DIENG CITA DAN CINTAKU Oleh Novita D.H. Arini seorang gadis yang hidup seribu mimpi. Gadis itu seorang aktivis kampus –begitu sebutan teman-temannya– yang sangat disegani mahasiswa lain. Ketegasan, kejujuran, dan kebijaksanaannya memimpin menjadi daya tarik pemuda yang juga aktivis kampus. Sering kali tak tanggung-tanggung jika ada kelalaian dari rekan kerjanya sekalipun itu dosen, tetap ia adili. Gadis pemberani, berparas cantik, tanpa riasan gincu atau pensil alis, gaya hijab sederhana, bertubuh tinggi layaknya model. Tak sedikit pun ia memikirkan pacar, seperti kebanyakan muda-mudi di luar sana. Baginya tak menjadi suatu masalah besar dalam hidupnya. Ia hanya berjalan lurus berdampingan dengan semua mimpi-mimpi ditulis dalam buku hariannya. Tak pernah terlewatkan, buku tebal bersampul hitam selalu tersimpan rapi dalam tasnya. Mengikuti setiap tuannya pergi. Senyumnya sungguh meluluhkan hati laki-laki yang memandangnya, seperti bulan sabit malam hari dengan jutaan bintang membentuk titik-titik kecil permata malam. Sejuk tatapannya. Ramah sikapnya. Pernah ada laki-laki yang juga aktivis kampus mengagumi dirinya dan memberanikan diri mengajak berpacaran. Namun, alhasil gadis primadona kampus itu hanya tersenyum dan pergi begitu saja tanpa ada sepatah kata pun keluar dari mulut indahnya. Lakilaki yang pernah merasakan sikapnya, merasa tidak dihargai dan sangat menyakitkan. Tidak bagi Amir. Pemuda aktivis di bawah pimpinan Arini. Tak sedikit pun waktu yang ia lewatkan untuk tak memikirkan Arini. Gadis yang sangat dikaguminya. Kagum dengan keberaniannya. Sesekali mencuri gambar dengan memfoto kegiatan yang dijalaninya bersama dalam organisasi kampus. Foto yang didapatkannya pun tak sedikit. Sebelum tidur, ia memiliki kebiasaan yang mendarah daging, selalu memeluk bantal guling kesayangannya dan tak hentinya memandang foto bidadarinya. Tak jarang gadis itu menemaninya. Dalam mimpi.
1
Sedang asyik menikmati tiap bentuk wajah Arin-begitu sapaan kawan – kawan – ponsel Amir berdering. Jangan lupa besok Jumat, 29 Juli 2016 rapat pukul 10.00WIB.. Semua pengurus diwajibkan untuk mengikuti rapat. Begitu pesan yang dikirim Arini. Amir pun kegirangan. Bahkan seperti orang kesetanan. Tertawa tak henti-hentinya. Lompat sana-sini, menciumi ponselnya. Padahal ia tahu persisi jika pesan itu ditujukan pada semua anggota. Masa bodoh, jika mengingat pesan itu bukan tertuju padanya saja. Pemuda berkacamata itu memang aneh. Begitulah ejekan dari temantemannya. Tapi, ejekan itu tak penting baginya. Baginya yang penting, Arini. *** Assalamualaikum wrohamtullahi wa barokatuh. Suara Arini terdengar sampai luar ruangan. Amir sedang berjalan menuju ruangan, dan tergopoh-gopoh. Nafasnya tersengal-sengal. Dadanya kembang kempis. Keringat mengucur ke seluruh tubuh. Sesampainya di depan ruangan, semua mata terarah pada Amir. Hening. Hanya ada gerakan dari semua mata yang hadir dalam ruangan. Amir berdiri di pintu, dan melihat semua orang yang heran pada dirinya. Arini memecahkan suasana bisu itu. “Kenapa kamu terlambat, Mir?” “M-m-m maaf aku harus membantu mbakku dulu di dapur.” Amir menjawab dengan gugup dan gagap. Arini mempersilakan Amir untuk duduk dan melanjutkan rapat kembali.Amir duduk paling belakang dan sendirian. Kakinya masih gemetar, bibirnya masih tergagap-gagap. Selalu saja seperti itu jika ia berbicara dengan Arini. Dari belakang, ia memperhatikan setiap gerakan, pembicaraan, dan senyum termanis itu. Oh...bidadariku. hhhh... ucapnya dalam hati sambil mengembuskan nafas. Kemudian mengembuskan nafas. Matanya membelalak ke arah gadis seolah tak
2
