PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN DAN TANTANGAN PASAR BEBAS (Sebuah Antologi Dialektika-Progresif Pondok Pesantren dan Perubahan Zaman) Misnatun, M. Pd.I1 Abstract: Boarding school may be one, of the many models or variants of existing educational institutions in Indonesia. But unique, this institution has durability (surviving) is very strong. When other traditional institutions experiencing renewal and change in culturally or structurally. Boarding schools still maintain the fundamental core of his base, as a feature and filters that will never be replaced. Changes in governance and the principle of operation of the boarding school is also very impact on the education system run boarding school. Through its independence, boarding can freely change without always follow that has been outlined by the government. Boarding can also assess the most urgent need, at this time, which is beneficial to the people. Boarding school will also have the freedom to make policy and strategic formulations face the global reality Keywords: Education, Pesantren, Free Market Pendahuluan Membincangkan pondok pesantren berarti mendialogkan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Memang, pondok pesantren mungkin merupakan salah satu, dari sekian banyak model atau varian lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Namun uniknya, lembaga ini memiliki daya tahan (surviving) yang sangat kuat. Di saat lembaga-lembaga tradisional lain mengalami pembaharuan dan perubahan secara kultural ataupun struktural. Pondok pesantren masih tetap menjaga core-fundamental base-nya, sebagai sebuah fitur dan filter yang tidak akan pernah tergantikan. Ya, pondok pesantren, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Bawani, masih tetap menjaga karakter penghormatan terhadap kiai, pengkajian kitab kuning, nilai-nilai kesederhanaan, gotong royong, kebersamaan, dan kedisiplinan yang tinggi.2Dalam bahasa yang lebih sederhana, pondok pesantren selalu reaktif terhadap seluruh perubahan dan kecenderungan yang terjadi akibat arus globalisasi. Namun, bukan berarti menolak perubahan tersebut dengan cara ‘mengharamkan’ adanya perubahan, melainkan menunggu saat yang
1 2
Dosen FTK UINSA Surabaya dan Alumni PP Zainul Hasan Genggong
Imam Bawani, Pendidikan Tradisional Islam (Surabaya; al Kalam, 1991), 13
tepat sehingga apapun yang terjadi di dunia luar bisa difilter dan tidak merusak sistem nilai yang sudah ada. Oleh karena itu, Azzumardi Azra mendeskripsikan pondok pesantren dalam kata “Pesantren; Kontinuitas dan Perubahan”. Keberlangsungan pondok pesantren ada pada aspek ‘tradisionalisme’ (baca; pembiasaan melalui nilai dasar kepesantren), kemudian melakukan perubahan-perubahan subtansial sistem pembelajaran dan kelembagaan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zaman yang terus berkembang.3Azyumadi Azra menyimpulkan bahwa respon pondok pesantren terhadap modernisasi pendidikan dan perubahan sosial dilakukan melalui beberapa cara serta pendekatan; pertama, pembaharuan subtasi dan isi (content of matter) pendidikan pesantren dengan memasukkan subjek-subjek umum dan keterampilan. Kedua, pembaharuan metodologi pembelajaran. Ketiga, pembaharuan kelembagaan. Keempat, pembaharuan fungsi pendidikan yang mencakup di dalamnya sistem sosial-ekonomi.4 Perubahan responsif masih tergolong sangat dominan dalam konteks subsistem pembelajaran semata. Padahal, perubahan pondok pesantren, sebenarnya, juga menyangkut ciri lainnya, seperti kemandirian pengelolaan dan pengembangan ekonomi pondok pesantren. Misalnya, pondok pesantren mampu mendirikan dan menggerakkan Ekonomi Islam dan Bisnis Islam seperti yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, melalui lembaga Baitul Mal Wa At-Tamwil. Atau Agrobisnis seperti yang diselenggaran oleh Pondok Pesantren Mukmin Madiri di Sidoarjo. Atau pengelolaan swalayan di Pondok Pesantren Al Qodiri Jember. Dan masih banyak pondok-pondok pesantren lainnya yang memiliki scope usaha bernilai ekonomi dan bisnis lainnya. Perubahan tata-kelola dan prinsip penyelenggaraan pondok pesantren ini juga sangat memberikan dampak terhadap sistem pendidikan yang dikelola pondok pesantren. Melalui kemandiriannya, pondok pesantren bisa dengan leluasa merubah tanpa selalu mengikuti yang sudah digariskan oleh pemerintah. Pondok pesantren bisa pula menilai kebutuhan yang paling urgen, saat ini, yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Pondok pesantren juga akan memiliki kebebasan membuat kebijakan dan formulasi strategis menghadapi kenyataan global. Segelumit, berdasarkan deskripsi kecil tentang pondok pesantren di atas, bisa disimpulkan bahwa tidak perlu ada kekhawatiran bahwa pondok pesantren kehilangan daya imaji untuk menjawab perkembangan zaman. Tantangan yang paling dekat akan kita hadapi adalah Pasar Bebas ASEAN (MEA) di akhir tahun 2015. Semua pakar bersepakat bahwa, selain mempercepat infrastrukur perekonomian, lembaga pendidikan harus merespon tantangan ini dengan cara 3
Azzumardi Azra, Pendidikan Islam;Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2012), 79-91. 4 Azzumardi Azra, Pendidikan Islam; 79-91.
