Moh. Toriqul Chaer
DIALEKTIKA CARA BERAGAMA DAN PARADIGMA PENDIDIKAN PEMBEBASAN SEBAGAI UPAYA MENJAGA KEUTUHAN BANGSA Moh. Toriqul Chaer* Abstracts: The substance of educational thought Freire is located at his view of people and their world which is then transformed into the world of education. The model is a model of education that it offers a liberating education. Liberation means transformation of a reality system that connect each others, complex, and reforms some individuals to reduce the negative consequences of their behavior. The first step which the most crucial in the effort of the liberation of education is a process of inherent awareness and as a main process or the nature of the whole educational process itself. To achieve this, the descriptive study habits are expected to be shifted to the dialogictransformative education, so that education is not perceived as a limits education. Educations are expected to give the changes to the students to be good. The changes in the quality of students’ thinking, personal qualities, social quality, independence quality, and society quality. Keywords : Education, Paradigm of Liberation, Paulo Freire PENDAHULUAN Indonesia adalah suatu masyarakat yang bersifat plural. Pluralitas ini sebagai warisan sejarah sebelum kemerdekaan yakni zaman Hindia Belanda, hal ini dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa, bahasa, agama, adat dan budaya. Menurut Geertz, masyarakat plural adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing terikat ke dalam ikatan primordial. Suatu masyarakat bersifat plural atau majemuk apabila struktur memiliki sub-sub yang diversi.1 Pluralitas masyarakat Indonesia dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa, bahasa lokal, agama, adat dan budaya yang ada. Setiap suku memiliki tradisi, *
Dosen Tetap STIT Islamiyah Karya Pembangunan Paron, Ngawi, Jawa Timur Email:
[email protected]
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
57
Dialektika cara Beragama dan Paradigma ....
bahasa, kepercayaan dan budaya masing-masing. Keberagaman suku bangsa, kepercayaan, adat budaya dan tradisi merupakan ciri khas dari masyarakat bangsa Indonesia. Secara geografis negara Indonesia merupakan negara kepulauan. Menurut hasil identifikasi pulau-pulau yang telah dilakukan, terdapat 17.508 pulau di seluruh Indonesia. Yang terinventarisasi 7.353 pulau bernama dan 10.155 pulau belum bernama di seluruh kesatuan Republik Indonesia.2 Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi pluralitas pada masyarakat Indonesia. Pertama, keadaan geografik wilayah Indonesia yang terdiri atas kurang 3.000 pulau yang terserak di sepanjang equator kurang lebih tiga ribu mil dari timur ke barat, dan seribu mil dari utara selatan, merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya pluralitas suku bangsa, agama di Indonesia. Pendapat tentang berapa jumlah sesungguhnya suku bangsa yang ada di Indonesia, terdapat berbagai pendapat yang beragam di antara para ahli ilmu kemasyarakatan. Sebagai contoh pendapat yang dikemukakan oleh Hildred Geertz (1982) misalnya, ia menyebutkan ada lebih kurang 300 suku bangsa yang mendiami wilayah di Indonesia, masing-masing dengan corak dan ragam bahasa, identitas kultural yang berbeda-beda. Faktor yang kedua yang menyebabkan adanya pluralitas pada masyarakat Indonesia adalah kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Keadaan ini menjadikan Indonesia menjadi lalu lintas perdagangan, sehingga sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama dan pluralitas etnis di dalam masyarakat Indonesia. Bagi negara Indonesia yang memiliki masyarakat yang pluralistik serta dominasi wilayahnya yang berupa kepulauan, potensi konflik sangat dimungkinkan terjadi, baik pada internal masyarakat maupun konflik yang terjadi dengan negaranegara lain terutama hal-hal yang berkaitan dengan batas-batas wilayah negara. Masyarakat pluralistik seperti Indonesia, potensi konflik sangat dimungkinkan terjadi. Ragam konflik yang terjadi bisa bersumber dari berbagai hal, seperti: konflik antar agama, konflik antar etnis, konflik antar budaya, konflik antar suku ataupun konflik kepentingan antar masyarakat dari daerah atau propinsi yang berbeda. Konflik antar pengikut agama yang berbeda, biasanya terjadi manakala norma dan nilai-nilai agama yang dianutnya dicampakkan atau dilecehkan oleh penganut agama lainnya. Konflik akan sangat mungkin terjadi manakala tingkat toleransi antar agama tak terpelihara dengan baik. Kesepakatan antar pemuka 58
