ISSN : 1412-3568 L E M B AG A AD M I N I S T R AS I N E G AR A P U S AT K AJ I AN K I N E R J A O T O N O M I D AE R AH
Jurnal
Desentralisasi Volume 11
Nomor 1 Halaman 297-370
2013
Perkembangan dan Tantangan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Di Kabupaten Kebumen Adi Pandoyo Implementasi Kebijakan Standar Pelayanan Minimal : Perkembangan, Hambatan Renny Savitri Konsep Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas KKN dan Indikator Hasil-Hasilnya Serta Model Pengukurnnya Slamet Rosyadi Partisipasi, Akuntabilitas dan Peran Civil Society Dalam Peningkatan Kinerja Daerah Budi Setiyono Kebijakan Open Recruitmen Pengisian Jabatan Struktural di Daerah Samiaji Pemekaran Daerah di Indonesia Suryanto
ISSN : 1412-3568
Jurnal Desentralisasi Vol. 11 No.1Tahun 2013
Redaksi : Pembina Pengarah
: Kepala LAN : Deputi Bidang Kajian KLB dan SDA
Pemimpin Redaksi Wakil Pemimpin Redaksi Penyunting
: Dr. Adi Suryanto, M.Si : Dra. Elly Fatimah, M.Si : Suryanto, S.Sos, M.Si Pujiatmo Subarkah, SE, MA Meita Ahadiyati K, S.Si, MPP
Mitra Bestari
: Prof. M. Ryass Rasyid Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc Dr. Adi Suryanto, M.Si Dr. Syarif Hidayat
Pimpinan Pelaksana Harian : Samiaji, S.Sos Sekretariat : Renny Savitri, S.IP Widya Puspitaayu Sutisna, SE Endang Purwati Revianeza Aziz Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah (Center For Local Autonomy Performance Studies) Lembaga Administrasi Negara (National Institute of Public Administration) Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Tlp. (021) 3868201-06 Ext. 119, 120, Fax (021) 3865102 Website : www.pkkod.lan.go.id Email :
[email protected]
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
Daftar Isi
iii - iV 1-6
Editorial Serambi
PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI KABUPATEN KEBUMEN Adi Pandoyo
297-301
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL : Perkembangan, Hambatan dan Tantangan ke Depan Renny Savitri
303-313
KONSEP PENINGKATAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BEBAS KKN DAN INDIKATOR HASIL-HASILNYA SERTA MODEL PENGUKURANNYA Slamet Rosyadi
315-324
PENINGKATAN KAPASITAS DAN AKUNTABILITAS KINERJA BIROKRASI DAN INDIKATORNYA SERTA MODEL PENGUKURANNYA Adriyan Saptawan
325-334
PARTISIPASI, AKUNTABILITAS DAN PERAN CIVIL SOCIETY DALAM PENINGKATAN KINERJA DAERAH Budi Setiyono
335-343
KEBIJAKAN OPEN RECRUITMENT PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL DI DAERAH Samiaji
345-358
PEMEKARAN DAERAH DI INDONESIA Suryanto
359-370
Petunjuk Penulisan
ii
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Editorial
Dalam edisi kali ini, Jurnal Desentralisasi kembali hadir di tengah-tengah sidang pembaca yang budiman. Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah selalu sarat dengan dinamika dan problematika yang selalu menarik untuk menjadi bahan kajian. Seperti pada tulisan pertama ini, dimana Adi Pandoyo menguraikan pengalaman Kabupaten Kebumen dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal di Kabupaten Kebumen. Menurutnya, implementasi kebijakan standar pelayanan minimal di Kabupaten Kebumen merupakan tantangan tersendiri, karena SPM diterapkan sebelum SPM Kementerian di terbitkan. Dari 15 (lima belas) SPM dari Kementerian yang harus disusun rencana penerapannya, Kabupaten Kebumen telah menyusun rencana penerapan SPM pada 7 (tujuh) SPM, yaitu SPM Bidang Kesehatan, SPM Bidang Pemerintahan Dalam Negeri, SPM Bidang Kesenian, SPM Bidang Komunikasi dan Informasi, SPM Bidang Penanaman Modal, SPM Bidang Ketahanan Pangan dan SPM Bidang Ketenagakerjaan. Terkait dengan tulisan diatas, Renny Savitri mencoba melihat permasalahan penerapan SPM dari kacamata Implementasi kebijakan tersebut. Menurutnya, tujuan di implementasikannya kebijakan SPM adalah agar dapat menjamin hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik secara minimal. Namun demikian, hingga saat ini secara umum, kebijakan SPM belum dilaksanakan secara optimal oleh pemerintah daerah. Belum diacunya SPM sebagai acuan dalam melaksanakan program/kegiatan di daerah merupakan salah satu penyebab mengapa banyak daerah yang hingga saat ini
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
belum menerpkan SPM. Begitu pula dengan pemerintah pusat yang belum menjadikan SPM sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan dan pengawasan serta evaluasi kinerja pemerintah daerah. Praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) nampaknya tetap menarik dijadikan bahan diskusi atau kajian. Pada bagian ini, Slamet Rosyadi menyoroti penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan bebas KKN, menurutnya, berbagai upaya baik secara yuridis-normatif maupun administratif telah dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan pemberantasan KKN. Hasilhasil positif telah memenuhi sebagian ekspektasi pemerintah maupun masyarakat yang mendambakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, namun demikian, capaian kinerja pemberantasan KKN ternyata belum optimal. Sejalan dengan penulis diatas, Adriyan Saptawan menyoroti kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Menurutnya bahwa isu profesionalisme dalam pembangunan aparatur merupakan gerbang masuk ke dalam upaya membangun birokrasi yang efektif dan efisien. Untuk mendapatkan aparatur yang piawai tersebut, maka faktor kompetensi merupakan syarat utama recruitment pegawai, dimana potensi aparatur yang memenuhi minimal persyaratan dari satu jabatan yang disertai dengan integritas yang bersangkutan dalam jenjang keterampilan yang diharapkan oleh tatanan birokrasi. Kembali kepada potret penyelenggaraan pemerintahan, Budi Setiyono memandang
iii
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
pentingnya partisipasi, akuntabilitas dan peran civil society dalam peningkatan kinerja daerah. Menurut penulis bahwa dengan dominannya paternalisme, ketiadaan transparansi dan akuntabilitas akan melumpuhkan inisiatif lokal dan menyebabkan keseragaman, standarisasi, kehancuran struktur sosial, kooptasi pemimpin disemua tingkatan, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi dan yang paling serius adalah ketidakpercayaan yang mendalam kepada lembaga-lembaga pemerintah. Reformasi politik dengan penerapan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung membuat PNS di daerah terkelompokkan dalam faksi-faksi dan mereka cenderung berpihak kepada calon kepala daerah tertentu. PNS yang menjadi tim sukses tentu berharap apabila calon kepala daerah yang mereka usung terpilh, mereka akan mendapat imbal jasa seperti posisi dalam jabatan struktural di pemerintahan. Hal ini tentunya menjadikan birokrasi di daerah rentan di politisasi. Demikian ulasan yang disampaikan oleh Samiaji yang menyoroti kebijakan open recruitment pengisian jabatan sturuktural di daerah. Menurutnya, kebijakan open recruitment dapat menemukan sosok pejabat yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi dan kebijakan ini diharapkan dapat membentengi pemerintah daerah dari praktek politisasi birokrasi. Dalam bagian ini juga dikemukakan apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kota Samarinda dan Lembaga Administrasi Negara sebagai instansi yang melakukan open recruitment.
dan 93 Kota. Pemekaran daerah pada awalnya dilakukan atas dasar pertimbangan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kehidupan berdemokrasi, meningkatkan pengelolaan potensi wilayah dan meningkatkan keamanan dan ketertiban, namun yang terjadi adalah pemekaran daerah saat ini justru telah menimbulkan berbagai persoalan, baik menyangkut penataan kelembagaan, kepegawaian/SDM daerah, keuangan dan sebagainya. Demikian yang disampaikan oleh Suryanto dalam menyoroti pemekaran daerah di Indonesia, dimana implikasi dari pemekaran daerah tersebut dapat berimplikasi positif maupun negatif.
Salah satu implikasi dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah terjadinya pemekaran daerah yang sungguh luar biasa, sejak UU tentang Pemerintahan Daerah di gulirkan tahun 1999 hingga saat ini jumlah daerah otonom sebanyak 539 yang terdiri dari 34 Provinsi dan 412 Kabupaten
iv
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI KABUPATEN KEBUMEN Oleh: Adi Pandoyo Sekretaris Daerah Kabupaten Kebumen
Abstract: Pelaksanaan SPM di Kabupaten Kebumen sudah dilaksanakan sejak tahun 2007 atau sebelum SPM Kementrian diterbitkan yaitu tahun 2008. Pelaksanaannya dimulai dari proses pengenalan SPM dan IKU (Indikator Kinerja Utama) kepada seluruh SKPD (badan, kantor, dinas, setda, setwan) yang digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan kinerja SKPD. SPM disusun dan ditetapkan dengan Peraturan Bupati sedangkan IKU dengan keputusan Kepala SKPD. Keyword: Standar Pelayanan Minimal, Indikator Kinerja Utama
LATAR BELAKANG Penerapan SPM di Kabupaen Kebumen tidak terlepas dari amanat UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yaitu pasal 11 ayat (4) yang menyebutkan “Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah”. Selanjutnya PP Nomor 65 tahun 2005 tentang pedoman penyusunan dan penerapan SPM yang diikuti terbitnya 15 Peraturan dari kementerian/lembaga pemerintah non kementerian yang meliputi : 1. 2. 3.
SPM Bidang Pemerintahan Dalam Negeri; SPM Bidang Perumahan Rakyat Daerah; SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah;
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
4.
SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten K ota; 5. SPM Bidang Layanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Penghapusan Eksploitasi Seksual pada Anak dan Remaja dan SPM Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan; 6. SPM Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah; 7. SPM Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera; 8. SPM Pendidikan Dasar; 9. SPM Bidang Ketenagakerjaan; 10. SPM Bidang Pekerjaan Umum dan PenataanRuang; 11. SPM Bidang Ketahanan Pangan; 12. SPM Bidang Kesenian; 13. SPM BidangKomunikasi dan Informatika;
297
Perkembangan dan Tantangan Penerapan SPM Di Kabupaten Kebuman Adi Pandoyo
14. SPM Bidang Perhubungan ; 15. SPM Bidang Penanaman Modal. Serta adanya Surat Edaran Mendagri tanggal 26 Maret 2012 Nomor 100/1023/ SJ tentang Percepatan Penerapan Pelaksanaaam dan Pencapaian SPM di daerah.Selanjutnya untuk menjamin legalisasi pelaksanaan SPM (perencanaan, penganggaran) serta mendorong SKPD dalam penerapan percepatan pencapaian SPM di butuhkan payung hukum (berupa peraturan daerah, peraturan bupati) di Kabupaten Kebumen. Saat ini Kabupaten Kebumen telah menyusun 7 dari 15 SPM yang sudah disusun Pemerintah Pusat sedangkan 8 SPM lainnya sedang dalam proses penetapan peraturan bupati. Kendala internal dan eksternal turut menghambat penyusunan SPM tersebut. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kebumen senantiasa berupaya mengatasi permasalahan yang ada namun tentunya sangat terkait dengan perubahan-perubahan regulasi di tingkat pusat.
Pelaksanaan Percepatan Pencapaian SPM. Langkah awal adalah penyusunan Tim Percepatan Penerapan Pencapaian SPM Kabupaten Kebumen yang beranggotakan unsur Sekretariat Daerah, Bappeda, DPPKAD serta SKPD yang terkait dengan bidang urusan wajib pemerintahan yang telah ditetapkan SPMnya, dilanjutkan dengan Sosialisasi Seluruh Pimpinan SKPD, DPRD, Kepolisian Resort, Kejaksaan, Pengadilan, LSM, stake holderserta Pejabat yang menangani perencanaan di seluruh (Dinas, Badan, Kantor, Setda, Setwan). Tim Percepatan Penerapan dan Pencapaian SPM mempunyai tugas mengkoordinasikan kepada seluruh SKPD terkait dengan penerapan dan pencapaian SPM, yang meliputi: -
PELAKSANAAN PENERAPAN DAN PENCAPAIAN SPM DI KABUPATEN KEBUMEN Pelaksanaan SPM di Kabupaten Kebumen sudah dilaksanakan sejak tahun 2007 atau sebelum SPM Kementrian diterbitkan yaitu tahun 2008. Pelaksanaannya dimulai dari proses pengenalan SPM dan IKU (Indikator Kinerja Utama) kepada seluruh SKPD (badan, kantor, dinas, setda, setwan) yang digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan kinerja SKPD. SPM disusun dan ditetapkan dengan peraturan bupati sedangkan IKU dengan keputusan Kepala SKPD. Menindaklanjuti Surat Edaran Menteri dalam Negeri Nomor 100/1023/SJ Pemerintah Kabupaten Kebumen mulai menganggarkan kegiatan Penyusunan Rencana Aksi
298
Menyiapkan data base profil pelayanan dasar; Mendalami jenis pelayanan, indikator, target dan batas waktu pencapaian; Menyusun kebutuhan biaya berdasarkan target yang ditetapkan; Menyusun target pencapaian SPM.
Dalam Penyusunan Rencana Aksi Pelaksanaan dan Penerapan SPM Kabupaten Kebumen dibantu pihak Konsultan LPPSP. Konsultan dipilih untuk membantu penyusunan SPM setelah mendapat Rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, yang selama ini dipandang mampu membantu pemerintah dalam pelaksanaan SPM. Dari ketentuan 15 (lima belas) SPM Kementerian, telah diterbitkan 7 (tujuh) naskah Peraturan Bupati sebagai payung hukum pelaksanaan SPM di Kabupaten Kebumen meliputi yaitu : 1.
Peraturan Bupati Kebumen Nomor 54 Tahun 2013 tentang Penerapan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pencapaian Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan; Peraturan Bupati Kebumen Nomor 55 Tahun 2013 tentang Penerapan Pencapaian Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri; Peraturan Bupati Kebumen Nomor 56 Tahun 2013 tentang Penerapan Pencapaian Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesenian; Peraturan Bupati Kebumen Nomor 58 Tahun 2013 tentang Penerapan Pencapaian Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Komunikasi dan Informatika; Peraturan Bupati Kebumen Nomor 59 Tahun 2013 tentang Penerapan Pencapaian Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Penanaman Modal; Peraturan Bupati Kebumen Nomor 60 Tahun 2013 tentang Penerapan Pencapaian Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan; Peraturan Bupati Kebumen Nomor 61 Tahun 2013 tentang Penerapan Pencapaian Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketenagakerjaan;
Adapun selebihnya yaitu 8 (delapan) SPM Kementerian sedang dalam proses menjadi Peraturan Bupati yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
SPM Bidang Perumahan Rakyat; SPM Bidang Pendidikan Dasar; SPM Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan; SPM Bidang Lingkungan Hidup; SPM Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera;; SPM Bidang Pekerjaan Umum; SPM Bidang Perhubungan Daerah; SPM Bidang Sosial.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
PERMASALAHAN DAN HAMBATAN DALAM MENYUSUN SPM Dalam rangka percepatan pelaksanaan dan pencapaian SPM di Kabupaten Kebumen tentunya tidak terlepas adanya kendalakendala yang dihadapi baik itu kendala internal maupun eksternal. KENDALA INTERNAL 1. Tahap Pengumpulan Data Base - Belum terdokumentasinyadata-data dengan baik pada beberapa SKPD sehingga tidak terdapat data pendukung; - Terdapat data namun terkendala proses pengumpulan data yang tersebar di pelosok kabupaten (terutama bidang pendidikan, kesehatan, DPU); - Terdapat data namun masih mentah dan belum siap pakai sehingga dibutuhkan pengolahan data menjadi data yang siap digunakan. 2.
Tahap Penentuan dan Penghitungan Target Capaian Tahunan SPM - Penyusunan target capaian SPM terkendala penghitungan dari pihakpihak terkait diluar SKPD Pemerintah Kabupaten Kebumen (contoh pelayanan kekerasan pada anak dan perempuan, ketenagakerjaan dsb.) sehingga hal tersebut membutuhkan koordinasi intensif pada tingkat pimpinan dan staf. - Penyusunan target capaian SPM Kabupaten terkendala gap atau jarak yang terlalu lebar antara kondisi riil capaian kabupaten yang rata-rata masih rendah dengan capaian SPM Nasional, ditambah waktu yang sangat terbatas dan target capaian yang dipatok sangat tinggi; - Penentuan target capaian SPM Kabupaten terkendala pada data yang tidak ada, tidak akurat, atau
299
Perkembangan dan Tantangan Penerapan SPM Di Kabupaten Kebuman Adi Pandoyo
harus menghimpun dan mengolah terlebih dahulu. 3.
Tahap Menentukan dan Menghitung Kebutuhan Anggaran Pelaksanaan SPM - Penghitungan kebutuhan anggaran terkendala ketidaktersediaan piranti pendukung karena tidak semua SPM Kementerian tersedia e-costing (petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis perencanaan pembiayaan).
4.
Pembiayaan Pelaksanaan SPM - Pembiayaan SPM Kabupaten Kebumen masih relatif kecil walaupun senantiasa meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2012 hanya sebesar 12 % dari total APBD, tahun 2013 meningkat sebesar 16% (Rp.256.977.961.456,-) dari total APBD Kabupaten Kebumen sebesar Rp. 1.597.037.532.000,- dan tahun 2014 rencana dianggarkan sekitar 20% dari APBD dengan tetap memasukkan kearifan lokal dalam perencanaan.
5.
Keterbatasan SDM - Jumlah SDM yang dibutuhkan sesuai dengan kualifikasi untuk memenuhi SPM yang dipersyaratkan masih terbatas.
c.
2.
KENDALA EKSTERNAL 1. Regulasi a. Tidak adanya sanksi bagi daerah yang tidak menyusun SPM, hal ini menyebabkan banyak daerah menghindari penyusunan SPM dikarenakan penyusunan SPM hanya akan menjadi beban baru; b. Tumpang tindihnya aturan dalam penyusunan SPM baik di bidang yang sama maupun dengan bidang yang lain;
300
Jumlah indikator terlalu banyak, target indikator terlalu tinggi, beberapa indikator yang sulit diperoleh sumber datanya, dan ada indikator yang di suatu wilayahmemiliki nilai strategis tetapi di wilayah lain menjadi tidak strategis; d. Perbedaan persepsi terhadap SPM dan indikator capaian oleh masingmasing pemangku kebijakan; Pendanaan - Pencapaian target SPM di daerah terkendala anggaran, karena pelaksanaan SPM di daerah berimplikasi pada pendanaan yang tidak murah dan sulit dipenuhi dengan kemampuan fiskal daerah saat ini, sehingga seharusnya penerapan SPM yang ditekankan oleh pemerintah diikuti dengan penganggarannya kepada daerah, dari penyusunan Rencana Aksi sampai tahap pelaksanaan SPM itu sendiri (semua SPM).
3.
Pencapaian Target - Pencapaian target SPM terkendala target SPM Nasional yang terlalu tinggi sehingga relatif sulit bagi daerah untuk mencapainya. (Bidang Kesehatan, Indikator Bidang Pemerintahan Dalam Negeri Pemadam Kebakaran, Satuan Polisi Pamong Praja dan Catatan Sipil – serta Bidang Pendidikan); - Rentang waktu batas pencapaian SPM sangat mepet,sebagian besarTahun 2014.Sementara SPM itu sendiri terbitnya juga mepet, padahal PP 65Tahun 2005 sudah lama terbit.
4.
Piranti Penyusunan Rencana Aksi - Penghitungan dan penentuan target capaian serta kebutuhan anggaran SPM terkendala program aplikasi,
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
beberapa Bidang SPM ternyata tidak dilengkapi program e-costing, sehingga dibutuhkan kiat-kiat untuk menghitung dan menentukan target capaian serta kebutuhan anggarannya. REKOMENDASI 1. Untuk menyusun Rencana Aksi Pelaksanaan SPM dibutuhkan prosesproses yang harus dilalui yaitu: a.
b.
c.
2.
Sosialisasi kepada seluruh Pimpinan SKPD, pejabat perencanaan SKPD serta instansi terkait yaitu Kepolisian Resort, Kejaksaan, Pengadilan, Kantor Kementerian Agama dan DPRD, agar diperoleh kesamaan persepsi tentang pelaksanaan SPM.Selanjutnya,dibutuhkan komitmen bersama untuk mewujudkan pelayanan dasar yang berkualitas berdasarkan SPM; Bimbingan penyusunan Rencana Aksi pelaksanaan SPM yang diikuti oleh pejabat perencana SKPD, penanggungjawab SPM maupun SKPD terkait, Bappeda dan DPPKAD; Dilanjutkan pendampingan penyusunan Rencana Aksi Pelaksanaan SPM dengan output Draft Racangan Peraturan Bupati tentang Pedoman SPM.
3.
4.
5.
6.
1)
2)
Perlu adanya peninjauan/pengkajian kembali indikator/ petunjuk teknis agar pelaksanaan di daerah mudah dilakukan disesuaikan dengan kearifan lokal. SPM seharusnya menjadi salah satu sumber grand design perencanaan daerah, yang wajib dilaksanakan oleh daerah (Selain IKU/Indikator Kinerja Utama). Kementerian/Lembaga Non Kementerian yang belum memiliki peraturan tentang Petunjuk teknis pembiayaan pelaksanaan SPM agar segera menerbitkan peraturan tentang petunjuk teknis pelaksanaannya. Komitmen pimpinan dari Tingkat Pusat sampai Daerah untuk konsisten melaksanakan SPM.
makalah disampaikan pada acara Diskusi Terbatas tentang Implementasi Kebijakan SPM : perkembangan, hambatan dan tantangan ke depan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, 16 Juli 2013 Sekretaris Daerah Kabupaten Kebumen
Perlu dukungan anggaran pusat untuk pelaksanaan SPM daerah dari proses awal penyusunan Rencana Aksi sampai pada tataran pelaksanaan pencapaian SPM daerah melalui DAK agar bisa dilaksanakan/ dipergunakan secara khusus sesuai bidang SPM.Artinya, pemerintah pusat harus membiayai setiap program kegiatan dalam rangka pencapaian SPM, karena keberhasilan pencapaian SPM banyak ditentukan oleh faktor anggaran.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
301
Perkembangan dan Tantangan Penerapan SPM Di Kabupaten Kebuman Adi Pandoyo
302
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL : Perkembangan, Hambatan dan Tantangan Ke Depan Oleh: Renny Savitri Peneliti Pertama Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 e-mail :
[email protected]
Abstrak : Untuk menjamin terpenuhinya hak setiap warga negara dalam mendapatkan pelayanan secara minimal maka pemerintah mengeluarkan kebijakan standar pelayanan minimal atau SPM. Kebijakan ini merupakan amanah dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dimana setiap pemerintah daerah diwajibkan untuk mencapai target SPM yang telah ditetapkan oleh setiap Kementerian/ Lembaga terkait. Sampai saat ini telah diterbitkan 15 kebijakan SPM dari kementerian/ lembaga teknis. Layaknya penerapan sebuah kebijakan, maka tidak akan lepas dari berbagai permasalahan. Beberapa kendala utama yang dihadapi dalam penerapan SPM adalah kurangnya sosialisasi, masih belum jelasnya konsep pelayanan dasar, penetapan target SPM yang terlalu tinggi, tidak adanya sistem insentif dan disinsentif, keterbatasan anggaran daerah dan minimnya kualitas SDM. Oleh sebab itu, demi perbaikan kinerja pencapaian SPM Kab/ Kota supaya menjadi lebih baik maka terdapat beberapa rekomendasi kebijakan ke depan diantaranya perlu dilakukan peningkatan sosialisasi, peninjauan kembali konsep layanan dasar, peninjauan target pencapaian SPM, pemberlakuan sistem Reward and Punishment, penambahan alokasi pembiayaan/penganggaran, serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM. Kata Kunci : implementasi kebijakan, standar pelayanan minimal, SPM, dinamika kebijakan
LATAR BELAKANG Dengan diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia maka pemerintah pusat melimpahkan sebagian wewenangnya ke pemerintah daerah. Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan lebih mendekatkan akses pelayanan kepada masyarakat di daerah. Dalam rangka menjamin hak setiap warga
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
negaranya dalam mendapatkan pelayanan secara minimal maka pemerintah menggulirkan kebijakan standar pelayanan minimal atau yang lebih dikenal dengan SPM. Kebijakan ini muncul sebagai amanat dari UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dimana setiap pemerintah daerah diwajibkan untuk mencapai target SPM yang
303
Imlementasi Kebijakan SPM : Perkembangan, Hambatan dan Tantangan Ke Depan Renny Savitri
telah ditetapkan oleh setiap Kementerian/ Lembaga terkait. Sampai saat ini telah diterbitkan 15 kebijakan SPM dari kementerian/ lembaga teknis dalam rangka menjamin jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan hak setiap warga secara minimal. Layaknya penerapan sebuah kebijakan yang tidak akan lepas dari berbagai permasalahan, kebijakan SPM ini juga menemui berbagai kendala dan masalah dalam penerapannya. Beberapa kendala utama yang dihadapi dalam penerapan SPM antara lain: a. Kurangnya sosialisasi di daerah, sehingga banyak daerah yang tidak paham dengan kebijakan SPM serta kegunaannya b. Masih belum jelasnya konsep pelayanan dasar sehingga indikator dalam SPM menjadi terlalu banyak dan terkadang banyak pihak yang merasa bahwa indikator tersebut tidak termasuk dalam pelayanan dasar c. Penetapan target capaian dan target waktu yang terlalu tinggi sehingga memberatkan banyak daerah d. Tidak adanya insentif dan disinsentif atau reward and punishment bagi daerah/pihak yang berhasil/gagal dalam melaksanakan kebijakan SPM e. Keterbatasan anggaran daerah untuk mendukung implementasi kebijakan SPM f. Minimnya kualitas SDM dalam rangka mencapai target SPM yang telah ditetapkan KONSEP DAN KEBIJAKAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL 1. Konsep Standar Pelayanan Minimal Dalam era desentralisasi, pemerintah pusat melimpahkan wewenangnya ke pemerintah daerah sehingga urusan pemerintahan pun dibagi menjadi urusan pusat dan urusan daerah. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004,
304
Pemerintah Pusat menyelenggarakan urusan pemerintahanan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sedangkan urusan lainnya menjadi urusan daerah. Pasal 11 Undang-Undang ini menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Selanjutnya urusan daerah dibagi lagi menjadi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib didefinisikan sebagai urusan daerah otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Sedangkan urusan yang bersifat pilihan adalah urusanurusan yang dapat dipilih untuk diselenggarakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi merupakan urusan dalam skala propinsi, sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun untuk pemerintahan kabupaten dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan amanat dari UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap. Hal yang dipertegas dengan Peraturan Pemerintah yaitu PP No. 65 tahun
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM yang menyebutkan bahwa SPM disusun sebagai alat pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. SPM juga diposisikan untuk menjawab isu-isu krusial dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, khususnya dalam penyediaan pelayanan dasar yang bermuara pada penciptaan kesejahteraan rakyat.
dasar untuk melakukan pengembangan kapasitas, Binwas, dan evaluasi kinerja pemerintah daerah. Jadi SPM merupakan suatu bentuk kontrak antara negara dengan warganya. Dan apabila kontrak ini berjalan secara optimal maka memberikan manfaat yang banyak sekali.
