana korupsi XXXI memiliki lingkup yang cukup luas, dengan unsur subyeknya yakni “setiap orang”. Dalam demikian jangakuan pasalpasal dalam tindak pidana korupsi sangat luas, mencakup semua perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara yang dilakukan oleh pegawai negeri maupun yang bukan digolongkan sebagai pegawai negeri atau yang bukan digolongkan sebagai peagawai negeri atau yang dipersamakan, R-KUHP, memasukkan dua jenis kejahatan yang termasuk tindak pidana korupsi, yakni; suap dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan Negara. 10
Perumus R-KUHP tidak melihat pentingnya memetakan ulang substansi dari kejahatan jabatan. Asumsi kurang responsifnya perumus R-KUHP dapat dilihat dari tidak adanya kriminalisasi terhadap tindak pidana baru yang dimasukkan sebagai tindak pidana jabatan. Dalam hal ini pembaruan KUHP Nasional bisa dikatakan tidak total dlaksanakan, kecuali dalam konteks mensistemasi kembali KUHP lama. Kejahatan Terorisme -
-
-
-
-
R-KUHP (draf tahun 2008) Pasal 242, “Setiap orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas..” Pasal 243, “Setiap orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud untuk melakukan terorisme Pasal 245, “Setiap orang yang menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan..” Pasal 248, “Dipidana... setiap orang yang memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pembuat tindak pidana terorisme, dengan: a. memberikan atau meminjamkan uang.., b. menyembunyikan pembuat tindak pidana terorisme, c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme;” Pasal 249, “Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme..”
Pandangan Komnas HAM Sebagian besar perumusan tersebut diambil dari UU nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme sehingga secara umum pasal-pasal di dalam R-KUHP tidak mengubah substansi mengenai unsurunsur perbuatan yang dapat dipidana sebagai tindak pidana terorisme. Akibatnya, kelemahan yang melekat pada ungdang-undang terorisme bertransformasi pula pada rumusan di R-KUHP. Beberapa kelemahan tersebut umumnya berkenaan dengan cara bekerja perangkat dalam menjalankan “operasi” menumpas “teroris” yang berpotensi menyerang hak-hak sipil warga. Ancaman tersebut seperti: tindakan penyadapan telepon; pengawasan buku bank yang dapat dilakukan semata-mata karena laporan intelijen; serta kekebalan yang luar biasa didapatkan dari aparatur Negara (Khususnya intelijen) dalam menjalankan tindakan-tindakan preventif dan preemptive (preventive and preempitive measures). Titik krusial kelemahan dari pasal yang diadopsi dari undang-undang terorisme dapat dilihat dari perumusan tindak pidana terorisme itu sendiri yang secara mentah-mentah diambil. Jika melihat dari rumusan mengenai terorisme dalam R-KUHP, maka dapat kita lihat maksud dari pembentuk undang-undang bahwa untuk menjerat perbuatan teroris perlu dilakukan dengan memformulasi pasal pidana dengan dua formula, yakni delik materiil dan delik formil. Pasal 242 merupakan delik materiil sedangkan 243 adalah rumusan delik formil. Rumusan yang terdapat pada pasal 242 secara operasional mengandung komplikasi. Unsur-unsur yang memiliki potensi multi tafsir adalah seperti mengenai pengertian menyangkut suasana terror dan rasa takut secara luas dan obyek-obyek vital dan strategis. Batasan unsur yang multi-tafsir memiliki kecendrungan untuk dapat di selewengkan oleh aparat hukum maupun pihak lainnya (terutama intelijen dimana setiap laporannya dapat menjadi barang bukti permulaan yang cukup untuk 11
