Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tim PKKOD-LAN Hak Cipta © 2009 pada PKKOD-LAN Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpaan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penulis.
Penerbit : Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Tlp. (021) 3868201-06 ext. 167, 182
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah/ Jakarta : PKKOD-LAN, 2009 xiv + 265 hlm, ; 15 x 24 Cm ISBN : 978-979-26-2389-5 I. Judul 1. Pemerintahan Daerah
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tim Penulis Penanggungjawab : Dr. Adi Suryanto, M.Si Koordinator : Abdul Muis, S.Sos, MM 1. Kartika Retno Pertiwi, S.IP, M.Si 2. Samiaji, S.Sos 3. Suryanto, S.Sos, M.Si
ii
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Daftar Isi
Kata Pengantar
T
erpenuhinya pelayanan menurut standar dan kualitas tertentu merupakan hak bagi setiap warga negara. Penyediaan layanan ini merupakan kewajiban bagi pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat dalam pelaksanaanya terkait dengan sistem pemerintahan yang berlaku. Dengan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, sebagian besar fungsi pelayanan telah diserahkan kepada daerah. Fungsi pelayanan yang telah diserahkan kepada daerah wajib untuk dilaksanakan oleh daerah. Meski telah didesentralisasikan kepada daerah, tidak berarti bahwa Pemerintah Pusat tidak memiliki tanggung jawab terhadap terselenggaranya pelayanan tersebut. Kegagalan Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan yang baik bagi warganya berarti juga kegagalan Pemerintah Pusat dalam menjalankan amanat untuk menjamin hak-hak warganya. Pemerintah Pusat wajib melakukan pembinaan dan pengawasan berupa pemberian pedoman, standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, serta monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan pelayanan tersebut. Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat sebelas bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Bidang pemerintahan tersebut meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Untuk menjamin pelaksanaannya, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk berbagai bidang pelayanan tersebut. Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah, telah pula disusun model perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya, dari berbagai kajian yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian, dapat ditunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan tersebut tidak kunjung terwujud secara optimal. Selain itu, penerapan SPM di daerah juga masih belum seragam/sama, karena pemerintah daerah menginterpretasikannya secara berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing. Hal ini karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan SPM. Kegagalan dalam mengatasi kendala-kendala tersebut mengakibatkan ketidak akuratan pengukuran, sehingga pelaksanaan SPM tidak akan mencerminkan kondisi yang sesungguhnya.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
iii
iii
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Penerapan SPM di daerah merupakan persoalan yang strategis dan terkait dengan berbagai sektor. Hal ini menuntut adanya kesamaan pandangan dan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta koordinasi yang baik antar berbagai sektor (institusi perangkat pusat dan daerah) terkait. Di samping itu, SPM merupakan patokan yang bersifat relatif dinamis dan perlu senantiasa ditinjau ulang sesuai dengan tantangan yang dihadapi dan kemampuan yang dimiliki. Bertitik tolak dari uraian di atas, maka Lembaga Administrasi Negara dalam hal ini Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah telah melakukan kajian mengenai Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah. Diharapkan dari kajian tersebut dapat dihasilkan rekomendasi kebijakan yang memuat strategi penerapan Standar Pelayanan Minimal di daerah. Agar hasil kajian ini dapat terdokumentasikan dengan baik, maka dikemaslah kedalam bentuk buku. Buku ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemerintah, pemerintah daerah dan berbagai kalangan dalam menyusun strategi penerapan standar pelayanan minimal di daerah. Atas nama pimpinan LAN, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah berpartisipasi memberikan masukan sehingga buku ini dapat disusun. Harapan kami semoga buku ini dapat bermanfaat. Jakarta, April 2009 Tim Penulis
iv
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Daftar Isi
Daftar Isi
Kata Pengantar Daftar Isi
iii v
Daftar Tabel Daftar Grafik Daftar Bagan Daftar Box
viii xi xiii xiv
Bab 1 : Pendahuluan
1
Bab 2 : Konsep Standar Pelayanan Minimal
5
A. B. C.
Makna dan Hakekat Pelayanan Pembagian Urusan Pemerintahan Standar Pelayanan Minimal 1. Pengertian Umum 2. Prinsip Penyusunan dan Penetapan SPM 3. Mekanisme dan Koordinasi Pelaksanaan SPM 4. Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan 5. Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Kerangka Berpikir
5 7 11 11 17 18 19 23 30
Bab 3 : Pelembagaan Penerapan Kebijakan Standar Pelayanan Minimal
31
D.
A. B.
C.
Sinergitas Kebijakan Standar Pelayanan Minimal 1. Era Sebelum Lahirnya PP No. 65 Tahun 2005 2. Era Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 Hubungan Antar Lembaga 1. Pengorganisasian Penyusunan Standar Pelayanan Minimal 2 Penerapan Standar Pelayanan Minimal 3. Pembinaan dan Pengawasan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Monitoring dan Evaluasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal
31 32 35 43 44 47 48 49
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
v
v
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
1. 2.
Penghargaan dan Sanksi Penerapan Pelayanan Minimal Penyampaian Laporan Penerapan Pelayanan Minimal
Standar Standar
Bab 4 : Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah A.
B.
C.
Kebijakan PEMDA Tentang Standar Pelayanan Minimal 1. Provinsi Sumatera Selatan 2. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 3. Provinsi Kalimantan Selatan 4. Provinsi Bali 5. Provinsi Nusa Tenggara Timur 6. Provinsi Maluku Utara 7. Provinsi Papua Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal 1. Provinsi Sumatera Selatan 2. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 3. Provinsi Kalimantan Selatan 4. Provinsi Bali 5. Provinsi Nusa Tenggara Timur 6. Provinsi Maluku Utara 7. Provinsi Papua Capaian Indikator Standar Pelayanan Minimal 1. Provinsi Sumatera Selatan 2. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 3. Provinsi Kalimantan Selatan 4. Provinsi Bali 5. Provinsi Nusa Tenggara Timur 6. Provinsi Maluku Utara 7. Provinsi Papua
Bab 5 : Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal A.
B. C.
vi
Model Capaian Standar Pelayanan Minimal 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 3. Rencana Pembangunan Tahunan Model Keuangan Standar Pelayanan Minimal Model Pelaporan Standar Pelayanan Minimal
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
50 51
53
53 53 55 57 62 63 67 69 72 72 75 84 92 100 102 114 118 118 126 157 165 212 222 230
241 241 243 244 245 251 254
Daftar Isi
Bab 6 : Penutup
259
Daftar Pustaka
263
A. B.
Kesimpulan Rekomendasi
259 262
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
vii
vii
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Daftar Tabel
Tabel. 1.1 Tabel. 2.1
: :
Tabel. 2.2
:
Tabel. 3.1
:
Tabel. 4.1
:
Tabel. 4.2
:
Tabel. 4.3
:
Tabel. 4.4
:
Tabel. 4.5
:
Tabel. 4.6
:
Tabel. 4.7
:
Tabel. 4.8
:
Tabel. 4.9
:
Tabel. 4.10
:
Tabel. 4.11
:
Tabel. 4.12
:
viii
Lokus Kajian Jenis Pelayanan, Indikator dan Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Jenis Pelayanan, Indikator dan Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Provinsi Kalimantan Selatan Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Kabupaten Banjar Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Kota Banjarmasin Hasil Standar Pelayanan Minimal di Kota Denpasar Tahun 2006 Arah Kebijakan dan Program Penyelenggara an Pelayanan Pendidikan di Kota Kupang Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kota Kupang Tujuan dan Sasaran Penerapan Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan di Kota Ternate Capaian Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten Muara Enim Tahun 2006 Cakupan Kepemilikan Sanitasi di Kota Yogyakarta Tahun 2003 - 2006 Rasio Sarana Kesehatan Dasar terhadap Penduduk di Kota Yogyakarta Tahun 2004 2006 Rasio Sarana Kesehatan Rujukan terhadap Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 2006 Jumlah Apotik dan Persentase Penulisan Resep Generik di Kota Yogyakarta Tahun 2004 - 2006
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
3 21 23 38 84 89 90 92 100 101 112
118 136 140 141 144
Daftar Isi
Tabel. 4.13
:
Tabel. 4.14
:
Tabel. 4.15
:
Tabel. 4.16
:
Tabel. 4.17
:
Tabel. 4.18
:
Tabel. 4.19
:
Tabel. 4.20
:
Tabel. 4.21
:
Tabel. 4.22
:
Tabel. 4.23
:
Tabel. 4.24
:
Tabel. 4.25
:
Tabel. 4.26
:
Tabel. 4.27
:
Tabel. 4.28
:
Tabel. 4.29
:
Tabel. 4.30
:
Tabel. 4.31
:
Tabel. 4.32
:
Capaian Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten Sleman Capaian Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Kota Yogyakarta Indikator Pemerataan Pendidikan Dasar dan Menengah Kabupaten Sleman Tahun 2007/2008 Indikator Pemerataan Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Kabupaten Sleman Tahun 2007/2008 Indikator Pemerataan SMP dan MTs Kabupaten Sleman Tahun 2007/2008 Indikator Pemerataan SMA dan MA Kabupaten Sleman Tahun 2007/2008 Indikator Mutu Pendidikan Kabupaten Sleman Tahun 2006 Indikator Mutu Pendidikan Tingkat SD Kabupaten Sleman Tahun 2006 Indikator Mutu Pendidikan Tingkat SLTP Kabupaten Sleman Tahun 2006 Indikator Mutu Pendidikan Tingkat SMA Kabupaten Sleman Tahun 2006 Capaian Indikator Standar Pelayanan Kota Banjarmasin Capaian Indikator Standar Pelayanan Minimal Kabupaten Banjar Indikator Standar Pelayanan Minimal Kota Denpasar Penurunan Angka Kesakitan Kabupaten Jembrana Tahun 2004 – 2006 Data Pokok SD/MI Kota Denpasar Tahun 2007/2008 Data Pokok SMP/MTs Kota Denpasar Tahun 2007/2008 Data Pokok SMA, MA dan SMK Kota Denpasar Tahun 2007/2008 Indikator Pendidikan Dasar dan Menengah di Kota Denpasar Indikator Mutu Pendidikan Kota Denpasar Tahun 2007/2008 Data Pokok SMU, MA dan SMK Tahun 2006
145 149 150 152 152 153 154 155 156 156 158 162 166 178 184 184 186 187 190 193
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
ix
ix
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.33
:
Tabel. 4.34
:
Tabel. 4.35
:
Tabel. 4.36
:
Tabel. 4.37
:
Tabel. 4.38
:
Tabel. 4.39
:
Tabel. 4.40
:
Tabel. 4.41
:
Tabel. 4.42
:
Tabel. 4.43
:
Tabel. 4.44
:
Tabel. 4.45
:
Tabel. 4.46
:
Tabel. 4.47
:
Tabel. 4.48
:
Tabel. 4.49
:
Tabel. 4.50
:
Tabel. 5.1
:
x
Indikator Mutu Pendidikan di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Indikator Mutu Pendidikan Tingkat SD di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Indikator Mutu Pendidikan Tingkat SLTP di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Indikator Mutu Pendidikan Tingkat SM di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Analisis Relevansi SD di Kabupaten Jembarana Tahun 2006 Efisiensi Internal Pendidikan di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Pemborosan Biaya Akibat Tahun Siswa terbuang di Kab. Jembrana Tahun 2006 Efisiensi Internal Pendidikan SD dan MI di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Efisiensi Internal Pendidikan SLTP dan MTs di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Efisiensi Internal Pendidikan SMU, SMK dan MA di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Pengukuran Pencapaian Sasaran Dinas Kesehatan Kota Kupang Tahun 2007 Pengukuran Pencapaian Sasaran Dinas Pendidikan Kota Kupang Tahun 2006 Tahapan Pencapaian Program Promosi Kesehatan Dinkes Kota Ternate Tahun 2005 – 2010 Tahapan Pencapaian Program Kesehatan Ibu dan Anak Dinkes Kota Ternate Tahun 2005 – 2010 Tahapan Pencapaian Program Peningkatan Gizi Masyarakat DinkesKota Ternate Tahun 2005 – 2010 Tahapan Pencapaian Program Penanggulangan Penyakit Dinkes Kota Ternate Tahun 2005 – 2010 Tahapan Pencapaian Program Revitalisasi Posyandu DinkesKota Ternate Tahun 2005 2010 Tahapan Pencapaian Program Desa Siaga Dinkes Kota Ternate Tahun 2005 - 2010 Batas Waktu Pencapaian Standar Pelayanan Minimal
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
198 201 202 203 205 206 208 208 210 211 213 221 222 223 225 226 227 228 248
Daftar Isi
Daftar Grafik Grafik. 4.1
:
Grafik. 4.2
:
Grafik. 4.3
:
Grafik. 4.4
:
Grafik. 4.5
:
Grafik. 4.6
:
Grafik. 4.7
:
Grafik. 4.8
:
Grafik. 4.9
:
Grafik. 4.10
:
Grafik. 4.11
:
Grafik. 4.12
:
Grafik. 4.13
:
Grafik. 4.14
:
Grafik. 4.15
:
Grafik. 4.16
:
Grafik. 4.17
:
Grafik. 4.18
:
Grafik. 4.19
:
Trend Angka Kematian Bayi di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2006 Trend Angka Kematian Balita di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2006 Trend Angka Kematian Ibu Maternal di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2006 Trend Angka Kesakitan DBN di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2005 Trend Angka Kesembuhan TB dan Paru BTA+ di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2006 Persentase Anak Balita dengan Gizi Buruk di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2006 Hasil Pemantauan Status Gizi Balita di Kota Yogyakarta Tahun 2006 Persentase Ibu Hamil Kurang Energi Kronik di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2006 Persentase Ibu Hamil yang Mengalami AGB di Kota Yogyakarta Tahun 2002 - 2006 Persentase Bayi BBLR di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2006 Status Gizi Anak Baru Masuk Sekolah di Kota Yogyakarta Tahun 2002 - 2005 Jumlah Rumah di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2006 Persentase Rumah Sehat di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2006 Trend Pencapaian Sarana Ibadah Sehat di Kota Yogyakarta Tahun 2002 - 2006 Persentase Keluarga dengan Evaluasi PHBS di Kota Yogyakarta Tahun 2001 – 2006 Persentase Keluarga Ber-PHBS Strata III dan IV di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2005 Persentase Posyandu Purnama dan Mandiri Menurut Kecamatan di Kota Yogyakarta Tahun 2005 Persentase Keluarga Tidak Merokok di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2006 Persentase Persalinan Yang di Tolong Tenaga Kesehatan Per Puskesmas di Kota Yogyakarta Tahun 2006
126 127 128 129 129 130 131 131 132 133 133 134 134 135 136 137 138 139 142
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
xi
xi
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Grafik. 4.20
:
Grafik. 4.21
:
xii
Trend Kepesertaan KB terhadap PUS di Kota Yogyakarta Tahun 2001 – 2006 Cakupan Imunisasi Campak di Kota Yogyakarta Tahun 2001 – 2006
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
143 143
Daftar Isi
Daftar Bagan Bagan. 2.1
:
Bagan. 3.1
:
Bagan. 3.2
:
Bagan. 3.3
:
Bagan. 3.4
:
Bagan. 3.5
:
Bagan. 3.6
:
Bagan. 3.7
:
Bagan. 3.8
:
Bagan. 3.9
:
Bagan. 3.10
:
Bagan. 3.11
:
Bagan. 3.12
:
Bagan. 3.13
:
Bagan. 5.1
:
Bagan. 5.2
:
Bagan. 5.3 Bagan. 5.4
: :
Bagan. 5.5
:
Bagan. 5.6
:
Model Manajemen Dasar Penyediaan Pelayanan Umum Penyusunan Awal Standar Pelayanan Minimal Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penetapan Standar Pelayanan Minimal yang Disusun Menteri Penetapan Standar Pelayanan Minimal yang Disusun LPND Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Target Tahunan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Pembinaan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Hierarki Pembinaan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Monitoring dan Evaluasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal Penghargaan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Sanksi Penerapan Standar Pelayanan Minimal Penyampaian Laporan Umum Standar Pelayanan Minimal Penyampaian Laporan Teknis Standar Pelayanan Minimal Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahapan Perencanaan Yang Terintegrasi Proses Penyusunan Rencana Capaian Standar Pelayanan Minimal Penganggaran Kegiatan Standar Pelayanan Minimal di Daerah Pelaporan Capaian Target Standar Pelayanan Minimal di Daerah
7 44 45 46 46 47 48 48 49 50 50 51 51 52 244 245 246 250 253 255
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
xiii
xiii
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Daftar Box Box. 4.1 Box. 4.2
xiv
: :
Desa Siaga di Kabupaten Muara Enim Puskesmas Ramah Remaja di Kabupaten Sleman
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
74 77
Bab 1
PENDAHULUAN
T
erpenuhinya pelayanan menurut standar dan kualitas tertentu merupakan hak bagi setiap warga negara. Penyediaan layanan ini merupakan kewajiban bagi pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat dalam pelaksanaanya terkait dengan sistem pemerintahan yang berlaku. Dengan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, sebagian besar fungsi pelayanan telah diserahkan kepada daerah. Fungsi pelayanan yang telah diserahkan kepada daerah wajib untuk dilaksanakan oleh daerah. Meski telah didesentralisasikan kepada daerah, tidak berarti bahwa Pemerintah Pusat tidak memiliki tanggung jawab terhadap terselenggaranya pelayanan tersebut. Kegagalan Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan yang baik bagi warganya berarti juga kegagalan Pemerintah Pusat dalam menjalankan amanat untuk menjamin hak-hak warganya. Pemerintah Pusat wajib melakukan pembinaan dan pengawasan berupa pemberian pedoman, standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, serta monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan pelayanan tersebut. Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat sebelas bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Bidang pemerintahan tersebut meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Untuk menjamin pelaksanaannya, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk berbagai bidang pelayanan tersebut. Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah, telah pula disusun model perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya, dari berbagai kajian yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian, dapat ditunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan tersebut tidak kunjung terwujud secara optimal. Selain itu, penerapan SPM di daerah juga masih belum seragam/sama, karena pemerintah daerah menginterpretasikannya secara berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing. Hal ini karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan SPM.
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Kegagalan dalam mengatasi kendala-kendala tersebut mengakibatkan ketidak akuratan pengukuran, sehingga pelaksanaan SPM tidak akan mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g.
Data yang tidak akurat dan kurang dapat dipercaya, sedangkan data BPS yang ada, bila dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun; Data keuangan tidak disajikan tidak utuh, sehingga tidak dapat dianalisa dengan baik; Data statistik yang ada seringkali tidak sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan. Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia 0-14 tahun, sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah jumlah penduduk usia 7-16 tahun; Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan mengelolola data secara sistematis; Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk melakukan analisa dan perencanaan strategis; Indikator-indikator SPM yang ada tidak mencerminkan problem sebenarnya yang terjadi di daerah/desa; serta Dalam mengevaluasi pelaksanaan SPM, satuan kerja perangkat daerah tidak menjelaskan kondisi yang ada secara objektif. Misalnya, bila dinas melakukan evaluasi, hasil evaluasi bias untuk kepentingan dinas. Sedangkan Bawasda atau Bappeda tidak dapat melakukan evaluasi karena kemampuan teknikal yang rendah.
Untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Dalam Penjelasan Umum Peraturan tersebut, dinyatakan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan dengan berbagai tujuan, yakni : 1. 2. 3. 4.
5. 6.
untuk menjamin hak masyarakat untuk menerima suatu pelayanan dasar dari Pemerintah Daerah dengan mutu tertentu. menjadi alat untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan dasar, sehingga SPM dapat menjadi dasar penentuan kebutuhan pembiayaan daerah. menjadi landasan dalam menentukan perimbangan keuangan dan/atau bantuan lain yang lebih adil dan transparan menjadi dasar dalam menentukan anggaran kinerja berbasis manajemen kinerja. SPM dapat dijadikan dasar dalam alokasi anggaran daerah dengan tujuan yang lebih terukur. SPM dapat menjadi alat ukur untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintahan Daerah terhadap masyarakat. Sebaliknya, masyarakat dapat mengukur sejauh mana Pemerintahan Daerah dapat memenuhi kewajibannya dalam menyediakan pelayanan publik. memperjelas tugas pokok pemerintahan Daerah dan mendorong terwujudnya check and balances yang efektif. mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
2
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pendahuluan
Untuk tercapainya tujuan tersebut, Pemerintah Pusat perlu mempersiapkan penerapannya dengan baik. Dalam hubungan ini dibutuhkan suatu strategi yang tepat agar tujuan penerapan peraturan tersebut dapat tercapai. Sebagian instrumen untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan minimal telah dikembangkan, antara lain adanya SPM untuk beberapa jenis pelayanan. Penerapan SPM sebagai upaya untuk menjamin terselenggaranya pelayanan tersebut tidak sedikit menghadapi permasalahan yang memungkinkan terhambatnya pencapaian standar tersebut. Penerapan SPM di daerah merupakan persoalan yang strategis dan terkait dengan berbagai sektor. Hal ini menuntut adanya kesamaan pandangan dan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta koordinasi yang baik antar berbagai sektor (institusi perangkat pusat dan daerah) terkait. Di samping itu, SPM merupakan patokan yang bersifat relatif dinamis dan perlu senantiasa ditinjau ulang sesuai dengan tantangan yang dihadapi dan kemampuan yang dimiliki. Bertitik tolak dari uraian di atas, maka Lembaga Administrasi Negara dalam hal ini Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah telah melakukan kajian mengenai Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah, dimana tujuan dari kajian ini adalah mengkaji faktor-faktor pendukung dan penghambat tercapainya SPM di daerah dan merumuskan strategi penerapan SPM di daerah. Kajian ini dilakukan di tujuh provinsi, dimana provinsi-provinsi tersebut dipilih secara purposive. Dari ketujuh provinsi tersebut juga dipilih masing-masing 2 lokus level kabupaten/kota sebagaimana terangkum dalam tabel sebagai berikut : Tabel. 1.1 Lokus Kajian
No
Provinsi
1.
Sumatera Selatan
2.
D.I. Yogyakarta
3.
Bali
4.
Kalimantan Selatan
5.
Nusa Tenggara Timur
6.
Maluku Utara
7.
Papua
Kabupaten/Kota
Kota Prabumulih Kab. Muara Enim Kota Yogyakarta Kab. Sleman Kota Denpasar Kab. Jembrana Kota Banjarmasin Kab. Banjar Kota Kupang Kab. Kupang Kota Ternate Kota Tidore Kep. Kota Jayapura Kab. Jayapura
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
3
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Agar hasil kajian ini dapat terdokumentasikan dengan baik, maka dikemaslah kedalam bentuk buku. Sebagai sebuah produk hasil kajian, perbuku ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan manajemen pemerintahan daerah, utamanya yang berkenaan dengan penerapan standar pelayanan minimal di daerah. Dari sisi policy advice, buku ini diharapkan pula menjadi masukan dalam menyusun strategi penerapan standar pelayanan minimal di daerah. Buku ini juga diharapkan tidak luput dari perhatian para akademisi, praktisi yang concern terhadap permasalahan otonomi daerah.
4
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Bab 2
KONSEP STANDAR PELAYANAN MINIMAL
A. Makna dan Hakekat Pelayanan Pelayanan merupakan kegiatan yang ditawarkan oleh organisasi atau perorangan kepada konsumen (yang dilayani), yang bersifat tidak terwujud dan tidak dapat dimiliki. Dalam pelayanan yang disebut konsumen (customer) adalah masyarakat yang mendapat manfaat dari aktivitas yang dilakukan organisasi atau petugas dari organisasi pemberi layanan tersebut. Pelayanan hanya dapat dirasakan bila dilaksanakan, oleh sebab itu pelayanan memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. 2. 3.
pelayanan sifatnya tidak dapat diraba, pelayanan sangat berlawanan sifatnya dengan barang jadi; pelayanan itu kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang sifatnya berupa tindak sosial; dan produk dan konsumsi dari pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya peristiwanya bersamaan dan terjadi di tempat yang sama.
Secara awam dapat dipahami bahwa pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan (whatever enhances customer sastisfaction). Pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sering disebut dengan istilah pelayanan umum, yang menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada sektor publik, dimana negara dan sistem pemerintahan menjadi tumpuan pelayanan atas warga negara yang harus memperoleh jaminan atas hak-haknya, penataan manajemen kelembagaan sektor ini bukanlah persoalan sederhana. Dalam hal ini, revitalisasi birokrasi dan cara-cara menemukan kembali penataan sistem manajemen publik dalam mengantisipasi tuntutan untuk melayani sektor swasta serta rakyat pada umumnya menjadi krusial. Kebutuhan mendesak ini menemukan momentumnya manakala globalisasi pasar bebas memacu tingkat kompetisi yang sangat tinggi dari seluruh elemen kelembagaan negara maupun sektor swasta.
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Pada tingkat kompetisi yang akan semakin terbuka, dorongan untuk mengurangi biaya (cost reduction-drive), dorongan untuk memenangkan segmen pasar yang tersedia (market-drive), dan manajemen mutu pelayanan, semakin strategis dan menjadi variabel penentu dalam memenangkan kompetisi ini. Oleh karenanya, selain secara internal setiap organisasi, perusahaan maupun birokrasi pemerintahan dihadapkan pada keharusan memenuhi perubahan apresiasi atas kemampuan organisasi memenuhi tujuan mereka, juga secara eksternal akan dihadapkan pada kenyataan yang menghendaki keharusan untuk terus melakukan adaptasi. Langkah-langkah inovatif kemudian menjadi salah satu pilihan yang harus diambil agar setiap elemen internal maupun eksternal secara sinergis membangun kemampuan memenangkan persaingan dan memberi jaminan pelayanan internal atas tuntutan kebutuhan mendasar yang terus berubah. Dinamika pasar, dinamika global, serta tarik menarik kekuatan eksternal karenanya harus secara taktis diantisipasi secara proaktif, bukan seccara reaktif. Yang kemudian menjadi persoalan mendasar adalah, bagaimana manajemen mampu menciptakan suatu sistem nilai dan moral untuk melayani dan bukan dilayani dalam organization/corporate culture yang telah terbiasa dengan perlakukan yang kurang menghargai tuntutan kedaulatan rakyat atas negara serta pemerintahan. Disisi lain telah terjadi perubahan paradigma dalam administrasi publik (ditandai dengan lahirnya the new public service). Paradigma baru ini membawa perubahan yang signifikan dalam bidang pelayanan publik. Poin terpenting dalam paradigma ini adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Melayani warga masyarakat, bukan pelanggan; Mengutamakan kepentingan publik; Lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan; Berpikir strategis dan bertindak demokratis; Menyadari bahwa akuntabilitas bukan sesuatu yang mudah; Melayani daripada mengendalikan, dan; Menghargai orang, bukan produktivitas semata; (Doherty dan Home, 2002)
Perkembangan paradigma itu bisa berjalan sesuai dengan harapan jika ditunjang dengan semangat birokrat sebagai pelayan (abdi masyarakat). Untuk itu, birokrat perlu memiliki mentalitas yang jujur, adil, akuntabel, disiplin dan mengutamakan keramahtamahan. Selain itu, kebiasaan memberikan pelayanan yang berkualitas juga wajib dibudayakan. Berikut disajinkan bagan yang menerangkan model manajemen dasar penyediaan pelayanan umum yang secara garis besar terdiri dari tiga aktor, yakni pengatur, produsen dan pengguna.
6
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
Bagan. 2.1 Model Manajemen Dasar Penyediaan Pelayanan Umum PENGATUR (Arranger)
PENGGUNA (Consumers)
PRODUSEN (Producer)
Keterangan: Hubungan ilustratif antara Konsumen, Produsen dan Pengatur Pelayanan, dimana Pengatur memilih, menetapkan dan memberi kuasa kepada Produsen (garis hitam); Produsen mengirimkan pelayanan kepada Pengguna (garis putus-putus); dan Pengguna membayar Produsen secara langsung (garis titik-titik ) atas pelayanan yang diterimanya.
B. Pembagian Urusan Pemerintahan Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintah daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintah yang dikelola secara bersamasama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Pusat menyelenggarakan urusan pemerintahanan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Selain itu, pada ayat (5) dinyatakan bahwa pemerintah juga menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar enam urusan pemerintahan tersebut. Sedangkan pada Pasal 11 Undang-Undang yang sama dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
7
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Eksternalitas, adalah dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria eksternalitas ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria eksternalitas maka semakin langsung dampak penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan kepada masyarakat, maka urusan tersebut paling tepat untuk diselenggarakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Akuntabilitas, adalah pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria akuntabilitas ditentukan berdasarkan kedekatan suatu tingkatan pemerintahan dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria akuntabillitas maka semakin dekat pemberi layanan dan penggunanya, dan semakin banyak jumlah pengguna layanan maka layanan tersebut lebih tepat diselenggarakan oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota. Efisiensi, adalah tingkat daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria efisiensi ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria efisiensi maka penyelenggaraan urusan lebih tepat pada tingkat pemerintahan dimana terdapat perbandingan terbaik antara cost penyelenggaraan urusan dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan penyelenggaraan urusan. Penggunaan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan. Sementara itu, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib didefinisikan sebagai urusan daerah otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal ini berarti pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar yang menjadi prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi, sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, baik untuk pemerintahan provinsi maupun untuk pemerintahan kabupaten dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus berpedoman pada SPM.
8
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan lain sebagainya. Urusan yang bersifat pilihan adalah urusan-urusan yang dapat dipilih untuk diselenggarakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas. Urusan yang bersifat pilihan tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan pilihan tersebut, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat memilih bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang tertentu seperti pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya. Adanya pembagian urusan pemerintahan memberi petunjuk bahwa terdapat urusan-urusan pemerintahan tertentu yang penyelenggaraannya dibagibagi antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut melibatkan pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota secara bersama-sama. Pembagian dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Sesuai dengan deskripsi di atas, UU Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap. SPM dimaksud akan dijabarkan oleh masing-masing kementrian/ lembaga terkait untuk menyusun SPM masing-masing. Pembahasan mengenai SPM tidak dapat terlepas dari kewenangan wajib yang dimiliki daerah. Oleh sebab itu, maka dalam uraian mengenai SPM ini akan diawali dengan uraian mengenai kewenangan wajib daerah. Kewenangan wajib daerah merupakan kewenangan yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh Pemerintah kepada Daerah. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 terdapat masing-masing 16 urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi dan kewenangan kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
9
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Perencanaan dan pengendalian pembangunan; Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; Penyediaan sarana dan prasarana umum; Penanganan bidang kesehatan; Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi SDM potensial; Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.
Perencanaan dan pengendalian pembangunan; Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; Penyediaan sarana dan prasarana umum; Penanganan bidang kesehatan; Penyelenggaraan pendidikan; Penanggulangan masalah sosial; Pelayanan biang ketenagakerjaan; Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; Pengedalian lingkungan hidup; Pelayanan pertanahan; Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; Pelayanan administrasi umum pemerintahan; Pelayanan administrasi penanaman modal; Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Wajib Daerah dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah yang penyelenggaraannya berdasarkan prinsip bahwa: a. b.
Kewenangan Wajib Daerah merupakan kewenangan Daerah yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh Pemerintah; Kewenangan Wajib Daerah ditetapkan oleh Pemerintah untuk menjamin dilaksanakannya kewenangan Daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar
10
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
c. d.
C.
sekaligus menentukan tingkat kualitas pelayanan tersebut yang diukur dengan Standar Pelayanan Minimal; Pelaksanaan Kewenangan Wajib Daerah harus menjadi prioritas bagi Pemerintah Daerah; Kewenangan Wajib ditetapkan melalui kriteria sebagai berikut: 1) Melindungi hak-hak konstitusional perorangan dan masyarakat; 2) Melindungi kepentingan Nasional yang ditetapkan berdasarkan konsensus Nasional, dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kesejahteraan masyarakat, ketenteraman dan ketertiban umum; 3) Memenuhi komitmen Nasional yang berkaitan dengan perjanjian dan konvensi Internasional.
Standar Pelayanan Minimal 1.
Pengertian Umum Standar pelayanan minimal (SPM) didefinisikan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Adanya SPM sangat diperlukan baik bagi Pemerintah Daerah maupun bagi masyarakat, mengingat bahwa Pemerintah Daerah merupakan ujung tombak pemberian pelayanan kepada warga masyarakat. Bagi Pemerintah Daerah, SPM dapat dijadikan tolok ukur dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk membiayai penyediaan pelayanan tersebut. Sedangkan bagi masyarakat, adanya SPM akan menjadi acuan mengenai kualitas dan kuantitas suatu pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. SPM merupakan standar pelayanan yang minimal dan wajib disediakan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakatnya. Adanya SPM akan menjamin minimal pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat. Disamping itu, SPM dapat mengembangkan dan menerapkan standar kinerja untuk kewenangan daerah yang lain. Pada dasarnya pusat pelayanan yang paling dekat dengan masyarakat adalah di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu, SPM basis penerapannya adalah di kabupaten/kota. Pemerintah melalui departemen sektoral membuat SPM untuk masing-masing pelayanan yang menjadi bidang tugasnya. Pemerintah provinsi berdasarkan SPM dari pusat dalam kapasitasnya sebagai wakil pusat di daerah bekerjasama dengan daerah kabupaten/kota membahas bagaimana pencapaian SPM tersebut. Dalam pelaksanaan SPM bagi daerahnya, pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam wilayahnya bekerjasama merumuskan pencapaian SPM tersebut dengan mempertimbangkan kondisi objektif yang ada di setiap daerah yang
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
11
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
bersangkutan. Selanjutnya, pemerintah kabupaten/kota melalui Perda masingmasing menentukan cara pelaksanaan pelayanan tersebut berdasarkan SPM yang telah disepakati pencapaiannya dengan pemerintah provinsi. SPM yang diimplementasikan ditingkat kabupaten/kota menjadi dasar bagi pengawasan yang dilakukan oleh provinsi sebagai wakil pusat di daerah. Pelayanan-pelayanan yang berbasis SPM tersebut kemudian diakomodasikan dalam Renstra daerah dan dilaksanakan setiap tahunnya melalui APBD. Pelaksanaan SPM tersebut kemudian dievaluasi untuk melihat sejauhmana pelaksanaannya dan masalah-masalah apa yang terjadi dalam implementasi untuk dijadikan feedback bagi penyempurnaannya. Adapun prinsip-prinsip SPM yang dijadikan acuan adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
SPM diterapkan pada kewenangan wajib Daerah saja, namun Daerah dapat mengembangkan dan menerapkan Standar Kinerja untuk Kewenangan Daerah yang lain; SPM ditetapkan Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota; SPM harus mampu menjalin terwujudnya hak-hak individu serta dapat menjamin akses masyarakat mendapat pelayanan dasar dari Pemerintah daerah sesuai patokan dan ukuran yang ditetapkan oleh Pemerintah; SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan kebutuhan Nasional dan perkembangan kapasitas Daerah; SPM harus memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut: a.
b.
c.