Menurut PP No. 65 tahun 2005 Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. , Selanjutnya menurut Dwiyanto standar pelayanan minimal adalah instrumen NKRI untuk menjamin kepastian pelayanan dan keadilan sosial kepada semua warga negara. Standar pelayanan minimal mewajibkan daerah untuk memenuhi kebutuhan dasar warga yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundangan lainnya, setidaktidaknya sesuai dengan standar minimal/ target pencapaian yang telah ditentukan dalam standar pelayanan minimal. Standar pelayanan minimal juga mewajibkan daerah memenuhi jenis dan mutu pelayanan kebutuhan dasar yang menjadi urusan wajib, berupa masukan, proses, dan output.
a.
Kemudian Dwiyanto menyampaikan pentingnya indikator pencapaian SPM bagi warga Negara adalah sebagai instrumen untuk mengontrol penyelenggaraan pemerintahan daerah. Jadi melalui indikatorindikator yang tercantum dalam SPM setiap warga bisa mengetahui apakah hak-hak mereka sudah terpenuhi atau belum. Selanjutnya bagi daerah SPM bisa dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggara pelayanan kebutuhan dasar sedangkan bagi pemerintah pusat SPM dijadikan sebagai
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
2.
Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Dalam penyelenggaraannya, SPM dibuat berdasarkan sejumlah peraturan perundang-undangan, yakni:
b.
c.
d.
e.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan PP No. 65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Standar pelayanan minimal adalah kebijakan yang diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap. SPM tersebut akan dijabarkan oleh masing-masing kementrian/lembaga terkait untuk menyusun SPM masing-masing. Dalam pelaksanaannya SPM menganut beberapa prinsip. Menurut PP No. 65 tahun
305
Imlementasi Kebijakan SPM : Perkembangan, Hambatan dan Tantangan Ke Depan Renny Savitri
2005 tentang pedoman penyusunan dan penerapan SPM, prinsip-prinsip SPM adalah : 1.
2.
3.
4.
5.
SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. SPM ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.
Penerapan sebagai berikut: a.
b.
c.
d.
306
SPM
memiliki
manfaat
Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat; SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik; SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lebih adil dan transparan (baik Dana Alokasi Umum/DAU maupun Dana Alokasi Khusus/DAK); SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan
e.
f.
g.
membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih berimbang; SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah; SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan pemerintah daerah; SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan masyarakat.
Disamping kebijakan secara nasional, telah terbit pula kebijakan turunan di lingkungan kementerian dalam negeri yakni Permendagri No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal dan Kepmendagri No. 100.05-76 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal. Selanjutnya sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) PP No. 65 Tahun 2005, penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan LPNK dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan tim konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, dengan melibatkan Menteri/Pimpinan LPND terkait, yang dibentuk dengan Kepmendagri. Hasil konsultasi tersebut dikeluarkan oleh masing-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
masing departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri yang bersangkutan. Hingga saat ini terdapat 15 (lima belas) kementerian terkait yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di Indonesia. Kelimabelas SPM dimaksud meliputi: a.
b.
c.
d.
e.
f.
Bidang Perumahan Rakyat berdasarkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 22 Tahun 2008 tentang SPM Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota; Bidang pemerintahan dalam negeri berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 2008 tentang SPM Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota; Bidang sosial berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 129 Tahun 2008 tentang SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota; Bidang Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008 tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota; Bidang perempuan dan anak berdasarkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 1 Tahun 2009 tentang SPM Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Penghapusan Ekploitasi Seksual pada Anak dan Remaja di Kabupaten/Kota, dan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan; Bidang Lingkungan Hidup berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2010 tentang SPM Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota;
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
g.
Bidang Keluarga Berencana berdasarkan Peraturan Kepala BKKBN Nomor 55/HK010/85 Tahun 2010 tentang SPM Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera di Kabupaten/Kota; h. Bidang Pendidikan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 tentang SPM Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota; i. Bidang Nakertrans berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per 15/MEN/X/2010 tentang SPM Bidang Ketenagakerjaan; j. Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 14lPRT/M12010 tentang SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; k. Bidang Pertanian berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.14011212010 tentang SPM Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/ Kota; l. Bidang Kesenian berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM. 106/HK. 501/MKP/2010 tentang SPM Bidang Kesenian; m. Bidang Kominfo berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika Nomor 22 Tahun 2010 tentang SPM Bidang Kominfo di Kabupaten/Kota (Surat Edaran Mendagri Nomor 100/676/SJ tertanggal 7 Maret 2011). n. Bidang Penanaman Modal berdasarkan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 14 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Penanaman Modal Provindi dan Kabupaten/ Kota. o. Bidang Perhubungan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 81 tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/ Kota.
307
Imlementasi Kebijakan SPM : Perkembangan, Hambatan dan Tantangan Ke Depan Renny Savitri
DINAMIKA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL Kebijakan SPM diimplementasikan supaya dapat menjamin hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik secara minimal. Selain itu kebijakan SPM ini diterapkan sebagai alat bagi masyarakat untuk menilai kinerja pemerintah daerah dalam memenuhi kewajibannya menyediakan pelayanan bagi masyarakat. Selanjutnya SPM juga bisa dijadikan landasan dalam menentukan alokasi anggaran terhadap suatu pelayanan public dan merangsang rasionalisasi kelembagaan dan personil dalam suatu pemerintahan daerah. Dalam perkembangannya sekarang, ternyata secara umum implementasi kebijakan SPM belum dilaksanakan secara optimal di daerah. Pemerintah daerah belum menjadikan SPM sebagai acuan dalam melaksanakan program/kegiatan di daerahnya. Begitu juga dengan Pemerintah pusat yang belum menjadikan SPM sebagai pedoman dalam melakukan binwas dan evaluasi kinerja pemerintah daerah. Buktinya sosialisasi kebijakan SPM belum dilakukan secara intensif dan belum ada sanksi bagi daerah yang tidak mencapai target yang telah ditetapkan dalam SPM. Selama ini yang terjadi adalah program/kegiatan tersebut sudah dilakukan tapi SKPD tidak menyadari bahwa itu merupakan indikator dalam SPM. Hal ini disebabkan karena perhatian daerah dan sosialisasi dari pemerintah pusat mengenai kebijakan SPM masing kurang. Namun ada juga beberapa pemerintah daerah yang sudah memiliki komitmen yang bagus untuk menerapkan kebijakan SPM ini. Semenjak munculnya kebijakan ini beberapa daerah sudah mencoba menindaklanjutinya dengan membentuk tim dan membuat peraturan bupati dalam rangka percepatan
308
pencapaian target SPM. Dari penjelasan beberapa narasumber dalam FGD di LAN, diketahui bahwa Kabupaten Kebumen memiliki komitmen yang lebih baik daripada Kabupaten Karawang dan Kabupaten Tangerang. Dari 15 bidang SPM, di Kabupaten Kebumen sudah dibuat peraturan bupati untuk 7 bidang SPM, di Kabupaten Karawang untuk 4 bidang SPM, sedangkan di Kabupaten Tangerang kebijakan ini belum ditindaklanjuti sama sekali. Dari fakta tersebut dapat kita simpulkan bahwa perhatian daerah terhadap kebijakan ini berbeda-beda. Ada daerah yang memprioritaskan pelaksanaan kebijakan ini, namun ada juga daerah yang terkesan masih mengabaikannya. Dinamika implementasi suatu kebijakan tidak akan lepas dari kendala dan permasalahan. Berdasarkan penjelasan dari Pandoyo , penerapan SPM di Kabupaten Kebumen menghadapi kendala baik kendala dari internal maupun eksternal. “ Kendala internal terdiri dari data yang belum terdokumentasi, tersebar dan masih mentah dan belum siap pakai. Kemudian dalam penentuan target SPM, kendalanya terkait dengan pihak-pihak di luar SKPD, gap antara SPM kab dengan nasional, lalu datanya tidak akurat. Lalu dalam penentuan anggaran, kendalanya ketidaktersediaan piranti pendukung karena tidak semua SPM Kementerian tersedia e-costing. Selanjutnya untuk Pembiayaan APBD untuk SPM kendalanya adalah Pembiayaan SPM Kabupaten Kebumen masih relatif kecil sekitar 254 juta. Lalu kendala selanjutnya adalah Jumlah SDM sesuai kualifikasi terbatas. Sedangkan kendala eksternalnya adalah tidak adanya sanksi, masih tumpang tindih, indicator yang terlalu banyak/tinggi/ beda nilai strategisnya dan beda persepsi. Dari segi pendanaan, pencapaian target sulit dipenuhi karena kemampuan fiskal daerah terbatas.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
Walaupun otonomi daerah kami sangat tergantung pada DAU dan DAK. Kemampuan PAD kebumen baru hanya 10 M, padahal anggaran total 1,7 T. lalu dari segi target, target nasional yang terlalu tinggi dan batas waktunya terlalu mepet. Kemudian pirantinya Penghitungan dan penentuan target capaian serta kebutuhan anggaran SPM terkendala program aplikasi”. Selanjutnya Aziz juga menjelaskan kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam penerapan kebijakan SPM di Kabupaten Karawang yaitu : “• Pemahaman substansi SPM yang masih kurang terutama pada aspek penganggaran oleh SKPD Teknis; • Kesulitan dalam mengkonversi SPM ke dalam Dokumen Perencanaan, hal ini lebih disebabkan karena belum sinkronnya baik antara dokumen perencanaan tingkat Kabupaten Karawang (RPJMD) dengan indikator-indikator SPM, maupun dengan dokumen perencanaan SKPD (Rentra); • Adanya asumsi dari SKPD teknis yang beranggapan bahwa dengan keharusan pencapaian indikatorindikator SPM tersebut berdampak terhadap harus ditambahnya program maupun kegiatan di SKPD teknis yang berujung pada penambahan anggaran, sementara disisi lain, kemampuan keuangan daerah masih terbatas. • Kemampuan keuangan/ anggaran daerah yang terbatas; • Kompetensi SDM yang masih kurang, hal ini berkaitan erat dengan pemahaman substansi SPM khususnya berkenaan dengan teknis penyediaan dan pengolahan data sesuai juknis dari
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
•
•
kementerian/lembaga yang untuk beberapa bidang dirasakan sulit; Target nasional pencapaian SPM yang bila dirata-ratakan harus dicapai pada tahun 2014 dirasakan sangat memberatkan daerah. Belum adanya Pedoman tingkat daerah tentang rencana capaian SPM di kabupaten Karawang. Kami sedang menyusun, kalau Kebumen sudah 7, Kami baru 4 bidang”.
Terakhir Adiyat dari Kabupaten Tangerang juga mengungkapkan hambatan yang ditemui dalam penerapan kebijakan SPM di daerahnya : “Kemudian hal-hal yang menjadi hambatan dalam penerapan pencapaian SPM adalah : • Belum terisinya beberapa indikator pada SPM bidang tertentu seperti bidang pemerintahan dalam negeri, SPM bidang perumahan, SPM bidang sosial, SPM bidang Pekerjaan Umum, SPM bidang Pertanian dan SPM Cipta Karya, dan SPM Bina Marga, Dinas Pemuda , Olah raga dan Pariwisata • Tidak terisinya indikator-indikator SPM ini disebabkan oleh beberapa sebab yaitu: a. Data yang dimaksud belum pernah ada dan belum dikerjakan dalam bentuk program-kegiatan di SKPD. b. Ketersediaan sumber daya yang ada di SKPD khususnya sumber daya manusia yang relatif terbatas di SKPD seperti yang terjadi pada SPM bidang pertanian yang memerlukan dilakukannya survey terkait dengan indikator dalam SPM bidang ketahanan pangan.
309
Imlementasi Kebijakan SPM : Perkembangan, Hambatan dan Tantangan Ke Depan Renny Savitri
c.
d.
e.
Indikator SPM yang dimaksud bukan hanya tanggung jawab satu SKPD akan tetapi diperlukan dukungan lintas sektor. Kondisi ini yang terjadi pada SPM bidang pemerdayaan perempuan dan anak. Dikarenakan ketiadaan PLKB (petugas penyuluh lapangan keluarga berencana) capaian indikator menjadi tidak tercapai seperti yang terjadi pada SPM bidang Keluarga Berencana SKPD pengampu baru melakukan program-kegiatan terbatas pada satu atau dua indikator saja dikarenakan keterbatasan dana”.
Selain pemerintah daerah, masingmasing kementerian/lembaga teknis yang menerbitkan peraturan SPM juga selalu mengevaluasi perkembangan penerapan masing-masing SPM nya. Untuk SPM Bidang Pekerjaan Umum, Herwanti mengungkapkan : “ Beberapa kendala yang dihadapi dalam penerapan SPM Bidang PU yaitu: Ruang lingkup hanya berlaku untuk Pemerintah Daerah (Pemerintah Kabupaten/Kota). Jenis pelayanan dasar hanya dilakukan untuk 8 jenis pelayanan (SDA/air baku, jalan, air minum, pengembangan penyehatan lingkungan permukiman, bangkim /kumuh, penataan bangunan, jakon, penataan ruang). Belum ada perencanaan pembiayaan pada masing-masing jenis pelayanan dasar bidang PU dan PR.
310
Belum dilakukan sosialisasi Permen PU Nomor 14/PRT/M/2010 secara menyeluruh Belum adanya training of trainers untuk pemenuhan SPM bidang PU dan PR. Target sasaran indikator dianggap terlalu tinggi pencapaiannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Belum optimalnya penerapan SPM Bidang PU dan PR karena sasaran dan indikator yang ditetapkan belum jelas pembagian kewenangannya sehingga sulit diimplementasikan dan diukur”.
Kementerian kesehatan sekarang juga sedang melakukan revisi terhadap peraturan SPM nya. Revisi ini dilakukan karena memang banyak permasalahan yang muncul dalam penerapan SPM yang sekarang. Sardjono menjelaskan : “ Beberapa urgensi revisi SPM Bidang Kesehatan : 1. Sebanyak 13 (tiga belas) indikator perlu ditentukan kembali tahun sasarannya karena sudah tidak sesuai dengan target waktu pencapaian. Misalnya di jogja tahun 2010 itu sudah tercapai sedangkan di daerah lain untuk mencapai 50% saja susah sekali. 2. Kurang konsistennya antara pengertian, Definisi Operasional dan rumus perhitungan. 3. Target pencapaian yang terlalu tinggi dan tidak memungkinkan untuk dicapai oleh beberapa daerah tertentu. 4. Terdapat 6 (enam) indikator SPM yang menggunakan CBR (Crude Birth rate) sebagai dasar penghitungan yaitu a) sasaran kunjungan ibu hamil K4; b) sasaran ibu hamil pada komplikasi kebidanan yang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
ditangani; c) pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan; d) cakupan pelayanan nifas; e) cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani; serta f) cakupan kunjungan bayi, padahal tidak semua kabupaten/kota mengetahui angka CBR masing-masing”. Selanjutnya Pramusinto dari MAPUniversitas Gadjah Mada Yogyakarta juga telah melakukan penelitian bekerjasama dengan BPP Kemendagri tentang penerapan SPM di beberapa daerah di Indonesia. Berikut beberapa temuan dari penelitian yang beliau ungkapkan : “ Banyak temuan yang nantinya akan kita bagi ke dalam 2 isu besar yaitu isu kebijakan dan isu implementasi. Temuan terkait isu kebijakan adalah : 1.
2.
3.
Ketidakjelasan Konsep Pelayanan Dasar dan Implikasinya terhadap Besaran Cakupan Pelayanan. Kerancuan Konsep SPM: Standar Pelayanan atau Target Pencapaian Kinerja Daerah? Apa yang Seharusnya Diatur dalam SPM: Input, Proses, atau Output?
Sedangkan temuan implementasi yaitu : 1. 2.
3. 4.
terkait
isu
Peran Kemendagri dalam Pelaksanaan SPM Rendahnya Upaya Sosialisasi dan Social Marketing SPM kepada Para Pemangku Kepentingan di Daerah Costing dan Instrumen Penganggaran: kesulitan Lemahnya Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah”
Dari keterangan para narasumber tersebut dapat kita simpulkan bahwa ada beberapa permasalahan utama dalam
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
penerapan kebijakan SPM. Permasalahan pertama berkaitan dengan kurangnya sosialisasi dari pemerintah pusat dalam hal ini yaitu kementerian/lembaga kepada pemerintah daerah terkait dengan kebijakan SPM masing-masing bidang. Selama ini sosialisasi yang dilakukan belum menyeluruh, sehingga pemahaman pemerintah daerah akan pentingnya kebijakan SPM jadi tidak merata dan menimbulkan kebingungan di pemerintah daerah untuk melaksanakan kebijakan SPM ini. Permasalahan kedua yaitu masih belum jelasnya konsep pelayanan dasar sehingga menimbulkan kerancuan ketika Kementerian/ Lembaga menentukan jenis layanan dasar dalam aturan SPM nya. Ada beberapa jenis layanan dasar dalam SPM yang menurut banyak pihak bukan termasuk jenis layanan dasar. Terkait dengan indikator dalam SPM, beberapa daerah juga mengeluhkan mengenai data yang dibutuhkan untuk menghitung capaian indikator SPM. Kebanyakan data yang dibutuhkan untuk menghitung indikator SPM itu belum tersedia di SKPD, data yang tersedia masih data mentah jadi perlu diolah terlebih dahulu. Permasalahan ketiga terkait dengan target capaian dan target yang waktu yang dianggap terlalu tinggi sehingga memberatkan banyak daerah. Penentuan target capaian SPM tidak memperhatikan perbedaan kondisi masing-masing daerah di Indonesia. Mungkin ada beberapa daerah yang dengan mudah bisa mencapai target itu, tapi beberapa daerah tertentu kondisinya masih sangat jauh dari target yang telah ditentukan. Permasalahan keempat adalah tidak adanya sistem insentif dan disinsentif atau reward and punishment yang jelas bagi daerah/pihak yang berhasil/gagal dalam melaksanakan kebijakan SPM. Oleh sebab itu maka banyak daerah yang terkesan
311
Imlementasi Kebijakan SPM : Perkembangan, Hambatan dan Tantangan Ke Depan Renny Savitri
mengabaikan dan belum memperioritaskan penerapan kebijakan ini. Selanjutnya permasalahan kelima yang dihadapi daerah adalah masalah klasik yaitu keterbatasan anggaran untuk mendukung penerapan kebijakan SPM. Anggaran memang memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan suatu program. Sebagian besar kebijakan SPM yang dikeluarkan kementerian/ lembaga teknis belum dilengkapi dengan petunjuk teknis pembiayaan, sehingga pemerintah daerah bingung untuk melakukan pembiayaan terhadap penerapakan kebijakan SPM dalam keadaan anggaran daerah yang sangat terbatas.
2.
3.
Terakhir permasalah keenam terkait dengan minimnya kualitas SDM dalam rangka mencapai target SPM yang telah ditetapkan. Banyak daerah yang mengeluhkan jumlah SDM yang sesuai kualifikasi itu sangat terbatas sehingga menghambat implementasi kebijakan SPM di daerahnya. REKOMENDASI KEBIJAKAN Demi perbaikan ke depan supaya kinerja pencapaian SPM di Kab/ Kota menjadi lebih baik maka disini terdapat beberapa rekomendasi/saran kebijakan yaitu : 1.
312
Peningkatan Sosialisasi. Selama ini, sosialisasi terkait kebijakan SPM memang sudah dilakukan namun belum menyeluruh dan masih belum memberikan dampak pemahaman yang cukup memadai di level pemerintah daerah. Ke depan sebaiknya perlu dilakukan sosialisasi yang lebih intensif dan menyeluruh kepada pemerintah daerah dengan tujuan untuk mempermudah para pemangku kepentingan dalam melaksanakan percepatan pencapaian SPM di daerah.
4.
Peninjauan kembali konsep layanan dasar. Ketidakjelasan konsep pelayanan dasar ini berimpilikasi kepada besaran cakupan pelayanan. Selama ini masingmasing K/L memiliki konsep layanan dasar yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan strategis masing-masing. Oleh karenanya beberapa layanan dasar dalam beberapa SPM dirasa kurang pas oleh banyak pihak. Sebaiknya ke depan pemerintah perlu memperjelas konsep layanan dasar ini sehingga setiap K/L memiliki konsep yang sama dalam merumuskan jenis layanan dasar dan indikator SPM nya. Peninjauan target pencapaian SPM. Target dalam SPM terdiri dari target capaian dan target waktu. Selama ini target yang ditetapkan oleh K/L dianggap terlalu tinggi oleh beberapa daerah. Mungkin ada sebagian daerah yang telah mencapai target tersbut bahkan melampauinya. Namun ada juga beberapa daerah tertentu yang merasa sangat sulit untuk mencapainya. Jadi selama ini K/L teknis menetapkan target SPM tanpa memperhatikan perbedaan kondisi masing-masing daerah di Indonesia. Sebaiknya ke depan dalam menentukan target SPM, K/L lebih memperhatikan perbedaan kondisi daerah di Indonesia, sehingga target setiap daerah tidak disamaratakan. Pemberlakuan Reward and Punishment. Selama ini belum ada sistem insentif dan disinsentif atau reward and punishment dalam penerapan kebijakan SPM. Sehingga banyak daerah yang mengabaikan kebijakan ini. Oleh karena itu ke depan pemerintah perlu memberikan reward/insentif bagi daerah yang telah mencapai target-target SPM dengan baik dan berupaya untuk mewujudkannya semaksimal mungkin secara serius, dan punishment/disinsentif bagi daerah yang tidak mampu mencapai
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
5.
6.
target atau pun daerah yang mengabaikan pencapaian SPM tersebut. Dengan begitu diharapkan bisa mendorong pemerintah daerah untuk lebih memprioritaskan kebijakan SPM ini. Alokasi pembiayaan/penganggaran. Alokasi pembiayaan adalah salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu kebijakan. Begitu juga dengan kebijakan SPM. Selama ini sebagian besar peraturan SPM yang diatur oleh K/L belum disertai dengan pembiayaannya. Banyak daerah yang mengeluhkan hal ini, karena pemerintah daerah kebingungan mencari sumber pembiayaan untuk melaksanakan kebijakan SPM ini. Sebaiknya setiap K/L yang membuat peraturan SPM juga menyertakan petunjuk teknis yang mengatur tentang pembiayaan dan sumber pembiayaan SPMnya. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas SDM. Selama ini penerapan SPM di daerah masih terkendala masih terbatasnya jumlah SDM yang memenuhi kualifikasi. Untuk itu ke depan perlu dilakukan peningkatan SDM baik dari segi jumlah maupun kualitasnya sehingga bisa mendukung percepatan pencapaian target SPM di daerahnya.
DAFTAR PUSTAKA Adiyat. Perkembangan dan Tantangan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Kabupaten Tangerang. Jakarta. 2013
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Aziz, Abdul. Perkembangan dan Tantangan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Kabupaten Karawang. Jakarta. 2013 Dwiyanto, Agus. SPM : Kerancuan Konsep dan Kesulitan Implementasi. Jakarta. 2013 Hawignyo. Implementasi Kebijakan SPM, Perkembangan, Hambatan dan Tantangan ke Depan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 2013 Herwanti, E.E. Fitri. Perkembangan Hasil Penerapan Kebijakan SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Jakarta. 2013 Kementrian Dalam Negeri, 2011, Himpunan Produk Hukum SPM Pandoyo, Adi. Perkembangan dan Tantangan Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Kabupaten Kebumen. Jakarta. 2013 Pramusinto, Agus. Penerapan Standar Pelayanan Minimum (SPM): Kerancuan Konsep dan kendala implementasinya? Jakarta. 2013 Sardjono, Bambang. SPM Bidang Kesehatan di Kab/ Kota. Jakarta. 2013 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standard Pelayanan Minimal
313
Imlementasi Kebijakan SPM : Perkembangan, Hambatan dan Tantangan Ke Depan Renny Savitri
314
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
KONSEP PENINGKATAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BEBAS KKN DAN INDIKATOR HASIL-HASILNYA SERTA MODEL PENGUKURANNYA Oleh: Slamet Rosyadi Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto
Abstrak: Berbagai upaya baik secara yuridis-normatif maupun administratif telah dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan pemberantasan KKN. Hasil-hasil positif telah memenuhi sebagian ekspektasi pemerintah maupun masyarakat yang mendambakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Namun demikian, capaian kinerja pemberantasan KKN ternyata belum optimal. Keyword: KKN, Pemerintahan yang bersih
LATAR BELAKANG Pemerintahan bersih adalah pemerintahan yang penyelenggaraannya terbebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) (Arifin, 2004) . Indonesia hingga berakhirnya rejim Soeharto memiliki reputasi yang buruk dalam penyelenggaraan pemerintahan karena praktek KKN yang sangat kental. Penyalahgunaan jabatan publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi sehingga melanggar aturan yang berlaku atau perilaku korupsi (Manion, 2004) bisa dikatakan fenomenal didalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Bentuk-bentuk korupsi yang banyak ditemukan adalah suap, pemerasan, pemberian katabelece, kolusi, nepotisme dan uang panas. Maraknya praktek korupsi pada masa orde baru tidak lepas dari minimnya piranti untuk mengendalikan perilaku pejabat
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
pemerintahan. Apalagi kekuasaan eksekutif saat itu hampir steril dari control social atau publik baik didalam maupun di luar system politik formal. Kalaupun ada evaluasi terhadap kinerja pemerintah, hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah. Akibatnya, proses dan praktek penyelenggaraan pemerintah sarat dengan berbagai praktek manipulasi dan korupsi. Peralihan rejim orde baru ke rejim demokratis di era 1998 membawa harapan publik yang besar untuk perubahan yang lebih baik khususnya dalam pemberantasan praktek korupsi. Namun demikian kasus-kasus dan praktek korupsi di Indonesia dari hari ke hari bukannya menunjukkan penurunan tetapi justru menjadi semakin kronis. Meskipun upaya-upaya pemberantasan sudah dilakukan baik melalui instrument Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau berbagai regulasi dan perundang-undangan untuk
315
Konsep Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Bersih dan Bebas KKN : Indikator Hasil dan Model Pengukurannya Slamet Rosyadi
mencegah praktek korupsi, namun teknokrat maupun politisi tidak menunjukkan kejeraan. Bahkan pelaku-pelaku baru bermunculan yang melibatkan staf dan sanak keluarga yang membentuk jejaring korupsi yang semakin rumit. Data yang dirilis KPK pada tahun 2009 memberikan gambaran bahwa modus kasus korupsi semakin bervariasi. Pemerasan adalah modus yang paling sedikit dilakukan.
