1
DIFFERENCES OF STUDENT ATTITUDE IN COLLABORATION BASED ON GENDER IN PHYSICS BY USING COLLABORATIVE LEARNING MODEL IN 10th GRADE MADRASAH ALIYAH AL IHSAN BOARDING SCHOOL KAMPAR Riza Andriani1, Zulhelmi2, Azizahwati3 1
e-mail :
[email protected] ,
[email protected],
[email protected] hp : 0852715735931, 0813631284782, 0812768372423
Physics Education Study Program Faculty of Teacher Training and Educational Sciences University of Riau Abstract : The purpose of this study was to describe student activity, describe and determine the significance of student attitude in collaboration based on gender after using collaborative learning model in physics at MA Al Ihsan Boarding School Kampar. This study was conducted in MA Al Ihsan Boarding School Kampar in November 2014 until May 2015 by using One Group Pretest-Posttest Design that was applied in two classes with different gender (boys class and girls class). Study subjects consisted of 10 student of boys class and 14 student of girls class. The result showed that score of boys and girls attitude in collaboration is at a high category and score of student activity is at a very high category. Before the learning, Score of girls attitude in collaboration is higher than the score of boys, but based on t-test this difference was not significant. After the learning, score of boys attitude in collaboration advance, and score of girls in collaboration decrease, but girls score are higher than boys and based on t-test this difference and alteration was not significant. Based on standar deviation obtained that girls showed the attitude in collaboration and activity more homogeneous than boys. So that, the difference of student attitude in collaboration based on gender was not significant and collaborative learning can be used to advance student activity for both boys and girls, whereas for student attitude in collaboration must be trained continuously and comprehensive, like collaborate with teachers of other subjects to implementing this learning model. Key Word : Physics, Collaborative Learning, Gender, Student Attitude in Collaboration, Student Activity
2
PERBEDAAN SIKAP KOLABORATIF SISWA BERDASARKAN GENDER DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL COLLABORATIVE LEARNING DI KELAS X MADRASAH ALIYAH AL- IHSAN BOARDING SCHOOL KAMPAR Riza Andriani1, Zulhelmi2, Azizahwati3 1
e-mail :
[email protected] ,
[email protected],
[email protected] hp : 0852715735931, 0813631284782, 0812768372423
Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau
Abstract : Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan aktivitas siswa, mendeskripsikan dan mengetahui signifikansi perbedaan sikap kolaboratif siswa berdasarkan gender setelah pembelajaran fisika dengan model Collaborative Learning di MA Al Ihsan Boarding School Kampar. Penelitian ini dilaksanakan di MA Al Ihsan Boarding School Kampar pada bulan November 2014 hingga Mei 2015 dengan menggunakan One Group Pretest-Posttest Design yang diterapkan pada dua kelas yang berbeda gender (kelas putra dan kelas putri). Subjek penelitian terdiri dari 10 orang siswa kelas putra dan 14 orang siswa kelas putri. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa skor sikap kolaboratif siswa putra maupun putri berada pada kategori tinggi dan skor aktivitas berada pada kategori sangat tinggi. Sebelum pembelajaran, skor sikap kolaboratif siswa putri lebih tinggi dari pada siswa putra, akan tetapi perbedaan ini tidak signifikan berdasarkan uji t. Setelah pembelajaran, skor sikap kolaboratif siswa putra mengalami peningkatan dan skor sikap kolaboratif siswa putri mengalami penurunan, akan tetapi skor sikap kolaboratif siswa putri tetap lebih tinggi dari siswa putra, berdasarkan uji t perbedaan dan perubahan skor sikap kolaboratif tersebut tidak signifikan. Berdasarkan nilai standar deviasi diperoleh bahwa siswa putri lebih menunjukkan sikap kolaboratif dan aktivitas yang homogen dibandingkan siswa putra. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan sikap kolaboratif siswa setelah pembelajaran fisika dengan model collaborative learning berdasarkan gender tidak signifikan dan Collaborative Learning dapat meningkatkan aktivitas siswa putri maupun siswa putra, sedangkan untuk melatih sikap kolaboratif perlu dilakukan secara kontinu dan menyeluruh seperti berkolaborasi dengan guru mata pelajaran lain untuk menerapkan model pembelajaran ini. Key Word : Fisika, Collaborative Learning, Gender, Sikap Kolaboratif, Aktivitas Siswa
3
PENDAHULUAN Menurut hasil penelitian psikologi sosial peranan ilmu pengetahuan terhadap kesuksesan hanya 18%, selebihnya ditentukan oleh softskill. Salah satu softskill yang penting dikembangkan adalah sikap kolaboratif. Covey (dalam Djoko Apriono, 2011) memandang bahwa keberhasilan bukanlah buah dari kompetensi, tetapi dari kolaborasi, dan sekarang paradigma keberhasilan proses pembelajaran berbasis kompetisi (competition) telah berubah ke paradigma proses pembelajaran kolaborasi (collaboration). Menurut Davis dan Miller. Dengan bekerja secara kolaborasi, pebelajar menjadi lebih sukses sebagai bagian dari tim dan kinerja akan menjadi lebih berkualitas (Djoko Apriono, 2011). Studi-studi yang dimulai oleh para ilmuan menunjukkan beberapa perbedaan gender dalam karakteristik dan kapabilitas otak. Antara otak wanita dan otak pria disamping terdapat perbedaan gen juga terdapat perbedaan-perbedaan struktur dan perkembangannya. Berdasarkan pernyataan Lopez-Zafra, et al. (2012), terdapat perbedaan gender terhadap kecerdasan emosional pada beberapa aspek spesifik, oleh karena itu ada kemungkinan bahwa sikap kolaboratif keduanya juga berbeda, karena sikap kolaboratif berhubungan dengan kecerdasan emosional. Pembelajaran fisika pada kelas X IPA MA Al Ihsan Boarding School umumnya masih bersifat teacher center yang dapat menyebabkan rendahnya aktivitas siswa dan tidak dapat melatihkan sikap kolaboratif siswa. Untuk itu diperlukan perubahan dari pembelajaran yang bersifat teacher center menjadi student center. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas dan melatih sikap kolaboratif adalah collaborative learning. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan aktivitas kolaboratif siswa serta mendeskripsikan dan menentukan signifikansi perbedaan sikap kolaboratif antara siswa putra dan siswa putri kelas X IPA MA Al Ihsan Boarding School Kampar pada pembelajaran fisika dengan menggunakan Collaborative Learning. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan bahwa pedidikan tidak hanya dipandang dari segi kognitif (hardskill) saja, tetapi juga segi softskill. Bagi peserta didik diharapkan bahwa selama pembelajaran pada penelitian ini dapat melatihkan sikap kolaboratif dan meningkatkan aktivitas siswa selama pembelajaran fisika, dan bagi guru dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam memilih model pembelajaran.
