DETEKSI DAN SKRINING PEWARISAN SIFAT KETAHANAN PENYAKIT POWDERY MILDEW PADA GENERASI BACKCROSS TANAMAN MELON (Cucumis melo L.) VAR TACAPA Ganies Riza Aristya1), Ahdiay Agriansyah1), Budi Setiadi Daryono1), 1
Laboratorium Genetika, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Jalan Teknika Selatan Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telepon (0274) 580839 e-Mail :
[email protected] Jakarta, 7 - 8 November 2013 ABSTRAK
Tanaman melon (Cucumis melo L.) adalah salah satu anggota familia Cucurbitaceae. Tanaman ini merupakan tanaman hortikultura yang semakin banyak dibudidayakan di Indonesia karena dapat dikonsumsi sebagai buah yang memiliki rasa segar dan manis serta bergizi tinggi. Berbagai macam kultivar melon dibudidayakan di Indonesia mendorong para pemulia tanaman untuk meningkatkan varietas tanaman dengan beberapa teknik konvensional maupun modern. Salah satu tujuan pemuliaan tanaman untuk menciptakan buah melon yang tidak hanya kaya rasa dan bernilai gizi tinggi juga tahan terhadap beberapa macam penyakit. Pada tahun 2008, telah dilakukan penyilangan antara kultivar PI 371795 dan Action 434 menghasilkan F1 dan kemudian di testcross yang menghasilkan melon Tacapa untuk diproyeksikan sebagai kultivar yang tahan terhadap penyakit powdery mildew. Melon Tacapa mempunyai karakter fenotip buah yang baik dan sedang dikembangkan untuk menjadi melon komersial. Karakter fenotip yang dimiliki antara lain bentuk buah elliptical, warna kulit buah hijau, warna daging buah hijau kekuningan, net/jaring jelas dan kuat, dan memiliki rasa manis, sehingga dapat dikembangkan sebagai komoditi melon unggulan. Pada tahun 2012, generasi baru berhasil dirakit kembali melalui persilangan testcross yaitu Tacapa 1 atau disebut Melon TP. Tetapi untuk pengembangannya sebagai benih melon unggul, diperlukan upaya deteksi dan skrining untuk mengetahui pewarisan gen ketahanan penyakit powdery mildew pada keturunan hasil persilangan backcross. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengaplikasikan teknik genetika molekular menggunakan pennada molekular yaitu sequence characterized amplified region (SCAR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Karakter fenotip buah melon Tacapa telah seragam dan menunjukkan keunggulan pada aspek ekonomis dan agronomis serta tahan terhadap penyakit powdery mildew serta penanda genetik SCAR dapat digunakan untuk mendeteksi dan menskrining keneradaan gen PM-W ketahanan tanaman melon terhadap penyakit powdery mildew dan diturunkan pada generasi backcroos. Kata kunci: melon Tacapa, TP, SCAR, powdery mildew
294
I.
Sequence (SCAR).
