Iwan Tjitradjaja, Ph.D
Perlu Transfer Keterampilan & Inovasi dari Perantauan Sumber: Judul buku Ditulis ulang dari
: Diaspora Filantropi: Potensi Yang Belum Tergali : Jurnal Galang, Vol.3 No.2 Juli 2008, PIRAC, 2008, Opini, Hal 112 – 120
Salah satu pendorong tertingginya tingkat kedermawanan di Indonesia adalah ajaran keagamaan dan tradisi berderma yang berakar kuat di masyarakat. Indonesia memiliki banyak tradisi lokal yang berkaitan dengan kegiatan kedermawanan atau filantropi berbasis komunitas, seperti tradisi perelek (Sunda), jimpitan (Jawa), dll. Tradisi-tradisi kedermawanan semacam ini juga terdapat di suku Batak, Minang, dan suku-suku lainnya di Indonesia dengan nama dan bentuk yang berbeda, serta masih dipraktekkan sampai sekarang. Salah satu tradisi yang berkaitan dengan kegiatan kedermawanan adalah tradisi pemberian sumbangan dari para perantau kepada keluarga atau warga lainnya di kampung halaman. Tradisi semacam ini dikenal sebagai diaspora filantropi. Diaspora filantropi, baik yang dilakukan oleh perantau lokal maupun trans-nasional, merupakan sumber daya yang potensial untuk digali secara lebih sistematis dan terukur bagi pengentasan problemproblem sosial. Tinggal bagaimana potensi tersebut dapat didayagunakan secara efektif. Potensi ini juga bisa didayagunakan untuk mengantisipasi persoalan-persoalan yang muncul sebagai dampak dari aktivitas merantau, misalnya masalah “brain-drain” (hilangnya orangorang yang berkualitas) di kampung halaman. Berikut wawancara GALANG dengan Iwan Tjitradjaja, (Ketua Program Pasca Sarjana Departemen Antropologi, FISIP UI, mengenai potensi diaspora filantropi dan peluang serta tantangan pendayagunaannya sebagai sumber daya pembangunan. Dari beberapa hasil penilitian PIRAC nampak filantropi Indonesia memiliki akar yang kuat, baik berdasarkan tradisi dan keagamaan. Bagaimana Anda melihat fenomena ini terutama kegiatan filantropi yang berbasis komunitas? Saya kira potensi filantropi di kalangan masyarakat kita secara umum memang luar biasa tingginya. Tetapi kalau kita perhatikan kegiatan filantropi tersebut masih terkait dengan kewajiban sosial atau biasanya karena diminta. Jadi, kegiatan filantropi secara sukarela sendiri masih belum sampai pada tahap itu. Maka, harus ada yang memfasilitasi, memberi rangsangan, dan mengembangkan wacananya, agar orang bersedia atau mau memberikan sumbangan dengan sukarela. Dilihat dari praktik-praktik filantropi yang berbasis komunitas, seberapa kuat atau jauhkah perkembangannya sekarang? Dari pengamatan sekilas, saya masih menemukan kegiatan warga masyarakat memberikan sumbangan. Kegiatan semacam itu masih berlangsung di beberapa daerah, termasuk kelompok-kelompok masyarakat yang sama asal daerahnya yang tinggal di daerah perkotaan, seperti di Jakarta. Dan fenomena ini masih berjalan cukup kuat. Kegiatan itu sebenarnya lebih cocok disebut sebagai pertukaran sumbangan. Ada semacam rasa sungkan atau rasa malu bila ada orang yang dikenal, entah itu tetangga lama, apabila kalau masih kerabat meskipun hubungannya masih jauh, yang apabila mereka mengadakan hajatan atau sedang mengalami musibah dan mereka tidak membawa atau menyumbangkan apa-apa. Akibatnya tiap kali ada orang yang dikenal sebagai teman atau kerabat itu hajatan atau terkena musibah, orang-orang pasti akan membawa sumbangan dalam berbagai macam bentuk, di mana umumnya sekarang adalah uang. Tapi kembali
saya katakan, hal ini terjadi karena ada semacam rasa kewajiban sebagai anggota dari suatu kelompok sosial, baik berbasis kelompok kekeluargaan, ataupun kelompok sesama daerah asal. Kalau basis pemberian itu karena kewajiban pengembangannya ke depan seperti apa?
