Dialektika Konflik dan Inisiatif Damai: Studi Kasus Forum Lintas Iman (FLI) Gunung Kidul Dan Pondok Pesantren Sunan Pandaran Yogyakarta
LAPORAN FIELD TRIP “Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam”
Oleh: Alifah (PP. Nurul Anwar ) Fatikhatul Faizah (PP. Sunan Pandanaran) Ika Chusnul Ummah (PP. Nurul Ummah Putri) Nur Muhammad Toyib (PP. Al-Jailani) Muhammad Wahyu Arif (PP. Krapyak Yayasan Ali Maksum)
Editor: Rita Pranawati
Pesantren for Peace (PFP): A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to Promote Human Rights and Peaceful Conflict Resolution
Pendahuluan Yogyakarta merupakan “rumah” bagi keberagaman, baik keragaman ras, suku, budaya, maupun agama. Yogyakarta memiliki 136 unit perguruan tinggi yang memiliki beberapa kategori diantaranya akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Sehingga tidak mengherankan bila Yogyakarta dijuluki kota pendidikan. Hasilnya, Yogyakarta sangat diwarnai oleh dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan keragamannya Yogyakarta dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia. Selain itu, Yogyakarta juga merupakan salah satu tujuan wisata yang banyak digemari turis manca negara maupun domestik. Hal ini yang kemudian menjadikan Yogyakarta semakin plural penduduknya. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan penduduk yang cukup padat. Berdasarkan Hasil Sensus penduduk oleh BPS pada tahun 2010, jumlah penduduk yang tinggal di wilayah DIY mencapai 3.457.491 jiwa, dengan komposisi 49,43% laki-laki dan 50,57% perempuan yang tersebar di lima kabupaten/kota. 1 Padatnya penduduk ini merupakan konsekuensi Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota wisata yang sekaligus kota budaya di Indonesia. Dari demografi agama, berdasarkan data dari Kementrian Agama DIY pada tahun 2013, menunjukkan bahwa mayoritas penduduk DIY beragama Islam dengan persentase 92,204% atau sebanyak 3.355.990 orang. Hal ini juga ditunjukkan pada masingmasing kabupaten/kota di 5 kabupaten/kota di DIY. 2 Komposisi ini diikuti oleh jumlah tempat ibadah dengan mayoritas tempat ibadah agama Islam yaitu dengan jumlah 12.834 bangunan yang terdiri dari masjid, musholla, dan langgar. 3 Namun hal ini tidak berarti bahwa agama lain yang minoritas tidak mendapatkan haknya. Keragaman kota berimplikasi pada perkembangan Yogyakarta sendiri, entah itu dari aspek sosial, politik, ekonomi, maupun keberagaman. Dari aspek ekonomi misalnya, untuk menunjang kebutuhan mahasiswa banyak berdiri apartementapartement, real-estate, supermarket, mall, dan lain-lain yang dapat memenuhi apa yang diinginkan pendatang. Namun, di sisi lain, berdirinya bangunan-bangunan tersebut berdampak negatif pada masyarakat sekitar. Tak jarang masyarakat yang akhirnya menolak pendirian bangunan-bangunan tersebut karena dianggap mengganggu stabilitas sosial serta untuk tetap menjaga kearifan lokal yang selama ini sudah dibentuk masyarakat. Meski diwarnai dengan keberagaman, Yogyakarta secara umum masih bertahan dengan stigma “adem ayem” artinya meskipun ada dan mungkin banyak konflik yang terjadi di balik “adem ayem”-nya sejauh ini Yogyakarta tetap berjiwa Jawa yang selalu menjunjung tinggi tradisi santun, tata karma, toleransi, dan budi pekerti dalam praktek kehidupan sehari-hari. Barangkali prinsip-prinsip tersebut yang menyatukan keberbedaan yang ada. Siapapun yang hidup di Yogyakarta harus menjunjung tinggi nilai-nilai tata karma dan sopan santun yang berlaku. Yogyakarta memang sering didaulat sebagai the city of tolerance dengan perdamaian yang terwujud di antara penduduk yang multicultural. Hingga saat ini 1
Badan Pusat Statistik DIY. 2014. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2014. Yogyakarta: BPS DIY. Kementrian Agama DIY. 2013. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama per-Kabupaten/Kota. Yogyakarta: Kemenag DIY. 3 Kementrian Agama DIY. 2013. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama per-Kabupaten/Kota. Yogyakarta: Kemenag DIY. 2
Yogyakarta belum memiliki sejarah konflik yang menghawatirkan, namun tak berarti Yogyakarta bebas dari kemungkinan terjadinya konflik sosial yang destruktif. Apalagi Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan dinamika sosial yang cukup signifikan. Peluang terjadinya konflikpun semakin besar 4 Menurut Surwandono, konflik SARA merupakan konflik yang tertinggi di Yogyakarta dan kondisinya sangat memprihatinkan. Dari sisi konflik agama, The Wahid Institute mengeluarkan hasil risetnya bahwa Yogyakarta menduduki posisi kedua sebagai propinisi yang memiliki tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia setelah Jawa Barat. Berkembangnya fenomena multicultural tidak selamanya berimplikasi positif bagi kota Yogyakarta sendiri. Bahkan selama kurun waktu 2014 tercatat ada 21 kasus intoleransi dan pelanggaran beragama yang terjadi di Yogyakarta, meningkat drastis dari tahun 2013 yang hanya pernah terjadi satu kasus serupa. Hal yang sangat disayangkan jika merujuk pada “Yogyakarta berhati nyaman”. Beberapa kasus yang mencuat konflik etnis orangorang Indonesia bagian Timur, yang berawal dari kasus Cebongan yang marak pada tahun 2013. Tidak hanya itu, pada pertengahan tahun 2014 juga terjadi perkelahian antara mahasiswa yang berasal dari Maluku dengan penduduk lokal, hanya karena penduduk sudah terdoktrin dengan adanya kasus Cebongan sebelumnya. Kasus lainnya yang bermotif agama adalah penolakan pendirian