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
Moh. Toriqul Chaer
agama untuk hidup berdampingan secara harmonis dalam menjalankan agamanya masing-masing serta saling menghormati dan saling memahami satu sama lain merupakan suatu hal yang mendasar bagi terhindarnya konflik antar agama yang berkepanjangan.3 Konflik internal inilah yang kerap terjadi di masyarakat berpotensi menggerus semangat persatuan dan kesatuan, keutuhan suatu bangsa yang berdampak pada ketidak-stabilan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada tingkat eksternal, ragam konflik bisa terjadi akibat dari hubungan multilateral antar negara dalam bentuk seperti kaburnya batas-batas wilayah negara, penyelundupan barang dan jasa, pembalakan liar (illegal logging), perdagangan manusia (human trafficking), terorisme dan maraknya kejahatan transnasional (terrorism and transnational crimes), dampak yang timbul dari proses globalisasi, serta eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam secara massif dan sporadis. Melihat permasalahan diatas, muncul pemikiran, apakah agama- dalam hal ini cara beragama masyarakat- mampu berperan dalam menjawab kompleksitas, ragam konflik yang terjadi di tingkat internal maupun eksternal demi terwujudnya harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara? lalu bagaimana dengan upaya dari pendidikan dalam memberikan solusi alternatif bagi peningkatan mutu kualitas kehidupan manusia disatu sisi dan pemahaman kehidupan berbangsa dan bernegara agar menjadi lebih baik ? CARA BERAGAMA: ANTARA EKSTRINSIK DAN INTRINSIK Filsuf Postmodern Jean Baudrillard menyatakan bahwa dunia yang dilanda demam globalisasi berimplikasi pada pergeseran nilai. Era ini ditandai dengan mencairnya batas-batas normatif sehingga apa yang dinamakan tabu atau sakral semakin memudar, semua persoalan dan informasi menjadi ranah publik yang bebas diperbincangkan dan dikonsumsi secara umum. Persoalan-persoalan sosial keagamaan yang masuk dalam wilayah tabu dan sakral, saat ini terdegradasi secara gradual. Manusia dilihat sebagai simbolisasi angka- angka statistik yang dihadirkan dan dipaparkan tanpa perasaan dan hati nurani. Jiwa manusia direduksi sedemikian rupa bagaikan sosok-sosok robot mekanis yang tunduk (deterministik) pada kekuatan pasar, mesin industri dan mekanisme birokrasi.4 Saat ini agama –seringkali- kita jumpai hanya sebagai sesuatu yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, agama bukan untuk tuntunan kehidupan, agama hanya something to use but not to live. Tidak dapat diingkari, Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
59
Dialektika cara Beragama dan Paradigma ....
pengikisan atas nilai- nilai religius agama terdistorsi oleh maraknya eklusivisme yang kian massif, pola hidup konsumtif yang sebenarnya ditolak oleh agama manapun justru kian hari kian berkembang, tanpa diimbangi oleh kemampuan yang cukup untuk meningkatkan produktifitas kerja kita, yang mendorong meluasnya budaya korupsi dan budaya kekerasan disekitar kita. Idealita harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara seakan berhadapan dengan ruang hampa. Semangat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya saat ini terus tergerus oleh ragam konflik yang mengancam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama hanya digunakan untuk menunjang motif- motif lain; kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Agama hanya dijadikan kamuflase, ia tidak menjadi spirit perubahan menjadikan hidup