rela mengedipkan barang sedetik menatap mata indah bidadarinya. Tiba-tiba lamunannya menerbangkan pada ingatan satu minggu lalu. Selepas rapat minggu lalu, ia orang terakhir yang meninggalkan ruangan. Dan ketika berjalan ke luar ruangan, ia melihat buku hitam tergeletak di atas meja. Rupanya buku itu milik Arini. Ia ingat setelah rapat selesai, Arini sudah ditunggu oleh temannya. Mungkin ada suatu hal yang penting. Sehingga dia tidak teliti dengan barang bawaannya. Amir mengambil buku itu. Memutar-mutar meneliti keadaan buku. Rasa penasaran pun muncul. Ia buka lembar demi lembar, hingga ia menemukan bagian seribu mimpi milik Arini. Tak henti membaca. Matanya berhenti pada mimpi ke dua puluh enam. Ingin berkunjung ke Dieng menyaksikan festival budaya. Begitulah setidaknya bunyi mimpi itu. Kepalanya mendongak ke atas, dan lagi-lagi tersenyum girang. Terbesit bahwa ia dan gadis itu berjodoh. Karena memiliki mimpi yang sama. Namun, bedanya dengan siapa ia ke sana? Dalam mimpi Arini tak disebutkan dengan ‘siapa’, tapi dalam mimpi pemuda berkacamata dan kurus tertulis ‘dengan Arini terkasih’. Siapa pun yang membaca mimpi Amir pasti jadi bahan tertawaan. Mimpinya tertempel pada tembok kamarnya. Ditulisnya sangat besar. Ia anggap tertawaan orang lain tanda apresiasi serta mengamini impiannya. Tiba-tiba lamunannya terpecahkan. Dengan susah payah ia bangun khayalan itu dengan rapi. Tapi, suara tertawa dari anggota lain di depannya merusak bangunan khayalannya. Bising. Raut mukanya seketika kecut. Bibirnya manyun. Kesal. Dan mungkin sangat kesal. Wassalamualaikum warohmatullahi wa barokatuh. Bingung. Amir bingung. Tak sedikit pun pembahasan rapat itu ia dapatkan. Ia hanya mendapat bayangan, harapan dan impian yang disusun rapi sebelum si gendut itu merobohkan impiannya dengan suara bisingnya. Semua orang sudah keluar ruangan. Tertinggal ia dengan Arini. Kembali rasa gugup menghantui tubuhnya, kakinya gemetar, keringat dingin mengucur
3
deras dari kulit kepala melewati kedua dadanya, berhentilah pada lubang kecil di perutnya. Ia merasakan kucuran air itu. Dengan tertatih-tatih ia menghampiri Arini di meja depan sedang membereskan perlengkapan rapatnya. Ia menghentikan langkah kakinya, tepat di depan Arini, tiba-tiba tas laptop Arini terjatuh tersenggol dirinya. Dug! Uuuh... Arini terkejut. Dan mendapati Amir di bawah meja sedang kesakitan. Arini pun tertawa. Dan ia melihat bulan sabit itu terbentuk di bibir indahnya. Lesung pipinya menambah keanggunan gadis itu.Amir mencuri pandang pada wajah Arini. Waaah... gumamnya dalam hati. Sambil berdiri ia menyodorkan tas laptop dan bergegas mengambil buku hitam milik Arini yang ia bawa pulang. “Ini, milik kamu.” Arini melihat buku itu, sesekali memandang Amir sambil berucap terima kasih. Sebenarnya bukan ucapan terima kasih yang ia inginkan tapi ajakannya diterima olehnya. Dengan memberanikan diri dan mulut yang memaksa tertutup, ia bertanya pada Arini. “ Rrrrrrrin, kamu ada waktu kosong minggu ini?” Arini terdiam sejenak. Bola matanya bergerak kanan-kiri, sesekali ke atas dan kembali lagi posisi semula. Kedua alisnya mengerut dan mungkin menempel. “ Tidak ada. Ada apa, Mir?” “ Emmm, anu. Aku mau ajak kamu ke Dieng. Kamu mau? Aku lihat di media sosial, minggu depan ada festival budaya di sana. Dan mungkin bisa kita kaitkan dengan tugas menulis artikel kita, sebagai bentuk apresiasi terhadap budaya lokal. Setahuku teman-teman tidak menulis artikel dengan tema budaya. Dianggapnya itu hal yang susah. Nah, ini kesempatan kita untuk berbeda.” Hening. Tak ada seorang pun di ruangan itu, kecuali mereka berdua. Kursi berjejer rapi, seolah mereka sedang menonton drama pada suatu pertunjukan.