gereja saksi Yehuwa di Baciro oleh Front Jihad Islam (FJI), penyerangan rumah Julius Felicianus oleh sekolompok orang berbaju gamis di Ngaglik Sleman, perusakan gereja di Pangukan Sleman dan lain-lain. Gunung Kidul merupakan kabupaten dengan kasus konflik agama terbanyak nomor nomor 1 di DIY, disusul kabupaten Sleman dan Bantul selama kurun waktu 2-3 tahun.5 Kasus-kasus keagamaan yang muncul di Gunung Kidul antara lain penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah umat non-muslim dan penolakan terhadap acara-acara keagamaan umat non-mulism di Gunung Kidul. Menurut M. Subhi, peneliti Wahid Institute, 11 dari dari 21 kasus yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah kasus antara Islam dan Kristen, seperti penyegelan gereja, pelarangan perayaan Paskah bersama di Gunungkidul, serta serangan di rumah Pendeta Rosario6. Aksi penolakan yang dilakukannya kadangkala dibarengi dengan aksi kekerasan berupa pemukulan, pengeroyokan bahkan aksi-aksi anarkis lainnya yang tidak selayaknya dilakukan oleh umat beragama. Beberapa kasus yang muncul di Gunung Kidul antara lain penolakan pembangunan Goa Maria Giriwening, Gereja Pentakosta di Indonesia (GpdI) Tunggul di Semanu, Pentakosta di Indonesia (GpdI) Jatisari di Playen, Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di Widoro kecamatan Girisubo, penolakan pelaksanaan Paskah Adiyuswo, serta pengeroyokan dan pemukulan terhadap aktivis Forum Lintas Iman (FLI) Aminudin Aziz.7 Banyaknya tantangan menciptakan perdamaian mengharuskan semua elemen masyarakat untuk melakukan inisiasi pendidikan perdamaian. Pendidikan perdamaian 4
Anonim. 2013. Nyaman Tak Berarti Bebas dari Konflik. http://cpps.ugm.ac.id/content/yogyakarta-nyamantak-berarti-bebas-dari-konflik. Diakses pada Selasa 26 April Pukul 16.00 WIB. 5 Adhi, Kelvian. “Intoleransi, Gunungkidul Ternyata Nomor Wahid”. 01 Mei 2016. https://sorotgunungkidul.com/berita-gunungkidul-15919-intoleransi-gunungkidul-ternyata-nomorwahid.html 6 Hamonangan, S. 2015. Wahid Institute: DIY Urutan Kedua Kasus Intoleransi Sepanjang 2014. http://citizendaily.net/wahid-institue-diy-urutan-kedua-kasus-intoleransi-sepanjang-2014/ diakses pada 28 april 2016. 7 Adhi, Kelvian. “Intoleransi, Gunungkidul Ternyata Nomor Wahid”. 01 Mei 2016. https://sorotgunungkidul.com/berita-gunungkidul-15919-intoleransi-gunungkidul-ternyata-nomorwahid.html
ini tidak hanya dilakukan melalui jalur pendidikan formal tetapi juga berkolaborasi dengan masyarakat. Pendidikan perdamaian ini pun memerlukan peran mayoritas penduduk Yogyakarta yaitu masyarakat Muslim. Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam memiliki peran penting dalam melakukan pendidikan perdamaian kepada santrinya maupun melakukan sinergi dengan masyarakat. Pondok Pesantren Sunan Pandanaran adalah salah satu pesantren yang mengupayakan pendidikan perdamaian baik kepada santri-santrinya maupun bersinergi dengan masyarakat. Tulisan ini akan mendalami dialektika konflik mengenai kasus yang terjadi pada kelompok Forum Lintas Iman (FLI) serta inisiatif damai yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran untuk menciptakan perdamaian. Dari kedua analisis ini diharapkan dapat menjadi lesson learned bagi para pembaca dan memberikan dorongan untuk terus mengupayakan inisiatif damai.
Dialektika Konflik Aktivis Forum Lintas Iman Gunung Kidul Konflik sebagaimana dinyatakan oleh Ralfh Dahrendorf, merupakan fenomena yang selalu hadir (inherent omnipresence). Konflik sebenarnya merupakan fenomena alamiah yang menyertai pola interaksi manusia sepanjang masa. Tidak semua konflik berlangsung melalui kekerasan.8 Perbedaan yang terdapat dalam masyarakat karena nilai-nilai budaya yang dilatarbelakangi sosiokultural, akan menjadi pendorong munculnya perasaan kesukuan yang berlebihan dapat memicu nilai negatif berupa etnocentrisme yang menganggap remeh suku dan budaya lain. Dengan kata lain, menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi nilai penghormatan sangatlah penting untuk menjaga perdamaian. Forum Lintas Iman (FLI) merupakan organisasi hasil refleksi panjang para aktivis lintas iman diantaranya Aminudin Aziz (AA) pada tahun 2000 di Gunung Kidul. FLI didirikan atas dasar kegelisahan dan kepedulian pemenuhan hak kelompok minoritas agama di Gunung Kidul diantaranya terkait hak beribadah dan pendirian rumah ibadah serta rasa kemanusian dan kesadaran akan keberagaman. Tujuan utama FLI adalah mempromosikan kedamaian dan toleransi di Gunung Kidul baik melalui advokasi litigasi maupun non-litigasi. Organisasi ini tidak hanya bergerak pada bidang keagamaan saja, melainkan juga pada kemanusiaan dan pengabdian masyarakat seperti solidaritas gempa bumi, mendirikan posko pasca erupsi merapi. Hal ini bertujuan agar masyarakat merasakan hidup bersama dan saling membantu. Pendirian Forum Lintas Iman (FLI) tidak selalu berjalan mulus seperti yang direncanakan, selalu ada halangan dan rintangan yang harus dihadapi oleh aktivis FLI. Meski organisasi ini menurut ormas Islam besar di Indonesia yaitu Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dinilai baik, namun tidak menurut ormas Front Jihad Islam (FJI) maupun ormas slam garis keras lainnya. Segala hal dan kegiatan yang dilakukan oleh FLI dinilai salah dan bahkan seringkali ada penolakan yang dibarengi dengan aksi kekerasan. Salah satu kegiatan advokasi yang dilakukan FLI terhadap perundangundangan daerah (Perda) Gunung Kidul, FLI mencoba hadir menyuarakan suara umat beragama minoritas terhadap Perda pelarangan miras. Miras masih digunakan dalam beberapa upacara dan ritual keagamaan umat non-muslim. Perlu ada aturan yang 8
