Dilema Kebebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus Pembakaran Rumah Ibadah di Sampang Madura
The Asian Moslem Action Network Indonesia 2012
KATA PENGANTAR Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi satu, menjadi simbol yang dibanggakan masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan ribuan suku, puluhan agama dan keyakinan, ratusan bahasa, dan banyak jenis keragaman lainnya, perbedaan seharusnya tak pernah jadi masalah. Mempermasalahkan perbedaan di Indonesia sama artinya mempermasalahkan mengapa kita perlu menjadi negara bangsa. Oleh sebab itu, segala hak yang terkait dengan keragaman ekspresi kebutuhan dasar manusia, seperti beragama dan berkeyakinan wajib dilindungi dan dijamin oleh negara. Tapi kenyataan berkata lain. Sepanjang 2011 puluhan kasus kekerasan bermotif SARA terjadi di Indonesia, beberapa bahkan dilakukan oleh negara. Kasus pembakaran tiga rumah pemimpin Syiah dan satu rumah ibadahnya di Desa Karang Gayam dan Desa Blu’uran Kabupaten Sampang., Madura, merupakan satu kasus kekerasan yang mengakhiri tahun 2011. Secara khusus kasus ini sangat “menghawatirkan” karena terjadi di Madura yang dikenal sangat menghormati simbol-simbol kultur dan Islam, seperti pesantren. Paska pembakaran, para penganut Syiah diungsikan, dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya dan mendapat tekanan sosial seperti ancaman pengusiran, pembakaran dan juga pembunuhan. Masyarakat sekitar seolah menutup mata pada perbedaan apapun yang ada di sekitar mereka. Syiah dianggap “sesat” karena jika disederhanakan, karena mereka dianggap berbeda. Yang mengerikan ketika seluruh elemen pemerintahan satu kata untuk menenggelamkan isu ini dan sama sekali tidak mau mengambil resiko untuk melihat masa depan penghormatan atas kebebasan beribadah dan berkeyakinan di masyarakat. Di level nasional, wacana semakin berkembang dan fokus pada isu penistaan agama yang semakin menghadapkan masyarakat Sunni dan Syiah. Kasus ini menjadi semacam “the calling” bagi The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, yang memfokuskan diri pada penguatan masyarakat sipil dalam proses pembangunan perdamaian melalui perempuan. Bagi kami, rangkaian kasus yang mengancam kebebasan beragama di Indonesia harus diselesaikan secara tuntas. Mulai dari soal penegakan hukum, pembangunan opini di media, penguatan perempuan dilevel komunitas, hingga persoalan penguatan organisasi keagamaan yang seharusnya menjadi partner tokohtokoh agama dalam mendakwahkan keyakinannya. Mengingat persoalan ini akan menjadi ruang belajar bagi seluruh masyarakat mengajarkan kedamaian beragama kepada generasi. Secara khusus AMAN memulai dengan melakukan assessment dan pendampingan langkah advokasi dalam kasus ini. Beberapa staf AMAN intensif mendampingi pengungsi mulai dari saat di lokasi pengungsian hingga saat mereka dikembalikan paksa ke desanya. Bahkan kami juga mendampingi proses advokasi dan bersama NGO lain memikirkan langkah bersinergi mengawal kasus ini. Laporan ini merupakan data hasil investigasi lapangan yang dilakukan tim AMAN Indonesia baik kepada komunitas Sunni maupun Syiah dari tanggal 5-20 Januari 2012. Investigasi bukan hanya difokuskan pada penggalian data dan informasi mengenai kasus itu sendiri, tapi juga penjajagan sejauhmana upaya rekonsiliasi dan perdamaian bisa dilakukan masyarakat lokal. Investigasi dan penggalian data lapangan menyangkut kasus konflik Sunni dan Syiah 2
itu meliputi sebab-sebab konflik, waktu terjadinya, tempat kejadian, bentuk tindakan yang dilakukan, aktor pelaku dan korban serta tindakan negara maupun civil society terkait konflik tersebut. Kami berharap laporan ini bisa menjadi gambaran awal tentang betapa mudahnya masyarakat “dipermainkan” dan diprovokasi melakukan tindak kekerasan atas nama perbedaan; betapa perempuan dan anak-anak mudah sekali “dijebak” menjadi korban dalam spektrum yang sangat luas, mulai dari domestik, ideologi, politik, dan bahkan keyakinanya sendiri; dan betapa membangun perdamaian itu bukan urusan sederhana. Perlu fokus dan komitmen semua pihak untuk mengawalnya.
Dwi Rubiyanti Khalifah Country Representative AMAN Indonesia
3
DAFTAR ISI A. Kata Pengantar ................................................................................................. 3 B. Madura dalam Kasus Sampang ....................................................................... 5 C. Konfik Syiah vs Syiah ....................................................................................... 6 a. Kronologi Pembakaran Rumah Ibadah ................................................. 7 b. Intimidasi di Pengungsian ................................................................................. 9 c. Terisolasi di Kampung Sendiri .......................................................................... 16
d. Tiga Tahun dalam Diskriminasi .............................................................. 18 D. Melihat Ulang Posisi Perempuan ..................................................................... 26 a. Konteks Konflik Keluarga..................................................................... 26 b. Konteks Sosio Kultur Sampang ............................................................ 28 c. Konteks Syiah-Sunni ............................................................................ 30 d. Konteks Politik Kekuasaan .................................................................. 30 E. Advokasi Damai ............................................................................................... 31 F. Lampiran .......................................................................................................... 36
4
A.
Madura dalam Kasus Sampang
Para pengungsi menyebut keluarga Tajul Muluk dengan kata ratoh. Ungkapan ratoh diberikan kepada kepemimpinan yang tidak sekuler. Pemimpin yang dimaksud dalam ungkapan itu adalah pemimpin yang juga orang tua dan guru bagi rakyatnya. 1 Sungguh ironi ketika tanggal 29 Desember 2012 siang rumah keluarga ratoh ini dibakar. Dari tiga rumah yang dibakar, satu rumah adalah rumah ibu Tajul, bu Ummah. Satu lagi adalah rumah Tajul yang juga dipakai sebagai pesantren dan madrasah bagi kelompok Syiah. Sejak hari itu, ratusan keluarga Syiah di Karang Gayam kecamatan Omben Sampang mengungsi. Dalam wawancara di TV One tanggal 5 Januari 2012, Said Agil Siradj (Ketua umum PBNU) menyatakan kekagetannya mendengar kasus pembakaran pembakaran tersebut. Dia menyatakan kalau “ini pertama kali di Madura pesantren dibakar”. Hal senada juga disebutkan oleh Anggota Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid dengan mengatakan "Ini pertama kali, terjadi di Indonesia terjadi di Madura yang masyarakatnya demikian fanatik soal agama". 2 Dua fakta yang melingkupi kasus pembakaran ini sudah “menghancurkan” nilai kultural dan ideologis sekaligus. Ketika nilai dipercaya sebagai sebuah pengikat hubungan baik di masyarakat dimana simbol-simbol kultural dan ideologis seharusnya menjadi media pengikat, maka kasus di atas seolah membuka pertanyaan apakah budaya dan agama di Madura telah menjadi alat kekerasan? Hal ini juga ditandai dengan stereotype orang Madura kasar dan suka carok (tradisi mempertahankan harga diri dengan duel sampai mati). Pertanyaan ini ramai dijawab di dunia maya. Hampir sebagian besar orang Madura menolak disebut orang yang suka melakukan kekerasan. Untuk soal carok, ada yang menyebutnya sebagai sebuah aktualisasi pembelaan harga diri. Di jaman Rasulullah dulu disebut muru’ah. Jadi, jangan heran kalau orang lain akan mengalami kesulitan jika bermasalah dengan harga diri orang Madura karena hal tersebut telah dilegitimasi dalam kultur dan agama. 3 Beberapa menyebutkan yang perlu diangkat di depan publik adalah sisi Madura yang yang berkaitan dengan kebaikan dan kearifan lokal, karena sangat jarang media yang mempublikasikannya. Benar saja, ketika berada di Sampang secara khusus kami melihat kekuatan karakter yang dibangun dari budaya dan Islam. Karakter itulah yang mendorong masyarakat melakukan banyak aktivitas kesenian dan keagamaan yang khas. Kemungkinan, tidak ada daerah lain di Indonesia yang menandingi intensitas ritual keislaman di Madura. Hubungan sosial masyarakatnya dibangun dari aktivitas-aktivitas pengajian, tahlilan, muslimatan, samroan, dan sebagainya. Simbol ulama atau Kyai menjadi sangat kuat dan berpengaruh di sana. Pesantren bahkan menjadi basis pendidikan utama dibanding pendidikan formal lainnya. 1
http://madurastudies.wordpress.com/ http://us.nasional.vivanews.com/news/read/276094-pembakaran-pesantren-syiah-jadi-pr-pbnu 3 http://madurastudies.wordpress.com/ 2
5
Banyak anak bercita-cita menjadi Kyai dan banyak perempuan yang merasa beruntung dinikahi oleh Kyai, meskipun bukan sebagai istri tunggal. Pada saat yang sama karakter dan nilai ini menjelma sebagai moralitas. Hal-hal yang utama dan baik adalah bersumber dari keyakinan budaya dan Islam. Orang Madura sangat respek pada orang tua, tokoh budaya, tokoh masyarakat, maupun politisi yang bisa menyajikan dirinya sebagai figur yang memiliki kapasitas keislaman dan bisa beradaptasi dengan karakter Madura. Secara kasat mata kita bisa melihat bangunan hirarki struktur hubungan sosial yang dibangun antara tokoh-tokoh tersebut dengan masyarakat. Sangat tegas pembedaan siapa Kyai, siapa orang biasa, siapa ratoh, siapa preman, dan sebagainya. Akan tetapi, kekuatan karakter ini tidak diimbangi dengan pemenuhan akses ekonomi dan pendidikan yang baik di Madura. Tanah yang tidak terlalu baik untuk pertanian, membuat hampir separuh warga Madura bermigrasi ke Jawa pada tahun 1930 dan dengan program transmigrasi, ekspansi masyarakat Madura hingga ke Kalimantan dan Sumatra. Pendidikan yang ekslusif pada pendidikan Islam juga seringkali membuat masyarakatnya phobia dengan simbol-simbol “globalisasi”. Sehingga, hal ini menjadi bumerang bagi bangunan kultur di Madura. Moralitas yang dibangun oleh kekuatan budaya dan Islam mudah sekali terjebak pada fanatisme dan kekerasan. Sebagaimana yang disebutkan Hidayat Nur Wahid, masyarakat Madura dikenali sangat fanatik kepada Islam dengan mazhab Sunni dimana Sunni di Indonesia terepresentasi sebagai mayoritas dengan simbol organisasi terkuatnya adalah NU. Untuk soal fanatis, hal ini sering disebut-sebut sebagai masalah di Madura. Orang Madura bisa menjadi siapa saja, karena yang menjadi tolok ukur orang Madura adalah agama (Islam). Syarat menjadi orang Madura itu adalah, ia harus Islam. Bukan hanya identik tapi harus mutlak Islam. 4 Bahkan beberapa orang menyebut secara khusus di Sampang 100% NU. Benar saja, tidak ada gereja maupun tempat ibadah agama lain di Sampang. Seolah menjadi pembenar bahwa aksi masa membakar rumah Tajul Muluk adalah karena rumah tersebut telah dijadikan pesantren yang mengajarkan mazhab di luar Sunni, yaitu Syiah. B.
