Determinan Perkembangan Obligasi di Asia
Hapiz Sakti Azi1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini menguji determinan utama yang mempengaruhi perkembangan pasar obligasi pemerintah, pasar obligasi korporasi dan total pasar obligasi di Asia setelah krisis Asia 1997−1998. Penelitian ini menggunakan data panel 10 negara Asia dari tahun 2002−2011. Dengan menggunakan metode regresi GLS, hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan pasar obligasi di Asia dipengaruhi oleh perkembangan pada pasar obligasi pemerintah. Faktor-faktor makroekonomi yang mempengaruhi perkembangan pasar obligasi di Asia diantaranya adalah seperti tahap perkembangan ekonomi suatu negara, keterbukaan perekonomian, ukuran sektor perbankan, tingkat suku bunga pinjaman, depresiasi nilai tukar dan kebijakan fiskal. Kata Kunci: Asia; GLS; Pasar Obligasi; Perkembangan Pasar Klasifikasi JEL: E44, G12 Abstract This study examines the major determinants of government bonds market, corporation bonds market and total bonds market development in Asian economies post Asian crisis 1997−1998. Using GLS regression method from 10 Asian economies for the period 2002-2011, this study found that the bond market development in Asia is mainly driven by the development of government bonds market. Factors affecting bond market development in Asia are the stage of economic development, the openness of an economy, the size of banking sector, lending rate, currency depreciation and fiscal policy. Keywords: Asia; Bond Market; GLS; Market Development JEL Classification: E44, G12 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sebelum krisis finansial Asia 1997−1998, sebagian besar sumber pembiayaan negara-negara di Asia bergantung pada sektor perbankan. Sistem perbankan merupakan sistem keuangan yang paling mudah untuk diterapkan, terutama untuk negara berkembang dengan kebutuhan intermediasi keuangan yang tinggi. Kerjasama yang dekat antara perbankan dengan pemerintah membuat aliran dana mudah dikendalikan, terutama untuk membiayai sektor-sektor yang menjadi penggerak produktivitas dan meningkatkan pendapatan ekspor (Eichengreen, 2004). Rezim nilai tukar tetap yang digunakan di beberapa negara Asia saat itu membuat risiko nilai tukar berkurang baik bagi pihak pemberi pinjaman maupun peminjam (Bhattacharay, 2011). Selain itu, adanya 1
Alamat email korespondensi:
[email protected]
1 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
liberalisasi neraca modal juga membuat perbankan lebih memilih mengakses dana dari luar negeri karena adanya persepsi bahwa kewajiban utang perbankan tersebut dijamin oleh pemerintah (Eichengreen, 2004). Kondisi tersebut memacu para peminjam di dalam negeri untuk melakukan pinjaman dalam denominasi mata uang asing, meskipun perbedaan tingkat suku bunga antara dalam dan luar negeri cukup signifikan. Sementara itu, pemberi pinjaman memiliki pandangan bahwa tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi di kawasan Asia nantinya akan meningkatkan investasi dan aliran modal (Bhattacharay, 2011). Pinjaman luar negeri umumnya memiliki jatuh tempo yang lebih pendek ketimbang kredit yang disalurkan oleh perbankan domestik itu sendiri. Krisis mulai terjadi di Asia pada tahun 1997 yang diawali dengan kejatuhan Baht Thailand setelah pemerintah Thailand mendevaluasi mata uang tersebut dan melepas sistem nilai tukar tetap yang selama ini digunakan. Krisis Baht Thailand menular ke negara-negara seperti Korea Selatan, Malaysia dan Indonesia. Krisis yang awalnya merupakan krisis nilai tukar (ditunjukkan dengan merosotnya nilai tukar beberapa negara Asia tersebut) berkembang menjadi krisis perbankan sebagai akibat dari tingginya pembiayaan domestik melalui sektor perbankan. Selain itu, dalam krisis finansial Asia ini juga terjadi double mismatch yaitu ketidaksesuaian antara nilai tukar dan jatuh tempo. Kebanyakan perusahaan domestik melakukan pinjaman dalam jangka pendek dengan denominasi mata uang asing untuk investasi jangka panjang di domestik. Ketika terjadi kredit macet, perusahaan tidak dapat membiayai utang dengan investasinya saat ini. Sehingga dengan meningkatnya risiko gagal bayar maka perusahaan akan semakin sulit untuk mendapatkan akses kredit. Dengan meningkatnya aliran dana keluar (capital outflow), maka mata uang domestik akan semakin terdepresiasi. Dan pada akhirnya, ketidakmampuan perusahaan maupun perbankan domestik dalam membayar mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya beban utang (Bhattacharay (2011), Kawai (2007), Asian Development Bank (2002)). Pasca krisis finansial Asia 1997−1998, sektor korporasi masih banyak menggantungkan sumber pembiayaan melalui perbankan (Bhattacharay (2011). Sumber pembiayaan alternatif melalui pasar keuangan, seperti pasar saham dan pasar obligasi mulai dikembangkan di seluruh negara Asia. Namun, perkembangan yang terjadi di pasar obligasi masih tergolong relatif lambat. Pasca krisis finansial Asia 1997−1998, rata-rata pertumbuhan kapitalisasi pasar obligasi Asia hanya sebesar 16.6% tiap tahunnya. Sumber pembiayaan melalui obligasi adalah salah satu cara pembiayaan yang dapat dilakukan oleh perusahaan maupun pemerintah. Tujuan utama korporasi menerbitkan obligasi adalah untuk melakukan ekspansi usaha. Sementara, tujuan utama pemerintah menerbitkan obligasi adalah untuk mendanai defisit anggaran dalam rangka pembiayaan pembangunan. Obligasi memiliki jangka waktu (tenor) yang relatif lebih panjang dibandingkan pinjaman yang berasal dari bank. Bagi perusahaan, penerbitan obligasi dapat memimalisir risiko ketidaksesuaian jatuh tempo (mismatch maturity) karena baik pinjaman maupun investasi yang dilakukan adalah dalam jangka panjang. Bagi pemerintah, karakteristik obligasi sebagai instrumen jangka panjang sangat sesuai untuk pemerintah dalam melakukan pembiayaan pembangunan jangka panjang seperti infrastruktur (jalan, jembatan, gedung, pelabuhan, bandar udara, pembangkit listrik dan lainnya) yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 1.2 Perumusan Masalah Pasar obligasi yang berkembang akan dapat menjaga stabilitas sektor keuangan, meningkatkan fungsi intermediasi, membatasi dampak dari volatilitas di dalam perekonomian global dan sistem keuangan, mengurangi pembiayaan yang inflasioner, dan meningkatkan aliran modal yang masuk ke dalam negara di dalam kawasan (Hyun dan Jang, 2008). Selain itu pasar obligasi yang telah berkembang dan likuid juga dapat mengurangi kebergantungan perusahaan-perusahaan swasta dalam melakukan pinjaman dalam denominasi mata uang luar negeri (Bhattacharay, 2011). Dengan semakin pentingnya peranan pasar obligasi terutama sebagai stabilitas sektor keuangan maka dibutuhkan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan pasar obligasi tersebut. Penelitian ini akan mengidentifikasi faktor-faktor makroekonomi apa saja yang mempengaruhi perkembangan pasar obligasi di Asia yang perkembangannya masih sangat lambat setelah periode krisis finansial Asia 1997─1998. Penelitian ini menggunakan kapitaliasasi pasar obligasi sebagai indikator perkembangan pasar obligasi. 2 World Bank (2006) mengelompokkan indikator perkembangan pasar obligasi menjadi empat macam indikator: ukuran pasar obligasi (diukur dengan rasio kapitalisasi pasar obligasi), akses pasar obligasi (diukur dengan yield obligasi pemerintah tenor 3 bulan dan 10 tahun, 2
2 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
Penelitian ini akan menganalisis perkembangan di tiga pasar obligasi yaitu pasar obligasi pemerintah, pasar obligasi korporasi dan total pasar obligasi. Karena sebagian besar total obligasi yang beredar di pasar obligasi Asia adalah obligasi yang berdenominasi mata uang lokal maka ketiga pasar yang dianalisis tersebut merupakan pasar obligasi mata uang lokal (Local Currency Bonds Market).3 Oleh karena itu, pertanyaan yang coba dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Faktor-faktor makroekonomi apa saja yang menentukan perkembangan pasar obligasi di Asia dari tahun 2002−2011? 2. Faktor-faktor makroekonomi apa saja yang menentukan perkembangan pasar obligasi pemerintah di Asia dari tahun 2002−2011? 3. Faktor-faktor makroekonomi apa saja yang menentukan perkembangan pasar obligasi korporasi di Asia dari tahun 2002−2011? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis apakah faktor-faktor makroekonomi: keterbukaan ekonomi, tahap perkembangan ekonomi, tingkat suku bunga pinjaman, ukuran sektor perbankan, perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi, dan kebijakan fiskal mempengaruhi perkembangan pasar obligasi negara-negara Asia. 2. Untuk menganalisis apakah faktor-faktor makroekonomi: keterbukaan ekonomi, tahap perkembangan ekonomi, tingkat suku bunga pinjaman, ukuran sektor perbankan, perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi, dan kebijakan fiskal mempengaruhi perkembangan pasar obligasi pemerintah negara-negara Asia. 3. Untuk menganalisis apakah faktor-faktor makroekonomi: keterbukaan ekonomi, tahap perkembangan ekonomi, tingkat suku bunga pinjaman, ukuran sektor perbankan, perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi, dan kebijakan fiskal mempengaruhi perkembangan pasar obligasi korporasi negara-negara Asia. 1.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan, penelitian ini akan menguji beberapa hipotesis: 1. Keterbukaan ekonomi memiliki hubungan positif dengan perkembangan pasar obligasi. 2. Tahap perkembangan ekonomi memiliki hubungan positif dengan perkembangan pasar obligasi. 3. Tingkat suku bunga pinjaman memiliki hubungan negatif dengan perkembangan pasar obligasi. 4. Ukuran sektor perbankan memiliki hubungan positif dengan perkembangan pasar obligasi. 5. Perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi memiliki hubungan negatif dengan perkembangan pasar obligasi. 6. Kebijakan fiskal mimiliki hubungan positif dengan perkembangan pasar obligasi. 1.5 Metodologi Penelitian Penelitian ini mengacu pada model di dalam penelitian Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) yang memproksikan perkembangan pasar obligasi melalui kapitalisasi pasar obligasi. Model tersebut akan digunakan untuk mengetahui perkembangan tiga pasar obligasi di Asia: pasar obligasi pemerintah, pasar obligasi korporasi dan total pasar obligasi. Ketiga model tersebut akan diestimasi dengan menggunakan regresi data panel. Model Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) diformulasikan sebagai berikut: (1.1) Data yang digunakan sebagai variabel independen adalah data-data makroekonomi, seperti PDB per kapita (PPP), tingkat suku bunga pinjaman, perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi, total ekspor, total utang publik dan total kredit yang disalurkan oleh perbankan, serta PDB (PPP) yang digunakan sebagai pembanding data rasio. Sumber data yang digunakan adalah berasal dari Asian Development Bank (ADB), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Penelitian ini menggunakan data panel dari 10 negara di Asia: Indonesia, Jepang, Malaysia, Thailand, Vietnam, China, Hong Kong, Singapura, Filipina dan Korea Selatan. Periode penelitian diambil dari tahun 2002−2011. Penetapan awal tahun 2002 adalah selain untuk melihat perkembangan pasar obligasi Asia setelah rasio total obligasi domestik terhadap total obligasi), efisiensi pasar obligasi (diukur dengan bid ask spread obligasi tenor 10 tahun, turnover obligasi di pasar sekunder) dan stabilitas pasar obligasi (diukur dengan volatilitas dan skewness indeks obligasi pemerintah). 3 Selanjutnya dalam penelitian ini, pasar obligasi mata uang lokal (Local Currency Bond Market) didefinisikan sebagai pasar obligasi.
