"Bacalah dengun nama Tuhanmu, Yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah!
Dan Tuhanmu amat mulia.
Yang telah mengajar degan kalam. Dia telah mengajarkan kepada manusia, apa yung tidak diketahuinya". (Surat (96) Al'Alaq ayat 1 - 5)
Ku persembahkan tulisan ini untuk ayahda dan bunda, nenek dan adik-adik serta almamater tercinta.
SISTIK OVARI PADA SAPI DAN ASPEK PENGOBATANNYA DENGAN GnRH - PGF2ALPHA
SKRIPSI
Oleh ISDONI B. 17 1344
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 19 S 5
RINGKASAN
ISDONI.
Sistik Ovari Pada Sapi Dan Aspek Pengobatannya
Dengan GnRH-PGF2Alpha CDi bawah bimbingan Drh. R. Kurnia Aehjadi, MS.). Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kejadian sistik ovari sebagai salah satu kelainan pad a ovarium yang menyebabkan terganggunya proses reproduksi dan aspek pengobatannya d,engan preparat GnRH-PGF2Alpha. Sistik ovari merupakan penyebab kegagalan reproduksi yang serius pada sapi perah.
Yang bersifat patologik ada-
lah sistik folikel dan sistik luteal.
Sistik
folil~el
le-
bih sering ditemukan dari sistik luteal, berdiameter lebih besar dari 2,5 em, menetap pad a ovarium selama 10 hari atau lebih, tanpa ditemukan adanya korpus luteum. Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai penyebab sistik ovari.
Diduga se bagai se bab dasarn!),a adalah kega-'
galan hipophisa melepaskan sejumlah LH sebanyak yang dibutUhkan untuk ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Diperkirakan sekitar 60% dari sistik ovari yang terbentuk sebelum ovulasi pertama pospartum sembuh sendiri. Sedangkan yang terjadi setelah ovulasi pertama pospartum diperkirakan akan sembuh dengan sendirinya hanya sekitar 20% saja. Rata-rata 80% sapi-sapi dengan sistik ovari yang ,:~~:9,"',:,,,,, bari dengan GnRH-PGF2Alpha akan membentuk siklus
kembali. batan.
Estrus terlihat rata-rata 21 hari setelah pengoInterval antara saat pengobatan dan terlihatnya e£
trus ini akan diperpendek dengan pemberian PGF2Alpha 9 hari setelah pemberian GnRH yaitu, estrus terlihat rata-rata
3 hari setelah pemberian PGF2Alpha. Pemberian GnRH merangsang pelepasan LH dari Hipophisa dan selanjutnya LH merangsang luteinisasi dari dinding si£ tik yang akan beregresi.
Sedangkan pemberian PGF2Alpha 9
hari setelah pemberian GnRH akan mempercepat terjadinya proses regresi, karena jaringan luteal yang telah terbentuk memberikan respon terhadap efek luteolitik dari PGF2Alpha.
SISTIK OVARI PADA SAPI DAN ASPEK PENGOBATANNYA DENGAN GnRH-PGF2A1PHA
SKRIPSI
01eh ISDONI B.
17 1344
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter HeY/an pacta Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogar
FAKULTAS
KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1985
SISTIK OVJUII PADA SAPI DAN ASP]';K PENGOBATANNYA DENGAN GnRH-PGF2ALPHA
SKRIPSI
Oleh ISDONI B. 17 1344
Telah dipe iksa dan oleh
(Drh. R. Kurnia Ach jadi, MS.)
Dosen ilmu reproduksi dan kebidanan, FKH-IPB
Tanggal
mWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 22 September 1961 di Bukit Tinggi, Sumatra Barat. ra putra, Bapak:
Anak pertama dari delapan bersaudQ
Bustamam dan Ibu:
Nuraini.
Tahun 1973 penulis lulus dari Sekolah Dasar Negri I, Kubang Putih.
Melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Neg
ri I, Bukit Tinggi dan lulus tahun 1976.
Pada tahun 1980
penulis lulus dC\ri Sekolah Menengah Atas Negri III, Bukit Tinggi jurusan Ilmu Pasti Alam.
Diterima di Institut Per-
tanian Bogor tahun 1980 dan musuk Fakultas Kedokteran Hewan IPB tahun 1981.
Lu1us Sarjana Kedokteran Hewan pada
tC\nggal 2 Februari 1985.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penu1is panjatkan kehadirat ALLAH
S.W.T. atas segala rahmat dan petunjuknya sehingga penulis ,dapat menyelesaikan skripsi ini. Tulisan ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian 'Bogor. Pada kesempatan ini dengan setu1us hati penu1is menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih penulis kepada dosen pembimbing Bapak Drh. R. Kurnia Achjadi, MS., dosen ilmu reproduksi dan kebidanan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang te1ah membimbing dan memberikan pengarahan da1arn peng 1isan ini.
Rasa terima kasih tak
~upa
juga penu1is sarnpai
kan kepada se1uruh staf pengajar, yang telah mernbimbing dan mendidik penulis selarna menuntut ilrnu di FKH-IPB. Ucapan yang sarna juga penu1is tujukan kepada ternan-teman <:Ian semua pihak yang telah mernbantu se1ama penu1isan hingga tersusunnya skripsi ini. Penu1is menyadari bahwa skripsi ini isinya masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan.
Bogor, Oktober 1985 Penu1is
DAFV.R lSI
Ha1aman DAF'r AR T ABEL
........................................................................
iii
PENDAHULUAN
1
TINJAU,u~
3
I.
PUST"KA
Ovarium
......................................................................
3
II.
Fungsi Ovarium
......................................................
5
III.
Sistik Ovari
........................................................
10
l.
Penyebab
........................................................
14
2.
Symptom
3·
Diagnosa dan Prognosa
4·
Pengobatan
18
•..•...........
21
.................................................. .
21
PEMBAHASAN
............................................................................
28
KESiMPULAN
......................................................................
30
....................................................................
31
DAFTAR PUSTllKll
DAFTAR 'l'ABEL
No.
Ha1aman Teks
1.
Anatomi perbandingan ovarium betina dewasa
2.
Lama relatif dari periode-periode siklus
10
estrus pada hewan pe1iharaan rata-rata
3.
Konsentrasi hormon· reproduksi rata-rata IJada plasma sapi dengan sistik ovari
4.
.............
20
Respon sapi dengan sistik ovari t.erhadap pengo-
24
·ba tan dengan memakai prpeparat GnRH
5.
6
Respon pengobatan sistik ovari pada sapi perah dengan memakai GnRH dan at au PGF2Alpha
•••. •.
27
PENDAHULUAl\j
Reproduksi merupakan suatu rangk"ian proses yang sang at rumit pada semua spesies hewan.
Karena itu, apabila
terjadi gangguan anatomis maupun fisiologis dari alat reproduksiak..n menyebabkan turunnya fertilitas, bahkan dapat mengakibatkan terjadinya sterilitas. Pemeliharaan sapi 'yang mengalami infertilitas, apabila tidak ditanggulangi dengan sungguh-sungguh, akan sangat merugikan.
Karena tidak saja menyebabkan terjadinya steri
litas, tetapi juga akan terjadi penurunan dan penghentian produksi. Ternak sapi terdapat hampir diseluruh wilayah Indonesia baik di desa maupun di kota dan merupakan ternak yang mempunyai banyak fungsi.
