EFEKTIVITAS EKSTRAK PACI-PACI Leucas lavandulaefolia YANG DIBERIKAN LEWAT PAKAN UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT MAS Motile Aeromonas Septicemia PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.
WINDU PUJI UTAMI
SKRIPSI
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : EFEKTIVITAS EKSTRAK PACI-PACI Leucas lavandulaefolia YANG DIBERIKAN LEWAT PAKAN UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN INFEKSI PENYAKIT MAS Motile Aeromonas Septicemia PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.
adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, September 2009
Windu Puji Utami C14103031
RINGKASAN WINDU PUJI UTAMI. C14103031. Efektivitas Ekstrak Paci-Paci Leucas lavandulaefolia Yang Diberikan Lewat Pakan Untuk Pencegahan Dan Pengobatan Infeksi Penyakit MAS Motile Aeromonas Septicemia Pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Dibimbing oleh Dr. SUKENDA dan Dr. MUNTI YUHANA. Ikan lele dumbo (Clarias sp.) merupakan ikan konsumsi air tawar yang cukup digemari masyarakat karena rasa dagingnya yang gurih, harganya terjangkau, dan memiliki protein yang cukup tinggi. ). Budidaya ikan lele dumbo saat ini berkembang menjadi budidaya intensif karena semakin tingginya permintaan di pasaran. Semakin berkembangnya sektor akuakultur maka permasalahan yang dihadapi pun menjadi semakin banyak pula. Salah satunya adalah permasalahan penanggulangan penyakit pada ikan. Di Indonesia, wabah penyakit bercak merah ikan yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas ini dilaporkan pertama kali terjadi di suatu areal pembudidayaan ikan di Cibening, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor bersamaan dengan datangnya ikan mas yang baru diimpor dari Taiwan pada bulan September 1980 (Hardjosworo, et al., 1981). Banyak upaya yang telah dilakukan para ahli untuk menanggulanginya baik upaya-upaya pencegahan maupun pengobatan. Mulai dari pemberian berbagai jenis antibiotik dengan bermacam-macam dosis, pemberian vitamin, pemberian probiotik hingga penggunaan tanaman obat (fitofarmaka). Fitofarmaka atau tanaman obat adalah obat alamiah yang bahan bakunya disarikan dari tanaman untuk digunakan dalam pengobatan (Anonimus, 2004). Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) adalah salah satu fitofarmaka yang efektif mengatasi penyakit Motile Aeromonas Septicemia pada ikan (Abdullah, 2008 dan Sopiana, 2005). Paci-paci mengandung berbagai senyawa aktif seperti: minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin, alkaloid dan methanol yang bersifat antimikroba, antiinflamasi, antioksidan serta bersifat sebagai detoksifikasi racun dan mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit. Pada penelitian ini dilakukan uji efektivitas paci-paci yang diberikan lewat pakan ikan komersil untuk pencegahan maupun pengobatan penyakit MAS. Adapun parameterparameter uji meliputi kelangsungan hidup, patologi makro dan parameter hematologi ikan lele dumbo yang diuji tantang dengan A. hydrophila penyebab penyakit MAS. Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan sebagai berikut : 1. Kontrol negatif (KN) dimana ikan disuntik dengan PBS. 2. Kontrol positif (KP) dimana ikan diinfeksi bakteri A. hydrophila 105 cfu/ml. 3. Pencegahan (PC) dimana ikan diberi pakan yang telah dicampur dengan pacipaci dengan dosis 4 g/100 ml yang telah diseduh dan disaring. Ikan diberi pakan yang telah dicampur paci-paci selama 7 hari, kemudian diuji tantang dengan A. hydrophila 105 cfu/ml. 4. Pengobatan (PO) dimana terlebih dahulu ikan diinfeksi bakteri A.hydrophila 105 cfu/ml. Setelah terlihat gejala klinis, lalu ikan diberi pakan yang telah dicampur paci-paci dengan dosis 8 g/100 ml.
Parameter yang diamati adalah patologi makro (gejala klinis dan respon nafsu makan), hematologi ikan (jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih, hematokrit, hemoglobin dan indeks fagositosis), mortalitas, pertambahan bobot dan kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pemberian ekstrak paci-paci yang dicampurkan ke dalam pakan ikan memberikan respon tanggap kebal terhadap peningkatan daya tahan tubuh ikan lele dan mampu menekan tingkat kematian ikan lele setelah uji tantang dengan bakteri A.hydrophila yang patogen. Sedangkan tingkat kematian ikan setelah uji tantang untuk masing-masing perlakuan kontrol negatif, kontrol positif, pengobatan dan pencegahan secara berturut-turut adalah: 0 %, 72,22 %, 55,56 % dan 38,89 %. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perlakuan pencegahan (ekstrak paci-paci 4 g/100 ml) merupakan perlakuan yang paling baik yaitu mampu meningkatkan kekebalan ikan terhadap serangan penyakit MAS, hal ini didukung oleh gejala klinis yang ringan, kelangsungan hidup dan gambaran darah. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui bahwa pemberian ekstrak paci-paci yang dicampurkan ke dalam pakan ikan komersil dapat berpengaruh terhadap tingkat kematian ikan, gejala klinis dan parameter hematologi pada ikan lele yang terkena penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) akibat infeksi bakteri A. hydrophila. Ikan lele uji yang diberi perlakuan pencegahan menunjukkan hasil yang cukup efektif dalam menekan infeksi yang disebabkan Aeromonas hydrophila dengan gejala klinis lebih ringan, proses penyembuhan lebih cepat menekan tingkat kematian ikan serta dapat meningkatkan total eritrosit, total leukosit, kadar hematokrit, kadar hemoglobin dan indeks fagositosis. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak paci-paci yang dicampurkan ke dalam pakan ikan komersil tidak berdampak negatif pada kondisi ikan sehingga layak digunakan sebagai imunostimulan.
EFEKTIVITAS EKSTRAK PACI-PACI Leucas lavandulaefolia YANG DIBERIKAN LEWAT PAKAN UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT MAS Motile Aeromonas Septicemia PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.
WINDU PUJI UTAMI C14103031
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Lembar Pengesahan Judul Skripsi
: Efektifitas Ekstrak Paci-Paci Leucas lavandulaefolia Yang Diberikan Lewat Pakan Untuk Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit MAS Motile Aeromonas Septicemia Pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp.
Nama Mahasiswa
: Windu Puji Utami
Nomor Pokok
: C14103031
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sukenda M. Sc NIP. 196710131993021001
Dr. Munti Yuhana S.Pi., M. Si NIP. 196912201994032002
Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya M. Sc NIP. 196104101986011002
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2008 sampai dengan Februari 2009 adalah penyakit ikan, dengan judul “Efektivitas Ekstrak Paci-Paci Leucas lavandulaefolia yang Diberikan Lewat Pakan Untuk Pencegahan dan Pengobatan Penyakit MAS Motile Aeromonas Septicemia Pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp.”. Terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis ucapkan kepada Dr. Sukenda dan Dr. Munti Yuhana selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat, arahan, masukan, saran, bimbingan, dan motivasi kepada Penulis sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat terarah dengan baik. Di samping itu, Penulis menyampaikan terimakasih kepada Dr. Alimuddin selaku dosen penguji tamu atas saran dan arahannya serta Dr. D. Djokosetyanto selaku pembimbing akademik atas nasehat dan bimbingannya selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda tercinta Herry Susanto,S.E., ibunda tercinta Yoyoh Rochmatiah, S. Pdi., adikku Rizky Wirawan, keluarga dan teman-teman TMA 40 serta seluruh civitas akademik Departemen Budidaya Perairan atas segala doa, semangat, bantuan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2009
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillah segenap rasa syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah yang berjudul ” Efektifitas Ekstrak Paci-Paci Leucas lavandulaefolia Yang Diberikan Lewat Pakan Untuk Pencegahan Dan Pengobatan Infeksi Penyakit MAS Motile Aeromonas Septicemia Pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp.” ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada suri tauladan umat Muslim yang mulia Rasulullah Muhammad SAW. Selama melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi ini, Penulis telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kakek (Kartawidanta, alm & Iskal Haryadi), nenek (Sumanah & Sulaeni), keluarga om Setiadi Wijaya & tante Dian Haerani, keluarga om Budi Hartono dan tante Elia Pujawati, Aa Didis, tante Itoh Widawati, keluarga papa Dudi Djohansyah (alm) dan mama Naning Purnamaningsih, Tante Yuli, Tante Dania, keluarga Drs. H. Fin Rian dan Hj. Tati Kania, BA dan seluruh keluarga besar dimanapun berada atas dukungan moril dan materil serta kasih sayang dan doa yang tiada henti. 2. Sahabatku yang senantiasa ada disaat suka maupun duka Galuh Ressa Mahardika atas kasih sayang, motivasi dan doa yang tiada henti. 3. Sahabat terbaikku dari masa kanak-kanak hingga sekarang (Rendina, Raisa, Santi, Vina, Hana, Tiwie) atas persaudaraan dan kesetiakawanan kalian, motivasi dan doanya. 4. Sahabat terbaik dalam perjalanan hidupku selama kuliah hingga saat ini Lelyana Majaw R, Siti Fadzillah DPA, Deti Roslani, Dyan Satwika, Lola Irma, Meilytatu AL, Lelih S, Euis L, Wina Merantica, Kak Rahman, Padel Purnama, Bambang Kusmayadi, M. Fatoni, Achmad N.P , Astrid Indah Lestari, Synthesa Prima Yoga Ksatria, Rhama Adi Permana, Taufik Martawiguna atas keceriaan, motivasi, doa dan bantuannya. 6. Teman-teman di Pondok Ratna (Mba Hilda, Mba Era, Mba Ully, Mba Tita, Mba Yosepi, Mba Esti, Loli, Yuni, Thia, Pipit, Fina, Wiwik, Yua, Elia, Novia,
Mega) atas kebersamaan, bantuan, motivasi dan bina nafsiyah yang diberikan kepada penulis. 7. Rekan-rekan TMA 40 atas kebersamaan, bantuan, masukan, saran, motivasi yang diberikan kepada Penulis. 8. Teman-teman Lab. Kesehatan Ikan (M. Syamsul, Wira Hadi, Permana Giri, Loli, Onny, Kak Yusuf Abdullah, Asri, Mas Catur, Mba Diana, Mba Yula, Mba Tita, Pak Henky, Pak Aris, Ibu Ibar, Pak Narto), Pak Ranta, Pak Maryanta, Pak Wasjan, Mbak Yuli, Kang Asep, Kang Adna, Kang Hadi, Kang Abe atas kebersamaan dan dukunganya. 9. Teman-teman TMA 41, 42 dan 43 atas semangat dan kebersamaannya selama penelitian. Penulis memandang bahwa skripsi ini dibuat sebagai suatu proses pembelajaran yang tidak pernah berhenti baik terhadap materi perkuliahan maupun perjalanan hidup Penulis sebagai mahasiswa selama duduk di bangku perkuliahan. Semoga hasil penelitian dalam skripsi ini bermanfaat bagi pihakpihak yang memerlukannya.
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Rangkasbitung, Banten pada tanggal 21 Jumadil Awal 1405 H (12 Februari 1985). Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Herry Susanto,S.E dan Ibu Yoyoh Rochmatiah,S.Pdi. Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SDN.1 Kejaksaan Rangkasbitung lulus tahun 1997, SLTPN.4 Rangkasbitung lulus tahun 2000 dan SMUN.1 Rangkasbitung lulus tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI IPB) pada program studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah mengikuti praktek lapang pembenihan dan pembesaran Huna Biru Cherax quadricarinatus di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi pada tahun 2006. Penulis juga pernah menjadi asisten untuk program Sarjana (S1) dan Diploma (D3) pada mata kuliah Dasar-dasar Mikrobiologi Akuatik (2006-2008) dan mata kuliah Penyakit Ikan (2006-2008). Selain itu penulis aktif dalam himpunan profesi jurusan Teknologi dan Manajemen Akuakultur (HIMAKUA) pada tahun 2005/2006. Selain itu, Penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan lain yang dapat menunjang perkuliahan seperti seminar nasional perikanan dan motivation training. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul ”Efektifitas Ekstrak Paci-Paci Leucas lavandulaefolia Yang Diberikan Lewat Pakan Untuk Pencegahan Dan Pengobatan Infeksi Penyakit MAS Motile Aeromonad Septicemia Pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp.”
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii DAFTAR GRAFIK ………………………………………………………….. iv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi PENDAHULUAN .......................................................................................... . 1 Latar Belakang ........................................................................................ . 1 Tujuan ..................................................................................................... . 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. . 3 Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) ............................................................... . 3 Bakteri Aeromonas hydrophila ............................................................... . 4 Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) ........................................................ . 6 Hematologi Ikan ...................................................................................... 9 Kualitas Air .............................................................................................. 15 METODOLOGI .............................................................................................. 17 Waktu dan Tempat ................................................................................. 17 Metode Penelitian .................................................................................... 17 Alat dan Bahan ....................................................................................... 17 Persiapan Wadah dan Ikan Uji ............................................................... 18 Pembuatan Rebusan Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) ...................... 19 Penyediaan Suspensi Bakteri Aeromonas hydrophila ............................. 20 Uji in vivo ............................................................................................... 21 Parameter Yang Diamati ......................................................................... 22 Respon Nafsu Makan .............................................................................. 22 Pertumbuhan Bobot dan Pengukuran Panjang ....................................... 22 Mortalitas ............................................................................................... 23 Gejala Klinis dan Pengukuran Diameter Kelainan Klinis ..................... 23 Parameter Hematologi Ikan .................................................................... 24 Pengambilan Sampel Darah ................................................................... 24 Pengukuran Kadar Hematokrit ............................................................... 24
Pengukuran Kadar Hemoglobin (Hb) . .................................................... 25 Penghitungan Sel Darah Merah (Eritrosit) . ............................................. 26 Penghitungan Sel Darah Putih (Leukosit) . .............................................. 26 Indeks Fagositosis . .................................................................................. 27 Parameter Kualitas Air . ........................................................................... 27 Analisis Data . .......................................................................................... 29 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 30 Respon Nafsu Makan .............................................................................. 30 Bobot Rata-rata Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) .................................... 32 Mortalitas Ikan Lele Dumbo .................................................................. 33 Gejala Klinis ............................................................................................ 34 Parameter Hematologi Ikan .................................................................... 40 Kualitas Air ............................................................................................ 47 Pembahasan ............................................................................................ 48 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 63 LAMPIRAN ..................................................................................................... 68
DAFTAR TABEL Halaman 1. Respon Nafsu Makan Ikan Pada Pagi Hari ..................................................... 30 2. Respon Nafsu Makan Ikan Pada Sore Hari ..................................................... 31 3 Kualitas Air ..................................................................................................... 47
DAFTAR GRAFIK Halaman 1 Pertumbuhan Bobot Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.)………………... ……… 32 2 Mortalitas Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) …………………………………… 33 3 Skor Rata-rata Gejala Klinis Pada Tiap Perlakuan ............................................39 4 Kadar Hemoglobin (Gram %) Ikan Lele ......................................................... 40 5 Kadar Hematokrit (%) Ikan Lele.....................................................................
41
6 Jumlah Sel Darah Putih ( x105 sel/mm3 ) Ikan Lele ........................................ 42 7 Jumlah Sel Darah Merah ( x 106 sel/mm3 ) Ikan Lele ..................................... 44 8 Indeks Fagositosis (%) Ikan Lele…………………......................................... 45
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) ………………………………………….….…3 2 Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) …………………………………………...6 3 Susunan darah ikan (Abdullah, 2008) ………………………………………..10 4 Persiapan wadah ...............................................................................................18 5 Proses pembuatan rebusan Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) .......................20 6 Uji in vivo kontrol negatif .................................................................................21 7 Uji in vivo kontrol positif ................................................................................ .21 8 Uji in vivo perlakuan pengobatan .....................................................................21 9 Uji in vivo perlakuan pencegahan ....................................................................22 10 Rumus perhitungan kadar hematokrit ............................................................24 11 Ukuran kuadran haemacytometer dan volume bidang pengamatan ..............26 12 Ikan lele perlakuan kontrol negatif ................................................................34 13 Ikan lele kontrol positif sesaat sebelum penyuntikan A. hydrophila .............35 14 Ikan lele kontrol positif saat mengalami nekrosis .........................................35 15 Ikan lele kontrol positif saat mengalami tukak .............................................35 16 Ikan lele kontrol positif saat mengalami penyembuhan ................................35 17 Ikan lele perlakuan pengobatan sebelum penyuntikan A. Hydrophila ..........36 18 Ikan lele perlakuan pengobatan saat mengalami nekrosis ............................36 19 Ikan lele perlakuan pengobatan saat mengalami tukak .................................37 20 Ikan lele perlakuan pengobatan saat mengalami penyembuhan ...................37 21 Ikan lele perlakuan pencegahan sebelum penyuntikan A. hydrophila ..........38 22 Ikan lele perlakuan pencegahan saat mengalami nekrosis ............................38
23 Ikan lele perlakuan pencegahan saat mengalami tukak ...................................38 24 Ikan lele perlakuan pencegahan saat mengalami penyembuhan .....................38 25 Proses fagositosis oleh makrofag ....................................................................59
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Formulasi Bahan ………………...…..………………………………...
69
2 Pewarnaan Giemsa Dan Prosedur Pembuatan Preparat Ulas……..……...
70
3 Perhitungan Dan Pengenceran Bakteri Dengan Teknik Pengenceran Berseri (Hadioetomo, 1993) .......................................................……….....…....... 71 4 Kualitas air....................................................................................................
72
5 Output Data Patologi Makro........................................................................
73
6 Output Data Parameter Hematologi................................................................
80
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ikan lele dumbo (Clarias sp.) merupakan ikan konsumsi air tawar yang cukup digemari masyarakat karena rasa dagingnya yang gurih, harganya terjangkau dan memiliki protein yang cukup tinggi. Ikan lele dumbo pada dasarnya cukup mudah dibudidayakan karena mempunyai kelebihan yaitu pertumbuhannya cepat dan dapat mencapai ukuran yang besar dalam waktu pemeliharaan yang relatif singkat (Suyanto, 1992). Budidaya ikan lele dumbo saat ini berkembang menjadi budidaya intensif karena semakin tingginya permintaan di pasaran. Semakin berkembangnya budidaya ikan lele maka permasalahan yang dihadapi
semakin
banyak
pula,
salah
satunya
adalah
permasalahan
penanggulangan penyakit bakterial. Ikan lele cukup rentan terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila, bakteri penyebab penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia). MAS umumnya menyerang ikan-ikan di perairan tropis seperti Channel catfish, ikan-ikan dari famili Ictaluridae, Siluridae, Clariidae, Cyprinidae, serta Centrachidae sangat rentan terhadap penyakit ini (Plumb, 1999). Penyakit dapat muncul akibat adanya interaksi antara faktor lingkungan, agensia penyebab penyakit dan inangnya. Menurut Holm (1999) dalam hal faktor lingkungan yaitu stress dapat disebabkan oleh faktor fisik (misalnya: perubahan temperatur yang drastis), faktor kimiawi (misalnya: pencemaran), faktor biologis (misalnya: adanya parasit). Di Indonesia, wabah penyakit bercak merah ikan yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas ini dilaporkan pertama kali terjadi di suatu areal pembudidayaan ikan di Cibening, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor bersamaan dengan datangnya ikan mas yang baru diimpor dari Taiwan pada bulan September 1980 (Hardjosworo et al., 1981). Banyak upaya yang telah dilakukan para ahli untuk menanggulanginya baik upaya-upaya pencegahan maupun pengobatan. Mulai dari pemberian berbagai jenis antibiotik dengan bermacammacam dosis, pemberian vitamin, pemberian probiotik maupun dengan penggunaan tanaman obat (fitofarmaka).
Menurut Alifuddin (2000) pemakaian antibiotik untuk jangka panjang yang tidak terkontrol dan tidak tepat dosis dapat menimbulkan dampak negatif yang dikhawatirkan memunculkan strain-strain bakteri resisten yang dapat berbahaya bagi ikan. Selain itu pula harga antibiotik, vitamin, dan probiotik yang cukup mahal dapat menyebabkan biaya produksi tinggi, sehingga kurang efisien bagi petani-petani lele skala kecil (tradisional). Alternatif untuk pencegahan dan pengobatan penyakit MAS yang efektif, murah, aman bagi manusia dan ramah lingkungan perlu dikaji kembali. Penggunaan tanaman obat atau fitofarmaka merupakan solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Fitofarmaka atau tanaman obat adalah obat alamiah yang bahan bakunya disarikan dari tanaman untuk digunakan dalam pengobatan (Anonimus, 2004). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, paci-paci (Leucas lavandulaefolia) adalah salah satu fitofarmaka yang efektif mengatasi penyakit Motile Aeromonas Septicemia pada ikan (Abdullah, 2008;Sopiana, 2005). Paci-paci mengandung berbagai senyawa aktif seperti: minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin, alkaloid dan methanol yang bersifat antimikroba, antiinflamasi, antioksidan serta bersifat sebagai detoksifikasi racun dan mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit. Pada penelitian ini dilakukan uji efektivitas paci-paci yang diberikan lewat pakan ikan komersil untuk pencegahan maupun pengobatan penyakit MAS. Adapun parameter-parameter uji meliputi kelangsungan hidup, patologi makro dan parameter hematologi ikan lele dumbo yang diuji tantang dengan A. hydrophila penyebab penyakit MAS.
1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak pacipaci (Leucas lavandulaefolia) yang diberikan lewat pakan ikan komersil untuk pencegahan dan pengobatan infeksi penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) yang ditinjau dari patologi makro dan hematologi ikan lele dumbo (Clarias sp.).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) Menurut Suyanto (1992) ikan lele dumbo (Clarias sp.) merupakan hibrida dari ikan lele jenis Clarias fuscus sebagai induk betina yang berasal dari Taiwan dengan ikan lele jenis Clarias mozambicus sebagai induk jantan yang berasal dari Afrika. Berikut ini adalah klasifikasi ikan lele menurut Saanin (1984) : Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariopshyi
Sub Ordo
: Siluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias sp.
Gambar 1. Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.)
Morfologi ikan lele secara umum adalah tubuh memanjang dan berbentuk silindris, kepala pipih berbentuk seperti setengah lingkaran, ekor berbentuk pipih, permukaan kulit licin dan tidak bersisik, mengeluarkan lendir dan warna tubuh bagian atas gelap dan bagian bawah agak terang. Ikan lele memiliki mata yang kecil, memiliki 4 pasang alat peraba atau biasa disebut sungut, terdapat 2 buah alat olfaktori yang terletak dekat sungut hidung yang berfungsi sebagai alat peraba atau penciuman dan pada bagian depan sirip dada terdapat jari-jari sirip yang mengeras atau biasa disebut patil yang berfungsi sebagai alat pergerakan di air dan alat pertahanan diri.
Ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yang sering disebut arborescent organ berbentuk seperti bunga karang. Alat genital dekat anus tampak sebagai tonjolan. Pada ikan lele jantan tonjolan berbentuk lancip sedangkan pada ikan lele betina tonjolan relatif berbentuk membundar (Angka et al., 1990). Berdasarkan kebutuhan makannya, ikan lele termasuk dalam golongan ikan omnivora namun terkadang dapat bersifat karnivora. Makanan alami ikan lele terdiri dari fitoplankton (jenis alga) dan zooplankton seperti kutu air, cacing rambut, rotifera, jentik-jentik nyamuk, ikan kecil serta bahan organik yang masih segar (Simanjuntak, 1989). Ikan lele dapat bersifat detritus feeder dan bersifat kanibal ketika jumlah pakan tidak tersedia atau kurang mencukupi kebutuhan pakannya.
2.2. Bakteri Aeromonas hydrophila Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan salah satu agen penyebab terjadinya penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicemia) pada ikan lele. Kabata (1985) menyatakan A. hydrophila merupakan penyebab umum dari penyakit bacterial haemorrhagic septicemia yaitu penyakit yang merusak jaringan dan organ pembuat sel darah. Berikut ini adalah klasifikasi A. hydrophila menurut Holt et al., (1994): Filum : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo
: Pseudomonadales
Famili : Vibrionaceae Genus : Aeromonas Spesies : Aeromonas hydrophila A. hydrophila merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek dengan ukuran 1,0-1,5 x 0,7-0,8 µm, bergerak dengan menggunakan sebuah “polar flagel”, bersifat oksidatif fermentatif, dan dapat tumbuh optimum pada suhu 20-30°C (Kabata,1985). A. hydrophila mampu tumbuh pada suhu hingga 37°C (Austin dan Austin, 1993). Menurut Angka (2004 a), A. hydrophila merupakan bakteri di perairan dengan karakteristik fisiologis yang sangat beragam. Keragaman bakteri ini
sebagai patogen disebabkan oleh perbedaan produksi endotoksin dan eksotoksin (ECP) yang tidak sama untuk setiap galurnya. Shariff et al., (1990) dalam Lesmanawati (2006) menyatakan bahwa galur yang virulen ketika diinjeksikan ke ikan secara intraperitonial, menyebabkan kematian ikan setelah 48 jam pada LD50 sebesar 2 – 5 x 105 cfu/ml. Produk toksin yang dihasilkan akan diekskresikan ke medium sekitarnya (eksotoksin) atau di simpan didalam selnya (endotoksin) sebagai bagian dari sel tersebut (Pelczar and Chan, 1988). Produk ekstraseluler dari A. hydrophila terdiri atas hemolisin α dan β, protease, elastase, lipase, cytotoksin, enterotoksin, gelatinase, caseinase, lecithinase, dan leucocidin. Hati merupakan salah satu organ target A. hydrophila dan terganggunya hati dapat berpengaruh terhadap proses metabolisme (Cipriano et al.,1984). Menurut Roberts (1993) dalam Angka (2004) A. hydrophila yang bersifat virulen menghasilkan βhemolisin, elastase dan mempunyai lapisan S di permukaan sel. Hemolisin yang terlarut menyebabkan hemoragi dan merangsang terjadinya tukak kulit di ikan. Endotoksin pada umumnya memegang peran pembantu dalam menimbulkan penyakit (Pelczar and Chan, 1988). Hal ini dikarenakan endotoksin dilepaskan hanya bila sel dari bakteri tersebut hancur. A. hydrophila merupakan patogen opportunis karena hanya dapat menimbulkan penyakit pada populasi ikan yang lemah atau sebagai infeksi sekunder saat ikan terinfeksi penyakit lain. Menurut Kabata (1985) penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) memperlihatkan gejala-gejala sebagai berikut ini: 1.Busung perut ditandai dengan membengkaknya rongga visceral oleh cairan. 2.Tukak (borok) ditandai dengan adanya luka pada kulit dan otot. 3.Haemorrhagic septicemia yang disebut juga infectious abdominal dropsi atau red mouth disease atau red pest dengan tanda-tanda kulit kering, kasar, dan melepuh. Serangan bakteri A. hydrophila menurut Amlacher (1961) dalam Sniezko dan Axelrod (1971) dapat terjadi dalam 4 tingkatan sebagai berikut ini: 1. Akut merupakan septicemia yang fatal, infeksi cepat dengan sedikit tanda-tanda penyakit yang terlihat, ditandai dengan pembengkakan organ dalam. 2. Sub akut dapat terlihat dengan gejala seperti dropsi, lepuh, abses dan pendarahan pada sisik.
3. Kronis dapat terlihat dengan gejala seperti tukak, bisul-bisul, dan abses yang perkembangannya berlangsung lama. 4. Laten dapat terjadi dengan tidak memperlihatkan adanya gejala-gejala penyakit, namun pada organ dalam terdapat bakteri penyebab penyakit.
2.3. Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) Paci-paci dalam Brown (2007) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Dunia
: Plantae
Filum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Lamiales
Famili
: Lamiaceae (alt. Labiatae)
Sub Famili
: Lamioideae
Genus
: Leucas
Spesies
: Leucas lavandulaefolia
Gambar 2. Paci-paci (Leucas lavandulaefolia)
Menurut Anonimus (2005) paci-paci dapat tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian kurang dari 1500 m di atas permukaan laut. Batang berkayu, tinggi 20-60 cm, berbuku-buku, bercabang, berambut halus, berwarna hijau, daun tunggal letak berhadapan dan bertangkai. Helaian daun berbentuk lanset, ujung dan pangkalnya runcing, tepi bergerigi, panjang 1.5-10 cm, lebar 2-10 mm, berwarna hijau tua pada bagian atas dan berwarna hijau muda pada bagian bawah. Memiliki bunga kecil-kecil berwarna putih, daunnya berbentuk seperti lidah, tumbuh tersusun dalam karangan semu yang padat. Biji bulat kecil berwarna hitam, perbanyakan dengan biji. Distribusi tanaman paci-paci ini dari India
sampai China, dekat Malaysia sampai Indonesia dan tumbuh secara liar (Soerjani et al., 1987 dalam Sopiana, 2005). Paci-paci biasa digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati luka yang sakit dan meradang, caranya adalah daun paci-paci ditumbuk sampai halus dan diberikan sebagai tapal diatas luka atau pada daerah yang radang. Selain itu, paci-paci juga dapat digunakan sebagai immunostimulan yang mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menambah vitalitas sebagai obat rematik (antirheumatic). Akar serta daunnya yang pahit dan berbau tajam dapat digunakan untuk mengobati jerawat, penyakit kulit seperti kudis dan sebagai insektisida pembasmi serangga (Anonimus, 2006). Air dari seduhan akar paci-paci dapat digunakan untuk merendam kaki yang luka dan kulit kaki yang mengeras. Seduhan paci-paci dapat digunakan sebagai obat luar dan dalam untuk menyembuhkan penyakit kulit yang meradang berisi cendawan Saccharomyces. Kandungan kimiawi dalam daun dan akar tanaman paci-paci diantaranya adalah minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin (Anonimus, 2005), alkaloid (Anonimus, 2006), methanol (Mukherjee et al., 1997 dalam Abdullah, 2008). Minyak atsiri adalah cairan lembut, bersifat aromatik, dan mudah menguap pada suhu kamar. Minyak atsiri dapat diperoleh dari ekstrak bunga, biji, daun, kulit batang, kayu dan akar pada tumbuhan tertentu. Minyak atsiri yang disemprotkan ke udara membantu menghilangkan bakteri, jamur, menghilangkan bau pengap dan bau tidak mengenakkan (Anonimus, 2003). Minyak atsiri memiliki daya antibakteri disebabkan adanya senyawa fenol dan turunannya yang mampu mendenaturasi protein sel bakteri (Hasim, 2003). Fenol dapat merusak membran sel bakteri dan menyebabkan lisis (terlarutnya) sel bakteri (Nogrady, 1992). Sifat toksik fenol mengakibatkan struktur tiga dimensi protein bakteri terganggu dan terbuka, sehingga menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan struktur kerangka kovalen, sehingga protein terdenaturasi. Deret asam amino protein tetap utuh setelah denaturasi namun aktivitas biologinya rusak sehingga protein tidak dapat melakukan fungsinya (Hasim, 2003). Substansi fenolik dari minyak atsiri telah diketahui dapat menstimulasi makrofag yang memilliki efek negatif tidak langsung terhadap infeksi bakteri dan mencegah infeksi virus. Senyawa fenol memiliki efek inhibitor terhadap bakteri Gram positif dan
ditemukan memiliki aktivitas antifungi (Pelczar, 1986). Hasil dari uji in vitro menurut Hasim (2003) menunjukkan aktivitas minyak atsiri sebagai antibakteri ditandai dengan zona hambatan yang tidak lagi ditumbuhi bakteri. Daya antibakteri minyak atsiri lebih efektif karena memiliki zona hambat lebih besar dan bersifat bakterisidal. Flavonoid berasal dari kata flavon yang merupakan nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan sering ditemukan pada tanaman. Ada sekitar kurang lebih 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis tumbuh-tumbuhan (sekitar 1x109 ton/tahun) diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom C sebagai inti dan membentuk dua cincin aromatik (C6) yang terikat pada rantai propana (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6. Flavon, flavonoid dan falavonol disintesis tanaman dalam responnya terhadap infeksi mikroba sehingga secara in vitro efektif terhadap mikroorganisme (Naim, 2004 dalam Abdullah 2008). Flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka (Anonimus, 2007), bersifat antibakteri dan antioksidan (Angka, 2004b), mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai pemakan benda asing lebih cepat dihasilkan dan system limfa lebih cepat diaktifkan (Angka, 2004b). Menurut Robinson (1991) dalam Rahman (2003) flavonoid merupakan metabolit sekunder tanaman yang juga berfungsi sebagai kontrol hormon pada pertumbuhan (hormon tiroid dan somatotropin). Zairin (2003) menyatakan bahwa hormon tiroid berperan pada proses pertumbuhan, meningkatkan pengaruh hormon anabolik terutama memfasilitasi pelepasan somatotropin dari sel-sel hipofisis, meningkatkan food intake (respon makan) ikan dan memberi aksi imunomodulatori. Hormon pertumbuhan (somatotropin) berperan dalam merangsang pertumbuhan dan metabolisme pada ikan, meningkatkan respon makan dan mencegah kerusakan hati, meningkatkan aktivitas makrofag dan aktivitas hemolitik pada serum ikan. Tannin adalah senyawa fenol yang larut dalam air dan mampu mengendapkan protein (Utami, 2007), memiliki bobot molekul besar dan memiliki gugus hidroksil maupun karboksil (Robinson, 1991 dalam Rahman,
2003). Senyawa tannin memiliki kadar tinggi pada suatu tanaman lebih bersifat sebagai zat pertahanan dari serangan hama. Menurut Pelczar (1986) seluruh tannin nabati adalah jenis senyawa fenolik yang memiliki daya antiseptik. Naim (2004) dalam Abdullah (2008) menyatakan bahwa mekanisme antimikroba tannin mungkin berhubungan dengan kemampuan menginaktivasi adhesin mikroba, enzim, protein transport cell envelope dan mampu membentuk kompleks dengan polisakarida. Saponin merupakan salah satu senyawa yang dihasilkan tumbuhan berfungsi sebagai antibakteri dan antivirus, mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas, mampu mengurangi kadar gula darah dan mengurangi penggumpalan darah (Anonimus, 2007 dalam Abdullah, 2008). Selain itu saponin sering dimanfaatkan untuk desinfeksi media budidaya sehingga peranannya sebagai antimikroba sudah teruji.
2.4. Hematologi Ikan Darah merupakan cairan yang dialirkan melalui sel vasikular, membawa bahan-bahan penting untuk kehidupan seluruh sel dalam tubuh dan menampung buangan hasil metabolisme untuk diangkut ke organ ekskresi (Jain dalam Azhari, 2001). Darah ikan secara umum berfungsi untuk mengedarkan nutrien yang berasal dari pencernaan makanan ke sel-sel tubuh, membawa oksigen ke sel-sel tubuh (jaringan) dan membawa hormon dan enzim ke organ tubuh yang memerlukannya (Lagler et al., 1977). Menurut Fujaya (2004) fungsi darah adalah sebagai pembawa oksigen (O2), karbondioksida (CO2), sari-sari makanan serta hasil metabolisme. Pada ikan, darah yang mengalir dengan membawa O2 dari insang ke jaringan, CO2 ke kulit dan insang dan produk pencernaan dari hati ke jaringan serta ion Na+ dan Cl- yang berperan dalam system osmoregulasi. Darah juga membawa hormon dan vitamin terutama dalam plasma, sedangkan bahan-bahan asing atau yang tidak diperlukan oleh tubuh diangkut ke ginjal dan dikeluarkan melalui urin. Menurut Randall (1970) dalam Afandi dan Tang (2002), darah ikan tersusun atas plasma dan sel-sel darah yang terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Sel darah terdiri atas sel-
sel diskret yang memiliki bentuk khusus dan fungsi yang berbeda terdiri dari eritrosit dan leukosit (limfosit, monosit, netrofil,dan trombosit) sedangkan komponen dari plasma yaitu fibrinogen, ion-ion anorganik dan organik (Fujaya, 2004). Plasma merupakan cairan koloid jernih yang mengandung mineral terlarut, hasil-hasil metabolisme seluler dan jaringan, enzim, gas terlarut, protein dan antibodi (Dallman dan Brown, 1989 dalam Marthen, 2005). Plasma darah mengandung ion anorganik seperti Na+, Cl-, Mg2+, Ca2+, dan senyawa organik seperti hormon, vitamin, enzim, protein plasma (albumin, globulin, transferin dan fibrinogen), lemak dan nutrien.
Keterangan gambar : E = eritrosit T = Trombosit
Keterangan gambar : M = monosit
L = Limfosit
N = Netrofil
Gambar 3. Susunan darah ikan (Chinabut and Limsuwan, 1991)
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah adalah spesies, perbedaan induk (genetik), kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur (Dellman dan Brown, 1989). Menurut Affandi dan Tang (2002) bahwa volume darah dalam tubuh ikan teleostei adalah sekitar 3% dari bobot tubuh. Parameter darah menjadi salah satu indikator adanya perubahan kondisi pada kesehatan ikan, baik karena faktor infeksi akibat mikroorganisme atau karena faktor non-infeksi lingkungan, nutrisi dan genetik. Darah dapat mengalami perubahan-perubahan yang sangat serius khususnya bila terkena infeksi oleh bakteri (Amlacher, 1970). Selain itu, kelebihan dan kekurangan makanan juga dapat mempengaruhi komposisi darah (perubahan terjadi pada level protein total, hemoglobin, dan total eritrosit).
Eritrosit (sel darah merah) pada ikan merupakan sel darah yang terbanyak jumlahnya. Chinabut et al. (1991) menyatakan bahwa eritrosit ikan lele mempunyai inti dengan sel lonjong, berwarna merah kekuningan dan berukuran 12 – 13 µm dengan diameter 4 – 5 µm. Pada ikan yang normal, jumlah sel darah merah berkisar antara 1,05 – 3,00 x 106 sel/mm3 (Roberts, 1978). Jumlah sel darah merah (eritrosit) dalam darah ikan lele adalah 3.18 x 106 sel/mm3 (Chinabut, 1991). Rendahnya jumlah sel darah merah (eritrosit) menandakan ikan dalam keadaan stress (Wedemeyer and Yasutake, 1977; Nabib and Pasaribu, 1989). Hemoglobin adalah protein dalam eritrosit yang tersusun atas protein globin tidak berwarna dan pigmen heme yang dihasilkan dalam eritrosit dan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen bergantung pada kadar Hb dalam darah (Lagler et al., 1977). Didalam kapiler-kapiler insang, hemoglobin (Hb) bergabung dengan oksigen (O2) membentuk oksihemoglobin (HbO). Ketika hemoglobin bergabung dengan oksigen, maka 1 gram Hb dapat membawa 1,36 ml O2 (Hartini, 1982). Angka (1985) menyatakan bahwa kadar Hb ikan lele normal adalah 10,3 – 13,5 g/100 ml, dan ikan yang sehat memiliki hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang sakit, namun hal sebaliknya terjadi pada sel darah putih. Lain halnya pada ikan lele yang terserang penyakit mempunyai kadar hemoglobin 10,9-13 g/100 ml. Hemoglobin dalam darah ikan teleostei berkisar antara 37 – 70 % (Lagler et al., 1977). Nilai 100 % Hb setara dengan 14 gram dalam 100 ml darah (14 G%). Kadar hemoglobin merupakan indikator anemia (Blaxhall, 1971). Meningkatnya kadar hemoglobin menunjukkan bahwa ikan berada dalam keadaan stress (Anderson and Siwicki, 1993). Leukosit atau sel darah putih dibagi atas dua bagian yakni agranulosit dan granulosit. Agranulosit terdiri dari limfosit, trombosit, dan monosit. Sedangkan granulosit terdiri dari netrofil, eosinofil, dan basofil (Chinabut et al., 1991). Menurut Angka (1985) ikan yang sehat memiliki sel darah putih yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan yang sakit. Jumlah sel darah putih pada ikan berkisar antara 20.000-150.000 sel/mm3 darah (Rastogi, 1977 dalam Marthen, 2005). Sel darah putih memiliki bentuk mulai dari lonjong sampai bulat (Lagler et al., 1977). Menurut Chinabut (1991) total leukosit pada ikan Channel catfish mencapai sekitar 64750 butir per mm3. Sel-sel leukosit bergerak secara aktif
melalui dinding kapiler untuk memasuki jaringan yang terkena infeksi (Roberts dan Richards, 1978). Sel-sel leukosit yang dapat meninggalkan pembuluh darah antara lain neutrofil (leukosit berinti polimorf), monosit (makrofag mononuklear), limfosit dan trombosit. Netrofil yakni sel darah putih yang dapat meninggalkan pembuluh darah, mengandung vakuola yang berisi lisozim untuk menghancurkan organsime yang dimakannya (Chinabut et. al., 1991). Jumlah netrofil pada ikan normal adalah sekitar 6 – 8 % dari total leukosit dalam darah ikan, dimana netrofil ini berfungsi untuk melawan penyakit bersama-sama dengan eosinofil yang disebabkan oleh organisme mikroseluler seperti bakteri dan virus. Sifat melawan penyakit ini disebut sifat fagositik yaitu memakan dan menghancurkan sel penyebab penyakit (Lagler et al., 1977). Menurut Anderson (1974) limfa merupakan organ utama dalam pembentukan, penyimpanan, dan pendewasaan eritrosit, netrofil dan granulosit. Monosit pada ikan berbentuk oval atau bundar, berdiameter 8-15 µm, dengan nukleus oval berdekatan tepi sel dan mengisi sebagian isi sel dan terkadang inti juga terletak ditengah (Hoffman, 1977). Monosit ikan berasal dari jaringan hematopoietik ginjal dan dari populasi leukosit. Menurut Affandi dan Tang (2002) monosit selain dihasilkan dari organ ginjal anterior juga dihasilkan oleh timus dan limfa. Monosit mampu menembus dinding pembuluh darah kapiler lalu masuk ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag. Monosit mempunyai masa beredar yang singkat dalam darah sebelum mengalir melalui membran-membran kapiler kedalam jaringan. Monosit mampu bermigrasi kedalam jaringan dan menjadi ekstravasikuler. Sel monosit berperan dalam fagositosis dengan membunuh atau melisis sel bakteri. Pada proses tersebut terdapat fase kemotaksis, fase penempelan, fase penempelan, penangkapan, pemakanan dan pembunuhan bakteri (Amrullah, 2004). Limfosit merupakan sel darah putih berbentuk bola berukuran 7-10 µm. Sel limfosit mampu menerobos jaringan organ tubuh lunak dan mempunyai peranan dalam pembentukan antibodi (Dellman dan Brown, 1989). Limfosit pada ikan normal berjumlah 71,12-82,88 % dari total leukosit dalam darah ikan
(Blaxhall dan Daisley, 1973 dalam Marthen, 2005). Jika limfosit mengalami penurunan, neutrofil dan monosit naik berarti ikan cenderung terkena infeksi. Trombosit atau keping-keping darah salah satu yang berperan penting dalam proses pembekuan darah. Ciri khusus trombosit adalah lingkaran sitoplasma tipis di sekeliling inti yang berwarna biru cerah dengan pewarnaan wright dan giemsa. Ukuran rata-rata trombosit adalah 4x7 µm hingga 5x13 µm (Chinabut et al., 1991). Roberts (1978) menyatakan bahwa trombosit mengeluarkan tromboplastin yakni enzim yang membuat polimeri dan fibrinogen yang berperan penting dalam pembekuan darah. Jika trombosit ikan naik berarti ada indikator ikan dalam keadaan penyembuhan luka. Hematokrit merupakan perbandingan antara sel darah merah dan plasma darah dan berpengaruh terhadap pengaturan sel darah merah. Peningkatan kadar hematokrit ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan terutama suhu perairan dan keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang dibutuhkan (Jawad et al., 2004 dalam Marthen, 2005). Menurut Angka et al., (1990) hematokrit ikan bervariasi tergantung pada faktor nutrisi dan umur ikan. Anak ikan dengan nutrisi yang baik mempunyai kadar hematokrit lebih tinggi daripada ikan dewasa atau anak ikan dengan nutrisi rendah. Snieszko et al. (1960) dalam Marthen (2005) menyatakan bahwa nilai hematokrit darah ikan berkisar antara 5-60 %. Menurut Bond (1979) kisaran kadar hematokrit darah ikan adalah sebesar 20-30%. Namun Angka et al., (1985) menyatakan bahwa kisaran nilai hematokrit ikan lele (Clarias batrachus) pada kondisi normal sebesar 30.8-45.5% sedangkan ikan lele yang terkena ulcer mempunyai nilai hematokrit sebesar 34.448.2%. Nabib dan Pasaribu (1989) menyatakan bahwa nilai hematokrit dibawah 30% menunjukkan defisiensi eritrosit. Sedangkan dalam Gallaugher et al., (1995) menyatakan bahwa nilai hematokrit yang lebih kecil dari 22% menunjukkan ikan mengalami anemia. Menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui apakah pakan memiliki kandungan protein yang rendah, defisiensi vitamin, atau ikan terkena infeksi sehingga nafsu makan menurun. Sedangkan meningkatnya kadar hematokrit dalam darah menunjukkan bahwa ikan dalam keadaan stress (Wedemeyer dan Yasutake, 1977). Kadar hematokrit dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh dari pemakaian immunostimulan sehingga
dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui kondisi ikan pasca pemberian immunostimulan. Sistem pertahanan tubuh terbagi atas pertahanan non spesifik dan pertananan spesifik (Amanullah, 2000; Azhar, 2007). Pertahanan non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme. Oleh karena itu dapat memberikan respon langsung terhadap antigen. Menurut Anderson (1974) antigen adalah suatu partikel atau benda asing yang merangsang tubuh untuk membentuk antibodi yang spesifik. Pertahanan non spesifik meliputi pertahanan fisik dan kimiawi seperti epitel dan substansi pada permukaan tubuh. Mekanisme pertahanan non spesifik pada permukaan tubuh adalah mukus, kulit, insang dan sel gastrointestinal (Nurcahyo, 2001). Sistem pertahanan spesifik disebut juga sistem pertahanan ketiga dimana yang berperan adalah antibodi (Kamiso, 2001). Menurut Nurcahyo (2001), mekanisme pertahanan spesifik berfungsi untuk menetralisasi infeksi virus, aktivasi komplemen dan opzonisasi partikel. Ikan mempunyai sistem kekebalan untuk mengantisipasi infeksi mikroorganisme. Pada ikan terdapat populasi sel B dan sel T yang sangat berperan dalam respon imunitas baik seluler maupun humoral (Alifuddin, 2002). Respon seluler merupakan respon yang bersifat non spesifik dilakukan oleh cell mediated immunity, sedangkan respon humoral ikan bersifat spesifik dilakukan oleh substansi yang dikenal sebagai antibodi atau imunoglobulin (Anderson, 1974; Ellis, 1988). Bastiawan (1995) menyatakan bahwa salah satu bahan utama material protektif induk yang diberikan pada keturunannya adalah antibodi. Antibodi adalah suatu molekul immunoglobulin yang spesifik yang diproduksi oleh sistem kekebalan organisme karena pengaruh antigen (Anderson, 1974). Yahya (2000) mengungkapkan bahwa antibodi memiliki 3 fungsi, yaitu menetralisasikan toksin agar tidak lagi bersifat toksik, mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen dan fungsi terakhir adalah membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya. Antibodi akan terbentuk jika sel limfosit (sel B) telah berfungsi dengan baik. Fagositosis adalah salah satu elemen paling penting dalam sistem kekebalan. Proses ini memberi perlindungan segera
dan efektif terhadap infeksi. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas tiga tahapan penting, yaitu : 1. Pengenalan musuh yang dihadapi. Dalam hal ini musuh yang dihadapi adalah antigen (mikroorganisme), bisa berupa bakteri ataupun virus. 2. Penghancuran antigen oleh sistem pertahanan. 3. Kembali ke keadaan normal.