menghasilkan lulusan yang sesuai dengan permintaan bursa pasar. Jika hal ini tidak dilakukan, lembaga pendidikan tidak akan berkontribusi apa-apa. Malahan akan menambah beban yang akan dihadapi pemerintah. Mampukah pondok pesantren menjawab tantangan ini? Apakah pesantren bisa merubah orientasi fungsionalnya, dari sekedar mereproduksi calon kiai, menjadi lebih subur mendidik para pekerja dan ekonom handal?. Jika menelisik hal-hal yang sudah dijelaskan sebelumnya, penulis berkeyakinan hal itu bisa dilakukan. Tinggal bagaimana strategic planning yang harus dipahami oleh pondok pesantren. Pembahasan A. Historiografi Pondok Pesantren dan Perubahan Sistem Pendidikan Pesantren adalah salah satu kekayaan khazanah intelektual Islam Indonesia. Pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan yang mencerminkan watak Islam Nusantara (indigenous).5 Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, dia merupakan sebuah bentuk sinkretisme budaya pendidikan internasional. 6 Pesantren merupakan gabungan dari tradisi interaksi sosial masyarakat Jawa (Indonesia), tradisi kelembagaan pendidikan agama Hindu dan Budha dari India, dan tradisi intelektual Islam, yang dalam taraf-taraf tertentu menggambarkan kultur Arab. Pondok Pesantren secara kelembagaan pendidikan, adalah merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa dan Madura. 7 Dalam beberapa hal, pondok pesantren secara kelembagaan setara dengan dayah, surau, atau lembaga sejenis di banyak daerah di Nusantara. Penggunaan istilah pondok pesantren juga merupakan kecenderungan yang baru dalam terminologi pendidikan, sebelum era 60-an istilah pondok jauh lebih sering digunakan. Kata pondok barangkali merupakan padanan kata dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel, penginapan, atau asrama. Hal itu merujuk kepada asrama yang digunakan para santri dalam menetap selama menjalani proses pendidikan mereka di pesantren.8 Kata pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan pe-an berarti tempat tinggal para santri. Istilah santri menurut Profesor Johns berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sementara C.C. Berg berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari kata shastra yang berarti kitab suci, dan bukubuku pengetahuan.9 Nurcholish Madjid berpandangan bahwa kata santri berasal 5
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 3. 6 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1999), 21-23. 7 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren:Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1984), 18. 8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 18. 9 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,18.
dari bahasa Jawa cantrik, yang artinya seseorang yang mengikuti guru untuk mempelajari ilmu darinya. Hal tersebut didasarkan pada pola hubungan guru (kyai)-santri dalam pesantren, dimana santri mengikuti gurunya tinggal di suatu tempat dan kemudian menetap di sana.10 Banyak kalangan mengaitkan sejarah keberadaan pondok pesantren di Nusantara, khususnya di Jawa dengan upaya islamisasi yang dilakukan oleh Wali Songo. Maulana Malik Ibrahim pada abad XV dinilai sebagai pendiri pertama pondok pesantren di Indonesia, dia mendirikan pondok pesantren di desa Gapura, Gresik. Usaha yang sama juga dilakukan oleh Sunan Ampel yang mendirikan pondok pesantren di Kembang Kuning, Ampel Denta, Surabaya. Santri-santrinya yang ternama meliputi; Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, dan Raden Patah.11 Namun Martin Van Bruinessen berpendapat bahwa, pondok pesantren dengan bentuknya yang khas seperti yang ada pada masa sekarang ini, belum ditemukan bukti keberadaannya sebelum berdirinya Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo.12 Dengan demikian lembaga pendidikan yang diupayakan oleh Wali Songo beberapa abad sebelumnya bisa dinilai sebagai prototype pondok pesantren. Pada masa sekarang pengertian yang populer dari pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat.13 Selain mendeskripsikan aspek kesejarahan pondok pesantren, para pakar juga menjelaskan beberapa unsur-unsur penting pondok pesantren. Haidar Putra Daulay mempolarisasi elemen pondok pesantren sebagai berikut; pertama, masjid dan rumah kiai, kedua, masjid, rumah kiai, dan pondok, ketiga, Masjid, rumah kiai, pondok dan madrasah, keempat, masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan tempat keterampilan, kelima, masjid, rumah kiai, tempat keterampilan, pendidikan tinggi, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum.14Dari polarisasi elemen pesantren ini, nampaknya, mosholla atau masjid dan kiai adalah elemen yang pasti. Penekanan terhadap masjid memang cukup beralasan. Pasalnya, masjid merupakan tempat transmisi, transformasi, dan pemindahan ilmu-ilmu keislaman. Dari masjid ini pula proses fungsi tradisional pesantren (baca; reproduksi ulama’) diimplementasikan. Setidaknya ada beberapa model dan metode transformasi keilmuan, yang hingga saat ini, terus dijaga dan dijalankan
10
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 20. Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai:Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng (Malang: Kalimasada Press, 1999), 55. 12 Marin VanBruinessen, Kitab Kuning, 25. 13 Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 9. 14 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012) 63-66 11