Suprapto, Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid, (Kontestasi, Integrasi, dan Resolusi Konflik HinduMuslim), Jakarta: Kencana, 2013), Hlm. 30
mengakomodir keberadaan miras untuk upacara keagamaan. Namun hal ini justru mendapatkan perlawanan dan penolakan oleh Front Jihad Islam (FJI). FLI mendapatkan hujatan dan tekanan yang berat, bahkan anggapan dan ungkapan kafir menjadi suara FJI yang ditujukan kepada aktivis FLI saat itu meskipun tujuannya adalah untuk mengakomodir kepentingan semua warga. Ibaratkan dua kutub magnet, kegiatan yang bersifat positif yang dilaksanakan FLI bertemu dengan kegiatan yang menurut ormas FJI juga bersifat positif bersifat tolak menolak, bahkan tidak jarang mengalami benturan. Bermula dengan benturanbenturan kecil dengan tanpa tindak kekerasan, dan pada akhirnya sampai pada titik puncak konflik. Pada rencana pelaksanaan Paskah Adiyuswo di Playen Gunung Kidul, segala hal telah dipersiapkan termasuk diantaranya peminjaman tempat dan penyebaran undangan ke jemaat Jawa Bali. Sebanyak 10.000-13.000 jemaat dari Jawa-Bali sudah mengkonfirmasi undangan kedatangan pada pelaksanaan Paskah Adiyuswo yang diselenggarakan di Playen, Gunung Kidul. Pihak pengelola tempat sudah sudah mempersiapkan tempat dengan baik dan peminjaman sudah melalui perizinan yang sesuai prosedur. Pada hari Jumat, 2 Mei 2014 mulailah serangkaian kegiatan FJI pada kegiatan Paskah Adiyuswo tersebut, spanduk-spanduk berisi penolakan bertebaran di sekitar lapangan pelaksanaan Paskah Adiyuswo di Playen Gunung Kidul. Tidak hanya itu, aktivis FJI se-Yogyakarta berkumpul dan sudah bersiap siaga menghadang rombongan jemaat yang hadir pada acara Paskah agar pelaksanaan Paskah dibatalkan. Prihatin melihat hal tersebut, AA tidak tinggal diam. AA mulai berjalan menuju lokasi untuk mengkondisikan lokasi kembali dengan meminta bantuan penjagaan aparat keamanan setempat. Namun di tengah perjalanan, di perempatan jalan Wonosari ketika lampu menunjukkan warna merah, mobil AA dikeroyok 3 mobil yang berisi sekelompok orang berbaju putih yang berjumlah sekitar 45 orang yang disinyalir adalah kelompok FJI. Mengetahui penumpang di mobil tersebut adalah AA, FJI meminta paksa agar AA turun dan mau diajak diskusi di seberang jalan. Namun karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk diskusi, AA menolak permintaan FJI. Penolakan tersebut dianggap sebuah perlakuan yang menyinggung kelompok FJI, akhirnya mobilAA diinjak-injak dan kepala AA ditempeleng sekaligus dibarengi dengan hinaan dan celaan kepada AA. Karena merasa nyawanya terancam, AA mencoba menghubungi rekanrekannya guna meminta pendapat untuk pelaporan kasusnya. Akhirnya AA dengan dibantu Bowo, aktivis FLI, menuju kantor polisi setempat untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Sesampainya diparkiran bukan perlindungan yang didapatkan, justru AA dan Bowo mendapatkan perlakuan kekerasan dari kelompok FJI di tempat parkir kantor polisi. Antara kedua belah pihak terjadi aksi saling dorong, bahkan sudah sampai dengan adu fisik. Sesampainya di ruang pemeriksaan polisi guna pelaporan kasus, semua massa kelompok FJI masih berada tepat di balik jendela ruangan dan bahkan mengatai AA “Saya akan bunuh kamu...”. Mendengar kata-kata tersebut, AA merasa nyawanya dalam bahaya dan terancam, namun polisi tidak segera mengambil tindakan yang tegas untuk mengamankan mereka dan seolah-olah membenarkan perlakuan tersebut. Akhirnya kondisi ruangan pemeriksaan disterilkan. AA kemudian melaporkan kejadian yang dialaminya selama di perempatan jalan Wonosari mengenai pengroyokan, pemukulan terhadap dirinya dan pengrusakan mobil pribadinya. Setelah kejadian pengeroyokan dan perusakan yang menimpa AA dan mobil pribadinya, AA juga melaporkan kejadian tersebut ke Polres Gunung Kidul. Hal ini dilakukannya
karena merasa bahwa penanganan kasus berjalan lambat dari Polsek setempat. Namun hal ini juga terjadi di Polres Gunung Kidul, penanganan dan hukum yang jelas masih belum diberikan kepada pelaku tindak kekerasan tersebut. Polres tidak menindaklanjuti laporan polisi yang dibuat oleh AA. Polres selalu berusaha mempersulit AA dengan mengharuskan menghadirkan saksi dan barang bukti pada saat kejadian, padahal jelas barang bukti berupa mobil dan hasil visum dokter ada. Tidak ada satu orang pun yang berinisiatif dan bersedia menjadi saksi. Hal ini yang kemudian mengindikasikan beberapa kemungkinan, yaitu yang pertama masyarakat kurang peduli atau acuh tak acuh dengan kegaduhan yang terjadi pada waktu itu. Yang kedua, masyarakat merasa takut dan tidak ingin ikut campur dengan perkara yang terjadi walau mungkin sebenarnya di dalam diri mereka ada rasa ingin membantu. Kedua kemungkinan alasan tersebut di atas adalah gambaran kecil dari bagaimana kesadaran masyarakat tentang kepedulian atas nama hukum. Bahkan fenomena hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas hari ini pun sudah layaknya wacana biasa. Walaupun tidak menafikan banyak juga yang memperjuangkannya. Konflik yang terjadi saat itu menganggu keberlangsungan perayaan paskah karena pada awalnya perayaan paskah akan diadakan di tempat yang memadai di Gunung Kidul yaitu di Lapangan Terbang Gading. Namun karena konflik tersebut