Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
DILEMA PENDIDIKAN ISLAM PADA SEKOLAH ELITE MUSLIM ANTARA KOMERSIAL DAN MARGINALITAS
ZUHAIRANSYAH ARIFIN Dosen Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Uin Suska Riau
Abstract Kemunculan sekolah elite muslim merupakan salah satu refleksi atas kelangkaan ulama, pemimpin dan ilmuan. Suatu masalah yang banyak dibicarakan masyarakat Indonesia, terutama karena kelangkaan ulama senior, bahkan hampir tidak ditemukannya ulama setingkat para wali, merupakan salah-satu aspek pentingnya melahirkan generasi yang beriman dan takwa serta berilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu dibutuhkan sekolah-sekolah unggul berupa sekolah elite muslim dan sekolah Islam terpadu yang memungkinkan terpenuhinya cita-cita dan harapan umat Islam menjadi panutan yang berkelas dunia. Menjamurnya sekolah elite muslim tidak serta merta memiliki dampak positif yang baik, karena di sisi lain kemunculan sekolah-sekolah ini menjadi buah bibir masyarakat, bahkan meragukan keberadaan sekolah tersebut sebagai lembaga pendidikan yang mampu mewadahi umat Islam menjadi pionerpioner pendidik di masa depan. Keraguan itu muncul tatkala adanya anggapan bahwa sekolah-sekolah elite muslim ini hanya diperuntukkan untuk masyarakat menengah ke atas. Sementara masyarakat dengan ekonomi rendah, tidak dimungkinkan menempuh jalur pendidikan di lembaga ini, karena biaya masuk yang cukup mahal. Kenyataan ini pada akhirnya menunjukkan bahwa dalam dunia pendidikan di sekolah-sekolah elite muslim menjadi sebuah dilema intern umat Islam, bahkan menjamurnya lembaga-lembaga tersebut sedikit demi sedikit mulai mengacu kepada praktek-praktek ekonomi, yang identik dengan komersial dan marginalitas.
A. Pendahuluan Di kalangan umat Islam, masalah pendidikan mendapat perhatian khusus, karena berkembangnya Islam, tidak lepas dari peran pendidikan yang begitu besar. Oleh karena itu, walaupun pengembangan politik suatu negara (Islam) sedang tidak menentu atau singkatnya perkembangan yang menutup ruang partisipasi masyarakat dalam menentukan arah negaranya, maka bagi dunia pendidikan tetap saja terbuka. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme masyarakat terhadap pentingnya pendidikan yang mendorong
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|177
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
munculnya berbagai lembaga pendidikan yang menawarkan berbagai jenjang. Ini merupakan pandangan profetis masyarakat khususnya
kaum muslimin dalam
merencanakan masa depan menjadi lebih baik. Memang tidak dapat dipungkiri, maju dan berkembangnya pendidikan di Indonesia tidak lepas dari antusias masyarakat dalam mencari dan meneropong lembaga-lembaga pendidikan Islam terkemuka yang dalam kacamata mereka memiliki daya tarik dan daya saing ilmu pengetahuan yang kelak dapat mengorbitkan anak-anak bangsa menjadi unggul dalam berbagai aspek. Keinginan untuk menyekolahkan anak di lembaga-lembaga pavorit, apalagi lembaga pendidikan yang diiringi dengan embelembel “sekolah elite muslim, sekolah Islam Terpadu, atau sekolah konglomerat” merupakan incaran dan keinginan kuat dari orang tua untuk menyekolahkan generasi penerus mereka. Hal ini cukup dimaklumi, karena berkaca pada eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam selama ini mulai dipertanyakan, sehingga wajar kalau dewasa ini orang mulai melirik Sekolah-sekolah elite muslim, dengan harapan anak-anak nantinya memiliki bekal ilmu yang paripurna dan menjadi ahli-ahli agama dan pemimpin Islam. Kalau dilihat dari fungsi tradisional madrasah sebelum kemunculan Sekolahsekolah elite, pada hakikatnya ada 3 fungsi tradisional madrasah yaitu; pertama, sebagai media penyampai pengetahuan agama (transfer of Islamic knowledge); kedua, sebagai media pemelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic Tradition); ketiga, sebagai media pencetak ulama (reproduction of ulama).1 Ketiga fungsi tradisional madrasah ini sebenarnya juga diadopsi oleh Sekolah-sekolah elite muslim, jadi pada prinsipnya antara madrasah-madrasah zaman dulu dengan penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan yang menamakan dipandang sebagai “sekolah elite muslim” sama saja dengan madrasah yang dikenal, hanya bingkai dan coraknya saja yang diperbaharui sehingga kesan tradisional yang identik dengan kuno, klasik, dan tertinggal menurut pemikiran orang awam dapat ditinggalkan menuju pembaharuan yang lebih fresh dan meyakinkan para konsumen pendidikan.
1
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hlm. 9. Suwito dan Fauzan (Editor), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 293
178|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
B. Sekolah Elite2 Muslim: Tinjauan Sosiologi dan Ekonomi Salah satu perkembangan yang sangat mengembirakan dewasa ini dalam masyarakat muslim Indonesia adalah munculnya sekolah elite muslim. Sekolah elit ini disebut-sebut sebagai sekolah unggulan, yang nampaknya memiliki karakteristik pada pengajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan sekaligus ada penekanan pada religiusitas dan kesalehan melalui materi pelajaran keislaman. Dalam perspektif sejarah, merebaknya sekolah elite muslim merupakan salah satu refleksi atas kelangkaan ulama, pemimpin dan ilmuan. Suatu masalah yang banyak dibicarakan masyarakat Indonesia, terutama karena telah meninggalnya ulama tua/senior, bahkan hampir tidak ditemukannya ulama setingkat para wali, ulama, dan umara zaman dulu. Berkembangnya sekolah elite muslim yang merupakan sekolahsekolah unggulan Islam dimaksudkan untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan sinergis di bidang Imtak dan Iptek.3 Jadi, dilihat dari kesejarahannya sejak tahun 1980-an pendidikan Islam sedang menghadapi dua tantangan, yakni pertama, kemanjuan ilmu pengetahuan dan teknologiinformasi sebagaimana kata Alvin Toffler, dalam bukunya The Trird Wave (1980). Kedua, umat Islam sedang/akan mengalami suatu krisis kader ulama di masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, kedua aspek ini ibarat sekeping mata uang yang sulit dipisahkan dari tujuan pendidikan Islam. Di samping masalah pertama dan kedua, juga karena rasa keprihatinan terhadap mutu pendidikan Islam yang rata-tara masih rendah. Opini lama yang sempat muncul kepermukaan adalah banyaknya orang tua muslim yang tidak percaya kepada sekolah Islam. Sehingga mereka banyak yang menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah Missionaris, baik Katolik maupun Protestan, yang sejak zaman Belanda telah dan hingga sekarang masih dikenal dengan kualitasnya yang baik. 4 Melalui kepritinan inilah akhirnya banyak pihak untuk mengusulkan supaya pendidikan Islam mendirikan 2