3 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
krisis finansial Asia 1997-1998, juga karena beberapa negara di Asia, seperti Vietnam dan Indonesia, baru beberapa tahun menerbitkan obligasi pemerintah maupun korporasi. 2. Tinjauan Referensi 2.1 Hubungan Yield Obligasi dan Harga Obligasi Yield atau imbal hasil obligasi adalah tingkat pengembalian yang didapatkan oleh investor karena memegang obligasi. Selanjutnya yield obligasi yang dimaksudkan adalah yield to maturity yaitu tingkat bunga yang menyamakan present value dari pembayaran cash flow yang diterima dari surat utang dengan nilainya saat ini. Karena konsep di balik perhitungan yield to maturity memiliki logika ekonomi yang sesuai, maka banyak ekonom yang mempertimbangkan yield to maturity sebagai pengukur tingkat suku bunga yang paling akurat (Mishkin, 2007). Perhitungan yield to maturity di tiap jenis tipe surat utang memiliki perbedaan. Berikut adalah perhitungan yield to maturity berdasarkan keempat jenis surat utang yang dikelompokkan Mishkin (2007) berdasarkan waktu pembayaran arus kas: 1. Yield to maturity pada simple loan (2.1) PV = Simple loan merupakan utang yang diberikan pada jumlah nominal tertentu dimana peminjam akan mengembalikan utang tersebut pada saat jatuh tempo beserta tambahan pembayaran bunga. Kebanyakan instrumen pasar uang, seperti commercial loan, adalah tipe jenis surat utang simple loan. Dalam persamaan 2.1 di atas, yield to maturity dinotasikan sebagai i. Kesimpulan dari perhitungan yield to maturity di dalam simple loan adalah bahwa tingkat suku bunga sama dengan yield to maturity. 2. Yield to maturity pada fixed payment loan LV = + + + …+ (2.2) Fixed-payment loan merupakan utang yang diberikan pada jumlah nominal tertentu dimana peminjam akan membayar utang tersebut pada nominal yang tetap dalam setiap pembayarannya dan telah memperhitungkan pokok dan bunga utang. Utang jenis ini biasanya terdapat pada cicilan barang (elektronik, mobil) atau kredit properti. Di dalam fixed payment loan, untuk menghitung yield to maturity, nilai pinjaman, jumlah pembayaran per tahun adalah tetap dan telah diketahui. 3. Yield to maturity pada coupon bond P=
+
+
+…+
+
(2.3)
Coupon bond merupakan surat utang yang memberikan pembayaran bunga tetap (pembayaran kupon) setiap tahun sampai jatuh tempo pembayaran pokok utang. Sementara, Coupon rate adalah persentase jumlah nominal kupon yang dibayarkan kepada investor tiap tahun relatif terhadap face value surat utang itu sendiri. Contoh coupon bond diantaranya adalah sebagian besar obligasi pemerintah maupun korporasi. Melalui persamaan 2.3 di atas dapat dijelaskan beberapa kesimpulan mengenai yield to maturity di dalam coupon bond. Pertama adalah ketika harga coupon bond sama dengan face value, yield to maturity akan sama dengan coupom rate. Kedua, harga coupon bond dan yield to maturity memiliki hubungan negatif, yaitu ketika yield to maturity naik maka harga obligasi akan turun dan begitu juga sebaliknya. Ketiga, yield to maturity lebih besar daripada coupon rate yaitu ketika harga obligasi berada di bawah face value. 4.
Discount bond P=
(2.4)
Discount bond atau disebut juga dengan zero coupon bond merupakan surat utang yang dibeli di bawah face value (diskon) oleh pemegang surat utang dan penerbit surat utang membayar pokok utang pada saat jatuh tempo. Di dalam discount bond tidak ada pembayaran kupon. Contoh discount bond diantaranya adalah surat perbendaharaan dan long term zero coupon bonds. Persamaan 2.4 di atas adalah contoh perhitungan yield to maturity pada discount bond dengan tenor satu tahun. Dari persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa yield to maturity memiliki hubungan negatif dengan harga obligasi.
4 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
Dari perhitungan berbagai jenis obligasi di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga memiliki hubungan negatif dengan harga obligasi saat ini, atau dengan kata lain ketika tingkat suku bunga naik maka harga obligasi akan mengalami penurunan. Berdasarkan Mishkin (2007), yield to maturity yang paling menggambarkan tingkat suku bunga di dalam obligasi yang bertenor jangka panjang adalah current yield. Berikut adalah formula perhitungan current yield: =
(2.5)
Persamaan 2.5 merupakan perhitungan dalam mencari current yield, yaitu yield yang didapat dari jumlah pembayaran kupon yang dibayar tiap tahun dibagi dengan harga obligasi itu sendiri. Di dalam persamaan 2.5 juga dapat disimpulkan hubungan negatif antara tingkat suku bunga dengan harga obligasi. 2.2 Hubungan Yield Obligasi dan Tingkat Pengembalian Obligasi Yield obligasi atau tingkat suku bunga pada obligasi memiliki pengertian yang berbeda dengan tingkat pengembalian obligasi (rate of return of bonds). Mishkin (2007) mendefinisikan bahwa rate of return dari jenis instrumen keuangan adalah pembayaran balas jasa yang diterima pemegang sekuritas ditambah nilai dari adanya perubahan pada harga pembelian. Di dalam obligasi, tingkat pengembalian dapat diformulasikan sebagai berikut: (2.6)
R= Dimana, R = Tingkat pengembalian dari memegang obligasi dari periode t sampai t+1 Pt = Harga obligasi pada periode t Pt+1 = Harga obligasi pada periode t+1 C = Pembayaran kupon
Dari formula persamaan 2.6 dapat disimpulkan bahwa, tingkat pengembalian obligasi merupakan tingkat pengembalian yang diterima pemegang obligasi dari hasil penjumlahan antara pembayaran kupon per tahun dan capital gain yang didapat dari kenaikan harga obligasi dari periode sebelumnya.4 Kenaikan tingkat suku bunga akan membuat harga obligasi menjadi turun, sehingga membuat adanya capital loss karena harga saat ini yang lebih rendah ketimbang harga pembelian. 2.3 Hubungan Tingkat Kesejahteraan dengan Kapitalisasi Pasar Obligasi Mishkin (2007) mendefinisikan tingkat kesejahteraan (wealth) yaitu sebagai total sumber daya yang dimiliki oleh individu, termasuk seluruh asetnya. Tingkat kesejahteraan populasi suatu negara sering diukur dengan pendapatan per kapita negara tersebut. Semakin tinggi pendapatan per kapita suatu negara maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan di dalam negara tersebut. Mishkin (2007) dalam teori permintaan obligasi menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan obligasi adalah tingkat kesejahteraan. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan maka permintaan obligasi juga akan meningkat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kenaikan tingkat kesejahteraan, seperti kenaikan pada pendapatan per kapita suatu negara, juga akan membuat kapitalisasi pasar obligasi meningkat. 2.4 Hubungan Likuiditas dengan Kapitalisasi Pasar Obligasi Mishkin (2007) mendefinisikan likuiditas sebagai seberapa mudah dan cepat suatu obligasi dikonversikan menjadi kas relatif terhadap alternatif obligasi lain. Mishkin (2007) dalam teori permintaan obligasi menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan obligasi adalah likuiditas. Semakin likuid suatu obligasi maka permintaan obligasi juga akan meningkat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peningkatan likuiditas obligasi akan membuat kapitalisasi pasar obligasi meningkat. 2.5 Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kapitalisasi Pasar Obligasi Defisit anggaran pemerintah dapat dibiayai melalui dua cara yaitu dengan mencetak uang (meningkatkan monetary base) dan menjual obligasi. 4
Jika harga obligasi mengalami penurunan dari harga pembelian maka dinyatakan sebagai capital loss.