dan kehidupan yang lebih berarti. Gordon W. Allport menyatakan cara beragama seperti sebagai cara beragama yang ekstrinsik dan erat kaitannya dengan penyakit mental.5 Agama dari sudut pandang normatif senantiasa mengajarkan harmoni, kasih-sayang dan kerukunan antara sesama umat beragama, secara internal maupun eksternal. Secara internal terwujud dalam kerukunan dan toleransi di antara sesama pemeluknya dan secara eksternal adanya hubungan yang harmonis di antara pemeluk-pemeluk agama lain. Malinowski sebagaimana dikutip Karel A. Steenbrink (1988) mengatakan bahwa agama adalah sebagai "wishfull-thinking" walaupun keyakinan kebenaran agama dianggap nihil, namun masih bersifat positif yang mampu menolong rasa frustasi dan masih berpotensi dalam mewujudkan persatuan sosial.6 Dalam bahasa Durkheim bahwa “religion as a societal glue”. Dengan fungsi ini agama dapat mempertahankan integrasi, keutuhan dan keteraturan sosial sehingga konflik, kerusuhan dan kekerasan massa dapat dihindari.7 Beragama secara intrinsik adalah cara beragama yang menjadikan agama sebagai comprehensive commitment dan driving integrative, yang mengatur seluruh hidup manusia. Glock & Stark (1996) mengatakan dalam agama terkandung beberapa dimensi keberagaman, salah satunya adalah dimensi pengalaman keagamaan (the experience dimension or religious experience). Agama dijadikan faktor pemadu, penyelaras (unifying factor), yang dapat menjalin harmonisasi kehidupan masyarakat beragama, berbangsa dan bernegara serta menjadi spirit bagi perjuangan meretas tali persaudaraan, persatuan dan kesatuan bangsa. 8 Thomas Merton, dalam bukunya Mysticism in the Nuclear Age, 60
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
Moh. Toriqul Chaer
berkata : “ Anda tidak dapat mendatangkan kedamaian tanpa disertai amal saleh. Anda tidak dapat memperoleh tatanan sosial tanpa kehadiran kaum mistik, orangorang suci dan nabi-nabi”9. Pendapat Merton di atas menunjukkan bahwa dalam beragama dituntut hadirnya- perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agamanya. Adalah hal yang mustahil agama hadir tanpa wujud, tanpa adanya moralitas, kesalehan perbuatan, karena agama dan perbuatan bagaikan satu kesatuan yang utuh, saling berkaitan dalam kehidupan beragama manusia. Erich Fromm mengatakan bahwa beragama berarti paduan harmonisasi antara iman dan perilaku manusia yang terjalin utuh dalam seluruh aspek kehidupan yang dilakukannya secara sadar (free conscious actifity).10 Dengan kata lain aktifitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktifitas yang tampak dan dapat dilihat mata, juga aktifitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.11 PARADIGMA PENDIDIKAN PEMBEBASAN Chirzin dalam Rahardjo (1997) mengemukakan bahwa “proses globalisasi dengan percepatan liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan baru yang tidak sederhana”.12 Dampak nyata dari derasnya arus globalisasi adanya kesenjangan domain antara kebutuhan dan kesempatan dalam mencukupi kebutuhan hidup berpotensi menimbulkan konflik-konflik sosial akibat persaingan dan frustasi yang mengarah kepada agresi.13 Di sinilah peran pendidikan –dituntut- untuk memaksimalkan kemampuannya dalam mempersiapkan masyarakat yang mampu mensiasati perkembangan, dinamika budaya dan peradaban (cultural literacy). Pendidikan menjadi solusi bagi problematika kehidupan manusia dengan menghadirkan konsep pendidikan yang kontekstual dan progressif (the liberal road to culture), yang memiliki karakteristik fleksibel, curious, toleran dan openminded.14 Malik Fajar (1998) memberikan gambaran tentang urgensi rangkaian kebijakan dan aksi dalam pendidikan yang harus dilakukan dalam membangun generasi yang berkarakter; pertama, pengembangan kualitas sumber daya manusia diusahakan agar tidak terlepas dari lingkungan sosio-kultural dan ekologi, diperlukan penanganan- penanganan khusus terhadap pemetaan kebijakan Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
61
Dialektika cara Beragama dan Paradigma ....