Dalam Webster disebutkan, “Elite” the group of part of a group selected or regarded as the finest, best, most distinguished, most powerful, etc. Elite dimaksudkan adalah suatu kelompok atau bagian orang-orang yang telah terseleksi secara final, memiliki kekuatan dan kesanggupan lebih, lihat dalam Victoria Neufeld dan David B Guralnik (Ed.), Webster’s New World Dictionary, Third College Edition, New York: 1986, hlm. 440, lihat juga dalam AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1995, hlm. 374 3 Sinergi (Jurnal Populer Sumberdaya Manusia), No. 1 Volume I Januari-Maret 1998. 4 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos, 1998, hlm. 80-81 Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|179
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
sekolah-sekolah elite muslim yang berbasis keunggulan dalam pembelajaran, sains, dan religi. Saat ini, kesadaran orangtua muslim sudah mulai percaya kepada sekolah Islam/madrasah unggulan. Karena sekolah atau madrasah tersebut menawarkan bermutu memberikan prospek yang pasti bagi anak-anak mereka untuk melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Lebih lanjut, orangtua muslim percaya lingkungan madrasah dan sekolah elit Islam lebih aman dibandingkan dengan lingkungan sekolah umum. Misalnya, jarang terjadi ada tawuran antar siswa di sekolah atau madrasah-madrasah elite Islam. Dalam perspektif ekonomi dan sosiologis, munculnya sekolah unggulan Islam, sekolah elite diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan yang tengah dihadapi oleh internal umat Islam sendiri yakni keprihatinan terhadap mutu pendidikan Islam yang rendah dan sekaligus memberi solusi terhadap tantangan Iptek dan Imtak. Sebagai sekolah elite, mereka kebanyakan merebak di daerah perkotaan. Dan jika dilihat dari kaca mata ekonomi dan sosiologi, sekolah elit memang pangsa pasarnya adalah anakanak dari orangtua yang taraf penghidupannya sudah relatif mapan. Sehingga hubungan antara sekolah unggulan Islam dengan masyarakat terdapat titik kesamaan yaitu unsur budaya kelas tinggi. Secara finansial, sekolah elite muslim relatif mahal, hanya terjangkau bagi masyarakat kelas menengah ke atas. Secara sosiologis hal ini ada korelasi mengapa sekolah unggulan Islam atau sekolah elite muslim itu tergolong cepat berkembang dan membanggakan, karena secara finansial bagi sekolah-sekolah elite muslim tidak lagi ada masalah. Sebut saja misalnya; Sekolah-sekolah elite di Jawa seperti sekolah alAzhar yang berada di Kawasan Kebayoran Baru, Lembaga Pendidikan Islamic Village berada di Tangerang, SMU Madania berada di Parung Bogor, Sekolah Pendidikan Pelita Harapan di Tangerang, SMA Darul Ulum di Jombang, MIN Malang dan seterusnya. Demikian pula halnya sekolah-sekolah elite muslim dan unggulan di Pekanbaru seperti Sekolah Islam SD, SMP As-Shofa, SD, SMP An-Namiroh, SD, SMP al-Fityah, SD al-Izhar, MAN Model, MTsN Model dan sekolah-sekolah elite muslim lainnya di Provinsi Riau, pada prinsipnya semua sekolah ini hanya dapat dijangkau oleh kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Lalu muncul anggapan sebagian orang
180|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
menyoroti sekolah unggulan Islam adalah sekolah untuk diskriminasi. Terlepas dari kelebihannya, sekolah elite muslim tetap masih menyimpan tanda tanya besar bagi kelangsungan generasi masa depan.
C. Sekolah Elite Muslim; Tinjauan Sejarah dan Karakteristiknya Era Sebelum Kemerdekaan: Sekolah Muhammadiyyah telah digagas KH Achmad Dahlan, sebagai sekolah alternatif bernama Muhammadiyyah di awal abad 20. Jejak-jejak visinya masih terekam dalam lembaran sejarah awal pendirian Sekolah Muhammadiyyah. Intinya Muhammadiyyah lahir sebagai bentuk perlawanan atas Sekolah Belanda yang memang didirikan dalam nuansa industrialisme dan kolonialisme. Karena itu yang pertama kali disasar oleh sekolah ini adalah mencetak para kader guru yang memiliki integritas dan akhlak yang tinggi. Kader-kader guru inilah kemudian yang menyebar menjadi guru-guru sejati di berbagai sekolah di daerah di Jawa dan Sumatera. Sekolah Muhamadiyyah di desa Gantong, Belitong itu, dengan izin Allah pula, menjadi semacam artefak sejarah bagaimana sekolah sejati seharusnya ada. Di sekolah ini, pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti bukan sekedar pelengkap kurikulum. Kecerdasan sejati dilihat bukan dilihat dari angka-angka (nilai ujian, nilai tes), tetapi dari hati. Berbeda 180 derajat dengan sekolah Muhammadiyyah, ciri khas sekolah Belanda jelas akademik oriented dan pengkastaan hak pendidikan alias elitis. Hanya yang “berderajat” yang boleh menikmati pendidikan. Di sisi lain sekolah Belanda ini ibarat factory, bagian dari rantai supply industri, karena sekolah pada era ini diperlukan untuk mengisi sdm di pabrik-pabrik dan perkebunan. Dalam kondisi inilah Muhammadiyyah muncul sebagai sekolah alternatif yang mengembalikan sekolah kepada fungsi sejatinya yaitu pendidikan peradaban. Pendidikan yang melahirkan generasi yang bekerja dengan akhlak mulia dan hati yang ikhlash lalu memberi manfaat sebesarnya bagi alam dan manusia serta bernuansa penghambaan pada Allah SWT. Waktu berlalu. Indonesia merdeka. Muhammadiyyah kini dikenal sebagai sekolah biasa berbasis akademis dan sebagiannya menjadi elitis dan mahal. Sekolah
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|181
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
Muhammadiyyah Lasykar Pelangi luput dari penseragaman kurikulum ala kolonial yang dipaksakan “negara” yang baru merdeka ke sekolah-sekolah alternatif atau swasta, hanya karena berada jauh di pedalaman! Sekolah Muhammadiyyah hari ini tiada beda dengan sekolah Belanda tempo dulu. Lalu, era 70an, lahir Sekolah (Pesantren) Al-Azhar. Dirintis oleh HAMKA. Sekolah ini, sebagaimana pesantren lain yang lahir di era itu, bertujuan sebagai pendidikan alternatif untuk membendung ekses pembangunan fisik besar2an yang mengesampingkan karakter dan akhlak yang berbasis nilai-nilai agama. Di sisi lain banyak keluarga Muslim kalangan menengah dan atas yang “lebih percaya” kepada sekolah-sekolah non Muslim.Masapun berlalu, sepeninggal HAMKA, sekolah alternatif al-Azhar pun tidak dapat menghindar dari penyeragaman kurikulum nasional yang berbasis akademis. Upaya-upaya untuk menerapkan kurikulum berbasis karakter terkendala oleh penyeragaman dan jam belajar yang tidak “masuk akal”. Saat ini alAzhar kita kenal sebagai sekolah swasta yang “mahal” dan elitis untuk kalangan menengah dan atas. Tiada beda dengan sekolah Belanda tempo dulu. Gelombang kesadaran kalangan menengah Muslim mendorong lahirnya sekolah alternatif. Jargon yang dikenal waktu itu adalah IMTAQ IPTEK. Adalah Salman ITB, dianggap sebagai pencetus Sekolah Islam Terpadu dengan visi IMTAQ dan IPTEK. Kehadiran BJ Habibie pada era itu sebagai Menristek, semakin menambah kental thema IMTAQ dan IPTEK pada sekolah Islam terpadu ini. “Melahirkan manusia yang berhati Mekkah dan berotak Jerman”, begitu kira-kira.Konsep Sekolah Islam Terpadu ini terus bergulir dan dipopulerkan oleh Nurul Fikri. Nurul Fikri kemudian menjadi model dan percontohan Sekolah Islam Terpadu bagi sekolah sejenis di seluruh Indonesia. SDIT menjadi trend sekolah bagi kalangan muda muslim. Sekolah Islam terpadu ini di awal, diniatkan sebagai sekolah alternatif, yang ingin melahirkan generasi yang memiliki keseimbangan Iman & Taqwa dengan Ilmu & Teknologi. Sekolah-sekolah inilah yang kemudian dikenal sebagai sekolah elite muslim untuk kalangan menengah ke atas. Jargon-jargon