Konflik Sunni vs Syiah
Penyerangan dan pembakaran massa atas tempat peribadatan beserta madrasah Syiah di Desa Karanggayan Kec. Omben dan Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang pada 29 Desember 2011 lalu dipicu oleh banyak faktor. Bukan hanya faktor keluarga sebagaimana selama ini dipahami banyak orang, tapi juga sangat erat terkait dengan konflik faham keagamaan sendiri. Rasa dendam dan permusuhan Rois Hukama, pemimpin Sunni kepada kakanya, Tajul Muluk Pemimipin Syiah karena persoalan perempuan pada dasarnya hanya menjadi pemicu konflik Sunni dan Syiah yang sudah berlangsung bertahun-tahun. 4
http://haideakiri.wordpress.com/2007/11/26/madura-sejarah-sastra-dan-perempuan-seni/
6
Setidaknya sudah sejak tahun 2004, para ulama mulai melakukan syiar kebencian terhadap penganut Syiah di Sampang. Perkembangan Syiah dinilai akan menghancurkan keberadaan faham Ahlus Sunnah Waljamah yang sudah lama berkembang di Sampang. Karena itu, selagi masih kecil, perkembangan Syiah itu harus segera dilumpuhkan. Sejak tahun itu secara kontinyu, ulama Sunni melakukan tuduhan bahwa ajaran yang dibawa Tajul Muluk adalah sesat serta menodai ajaran agama. Akibat perbedaan faham tersebut, bukan hanya harta-benda yang harus jadi korbanya. Rasa kekeluargaan antar masyarakat yang selama ini menjadi penopang perdamaian, hancur hanya gara-gara para kyai yang berbeda paham keagamaan itu menyuruh jemaahnya untuk membuat garis tegas antara muslim vs sesat, ikhwan vs murtad. Sampai kini, masyarakat Syiah belum bisa kembali hidup normal dan beraktivitas seperti biasa karena hampir setiap hari intimidasi dan teror masih terus terjadi. Bahkan akhir-akhir ini, aparat keamanan sudah mulai memaksa warga Syiah untuk menandatangani semacam surat perjanjian kembali menjadi Sunni jika ingin diterima masyarakat. Dalam kasus ini, anak dan perempuan kembali harus jadi korbanya. Akibat konflik yang terjadi pada 29 Desember 2011 lalu itu, sampai kini anak-anak masih tidak bisa sekolah karena ancaman dan teror penyerangan dari massa anti-syiah terus saja terjadi. Perasaaan yang sama juga dialami perempuan Syiah. Mereka masih merasa trauma dan masih merasa takut untuk kembali berkumpul dengan masyarakat karena khawatir dinilai menyebarkan ajaran sesat. a. Kronologi Pembakaran Rumah Ibadah Hak dan kebebasan berkayakinan bagi kaum minoritas di Indonesia kembali terancam. Setelah penganut Ahmadiyah dan Kristen, kini warga Syiah mengalami ancaman yang sama. Kamis 29 Desember 2011 WIB, Pesantren Misbahul Huda yang menjadi pusat keagamaan warga Syiah di dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kec. Omben, Kab. Sampang, Madura dibakar massa hingga rata dengan tanah. Akibat pembakaran massa yang mengaku dari kelompok ahlus sunnah wal jamaah itu, barang-barang seisi rumah itu tidak terselamatkan dan tak tersisa sama sekali. Sementara massa penyerang yang diduga berasal dari lima desa se kecamatan Omben itu sampai sekarang belum ditangkap. Pada saat kejadian, Tajul Muluk, pemimpin pondok pesantren yang dituduh menyebarkan ajaran Syi’ah, sudah lima bulan diungsikan ke Malang. Relokasi ke daerah Dieng, Malang yang dimulai sejak April 2011 itu dilakukan Pemkab Sampang dan Pemprov Jatim atas desakan ulama Madura yang menolak kehadiran dan berkembangnya Syi’ah di Madura yang dinilai menggangu ketentraman warga. Selama Tajul di Malang, yang diserahi kepemimpinan Ponpes Miftahul Huda dengan santri 130 orang, rumah, toko dan Madrasah dipasrahkan kepada Alimullah Muhin (22), santri asal Desa Blu’uran, Kec. Karangpenang, Kab. Sampang, Madura
7
Alimullah atau yang biasa dipanggil Ust. Ali, sejak sekitar pukul 08.00 WIB, sebenarnya sudah mendengar bahwa ponpes akan dibakar. Saat massa dengan lantang menyerukan kalimat takbir, Ali meminta sebanyak 20 santri yang menginap di asrama dipulangkan. Sementara, Ali dan pengajar lainnya mengungsi ke rumah Nurhalimah yang rumahnya terletak sakitar 200 meter sebelah timur ponpes. Pada saat itu, Ali mengaku tidak berani mendatangi apalalgi menghalau massa lantaran takut dibunuh. Mendengar kabar dari Alimullah, Iklil mapun Tajul langsug menghubungi Kapolsek Omben untuk meminta perlindungan, karena ancaman penyerangan sebagaimana diinformasikan sehari sebelumnya memang benar adanya. Rabu 28 Desember 2011, Ust. Iklil Milal, kakak Tajul Muluk mengaku dipanggil oleh Kapolsek Omben, Ajun Komisaris Aris di Kantor Polsek Omben. Pada pertemuan ini Kapolsek memberi tahu Iklil bahwa akan ada penyerangan ke Dusun Nangkrenang oleh kelompok anti-Syi’ah. Keterangan polisi ini antara lain didasarkan atas kenyataan bahwa pada hari itu, jalan setapak menuju Ponpes Misbahul Huda sudah diputus warga dengan cara diberi tumpukan batu dan ditancapi beberapa batang bambu dan besi. Meski sudah berukangkali dihubungi, sampai massa mulai melakukan pembakaran, hanya ada dua personil keamanan yang datang ke lapangan. Satu orang personil dari Polsek Omben dan satu orang tentara dari Koramil Omben. Akhirnya pada pukul 09:15 WIB massa berjumlah lima ratusan orang yang diditangkan dari lima desa itu dengan leluasa membakar Pesantren Tajul Muluk. Dua personel polisi yang datang tidak melakukan tindakan apapun kecuali merekam aksi pembakaran dengan menggunakan kamera handphone. Pesantren itu terdiri atas toko kelontong, gedung taman kanak-kanak, musala, asrama santri, dan rumah Tajul Muluk. Menurut Iklil, sekitar pukul 10.30 WIB, saat hampir separuh Madrasah terbakar, sebenarnya 25 anggota Brimob bersenjata lengkap datang ke lokasi kejadian. Namun, sayangnya mereka juga tidak melakukan tindakan pencegahan apapun, bahkan sebagian asyik dudukduduk di Mushalla dekat Madrasah. Mereka terkesan menunggu semua bangunan itu terbakar semua, setelah itu baru mulai bergerak. Belum usai pembakaran terhadap pesantrean Tajul, satu jam berselang massa yang membawa parang dan celurit juga melakukan pembakaran terhadap rumah Iklil Milal yang terletak di Dusun Gading Laok, Desa Blu’uran, Kec Karangpenang yang kurang lebih berjarak dua kilo meter dari rumah Tajul. Tidak hanya itu, massa juga membakar Rumah Ummuh Hanik, adik kandung Tajul. Meski selama proses pembakaran berlangsung, Polisi nampak dengan sengaja melakukan pembiaran, tapi Iklil mengaku terus berupaya menenangkan jamaahnya yang berkumpul di rumah Tajul agar tidak melakukan tindak perlawanan.
8
Dituduh melakukan pembiaran, pihak Polisi balik mengatakan mengatakan bahwa Dua kompi aparat Kepolisian Resor Sampang tidak bisa masuk ke lokasi karena jalan menuju Nangkernang diblokir massa yang melengkapi diri dengan berbagai senjata tajam. Kepolres Sampang, AKBP Solehan menegaskan bahwa pada saat kejadian, polisi belum tidak bisa masuk ke lokasi. Kedatangan polisi malah disambut acungan senjata tajam oleh massa penyerang. Massa mengancam akan membunuh, jika polisi tetap mencoba menghentikan aksi itu. Menurut pengakuan warga, peristiwa pagi itu berjalan begitu cepat sehingga mereka tidak sempat mengetahui secara pasti identitas massa penyerang. Namun menurut dugaan mereka, sebagian besar pelaku, terutama yang menggunkan penutup wajah saat pembakaran, adalah tetangga mereka sendiri. Sebab, selama ini merekalah yang getol memusuhi keberadaan warga Syiah di Nangkernang. Sementara itu, Tajul Muluk dengan yakin mengatakan bahwa otak dan pemimpin aksi pembakaran itu adalah adiknya sendiri, yaitu Roisul Hukama yang telah berpindah ke Sunni sejak 2009. Pasalnya, pada saat kejadian, Rois Hukama tidak kelihatan sama sekali di tempat kejadian. Setelah pembakaran berakhir pada pukul 13:00 WIB, khawatir kekerasan susulan akan terjadi, polisi pun mulai mengevakuasi sebagian jamaah. Baru malam Jumat, evakuasi yang menggunakan bus milik Polda Jatim itu selesai dilakukan. Dari total 306 jemaah yang dievakuasi, hampir sebagian besar terdiri perempuan, anak-anak, bayi dan balita. Evakuasi ini tidak dilakukan kepada total jamaah Syiah di dusun Nangkernang yang berjumlah 584 orang atau 135 kepala keluarga. Awalnya, 306 jemaat itu diungsikan ke kantor kecamatan Omben dengan dua fasiltias tenda dan dua kamar mandi darurat. Namun karena kondisi kecamatan Omben dirasa tidak cukup menampung jemaah Syiah dan dinilai terlalu rentan terhadap serangan kelompok Sunni, akhirnya pada pukul 23.30 WIB, Kamis 29 Desember, jamaah Syi’ah dibawa ke Gedung Olah Raga (GOR) Kabupaten Sampang. Menurut pengakuan warga, pengungsian itu tidak dilakukan atas dasar kemauan pribadi, tapi dipaksa oleh petugas kepolisian dengan mendatangi rumah masing-masing warga yang sudah terdata sebagai anggota jamaah Syiah. Warga Syiah ini, diinstruksikan segara meninggalkan rumahnya tanpa diizinkan untuk mengemasi barang-barang. Karena itu, selama di pengungsian tak satupun harta benda yang mereka bawa. Relatif sebagian besar warga yang mengungsi hanya berbekal pakaian yang melekat di badan mereka. b. Intimidasi di Pengungsian
Tidak selesai di situ. Selang sehari, 30 Desemeber 2011, Pemkab, DPRD, seluruh aparat kemanan, MUI, PC NU Sampang dan MUI Jattim langsung melakukan koordinasi terkait solusi konflik di Sampang itu. Pada saat itu, Bupati Sampang, Noer Tjahja menjelaskan bahwa pemicu kekerasan massa adalah masalah keluarga di mana salah satunya terbukti menistakan agama sebagaimana dikatakan MUI Sampang. Kedepan, pemkab berencana akan 9
memilah-milah semuah jemaah Syiah dalam kategori fanatik dan tidak. Untuk yang fanatik, rencananya akan ditransmigrasikan ke luar pulau Madura. Tindakan ini diambil Pemkab dengan alasan bahwa Kepala Desa Blu’uran, Kec. Karangpenang telah menyatakan bahwa bila ada penangkapan terhadap pelaku pembakaran, masyarakat siap perang sampai mati. Kebijakan ini bukan hanya diamini stakeholder loka, bahkan Pemprov Jatim, melalui Wakil Gubernur, Saifullah Yusuf menawarkan seolusi relokasi bagi penganut Syi’ah itu dari pulau Madura dan tidak bermasyarakat dengan warga lain yang berbeda paham keagamaan. Setelah rapat koordinasi itu yang diinisiasi oleh Pemkab itu dilakukan, secara beruntun rapat-rapat sejenis juga dilakukan hampir semua lembaga keagamaan di Sampang. Pada prinsipnya, semua rapat-rapat itu bertujuan untuk menemukan dasar hukum bahwa Tajul Muluk memang menistakan agama. Dalam rapat internal MUI sampang tanggal 1 Januari 2012 atau rapat PC NU yang dilakukan pada tanggal 2 januari misalnya, keduanya memutuskan bahwa ajaran yang dibawa Tajul Muluk dinilai sebagai penodaaan agama dan penistaan agama yang menimbulkan keresahan warga. Karena itu, bagi MUI dan PC NU Sampang, pelaku penyebaran ajaran sesat dan menyestakan itu atau Tajul Muluk harus dihadapkan di pengadilan. Kekerasan yang terjadi pada 29 Desember itu terjadi bukan lantaran Sunni yang bertindak radikal, itulah hanyalah akibat dari keresahan atas penyebaran ajaran Syiah Tajul. Akibatnya, setelah semua pihak pemerintah dan tokoh keagamaan di Sampang satu kata mengatakan bahwa Tajul Muluk melakukan penodaan agama dan sebagai pihak yang bersalah, persepsi masyarakat Sampang pun mengikutinya. Hampir semua orang di Sampang mengatakan bahwa orang-orang Syiah yang mengungsi di GOR adalah penjahat agama, sehingga bantuan untuk pengungsi memang tidak layak untuk diberikan. Malah, bantuanbantuan yang datang dinilai malah akan memanjakan pengungsi yang jelas bersalah. Karena itulah, meski sejak hari pertama, Jumat 30 Desember warga Syiah harus mengungsi di GOR dan mengalami keterbatasan logistik seperti ketiadaan dapur umum, bahan makanan, ketiadaan tenaga medis, buruknya air dan sanitasi, serta ketiadaan pendampingan psikososial untuk anak dan kelompok perempuan, namun bantuan dari luar sengaja dipersulit masuk lokasi untuk disalurkan langsung kepada para pengungsi. Tidak hanya harus diteliti dan diinterogasi terlebih dulu oleh petugas keamanan, setiap bantuan diharuskan memiliki ijin Kepala BPBD. Dari mulai awal hingga warga Syiah di relokasi dari GOR pada tanggal 12 Januari 2012, Jaringan Solidaritas Kemanusiaan (Jauzan) masih merasa kesulitan untuk menyalurkan bantuan. Bahkan mereka terpaksa harus menitipkan bantuan ke toko-toko sekitar GOR dan warga disuruh mengambilnya sendiri. Tujuanya selain untuk mengurangi kecurigaan polisi dan juga agar dinilai bahwa barang-barang itu memang dibeli warga sendiri.