dan
rasa
sungkan,
maka
Kalau kita perhatikan masyarakat pada umumnya tidak begitu peduli terhadap berbagai masalah sosial. Umumnya warga masyarakat sibuk dengan kepentingan sendiri atau kelompok kecil mereka. Namun, ada anggota kelompok yang kemudian dengan sengaja melakukan inisiatif, misalnya, mengajak teman-teman melakukan kegiatan yang bersifat filantropis. Bila mereka didorong oleh pihak luar, dengan mengutarakan bahwa ada persoalaan atau problem yang membutuhkan bantuan mereka, saya kira tidak terlalu sulit untuk menggugah empati mereka sehingga mereka dengan mudah dan rela memberikan kontribusinya. Sementara ini kegiatan filantropi baru terkait dengan peristiwa-peristiwa musibah. Selain itu, karena mereka tidak tahu tentang keberadaan lembaga-lembaga filantropi, maka mereka umumnya memberikan sumbangan kepada lembaga-lembaga yang dikenal dan relatif dipercaya. Misalnya bila kita saksikan berbagai musibah, setiap orang atau kelompok-kelompok tertentu memberikan sumbangannya melalui media-media yang mereka kenal. Mereka percaya bahwa uang yang mereka sumbangkan memang diberikan tepat sasaran kepada penerima sumbangan melalui laporan media tersebut. Tapi kalau untuk kegiatan atau peristiwa lain nampaknya masih kurang untuk menjadi prioritas. Sebagai contoh, kegiatan filantropi untuk membenahi kerusakan lingkungan dan sumber daya alam oleh organisasi sebesar WALHI yang meminta sumbangan ternyata respon masyarakat masih susah. Ini terkait dengan persoalan memberikan sesuatu dan mengharapkan mendapatkan sesuatu, dan kewajiban sosial. Itulah sebabnya mengapa dalam satu kampung atau satu jaringan kelompok kekeluargaan, orang memberikan sesuatu ketika ada hajatan dengan asumsi nanti jika dia mempunyai hajatan, maka dia juga akan menerima sesuatu kembali. Demikian juga kalau kita lihat sumbangan-sumbangan yang diberikan untuk sumbangan masjid dan lain sebagainya, hal ini semata-mata karena mengharap akan mendapatkan pahala. Jadi konsep tersebut masih sangat kuat. Tapi konsep memberikan sumbangan untuk memperbaiki lingkungan masih agak jauh. Dan karena itu memang mesti sering diwacanakan dalam arti disosialisasikan sedemikian rupa, sehingga orang menangkap bahwa persoalan lingkungan juga perlu dibantu. Sejauh ini semangat memberi sudah ada dan secara potensial cukup tinggi. Salah satu yang potensial dalam kegiatan filantropi komunitas adalah pemberian atau kontribusi yang berkaitan dengan tradisi merantau, seperti di suku Minang, Madura, Bugis, dll. Bagaimana Anda melihat tradisi menyumbang dari para perantau di Indonesia? Sebetulnya tradisi merantau tidak terkait dengan kelompok suku bangsa tertentu. selama di perantauan, jika perantau memiliki kehidupan yang baik, mereka mengumpulkan dana untuk disumbangkan kembali ke daerahnya guna membantu saudara-saudara mereka di daerah termasuk membantu memperbaiki infrastruktur daerah dan lain sebagainya. Siapapun yang bekerja meninggalkan keluarga pergi ke daerah perantauannya selalu didorong oleh semangat untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Ketika kehidupannya lebih baik mereka akan selalu ingat untuk membantu saudara-saudara, teman-teman mereka di daerah asal yang mereka tinggalkan. Menurut saya, itu juga sebetulnya suatu bentuk aktifitas sosial yang syarat dengan potensi jiwa filantropi tadi. Bayangkan saja misalnya menjelang lebaran atau hari-hari besar lainnya. Mereka yang bekerja di kota, hidupnya harus berjuang matimatian mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, tapi ketika pada hari raya tertentu (keagamaan), mereka memaksakan diri untuk membawa apa yang mereka punya. Bukan hanya sekedar show off tapi juga kebahagiaan yang luar biasa jika bisa memberikan sesuatu pada hari-hari itu kepada keluarga yang ditinggalkan di kampung. Jadi memang luar