5 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
(2.7) Budget Deficit = Government Spending ─ Tax = Δ Monetary Base + Δ Bonds Ketika Pemerintah menerbitkan obligasi untuk membiayai defisit anggaran negara, maka penawaran obligasi akan mengalami peningkatan. Banyak ekonom menilai bahwa penjualan obligasi tersebut akan membuat harga obligasi lebih murah dan kuantitas obligasi yang beredar lebih tinggi serta tingkat suku bunga yang lebih tinggi (karena kurva permintaan obligasi tidak mengalami perubahan). Namun, berdasarkan ricardian equivalence, permintaan obligasi juga akan mengalami peningkatan karena masyarakat melakukan antisipasi sebagai akibat dari meningkatnya ekspektasi pada tarrif pajak untuk membayar obligasi tersebut di masa yang akan datang. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal ekspansif akan meningkatkan kapitalisasi pasar obligasi. Selain itu, pembiayaan defisit anggaran melalui penjualan obligasi (kebijakan fiskal ekspansif) tidak akan menyebabkan inflasi. Oleh karena itu pembiayaan defisit anggaran melalui obligasi sering juga disebut dengan pembiayaan non inflasioner. 2.6 Hubungan Aktivitas Unsterilized Intervention dari Bank Sentral dengan Kapitalisasi Pasar Obligasi Dalam menjaga nilai tukar domestik, bank sentral dapat melakukan intervensi melalui dua cara yaitu sterilisasi dan non-sterilisasi (unsterilized intervention). Karena di dalam neraca bank sentral nilai aset akan sama dengan kewajiban (dengan asumsi net worth selalu bernilai nol) maka setiap ada pengeluaran atau penambahan aset juga akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Proses sterilisasi dilakukan melalui dua channel yaitu pasar valuta asing dan kebijakan moneter. Ketika nilai tukar domestik mengalami pelemahan atau nilainya lebih rendah relatif daripada mata uang luar negeri maka bank sentral akan melakukan intervensi dengan menjual mata uang asing di pasar valuta asing. Penjualan mata uang asing di pasar valas akan membuat jumlah uang yang beredar di domestik berkurang, sehingga bank sentral melakukan sterilisasi dengan cara membeli surat utang pemerintah yang ada di pasar obligasi domestik. Sedangkan, di dalam non-sterilisasi, intervensi bank sentral dalam mengendalikan nilai tukar domestik tidak direspon dengan intervensi bank sentral di dalam kebijakan moneter untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar. Ketika nilai tukar domestik mengalami pelemahan maka bank sentral akan melakukan intervensi dengan melakukan penjualan mata uang asing di pasar valuta asing. Penjualan tersebut akan membuat menurunnya jumlah uang yang beredar yang pada akhirnya meningkatkan tingkat suku bunga. Kenaikan tingkat suku bunga akan membuat harga obligasi menjadi turun. Kemudian, turunnya harga obligasi akan membuat ekspektasi tingkat pengembalian turun, sehingga menurunkan kuantitas obligasi yang beredar. Penurunan tersebut pada akhirnya akan menurunkan kapitalisasi pasar obligasi. Oleh karena itu, aktivitas unsterilized intervention bank sentral dalam mengendalikan nilai tukar yang mengalami depresiasi akan membuat kapitalisasi pasar obligasi menurun. 2.7 Hubungan Neraca Transaksi Berjalan, Investasi dan Tabungan Nasional Dalam persamaan 2.8, tabungan nasional (national saving) (S) didefinisikan sebagai pendapatan nasional (Y) yang tidak digunakan untuk konsumsi (C) maupun belanja pemerintah (G). Selanjutnya pada persamaan 2.9 dan 2.10, tabungan nasional didefinisikan sebagai total dari tabungan rumah tangga dan tabungan pemerintah. S=Y─C─G (2.8) S = (Y ─ C ─ T) + (G ─ T) (2.9) S = Sp + Sg (2.10) Dalam persamaan 2.11 dapat disimpulkan bahwa neraca transaksi berjalan adalah hasil dari tabungan nasional dikurangi investasi atau dapat disebut juga dengan net foreign invesment. CA = Y ─ (C + I + G) CA = (Y ─ C ─ G) ─ I CA = S – I (2.11) I = S ─ CA (2.12) Negara yang lebih banyak mengimpor daripada mengekspor (neraca transaksi berjalan negatif) memiliki tabungan nasional yang relatif rendah ketimbang investasi. Dalam persamaan 2.12 dapat dijelaskan bahwa investasi dapat dibiayai melalui tabungan nasional maupun melalui dana dari luar negeri yaitu dengan neraca transaksi berjalan negatif. Dalam persamaan 2.13, dapat dilihat hubungan antara tabungan nasional dengan defisit anggaran pemerintah. CA = Sp + Sg ─ I CA = Sp – government deficit – I (2.13)
6 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
Defisit anggaran menandakan bahwa belanja pemerintah lebih besar daripada penerimaan pajak (G > T). Dari persamaan 2.13 dapat disimpulkan bahwa kenaikan defisit anggaran akan membuat neraca transaksi berjalan menjadi negatif dengan asumsi variabel lain adalah tetap. Dalam persamaan tersebut juga dapat disimpulkan bahwa transaksi berjalan akan bernilai positif jika tabungan private lebih besar daripada total defisit anggaran dan investasi. Pada sub-bab 2.6 telah dijelaskan bahwa pembiayaan defisit anggaran salah satunya adalah melalui penjualan obligasi. Oleh karena itu, semakin tinggi defisit anggaran suatu negara, maka semakin tinggi kapitalisasi pasar obligasi, dan juga semakin tinggi defisit pada neraca transaksi berjalan dengan asumsi variabel lain adalah tetap. 2.8 Tinjauan Penelitian Sebelumnya Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa studi literatur mengenai perkembangan pasar obligasi. Studi literatur akan berfokus pada metode penelitian, variabel yang digunakan, sampel/cakupan data dari berbagai penelitian mengenai perkembangan pasar obligasi. Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) melakukan penelitian tentang penyebab mengapa pasar obligasi di Asia tidak dapat berkembang. Besarnya ketergantungan terhadap sektor perbankan di Asia sebelum terjadinya krisis membuat pasar obligasi tidak berkembang. Negara yang memiliki ukuran perekonomian yang lebih besar yang diukur dengan PDB riil akan memiliki kapitalisasi pasar obligasi yang lebih besar. Kegagalan banyak negara di Asia yang tidak dapat mengikuti aturan standar akuntasi internasional, tingginya korupsi dan kualitas birokrasi yang rendah juga turut memperlemabat perkembangan pasar surat utang korporasi. Sedangkan negara yang memiliki sistem perbankan yang kompetitif akan memiliki pasar obligasi yang lebih besar. Borensztein, Eichengreen dan Panizza (2006) melakukan penelitian tentang perkembangan pasar obligasi di Amerika Latin. Dalam penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pasar obligasi di Amerika Latin adalah stabilnya makroekonomi dan privatisasi dana pensiun. Adanya krisis juga turut membantu berkembangnya pasar obligasi pemerintah. Namun, inflasi yang tinggi, gagal bayar, skandal korporasi, dan sedikitnya perusahaan besar yang menerbitkan obligasi menjadi hambatan bagi perkembangan pasar obligasi di Amerika Latin. Adelegan dan Radzewicz-Bak (2009) melakukan penelitian tentang faktor determinan perkembangan pasar obligasi di kawasan Sub-Sahara Afrika. Penelitian yang mencakup 23 negara dari tahun 1990-2008 berkesimpulan bahwa faktor determinan yang mempengaruhi perkembangan obligasi di negara-negara tersebut adalah struktur ekonomi, profil investasi, regulasi hukum, ukuran sektor perbankan, tingkat kemajuan ekonomi dan faktor makroekonomi lainnya. Bhattacharyay (2011) mengambil sampel negara-negara di Asia untuk melihat faktor determinan perkembangan obligasi. Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa determinan utama perkembangan pasar obligasi di Asia meliputi ukuran perekonomian, tahap kemajuan ekonomi, keterbukaan ekonomi, ukuran sektor perbankan, dan spread tingkat suku bunga. Felman et al. (2011) melakukan penelitian tentang perkembangan pasar obligasi di ASEAN, khususunya negara-negara ASEAN5. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terhambatnya pertumbuhan pasar obligasi di negara ASEAN5 lebih disebabkan oleh turunnya tingkat investasi. Meskipun penelitian ini memiliki tujuan yang sama dengan penelitian Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) dan Bhattacharyay (2011), namun variabel independen yang dianalisis dan jangka waktu penelitian berbeda. Penelitian ini menggunakan variabel tingkat suku bunga pinjaman yang tidak dianalisis oleh Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004), dan kebijakan fiskal yang tidak dianalisis oleh Bhattacharyay (2011). Selain itu periode penelitian ini juga sampai tahun 2011, sehingga bisa melihat dampak dari adanya krisis finansial global tahun 2008. 3.
Metode Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan utama perkembangan pasar obligasi di Asia. Penelitian ini mengambil jangka waktu dari tahun 2002−2011 untuk melihat perkembangan yang terjadi pada pasar obligasi di Asia pasca krisis finansial Asia 1997−1998. Penelitian ini hanya berfokus pada perkembangan pasar obligasi mata uang lokal (Local Currency Bond Market) mengingat sebagian besar total obligasi yang beredar di Asia adalah obligasi mata uang lokal. Penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor makroekonomi, seperti tahap perkembangan ekonomi suatu negara, keterbukaan perekonomian, ukuran sektor perbankan, tingkat suku bunga pinjaman, perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi dan kebijakan fiskal dalam mempengaruhi perkembangan pasar obligasi di Asia.
7 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
Selanjutnya variabel-variabel tersebut akan diestimasi dengan menggunakan regresi panel data: fixed effect model, random effect model dan pooled least square. Kemudian, dari tiga hasil estimasi tersebut dipilih salah satu metode estimasi panel data yang sesuai dengan model penelitian. Setelah menentukan metode pengestimasian, lalu dilakukan pengujian asumsi ekonomi, asumsi ekonometrika dan asumsi statistika. Semua pengujian ekonometrika dan statistika di dalam penelitian ini menggunakan software STATA 11. 3.1 Deskripsi Data Penelitian ini menggunakan data panel dari 10 negara di Asia: Indonesia, Jepang, Malaysia, Thailand, Vietnam, China, Hong Kong, Singapura, Filipina dan Korea Selatan dan periode penelitian dari tahun 2002−2011 dengan data frekuensi tahunan. Penetapan awal tahun 2002 adalah karena beberapa negara di Asia baru beberapa tahun menerbitkan obligasi pemerintah maupun korporasi, seperti Vietnam dan Indonesia. Selain itu, penetapan tahun tersebut juga sekaligus untuk melihat perkembangan pasar obligasi di negara Asia setelah terjadi krisis finansial Asia 1997-1998. Variabel dependen adalah kapitalisasi pasar obligasi mata uang lokal yang diproksi dengan rasio total obligasi yang beredar terhadap PDB.5 Penelitian ini akan menganalisis tiga perkembangan pasar obligasi yang dikelompokkan berdasarkan penerbit obligasi: 1. Obligasi Pemerintah Obligasi pemerintah yang dimaksud adalah surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan bank sentral. 2. Obligasi Korporasi Obligasi korporasi yang dimaksud adalah surat utang yang diterbitkan oleh perusahaan domestik maupun perusahaan multinasional di dalam suatu negara. 3. Total Obligasi Total obligasi adalah total obligasi pemerintah dan obligasi korporasi yang beredar di suatu pasar obligasi domestik. Sedangkan faktor-faktor makroekonomi yang dijadikan sebagai variabel independen diantaranya adalah: • Variabel tahap perkembangan ekonomi (DEVP) diproksikan melalui pendapatan per kapita (PPP). Unit di dalam pendapatan per kapita (PPP) adalah berupa besaran nominal maka perlu dikonversikan menjadi ln. Dalam penelitian Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) tahap perkembangan ekonomi memiliki hubungan positif dengan perkembangan pasar obligasi. Semakin tinggi pendapatan per kapita maka kapitalisasi pasar obligasi juga akan meningkat. • Variabel keterbukaan ekonomi (OPEN) yang diukur dengan rasio ekspor terhadap PDB. Dalam penelitian Rajan dan Zingales (2001) dan Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) menemukan bahwa keterbukaan ekonomi memiliki hubungan positif dengan perkembangan pasar obligasi. • Variabel tingkat suku bunga pinjaman (LEND). Dalam penelitian Bae (2012) menemukan bahwa tingkat suku bunga pinjaman memiliki hubungan negatif dengan perkembangan pasar obligasi. Semakin tinggi tingkat suku bunga pinjaman maka kapitalisasi pasar obligasi akan semakin rendah. • Variabel ukuran sektor perbankan domestik (BANK) yang diproksikan dengan rasio total kredit yang disalurkan perbankan domestik terhadap PDB. Dalam penelitian Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) ukuran sektor perbankan memiliki hubungan positif dengan perkembangan pasar obligasi. Semakin besar ukuran sektor perbankan suatu negara maka membuat pasar obligasi menjadi lebih berkembang. • Variabel perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi (DEPR) yang diukur dengan persentase depresiasi nilai tukar domestik (terhadap US$) dengan tahun sebelumnya. Semakin terdepresiasi mata uang domestik maka kapitalisasi pasar semakin menurun. • Variabel kebijakan fiskal (FISC) yang diproksikan dengan rasio total utang publik terhadap PDB. Adelegan dan Radzewicz-Bak (2009) menjelaskan bahwa kebijakan fiskal dapat diukur melalui tiga cara diantaranya yaitu rasio total utang publik terhadap PDB, keseimbangan anggaran negara tahun berlangsung dan rata-rata keseimbangan anggaran negara dalam tiga tahun terakhir (three years moving average). Semakin tinggi total rasio utang publik terhadap PDB maka semakin tinggi kapitalisasi pasar obligasi.