Barangkali, cara-cara pemerasan lebih kasat mata sehingga jejak-jejak yang ditinggalkan koruptor lebih mudah dideteksi. Sehingga cara ini kemudian tidak banyak dilakukan. Demikian pula modus penunjukkan langsung. Praktek tersebut sudah tidak popular dikalangan koruptor. Ketatnya aturan lelang terbuka dan pengawasan dari media maupun lembaga swadaya masyarakat terhadap pengadaan barang dan jasa publik telah mempersempit sepak terjang koruptor.
Table. 1 Modus Kasus Korupsi yang Ditangani KPK Januari 2008 – Agustus 2009 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Modus Penyalahgunaan Anggaran Suap Penunjukkan Langsung Mark Up Pemerasan Penggelapan/Pungutan Jumlah Sumber : Dokumen ICW, 2009 Yang menarik, kasus suap menjadi modus popular dikalangan koruptor. Berbagai kasus koruptor dengan cara suap dapat ditemukan dalam kasus Gayus Tambunan yang melibatkan birokrasi eksekutif dan yudikatif serta kepolisian dan kasus M. Nazaruddin, politisi Partai Demokrat yang menyeret politisi, birokrasi bahkan pejabat KPK sendiri.
Jumlah 15 34 8 19 1 18 95
% 15,79% 35,79% 8,42% 20,00% 1,05% 18,95% 100%
Maraknya kasus suap menunjukkan bahwa deteksi terhadap modus ini sangat lemah. Praktek suap digunakan karena semua pihak di untungkan dan diyakini dapat “menutup mulut” pihak-pihak yang terlibat korupsi. Ini berarti pula bahwa berbagai perangkat yuridis normative tidak efektif untuk mencegah terjadinya penyimpangan perilaku.
Table. 2 Jabatan Aktor Kasus Korupsi di KPK Januari 2008 – Agustus 2009 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
316
Modus Anggota DPR/DPRD Komisi Negara Dewan Gubernur/Pejabat BI Kepala Daerah (Gub, Bupati, Walikota) Dutas Besar, Pejabat Konsulat, Imigrasi Pejabat Eselon, Pimpro Pejabat BUMN
Jumlah 18 2 7 12 13 17 5
% 18,95% 2,11% 7,37% 12,63% 13,68% 17,89% 5,26%
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
No. 8. 9. 10.
Modus Aparat Hukum Swasta BPK Jumlah Sumber : Dokumen ICW, 2009 Maraknya kasus suap menguak adanya kongkalikong antara swasta, anggota DPR/DPRD, dan pejabat birokrasi. Data ICW menguatkan temuan tersebut. Table 2 menampilkan para actor korupsi yang didominasi oleh swasta (20%), anggota DPR/DPRD (18,95%) dan birokrasi (17,89%). Ketiga actor bersimbiosis dengan peran strategis yang mereka mainkan. Oknum DPR/DPRD berperan sebagai legimator anggaran publik. Birokrasi bertindak sebagai implementator anggaran, sedangkan swasta sebagai pelaksana teknis kegiatan yang membutuhkan anggaran untuk kelangsungan hidupnya. Tanpa jaminan kegiatan swasta akan lumpuh. Ini juga menunjukkan bahwa keberadaan swasta di Indonesia tidak memiliki posisi tawar yang kuat sehingga mudah didekte oleh politisi maupun birokrat dengan modus praktek suap. Seandainya actor bisnis dan swasta tidak mudah disuap atau berani “say no to bribery”, maka politisi dan birokrat paling tidak akan memaksakan untuk mendapatkan “fee” atau suap. Menurut dokumen Bappenas, upayaupaya pencegahan terhadap berkembangnya praktek KKN sampai saat ini belum berjalan dengan optimal yang disebabkan oleh antara lain : 1.
Belum tersedianya landasan peraturan perundang-undangan yang mengatur system pengawasan nasional secara terpadu, termasuk di dalamnya pengawasan yang melibatkan peran masyarakat secara luas, dan penerapan system pengendalian intern pada instansi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Jumlah 1 19 1 95
2.
3.
% 1,05% 20,00% 1,05% 100%
pemerintah (SPIP) juga masih perlu terus ditingkatkan. Dari sisi SDM aparatur, masih terdapat permasalahan pada kapasitas aparat pengawasan dan kapasitas para pengelola keuangan Negara, integritas SDM aparatur, budaya kerja yang belum mencerminkan profesionalisme yang tinggi, serta Praktek pengadaan barang dan jasa yang masih dibayangi praktek KKN serta kompetisi yang tidak sehat (sumber : www.bappenas.go.id)
INDIKATOR HASIL-HASIL PENGUKURAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH DARI KKN Untuk menekan praktek korupsi, pemerintah telah menerapkan berbagai piranti yang mencakup : rencana aksi daerah pemberantasan korupsi di level provinsi dan kabupaten/kota, pelembagaan kesepakatan pakta integritas pejabat pemerintahan daerah, hingga pengawasan akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan di semua level pemerintahan. Diluar system formal, pengawasan eksternal seperti publikasi indeks persepsi korupsi, indeks good governance hingga indeks integritas dilakukan oleh lembaga-lembaga independen untuk member masukan kepada pemerintah dalam melakukan reformasi tata pemerintahan (governance reform). Berbagai upaya pemerintah untuk menekan praktek korupsi memiliki sejumlah kelemahan:
317
Konsep Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Bersih dan Bebas KKN : Indikator Hasil dan Model Pengukurannya Slamet Rosyadi
1.
2.
3.
318
Political Will pemerintah untuk memberantas korupsi belum menunjukkan upaya yang sungguhsungguh. Meskipun secara normatif, pemerintah telah menerbitkan Inpres No. 5 Tarhun 2004 tentang percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun kesan “formalitas” lebih Nampak daripada tindakan yang tegas terhadap praktek-praktek korupsi. Hal ini dapat dilihat dari masih maraknya praktek pungli, suap maupun penyelewenangan asset publik baik di level pusat maupun daerah; Di level daerah, tidak sedikit pemerintah daerah yang mengalami kesulitan untuk menterjemahkan rencana aksi daerah dalam pemberantasan korupsi. Hal ini menandakan belum efektifnya sosialisasi atas pemahaman mengenai rencana aksi pemberantasan korupsi. Daerah juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan model terbaik (role model) yang dijadikan referensi dalam upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi. Strategi pemberantasan korupsi cenderung bersifat kuratif daripada preventif. Aparat penegak hukum baru bisa bekerja jika diperoleh bukti-bukti korupsi yang cukup kuat. Padahal upaya pencegahan korupsi juga sebenarnya telah diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terjadi diantaranya dikarenakan tidak optimalnya pemanfaatan partisipasi publik dalam upaya pemberantasan korupsi. Publik hanya berperan sebagai penonton terhadap upaya pemberantasan korupsi. Padahal apabila publik mendapatkan edukasi yang tepat mengenai ciri-ciri korupsi dan diberikan akses yang aman
untuk melaporkan secara dini, hal ini akan menjadi strategi yang efektif untuk alat control social. Dengan adanya sejumlah kendala tersbeut, kinerja pemberantasan korupsi yang diukut dengan beberapa indikator menunjukkan hasil yang belum optimal. Berikut hasil-hasil pengukuran kinerja yang terkait dengan upaya membangun pemerintahan yang bersih: 1.
2.
3.
Indikator laporan keuangan instansi pemerintah sebagai bentuk akuntabilitas keuangan Negara, meskipun semakin menunjukkan adanya kemajuan disetiap tahun, tetapi kualiats penyajian laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah (SAP) masih harus terus diperbaiki; Status audit laporan keuangan pemerintah pusat hingga daerah saat ini masih banyak yang mendapatkan status disclaimer. Ini berarti pengelolaan keuangan oleh instansi pemerintah tidak dapat dibuktikan pertanggunjawabannya; Indeks persepsi kosupsi (IPK) meski meningkatkan tetapi peningkatannya tidak signifikan atau masih rendah. Pada 2010 IPK Indonesia sebesar 2,8 kemudian menjadi 3,0 pada 2011. Skor IPK tersebut tertinggal jauh dari Singapura (9,2), Brunei Darussalam (5,2), Malaysia (4,3) dan Thailand (3,4).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
Table. 3 Skor IPK Negara-Negara ASEAN (2004-2011) No.
Negara
1. Singapura 2. Brunei Darusallam 3. Malaysia 4. Thailand 5. Indonesia 6. Vietnam 7. Filipina 8. Kamboja 9. Laos 10. Myanmar Sumber : www.ti.or.id
2004 9,3 5,0 3,6 2,0 2,6 2,6 1,7
Survey indeks persepsi korupsi dilakukan dengan tujuan untuk mengukur tingkat korupsi pemerintah daerah berdasarkan persepsi pelaku bisnis setempat. Survey ini juga mengukur tingkat kecenderungan terjadinya suap di 15 insitusi publik di Indonesia, yang ditampilkan dalam indeks suap. Sampel dari survey ini berasal dari pelaku bisnis, tokoh masyarakat dan pejabat publik. (lihat : www.ti.or.id). Indeks persepsi korupsi Indonesia, merupakan hasil analisa data dari responden pelaku bisnis, mengenai persepsi mereka tentang lazim atau tidak lazimnya pejabat pemerintah daerahnya melakukan tindakan korupsi dan bagaimana usaha pemda dalam memberantas korupsi. Sementara itu, indeks suap menggambarkan tingkat kecenderungan terjadinya suap di 15 institusi publik di Indonesia, berdasarlam pengalaman kontak antara pelaku bisnis dengan institusi terkait. Indeks suap juga memberikan rata-rata jumlah uang yang dipakai dalam setiap transaksi. (lihat : www.ti.or.id) Namun demikian, survey IPK ini memiliki sejumlah keterbatasan, yaitu : 1. Hanya menilai persepsi korupsi “Negara penerima” menurut persepsi kelompok
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
2005 9,4 5,1 3,8 2,2 2,6 2,5 2,3 3,3 1,8
Nilai Negara-Negara ASEAN 2006 2007 2008 2009 9,4 9,3 9,2 9,2 5,5 5,0 5,1 5,1 4,5 3,6 3,3 3,5 3,4 2,4 2,3 2,6 2,8 2,6 2,6 2,7 2,7 2,5 2,5 2,3 2,4 2,1 2,0 1,8 2,0 2,6 1,9 2,0 2,0 1,9 1,4 1,3 1,4
2.
3.
4.
2011 9,2 5,2 4,3 3,4 3,0 2,9 2,6 2,1 2,2 1,5
bisnis karena dianggap banyak pengalaman berhadapan dengan situasi korupsi; Negara yang diukur jumlahnya tidak tetap, setiap tahun bisa berubah-ubah (khususnya untuk corruption perception index). Definisi korupsi yang digunakan sempit, yaitu penyalahgunaan wewenang publik untuk kepentingan pribadi, yang dikelompokkan menjadi 7 kategori : kerugian Negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi; Tidak dapat mengukur trend, sehingga tidak dapat memberikan reward kepada Negara reformis.
INDEKS TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) Peralihan paradigm dari government ke governance telah mendorong dikembangkannya indeks tata pemerintahan yang baik atau good governance index (GGI). Nilai indeks digunakan untuk meningkatkan tingkat penerapan prinsip-prinsip good governance yang terpenting seperti transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan supremasi hukum. Nilai indeks diukur dengan
319
Konsep Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Bersih dan Bebas KKN : Indikator Hasil dan Model Pengukurannya Slamet Rosyadi
skala 1-10. Namun demikian, hasil pengukuran tidak dimaksudkan untuk membuat kategori tertentu. Survey penerapan prinsip GG ini dilakukan dengan menggunakan metode selfassessment yang berarti bahwa responden dalam hal ini pemerintah daerah yang
memberikan jawaban-jawaban atas sejumlah pertanyaan GG disertai dengan alas an dan bukti-bukti dokumen. Namun demikian, cara semacam ini mengandung bias jawaban pertanyaan dan memakan waktu yang cukup banyak karena harus melakukan cross-check dengan bukti dokumen.
Table. 4 Model Pengukuran Indeks Good Governance Prinsip GG
Definisi Operasional
Indikator
Transparansi
Keterbukaan dalam proses kebijakan 1. Tersedianya informasi publik publik dengan cara penyediaan yang akurat informasi publik yang dilengkapi sarana 2. Tersedianya sarana dan dan prasarana bagi publik untuk prasarana (fisik dan non fisik) mengakses informasi tersebut dengan 3. Tersedianya aturan/mekanisme mudah, cepat dan murah. yang menjamin akses terhadap informasi dengan cepat, mudah dan murah
Partisipasi
Keterlibatan publik dalam proses 1. Keterlibatan publik baik kebijakan publik baik secara langsung langsung maupun tidak maupun melalui institusi yang mewakili langsung kepentingan publik, dengan cara 2. Tersedianya aturan hukum penyediaan aturan hukum yang yang menjamin keterlibatan menjamin keterlibatan publik, publik penyediaan wadah dan prosedur 3. Tersedianya wadah, prosedur mekanisme perencanaan, pelaksanaan, atau forum sejenis yang meng pengawasan dan evaluasi informasikan rencana, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kegiatan.
Akuntabilitas
Kemampuan menjawab dan menerima konsekuensi atas kinerja seluruh proses kebijakan publik. Kemampuan men jawab berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab dan menerangkan secara periodic setiap pertanyaan-pertanyaan dan complain yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah digunakan dan apa yang telah dicapai
320
1. Adanya mekanisme complain dan respon 2. Adanya mekanisme pertanggungjawaban kegiatan 3. Adanya indikator kinerja
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
Prinsip GG
Definisi Operasional
Indikator
dengan menggunakan sumber daya tersebut. Konsekuensi adalah adanya mekanisme pertanggungjawaban jika indikator dan target kinerja telah terpenuhi Supremasi Hukum
Pengadaan aturan hukum sebagai 1. Ada tidaknya landasan hukum landasan dalam proses kebijakan publik kebijakan operasional secara dan adanya jaminan penegakan hukum lengkap yang mengatur proses tersebut melalui perumusan aturan perencanaan kebijakan publik, yang jelas mengenai hak, kewajiban, pelaksanaan, pengawasan dan kewenangan para stakeholder serta evaluasi saksi dan proses penindakannya 2. Ada tidaknya aturan sanksi terhadap pelanggaran aturan hukum 3. Penerapan sanksi tersebut.
Sumber : Solihin, 2007 INDEKS INTEGRITAS Menurut Boog Siong Neo dan Geraldine Chen (2007), tata pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya mengandalkan birokrasi yang kompeten, tetapi juga harus didukung dengan pegawai yang memiliki integritas. Belajar dari Singapura, pemerintah lebih percaya menempatkan pegawai yang berkarakter baik daripada sekedar kompeten. Asumsinya, pemerintahan yang baik dapat terwujud jika didukung para pegawai yang baik (good officer). Dalam lingkungan yang korup sekalipun, pegawai yang berintegritas baik dapat membuat perubahan daripada hanya bermodalkan kompetensi.
Paralel dengan upaya membangun integritas birokrat, Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2007 telah melakukan survey integritas sector publik (ISP). Tujuan penting dari survey ini tidak sekedar memetakan nilai integritas di lembaga publik tetapi juga sebagai dasar untuk merancang strategi pencegahan korupsi yang efektif pada wilayah/layanan yang rentan bagi terjadinya praktek korupsi. (Muhardiansyah, 2011). Survey ISP ini melibatkan narasumber yang berasal dari lembaga pusat/ vertical/daerah dan sejumlah unit layanan serta individu pegawai. Dengan adanya survey diharapkan akan melengkapi hasil-hasil survey indeks persepsi korupsi.
Table. 5 Model Pengukuran Indeks Integritas Integritas
Variable
Indikator
Pengalaman Korupsi (0,250) pengalaman
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Sub Indikator
6,58
Jumlah/besaran gratifikasi (0,210 Frekuensi pemberian gratifikasi (0,550) Waktu pemberian gratifikasi
5,87 6,92 7,01
321
Konsep Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Bersih dan Bebas KKN : Indikator Hasil dan Model Pengukurannya Slamet Rosyadi Integritas
Variable Integritas (0,667)
Indikator
Sub Indikator
6,48 Cara pandang terhadap korupsi (0,750)
Integritas Total
6,31
6,45
Lingkungan Kerja (0,327)
Potensi Integritas (0,333)
5,97
7,04
System Administratif (0,280)
6,25
Perilaku Individu (0,280)
6,57
Pencegahan Korupsi (0,313)
4,75
(0,250) Arti pemberian gratifikasi (0,392) Tujuan pemberian gratifikasi (0,750) Kebiasaan pemberian gratifikasi (0,392) Kebutuhan pertemuan di luar prosedur (0,164) Keterlibatan calo (0,221) Fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan (0,100) Sarana/kondisi di sekitar pelayanan (0,123) Kepraktisan SOP (0,281) Keterbukaan informasi (0,584) Pemanfaatan teknologi informasi (0,135) Keadilan dalam layanan (0,413) Ekspektasi petugas terhadap gratifikasi (0,327) Perilaku pengguna layanan (0,260) Tingkat upaya anti korupsi (0,750) Mekanisme pengaduan masyarakat (0,250)
6,26 6,28 6,03 9,01 7,01 7,53 7,28 6,45 6,34 5,36 7,06 6,50 5,38 4,73 4,79
Sumber : Muhardiansyah, 2011 Hasil yang diperoleh dari survey ISP pada 2011 menemukan bahwa secara nasional skor integritas sector public pada 2011 meningkat menjadi 6,31 dari tahun
sebelumnya (5,42). Menariknya adalah skor indeks integritas lembaga pusat jauh lebih baik dari lembaga public di daerah maupun instansi vertical.
Table. 6 Hasil Pengukuran Indeks Integritas Sektor Publik Integritas Tingkat Indeks Integritas Nasional (Pusat+Vertikal+Daerah) Indeks Integritas Pusat Indeks Integritas Vertikal Indeks Integritas Daerah Indeks Integritas Total Pusat (Pusat + Vertikal) Indeks Integritas Total Daerah (Daerah + Vertikal) Sumber : Muhardiansyah, 2011
322
Indeks Integritas 6,31 7,07 6,40 6,60 6,49 6,24
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
INDIKATOR DAN MODEL PENGUKURAN ALTERNATIF : TINGKAT KEPERCAYAAN PUBLIK Menurut Agus Dwiyanto (2011 : 354), perhatian terhadap isu-isu peningkatan proses penyelenggaraan pemerintahan yang bersih lebih mengandalkan konsep-konsep efisiensi, produktivitas, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, legitimasi, partisipasi serta konsep-konsep kualitas tata pemerintahan. Perhatian terhadap isu tentang kepercayaan public (public trust) belum mendapatkan porsi yang memadai. Hal ini tidak lepas dari cara pandang tradisional yang menempatkan isu kepercayaan public sebagai variable di luar proses penyelenggaraan pemerintahan. Padahal variable kepercayaan public memiliki peran penting dalam proses terjadinya krisis kepercayaan public yang luas akibat kegagalan rejim Soeharto mengatasi krisis ekonomi pada waktu itu. Dengan demikian, tingkat kepercayaan public terhadap pemerintah dapat menjadi indikator penting
dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Tingkat kepercayaan public yang tinggi menunjukkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang tinggi pula. Demikian sebaliknya, jika tingkat kepercayaan public rendah, maka kualitas penyelenggaraan pemerintahan sarat dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Disini tingkat kepercayaan public bisa berperan sebagai sinyal awal yang penting untuk mendeteksi perbaikan kinerja, kapasitas dan integritas dari sector public sekaligus mengelola lingkungan sector public agar lebih kondusif bagi beroperasinya sector public (Dwiyanto, 2011 : 383). Kepercayaan public paling tidak dapat diukur dari lima variable, yaitu komitmen yang kredibel, ketulusan, kejujuran, kompetisi dan keadilan (Dwiyanto, 2011 : 369). Table berikut menguraikan secara detil komponen pengukuran dari konsep kepercayaan public.
Table. 7 Model Pengukuran Tingkat Kepercayaan Publik Konsep Kepercayaan Publik
Variable Komitmen yang kredibel Baik hati
Kejujuran
Kompetisi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Indikator 1. Kepentingan bersama 2. Konsistensi tindakan pemerintah dan pejabatnya 1. Ada tidaknya konflik kepentingan 2. Ada tidaknya usaha untuk mengambil manfaat dari ketidakberdayaan masyarakat 1. Perilaku pejabat dalam menjalankan kekuasaan dan mandate dari rakat 2. Kualitas interaksi warga dan pejabat 1. Pemahaman pejabat terhadap masalah public 2. Kepuasan masyarakat terhadap
323
Konsep Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Bersih dan Bebas KKN : Indikator Hasil dan Model Pengukurannya Slamet Rosyadi
Konsep
Variable
Indikator
penyelesaian masalah publik Keadilan 1. Kewajaran tindakan pemerintah dengan logika akal sehat menurut public 2. Kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat Sumber : diringkas dari Dwiyanto, 2011 : 369-374 Dalam perspektif administrasi pubik, mengelola kepercayaan public berarti mengelola ekspektasi public. Public tentu saja menempatkan harapan yang besar kepada pemerintah untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Tetapi, keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah dapat menyebabkan reaksi public yang negative terhadap kinerja pemerintah. Disinilah pentingnya peran pemerintah untuk membangun relasi yang baik dengan warga untuk melakukan perbaikan terhadap berbagai hal sehingga terbangun pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. KESIMPULAN Berbagai upaya baik secara yuridisnormatif maupun administratif telah dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan pemberantasan KKN. Hasil-hasil positif telah memenuhi sebagian ekspektasi pemerintah maupun masyarakat yang mendambakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Namun demikian, capaian kinerja pemberantasan KKN ternyata belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya skor IPK maupun status audit BPK atas laporan keuangan instansi pemerintah pusat maupun daerah yang sebagian besar masih disclaimer. Kondisi ini menuntut perhatian yang lebih serius bagi semua pihak untuk merumuskan upaya peningkatan penyelenggaraan
324
pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Salah satu sumbangan penting dari para akademisi maupun politik adalah pengelolaan kepercayaan public (public trust). Krisis ekonomi maupun politik berakar dari rendahnya kepercayaan public terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan. Dengan mengelola kepercayaan public berarti pemerintah menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk melibatkan masyarakat dalam proses perbaikan penyelenggaraan pemerintahan. DAFTAR PUSTAKA Manion, M dalam corruption by design, Harvard University Press Bahan Diskusi Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otda, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Dwiyanto, Agus, 2011, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Neo, Boon Siong dan Geraldine Chen, 2007, Dynamic Governance : Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore, World Scientific Publishing Ltd, Singapore Artikel Opini Pemerintahan Yang Bersih, www.suaramerdeka.com/harian/ 0409/02/opl4.htm, diakses 29 Juli 2012
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
PENINGKATAN KAPASITAS DAN AKUNTABILITAS KINERJA BIROKRASI DAN INDIKATORNYA SERTA MODEL PENGUKURANNYA Oleh: Adriyan Saptawan Dosen FISIP UNSRI
Abstrak: Mewujudkan akuntabilitas birokrasi dalam kerangka profesionalisme good governance di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Namun demikian Pemerintah sudah memulainya melalui kebijakan yang dibuat dengan menetapkan asas pelayanan publik meliputi transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, petunjuk teknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik, serta pedoman penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu yang mengatur penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan Keyword: akuntabilitas birokrasi, good governance.
PENDAHULUAN Sebuah sistem birokrasi negara dibentuk berdasarkan kepada kesesuaian dengan tujuan negara yang telah ditetapkan. Pertimbangan kesesuaian tersebut adalah harmonisasi antar unit kerja yang seimbang dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan yang efektif dan efisien. Karena itu suatu sistem birokrasi yang dubentuk akan memberikan ciri yang khas dalam ekpresi penyelenggaraannya. Isu profesionalisme dalam pembangunan aparatur merupakan gerbang masuk ke dalam upaya membangun birokrasi yang efektif dan efisien. Sebaik-baiknya struktur lembaga dibuat tanpa didukung oleh kepiawaian aparatur dalam ruang profesionalisme, maka struktur itu tidak akan berjalan secara efektif dan efisien.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Untuk mendapatkan aparat yang piawai tersebut maka faktor kompetensi merupakan syarat utama recruitment pegawai. Potensi calon aparatur yang memenuhi minimal persyaratan dari suatu jabatan yang disertai dengan integritas yang kuat akan memudahkan pembinaan yang bersangkutan dalam jenjang keterampilan yang diharapkan oleh tatanan birokrasi. Hasil penelitian Agus Pramusinto pada tahun 2010 (MAP UGM, 2010) menunjukkan bahwa kelemahan dari pembangunan birokrasi dan aparatur Pemerintah Indonesia adalah : 1. 2. 3. 4.