Maka masalah yang berhubungan
ctengan proses reproduksi dari ternak terse but mutlak harus ditangani dengan baik. Rendahnya angka konsepsi akibat adanya gangguan reprQ duksi menyebabkan jumlah ternak yang lahir tidak dapat mengatasi atau mengimbangi penurunan populasi yang terjadi karena:
peningkatan kebutuhan akan daging, peningkatan
d~
ya beli masyarakat, pemotongan betina bunting atau yang
m~
sih proctuktif dan kematian ternak akibat penyakit. Ovarium merupakan organ reproduksi yang sangat penting fungsinya yaitu, sebagai penghasil sel telur dan beberapa hormon reproduksi.
Apabila terjadi kelainan pad a ovarium
maka fungsinya akan terganggu.
2
Sistik ovari merupakan salah satu dari beberapa kelainan pada ovarium yang ditandai dengan pengumpulan cairan sistik pada folikel ovarium, baik folikel yang sudah ovu12 si maupun yang belum ovulasi, sehingga biasanya ukuran folikel tersebut lebih besar dari normal. Sebab dasar dari kejadian sistik ovari adalah kegagaIan hipophisa melepaskan sejumlah luitenizing hormon(LH) sebanyak yang dibutuhkan untuk ovulasi dan pembentukan ko.!: pus
luteum (Roberts, 1971). Sebagai salah sotu penyebab kegagalan reproduksi pada
sapi betina, sistik ovari terutama menyerang sapi perah, tetapi dapat juga ditemukan pada sapi potong (Roberts, 1971) • Kesler dan Garverick (1982) mengatakan, bahwa kejadian sistik ovari pada populasi sapi telah dilaporkan terjadi sekitar
6% -
19% dan kemungkinan bisa lebih besar.
Ada beberapa cara untuk mengobati sistik ovari, antara lain:
pemecahan sistik secara manual, penggunaan prepQ
rat progesteron, preparat human chorionic gonadotropin
(H~
CG) dan yang berhasil dengan baik adalah dengan memakai preparat gonadotropin releasing hormon (GnRH) - prostaglan din F2Alpha (PGF2Alpha). Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah, untuk mengetahui kejadian sistik ovari sebagai salah satu kelainan pada ovarium dan aspek pengobatannya dengan GnRH-PGF2Alpha. Semoga tulisan ini bermamfaat bagi yang memerlukannya.
TINJAUllN PUSTAKJi
I.
Ovariurn Hafez (1980) mengatakan,bahwa sistim reproduksi he-
wan betina terdiri dari ovarium, oviduk, uterus, vagina dan alat kelamin luar. Roberts (1971) menyebutkan, bahwa sebagai organ reprQ duksi pada hewan betina, ovarium sapi bentuknya oval dengan variasi ukuran:
1,3 -
5 em panjang, 1,3 - 3,2 em le-
bar, 0,6 - 1,9 em tebal dan berat 5 - 15 gram.
Ovarium ks
nan urnurnnya lebih besar dari ovariurn kiri, karena seeara fisiologis lebih aktif.
Ovarium kuda bentuknya seperti
ginjal dengan variasi ukuran:
4 - 8 em panjang, 3 - 6 em
lebar, 3 - 5 em tebal dan beratnya 30 - 90 gram.
Domba
bentuk ovariurnnya sarna dengan bentuk ovarium sapi, perkirs an panjangnya adalah 1,3 - 1,9 em.
Sedangkan ovariurn babi
berbentuk oval dengan berat 3,5 - 10 gram, tetapi pada wali tu pubertas bentuknya berubah menyerupai setangkai buah anggur.
Ukuran-ukuran dari ovarium di atas bervariasi me-
nurut struktur yang dikan
Perbedaan ukuran ini terjadi
menurut tingkatan umur hewan.
Sapi dewasa ovariumnya le-
bih besar dari ovarium sapi muda, karena pada sapi dewasa dengan telah terjadinya beberapa kali siklus estrus yang
4
diilwti oleh regresi korpus luteum, menyebabkan ovariumnya lebih besar dara ovarium sapi muda.
Adanya korpus luteum
matang pada ovarium menyebabkan ukuran ovarium juga bertam bah besar, keadaan ini berlangsung secara fisiologis.
Se-
dangkan keadaa patologis pad a ovarium juga menyebabkan peningkatan besar ovarium.
Termasuk didalamnya adalah:
si~
tik ·ovari, ovaritis dan tumor pada ovarium. Hafez (1980), membagi ovarium menjadi bagian cortex dan bagian medulla serta bagian yang mengelilinginya yaitu epithel kecambah.
Ovarium umunya mengalami peningkatan
b~
rat 4 - 7 kali dari berat waktu lahir, pada saat hewan men jelang pubertas.
Medulla ovarium mengandung jaringan ikat
fibro-elastis, sistim syaraf dan pembuluh darah yang masuk melalui hilus (pertautan an tara ovarium dengan mesoovariPembuluh darah terse but tersusun dalam suatu bentuk
um).
spiral yang definitif.
Cortex mengandung folikel, bakat-
bakat dan hasil akhirnya dan disinilah tempat pembentukan sel telur serta tempat memproduksi beberapa hormon reproduksi.
OVarium dapat mempunyai struktur-struktur yang be£
beda:(folikel at au korpus luteum) pada berbagai tingkatan perkembangan atau regresi. Jaringan ikat cortex mengandung banyak fibroblas, beberapa kolagen dan serabut retikuler, pembuluh darah, pembuluh lymphe, syaraf dan serabut-serabut otot licin.
Sel-
sel jaringan ikat dekat permukaan tersusun sejajar dengan permukaan ovarium dan agak lebih padat dari sel-sel yang terletak kearah medulla.
Lapisan padat ini dikenal
sebagai tunica albuginea.
5 Pada permukaan ovarium terdapat
selapis sel yang datar dan disebut dengan epithel kecumbah (Hafez, 1980). Laing (1970) menyatakan, bahwa ovarium terletak diruang abdomen sebelah caudal agak lateral dari ujung cornua uterus dan dapat ditemukan dengan jalan menyelusuri cornua dari cervix. Sedangkan menurut ·Hoberts (1971), ovarium sapi terletak pada perbatasan cranial ligamentum lata, kadangkala di bawahnya di lantai ventro-lateral pelvis dekat pada atau cranial ke gerbang dalam pelvis dan cranio-lateral mulut dalam cervix.
Ovarium dibungkus oleh bursa oVe,ria yai tu
kantong yang dibentuk oleh ligamentum utero-ovaria dengan mesoovarium.
Bagian ovarium yang tidak bertaut dengan me-
soovarium menonjol ke dalam cavum abdominalis dan pada bagian inilah terlihat penonjolan dari folikel ovarium. II.
Fungsi Ovarium Salisbury dan Van Denmark (1961) menyatakan, bahwa
0-
varium merupakan organ reproduksi primer yang berfungsi t,;t dak hanya menghasilkan sel telur, tetapi juga menghasilkan hormon.