Mihaljek, Scatigna, dan Villar (2002), Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004), Borensztein, Eichengreen dan Panizza (2006), Braun dan Briones (2006), Adelegan dan Radzewicz-Bak (2009), Bhattacharyay (2011) menggunakan kapitalisasi pasar obligasi sebagai proksi dari perkembangan pasar obligasi. Kapitalisasi pasar obligasi didefinisikan sebagai rasio total obligasi yang beredar terhadap PDB. 5
8 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
3.2 Spesifikasi Model Variabel-variabel di atas dimasukkan ke dalam suatu model panel (cross section dan time series) seperti yang dilakukan oleh Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004). Berikut adalah formula model tersebut: (3.1) Dimana, i = negara, 1….10 t = tahun, 2002-2011 yit = Kapitalisasi pasar obligasi mata uang lokal terhadap PDB (Local Currency Bond Market) pada tahun t X1it = Rasio ekspor terhadap PDB negara i pada tahun t X2it = ln total pendapatan per kapita, PPP, pada tahun t X3it = Rasio kredit yang disalurkan perbankan terhadap PDB negara i pada tahun t X4it = Tingkat suku bunga pinjaman negara i pada tahun t X5it = Perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi negara i antara tahun t dan tahun t-1 X6it = Rasio total utang publik terhadap PDB negara i pada tahun t B0 = Konstanta atau intersep dari obligasi Bit = Koefisien dari variabel independen Uit = error term Dalam Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) dan Adelegan dan Radzewicz-Bak (2009) terdapat variabel lain seperti, legal system, resource endowment, profil investasi, law and order, indeks korupsi dan pendanaan sektor publik. Namun dengan keterbatasan data dari negara sampel yang digunakan maka variabel-variabel tersebut tidak dimasukkan di dalam penelitian ini. 3.3 Metode Pengestimasian Data Panel Untuk melakukan estimasi data panel, Nachrowi (2006) mengestimasi parameter model panel data dengan tiga metode, yaitu pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed effect), pendekatan efek random (random effect). Untuk menentukan metode yang tepat dalam mengestimasi model data panel, maka harus dilakukan prosedur pengujian dan pemilihan metode estimasi yang telah dijelaskan di atas. Dua dari tiga metode estimasi yang ada masing-masing dibandingkan untuk dipilih sebagai metode estimasi yang tepat. Pengujian tersebut diantaranya adalah Chow test (pooled least square vs fixed effect), Hausman Test (fixed effect vs random effect) dan Breusch-Pagan LM Test (pooled least square vs random effect). 3.4 Prosedur Uji Hasil Estimasi Setelah mendapatkan metode estimasi yang tepat, kemudian hasil dari pengestimasian model yang dipilih diujikan kembali apakah hasil estimasi tersebut sudah memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu ekonomi, statistika, dan ekonometrika. Pengujian yang dimaksud adalah sebagai berikut : 3.4.1 Pengujian Asumsi Ekonomi Pengujian asumsi ekonomi adalah pengujian dengan membandingkan hasil estimasi yang diperoleh dengan teori dan hukum, maupun prinsip di dalam ilmu ekonomi yang sesuai. Apabila besaran dan tanda dari parameter hasil estimasi telah sesuai dengan asumsi ilmu ekonomi, maka hal tersebut tidak dapat ditolak. 3.4.2 Pengujian Asumsi Ekonometrika Pengujian asumsi ekonometrika adalah pengujian pada asumsi-asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) dalam estimasi OLS. Asumsi-asumsi tersebut antara lain adalah bebas dari multikolinearitas, homoskedastis dan bebas dari autokorelasi. Jika ada masalah mutikolinearitas pada suatu variabel di dalam model, maka variabel tersebut harus dieliminir dari model. Jika ada masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi di dalam model maka dapat digunakan metode estimasi, seperti General Least Square (GLS) dan robust. 3.4.3 Pengujian Asumsi Statistika Pada umumnya terdapat tiga kriteria statistika yang sering digunakan dalam pengujian dari hasil estimasi, diantaranya adalah pengujian model secara bersama-sama (F-Test), pengujian koefisien estimasi secara parsial (t-Test) dan pengujian goodness of fit (R2). Dikatakan memenuhi asumsi statistika jika probabilita F dan t pada masing-masing pengujian lebih rendah daripada critical value. Sementara Pengujian R2 adalah untuk mengetahui seberapa besar kemampuan model yang digunakan untuk mendeterminasi perubahan pada
9 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
variabel terikat. Nilai R2 pada dasarnya menunjukkan berapa persen variasi perubahan variabel terikat dapat dijelaskan oleh model yang digunakan. 4.
Hasil dan Analisis Pasar obligasi di Asia tidak mengalami perkembangan yang pesat setelah krisis finansial Asia 1997−1998. Sebagian besar negara di Asia masih mengandalkan sumber pembiayaan melalui sektor perbankan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor makroekonomi yang mempengaruhi perkembangan pasar obligasi di Asia setelah krisis finansial Asia 1997−1998. Penelitian ini menggunakan sampel 10 negara Asia diantaranya adalah Indonesia, Jepang, Malaysia, Thailand, China, Hong Kong, Singapura, Filipina dan Korea Selatan dengan periode penelitian antara tahun 2002−2011. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis determinan perkembangan pasar obligasi pemerintah dan pasar obligasi korporasi di Asia. Penelitian ini menggunakan kapitalisasi pasar obligasi yang diproksi dengan rasio total obligasi yang beredar terhadap PDB sebagai indikator perkembangan pasar obligasi. Sementara, faktor-faktor makroekonomi yang dianalisis diantaranya adalah seperti tahap perkembangan ekonomi suatu negara, keterbukaan perekonomian, ukuran sektor perbankan, tingkat suku bunga pinjaman, perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi dan kebijakan fiskal. Faktor-faktor tersebut diestimasi dengan regresi data panel. 4.1. Analisis Statistik Deskriptif Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan memaparkan persebaran data yang menjadi variabel dependen maupun independen dalam penelitian ini dari 10 negara sampel yang digunakan. Pada Tabel 4.1 dapat dilihat tabel statistik deskriptif 10 negara Asia dari tahun 2002─2011 yang terdiri dari 3 variabel dependen dan 6 variabel independen.
Variabel Kap. Pasar Total Pasar Obligasi Kap. Pasar Obligasi Pemerintah Kap. Pasar Obligasi Korporasi Log PDB per Kapita Rasio Ekspor per PDB Tingkat Suku Bunga Pinjaman Rasio Kredit per PDB
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Obs Mean Std. Deviasi 100 63.517 46.611
Max 216.1
Min 0.8
100
44.323
40.831
196.5
0.8
100
19.19
17.703
67
0
100 100 100
9.2639 82.723 7.251
1.088 68.639 3.700
7.4056 241.4 18.95
11.0203 11.3 1.5
100
122.131
75.402
340.93
36.45
Sumber: Hasil olah data
Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa data persebaran data dalam variabel-variabel penelitian ini cukup tinggi yang dilihat dari standar deviasi variabel-variabel tersebut. Hal ini sangat wajar karena penelitian ini menggunakan sampel 10 negara Asia yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pada variabel kapitalisasi pasar obligasi total dan pemerintah nilai maksimal merupakan nilai dari kapitalisasi pasar obligasi Jepang. Sedangkan, pada kapitalisasi obligasi korporasi nilai minimal benilai 0 karena pasar obligasi Vietnam baru menerbitkan obligasi korporasi tahun 2007. Begitu juga dengan variabel-variabel lainnya. Penelitian-penelitian lain, seperti Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) dan Bhattacharyay (2011) juga memasukkan baik negara maju, seperti Jepang dan juga negara-negara berkembang, seperti Indonesia, Vietnam dan Filipina yang tentu memiliki karakteristik berbeda sehingga membuat persebaran data menjadi sangat tinggi. 4.2 Hasil Pengolahan Data Dalam hasil uji bebas dari multikolinearitas dengan menggunakan tes partial correlations dapat disimpulkan bahwa antar variabel independen tidak memiliki hubungan yang lebih dari rule of thumb. Multikolinearitas diindikasikan terjadi jika nilai di antara variabel-variabel independen di dalam tes partial correlations terdapat lebih dari 0.80. Sedangkan, dalam hasil uji multikolinearitas pada variabel-variabel
10 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
independen di dalam penelitian nilainya masih berada di bawah 0.80. Berikut adalah hasil tes korelasi parsial yang ditunjukkan pada Tabel 4.2: Tabel 4.2 Hasil Uji Multikolinearitas dengan Menggunakan Tes Korelasi Parsial Log Dev Open Lend Bank Depr Fiscal Log Dev 1.0000 Open 0.5731 1.0000 Lend -0.6899 -0.1802 1.0000 Bank 0.4695 -0.1410 -0.6770 1.0000 Depr -0.1252 0.0295 0.1742 -0.1079 1.0000 Fiscal 0.4176 -0.0802 -0.4543 0.7086 -0.1578 1.0000 Keterangan: Log Dev = Pendapatan per kapita; Open = Rasio ekspor terhadap PDB; Lend = Tingkat suku bunga pinjaman; Bank = Rasio total kredit yang disalurkan perbankan terhadap PDB; Depr = Perubahan nilai tukar nominal domestik yang mengalami depresiasi; Fiscal = Rasio utang publik terhadap PDB Sumber: Hasil olah data
Selanjutnya dilakukan pengestimasian dengan menggunakan tiga metode estimasi: fixed effect, random effect dan pooled least square pada ketiga model data panel yang digunakan. Selanjutnya ketiga hasil estimasi tersebut dibandingkan satu sama lain untuk mendapatkan model estimasi yang sesuai. Dari hasil estimasi tersebut, ketiga model penelitian menunjukkan hasil yang identik dalam pengambilan keputusan model estimasi yaitu menggunakan dengan model estimasi fixed effect. Berdasarkan hasil estimasi fixed effect di dalam ketiga model tersebut, ditemukan masalah autokorelasi dan heteroskedastis (yang melanggar asumsi ekonometrika). Untuk mengatasi kedua masalah tersebut maka dilakukan pengestimasian dengan metode General Least Square (GLS). Tabel 4.3 Hasil Regresi Perkembangan Pasar Obligasi di Asia
Total Obligasi Log Pendapatan per Kapita (PPP) Total Ekspor (% PDB) Tingkat Suku Bunga Pinjaman Kredit Perbankan (% PDB) Depresiasi Nilai Tukar Nominal Total Utang Publik (% PDB)
24.940 (3.664)*** 0.087 (0.072)* -1.460 (0.597)*** 0.085 (0.052)** -0.237 (0.098)*** 0.772 (0.081)***
Obligasi Pemerintah
Obligasi Korporasi
16.434 (3.547)*** 0.117 (0.070)** -1.565 (0.578)*** 0.104 (0.050)*** -0.250 (0.094)*** 0.734 (0.079)***
8.538 (1.746)*** -0.031 (0.034) 0.106 (0.284) -0.018 (0.024) 0.013 (0.047) 0.038 (0.039)
