DIKSI PUITIS KUMPULAN CERPEN “MENGAKAR KE BUMI MENGGAPAI KE LANGIT JILID 3” KARYA TAUFIQ ISMAIL Nani Solihati Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui diksi puitis yang terdapat dalam cerita pendek karya Taufiq Ismail dengan indikatornya adalah penggunaan majas dalam cerpen-cerpenya tersebut. Metode yang digunakan untuk mengkaji cerpen adalah metode deskriptif analisis dengan bentuk kumpulan data secara faktual yang terdapat dalam keempat cerpen yang ada dalam himpunan tulisan “Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit” Jilid 3 karya Taufiq Ismail. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Taufiq Ismail menggunakan berbagai bentuk majas secara variatif untuk membangun karya cerpen yang utuh. Kata kunci: Diksi Puitis, Majas, Cerpen Abstract: This research aims at finding poetic dictions which are applied short stories of Taufiq Ismail. The indicators used in analyzing the short stories in the linguistic styles found on it. This research uses analytical descriptive method with the factual data. The data are gotten by analyzing four short stories in “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit” episode 3. The result shows that Taufiq Ismail short stories use many various linguistic styles to make the complete and meaningful stories. Keyword: Poetic Diction, Linguistic style, Short stories
PENDAHULUAN Taufiq Ismail (TI) dikenal sebagai seorang penyair Angkatan ‘66. Puisi-puisinya bernapaskan perjuangan menumbangkan Orde Lama seiring dengan pergerakan-pergerakan heroik mahasiswa. Hal ini terlihat pada sajak-sajaknya seperti Kita Pemilik Sah Republik Ini, Salemba, Karangan Bunga, dan Sebuah Jaket Berlumur Darah. Selain menulis mengenai gerakan mahasiswa, Taufik Ismail (TI) juga melakukan kritik sosial lewat puisi-puisinya yang satir, seperti pada puisi Tuhan Sembilan Senti, Malu (Aku) Jari Orang Indonesia, dan Miskin Desa, Miskin Kota. Kepenyairan Taufik Ismail (TI) juga telah mendapatkan banyak pengakuan dengan meraih berbagai penghargaan seperti Anugrah Seni dari Pemerintah RI (1970), Cultural Visit Award dari pemerintah Australia (1977), SEA Write Award dari
kerajaan Thailand (1994). Untuk meneguhkan kepenyairannya itu, ia juga menerbitkan himpunan puisinya dari mulai ia menulis puisi sampai pada puisi mutakhirnya yang terangkum Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid I yang tebalnya mencapai 1076 halaman. Kumpulan puisinya ini diterbitkan pada tahun 2008. Sebagai seorang penyair, tentu saja kepenyairannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Terlebih lagi, telah banyak telaah terhadap puisi-puisinya itu. Namun bagaimana dengan cerpen-cerpennya? Taufik Ismail (TI) lebih dikenal sebagai seorang penyair dan pemerhati sastra melalui esai-esainya dari pada sebagai seorang penulis cerpen. Produktifitas Taufik Ismail (TI) dalam cerpen sangat minim dan jauh sekali bila dibandingkan produktifitasnya dalam menulis puisi
Nani Solihati : Diksi Puitis Kumpulan Cerpen “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit Jilid 3” Karya Taufiq Ismail
81
maupun esai. Publikasi cerpen-cerpen Taufik Ismail (TI) sudah sangat lampau, yakni dalam rentang waktu 1961-1968 sehingga menyulitkan para peneliti menelaah secara lebih mendalam karena kesulitan dalam hal mencari arsip tersebut. Kini cerpen-cerpen Taufik Ismail (TI) dapat dinikmati dalam himpunan tulisan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid 3. Buku ini memuat berbagai tulisan Taufik Ismail (TI), termasuk di dalamnya cerpen dan drama yang pernah ditulisnya. Adapun empat cerpen tersebut berjudul Danau Michigan Musim Bunga, Kuliah Pagi di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali ke Salemba. Untuk itu menarik sekali bila menelaah dengan mendalam cerpen-cerpen yang dibuat oleh Taufik Ismail (TI) ini, terlebih bila menilik dari sudut pandang kajian ektrinsik jika unsur-unsur di luar teks disandingkan dengan teks. TI sebagai seorang penyair tentu saja memiliki kecenderungankecenderungan estetik dalam memilih kata untuk menyusun prosanya tersebut. Bila hal ini benar terjadi, maka apa yang dilakukan Taufik Ismail (TI ) dalam cerpennya bisa jadi merupakan usaha memperoleh diksi puitis yang disebut Barfield dalam Pradopo sebagai kata-kata yang dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imaginasi estetik (1993:54). Untuk membangun dimensi imajinasi estetik ini tentu saja hanya akan didapat dengan menggunakan teks yang sifatnya tidak denotatif, tetapi lebih kepada pemberdayaan teks konotatif dan itulah yang disimpulkan Wellek dan Warren mengenai bahasa sastra (1993:5). Adapun teks konotatif lebih dikenal sebagai majas seperti yang diungkapkan oleh Abrams dalam Supriyanto yang menyatakan, majas merupakan penyimpangan dari bahasa sehari-hari yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus (2009:17). Pendapat mengenai majas yang digunakan untuk memperoleh efek tertentu ini senada dengan yang diungkapkan oleh Pradopo yang menyatakan bahwa, majas juga bertujuan untuk menghidupkan 82
kalimat dan memberi gerak pada kalimat serta menimbulkan reaksi tertentu dan atau tanggapan pikiran kepada pembaca (1993:93). Dalam kata lain, dengan produk kata yang estetis ini, akan melahirkan imaji-imaji yang melimpah dan bahkan mampu membuat pembaca dapat menafsirkan karya sastra dengan berbagai asosiasinya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, untuk menilai penggunaan diksi puitis dalam cerpen TI maka indikator yang dicari adalah sejauh mana TI menggunakan majas dalam cerpen-cerpennya. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan majas pada cerpen dalam himpunan tulisan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid 3 karya Taufiq Ismail yang memuat keempat cerpen TI yang berjudul Danau Michigan Musim Bunga, Kuliah Pagi di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali ke Salemba. Agar tidak terjadi kesalahpahaman konsep mengenai majas dan gaya bahasa yang seringkali keduanya disinonimkan. Maka perlu dijabarkan di sini bila kedua konsep tersebut berbeda. Bila menilik pendapat Moeliono dalam Sugono maka majas merupakan bagian dari gaya bahasa itu. Hal ini berumula dari penerjemahan gaya bahasa yang secara keliru menerjemahkan kata Belanda stylfiguur. Di dalam kata stylfiguur terdapat styl yang memang berarti gaya bahasa, tetapi figuur lalu terlupakan diterjemahkan. Oleh karena itu stylfiguur atau figure of speech ini sekarang dinamakan majas dan figurative language kita sebut bahasa majasi atau bahasa yang bermajas (2009:174). Senada dengan Moeliono, Sudjiman menyatakan bahwa majas merupakan bagian dari gaya bahasa. Hal ini terlihat lewat pernyataannya yang menyatakan bahwa gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (1993:13). Keraf pun berpendapat demikian dengan membagi gaya bahasa berdasarkan penggunaannya ke dalam 4 jenis yakni, gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna (1987:116). Bentuk-bentuk majas merupakan bagian dari gaya STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
bahasa yang ditinjau dari langsung tidaknya makna. Dalam banyak literatur, kata majas sering bersinonim dengan gaya bahasa (Keraf) dan bahasa kias (Pradopo), meskipun maksud yang disampaikannya itu merujuk pada bentuk khas dari majas. Adapun majas menurut Sugono adalah bahasa yang maknanya melampaui batas yang lazim. Hal itu disebabkan oleh pemakaian kata yang khas atau karena pemakaian bahasa yang menyimpang dari kelaziman ataupun karena rumusannya yang jelas (2009:174). Tak jauh berbeda dengan Sugono, Nurgiyantoro menyatakan bahwa, permajasan (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasa yang maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna yang tersirat (1987: 297). Pendapat sedikit berbeda diungkapkan oleh Dale dkk. dalam Tarigan yang menyatakan bahwa, majas atau figure of speech adalah bahasa kias, bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (1990: 112). Dari sini, dapat diambil simpulan bahwa majas dapat berarti bahasa yang maknanya melampaui batas yang lazim karena maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna yang tersirat sehingga membuat bahasa menjadi indah dan digunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dalam berbahasa. Pada dasarnya majas menurut Tarigan dapat dibagi menjadi empat jenis yakni, Majas perbandingan, majas pertentangan, majas penegasan, dan majas perulangan. Majas perbandingan terdiri dari perumpamaan, kiasan, penginsanan, alegori, dan antitesis. Majas pertentangan terdiri dari hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, dan zeugma. Majas penegasan terdiri dari metonimia, sinekdoke, alusi, eufimisme, elipsis, inversi, dan gradasi. Majas perulangan terdiri dari aliterasi, antanaklasis, kiasmus, dan repetisi (1990: 117).
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dengan bentuk kumpulan data secara faktual yang terdapat dalam keempat cerpen yang ada dalam himpunan tulisan “ Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit” Jilid 3 karya Taufiq Ismail dengan objek penelitian adalah pengunaan majas dalam buku tersebut. Adapun fokus penelitian ini adalah penggunaan majas yang terdapat dalam cerpen-cerpen Taufiq Ismail berjudul Danau Michigan Musim Bunga, Kuliah Pagi di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali ke Salemba yang terdapat pada halaman 507-556 dalam himpunan tulisan “Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit” Jilid 3. Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri dibantu tabel kerja analisis penggunaan majas pada himpunan tulisan “Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit” Jilid 3 karya Taufiq Ismail. Adapun tabel kerja analisis itu sebagai berikut.
Sebagai keterangan untuk kolom cerpen, dari kolom satu sampai empat merupakan perurutan cerpen dari yang lebih awal sampai pada yang terakhir. Dengan demikian perurutannya sebagai berikut, Danau Michigan Musim Bunga, Kuliah Pagi di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali ke Salemba. Untuk teknik pengumpulan data, penelitian ini didahuli dengan membaca cerpen-cerpen Taufiq Ismail dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid 3, untuk kemudian mencari kata-kata yang mengandung majas dan selanjutnya mencatatnya dalam kartu analisis berdasarkan masing-masing cerpen. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut, pertama, membaca dengan cermat cerpencerpen Taufiq Ismail yang terdapat dalam Mengakar ke Bumi Meng gapai ke Langit Jilid 3 untuk mendapatkan kata-kata yang mengandung majas sebagai data. Kedua, menandai kata-kata yang
Nani Solihati : Diksi Puitis Kumpulan Cerpen “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit Jilid 3” Karya Taufiq Ismail
83
mengandung majas. Ketiga, menyalin kata-kata yang telah ditandai ke dalam kartu data. Keempat, setelah semua kata tercatat dalam kartu-kartu data, penelitian ini beranjak kepada proses menganalisis kata-kata itu sesuai dengan bentuk majas serta maknanya. Kelima, Setelah data didapat, klasifikasi pun dilakukan dengan memilah bentuk-bentuk majas sesuai dengan bentuknya masing-masing. Keenam, menyusun analisis deskriptif berdasarkan cerpen dan bentuk-bentuk majas di dalamnya. Ketujuh, membuat simpulan dari hasil analisis berdasarkan data yang telah diperoleh berupa tabel kerja analisis. Ketujuh teknik analisis data ini dilakukan dengan cermat dengan memperhatikan unsur teks cerpen dengan intensif dan teliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Setelah melakukan penelitian, hasil yang didapat adalah bahwa Taufiq Ismail menggunakan majas dalam membangun diksi puitisnya. Hal tersebut terdapat dalam dalam 4 cerpen yang terdapat pada himpunan tulisan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid 3. Adapun sebaran penggunaan majas dalam cerpen-cerpen tersebut sangat variatif. Dalam cerpen Danau Michigan Musim Bunga terdapat 41 majas, Kuliah Pagi di Bulan April terdapat 40 majas , Garong-garong terdapat 59 majas, dan Kembali ke Salemba terdapat 16 majas. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat tabel.
Rekapitulasi Penggunaan Majas Himpunan Tulisan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid III
84
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
Pembahasan Nilai keindahan (estetis) merupakan bagian esensial dari sebuah karya sastra selain tentu saja keindahan dan kejujuran yang tertuang di dalamnya seperti yang disampaikan Sugono (2009: 159). Keindahan tersebut dapat dicapai dengan memaksimalkan diksi secara efektif untuk menyampaikan gagasan. Karya sastra tentu saja berbeda bentuknya dengan karya ilmiah. Oleh karena itu pencapaian gagasan akan lebih baik bila dituangkan dengan teks konotatif. Teks konotatif inilah yang kemudian disebut sebagai diksi puitis. Adapun diksi puitis dibangun dengan menggunakan majas. Diksi Puitis dalam Cerpen Danau Michigan Musim Bunga Dalam cerpen ini, terdapat 41 pernyataan yang mengandung diksi puitis. Dalam 41 pernyataan tersebut, diksi puitis dibangun oleh 9 majas per umpamaan, 2 majas kiasan, 8 majas penginsanan, 3 majas hiperbola, 1 majas litotes, 4 majas sinekdoke, 3 majas alusi, 6 majas elipsis, 2 majas inversi dan 3 majas repetisi. Diksi puitis ini digunakan untuk memperkuat penokohan, maupun penggambaran latar dalam cerpen tersebut. Untuk memperkuat penokohan, Taufik Ismail (TI) menggunakan majas perumpamaan dengan mengumpamakan tokoh dalam cerpen tersebut sebagai klarinet, “Aku memilih yang seperti klarinet!” (hlm. 510) atau Tengkuknya melandai seperti lembah (hlm. 514). Penokohan juga digambarkan untuk mengungkapkan perasaan dengan menggunakan majas hiperbola, Aku cemburu setengah mati (hlm. 503). Selain itu, Taufik Ismail (TI) juga menyampaikan penokohan dengan menyebut ciriciri tokoh tersebut tanpa memperkenalkan namanya, Aku hampir memilih yang blonda dan bergaun biru, tapi tiba-tiba aku menjawab lain (hlm. 510). Hal ini berarti Taufik Ismail (TI) menggunakan majas sinekdoke. Dalam kasus lain, Taufik Ismail (TI) berusaha menampilkan cerpennya secara singkat dengan mehilangkan predikat dan subjek suatu kalimat. Seperti pada pernyataan berikut, “Dan begitu jeli,” ujar Martin menghela napas. “Kau lihat pinggangnya?” Langsing (hlm. 511).
Dalam menggambarkan latar, Taufik Ismail (TI) juga seringkali mengeksplorasi kepenyairannya dengan perumpamaan-perumpamaan yang estetik. Seperti pada pernyataan berikut yang menggambarkan gelapnya malam dengan angin yang berhembus seperti seekor naga, Di sepanjang pantai daun kegelapan merayap seperti seekor naga, dengusannya dingin dan berdeburdebur (hlm. 512). Menggunakan kata jarum-jarum cahaya untuk menggambarkan cahaya lampu yang dipantulkan oleh muka kuala seperti tampak pada pernyataan di halaman 513. Citraan estetik juga tampak pada pernyataan berikut, Hanya lampu-lampu jalan yang memberi cahaya buram dan mengabut di telan suara dan sosok ombak yang mengempas ngilu ke pantai danau (hlm. 507). Dalam pernyataan ini, hempasan ombak memiliki sifat manusia yakni ngilu. Tentu saja hal ini untuk menimbulkan latar yang kuat untuk membangun suatu cerpen yang dapat meninggalkan kesan dan pesan di hati pembaca. Diksi Puitis dalam Cerpen Kuliah Pagi di Bulan April Kuliah Pagi di Bulan April menghadirkan 40 pernyataan yang mengandung diksi puitis. Dalam 40 pertnyataan tersebut, majas yang paling banyak digunakan untuk membangun diksi puitis adalah majas elipsis, untuk kemudian selanjutnya disusul oleh majas perumpamaan, kiasan, dan inversi yang masing-masing digunakan dalam 4 pernyataan, kemudian sinekdoke dan repetisi masing-masing sebanyak 3 pernyataan, lalu selanjutnya eufimisme serta hiperbola masing-masing sebanyak 2 pernyataan, dan terakhir metonimia yang hanya terdapat dalam 1 pernyataan. Pada cerpen ini Taufik Ismail (TI) lebih banyak menggunakan diksi puitis dalam membangun penokohan. Seperti pada pernyataan berikut ini, Kau seperti orang yang punya pemburu yang tajam, tapi takut masuk ke hutan (hlm. 517). Pernyataan ini berusaha untuk menegaskan penokohan dengan cara mengumpamakan rasa takut terhadap seseorang dengan perumpamaan orang yang masuk ke dalam hutan yang penuh dengan binatang
Nani Solihati : Diksi Puitis Kumpulan Cerpen “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit Jilid 3” Karya Taufiq Ismail
85
buasnya padahal ia bersama seorang pemburu yang mahir. Tanpa pernyataan ini, penggambaran mengenai sikap tokoh menjadi tidak kuat Taufik Ismail (TI) juga membangun penokohan dengan menggunakan majas kiasan dengan penggunaan kata bandot untuk mengejek seseorang. Bandot tentu saja bukan dalam arti sebenarnya melainkan sifatnya yang menyerupai bandot. Dalam hal ini tentu play boy. Adapun fungsinya adalah untuk memperkuat penokohan (hlm. 516). Pernyataan lain untuk mematangkan penokohan dengan menggunakan majas Sinekdoke dengan bentuk pars prototo yang menyebut bagian dari organ tubuh manusia yakni telinga, tentu saja telinga dalam pernyataan ini tidak berarti hanya telinga saja melainkan pula organ tubuh secara keseluruhan dalam wujud manusia. Berikut pernyataannya, “Begitulah yang kudengar. Dengan telingaku sendiri (sambil menunjuk telinganya). Bukan melalui telinga orang lain.” (hlm. 519). Lain lagi pada pernyataan di halaman 521. Dalam pernyataan ini, TI berusaha membangun alur dengan percakapan tokoh. Majas yang digunakan adalah majas elipsis. Tokoh dalam cerpen tersebut, hanya berkata, “Persija?” Pernyataan ini tentu saja jika terlepas dari konteks percakapan maka tidak jelas siapa objek dalam kalimat ini. Akan tetapi, pilihan Taufik Ismail (TI) dengan menggunakan majas elipsis ini justru membuat cerpennya menjadi lebih utuh. Diksi Puitis dalam Cerpen Garong-garong Bila dibandingkan dengan cerpen lain, kemampuan TI membangun diksi puitis dengan memberdayakan penggunaan majas ini lebih maksimal. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya, penggunaan majas di dalamnya yakni sebanyak 59 pernyataan. Majas-majas yang digunakan antara lain perumpamaan sebanyak 7 pernyataan, kiasan sebanyak 3 pernyataan, penginsanan sebanyak 9 pernyataan, repetisi sebanyak 20 pernyataan, hiperbola sebanyak 6 pernyataan, ironi sebanyak 7 pernyataan, sinekdoke sebanyak 1 pernyataan, eufisme sebanyak 3 pernyataan, elipsis sebanyak 7 pernyataan, dan inversi sebanyak 1 pernyataan.
86
Untuk membangun nuansa estetik dalam cerpen ini. TI berusaha mengeksplosi majas-majas personifikasi maupun kiasan baik ketika membangun latar, alur, maupun penokohan dalam cerita ini. Seperti pada pernyataan berikut, Nyeri terasa seperti seribu mata gergaji digesekgesekkan ke tulang-tulang dadanya (hlm. 545). Dalam pernyataan tersebut, rasa nyeri akibat ditembak yang dialami tokoh dalam cerita ini diumpamakan dengan mata gergaji yang seakan hendak memotong tulang-tulangnya. Penggunaan majas perumpamaan untuk menggambarkan rasa nyeri seperti itu membuat rasa sakit tokoh tersebut tergambarkan dengan jelas dan sangat terkesan estetik dan puitik. Penokohan juga dibangun dengan hiperbola yang juga tak kalah puitik. Perhatikan pernyataan berikut, Seribu kunang-kunang mengerjap dalam kelam, berubah jadi api memancar-mancar (hlm. 536). Untuk menyatakan rasa pening, lampu dianggap telah berubah jadi seribu kunang-kunang. Tentu kata seribu yang ditulis pada pernyataan tersebut adalah berlebihan. Penggunaan pernyataan tersebut tentu saja lebih bermakna pada rasa pusing yang luar biasa yang dialami oleh tokoh dalam cerita ini. Adapun untuk menggambarkan latar, TI menggunakan majas kiasan. Dalam hal ini ketika menggambarkan cuaca yang cerah, perhatikan penyataan berikut, Langit dipasangi sobekan-sobekan bulu domba dan garis-garis angin yang tipis (hlm. 547). Dalam pernyataan tersebut Taufik Ismail (TI), mengiaskan awan-awan yang bertebaran di langit adalah sobekan bulu domba dan angin yang sepoisepoi dikiaskan memiliki garis tetapi tipis. Pemilihan kata ini bukan saja membangun citraan visual pada pembaca, tetapi juga citraan estetik. Tak berhenti sampai di situ, Taufik Ismail (TI) juga menggunakan majas penginsanan dengan menyatakan bahwa angin pingsan (hlm. 530). Tentu saja tak ada angin yang pingsan. Pemilihan kata ini merupakan upaya Taufik Ismail (TI) untuk menggambarkan keadaan latar yang tiba-tiba berhenti dan sunyi yang bahkan tanpa ada angin sedikit pun, pengarang menggunakan kata pingsan untuk angin yang lazim untuk menggambarkan STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
keadaan manusia yang tidak sadar, tetapi dapat disadarkan kembali. Tentu pemilihan kata pingsan dianggap lebih tepat dibanding kata mati karena penulis hendak menuliskan kembali bahwa angin dalam cerita ini selanjutnya pun akan memperkuat latar. Oleh karena itu, fungsi majas dalam kalimat ini adalah memperkuat latar. Taufik Ismail (TI) juga menggunakan majas elipsis untuk membangun suasana dalam latar ceritanya tersebut. Hal ini tampak pada kutipan berikut ini, Semua jam kantong hilang. Jam meja. Jam dinding. Jam di menara kota sirna. (hlm. 530) Dalam pernyataan ini, terdiri dari paragrafparagraf pendek. Pada paragaraf pertama dan keempat terdapat predikatnya yakni hilang dan sirna sedang untuk paragraf kedua dan ketiga, hal tersebut tidak ada. Semestinya dua paragraf itu pun memiliki predikat yang menyatakan bahwa kedua benda itu telah dicuri, bisa menggunakan kata raib, hilang, atau sirna. Meski demikian, justru membuat alur cerita menjadi menarik dan unik sehingga terjadi semacam penekanan bahwa hilangnya predikat sebagai implikasi dari penggambaran cerita yang memang menceritakan suatu kehilangan. Pada pernyataan lain, dalam menyampaikan latar dalam cerita ini, Taufik Ismail (TI) berusaha mengeksplorasi majas repetisi. Hal itu tidak sekalidua kali dilakukan TI. Sebagai contoh, perhatikan contoh penyataan berikut, Suara gendering berderam-deram berirama dengan langkah rrrp, rrrp, rp, rp. (hlm. 527) Pengulangan rrrp, rrrp, rp, rp dalam kalimat ini adalah bentuk dari peniruan bunyi atau onomatope yang menirukan langkah bunyi sepatu ketika menapak ke jalan sehingga seakan-akan menghasilkan bunyi rrp. Pengulangan kata tersebut menghasilkan keriuhan yang terjadi dalam cerita tersebut. Sehingga yang terjadi kemudian adalah, latar cerita menjadi kuat dan membuat pembaca seakan tengah berada dalam kegaduhan tersebut. Diksi Puitis dalam Cerpen Kembali ke Salemba Cerpen ini merupakan cerpen terakhir. Tak jauh berbeda dari cerpen-cerpen yang telah dibahas.
Diksi puitis timbul ditengah tengah cerita berupa pernyataan-pernyataan yang berbentuk majas. Ada 16 majas yang digunakan TI untuk membangun cerpennya itu, majas-majas itu antara lain, kiasan sebanyak 6 majas, penginsanan sebanyak 1 majas, metonimia sebanyak 1 majas, alusi sebanyak 1 majas, elipsis sebanyak 5 majas, inversi sebanyak 1 majas, dan repetisi sebanyak 1 majas. Majas-majas tersebut digunakan Taufik Ismail (TI) untuk membangun latar dalam cerita ini. Untuk latar, Taufik Ismail (TI) menggunakan majas perumpamaan seperti pada penyataan berikut, Waskito menekannya puntung rokok ke atas meja. Bunga api menyebar. Bram memandang mereka semua. (hlm. 554) Bunga api dalam pernyataan ini adalah untuk mengiaskan percikan api yang terurai dari puntung rokok yang sedang berasap. Pernyataan bunga api tentu termasuk ke dalam diksi puitik karena tentu pernyataan itu tidak lazim untuk menyatakan bara dari asep rokok. TI juga menggambarkan latar dengan menggunakan majas penginsanan seperti tampak pada pernyataan berikut, Angin mati di luar, berjuntaian di pepohonan. (hlm. 554) Penggunaan majas penginsanan terdapat pada kata angin yang mati dan dapat berjuntaian. Tentu saja angin tak akan mati layaknya mahkluk hidup. Angin barangkali memang berhenti sejenak karena ia akan terus berhembus, tapi angin tak pernah mati. Demikian juga berjuntaian, karena yang berjuntaian selain kelelawar juga monyet yang masing-masing memiliki tangan atau kaki yang membantu, sedang angin tak mempunyainya. Penggunaan majas penginsanan dalam kalimat ini berfungsi untuk memperkuat latar dengan meng gambarkan kesunyiaan yang diisyaratkan dengan angin yang tak berhembus. Kalimat sederhana sebetulnya dapat ditulis dengan, tak ada angin di luar. Akan tetapi, tentu nuansanya lebih kuat kalimat utama ketimbang alternatif karena memiliki nuansa estetik yang lebih kuat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Diksi puitis yang dibangun Taufik Ismail (TI) dalam empat cerpennya berupa penggunaan majas. Dari 4 cerpen tersebut, Taufik Ismail (TI)
Nani Solihati : Diksi Puitis Kumpulan Cerpen “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit Jilid 3” Karya Taufiq Ismail
87
menggunakan majas perumpamaan yang terdiri dari majas perumpamaan sebanyak 20 atau 12, 82%, majas kiasan sebanyak 15 atau 9,62%, majas penginsanan sebanyak18 atau 11, 54%, dan majas alegori sebanyak 1 atau 0,64%. Untuk majas pertentangan terdiri dari majas hiperbola sebanyak 11 atau 7,05%, majas litotes sebanyak 1 atau 0,64%, dan majas ironi sebanyak 1 atau 0,64%. Untuk majas penegasan terdiri dari majas metonimia sebanyak 2 atau 1,28%, majas sinekdoke sebanyak 8 atau 5,13%, majas alusi sebanyak 4 atau 2,56%, majas eufemisme sebanyak 5 atau 3,21%, majas elipsis 35 atau 22,44%, dan majas inversi sebanyak 8 atau 5,13%. Untuk majas perulangan hanya terdapat majas repetisi saja sebanyak 27 atau 17,31%. Adapun 9 majas lainnya, yakni majas antitesis, oksimoron, paranomasia, paralipsis, zeugma, gradasi, aliterasi, antanaklasis, dan kiasmus tidak digunakan TI dalam membangun cerpencerpennya yang terdapat pada himpunan tulisan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid 3. Di antara macam-macam majas tersebut, majas yang paling mendominasi adalah majas elipsis dengan jumlah 35 atau 22,44%. Saran Penggunaan diksi puitis dalam cerpen membuat sebuah cerpen memiliki nilai lebih, terutama berkaitan erat dengan nuansa estetik. Oleh karena itu, pemberdayaan perangkat bahasa dalam hal ini majas menjadi hal penting dalam karya sastra,
88
mengingat salah satu indikator baik tidaknya sebuah karya sastra berdasarkan indah atau tidaknya. Maka, sudah semestinya para cerpenis Indonesia mulai memperhatikan hal ini. Selain itu, dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMA, cerpencerpen dalam Himpunan Tulisan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit jilid 3 karya Taufiq Ismail ini dapat dijadikan sebagai salah satu perangkat pembelajaran yang menarik dalam mempelajari majas dan tentu saja nilai-nilai yang terdapat di dalamnya sebagai sebuah bagian dari karya sastra. DAFTAR PUSTAKA Burhan Nurgiyantoro. 1987. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Keraf , Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajain Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Sugono, Dendy (ed.). 2009. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Depdiknas. Supriyanto, Teguh. 2009. Penelitian Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa. Wellek, Rene dan Austin Warren (terj. Melani Budianta). 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
REPRESENTASI KONFLIK DI ACEH DALAM NOVEL LAMPUKI KARYA ARAFAAT NUR Ade Hikmat
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Untuk mengetahui hal tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa representasi konflik di Aceh terbagi menjadi dua. Yakni konflik vertikal, antara masyarakat dengan tentara (pemerintah), dan juga konflik horisontal antara masyarakat dengan pemberontak. Kata Kunci: Konflik vertikal, konflik horisontal, sosiologi sastra. Abstract: This study aims to determine the representation of conflict in Aceh in the novel Lampuki Arafat Nur works. To determine this, the research uses descriptive qualitative method. The results of this study indicate that the representation of conflict in Aceh is divided into two. Namely vertical conflict, between the community and the military (government), as well as horizontal conflicts between people with rebels. Keywords: Vertical conflict, horizontal conflict, sociology of literature.