10
Hampir setiap hari, selalu saja warga mendapat teror dari Pemkab setempat untuk segera mungkin meninggalkan GOR dan pulang kerumah masing-masing. Pemda beranggapan bahwa keberadaan pengungsi itu memberatkan, terutama karena harus mengeluarkan 14 juta setiap harinya untuk memberi makan pengungsi. Bagi pemkab, keberadaan pengungsi selain menambah beban anggaran karena harus menyediakan 800 bungkus nasi (300 untuk pengungsi dan 400 untuk Satpol PP dan Polisi), juga dinilai bisa mengundang perhatian pihak luar sementara Pemerintah lokal menginginkan persolan ini dilokalisir. Inilah yag menjadi alasan kenapa pemda selalu mempersulit bantuan luar masuk. Bantuan yang masuk dinilai akan semakin memanjakan pengungsi sehingga mereka tetap menolak untuk dipulangkan ke kampung halamanya. Sebenarnya, Tajul Muluk dan jemaah Syiah sebenarnya tidak berkeinginan untuk tetap bertahan di GOR. Tapi sebelum ada kepastian jaminan keamanan dan pelaku pembakaran ditangkap, mereka dengan tegas menyatakan menolak meinggalkan pengungsian a. Jika tidak demikian, maka bentuk-bentuk aksi yang sama akan terus terjadi di masa mendatang. Selain itu, Tajul Muluk juga mengnginkan situasi ini didengar secra nasional bahwa ini merupakan pelanggaran HAM. Diskriminasi yang mereka terima memang berasal dari paham Syiah mereka yang disesatkan, bukan karena konflik keluarga sebagaimana selama ini dituduhkan. Komnas HAM yang diwakili Kabul Supriadi dan Hesti Armi Wulan sebenarnya juga telah turun dan meninjau langsung langsung kondisi pengungsi, tapi tampaknya tidak ada langkah serius yang diambil guna merespons kekerasan yang dialami penganut aliran Syiah Sampang itu. Hesti Armiwulan selaku Kepala Sub Penyuluhan dan Pendidikan yang mengunjungi GOR pada Rabu, 4 Januari 2011 malah meminta dan mebujuk semua pengungsi untuk bersedia di relokasi. Pasca Komnas HAM meninggalkan Sampang, tekanan terhadap warga Syiah di pengungsian justru makin kuat. Seolah mendapat legitimasi, Polres dan Bakesbangpol Sampang sangat aktif melakukan desakan agar pengungsi meninggalkan GOR. Opsinya kembali ke Kecamatan Omben atau kembali ke Dusun Nangkrenang. Meski begitu, Tajul Muluk dan jamaahnya tetap bersikeras bertahan di GOR sebelum pelaku pembakaran ditangkap. Menurut Tajul, tanpa penangkapan pelaku, tidak mungkin ada jaminan kemanan. Sebab, jika pelaku tetap dibiarkan maka kedepan tindakan kekerasan yang sama juga pasti akan berulang. Dua hari setelah kejeadian, sebenarnya polisi menyatakan telah menangkap seorang tersangka, yaitu Muslika, warga Desa Karanggayam. Namun seketika itu, warga Syiah menegaskan bahwa mereka kenal semua warga sedesa dan kenal siapa saja yang membakar rumahnya. Nama Muslika yang disebut tersangka oleh polisi itu tidak dikenal warga. Ketegasan warga Syiah, ternyata dibalas Pemda dengan teror bahwa bantuan makanan akan dihentikan. Dengan alasan keberatan menanggung pengungsi yang telah lima hari tinggal di 11
GOR, stok makanan yang disediakan Pemkab lewat Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kabupaten Sampang rencana akan dihentikan. Tapi untungnya ancaman itu tidak terbukti. Meski terlambat, bantuan makanan tetap diberikan kepada para pengungsi. Bedanya, jika dulu penanganan pengungsi Syi’ah dibawah tanggung jawab Pemkab langsung, mulai Kamis, 5 Januari 2012 diambil alih oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sampang. Tidak hanya melalaui teror pengghentian bantuan makanan, Pada Kamis, 5 Januari 2012, pukul 17.30 WIB, seorang pengungsi yang bernama Jemali mengaku baru saja dipaksa ikut ke Kantor Polre. dengan menggunakan mobil patroli. Kapolres Sampang, AKBP Solehan meminta Jemali untuk membujuk jamaah Syi’ah agar mau pulang ke Nangkrenang. AKBP Soehan menjelaskan bahwa GOR yang ditempati pengungsi akan dipergunakan untuk rapat pada tanggal 12 Januari 2012. Belakangan diketahui bahwa gencarnya usaha mengusir jamaah Syi’ah dari GOR Sampang tekait dengan rencana peringatan HUT Pemkab Sampang. Pengungsi harus meninggalkan GOR Sampang maksimal sampai tanggal 12 Januari 2012. GOR akan digunakan sebagai lomba tenis Indoor yang menjadi bagian acara HUT Kabupaten Sampang pada tanggal 13 Januari. Teror yang diterima warga pengungsi tidak berhenti disitu, tanpa alasan yang jelas, Jumat, 6 Januari 2012, empat kamar mandi semi permanen di bagian luar GOR Sampang mulai dibongkar oleh BPBD dan Bakesbangpol Sampang. Bahkan mulai hari itu bantuan stok air bersih untuk kebutuhan MCK sudah dihentikan. Sebelum bantuan Air dari Jauzan pada Sabtu pagi datang, pengungsi terpaksa melakukan MCK dengan air sungai yang ada di dibelakang GOR. Bagi para pengungsi semua itu, dianggap merupakan teror agar pengungsi meninggalkan GOR. Sama seperti Tajul dan warga lainya, IklikMilal sendiri berulang kali menegaskan tidak akan meninggalkan GOR selama polisi tidak memberi jaminan keamanan. Jaminan keamanan yang dimaksud warga, Polisi menangkap pelaku pembakaran dan memprosesnya secara hukum. Selama tuntutan ini tidak dipenuhi, para pengungsi dengan tegas akan tetap bertahan di pengungsian. Meski begitu, pada saat bersamaan, sebenarnya Iklil juga meragukan komitmen polisi untuk memberikan jaminan kemanan. Dengan penjagaan ketat sekitar 300an personel polisi, harta benda warga Syiah yang ditinggal dikampung masih saja tak luput dari penjarahan maling. Penjarahan dilakukan terhadap rumah Pak Ulul, salah satu warga Syiah. Bukan hanya isi toko yang diambil, tetapi juga KTP, STNK, Akta Kelahiran, dan BKPB. Ditempat tepisah, mendengar sikap tegas warga Syiah tersebut, Pemkab balik mengatakan bahwa jika ingin tetap bertahan, maka itu dibiarkan saja sesuai keinginan pengungsi. Tapi bantuan tidak akan diberikan lagi. Untuk kondisi pengungsi dan solusinya, Pemkab menyerahkan semua ke hukum alam. Menurut Pemkab, Warga Karanggayam sendiri sebenarnya mau menerima pengungsi syiah, asal empat orang pemimpin Syiah yang berada 12
di pengungsian tidak ikut kembali ke Karanggayam. Empat pemimpin Syiah itu adalah Ustad Tajul Muluk, Ustad Iklil Milal, Ustad Syaiful, dan Ustad Ali sekeluarga pulang. Menurut warga Karanggayam, mereka dianggap sebagai sebab dan biang keladi kekerasan. Sebaliknya, dalam menjawab syarat-syarat yang diajukan oleh pengungsi, Polisi sendiri menjelaskan bahwa tuntutan jaminan keamanan itu sulit dipenuhi. Pasalnya, para pelaku merupakan preman yang menjadi penguasa Madura. Jika ditangkap, kelompok paramiliter tradisional ini akan membuat Madura berkobar. Bahkan menurut Polisi penjaga GOR, yang bisa dilakukan adalah pembelakukan hukum transaksional. Pelaku akan ditangkap, tapi pada saat bersamaan Ustadz tajul juga akan dikriminalkan dengan tuduhan melakukan penyesatan agama dan menganggu ketertiban umum. Sampai hari kesembilan , Sabtu 7 Januari 2012, belum juga ditemukan solusi yang tepat untuk menyesaikan konflik Sunni-Syiah ini. Ancaman dan teror yang dilakukan pemerintah tidak juga berhenti. Selama dua hari terakhir, paling tidak Tajul Muluk sudah dua kali diajak mediasi dengan Polres dan Bakesabangpol Sampng terkait relokasi pengungsi. Pertemuan pertama diadakan sekitar pukul 22:30 WIB dan pertemuan kedua diadakan sekitar pukul 15:30 WIB. Pertemuan pertama tidak menghasilkan apa-apa, sementara pertemuan kedua Polres menyatakan dengan tegas memaksa untuk tetap merelokasi, paling lambat Senin, 9 Januari 2012. Jika warga Syiah tetap ngotot bertahan, dengan terpaksa Pemkab akan melakukan evakuasi secara paksa. Usaha Pemerintah untuk membujuk warga Syiah agar mau dipulangkan berlanjut esok harinya, Minggu 8 Januari. Sekitar pukul sembilan pagi, satu rombongan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Bakesbangpol dan Polres secara bersama-sama datang ke GOR untuk meminta Tajul Muluk agar mau dipulangkan. Bahkan aparat sudah mempersiapkan satu truk untuk mengangkut pengungsi. Pilihanya ada dua, jika tidak mau dipulangkan ke Nangkernang, warga Syiah akan diungsikan di Kec. Ombem. Namun karena sampai jam 10:00 WIB negoisasi antara Tajul dan aparat pemerintah buntu, akhirnya evakuasi tidak jadi dilakukan pada hari itu. Situasi berubah drastis pada sore harinya. Tepat habis Maghrib, beredar isu akan ada penyerangan sekitar tiga ribuan massa ke GOR. Massa yang berumpul di Omben itu berupya mendesak Polres Sampang agar menangguhkan penahanan salah seorang tersangka pembakaran yang bernama Asifin. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, setelah membakar Polres, massa berencana akan meneruskan aksinya ke GOR tempat warga Syiah mengungsi. Menghadapi teror itu, habis Maghrib, semua pengungsi secara berulang-ulang membaca sholawat, "Allahumma solli allla muhammad, wa ala ali muhmmad." Meski demikian, tidak ada sedikitpun ketakutan yang terlihat dari wajah jamaah Syiah. Mereka selalu berucap, "kenapa harus takut mati, ini kan ajaran Husein dan ajaran Islam untuk memperjuangkan aqidah." 13
Sampai pukul 20:00 WIB massa tidak juga datang. Dua jam kemudian tersiar kabar bahwa polisi telah melepaskan pelaku dengan alasan salah tangkap. Dengan perasaan kecewa melihat aparat keamanan yang mudah ditundukkan itu, Tajul pun mengatakan,"kedepan situasinya pasti akan lebih buruk kalau seperti ini, ini bukti kalau polisi dengan mudah ditundukkan oleh massa. Tapi, bagaimanapaun pelaku harus di tangkap, kita butuh kepastian hukum.” Berbeda dengan Tajul, Iklil malah mengatakan, jika polisi sudah tidak mampu untuk menangkap pelaku dan menjamiin rasa aman pada wargnya, barangkali solusi yang tepat adalah dengan mendatangkan TNI untuk menyelesaikan kasus ini. Menurutnya, kestabilan di Sampang hanya mungkin terjadi jika Sampang menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) seperti di Aceh. Karena situasi semakin tidak menentu di mana pihak Sunni dan Syiah sama-sama ngotot dengan pendirinya, akhirnya pada Selasa, 10 Januari 2012, dimulailah kesepakatan baru. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Kuasa Hukum Syiah, Hadun Hadar, Rudi Setiadi dari Bakesbangpol Sampang dan Solehan-Kapolres disepakati bahwa akibat tindakan hukum belum bisa dilakukan, maka yang diprioritaskan adalah perhitungan kemanusiaan. Poin-poin penting kesepatakan itu antara lain; Pertama, semua stakeholder yang ada di sampang harus ikut menandatangani surat kesepatan damai dari mulai kelurahan hingga bupati sebagai sebagai para-pihak dasn berjanji tidak akan menguluarkan statement yang bersikap provokatif dan bernada permusuhan. Sementara LSM dan Advokat sebagai saksi. Kedua, jemaah Syiah akan dikembalikan ke rumah masing-masing. Semua properti perumahan dan harta yang dibakar maupun dijarah akan diganti oleh Pemkab. Ketiga, Tajul dan kakaknya, Iklil, sementara waktu akan tinggal di Hotel Pemkab. Opsi terakhir terpaksa diambil karena syarat utama masyarakat untuk dapat menerima waga syiah kembali ke kampungnya adalah dengan tanpa mengikutsertakan, Ust. Tajul, Ust. Iklil, Ust. Syaiful dan Ust. Ali. Mendengar pernyataan tersebut Tajul hanya tersenyum. Kemudian dia pun mengatakan “begitulah masyarakat Madura itu, pokoknya Tidak! Malah mereka juga sering bilang, karena terlanjut malu karena telah menghujat faham Syiah yang belum terbukti kesesatanya, mati kafir pun tidak apa-apa.” Sebenarnya, sikap warga terhadap Tajul Muluk sendiri terkesan mendua. Di satu sisi mereka mengatakan bahwa Tajul Muluk itu sebenarnya baik kepada masyarakat, tapi untuk masalah keagamaan mereka tidak bisa menerimanya. Pernyataan masyarakat Nangkernang itu lebih tegas dikatakan oleh Muhammad Nur, bekas wakil ponpes Tajul yang kembali ke Sunni . Dia mengatakan bahwa, sebenarnya Tajul dan santrinya diperbolehkan untuk kembali ke Nangkernang, hanya saja mereka harus menjadi Sunni dulu. Bairpun begitu, sehari berselang kesepakatan itu nampak tidak berarti apa-apa, setelah keluarnya keputusan dari Tim Bakorpakem Sampang yang menyatakan Syiah sesat pada hari berikutnya, Rabu 11 Januari 2012. Bagi warga Syiah kesepakatan itu jelas melanggar nota 14