Pemerintah Pusat menentukan SPM secara jelas dan konkrit, sesederhana mungkin, tidak terlalu banyak dan mudah diukur untuk dipedomani oleh setiap unit organisasi perangkat Daerah, atau badan udaha milik daerah atau lembaga mitra Pemerintah Daerah yang melaksanakan kewenangan wajib Daerah. Indikator SPM memberikan informasi kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib Daerah secara kualitas (seberapa berarti kemajuan yang telah dilakukan) dan secara kuantitas (seberapa banyak yang telah dilakukan) dengan mempunyai nilai bobot. Karakteristik indikator meliputi: 1) masukan, yaitu bagaimana tingkat atau besaran sumberdaya yang digunakan; 2) proses yang digunakan, yaitu termasuk upaya pengukurannya seperti program atau kegiatan yang dilakukan, mencakup waktu, lokasi, isi program atau kegiatan, penerapannya dan pengelolaannya.
12
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
3) hasil, yaitu wujud pencapaian kinerja, termasuk pelayanan yang diberikan, persepsi publik terhadap pelayanan tersebut, perubahan perilaku publik. 4) manfaat, yaitu tingkat kemanfaatan yang dirasakan sebagai nilai tambah, termasuk kualitas hidup, kepuasan konsumen/masyarakat, maupun Pemerintah Daerah. 5) dampak, yaitu pengaruh pelayanan terhadap kondisi secara makro berdasarkan manfaat yang dihasilkan. d.
e.
f.
g.
h. i.
6.
Indikator SPM menggambarkan indikasi variabel pelayanan dasar yang digunakan untuk mengevaluasi keadaan atau status dan menggambarkan keseluruhan pengukuran terhadap perubahanperubahan yang terjadi dari waktu-kewaktu serta jenis pelaporan dasar kepada masyarakat terhadap kinerja unit organisasi perangkat daerah. Indikator (termasuk nilai) pelayanan minimal merupakan keadaan minimal yang diharapkan secara nasional untuk suatu jenis pelayanan tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata kondisi daerah-daerah. Indikator Standar Pelayanan Minimal seharusnya diacu dalam perencanaan daerah, pengganggaran daerah dan pemekaran dan penggabungan lembaga perangkat daerah, pengawasan, pelaporan dan salah satu dokumen Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta penilaian kapasitas daerah. Dalam upaya pencapaian SPM untuk jangka waktu tertentu ditetapkan batas awal pelayanan minimal (“Minimum Service Baselines“) dan target pelayanan yang akan dicapai (“Minimum Service Target“). “Minimum Service Baselines” adalah spesifikasi kinerja pada tingkat awal berdasarkan data indikator SPM yang terakhir/terbaru. “Minimum Service Target” adalah spesifikasi peningkatan kinerja pelayanan yang harus dicapai dalam periode waktu tertentu dalam siklus perencanaan daerah multi tahun untuk mencapai atau melebihi SPM.
SPM berbeda dengan standar teknis, dimana standar teknis merupakan faktor pendukung alat mengukur pencapaian SPM.
SPM merupakan alat untuk mengukur kinerja Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. SPM sangat diperlukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai konsumen pelayanan itu sendiri. Bagi Pemerintah Daerah, suatu SPM dapat dijadikan sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan tertentu. Sedangkan bagi
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
13
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
masyarakat, SPM akan menjadi acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Penerapan SPM akan memiliki manfaat sebagai berikut: a. b. c. d. e. f.
g.
Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat; SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang sangat dibutuhkan Pemerintah Daerah untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik; SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lebih adil dan transparan (baik Dana Alokasi Umum/DAU maupun Dana Alokasi Khusus/DAK); SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan membantu Pemerintah Daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih berimbang; SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah; SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintah Daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan Pemerintah Daerah; SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan Pemerintah Daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan masyarakat.
Dalam penyelenggaraannya, SPM dibuat berdasarkan sejumlah peraturan perundang-undangan, yakni: a. b. c. d. e. f. g. h.
14
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom; PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; PP Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; PP Nomor 56 Tahun 2001 mengenai Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan PP Nomor 65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 65 Tahun 2005, bahwa penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan tim konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, dengan melibatkan Menteri/Pimpinan LPND terkait, yang dibentuk dengan Kepmendagri. Hasil konsultasi tersebut dikeluarkan oleh masing-masing Departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri yang bersangkutan. Sebelum PP Nomor 65 Tahun 2005 tersebut dikeluarkan, untuk mengatasi kelangkaan peraturan perundangan mengenai SPM sedangkan SPM harus sudah dilaksanakan, maka dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal. Berdasarkan SE Mendagri tersebut, beberapa departemen telah mengeluarkan Pedoman SPM. Pedoman tersebut digunakan untuk menjabarkan SPM ke dalam aturan yang lebih spesifik, seperti penjabaran definisi operasional, cara perhitungan pencapaian kinerja, rumus indikator, sumber data, target, maupun langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan. Kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia saat ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lainnya, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Misalnya, dalam hal penyediaan Puskesmas di setiap Kecamatan sebagai SPM di bidang kesehatan masih belum dapat dipenuhi oleh banyak Pemerintah Daerah. Demikian pula dengan dengan pelayanan di bidang lainnya, seperti pelayanan KTP, akses jalan dari kecamatan ke ibukota Kabupaten, dan sebagainya masih berada dalam kondisi di bawah SPM yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (departemen terkait). Selain itu, tingkat kesiapan masing-masing departemen dalam memberikan acuan mengenai SPM untuk diterapkan di daerah juga cukup beragam. Dari sebanyak 16 (enambelas) sektor yang dalam Undang-Undang ditetapkan untuk didesentralisasikan kewenangannya ke Pemerintah Daerah, baru Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional yang dinilai paling siap melaksanakannya dengan menyediakan acuan SPM yang ditetapkan, yakni dengan SK Menteri Kesehatan Nomor 1457 Tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota dan SK Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1299 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan di Kabupaten/Kota. Berkenaan dengan penyelenggaraan SPM tersebut di atas dan sebagai turunan dari PP Nomor 65 Tahun 2005, maka diterbitkan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. Ruang lingkup dari Permendagri tersebut meliputi: a) Jenis
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
15
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM, b) Indikator SPM, c) nilai SPM, d) Batas waktu pencapaian SPM, dan e) Pengorganisasian penyelenggaraan SPM. Adapun penjabaran untuk masing-masing ruang lingkup tersebut adalah sebagai berikut: a.
Penentuan jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM mengacu pada kriteria: 1. 2.
3.
4. b.
Penentuan indikator standar pelayanan minimal menggambarkan hal-hal sebagai berikut: 1. 2.
3. 4. 5.
c.
tingkat atau besaran sumberdaya yang digunakan, seperti sarana dan prasarana, dana, dan personil; tahapan yang digunakan, termasuk upaya pengukurannya, seperti program atau kegiatan yang dilakukan, mencakup waktu, lokasi, pembiayaan, penerapan, pengelolaan dan keluaran, hasil dan dampak; wujud pencapaian kinerja, meliputi pelayanan yang diberikan, persepsi, dan perubahan perilaku masyarakat; tingkat kemanfaatan yang dirasakan sebagai nilai tambah, termasuk kualitas hidup, kepuasan konsumen atau masyarakat, dunia usaha, pemerintah dan pemerintahan daerah; dan keterkaitannya dengan keberadaan sistem informasi, pelaporan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjamin pencapaian SPM dapat dipantau dan dievaluasi oleh pemerintah secara berkelanjutan.
Penentuan Nilai SPM: 1.
16
merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib; merupakan pelayanan yang sangat mendasar yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal sehingga dijamin ketersediaannya oleh konstitusi, rencana jangka panjang nasional, dan konvensi internasional yang sudah diratifikasi, tanpa memandang latar belakang pendapatan, sosial, ekonomi, dan politik warga; didukung dengan data dan informasi terbaru yang lengkap secara nasional serta latar belakang pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada huruf b, dengan berbagai implikasinya, termasuk implikasi kelembagaan dan pembiayaannya; dan terutama yang tidak menghasilkan keuntungan materi.
kualitas berdasarkan standar teknis dari jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dengan mempertimbangkan standar pelayanan tertinggi yang telah dicapai dalam bidang pelayanan dasar
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
2.
d.
yang bersangkutan di daerah dan pengalaman empiris tentang cara penyediaan pelayanan dasar yang bersangkutan yang telah terbukti dapat menghasilkan mutu pelayanan yang hendak dicapai, serta keterkaitannya dengan SPM dalam suatu bidang pelayanan yang sama dan dengan SPM dalam bidang pelayanan yang lain; cakupan jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM secara nasional dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang pelayanan dasar yang bersangkutan, variasi kondisi daerah, termasuk kondisi geografisnya.
Batas waktu pencapaian SPM: Batas waktu pencapaian SPM merupakan kurun waktu yang ditentukan untuk mencapai SPM secara nasional. Dalam menentukan batas waktu pencapaian SPM harus mempertimbangkan : 1. 2. 3. 4.
e.
status jenis pelayanan dasar yang bersangkutan pada saat ditetapkan; sasaran dan tingkat pelayanan dasar yang hendak dicapai; variasi faktor komunikasi, demografi dan geografi daerah; dan kemampuan, potensi, serta prioritas nasional dan daerah.
Pengorganisasian penyelenggaraan SPM mencakup: tatacara penyusunan dan penetapan SPM serta pembinaan dan pengawasan penerapannya.
2.
Prinsip Penyusunan dan Penetapan SPM Prinsip-prinsip dalam penyusunan dan penetapan standar pelayanan minimal adalah sebagaimana berikut : a. b. c.
Keprimaan sudah harus berawal dari sejak adanya rumusan harapan terhadap kondisi masa depan atau visi yang ingin dicapai organisasi/ instansi/negara. Visi dijabarkan secara tuntas ke dalam rumusan-rumusan misi (usaha-usaha pokok) organisasi yang terukur. Misi dijabarkan dalam standar pelayanan yang minimum harus ditunjukkan berupa rincian kegiatan yang harus dilakukan untuk dapat menghasilkan output/hasil akhir pelayanan dengan mengacu pada parameter keprimaan teknis operasional berikut :
kesederhanaan; kejelasan dan kepastian; akuntabilitas (tanggunggugat); keamanan (security); keterbukaan (transparancy);
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
17
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
3.
efisiensi (ekonomis); efektivitas; adil dan merata; ketepatan (accuracy); kemudahan (accessibility); kesopanan (courtesy); kenyamanan (comfortability); kemampuan/kemahiran (competence); dapat dipercaya (credibility/reliability); keandalan (dependability); fleksibilitas; kejujuran; kesegeraan/kesigapan (promptness); responsif; dan sebagainya.
Mekanisme dan Koordinasi Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Mekanisme dan koordinasi pelaksanaan SPM untuk mendukung pelayanan dasar yang mencerminkan akuntabilitas kinerja pelayanan publik dalam era desentralisasi adalah sebagai berikut: Tingkat Pusat a. b. c. d. e.
Pemerintah melalui Departemen/LPND setelah dikonsultasikan dengan Departemen Dalam Negeri, menetapkan kewenangan wajib dan SPM yang berlaku secara nasional dan wajib dilaksanakan daerah Kabupaten/Kota. Pemerintah melakukan supervisi, monitoring dan pengendalian terhadap pelaksanaan kewenangan wajib dan pencapaian SPM. Pemerintah melakukan penilaian keberhasilan pelaksanaan SPM di masing-masing daerah apakah SPM tercapai atau tidak. Pemerintah mengambil tindakan terhadap daerah yang tidak melaksanakan kewenangan wajib dan atau tidak mencapai SPM sesuai dengan alasan dan derajat/tingkat kegagalan. Pemerintah melakukan sosialisasi, diseminasi, pelatihan, bimbingan dan workshop/lokakarya SPM;
Tingkat Provinsi a.
b.
18
Gubernur selaku wakil Pemerintah menetapkan program dan kurun waktu pencapaian SPM sesuai dengan kondisi pada masing-masing kabupaten/kota yang ditentukan secara bersamasama dengan kabupaten/kota dalam wilayahnya, berdasarkan SPM dari Departemen/LPND Gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan supervisi, pemantauan dan monitoring terhadap pelaksanaan SPM di kabupaten dan kota.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
c. d. e.
Gubernur selaku wakil Pemerintah melaporkan issue strategis sebagai dampak pelaksanaan SPM di daerahnya untuk mendapat pertimbangan dari Pemerintah. Gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan sosialisasi, diseminasi, pelatihan, bimbingan dan workshop/lokakarya dalam rangka pelaksanaan SPM di daerahnya. Gubernur melaporkan kepada Pemerintah Pusat secara berkala kinerja daerah kabupaten/kota terhadap pelaksanaan SPM.
Tingkat Kabupaten/Kota a. b.
c.
d.
e. f. g.
4.
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah tentang pelaksanaan SPM. Penyelenggaraan SPM di Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh unit organisasi perangkat daerah atau Badan Usaha Milik Daerah atau lembaga mitra Pemda, terhadap Kewenangan bidang Pemerintahan tertentu yang wajib dilaksanakan didasarkan kepada SPM yang telah ditetapkan melalui Perda. Melakukan reorientasi tugas pokok dan fungsi kelembagaan unit organisasi perangkat daerah dalam penyelenggaraan SPM kedalam Program Pembangunan Daerah atau Renstra Daerah dan Repetada sebagai pengukuran indikator kinerja APBD atau Anggaran lainnya. Unit organisasi perangkat daerah dalam penyusunan REPETADA dan RAPBD memprioritaskan bidang Pemerintahan yang wajib yang menyentuh langsung kepada pelayanan dasar masyarakat dengan pengukuran kinerja berdasarkan indikator SPM yang telah ditetapkan. Kajian penyempurnaan SPM sesuai Kewenangan yang Wajib dilaksanakan Kabupaten/Kota berdasarkan kondisi riil, potensial dan kemampuannya. Sosialisasi, desiminasi penyelenggaraan SPM dalam pelaksanaan Kewenangan Wajib Daerah Kabupaten/Kota yang kebutuhan dasar masyarakat secara umum merupakan. Melakukan survei kepuasan masyarakat terhadap pencapaian pelaksanaan SPM.
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Dalam konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) tahun 1948 dinyatakan bahwa “Health is a fundamental human right”, yang mengandung suatu kewajiban untuk menyehatkan yang sakit dan mempertahankan yang sehat. Hal ini melandasi pemikiran bahwa sehat sebagai hak asasi manusia dan sehat sebagai investasi. Untuk Indonesia, jelas tercantum dalam UndangUndang Dasar Negara Indonesia yang mengamanatkan bahwa kesehatan merupakan salah satu aspek dari hak asasi manusia, yaitu sebagaimana dalam pasal 28 H ayat (1) : “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
19
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan Kesehatan tersebut diselenggarakan dengan mendasarkan kepada Sistem Kesehatan Nasional (SKN). SKN adalah suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Sesuai pula dengan SKN tersebut, pelaku penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, badan legislatif serta badan yudikatif. Dengan demikian dalam lingkungan pemerintah, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus saling bahu membahu secara sinergis melaksanakan pembangunan kesehatan yang terencana, terpadu dan berkesinambungan dalam upaya kita bersama mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menetapkan bidang kesehatan merupakan salah satu kewenangan wajib yang harus dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan Kewenangan Wajib oleh Daerah adalah merupakan perwujudan otonomi yang bertanggungjawab, yang pada intinya merupakan pengakuan/pemberian hak dan kewenangan Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah. Tanpa mengurangi arti serta pentingnya prakarsa Daerah dalam penyelenggaraan otonominya dan untuk menghindari terjadinya kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang tertentu, termasuk didalamnya kewenangan bidang kesehatan. Pemerintah Pusat bertanggung jawab secara nasional atas keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, walaupun pelaksanaan operasionalnya diserahkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat daerah yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, menyebutkan bahwa peran pemerintah pusat di era desentralisasi ini lebih banyak bersifat menetapkan kebijakan makro, melakukan standarisasi, supervisi, monitoring evaluasi, pengawasan dan pemberdayaan ke daerah, sehingga otonomi dapat berjalan secara optimal.
20
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
Guna menyamakan persepsi dan pemahaman dalam pengaktualisasian kewenangan wajib bidang kesehatan di Kabupaten/Kota seiring dengan Lampiran Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/756/OTDA tanggal 8 Juli 2002 tentang Konsep Dasar Penentuan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal, maka dalam rangka memberikan panduan untuk melaksanakan pelayanan dasar di bidang kesehatan kepada masyarakat di Daerah, telah d i t e t a p k a n Keputusan Menteri Kesehatan N o m o r 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang “Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota”. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan tersebut tercakup jenis-jenis pelayanan beserta indikator serta target pencapaiannya sebagaimana terangkum pada tabel berikut : Tabel.2.1 Jenis Pelayanan, Indikator dan Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan No.
Jenis Pelayanan
1.
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi
Indikator dan Target
2.
Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia Sekolah
3. 4.
Pelayanan Keluarga Berencana Pelayanan Imunisasi
5. 6.
Pelayanan Pengobatan/Perawatan Pelayanan Kesehatan Jiwa
7.
Pemantauan
Pertumbuhan
Cakupan kunjungan ibu hamil K4 (95%) Cakupan pertolongan persalinan oleh Bidan atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (90%) Ibu hamil resiko tinggi yang dirujuk (100%) Cakupan kunjungan neonatus (90%) Cakupan kunjungan bayi (90%) Cakupan bayi berat lahir rendah (BBLR yang ditangani (100% Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah (90%) Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih/guru UKS/Dokter Kecil (100%) Cakupan pelayanan kesehatan remaja (80%) Cakupan peserta aktif KB (70%) Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (100%) Cakupan rawat jalan (15%) Cakupan rawat inap (15%) Pelayanan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan umum (15%) Balita yang naik berat badannya (80%)
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
21
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No. 8.
Jenis Pelayanan Balita Pelayanan Gizi
Indikator dan Target
9.
Pelayanan Obstetrik dan Neonatus Emergensi Dasar dan Komprehensif
Balita Bawah Garis Merah (<15%) Cakupan Balita mendapat kapsul vitamin A 2 kali per tahun (90%) Cakupan Ibu Hamil mendapat 90 tablet Fe (90%) Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada Bayi bawah garis merah dari keluarga miskin (100%) Balita gizi buruk mendapat perawatan (100%) Akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk menangani rujukan ibu hamil dan neonatus (80%) Ibu hamil resiko tinggi/komplikasi yang ditangani (80%) Neonatus resiko tinggi/komplikasi yang ditangani (80%) Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat diakses masyarakat (90%) Desa/Kelurahan mengalami KLB yang ditangani (<24 jam (100%) Kecamatan bebas rawan gizi (80%)
10.
Pelayanan Gawat Darurat
11.
Penyelenggaraan penyelidikan epidemologi dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) dan gizi buruk Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Folio Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV AIDS
Balita dengan diare yang ditangani (100%)
Institusi yang dibina (70%)
19.
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare Pelayanan Kesehatan Lingkungan Pelayanan kesehatan Vektor
Cakupan balita dengan pneumonia yang ditangani (100%) Klien yang mendapatkan penanganan HIV AIDS (100%) Infeksi menular seksual yang diobati (100%) Penderita DBD yang ditangani (80%)
20.
Pelayanan Hygiene Sanitasi di
Rumah/bangunan bebas jentik nyamuk Aedes (>95%) Tempat umum yang memenuhi syarat
12. 13. 14. 15.
16. 17. 18.
22
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Acute Flacid Paralysis (AFP rate per 100.000 penduduk <15 tahun ( 1) kesembuhan penderita TBC BTA positif (>85%)
Konsep Standar Pelayanan Minimal
No.
Indikator dan Target
tempat Umum Penyuluhan Perilaku Sehat
21.
22.
Penyuluhan Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (P3 NAPZA) berbasis masyarakat Pelayanan Penyediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
23.
24.
Pelayanan Penggunaan Obat Generik Penyelenggaraan pembiayaan untuk pelayanan kesehatan perorangan Penyelenggaraan pembiayaan untuk keluarga miskin dan masyarakat rentan
25. 26.
5.
Jenis Pelayanan
(80%) Rumah tangga sehat (65%) Bayi mendapat ASI-eksklusif (80%) Desa dengan program garam beryodium baik (90%) Posyandu Purnama (40%) Upaya penyuluhan P3 NAPZA oleh petugas kesehatan (15%)
Ketersediaan obat sesuai kebutuhan (90%) Pengadaan obat esensial (100%) Pengadaan obat generik (100%) Penulisan resep obat generik
Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan pra bayar (80%)
Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin dan masyarakat rentan (100%)
Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional juga telah mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1299 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan. Dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tersebut tercakup jenis-jenis pelayanan beserta indikator serta target pencapaiannya sebagaimana terangkum pada tabel berikut : Tabel.2.2 Jenis Pelayanan, Indikator dan Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan
No. 1.
Jenis Pelayanan Pelayanan Pendidikan SD/ MI
Indikator dan Target
Anak dalam kelompok usia 7 – 12 tahun bersekolah di SD/MI (100%) Angka Putus sekolah (APS) (≤1%) Sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
23
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Jenis Pelayanan
Indikator dan Target
2.
Pelayanan SMP/MTs
Pendidikan
3.
24
Pelayanan SMA/MA
Pendidikan
sesuai standar teknis yang ditetapkan secara nasional (90%) Jumlah guru SD yang diperlukan terpenuhi (95%) Guru SD/MI memiliki kualifikasi sesuai dengan sesuai kompetensi yang diterapkan secara nasional (65%) Siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran (100%) Rasio jumlah siswa SD/MI per kelas (30-40 siswa) Siswa yang mengikuti uji sample mutu pendidikan standar nasional mencapai nilai memuaskan dalam mata pelajaran membaca, menulis dan berhitung untuk kelas III dan mata pelajaran bahasa, matematika, IPA dan IPS untuk kelas V (90%) Lulusan SD melanjutkan ke SMP/MTs (100%) Anak dalam usia 13-15 Tahun bersekolah di SMP/MTs (96%) Angka putus sekolah (APS (≤1%) Sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan secara nasional (90%) Sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya (80%) Jumlah guru SMP yang diperlukan terpenuhi (90%) Guru SMP/MTs memiliki kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional (90%) Siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran (100%) Rasio jumlah siswa SMP/MTs per kelas (30-40 siswa) Siswa yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan standar nasional mencapai nilai memuaskan dalam mata pelajaran bahasa indonesia, bahasa inggris, matematika, IPA, IPS di kelas I dan II (90%) Lulusan SMP / MTs melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah(MA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) (70%) Anak dalam kelompok usia 16 – 18 tahun bersekolah di SMA/MA/SMK (60%)
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
No.
Jenis Pelayanan
Indikator dan Target
4.
Pelayanan SMK
Pendidikan
5.
Pelayanan Pendidikan Keaksaraan
Angka Putus Sekolah (≤1%) Sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan secara nasional (90%) Sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya (80%) Jumlah guru SMA/MA yang diperlukan terpenuhi (90%) Guru SMA/MA memiliki kualifikasi sesuai dgnkompetensi yang ditetapkan secara nasional (90%) Siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setap mata pelajaran (100%) Rasio jumlah siswa per kelas (30-40 siswa) Siswa yang mengikuti uji sampel mutu standar nasional mencapai nilai ”memuaskan” dalam mata pelajaran bahasa Inggris, Geografi, Matematika dasar untuk kelas I dan II (90%) Lulusan SMA/MA melanjutkan ke perguruan Tinggi yang terakreditasi (25%) Angka Putus Sekolah (≤1%) Sekolah memiliki sarana prasarana minimal sesuai dgn standar teknis yang ditetapkan secara nasional (90%) Sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya. (80%) Jumlah guru SMK yang diperlukan terpenuhi (90%) Guru SMK memiliki kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional (90%) Siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran (100%) Rasio jumlah siswa SMK perkelas (30-40 siswa) Lulusan SMK melanjutkan ke perguruan tinggi yang terakreditasi (20%) Lulusan SMK diterima di dunia kerja sesuai dengan keahliannya (20%) Penduduk usia produktif (15-44 tahun) bisa membaca dan menulis (100%) Orang buta aksara dalam kelompok usia di 15-44 tahun (≤ 7%) Orang buta aksara dalam kelompok usia di atas
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
25
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Jenis Pelayanan
Indikator dan Target
6.
Pelayanan Pendidikan Kesetaraan Sekolah Dasar
7.
Pelayanan Pendidikan Kesetaraan SMP/MTs
26
44 tahun (≤ 30%) Tersedianya data keaksaraan yang diperbaharui secara terus menerus (100%) Jumlah penduduk usia sekolah yang belum bersekolah di SD/MI menjadi peserta didik Program Paket A (80%) Peserta didik program paket A yang tidak aktif (≤ 10%) Peserta didik memiliki modul Program Paket A (100%) Peserta didik yang mengikuti ujian akhir Program Paket A lulus ujian kesetaraan (95%) Lulusan Program Paket A dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP, MTs, atau Program Paket B) (95%) Peserta didik yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan mendapat nilai memuaskan (90%) Tutor Program Paket A yang diperlukan terpenuhi (100%) Tutor Program Paket A memiliki kualifikasi sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara nasional (90%) Pusat kegiatan belajar masyarakat memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis pembelajaran (90%) Peserta didik memiliki sarana belajar (100%) Tersedianya data dasar kesetaraan sekolah dasar yang diperbaharui secara terus menerus (100%) Jumlah penduduk usia sekolah yang belum bersekolah di SMP/MTs menjadi peserta didik Program Paket B (90%) Peserta didik Program Paket B yang tidak aktif (≤ 2%) Peserta didik memiliki modul Program Paket B (100%) Peserta didik yang mengikuti ujian akhir Program Paket B lulus ujian kesetaraan (80%) Lulusan Program Paket B dapat memasuki dunia kerja (50%) Lulusan Program Paket B dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMA, SMK, MA, atau Program Paket C) (50%) Peserta didik Program Paket B yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan mendapat nilai
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
No.
Jenis Pelayanan
Indikator dan Target
8.
Pelayanan Pendidikan Kesetaraan SMA
9.
Pelayanan Pendidikan Keterampil-an bermatapencaharian
memuaskan (90%) Tutor Program Paket B yang diperlukan terpenuhi (100%) Tutor Program Paket B memiliki kualifikasi sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara nasional (90%) Pusat kegiatan belajar masyarakat memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis pembelajaran (90%) Tersedianya data dasar kesetaraan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang diperbaharui secara terus menerus (100%) Jumlah penduduk usia sekolah yang belum bersekolah di SMA/MA menjadi peserta didik Program Paket C (80%) Peserta didik Program Paket C yang tidak aktif (≤ 5%) Peserta didik memiliki modul Program Paket C (60%) Peserta didik yang mengikuti ujian akhir Program Paket C lulus ujian kesetaraan (80%) Lulusan Program Paket C dapat memasuki dunia kerja (60%) Lulusan Program Paket C dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (12%) Peserta didik Program Paket C yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan mendapat nilai memuaskan (80%) Tutor Program Paket C yang diperlukan terpenuhi (100%) Tutor Program Paket C memiliki kualifikasi sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara nasional (90%) Pusat kegiatan belajar masyarakat memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis pembelajaran (90%) Tersedianya data dasar kesetaraan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diperbaharui secara terus menerus (100%) Anggota masyarakat putus sekolah, pengangguran, dan dari keluarga pra sejahtera menjadi peserta didik dalam kursus-kursus/ pelatihan/ kelompok belajar usaha/ magang (20%) Lembaga kursus memiliki ijin operasional dari
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
27
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Jenis Pelayanan
Indikator dan Target
10.
Pelayanan Pendidikan Taman Kanak-Kanak
11.
Pelayanan Pendidikan pada Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain, atau yang sederajat
12.
28
Pelayanan Pendidikan
pemerintah atau pemerintah daerah (100%) Lembaga kursus dan lembaga pelatihan terakreditasi (70%) Kursus-kursus/ pelatihan/ kelompok belajar usaha/ magang dibina secara terus menerus (100%) Lulusan kursus, pelatihan, magang, kelompok belajar usaha dapat memasuki dunia kerja (90%) Tenaga pendidik, instruktur, atau penguji praktek kursus-kursus /pelatihan/ kelompok belajar usaha/ magang yang diperlukan terpenuhi (100%) Tenaga pendidik, instruktur, atau penguji praktek kursus/ pelatihan/ kelompok belajar usaha/ magang memiliki kualifikasi sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara nasional (90%) Peserta ujian kursus-kursus memperoleh ijazah atau sertifikat (85%) Kursus/ pelatihan/ kelompok belajar usaha/ magang memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan (90%) Tersedianya data dasar kursus/ pelatihan/ kelompok belajar usaha/ magang yg diperbaharui terus menerus (100%) Jumlah anak usia 4-6 tahun mengikuti program TK/RA (35%) Guru layak mendidik TK/RA dengan kualifikasi sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara nasional (30%) TK/RA memiliki sarana dan prasarana bermain (90%) TK/RA menerapkan manajemen berbasis sekolah sesuai dengan manual yang ditetapkan manual yang tetapkan oleh Menteri (67) Anak dalam kelompok 0-4 tahun mengikuti kegiatan Tempat Penitipan Anak, Kelompok bermain atau yang sederajat (30%) Jumlah anak usia 4-6 tahun yang belum terlayani pada program PAUD jalur formal mengikuti program PAUD jalur non formal (50%) Guru PAUD jalur non formal telah mengikuti pelatihan di PAUD (55%) Tersedianya program kepemudaan oleh
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Konsep Standar Pelayanan Minimal
No.
Jenis Pelayanan
Indikator dan Target
Kepemudaah
13.
SPM Olahraga Pendidikan Masyarakat, Masyarakat, dan Prestasi
14.
Pelayanan statistik dan pelaporan pendidikan, pemuda, dan olah raga
lembaga kepemudaan untuk meningkatkan kapasitas kemampuan pemuda di bidang wirausaha, kepemimpinan, wawasan kebangsaan, kebudayaan, dan pendidikan (6 program) Peningkatan partisipasi pemuda dalam kegiatan pembangunan, pemberdayaan, masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, sosial-ekonomi, dan kemasyarakatan (6% per tahun) Peningkatan partisipasi pemuda dalam kegiatan pembangunan, pemberdayaan, masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, sosial-ekonomi, dan kemasyarakatan (6% per tahun) Jumlah siswa yang mengikuti kegiatan cabang olah raga yang beragam di luar mata pelajaran olahraga di sekolah (65%) Terbukanya kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi dan berkreasi dalam pendidikan jasmani yang tertuang dalam kurikulum (100%) Siswa memiliki tingkat kebugaran yang baik (75%) Klub olah raga dibina di wilayah Kabupaten/Kota (15 klub) Siswa terpilih mengikuti POPDA di tingkat Provinsi (12 siswa per satuan pendidikan) Terdapat 1 lapangan terbuka yang dapat digunakan 5 sekolah 1 orang guru pendidikan jasmasi mengajar 9 rombongan belajar Berfungsinya BAPOPSI (Badan Pembina Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia) di Berfungsinya BAPOPSI (Badan Pembina Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia) di (7 cabang) Berfungsinya Komite Olah Raga Nasional Daerah (Konida) di tingkat Kabupaten /Kota (85%) Statistik pendidikan, pemuda, dan olah raga dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah ( satu tahun sekali) Laporan kemajuan pendidikan, pemuda, dan olah raga disampaikan kepada masyarakat (satu tahun sekali)
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
29
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
D. Kerangka Berpikir
Pemerintah
Pemerintah Daerah Pemberian Urusan Pemerintahan kepada Pemerintah Daerah (PP 38/2007)
Urusan Wajib
Urusan Pilihan
Pelayanan dasar kepada masyarakat daerah: Kesehatan dan Pendidikan
30
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Tercapainya Tujuan otonomi Daerah
SPM
Dept. Teknis/LPND
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
Bab 3
PELEMBAGAAN PENERAPAN KEBIJAKAN SPM
A. Sinergitas Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Desentralisasi pelayanan publik merupakan salah satu langkah strategis dalam rangka mendukung terciptanya good governance. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi melalui UU Nomor 32 Tahun 2004, ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, kesejahteraan rakyat, dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Sejalan dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 ini, mulailah diperkenalkan adanya konsep SPM. SPM merupakan ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Untuk melaksanakan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 tersebut, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM. Pedoman ini dikeluarkan untuk menjadi acuan dalam penyusunan SPM oleh menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen dan dalam penerapannya oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sub bab ini akan membahas sinergitas antar berbagai kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan penerapan SPM. Lahirnya PP Nomor 65 Tahun 2005 dinilai sebagai upaya serius pemerintah dalam penerapan SPM di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti bahwa pada masa sebelum lahirnya PP tersebut, pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam menerapkan SPM. Untuk melihat sejauh mana cakupan berbagai kebijakan yang ada terkait dengan penerapan SPM, maka pembahasan dalam sub bab ini akan dibagi dalam dua bagian, yakni era berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 (sebelum lahirnya PP Nomor 65 Tahun 2005) dan era berlakunya UU Nomor 32 tahun 2004 yang merupakan revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1999. Selain itu, karena fokus dari kajian ini adalah penerapan SPM pada bidang kesehatan dan pendidikan, maka perkembangan kebijakan yang terkait dengan
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
penerapan SPM pada kedua bidang tersebut, juga akan dipaparkan dalam sub bab ini. 1.
Era Sebelum Lahirnya PP Nomor 65 Tahun 2005 a.
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Kelahiran SPM ini ditandai dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini pada Pasal 11 Ayat (2) diatur mengenai kewenangan daerah dan bidang yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota yang meliputi 11 kewenangan wajib, yakni: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, serta tenaga kerja. Sedangkan pada Pasal 11 Ayat (1) diatur mengenai kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota, yang mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan diatur dalam Pasal 9. Kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 merupakan kewenangan pemerintah pusat, sedang yang diatur dalam Pasal 9 merupakan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom.
b. PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom PP ini mengatur pedoman untuk menentukan SPM dalam bidang yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Dalam Pasal 2 dan 3, kewenangan dikelompokkan dalam 20 bidang. Pasal 2 mengatur kewenangan pemerintah pusat, sedangkan Pasal 3 mengatur kewenangan pemerintah provinsi sebagai daerah otonom. Pada Pasal 4 diatur pelaksanaan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Penjelasan Pasal 3 Ayat (2) menyatakan bahwa pelaksanaan kewenangan wajib merupakan pelayanan minimal pada bidang-bidang sebagaimana diamaksud dalam Pasal 11 Ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 1999, sesuai dengan standar yang ditentukan provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. Kewenangan kabupaten/kota tidak diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 2000, karena UU Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya telah meletakkan semua kewenangan pemerintah pada daerah kabupaten/kota. Atas kewenangan yang telah diserahkan kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota, maka pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan harus sesuai dengan standar yang ditentukan oleh pemerintah.