dipesantren yakni sorogan, halaqah dan bandongan.15Model pembelajaran tersebut menjadi ciri khas atau entitas khusus yang menampilkan kiai sebagai sosok guru dan panutan bagi para santri. Sedangkan santri pondok pesantren terbagi menjadi dua tipe; santri kalong dan santri muqim.16 Selain masjid dan kegiatan yang ada di dalamnya, kiai juga menjadi elemen terpenting kedua. Kiai adalah identitas abadi bagi pendiri dan pimpinan pesantren, meskipun secara teoritik kiai kemudian mengalamai perubahan peran di masyarakat17. Spesifik pada kepemimpinan kiai di pesantren.Kiai memiliki dua dimensi kepemimpinan, yakni etical-transformation dan instructional18. Domain kepemimpinan berbasis etical-transformasion dikarenakan posisi kiai merupakan role model dan sumber etis perilaku para pengurus dan santri dan kiai juga mentransformasikan pemahamannya kepada para pengikutnya. Tidak jarang di pesantren, ada banyak santri yang berusaha mengerjakan apa yang seringkali 15
Sorogan merupakan metode kuliah dengan cara santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Kitab-kitab yang dipelajari itu diklasifikasikan berdasarkan tingkatannya. Halaqah adalah metode diskusi sesama santri dengan ciri khas tersendiri. Biasanya sehabis mengaji sorogan, para santri mengulang pelajaran yang sudah diberikan oleh kiai untuk didiskusikan sesama santri yang mengaji secara sorogan. Bandongan atau wetonan adalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai. Kiai membacakan kitab yang dipelajari saat itu, santri menyimak kitab masingmasing dan membuat catatan. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1984), 41. 16 Santri mukim adalah santri yang berdatangan dari tempat-tempat yang jauh, dan tidak memungkinkan untuk pulang kerumahnya, maka dia mondok (tinggal) di pesantren. Sebagai santri mukim mereka memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Santri kalong adalah siswa-siswa yang berasal dari daerah sekitar yang memungkinkan mereka pulang ketempat kediaman masingmasing. Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan cara pulang pergi antara rumahnya dengan pesantrennya. Lihat : Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya: Al Ikhlas, 1993), 90. 17 Pergeseran peran kiai di masyarakat, berdasarkan paparan Ali Machsan Moesa, terbagi menjadi beberapa model peranan; Pertama, kiai spiritual, kiai advokasi, kiai politik adaptif, kiai politik mitra kritis. Kedua, kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik, kiai panggung. Ketiga, kiai intelektual organik, kiai intelektual tradisional, kiai intelektual simultan. Ali Machsan Moesa sendiri membagi tiga model kiai menjadi tiga; kiai fundamentalis, kiai moderat, kiai pragmatis. Kiai fundamentalis adalah sekelompok kiai yang masih punya idealisme tentang berdirinya negara Islam. Nasionalisme berdasarkan pancasila bukanlah hal yang final. Apabila suatu saat formalisasi syari’at Islam bisa dijalankan, maka negara Islam (dar al Islam) wajib dilaksanakan. Kiai moderat adalah kiai yang berpendapat bahwa agama dan negara memiliki sikap simbiotis, konsep negarabangsa (nation-state) yang ada seperti saat ini adalah yang paling cocok. Ketiga, kiai pragmatis. Mereka adalah kiai yang memiliki idealisme fundamentalis dan menganut universalisme Islam, namun mereka juga menyadari bahwa kondisi Indonesia tidak memungkinkan untuk berubah sebagai negara Islam. Oleh karenanya, mereka lebih memiliki mengikuti pandangan mainstream para kiai NU kiai, Lihat Ali Machsan Moesa, Nasionalisme Kiai (Jogjakarta; LkiS, 2007), 64-65 18 Kepemimpinan transformasional oleh Brent J Goertzen didefinisikan sebagai pemimpin yang mampu mempengaruhi idealisme pengikutnya, sebagai insipirator, memiliki intelektualitas yang tinggi, dan pembentuk kesadaran individu. Kepemimpinan Etis (ethical leadership) adalah seorang pemimpin yang menjunjung tinggi normatifitas dan nilai-nilai keagamaan atau kemasyarakatan. (Lihat: Brent J Goertzen, “Contemporary Theories of Leadership”, dalam Jones & Barlett Learning, Educational Leadership (London; Oxford Press, 2009), 86-100).
dikerjakan kiai. Terakhir, kiai juga memiliki dimensi kepemempinan instructional. Kepemimpinan instruksional, bukan berarti otoriter, namun yang dimaksud disini, kiai juga sangat berkontribusi dalam menentukan pelajaran dan bahan ajar apa yang akan dikaji oleh para santri19. Bahkan, penelitian mutaakhir menyebutkan bahwa kepeimpinan kiai terbagi menjadi tiga; inovatif-terbuka, konservatif-inovatif, dan terbuka-tidak inovatif.20 Tipologi kiai yang berbeda-beda, secara antropologis, juga mempengaruhi eksistensi dan nama pondok pesantren. Ada beberapa tipologi pondok pesantren, sesuai dengan fungsi dan peranannya di masyarakat. Klasifikasi klasik tentang tipologi pesantren pesantren biasanya dibagi menjadi tiga; pondok pesantren tradisional (salaf atau salafiyah, bukan salafi), modern, dan konfrehensifterpadu.21 Bahkan, pada perkembangannya tipologi pesantren kemudian 19