memporses hukum tersangka). Seharunya dua unsur tersebut diberikan definisi yang lebih ketat agar tidak mudah didayagunakan oleh pihak-pihak demi kepentingan diluar upaya untuk memerangi terorisme. Pasal 243 R-KUHP yang merupakan delik formil merumuskan unsur “dengan maksud” sebagai unsur pokok dalam menentukan sebuat perbuatan apakah digolongkan sebagai tindak pidana terorisme. Unsur “dengan maksud” dapat mendatangkan kekuasaan yang berlebihan kepada pihak intelijen untuk melakukan tindakan-tindakan ekstra judicial. Sebab unsur “dengan maksud” tidak memerlukan bukti materiil,, cukup melalui keyakinan subyektif seorang penyelidik atau penyidik. Oleh karena itu, secara umum pasal-pasal terorisme dalam R-KUHP perlu dirumuskan kembali sebab banyak berpotensi mengancam kebebasan sipil masyarakat Tindak Pidana dalam Masa Perang dan Konflik Bersenjata R-KUHP (draf tahun 2008) Pandangan Komnas HAM - Pasal 396, “Dipidana... setiap orang yang R-KUHP tentang kejahatan di masa perang ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. pada masa perang atau konflik bersenjata - Pertama, berkaitan dengan judul, judul dari Buku II Bagian Tiga R-KUHP yang tertulis adalah melakukan pelanggaran berat terhadap orang “Tindak Pidana Perang atau Konflik Bersenjata”. Dalam hal ini sebaiknya R-KUHP memilih atau harta kekayaan yang dilindungi... salah satu istilah saja, apakah itu perang atau konflik bersenjata. Hal ini untuk menghindarkan berupa: agar tidak timbul pemahaman adanya pebedaan antara pengertian perang dan konflik a. pembunuhan; bersenjata, padahal keduanya mempunyai arti yang sama. Dalam kaitan ini sebaiknya memilih b. penyiksaan atau perlakuan tidak istilah perang, sehingga judul yang digunakan untuk bagian Tiga Buku II R-KUHP adalah berperikemanusiaan termasuk percobaan “Kejahatan Perang” atau “Tindak Pidana Perang”. Hal ini juga dirasakan lebih tepat karena biologis; istilah yang juga umum digunakan dalam Bahasa Inggris adalah “war crimes” dan bukan c. menyebabkan penderitaan berat atau “armed conflict crimes”. Namun dalam substansinya, istilah perang dan konflik bersenjata mencederai berat tubuh atau kesehatan; dapat digunakan bersama-sama. Lebih membingungkan ketika judul yang digunakan dalam Rd. perusakan dan pengambilan secara KUHP adalah “Tindak Pidana dalam Masa Perang atau Konflik Bersenjata”, Judul tersebut besar-besaran harta kekayaan, yang dapat diartikan sebagai tindak pidana yang dilakukan pada waktu perang atau tindak pidana tidak dibenarkan oleh keperluan militer yang berkaitan dengan perang. dan dilakukan secara tidak sah dan - Kedua, catatan selanjutnya mengenai terminologi yang digunakan dalam R-KUHP. Kalimat secara tidak bermoral; pertama Pasal 396 menyatakan: “…setiap orang yang pada masa perang atau konflik e. memaksa tahanan perang atau orang bersenjata melakukan pelanggaran berat..” Rumusan kalimat ini mengandung arti bahwa yang dilindungi lainnya untuk bekerja tindak pidana perang hanya dapat terjadi waktu perang atau konflik bersenjata saja.hal tersebut dalam pasukan musuh; adalah tidak tepat, karena tindak pidana perang bisa juga terjadi pada peristiwa pendudukan f.merampas hak para tahanan perang atau (occupation). Kemudian pada kalimat pasal 396, hendaknya kata “harta kekayaan” diganti orang yang dilindungi lainnya dari dengan “harta benda” sebagai terjemahan dari kata “property” (seperti yang tercantum dalam 12