32
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pelembagaan Penerapan Kebijakan SPM
Sesuai dengan ketentuan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 9 Ayat (2), bahwa ketentuan mengenai kebijakan standar, norma, kriteria, prosedur, dan pedoman, ditetapkan selambat-lambatnya dalam waktu enam bulan sejak ditetapkannya PP. PP Nomor 25 Tahun 2000 ini ditetapkan pada tanggal 6 Mei 2000. Dengan mengacu pada ketentuan ini, setidak-tidaknya kementrian negara/departemen/LPND telah menetapkan suatu SPM paling lambat November 2000. Dimana SPM ini dapat digunakan oleh provinsi/kabupaten/kota sebagai acuan dalam penyelenggaraan kewenangan wajib dan juga sebagi tolok ukur yang harus dicapai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun demikian, pada kenyataannya ketentuan ini ternyata tidak dipenuhi oleh banyak kementrian Negara/departemen/LPND. Terbukti sampai dengan akhir tahun 2001 baru 9 SPM telah disusun oleh kementerian negara/departemen, dengan perincian sebagai berikut: 1) Departemen Kesehatan: Keputusan Menkes dan Kesos Nomor 1747/Menkes/Kesos/SK/XII/2000 tanggal 14 Desember 2000 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan Minimal Dalam Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. 2) Departemen Perhubungan: Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE.7 Tahun 2000 tentang Rincian Kewenangan Kabupaten/Kota di Sektor Perhubungan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. 3) Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menegah: Surat Keputusan Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 20/Kep/Meneg/XI/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Pedoman Penetapan SPM Bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang Wajib Dilakukan Kabupaten/Kota. 4) Departemen Perindustrian dan Perdagangan: Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 78/MPP/Kep/3/2001 tanggal 2 Maret 2001 tentang Pedoman SPM Bidang Perindustrian dan Perdagangan. 5) Departemen Pertanian: Keputusan Menteri Pertanian Nomor. 206/KPLS/01.201/2/2001 tanggal 4 April 2001 tentang Pedoman Penetapan SPM Bidang Pertanian. 6) Departemen Pendidikan Nasional: disini telah diterbitkan dua keputusan yakni:
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang Pedoman Penyusunan SPM Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menegah.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
33
33
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 055/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang Pedoman Penyusunan SPM Penyelenggaraan Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga.
7) Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan: Surat Keputusan Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan Nomor 23/SK/Meneg.PP/VI/2001 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan Minimal Pemberdayaan Perempuan di Provinsi, Kabupaten/Kota Sebagai Daerah Otonom. 8) Kementrian Permukiman dan Prasarana Wilayah: Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Jalan c.
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Dalam Pasal 19 dan 20 antara lain ditetapkan bahwa pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan investasi sepanjang investasi tersebut memberi manfaat bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan bahwa APBD yang disusun harus menggunakan pendekatan kinerja, dengan memuat standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan. Dalam penjelasan Pasal 20 Ayat (1) huruf b dinyatakan bahwa pengembangan standar pelayanan dapat dilaksanakan secara bertahap dan harus dilakukan secara berkesinambungan.
d. Surat Edaran Mendagri Nomor 100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002 perihal Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan SPM Surat edaraan yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota seIndonesia ini, menjabarkan mengenai disusunnya konsep pengaturan tentang penyelenggaraan SPM yang perlu dikembangkan lebih lanjut untuk lebih mengakomodasikan kepentingan-kepentingan daerah dan departemen/LPND/kementrian negara. Untuk itu telah disusun Konsep Dasar Penyelenggaraan Kewenangan Wajib dan SPM yang saat itu diujicobakan melalui Pengembangan Model dalam rangka memantapkan Konsep Dasar tersebut. Maksud adanya konsep dasar ini adalah agar masing-masing institusi pemerintah memiliki kesamaan persepsi, pemahaman, dan tindak langkah dalam penyelenggaraan SPM sektor. Selanjutnya, uji coba pengembangan model tersebut dilakukan pada akhir tahun 2003, dimana pemerintah melakukan uji lapangan rancangan Kewenangan Wajib dan SPM sebelum diimplementasikan secara nasional
34
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pelembagaan Penerapan Kebijakan SPM
pada 3 bidang yaitu pemerintahan dalam negeri, kesehatan dan pendidikan. Uji coba bidang kesehatan dilakukan di Provinsi Jawa Barat (Cirebon dan Cianjur), Jawa Timur (Kediri dan Blitar) dan Nusa Tenggara Barat (Lombok Timur) atas kerja sama Depkes, Depdagri dan Perform USAID. Dalam Lampiran SE Mendagri Nomor 100 Tahun 2002 pada butir IV.5a tercantum prinsip-prinsip SPM. Disana dinyatakan bahwa SPM harus memenuhi beberapa ketentuan, diantaranya pemerintah pusat menentukan SPM secara jelas dan konkrit, sesederhana mungkin, tidak terlalu banyak dan mudah diukur untuk dipedomani oleh setiap unit organisasi perangkat daerah, atau badan usaha milik daerah atau lembaga mitra pemerintah daerah yang melaksanakan kewenangan wajib daerah. Selanjutnya dalam butir VII.1.1 mengenai mekanisme dan koordinasi pelaksanaan SPM dinyatakan bahwa pemerintah melalui departemen/LPND setelah dikonsultasikan dengan DDN, menetapkan kewenangan wajib dan SPM yang berlaku secara nasional dan wajib dilaksanakan daerah kabupaten/kota. 2.
Era Berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 a.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengamanatkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, dilaksanakan secara bertahap. Mengingat penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diberlakukan secara nasional, maka SPM tersebut juga berlingkup nasional. Standar nasional akan menjadi satu pedoman bagi pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan yang sama kualitasnya dengan daerah lainnya. Dalam UU ini diatur mengenai pembagian urusan pemerintah, menjadi sebagai berikut: 1) Urusan Pusat, yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya dalam kewenangan pemerintah pusat, meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Keenam urusan ini menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Dan dalam menyelenggarakan urusan pusat ini, pemerintah pusat dapat: b) menyelenggarakan sendiri; atau c) melimpahkan sebagian kepada perangkat pemerintah pusat atau wakil pemerintah di daerah; atau
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
35
35
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
d) menugaskan kepada pemerintahan desa.
pemerintahan
daerah
dan/atau
2) Urusan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang otonom (pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota). Pembagian urusan ini menggunakan 3 kriteria, sebagai berikut: b) Kriteria Eksternalitas: adalah pendekatan dalam pembangunan urusan pemerintahan dengan mempertimbang-kan dampak/akibat yang ditimbulkan penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat. c) Kriteria akuntabilitas: adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan bahwa tingkat pemerintahan penyelenggaraan suatu urusan atau sebagainya adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan penerima manfaat atau penangung dampak /akibat dari urusan yang ditangani tersebut. d) Kriteria efisiensi: adalah pendekatan urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan urusan tersebut. 3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sesuai dengan kriteria di atas, pemerintah pusat dapat: b) Menyelenggarakan sendiri. c) Melimpahkan sebagian kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Urusan yang dilimpahkan ini disertai dengan pendanaan sesuai dengan asas dekonsentrasi. d) Menugaskan sebagian kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. 4) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas, terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. a)
Urusan wajib diselenggarakan dengan berpedoman pada standar pelayanan minimum, khususnya untuk pelayanan dasar. Urusan wajib ini terdiri dari urusan wajib provinsi dan urusan wajib kabupaten/kota, sebagaimana dijabarkan di bawah ini. (1) Urusan wajib provinsi terdiri dari:
36
Perencanaan dan pengendalian pembangunan.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pelembagaan Penerapan Kebijakan SPM
Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang. Penyelenggaraan ketertiban unum dan ketentraman masyarakat. Penyediaan sarana dan prasarana umum. Penanganan bidang kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota. Fasilitas pengembangan koperasi dan UKM termasuk lintas kabupaten/kota. Pengendalian lingkungan hidup. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Pelayanan administrasi pemerintahan umum. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksnakan oleh kabupaten/kota. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan peraturan perundang-undangan.
(2) Urusan wajib kabupaten/kota terdiri dari:
Perencanaan dan pengendalian pembangunan. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Penyediaan sarana dan prasarana umum. Penanganan bidang kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan. Penanggulangan masalah sosial. Pelayanan bidang ketenagakerjaan. Fasilitas pengembangan koperasi dan UKM. Pengendalian lingkungan hidup. Pelayanan pertanahan. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Pelayanan administrasi pemerintahan umum. Pelayanan administrasi penanaman modal. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan peraturan perundang-undangan.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
37
37
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
b) Urusan pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi keunggulan daerah yang bersangkutan. Pembagian urusan antara pusat dan daerah sebagaimana dijelaskan di atas, dapat digambarkan dalam tabel berikut ini: Tabel 3.1. Pembagian Urusan Pusat dan Daerah Urusan Pusat
Pusat
Daerah
1. 2. 3. 4. 5.
politik pertahanan keamanan yustisi moneter dan fiskal nasional 6. agama
Bersama
Kriteria Sudah fix
1. Urusan wajib 2. SPM untuk layanan dasar
Pilihan
sesuai dengan kondisisi, kekhasan, potensi keunggulan daerah
Daerah
akuntabilitas eksternalistas efisiensi pembangkit kesejahteraan
Sumber: Indonesian Handbook 2006
b. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah UU ini disusun sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah dan pemerintah daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. UU ini mengatur dasar pendanaan pemerintah daerah, sebagai berikut:
38
Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD. Penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai APBN.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pelembagaan Penerapan Kebijakan SPM
Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian dana.
Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan, dimana Pendapatan Daerah bersumber dari:
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan
Sedangkan, Pembiayaan bersumber dari:
Sisa lebih perhitungan anggaran daerah Penerimaan pinjaman daerah Dana cadangan daerah dan Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan Sementara itu, Dana Perimbangan terdiri atas:
Dana Bagi Hasil Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus
Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN. c.
PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal SPM disusun dan ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu dipandang perlu adanya suatu peraturan yang bisa menjadi pedoman dalam penyusunan SPM ini. Maka lahirlah PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. PP ini menjadi acuan dalam penyusunan SPM oleh Menteri/Pimpinan LPND dan dalam penerapannya oleh pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota. Selanjutnya, PP ini dalam pasal 4, mengatur hal-hal sebagai berikut: (1) Menteri/Pimpinan LPND menyusun SPM sesuai dengan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2)
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
39
39
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
(2) Penyusunan SPM sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur urusan wajib (3) Dalam penyusunan SPM sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM Adapun hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh menteri/pimpinan LPND ketika menyusun SPM sebagaiamana tercantum dalam PP ini adalah sebagai berikut:
Keberadaan sistem informasi, pelaporan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjamin pencapaian SPM dapat dipantau dan dievaluasi oleh pemerintah secara berkelanjutan. Standar pelayanan tertinggi yang telah dicapai dalam bidang yang bersangkutan di daerah. Keterkaitan antar SPM dalam suatu bidang dan antara SPM dalam suatu bidang dengan SPM dalam bidang lainnya. Kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan. Pengalaman empiris tentang cara penyediaan pelayanan dasar tertentu yang telah terbukti dapat menghasilkan mutu pelayanan yang ingin dicapai.
Selain itu, PP ini menetapkan pula bahwa pada saat PP ini mulai berlaku semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan SPM dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PP ini. Selanjutnya, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan SPM dan tidak sesuai lagi dengan PP ini wajib diadakan penyesuaian paling lambat dalam waktu 2 tahun sejak ditetapkannya PP ini. PP ini juga meminta kepada Menteri/Pimpinan LPND untuk menyusun SPM paling lambat dalam waktu 3 tahun sejak PP ini berlaku yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang bersangkutan. d. PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 membutuhkan kejelasan kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan tersebut dahulu diatur melalui PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
40
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pelembagaan Penerapan Kebijakan SPM
Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Saat ini PP tersebut telah direvisi menjadi PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. PP ini memperjelas kegiatan-kegiatan yang menjadi kewenagan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota pada masing-masing urusan. Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa: urusan wajib adalah urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. Selanjutnya pada ayat (2) dari pasal ini, dicantumkan 26 urusan wajib yang meliputi: pendidikan; kesehatan; lingkungan hidup; pekerjaan umum; penataan ruang; perencanaan pembangunan, perumahan; kepemudaan dan olehraga; penanaman modal; koperasi dan usaha kecil dan menengah; kependudukan dan catatan sipil; ketenagakerjaan; ketahanan pangan; pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; keluarga berencana dan keluarga sejahtera; perhubungan; komunikasi dan informatika; pertanahan; kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaan, dan persandian; pemberdayaan masyarakat dan desa; sosial; kebudayaan; statistik; kearsipan; dan perpustakaan. Untuk malaksanakan penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut di atas maka harus berpedoman pada standar pelayanan minimal yang dilaksanakan secara bertahap. e.
Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penerapan SPM Maksud dikeluarkannya Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal ini adalah untuk memberikan acuan kepada Menteri/Pimpinan LPND dalam menyusun dan menetapkan SPM sesuai lingkup tugas dan fungsinya. Adapun tujuan petunjuk teknis ini adalah agar SPM yang disusun dan ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan LPND dapat diterapkan oleh Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Ruang lingkup penyusunan dan penetapan SPM oleh Menteri/Pimpinan LPND sebagaimana diatur dalam Pasal 3, meliputi:
Jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM. Indikator dan nilai SPM. Batas waktu pencapaian SPM. Pengorganisasian penyelenggaraan SPM.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
41
41
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Selanjutnya, petunjuk teknis ini juga mencantumkan kriteria dalam hal penentuan jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM sebagai berikut:
f.
Merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib. Merupakan pelayanan yang sangat mendasar yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal sehingga dijamin ketersediaannya oleh konstitusi, rencana jangka panjang nasional, dan konvensi internasional yang sudah diratifikasi, tanpa memandang latar belakang pendapatan, sosial, ekonomi dan politik warga. Didukung dengan data dan informasi terbaru yang lengkap secara nasional serta latar belakang pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pelayanan dasar dengan berbagai implikasinya, termasuk implikasi kelembagaan dan pembiayaannya. Terutama yang tidak menghasilkan keuntungan materi.
Permendagri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimum Permendagri ini disusun untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 PP Nomor 65 Tahun 2005, yakni bahwa penyusunan rencapa pencapaian SPM dan anggaran kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM dilakukan berdasarkan analisis kemampuan dan potensi daerah dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Mendagri. Rencana Pencapaian SPM yang dimaksudkan dalam Permendagri ini adalah target pencapaian SPM yang dituangkan dalam dokumen perencanaan daerah yang dijabarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), RKPD, Renstra-SKPD, dan Renja-SKPD untuk digunakan sebagai dasar perhitungan kebutuhan biaya dalam penyelenggaraan pelayanan dasar.Dalam Pasal 2, Permendagri ini mencantumkan ruang lingkup rencana pencapaian SPM sebagai berikut:
Batas waktu pencapaian SPM secara nasional dan jangka waktu pencapaian SPM di daerah. Pengintegrasian rencana pencapaian SPM dalam dokumen perencanaan dan penganggaran. Mekanisme pembelanjaan penerapan SPM. Sistem penyampaian informasi rencana dan realisasi pencapaian target tahunan SPM kepada masyarakat.
Selanjutnya, dalam Pasal 3 tentang Rencana Pencapaian SPM diatur hal-hal sebagai berikut:
42
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pelembagaan Penerapan Kebijakan SPM
(1) Rencana pencapaian SPM di daerah mengacu pada batas waktu pencapaian SPM secara Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Pemerintah Daerah dalam menentukan rencana pencapaian dan penerapan SPM mempertimbangkan a) kondisi awal tingkat pencapaian pelayanan dasar; b) target pelayanan dasar yang akan dicapai; dan c) kemampuan, potensi, kondisi, karakteristik, prioritas daerah dan komitmen nasional. (3) Rencana pencapaian SPM di daerah mengacu pada batas waktu pencapaian SPM dengan memperhatikan analisis kemampuan dan potensi daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. (4) Rencana pencapaian dan penerapan SPM di daerah dilaksanakan secara bertahap berdasarkan pada analisis kemampuan dan potensi daerah. (5) Jangka waktu dan rencana pencapaian SPM yang ditetapkan oleh daerah digunakan untuk mengukur kepastian penyelenggaraan urusan wajib daerah yang berbasis pada pelayanan dasar dengan berpedoman pada ketentuan dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. B. Hubungan Antar Lembaga Dalam rangka pengorganisasian penyelenggaraan SPM, maka terjadi hubungan antar lembaga baik dalam lingkup pemerintahan pusat, maupun pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten/kota). Berikut ini disajikan bagan-bagan yang menguraikan hubungan antar lembaga yang terjadi tersebut. Bagan-bagan ini diadaptasi dari hubungan antar lembaga sebagaimana diatur dalam PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal dan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
43
43
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
1.
Pengorganisasian Penyusunan SPM a.
Penyusunan Awal SPM Bagan 3.1 Penyusunan Awal SPM Menteri/Pimpinan LPND Peraturan Per-UU an Yang mengatur Urusan Wajib
SPM
Jenis Pelayanan Dasar Indikator SPM Batas Pencapaian SPM Keterangan : menyusun : mengacu : menetapkan
Pada tahap penyusunan awal SPM, Menteri/Pimpinan LPND menyusun SPM sesuai dengan urusan wajibnya masing-masing. Penyusunan SPM ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur urusan wajib tersebut. Dalam penyusunan SPM ini ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM.
44
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pelembagaan Penerapan Kebijakan SPM
b. Konsultasi Penyusunan SPM Bagan 3.2 Konsultasi Penyusunan SPM Menteri/Pimpinan LPND
Tim Konsultasi
DPOD
DDN Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Dep. Keuangan Kementerian Negara PAN
Rekomendasi bagi Menteri/Pimpinan LPND Keterangan : : arah koordinasi
: menghasilkan
: Tim
Penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi dengan Tim Konsultasi yang dikoordinasikan oleh Mendagri. Tim Konsultasi tersebut terdiri dari: unsur-unsur DDN, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Depkeu, dan Kementerian Negara PAN dengan melibatkan Menteri/Pimpinan LPND terkait sesuai kebutuhan. Tim konsultasi tersebut dibentuk dengan Keputusan Mendagri. Hasil konsultasi tersebut selanjutnya disampaikan oleh Mendagri dalam hal ini Dirjen Otonomi Daerah kepada DPOD melalui Sekretariat DPOD untuk mendapatkan rekomendasi bagi Menteri/Pimpinan LPND yang bersangkutan dalam rangka penyusunan SPM. c.
Penetapan SPM yang disusun Menteri SPM yang disusun oleh masing-masing Menteri setelah memperoleh dan mengakomodasi rekomendasi dari DPOD, selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang bersangkutan. Untuk mendukung penerapan SPM
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
45
45
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
dimaksud, Menteri yang bersangkutan menyusun petunjuk teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Bagan 3.3 Penetapan SPM yang Disusun Menteri SPM Menteri
Rekomendasi DPOD
+
+
SPM
Petunjuk Teknis
Ditetapkan dengan Peraturan Menteri Ybs
d. Penetapan SPM yang disusun Pimpinan LPND SPM yang disusun oleh masing-masing Pimpinan LPND Departemen setelah memperoleh dan mengakomodasi rekomendasi dari DPOD selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri terkait. Untuk mendukung penerapan SPM tersebut, Pimpinan LPND kemudian menyusun petunjuk teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri terkait. Bagan 3.4 Penetapan SPM yang Disusun Pimpinan LPND SPM Menteri
Rekomendasi DPOD
+
+
SPM
Petunjuk Teknis
Ditetapkan dengan Peraturan Menteri Terkait 46
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pelembagaan Penerapan Kebijakan SPM
2.
Penerapan SPM a.
Rencana Pencapaian SPM Pemerintahan Daerah menerapkan SPM sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri. SPM tersebut menjadi salah satu acuan bagi Pemerintahan Daerah untuk menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya Pemerintahan Daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD). Sementara itu, rencana pencapaian SPM serta realisasinya diinformasikan kepada masyarakat sesuai peraturan perundangundangan. Bagan 3.5 Rencana Pencapaian SPM Pemda
SPM
Rencana Pencapaian SPM
RPJMD
Masyarakat
Renstra SKPD
b. Target Tahunan Pencapaian SPM Rencana Pencapaian SPM yang disusun oleh Pemerintah Daerah harus memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri. Target tahunan pencapaian SPM tersebut dituangkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) sesuai klasifikasi belanja daerah dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
47
47
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Bagan 3.6 Target Tahunan Pencapaian SPM Rencana Pencapaian SPM Target Tahunan Penyampaian SPM
Batas Waktu Penyampaian SPM Sesuai Peraturan Menteri
RKPD RENJA SKPD KUA RKA - SKPD
3.
Pembinaan dan Pengawasan Penerapan SPM a.
Pembinaan Penerapan SPM Menteri/Pimpinan LPND melakukan pembinaan kepada Pemerintahan Daerah dalam penerapan SPM. Pembinaan dapat berupa fasilitasi, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan ataupun berupa bantuan teknis lainnya yang mencakup:
Perhitungan sumber daya dan dana yang dibutuhkan untuk mencapai SPM, termasuk kesenjangan pembiayaannya. Penyusunan rencana pencapaian SPM dan penetapan target tahunan pencapaian SPM. Penilaian prestasi kerja pencapaian SPM. Pelaporan prestasi kerja pencapaian SPM. Bagan. 3.7 Pembinaan Penerapan SPM Menteri/Pimpinan LPND
Pemda
Fasilitas
48
Pemberian Orientasi Umum
Petunjuk Teknis
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pendidikan dan Pelatihan
Bantuan Teknis
Pelembagaan Penerapan Kebijakan SPM
b. Hirarki Pembinaan Penerapan SPM Sementara itu, pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Daerah Provinsi dilakukan oleh Pemerintah, dan pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah. Bagan 3.8 Hirarki Pembinaan Penerapan SPM PEMERINTAH
PEMDA PROVINSI
PEMDA KABUPATEN/KOTA
C.
Monitoring dan Evaluasi Penerapan SPM Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Monitoring dan evaluasi ini dilakukan oleh: 1. 2.
Pemerintah untuk Pemerintahan Daerah Provinsi Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Mendagri bertanggung jawab atas pengawasan umum penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah. Sedangkan Menteri/Pimpinan LPND bertanggung jawab atas pengawasan teknis penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah. Selain itu, Mendagri dapat melimpahkan tanggungjawab pengawasan umum penerapan SPM oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah. Menteri/Pimpinan LPND dapat melimpahkan tanggungjawab pengawasan teknis penerapan SPM yang dilakukan oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
49
49
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Bagan 3.9 Monitoring & Evaluasi Penerapan SPM PEMERINTAH
Pengawas Teknis
PEMDA PROVINSI Menteri DDN
PEMDA KABUPATEN/KOTA
1.
Penghargaan dan Sanksi Penerapan SPM a.
Penghargaan Penerapan SPM Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada Pemerintahan Daerah yang berhasil mencapai SPM dengan baik dan dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah. Batas waktu pencapaian merupakan kurun waktu yang ditentukan untuk mencapai SPM secara nasional. Batas waktu pencapaian SPM ditentukan dengan mempertimbangkan:
status jenis pelayanan dasar yang bersangkutan pada saat ditetapkan sasaran dan tingkat pelayanan dasar yang hendak didapat variasi faktor komunikasi demografi dan geografi daerah kemampuan, potensi, serta prioritas nasional dan daerah. Bagan 3.10 Penghargaan Penerapan SPM PEMERINTAH
PEMDA
Mencapai SPM dengan baik
50
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Dalam batas waktu sesuai Peraturan Menteri
Pelembagaan Penerapan Kebijakan SPM
b. Sanksi Penerapan SPM Pemerintah dapat memberikan sanksi kepada Pemerintahan Daerah yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik dan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri. Sanksi ini diberikan berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi dengan mempertimbangkan kondisi khusus daerah yang bersangkutan. Sanksi yang diterapkan ini telah mengacu pada peraturan perundang-undangan. Bagan 3.11 Sanksi Penerapan SPM PEMERINTAH MONITORING & EVALUASI
PEMDA
SANKSI 2.
Penyampaian Laporan Penerapan dan Pencapaian SPM a.
Penyampaian Laporan Umum SPM Bupati/Walikota menyusun dan menyampaikan laporan umum tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. Gubernur kemudian menyusun laporan umum tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM. Gubernur menyampaikan ringkasan laporan umum tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM kepada Mendagri. Berdasarkan laporan umum tahunan inilah lalu Mendagri melaksanakan evaluasi. Bagan. 3.12 Penyampaian Laporan Umum SPM
Bupati/Walikota Laporan Umum Tahunan Kinerja Penerapan dan Pencapaian SPM
GUBERNUR
MENDAGRI
EVALUASI Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
51
51
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
b. Laporan Teknis SPM Pemerintah daerah menyampaikan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM kepada Menteri/Pimpinan LPND yang bersangkutan. Berdasarkan laporan teknis tahunan ini, maka Menteri/Pimpinan LPND yang bersangkutan melakukan pembinaan dan pengawasan teknis penerapan SPM sesuai dengan bidang urusan masingmasing Bagan 3.13 Penyampaian Laporan Teknis SPM PEMDA Laporan Teknis Kinerja Penerapan dan Pencapaian SPM Menteri/Pimpinan LPND Pembinaan & Pengawasan Teknis Dari berbagai bentuk hubungan antar lembaga yang tercipta sebagaimana dijabarkan dalam bagan-bagan tersebut di atas, terlihat hal-hal sebagai berikut:
52
Bahwa pengorganisasian penyelenggaraan SPM secara garis besar mencakup tatacara penyusunan dan penetapan SPM serta pembinaan dan pengawasan penerapannya. Dalam rangka pengorganisasian penyelenggaraan SPM tersebut, maka Menteri/Pimpinan LPND mengkoordinasikan komponen-komponen di lingkungan Departemen/LPND masing-masing sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Dalam menyusun dan menetapkan pengorganisasian penyelenggaraan SPM, Menteri/Pimpinan LPND berkoordinasi dengan Mendagri.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Bab 4
KEBIJAKAN, STRATEGI DAN CAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI DAERAH A. Kebijakan Pemda tentang Standar Pelayanan Minimal 1.
Provinsi Sumatera Selatan Dasar hukum pelaksanaan kebijakan nasional biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (perda) atau peraturan lainnya. Perumusan kebijakan SPM di daerah tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan keputusan menteri (KM) pada departemen teknis yang bersangkutan dan peraturan pemerintah/PP, yakni PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM. Di Kabupaten Muara Enim misalnya, kebijakan tentang SPM Pendidikan tertuang dalam K e p u t u s a n K e p a l a D i n a s P e n d i d i k a n N a s i o n a l N o . 870/4341/KPTS/DIKNAS/2005 tentang SPM Bidang Pendidikan. Pertanyaannya adalah, mengapa pengaturan SPM tersebut tidak dituangkan dalam perda, peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah? Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kebijakan SPM belum dianggap menjadi kewajiban daerah, sehingga sebagian besar daerah beranggapan bahwa SPM tersebut menjadi milik pemerintah pusat. Berbeda dengan daerah lainnya, Pemerintah Kabupaten Muara Enim, khususnya melalui Dinas Pendidikan Nasional berinisiatif menetapkan kebijakan internal tentang SPM Bidang Pendidikan. Hal ini sekaligus sebagai jawaban atas sejumlah kritik yang menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak merasa memiliki SPM. Padahal berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan narasumber di daerah, Dinas Pendidikan Kota Prabumulih misalnya menyatakan bahwa SPM pendidikan yang berlaku secara nasional sebenarnya sudah ada. Namun demikian, SPM Nasional tersebut belum sepenuhnya ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. Hal mana ditunjukkan oleh beberapa daerah, termasuk Kota Prabumulih baik bidang pendidikan maupun kesehatan. Sebagaimana dinyatakan oleh narasumber: “Kalau di dinas memang belum, karena SPM harus dibuat oleh instansi, apa kinerja yang harus dibuat. Tetapi memang ke arah sana telah
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
dibuat untuk mengarah ke sistem kinerja yang riil yang berkaitan dengan LAKIP. Tetapi untuk SPM ini memang harus mendapatkan informasi atau pelatihan tentang SPM itu apa....”. Argumen lain yang dibangun berkenaan dengan belum adanya kebijakan SPM di daerah adalah karena SPM Nasional yang diterbitkan oleh departemen teknis – dalam hal ini pendidikan dan kesehatan – dianggap sudah jelas sehingga tidak perlu dituangkan dalam bentuk produk hukum daerah. Namun argumen ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum memandang pencapaian SPM sebagai kewajiban pemerintah daerah. Sebagaimana dinyatakan oleh beberapa narasumber daerah, bahwa kurangnya sosialisasi dan pelatihan SPM ternyata telah menjadi penyebab rendahnya rasa memiliki terhadap SPM Nasional, sebagaimana pernyataan narasumber berikut ini: “Saya pikir, yang benar, SPM nya sendiri sudah ada, tetapi yang kita terima itu belum disosialisasikan, kecuali pada saat ada rakor atau semacamnya dan mendapat bimbingan dari provinsi. Namun hingga saat ini kita belum pernah menerima petunjuk atau bimbingan, jadi kita hanya melihat dari SPM berdasarkan SPM yang dikeluarkan oleh departemen, misalnya untuk guru SD sekian, sarana prasarananya sekian, nah hal ini kita sampaikan kepada kepala-kepala sekolah, kepala cabang dinas dan sebagainya”. Memang harus diakui bahwa belum semua daerah memiliki kebijakan khusus tentang SPM. Akan tetapi upaya pencapaian SPM tersebut dapat dilihat pada rumusan visi dan misinya. Sebagai contoh, Visi Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan: terwujudnya masyarakat Sumatera Selatan yang damai, demokratis, berakhlak mulia, berkeahlian, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah NKRI yang didukung oleh manusia yang sehat, beriman, bertakwa, berdisiplin, cinta tanah air dan lingkungan, menguasai IPTEK serta memiliki etos kerja yang tinggi. Manusia yang memiliki dan menguasai IPTEK tersebut hanya mungkin dicapai melalui pendidikan. Adapun misinya adalah: 1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi masyarakat, 2) mengembangkan potensi anak secara utuh sejak usia dini dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar, 3) meningkatkan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian anak, 4) meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan IPTEK, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai budaya bangsa, dan 5) memberdayakan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Terkait dengan hal ini, narasumber di Provinsi Sumatera Selatan menyatakan sebagai berikut :
54
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
“Dokumen SPM yang kami laksanakan sama persis dengan dokumen SPM nasional, namun secara khusus pemerintah provinsi belum menuangkannya dalam peraturan daerah. Akan tetapi, RPJM dan Renstra pemerintah provinsi kami arahkan pada pencapaian targettarget SPM. Mungkin ke depan, kami akan menuangkannya dalam kebijakan daerah agar pencapaian SPM semakin optimal”. Kondisi serupa juga terjadi di kabupaten dan kota, baik di bidang pendidikan maupun kesehatan. Dari kajian lapangan diperoleh informasi hanya dinas kesehatan Kabupaten Muara Enim yang cukup memiliki dokumen lengkap tentang penerapan SPM (bidang kesehatan). Dokumen tersebut antara lain tertuang dalam rencana strategis dinas tahun 2003-2007 dan dokumen ‘tersirat’ dari capaian indikator SPM lokal. Maksud dokumen ‘tersirat’ tersebut bahwa dinas kesehatan Kabupaten Muara Enim ternyata telah menetapkan target lokal (: target tahunan) pencapaian SPM, namun dokumen tersebut tidak tersedia. Visi Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Enim “Kabupaten Muara Enim Sehat 2007” (Renstra 2003-2007). Sedangkan misinya adalah: 1) memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu melalui tersedianya sumber informasi tentang penyakit dan faktor resikonya, tersedianya teknologi, kebijakan dan bantuan tenaga profesional serta sumber daya lainnya, 2) mendorong kemandirian unit pelaksana program dan memberdayakan masyarakat untuk memberantas dan mengendalikan penyakit dan kekurangan gizi serta faktor resikonya, 3) menggerakkan dan melakukan pendekatan (advokasi) pembangunan kesehatan berwawasan kesehatan dan pembangunan kesehatan berbasis wilayah, dan 4) memelihara dan meningatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya. Visi dan misi dinas kesehatan tersebut, ternyata belum ditindaklanjuti dengan peraturan daerah Kabupaten Muara Enim ataupun dengan peraturan yang lebih rendah. Oleh karena itu, pencapaian SPM bidang kesehatan tidak didasarkan pada kebijakan khusus tetapi disandarkan pada dokumen rencana strategis (Renstra SKPD). 2.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta tentang SPM bidang Kesehatan tidak terlepas dari visi Kota Yogyakarta yakni terwujudnya derajad kesehatan masyarakat yang tinggi melalui budaya hidup sehat dalam lingkungan sehat dan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau didukung oleh sumber daya manusia kesehatan yang berkualitas.”