LATAR BELAKANG Konflik di Aceh muncul dalam pergolakan yang akut. Di mana usaha untuk memisahkan diri dari NKRI mengemuka setelah muncul kekecewaan terhadap pemerintah pusat dengan mengedepankan pemerintahan yang sentralistik. Namun demikian, pemberitaan yang tidak berimbang memunculkan spekulasi yang berbeda antara pandangan jurnalistik yang dimonitor pemerintah dengan pandangan masyarakat Aceh. Informasi dikeberi untuk memberikan pencitraan positif atas langkah pemerintah, Pola represif yang dilakukan pemerintah dianggap jalan benar untuk menghadapi pemberontakan. Tentara dikirim ke Aceh dengan jumlah yang sedikit memunculkan polemik baru dalam kehidupan masyarakat Aceh. Masyarakat menjadi ketakutan dan dikepung oleh dua pihak yang tidak dikehendaki mereka, Tentara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dibentuk Hasan Di Tiro 4 Desember 1976, hal ini yang pada akhirnya masyarakat Aceh yang netral harus memilih, menjadi nasionalis atau menyebrang menuju GAM. Namun demikian,
upaya teror yang dilakukan tentara, memunculkan instink pilihan. Menurut Robinson (2014) penggunaan teror oleh militer Indonesia dalam aksi kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim Orde Baru pertengahan 1990 telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang terpengar uh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik dan mendukung. Polemik inilah yang mengemuka dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Sebagai sebuah karya sastra, ia berusaha menyampaikan narasi empiris dengan sajian yang fiktif. Meski demikian, tidak melunturkan unsur mimetik dari peristiwa sosial yang terekam dalam pikiran pengarangnya. Hal ini tentu saja dimungkinkan, karena karya sastra merupakan fenomena kebudayaan, kebudayaan selalu lahir dan berangkat dari dinamika sosial. Sehingga pada dasarnya sastra dapat dikaji melalui pintu sosiologi. Sosiologi menurut Bertand dalam Rifa’i (2011: 21) adalah studi tentang hubungan antara manusia (human relationship).
Ade Hikmat : Representasi Konflik di Aceh dalam Novel Lampuki Karya Arafaat Nur
89
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dirumuskan masalah sebagai berikut, “Bagaimanakah representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki karya Arafat Nur?” TUJUAN Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah, untuk mengetahui representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. KAJIAN TEORI Novel Menurut Semi (1993: 32) novel merupakan konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas. Di sini pandang Semi lebih mengemukakan bagaimana ketegangan menjadi bagian yang harus ada dalam novel. Namun, Esten (2000: 12)lebih longgar menyampaikan tentang pengertian novel. Menurutnya, novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang) di mana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya. Tak jauh berbeda dengan Esten, H.B.Jassin (1991: 78) mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu yang bersifat cerita, bukan semacam lukisan. Novel juga menceritakan sesuatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orangorang, luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Kedua pendapat tersebut menekankan bagaimana pentingnya konflik. Konflik ini kemudian dibangun dengan dua unsur. Menurut Tjahyono(1988: 44) kedua unsur itu terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah hal-hal yang membangun karya sastra dari dalam, sedangkan ekstrinsik adalah halhal yang berada di luar struktur karya sastra yang mempengaruhi karya sastra tersebut.Unsur intrinsik novel antara lain adalah tema, alur, latar, sudut pandang, amanat, gaya bahasa dan penokohan. Sedangkan unsur ekstrinsik meliputi, agama, politik, ekonomi, budaya, nilai moral dan nilai pendidikan. Adapun jenis novel terdiri dari tiga golongan, menurut Sumardjo dan Saini K. M. (1988: 29) 90
bahwa tiga golongan tersebut terdiri dari novel percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi. Namun demikian, penggolongan tersebut bukan sesuatu yang ajeg. Artinya, jenis novel ini terus berkembang bahkan muncul jenis yang lain seperti detektif maupun misteri. Hal inilah yang diungkapkan oleh Klare (2004: 11-12)yang terdiri dari picaresque,The Bildungsroman, epistolary novel, historical novel, satirical novel, gothic novel, dan detective novel.Novel picaresque merupakan genre novel yang mencoba untuk meletakkan ketidakadilan sosial yang terlihat dengan cara yang satir. Novel seperti ini kita dapat rasakan pada karya Andrea Hirata dalam trilogi Laskar Pelangi. Selanjutnya, TheBildungsromanatau novel pendidikan, kata Bildungsromandiambil dari bahasa Jer man untuk menyebut genre novel yang menjelaskan perkembanganprotagonisdarimasa kanak-kanakhingga dewasa.Genre lainnya adalah epistolary novel.Genre ini lebih memandang pada sudut pandang saja.Yakni sudut pandang orang pertama. Adapun genre Historical novel atau novel sejarah merupakan novel yang berangkat dari fakta sejarah untuk kemudian dimodifikasi dengan sedemikian rupa untuk mencapai efek-efek tertentu.Kini genre novel seperti ini cukup populer. Untuk genre selanjutnya adalah satirical novel. Genre ini memvisualisasikan kesenjangan hidup dengan cara yang kritis. Adapun dua genre selanjutnya, jarang diangkat oleh novelis Indonesia terkini, untuk gothic novel, hanya novel Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau karya Eka Kurniawanyang agak lebih menonjol dibanding novel Hantu Pondok Indah dan yang lainnya yang ditransformasi dari film.Adapun detective novel, genre ini sepertinya jarang muncul dalam sastra Indonesia.Namun bukan berarti, pembaca Indonesia tidak menyukai novel dengan genre semacam ini.Justru, tidak sedikit di toko buku, novel-novel terjemahan genre ini dipajang, seperti serial Sherlock Holmes. Kajian Sosiologi Sastra Sosiologi menurut Bertand dalam Rifa’i (2011: 21) adalah studi tentang hubungan antara manusia (human relationship).Pengertian tersebut paling tidak menerangkan titik temu antara sastra dengan sosiologi. Sastra pada dasarnya merupakan upaya STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
merefleksikan kehidupan kedua yang kemudian memunculkan teori mimetik (tiruan kenyataan). Sehingga mengkaji sastra dari sudut sosiologi merupakan suatu kemungkinan. Hal ini senada dengan pendapat Endraswara dalam Kurniawan (2009: 105)yang menjelaskan bahwa, “Sosiologi adalah ilmu yang objek studinya adalah manusia, sedangkan sastra juga demikian, merupakan hasil ekspresi kehidupan manusia yang tidak akan lepas dari akar masyarakatnya.” Tak jauh berbeda dengan Endraswara, Semi menyatakan bahwa, Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat.Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya.Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.Bahkan masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya. Pendapat Semi tersebut telah menegaskan kembali hubungan kausal antara masyarakat dengan karya sastra. Sehingga bisa ditarik benang merah, bahwa tidak mungkin ada karya sastra tanpa ada masyarakat. Sastra Klasik Indonesiahubungan kausal tersebut, bagaimana aturan adat disampaikan dalam hikayat maupun fabel. Bahkan kemudian cikal bakal kesastraan Indonesia pun terepresentasi dalam bentuk undang-undang. Sosiologis sastra menurut Rahwana (2014) memiliki dua kecenderungan pokok. Kecendrungan itu terdiri dari(1) Pendekatan yang berdasarkan ang gapan bahwa karya sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. (2) Pendekatan yang beranggapan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan dengan metode analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.
Pendapat tersebut menekankan kecendrungan pada penelaahan sosiologi sastra. Keduanya sahsah saja untuk kemudian dijadikan sebagai upaya mengetahui bagaimana peristiwa sosial terjadi dalam teks sastra. Berdasarkan coraknya, menurut Junus dalam Suwardi (2011: 3) terdapat dua corak, yaitu (1) sociology of literature dan (2) literary sociology. Corak pertama lebih melihat aspek sosial yang menghasilkan karya sastra, sementara yang kedua lebih menekan faktor sosial yang terdapat dalam karya sastra. Pada penelitian ini, maka arah penelitiannya lebih pada faktor sosial yang terdapat dalam karya sastra. Berdasarkan klasifikasinya, Damono (2004: 34) menjelaskan sosiologi sastra terbagi ke dalam tiga bagian.Ada yang disebut dengan sosiologi pengarang, yakni aspek yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kemudian sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya, dan yang terakhir adalah sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Sedikit berbeda dari Damono,Setiadi dan Kolip (2011: 948-949) mengklasifikasikan sosiologi sastra berdasarkan objek kajiannya yang dibagi menjadi delapan yaitu, (1) Masalah kemiskinan, dimana suatu keadaan seseorang atau sekelompok orang tidak sanggup untuk memelihara dirinya sesuai dengan standar kehidupan kelompoknya, dan ketidakmampuan untuk memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok ini, (2) Masalah kejahatan, yaitu suatu gejala seseorang atau sekelompok orang menyakiti atau melanggar hak-hak dan merampas hak-hak orang lain, (3) Disorganisasi keluarga, yaitu suatu perpecahan dalam keluarga sebagai unit, oleh karena ang gota keluarga ini gagal memenuhi kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya, (4) Masalah generasi muda, yaitu semakin bertambahnya usia kerja tentunya akan
Ade Hikmat : Representasi Konflik di Aceh dalam Novel Lampuki Karya Arafaat Nur
91
menimbulkan masalah lain seperti penyediaan lapangan pekerjaan dan sarana-sarana pendidikan dan keterampilan agar memiliki daya guna bagi kehidupan masyarakatnya, (5) Peperangan, yaitu menyangkut sebab-sebab sekelompok orang atau bangsa menyerang kelompok orang atau bangsa lain, (6) Pelanggaran terhadap norma masyarakat, dimana dalam kehidupan masyarakat selalu terdapat kecendrungan dari seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan penyimpangan atas norma dan tata aturan yang berlaku di dalam kelompoknya, (7) Masalah kependudukan, yang erat kaitannya dengan jumlah produksi yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebab persoalan ini jika tidak tertangani akan menimbulkan berbagai sebab di antaranya penyakit sosial (social patalogy), (8) Masalah lingkungan, yaitu permasalahan konservasi lingkungan dan pencemarannya sebagai akibat perilaku manusia yang terkait dengan pemenuhan akan kebutuhan hidupnya. Pendapat tersebut sejenak memang berpijak pada aspek empiris kehidupan manusia sehari-hari yang tidak terlepas dari delapan aspek tersebut. Hal ini yang memang diangkat dalam beberapa karya di antara Beleng gu karya Armijn Pane yang membahas tentang disorganisasi keluarga atau novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka yang membahas tentang pelanggaran terhadap norma masyarakat. Jika memandang novel Lampuki, maka novel ini mengangkat bagian peperangan. Hal ini karena alur cerita novel tersebut berpusat pada pertikaian GAM dan TNI. Teori Konflik Menur ut Wirawan (2010: 1-2) konflik merupakan perbedaan persepsi mengenai kepentingan terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif. Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi. Pendapat ini secara tegas mengungkapkan karakteristik konflik. Bahwa konflik tidak akan terjadi jika tidak ada perbedaan. Perbedaan yang memicu konflik lebih pada perebutan kepentingan. Hal ini yang terjadi pada beberapa konflik, baik 92
dalam lingkungan masyarakat terkecil yakni keluarga maupun dalam konteks yang lebih besar, organisasi maupun suatu daerah. Berdasarkan tipenya, Kartikasari (2001: 6) membedakan menjadi empat macam, yaknitanpa konflik, konflik laten, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di permukaan. Tanpa konflik berarti setiap kelompok atau masyarakat yang hidupdamai itu lebih baik, jika mereka ingin agar keadaan ini terusberlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. Untuk konflik laten merupakan konflik yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Adapun konflik terbuka, merupakan konflik yang berakar dari semangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.Selanjutnya, konflik di permukaan, konflik ini memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. Konflik tidak akan terjadi jika tidak ada sebabnya. Menurut Wiese dan Becker dalam Soekamto (2006: 91) sebab yang melatarbelakangi adanya konflik atau pertentangan ialah perbedaan antara individu-individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial. Perbedaan antara individu-individu berarti ketidaksamaan visi antar satu pihak dengan pihak lain bisa memunculkan konflik. Biasanya perbedaan antar individu ini dapat meluas menjadi perbedaan antar daerah. Seperti beberapa konflik yang terjadi di daerah, karena salah seorang memukul warga suatu desa, maka desa yang bersangkutan akan bertindak kepada seluruh warga yang merupakan bagian dari pemukul tersebut atau dalam kata lain, konflik sederhana dapat membesar. Selanjutnya konflik yang diakibatkan perbedaan kebudayaan. Konflik semacam ini memang lazim terjadi, terlebih di Indonesia yang memiliki latar kebudayaan yang sangat variatif sehingga sering terjadi gesekan antar kebudayaan yang beragam tersebut. Adapun perbedaan kepentingan, biasanya sering terjadi dalam ranah politik dan ekonomi. Sengketa lahan maupun perebutan kekuasaan akan selalu memunculkan konflik yang bisa berakhir pada STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
konflik anarkis. Terakhir, perbedaan sosial. Kecemburuan sosial sering memunculkan konflik utamanya berkaitan dengan dikotomi antara kaum bangsawan dengan kaum miskin. Konflik seperti ini biasanya dimenangkan kaum bangasawan sebagai pemilik modal. Keempat pemicu konflik tersebut tentu saja selalu melahirkan akibat. Namun ternyata tidak semua akibatnya itu buruk, ada juga akibat baiknya. Wirawan (2010: 106-109) menyebut beberapa akibat tersebut yaknibertambahnya solidaritas/ ingroup, hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok, adanya perubahan kepribadian individu, hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia, dan akomodasi, dominasi, dan takluknya suatu pihak. Akibat pertama memunculkan solidaritas merupakan aspek positif, solidaritas di sini tercipta sebagai akibat dari tekanan yang sama yang dirasakan oleh korban konflik. Misalnya solidaritas yang terjadi di Palestina atau di Aceh yang semula tidak mendukung GAM pada akhirnya melakukan perjuangan yang serupa. Konflik dapat dibedakan berdasarkan posisi pelaku konflik yang berkonflik, yaitu (Wirawan, 2010: 116) 1) Konflik vertikalKonflik yang terjadi antara elite dan massa (rakyat). Elit yang dimaksud adalah aparat militer, pusat pemerintah ataupun kelompok bisnis. Hal yang menonjol dalam konflik vertikal adalah terjadinya kekerasan yang biasa dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat. 2) Konflik horizontal: Konflik terjadi dikalangan massa atau rakyat sendiri, antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Artinya, konflik tersebut terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan relative sederajat, tidak ada yang lebih tinggi dan rendah. TENTANG NOVEL LAMPUKI Lampuki ditulis oleh Arafat Nur. Meski bukan kelahiran Aceh –dia lahir di Lubuk Pakam, Sumatra Utara, 22 Desember 1974- namun semasa hidupnya di habiskan di Aceh, mulai SD sampai SMA. Dia kini dipercaya sebagai Ketua Devisi Sastra pada Yayasan Ranub Aceh (KRA). Novel Lampuki merupakan novel pemenang lomba menulis novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2011. Berkat novel ini ia
diundang menjadi pembicara dalam Ubud Writers & Readers Festival, sebuah ajang sastra internasional di Bali yang diikuti 17 negara. Selain itu, berkat novel ini juga ia diundang menjadi pembicara dalam Asean Literary Festival yang diselenggarakan di Jakarta. Novel ini bercerita tentang Teungku Muhammad yang merupakan guru ngaji dari anak-anak kecil yang berada di daerah Lampuki. Suatu malam dia didatangi Ahmadi, tokoh berandal yang kini menjadi pemberontak. Disebut juga sebagai Si Kumis Tebal lantaran memiliki ciri khas tersebut. Dia sengaja datang dengan maksud untuk membujuk dan memperdaya murid-murid Teungku Muhammad untuk bergabung dengannya bahkan ia melarang mereka untuk pergi ke sekolah. Namun, hasutan itu tidak lantas digubris oleh mereka, lantaran mereka tahu bahwa memberontak sama saja menyerahkan nyawa. Mereka orang-orang Lampuki sudah banyak mengalami kehilangan lantaran perang yang berkepanjangan. Hadirnya Ahmadi dengan pasukan pemberontaknya membuat resah. Ia terus berusaha membujuk, namun tak banyak yang turut bergabung. Hing ga akhirnya ia melakukan pengeboman yang mengundang tentara untuk mencari pelakunya. Situasi pun menjadi genting. Tentara yang berusaha mencari pelaku melakukan tindakantindakan yang membabi buta sehingga timbul korban, sementara pelakunya dapat melenggang bebas di jalanan tanpa mereka ketahui. Kehadiran tentara juga memunculkan ceritacerita unik, mulai kecemburuan sampai pada larangan berkumis. Semua disajikan secara satir dan humoris meski sesekali dimunculkan adegan berdarah-darah. Kisah pemberontakan terus berlanjut dengan persembunyiaan yang akhirnya memunculkan keputusasaan yang pada akhirnya mereka mati di mata senapan tentara. METODE PENELITIAN Dalam upaya mengkaji konflik dalam sebuah karya sastra, maka sebagai sebuah fenomena sosial, untuk mengkajinya menurut Verlag dan Hamburg (2011: 12) adalah dengan menggunakan metode kualitatif.
Ade Hikmat : Representasi Konflik di Aceh dalam Novel Lampuki Karya Arafaat Nur
93
Selanjutnya, untuk mengetahui nilai tersebut tentu tidak dengan angka-angka melainkan katakata. Maka dalam penelitian ini, metode yang sesuai adalah deskriptif kualitatif. Hal ini karena metode deskriptif kualitatif menurut Semi (2012: 13) merupakan metode yang menguraikan data dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angka-angka.
PEMBAHASAN Penelitian ini akan membahas mengenai representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Novel ini akan dikaji berdasarkan posisi pelaku konflik yang berkonflik. Dalam hal ini terdiri dari dua aspek, konflik vertikal dan konflik horizontal. Representasi Konflik Vertikal Aceh merupakan daerah yang cukup rawan karena memiliki potensi ekonomi yang lumayan menggiurkan. Sebuah hipotesis dikemukakan oleh Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh: Obat terlarang: Pasukan keamanan mendorong petani lokal Aceh untuk menanam ganja dan membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai pasar gelap. Salah satu contoh kasus yang disorot adalah di mana seorang polisi pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia mengangkut 40 kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi Aceh Besar (perlu dicatat bahwa pada saat itu Kepolisian Republik Indonesia atau Polri berada di bawah komando militer atau ABRI). Kasus lain adalah pada bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat oleh polisi di Binjai, Sumatera Utara dengan muatan 1.350 kg ganja. Penjualan senjata ilegal: Wawancara pada tahun 2001 dan 2002 dengan para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer Indonesia. Metode pertama penjualan ilegal tersebut adalah: personil militer Indonesia melaporkan senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran. Kedua, oknum personil militer 94
utama Indonesia yang mempunyai otoritas akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan pasokan senjata serta amunisi. Pembalakan liar : Oknum militer dan polisi disuap oleh perusahaan penebangan untuk mengabaikan kegiatan penebangan yang dilakukan di luar wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan Leuser yang didanai oleh Uni Eropa dari pertengahan 1990-an untuk memerangi pembalakan liar sebenarnya telah menemukan bahwa oknum polisi dan militer Indonesia yang seharusnya membantu mencegah pembalakan liar, pada kenyataannya malah memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan memulai kegiatan ilegal tersebut. Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia mengelola “usaha perlindungan” liar untuk mengekstrak pembayaran besar dari perusahaan-perusahaan besar seperti Mobil Oil dan PT Arun NGL di industri minyak dan gas, serta perusahaan perkebunan yang beroperasi di Aceh. Sebagai imbalan untuk pembayaran liar tersebut, militer akan mengerahkan personilnya untuk “mengamankan” properti dan daerah operasi perusahaan tersebut. Perikanan: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk menjual tangkapan mereka kepada oknum militer dengan harga jauh di bawah harga pasar. Oknum militer kemudian menjual ikan untuk bisnis lokal dengan harga yang jauh lebih tinggi. Oknum dari Angkatan Laut Indonesia mungkin juga mencegat kapal-kapal nelayan untuk memeras pembayaran dari nelayan. Kopi: Serupa dengan nelayan, penanam kopi dipaksa menjual biji kopi kepada oknum militer dengan harga murah yang kemudian menjualnya dengan harga tinggi.
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa konflik di Aceh memang merupakan konflik perebutan kepentingan selain juga konflik ketidak percayaan terhadap pemerintah. Dalam novel Lampuki ini, represi dari tentara menjadi bagian dari konflik vertikal, karena tentara sebagai perwujudan pemerintah melakukan STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
tindakan yang merugikan masyarakat Aceh. Meski konflik dalam novel ini tidak digambarkan pada perebutan nilai ekonomis, namun kekerasan yang ditujukan pemerintah memberikan ketakutan pada masyarakat bahkan kepada orang yang tak bersalah, seperti petikan berikut ini, Nahas betul nasibnya, sebelum cita-citanya tercapai dia mati di ujung senapan. Tubuh kurusnya bolong-bolong dicabik puluhan logam peluru di kebun pisang belakang rumah. Entah ketika itu dia hendak buang hajat atau memang mau pergi ming gat lagi. Kala jasadnya dimandikan, selangkangannya penuh kotoran, sampai salah seorang yang memandikannya muntah-muntah. (Nur, 2011:291) Lelaki yang ditembak ini bernama Anwar, meski tidak bersalah yang dipertegas oleh pernyataan tokoh aku (Nur,2011: 290) dalam cerita ini, tetap saja Si Komandan Pos tidak percaya karena menganggap mereka telah bersekongkol. Sehingga pada akhirnya memunculkan kekhawatiran berlebihan terhadap tentara. Perilaku semena-mena tersebut kembali terjadi, ketika orang tak bersalah kali ini Majid yang hanya karena berkumis harus kena pukulan dari tentara. Tindakan ini memang muncul lantaran keputusasaan tentara memburu pemberontak yakni Ahmadi yang berhasil membunuh pasukan tentara yang sedang berpawai. Ahmadi yang berkumis ini kemudian menjadi sasaran sehingga semua orang diperintahkan untuk mencukur kumisnya. Majid yang baru kembali dari perantauan tidak tahu hal itu sehingga meski membela, ia harus menerima popor senapan di wajahnya. Seperti tercermin pada kutipan berikut ini, Paijo mengabaikan berbagai penjelasan dan pembelaan Majid yang terucap dari mulutnya yang gagap gemetar. Pembelaannya justru semakin menimbulkan kemarahan, kian memunculkan kecurigaan, tak ubahnya seorang lihai yang sedang bermuslihat, mengecoh degan kecakapan bersilat lidah –lidahnya seolah-olah sedang bersiasat untuk menciptakan dalih dusta guna mengelabui mereka. Maka Paijo pun memukul lidahnya, tetapi yang kena hantam malah mulut dan mukanya. Hal inilah yang membuat masyarakat tidak bergabung untuk turut memberontak, seperti yang disampaikan dalam novel ini,
Alasan keengganan orang-orang adalah mereka tidak ingin mencari-cari penyakit dengan tentara. Jera sudah tubuh dan jiwa mereka atas azab yang mereka tanggung sebelumnya semasa Tahuntahun Pembantaian berlangsung. (Nur, 2011: 49). Representasi Konflik Horisontal Selain konflik vertikal, konflik yang lalu muncul juga adalah konflik vertikal. Konflik ini wajar terjadi karena didasari oleh ketidaksenangan akan adanya pertikaian. Saparatis dianggap sebagai biang keladi terhadap kehancuran yang terjadi. Menghancurkan rasa aman dan ketentraman. Hal ini wajar terjadi dalam setiap konflik seperti yang disinggung bahwa konflik seperti yang disampaikan Wirawan di awal pembahasan ini (2010: 106-109). Dalam novel ini, representasi konflik horisontal ini terlihat pada penggalan berikut ini, Pemimpin-pemimpin kami di sini, sejak dari masa kejayaan kesultanan sampai pada keruntuhan, terkenal paling suka bersitegang, berkelahi, membunuh, dan memelihara pertikaian abadi sehingga pada akhirnya kami semua terpuruk, tersuruk-suruk dalam kesengsaraan, hina, papa, dan binasa. Dan, mereka yang tersisah adalah banditbandit yang selamanya akan menjadi penyakit bagi kami semua. Mereka sangat senang begitu menyaksikan saudara yang sama jabatan atau yang lebih tinggi dari dirinya, jatuh terpuruk atau celaka. Tak ada orang lain yang boleh lebih hebat dan hidu senang di negeri ini. (Nur, 2011: 42) Pada kutipan tersebut, terlihat bagaimana konflik horisontal seperti sengaja dipelihara sebagai upaya untuk mendapatkan jabatan atau dalam novel ini lebih menekankan pada upaua superioritas yang diusahakan oleh kelompok tertentu untuk menindas kelompok minoritas yakni masyarakat. Ketidaksenangan juga terlihat pada seperatis yang juga bertindak semena-mena, misalnya dengan melarang masuk sekolah seperti kutipan berikut ini, Namun, aku melihat larangan sekolah itu lebih pada kepentingan lain yang merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap bertambahnya jumlah musuh kumisnya dari golongan kaumnya sendiri –yang kumaksud tentu saja bukan kaum kumis- yang kelak akan menyerang dan mengancam kumisnya... (Nur, 2011: 46)
Ade Hikmat : Representasi Konflik di Aceh dalam Novel Lampuki Karya Arafaat Nur
95
Ketidaksenangan semacam itu tentu saja wajar. Hal ini karena larangan itu bersifat spekulatif untuk meneguhkan kepentingan kelompok tertentu. Ini yang kemudian disadari oleh masyarakat dalam novel ini sehingga pada akhirnya tidak menggubris larangan sekolah tersebut. Konflik horizontal juga terjadi ketika masyarakat lebih menginginkan perdamaian dibandingkan dengan pemberontakan. Namun konflik dalam bentuk penolakan yang tidak dilanjutkan dalam upaya pencegahan lantaran ketidakkuasaan melakukan hal tersebut. Hal ini seperti terlihat pada kutipan berikut ini, Maka, ketenangan yang sejenak hadir, tidak berlangsung panjang begitu lelaki itu muncul bersama kawan-kawan muda, menggelar tikar di beranda rumah mertuanya, lantas menghamburkan potongan-potongan senjata, megasin, laras AK-47 yang msih terpisah, beserta ratusan peluru sambil tergelak kegirangan... (Nur, 2011: 76) Pernyataan tersebut menunjukkan ketenangan yang didapat kemudian diganggu lantaran adanya upaya untuk melakukan pemberontakan. Kegiatan tersebut yang lalu membuat orang-orang gelisah seperti yang ditulis pengarang novel ini, Dia tidak menyadari wabah ketakutan dan ngeri di wajah mertua dan semua orang Lampuki yang begitu cepat menyebar dan menggentarkan tubuh. Celakanya, Ahmadi mengira sekalian orang turut menyambut dan mendukung tindakan bodohnya. (Nur, 2011: 77) Konflik ini bisa jadi ditimbulkan dari upaya untuk memilih berdamai dibandingkan berada di tengah kekacauan. Pembantaian yang terjadi tentu menyisakan luka dan kesedihan yang mendelam, sehingga tak seorang pun hendak merasakan yang kedua kalinya. KESIMPULAN Aceh sebagai wilayah yang penuh konflik ternyata menyajikan sudut pandang cerita yang lain. Jika ditilik melalui novel Lampuki karya Arafat Nur ini, maka representasi konflik di Aceh terbagi menjadi dua. Yakni konflik vertikal, antara masyarakat dengan tentara (pemerintah), dan juga konflik horisontal antara masyarakat dengan pemberontak.