kesepatan yang dibuat sehari sebelumnya di mana setiap para-pihak dilarang mengeluarkan pernyataan bermusuhan. Tim Bakorpakem yang terdiri dari Polres Sampang, Dandim 0828, Bakesbangpol, Kemenag, Disbudparpora dan MUI yang bertindak sebagai penasehat memutuskan ajaran Syiah Tajul Muluk sesat. Dasar penyesatan yang dituduhkan kepada Syiah itu antara lain adalah; Rukun iman ada lima, Rukun Islam ada delapan, shalat hanya tiga kali.Akibat statement yang dikeluarkan oleh Bakorpakem itu, situasi pun kembali labil. Tajul Muluk sendiri menyatakan bahwa statement itu sama artinya dengan pengesahan terhadap tindak kekerasan terhadap pengikutnya di masa-masa berikutnya. Kesepakatan yang dibuat antar-lembaga yang tergabung dalam Tim Bakorpakem itu tentu tidak dengan mudah diklaridikasi kembali. Karena itu, Tajul memprediksikan situasi staganan ini akan bertahan lama. Malahan, Tajul berkeingingnan untuk mengklarifikasi dan membalas tuduhan dari Bakorpakem tersebut. Tapi, setelah dinasehati oleh Kuasa Hukumnya, bahwa klarifikasinya malah akan memperkeruh konflik dan membuat suasana semakin kacau, akhirnya Tajul Muluk pun melunak dan mengurungkan niatnya. Sebaliknya, warga yang sudah bersiap-siap meninggalkan lokasi, terpaksa harus mengeluarkan barang-barang yang sudah mereka kemasi sebelumnya. Tapi saking gemasnya melihat situasi yang semakin tidak menentu, dengan perasaan kecewa mereka malah berkeinginan untuk kembali ke kampungnya tanpa perlu difasilitas ataupun dimediasi pemerintah. Kalaupun ada penyerangan dari massa Sunni saat mereka tiba dikampung halaman, mereka siap melakukan perlawanan untuk itu. Bahkan jika harus mati. Berbeda dengan sikap pengungsi dan Tajul, Hudun dengan yakin mengatakan, meski bukan resolusi konflik secara total, resolusi dan pemulangan jamaah akan bisa tercapai dalam waktu dekat. “Tinggal menunggu klarifikasi dari Polres dan kita lihat besok pagi seperti apa,” jelasnya. Berdasarkan alasan inilah, dia meminta tiga NGO, AMAN Indonesia, KontraS dan Mer-C yang masih mendampingi pengungsi diminta untuk tidak pulang dulu. Diharapkan jika kesepatan telah tercapai, tiga NGO ini mampu berperan untuk melakukan monitoring dan pengawasan atas perjanjian damai yang difalitasi oleh Bakesbangpol tersebut. Pada hari itu, memang hampir semua relawan lokal mulai tidak terlihat; tenda darurat PMI sudah dibongkar, Tagana tidak lagi membagikan makanan, terakhir adalah KAS (Komite Anak Sampang) juga pamit. Alasan KAS untuk meninggalkan lokasi karena bantuan pendidikan kepada anak-anak pengungsi yang selama ini mereka berikan dilarang oleh Pemkab setempat. Terakhir, personel Polisi dan Satpol PP yang biasa berjaga di GOR juga sudah tidak terlihat lagi. Hanya mobil kosong dengan plat Polres Sampang yang nampak diparkir di depan GOR. Sampai Kamis 12 Januari, ternyata klarifikasi atas pernyataan Bakorpakem itu juga tidak dilakukan. Tapi Polres bersedia melakukan kesepakatan ulang pada pagi itu juga. Kesepatan 15
yang rencananya diagendakan pukul 10:00 WIB itu terpaksa ditunda dua jam karena waktu itu masih ada demonstrasi penolakan relokasi Pasar yang tempatnya bersebelahan dengan GOR. Sampai pukul 12:00 WIB menjelang, polisi tidak juga menghubungi. Tepat 15 menit sebelum rencana keberangkatan ke Polres dilakukan, tanpa pemberitahun sebelumnya, tibatiba Tim Bupati datang ke pungungsian. Dengan memakai logat Madura, Abd. Halim dari Depag Sampang seketika menginstruksikan pengungsi untuk meninggalkan Lokasi GOR saat itu juga. Dia menjelaskan kepada masyarakat bahwa situasi di Nangkernang sudah aman. Pemulangan harus dilakukan, karena dalam waktu dekat GOR Sampang akan digunakan untuk kegiatan perlombaan tennis menyambut hari jadi ke-388 Kabupaten Sampang. Selain itu, kata Halim, masyarakat Sunni di Nangkerang sudah mau menerima keberadaan warga Syiah, kecuali keempat pemimpinya. Pengungsi Syiah yang merasa dikhiniati sempat beberapa saat mengajak Pemkab untuk berunding. Tapi bukan perundingan yang terjadi, malah perkelahian antara Abd Halim dan Kuasa Hukum warga Syiah, Hadun Hadar hampir terjadi. Pasalnya, Abd Halim menolak berunding dan malah mengatakan, bagi pihak yang tidak terima dipersilahkan datang ke kantornya. Dia juga mengatakan, “ Saya ini Depag, orang yang paling tau masalah agama di Sampang . Siapapun anda tidak dapat mengahalangi.” Sampai beberapa saat pengungsi sempat bertahan di dalam GOR, tapi usaha mereka tidak berati apa-apa karena rombongan Satpo PP langsung masuk GOR dan menggulung semua alas tidur pengungsi. Melihat kejadian, perempuan dan anak yang sebagian masih tertidur, hanya terdiam dan nampak kebingungan. Merasa dipaksa dan sudah tidak diizinkan lagi tinggal di GOR, akhirnya dengan tegas Tajul Muluk menyeru kepada jemaahnya, “Kalau pemerintah sudah mengusir, kenapa ktia harus bertahan. Sudah tidak ada hukum di Sampang ini. Ini Karbala. Labaika Ya sayyidina Husein.” Dia pun bersiap mati untuk menghadapi ribuan massa yang dikabarkan telah berjaga-jaga untuk menghadang dan membakar Tajul hidup-hidup jika memaksa tetap pulang ke Dusun Nangkernang. Sesampai di luar GOR, meski disana sudah ada mobil satpol PP yang siap mengangkut mereka, namun warga Syiah menolak menggunakan fasilitas pemkab tersebut. Pengungsi memilih menunggu sampai 4 jam lebih hanya untuk menunggu truk sewaan relawan dari Surabaya. Akhirnya pukul 16: WIB tujuh truk pun datang. Tapi tidak berhenti disitu. Tajul Muluk dan ketiga ustada lainya tidak ingin meninggalkan jemaahnya sendirian dan ngotot ingin pulang serta menghadapi Massa Sunni di Nangkernang sampai mati. Setelah, hampir satu jam lebih dibujuk oleh relawan bahwa kepulanganya akan menimbulkan konflikk yang lebih luas, akhirnya dia mau mengurungkan niatnya terlebih dulu. Haru tangis dan rasa kesedihan meluap diantara jemaah saat melepas Tajul Muluk. 16
Akhirnya sekitar pukul 17:30 WIB, Ust. Tajul mengikuti saran Polres untuk ikut mereka dulu, sedangkan jemaah pulang ke kampungnya masing-masing. Sementara jemaah Syiah lainya pulang ke Nengkernang dengan dikawal tiga mobil polisi. Sesampai dilokasi, ternyata janji Abd Halim bahwa masyarakat Nangkernang menerima pengungsi tidak terbukti. Dengan diguyur hujan lebat pada saat perjalanan, sesampai di kampung halamanya dengan kondisi listrik padam, pengungsi Syiah mendapat cemoohan dan sorakan dari masyarakat sunni bak tahanan pulang dari penjara. Pasca kejadian itu, Keluarga Tajul Muluk dan Iklil sempat diungsikan ke Hotel Tronojo. Karena merasa tidak leluasa dibawah penjagaan polres dan merasa menjadi tahanan rumah, akhirnya pada Jumat, 13 Januari kedua keluarga tersebut meninggalkan Madura dan untuk sementara waktu memilih tinggal di Malang. c. Terisolasi di Kampung Sendiri Setelah evakuasi pada Kamis, 12 Januari itu, warga Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluran, Kecamatan Karangpenang tetap mendapat ancaman kekerasan dan teror. Hubungan antar warga Syiah dan Sunni tetap tidak harmonis dan seolah tidak saling mengenal satu dengan lainya. Ini tidak hanya terjadi antar warga jauh, bahkan sesama tetangga belakang rumah. Orang sunni di Nagkernang, menyebut penganut syiah memiliki agama yang berbeda, bukan faham kegamaan yang berbeda. Dan agama yang dibawa Tajul Muluk, menurut para kyai sebagaimana dituturkan warga, bisa mengancam keberadaan paham ahlu sunnah waljamaah di kampung itu. Pasca kejadian itu, pernah dilakukan upaya mediasi dengan difasilitas Komnas Ham pada Senin, 16 Januari 2012 di Ubaya, Surabaya. Alih-alih mampu menghasilkan draft kesepakatan damai yang menguntungkan dua pihak sebagaimana yang sempat tertunda pada minggu sebelumnya, pertemuan tertutup yang dihadiri para kyai dari pihak Rois, IJABI dan ABI dari pihak Tajul ini malah menjadi ajang pembantaian bagi Tajul Muluk dan ajaranya. Secara bergiliran para Kyai itu mengatakan bahwa Tajul Muluk jelas-jelas melakukan penistaan agama sebagaimana diatur dalam UU NO. 1/PNPS/65. Tajul juga dinilai telah melanggar Al-Quran dan Hadits yang dipercayai umat Islam di Indonesia. Tidak hanya ada level atas, di masyarakat sendiri rasa permusuhan antara warga Sunni dan Syiah itu semakin menguat. Berbagai selebaran gelap tentang penyesatan setiap hari diedarkan kepada masyarakat. Dan rasa permusuhan ini menemukan momentumnya pada Selasa, 17 Januari 2012. Sekelompok massa dengan menggunakan senjata tajam berupaya mendekati pemukiman kelompok Islam Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Blu’uran, Kecamatan Karangpenang. Alasanya, Syaful Ulum, salah satu ustadz pesantren Tajul Muluk yang dilarang kembali ke Kampung, demi alasan keluarga nekat datang ke dusun Nangkernang. Kehadiran Syaiful ini di Nagkernang pada Selasa petang
17
jelas memicu amarah warga Sunni. Mereka ngotot untuk menemukan Saiful dan membakarnya hidup-hidup. Sebaliknya, meski sudah santer terdengar bahwa warga Sunni sudah siap melakukan penyerangan, Syaiful tetap bersikeras bertahan di Nangkernang. Bujuk dan rayuan dari tim pendamping korban, nampak tidak digubrisnya sama sekali. Syaiful tetap ngotot bertahan dan akan menghadapi massa penyerang. “Pergi ataupun bertahan situasinya tetap sama. mereka tetap akan menyerang kami,” tegas Syaiful. Pada waktu itu, Jamaah Syiah di Nangkernang juga nampak tulus dan bertekad bulat mendukung sikap ustadnya itu. Sambil membawa parang dan celurit, hampir semalaman mereka rela begadang untuk berjaga-jaga jika massa tiba-tiba menyerang. Setelah Saiful Ulum meninggalkan Nangkernang pada Rabu pagi, 18 Januari, sore harinya Tim polisi gabungan Polda Jatim, Polres Sampang, dan Polres Pamekasan melakukan penyisiran terhadap senajata tajam milik warga Syiah. Sebanyak 23 senjata tajam berupa celurit, parang, dan tombak ditemukan di semak-semak dekat rumah warga Syiah. Warga Syiah merasa tidak terima dan cemburu karena hanya senjata warga Syiah yang disita, dengan marah mereka mengatakan“ kenapa hanya senjata kami yang dirampas, kenapa punya orang Sunni tidak?” Melihat situasi yang kembali tidak stabil, akhirnya pada Kamis, 19 Januari, Para Kyai, Pemkab dan Aparat Sampang untuk membahas konflik di Nangkernang itu. Tapi semua pihak yang hadir di Pendopo Kabupaten Sampang secara aklamatif mengatakan bahwa, jika masyarakat tetap menuntut adanya pelaku kerusuhan, maka sebagai gantinya Tajul Muluk harus menjalani proses hukum juga dengan dengan tuduhan penodaaan agama. Bakorpakem Sampang bahkan meminta bantuan kyai untuk mengumpulkan saksi-saksi yang bisa memberatkan pidana Tajul, bahkan jika perlu harus diambilkan dari luar Sampang untuk melengkapai berkasnya. Tidak hanya itu, dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa konflik di Nangkernang hanya bisa diselesaikan jika warga Syiah kembali ke Sunni. Karena itu, dalam pertemuan juga dipersiapkan semacam surat penandatangan perpindahan paham keagamaan kepada warga Syiah. Surat ini renacananya akan diberikan pada warga setelah sholat Jumat esok harinya. Memang benar, habis sholat Jumat, empat warga Syiah dengan dikawal Roisul Hukama diantarkan ke Polres untuk menandatangani surat perjanjian untuk kembali Sunni tersebut. Atas desakan aparat dan Rois, jika ingin kembali hidup damai dan kembali rukun dengan masyarakat harus keluar dari Syiah, akhirnya keempat warga itu pun menandatangani surat tersebut. Terlepas dari itu semua, sampai kini, anak-anak Syiah belum kembali ke sekolah. Disatu sisi, mareka takut keluar rumah karena mendapat intimidasi dari kelompok anti Syiah, sementara disisi lain, seragam sekolah mereka ikut terbakar pada insiden 29 Desember 2011 lalu. 18