haknya untuk memperoleh pengadilan yang adil dan diakui; g. pengusiran atau deportasi, pemindahan, atau perampasan kemerdekaan secara tidak sah; atau h. penyanderaan. - Pasal 397, “Dipidana... setiap orang yang melakukan pelanggaran berat lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional.. berupa: a. ..penyerangan terhadap kelompok penduduk sipil atau orang sipil perorangan..; b. ..penyerangan terhadap objek-objek sipil, yaitu objek-objek yang bukan merupakan sasaran militer; c. ...penyerangan terhadap personil, instalasi, material, unit atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi perdamaian.. d. ..penyerangan yang diketahuinya bahwa serangan tersebut menyebabkan kematian atau luka terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek- objek sipil ..; e. ..melakukan pemboman, dengan cara apapun, terhadap kota, desa, tempat pemukiman, gedung, kawasan demiliterisasi..; f.membunuh atau melukai orang yang sudah tidak ikut berperang lagi karena luka, sakit dan ditahan, termasuk peserta perang yang telah meletakan senjatanya...;
pasal 8 Statuta ICC). Kemudian pada Penjelasan dari pasal ini terdapat penulisan nama-nama dari Konvensi Jenewa serta penerjemahannya yang tidak tepat. Misalnya tertulis ‘1. Konvensi Jenewa tentang Perbaikan Nasib Anggota-anggota yang luka dan sakit dalam Angkatan Perang di Darat (Geneva Convention For the Amelioation of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in he field of August 12, 1949)”. Seharusnya yang lebih tepat adalah “Konvensi Jenewa untuk perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat. Kesalahan yang sama terjadi pada penulisan nama Konvensi Jenewa II. Selanjutnya kata-kata “keperluan militer” yang terdapat pada ayat (d) pasal 396 sebaiknya dirubah dengan “prinsip kepentingan militer”. Berkaitan dengan ini maka harus dijelaskan tentang prinsip kepentingan militer (military necessity) pada bagian Penjelasan dari R-KUHP. Pada bagian e dari pasal yang sama terdapat istilah “tahanan perang” yang lebih tepat diganti dengan istilah “tawanan perang”. Hal tersebut adalah terjemahan dari istilah “prisoner of war”. Hal ini juga agar tidak terjadi kerajcuan dengan itilah “orang-orang yang ditahan” atau “detainees”. Untuk diketahui bahwa istilah”Prisoner of war” hanya ada dalam sengketa bersenjata yang bersifat internasional, sedangkan dalam sengketa bersenjata yang noninternasional digunakan istilah “detainees”. Kemudian pada Pasal 397 bagian (e) terdapat istilah “yang tidak dipertahankan”. Namun apa yang dimaksud dengan “daerah yang tidak dipertehankan” menurut hukum humaniter internasional tidak dijelaskan dalam bagian Penjelasan. Oleh karena itu hal ini perlu dijelaskan, sehingga diketahui syarat apa yang harus dipenuhi untuk tidak menimbulkan kerancuan dengan istilah lain yang hampir sama, yaitu “daerah yang didemiliterisasi”. Selanjutnya pada huruf (g) pada pasal yang sama diatur tentang penyalagunaan bendera gencatan senjata (bendera putih), seragam militer musuh atau PBB, atau emblem khusus, konvensi Jenewa yang mengakibatkan mati dan luka. Pada pasal 397 (i) digunakan istlah “penyerangan”. Kata-kata “serangan” ini jugabeberapa kali digunakan pada Pasal 396 s/d 399. Seharusnya hal ini dijelaskan pada bagian penjelasan, khususnya menggaris bawahi bahwa konteks “serangan” yang dimaksud disini adalah serangan yang dilakukan terrhadap musuh, dan tdak sama dengan pengertian “serangan” yang terdapat pada rumusan tindak pidana kejahatan atas kemanusiaan (yaitu serangan yang dilakukan terhadap penduduk sipil). Pasal 397 huruf h digunakan istilah “kekuasaan Pendudukan”sebagai terjemahan dari “Occupying Power”. Seharusnya terjemahan yang lebih tepat adalah “Penguasa Pendudukan”, karena hal ini lebih menunjuk kepada subyek hukum tertentu. Kemudian pada Pasal 397 huruf l terdapat istilah “curang“. Namun tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan perbuatan curang tersebut. Oleh karenat itu perlu djelaskan apa yang dimaksud dengan perbuatan curang (yang dilarang oleh hukum 13
g.