Hormon yang dihasilkan tersebut berperanan dalam
penyiapan saluran reproduksi untuk suatu kebuntingan dan memelihara produk kebuntingan. Menurut Tolihere (1981), proses pembentukan ovum atau sel telur di dalam ovarium terjadi dalam beberapa tahap, Yc,itu: proses pembentukan ova atau oogenesis, pembentukan
6 'rabe1 1.
tlniltomi perbandingan ovarium betina dewilSa
Organ Sapi Ovarium bentuk
berat satu ovarium
10njong
Spesies Domba
10njong
Babi
bagaikan setangkai anggur
10-20 gr
3-4
Fo1ike1 de Graaf matang jum1ah diameter
1-2 12-19 mm
1-4 5-10 mm
Ovarium yang paling aktif
kanan
ko.nan
ldri
bundar / 10njong 20-25 mm
bun dar / lonjong
bundar / lonjong
gr
Kuda
3-7
gr
10-25 8-12 mm
menyerupai ginja1, dengan fossa ovu1atoris 40-80
gr
1-,?:
25-70
mm
kiri
Korpus 1uteum matang bentuk diameter ukuran terbesar dipero1eh (hari sebe1um ovu1asi) mu1ai regresi (hari sesudah 0vu1asi)
9 mm
10-15 mm
seperti buah pir 10-25 mm
10
7 - 9
14
14
14-15
12-14
13
17
Ukuran-ukuran da1am tabe1 di atas bervariasi menurut umur, bangsa, paritas (berapa ka1i beranak), tingkat makanan dan sik1us estrus Sumber:
Hafez
(1~i80)
7 folilce:l atau folikulogenesis dan pelepasan sel telur atau ovulasi.
Proses-proses terse but bermula dari masa embrio-
nal. Zuckerman (1962) dalam Tolihere (1981) menyebutkan, bahwa oogenesis atau pembentukan ova berakhir sebelum atau segera sesudah part us. Proses perkembangan folikel yang telah dimulai sebelum hewan lahir, untuk-mencapai kematangan terjadi melalui beberapa tingkatan perkembangan yaitu: kunder, tertier dan folikel de Graaf.
folikel primer, s.@. Pada anak sapi beti
na yang baru lahir, diperkiran terdapat 75 000 folikel dan akan berkurang Sbmpai kira-kira 2500 pada sapi betina tua (12 - 14 tuhun), lmrena terutama disebabkan oleh kegagalan folikel menjadi matang, tidak berovulasi tetapi mblah berdegenerasi (Tolihere, 1981). Menurut Hafez (1980), proses perl{embangan folikel dirangsang oleh FSH (follicle stimulating hormone).
Dan FSH
bekerja sarna dengan LH (luiteinizing hormone) menyebabkan terjadinya pemasakan folikel dan produksi estrogen dari fQ likel yang masak tersebut.
Kemudian LH menyebabkan terja-
dinya ovulasi dengan merangsang pemecahan dinding folikel yang masak "dan pembentukan korpus luteum dari bekas folikel yang pecah.
Bekerja sama dengan LTH (luteothropic hor.
mone), LH merangsang produksi progesteron dari korpus luteum.
8 Salisbury dun Van Denmark (1961) menyatakan, walaupun folikel telah terbentuk sebelum pubertas namun tidak terJ£l. di pemasakan dan pemecahannya.
Kemudian Salisbury dan Van
Denmark (1961) memperkuat pernyataan tersebut, dengan
ha~
sil penelitian Heitz yang mereka kutip dari Hammond (1927) yaitu, folikel besar didapatkan pada ovarium anak sapi yang berumur 5 - 12 minggu, namun demikian folikel tersebut tidak mengalami ruptura at au membentuk korpus luteum, tetapi beberapa dari padanya mengalami atresi atau membentuk sistik.
Tidak ada penjelasan mengapa folikel tidak
m~
sak pada sapi berumur 5 bulan, tetapi pemasakan baru terli hat pada waktu sapi berumur 9 bulan saat terjadinya pubertas. Roberts (1971) menyebutkan, bahwa apabila hewan telah mengalami pubertas, maim akan terjadi proses fisiologis yang nyata dari alat-alat reprodill,si.
Proses fisiologis
tersebut berjalan dalam dalam suatu rangkaian siklus yang dinamakan siklus estrus.
Pubertas pad a hewan dicapai umur:
sapi 6 - 18 bulan, kuda 10 - 12 bulan, kambing 6 - 12 bulan dan babi pada umur 5 - 8 bulan. Siklus estrus biasanya dibagi dalam empat phase atau periode, yang berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Periode-periode tersebut adalah proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.
Beberapa penulis membagi siklus estrus
tersebut dalam dua periode saja yaitu periode estrogenik atau folikuler, termasuk di dalamnya proestrus dan estrus,
periode progestational atau luteal, termasuk di dalamnya metestrus dan diestrus (Roberts, 1971). Se1anjutnya Roberts (1971) menyatakan, bahwa proestrus adalah periode sebe1um estrus.
Pada periode ini ter-
lihat pertwnbuhan folikel de Graaf dibawah pengaruh FSH dan terjadi kenaikan produksi estradiol.
Korpus Iutewn
m~
ngalami vakuolisasi, degenerasi dan penurunan besar dengan cepat.
Cole dan Cupps (1969) yang dikutip oleh Roberts
(1971) menyebutkan, bahwa pad a periode proestrus ter1ihat adanya peningkatan pengeluaran estrogen da1am urin dan muIai terjadi penurunan jwnlah progesteron dalam darah. Estrus adalah periode atau phase dim ana hewan memperlihatkan gejala berahi atau keinginan kelamin, terlihat
b~
tina mencari-cari pejantan dan mau menerima pejantan untuk kopulasi.
Folike1 de Graaf menjadi besar dan matang.
Pa-
da sapi ovulasi akan terjadi kira-kira dua belas jam setelah akhir estrus (Roberts, 1971). Metestrus atau posestrus adalah periode setelah berakhirnya estrus.
Pada periode ini korpus luteum tumbuh
dengan pesat dari sel granulosa folikel yang pecah, dibawah pengaruh LR.
Periode metestrus ini sebagian besar di-
pengaruhi oleh hormon progesteron yang dihasilkan oleh ko,£ pus lutewn.
Kehadiran hormon ini akan menghambat pengelu-
aran FSR, sehingga tidak terjadi Iagi pertumbuhan folikel de Graaf dan estrus.
Selama metestrus epithel vagina meng
alami pertwnbuhan baru setelah banyak yang hilag karena terjadinya desquamasi.
Pada sapi permulaan metestrus
10
epi thel kecambah lwrunkula uterus sanga t hiperemi dan terjadi haemorrhagia kapiler dan disebut dengan perdarahan metestrus atau perdarahan posestrus (Roberts, 1971). Diestrus adalah periode terakhir dan terlama dari siklus estrus.
Korpus luteum menjadi matang dan efek pro-
gesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata.
Pada
akhir periode ini korpus luteum mengalami kemunduran dan vakuolisasi secara berangsur-angsur serta mUlai terjadi perkembangan folikel primer dan sekunder, akhernya kembali ke proestrus (Roberts, 1971). Tabel 2.
Hewan Sapi Kuda Domba Babi
Lama relatif dari periode periode siklus estrus pada hewan peliharaan rata-rata Proestrus 3 hari 3 hari 2 hari 3 hari
Estrus 12-24 jam 4-7 hari 1-2 hari 2-4 hari
l~ete$trus
3-5 3-5 3-5 3"'14
Sumber: III.
Diestrus
hari 13 hari hari 6-10 hari hari 7-10 hari hari 9-13 hari Roberts (1971)
Sistik Ovari Garm (1949) yang dikutip oleh Kesler dan Garverick
(1982) mengatakan, bahwa kejadian sistik ovari pertama i{ali digambarkan adalah pada tahun 1831.
Setelah tahun ter-
sebut banyak hasil penelitian mengenai sistik ovari yang dipublikasikan.