Selain itu, sekolahan mereka, SD Karanggayam 04 juga berdekatan dengan Ponpes Rois Hukama, adik kandung Tajul yang selama ini paling getol memusuhi Syiah. Tidak hanya anak-anak, intimidasi dan rasa trauma juga dialami para ibu-ibu. Mereka merasa ketakutan dipenjara karena memilki paham keagamaan yang berbeda. Harapan ibuibu untuk berdamai dengan saudara dan tetangganya terpaksa diurungkan karena pengajian yang isinya menyebarkan kebencian pada warga Syiah semakin marak di kampungnya. Setelah berbeda paham keagaman dan terutama pasca relokasi ke GOR, meski saudara, kedua kelompok ibu-ibu berbeda paham ini tidak saling menyapa. Salah seorang ibu dari kelompok Sunni pernah menceritakan, dulu sebelum saudaranya masuk Syiah hubungan mereka Baik-baik saja. Kalau bertemu saling menyapa, dulu mereka aktif juga dalam kegiatan masyarakat ; ikut pengajian seperti muslimatan setiap minggunya, tapi setelah ikut Syiah tidak lagi mengikuti pengajian bahkan tidak mau kumpul kalau ada hajatan keluarga seperti maulidan atau acara tasyakuran keluarga, atau holngehole(ngerayakan selamatan untuk keluarga yang sudah mati cukup lama). Sebaliknya, ibu-ibu dari kelompok Syiah mengatakan bahwa karena masyarakat menganggap Syiah berlainan aqidah, semua akhirnya membenci. Karena menganggap satu sama lain berbeda aqidah, disengaja atau tidak mereka akhirnya saling menyisihkan kelompoknya masing-masing. Diluar itu semua, kedua kelompok perempuan ini sebenarnya masih memilki harapan untuk bisa berdamai dan rukun dengan tetanga yang juga masih bersaudara itu. Tapi keinginan nampaknya harus tertahan karena tidak mungkin dilakukan mereka sendiri. Secara pribadi, kedua kelompok perempuan ini sama-sama merasakan takut untuk memulainya. Perempaun Sunni merasa takut karena orang Islam Sunni yang dari luar daerah sini lebih besar. Sementara perempuan Syiah takut dipenjara, lantaran upaya yang ia lakukan bisa dinilai sebagai penyebaran ajaran Syiah yang dinilai sesat. d. Tiga Tahun dalam Diskriminasi Sebenarnya kejadian 29 Desember itu bukan yang pertama diderita warga Syiah di Madura. Pada 18 Desember 2011, rumah Matsiri, bapak dari Syaiful Ulum juga dibakar massa yang megaku Sunni. Terbakarnya rumah Matsiri itu terjadi beberapa hari setelah tokoh syiah Sampang Ustad Tajul Muluk pulang ke pesantrennya di Dusun Nangkernang, Kecamatan Karang Gayam. Massa membuat palang di pintu rumah Matsirri. Meski tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini, namun seluruh perabot rumah habis terbakar. Anehnya kejadian 18 Desember ini terjadi tepat sehari setelah pertemuan yang diadakan di Pendopo Kabupaten untuk menjaga situasi keamanan di desa Karanggayam dan Blu’uran. Pertemuan yang dilaksanakan sekitar tiga jam dan dihadiri oleh Rois Hukama beserta aparat Desa itu pada prinsipnya menyepakati bahwa tidak melakukan provokasi dan pengerahan massa atas nama Sunni dan Syiah. Pada bulan Oktober 2011, Komnas HAM juga pernah 19
menghadirkan Tajul Muluk dan Rois Hukama agar berdamai dan saling menghormati keyakinan agama masing-masing. Sebelum kejadian 18 Desember 2011, sebenarnya pada tahun 2007 teror yang dilakukan massa anti-syiah inijuga sudah pernah terjadi. Pada 9 April 2007, saat Tajul Muluk melakukan peringatan maulid Nabi sekitar 5.000 orang menghadang dan meminta kepada kepolisian untuk menghentikan kegiatan tersebut. Selain itu, Tajul Muluk juga diminta menandatangani surat pernyataan untuk tidak melakukan penyebaran ajaran Syiah yang dianggap sesat kepada warga Desa Karanggayam dan Sampang pada umumnya. Rasa permusuhan antara Syiah dan Sunni di Sampang itu tidak terjadi sejak awala kedatangan Syiah di Madura. Tapi baru terjadi mulai 2004. Masuknya Syiah di Desa Nagkerang, Kec. Omben, Kab. Sampang sendiri sudah terjadi sejak tahun 1980-an oleh Kh. Ma’mun, ayah dari Tajul Muluk. Putra tertua Kiai Mamun, Ustad Iklil Milal menuturkan sebagai seorang ahlus sunnah wal jamaah (NU) ayahnya merasa belum mantap dengan berbagai ajaran dan kitab kuning yang dipelajarinya. Sampai suatu saat, kata Iklil, Kiai Ma’mun mendapat kiriman koran dari negara Iran yang dikirim sahabatnya. Dari situlah, Kiai ma’mun kagum pada sosok imam besar Syiah Iran, Ayatullah Imam Khumaini. Setelah itu, dikirimlah dua anak Kiai Ma’mun ke , yakni Tajul Muluk, Roisul Hukama' untuk nyantri ke Pesantren Yayasan Pesantren Islam (Yapi) Bangil Pasuruan antara 1987 hingga 1993. Keputusan Kiai Ma’mun untuk memondokkan putranya ke Yapi ditentang sepupunya, KH Ali Karrar, pemimpin Pondok Pesantren Darut Tauhid di Kabupaten Pamekasan yang baru pulang belajar dari Mekkah. Menurutnya Syiah itu bertentangan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Desakan dan protes sepupu itu membuahkan hasil, a akhrinya Rois Hukama keluar dari pesantrean YAPI. Sementara Tajul Muluk tetap bertahan, sampai Tahun 1993. Dari tahun 1993 Tajul Muluk berangkat ke Makkah untuk Pondok di Ponpes Sayyid Muhammad AlMaliki dan bekerja sebagai penjaga toko baju selama enam tahun. Kepergianya ke Arab Saudi inilah yang menjadi waktu paling menentukan pada diri Tajul Maluk untuk memperdalam ajaran Syiah. Sebelum meninggalnya Kyai Ma’mun pada tahun 2004, ia berukang kali berpesan kepada anak-anaknya untuk mencintai ahlul bait. “Kita semua ini mengharap sayafaat dari rasullullah, tapi ketika anak-cucunya disiksa kita semua diam. Bagaimana syafaat itu bisa diperoleh? Cong, cintailah ahlul bait dan berjuanglah untuk mereka,” tiru Iklil atas pesan ayahnya. Pulang ke Sampang, Tajul yang bernama asli Ali Murtadha ini tak lekas membuka pesantren. Dia dagang sembako dan berbagai kebutuhan petani. Mengetahui pernah berguru agama hingga di Saudi, sejumlah warga meminta Tajul untuk mengajari anak mereka agama. Dia pun mulai mendirikan pesantren kecil IJABI tahun 2004 dibantu kakaknya, Iklil Almilal, 20
dan adiknya, Roisul Hukama'. Santri dan pengikut Tajul berkembang pesat. Di sana, ia mengajarkan Islam Syiah yang dianutnya. Seiring berkembangnya Misbahu Hudal, pengaruh Tajul pun meluas. Sampai saat itu, hampir tidak ada tuduhan maupun provokasi permusuhan terhadap pondok itu. Masalah baru muncul sejak beberapa tokoh agama fanatik pada 2006 muncul. KH. Ali Karar, sepupu Kyai Ma’mun, melalui forum pengajian mulai menggugat keabsahan ajaran Syiah di Sampang, Madura. Forum pengajian inilah yang sampai sekarang digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan dan melabelkan kesesatan ajaran Syiah Sampang Madura. 5 Bahkan pada tahun 2006 itu pula, Forum Muyawarah Ulama Sampang-Pamekasan dibawah pimpinan langsung KH. Ali Karar, mulai menyeru kepada masyarakat dan MUI di empat keabupaten Madur untuk menyesatkan ajaran Syiah yang dibawa Tajul Muluk. Tuduhanya, Syiah dinilai meragukan keabsahan Al-Quran, keadilan sahabat dan terlalu mencintai ahl bait. Akibat syiar kebencia inilah, pada tahun 2007 massa sudah mulai menggugat dan memusuhi ajaran Syiah seperti dijelaskan diatas. Disaat bersaman, satu bulan kemudian, sebenarnya Tajul Muluk telah dilantik sebagai Pengurus Daerah IJABI Kabupaten Sampang periode 2007-2010 sebagai Ketua Umum sedangkan adiknya, Roisul Hukama sebagai Dewan Penasehat. Namun, karena adanya konflik keluarga, Rois kemudian pindah kepihak lawan yaitu Sunni dalam konteks inilah, banyak pihak mengganggap bahwa tragedi Kamis, 29 Desember itu merupakan konflik keluarga. Konflik keluarga yang dimaksud adalah persoalan perempuan. Dua adik-kaka itu memang mendirikan dua pesantren berbeda. Namun, kedua pesantren ini cukup dekat karena hanya berjarak tak lebih dari 500 meter dan sama-sama berada di Dusun Nangkernang. Dan pembakaran yang terjadi pada 29 Desember itu, salah satunya dipicu oleh faktor keluarga, perebutan perempuan yang terjadi sejak 2009. Pada 2009, Abadul Latif, seorang santri di pesantren Misbahul meminta Tajul meminang seorang gadis bernama Halimah, yang belum lulus sekolah dasar. Gadis itu ternyata menyantri di pesantren yang diasuh Roisul Hukama. Tanpa bilang-bilang Roisul, Tajul meminangkan Halimah untuk Latif. Setelah pertunangan terjadi, Roisul melabrak Tajul. “Ini sama saja merebut istri saya,” kata Tajul menirukan ucapan Roisul kala itu. Belakangan diketahui, Roisul menyukai Halimah dan hendak memperistrinya. Membereskan persoalan ini, Roisul pun memanggil orang tua Halimah. Tapi Tajul melarang orang tua si gadis untuk menemui Roisul. “Saya tahu Roisul kasar,” ujar Tajul. Sejak itulah Roisul keluar dari Syiah dan kembali ke Sunni. Sejak itu pula Rois gencar menjelek-jelekan Syiah. 5
Kronologi Awal Pengusiran Warga Syiah Sampang, Madura Jawa Timur, KontraS Surabaya
21
Sementara itu, Roisul Hukama sendiri membantah persoalan Syiah di Nangkernang belakangan ini disebabkan masalah pribadi. Ia menuding insiden insiden pembakaran properti Syiah pada pengujung Desember lalu disebabkan sepak terjang Tajul sendiri. “Ia terlalu keras berdakwah sehingga merusak budaya warga Sunni yang mayoritas,” katanya. “Metode dakwah Tajul keliru.” Lebih Jauh, Rois mengatakan, metode dakwah yang dipakai Tajul terlalu keras dan tidak ciocok diterapkan di Madura. Rois juga menjelaskan bahwa kebencian warga terhadap Tajul ini didasari fakta bahwa, Islam-syiah yang dibawa Tajul ini telah merusak hubungan kekeluargaan antar warga Nangkernang. Menurutnya, Syiah yang membuat ketegori antara ikhwan dan orang luar jelas merisaukan warga. Apalagi ditambahi klaim bahwa orang yang diluar syiah itu adalah orang kafir dan murtad. Karena itu, dia merasa tidak bisa tanggung jawab ketika Tajul Muluk pulang akan meletus konflik antar warga. Bahwa yang menolak keberadaan Syiah di Nangkernang atau kepulangan Tajul Muluk bukan dia sendiri tapi warga masyarakat. “Inilah alasan kenapa masyarakat Nangkernang menolak Tajul. Dia telah merusak kekeluargaan kami. Dakwahnya yang terlalu keras dan suka menyesatkan orang lain,. Ini jelas meyinggung warga. Jadi ini masalahnya, jangan ditarik karena masalah perempuan. Memang saya apaan, hanya gara-gara perempuan bisa memusuhi saudara saya sendiri. Itu jelas fitnah,” tegas Rois. Lebih jauh, Rois Hukama mengaku sebenarnya juga sempat menjadi penyebar ajaran Syiah. Namun, lama-lama dia merasa banyak ajaran Syiah yang menyimpang sehingga dirinya kembali menjadi Nahdliyin. “Ajaran menyimpang seperti tidak harus patuh pada orang tua, hanya wajib patuh pada imam-imam Syiah yang mungkin menjadi salah penyebab amuk massa itu. Karena itu, Saya tidak bisa mencegah warga," tegas Rois. Terlepas dari itu, sejak keluarnya Rois dari Syiah dan kembali ke Sunni pada tahun 2009 itulah wacana penyesatan yang dilakukan ulama-ulama mulai gencar dilakukan. Bukan hanya ketua MUI KH. Bukhori Maksum yang secara terang-terangan menyampaikan bahwa ajaran Syiah yang dipimpin oleh KH. Tajul Muluk adalah ajaran sesat. PC NU Sampang pun ikut mengecam dan meminta Tajul kembali ke Ahlus Sunnah. Pada 26 Oktober 2009, oleh Bakorpakem, PC NU, MUI dan Depag, Tajul Muluk pernah diminta keterangannya tentang keberadaan Jamaah Syiah. Pertemuan yang dilakukan tertutup itu meminta KH. Tajul Muluk untuk kembali ke paham NU, namun permintaan tersebut ditolak. Dalam pertemuan tersebut, setidaknya KH. Tajul Muluk menjawab dan mengklarifikasi 32 pertanyaan (termasuk tuduhan) tentang kesesatan ajaran Syiah. Pada pertemuan tersebut Tajul Muluk dipaksa untuk membuat persetujuan menghentikan semua aktivitas ajaran Syiah di Sampang. Kapolsek Omben bahkan memaksa KH. Tajul Muluk untuk menandatangani dokumen tersebut. 22