PENDAHULUAN
Pengembangan pemuliaan tanaman melon di Indonesia telah banyak dilakukan untuk merakit kultivar lokal yang unggul dan mampu bersaing dengan kultivar melon impor serta mampu bertahan hidup di lahan kritis. Setiap kultivar memiliki karakter fenotip beraneka-ragam dan khas, baik dari bentuk buah, rasa, warna daging, umur simpan buah, dan ketahanannya terhadap penyakit. Para petani umumnya akan membudidayakan melon yang menjadi unggulan di masyarakat, misalnya melon dengan rasa manis, warna daging kuning, ukuran buah besar, dan memiliki daya simpan yang lama. Dengan demikian peranan para pemulia tanaman melon sangat penting untuk memproduksi kultivar unggulan yang dapat bersaing dengan kultivar impor. Salah satu kultivar melon baru yang dikembangkan adalah kultivar Tacapa yang merupakan hasil Testcross ♀ Action 434 X F1 PI 71795 [1, 7]. Buah melon Tacapa yang memiliki karakter fenotip yang unik yaitu bentuk buah elliptical, warna kulit buah hijau, warna daging buah kuning, net/jaring jelas dan kuat, dan memiliki rasa manis. Keunggulan lain dari kultivar Tacapa adalah tahan terhadap penyakit powdery mildew dan mampu ditanam pada kondisi cuaca yang tidak menentu (dapat ditanam pada musim hujan dan kemarau), sehingga dapat dikembangkan sebagai komoditi melon unggulan. Salah satu penanda molekular yang berbasis PCR yang lain adalah Sequence-Characterized Amplified Region (SCAR). SCAR diperoleh melalui sekuensing fragmen Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), RAPD, dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) atau gen yang sudah diketahui ukurannya. Primer SCAR memiliki panjang 18-25 nukleotida. Reproduksibilitas dan kegunaan penanda SCAR jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penanda RAPD. Meskipun penanda SCAR secara genetik bersifat dominan, namun dapat dikonversi menjadi penanda kodominan melalui pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi [6]. Pada tahun 2012 telah dirakit generasi baru Tacapa yaitu TP hasil persilangan backcross untuk mengetahui pewarisan gen ketahanan penyakit powdery mildew pada keturnan Tacapa. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk deteksi gen ketahanan dan skrining pada generasi Tacapa backcross menggunakan penanda molekular
Characterized
Amplified
Region
II. METODE Persiapan Deteksi Gen Ketahanan Tanaman Melon Tacapa terhadap Jamur Tepung (Powdery Mildew)
Biji melon Tacapa, indukan PI 371795, indukan Action 434 dan hasil persilangan backcross yaitu TP masing diambil 150 biji yang selanjutnya dikecambahakan pada nampan yang dilapisi koran basah. Letak biji ditata berdasarkan jenis kultigen dan diberi label untuk membedakan jenis dari masing-masing biji. Kemudian biji disimpan pada suhu kamar selama 24 jam sampai biji berkecambah. Biji berkecambah ditandai dengan keluarnya radikula dari kulit biji. Biji melon yang telah berkecambah dipindahkan ke dalam medium tanah pada polybag. Setiap polybag ditanami satu kecambah melon dan diberi label sesuai dengan nama kultivar. Polybag diletakkan di dalam greenhouse dan dilakukan pemeliharan seperti penyiraman setiap dua hari sekali. Setelah berumur kurang lebih 3-4 minggu, daun melon dapat dikoleksi untuk diisolasi DNA-nya. Setelah 2-3 minggu ditanam, daun tanaman melon yang segar dan bebas inveksi jamur maupun virus dipotong untuk dikoleksi sebagai sampel penelitian. Daun dari 15 kultivar melon dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan dalam freezer pada suhu -20°C. Sampel daun siap digunakan untuk diekstraksi DNA-nya. Deteksi dan Pemetaan Gen Ketahanan Generasi Tanaman Melon terhadap Jamur Tepung (Powdery Mildew) dengan Penanda Molekular SCAR a. Isolasi DNA Isolasi DNA menggunakan Kit Nucleon-Phytopure merek illustra DNA Extraction Kit PhytopureTM RPN 1851 yang terdiri dari Reagen 1, Reagen 2 dan Resin. Daun-daun tanaman melon yang telah dikoleksi kemudian disimpan dalam almari es pada suhu -20oC. Sebelum dilakukan ekstraksi, daun tersebut ditimbang seberat 0,3 gr dan segera digerus diatas mortal (yang telah disimpan dalam lemari pendingin, -20oC) sampai lembut.