Ulil
Albab,
tentang
sosok
Muslim
Cendikia
semakin
mengokohkan visi Sekolah Islam Terpadu ini. Dirancanglah kurikulum yang memadukan pelajaran akademis dan pelajaran agama. Sebagai sebuah inisiatif awal,
182|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
gagasan ini adalah gagasan cemerlang pada zamannya. Namun sayangnya pada masa berikutnya Sekolah Islam Terpadu ini berhenti berinovasi dan bereksperimen, terjebak kepada pengayaan fasilitas, turn-over guru yang tinggi, beban biaya yang semakin mahal untuk menutup biaya prasarana sekolah. Lagi-lagi, penyeragaman kurikulum negara tidak bisa dibendung oleh Sekolah Alternatif ini. Alih-alih berfokus kepada pendidikan karakter dan akhlak, sekolah ini kemudian menimbun kurikulum akademis dan kurikulum agama dalam waktu belajar yang panjang sehingga lahirlah Full Day School. Kemudian kita saksikan Sekolah Islam Terpadu ini menjadi elitis dan mahal, kecuali yang baru berdiri. Sekolah baru inipun nantinya berjalan seiring waktu dan meningkatnya kebutuhan sarana dan prasarana, ahirnya menjadi sekolah elitis dan mahal. Tiada beda dengan Sekolah Belanda tempo dulu. 1. Fenomena Sekolah Islam Terpadu Sekolah Islam terpadu adalah sekolah yang memadukan antara pelajaran umum berdasarkan kurikulum nasional dengan pelajaran agama. Sekolah Islam Terpadu menjadi sebuah fenomena dalam pendidikan kita. Pertama, secara historis memang bangsa Indonesia tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai religius yang menjadi sumber dan daya kekuatan bangsa. Sesungguhnya yang memperjuangkan bangsa ini di garis depan adalah kaum santri yang siap berjuang dan berperang. Tapi, tidak semua ternyata memegang senjata, ada diplomat ulung seperti K.H. Agus Salim, Guru dari para Founding Fathers kita HOS. Cokroaminoto, dua pendidir Ormas besar yang bertujuan untuk kemerdekaan bangsa, K.H. Hasyim Asy‟ari (pendiri NU) dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), negarawan seperti M. Natsir atau seorang tokoh militer bintang lima seperti Jenderal Soedirman dan begitu banyak lagi. Mereka adalah para tokoh pesantren dan santri yang berjuang berdasarkan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Kedua, pada dasarnya manusia selalu ingin kembali kepada fitrahnya. Allah SWT. telah menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik di antara makhlukmakhluknya yang lain yang mampu berfikir. Kecenderungan manusia mempengaruhi apa pilihannya. Setelah sekian lama manusia Indonesia dicekoki dengan sistem sekuler walau disamarkan membuat jiwa bangsa ini memberontak. Upaya-upaya untuk
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|183
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
mencerabut bangsa ini dari akar budayanya ternyata tidak berhasil. Masyarakat bosan dengan Sistem Pendidikan Nasional dan model pendidikan umum yang terus memisahkan antara pendidikan agama (Islam) dengan pendidikan umum. Itulah fitrah manusia yang ingin memenuhi relung jiwanya dengan cahaya Allah. Ketiga, Sekolah Islam Terpadu menawarkan hal yang lebih dibandingkan dengan pendidikan umum. Selain mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum, Sekolah Islam Terpadu juga memberikan siswanya skill sesuai dengan bakatnya masing-masing. Selain itu, pola pembelajarannya juga sedikit berbeda dan memang mengakomodir hak-hak siswa sebagai penuntut ilmu. Hal ini sebenarnya mencoba menjawab tantangan zaman yang ke depan akan masuk para era globalisasi dan perdagangan bebas. Anak-anak Indonesia harus sudah dibekali cara-cara manajerial, skill dan sebagainya yang menunjang dirinya untuk mampu bersaing. Tentunya membentuk karakter mereka bukan untuk menjadi tenaga kerja tetapi yang membuka lapangan kerja. Ketiga hal itulah yang membuat Sekolah Islam Terpadu sangat diminati oleh sekian banyak masyarakat Indonesia saat ini 5 Ketiga hal di atas bisa menjadi dasar untuk mencoba menerapkan sistem pembelajaran yang dilakukan di sekolah Islam terpadu, sehingga tidak melulu nilai angka yang diprioritaskan. Tapi mulai mengarah kepada nilai akhlak yang dimiliki anak didik nantinya. Fakta di lapangan mengenai cara mendidik di sekolah umum sangat berbeda dengan sekolah Islam terpadu yaitu dalam „mengolah‟ anak didik mereka menjadi sumber daya manusia yang juga pintar secara perilaku. Misalnya saja, tidak kita temukan semacam permainan berhikmah di sekolah umum, berdoa pun tidak bisa dilafalkan dan dibenarkan panjang pendek serta makhorijul hurufnya karena dalam 1 kelas mungkin ada siswa yang beragama lain. Selain itu, yang lebih penting adalah seluruh mata pelajaran mulai dari eksak sampai sosial disampaikan tanpa bisa terpadu dengan agama Islam, hanya sesuai dengan capaian tersampaikannya materi tersebut. Masyarakat mulai sadar dan melihat bahwa pendidikan di sekolah dasar merupakan pondasi dari pendidikan selanjutnya. Pembentukan kecerdasan tidak hanya dinilai dari umum tapi juga agama, khususnya agama Islam. Masa pendidikan dasar adalah masa pendidikan moral. Hal ini yang akan menentukan bagaimana anak 5
Elly Sumantri, Fenomena Madrasah Bubar Dan Islamic Full Day School, 2011, /http://ellysumantri.blogspot.com/2010/06/sekolah-Islam-terpadu-fenomena.html)
184|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
berkembang. Kemerosotan moral yang terjadi pun juga disebabkan salah satunya oleh penanaman nilai agama pada anak usia dini yang diabaikan. 6 Berbagai metode pengajaran di sekolah Islam terpadu yang menarik siswa untuk lebih paham dan kemudian mengikuti apa yang diajarkan ustadz/ustadzah mereka antara lain sebagai berikut : kelas diawali dengan membaca doa akan belajar, syahadat, surat fatihah, murojaah (mengulang hafalan),7 ikrar, tata tertib, dan absensi. Selanjutnya pembelajaran materi al-Islam dengan menggunakan
pendekatan belajar melalui