Wacanan permusuhan itu berpuncak pada 4 April 2011. Ketika Tajul Muluk mengadakan peringatan Maulid Nabi di Sampang. Badan Silaturahmi Ulama Madura (BASRAH) menentang diselenggarakanya acara tersebut. Dengan memobilisasi seikitar lima ribuan massa dari enam desa di sekitar Sampang yakni: Desa Karang Gayam, Desa Soko Banah, Desa Ketapang, Desa Karang Penang, Desa Blu Uran, DesaTlambah akhirnya acara peringatan maulid Nabi itu gagal dilakukan. Pasca persitwa itu, sebelum diamankan ke Polres Sampang hingga 15 hari kemudian, Tajul Muluk sempat mengikuti pertemuan tertutup yang diiniasi oleh ulama setempat, Muspida, Muspika dan aparat keamanan lokal. Beberapa pihak yang turut hadir adalah Kapolda Jatim (Untung S. Razak), Bupati dan Wakil Bupati Sampang, Ketua PCNU (KH. Muhaimin Abudl Bari), Rois Syuriah NU (KH. Safiddudin Abdul Wahid), Ketua MUI Sampang (KH. Bukhori Maksum) dan anggota MUI (KH. Zubaedi Muhammad dan KH. Godzali Muhammad). Tujuan dari pertemuan sebenarnya ingin menemukan solusi penyelesaian atas keberadaan ajaran Syiah di Sampang. Namun mayoritas peserta menyepakati tiga opsi. Pertama, menghentikan semua aktivitas Syiah di wilayah Sampang dan mengajak semua warga yang menjalani Syiah untuk kembali ke paham Sunni. Kedua, jika opsi pertama tidak dilakukan, maka warga Sampang penganut ajaran Syiah harus keluar dari Sampang tanpa mendapatkan ganti rugi aset. Ketiga, jika salahsatu dari 2 opsi tersebut tidak dipenuhi, maka Jamaah Syiah harus mati. Lebih dari itu, pada tanggal 07 April 2011, juga dilakukan pertemuan tertutup yang dihadiri MUI, PC NU, Muspida – Muspika serta aparat keamanan setempat. Pertemuan ini pada prinsipnya meminta Bupati sampang untuk menghentikan Syiah di Sampang dan merelokasi Tajul Muluk keluar dari Sampang. Selang dua hari kemudian pasca pertemuan ini,, 9 April 2011, pukul 10.00 WIB, ratusan warga di Desa Karang Gayam mengepung rumah KH. Tajul Muluk, membawa senjata tajam dan pentungan. Namun pengepungan ini berhasil dicegah oleh aparat polisi dan TNI setempat. Menyikapi konflik Syiah-Sunni di Nangkernag yang terus memanas itu, Bupati Sampang, Nor Tjahja dengan tegas mengatakan bahwa pemerintah telah siap untuk merelokasi seluruh Jamaah Syiah untuk keluar dari Pulau Madura. Pernyataan ini juga didukung oleh pernyataan GubernurProvinsi Jawa Timur, Soekarwo, tanggal 14 April 2011. Tidak berhenti disitu, pada Mei 2011, MUI Sampang mengumpulkan ribuan tanda tangan warga Sampang yang isinya menyepakati pengusiran Jamaah Syiah dan KH Tajul Muluk dari Sampang. Sebelumnya, pada 28 Mei memang telah dilakukan pertemuan ulama seMadura di Ponpes Darul Ulum (pimpinan KH. Safiduddin Abdul Wahid). Pertemuan tersebut selain untuk mengkonsolidasikan ribuan tanda tangan, juga untuk membahas keputusan pengusiran KH. Tajul Muluk. 23
Hadir dalam pertemuan tersebut pejabat Muspida, Polda Jatim, Mabes Polri dan Slamet Effendi Yusuf mewakili MUI Pusat. Pertemuan tersebut akhirnya menyepakati salahsatunya adalah, MUI se-Madura menyatakan aliran Syiah di Karang Gayam adalah sesat dan menyesatkan. MUI juga meminta KH. Tajul Muluk dan pengikutnya direlokasi segera dari Sampang karena ajaranya dianggap meresahkan warga. Pada akhirnya, tanggal 29 Juli 2011, Tajul Muluk dipaksa membuat surat pernyataan untuk bersedia dipindahkan ke Dieng, Kota Malang dengan alasan menjamin rasa aman warga penganut Syiah di Sampang. Pemindahan ini rencananya akan dilakukan selama setahun. Dalam proses perpindahan ini, Pemprov Jatim memberikan bantuan sebesar dua puluh Lima juta, sementara Pemkab Sampang sepuluh juta rupiah. Meski dalam surat kesepatan Tajul dizinkan pulang ke Sampang sementara waktu untuk keperluan keluarga, namun pada tanggal 7 Agustus saat Tajul Muluk yang berencana pulang ke kampungnya untuk bertemu keluarga dicegah dan dihalangi polisi. Tajul Muluk sempat mendekam di Polres Sampang semalam, kemudian dikirim kembali ke Kota Malang. Pasca insiden ini dan sebelum meletusnya peristiwa Desember 2011 itu, sebenarnya teror dan intimidasi itu tidak hanya dialami Tajul Muluk seorang diri, tapi juga jemaahnya. Paling tidak pasca Rois menyatakan keluar dari Sunni pada 2009, santri Iklil dan murid dari Tajul sudah dicibir masyarakat sekitar sebagai penganut paham sesat. Meski awalnya semua warga tidak memusuhi, namun karena provokasi dan intimidasi yang dilakukan kroni Rois melalui pengajian itu begitu massif, semua warga pun akhirnya juga ikut-ikut menyesatkan mereka. Tidak hanya dalam bentuk omongan, bahkan dalam kehiduan sehari-hari mereka kerap diperlakukan secara berbeda. Misalnya ketika diundang acara tahlilan, sering kali orang Sunni tidak mau datang. Kalaupun bersedia datang, mereka pasti tidak akan mau memakan hidangan yang diberikan. “Mereka ini seringkali manut sama kyainya yang mengatakan masakanya orang Syiah haram. Bahkan sumbangan beras dari kami ketika mereka hajatan, lebih senang diberikan pada ayam. Tidak hanya itu mas, malah mereka mengatakan istri lak-laki Syiah ini halal,” ungkap Iklil Milal. Bahkan pra kiai Sunni, menurut keterangan Iklil, menyerukan kepada jamaahnya untuk memalingkan wajah ketika bertemu orang syiah. Tidak hanya dalam lingkungan masyarakat, streotip sesat ini juga dialami siswa yang sekolah di kec. Omben. Masyus, siswa kelas 3 SMP ini mengaku terus menerus merasa dikucilkan oleh teman-teman satu kelasnya. Bahkan, beberapa gurunya juga tidak segansegan mengatakan kepada murid-murid yang lain bahwa Syiah itu sesat. “Saya ini seorang Syiah sendiri Mas dan saya dikucilkan teman-teman dari pergaulan,” ungkap Masyus. Berbeda dengan pengalaman pahit yang dialami Masyus, Dzikrul Zakki, siswa SMKN 2 Sampang ini mengaku memang tidak menerima pengucilan dari teman-teman sekelasnya 24
karena jarak sekolahnya relatif jauh dari desa karanggayam. Tapi intimidasi itu dia terima ketika pulang dari sekolah dan sedang kembali ke Pondok ust. Tajul. Dia mengaku, hampir setiap hari mendapat teror dari masyarakat yang tinggal disekitar jalan yang ia lewati. “Hey kamu Anak Syiah Sesat, berani tidak lawan Aku,” tiru Zakki atas ungkapan yang ia terima setiap hari dari masyarakat. Menurut pengakuan Iklil, sebenarnya dari dulu warga Syiah itu mengalah, termasuk ketika Kyai di daerahnya mengusir Tajul pada 2011 yang lalu. Dan Iklil mengaku, bahwa sebenarnya warga Syiah juga mencoba terbuka dan selalu menolong warga Sunni. Karena itu, Iklil sangat menyayangkan, mengapa tetangganya sendiri yang biasa mereka bantu dengan tega membakar dan memusuhi dia dan santrinya. Terkait dengan kabar bahwa ini merupakan konflik keluarga, dengan tegas Iklil mengatakan bahwa kasus ini hanya momentumnya saja yang ketemu dan konflik yang ada dalam keluarganya sengaja dimanfaatkan. “Kalau memang ini konflik keluarga, tentu yang memusuhi kami paling terbatas pada Kyai dan santrinya, tapi sampeyan lihat sendiri semua orang dari pemda sampai lurah memusuhi kami karena dianggap sesat,” kata Iklil. Iklil mengakui bahwa pembedaan antara konflik keluarga dengan konflik keagamaan di Sampang ini memang sulit dibedakan. Karena semua kyai di sini pada dasarnya adalah saudara. Sehingga kalau semua kyai memusuhinya karena paham keagamaan yang berbeda terus dikatakan sebagai konflik keluarga itu wajar. Karena satu kyai dengan kyai lainya pasti memiliki hubungan darah. Mengamini pernyataan tersebut, meski dengan penekanan yang berbeda, Tajul Muluk mengakui bahwa konflik dalam keluarganya sengaja dimanfaatkan pihak luar untuk menghancurkanya. "Kalau ini memang keluarga, bukankah penangkapan Rois sudah cukup menyelesaikan masalah, tapi toh nyatanya polisi ketakutan menanggapkanya dengan alasan, jika Rois ditangkap akan ada pihak luar yang tidak terima,"tegas Tajul. Meski begitu, Tajul juga nampak merasa enggan untuk menyebut ini adalah konflik SunniSyiah. Dia lebih senang menyebut konflik ini sebagai konflik HAM. Masalahnya, jika konflik paham kegamaan yang dihembuskan,dia khwatir dunia akan berperang hanya karena dirinya. Menyinggung tuduhan Rois bahwa metode dakwah yang digunakan Tajul terlalu keras dan tidak cocok diterapkan di Madura, Iklil pun menimpali dengan mengatakan bahwa tuduhan itu tidak benar. Alasan kenapa ajaran Syiah yag disebarkan Tajul dimusuhi kyai, karena Tajul dan Iklil mengubah tradisi yang dianggapnya memberatkan masyarakat, misalnya tradisi Maulid Nabi yang sudah lama dianggap wajib oleh warga Nangkernang. Menurut Iklil, karena kewajiban itu banyak warga Nangkernang harus menjual tanah dan barang berharga lain demi bisa menggelar acara Maulid Nabi. Setelah Maulid selesai yang tersisa hanyalah tumpukan utang. Iklil dan Tajul mengubah tradisi itu dengan menggelar acara 25
Maulid Nabi bersama di langgar dan tidak perlu digelar di masing-masing rumah warga. Warga cukup membawa hidangan semampunya untuk dimakan bersama. Selain itu, Iklil mengaku bahwa metode pengajaran yang dia praktekkan bersama Tajul juga dianggap bertentangan dengan tradisi Kyai. Tajul dituduh menghapuskan tradisi ta’dzim dan hormat kepada kyai. Selain itu, metode mengajar yang lebih menghargai rasionalitas itu juga dianggap merusak tradisi pesantren yang selama ini lebih mengandalkan hapalan.” Kyai disini itu tidak menginginkan santrinya pintar, tapi lebih mengharapkan santri mereka tetap hormat dan manut kepada kyai,” jelas Iklil. Selain itu Iklil, juga menceritakan bahwa awal timbulnya permusuhan dan tidak ada adanya penghormatan kepada yang berbeda ini merupakan fenomna yang baru. Dia menceritikan, dulu ketika ada pembakaran gereja tahun 1990an, semua kyai disini mengutuknya. Tapi akhir-akhir ini banyak kyai, terutama dari keluarga Karar yang belajar ke Mekkah situasinya jadi beda, masyarkat lebih semakin tidak toleran. “Sekembalinya dari Makkah, Kyai Karar bahkan menyuruh abah saya (kyai Ma’mun) untuk menarik adik saya (Tajul) dari Yappi, karena menurutnya Yappi itu Syiah dan Musuh Sunni,” kenang Iklil atas peristiwa waktu itu. Karena saking kuatnya syiar kebencian yang dilakukan para Kyai terhadap Syiah, Iklal percaya bahwa upaya mediasi ataupun dialog saja tidak akan berhasil meredam konflik Sunni-Syiah di Sampang ini. Sebab, para kyai ini merasa diatas polisi sehingga mereka bisa dengan semaunya memberangus kelompok yang mereka tidak sukai. C.
Melihat Ulang Posisi Perempuan
Kasus pembakaran rumah dan pengusiran kelompok Syiah di Ds. Karang Gayam, Sampang Madura menorehkan banyak catatan yang bisa dituliskan. Salah satunya adalah soal posisi perempuan. Dari 354 jumlah pengungsi di GOR Sampang sepanjang 30 Desember 2011-12 Januari 2012, 120 adalah perempuan produktif, sekitar 20 orang perempuan manula, dan lebih dari 50 anak perempuan. Bisa dikatakan korban terbesar dari konflik ini adalah perempuan. Sama dengan berbagai jenis konflik di Indonesia dengan berbagai motif yang melatarbelakanginya, posisi perempuan dan anak-anak selalu saja menjadi bagian dari “objek” massa yang diperebutkan. Akan tetapi, konflik di Sampang jauh lebih kritis, karena posisi perempuan sebagai korban mengalami tingkat krusialitas yang berlipat di antara berbagai konteks perebutan kepentingan dalam konflik. 1. Konteks Konflik Keluarga Salah satu fakta yang mencuat di balik konflik Sampang ini adalah dilatari konflik keluarga yang diwakili oleh Tajul Muluk (representasi Syiah) dan Roisul Hukami (representasi Sunni). Keduanya adalah kakak beradik dari orang tua Kyai Ma’mun dan Ummah. Ummah 26
sendiri telah melahirkan 8 orang anak dari pernikahannya dengan Kyai Ma’mun. Dari 8 orang ini 4 adalah laki-laki (Iklil, Tajul, Rois, dan Achmad) dan 4 orang perempuan (Hanni, Budur, Kulsum, Fatimah). Konflik ini telah membagi keluarga ini menjadi 2, bersama Tajul (Iklil, Hanni, dan Ibunya) dan bersama Rois (Budur, Fatimah, Kulsum, Achmad). Selama konflik ini ada situasi yang terus menerus melibatkan perempuan sebagai simbol objektifikasi konflik: a. Kemarahan Rois kepada Tajul Banyak media yang memuat penyebab dari konflik ini adalah Halimah, santri Rois yang batal dinikah oleh Rois disebabkan Tajul terlanjur membantu temannya meminang gadis tersebut. Sosok Halimah menjadi figur perempuan dibalik konflik. Tapi yang tidak banyak dicatat adalah Halimah adalah santri Rois yang masih berusia 12 tahun. Baik dari pihak Rois dan Tajul, dua-duanya tidak melihat Halimah sebagai anak-anak dan dia sedang menjalani proses menuntut ilmu. Tak ada satu komentar pun yang meletakkan posisi Halimah sebagai subyek. b. Ibu yang diusir Salah satu yang mengerikan dari kasus ini adalah runtuhnya simbol penghormatan kepada ibu. Pada kasus ini, Bu Ummah diusir oleh Rois karena terlalu sering berkunjung ke rumah Tajul dan Iklil yang dianggap bertentangan denganya. Rumah bu Ummah adalah salah satu rumah yang dibakar pada tanggal 29 Desember tahun lalu. Ia bersama Tajul, Iklil, dan Hanni juga menjadi korban yang mengungsi dan diusir keluar dari ds Nangkerenang. Selama di pengungsian tidak sekalipun anakanaknya dari pihak Rois yang emnelpon apalagi menjenguk. Pada tahap ini, konflik ini sudah melampaui ruang-ruang perasaan dan kemanusiaan yang seringkali menjadi harapan bagi proses rekonsiliasi dan transformasi konflik.