biasa besarnya. Hanya saja, bagaimana potensi spirit filantropis ini bisa dikembangkan untuk berbagai macam aktivitas pembangunan, seperti pembangunan lingkungan atau pembangunan sosial. Dan saya kira tinggal bagaimana kemudian pemerintah dan lembagalembaga non pemerintah lainnya yang berminat untuk menumbuhkembangkan dan mengelola potensi pendanaan dari masyarakat yang sangat besar ini dapat mengambil peran secara strategis. Selain motif tradisi merantau yang kuat, motif-motif apalagi yang biasanya muncul ketika mereka bermigrasi? Motif terbesar bagi perantau adalah mencari penghidupan yang lebih baik. Kerena mereka melihat bahwa kondisi sosial ekonomi di daerah tidak memungkinkan dapat berkembang lebih baik secara materi. Tapi ada juga mereka yang pergi meninggalkan daerahnya karena memang ingin mengaktualisasikan diri, dan tidak sekedar mencari harta lebih. Yaitu untuk mendapatkan gagasan-gagasan kreatifitas baru tentang hidup dan lain sebagainya. Sayangnya yang terjadi adalah ketika menemukan atau mendapatkan gagasan baru, keterampilan baru, fasilitas-fasilitas baru yang lebih memadai, yang kembali ke daerah asal umumnya masih dalam bentuk kiriman uang atau remittance. Sedangkan individunya sendiri tidak kembali. Padahal semestinya mereka bisa membawa ide dan gagasan yang dapat dimanfaatkan untuk membangunan daerahnya. Hal ini dikarenakan secara struktural, kondisi-kondisi sumber daya alam, sosial, ekonomi, maupun politik yang ada di daerah tidak memberikan peluang yang banyak bagi mereka untuk berkiprah di daerah asal mereka. Dominasi pemberian dari para perantau umumnya dalam bentuk dana remittance dan bersifat kekeluargaan. Apakah hal ini dipengaruhi oleh struktur para migran atau perantau yang sebagian besar menjadi kelas pekerja dibanding kelompok profesional? Ya, itu betul. Kalau kita lihat migrasi dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan umumnya berlangsung melalui apa yang disebut sebagai chain migration (migrasi mata rantai). Hal ini berkaitan dengan hubungan-hubungan baik kekerabatan, keketanggan, maupun persekampungan. Keterampilan dan pendidikan mereka yang relatif rendah di daerah pedesaaan, maka ketika sampai di kota, mau tidak mau yang mereka bisa masuki kesempatan kerja umumnya adalah kerja-kerja sektor ‘informal’. Seperti kuli bangunan, buruh di pabrik-pabrik, atau di warung-warung nasi maupun sebagai pedagang asongan, dll. Jadi memang banyak dari mereka yang betul-betul ke kota bekerja untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin kalau bisa. Dan memang baru sampai pada tahapan itu. Di samping itu, hal ini juga menunjukkan persebaran program-program perbankan yang tidak merata sampai ke pelosok-pelosok, di samping proses pendidikan dalam arti mencerdaskan rakyat itu memang tidak sampai di daerah-daerah pedesaan. Proses pendidikan dan peningkatan keterampilan masih terbatas di daerah perkotaan, sehingga tidak heran jika warga didaerah pedesaan dan pelosok yang ingin menjadi cerdas dan menjadi terampil harus lari ke kota disebabkan tidak adanya fasilitas di daerahnya. Menurut Anda, selain faktor ajakan kepada mereka untuk ikut membangun negara dan kampung halaman, faktor apa saja yang harus didorong pada tahap pelaksanaannya? Selain himbauan, materi sosialisasi, juga cara menyampaikannya kepada calon donor bahwa lembaga yang memfasilitasi kegiatan filantropi tersebut bisa dipercaya. Menyakinkan mereka bahwa dana-dana yang nantinya dikumpulkan betul-betul akan sampai dan tepat ke sasaran. Persoalannya banyak orang yang tidak mau menyumbang ke lembaga tertentu karena tidak percaya. Kalau dibandingkan antara kedua jenis diaspora lokal dengan diaspora transnasional, mana yang lebih strategis untuk pengembangan filantropi ke depan?