11
l·ienurut Arthur (1975), ovariwn dikatakan sistik apabi la
meng'~\lldung
satu atau lebih cairan yang menetap mengisi
ruangan (folike!), lebih besar dari folikel matang. Short (1962) yang dilmtip oleh Glencross dan
I~unro
(1974) menemukan, bahwa cairan sistik ovari mengandung estrogen dan steroid-steroid lainnya, sarna dengan yang terkandung dalam folikel normal.
Tetapi konsentrasi estrogen
tidak normal pad a cairan sistik ovari. Hc Kay dan Thomson (1959) mendapatkan dari hasil pen&. litian mereka, kira-kira 12% - 14% gangguan reproduksi pada sapi disebabkan oleh sistik ovari. Sedangkan Kesler dan Garverick (1982) mengatakan, bah wa kejadian sistik ovari pada populasi sapi telah dilaporkan terjadi 6% - 19% dan kemungkinan bisa lebih besar, karena lebih kurang 60% dari sapi-sapi yang mengalami sistik ovari sebelwn ovulasi pertama pospartum akan sembuh sendirio
Sebaliknya yang terbentuk setelah ovulasi pertama po§.
partwn diperkirakan akan sembuh sendiri sekitar 20%. Vande plasse he (1982) menyebutkan, bahwa pada kebanya1s an bangsa (breed) sapi perah, 10% dari sapi-sapi terse but mengalami sistik ovari .,.aling kurang satu mas a laktasi sebelum mencapai umur delapan tahun. Henurut Roberts (1971), sistik ovari dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu:
sistik folikel atau sistik degen&.
rasi dari folikel de Graaf, sistik luteal dan sistik korpus luteum.
Sistik folikel dan sistik luteal adalah sis-
tik anovulatorik, terjadi pada folikel yang belwn ovulasi,
12
sedangkan sistik korpus luteum adaluh sistik ovulatorik atau telah mengalami ovulasi.
Sistik folikel adalah foli-
kel yang berisi eairan sistik, menetap pad a ovarium selama 10 hari atau lebih, dengan diameter lebih besar dari 2,5 em dandikarakteristik oleh nymphomania (berahi terus rus) atau anestrus (tidak berahi).
men~
Sistik luteal adalah
sistik pada folikel, dengan diameter lebih besar dari 2,5 em, sebagian terluteinisasi, menetap dalam suatu periode yang lama umumnya ditandai dengan anestrus.
Sistik korpus
luteum terjadi mengikuti ovulasi yang normal, tetapi mengandung rongga sentral berdiameter 7 - 10 mm dan berisi eairan sistik.
Pada palpasi rektal sistik korpus luteum
terasa seperti korpus luteum normal, besar dan mengcembung serta keduanya mempunyai mahkota tenunan luteal yang menon jol melalui tempat bekas ovulasi, tetapi sistik korpus luteum sering berfluktuasi dan konsistensinya agak lunak. Sistik korpus luteum lebih sering terjadi, diperkirakan ,~,
5 kali lebih besar dari sistik folikel. Sistik folikel dan sistik luteal sulit dibedakan secQ
ra klinis.
Biasanya sistik folikel berbentuk jarnak, pad a
salah satu atau kedua ovari, sedangkan umumnya sistik al berbentuk tunggal pada salah satu ovarium.
lut~
Sistik foli
kel mempunyai dinding yang tipis, lebih tegang dan lebih menggembung dibandingkan dengan sistik luteal Yc,ng berdinding tebal dan lunak.
Dinding sistik luteal tebul karena
memiliki lapisan juringan luteal.
Sistik folikel dan sis-
tik luteal mempunyai permukaan yang liein dan konvek
13 karena ovulasi tidak terjadi.
Sistik folikel lebih sering
dijumpai dari sistik luteal (I1oberts, 19'71).
HasH p8nga,..
matan Zemjanis (1970) terhadap 1191 kasus sistik ovari, lebih kurang 30,5% dari padanya adalah sistik luteal. Ro berts (1971) menyatakan, bahwa sistik folikel dan sistik luteal bersifat patologik karena menyebabkan tergang gunya proses reproduksi, konsepsi tidak berlangsung diseba.Q kan ovulasi tidak terjadi.
Sedangkan kebanyakan
sistil~
ko£
pus luteum tidak mempengaruhi konsepsi, karen a ovulasi telah terjadi.
Disamping itu tenunan luteal yang terbentuk
pada sistik korpus luteum masih dapat menghasilkan ron untuk menjaga dan memelihara kebuntingan.
progest~
Atas dasar
ini sistik korpus luteum dinyatakan tidak patologik dan para ahli membatasi sistik ovari pada bentuk folikuler saja. Sedangkan Kesler dan Garverick (1982) berpendapat sistik korpus luteum tidak patologik, karena terjadi pada foli kel yang sudah berovulasi dan tidak mempengaruhi siklus estrus.
Menurut Roberts (1971), sistik ovari umumnya menyerang sapi perah, tetapi kejadian sistik ovari juga dapat ditemukan pada sapi potong. Nalbandov (1976) dalam Kesler dan Garverick (1982) menambahkan, bahwa sistik ovari juga ditemukan pada babi dalam bentuk tunggal maupun jamak. Kesler dan Garverick (1982) menyatakan, bahwa sistik ovari merupakan penyebab kegagalan reproduksi yang serius
14 pacta sapi perah, karen a
1.ur~
ilenderita akan memperlihatkan
interval antara pospurtum uengon estrus pertama dan kebuntingan, diperponjang ldril-ldra
jO)(; dari yang normal.
10},j -
Disamping itu tingkat kejadian sistik ovari pada sapi perah cukup tinggi. Garm (1949) dikutip Eoberts (1971) menyebutkan, bahwa sistik OViAri menyerang sapi-sapi
p",da
semua UtfiUr dari pu-
bertas sampai senilitas.
Tetapi lebih sering didapatkan
mengikuti masa ke 2 - ke
5 melahirkan, atau pada umur 4,7
- 10 tahun (Henrickson, 1957 dalam Joberts, 1971). Hasil penelitian Roberts (1955), dari 352 kasus sistik ovari, 13,9% dari jumlah tersebut adalah penderita yang berumur 1 - 3 tahun, 54,2% berumur 4 - 6 tahun, 25,1;6 berumur 7 - 9 tahun,
6,8;~
berumur lebih c;.ari 10 tahun dan
hanya tiga kasus sistik ovari yang terjadi pacta sapi dara. Horrow, Marion dan Gier yang dikutip oleh Roberts (1971) menyebutkan, bahY/a waktu kejadian sistilc ovari biasanya adalah dari bulan lee 1 - ke
1-1
pospartum, dengan wak-
puncak pada hari ke 15 - 45 pospartum. 1.
Penyebab Ada beberapa pendar,at yang berbeda muncul dari tCthun-
ketahun mengenai penyebab sistik ovari.
Garm (1949) dalam
Kesler dan Garvericlc (1982) menga takan sistik ovari mulamula disangka sebagai efek sekunder dari infeksi uterus, meskipun pada umumnya kejadian sistik ovari tidak diGertai dengan adanya kelainan uterus yang dapat dideteksi.