295
Ditambahkan 400 L Reagen Phytopure I diatas mortal dan digerus secara perlahan-lahan bersamasama daun yang telah lembut sampai merata. Campuran dituang dalam tube 1,5 mL dan ditambahkan 75 L Reagen Phytopure II serta dikocok. Diinkubasi pada suhu 65oC selama 10 menit kemudian diletakkan dalam es selama 20 menit. Setelah itu, ditambahkan 400 L chloroform dingin dan ditambahkan 50 L resin Phytopure dengan cara dituang tegak lurus dengan tube. Selanjutnya disentrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatan yang dihasilkan dipindah dalam tube baru dengan ukuran 1,5 mL. Pada tube tersebut ditambahkan isopropil alkohol (isopropanol) dingin melalui dinding tabung tube dengan volume sama dengan volume supernatan yang dihasilkan (perbandingannya = 1 : 1), kemudian dikocok. Setelah itu, disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Supernatan yang dihasilkan dibuang dan diperoleh pelet DNA (putih/transparan) didasar tabung tube. Kemudian pelet dicuci (presipitasi DNA) dengan 100 L ethanol 70 % dan disentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm, pencucian ini dilakukan sebanyak tiga kali. Ethanol dibuang dan pelet dikeringanginkan serta ditambahkan 50 L 1XTE buffer. Setelah itu, hasil ekatraksi DNA disimpan dalam lemari es (-20oC) dan siap untuk dihitung konsentrasi (kualitas dan kuantitas) serta kemurniannya. b. Uji Kuantitatif DNA Uji kuantitatif sampel DNA hasil ekstraksi dilakukan dengan mengukur konsentrasi dan kemurnian DNA menggunakan Spektrofotometer UV-VIS (Beckman) di Laboratorium Biologi Molekular Fakultas Kedokteran UGM. Sebelum diukur konsentrasi dan kemurnian sampel DNA, dilakukan pengenceran DNA. Sampel DNA yang akan diukur diambil 2µl dan dimasukkan ke dalam tube 1,5 ml. selanjutnya ditambahkan akuabides sebanyak 98 µl (factor pengenceran 50 kali) [9]. c. Uji Kualitatif DNA Ada tidaknya DNA total yang didapatkan dari hasil ekstraksi dilakukan dengan cara elektroforetik dengan melihat adanya fragmen DNA diatas gel agarosa dan membandingkan pita DNA yang ada di marker size. Elektroforesis ini dilakukan dalam gel agarose konsentrasi 0,8 % dengan RNAse dan tanpa RNAse. DNA diambil sebanyak 5 L dan ditambahkan 2 l loading dye, serta dimasukkan
pula pada sumuran pertama marker size 3 L. Kemudian di-running selama kurang lebih 20 menit dan hasil difoto diatas UV transilluminator. d. Amplifikasi DNA Amplifikasi DNA dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Semua komponen reaksi PCR dikondisikan dalam keadaan dingin di dalam termos yang berisi es (ice box). Amplifikasi DNA didasarkan pada metode yang telah dilakukan [5] dengan sedikit modifikasi. Primer oligonukleotida yang digunakan diperoleh dari IDT digunakan sebagai primer untuk reaksi Polymerase Chain Reaction (PCR). Primer SCAR diperoleh dari hasil pengembangan primer RAPD dalam penanda pUBC411 [5] dengan menambahkan 15 nukleotida dari 10 nukleotida RAPD [3], yaitu : SCAR 05 F : CAGACAAGCCCAGAATTA ACATCTC SCAR 05 R : CAGACAAGCCTAGGAGTT GTGGGCT Kemudian dibuat campuran PCR dengan total volume 25 µL didalam tube 200 µL dengan komposisi sebagai berikut: Tabel 1. Komponen reagen PCR Konsentrasi No. Komponen Volume akhir 1.
Master Mix, 1x
12,5 µL
2.
Forward primer
2,5 µL
100 nM
3.
Reverse primer
2,5 µL
100 nM
4.
DNA
3 µL
250 µg/mL
5.
dH2O/Akuabidest
4,5 µL
Volume total
25 µL [3, 4 modifikasi]
Tube yang berisi campuran PCR tersebut selanjutnya dicampur sampai merata. Kemudian dipasang set mesin PCR dengan formula sebagai berikut : Tabel 2. Waktu dan suhu proses PCR No. Reaksi Temperatur
296
Waktu
1.
Predenaturasi
95oC
5 menit
2.
Denaturasi
95oC
1 menit
3.
Annealling
60oC
1 menit
4.