96
Kedua jenis konflik ini sebetulnya merupakan sesuatu yang tidak diharapkan karena kedua konflik yang terjadi telah merugikan banyak pihak yang tidak bersalah, tidak hanya harta, namun juga nyawa. DAFTAR PUSTAKA Jassin, H. B. 1991.Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: CV Haji Masagung. Esten, Mursal. 2000.Kesusastraan, Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung : Angkasa. Klare, Mario. 2004. An Introduction to Literary Studies: Second edition. London: Routladge. Kurniawan,Heru.2009. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif.Yogyakarta: Graha Ilmu. Nur, Arafat. 2011. Lampuki. Bandung: Serambi Ilmu Semesta. Rahwana. 2014. Teori Kritik Sastra Akademik Periode. http://rahwana-gosaki.blogspot.com. Rifa’i, Muhammad. 2011. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Sapardi Djoko Damono. 2002.Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Semi, Atar.2012. Metode Penelitian Sastra.Bandung: CV ANGKASA. ____. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1988.Apresiasi kesusastraan,Jakarta : Gramedia. Suwardi. 2011. Diktat Sosiologi Sastra. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo. Tjahyono, Liberatus Tengsoe. 1988.Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi, Jakarta : Nusa Indah. Verlag,Rowohlt Taschenbuch dan Reinbek bei Hamburg.2011. An Introduction to Qualitative. London: Sage Publication. Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika. http://id.wikipedia.org/wiki/ Pemberontakan_di_Aceh
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM PERCAKAPAN PARA TOKOH FILM LASKAR PELANGI Nur Aini Puspitasari Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP-UHAMKA
Abstract: Based on the results of a study of narrative film Laskar Pelangi figures it can be concluded that the use of directive speech acts associated with the speakers intent to ask the hearer to do something. Directive speech act can be viewed from various aspects, as proposed by Bach and Harnish are divided into subcategories six directive speech acts, namely (1) requestives directive speech act, (2) questions directive speech acts, (3) requirements directive speech acts; (4) directive speech acts prohibitive; (5) permissives directive speech acts; (6) directive speech acts advisories. The sixth subcategory directive speech acts can be found in this thesis. Questions directive speech acts are directive speech acts that are mostly foundin this study.
PENDAHULUAN Komunikasi dapat dianggap sebagai fungsi yang paling umum bukan hanya terjadi bagi pengguna bahasa. Komunikasi bukan hanya terjadi pada pemakaian bahasa tetapi memang bahasa merupakan sarana yang paling terperinci dan efektif untuk berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi dapat berjalan dengan lancar antara pembicara dan pendengar harus saling mengenal bahasa yang digunakannya. Komunikasi yang wajar dapat diasumsikan seorang penutur mengartikulasi ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada petuturnya dan berharap petuturnya memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuturan relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas (concise) dan selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu petuturnya. Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi, yang dapat berupa gagasan, pikiran, maksud, perasaan maupun emosi secara langsung. Maka, dalam setiap proses komunikasi ini terjadi apa yang disebut peristiwa tutur dan tindak tutur.
Tindak tutur biasa terjadi dalam komunikasi sehari-hari. Seperti dalam percakapan, dialog, diskusi, tanya jawab, wawancara, dan debat. Tindak tutur juga terdapat dalam drama, karena dalam drama tindak tutur yang terjadi didukung oleh faktor-faktor nonbahasa, seperti gerak-gerik, mimik, intonasi, irama, dan jeda. Dalam film juga terdapat tindak tutur karena terjadi percakapan antara penutur dengan petutur. Misalnya saja dalam film Laskar Pelangi, yang mampu mengkomunikasikan gagasan penutur kepada petutur melalui dialog. Film Laskar Pelangi menarik untuk diteliti karena mengandung tindak tutur direktif. Hal ini terlihat dari percakapan para tokoh yang terdapat dalam film tersebut. KAJIAN TEORI 1. Tindak Tutur Tindak tutur merupakan suatu tindakan yang diungkapkan melalui bahasa yang disertai dengan gerak dan sikap anggota badan untuk mendukung pencapaian maksud pembicara. Leech (1983: 19 – 20) berpendapat bahwa tindak tutur ditentukan adanya beberapa aspek situasi ujar, antara lain (1) yang menyapa (penyapa, penutur) dan yang disapa
Nur Aini Puspitasari: Tindak Tutur Direktif Dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi
97
(petutur); (2) konteks sebuah tuturan (latar belakang); (3) tujuan sebuah tuturan; (4) tuturan sebagai bentuk sebuah tindak kegiatan; (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Austin (1962: 108) mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu, dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadian karena pada umumnya ujaran yang merupakan tindak tutur mempunyai kekuatan-kekuatan. Berdasarkan hal tersebut Austin membedakan atau mengkalisfikasikan tindak tutur menjadi tiga aspek. Ketiga aspek tersebut yaitu tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak mengucapkan kata atau kata-kata yang menurut tata bahasa dapat dimengerti dalam bahasa tertentu. Tindak ini kurang lebih dapat disamakan dengan menuturkan tuturan dengan makna dan acuan tertentu. Tindak ilokusi adalah tindak yang dilakukan dalam mengujarkan sesuatu. Tindak perlokusi adalah tindak yang mengacu kepada dampak atau efek yang ditimbulkan dengan menyatakan sesuatu. Searle membedakan tindak ilokusi dan perlokusi. Menurut Searle tindak ilokusi ialah pesan yang dikonvensionalisasi yang dimaksudkan untuk dipahami petutur jika dia menganggap ujaran penutur sahih. Searle menegaskan bahwa penutur melakukan tindak ilokusi dengan memgungkapkan maksudnya untuk menjanjikan sesuatu, meminta seseorang melakukan sesuatu, menegaskan sesuatu, dan sebagainya. Dengan cara seperti itu, petutur dapat mengenali maksud penutur. Pada sisi lain, tindak perlokusi merupakan tindak yang tidak dikonvensionalisasi. Apakah penutur terhina, terbujuk, percaya, dan sebagainya tidak dapat dikenali hanya dari tindakan percaya atas pemahaman petutur. “Keberhasilan” dalam tindak perlokusi tidak dapat diprediksi dengan cara yang sama dalam tindak ilokusi. (Searle, 1969: 23-24) Daya ilokusi tuturan pada dasarnya sesuatu yang dimaksudkan untuk dipahami. Keberhasilan dalam komunikasi terjadi manakala petutur dapat menangkap maksud penutur tersebut. Mereka memandang komunikasi sebagai proses inferensial. Penutur dengan apa yang dikatakannya memberi dasar bagi petutur untuk menginferensi maksud penutur. 98
Dalam sebuah tuturan konteks juga sangat berpengaruh dalam pemahaman tindak tutur. Konteks tuturan sangat mempengaruhi interpretasi tindak tutur oleh penutur maupun lawan tuturnya. 2. Taksonomi Tindak Tutur Klasifikasi taksonomi tindak tutur yang dikemukakan para ahli mempunyai beberapa perbedaan (Cruse, 2004: 356). Perbedaan pengklasifikasian tersebut terjadi karena perbedaan sudut pandang dari para ahli, ada yang melihatnya dari sudut pandang filosofis, linguistik, dan relasi personal, seperti pada tabel berikut. Tabel 1 Taksonomi Tindak Tutur Berbagai Ahli
Fraser dalam Nadar (2009: 16-17) juga membuat taksonomi tindak ilokusi menjadi delapan macam lengkap dengan contoh-contoh kata kerjanya sebagai berikut. a. Acts of Asserting, contohnya accuse, acknowledge, add, admit, advocate, affirm, agree, allege, announce, apprise, argue, assent, assert, attest, aver, claim, comment, concede, conclude, concur, confess, confirm, conjecture, declare, deduce, denounce, deny, disagree, dispute, emphasize, grant, hold, inform, maintain, mention, note, notify, observe, point out, postulate, predict, proclaim, profess, protest, reaffirm, recognize, refuse, remark, remind, repeat, reply, respond, retort, say, state, submit, suggest, swear, tell, very, warn. b. Acts of Evaluating, contohnya adjudge, analyse, appraise, assess, calculate, call, certify, characterize, choose, cite, classify, conclude, date, declare, describe, diagnose, estimate, figure, formulate, evaluate, find, grade, guess, hold, hypothesize, insist, interpret, judge, locate, make, measure, picture, place, portray, postulate, STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
put, rank, read, reckon, regard, rule, speculate, take, theorise, value. c. Acts of Reflecting Speaker Attitude, contohnya accept, apology, acclaim, admonish, agree, apologize, applaud, approve of, blame, commend, commiserate, complain, compliment, congratulate, condemn, credit, curse, denounce, deplore, disagree, endorse, excuse, favor, object to, oppose, praise, protect, question, recognize, regret, salute, sympathise, thank, wish. d. Acts of Stipulating, contohnya abbreviate, begin, call, characterize, choose, class, classify, code, declare, describe, define, denote, designate, distinguish, dub, identify, nominate, parse, recast, rule, select, specify, stipulate, term. e. Acts of Requesting, contohnya appeal, ask, beg, bid, call on, command, demand, direct, enjoin, forbid, implore, insist, inquire, instruct, invite, order, petition, plead, pray, prohibit, restrict, request, require, solicit. f. Acts of Suggesting, contohnya admonish, advance, advise, advocate, caution, counsel, exhort, propose, recommend, suggest, urge, warn. g. Acts of Exercising Authority, contohnya abolish, abrogate, accept, adopt, agree to, allow, apply for, appoint, approve, authorize, bless, cancel, choose, close, condemn, consent, countermand, credit, declare, decree, deny, dismiss, disown, dissolve, downgrade, excuse, exempt, fine, forbid, forgive, grant, greet, invoke, nullify, permit, present, prohibit, renounce, repudiate, reject, restrict, take back, tender, withdraw. h. Acts of Commiting, contohnya accept, assume, assure, commit, dedicate, obligate, offer, pledge, promise, undertake, swear, volunteer, vow. Penelitian ini menggunakan taksonomi tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle yaitu asertif/ representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. Pembagian Searle didasarkan pada jenis dan hakikat tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Menurut Allan, kelima tindak tutur yang diajukan Searle merupakan tindakan antarpribadi yang biasanya ditunjukan pada individu-individu. Oleh karena itu, jenis tindak tutur Searle ini dipilih sebagai dasar kajian kerena lebih menekankan hubungan komunikasi antarpersonal. Berikut uraian kelima tindak tutur Searle (1962: 34-37) a. Tindak tutur representatif megandung nilai kebenaran atau ketidakbenaran. Tindak tutur ini harus memiliki arah kecocokan dari kata
b.
c.
d.
e.
ke dunia. Pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan, mengusulkan, membuat, mengeluh, mengemukakan pendapat, dan melaporkan. Tindak tutur direktif mewujudkan usaha pada pihak penutur agar petutur melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tersebut. Berbeda dengan tindak representatif, tindak tutur ini memliki arah kecocokan dari dunia ke kata; dunia disesuaikan dengan kata yang terujar. Dalam tindak direktif ini, muncul kewajiban petutur yang harus dilakukan. Misalnya tindak direktif adalah memerintah, memohon, menuntut, dan sebagainya. Tindak tutur komisif menjalankan pengubahan di dunia dengan cara menciptakan kewajiban; penutur berjanji kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ini memilki arah kecocokan dari dunia ke kata. Perbedaannya dengan tindak tutur direktif adalah bahwa dalam tindak tutur komisif kewajiban terletak pada diri penutur, bukan pada diri petutur. Jadi pada ilokusi ini penutur (sedikit banyak) terikat pada suatu tindakan pada masa mendatang, misalnya menjanjikan, menawarkan, berkaul, dan sebagainya. Tindak tutur ekspresif mengungkapkan keadaan psikologis penutur dan tidak memiliki arah kecocokan antara kata dan dunia. Contoh tindak ini adalah berterima kasih, meminta maaf, mengucapkan selamat, memuji, dan sebagainya. Tindak tutur deklarasi merupakan pernyataan yang mengubah perikeadaan di dunia, misalnya dari sekadar sepasang manusia menjadi suami-isteri. Tindak ini memiliki arah kecocokan dari kata ke dunia dan dari dunia ke kata. Berhasilnya ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya membaptis, memecat, member nama, menjatuhkan hukuman, mengangkat pegawai, dan sebaginya. Tindak deklarasi merupakan kategori tindak tutur yang sangat khusus karena melibatkan seseorang yang dalam sebuah lembaga diberi wewenang untuk melakukannya.
Nur Aini Puspitasari: Tindak Tutur Direktif Dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi
99
Tabel 2 Lima Fungsi Umum Dalam Tindak Tutur
3. Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif kadang-kadang disebut juga tindak tutur impositif adalah tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu (Gunarwan, 1992: 11). Tindak tutur direktif dimaksudkan untuk menimbulkan beberapa efek melalui tindakan sang penyimak (Levinson, 1983: 240). Tuturan-tuturan memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberi aba-aba, menentang termasuk ke dalam jenis tindak tutur direktif (Rustono, 1999: 33). Tindak tutur direktif dapat mengungkapkan maksud penutur (keinginan dan harapan) sehingga ujaran atau sikap yang diungkapkan dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh petutur. Menurut Bach dan Harnish (1977: 47-49), ada enam subkategori utama tindak direktif, yakni requestives (memohon), questions (pertanyaan), requirements (perintah), prohibitives (larangan), permisivves (pemberian izin), dan advisories. Requestives mengungkapkan keinginan penutur sehingga petutur melakukan sesuatu. Di samping itu, requestives mengungkapkan maksud penutur (atau jika jelas bahwa dia tidak mengharapkan kepatuhan, requestives mengungkapkan keinginan 100
atau harapan penutur) sehingga petutur menyikapi keinginan yang terekspresikan ini sebagai alasan (atau bagian dari alasan) untuk bertindak. Verba requestives ini mempunyai konotasi yang bervariasi dalam kekuatan sikap yang diungkapkan, sebagaimana yang ada dalam mengundang, mendorong, dan meminta. Di samping itu, ada verba yang lebih kuat, yang mengandung pengertian kepentingan, seperti mendesak dan memohon. Sebagian verba requestives memiliki cakupan yang lebih spesifik, misalnya memanggil atau mengundang mengacu kepada permohonan terhadap permintaan agar petutur datang. Questions (pertanyaan) merupakan request dalam kasus yang khusus, yakni yang dimohon ialah petutur memberikan informasi tertentu kepada penutur. Terdapat perbedaan di antara berbagai jenis pertanyaan, tetapi tidak semuanya penting untuk taksonomi ilokusi. Menurut Bach dan Harnish, pertanyaan yang tidak terlalu cocok untuk analisis tindak tutur ialah antara lain pertanyaan ujian, pertanyaan retoris, interogasi, pertanyaan menguji (quiz), dan menyelidik (query). Requirements (perintah) seperti menyuruh dan mendikte jangan sampai dikacaukan dengan memohon (request), meskipun permohonan dalam pengertian yang kuat. Ada perbedaan penting di antara keduanya, yakni permintaan dan per mohonan. Dalam requestives penutur mengungkapkan maksudnya sehingga petutur menyikapi keinginan yang diungkapkan oleh penutur sebagai alasan untuk bertindak. Dengan begitu, ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk bertindak. Akibatnya, perintah tidak mesti melibatkan ungkapan keinginan penutur supaya petutur bertindak dengan cara tertentu. Dalam mengungkapkan kepercayaan dan maksud yang sesuai, penutur mempraanggapkan bahwa dia memilki kewenangan yang lebih ting gi daripada petutur, misalnya otoritas fisik, psikologis, dan institusional, yang memberikan bobot ujarannya. Prohibitives (larangan) seperti melarang atau membatasi, pada dasarnya merupakan perintah agar petutur tidak mengerjakan sesuatu. Melarang orang merokok sama halnya menyuruhnya untuk tidak merokok. Prohibitives dipisahkan dari requirements STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
karena requirements menggunakan bentuk gramatikal yang berbeda dan karena terdapat sejumlah verba semacam itu. Permissives (pemberian izin) seperti halnya perintah dan larangan, mempraang gapan kewenangan penutur. Pemberian izin mengungkapkan kepercayaan penutur dan maksud penutur sehingga petutur percaya untuk merasa bebas melakukan tindakan tertentu. Alasan yang jelas untuk menghasilkan pemberian izin tampak bahwa penutur mempraanggapkan adanya permohonan terhadap izin atau mempraanggapkan adanya pembatasan terhadap apa yang dimintakan izin itu. Paling tidak berkaitan dengan per missive noninstitusional, penutur mengungkapkan bahwa dia tidak melakukan tindakan tersebut. Akan tetapi, yang diharapkan membentuk alasan petutur dalam bertindak ialah ujaran penutur, bukan sikap yang diungkapkan penutur. Sebagian verba pemberian izin ini sangat khusus, seperti melindungi (bless), berpamitan (dismiss), permisi (excuse), dan melepaskan (release). Berkaitan dengan advisories, hal yang diungkapkan penutur bukanlah keinginan bahwa petutur bertindak tertentu, tetapi kepercayaan bahwa bertindak sesuatu merupakan hal yang baik dan tindakan itu merupakan kepentingan petutur. Penutur juga mengungkapkan maksud bahwa petutur mengambil kepercayaan berupa ujaran penutur sebagai alasan untuk bertindak. Advisories bervariasi menurut kekuatan kepercayaan yang diungkapkan, misalnya admonishing (memperingatkan) dan suggesting (menyarankan). Sebagian advisories mengimplikasi adanya alasan khusus sehingga tindak yang disarankan merupakan gagasan yang baik, misalnya penutur mempraanggapkan adanya suatu sumber bahaya atau kesulitan bagi petutur. 4. Konsep Wacana dalam Film Laskar Pelangi Film Laskar Pelangi merupakan karya yang fenomenal karena memiliki tiga alasan, yaitu pertama menjadi buku terlaris sepanjang sejarah sastra Indonesia. Kedua, Laskar Pelangi dapat dijadikan contoh dan role model dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ketiga, mampu memotivasi pembaca atau pemirsanya melalui gagasan dan dialog-dialog yang dituangkan oleh pengarang.
Film Laskar Pelangi diadaptasi dari novel fenomenal Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, yang mengambil setting akhir tahun 70-an di desa Gantong, Belitong, sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia. Film ini berkisah tentang kalangan pinggiran, tentang perjuangan hidup menggapai cita-cita yang mengharukan dan indah persahabatan. Film Laskar Pelangi tidak hanya menarik hati pemirsanya melalui kisah yang mengharukan dari 2 orang guru yang mengabdi tanpa pamrih yaitu Ibu Muslimah dan Pak Harfan dan dari 10 siswa yang bersekolah di SD Muhammadiyah Gantong yang berjuang menggapai mimpi serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia. Tetapi, menariknya Film ini tidak ditulis dengan bahasa baku selayaknya film Indonesia biasa, namun masih disuntik peribahasa Indonesia baku untuk mudah dimengerti oleh pemirsanya. Selain itu, film Laskar Pelangi menggunakan dialog-dialog secara langsung maupun tidak untuk mencapai maksud tuturan. Dalam film Laskar Pelangi komunikasi yang dilakukan berbentuk dialog. Bila film menjadi sebuah bahan belajar, maka yang akan dipelajari adalah dialognya melalui menyimak agar siswa mengerti maksud dan tujuan ujaran yang dimaksudkan. Dialog merupakan kajian dalam wacana. Percakapan atau dialog dalam film terdiri atas ide-ide yang timbul dari pikiran dan perasaan penulisnya. Hal ini sependapat dengan Suhendar dan Pien Supinah (1998: 61) bahwa, “Ide-ide yang muncul dalam membuat film harus tulus karena film itu adalah alat pengutaraan pikiran, perasaan, kehendak, dan lain-lain. Bahasa dalam film terdiri dari percakapan, komentar, cerita, dan lain-lain. Oleh karena film berbentuk percakapan atau dialog, maka percakapan itu merupakan wacana. Mengenai percakapan sebagai wacana, berikut ini Stubbs (1983: 10) memberikan batasan tentang wacana sebagai berikut: “Wacana adalah organisasi bahasa di atas kalimat atau di atas klausa, dengan perkataan lain unit-unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa, seperti pertukaran-pertukaran percakapan atau teks-teks tertulis. Secara singkat: apa yang disebut teks bagi wacana adalah kalimat bagi ujaran (Utterence).”
Nur Aini Puspitasari: Tindak Tutur Direktif Dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi
101
Dari pendapat Stubbs dapat disimpulkan bahwa percakapan itu adalah wacana. Jadi, pertukaran dalam percakapan-percakapan (dialog) di dalam film Laskar Pelangi adalah suatu wacana. Wacana dalam film Laskar Pelangi termasuk dalam wacana dialog. Dalam wacana dialog terdapat pertukaran ujaran antara dua orang pengirim atau lebih yang saling bertukar peran. Setiap ujaran itu harus mempunyai hubungan dengan ujaran lain yang merupakan repliknya. Wacana dialog dalam film mencerminkan bentuk bahasa lisan yang berfungsi sebagai sarana komunikasi, karena komunikasi merupakan fungsi yang paling umum bagi pemakai bahasa. Bila dalam film terdapat bahasa-bahasa yang tidak baku, maksudnya adalah untuk menghidupkan isi film itu sendiri. Pada wacana dialog seperti dalam film yang berisi dialog-dialog dapat terjadi tindak tutur, karena tindak tutur itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan film merupakan perwujudan kehidupan seharihari. Untuk lebih memperkuat mengenai hal itu, Chand Parves Servia berpendapat dalam Ahmadun Yosi Herfanda, “Film adalah cermin keseharian masyarakat, termasuk keseharian masyarakat dalam berbahasa. Bahasa dalam film bisa dianggap mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari.” (Republika, Minggu 7 Desember 2008) Dalam film Laskar Pelangi berisi dialog atau percakapan yang terjadi antar manusia yang di dalamnya berisi tentang informasi karena itu dapat ditemukan tindak tutur dalam dialog tersebut. Tindak tutur tersebut dapat diidentifikasi menjadi tindak tutur direktif dalam percakapan mereka dan terdapat keunikan dari tindak tutur direktif tersebut, yaitu menggunakan bermacam-macam modus tuturan. 5. Wacana Dialog Adanya dua orang yang terlibat dalam peristiwa komunikasi merupakan ciri wacana dialog (Kushartanti, 2007: 95). Pada wacana dialog terdapat paling tidak dua pelaku, yaitu yang berbicara dan yang diajak berbicara, interlokutornya. Dalam peristiwa komunikasi terjadi percakapan. Menurut Hatch dan Long dalam Brown (2007: 250) ada beberapa kaidah yang 102
mengatur percakapan, yaitu “Bagaimana kita mendapatkan perhatian orang lain? Bagaimana kita memulai topik? Menghentikan topik? Menghindari topik? Bagaimana seseorang menyela, mengoreksi, atau mencari kejelasan?” Menurut H. Clark (1994: 994) wacana dialog dianggap joint activity sehingga ada empat unsur yang terlibat, yakni (1) personalia (personel), (2) latar bersama (common ground), (3) perbuatan bersama (joint action), dan (4) kontribusi. Unsur personalia, minimal harus ada dua partisipan, yakni pembicara dan interlokutor (orang yang diajak bicara). Dalam unsur personalia tidak mustahil bila ada pendengar (side participant), yakni orang lain yang bisa juga ikut serta dalam pembicaraan itu. Selain itu, personalia juga dapat mencakup bystanders, yakni partisipan yang mempunyai akses terhadap apa yang dibicarakan oleh pembicara dan interlocutor dan kehadirannya diakui. Terakhir adalah penguping (eavesdroppers), yakni pertisipan yang juga mempunyai akses terhadap percakapan itu tetapi kehadirannya tidak diakui, artinya bisa saja ada di kamar sebelah tetapi mendengar percakapan tersebut. Clark (1994: 989) menggambarkannya sebagai berikut.