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
55
55
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Kebijakan bidang kesehatan ini adalah dalam rangka mewujudkan Kota Yogyakarta Sehat dengan a) meningkatkan kualitas SDM kesehatan bekerja sama dengan institusi pendidikan atau lembaga lain, b) meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan Upaya Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Perorangan, c) meningkatkan net-working dan atau kolaborasi antar elemen pelaku kesehatan dan sektor kesehatan, d) melaksanakan fungsi regulasi sarana dan tenaga kesehatan meliputi lisensi/perijinan, sertifikasi dan akreditasi, e) melaksanakan pengawasan mutu institusi pelayanan kesehatan, f) melaksanakan jaminan kesehatan daerah. Tujuan utama dari kebijakan dibidang kesehatan di Kota Yogyakarta adalah terselenggaranya Pembangunan Kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat minimal sesuai standar pencapaian MDGs. Sedangkan tujuan khususnya adalah a) tersedianya SDM yang berkualitas dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, b) terlaksananya pelayanan kesehatan UKM dan UKP yang berkualitas, c) terwujudnya net-working dan kolaborasi antara elemen pelaku kesehatan dan sektor kesehatan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, d) terselenggaranya fungsi perijinan sarana dan tenaga kesehatan, e) terselenggaranya pengawasan terhadap institusi pelayanan kesehatan, serta f) terselenggaranya jaminan kesehatan daerah. Sasaran yang ingin dicapai dengan kebijakan ini adalah a) tercapainya SDM kesehatan yang berkualitas sesuai dengan kompetensi dan disiplin, b) tercapainya cakupan pelayanan Upaya Kesehatan Masyarakat & Upaya Kesehatan Perorangan, c) terwujudnya net-working dan atau kolaborasi antar elemen pelaku kesehatan dan sektor kesehatan, d) tercapainya cakupan sarana & tenaga kesehatan berijin, produk pangan olahan tersertifikasi, dan sarana pelayanan kesehatan terakreditasi, e) terwujudnya budaya perilaku hidup bersih dan sehat, f) terwujudnya pelayanan kesehatan yang bermutu, dan g) tercapainya peningkatan cakupan kepesertaan jaminan kesehatan daerah. Dalam bidang pendidikan, kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Kota Yogyakarta berkaitan dengan SPM Bidang Pendidikan adalah melaksanakan kegiatan dan program yang diarahkan untuk a) mewujudkan pendidikan berkualitas yang berakar budaya adiluhung, b) mewujudkan pendidikan berwawasan global dan berbasis teknologi informasi serta c) mewujudkan pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki kompetensi dan kualifikasi yang sesuai. Oleh karena itu maka kebijakan yang ditempuh adalah a) meningkatkan akses pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas dan terjangkau, b) meningkatkan kualitas ketenagaan, manajamen kelembagaan serta sarana dan prasarana, c) meningkatkan pendidikan yang berkualitas yang dapat
56
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
mewujudkan keseimbangan aspek intelektual, emosional dan spiritual serta d) memperluas jangkauan dan jenis sistem pembelajaran. Sementara itu untuk bidang pendidikan di Kabupaten Sleman diketahui bahwa kemajuan pendidikan cukup menggembirakan, pelaksanaan program pembangunan pendidikan di daerah ini telah menyebabkan makin berkembang nya suasana belajar mengajar di berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Dengan dilaksanakannya program pembangunan, pelayanan pendidikan telah dapat menjangkau daerah terpencil, daerah dengan penduduk miskin dan daerah jarang dengan dibangunnya sekolah di daerah tersebut. Disamping itu, untuk meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Sleman, sejak tahun 2005 telah dirintis sekolah andalan untuk jenjang SD, SMP dan SMA. Maksud dirintisnya sekolah andalan di Kabupaten Sleman ini adalah salah satu upaya dalam rangka menampung siswa berprestasi tetap sekolah di Kabupaten Sleman dan tidak perlu mencari sekolah lain yang dianggap bermutu sehingga mutu pendidikan di Kabupaten Sleman dapat meningkat selain juga membantu orang tua siswa dalam memperkecil/ menghemat biaya pendidikan. 3.
Provinsi Kalimantan Selatan Senada dengan daerah lainnya, di lingkungan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan pun belum terdapat kebijakan yang mengatur penerapan SPM di daerah. Oleh karena itu, untuk melihat komitmen pemerintah provinsi dalam melaksanakan SPM dapat dilihat dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Secara yuridis, RPJMD Propinsi Kalimantan tercantum dalam Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan Nomor 15 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan Tahun 2006-2010, dan RKPD tertuang dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Propinsi Kalimantan Selatan Tahun 2008. Untuk mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang ditetapkan sesuai dengan target yang diinginkan pada tahun 2010, maka sasaran yang akan dicapai dalam pembangunan bidang kesehatan, antara lain tercermin dari indikator berupa : -
Usia harapan hidup mencapai 67,9 tahun; Angka kematian bayi 25 per 1000 kelahiran hidup; Angka kematian kasar 6,8 per 1000 penduduk; Angka kematian anak balita 58 per 1000 kelahiran hidup; Angka kesakitan menjadi kurang dari 17,3 %.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
57
57
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Adapun secara rinci sasaran bidang kesehatan adalah sebagai berikut : -
Sasaran pembangunan kesehatan agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, adalah meliputi : a. b. c. d. e. f. g.
-
Menurunnya angka kesakitan baik infeksi penyakit menular maupun tidak menular; Meningkatnya kinerja pelayanan kesehatan; Meningkatnya perilaku masyarakat untuk mendukung pola hidup bersih dan sehat; Membaiknya kondisi kesehatan lingkungan; Meningkatnya kualitas pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan; Meningkatnya jumlah tenaga kesehatan yang disertai dengan pendistribusian yang merata; Meningkatnya status kesehatan pada semua lapisan masyarakat.
Sasaran yang berkenaan dengan aspek Keluarga Berencana adalah : a.
b. c. d.
Terkendalinya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya keluarga kecil yang berkualitas yang ditandai (1) menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,66% tingkat fertilitas total menjadi 2,2 per perempuan, (2) meningkatnya peserta KB laki-laki menjadi 4,5%, (3) meningkatnya jumlah Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang aktif dalam usaha ekonomi produktif, dan (4) meningkatnya jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi; Meningkatnya pemberdayaan keluarga dalam rangka menuju keluarga kecil berkualitas melalui program terbina; Meningkatnya pembinaan kesehatan reproduksi remaja yang ditandai oleh meningkatnya usia perkawinan pertama, menurunnya vertilitas pada kelompok usia 15-19 tahun; Meningkatnya jumlah tempat pelayanan KB Non Pemerintah, kemandirian institusi masyarakat pedesaan/perkotaan dan kualitas pendayagunaan data dan informasi dalam sistem kependudukan dan keluarga (SIDUGA);
Adapun arah kebijakan dalam pembangunan kesehatan untuk dapat mencapai Kalimantan Selatan Sehat 2010 adalah : 1. 2. 3.
58
Peningkatan kualitas puskesmas dan jaringannya serta sarana dan prasarana kesehatan lainnya; Meningkatkan upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular dan tidak menular; Meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan untuk pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan;
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
4. 5. 6. 7.
Meningkatkan perilaku masyarakat untuk mendukung pola hidup bersih dan sehat; Meningkatkan kondisi kesehatan lingkungan; Meningkatkan status kesehatan masyarakat; Meningkatkan anggaran bidang kesehatan hingga mencapai 15% dari total APBD diluar gaji dan tunjangan dengan tetap memperhatikan kemampuan daerah dan skala prioritas dan arah kebijakan pembangunan bidang lainnya.
Sedangkan arah kebijakan dengan Aspek Keluarga Berencana dan kependudukan adalah : 1. 2. 3. 4.
Mengendalikan pertumbuhan penduduk untuk meningkatkan keluarga kecil berkualitas; Meningkatkan pemberdayaan keluarga dalam rangka menuju keluarga kecil berkualitas melalui program terbina; Meningkatkan pembinaan kesehatan reproduksi remaja khususnya pada kelompok usia 15-19 tahun; Meningkatkan kemandirian institusi masyarakat pedesaan/perkotaan dalam pelayanan KB serta kualitas pendayagunaan data dan informasi dalam sistem kependudukan dan keluarga (SIDUGA).
Pembangunan Kesehatan di Kota Banjar Masin mempunyai Visi “Banjarmasin Sehat Tahun 2010”, sedangkan Misinya adalah : (1) Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di Kota Banjarmasin, melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan, (2) Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, (3) Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya, (4) Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan didukung oleh manajemen kesehatan yang berdaya guna, Dari Visi dan Misi tersebut di atas, dijabarkan kedalam sasaran-sasaran, antara lain : a. b. c. d.
Meningkatkan aksesibilitas puskesmas dan pelayanannya sehingga kesehatan masyarakat dapat terpantau dengan baik; Meningkatkan dan memelihara mutu lembaga pelayanan kesehatan melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana kesehatan; Pelayanan yang bermutu diberikan oleh petugas yang profesional dan handal; Sarana dan prasarana fisik yang memadai menuju proses pelayanan puskesmas yang layak;
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
59
59
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
e.
Jaminan pelayanan kesehatan harus dimiliki oleh anggota masyarakat untuk menciptakan pemerataan pemanfaatan pelayanan kesehatan sehingga mendukung peningkatan status kesehatan; f. Memberikan pelayanan yang standar kepada keluarga miskin melalui program subsidi pemerintah; g. Memprioritaskakn kegiatan pada upaya promotif dan preventif (paradigma sehat) dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif; h. Pengelolaan kesehatan terpadu akan semakin dikembangkan dengan mendorong peranserta masyarakat dalam pembangunan kesehatan; i. Membrantas, mencegah dan menangani penyakit menular maupun tidak menular yang menjadi masalah serta menanggulanginya bila terjadi KLB/wabah agar tidak terjadi penyebaran penyakit yang lebih lanjut; j. Melaksanakan perbaikan gizi masyarakat dalalm upaya peningkatan status gizi yang optimal terutama pada balita dan ibu hamil; k. Setiap ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas mendapatkan pelayanan kesehatan terutama untuk kasus kegawatan obstetri; l. Penduduk usia lanjut mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kondisi kesehatannya dan dengan indikasi tepat akan dirujuk; m. Pelaksanaan pemantauan tumbuh- kembang anak dan kesehatannya melalui neonatal, bayi, balita, balita hingga usia sekolah; n. Perbaikan lingkungan disetiap pemukiman, tempat-tempat umum, tempat usaha dan sarana kesehatan melalui penyediaan sanitasi dasar yang memenuhi syarat kesehatan; o. Tersedianya sumber air bersih yang memenuhi syarat kesehatan bagi masyarakat; p. Sistem informasi kesehatan dikembangkan lebih diarahkan untuk menciptakan kemampuan menyediakan data dan informasi yang diperlukan dalam mencapai Visi Kota Banjarmasin Sehat Tahun 2010. Kebijakan lain yang mengatur penerapan Standar Pelayanan Minimal di Kota Banjarmasin adalah Peraturan Walikota Banjarmasin Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Standar Pelayanan Minimal Perizinan dan Non Perizinan di Lingkungan Pemerintah Kota Banjarmasin. Kebijakan yang mengatur Standar Pelayanan Minimal Kabupaten Banjar adalah Visi pembangunan kesehatan Kabupaten Banjar yakni “KABUPATEN BANJAR SEHAT 2010”, yaitu suatu gambaran keadaan masa depan yang diinginkan ditandai dengan penduduknya hidup dalam lingkungan dan prilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang tinggi, selain Visi tersebut diatas terdapat juga Visi operasional yakni : “MASYARAKAT BANJAR MANDIRI UNTUK HIDUP SEHAT”.
60
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Sedangkan Misi pembangunan kesehatan Kabupaten Banjar meliputi : a. b. c. d.
Menggerakkan pembangunan daerah berwawasan lingkungan; Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya; Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjngkau; Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
Dari Visi dan Misi tersebut diatas, Dinas Kesehatan Banjar telah merumuskan tujuan dan sasaran bidang kesehatan yang meliputi : a.
b.
c.
Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang; Sasarannya adalah : (1) meningkatkan secara bermakna kemampuan masyarakat untuk memelihara dan memperbaiki keadaan kesehatannya serta menjangkau pelayanan kesehatan yang layak sesuai kebutuhan, (2) meningkatnya secara bermakna upaya kesehatan yang bersumberdaya masyarakat; Meningkatnya jumlah wilayah/kawasan sehat; Sasarannya (1) meningkatnya secara bermakna kerjasama dan kontribusi lintas sector dalam pembangunan kesehatan, upaya penanggulangan dampak negative pembangunan terhadap kesehatan, (2) meningkatnya secara bermakna jumlah wilayah/kawasan sehat yang meliputi tempat umum, tempat kerja, lingkungan tempat tinggal dengan sanitasi dasar seperti air bersih, sarana pembuangan limbah, lingkungan social termasuk pergaulan sehat. Terpenuhinya pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, ditunjang oleh tenaga kesehatan yang professional; Sasaran dari tujuan ke-3 ini adalah : (1) meningkatnya secara bermakna jumlah sarana kesehatan yang bermutu, jangkauan dan cakupan pelayanan kesehatan, pemanfaatan pelayanan promotif dan preventif, (2) meningkatnya secara bermakna cakupan program kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal, (3) meningkatnya secara bermakna cakupan program kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal.
Kebijakan di sektor pendidikan Kota Banjarmasin di atur dengan Peraturan Walikota Banjarmasin Nomor 30 tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal Perizinan dan Non Perizinan di lingkungan Pemkot Banjarmasin, tanggal 31 Oktober 2005. Adapun visi Dinas Pendidikan Pemkot Banjarmasin adalah : Terwujudnya Sumber Daya Manusia yang berkualitas prima melalui peningkatan Imtaq, Iptek dan Profesionalisme. Untuk mewujudkan visi tersebut disusun misi sebagai berikut : Memberikan kontribusi nyata pembangunan SDM potensial melalui : a
Mewujudkan pendidikan yang mampu membangun manusia yang beriman dan bertaqwa, berahlak mulia dan berkepribadian tangguh serta mandiri
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
61
61
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
b c d
4.
Mewujudkan pemerataan pendidikan dasar, menengah dan luar biasa serta luar sekolah dengan penyediaan sarana, prasarana pendidikan Mewujudkan peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan peningkatan profesionalisme mewujudkan sistem pengelolaan pendidikan dengan menerapkan prinsip good governance.
Provinsi Bali Sejak diberlakukannya desentralisasi, beberapa peraturan perundangundangan bidang kesehatan sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah dan terus disusun Peraturan perundangan kesehatan tersebut antara lain : (a) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 574/ Menkes/SK/IV/2000 tentang Kebijakan Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. (b) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1202/Menkes/SK/VII/2003 tentang Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Propinsi Sehat dan Kabupaten Sehat (c) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Standard Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Berdasarkan kebijakan tersebut untuk mempercepat keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut diperlukan pembangunan kesehatan yang lebih dinamis dan proaktif dengan melibatkan semua sektor terkait, swasta dan masyarakat. Upaya yang ditempuh pemerintah adalah menjadikan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan. Berkaitan dengan ini pemerintah menetapkan pembangunan berwawasan kesehatan sebagai strategi nasional menuju Indonesia Sehat 2010. Hal sama yang diupayakan oleh Kota Denpasar dan Kabupaten Jembrana, sebagai bagian dari Provinsi Bali dari kedua daerah ini akan dijelaskan mengenai penerapan perencanaan, penerapan hingga monitoring dan evaluasi SPM di daerah masing-masing. Dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan akuntable sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN kemudian diimplementasikan melalui Inpres Nomor 7 Tahun 1999 dan Inpres Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi serta memperhatikan PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, maka peranan Renstra ini menjadi sangat penting.
62
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Untuk mewujudkan Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Kebijakan dan Program dalam Renstra ini, maka setiap tahunnya akan dibuat Rencana Kerja Tahunan ( RKT ) dan Rencana Kerja Anggaran ( RKA ) secara proporsional dan terukur serta menentukan jenjang tanggung jawab terhadap keberhasilan maupun kegagalan antara lain staf dan eselon IV bertanggung jawab pada kegiatan, eselon III bertanggung jawab pada Program, dan eselon II bertanggung jawab pada Kebijakan. Renstra SKPD Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jembrana adalah Perencanaan Strategis yang merupakan dokumen perencanaan strategis, yang sesuai dengan kebutuhan dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional Bab. III Pasal 7 dan Bab. V Pasal 15. Perencanaan Strategis yang disusun dimaksudkan untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jembrana yang akan digunakan bagi penyelenggaraan pembangunan Pendidikan, Kebudayaan, dan Pariwisata di Kabupaten Jembrana. Perencanaan Strategis ini disusun sebagai pedoman bagi aparat Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jembrana dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang bersifat strategis sesuai dengan Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Kebijakan, Program dan kegiatan yang akan dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2006 – 2010. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan renstra ini adalah meningkatkan pelayanan bidang pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya pelayanan administrasi di bidang pendidikan yang transparan, demokrasi dan akuntable, meningkatnya pemerataan pendidikan usia dini dan anak sekolah, meningkatnya kualitas lulusan kejar paket A, B dan PLS lainnya, meningkatnya kualitas pembinaan Pemuda dan Olahraga, berkembangnya Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional, meningkatnya obyek dan kunjungan wisata, meningkatnya kualitas dan kuwantitas sarana prasarana pariwisata, meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan SDM kepariwisataan. Meskipun Renstra ini disusun dengan memperhatikan kebutuhan yang bersifat strategis, namun disadari bahwa masih banyak terdapat hambatan dan kekurangan, salah satu hambatan yang dicapai adalah sulitnya memprediksi keadaan mendatang sebagai akibat dari cepatnya perubahan lingkungan eksternal organisasi. 5.
Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebagaimana daerah lainnya, kebijakan Pemerintah Provinsi NTT tentang SPM juga belum tersedia. Akan tetapi, kendatipun belum ada kebijakan SPM di
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
63
63
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
level pemerintah provinsi, namun pemahaman SPM di tingkat SKPD provinsi nampak sudah cukup memadai. Hal ini sebagaimana pernyataan Karo Organisasi Provinsi NTT: “Menjadi tugas pemerintah provinsi untuk memfasilitasi pelaksanaan kebijakan pusat di daerah (kabupaten/kota). Khusus untuk kebijakan PP No. 65 Tahun 2005 tentang SPM, kami dalam hal ini ikut mensukseskan pelaksanaan kebijakan SPM tersebut”. Senada dengan gambaran di level provinsi, kondisi yang sama juga terjadi di kota dan kabupaten. Artinya, pemerintah kota dan kabupaten pun tidak memiliki kebijakan khusus sebagai tindak lanjut SPM yang telah diterbitkan oleh departemen teknis. Belum adanya kebijakan yang mengatur SPM di daerah ini, disebabkan masih menunggu SPM dari pemerintah pusat dan masih terjadinya kesimpangsiuran pemahaman antara pusat dan daerah itu sendiri. Oleh karena itu, untuk melihat kebijakan pemerintah daerah tentang SPM, disini digunakan proksi RPJMD dan atau Renstra SKPD yang dimilikinya. Sebagai contoh, visi & misi Kota Kupang 2007 – 2012 adalah “mewujudkan tata kepemerintaan kota yang baik, bersih dan berwibawa, dalam upaya membangun masyarakat kota yang cerdas, berada, berbudaya, sejahtera dan berdaya saing.” Adapun misinya adalah “Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan memantapkan sistem pelayanan kesehatan yang berkualitas dan penyiapan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai” Pembangunan kesehatan Kota Kupang dimaksudkan untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi, angka kematian ibu, angka kematian balita dan memperpanjang umur harapan hidup guna mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui pendekatan paradigma sehat (upaya peningkatan promosi kesehatan dan pencegahan yang utama setelah itu baru pendekatan pengobatan dan rehabilitasi kesehatan). Sementara itu, kebijakan pemda untuk SPM bidang pendidikan Kota Kupang juga setali tiga uang. Namun untuk melihat kebijakan bidang pendidikan dapat disimak pada pernyataan misi Dinas Pendidikan Kota Kupang, yaitu “Meningkatkan kualitas pendidikan melalui pembenahan manajemen dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, pengembangan olah raga, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperluas jaringan kerjasama pendidikan baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional”. Berdasarkan pernyataan misi tersebut nampak bahwa Pemerintah Kota Kupang menginginkan terciptanya kualitas pendidikan yang semakin baik, dengan melaksanakan sendiri maupun melalui kerjasama dengan pihak lain. Penyelenggaraan pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan sumber daya manusia, melalui penyediaan tenaga ahli dan
64
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
terampil yang mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan baku, sehingga dapat melakukan adaptasi sesuai dengan tuntutan dan kondisi lapangan kerja dan perkembangan IPTEK. Data menunjukkan bahwa Penduduk Usia Sekolah (7-24 tahun) Kota Kupang tahun 2006 sebanyak 108.907 jiwa (40,23%) dari total penduduk. Dari jumlah tersebut yang sedang bersekolah sebanyak 75.387 (69,19%) terdiri atas laki-laki sebanyak 38.966 (51,69%) dan perempuan 36.421 jiwa (48,31%) , sedangkan yang tidak sedang bersekolah sebanyak 33.610 jiwa (30,81%) terdiri atas laki-laki sebanyak 15.313 jiwa (45,56%) dan perempuan sebanyak 18.297 jiwa (54,44%) dari total penduduk (SUSENAS, 2006). Sasaran utama fungsi pendidikan tahun 2007-2012 diletakkan pada upaya (1) memperbaiki peringkat IPM secara nasional dari level 53 menjadi 43, (2) perluasan kesempatan belajar masyarakat dalam memacu angka partisipasi murni (APM) pada setiap jenis dan jenjang pendidikan yang ada mulai dari tingkat SD 100%, SMP 90% dan SMA/SMK 85%, (3) indicator kesetaraan fungsional (buta aksara) menurun sampai 0% dan (4) mengendalikan angka putus sekolah pada jenjang pendidikan mulai dari tingkat SLTP dan SLTA di bawah 0,10%, (5) penuntasan wajar dikdas 9 tahun dan pelaksanaan wajar 12 tahun. Sebaran penduduk menurut jenis kelamin dan status bersekolah dan tidak bersekolah relative berimbang. Ada beberapa permasalahan mendasar dalam bidang pendidikan di Kota Kupang, yaitu: 1.
2.
3.
Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan ditunjukkan oleh indikator Kesetaraan Fungsional (buta aksara) yaitu 2,5%, Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) pada masingmasing jenjang pendidikan. APK untuk SD/MI sebesar 125,19%, SMP/MTs sebesar 114,62% dan SMA/SMK/MA sebesar 86,80%. APM untuk SD/MI sebesar 92,58%, SMP/MTs sebesar 82,22% dan SMA/SMK/MA sebesar 65,58%. Pencapaian APM jenjang pendidikan SD termasuk kategori tinggi disbanding APM di sekolah menengah. Hal ini dimungkinkan karena factor social budaya yang menyangkut persepsi orang tua yang sempit sehingga kurang menyadari arti pentingnya pendidikan bagi anak serta factor ekonomi keluarga yang tergolong kurang mampu, menyebabkan anak usia sekolah menengah tidak bersekolah. Fenomena ini jelas terlihat dari data jumlah siswa putus sekolah (drop out) pada tahun 2006 – SD/MI 0%, SLTP/MTs 0,20%, SMU/SMK/MA 0,20%. Dalam penyelenggaraan, fasilitas pendidikan di Kota Kupang baik sekolah negeri maupun swasta tercatat untuk jenjang pendidikan dasar (SD) sebanyak 118 buah, sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 40 buah dan menengah umum/kejuruan (SMU/SMK) 40 buah.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
65
65
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Untuk tingkat pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan jumlah sekolah swasta lebih banyak daripada sekolah negeri, yaitu SMK swasta sebanyak 8 buah sedangkan negeri hanya 4 buah. Proporsi guru tidak sebanding antar SMK swasta dan negeri, lebih banyak guru di SMK Negeri (752 orang) dibandingkan dengan jumlah guru di SMK swasta (263 orang). Padahal jika melihat kebutuhan akan guru justru harus lebih banyak di SMK swasta karena dari segi jumlah sekolah relative banyak. Kehadiran SMK ini semakin penting karena adanya tuntutan pasar tenaga kerja saat ini yang lebih membutuhkan para lulusan SMK dengan keterampilan khusus. Selain itu, penyelenggaraan layanan pendidikan usia dini di Kota Kupang masih sangat terbatas. Padahal rendahnya pelayanan pendidikan dalam usia dini nantinya akan mempengaruhi dan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi ketidakmerataan tersebut. Kualitas pendidikan yang masih relatif rendah sangat berkaitan dengan input, output serta proses pembelajaran. Hal ini terlihat dari hasil ujian akhir tahun 2006, tingkat SD/MI 100%, SMP/MTs/SMPLB 72,50%, dan SMA/MA/SMALB untuk jurusan IPA 76,80%, IPS 68,10%, Bahasa 68,90% serta SMK sebesar 92,35%. Turunnya persentase kelulusan di tingkat SLTP dan SLTA diindikasi oleh beberapa hal antara lain penerapan kurikulum yang terlalu padat, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan (jumlah gedung yang rusak), rendahnya kesejahteraan dan kekurangan tenaga kependidikan yang profesional yang sesuai dengan bidang tugasnya. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi merupakan cerminan kualitas, sehingga tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini tidak lain untuk mempercepat terwujudnya masyarakat yang cerdas dan itu hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang berkualitas. Dalam kaitan ini pendidikan berkualitas perlu mengembangkan seluruh spektrum intelegensia manusia yang meliputi aspek intelegensia, emosional, interpersonal dan intrapersonal. Fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan adalah rendahnya kualifikasi dan kualitas guru, rendahnya tingkat kesejahteraan guru, rendahnya mutu lulusan, kurang relevannya kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga isu strategis yang menjadi persoalan pendidikan di Kota Kupang yaitu: Pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta tata kelola pencitraan publik.
66
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
6.
Provinsi Maluku Utara Dengan mendasarkan pada RPJM Nasional, RPJM Provinsi Maluku Utara, RPJM Kota Ternate disusun dalam kerangka menjabarkan dan mengimplementasikan visi, misi dan Panca Program Walikota dan Wakil Walikota Ternate Periode 2005-2010. Dalam bidang kesehatan, nampaknya Pemerintah Kota Ternate telah mengakomodir standar pelayanan yang mengacu kepada visi Indonesia Sehat 2010. Sesuai dengan Visi Kota Ternate, yakni Terwujudnya Kota Ternate Sehat 2010 menuju Masyarakat Madani, dimana dengan visi ini, Pemerintah Kota Ternate mengharapkan pada tahun 2010 keadaan masyarakat di Kota Ternate ditandai oleh masyarakat yang (1) hidup dalam lingkungan yang sehat, (2) mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat serta (3) mampu menyediakan dan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, sehingga pada akhirnya akan memiliki derajat kesehatan yang optimal guna menunjang visi Kota Ternate. Perkembangan pendidikan merupakan suatu tanggungjawab pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Hal ini tercermin dalam UUD 1945, dimana antara lain disebutkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara dan merupakan tanggungjawab semua warga negara yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibidang pendidikan merupakan tanggungjawab dari pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah wajib melaksanakan standar pelayanan minimal di bidang pendidikan. Kota Ternate sebagai salah satu bagian integral dari NKRI memiliki visi menjadikan Ternate sebagai Kota Budaya Menuju Masyarakat Madani. Atas dasar visi tersebut, Pemerintah Kota Ternate telah menetapkan misi yaitu terwujudnya pendidikan berkualitas menuju kota budaya dan masyarakat madani. Berdasarkan visi tersebut diatas, maka misi Dinas Pendidikan Nasional Kota Ternate yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari misi Pemerintah Kota Ternate serta Visi Dinas Pendidikan Nasional Kota Ternate adalah : Mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan untuk memenuhi hak warga masyarakat memperoleh pendidikan Mewujudkan pendidikan yang bermutu, berdaya saing, berstandar, berbasis kompetensi serta berwawasan kebangsaan. Mewujudkan pendidikan yang efisien, akuntabel, demokratis, rasional dan proporsional Sementara itu sesuai dengan Peraturan Walikota Tidore Kepulauan Nomor 8 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Tidore Kepulauan Tahun 2005-2010 disebutkan bahwa perencanaan bidang pendidikan di Kota Tidore Kepulauan yang menjadi sasaran pembangunan bidang pendidikan tahun 2005-2010 meliputi :
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
67
67
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
a) Menurunnya angka buta huruf penduduk usia 15 tahun ke atas b) Meningkatnya secara nyata prosentase penduduk yang menyelesaikan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, yang antara lain diukur dengan :
meningkatnya angka penyelesaian pendidikan dengan menurunkan angka putus sekolah pada jenjang SD/MI; meningkatnya angka lulusan SD/MI/SDLB yang melanjutkan ke jenjang SLTP/MTs; meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun dan penduduk usia 13-15 tahun tergambar dari angka pastisipasi kasar (APK); menurunnya rata-rata lama penyelesaian pendidikan pada semua jenjang dengan menurunkan angka mengulang kelas pada jenjang SD/MI;
c) Meningkatnya proporsi anak yang terlayani pada pendidikan usia dini. d) Meningkatnya proporsi penduduk yang mengikuti jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, antara lain diukur dengan : e) f)
Meningkatnya proporsi pendidik formal dan non formal yang memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi yantg sesuai jenjang kewenangan mengajar dengan jumlah peserta didik. Meningkatnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan yang antara lain diukur dengan :
g)
meningkatnya angka melanjutkan lulusan SLTP/MTs ke jenjang pendidikan menengah; menurunnya rata-rata penyelesaian pendidikan dengan menurunkan angka mengulang kelas jenjang pendidikan menengah; meningkatnya APK jenjang pendidikan menengah;
meningkatnya efektivitas pendidikan kecakapan pada semua jalur dan jenjang pendidikan; meningkatkan sarana laboratorium baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai kebutuhan jenis, jenjang dan jalur pendidikan; membangun jaringan kerjasama antara Dinas Pendidikan dengan Perguruan Tinggi serta komunikasi akademik antara jenjang pendidikan tinggi dengan jenjang pendidikan di bawahnya;
Meningkatnya efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan yang antara lain diukur dengan : efektifnya pelaksanaan manajemen berbasis sekolah;
68
meningkatnya angaran pendidikan baik yang bersumber dari APBN maupun APBD sebagai prioritas nasional yang tinggi serta didukung
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
7.
pula oleh terwujudnya sistem pembiayaan yang adil, efisien, efektif, transparan dan akuntabel; meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan; dan meningkatnya efektivitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan termasuk otonomi keilmuan;
Provinsi Papua Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diselenggarakan dengan tujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut dilaksanakan program-program pembangunan kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut dilaksanakan program-program pembangunan kesehatan secara sistematis dan berkesinambungan. Sesuai dengan Sistem Kesehatan Daerah (SKD) di Propinsi Papua, diantaranya pelaku pembangunan kesehatan Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura adalah Dinas Kesehatan yang berperan sebagai penanggung jawab, penggerak pembina dan pelaksana pembangunan kesehatan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam rangka mensinergikan kegiatan perencanaan pembangunan di Kota Jayapura serta berpedoman pada undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) harus menyusun rencana strategis. Dinas kesehatan Kabupaten Jayapura telah menyusun rencana stratejik sebagai rencana pembangunan jangka menengah yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam kurun waktu 5 tahun yaitu periode tahun 2007-2011 dengan perhitungan potensi, peluang, dan kendala yang ada atau mungkin akan timbul. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut diciptakanlah Visi Indonesia Sehat 2010, yang merupakan cerminan masyarakat, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut diselenggarakan pembangunan kesehatan yang berkesinambungan baik oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota, maupun oleh masyarakat termasuk swasta. Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan tersebut, dalam dua dekade ini telah cukup berhasil meningkatkan derajat
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
69
69
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
kesehatan. Derajat kesehatan masyarakat di Kota Jayapura terhitung “sedang” di jajaran kabupaten/kota secara nasional masih terhitung “rendah”. Permasalahan utama yang dihadapi adalah rendahnya kualitas kesehatan penduduk yang antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian bayi, anak balita, dan ibu maternal, serta tingginya proporsi balita yang menderita gizi kurang; masih tingginya angka kematian meningkatnya penyakit tidak menular; kesenjangan kualitas kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu antar wilayah gender, dan antar kelompok status social ekonomi; belum memadainya jumlah, penyebaran, komposisi dan mutu tenaga kesehatan, serta terbatasnya sumber pembiayaan kesehatan dan belum optimalnya alokasi pembiayaan kesehatan. Dalam rangka mewujudkan Visi “Dinas Kesehatan sebagai Penggerak Pembangunan Kesehatan Menuju Terwujudnya Kota Jayapura Sehat” maka Dinas Kesehatan mempunyai beberapa misi yang kemudian diarahkan menjadi program dan kegiatan. Misi Dinas Kesehatan Kota Jayapura ini meliputi melaksanakan Pembangunan Kesehatan Secara Menyeluruh dan Berkesinambungan, Memberdayakan Masyarakat dan Daerah, memantapkan manajemen kesehatan yang dinamis dan Akutabel, serta meningkatkan kinerja dan mutu upaya kesehatan. Visi Dinas ini memperhatikan dasar-dasar pembangunan kesehatan tersebut dan untuk mencapai sasaran pembanguna kesehatan pada tahun akhir tahun 2010 seperti yang telah ditetapkan dalam lampiran Peraturan Daerah Kota Jayapura tahun 2005, tentang rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Jayapura tahun 2005-2010 tentang Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Berkualitas, dan juga mempertimbangkan perkembangan masalah dan kecenderungan yang dihadapi Dinas Kesehatan. Hampir semua program/kegiatan yang tercakup dalam misi-misi tersebut telah sesuai dengan rencana yang dicanangkan pemerintah pusat, beberapa program/kegiatan yang sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditetapkan oleh Departemen kesehatan melalui Pedoman Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Diantara program/kegiatan yang sesuai dengan indikator-indikator SPM tersebut adalah program lingkungan sehat yang berisi kegiatan penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar, program lain seperti program upaya kesehatan masyarakat diantaranya mencakup upaya peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang terdiri dari kegiatan promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular dan pengobatan dasar. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa Renstra Dinas Kesehatan Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura telah memenuhi substansi yang telah dicanangkan pemerintah baik pusat dan daerah dalam perencanaan pembangunan kesehatan selain adanya upaya untuk
70
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
meningkatkan pelayanan di bidang kesehatan dengan menerapkan SPM dalam program dan kegiatannya. Kebijakan Pemerintah Daerah terutama yang terkait dengan pelaksaan tugas pokok dan fungsi SKPD telah tertuang dalam rencana stratgis Dinas Pendidikan dan Pengajaran. Renstra ini disusun dengan memperhatikan lingkungan strategis organisasi secara global, nasional dan daerah. Karena itu muatannya meliputi penjabaran rencana pembangunan jangka menengah di bidang pendidikan dengan memperhatikan rencana strategis Dinas Pendidikan dan Pengajaran Propinsi Papua maupun rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional. Dengan demikian rencana strategis ini secara substansi tetap sinergi dengan pemerintahan atasannya tetapi bobotnya kontekstual sesuai dengan kondisi daerah masing-masing daerah kabupaten kota di wilayah Provinsi Papua. Dengan penyusunan rencana strategis ini masing-masing daerah dapat menempatkan posisinya dan berusaha mencapai tujuan, dengan cara dalam mencapai tujuan tersebut. Oleh sebab itu rencana strategis memuat visi, misi, tujuan dan sasaran, strategi (Kebijakan, Program dan Kegiatan). Kebijakan SKPD khususnya Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Jayapura yakni “Kota Jayapura Barometer Provinsi Papua” untuk mencapai visi pendidikan tersebut. Perencanaan yang dilakukan dalam melaksanakan program kerja tahun 2008 berpedoman pada Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Tahunan yang disusun serta mengacu pada data primer maupun sekunder yakni hasil musrenbang Kota Jayapura tahun 2007, laporan dari sekolah, pengamatan/tinjauan langsung ke sekolah dan masalah-masalah yang sangat urgen untuk segera diselesaikan. Selanjutnya dari beberapa sumber data tersebut di atas, diolah dan dibuat skala prioritas serta disesuaikan dengan plafond anggaran sementara yang telah ditetapkan, sehingga programprogram yang menjadi prioritas utama bisa terakomodir. Sedangkan untuk program-program yang belum terakomodir melalui RAPBD Pemerintah Kota Jayapura tahun 2008 akan dicarikan sumber pembiayaan lainnya antara lain melalui dana alokasi Khusus, dana Dekonsentrasi maupun sumber dana lainnya yang sifatnya tidak mengikat termasuk Anggaran Belanja Tambahan tahun 2008. Di samping itu, dalam perencanaan program-program pengembangan pendidikan juga melibatkan stakeholder maupun instansi terkait khususnya Bappeda Kota Jayapura, Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota Jayapura, Dinas Pekerjaan Umum Kota Jayapura maupun instansi terkait lainnya. Hal ini sangat diperlukan mencakup hal-hal yang prinsip guna menghindari kesalahan atau ketidaktepatan sasaran. Dalam perencanaan program terdapat referensi yang dijadikan sumber utama khususnya dalam estimasi biaya yakni Buku Daftar Harga Barang dan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
71
71
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
jasa tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Pemda Kota jayapura setiap tahunnya, Edaran tentang standar harga satuan untuk pekerjaan pembangunan kategori sederhana maupun tidak sederhana maupun Buku Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan oleh dinas Pekerjaan Umum Kota Jayapura serta dokumen-dokumen lainnya yang dapat djadikan acuan. Berikut langkah-langkah strategis Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Jayapura yakni :
Meningkatkan pembinaan budi pekerti/ imtaq dalam dunia Pendidikan Meningkatkan standar Kompetensi Guru Meningkatkan kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara kurikuler/ ekstra kurikuler Meningkatkan sarana dan prasarana yang memadai bagi setiap jenjang dan jenis pedidikan Meningkatkan pengelolaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun Meningkatkan NUM kelulusan bagi setiap jenjang dan jenis pendidikan serta dapat memenuhi daya saing ke perguruan tinggi dan dunia kerja Meningkatkan sistem informasi dan pendataan yang akurat. Meningkatkan kerjasama antara dunia usaha dan dunia industri dengan dunia pendidikan. Meningkatkan kesejahteraan bagi tenaga pendidikan Meningkatkan pelayanan prima bagi kebutuhan pendidikan masyarakat.