menyalahgunakan bendera gencatan senjata, bendera atau lencana dan seragam militer musuh atau Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau emblem khusus Konvensi Jenewa dan tanda-tanda perlindungan lain yang diakui oleh hukum internasional, yang mengakibatkan kematian atau luka berat; h. pemindahan, baik secara langsung maupun tidak langsung penduduk sipil oleh kekuasaan pendudukan dari wilayahnya sendiri ke wilayah yang diduduki..; i. melakukan penyerangan terhadap bangunan-bangunan untuk keperluan ibadah, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, atau tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit..; j. menjadikan sebagai objek orang-orang yang berada dalam pengawasan pihak lawan untuk dijadikan objek pemotongan atau mutilasi fisik atau pengobatan atau percobaan ilmiah, yang tidak dapat dibenarkan baik oleh kedokteran.. menyebabkan kematian atau secara serius membahayakan kesehatan.. k. membunuh atau melukai secara curang orang-orang atau tentara dari pihak musuh; l. menyatakan tidak akan memberikan pengampunan; m. menghancurkan atau menyita harta kekayaan musuh..;
humaniter) dan bedanya dengan tipu muslihat perang (yang dibolehkan oleh hukum humaniter). Ketiga, dapat dilihat bahwa rumusan tentang tindak pidana perang pada R-KUHP merupakan “copy paste” dari rumusan Pasal 8 Statuta ICC. Dari segi hukum tata Negara hal ini dapat menimbulkan penafsiran bahwa Indonesia telah melakukan tindakan ratifikasi diam-diam atau melakukan ratifikasi secara tidak langsung, setidaknya terhadap sebagian ketentuan yang terdapat pada pasal-pasal Statuta ICC yang bersangkutan. Disamping itu, perlu juga diketahui bahwa Pemerintah melihat kepada substansi yang diatur, maka pengertian tindak pidana perang yang digunakan dalam R-KUHP adalah tindak pidana perang dalam arti luas (broad sense), yaitu mencakup pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang. Sedangkan pengertian tindak pidana perang dalam arti sempit (narrow sense) adalah pelanggaran atas hukum perang. Sebagian Negara memasukkan juga kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan terhadap kemanusiaan kedalam tindak pidana perang dalam arti luas. Pengertian tindak pidana perang dalam arti luas di sni digunakan baik dalam konteks sengketa bersenjata internasional maupun sengketa bersenjata non-internsional. Dapat dilihat misalnya dalam pasal 397 dan 399 yang dengan tegas merumuskan “..pelanggaran atas hukum dan kebiasan yang berlaku dalam sengketa bersenjata..”. Rumusan pasal-pasal tentang tindak pidana perang pada R-KUHP dapat dikatakan bersifat “exhaustive”, artinya jenis dan bentuk tindak pidana perang yang dimaksud di situ sudah habis disebutkan satu persatu dan tidak terbuka kemungkinan untukmemasukkan jenis atau bentuk pidana perang yang lainnya. rumusan seperti ini memberikan kepastian hukum, tetapi di sisilain bersifat kaku dan tidak fleksibel. Mengingat perkembangan hukum yang progresif beberapa decade ini, maka disarankan agar rumusan tentang tindak pidana perang dalam RKUHP lebih bersifat fleksibel. Artinya dibukan kemungkinan untuk mengadopsi perkembangan rumusan tindak pidana perang yang diterima oleh masyarakt internasional.
14
n.
menyatakan dalam pengadilan, penghapusan, penundaan, atau penolakan hak dan tindakan para warga negara dari pihak musuh; o. memaksa para warga dari pihak musuh untuk ikut berperang melawan negaranya sendiri..; p. menjarah kota atau tempat walaupun dilakukan dalam penyerangan; q. menggunakan racun atau senjata-senjata beracun; r.menggunakan gas yang menyesakkan nafas..; s. menggunakan peluru yang meluas atau merata di dalam badan manusia ..; t. menggunakan senjata, proyektil, dan material atau cara-cara berperang yang secara alamiah menyebabkan luka yang berlebihan..; u. kekejaman terhadap martabat perorangan, khususnya tindakan-tidakan yang menghina dan merendahkan; v. memperkosa, memperbudak secara seksual, pelacuran paksa, penghamilan paksa, sterilisasi paksa, ...; w. mendayagunakan kehadiran penduduk sipil atau orang-orang yang dilindungi untuk mempertahankan tempat-tempat tertentu..; x. ..penyerangan terhadap bangunan, material, unit medis dan angkutan..; y. menggunakan penderitaan penduduk sipil sebagai suatu cara perang...; z. wajib militer dan mendaftar anak-anak di bawah usia 15 (lima belas) tahun ke 15