Inkonsistensi regulasi Fragmentasi dan proliferasi Politisasi birokrasi Budaya yang tidak kondusif terhadap produktivitas
325
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi dan Indikatornya Serta Model Pengukurannya Adriyan Saptawan
5. 6. 7.
Kualitas pelayanan publik buruk Sistem anggaran yang tidak efisien Sistem akuntabilitas belum berbasis kinerja 8. Kepastian hukum bagi tindakan administrasi 9. Sistem remunerasi 10. Sarana TIK rendah. Keadaan tersebut menjadi rentan karena menghadapi ancaman menguatnya etnosentrisme, intervensi politik meluas, krisis finansial global, dan kesadaran wajib pajak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam membentuk suatu aparat yang professional factor lingkungan adminisgtrasi dan organisasi harus diperhitungkan sebagai elemen yang dimasukkan dalam pertimbangan pembinaan pegawai. Tuntutan kebutuhan masyarakat yang selalu meningkat baik dalam kuantitas maupun kualitas mendorong reformasi birokrasi harus diiringi dengan reformasi sistem kepegawaian aparatur negara yang comprehensive. Sebagai suatu sistem yang direformasi tentunya perubahan tidak dapat diperoleh secara revolusi. Perubahan yang mendadak akan membuat system mengalami “kegalauan”. Stagnansi dan kebingungan selanjutnya akan mengancam masa transisi system. Karena itu perubahan secara evolusi mempunyai potensi pilihan yang utama untuk menjaga keseimbangan sub sistem secara seimbang. KESELARASAN TUJUAN PEMBANGUNAN DENGAN UPAYA PEMBANGUNAN APARATUR Dalam pemerintahan, asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi menjadi pertimbangan yang cukup rumit dalam pengaturannya. Tuntutan modernisasi teknologi, kecepatan menyelesaikan masalah, keragaman masalah, dan kualitas pelayanan publik menghendaki desentralisasi yang kuat, sedangkan negara kesatuan sangat ketat
326
menjaga keseragaman dan persamaan (sentralisasi). Hal ini menjadi bertambah kompleks dengan adanya dorongan globalisasi dalam konstelasi hubungan antar negara. Kepentingan global ikut menjadi pertimbangan tersendiri dalam wawasan keputusan. Keadaan dan situasi luar negeri merupakan faktor pertimbangan yang penting dalam menentukan standard dan benchmark suatu produk keputusan. Kebutuhan praktis pemerintahan memerlukan suatu sistem variasi yang kredibel dan adaptive dengan situasi politik praktis, yang tujuan akhirnya tetap mengarah kepada kecepatan dan ketepatan penyelesaian masalah. Bukan sebaliknya, kukuh dengan sistem tanpa menghiraukan kebutuhan real masyarakat yang sesungguhnya. Sejarah telah menunjukkan, salah satu kelemahan yang meruntuhkan sistem komunis ”ala Uni Soviet” adalah karena kekakuannya menjalankan sistem tanpa peduli perkembangan kebutuhan masyarakat secara global. Belajar dari hal tersebutlah pengikut sistem komunis lainnya membuka diri untuk menjaga ketahanannya agar tetap eksis, seperti Cina dan Kuba. Sebaliknya kekuatan dari sistem liberal/kapitalisme sehingga ia dapat eksis dalam gejolak krisis moneter adalah keterbukaan. Keterbukannya melalui media demokrasi dapat dengan cepat menyerap keinginan masyarakat sehingga dapat dengan cepat juga menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat, meskipun ada juga muncul sisi negatifnya yaitu munculnya imperialisme gaya baru. Keadaan sistem pemerintahan Indonesia sendiri sekarang sedang dalam masa mencari jati diri. Pancasila dan UUD 1945 (yang asli) yang selama ini menjadi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
pegangan dasar Bangsa Indonesia menyerap nilai-nilai luhur bangsa yang jika dikonfirmasi dengan sistem kenegaraan yang sudah ada maka kita lebih condong kepada ideologi yang terbuka yang dibatasi dengan etimologi Demokrasi Pancasila. Keterbukaan ini secara internasional memegang standard yang sangat luwes, sehingga ketika berinteraksi dengan ideologi lain dalam kancah global sangat dipengaruhi keadaan. Arus yang lebih kuat akan lebih besar pengaruhnya daripada pengaruh lainnya. Akibatnya adalah Indonesia cenderung menjadi pengikut daripada penentu. Reformasi politik dan pemerintahan yang dimulai tahun 1998 jika kita cermati belum mencapai sistem birokrasi publik. Menurut Sofian Effendi (2007 : 6) akibatnya sistem pemerintahan termasuk pranatapranata yang diperlukan untuk mendukung sistem politik demokratis, otonomi daerah, dan sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka belum sepenuhnya tersedia. Sistem ini terdiri dari peraturan dasar tentang sistem birokrasi, sistem kepegawaian, akuntabilitas dan transparansi. Keadaan tersebut berpengaruh pada pembangunan birokrasi sehingga timbul isu yang perlu diperhatikan dalam pembangunan birokrasi 2009-2014 yaitu (Pramusinto, 2010): 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Mengurangi inkonsistensi Perundangundangan Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Aparatur Mengurangi Etnosentrisme dalam Birokrasi Meningkatkan Penggunaan TIK. Memanfaatkan Peluang Globalisasi dan Krisis Finansial Meningkatkan Etika dan Budaya Birokrasi Mengurangi Politisasi dalam Birokrasi Mengembangkan Desentralisasi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
9.
Meningkatkan Tata Kelola Pemerintahan yang Demokratis
Menimbang keadaan tersebut, maka sasaran Pembangunan Birokrasi dan Aparatur Negara 2010-2014 adalah terwujudnya Aparatur Negara yang Profesional dan Mampu Memberi Pelayanan yang Berkualitas ; Terwujudnya birokrasi pemerintah yang modern dan berdaya saing internasional ; Terwujudnya tata pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Sehubungan dengan hal tersebut maka prioritas pembangunannya adalah mewujudkan aparatur yang profesional, birokrasi pemerintah yang modern dan berdaya saing internasional, dan tata pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Untuk itu fokus pembangunan birokrasi dibagi 3 yaitu : Fokus 1, Pembangunan Aparatur yang Profesional dan Mampu Memberi Pelayanan yang Berkualitas, dengan sasaran : a. Membentuk peraturan-perundangan yang menjadi alas hukum bagi tindakan diskresi. b. Sosialisasi tentang pelaksanaan diskresi dalam birokrasi pemerintah pada para auditor. c. Sosialisasi konsep akuntabilitas berbasis pada hasil dan output. d. Pengembangan code of conduct aparatur Negara. e. Pengembangan standar kompetensi eselon I dan eselon II yang mencakup hard skills dan soft skills. f. Pengembangan pedoman rekrutmen yang terbuka, kompetitif, dan berbasis kompetensi. g. Pengembangan Kader Pimpinan Aparatur Negara (senior civil service). h. Pembuatan peraturan pemerintah tentang jabatan politik dan administrasi. i. Pengembangan Assessment Center di Kementerian/ Lembaga dan Provinsi.
327
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi dan Indikatornya Serta Model Pengukurannya Adriyan Saptawan
j. k.
Pengembangan Budaya Pelayanan. Pengembangan dan pelembagaan etika kekuasaan. l. Revitalisasi Diklat Penjenjangan (Kepemimpinan). m. Revitalisasi Diklat Fungsional. n. Menyelenggarakan lokakarya, FGD, dan pembuatan model sosok aparatur yang bersahabat, santun, dan peduli pada kepentingan warga. o. Pendidikan dan Pelatihan Kecakapan Negosiasi, Lobi, dan Komunikasi Perencana Anggaran. p. Pengembangan profesionalisme pengelola anggaran. Fokus 2, Pembangunan Birokrasi Pemerintah Yang Modern dan Berdaya Saing Internasional, dengan sasaran : a. Melakukan penataan organisasi K/L dan pemerintah daerah yang mencakup pendefinisian misi, fungsi, program, dan aktivitas secara jelas dan konsisten. b. Pengembangan model organisasi matrik yang lentur dan dinamik sebagai upaya mengurangi rigiditas birokrasi. c. Pengembangan struktur birokrasi yang modern, efisien, berbasis pada TIK yang mampu memfasilitasi koordinasi antar K/L dan antar pusat dan daerah. d. Pengembangan sistem pemagangan (externship dan internship) para calon pimpinan aparatur di organisasi korporasi dan lembaga masyarakat . e. Peningkatkan efektivitas koordinasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah. f. Pengembangan pelayanan satu pintu. g. Pembentukan komisi pelayanan publik/ombudsman di daerah. h. Pelaksanaan survei pengguna dan petugas garis depan dan menjadikan sebagai bagian dari evaluasi kinerja pelayanan .
328
i.
Pengembangan mekanisme pengelolaan keluhan dan penyelesaian sengketa dalam setiap satuan pelayanan public. j. Pelembagaan maklumat dan kontrak pelayanan di pusat dan daerah. k. Digitalisasi Pelayanan Publik. l. Pengembangan sistem kearsipan berbasis TIK. m. Akreditisasi secara internasional birokrasi penyelenggara pelayanan yang strategik. n. Pengembangan data base kepegawaian nasional. o. Pengembangan manajemen kepegawaian berbasis pada jabatan. p. Pengembangan sistem remunerasi nasional berbasis pada bobot kompetensi dan risiko jabatan. q. Pengembangan sistem insentif untuk efisiensi anggaran. r. Penetapan pagu maksimum anggaran untuk belanja aparatur dan biaya operasional. Fokus 3, Tata Pemerintahan Yang Bersih, Transparan, dan Akuntabel, dengan sasaran : a. Melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangan dalam bidang reformasi birokrasi dan aparatur Negara. b. Membentuk Undang-Undang tentang Etika Pemerintahan. c. Pembentukan Undang Undang yang mengatur tentang diskresi dalam birokrasi. d. Pembentukan peraturan perundangan tentang Penggunaan TIK dalam penyelenggaraan pemerintah. e. Pembentukan peraturan pemerintah untuk mendukung pelaksanaan peraturan perundangan tentang penyelenggaraan pelayanan publik. f. Mempercepat perumusan standar pelayanan minimum untuk pelayanan dasar. g. Pengembangan sistem akuntabilitas berbasis pada hasil dan manfaat.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
h.
Pengembangan LAKIP berbasis hasil dan pencapaian misi. i. Peningkatan sinergi antar lembaga pengawasan internal untuk peningkatan efisiensi dan efektifitas sistem akuntabilitas pubik. j. Pengembangan mekanisme tindaklanjut dari hasil pengawasan. k. Pengembangan wawasan multikuluralisme dalam sistem birokrasi dan administrasi publik. l. Revitalisasi hukum administrasi Negara. m. Pengembangan transparansi dalam pengelolaan anggaran. n. Membentuk Komisi Kepegawaian Nasional. Merilee S. Grindle (1997) mengatakan bahwa inisiatif upaya peningkatan aparatur dapat dilihat dari 3 dimensi yaitu pengembangan sumber daya manusia (SDM), penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan. Dimensi pengembangan sumber daya manusia berfokus pada personil yang profesional dan kemampuan teknis. Bentuk kegiatannya adalah pelatihan (training), praktek langsung, remunerasi, pembentukan iklim kerja, penyeleksian awal (rekruitmen). Dimensi Penguatan Organisasi berfokus pada tata manajemen untuk meningkatkan keberhasilan peran dan fungsi. Kegiatannya berupa sistem insentif, perlengkapan personil, kepemimpinan, budaya organisasi, komunikasi, dan stuktur manajerial. Dimensi Pengembangan Sumber Daya Manusia berfokus pada kelembagaan dan sistem; serta struktur makro organisasi. Bentuk kegiatannya adalah aturan tata laksana ekonomi dan politik, perubahan kebijakan dan regulasi, dan reformasi konstitusi.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa indicator pembangunan aparatur Negara harus memperhatikan akuntabilitas birokrasi dalam good governance. AKUNTABILITAS BIROKRASI DALAM GOOD GOVERNANCE Perkembangan administrasi publik sejak era tahun 2000 sangat pesat. Paradigma New Public Management berobah menjadi New Public service. Paradigma New public management yang menekankan pada ”run government like a business” bergeser menjadi ”run government like a democracy”. Prinsipprinsip Reinventing Government yang diperkenalkan oleh Osborne dan Gaebler sudah bergeser kepada prinsip demokrasi pelayanan publik. Prinsip “works better & costs less” sudah ditinggalkan menuju kepada “More listening than telling and More serving than steering”. Orientasi ideal negara yg diarahkan pada pencapaian tujuan negara (nasional) yg mengacu pada demokrasi adalah : 1. 2. 3. 4. 5.
Orientasi tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dengan rakyat dalam pengelolaan administrasi publik sangat erat. Sisi akuntabilitas menjadi tidak saja sebagai pertanggungjawaban pemerintahan yang baik, tetapi juga tujuan dari pengelolaan birokrasi yang efektif dan efisien. Dalam paradigma New Public Service akuntabilitas tersebut harus memperhatikan ciri ideal Good Governance (Keban, 2005 : 2) yaitu : 1.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Legitimitas, Akuntabilitas. Keamanan hak azasi manusia. Otonomi and devolution kekuasaan. Jaminan pengawasan dari masyarakat sipil.
Demokrasi, desentralisasi, dan peningkatan kemampuan pemerintah.
329
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi dan Indikatornya Serta Model Pengukurannya Adriyan Saptawan
2. 3. 4.
5. 6.
Hormat terhadap HAM dan kepatuhan terhadap hukum. Partisipasi rakyat. Efisiensi, akuntabilitas, transparansi, dalam pemerintahan dan administrasi publik. Pengurangan anggaran militer. Tata ekonomi berorientasi pada pasar.
Hal tersebut selaras dengan ide pokok New Public Service (Denhardt, Robert B. and Kevin Prelgovisk, 1992 : 33-44).yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Serve Citizens, Not Customers. Seek the Public Interest Value Citizenship over Enterpreneurship Think Strategically, Act Democratically. Recognize that accountability is not Simple. Serve Rather than Steer. Value People, Not Just Productivity.
Birokrasi Indonesia sebagai pilar pelayanan publik utama dalam pemerintahan saat ini menghadapi masalah yang sangat fundamental. Dengan bergulirnya reformasi sistem birokrasi Indonesia harus dapat mengiringi laju perubahan dan kebutuhan masyarakat yang menghendaki keselarasan asas demokrasi dengan profesionalisme yang sejajar. Sistem birokrasi kita yang merupakan peninggalan sejarah kolonial masih berlandaskan dasar-dasar hukum dan kepentingan kolonial. Thoha (2003) menyatakan bahwa struktur birokrasi, norma, nilai, dan regulasi yang ada sekarang masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Akibatnya adalah struktur dan proses yang dibangun lebih cenderung merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat sebagai pelayan, bukan untuk mengatur pemerintahan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Dalam faham
330
kolonial misi administrasi publik adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Upaya pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, dan nilai dalam sistem birokrasi pemerintahan daerah melalui Peraturan Pemerintah (Nomor 8 tahun 2003 yang dilanjutkan dengan nomor 41 tahun 2007) perlu didukung. Budaya pelayanan publik yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan perlu diciptakan. Orientasi kolonial yang terbentuk selama ini yaitu obsesi para birokrat menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat pribadi dan kekuasaan harus dirubah. Pola pikir birokrat sebagai penguasa bukan sebagai pelayan merupakan salah satu faktor yang menyulitkan upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Perkembangan kegiatan masyarakat yang pesat sangat membutuhkan kualitas pelayanan publik yang prima. Dengan pelayanan yang prima pertumbuhan sektor ekonomi dapat dipacu lebih cepat dan bermutu. Asas efektif dan efisien yang diterapkan dalam pelayanan publik dapat berjalan secara proporsional tidak hanya tergantung kepada aparatur pelayanannya saja tetapi yang lebih mendasar adalah sistem manajemen yang dibangun sebagai format pelayanan yang disediakan. Untuk itu Pemerintah telah mengeluarkan pertanggungjawaban produk pelayanan publik melaui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Pemerintah Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik yaitu bahwa : a.
Persyaratan teknis dan administratif harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi kualitas dan keabsahan produk pelayanan ;
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
b.
c.
Prosedur dan mekanisme kerja harus sederhana dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan ; Produk pelayanan diterima dengan benar, tepat, dan sah.
Sebagai agen dan manajer pelayanan publik utama dalam pemerintahan, aparatur sangat berperan penting untuk menciptakan pelayanan publik yang prima. Para investor dan kegiatan sektor swasta akan cepat berkembang bila fasilitas persiapan kegiatan mereka dapat dipenuhi oleh para manajer pemerintahan dengan jaminan kepastian, kecepatan, dan kemudahan. Dengan kata lain, akuntabilitas Pemerintah dalam pelayanan publik sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh aparatnya kepada masyarakat dan sektor swasta. Mewujudkan akuntabilitas birokrasi dalam kerangka profesionalisme good governance di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Namun demikian Pemerintah sudah memulainya melalui kebijakan yang dibuat dengan menetapkan asas pelayanan publik meliputi transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, petunjuk teknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik, serta pedoman penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu yang mengatur penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan. Seiring dengan upaya Pemerintah patologi birokrasi merupakan kendala yang sering dihadapi oleh masyarakat dan swasta dalam mendapatkan pelayanan dari aparatur Pemerintah. Alur birokrasi yang panjang dan rumit, banyaknya instansi yang harus dihubungi atau dimintai rekomendasi, persyaratan yang berulang-ulang, penggandaan persyaratan administrasi yang banyak, menunggu pejabat untuk
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
menandatangani formulir, dan lain-lain adalah patologi yang sangat dilematis dalam berhadapan dengan kebutuhan masyarakat dan swasta yang menghendaki kecepatan, keakuratan, kemudahan, dan ketangkasan dalam menyelesaikan masalah. Kecermatan dalam memahami keadaan sekarang untuk diberdayakan dan mungkin juga diinterfensi dengan suatu cara (teknologi) atau metode baru untuk mendapatkan hasil yang maksimal perlu diperhitungkan. Hal ini menjadi penting karena reformasi sistem pelayanan publik dalam organisasi pemerintahan seperti model di Indonesia tidaklah berdiri sendiri. Permasalahan yang kompleks yang meliputi sistem yang sudah berjalan saling berkaitan antara kebijakan makro pemerintah dengan kebijakan mikro kebutuhan masyarakat setempat. Karena itu untuk mendapatkan metode pelacakan model pelayanan prima yang tepat dan standard indicator pembangunan aparatur menurut Peters (2001) harus dimulai dengan pemahaman : 1. 2. 3.
4.
Phenomena : The diagnosis of the problem. Structure : How should the public sector be organized ? Management : How should the members of the financial resources of the public sector be controlled ? Policy process : What sould the role of the career public service be in the policy process, and more generally how should government seek to influence the private sector ?
Donald F Kettl (2000 : 1-3) menyatakan ada 6 ciri utama yang mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi pelayanan publik sebagai akibat dari tuntutan masyarakat ysang sangat cepat dan layak menjadi acuan dalam menetapkan indikator pembangunan aparatur secara comprehensive, yaitu :
331
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi dan Indikatornya Serta Model Pengukurannya Adriyan Saptawan
1.
2.
3. 4.
5. 6.
Productivity ; How can governments produce more service with less tax money? Marketizations ; How can government use market-style incentives to root out the pathologies of government bureucracy ? Service orientation ; How can government better connect with citizens ? Decentralization ; How can government make programs more responsive and effective ? Policy ; How can government improve its capacity to devise and track policy ? Accountability for results ; How can governments improve their ability to deliver what they promise ?
Russel dan Bernadin (1998:243) mengatakan bahwa didalam penilaian kinerja terdapat beberapa kriteria yaitu : 1.
Quality, yaitu tingkat hasil yang dicapai oleh seorang karyawan dalam menyelesaikan suatu bekerja.
NO
332
INDIKATOR
2.
Quantity, yaitu jumlah pekerjaan yang dihasilkan oleh seorang karyawan dalam bekerja. Timelinness, yaitu tingkat ketepatan waktu yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan aktivitas kerjanya, sehingga dengan demikian dia dapat melakukan aktivitas lainnya. Cost-Efleciveness, yaitu suatu tingkat efesiensi dalam menggunakan waktu dalam bekerja Need for Supervision, yakni suatu tingkat kemandiriannya dalam bekerja. Impersonal impact, dampak hubungan antar pribadi baik antar sesama rekan sekerja maupun antar atasan dan bawahan (neet working).
3.
4.
5. 6.
Mengingat indikator pembangunan aparatur itu harus terukur, mampu dicapai, relevan, dan dapat dimanfaatkan pada waktunya, maka selayaknya indikatornya mempertimbangkan kekhasan jenis pekerjaan. Dengan demikian secara umum format indikator pembangunan aparatur dan model penilaiannya dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
PERTANYAAN
UNSUR PENILAIAN
1
Efektivitas
Apakah hasil yang diinginkan sudah tercapai ?
Penilaian thd pencapaian hasil dengan usaha yang dilakukan.
2
Efisiensi
Perbandingan Hasil : biaya.
3
Kecukupan
4
Pemerataan
Berapa banyak usaha diperlukan untuk itu ? Berapa jauh hasil tersebut memecahkan masalah ? Apakah biaya dan manfaat terdistribusi merata ?
5
Responsivitas
6
Ketepatan
Apakah hasil pekerjaan memuaskan kebutuhan masyarakat ? Apakah hasil tepat guna ?
Ketuntasan pekerjaan. Semua elemen masyarakat yang dilayani memperoleh layanan. Kecepatan aparat menanggapi keluhan. Penggunaan
program
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
NO
INDIKATOR
7
Kecepatan
8
Ketertiban
9
Prestasi
10
Transparansi
PERTANYAAN Apakah waktu yang digunakan sesuai dengan standard ? Apakah pekerjaan sesuai dengan standard prosedur operasional ? Apakah hasil pekerjaan telah optimal ? Apakah semua pihak yang terlibat sudah mengetahui standar pelayanan yang diberikan ?
KESIMPULAN Penetapan indikator pembangunan aparatur dan penetapan model penilaiannya untuk aparatur Pemerintah Indonesia bukanlah hal yang mudah. Keragaman jenis pekerjaan dan dinamika lingkungan instansi yang variatif yang diikat dengan system yang sama (Negara Kesatuan) membuat indicator menjadi sangat sensitive dan dinamik Namun demikian target kualitas haruslah menuju ke titik standar yang sama sehingga tingkat kepuasan masyarakat mencapai titik optimal. Paling tidak ada 10 kriteria utama indikator yang membentuk model penilaian pembangunan aparatur yaitu efektifitas, efisiensi, kecukupan, pemerataan. responsivitas, ketepatan, kecepatan, ketertiban, prestasi, dan transparasi. DAFTAR PUSTAKA Buku Denhardt, Robert B. and Kevin Prelgovisk (1992). Public Leadership: A Developmental Perspective. In Robert B. Denhardt and William H. Stewart (Eds.). Executive Leadership in the
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
UNSUR PENILAIAN sesuai dengan tujuannya. Pemanfaatan waktu dengan terukur. Keteraturan langkahlangkah penyelesaian pekerjaan. Perbandingan pencapaian target dengan mutu hasil pekerjaan. Kejelasan dan kefahaman aparat terhadap aturan yang mengatur pekerjaannya.