pengembangan sumber daya manusia pada daerah terpencil dan kota- kota besar. Diharapkan dengan adanya kebijakan pengembangan ini nantinya muncul budaya kearifan lokal (local wishdom) yang unik, pada masing- masing daerah yang menjadi karakteristik sumber daya manusia yang dimilikinya. Kedua, pengembangan potensi sumber daya manusia, dalam hal ini masyarakat peserta didik tidak hanya dilihat sebagai suatu “proyek”. Pembangunan sumber daya manusia pada hakekatnya berinteraksi dan berurusan dengan membangun ruh kejiwaan suatu bangsa yang dapat berwatak multi-dimensi, diperlukan sikap empati, kesetaraan (egaliter) dan persaudaraan dalam menumbuhkan potensi sumber daya manusia dengan penekanan pada indikator kualitas sikap dan mental individu. Ketiga, quo vadis posisi pranata pendidikan dan pelatihan sebagai wahana pengembangan kualitas sumber daya manusia di Indonesia dan karena adanya disparitas mutu lembaga- lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, menyebabkan kegamangan dalam menentukan persebaran penentuan kebijakan. Keempat, membentuk generasi yang independen untuk memenangi persaingan di era globalisasi sekarang ini. Gellner (1994), mengatakan bahwa pribadi otonom, independen terhadap –kebijakan- negara yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat sebagai sosok manusia moduler; yaitu sosok individual yang tidak hanya menerapkan sifat otonominya terhadap negara, namun dalam konteks internal ia juga merupakan institusi yang menghargai keniscayaan perlunya menghargai otonomi individual. 15 Freire (1985), mengatakan bahwa pendidikan yang dibutuhkan sekarang ini adalah pendidikan yang mampu menempatkan manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang terjadi, mampu mengerahkan dan mengendalikan perubahan tersebut. Adalah sebuah keniscayaan apabila kultur budaya akademik yang interaktif dan kritis yang dibangun atas dasar paradigma pembebasan dapat menyemai pribadi- pribadi yang independen. Pendidikan sebagai upaya untuk menyadarkan manusia atas eksistensi dirinya. Kesadaran eksistensial ini akan mengantarkan pada tumbuh dan berkembangnya watak peduli terhadap realitas yang melingkupi, inilah watak yang menjadi landasan pengembangan dimensi moralitas.16 Pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang permanen yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah masa ketika manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka dan melalui praksis mengubah keadaan itu. Tahap kedua
62
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
Moh. Toriqul Chaer
dibangun diatas tahap pertama dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang membebaskan.17 Freire mengajukan konsep pendidikan yang disebutnya dengan “problem posing of education”, yaitu pendidikan yang bersifat menghadapkan subjek didik kepada persoalan-persoalan problematik dengan cara berpikir kreatif dan inovatif dalam pemecahannya. Konsep pendidikan ini akan mampu mendekonstruksi paradigma pendidikan yang selama ini berbasis pada “banking concept of education”, yaitu pendidikan tidak lebih seperti menaruh investasi atau menjejalkan sejumlah materi kepada anak didik yang pada akhirnya pendidikan hanyalah sebuah proses mekanisasi dan dehumanisasi. Salah satu prasyarat yang dibutuhkan untuk ketercapaian “problem posing of education” adalah iklim demokratis. Freire dalam hal ini setuju dengan proposisi Karl Manheim, yang menyatakan bahwa “semakin proses demokratisasi menyebar secara massif, maka akan semakin susah untuk menyuruh rakyat tinggal dalam kebodohan”, maka konsekuensi logis dari proposisi ini adalah perlunya konstruksi bangunan pendidikan yang dialogis-persuasif, egaliter, rendah hati, kasih sayang, penuh harapan, kepercayaan dan sikap kritis. Pendidikan bukan hanya sekedar proses penerimaan pengetahuan yang diberikan atau yang diperintahkan orang lain, melainkan ada keterlibatan diri dalam proses pengetahuan, kemajuan ke arah raison d’etre realitas. Makin kritis peserta didik menyoroti masa lalu dan masa kini, dalam dan dengan dunianya, atau semakin peserta didik kreatif dan kritis dalam mensiasati hidup memudahkan penyadaran mereka bahwa dunia bukanlah “blind alley”, jalan buntu, bukan situasi determinan yang hanya menimpa mereka. Maka dengan demikian pendidikan dalam pandangan Freire, merupakan sebagai keadaan “menjadi” bukan sesuatu yang selesai dan pendidikan harus dapat menyesuaikan diri dengan laju derap realitas, agar tetap bertahan dalam keadaan menjadi.18 Mukti Ali (1971) menambahkan perlunya pembangunan mental dalam proses pendidikan agar peserta didik mampu mensiasati persoalan hidup dengan tidak jumud dengan realitas perkembangan yang terjadi di masyarakat. Pendidikan menurut Freire bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, masyarakat yang mengerti potensipotensi diri bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestige sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Dengan pendekatan paradigma
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
63
Dialektika cara Beragama dan Paradigma ....
pendidikan pembebasan ini diharapkan dapat menjadi entry-point bagi terwujudnya keutuhan bangsa.19 PENUTUP Indonesia yang 75% wilayahnya berupa kepulauan dan penuh dengan keragaman dari struktur geografis dan demografi berpotensi memunculkan kerawanan agama, sosial, politik dan ekonomi yang bisa mengancam keutuhan, persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai bangsa berdaulat. Upaya untuk membangun spirit keutuhan dan kedaulatan bangsa diperlukan adanya pengertian dan pemahaman cara beragama instrinsik, pula adanya pengelolaan pendidikan yang berbasis paradigma pembebasan yang diharapkan mampu meminimalkan potensi-potensi konflik yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius dan berbudaya yang menjunjung nilai-nilai moralitas yang bersumber pada kearifan lokal merupakan karakteristik yang khas cara beragama masyarakat Indonesia. Dengan sentuhan paradigma pendidikan pembebasan maka upaya untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa Indonesia bukanlah sesuatu hal yang mustahil untuk diupayakan. Diperlukan komitmen moral yang luar biasa untuk mempertemukan “dialektika” antara cara beragama dengan pendidikan agar dapat menjadi kekuatan moral-praksis untuk menjalin persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa.