Collaborative Learning Menurut I Wayan Kasub Abadi (2008) Collaborative Learning adalah Proses belajar kelompok di mana setiap anggota menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan keterampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota. Sedangkan Felder, R.M (dalam Djoko Apriono, 2011) menyatakan bahwa collaborative learning adalah suatu proses kerja kelompok di mana anggota mendukung dan bersandar pada satu sama lain untuk mencapai tujuan yang disetujui. Menurut Jensen dan Nickelsen (2011) Ketika siswa bekerja sama dengan cara yang positif kemungkinan besar mereka mendapatkan tantangan yang lebih tinggi. Ini dapat mendukung proses pembelajaran yang lebih dalam.
4
Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Gokhale mendefinisikan bahwa “collaborative learning” mengacu pada pengajaran di mana siswa dalam satu kelompok yang bervariasi tingkat kecakapannya bekerjasama dalam kelompok kecil yang mengarah pada tujuan bersama. (dalam Nurlatifah, dkk., 2014). Sehingga yang ditekankan pada pembelajaran kolaboratif adalah terjadinya kerjasama, interaksi, dan pertukaran informasi di dalam kelompok dan kolaborasi lebih memfokuskan pada keberhasilan proses. Paradigma-paradigma pembelajaran kolaboratif menurut I Wayan Kasub Abadi (2008) adalah Deeper Learning, Contruktivism, dan Student Centered. Strategi Pembelajaran kolaboratif menurut Piaget dan Vigotsky dalam Kurniawan Budi Raharjo (2013) didukung oleh adanya tiga teori, yaitu Teori Kognitif, Teori Konstruktivisme Sosial, dan Teori Motivasi. Peran guru dalam model pembelajaran kolaboratif adalah sebagai mediator. Guru menghubungkan informasi baru terhadap pengalaman siswa dengan proses belajar di bidang lain, membantu siswa menentukan apa yang harus dilakukan jika siswa mengalami kesulitan dan membantu mereka belajar tentang bagaimana caranya belajar. Lebih dari itu, guru sebagai mediator menyesuaikan tingkat informasi siswa dan mendorong agar siswa memaksimalkan kemampuannya untuk bertanggung jawab atas proses belajar mengajar selanjutnya. Adapun langkah-langkah pembelajaran kolaboratif (dalam Kurniawan Budi Raharjo, 2013) adalah sebagai berikut: (1) Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas sendiri-sendiri. (2) Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis (3) Kelompok kolaboratif secara bersinergi, mengidentifikasi, mendemonstrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-jawaban tugas, atau masalah dalam lks atau masalah yang ditemukan sendiri (4) Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah, masingmasing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap. (5) Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya diupayakan agar semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil kelompok kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi. Kegiatan ini dilakukan selama lebih kurang 20-30 menit. (6) Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpul. (7) Laporan masingmasing siswa terhadap tugas-tugas yang dikumpulkan, disusun perkelompok kolaboratif. (8) Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya dan didiskusikan. Dapat dilihat dari langkah-langkah pembelajaran kolaboratif tersebut, aktivitas siswa tidak hanya sekedar mendengarkan penjelasan dari guru, mencatat hal-hal yang penting saja, dan menjawab pertanyaan ketika ditunjuk.
Sikap Kolaboratif Kolaborasi mengasumsikan pentingnya kerjasama (koperasi) yang dibangun berdasarkan konsensus anggotanya, bukan kompetisi individual diantara anggota kelompok. Dalam kelompok akan terjadi pembagian peran, tugas dan wewenang dari setiap anggota kelompok. Masing-masing anggota kelompok berusaha saling
5
menghargai dan memberikan kontribusi kemampuannya terhadap kegiatan kelompok. (Akhmad Sudrajat, 2013). Nyoman Raka (2013) menyatakan bahwa Kolaborasi mengasumsikan pentingnya kerjasama (kooperasi) yang dibangun berdasarkan konsensus anggotanya, bukan kompetensi insividual diantara anggota kelompok. Dalam kelompok akan terjadi pembagian peran, tugas, dan wewenang dari setiap anggota kelompok. Masing- masing anggota kelompok berusaha saling menghargai dan memberikan kontribusi kemampuannya terhadap kegiatan kelompok. Sikap kolaboratif diperlukan dalam bekerja secara kolaboratif. Menurut Notoatmojo dalam Sri Wulansih dan Arif Widodo (2015) Sikap adalah afek atau penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek. Sikap adalah kecenderungan bertindak dari individu, berupa respon tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu (Sunaryo, 2004). Ahmadi, A. dalam Sri Wulansih dan Arif Widodo (2015) menyatakan bahwa sikap adalah dipelajari melalui pengamatan, pendengaran, dan pengalaman. Menurut Azwar dalam Nurlaila (2010) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain Pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, pengaruh faktor emosional. Sehingga untuk melatih sikap, seorang individu perlu secara aktif dan atas kesadaran diri sendiri membentuk sikap tersebut, karena pembentukan sikap dan internalisasi sikap itu sendiri membutuhkan pembiasaan. Menurut The William and Flora Hewlett Foundation (2014) sikap kolaboratif dapat ditunjukkan sebagai berikut: (1) Peserta didik berkolaborasi dengan yang lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memecahkan masalah secara sukses, (2) Peserta didik bekerja sebagai anggota sebuah kelompok untuk mengidentifikasi tujuan- tujuan kelompok, (3) Peserta didik berpartisipasi di dalam tim untuk merencanakan langkahlangkah dan mengidentifikasi sumber- sumber penting untuk mencapai tujuan kelompok, (4) Peserta didik mengkomunikasikan dan menggabungkan berbagai pandangan untuk mencapai tujuan kelompok.