15 Roberts (1971) menyebutkan, bahwa kejadian sistik ri berhubungan dengan produksi susu.
'l'er1ihat wnumnya ke-
jadian sistik ovari terjadi pada sapi perah yang si. tinggi.
ov~
berprodu~
Be berapa peneli ti yakin, bahv:a dengan mening•
katkan makanan untuk merangsang laktasi terutama makanan dengan kadar protein tinggi, dapat menyebabkan terjadinya sistik ovari. Sedangkan Arthur (1975) berpendapat, bahwa terjadinya peningkatan kasus sistik ovari pada sapi perah-sapi perah hasil seleksi untuk mendapatkan sapi perah dengan produksi susu tinggi, adalah karena pada sapi perah yang berproduksi tinggi terjadi pelepasan prolaktin yang sangat tinggi, sehingga menghambat sintesa dan pelepasan LH. Johnson, Legates dan U1berg (1966) mendapatkan dari hasil penelitian mereka, sapi perah dengan sistik ovari da masa sistik menghasilkan susu lebih banyak.
p~
Tetapi ma-
sa sebelwn sistik produksi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kelompolmya yang identik.
Dari hasil ini mere-
ka berpendapat, bahwa sistik ovari bertanggung jawab terh£l dap peningkatan produksi susu dan bukan produksi susu yang bertanggung jawab terhadap kejadian sistik ovari. Sejalan dengan pendapat Johson et aI, Kesler dan Garverick (1982) menyatakan, bahwa peningkatan produksi susu mungkin terjadi sebagai hasil perubahan kadar hormonal pada sistik ovari. Sedangkan Garverick dan Bierschwal (197Y) dalam Kesler dan Garverick (1982) mengatakan, bahwa hubungan sebab
16 akibat antara produksi susu dengan kejadian sistik ovari belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa faktor lagi yang dihubungkan dengan keJg dian sistik ovari, tetapi hubungan sebab akibatnya juga lum diketahui.
b~
Roberts (1971) menghubungkan kejadian sis-
tik ovari dengan musim, yaitu sering terjadi pada musim rontok.
Henrickson (1957) dalam Roberts (1971), menyata-
kan ada faktor predisposisi herediter pada kejadian sistik ovari.
Donaldson dan Hansel (1968) menghubungkan kejadian
sistik ovari dengan kurang berfungsinya kelenjar hipophisa. Beberapa peneliti berhasil menimbulkan sistik ovari secara percobaan.· Nadaradja dan Hansel (1967) dalam percQ baannya berhasil menimbulkan sistik ovari dengan
penyunti~
an 5 mg estradiol valerate intra muskular, 16 hari setelah estrus dandengan penyuntikan antiserum LH 100 ml subcutan menjelang terjadinya estrus.
Erb, J"10nk, Callahan dan 1101-
lett (19'73), berhasil menimbulkan sistik ovari dengan penyuntikan 0,25 mg progesteron dan 0,1 mg estradiol yang dl larutkan dalam ethanol absolut dua kali sehari selama tujuh hari, secara subcutan.
Sedangkan Liptrap dan Nally
(1976) dan Schams et al (1977) yang dikutip Me Donal.d (1980), berhasil menimbulkan sistik ovari masing-masing dengan penyuntikan adreno eorticotropie hormone (ACTH) antara hari ke 6 - ke 16 siklus estrus dan dengan pemberian makanan yang tidak mengandung B-earoten.
17 Bayon (1983) menyatakan, bahwa sistik ovari dapat te£ jadi pada sapi-sapi yang malwn tanaman yang mengandung kadar estrogen tinggi. me~
Sedangkan Erb, Surve, Callahan dan Mollett (1971)
duga rangsangan FSH yang berlebihan pada Vlaktu pembentukan folikel dan atau LH yang merangsang ovulasi jumlahnya
dib~
wah normal, sebagai penyebab terjadinya sistik ovari. Gangguan parsial mekanisme kontrol peleL;asan LH juga diduga sebagai penyebab terjadinya sistik ovari (Erb et aI, 1973) • Menurut Sequin, Convey dan Oxender (1976), kekurangan pelepasan GnRH dari hipothalamus sebagai penyebab kejadian sistik ovari. an
merel~a,
Pendapat ini berdasarkan pada hasil
percob~
sapi-sapi dengan sistik ovari meleiJaskan LH se-
bagai respon dari pemberian GnRH Kesler dan Garverick (1982), setelah memperhatikan
s~
pi perah-sapi perah pospartum yang secara spontan membentuk sistik ovari dan sapi perah-sapi perah pospartum dengan atau tanpa sistik ovari yang diberi estradiol benzoat menyatakan, bahwa sistik ovari terbentuk apabila hipothalQ mus dan hipophisa kurang memberikan respon dalam melepaskan LH dibawah pengaruh dari estradiol. i~o berts
(1971) berpendapat, bahwa se bab dasar dari k.§.
jadian sistik ovari adalah kegagalan hipophisa melepaskan sejumlah Lll sebanyak yang dibutuhkan untuk ovulasi dan pem bentukan korpus luteum.
18 2.
Symptom Casida, McSchan dan Meyer (1944) menyatakan, bahwa
SQ
pi-sapi yang menderita sistik ovari menunjukan gejala keinginan seksual yang hebat (nymphomania).
Tetapi kemudian
mereka menambahkan, bahwa sapi-sapi yang mengandung sistik ovari memperlihatkan gejala-_yang berubah-ubah. Roberts (1955) mendapatkan dari 265 kasus sistik ovari pada sapi perah yang diketahui gejalanya, 73,6% memperlihatkan gejala nymphomania dan 26,4% memperlihatkan gejala kegagalan estrus.
Terlihat adanya relaksasi dari liga-
mentum sacroischiadicum, oedema vulva dan juga ditandai dengan peningkatan besar uterus.
Tetapi kemudian Roberts
(1971) mengutip dari Garm (1949) menambahkan, bahwa keadaan terakhir ini merupakan gejala-gejala yang terlihat pada kasus nymphomania. Sedangkan Bierschwal, Garverick, Hartin, Youngquist, Cantley ddl Brown (1975), mendapatkan mayoritas penderita sistik ovari yang mereka amati memperlihcctkan gejala anestrus.
Johnson, Legates dan Ulberg (1966) menyatakan, bahwa sapi perah dengan sistik ovari dan gejalanya anestrus memproduksi susu lebih banyak dari sapi perah dengan sistik ovari dan gejalanya nymphomania dan juga dari sapi perah normal.
I-lereka menyebutkan ada tiga kemungkinan terjadi-
nya hal tersebut, yaitu:
Kadar hormonal pada anestrus le-
bih optimal dari nymphomania untuk memproduksi susu tetapi tidak untuk memperlihatkan estrus, Kadar estrogen yang
19 tinggi pada nymphomania menghambat produksi susu dan pengQ ruh adanya estrus, karena pada hewan yang estrus aktifitas fisiknya bertClmbah sehingga mengganggu proses produksi susu.
Dobson, Rankin dan Ward (1977) melakukan penelitian terhadap 91 ekor sapi dengan sistik ovari, mendapatkan kadar progesteron lebih tinggi pada sapi dengan sistik luteal dari sapi dengan sistik folikel.
Tetapi rata-rata ka-
dar LH, FSH, progesteron, estradiol dan testosteron da1am plasma sapi dengan sistik ovari tersebut, tidak berbeda jQ. uh dibandingkan dengan sapi normal pada tahap siklus estrus yang relevan (tabel 3). Sedangkan Kesler, Garverick, Caudle, Bierschwal, ElmQ re dan Youngquist (1980)mendapatkan konsentrasi LH pada
d~
lapan ekor sapi perah dengan sistik ovari, bervariasi besarnya (konsentrasi rata-rata dari sapi yang mereka periksa adalah antara 1,0 - 3,0 ng/m1).