Di Kabupaten Jayapura pun upaya ini tidak terlalu jauh berbeda yakni kebijakan untuk mencapai visi dan misi yakni dengan meningkatkan tata kelola pendidikan dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Dengan tujuan meningkatkan kinerja pengelolaan pendidikan untuk memberikan pelayanan pendidikan pada masyarakat. B. Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal 1.
Provinsi Sumatera Selatan Strategi penerapan yang dimaksud disini adalah penjabaran targat-target SPM nasional ke dalam target daerah dan tahunan sesuai dengan kemampuan pemerintah daerah. Tentu saja, hanya urusan wajib yang telah memiliki SPM nasional yang dapat dijabarkan oleh pemerintah daerah dalam bentuk strategi penerapan. Oleh karena itu, pemerintah daerah setidaknya memiliki dua strategi penerapan SPM, yakni strategi penerapan SPM bidang pendidikan dan kesehatan. Namun berdasarkan kajian lapangan, ternyata hampir semua daerah belum menyusun strategi penerapan SPM, dengan memberikan argumen yang hampir sama dengan ketiadaan dasar hukum di daerah tentang penerapan
72
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
SPM. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat dipahami jika daerah belum memiliki strategi penerapan SPM. Analog dengan uraian di atas, bahwa dokumen Renstra SKPD dapat dijadikan proksi (alat untuk mendekati) strategi penerapan SPM, maka penjabaran program dan kegiatan yang ada dapat digunakan untuk melihat strategi penerapan SPM. Dengan demikian, indikator pencapaian sasaran program sebagaimana tertuang dalam dokumen Renstra Dinas Pendidikan Sumatera Selatan misalnya, dapat digunakan sebagai proksi bagi strategi penerapan SPM bidang pendidikan. Indikator pencapaian sasaran program tersebut meliputi: a b c d e f g h i j k
Terwujudnya pendidikan yang memenuhi standard pelayanan minimal pada setiap jenis dan jenjang pendidikan; Kondisi gedung pada semua jenis dan jenjang pendidikan dalam kondisi baik 100%; Khusus program wajib pendidikan dasar 9 tahun yang dilaksanakan melalui jalur formal maupun non formal tuntas wajar paripurna; Tenaga guru baik kualitas maupun kuantitasnya memenuhi secara profesional; Sarana dan prasarana pembelajaran dapat terpenuhi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran; APK pada semua jenis dan jenjang pendidikan dapat mencapai di atas 100%; APM pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan bisa mencapai 100%; Angka drop-out dapat ditekan di bawah 1%; Rata-rata NEM naik minimal 7; Meningkatnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; Meningkatnya apresiasi pelajar terhadap kebudayaan daerah dan nasional.
Mencermati uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa meskipun dinas pendidikan tidak mempunyai strategi penerapan SPM, tetapi indikator pencapaian program sebagaimana di atas dapat digunakan sebagai strategi penerapan dan pencapaian indikator SPM. Kelemahannya adalah, pemerintah provinsi dalam hal ini dinas pendidikan tidak dapat menunjukkan secara persis kinerja pencapaian SPM-nya sebagaimana dituntut oleh PP No 6 Tahun 2008 tentang Peoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD). Senada dengan Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan, apa yang terjadi di Kota Prabumulih merupakan satu contoh penggunaan program renstra sebagai proksi bagi strategi penerapan SPM bidang pendidikan. Di dalam Renstra tersebut terdapat program-program sebagai berikut: 1) menumbuhkembangkan cinta profesi terhadap guru dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, 2) peningkatan partisipasi dan tanggung jawab pemerintah, orang tua dan masyarakat terhadap pendidikan, 3)
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
73
73
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
peningkatan mutu tenaga kependidikan melalui Diklat, 4) pengembangan tenaga kependidikan yang berakhlak mulia bertumpu kepada nilai-nilai agama dan budaya daerah, 6) peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, 7) pemerataan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, 8) pemerataan dan penyebaran guru/tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah, 9) peningkatan minat beasiswa, dan 10) peningkatan disiplin dan dedikasi tenaga kependidikan. Sementara itu, strategi penerapan SPM Kesehatan Kabupaten Muara Enim terlihat pada program-program: perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat, lingkungan sehat, upaya kesehatan, obat makanan dan bahan berbahaya bagi kesehatan, sumber daya kesehatan, manajemen pembangunan kesehatan, dan penelitian & pengembangan kesehatan. Pemanfaatan program-program renstra sebagai proksi terhadap strategi penerapan SPM mungkin tidak terlalu tepat, karena ada perbedaan yang cukup mendasar antara program renstra dengan dokumen SPM itu sendiri. Namun inilah yang terjadi di hampir semua daerah yang dikaji. Akan tetapi, jika melihat capaian indikator SPM tahun 2006, maka Kabupaten Muara Enim sebenarnya sudah memiliki strategi penerapan SPM. Box. 4.1 Desa Siaga di Muara Enim Menindaklanjuti pencanangan Desa Siaga di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana telah dilaunching di Kabupaten Lumajang pada saat Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-42, Kabupaten Muara Enim telah bertekad untuk mengaktifkan desa siaga di beberapa kecamatan. Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalahmasalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Sebuah desa dikatakan menjadi desa siaga apabila desa tersebut memiliki sekurang-kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Untuk dapat menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa, Poskesdes memiliki kegiatan: Pengaatan epidemiologi sederhana terhadap peyakit terutama penyakit menular yang berpotensi menimbulkan KLB dan faktor resikonya termasuk status gizi serta kesehatan ibu hamil yang beresiko. Penanggulangan penyakit, terutama penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB serta faktor resikonya termasuk kurang gizi. Kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan. Pelayanan medis dasar sesuai dengan kompetensinya. Promosi kesehatan untuk peningkatan keluarga sadar gizi, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), penyehatan lingkungan, dan lain-lain.
74
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Dengan demikian Poskedes diharapkan sebagai pusat pengembangan atau revitalisasi berbagai UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat) yang ada di masyarakat desa. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut Poskesdes harus didukung oeh sumber daya seperti tenaga kesehatan (minimal seorang bidan) dengan dibantu oleh sekurang-kurangnya 2 kader. Selain itu, juga harus disediakan sarana isik bangunan, perlengkapan, dan peralatan kesehatan serta sarana komunikasi seperti telepon, ponsel atau kurir. Untuk sarana fisik Poskesdes dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yaitu mengembangkan Polindes yang telah ada menjadi Poskedes, memanfaatkan bangunan yang sudah ada msalnya Balai Warga/RW, Balai Desa, dan lain-lain serta membangun baru yaitu dengan pendanaan dari Pemerintah (Pusat atau Daerah), donatur, dunia usaha, atau swadaya masyarakat.
2.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Kesehatan merupakan hak azasi manusia, sehingga setiap manusia mempunyai hak untuk hidup sehat. Dengan demikian masyarakat berhak atas akses pelayanan kesehatan yang berkualitas. Hal ini sejalan dengan amandemen UUD tahun 1945 pasal 28 huruf H. Dalam pasal tersebut, kesehatan dipandang sebagai suatu bagian dari hak azasi manusia dan sekaligus merupakan kewajiban semua pihak (individu, masyarakat dan negara) untuk menciptakan suatu kondisi di mana setiap warga negara dalam keadaan selalu sehat sehingga mereka dapat berproduksi baik secara ekonomi maupun sosial. Pembangunan Kesehatan di kota Yogyakarta yang dilaksanakan secara berkesinambungan telah cukup berhasil meningkatkan derajat kesehatan. Namun demikian masih ada permasalahan dibidang kesehatan yaitu masih adanya potensi kematian ibu serta adanya stagnasi balita gizi buruk, tingginya angka penyakit potensial wabah terutama demam berdarah, penyakit akibat gaya hidup (penyakit degeneratif, dll). Semakin berkembangnya Pelayanan kesehatan swasta (tradisional dan modern) yang belum terkoordinir melalui sistem yang baik merupakan tantangan dalam pembangunan kesehatan. Pembangunan Kesehatan di kota Yogyakarta bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap warga masyarakat agar terwujud derajad kesehatan yang setinggi-tingginya, dengan ditandai oleh penduduknya yang berperilaku hidup bersih dan sehat dan hidup dalam lingkungan yang sehat, serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata di seluruh wilayah kota Yogyakarta. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diselenggarakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan semua elemen yang ada guna mencapai tujuan yang dimaksud. Adapun strategi yang ditempuh dalam mencapai Yogyakarta menjadi kota sehat adalah :
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
75
75
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
a. b. c. d. e. f. g.
Meningkatkan kemampuan pegawai melalui diklat dan memberdayakannya sesuai kemampuan dan kebutuhan organisasi; Melaksanakan koordinasi dalam perencanaan, pengendalian dan evaluasi program-program kesehatan; Meningkatkan pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan; Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas; Meningkatkan surveilans, monitoring dan informasi kesehatan; Meningkatkan Regulasi Kesehatan; Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kemandirian pembiayaan kesehatan.
Sebagiamana telah disinggung pada bab terdahulu bahwa standar pelayanan minimal merupakan salah satu tolok ukur untuk mengukur kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mencapai SPM tersebut, pemerintah daerah dituntut untuk mencari cara atau strategi bagaimana SPM tersebut dapat menyentuh lapisan warga masyarakat. Salah satu strategi yang ditempuh oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman adalah dengan program “Puskesmas Ramah Remaja (PRR)”. Puskesmas Ramah Remaja mulai dirintis sejak tahun 2004 dan pada tahun 2005 telah terbentuk 9 Puskesmas, yakni Puskesmas Prambanan, Puskesmas Kalasan, Puskesmas Ngemplak I, Puskesmas Depok I, Puskesmas Tempel I, Puskesmas Mlati I, Puskesmas Gamping I, Puskesmas Godean I dan Puskesmas Mertoyudan. Tujuan dari pembentukan Puskesmas Ramah Remaja ini adalah a) meningkatkan penjaringan masalah kesehatan secara berkala pada siswa-siswi SLTP dan SLTA, b) melaksanakan sosialisasi dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja agar pengetahuan dan sikap positifnya meningkat, c) melatih kader sebaya sebagai bagian peran serta remaja dilingkungannya dalam kesehatan produksi, d) memberikan pelayanan konseling dan pendampingan psikolog di puskesmas, e) menjaring status gizi remaja dan calon penganten wanita (terutama anemia dan KEK) dan upaya intervensinya, f) meningkatkan penggunaan tablet besi pada WUS dan tenaga kerja wanita, g) menjaring praremaja diluar sekolah dalam imunisasi TTS, h) meningkatkan cakupan ante natal care ANC), i) menekan terjadinya kasus kehamilan tidak dikehendaki dan j) menekan terjadinya kasus aborsi.
76
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Box. 4.2 Puskesmas Ramah Remaja di Kabupaten Sleman Menurut hasil pendataan keluarga Desember 2004, kelompok usia remaja (7-15 th) sebesar 117.600 (14,4%) dari kelompok tersebut yang bersekolah 114.884 (97,65%). Masalah yang menjadi tantangan bagi Dinas Kesehatan untuk meberikan informasi yang benar, mudah dan lebih terbuka tentang sex atau kesehatan reproduksi, karena belum semua remaja mengetahui tentang proses kehamilan, bahkan sebagian remaja beranggapan bahwa melakukan hubungan sex sekali saja tidak menyebabkan kehamilan. Hal ini disebabkan informasi dan pengetahuan yang mereka peroleh hanya sepintas yang berasal dari beredarnya gambar/foto, VCD porno maupun media internet yang semakin terbuka. Pada tahun 2004, menurut hasil pemeriksaan calon penganten putri yang berusia < 20 tahun di 24 Puskesmas, dari 261 orang yang diperiksa ternyata 62 orang (23,7%) positif hamil, sedangkan sampai dengan bulan juni 2005 di 10 Puskesmas dari 74 orang terdapat 46 orang yang positif hamil (62%). Selain kasus hamil sebelum nikah, ternyata masalah penggunaan NAPZA dikalangan remaja juga meningkat. Dari 99 tahanan tindak pidana narkoba, ternyata 52 orang adalah mahasiswa dan 1 orang pelajar. Sejalan dengan meningkatnya penyalahgunaan NAPZA tersebut, akan meningkat pula ancaman kesehatan reproduksi khususnya karena penularan melalui jarum suntik yang dipergunakan secara bergantian oleh pengguna NAPZA. Mengingat begitu kompleksnya masalah yang dihadapi para remaja, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman berinisiatif mempelopori Program Puskesmas Ramah Remaja yang dilaksanakan di 9 (Sembilan) Puskesmas yaitu, Prambanan, Kalasan, Ngemplak I, Depok I, Tempel I, Mlati I, Gamping I, Godean I dan Mertoyudan. Program ini merupakan program yang pertama kali di Provinsi DIY dan bekerjasama dengan Center For Health Policy and Social Studies (CHPSS). Tujuan dari pelaksanaan program ini adalah terwujudnya Paradigma sehat dikalangan remaja, yang ditandai dengan remaja datang ketempat pelayanan kesehatan dengan alasan ingin tetap sehat dan meningkatkan kesehatnanya, bukan sebaliknya setelah sakit baru ke tempat pelayanan. Untuk mendukung Puskesmas Ramah Remaja, disediakan seorang psikolog yang siap dimintai konsulatasi para remaja yang telah terlanjur hamil sebelum menikah, kebanyakan kurang memahami tentang kesehatan reproduksi. Padahal masalah kesehatan reproduksi merupakan masalah yang sangat penting untuk menyelamatkan calon anak dan calon ibu. Langkah-langkah yang telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, yaitu :
membangun komitmen serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas meningkatkan manajemen, pedoman kegiatan, mekanisme dan sistem yang terkait dengan fungsi Puskesmas
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
77
77
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
melengkapi sarana/media sampai dengan penataan ruang konseling di Puskesmas dukungan dana baik dari APBD maupun lembaga lain (CHPSS) dalam bentuk yang lebih spesifik peningkatan fungsi Puskesmas penguatan jejaring kerja upaya kesehatan remaja dengan pembinaan/pelatihan kader kesehatan dan peningkatan peran UKS peningkatan peran remaja seoptimal mungkin Kegiatan yang telah dilaksanakan ralam dalam rangka Puskesmas Ramah Remaja adalah : workshop kesehatan reproduksi pertemuan koordinasi untuk penyamaan persepsi sekaligus membangun komitmen antara Dinas Kesehatan dengan instansi terkait pertemuan orientasi bagi guru bimbingan konseling, guru olahraga, guru biologi dan guru agama tentang Kesehatan Reproduksi sosialisasi kesehatan reproduksi oleh Puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan reproduksi dengan pendekatan one stop service terintegrasi dan komprehensif di Puskesmas menjalin kerjasama dengan rumah singgah anak jalanan di wilayah Puskesmas Prambanan dan Kalasan dalam rangka sosialisasi kesehatan reproduksi
Guna melaksanakan standar pelayanan minimal di bidang pendidikan, Pemerintah Kota Yogyakarta telah memiliki strategi-strategi sebagai berikut : a)
Bidang Pendidikan Dasar (1) Kurikulum (a) Pengembangan KTSP yang mantap sesuai dengan keunggulan/visi masing-masing sekolah (b) Pengembangan kurikulum muatan lokal sesuai dengan potensi kota Yogyakarta (c) Fasilitasi kegiatan peningkatan sumber daya manusia untuk pengembangan kurikulum nasional maupun muatan lokal (2) Ketenagaan (a) Terpenuhinya jumlah dan kualitas ketenagaan kependidikan yang profesinal melalui pendidikan dan pelatihan (3) Kesiswaan (a) Terpenuhinya kegiatan kesiswaan yang kepribadian, kemandirian dan akhlak mulia
78
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
mengembangkan
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
(b) Fasilitasi kegiatan siswa yang menunjang pengembangan bakat dan minat siswa yang meliputi akademis maupun non akademis (4) Sarana dan Prasarana (a) Terpenuhinya sarana prasarana di sekolah guna menunjang kegiatan guru dan siswa (b) Fasilitasi sarana prasarana untuk pengembangan kurikulum nasional maupun muatan lokal b) Bidang Pendidikan Menengah (1) Kurikulum (a) Sekolah sudah mampu membuat KTSP dan siap melaksanakannya; (b) Guru-guru mampu membuat bahan ajar dengan power point (c) Angka ketidaklulusan UN 2006/2007 turun (d) Peringkat 10 besar tingkat nasional hasil UN 2006/2007 SMA untuk IPA dan IPS (e) Dilaksanakan tes kendali mutu siswa SMA kelas III (2) Ketenagaan (a) (b) (c) (d)
Guru SMA dan SMK tahun 2010 seluruhnya berkualifikasi S 1 Tahun 2010 minimal 20% guru SMA dan SMK telah bersertifikasi Setiap SMA memiliki laboratorium IPA Semua Kepala SMA/SMK mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris paling lambat tahun 2015 (e) Penggantian Kepala Sekolah melalui mekanisme yang betul-betul berorientasi pada kualitas (3) Kesiswaan (a) (b) (c) (d)
Siswa dievaluasi untuk pengembangan bakat dan prestasinya Siswa dievaluasi untuk minat kegiatan karya ilmiah Jumlah siswa per ruangan belajar maksimal 30 siswa Tahun 2008 kontingen OSN Kota Yogyakarta juara umum tingkat nasional
(4) Sarana dan Prasarana (a) (b) (c) (d)
Setiap sekolah memiliki laboratorium komputer Jumlah peralatan di laboratorium IPA dan komputer memenuhi Sekolah memiliki jaringan internet Setiap sekolah memiliki ruang perpustakaan yang representatif
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
79
79
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
c)
Bidang Pendidikan Non Formal (1) Pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) memiliki tutor dengan kualifikasi dan kompetensi yang memadai (2) Adanya kurikulum pendidikan nonformal yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat (3) Adanya pemisahan yang tegas antara siswa pendidikan formal dan non formal (4) Pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) memiliki sarana dan prasarana yang permanen dan memadai
Sementara itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman mempunyai visi “terwujudnya pendidikan yang berkualitas berlandaskan budaya bangsa”. Untuk mewujudkan visi tersebut, Dinas Pendidikan lebih lanjut menjabarkan dalam beberapa misi, sasaran, tujuan dan program sebagai berikut : Misi
: Meningkatkan pemerataan dan kualitas pendidikan
Tujuan
: 1.
2. Sasaran
: 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Mempertahankan wajib belajar 9 tahun dan merintis wajib belajar 12 tahun serta mendorong kemandirian masyarakat dalam mencapai pendidikan lebih lanjut. Meningkatkan kualitas pendidikan. Meningkatkan kesempatan belajar yang seluasluasnya kepada anak usia prasekolah, sekolah dan masyarakat melalui jalur pendidikan formal maupun non formal Meningkatkan profesioalitas, kualitas serta kompetensi guru, tutor serta tenaga kependidikan lainnya. Meningkatkan produktivitas dan kinerja guru, tutor serta tenaga kependidikan lainnya Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan Terlaksananya evaluasi hasil proses pembelajaran. Meningkatnya kualitas dan prestasi siswa baik akademis maupun non akademis. Meningkatnya kualitas keagamaan, budi pekerti, organisasi pemuda dan olahraga.
Program 1
: Peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah
Kegiatan
: 1. 2. 3. 4.
80
Penerimaan siswa baru TK, SD, SMP, SMA dan SMK. Pemberian beasiswa SMA dan SMK Persiapan operasional TK, SD Model Pembinaan MGMP SMP, SMA/SMK
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. Program 2
Pembinaan KKG/KKS/KKPS TK/SD Pemilihan guru, kepala sekolah dan pengawas berprestasi Lomba mendongeng/bercerita guru TK Penyusunan formasi normatif TK, SD, SMP, SMA dan SMK Bantuan DPP SD/MI Penilaian angka kredit guru dan pembinaan guru bermasalah. Insentif PTT, guru bantu dan GRR/GTY TK, SD, SMP, SMA, SMK Sertifikasi guru TK, SD, SMP, SMA/SMK. Pelaksanaan Usek, Usda dan Unas bagi SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK. Pelaksanaan uji sertifikasi kompetensi lulusan SMK Pendampingan pembangunan SMK N 1 Kalasan Pembangunan TK/SD Model Rehabilitasi gedung SD Rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas, Lab, keterampilan, Perpustakaan dan pagar sekolah Pembangunan pagar SMA Minggir Pengadaan buku Paket SD, SMP, SMA, SMK Bantuan pengadaadn meubeler TK/SD School Mapping SMP Inventarisasi barang dan evaluasi sarana prasarana TK, SD, SMP, SMA dan SMK Pekan olahraga SD Pelaksanaan MTQ SD, SMP, SMA dan SMK Lomba kreativitas siswa dan pameran hasil karya siswa TK, SD, SMP dan SM Lomba siswa berprestasi SD/SMP/SMA/SMK, Pidato Bahasa Inggris SMP dan debat Bahasa Inggris SMA dan SMK Lomba kompetensi siswa SMK Olimpiade sains SD, SMP dan SMA Pembinaan siswa berprestasi, Bahasa Inggris dan Sains serta KIR Lomba UKS, LSS dan Dokter Kecil SD, SMP, SMA dan SMK Pembinaan kelompok anti narkoba
: Peningkatan Kualitas Pendidikan Non Formal 1.
Pelaksanaan program KF
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
81
81
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Penyelenggaraan program kesetaraan paket A,B dan C Penyelenggaraan program PAUD, kesetaraan, keterampilan dan pelatihan di SKB Penyelenggaraan Lifeskill di desa IDT 2 Kecamatan Pembinaan dan rintisan lembaga PAUD Pelatihan tutor PNF dan tenaga pendidik PAUD Pengadaan prasarana belajar PAUD percontohan Pembelian alat peraga PNF dan APE PAUD
Misi 2
: Menciptakan iklim pendidikan yang berdasarkan potensi dan budaya bangsa
Tujuan
: Mengembangkan iklim pendidikan yang kompetitif berdasarkan potensi dan budaya bangsa
Sasaran
: 1. 2. 3.
Terlaksananya kurikulum nasional dan lokal dalam proses pembelajaran di sekolah Tersedianya pedoman pelaksanaan KTSP bagi SD, SMP, SMA dan SMK Meningkatnya peran serta DU/DI terhadap SMK
Program
: Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
Kegiatan
: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
kompetitif
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan KTSP di SD, SMP, SMA/SMK Pelatihan pembuatan soal SD, SMP, SMA dan SMK Penyusunan bahan pembinaan dan evaluasi KBM SD, SMP, SMA/SMK Pengkajian pelaksanaan kurikulum dan tim pengembangan kurikulum tingkat Kabupaten Analisis PUG bidang pendidikan Monitoring dan evaluasi RAPBS SD, SMP, SMA dan SMK Study kelayakan pendirian sekolah TK, SD, dan kelayakan program SMK
Misi 3
: Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan, organisasi pemuda dan olehraga serta peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang pendidikan
Tujuan
: Mewujudkan lembaga pendidikan organisasi pemuda dan olahraga yang berkualitas serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang pendidikan
Sasaran
: 1.
82
Terlaksananya penataan lembaga pendidikan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
2. 3. 4.
Terwujudnya organisasi pemuda dan olahraga yang berkualitas Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang pendidikan Peningkatan pembinaan generasi muda dan olah raga.
Program 1
: Program Peningkatan Manajemen Pendidikan
Kegiatan
: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Penilaian kinerja kepala sekolah Pendampingan subsidi imbal swadaya/ blockgrant/BOMM/BIS/BBE Life Skill dan sekolah bertaraf nasional/internasional Penyusunan dan penggandaan kalender pendidikan dan daftar nilai siswa SD Penyusunan profil pendidikan Peningkatan tertib administrasi perkantoran Peningkatan kualitas sekolah andalan Akreditasi sekolah TK, SD, SMP Pembinaan dan fasilitasi GOPTKI, BMPS dan forum komunikasi pendidikan Lomba gugus TK/SD Pelaksanaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
Program 2
: Program Peningkatan Pembinaan Generasi Muda
Kegiatan
: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Lomba baris dan tata upacara bendera Pemilihan dan pelatihan Paskibraka Pemilihan dan pengiriman peserta pertukaran pemuda antar provinsi Kemah Bhakti penggalang dan pembinaan Pembina Pramuka Pembinaan budi pekerti dan wawasan kebangsaan pemuda Pembinaan pemuda dan organisasi kepemudaan
Program 3
: Program Pembinaan dan Pemasyarakatan Olahraga
Kegiatan
: a. b. c. d.
Pekan Olahraga Pelajar, Masyarakat dan Tradisional Pembinaan Klub Olahraga pelajar kecamatan Pelatihan pelatih dan wasit olahraga Pelatihan instruktur dan gelar senam massal
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
83
83
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
3.
Provinsi Kalimantan Selatan Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2008, maka Strategi Pemerintah Kalimantan Selatan Bidang Kesehatan yang akan ditempuh adalah sebagaimana tabel berikut ini : Tabel. 4.1 Penerapan SPM Provinsi Kalimantan Selatan No. 1.
Program Pelayanan administrasi perkantoran
Kegiatan
2.
Peningkatan Sarana dan Prasarana
3.
Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Aparatur
4.
84
Peningkatan Pengembangan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Penyediaan jasa surat menyurat Penyediaan jasa komunikasi, sumber daya air dan listrik Penyediaan jasa kebersihan kantor Penyediaan jasa alat tulis kantor Penyediaan jasa pemeliharaan dan perijinan kendaraan dinas/operasional Penyediaan barang cetakan dan penggandaan Penyediaan komponen instalasi listrik/penerangan bangunan kantor Penyediaan bahan bacaan dan peraturan perundang-undangan Penyediaan bahan logistik kantor Penyediaan makanan dan minuman Rapat-rapat koordinasi dan konsultasi keluar daerah Rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke dalam daerah Penyediaan jasa pegawaia non PNS Penyediaan jasa penghapusan arsip Pemeliharaan rutin gedung kantor Pemeliharaan rutin meubeliur Pemeliharaan rutin perlengkapan gudung kantor Diklat manajemen keperawatan Diklat manajemen kebidanan Diklat manajemen bangsal rumah sakit Diklat manajemen Puskesmas Diklat pengelolaan jabatan fungsional Pembinaan akreditasi diklat kesehatan Pembinaan akreditasi rumah sakit dan laboratorium kesehatan Pembinaan program sertifikasi teknologi kesehatan Pertemuan pengelolaan diklat kesehatan Perjalanan dinas dalam rangka peningkatan SDM kesehatan Peningkatan Manajemen dan kebijakan
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Program Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan
5.
Obat dan Perbekalan Kesehatan
Kegiatan
6.
Upaya Kesehatan Masyarakat
7.
Pengawasan Obat dan Makanan
kesehatan Raker Kesda Rakorbangkes Pertemuan KIE Pelatihan petugas Penggunaan obat rasional Pelatihan rencana kebutuhan obat Kab./Kota Pelatihan sofware penggunaan obat di PBF Monitoring alat kesehatan di toko dan swalayan Monitoring evaluasi distributor PBF Konsultasi teknis program obat makanan dan bahan berbahaya Penilaian kinerja asisten apoteker Pengadaan obat perkapita Pengadaan alat pengolahan data Pengolahan data Diklat peningkatan pengetahuan pengelola kesehatan Koordinasi program Pelayanan kesehatan (Yankes) khusus dengan pengelola Kab./Kota Bimtek Yansus Diklat Kaidah berolah raga bagi guru sekolah Sosialisasi BKOM Tes kebugaran bagi PNS Dinkes Prov. Evaluasi progran Yansus Sosialisasi dan Advokasi KIE bagi kesehatan remaja Diklat pengarus utamaan gender bidang kesehatan Rakernas UKS Pertemuan koordinasi program bagi tim pembina UKS Pemantapan pengolahan KB Pembuatan profil kesehatan keluarga Pemantauan garam beryodium pada perusahaan garam Monitoring keamanan produk makanan yang absah, aman dan bermutuh Pengamanan makanan, minuman menjelang bulan ramadhan dan hari raya Pembinaan ke sarana produksi industri rumah tangga makanan dan minuman Sosialisasi kasus keracunan makanan dan minuman Pertemuan evaluasi periklanan Bimtek sankri peduli Nafza
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
85
85
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Program
Kegiatan
8.
9.
Pengembangan Obat Asli Indonesia
Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
86
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pertemuan dampak bahaya Nafza kepad siswa dan mahasiswa Monev pasca pelatihan penggunaan shofware narkoba Monev. Pasca pertemuan sekolah percontohan tahan Nafza Monev. Pembinaan jamu gendong Monev. Pasca pembinaan pemanfaatan tanaman obat Monev. Distributor obat tradisional Monev. Distributor kosmetika Pameran obat tradisional Pertemuan organisasi profesi kesehatan Pertemuan LSM/Ormas peduli kesehatan Forum komunikasi PRSSNI Kalsel Pertemuan aparatur pemerintah desa Pertemuan pokjanal posyandu Pertemuan/raker TP UKS Lomba sekolah sehat/UKS Lomba posyandu, kader & toga Lomba dokter kecil, KKR, saka bakti husada Konsultasi program promkes Pameran abdi persada membangun bidang kesehatan Peringatan HKN tk. Provinsi Pembuatan papan nama poskesdes di desa siaga Pembuatan billboar ukuran 4x6 meter sebanyak 25 buah Pembuatan struktur organisasi & uraian tugas desa siaga Pertemuan & advokasi PHBS dg TP PKK Pemetaan wilayah pengkajian PHBS melalui kunjungan rumah Pertemuan diseminasi hasil pengkajian PHBS Workshop rancangan intervensi Advokasi konsep mil workshop & penentuan model intervensi Pertemuan advokasi penggalangan dana intervensi Intervensi model promke yang loka spesifik dan monev. Diklat untuk intervensi PHBS Monev program promkes Diklat nakers & kader desa Pengembangn JPKM Workshop baseline data terpilah yang responsif gender Penyebarluasan informasi & kampanye kesehatan melalui berbagai saluran media
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Program
Kegiatan Pengembangan model promkes kesehatan pada masyarakat pendulang intan Penyusunan profil kesehatan Penanggulangan KEP, anemia gizi Besi, GAKY, kurang vit. A, & Kekurangan Zat Gizi Mikro lainnya : Pelacakan dan penanggulanan kasus gizi buruk (Rp. 250.000.000) Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi : survei keluarga sadar gizi (Rp. 60.000.000,-) Monitoring, evaluasi dan pelaporan : Revier program gizi Monitoring garam beryodium tingkat masyarakat Penilaian kinerja tenaga pelaksana gizi Puskesmas Bimtek program gizi Pertemuan konsultasi prog surveilans provinsi Peringatan hari gizi Pengadaan timbangan Dacin untuk posyandu Pengkajian pengembangan lingkungan sehat Penyuluhan menciptakan lingkungan sehat Monitoring, Evaluasi dan pelaporan P2ISPA : Penyuluhan melalui media Pengadaan Nebulezer Buku pedoman P2ISPA Pertemuan kemitraan P2 DIARE : Pencetakan media penyuluhan Penggadaan ringer laktat Sosialisasi Diare pada per group P2 HIV AIDS : Pertemuan KPAD Pelatihan CST Pencetakan media penyuluhan P2 TB : Peringatan hari TB PMT untuk petugas Pelacakan kontak penderita serumah Sambung rasa-diseminasi inform Pemeliharaan mikroskop P2 KUSTA : Sambung rasa dg penderita kusta Survey kontak Hari kusta sedunia
10.
Perbaikan gizi masyarakat
11.
Pengembangan lingkungan sehat
12.
Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
87
87
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Program
Kegiatan
Rehabilitasi penderita kusta P2 ARBOVIRUSIS : Pertemuan Pkjanal DBD Pengadan Cynof Pengadaan Abate Pelatihan Jumantik Insentif jumantik P2 MALARIA : Pertemuan Pkja Gebrak Malaria Hari bebas nyamuk nasional Pemeriksaan slide Bantuan KLB Bahan pemberantasan vektor P2 FILARIA & BUSKI : Advokasi tk, Kab/Kota Pengobatan massal Sosialisasin pada Guru, BEM, LS Penyuluhan Buski Bahan penyluhan Buski P2 RABIES : Pengadaan VAR & SAR Pertemuan TIKOR P2P : Konsultasi teknis program Monitoring dan evaluasi terpadu Belanja modal RR Cetak dan penggandaan Juklak, juknis, pedoman, dll Bimtek P2M Peningkatan imunisasi Peningkatan Surveillance Epidemiologi dan penanggulangan Peningkatan pelayanan TKHI 13. Pelayanan kesehatan penduduk Pelayanan operasi katarak dan bibir miskin sumbing 14. Pengadaan, peningkatan & Pengadaan sarana dan prasarana perbaikan sarana & prasarana puskesmas Puskesmas/Pustu & jaringannya Pengadaan sarana dan prasarana puskesmas pembantu Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan 15. Peningkatan pelayanan Lomba balita Indonesia Tk. Propinsi kesehatan anak balita Lokakarya peningkatan kesehatan anak dalam rangka hari anak nasional 16. Peningkatan pelayanan Pendidikan pelatihan perawatan kesehatan lansia kesehatan Pembinaan kelompok usila/posyandu usila tk. Propinsi Hari usila nasional tk. Propinsi Pengadaan peralatan penunjang pelayanan kesehatan lansia Sumber : Bagian Organisasi Provinsi Kalimantan Selatan
88
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Sementara itu, strategi di bidang pendidikan sesuai dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Propinsi Kalimantan Selatan Tahun 2008 meliputi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Program pelayanan administrasi perkantoran; Program peningkatan sarana dan prasarana Peningkatan pengembangan system pelaporan capaian kinerja; Program pendidikan anak usia dini; Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun; Program pendidikan menengah; Program pendidikkan non formal; Program peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan; Program peningkatan peranserta kepemudaan.