Public Service. Tuscaloosa, AL: The University of Alabama Press. 33-44. Effendi, Sofian. 2007. ”Reformasi Aparatur Negara untuk Melaksanakan Tata Pemerintahan yang Baik”, dalam Reformasi Birokrasi dan Korupsi di Indonesia. Grindle, Merilee S. 1997, Getting Good Government, Capacity Building in The Public Sectors of Development Countries. Keban, Yeremias T. 2005. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Yogyakarta : Gava Media. Kettl, Donald F .2000. The Global Public Management Revolution. Washington, D.C. : Brooking Institution Press. Peters, B. Guy. 2001. The Future of Governing. Kansas : University Press of Kansas. Pramusinto, Agus. 2010. Pembangunan birokrasi dan aparatur negara 20102014. Laporan Penelitian. Jogjakarta : MAP Unoverstas Gajah Mada Russell, Joyce dan Bernardin, John, Human Resources Management An Experiential Approach, Mc. Graw, Singapore, 1998
333
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi dan Indikatornya Serta Model Pengukurannya Adriyan Saptawan
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press. Peraturan Undang-undang No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Keputusan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Pemerintah Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
334
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
PARTISIPASI, AKUNTABILITAS DAN PERAN CIVIL SOCIETY dalam PENINGKATAN KINERJA DAERAH Oleh: Budi Setiyono Dosen FISIP Universitas Diponegoro Abstrak: Bersama dengan dominannya paternalism, ketiadaan transparansi dan akuntabilitas melumpuhkan inisiatif lokal dan menyebabkan keseragaman, standarisasi, kehancuran struktur sosial, kooptasi pemimpin di semua tingkatan, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi dan, yang paling serius adalah, ketidakpercayaan yang mendalam kepada lembaga-lembaga pemerintah. Selama beberapa dekade, suara aspirasi masyarakat sipil dalam kebijakan publik terbatas dalam bentuk surat pembaca dan partisipasi umum dalam proses pemilu setiap lima tahun yang dikendalikan pemerintah. Kritik dan aspirasi kritis warga masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dianggap sebagai ketidaksetiaan atau subversi. Keyword: paternalism, transparansi, kekuasaan, korupsi
PENDAHULUAN Dalam pandangan liberal, seperti pendapat Ernest Gellner (1991), negara hanyalah sebuah instrumen masyarakat warga (civil society) dalam mencapai tujuan bersama. Oleh karenanya, ekistensi negara pada hakekatnya nihil tanpa adanya mandat, jastifikasi, dan kehendak publik. Gellner memandang bahwa masyarakat sipil merupakan suatu kondisi 'alami' dari kebebasan manusia. Akan tetapi, Gellner berpendapat bahwa masyarakat sipil tidak bisa hanya diidentifikasi dengan adanya lembaga (organisasi, CSO—civil society organization) yang mampu mengimbangi negara, tetapi juga harus disertai oleh setidaknya dua faktor: semangat kewarganegaraan (civic spirit) yang mengikat warga negara untuk melaksanakan kewajiban
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
dan tanggung jawab, serta adanya kemampuan ekonomi (Gellner, 1991: 500). Secara historis, masyarakat sipil adalah sebuah pra-kondisi untuk berfungsinya demokrasi di negara-negara seperti Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Contoh tersebut menunjukkan bahwa adanya asosiasi masyarakat sipil yang kuat dapat mendukung demokrasi, serta berbagai fungsi yang mereka jalankan pada akhirnya dapat menstimuli terbentuknya pemerintahan yang baik (good governance). KRISIS KEDAULATAN & PELAYANAN PUBLIK Banyak negara di seluruh dunia selama dua dekade terakhir telah mengalami krisis legitimasi kebijakan, dimana kedaulatan publik dalam formulasi kebijakan dirasakan sangat minim. Dalam sebuah studi di 47
335
Partisipasi, Akuntabilitas dan Peran Civil Society dalam Peningkatan Kinerja Daerah Budi Setiyono
negara Persemakmuran disimpulkan bahwa "demokrasi perwakilan dan lembaga-lembaga negara dan pemerintah seperti yang kita tahu saat ini tidak lagi mampu melayani warga negara atau memastikan pemerintahan yang baik di masa depan". (Commonwealth Foundation 1999). Dalam penelitian yang lain, Bank Dunia yang mensponsori penelitian lokal di 23 negara menyimpulkan bahwa "lembaga negara, apakah diwakili oleh lembaga pusat atau pemerintah lokal sering tidak responsif atau bertanggung jawab kepada orang miskin ... Tidak mengherankan, laki-laki dan perempuan miskin kurang percaya dalam lembaga negara meskipun mereka masih mengungkapkan keinginan untuk bermitra dengan mereka di bawah aturan yang lebih adil" (Narayan et al 2001: 172). Kekecewaan ini merupakan bagian yang rumit dari menguatnya kapitalisme dan liberalisme di seluruh dunia. Kekuasaan negara semakin terkikis oleh kekuatan ekonomi dari investasi domestik dan transnasional. Kapitalisme berkembang menjadi bursa pasar bebas keuangan dan teknologi yang semakin canggih. Otonomi negara-bangsa dibatasi oleh kekuatan pasar dan pengaruh budaya global yang muncul. Akibatnya cukup fatal bagi kedaulatan rakyat: dalam mekanisme pasar bebas, pemilik modal adalah penjaga kepentingan publik, bukan pemerintah. Negara hanya bisa menyediakan lapangan bermain kompetitif bagi partai politik, investasi, dan warga negara. Orang-orang kemudian seolah harus mengelola sendiri untuk mengembangkan apa yang menjadi kepentingan terbaik mereka. Bagi orang kebanyakan, arena politik yang seharusnya menjadi sarana utama mendefinisikan nilai masyarakat, terreduksi menjadi jumlah suara yang bernilai ekonomis bagi para elit yang bermodal tinggi dan
336
bermoral rendah. Sementara orang pada kelas menengah telah hidup dengan pribadi yang tidak memiliki tenaga, waktu atau komitmen untuk peduli terhadap kebijakan publik dan negara. Institusi negara dan pemerintah pada akhirnya menjelma menjadi institusi yang diatur secara oligarkhis. Di seluruh dunia, kekuasaan pemerintah semakin terlihat untuk melayani kepentingan politik pribadi atau kelompok sempit dengan mengorbankan keprihatinan masyarakat luas yang lebih sah. Dengan keadaan tersebut, warga negara yang prihatin atas keadaan ini - di Eropa, Amerika Utara, Asia, Amerika Latin dan Afrika - tidak lagi puas dengan keputusankeputusan diambil dari pemerintah lokal dan nasional. Mereka menuntut keterlibatan langsung. Daripada keputusan yang dibuat oleh teknokrat, politisi dan birokrat, masyarakat menuntut bahwa pemerintahan akan lebih baik jika keputusan yang diambil dengan pembahasan yang lebih tidak terburuburu, lebih reflektif, dan melibatkan orang sebanyak mungkin. Sebagaimana dikatakan dalam penelitian Commonwealth Foundation (1999): "Orang ingin suatu masyarakat yang ditandai dengan pemerintahan yang responsif dan inklusif. Mereka ingin didengar dan berkonsultasi secara teratur dan berkelanjutan, bukan hanya pada saat pemilu. Mereka ingin suara mereka lebih didengar. Mereka meminta berpartisipasi untuk terlibat dalam keputusan yang diambil dan kebijakan yang dibuat oleh pejabat dan badan publik". Studi Bank Dunia menyimpulkan bahwa hakhak warga yang terbatas untuk pemilihan wakil-wakil mereka setiap tiga atau empat atau lima tahun hanya memungkinkan terjadinya demokrasi pada level yang paling rendah (Narayan et al 2001: 98). Para pendukung demokrasi radikal ingin melihat lebih dalam substansi demokrasi. Mereka
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
berpendapat bahwa kita tidak cukup hanya memiliki lembaga-lembaga dan proses demokrasi. Demokrasi harus dilakukan secara substantif dengan mengisinya melalui partisipasi riil. Pengembangan formula semacam ini akan menjadi salah satu tantangan utama demokrasi Indonesia kedepan. Jika demokrasi kita gagal untuk memberikan kedamaian dan kemakmuran, kita mungkin sekali lagi melihat munculnya global kekuasaan otoriter. DEFISIT AKUNTABILITAS DAN KEPERCAYAAN Selama 32 tahun, negara kita ditandai oleh akumulasi pemerintah pusat yang kuat dan kekuasaan sistem pemerintahan patrimonial. Hubungan antara negara dan masyarakat terjadi sangat bias, dimana administrasi publik yang paternalistik dibentuk untuk melayani kekuasaan sehingga segala sesuatunya dibuat tidak transparan dan akuntabel kepada publik. Bersama dengan dominannya paternalism, ketiadaan transparansi dan akuntabilitas melumpuhkan inisiatif lokal dan menyebabkan keseragaman, standarisasi, kehancuran struktur sosial, kooptasi pemimpin di semua tingkatan, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi dan, yang paling serius adalah, ketidakpercayaan yang mendalam kepada lembaga-lembaga pemerintah. Selama beberapa dekade, suara aspirasi masyarakat sipil dalam kebijakan publik terbatas dalam bentuk surat pembaca dan partisipasi umum dalam proses pemilu setiap lima tahun yang dikendalikan pemerintah. Kritik dan aspirasi kritis warga masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dianggap sebagai ketidaksetiaan atau subversi. Secara teoritis, dengan proses reformasi dan demokratisasi kini Indonesia adalah negara yang sangat berbeda dari
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
jaman Soeharto. Akan tapi praktek penyelenggaraan pemerintahan kita masih belum banyak berubah. Hanya pelaku dan sebagian kecil lapisan elite pemerintah telah diganti. Kebanyakan pejabat dan kultur negara saat ini belum mengikuti prosedur dan standar baru yang sesuai dengan jiwa reformasi, demokrasi dan desentralisasi. PNS mempertahankan pola kerja dan perilaku lama. Seperti temuan riset Gibson & Woolcock (2005) menunjukkan, meskipun perencanaan top-down secara formal telah tidak terlihat berkilau dalam dekade terakhir, tetapi riil proses penyusunan program dan kebijakan dalam pemerintahan tetap merefleksikan kebutuhan elite daripada publik. Meminjam terminology Hans Antlöv (2002), jika persepsi publik tentang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan adalah cermin atau representasi yang baik dari kepercayaan publik, maka warga negara di Indonesia memiliki kepercayaan sangat sedikit terhadap pemerintahnya. Rakyat memandang para pejabat pemerintahnya sebagai garong jahat yang merampas uang rakyat secara semena-mena. Pada tahun 2010 kemarin, negara ini masih menjadi salah satu negara yang paling korup di dunia. Indonesia adalah terdaftar sebagai nomor 110 dari 176 negara dalam Corruption Perception Index yang dirilis Transparansi Internasional. Korupsi tidak hanya berlaku pada tingkat atas pemegang kekuasaan, tetapi telah menetes ke birokrat individu di tingkat lokal. Banyak pegawai negeri dan politisi lokal hidup sangat nyaman dengan kekuasaan dan kekayaan yang cukup besar di tengah carut-marut pemerintahan yang tidak efektif. Mereka jelas memiliki orientasi pengabdian yang menengadah ke atas daripada menunduk ke bawah. Bos selalu lebih penting daripada rakyat jelata. Budaya kerja yang disukai masih tetap “Asal Bapak Senang” yang
337
Partisipasi, Akuntabilitas dan Peran Civil Society dalam Peningkatan Kinerja Daerah Budi Setiyono
penting tidak membuat bos marah atau individu di kantor lokal. Ini adalah sebuah menimbulkan masalah, bukan memuaskan ironi, dan masalah besar, karena demokrasi kepentingan rakyat. Pejabat yang lebih tidak memiliki makna apapun selain rendah tidak boleh menentang otoritas yang penghamburan rutin uang rakyat dalam pesta lebih tinggi, dan orang-orang berpangkat limatahunan. harus diperlakukan dengan hormat. Dengan kebijakan desentralisasi, korupsi berlaku tidak hanya pada tingkat atas pemegang kekuasaan, tetapi telah menetes ke birokrat Skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia Pasca Gerakan Reformasi CPI
99
00
Score*
1.7
1.7
Rank
96/ 99
85/ 90
01
02
03
04
05
06
07
08
09
‘10
1.9
1.9
1.9
2.0
2.2
2.4
2.3
2.6
2.8
2.8
88/ 91
96/ 102
122/ 133
133/ 146
150/ 156
130/ 163
143/ 179
126/ 180
111/ 180
110/ 176
Sumber: Transparency International Saat ini, telah tiga belas tahun reformasi berlalu. Walaupun demokratisasi dan desentralisasi telah beberapa kali berevolusi sedemikian rupa dengan perubahan beberapa peraturan dan undangundang, masyarakat masih harus berjuang melalui berbagai cara agar suara mereka didengar. Celakanya, walaupun kesempatan saat ini terbuka cukup lebar, masyarakat sipil tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk berhadap-hadapan diametrikal dengan pemerintah. Pada masa Orba, tidak benarbenar mungkin bagi warga negara Indonesia untuk mengekspresikan suara mereka di depan umum dan berbicara tentang apa yang mereka rasakan penting dalam hidup. Situasi ini terjadi tidak hanya pada level nasional, melainkan juga pada tingkat lokal, di mana interaksi antara warga dan pemerintah seharusnya terjadi lebih genuine karena pengambilan keputusan cukup terbatas pada arena yang langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga negara.
338
Sebagaimana disebutkan diatas, persoalan pokok yang berkaitan dalam hal ini adalah ketiadaan transparansi, akuntabilitas dan kontrol publik atas pengambilan keputusan. Secara teoritik, dengan desentralisasi diharapkan pengambilan keputusan akan menjadi lebih transparan dan akuntabel karena didorong ke bawah, lebih dekat kepada masyarakat. Tapi pengalaman kita menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi tidak secara otomatis mempromosikan tata pemerintahan yang baik. Desentralisasi secara simultan memerlukan penguatan kapasitas lokal dan membangun sistem tata kelola yang responsif (memastikan bahwa pemda bertanggung jawab dan memberikan pelayanan sosial). Untuk mewujudkan hal tersebut, warga harus secara sistematis terlibat dalam kebijakan, pengambilan keputusan dan evaluasi program. Partisipasi warga perlu diperluas tidak hanya terlibat dalam proses
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
Pemilu dan Pemilukada, melainkan mencakup proses hulu dan hilir dalam penyelenggaraan pemerintahan (Gaventa & Valderrama 1999: 5). Proses deliberatif tersebut akan memperkuat suara mereka yang biasanya terabaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini memerlukan keterlibatan seluas mungkin masyarakat dalam formulasi kebijakan, pelaksanaan program, dan evaluasi hasil, untuk mengatasi ketidakpercayaan di pemerintahan dan krisis legitimasi negara. Perbaikan kinerja pemerintah daerah yang mampu memberikan pelayanan paripurna kepada publik akan sangat penting dan menentukan bagi pembentukan wajah demokrasi Indonesia ke depan. Demokratisasi pada tingkat nasional tidak akan berhasil tanpa didukung kebutuhan yang sama di tingkat lokal. Sistem politik yang berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas politik hanya dapat dicapai melalui proses pemberdayaan daerah dan devolusi kekuasaan yang memungkinkan badan-badan daerah bertanggung jawab dan dapat dikontrol oleh warga negara. Dalam konteks ini, adalah hal penting agar proses pengambilan keputusan, kebijakan formulasi dan penyediaan layanan lebih dekat kepada masyarakat. PEMBERDAYAAN PEMERINTAH DAERAH DAN CSO Kebijakan desentralisasi di Indonesia pada saat ini sesungguhnya masih memiliki konsep yang absurd, bahkan tidak ada bandingannya di dunia. Hal ini diperlihatkan oleh kenyataan bahwa sungguhpun beberapa kewenangan telah diserahkan kepada otoritas daerah, pemerintah pusat dengan gampang mengintervensi, menarik kembali, dan melakukan duplikasi fungsi terhadap kewenangan tersebut. Badan-badan lokal juga seolah dibentuk untuk menjadi replika miniatur dari pemerintah pusat. Padahal seharusnya dalam logika otonomi, pemegang kewenangan harusnya tunggal, tidak boleh
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ada duplikasi fungsi yang akan mengakibatkan overlapping kekuasaan. Dalam kondisi seperti itu, pada akhirnya bisa dikatakan bahwa prioritas dan inisiatif tidak selalu sesuai dengan tuntutan lokal, tetapi ditentukan dari atas. Di atas kertas, prosedur kebijakan perencanaan dan anggaran terlihat sangat mengesankan, dengan adanya pertemuan Musrenbang dari tingkat desa terus berlanjut ke level atas. Kenyataannya sangat jauh berbeda, karena pada setiap tingkat di atas, proses perencanaan sering di by pass oleh kepentingan politik elite kekuasaan dan pemegang modal, sehingga dana dan bentuk proyek-proyek yang ditetapkan sangat berbeda dari apa yang diusulkan masyarakat. Selain itu, pendapatan daerah (baik DAU maupun DAK) juga ditentukan oleh tawarmenawar dengan para pejabat senior di Jakarta, dengan suap dan mark-up untuk semua pihak. Ini adalah perilaku rent-seeking yang menegasikan logika otonomi daerah. Dimanapun, devolusi fiskal adalah kunci bagi keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah. Tanpa cukup otonomi dalam pendanaan, maka tidak ada harapan bahwa pemerintah lokal dapat memberikan layanan berkualitas tinggi terhadap permintaan warga masyarakat. Selain masalah diatas, esensi otonomi daerah juga direduksi oleh prosedur partai politik dalam menentukan pejabat politik di eksekutif dan legislatif yang masih sangat sentralistik. Karena kata akhir ada pada DPP partai, para calon anggota DPRD dan kepala daerah lebih suka tunduk dan menyenangkan para penguasa DPP dan investor politik daripada memperhatikan jeritan hati nurani rakyat. Alhasil, format desentralisasi kita saat ini tidak dapat benar-benar menghasilkan perubahan fundamental dalam
339
Partisipasi, Akuntabilitas dan Peran Civil Society dalam Peningkatan Kinerja Daerah Budi Setiyono
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Apabila rakyat membiarkan pola dan proses penyelenggaraan pemerintahan daerah berlangsung dalam proses formal, maka suara rakyat tidak akan terakomodasi dan terrefleksikan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah. Para elite dan pejabat publik jelas tidak bisa diharapkan untuk melaksanakan amanat masyarakat. Oleh karena itu, tekanan dari luar diperlukan untuk mengawal aspirasi rakyat. Kongkretnya, masyarakat warga (civil society) harus bergerak untuk membuat suara mereka terdengar. Partisipasi masyarakat warga adalah penting sebagai cara untuk membangun kepercayaan baru ke dalam lembaga-lembaga politik yang membusuk, dan untuk memastikan bahwa negara tidak akan gagal. Masyarakat sipil, termasuk di dalamnya media, mahasiswa, asosiasi profesi, organisasi non-pemerintah, serikat buruh dan federasi tani, adalah mereka yang dapat melakukan fungsi untuk mengontrol kekuasaan negara. Selama dua dekade terakhir, ribuan organisasi semacam ini tumbuh bagai cendawan di musim hujan. Meski tidak bisa memasuki arena politik, banyak dari mereka telah terbukti inovatif dan efektif memperbaiki kinerja pemerintah daerah. Melalui berbagai macam cara, masyarakat sipil juga berusaha untuk ikut serta berpartisipasi dan terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemerintah. Koran dan tabloid lokal, misalnya, dipenuhi berita tentang penyalahgunaan kekuasaan. Sementara banyak LSM dan ormas kegamaan mulai berusaha terlibat dalam Musrenbang dan penetapan APBD. Sayangnya, walaupun peran mereka signifikan, kelompok-kelompok masyarakat sipil (CSO) di Indonesia masih memiliki berbagai macam kelemahan. Sebagaimana Olle Tornquist (2004) menyatakan, walau CSO
340
kadang bisa menyuarakan kepentingan publik di media massa, akan tetapi mereka tidak memiliki keterampilan politik yang cukup untuk membangun gerakan massa. Akibatnya, berbagai macam penyalahgunaan kekuasaan dan keburukan pelayanan publik hanya menjadi berita di media massa lokal, tetapi isu itu cepat hilang lagi dalam beberapa hari. Menurut Tornquist, ada kebutuhan mendesak yang harus diatasi untuk memperkuat civil society di Indonesia. Diantaranya adalah kurangnya mekanisme hukum melalui mana warga yang kurang puas bisa mengekspresikan kritik mereka kepada pemerintah. PERAN YANG HARUS DILAKUKAN CS Bagaimanakah langkah yang harus dilakukan agar civil society dapat mempengaruhi pemerintah agar menghormati dan melayani kehendak publik? Prosesnya tentu akan sangat panjang. Akan tetapi hal itu bisa dimulai dengan pembentukan forum warga dan aliansi forum warga. Langkah pertama ini penting untuk menyelamatkan desentralisasi dari beberapa ekses negatif. Jika desentralisasi adalah langkah untuk memperdalam demokrasi dengan mendorong pengambilan keputusan lebih dekat dengan rakyat dan menghasilkan kebijakan yang lebih berakar, maka forum warga dan aliansinya adalah mekanisme di mana orang benar-benar dapat terlibat dalam proses pemerintahan dari hari ke hari. Forum partisipatif penting karena mereka bisa menjadi sarana untuk belajar keterampilan dasar tentang demokrasi dan politik. Warga masyarakat bisa memperkokoh posisi dihadapan pemerintah dan terlibat dalam pengambilan keputusan, dan pada akhirnya, bisa membangkutkan kembali minat masyarakat dalam pengelolaan negara dan pemerintah. Forum warga, singkatnya, adalah cara untuk mereformulasi format infrstruktur politik politik agar forum-forum konvensional
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
terimbangi oleh konvensional.
mekanisme
non-
Forum warga dapat meningkatkan akuntabilitas sosial (social accountability), sebuah istilah yang sering digambarkan sebagai: “an approach towards building accountability that relies on civic engagement, i.e., in which it is ordinary citizens and/or civil society organizations who participate directly or indirectly in exacting accountability” (Malena, Forster and Singh, 2004: 1). Yakni pendekatan menuju akuntabilitas yang bergantung pada keterlibatan masyarakat, di mana warga negara biasa dan / atau organisasi masyarakat sipil yang berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung dalam menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Mekanisme untuk menerapkan bentuk akuntabilitas adalah vertikal. Meskipun pemilu memiliki peran yang sama, tetapi mekanisme ini dianggap sebagai “instrumen tumpul (blunt instrument)" karena tidak memungkinkan warga untuk menyatakan preferensi mereka mengenai isu-isu spesifik, berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan keputusan, atau memegang jawab atas keputusankeputusan tertentu dan perilaku pejabat publik (Ahmad 2008). Contoh inisiatif akuntabilitas sosial adalah termasuk bentuk kegiatan 'tradisional', seperti demonstrasi publik, kampanye advokasi, jurnalisme investigasi; dan, yang ‘kontemporer’ seperti kartu laporan warga (citizen report cards), pembuatan kebijakan public partisipatif (participatory public policy making), pelacakan pengeluaran public (public expenditure tracking), dan upaya untuk meningkatkan efektivitas mekanisme akuntabilitas "internal" dari pemerintah,
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
misalnya dengan melibatkan warga negara dalam komisi publik dan dengar pendapat dan komite pengawasan legislatif (Malena, Forster dan Singh, 2004: 4). Disarankan pula bahwa inisiatif akuntabilitas sosial akan efektif apabila hal ini 'dilembagakan' dan apabila mekanisme akuntabilitas “internal” negara (akuntabilitas horisontal) lebih transparan dan terbuka untuk keterlibatan warga masyarakat (2004:4). Masyarakat miskin adalah penerima manfaat terbesar dari inisiatif akuntabilitas sosial ini, karena mereka adalah kelompok yang paling bergantung pada pelayanan pemerintah dan paling lemah untuk meminta pertanggungjawaban pejabat pemerintah (Malena, Forster dan Singh, 2004: 5). Para pendukung akuntabilitas sosial berpendapat bahwa dengan melibatkan warga dalam proses penyelenggaraan pemerintahan secara rill akan memungkinkan pemantauan kinerja pemerintah, meningkatkan transparansi, dan melindungi masyarakat dari korupsi. Oleh karena itu, berbagai organisasi, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, UNDP, dan The Asia Foundation, telah mendukung pengenalan proses-proses akuntabilitas sosial, terutama pada tingkat daerah sehingga sekarang penggunaan pendekatan tersebut cukup tersebar di berbagai negara. Mekanisme ini utamanya beroperasi sepanjang siklus anggaran publik, didasarkan pada asumsi bahwa anggaran dan pelaksanaannya mencerminkan keputusan dan pelaksanaan kebijakan aktual (Wagle dan Shah, 2002). Penganggaran partisipatif dipandang sebagai instrumen dalam membuat alokasi sumber daya publik yang lebih 'inklusif' dan 'adil’. Dengan meningkatkan akses publik terhadap informasi anggaran, transparansi dalam kebijakan fiskal serta manajemen pengeluaran publik dapat dicapai, dan pada gilirannya mengurangi klientalisme, elite
341
Partisipasi, Akuntabilitas dan Peran Civil Society dalam Peningkatan Kinerja Daerah Budi Setiyono
capture, dan korupsi. Bank Dunia telah mengidentifikasi berbagai jenis mekanisme akuntabilitas sosial yang dapat diterapkan pada tahap yang berbeda dari urutan kebijakan. Organisasi civil society (CSO) didorong untuk menjadi pemain utama dalam mengimplementasikan konsep akuntabilitas sosial itu. Beberapa peran yang mereka lakukan diantaranya adalah (Thindwa, 2006): (i)
mengidentifikasi suara masyarakat lokal dalam perencanaan pembangunan dan proses penganggaran daerah, (ii) memonitor dan meminta pemerintah daerah bertanggung jawab dalam alokasi sumber daya lokal, (iii) membantu meningkatkan pendapatan daerah melalui mekanisme yang lebih transparan, dan (iv) melacak penggunaan sumber daya dan dampak dari kebijakan dan program lokal. Porto Alegre di Brasil telah menjadi model untuk pembangunan dan penganggaran partisipatif. Model Brasil ini mendorong keterlibatan erat DPRD dengan forum warga dalam mengalokasikan sumber daya dan pemantauan bagaimana sumber daya itu digunakan. Dengan metode tersebut, jumlah rumah tangga yang terlayani akses ke layanan air secara substansial meningkat drastis. Jumlah anak-anak di sekolah umum dua kali lipat selama 1989-1996 dan penerimaan pajak meningkat hampir 50% sejak diterapkan, dan mendorong peningkatan transparansi pengelolaan pajak daerah (World Bank Institute, 2006). Contoh lain adalah Negara Gujarat di India yang telah menerapkan keterlibatan masyarakat sipil secara sukses dalam pengelolaan anggaran. Karena penggunaan metode tersebut, alokasi dan pelepasan dana untuk sektor-sektor prioritas telah meningkat dan ada penguatan
342
arus informasi antar departemen. Model Gujarat ini kemudian direplikasi di beberapa negara bagian India lainnya (Thindwa 2004, World Bank Institute 2006). Pola yang sama diterapkan di Uni Parishad Bangladesh, dimana peran CSO telah membantu warga negara untuk memantau kualitas pengeluaran pemerintah daerah melalui instrumen anggaran secara terbuka (Rahman, 2005). Di Indonesia, Kabupaten Jembrana, Bali juga telah dikutip sebagai contoh pemerintahan lokal yang baik oleh berbagai pihak dan lembaga (Brodjonegoro, 2005). Pemerintah Jembrana melakukan pola pengelolaan daerah melalui efisiensi pengelolaan anggaran daerah. Komunitas lokal melalui organisasi warga didorong untuk berpartisipasi dalam melaksanakan program-program lokal dalam pendidikan. Masyarakat diberi kesempatan mengembangkan sekolah masing-masing berdasarkan kebutuhan mereka, bukan pada rencana pemerintah daerah. Hasilnya adalah penghematan yang signifikan anggaran untuk pendidikan, yang dialokasikan untuk subsidi ke sekolah dasar dan menengah. Orang Jembrana sekarang dapat menikmati pendidikan dasar dan menengah gratis. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, R. (2008) “Governance, Social Accountability and the Civil Society”, JOAAG, Vol. 3. No. 1 Antlöv, H. (2002) “The Making of Democratic Local Governance in Indonesia”, paper presented at the International Workshop on Participatory Planning. Approaches for Local Governance, Bandung Indonesia, 20-27 January 2002. Blair, H. (2000) “Participation and Accountability at the Periphery: Democratic Local Governance in Six Countries”, World Development, vol. 28, no. 1. Brodjonegoro, B. P.S. (2005) “Participatory Budgeting in Decentralized Indonesia:
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
What Do Local People Expect?” Cited in Participatory Planning and Budgeting at the Sub-national Level. Department of Economic and Social Affairs, United Nations Catholic Relief Services. 2003. Social Accountability Mechanisms: Citizen Engagement for Pro-Poor Policies and Reduced Corruption. 09 January. Department of Policy and Strategic Issues. 209 W. Baltimore, Maryland: USA. Buentjen, C. (1998), “Fiscal Decentralization in Indonesia”, Report P4D 1998-11, Support for Decentralization Measures, GTZ-Jakarta. Commonwealth Foundation (1999) Citizens and governance: civil society in the new millennium, London, Eng: Commonwealth Foundation. Gellner, E. (1991) “Civil Society in Historical Context”, International Social Science Journal, Vol. 129 No. 43. Gibson, C. & Woolcock, M. (2005) "Empowerment and local level conflict mediation in Indonesia: a comparative analysis of concepts, measures, and project efficacy," Policy Research Working Paper Series 3713, The World Bank Hall, John A., (1995) “In Search of Civil Society” in John A. Hall (ed.), Civil Society. Theory, History, Comparison, Cambridge: Polity Press, 1995. Malena, C, Forster, R. and Singh, J. (2004) “Social Accountability: An Introduction to the Concept and Emerging Practice” Washington: The World Bank, Social Development Paper No. 76.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Narayan, D.C., Chambers, R., Shah, M.K and Petesch, P (2001) Voices of the Poor: Crying out for Change, Washington DC: World Bank, 2001. Rahman, A. (2005) “People’s Budgeting at the Local Government Level in Bangladesh”, Cited in Participatory Planning and Budgeting at the Subnational Level, Department of Economic and Social Affairs, United Nations. Thindwa, J. (2006) “Entry Points for Civil Society to Influence Budget Processes” PowerPoint presentation during the training/workshop on Budget Analysis and Tanzania’s Participatory Public Expenditure Review (PPER) conducted by the Research on Poverty Alleviation and the World Bank Institute. 20–23 January. Tornquist, O. (2004) “Indonesia: Problems and Options for democratization”, Economic and Political Weekly, Vol 39 no. 10. Wagle, S., and Shah P. (2002) “Participation in Public Expenditure Systems. Participation and Civic Engagement Group. Social Development Department”, The World Bank. January. Available: www.worldbank.org/ participation/webfiles/pem.pdf. World Bank Institute (2006) “General Social Accountability Concepts and Tools”, Presentation by Karen Sirker. World Bank Institute: Washington DC. Available: www.icgfm.org/documents/Sirker.ppt# 256
343
Partisipasi, Akuntabilitas dan Peran Civil Society dalam Peningkatan Kinerja Daerah Budi Setiyono
344
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
KEBIJAKAN OPEN RECRUITMENT PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL DI DAERAH Oleh: Samiaji Peneliti Muda Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 email :
[email protected]
Abstrak: Reformasi politik dengan menerapkan sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung membuat PNS di daerah terkelompokkan dalam faksi-faksi. Mereka cenderung berpihak kepada calon kepala daerah tertentu yang mereka jagokan sebagai pemimpin kepala daerah, bahkan tidak sedikit mereka yang menjadi tim sukses. PNS yang menjadi tim sukses tentu akan berharap apabila calon kepala daerah yang mereka usung terpilih, mereka akan mendapat imbal jasa seperti posisi dalam jabatan struktural di pemerintahan. Dalam hal ini terjadi politisasi birokrasi dalam pemerintahan di daerah. Harus diakui, seiring dengan euphoria otonomi daerah, banyak jabatan struktural di kabupaten/kota yang dijadikan pundi-pundi oleh bupati/walikota. Kebijakan open bidding diharapkan dapat menemukan sosok pejabat yang memiliki kompetensi dan memiliki integritas yang tinggi. Seseorang yang kompeten dan berintegritas dapat menduduki jabatan tertentu jika telah memenuhi persyaratan yang diminta, tanpa perlu adanya kedekatan dengan pemberi jabatan. Dalam open bidding, persyaratan untuk menduduki jabatan ditentukan dengan jelas dan melalui proses kompetisi terbuka. Kebijakan ini diharapkan dapat membentengi pemerintah daerah dari praktek politisasi birokrasi. Kata Kunci: reformasi politik, open bidding, kompetensi, integritas.