Extension
72oC
2 menit
5.
Posextension
72oC
10 menit
[43, 4 modifikasi] Pada proses denaturasi sampai dengan extension, siklus diulang sebanyak 29 kali. Setelah selesai, PCR product disimpan dalam lemari es (20oC) dan siap untuk dielektroforesis Analisis hasil amplifikasi PCR-RAPD dengan elektroforesis DNA product PCR sebanyak 8 l dicampur dengan 2 l loading dye, kemudian di masukkan ke sumuran ke-2 sampai dengan seterusnya, dimana sumuran yang pertaman digunakan untuk marker size. Setelah semua sampel dimasukkan ke dalam sumuran, apparatus elektroforesis ditutup dan dihubungkan dengan sumber listrik. Power supply diatur pada 100 V selama sekitar 30 menit, kemudian alat dinyalakan dengan menekan tombol ON. Setelah selesai, alat dimatikan. Gel dikeluarkan beserta cetakannya dari aparatus elektroforesis. Gel diwarnai dengan 2 l loading dye, selama sekitar 15 menit, lalu dibilas dengan akuades. Gel diamati dengan UV transiluminator. Pita-pita DNA akan tampak berpendar. Hasil ini kemudian didokumentasikan dengan Casio 3x Optical Zoom Digital Camera QV-R51 5,0 Mega Pixel. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perakitan tanaman melon Tacapa dan persilangan backcross merupakan tahapan untuk mendapatkan kultigen yang unggul yang kemudian dibudidayakan untuk menjadi kultivar yang unggul sehingga menjadi salah satu benih tanamn melon yang berkualitas. Tanaman backcross Tacapa yang kemudian dinamakan melon TP didapatkan dengan menyilangkan tanaman melo Tacapa dengan induknya yaitu PI 371795.
Gambar 1. Perakitan backcross tanaman Tacapa yang menhasilkan TP Analisis hasil isolasi DNA
Meningkatnya kebutuhan teknik DNA rekombinan dalam penelitian tumbuhan, maka metode yang digunakan dalam isolasi DNA menjadi perhatian utama. Isolasi DNA merupakan suatu metode yang digunakan untuk mendapatkan DNA tanpa debris sel yang merupakan langkah awal prosedur kerja dalam genetika molekular. Adanya DNAse, senyawa metabolit sekunder dan kontaminan polisakarida merupakan permasalahan dalam isolasi DNA tumbuhan, sehingga diperlukan suatu metode yang dapat memecahkan permasalahan tersebut, diantaranya penggunaan kit ekstraksi yang saat ini telah banyak berkembang dan diperdagangkan. Kelebihan dari metode ini adalah sederhana, dapat digunakan baik pada tumbuhan monokotil maupun dikotil, dapat menggunakan bahan yang segar maupun dikeringkan dan bahan yang diambil umumnya dari organ daun [11]. Langkah pertama yang dilakukan dalam isolasi DNA adalah membuka jaringan tumbuhan dengan mekanik (penggerusan) karena bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan yang mempunyai dinding sel . Fungsi penggerusan dalam hal ini adalah untuk menghancurkan organ daun sehingga mempermudah langkah ekstraksi selanjutnya untuk mengisolasi DNA yang terdapat didalam sel tumbuhan. Bahan yang digunakan adalah daun tanaman melon yang masih segar (disimpan dalam lemari es) karena bahan yang sudah terlalu lama mengandung DNA yang sudah terdegradasi dan dapat juga terkontaminasi dengan DNA eksogen, misalnya oleh DNA. Penggerusan dilakukan dalam kondisi dingin agar enzim-enzim proteolitik tidak aktif pada suhu dingin dan supaya lisisnya jaringan dan sel tidak dipengaruhi oleh kejutan temperatur sehingga
297