Unsur latar bersama, merujuk pada anggapan bahwa pembicara maupun interlocutor memiliki kesamaan prasuposisi dan pengetahuan yang sama. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yang didasarkan pada deskriptif kualitatif, dengan teknik analisis isi (content analysis) dan prosedur induktif. Artinya, data yang diperoleh dianalisis kemudian dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
ditetapkan sebelumnya. Aspek-aspek interpretasi teks mengikuti pertanyaan penelitian dimasukkan ke dalam kategori-kategori. Kategori-kategori tersebut dapat direvisi dan diverifikasi bersamaan dengan jalannya proses analisis (Krippendorff, 2004: 88). Langkah-langkah penelitian yang dilakukan meliputi studi teoritis, analisis wacana, dan pembahasan. Langkah-langkah tersebut sebagai berikut (1) kajian teori tindak tutur untuk mendapatkan unsur-unsur kategori tentang jenisjenis tindak tutur yang berkaitan dengan masalah penelitian; (2) kajian tentang subkategori tindak tutur direktif untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang tentang kaitannya dengan tindak tutur direktif dalam film; (3) analisis data, data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah wacana dialog yang diperoleh melalui teknik pengumpul data dari tindak tutur direktif dalam percakapan para tokoh film Laskar Pelangi. Untuk setiap cerita yang dipilih diambil beberapa peristiwa tutur yang berupa dialog. Dialog-dialog tersebut dilihat bentuk-bentuk ujarannya untuk dicari subkategori tindak tutur direktifnya, seperti requestif (memohon), question (pertanyaan), requirements (perintah), prohibitives (larangan), permisivves (pemberian izin), advisories, yang ditemukan dalam data dari film Laskar Pelangi VCD 1. Kemudian untuk menganalisis data yang sudah dikelompokkan dalam tabel pengumpul data peneliti menggunakan tabel analisis kerja; (4) pembahasan hasil analisis. Pada tahap ini peneliti membahas hasil-hasil analisis yang dikaitkan dengan masalah penelitian, teori-teori yang relevan, serta petunjuk pakar; (5) penarikan kesimpulan serta menyampaikan hasil temuan penelitian ini, penyampaian saran merujuk pada kesimpulan penelitian; (6) penulisan laporan penelitian. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti yang berperan sebagai pengamat penuh dan dibantu dengan tabel pengumpulan data dan tabel analisis kerja. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari temuan penelitian terlihat jelas bahwa terdapat subkategori tindak tutur direktif dalam percakapan para tokoh film Laskar Pelangi. Subkategori tindak tutur direktif dalam percakpan para tokoh film Laskar Pelangi meliputi;
1.
Subkategori tindak tutur direktif requestives dalam percakapan para tokoh film Laskar Pelangi Film Laskar Pelangi merupakan film yang tidak ditulis dengan bahasa baku bahasa Indonesia, tetapi masih disuntik dengan peribahasa Indonesia baku agar mudah dimengerti oleh pemirsa. Film Laskar Pelangi menggunakan dialog secara langsung maupun tidak langsung. Dalam film Laskar Pelangi terdapat tindak tutur direktif requestives karena mengandung maksud penutur yang menghendaki petutur melakukan sesuatu sesuai kehendak penutur. Permintaan penutur tersebut penyampaiannya berbeda-beda sesuai dengan konteks yang melatarinya. Menurut Bach dan Harnish (1977: 48), verba requestives memiliki cakupan yang lebih spesifik seperti memang gil. Verba memanggil dalam penelitian ini ditemukan tiga maksud misalnya, (1) penutur memanggil petutur agar memperhatikan tentang hal yang ingin disampaikan, (2) ada pula memang gil karena permohonan terhadap permintaan penutur agar petutur datang, dan (3) penutur memanggil karena secara tidak langsung penutur meminta informasi dari petutur tentang waktu libur sekolah. Bach dan Harnis (1977: 48) berpendapat bahwa verba requestives memiliki verba yang lebih kuat, yang mengandung pengertian kepentingan, seperti memohon. Pada verba memohon ditandai pada kata mohon tanpa diberi afiks me-, tetapi diberi klitika ku-. Verba memohon pada percakapan para tokoh film Laskar Pelangipenutur memohon kepada petutur karena berharap mendapatkan informasi dari petutur. 2. Subkategori Tindak Tutur Direktif Questions dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi Ujaran yang muncul dalam setiap percakapan merupakan perpaduan gagasan penutur dalam bentuk bahasa yang ingin disampaikan ataupun dalam bentuk ingin mendapatkan informasi dari petutur. Dalam film Laskar Pelangibanyak sekali ditemukan subkategori tindak tutur direktif questions karena pertanyaan yang muncul dari penutur kepada petutur untuk mendapatkan informasi, konfirmasi, dan memberi saran. Hal ini dilatari karena film Laskar Pelangimerupakan film
Nur Aini Puspitasari: Tindak Tutur Direktif Dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi
103
yang bertemakan pendidikan yang terjadi di Belitong dan berkisah tentang kalangan pinggiran yang memperjuangkan hidup menggapai cita-cita. Tindak tutur direktif question merupakan request dalam kasus yang khusus, yakni yang dimohon ialah petutur memberikan informasi tertentu kepada penutur. Temuan dalam penelitian ini hanya terdapat tiga jenis bentuk pertanyaan yang diajukan penutur kepada petutur, yakni penutur berharap mendapatkan informasi dari petutur, penutur bertanya untuk meminta konfirmasi dari petutur, dan penutur bertanya untuk meminta saran dari petutur. Hal ini merujuk kepada pendapat Bach dan Harnish (1977: 48) bahwa pertanyaan yang tidak terlalu cocok untuk analisis tindak tutur antara lain pertanyaan ujian, pertanyaan retoris, interogasi, pertanyaan menguji, dan menyelidik, sehingga peneliti hanya mengkaji tiga jenis bentuk pertanyaan yang telah ditemukan. Tiga jenis bentuk pertanyaan yang digunakan dalam percakapan para tokoh film Laskar Pelangi adalah pertama penutur bertanya untuk meminta konfirmasi, pertanyaan meminta konfirmasi pada dasarnya merupakan bagian dari permintaan informasi bedanya konfirmasi selalu merujuk kepada peristiwa percakapan terdahulu. Dalam temuan ini terdapat tiga pertanyaan meminta konfirmasi, yaitu (1) ketika Ibu Ikal meminta konfirmasi dari Ayah Ikal tentang izin di tempat kerjanya, (2) Pak Harfan meminta konfirmasi dari Bu Muslimah tentang raport khusus bagi Harun karena Harun anak yang istimewa, (3) Ikal meminta konfirmasi kepada A Ling tentang puisi yang Ikal buat. Kedua, penutur bertanya untuk meminta informasi. Menurut Goody, menyatakan bahwa secara umum diartikan sebagai pertanyaan yang mungkin benar dan mungkin juga salah. Informasi mengacu pada sesuatu yang keberadaannya bersifat independen atau berstatus objektif. Sesuatu yang dimaksud dapat berupa fakta, opini, keputusan, maksud, alasan, atau objek nyata. Dalam film Laskar Pelangi, penyampaian tindak tutur direktif question ditandai dengan adanya cara penuturan yang bernada tanya dan penggunaan segmen tutur Tanya seperti siapa, apa, di mana, dan kapan. Ketiga, tindak tutur memberi saran dipandang sebagai tindak direktif karena dalam menyampaikan saran, pembicara menyatakan sebaiknya pendengar 104
melakukan suatu tindakan. Dalam meminta suatu tindakan, tindakan yang dilakukan oleh petutur bersifat menguntungkan bagi penutur atau juga menguntungkan bagi petutur, sedangkan dalam menyampaikan saran tindakan yang dilakikan oleh petutur semata-mata menguntungkan bagi diri petutur. Hal ini terdapat pada pertanyaan memberi saran dari Bu Muslimah (penutur) kepada Pak Harfan (petutur), Bu Muslimah bertanya untuk memberi saran agar ia mencari seorang murid lagi, pertanyaan itu ditujukan kepada Pak Harfan. Bu Muslimah mengharapkan jawaban ya dari Pak Harfan. 3. Subkategori Tindak Tutur Direktif Requirements dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi Menurut Bach dan Harnish (1977: 48) tindak tutur direktif requirements merupakan pengungkapan kepercayaan dan maksud yang sesuai, penutur mempraanggapkan bahwa dia memiliki kewenangan yang lebih tinggi dari pada petutur, misalnya otoritas fisik, psikologi, dan institusional yang memberikan bobot ujarannya. Film Laskar Pelangi merupakan film yang bertema pendidikan sehing ga kental dengan unsur requirements yang dilakukan oleh para tokohnya. Kecenderungan umum yang ditemukan dalam percakapan para tokoh film Laskar Pelangiadalah tidak tutur direktif requirements dituturkan oleh guru kepada siswanya, kepala sekolah kepada guru, dan teman sejawat yang memiliki otoritas. Partikel –lah merupakan verba yang menyatakan perintah. Hal ini ditandai dari satu tuturan dituturkan oleh penutur yang tidak memiliki otoritas kepada petuturnya, tuturan tersebut hanya dituturkan kepada teman sejawatnya. 4. Subkategori Tindak Tutur Direktif Prohibitives dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi Subkategori tindak tutur direktif prohibitives merupakan tindak tutur melarang atau membatasi, yang pada dasarnya merupakan perintah agar petutur tidak mengerjakan sesuatu. Percakapan para tokoh dalam film Laskar Pelangihanya ditemukan satu tuturan yang mengandung tindak tutur direktif prohibitives. Film Laskar Pelangimerupakan film yang mencerminkan keseharian masyarakat Belitong STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
sehingga terjadi percakapan antara para tokoh dalam pergaulan sehari-hari. Di Belitong sangat sedikit mobil yang lalu lalang rata-rata masyarakat menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi. Hal ini tergambar pada aktivitas dan percakapan tokoh Mahar sebagai penutur kepada Ikal sebagai petutur yang mengandung subkategori tindak tutur direktif prohibitives. Mahar melarang Ikal untuk memeluk dirinya ketika Mahar sedang mengendarai sepeda. Percakapan ini ditandai dengan kata jangan. 5. Subkategori Tindak Tutur Direktif Permissives dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi Film Laskar Pelangi mencerminkan bentuk bahasa lisan yang terdapat pada masyarakat Belitong sehingga dapat dijadikan sarana komunikasi bagi para tokoh dalam film tersebut. Penggunaan bahasa Belitong dalam film Laskar Pelangisemata-mata untuk menghidupkan isi film itu sendiri. Subkategori tindak tutur direktif permissives yang ditemukan dalam percakapan para tokoh film Laskar Pelangimenggunakan verba pemberian izin yang khusus seperti berpamitan (dismiss). Hal ini merujuk karena film Laskar Pelangi merupakan role model pembelajaran tentang perilaku yang terdapat pada budaya ketimuran yang menjunjung tinggi tentang sopan santun. Misal, seseorang berpamitan ketika ingin pergi, dapat memiliki makna sebagai budaya (kebiasaan) ataupun agar yang dipimiti dapat mengetahui ke mana yang berpamitan akan pergi. 6. Subkategori Tindak Tutur Direktif Advisories dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi Bach dan Harnish (1977: 49) berpendapat bahwa subkategori tindak tutur direktif advisories bervariasi menurut kekuatan kepercayaan yang diungkapkan, misalnya admonishing (memperingatkan) dan suggesting (menyarankan). Dalam temuan penelitian ini pernyataan yang mengandung memperingatkan cukup banyak karena film Laskar Pelangimerupakan film yang dapat dijadikan contoh untuk kehidupan sehari-hari, sehingga penutur memiliki alasan khusus yaitu memiliki maksud baik terhadap petutur. Selain memperingatkan ditemukan pula suggesting (menyarankan) dalam penelitian ini. Dalam
film Laskar Pelangi tergambar bahwa masyarakat Belitong senang dengan keterbukaan dan tidak suka dengan kekerasan. Hal ini dapat ditemukan pada percakapan para tokoh yang saling menyarankan karena adanya alasan khusus dari penutur sehingga tindak yang disarankan merupakan gagasan yang baik bagi petutur. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian terhadap tuturan para tokoh film Laskar Pelangi dapat disimpulkan bahwa penggunaan tindak tutur direktif dengan maksud penutur untuk meminta petutur melakukan sesuatu. Tindak tutur direktif questions lebih banyak ditemukan dalam percakapan para tokoh film Laskar Pelangi karena film ini merupakan role model dalam dunia pendidikan sehingga penutur banyak bertanya kepada petutur untuk mendapat informasi yang jelas dari penutur. Bukan hanya sebagai role model dalam dunia pendidikan, film Laskar Pelangi juga merupakan role model perilaku masyarakat Belitong yang ramah dan suka menjunjung tinggi sopan santun, sehingga setiap ingin pergi selalu berpamitan. Hal ini merujuk pada tindak tutur direktif permissives, yaitu pemberian izin yang khusus seperti berpamitan (dismiss). Film merupakan cerminan budaya yang terjadi dalam masyarakat. Perilaku yang dilakonkan para tokoh merupakan contoh dalam kehidupan seharihari. Hal ini dapat dirujuk pada subkategori tindak tutur direktif advisories yang mengandung makna kekuatan kepercayaan sehingga penutur memiliki alasan khusus untuk memiliki maksud yang baik terhadap petutur. DAFTAR PUSTAKA Austin, J.L.. 1962. How to do Things with Words. Oxford: Oxford University Press Bach, Kent dan Robert M. Harinsh. 1977. Linguistic Communication and Speech Acts. Cambridge: MIT Press. Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa Edisi Kelima. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat. Clark, Herbert H. 1994. Discourse Production. dalam Gernbacher.
Nur Aini Puspitasari: Tindak Tutur Direktif Dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi
105
Coulthard, Malcolm. 1977. An Introduction to Discourse Analysis. London: Longman Group. Cruse, D. Allan. 2004. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics. New York: Oxford University. Goody, EN. 1978. Question and Politness: Strategies in Social Interaction. Cambridge: Cambridge University Press. Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di Dalam Bahasa Indonesia di Antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta” dalam Bambang Kaswati Purwo. Bahasa Budaya. Jakarta: Lembaga Bahasa Atma Jaya. Herfanda, Ahmadun Yosi. Wacana: Menyoroti Bahasa Indonesia dalam Film Kita. Republika, Minggu, 7 Desember 2008. Krippendorff, Klauss. 2004. Content Analysis, An Introduction to is Methodology. London: Sage Publication. Kushartanti. 2007. Pesona Bahasa. Jakarta: Gramedia. Leech, Geofrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
106
Levinson, Stepehen. C.. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data. Jakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lex V J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: Remaja Rosdakarya. Nadar, FX. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press. Searle, Jhon. R.. 1969. Speech Acts: An Essay in the Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press. Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sosiolinguistic Analysis of Natural Language. Oxford: Basil Blackwell. Suhendar, HME dan Pien Supinah. 1998. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Bandung: Pionir Jaya. Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik, Bandung: Angkasa.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM (KAJIAN STRUKTURAL GENETIK) Indah Rahmayanti
[email protected]
Abstract: This study focused on the genetic structuralism which consists of four aspects, that is the fact of humanity, the collective subject, world view, dialectic understanding-explanation, and the structure of literary works in the novel The Priyayi by Umar Kayam. Lucien Goldmann genetic structuralism approach is used because the authors assume that the figures in the literature humanized, given a soul, has soul. Umar Kayam has more dedication on life and of life. Cultural and social aspects of the novel consists of intrinsic characterization, setting, plot and language style associated with genetic structuralism accompanied in this study. The purpose of this study is to provide an understanding of literature with qualitative descriptive methods and techniques of data collection with library research techniques and instrument format. The results of the study revealed the most dominant genetic structuralism is dialectic understanding-explanation of the number 151 which explains and describes of Wanagalih city and describe the figures of their attitude. Subject collective aspects of the kinship group connecting 96 pieces of thought gentry in the household is obliged to accommodate the family to enjoy educationand kinship gentry. Third, structural aspects of the relation between literary figures with figures 70 pieces explain the link between the figures with each other. Fourth, the relationship between characters with objects around 54 pieces which link the figures of the surrounding environment, (society and nature). Fifth, dialectic of understanding-explanation aspect of whole-part relationships 52 pieces which identifies minor issues relating to larger and vice versa. Sixth, contrasting worldviews intergroup social aspects of 32 pieces which reveal the presence problem that can be conflict in society. Seventh, the fact verbal aspects of humanity (in the works) 24 pieces that produce puppet plays work, school performances, cultural gatherings. Eighth, the fact the physical aspect of humanity (in the act) 23 pieces that illustrate behavior that has become a daily figures. Ninth, the collective aspects of the subject worker group revealed 20 pieces forms of thinking such thoughts make brick house, school admission, employment, the environment figures on either consciously or unconsciously. Worldview aspects of social inter connecting 18 pieces that connect the figures of levels between the aristocracy and gentry with harem. Analysis of results of the dominant intrinsic gain is dispositive there are some 212 pieces protagonist and antagonis.Latar 126 pieces consisting of a place setting, time setting, social setting. 53 pieces of a style, mixing subtle use of the Java language and the Java language used rough figures. Some majas such as metonymy, personification. Chronology of 50 units consisting of ten subtitled generally used groove mix. Social Aspects 237 pieces depicting the phylogenetic relationship among figures very closely and have a reciprocal relationship. 160 pieces depicting the culture of the building culture, language, environment, until the habit of the people. Keywords : the fact of humanity, the collective subject, world view, dialectic understanding-explanation, and the structure of literary Abstrak: Fokus penelitian ini pada strukturalisme genetik yang terdiri atas empat aspek, yaitu fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, dialektika pemahaman-penjelasan, dan struktur karya sastra dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.Pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann dipakai karena penulis beranggapan bahwa tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, diberi jiwa, mempunyai raga.Umar Kayam memiliki penjiwaan yang lebih mengenai hidup dan kehidupan. Aspek sosial budaya dan intrinsik novel yang terdiri dari perwatakan, latar, alur dan gaya bahasa yang berhubungan dengan strukturalisme genetik disertai dalam penelitian ini.Tujuan penelitian ini untuk memberikan pemahaman karya sastra dengan metode deskriptif kualitatif serta teknik Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
107
pengumpulan data dengan teknik studi pustaka dan format instrumen. Hasil penelitian mengungkapkan strukturalisme genetik paling dominan adalah dialektika pemahaman-penjelasan dengan jumlah 151 buah yang menjelaskan kota Wanagalih dan mendeskripsikan tokoh dari sikapnya. Subjek kolektif aspek kelompok kekerabatan 96 buah menghubungkan pemikiran priyayi pada rumah tangganya berkewajiban menampung keluarga untuk menikmati pendidikandan kekerabatan priyayi.Ketiga, struktur karya sastra aspek relasi antar tokoh dengan tokoh 70 buah menjelaskan kaitan antara tokoh yang satu dengan yang lain.Keempat,relasi antartokoh dengan objek di sekitar 54 buah yang mengkaitkan antara tokoh-lingkungan sekitarnya,(masyarakat dan alam). Kelima,dialektika pemahaman-penjelasan aspek keseluruhan-bagian 52 buah yang menjelasakan hubungan masalah kecil yang berkaitan dengan hal yang lebih besar dan begitu pula sebaliknya.Keenam, pandangan dunia aspek mempertentangkan antarkelompok sosial 32 buah yang mengungkapkan terdapatnya masalah yang dapat menjadi pertentangan dalam masyarakat.Ketujuh, fakta kemanusiaan aspek verbal (dalam karya)24 buah yang menghasilkan karya lakon wayang,pertunjukan sekolah,sarasehan kebudayaan.Kedelapan, fakta kemanusiaan aspek fisik (dalam perbuatan)23 buah yang menggambarkan tingkah laku yang sudah menjadi keseharian tokoh.Kesembilan, subjek kolektif aspek kelompok sekerja 20 buah mengungkapkan bentuk pemikiran seperti pemikiran membuat rumah tembok,penerimaan lingkungan sekolah, hubungan sekerja tokoh pada lingkungannya baik disadari maupun tidak disadari.Pandangan dunia aspek menghubungkan antarkelompok sosial 18 buah yang menghubungkan tokoh dari tingkatan priyayi serta antara priyayi dengan sahayanya.Analisis intrinsik mendapatkan hasil dominan adalah perwatakan 212 buah ada beberapa tokoh protagonis dan antagonis.Latar 126 buah yang terdiri dari latar tempat,latar waktu,latar sosial.Gaya bahasa 53 buah, percampuran penggunaan bahasa jawa halus maupun bahasa jawa kasar dipakai tokoh-tokoh.Beberapa majas seperti majas metonimia, personifikasi. Alur 50 buah yang terdiri dari sepuluh subjudul yang secara umum alur yang digunakan alur campuran. Aspek sosial 237 buah yang menggambarkan hubungan kekerabatan antara tokoh yang sangat erat dan memiliki hubungan timbal balik. Budaya 160 buah yang menggambarkan budaya bangunan, bahasa, lingkungan, hingga kebiasaan masyarakatnya. Kata kunci : fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, dialektika pemahaman-penjelasan, dan struktur karya sastra.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan karya yang dapat mengetahui nilai–nilai kehidupan, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup orang lain atau masyarakat. Salah satu cara untuk dapat memahami,mengerti, dan memperjelas ihwal kesusastraan adalah dengan cara membaca, mempelajarinya, dan mendengarkan penjelasan– penjelasan yang disampaikan oleh guru, dosen dan atau pakar kesusastraan”.(Suroso,2009:1) Salah satu bentuk karya sastra itu adalah novel. Novel Para Priyayi karya Umar Kayam merupakan salah satu novel yang sangat populer di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa karena budaya yang diangkat dalam novel tersebut adalah budaya Jawa yang merupakan budaya terbesar di Nusantara. Budaya yang dimaksud dalam novel ini bukan sekedar adat-istiadat tetapi juga aspek pranata sosial yang terjadi dalam masyarakat Jawa. 108
Penelitian ini meng gunakan kajian str ukturalisme genetik untuk membentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi pengarang. Alasan ini didorong karena tokoh– tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka semua diberi jiwa, mempunyai raga. Struktural genetik dalam penelitian ini terdiri dari lima macam, yaitu; pertama, fakta kemanusiaan yang terbagi menjadi dua macam; verbal (dalam karya) dan fisik (dalam perbuatan). Kedua, subjek kolektif yang terbagi dua macam; kelompok kekerabatan dan kelompok sekerja. Ketiga, pandangan dunia yang terbagi dua macam; menghubungkan antarkelompok sosial dan mempertentangkan antar kelompok sosial. Keempat, dialektika pemahaman-penjelasan yang terbagi menjadi keselur uhan-bagian dan pemahamanpenjelasan. Serta kelima, struktur karya sastra yang terbagi menjadi relasi antar tokoh dengan tokoh lain dan relasi Antar Tokoh dengan Objek STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
disekitar. Aspek sosial budaya dan unsur intrinsik yang mendasarinya juga disertakan yaitu, gaya bahasa, alur, latar, dan perwatakan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Kegunaan penelitian ini bagi mahasiswa dan penulis lain sebagai bahan perbandingan guna meneliti sastra selanjutnya dan bagi guru sebagai bahan pemerkaya khazanah studi sastra khususnya pengajaran sastra di sekolah. Fokus Penelitian Aspek sosial budaya dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam ditinjau dari Kajian Strukturalisme Genetik. Subfokus Penelitian Fokus dijabarkan dalam subfokus berupa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1) Bagaimanakah intrinsik dari aspek perwatakan, latar, alur dan gaya bahasa pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam? 2) Bagaimanakah strukturalisme genetik aspek fakta kemanusiaan pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam ? 3) Bagaimanakah strukturalisme genetik aspek subjek kolektif atau trans-individual pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam ? 4) Bagaimanakah strukturalisme genetik aspek pandangan dunia pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam ? 5) Bagaimanakah strukturalisme genetik konsep struktur karya sastra pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam ? 6) Bagaimanakah strukturalisme genetik subjek dialektika pemahaman-penjelasan pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam ? 7) Bagaimanakah aspek sosial budaya yang melingkupi strukturalisme genetik pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam ? METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan fenomena sosial budaya yang dianalisis dari novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Fenomena-fenomena sosial budaya dideskripsikan sesuai dengan latar belakang strukturalisme genetik.