Hanya empat dari sapi
tersebut yang memiliki konsentrasi LH lebih besar dari 3,0 ng/ml pada, suatu waktu penelitian. Konsentrasi testosteron dalam plasma sapi yang menderita sistik ovari juga bervariasi besarnya, tetapi masih dalam batas tingkatan pad a sapi selama siklus estrus (60,8
t. 2/7.:.pg/ml) (Kesler, Garverick, Caudle, Bierschwal, Elmore dan Youngquist (19'79). Menurut Hinze (1959), sistik ovari dan siklus estrus pendek, secara langsung menyebabkan penurunan kebuntingan
oC-\}
Tabel 3.
Konsentrasi hormon-hormon reproduksi rata-rata pada plasma sapi dengan sistik ovari
Sistik folikel
Jumlah Sampel
Progesteron (ng/ml)
Estradiol (pg/ml)
18
0,23 .:!:. 0,2
6,97 .:!:. 2,7
78,1 .:!:. 18
0,1
- 0,6
6,0
- 20,0
40
3,80.:!:. 1,9
4,6
.:!:. 1,1
1,0
4,0
- 7,0
Range normal phase folikel ~istik
luteal
Range normal phase luteal
Keterangan;
59
- 9,0
'restosteron (pg/ml)
LH
(ng/ml )
FSH (ng/ml)
8,5.:!:. 4,1
53,1 .:!:. 32
8,0 - 25
50
94,0 .:!:. 25
4,7.:!:.1,1
63,9 .:!:. 39
50
2,0 - 5,0
50
- 80
- 90*
- 80
- 100
* 1 hari menjelang phase luteal berakhir
Dikutip dad Dobson at ill (1977)
21 2'1,4% pada kelompok sapi perah pada suatu waktu.
Secara
tidak langsung sistik ovari menyebabkan kenaikan kelahiran kembar, abortus dan retensio secundinarium.
3.
Diagnosa dan Prognosa Vandeplassche (1982) menyebutkan, bahwa diagnosa dari
kejadian sistik ovari didasarkan pada gabungan gejala-gej,!,! la yaitu, yang terlihat dari luar (eksternal), vaginal, eksplorasi rektal termasuk didalamnya pola prilaku seksual yang terlihat, serta pengujian kandungan estrogen dan progesteron dari plasma darah dan air susu. Prognosa dari sistik ovari untuk kembali fertil, buruk pada sapi tua, sapi yang struktur ovariumnya rusak, ser.ta pada proses penJlakit yang menyebabkan rusaknya uterus dan oviduk.
Secara umum sapi dengan sistik luteal ku-
rang begitu baik prognosanya dibandingkan dengan sistik fQ likel, karena pada sistik luteal penyakit telah berkernbang lebih jauh (Vandeplassche, 1982).
4.
Pengobatan Bierschwal et al (1975) rnengatakan, bahwa pengobatan
kejadian sistik ovari dahulu dilakukan dengan cara rnernecah kan dinding sistik secara manual interval 6 - 10 hari, sam pai terbentuknya siklus estrus.
Kemudian mereka mengutip
dari Hiller dan Graves (1':132), Schjarven (1963) menarnbahkan, bahwa hasil penyembuhannya adalah sekitar 45%.
22 Menurut Roberts (1955) berdasarkan pada pengamatannya terhadap sapi-sapi yang mengandung sistik ovari yang diobati dengan cara manual, manganjurkan untuk tidak melakukan pengobatan dengan cara tersebut, karena dapat menyebaQ kan terjadinya trauma dan adhesi dari ovarium. Short (1962) dalam Nakao, Numata, Kubo dan Yamauchi (1978) menyebutkan ada dua metoda yang rasional untuk meng obati sistik ovari pada sapi perah, yaitu;
pemberian LH
atau pemecahan sistik untuk pemoentukan korpus luteum dan pemberian progestin untuk menghambat pelepasan gonadotropin dari kelenjar hipophisa. Johnson dan Ulberg (1967), melakukan pengobatan sistik ovari dengan menyuntikan progesteron setiap hari selarna l4 hari dengan dosis 50 mg dan 100 mg perhari, mendapal lean hasil masing-masing, 61,5% dan 62,5% kembali estrus dengan normal, 48,5% dan 52,5% dari padanya bunting setelah diinseminasi dengan jarak hari rata-rata dari pengobal an ke bunting adalah 72 dan 40 hari. Sedangkan Nakao dan Qno (1977) yang me1akukan pengobatan sistik ovari dengan preparat corticosteroid
(betham~
thasone 20 mg atau 10 mg dexamethasone) dan kombinasi human chorionic gonadotropin (HeG) dengan progesteron masing masing dengan dosis 300 IU dan 125 mg, mendapatkan hasil penyembuhan masing-masing ada1ah 41,2% dan 45,5%. Nakao, Numata, Kubo dan Yamauchi (1978) mendapatkan hasil penyembuhan pemakaian kombinasi antara progesteron
23 dan FlCG untuk mengobati sistik ovari pada napi perah adalah sekitar 64%. Bierschwal (1966) dalam Sequin, Convey dan Oxender
(1976) melakukan pengobatan sistik ovari dengan memakai preparat HCG 5:,000 IU, mendapatkan 67% dari sapi yang diobatinya membentuk korpus luteum dalam 1 - 2 minggu setelah pengobatan. Metoda pengobatan'sistik ovari yang lebih baru dan memberikan hasil lebih baik adalah dengan memakai preparat GnRH dikombinasi dengan PGF2Alpha. Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) Convey (1973) menyebutkan, bahwa GnRH merupakan salah satu faktor pelepas hormon gonadotropin hipophisa.
Convey
menduga GnRH ini disekresikan oleh neuron-neuron pada basal hipothalamus, dilepaskan ke hipophisa melalui pembuluh portal dan menggunakan pengaruhnya pada sel-sel spesifik di hipophisa. Menurut Schally, Arimura dan Kastin (1973), GnRH bekerja merangsang sel-sel basofil hipophisa untuk membentuk dan mensekresikan LH dan FSH.
Tetapi sampai saat ini be-
lum diketahui dengan pasti bagaimana cara kerja GnRH dalam melepaskan LH atau FSH sendiri-sendiri. Convey (1973) menyatakan, bahY/a modifikasi pengeluaran hOL'mon dari hipophisa terjadi karena:
perubahan dalam
sintesa dan atau pelepasan faktor pelepas dan penghambat hormon terse but dari hipothalamusj perubahan respon
.j
Tabel 4.
~
Respon sapi dengan sistik ovari terhadap pengobatan memakai rrepar at GnRH
Grup pengobatan
o
50 ug
100 ug
28
28
28
30
6
18
23
23
23 .:t. 3
22 .:t. 3
22 .:t. 3
4
13
20
17
Hari dari pengobatan ke bunting
45 :t 12
50 :t 7
43 :t 9
59 :t 9
Inseminasi per kebuntingan (SiC)
1,5:tO,3
1,6.:t.O,3
1, 6.:t.O, 3
1,9.:t.O,3
2
7
10
Jumlah sapi Jurnlah sapi yang berespon Interval dari pengobatan ke estrus pertama (hari) 'fotal sapi yang bunting
Jumlah sapi yang bunting pada inseminasi pertama
ug
24 :t
4
250 ug
'7 r
DikutilJ dari Bierschwal rt 0.1 (1975)
25 hipophisa terhadap neurohormon hipothalamus, misalnya perubahan dalam twnpat penyimpanan hormon, pelepasannya atau perubahan pad a sel-sel hipophisa itu sendirij
kombinasi
kedua hal tersebut. i'iatsuo et al (1971) dalam Convey (1973) berhasil membuat GnRH sintetik yang ternyata aktifitasnya sarna dengan GnRH alami.