Ket: (*) signifikan pada α = 25%, (**) signifikan pada α = 15% dan (***) signifikan pada α = 5%. Nilai di dalam tanda kurung adalah standard erorr. Sumber: Hasil olah data
Berdasarkan hasil pengestimasian ketiga model dengan metode GLS, pada Tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen di model perkembangan total pasar obligasi dan pasar obligasi pemerintah secara signifikan mempengaruhi variabel dependen di dalam model tersebut. Kedua pasar tersebut telah memenuhi asumsi-asumsi ekonomi dan statistika. Sedangkan sebagian besar variabel independen di dalam model perkembangan pasar obligasi korporasi tidak signifikan. Hanya variabel tahap perkembangan ekonomi (pendapatan per kapita) yang memenuhi asumsi-asumsi ekonomi dan statistika. Banyaknya variabel-variabel independen yang tidak signifikan di dalam pasar obligasi korporasi disebabkan oleh kapitalisasi pasar obligasi korporasi di Asia yang masih relatif kecil dibandingkan dengan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah. Pada tahun 2011, rata-rata kapitalisasi pasar obligasi korporasi hanya
11 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
sebesar 21.7% terhadap PDB dibandingkan rata-rata kapitalisasi pasar obligasi pemerintah yang mencapai 52.8% terhadap PDB. 4.3 Analisis Perkembangan Pasar Obligasi Pemerintah Berdasarkan pengestimasian model perkembangan pasar obligasi pemerintah dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen di dalam penelitian secara signifikan mempengaruhi kapitalisasi pasar obligasi pemerintah. Hasil estimasi dapat diformulasikan sebagai berikut: Kapitalisasi Pasar Obligasi Pemerintah = -129.162 + 16.434 (Log Dev) + 0.117 (Open) - 1.565 (Lend) + 0.104 (Bank) - 0.250 (Depr) + 0.734 (Fiscal) Dari hasil estimasi model pasar obligasi pemerintah di atas dapat disimpulkan bahwa tahap perkembangan ekonomi merupakan faktor yang paling signifikan mempengaruhi perkembangan pasar obligasi pemerintah di Asia. Hal tersebut ditunjukkan dengan setiap kenaikan 1% dari pendapatan per kapita akan membuat peningkatan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah sebesar 16.43%. • Tahap perkembangan ekonomi Tahap perkembangan ekonomi secara signifikan mempengaruhi perkembangan pasar obligasi pemerintah di Asia. Tahap perkembangan ekonomi diproksikan sebagai pendapatan per kapita (PPP). Koefisien pendapatan per kapita dalam hasil estimasi bernilai positif. Hal ini sesuai dengan penelitian Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) dan Adelegan dan Radzewicz-Bak (2009). Kapitalisasi pasar obligasi pemerintah diperkirakan akan naik sebesar 16.34% setiap kenaikan 1% dari pendapatan per kapita. Hasil empiris di atas didukung oleh teori yang menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan memiliki hubungan positif dengan permintaan obligasi. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan, dalam hal ini adalah pendapatan per kapita, maka permintaan obligasi akan meningkat, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kuantitas obligasi yang beredar. Negara yang tergolong sebagai less developed countries umumnya memiliki pendapatan per kapita yang rendah. Kondisi investasi tidak terlalu stabil dan banyak intervensi pemerintah di dalam perekonomian. Negara-negara tersebut juga belum memiliki infrastruktur pasar modal yang memadai. Selain itu rendahnya transparansi dan buruknya tata kelola perusahaan menjadi salah satu karakteristik negara berkembang. Hal di atas membuat ketertarikan investor, khususnya investor asing, berkurang untuk menanamkan modalnya di pasar keuangan negara berkembang. Sedangkan, negara-negara maju yang umumnya memiliki pendapatan per kapita yang tinggi memiliki infratruktur pasar modal yang lebih memadai dan perangkat hukum yang jelas. Selain itu, negara-negara tersebut juga memiliki kondisi investasi yang stabil sehingga memberikan kepastian kepada investor dalam menanamkan investasinya. Aktivitas di dalam pasar keuangan akan meningkat seiring dengan masuknya aliran modal dari luar negeri. Aliran modal tersebut akan masuk ke pasar keuangan, salah satunya adalah pasar obligasi. Oleh karena itu, semakin maju tahap perkembangan ekonomi suatu negara maka kapitaliasasi pasar obligasi negara tersebut juga akan meningkat. Namun, tingginya kepemilikan asing di pasar obligasi suatu negara tidak selalu mencerminkan majunya pasar obligasi tersebut. Dalam kasus negara-negara Asia yang menjadi sampel dalam penelitian ini, berdasarkan pengelompokkan World Bank terdapat empat negara yang termasuk ke dalam negara berpendapatan tinggi yaitu Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Hong Kong. Keempat negara tersebut masing-masing memiliki kapitalisasi pasar obligasi pemerintah yang relatif lebih tinggi dibandingkan rata-rata di kawasan tersebut (di luar pasar obligasi Jepang). Singapura merupakan negara di Asia dengan pendapatan per kapita tertinggi yaitu USD 61,103 pada tahun 2011. Kemudian diikuti dengan Hong Kong, Jepang dan Korea Selatan. Meskipun tertinggi dalam hal pendapatan per kapita, namun kapitalisasi pasar obligasi pemerintah Singapura masih di bawah Jepang dan Korea Selatan. Hal ini disebabkan aliran dana yang masuk ke pasar keuangan Singapura kebanyakan masuk melalui pasar saham yang kapitalisasi pasarnya mencapai 128.63% dari PDB di tahun 2011. Begitu juga dengan Hong Kong yang kapitalisasi pasar sahamnya mencapai 365.09% dari PDB atau yang tertinggi di Asia. Sedangkan, negara-negara berkembang, seperti Indonesia, Filipina dan Vietnam memiliki kapitalisasi pasar obligasi yang rendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Vietnam merupakan negara dengan pendapatan per kapita terendah dibandingkan negara-negara Asia lain yaitu sebesar USD 3,435 pada tahun
12 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
2011. Hal tersebut berbanding lurus dengan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah paling rendah di Asia yaitu sekitar 12.07% dari PDB. Begitu juga dengan Indonesia dan Filipina yang masing-masing pendapatan per kapitanya adalah USD 4,668 dan USD 4,140. Sementara kapitalisasi pasar obligasi pemerintahnya hanya 11.40% dan 30.30% atau lebih rendah dari rata-rata kapitalisasi pasar obligasi pemerintah kawasan Asia (di luar pasar obligasi Jepang). Meskipun negara-negara berkembang di Asia menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode setelah krisis, namun negara-negara tersebut masih belum memiliki institusi-institusi yang dapat mendukung kemajuan pasar keuangan, khususnya pasar obligasi. Selain itu, pasar obligasi di negara-negara berkembang Asia juga masih minim akan inovasi di dalam instrumen obligasi itu sendiri. Kebanyakan pasar obligasi di negara-negara maju, telah melakukan inovasi-inovasi di dalam penerbitan obligasi, salah satunya yaitu dengan menerbitkan inflation-linked bonds. Instrumen tersebut merupakan salah satu jenis obligasi yang memberikan perlindungan terhadap risiko inflasi. Nilai pokok utang berhubungan dengan indeks inflasi. Nilai utang pokok akan meningkatan seiring dengan perubahan inflasi. Sampai saat ini baru Jepang dan Hong Kong yang menerbitkan instrumen inflation linked-bonds. • Keterbukaan Perkonomian Keterbukaan perekonomian suatu negara secara signifikan mempengaruhi perkembangan pasar obligasi pemerintah di Asia. Keterbukaan perekonomian diproksikan dengan rasio ekspor terhadap PDB. Koefisien rasio ekspor terhadap PDB dalam hasil estimasi bernilai positif. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Rajan dan Zingales (2003) dan Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004). Kapitalisasi pasar obligasi pemerintah diperkirakan akan naik sebesar 0.12% setiap kenaikan 1% dari ekspor terhadap PDB. Rajan dan Zingales (2003) menjelaskan bahwa keterbukaan ekonomi akan membuat beberapa kelompok kepentingan, terutama industri yang telah ada, memiliki keterbatasan dalam menghambat perkembangan pasar keuangan akibat adanya persaingan dari luar. Industri perbankan yang telah mapan sebelumnya, akan kehilangan rente di dalam perekonomian saat terjadi perkembangan di dalam pasar keuangan, seperti pasar saham maupun pasar obligasi. Rajan dan Zingales (2003) mendefinisikan keterbukaan ekonomi sebagai keterbukaan dalam perdagangan (trade openness) dan juga keterbukaan keuangan (financial openness) yang mana keduanya memiliki hubungan simultan dalam mempengaruhi perkembangan pasar keuangan. Keterbukaan perdagangan tanpa diiringi dengan keterbukaan keuangan tidak akan membuat pasar keuangan berkembang karena industri yang telah ada sebelumnya dapat memanfaatkan pembiayaan murah sebagai hasil dari adanya financial repression ataupun pinjaman yang bersubsidi. Begitu juga sebaliknya, keterbukaan keuangan sendiri tanpa adanya keterbukaan perdagangan akan membuat dana dari luar negeri hanya dapat diakses oleh perusahaan-perusahaan besar domestik yang telah mapan. Keuntungan di dalam perusahaan-perusahaan sektor keuangan mengalami tekanan sehingga dapat memicu dilakukannya liberalisasi akses. Namun, dengan tidak adanya keterbukaan di dalam perdagangan membuat industri yang telah mapan dapat menghambat perkembangan pasar keuangan untuk mencegah kompetisi dari luar negeri. Sebagian besar negara-negara di Asia mulai mulai menerapkan liberlaisasi ekonomi pada tahun 1980an. Liberalisasi tersebut ditunjukkan diantaranya dengan liberalisasi neraca modal, privatisasi perusahaanperusahaan negara, deregulasi perbankan, penurunan pajak dan tarif perdagangan. Pasca krisis finansial Asia 1997−1998 negara-negara di Asia semakin meliberalisasi perekonomiannya, baik dalam keuangan maupun perdagangan. Seluruh negara di Asia saat ini tidak lagi menerapkan sistem nilai tukar tetap. Selain itu, dibuatnya kesepakatan kerjasama ASEAN-China Free Trade Area adalah salah satu bentuk meningkatnya keterbukaan perdagangan diantara negara-negara Asia. Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004), Borensztein, Eichengreen dan Panizza (2006), Adelegan dan Radzewicz-Bak (2009), Bhattacharyay (2011) dan Bae (2012) mengukur keterbukaan perekonomian dengan rasio total ekspor terhadap PDB. Sebagian besar negara-negara di Asia mengalami peningkatan keterbukaan perekonomian setelah krisis finansial Asia 1997−1998, sperti Singapura, Thailand, Hong Kong, China dan Vietnam yang menunjukkan tren peningkatan rasio ekspor terhadap PDB. Sementara Indonesia, Malaysia dan Filipina menunjukkan tren penurunan, serta Jepang mengalami stagnasi dalam keterbukaan perekonomian. Rendahnya kapitalisasi pasar obligasi pemerintah di Indonesia dan Filipina dapat disebabkan salah satunya oleh rendahnya tingkat keterbukaan perekonomian negara-negara tersebut dibandingkan negara Asia lainnya. Sedangkan Jepang yang memiliki kapitalisasi pasar obligasi pemerintah tertinggi di Asia, yaitu mencapai 196% terhadap PDB pada tahun 2011, menunjukkan tingkat keterbukaan perekonomian terendah di kawasan Asia. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar obligasi