Teknik Analisis Data Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi bentuk gaya bahasa, perwatakan, alur, latar dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam 2. Mengidentifikasi bentuk strukturalisme genetik dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam 3. Menjelaskan sosial budaya yang terkandung dalam analisis strukturalisme genetik dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam 4. Menyimpulkan hasil penelitian strukturalisme genetik dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam PEMBAHASAN Hakikat Novel Nurgiyantoro mengatakan bahwa novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling mengguntungkan.Nurgiyantoro (2010 : 22) 1. Tema Menurut Stanton dan Kenny dalam Nurgiyantoro, tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah: makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Nurgiyantoro (2010 :67) Novel Para priyayi mengisahkan kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada di dalamnya. Pengisahan tentang perjuangan hidup untuk membangun satu generasi priyayi. Penokohan atau Perwatakan Nurgiyantoro mengatakan bahwa tokohtokoh cerita novel biasanya ditampilkan secara lebih lengkap, misalnya yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, keadaan sosial, tingkah laku, sifat dan kebiasaan, dan lain-lain, termasuk hubungan antartokoh itu, baik hal itu dilukiskan secara langsung maupun tidak langsung. Nurgiyantoro(2010:13)
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
109
Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan. Tokoh utama dalam novel ini adalah Lantip dan Sastrodarsono. Lantip adalah tokoh yang sabar, suka menolong, rajin, taat, ulet, dan cekatan dalam mengerjakan tugastugasnya di kediaman keluarga Setenan Sastrodarsono. Sejak kecil ia sudah dititipkan oleh emboknya (ibunya) di keluarga Sastrodarsono. Sedangkan Sastrodarsono digambarkan sebagai tokoh yang patuh atau menurut saran dari orang tua, ramah terhadap rakyat kecil, suka menolong saudara dan masyarakat. Lalu ada tokoh pembantu yaitu Noegroho (anak Sastrodarsono) memiliki sikap pasrah, tabah, berjiwa pemimpin, ikhlas, dan pasrah. Hardojo adalah orang yang cerdas hingga berhasil dalam meniti karier. Soemini adalah anak yang penurut, namun ia keras kepala dalam menentukan keinginan dirinya, hingga membuat Sastrodarsono marah. Harimurti memiliki sifat yang sangat menyayangi orang tuanya walaupun kadang berbeda pandangan, ia tetap menghormati orang tuanya. Ia juga memiliki sifat yang jujur dan tulus. Pada dasarnya semua tokoh dalam novel Para Priyayi ini rata-rata memiliki sifat protagonis, namun terdapat tokoh Soenandar (keponakan dari Sastrodarsono dan ayah dari Lantip) adalah orang pembangkang, walau nakal Soenandar juga memiliki sisi baik pada dirinya. Terdapat juga tokohtokoh sampingan seperti gupermen dan nippong yang memiliki sifat antagonis. Alur Cerita (Plot) Menurut Nurgiyantoro plot novel tidak berisi penyelesaian yang jelas, penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca. Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap perkenalan (para) tokoh atau latar.Nurgiyantoro (2010:12) Maka dapat simpulkan bahwa alur adalah ur utan atau rangkaian peristiwa dalam cerita. Akhir cerita novel Para Priyayi ini dapat dikatakan happy ending. Hal ini disebabkan setiap tokohnya telah mendapatkan kebahagiaan, Marie telah hidup bahagia dengan Maridjan, Harimurti telah mendapat kebebasannya, dan Lantip telah menemukan jodohnya dengan Halimah. 110
Latar (setting) Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan, Stanton mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.Nurgiyantoro (2010:226) Maka dapat disimpulkan bahwa latar merupakan keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar tempat pada novel ini terdapat di Wanagalih yang merupakan tempat tinggal Sastrodarsono dan Ngaisah. Tempat ini merupakan pusat berkumpulnya seluruh anggota keluarga Sastrodarsono. Wonogiri merupakan tempat mengajar Hardojo selama dua tahun. Hardojo juga mendapatkan istri yang berasal dari daerah Wonogiri. Solo merupakan tempat bekerja Hardojo dan tempat ia selalu menemui Nunuk (gadis yang di cintainya), setelah mendapat tawaran menjadi abdi dalem Mangkunegaran. Hardojo mengurusi bidang pendidikan orang dewasa dan gerakan pemuda. Yogyakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho sebelum pindah ke Jakarta. Pada masa penjajahan Belanda, ia bekerja sebagai guru HIS di Jetis Yogyakarta. Selain itu, Hardojo juga tinggal di Yogyakarta setelah ia kecewa dengan sikap Mangkunegaran yang memihak Belanda. Jakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho. Ketika keluarga Noegroho terkena musibah, Marie hamil di luar nikah, Lantip ditugasi oleh Sastrodarsono dan Ngaisah untuk ikut Sus ke Jakarta membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu, keluarga Soemini, anak Sastrodarsono yang ketiga, juga tinggal di Jakarta. Latar waktu novel ini diawali masa penjajahan Belanda, kemudian pendudukan Jepang dan awal Kemerdekaan hingga pemberontakan PKI. Cerita ini di mulai tahun 1910 saat Sastrodarsono mulai menapakkan kakinya ke jenjang priyayi di masa penjajahan Belanda. Tiga puluh tahun kemudian STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
adalah masa pendudukan Jepang dan revolusi, tokoh yang muncul dalam cerita ini adalah anakanak Sastrodarsono. Noegroho menjadi anggota tentara, Hardojo menjadi abdi dalem di Mangkunegaran dan Soemini menjadi istri asisten wedana. Latar sosial novel ini digambarkan sosial masyarakat Jawa yang mempunyai adat dan kebiasaan yang cukup unik, khususnya daerah Wanagalih (Ngawi) Jawa Timur. Hal ini tidak terlepas dari sosial budaya Umar Kayam yang berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Kebudayaan Jawa yang ditampilkan begitu halus dan lembut penyampaiannya sehingga tidak semua orang dapat memahaminya. Kebudayaan di keraton Mangkunegaran Surakarta pun ikut ditampilkan dalam novel ini. Mangkunegaran merupakan tempat bekerja Hardojo sehingga dalam novel ini juga diceritakan mengenai kebudayaan di keraton Mangkunegaran Surakarta. Sudut pandang (point of view) Menurut Harry Show, sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu : Pengarang menggunakan sudut pandang kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri. Sudut pandang novel ini adalah sudut pandang orang pertama, terlihat pada setiap episode cerita. Pengarang bertindak sebagai orang pertama yang sedang menuturkan pengalamannya. Sudut pandang ini menempatkan pengarang sebagai “saya” atau “aku” dalam cerita. Pada bagian Lantip, pengarang menjadi Lantip, pada bagian Sastrodarsono, pengarang menjadi Sastrodarsono dan seterusnya. Pengarang menjadi beberapa tokoh sekaligus dalam satu rangkaian cerita. Gaya bahasa Menurut Albertine Minderop, gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasa antara lain metafor, simile, antitesis, hiperbola, dan paradoks. Pada umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan.Minderop
(2005:51) Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah kata–kata atau ungkapan khusus melalui bahasa yang dipakai pengarang dalam cerita. Ada beberapa majas yang secara tidak langsung diutarakan tokoh dalam penceritaan seperti, metafora, metafora adalah suatu gaya bahasa yang membandingkan satu benda dengan benda lainnya secara langsung yang dalam bahasa ing gris menggunakan to be dalam bahasa Indonesia tidak ada to be yang digunakan secara langsung, contoh ;”kehidupan ini binatang lapar”. Kehidupan ini binatang lapar merupakan metafor kehidupan artinya kehidupan yang rakus dan ganas. Minderop (2005:68) Jadi dapat disimpulkan bahwa metafora merupakan semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung. contohnya: Apa sebabnya kau naik pitam?” Tanya saya.” Kau pikir Firdaus tidak bersalah, bahwa dia tidak membunuh orang itu?” (Makna naik pitam adalah marah). Litotes, menurut Sadikin, litotes adalah ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri.contoh: apa yang kami berikan ini memang tak berarti buatmu. Sadikin (2011:34) Simile, Menurut Minderop, Simile adalah perbandingan langsung antara benda-benda yang tidak selalu mirip secara esensial. Perbandingan yang menggunakan simile biasa terdapat pada kata yang menggandung “seperti” atau “laksana” (engkau laksana bulan) dan “ketimbang /daripada” (ia lebih cantik ketimbang mawar merekah).Minderop (2005:62) Jadi simile merupakan perbandingan maksudnya ialah bahwa ia langsung mengatakan sesuatu sama dengan hal lain. Hiperbola, menurut Ratih Mihardja, hiperbola adalah pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehing ga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. Contoh : pemikiran-pemikirannya tersebar ke seluruh dunia.Mihardja (2011:30) Metonimia, menurut Mihardja, metonimia adalah pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut contoh : aku selalu minum Aqua. Mihardja (2011:30) Gaya bahasa yang digunakan para tokoh dalam novel Para Priyayi masih bercampur dengan bahasa jawa baik yang halus maupun bahasa jawa kasar seperti kata gincu (berdandan), sengak, kecing (bau yang tidak enak),ngenyek (menghina), monyet, goblok anak kecu (pencuri), ndeso (orang kampungan), wagu (aneh),
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
111
kaku (tidak lincah), terdapat penegasan kata seperti gagah dan kokoh dan bahasa jawa halus yang digunakan seperti Ndoro = bendoro (majikan), sinau (belajar), kersaning (yang dikehendaki). Beberapa majas dalam gaya bahasa tokohnya seperti majas metonimia yaitu menggambarkan pertalian yang sangat erat dari suatu kemajuan atau perubahan kota Wanagalih. Ada pula majas personifikasi yang dominan seperti menggambarkan pohon dapat berunding dengan manusia yang seakan-akan pohon tersebut adalah manusia, ....” pepohonan dan batu-batu di dalam hutan itu. Semuanya menaruh hormat belaka kepada Pak Kiai Jokosimo. Beliau memiliki wibawa itu karena konon memiliki kesaktian dapat berbicara dengan hewan dan tetumbuhan maupun batu-batuan...”, terdapat kutipan meski sudah berkeluarga, beranak pinak, sesungguhnya masih anak-anak ingusan, yang merupakan majas sinisme yang menggambarkan sindiran dengan ungkapan anak ingusan (anak kecil) dan terdapat pula majas sarkasme yaitu sindiran terkasar dari kutipan, Kalau pakde-mu ini kungkum setiap malam anggarakasih, malam Selasa Kliwon itu, sambil gemeletuk gigi-gigi Pakde karena kedinginan, itu bukan karena Pakde kepingin jadi Ratu seperti raja ketoprak itu, goblok!. Terlihat juga majas okupasi yaitu adanya pertentangan sakitnya Sastrodarsono dari kegiatan-kegiatan yang dijalaninya sebagai penjelasan hingga membuat kesimpulan ia tetap menjalani kegiatannya walaupun itu menimbulkan keadaan yang makin memprihatinkan bagi Sastrodarsono. Majas parabel juga terlihat, majas ini menjelaskan pelajaran atau nilai yang dikiaskan melalui suatu kisah cerita tertentu dan dalam kutipan tersebut digambarkan melalui kisah bala tentara Nyai Roro Kidul. Pada kutipan Hampir lagi gagal karena suara badung lain lagi mengusulkan lagi anak wedok ditempatkan di ketoprak sebagai Dewi Bisu, tergambarkan majas alegori yang menjadi satu kesatuan makna dalam istilah-istilah tertentu seperti suara badung yang berarti banyaknya suara yang menentang dan anak wedok yang dalam bahasa jawa berarti anak perempuan yang akan memainkan dewi bisu yang berarti lakon tokoh wayang seorang dewi khayangan yang tidak dapat berbicara. Majas eufimisme juga banyak terlihat dalam gaya bahasa para tokoh, contoh saat penjelasan nasib anak perempuan yang buruk atau jelek dan kata terlunta112
lunta yang dimaksudkan pengarang adalah disiasiakan. Majas pendukung lainnya adalah majas simbolik dan majas metafora Amanat Menurut Sadikin amanat adalah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. Amanat yang ada dalam novel ini adalah perlunya saling tolong menoloh antara saudara dan masyarakat sekitar walau berbeda tingkat sosialnya, keeratan kekerabatan yang dibangun masing-masing tokohnya di dalam keluarga, nilai kehidupan agar menjadi manusia lebih baik dan masih banyak lagi yang lainnya. Sosial Budaya Keberagaman tingkah laku manusia berdasarkan latar belakangnya telah memengaruhi kehidupan. Tingkah laku dapat pula berubah dengan beragam alasan yang mengubah jalan pikirannya. Grebstein dalam Sapardi Djoko Damono, mengatakan bahwa meskipun sastra tidak sepenuhnya dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungannya atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik dari fakta-fakta sosial, kultural yang rumit dan bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri. Damono (1978:4) Jadi, dapat disimpulkan bahwa aspek sosial dapat dipakai sebagai acuan berinteraksi antarmanusia dalam konteks masyarakat dengan lingkungan dan secara tidak langsung telah mengatur tindakan-tindakan individu terhadap hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Dalam hal ini Kutha Ratna memperkuat definisi sosiologi sastra yaitu analisis, pembicaraan terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Definisi lain menyebutkan bahwa sosiologi sastra merupakan aktivitas pemahaman dalam rangka mengungkapkan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung dalam karya. Kutha Ratna (2011:24) Telah dijelaskan Kutha Ratna bahwasanya sosiologi sastra memang mencakup segi-segi kemasyarakatan yang STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
diterapkan dalam suatu karya. Menurut Kleden, cerpen-cerpen dan novel Umar Kayam misalnya, menampilkan secara khusus tema perubahan sosial ini,dengan melukiskan dinamika deep structure atau struktur dalam dari proses dislokasi sosial dan mobilitas sosial. Kleden (2004:49) Ditinjau dari aspek kebudayaannya, priyayi memiliki tata laku dan nilai-nilai hidup yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya. Sebagai golongan elite, priyayi adalah pendukung kebudayaan warisan keraton pada masa yang lalu. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki oleh priyayi erat kaitannya dengan sastra Jawa klasik, wayang kulit tentang Mahabarta dan Ramayana, serta seni, baik seni batik, seni tari dan sebagainya. Menurut Koentjaraningrat dalam Suwondo, perwujudan kebudayaan dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks gagasan, nilai, norma, dan peraturan. Kedua, kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, kebudayaan sebagai bendabenda hasil karya manusia.Suwondo dkk(1994:1) Keutuhan gagasan atau nilai itu menjadi landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih dapat diamati dan dipahami. Hal tersebut terwujud dalam bentuk adat istiadat. Dalam novel ini terdapat unsur sosial dan budaya yang tergambarkan dari peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh dalam novel. Aspek sosial yang tergambar dalam peristiwa-peristiwa tersebut seperti, hubungan priyayi dengan rakyat jelata yang terjalin harmonis meski berbeda tingkatan sosial dalam bermasyarakat, adanya nasehat orang tua yang masih didengar dan diterapkan anak-anaknya seperti nasehat orang tua Sastrodarsono saat ia akan menginjakkan kaki di dunia priyayi, nasehat embok kepada Lantip agar tidak membalas temannya yang selalu mengejek dia, pertentangan sosial anak-anak desa yang sering membolos sekolah karena merindukan lingkungan permainan mereka dipersawahan, Sastrodarsono sebagai priyayi yang dihormati mampu membaur dengan rakyat jelata sama dengan romo-romo yang dihor mati Sastrodarsono juga mampu membimbing Sastrodarsono sebagai priyayi muda, hubungan teman-teman Lantip yang awalnya suka mengejek Lantip sekarang berbailk mengandalkan Lantip
sebagai pemimpin mereka dikelas karena kemahiran Lantip, hubungan Sastrodarsono dengan keponakan-keponakannya yang terlihat Sastrodarsono ingin keponakan-keponakannya sama suksesnya dengan anak-anaknya, hubungan kekeluargaan yang erat pada keluarga Jawa terlihat pada keluarga Sastrodarsono dan keluarga Martoadmodjo, Warga desa yang masih mempercayai kekuatan-kekuatan mistis serta banyak lagi bentuk hubungan sosial yang tergambarkan dalam novel ini. Aspek budaya yang tergambar dalam pengkisahan novel ini adalah pengungkapan struktur bangunan yang menjadi gaya khas warga Wanagalih dan Wanawalas yang tetap mempertahankan keaslian lingkungannya, budaya pembuatan tempe yang menjadi tradisi sekaligus sumber pendapatan pada warga desa Wanawalas, warga Wanagalih yang masih mempertahankan budaya bahasa jawa dan kelestariannya dengan membuat sarasehan membahas bahasa jawa, budaya berkumpul dan melestarikan alun-alun kota, budaya memakai bahasa jawa baik bahasa jawa halus maupun kasar sebagai bahasa pergaulan rakyat jelata, budaya membuat berbagai kerajinan dari kayu yang dibuat bentuk bangunan maupun perahu, serta berbagai macam bentuk lainnya. Kajian Strukturalisme Genetik Pencetus pendekatan strukuralime genetik adalah Lucien Goldmann, seorang ahli sastra Prancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Strukturalisme dikembangkan pada struktur sosial dan terdapat penolakan pada analisis unsur intrinsik yang menolak bahasa sastra sebagai bahasa yang khas. Goldmann memusatkan perhatian pada hubungan antara suatu visi dunia dengan kondisi-kondisi historis yang memunculkannya. Kemudian, atas dasar analisis visi pandangan dunia pengarang dapat membandingkannya dengan data dan analisis sosial masyarakat. Untuk menopang teorinya tersebut, Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain sehingga membentuk apa yang disebut sebagai strukturalisme genetik. Pada perkembangannya strukturalisme genetik juga
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
113
dipengaruhi oleh ilmu seorang marxis, yaitu George Lukacs. Teori strukturalisme genetik menekankan hubungan antara karya dengan lingkungan sosialnya karena masyarakat bersinggungan dengan norma dan nilai. Menurut Goldmann dalam Rosyidi, pada prinsipnya teori strukturalisme genetik menganggap karya sastra tidak hanya struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya tetapi merupakan hasil strukturasi pemikiran subjek penciptanya yang timbul akibat interaksi antara subjek dengan situasi sosial tertentu. Rosyidi(2010:201)Selanjutnya diperjelas kembali di dalam Faruk menurut Goldmann, Strukturalisme Genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Goldmann memiliki pemikiran menyatukan pendekatan strukturalisme (intrinsik) dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik). Menurut Faruk, “strukturalisme genetik tidak dapat lepas begitu saja dari struktur dan pandangan pengarang. Pandangan pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui latar belakang kehidupan pengarang. Faruk(1999:12-13) Kutha Ratna memperjelaskan kembali bahwa, strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Kutha Ratna (2011:123) Dalam kutipan Kutha Ratna dipaparkan bahwa, strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog RumaniaPerancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine, dalam bahasa Perancis terbit pertama kali tahun 1956. Sebagai penghormatan terhadap jasajasanya, Jurnal Ilmiah The Philosophical Forum (Vol XXIII, 1991-1992) secara khusus menerbitkan karya-karya ilmiah dalam kaitannya dengan kepakarannya, khususnya terhadap teori strukturalisme genetik. Kutha Ratna (2011:121122) Strukturalisme genetik menyamakan homologi 114
dengan korespondensi, kualitas hubungan yang bersifat struktural dan implikasi bermakna dengan struktur sosial. Goldmann dalam Endraswara menjelaskan, studi strukturalisme genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama, hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama. Kedua, hubungan tersebut membentuk suatu jaring yang mengikat. Oleh karena itu, seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri. Konsep Fakta Kemanusiaan Goldmann dalam Rosyidi menyatakan bahwa, fakta-fakta kemanusiaan mempunyai peranan dalam sejarah, ia dapat berupa fakta individual dan fakta sosial atau historis. Revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar merupakan fakta sosial (historis) yang hanya mungkin diciptakan oleh objek trans-individual. Subjek yang demikian yang juga menjadi subjek karya sastra besar, sebab karya sastra semacam itu merupakan aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan umat manusia. Rosyidi (2010:201) Penjelasan Goldmann tersebut terpapar bahwa kultural fakta sosial menjadi obek dalam alam semesta. Aktivitas atau perilaku manusia harus menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitar. Menurut Goldmann dalam Faruk, fakta kemanusiaan dapat berwujud aktifitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, sen)i patung, dan seni sastra. Faruk (2011:12) verbal (dalam karya) Tokoh dalam novel Para Priyayi ini memiliki fakta kemanusiaan dalam aspek verbal seperti, Kiai Jogo yang digambarkan mampu membuat suatu karya bangunan pendopo Wanagalih dari kayu hutan yang terpilih hingga di klaim dapat menyaingi kekuatan keraton-keraton agung. Aspek verbal lainnya juga banyak dilakukan oleh Lantip yang membuat karya saat pertunjukkan di sekolahnya dan saat Gus Hari membuat pertunjukan dengan lakon wayang bersama Gadis, serta Sastrodarsono yang membuat sekolah desa bagi warga desa Wanawalas yang tidak mampu. Terdapat aktivitas warga lainnya seperti membuat sarasehan tentang kebudayaan dan bahasa Jawa bersama Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
Fisik (dalam perbuatan) Fakta kemanusiaan aspek fisik menggambarkan perbuatan atau tingkah laku yang sudah menjadi keseharian tokoh. Novel Para Priyayi ini terdapat penggambaran aspek-aspek tersebut seperti kebiasaan nenek-nenek di Wanagalih yang suka meminta izin terlebih dahulu kepada tanaman-tanaman yang dipetiknya, seakan mengajak berbicara. Kebiasaan lainnya adalah memberi makanan sisa mereka terhadap hewan-hewan ternak. Penjelasan lebih lengkap terdapat pada analisis di atas. Suatu kebiasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam masyarakat, maka dapat menjadi sebuah kebudayaan. Konsep Subjek Kolektif Goldmann mengatakan dalam Faruk, revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar, merupakan fakta sosial (historis).Faruk (1999:14-15) Karya sastra diciptakan oleh pengarang, dengan demikian karya sastra merupakan kesamaan fakta kemanusiaan yang telah dibuat oleh pengarang. Semua gagasan pengarang dapat dikatakan sebagai perwakilan dari kelompok sosial. Menurut Goldmann dalam Faruk, “Subjek kolektif adalah kumpulan individu-individu yang membentuk satu kesatuan beserta aktivitasnya. Faruk (1999 : 150) Satu kesatuan tersebut dapat dikatakan sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan. Kelompok kekerabatan Pada strukturalisme genetik aspek subjek kolektif menghubungkan kelompok kekerabatan seperti pemikiran priyayi pada rumah tangganya adalah soko guru keluarga besar yang berkewajiban menampung sebanyak mungkin anggota keluargajaringan itu ke dalam rumah tangganya, budaya priyayi jawa beranggapan bahwa tidak pantas bila seseorang anggota keluarga besar priyayi terbengkalai, jadi gelandangan tidak ada yang mengurus, tidak menikmati pendidikan, seperti pemikiran Sastrodarsono dan Ngaisah untuk menyekolahkan Lantip menjadi pemererat hubungan ibunya Lantip yang merupakan gadis desa yang dihamili Soenandar (Ayah Lantip,
keponakan Sastrodarsono). Sastrodarsono juga menghubungkan hubungan kekerabatannya dengan warga desa Wanawalas saat tengah ngobrol bersama, inilah yang menghubungkan anggota keluarga secara kekerabatan. Kelompok Sekerja Novel Para Priyayi ini terdapat aspek subjek kolektif dalam bentuk pemikiran kelompok sekerja seperti pemikiran sebagian warga Wanagalih yang telah membuat rumah mereka dari tembok karena bagi mereka dianggap lebih kuat. Ada pula kisah Lantip yang selalu diejek oleh temantemannya namun ia tidak membalasnya, itulah yang membuat Lantip dapat diterima dilingkungan teman-temannya sekolahnya. Lalu kisah Sastrodarsono yang diterima dalam lingkungan priyayi dalam kelompok kesukan (suatu kelompok priyayi) dan banyak lagi penghubungan kelompok sekerja yang dilakukan tokoh-tokoh pada lingkungannya baik disadari maupun tidak disadari. Konsep Pandangan Dunia Konsep pandangan dunia juga dikembangkan oleh Goldmann yang terwujud dalam karya sastra dan filsafat. Menurutnya dalam Faruk, struktur kategoris yang merupakan kompleks menyeluruh gagasan-gagasan,aspirasi-aspirasi dan perasaanperasaan yang menghubungkan secara bersamasama anggota-anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain disebut pandangan dunia. Faruk (1999:12) Selanjutnya Goldmann dalam Far uk menambahkan bahwa, karya sastra, namun demikian, bukan refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang nyata dan ada, melainkan puncak dalam suatu level koherensi yang amat tinggi dari kecenderungan-kecenderungan khusus bagi kelompok tertentu, suatu kesadaran yang harus dipahami sebagai suatu realitas dinamik yang diarahkan ke satu bentuk keseimbangan tertentu. Far uk (1999:33) Pandangan dunia bukan merupakan fakta empiris yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial masyarakat.