Tony Bush memaknai instructional leadership sebagai pemimpin yang memilki kemampuan untuk merencanakan dan mempengaruhi proses pembelajaran. Tipe pemimpin ini, selain menjadi pemimpin, biasanya memiliki ide-ide inovatif tentang pengembangan pembelajaran. Pemimpin instruksional juga concern terhadap kompetensi para guru dan staffnya. (lihat; Tony Bush, Educational Leadership and Management: Theory, Policy, and Practice (Johabbesburg: MGSLG Press, 2006), 400) 20 Inovatif-Terbuka. Tipologi yang pertama ini terdapat pada pesantren yang mengalami pengembangan. Adapaun indikatornya antara lain; Kiai mendirikan sekolah; Kiai mengintegrasikan kurikulum; Kiai memberdayakan SDM; dan Kiai mengedepankan kemandirian. Konservatif-Inovatif. Tipologi yang kedua ini terdapat juga pada pesantren yang mengalami pengembangan. Adapun indikatornya antara lain; Kiai menolak sekolah; Kiai mengintegrasikan kurikulum Kiai memberdayakan SDM; dan Kiai mengembangkan kemandirian. Terbuka-Tidak inovatif. Adapaun indikatornya adalah sebagai berikut; Kiai tidak menolak sekolah; Kiai tidak mengintegrasikan kurikulum; Kiai tidak memberdayakan SDM; Kiai tidak mengedepankan kemandirian. Lihat A. M. Karim Amrullah “Perubahan Model Penyelenggaraan Pendidikan Pesantren” (Disertasi—Universitas Negeri Malang, 2011), iii. 21 Pesantren tradisional (salafiyah) yaitu pesantren yang masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 M dengan menggunakan bahasa Arab. Pola pengajarannya dengan menggunakan sistem “halaqah”, artinya diskusi untuk memahami isi kitab bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya yang diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab. Santri yakin bahwa kiai tidak akan mengajarkan hal-hal yang salah, dan mereka yakin bahwa isi kitab yang dipelajari benar. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kiai pengasuh pondoknya. Pesantren salaf atau pesantren tradisional adalah lembaga pesantren yang memperhatikan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan. Contoh dari pesantren salaf antara lain adalan Pesantren Lirboyo dan pesantren Ploso di Kediri, pesantren Tremas di Pacitan, Pesantren Maslahul Huda di Pati, Pesantren An-Nur di Sew`on Bantul, Pesantren Mukhtajul Mukhtaj di Mojo Tengah Wonosobo. Pesantren modern (khalafiah) yaitu pondok pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah kedalam pondok pesantren. Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang hanya sekedar pelengkap, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi. Pondok pesantren komprehensif yaitu pondok pesantren yang menggabungkan sistem pendidikan dan pengajaran antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode serogan, bandongan, dan wetonan, namun secara regular sistem persekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan ketranpilan diaplikasikan sehingga menjadi berbeda dari tipologi kesatu dan kedua.Lihat : M. Nafi’, Praktis Pembelajaran Pesantren (Yogyakarta: Yayasan Selasih, 2007), 17. Bandingkan dengan Muhammad Shodiq, “Kepemimpinan Kiai Nasib dalam Meningkatkan Mutu Pesantren, Studi pada Pesantren Al-Hikam
berkembang berdasarkan konstruksionisme ideologi kiai dan pengikutnya, sebutsaja penelitian Greg Fealy dan Bubalo, Noorhadi Hasan, Robert Hefner, Martin Van Bruinessen, yang menambahkan adanya varian baru pondok pesantren salafi dan skriptualis di Indonesia.22 B. Dialektika-Progresif Pondok Pesantren dan Tantangan Pasar Bebas 1. Mencipta Sekolah Unggul Di atas sudah dijelaskan bagaimana sejarah pesantren, tipologi yang berubah-ubah dalam jarum putar sejarah pondok pesantren. Serta hal yang tak kalah penting lagi adalah bagaimana para kiai bisa melakukan pengkajian terhadap kebutuhan masyarakat sekitar dengan sangat baik. Perubahanperubahan paradigma kiai dan sistem pendidikan di pondok pesantren inilah yang menandakan adanya progresifitas-dialektis antara kiai, pondok pesantren, dan fenomena yang terjadi di masyarakat. Hal paling terbaru, yang sedang gencar dilakukan oleh pondok pesantren berdasarkan penelitian para pakar, adalah mengelaborasikan pondok pesantren dan sekolah unggul. Sebuah model sekolah yang mengutamakan efektifitas pembelajaran yang baik, serta ditunjang sarana yang memadai. Sekaligus, memperhatikan aspek links and macth di dalam prosesnya. Sekolah Unggul, dalam terminologi kebijakan pendidikan, dibentuk oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayan Wardiman Djokonegoro sebagai upaya meningkatkan mutu SMA agar mencapai standar tertentu. Sekolah Unggulan biasanya berawal dari sekolah-sekolah Negeri yang ada di Indonesia. Pada saat itu, menurut Darmaningtiyas, ada perubahan paradigma pendidikan Indonesia setelah pertemuan APEC (1994). Landasan pendirian sekolah Unggulan adalah untuk memberikan bentuk pendidikan yang mempunyai link and macth terhadap pembangunan ekonomi Indonesia yang akan menghadapi perdangan bebas (AFTA) dan masih banyak lainnya.23 Secara konseptual, Sekolah Unggul bermakna sebuah sekolah yang unggul dari sisi pembuatan visi, misi, dan kebijakan operasional Malang, Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya, dan Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabya”(Disertasi--Universitas Negeri Malang, 2011), 44-45 22 Sebagaimana yang disebutkan diatas, perubahan ideologi pesantrenn dikarenakan banyaknya aliran-aliran baru – transnasional yang tumbuh subur di Indonesia. Beberapa hasil penelitian seperti Greg Fealy dan Bubalo Jejak Kafilah, terj. Akh. Muzakki(Bandung; Mizan, 2001) 160-161, menunjukkan beberapa hasil yang mengejutkan tentang keberadaan pesantren baru tersebut. Bandingkan pula dengan tulisan Noorhadi Hasan “The Salafi Madrasas of Indonesia” .dan Martin Van Bruisennen, “Tradisional and Islamist Pesantrens in Contemporary Indonesia” dalam Fasrish A Noor edt. Madrasa in Asia; Political Activism and Transnational Linkages (Amsterdam; Amsterdam University Press, 2008). 247-248 dan 217-218. Robert W. Hefner, “Islamic School, Sosial Movement, and Democracy in Indonesia”, dalam Robert W. Hefner edit, Making Modern islam Politic of Education in South Asia (USA: Hawai University Press, 2009), 58. 23 Darmaningtiyas. Pendidikan yang memiskinkan Jakarta : Galang Press, 2004), 209