2.5. Kualitas Air Air adalah salah satu elemen yang sangat erat hubungannya dalam kegiatan akuakultur. Kualitas air yang baik dapat mempengaruhi komoditas perikanan yang sedang dibudidayakan. Berikut ini adalah parameter fisika dan kimia air yang berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan diantaranya suhu, oksigen terlarut (DO), pH dan TAN (total amonia nitrogen). Suhu memiliki peran dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Perubahan suhu dapat berpengaruh terhadap seluruh komponen yang berada didalamnya. Ikan Channel catfish akan tumbuh lebih cepat pada kisaran suhu air antara 26-30ºC (Andrews et al., dalam Stickney, 1993). Catfish mampu mentoleransi suhu air yang rendah, tapi pertumbuhan, kelangsungan hidup dan FCR menjadi kurang baik apalagi dengan kombinasi suhu air tinggi, kelarutan oksigen rendah, padat tebar tinggi, penyakit dan interaksi senyawa kimia dan biologi lainnya (Walsh, 1986 dalam Rachmiwati, 2008). Peningkatan suhu sebesar 10ºC menyebabkan terjadinya konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Peningkatan suhu menurut Effendi (2003) dapat menyebabkan terjadinya dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Oksigen terlarut adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air. Kadar oksigen terlarut sangat berhubungan dengan peningkatan suhu. Menurut Effendi (2003) peningkatan suhu sebesar 1ºC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Secara umum konsentrasi oksigen terlarut sebesar 5 mg/l atau lebih dapat menunjang pertumbuhan ikan secara optimum (Stickney, 1993). Menurut Allen (1976) dalam Stickney (1993), ikan Channel catfish yang dipelihara dalam tangki, kadar oksigen terlarut yang direkomendasikan minimal 3 mg/l. Walaupun ikan lele dapat bertahan pada DO rendah selama beberapa jam,
namun kualitas air ikan lele dalam akuarium sebaiknya diatur agar memiliki DO diatas 2 mg/l. Hal itu dikarenakan apabila DO rendah akan memberikan pengaruh negatif pada metabolisme, pertumbuhan dan ketahanan terhadap penyakit (Thefishsite, 2005). pH merupakan parameter aktivitas ion hidrogen (H+) dalam suatu larutan yang dinyatakan dengan asam atau basa. Mackereth et al., (1989) menyatakan bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Biota akuatik sangat sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH berkisar antara 7-8,5. Nilai pH amat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. pH yang paling baik berkisar antara 6,5-8,5 (Walsh, 1986). Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Amonia bebas tidak dapat terionisasi sedangkan amonium dapat terionisasi. Persentase amonia bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan. Pada pH = 7 atau kurang dari 7, sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi. Sebaliknya pada pH lebih besar dari 7, amonia tak terionisasinya yang bersifat toksik (Novotny dan Olem, 2004). Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah. Menurut Effendi (2003) kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/l.
III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2008 – Februari 2009, bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Teaching Farm Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi jarum suntik, jarum ose, tabung reaksi, erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, pipet mohr, rak tabung reaksi, eppendorf 1,5 ml, mikroplate, timbangan digital, kertas saring Whatman no.
42,
alumunium
foil,
perangkat
hemasitometer,
crytoceal,
tabung
mikrohematokrit (pipa kapiler berlapis heparin atau anti koagulan), penggaris, tissue, peralatan bedah, mikroskop binokuler, vorteks, bunsen, sentrifuse, lemari es, inkubator, penangas air, water bath shaker, autoclave, oven, mikropipet, kamera digital dan gelas objek. Alat untuk pengukuran kualitas air meliputi thermometer, pH meter dan DO meter. Wadah budidaya yang digunakan adalah akuarium yamg berukuran 60x30x35 cm3 sebanyak 12 buah, saringan, peralatan aerasi, selang siphon, kertas plastik hitam, dan tandon air bervolume 1 ton. Tiga perempat bagian atas dan tepi setiap akuarium ditutup dengan plastik hitam, agar kondisi dalam akuarium menyerupai habitat ikan patin. Akuarium diletakkan berjajar dan penempatannya dilakukan secara acak. Sebelum digunakan, akuarium dicuci dengan sabun dan didisinfeksi dengan menggunakan kaporit. Akuarium diisi dengan air sampai ketinggian 20 cm dan dipasang aerasi. Air yang digunakan sebagai media hidup ikan berasal dari air sumur. Sebelumnya air diendapkan lebih dulu dalam tandon berdiameter 1 m selama beberapa hari dan diaerasi. Bahan uji yang dipakai untuk penelitian ini adalah ekstrak paci-paci yang sebelumnya telah diproses terlebih dulu. Ikan lele dumbo dengan panjang antara 8-10 cm, didapat dari petani ikan di daerah Parung, Bogor. Bakteri Aeromonas
hydrophila virulen berasal dari hasil fasase terhadap ikan lele yang sedang terkena penyakit MAS dan isolat Staphylococcus aureus berasal dari
Laboratorium
Teknologi Hasil Perikanan, FPIK, IPB. Selama penelitian, ikan lele dumbo diberi pakan dengan pelet ikan apung komersial dengan protein 28 %. Media-media bakteriologis yang digunakan adalah Tripticase Soy Agar (TSA) dan Tripticase Soy Broth (TSB). Bahan-bahan lainnya meliputi larutan Turk`s, larutan Hayem, Phosphat Buffer Saline (PBS), Na-Sitrat 3,8 %, akuades, alkohol, spirtus, dan metanol. Indeks Fagosit diperiksa dengan metode pewarnaan Giemsa. 3.2.2. Persiapan Wadah dan Ikan Uji Tahap persiapan wadah dimulai dengan membersihkan peralatan yang akan digunakan selama penelitian, dengan menggunakan sabun dan dedesinfeksi dengan menggunakan kaporit. Akuarium (Gambar 4) dan tandon yang akan digunakan dicuci dengan sabun, setelah itu dibilas dengan air bersih dan ¾ bagian dalam akuarium dan tandon direndam dengan Kalium Permanganat (KMNO4) sebanyak 25 µg/l selama 24 jam agar akuarium dan tandon bebas dari organisme patogen. Setelah itu akuarium dan tandon dibilas dan dikeringkan selama 24 jam. Bagian dinding luar setiap akuarium ditutp dengan menggunakan plastik hitam agar kondisi dalam akuarium setidaknya menyerupai habitat alami ikan lele yang menyukai keadaan gelap atau sedikit cahaya. Akuarium sebanyak 12 buah diletakkan berjajar dan penempatan untuk masing-masing perlakuan dilakukan secara random (acak).
Gambar 4. Persiapan wadah
Air yang digunakan sebagai media hidup ikan lele dumbo yang akan digunakan selama penelitian berasal dari air PAM. Air sebelumnya diendapkan terlebih dahulu dalam tandon 1 ton dan diaerasi kuat selama 7 hari untuk menghilangkan residu kaporit. Setelah itu akuarium diisi dengan air sampai ketinggian 20 cm dan dipasang aerasi. Setiap akuarium diisi 6 ekor ikan uji. Ikan lele dumbo yang baru datang terlebih dahulu direndam dalam larutan garam 30 ppm selama 5 menit. Perendaman ini bertujuan untuk mengurangi stress serta melepaskan ektoparasit yang menempel pada kulit ikan. Setelah itu, ikan dipindahkan ke akuarium yang sebelumnya telah ditimbang bobot awal serta ukuran panjang ikan. Masa pemeliharaan diawali dengan mengadaptasikan ikan terhadap pakan dan lingkungannya yang baru selama 3 hari. Ikan uji diberi pakan buatan berupa pelet terapung sebanyak 2 kali sehari pada pagi dan sore hari dengan FR 5%. Agar kualitas air tetap terjaga dengan baik maka selama penelitian dilakukan penyiponan dan penggantian air sebanyak 50% dari volume total air setiap pagi. 3.2.3. Pembuatan Rebusan Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) Pada penelitian kali ini bagian tanaman paci-paci (Leucas lavandulaefolia) yang diambil sebagai ekstrak kering adalah daun, batang dan akar. Hal ini dikarenakan setiap bagian dari tanaman paci-paci memiliki khasiat masing-masing yang dapat digunakan sebagai obat herbal. Paci-paci kemudian dicuci dengan air bersih dan dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan tujuan agar untuk mengurangi kadar air bahan sehingga lebih tahan terhadap aktivitas mikroba, mempermudah penentuan dosis dan meningkatkan konsentrasi zat aktif pada bahan obat (Yuliani, 1992 dalam Rahman, 2003). Proses pengeringan memakan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 7-10 hari, dilakukan hanya pada jam 08.0010.00 WIB. Pengeringan dilakukan dalam udara terbuka (kering udara) diluar pengaruh cahaya matahari langsung untuk menghindari kerusakan bahan aktif yang terdapat dalam tanaman paci-paci (Sirait, 1979; Harbone, 1984 dalam Sopiana, 2005). Setelah daun, batang dan akar kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender lalu diayak dengan saringan sampai didapatkan bubuk halus. Ekstrak kering paci-paci disimpan dalam wadah tertutup pada suhu kamar dan tidak terkena matahari langsung.
Proses ekstraksi (Gambar 5) dilakukan dengan melarutkan atau menyeduh beberapa gram ekstrak paci-paci dengan akuades steril sesuai dosis yang diinginkan. Konsentrasi ekstrak paci-paci yang dipakai untuk pencegahan yaitu 4 g/100 ml (Sopiana, 2005) dan konsentrasi ekstrak paci-paci yang digunakan untuk pengobatan yaitu 8 g/100 ml (Abdullah, 2008). Campuran antara ekstrak paci-paci dengan akuades steril diseduh pada suhu 90 ˚C selama 30 menit dalam penangas air (Voight, 1984). Kemudian hasil seduhan disaring dengan menggunakan kain katun lalu kertas saring whatman no.42 untuk mendapatkan ekstrak paci-paci berupa cairan yang siap digunakan.
Gambar 5. Proses pembuatan rebusan paci-paci (Leucas lavandulaefolia)
Selanjutnya pada pengujian in vivo, dosis paci-paci yang dipakai yaitu untuk pencegahan yaitu 4 g/100 ml dan untuk pengobatan yaitu 8 g/ 100 ml. Kemudian diambil sebanyak 1 ml bahan untuk masing-masing konsentrasi disemprotkan pada 10 gram pakan, setelah itu ditambahkan binder berupa putih telur sebanyak 0,3 ml yang berfungsi sebagai pengikat agar tidak mudah leaching dalam air. Pakan dengan campuran paci-paci dikeringkan dengan cara dianginanginkan atau dijemur di bawah sinar matahari terbaik yaitu antara jam 08.0010.00 pagi. Penambahan rebusan paci-paci pada pakan untuk perlakuan dilakukan setiap hari untuk menjaga kesegaran dan kualitas bahan yang digunakan. 3.2.3. Penyediaan Suspensi Bakteri Aeromonas hydrophilla Biakan bakteri Aeromonas hydrophila yang telah diinkubasi selama 18-24 jam dengan suhu kamar dalam media TSA miring pada tabung reaksi, diambil menggunakan jarum ose sampai memenuhi lingkaran jarum ose, lalu diambil sebanyak 1-2 ose dan dilarutkan dalam 25 ml media TSB. Setelah itu bakteri diinkubasi dalam wáter bath shaker selama 18-24 jam. Kemudian untuk mendapatkan konsentrasi biakan murni bakteri A. hydrophila yang akan diinjeksikan pada ikan, maka terlebih dahulu dilakukan pencucian media TSB menggunakan Phosphat Buffer Saline (PBS) sebanyak 2 kali pencucian.
Pencucian ini dilakukan untuk memisahkan bakteri dengan media. Selanjutnya untuk memperoleh dosis 105 cfu/ml maka dilakukan pengenceran berseri dengan menggunakan eppendorf dan mikropipet secara aseptik. 3.2.4. Uji In Vivo Pengujian in vivo dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian paci-paci lewat pakan terhadap respon kekebalan tubuh ikan lele setelah diinfeksi A. hydrophila, sehingga dari pengujian ini dapat dilihat potensi paci-paci sebagai imunostimulan. Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan sebagai berikut : 1. Kontrol Negatif (KN) Pada hari ke-8 dilakukan penyuntikan PBS pada masing-masing ikan sebanyak 0,1 ml secara
ntramuscular.
Pakan
Pakan
Hari ke0
7
8 PBS
10
12
16
Pengamatan pasca penyuntikan
Gambar 6. Uji in vivo kontrol negatif
2. Kontrol Positif (KP) Pada hari ke-8 dilakukan penyuntikan A.hydrophila (105 cfu/ml) pada masing-masing ikan sebanyak 0,1 ml secara intramuskular. Pakan
Pakan
Hari ke0
7
8 A.h (105 cfu/ml)
10
12
16
Pengamatan pasca penyuntikan
Gambar 7. Uji in vivo kontrol positif
3. Pencegahan (PC) Pada hari ke-0 hingga hari ke-7 mulai diberikan pakan yang telah dicampur ekstrak paci-paci (4 g/100 ml) sebanyak 1 ml/10 g pakan setiap hari. Pada hari ke-8 dilakukan penyuntikan A.hydrophila (105 cfu/ml) pada masingmasing ikan sebanyak 0,1 ml secara intramuskular.
Pakan + paci-paci 4 g/100 ml (Abdullah, 2008)
Pakan
Hari ke0
7
8 A.h (105 cfu/ml)
10
12
16
Pengamatan pasca penyuntikan
Gambar 8. Uji in vivo perlakuan pengobatan
4. Pengobatan (PO) Pada hari ke-8 dilakukan penyuntikan A.hydrophila (105 cfu/ml) pada masing-masing ikan sebanyak 0,1 ml secara intramuskular. Setelah terlihat gejala klinis pada ikan, selanjutnya pada hari ke-9 langsung diberikan pakan yang telah dicampur ekstrak paci-paci (8 g/100 ml) sebanyak 1 ml/10 g pakan setiap hari. Pakan
Pakan + paci-paci 8 g/100 ml (Abdullah, 2008)
Hari ke0
7
8 9 A.h (105 cfu/ml)
10
12
16
Pengamatan pasca penyuntikan
Gambar 9. Uji in vivo perlakuan pencegahan
Tiap-tiap akuarium diisi 6 ekor ikan uji. Pemberian pakan dilakukan pada pagi hari dan sore hari. Konsentrasi bakteri yang disuntikkan ditentukan berdasarkan hasil uji LD-50 penelitian sebelumnya yaitu 105 cfu/ml dan dihitung dengan teknik pengenceran berseri (Abdullah, 2008). Pengamatan dilakukan selama 1 minggu pasca infeksi dengan parameter yang diamati meliputi pengamatan gambaran darah ikan dan data pendukung dilakukan juga pengamatan gejala klinis, respon nafsu makan ikan, pengukuran laju pertumbuhan melalui pengukuran bobot rata-rata tubuh ikan dan pengukuran kualitas air.
3.3. Parameter Yang Diamati 3.3.1. Respon Nafsu Makan Pengamatan respon nafsu makan ikan lele dilakukan secara deskriptif selama 20 hari dengan melihat banyaknya pakan yang dimakan oleh ikan tiap-tiap akuarium. Respon nafsu makan ini secara langsung terkait dengan banyaknya bahan paci-paci yang terkandung dalam pakan yang dikonsumsi. Pengamatan ini dilakukan selama percobaan berlangsung hingga akhir percobaan.
3.3.2. Pertumbuhan Bobot dan Pengukuran Panjang Pengukuran bobot rata-rata dilakukan pada awal dan akhir pengamatan dengan menggunakan timbangan digital. Ikan pada masing-masing akuarium ditimbang bobot biomassanya lalu dihitung nilai ratan bobot tiap perlakuan dan pertambahan bobotnya. Pertambahan bobot ikan dihitung dengan rumus (Zooneveld et al., 1991): ΔW = Wt – Wo 3.3.3. Mortalitas Pengamatan tingkat kematian ikan atau biasa disebut mortalitas, dilakukan setiap hari pasca infeksi bakteri pada awal perlakuan sampai akhir penelitian. Mortalitas (MR) dapat dihitung dengan rumus (Effendi, 1979): MR = Jumlah ikan yang mati x 100% Jumlah populasi 3.3.4. Gejala Klinis dan Pengukuran Diameter Kelainan Klinis Pengamatan terhadap gejala klinis dilakukan setiap hari setelah ikan uji diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi hiperemia, radang, hemoragi, nekrosis, dan tukak. Pengukuran diameter klinis dilakukan dengan mengukur luas kelainan klinis dengan menggunakan penggaris, kemudian data yang diperoleh diberi skor (skoring). Dari nilai skor tersebut dapat diketahui kondisi tubuh ikan uji, semakin tinggi nilai skor maka kondisi tubuh ikan semakin memburuk. Nilai skor kelainan klinis dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut (modifikasi dari Abdullah, 2008):
Sm
= Kondisi tubuh sembuh
nilai skor 0
R
= Kondisi tubuh radang
nilai skor 1
Hm
= Kondisi tubuh hemoragi
nilai skor 2
Nk
= Kondisi tubuh nekrosis
nilai skor 3
T
= Kondisi tubuh tukak
nilai skor 4
M
= Ikan mati
nilai skor 5
Diameter klinis dibagi menjadi 5 kelompok:
Bila diameter kelainan klinis berada diantara (0,3-0,6 cm) diberi angka 1
Bila diameter kelainan klinis berada diantara (0,7-1,0 cm) diberi angka 2
Bila diameter kelainan klinis berada diantara (1,1-1,4 cm) diberi angka 3
Bila diameter kelainan klinis berada diantara (1,5-1,8 cm) diberi angka 4
Bila diameter kelainan klinis berada diantara (1,9-2,2 cm) diberi angka 5
3.3.5. Parameter Hematologi Ikan 3.3.5.1. Pengambilan Sampel Darah Pengambilan darah dilakukan melalui vena caudalis yang berada di bawah tulang belakang. Syringe dan tabung Eppendorf dibilas dengan Na-sitrat 3,8 % untuk mencegah pembekuan darah. Pengambilan dan penyimpanan darah ke dalam tabung dilakukan secara perlahan-lahan untuk mengurangi resiko kerusakan sel darah. Pengambilan darah dilakukan sebelum ikan diinfeksi, pada hari ke 2, 4 dan hari ke 8 pasca uji tantang. Sampel ikan diambil dari tiap-tiap akuarium sebanyak 1 ekor. 3.3.5.2. Pengukuran Kadar Hematokrit Bahan yang digunakan dalam pengukuran kadar hematokrit yaitu darah dan crytoceal. Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu tabung mikrohematokrit (pipa kapiler berapis heparin atau anti koagulan), penggaris dan sentrifuse. Hal yang pertama dilakukan
yaitu mencelupkan salah satu
ujung tabung
mikrohematokrit ke dalam tabung yang berisi darah. Darah akan merambat secara kapiler sampai mencapai ¾ bagian tabung. Lalu tutup ujung tabung tersebut yang telah berisi darah dengan crytoceal dengan cara menancapkan ujung tabung ke dalam crytoceal kira-kira sedalam 1 mm, sehingga terbentuk sumbat crytoceal. Setelah itu sentrifugasi tabung mikrohematokrit tersebut dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit dengan posisi tabung yang bervolume sama berhadapan agar putaran sentrifuse seimbang. Kemudian ukur panjang bagian darah yang mengendap (a) serta panjang total volume darah yang terdapat di dalam tabung (b) nilai kadar hematokrit: (a/b) x 100 %. Kadar hematokrit ini mencerminkan banyaknya sel darah (digambarkan dengan padatan/ endapan) dalam cairan darah.
b Kadar hematokrit = a/b x 100 %
a
Gambar 10. Rumus perhitungan kadar hematokrit
3.3.5.3. Pengukuran Kadar Hemoglobin (Hb) Bahan yang digunakan dalam pengukuran kadar Hb yaitu darah, larutan HCl 0,1 N, kertas tissue, akuades. Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu hemometer dan pipet pasteur. Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dapat dilakukan dengan metode Sahli yang mengkonversikan darah ke dalam bentuk asam hematin setelah darah ditambah dengan asam klorida. Pertama darah dihisap dengan pipet sahli sampai skala 20 mm3 atau pada skala 0,2 ml, bersihkan ujung pipet dengan kertas tissue. Lalu pindahkan darah dalam pipet ke dalam tabung Hb-meter yang telah diisi HCl 0,1 N sampai skala 10 (merah), aduk dan biarkan selama 3 sampai 5 menit. Setelah itu ditambahkan aquades ke dalam tabung sampai warna darah dan HCl tersebut seperti warna larutan standar yang ada dalam Hb-meter tersebut. Kemudian baca skala yaitu dengan melihat permukaan cairan dan cocokkan dengan skala tabung sahli yang dilihat pada skala jalur G% (kuning) yang berarti banyaknya hemoglobin dalam gram per 100 ml darah. 3.3.5.4. Penghitungan Sel Darah Merah (Eritrosit) Bahan yang digunakan dalam
penghitungan eritrosit yaitu darah dan
larutan Hayem’s. Peralatan yang digunakan yaitu haemocytometer tipe Nieubauer Improved. Pertama darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah sampai skala 1 (pipet untuk mengukur jumlah sel darah merah). Lalu ditambahkan larutan Hayem’s sampai skala 101, pengadukan darah di dalam pipet dilakukan dengan mengayunkan tangan yang memegang pipet seperti membentuk
angka delapan selama 3-5 menit sehingga darah tercampur rata. Larutan Hayem’s ini berfungsi untuk mematikan sel-sel darah putih. Setelah itu buang dua tetes pertama larutan darah dalam pipet selanjutnya teteskan pada haemocytometer tipe Nieubauer dan tutup dengan gelas penutup. Kemudian hitung jumlah sel darah merah dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran 400 x. Jumlah eritrosit total dihitung sebanyak 10 kotak kecil dan konversikan menurut jumlah total kotak kecil sehingga didapatkan jumlah sel darah merah per mili liter.