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
115
Menghubungkan Antarkelompok Sosial Pada strukturalisme pandangan dunia unsur menghubungkan antarkelompok sosial banyak dilakukan para tokoh dalam novel ini, seperti permainan kartu pada pergaulan priyayi yang berbeda pekerjaan akan menghubungkan antarkelompok sosial tingkatan priyayi jawa. Hubungan penjualan tempe dengan langganan keluarga priyayi juga menggambarkan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Belajar kehidupan priyayi untuk membersihkan kamar,mengatur hidangan di meja makan, dan mengatur rumah tangga priyayi juga terdapat di dalam menghubungkan antara priyayi dengan sahayanya atau pelayannya. Mempertentangkan Antarkelompok Sosial Terdapat unsur pandangan dunia mempertentangkan antarkelompok sosial seperti pertentangan antara bangunan bersejarah di Wanagalih, pertentangan saat bermain judi kesukaan , pertentangan anak-anak desa yang tidak betah di sekolah dan selalu merindukan ladang bermain mereka, pertentangan antara pribumi dengan gupermen, pertentangan pasangan yang berbeda agama, dan pertentangan perempuan yang menentang pernyataan bahwa perempuan kebutuhan laki-laki semata, terlihat banyak pertentangan yang terjadi pada setiap peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam novel. Konsep Dialektika Pemahaman-Penjelasan Karya sastra harus memiliki keterpaduan antara struktur yang satu dengan yang lain. Unsur luar dan unsur dalam sama-sama memiliki peran penting di dalam membangun karya sastra. Keterpaduan kedua unsur tersebut melengkapi karya sastra yang tidak hanya dapat dilihat dari dalam teks sastra, melainkan juga dapat dilihat dari unsur pembentuk luar. Oleh karena itu, Goldmann mengembangkan metode dialektik, yang dijelaskan dalam Faruk. Prinsip dasar dari metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di atas adalah pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat kongkret dengan mengintegrasikan ke dalam keseluruhan. Faruk (1999: 19-20) Goldmann menambahkan dalam Faruk, 116
Pemahaman adalah pendeskripsian struktur objek yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkan ke dalam struktur yang lebih besar. Faruk (1999:21) Maka dapat disimpulkan pada dasarnya pengertian konsep Pemahamanpenjelasan sangat berkait dengan konsep Keselur uhan-bagian. Pada konsep fakta kemanusiaan terdapat dua fakta, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Keseluruhan-Bagian Pada analisis ini terlihat bagaimana suatu masalah kecil yang mempengaruhi masalah besar dan begitu juga sebaliknya seperti para pembuat tempe di Wanagalih yang membuat kota Wanagalih menjadi terkenal, kemampuan Lantip yang berjiwa pemimpin dan mudah bergaul menjadikan ia disukai teman-temannya dan para guru, seorang priyayi yang masuk dalam dunia priyayi harus mengikuti seluruh kegiatan priyayi dengan macammacam perkumpulannya, lalu ada kisah hasil bumi yang begitu banyak dibawakan keluarga Sastrodarsono guna mewujudkan niat melamar Aisah dan banyak kisah lain yang menguatkan strukturalisme genetik aspek dialektika pemhaman penjelasan keseluruhan-bagian. Pemahaman-Penjelasan Pada aspek ini terdapat pemahaman dan penjelasan tokoh mengenai apa yang dipelajarinya baik dari tokoh ke tokoh lain maupun dari tokoh kepada lingkungan sekitarnya. Beberapa peristiwa yang diungkapkan adalah pemahaman Lantip dan Sastrodarsono tentang kota yang mereka tinggali yaitu Wanagalih, lalu di saat pidato Lantip saat meninggalnya Sastrodarsono, ia menjelaskan bagaimana sosok Sastrodarsono semasa hidupnya, dan bagaimana di saat tokoh Lantip menjelaskan dan memahami orang-orang disekitarnya serta perbedaan lingkungan saat ia masih anak desa biasa hingga lingkungan saat ia sudah menjadi priyayi. Struktur Karya Sastra Faruk merumuskan dalam bentuk definisi, strukturalisme genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subjek STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Faruk (1999:13) Selanjutnya Kutha Ratna menegaskan kembali bahwa, Secara definitif strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Relasi Antartokoh dengan Tokoh Hubungan antara tokoh dengan tokoh dalam novel ini sangat beragam, seperti adanya hubungan antara Sastrodarsono dengan keluarganya yang merupakan keluarga petani, Sastrodarsono tetap hormat kepada orang tuanya dan pakde-pakdenya, hubungan antara Sastrodarsono dengan Lantip juga erat, Lantip menjadi keponakan yang diandalkan oleh Sastrodarsono walaupun terkadang ia memarahi Lantip, Lantip memiliki hubungan yang sangat dekat dengan emboknya karena mereka telah melalui banyak sulit bersama tanpa sosok ayah disampingnya, emboknya Lantip memiliki hubungan dengan keluarga Sastrodarsono karena Soenandar yang merupakan keponakan Sastrodarsono telah menghamili emboknya Lantip dan Lantiplah anak hasil hubungan itu. Relasi Antartokoh dengan Objek di sekitar Dalam novel ini terdapat hubungan antartokoh dengan objek dan sekitarnya seperti antara Lantip dan Sastrodarsono yang beradaptasi dengan lingkungan pedesaan saat masa kecilnya sebelum menjadi priyayi dan lingkungan perkotaan lingkungan priyayi, warga saat membuat perahu pasti akan meminta izin kepada kayunya, kehidupan keluarga Martoadmodjo yang diasingkan ke pedalaman dan mereka tetap mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, Sastrodarsono tetap ramah terhadap warga desa Wanawalas walau ia
sudah menjadi priyayi dan ada beberapa kisah lain yang menggambarkan relasi antar tokoh dengan objek disekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Djoko Damono,Sapardi. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Depdikbud. Faruk. 1999. Strukturalisme Genetik (Teori General, Perkembangan Teori, dan Metodenya.Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia. _____. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kleden, Ignas.2004.Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan(Esai-esai Sastra dan Budaya).Jakarta : Grafiti. Mihardja, Ratih.2011. Buku Pintar Sastra Indonesia (Majas, Sajak, Puisi ,Syair ,Pantun, Peribahasa), Jakarta : Laskar Aksara, Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Mustofa Sadikin. 2011. Kumpulan Sastra Indonesia. Jakarta : Gudang ilmu Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Rosyidi, M. Ikhwan.dkk. 2010. Analisis Teks Sastra, (Mengungkapkan Makna, Estetika dan Ideologi dalam Perspektif Teori Formula, Semiotika,Hermeneutika dan Strukturalisme Genetik). Yogyakarta : Graha Ilmu. Suroso, Puji Santosa dan Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra(Teori,Metodologi dan Aplikasi). Yogyakarta : Elmatera Publishing. Suwondo,Tirto. dkk. 1994. Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
117
PROMOTING CRITICAL THINKING IN EFL CLASSROOMS Martriwati Universitas of Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Abstract: Indonesian students tend to have difficulties in asking questions. The typical classroom in Indonesia, including English classrooms tend to be quiet in which students only do the teachers instructions and answer teachers’ questions. More active classrooms in which students develop their thinking skills have been required since the 2004 Curriculum. However, many teachers still have difficulty in developing the thinking skills of the students. The traditional training they have already had focused on teaching the subject centered on the teacher. This paper offers an overview of critical thinking and how we can promote it in EFL classrooms. Traditionally, promoting critical thinking for the students relies on Bloom’s taxonomy that suggests the high order of thinking. However, more practical binary types of questions will be highlighted for teachers: (1) “Fat Questions” versus “Skinny questions”, (2) High-Consensus Questions” versus “Low Consensus Questions,” and (3) “True Questions” versus “Review questions”. Keywords: critical thinking, critical questions, high order of thinking, Bloom’s taxonomy
1. INTRODUCTION Teachers in Indonesia have long experienced the silent classrooms. When they ask the students whether they know the topic being discussed or not, there is hardly an answer. When they invite them to ask questions, there is hardly a question. Even when they answer a question, their answers are usually so short that it lacks elaboration. This phenomenon does not only happen to elementary or high school students. Even university students rarely ask questions. When they are asked why they do not ask questions their answer even puzzle us: they do not know what to ask. In academic writing, for example in term papers or even thesis, such a ‘silent voice’ also happens. Students tend to simply copy an expert’s words and put them into their piece of writing. Such a “copy-paste” activity that is not merely a matter of being efficient as how a computer works but it is because they feel that they have no authority to challenge the statements or, even worse, they are afraid to misinterpret the statements if they 118
paraphrase them. Such phenomena show that students still lack of what people define as critical thinking. The Indonesian National Curriculum of 2004 which is called “competency-based curriculum” intends to enhance the students’ critical thinking. It is explicitly stated by suggesting “whole education” and “life-long education” in which learners should learn not only the academic skills but also the life skills and the vocational skills and have the spirit of learning for the whole of their lives. To support the struggle of establishing better learning environments, collaborative learning and critical thinking are promoted as methods in the teaching learning processes. The methods hopefully can counter the heyday of teacher-centered learning in Indonesia and at the same time focus on the processes and outcomes of education. Even though such an argument has been implied by previous curriculums, the phenomenon that students lack the critical thinking skill is still common in our classes. STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
Here, this paper joins the effort to promote critical thinking in the narrower area: English education in Indonesia. By encouraging critical thinking in the classroom, hopefully we can overcome the problems of silence and shyness of the students. The teaching-learning processes in the classroom, then, can be shifted into favorable environments for exploring and refining competence and skills in using English for communication. 2. DEFINING CRITICAL THINKING Taking from the definition constructed by the National Council for Excellence in Critical Thinking Instruction, Egege and Kutieleh (2004: 78) define critical thinking as “the intellectually disciplined process of actively and skillfully conceptualizing, applying, analyzing, synthesizing and evaluating information gathered from observation, experience, reflection, reasoning or communication as a guide to belief and action.” Despite its accuracy to define this learning capacity, this definition seems still too broad. In a simpler way, Vandermansbrugghe (2004) classified critical thinking into two categories. The first category is the ability to develop the capacity to reason logically and cohesively. It is rooted at the beginning of modern civilization when Greek philosophers gave a strong foundation for the journey of mind. That is why traditionally critical thinking is taught by university through subjects such as philosophy, language (Latin) and history. It cannot be denied, then, that critical thinking from the first place is very essential in European school system. The second category suggests that critical thinking is the ability to question and challenge the existing knowledge and the social order. This can be drawn from European history in which the beliefs derived from the Bible such as the Earth is the centre of the universe, the Earth is flat and the creation of man were criticized by scientists. This lead to an era of Renaissance. In its development, the challenge did not simply relate to natural sciences but also social sciences. The two categories above confirm that critical thinking is highly enculturized in what is called “Western Society”. Vandermansbrugghe (2004: Martriwati: Promoting Critical Thinking In Efl Classrooms
421) quotes Atkinson’s argument saying that critical thinking is essentially embedded in Western culture since it can be only valued by cultures that see individuals as primary units and who favor the idea of individual conflict and dissension rather than consensus and individual thought. In general, Eastern society is typically in favor of collectivism while Western society of individualism. In contrasting between these two types of society especially dealing with learning and schooling, Hofstede (1986: 112) as quoted by Brown (2000: 192) describes them as follows:
Though, critically we can question the validity of the descriptions (they sound like stereotypes and overgeneralized descriptions), we have to acknowledge some truth in them when we reflect on our own society (read: Indonesian society). The facts that losing face and diploma certificates are highly valued in our society prove that the descriptions in one way or another fit to our society—which is a communalist one. The acceptance that Indonesian people tend to be more 119
communalist leads to the argument that students in Indonesia are lack of critical thinking. It can not be denied that the construct that students grown up in Eastern culture lack of critical thinking has been challenged by postmodernists. They argue that such a stereotype is only an essentialization action to show the superiority of Western culture. Besides, the globalization era in which the information flows rapidly and freely across national and cultural borders make the contemporary people are culturally ‘hybrid’. There is an exchange of values and practices from Western countries to Eastern countries and the other way around. Practically we can see this by comparing our classes now with the ones many years ago. Students now look much more active and the relationship between students and teachers have become less formal than in the past. In his research of writing in L2 for several Japanese students, Stapleton (2004) found that the students show the elements of critical thinking. This lead to an argument that critical thinking is simply a social practice that can be learned and enhanced. In this case, teachers take a great role in this ‘social engineering’ to enhance critical thinking among students.
3. BLOOM’S TAXONOMY AND HIGHER ORDER OF THINKING Looking back at the definition of critical thinking, we can connect it with the high order of thinking in Bloom’s taxonomy which has already been very popular among English teachers in Indonesia. The common feature of English classes in Indonesia is that the questions we ask to the students are mostly the first two levels in the taxonomy: (1) knowledge and (2) comprehension. Many teachers are reluctant to ask questions beyond comprehension questions since the answers of those types might be difficult to manage and there might not be easy to answer. Naturally, to avoid the complexities they tend to ask questions with a clear borderline between right and wrong answers—which do not promote a real critical thinking. Although now educators have developed further elaboration on critical thinking and promoted other taxonomies of thinking skills—such as Bono’s lateral thinking—the classical Bloom’s taxonomy is still relevant, highly valued, and applied in the classroom. The following matrix shows typical questions that may lead to the thinking processes, starting from the lower level of thinking process up to the highest. In Bloom’s taxonomy there are six levels: (1) knowledge, (2) comprehension, (3) application, (4) analysis, (5) synthesis, and (6) evaluation.
Table 1: Matrix of Bloom’s Taxonomy
120
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
As often criticized, our education is highly focused on accumulating knowledge. As a result, our education values memorization more than thinking skills. Applying Bloom’s taxonomy in the classroom can trigger the students to think and practice their thinking skills so that the can solve their real life problems. In an EFL classroom, the same paradigm may overwhelm the teaching learning processes. The silence and shyness that inhibit the students’ progress in acquiring communicative English can be reduced by encouraging students to think beyond knowledge and comprehension. If we open one English textbook for high schools and we take the reading part, then we just find the questions
that rarely go beyond the knowledge and comprehension. Using those questions, students are trained to locate and find certain information and are asked to get the main ideas. On the other hand, if we use Bloom’s taxonomy for triggering the students to think, we will be able to communicate their thoughts and feelings using English. Communication is central here and English is used to express thoughts and feelings. Larger cognitive domains are targeted when we apply all level in the taxonomy in the classroom. The following table shows the targeted cognitive domains and tasks students can do when we encourage them to start their mental journey to solve the problems we raise.
Table 2: Cognitive Domain
Martriwati: Promoting Critical Thinking In Efl Classrooms
121
122
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
4. TEACHERS AND CRITICAL QUESTIONS Bloom’s taxonomy is one way to systematically organize and grade human’s thinking skills. For English teachers, the application of all levels of the thinking skills is not always easy. The consideration to be taken when we apply Bloom’s taxonomy in our classrooms is whether the questions we raise trigger the students to express themselves both in spoken language or written language. Another way to control our questions so that they can be the threshold of thinking journey and at the same time the stepping stone to express their thoughts and their feelings better is by realizing what kinds of questions we ask to them. In this case, an English teacher should know the following types of questions: (1) skinny questions vs. fat questions, (2) high consensus questions vs. low consensus questions, and (3) true questions vs. review questions. a. Skinny vs. Fat Questions Skinny questions are questions that require a skinny answer (Chapman et al. 1999: 4). The term ‘skinny’ here is used to show that such kind of questions needs no explanation or elaboration when students answer the questions. Yes- No Questions are typically skinny questions. At the beginning of a class, you may ask your students, “Have you had breakfast this morning?” The students most probably answer the questions using yes or no answer—which is very skinny. In Bloom’s taxonomy, when you ask your students “Do you like the poem?” you might have asked an evaluation question—the highest level of thinking skills. But in reality, it is a skinny question. The students can easily answer it by yes or no. The problem with the question is whether the evaluation question really triggers the targeted thinking skill or not. We can couch the question and change it into a fatter one by saying: “What things do you like about the poem? What things don’t you like about it?” In this case, a fat question is a question requires a fat answer (Chapman et al. 1999: 4)—a more elaborated answer. Fat questions will force the students to think deeper and to express their Martriwati: Promoting Critical Thinking In Efl Classrooms
thoughts and feeling in more elaborated way. In a speaking class, this kind of questions will give more chance for the students to speak. Fat questions do not only invite more elaborated responses, but they also develop both depth of thinking and range of thinking skills. b. High Consensus and Low Consensus Questions A high consensus question is one to which most people would give the same response, usually a right or wrong answer (Chapman et al. 1999: 5). After reading a text about Charles Darwin, for example, an English teacher asks the students: “What’s the title of the controversial Darwin’s book?” The students may answer “The Origins of species”. The answer might be right or wrong. Therefore, in this case, the question is a highly consensus question. When the teacher asks further about Darwin’s evolution theory by saying: “Do you agree with Darwin’s Evolution theory?” This question may lead to a hot debate on the matter, especially if some of the students are informed about the The Intelligent Design Theory—which is now claimed as a competing theory. In this case, the question has a low consensus among the students. There are pros and cons among them and we cannot say whether the students’ responses are right or wrong. c. Review Questions vs. True Questions We can find a review questions at the end of a chapter in a textbooks. In a textbook on linguistics, we might find the following questions: “What is a phoneme? What are allophones?” The purpose of review questions is to elicit students’ understanding and knowledge about certain topics. Here, if the teacher asks such questions, we can assume that the teacher actually know the answer; (s)he just wants to make sure whether the students have understood the topic or not. On the other hand, when a teacher in a multicultural classroom asks a student: “How do you say ‘book’ in your mother tongue?” the question might be a genuine question. It is a true question since the teacher really wants to know the answer. In short, a true question is a meaningful question– a question which we do not know the answer. The 123
goal of a true question is not a correct answer, but the thinking journey students take to create a meaningful response. Thus a question such as “What might you feel if you were a Panda—the endangered animal?” will lead the students to think and express their thoughts and feelings. By realizing the questions asked in the classroom, we, as teachers can be more active in encouraging students to explore and expand not only their knowledge but also their perspectives. If many of our questions are high consensus, skinny, and meant to review students’ knowledge and understanding, then we will fail to encourage them to practice the high order of thinking skills. On the other hand, if we can make a balance in types of questions we ask, then we can encourage them to think in depth and in a broad range of topics so that they can express their thoughts and feeling better in English and explore their own selves and their surroundings. 5. CONCLUDING REMARKS The ultimate goal of teaching English in Indonesia is to make the students able to use the language for communication. In order to do so, we have to encourage them to be more active, not only physically but also mentally. To do so, promoting critical thinking in the classroom is beneficial for the teaching learning processes. The students are trained to think in depth and are trained to express their thoughts and feelings. In promoting critical thinking skills in the classroom, an EFL teacher should realize the questions they usually ask to the students. Certain types of questions will just elicit students’
124
knowledge and comprehension but other types of questions might help the students to think more thoroughly and deeply and then express their feeling and thoughts. DAFTAR PUSTAKA Black, Howard and Sandra. 1992. Organizing Thinking: Graphic Organizes (Book I & II). Pacific Groove: Critical Thinking Books and Software. Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching (Fourth Edition). New York: Longman. Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (Second Edition). New York: Longman. Chapman, Christa et al. 1999. Higher Level Thinking Question: Language Arts. San Clemente, CA: Kagan. Stapleton, Paul. 2002. “Critical Thinking in Japanese L2 Writing: Rethinking Tired Construct”. ELT Journal vol. 56/3. Oxford University Press. Ugege, Sandra and Salah Kutieleh. 2004. “Critical Thinking: Teaching Foreign Notions to Foreign Students”. International Education Journal, Vol 4, No 4. Http://iej.cjb.net . Vandermensbrugghe, Joelle. 2004. “The Unbearable Vagueness of Critical Thinking in the Context of Anglo-Saxonization of Education”. International Education Journal, Vol , No 3. Http://iej.cjb.net . Wiederhold, Chuck. 1998. Cooperative Learning and Higher Level Thinking. San Clemente, CA: Kagan.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
MEMBANGUN DAN MEMBENTUK KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA Prima Gusti Yanti UNIVERSITAS PROF. DR. HAMKA
Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani menegakan kebenaran. Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar karakter bangsa tetap terjaga. Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar jiwa-jiwa mereka hidup.
PENDAHULUAN Saat ini pendidikan karakter menjadi persoalan serius di kalangan generasi muda di dunia. Hilangnya rasa hormat (respect) terhadap orang tua dan guru, banyaknya perilaku kurang jujur, kekerasan (violent act) karena kurangnya toleransi dan rasa peduli antarsesama (Sirkit Syah dan Martadi, 2011). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Ketika aksi kekerasan semakn marak, perkelahian pelajar/mahasiswa semakin banyak, bentrok antarsuku/kelompok ada di pelupuk mata; nurani kita semakin gelisah. Sebagai bangsa yang multikultural, baik dalam hal suku maupun budaya, sikap ramah, jujur, saling menolong dan menghormati yang menjadi ciri khas bangsa kita sudah mulai pudar. Nilai-nilai tersebut telah tereduksi oleh sikap-sikap kebiadaban yang membudaya dalam bentuk tawuran, pemerkosaan, pembunuhan, mutilasi, aborsi, dan berbagai perilaku lain yang muncul dalam kehidupan masyarakat kita. Sentimen-sentimen primordialisme berbasis kesukuan, agama, ras, atau antargolongan menjadi demikian rentan tereduksi oleh emosiemosi agresivitas. Bangsa kita seolah-olah telah menjelma menjadi “homo violens” yang menghalalkan darah sesamanya dalam memanjakan naluri dan hasrat purbanya. Benarkah bumi pertiwi
ini telah kehilangan jati diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat? Tidakkah dapat nilainilai moral yang selama ini kita banggakan itu kita bangun kembali. “Membangkit batang terendam”, kata orang Melayu/Minang. Karakter bangsa kita memang sudah semakin terkikis, mulai dari karakter masyarakat hingga karakter para pejabatnya. Sudah sangat susah mencari figur yang berkarakter baik untuk zaman sekarang. Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas amat tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian, perlu ada upaya serius dari segenap komponen bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif ” demi mengembalikan karakter bangsa yang hilang. Oleh karena itu, pendidikan tampaknya menjadi pilihan dan harus menjadi garda depan untuk membangun karakter peserta didiknya. Di sinilah pembelajaran sastra berperan sangat penting dalam membangun karakter peserta didik yang kukuh. Karakter yang kukuh dapat menjadi pondasi ketika seseorang menghadapi goncangan sehing ga bertahan, bahkan mampu menggunakan goncangan itu tersebut sebagai peluang untuk maju.
Prima Gusti Yanti: Membangun dan membentuk Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Sastra
125
PENDIDIKAN KARAKTER DAN KARYA SASTRA Male J. Schwartz (2007) mengatakan, “Character development is about developing virtuesgood habits and disposition that lead students to responsible andmature adulthood”. Pandangangan tersebut mengisyaratkan bahwa melalui pendidikan karakter dapat ditumbuhkembangkan nilai-nilai kebayikan, kebiasaan hidup yang baik, serta watak yang dapat memandu anak didik menjadi pribadi yang matang serta bertanggung jawab. Pendidikan karakter bertujuan untuk membangun anak didik (generasi) yang jujur, cerdas, tangguh, dan peduli. Untuk mencapai tujuan tersebut kita harus berpijak pada enam pilar karakter global yang selama ini selalu menjadi sandaran dalam pengembangan karakter pada banyak negara. Keenam pilar karakter tersebut adalah kepercayaan (trustworthiness), saling menghargai (respect), bertanggung jawab (responsibility), keadilan (fairness), kepedulian (caring), kewarganegaraan yang aktif (active citizenship). Enam pilar karakter global itu sesungguhnya sudah dimiliki bangsa kita sejak lama. Karakterkarakter tersebut antara lain religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca/menulis, peduli lingkungan, peduli sosial, bertang gung jawab. Dalam penerapannya, karakter-karakter tersebut dituangkan dalam tiga konsep pendidikan karakter, yaitu (1) terkait dengan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa, (2) terkait dengan keilmuan, dan (3) terkait dengan rasa cinta dan bangga menjadi orang Indonesia. Terkait dengan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa dapat menumbuhkan rasa kasih saying, kejujuran, dan optimisme. Terkait dengan keilmuan dapat menumbuhkan budaya tradisi kelimuan, kepenasaran intelektual (intelelectual curiosity), rasionalitas lebih tinggi daripada marah atau emosi, dan terkait dengan rasa cinta dan bangga menjadi orang Indonesia. Mangunwijaya (1988: 124) mengatakan bahwa pada mulanya seluruh karya sastra adalah religius, bahkan setiap karya sastra yang berkualitas selalu 126
berjiwa religius. Dengan demikian, dapat dinyatakan dalam karya sastra terkandung nilai, norma, dan ajaran agama. Pernyataan seperti itu muncul karena penulis karya satra adalah makhluk sosial dan sekaligus makhluk religius, yang tidak dapat dipungkiri pengalaman religiusnya akan mempengaruhi karya satra yang dihasilkannya. Dalam dunia kesusastraan kita masalah yang mengedepankan pengalaman kehidupan keberagamaan merupakan wilayah yang belum banyak digarap. Oleh karena itu, penelaahan unsur religiusitas dalam karya sastra merupakan bidang garapan yang perlu mendapat perhatian secara sunguh-sungguh. Lebih jauh Mangunwijaya (1988: 135) mengatakan bahwa sastra religius adalah sebuah genre sastra yang bermaksud memberikan jawaban pada situasinya dengan berbasiskan nilainilai yang bersifat tradisional keagamaan. Kar ya sastra dapat berperan sebagai pembimbing manusia dalam memahami dan menghayati berbagai persoalan dalam kehidupan manusia (Baca: Watloly, 2001; Nurgiyantoro,1998). Sastra bukan barang langka yang hanya tersimpan di museum. Sastra bukan mahluk asing yang hanya diperlakukan sebatas pengenalan dan penghafalan identitas. Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, har moni, irama, proporsi, dan sumbilmasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan peradaban. Jika sastra tercerabut dari akar kehidupan manusia, maka manusia tak lebih dari sekedar hewan berakal. “Memulialkan sastra, menyemai peradaban bangsa,” kata Yudi Latief dalam bukunya Menyemai Karakter Bangsa. SASTRA SEBAGAI PEMBENTUK DAN PENGUBAH KARAKTER Menurut hemat saya, kekuatan sastra yang dahsyat mampu mengubah moralitas dan karakter manusia ke dalam persepsi kehidupan yang berbeda. Sejarah menuliskan bagaimana sosok seorang Umar bin Khotab yang punya kepribadian keras akhirnya luluh dalam basuhan sejuknya kekuatan sastra ayat-ayat Al-Qur’an. Goresan luka dari tajamnya pedang takkan bisa membuatnya menangis. Hantaman pukulan dan tendangan dari STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
algojo terkuat dan terkejam sekalipun takkan sanggup menggoyahkan ketegarannya. Ancaman pembunuhan dan kematian tidak sedikit pun membuatnya merinding ketakutan. Akan tetapi, hati Umar luluh ketika mendengar untaian tata bahasa Al-Qur’an yang dilantunkan adiknya. “Syair macam apa yang kau baca itu? Betapa indah dan agungnya kalimat di dalam syair ini,” “ tanya Umar saat pertama kali mendengar ayat-ayat suci dari Tuhan Penguasa semesta. Hanya syair dari Illahi inilah yang mampu membuat air matanya mengalir deras. Hanya untaian kalimat indah di dalam Al-Qur’anlah yang sanggup membuatnya takluk dan tunduk serta merinding ketakutan. Pengalaman-pengalaan spiritual itu tampaknya menjadi alasan bagi negara-negara maju untuk menjadikan sastra sebagai alat untuk membendung moralitas anak-anak muda. Para pendidik di negaranegara maju sudah menyadari bahwa sastra punya kekuatan besar yang sanggup merasuk ke hati pelajar sehingga moralitas mereka juga bisa tertata. Hal itu terbukti di negara-negara seperti Inggris, Amerika, Perancis, Jerman, dan negara-negara maju lain, bahwa pendidikan sastra banyak mempengarui moralitas para siswa di sekolah. Ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang diajarkan sastra dengan yang tidak. Siswa yang diajarkan sastra hampir tidak pernah berperilaku negatif seperti terlibat perkelahian dan melakukan tindak kejahatan kriminal. Sastra ternyata mampu menata etika mereka dengan budi pekerti yang baik. Padahal remaja yang hidup di negara maju tersebut merupakan remaja yang hidup di tengah masyarakat yang memiliki kebebasan yang tinggi. Sebagai pembentuk karakter manusia, sastra, terutama bagi anak didik, dapat dipandang sebagai citraan atau metafora kehidupan yang disampaikan kepada anak yang melibatkan, baik aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral yang diekspresikan dalam bentuk kebahasaan. Jadi, buku dapat dianggap dan digunakan sebagai buku sastra bagi siswa/anak apabila citraan dan metafora kehidupan yang diberikan, baik dalam hal isi (emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, dan pengalaman moral) maupun dalam hal bentuk (kebahasaan dan caracara pengekspresiaan) dapat dijangkau dan
dipahami oleh siswa/anak sesui dengan tingkat perkembangan jiwanya (Noor, 2011:37-38) Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra diresepsi oleh anak dan secara tidak sadar merekontruksi sikap dan kepribadian mereka. Karya sastra selain sebagai penanaman nilai-nilai dan karakter juga akan merangsang imajinasi kreativitas anak untuk berpikir kritis melalui rasa penasaran akan jalan cerita dan metafora-metafora yang terdapat di dalamnya. Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan di dunia pendidikan. MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA Ketika dalam sebuah seminar nasional, kertas kerja saya terpumpun (foccused) pada pembelajaran sastra yang efektif. Pada saat itu, ada pertanyaan yang sangat berkesan bagi saya, bahkan sampai sekarang masih mengelayuti pikiran saya. Pertanyaan tersebut tentang metode pembelajaran sastra yang paling tepat dalam pembelajaran sastra/ bahasa di sekolah. Sebeleum saya jawab saya balik bertanya, “Apakah Ibu telah menerapkan metode pembelajaran yang selama ini ada dan sudah kita pahami?”. Dengan lantang dia menyatakan bahwa semua metode pembelajaran yang secara teori selama ini ada telah dirapkannya. Akan tetapi, dia masih merasakan dan melihat raut kebosanan pada wajah anak didiknya. Sesaat saya tertegun, kemudian pertanyaan tersebut saya jawab dengan sederhana. Dengan peserta didik yang heterogen, tentu kita kesulitan menemukan satu metode yang paling tepat dalam pembelajaran sastra. Menurut hemat saya, metode pembelajaran sastra yang paling tepat agar peserta didik tidak bosan adalah “menyemai benih kerinduan”. Hal yang sulit adalah bagaimana seorang guru dapat mananamkan benih kerinduan terhadap sastra, termasuk bahasa, pada peserta didik menjadi hal yang selama ini kita lupakan. Sebagai guru, tentu kitalah orang paling tahu kesenangan dan kebutuhan siswa. Jadikan kesenangan dan kebutuhannya itu sebagai lahan untuk menyemai benih kerinduan terhadap sastra. Metode ini akan menempatkan tenaga pendidik sebagai mediator sejati yang akan menjadi idola bagi peserta didik. Sudah tidak pada saat lagi kita memaksakan apa yang ada di dalam pikiran kita
Prima Gusti Yanti: Membangun dan membentuk Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Sastra
127
kepada peserta didik sehingga suasana kelas menjadi tidak menyenangkan dan membuat peserta didik tidak menyukai, bahkan membenci materi yang diberikan. Persoalannya sekarang adalah bagaimana pembelajaran sastra itu dapat membangun karakter bangsa. Jika memang kurikulum 2013 akan diterapkan secara menyeluruh, pembelajaran (sastra) berbasis teks (genre) yang menjadi roh kurikulum itu sangat mungkin untuk dilakukan. Pembelajaran berbasis teks tentu saja akan berpijak pada empat hal (Knapp and Megan Watkins, 2005), yaitu (1) building knowledge of field, (2) modeling of text, (3) joint construction of the text, dan (4) independent construction of the text. Building knowledge of field berhubungan dengan pembangunan konteks berdasarkan pengetahuan siswa, modeling a text berkaitan dengan genre tulisan tertentu sebagai model teks yang akan dibahas, joint construction of the text berkenaan dengan penyusunan teks secara bersama-sama oleh guru dan siswa, sedangkan independent construction of the text bertalian dengan penyusunan teks secara mandiri oleh siswa. Bagianbagian itu tentu menjadi ruang yang tepat bagi sastra untuk lebih berperan, terutama dalam membangun karakter peserta didik. Tenaga pendidik harus jeli memanfaatkan materi sastra agar benih kerinduan peserta didik terhadap sastra semakin tinggi. 1) Membangun Karakter Bangsa Melalui Puisi Puisi merupakan materi pembelajaran sastra yang sangat menarik untuk digunakan di dalam proses belajar mengajar. Melalui puisi peserta didik dapat menikmati sastra secara lebih mendalam, melalui puisi pula, benih kerinduan terhadap sastra mulai dibangun. Misalnya, untuk membangun konteks pembelajaran, guru dapat membaca puisi (siswa dapat membaca atau mendengar puisi) yang dapat menumbuhkan karakter peserta didik. Puisi Rendra tentang “Balada Anita” berikut juga sarat dengan pesan moral yang dapat mebangun dan membentuk karakter peserta didik. Bal ad a Anita alad ada Ketakutan berbentuk lembut bercokol di dadanya bicara dalam kenekatan memacu lepas-lepas butir darah-butir darah,
128
meratai bunga-bunga, membungai tiap usia sebelum dikejuti pintu penutup baginya. Anita. Memacu kuda garang, merasup hidup jalang ditolaknya setiap perhentian. Anita. Dikutukinya cinta sarang cemburu, degil dan duka berpacu juga ia yang terlanda rebah dikakinya. Sampai tiba-tiba terpaling kepalanya Satu binar caya merobah warna iklim Lelaki berotot mengurungnya pada cinta Yang dengan angkuh memandang ke darahnya berpacuan Anita. Derai gerimis menampar muka Kutuk membalik mendera dirinya Dadanya yang subur terguncang-guncang oleh damba Anita. Dijatuhkannya dirinya dari menara.