LATAR BELAKANG Istilah lelang jabatan semakin populer di kalangan masyarakat, terutama sejak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo melaksanakan lelang jabatan camat dan lurah di wilayahnya. Sebenarnya, lelang jabatan yang dilaksanakan Jokowi bukan hasil ‘karangan’ Jokowi namun semata-mata hanya menjalankan Surat Edaran Menteri
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi (Menpan dan RB). SE Menpan dan RB No. 16 Tahun 2012 lahir dengan tujuan untuk menghasilkan pejabat-pejabat (struktural) yang memiliki kompetensi. Hal yang baru dari peraturan tersebut adalah adanya transparansi proses seleksi dimana untuk pengisian jabatan structural harus dilakukan dengan mekanisme seleksi terbuka.
345
Kebijakan Open Recruitmen Pengisian Jabatan Struktural di Daerah Samiaji
Dalam prakteknya, pengangkatan PNS kedalam jabatan structural selama ini masih diwarnai praktek-praktek KKN sehingga untuk mendapatkan orang yang tepat pada jabatan yang tepat belum dapat diwujudkan. Prinsipprinsip profesionalisme, keterbukaan, tidak diskriminatif, keselarasan gender dan berbasis kompetensi dalam proses seleksi belum dapat diwujudkan. Meskipun demikian sebenarnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural bahwa pengangkatan PNS dalam jabatan structural harus mempertimbangkan aspek kompetensi dan kinerja. Oleh karena itu untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam PP No. 13 tahun 2002 dan sejalan dengan semangat dan tuntutan program percepatan reformasi birokasi maka diperlukan adanya upaya penataan sumber daya aparatur, dimana salah satunya adalah dalam penempatan seseorang dalam jabatan. Penempatan seseorang dalam jabatan yang selama ini dilakukan adalah dengan mekanisme BAPERJAKAT. Dengan mekanisme seperti ini menutup akses bagi PNS yanag memiliki kompetensi dan berkinerja baik. Oleh karena itu dalam rangka mendapatkan seorang pejabat yang kompeten, professional dan sesuai dengan syarat jabatan, maka dilakukan dengan mekanisme seleksi terbuka (open bidding, open recruitment). Mekanisme seleksi terbuka ini dimaksudkan untuk menjamin kualitas PNS yang akan menduduki suatu jabatan. Dari sisi manajemen kepegawaian, seleksi terbuka diharapkan akan mampu menempatkan seorang birokrat sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.
346
Dengan seleksi terbuka ini akan diketahui seorang birokrat lebih tepat ditempatkan di bagian administrasi/staf (supporting staff) ataukah yang bersangkutan memiliki kemampuan leadership yang memadai sehingga tepat untuk dijadikan pimpinan (leader/manajer). Tidak hanya itu, melalui seleksi terbuka juga akan diperoleh pemimpin yang tepat dan mumpuni di bidangnya. Pada gilirannya, akan tercapai adanya kesesuaian kemampuan dengan jabatan seseorang sehingga akan terpilih pejabat yang professional dan dalam jangka panjang akan tercipta birokrasi yang andal. Namun demikian dinamika yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan seleksi terbuka untuk pengisian jabatan structural diwarnai oleh berbagai isu menarik. Sebut saja penolakan sejumlah warga Kecamatan Lenteng Agung Jakarta Selatan terhadap terpilihnya seorang Camat Wanita, dimana penolakan tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan keyakinan. Belum lagi isu terkait dengan “job seeker” dan lain sebagainya. KONSEP DAN KEBIJAKAN OPEN RECRUITMENT 1. Konsep Open Recruitment Open recruitment atau open bidding atau ada yang menyebut dengan lelang jabatan sebenarnya bukan hal baru dalam perspekif administrasi publik. Dalam konsep New Public Management (NPM), metode ini sudah dikenalkan dan dipraktekkan di negara-negara Barat, seperti Singapura dan New Zealand. Tujuannya adalah untuk memilih aparatur yang memiliki kapasitas, kompetensi dan integritas yang memadai untuk mengisi posisi/jabatan tertentu sehingga dapat menjalankan tugas yang lebih efektif dan efisien Open recruitment merupakan salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena rekrutmen jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
indikator tertentu dan dilakukan oleh pihak yang netral dan kompeten melakukan seleksi. Sebetulnya konsep open recruitment atau lelang jabatan ini tidak jauh berbeda dengan fit and proper test. Namun demikian, gebrakan ini cukup menyita perhatian publik, bahkan menjadi topik aktual beberapa media massa bulan terakhir ini. Isu ini semakin menarik karena banyak orang yang kurang memahami istilah lelang jabatan. Ada persepsi bahwa lelang jabatan sama seperti lelang atau tender dalam proses pengadaan barang dan jasa. Bahkan ada pula menduga bahwa, lelang jabatan akan membuka celah munculnya KKN seperti halnya dalam praktek lelang pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan. Padahal sejatinya lelang jabatan justru bisa memperkecil potensi KKN karena dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh assesment centre. Salah satu tujuan dari open recruitment ini adalah untuk mengikis image negatif PNS yang selama ini melekat dimasyarakat, yaitu PNS malas dan berkinerja rendah yang diakibatkan budaya birokrasi yang masih primordial dan cenderung feodal, budaya dilayani bukan melayani sehingga membuat PNS berorientasi kekuasaan. ditambah lagi dengan euphoria reformasi, dimana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, hal ini secara tidak langsung akan membuat PNS yang ada di daerah menjadi terkotakkotak. PNS yang pada saat Pilkada menjadi tim sukses tentu akan berharap apabila calon kepala daerah sukses tentu akan imbal jasa seperti posisi dalam jabatan structural di pemerintahan.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Namun ketika persyaratan untuk menduduki jabatan ditentukan dengan jelas prosesnya, terbuka, melalui proses kompetisi terbuka tentunya dapat menghindarkan dari praktek politisasi birokrasi dan apabila ini dapat lakukan dengan sungguh-sungguh, maka insentif bagi PNS untuk terlibat dalam politik praktis dalam rangka memenangkan 1 calon kepala daerah bisa di hindarkan . Disamping itu apabila pola open recruitment dilakukan dengan benar, maka akan dapat mendorong mobilitas PNS antar tingkat pemerintahan dan antar sector. Kebijakan open recruitment atau dikenal juga dengan seleksi terbuka merupakan kebijakan yang diharapkan dapat mencari sosok pejabat yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan oleh suatu jabatan. Dengan demikian, hasil dari seleksi terbuka adalah terpilihnya pejabat-pejabat yang berkompeten, memiliki integritas dan yang terpenting adalah bahwa mereka yang terpilih adalah figure-figur yang memang layak untuk menduduki jabatan tersebut. Kebijakan ini muncul karena banyaknya fenomena yang terjadi, terutama di daerah, dalam pengangkatan seseorang kedalam suatu jabatan “belum” mempertimbangkan kompetensi yang bersangkutan. Bahkan yang terjadi adalah pengangkatan seseorang kedalam suatu jabatan tertentu disebabkan karena seseorang menjadi tim sukses pada saat Pemilukada. Pengangkatan seseorang kedalam suatu jabatan adalah dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat sebagai pemegang saham, karena 1
Agus Dwiyanto, disampaikan pada pembukaan Diskusi Terbatas tentang Open Recruitment Pengisian Jabatan Struktural di Daerah yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah pada tanggal 21 Agustus 2013
347
Kebijakan Open Recruitmen Pengisian Jabatan Struktural di Daerah Samiaji
rakyat sebagai pembayar pajak memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemangku jabatan, sebagaimana dikemukakan oleh Dwiyanto bahwa jabatan itu sebenarnya adalah bagian dari akuntabilitas. yang namanya tax payers, yang membayar pajak itu mempunyai hak untuk dilayani oleh orang yang paling kompeten, oleh orang yang terbaik. 2.
Kebijakan Open Recruitment Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam jabatan struktural merupakan salah satu dari manajemen PNS sebagai aparatur negara yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jahatan Struktural. Oleh karena itu tanpa kegiatan pelaksanaan lelang jabatan, kegiatan pengangkatan PNS dalam jabatan struktural sudah cukup baik jika dilakukan sesuai dengan peraturan diatas. Fokusnya tinggal bagaimana pelaksanaannya saja yang diperbaiki agar tidak menyimpang dari peraturan tersebut. Proses o p e n r e c r u i t m e n t a t a u lelang jabatan atau sebetulnya memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Didalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah diatur mengenai wewenang kepala daerah untuk menentukan struktur Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan pengisian jabatannya. Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok Pokok Kepegawaian juga sudah mengatur tentang persyaratan pengisian jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada pasal 17 ayat 2 disebutkan bahwa Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan.
348
berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras atau golongan. Bebagai persoalan dalam pengangkatan seseorang kedalam jabatan structural yang selama ini terjadi adalah banyaknya pejabat yang diangkat untuk menduduki suatu jabatan tidak sesuai dengan persyaratan jabatan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hubungan emosional antara pejabat yang memiliki wewenang dibidang kepegawaian dengan orang tersebut, sehingga substansi pengangkatan jabatan tersebut tidak menjadi pertimbangan. Banyak kasus yang terjadi di daerah, dimana pengangkatan kedalam jabatan structural hanya disebabkan oleh hubungan emosional semata. Misalnya saja, seorang guru diangkat kedalam berbagai jabatan seperti kepala dinas, kabag humas atau camat hanya disebabkan yang bersangkutan menjadi tim sukses Kepala Daerah pada saat Pemilukada. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana akan memberikan pelayanan kepada masyarakat bila yang menjadi pimpinan adalah bukan dari orang-orang yang kompeten, tidak memahami persoalanpersoalan yang ada di masyarakat. Menyikapi permasalahan-permasalahan seperti ini, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi merespon dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomo 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural Yang Lowong Secara Terbuka. DINAMIKA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OPEN RECRUITMENT Didalam bagian ini akan dikemukakan dinamika implementasi dari kebijakan ini,
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
yang menyangkut pengalaman empiris dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kota Samarinda dan pengalaman empiris di Lembaga Administrasi Negara dalam implementasi open recruitment tersebut. 1.
Lelang Jabatan di Provinsi DKI Jakarta Sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu bahwa open recruitment atau open bidding atau di DKI Jakarta dikenal dengan sebutan lelang jabatan merupakan langkah yang ditempuh pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengangkat calon lurah dan camat dengan mekanisme seleksi terbuka atau lelang jabatan, dimana setiap warga Jakarta berkesempatan untuk turut serta dalam proses tersebut. Proses seleksi terbuka ini membuat regenerasi pegawai berlangsung lebih cepat dan transparan. Melalui sistem lama, seorang lurah bisa menghabiskan waktu hingga 12 tahun 2 sebelum bisa menjadic amat . Setiap jenjang karier bisa memakan waktu empat tahun sebelum mendapat promosi. Selain itu, proses lelang jabatan ini juga memberi kesempatan bagi PNS di luar bidang pemerintahan untuk menjadi camat dan lurah. Sebelumnya, dalam pola karier tertutup, hanya PNS di bidang pamong atau pemerintahan yang bisa menempati kedua posisi itu. "Bisa dibilang ini lompat galah untuk karier PNS, karena dulu sangat kecil kemungkinan PNS dari bidang lain menjadi camat atau lurah," Padahal,
2
I Made Karmayoga, Pengalaman empiris Provinsi DKI Jakarta dalam pelaksanaan lelang jabatan, disampaikan dalam Diskusi tentang Open Recruitment Pengisian Jabatan Struktural di Daerah yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN pada tanggal 21 Agustus 2013
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
banyak juga PNS yang mampu menjadi lurah atau camat meski bukan berlatar belakang karier pemerintahan. Bisa dari bidang kebersihan atau kesehatan. Terbukti, ada dokter dan PNS berlatar pendidikan kesehatan masyarakat yang kini menjadi camat dan lurah. Pelaksanaan lelang jabatan di DKI Jakarta dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : a. Pegawai melakukan registrasi melalui website b. Peserta mendownload dan mengirim berkas kelengkapan c. Panitia memeriksa kelengkapan dan kesesuaian berkas lamaran d. Pengumuman hasil seleksi administrasi e. Pelaksanaan tes tertulis (kompetensi bidang) f. Pengumuman Skor tes kompetensi bidang g. Pelaksanaan tes online kompetensi manajerial dan wawancara h. rekapitulasi hasil tes manajerial dan kompetensi i. Pengumuman hasil seleksi final (3 calon terbaik) j. Baperjab dan Persetujuan Gubernur k. Pengumuman Hasil Baperjab l. Pelantikan Ada beberapa kriteria yang menjadi tolok ukur hasil seleksi terbuka bagi jabatan Camat dan Lurah di DKI Jakarta, yaitu 1) sangat memenuhi syarat (SMS), 2) memenuhi syarat (MS), 3) cukup memenuhi syarat (CMS), 4) masih memenuhi syarat (MMS) dan 5) belum memenuhi syarat. Pada awalnya pemerintah DKI Jakarta hanya menginginkan penilaian cukup dengan 3 (tiga) kriteria saja yaitu sangat memenuhi syarat, memenuhi syarat dan cukup memenuhi syarat. Akan tetapi
349
Kebijakan Open Recruitmen Pengisian Jabatan Struktural di Daerah Samiaji
karena terbentur aturan, yaitu di PP 100 yang menyatakan bahwa tidak bisa melakukan demosi, maka ditambahkan satu kriteria lagi yaitu masih memenuhi syarat. Hal ini untuk mengakomodir pejabat-pejabat yang sedang menjabat dan ikut mendaftar lelang jabatan ini. Menurut I Made Karmayoga, Kepala BKD Provinsi DKI Jakarta bahwa jika penambahan kriteria kelulusan ini adalah salah satu bentuk kompromi dalam rangka mengakomodir pejabat yang masih menduduki jabatan karena kalau tidak diakomodir maka sebanyak 35% jabatan lurah dan camat akan hilang. Lelang jabatan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah untuk Jabatan Lurah dan Camat untuk seluruh wilayah DKI Jakarta dan diikuti tidak saja oleh Lurah dan Camat yang masih aktif menjabat, akan tetapi juga diikuti oleh PNS yang non definitive atau yang bukan menjabat sebagai Camat dan Lurah. 2.
3
Seleksi Terbuka di Kota Samarinda Sebagaimana yang dilakukan oleh Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kota Samarinda juga telah melakukan proses open recruitment untuk jabatan structural di lingkungan Pemerintah Kota Samarinda. Menurut Walikota Samarinda sebagaimana dikutip oleh Kepala BKD Kota Samarinda dinyatakan bahwa “seleksi kompetensi ini merupakan sebuah tuntutan pelayanan public yang lebih berkualitas, terbuka, murah, cepat 3 dan terjamin dari celah KKN” .
Indra Hadi, Pengalaman Empiris Kota Samarinda dalam pelaksanaan open recruitment pejabat structural dilingkungan Pemerintah Kota samarinda, disampaikan pada Diskusi Terbatas tentang Open Recruitmen Pengisian Jabatan Struktural di Daerah yang diselenggarakan oleh
350
Pernyataan tersebut merupakan komitment Kepala Daerah Kota Samarinda dalam mendukung program reformasi birokrasi, dimana salah satunya adalah dengan melakukan seleksi terbuka terhadap calon pejabat yang akan menduduki kursi kepemimpinan di lingkungan pemerintah Kota Samarinda. Dengan berpedoman pada SE MENPAN&RB Nomor 16 Tahun 2012 tentang Tatacara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah, Pemerintah Kota Samarinda menjadikan edaran tersebut sebagai dasar untuk lepas dari tekanan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penempatan calon pejabat structural terutama dalam posisi yang strategis. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala BKD Kota Samarinda bahwa tujuan akhir dari open recruitment di lingkungan Pemerintah Kota Samarinda adalah agar dapat dihasilkan calon-calon pejabat yang professional, berkinerja tinggi, memiliki kompetensi sesuai uraian dan syarat jabatan serta memiliki integritas. Berbeda dengan DKI Jakarta yang Pemerintah Kota Samarinda melakukan rekruitmen terbuka untuk mengisi jabatan yang lowong. Sejak tahun 2010, Pemerintah Kota Samarinda telah melakukan pengisian jabatan structural dengan menggunakan uji kelayakan (fit and proper test) dengan metode psikotest dan wawancara. Perbedaan dengan metode terbuka atau lelang jabatan hanya pada proses penentuan peserta uji kelayakan, dimana peserta uji kelayakan sebelum adanya SE MENPAN dan RB Nomor 16 Tahun 2012 diseleksi Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah pada tanggal 21 Agustus 2013.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
secara terbatas, tidak dipublikasi secara luas. Sejak Januari 2013 hingga saat ini, Pemerintah Kota Samarinda telah melaksanakan kegiatan lelang jabatan sebanyak 2 kali, yaitu tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 12-14 Februari 2013, dimana pada tahap ini dilelang sebanyak 16 jabatan yang terdiri dari 1 jabatan eselon II, 4 jabatan eselon II dan 11 jabatan eselon IV. Pada tahap pertama ini, lelang jabatan diikuti oleh 125 orang pelamar. Sementara untuk tahap kedua lelang jabatan dilaksanakan pada 7-8 Juni 2013, dimana jabatan lowong yang dilelang adalah 6 jabatan terdiri dari 4 jabatan eselon II dan 2 jabatan eselon IV, diikuti oleh sebanyak 37 orang pelamar. Secara umum, metode lelang jabatan di Kota Samarinda mengacu kepada SE MENPAN&RB Nomor 16 Tahun 2012, dan untuk menjaga integritas dan independensi proses lelang jabatan tersebut dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap seleksi administrasi dilakukan oleh Badan Kepegawaian Kota Samarinda dan seleksi kompetensi dilaksanakan sepenuhnya oleh PKP2A III LAN Samarinda. Sebagai sebuah metode yang relatif baru dalam manajemen kepegawaian tentunya metode lelang jabatan ini akan memiliki dampak. Menurut Kepala BKD Kota Samarinda, paling tidak ada dua dampak dari pelaksanaan lelang jabatan ini, yaitu : a.
civil affect dari hasil lelang jabatan, dimana terjadi pemenang lelang jabatan yang memiliki pangkat/golongan yang lebih rendah dari pejabat structural setingkat dibawahnya atau dengan staf bawahannya;
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
b.
change management menuntut perubahan mindset dan perilaku yang tidak dapat dilakukan secara instan.
Yang menarik dalam pelaksanaan kegiatan open recruitment ini, bahwa kedepan Pemerintah Kota Samarinda akan mengadopsi konsep talent management, dimana pada calon pejabat secara bertahap dan hasil seleksi akan dimasukkan kedalam talent poll. Untuk tahun 2013 ini BKD Kota Samarinda akan melakukan assessment centre untuk seluruh pejabat eselon III/a untuk kemudian dilakukan pemeringkatan dan data disimpan dalam database talent pool, sehingga apabila ada kekosongan jabatan untuk eselon II/b, maka untuk mengisi kekosongan tersebut akan diambil dari database talent pool, dengan begitu pemerintah daerah tidak perlu lagi melakukan serangkaian test untuk menempatkan seseorang kepada jabatan yang lowong karena pemerintah daerah telah memiliki database pejabat-pejabat yang memenuhi kriteria untuk menduduki suatu jabatan. 3.
Seleksi Terbuka Jabatan Eselon I di Lembaga Administrasi Negara Pada tahun 2013, Lembaga Administrasi Negara telah memulai pengisian jabatan structural, khususnya Eselon I dengan melalui pengembangan merit system melalui mekanisme seleksi terbuka (open bidding). Melalui seleksi diharapkan prinsip profesionalisme, keterbukaan, tidak diskriminatif, kesetaraan gender dan berbasis kompetensi dapat diwujudkan. Prinsip-prinsip ini tentunya membuka peluang bagi semua PNS Pusat dan Daerah serta Perguruan Tinggi untuk dapat mengikuti seleksi terbuka ini. Dengan mekanisme seleksi terbuka ini diharapkan diperleh calon-calon
351
Kebijakan Open Recruitmen Pengisian Jabatan Struktural di Daerah Samiaji
pemangku jabatan structural yang qualified yang memiliki integritas, dedikasi dan kompetensi yang diharapkan. Pelaksanaan seleksi terbuka di Lembaga Administrasi Negara dilakukan dengan beberapa tahapan, dimana tahapantahapan yang dilaksanakan merupakan langkah strategis dan sistematis. Adapun tahapan dalam pelaksanaan seleksi terbuka di Lembaga Administrasi Negara adalah sebagai berikut : a.
Pembentukan Panitia dan Tim Sekretariat Panitia Seleksi Pada tahap ini, Kepala LAN Selaku Pejabat Pembina Kepegawaian melakukan rapat persiapan dalam rangka merumuskan kegiatan dan pembentukan panitia seleksi. Keanggotaan panitia seleksi terdiri dari 1 (satu) orang pengarah, 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota. Susunan pengurus panitia seleksi ditetapkan dengan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 12/K.1/HKM.03.1/2013. Guna memperkuat kinerja panitia seleksi, maka dibentuk pula tim sekretatiat panitia seleksi, dimana tugas dari tim secretariat ini adalah memberikan dukungan tugas-tugas pelayanan teknis dan administrative dalam rangka terselenggaranya pelaksanaan seleksi terbuka. Susunan keanggotaan tim secretariat panitia seleksi terdiri pengarah, ketua, sekretaris, sub bidang seleksi administrasi, sub bidang pelaksanaan seleksi dan anggota.
352
b.
Perencanaan, Pengumuman, Persyaratan dan Pelamaran 1. Perencanaan Perencanaan seleksi terbuka calon pejabat struktural eselon I di lingkungan LAN, meliputi: a. Penghitungan biaya penganggaran; b. Inventarisasi jabatan yang akan diseleksi secara terbuka; c. Syarat jabatan; d. Pengumuman; e. Penyiapan materi ujian; f. Penyiapan sarana dan prasarana yang diperlukan; g. Pelamaran; h. Seleksi administrasi persyaratan pelamar; i. Pengumuman hasil seleksi administrasi; j. Pelaksanaan seleksi yang meliputi Pembuatan Makalah, Wawancara; k. Assessment l. Keputusan hasil seleksi. m. Pengumuman final hasil seleksi terbuka. 2.