1 mm
1 mm
Volume = 0,05 x 0,05 x 0,1 mm3 = 0,00025 atau 0,25 x 10-3 mm3
Volume = 0,2 x 0,2 x 0,1 mm = 0,004 atau 4 x 10-3 mm3
Gambar 11. Ukuran kuadran haemacytometer dan volume bidang pengamatan
3.3.5.6. Penghitungan Sel Darah Putih (Leukosit) Bahan yang digunakan dalam penghitungan leukosit yaitu darah dan larutan Turk’s. Peralatan yang digunakan yaitu haemocytometer tipe Nieubauer Improved, pensil gambar dan pensil warna. Pertama darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna putih sampai skala 0,5. Lalu ditambahkan larutan Turk’s sampai skala 11, pipet diayun membentuk angka delapan selama 35 menit hingga darah bercampur rata. Larutan Turk’s ini bersifat asam yang akan mengakibatkan lisisnya sel darah merah sehingga yang tertinggal hanya sel darah putih. Setelah itu buang dua tetes pertama larutan darah dari dalam pipet, kemudian teteskan larutan pada hemocytometer kemudian ditutup dengan glass penutup. Cairan akan memenuhi ruang hitung secara kapiler. Kemudian hitung
jumlah sel darah putih atau leukosit total dengan bantuan mikroskop dengan perbesaran 400 x. Jumlah leukosit total dihitung dengan cara menghitung sel yang terdapat dalam 5 kotak besar, lalu konversikan angka tersebut menurut jumlah total kotak besar sehingga didapatkan jumlah sel darah putih per mililiter. 3.3.5.7. Indeks Fagositosis Bahan yang digunakan dalam indeks fagositik yaitu darah, bakteri Staphylococus aureus, PBS, larutan methanol, pewarna, Giemsa dan kertas penyerap/tissue. Peralatan yang digunakan yaitu gelas obyek, tabung perendam gelas obyek dan baki. Hal yang pertama dilakukan yaitu darah sebanyak 50 µl dimasukkan ke dalam eppendorf, ditambahkan 50 μl suspensi S. aureus dalam PBS (107 sel/ml). Lalu suspensi S. aureus dihomogenkan dan diinkubasi dalam suhu ruang selama 20 menit. Setelah itu diambil suspensi sebanyak 5 μl dibuat sediaan ulas dan dikeringkan di udara. Ulasan difiksasi dengan metanol selama 5 menit dan dikeringkan. Ulasan direndam dalam pewarna Giemsa selama 15 menit. Dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan tissue. Kemudian dihitung jumlah sel yang menunjukkan proses fagositosis dari 100 sel fagosit yang teramati. 3.3.6. Parameter Kualitas Air Kualitas`air merupakan faktor pendukung dalam pemeliharaan ikan selama penelitian. Usaha yang dilakukan untuk menjaga kualitas air selama pemeliharaan ikan dalam akuarium yaitu dengan dilakukan penyifonan dan penggantian air sebanyak 30% setiap hari. Adapun parameter kualitas air yang diamati meliputi pengukuran suhu, DO, pH, dan total amoniak nitrogen (TAN). 3.3.6.1. Suhu Pengukuran suhu dilakukan setiap hari pada pagi dan sore dengan menggunakan thermometer untuk mengetahui fluktuasinya. 3.3.6.2 Oksigen Terlarut (DO) Pengukuran
DO
dilakukan
pada
awal
pemeliharaan
dan
akhir
pemeliharaan dengan menggunakan DO meter. 3.3.6.3 Point of Hydrogen (pH) Pengukuran nilai pH dilakukan pada awal pemeliharaan dan akhir pemeliharaan dengan menggunakan pH meter.
3.3.6.4 Total Amonia Nitrogen (TAN) Pada`penelitian ini pemeriksaan TAN dilakukan dengan menggunakan metode phenate. Prosedur pemeriksaannya adalah: 1. Sebanyak 25-50 ml air sampel disaring dengan kertas saring Whatmann no 42, penyaringan dilakukan tanpa menggunakan vacuum pump untuk menghindari adanya ammoniak yang hilang. 2. Sebanyak 10 ml air sampel yang telah disaring diambil dan dimasukkan ke dalam gelas piala. 3. Sambil diaduk dengan magnetic stirrer, tambahkan satu tetes MnSO4, 0,5 ml chlorox (larutan oksidasi) dan 0,6 phenate. Phenate ditambahkan dengan segera dengan menggunakan pipet tetes`yang sudah dikalibrasi. Setelah itu ditunggu sampai 15 menit sampai pembentukan warnanya sudah stabil. 4. Larutan blanko disiapkan sebanyak 10 ml dari larutan akuades, selanjutnya dilakukan prosedur 3. 5. Larutan standar disiapkan sebanyak 10 ml dari larutan standar ammonia, selanjutnya dilakukan prosedur 3. 6. Dengan larutan blanko pada panjang gelombang 630 nm, spektrofotometer di set pada absorbansi 0,000 atau transmittance 100%, kemudian dilakukan pengukuran sampel dan larutan standar. 7. Konsentrasi TAN dihitung dengan persamaan : [TAN] mg/l sebagai N= (Cst x As)/Ast Keterangan : Cst = Konsentrasi Larutan Standar (0,3 mg/l) Ast = Nilai Absorbansi (transmittance) larutan standar As = Nilai absorbansi (transmittance) air sampel
3.3.7. Analisis Data Data hasil pengamatan parameter meliputi mortalitas, gejala klinis, respon makan, gambaran darah dan kualitas air. Data parameter gambaran darah diolah dengan program Statistical Analysis System dengan metode analisa RAL in time dan hasil tabel sidik ragam yang menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan kemudian diuji lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Penelitian ini
menggunakan metode analisa RAL in time karena terdiri atas 4 perlakuan (kontrol negatif, kontrol positif, pencegahan dan pengobatan) dimana masing-masing perlakuan memiliki 3 kali ulangan dan antar perlakuan memiliki pengaruh terhadap waktu pengamatan Data penunjang seperti gejala klinis, mortalitas, respon makan, dan kualitas air dianalisa dalam Ms.Excel 2003.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1. Respon Nafsu Makan Pengamatan respon nafsu makan dilakukan selama penelitian berlangsung, pada pagi hari (08.00 WIB) dan sore hari (17.00 WIB). ♦ Tabel 1. Respon nafsu makan ikan pada pagi hari (08.00 WIB) Respon Nafsu Makan Hari ke-
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
Pengobatan
Pencegahan
U1
U2
U3
U1
U2
U3
U1
U2
U3
U1
U2
U3
-3
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-2
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
-1
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
0
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
1
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
2
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
3
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
4
+++
++
++
+++
++
+++
+++
+++
++
+++
+++
+++
5
+++
++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
6
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
7
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
++++
+++
+++
++++
+++
8
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
10
+
+
++
+
+
+
+
+
+
++
+
+
11
++
++
++
+
+
+
+
+
+
++
++
++
12
++
++
++
+
+
++
++
+
++
++
++
++
13
++
++
++
+
+
++
++
++
++
++
++
++
14
++
+++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
15
+++
+++
+++
++
++
++
++
++
++
+++
++
++
16
+++
+++
+++
++
++
++
++
++
++
+++
++
++
Ket: - = tidak makan + = makan kurang, banyak bersisa ++ = makan cukup, bersisa +++ = makan banyak, sedikit bersisa ++++ = makan habis, tidak bersisa
♦ Tabel 2. Respon nafsu makan ikan pada sore hari (17.00 WIB) Respon Nafsu Makan Hari ke-
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
Pengobatan
Pencegahan
U1
U2
U3
U1
U2
U3
U1
U2
U3
U1
U2
U3
-3
++
+
++
+
++
+
++
++
++
++
++
+
-2
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
-1
++
++
+++
++
++
++
++
++
++
+++
++
++
0
+++
+++
+++
++
++
++
++
+++
++
++
++
+
1
+++
+++
+++
+++
++
++
++
++
+++
++
++
+
2
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
++
++
++
3
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
++
4
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
++
5
++++
+++
++++
+++
++++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
6
++++
+++
++++
+++
++++
+++
+++
+++
++++
+++
+++
+++
7
++++
++++
++++
++++
++++
+++
++++
+++
++++
++++
+++
++++
8
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
10
+
++
++
+
+
+
+
+
+
+
+
+
11
++
++
++
+
+
+
+
++
+
++
++
++
12
++
++
++
+
++
++
++
++
++
++
++
++
13
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
14
+++
+++
+++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
15
+++
+++
+++
++
++
++
++
+++
++
+++
++
++
16
+++
+++
+++
++
++
+++
+++
+++
++
+++
+++
+++
Ket: - = tidak makan + = makan kurang, banyak bersisa ++ = makan cukup, bersisa +++ = makan banyak, sedikit bersisa ++++ = makan habis, tidak bersisa
Selama penelitian berlangsung respon nafsu makan ikan secara umum sebelum penyuntikan cukup baik, namun pada saat dilakukan perlakuan pencegahan dan pengobatan terlihat hanya beberapa ekor saja yang terlihat kurang responsif terhadap pakan yang telah dicampur paci-paci sebagai fitofarmaka. Keadaan semakin memburuk setelah ikan lele diinfeksi A. hydrophila menjadi kurang responsif terhadap pakan yang diberikan, ini dapat terlihat pada tiap perlakuan. Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 di atas dapat terlihat bahwa respon nafsu makan ikan lele cenderung lebih baik pada sore hari dibandingkan pada pagi hari. Hal ini dapat terkait dengan salah satu sifat ikan lele yaitu aktif mencari makan dalam keadaan gelap (nokturnal).
Pada Tabel 1 dan 2 terlihat saat hari ke-8 saat penyuntikan dan hari ke-9 setelah penyuntikan pada tiap perlakuan ikan lele menunjukkan respon nafsu makan yang buruk. Hal ini terjadi seiring dengan timbulnya gejala klinis berupa radang hingga nekrosis pada tubuh ikan lele. Namun respon nafsu makan ikan lele pada tiap berangsur cukup membaik setelah hari ke-10 hingga akhir pengamatan untuk perlakuan kontrol negatif dan pencegahan, pada hari ke-14 hingga akhir pengamatan untuk perlakuan kontrol positif dan pada hari ke-12 hingga akhir pengamatan untuk perlakuan pengobatan.
4.1.2. Bobot Rata-Rata Ikan Lele Dumbo Bobot rata-rata ikan lele dumbo Clarias sp. selama pengamatan berlangsung dapat ditunjukkan melalui grafik pertambahan bobot pada Grafik 1.
a
c
a
a
a
b
a
bc
Grafik 1. Pertumbuhan bobot ikan lele dumbo (Clarias sp.) selama pemeliharaan Keterangan : Data (rerata ± stdev) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p < 0,05)
Nilai rata-rata pertumbuhan bobot awal dan akhir dari ikan lele selama perlakuan berlangsung mengalami kenaikan pada tiap perlakuan. Pada kontrol negatif dapat terlihat bobot ikan lele pada awal perlakuan sebesar 4,35 g ± 0,0973 dan pada akhir perlakuan sebesar 12,08 g ± 0,254. Pada kontrol positif dapat terlihat bobot ikan lele pada awal perlakuan sebesar 4,37 g ± 0,0541 dan pada akhir perlakuan sebesar 10,19 g ± 0,0204. Pada perlakuan pengobatan bobot ikan lele pada awal perlakuan sebesar 4,27 g ± 0,0234 dan pada akhir perlakuan sebesar 11,17 g ± 0,2795. Pada pencegahan bobot ikan lele pada awal perlakuan sebesar 4,32 g ± 0,1134 dan pada akhir perlakuan sebesar 11,63 g ± 0,5552.
4.1.3. Mortalitas Ikan Lele Dumbo Skor rata-rata gejala klinis ikan lele dumbo Clarias sp. dapat terlihat pada Grafik 2.
Grafik 2. Mortalitas ikan lele dumbo (Clarias sp.) selama pemeliharaan
Mortalitas ikan lele pada perlakuan kontrol negatif sebesar 0% hingga akhir pengamatan. Pada perlakuan pencegahan terjadi kematian pada hari ke- (-6) sebesar 5.56% setelah mulai diberi perlakuan, lalu pada hari ke- 0 beberapa saat setelah penyuntikan Aeromonas hydrophila mortalitas ikan bertambah menjadi 22.22%, pada hari ke- 1 mortalitas bertambah menjadi 33.33%, pada hari ke- 3 mortalitas ikan kembali bertambah menjadi 38.88% hingga akhir pengamatan Pada perlakuan pengobatan terjadi kematian sebesar 16.67% beberapa saat setelah dilakukan penyuntikan A. hydrophila, pada hari ke- 1 mortalitas bertambah menjadi 38.89%, pada hari ke- 2 mortalitas kembali bertambah menjadi 50%, pada hari ke- 3 mortalitas bertambah menjadi 55.56% hingga akhir pengamatan. Pada perlakuan kontrol positif kematian terjadi pada hari ke- 0 beberapa saat setelah dilakukan penyuntikan A. hydrophila sebesar 16.67%, pada hari ke- 1 mortalitas sebesar 27.28%, hari ke- 2 bertambah menjadi 33.33%, pada hari ke- 3 mortalitas kembali bertambah menjadi 55.56%, pada hari ke- 4 mortalitas menjadi 61.11%, pada hari ke- 5 mortalitas menjadi 72.22% hingga akhir penelitian.
4.1.4. Gejala Klinis Pada perlakuan kontrol negatif setelah dilakukan penyuntikan dengan PBS sebanyak 0.1 ml/ekor pada hari ke- 0, ikan uji tidak mengalami adanya kelainan klinis maupun kematian hingga pengamatan berakhir pada hari ke- 8 dapat dilihat pada Gambar 8 berikut:
Gambar 12. Ikan lele perlakuan kontrol negatif tidak mengalami kelainan klinis
Berdasarkan pengamatan terhadap gejala klinis dari hari ke- 0 pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila 105 cfu/ml sebanyak 0.1 ml/ekor pada perlakuan kontrol positif, pengobatan dan pencegahan hingga hari ke- 8 maka dapat dilihat data skoring kelainan klinis pada Lampiran 5.2 (kontrol positif), Lampiran 5.2 (Pengobatan) dan Lampiran 5.2 (pencegahan). Pada hari ke- 1 pasca penyuntikan dengan bakteri A.hydrophila semua ikan uji perlakuan kontrol positif mulai tampak terlihat mengalami peradangan yang kemudian berkembang menjadi hemoragi hingga nekrosis dan 3 ekor ikan mengalami kematian. Pada hari ke- 2 kematian ikan terjadi sebanyak 2 ekor dengan kelainan klinis berupa radang dan hemoragi. Pada hari ke- 3, dua ekor ikan yang terlihat mengalami nekrosis mulai berkembang menjadi tukak, 7 ekor ikan masih mengalami hemoragi, 3 ekor ikan mengalami nekrosis dan 1 ekor ikan mati akibat kelainan klinis berupa nekrosis. Pada hari ke- 4 terlihat dua ekor ikan mati akibat mengalami kelainan klinis berupa tukak, 1 ekor ikan mati akibat nekrosis dan 1 ekor ikan mati akibat hemoragi. Beberapa ikan lainnya mengalami hemoragi dan nekrosis. Pada hari ke- 5 terdapat 4 ekor ikan yang mengalami kelainan klinis berupa nekrosis dan 3 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak dan 1 ekor ikan mati akibat mengalami nekrosis. Pada hari ke- 6 terdapat 1 ekor ikan yang mengalami kematian akibat nekrosis dan 1 ekor ikan mati akibat mengalami tukak. Sedangkan 4 ekor ikan mengalami kelainan klinis akibat tukak
dan 1 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa nekrosis dan mulai membaik. Pada hari ke- 7 terdapat 1 ekor ikan yang masih mengalami kelainan klinis berupa tukak dan 4 ekor ikan mengalami nekrosis. Pada hari ke- 8 terdapat 1 ekor ikan yang mengalami kelainan klinis berupa nekrosis dan 4 ekor mengalami penyembuhan hemoragi.
Gambar 13. Ikan lele kontrol positif hari ke- 0 sesaat sebelum penyuntikan A. hydrophila
Gambar 14. Ikan lele kontrol positif saat mengalami nekrosis
Gambar 15. Ikan lele kontrol positif saat mengalami tukak
Gambar 16. Ikan lele kontrol positif saat mengalami penyembuhan
Pada hari ke- 1 pasca penyuntikan dengan bakteri A.hydrophila 11 ekor ikan pada perlakuan pengobatan mulai tampak terlihat mengalami radang, 4 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa hemoragi dan 3 ekor ikan mengalami kematian. Pada hari ke- 2 terdapat 4 ekor ikan mengalami kematian akibat peradangan dan hemoragi yang mulai berkembang menjadi nekrosis, 3 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa hemoragi dan 8 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa radang. Pada hari ke- 3 terdapat 2 ekor ikan mengalami kematian akibat hemoragi, 1 ekor ikan mengalami nekrosis, 2 ekor ikan masih mengalami hemoragi, 6 ekor ikan mengalami radang dan 2 ekor ikan mati akibat kelainan klinis berupa nekrosis. Pada hari ke- 4 terlihat 1 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak, 2 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa nekrosis, 4 ekor ikan mengalami hemoragi dan 1 ekor ikan masih mengalami peradangan. Pada hari ke- 5 terdapat 6 ekor ikan yang mengalami kelainan klinis berupa nekrosis dan 2 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak. Pada hari ke- 6 terdapat 3 ekor ikan yang mengalami kelainan klinis berupa tukak dan 5 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa nekrosis. Pada hari ke- 7 terdapat 5 ekor ikan yang mengalami kelainan klinis berupa nekrosis dan 3 ekor ikan mengalami penyembuhan. Pada hari ke- 8 terdapat 8 ekor ikan mengalami penyembuhan.
Gambar 17. Ikan lele perlakuan pengobatan hari ke- 0 sesaat sebelum penyuntikan A. hydrophila
Gambar 18. Ikan lele perlakuan pengobatan saat mengalami nekrosis
Gambar 19. Ikan lele perlakuan pengobatan saat mengalami tukak
Gambar 17. Ikan lele perlakuan pengobatan saat mengalami penyembuhan
Pada hari ke- 1 pasca penyuntikan dengan bakteri A.hydrophila 12 ekor ikan pada perlakuan pencegahan mulai tampak terlihat mengalami radang, 2 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa hemoragi dan 3 ekor ikan mengalami kematian. Pada hari ke- 2 terdapat 2 ekor ikan mengalami kematian akibat peradangan dan hemoragi yang mulai berkembang menjadi nekrosis, 3 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa hemoragi dan 9 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa radang. Pada hari ke- 3, terdapat 2 ekor ikan mengalami nekrosis, 7 ekor ikan masih mengalami hemoragi dan 8 ekor ikan mengalami radang. Pada hari ke- 4 terlihat 1 ekor ikan mati akibat kelainan klinis berupa nekrosis, 2 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak, 4 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa nekrosis dan 5 ekor ikan mengalami hemoragi. Pada hari ke- 5 terdapat 2 ekor ikan yang mengalami hemoragi, 6 ekor ikan yang mengalami kelainan klinis berupa nekrosis dan 3 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak. Pada hari ke- 6 terdapat 7 ekor ikan mengalami kelainan klinis berupa nekrosis dan 4 ekor ikan mengalami fase penyembuhan. Pada hari ke- 7 terdapat 2 ekor ikan yang mengalami kelainan klinis berupa nekrosis dan 9 ekor ikan mulai mengalami penyembuhan. Pada hari ke- 8 terdapat 11 ekor ikan mengalami penyembuhan.
Gambar 21. Ikan lele perlakuan pencegahan hari ke-0 sesaat sebelum penyuntikan A. hydrophila
Gambar 22. Ikan lele perlakuan pencegahan saat mengalami nekrosis
Gambar 23. Ikan lele perlakuan pencegahan saat mengalami tukak
Gambar 24. Ikan lele perlakuan pencegahan saat mengalami penyembuhan
Berdasarkan kelainan klinis di atas, maka dapat diketahui bahwa ikan lele pada perlakuan pencegahan menunjukkan tingkat kesembuhan yang lebih cepat dan lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pengobatan. Proses penyembuhan pada perlakuan pencegahan mulai terjadi pada hari ke- 6 dan terus berlangsung lebih cepat dibandingkan perlakuan pengobatan dan kontrol negatif. Ini dapat dilihat dari skor rata-rata gejala klinis pada tiap perlakuan.
Grafik 3. Skor rata-rata gejala klinis pada tiap perlakuan
Grafik 3 di atas dapat menunjukkan puncak terjadinya gejala klinis dari masing-masing perlakuan. Gejala klinis kontrol positif dan perlakuan pengobatan memuncak pada hari ke- 6, namun pada perlakuan pencegahan gejala klinis memuncak sampai hari ke- 4.