13 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
pemerintah Jepang dimiliki oleh investor domestik sehingga kapitalisasi obligasi tidak terpengaruh oleh masuknya aliran dana dari luar ketika ekonomi lebih tertutup. Hasil empiris di atas didukung juga oleh landasan teori mengenai hubungan neraca transaksi berjalan dengan tabungan private, defisit anggaran dan investasi. Semakin tinggi defisit anggaran maka semakin tinggi defisit neraca transaksi berjalan. Defisit neraca transaksi berjalan dapat diartikan sebagai negative net foreign investment yang membuat adanya capital inflow ke dalam ekonomi domestik. Sedangkan, peningkatan defisit anggaran dapat diartikan sebagai peningkatan penjualan obligasi (sebagai salah satu cara pembiayaan defisit anggaran). Oleh karena itu, kapitalisasi pasar obligasi memiliki hubungan positif dengan capital inflow yang menurut Rajan dan Zingales (2003) merupakan bagian dari keterbukaan dalam sektor keuangan. • Tingkat Suku Bunga Pinjaman Tingkat suku bunga pinjaman atau lending rate secara signifikan mempengaruhi perkembangan pasar obligasi pemerintah di Asia. Koefisien tingkat suku bunga pinjaman terhadap PDB dalam hasil estimasi bernilai negatif. Hal ini sesuai dengan penelitian Bae (2012). Kapitalisasi pasar obligasi pemerintah diperkirakan akan turun sebesar 1.56% setiap kenaikan 1% dari tingkat suku bunga pinjaman. Ketika risiko di dalam perekonomian meningkat, maka sektor perbankan akan menaikkan tingkat suku bunga pinjaman. Kenaikan tersebut sebagai akibat dari meningkatnya premi risiko yang diminta perbankan kepada peminjam seiring dengan meningkatnya risiko ekonomi. Dalam bab tinjauan literatur telah dijelaskan bahwa tingkat suku bunga berhubungan negatif dengan harga obligasi. Kenaikan tingkat suku bunga tersebut akan membuat harga obligasi menjadi semakin murah. Investor akan mengalami kerugian berupa capital loss jika tetap memegang obligasi, terutama jika tingkat suku bunga tetap mengalami kenaikan. Untuk mengurangi kerugian yang lebih besar, investor akan melakukan cut loss dengan menjual obligasi tersebut. Oleh karena itu, meningkatnya tingkat suku bunga pinjaman akibat meningkatnya risiko ekonomi akan membuat kapitalisasi pasar obligasi pemerintah menurun seiring dengan turunnya permintaan terhadap obligasi pemerintah tersebut. Saat terjadi krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang terjadi di tahun 2008, sebagian besar sektor perbankan di Asia menaikkan tingkat suku bunga, khususnya tingkat suku bunga pinjaman seiring dengan meningkatnya risiko di dalam perekonomian. Kenaikan tingkat suku bunga pinjaman secara signifikan terjadi di bulan Oktober.6 Peningkatan tersebut menyebabkan total obligasi yang beredar menurun juga dalam jumlah yang signifkan di bulan Oktober. Namun kondisi tersebut berbanding terbalik dengan China dan Vietnam yang menurunkan tingkat suku bunga pinjaman dalam periode yang sama. China dan Vietnam merupakan contoh negara yang tidak terkena eksposur yang besar dari krisis sub prime mortgage di Amerika Serikat. Di tengah krisis, China dan Vietnam masih mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kuartal ke-empat yaitu masing-masing 6.8% dan 5.74%. Oleh karena itu, kedua negara tersebut malah menerapkan kebijakan moneter longgar karena begitu kecilnya dampak dari krisis yang terjadi di Amerika Serikat. Penurunan tingkat suku bunga pinjaman tersebut membuat peningkatan pada total obligasi pemerintah yang beredar. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan Malaysia, Thailand dan Singapura yang terkena eksposur yang besar dari krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Ketiga negara tersebut mencatatkan pertumbuhan ekonomi di kuartal ke-empat masing-masing 0.24%, -4.13% dan -3.03%. Sedangkan Indonesia, meski mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di kuartal ke-empat yaitu sebesar 5.24%, namun pasar keuangan di negara tersebut mengalami kemerosotan yang tajam. Salah indikatornya adalah indeks saham negara tersebut yang turun 50.58% di tahun 2008. Namun, penurunan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah selama periode krisis tidak hanya disebabkan semata oleh peningkatan tingkat suku bunga pinjaman. Oleh karena itu, negara-negara seperti Thailand dan Singapura yang mematok tingkat suku bunga pinjaman tetap mengalami penurunan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah.
6 Di bulan Oktober 2008 terjadi peningkatan risiko ekonomi yang signifikan yang ditunjukkan oleh nilai volatility index (VIX) di bulan Oktober yang meningkat dua kali lipat dari bulan sebelumnya. CBOE-Volatility Index (CBOE-VIX) adalah indeks yang digunakan untuk menggambarkan ekspektasi pasar dan pergerakan Indeks S&P 50 dalam 30 hari ke depan. Oleh karena itu, banyak penelitian yang menggunakan CBOE-VIX sebagai proksi dari volatilitas pasar. Semakin tinggi nilai indeks maka semakin besar ketidakpastian di dalam perekonomian.
14 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
• Ukuran Sektor Perbankan Ukuran Sektor Perbankan secara signifikan mempengaruhi perkembangan pasar obligasi pemerintah di Asia. Ukuran sektor perbankan diproksikan melalui rasio kredit yang disalurkan perbankan terhadap PDB. Koefisien rasio kredit yang disalurkan perbankan terhadap PDB dalam hasil estimasi bernilai positif. Hal ini sesuai dengan penelitian Hawkins (2001) dan Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004). Kapitalisasi pasar obligasi pemerintah diperkirakan akan naik sebesar 0.10% setiap kenaikan 1% dari rasio kredit yang disalurkan perbankan terhadap PDB. Korelasi positif antara ukuran sektor perbankan dengan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah menunjukkan bahwa sektor perbankan dan pasar obligasi pemerintah di Asia bersifat komplementer. Di satu sisi perbankan dan pasar obligasi pemerintah bersaing sebagai sumber pembiayaan eksternal negara maupun korporasi. Namun, di dalam struktur pasar obligasi pemerintah, sektor perbankan berperan sebagai dealer. Pemerintah biasanya menunjuk beberapa bank sebagai primary dealer dari obligasi yang diterbitkan. Fungsi utama dari primary dealer adalah sebagai penggerak pasar atau market makers di pasar sekunder.7 Dealer memiliki kewajiban diantaranya adalah untuk menyerap obligasi pemerintah di pasar perdana dalam jumlah tertentu, memperdagangkan obligasi pemerintah yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai obligasi acuan (benchmark) dan membuat kuotasi harga dua arah atau bid-offer dengan kisaran spread tertentu. Sementara itu, dealer juga mempunyai hak-hak diantaranya adalah mendapatkan akses eksklusif sebagai peserta lelang di pasar perdana dan sekunder, hak eksklusif untuk mendapatkan informasi pertama tentang program pengelolaan obligasi pemerintah. Pemerintah akan menyediakan fasilitas securities lending kepada primary dealer untuk menjamin likuiditas pasar. Melihat peran perbankan yang cukup signifikan di dalam pasar obligasi pemerintah, terutama menyangkut likuiditas pasar maka kemajuan perkembangan di dalam sektor perbankan akan turut mempengaruhi perkembangan di dalam pasar obligasi pemerintah yang lebih likuid. Negara-negara Asia umumnya memiliki ukuran sektor perbankan yang relatif besar. Pada tahun 2011, rata-rata kredit yang disalurkan perbankan di Asia mencapai 138.8%. Jepang merupakan negara di Asia dengan ukuran perbankan terbesar di Asia. Rasio kredit yang disalurkan perbankan Jepang mencapai 340.93% terhadap PDB. Sedangkan Indonesia mimiliki ukuran sektor perbankan di Asia yang terkecil dibandingkan negaranegara Asia lainnya. Rasio kredit yang disalurkan perbankan Indonesia hanya 38.54% terhadap PDB. Data statistik rasio kredit yang disalurkan perbankan terhadap PDB tersebut membuktikan korelasi positif antara ukuran sektor perbankan dengan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah. Jepang dengan ukuran sektor perbankan terbesar merupakan negara dengan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah terbesar yang mencapai 196.50% terhadap PDB. Sedangkan, Indonesia yang memiliki ukuran sektor perbankan terkecil di Asia berbanding lurus dengan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah negara tersebut yaitu sebesar 11.40% terhadap PDB. Sektor perbankan juga berperan sebagai investor di dalam pasar obligasi pemerintah di Asia. Di negaranegara seperti Jepang, China dan Indonesia, sektor perbankan merupakan pemegang terbesar kepemilikan obligasi pemerintah. Sektor perbankan Jepang dan China relatif lebih maju ketimbang negara-negara di Asia lainnya jika dilihat melalui total aset perbankan. Dalam publikasi laporan 50 bank terbesar di dunia tahun 2012 oleh Global Finance, terdapat 6 bank China dan 4 bank Jepang dari 50 bank terbesar. Industrial and Commercial Bank of China menempati peringkat ke-empat dengan total aset senilai USD 2,456 triliun dan Mitsubishi UFJ Financial Group menduduki peringkat ke-lima dengan total aset senilai USD 2,448 triliun. Besarnya sektor perbankan di kedua negara tersebut turut membuat total obligasi pemerintah yang beredar di kedua negara menjadi yang terbesar di Asia. Hasil empiris di atas juga didukung oleh teori hubungan antara likuiditas dengan kapitalisasi pasar obligasi. Bank sebagai penyedia likuiditas utama pasar obligasi, tingkat kemajuaannya yang diukur dari seberapa besar sektor perbankan akan menentukan kapitalisasi pasar obligasi. Semakin besar sektor perbankan, maka likuiditas obligasi akan meningkat, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kapitalisasi pasar obligasi itu sendiri.