bermain. Kelebihan yang dimikili oleh sekolah Islam terpadu yaitu prinsip learning by doing. Siswa terlibat langsung dalam pengalaman yang konkrit dengan suatu materi. Aktivitas di mana mereka berpartisipasi dengan sesuatu yang relevan dan penuh arti. Kemudian juga adanya reward and punihsment yang mendidik, jika salah seorang anak didik melakukan kesalahan maka respon yang dilakukan oleh ustadz/ustadzahnya bukanlah memarahi mereka, justru mengajak dialog hingga anak didik tahu benar dimana letak kesalahan yang dia lakukan. Dengan cara ini diharapkan anak didik tidak mengulangi kesalahannya lagi karena mereka telah paham bahwa perbuatannya tidak benar. Pembiasaan lainnya lewat contoh pun juga berlaku sebaliknya, jika salah seorang pengajar melakukan kesalahan yang diketahui anak didiknya, misalnya ketika masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka pengajar lainnya akan menegur dan menanyakan kepada anak didik lainnya bagaimanakah seharusnya perilaku yang benar. Dari kedua contoh tersebut dapat dilihat bahwa sang anak didik benar-benar mendapatkan contoh nyata yang harus mereka lakukan, sehingga mereka lebih mudah menirunya. Dalam sekolah Islam terpadu, guru tetap memegang peranan yang penting dalam proses pendidikan, yaitu dakam penanaman nilai. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Chomaidi bahwa “peranan guru bukan sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus sebagai pelaku dan sumber nilai yang menuntut tanggung jawab dan kemampuan dalam upaya meningkatkan kualitas pembangunan manusia
6
Citra Dewi, Implementasi Sistem Pembelajaran Terpadu di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Ar Risalah Surakarta, 2010, hlm. 34 7 Metode pengulangan hafalan adalah metode klasik yang telah dilakukan sejak masa Rasulullah sampai masa Imam al-Ghazali, bahkan hingga kini metode ini tetap eksis dan tidak akan pernah dihapuskan dalam segala metode pendidikan, lihat Fakhrurruzi Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Press, Medan, 2001, hlm. 89 Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|185
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
seutuhnya, baik yang bersifat lahiriyah maupun yang bersifat batiniah (fisik dan non fisik). Artinya yang dibangun adalah karakter, watak, pribadi manusia yang memiliki kualitas iman, kualitas kerja, kualitas hidup, kualitas pikiran, perasaan, dan kemauan.8. Guru di sekolah Islam terpadu berperan sebagai orang tua siswa saat di sekolah, bahkan pengawasan siswa ketika di rumah pun juga masih dipantau lewat orang tuanya, adakah perubahan positif dari anak didiknya. Begitu menjamurnya Sekolah Islam Terpadu di Indonesia, membuat banyak kalangan masyarakat menengah ke atas, berlomba menyekolahkan anaknya di lembagalembaga terpadu, maka karakteristik Sekolah Islam Terpadu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) Begitu banyak muatannya sekolah ini, maka jam pelajarannya menjadi lebih panjang. Bisa hampir seharian. Sehingga sekolah ini sering dinamakan sebagai „full day school‟. Karena melewati jam makan siang, maka siswa sekolah ini perlu makan siang. Biasanya sekolah menyediakan makan siangnya. Meski ada yang meminta siswanya membawa bekal dari rumah; (b) di sekolah Islam Terpadu ini, para siswa selain belajar pelajaran umum seperti matematika, bahasa Indonesia, IPA, IPS dan lainnya juga belajar agama. Pelajaran yang terkait dengan agama ini di antaranya mengaji, hafalan doa, hafalan hadits, shalat jamaah wajib dan sunnah (seperti Dhuha), sejarah Islam, fiqih dan lainnya. Termasuk juga pembentukan akhlak, tingkah laku dan kebiasaan Islami; (c) Siswa di sekolah tak hanya menghafal tapi langsung dipraktekkan. Misalnya, setelah berwudhu mereka berdoa, dan sesaat sebelum masuk ke masjid akan berdoa; (c) Di sekolah ini tidak ada pemisahan antara agama dan kehidupan sehari. Misal: dulu waktu kecil, kita belajar pengetahuan di sekolah, lalu sorenya saya belajar mengaji di mushalla/Madrasah Diniyah. Keduanya tak terkait. Berbeda dengan sekolah agama terpadu ini; (d) Sekolah Terpadu menilai bahkan mentargetkan siswanya selain menguasai pelajaran umum, juga pelajaran agama. Misal: di sekolah anak saya, setiap
8
Chomaidi, “Peranan Pendidikan dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia”, disampaikan di depan Rapat Senat Terbuka UNY, 15 Oktober 2005.
186|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
siswa yang lulus dari TK atau SD harus sudah menyelesaikan bacaan al Qur‟an, hafal juz Amma, hadits pilihan dan doa-doa pendek.9 2. Kelemahan Sekolah Islam Terpadu Menurut Mochamad Yusuf,10 kelemahan terbesar Sekolah Islam Terpadu adalah; a. Mahal. Sekolah yang menyediakan makan sekolah, maka biaya makan siang ini jadi beban orang tua. Ada beberapa sekolah yang tidak menyediakan makan siangnya, tapi meminta siswanya membawa bekal dari rumah. Kalau sekolah mewajibkan semua siswanya harus makan dari sekolah. Bila sekali makan Rp 10.000,maka sebulan sudah dihitung Rp 200.000,. Ini dengan catatan sekolah cuma 20 hari. (Biasanya Sabtu libur). b. Full day school‟ menyebabkan guru-gurunya harus penuh mengajar di sekolah. Padahal biasanya dengan jam sekolah hanya setengah hari, guruguru masih bisa mengajar di sekolah lain. Istilahnya „nyeper‟. Karena para guru ini tidak bisa „nyeper‟ atau full bekerja di sekolah ini, maka relatif gaji yang diberikan sekolah lebih banyak daripada sekolah yang setengah hari; c. Ini masih kaitannya dengan nomor 2 di atas. Pengalaman kebanyakan anak-anak di Sekolah Islam Terpadu, setiap kelas disediakan 2 guru. Ini terjadi dari kelas 1 sampai kelas 4. Kelas 5 dan 6, baru menggunakan konsep guru pelajaran. Tentunya dengan tambahnya guru di kelas akan mengakibatkan biaya pada sekolah; d. Fasilitas sekolah yang wah. Biasanya untuk sekolah seperti ini fasilitas fisik dan non fisiknya bagus. Bangunan sekolah megah dan bertingkat. Perpustakaan luas, nyaman dan lengkap. Laboratorium komputer lengkap dengan komputer terbaru serta koneksi internet kencang. Bahkan ada wifi spot yang gratis. Kelas ber-AC dan proyektor yang tersedia tiap kelas. Kebersihan kamar mandi dan kelas terjaga, karena sudah ada petugas kebersihan sendiri. e. Kegiatan intra dan ekstra sekolah yang banyak dan gratis. Kegiatan sekolah yang banyak dan dipadukan dengan pelajaran. Jadi tidak ada pemisahan. Juga tidak seragam. Semuanya sudah diatur sedemikian rupa, sehingga sangat menyenangkan. Dalam waktu-waktu tertentu mereka melakukan kegiatan di luar sekolah. Semua ini gratis. Tak minta biaya lagi. Jadi orang tua tak perlu diributkan lagi biaya ini-itu lagi. f. Kalau Anda tidak sempat mengantar jemput sendiri, maka Anda harus mengeluarkan tambahan uang untuk transport. 9
Lihat Muhammad Yusuf, “Obrolan di bawah Rindangnya Cemara” dan http://www.enerlife.web.id/2012/obrolan-di-bawah-rindangnya-cemara-12-kelemahan-sekolah-agamaterpadu 10 Ibid. Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|187
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