4.1.5. Parameter Hematologi Ikan Parameter hematologi ikan meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah sel darah putih (SDP), jumlah sel darah merah (SDM) dan indeks fagositik. 4.1.5.1. Kadar Hemoglobin Rata-rata kadar hemoglobin (Gram%) ikan lele dumbo pada berbagai perlakuan ditunjukkan pada Grafik 4 di bawah ini:
ab abc abc a
def cde def bcde
ef
g ef
g
def fg cde bcd
Grafik 4. Kadar Hemoglobin (Gram%) ikan lele selama pemeliharaan 1.KN (Kontrol negatif) 2. PO (Pengobatan) 3.PC (Pencegahan) 4. KP (Kontrol positif) Keterangan : Data (rerata ± stdev) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p < 0,05)
Berdasarkan Grafik 4 di atas maka dapat diketahui interaksi kadar hemoglobin dalam darah ikan lele pada pengamatan hari ke-0, hari ke-10, hari ke 12 dan hari ke-16 dari setiap perlakuan. Pada hari ke-0 yang merupakan kadar Hb saat kondisi normal. Pada hari ke-10 yaitu 2 hari setelah penyuntikan PBS untuk kontrol negatif dan penyuntikan A. hydrophila untuk perlakuan kontrol positif, perlakuan pengobatan dan perlakuan pencegahan dimana masing-masing perlakuan juga tidak mengalami pengaruh yang berbeda nyata. Namun kadar hemoglobin dari masing-masing perlakuan mengalami penurunan dibandingkan dengan hari ke-0. Penurunan kadar hemoglobin terus berlangsung hingga hari ke12. Pada perlakuan pengobatan (7,40 Gram%) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol positif (6,20 Gram%) dan perlakuan pencegahan (6,27 Gram%). Begitu pula dengan kontrol negatif (7,40 Gram%) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol positif dan
perlakuan pencegahan. Pada hari ke-16 kadar hemoglobin mulai naik kembali dimana pada kontrol negatif, perlakuan pencegahan dan perlakuan pengobatan masing-masing tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Namun perlakuan pencegahan (8,73 Gram%) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol positif (7,07 Gram%). Begitu pula dengan perlakuan pengobatan (8,20 Gram%) yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol positif.
4.1.5.2. Kadar Hematokrit Rata-rata kadar hematokrit (%) ikan lele dumbo pada berbagai perlakuan ditunjukkan pada Grafik 5 di bawah ini:
a
b
ab a
a
b
ab
a
a
b
ab a
a
b ab
a
Grafik 5. Kadar Hematokrit (%) ikan lele selama pemeliharaan 1.KN (Kontrol negatif) 2. PO (Pengobatan) 3.PC (Pencegahan) 4. KP (Kontrol positif) Keterangan : Data (rerata ± stdev) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p < 0,05)
Berdasarkan Grafik 5 di atas maka dapat diketahui interaksi kadar hematokrit dalam darah ikan lele pada pengamatan hari ke-0, hari ke-10, hari ke 12 dan hari ke-16 dari setiap perlakuan. Pada hari ke-0 merupakan kadar hematokrit saat kondisi normal. Pada hari ke-10 yaitu 2 hari setelah penyuntikan PBS untuk kontrol negatif dan penyuntikan A. hydrophila untuk perlakuan kontrol positif, perlakuan pengobatan dan perlakuan pencegahan dimana kadar hematokrit masing-masing perlakuan terlihat mengalami penurunan. Kontrol negatif (31,76%), perlakuan pengobatan (28,97%) dan perlakuan pencegahan (31,39%) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Namun kadar hematokrit
perlakuan pencegahan (31,39%) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (28,48%). Kadar hematokrit mulai naik kembali pada hari ke-12. Namun kontrol negatif (32,20%), perlakuan pengobatan (32,27%) dan perlakuan pencegahan (33,19%) memberikan pengaruh yang sama atau tidak berbeda nyata. Hanya terlihat perlakuan pencegahan (33,19%) dan kontrol negatif (32,20%) memberikan respon atau pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (29,59%). Pada hari ke-16 kadar hematokrit pada kontrol negatif (34,48%), perlakuan pencegahan (35,85 %) dan perlakuan pengobatan (33,73 %) masing-masing tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Namun perlakuan pencegahan (35,85 %) dan kontrol negatif (34,48 %) memberikan respon atau pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (31,79 %).
4.1.5.3. Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Rata-rata jumlah sel darah putih (x105 sel/mm3) ikan lele dumbo pada berbagai perlakuan ditunjukkan pada Grafik 6 di bawah ini:
f
f
f
f
d
e
cd b
e
e
b
a
e
cd
c cd
Grafik 6. Jumlah Sel Darah Putih ( x105 sel/mm3 ) ikan lele selama pemeliharaan 1.KN (Kontrol negatif) 2. PO (Pengobatan) 3.PC (Pencegahan) 4. KP (Kontrol positif) Keterangan : Data (rerata ± stdev) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p < 0,05)
Berdasarkan Grafik 6 di atas maka dapat diketahui jumlah sel darah putih dalam darah ikan lele pada pengamatan hari ke-0, hari ke-10, hari ke 12 dan hari ke-16 dari setiap perlakuan. Pada hari ke-0 yang merupakan jumlah sel darah putih saat kondisi. Selanjutnya hari ke- 10 yaitu setelah 2 hari setelah penyuntikan
PBS untuk kontrol negatif dan penyuntikan A. hydrophila untuk perlakuan kontrol positif, perlakuan pengobatan dan perlakuan pencegahan, terlihat masing-masing perlakuan mengalami peningkatan jumlah sel darah putih dan hal ini berlangsung hingga hari ke-12. Pada hari ke-10 perlakuan pencegahan (7,44x105 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol negatif (5,68x105 sel/mm3), perlakuan pengobatan (5,96x105 sel/mm3) dan kontrol positif (4,78x105 sel/mm3). Perlakuan pengobatan (5,96x105 sel/mm3) dan kontrol negatif (5,68x105 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (4,78x105 sel/mm3). Pada hari ke-12 perlakuan pencegahan (8,36x105 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (5,12x105 sel/mm3), kontrol negatif (5,07x105 sel/mm3) dan perlakuan pengobatan (7,21x105 sel/mm3). Perlakuan pengobatan juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Jumlah sel darah putih pada perlakuan pencegahan dan pengobatan mulai menurun pada hari ke-16 sedangkan kontrol positif masih mengalami peningkatan. Pada hari ke-16 antar perlakuan pencegahan (5,98x105 sel/mm3), perlakuan pengobatan (6,29x105 sel/mm3) dan kontrol positif (5,99x105 sel/mm3) memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata.
4.1.5.4. Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) Rata-rata jumlah sel darah merah (x106 sel/mm3) ikan lele dumbo pada berbagai perlakuan ditunjukkan pada Grafik 7 di bawah ini:
a
b
b
a
a
b
b
a
a
b
b a
a
b
b a
Grafik 7. Jumlah Sel Darah Merah ( x 106 sel/mm3 ) ikan lele selama pemeliharaan 1.KN (Kontrol negatif) 2. PO (Pengobatan) 3.PC (Pencegahan) 4. KP (Kontrol positif) Keterangan : Data (rerata ± stdev) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p < 0,05)
Berdasarkan Grafik 7 di atas maka dapat diketahui jumlah sel darah merah dalam darah ikan lele pada pengamatan hari ke-0, hari ke-10, hari ke 12 dan hari ke-16 dari setiap perlakuan. Pada hari ke-0 yang merupakan jumlah sel darah merah saat kondisi normal. Selanjutnya heri ke- 10 yaitu setelah 2 hari setelah penyuntikan PBS untuk kontrol negatif dan penyuntikan A. hydrophila untuk perlakuan kontrol positif, perlakuan pengobatan dan perlakuan pencegahan, terlihat masing-masing perlakuan mengalami penurunan jumlah sel darah merah. Pada hari ke-10 perlakuan pencegahan (2,87x106 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (2,68x106 sel/mm3) dan perlakuan pengobatan (2,80x106 sel/mm3). Kontrol negatif (2,95x106 sel/mm3) memberikan respon atau pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (2,68x106 sel/mm3) dan perlakuan pengobatan (2,80x106 sel/mm3). Pada hari ke-12 perlakuan pencegahan (3,46x106 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (2,92x106 sel/mm3) dan perlakuan pengobatan (3,00x106 sel/mm3). Kontrol negatif (3,48x106 sel/mm3) juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (2,92x106 sel/mm3)
dan perlakuan pengobatan (3,00x106 sel/mm3). Jumlah sel darah merah pada masing-masing perlakuan meningkat di hari ke-16. Perlakuan pencegahan (3,57x106 sel/mm3) dan kontrol negatif (3,73x106 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol positif (3,05x106 sel/mm3) dan perlakuan pengobatan (3,19x106 sel/mm3).
4.1.5.5. Indeks Fagositosis Indeks fagositosis (%) ikan lele dumbo pada berbagai perlakuan ditunjukkan pada Grafik 8 di bawah ini:
defg h
gh
bc
cdef gh defgh a
cde fgh bc
ab
def efgh a
cd
Grafik 8. Indeks Fagositosis (%) ikan lele selama pemeliharaan 1.KN (Kontrol negatif) 2. PO (Pengobatan) 3.PC (Pencegahan) 4. KP (Kontrol positif) Keterangan : Data (rerata ± stdev) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p < 0,05)
Berdasarkan Grafik 8 di atas maka dapat diketahui interaksi indeks fagositosis dalam darah ikan lele pada pengamatan hari ke-0, hari ke-10, hari ke 12 dan hari ke-16 dari setiap perlakuan. Pada hari ke-0 yang merupakan indeks fagositosis saat kondisi normal. Pada hari ke-10 yaitu 2 hari setelah penyuntikan PBS untuk kontrol negatif dan penyuntikan A. hydrophila untuk perlakuan kontrol positif, perlakuan pengobatan dan perlakuan pencegahan. Pada kontrol negatif (23,00%) dan perlakuan pengobatan (21,00%) sama-sama memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Begitu pula pada perlakuan pengobatan (21,00%) dan kontrol positif (18,00%) sama-sama memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Namun antara kontrol negatif (23,00%) dan kontrol positif (18,00%) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05). Perlakuan pencegahan
(31,00%) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan ketiga perlakuan lainnya. Indeks fagositosis dari masing-masing perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan dengan hari ke-0. Peningkatan indeks fagositosis terus berlangsung hingga hari ke-16. Pada perlakuan pengobatan (25,67%) menunjukkan respon atau pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol positif (19,33%). Perlakuan pencegahan (29,00%) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (19,33%) dan kontrol negatif (24,00%). Perlakuan pengobatan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol negatif dan perlakuan pencegahan. Pada hari ke-16 perlakuan pencegahan (24,33%) memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol negatif (23,33%). Namun perlakuan pengobatan (30,67%) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan pencegahan (24,33%), kontrol negatif (23,33%) dan kontrol positif (20,00%). Perlakuan pencegahan (24,33%) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol positif (20,00%).
4.1.6. Kualitas Air Selama uji in vivo berlangsung dilakukan pengukuran kualitas air pada awal dan akhir pengamatan meliputi pengukuran suhu, pH, oksigen terlarut dan total amoniak nitrogen. Data kisaran kualitas air selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada Tabel. 3 berikut ini. Kisaran Parameter Kualitas Air Selama Pemeliharaan Perlakuan
Suhu ( °C)
pH
DO (mg/l)
NH3-N (mg/l)
Kontrol Negatif
25-27
6,93-7,54
4,10-6,15
0,016-0,041
Kontrol Positif
25-27
6,98-7,50
4,10-6,11
0,009-0,035
Pengobatan
25-27
6,67-7,61
4,16-6,54
0,012-0,043
Pencegahan
25-27
6,54-7,45
4,90-6,49
0,015-0,046
Kandungan oksigen terlarut (mg/l) pada semua perlakuan selama penelitian berlangsung masih berada dalam batas toleransi yaitu lebih dari 3 mg/l. Dimana menurut Allen (1976) dalam Stickney (1993), ikan Channel catfish yang dipelihara dalam tangki, kadar oksigen terlarut yang direkomendasikan minimal 3 mg/l. Suhu (°C) pada semua perlakuan berkisar antara 25-27°C, hal ini masih berada dalam batas toleransi ikan lele. Ikan Channel catfish akan tumbuh lebih cepat pada kisaran suhu air antara 26-30ºC (Andrews et al., dalam Stickney, 1993). Kisaran nilai pH pada semua perlakuan masih berada dalam batas toleransi ikan lele. Nilai pH amat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Kandungan pH yang paling baik berkisar antara 6,5-8,5 (Walsh, 1986). Kandungan amoniak nitrogen (TAN) pada semua perlakuan masih berada dalam batas toleransi ikan lele. Menurut Effendi (2003) kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/l.
4.2. Pembahasan 4.2.1. Respon Makan dan Pertumbuhan Bobot Berdasarkan hasil uji in vivo pada perlakuan kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan pengobatan dan perlakuan pencegahan memiliki respon makan yang cukup baik sebelum dilakukan penyuntikan. Namun sesaat setelah dilakukan penyuntikan PBS untuk kontrol negatif dan bakteri A. hydrophila untuk kontrol positif, perlakuan pengobatan dan perlakuan pencegahan respon nafsu makan ikan mulai menurun. Ikan lele pada perlakuan kontrol negatif mulai makan secara normal pada hari ke-10 hingga akhir pengamatan. Ikan pada perlakuan pencegahan mulai memiliki respon nafsu makan secara normal kembali pada hari ke-11. Ikan pada perlakuan pengobatan mulai makan secara normal pada hari ke13, sedangkan ikan pada kontrol positif mulai makan secara normal pada hari ke14. Menurunnya respon nafsu makan pada ikan dapat disebabkan oleh adanya gangguan pada kegiatan metabolisme di dalam tubuh ikan akibat penyuntikan. Pada perlakuan kontrol positif, pengobatan dan pencegahan menurunnya respon nafsu makan ikan dapat diakibatkan karena terjadinya kerusakan organ dalam berupa pembengkakan atau peradangan pada hati,ginjal dan empedu pasca penyuntikan bakteri A. hydrophila. Menurut Kabata (1985) bahwa respon nafsu makan ikan yang rendah merupakan salah satu gejala infeksi bakteri A. hydrophila. Bakteri A. hydrophila dapat menyebabkan pendarahan pada organ hati (Runnels et al., 1985). Hati merupakan salah satu organ target A. hydrophila, dimana terganggunya hati dapat berpengaruh terhadap proses metabolisme tubuh (Cipriano et al., 1984). Hati merupakan pusat metabolisme tubuh, kerena di dalam organ hati glikogen dan lemak disimpan. Hati menghasilkan cairan empedu sebagai emulsifikator lemak yang berperan penting dalam proses pencernaan makanan sehingga lemak dapat diserap oleh dinding usus (Lagler et al., 1977) yang berfungsi sebagai metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Affandi dan Tang, 2002). Absorpsi makanan di dalam usus dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu kondisi permukaan usus, motilitas usus serta keterlibatan enzim pencernaan. Penurunan fungsi saluran pencernaan yang terjadi secara fisiologis, tidak mempunyai dampak pada proses absorpsi zat makanan, sehingga tidak menyebabkan malnutrisi. Malnutrisi terjadi apabila penurunan fungsi saluran
pencernaan tersebut disebabkan oleh karena proses yang bersifat patologis. Semakin besar konsumsi pakan maka semakin besar kesempatan ikan untuk memperoleh nutrien yang seimbang dan energi yang cukup untuk memenuhi proses metabolisme, aktivitas fisik dan pertumbuhan. Respon makan dan pertumbuhan bobot pada ikan sangat erat hubungannya yaitu apabila respon nafsu makan menurun maka pertumbuhan bobot ikan pun akan ikut terhambat dan apabila pertumbuhan bobot ikan terhambat maka hal ini dapat mengganggu aktivitas fisik ikan khususnya daya tahan tubuh ikan akan menjadi rentan terkena serangan penyakit. Pertumbuhan bobot rata-rata ikan lele pada perlakuan kontrol negatif selama pengamatan adalah sebesar 177.89% dari bobot rata-rata awal sebesar 4,3483 ± 0,0973 menjadi 12,0839 ± 0,0839. Pada perlakuan pencegahan, pertumbuhan bobot rata-rata ikan lele selama pengamatan adalah 169.06% dari bobot rata-rata awal sebesar 4,3239 ± 0,1134 menjadi 11,6339 ± 0,5552. Pada perlakuan pengobatan pertumbuhan bobot rata-rata ikan lele selama pengamatan adalah 161.74% dari bobot rata-rata awal sebesar 4,2678 ± 0,0234 menjadi 11,1706 ± 0.2795. Pada kontrol positif, pertumbuhan bobot rata-rata ikan lele selama pengamatan adalah 133.15% dari bobot rata-rata awal sebesar 4,3717 ± 0,0451 menjadi 10,1928 ± 0,0204. Berdasarkan hasil diatas dapat diketahui bahwa kontrol positif memiliki pertumbuhan bobot paling rendah dibandingkan ketiga perlakuan lainnya. Pada perlakuan pencegahan dan pengobatan terlihat pertumbuhan bobot rata-rata hampir sama dengan kontrol negatif. Hal ini dapat disebabkan karena senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun paci-paci dapat berfungsi sebagai kontrol hormon pada pertumbuhan (Robinson,1991 dalam Rahman, 2003). Mekanisme flavonoid sebagai kontrol hormon pada pertumbuhan diduga berhubungan dengan kemampuannya merangsang kelenjar proximal pars distalis mensekresi hormon pertumbuhan (somatotropin). Zairin (2003) menyatakan bahwa hormon somatotropin mampu merangsang pertumbuhan dan metabolisme, meningkatkan respon makan, mencegah kerusakan hati dan terbukti memiliki sifat imunostimulatori pada sel-sel imuno kompeten serta meningkatkan aktivitas makrofag dan aktivitas hemolitik pada serum.
4.2.2. Tingkat Kematian Ikan Tingkat kematian ikan pada perlakuan pencegahan sebesar 38,89 % setelah di uji tantang dengan bakteri A. hydrophila lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pengobatan (55,56 %) dan perlakuan kontrol positif (72,22 %). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak paci-paci sebanyak 4 g/100 ml yang dicampurkan dalam pakan komersil sebelum dilakukan uji tantang mampu meningkatkan ketahanan tubuh ikan uji dengan menghambat infeksi penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila. Tingkat kematian ikan yang rendah ini disebabkan adanya peningkatan daya tahan tubuh ikan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah total leukosit yang berperan sebagai pertahanan non-spesifik dan adanya peningkatan indeks fagositosis. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak paci-paci ke dalam pakan ikan cukup efektif dilakukan sebagai upaya pencegahan. Pada perlakuan pengobatan (55,56 %) pemberian ekstrak paci-paci sebanyak 8 g/100 ml yang dicampurkan ke dalam pakan ikan komersil kurang efektif untuk menangani infeksi penyakit MAS. Hal ini dimungkinkan karena pada saat ikan terkena penyakit MAS respon nafsu makan menurun sehingga pakan obat yang dikonsumsi kurang efektif. Bila telah terjadi infeksi oleh bakteri A. hydrophila maka pertumbuhan bakteri didalam tubuh ikan akan berlangsung sangat cepat dan produk toksin yang dihasilkan dapat menyebabkan kerusakan yang tidak pulih sehingga dapat menyebabkan kematian pada ikan uji (Brenden dan Huizinga, 1986). Kematian ikan lele uji karena adanya kelainan klinis berupa tukak, namun beberapa ikan uji juga mengalami kematian karena radang, hemoragi dan nekrosis. Kontrol positif menunjukkan tingkat kematian ikan tertinggi yaitu sebesar 72,22 %. Hal ini terjadi karena ikan tidak diberi perlakuan apapun, hanya disuntik dengan bakteri A. hydrophila. Ikan lele uji hanya dapat mengandalkan kekebalan tubuh yang terdapat dalam tubuhnya sendiri sehingga proses penyembuhan luka akan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan perlakuan pencegahan dan pengobatan. Selama proses penyembuhan luka akibat penyakit MAS, respon nafsu makan ikan lele akan menurun dan akan sangat mengganggu proses pertumbuhan ikan.