panitia mengupayakan tempat yang lain seperti di Alun-alun Wonosari, Puslatpur Rindam IV Diponegoro Paliyan, bekas Terminal Wonosari, dan di Gereja Katholik Paroki Kelor. Akan tetapi pemerintah setempat, TNI AU dan pihak kepolisian tidak mengizinkan di tempat terbuka9. Walaupun tidak sesuai dengan rencana semula, Perayaan Paskah Adiyuswa 2014 Sinode GKJ akhirnya tetap bisa dilaksanakan di Gunungkidul dan tersebar di delapan gereja berbeda sesuai dengan izin yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian, yaitu GKJ Wonosari, GKJ Logandeng, GKJ Paliyan, GKJ Bejiharjo, GKJ Wiladeg, GKJ Panthan Candi, GKJ Ponjong, dan GKJ Pugeran Semin. Rentetan konflik tersebut tentu berdampak buruk bagi korban yang diserang. Pertama dampak fisik. Tentu kejadian penyerangan dan penolakan atau penutupan tempat ibadah berdampak fisik. Mobil AA mengalami kerusakan dan AA sendiri mengalami luka-luka. Kedua dampak non-fisik. Akibat kejadian dan serangan itu korban pasti mengalami dampak psikologi. Terdapat ketakutan yang luar biasa dalam diri AA sehingga menjadikan trauma berkepanjangan. Sampai kinipun AA tidak mau mengingat-ingat lagi tanggal kejadian. Andai tidak kuat, AA bisa saja bersikap apatis mundur dari jabatan di FLI untuk menyelamatkan diri dan juga keluarganya. Bagaimana tidak, nyawa dan kehidupan AA menjadi taruhannya. Memperjuangkan hal yang baik, membela kaum minoritas justru mengantarkannya ke dalam bahaya. Ketiga dampak politis, akibat konflik tersebut. Ruang gerak AA di Wonosari menjadi terbatas, karena secara tidak langsung AA menjadi buronan FJI. “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” (Pasal 28 G UUD NRI 1945). Dampak lain pada masyarakat adalah munculnya rasa ketidaknyamanan antar kedua belah kelompok sampai saat ini dikarenakan jalan damai yang diharapkan 9
Wicaksono, P. 2014. Perayaan Paskah Tak Dapat Izin di Tempat Terbuka. https://m.tempo.co/read/news/2014/05/30/058581296/perayaan-paskah-tak-dapat-izin-di-tempatterbuka. Diakses pada minggu 1 Mei 2016.
pihak AA dengan pembelaan haknya masih belum didapatkan. Pasca penyerangan dan pengroyokan juga membuat suasana di Gunung Kidul menjadi tidak setentram dan sedamai sebelumnya. Persepsi dan anggapan masyarakat non-muslim terhadap agama Islam juga mulai berubah, toleransi tercoreng. Sikap antar warga muslim dan non-muslim tidak seharmonis pada waktu sebelumnya. Bukan hal yang mudah untuk menciptakan suasana perdamaian di kabupaten Gunung Kidul karena banyaknya perbedaan yang ada pada lapisan masyarakatnya. Pada dasarnya banyaknya konflik yang terjadi dikarenakan tidak adanya toleransi terhadap perbedaan yang ada diantaranya. Jika ditelisik lebih mendalam, pengeroyokan AA merupakan pelanggaran HAM, diantaranya setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (pasal 28 D ayat 1 UUD NRI 1945), setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu dan Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 28 E ayat 1 dan 2). Berdasarkan undangundang tersebut, setiap orang berhak memilih agama apapun dan melakukan perayaan agama sesuai yang diyakini. Jika umat Islam secara bebas merayakan Isra‟ Mi‟raj dan Maulid Nabi, seharusnya umat kristiani juga secara bebas merayakan paskah. Akan tetapi pada kenyataanya perayaan itu ditolak dan di protes oleh kelompok intoleran Islam. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masyarakat nonmuslim di Gunung Kidul saat itu ada yang belum terpenuhi sesuai dengan semestinya. Pengendalian diri dan emosi menjadi kunci utama penyelesaian kasus yang dialami AA. AA memilih untuk mengupayakan perdamaian dengan melaporkan kasusnya terhadap pihak yang berwajib, dalam hal ini adalah Polsek dan Polres. Padahal pada saat itu AA tergabung dalam kelompok Barisan Serba Guna (Banser) NU yang notabene-nya mempunyai kekuatan untuk melakukan penyerangan balasan terhadap kelompok FJI. Sikap yang ditunjukkan Aminudin Aziz merupakan sikap yang menunjang upaya bina damai dan mencegah pelanggaran HAM yang berkelanjutan. Usaha lain dengan meyakinkan misi damai kepada orang lain menjadi strategi AA untuk meredam potensi konflik yang lebih besar. Selain itu, mediasi, negosiasi, dialog diupayakan oleh FPUB untuk menyelesaikan konflik, sehingga saling toleransi dan harmonisasi dapat dijalani. Tentu kita masih ingat dalam sejarah Islam, setiap hari Nabi selalu dilempari kotoran unta oleh kafir Quraisy ketika hendak berangkat ke masjid. Sikap Nabi sama sekali tidak membalas perbuatan mereka, namun justru pada suatu saat ketika beberapa hari orang kafir tersebut tidak lagi melempari Nabi, Nabi menanyakannya kondisinya. Ternyata orang yang biasa melempari Nabi sedang sakit dan Nabi pun justru menjenguknya tanpa perasaan dendam sedikitpun. Seketika itu pula orang kafir tersebut menangis dan masuk Islam. Sikap inilah yang menjadi landasan salah satu usaha resolusi konflik yang dilakukan AA. Selain itu, inisiatif damai dalam penyelesaian konflik yang dialami aktivis FLI antara lain melakukan mediasi dengan jalan damai melalui mediator dan mempertemukan pihak FLI dan FJI dengan melibatkan FPUB untuk duduk bersama membahas konflik dan menemukan titik temu serta akar permasalahan sehingga konflik tidak akan terjadi lagi. Upaya penegakan hukum dilakukan agar tidak ada kelompok yang main hakim sendiri. Mencegah konflik dengan menghadirkan aparat keamanan dalam pelaksanaan peribadahan umat agama lain untuk menghindari terjadinya konflik.