Dua-duanya strategis. Tapi kalau melihat jumlah, tentu diaspora filantropi dalam negeri jauh lebih besar. Bayangkan kalau warga kita ini bisa diajak berfilantropi dengan cara kita sentuh rasa empati sosialnya. Saya kira untuk mengumpulkan Rp5000 sampai Rp10.000 per orang per keluarga tidak terlalu susah. Misalnya satu orang setiap bulan bisa menyumbang Rp10 ribu, bayangkan berapa banyak dana yang bisa dikumpulkan. Saya teringat salah satu tayangan TV, yaitu Oprah Winfrey show, di mana dia dan kemudian Angel Network-nya terinspirasi oleh upaya seorang anak kecil untuk menggalang dana publik untuk nasib orang-orang yang kurang beruntung. Oprah mengucapkan terima kasih kepada anak tersebut karena telah menginspirasi dirinya. Dan setelah mendengar apa yang dilakukan oleh anak itu, Oprah katakan seorang anak ini saja bisa menghasilkan begitu banyak, apalagi kalau dirinya yang melakukan. Jadi dengan bendera Angel Network-nya, Oprah Winfrey sebetulnya termotivasi, terinspirasi oleh apa yang dilakukan si anak kecil tersebut. Sementara Oprah memiliki jaringan korporasii yang sangat luas, maka semua bisa masuk. Meski nyatanya bukan hanya korporasi yang masuk, tetapi juga publik di semua level masyarakat. Di mana kita tahu, setiap kali dia lontarkan ada persoalan A atau B atau lainnya, sumbangan dari para penontonnya sangat luar biasa. Dalam konteks pemanfaatan dana-dana filantropi dari komunitas perantau, seperti apakah dan bagaimanakah peran organisasi perantau atau home town assosiation? Saya kira beragam. Ada organisasi perantau yang cukup besar perannya baik mengkomunikasikan kegiatan-kegiatan filantropi kepada anggota komunitas diasporanya , mengelola sumbangan-sumbangan yang ada, dan melaporkannya. Biasanya kalau tiga unsur ini berjalan, organisasinya relatif berkembang dan berfungsi baik. Tapi cukup banyak juga organisasi kelompok-kelompok diaspora yang tidak berkembang. Memang yang terjadi adalah himbauan-himbauan yang dilakukan orang per-orang yang berlangsung secara adhoc. Karena itu, kalau ada organisasi khusus yang mengembangkan mekanisme perluasan akses informasi yang lebih luas, maka kesadaran orang tentang filantropi juga bisa semakin luas. Kemudian membantu mengelola dana yang terkumpul dan benar-benar disalurkan lewat kegiatan yang bisa dipertanggung jawabkan kepada para donor maupun publik. Saya kira organisasi ini sangat luar biasa dan bisa mendorong spirit filantropi yang mengejawantah dalam kegiatan-kegiatan yang konkrit, yakni membantu kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Selama ini, apakah Anda melihat kegiatan atau pertemuan para anggota perantau lebih sebagai kegiatan temu kangen saja? Ya, temu kangen dan memang masih lebih banyak yang seperti itu. Lalu kita lihat yang baisa dilakukan mereka juga masih bersifat ad-hoc. Seperti jika terjadi becana, kemudian mereka mengumpulkan sumbangan. Kalau tidak ada, maka seperti biasa lagi. Lain halnya