Gender Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) Gender adalah jenis Kelamin. Menurut wikipedia (2014) Jenis Kelamin (bahasa Inggris: Sex) adalah kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai sarana atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan kelangsungan spesies itu. Antara otak wanita dan otak pria disamping terdapat perbedaan gen juga terdapat perbedaan-perbedaan struktur dan perkembangannya. Akan tetapi, fungsi yang paling kompleks-seperti pemikiran logis dan kreatif- dalam diri orang normal melibatkan komunikasi antara kedua belahan otak tersebut (Santrock, 20011). Studi-studi yang dimulai oleh para ilmuan menunjukkan beberapa perbedaan gender dalam karakteristik dan kapabilitas otak. Adapun hal- hal yang dapat menyebabkan perbedaan gender adalah struktur kromosom seks, hormon, seleksi alam, dan efek lingkungan. Tennen dalam Santrock (2011) menyatakan bahwa anak laki-laki dengan wanita tumbuh di dalam dunia pembicaraan yag berbeda. Orang tua, kerabat, teman sebaya, guru, dan orang lain berbicara kepada anak gadis dan lelaki dengan cara yang berbeda. Permainan anak lelaki dan wanita juga berbeda. Anak lelaki cenderung untuk bermain dalam kelompok besar yang berstruktur hierarkis, dan kelompok mereka biasanya memiliki piminan yang menyuruh mereka melakukan sesuatu. Permainan anak lelaki
6
biasanya permainan menang kalah, dan anak lelaki sering memamerkan keahliannya dan berdebat soal siapa yang paling baik. Sebaliknya anak gadis lebih mungkin bermain dalam kelompok kecil atau berpasangan, dan pusat duania anak perempuan adalah sahabat karib. Persahabatan dan kelompok anak perempuan didominasi oleh keakraban. Permainan anak gadis lebih bersifat timbal balik. Thorne & Michaeliu dalam Papalia, dkk (2008) menyatakan bahwa para pria yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung mengingat keinginan untuk menunjolkan diri di antara teman-teman pria lainnya, sedangkah wanita yang memiliki harga diri tinggi menonjolkan diri mereka dalam cara kolaboratif, bukan kompetitif. Dewi Rostyaningsih (2010) menuliskan mengenai perbedaan karakteristik antara lakilaki dan perempuan. Karakteristik laki-laki antara lain maskulin, rasional, tegas, persaingan, sombong, orientasi dominasi, perhitungan, agresif, obyektif, dan fisik, sedangkan karakteristik permpuan yaitu Feminin, Emosional, Fleksibel/ plinplan, Kerjasama, Selalu Mengalah, Orientasi menjalin Hubungan, Menggunakan Insting, Pasif, Mengasuh, Cerewet. Selanjutnya, Basow (1980) dalam Devi Setiawati (2014) menjabarkan beberapa karakteristik kecenderungan orientasi peran gender, adapun karakteristik feminin adalah tidak terlalu agresif, tidak terlalu mandiri, sangat penurut, sangat tidak suka matematika dan sains, sangat pasif, tidak suka persaingan, tidak suka bertindak agresif, tidak terlalu ambisius, sangat tergantung, sedangkan karakteristik maskulin adalah sangat agresif, sangat mandiri, sangat dominan,menyukai matematika dan sains, sangat aktif, sangat suka bersaing, terkadang bertindak agresif, sangat ambisius, tidak terlalu tergantung
Hipotesis Rumusan hipotesis pada penelitian ini adalah “Terdapat Perbedaan yang signifikan pada Sikap Kolaboratif Siswa berdasarkan Gender setelah pembelajaran fisika dengan Menggunakan Model Collaborative Learning di kelas X IPA MA Al Ihsan Boarding School Kampar”. Oleh karena itu, hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya berbunyi: : Tidak Terdapat Perbedaan yang Signifikan pada Sikap Kolaboratif Siswa berdasarkan Gender setelah pembelajaran fisika dengan Menggunakan Model Collaborative Learning di kelas X IPA MA Al Ihsan Boarding School Kampar. : Terdapat Perbedaan yang Signifikan pada Sikap Kolaboratif Siswa berdasarkan Gender setelah pembelajaran fisika dengan Menggunakan Model Collaborative Learning di kelas X IPA MA Al Ihsan Boarding School Kampar.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di MA Al Ihsan Boarding School Kampar dari Bulan November 2014 sampai bulan Mei 2015 dengan subjek penelitian terdiri dari 10 siswa kelas Ibnu Sina (Putra) dan 14 siswa kelas Al khawarizmi (putri). Rancangan yang digunakan adalah One-Group Pretest-Posttest Design yang diterapkan pada kedua kelas yang berbeda gender, dengan instrumen penelitian berupa angket yang dikembangkan
7
berdasarkan indikator sikap kolaboratif yang dikemukakan oleh The William and Flora Hawlet Foundation untuk mengamati sikap kolaboratif siswa dan lembar observasi aktivitas untuk mengamati aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran yang dikembangkan dari langkah-langkah pembelajaran kolaboratif. skor hasil observasi aktivitas siswa dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif, sedangkan skor sikap kolaboratif dianalisis dengan analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif dilakukan dengan mencari mean skor, nilai standar deviasi, dan mencari perubahan sikap kolaboratif siswa serta persentase perubahannya. Analisis inferensial dilakukan untuk menentukan signifikansi perbedaan sikap kolaboratif antara siswa putra dengan siswa putri dengan independent sample t-test serta menentukan perbedaan skor sikap kolaboratif sebelum dan sesudah pembelajaran fisika dengan paired sample t-test. Pengolahan ini dilakukan dengan program Microssoft Office Excel 2007 dan IBM SPSS Statistik Versi 21.