keberlangsungan kelembangaan. Dalam pandangan penulis, setidaknya, ada delapan (8) butir prinsip sekolah unggul; pertama, kepemimpinan kepala sekolah yang profesional: Pertama, kepemimpinan Kepala Sekolah yang Profesional.24Kedua, guru yang tangguh dan profisional.25Ketiga, memiliki tujuan pencapaian filosofis yang jelas (visi dan misi). 26Keempat,lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran.27Kelima, jaringan organisasi (networking) yang baik.28Keenam, kurikulum yang jelas. Ketujuh, evaluasi yang baik berdasarkan peta pemahaman, sikap, internalisasi nilai, dan partisipasi peserta didik terhadap berbagi problem di sekitarnya. Kedelapan,partisipasi aktif oarang tua dalam kegiatan sekolah. 29 Kendati belum ada penelitian konfrehensif berhubungan dengan fenomena merebaknya sekolah unggul di Pondok Pesantren. Penulis melihat ada beberapa contoh sekolah unggul – non madrasah, yang diselenggarakan khususnya di Jawa Timur. Di Surabaya ada Madrasah Unggulan Bertaraf internasional yang tata cara pengelolaan dan pendidikannya berbasis pondok pesantren, yakni Pondok Pesantren Amanatul Ummah. Penulis juga mendapatkan informasi bahwa ada sekolah Unggul di Pondok Pesantren ArRisalah, Lirboyo Kediri. Sekilas, secara observasional, pasca penulis melihat website resmi pondok pesantren ini memang memiliki keunikan tersendiri. Pondok Pesantren ini tidak memiliki pendidikan formal agama (baca; madrasah), kecuali Madrasah Diniyah. Prestasinya pun mentereng baik dari sisi ilmu kegamaan ataupun ilmu pengetahuan umum seperti Olimpiade Sains. Kegiatan-kegiatan kependidikannya tak kalah menarik, mereka melakukan Summer Champ di China dan beberapa negara lain di luar negeri.30 Dari brosur pendaftaran yang penulis dapatkan. Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu Ar-Risalah berdiri pada bulan Februari 1995. Terletak di Desa Lirboyo, Kecamata Mojoroto, Kota Kediri Jawa Timur. Berkaitan dengan standar mutu pendidikan, Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu ArRisalah ini memiki sarana-prasarana ruang studio radio Risalah FM, Asrama Puteri, Asrama Putera, Koprasi Puteri, Koprasi Putera, Musholla, Perkantoran, Auditorium, Perpustakaan, English Centre, Ruang Multimedia, Ruang Studio Video, Ruang Sekolah, Ruang Makan, Ruang Cuci Pakaian, Ruang Usaha Kesehatan Sekolah, Ruang Kesenian/Keterampilan, Laboratorium Bahasa, 24
Suedjiarto, Sekolah Unggulan untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan, 81 Suryaman, Kepemimpinan Pendidikan, 35 26 Soehadi Jami’in, Perjuangan Membangun Citra Sekolah Islam, (Surabaya: Al falah, 2004), 75 27 Abdurrahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 28 28 Suryaman, Kepemimpinan Pendidikan, 29 Sutomo, Sugito, Kapita Selekta Pendidikan, (Surabaya: Program Pasca Sarjana Univerista Adi Buana, 2009), 43 30 www.arrisalah.org 25
Laboratorium Komputer, Laboratorium Kimia Fisika, Laboratorium Biologi, Laboratorium Pengetahuan Sosial. Uniknya Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu Ar-Risalah memiliki kebijakan mutu pendidikan diantaranya: pertama, Membentuk Pribadi Luhur Yang Mampu Bersaing Secara Global; Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu Ar-Risalah sangat mengedepankan Akhlaqul Karimah. Kedua, Mengutamakan Kebersihan; Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu Ar-Risalah mendidik santrinya untuk selalu hidup bersih. Ketiga, Bangga Menjadi Santri; Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu Ar-Risalah menanamkan rasa bangga terhadap santrinya karena status santri yang ia sandang itu sendiri. Keempat, Mengutamakan Kedisiplinan; Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu Ar-Risalah setiap melakukan kegiatan selalu tepat waktu. Kelima, menggunakan pengamalan ilmu; Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu Ar-Risalah mewajibkan kepada semua santrinya untuk melaksanakan sholat dhuha, tahajjud, hajat, dan sholat witir. Setiap senin dan kamis wajib puasa bagi santri tingkat SMP dan SMA. 31 Fenomena lainnya ada di Kabupaten Probolinggo;Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Sama halnya dengan Pondok Pesantren Slafiyah Terpadu Ar-Risalah, pondok pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan ini juga mendirikan SMA Unggulan dan MA Model yang memiliki prestasi berimbang antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Di dalam profil Pesantren Zainul Hasan Gennggong, dasar-dasar pengembangan Pesantren Zainul Hasan Genggong di arahkan pada pendidikan sesuai dengan kebutuhan zaman, akan tetapi pendidikan pesantren pada setiap setuan pendidikannya tetep memperkuat jati dirinya sebagai bagian dari pesantren salafiyah dengan berpedoman kepada al-Quran, Hadits, Ijtihad, Muktabar dan Qonun Asasi.32 Inilah yang penulis sebut sebagai dialektika-progresif pertama bahwa pesantren ingin selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Betapapun, meski masih dikonotasikan sebagai pendidikan tradisional dan tertua di Indonesia, pondok pesantren tetap ingin menyiapkan para santrinya bisa berbicara di kancah global. Ingin mendidikan para santrinya untuk selalu siap menghadapi rentang kehidupan yang sulit di masa depan. Melalui jalur pendidikan yang unggul dari sisi keilmuan seperti ini, maka pondok pesantren selian bisa mendidik anak dari aspek keagamaan, pondok pesantren bisa memberikan bekal keunggulan dari sisi pendidikan formal dan umum. 2. Mencipta Sumber Daya Manusia Unggul berbasis Pengalaman 31 32