GnRH terdiri dari 10 macam asam amino yang di
sebut decapeptida dengan berat molekul 1182. Pemakaian GnRH sintetik untuk mengobati sistik ovari pada sapi perah dilakukan pertama kali oleh Kittok, Britt dan Convey (1973).
Hereka memakai GnRH dengan dosis 3 ka-
Ii 100 ug interval 2 jam intra vena, pada lima ekor sapi perah dengan hasil kelima sapi terse but kern bali membentuk siklus estrus dengan estrus terlihat rata-rata dalam waktu 20 - 24 hari setelah pengobatan. Inisiatif Kittok et al kemudian didikuti oleh Bierschwal et al (1975).
Nereka melakukan pengobatan pada em-
pat grup sapi perah yang menderita sistik ovari, dengan pemberian GnRH dosis tunggal 0, 50, 100 dan 250 ug intra muskular untuk masing-masing grup.
Respon pengobatan ter-
dapat pada tabel 4. Prostaglandin F2Alpha Inskeep (1973) menyebutkan, bahwa prostaglandin merupakan asam lemak tidak jenuh yang terdiri dari 20 atom ka£ bon.
Daya kerjanya adalah pada otot licin dan tekanan
26 darah, dengan variasi berdasarkan struktur )<:imianya.
Pens.
maan prostaglandin diberikan oleh von Euler. Kindahl et al (1976) dalam Sequin (1980) menyatakan, bahwa prostaglandin merupakan faktor luteolitik
yan~
diha-
silkan oleh uterus dan mengontrol umur korpus luteum.
Pa-
da sapi-sapi yang tidak bunting faktor ini dilepaskan kirs. kira hari ke 14 atau 15 siklus estrus dan akan mengakhiri fungsi korpus luteum.
'Sedangkan pad a sapi-sapi bunting
p~
lepasannya akan dihambat, korpus luteum akan menetap dan kebuntingan akan berlanjut. Bergstrom dan kawan-kawan dari Swedia, berhasil membQ at ekstrak murni, menemukan struktur kimia dan melakukan biosintesa prostaglandin (Inskeep, 1973). Lauderdale (1972) memamfaatkan efek luteolitik dari analog PGF2Alpha untuk mengobati sistik ovari.
Mereka men
dapatkan hasil 26 ekor dari 28 ekor sapi yang mereka obati kembali estrus dengan normal. Pemakaian GnRH dan PGF2Alpha untuk pengobatan sistik ovari dilakukan oleh Kesler, Garverick, Caudle, Bierschwal, Elmore dan Youngquist (1978).
Pengobatan dilakukan terha-
dap 32 ekor sapi perah yang dibagi dalam empat grup dan m3. sing-masing grup diberi: RH,
grup I air steril, II 100 ug Gn-
III 25 mg PGF2Alpha dan grup IV dengan 25 mg PGF2Al-
pha 9 hari setelah 100 ug GnRH.
Penyuntikan dilakukan in-
tra muskular dan hasilnya terlihat pada tabel 5.
Tabel 5.
C'(\j
rtespon pengobatan sistik ovari pada dan atau PGF2Alpha
Grup
I
Jumlah
8
Respon positip
s~pi
perah dengan memakai GnRH
III
IV
8
8
8
6
5
7
II
Hari dari pengo bat an ke estrus at au "silent" estrus
19,0 .:t
kebuntingan
48,5 .:t 23,8
1,5
2,4
12,3 :!:. 1,2
56,0 :!:. 54,0
31,0 :!:. 8,7
0,5
1,4:!:. 0,3
5,6 :!:.
Inseminasi per kebuntingan (siC)
Jum1ah yang bunting
1,8 :!:. it
0,5
1,5 :!:. 2
Sumber:
5
Kesler et al
(1978).
!JEMBAHASAN
Sistik ovari sebClgai penyebab )cegagalan reproduksi yang cukup serius pada sapi terutama sapi perah, harus ditanggulangi dengan baik.
Pemakaian PGF2Alpha 9 hari sete-
lah pemberian GnRH masing-masing dengan dosis 25 mg dan 100 ug intra muskular, merupakan metoda pengobatan yang sangat efektif (Kesler'et aI, 1978). Sequin et al (1976) menyebutkan, GnRH merangsang
pel~
pasan LH, sangat efektif untuk memulai pembentukan jaringan luteal aktif baru pada dinding sistik.
Pembentukan ja-
ringan luteal aktif baru ini ditandai dengan peningkatan konsentrasi progesteron dalam serum setel&h pemberian GnRH tersebut. Berchtold et al (1980) dalam Kesler dan Garverick (1982) menyatakan, apabi1a GnRH diberikan dalam dosis ting gi pada sapi perah dengan sistik ovari, akan terjadi ovu1£._ si sebagai respon berlangsungnya 1uteinisasi dari struktur dinding sistik. Kesler dan Garverick (1982) manambahkan, bahwa regresi dari falikel dengan sistik yang te1ah menga1ami luteini sasi yaitu telah terbentuk jaringan luteal aktif baru, te£ jadi da1am waktu yang sarna dengan regresi korpus luteum normal. Sedangkan Kesler et al (1978) menyatakan, bahwa sapi perah dengan sistik ovari yang diobati memakai GnRH dosis
29 100 ug intra muskular, jaringan luteal yang terbentuk memi liki respon terhadap efek luteolitik dari PGF2Alpha yang diberikan 9 hari setelah pemberian GnJlH.
Efek luteolitik
tersebut ditandai dengan diperpendeknya waktu dari saat pengobatan sampai terbentuknya estrus, dengan estrus terli hat rata-rata 3 hari setelah pemberian PGF2Alpha.
Sedang-
kan pengobatan dengan 100 ug GnRH tanpa pemberian PGF2Alpha, estrus baru akan terlihat rata-rata 18-23 hari sete':'. lah pengobatan. Kesler dan Garverick (1982) menyebutkan kelebihan pengobatan sistik ovari dengan GnRH dibandingkan dengan HCG adalah:
karena molekulnya lebih kecil GnRH tidak me-
nimbulkan respon immun yang bisa terjadi pada pengobatan memakai HCG;
pengulangan pengobatan dengan GnRH tidak me-
nyebabkan efek sampingan seperti timbulnya reaksi anaphilaksis yang bisa timbul pada pengobatan dengan HCG.
KESIfWULAN
Sistik ovari merupakan penyebab kegagalan reproduksi yang serius ].lada terni,k, menyerang terutama sapi peruh wuluupun dapat juga ditemukan pada sapi potong dall babi. Penyebab kejadian sistik ovari belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga kegagalan hipophisa melepaskan sejumlah LH yang cukup untuk ovulasi dan pembentukan korpus luteum sebagai sebab dasarnya. Sistik ovari dibagi dalam tiga bentuk yaitu;
sistik
folikel atau sistik degenerasi dari folikel de Graaf, sistik luteal dan sistik korpus luteum.