c. Saudara perempuan yang ketakutan Sepanjang hari-hari di pengungsian, bu Ummah dan Hanni sering menceritakan tentang keluarga perempuan mereka, seperti Fatimah yang sebelumnya sangat dekat dengan Hanni sebagai teman curhat, dan istri Rois yang dulu diam-diam menyambangi bu Ummah di rumah Tajul. Baik bu Ummah dan Hanni yakin saudarasaudara perempuan mereka diancam oleh Rois dan pendukung Sunni kalau berani menjenguk ibunya di pengungsian dan mereka ketakutan. d. Posisi Ibu, Istri dan adik Selama di pengungsian bu Ummah, Umi Kulsum istri Tajul, Fitri istri Iklil, dan Hanni menjadi sosok yang tak berbeda dengan pengungsi lain. Awalnya, secara pribadi saya menduga mereka memiliki peran “mengatur” hal-hal yang berkenaan dengan kebutuhan perempuan pengungsi, karena salah satu sebutan untuk bu Ummah 27
adalah “Ratu”, tapi ternyata tidak. 4 perempuan ini sama-sama tak punya suara dalam konteks ini. Bahkan yang mengatur barang-barang kebutuhan perempuan selama pengungsian juga laki-laki. Saya juga pernah menawarkan salah satu dari 4 perempuan ini untuk memimpin pengajian rutin muslimatan sebagaimana kebiasaan mereka di sana, tapi mereka mengaku tidak mampu dan praktis selama 15 hari mengungsi mereka dan perempuan di GOR tidak memiliki aktivitas apapun. 2. Konteks Sosio Kultur Sampang a. Early Marriage Seluruh perempuan di pengungsian menikah tidak lebih dari usia 19 tahun. Rata-rata mereka menikah di usia 13 tahun dan sebagian besar memiliki anak lebih dari 4. Bahkan, Budur salah satu adik Tajul menikah di usia 12 tahun dan saat ini usianya 21 tahun telah memiliki 7 anak. Pada saat yang sama pernikahan dini berbanding lurus dengan angka perceraian yang tinggi, KDRT, dan akses pendidikan yang terhenti. Rata-rata dari mereka tidak mengenyam pendidikan formal sehingga susah berkomunikasi memakai bahasa Indonesia dan tidak bisa baca tulis. Hal ini pulalah yang membuat perempuan sangat tergantung dengan pendidikan yang disediakan oleh pesantren yang notabene dikuasai dengan sistem laki-laki. Mereka mempercayakan seluruh anak-anak mereka dalam hal pendidikan perilaku di pesantren. Sebagai ibu, mereka hanya memiliki peran menyediakan makanan dan kebersihan rumah, lebih dari itu mereka serahkan pada lembaga-lembaga pednidikan terutama pesantren. Mereka bahkan tidak punya power menentukan masa depan anaknya ketika dihadapkan dengan situasi tawaran pendidikan. Di pengungsian sebagian anak-anak di bawa ke Pasuruan untuk di pesantren. Tapi ketika mereka ditanya bagaimana dan apa pesantrennya mereka hanya tahu kalau anaknya masuk pesantren. b. Mitos Perempuan Mitos perempuan yang saya peroleh selama berada di pengungsian adalah perempuan yang baik yang tidak banyak mengeluh. Diam merupakan simbol terbaik sebagai perempuan. Itulah sebabnya tidak banyak suara yang ditimbulkan oleh perempuan. Situasi di pengungsian relative tenang, mereka teradang saling mengobrol tapi tidak bersuara keras. Tapi dibalik itu, banyak peristiwa ketidakadilan dan pengabaian hak perempuan tertutupi. Di hari ke 7 Hanni terkapar lemas, badannya panas dan dia sering ke kamar mandi. Tapi dia bilang tidak apa-apa. Hal yang sama juga dialami puluhan perempuan selama di pengungsian. Muka mereka pucat dan badan mereka lemas. Mereka mengaku hal ini disebabkan mereka terlalu banyak diam dan tidak beraktivitas. Sesekali mereka mengatakan tidak mau makan karena merasa kenyang. 28
Tidak ada yang menyuarakan soal karpet yang menjadi alas mereka tidur berdebu tebal atau makanan yang mereka terima tidak higienis, atau serangga-serangga (nyamuk, lalat, kecoa, dan beberapa serangga malam) yang nyaris menjadi teman sehari-hari mereka. Benar saja, hidup mereka lebih miskin dari ini. Hal ini pulalah yang sering menjadi cemoohan pihak luar yang mengatakan pengungsi ini keenakan dijamin hidupnya di pengungsian karena biasanya lebih miskin dan belum tentu makan 3 kali sehari. Saat mereka bersedia curhat personal, barulah terkuak berbagai fenomena tak terpikirkan. Perempuan bahkan dilarang berteriak ketika melahirkan. Mengeluh kesakitan saat melahirkan dianggap aib yang menunjukkan tingkat kelemahan perempuan. Melahirkan cukup lewat dukun. Sebagian mereka juga melahirkan sendiri dengan tangan mereka. Beberapa sudah tahu caranya menekan perut saat akan melahirkan, barulah saat pemotongan tali pusar mereka meminta bantuan dukun. Pergi ke bidan atau dokter hanya kalau kondisi perempuan sudah lemas atau jika dianggap perlu. Bahkan saat pelepasan beberapa anak di pengungsian untuk di bawa ke pesantren di Pasuruan beberapa mereka seperti tidak punya kekuatan untuk menangis atau mengatakan sesuatu dan mengeskpresikan perpisahan terpakasanya dengan sang anak. c. Produktivitas ekonomi Semua perempuan di pengungsian yang sempat saya ajak ngobrol mengaku badannya pegal dan mudah sakit karena tidak bekerja. Biasanya mereka sudak ke kebun atau ke sawah sejak setelah subuh hingga menjelang maghrib. Mereka akan pulang sebentar untuk istirahat saat siang dan kemudian kembali lagi. Sebagaimana kondisi perempuan di daerah miskin pada umumnya, beban ganda pekerjaan perempuan ditambah penghasilan minim membuat mereka tidak banyak memiliki peluang untuk memperhatikan kesehatan mereka sendiri. d. Prespektif pemberdayaan perempuan Pemda Sampang juga memiliki beberapa program pemberdayaan perempuan seperti pengentasan buta huruf. Mereka mengaku malas mengikutinya karena malu sudah tua dan punya anak, tak ada gunanya lagi. Tapi tidak ada jenis-jenis pendekatan yang meyakinkan perempuan akan pentingnya melek huruf dan bagaimana hal itu menjadi peluang untuk menjaga keluarga dan lingkungannya. e. Akses ruang publik dan kesehatan Ruang publik tentu menjadi ruang yang sangat susah mereka dapatkan. Selama di pengungsian, tidak satu pun perempuan diajak berkumpul membicarakan update situasi dan merencanakan penyiapan tertentu. Mereka hanya mendengar dari suami 29
atau orang-orang yang kemudian bercerita ke meraka. Padahal jenis-jenis pertemuan dan obrolan semacam ini bisa terjadi lebih dari 5 kali dalam sehari. Jadi perempuan selalu menjadi orang terakhir yang tahu informasi dan seringkali informasi yang datang juga tidak lengkap. Seperti saat mereka diancam akan diserang oleh ribuan massa yang akan datang ke GOR, perempuan menjadi disorientasi perannya dan mereka kebingungan mengambil sikap seperti apa. Mereka hanya memarahi anakanaknya untuk tidak ramai atau sekadar mondar-mandir bingung dan tegang. Ruang kesehatan juga menjadi hal yang memprihatinkan. Meskipun di GOR telah disediakan layanan kesehatan, tapi sebagian besar mereka datang ketika sudah dalam sakit lebih dari 3 hari. Ketika pengusiran paksa dari GOR pada tanggal 12 Januari lalu, sebagian mereka masih sakit dan kemungkinan akses kesehatan yang tersedia di lokasi sangat minim. Belum lagi ketakutan adanya diskriminasi pendapatan akses kesehatan di puskesmas. 3. Konteks Syiah-Sunni a. Akses Pengetahuan Dengan posisi perempuan yang hanya sebagai objek dalam kasus ini, hampir dipastikan penetrasi ideologis Sunni-Syiah seperti yang menjadi konsen konflik ini bukanlah konsen perempuan. Mereka umumnya hanya tahu kalau mereka sedang mengikuti ajaran ustad yang mereka anggap baik. Baik dalam perpektif mereka sangat feminine, yaitu memperhatikan pendidikan anak-anak mereka dan sering membantu tetangga. b. Identitas Kecintaan mereka kepada pemimpinnya ini berbeda dengan rasa kecintaan yang biasa diwacanakan oleh orang-orang tentang karakter orang Madura yang patuh kepada Kiai. Mereka bisa memberikan alasan yang menurut saya merupakan alasan yang sedang mereka susun membangun Syiah ala perempuan Karang Gayam. Bagi mereka Syiah yang didakwahkan Tajul telah membukakan akses pendidikan bagi perempuan yang telah berkeluarga. Mereka menjadi memiliki peluang untuk mengetahui sejarah keluarga nabi, kehidupan dan amal ibadahnya. Ini sangat prestisus di saat pengetahuan agama yang mereka alami bersifat taken for granted dan hanya berupa ritual-ritual rutin. Hal ini sekaligus menegaskan betapa perempuan bukan hanya tidak memiliki pengetahuan formal tapi juga informal. 4. Konteks Politik Kekuasaan Dalam kasus ini, semua stakeholders baik formal dan non formal, mulai dari tingkat dusun hingga propinsi bersepakat untuk menganggap Syiah yang dibawa Tajul sesat dan mendukung segala bentuk perlakuan yang mengatasnamakan “pengembalian aqidah 30
pengikutnya”. Ketika perempuan sebagai mayoritas tapi tak berpower seperti yang telah diuraikan di atas, suara mereka akan tidak diperhitungkan. Di kalangan perempuan “kembali damai” menjadi keinginan yang saling mereka bisikkan anatra kelompok Sunni dan Syiah. Tapi apa daya suami mereka, ustad mereka, pemimpin mereka menghendaki model-model penyelesaian yang bersifat perlawanan dan kekerasan. Jika suara ini bisa diadvokasi kemungkinan strategi transformasi konflik di Sampang bisa digerakkan oleh perempuan. D.