Meskipun demikian, FLI tetap perlu memperbaiki model kelembagaannya agar FLI semakin baik perannya dalam upaya pemenuhan hak asasi warga. FLI perlu menguatkan internal FLI khususnya keanggotaan untuk penyebaran toleransi antar agama di Gunung Kidul dan penanganan konflik-konflik agama dan sosial yang terjadi di Gunung Kidul. Selain itu, konflik antar agama seperti yang sedang dibahas ini perlu dihadapi dengan kerjasama yang baik dengan berbagai kalangan. Penguatan peran seluruh elemen masyarakat, baik warga setempat, antar agama, agama mayoritas di lingkungan tersebut, aparat hukum, sampai ke pemerintah untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik yang terjadi secara bersama. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menyadarkan akan keberagaman yang ada di Indonesia, menumbuhkan sikap toleransi dan kemudian dapat hidup berdampingan dengan damai. Sedikit mengulas HAM dalam dua perspektif, yakni perspektif universal (DUHAM) dan perspekstif Islam yang dikenal dengan al-dlaruriyat al-khamsah. HAM dalam pandangan universal bersumber pada pemikiran manusia, bersifat antroposentris, mengutamakan hak daripada kewajiban, dan manusia sebagai pemilik sepenuhnya hak-hak dasar. Kemudian HAM dalam perspektif Islam yang dirumuskan dalam al-dlaruriyat al-khamsah (hifdzu al-din, hifdzu al-mal, hifdzu al-nafs wal-„ird, hifdzu al-„aql, dan hifdzu al-nas) bersumber pada ajaran al Qur‟an dan sunnah Nabi Muhammad s.a.w, bersifat teosentris, keseimbangan antara hak dan kewajiban, kepentingan sosial lebih diutamakan, serta manusia hanya sebagai mahluk yang dititipi hak dasar oleh Tuhan dan wajib mensyukuri serta memeliharanya. Kasus ini harus diselesaikan secara damai, perlu adanya dialog, duduk bersama antara FLI dan FJI guna menemukan solusi, menyelaraskan pandangan agar tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lain. Menyamakan persepsi dan tujuan menjadi salah satu cara untuk meredam dan menghindari munculnya konflik. Menanamkan kesadaran akan keberagaman memang tidak mudah, apalagi jika yang kita hadapi adalah mereka yang fanatik terhadap keyakinannya masing-masing. Akan tetapi bukan tidak mungkin konflik tersebut dapat menemui titik terang dan akhirnya terselesaikan. Dialog antar penganut agama bukanlah merupakan peleburan agama-agama menjadi satu agama. Juga bukan membuat suatu sinkretisme, semacam agama baru yang membuat unsur-unsur ajaran agama. Dialog juga bukan untuk mendapatkan pengakuan akan supremasi agamanya sebagai agama yang paling benar. Dialog disini adalah untuk mencapai saling pengertian dan slaing menghargai di antara para penganut agama. Mengutip kata Nurcholish Majid, perbedaan yang ada harus disikapi dengan penuh kedewasaan di atas landasan jiwa persaudaraan, penuh pengertian, tenggang rasa dan kasih sayang. Ketika kita seorang muslim kemudian kita membela hak mereka yang berbeda keyakinan atas dasar kemanusiaan apakah itu sesuatu yang salah? Sedangkan al Qur‟an jelas-jelas mengajarkan tentang kasih sayang kepada sesama dan bagaimana seharusnya relasi kita dengam manusia lain seperti yang dimaksud dalam Q.S alHujurat [49]: 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling muliadi antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.”, menurut ayat tersbut keutamaan seseorang itu dilihat dari ketaqwaannya, bukan dari suku atau bangsanya. Pada dasarnya taqwa adalah ketaatan kepada Allah, jadi orang yang bertaqwa adalah orang yang taat pada Allah SWT. Taqwa dapat dicapai dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dan dibuktikan dari ahlak dan tingkah laku atau yang dikenal dengan istilah ihsan. Mengapa dalam ayat ini perbedaan suku dan bangsa dan perintah untuk ta‟aruf antara mereka dikaitkan langsung dengan kualitas ketaqwaan. Pastilah ada maksud tersembunyi di situ. Yakni, bahwa kesediaan manusia untuk saling mengenal dan memahami suku dan bangsa yang berbeda adalah salah satu indikasi kemuliaan dan tanda akan adanya jiwa ketaqwaan pada diri mereka. Paling tidak hal ini berlaku dalam konteks pergaulan dan interaksi kita dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda dengan kita. Sebaiknya, sikap seseorang yang menutup diri, tidak mau mengenal dan memahami orang atau kelompok lain, dan apalagi mengganggu dan menyakitinya hanya karena mereka berbeda, mengisyaratkan absennya taqwa pada diri orang tersebut. Islam juga berpandangan bahwa identitas tidak begitu penting. Yang terpenting adalah hati dan perbuatan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Muhammad s.a.w: “sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk-bentuk kalian dan harta-harta kalian, tetapi melihat pada hati-hati kalian dan amal-amal kalian.” (H.R. Muslim). Hadits tersebut menjelaskan toleransi terhadap sesama manusia secara umum. Rasulullah pun sudah mencontohkan, beliau menghormati jenazah orang Yahudi pada waktu itu. Diriwayatkan bahwa suatu hari ada rombongan orang pembawa jenazah berjalan lewat persis di hadapan Rasulullah s.a.w. Seketika itu pula beliau bangun berdiri sebagai ungkapan rasa hormatnya kepada jenazah tersebut. Tetapi kemudian datang seorang sahabat mendekatinya dan memberitahukan bahwa jenazah tersebut adalah seorang Yahudi. Rasulullah dengan tegas menjawab: “Bukankah dia juga adalah manusia.” (H.R. Bukhari). Konflik dengan mengatasnamakan agama selalu menjadi hal yang hangat untuk dipermaslahkan dan dicari celah kesalahannya untuk memecah belah keharmonisan yang sudah ada. Perdamaian bukan suasana yang sama sekali tidak terdapat konflik, namun kondisi dan upaya masyarakat yang dapat hidup secara berdampingan dan dengan adanya sikap saling toleransi, adanya kerja sama, serta dapat menyelesaikan konflik dengan kepala dingin.