4.2.3. Gejala Klinis Gejala klinis muncul setelah diinfeksi bakteri A. hydrophila umumnya ikan lele mengalami radang, hemoragi, nekrosis dan tukak. Pada perlakuan kontrol positif infeksi berlangsung cepat seperti nekrosis yaitu pada hari ke- 1 pasca uji tantang dan waktu penyembuhan luka yang lebih lambat. Hal ini dapat disebabkan karena rusaknya jaringan limfeloid sehingga ikan lele uji tidak mampu meningkatkan respon imunitasnya. Jaringan limfeloid (ginjal dan limfa) merupakan penghasil respon imun ikan. Infeksi bakteri A. hydrophila berkembang cepat dalam waktu 24 jam setelah infeksi, sehingga pertahanan awal yang baik dalam tubuh sangat penting untuk mencegah serangan infeksi penyakit MAS. Pada perlakuan pencegahan, pemberian imunostimulan ekstrak paci-paci yang dicampur ke dalam pakan ikan komersil selain dapat mengurangi tingkat gejala klinis setelah penyuntikan A. hydrophila, infeksi seperti radang, hemoragi, nekrosis dan tukak berlangsung lebih lambat serta waktu penyembuhan yang lebih cepat. Pada perlakuan pengobatan yang diberikan ekstrak paci-paci yang dicampurkan ke dalam pakan sehari setelah penyuntikan kurang mampu mengurangi tingkat gejala klinis dan proses penyembuhan luka lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan pencegahan Menurut Roberts (1993) dalam Angka (2004) A. hydrophila yang bersifat virulen menghasilkan
β-hemolisin, elastase dan mempunyai
lapisan S
dipermukaan sel. Hemolisin yang terlarut menyebabkan hemoragi dan merangsang terjadinya tukak kulit di ikan. Hemoragi adalah pendarahan atau keluarnya darah dari batas system kardiovaskular dan keluarnya darah yang sebenarnya dari tubuh (Fauzan Fabian, 1997). Runnels et al., (1965) menyatakan bahwa hemoragi terjadi karena bakteri dapat masuk dan menempel pada dinding pembuluh darah serta merusaknya sehingga pembuluh darah pecah dan darah keluar.. A. hydrophila merupakan patogen opportunis karena hanya dapat menimbulkan penyakit pada populasi ikan yang lemah atau sebagai infeksi sekunder saat ikan terinfeksi penyakit lain. Ikan lele pada perlakuan pencegahan menunjukkan tingkat kesembuhan yang lebih cepat dan lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pengobatan. Proses penyembuhan pada perlakuan pencegahan mulai terjadi pada hari ke- 6 dan
terus berlangsung lebih cepat dibandingkan perlakuan pengobatan dan kontrol negatif. Ini dapat dilihat dari skor rata-rata gejala klinis pada tiap perlakuan (Grafik 3). Gejala klinis kontrol positif dan perlakuan pengobatan memuncak pada hari ke- 6, namun pada perlakuan pencegahan gejala klinis memuncak sampai hari ke- 4. Tingkat kesembuhan ikan yang lebih cepat disebabkan adanya kandungan bahan aktif dari ekstrak paci-paci yang mampu meningkatkan aktivitas sel pertahanan tubuh ikan. Senyawa aktif yang terkandung dalam daun dan akar pacipaci yaitu minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin, alkaloid dan methanol. Minyak atsiri memiliki daya antibakteri disebabkan adanya senyawa fenol dan turunannya yang mampu mendenaturasi protein sel bakteri (Hasim, 2003). Fenol dapat merusak membran sel bakteri dan menyebabkan lisis (terlarutnya) sel bakteri (Nogrady, 1992). Substansi fenolik dari minyak atsiri telah diketahui dapat menstimulasi makrofag yang memilliki efek negatif tidak langsung terhadap infeksi bakteri dan mencegah infeksi virus. Senyawa fenol memiliki efek inhibitor terhadap bakteri gram positif dan ditemukan memiliki aktivitas antifungi (Pelczar, 1986). Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom C sebagai inti dan membentuk dua cincin aromatik (C6) yang terikat pada rantai propana (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6. Flavon, flavonoid dan falavonol disintesis tanaman dalam responnya terhadap infeksi mikroba sehingga secara in vitro efektif terhadap mikroorganisme (Naim, 2004 dalam Abdullah 2008). Flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka (Anonimus, 2007), bersifat antibakteri dan antioksidan (Angka, 2004b), mampu meningkatkan kerja system imun karena leukosit sebagai pemakan benda asing lebih cepat dihasilkan dan system limfa lebih cepat diaktifkan (angka, 2004b). Tannin adalah senyawa fenol yang larut dalam air dan mampu mengendapkan protein (Utami, 2007), memiliki bobot molekul besar dan memiliki gugus hidroksil maupun karboksil (Robinson, 1991 dalam Rahman, 2003). Senyawa tannin memiliki kadar tinggi pada suatu tanaman lebih bersifat sebagai zat pertahanan dari serangan hama. Menurut Pelczar (1986) seluruh tannin nabati adalah jenis senyawa fenolik yang memiliki daya antiseptik. Saponin merupakan salah satu senyawa yang dihasilkan tumbuhan berfungsi sebagai
antibakteri dan antivirus, mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas, mampu mengurangi kadar gula darah dan mengurangi penggumpalan darah (Anonimus, 2007 dalam Abdullah, 2008). Selain itu saponin sering dimanfaatkan untuk desinfeksi media budidaya sehingga peranannya sebagai antimikroba sudah teruji
4.2.4. Hematologi Ikan 4.2.4.1. Kadar Hemoglobin dan Jumlah Sel Darah Merah Sel darah terdiri atas sel-sel diskret yang memiliki bentuk khusus dan fungsi yang berbeda terdiri dari eritrosit dan leukosit (limfosit, monosit, netrofil,dan trombosit) sedangkan komponen dari plasma yaitu fibrinogen, ion-ion anorganik dan organik (Fujaya, 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah adalah spesies, perbedaan induk (genetik), kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur (Dellman and Brown, 1989). Menurut Afandi dan Tang (2002) bahwa volume darah dalam tubuh ikan teleostei adalah sekitar 3% dari bobot tubuh. Eritrosit (sel darah merah) pada ikan merupakan sel darah yang terbanyak jumlahnya. Chinabut et al., (1991) menyatakan bahwa eritrosit ikan lele mempunyai inti dengan sel lonjong, berwarna merah kekuningan dan berukuran 12 – 13 µm dengan diameter 4 – 5 µm. Selama pengamatan berlangsung dari hari ke-9 sehari setelah penyuntikan bakteri A. hydrophila hingga akhir pengamatan pada hari ke-16, jumlah sel darah merah pada hari ke-10 perlakuan pencegahan (2,87 x 106 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (2,68 x 106 sel/mm3) dan perlakuan pengobatan (2,80 x 106 sel/mm3). Pada hari ke-12 perlakuan pencegahan (3,46 x 106 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (2,92 x 106 sel/mm3) dan perlakuan pengobatan (3,00 x 106 sel/mm3). Jumlah sel darah merah pada masing-masing perlakuan meningkat di hari ke-16. Perlakuan pencegahan (3,57 x 106 sel/mm3) dan kontrol negatif (3,73 x 106 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol positif (3,05 x 106 sel/mm3) dan perlakuan pengobatan (3,19 x 106 sel/mm3).
Berdasarkan data pengamatan diatas dapat menunjukkan jumlah sel darah merah ikan lele uji pada perlakuan pencegahan terlihat tinggi dibandingkan dengan perlakuan pengobatan dan kontrol positif. Pada ikan yang normal, jumlah sel darah merah berkisar antara 1,05 – 3,00 x 106 sel/mm3 (Roberts, 1978). Jumlah sel darah merah (eritrosit) dalam darah ikan lele adalah 3.18 x 106 sel/mm3 (Chinabut, 1991). Rendahnya jumlah sel darah merah (eritrosit) menandakan ikan dalam keadaan stress (Wedemeyer dan Yasutake, 1977; Nabib dan Pasaribu, 1989). Selama pengamatan berlangsung dari hari ke-9 sehari setelah penyuntikan bakteri A. hydrophila hingga akhir pengamatan pada hari ke-16, kadar hemoglobin pada hari ke-10 yaitu 2 hari setelah penyuntikan PBS untuk kontrol negatif dan penyuntikan A. hydrophila untuk perlakuan kontrol positif, perlakuan pengobatan dan perlakuan pencegahan dimana masing-masing perlakuan juga tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Kadar hemoglobin dari masingmasing perlakuan mengalami penurunan dibandingkan dengan hari ke-0. Penurunan kadar hemoglobin terus berlangsung hingga hari ke-12. Pada perlakuan pengobatan (7,40 Gram%) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dengan kontrol positif (6,20 Gram %) dan perlakuan pencegahan (6,27 Gram%). Pada hari ke-16 kadar hemoglobin mulai naik kembali dimana pada kontrol negatif, perlakuan pencegahan dan perlakuan pengobatan masing-masing tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Namun perlakuan pencegahan (8,73 Gram%) terlihat memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dengan kontrol positif (7,07 Gram%). Begitu pula dengan perlakuan pengobatan (8,20 Gram%) yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dengan kontrol positif. Kadar hemoglobin rendah disebabkan oleh kadar oksigen dalam darah menurun. Hemoglobin berfungsi mengikat oksigen yang kemudian akan digunakan untuk proses katabolisme sehingga dihasilkan energi (Larger et al., 1977). Kadar hemoglobin terkait dengan jumlah sel darah merah, akan tetapi belum tentu berkorelasi sama dengan jumlah sel darah merah karena hemoglobin adalah kandungan pigmen sel darah merah. Hemoglobin adalah protein dalam eritrosit yang tersusun atas protein globin tidak berwarna dan pigmen heme yang dihasilkan dalam eritrosit dan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen
bergantung pada kadar Hb dalam darah (Lagler et al. 1977). Didalam kapilerkapiler insang, hemoglobin (Hb) bergabung dengan oksigen (O2) membentuk oksihemoglobin (HbO). Ketika hemoglobin bergabung dengan oksigen, maka 1 gram Hb dapat membawa 1,36 ml O2 (Hartini, 1982). Angka (1985) menyatakan bahwa kadar Hb ikan lele normal adalah 10,3 – 13,5 g/100 ml, dan ikan yang sehat memiliki hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang sakit, namun hal sebaliknya terjadi pada sel darah putih. Lain halnya pada ikan lele yang terserang penyakit mempunyai kadar hemoglobin 10,9-13 g/100 ml. Nilai 100 % Hb setara dengan 14 gram dalam 100 ml darah (14 G%). Kadar hemoglobin merupakan indikator anemia (Blaxhall, 1971). Meningkatnya kadar hemoglobin menunjukkan bahwa ikan berada dalam keadaan stress (Anderson dan Siwicki, 1993).
4.2.4.2. Kadar Hematokrit Hematokrit merupakan perbandingan antara sel darah merah dan plasma darah dan berpengaruh terhadap pengaturan sel darah merah. Peningkatan kadar hematokrit ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan terutama suhu perairan dan keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang dibutuhkan (Jawad et al. 2004 dalam Marthen, 2005). Selama pengamatan berlangsung dari hari ke-9 sehari setelah penyuntikan bakteri Aeromonas hydrophila hingga akhir pengamatan pada hari ke-16, kadar hematokrit pada hari ke-10 yaitu 2 hari setelah penyuntikan PBS untuk kontrol negatif dan penyuntikan A. hydrophila untuk perlakuan kontrol positif, perlakuan pengobatan dan perlakuan pencegahan dimana kadar hematokrit masing-masing perlakuan terlihat mengalami penurunan. Kontrol negatif (31,76 %), perlakuan pengobatan (28,97 %) dan perlakuan pencegahan (31,39 %) tidak menmberikan pengaruh yang berbeda nyata. Namun kadar hematokrit perlakuan pencegahan (31,39 %) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (28,48 %). Pada hari ke-12 kontrol negatif (32,20 %), perlakuan pengobatan (32,27 %) dan perlakuan pencegahan (33,19 %) memberikan pengaruh yang sama atau tidak berbeda nyata. Hanya terlihat perlakuan pencegahan (33,19 %) dan kontrol negatif (32,20 %) memberikan
pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (29,59 %). Pada hari ke-16 kadar hematokrit pada kontrol negatif (34,48 %), perlakuan pencegahan (35,85 %) dan perlakuan pengobatan (33,73 %) masingmasing tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Namun perlakuan pencegahan (35,85 %) dan kontrol negatif (34,48 %) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (31,79 %). Menurut Angka et al., (1990) hematokrit ikan bervariasi tergantung pada faktor nutrisi dan umur ikan. Anak ikan dengan nutrisi yang baik mempunyai kadar hematokrit lebih tinggi daripada ikan dewasa atau anak ikan dengan nutrisi rendah. Menurut Angka et al., (1985) menyatakan bahwa kisaran nilai hematokrit ikan lele (Clarias batrachus) pada kondisi normal sebesar 30.8-45.5% sedangkan ikan lele yang terkena ulcer mempunyai nilai hematokrit sebesar 34.4-48.2%. Nabib dan Pasaribu (1989) menyatakan bahwa nilai hematokrit dibawah 30% menunjukkan defisiensi eritrosit. Sedangkan dalam Gallaugher et al., (1995) menyatakan bahwa nilai hematokrit yang lebih kecil dari 22 % menunjukkan ikan mengalami anemia. Menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui apakah pakan memiliki kandungan protein yang rendah, defisiensi vitamin, atau ikan terkena infeksi sehingga nafsu makan menurun. Sedangkan meningkatnya kadar hematokrit dalam darah menunjukkan bahwa ikan dalam keadaan stress (Wedemeyer dan Yasutake, 1977). Kadar hematokrit dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh dari pemakaian immunostimulan sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui kondisi ikan pasca pemberian immunostimulan. Berdasarkan data pengamatan diatas maka dapat diketahui bahwa pemberian ekstrak paci-paci yang dicampurkan ke dalam pakan ikan komersil dapat berpengaruh terhadap kadar hematokrit pada ikan lele yang terkena infeksi bakteri A. hydrophila. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak paci-paci sebagai imunogenik tidak berdampak negatif pada kondisi ikan sehingga layak digunakan sebagai imunostimulan.
4.2.4.3. Jumlah Sel Darah Putih dan Indeks Fagositosis Leukosit atau sel darah putih dibagi atas dua bagian yakni agranulosit dan granulosit. Agranulosit terdiri dari limfosit, trombosit, dan monosit. Sedangkan granulosit terdiri dari netrofil, eosinofil, dan basofil (Chinabut et al., 1991). Menurut Angka (1985) ikan yang sehat memiliki sel darah putih yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan yang sakit. Selama pengamatan berlangsung dari hari ke-9 sehari setelah penyuntikan bakteri A. hydrophila hingga akhir pengamatan pada hari ke-16, jumlah sel darah putih pada hari ke-10 perlakuan pencegahan (7,44 x 105 sel/mm3) memberikan respon atau pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol negatif (5,68 x 105 sel/mm3), perlakuan pengobatan (5,96 x 105 sel/mm3) dan kontrol positif (4,78 x 105 sel/mm3). Perlakuan pengobatan (5,96 x 105 sel/mm3) dan kontrol negatif (5,68 x 105 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (4,78 x 105 sel/mm3). Pada hari ke-12 perlakuan pencegahan (8,36 x 105 sel/mm3) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (5,12 x 105 sel/mm3), kontrol negatif (5,07 x 105 sel/mm3) dan perlakuan pengobatan (7,21 x 105 sel/mm3). Perlakuan pengobatan juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Jumlah sel darah putih pada perlakuan pencegahan dan pengobatan mulai menurun pada hari ke-16 sedangkan kontrol positif masih mengalami peningkatan. Pada hari ke-16 antar perlakuan pencegahan (5,98 x 105 sel/mm3), perlakuan pengobatan (6,29 x 105 sel/mm3) dan kontrol positif (5,99 x 105 sel/mm3) memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Jumlah sel darah putih pada ikan berkisar antara 20.000-150.000 sel/mm3 darah (Rastogi, 1977 dalam Marthen, 2005). Sel darah putih memiliki bentuk mulai dari lonjong sampai bulat (Lagler et al. 1977). Menurut Chinabut (1991) pada ikan Channel catfish total leukosit mencapai sekitar 64750 butir per mm3. Pemberian ekstrak paci-paci ke dalam pakan ikan komersil memberikan efek positif terhadap peningkatan total leukosit. Gudkovs (1988) menyatakan bahwa karakteristik respon non-spesifik satu diantaranya ditandai dengan adanya migrasi dari leukosit ke dalam jaringan. Sel-sel leukosit bergerak secara aktif melalui
dinding kapiler untuk memasuki jaringan yang terkena infeksi (Roberts dan Richards, 1978). Sel-sel leukosit yang dapat meninggalkan pembuluh darah antara lain neutrofil (leukosit berinti polimorf), monosit (makrofag mononuklear), limfosit dan trombosit. Leukosit merupakan salah satu komponen darah yang berfungsi sebagai pertahanan non-spesifik yang akan melokalisasi dan mengeliminir pathogen melalui fagositosis (Anderson, 1992). Selama pengamatan berlangsung dari hari ke-9 sehari setelah penyuntikan bakteri A. hydrophila hingga akhir pengamatan pada hari ke-16, indeks fagositosis pada hari ke-10 yaitu 2 hari setelah penyuntikan PBS untuk kontrol negatif dan penyuntikan A. hydrophila untuk perlakuan kontrol positif, perlakuan pengobatan dan perlakuan pencegahan. Perlakuan pencegahan (31,00 %) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan ketiga perlakuan lainnya. Pada hari ke-12 perlakuan pencegahan (29,00 %) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (19,33 %) dan kontrol negatif (24,00 %). Pada perlakuan pengobatan (25,67 %) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dengan kontrol positif (19,33 %). Perlakuan pengobatan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol negatif dan perlakuan pencegahan. Pada hari ke-16 perlakuan pencegahan (24,33 %) memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol negatif (23,33 %). Namun perlakuan pengobatan (30,67 %) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan pencegahan (24,33 %), kontrol negatif (23,33 %) dan kontrol positif (20,00 %). Perlakuan pencegahan (24,33 %) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) dengan kontrol positif (20,00 %). Berdasarkan data pengamatan diatas menunjukkan bahwa pemberian ekstrak paci-paci yang dicampurkan ke dalam pakan mampu meningkatkan indeks fagositosis. Meningkatnya indeks fagositosis merupakan indikator peningkatan kekebalan tubuh. Brown (2000) menyatakan peningkatan kekebalan tubuh dapat diketahui dari peningkatan aktivitas sel fagosit dari hemosit. Antibodi adalah suatu molekul immunoglobulin yang spesifik yang diproduksi oleh sistem kekebalan organisme karena pengaruh antigen (Anderson, 1974). Yahya (2000) mengungkapkan bahwa antibodi memiliki 3 fungsi, yaitu menetralisasikan toksin
agar tidak lagi bersifat toksik, mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen dan fungsi terakhir adalah membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya. Antibodi akan terbentuk jika sel limfosit (sel B) telah berfungsi dengan baik. Fagositosis adalah salah satu elemen paling penting dalam sistem kekebalan. Proses ini memberi perlindungan segera dan efektif terhadap infeksi. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas tiga tahapan penting, yaitu pengenalan musuh yang dihadapi, dalam hal ini musuh yang dihadapi adalah antigen (mikroorganisme), bisa berupa bakteri ataupun virus. Penghancuran antigen oleh sistem pertahanan. Lalu kembali menuju keadaan normal.
Gambar 25. Proses fagositosis oleh makrofag (Anonimus,2009)
Gambar 25 di atas menunjukkan aktivitas sel fagosit yang berfungsi untuk melakukan fagositosis terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh inang. Pola peningkatan prosentase indeks fagositosis ini merupakan fungsi dari peningkatan total leukosit. Proses fagositosis menurut Spector (1993) apabila terjadi kontak dari partikel dengan permukaan sel fagositosis. Membran sel kemudian mengalami invaginasi dimana dua lengan sitoplasma menelan partikel sehingga terkurung dalam sitoplasma sel, terletak dalam vakuola yang dilapisi membran (fagolisosom). Lisosom yang ada di dekatnya melebur ke dalam fagolisosom atau lisosom sekunder sehingga bakteri atau partikel tersebut mati dan hancur dalam sel fagositosis tersebut.
4.2.5. Kualitas Air Air adalah salah satu elemen yang sangat erat hubungannya dalam kegiatan akuakultur. Kualitas air yang baik dapat mempengaruhi komoditas perikanan yang sedang dibudidayakan. Parameter fisika dan kimia air yang berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan diantaranya suhu, oksigen terlarut (DO), pH dan TAN (total amonia nitrogen). Suhu memiliki peran dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Suhu (°C) pada semua perlakuan berkisar antara 25-27 °C, hal ini masih berada dalam batas toleransi ikan lele. Ikan Channel catfish akan tumbuh lebih cepat pada kisaran suhu air antara 26-30 ºC (Andrews et al. dalam Stickney, 1993). Perubahan suhu dapat berpengaruh terhadap seluruh komponen yang berada didalamnya. Peningkatan suhu sebesar 10 ºC menyebabkan terjadinya konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Peningkatan suhu menurut Effendi (2003) dapat menyebabkan terjadinya dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Oksigen terlarut adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air. Kadar oksigen terlarut sangat berhubungan dengan peningkatan suhu. Menurut Effendi (2003) peningkatan suhu sebesar 1ºC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Secara umum konsentrasi oksigen terlarut sebesar 5 mg/l atau lebih dapat menunjang pertumbuhan ikan secara optimum (Stickney, 1993). Berdasarkan Tabel 3 kandungan oksigen terlarut (mg/l) pada semua perlakuan selama penelitian berlangsung masih berada dalam batas toleransi yaitu lebih dari 3 mg/l. Menurut Allen (1976) dalam Stickney (1993), ikan Channel catfish yang dipelihara dalam tangki, kadar oksigen terlarut yang direkomendasikan minimal 3 mg/l. Walaupun ikan lele dapat bertahan pada DO rendah selama beberapa jam, namun kualitas air ikan lele dalam akuarium sebaiknya diatur agar memiliki DO diatas 2 mg/l. Hal itu dikarenakan apabila DO rendah akan memberikan pengaruh negatif pada metabolisme, pertumbuhan dan ketahanan terhadap penyakit (Thefishsite, 2005). Kisaran nilai pH pada semua perlakuan (Tabel 3) masih berada dalam batas toleransi ikan lele. pH merupakan parameter aktivitas ion hidrogen (H+) dalam suatu larutan yang dinyatakan dengan asam atau basa. Mackereth et al.,
(1989) menyatakan bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Biota akuatik sangat sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH berkisar antara 7-8.5. Nilai pH amat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. pH yang paling baik berkisar antara 6.5-8.5 (Walsh, 1986 dalam Rachmiwati, 2008). Berdasarkan Tabel 3 kandungan amoniak nitrogen (TAN) pada semua perlakuan masih berada dalam batas toleransi ikan lele Amonia (NH3) dan garamgaramnya bersifat mudah larut dalam air. Amonia bebas tidak dapat terionisasi sedangkan amonium dapat terionisasi. Persentase amonia bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan. Pada pH = 7 atau kurang dari 7, sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi. Sebaliknya pada pH lebih besar dari 7, amonia tak terionisasinya yang bersifat toksik (Novotny dan Olem, 2004). Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah. Menurut Effendi (2003) dalam Abdullah (2008) kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0.1 mg/l.
V. KESIMPULAN
Pemberian ekstrak paci-paci yang dicampurkan ke dalam pakan ikan komersil mampu menekan tingkat kematian ikan (mortalitas) dan berpengaruh positif terhadap gejala klinis dan parameter hematologi pada ikan lele yang terkena penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicemia) akibat infeksi bakteri A. hydrophila. Ikan lele uji yang diberi perlakuan pencegahan ekstrak daun paci-paci dengan konsentrasi 4 g/100 ml yang dicampurkan ke dalam pakan sebanyak 1 ml tiap 10 g pakan ikan ditambah 0,3 ml binder (pengikat) berupa putih telur menunjukkan hasil yang cukup efektif dalam menekan infeksi yang disebabkan A. hydrophila dengan gejala klinis lebih ringan, proses penyembuhan lebih cepat menekan tingkat kematian ikan serta dapat meningkatkan total eritrosit, total leukosit, kadar hematokrit, kadar hemoglobin dan indeks fagositosis. Penggunaan ekstrak paci-paci yang dicampurkan ke dalam pakan ikan komersil sebagai imunogenik layak digunakan sebagai imunostimulan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Y. 2008. Efektivitas Ekstrak Daun Paci-paci Leucas lavandulaefolia untuk Pencegahan dan Pengobatan Penyakit MAS Motile Aeromonad Septicemia Ditinjau dari Patologi Makro dan Hematologi Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Affandi R, UM Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri Press, Pekanbaru. hal. 2063. Alifuddin, M. 2002. Imunostimulasi Pada Hewan Akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia. 1(2): 87-92. Amanullah, AF. 2000. Mekanisme Sistem Pertahanan Tubuh Terhadap Konfigurasi Asing Yang Masuk Ke Dalam Tubuh. www.blogger.com/feeds [13 Januari 2009]. Amlacher, E. 1970. Textbook of Fish Disease. DA Conroy, RL Herman (Penerjemah). TFH Publ. Neptune. New York. 302 hal. Amrullah. 2004. Penggunaan Immunostimulan Spirulina platensis Untuk Meningkatkan Ketahanan Tubuh Ikan Koi Terhadap Virus Herpes. Sekolah Pascasarjana IPB. Anderson, DP. 1974. Fish Imunology. TFH Publication Ltd Hongkong. ________ and A.K Siwicki. 1993. Basic Haematology and Serology for Fish Health Programs. Paper Presented in 2nd Symposium on Diseases in Asian Aquaculture “Aquatic Animal Health and the Environment”. Phuket, Thailand. 25-29th October 1993.p.185-202. Angka, SL. 2004a. Pemanfaatan Fitofarmaka untuk Pencegahan dan Pengobatan Penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicemia) pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Gokuryoku Vol.10. Angka,SL. 2004b. Penyakit Motile Aeromonad Septicemia pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Forum Pascasarjana Vol. 27: 339-350. Angka SL, GT Wongkar and W Karwani. 1985. Blood Picture and Bacteria Isolated from Ulcered and Crooked Back Clarias bathrachus. Biotrop Special Publishing (2). Biotrop, Bogor. 129 hlm. Angka SL, I Mokoginta and H Hamid. 1990. Anatomi dan Histologi Beberapa Ikan Air Tawar Yang Dibudidayakan di Indonesia. Depdikbud, Dikti. IPB. Bogor. 212 hlm.