Bank memperdagangkan obligasi permerintah melalui sistem perdagangan Over The Counter (OTC). Dalam sistem perdagangan OTC mekanisme penentuan harga ditentukan berdasarkan kuotasi. Selain itu sistem OTC tidak memperlibatkan otoritas bursa seperti yang terjadi di dalam perdagangan bursa saham. 7
15 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
• Perubahan Nilai Tukar yang Mengalami Depresiasi Perubahan nilai tukar mata uang domestik yang mengalami depresiasi secara signifikan mempengaruhi perkembangan pasar obligasi pemerintah di Asia. 8 Koefisien perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi dalam hasil estimasi bernilai negatif. Kapitalisasi pasar obligasi pemerintah diperkirakan akan turun sebesar 0.25% setiap kenaikan 1% dari perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi. Perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi memiliki korelasi negatif dengan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah. Jika nilai tukar mata uang domestik mengalami pelemahan (depresiasi) terhadap mata uang lain maka kapitalisasi pasar obligasi pemerintah juga akan menurun. Begitu juga sebaliknya, penguatan (apresiasi) mata uang domestik terhadap mata uang lain akan membuat kapitalisasi pasar obligasi pemerintah meningkat. Ketika risiko ekonomi meningkat, pada umumnya mata uang domestik akan mengalami pelemahan terhadap mata uang lain karena investor mengalihkan investasinya pada aset yang lebih aman (safe-haven assets). Untuk menahan laju pelemahan mata uang domestik tersebut, bank sentral akan melakukan unsterilized intervention dengan cara menjual mata uang asing di pasar valuta asing. Penjualan tersebut akan membuat jumlah mata uang domestik yang beredar turun dan akan membuat tingkat suku bunga mengalami kenaikan. Seiring dengan kenaikan tingkat suku bunga maka harga obligasi pemerintah akan menjadi semakin murah. Investor akan melakukan cut loss untuk mengurangi kerugian yang lebih besar dengan cara menjual obligasi. Oleh karena itu, depresiasi mata uang domestik akibat meningkatnya risiko ekonomi akan membuat kapitalisasi pasar obligasi pemerintah menurun seiring dengan turunnya permintaan terhadap obligasi pemerintah tersebut. Saat terjadi krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang terjadi di tahun 2008, sebagian besar mata uang negara-negara di Asia mengalami pelemahan seiring dengan meningkatnya risiko di dalam perekonomian. Pelemahan terbesar terjadi di bulan Oktober yang mana diikuti juga dengan penurunan jumlah obligasi pemerintah yang beredar. Indonesia merupakan negara yang mengalami pelemahan nilai tukar terdalam di bulan Oktober yaitu sebesar 17.24%. Sedangkan, Jepang mengalami penguatan nilai tukar sebesar 5.75%. Apresiasi Yen Jepang disebabkan karena mata uang tersebut merupakan salah satu instrumen safe-haven asset. Ketika risk appetite investor meningkat akibat ketidakpastian ekonomi maka investor akan menempatkan dananya ke aset-aset yang lebih aman. Penguatan Yen Jepang tersebut berkorelasi positif dengan kenaikan total obligasi pemerintah yang beredar. Salah satu keunggulan dari obligasi mata uang lokal adalah dapat meminimalisir adanya risiko perubahan nilai tukar. Jika obligasi pemerintah tersebut adalah obligasi yang berdenominasi mata uang asing maka penurunan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah akan menjadi lebih besar. Selain investor, risiko nilai tukar akan dihadapi juga oleh penerbit obligasi. Semakin terdepresiasi mata uang domestik maka kupon dan pokok utang yang harus dibayar akan menjadi lebih besar (dalam termin mata uang domestik). • Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal secara signifikan mempengaruhi perkembangan pasar obligasi pemerintah di Asia. Kebijakan fiskal diproksikan melalui rasio total utang publik terhadap PDB. Koefisien rasio total utang publik terhadap PDB dalam hasil estimasi bernilai positif. Hal ini sesuai dengan penelitian Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) dan Bae (2012). Kapitalisasi pasar obligasi pemerintah diperkirakan akan naik sebesar 0.73% setiap kenaikan 1% dari rasio total utang publik terhadap PDB. Hasil empiris di atas sesuai dengan landasan teori mengenai kebijakan fiskal yang ekspansif akan membuat kapitalisasi pasar obligasi meningkat. Kebijakan fiskal ekspansif dapat dilakukan dengan cara meningkatkan belanja pemerintah yang membuat defisit anggaran menjadi naik. Pembiayaan defisit tersebut nantinya akan dibiayai oleh penjualan obligasi yang merupakan contoh dari pembiayaan defisit anggaran yang non-inflasioner. Peningkatan penjualan obligasi tersebut pada akhirnya akan meningkatkan total utang publik. Komposisi utang publik terdiri dari utang luar negeri (external debt) dan utang domestik (domestic debt) pemerintah. Utang luar negeri adalah utang yang diperoleh dari institusi luar negeri, seperti isntitusi keuangan multilateral (IMF, IDA, ADB), pemerintah negara lain dan bank asing. Utang luar negeri umumnya berbentuk pendanaan proyek-proyek pembangunan. Sedangkan, utang domestik sumbernya diperoleh dari penerbitan surat utang dalam negeri. Sebagian besar negara-negara di Asia mengalami kenaikan utang publik dalam periode 2000−2011. Hanya Indonesia, Thailand dan Filipina yang mengalami penurunan utang publik. Negara-negara industri, 8
Penelitian ini menggunakan US Dollar sebagai pair dari mata uang domestik.
16 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
seperti Jepang dan Singapura umumnya memiliki rasio total utang publik terhadap PDB yang relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain. Meskipun Jepang memiliki rasio total utang publik terhadap PDB paling tinggi, yaitu 229.6% pada tahun 2011, namun terdapat faktor-faktor yang membuat fiskal Jepang stabil, salah satunya adalah strong home bias. Hampir 95% utang publik Jepang yang diterbitkan melalui surat utang dimiliki oleh investor domestik. Kondisi tersebut membuat surat utang Jepang menjadi lebih stabil yang tercermin pada yield rendah dan peringkat surat utang yang tinggi (IMF (2009) dan IMF (2011)). Indonesia sebagai negara yang terkena eksposur paling besar dari krisis finansial Asia 1997−1998 mengalami penurunan utang publik yang cukup drastis setelah periode krisis. Sedangkan, China yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dalam satu dekade terakhir memiliki pertumbuhan utang publik tertinggi dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Tren kenaikan utang publik yang terjadi di sebagian besar negara-negara Asia berhubungan positif dengan rata-rata pertumbuhan kapitalisasi pasar obligasi pemerintah di Asia. Indonesia dan Filipina yang mengalami penurunan rasio total utang publik terhadap PDB pasca krisis finansial Asia 1997−1998 masingmasing mencatatkan pertumbuhan negatif dalam kapitalisasi pasar obligasi pemerintah dari tahun 2002−2011 yaitu sebesar 50% dan 15.2%. Sementara Thailand yang juga mengalami penurunan rasio total utang publik terhadap PDB, memiliki pertumbuhan positif dalam kapitalisasi pasar obligasi pemerintah yaitu sebesar 70% dari tahun 2002−2011. Hal ini terjadi karena sebagian besar sebagian besar penurunan rasio utang publik terhadap PDB Thailand disebabakan oleh penurunan utang luar negeri Thailand yang mencapai 65.59% dari total PDB. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semakin ekspansif kebijakan fiskal suatu negara maka kapitalisasi pasar obligasi pemerintah akan mengalami peningkatan. Dalam Mishkin (2007) kebijakan fiskal ekspansif tersebut akan membuat peningkatan pada penawaran obligasi pemerintah sehingga membuat total obligasi pemerintah yang beredar meningkat. 4.4 Analisis Perkembangan Total Pasar Obligasi Berdasarkan pengestimasian model perkembangan total pasar obligasi dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen di dalam penelitian secara signifikan mempengaruhi kapitalisasi total pasar obligasi. Hasil estimasi dapat diformulasikan sebagai berikut: Kapitalisasi Total Pasar Obligasi = -194.301 + 24.940 (Log Dev) + 0.087 (Open) - 1.460 (Lend) + 0.085 (Bank) 0.237 (Depr) + 0.773 (Fiscal) Sama halnya dengan pasar obligasi pemerintah, dari hasil pengujian estimasi model total pasar obligasi dapat disimpulkan bahwa tahap perkembangan ekonomi merupakan faktor yang paling signifikan mempengaruhi total perkembangan pasar obligasi di Asia, dimana setiap kenaikan 1% pendapatan per kapita maka kapitalisasi total pasar obligasi akan meningkat sebesar 24.94%. Total obligasi adalah total antara pasar obligasi pemerintah dan pasar obligasi korporasi. Dalam total pasar obligasi dapat dilihat perkembangan obligasi secara keseluruhan. Hasil estimasi pada model total pasar obligasi menunjukkan hasil yang sama dengan model pasar obligasi pemerintah. Sedangkan, hampir seluruh varibel independen di dalam model pasar obligasi korporasi tidak signifikan. Hal ini menandakan bahwa perkembangan pasar obligasi di Asia ditentukan oleh perkembangan pasar obligasi pemerintah. Dominannya pasar obligasi pemerintah terhadap total pasar obligasi dapat ditunjukkan dengan jumlah obligasi pemerintah yang beredar yang menguasai sebagian besar pasar obligasi di negara-negara Asia. Hanya Korea Selatan satusatunya pasar obligasi di Asia yang didomianasi oleh obligasi korporasi. Dalam Gambar 4.1 dapat dilihat jumlah obligasi yang beredar di pasar obligasi Asia yang sebagian besar didominasi oleh obligasi pemerintah. Dalam gambar tersebut tidak disertakan pasar obligasi Jepang, China dan Korea Selatan yang memiliki total obligasi yang beredar relatif lebih tinggi dibandingkan negara Asia lainnya. Pada pasar obligasi Jepang, jumlah obligasi pemerintah yang beredar adalah mencapai USD 11.56 triliun, sedangkan obligasi korporasi yang beredar adalah USD 1.15 tiliun. Pada pasar obligasi China, jumlah obligasi pemerintah yang beredar adalah mencapai USD 2.54 triliun, sedangkan obligasi korporasi yang beredar adalah USD 851 miliar. Dan pada pasar obligasi Korea Selatan, jumlah obligasi pemerintah yang beredar adalah mencapai USD 510 miliar, sedangkan obligasi korporasi yang beredar adalah USD 719 miliar.