Best Practices Inisiatif Damai Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Ukuran keberhasilan pembengunan perdamaian sebagai tanda-tanda positif antara lain dengan adanya dialog antar umat beragama yang insklusif dan meredanya isu pertikaian antar umat beragama di tanah air, meskipun hal ini tidak bisa dikatakan hilang sama sekali. Disamping itu munculnya konsep ideologi kerukunan yang disebut trilogi kerukunan yaitu kerukunan antar inter umat beragama, kerukunan antar umat beragama, kerukunan antar pemerintah dan umat beragama yang kesemuanya penting.10 Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam khas Indonesia. Jumlah pesantren setiap tahunnya terus bertambah dan berkembang. Pada era modern ini, pesantren menjadi salah satu pilar yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab selain mencerdaskan secara intelektualitas dan spiritualitas, pesantren pun memiliki tugas yang besar dalam menjaga perdamaian.
10
Abdullah, A. 1996. Etika dan Dialog Antar Agama: Prespektif Islam. Jurnal Ulumul Qur‟an Vol IV (4) : hlm 2-3.
Misi perdamaian ini sesungguhnya sejak awal munculnya pesantren telah diterapkan oleh para Kyai, baik melalui kurikulum maupun tingkah laku sehari-hari. Posisi pesantren sangatlah kuat dalam memberikan pemahaman kepada para santrinya agar Islam menjadi rahmatan lil „alamin. Pesantren harus menghindari mengajarkan pemahaman yang mengarahkan kepada fanatisme golongan disamping kebenaran ajaran agamanya yang dianutnya. Bukan kitab sucinya yang saling menyalahkan melainkan umatnya yang mentafsirkan kurang bijak sehingga para pemeluk agama ada yang kurang bisa menerima keberadaan agama lain. Sehingga dimungkinkan santri membenci golongan lain yang tidak sefaham. Hal ini tentu membahayakan. Meskipun secara lahiriah tidak terlihat efeknya, namun ketika bersinggungan dengan orang yang berfaham beda, maka akan terjadi ketidakcocokan dan bahkan akan saling menyalahkan. Selain itu pesantren juga harus mewaspadai aliran-aliran baru yang cenderung radikal yang bisa masuk ke pondok pesantren dan mungkin bisa menggerogoti faham yang sudah ada dengan faham baru yang keras. Salah satu pesantren yang mengupayakan inisiatif damai adalah Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA) yang terletak di Sleman, Yogyakarta adalah. Tepatnya di Jalan Kaliurang km 12.5, Candi Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, 55581. Pesantren yang didirikan tanggal 20 Desember 1975 oleh KH Mufid Mas‟ud ini bermula dari tanah wakaf sekitar 2000 m 2 dengan bangunan di atasnya berupa sebuah rumah dan sebuah masjid, area yang sekarang menjadi Komplek I. Pada awalnya PPSPA adalah pesantren tahfidz al-Qur‟an, seiring perjalanan waktu, kini telah berkembang menjadi beberapa lembaga pengajian dan pendidikan yang berada di lima komplek terpisah dengan kurang lebih 3500 santri. Adapun lembaga yang terdapat di PPSPA antara lain: Program Tahfidz AlQur‟an, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Sunan Pandanaran, Raudlatul Athfal (RA) Sunan Pandanaran, Madrasah Ibtidaiyah (MI) Sunan Pandanaran, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Sunan Pandanaran, Madrasah Aliyah (MA) Sunan Pandanaran, Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA), Universitas Terbuka (UT) Pokjar Sunan Pandanaran, Program Santri Mandiri, Pesantren Mahasiswa dan Mahasiswi, Majelis Ta‟lim Al-Jauharoh, Yayasan Bimbingan Haji (YBH) Sunan Pandanaran, BMT Sunan.11 Selain itu bina damai juga disebarkan bagi masyarakat dan pemeluk agama selain Islam di sekitar PPSPA diantaranya melalui Jam‟iyyah Muballighin Sunan Pandanaran (Jamuspa). Jamuspa merupakan kelompok dakwah dari PSPPA yang bersama-sama masyarakat melebur untuk menyebarkan perdamaian. Jamuspa juga menghimpun aspirasi masyarakat untuk dimusyawarahkan secara bersama-sama dengan pondok pesantren untuk menemukan pemecahannya. Jamuspa merupakan perwujudan bahwa pondok pesantren juga harus dekat dengan masyarakat sekitar dan juga memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi masyarakat. Jamuspa merupakan wujud nyata interaksi pondok dengan masyarakat. Didalamnya terdapat warga sekitar pondok dan juga tokoh masyarakat. Sehingga masyarakat punya rerspon yang baik terhadap pondok. Yang unik dari PSPPA adalah memperbolehkan pemeluk agama lain untuk menimba ilmu kepesantrenan bahkan ada juga yang dijadikan guru atau pengajar di lembaga formal. Padahal masih banyak pondok pesantren yang identik dengan kaku dan eksklusif terhadap „dunia luar‟. Pesantren ini juga banyak mengadakan kegiatan11
Jazilus Sakhok. 2016. Profil Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta. Slide presentasi. Yogyakarta
kegiatan kemasyarakatan dalam rangka mengkampanyekan perdamaian dari pesantren baik yang bersifat rutin maupun insidental, skala lokal maupun internasional. Kegiatan tersebut antara lain Diskusi “Islam Damai Pesantren” Bersama Staf Parlemen Uni Eropa; Diskusi “Islam di Pesantren” bersama Mahasiswa dan Dosen Beberapa Universitas dari Jerman; Sekolah Lintas Iman dan Perdamaian Bersama Institut DIAN Interfidie); Seminar ”Waspadailah Terorisme” bersama Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Nasir Abbas; Kegiatan Asia Pacific Theological Encounter Program (APTEP); Kunjungan ulama Afghanistan guna menimba pengalaman dalam penanganan konflik dan mewujudkan perdamaian di Afghanistan; “Konser Perdamaian” bersama Musisi Legendaris Iwan Fals; (Volunteer dari Volunteer In Asia (VIA) beragama Katholik, Hindu, Budha, dan Protestan; Dan kunjungan tamu dari Duta Besar Amerika Serikat dan Arab Saudi. Layaknya pesantren pada umumnya, PPSPA sebagai