Biayanya juga tak sedikit. Tergantung jaraknya, tapi Anda harus bersiap mengeluarkan tambahan uang transport minimal Rp 200.000,-.g. Orang tua juga sering diminta ke sekolah untuk berkomunikasi dan berkonsultasi tentang perkembangan anak. Dulu rasanya orang tua hanya datang ke sekolah saat mengambil rapor saja. Itu cukup 4 bulan sekali. Kalau di sekolah ini lebih sering. Bahkan ada saat anak akan menunjukkan prestasi atau kemampuannya di depan orang tua. Belum saat-saat tertentu ada undangan untuk mengikuti seminar/training tentang menjadi orang tua yang baik (parenthing). D. Marginalitas Kaum Miskin dalam Memasuki Sekolah Elite Muslim Marginalitas yang penulis maksudkan adalah, ada di antara peminat pendidikan (baca: para siswa) yang memiliki otak genius dan mampu bersaing dalam ajang perekrutan siswa agar bisa terdaftar sebagai salah satu siswa di Sekolah-sekolah Elite Muslim. Ketika tiba di masa pembayaran uang masuk, orang tua langsung dihadapkan kepada permasalahan biaya yang lumayan tinggi, bisa antara kisaran Rp. 6 juta hingga di atas 10 juta, bahkan mencapai Rp. 20 juta Biaya semahal ini sangat memberatkan bagi orang tua yang memiliki ekonomi menengah ke bawah. Belum lagi pembayaran uang lain, baik uang buku, SPP, dana POMG, dana sosial, serta kebutuhan dana lain yang cukup menguras pikiran orang tua yang berekonomi lemah. Merebaknya sekolah elite muslim dalam dunia pendidikan dengan biaya yang mahal, pada awalnya belum terjadi kesenjangan yang signifikan, akan tetapi setelah lembaga ini mulai memunculkan kualitas dan output yang dapat bersaing dengan dunia global, para pengelola pendidikan, pihak yayasan di sekolah-sekolah elite muslim mulai memasang target dan membuat planning ke depan dalam menghimpun dana lebih untuk kemajuan pendidikan di sekolah yang didirikan. Tidak dipungkiri, ide-ide cemerlang memang lahir dari pihak yayasan dan pengelola, namun pada akhirnya keputusan menaikkan uang pembangunan dalam menjembatani kebutuhan sara dan prasarana sekolah menjadi sebuah keputusan final. Keputusan inilah yang pada akhirnya memberatkan orang tua yang berekonomi lemah yang juga turut memasukkan anaknya ke lembaga ini. Seiring dengan membengkaknya, biaya-biaya tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi popularitas sekolah, maka solusi yang ditempuh sebaiknya pihak sekolah mengadakan kerjasama yang baik dengan pihak pemerintah dalam hal pemberian
188|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
beasiswa bagi anak-anak genius (anak pintar) yang berasal dari ekonomi miskin, sehingga anak-anak miskin yang genius ini tetap bisa bersekolah di sekolah-sekolah unggul dan dapat menyalurkan bakatnya yang terpendam serta bersaing dan berkompetensi dengan anak-anak yang berasal dari ekonomi menengah ke atas. E. Kebangkitan Sekolah Elite Muslim; Antara Harapan dan Ancaman Kini, dengan mudah kita menjumpai elite-elite muslim yang tanpa malu-malu dan bahkan merasa bangga mengirimkan anaknya ke sekolah Islam atau pondokpondok
pesantren. Prestasi-prestasi akademik sekolah Islam pun banyak yang
membanggakan. Kini dengan begitu mudahnya kita menunjukkan sekolah-sekolah Islam unggulan di kota-kota di Indonesia yang nilai ujian nasionalnya melampaui prestasi sekolah-sekolah non-muslim atau sekolah umum. Kebanggaan” (pride/izzah) dalam diri seorang Muslim merupakan aspek penting dan mendasar untuk meraih prestasi-prestasi besar berikutnya. Jika kaum Muslim tidak bangga, tidak percaya, dan tidak memiliki „izzah terhadap lembaga-lembaga Islamnya sendiri, sulit diharapkan lembaga Islam itu akan berkembang. Ada sebuah ungkapan terkenal dari cendekiawan Muslim Muhammad Asad, yang beberapa kali dikutip dalam CAP: no civilization can prosper or even exist after having lost this pride and the connection with its own past. Tidak ada satu peradaban yang akan berjaya atau bahkan akan eksis jika sudah hilang kebanggaannya terhadap dirinya atau terputus dari sejarahnya.11 Jadi, kebanggan dan kepercayaan kaum Muslim terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah modal dasar yang sangat penting bagi kemajuan pendidikan Islam di masa depan. Jangan sampai kepercayaan (trust) itu disia-siakan. Perlu disadari bahwa prestasi ini tidak dicapai dengan mudah. Sejumlah pengelola lembaga pendidikan Islam bercerita suka-dukanya merintis pendidikan Islam di era 1980 dan 1990-an. Banyak di antara mereka yang datang dari rumah ke rumah untuk meyakinkan para orang tua muslim, bahwa sekolah yang akan mereka dirikan adalah sekolah yang serius dan bermutu tinggi. Tidak jarang mereka menjadikan anak-anak mereka sebagai “singa percobaan”. Dengan cara itu orang lain mau percaya. Uniknya, banyak perintis
11
http://www.uin-malang.ac.id, diakses pada tanggal 15 Desember 2014
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|189
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
lembaga-lembaga pendidikan “elite muslim” ini adalah para professional muslim; baik dari kalangan dokter, insinyur, pengusaha, dan sebagainya. Pengelola pendidikan seyogyanya benar-benar menempatkan guru sebagai posisi terhormat, tidak kalah terhormatnya dengan pejabat. Guru bukanlah sebuah profesi yang dihargai karena bayaran. Guru dalam Islam adalah mujahid. Menyampaikan ilmu adalah jihad fi-sabilillah. Kata Nabi: “Barang siapa yang keluar rumah untuk mencari ilmu maka dia sedang berjihad di jalan Allah.” Karena itu, sungguh rugi jika guru tidak serius dalam mengajar dan hanya mau mengajar karena dibayar. Dibayar atau tidak dibayar, orang yang punya ilmu wajib mengajarkan ilmunya. Tapi, sebagai mujahid, guru berhak mendapatkan “honor” (kehormatan) yang layak. Mujahid harus dimuliakan. Tidak dapat dipungkiri, terkadang masih ada kesalahpahaman. Masih ada guru – termasuk dosen, rektor, dekan, dan sebagainya – merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para pejabat negara. Lembaga Pendidikan Islam harus benarbenar sangat serius untuk meningkatkan kualitas guru, sehingga mereka dapat menjadi “mujahid” di bidang keilmuan dan pendidikan. Keliru, jika masih ada lembaga pendidikan Islam yang lebih mengutamakan membangun gedung ketimbang meningkatkan kualitas guru. Perlu ditegaskan, bahwa kebangkitan sekolah elite muslim di satu sisi sangat pantas dibanggakan. Namun di sisi lain, perlu diwaspadai, ada dua tantangan besar yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam. Pertama, godaan materialisme; godaan penyakit hubbud-dunya, cinta dunia. Kedua, jebakan kurikulum sekuler. Tentang tantangan pertama, Rasulullah saw bersabda: “Hampir tiba suatu zaman dimana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka.” Maka salah seorang sahabat bertanya: “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?” Nabi menjawab: “Bahkan, pada hari itu jumlah kamu banyak sekali, tetapi kamu umpama buih di waktu banjir, dan Allah akan mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit al wahnu.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud).