Anonimus. 2003. Kesehatan: Jangan Asal Semprot, Bahaya! http://www.kompas.com/kesehatan/news/0312/03/125320.htm.[18 Desember 2008]. Anonimus. 2004. Fitofarmaka Jamu Yang Naik Kelas. http://www.kompas.com/ kesehatan/news/0602/24/164256.htm.[18 Desember 2008]. Anonimus. 2005. Tanaman Obat Indonesia: Lenglengan (Leucas lavandulaefolia Smith).http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?mnu=2&id=87. [18 Desember 2008]. Anonimus. 2006. Leucas. http://www.bpi.da.gov.ph/publication/mp/pdf/g/gumaguma.pdf. [18 Desember 2008] Anonimus. 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/fagositosis. [ 13 Agustus 2009]. Austin B and DA Austin. 1993. Bacterial Fish Pathogens, Disease in Farm and Wild Fish. 2ed . Ellis Herwood, London. Azhar, TN. 2007. Jangan ke Dokter Lagi! Keajaiban Sistem Imun dan Kiat Menghalau Penyakit. MQ Gress. Bandung. Azhari, F. 2001. Pengaruh Pemberian Levamisol dan Saccharomyces cerevisiae dengan Dosis 60 ppm terhadap Gambaran Darah Ikan Mas Cyprinus carpio yang diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophilla. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bastiawan, D. 1995. Aplikasi Vaksinasi Maternal Pada Induk Ikan Untuk Memperoleh Benih Tahan Penyakit Tertentu. Disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Induk Ikan Mas Di BBAT Sukabumi, 11-24 Desember. Blaxhall, PC. 1971. The Haematological Assesment of the Health of Fresh Water Fish. A Review of Selected Literature. Journal Fish Biology 4:593-608. Bond, CE. 1979. Biology of Fishes. Saunders College Publishing, Philadelphia. 514 hlm. Brown, R. 2007. Nomenclatural and Specimen Datanase of the Missouri Botanical Garden: 215 Spesies Leucas. http://species.wikimedia.org/wiki/Leucas lavandulaefolia. [18 Desember 2008] Chinabut S, Limsuwan C and Kitsawat P. 1991. Histology of the Walking Catfish (Clarias batrachus). Departemen of Fisheries Thailand. Thailand.96p.
Cipriano RC, GL Bullock and SW Pyle. 1984. Aeromonas hydrophila and Motile Aeromonad Septicemia of Fish. Fish Diseases Leaflet 68, US. Fish and Wildlife Service. West Virginia. Hlm 20-23 Dellman HD and EM Brown. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner 1. Hartono (Penerjemah). UI Press, Jakarta. Ellis, AE. 1988. Fish Vaccination. Academic Press. Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan: Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Hal 95-109. Gallaugher PH, H Thorarensen and AP Ferrel. 1995. Hematocrit in Oxygen Transport and Swimming in Rainbow Trout Oncorhynchus mykiss. Respiration Physiology. 102: 279-292. Hardjosworo S, Harris E, Alifuddin M, Shafrudin D, dan Angka SL. 1981. Laporan Simptomatologi dan Epizootiologi. Di dalam Sumawidjaja K, Eidman M, Hardjosworo S, dan Angka SL (Eds). Wabah Penyakit Bercak Merah Ikan. Hal 1-18. Institut Pertanian Bogor. Hartini, S. 1982. Blood Training Course on Bioassay Techniques. Biotrop, Bogor. Hlm.11. Hasim,
D. 2003. Daun Sirih sebagai Antibakteri Pasta Gigi. http://kompas.com/kompas-cetak/0309/24/iptek/578008.htm. [2 Juli 2008]
Hoffman, GL. 1977. Methods for The Diagnosis of Fish Diseases. American Publ.co. put. Ltd., New Delhi. Holm, JA. 1999. Disease Prevention and Control. In Willoughby (Ed.). Manual of Salmonid farming. Blackwell Science. London. Pp. 195-259. Holt JG, NR Krieg, PHA Sneath and JT Staley. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. The Williams and Wilkins Company, Baltimore. Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Kabata, Z. 1985. Parasites and Disease of Fish Cultured in The Tropics. Taylor and Francis Press, London and Philadelphia. 318 hlm. Kamiso, HN. 2001. Imunologi dan Vaksinasi pada Ikan. DUE Project. Fakultas Perikanan Universitas Riau. Pekanbaru. Lesmanawati, W. 2006. Potensi Mahkota Dewa Phaleria macrocarpa sebagai Antibakteri dan Imunostimulan pada Ikan Patin Pangasius hypothalmus
yang Diinfeksi dengan Aeromonas hydrophila. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Mackereth FJH, Heron J and Talling JF. 1989. Water Analysis. Freshwater Biological Association, Cumbria, UK. 120 p. Marthen, DP. 2005. Gambaran Darah Ikan Nila Oreochromis sp. yang diberi Pakan Lemak Patin sebagai Sumber Lemak dalam Pakan. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Nabib R dan FH. Pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. UPT Produksi Media Informasi LSI-IPB. Bogor. Hal 158. Nurcahyo, W. 2001. Imunologi Parasiter. Pascasarjana UGM. Nogrady, T. 1992. Kimia Medisinal Pendekatan secara Biokimia. Penerbit ITB, Bandung. Hlm 19-21. Novotny V and Olem H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold, New York. 1054 p. Pelczar MJ and ECS Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 997 hlm. Plumb, JA. 1999. Health Maintenance of Cultured Fishes. CRC Press, London. Rachman. 2003. Kajian Potensi Anti Fungi dari Ekstrak Seduh Daun Ketapang Terminalia catappa L, Daun Sirih Piper betle L, Daun Jambu Biji Psidium guajava L dan Daun Sambiloto Andrographis peniculatala Burm F Nees terhadap Pertumbuhan Cendawan Akuatik Aphanomyces sp. Secara in vitro. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Rachmiwati, LM. 2008. Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele Clarias sp. Oleh Ikan Nila Oreochromis niloticus Melalui Pengembangan Bakteri Heterotrof. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Roberts RJ and RH Richards. 1978. The Bacteriology of Teolost in Fish Pathology. Roberts RJ,editor. Bailliere Tindal Book Publ, London. Hlm 205-318. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan 2. Bina Cipta, Jakarta. Hlm 508.
Simanjuntak, RH. 1989. Pembudidayaan Ikan Lele Dumbo dan Lokal. Bhatara, Jakarta. Hlm.54. Sniezko SF and HR Axelrod. 1971. Diseases of Fishese. TFH Publication Ltd., Hongkong. Hlm 23-24. Sopiana, P. 2005. Efektivitas Paci-paci Leucas lavandulaefolia untuk Pencegahan dan Pengobatan Penyakit MAS Motile Aeromonad Septicemia pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Stickney, RR. 1993. Principles of Warmwater Aquaculture A Wiley. Interscience Publication. John Wiley and Sons. New York. Hlm 130. Suyanto, SR. 1992. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya, Jakarta. Hlm 65-100 Thefishsite. 2005. Tilapia: Life History and Biology. http://www.thefishsite.com/ articles/58/tilapia-life-history-and biology [24 November 2008] Utami, DSN. 2007. Kecernaan dan Pertumbuhan Juvenil Udang Putih Litopenaeus vannamei yang Diberi Pakan dengan Pemakaian Bungkil Kelapa Sawit, Lupin, Biji Kapuk dan Bungkil Kedelai Sebanyak 30%. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Wedemeyer GA and WT Yasutake. 1977. Clinical Methods for the Assessment of the Effect Environtment Stress on the Fish Health. Technical Papers of the US Fish and Wildlife Service. US Depart of the Interior Fish and Wildlife Service. 89:1-17p Yahya, H. 2000. Rahasia Kekebalan Tubuh, Senjata Cerdas : Antibodi. www.harunyahya.com/indo/buku/tubuh004.htm. [20 Mei 2008]. Zairin, M Jr. 2003. Endokrinologi dan Peranannya bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hlm. Zooneveld N, EA Huisman dan JH. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Lampiran 1. Formulasi Bahan ♥ Larutan Hayem HgCl
2.5 gram
NaCl
5.0 gram
Na2SO4
2.5 gram
Akuades
1000 ml
♣ Larutan Turk’s Acetic acid glacial
3 ml
Akuades
100 ml
♠ Phosphat Buffer Saline (PBS) NaCl
8 gram
KH2PO4
0.2 gram
2H2O . Na2HPO4
1.5 gram
KCl
0.2 gram
Akuades
1000 ml
_ pH 7.0-7.4 _ ♦ Anti Koagulan Tri-Natriumcitrate-2 hydrat 3.8 gram Akuades
100 ml
● Media TSA (Trypticase Soy Agar) TSA agar
4 gram
Akuades
100 ml
■ Media TSB (Trypticase Soy Broth) Bakto TSB
3 gram
Akuades
100 ml
Lampiran 2. Pewarnaan Giemsa dan Prosedur Pembuatan Preparat Ulas a. Pewarnaan Giemsa Pewarnaan yang digunakan untuk pewarnaan Giemsa adalah pewarna giemsa Losung yang dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan Giemsa : Akuades adalah 1 : 20
b. Prosedur Pembuatan Preparat Ulas
4 3
2
1
45o
Keterangan : 1. Tetesan darah 2. Gelas objek pertama 3. Gelas objek kedua 4. Arah goresan
Setetes darah diletakkan pada gelas objek pertama. Gelas objek kedua diletakkan dengan sudut 45o di atas gelas objek pertama. Gelas objek digeser ke belakang menyentuh darah sehingga darah menyebar. Lalu di geser ke arah kiri (4) sehingga membentuk suatu lapisan darah yang tipis. Preparat dibiarkan kering oleh udara, kemudian di fiksasi dengan metanol selama 5 menit. Selanjutnya di bilas dengan akuades, dikeringkan dan diwarnai dengan menggunakan larutan Giemsa selama 15 menit. Setelah pewarnaan, preparat dikeringkan dengan kertas tissue. Kemudian ditetesi dengan entelan dan ditutup dengan gela penutup.
Lampiran 3. Perhitungan dan pengenceran bakteri dengan teknik pengenceran berseri (Hadioetomo, 1993).
Cara pengenceran konsentrasi bakteri dalam biakan murni :
2-3 lup biakan bakteri padat
a 1 ml
a 1 ml
1:10-1
1:10-2
1:10-3
1:10-4
Didapat konsentrasi bakteri 105 cfu/ml
A: TSB a : 9 ml TSB + 1 ml biakan murni
a 1 ml
Inkubasi (suhu kamar, 24 jam)
A
Ket:
a 1 ml
Pengenceran berseri untuk konsentrasi bakteri yang akan disuntikkan : b 0,1 ml A
Biakan murni 1x108
b 0,1 ml
b 0,1 ml
b 0,1ml
inkubasi 1 ml
1 (108)
1:10-1 (107)
Disentrifuse pencucian
1:10-2 (106)
1:10-3 (105)
buang supernatan ditambah PBS 1 ml
Disuntikkan pada ikan patin sebanyak 0,1 ml Ket:
A: TSB a : 0,9 ml TSB + 0,1 ml biakan murni
1:10-4 (104)
Lampiran 4. Parameter Kualitas Air
Kualitas Air Awal
Kode Tandon KN1 KN2 KN3 KP1 KP2 KP3 PO1 PO2 PO3 PC1 PC2 PC3
DO (mg/l) 7,05 6,15 5,21 5,66 6,07 6,11 5,85 6,15 5,77 6,54 6,07 6,49 5,58
pH 6,54 6,93 7,54 7,39 7,32 7,27 6,98 7,2 7,61 6,67 6,54 6,67 7,25
TAN (mg/l) 0,011 0,023 0,027 0,016 0,023 0,033 0,009 0,012 0,016 0,023 0,015 0,031 0,018
Suhu (º C) 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27
TAN (mg/l) 0,011 0,036 0,032 0,041 0,025 0,031 0,035 0,043 0,035 0,026 0,030 0,027 0,046
Suhu (º C) 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27 25-27
Kualitas Air Akhir
Kode Tandon KN1 KN2 KN3 KP1 KP2 KP3 PO1 PO2 PO3 PC1 PC2 PC3
DO (mg/l) 6,5 5,7 4,1 4,7 5,2 4,6 4,1 5,4 4,6 4,9 5,2 6 4,9
pH 7,86 7,17 7,33 7,23 7,4 7,5 7,48 7,53 7,59 7,53 7,39 7,45 7,11
Lampiran 5. Output Data Patologi Makro 5.1 Skor Gejala Klinis The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Model
43
104.9268629
Error
28
21.7265585
Corrected Total
71
126.6534214
Source
Mean Square
F Value
Pr >F
3.14
0.0010
Pr >F
2.4401596 0.7759485
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.828457
33.01292
0.880879
2.668287
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
t
2
15.89778590
7.94889295
10.24
r(t)
6
0.92136569
0.15356095
0.20
W
7
54.52712526
7.78958932
10.04
r(W)
14
16.06114966
1.14722498
1.48
t*W
14
17.51943643
1.25138832
1.61
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
t
2
15.89778590
7.94889295
10.24
r(t)
4
0.90399688
0.22599922
0.29
W
7
54.52712526
7.78958932
10.04
r(W)
14
16.06114966
1.14722498
1.48
t*W
14
17.51943643
1.25138832
1.61
0.0005 0.9747 <.0001 0.1836 0.1369
Pr >F
0.0005 0.8812 <.0001 0.1836 0.1369
Dapat dilihat bahwa interaksi antara perlakuan dan waktu tidak berpengaruh nyata karena p-value > 0.05 yaitu 0.1369. Perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon karena p-value < 0.05 yaitu p-value < 0.0001. Oleh karena itu, pengaruh dari perlakuan dapat diidentifikasi. Untuk itu, perlu dilakukan uji lanjut untuk melihat perlakuan mana saja yang berbeda nyata ( memperikan pengaruh yang berbeda terhadap respon).
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(t) as an Error Term Source t
DF 2
Type III SS 15.89778590
Mean Square 7.94889295
F Value 35.17
Pr > F 0.0029
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(W) as an Error Term Source W
DF 7
Type III SS 54.52712526
Mean Square 7.78958932
F Value 6.79
Pr > F 0.0012
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 4 Error Mean Square 0.225999 Number of Means Critical Range
2 .3810
3 .3894
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
t
A
3.2708
24
KP
B
2.6097
24
PO
C
2.1243
24
PC
Berdasarkan output di atas diperoleh bahwa ketiga perlakuan KP, PO, dan PC berbeda nyata.
5.2 Kelainan Klinis Kontrol Positif Ulangan ke-1 Diameter Klinis (cm) Hari Ke0 1 2 3
Ikan 1 (c)
Ikan 2 (Vka)
Ikan 3 (Vki)
Ikan 4 (Pka)
Ikan 5 (Pki)
Ikan 6 (#)
0.4 0,4 (mati)
0.5
0.3
mati
0.3
0.6
0.6 0.9 0,9 (mati)
0.3 0.7
0.3 0.7
1.1 1,1 (mati)
0.9
0.7 1.1 1,1 (mati)
4 5
1.3 1,8 (mati)
6 7 8
Kontrol Positif Ulangan ke-2 Diameter Klinis (cm) Hari Ke-
Ikan 1 (c)
Ikan 2 (Vka)
Ikan 3 (Vki)
Ikan 4 (Pka)
Ikan 5 (Pki)
Ikan 6 (#)
0 1
0.8
0.6
0.3
0.3
mati
0.9 1.5 1,5 (mati)
0.8 0.9
0.3 0.6
0.4 0.7
0.5 0,7 (mati)
1.3 1.7 1,7 (mati)
0.9 1.4 1.6 1.5 1.1
1.2 1.5 1.7 1.4 0.8
Ikan 5 (Pki)
Ikan 6 (#)
1.2 1.2 1.3
0.9 0.9 1
1.3 1.3 1.4 1.1 0.6
1.2 1.4 1.6 1.4 1
2 3 4 5 6 7 8
Kontrol Positif Ulangan ke-3 Diameter Klinis (cm) Hari Ke-
Ikan 1 (c)
Ikan 2 (Vka)
Ikan 3 (Vki)
1 2 3
0.7 1.1 1.3
0.6 1.4 1,7 (mati)
4 5 6 7 8
1.4 1.6 1.5 1.3 1
1.2 1.4 1.6 1,6 (mati)
Ikan 4 (Pka)
0 0 (mati)
Perlakuan Pengobatan Ulangan ke-1 Diameter Klinis (cm) Hari Ke-
Ikan 1 (c) 0 1 2 3 4 5 6 7
Ikan 2 (Vka)
Ikan 3 (Vki)
0.8
0.3
0.3
0,8 (mati)
0.6 1.1 1.6 1.8 1.6 1.2
0.5 0.6 1 1.4 1.3 1
0.8
0,6 (sembuh)
8
Ikan 4 (Pka)
Ikan 5 (Pki)
0.3 0,3 (mati)
mati
Ikan 6 (#) 0.3 0.3 0.4 0.9 1.1 1.1 0.8 0,4 (sembuh)
Perlakuan Pengobatan Ulangan ke-2 Diameter Klinis (cm) Hari Ke0 1 2 3 4 5 6 7
Ikan 1 (c)
Ikan 2 (Vka)
Ikan 3 (Vki)
Ikan 4 (Pka)
Ikan 5 (Pki)
Ikan 6 (#)
0.7 0.7 1,2 (mati)
0.4 0.4
mati
0.4 mati
0.3 0.4
0.3 0.3
0.6 1.1 1.4 1.5 1.2
0.6 1.3 1.7 1.5 1.1
0.9
0.7
0.4 0.8 1.2 1.4 0.9 0,5 (sembuh)
8
Perlakuan Pengobatan Ulangan ke-3 Diameter Klinis (cm) Hari Ke-
Ikan 1 (c)
Ikan 2 (Vka)
Ikan 3 (Vki)
Ikan 4 (Pka)
Ikan 5 (Pki)
Ikan 6 (#)
0 1 2
0.4 0.5
0.3 0.4
mati
0.3 0.4
0 (radang) 0,3 (mati)
0.7 1,3 (mati)
0.8
0.9 1 1,2 (mati)
3 4 5 6 7 8
0.9 1.2 1.4 1.1 0.9
0.6 1 1.3 1.4 1.2 0.7
Perlakuan Pencegahan Ulangan ke-1 Diameter Klinis (cm) Hari Ke-
Ikan 1 (c)
Ikan 2 (Vka)
Ikan 3 (Vki)
Ikan 4 (Pka)
Ikan 5 (Pki)
Ikan 6 (#)
0 1
0.4
0.3
mati
0.3
0.7
2 3 4 5 6
0.6 1 1.2 1.4 1.3
0.4 0.8 1.1 1.4 1.2
0.3 0,3 (mati)
1 1.4 1.6 1.5 1.3
7
1
8
0.6
0.8 0,3 (sembuh)
0.5 0.7 0.9 1.1 0.9 0,5 (sembuh) (sembuh)
0.8
1.2
Perlakuan Pencegahan Ulangan ke-2 Diameter Klinis (cm) Hari Ke-
Ikan 1 (c)
Ikan 2 (Vka)
Ikan 3 (Vki)
Ikan 4 (Pka)
Ikan 5 (Pki)
Ikan 6 (#)
0 1
0.3
0.3
0.6
0.3
mati
2 3 4 5 6
0.6 1 1.5 1.6 1.4
0.4 0.6 0.9 1.2 1
7
1.1
0.6
0.8 1 1.2 1.4 1.1 0,5 (sembuh)
0.9 0,9 (mati)
8
0.7
(sembuh)
(sembuh)
0.6 0.8 1 1.3 1 0.7 0,3 (sembuh)
Perlakuan Pencegahan Ulangan ke-3 Diameter Klinis (cm) Hari Ke-
Ikan 1 (c)
Ikan 2 (Vka)
Ikan 3 (Vki)
Ikan 4 (Pka)
Ikan 5 (Pki)
0 1 2 3 4 5 6
0.3 0.5 0.7 1.1 1.5 1.2
mati
0.3 1 1.3 1,3 (mati)
7 8
0.8 0,6(sembuh)
0.3 0.5 0.7 0.9 1.2 0.8 0,5 (sembuh) (sembuh)
0.3 0.3 0.5 0.7 1 0.6 0,4 (sembuh) (sembuh)
Ikan 6 (#)
5.3 Pertambahan Bobot Bobot rata-rata awal
Ulangan 1 2 3 Rata2 Stdev
KN 4.3200 4.2683 4.4567 4.3483 0.0973
KP 4.3200 4.4033 4.3917 4.3717 0.0451
Perlakuan PO 4.2450 4.2667 4.2917 4.2678 0.0234
PC 4.4083 4.1950 4.3683 4.3239 0.1134
Bobot rata-rata akhir
Ulangan 1 2 3 Rata2 Stdev
KN 11.8200 12.3283 12.1033 12.0839 0.2547
KP 10.1750 10.2150 10.1883 10.1928 0.0204
Perlakuan PO 10.9067 11.1417 11.4633 11.1706 0.2795
PC 11.6733 12.1683 11.0600 11.6339 0.5552
Analisis statistik menggunakan Uji ANOVA pada selang kepercayaan 95% ANOVA SK P S T
Db 3 8 11
JK 5.8954 0.9033 6.7987
KT 1.9651 0.1129
Fhitung 17.4035
Ftabel 4.0662
Uji Lanjut dengan Beda Nyata Terkecil (BNT) BNT = (α/2 ; dbs) . √(2 KTS)/n = (0,025 ; 8) . √(2*0,1129)/3 = 2,306*0.2744 = 0.6327
KP 10.19
PO 11.17 0.98*
PC 11.63 1.44* 0.46
Rata-rata KP PO PC KN Ket : tanda (*) melambangkan berbeda nyata (p < 0,05) antar perlakuan
KN 12.08 1.89* 0.91* 0.45 0
5.4 Mortalitas Perlakuan
KN
KP
PO
PC
Σ Ikan Mati (ekor) 0 0 0 6 4 3 3 3 4 2 2 3
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Σ Ikan hidup (ekor) 6 6 6 0 2 3 3 3 2 4 4 3
MR (%) 0 0 0 100 66.67 50 50 50 66.67 33.33 33.33 50
Rata-rata (%)
0.00
72.22
55.56
38.89
Analisis Statistik menggunakan Uji ANOVA pada selang kepercayaan 95% ANOVA SK P S T
Db 3 8 11
JK KT Fhitung Ftabel 8611.444 2870.481 13.77739 4.0662 1666.778 208.3472 10278.22
Uji Lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) BNT = (α/2 ; dbs) . √(2 KTS)/n = (0,025 ; 8) . √(2*208.3472)/3 = 2,306*11.78851 = 27.184373
KN PC PO KP Rata-rata 0.00 38.89 55.56 72.22 38.89* 55.56* 72.22* KN 16.67 33.33* PC 16.66 PO 0 KP Ket : tanda (*) melambangkan berbeda nyata (p < 0,05) antar perlakuan
Lampiran 6. Output Data Parameter Hematologi
6.1. Indeks Fagositosis
Perlakuan
Ulangan 1 2 3 1 2
Kontrol negatif Kontrol Positif
Indeks Fagosit H0 H10 H12 20 23 22 23 25 27 21 21 23 16 18 20 15 15 20
3 1 2 3 1 2 3
Pengobatan
Pencegahan
20 21 17 18 29 24 25
Perlakuan KN KP PO PC
H0 21.33 17.00 18.67 26.00
H10 23.00 18.00 21.00 31.00
21 24 20 19 30 29 34
Nilai Rataan H12 H16 24.00 23.33 19.33 20.00 25.67 30.67 29.00 24.33
H16 25 21 24 19 20
18 24 23 30 28 29 30
21 31 33 28 25 24 24
H0 1.5275 2.6458 2.0817 2.6458
H10 2.0000 3.0000 2.6458 2.6458
STDEV H12 2.6458 1.1547 3.7859 1.0000
Hasil Analisis RAL In TIME fagosit The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
t
4
KN KP PC PO
W
4
H10 H12 H16 H8
r
3
123
Number of Observations Read
48
Number of Observations Used
48
The GLM Procedure Dependent Variable: Fagosit Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
29
905.812500
31.234914
4.78
0.0005
Error
18
117.666667
6.537037
Corrected Total
47
1023.479167
H16 2.0817 1.0000 2.5166 0.5774
R-Square
Coeff Var
Root MSE
Fagosit Mean
0.885033
10.98699
2.556763
23.27083
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
t
3
494.7291667
164.9097222
25.23
<.0001
r(t)
8
34.0000000
4.2500000
0.65
0.7268
W
3
115.0625000
38.3541667
5.87
0.0056
r(W)
6
15.0000000
2.5000000
0.38
0.8807
t*W
9
247.0208333
27.4467593
4.20
0.0047
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
t
3
494.7291667
164.9097222
25.23
<.0001
r(t)
6
28.8333333
4.8055556
0.74
0.6280
W
3
115.0625000
38.3541667
5.87
0.0056
r(W)
6
15.0000000
2.5000000
0.38
0.8807
t*W
9
247.0208333
27.4467593
4.20
0.0047
Source
Source
Dapat dilihat bahwa interaksi antara perlakuan dan waktu berpengaruh nyata karena p-value < 0.05 yaitu 0.0047. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui interaksi mana saja yang berbeda nyata (memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respon). Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(t) as an Error Term Source t
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
494.7291667
164.9097222
34.32
0.0004
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(W) as an Error Term Source W
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
115.0625000
38.3541667
15.34
0.0032
Duncan's Multiple Range Test for Fagosit Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
Number of Means Critical Range
6 4.805556
2
3
4
2.190
2.270
2.309
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
T
A
27.5833
12
PC
B
24.0000
12
PO
B
22.9167
12
KN
C
18.5833
12
KP
B
Duncan's Multiple Range Test for Fagosit Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
6
Error Mean Square
Number of Means Critical Range
2.5
2
3
4
1.579
1.637
1.666
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
24.5833
12
H16
24.5000
12
H12
A
23.2500
12
H10
B
20.7500
12
H8
A
W
A A A
Hasil Analisis RAL interaksi fagosit The GLM Procedure Class Level Information
Class
Levels
interaksi
Values
16
r
KNH10 KNH12 KNH16 KNH8 KPH10 KPH12 KPH16 KPH8 PCH10 PCH12 PCH16 PCH8 POH10 POH12 POH16 POH8
3
123
Number of Observations Read
48
Number of Observations Used
48
Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
15
856.812500
57.120833
10.97
<.0001
Error
32
166.666667
5.208333
Corrected Total
47
1023.479167
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.837157
9.807029
2.282177
23.27083
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
interaksi
15
856.8125000
57.1208333
10.97
<.0001
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
interaksi
15
856.8125000
57.1208333
10.97
<.0001
Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
32 5.208333
Numb er of Mean s
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Critic al Rang e
3.7 96
3.9 89
4.1 15
4.2 05
4.2 73
4.3 27
4.3 70
4.4 06
4.4 35
4.4 60
4.4 81
4.4 99
4.5 15
4.5 28
4.5 39
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
31.000
3
PCH10
30.667
3
POH16
A
29.000
3
PCH12
B
C
26.000
3
PCH8
B
C
B
C
25.667
3
POH12
24.333
3
PCH16
24.000
3
KNH12
23.333
3
KNH16
23.000
3
KNH10
21.333
3
KNH8
21.000
3
POH10
20.000
3
KPH16
19.333
3
KPH12
18.667
3
POH8
18.000
3
KPH10
A A A A B B
C D
C
D
C
D
C
E
D
C
E
D
F
C
E
D
F
C
E
D
F
C
E
D
F
D
F
G
E
D
F
G
E
D
F
G
E
H
F
G
E
H
F
G
E
H
F
G
H
F
G
H
E
H
G
H
G
H
G
H
G
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
17.000
3
KPH8
H H
Indeks huruf yang berbeda menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata. Sebagai contoh, interaksi KNH8 berbeda nyata dengan KPH8.