4
Hanya ada angin mengintip mesra dari balik jendela yang terbuka sedikit, menggoyangkan korden dengan halus. Amir menatap ke bawah. Entah apa yang dilihat. Khawatir jika ajakannya justru ditolak mentah-mentah. Detik jam berbunyi seakan menunggu jawaban. “ Boleh. Kapan kita ke sana?” Amir langsung menegakkan kembali kepalanya, tepat di depan wajah Arini. Tak disangka, ajakannya disambut baik. Lepas dari espektasinya. Tak ada lagi gugup , gemetar, lemas, takut. Kekacauan itu sirna seketika, seperti orang sakti menyembuhkan sakit keras dengan sihirnya. Imajinasinya bisa dibilang cukup baik, berkat tontonan fiksi di acara televisi sekarang. “ Kalau minggu depan. Bagaimana?” “ Baik. Kamu atur saja waktunya. Aku harus pergi lagi. Ini sudah ditunggu teman saya.” Arini keluar ruangan. Tertinggal Amir dalam ruangan. Melompat tinggi sambil tertawa riang. Hingga tak disadarinya, ia tertabrak pintu. Sialan! Tidak tahu orang senang apa?! Geramnya pada pintu. --- satu minggu kemudian--*** Di kamar, Arini sibuk mempersiapkan perlengkapan petualangannya bersama Amir. Padahal perjalanannya akan mereka rangkum besok siang. Baju hangat, makanan ringan, minuman, tak lupa kamera kesayangannya memenuhi ransel biru miliknya. *** Amir pun melakukan hal yang sama. Malah, ia ingin secepat mungkin hari ini juga pergi bersama bidadarinya. Setiap ia mengingat kebersamaannya dalam ruangan bersama Arini, ia tersenyum-senyum. ***
5
Tak sabar rasanya ingin segera meluncur menjemput Arini. Ia mengirim pesan singkat pada Arini kalau dia akan menjemput dia. Dan pesan itu dijawab dengan jawaban iya. Wah, aku sangat beruntung. Gerutunya dalam hati. Sesampainya di depan rumah, tak diduga Arini sudah menunggu dirinya. Ia pun semakin girang. “ Ayo naik.” Laki-laki penunggang motor besar itu sudah tak gugup dan takut lagi berbicara dengan Arini. dengan sigap Arini membonceng Amir. Dalam perjalanan, mereka lewati dengan gurau canda tawa. Sesekali bercerita organisasi. Apapun ceritanya, Amir tetap bahagia. Setibanya di Wonosobo, tak ada momen yang terlewatkan sekecil apapun. Jejak petualangan mereka rangkum dalam kamera. Udara di sana tetap sejuk meskipun siang menjelang sore. Pepohonan berbaris rapi membentuk panorama bukit dengan sentuhan awan dan langit cerah di atasnya, hamparan ladang bak lautan hijau, membuat hati serasa tak ingin menghianati tanah air dengan gugusan seribu pulaunya. Gunung-gunung berdiri gagah menyambut kedatangan mereka. Mereka terhipnotis, seakan tak ingin memejamkan mata sedetik pun. Ternyata untuk mencapai tempat tujuan, tidaklah cepat dan mudah. Butuh perjuangan. Melawan hawa dingin yang semakin menjadi-jadi seiring bertambahnya waktu. Udara dingin semakin menusuk kulit. Terlihat jelas bibir Arini pucat disertai getaran menahan dingin. Mereka memutuskan berhenti sejenak di warung pinggir jalan, dan memesan dua teh manis panas, dua mangkuk mi instan. Dengan sekejap pesanan itu disajikan. Mungkin ibu itu pesulap. Pikir laki-laki itu dengan remeh. Mereka memutuskan melanjutkan perjalanan seusai istirahat sejenak. Tak lupa membayar makanan. Hawa dingin menembus kulit hingga ke dalam tulang. Kedua telapak tangan Arini digesek-gesekkan, mengeluarkan udara dingin dalam tubuhnya. Candaan mereka semakin menjadi-jadi. Dengan asap yang keluar dari mulut saat berbicara.