Hal yang sama juga nampak pada strategi penerapan SPM Pemerintah Kabupaten Banjar, sebagai berikut: Tabel. 4.2 Penerapan SPM Kabupaten Banjar No. 1.
Sasaran Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
Program
2.
Meningkatnya jumlah wilayah/kawasan sehat
3.
Terpenuhinya pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata
Pemberantasan penyakit menular; Pencegahan penyakit tidak menular; Pelayanan kesehatan dasar; Pelayanan kesehatan rujukan; Pelayanan kesehatan penunjang dan khusus; Perbaikan gizi; Kesehatan ibu dan anak, KB, kesehatan Usila; Promosi kesehatan; Peningkatan peran serta masyarakat melalui UKBM; Upaya kesehatan institusi; Kemitraan. Pengawasan kualitas air; Penyehatan TTU, TPM dan TPP; Penyehatan lingkungan. Pelayanan prima; Pengembangan puskesmas pembantu dan pondok bersih desa; Pelatihan manajemen program; Monitoring dan evaluasi program; Pelaksanaan lokakarya mini puskesmas; Puskesmas dengan program unggulan; Pendidikan tenaga kesehatan; Pelatihan manajemen dan pembiayaan kesehatan;
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
89
89
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Sasaran
Program
Penelitian dan pengembangankesehatan; Pangkalan data dan pengembangan system informasi kesehatan.
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar
Strategi unggulan pelaksanaan pelayanan kesehatan di Kabupaten Banjar antara lain: pelayanan kesehatan 24 jam oleh tenaga medis pelayanan kesehatan kepada alim ulama sebagai tokoh masyarakat dan agent of change.
-
Berbeda dengan pemerintah provinsi dan Pemerintah Kabupaten Banjar yang hanya mencantumkan program dan kegiatan, strategi penerapan SPM Bidang Kesehatan Kota Banjarmasin agak lebih maju karena telah mencantumkan indikator kinerja, sebagaimana tabel di bawah ini : Tabel. 4.3 Penerapan SPM Kota Banjarmasin No 1.
Penyuluhan perilaku sehat
2.
Penyuluhan dan penanggulangan Napza berbasis masyarakat Pencegahan & pemberantasan penyakit malaria
3. 4.
Penyelenggaraan penyelidikan epid. & penanggulangan KLB dan gizi buruk
5. 6.
Pencegahan peny. polio Pencegahan peny. ISPA
7.
Pencegahan pen. HIV AIDS
8. 9.
Penc. Penyakit DBD Penc. & Pemberantasan Penyakit diare Penc. & Pemberantasan
10.
90
Program
Kegiatan Rumah tangga sehat Bayi yang dpt ASI ekslusif Desa dgn garam boryodium Posyandu Purnama & Mandiri Upaya penyuluhan pencegahan Napza oleh petugas kesehatan Penderita malaria diobati
Indikator Kinerja 65% 80% 90% 40% 15%
100%
Desa/kelurahan mengalami KLB yang ditangani <24 jam
100%
Kec. Bebas rawan gizi EFP Rate/100 pndk <15 thn Cakupan balita dgn pnemoni yang ditangani Klien yang mendapat pelayanan HIV AIDS Donor darah yang diskrining terhadap HIV AIDS Infeksi menular seksual yang diobati Penderita DBD yang ditangani Balita dg diare yang ditangani
80% 1 100%
Pendertia kusta yang selesai berobat
>90%
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
100%
100% 80% 100%
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17. 18. 19. 20. 21.
22.
23.
24 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Program
Kegiatan
Indikator Kinerja
penyakit Kusta Penc. & Pemb. Penyakit filariasis Penyehatan kesehatan lingkungan Pelayaan & pengendalian vector Pelayanan Hygiene sanitasi TTU Kesehatan lingkungan
(RFT Rate) Kasus filariasis yang ditangani
>90%
Institusi yang dibina
70%
Rumah/bangunan bebas jentik
>90%
Tempat umum yang memenuhi syarat
80%
Rumah sehat TTU sehat Keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih
80% 80% 85%
Penc. & Pemberantasan penyakit Kusta Penc. & Pemb. Penyakit filariasis Penyehatan kesehatan lingkungan Pelayaan & pengendalian vector Pelayanan Hygiene sanitasi TTU Kesehatan lingkungan
Pendertia kusta yang selesai berobat (RFT Rate) Kasus filariasis yang ditangani
>90%
Institusi yang dibina
70%
Rumah/bangunan bebas jentik
>90%
Tempat umum yang memenuhi syarat
80%
Rumah sehat TTU sehat Keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih Cakupan kunjungan ibu hamil K4 Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan Cakupan ibu hamil resiko tinggi yang dirujuk Cakupan kunjungan neonatus Cakupan kunjungan bayi Cakupan bayi BBLR yang ditangani cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat cakupan pelayanan kesehatan remaja Cakupan peseerta KB aktif Desa/Kelurahan UCI Cakupan rawat jalan
80% 80% 85%
Pelayanan kesehatan ibu dan anak
Pelayanan kesehatan anak pra sekolah dan usia sekolah
Pelayanan KB Pelayanan Imunisasi Pelayanan pengobatan dan perawatan Pelayanan kesehatan jiwa Pemantauan pertumbuhan balita Pelayanan gizi
Cakupan rawat inap Pelayanan kesehatan jiwa di sarana kesehatan umum Balita yang naik berat badannya Balita bawah garis merah Cakupan balita mendapat kapsul Vit A 2 kali setahun
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
>90%
95% 90% 100% 90% 90% 100% 90% 100% 80% 70% 100% 15% 1,5% 15% 80% 5% 90%
91
91
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Program
Kegiatan
Cakupan ibu hamil mendapat 90 tabelt Fe Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi bawah garis merah Balita gizi buruk mendapat perawatan Cakupan WUS yang mendapat kapsul Yodium 31. Pelayanan obstetric dan Akses terhadap ketersediaan darah dan neonatal emergency dasar komponen yang aman untuk menangani dan komprehensif rujukan ibu hamil dan neonatus Ibu hamil resiko tinggi komplikasi ditangani Neonatus resiko tinggi/ komplikasi ditangani 32. Pelayanan gawat darurat Sarana kesehatan dengan kemampuan gawat darurat yang dapat diakses masyarakat 33. Pelayanan kesehatan kerja Cakupan pelayanan kesehatan pada pekerja formal 34. Pelayanan kesehatan pada Cakupan pelayanan kesehatan pada pra usia lanjut usia lanjut dan usia lanjut 35. Penyelenggaraan JPKM untuk Penyelenggaraan JPKM untuk masyarakat miskin dan masyarakat miskin dan rentan rentan JPKM pra bayar Sumber : DInas Kesehatan Kota Banjarmasin
4.
Indikator Kinerja 90% 100% 100% 80% 80% 80% 80% 90% 80% 70% 100% 80%
Provinsi Bali Standar Pelayanan Minimal adalah tolok ukur untuk mengukur kinerja daerah dalam penyelenggaraan kewenangan wajib, dimana berisi standar dengan batas-batas tertentu yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. DI Kota Denpasar Jumlah indikator yang ada sebanyak 27 Kewenangan wajib dengan 54 buah indikator jenis pelayanan. Adapun pencapaian dari masing-masing indikator tersebut seperti terlihat pada tabel di bawah ini : Tabel. 4.4 Hasil Standar Pelayanan Minimal di Kota Denpasar Tahun 2006 No 1.
92
Indikator Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi 1. Persentase Cakupan kunjungan Bumil (K4)
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Satuan
Target 2006
Realisasi
%
95
68,98
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Indikator
Satuan
Target 2006
Realisasi
%
100
77,31
%
100
100
%
90
79,60
%
80
66,24
%
100
100
%
75
59,04
%
75
26,63
%
60
18,24
%
80
82,74
%
100
100
a.
2.
3.
Persentase Cakupan Persalinan ditolong nakes b. Persentase Bumil Risti dirujuk c. Persentase cakupan kunjungan neonatus d. Persentase cakupan kunjungan bayi 2. Persentase cakupan BBLR yang ditangani Pelayanan Kesehatan Anak Prasekolah a Persentase cakupan deteksi tumbuh kembang anak balita dan prasekolah b Persentase cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan/tenaga terlatih (guru UKS atau dokter kecil) c Persentase cakupan yankes remaja Pelayanan Keluarga Berencana a
4.
a 5.
6.
7.
8.
9.
Persentase cakupan peserta KB aktif
Pelayanan Imunisasi Persentase Desa/Keluraha UCI
Pelayanan Pengobatan/Perawatan a
Persentase cakupan rawat jalan
%
20
39,05
b
Persentase cakupan rawat inap
%
10
0,08
Pelayanan Kesehatan Jiwa a Pelayanan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan umum Pemantauan Pertumbuhan Balita a Persentase Balita yang naik berat badannya b Persentase Balita bawah garis merah
%
3
-
%
70
61,07
%
< 15
<1
Pelayanan Gizi a Persentase cakupan balita mendapat % 90 Vit.A 2 kali per tahun b Persentase cakupan ibu hamil % 80 mendapat 90 tablet Fe c Persentase cakupan pemberian mkn % 100 pendamping ASI bayi BGM dari Gakin d Persentase Balita Gizi buruk % 100 mendapat perawatan Pelayanan Obstetrik & Neonatal Emergency Dasar & Komperhensif a Persentase akses tersedianya darah dan komponen yang aman untuk % 75 menangani rujukan bumil dan neonatus b Persentase bumil risti/komplikasi yang % 75
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
100 68,68 10,53
60 100
93
93
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Indikator
Satuan
Target 2006
Realisasi
ditangani c 10
11
12
13
Persentase Neonatal resiko % tinggi/komplikasi yang ditangani Pelayanan Gawat Darurat a Persentase sarana kesehatan dg. Kemampuan yan gawat darurat yg dpt % diakses masyarakat Penyelenggaraan penyelidikan epid & penangg. KLB & Gizi Buruk a Persentase Desa/Kelurahan KLB yg % ditangani <24 jam b Persentase kecamatan bebas rawan % gizi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Polio a Persentase AFP rate per 100.000 % penduduk <15 th Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru a
14
15
16
100
>1
5,69
> 85
75,92
90
100
100
100
100
100
%
75
100
%
75
100
%
-
-
%
> 95
81,53
%
85
-
%
70
75,17
%
70
21,29
%
75
69,05
%
25
24,37
%
Persentase penderita DBD ditangani Persentase Balita Diare ditangani Persentase institusi yg dibina kesling Persentase ABJ Persentase TTU memenuhi syarat
Penyuluhan perilaku Sehat
c d
94
80
Pelayanan Hygiene Sanitasi Tempat Umum
a b
22
100
Pelayanan pengendalian vektor
a 21
100
Pelayanan Kesehatan Lingkungan
a 20
30,95
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare
a 19
100
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD
a 18
100
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA a Persentase Cakupan Balita dg % Pneumonia ditangani Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS a Persentase klien mendapat pelayanan % HIV-AIDS b Persentase IMS diobati % a
17
Persentase kesembuhan TB - BTA (+)
75
Persentase RT sehat Persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif Persentase desa dengan garam beryodium baik Persentase Posyandu Purnama
Penyuluhan P3 NAPZA berbasis masyarakat
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Indikator
Satuan
Target 2006
Realisasi
5
2,40
100
65
a 23
Persentase upaya penyuluhan P3 % Napza oleh petugas kes. Pelayanan penyediaan obat dan perbekalan kesehatan a Persentase ketersediaan obat sesuai % kebutuhan b Persentase Pengadaan obat essential % c
24
Persentase Pengadaan obat generik
72
100
80
%
90
96,04
60
46,53
Pelayanan Penggunaan obat generik a. Persentase penulisan resep obat generik
25
100
%
Penyelenggaraan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan perorangan a
Persentase cakupan JPKM pra bayar
%
26
Penyelenggaraan Pembiayaan untuk Gakin dan masyarakat rentan a Persentase Cakupan JPK Gakin dan % 100 masyarakat rentan 27 Jenis yan. yg dilaksanakan sesuai kebutuhan (utk daerah tertentu) 1. Persentase cakupan yankes kerja pd % 40 bekerja formal 2. Persentase cakupan yankes pra & % usila 3. Persentase cakupan WUS yang % 65 mendapat yodium kapsul 4. Persentase Darah donor diskrining % 100 terhdp HIV-AIDS 5. Persentase penderita malaria yang % 100 diobati 6. Persentase RFT Rate % > 90 7. Persentase kasus Filaria yang % ≥ 50 ditangani Sumber : Dinas Kesehatan Kota Denpasar
100
61,67 94,20 100 50 -
Dari 27 Kewenangan Wajib dan 54 buah indikator jenis pelayanan tersebut yang belum ada laporan sebanyak 7 buah indikator (12,96%). Dari 7 buah indikator tersebut, 5 buah indikator yang meliputi pelayanan gangguan jiwa pada sarana pelayanan kesehatan umum, cakupan pemberian makanan pendamping ASI bayi BGM dari gakin, cakupan institusi yang dibina kesling, cakupan TTU yang memenuhi syarat kesehatan dan cakupan pelayanan kesehatan kerja pada pekerja formal tidak ada laporan pada Subdin/seksi yang bersangkutan. Sedangkan 2 indikator lagi yaitu cakupan WUS yang mendapat yodium kapsul dan cakupan kasus filaria yang ditangani datanya tidak ada karena tidak ada program pemberian iodium kapsul pada WUS serta sampai saat ini belum ada kasus filaria yang dilaporkan di Kota Denpasar. Indikator yang belum memenuhi target sampai tahun 2006 sebanyak 19 buah indikator (35,18%). Berdasarkan target yang telah ditetapkan pada
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
95
95
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
masing-masing indikator diharapkan indikator yang belum ada laporan dan belum memenuhi target agar pada tahun-tahun berikutnya bisa tercapai dan lebih ditingkatkan. Pembangunan kesehatan di Kota Denpasar sudah terlaksana dengan baik meskipun ada beberapa keterbatasan dan kekurangan dalam pelaksanaannya. Hasil evaluasi pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa Tingkat pencapaian program kesehatan di Kota Denpasar sebagian besar (64,82%) sudah sesuai target yang ditetapkan, namun masih ada 35,18% yang berada di bawah target. Dalam memenuhi kesesuaian dengan departemen sektor Kota Bali telah melakukan sebagian besar dari yang telah ditetapkan namun belum semua indikator dapat diisi datanya, seperti pelayanan gangguan jiwa pada sarana pelayanan kesehatan umum, cakupan pemberian makanan pendamping ASI bayi BGM dari gakin, cakupan institusi yang dibina kesling, cakupan TTU yang memenuhi syarat kesehatan dan cakupan pelayanan kesehatan kerja pada pekerja formal, cakupan WUS yang mendapat iodium kapsul dan cakupan kasus filaria yang ditangani. Sementara itu penyelenggaraan program pembangunan kesehatan di Kabupaten Jembrana telah dilaksanakan berdasarkan Visi, Misi dan Strategi yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu diharapkan juga berdampak pada pembangunan secara sektoral. Adapun dampak yang ditimbulkan oleh pelaksanaan program kesehatan adalah meningkatnya derajat kesehatan yang ditunjukkan dari tercapainya indikator derajat kesehatan dari target Bali Sehat yang hendak dicapai pada tahun 2010, antara lain : 1. 2.
3. 4.
5.
96
Angka Kematian Bayi ( AKB ), sebesar 14,25 / 1.000 KH pada tahun 2006 mengalami peningkatan 38,35 % dibandingkan Angka Kematian Bayi tahun 2005 sebesar 10,30 / 1.000 KH. Angka Kematian Balita ( AKABA ), sebesar 2,54 / 1.000 KH pada tahun 2006. Ini menunjukkan bahwa Angka Kematian Balita dapat ditekan sebesar 80,42 % bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 13,38 / 1.000 KH. Angka Kematian Ibu ( AKI ), sebesar 50,88 / 100.000 KH pada tahun 2006 mengalami penurunan sebesar 60,47 % bila dibandingkan dengan Angka Kematian Ibu pada tahun 2005 sebesar 128,70 / 100.000. Prevalensi Kekurangan Energi Balita pada tahun 2006 sebesar 4,83 % mengalami peningkatan sebesar 20,99 % bila dibandingkan prevalensi KEP Balita pada tahun 2005 sebesar 3,62 %. Sedangkan status gizi buruk balita pada tahun 2006 sebesar 0,48 % mengalami peningkatan sebesar 26,00 % menjadi 0,35 % dari capaian status Gizi Buruk pada tahun 2005. Angka Harapan Hidup ( AHH ) dari 70 tahun pada tahun 2001 menjadi 71,45 tahun pada Tahun 2006.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Untuk menindak lanjuti hasil yang telah dicapai selama periode tahun 2006, perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih intensif, antara lain : Perlunya upaya meningkatkan kualitas pendataan dari masing-masing bidang untuk mendukung penyajian informasi kesehatan yang akurat. Perlu dilakukan koordinasi yang lebih baik diantara Satuan Kerja Pemerintah Daerah dan Lintas Sektor dengan jajaran kesehatan, khususnya bidang-bidang di lingkup Dinas Kesehatan dan Kesos Kabupaten Jembrana, dalam rangka efisiensi dan efektivitas managemen organisasi pelayanan kesehatan untuk meningkatkan sistem evaluasi dan monitoring. Perlu digalakkan upaya meningkatkan dan memasyarakatkan pelayanan kesehatan yang lebih bersifat pencegahan dalam rangka pencapaian Paradigma Sehat. Selain itu Kabupaten Jembrana perlunya peningkatan Sumber Daya Manusia dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan. Adanya advokasi yang lebih intensif dalam upaya memperoleh dana yang lebih memadai untuk kegiatan-kegiatan baru yang bersifat mendesak. Selain adanya upaya yang lebih kreatif untuk meningkatkan dan memantapkan kualitas pelayanan baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit melalui program swadana. Berdasarkan data yang ada di Kabupaten Jembrana terdapat dalam profil pendidikan dan kajian terhadap hasil indikator pendidikan seperti pemerataan, peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi internal pendidikan, maka dapat dilihat bahwa : a.
Dipandang dari segi pemerataan Pemerataan yang dimaksud diukur dengan beberapa indikator yaitu APK, APM, perbandingan antar jenjang, rasio pendidikan, angka melanjutkan, tingkat pelayanan sekolah. Berdasarkan APK, maka angka yang tertinggi adalah pada jenjang SD/MI , dilanjutkan dengan jenjang SLTP dan jenjang SM pemerataannya yang paling rendah. Rendahnya pemerataan ini adalah akibat dari factor ekonomi. Bila pemerataan dilihat menurut jender di tingkat SD dan SLTP, maka pada jenjang SLTP tidak terlihat perbedaan jender, sedangkan dari segi kota dan desa, pada jenjang SLTP tidak terlihat perbedaan antara kota dan desa. Sesuai dengan besarnya APK, maka besarnya APM juga mengikuti yaitu makin tinggi jenjang pendidikan makin rendah nilai APMnya yaitu APM, APM SLTP, APM SLTA. Bila dilihat perbandingan antar jenjang, maka masih terjadi ketimpangan antara sekolah tingkat SD dengan tingkat SLTP apalagi untuk tingkat SM. Bila tingkat SLTP harus sama dengan SD maka diperlukan tambahan sekolah. Indikator tentang angka melanjutkan menunjukkan angka yang lebih besar pada jenjang SLTP. Tingkat pelayanan sekolah yang paling tinggi terdapat di jenjang sekolah SD.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
97
97
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
b. Dipandang dari segi peningkatan mutu Peningkatan mutu dimaksud diukur dengan berbagai indikator yaitu persentase lulusan TK/RA/BA, angka mengulang, angka putus sekolah, angka lulusan, angka kelayakan guru mengajar, persentase kondisi ruang kelas, persentase fasilitas sekolah, angka partisipasi dari biaya, dan satuan biaya sekolah. Khusus untuk SLTP dan SMU ditambah dengan indikator kesesuaian guru mengajar menurut bidang studi. Siswa baru SD dan MI yang berasal dari TK/RA/BA . Angka mengulang yang terbesar terdapat pada tingkat SD yaitu 3,25, sedangkan angka putus sekolah yang terbesar terdapat pada tingkat SMK yaitu 2,21 dan angka lulusan yang terendah terdapat pada tingkat SM . Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat SM perlu ditangani lebih lanjut karena memiliki nilai yang negatif yang berarti mutunya kurang dibandingkan dengan jenjang lainnya. Indikator kelayakan mengajar guru, ternyata di tingkat SD guru yang layak mengajar paling besar yaitu sebesar 97,08 persen dan yang paling rendah pada tingkat MTS sebesar 0 pesrsen yaitu Kondisi ruang kelas terbaik terdapat pada tingkat SMP dan sebaliknya yang kondisinya rusak berat terbanyak terdapat pada tingkat SD Dari fasilitas sekolah yang ada, masih ada sekolah yang belum memiliki perpustakaan yaitu di tingkat SD/MI Demikian juga dengan lapangan olahraga dan ruang UKS, masih ada beberapa sekolah yang belum memiliki yaitu di tingkat SD, SMP dan SM. Laboratorium yang harus dimiliki oleh semua SMU dan MA, pada kenyataannya masih ada sekolah yang belum memiliki 4 sekolah. Hal yang sama terjadi pada ruang keterampilan 9 sekolah pada jenjang, bimbingan penyuluhan pada tingkat Pembinaan dan Himbauan, ruang serba guna yang dimiliki hanya pada sekolah Negeri , bengkel yang harus dimiliki semua SMK ternyata hanya 2 sekolah, dan ruang praktik hanya sebesar 5 sekolah pada tingkat SM. Pada kenyataannya, angka partisipasi dari segi biaya lebih banyak dari pemerintah daerah pada tingkat SD, jika dibandingkan dengan orang tua atau pemerintah pusat. Pada tingkat SLTPdan SM. c.
Dipandang dari segi relevansi Relevansi di SD, ternyata muatan lokal yang paling relevan dengan sektor mata pencaharian adalah Menganyam dengan mata pelajaran yang dikembangkan adalah mejejahitan. Relevansi di SMU ditunjukkan dengan penjurusan yang dilakukan, ternyata SMU telah menggunakan gabungan antara prestasi dan minat. Kelompok SMK yang paling relevan dengan sektor lapangan kerja adalah Managemen Bisnis .
98
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
d.
Dipandang dari segi efisiensi internal Efisiensi internal diukur dari jumlah keluaran, tahun-siswa, putus sekolah, mengulang, lama belajar, tahun-siswa terbuang, tahun masukan per lulusan, dan rasio keluaran/masukan. Berdasarkan jumlah keluaran, ternyata yang paling tinggi adalah SMK dan paling rendah adalah SMU . Dari tahun-siswa yang paling tinggi pada tingkat SLTP dan paling rendah pada tingkat MTs. Jumlah putus sekolah dan mengulang yang seharusnya 0 yang berarti sangat efisien, ternyata yang paling mendekati adalah tingkat SMK untuk putus sekolah dan tingka SLTP untuk mengulang. Bila dilihat dari lama belajar lulusan, maka tingkat SLTP memiliki lama belajar yang paling tidak efisien yaitu SD, sedangkan lama belajar putus sekolah adalah untuk tingkat MA dan lama belajar kohort adalah SLTP. Dalam kaitan dengan tahun-siswa terbuang, ternyata yang terbesar ada pada tingkat SLTP dan terendah pada tingkat SMU. Bila dikaitkan dengan satuan biaya per sekolah, maka jenis sekolah SLTP yang paling boros biayanya, sedangkan yang paling tidak boros adalah SD .
Berdasarkan tinjauan atas kesesuaian indikator dengan capaiannya itu maka dilihat beberapa masukan yang dapat menjadi perbaikan SPM berikutnya adalah sebagai berikut: a b
c
d e f
g
Rendahnya APK, terlebih APM, untuk itu diperlukan penanganan khusus sehingga APK dan APM tingkat SM dapat ditingkatkan Perbedaan jender masih terasa pada tingkat SLTP, hal ini terlihat dari rendahnya APK perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki, untuk itu diperlukan penanganan khusus sehingga siswa perempuan yang bersekolah di tingkat SLTP dapat ditingkatkan, misalnya dengan memberikan beasiswa. Perbandingan antarjenjang pendidikan terlihat sangat mencolok, terlebih antara tingkat SD dengan tingkat SM, untuk itu perlu dipikirkan apakah sekolah tingkat SD dapat ditingkatkan menjadi SLTP atau menambah SLTP dan SM. Angka melanjutkan masih rendah, lebih-lebih pada tingkat SM, untuk itu perlu penanganan khusus misalnya dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya bersekolah. Perlu didirikan Taman Kanak-kanak yang lebih banyak sehingga akan meningkatkan mutu tingkat SD. Angka mengulang dan putus sekolah di tingkat SD perlu diturunkan yaitu dengan cara kebijakan pemerintah dengan memberikan beasiswa, atau bimbingan dan penyuluhan kepada setiap siswa oleh sekolah yang bersangkutan. Perlu ditingkatkan kemampuan guru dalam mengajar sehingga diharapkan setiap tingkat memiliki guru yang layak mengajar, untuk itu perlu
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
99
99
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
h
i j k l m
5.
dipikirkan penyesuaian ijazah yang dapat meningkatkan mutu guru tetapi tidak perlu mengganggu jadwal mengajarnya. Perlu dilakukan rehabilitasi bagi ruang kelas yang rusak berat. .Oleh karena perpustakaan merupakan suatu keharusan yang dimiliki oleh sekolah, maka perlu dibangun perpustakaan tingkat SD, tingkat SLTP, dan tingkat SM. Perlu dipikirkan bagaimana cara meningkatkan partisipasi pemerintah daerah dalam pembiayaan sekolah dari tingkat SD sampai SM sehingga mengurangi ketergantungan dari pemerintah pusat. Kurikulum muatan lokal hendaknya disesuaikan dengan kondisi daerah sehingga apa yang diajarkan dalam mata pelajaran muatan lokal dapat diaplikasikan di daerah masing-masing. Perlu dilakukan penjurusan di SMU menggunakan prosedur gabungan antara prestasi dengan minat sehingga akan dihasilkan lulusan yang bermutu. Perlu dikaji ulang kelompok SMK di daerah sehingga lulusannya dapat tertampung di daerah yang bersangkutan dan mengurangi migrasi. Agar tidak terjadi pemborosan biaya yang sangat besar pada tingkat SLTP , maka pada setiap jenis sekolah agar diupayakan untuk mengurangi siswa yang putus sekolah dan mengulang (lihat butir 6) untuk semua jenis sekolah.
Provinsi Nusa Tenggara Timur Strategi penerapan SPM Kota Kupang tidak jauh berbeda dengan daerahdaerah lainnya, yakni dituangkan dalam dokumen perencanaan seperti Rencara Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis (Renstra). Di dalam RPJMD Kota Kupang disebutkan arah kebijakan dan program penyelenggaraan pelayanan pendidikan: Tabel. 4.5 Arah kebijakan dan Program Penyelenggaraan Pelayanan Pendidikan Kota Kupang Sub fungsi
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Wajib Relajar Pendidikan Dasar 9
100
Arah kebijakan
Program
Untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga masyarakat usia 0-6 tahun untuk pengembangan bakat dan pembinaan mental
Diarahkan pada pemenuhan hak dasar pelayanan pendidikan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
pendidikan anak usia dini peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini fasilitasi sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini. wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Sub fungsi
Arah kebijakan
Tahun
Pendidikan Menengah
Pendidikan Non Formal
Program
melalui peningkatan kualitas pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan
Diarahkan pada upaya penyediaan sumber daya manusia yang handal melalui peningkatan kualitas pendidikan menengah Diarahkan pada upaya peningkatan kemampuan dan keterampilan tenaga verja melalui pengembangan modelmodel pendidikan non formal yang aplikatif
Pemuda dan Olah raga
Diarahkan pada upaya pengembangan potensi pemuda sehingga mampu berperan aktif dalam setiap aspek pembangunan
fasilitasi sarana dan prasarana manajemen pelayanan pendidikan pendidikan menengah fasilitasi sarana dan prasarana manajemen pelayanan pendidikan pendidikan non formal pendidikan luar biasa peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan pengembangan budaza baca dan pembinaan perpustakaan manajemen pelayanan pendidikan peningkatan peran serta pemuda pembinaan dan pemasyarakatan olehraga peningkatan sarana dan prasarana olahraga.
Sumber: RPJMD Kota Kupang, 2007-2012
Sementara itu, dalam Renstra Dinas Kesehatan Kota Kupang disebutkan visinya: “Kota Kupang Sehat 2010”, dengan menerapkan program sebagai berikut : Tabel. 4.6 Strategi Penerapan SPM Bidang Kesehatan Kota Kupang No.
Program
Tujuan
1
Program Sumberdaya Kesehatan
2
Program manajemen kesehatan
Untuk meningkatkan jumlah dan mutu sarana, prasarana dan peralatan kesehatan serta meningkatkan mutu dan jumlah tenaga kesehatan. Untuk meningkatkan mtu manajemen kesehata (administrative dan teknis medis) dan tersusunnya produk hkum dalam mendukung peningkatan utu pelayanan kesehatan (perda retribusi, perda perijinan, perda struktur organisasi, dll) serta terselenggaranya system informasi enajemen pembangunan kesehatan terpadu dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
kebijakan dan Pembangunasn
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
101
101
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Program
3
Program Lingkungan Sehat, perilaku dan pemberdayaan masyarakat
4
Program Perbaikan Gizi Masyarakat Program Upaya Kesehatan
5
Tujuan Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan kemauan dankemampuan hidup sehat baik individu, keluarga dan masyarakat serta meningkatkan pengembangan potensi swadaya masyarakat termasuk swasta dalam bentuk jaringan kerja yang dinamis untuk mengoptialkan lingkungan yang bebas dari resiko penyakit yang erasis lingkungan Untuk meningkatkan status gizi masyarakat
Untuk meningkatkan keampuan unit kerja kesehatan Kota Kupang dan Puskesmas dan perangkatnya dalam memberikan pelayanan Kesehatan baik Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif, serta menurunkan agka kesakitan dan kematian penyakit menular, ibu, balita, remaja dan usila. 6 Program Obat, Makanan dan Untuk terjaminnya mutu dan kasiat obat dan alat Bahan Berbahaya kesehatan serta makanan dan minuman, kosmetika yang sesuai dengan syarat kesehatan dan terlindunginya masyarakat dari bahaya penyalahgunaan napza dan bahan berbahaya lainnya. Sumber: Renstra Dinas Kesehatan-Kota Kupang, 2007-2012.
6.
Provinsi Maluku Utara Pembangunan kesehatan di Kota Ternate merupakan bagian integral dari pembangunan kesehatan nasional. Sejalan dengan hal tersebut, Kota Ternate telah menetapkan visi yaitu masyarakat yang mandiri untuk terwujudnya Kota Ternate Sehat 2010 menuju masyarakat madani. Visi tersebut merupakan gambaran ideal masa depan pembangunan kesehatan yang ingin dicapai, yaitu “pada tahun 2010 keadaan masyarakat Kota Ternate menyadari, mau dan mampu untuk mengenali, mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit, termasuk gangguan kesehatan, bencana maupun lingkungan dan perilaku yang tidak mendukung untuk hidup sehat. Untuk itu telah ditetapkan beberapa program guna mendukung terwujudnya visi tersebut, sebagai berikut : a)
Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Aparatur (1) Pelatihan ASI Eksklusif Indikator : jumlah petugas Puskesmas dan Rumah Sakit yang ikut pelatihan 25 orang. Rencana Tingkat Capaian : Peningkatan pemahaman tentang pemberian ASI eksklusif 80%.
102
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Terlaksananya kegiatan pelatihan ASI Eksklusif 80%. (2) Pendidikan D3 Kebidanan Indikator : Terselenggaranya pendidikan kebidanan Kota Ternate semester 2. Rencana Tingkat Capaian : Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kebidanan 100%.. b) Peningkatan Kemampuan Aparatur (1) Peningkatan Kinerja Kader Posyandu Indikator : jumlah kader Posyandu 60%. Rencana Tingkat Capaian : Meningkatkan kinerja Kader Posyandu 70%. Bertambahnya keterampilan kader Posyandu 60%. c)
Obat dan Perbekalan (1) Pengadaan Obat-obatan Indikator : tersedianya obat-obatan pada Puskesmas yang ada di wilayah Kota Ternate. Rencana Tingkat Capaian : Terlayaninya kebutuhan obat-obatan di Puskesmas 80%.
d) Upaya Kesehatan Masyarakat (1) Perbaikan gizi masyarakat (pelacakan dan pemantauan status gizi buruk) indikator : Terdatanya balita berdasarkan status gizi di 23 kelurahan Rencana Tingkat Capaian : Adanya data status gizi balita yang akurat secara berkala 80%. Terpantaunya status gizi balita 80%. (2) Sosialisasi program jaminan kesehatan masyarakat indikator : jumlah peserta 162 pengelola program JPKM dan stakeholder. Rencana Tingkat Capaian : Terselenggaranya kegiatan sosialisasi program jaminan kesehatan masyarakat 100%. Tersusunnya konsep pengembangan program jaminan kesehatan masyarakat 100%. (3) Pembentukan desa siaga Indikator : Jumlah peserta pelatihan desa siaga 52 orang peserta. Rencana Tingkat Capaian : Meningkatnya pengetahuan komponen masyarakat 100%.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
103
103
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
-
Meningkatnya partisipasi aktif dan pemberdayaan masyarakat 100%. (4) Workshop program JPKM Indikator : Jumlah pengelola JPKM 70 peserta. Rencana Tingkat Capaian : Terselenggaranya kegiatan workshop JPKM 100%. Tersusunnya konsep pengembangan JPKM 100%. e) Pengawasan Obat dan Makanan (1) Pengelolaan peningkatan obat Puskesmas Indikator : Jumlah pengelola obat yang dilatih 15 orang. Rencana Tingkat Capaian : Peningkatan pengetahuan pengelola obat 80%. Peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat 80%. (2) Pelatihan keamanan pangan industri rumah tangga Indikator : Jumlah pelaku industri rumah tangga yang dilatih 25 peserta. Rencana Tingkat Capaian : Peningkatan pengetahuan pelaku rumah tangga 80%. Masyarakat terlindung dari penggunaan bahan tambahan pangan 80%. f)
Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat (1) Pengembangan media promosi budaya sehat masyarakat Indikator : Penyediaan media promosi budaya sehat Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya media informasi budaya sehat 80%. Masyarakat mengetahui informasi budaya sehat 80%.
g)
Perbaikan Gizi Masyarakat (1) Pemberian makanan tambahan penderita TB Paru Indikator : Jumlah PMT TB Paru 140 penderita. Rencana Tingkat Capaian : Terlaksananya PMT penderita TB Paru 80%. Menambahnya asupan gizi bagi penderita TB Paru 80%. (2) Penanggulangan gangguan akibat kekurangan yodium Indikator : Jumlah Ibu hamil 3.637, ibu nifas 3.367, balita 16.317 dan anak sekolah (SD) 18.605. Rencana Tingkat Capaian : Peningkatan upaya GAKY 80%.