lembaga pendidikan Islam menebar misi “rahmatan lil alamin”, menjadi rahmat bagi semua orang melalui gerakan pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. PPSPA melakukan pembelajaran perdamaian untuk santrinya melalui 4 prinsip pesantren, yaitu tawassuth (pertengahan); tidak ekstrim, tawazun (keseimbangan); tidak berat sebelah, i‟tidal (jejeg/konsisten-proporsional); tidak condong ke kiri-kirian atau ke kanan-kananan, dan tasamuh (toleran). Kesemua prinsip tersebut diajarkan melalui bahasa santri yaitu pembelajaran dengan kitab kuning yang diajarkan hampir setiap hari. Hal inilah yang menjadi landasan para santri dalam melihat dan menyikapi konflik secara komperehensif. PSPPA ini adalah sebuah langkah konkret aksi perdamaian yang dipelopori oleh santri. Selain dibekali ilmu agama yang mendasar, akhlak yang baik, serta cara dakwah yang santun, peran santri dalam mewujudkan perdamaian untuk semua umat adalah sebuah representasi dan manifestasi dari kontekstual Islam yang rahmatan lil „alamin. Kasih sayang yang diajarkan dalam Islam bukan hanya untuk sesama muslim tetapi untuk semua manusia tanpa terkecuali. Pondok pesantren secara istiqamah harus tetap mempertahankan tradisi kedamaian, keseimbangan, dan keharmonisan lingkungan. Pesantren secara doktrinal tetap mengembangkan prinsip ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah dalam upaya memperkokoh tatanan masyarakat di dalam pesantren, masyarakat sekitar pesantren, masyarakat umum, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Banyak nilai Islam yang menjunjung perdamaian diajarkan di pesantren, juga termasuk Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diajarkan melalui kuliyatul khoms. Peran pesantren dalam pembudayaan nilai, norma, sekaligus pesanpesan keagamaan yang sarat dengan harmoni, kerukunan, persatuan dan kedamaian sangat penting. Termasuk didalamnya melestarikan budaya lokal dan memelihara nilai-nilai dan tatanan sosial yang harmonis disekelilingnya. 12 Dalam pendidikan formal dan non formal santri perlu dibangun kesadarannya tentang keragaman dan toleransi. Kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh PSPPA menyiratkan suatu cara dalam relasi antar masyarakat, antar umat beragama dan menumbuhkan toleransi di antara mereka. PSPPA menerapkan berbagai pendekatan berupa pendekatan spiritual, pendekatan intelektual, pendekatan emosional, dan pendekatan relasional. Pendekatan spiritual terlihat jelas dan sudah menjadi bagian dari identitas yaitu kajian-kajian di pondok pesantren adalah kajian tentang spiritual, mengenalkan 12
Nunu Ahmad an-Nahidil, “Pesantren dan Dinamika Pesan Damai” dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, Vol.4 No.3, Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006, hlm. 18
ketauhidan, ahlak dalam berinteraksi, pengembangan pribadi dan sebagainya. Pendekatan intelektual yang dapat diperoleh dari kajian kitab-kitab klasik sebagai pengetahuan, serta dilengkapi dengan jenjang pendidikan formal yang lengkap dari yang paling dini sampai ke perguruan tinggi. Pendekatan emosional yang diterapkan dalam hubungan PPSPA dengan masyarakat sekitar melaui beberapa majelis rutin untuk membahas segala permasalahan yang terjadi di masyarakat. Hal ini akan menimbulkan atmosfer kerukunan, rasa simpati bahkan empati yang spontan antara masyarakat sekitar dengan masyarakat pondok pesantren. Contoh ketika PPSPA mengadakan konser Iwan Fals dan dibuka dengan ritual mujahadah terlebih dahulu, ketika tidak ada ikatan emosional yang baik antara pesantren dengan masyarakat maka niscaya akan timbul prasangka-prasangka negatif terhadap pesantren karena konser musik dalam kepesantrenan pada umumnya dianggap sesuatu yang masih tabu dan tidak ada nilai kepesantrenan di dalamnya. Kemudian yang terakhir adalah pendekatan relasional, hal ini tercermin dalam kegiatan PSPPA dalam menyebarkan perdamaian dengan memperbanyak relasi, baik dalam bidang pendidikan, budaya, dialog, dan hal itu tidak hanya dilakukan di lingkup dalam negeri tetapi juga telah melebarkan sayapnya sampai ke beberapa negara di seluruh dunia. Sebuah pencapaian yang patut diapresiasi dalam sejarah perdamaian di kalangan santri. Beberapa pendekatan di atas dapat dijadikan contoh dalam upaya mengkampanyekan perdamaian dalam berbagai konteks. Di luar sana masih banyak lagi pendekatan yang harus dipakai, artinya dalam mewujudkan dunia yang damai memang harus dengan berbagai cara dan keterlibatan dari semua pihak. Selain upaya tersebut dapat juga dilakukan upaya preventif lain seperti menanamkan sejak dini sikap toleransi terutama dalam pendidikan yang ada di keluarga, kemudian kesadaran akan keberagaman, kasih sayang sesama mahluk, dan menebarkan kebaikan serta menjadikannya sebuah pribadi yang akan terus melekat dalam diri kita masingmasing. Sedemikian dekat relasi PSPPA dengan masyarakat, sehingga segala bentuk kegiatan yang diselenggarakan oleh PSPPA mendapatkan partisipasi penuh dari masyarakat. Pesantren sebagai agen perdamaian dimulai dalam lingkup pesantren, masyarakat sekitar, dan merambah ke global tentunya. Santri sebagai perantara nilainilai perdamaian harus aktif dalam mengkampanyekan perdamaian. Selain itu juga harus menginisiasinya ke dalam kehidupan sehari-hari. Santri yang dianggap mumpuni tentunya akan banyak didengar oleh masyarakat, dan masyarakat Muslim khususnya. Jika masyarakat Muslim mampu mengapliksikan kesesama Muslim, tentunya akan mampu mengaplikasikannya di kalangan antar umat beragama. Toleransi lahir dari diri kita sendiri, selanjutnya bagaimana kita mempraktekkannya dalam ranah yang multicultural ini.