dengan kotak sumbangan di masjid. Hal itu dalam konteks kewajiban sosial sekaligus kewajiban religius. Tapi dalam konteks filantropi murni, dalam artian kita harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki kehidupan sosial yang terpuruk menjadi lebih baik, masih belum menjadi concern mereka. Kalau kita amati, sebagian besar kontribusi perantau umumnya diwujudkan dalam bentuk bangunan fisik yang dianggap sebagai “monumen keberhasilan” mereka di rantau. Misalnya, membangun rumah atau masjid yang megah. Bagaimana anda melihat fenomena ini? Kalau kita lihat bentuk kontribusi dari kelompok-kelompok diaspora di kota ke desa atau kampung halaman mereka memang lebih ke arah pembangunan fisik. Misalnya di Lombok, migran-migran warga Lombok yang ke luar negeri atau ke kota besar banyak yang menyumbang dana dan diutamakan adalah untuk pembangunan atau perbaikan masjid-
masjid. Sementara kehidupan warga di desa-desa tidak banyak berubah. Kita dapat dilihat, pengemis-pengemis di jalan, anak-anak jalanan, semakin hari bukan semakin berkurang malah semakin bertambah. Maskipun cukup banyak sebetulnya organisasi-organisasi swadaya masyarakat yang mencoba menanganinya, tapi pada umumnya masih mengalami kesulitan dalam soal dana. Salah satu sebabnya ialah karena umumnya mereka selama ini masih sangat tergantung pada sumbangan-sumbangan dana dari lembaga donor luar negeri. Sementara dana publik dalam negeri sendiri, meski per orang dan jumlahnya tidak banyak, belum banyak dihimpun. Padahal kita tahu orang-orang yang punya duit akan merasa tidak enak kalau melihat anak-anak jalanan atau para pengemis. Jika dikasih uang biasanya habis begitu saja, karena penggunaannya yang tidak menentu. Coba kita lihat banyak rumah singgah yang tidak bisa bertahan untuk waktu yang lama, dan saya kira telah nampak momen yang sangat urgent untuk mendorong dan menggiatkan kembali bagaimana kegiatannya bisa menyentuh panti sosial warga Indonesia secara keseluruhan. Karena kalau kita lihat dari perkembangan ekonomi nasional yang marak secara makro, tapi secara mikro makin memprihatinkan, kita dapat melihat semakin banyak orang yang akan frustasi dan semakin banyak orang yang terlempar ke jalan. Selain di tingkat mikro yang sekain menyedihkan, kita lihat juga kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang menggusur padahal melakukan kegiatan ekonomi informal. Fakta ini mau tidak mau memanfaatkan lahan-lahan yang dalam kacamata pemerintah illegal. Dan fenomena ini sekarang banyak terjadi di mana-mana seperti Surabaya dan Jakarta, di mana pembongkaran terjadi dan pemerintah tidak mau tahu orang-orang tersebut akan hidup bagaimana atau tidak terbayangkan oleh pemerintah. Sementara meskipun ada dinas sosial tetapi dinilai pelaksanaannya melulu masih berorientasi pada kepentingan proyek saja. Kegiatan merantau, bagaimanapun, meninggalkan Persoalan apa saja yang muncul selama ini?
persoalan.
Menurut
Anda.