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan pembelajaran pada penelitian ini dilaksanakan sebanyak 3 kali pertemuan untuk materi pembelajaran alat-alat optik di MA Al Ihsan Boarding School Kampar kelas X IPA yang terdiri dari 2 kelas, yaitu kelas Ibnu Sina (Siswa Putra) dan kelas Al Khawarizmi (Siswa Putri). Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, pembelajaran fisika di Madrasah Aliyah Al-Ihsan Boarding School Kampar masih bersifat teacher center, dengan kegiatan belajar sebagian besar berbentuk ceramah dan demonstrasi. Hal ini dapat menyebabkan dampak negatif yang berkelanjutan seperti kurangnya kesadaran siswa sebagai seorang pelajar akibat siswa selalu pasif dan hanya menerima informasi dari guru akibat terburuknya, siswa tidak akan belajar jika tidak ada guru karena siswa akan menganggap bahwa tugas untuk memberikan informasi dan pengetahuan sepenuhnya adalah tugas guru. oleh karena itu pembelajaran yang bersifat Teacher Center perlu berubah menjadi pembelajaran yang bersifat Student Center sehingga peserta didik tidak hanya mempelajari materi pembelajaran saja melainkan juga belajar untuk belajar. Salah satu model pembelajaran yang bersifat Student Center dan juga dapat melatihkan sikap kolaboratif siswa dan meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran adalah Collaborative Learning. Collaborative Learning menurut Piaget dan Vigotsky (dalam muhammad idris, 2012) didukung oleh tiga teori belajar, yaitu Teori Kognitif, Teori Konstruktivisme sosial, dan teori motivasi. Ketiga teori ini mendukung interaksi sosial antar anggota kelompok kolaboratif dalam rangka perkembangan individu yang mencakup pertukaran konsep antar anggota kelompok sehingga terjadi transformasi ilmu pengetahuan antar anggota kelompok, meningkatkan sikap saling menghormati pendapat semua anggota kelompok, sehingga diharapkan situasi ini kondusif untuk belajar dan dapat meningkatkan keberanian dan motivasi semua anggota kelompok untuk menyampaikan pendapat dan menciptakan situasi saling memerlukan antar semua anggota. Muhammad Idris (2012) menyatakan bahwa pembelajaran kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu: (1) realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata; (2) menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna. dengan Collaborative Learning partisipasi dan aktivitas siswa dalam pembelajaran lebih tinggi karena
8
aktivitas siswa tidak hanya sekedar mendengarkan penjelasan guru dan menulis kesimpulan pembelajaran, tetapi siswa secara aktif dapat secara bersama-sama mengkonstruksi pengetahuannya secara kolaboratif, dan jika hal ini berlangsung secara kontinu dan menyeluruh, siswa akan memiliki sikap kolaboratif melalui pembiasaan sikap yang dilatih ketika siswa melakukan aktivitas pembelajaran.
Aktivitas Siswa Pembelajaran kolaboratif diharapkan dapat meningkatkan aktivitas siswa selama pembelajaran fisika, sehingga dengan meningkatnya aktivitas kolaborasi siswa dalam pembelajaran fisika dapat melatihkan sikap kolaboratif siswa. skor aktivitas siswa pada pada 3 kali pertemuan pembelajaran fisika dengan collaborative Learning disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Skor Aktivitas siswa berdasarkan kegiatan yang dilakukan Siswa putra Siswa Putri No. Kegiatan Per 1 Per 2 Per 3 Per 1 Per 2 Per 3 4 4 3,9 4 3,5 3,9 1 4 3,9 4 4 3,8 3,8 2 4 3,7 3,7 3,4 3,6 3,9 3 4 2,8 4 4 3,9 4 4 2,6 2,1 5 4 4 4 2,7 4 4 6 3,5 2,9 2,9 3,4 2,1 3,1 7 3,76 3,55 3,75 3,4 3,5 3,8 Rata-rata ST ST ST ST ST ST Kategori Keterangan : ST singkatan dari Sangat Tinggi Indikator kegiatan untuk Aktivitas Siswa 1. Setiap siswa dalam kelompok menetapkan tujuan pembejaran dan membagi tugas yang akan dilakukan 2. Semua siswa dalam kelompok membaca. Berdiskusi, dan menulis 3. Mendiskusikan LKS dalam kelompok 4. Menuliskan hasil diskusi kelompok dalam laporan sendiri-sendiri secara lengkap 5. Mempresentasikan hasil diskusi kelompok 6. Mengoreksi kembali laporan yang akan dikumpul 7. Menutup pembelajaran bersama guru Pada Tabel 2 terlihat bahwa aktivitas siswa putri maupun siswa putra pada setiap pertemuan secara rata-rata berada pada kategori Sangat tinggi dengan skor akhir siswa putri adalah 3,8, dan skor akhir siswa putra adalah 3,75. Indikator pada pertemuan 2 dan 3, hal ini disebabkan pada pertemuan ke 2 dan 3, indikator mempresentasikan hasil diskusi kelompok tidak terlaksana karena alokasi waktu untuk pembelajaran fisika yaitu 2 jam pelajaran (durasi 80 menit), sehingga waktu ini dirasa kurang untuk menerapkan collaborative learning pada materi alat-alat optik, dikarenakan materi pembelajaran
9
yang tergolong padat. Pada pertemuan ke-3, skor aktivitas untuk masing-masing kegiatan pada siswa putra maupun siswa putri meningkat dibandingkan pertemuan 2, siswa putra lebih unggul dari siswa putri pada kegiatan untuk indikator 2, yaitu semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis secara mandiri. Hal ini dapat terjadi karena dibandingkan dengan perempuan, laki-laki memiliki karakteristik sangat mandiri dan suka bekerja secara individu. Pada kegiatan 1, 4, dan 5 skor aktivitas siswa putri dan siswa putra sama, dan pada kegiatan 3 dan 6 siswa putri mengungguli siswa putra. Nilai standar deviasi yang diperoleh dari skor observasi aktivitas siswa pada pertemuan ke-3 menunjukkan bahwa aktivitas yang ditunjukkan siswa putri lebih homogen dibandingkan dengan aktivitas siswa putra dengan nilai standar deviasi siswa putra 0,27 lebih tinggi dari nilai standar deviasi yang diperoleh oleh siswa putri 0,22.