Jika kita membaca puisi “Balada Anita” ini secara mendalam, perasaan kita (pembaca) pasti tersentuh karena pengarang berbicara tentang penderitaan atau kesengsaran. Meskipun demikian, pembaca tetap memperoleh kenikmatan dan mendapat pengalaman batin tersendiri. Melalui tokoh Anita, pengarang ingin membangun karakter tentang nilai-nilai kemanusiaan, kearifan, dan kebijaksanaan, “Anita” (tokoh yang dilambangkan pengarang) bercerita tentang penderitaanya sebagai seorang gadis yang belum menikah, sedangkan usianya sudah beranjak dewasa (hampir melewati usia perkawinan). Dia hampir menjadi perawan tua. Hal ini dapat dilihat pada bait pertama berikut. Ketakutan berbentuk lembut bercokol di dadanya/ bicara dalam kenekatan memacu lepas-lepas butir/ darahbutir darah, meratai bunga-bunga/ membungai tiap usia/ sebelum dikejuti pintu penutup baginya. Pengaarang juga ingin mambangun karakter tegar, tabah, dan sabar dengan merepresentasikan Anita sebagai seorang gadis yang tegar dan mampu STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
menghadapi tantangan hidup. Nilai ketegaran Anita tersebut diperlihatkan pengarang dengan kata-kata memacu kuda jarang, seperti dalam bait kedua. Anita// Memacu kuda garang, merasup hidup jalang/ ditolaknya setiap perhentian. Dengan ketegaran yang diperlihatkan Anita pada bait kedua, tampaknya berpengaruh pada jalan pikirannya tentang cinta. Pandangannya dalam hal cinta tampak lebih dewasa. Dia tidak mau cinta yang berbau kekanak-kanakan dan penuh rasa cemburu. Dia menginginkan cinta yang dewasa. Cinta kekanak-kanakan tidak disukainya. Hal itu memperlihatkan bahwa dalam hidup ini manusia harus tegar dan bersungguh-sungguh menjalankan sesuatu. Anita// dikutukinya cinta sarang cemburu, degil dan duka/ berpacu juga ia yang terlanda rebah dikakinya. Hubungan manusia dengan manusia juga diungkapkan oleh pengarang melalui melalui hadirnya kata-kata lelaki berotot pada bait kedua. Tampaknya penulis ingin memperlihatkan bahwa cinta seorang tidak mengenal umur. Dalam bait ketiga tampak bahwa ketegaran Anita runtuh oleh cinta seorang laki-laki. Untuk memperdalam penderitaan tokoh dalam puisi ini pengarang masih melanjutkan untain kata-katanya yang merepresentasikan Anita diperkosa, kemudian lakilaki tempatnya melabuhkan cinta meninggalkannya. Pemerkosaan yang dipersentasikan pengarang tampak dengan hadirnya kata-kata darahnya berpacuan dalam bait keempat. Sampai tiba-tiba terpaling kepalanya// Satu binar caya merobah warna iklim// Lelaki berotot mengurungnya pada cinta//yang dengan angkuh memandang ke darahnya berpacuan. Sebagai manusia yang hidup di tengah masyarakat, pemerkosaan itu merupakan aib. Anita merasa malu menerima kenyataan ini. Penyesalan yang datang kemudian mendera dirinya sehingga dia bunuh diri. Bunuh diri yang merupakan penyelesaian yang disampaikan pengarang tampak merupakan pilihan yang tidak sesuai dengan norma dan hukum agama yang berlaku. Perbuatan bunuh diri dalam ajaran agama apa pun tetap dilarang meskipun manusia telah melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Melalui untaian kata yang baik dan makna yang mendalam, pengarang berhasil menggring perasaan penikmat menjadi terhanyut
dan seolah-olah ikut prihatin atas nasib yang menimpa Anita. Gambaran tersebut dapat dilihat pada bait berikut. Anita// Derai gerimis menampar muka// Kutuk membalik mendera dirinya// Dadanya yang subur terguncang-guncang oleh damba Anita// Dijatuhkannya dirinya dari menara. 2) Membangun Karater Bangsa Melalui Cerpen atau Novel Novel Kemarau karya A.A. Navis juga sangat kaya dengan pesan moral yang dapat membangun dan membentuk karakter. Sebagai orang Minangkabau, tentu kita semua sudah membaca karya sastra agung tersebut. Berikut ini beberapa nilai religiusitas yang ada di dalam novel tersebut yang sesungguhnya dapat mmbentuk dan membangun karakter peserta didik. a) Mempercayai Takdir Tuhan Pesan moral yang paling menonjol yang disampaikan Navis adalah percaya pada takdir dan kekuasaan Tuhan. Ketakwaan kepada Sang Pencipta dapat dibuktikan dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Manusia dapat berusaha secara maksimal, tetapi Tuhan lah yang mengatur dan menentukan segalanya. Takdir Tuhan itu tidak dapat ditentang. Apa pun yang digariskan Tuhan, manusia tidak dapat mengubahnya. Hal itu tampak pada kutipan berikut. Sebagai petani kita telah mengerjakan sawah kita. Kemudian kalau sawah itu kering karena hujan tidak turun, Tuhanlah yang punya kuasa. Kita sebagi umatnya lebih baik berserah diri dan mempercayai-Nya karena Dialah yang Rahman dan yang Rahim. Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Meskipun hujan diturunkan-Nya hingga sawah-sawah berhasil baik, tapi kalau Tuhan menghendaki sebaliknya, didatngakan-Nya tikus atau pianggang, maka hasilnya pun takkan ada juga. Kalau Tuhan punya kehendak, memang tak seorang pun yang kuasa menghalanginya. Itu adalah takdir-Nya (Navis, 1967: 23).
Kepercayaan pada takdir Tuhan yang disampaikan Navis itu tentu akan dapat membentuk dan membangun karakter tabah dan tawakal bagi peserta didik. Karakter tabah dan tawakal itu akan menempatkan dan menghindari peserta didik dari sifat sombong, angkuh, dan takabur. Dengan
Prima Gusti Yanti: Membangun dan membentuk Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Sastra
129
demikian, peserta didik akan dapat menempatkan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang harus mempu menjalin hubungan dengan Sang Pencipta dan manusia. Dalam penerapannya, pesan-pesan ini terkait dengan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa dapat menumbuhkan rasa kasih sayang, kejujuran, dan optimisme. b) Bertobat kepada Tuhan Dalam ajaran islam, Tuhan adalah Maha Pengampun. Oleh karena itu, sebesar apa pun dosa yang diperbuat oleh manusia, Tuhan akan mengampuni dosa itu, asalkan manusia tidak mengulang dosa yang telah diperbuatnya itu. Bertobat kepada Tuhan dilukiskan Navis melalui percakapan antara tokoh utama, Sutan Duano, dengan kakak iparnya, Haji Tumbijo. Setelah ditinggal mati oleh istri yang sangat dicintainya, Sutan Duano mengalami goncangan hidup. Dia tidak tahan untuk hidup sendiri. Oleh karena itu, dia menikah lagi. Namun, pernikahan keduanya dan seterusnya tidak membuatnya bahagia. Kondisi tersebut menambah keruwetan dalam hidupnya. Akhirnya dia terjurumus ke tempat pelacuran dan terlibat dalam pembunuhan. Anak tunggalnya, Masri, juga pergi meninggalkannya. Sutan Duano merasa dosanya semakin besar karena telah menyianyiakan darah dagingnya sendiri. Meskipun terlambat, Sutan Duano akhirnya menyadari dosadosa yang telah diperbuatnya berkat nasihat kakak iparnya, Haji Tumbijo. Dia segera bertobat kepada Tuhan dan pergi ke sebuah desa. Di desa itulah dia mendapatkan kedamaian. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut. Carilah dia dalam hatimu seperti kau mencari Tuhan, mencari kebenaran. Carilah dengan pahalapahala dan kebaikan. Kalau kau telah dapat itu, telah dapat pahala dan kebaikan, engkau telah menemui Tuhan, sudah menemui kebenaran. Dan di situlah Masri berada, katanya. Ucapannya itu menyadarkanku. Akupun tobat. Dan akhirnya aku terdampar di kampung ini hingga sekarang. Dan di sini aku telah menemui Tuhan, menemui kebenaran dan kedamaian (Navis, 1967: 102).
Pesan moral yang disampaikan Navis tersebut dapat membangun kesadaran peserta didik bahwa 130
manusia itu pernah berbuat salah. Ketika hal itu terjadi, Tuhan masih membuka pintu tobat bagi umatnya. Dalam penerapannya, pesan tersebut berkaitan dengan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa yang dapat menumbuhkan rasa kasih sayang, kejujuran, dan optimisme. Selain itu, pesan tersebut juga berhubungan dengan keilmuan (menakar yang baik dan buruk) yang dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, kepenasaran intelektual (intelelectual curiosity), rasionalitas lebih tinggi daripada marah atau emosi. c) Berbagi sesama Manusia Rezki yang diberikan Tuhan kepada manusia tidak harus dipnikmati sendiri. Manusia wajib membaginya dengan manusia lain. Dalam ajaran islam hal tersebut dapat dilakukan dengan mengeluarkan zakat. Pembaharuan yang dilakukan Sutan Duano mengenai orang yag berhak menerima zakat dapat dilihat pada kutipan berikut. Dulu zakat diberikan orang kepada setiap orang yang mau meminta. Tapi sekarang, zakat diberikan kepada yang betul-betul tidak mampu. Hingga dengan zakat itu dia dapat memodali hidupnya agar lebih baik. Diantaranya akulah yang telah merasakan nikmatnya, kata yang berkarib (Navis, 1967: 41) .
Pesan moral yang disampaikan Navis tersebut memperlihatkan bahwa manusia harus membagi rezki yang dititipkan Tuhan kepadanya. Hal itu menujukkan hubungan manusia dengan manusia yang harus terjalin. Dalam penerapannya, pesan moral ini dituangkan dalam konsep pendidikan karakter yang terkait dengan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa, yaitu sifat religius, toleransi, kerja keras, bersahabat, cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial. d) Menyampaikan Kebenaran Kebenaran itu harus disampaikan meskipun sangat sulit dan penuh tantangan. Pesan moral itu diperlihatkan Navis melalui sikap Sutan Duano yang selalu menyampaikan kebenaran meskipun hal itu sangat menykitkan dan menimbulkan pertengkaran. Hal itu terungakp melalui dialog yang STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
sengit antara Sutan Duano dengan Iyah, mantan istrinya, sewaktu ia mengetahui bahwa anak mereka, Arni dan Masri, terjebak dalam perkawinan inses, yaitu perkawinan tali darah. Tak sanggup aku membiarkannya, Iyah. Tak sanggup? Aku tak sanggup menentang kutukan Tuhan, Iyah. Cih, baru sekarang kau pandai mengatakan itu. Kenapa baru sekarang,. Kenapa setelah segala-galanya kau rusak, baru kau katakan kau tak sanggup menentang kutukan Tuhan? Walau apa katamu padaku, kau hina, kau cai, kau kutuki, aku terima. Tapi untuk membiarkan Masri dan Arni hidup sebagai suami istri pada hal Tuhan telah melarangnya, aku tidak akan membiarkannya. Walau kau telah berbuat sesuatu yang benar, telah membesarkannya,. Tapi ada lagi kebenarn yang lebih mutlak, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, Iyah, yakni kebenaran yang dikatakan Tuhan dalam kitab-Nya (Navis, 1967: 169—170).
Pesan moral yang disampaikan Navis pemahaman tentang keilmuan, khususnya perceraian. Sikap hidup Sutan Duano yang menyatakan bahwa perceraian merupakan suatu hal yang menyakitkan, tetapi lebih menyakitkan lagi hidup di jalan yang dimurkai Tuhan, seperti menikah dengan saudara seayah yang terjadi antara Arni dan Masri. Menurut Sutan Duano, apalah artinya hidup bahagia jika dimurkai Tuhan dan kebenaran dari Tuhan harus disampaikan walaupun sangat menyakitkan. Dalam penerapannya, pesan moral tersebut tentu terkait dengan sifat religius, jujur, bertanggung jawab. Selain itu, pesan tersebut juga dapat menumbuhkan karakter keilmuan (menakar yang baik dan buruk) yang dapat membangun budaya rasa ingin tahu, kepenasaran intelektual (intelelectual curiosity), rasionalitas lebih tinggi daripada marah atau emosi. PENUTUP Pendidikan karakter sesungguhnya dapat dikembangkan melalui tahap pengetahuan (konowing), pelaksanaan (acting), dan dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan yang dimiliki siswa. Siswa yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu bertindak baik sesuai dengan pengetahuaannya jika
ia tidak terlatih dan terbiasa melakukan kebaikan itu dalam kesehariannya. Pendidikan Abad XXI yang penuh tantangan dengan pengaruh globalisasi menyadarkan kita akan pentingnya merevitalisasi pendidikan karakter. Kesadaran untuk kembali ke prinsip pendidikan yang seimbang antara hati (heart), otak (head), dan tangan (hand). Pembelajaran sastra dapat menggiring kita kembali ke prinsip dasar pendidikan, yaitu memanusiakan manusia (humanizing human being). Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra diresepsi oleh anak dan secara tidak sadar merekontruksi sikap dan kepribadian mereka. Karya sastra selain sebagai penanaman nilai-nilai dan karakter juga akan merangsang imajinasi kreativitas anak untuk berpikir kritis melalui rasa penasaran akan jalan cerita dan metafora-metafora yang terdapat di dalamnya. Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan di dunia pendidikan. Karakter bangsa dapat dibangun dan dibentuk melalui pembelajaran sastra karena di dalam karya sastra termaktub nilai-nilai moral yang akan menuntun peserta didik menuju karakter-karakter yang baik. Oleh karena itu, guru harus mampu menemukan metode yang tepat. Metode yang patut kita coba agar pembelajaran sastra dapat membangun dan membentuk karakter adalah dengan menyemai benih kerinduan terhadap sastra. Jika cara ini dapat dilakukan guru, tentu kita tidak menemukan lagi siswa yang merasa bosan, bahkan tidak masuk, ketika pembelajaran sastra/bahasa berlangsung. Masing-masing guru tentu punya kiat tersendiri untuk menyemai benih kerinduan terhadap sastra ini. Semoga.... DAFTAR PUSTAKA Bandel, Katrin. 2006. Sastra Perempuan Seks. Jakarta: Jalasutra. Damono, Sapardi Djoko.1994. “Sastra, Politik, dan Ideologi”. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar. Jakarta: Universitas Indonesia. Delors, Jacque. 2002. Pendidikan untk Abad XXI: Pokok Persoalan dan Harapan. Jakarta: UNESCO-Depdiknas.
Prima Gusti Yanti: Membangun dan membentuk Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Sastra
131
Dryden, Gordon and Jeannette Vos. 1999. The Learning Revolution: to Chance the Way the World Learns. Canada: The Learning Web. Freire, P. 2001. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Karya. Halliday, M.A.K. and Hasan 1965. Language: Context and Text. Burwood: Vic. Deaken University. Knapp, Peter and Megan Watkins, 2005. Genre, Teks, Grammar. Sidney: University of new South Wales Press Ltd. Latief, Yudi. 2009. Menyemai Karakter Bangsa:Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
132
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiusitas. Yogyakarta: Kanisius Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPEE. Syah, Sirkit dan Martadi (Ed.), 2011. Bunga Rampai Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Generasi Masa Depan. Surabaya:Unisa University Press. Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta: Grasindo.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
KAJIAN KATA BAKU DAN EFEKTIVITAS KALIMAT BAHASA INDONESIA GURU SDN SEKECAMATAN CIKALONG TASIKMALAYA JAWA BARAT Dede Hasanudin
Abstraks: Penelitian yang berjudul “Kajian Kata Baku dan Efektivitas Kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat” ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran secara lengkap tentang pengetahuan dan wawasan guru tentang perkembangan bahasa Indonesia khususnya mengenai bahasa baku, dan kemampuan dalam menganalisis kalimat efektif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Analisis deskriptif dengan menampilkan data apa adanya secara rinci, objektif, sistematis, akurat dan komprehensif, sehingga menghasilkan pemerian data bahasa yang akurat pula. Hasil pengamatan ini kemudian dideskripsikan, dipilah – pilah, dan dianalisis sesuai dengan gejala – gejala yang ditemukan di lapangan; tanpa perlu mempertimbangkan betul salahnya yang ditulis oleh guru Sumber data penelitian ini adalah ragam bahasa tulisan. Data utamanya adalah penulisan kata baku dan penulisan kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan tes tertulis tentang kata baku dan membuat kalimat efektif dalam bahasa Indonesia yang diberikan kepada guruguru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat sebanyak 90 orang, yang mewakili 20 sekolah SDN yang ada di Kecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan terhadap 90 responden yang terdiri dari 49 guru perempuan, dan 41 guru laki-laki. Skor tertinggi dalam pilihan ganda adalah 8 (1guru perempuan dan 3guru laki-laki) dan skor terendah adalah 3 (1 guru perempuan dan 1 guru laki-laki). Sedangkan untuk tes esai skor tertinggi adalah 27 (guru perempuan) dan skor terendah adalah 5 (guru perempuan). Sementara guru lakilaki mendapat skor tertingg 26 dan skor terendah 10. Secara keseluruhan Nilai dari kedua tes di atas, adalah nilai tertinggi diperoleh guru wanita yaitu 80, dan nilai terendah adalah 50, sementara nilai tertinggi yang diperoleh guru laki-laki adalah 75 dan nilai terendah 12,5. Berdasarkan data di atas, maka peneliti mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut(1) Dari hasil di atas didapati data yang sangat akurat bahwa skor tertinggi untuk tes pilihan ganda diperoleh laki-laki. Sedangkan skor tertinggi untuk tes esai diperoleh perempuan. Hal ini membuktikan bahwa perempuan lebih teliti dalam menganalisis kalimat. (2) Sebagian besar responden banyak kesulitan dalam menganalisis kalimat, hal ini membuktikan bahwa pemahaman guru terhadap penggunaan kalimat efektif masih sangat rendah. (3) Sebagaian besar guru SD Sekecematan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat banyak tidak mengetahui kata baku dalam bahasa Indonesia, (4) Sebagaian besar guru SD Sekecematan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat banyak tidak mengetahui bahwa sumber belajar bahasa Indonesia tidak hanya berpatokan dari buku saja, tetapi bisa juga diunduh dari Internet. Kata Kunci: Kajian, Kata Baku, Efektivitas, Kalimat, Indonesia.
PENDAHULUAN Guru harus selalu digugu dan ditiru. Itulah pribahasa yang sampai sekarang masih melekat dan disandang oleh guru. Terlebih lagi guru-guru sd yang mengawali proses pendidikan formal bagi anak didik. Perkataan, perbuatan maupun prilaku
sehari-hari akan senantiasa menjadi tokok ukur dan panutan bagi para siswanya. Demikian pula halnya, dalam keterampilan menulis, jika guru saja salah dalam mengajarkan keterampilan menulis kepada peserta didik, maka akan selamanya siswa itu juga akan salah. Bahasa yang sering muncul, ketika
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
133
mereka sudah duduk di jenjang yang lebih tinggi, adalah “ Kata Bapak/Ibu guru saya waktu di sd begitu “. Kesalahan akhirnya ditumpahkan kepada guru mereka di sd. Jika ini didiamkan, tentunya akan membuat keterampilan menulis kalimat siswa akan semakin buruk. Sebenarnya keterampilan berbahasa terdiri dari empat aspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempatnya harus bersinergi karena saling ketergantungan. Oleh sebab itu, sangat wajar jika keempat aspek tersebut diajarkan dalam kurikulum. Guru yang akan mengajar pun harus memiliki kemampuan yang baik dalam menguasai keempat aspek tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan agar apa yang disampaikan kepada siswa dapat diserap secara baik dan benar. Inilah yang menjadi persoalan selama ini, apakah keempat aspek yang diajarkan kepada siswa sudah tepat dan benar. Tentunya untuk menjawab persoalan ini perlu diadakan penelitian secara seksama, mendalam dan berproses. Tidak mungkin dapat dilakukan sekaligus. Satu persatu dari keempat aspek itu harus diteliti. Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk meneliti salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa di atas. Aspek yang dimaksud adalah aspek keterampilan menulis. Menulis yang dimaksud di sini adalah kemampuan guru dalam menulis kata baku dan kalimat efektif dalam bahasa Indonesia. Kita menyadari bahwa faktor bahasa daerah sangat mempengaruhi dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Sehingga tidak jarang, guru dalam mengajar banyak memasukkan diaelek bahasa daerah, yang tentunya akan sangat berpengaruh pada keterampilan menulis siswa. Misalnya saja di Jawa Barat, guru sulit membedakan pelafalan antara /p/,f/, dan /v/. Sehinga ketika ia mengucapkan kata duplikat bisa saja diucapkan duflikat, positif, diucapkan positip. Hal ini tentu juga berimbas kepada keterampilan menulis guru tersebut. Ia menulis sesuai dengan yang diucapkan. Padahal, jika kita melihat Salah satu fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, guru wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan formal. Bukan itu saja, tetapi juga harus disampaikan secara baik dan benar. 134
Persoalan di atas, diperparah lagi ketika guru membuat kalimat dalam bahasa Indonesia, tetapi menggunakan struktur bahasa daerah. Misalnya saja seorang guru menuliskan kalimat “Surat itu sudah dikirimkan oleh saya untuk Paman”. Tentunya ini bukan struktur bahasa Indonesia, karena kalimat ini langsung diterjemahkan dari bahasa Sunda yang berbunyi “Seurat eta parantos dikintunkeun ku abdi kanggo emang”. Kalau kita ingin taat asas, maka seharusnya kalimat di atas, ditulis sesuai struktur bahasa Indonesia, “Saya sudah mengirimkan surat itu kepada Paman”. Contoh lain adalah efektivitas kalimat, misalnya hadirin sekalian, yang langsung dialihtransformasikan dari bahasa daerah “Bapak ibu sadayana”. Tentunya ini pemborosan kata, yang benar adalah Hadirin yang saya hormati, atau Bapak Ibu yang saya hormati”. Fenomena di atas, yang menimbulkan hasrat peneliti untuk melihat lebih jauh kemampuan mnulis kata baku dan keterampilan menulis kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Dengan melihat contoh-contoh di atas, pertanyaan yang muncul ke permukaan adalah sebagai berikut (1) Apakah benar bahwa kata baku guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat dipengaruhi oleh dialek bahasa Sunda ? (2) Apakah stuktur kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasaikmalaya Jawa Barat dipengaruhi oleh dialek bahasa Sunda ? (3) Bagaimana struktur kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong Jawa Barat ? Sebagaimana yang telah diuraikan di dalam latar belakang penelitian ini, peneliti dalam kesempatan penelitian ini hanya akan meneliti tentang salah satu aspek keterampilan berbahasa, yaitu aspek keterampilan menulis. Keterampilan menulis pun penulis batasi pada penulisan kata-kata baku dan struktur kalimat dalam hal ini dilihat segi efektivitas kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana kata baku dan efektivitas kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat “ ?