104
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Menurunnya prevalensi GAKY 70%. (3) PMT Balita, Bumil dan Ibu menyusui Indikator : Jumlah PMT ibu hamil KEK 21 orang, balita gizi buruk 75 orang, bayi gizi buruk 15. Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya makanan tambahan bagi ibu hamil, ibu menyusui dan balita gizi buruk 80%. Tertanganinya masalah gizi pada ibu hamil, ibu menyusui dan balita 80%. h) Pemberantasan Penyakit Menular (1) Pemberantasan larva lalat Indikator : Pemberantasan larva lalat di 2 kelurahan (Takome dan Sulamadaha) Rencana Tingkat Capaian : Mengurangi tingkat kepadatan lalat 80%. (2) Pencegahan penularan penyakit malaria Indikator : Pemberantasan penyakit malaria pada daerah endemis 1400 rumah (4 kecamatan). Rencana Tingkat Capaian : Menurunkan kasus pendeita dan kematian akibat malaria 80% Diagnosa dan pengobatan penderita secara tepat, benar dan teratur. (3) Pemberantasan Penyakit Kusta Indikator : Jumlah penderita kusta 150 orang. Rencana Tingkat Capaian : Penemuan dan pengobatan penderita penyakit kusta 80%. Menurunkan angka kesakitan dan cacat akibat kusta 80%. (4) Penyemprotan/Fooging Sarang Nyamuk Indikator : Wilayah endemik DBD 20 kelurahan di Kecamatan Kota Ternate selatan dan Utara. Rencana Tingkat Capaian : Memutuskan mata rantai penularan penyakit 80%. Menurunkan kasus penderita dan kematian akibat demam berdarah 80%. (5) Pemberantasan penyakit TBC Indikator : Jumlah penderita TBC 215 orang. Rencana Tingkat Capaian : Penurunan prosentase penderita penyakit TBC 100%.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
105
105
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
i)
Peningkatan Pelayanan Kesehatan Anak Balita (1) Peningkatan imunisasi Indikator : Jumlah bayi/balita 3.752, ibu hamil 4.077, anak sekolah 9.248. Rencana Tingkat Capaian : Meningkatkan kekebalan 80% pada bayi, ibu hamil, balita dan anak sekolah. (2) Pelatihan deteksi tumbuh kembang balita dan anak Indikator : Jumlah peserta 21 orang yang mengikuti pelatihan. Rencana Tingkat Capaian : Terdeteksinya balita dan kelainan tumbuh kembang 80%. Tertanganinya balita dengan kelainan tumbuh kembang 80%. (3) Pelatihan MTBS Indikator : Jumlah peserta pelatihan 14 orang Rencana Tingkat Capaian : Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan bidan dalam menentukan klarifikasi pada bayi dan balita 80%. Terselenggaranya MTBS sesuai dengan standar 80%. (4) Pertemuan AMP Indikator : Jumlah 9 bidang koordinator yang mengikuti pertemuan Rencana Tingkat Capaian : Terselenggaranya kasus obstetri dan neunatal bidan dalam penangannya 80%. Tertanganinya kasus komplikasi kehamilan dan persalinan 80%.
j)
Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja (1) Penyusunan LAKIP Dinas Kesehatan Kota Ternate 2007 Indikator : Tersusunnya buku LAKIP Dinas Kesehatan Rencana Tingkat Capaian : Terlaksananya penyusunan LAKIP tahun 2007. Tersedianya dokumen LAKIP tahun 2007. (2) Pertemuan evaluasi program Indikator : Terlaksananya pertemuan evaluasi program Dinas Kesehatan. Rencana Tingkat Capaian : Terevaluasinya program Dinas Kesehatan dalam 1 tahun. (3) Penyusunan Profil Dinas Kesehatan Kota Ternate Indikator : Tersusunnya buku profil Dinas Kesehatan tahun 2007 Rencana Tingkat Capaian :
106
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
k)
Terbentuknya profil Dinas Kesehatan tahun 2007.
Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur (1) Pengadaan Meubelair Indikator : Jumlah meubelair Kantor Dinas Kesehatan Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya meubelair kantor Dinas Kesehatan Terpenuhinya meubelair. (2) Pengadaan software Aplikasi Akuntansi Indikator : Terpenuhinya software aplikasi akuntansi. Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya software aplikasi akuntansi. (3) Pemeliharaan rutin/berkala kendaraan dinas untuk 7 PKM dan RS Sorofo Indikator : Perlengkapan kandor kendaraan dinas Rencana tingkat Capaian : Terawatnya kendaraan dinas operasional.
l)
Program Peningkatan Perbaikan Sarana dan Prasarana Puskesmas, Pustu dan Jaringannya (1) Pengadaan promosi kesehatan Kit Indikator : Pengadaan promosi kesehatan Kit Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan (2) Pengadaan peralatan Poskesdes Kit Indikator : Jumlah 3 Poskesdes peralatan Poskesdes Kit Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan. (3) Rehabilitasi Mobil Indikator : Rehabilitasi Puskesmas keliling roda 4 (3 unit). Rencana Tingkat Capaian : Terlaksananya pelayanan kesehatan yang optimal. (4) Pengadaan Mobil Puskesmas Indikator : Pengadaan mobil Puskesmas Keliling roda 4 (1 unit). Rencana Tingkat Capaian : Terlaksananya pelayanan kesehatan yang optimal.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
107
107
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
(5) Pengadaan peralatan Pustu Set Indikator : Pengadaan Peralatan Pustu Set untuk 3 Pustu. Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan. (6) Pengadaan peralatan Puskesmas Kit Indikator : Alat Puskesmas perawatan kit ( 1 set). Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan. (7) Pengadaan paramound bed Indikator : Jumlah paramound bed 9 unit. Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan. (8) Pengadaan alat laboratorium Indikator : Jumlah pengadaan alat laboratorium untuk 7 Puskesmas. Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan. (9) Pengadaan peralatan gigi dan mulut Indikator : Pengadaan peralatan gigi dan mulut. Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan. (10) Pengadaan peralatan Polindes Kit Indikator : Jumlah Polindes Kit 1 unit untuk 7 Polindes Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan. Terlaksananya pelayanan kesehatan yang optimal. (11) Pembangunan Puskesmas Pembantu (Pustu) Indikator : Pembangunan Pustu Bostiong 1 unit 110 m2 Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan. (12) Pembangunan Polindes Indikator : Pembangunan Polindes Ubo-Ubo 1 unit 70 m2 Pembangunan Polindes Tobololo 1 unit 70 m2 Pembangunan Polindes Bula 1 unit 70 m2 Pembangunan Polindes Tadenas 1 unit 70 m2 Pembangunan Polindes Jan/Kastela 1 unit 70 m2
108
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Pembangunan Polindes Toboko/moya 1 unit 70 m2 Rencana Tingkat Capaian : Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan. Sementara untuk Kota Tidore Kepulauan, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar manusia, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 Ayat (1) dan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang antara lain diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM). Dalam pengukuran IPM ini, kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan. Permasalahan kesehatan di Kota Tidore Kepulauan dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1.
2.
3.
Minimnya sarana dan prasarana kesehatan. Fasilitas kesehatan di Kota Tidore Kepulauan saat ini terdiri dari 1 buah Rumah Sakit Umum Daerah, 1 buah Puskesmas Perawatan dan 4 buah Puskesmas non Perawatan, 28 Puskesmas Pembangu, Polindes non Permanen sebanyak 17 buah, Polindes permanen sebanyak 4 buah, Posyandu Balita sebanyak 112 buah dan Posyandu Usila 19 buah. Jumlah sarana dan prasarana serta ketersediaan tenaga kesehatan belum diimbangi dengan peningkatan pelayanan kesehatan dan ketersediaan obat-obatan murah yang dapat dijangkau masyarakat. Terbatasnya Tenaga Medis dan Paramedis. Jumlah tenaga medis dan paramedis di Kota Tidore Kepulauan, pada tahun 2004 adalah terdiri dari 5 orang dokter spesialis, dokter umum PNS sebanyak 11 orang, dokter umum PTT sebanyak 3 orang, dokter gigi sebanyak 3 orang, Sarjana farmasi/ Apoteker sebanyak 5 orang, Sarjana Kesehatan Masyarakat sebanyak 10 orang. Perawat sebanyak 104 orang. Hal ini dari segi rasio jumlah penduduk sangat jauh dari harapan tercapainya pelayanan kesehatan berkualitas. Belum menjangkaunya pelayanan kesehatan. Rendahnya pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa indikator seperti proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, proporsi bayi mendapatkan imunisasi BCG DPT dan Polio III serta campak. Rendahnya pelayanan kesehatan ini berpengaruh terhadap upaya peningkatan status kesehatan penduduk. Disamping pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan satu hal yang sangat penting adalah rendahnya kondisi kesehatan lingkungan masyarakat maupun kesadaran berperilaku bersih dan sehat.
Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Tidore Kepulauan untuk meminimalkan kesenjangan dalam pelayanan kesehatan kepada
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
109
109
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
masyarakat adalah dengan program-program pembangunan yang diarahkan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. a.
Program Penyuluhan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Program ini ditujukan membangun jalinan kemitraan dan peran serta keluarga dan masyarakat agar mampu menumbuhkan perilaku hidup sehat dan mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat. Kegiatan yang dilakukan dalam program ini mencakup 1) pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi informasi dan edukasi (EKI), 2) pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat (seperti posyandu, pondok bersalin desa, usaha kesehatan sekolah) dan generasi muda, serta peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
b.
Program Penyehatan Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat Program ini ditujukan untuk 1) meningkatnya jumlah, pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan melalui Puskesmas dan jaringannya meliputi Puskesmas Pembangu, Puskesmas Keliling dan Bidan Desa, 2) meningkatnya akses masyarakat terhadap air bersih, 3) menurunnya faktor resiko lingkungan penyebab penyakit dan gangguan kesehatan, 4) meningkatkan cakupan wilayah sehat serta 5) mewujudkan mutu lingkungan hidup yang lebih sehat. Adapun kegiatan yang akan dilakukan melalui program ini mencakup : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
8) c.
Penyediaan sarana dan prasarana air bersih dan sanitasi dasar. Pemeliharaan/pengawasan kualitas lingkungan Pengendalian admpak resiko pencemaran lingkungan Pelayanan kesehatan penduduk miskin di pusat-pusat pelayanan kesehatan dan jaringan di bawahnya Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana Puskesmas dan jaringan di bawahnya Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obatobatan generik esensial Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup sekurangkurangnya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkngan, pemberantasan penyakit menular dan pengobatan dasar. Peningkatan biaya operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana kesehatan
Program Peningkatan Pelayanan dan Aksestabilitas Fasilitas Kesehatan Program ini ditujukan untuk meningkatkan akses, keterjangkauan dan kualitas pelayanan di rumah sakit. Kegiatan yang dilakukan dalam program ini mencakup :
110
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
1) Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan 2) Pembangunan sarana dan prasarana rumah sakit maupun puskesmas di daerah terpencil 3) Perbaikan sarana dan prasarana Puskesmas dan jaringan nya 4) Pengadaan peralatan dan perbekalan rumah sakit maupun puskesmas 5) Peningkatan biaya pemeliharaan dan operasional fasilitas kesehatan 6) Peningkatan peran serta swasta dan masyarakat dalam penyediaan dan pengembangan fasilitas kesehatan d.
Program Pengembagnan Sumber Daya Kesehatan Program ini ditujukan pada peningkatan jumlah, mutu serta penyebaran tenaga kesehatan, meningkatkan standar profesi tenaga kesehatan serta meningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan biaya kesehatan. Kegiatan yang dilaksanakan dalam program ini mencakup hal-hal sebagai berikut : 1) Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan 2) Peningkatan keterampilan dan profesionalisme tenaga medis 3) Pemenuhan kebutuhan tenaga medis, terutama pelayanan kesehatan di Puskesmas dan jaringan di bawahnya serta rumah sakit 4) Pembinaan tenaga kesehatan termasuk pengembangan karir tenaga kesehatan 5) Tersusunnya standar kompetensi dan regulasi profesi tenaga kesehatan di daerah
e.
Program Peningkatan Status Gizi Masyarakat Program ini ditujukan untuk menurunkan angka prevalensi kurang gizi dan meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, bayi dan anak balita. Kegiatan yang dilaksanakan dalam program ini antara lain : 1) Meningkatkan pendidikan gizi masyarakat 2) Penanggulangan kurang energi protein, anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium, kurang vitamin A, dan kekurangan zat gizi mikro lainnya 3) Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi
f.
Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Program ini ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular serta meningkatkan cakupan imunisasi. Prioritas penyakit menular yang akan ditanggulangi adalah malaria, demam berdarah dengue, diare, polio,
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
111
111
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
filaria, kusta, TBC Paru, HIV/AIDS, serta penyakit-penyakit lain yang dapat dicegah dengan imunisasi. Kegiatan yang akan dilaksanakan dalam program ini mencakup : 1) 2) 3) 4)
Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko penyakit menular Peningkatan cakupan imunisasi dalam rangka pencegahan Menemukenali penderita guna penanggulangan wabah Peningkatan media komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit
Sementara itu, dalam bidang Pendidikan, strategi Pemerintah Kota Ternate dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal di Bidang Pendidikan adalah sebagai berikut : Tabel. 4.7 Tujuan dan Sasaran Penerapan SPM Bidang Pendidikan di Kota Ternate No.
Tujuan
Sasaran
1.
Meningkatkan daya dukung sarana dan prasrana pelayanan pendidikan bagi anak usia sekolah Meningkatkan daya dukung sarana dan prasarana pelayanan bagi anak usia pra sekolah Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia bidang kependidikan Meningkatkan standar mutu hasil pendidikan
Meningkatnya kapasitas pelayanan pendidikan bagi anak usia sekolah
2.
3. 4. 5.
Meningkatkan pendidikan
6.
Meningkatkan akuntabilitas manajemen pendidikan Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia bidang manajemen pendidikan
7.
efisiensi
manajemen
Meningkatnya kapasitas pelayanan pendidikan bagi anak usia pra sekolah Meningkatnya standar mutu sumber daya manusia bidang kependidikan Meningkatnya standar mutu hasil pendidikan Meningkatnya kualifikasi dan standar sarana dan prasarana pengelolaan manajemen pendidikan Meningkatnya kualifikasi dan standar pelaporan manajemen pendidikan Meningkatnya kualifikasi sumber daya manusia pengelola manajemen pendidikan
Sumber : Dinas Pendidikan Kota Kupang
Strategi Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dalam penerapan SPM Bidang Pendidikan untuk 2005-2010 adalah : a.
Peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan melalui : (1) penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun bagi penduduk miskin yang didukung dengan upaya penarikan kembali siswa putus sekolah dan yang tidak melanjutkan ke dalam sistem pendidikan.
112
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
(2) peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan menengah baik melalui jalur formal maupun nonformal, umum maupun kejuruan terutama di wilayah pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan serta peningkatan relevansinya dengan kebutuhan dunia kerja. (3) peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan tinggi termasuk penyeimbangan dan penyerasian jumlah dan jenis program studi yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan perkembangan guna menghasilkan lulusan yang memenuhi kebutuhan pasar kerja. (4) penyelenggaraan pendidikan alternatif di wilayah rawan konflik dan bencana yang diikuti dengan rehabiltasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana yang rusak termasuk penyediaan tenaga pendidik serta penyiapan peserta didik untuk dapat mengikuti proses belajar mengajar. b.
Peningkatan Kualitas Pendidikan yang ditandai dengan : (1) tersedianya standar pelayanan minimal ditingkat kecamatan. (2) tersedianya sistem rekruitmen tenaga pendidik yang berbasis merit system. (3) meningkatnya proporsi pendidik pada jalur pendidikan formal maupun nonformal yang memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar. (4) peningkatan sarana laboratorium baik secara kuantitas maupun kualitas sesuai kebutuhan jenis, jenjang dan jalur pendidikan dalam rangka menunjang kualitas pendidikan. (5) peningkatan prosentase siswa yang lulus ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan. (6) peningkatan minat baca masyarakat Kota Tidore Kepulauan.
c.
Penguatan Manajemen Pelayanan Pendidikan melalui : (1) penyiapan sistem pembiayaan pendidikan yang berbasis siswa atau berbasis formula yang didukung melalui upaya peningkatan komitmen pemerintah daerah dalam pembiayaan pendidikan (2) mendorong pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan kepada satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan secara efektid dan efisien, transparan, bertanggungjawab, akuntabel dan partisipatif. (3) meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan termasuk dalam pembiayaan pendidikan, penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat serta dalam peningkatan mutu layanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan serta evaluasi program pendidikan.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
113
113
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
7.
Provinsi Papua Meski tidak secara jelas menjabarkan tentang strategi penerapan standar pelayanan minimal namun sebagian strategi mencapai untuk visi dan misi pemerintah daerah diantaranya tercakup didalamnya beberapa indikator SPM. Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Dinas Kesehatan di Provinsi Papua seperti di Kabupaten Jayapura melalui misi dan tujuan yang telah ditetapkan dengan mengacu pada strategi pembangunan kesehatan nasional, maka pembangunan kesehatan di wilayah Kabupaten Jayapura dilaksanakan dengan strategi-strategi sebagai berikut : a
Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat Dalam era reformasi, masyarakat harus dapat berperan aktif dalam pembangunan kesehatan, dimulai sejak penyusunan berbagai kebijaakn pembangunan kesehatan. pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan mendorong masyarakat agar mampu secara mandiri menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehatan dan kesinambungan pelayanan kesehatan. Dalam pemberdayaan masyarakat perlu terus dikembangkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta upaya kesehatan Berbasis masyarakat (UKBM) dalam rangka mewujudkan ”Desa Siaga” menuju Desa Sehat. Pengembangan desa siaga harus melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) utamanya PKK, organisasi keagamaan dan sektor swasta. Keberhasilan Desa Siaga ditandai oleh berkembangnya PHBS serata dikembangkan dan beroperasinya UKBM yang mampu memberikan pelayanan promotif dan preventif,kuratif, keluarga berancana perataan kehamilan dan pertolongan persalinan, gizi dan penanganan kedaruratan kesehatan.
b
Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Sesuai dengan paradigma sehat, Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura harus mengutamakan pada upaya kesehatan masyarakat yang dipadukan secara serasi dan seimbang dengan upaya kesehatan perorangan. Dinas kesehatan Kabupaten Jayapura memfasilitasi upaya revitalisasi sistem kesehatan dasar dan rujuknya dengan memperluas jaringan yang efektif dan efisien, serta peningkatan kualitas pelayanan sesuai standar yang ditetapkan. Sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, harus dilakukan pula peningkatan jumlah dan kualitas sumber daya manusia kesehatanm yang terdistribusi sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan.
c
meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan. peningkatan surveilans dan monitoring dilaksanakan dengan meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pelaporan masalah
114
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
kesehatan di wilayahnya. Dalam keadaan darurat kesehatan dilakukan pengerahan anggaran dan tenaga pelaksana pada saat investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan respon cepat. Di samping itu dikembangkan dan ditingkatkan pula sistem peringatan dini (early warning system) dan penunjang kedaruratan kesehatan, serta dilaksanakan National Pandemic Preparedness Plan. Sistem informasi kesehatan pada semua tingkatan administrasi pemerintahan juga perlu diperbaiki dan dimantapkan. d
melaksanakan regulasi dan intensifikasi sistem registrasi dan akreditasu sarana kesehatan. Pembangunan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Agar pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat sesuai dengan arah kebijakan pembangunan kesehatan, maka perlu adanya undang-undang, peraturan-peraturan, ataupun petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis oleh pemerintah yang mengatur sistem registasi dan akreditasi sarana pelayanan kesehatan secara tepat dan profesional. Di samping itu perlu dilakukan pendataan dan pengawasan secara intensif terhadap sarana pelayanan kesehatan agar sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang berlaku.
e
Meningkatkan Kualitas Dan Kuantitas Sumberdaya Kesehatan Yang Meliputi Tenaga, Sarana Dan Prasarana Serta Pembiayaan Kesehatan Sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) Peningkatan sumber daya tenaga kesehatan dilaksanakan dengan mengisi formasi PNS yang telah ditetapkan oleh Pusat dan bila memungkinkan dari segi pembiayaan APBD dapat dilakukan melalui sistem kontrak kerja atas dasar kesepakatan secara sukarela antara kedua belah pihak. Dalam pendistirbusian tenaga kesehatan dilakukan melalui proses evaluasi pemenuhan kebutuhan dan bukan sekedar mendistribusikan persediaan tenaga yang ada ataupun pertimbangan lain-lain. Dari sisi kualitas, tenaga kesehatan ditingkatkan melalui metode pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi sesusai standar pemerintah pusat serta disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan situasi Kabupaten Jayapura. Sarana dan prasarana kesehatan dapat ditingkatkan melalui pengadaan dan peningkatan sarana kesehatan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dari hasil evaluasi setiap tahunnya. Pembiayaan pembangunan kesehatan berasal dari pemerintah sesuai UU No. 21 tahun 2001 sebesarn 15% dari dana APBD, dana bantuan luar negeri (BLN) dan dana yang bersumber dari masyarakat seperti asuransi kesehatan, Dana sehat dan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat Miskin (JPKMM). Pelaksanaan pembiayaan kesehatan diupayakan dengan menentukan perhitungan biaya berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM).
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
115
115
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Sedangkan untuk mencapai dan mewujudkan visi Dinas kesehatan Kota Jayapura pada tahun 2010 dan sesuai misi yang telah ditetapkan, maka dalam periode 2005-2010 akan ditempuh strategi sebagai berikut : a
Mewujudkan Komitmen Pembangunan Kesehatan Agar masyarakat dan swasta dapat berperan aktif dalam pembangunan kesehatan, maka perlu dilakukan upaya sosialisasi mengenai berbagai permasalahan dan pembangunan kesehatan. Di samping itu, juga perlu dilaksananakan upaya advokasi kepada para pengambil keputusan di kalangan penyelenggara Negara dan pembangunan, guna terwujudnya komitmen, dukugan dan sinergisme pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan. Dinas kesehatan juga melakukan fasilitasi kepada daerah dalam melaksanakan sosialisasi dan advokasi pembangunan kesehatan di daerah.
b
Meningkatkan Pertanggungjawaban dan Pertanggunggigatan Sesuai dengan system kesehatan nasional maka pembangunan kesehatan oleh dinas kesehatan diselenggarakan secara demokratis, berkepastian hukum, terbuka (transparan), rasional/professional, dan dapat dipertanggungjawabkan serta dipertanggunggugatkan kepada masyarakat, dan bebas dari KKN. Pengawasan pembangunan kesehatan, baik pengawasan melekat maupun pengawasan fungsional dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c
Membina Sistem Kesehatan dan Sistem Hukum di Bidang Kesehatan Untuk kesinambungan dan percepatan pembangunan kesehatan, hasilhasil pengembangan pembangunan kesehatan dilembagakan dengan memberikan dukungan dan fasilitasi dalam bentuk berbagai pedoman standar-standar dan peraturan perundang-undangan serta pelembagaan norma dan tata nilai masyarakat di bidang kesehatan. Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Dinas Kesehatan memberikan perhatian khusus pada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, penanggulangan penyakit menular dan gizi buruk, promosi kesehatan, pembangunan kesehatan di daerah tertinggal, daerah terpencil, daerah perbatasan dan penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, pendayagunaan tenaga kesehatan, serta mempertimbangkan kesetaraan gender.
d
Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kesehatan Dalam merespon dan menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan yang ada baik regional, nasional maupun global, maka pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan terus mengembangkan dan
116
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, secara berkesinambungan. e
Melaksanakan Jejaring Pembangunan Kesehatan Permasalahan kesehatan merupakan upaya yang kontinum dan harus dikelola secara holistik serta tidak bisa dipisah-pisahkan menurut jenjang administrasi kepemerintahan, sehingga perlu dikembangkan jejaring pembangunan dan upaya kesehatan secara menyeluruh. Selain itu, Dinas Kesehatan juga melaksanakan dan memberikan pelayananan rujukan upaya kesehatan.
Adanya masalah maupun kendala dalam proses pembangunan kesehatan guna mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan perlu disikapi dengan suatu strategi sehingga harapan yang ingin dicapai melalui visi-misi dapat terwujud. Sedangkan untuk menetapkan strategi yang tepat perlu dilakukan analisis faktor baik internal maupun eksternal melalui teknik analisis swot. Selain itu strategi yang ditetapkan perlu didukung dengan kebijakankebijakan dalam pelaksanaan program dan kegiatan dalam pembangunan kesehatan yang tentunya disesuaikan dengan kondisi di wilayah Propinsi Papua. Sementara itu, dalam bidang pendidikan, Strategi dan arah Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Jayapura adalah : 1.
2.
3.
4. 5.
Penyusunan kurikulum Pendidikan yang berbasis pada kompetensi pada dikdasmen yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan dikembangkan di daerah, diharapkan akan mampu meningkatkan kreatifitas guru, inklusif tidak bias gender sesuai dengan kapasitas peserta didik serta menekankan pada unsur imtaq, wawasan kebangsaan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian, berbudi pekerti, ber etos kerja serta menguasai ilmu pengetahuan dan mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Peningkatan kemampuan profesional bagi tenaga guru dan tenaga lainnya yang dilakukan dalam sistem integral melalui pemberian akreditasi dan sertifikat mengajar, pemantapan jabatan fungsional dengan mensyaratkan pada kemampuan dan prestasi sebagai promosi dan peningkatan kesejahteraan guru. Peningkatan efektifitas dan efisiensi Proses belajar mengajar melalui peningkatan kemampuan guru dalam belajar mengajar, yang diharapkan dapat mendorong siswa dalam meningkatkan prestasi belajar yang maksimal. Pengembangan konsep MPMPBS yang menitikberatkan pada kemandirian sekolah. Meningkatkan standart mutu nasional agar lulusan pada pendidikan menengah dapat bersaing di Perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
117
117
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
6.
penyediaan, penggunaan, perawatan dan pendayagunaan sarana pendidikan. 7. peningkatan alternatif layanan pendidikan dan bantuan kepada siswa dari keluarga yang kurang mampu. 8. meningkatkan akreditasi untuk mendapatkan klasifikasi/tipe sekolah serta sebagai salah satu bagian dari akuntabilitas publik. 9. peningkatan anggaran pendidikan baik yang bersumber dari pemerintah pusat, daerah dan masyarakat yang didayagunakan dalam peningkatan mutu pendidikan. 10. peningkatan akuntabilitas dan pengawasan kinerja kelembagaan melalui pemberdayaan kontrol masyarakat dan orang tua terhadap proses belajar mengajar dan pencapaian hasil-hasil pendidikan. Strategi Kabupaten Jayapura dalam mewujudkan visi dan misi dinas pendidikan dan pengajaran seperti yang disebutkan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Mengupayakan peningkatan kompetensi, komitmen, dukungan peralatan, pemahaman, dan komunikasi dengan pemangku kepentingan terkait dalam pengelolaan pendidikan. Melakukan pemerataan dan peluasan akses pendidikan pada semua jenjang pendidikan berbasis kampung dan perkotaan Melakukan peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan kwalitas siswa, gugu, dukungan masyarakat dan penyedia pustakawan dan laboratorium. Peningkatan manajemen dan efisiensi pendidikan sekolah. Meningkatkan program pendidikan non formal (PAUD, keaksaraan, kesetaraan, life skill, gender.
C. Capaian Indikator Standar Pelayanan Minimal 1.
Provinsi Sumatera Selatan Pencapaian indikator SPM merupakan akibat dari strategi penerapan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, capaian indikator SPM bidang kesehatan Kabupaten Muara Enim tahun 2006 adalah sebagai berikut: Tabel. 4.8 Capaian Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten Muara Enim Tahun 2006 Jenis Pelayanan
1.
Kesehatan Ibu dan Bayi
118
Target
Capaian
1.1
Cakupan kunjungan Ibu hamil
Indikator Kinerja
95 %
90,8%
1.2
Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
80 %
86,95%
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Jenis Pelayanan
Indikator Kinerja
Target
Capaian
1.3
Ibu hamil risiko tinggi yang dirujuk
100%
22,54%
1.4
Cakupan kunjungan neonatus
90 %
95,39%
1.5
90 %
91,17%
100%
87,72%
90 %
NA*)
100%
NA
2.3
Cakupan kunjungan bayi ( usia s/d 7 tahun) Cakupan bayi berat lahir rendah yang ditangani Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih/guru UKS/dokter kecil cakupan pelayanan kesehatan remaja
3.
Keluarga Berencana
3.1
Cakupan peserta aktif KB
4.
Imunisasi
4.1
5.
Pengobatan/Perawatan
5.1
Desa/kelurahan Universal Child Immunization (UCI) Cakupan rawat jalan
5.2
Cakupan rawat inap
1.6 2.
Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia Sekolah
2.1 2.2
6.
Kesehatan Jiwa
6.1
7.
Pertumbuhan Balita
7.1
Pelayanan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan umum Balita yang naik berat badannya
7.2
Balita bawah garis merah
8.1
Cakupan balita mendapat kapsul Vitamin A 2x per tahun Cakupan ibu hamil mendapat 90 tabelt Fe
8.
Gizi
8.2 8.3
8.4 9.
Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar dan Komprehensif
9.1
9.2 9.3 10.
Gawat Darurat
10.1
11.
Penyelenggaraan Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Polio Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
11.1
12.
13.
Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi bawah garis merah dari keluarga miskin Balita gizi buruk mendapat perawatan Akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk menangani rujukan ibu hamil dan neonatus Ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ditangani Neonatal risiko tinggi/komplikasi yang ditangani Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat diakses masyarakat Desa/kelurahan mengalami KLB yang ditangani <24jam
11.2
Kecamatan bebas rawan gizi
12.1
Acute Flacid Paralysis (AFP) rate per 100.000 penduduk <15tahun
13.1
Kesembuhan penderita TBC BTA positif
80 %
NA
75 %
69,16%
100%
79,54%
15 %
45,87%
1,5%
1,62%
10 %
0,42%
80 %
91,60%
-15%
1,71%
90 %
74,10%
90 %
90,90%
100%
100%
100%
93,68%
80 %
NA
80 %
NA NA
90 %
39,13
100%
100%
80 %
20%
1
0,75
>85%
51,88%
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
119
119
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Jenis Pelayanan
Indikator Kinerja
Target
Capaian
TB Paru 14.
15.
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV/AIDS
16. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 17. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare 18. Kesehatan Lingkungan
14.1
Cakupan balita dengan pneumonia yang ditangani
100%
48,04%
15.1
Klien yang mendapatkan penanganan HIV/AIDS
100%
100%
15.2
Infeksi menular seksual yang diobati
100%
100%
80 %
94,49%
100%
100%
70 %
81,52%
16.1 Penderita DBD yang ditangani
17.1 Penderita Diare yang ditangani
18.1 Institusi yang dibina
19. Pengendalian Vektor
19.1 Rumah/bangunan bebas jentik nyamuk Aedes 20. Hygiene Sanitasi di Tempat 20.1 Tempat umum yang memenuhi syarat Umum 21. Penyuluhan Perilaku Sehat 21.1 Rumah tangga sehat
22. Penyuluhan Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (P3 NAPZA) berbasis Masyarakat 23. Penyediaan Obat dan Perbekalan kesehatan
<90 %
70,45%
80 %
93,58%
65 %
71,27%
21.2 Bayi yang mendapat ASI eksklusif
80 %
21.3 Desa dengan garan beriodium baik
90 %
100%
21.4 Posyandu Purnama
40 %
34,13%
15 %
11,94%
Upaya penyuluhan P3 NAPZA oleh petugas kesehatan
55,59%
22.1 23.1 Ketersediaan obat sesuai kebutuhan
90 %
90%
23.2 Pengadaan obat esensial
100%
79,34%
23.3 Pengadaan obat generik
100%
68,69%
24. Penggunaan Obat Generik
24.1 Penulisan resep obat generik
90 %
92,76%
25. Penyelenggaran Pembiayaan untuk Pelayanan Kesehatan Perorangan 26. Penyelenggaran Pembiayaan untuk Keluarga Miskin dan Masyarakat Rentan
25.1 Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan pra bayar
80 %
1,62%
80 %
96,88%
26.1 Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin dan masyarakat rentan
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Enim
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa angka capaian indikator SPM bidang kesehatan Kabupaten Muara Enim dapat digambarkan sebagai berikut:
120
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi : Untuk indikator kunjungan ibu hamil (K4) sebesar 90,8 % dianggap sudah mencapai SPM, karena target pencapaian SPM Kabupaten Muara Enim tahun 2006 sebesar 90 %. Hal ini berarti untuk mencapai SPM nasional sebesar 95 %, Kabupaten Muara Enim masih memiliki gap sebesar 4,92 %. Pada indikator pertolongan persalinan oleh bidang atau tenaga kesehatan nilai capaian sebesar 86,95 %. Hal ini berarti sebenarnya telah melampaui target SPM nasional yang hanya 80 %. Akan tetapi karena Kabupaten Muara Enim menargetkan capaian sebesar 90 %, maka dalam hal ini masih terdapat gap sebesar 3,05 %. Pada indikator ibu hamil resiko tinggi yang dirujuk, nilai capaiannya sebesar 22,54 %, sehingga masih jauh dari standar yang ditetapkan maupun standar nasional sebesar 100 %. Gap nilai yang harus dicapai adalah sebesar 77,46 %. Pada indikator kunjungan neonatus terdapat capaian sebesar 95,39 %. Angka ini sudah mencapai target SPM sebesar 90 %. Pada indikator kunjungan bayi terdapat capaian sebesar 91,17 %. Angka ini sudah mencapai target SPM sebesar 90 %. Pada indikator kunjungan kunjungan bayi berat lahir rendah (BBLR), nilai capaiannya sebesar 87,72 %. Angka ini masih jauh dari target SPM nasional sebesar 100 %. Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia Sekolah : Pelayanan kesehatan anak pra sekolah dan usia sekolah di Kabupaten Muara Enim tahun 2006 adalah 36,90%. Angka ini jauh di bawah standar SPM sebesar 90%. Pelayanan Keluarga Berencana : Cakupan pelayanan KB di Muara Enim Tahun 2006 adalah 69,16%. Angka ini belum mencapai target SPM Imunisasi : Pada indikator desa/kelurahan Universal Child Immunization (UCI), capaiannya sebesar 79,54% dari target SPM sebesar 100%. Dengan demikian masih terdapat gap sebesar 21,46%. Pelayanan Pengobatan/Perawatan : Capaian indikator rawat jalan sebesar 45,87%, angka ini telah melampaui target SPM sebesar 15%. Namun demikian, setelah dikonfirmasi ternyata data tersebut hanya menyebutkan cakupan rawat jalan di Puskesmas, sedangkan pelayanan rawat jalan di rumas sakit? Untuk cakupan rawat inap mencapai angka 1,62%, yang berarti melampaui target SPM (1,5%).