Sikap Kolaboratif Siswa Skor sikap kolaboratif siswa sebelum dan sesudah pembelajaran fisika disajikan pada tabel 3. adapun indikator sikap kolaboratif siswa adalah sebagai berikut: 1. Berkolaborasi untuk menyelesaikan tugas dan memecahkan masalah secara sukses 2. Bekerja sebagai anggota kelompok untuk mengidentifikasikan tujuan kelompok 3. Berpartisipasi di dalam tim untuk merencanakan langkah-langkah dan mengidentifikasi sumber- sumber penting untuk mencapai tujuan kelompok 4. Mengkomunikasikan dan menggabungkan berbagai pandangan untuk mencapai tujuan kelompok.
Tabel 3. Skor Angket Sikap Kolaboratif siswa Indikator Indikator Siswa putra Pre Kategori Post Kategori 2,94 T 2,97 T 1 2,90 T 3,05 T 2 2,93 T 2,95 T 3 2,94 T 3,00 T 4 2,92 T 2,99 T Rata-rata Keterangan: T singkatan dari Tinggi
putra dan siswa putri berdasarkan
Pre 3,08 3,00 3,16 2,98 3,05
Siswa Putri Kategori Post Kategori T 3,04 T T 2,75 T T 3,20 T T 3,16 T T 3,03 T
Skor sikap kolaboratif siswa putra sebelum pembelajaran fisika (2,94-kategori tinggi) kurang dari skor sikap kolaboratif siswa putri (3,08-kategori tinggi), akan tetapi nilai Sig. yang didapatkan dari uji banding sikap kolaboratif antara siswa putri dan siswa putra sebelum pembelajaran fisika adalah 0,151, sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara sikap kolaboratif siswa putri dengan siswa putra pada pembelajaran fiika di kelas X IPA MA Al Ihsan Boarding School kampar karena nilai Sig. 0,151 . Skor akhir sikap kolaboratif siswa putra adalah 3,03, dan skor akhir sikap kolaboratif siswa putra adalah 2,99 dan keduanya berada pada kategori tinggi. Berdasarkan nilai standar deviasi yang diperoleh dari skor akhir angket menunjukkan bahwa sikap kolaboratif siswa putri relatif sama jika dibandingkan dengan sikap
10
kolaboratif siswa putra. Standar deviasi skor akhir angket sikap kolaboratif siswa putri adalah 0,15. Nilai tersebut kurang dari nilai standar deviasi siswa putra yaitu 0,22. Berdasarkan Uji Statistik yang dilakukan pada skor akhir sikap kolaboratif siswa putra (kelas Ibnu Sina) dan Siswa Putri (Kelas Al Khawarizmi) didapatkan nilai Sig. 0,244 . sehingga hipotesis penelitian yang diterima adalah Hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada sikap kolaboratif siswa berdasarkan gender setelah pembelajaran fisika dengan menggunakan model collaborative learning di Kelas X IPA MA Al Ihsan Boarding School Kampar. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang ditulis Santrock (2011) yaitu faktor biologi tidak terlalu menentukan perilaku dan sikap gender. Pengalaman sosialisasi anaklah yang lebih banyak pengaruhnya. Otak wanita dan pria lebih banyak kemiripannya dari pada perbedaannya. Otak juga sangat plastis dan pengalaman dapat memodifikasi pertumbuhannya. Sehingga jika secara umum perempuan akan lebih memilih untuk berkolaborasi untuk menonjolkan dirinya dibandingkan laki-laki yang bersifat individu, dengan Collaborative Learning siswa putra juga akan memiliki sikap kolaboratif seperti halnya siswa putri. Perubahan sikap kolaboratif yang dialamu oleh siswa putra maupun siswa putri setelah pembelajaran fisika dengan model collaborative learning disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Perubahan skor sikap kolaboratif dan Persentase Perubahan (PP) sikap Kolaboratif Siswa putra dan Siswa Putri. Siswa putra Siswa Putri Indikator Perubahan PP (%) Kategori Perubahan PP (%) Kategori 1 0,030 1,020 -0,040 -1,299 Menurun Meningkat 2 0,150 5,172 -0,250 -8,333 Menurun Meningkat 3 0,020 0,683 0,040 1,266 Meningkat Meningkat 4 0,060 2,041 0,180 6,040 Meningkat Meningkat Rata-rata 0,070 2,397 -0,020 -0,656 Menurun Meningkat Dapat dilihat pada tabel 4. Bahwa Skor sikap kolaboratif siswa putra secara ratarata meningkat 2,397 %, sedangkan siswa putri mengalami penurunan skor sikap kolaboratif sebesar 0,656% setelah dilakukan pembelajaran kolaboratif dalam 3 kali pertemuan. Walaupun skor sikap kolaboratif siswa putri mengalami penurunan setelah pembelajaran, skor akhir sikap kolaboratif siswa putri sedikit lebih tinggi dari siswa putra, hal ini sejalan dengan pendapat Thorne & Michaeliu dalam Papalia, dkk (2008) bahwa para pria yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung mengingat keinginan untuk menunjolkan diri di antara teman-teman pria lainnya, sedangkah wanita yang memiliki harga diri tinggi menonjolkan diri mereka dalam cara kolaboratif, bukan