dapat mengurangi kontaminasi dan dihasilkan DNA yang optimal. Setelah sampel lembut, ditambahkan Reagen 1 dari kit Phytopure yang bertujuan untuk melisiskan dinding sel dari jaringan daun melon. Hal ini disebabkan di dalam Reagen 1 mengandung buffer, deterjen dan beberapa enzim degradatif diantaranya selulase. Detergen disini berfungsi melarutkan lemak (membran lipid) yang terdapat di dalam membran sel yang menyebabkan sel lisis, selain itu detergen juga dapat menghambat DNAse yang dapat merusak DNA dan dapat mendenaturasi protein, sehingga protein dapat hilang dari larutan. Biasanya sel tumbuhan tidak dapat dilisiskan hanya dengan menggunakan detergen, sehingga diberikan perlakuan enzim, diantaranya selulase yang berfungsi untuk menghilangkan selulosa yang terdapat di dalam dinding sel. Setelah proses pencampuran sampel dan Reagen 1 optimal kemudian ditambahkan Reagen 2 yang berfungsi untuk melisiskan membran inti sel karena didalam Reagen 2 terdapat larutan bufer dan enzim endonuklease sehingga DNA yang terdapat didalam inti dapat terurai keluar. Baik dalam Reagen 1 maupun Reagen 2 masing-masing terdapat larutan buffer yang berfungsi untuk menyangga pH larutan. Buffer adalah asam/basa lemah yang tidak dapat terdissosiasi penuh dalam larutan, selain itu juga mampu menciptakan tekanan osmotik lingkungan luar sel yang hipertonik dibandingkan dengan tekanan osmotik di dalam sel, sehingga sel akan mengalami plasmolisis [8]. PH larutan juga menetukan keberhasilan ekstraksi DNA, pH harus dipilih secara tepat untuk menghindari pH yang optimal untuk kerja enzim pendegradasi. DNAse yang terdapat didalam nukleus mempunyai pH optimum sekitar 7,0, sehingga buffer untuk ekstraksi DNA tumbuhan yang biasa digunakan mempunyai pH 8,0 dan 9,0 . Setelah tercampur dengan sempurna dengan cara dikocok perlahan-lahan agar proses terurainya DNA optimal, kemudian tube diinkubasi dalam suhu 65oC selama 10 menit. Proses ini bertujuan untuk mengoptimalkan enzim pendegradatif yang terdapat dalam larutan dan mengefektifkan lepasnya DNA ke dalam larutan. Setelah itu diinkubasi dalam suhu -20oC yang bertujuan untuk memberikan kejutan temperatur dalam larutan sehingga lepasnya DNA dari inti sel, mitokondria maupun kloroplas dapat optimal dan kerja enzim dihentikan dengan cepat. Selanjutnya ditambahkan kloroform dan resin phytopure tegak lurus dengan tube.
Kloroform memiliki berat jenis lebih besar daripada berat jenis Reagen dan sampel, sehingga kloroform langsung bergerak kedasar tube. Fungsi kloroform adalah menghilangkan debris/sisa dinding sel serta mampu mendenaturasi protein dan polisakarida. Deproteinisasi dengan kloroform terjadi berdasarkan kemampuannya untuk mendenaturasi rantai polipeptida untuk masuk ke dalam fase antara air dan kloroform. Dikarenakan tingginya konsentrasi protein pada fase antara air dan kloroform, menyebabkan protein mengendap. Resin phytopure memiliki dua fungsi utama yaitu mengikat secara kovalen polisakarida yang merupakan pengotor dengan gugus -B(OH)2 bebas pada permukaannya dan membentuk lapisan semisolid yang memisahkan bagian mengandung DNA dengan debris sel. Langkah berikutnya adalah sentrifugasi dengan kecepatan 1300 g selama 10 menit. Fungsi sentrifugasi adalah untuk memisahkan antara fase akuosa yang berisi DNA dengan komplek reagensia dengan protein dan polisakarida serta debris sel. Sentrifugasi dengan kecepatan yang rendah karena kecepatan yang tinggi akan menyebabkan pelet yang padat sehingga sulit untuk dilarutkan. Tahap berikutnya adalah isolasi supernatan yaitu larutan/fase yang mengandung DNA yang terletak diatas resin dan