Brosur pendaftaran Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu Ar-Risalah. https:/id.m.wikipedia.org/wiki/Pesantren_Zainul_Hasan_genggong&ei
Selain mencipta santri-siswa melalui proses pembelajaran di lembaga pendidikan formal yang unggul. Pondok pesantren juga menyediakan beberapa strategi lain, setidaknya untuk memperkenalkan bagaimana masyarakat modern menginstrumentasi dirinya agar bisa bertahan di bawah arus globalisasi. Abd. Halim dkk, mengatakan bahwa setidaknya ada empat upaya yang sedang/akan dilakukan pondok pesantren untuk membekali para santrinya. Pertama, meningkatkan Sumber Daya Manusia. Kedua, perbaikan sistem manajerialisme dalam pondok pesantren. Ketiga, kemandirian ekonomi pondok pesantren. Keempat, pengenalan dan pemanfaatan tekhnologi informasi.33 Dalam konteks peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), M. Sulthon mengatakan bahwa ada banyak pondok pesantren seperti Gontor Ponorogo, Al Amin Sumenep, Darul Ulum Jombang, yang menyesuaikan diri dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Bentuk kegiatan yang dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dengan cara mengundang pakar yang memiliki keahlian dan keterampilan tertentu.34 Ini menandakan bahwa pondok pesantren saat ini, sedang berusaha memberikan bekal kepada para santri agar mampu berkompetisi dengan lulusan dari luar pesantren. Dari sisi manajerialisme, banyak pondok pesantren yang sudah berubah dari paradigma administrasi tradisional yang terpusat pada sosok kiai, kemudian beralih kepada para pengurus yang dibekali pengetahuan administrasi dan manajemen. Mudjamil Qomar mengatakan “(memang) kebanyakan pondok pesantren tradisional dikelola berdasarkan tradisi, bukan profesionalisme berdasarkan keahlian (skill), baik human skill, conceptual skill, maupun technical skill secara tepadu. Akibatnya tidak ada perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan dan kewenangan yang baik”.35Anggapan ini sudah tidak bisa dibenarkan lagi. Pasalnya, hampir semua pondok pesantren di Indonesia pengelolaan diberikan kepada orang-orang profesional. Contoh paling tampak dilakukan oleh KH. Sholahudin Wahid (Gus Sholah) disaat ditunjuk sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, dia mengangkat Gus Gaffar seorang Engineer{Bangunan sebagai wakil pengasuh, atau Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton yang mengangkat salah seorang pakar ilmu ekonomi sebagai Ketua Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (BPPM). Dan, masih banyak contoh lainnya. Dari sisi kemandirian ekonomi pondok pesantren. Konteks ini adalah hal yang paling tampak di dunia pesantren. Pasalnya, pondok pesantren memang 33
Abd. Halim,”Konsep-konsep Pengembangan Pondok Pesantren” dalam Abd Halim dkk, Manajemen Pesantren,(Jogjakarta: LKiS, 2005), h. 8-11 34 M.Sulton Masyhud dan Khusnurridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalam perspektif Global, (Jakarta: Diva Pustaka, 2002), h. 27 \35Ibid, h. 59
terkenal dua konotasi dalam bidang ekonomi kemasyarakatan; pertama, pesantren sebagai lembaga pengembang ekonomi masyarakat. Kedua, pesantren memiliki resource ekonomi sendiri dalam upaya mengelola dan mengembangkan pondok pesantren. Pada konotasi pertama, Ali Aziz mengatakan bahwa peran pesantren untuk menjadi pioner bagi ekonomi masyarakat menengah yang memiliki akses lebih sedikit dikalangan birokrasi pemerintahan. Menurutnya, pesantren harus memiliki SDM yang mumpuni untuk dapat mengadvokasi para ekonom kecil menengah.36 Sedangkan konotasi yang kedua, yakni pesantren agar memiliki kemandirian dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan yang tidak bergantung pada bantuan masyarakat dan pemerintah. Manurut Hamdan Rasyid, kemandirian hidup dalam bidang ekonomi pada dasarnya merupakan implementasi ajaran Islam yang dikaji di pesantren. Optimalisasi pengembangan potensi ekonomi pesantren ini dapat dijalankan dengan beberapa langkah: 1. Perbaikan SDM perekonomian, baik manajemen maupun akuntansi. Pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan hal ini harus diadakan. Pesantren bisa menggandeng Lembaga Perekonomian Umat (LPU) yang sudah ada seperti Bank Syariah, BMT dan BPRS maupun Lembaga Pengembang Ekonomi Swadaya Masyarakat (LPESM) seperti INKOPONTREN dan PINBUK. 2. Perbaikan manajemen pengelolaan lembaga ekonomi menuju pengelolaan yang profesional dan berbasis syariah. Manajemen yang jelek merupakan faktor dominan bagi tidak berkembangnya ekonomi pesantren selama ini. 3. Membangun jaringan, baik dengan LPU, LPESM, alumni, masyarakat maupun pemerintah. Jaringan Koperasi Pesantren melalui induknya (INKOPONTREN) yang sudah ada perlu dioptimalkan agar menciptakan multiefek yang besar, baik dibidang usaha maupun pemasarannya.37 4. Mongoptimalkan brand market label pondok pesantren sebagai strategi marketing. Mahmud Ali Zain, menjelaskan pengalamannya di Pondok Pesantren Sidogiri dengan mengangkat kasus lembaga Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dan Kopontren Sidogiri, yang mampu memberikan kontribusi signifikan
36