Penutup dan Rekomendasi Konflik adalah hal yang niscaya terjadi dalam kehidupan apalagi di lingkungan yang penuh keragaman baik budaya, suku, ras, maupun agama. Untuk itu perlu kesadaran tinggi akan keberagaman tersebut. Dalam penyelesaian konflik yang terjadi karena keberagaman tersebut adalah tanggung jawab semua pihak baik yang mengalami, melihat ataupun yang memiliki wewenang hukum untuk menjadi mediasi dalam menyelesaikannya. Mengkampanyekan perdamaian adalah tugas bersama,
karena bumi dan seisinya ini diciptakan untuk dijadikan rumah yang damai dan nyaman bagi seluruh penghuninya. Dan yang paling penting adalah peran manusia sebagai khalifah fil ardh, yang bertugas memimpin, menjadi „wakil Tuhan‟ untuk memelihara segala sesuatu yang ada di bumi. Perbedaan itu seperti air dan minyak, mereka tidak dapat menyatu tetapi bisa berdampingan. Perbedaan itu seperti pelangi, mereka berbeda dalam satu bingkai dan terlihat indah melengkapi langit. Laki-laki dan perempuan adalah dua diri yang berbeda dan perbedaan itulah yang justru menjadikan alasan mereka dapat bersatu melengkapi satu dengan yang lainnya. Perbedaan adalah wujud kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa yang harus kita sadari dan terima dengan suka cita serta menjadikannya ibrah dalam kehidupan. Pada hakekatnya, baik FLI maupu Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, keduanya sama-sama mengusung perdamaian. Relasi antarumat beragama mengalami ketegangan yang tak luput mendorong terjadinya disharmonisasi sosial. Masyarakat dihantui oleh rasa takut, cemas, khawatir, dan saling curiga karena berbagai konflik yang terjadi. Tak jarang konflik atau pertikaian itu diwarnai dengan kerusuhan yang berujung pada kekerasan dan radikalisme. Kenyataan sebagai masyarakat yang majemuk dengan segala keberagaman agama yang ada, telah mengantarkan pada tantangan bagaimana menyatukan keberagaman agama tersebut dalam kehidupan sehari- hari. Disatu sisi, keanekaragaman agama hadir sebagai pemersatu atau perekat sosial (social glue) dan menjadi jaminan yang kuat untuk toleransi sosial, pluralisme demokratis dan resolusi konflik nir kekerasan. Syaratnya kesediaan dari para pemeluk agama untuk menghayati dan mengamalkan agamanya secara dewasa, toleran dan plurais. Sebagaimana diungkapkan oleh Khaled Abou elFadl bahwa semangat toleran dan pluralis dari para penganut agama akan menentukan pemahaman corak teks suci agama tersebut secara toleran pula. 13 Namun disisi lain, agama justru seringkali terperangkap dalam berbagai isu konflik dan kekerasan (violence) yang mengatasnamakan agama. Selanjutnya, bagaimana perdamaian itu diwujudkan, sebagaimana yang menjadi gagasan Hans Kung bahwa “Tidak ada perdamaian bangsa tanpa adanya perdamaian agama, dan tidak ada perdamaian agama tanpa dialog antar agama, serta tidak ada dialog anta agama tanpa penyelaman terhadap fondasi agama-agama”. Pesantren harus siap dalam menyikapi perubahan-perubahan di masyarakat. Di Dunia yang semakin maju ini, agama tetap dibutuhkan oleh masyarakat. dengan permasalahan yang semakin komplek, pesantren diharuskan bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. pesantren sudah semestinya menformulasikan diri menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya. Maka pesantren harus hadir untuk menjadikan masyarakat yang damai. Kerukunan harus tetap dijaga. Toleransi antar agama harus dipupuk. Selain itu, perlu dibuat agenda-agenda terencana untuk mempelajari HAM untuk mewujudkan perdamaian sehingga masyarakat semakin sadar bahwa perdamaian sangat penting sehingga pesantren bisa memaksimalkan peranannya untuk terlatih bersikap responsif dan berperilaku adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan merespon kegiatan-kegiatan masyarakat termasuk masalah HAM dan penyelesaian konflik secara damai.
13
Suprapto, Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid, (Kontestasi, Integrasi, dan Resolusi Konflik HinduMuslim), Jakarta: Kencana, 2013), Hlm. 30
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A. 1996. Etika dan Dialog Antar Agama: Prespektif Islam. Jurnal Ulumul Qur‟an Vol IV (4) : hlm 2-3. An-Nahidil Nunu, Ahmad, “Pesantren dan Dinamika Pesan Damai” dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, Vol.4 No.3, Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006, hlm. 18 Badan Pusat Statistik DIY. 2014. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2014. Yogyakarta: BPS DIY. Hamonangan, S. 2015. Wahid Institute: DIY Urutan Kedua Kasus Intoleransi Sepanjang 2014. http://citizendaily.net/wahid-institue-diy-urutan-keduakasus-intoleransi-sepanjang-2014/ diakses pada 28 april 2016. Kelvian, Adhi. “Intoleransi, Gunungkidul Ternyata Nomor Wahid”. 01 Mei 2016. https://sorotgunungkidul.com/berita-gunungkidul-15919-intoleransigunungkidul-ternyata-nomor-wahid.html Kementrian Agama DIY. 2013. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama perKabupaten/Kota. Yogyakarta: Kemenag DIY. Suprapto, Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid, (Kontestasi, Integrasi, dan Resolusi Konflik Hindu-Muslim), Jakarta: Kencana, 2013), Hlm. 30 Sakhok, Jazilus. 2016. Profil Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta. Slide presentasi. Yogyakarta Wicaksono, P. 2014. Perayaan Paskah Tak Dapat Izin di Tempat Terbuka. https://m.tempo.co/read/news/2014/05/30/058581296/perayaan-paskah-takdapat-izin-di-tempat-terbuka. Diakses pada minggu 1 Mei 2016. ____________ . 2013. Nyaman Tak Berarti Bebas dari Konflik. http://cpps.ugm.ac.id/content/yogyakarta-nyaman-tak-berarti-bebas-darikonflik. Diakses pada Selasa 26 April Pukul 16.00 WIB.