kloroform. Untuk tahap presipitasi DNA, supernatan ini dimasukkan dalam tube baru yang didalamnya ditambahkan isopropanol dengan volume yang sama dengan volume supernatan yang diisolasi untuk menjaga volume asam nukleat yang akan diendapkan menjadi minimum. Isopropanol berfungsi sebagai fiksatif yaitu menarik air/mengkondisikan dehidrasi yang menyebabkan terbentuknya DNA yang tidak larut/mengendap. Pengendapan ini terjadi berdasarkan fenomena penurunan kelarutan asam nukleat di dalam air. Molekul air yang polar mengelilingi molekul DNA pada larutan akuosa. Muatan positif dari air berikatan kuat dengan muatan negatif gugus fosfat DNA. Ikatan ini menyebabkan DNA larut dalam air, sementara itu isopropanol lebih tidak polar bila dibandingkan dengan air, sehingga molekul isopropanol tidak dapat berikatan dengan gugus polar asam nukleat sekuat air, hal ini menyebabkan isopropanol tidak dapat melarutkan asam nukleat. Langkah selanjutnya adalah purifikasi DNA total menggunakan alkohol/ethanol 70 % dingin dan disentrifugasi. Ethanol 70 % berfungsi sebagai pencuci dan pengendapan dengan ethanol ini dilakukan pada suhu -20oC atau lebih. Hal ini
298
disebabkan karena dengan temperatur yang rendah, akan menurunkan aktivitas molekul air yang dapat menyebabkan pengendapan DNA lebih efektif [11]. Setelah DNA mengendap dilakukan pencucian lagi dengan ethanol 70 % dan diresuspensi dengan TE yang sebelumnya pelet telah dikeringanginkan agar tidak terkontaminasi dengan ethanol 70 % karena akan merusak DNA. Setelah dilarutkan dalam TE, kemudian disimpan dalam suhu -20oC agar DNA stabil dan tidak rusak serta siap untuk dilakukan tahap selanjutnya. Analisis uji kuantitatif DNA hasil isolasi DNA
Gambar 3. Konsentrasi DNA berdasarkan analisis uji kuantitiatif
daun
melon
Analisis optimasi amplifikasi DNA Konsentrasi dan kemurnian DNA secara kuantitatif diukur menggunakan metode spektrofotometri dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Hasil pengukuran untuk rasio DNA dapat ditunjukkan pada Gambar 2 dan untuk konsentrasi DNA ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 2 dan 3 dapat disimpulkan bahwa rasio yang didapatkan sekitar 1,2 – 1,9, sementara itu konsentrasi yang didapatkan sekitar 200 – 4200 ng. Hasil ini merupakan hasil yang optimal berdasarkan panjang gelombang DNA. Beberapa kontaminan seperti protein dan RNA masih mengotori DNA yang dihasilkan, akan tetapi hal ini tidak menjadi pengganggu dalam rekasi amplifikasi karena primer yang digunakan merupakan primer spesifik untuk DNA.
Pada penelitian-penelitian terdahulu telah dilakukan skrining pada sifat ketahanan tanaman melon terhadap powdery mildew [1, 7]. Skrining ini telah berhasil mengidentifikasi tahan (R) dan tidak tahan (S) secara fenotip. Seleksi fenotip dilakukan pada parental, keturunan F1 hingga F2 dan test cross. Seleksi sifat ketahanan powdery mildew pada tanaman melon menggunakan penanda SCAR yang merupakan pengembangan penanda RAPD, telah terbukti efektif dan efisien pada beberapa penelitian terdahulu [5, 6, 9, 10]. Penanda ini mampu mendeteksi fragmen DNA terpaut gen yang mengendalikan sifat ketahanan pada panjang 1058 bp. Hasil optimasi amplifikasi DNA menggunakan penanda SCAR ditunjukkan pada Gambar 4. Deteksi ketahanan penyakit powderi mildew (gen Pm-W) diketahui ada di kulitvar PI 371795, Tacapa, TP dan hasil persilangan yang lain, akan tetapi tidak ditemukan pada kultivar Action 434 (S).