Orang yang merantau adalah orang-orang yang secara kualitas sebagai sumber daya manusia terbaik di daerahnya. Jadi kalau mereka (SDM terbaik) merantau, yang terjadi adalah apa yang disebut sebagai “brain-drain” (hilangnya orang-orang berkualitas). Yang tersisa adalah orang-orang tua, dan sebagian orang muda yang relatif belum mapan. Jadi, bisa dibayangkan bahwa sebetulnya inovasi maupun inisiatif mereka yang tinggal dalam mengubah kehidupan yang ada di daerahnya tapi semakin sulit. Karena orang yang mampu mengubah keadaan adalah mereka yang mempunyai inisiatif dan kreatifitas, di mana semuanya itu keluar dari kampung halamannya untuk merantau. Tapi, kita juga harus pahami kenapa mereka keluar dari kampung. Mereka keluar karena frustasi dan tidak tahu apa yang bisa mereka perbuat di daerahnya. Jadi, kita lihat bahwa yang kembali ke sana hanya uangnya saja. Padahal apa yang terjadi dengan kiriman uang di kampung halaman? Ternyata terpakai lebih banyak untuk kegiatan yang konsumtif, seperti membangunan atau memperbaiki rumah, membeli barang-barang dan lain sebagainya. Tapi untuk kegiatankegiatan yang produktif alias jangka panjang tidak ada. Oleh karena itu, kita melihat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi sementara ini cukup “mengerikan” bagi kita untuk menatap masa depan. Apakah kegiatan filantropi yang dilakukan oleh kelompok diaspora mampu mengatasi persoalan yang sangat urgen itu? Mestinya iya, karena umumnya mereka pejuang yang luar biasa. Di tempat saya tinggal, ada 2 orang ibu yang meninggalkan keluarganya untuk bekerja dari pagi sampai malam. Baik berjualan nasi, jamu, maupun sayur-mayur, selain bekerja sebagai tukang cuci. Hidupnya hanya diisi kegiatan tersebut setiap hari. Lalu setiap 3 minggu mereka mengirimkan hasil jerih payah mereka. Padahal mereka sendiri tidak punya apa-apa, kalaupun ada uang yang mereka simpan adalah untuk modal usahanya. Ketika ditanyakan uang hasil usaha mereka di kampung untuk apa? Mereka menjawab untuk biaya akan sekolah, biaya makan, pakaian,
membeli TV, dan memperbaiki rumah. Jadi orang yang ditinggalkan di kampung betul-betul hanya menunggu kiriman. Di balik krisis ekonomi, secara diam-diam ekonomi makro telah diselusupi oleh pertumbuhan ekonomi makro yang katanya hingar bingar ini. Coba bayangkan ketika mereka sudah tidak mempunyai kesempatan lagi, ketika para pekerja bangunan tidak ada lagi karena usaha konstruksi bangunan sudah berkurang artinya tukang bangunan pun berkurang. Maka akan berimplikasi pada penjualan nasi mereka pun akan tidak bisa dijual lagi. Kalau pun ada, hasilnya sangat kecil sekali. Sedangkan keluarga-keluarga yang juga tertekan secara ekonomi barangkali berpikir dua kali untuk memberikan jasa cucian kepada orang lain. Karena dengan begitu, mereka akan lebih berhemat yaitu jika dikerjakan sendiri (misalnya 300 ribu sebulan). Bayangkan bila usaha kedua ibu ini collaps maka tidak ada lagi yang bisa dikirim ke kampung, dan apa yang terjadi? Sementara di kampung terbiasa konsumtif. Jadi kalau saya melihat kondisi seperti ini bisa terlarut dan pesimistis, meskipun kita melihat ada upaya yang dilakukan oleh warga melalui kelompok-kelompoknya. Misalnya, pengelolaan sampah yang dikelola untuk diambil manfaatnya sehingga menghasilkan secara ekonomi. Tentunya bisa memberikan kehidupan ekonomi yang lebih baik bagi mereka yang kekurangan. Meskipun ada kegiatan-kegiatan tersebut, kalau pemerintah sendiri tidak tanggap dan justru mengembangkan kebijakan-kebijakan dan program-program yang tidak inovatif sebetulnya dapat menciptakan situasi yang tidak kondusif kepada orang yang benar-benar mau bekerja sama, memberikan sumbangan dan lain sebagainya. Saya