Advokasi Damai
Wacana penyesatan pun bergerak cepat, mulai dari “Syiah Sesat”, “Syiah Tajul Sesat”, “Ajaran Tajul sesat”, hingga yang terakhir merujuk pada ucapan Menteri Agama Surya Dharma Ali pada tanggal 29 Januari 2012 yang mengatakan “Syiah bukan Islam”. Konstalasi kepentingan yang membelakangi kasus ini pun semakin kompleks. Di wilayah lain di Indonesia seperti di Garut Jawa Barat, warga Syiah sudah mulai diungsikan karena telah mengalami pengancaman. Sebagaimana Kasus Ahmadiyah, kasus inipun berkembang dan berujung pada tindak kekerasan pada kelompok-kelompok minoritas. Tajul sendiri sejak tahun 2006 sudah melalui proses negosiasi dan menandatangani sejumlah kesepakatan terkait dengan keinginan untuk menjaga “perdamaian” di Sampang. Akan tetapi, sumber dari segala sumber permasalahan ini adalah tidak terinternalisasinya perpektif bahwa setiap warga negara berhak beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, dan pemerintah wajib menyelenggarakan perlindungan hukum atas hak ini. Jadi, ketika negosiasi dan berbagai jenis kesepakatan itu dilakukan, cara memandang masalah adalah soal stabilitas dimana ancaman yang ditakutkan adalah chaos atau konflik. Artinya, hal tersebut hanya dipakai sebagai mekanisme “tarik ulur” yang rentan dimanipulasi oleh tarikan dan uluran kepentingan tertentu. Dalam kasus ini, semua posisi pemerintah dan aparat hukum lokal telah “dilumpuhkan” oleh cara pandang “menjaga stabilitas” tersebut. Tidak lagi ada sensitivitas untuk melindungi hak warga negara dan memikirkan posisi minoritas. Dengan kata lain, advokasi yang paling memungkinkan adalah di level nasional. Harapannya, di level ini para pemangku kebijakan bisa memberikan tekanan pada pemerintahan lokal Madura dan Jawa Timur. Sejak tanggal 16 Januari 2012 Tajul dan pengacaranya bertolak ke Jakarta menembus advokasi level nasional. Bersama KontraS, AMAN Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, ABI, dan Komnas Perempuan, pada hari Selasa, 17 Januari 2012 mereka mendatangi Komisi 3 DPR RI melakukan hearing. Sepulang dari sana, mereka langsung konsolidasi di kantor KontraS Jakarta untuk langkah selanjutnya. Pada rapat konsolidasi tersebut, beberapa kali Tajul keluar masuk menerima telepon. Setelah lebih dari setengah jam menerima telepon, Tajul Muluk menyampaikan kepada forum, “Ini kami baru dapat kabar dari sana, mereka memberi waktu sampai hari Jumat besok warga
31
Syiah tanda tangan mau pindah Sunni, kalau tidak rumah mereka akan dibakar, sama orangnya sekalian….”. Semua orang terdiam kala itu. Tajul terlihat tegang. Wajahnya menunjukkan kemarahan. Untuk pertama kalinya sejak rumahnya dibakar massa pada tanggal 29 Desember 2011, Tajul menunjukkan wajah demikian. Tak ada kalimat yang berubah dari responnya atas ancaman tersebut. Tapi dari wajahnya dan tatapan matanya, dia telah sampai pada ambang kesabaran terbatasnya. Dia mulai mengungkapkan kelelahannya dengan semua proses yang disarankan oleh penguasa hukum dan teman-teman LSM yang mendampinginya. Dialog demi dialog sudah dia jalani bahkan sejak tahun 2006. Berunding, bersepakat, berkompromi, mengalah, adalah beberapa kata yang seolah tak bisa dihindarinya. Bahkan ketika keputusan anggota dewan bersepakat menindaklanjuti kasus Tajul dan memasukkannya sebagai laporan pelanggaran HAM, ternyata juga tak meredekan wajah marahnya. Selang beberapa menit, Tajul kembali mengangkat telpon. Teman-teman dari KontraS, AMAN Indonesia, Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, YLBHI, dan ABI, masih mencoba berdiskusi merumuskan langkah-langkah strategis menghadapi situasi Sampang yang setiap harinya semakin memanas. Tak lama Tajul kembali dan dengan senyum marahnya dia berkata, “Sekarang warga sudah berhadap-hadapan dengan mengangkat senjata…”. Akhirnya, rekomendasi rapat itu adalah membagi tim menjadi 3 tugas mendatangi Propam, Komisioner dan Ketua Komnas Perempuan dan KPAI. AMAN Indonesia menjadi tim yang mengawal kasus ini untuk meminta advokasi lanjutan dari Komnas Perempuan terkait dengan bagaimana perempuan dan anak-anak menjadi posisi yang rentan menjadi korban terberat, sekaligus, mencoba mencari peluang untuk perempuan berperan dalam proses rekonsiliasi dan transformasi konflik. Pada tanggal 18 Januari 2012 bersama Tajul, Pengacaranya, ABI, KontraS dan AMAN Indonesia, mendatangi Komnas Perempuan. Secara khusus komisioner Komnas Perempuan menyatakan respon dukungannya pada advokasi tersebut. Mereka bahkan telah membentuk tim yang akan berangkat ke Sampang untuk melakukan “tekanan” ke pemerintah lokal. Forum tersebut meminta semua pihak untuk saling berkoordinasi dan memberikan update informasi terkait jenis startegi “penekanan” yang bisa dilakukan Komnas Perempuan di lapangan. Beberapa rekomendasi pada hari selanjutnya bermunculan. Hampir setiap hari NGO berkoordinasi terkait dengan jenis intervensi apa yang bisa dilakukan untuk kasus Sampang ini. Pada titik tertentu hampir semua NGO mengalami “kebuntuan’ dalam mengusahakan langkah taktis menghadapi jenis permasalah berbasis SARA. Hal ini sekaligus menjadi refleksi besar bahwa kasus semacam ini berkembang sangat cepat tanpa ada penyelesaian 32
hukum dan model advokasi yang bisa dipakai. Sepanjang 5 tahun terakhir, Setara Insitute mencatat ratusan kekerasan dilakukan atas nama SARA dan beberapa bahkan dilakukan oleh negara. Secara kelembagaan AMAN sendiri berkomitmen intensif mengawal kasus ini untuk memberikan basis penguatan komunitas minoritas melalui perempuan dengan strategi yang relevan. Relevansi strategi ini diperoleh dari sejauh mana AMAN bersinergi dengan NGO lain dalam berbagi kerja dan menentukan model pendekatan yang berperspektif perlindungan hak minoritas dan kebebasan beragama. Update intensif langsung dari lapangan yang dilakukan tim AMAN semakin mempertegas kerangka langkah pendekatan yang harusnya dilakukan. Pertemuan NGO (Muhammadiyah, Wahid Institut, ICRP, Sejuk, Elsaf) di kantor AMAN pada tanggal 27 Januari mulai mengerucutkan metode advokasi yang bisa disinergikan. Ada 4 jenis sinergisitas yang harus dilalui untuk menembus kelumpuhan pemerintah dan perlindungan keamanan di tingkat lokal serta penguatan kesadaran masyarakat tentang hak kebebasan beragama. 1. Advokasi Hukum dan Kebijakan Pada level ini teman-teman NGO seperti KontraS, Komnas HAM, DPR, dan berbagai elemen yang bisa memberikan tekanan politik dan penegakan hukum. Perlindungan minoritas dan korban kekerasan menjadi konsen advokasi dalam rangka pendidikan hukum dan politik terhadap masyarakat dan aparat penegakan hukum serta kebijakan pemerintahan yang melindungi hak kebebasan beragama. 2. Advokasi Media Pada level ini teman-teman seperti Sejuk (Serikat Jurnalistik untuk Keberagaman), AJI (Aliansi Jurnalis Independen), dan kelompok-kelompok yang bekerja di wilayah mempengaruhi masyarakat melalui media komersial dan komunitas menjadi kekuatan yang mengarahkan opini masyarakat bukan pada soal sesat-tidak sesat, melakinkan pada penghormatan pada keyakinan seseorang dan mengakui hak warga negara bebas beragama dan berkeyakinan. 3. Penguatan Pendidikan dan Sosio Kultural komunitas Pada level ini, gerakan advokasi merujuk pada semua jenis metode penguatan komunitas, baik dari kelompok minoritas dan mayoritas. AMAN Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, Yakkum, Mer-C, dan organisasi-organisasi yang konsen di wilayah sosiokultural termasuk kesehatan dan pendidikan mengusahakan mekanisme penguatan nilai kultural yang bisa dipakai sebagai media transformasi dan merawat harmoni. Hal ini didasari oleh keyakinan pada kekuatan masyarakat sipil dan karakter masyarakat Indonesia yang terikat pada nilai budaya dan agama. 33
Secara khusus penguatan ini dilakukan kepada kelompok minoritas sebagai upaya pencegahan, dan dilakukan terhadap seluruh komunitas untuk transformasi. Di level kelompok minoritas perlu dimiliki kemampuan menghadapi berbagai jenis ketidakadilan, seperti pendidikan pendokumentasian dan sekuritas kelompok, selain tentu saja pendidikan “inklussive” mengingat beberapa kali tuduhan terhadap minoritas mereka dianggap “tidak berbaur” dan “mengelompok”. Untuk komunitas sendiri, pendidikan keberagamaan bisa dilakukan melalui materi-materi yang tidak “provokatif”, seperti bercocok tanam bersama, pemberantasan buta huruf dengan konten-konten bacaan keragaman, dan permainan anak serta seni budaya yang mengutamakan kerja sama dan kebersamaan. 4. Penguatan Organisasi Keagamaan Kasus Madura mengajarkan pada kita tentang betapa peran organisasi keagamaan sangat penting terutama dalam mengarahkan cara pandang umatnya. Perkataan Ulama, Kyai, dan Tokoh Agama pada kasus ini lebih dari negara dan penegak hukum. Masyarakat bahkan “rela”mengorbankan nyawa untuk itu. Organisasi keagaman inilah yang akan menjadi support subsidi pengetahuan keagamaan yang bisa mengarahkan pada penghormatan dan perlindungan perbedaan keyakinan. Dalam kasus ini, segala jenis penyesatan menjadi provokasi yang justru diproduksi oleh organisasi dan tokoh-tokoh agama baik lokal maupun nasional. Akhir kata, banyak pihak yang melihat isu ini sebelah mata karena belum menumpahkan pertumpahan darah. Tapi, sekaligus pihak tersebut melupakan bahwa perbedaan telah menjadi lazim untuk dijadikan alat justifikasi melakukan kekerasan dan menggandakan energi kebencian. Masa depan generasi penuh benci akan tertanam. Ratusan perempuan akan menceritakan pengalaman kelam mereka kepada anak-anaknya. Jika ratusan masalah dengan motif semacam ini tak kunjung menemui model penyelesaian, maka mungkin besok, minggu depan, atau bahkan mungkin beberapa jam lagi kita akan mendengar hal yang sama di berbagai daerah di Indonesia. Oleh sebab itu, Asian Muslim Action Network (AMAN ) Indonesia menyerukan kepada Negara untuk mendorong proses rekonsiliasi Suni dan Syiah pada level nasional maupun akar rumput. Karena baik Syiah dan Sunni sama-sama menjadi korban dari ideologi kebencian yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu. Kembalikan keutuhan masyarakat Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 45.
34
LAMPIRAN 1 DAFTAR KESESATAN YANG DI TUDUHKAN KEPADA TAJUL MULUK 1. Mereka (ajaran Syi’ah Tajul Muluk Ma’mun, red) menganggap bahwa Allah masih butuh kepada tho’at dan ibadah dari hambaNya dengan berdalil Q.S.Al-Dzariyat:56 ( ﻭﻣﺎﺧﻠﻘﺖ )ﺍﻟﺠﻦ ﻭﺍﻹﻧﺲ ﺇﻻ ﻟﻴﻌﺒﺪﻭﻥ 2. Mereka menganggap bahwa Allah hanya dapat menyembuhkan orang sakit, tidak begitu dengan sebaliknya. Dengan berdalil Q.S. As-Syu’aro’: 80 ()ﻭﺇﺫﺍ ﻣﺮﺿﺖ ﻓﻬﻮ ﻳﺸﻔﻴﻦ 3. Mereka menganggap bahwa para imam mereka mengetahui ilmu ghaib dari selain Allah. 4. Mereka menganggap bahwa Kitab Suci Al-Qur’an yang ada pada tangan Muslimin se-alam semesta tidak murni diturunkan Allah, akan tetapi sudah terdapat penambahan, pengurangan dan perubahan dalam susunan Ayat-ayatnya. 5. Mereka menganggap bahwa semua ummat Islam – selain kaum Syi’ah - mulai dari para Shahabat Nabi hingga hari qiamat – termasuk didalamnya tiga Khalifah Nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman) dan imam empat Madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’ie, Ahmad) termasuk pula Bujuk Batu Ampar – adalah orang-orang pendusta, bodoh lagi murtad karena membenarkan tiga Khalifah tersebut didalam merebut kekhalifaan Ali bin Abi Thalib. 6. Mereka menganggap bahwa Imam Ghazali bukan Ulama’ akan tetapi adalah dukun. 7. Dari Bab Wudlu’, mereka menganggap: Cukup mengusap kaki dalam wudlu’ yang berhukum wajib dibasuh. Karena mereka menganggap bahwa kelakuan dalam wudlu’ ada dua macam: ( ﻣﺴﺤﺘﺎﻥdua usapan) dan ( ﻏﺴﻠﺘﺎﻥdua basuhan) dengan berdalil ayat ( ﻭﺍﻣﺴﺤﻮﺍ )ﺑﺮﺅﺳﻜﻢ ﻭﺃﺭﺟﻠﻜﻢ 8. Dari Bab Shalat, mereka menambah dan mengurangi rukun-rukun Shalat seperti mengangkat tangan disetiap naik dan turunnya anggota badan, dan mengurangi bacaan Fatihah dalam Shalat Ruba’iyah dengan menganggap cukup membaca fatihah dalam dua raka’at saja. 9. Di dalam Shalat ketika sujud mereka bersujud diatas kertas yang bertuliskan: Ali, Fathimah, Hasan, Husien. 10. Menganggap bolehnya jama’ Shalat dzuhur dan ashar, maghrib dan isya’ tanpa ada sebab safar atau hujan dengan berdalil Ayat "ﺃﻗﻢ ﺍﻟﺼﻼﺓ "ﻟﺪﻟﻮﻙ ﺍﻟﺸﻤـﺲwaktu untuk dzuhur dan ashar ﺇﻟﻰ ﻏﺴﻖ ﺍﻟﻠﻴﻞwaktu untuk maghrib dan isya’ ﻭﻗﺮﺁﻥ ﺍﻟﻔﺠﺮwaktu untuk shubuh. 11. Menganggap Sholat Jum’at berhukum sunnah bagi ma’mum, dan fardlu bagi imam. 12. Menganggap bahwa shalat tarawih itu tidak ada di zaman Nabi SAW, melainkan diadakan oleh Umar Ibn Khattab untuk mengumpulkan Muslimin. 13. Mengharamkan jeroan ayam dan kelinci.
35
14. Mengharamkan puasa Asyura’ dengan dalih bahwa Ahlussunnah menuduh Rasul belajar tatakrama kepada orang Yahudi. 15. Membenci ajaran Ahlussunnah dan hanya menganggap benar ajaran Syi’ah. 16. Menganggap Ahlu Sunnah wal-Jama’ah khususnya para Shahabat lancang terhadap Nabi SAW. Karena mereka meriwayatkan Hadits-hadits yang menyangkut rahasia Nabi SAW. Seperti Hadits yang menjelaskan bahwa Nabi SAW berkencing sambil berdiri dengan dikelilingi para Shahabat. 17. Menganggap curang terhadap Ahlu Sunnah. Karena mereka (Ahlu Sunnah) membuang banyak riwayat dari Ali bin Abi Thalib ra. dan memasang banyak riwayat Abi Hurairah ra. dengan menganggap Ali ra. sebagai shahibul bait dan Abu Hurairah sebagai tamu, maka pasti shahibul bait lebih mengetahui daripada tamu. 18. Menganggap bahwa kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tidak shahih. 19. Menganggap Abu Thalib termasuk dari Ahli Surga, dan ingkar terhadap Hadits yang menjelaskan adanya Abu Thalib didalam siksaan ringan dalam neraka. 20. Mengungkit-ungkit tentang pembunuhan terhadap Husien ra. dan sangat mencaci maki pelakunya dengan diatas namakan orang Sunni. 21. Mereka menganggap “Sesudah masuk aliran tersebut lebih merasakan khusyu’ dalam Shalat daripada Shalat-shalat sebelumnya”. 22. Mereka menjamin masuk Syurga dan di jauhkan dari api nereka bagi pengikutnya.
36