17 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
Gambar 4.1 Jumlah Obligasi Pemerintah dan Obligasi Korporasi yang beredar di Pasar Obligasi Asia Tahun 2011 (dalam USD Miliar)
Sumber: ADB, Asian Bond Online, 2012
Berikut adalah penjelasan hasil estimasi dari model perkembangan total pasar obligasi di Asia. • Tahap perkembangan ekonomi Tahap perkembangan ekonomi secara signifikan mempengaruhi perkembangan total pasar obligasi di Asia. Tahap perkembangan ekonomi diproksikan sebagai pendapatan per kapita. Koefisien pendapatan per kapita dalam hasil estimasi bernilai positif. Hal ini sesuai dengan penelitian Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) dan Adelegan dan Radzewicz-Bak (2009). Kapitalisasi total pasar obligasi diperkirakan akan naik sebesar 24.94% setiap kenaikan 1% dari pendapatan per kapita. • Keterbukaan perekonomian Keterbukaan perekonomian suatu negara secara signifikan mempengaruhi perkembangan total pasar obligasi di Asia. Keterbukaan perekonomian diproksikan dengan rasio ekspor terhadap PDB. Koefisien rasio ekspor terhadap PDB dalam hasil estimasi bernilai positif. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Rajan dan Zingales (2003) dan Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004). Kapitalisasi total pasar obligasi diperkirakan akan naik sebesar 0.09% setiap kenaikan 1% dari ekspor terhadap PDB. • Tingkat Suku Bunga Pinjaman Tingkat suku bunga pinjaman atau lending rate secara signifikan mempengaruhi perkembangan total pasar obligasi di Asia. Koefisien tingkat suku bunga pinjaman terhadap PDB dalam hasil estimasi bernilai negatif. Hal ini sesuai dengan penelitian Bae (2012). Kapitalisasi total pasar obligasi diperkirakan akan turun sebesar 1.46% setiap kenaikan 1% dari tingkat suku bunga pinjaman. • Ukuran Sektor Perbankan Ukuran sektor perbankan secara signifikan mempengaruhi perkembangan total pasar obligasi di Asia. Ukuran sektor perbankan diproksikan melalui rasio kredit yang disalurkan perbankan terhadap PDB. Koefisien rasio kredit yang disalurkan perbankan terhadap PDB dalam hasil estimasi bernilai positif. Hal ini sesuai dengan penelitian Hawkins (2001) dan Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004). Kapitalisasi total pasar obligasi diperkirakan akan naik sebesar 0.09% setiap kenaikan 1% dari rasio kredit yang disalurkan perbankan terhadap PDB. • Perubahan Nilai Tukar yang Mengalami Depresiasi Perubahan nilai tukar mata uang domestik yang mengalami depresiasi secara signifikan mempengaruhi perkembangan total pasar obligasi di Asia. Koefisien perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi dalam hasil estimasi bernilai negatif. Kapitalisasi total pasar obligasi diperkirakan akan turun sebesar 0.24% setiap kenaikan 1% dari perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi. • Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal secara signifikan mempengaruhi perkembangan total pasar obligasi di Asia. Kebijakan fiskal diproksikan melalui rasio total utang publik terhadap PDB. Koefisien rasio total utang publik terhadap PDB
18 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
dalam hasil estimasi bernilai positif. Hal ini sesuai dengan penelitian Eichengreen dan Leugnaruemitchai (2004) dan Bae (2012). Kapitalisasi total pasar obligasi diperkirakan akan naik sebesar 0.77% setiap kenaikan 1% dari rasio total utang publik terhadap PDB. 5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor makroekonomi yang signifikan mempengaruhi perkembangan total pasar obligasi dan obligasi pemerintah di Asia diantaranya adalah tahap perkembangan ekonomi, keterbukaan ekonomi, tingkat suku bunga pinjaman, ukuran sektor perbankan, perubahan nilai tukar yang mengalami depresiasi dan kebijakan fiskal. Diantara keenam faktor makroekonomi tersebut, faktor tahap perkembangan ekonomi merupakan faktor yang paling signifikan mempengaruhi perkembangan pasar obligasi di Asia. 5.2 Keterbatasan Studi dan Saran Penelitian ini masih banyak terdapat keterbatasan untuk dijadikan penelitian-penelitian selanjutnya. Pertama, penelitian ini mengujikan sebagian faktor makroekonomi, padahal masih banyak faktor makroekonomi lain dan juga faktor-faktor non-makroekonomi, seperti sistem tata kelola perusahaan, legal system, profil investasi, law and order, indeks korupsi yang mungkin dapat mempengaruhi perkembangan pasar obligasi di Asia. Kedua, penelitian ini tidak membahas tentang pengaruh kepemilikan asing pada instrumen obligasi di pasar obligasi Asia. Ketiga, penelitian ini tidak membahas pengaruh pasar Credit Default Swap yang tentu memiliki pengaruh terhadap perkembangan pasar obligasi karena instrumennya yang berhubungan dengan premi risiko suatu obligasi. Dan keempat, penelitian ini tidak membahas pengaruh tabungan dan investasi terhadap perkembangan pasar obligasi di wilayah Asia yang mana memiliki sebagian besar memiliki tabungan yang besar. Potensi berkembangnya pasar obligasi di Asia masih cukup besar jika dilihat dari masih relatif kecilnya peranan pasar obligasi sebagai pembiayaan utama, terutama untuk korporasi-korporasi di Asia. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah untuk mengidentifikasi secara khusus pasar obligasi korporasi, dengan faktorfaktor institusional yang turut mempengaruhi perkembangan pasar obligasi korporasi di Asia.
Daftar Pustaka Abbas, S.M. Ali & J. E. Christensen. (2007). The Role of Domestic Debt Markets in Economic Growth: An Empirical Investigation for Low-income Countries and Emerging Markets. IMF Working Papers 07/127. Washington, D.C.: International Monetary Fund Adelegan, O.J. & Radzewicz-Bak. (2009). What Determines Bond Market Development in Sub-Saharan Africa. IMF Working Papers 09/213. Washington, D.C.: International Monetary Fund Asian Development Bank. (2012, April). Asia Bond Monitor ---------------------------------. (2002). Bond Market Development in East Asia: Issues and Challenges. Regional Economic Monitoring Unit. Manila: ADB Bae, K.H. (2012). Determinants of Local Currency Bonds and Foreign Holdings: Implications for Bond Market Development in the People’s Republic of China. ADB Working Paper Series No. 97. Asian Development Bank Institute Tokyo Bekaert, G., C.R. Harvey, & C.T. Lundblad, (2001). Does Financial Liberalization Spur Growth?. NBER Working Paper No. w8245 Bhattachariyay, B.N.. (2011). Bond Market Development in Asia: An Empirical Analysis of Major Determinants. ADB Working Paper Series No. 300. Asian Development Bank Institute Tokyo Borensztein, E., B. Eichengreen, dan U. Panizza. (2006). Building Bond Market in Latin America. Bond Markets in Latin America: On The Verge of Big Bang Chapter 1. MIT Press Braun, M., & I. Briones. (2006). The Development of Bonds Market Around The World Eichengreen, B., & P. Luengnaruemitchai. (2004). Why Doesn’t Asian Have Bigger Bond Market. NBER Working Paper No. 10576. Cambridge, Massachussetts: National Bureau of Economic Research
19 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013
Fabella, R., & S. Madhur. (2003). Bond Market Development in East Asia: Issues and Challenges. Manila: Asian Development Bank Felman, et al. (2011). ASEAN5 Bond Market Development: Where Does It Stand? Where is it going?. IMF Working Papers 11/137. Washington, D.C.: International Monetary Fund Fink, G., P.R. Haiss, & S. Hristoforova. (2003). Bond Markets and Economic Growth. IEF Working Paper No. 49 Goldsmith, R. W. (1969). Financial Structure and Development. New Haven, Conn.: Yale. University Press Gujarati, D. N., & Porter, D. C. (2009). Basic Econometrics. New York: Mc Graw Hill. Hawkins, J. (2002). Bond Markets and Banks in Emerging Economies. BIS Paper No. 11: The Development of Bond Markets in Emerging Economies Hyun, S. & J.H. Bum. (2008). Bond Market Development in Asia Kawai, M. (2007). Asian Bond Market Development: Progress, Prospects, and Challenges. Key note speech by the Dean of Asian Development Bank Institute. High Yield Debt Summit Asia 2007. Singapura, 16-17 Mei 2007 King, R.G. & R. Levine. (1993). Finance and Growth : Schumpeter Might be Right. Policy Research Working Paper Series 1083 Krugman, P. & M. Obstfeld. (2006). International Economics: Theory and Policy, 7th ed., Global Edition. Pearson. Laopodis, N.T. (2008). Government Market Integration Within European Union. International Research Journal of Finance and Economics – Issue 19 Levine, R. (2003). Finance and Growth: Theory, Evidence and Mechanisms. Handbook of Economic Growth Mishkin, F. S. (2007). The Economics of Money, Banking and Financial Markets, 8th ed., Global Edition. Pearson. Mihaljek, D., M. Scatigna & A. Villar. (2002). Recent Trends in Bond Markets. BIS Paper No. 11: The Development of Bond Markets in Emerging Economies Nachrowi, N. D., dan H Usman. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pagano, M. dan E.L.v. Thadden. (2004). The European Bond Markets Under EMU. CSEF Working Paper No. 126 Rajan, R., dan L. Zingales. (2003). Saving Capitalism from the Capitalists. New York, NY: Crown Books Wooldridge, J. M. (2002). Econometric Analysis of Cross Section and Panel Data. Cambridge, MA: MIT Press World’s 50 Biggest Banks 2012. (2012, Oktober). Global Finance Yoshino, N. (2008). Bond Market Development in Japan. Keio University
20 Determinan perkembangan..., Hapiz Sakti Azi, FE UI, 2013