190|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
Hadits Rasulullah ini menjelaskan kondisi umat yang sangat lemah, tidak berdaya, tiada arti, meskipun jumlahnya sangat besar. Tanpa perlu melakukan riset yang rumit, dengan mudah dapat dilihat, bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat mirip dengan apa yang digambarkan Rasulullah Muhammad tersebut. Di berbagai belahan dunia, umat menghadapi ujian dan cobaan yang berat. Di Palestina, Moro, Xin Jiang, India, Kashmir, Moro, Patani, dan di berbagai belahan dunia, umat Islam menghadapi penindasan dalam berbagai bidang kehidupan. Umat Islam, yang jumlahnya sekarang sekitar 2 milyar jiwa lebih, bernasib seperti buih, kehilangan kepercayaan diri, diombang-ambingkan situasi dan kondisi. Dalam sejarah bisa disaksikan, bagaimana kehancuran kekuatan Muslim di Andalusia, Baghdad, juga Palestina, akibat meruyaknya budaya hubbud-dunya. Imam al-Ghazali, dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, sudah menggariskan sebuah teori: “Rakyat rusak gara-gara rusaknya penguasa; penguasa rusak gara-gara ulama rusak; dan ulama rusak karena terjangkit penyakit gila jabatan dan gila harta (hubbul jaah wal maal).” Peringatan Rasulullah ini dapat kita refleksikan dalam skala kecil pada lembagalembaga Islam. Jika penyakit “gila dunia” sudah merejalela di sekolah-sekolah Islam, maka sekolah Islam itu tinggal menunggu waktu kehancurannya. Mungkin bangunan sekolah itu tampak megah, bayarannya mahal, tetapi ruh pendidikan Islamnya sejatinya sudah hilang. Sekolah Islam itu tidak lagi menjadi tempat ideal untuk menanamkan aqidah dan akhlak yang mulia, sebab yang mereka saksikan, sekolahnya sendiri tidak memberikan teladan. Apalagi, jika para orang tua dan siswa mendapati praktik-praktik korup dan keserakahan di sekolahnya. Di sekolah-sekolah elite muslim, termasuk Sekolah-sekolah Islam Terpadu, pola asah, asih, dan asuh dari teori Ki Hajar Dewantara memang diterapkan, tetapi para guru dan pimpinan sekolah (yayasan) mesti waspada, jangan sampai terjebak pada pembinaan dan pola kepemimpinan yang mengandalkan popularitas barat. Maksud penulis adalah, bahwa di sekolah-sekolah elite muslim yang sekarang bermunculan, termasuk di Provinsi Riau, ada semacam pelestarian nilai-nilai kepemimpinan yang diapadu dengan nyanyian barat sekaligus diiringi dengan joget serta musik yang dapat menginspirasi para siswa, bahwa Islam melegalkan attraksii dan simbol-simbol yang sedikit
banyaknya bisa menjebak pendidikan di sekolah elite
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|191
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
muslim. Ditambah lagi dengan aturan-aturan yang mengacu kepada materialisme (money), di mana setiap tahun anak didik diharuskan membeli buku yang harganya limaratusan ribu rupiah bahkan lebih. Padahal, buku-buku materi pelajaran yang telah lalu mungkin masih bisa dipakai, tetapi seolah-olah setiap tahun berganti, ada semacam pengelabuan kurikulum yang memungkinkan materi/buku lama tidak bisa dipakai. Di tengah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam, godaan materi ini bisa jadi begitu menggiurkan. Sekolah Islam menjadi lahan bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, sejalan dengan meningkatnya kesadaran ber-Islam di kalangan elite-elite muslim. Jika niat mendirikan sekolah Islam bukan lagi karena semangat jihad dalam bidang keilmuan, tetapi dimotivasi untuk mengeruk keuntungan duniawi semata, maka niat yang salah itu akan merusak seluruh aspek pendidikan Islam. Bahkan niat semula adalah untuk memupuk harapan semoga anak-anak muslim di masa depan menjadi genrasi penerus yang mapan dalam akidah dan iman, justru bisa berbalik menjadi sebuah ancaman yang menjerumuskan generasi muslim kepada kecogkakan materi dan cenderung kepada pragmatis, yang menghalalkan segala cara dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Inilah analisis penulis yang perlu diwsdapai, jangan sampai jebakan-jebakan sekularisme beredar di sekeliling kita, namun tidak disadari sedekat apa yang telah merasuk dalam sanubari pendidk dan pengelola pendidikan di masa sekarang. Tantangan kedua yang sangat penting dipahami benar-benar adalah “jebakan kurikulum sekuler”. Saat ini, masih banyak lembaga pendidikan Islam yang belum benar-benar menata kurikulumnya berdasarkan konsep keilmuan Islam. Mereka masih menggunakan kurikulum-kurikulum yang bercampur aduk antara yang benar dan yang salah. Kurikulum sains, misalnya, belum diarahkan untuk mencetak manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi hanya diarahkan semata-mata untuk memberikan kemampuan siswa menjawab soal-soal ujian. Tentu saja itu tidak keliru, tetapi masih sangat belum memadai jika dilihat dalam perspektif keilmuan dalam Islam. Masih banyak siswa sekolah Islam yang belum mengenal ilmuwan-ilmuwan Muslim sejati, yang bukan hanya pakar di bidang sains, tetapi mereka juga ulama-ulama yang sangat hebat, seperti Abu rayhan al-Biruni, Fakhruddin al-Razi, Ibn Khaldun, Imam al-Ghazali, dan sebagainya. Mereka tidak mengenal sejarah sains. Bahwa, peradaban Barat
192|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
mewarisi sains bukan langsung dari khazanah peradaban Yunani. Tetapi, mereka banyak mewarisi sains dari para ilmuwan muslim. Fakta sejarah seperti ini sangat perlu dipahami oleh siswa-siswa sekolah Islam, agar mereka tidak memandang kemajuan Barat secara membabi-buta. Mereka perlu dibekali dengan sikap kritis dan apresiatif terhadap peradaban lain. Tidak menolak dan menerima secara membabi-buta apa pun yang datang dari peradaban lain. Apalagi, dalam kaitan pandangan hidup dan nilai-nilai kebenaran. Juga, agar tidak tertanam rasa ”minder”, rendah diri, dalam berhadapan dengan dunia modern yang menghegemoni seluruh aspek kehidupan manusia dewasa ini. Faktanya, di berbagai sekolah Islam, kini masih diajarkan buku-buku pelajaran yang sekular yang hanya mengandalkan ilmu empiris dan rasional. Bahkan, banyak yang terjebak oleh cara berpikir, bahwa agama adalah bukan ilmu; al-Quran bukan sebagai sumber ilmu, sehingga pelajaran sains, sejarah, sosiologi, filsafat, dan sebagainya, dijauhkan dari sumber-sumber al-Quran. Cara berpikir dikotomis dan sekuler semacam ini adalah keliru dan seyogyanya tidak mendapatkan tempat di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Apapun kondisinya, kita patut mensyukuri segala macam anugerah Allah dalam bidang pendidikan Islam. Kita tidak boleh sombong. Apalagi merasa bahwa keberhasilan saat ini adalah semata-mata hasil kerja keras manusia, dan bukan anugerah Allah. Pada saat yang sama, kita wajib mengevaluasi segala macam kelebihan dan kelemahan yang ada, sehingga lembaga-lembaga pendidikan Islam akan semakin baik kedepan dan mampu menjalankan fungsinya sebagaimana sepatutnya. F. Solusi Islam terhadap Dilema Pendidikan Rakyat Miskin;
Perlu
berkiblat ke Masa Keemasan Islam Melihat kemunculan sekolah-sekolah elite muslim dan sekolah Islam Terpadu di Indonesia, khususnya Pekanbaru di satu sisi adalah sesuatu yang sangat bagus, karena kebangkitan lembaga pendidikan itu memang memberikan dampak dan kontribusi positif bagi kemajuan pendidikan Islam. Namun di aspek lain, keberadaan sekolah elite muslim atau semacam pendidikan Islam Terpadu mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA, justru menjadi dilema pendidikan dewasa ini. Kenapa saya (penulis) mengatakan demikian, karena penyelenggaraan pendidikan Islam pada sekolah elite muslim dalam