Gambar 2. Rasio DNA daun melon berdasarkan analisis uji kuantitatif
299
Gambar 4. Deteksi gen Pm-W untuk ketahanan tamana melon terhadap penyakit powdery mildew Keterangan : M : Marker, PI : indukan PI 371795, Tac : Indukan Tacapa, Act : indukan Action 434, TP : Hasil persilangan Tacapa x PI 371795, TA, PT dan AT : Hasil persilangan yang lain
Gambar 5. Skrining keberadaan gen Pm-W pada populasi TP Populasi TP diketahui mempunyai gen ketahanan terhadap penyakit powdery mildew (Gambar 5), sehingga dari data ini dapat disimpulkan bahwa gen ketahanan penyakit powdery mildew diwariskan dari tetua PI 371795 ke keturunannya yaitu melon kultivar Tacapa dan keturunan dari hasil persilangan backcross yaitu TP. IV.
KESIMPULAN
Tanaman melon Tacapa telah menunjukkan keunggulan pada aspek ekonomis dan Agronomis serta tahan terhadap penyakit powdery mildew. Gen ketahanan terhadap powdery mildew (Pm-W) diwariskan dari tetua (PI 371795) kepada generasi keturunannya yaitu Tacapa dan hasil persilangan backcross yaitu TP.
DAFTAR PUSTAKA [1] Aristya, G.R. 2006. Skrining dan Pewarisan Sifat Ketahanan Tanaman Melon (Cucumis melo L.) Terhadap Jamur Tepung. Skripsi. Fakultas Biologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. [2] Daryono, B.S., Somowiyarjo, S., and Natsuaki, K.T. 2003. New source of CMV resistance in melon. SABRAO Journal of Breeding and Genetics 35 (1):9-26. [3] Daryono, B.S., Somowiyarjo, S., and Natsuaki, K.T. 2005. Screening for resistance to Kyuri green mottle mosaic virus in various melon. Plant Breeding 124 (4):487-490. [4] Fukino, N., Kunisiha, M., & Matsumoto, S. 2004. Characterization of Recombinant Inbred Line Derived from Crosses in Melon (Cucumis melo L.), „PMAR No. 5;
300
x „Harukei No. 3‟. Breeding Science 54 : 141-145. [5] Pitrat, M, and Besombes, D. 2008. Inheritance of Podosphaera xanthii resistance in melon line „90625‟. Proceeding of the 1Xth EUCARPIA. [6] Perin, C., Hagen, L.S., Conto V.D., Katzir, N., Danin-Poleg, Y., Portnoy, V., Arnas, S.B., Chadoeuf, J., Dogimont C., and Pitrat, M. 2002. A reference map of Cucumis melo based on two recombinant inbred line populations. Theory Apply Genetics, 104: 1017-1034. [7] Qurrohaman, T., & Daryono, B.S. 2009. Pewarisan Sifat Ketahanan Tanaman Melon (Cucumis melo L.) Terhadap Powdery mildew (Podosphaera xanthii (Castag.) Braun et Shishkoff). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol. 15 : 1, 1-6. [8] Rickwood, D. and Patel, D. 1995. Cell and molecular biology. First ed. McGraw-Hill. Boston. P. 61-68. [9] Silberstein, L., Kovalski, I., Brotman, Y., Perin, C., Dogimont, C., Pitrat, M., Klingler, J., Thompson, G., Portnoy, V., Katzir, N., and Perl-Trevs, R. 2003. Linkage map of Cucumis melo including phenotypic traits and sequencecharacterized genes. Genome, 46: 761– 773. [10] Stuessy, T. F. 1990. Host range and geographical distribution of the powdery mildew. 2nd.http://socrates.berkeley.edu/~schmid/p ubs/PubsG-to1999.html (diakses tanggal 2 Juni 2012). [11] Surzycki, S. 2000. Basic techniques in molecular biology. SpringerVerlay, Berlin Heidelberg. Germany. Pp. 4-13, 17-27.