dalam angkatan bersenjata nasional..; aa. menunda pemulangan atau repatriasi tawanan perang atau orang sipil secara tidak sah; atau bb. praktek-praktek yang tidak manusiawi dan merendahkan derajat, termasuk kekejaman terhadap martabat manusia yang didasarkan pada diskriminasi ras dan praktek-praktek apartheid. - Pasal 398, “Dipidana.. setiap orang yang dalam konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional melakukan pelanggaran berat terhadap orang-orang yang tidak terlibat secara aktif dalam peperangan.. berupa: a. kekerasan terhadap kehidupan dan orang..; b. kekejaman terhadap martabat pribadi khususnya penghinaan dan tindakan merendahkan; c. penyanderaan; atau d. ..pelaksanaan pidana mati tanpa adanya proses peradilan sebelumnya ... - Pasal 399, “Dipidana.. setiap orang yang dalam konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional melakukan pelanggaran berat.. berupa: a. memerintahkan serangan terhadap penduduk sipil..; b. memerintahkan serangan terhadap bangunan-bangunan, material, unit-unit medis...; c. memerintahkan serangan terhadap personil, instalasi, material, unit-unit atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan kemanusiaan atau misi 16
perdamaian...; d. memerintahkan serangan terhadap bangunan yang digunakan untuk kepentingan agama, pendidikan, seni, tujuan ilmu pengetahuan dan amal, monumen bersejarah, rumah sakit...; e. penjarahan kota-kota dan tempattempat juga apabila dilakukan dalam rangka serangan; f. memperkosa, melakukan perbudakan seksual, pemaksaan pelacuran, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi...; g. wajib militer dan mendaftar anak-anak di bawah umur 15 (lima belas) tahun sebagai anggota angkatan bersenjata..; h. memerintahkan pemindahan penduduk sipil dengan alasan-alasan yang berkaitan dengan konflik, kecuali keamanan dari penduduk sipil..; i. membunuh atau melukai secara curang peserta perang musuh; j. menyatakan tidak ada pengampunan yang akan diberikan; k. menjadikan orang-orang yang berada dalam kekuasaan pihak lain yang terlibat konflik sebagai sasaran mutilasi fisik atau percobaan medis atau ilmiah yang tidak dapat dibenarkan baik atas tindakan medis, ...; atau l. merusak atau merampas kekayaan dari musuh.. Tanggung Jawab Komando 17
-
R-KUHP (draf tahun 2008) Pasal 400 (1), “Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan hak asasi manusia..”
Pandangan Komnas HAM Dari aturan diatas terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: - Pertama, Isi dari pasal ini merupakan copy paste dari UU No. 26 Tahun 2000 sehingga terdapat kejanggalan dimana didalamnya masih memasukkan kata-kata “..Yang berada dalam yurisdiksi pengadilan hak asasi manusia..” Hal yang paling penting dibahas di sinni adalah apakah tanggung jawab komnado merupakan tindak pidana? Tanggung jawab komando bukanlah tindak pidana, sehingga penempatannya dalam buku II rancangan KUHP adalah tidak tepat. Tanggung jawab komando pada hematnya adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu hal ini lebih tepat dimasukkan dalam buku I rancangan KUHP (tentang ketentuan Umum) pada Bab II tentang tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana. Tetapi akan timbul masalah jika haln ini diletakkan dalam Buku I mengenai ketentuan umum, yakni akan terjadi inkonsistensi dalam kodifikasi hukum pidana seperti RKUHP, karena prinsip pertanggung jawaban komando ini adalah prinsip khusus yang hanya diberlakukan terhadap beberapa jenis kejahatan khusus seperti: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Bukan untuk seluruh kejahatan yang ada dalam Buku II RKUHP. - Kedua, catatan selanjutnya mengenai terminologi yang digunakan dalam R-KUHP. Kalimat pertama Pasal 396 menyatakan: “…setiap orang yang pada masa perang atau konflik bersenjata melakukan pelanggaran berat..” Rumusan kalimat ini mengandung arti bahwa tindak pidana perang hanya dapat terjadi waktu perang atau konflik bersenjata saja.hal tersebut adalah tidak tepat, karena tindak pidana perang bisa juga terjadi pada peristiwa pendudukan (occupation). Kemudian pada kalimat pasal 396, hendaknya kata “harta kekayaan” diganti dengan “harta benda” sebagai terjemahan dari kata “property” (seperti yang tercantum dalam pasal 8 Statuta ICC). Kemudian pada Penjelasan dari pasal ini terdapat penulisan nama-nama dari Konvensi Jenewa serta penerjemahannya yang tidak tepat. - Ketiga, penggunaan kata “komandan militer dapat” dalam pasal 400 adalah tidak tepat, Karena ini adalah terjemahan yang keliru dari kata “shall be criminally responsible”. UU No 26 Tahun 2000 telah keliru (mungkin juga disengaja) menerjemahkan maksud dari istilah ini, copy paste dari UU No. 26 Tahun 2000 oleh konseptor R-KUHP hanya melanggengkan kekeliruan tersebut. Implikasi dari kata “dapat” tersebut bisa ditafsirkan tidak harus (optional) sehingga akan membuka peluan impunity. - Keempat kata “baru saja melakukan” dalam pasal 400 ayat (2) R-KUHP tidak seusai dengan teks asli dari ICC yakni “were committing or about to commit” sebaiknya ditambahkan pula kata “sedang melakukan atau akan segera melakukan.” 18