6
Hari mulai sore dan suasana pun tak secerah siang. Kabut perlahan menutupi bukit, awan abu-abu memenuhi langit, matahari mulai malu menampakkan dirinya. Dan kemungkinan akan turun hujan. Suatu bencana ban motor Amir bocor. Kemungkinan tertancap paku sisa pembangunan rumah tadi di pinggir jalan. Hhh... sial. Kenapa lagi sih? Ia bergeming dalam hati. Di depan sana ada papan bertuliskan bengkel. Bengkel itu kecil. Hanya peralatan sederhana yang ada. Mereka berjalan mendorong motor ke bengkel. “Mbak dan Mas ini mau ke mana?” “Kami mau menyaksikan festival budaya di sini, Pak.” Tiba-tiba Amir teringat sesuatu. Ya. Dia belum memesan penginapan untuk hari itu. Segera ia menanyakan penginapan pada Bapak separuh baya itu. “Pak, apakah di daerah sini ada penginapan? Saya lupa tidak memesan penginapan. Untuk tiket pun mungkin dadakan.” Mukanya berubah kesakitan. Karena luncuran cubitan ke arah perut dari gadis itu. Sesakit apapun, akan ia rasakan nikmat. “Wah, setahu saya penginapan sudah penuh mas. Karena harus pesan jauh-jauh hari. Apalagi tiket. Tiket biasanya kalau dijual dadakan itu terbatas, Mas.” Tersirat kekecewaan dari raut wajah Arini. Amir memandangnya. “Tapi, jika kalian ingin melihat tradisi ruwat rambut gimbal, itu bisa. Kebetulan anak kami besok akan melakukan ruwat. Jadi kalian bisa menginap di sini. Tapi kalau untuk festival lain kemungkinan tidak bisa ikut. Anggap saja kami sebagai saudara kalian. Jadi kalian diperbolehkan masuk ikut tradisi ruwat.” Raut muka Arini tidak lagi muram. Dan itu menjadi stimulan bagi Amir. Gambar muka Amir pun tak lagi sedih. Untung saja bapak itu berbaik hati. Diajaknya mereka ke dalam rumah. Nama bapak itu Pak Junaedi, seperti itulah Pak Junaedi memperkenalkan dirinya. Istri Pak Junaedi menyajikan teh
7
manis panas, dan kentang rebus sebagai hasil bumi. Rasanya sangat nikmat, menyeruput teh ditemani dengan kentang rebus dan cerita Pak Junaedi. Konon, tradisi ruwat rambut gimbal berawal pada cerita yang diyakini masyarakat daerah Dieng. Kiai Kolodete salah seorang yang disakralkan oleh penduduk setempat. Kala itu, beliau berambut gimbal. Dan rambut gimbalnya senantiasa menemani beliaudari lahir hingga wafat. Menjelang wafatnya ia berwasiat bahwa rambut gimbalnya akan beliau wariskan pada anak-cucunya kelak. Semasa hidupnya ia menganggap bahwa rambut gembel-begitu sebutan masyarakat Dieng- sebagai sesuatu yang mengganggu. Dan sekarang roh beliau menjadi penunggu pegunungan di Dieng. Singkat cerita dari pak Junaedi. Tak lupa sang istri menambahkan bahwa anak-anak di Dieng sebagian berambut gembel. Ketika mereka lahir memang tidak berambut gembel, tapi ketika usia mereka menginjak satu tahun, mereka akan terserang demam dan ketika bangun tidur, mereka sudah ditumbuhi rambut gembel. Istri pak Junaedi mengelus rambut Isna, anak bontot Pak Junaedi dan Istrinya. Isna duduk di tengah diapit oleh kedua orang tuanya. Wajahnya masih polos. Ia terlihat kumal karena rambut gembelnya. Dan terlihat berusia lebih dari enam tahun. “Jika anak-anak yang berambut gembel tidak melakukan tradisi ruwat, maka akan mendapatkan keburukan. Tapi jika diruwat justru hal yang baik yang akan datang. Itulah kepercayaan masyarakat Dieng. Terkadang saya sedih jika melihat Isna seperti orang kesetanan. Karena anak berambut gembel memiliki emosi yang berlebihan, dan biasanya lebih aktif. Apalagi jika malam Jumat, Isna sering mengamuk tanpa sebab. Dan itu tidak terjadi hanya pada Isna. Hampir semua anak berambut gembel di sini. Karena kasihan melihat anak kami seperti ini, kami putuskan melakukan ruwat.” Tambah sang istri. Setelah bercerita sekian panjang, keluarga itu pergi. Mungkin ke dapur. Entahlah. Hanya Amir dan Arini yang masih duduk di atas kursi panjang. Gadis itu berdiri dan berjalan menuju depan jendela. Di luar sana kabut tebal menyelimuti bukit, hanya tampak lukisan putih. Tetesan gerimis menjatuhi atap rumah.