ENDNOTE 1 2
Hilderd Geertz, Keluarga Jawa (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1982), hlm. 105 O.C Kaligis & Associates, Sengketa Sipadan-Ligitan : Mengapa Kita Kalah (Jakarta : O.C Kaligis & Associates, 2003), hlm. 8. Selanjutnya ia berpendapat bahwa diantara 17.508 pulau di Indonesia sebanyak 6.000 diantaranya berpenduduk. Wilayah Negara Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939 yaitu Teritoriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan oleh laut di sekelilingnya. Bangsa Indonesia kemudian menyadari bahwa sebagai kesatuan wilayah Indonesia ordonasi Hindia Belanda 1939 sangat merugikan bangsa Indonesia. Maka pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia yang waktu itu dipimpin oleh Ir. Djuanda mengeluarkan pengumuman pemerintah yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini menyatakan bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state), yaitu suatu negara
64
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
Moh. Toriqul Chaer
yang terdiri dari sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambung (interconnecting waters) dengan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang erat sehingga membentuk satu kesatuan (Pasal 46 KHL 1982). Tanggal 13 Desember 1957, menjadi tonggak sejarah kelautan Indonesia yang kemudian dikenal dengan Wawasan Nusantara. Deklarasi ini diratifikasi melalui UndangUndang No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Lihat Joenil Kahar, “Penyelesaian Batas Maritim NKRI” dalam Pikiran Rakyat Cyber Media tanggal 3 Januari 2004, hlm 1. 3 Agus Pahrudin, Mansyur Hidayat dan Yukrin Latief, Penyerapan Nilai- nilai Budaya Lokal Dalam Kehidupan Beragama di Lampung (Studi Tentang Budaya Lokal di Lampung), dalam Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia (1), (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), hlm. 148 4 As’aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2001), hlm. 38. Globalisasi dapat disebut sebagai “concercing the whole earth” yang memiliki arti sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan dunia, internasional, atau seluruh alam jagat raya. Sedangkan menurut Huckle yang menyatakan bahwa globalisasi adalah suatu proses dengan nama kejadian, keputusan dan kegiatan disalah satu bagian dunia menjadi satu konsekuensi yang signifikan bagi individu dan bagi masyarakat didaerah jauh. 5 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar (Jakarta: Penerbit Mizan, 2004), hlm. 26. 6 Karel. A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat; Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 23. 7 Lihat Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998), hlm. 187. Hal senada disampaikan Isa, dalam Ijtihad Rasul SAW, terjemahan M. Masyhur Amin (Bandung: PT. Al- Maarif, 1980), hlm. 59 . Beliau mengatakan bahwa agama memiliki kapasitas untuk menjadi landasan spiritual, etik bagi kehidupan manusia dalam dunia modern, Daniel Bell seorang sosiolog mengatakan kalau agama dituntut untuk memberikan jawaban secara matematis dan praktis jelas tidak bisa, namun agama mempunyai kemampuan responsi secara moral terhadap persoalan- persoalan modern dewasa ini 8 Glock & Stark, Christian Beliefs and Anti-Semitism (New York: Harper and Row, 1996), hlm. 43 9 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar., hlm. 27. Berbicara tentang diskursus seputar dialog dan hubungan antar umat beragama wacana pluralisme agama seringkali menyeruak. Wacana pluralisme ini sendiri dimaknai secara berbeda di kalangan intelektual Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis. Sebagai contoh Rasjidi (1968) berpendapat bahwa agama adalah absolut, sehingga adalah hal yang sulit berbicara objektif dalam soal agama karena ia involved (terlibat). Dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multiJurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
65
Dialektika cara Beragama dan Paradigma ....