kompetitif. Kemudian Luria & Herzog dalam Santrock (2011) menyatakan bahwa pada Gender School anak laki-laki saling mengajarkan perilaku maskulin dan memperkuatnya, dan anak perempuan sering kali saling mengajarkan kultur wanita dan biasanya suka berkelompok dengan teman-temannya. Siswa putra mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan siswa putri yang mengalami penurunan pada indikator 1 dan 2, hal ini disebabkan karena siswa putra lebih dapat menyesuaikan diri dari pada siswa putri dalam melaksanakan kegiatan collaborative learning. Menurut Laal (2013) In a collaborative setting, the success of one person in dependent of the success of the group; this is reffered to positive
11
Interdependence, hal ini berarti bahwa siswa harus percaya bahwa mereka adalah proses belajar bersama dan mereka peduli terhadap proses belajar anggota kelompok lainnya. untuk mencapai Interdependence (saling Ketergantungan) dalam Djoko Apriono (2011) maka harus melalui tahap Dependence (ketergantungan) kemudian kemandirian (independence). siswa putra (maskulin) yang memiliki karakteristik tidak terlalu tergantung dan mandiri (independence) lebih mendekati tahap intedependence dari pada siswa putri (feminin) yang memiliki karakteristik sangat tergantung (dependence) dan tidak terlalu mandiri. Akan tetapi pada indikator 3 dan 4 siswa putri mengalami peningkatan skor yang lebih tinggi dibandingkan siswa putra. Untuk mencapai keberhasilan pada indikator ke 3 maka sangat dibutuhkan tindakan “berbagi” dalam kelompok. Tampaknya untuk tindakan ini siswa putrilebih berhasil dari pada siswa putra, hal ini dapat disebabkan karena karakteristik laki-laki lebih ke orientasi dominasi dan persaingan dengan sesamanya, sedangkan perempuan lebih berorientasi untuk menjalin hubungan dan kerjasama. Indikator sikap kolaboratif yang ke-3 ini menuntut siswa untuk berbagi sumber, referensi, dan bahan pembelajaran dengan anggota kelompoknya, serta merencanakan langkah penyelesaian masalah. Adapun yang dituntut pada Indikator 4 Sikap Kolaboratif yaitu siswa berkomunikasi dengan anggota kelompok dengan orientasi menjaga hubungan baik dengan setiap anggota agar kelompok dapat bertahan dan menyelesaikan masalah dengan baik. Oleh karena itu karakteristik untuk memahami perasaan orang lain sangat dibutuhkan. karakteristik ini merupakan karakteristik yang dimiliki oleh perempuan, serta perempuan menurut Dimyanti Mahmud dalam Atik, dkk (2012) yang bersifat field Dependent lebih kuat menerima informasi bersifat sosial atau interaksi antar pribadi dibandingkan Laki-laki yang bersifat field Independent. Hal ini dapat dilihat bahwa skor indikator 4 siswa putri berada pada lebih tinggi yaitu 3,16 dengan peningkatan 6,040% dari skor awal dibandingkan dengan siswa putra yang hanya mengalami peningkatan sebesar 2,041% dibanding skor awal dengan skor akhir 3,00 (kategori tinggi). Komunikasi dalam kelompok membutuhkan bahasa lisan untuk mencapai suatu keberhasilan dalam menyelesaikan masalah, hemisfer otak yang berfungsi dalam menghasilkan bahasa lisan ini merupakan hemisfer kiri. sehingga siswa putriyang mengalami perkembangan hemisfer kiri lebih awal (perempuan lebih awal mengalami perkembangan pada hemisfer kiri dibanding laki-laki) mengalami kenaikan skor pada indikator 4 sikap kolaboratif ini. Selain itu, Kreeger dalam Sousa (2012) menyatakan bahwa Hippocampus (bertanggung jawab terhadap pembentukan memori dan konsolidasi) yang berisi reseptor estrogen berkembang lebih cepat pada remaja wanita dibandingkan pada remaja pria. Hal ini menjelaskan mengapa remaja wanita umumnya lebih baik dalam berbahasa, komputasi aritmatika, dan tugas-tugas yang melibatkan pengurutan; karena semua pekerjaan ini tergantung pada efisiensi pemrosesan memori. Selain itu Pembahasan tentang gender, Eleanor dan Carol dalam Santrock dalam Atik, dkk (2012) menyimpulkan bahwa laki-laki memiliki kemampuan yang lebih pada matematika dan pengenalan ruang. Sementara perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik pada kemampuan verbal. Berdasarkan uji banding skor sikap kolaboratif siswa putra sebelum dan sesudah pembelajaran fisika dengan model pembelajaran Collaborative Learning diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara sikap kolaboratif awal siswa putra dengan sikap kolaboratif akhir siswa putra, ditunjukkan dengan nilai Sig. 0,569 , begitu juga dengan siswa putri yang memperoleh nilai Sig. Output sebesar