Yang bersifat patolQ
gik atau mempengaruhi proses rel)roduksi dari ternak adalah sistik folikel dan sistik luteal. Gejala klinis sistik ovari adalah nymphomania (berahi terus menerus) dan atau anestrus (tidak berahi). Konsentrasi progesteron dalam plasma sapi perah dengan sistik luteal lebih tinggi dari sistik folikel. Diagnosa sistik ovari didasarkan pada gabungan
gejal~
gejala yang terlihat dari luar, vaginal dan eksplorasi ret tal untuk menemukan folikel yang berukuran lebih besar dari
2,5
em yang menetap pada ovarium 10 hari atau lebih,
tanpa ditemukan adanya korpus luteum. Sampai saat ini pengobatan yang paling efektif adalah dengan penyuntikan 100 ug GnRH dikuti 25 mg PGF2Alpha 9 hQ ri setelah GnRH, intra muskular.
DilF'rAR
PU::; l'!U(J\
Arthur, G. H. 1975. Veterinary Reproduction and Obstetric. Ed. 4. The English Language Book Society and Bailliere Tindall. Bayon, D. 1983. OVarian cysts induce by plant oestrogen. Britain Vet. J., 139:38. Bierschwal, C. J., H. A. Garverick, C. E. Martin, R. S. Youngquist, T. C. Cantley and H. D. Brown. 1975. Clinical response of dairy cows with ovarian cyst to GnRH. J. Anim. Sci., 41:1660-1665. Cantley, T. C., H. A. Garverick, C. J. Bierschwal, C. E. Martin and R. S. Youngquist. 1975. Hormone responses of dairy cows with ovarian cysts to GnRH. J. Anim. Sci., 41:1666-1673. Casida, L. E., VI. H. McSchan and II. K. meyer. 1944. Effects of an unfractioned pituitary extrac upon cystic ovaries and nymphomania in cows. J. Anim. Sci., 3:273-282. Convey, E. M. 1973. Neuroendocrine relationship in farm animals: A review. J. Anim. SCi., 37:745-757. Dobson, H., J. E. F. Rankin and W. i~. Ward. 1977. Bovine cystic ovarian disease: Plasma hormone concentrations and treatment. Vet. Rec., 101:459-461. Donaldson, L. E. and W. Hansel. 1968. Cystic corpora lutea and normal and cystic graafian follicle in the cow. Aust. Vet. J., 44:304-308. Erb, R. E., A. H. Surve, C. J. Callahan, T. H. Mollett. 1971. Reproductive steroid in the bovine, VIII changes postpartum. J. Anim. Sci., 33:1060-1065. L. E. Monk, C. J. Callahan, T. H. Mollett. Endocrinology of induce ovarian follicular cysts. J. Anim. Sci., 37:310 (Abstr.).
Erb, R.
~.,
1973.
Glencross, II. G. and J. B. Munro. 1974. Oestradiol and progesterone levels in plasma of a cow with ovarian cysts. Vet. Rec., 95:169-173. Hafez, E. S. E. 1980. Reproduction in Farm Animals. Ed. 4. Lea and Febiger Philadelphia, USA.
32 Hinze, P. 1'1. 1959. Diugnosis and treatment of nonspecific infertility in the di.Airy cow. J. Amer. Vet. Med. "ssoc., 134:302-30'1. Inskeep, s. 1973. Potential uses of prostaglandin in control of reproductive cycle of domestic animals. J. Anim. Sci., 36:1150-1153. Johnson, A. D., J. E. Legates and L. C. Ulberg. 1966. Relationship between follicular cysts and milk produ£ tion in dairy cattle. J. Dairy Sci., 49:865-868. Johnson, A. D. and L. C. Ulberg. 1967. Influence of exogenous progesterone on follicular cysts in dairy cattle. J. Dairy Sci., 50:758-761. Kesler, D. J., H. A. Garverick, A. B. Caudle, C. J. Bierschwal, R. G. Elmore and R. S. Youngquist. 19'78. Clinical and endocrine responses of dairy cows with ovarian cysts. to GnRH and PGF2.41pha. J. Anim. Sci., 46:719-725. Kesler, D. J., H. A, Garverick, A. B. Caudle, C. J. Bierschwal, R. G. Elmore and i:l. S. Youngquist. 1979. Testosterone concentrations in plasma of cows with ovarian cysts •. J. Dairy Sci., 62 :1825-1828. Kesler, D. J., H. A. Garverick, A. B. Caudle, C. J. Bierschwal, R. G. Elmore and R. S. Youngquist. 1980. Reproductive hormone and ovarian changes in cows with oVDrian cysts. J. Dairy Sci., 63:166-170. Kesler, D. J. and H. A. Garverick. 1982. Ovarian cysts in dairy cattle: A review. J. Anim. Sci., 55:11471159. Kittok, R. J., J. H. Britt and E. M. Convey. 1973. Endocrine response after GnRH in luteal phase cows and cows with ovarian follicular cysts. J. llilim. Sci., 37:985-989. Laing, J. A. 19'70. Fertility and Infertility in the Domestic Animals. Ed. 2. Bailliere Tindall and Cassel, London. Lauderdale, J. VI. 19'72. Effects of PGF2ALpha on pregnancy and oestrus cycle of cattle. J. Anim. SCi., 35:246. McDonald, L. E. 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Ed. 3. Lea & Febiger Philadelphia, USA.
33 I1cl(ay, G. IV. and J. E. Thomson. 1959. Field observation on treatment of cystic ovaries in cattle. Can. J. Compo Ned. and Vet. Sci., 23:175-176 Nadaradja, R., W. Hansel. 1976. Hormonal changes associated with experimentally produced cystic ovaries in the cow. J. Reprod. Fert., 47:203-208. Nakao, T. and H. Ono. 1977. Treatment of cystic ov[,rian disease in dairy cattle: Comparative observation on the effects of an intramuscular injection of corticosteroids and an intravenous injection of a combination of human chorionic gonadotropin and progesterone. Cornell Vet., 67:50-64. Nakao, T., Y. Numata, M. Kubo and S. Yamauchi. 1978. Treatment of cystic ovarian disease in dairy cattle: Combined use of progestin and human chorionic gonadotropin. Cornell Vet., 68:161-178. Roberts, S. J. 1955. Clinical observation on cystic ovaries in dairy cattle. Cornell Vet., 45:497-508. Roberts, S. J. 1971. Veterinary Obstetric and Genital Diseases (Theriogenology). Ed. 2. (Indian Edition). CBS. Publishems & Distributors, India. Salisbury, G. W. and N. L. Van Denmark. 1961. Physiology of Reproduction and Artificial Insemination of Cattle. W. H. Freeman and Co., San Fransisco and London. Schally, A. V., A. Arimure, A. J. Kastin. 1973. Hypothalamic regulatory hormones. Science, 179:341-350. Sequin, B. E., E. M. Convey, W. D. Oxender. 1976. Effect of gonadotropin-releasing hormone and human chorionic gonadotropin on cows with ovarian follicular cysts. J. }~er. Vet. Med. Assoc., 37:153-157. Sequin, B. E. 1980. Role of prostaglandin in bovine reproduction. J • .<\mer. Vet. Med. Assoc., 176:1178-1181. 'rolihere, 11. 1,. 1981. Angkasa, Bandung. Vandeplassche. 1982. FAO., Rome.
Fisiologi Reproduksi Pada 'rernak. Reproductive Efficency in Cattle.
Zemjanis, R. 1970. Diagnostic and Theraupetic Techniques in Animal Reproduction. William and Wilkins Co. Baltimore, USA.