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|193
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
kacamata saya bukan lagi murni pendidikan yang sebenarnya, karena sadar atau tanpa sadar, sudah dicekoki oleh berbagai kepentingan yang justru membuat konsumen pendidikan (orang tua siswa) terjepit dalam masalah baru, yakni tingginya biaya pendidikan dan biaya pembangunan, ditambah uang masuk yang melambung. Ini semua menjadi aspek penentu yang menyebabkan ekonomi orang tua yang pas-pasan tidak mampu memasukkan anak-anak mereka ke sekolah ini, padahal dari aspek intelektual boleh jadi anak-anak rakyat miskin justru IQ nya lebih menonjol, akan tetapi karena terbentur masalah dan dan tingginya biaya masuk, menyebabkan ia hanya mampu menyekolahkan anaknya ke Sekolah Negeri, yang mana diketahui bersama anak-anak yang sekolah di Sekolah Negeri pada umumnya sering kurang terperhatikan oleh beberapa aspek dan kondisi, misalnya dengan banyaknya jumlah siswa perlokal, waktu belajar yang singkat sehingga menyebabkan anak kurang memperoleh ilmu, bahkan sering ada laporan yang menyatakan bahwa guru di Sekolah Negeri cenderung hanya mengajar tanpa perduli dengan daya serap anak didik, apakah anak sudah paham atau sebaliknya tidak paham (kebingungan). Inilah dilema yang terjadi. Bahkan secara fakta, siswa di Sekolah-sekolah Negeri berjumlah 35 sampai 40 siswa per kelas, bahkan lebih. Tentu dalam ketentuan Standar Internasional Pendidikan jumlah sebanyak ini tidak memungkinkan anak belajar secara baik. Karena semestinya standar jumlah siswa adalah kisaran 20-25 siswa saja. Dilema inilah yang pada akhirnya dalam prediksi penulis, harus dijembatani. Jangan sampai anak-anak bangsa ini dimarginalkan oleh system dan perekonomian yang masih carut-marut pasca reformasi yang salah kaprah sejak lengsernya Presiden Soeharti pada Mei 1998 silam. Solusi yang penulis tawarkan adalah perlunya kembali kepada bentuk-bentuk dan system penyelenggaraan pendidikan di masa Keemasan Islam, baik masa Bani Umayah maupun masa Bani Abbasiyah. Tercatat dalam sejarah Bani Umayah akan kemajuan intelektual meliputi: filsafat, sains, fiqh, music dan kesenian, bahasa dan sastra. Kemajuan itu dapat dilihat dari bangunan fisik seperti Cordova, Granada, Sevilla, Samalanga dan Sicilia.12 Perkembangan pendidikan juga dapat dilihat dari didirikannya
12
Di Sicilia khususnya terdapat 300 lebih kuttab, ada kuttab yang menampung ribuan siswa. Dalam sejarah tercatat Abul Qasim al-Balkhi memiliki kuttab yang menampung 3000 siswa, sehingga untuk memeriksa siswanya ia harus menunggang keledai. Dari segi pemberian materi pelajaran nyaris sama dengan pelajaran madrasah sekarang ini, yaitu dengan memberikan pelajaran non-agamis di
194|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
masjid dan sekolah-sekolah oleh Abdurrahman ad-Dakhil. Banyak orang kaya yang mewakafkan tanahnya untuk membangun sekolah, sehingga tidak ada sebuah kota atau desa pun yang sepi dari sekolah-sekolah tempat guru mengajarkan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam sejarah Bani Abbasiyah, sejak berdiri, Baghdad merupakan pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya Philip K. Hitti menyebutnya sebagai Kota Intelektual. Menurutnya, di antara kota-kota dunia, Baghdad merupakan professor umat Islam. Al-Mansur memerintahkan penerjemahan buku-buku ilmiah dan kesusasteraan dari bahasa-bahasa asing, sehingga banyak ilmuan berdatangan untuk mendalami ilmu pengetahuan. Di kota ini memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam di seluruh dunia. Suwito menyimpulkan, fakta tersebut menunjukkan bahwa siswa (peserta didik) secara terbuka berasal dari mana saja. Semua orang membutuhkan pendidikan datang, meskipun pada perkembangan selanjutnya pemerintah menganjurkan warga Negara mendapat pendidikan dengan layak. Mereka tidak perlu memikirkan biaya dan gaji guru. Guru dibayar oleh lembaga zakat atau dermawan. Karena pemerintah memerlukan tenaga yang berasal dari lulusan pendidikan maka pemerintah yang akhirnya membiayai pendidikan. Konsep inilah yang semestnya dikembalikan dalam khazanah penegembangan lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, di mana lembaga zakat harus berperan aktif dalam mengatur dan jalannya keuangan zakat, disalurkan kepada dunia pendidikan dengan tujuan tidak ada lagi masyarakat yang merasa termarginalkan (terpinggirkan haknya) karena biaya pendidikan yang sangat mahal, khususnya sekolah-sekolah elite dan sekolah Islam Terpadu. Dana dari baitul mal harus diberdayakan untuk memfasilitasi setiap anak mengikuti jenjang pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, tidak ada kata “berhenti sekolah” atau tidak dapat memasuki sekolah-sekolah elite muslim jika seorang anak mampu bersaing dari segi ilmu dan pengetahuan. Maka, sekolah-sekolah elit muslim semestinya dalam merekrut siswa juga mengadakan seleksi ketat, tanpa membebani biaya yang mahal. Gaji guru dan pembangunan saranaprasarana sekolah menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah serta kerjasama dengan samping ilmu agama dan baca tulis al-Qur‟an, lihat Musthafa Husni as-Siba‟i, min Rawai Hadaratina, terjemah Khazanah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2002, hlm. 187 Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|195
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
pengurus baitul mal yang semestinya terkelola dengan baik serta memiliki jaringan luas di antara sesama pemeluk Islam di Indonesia. Oleh karena itu, Menurut Prof. Muzayyin Arifin,13 dalam menjembatani manusia Indonesia, khususnya yang beragama Islam dalam menempuh jalur pendidikan yang bermutu, berorientasi Iptek dan Imtaq, tentu pendidikan
yang
dijadikan
tumpuan
dan
harapan
manusia
harus
mampu
memproyeksikan keadaan masa depan ke dalam tiga kategori yakni: 1. Masa Depan Sosio. Maksudnya adalah masa depan yang mengandung penomena prinsipal, antara lain penyebaran alternatif struktur rumah tangga yang lamban, sharing child-rearing (pengasuhan anak oleh orang tua), pandangan tentang posisi keibuan, hubungan-hubungan seksualitas dan moralitas sosial baru, serta interprerasi kembali tentang peranan agama dalam masyarakat. Makin banyak kaum wanita menjadi tenaga kerja. Penekanan hidup pada aspek-aspek sosial, penolakan umum terhadap penggunaan senjata penghancur massal. Terjadi perkawinan lintas suku dan agama.14 Apabila aspek masa depan sosio sebagaimana diungkapkan Muzayyin di atas dapat diterapkan dengan baik dengan mengacu kepada perbaikan semua struktur kehidupan, termasuk posisi ibu rumah tangga sebagai bagian penting sekaligus pendidik utama dalam rumah tangga, maka diharapkan dilema pendidikan Islam dapat teratasi dengan baik. Memang di sisi lain peranan wanita dalam aspek tuntutan kerja juga dibutuhkan, karena tidak semua lapangan pekerjaan hanya fokus kepada pekerja laki-laki. Figur pendidik di lembagalembaga pendidikan dan sosial juga mutlak diperlukan demi kelangsungan generasi muda Indonesia yang cerdas dan mapan. 2. Masa depan Tekno. Maksudnya adalah bahwa masyarakat masa depan akan dilanda pengaruh energi fisika tinggi, inovasi dan implikasinya yang cenderung lebih besar terhadap energi sinar laser. Bidang sibernetika, proses kontrol sistem-sistem pemakaiannya.