12
0,764 yang lebih dari 0,05, sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor awal dan skor akhir sikap kolaboratif siswa putri. Hal ini dikarenakan sikap individu tidak mudah dilatih dalam waktu singkat, sejalan dengan pengertian sikap yang ditulis oleh Sikap kolaboratif diperlukan dalam bekerja secara kolaboratif. Menurut Notoatmojo dalam Sri Wulansih dan Arif Widodo (2015) Sikap adalah afek atau penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek. Sikap adalah kecenderungan bertindak dari individu, berupa respon tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu (Sunaryo, 2004). Ahmadi, A. dalam Sri Wulansih dan Arif Widodo (2015) menyatakan bahwa sikap adalah dipelajari melalui pengamatan, pendengaran, dan pengalaman. Dengan kata lain sikap adalah tindakan dan tingkah laku diri berlandaskan cara fikir seorang individu. Oleh karena itu sikap membutuhkan waktu dalam melatihnya. Sehingga pendidik hendaknya selain menyampaikan materi pembelajaran memiliki kesadaran untuk mendidik siswa dan melatih siswa agar siap untuk memenuhi perannya dalam masyarakat, salah satunya yaitu melatihkan sikap kolaboratif siswa, karena untuk melakukan penyesuaian dan internalisasi sikap kolaboratif siswa harus dilakukan secara terus-menerus dan menyeluruh, agar dampak buruk dari ketidakmampuan penyesuaian diri pada siswa yang pada dasarnya adalah remaja, seperti tidak bertanggung jawab, tampak dari perilaku mengabaikan pelajaran, perasaan menyerah, dan kemunduran pada perilaku siswa tersebut dapat dihindari. Skor awal sikap kolaboratif siswa yang diperoleh dari angket sebelum pembelajaran fisika dengan model collaborative learning menunjukkan bahwa skor sikap kolaboratif siswa putri (3,08) lebih tinggi dari skor sikap kolaboratif siswa putra (2,92) akan tetapi berdasarkan observasi aktivitas siswa pada pertemuan pertama menunjukkan bahwa skor aktivitas siswa putri (3,4) kurang dari siswa putra (3,76), hal ini dikarenakan siswa putra lebih dapat menyesuaikan diri dibandingkan siswa putri dengan kelompok baru yang dibentuk untuk keperluan pembelajaran fisika. Tennen dalam Santrock (2011) menyatakan bahwa pusat dunia anak perempuan adalah sahabat karib. Persahabatan dan kelompok anak perempuan didominasi oleh keakraban. Oleh karena itu skor awal sikap kolaboratif siswa putri merupakan skor yang ditunjukkan untuk kolaborasi yang selama ini cenderung mereka lakukan dengan sahabat karibnya sehingga ketika pertama kali berada di dalam kelompok berbeda dengan sahabat karibnya siswa putri tidak seaktif siswa putra dalam berkolaborasi untuk menyelesaikan masalah. Skor akhir sikap kolaboratif (3,03) siswa putri sejalan dengan skor aktivitas siswa putri (3,8) pada pertemuan ketiga yaitu lebih tinggi dari skor akhir sikap kolaboratif (2,99) dan aktivitas siswa siswa putra (3,75).
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan Berdasarkan Hasil Analisis yang telah dilakukan terhadap data hasil penelitian di MA Al Ihsan Boarding School Kampar, maka didapatkan simpulan sebagai berikut: 1. Skor akhir sikap kolaboratif siswa putri adalah 3,03 (kategori tinggi)lebih tinggi dari skor akhir sikap kolaboratif siswa putra adalah 2,99 (kategori tinggi), akan tetapi berdasarkan hasil uji t yang dilakukan terhadap hipotesis penelitian diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada sikap kolaboratif siswa berdasarkan
13
gender setelah pembelajaran fisika dengan menggunakan model collaborative learning di Kelas X IPA MA Al Ihsan Boarding School Kampar. 2. Skor aktivitas siswa putri maupun siswa putra selama pembelajaran berada pada kategori sangat tinggi. Aktivitas siswa putra pada pertemuan pertama dan kedua lebih tinggi dari aktivitas siswa putri, akan tetapi siswa putri memperoleh skor aktivitas yang lebih tinggi (3,8) dari pada siswa putra (3,75) pada pertemuan ke tiga. 3. Standar deviasi skor akhir angket sikap kolaboratif siswa putri (0,15) kurang dari siswa putra (0,22). nilai standar deviasi siswa putra (0,27) lebih dari siswa putri (0,22). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan Collaborative Learning sikap kolaboratif siswa dan aktivitas siswa pada pembelajaran fisika yang terjadi pada siswa putri (X IPA Kelas Al Khawarizmi) lebih merata (homogen) jika dibandingkan dengan sikap kolaboratif dan aktivitas pada siswa putra (X IPA Kelas Ibnu Sina) di MA Al Ihsan Boarding School.