Moh. Ali Aziz, “Pesantren dan Pengembangan Masyarakat” dalam Abd. Halim,Manajemen Pesantren,(Jogjakarta: LKiS, 2005), h. 210 37 Hamdan Rasyid, Peran Pesantren dalam Pengembangan Ekonomi Islam (http://syariah.feb.unair.ac.id/wp-content/uploads/Peran-Pesantren-dalam-PengembanganEkonomi-Islam.pdf). diakses pada 23 Juli 2012 h. 9
terhadap ekonomi pondok pesantren.38 Tak dapat dipungkiri, bahwa potensi ekonomi pondok pesantren sangatlah kuat. Salah satunya dari jumlah santri yang banyak, fanatisme alumni dan masyarakat, dan model pengembangan Islami yang berbeda dengan metode konvensional. Jadi jika seluruh kekuatan tersebut digabungkan dengan kamampuan profesionalisme tinggi, bukan hal mustahil seluruh pondok pesantren bisa mandiri dalam aspek ekonomi. Pada pembahasan terakhir adalah penggunaan tekhnologi informasi sebagai bagian integral dalam pondok pesantren. Dulu, hal ini mungkin tabu di dunia pesantren. Namun,Balitbang Depag RI pernah melaksanakan penelitian khusus berkaitan dengan pengembangan pondok pesantren melalui tekhnologi Informasi di beberapa pesantren; pada temuannya sebagaimana dilansir membuktikan bahwa: 1. Kaitan dengan pengguna Tekhnologi-Informasi. Di beberapa lembaga yang diteliti, ditemukan bahwa SDM yang mampu meaplikasikan tekhnologi tidak begitu banyak. Sedangkan software program yang bisa dilaksanakan adalah Microsoft Office (MO). 2. Pemanfaatan Tekhnologi-Informasi Berkaitan pemanfaatan. TI dalam perannya sebagai lembaga keagamaan, PP. Nurul Haramain sebagai lembaga keagamaan, santri dan masyarakat sekitar menerima kegiatan syiar dakwah dari para kyai dengan menggunakan perangkat teknologi berupa Komputer dan LCD yang diletakkan permanen di masjid Nurul Haramain. Dalam perannya sebagai lembaga pendidikan Islam , perangkat TI digunakan oleh kedelapan pesantren sasaran untuk proses belajar mengajar di kelas oleh ustadz dan santri serta pengelolaan adminstrasi pesantren oleh staff TU dan pengurus pesantren. Khusus pada PP. Nurul Haramain dalam proses belajar mengajar kitab kuning, kyai-nya sudah menggunakan Software Maktabah Syamilah. Islamic programs untuk mempelajari zakat, waris dan waktu sholat, Qur'anic Learning untuk mempelajari tajwid. Sedangkan pada PP. Alhamidiyah dalam kajian Islam sudah memanfaatkan Kamus Arab dan Al-Qur'an digital. Peranan lain yaitu pesantren sebagai lembaga sosial. Khusus untuk pesantren Pabelan, pemanfaatan komputer sudah digunakan untuk keperluan yang lebih luas yaitu selain untuk proses pendidikan (STEP II) juga untuk kegiatan ketrampilan (Life skill) melalui Telecenter e-Pabelan menyediakan layanan informasi kepada masyarakat desa tentang berbagai hal untuk para petani dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup mereka (sosialisasi informasi-
38
Mahmud Ali Zain, Model-Model Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren: Pengalaman PP. Sidogiri, dalam Abd. Halim dkk,Manajemen Pesantren,(Jogjakarta: LKiS. 2005), h. 225
informasi yang sedang trend seperti pendidikan, kesehatan, teknologi informasi, perempuan, life skill. 3. Dampak pemanfaatan. Pada dasarnya dampak pemanfaatan TI terhadap daya ubah system pendidikan di pesantren sasaran beragam tingkat daya ubahnya. Dari kedelapan pesantren sasaran, terdapat dua kategori dampak pemanfataan TI. Kategori pertama, Lima pesantren (PP Nurul Haramain, PP. Al-Hamidiyah, PP. Amanatul Ummah, PP Al Mujahidin, dan PP. Pabelan) memberikan respon sangat signifikan dampak pemanfaatan TI bagi sistem pendidikan, karena sudah melakukan pembaharuan sistem pendidikan yang integratif dengan menerapkan TI pada seluruh kegiatan pesantren. Sedangkan kategori kedua, PP. Modern Al-Amanah, PP. Al-Ittifaqiyah dan PP. Sindang resmi menyatakan bahwa dampak ekstrim terhadap pola pendidikan tidak terlihat jelas atau tidak terlalu signifikan pemanfataan TI. Dalam proses pembelajaran, pola penyampaian masih bersifat metode konvensional dalam arti ustadz dan pengajar menyampaikan materi pelajaran dan memberi tugas belajar masih dengan cara bertatap muka di dalam kelas. Santri masih membaca buku dan mencatat pelajaran, hanya ketika mencari data, santri sudah menggunakan internet tidak dengan manual. Dengan demikian di ketiga pesantren ini pemanfataan TI hanya sebagai penunjang dan bukan sebagai komponen penting. 4. Strategi pemanfaatan Tekhnologi Informasi. Strategi yang di lakukan untuk pengembangan pemanfaatan TI di 8 pesantren sasaran diantaranya: pertama, melengkapi infrastruktur TI (hardware dan software). Kedua, peningkatan SDM (penambahan pengetahuan dan ketrampilan TI) melalui perekrutan tenaga ustadz dan TU yang menguasai TI, mengikut sertakan para ustadz dan TU dalam pelatihanpelatihan TI baik yang dilaksanakan oleh Diknas, Depag, Perguruan Tinggi dan Oleh Yayasan. Ketiga, peningkatan dana untuk penyelenggaraan dan pemeliharaan TI, dan Keempat, perluasan jaringan ke berbagai perguruan tinggi.39 Penutup Ini adalah segelumit cerita kelenturan-progresif pondok pesantren dalam mensiati perkembangan zaman. Maka dari itu, berasal dari fenomena ini penulis berkesimpulan; pertama, apapun tantangannya, pondok pesantren akan tetap memberikan kontribusi aktif terhadap kehidupan masyarakat, khususnya menghadapi pasar global. Hanya saja cara dan kerangka yang dibangun oleh 39
Rangkuman Hasil penelitian Balitbang Diklat Kementrian Agama RI. Pemanfaatan Tekhnologi Informasi di Pesantren. Lihat http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/. Diakses tanggal 23 Juli 2012.