kira cukup buram potret kehidupan sosial ekonomi budaya kita ke depan. Itulah risikonya kita menjalani kehidupan ekonomi yang sangat dipengaruhi orientasi post kapitalis ini. Menurut analisa ahli, ekonomi post kapitalis ini hanya sekitar 5% an atau 10% an yang mendapat manfaat dan perubahan hidup ke arah yang jauh lebih baik secara materi tapi 90% lainnya semakin susah dan terpuruk. Selain transfer dana atau remittance para perantau, apa saja kontribusi yang bisa dikembangkan? Di samping dana, keterampilan-keterampilan, gagasan-gagasan inovatif tentang produksi dan lan sebagainya, mestinya bisa dibawa pulang sehingga dapat menjadi kontribusi yang sangat signifikan bagi masyarakat kampung halaman. Maka peran organisasi menjadi penting, karena mesti saling mendukung. Sehingga mereka bisa saling mendukung untuk kembali mendorong roda ekonomi kehidupan sosial di daerahnya. Atau mereka bersamasama memberikan kontribusi dalam mencetak kader-kader (anak-anak) yang beranjak besar untuk dididik sedemikian rupa dengan segala macam keterampilan untuk kembali ke daerahnya supaya menjadi motor penggerak kehidupan di daerahnya. Namun begitu, jika kita hanya mengandalkan pada kelompok diaspora saja sedangkan pemerintah daerah tidak mendukung, tentu susah juga. Justru di tempat-tempat di mana pemerintah daerahnya bagus dalam memberi dukungan kepada warga terhadap sumber daya alamnya. Meskipun daerahnya “miskin” tapi kehidupan warganya tidak miskin. Karena mereka bisa memanfaatkan asset yang ada secara optimal. Tapi kita lihat jika pemerintah daerahnya ‘ngawur’, maka yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya alam besar-besaran dan tidak terkontrol distribusi hasilnya. Maka kesenjangan terjadi, orang miskin cukup banyak, atau sebaliknya sekelompok orang yang senang dan kaya dari eksploitasi tersebut. Pasa masa lampau, di Sumatera Utara misalnya ada gerakan Matabe; sebuah gerakan yang mencoba membangun daerah dengan dukungan para perantau, lalu ada gerakan seribu minang, dll. Apakah dalam konteks sekarang masih bisa kembali digalakkan? Saya kira itu bagus. Tapi gerakan tersebut sifatnya masih relatif ad-hoc, hanya sekali-sekali. Sementara yang dibutuhkan saat ini adalah yang mempunyai perencanaan dari minggu ke minggu yang sustainable dan tidak seperti proses pembangunan umumnya di mana projectbased. Selain dana yang dibutuhkan mengalami proses pencairan yang cukup lama, dan pertanggungjawabannya masih belum transparan. Praktis, ketika dana cair, pelaksanaan
kegiatan dan pertanggung jawaban hanya sekitar 3-4 bulan. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur jalan misalnya, tidak beres, lubang-lubang jalan dibiarkan bahkan hingga melebar dan berakibat terganggunya aktifitas lalu lintas hingga mengakibatkan kecelakaan. Dan macam-macam lagi permasalahan infrastruktur lainnya. Saya sendiri bingung, mereka yang berada di Bappenas itu adalah para ahli dan mereka tahu kondisi di lapangan. Tapi sepertinya mereka terbelenggu prosedur, penganggaran, dan pencairan dana yang sudah ada. Padahal prosedur mereka sendiri yang membuat. Begitu juga para anggota legislatif. Namun, pada intinya saya kira mereka yang duduk pada posisi legislatif dan eksekutiflah yang harus bisa mendorong semangat filantropis sehingga mengejawantah dalam kegiatankegiatan nyata. Kalau kita belajar dari India, di mana para pekerja migran India yang berada di Amerika melakukan transfer remittance dan pengetahuan secara aktif, apakah konteks yang sama dapat diterapkan warga Indonesia juga? Harusnya bisa. Hanya saja orang Indonesia ini agak aneh. Orang belajar di luar negeri yang kemudian menjadi pintar dan kembali ke Indonesia bukannya diterima dan