Pengumuman Dalam rangka memberikan informasi yang seluas-luasnya bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan untuk menjaring para pelamar sebanyak-banyaknya, Kepala LAN selaku Ketua Panitia Seleksi telah menerbitkan Surat Pengumuman Nomor : 2774/K.1/KPW.02.1 tentang Pengumuman Seleksi Terbuka Jabatan Struktural Eselon I Lembaga Administrasi Negara. Pengumuman sebagaimana
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
dimaksud, telah diinformasikan melalui webside Lembaga Administrasi Negara dan webside Kementerian PAN dan RB. Selain melalui media elektronik pengumuman seleksi terbuka juga diumumkan melalui media massa.
f.
g.
Substansi muatan dalam pengumuman mencakup antara lain : Formasi jabatan struktural eselon I yang akan diseleksi, syarat pendaftaran, kententuan batas pendaftaran, dan persyaratan pendaftaran. 3.
Persyaratan Pelamar Bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan syarat yang ditentukan dalam pengumuman, PNS yang bersangkutan dapat melamar untuk mengikuti seleksi terbuka. Persayaratan sebagaimana dimaksud terdiri dari :
h. i. j.
4.
Persyaratan Administrasi Bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi persyaratan pelamar sesuai dengan ketentuan di atas, selanjutnya para pelamar melengkapi berkas/dokumen persyaratan administrasi yang terdiri dari : a.
a. b.
c.
d.
e.
Status Pegawai Negeri Sipil; Sekurang-kurangnya memiliki pangkat Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c dan telah menduduki jabatan Eselon II minimal 2 (dua) tahun; Berusia setinggi-tingginya 57 (lima puluh tujuh) tahun pada bulan Januari 2013; Kualifikasi pendidikan minimal Sarjana (S-1), diutamakan Magister/Pasca Sarjana (S-2); Telah mengikuti dan lulus Diklat Kepemimpinan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Tingkat II dan/atau Diklat Kepemimpinan Tingkat I; Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurangkurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; Tidak pernah/sedang menjalani hukuman disiplin; Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan; Sehat jasmani dan rohani; Telah menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi yang telah menduduki jabatan Eselon II/a) dan SPT tahunan.
b. c. d. e.
f.
Surat persetujuan dari Pejabat Pembina Kepegawaian instansi yang bersangkutan; Foto copy ijazah yang dipersyaratkan; Foto copy SK. Pangkat terakhir; Foto copy SK. Pengangkatan dalam jabatan terakhir; Foto copy Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPL) jabatan struktural terakhir minimal Diklat Pimpinan Tingkat II; Foto copy DP 3 dalam 2 (dua) tahun terakhir;
353
Kebijakan Open Recruitmen Pengisian Jabatan Struktural di Daerah Samiaji
g.
h.
i.
j.
5.
c.
354
Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) Asli dan masih berlaku; Surat keterangan Kesehatan jasmani dari Dokter Pemerintah; Surat Keterangan kesehatan rohani dari Dokter Jiwa/Psikiater; Surat Keterangan Bebas Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Zat Adiktif lainnya dari Dokter.
pelamar yang dinyatakan lulus seleksi administrasi. Hasil seleksi administrasi akan diumumkan melalui website Lembaga Administrasi Negara dan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2.
Seleksi Pembuatan Makalah Bagi pelamar yang dinyatakan lulus seleksi administrasi, akan dipanggil melalui surat atau media website LAN dan website MENPAN dan RB untuk mengikuti seleksi pembuatan makalah dengan tulisan tangan langsung pada tempat yang telah ditentukan dan disaksikan oleh Panitia Seleksi dan atau Sekretariat Panitia Seleksi. Tema pembuatan makalah ditentukan oleh Tim Pansel yang berkaitan dengan visi misi oraganisasi LAN dan rencana aksi sesuai dengan jabatan yang dilamar kaitannya dalam rangka menyongsong reformasi birokrasi di Lembaga Administrasi Negara.
3.
test wawancara; Berdasarkan hasil seleksi Profile Assesment selanjutnya akan dilakukan wawancara dan gabungan dari hasil Profile Assesment dan wawancara tersebut akan menghasilkan masing-masing jabatan sebanyak 3 (tiga) orang calon yang akan disampaikan melalui laporan tertulis oleh Panita Seleksi kepada Kepala Lembaga Administrasi Negara. Makalah yang dikumpulkan kemudian dinilai oleh Panitia Seleksi, dan pada jadwal waktu yang telah
Ketentuan Pengiriman Lamaran Persyaratan administrasi yang telah lengkap sesuai dengan ketentuan, selanjutnya dimasukkan dalam amplop tertutup dan lamaran ditujukan kepada Panitia Seleksi Terbuka Jabatan Struktural Eselon I di lingkungan Lembaga Administrasi Negara dan dikirim melalui PO. BOX 2842 JKP. 10028.
Pelaksanaan Seleksi Seleksi terbuka calon pejabat Strtuktural Eselon I di lingkungan LAN dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh Panitia Seleksi. Langkah-langkah dan tahapan pelaksanaan seleksi, dilaksanakan sebagai berikut : 1. seleksi administrasi Seleksi administrasi meliputi kelengkapan berkas, keseuaian persyaratan dan keabsahan dokumen. Rekapitulasi data hasil verifikasi dilakukan oleh Tim Sekretariat dan selanjutnya disampaikan kepada Pansel untuk diseleksi dan ditetapkan dalam pengumuman yang memuat daftar nama-nama
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
ditetapkan, pada tahap ini peserta seleksi memaparkan gagasan serta visi mereka terkait dengan jabatan yang mereka lamar di hadapan Tim Pansel untuk menilai dan menggali ketajaman substansi materi makalah terkait dengan syarat kompetensi jabatan. 4.
test penilaian individu (assestment test); Hasil seleksi makalah dilanjutkan seleksi tahap berikutnya yaitu tahap seleksi Profile Assesment dengan tujuan menilai aspek kompetensinya, karakter pribadi calon yang meliputi integritas, kedewasaan, dan wawasan sebagai birokrasi. Penilaian profil (profile assessment), dilakukan oleh Tim Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT-UI).
IMPLIKASI KEBIJAKAN Setiap kebijakan tentu ada implikasi terhadap sebuah system. begitu pula halnya dengan kebijakan pengangkatan jabatan structural dengan mekanisme seleksi terbuka, baik implikasi yang bersifat positif maupun negatif. Sisi positif dari kebijakan ini diharapkan membawa dampak sebagai berikut; 1.
mengurangi mismatch antara kompetensi dan jabatan. dengan seleksi terbuka yang dilaksanakan sungguhsungguh maka akan terpilih sosok pejabat yang memiliki kompetensi dan profesionalitas yang memadai sesuai dengan persyaratan jabatan.
2.
mengurangi praktek politisasi birokrasi. banyak terjadi di daerah ketika terjadi pergantian kepala daerah sering pula
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
dibarengi dengan pergantian para pejabat-pejabat strukturalnya. Namun ketika persyaratan untuk menduduki jabatan ditentukan dengan jelas dan prosesnya dilakukan dengan terbuka, melalui proses kompetisi maka insentif bagi PNS untuk terlibat dalam politik praktis dalam rangka memenangkan calon kepala daerah bisa kita hindarkan. 3.
dengan adanya open recruitment atau seleksi terbuka, maka persaingan positif akan terbuka. Dengan adanya persaingan mendorong semangat bagi peningkatan kualitas, kinerja dan disiplin PNS. Selama ini PNS yang duduk dalam jabatan tertentu masih banyak yang belum teruji kualitasnya. Disamping itu budaya birokrasi kita masih mengindikasikan adanya keterkaitan emosional dan ekonomis tertentu dalam mendudukkan seseorang dalam jabatan. Keterkaitan emosional seperti adanya kedekatan secara kekerabatan, maupun kedekatan secara organisasi. Keterkaitan secara ekonomis terkait dengan jual beli jabatan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik tertentu.
4.
bagi pejabat Pembina kepegawaian dan pejabat eselon I, II yang berwewenang dalam member mandat bagi PNS dalam jabatan tertentu, seleksi terbuka dapat bermanfaat untuk menghindarkan diri dari intervensi berbagai fihak yang berusaha menempatkan “orangnya” dalam jabatan strategis di lingkungan masingmasing. Jabatan politik dan kepartaian saat ini memiliki bargaining position untuk mempengaruhi keputusan pejabat public, karena memang atasan pejabat public secara structural adalah pejabat politik (menteri, gubernur dan
355
Kebijakan Open Recruitmen Pengisian Jabatan Struktural di Daerah Samiaji
5.
seterusnya) memperkuat sistem managemen karir berdasarkan merit sistem dimana terbuka peluang yang sama bagi setiap PNS untuk meningkatkan karir berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. Selama ini terkesan proses rekrutmen PNS dalam jabatan yang dilakukan oleh Baperjakat berjalan kurang objektif dan transparan sehingga PNS malas untuk meraih prestasi tertentu. Ada kesan kemampuan adalah nomor dua, nomor satunya adalah kedekatan dengan pejabat dan factor nasib.
organisasi. Selama ini ada kesan orang susah untuk menerima kedatangan orang lain di lingkungan kerjanya, apalagi dengan tujuan melakukan perubahan, REKOMENDASI KEBIJAKAN Dari dinamika diskusi yang berkembang, maka dapat diberikan rekomendasi sebagai berikut : 1.
Kebijakan open recruitmen adalah kebijakan yang sangat tidak populer terutama bagi “mereka” yang sudah merasa nyaman menduduki suatu jabatan. Oleh karena itu perlu adanya regulasi guna pengaturan lebih lanjut tentang open recruitment, sehingga tidak akan terjadi gugatan oleh pihak-pihak tertentu dikemudian hari.
2.
bahwa open recruitment atau lelang jabatan tentu saja akan menarik perhatian orang, namun kadang ada pula orang-orang yang memiliki kompetensi yang enggan untuk mengikuti proses tersebut. ada baiknya bagi mereka yang enggan mengikuti atau mendaftar perlu adanya mekanisme agar pimpinan yang bersangkutan dapat mengikutsertakan dalam proses tersebut.
3.
bahwa open recruitment atau lelang jabatan adalah suatu proses yang transparan untuk memilih calon-calon pejabat yang kompeten, namun perlu diwaspadai adanya “job seeker”. Oleh karena itu keberadaan database pejabatpejabat yang telah mengikuti proses seleksi ini sangat diperlukan, sehingga kedepannya, apabila kebutuhan untuk melakukan seleksi terbuka, maka panitia seleksi hanya perlu membuka database yang ada dan bila masih tersedia pejabatpejabat yang memenuhi kriteria maka yang bersangkutan tidak perlu mengikuti proses pendaftaran untuk mengikuti
Sementara itu, implikasi negatif dari kebijakan ini adalah : 1.
2.
3.
356
bahwa tidak bisa dihindari adanya seseorang yang terpilih dalam proses open recruitment memiliki pangkat/golongan yang lebih rendah dari pejabat dibawahnya atau dengan staf bawahannya. Jika ini terjadi maka akan menambah permasalahan baru khususnya di bidang manajemen kepegawaian. tidak dapat dihindari munculnya “job seeker”. Fenomena ini harus menjadi pemikiran dari pengambil kebijakan. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mendefinisikan job seeker tersebut. Jika job seeker didefinisikan sebagai seseorang (PNS) yang mengikuti proses ini dimana-mana ini tentu menjadi persoalan, tetapi apabila job seeker di definisikan sebagai sekelompok orang (PNS) yang memiliki aspirasi karir tentu bukan sesuatu yang negatif, justru hal ini dapat dijadikan insentif. perlu diwaspadai munculnya resistensi terhadap pejabat baru bila yang terpilih adalah orang yang berasal dari luar
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
kembali seleksi tersebut. Hal ini pun sebagai upaya efisiensi waktu dan anggaran. 4.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengangkatan seseorang kedalam jabatan tertentu apalagi jabatan yang ada diluar unit instansi yang bersangkutan sudah tentu akan mendapatkan resistensi dari orang-orang yang ada diunit tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan yang tegas agar seseorang yang akan ditunjuk untuk menduduki suatu jabatan tertentu diluar unit kerjanya.
5.
Perlu pengaturan yang tegas terhadap netralitas PNS (birokrasi), hal ini untuk menjaga agar PNS (terutama di daerah) tidak “terkotak-kotak” terutama pada saat Pilkada, karena selama ini fenomena yang ada adalah pengangkatan seseorang dalam jabatan structural sering dikaitkan dengan imbal jasa karena keterlibatannya sebagai tim sukses.
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang lowong secara terbuka Dwiyanto, Agus, 2011, sambutan pada pembukaan diskusi terbatas tentang open recruitment pengisian jabatan structural di daerah yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN pada tanggal 21 Agustus 2013. Hadi, Indra, HA, pengalaman empiris Kota Samarinda, 2013, materi diskusi terbatas tentang open recruitment pengisian jabatan structural didaerah yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN pada tanggal 21 Agustus 2013. Karmayoga, I Made, Paparan diskusi open recruitment pengisian jabatan structural di daerah, yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta, 21 Agustus 2013.
357
Kebijakan Open Recruitmen Pengisian Jabatan Struktural di Daerah Samiaji
358
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
PEMEKARAN DAERAH DI INDONESIA Oleh: Suryanto Peneliti Madya Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Abstrak: Pemekaran daerah merupakan proses pembentukan daerah otonom baru di mana komunitas masyarakat yang berada dalam suatu wilayah tertentu memisahkan diri dari daerah induk untuk membentuk pemerintahan sendiri (self local government). Melalui kebijakan pemekaran, memberikan kemudahan dan peluang yang lebih besar bagi masyarakat di suatu daerah untuk membentuk pemerintahan daerah dengan karakteristik dan identitas lokal tertentu. Dengan demikian adanya pemekaran daerah, sebagai konsekuensi logisnya, akan memunculkan daerah otonom hasil pemekaran atau daerah otonom baru. Keyword: pemekaran daerah, daerah otonom baru
LATAR BELAKANG Pemekaran daerah pada awalnya dilakukan atas dasar pertimbangan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kehidupan berdemokrasi, meningkatkan pengelolaan potensi wilayah, dan meningkatkan keamanan dan ketertiban. Namun pemekaran daerah yang terjadi sampai saat ini justru telah menimbulkan berbagai persoalan, baik menyangkut penataan kelembagaan, kepegawaian/SDM daerah, keuangan, dan sebagainya. Hasil kajian Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (PKKOD LAN, 2007) menunjukkan implikasi pemekaran daerah terhadap pembentukan kelembagaan baru, pola hubungan kerja di daerah pemekaran, politik local, sumber daya manusia, pemberdayaan ekonomi, lingkungan hidup, dan pemberantasan kemiskinan.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Tidak dapat dipungkiri, pemekaran daerah dapat berimplikasi positif terhadap pembangunan daerah, yang mana diakui dan ditunjukkan oleh sekitar 20% daerah yang dikategorikan ‘berhasil’ dalam melakukan pemekaran. Namun sisi lain harus diakui bahwa implementasi pemekaran daerah sering menunjukkan adanya implikasi negative, yang menurut hasil evaluasi DSF, Kemendagri dan tim pakar berada pada angka 1 sekitar 80%. Pemekaran daerah dinilai ‘kurang berhasil’ karena tidak mendukung ke arah pencapaian tujuan otonomi daerah – peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan public, dan daya saing daerah. 1
Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) Tahun 2012 menyatakan bahwa pemekaran daerah belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, sekitar 80% DOHP atau daerah otonom baru (DOB) berada pada kinerja sangat rendah. Evaluasi dilakukan terhadap 205 DOHP.
359
Pemekaran Daerah di Indonesia Suryanto
Diskursus mengenai berhasil atau tidaknya pemekaran daerah sering dikaitkan dengan awal mula pembentukan daerah otonom baru/daerah otonom hasil pemekaran (DOB/DOHP). Argumentasi yang senantiasa dibangun dan didengungkan adalah bahwa pemekaran daerah lebih banyak melihat pada keluaran langsung (output) dan hasil (outcome) daripada prosesnya, sehingga wajar apabila capaiannya dinilai rendah atau belum sesuai. Untuk DOB/DOHP di bawah usia 3 tahun, mungkin dapat dibenarkan bila hanya menilai prosesnya terkait dengan pemenuhan prasyarat sebagai suatu DOB/DOHP. Yang dimaksud dengan pemenuhan prasyarat tadi adalah terkait dengan penataan kelembagaan, pengisian personil, pemindahan ibukota apabila ibukotanya dipindahkan, dan seterusnya. Prasyarat-prasyarat tersebut diperlakukan sebagai kondisi pemungkin (enabler) bagi pencapaian kinerja daerah. Namun demikian, bagi DOB/DOHP berusia di atas 3 tahun, tentu penilaiannya bukan hanya pada ‘proses’ tetapi juga pada output maupun outcome karena daerah yang bersangkutan dianggap telah siap untuk menjalankan urusan pemerintahan yang dibebankan kepadanya. Kebijakan pemekaran daerah itu sendiri bukanlah merupakan hal yang sama sekali baru dalam implementasi pemerintahan daerah di Indonesia. Pada masa lalu, pemekaran juga telah dilakukan yaitu dengan membentuk provinsi, kotamadya dan kabupaten baru pada beberapa wilayah yang dianggap memiliki wilayah terlalu luas sehingga spant of control-nya terlalu luas. Namun pemekaran daerah yang dilakukan pada awal reformasi sedikit berbeda karena inisiatif pemekaran bukan hanya dari Pemerintah akan tetapi juga dari anggota DPR RI.
360
Terbukanya dua pintu masuk untuk menyampaikan usul pemekaran daerah ini dinilai semakin mempercepat penambahan daerah otonom baru. Sampai kuartal kedua tahun 2013, jumlah daerah di Indonesia menjadi sebanyak 539 daerah yang terdiri dari 2 34 provinsi, 412 kabupaten dan 93 kota. Jumlah ini relative banyak jika dibandingkan dengan keadaan sebelum tahun 1999 yaitu sebanyak 319 daerah yang terdiri atas 26 3 provinsi, 234 kabupaten, dan 59 kotamadya. Penambahan jumlah daerah otonom baru ini tentunya menjadi tantangan tersendiri, karena mereka harus mampu menunjukkan komitmen sesuai alasan pembentukannya. KONSEP DAN KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH 1. Konsep Pemekaran Daerah Pemekaran daerah merupakan proses pembentukan daerah otonom baru di mana komunitas masyarakat yang berada dalam suatu wilayah tertentu memisahkan diri dari daerah induk untuk membentuk pemerintahan sendiri (self local government). Melalui kebijakan pemekaran, memberikan kemudahan dan peluang yang lebih besar bagi masyarakat di suatu daerah untuk membentuk pemerintahan daerah dengan karakteristik dan identitas lokal tertentu. Dengan demikian adanya pemekaran daerah, sebagai konsekuensi logisnya, akan memunculkan daerah otonom hasil pemekaran atau daerah otonom baru. Daerah otonom menunjuk pada daerah/tempat (geografi), sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 2
disampaikan Mendagri Gamawan Fauzi saat menyampaikan pendapat akhir Presiden di depan Sidang Paripurna DPR- sumber: Indonesia.go.id portal nasional Kemendagri. 3 Ditjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD) Kementerian Keuangan RI
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
daerah otonom diartikan sebagai “Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sementara otonomi daerah menunjuk pada isi otonomi/ kebebasan masyarakat, di mana dengan adanya otonomi tersebut terbentuklah daerah otonom. Otonomi daerah memerlukan kejelasan pembagian kewenangan, sehingga dalam pelaksanaanya pusat akan menjalankan urusan tertentu yang menjadi kewenangannya, demikian pula halnya dengan daerah. Untuk dapat menjalankan desentralisasi, negara perlu dibagi ke dalam daerah otonom dengan batasan wilayahwilayah tertentu yang menjadi otoritasnya. Dari sini muncul permasalahan ketika menentukan daerah-daerah yang akan menjalankan otonomi tersebut. Beberapa pertanyaan yang muncul misalnya bagaimana membagi daerah-daerah dalam suatu negara, berapa jumlah daerah yang layak terbentuk, berapa ukuran suatu daerah yang layak, apa kriteria untuk dapat membentuk suatu daerah baru. Permasalahan pembagian daerah bukan hal yang mudah. Secara konsep daerah otonom sebenarnya bersifat multi-dimensional, dimana merupakan suatu entitas sosial terorganisir yang memiliki perasaan sebagai satu kesatuan. Menurut M.A. Muttalib dan Mohd. Akbar Ali Khan, dimensi-dimensi tersebut mempengaruhi lahir, tumbuh dan berkembangnya suatu daerah. Untuk membentuk, membatasi area pemerintahan daerah, tidak dapat hanya dilihat dari satu faktor. Oleh karena itu pembentukan daerah akan menjadi masalah yang kompleks dengan beragam alasan, kriteria, dan prosesnya.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Trend pemekaran daerah merupakan tuntutan untuk adanya self governance . Dengan demikian tuntutan untuk membentuk daerah baru tersebut dapat timbul akibat berbagai alasan yang sama dengan tuntutan adanya otonomi. Secara normatif pemekaran daerah di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban dan peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah (Pasal 2 PP No. 129 Tahun 2000). Sementara menurut pendapat John Stuart Mill dalam tulisannya “Representative Government”, dikatakan bahwa dengan adanya pemerintahan daerah maka hal itu akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih untuk suatu jabatan politik. Ini dapat menimbulkan motif lain dalam upaya pembentukan daerah yang mungkin saling bertentangan dengan tujuan yang lain (http://www.constitution.org/jsm/rep_gov.ht m). Kemunculan suatu daerah dapat dipengaruhi berbagai faktor. B.C. Smith (1985, pp.64-78) mengemukakan bahwa untuk menentukan suatu wilayah terdapat beberapa prinsip utama yakni, kemasyarakatan (communities), efisiensi, manajerial, teknis, dan prinsip sosial. Berdasarkan prinsip kemasyarakatan, suatu kesatuan sosio ekonomi yang memiliki kesamaan rasa dan identitas dapat menjelma menjadi suatu daerah. Wilayah semacam ini dapat terbentuk dari kebiasaan dan sikap hidup masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dari berbagai kasus yang terjadi di Eropa, hal
361
Pemekaran Daerah di Indonesia Suryanto
ini dapat terjadi karena adanya hubungan yang dekat antara penduduknya, karena pengaruh keagamaan maupun secara sosial, atau karena karakteristik ekonomi suatu daerah. Dengan pertimbangan efisiensi, wilayah dapat ditentukan berdasarkan asumsi tentang ukuran operasional yang bisa memberikan kinerja optimal. Sedangkan menurut prinsip manajerial, area dapat ditentukan berdasarkan struktur manajemen dari organisasi desentralisasi. Secara teknis, pembagian suatu daerah yang optimum ditentukan berdasarkan tata ruang seperti topografi dan sebagainya. Di samping itu dapat pula mengacu pada aspek ekonomi, misalnya terkait dengan lokasi sumber daya alam dan penyebaran industri. Menurut prinsip sosial, wilayah dapat ditentukan oleh mereka sendiri, tanpa menyertakan alasan administratif. Jadi berdasarkan struktur sosial mereka berdasarkan sejarahnya, etnisitas, bahasa , atau kombinasinya. Pendapat lain disampaikan oleh Mutalib dan M.A.Ali Khan (1982) yang membagi kriteria pembentukan suatu daerah ke dalam tiga standar utama sebagai berikut: Standar kuantitatif. Standar kuantitatif ditetapkan secara umum untuk suatu daerah. Alasannya agar suatu daerah memperolah ukuran populasi yang sama. Penentuan standar semacam ini dapat juga sebagai alasan untuk membatasi jumlah daerah sampai pada jumlah tertentu. Pembagian secara kuantitatif semacam ini dimaksudkan untuk memperoleh persamaan antar unit teritorial. Alasan lain adalah agar memudahkan administratif. Standar fisik dan sosial ekonomi. Prinsip lain, suatu wilayah bisa dibatasi berdasarkan kriteria geografis, demografis, ekonomi, dan faktor budaya. Dengan pertimbangan fisik sebagai
362
pertimbangan utama, misalnya pembatasan suatu daerah menggunakan batas sungai dan pegunungan. Tidak ada ukuran universal tentang luas, tetapi prinsip yang utama wilayah dari suatu otoritas tersebut dapat terbentuk menurut pertimbangan geografi dan populasi. Di wilayah yang sangat luas mungkin tidak memenuhi untuk menjadi unit lokal. Karena dengan wilayah yang sangat luas tidak terasa kedaerahanya, sehingga tidak ada kesatuan secara sosial maupun politis. Sementara untuk kasus unit yang populasinya terlalu besar, akan lebih banyak problem yang dihadapi. Hubungan antara wilayah dan pelayanan. Ukuran suatu wilayah ada berhubungan dengan saling keterkaitannya dengan pelayanan. Pelayanan yang diberikan oleh suatu otoritas lokal tidak bisa diputuskan jika tidak mengetahui ukuran otoritas lokal tersebut dan sebaliknya, tidak bisa menentukan ukuran yang tepat jika tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pertimbangan utama menurut kriteria ini adalah jumlah populasi. Dari jumlah tersebut biasanya menentukan sumber daya keuangan dan juga pelayanan untuk unit tersebut. Namun pelayanan tidak saja dipengaruhi keuangan, tapi juga adanya pengawasan. Dengan luas wilayah yang besar dengan berbagai keragamannya, pengawasan akan susah dilakukan. Tetapi jika jumlah otoritasnya begitu banyak juga akan sulit dalam menjaga kesamaan arah dan pihak yang diawasi. Akibatnya jika suatu negara dibagi ke dalam wilayah-wilayah kecil yang terlalu banyak, juga bisa menimbulkan kesulitan dalam memberikan pelayanan Faktor Kondisi Daerah. Di samping kriteria di atas, faktor lain yang bersumber dari kondisi daerah dapat menjadi kriteria dalam pembentukan daerah , yakni :
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
-
sistem pemerintahan daerah yang ada; kapasitas administratif pemerintah daerah; pertimbangan hubungan antara desa-kota; struktur komunitas konstituen; tingkat partisipasi popular; kesamaan dalam beban pajak dan manfaat dari pelayanan publik.