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
KAJIAN PUSTAKA Istilah bahasa baku telah dikenal oleh masyarakat secara luas. Namun pengenalan istilah tidak menjamin bahwa mereka memahami secara komprehensif konsep dan makna istilah bahasa baku itu. Hal ini terbukti bahwa masih banyak orang atau masyarakat berpendapat bahasa baku sama dengan bahasa yang baik dan benar. “Kita berusaha agar dalamsituasi resmi kita harus berbahasa yang baku. Begitu juga dalam situasi yang tidak resmi kita berusaha menggunakan bahasa yang baku”. (Pateda,1997 : 30). Slogan “pergunakanlah bahasa Indonesia dengan baik dan benar”,tampaknya mudah diucapkan, namun maknanya tidak jelas. Slogan itu hanyalah suatu retorika yang tidak berwujud nyata, sebab masih diartikan bahwa di segala tempat kita harus menggunakan bahasa baku. Demikian juga, masih ada cibiran bahwa bahasa baku itu hanya buatan pemerintah agar bangsa ini dapat diseragamkan dalam bertindak atau berbahasa. ”Manakah ada bahasa baku, khususnya bahasa Indonesia baku? “Manalah ada bahasa Indonesia lisan baku”? “Manalah ada masyarakat atau orang yang mampu menggunakan bahasa baku itu, sebab mereka berasal dari daerah”. Atau mereka masih selalu dipengaruhi oleh bahasa daerahnya jika mereka berbahasa Indonesia secara lisan. Di dalam pengantar dikemukakan bahwa masih banyak orang yang menyamakan pengertian bahasa baku dengan bahasa yang baik dan benar. Bahasa yang dipergunakan di dalam situasi tidak resmi pun dianggap sebagai bahasa baku. Makna baku tampaknya tidak dipahami secara benar, apalagi makna bahasa baku. Hal ini disebabkan oleh keengganan orang mencari makna istilah baku dan bahasa baku itu di dalam kamus Umum atau Kamus Istilah Linguistik, baik dari bahasa Indonesia maupun dari bahasa Asing, terutama dalam bahasa Inggris. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta menuliskan: baku I Jawa, (1) yang menjadi pokok, yang sebenarnya; (2) sesuatu yang dipakai sebagai dasar ukuran (nilai, harga; standar).
baku II saling (1976 : 79). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988 : 71), kata baku juga ada dijelaskan. baku I (1) pokok, utama; (2) tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas dan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar; baku II saling Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu dan Zain menjelaskan makna kata baku. baku I (Jawa) yang menjadi pokok; (2) yang utama; standar. baku II (Manado), saling (1996 : 114) Baku dalam bahasa baku di dalam 3 Kamus di atas bermakna sama dengan baku I. Oleh karena itu, bahasa baku ialah bahasa yang menjadi pokok, yang menjadi dasar ukuran, atau yang menjadi standar. Istilah bahasa baku dalam bahasa Indonesia atau standard language dalam bahasa Inggris dalam dunia ilmu bahasa atau linguistik pertama sekali diperkenalkan oleh Vilem Mathesius pada 1926. Ia termasuk pencetus Aliran Praha atau The Prague School. Pada 1930, B. Havranekdan Vilem Mathesius merumuskan pengertian bahasa baku itu. Mereka berpengertian bahwa bahasa baku sebagai bentuk bahasa yang telah dikodifikasi, diterima dan difungsikan sebagai model atau acuan oleh masyarakat secara luas (A Standard language can tentatively be definite as a codified form of language accepted by and serving as a model for a large speech community) (Garvin, 1967 dalam Purba, 1996 : 52). Pengertian bahasa baku di atas diikuti dan diacu oleh pakar bahasa dan pengajaran bahasa baik di barat maupun di Indonesia. Di dalamDictionary Language and Linguistics, Hartman dan Strok berpengertian bahasa baku adalah ragam bahasa yang secara sosial lebih digandrungidan yang sering didasarkan bahasa orang-orang yang berpendidikan di dalam atau di sekitar pusat kebudayaan atau suatu masyarakat bahasa(Standard language is the socially favourite variaty of a langauage, oftenbased on the
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
135
speech of educated population in and a round the culturaland or political cntre of the speech community) (1972 : 218). Di dalam Sociolinguistics A Critical Survey of Theory and Application,Dittmar (1976: 8) berpengertian bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa dari suatu masyarakat bahasa yang disahkan sebagai norma keharusan bagi pergaulan sosial atas dasar kepentingan dari pihak-pihak dominan di dalam masyarakat itu. Tindakan pengesahan itu dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan nilai yang bermotivasi sosial politik. Kata-kata baku adalah kata-kata yang standar sesuai dengan aturan kebahasaaan yang berlaku, didasarkan atas kajian berbagai ilmu, termasuk ilmu bahasa dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kebakuan kata amat ditentukan oleh tinjauan disiplin ilmu bahasa dari berbagai segi yang ujungnya menghasilkan satuan bunyi yang amat berarti sesuai dengan konsep yang disepakati terbentuk. Kata baku dalam bahasa Indonesia memedomani Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang telah ditetapkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa bersamaan ditetapkannya pedoman sistem penulisan dalam Ejaan Yang Disempurnakan. Di samping itu, kebakuan suatu kata juga ditentukan oleh kaidah morfologis yang berlaku dalam tata bahasa bahasa Indonesia yang telah dibakukan dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indoensia. Dalam Pedoman Umum Pembentukan istilah (PUPI) diterangkan sistem pembentukqan istilah serta pengindonesiaan kosa kata atau istilah yang berasal dari bahasa asing. Bila kita memedomani sistem tesebut akan telihat keberaturan dan kemanapan bahasa Indonesia. Kata baku sebenanya merupakan kata yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan. Konteks penggunaannya adalah dalam kalimat resmi, baik lisan maupun tertulis dengan pengungkapan gagasan secara tepat. Kalimat dikatakan efektif apabila berhasil menyampaikan pesan, gagasan, perasaan, maupun pemberitahuan sesuai dengan maksud si pembicara atau penulis.Untuk itu penyampaian harus memenuhi syarat sebagai kalimat yang baik, yaitu 136
str ukturnya benar, pilihankatanya tepat, hubungan antarbagiannya logis, dan ejaannya pun harus benar. Dalam hal ini hendaknya dipahami pula bahwa situasi terjadinya komunikasi juga sangat berpengaruh. Kalimat yang dipandang cukup efektif dalam pergaulan, belum tentu dipandang efektif jika dipakai dalam situasi resmi, demikian pula sebaliknya.Misalnya kalimat yang diucapkan kepada tukang becak, “Berapa, Bang , ke pasar Rebo?”Kalimat tersebut jelas lebih efektif daripada kalimat lengkap, “Berapa saya harus membayar, Bang, bila saya menumpang becak Abang ke pasarRebo?” Yang perlu diperhatikan oleh para siswa dalam membuat karya tulis, baik berupa essay, artikel, ataupun analisis yang bersifat ilmiah adalah penggunaan bahasa secara tepat, yaitu memakai bahasa baku. Hendaknya disadari bahwa susunan kata yang tidak teratur dan berbelit-belit, penggunaan kata yang tidak tepat makna, dan kesalahan ejaan dapat membuat kalimat tidak efektif. Berikut ini akan disampaikan beberapa pola kesalahan yang umum terjadi dalam penulisan serta perbaikannya agar menjadi kalimat yang efektif. 1. Penggunaan dua kata yang sama artinya dalam sebuah kalimat : Sejak dari usia delapan tahun ia telah ditinggalkan ayahnya. (Sejak usia delapan tahun ia telah ditinggalkan ayahnya.) Hal itu disebabkan karena perilakunya sendiri yang kurang menyenangkan. (Hal itu disebabkan perilakunya sendiri yang kurang menyenangkan. Ayahku rajin bekerja agar supaya dapat mencukupi kebutuhan hidup. (Ayahku rajin bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.) Pada era zaman modern init eknologi berkembang sangat pesat. (Pada zaman modern ini teknologi berkembang sangat pesat.) Berbuat baik kepada orang lain adalah merupakan tindakan terpuji. (Berbuat baik kepada orang lain merupakan tindakan terpuji.)
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
2.
3.
4.
5.
Penggunaan kata berlebih yang ‘mengganggu’ struktur kalimat : Menurut berita yang saya dengar mengabarkan bahwa kurikulum akan segera diubah. (Berita yang saya dengar mengabarkan bahwa kurikulum akan segera diubah. atau Menurut berita yang saya dengar, kurikulum akan segera diubah.) Kepada yang bersalah harus dijatuhi hukuman setimpal. (Yang bersalah harus dijatuhi hukuman setimpal.) Penggunaan imbuhan yang kacau : Yang meminjam buku di perpustakaan harap dikembalikan. (Yang meminjam buku di perpustakaan harap mengembalikan. / Buku yang dipinjam dari perpustakaan harap dikembalikan) Ia diperingati oleh kepala sekolah agar tidak mengulangi perbuatannya. (Ia diperingatkan oleh kepala sekolah agar tidak mengulangi perbuatannya. Operasi yang dijalankan Reagan member dampak buruk. (Oparasi yang dijalani Reagan berdampak buruk) Dalam pelajaran BI mengajarkan jugateori apresiasi puisi. (Dalam pelajaran BI diajarkan juga teori apresiasi puisi./ Pelajaran BI mengajarkan juga apresiasi puisi.) Kalimat tak selesai : Manusia yang secara kodrati merupakan mahluk sosial yang selalu ingin berinteraksi. (Manusia yang secara kodrati merupakan mahluk sosial, selalu ingin berinteraksi.) Rumah yang besar yang terbakar itu. (Rumah yang besar itu terbakar.) Penggunaan kata dengan struktur dan ejaan yang tidak baku : Kita harus bisa merubah kebiasaan yang buruk. (Kita harus bias mengubah kebiasaan yang buruk.) Kata-kata lain yang sejenis dengan itu antara lain menyolok, menyuci, menyontoh, menyiptakan,
menyintai, menyambuk, menyaplok, menyekik, menyampakkan, menyampuri, menyelupkan dan lain-lain, padahal seharusnya mencolok, mencuci, mencontoh, menciptakan, mencambuk, mencaplok, mencekik, mencampakkan, mencampuri, mencelupkan. - Pertemuan itu berhasil menelorkan ide-ide cemerlang. (Pertemuan itu telah menelurkan ide-ide cemerlang.) - Gereja itu dilola oleh para rohaniawan secara professional. (Gereja itu dikelola oleh para rohaniwan secara professional.) - tau tahu - negri negeri - kepilih terpilih - faham paham - ketinggal tertinggal - himbau imbau - gimana bagaimana - silahkan silakan - jaman zaman - antri antre - trampil terampil - disyahk disahkan 6.
Penggunaan tidak tepat kata ‘di mana’ dan ‘yang mana’ : Saya menyukainya di mana sifat-sifatnya sangat baik. (Saya menyukainya karena sifat-sifatnya sangat baik.) Rumah sakit di mana orang-orang mencari kesembuhan harus selalu bersih. (Rumah sakit tempat orang-orang mencari kesembuhan harus selalu bersih.) Manusia membutuhkan makanan yang mana makanan itu harus mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.
(Manusia membutuhkan makanan yang mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.) 1. Penggunaan kata ‘daripada’ yang tidak tepat : Seorang daripada pembatunya pulang ke kampung kemarin. (Seorang di antara pembantunya pulang ke kampung kemarin.) Seorang pun tidak ada yang bisa menghindar daripada pengawasannya. (Seorang pun tidak ada yang bisa menghindar dari pengawasannya.) Tendangan daripada Ricky Jakob berhasil mematahkan perlawanan musuh.
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
137
8.
9.
(Tendangan Ricky Jakob berhasil mematahkan perlawanan musuh.) Pilihan kata yang tidak tepat : Dalam kunjungan itu Presiden Yudhoyono menyempatkan waktu untuk berbincang bincang dengan masyarakat. (Dalam kunjungan itu Presiden Yudhoyono menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan masyarakat.) Bukunya ada di saya. (Bukunya ada pada saya.) Kalimat ambigu yang dapat menimbulkan salah arti : Usul ini merupakan suatu perkembangan yang menggembirakan untuk memulai pembicaraan damai antara komunis dan pemerintah yang gagal. Kalimat di atas dapat menimbulkan salah pengertian. Siapa/apa yang gagal? Pemerintahkah atau pembicaraan damai yang prnah dilakukan? (Usul ini merupakan suatu perkembangan yang menggembirakan untuk memulai kembali pembicaraan damai yang gagal antara pihak komunis dan pihak pemerintah. Sopir Bus Santosa yang Masuk Jurang Melarikan Diri Judul berita di atas dapat menimbulkan salah pengertian. Siapa/apa yang dimaksud Santosa? Nama sopir atau nama bus? Yang masuk jurang busnya atau sopirnya? (Bus Santoso Masuk Jurang, Sopirnya Melarikan Diri)
10. Pengulangan kata yang tidakperlu : Dalam setahun ia berhasil menerbitkan 5 judul buku setahun. (Dalam setahun ia berhasil menerbitkan 5 judul buku.) Film ini menceritakan perseteruan antara dua kelompok yang saling menjatuhkan, yaitu perseteruan antara kelompok Tang Peng Liang dan kelompok Khong Guan yang salingmenjatuhkan. Film ini menceritakan perseteruan antara kelompok Tan Peng Liang dan kelompok Khong Guan yang saling menjatuhkan.) 138
11. Kata ‘kalau’ yang dipakaisecarasalah : Dokter itu mengatakan kalau penyakit AIDS sangat berbahaya. (Dokter itu mengatakan bahwa penyakit AIDS sangat berbahaya.) Siapa yang dapat memastikan kalau kehidupan anak pasti lebih baik daripada orang tuanya? (Siapa yang dapat memastikan bahwa kehidupan anak pasti lebih baik daripada orang tuanya?) Kalimat merupakan salah satu struktur sintaktis yang terdiri atas konstituen konstituen yang bersifat linear, yang berada dalam dimensi linear pula. Kalimat adalah rangkaian kata-kata yang memliki makna. Verhaar, 1978: 72 dan Lyons, 1977:273 mengemukakan bahwa kalimat memiliki struktur bentuk (sintaksis). Stuktur sintaksis terdiri atas struktur klausa dan kalimat; yang kemudian ditambahkan oleh Longacre (1972:3) sebagai seperangkat kaidah yang menghubungkan makna dengan bentuk dalam tuturan. Itulah sebabnya teori distribusi akan digunakan untuk mengkaji hubungan dan sifat antarargumen dan predikator dari kalimat, atau antarkonstituen dalan satu kalimat. PEMBAHASAN Sesuai dengan ruang lingkup masalah yang telah dipaparkan di atas, Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan serta mengkaji kata baku dan struktur kalimat dari segi efektivitas kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Adapun tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk dapat: (1) Merumuskan kemampuan menulis kata-kata baku gur u SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat, (2) Mer umuskan kemampuan menulis kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat, (3) Merumuskan struktur kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat., (4) Menjadikan hasil penelitian sebagai acuan guru SDN di Jawa Barat dalam mengajarkan keterampilan menulis bahasa Indonesia kepada siswa sd, (5) Mempublikasikan STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
temuan-temuan ini melalui berbagai media, baik secara nasionalmaupun internasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Analisis deskriptif dengan menampilkan data apa adanya secara rinci, objektif, sistematis, akurat dan komprehensif, sehingga menghasilkan pemerian data bahasa yang akurat pula. Hasil pengamatan ini kemudian dideskripsikan, dipilah – pilah, dan dianalisis sesuai dengan gejala – gejala yang ditemukan di lapangan; tanpa perlu mempertimbangkan betul salahnya yang ditulis oleh guru Sumber data penelitian ini adalah ragam bahasa tulisan. Data utamanya adalah penulisan kata baku dan penulisan kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan tes tertulis tentang kata baku dan membuat kalimat efektif dalam bahasa Indonesia yang diberikan kepada guru-gur u SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat sebanyak 90 orang, yang mewakili 20 sekolah SDN yang ada di Kecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. 1. Deskripsi Data Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat dengan melibatkan responden sebanyak 90 orang. Kesembilan puluh orang tersebut semua berperdikat sebagai guru sekolah dasar, baik sebagai guru bidang studi maupun sebagai guru kelas. Mereka berasal dari sekolah dasar yang berada di wilayah kecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Guru-guru yang penulis jadikan responden dalam penelitian ini, tersebar di 20 sekolah dasar yang berada di wilayah Kecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Kepada mereka diberikan tiga instrumen penelitian yang meliputi : 1) biodata penelitian, 2) tes pilihan ganda, dan 3) tes tentang kalimat efektif. 2. Analisis Data Berikut adalah data yang penulis peroleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 90 orang guru sekolah dasar yang tersebar di wilayah
Kecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Untuk tes pilihan ganda, penulis membuat 10 soal dengan empat pilihan, sedangkan untuk tes esai penulis juga memberikan 10 soal untuk diperbaiki menjadi kalimat efektif. Analisis Data untuk pertanyaan pilihan ganda
Penjelasan 1. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 17, menjawab b sebanyak 0, menjawab c sebanyak 58, menjawab d sebanyak 0, dan tidak menjawab sebanyak 15. 2. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 0, menjawab b sebanyak 1, menjawab c sebanyak 73, menjawab d sebanyak 0, dan tidak menjawab sebanyak 16. 3. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 0, menjawab b sebanyak 1, menjawab c sebanyak 73, menjawab d sebanyak 0, dan tidak menjawab sebanyak 16. 4. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 22, menjawab b sebanyak 0, menjawab c sebanyak 51, menjawab d sebanyak 0, dan tidak menjawab sebanyak 17. 5. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 13, menjawab b sebanyak 48, menjawab c sebanyak 10, menjawab d sebanyak 3, dan tidak menjawab sebanyak 16. 6. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 39, menjawab b sebanyak 0, menjawab c sebanyak 28, menjawab d sebanyak 2, dan tidak menjawab sebanyak 21.
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
139
7.
Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 44, menjawab b sebanyak 14, menjawab c sebanyak 10, menjawab d sebanyak 0, dan tidak menjawab sebanyak 22. 8. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 40, menjawab b sebanyak 27, menjawab c sebanyak 1, menjawab d sebanyak 2, dan tidak menjawab sebanyak 20. 9. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 15, menjawab b sebanyak 48, menjawab c sebanyak 9, menjawab d sebanyak 1, dan tidak menjawab sebanyak 17. 10. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 0, menjawab b sebanyak 1, menjawab c sebanyak 40, menjawab d sebanyak 38, dan tidak menjawab sebanyak 12. Rumus F ——————— x 100 % N F: jumlah guru yang menjawab N: banyaknya guru 3. Interpretasi Data a. Sebanyak 90 guru menjawab a (18,88%), menjawab b (0%), menjawab c (64,44%), menjawab d (0%), dan tidak menjawab 15 guru (16,7%). Ini berarti guru sudah mengetahui tentang kata-kata baku dalam EYD. b. Sebanyak 90 guru menjawab c (81,11%), menjawab a (0%), menjawab b (1,11%), menjawab d (0%), dan tidak menjawab 16 guru (17,77%). Ini berarti guru sudah mengetahui tentang kata-kata baku dalam EYD. c. Sebanyak 90 guru menjawab c (81,11%), menjawab a (0%), menjawab b (1,11%), menjawab d (0%), dan tidak menjawab 16 guru (17,77%). Ini berarti guru sudah mengetahui tentang kata-kata baku dalam EYD. d. Sebanyak 90 guru menjawab a (24,44%), menjawab b (0%), menjawab c (56,66%), menjawab d (0%), dan tidak menjawab 16 guru (17,77%). Ini berarti guru sudah 140
e.
f.
g.
h.
i.
j.
mengetahui tentang kata-kata baku dalam EYD. Sebanyak 90 guru menjawab a (14,44%), menjawab b (53,33%), menjawab c (11,11%), menjawab d (11,11%), dan tidak menjawab 16 guru (17,77%). Ini berarti guru belum mengetahui tentang kata-kata baku dalam EYD. Sebanyak 90 guru menjawab a (43,33%), menjawab b (0%), menjawab c (31,11%), menjawab d (2,22%), dan tidak menjawab 21 guru (23,33%). Ini berarti guru sudah mengetahui tentang kata-kata baku dalam EYD. Sebanyak 90 guru menjawab a (48,88%), menjawab b (15,55%), menjawab c (11,11%), menjawab d (0%), dan tidak menjawab 22 guru (24,44%). Ini berarti guru belum mengetahui tentang kata-kata baku dalam EYD. Sebanyak 90 guru menjawab a (44.44%), menjawab b (30%), menjawab c (1,11%), menjawab d (2,22%), dan tidak menjawab 20 guru (22,22%). Ini berarti guru belum mengetahui tentang kata-kata baku dalam EYD. Sebanyak 90 guru menjawab a (16,66%), menjawab b (53,33%), menjawab c (10%), menjawab d (1,11%), dan tidak menjawab 17 guru (18,88%). Ini berarti guru sudah mengetahui tentang kata-kata baku dalam EYD. Sebanyak 90 guru menjawab c (44,44%), menjawab d (42,22%), menjawab a (0%), menjawab b (1,11%), dan tidak menjawab 12 guru (13,33%). Ini berarti guru sudah mengetahui tentang kata-kata baku dalam EYD.
4. Analisis Data untuk pertanyaan terbuka (kalimat efektif) a. Paman saya teman saya adik saya saya belum menikah. Kalimat 1 salah, karena kalimat itu tidak mempunyai subjek yang jelas (ambiguitas). Perbaikannya: Paman, teman, adik, dan saya belum menikah. STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Mobilnya Amir yang besar sendiri. Kalimat 2 salah, karena tidak logis sehingga kalimat menjadi tidak efektif. Perbaikan kalimat: Mobil Amir paling besar. Perbaikan: Mobil Amir paling besar. Ayah ke Surabaya hari ini terbang naik pesawat Garuda. Kalimat 3 salah, dari segi kehematan kata. Penghematan kata dapat dilakukan dengan cara menghilangkan kata yang bermakna sama seperti kata terbang dan naik, pesawat. Perbaikannya; Hari ini, ayah ke Surabaya naik garuda. Isteri pengusaha yang nakal itu tertangkap sedang selingkuh di sebuah hotel. Kalimat 4 salah, karena bermakna ganda(ambiguitas). Hal tersebut terjadi karena tidak ada tanda koma. Perbaikannya: Istri pengusaha yang nakal itu, tertangkap selingkuh di hotel. Para hadirin dipersilakan untuk tidak meninggalkan tempat duduknya masingmasing. Kalimat 5 salah, karena terdapat kata ganti kepemilikan “nya” (koherensi). Perbaikannya: Hadirin dipersilakan tidak meninggalkan tempat duduk. Kedua mahasiswa yang belum mendapatkan kartu ujiannya harap diambil di ketua program studinya. Kalimat 6 salah, karena terdapat kesalahan logika pada kata diambil. Perbaikannya: Mahasiswa yang belum mendapatkan kartu ujian, harap mengambil ke ketua prodi. Pembangunan ini akan di awali dengan pembebasan tanah warga dan berhitung tentang keuntungan yang akan diperoleh dari hasil penjualan rumah yang akan dibangun. Kalimat 7 salah, karena kepararelan dan variasi bahasa. Perbaikannya:
h.
i.
j.
Pembangunan akan diawali dengan membebaskan tanah dan menghitung keuntungan yang diperoleh dari hasil menjual rumah. Surat itu sudah dikirimkan oleh saya untuk paman. Kalimat 8 salah, karena berkaitan dengan pararelisme dan logika. Perbaikannya: Saya sudah mengirimkan surat untuk paman. Burung itu terbang naik ke atas, melayang-layang di udara lalu menukik ke bawah dan masuk ke dalam sangkarnya. Kalimat 9 salah, karena dari segi kehematan kata. Penghematan kata dapat dilakukan dengan cara menghilangkan kata yang bermakna sama seperti kata terbang naik dan pesawat. Perbaikannya: Burung itu terbang, melayang-layang di udara lalu menukik ke sangkar. Kepada bapak lurah dipersilakan untuk menyampaikan amanahnya, waktu dan tempat kami persilakan. Kalimat 10 salah, karena kalimat tersebut tidak dapat diterima oleh akal (kelogisan/ salah nalar), seperti kata waktu dan tempat kami persilakan. Perbaikannya: Bapak Lurah dipersilakan menyampaikan amanah.
5. Format Penilaian a. Soal Pilihan Ganda
b.
Soal Esai Setiap soal esai diberi bobot, berikut tabelnya:
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
141
c.
Penilaian
1.
2.
3.
d.
142
Skor Maksimal Pilihan Ganda: Jumlah soal PG adalah 10. Jadi, skor maksimal PG adalah 1 x 10 = 10 Skor Maksimal Esai adalah 3 x 10 = 30 Jumlah soal esai adalah 10. Jadi, skor maksimal esai adalah 3 x 10 = 30 Skor Maksimal Keseluruhan Skor Maksimal PG + skor maksimal esai = 10 + 30 = 40
Perolehan Nilai Tiap-Tiap Guru
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
tes esai diperoleh perempuan. Hal ini membuktikan bahwa perempuan lebih teliti dalam menganalisis kalimat. Secara keseluruhan dapat dikatakan sebagian besar responden belum memahami kata baku dan tidak baku, serta memiliki pemahaman yang baik dalam menganalisis kalimat efektif. Dari hasil penelitian di atas, penulis menyarankan sebaiknya guru mempelajari lagi mengenai analisis kalimat dan mempunyai kamus sendiri untuk mengetahui kalimat baku dan tidak baku.
SIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini dilakukan terhadap 90 responden yang terdiri dari 49 perempuan dan 41 laki-laki. Skor tertinggi dalam pilihan ganda adalah 8 (3 laki-laki dan 1 perempuan) dan skor terendah adalah 3 (1 perempuan dan 1 laki-laki). Skor tertinggi dalam esai adalah 27 (perempuan) dan skor terendah adalah 5 (perempuan). Nilai tertinggi adalah 8 (2 perempuan) dan 1,25 (laki-laki). Dari hasil di atas didapati data yang sangat akurat bahwa skor tertinggi untuk tes pilihan ganda diperoleh laki-laki. Sedangkan skor tertinggi untuk
DAFTAR PUSTAKA Chomsky, Noam. 1970. Aspects of the Theory of Syntax. USA : The M.L.T. Press. Clark. 1978. Universals of Human Language. Stanford: Stanford University Press Depdikbud. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia : Sintaksis. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. ——, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Dittmar, N, 1976, Sosiolinguistics, A Critical Survey of Theory and Aplication, Edward Arnol, London. Djajasudarma, T. Fatimah. 1997. Analisis Bahasa Sintaksis dan Semantis. Bandung : Humanora Utama Press. Greenberg, J.H. 1978. Universal of Human Language. Stanford : Stanford University Press. Gruber, Jeffrey S. 1976. Lexical Structures in Syntax and Semantics. Amsterdam: North Holland. Kridalaksana, H, 1981, “Bahasa Indonesia Baku”, dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Jilid II, Tahun 1981, 17-24, Bhratera, Jakarta. ——, 2002. Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Jakarta: UNIKA Atma Jaya. Parera, Jos Daniel. 1983 Pengantar Linguistik Umum Bidang Sintaksis Seri C. Flores : Nusa Indah. ——, 1988. Sintaksis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. ——, 1991. Sintaksis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
143
Pike, Knneth L. 1967. Language in Relation to a Unified Theory of the Structure of Human Behavior. The Hague: Mouton. ——, 1977. Grammatical Analysis. Arlington, Texas: Summer Institute of Linguistics Press. Ramlan. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.
144
Samsuri. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Sugono, Dendy (penyunting). 1985. Tata Bahasa Deskripif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Verhaar. 2001. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013