6.2. Sel Darah Putih
Perlakuan Kontrol negatif Kontrol Positif Pengobatan
Pencegahan
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
H0
Perlakuan H0 KN KP PO PC
3.81 3.72 3.87 3.72
Total SDP H10 H12 6.08 5.62 5.62 4.72 5.36 4.87 4.77 4.99 4.58 5.26 5.00 5.12 6.38 7.31 5.88 7.00 5.64 7.33 7.60 8.20 6.91 8.79 7.82 8.10
H10 5.68 4.79 5.97 7.44
4.19 3.75 3.48 3.65 3.77 3.74 3.82 3.91 3.87 3.76 3.60 3.80
Nilai Rataan H12 H16 5.07 4.83 5.13 6.00 7.21 6.29 8.36 5.98
H16 5.06 4.62 4.81 6.24 5.77 5.99 6.40 6.16 6.32 6.10 6.03 5.81
H0 0.3542 0.0610 0.0441 0.1055
Hasil Analisis RAL In TIME SDP The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
T
4
KN KP PC PO
W
4
H10 H12 H16 H8
R
3
123
Number of Observations Read
48
Number of Observations Used
48
H10 0.3628 0.2094 0.3763 0.4719
STDEV H12 0.4826 0.1334 0.1844 0.3738
H16 0.2233 0.2381 0.1211 0.1539
The GLM Procedure Dependent Variable: SDP Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
29
89.53150820
3.08729339
45.63
<.0001
Error
18
1.21789034
0.06766057
Corrected Total
47
90.74939854
Source
R-Square
Coeff Var
Root MSE
SDP Mean
0.986580
4.736422
0.260116
5.491835
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
t
3
19.88594754
6.62864918
97.97
<.0001
r(t)
8
1.07775951
0.13471994
1.99
0.1073
W
3
49.80075622
16.60025207
245.35
<.0001
r(W)
6
0.20701331
0.03450222
0.51
0.7930
t*W
9
18.56003161
2.06222573
30.48
<.0001
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
t
3
19.88594754
6.62864918
97.97
<.0001
r(t)
6
0.56468205
0.09411367
1.39
0.2714
W
3
49.80075622
16.60025207
245.35
<.0001
r(W)
6
0.20701331
0.03450222
0.51
0.7930
t*W
9
18.56003161
2.06222573
30.48
<.0001
Source
Dapat dilihat bahwa interaksi antara perlakuan dan waktu berpengaruh nyata karena p-value < 0.05 yaitu 0.0001. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui interaksi mana saja yang berbeda nyata ( memperikan pengaruh yang berbeda terhadap respon).
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(t) as an Error Term Source t
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
19.88594754
6.62864918
70.43
<.0001
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(W) as an Error Term Source W
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
49.80075622
16.60025207
481.14
<.0001
Duncan's Multiple Range Test for SDP Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
Number of Means Critical Range
6 0.094114
2
3
4
.3065
.3176
.3231
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
T
A
6.3770
12
PC
B
5.8348
12
PO
C
4.9076
12
KP
4.8479
12
KN
C C
Duncan's Multiple Range Test for SDP Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
Number of Means Critical Range
6 0.034502
2
3
4
.1856
.1923
.1957
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
W
A
6.44348
12
H12
B
5.96968
12
H10
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
W
C
5.77569
12
H16
D
3.77850
12
H8
Hasil Analisis RAL interaksi SDP The GLM Procedure Class Level Information Class interaksi
r
Levels 16
3
Values KNH10 KNH12 KNH16 KNH8 KPH10 KPH12 KPH16 KPH8 PCH10 PCH12 PCH16 PCH8 POH10 POH12 POH16 POH8 123
Number of Observations Read
48
Number of Observations Used
48
Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
15
88.24673537
5.88311569
75.22
<.0001
Error
32
2.50266317
0.07820822
Corrected Total
47
90.74939854
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.972422
5.092239
0.279657
5.491835
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
interaksi
15
88.24673537
5.88311569
75.22
<.0001
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
interaksi
15
88.24673537
5.88311569
75.22
<.0001
Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
32
Error Mean Square
0.078208
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
A
8.3637
3
PCH12
B
7.4406
3
PCH10
B
7.2142
3
POH12
C
6.2920
3
POH16
5.9987
3
KPH16
5.9813
3
PCH16
5.9675
3
POH10
5.6847
3
KNH10
5.1260
3
KPH12
5.0701
3
KNH12
4.8308
3
KNH16
E
4.7859
3
KPH10
F
3.8656
3
POH8
B
C D
C
D
C
D
C
D
C
D
C
D D
E E E E E E
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
3.8060
3
KNH8
3.7226
3
PCH8
3.7198
3
KPH8
F F F F F F
Indeks huruf yang berbeda menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata. Sebagai contoh, interaksi KPH8 berbeda nyata dengan KPH10.
6.3. Sel Darah Merah
Perlakuan Kontrol negatif Kontrol Positif Pengobatan
Pencegahan
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
H0 4.57 3.89 4.18 3.80 4.00 4.25 4.04 3.98 3.95 3.90 4.06 4.22
Perlakuan H0 KN KP PO PC
4.21 4.02 3.99 4.06
H10 2.96 2.68 2.80 2.88
Total SDM H10 3.02 2.91 2.94 2.56 2.72 2.76 2.84 2.82 2.74 2.87 2.99 2.77
H12 3.63 3.69 3.13 2.86 2.76 3.14 3.17 2.88 2.95 3.58 3.22 3.60
Nilai Rataan H12 H16 3.48 3.73 2.92 3.05 3.00 3.20 3.47 3.58
H0 0.3412 0.2255 0.0458 0.1600
Hasil Analisis RAL In TIME SDM The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
H16 3.77 3.59 3.84 3.06 2.97 3.12 3.44 3.13 3.02 3.64 3.36 3.73
Values
H10 0.0569 0.1058 0.0529 0.1102
STDEV H12 0.0569 0.1970 0.1513 0.2139
H16 0.1290 0.0755 0.2178 0.1930
Class Level Information Class
Levels
Values
T
4
KN KP PC PO
W
4
H10 H12 H16 H8
R
3
123
Number of Observations Read
48
Number of Observations Used
48
Dependent Variable: SDM Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
29
12.17009583
0.41965848
14.63
<.0001
Error
18
0.51622917
0.02867940
Corrected Total
47
12.68632500
Source
R-Square
Coeff Var
Root MSE
SDM Mean
0.959308
5.015918
0.169350
3.376250
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
T
3
1.48082500
0.49360833
17.21
<.0001
r(t)
8
0.43400000
0.05425000
1.89
0.1246
W
3
9.68244167
3.22748056
112.54
<.0001
r(W)
6
0.11637083
0.01939514
0.68
0.6705
t*W
9
0.45645833
0.05071759
1.77
0.1450
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
T
3
1.48082500
0.49360833
17.21
<.0001
r(t)
6
0.32538750
0.05423125
1.89
0.1377
W
3
9.68244167
3.22748056
112.54
<.0001
r(W)
6
0.11637083
0.01939514
0.68
0.6705
t*W
9
0.45645833
0.05071759
1.77
0.1450
Source
Dapat dilihat bahwa interaksi antara perlakuan dan waktu tidak berpengaruh nyata karena p-value > 0.05 yaitu 0.145 . Perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon karena p-value < 0.05 yaitu p-value < 0.0001. Oleh karena itu, pengaruh dari perlakuan dapat diidentifikasi. Untuk itu, perlu dilakukan uji lanjut untuk melihat perlakuan mana saja yang berbeda nyata ( memperikan pengaruh yang berbeda terhadap respon).
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(t) as an Error Term Source t
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
1.48082500
0.49360833
9.10
0.0119
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(W) as an Error Term Source W
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
9.68244167
3.22748056
166.41
<.0001
Duncan's Multiple Range Test for SDM Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
Number of Means Critical Range
6 0.054231
2
3
4
.2326
.2411
.2453
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
3.59667
12
KN
A
3.49500
12
PC
B
3.24667
12
PO
3.16667
12
KP
A
T
A
B B
Berdasarkan output di atas diperoleh bahwa perlakuan KN dan PC tidak berbeda nyata, sama halnya dengan PO dan KP yang juga tidak berbeda nyata. Tetapi, antara KN dengan PO dan KP berbeda nyata. Demikian juga antara PC dengan PO dan KP berbeda nyata. Indeks huruf yang berbeda menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata.
Duncan's Multiple Range Test for SDM
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
0.019395
Number of Means Critical Range
6
2
3
4
.1391
.1442
.1467
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
W
A
4.07000
12
H8
B
3.38917
12
H16
C
3.21750
12
H12
D
2.82833
12
H10
6.4. Hemoglobin
Perlakuan Kontrol negatif Kontrol Positif Pengobatan
Pencegahan
Perlakuan
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
H0 9.00 10.40 8.80 9.40 8.60 9.20 8.80 9.40 9.60 10.20 9.40 10.60
Total Hemoglobin H2 7.40 8.00 8.40 9.00 8.00 7.60 7.40 8.00 8.40 8.60 8.40 8.20
Nilai Rataan
H4 7.00 7.40 7.80 7.00 5.40 6.20 7.20 7.40 7.60 7.00 5.60 6.20
H8 7.00 8.40 8.40 7.40 6.80 7.00 8.80 8.60 7.20 8.40 8.60 9.20
STDEV
H0 KN KP PO PC
H10 7.93 8.20 7.93 8.40
9.40 9.07 9.27 10.07
H12 7.40 6.20 7.40 6.27
H16 7.93 7.07 8.20 8.73
H0 0.8718 0.4163 0.4163 0.6110
H10 0.5033 0.7211 0.5033 0.2000
H12 0.5033 0.8000 0.2000 0.7024
Hasil Analisis RAL In TIME Hemoglobin The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
t
4
KN KP PC PO
W
4
H10 H12 H16 H8
r
3
123
Number of Observations Read
48
Number of Observations Used
48
Dependent Variable: hemoglobin Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
29
58.37000000
2.01275862
7.04
<.0001
Error
18
5.14666667
0.28592593
Corrected Total
47
63.51666667
R-Square
Coeff Var
Root MSE
hemoglobin Mean
0.918971
6.608285
0.534720
8.091667
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
t
3
3.63666667
1.21222222
4.24
0.0197
r(t)
8
5.10000000
0.63750000
2.23
0.0752
W
3
41.79666667
13.93222222
48.73
<.0001
r(W)
6
0.87333333
0.14555556
0.51
0.7936
t*W
9
6.96333333
0.77370370
2.71
0.0345
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Source
H16 0.8083 0.3055 0.8718 0.4163
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
t
3
3.63666667
1.21222222
4.24
0.0197
r(t)
6
4.97333333
0.82888889
2.90
0.0371
W
3
41.79666667
13.93222222
48.73
<.0001
r(W)
6
0.87333333
0.14555556
0.51
0.7936
t*W
9
6.96333333
0.77370370
2.71
0.0345
Dapat dilihat bahwa interaksi antara perlakuan dan waktu berpengaruh nyata karena p-value < 0.05 yaitu 0.0345. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui interaksi mana saja yang berbeda nyata ( memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respon). Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(t) as an Error Term Source t
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
3.63666667
1.21222222
1.46
0.3159
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(W) as an Error Term Source W
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
41.79666667
13.93222222
95.72
<.0001
Duncan's Multiple Range Test for hemoglobin Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
Number of Means Critical Range
6 0.828889
2
3
4
.9095
.9426
.9590
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
t
8.3667
12
PC
8.2000
12
PO
8.1667
12
KN
A A A A
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
7.6333
12
t
A A
KP
Duncan's Multiple Range Test for hemoglobin Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
0.145556
Number of Means Critical Range
6
2
3
4
.3811
.3950
.4019
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
W
A
9.4500
12
H8
B
8.1167
12
H10
B
7.9833
12
H16
C
6.8167
12
H12
B
Hasil Analisis RAL interaksi hemoglobin The GLM Procedure Number of Observations Read
48
Number of Observations Used
48
Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
15
52.39666667
3.49311111
10.05
<.0001
Error
32
11.12000000
0.34750000
Corrected Total
47
63.51666667
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.824928
7.285165
0.589491
8.091667
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Interaksi
15
52.39666667
3.49311111
10.05
<.0001
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Interaksi
15
52.39666667
3.49311111
10.05
<.0001
Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
32
Error Mean Square
0.3475
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
interaksi
10.0667
3
PCH8
9.4000
3
KNH8
9.2667
3
POH8
9.0667
3
KPH8
8.7333
3
PCH16
8.4000
3
PCH10
8.2000
3
KPH10
8.2000
3
POH16
A B
A
B
A
B
A
C
B
A
C
B
A
C
B
C
B
D
C
B
D
C
E
D
C
E
D
C
E
D
C
E
D
C
E
D
C
E
D
B
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping F
E
D
F
E
D
F
E
D
F
E
D
F
E
D
F
E
F
E
F
E
F
E
Mean
N
interaksi
7.9333
3
KNH10
7.9333
3
KNH16
7.9333
3
POH10
7.4000
3
POH12
7.4000
3
KNH12
7.0667
3
KPH16
6.2667
3
PCH12
6.2000
3
KPH12
F F
G G G G G
Indeks huruf yang berbeda menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata. Sebagai contoh, interaksi KPH12 berbeda nyata dengan KNH12.
6.5. Hematokrit
Perlakuan Kontrol negatif Kontrol Positif Pengobatan
Pencegahan
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Total Hematokrit H0 H10 35.48 31.03 35.89 32.55 36.36 31.70 31.03 29.41 34.78 27.90 33.33 28.12 38.46 30.55 32.14 25.00 32.25 31.37 36.58 29.03 32.50 30.25 34.37 34.88
H12 32.43 29.16 35.00 28.12 29.41 31.25 29.72 32.50 34.88 31.81 33.33 34.42
H16 33.33 34.21 35.89 30.23 31.11 34.04 36.58 31.27 33.33 35.55 36.60 35.41
Perlakuan KN KP PO PC
H0 35.91 33.05 34.28 34.48
Nilai Rataan H12 H16 32.20 34.48 29.59 31.79 32.37 33.73 33.19 35.85
H10 31.76 28.48 28.97 31.39
H0 0.4403 1.8910 3.6175 2.0424
STDEV H12 2.9270 1.5730 2.5826 1.3109
H10 0.7618 0.8157 3.4653 3.0862
Hasil Analisis RAL In TIME hematokrit The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
t
4
KN KP PC PO
W
4
H10 H12 H16 H8
r
3
123
Number of Observations Read
48
Number of Observations Used
48
Dependent Variable: hematokrit Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
29
301.0932083
10.3825244
2.38
0.0287
Error
18
78.3879833
4.3548880
Corrected Total
47
379.4811917
R-Square
Coeff Var
Root MSE
hematokrit Mean
0.793434
6.402404
2.086837
32.59458
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
t
3
69.8180250
23.2726750
5.34
0.0083
r(t)
8
50.6740667
6.3342583
1.45
0.2414
W
3
141.5852917
47.1950972
10.84
0.0003
r(W)
6
23.9324833
3.9887472
0.92
0.5061
t*W
9
15.0833417
1.6759269
0.38
0.9272
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
69.8180250
23.2726750
5.34
0.0083
Source t
H16 1.3007 1.9948 2.6771 0.6504
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
r(t)
6
25.7312500
4.2885417
0.98
0.4641
W
3
141.5852917
47.1950972
10.84
0.0003
r(W)
6
23.9324833
3.9887472
0.92
0.5061
t*W
9
15.0833417
1.6759269
0.38
0.9272
Dapat dilihat bahwa interaksi antara perlakuan dan waktu tidak berpengaruh nyata karena p-value > 0.05 yaitu 0.9272. Perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon karena p-value < 0.05 yaitu 0.0083. Oleh karena itu, pengaruh dari perlakuan dapat diidentifikasi. Untuk itu, perlu dilakukan uji lanjut untuk melihat perlakuan mana saja yang berbeda nyata ( memperikan pengaruh yang berbeda terhadap respon). Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(t) as an Error Term Source T
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
69.81802500
23.27267500
5.43
0.0381
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(W) as an Error Term Source W
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
141.5852917
47.1950972
11.83
0.0062
Duncan's Multiple Range Test for hematokrit Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
Number of Means Critical Range
6 4.288542
2
3
4
2.069
2.144
2.181
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
T
33.7275
12
PC
33.5858
12
KN
32.3375
12
PO
30.7275
12
KP
A A A B
A
B B
Indeks huruf yang berbeda menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata. Berdasarkan output di atas, PC, KN, dan PO tidak berbeda nyata. PC berbeda nyata dengan KP. Demikian pula KN berbeda nyata dengan PO. Duncan's Multiple Range Test for hematokrit Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
Number of Means Critical Range
6 3.988747
2
3
4
1.995
2.068
2.104
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
W
34.4308
12
H8
A
33.9625
12
H16
B
31.8358
12
H12
30.1492
12
H10
A A
B B