Rekomendasi Berdasarkan Hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka penulis merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Untuk melatihkan sikap kolaboratif siswa dibutuhkan waktu yang tidak singkat, sehingga untuk melatihkan sikap kolaboratif pada pembelajaran fisika, guru fisika dapat berkolaborasi dengan guru mata pelajaran lainnya, sehingga proses melatih sikap kolaboratif tidak hanya terbatas pada waktu pembelajaran fisika, tetapi juga pembelajaran lainnya. 2. Collaborative Learning dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas siswa sehingga penulis menyarankan kepada pendidik lainnya untuk menggunakan Collaborative Learning dalam pembelajaran dan melakukan kolaborasi dengan guru mata pelajaran lainnya agar model ini lebih efektif dan materi pembelajaran terasa bermanfaat bagi peserta didik. 3. Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak terlaksananya langkah-langkah Collaborative Learning karena terbatasnya waktu, sehingga paradigma Deeper Learning pada Collaborative Learning tidak terlaksana, oleh karena itu hendaknya untuk pelaksanaan Collaborative Learning ini pendidik dapat membuat suatu strategi agar semua paradigma dan langkah-langkah Collaborative Learning dapat terealisasi dengan baik. 4. Budaya belajar yang ada sekarang lebih mengacu pada Hardskill dan sering mengabaikan Softskill budaya yang seperti ini sering menyebabkan ketimpangan antara yang sering dilatihkan di sekolah dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam masyarakat, oleh karena itu pendidik dan tokoh pendidikan diharapkan juga melatih softskill pada peserta didik secara menyeluruh.
14
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Sudrajat.2013. Antara Pembelajaran Kolaboratif dengan Pembelajaran Kooperatif. (Online). https://akhmadsudrajat.wordpress.com /2013/05/06/pembelajaran-kolaboratif-dan-pembelajaran-kooperatif/. (diakses pada tanggal 21 Januari 2015). Atik Fitria Nurul Fajari, Tri Atmojo Kusmayadi, Gatut Iswayudi. 2013. Profil Proses Berpikir Kritis Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika Kontekstual Ditinjau dari Gaya Kognitif Field Dependent-Independent dan Gender. Vol 1, No 6 (2013). (Online). Jurnal.fkip.uns.ac.id. (diakses 3 November 2014) Devi Setiawati. 2012. Perbedaan Komitmen Kerja Berdasarkan Orientasi Peran Gender. E-Journal Psikologi 8 May 2012. (online). Publication.gunadarma.ac.id. (diakses 3 November 2014) Dewi Rostyaningsih. 2010. Konsep Gender. Prosiding Pelatihan Analysis Gender di Perguruan Tinggi dalam rangka Revitalisasi PSW/G. 31 Agustus-1 September 2010. Pusat Penelitian Gender (PPG) LPPM Undip Malang. Djoko Apriono. 2011. Meningkatkan Keterampilan Kerja Sama Siswa Dalam Belajar Melalui Pembelajaran Kolaboratif. Prospektus, Tahun IX Nomor 2 oktober 2011. (Online). Ejournal.unirow.ac.id (diakses 30 September 2014) I Wayan Kasub Abadi. 2008. Kegiatan Belajar Mengajar: Model Pembelajaran. (Online). http://guru-kbm.blogspot.com/2008/05/model-pembelajaran.html. (diakses peada tanggal 19 Desember 2014). Jensen, Eric, LeAnn Neckelsen. 2011. Deeper LEARNING 7 Strategi Luar Biasa Untuk Pembelajaran Yang Mendalam dan Tak Terlupakan. Terjemahan Benyamin Molan. Jakarta: Indeks. Kurniawan Budi Raharjo. 2013. Model Pembelajaran Kolaborasi (Collaborative Learning). (Online). http://Kurniawanbudi04.wordpress.com /2013/05/27/ collaborative-learning. (diakses peada tanggal 19 Desember 2014). Laal, Marjan. 2013. Positive Interdependent in collaborative learning. Procedia- Social and Behavioral Sciences 93 (2013) 1433-1437.(Online). www.sciencedirect.com. (diakses 30 Maret 2015). Lopez-Zafra, Esther, Rocio Garcia-Retamero, and M. Pilar Berrios Mastor. 2012. The Relationship Between Transformational Leadership and Emotional Intelligence
15
from a Gender Approach. The Psychological Record, 2012, 62, 97-144. (online). Research gate.net. (diakses 21 November 2014) Muhammad Idris. 2012. Model-model Pembelajaran Kolaborasi dan Strategi Pengembangannya. (online). www. Academia.edu. (Diakses 17 Oktober 2014). Nurlaila.2010. Hubungan antara Pengetahuan Penyakit Menular Seksual dengan sikap seksual pranikah pada mahasiswa semester II FIKKES UNIMUS. Skripsi dipublikasikan. (online). Digilib.unimus.ac.id. (diakses tanggal 15 Mei 2015). Nurlatifah, dkk. 2014. Strategi Pembelajaran Kolaboratif. http://kirimtugas.wordpress.com/2014/04/20/strategi-pembelajarankolaboratif/feed/. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2014.
(Online),
Nyoman Raka. 2013. Aspek dan Indikator Kompetensi Pedagogis Guru. (Online). http://rakanyoman.blogspot.com (diakses pada tanggal 17 Oktober 2014). Papalia, Diana E., Sally Wendkos Old, dan Ruth Duskin Feltman. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan) Bagian V s/d IX. Terjemahan A.K Anwar. Jakarta: Kencana. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Santrock, John. W. 2011. Psikologi Pendidikan. Terjemahan Tri Wibowo B.S. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sousa, David. A. 2012. Bagaimana Otak Belajar. Terjemahan Siti Wahyuni. Jakarta : PT. Indeks. Sri Wulansih dan Arif Widodo.Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Keluarga dengan Kekambuhan pada Pasien Skizofrenia di RSJD Surakarta. Berita Ilmu Keperawatan, ISSN 1979-2697, Vol. 1 No. 4, Desember 2008, 181-186. publikasiilmiah.ums.ac.id. (Selasa, 31 Maret 2015) The William and Flora Hewlett Foundation. 2014. Deeper Learning for Every Student Every Day. (online). www.hewlett.org. (diakses 2 November 2014) Wikipedia .2014. Jenis Kelamin. (Online). id.m.wikipedia.org/ wiki/Jenis_kelamin. (diakses pada tanggal 07 Desember 2014).