complex, religious-pluralism, bermacam-macam agama. Keberagaman agama adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri dengan mengakui religious-pluralism dalam masyarakat Indonesia (Lihat Rasjidi, Majalah Al-Djamiah, Nomor Khusus, Mei, 1968). 10 Erich, Fromm, Psychoanalysis and Religion (Yale University Press, 1972), hlm. 59 11 Lihat Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 76. Secara umum di Indonesia agama dipahami sebagai sistem kepercayaan, tingkah laku, nilai, pengalaman dan yang terinstitusionalisasi, diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang disalingtukarkan dalam sebuah komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi. Penegasan yang ingin ditekankan pada pemahaman keagamaan di sini adalah bahwa konsekuensi pemahaman keagamaan yang kaku, tidak bersifat scientific justru akan memunculkan berbagai stigmatisasi negatif terhadap peran penting agama dalam relasi kemanusiaan. Stigmatisasi tersebut berpandangan bahwa agama adalah dogmatism, rigidity, excessive self-blaming dan gender bias. Fatalistik dan status quo serta tidak dianggap tidak peduli dengan urusan kekinian di dunia. Dalam beberapa aspek agama dalam proses pemahaman dan penghayatan pemeluknya pada satu sisi menimbulkan wacana konstruktif tetapi pada sisi yang lain bisa mengakibatkan perdebatan panjang yang cenderung destruktif, maka diperlukan sebuah upaya pemahaman dan penghayatan yang objektif dari misi yang ada pada agama itu sendiri. 12 Rahardjo, M. D., (Ed), Keluar Dari Kemelut Pendidikan Nasional (Jakarta: Intermasa, 1997), hlm. 49 13 Lihat W. A Gerungan, Psikologi Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2002), hlm. 176 14 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), hlm. 22 15 Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998), hlm 197198 16 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta:LP3S, 1985), hlm. 15 17 Lihat Denis Collins, Paulo Freire: Kehidupan, Karya dan Pemikirannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Komunitas Apiru, 1999), hlm. 39 18 Lihat Wahyudi, Pendidikan Islam Berparadigma Pembebasan: Sebuah Solusi Pengembangan Sumber Daya Manusia Menuju Masyarakat Madani, dalam Jurnal Edukasi, Volume 4, Nomor 3, Juli September, 2006, hlm. 126-128 19 Mukti, Ali, Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971), hlm. 25
66
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
Moh. Toriqul Chaer
DAFTAR PUSTAKA Ali, A. Mukti, Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971 Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Djamaludin, Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Djamaludin, Psikologi Islami, Solusi Islam Atas Problem- Problem Psikologi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008 Collins, Denis, Paulo Freire: Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Komunitas Apiru, 1999 Fajar, Malik, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI, 1998 Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta:LP3S, 1985 Fromm, Erich, Psychoanalysis and Religion, Yale University Press, 1972. Geertz, Hilderd, Keluarga Jawa. Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1982 Gellner, Ernest, Conditions of Liberty; Civil Society and Its Rivals, London: Pinguin Book, 1994 Gerungan, W. A, Psikologi Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2002 Isa, Abdul Jalil, Ijtihad Rasul SAW, terjemahan M. Masyhur Amin, Bandung: PT. Al- Maarif, 1980 Kahar, Joenil, “Penyelesaian Batas Maritim NKRI” dalam Pikiran Rakyat Cyber Media tanggal 3 Januari 2004, hlm 1. Kaligis & Associates, O.C., Sengketa Sipadan-Ligitan : Mengapa Kita Kalah, Jakarta : O.C Kaligis & Associates, 2003 Latief, Pahrudin, Agus, Mansyur Hidayat dan Yukrin, Penyerapan Nilai- nilai Budaya Lokal Dalam Kehidupan Beragama di Lampung (Studi Tentang Budaya Lokal di Lampung), dalam Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia (1), Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009, hlm. 148 Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015
67
Dialektika cara Beragama dan Paradigma ....
Muhajir, As’aril, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2001 Pasal 46 KHL 1982 Rahardjo, M. D., (Ed), Keluar Dari Kemelut Pendidikan Nasional, Jakarta: Intermasa, 1997 Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Jakarta: Penerbit Mizan, 2004 Rasjidi, Majalah Al-Djamiah, Nomor Khusus, Mei, 1968 Rasyidi, M., Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1974 Stark, Glock &, Christian Beliefs and Anti-Semitism, New York: Harper and Row, 1996 Steenbrink, Karel. A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat; Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988 Wahyudi,
Pendidikan
Islam
Berparadigma
Pembebasan:
Sebuah
Solusi
Pengembangan Sumber Daya Manusia Menuju Masyarakat Madani, dalam Jurnal Edukasi, Volume 4, Nomor 3, Juli September, 2006 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004
68
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 4, No. 1, Januari 2015