mekanik, 15
biologi,
dan
teknologi
makin
dimurnikan
Adanya sukses besar dalam manipulasi dan restorasi
lingkungan. Peningkatan penggunaan komputer dan teknik pemrosesan data, 13
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 14-15 Ibid. 15 Ibid. 14
196|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
penyempurnaan komputer rumah tangga; pengenalan super-konduktor pada transmisi kelistrikan dan pengenalan tenaga non kabel. Meningkatnya kesadaran bahwa teknologi tak sanggup mencarikan pengganti bagi sumber-sumber tenaga seperti bahan bakar, mineral, dan udara segar. Prospek perubahan teknologi transportasi umum secara besar-besaran, menderetkan toko-toko berdekatan dengan perumahan, plaza-plaza mobil didesentralisasikan. Perdagangan internasional dan penanaman modal muncul sebagai kekuatan internasional bagi stabilitas dan perdamaian dunia. Perusahaan teknik akan lebih banyak mengalami kerugian daripada untung dalam kurun persenjataan nuklir. Dalam poin kedua ini, penulis menganalisis pentingnya dunia pendidikan benar-benar memperhatikan anak didik, baik dari segi IQ, EQ, SQ, mauoun QQ,16 karena keempat aspek inilah yang memungkinkan generasi muda mendatang dapat bersaing dalam dunia global yang dipenuhi oleh teknologi canggih dan sederetan penemuan-penemuan di abad sybernetic. Maka masyarakat dari golongan miskin juga dapat bersaing dalam dunia global, tentu dengan
penyaringan
dan
ujian
memasuki
diunia
pendidikan
yang
diselenggarakan oleh pemerintah. Tidak ada perbedaan antara anak dari golongan konglomerat, golongan orang kaya, golongan berkedudukan maupun golongan ekonomi kurang mampu, semua dapat bersaing dalam wadah kebersamaan dunia pendidikan yang mesti dikoordinasi sec ara baik oleh pemerintah. Jangan sampai ada lagi tudingan –tudingan bahwa di sekolahsekolah elite muslim hanya diperuntukkan untuk anak orang kaya, konglomerat dan bangsawan, tetapi dengan pengelolaaan manajemen yang baik oleh pemerintah dan masyarakat diharapkan semua lapisan penduduk dapat mengecap dunia pendidikan yang sama, tanpa memikirkan biaya mahal, sebagaimana fakta dunia pendidikan sekarang dengan bermunculannya sekolahsekolah elite muslim, sekolah Islam terpadu, maupun sekolah yang katanya hanya untuk kalangan atas. Inilah hakikat dari pentingnya manajemen sebuah
16
IQ= Intelegensi Quetation; EQ= Emotional Quotation; SQ= Spritual Quotation; QQ= Qalbun
Quotation Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|197
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
lembaga pendidikan seperti yang pernah terjadi di masa keemasan Islam, 17 di mana para pelajar dan mahasiswa saat itu dapat sekolah dan kuliah di sekolahsekolah unggul dan universitas terkemuka yang mendunia tanpa pungutan biaya sedikit pun, bahkan setiap bulan para pelajar memperoleh uang insentif bulanan, uang roti, uang kesehatan, bahkan perobatan gratis yang disediakan khalifah dalam anggaran pendidikan. Inilah solusi yang bagus dalam mengatasi marginalisasi pendidikan terhadap masyarakat yang tergolong ekonomi miskin dan terbelakang. 3. Masa depan Bio Secara prinsipal ditandai dengan makin menghangatnya diskusi tentang pemakaian teknik modifikasi behavioral seperti kimia, elektronik, dan kejiwaan, serta isu-isu manipulasi genetika. Tugas-tugas orangtua (parenhood) dan keibuan semakin selektif berdasarkan prinsip-prinsip genetika. Teknik-teknik pengendalian kelahiran. Makin menurunnya tantangan hidup (life span) disebabkan kekurangan makanan dan polusi lingkungan dan menurunnya tingkat kematian bayi. Ilmu-ilmu hayat, biokimia, dan ilmu-ilmu psikologi, besar kemungkinannya makin subur, sedang fisika dan teknik akan kehilangan status karena timbulnya kesadaran bahwa teknologi merupakan hikmah campuran (mixed blessings).18 Dari ketiga aspek di atas, diketahui bahwa, masa depan kehidupan umat manusia tetap megandalkan lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal sebagai pusatpusat pengembangan dan pengendalian kecenderungan manusia modern menuju ke arah optimisme. Ditambah lagi kecenderungan dilandasi dengan nilai-nilai moral dan agama. Karena itu, pendidikan masih dapat dipandang potensial bagi pengembangan peradaban umat manusia jauh di masa depan dilihat dari berbagai alasan sosiologis, psikologis, kultural, dan teknologis. Pada segi-segi penggambaran masa depan di atas, sesungguhnya idealitas pendidikan Islam dapat menjadi suatu kekuatan moral dan ideal bagi upaya pembudayaan manusia dan mengagamakan manusia kurun ultra modern sesuai petunjuk 17
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Surabaya: Risalah Gusti,
18
Ibid.
2003
198|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
al-Qur‟an: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak, generasi yang lemah yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka.19 Ayat ini menjadi kesimpuan betapa pentingnya menjaga, membina, menjamin, dan mempersiapkan generasi mudah agar tidak terjebak dan salah kaprah kepada aspekaspek yang dapat melemahkan pribadinya, melemahkan ekonominya, melemahkan fisiknya, dan melemahkan agama dan pendidikannya. Semua aspek kelemahan yang dialami manusia tidak terlepas dari kontrol dan pengawasan dunia pendidikan, termasuk para guru, orang tua dan masyarakat agar selalu membekali anak didik mulai dari rumah, sampai ke sekolah serta membatasi pergaulan anak didik dari dunia yang bisa menjerumuskan generasi ke dalam jurang kemaksiatan dan kebejatan moral dunia global. G. Kesimpulan Mencuatnya sekolah-sekolah elite muslim dalam dunia pendidikan Indonesia merupakan sesuatu yang tidak dapat dibendung dan pantas untuk dibanggakan, karena dengan keberadaan sekolah-sekolah elite tersebut, dapat mengangkat nama Islam ke permukaan dunia pendidikan serta bersaing dengan pendidikan non muslim lain. Namun di sisi lain perlu diwaspadai jangan sampai pengelolaan pendidikan di sekolahsekolah elite muslim menjadi salah kaprah. Dunia pendidikan dewasa ini seringkali menjebak para pendidik dan yayasan yang membuka lembaga-lembaga pendidik cenderung komersial ketika ia menganggap sekolah yang didirikan menjadi sebuah lembaga pavorit para konsumen pendidikan. Sejalan dengan itu, aspek materi menjadi sebuah tuntutan yang dikedepankan sehingga memberatkan orang tua siswa dari ekonomi lemah dalam memasukkan anaknya di sekolah-sekolah unggul yang notabene adalah sekolah-sekolah elite Islam yang mulai digandrungi oleh masyarakat muslim. Fenomena dewasa ini menunjukkan ada anggapan masyarakat bahwa sekolahsekolah elite muslim hanya diperuntukkan kepada orang kaya, sementara ekonomi lemah, miskin harta, mesti berpikir dua kali dalam memasukkan anaknya. Agama Islam sebenarnya
tidak
mennginginkan
dualisme
keberpihakan
seperti
ini.
Islam
menginginkan agar pendidikan berlangsung secara alami bagi masyarakat dengan 19
Q.S. An-Nisa: 9
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014
|199
Zuhairansyah Arifin : Dilema Pendidikan Islam Pada Sekolah Elite Muslim…..
memperhatikan tingkat IQ, EQ, SQ, atau QQ para siswa. Anak didik dapat diseleksi secara baik sesuai dengan kemampuannnya. Bukan dengan kemampuan finansialnya, makanya wajar kalau di keemasan Islam setiap anak dapat sekolah dan kuliah tanpa memikirkan bahaya mahal, karena uang sekolah sudah dijamin pemerintah (khalifah) yang diambil dari zakat mal. Ini merupakan solusi penting dari penyelesaian dilema pendidikan dalam sekolah-sekolah elite muslim, yang belakangan ini cenderung dianggap komersial dan memarginalitaskan kaum lemah dan golongan tertindas.
H. Daftar Pustaka AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1995 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos, 1998 Chomaidi, “Peranan Pendidikan dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia”, disampaikan di depan Rapat Senat Terbuka UNY, 15 Oktober 2005 Citra Dewi, Implementasi Sistem Pembelajaran Terpadu di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Ar Risalah Surakarta, 2010 Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 2010 Elly Sumantri, Fenomena Madrasah Bubar Dan Islamic Full Day School, 2011 Fakhrurruzi Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Press, Medan, 2001 http://ellysumantri.blogspot.com/2010/06/sekolah-Islam-terpadu-fenomena.html), diakses pada tanggal 15 Desember 2014 http://www.uin-malang.ac.id, diakses pada tanggal 15 Desember 2014 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Surabaya: Risalah Gusti, 2003 Muhammad Yusuf, “Obrolan di bawah Rindangnya Cemara” dan http://www.enerlife.web.id/2012/obrolan-di-bawah-rindangnya-cemara-12kelemahan-sekolah-agama-terpadu Musthafa Husni as-Siba‟i, min Rawai Hadaratina, terjemah Khazanah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2002 Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003 Sinergi (Jurnal Populer Sumberdaya Manusia), No. 1 Volume I Januari-Maret 1998 Suwito dan Fauzan (Editor), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Victoria Neufeld dan David B Guralnik (Ed.), Webster’s New World Dictionary, Third College Edition, New York: 1986 200|
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 2 Juli – Desember 2014