diberik kesempatan untuk mengerjakan dan menerapkan kepandaian dan keterampilan mereka. Mereka bahkan tidak dikasih tempat duduk atau ruang untuk mengaktualisasikan ilmunya. Jadi banyak tenaga-tenaga terampil yang begitu hebat, di sana dihargai, dicari kembali, sebaliknya di sini nyaris tidak diperhatikan. Berbeda halnya dengan Cina, di mana pemerintahnya secara sengaja menarik ahli-ahli yang berasal dari Cina yang bekerja di Amerika sebagai guru besar dan profesor atau para peneliti yang sangat luar biasa. Mereka di tarik kembali ke Cina dengan diberi gaji berlipat ganda. Kalau warga Indonesia pulang ke tanah air bukan hanya gajinya turun, tapi tidak diterima, karena dirasa akan mengancam kedudukan orang atau sekelompok orang tertentu. Ini tentu persoalan. Dan mestinya pihakpihak terkait lebih bisa untuk memikirkan dan melakukan hal-hal yang lebih baik demi dan untuk kepentingan rakyat secara lebih luas. Bagaimana upaya yang bisa dilakukan pemerintah dan organisasi sektor nirlaba dalam mengoptimalkan potensi diaspora filantropi yang luar biasa tersebut? Kalau saat ini, yang harus dilakukan pemerintah adalah berperan untuk mendorong kegiatan filantropi sebagai refleksi atas apa yang sudah mereka lakukan selama ini. Dan kemudian berupaya mengubah citranya. Citra pemerintah masih relatif buruk sehingga sulit dipercaya oleh rakyatnya. Kalau citra pemerintah baik, cukup banyak warga Indonesia yang bisa dimintakan sumbangannya. karena kalau dihimpun sumbangannya bisa menjadi modal pembangunan yang tidak sedikit. Citra pemerintah itu buruk karena pemerintah dianggap mau enaknya sendiri dan tidak mau memberikan pelayanan yang baik kepada publik. Dan kenyataannya korupsi merajalela dimana-mana, dari kelas yang paling bawah sampai kelas yang paling tinggi. Jadi pemerintah juga harus berubah. Maka pimpinan dan kepemimpinan baru yang tegas dan mempunyaai orientasi pada kepentingan publik, ditambah lagi dengan sikap tegas mau mereformasi birokrasi yang ada selama ini adalah harapan terbesar dari bangsa ini. Sementara itu bagi organisasi nirlaba yang perlu dilakukan selanjutnya adalah membuka kemunikasi massa yang lebih luas lagi dan efektif. Di mana isi kemunikasi itu sendiri harus membuat kegiatan-kegiatan yang konkrit dilakukan. Dengan begitu warga bisa percaya bahwa organisasi tersebut bekerja dengan benar dan bertanggungjawab. Sebagai contoh, yayasan-yayasan serupa berbasis agama namun melakukan kegiatan yang bahkan bukan kegiatan agama. Begitu juga ormas-ormas Indonesia seperti NU, Muhammadiyyah, meskipun belum dioperasikan lebih optimal dan berdaya jangkau lebih luas lagi. Para perantau biasanya menyumbang lebih kepada organisasi kedaerahannya dibandingkan organisasi umum lainnya. Bagaimana organisasi umum bisa memanfaatkan potensi dari para perantau juga?
Menurut saya, organisasi-organisasi umum sendiri belum menunjukan apa yang sudah dilakukan. Selain itu, mereka juga belum mengkomunikasikan bahwa apa yang dilakukannya memang benar untuk kepentingan umum. Di sinilah sebenarnya letak kepedulian bersama dari rakyat secara keseluruhan sehingga memerlukan dukungan semua pihak. Jadi pesan kunci itu harus sampai kepada masyarakat luas. Kalau tidak sampai maka tidak akan dipercayai lagi. Komunikasi tidak bisa hanya dengan pasang iklan, melainkan organisasi juga perlu masuk ke dalam komunitas-komunitas diaspora secara langsung. Bahkan bukan hanya masuk sekedar meneliti, tetapi juga melakukan kegiatan fasilitasi. Kalau itu bisa dilakukan lebih bagus lagi, karena berarti mereka lebih kenal dengan orangorang menjadi tulang punggung/pengurus organisasinya sehingga mengajak mereka untuk memberi kepada organisasi menjadi lebih mudah lagi.