2.
Kebijakan Pemekaran Pasang surut penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah berimplikasi pula pada pengaturan dan implementasi pemekaran daerah di Indonesia. Pada saat berlakunya UU 22/1999, pengaturan pemekaran daerah tertuang dalam PP 129/2000. Ketika terjadi pergantian undang-undang dari UU 22/1999 menjadi UU 32/2004 maka pengaturan pemekaran daerah dituangkan dalam PP 78/2007. Menurut Pasal 4 PP 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah bahwa pembentukan daerah – apakah provinsi atau kabupaten/kota – harus memenuhi tiga syarat: administrative, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administrative berupa surat-surat atau dokumen yang mendukung rencana pembentukan daerah otonom baru, sedangkan syarat teknis meliputi kemampuan ekonomi, potensi daerah, social budaya, social politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan. Adapun syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota dan sarana prasarana pemerintahan. Cakupan wilayah untuk pembentukan provinsi paling sedikit 5 kabupaten/kota; pembentukan kabupaten paling sedikit 5
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
kecamatan, dan pembentukan kota paling sedikit 4 kecamatan. Cakupan wilayah pembentukan daerah digambarkan dalam peta calon provinsi/kabupaten/kota. Harus diakui, memang terdapat sejumlah perubahan dalam PP 78/2007 yang dimaksudkan menyempurnakan kelamahankelemahan yang terdapat dalam PP No. 129/2000, di antaranya: Terdapat pengaturan yang lebih jelas mengenai persyaratan pemekaran daerah, yaitu meliputi syarat administratif, syarat teknis dan syarat kewilayahan, dimana syarat kewilayahan sebelumnya ditempatkan pada ’pertimbangan lain’. Terdapat persyaratan yang lebih berat jika dibanding PP 129/2000 mengenai cakupan wilayah dan dasar kelulusan, yaitu jumlah kabupaten/kota minimal 5 untuk membentuk provinsi baru, 5 kecamatan untuk membentuk kabupaten/kota baru (semula 3 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi baru, dan 3 kecamatan untuk pembentukan kabupaten/kota baru). Selain itu, dasar kelulusan tidak hanya pada total nilai, tetapi calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru jika kemampuan ekonomi, potensi daerah, kependudukan, dan kemampuan keuangan yang dianggap sangat mampu atau mampu; Terdapat pengaturan tentang jangka waktu sebuah DOB dapat dimekarkan lagi. Pada pasal 3 PP 78/2007 disebutkan bahwa daerah dapat dimekarkan kembali setelah usia minimal 10 tahun untuk pemerintah provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota; Dalam hal tata cara (mekanisme) pembentukan daerah otonom baru pun telah diatur sedemikian rupa dalam PP 78/2007 tersebut. Pemekaran daerah harus
363
Pemekaran Daerah di Indonesia Suryanto
mendapatkan persetujuan dari masyarakat setempat, kepala daerah dari daerah induknya, DPRD provinsi/kabupaten/kota induk, dan seterusnya. Selanjutnya, menteri (Mendagri) melakukan penelitian terhadap usul pembentukan provinsi dan kabupaten/kota. Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri menyampaikan saran pembentukan DOB/DOHP kepada Presiden berdasarkan saran dan pertimbangan Dewan Pelaksanaan Otonomi Daerah (DPOD). Apabila Presiden menyetujui pembentukan daerah, menteri menyiapkan rancangan undang-undang tentang pembentukan daerah. Pergulatan selanjutnya berada di tangan DPR karena merekalah yang berwenang membahas dan mengesahkan setiap peraturan perundang-undangan. Karena itu, tidak jarang usul pembentukan (provinsi/kabupaten/kota) juga berasal dari 4 DPR itu sendiri. Setelah Undang-Undang pembentukan daerah diundangkan, Pemerintah melaksanakan peresmian daerah dan melantik penjabat kepala daerah. Peresmian daerah paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya undang-undang tentang pembentukan daerah. IMPLIKASI KEBIJAKAN Implikasi kebijakan pemekaran daerah yang muncul ke permukaan antara lain hubungan antara daerah induk dengan daerah otonom hasil pemekaran dalam hal penyerahan P3D (pembiayaan, personalia, peralatan, dan dokumen), konflik tapal batas wilayah, pemindahan ibukota pemerintahan, dan sebagainya. Selain itu, implikasi lainnya adalah penerimaan dana alokasi umum (DAU) 4
Hal inilah yang disebut “pintu lain” yang dapat ditempuh oleh para penggiat pemekaran di daerah dalam meloloskan kepentingan memekarkan suatu daerah. Beberapa pihak bahkan menganggap “pintu senayan” ini lebih efektif dibandingkan “pintu pemerintah”.
364
yang diterima oleh daerah-daerah induk. Dengan adanya pemekaran daerah, jumlah DAU yang diterima menjadi berkurang, karena daerah pembaginya semakin banyak. Di tingkat pusat, juga berakibat membengkaknya dana alokasi khusus (DAK) dan dana instansi vertical di daerah. Perkembangan jumlah daerah pemekaran juga menjadi konsekuensi logis dibukanya ‘keran’ untuk melakukan pemekaran suatu daerah. Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal tulisan ini, saat ini jumlah daerah otonom tercatat sebanyak 539 yang terdiri dari 34 provinsi, 412 kabupaten dan 93 kota (Ditjen PKPD, 2012). Mencermati kondisi umum daerah pemekaran, maka dapat dikatakan bahwa tujuan pemekaran daerah belum sepenuhnya tercapai secara optimal, bahkan hampir semua pihak menyatakan bahwa implementasi pemekaran daerah tidak sesuai dengan harapan. Walaupun di sisi lain memang diakui ada beberapa daerah yang menunjukkan keberhasilan di antaranya Provinsi Maluku Utara, Kota Banjar, Kota Cimahi, dan beberapa lainnya. Kota Banjar misalnya, merupakan kota pemekaran dari Kabupaten Ciamis berdasarkan UU No. 27 Tahun 2002. Banjar dinilai mampu menjalankan tujuan pemekaran daerah dan tujuan penyelenggaraan otonomi daerah pada umumnya, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemerintahan yang baik, ketersediaan pelayanan publik, dan peningkatan daya saing daerah. Berdasarkan hasil penilaian tim EDOHP (Provinsi Jawa Barat dan IPDN) skor yang diraih Kota Banjar sebesar 1.091,25, dimana Kota Banjar meraih peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih Kota Cimahi (Hasil EDOHP, 2010). Terkait dengan persoalan hubungan daerah induk dengan pemekaran, khususnya
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
dalam hal penyerahan P3D dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam hal penyerahan aset, Kemendagri mengakui masih banyak daerah induk yang belum menyerahkan aset-asetnya, baik aset bergerak maupun aset tidak bergerak, kepada daerah otonom hasil pemekaran. Pemekaran daerah yang dilakukan senantiasa dihadapi pada persoalan-persoalan seperti ini dan terkadang ‘lari’ dari tujuan dan sasaran yang telah disepakati sebelumnya. Hal ini sebagaimana 5 dinyatakan Saldi Isra (2012) , bahwa pemekaran daerah yang telah dilakukan sejak 1999 dinilai telah salah sasaran. Dari berbagai penelitian/evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa salah satu aspek persoalan pemekaran daerah yang perlu segera diselesaikan terkait penyerahan P3D (pembiayaan, personil, peralatan/aset, dan dokumen), khususnya penyerahan aset dari daerah induk ke daerah otonom hasil pemekaran. ”Penjelasan pada awal 2005 dari Depdagri, beberapa persoalan yang muncul diantaranya, ada 87,71 persen daerah induk belum menyelesaikan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralatan/aset, dan Dokumen). Kemudian, 79 persen daerah otonomi baru belum memiliki batas wilayah yang jelas. Selanjutnya, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana kepada daerah otonomi baru. Kemudian, 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah pemekaran”. Dari angka 87,71 persen persoalan P3D tersebut tentunya tersebar di seluruh pelosok pemerintah daerah yang ada di Indonesia, termasuk Kabupaten Musi Rawas dan Kota Lubuk Linggau. Kasus lambannya penyerahan aset dari Kabupaten Musi Rawas (daerah induk) ke Kota Lubuk Linggau (daerah otonom 5
Makalah Saldi Isra, 2012, Quo Vadis Pemekaran Daerah?
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
hasil pemekaran) berawal ketika Pemkab Musi Rawas harus menyerahkan seluruh aset yang terdapat di Kota Lubuk Linggau sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lubuk Linggau. Lubuk Linggau sendiri sebelumnya merupakan kota administrative (kotatif). “Penyerahan itu menjadi masalah karena hampir semua gedung pemerintahan, rumah dinas, dan asetaset vital, seperti terminal tipe A Simpang Periuk, Bandara Silam Pari, dan rumah sakit umum daerah (RSUD) milik Kabupaten Musi Rawas berlokasi di Kota Lubuk Linggau. Masalah semakin pelik karena Pemkab Musi Rawas belum membangun perkantoran apa pun di Muara Beliti, ibu kota kabupaten Musi Rawas yang baru, padahal memerlukan dana ratusan miliar rupiah untuk membangunnya” http://musirawas.blogspot.com/2008/ 01/lubuk-linggau-vs-musi-rawas.html; Lubuk Linggau VS Musi Rawas, Rebutan Aset karena Pemekaran Wilayah). Selanjutnya, berdasarkan pendapat Isra dan hasil evaluasi Kemendagri tersebut ternyata fenomena lambannya penyerahan P3D (c.q. penyerahan aset) dari daerah induk kepada daerah pemekaran masih cukup mendominasi dan menjadi persoalan krusial penyelenggaraan di daerah pemekaran. Padahal, keberadaan P3D (c.q. penyerahan aset) sangat penting untuk menunjang keberhasilan pencapaian kinerja daerah otonom. Jadi, sangatlah wajar apabila hasil evaluasi tim pakar sesuai dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2001 menyatakan bahwa sebagian besar daerah (80%) belum mencapai kinerja yang diharapkan. Contoh lain dalam hal konflik penyerahan aset dari daerah induk ke daerah otonom hasil pemekaran terdapat di
365
Pemekaran Daerah di Indonesia Suryanto
Kabupaten Kerinci (daerah induk) dan Kota Sungai Penuh (daerah otonom hasil pemekaran) sebagai berikut: “Pemekaran Kabupaten Kerinci dengan dibentuknya Kota Sungaipenuh yang awalnya diharapkan dapat meyelesaikan masalah ternyata malah sebaliknya. Pemekaran terkesan telah melahirkan masalah baru. Salah satunya adalah sengketa aset, khususnya aset yang dianggap produktif. Beberapa aset yang disengketakan diantaranya adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Sakti dan Kincai Plaza yang menjadi pusat perbelanjaan terbesar di wilayah Kerinci dan Sungaipenuh” (Mhd. Zaki, dalam Tempo.co, 30/11/2012 – Sengketa Aset di Daerah Pemekaran). Persoalan krusial lain dalam hubungan antara daerah induk dengan DOHP adalah terkait tapal batas wilayah. Progo Nurjaman (saat itu Sekjen Depdagri) pernah menyampaikan hal berikut: “Selama ini ada dua masalah paling menonjol yang menyulut konflik di daerah pasca pemekaran yaitu masalah perbatasan dan masalah ibukota. Dalam pemekaran-pemekaran sebelumnya, masalah batas wilayah belum dituntaskan di daerah, DPR di Jakarta lantas langsung menetapkan sebuah daerah otonom dalam sebuah undang-undang. Akibatnya, setelah undang-undang ditetapkan di daerah terjadi konflik antar desa atau kecamatan di daerah pemekaran tersebut (Suara Pembaharuan, 14/11/2006)”. Kasus tapal batas mencuat akhir-akhir ini
366
wilayah terlihat
yang pada
pemekaran Kabupaten Musi Rawas menjadi Kabupaten Musi Rawas Utara di Sumatera Selatan. Bahkan, konflik tapal batas tersebut telah menelan korban jiwa sebanyak 4 (empat) orang. Permasalahan batas wilayah yang memicu bentrok tersebut diyakini akan menimbulkan konflik berkelanjutan apabila tidak diselesaikan sejak awal pembentukan daerah pemekaran. Kementerian Dalam Negeri pun – dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum sangat menyadari bahwa persoalan tapal batas wilayah merupakan tantangan besar yang harus segera diselesaikan secara sinergis antardaerah yang berkonflik, pemerintah provinsi dan Pemerintah. Terkait persoalan batas wilayah, dapat disimak dari pernyataan berikut: “Terdapat sekitar delapan ribu titik permasalahan tapal batas antardaerah dan kabupaten yang sebagian di antaranya berpotensi menimbulkan konflik. Hal itu disampaikan Dirjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Timbul Pudjianto di Banjarmasin, usai pertemuan dengan Gubernur Kalsel Rudy Ariffin dan beberapa pejabat pemerintah daerah di Kalsel yang sedang mengalami masalah tapal batas. Menurut Timbul, dari delapan ribu lebih permasalahan tapal batas yang sebagian besar dari daerah pemekaran, telah dituntaskan 18 persen (Waspada online, 25/04/2011 – Pemekaran timbulkan masalah perbatasan)”. Persoalan tapal batas juga menjadi perhatian Ditjen Pemerintahan Umum, untuk segera menuntaskan tapal batas antara Provinsi Sulbar dengan provinsi tetangganya yaitu Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan Provinsi Kalimantan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
Selatan, terjadi sengketa kepemilikan Pulau Lere-Lerekang, sedangkan konflik tapal batas wilayah dengan Provinsi Sulawesi Tengah bahkan telah berlangsung selama 42 tahun. Untuk mengantisipasi penataan tapal batas jika terjadi pemekaran daerah ke depan, Provinsi Sulbar harus memperjelas titik koordinat batas wilayahnya. "Sulbar yang saat ini terdiri dari lima kabupaten harus memperjelas batas wilayah. Makanya, jika ada usulan pemekaran baru harus memperjelas titik koordinat batas wilayah sehingga tidak menjadi buah masalah baru dikemudian hari. I Made menambahkan, dirinya tidak akan pernah menyetujui pemekaran kabupaten baru apabila tidak jelas titik koordinat wilayahnya. (Antara News.com, Kemendagri Siap Tangani Tapal Batas Sulbar, 22/9/2012). Konflik tapal batas wilayah juga terjadi di Kabupaten Panajem Paser Utara (PPU) yang merupakan daerah pemekaran Kabupaten Paser pada tahun 2002, namun hingga saat ini masih bermasalah. Pejabat Pemkab PPU sangat mengharapkan permasalahan tapal batas ini segera tuntas, sehingga pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, kedua belah pihak meminta bantuan Pemprov Kaltim untuk segera menuntaskan masalah tersebut (Koran Kaltim, 2013). Persoalan tata ruang pada suatu daerah biasanya timbul karena terjadi perbedaan antara rencana atau peruntukan dengan pemanfaatan tata ruangnya. Dalam konteks pemekaran daerah, perubahan pemanfaatan tata ruang oleh daerah otonom hasil pemekaran ini sangat mungkin terjadi. Penyebabnya dapat bermacam-macam, bisa karena daerah induk belum memiliki rencana
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
tata ruang wilayahnya (RTRW) secara baik atau sebaliknya, telah tersedia RTRW namun daerah otonom hasil pemekaran tidak mematuhinya, terutama yang terjadi pada tapal batas antara daerah induk dan daerah otonom hasil pemekaran. Lebih jauh menurut 6 Deddy Koespramoedyo, bahwa penyusunan rencana tata ruang sering dilaksanakan hanya untuk memenuhi kewajiban pemerintah (Pusat dan Daerah) sesuai undang-undang dan peraturan daerah, rencana tata ruang yang disusun, terutama di daerah, cenderung dianggap sebagai produk satu instansi tertentu dan belum menjadi dokumen milik semua instansi karena penyusunannya belum melibatkan berbagai pihak. Kondi si tersebut di atas senada dengan 7 pendapat Erwan Agus Purwanto (2013) yang menyatakan adanya berbagai isu yang berkaitan dengan pemekaran daerah yaitu : tidak mampu mencapai tujuan yang diidealkan, pemborosan anggaran, memicu konflik (wilayah, aset, sumber daya alam), personil, ibukota pemerintahan, dan eksodus penduduk dari suatu wilayah ke wilayah yang lain (dari kabupaten induk ke kabupaten pemekaran atau sebaliknya). Bahwa, pemekaran yang pada awalnya bertujuan mulia (untuk meningkatkan pelayanan public, pengembangan potensi, peningkatan kesejahteraan dan penjaga keutuhan NKRI) nampaknya harus diperbaiki untuk mencapai tujuan awal yang telah ditetapkan. Implikasi selanjutnya adalah dalam hal pengelolaan keuangan, dimana pemekaran daerah telah berakibat pada pengelolaan keuangan negara, di antaranya terlihat sebagai berikut:
6
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan-Bappenas. Erwan Agus Purwanto, dalam FGD “Hubungan daerah Induk dengan Daerah Otonom Hasil Pemekaran” PKKOD-LAN , 30 Mei 2013. 7
367
Pemekaran Daerah di Indonesia Suryanto
Terhadap DAU: Berpengaruh terhadap fungsi pemerataan DAU dengan menurunnya alokasi riil DAU bagi daerah lain yang tersebar secara proporsional
kepada seluruh daerah di Indonesia karena bertambahnya jumlah daerah, sebagaimana terlihat pada tabel berikutL
Tabel 1. Penerimaan DAU Kab/Kota
(dalam miliar rupiah)
Jml Kab/Kota Kenaikan Jumlah Rata-Rata Penerima DAU Daerah Penerima Penerimaan DAU
Kenaikan (Penurunan) Rata-2 DAU (%)
Tahun
DAU Kab/Kota (90% DAU Nasional)
Kenaikan DAU (%)
2001 2002
54,311.22 62,243.46
14.61
336 348
12
161.64 178.86
17.22
2003 2004
69,280.11 73,917.81
11.31 6.69
370 410
22 40
187.24 180.29
8.38 (6.96)
2005
79,888.86
8.08
434
24
184.08
3.79
2006 2007
131,086.71 148,308.66
64.09 13.14
434 434
0 0
302.04 341.73
117.97 39.68
2008
161,556.43
8.93
451
17
358.22
16.49
2009
167,772.69
3.85
477
26
351.71
(6.50)
2010
173,241.31
3.26
477
0
363.19
11.46
2011
202.979,54
17,17
491
14
413,40
50,21
Sumber: Ditjen PKPD Kemenkeu, 2012
Dari tabel di atas terlihat bahwa pada tahun 2004, meskipun DAU Total naik cukup signifikan (6,7%), namun karena jumlah daerah yang mekar dan daerah yang menerima DAU secara mandiri meningkat dalam jumlah banyak (40
Daerah), maka rata-rata DAU per Kab/Kota turun. Terhadap DAK: Meningkatnya beban APBN melalui alokasi DAK bidang prasarana pemerintahan guna mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah pemekaran;
Tabel 2 Pengelolaan DAK Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Jumlah Daerah Penerima DAK 354 354 379 435 434 451 477 491 491
Total DAK (juta rupiah) 2,269,000 2,838,500 4,014,000 11,569,800 17,094,100 21,202,141 24,819,589 21,133,382 25,232,800
Sumber: Ditjen PKPD Kemenkeu, 2012
368
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ARTIKEL
Berbeda dengan DAU, tren penerimaan DAK meningkat sangat tajam apabila dibandingkan antara tahun 2003 dg Tahun 2011, sehingga rata-rata penerimaan DAK juga naik sangat tajam Namun demikian, dalam 4 tahun terakhir, pada saat total alokasi DAK relatif tidak banyak berubah di kisaran Rp 20 T s/d Rp 25 T, maka dg meningkatnya jumlah daerah penerima DAK rata-2 penerimaan DAK stagnan di kisaran Rp 50 miliar, bahkan sempat turun pada tahun 2010
Terhadap Alokasi Dana Vertikal Ke Daerah: Bertambahnya alokasi dana vertikal ke daerah untuk mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, seperti Kantor Kepolisian, Kantor Komando Angkatan Bersenjata, Kantor Agama, Pengadilan, Kejaksaan, Kantor-kantor Kemenkeu, Kantor Pertanahan Negara, Kantor Badan Pusat Statistik, dll.
Sumber: Ditjen PKPD-Kemenkeu, 2012.
Grafik 1. Pengaruh Pemekaran Terhadap Belanja Pegawai pada Instansi Vertikal di Daerah Pada grafik di atas terlihat bahwa alokasi belanja pegawai pada instansi vertikal pada daerah otonom baru mengalami kenaikan setiap tahunnya, terakhir pada tahun 2010, yang mencapai Rp5,1 triliun. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pemekaran daerah merupakan amanat peraturan perundangan yang tetap harus dilaksanakan. Namun dalam pelaksanaannya, proses pemekaran tersebut memerlukan sejumlah perbaikan agar tujuan yang telah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
ditetapkan dapat tercapai sesuai dengan harapan. 1.
Pemekaran daerah yang dilakukan saat ini pada dasarnya bukanlah merupakan hal yang sama sekali baru, sehingga pemerintah tidak dapat mengeneralisasi bahwa semua permasalahan yang ada saat ini sebagai dampak pemekaran daerah. Oleh karena itu, perlu upaya memilih dan memilah mana persoalan yang berlangsung sejak lama dan mana
369
Pemekaran Daerah di Indonesia Suryanto
2.
3.
4.
5.
370
persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat pemekaran daerah; Terkait dengan penyelesaian persoalan P3D (personalia, pembiayaan, peralatan dan dokumen) daerah induk diminta segera menyelesaikan kewajibannya kepada daerah pemekaran dengan memberikan batas waktu yang disepakati bersama, sehingga terdapat kepastian bagi daerah pemekaran mengenai hakhak mereka; Pemerintah dan pemerintah daerah bersama-sama menyelesaikan permasalahan tapal batas wilayah yang selama ini terkatung-katung. Upaya penyelesaian persoalan tapal batas wilayah sebanyak 8.000 titik jelas bukan pekerjaan mudah, namun hal ini harus segera dimulai agar tidak menumpuk dan bahkan cenderung bertambah. Dalam hal ini perlu dukungan metode dan peralatan canggih (misalnya menggunakan citra satelit) untuk menentukan titik koordinat ataupun melakukan pengindraan suatu wilayah. Terkait keuangan daerah, pemekaran yang dilakukan memang tidak berimplikasi terhadap jumlah keseluruhan DAU dan DAK secara nasional, namun secara local hal ini berpengaruh terhadap daerah induk dan daerah-daerah lain di sekitarnya. Untuk itu, ke depan, pemekaran daerah harus dipikirkan secara matang agar tidak mengurangi kemampuan fiscal daerah induknya. Kebijakan pemekaran daerah perlu mengacu kepada desain besar penataan daerah (desartada) yang telah disusun oleh Kementerian Dalam Negeri dan tim pakar, sehingga jumlah daerah otonom
6.
yang akan dibentuk tidak sampai melebihi jumlah yang dipersyaratkan. Terakhir, secara legal-formal, perlu memasukkan kriteria dan persyaratan serta mekanisme pemekaran daerah dalam draft revisi UU No. 32 Tahun 2004. Beberapa kriteria pemekaran pun memerlukan penegasan (bobot yang lebih tinggi) agar kegiatan pemekaran daerah tidak menjadi kontraproduktif. Demikian pula, terkait dengan mekanisme pemekaran daerah perlu ditegaskan bahwa usulan pemekaran hanya dapat dilakukan melalui satu pintu. Batas waktu pemekaran kembali sebuah daerah juga perlu diperpanjang yaitu 15 tahun untuk pemekaran provinsi dan 10 tahun untuk kabupaten/kota.
DAFTAR PUSTAKA Kemendagri dan Tim Pakar, Hasil Penilaian/Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) Tahun 2010. Muthalib, and Akbar Ali Khan, 1982. Theory of Local Government. Purwanto, Erwan Agus, Komentar terhadap Kajian Peningkatan Kapasitas Desentralisasi, Jakarta, 2013. Sarundajang, Sinyo Harry, 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta: Sinar Harapan. Smith, B. C., 1985. Decentralization: Territorial Dimension of the State. Tenjuri, Boy, Hubungan Daerah Induk dengan Daerah Otonom Hasil Pemekaran, Jakarta, 2013. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 1, 2013
Petunjuk Penulisan Jurnal Desentralisasi merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi DaerahLembaga Administrasi Negara dengan kode ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah, atau pengamat untuk menyumbangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikirian kritis di bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Topik Jurnal Desentralisasi mencakup berbagai isu dan permasalahan otonomi daerah. Substansi yang dikembangkan meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, dan dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah. Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Desentralisasi adalah sebagai berikut : 1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-isu di bidang desentralisasi dan otonomi daerah, yang meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, serta dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah; 2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/insitasi dan keyword/kata kunci diketik dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran kuarto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabael dan daftar pustaka). Menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3 cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm 3. Setiap table dan gambar diberi judul. Posisi judul table berada di atas table, sedangkan posisi judul gambar berada dibawah gambar. 4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas : a. Judul tulisan; b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama adalah penulis utama; c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor telepon dan alamat email penulis; d. Abstrak/intisasi ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-masing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci; e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemukakan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topic tulisan dengan disertai data-data pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis; f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu dituliskan metode penelitian yang digunakan; g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap data; h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan penulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan; i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan dengan tanda koma), tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama penerbit. Untuk sumber yang diperoleh dari
internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut : Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Changes : a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York : Routledge. Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta : Ghalia Indonesia. 5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi naskah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip; 6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung, gambar, serta table yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam daftar pustaka; 7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Desentralisasi dengan alamat : Redaksi Jurnal Desentralisasi Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara Gedung B Lantai 3 Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Telp. (021) 3868201-07 Ext. 119-120 Email :
[email protected] Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di review oleh Dewan Penyunting, dan atas setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang pantas kepada penulis. ***