pondok pesantren berbeda dengan pendekatan formalistik lembaga pendidikan yang lain. Kedua, jika kita cermati secara seksama bagaimana pesantren merubah paradigma pendidikannya, mulai dari tradisional an sich hingga pada modern berorientasi pada terma “sekolah unggul”. Ini jelas menandakan bahwa pondok pesantren, juga ingin menyiapkan para santrinya agar bisa bersaing di dalam kehidupan modern. Sebagaimana keyakinan para pakar pendidikan dikatakan bahwa pendidikan adalah upaya paling bermakna untuk menciptakan generasi emas yang mampu memahami perkembangan zaman. Namun, di sisi lain, di dalam keyakinan para kiai pesantren, mereka juga tidak boleh kehilangan identitas kultural mereka sebagai seorang Muslim. Ketiga, pondok pesantren juga tidak ‘alergi’ dengan persoalan-persoalan global yang bercirikan standarization, competitiveness, capital and market oriented, and cultural colonilism.40Hal ini terbukti bahwa pondok pesantren melalui lembaga-lemabga yang dibentuknya sendiri, menyediakan pengalaman bagi para santri dan pengurus pondok untuk belajar mengatahui dan mengalami apa yang sedang terjadi di dunia luar. Keberadaan lembaga ekonomi, pelatihan tentang ilmu manajemen, pemanfaatan Tekhnologi Informasi, dan penanaman pentingnya keterampilan, menjadi contoh kongkrit bahwa pesantren sudah siap menghadapi pasar bebas ini. Meskipun, sekali lagi penulis tegaskan, nilai dasar mereka tidak dirubah. Para santri dan pengurus harus tetap menghormati kiai, mengaji, mendalami ilmu agama, dan ciri khas lain budaya pondok pesantren. Sebagai kata akhir, ada ungkapan umum yang dikenal di kalangan pesantren, yakni : Al Muhafdah ‘ala Qadim al Salih, wa ahdu bi al jadid al aslah” Daftar Pustaka Abd. Halim,”Konsep-konsep Pengembangan Pondok Pesantren” dalam Abd Halim dkk, Manajemen Pesantren. Jogjakarta: LKiS, 2005. Amrullah , A. M. Karim. “Perubahan Model Penyelenggaraan Pendidikan Pesantren”. Disertasi—Universitas Negeri Malang, 2011. Arifin, Imron. Kepemimpinan Kyai:Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng. Malang: Kalimasada Press, 1999. Azra, Azzumardi. Pendidikan Islam;Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2012. Aziz, Moh. Ali. “Pesantren dan Pengembangan Masyarakat” dalam Abd. Halim,Manajemen Pesantren. Jogjakarta: LKiS, 2005. Bawani, Imam. Pendidikan Tradisional Islam. Surabaya; al Kalam, 1991. Bawani, Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya: Al Ikhlas, 1993.
40
Joseph Zadja Globalisation, Policy and Comparative Education (New York; Springer, 2002) 19
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1999. Bush, Tony. Educational Leadership and Management: Theory, Policy, and Practice. Johabbesburg: MGSLG Press, 2006. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren:Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1984. Daulay, Haidar Putra. Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2012. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1984. Darmaningtiyas. Pendidikan yang memiskinkan. Jakarta : Galang Press, 2004. Goertzen, Brent J. “Contemporary Theories of Leadership”, dalam Jones & Barlett Learning, Educational Leadership. London; Oxford Press, 2009. Fealy, Greg dan Bubalo. Jejak Kafilah, terj. Akh. Muzakki. Bandung; Mizan, 2001. Hasan, Noorhadi, “The Salafi Madrasas of Indonesia” .dan Martin Van Bruisennen, “Tradisional and Islamist Pesantrens in Contemporary Indonesia” dalam Fasrish A Noor edt. Madrasa in Asia; Political Activism and Transnational Linkages. Amsterdam; Amsterdam University Press, 2008. Hefner, Robert W..“Islamic School, Sosial Movement, and Democracy in Indonesia”, dalam Robert W. edit, edit, Hefner. Making Modern islam Politic of Education in South Asia. USA: Hawai University Press, 2009.. Jami’in, Soehadi. Perjuangan Membangun Citra Sekolah Islam. Surabaya: Al falah, 2004. Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997. Moesa, Ali Machsan. Nasionalisme Kiai. Jogjakarta; LkiS, 2007. Masyhud , M.Sulton dan Khusnurridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalam perspektif Global. Jakarta: Diva Pustaka, 2002. Nafi’, M..Praktis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: Yayasan Selasih, 2007. Rasyid, Hamdan. Peran Pesantren dalam Pengembangan Ekonomi Islam (http://syariah.feb.unair.ac.id/wp-content/uploads/Peran-Pesantren-dalamPengembangan-Ekonomi-Islam.pdf). diakses pada 23 Juli 2012. Shodiq, Muhammad . “Kepemimpinan Kiai Nasib dalam Meningkatkan Mutu Pesantren, Studi pada Pesantren Al-Hikam Malang, Pesantren Luhur AlHusna Surabaya, dan Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabya”. Disertasi-Universitas Negeri Malang, 2011.
Saleh, Abdurrahman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Sutomo, Sugito, Kapita Selekta Pendidikan. Surabaya: Program Pasca Sarjana Univerista Adi Buana, 2009. Zain, Mahmud Ali. Model-Model Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren: Pengalaman PP. Sidogiri, dalam Abd. Halim dkk,Manajemen Pesantren. Jogjakarta: LKiS. 2005. Zadja, Joseph. Globalisation, Policy and Comparative Education. New York; Springer, 2002. www.arrisalah.org Brosur pendaftaran Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu Ar-Risalah. https:/id.m.wikipedia.org/wiki/Pesantren_Zainul_Hasan_genggong&ei