8
Istri Pak Junaedi menyiapkan kamar untuk Arini, dan meminta maaf tak ada kamar lagi untuk Amir. Karena kesadaran dirinya, Amir rela hati untuk tidur di dipan ruang tengah melawan udara dingin. Diambilnya selimut di dalam tas. Arini pergi meninggalkan Amir sambil melipat kedua tangan. Menggigil kedinginan. Namun, sebelum pergi Arini mengucapkan selamat malam dan selamat istirahat pada Amir. Pemuda berkacamata itu mengangguk ringan dan tersenyum. Dalam batinnya, ia merasa bahwa kuncup bunga itu mulai mekar pada musim panas.Berwarna-warni. Senja sudah berganti malam. *** Goa Semar salah satu gua yang ada di Telaga Warna. Di sana sudah tersaji aneka sesajen, tumpeng, ingkung ayam -ayam besar utuh- gunting, mangkuk berisi air dan bunga setaman, beras, dua buah uang, payung, tumpeng putih dihias dengan buah-buahan yang ditancapkan, jajanan pasar serta lima belas jenis minuman, seperti kopi manis dan pahit, teh manis dan pahit, selasih, susu, jawawut dan permintaan anak yang diruwat. Kerumunan wisatawan lokal memenuhi sekitar telaga. *** Dalam rumah, keluarga Pak Junaedi sedang bersiap-siap. Amir dan gadis impiannya juga bersiap. Mereka berangkat bersama ke Telaga Warna. Energi lelah sudah berubah menjadi energi semangat yang baru. Semangat menyaksikan tradisi lokal. Hamparan air terlihat jelas. Pohon-pohon besar berdiri mengelilingi telaga. Lukisan Tuhan untuk Indonesia itu sangat nyata. Pikir Arini. Sinar matahari mengintip malu di sela rindangnya dedaunan pepohonan. Tampak langit dengan awan menghias permukaan air. Mereka saling lempar pandang, tak dapat mengatakan apapun selain wow. Sebagai tanda takjub pada lukisan nyata itu. Keluarga yang akan mengikuti ruwat berkumpul di Goa Semar. Itu petanda upacara segera dilaksanakan. Sang sesepuh membacakan doa terlebih
9
dahulu. Lalu tiba waktunya pencukuran rambut gembel. Satu per satu rambut anak-anak dipotong. Amir dan Arini tak ingin melewatkan kesempatan itu sebagai jejak petualangannya. Amir berceloteh, kumis sesepuh itu tebal, seperti jelaga lampu. Semacam lampu sentir1, atau obor. Mereka tertawa bersautan. Tertawa mereka terhenti ketika Isna akan dipotong rambutnya. Arini melihat Isna dan menebar senyum termanis pada gadis kecil itu. Senyumnya berhasil Amir rekam dalam kameranya. Gadis kecil itu, kasihan harus menanggung takdir yang menjerat keturunan-keturunannya kelak. Dia menjadi berbeda. Wajahnya sangat polos. Arini dihampiri perasaan sedih. Keluarga yang hidup sederhana, pendapatan tak seberapa harus mencukupi kebutuhan dan harus melalukan suatu tradisi yang harus dilakukan. Tapi Arini bangga terhadap keluarga Pak Junaedi dengan kegigihan dan kebaikannya. Selesai rambutIsna dipotong, rambut-rambut yang terkumpul di bungkus kain putih dan dilarungkan ke Telaga Warna atau sungai sekitar. Isna menghampiri kedua orang tuanya. Diciumilah kening anak bontot mereka. Mengharukan pemandangan keluarga itu. “ Jadi ingat mama di rumah, Mir.” Amir menoleh ke arah Arini, dan merespons dengan tatapannya. Isna berlari kecil menghampiri Arini. Arini memeluk Isna dengan sedikit air mata keluar dari pelipis mata bulatnya. “ Kau memang berbeda dari gadis kecil lainnya, sayang. Tapi satu hal yang sama. Kau cantik.” Amir di belakang Isna. Kepala Arini bersandar di bahu Isna, tepat di depan wajah Amir.
1
Cahaya buatan yang menggunakan bahan minyak, bekas kain, dan botol, sebagai alat penerangan pengganti listrik (pemadaman listrik).
10
“Iya. Kau cantik.” Ucap Amir sambil tersenyum tapi matanya mengarah memandang Arini. Mereka bertiga duduk di pinggir telaga menikmati langit dan awan di atas permukaan air. Sejuk.
11