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
121
121
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Pelayanan Kesehatan Jiwa : Cakupan pelayanan kesehatan jiwa sebesar 0,42% terhadap jumlah penduduk. Angka ini masih jauh dari target sebesar 10%. Pemantauan Pertumbuhan Balita : Capaian indikator balita yang naik berat badannya tahun 2006 adalah 91,60%. Angka ini sudah mencapai target SPM yaitu 80%. Nilai capaian indikator Balita Bawah Garis Merah adalah sebesar 1,71%. Angka ini sudah mencapai target SPM yaitu -15%. Kabupaten Muara Enim menetapkan targetnya sebesar 8%, jika demikian maka nilai tersebut belum mencapai target yang diharapkan. Pelayanan Gizi : Nilai capaian indikator balita mendapat kapsul vitamin A 2 kali per tahun adalah 74,10%. Angka ini belum mencapai target SPM nasional sebesar 90%, artinya masih terdapat gal sebesar 15,90%. Nilai capaian ibu hamil mendapat tabelt besi (Fe) adalah 90.90%, angka ini sudah melampaui target SPM sebesar 90%. Namun Kabupaten Muara Enim menargetkan 85%, apabila menggunakan target tersebut maka nilai capaian sudah jauh melampaui target SPM yang ditetapkan. Nilai capaian balita gizi buruk mendapat perawatan adalah sebesar 93,68%. Angka ini belum mencapai target SPM sebesar 100%, artinya terdapat gap sebesar 6,32%. Pelayanan Obstetric dan Neonatal Emergensi Dasar dan Komprehensif : Untuk nilai capaian indikator akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman, ibu reiko tinggi, dan neonatus resiko tinggi belum tersedia datanya atau not available (NA). Pelayanan Gawat Darurat : Nilai capaian sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat diakses masyarakat, dari 2 rumah sakit dan 22 puskesmas yang ada di Muara Enim sebesar 39,13%. Angka ini jelas belum mencapai target sebesar 90%. Penyelenggaraan penyelidikan epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa dan Gizi Buruk : Nilai capaian indikator desa/kelurahan mengalami KLB yang ditangani < 24 jam adalah 100%. Nilai capaian indikator kecamatan bebas rawan gizi sudah mencapai 100%.
122
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Polio : Acute Flacid Pharalysis (AFP) rate per 50.000 penduduk < 15 tahun. Jumlah penderita AFP di Kabupaten Muara Enim tahun 2008 adalah 3 dengan AFP rate sebesar 0,75. Angka ini belum mencapai target SPM nasional yaitu 1. Pencegahan dan pemberantasan penyakit TB paru. Cakupan kesembuhan penderita TBC BTA (+) untuk Kabupaten Muara Enim tahun 2006 sebesar 51,88%. Angka ini belum mencapai target SPM sebesar >85%. Kesembuhan penderita TBA BTA (+) untuk Kabupaten Muara Enim tahun 2005 belum bisa terlihat karena pengobatannya minimal 18 bulan. Pencegahan dan pemberantasan penyakit SPA. Cakupan balita dengan pneumonia yang ditangani di Kabupaten Muara Enim tahun 2006 adalah 48,04%. Angka ini belum mencapai target SPM sebesar 90%. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV/AIDS : Darah donor diskrining terhadap HIV/AIDS. Darah donor diskrining terhadap HIV/AIDS di Kabupaten Muara Enim tahun 2006 baru 72,36%. Angka ini belum mencapai target SPM sebesar 100%. Klien yang mendapatkan penanganan HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS tercatat sebanyak 1 penderita dan telah ditangani. Hal ini berarti telah mencapai target SPM sebesar 100%. Infeksi menular seksual yang diobati. Infeksi menular seksual yang diobati sudah mencapai 100%. Angka ini bahkan telah melampaui target SPM nasional > 72%. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) : Penderita DBD yang ditangani sudah mencapai sebesar 99,49%, angka ini sudah mencapai target SPM > 72%. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare : Balita dengan diare yang ditangani sudah mencapai 100%. Angka ini telah mencapai target SPM 75%. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Malaria : Penderita malaria yang diobati sudah mencapai 100%. Angka ini sama dengan target SPM sebesar 100%. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta : Penderita kusta yang selesai berobat (RFT Rate) adalah 48,72%. Angka ini masih belum mencapai target SPM sebesar > 90%, hal ini disebabkan karena pengobatan kusta minimal 6 bulan.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
123
123
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Filariasis : Kasus filariasis yang ditangani sudah mencapai 100%. Angka ini sudah mencapai target SPM sebesar 50%. Pelayanan Kesehatan Lingkungan : Institusi yang dibina di Kabupaten Muara Enim tahun 2008 adalah 81,52%. Angka ini sudah mencapai SPM sebesar 50%. Pelayanan Pengendalian Vektor : Rumah bangunan bebas jentik nyamuk aedes adalah 70,45%. Angka ini belum mencapai target SPM sebesar 95%. Angka 70,45% diperoleh dari jumlah rumah yang diperiksa, sedangkan tidak semua puskesmas yang melakukan pemeriksanaan jentik di rumah/bangunan. Pelayanan Hygiene Sanitasi di Tempat Umum : Tempat-tempat umum yang memenuhi syarat adalah 93,58%. Angka ini sudah mencapai target SPM sebesar 45%. Penyuluhan Perilaku Sehat : Rumah tangga sehat di Muara Enim tahun 2006 dari jumlah rumah tangga yang diperiksa adalah 71,27%. Angka ini belum mencapai target SPM sebesar 80%. Bayi yang Mendapat ASI eksklusif : Bayi yang mendapat ASI eksklusif (0-6 bulan) adalah sebesar 55,59%, yang berarti sudah mencapai target SPM sebesar 50%. Desa Dengan Garam Beryodium Terbaik : Desa/kelurahan dengan garam beryodium baik sudah mencapai 100%. Angka ini sudah mencapai target SPM 65%. Angka 65% tersebut merupakan nilai target SPM lokal, sementara target SPM nasionalnya adalah 90%. Posyandu Purnama : Posyandu Purnama sebesar 34,13%. Angka ini belum mencapai target SPM sebesar 50%. Angka 50% ini merupakan target lokal, tetapi sesungguhnya telah melampaui target SPM naional yang sebesar 40%. Namun dari data yang ada terlihat hanya 8 Puskesmas yang belum mencapai target seperti Puskesmas Fajar bulan, Puskesmas Pulau Anatomi, Puskesmas Talang Ubi, Puskesmas Tanah Abang, Puskesmas Sugih Waras, Puskesmas Beringin, Puskesmas Sumber Mulya, dan Puskesmas Gelumbang.
124
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Penyuluhan P3 NAPZA (Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotik, Psikotropika dan Zat Adiktif) Berbasis Masyarakat : Upaya penyuluhan P3 NAPZA oleh petugas kesehatan tercapai sebesar 11,94%, angka ini sudah melampaui target SPM sebesar 5%. Target sebesar 5% tersebut merupakan target tahun 2006, sehingga capaian sebesar 11,94% dikatakan melebihi atau melampaui target. Namun jika melihat target SPM nasional yang sebesar 15%, maka capaian tersebut sebenarnya belum mencapai target yang diharapkan. Pelayanan Penyediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan : Ketersediaan obat sesuai kebutuhan sudah mencapai target. Pengadaan Obat Esensial : Pengadaan obat esensial di Kabupaten Muara Enim tahun 2006 adalah 79,34%. Angka ini belum mencapai target SPM sebesar 100%. Pelayanan Penggunaan Obat Generik : Pengadaan obat generik adalah sebear 68,69%. Angka ini masih jauh dari capaian target SPM sebesar 100%. Pelayanan Penggunaan Obat Generik : Penulisan resep obat Generik sebesar 92,76%, yang berarti sudah mencapai target SPM sebesar 90%. Penyelenggaraan Pembiayaan untuk Pelayanan Kesehatan Perorangan : Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan pra bayar adalah sebesar 1,62%. Angka ini belum mencapai terget SPM 30%. Penyelenggaraan Pembiayaan untuk Gakin dan Masyarakat Rentan : Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan gakin dan masyarakat rentan sebesar 96,88%, yang berarti belum mencapai target SPM sebesar 100%. Dari paparan tersebut nampak bahwa capaian indikator SPM semestinya merupakan hasil dari sebuah proses yang direncanakan. Sebagaimana hasil wawancara dengan narasumber di daerah bahwa target SPM nasional tidak mungkin dapat tercapai seluruhnya karena berbagai keterbatasan pemerintah daerah ”Pelaksanaan SPM di daerah tidak sekedar menyusun program dan kegiatan, akan tetapi sangat berkaitan erat dengan sumber dana yang ada. Terus terang jika kita akan menerapkan SPM di daerah, maka seluruh anggaran di daerah akan terserap kepada dua urusan wajib ini, tentunya ini sesuatu yang tidak mungkin. Maka bagi kami, yang
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
125
125
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
terpenting adalah adanya progress dari penyelenggaraan urusan wajib tersebut”. Pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa penyusunan rencana capaian indikator SPM ternyata memiliki implikasi anggaran. Bahkan implikasi ini dapat mengancam keberlangsungan pelaksanaan urusan-urusan yang lain. Hal ini kirnya perlu menjadi perhatian bersama dan ke depan kiranya perlu diambil langkah-langkah stratejik untuk mensiasati implikasi yang timbul, termasuk implikasi anggaran. 2.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Indikator yang digunakan untuk pemantauan dan evaluasi atas pencapaian pembangunan kesehatan Kota Yogyakarta adalah indikator hasil yang terdiri dari indikator derajat kesehatan, indikator perilaku sehat, indikator lingkungan sehat dan indikator pelayanan kesehatan. a.
Derajat Kesehatan Indikator yang digunakan untuk memperlihatkan derajat kesehatan masyarakat Kota Yogyakarta antara lain dengan diketahuinya angka kematian bayi, angka kematian balita, angka kematian ibu maternal, angka harapan hidup, angka kesakitan dan status gizi ibu, bayi, balita. Secara rinci indikator derajat kesehatan dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Mortalitas Angka Kematian Bayi. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi (0 - < 1 tahun) per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Yogyakarta dalam lima tahun terakhir dari tahun 2002 sampai dengan 2006 adalah sebagai berikut : Grafik. 4.1 Trend Angka Kematian Bayi di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7.62
4.2 3.58
2002
126
3.28
2.88
2003
2004
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2005
2006
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
AKB di Kota Yogyakarta dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Meskipun AKB Kota Yogyakarta dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan namun pada tahun 2006 mengalami kenaikan. Untuk itu perlu diperhatikan Sistim pencatatan kematian di Kota Yogyakarta melalui PWS-KIA hal ini juga mempengaruhi keakuratan data, disamping itu juga cakupan kunjungan Neonatal akan membantu dalam hal pencatatan kematian bayi. Angka Kematian Balita. Angka Kematian Balita di Kota Yogyakarta juga merupakan indikator yang cukup penting untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat. Angka ini diperoleh dari jumlah kematian anak balita dibagi jumlah anak balita seluruhnya dikalikan 1000. Angka Kematian Balita di Kota Yogyakarta dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 adalah sebagai berikut: Grafik. 4.2 Trend Angka Kematian Balita di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 1,2 1,02
1 0,8 0,6 0,4 0,2
0,07
0,1
0,14
0,18
0 2002
2003
2004
2005
2006
Angka kematian Balita di Kota Yogyakarta dalam lima tahun terakhir jauh lebih kecil dari angka maksimal yaitu 43 per 1000 kelahiran hidup, pada thun 2006 terdapat 1.02 % kematian bayi, hal ini disebabkan adanya bencana alam berupa gempa bumi pada bulan Mei. Angka Kematian Ibu Maternal. Angka Kematian Ibu Maternal diperoleh dari jumlah kematian ibu melahirkan dibagi jumlah ibu melahirkan dikalikan 1000. Angka maksimal yang diperbolehkan sesuai indikator Indonesia Sehat 2010 adalah 90 per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu Maternal di wilayah Kota Yogyakarta selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada grafik sebagai berikut :
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
127
127
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Grafik. 4.3 Trend Angka Kematian Ibu Maternal Di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 200 164.4 150
120.36 91.45
100 50
61.79
44.4
0 2002
2003
2004
2005
2006
Angka Kematian Ibu Maternal di Kota Yogyakarta dari tahun 2002 sampai dengan 2006 berfluktuasi, bahkan mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 berada diatas angka maksimal yang diperbolehkan.Tetapi pada tahun 2006 terjadi penurunan . Penyebab kematian ibu maternal yang paling banyak dikarenakan perdarahan pada saat persalinan. Perdarahan waktu persalinan dapat diakibatkan antara lain karena anemi ibu hamil, disamping penyakit lainnya seperti halnya hipertensi yang mengakibatkan eklamsia. Pada tahun 2006 kematian ibu maternal mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya yaitu 3 orang. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran ibu hamil untuk selalu rutin kontrol ke Puskesmas ataupun bidan . Sehingga kondisi ibu hamil cukup terkontrol. Cakupan ANC tahun 2006 cukup baik dengan hasil K1 = 99,98 % dan K4 = 91.05 %, namun angka ini masih jauh dibawah target sasaran yang diharapkan, karena angka ini hanya tercakup pada pelayanan kesehatan di puskesmas dan belum bisa mencatat pelayanan ANC di pelayanan kesehatan swasta secara menyeluruh. 2) Morbiditas Angka Kesakitan Malaria. Kota Yogyakarta bukan daerah endemis malaria, sehingga angka kesakitan malaria di Kota Yogyakarta adalah 0 % (nol persen) dan tidak ada kasus kesakitan malaria. Angka Kesakitan DBD. Penyakit DBD merupakan penyakit yang mempunyai siklus lima tahunan sehingga perlu diwaspadai dan dicegah ledakannya dengan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk). Angka kesakitan yang diperbolehkan tidak lebih dari 0.75 per 1000 penduduk. Angka kesakitan DBD di Kota Yogyakarta dari tahun 2002 – 2006 dapat dilihat pada grafik sebagai berikut :
128
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Grafik. 4.4 Trend Angka Kesakitan DBD di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2005 2 1.69
1.37
1.5 0.99 1
0.83
0.66
0.5 0 2002
2003
2004
2005
2006
Angka kesakitan DBD di Kota Yogyakarta mengalami peningkatan dari tahun 2002 sampai dengan 2004 dengan angka yang selalu diatas angka yang diperbolehkan secara nasional. Meskipun pada tahun 2005 mengalami penurunan, tetapi pada tahun 2006 terjadi ledakan penderita. Kasus DBD di Kota Yogyakarta yang ditangani berturut-turut dari tahun 2002 – 2006 adalah 100%, angka ini jauh diatas angka nasional yaitu > 80 %. Angka Kesakitan Polio. Kota Yogyakarta bukan daerah endemis polio, sehingga angka kesakitan polio di Kota Yogyakarta adalah 0 % (nol persen) dan tidak ada kasus kesakitan polio. Persentase ini sesuai dengan indikator yang ditetapkan pada standart pelayanan minimal. Kasus yang ada di Kota Yogyakarta adalah Acute Flacid Paralisys (AFP), yaitu 2 kasus pada tahun 2006, 2 kasus pada tahun 2004 dan 13 kasus pada tahun 2003 serta 4 kasus pada tahun 2006. Angka Kesembuhan (Cure Rate) TB Paru BTA . Kesembuhan TB Paru BTA yang diharapkan yaitu angka kesembuhan TB paru BTA harus lebih dari 85 % secara nasional. Angka kesembuhan TB Paru BTA di Kota Yogyakarta dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 dapat dilihat pada grafik sebagai berikut : Grafik. 4.5 Trend Angka Kesembuhan TB Paru BTA + Di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 85
81.6
83
78
80
75
75 70
70
65 60 2002
2003
2004
2005
2006
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
129
129
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Angka kesembuhan TB Paru BTA di Kota Yogyakarta dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terus meningkat, tetapi masih dibawah angka harapan yaitu angka kesembuhan TB paru BTA harus lebih dari 85 % secara nasional. Persentase Kasus Diare yang Ditangani 75 %. Kasus diare di Kota Yogyakarta yang ditangani terutama balita dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 adalah sebesar 100 %. Puskesmas sebagai pusat kesehatan yang pertama telah melaksanakan pelayanan secara maksimal untuk kasus diare yang ada/berkunjung ke Puskesmas. 3) Status Gizi Status gizi adalah suatu kondisi seseorang yang dapat diukur baik secara antropometri maupun klinik sebagai respon atas asupan makanan dalam jangka waktu tertentu. Status gizi dapat menggambarkan derajat kesehatan masyarakat, sehingga untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat Kota Yogyakarta, perlu diketahui status gizi masyarakat Kota Yogyakarta terutama bayi, balita, ibu hamil, anak sekolah, wanita usia subur (WUS) remaja putri dan wanita pekerja. Kelompok tersebut diatas merupakan kelompok rawan gizi sehingga perlu perhatian khusus sehingga pembangunan kesehatan benar-benar dapat dilaksanakan dan mencapai optimalisasi. Persentase Anak Balita yang Bergizi Buruk. Pengukuran status gizi balita dilakukan 1 tahun sekali dalam kegiatan pemantauan status gizi (PSG). Hasil pemantauan status gizi dalam lima tahun terakhir dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 khusus untuk anak balita yang bergizi buruk dapat dilihat pada grafik berikut ini : Grafik. 4.6 Persentase Anak Balita dengan Gizi Buruk Di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 1.4 1.32
1.3 1.2
1.2
1.2
1.16 1.1 1
0.99
0.9 0.8 0.7 0.6 2002
2003
2004
2005
2006
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa terjadi penurunan persentase anak balita dengan gizi buruk dari tahun 2002
130
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
ke tahun 2003, namun meningkat lagi pada tahun 2004 dan tahun 2005 sedangkan tahun 2006 tetap sama dengan tahun sebelumnya. Adapun Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2006 dapat dilihat pada diagram berikut : Grafik. 4.7 Hasil Pemantauan Status Gizi Balita Di Kota Yogyakarta Tahun 2006 Gizi Buruk, Gizi Lebih, 3.35% 1.21%
Gizi Kurang, 10%
Gizi Baik, 85.34%
Balita dengan status gizi baik ada 83,34 %, gizi kurang 10 %, gizi buruk 1,21% dan gizi lebih 3.35 %. Status gizi balita sangat dipengaruhi oleh gizi ibu pada saat hamil, berat badan lahir serta asupan makanan serta pola makan selama masa balita. Persentase Ibu Hamil yang Kurang Energi Kronik (KEK). Kurang Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil disebabkan oleh kurangnya asupan makanan khususnya sumber energi yang dialami oleh ibu hamil selama kehamilannya. Keadaan ini dapat diketahui dengan mengukur lingkar lengan atas (LILA) ibu hamil. Dikategorikan KEK jika ukuran LILA kurang dari 23,5 cm diukur dengan pita LILA. Akibat yang dapat ditimbulkan dari keadaan ini antara lain lahirnya bayi dengan berat badan rendah, bayi premature, cacat bawaan atau bayi lahir mati. Mempertimbangkan keadaan tersebut, perlu dicermati besarnya ibu hamil yang mengalami Kurang Energi Kronik di Kota Yogyakarta mulai tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 yang dapat dilihat pada grafik sebagai berikut: Grafik. 4.8 Persentase Ibu Hami Kurang Energi Kronik Di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 25 20
21.98
23.65 21.64
18.34 14.01
15 10 5 0 2002
2003
2004
2005
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2006
131
131
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa persentase ibu hamil KEK mengalami kenaikan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2004, pada tahun 2005 mengalami penurunan kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2006. Sehingga ini memerlukan penanganan yang lebih serius agar pada tahun berikutnya tidak terjadi peningkatan lagi. Yang dapat dilakukan dengan penyuluhan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan secara intensif, maupun intervensi berupa pemberian makanan tambahan. Selain itu, survey tentang karakteristik ibu hamil dengan status Kurang Energi Kronik perlu juga dilakukan untuk mengetahui penyebab utama kejadian KEK di Kota Yogyakarta. Persentase Ibu Hamil yang Anemia Gizi Besi (AGB). Anemia Gizi Besi (AGB) pada ibu hamil disebabkan kurangnya asupan zat besi (Fe) yang berasal dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Fe berasal dari lauk hewani dan nabati. Kekurangan Fe dapat diukur dari kadar hemoglobin ibu hamil, jika kadar hemoglobin dalam darah kurang dari 11 mg% maka ibu hamil tersebut dapat digolongkan Anemia Gizi Besi. Persentase ibu hamil yang mengalami Anemia Gizi Besi (AGB) di Kota Yogyakarta dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 dapat dilihat pada grafik sebagai berikut : Grafik. 4.9 Persentase Ibu Hamil Yang Mengalami AGB Di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 30 25
22.49
21.95
21.07
26.79 21.14
20 15 10 5 0 2002
2003
2004
2005
2006
Anemia Gizi Besi di Kota Yogyakarta terus mengalami penurunan, hal ini cukup menggembirakan tentunya dengan adanya program pemberian tablet Fe 90 pada ibu hamil. Program pendampingan minum tablet Fe pada tahun 2005, sangat membantu mengurangi kejadian anemia terutama pada kelompok ibu hamil yang merupakan kelompok rawan. Persentase Bayi BBLR. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi premature maupun bayi
132
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
cukup bulan yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Persentase bayi BBLR juga menentukan derajat kesehatan masyarakat. Persentase bayi BBLR di Kota Yogyakarta mulai tahun 2002 sampai dengan 2006 seperti pada grafik sebagai berikut : Grafik. 4.10 Persentase Bayi BBLR di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 6 4
3.13
2
2.35
3.99
3.4 1.35
0 2002
2003
2004
2005
2006
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa terjadi penurunan persentase bayi BBLR di Kota Yogyakarta dari tahun 2002 sampai tahun 2004 dan mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada tahun 2005 dan 2006. Kenaikan ini menunjukkan bahwa jumlah bayi yang BBLR mengalami kenaikan sehingga perlu diperhatikan pemantauan status kesehatan ibu hamil melalui Antenatal Care (ANC). Persentase Anak Sekolah yang Normal Perbandingan Tinggi dan Berat Badannya. Status Gizi anak baru masuk sekolah berdasarkan berat badan menurut tinggi juga menentukan derajat kesehatan masyarakat. Persentase anak sekolah yang normal perbandingan tinggi dengan berat badannya di Kota Yogyakarta mulai dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 adalah seperti grafik dibawah ini , sedangkan untuk tahun 2006 tidak dilakukan pengukuran karena untuk pengukuran TBABS dilakukan setiap 5 tahun sekali. Jadi pengukuran selanjutnya akan dilaksanakan pada tahun 2008. Grafik. 4.11 Status Gizi Anak Baru Masuk Sekolah Di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2005 120
98.25 96.54
100 80
91.97
73.54 Normal
60 40
Gangguan Pertumbuhan
26.46
20
3.46
8.03
1.75
0 2002
2003
2004
2005
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
133
133
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
b. Lingkungan Sehat Lingkungan sehat yang cukup menentukan tingkat pencapaian Kota Sehat pada tahun 2004. Untuk mengukur keberhasilan lingkungan sehat di Kota Yogyakarta dapat diketahui dengan beberapa tolok ukur yaitu: Persentase Rumah Sehat. Jumlah rumah di Kota Yogyakarta pada tahun 2005 sebanyak 82.245 rumah. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan jumlah rumah pada tahun sebelumnya. Grafik berikut menunjukkan jumlah rumah di Kota Yogyakarta mulai tahun 2002 sampai dengan tahun 2006. Grafik. 4.12 Jumlah Rumah di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 84,000 82,791
83,348
83,000 81,398
2002
82,000
2003
80,218
81,000 79,718
2004
80,000
2005
79,000
2006
78,000 77,000
Jumlah rumah di Kota Yogyakarta terus bertambah setiap tahunnya. Dari seluruh jumlah rumah yang ada di Kota Yogyakarta pada tahun 2006, dilakukan pemeriksaan kesehatan rumah terhadap 41.926 rumah (50.30 %). Berdasarkan hasil pemeriksaan dari jumlah rumah yang diperiksa di Kota Yogyakarta, dapat diketahui persentase rumah sehat pada tahun 2006 adalah sebesar 81.23 % Persentase rumah sehat di Kota Yogyakarta dari Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2006 dapat dilihat pada grafik berikut: Grafik. 4.13 Persentase Rumah Sehat di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 100 86.62
85.65
92.81
90.3 81.2
80 60 40 20 2002
134
2003
2004
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2005
2006
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa persentase rumah sehat di Kota Yogyakarta fluktuatif, hal ini disebabkan karena persentase rumah sehat tidak didasarkan pada rumah yang ada secara keseluruhan di Kota Yogyakarta tetapi hanya didasarkan pada rumah yang diperiksa pada tahun tersebut. Persentase rumah sehat di Kota Yogyakarta pada tahun 2006 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005, hal ini terjadi karena pada tahun 2006 terjadi Gempa bumi yang menghancurkan sebagian rumah di beberapa wilayah kota Yogyakarta . Pada rumah – rumah yang rubuh kondisi rumahnya menjadi tidak sepenuhnya sehat , sehingga mempengaruhi prosentase rumah sehat dan jumlah rumah di kota Yogyakarta. Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih guna mengembalikan kondisi perumahan yang memenuhi syarat kesehatan bagi masyarakat di Kota Yogyakarta. Persentase Sekolah dan Madrasah Sehat. Persentase sarana pendidikan sehat (sekolah dan madrasah ) merupakan salah satu tolok ukur dari lingkungan sehat. Jumlah sekolah di Kota Yogyakarta yang tercatat pada tahun 2006 sebanyak 421 sekolah. Jumlah sekolah yang diperiksa pada tahun 2006 sebanyak 395 sekolah (93,82%) sedangkan yang masuk kriteria sekolah sehat sebanyak 384 sekolah (97.22 % ). Jumlah sekolah pada tahun ini lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya karena ada beberapa sekolah yang sudah dilakukan penggabungan dan ada pula yang ditutup karena kekurangan siswa. Persentase Sarana Ibadah, Pesantren Sehat. Sarana ibadah yang dimaksud adalah masjid, gereja pura, vihara/klenteng yang berada di Kota Yogyakarta. Jumlah sarana ibadah di Kota Yogyakarta pada tahun 2006 sebanyak 378 buah sedangkan jumlah sarana ibadah yang diperiksa sebanyak 295 (78 %). Dari jumlah yang diperiksa, 283 sarana ibadah memenuhi syarat sehat, jadi persentase sarana ibadah sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006 adalah 74.9 %. Adapun pencapaian sarana ibadah sehat dari tahun 2002 - 2006 dapat dilihat pada grafik sebagai berikut: Grafik. 4.14 Trend Pencapaian Sarana Ibadah Sehat Di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 150 100
91.4
92.4
94.6
98.4 74.9
50 0 2002
2003
2004
2005
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2006
135
135
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Selain sarana ibadah, pesantren sehat juga dilihat sebagai tolok ukur Kota Sehat. Jumlah pesantren di Kota Yogyakarta tahun 2006 sebanyak 22 pesantren sedangkan jumlah yang sehat sebanyak 20 ( 78.3 % ). Persentase Tempat-tempat Umum Sehat. Secara keseluruhan, tempat-tempat umum (kantor, hotel, toko, pasar, restoran/rumah makan, salon kecantikan dll) di Kota Yogyakarta pada tahun 2006 sudah cukup sehat dengan persentase sebesar 96.6 % tempat-tempat umum sehat. Angka ini lebih tinggi dibanding tahun 2005 (92.96 %) meskipun sudah diatas target minimal yang diharapkan berdasarkan Standart Pelayanan Minimal (SPM) secara Nasional (50 % TTU sehat). Cakupan Keluarga dengan Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar. Sarana Sanitasi Dasar meliputi persediaan air bersih, jamban, tempat sampah dan pengelolaan air limbah. Cakupan kepemilikan sanitasi dasar dihitung dari jumlah KK yang memiliki dibagi jumlah KK yang diperiksa dikalikan seratus persen. Cakupan kepemilikan menurut jenis sanitasi dasar mulai tahun 2003-2006 adalah sebagai berikut : Tabel. 4.9 Cakupan Kepemilikan Sanitasi di Kota Yogyakarta Tahun 2003 sampai dengan 2006 No 1. 2. 3. 4.
Sarana Sanitasi Dasar
2003 80,65 % 97,16 % 18,00 % 85,65 %
Persediaan Air Bersih Jamban Tempat Sampah Pengelolaan Air Limbah
Tahun 2004 97,00 % 87,40 % 25,00 % 88,64 %
2005 96,20% 94,66% 87,37% 94,29%
2006 98 % 97 % 97 % 93 %
Sumber : Dinkes Kota Yogyakarta, 2006
c.
Perilaku Sehat
80 71.784
60 40
28.73
28.41
29.17
35.76
20.4
20 0 2001
136
2002
2003
2004
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2005
2006
Grafik. 4.15 Persentase Keluarga dengan Evaluasi PHBS di Kota Yogyakarta Tahun 2001-2006
Perilaku sehat di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari merupakan indikator hasil terhadap pencapaian Indonesia Sehat 2010. Adapun cakupan keluarga yang telah dilakukan evaluasi PHBS dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 adalah sebagai berikut:
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Cakupan PHBS tahun 2001 – 2004 didapat dari pendataan PHBS didaerah binaan Puskesmas. Tahun 2005 cakupan PHBS didapat dari Hasil Survey Cepat yang dilakukan dengan sample 210 KK setiap Blok . Tahun 2006 Cakupan didapat dari pendataan Total Populasi. Dari grafik diatas tampak adanya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat dari tahun 2004 sampai tahun 2006 di masyarakat yang selanjutnya tumbuh menjadi kecamatan sehat dan kota sehat. Angka tersebut sudah diatas target yang diharapkan secara Nasional yaitu 65 % keluarga berperilaku sehat berdasarkan indikator Indonesia Sehat tahun 2010. Namun demikian masih perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan cakupan keluarga yang berperilaku sehat di Kota Yogyakarta. Persentase Kepala Keluarga (KK) yang Melaksanakan PHBS Strata III dan Strata IV. Pada tahun 2005, keluarga (KK) yang telah dibina dalam ber-Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) ada 39.126 KK dari 45 kelurahan yang ada di Kota Yogyakarta. Dari jumlah tersebut 17.239 KK (44,06 %) telah melaksanakan PHBS sampai katagori strata III dan 16.937 KK (43,29 %) melaksanakan PHBS sampai katagori strata IV. Persentase (KK) yang melaksanakan PHBS strata III dan IV tahun 2002-2005 dapat dilihat pada grafik berikut: Grafik. 4.16 Persentase Keluarga Ber-PHBS Strata III dan IV Di Kota Yogyakarta tahun 2002-2005 100 80
2002 64.19
63.87
62.91
60
2003 23.51
40
26.74
26.2
20
2004
0 strata III
strata IV 2005
Keluarga dengan PHBS strata III dan IV di Kota Yogyakarta telah mencapai diatas target yang diharapkan secara nasional yaitu 60%. Berturut-turut dari tahun 2002 – 2005 adalah 87.70%, 90.61%, 89.11% dan 87,35% . Persentase tersebut diambil dari jumlah Keluarga (KK) yang dibina PHBS dari tahun 2002 – 2005.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
137
137
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Persentase Posyandu Purnama dan Mandiri. Perilaku sehat juga dibina di tingkat Posyandu, sehingga tingkat/strata posyandu yang dicapai juga menentukan keberhasilan perilaku sehat di masyarakat. Jumlah Posyandu di Kota Yogyakarta pada tahun 2006 tercatat sebanyak 630 pos tersebar di 45 kelurahan. Strata posyandu yang menjadi tolok ukur sebagai pendukung perilaku sehat adalah strata Purnama dan Mandiri. Berdasarkan jumlah posyandu yang ada (630 pos), 340 posyandu (53,90%) merupakan posyandu Purnama dan 245 posyandu (38,88%) merupakan posyandu Mandiri, sedangkan 45 posyandu (7,14%) yang lain masih strata Pratama dan madya. Menurut Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan secara nasional, cakupan posyandu Purnama dan Mandiri minimal di suatu wilayah adalah 40%. Capaian kinerja posyandu Purnama di Kota Yogyakarta telah diatas angka minimal yang diharapkan. Berikut cakupan posyandu Purnama dan mandiri menurut kecamatan di Kota Yogyakarta : Grafik. 4.17 Persentase Posyandu Purnama dan Mandiri Menurut Kecamatan Di Kota Yogyakarta Tahun 2005 100
100
100
100 88
100
97.22
91.3
89.47
89.23 86.36
89.29
86.96
88
90 80
71.43 67.57
70 60 50 40 30 20 10
ot a K
Te ga lre jo
Je t is
aja n
ed on gt en ge n G
W iro br
n
ga m pi la n N
on do m an a G
Pa ku al am an
eja n an ur D
ot ag ed e
on do ku su m an G
K
m bu lha rj o U
ra ton
M er ga ng sa n
K
M an t ri
jer on
0
Persentase Keluarga Tidak Merokok. Perilaku merokok adalah perilaku yang tidak mendukung untuk hidup sehat. Akibat dari merokok antara lain stroke, darah tinggi, kemandulan, jantung koroner, keguguran bagi ibu hamil dan masih banyak penyakit yang mengganggu kesehatan.
138
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Hasil survey pada penduduk (KK) yang menjadi sample pada tahun 2002 yaitu sebesar 44,3% yang tidak merokok, tahun 2003 sejumlah 40,18% sampel yang tidak merokok, sedangkan tahun 2004 sejumlah 42,39% yang tidak merokok ,tahun 2005 sejumlah 44.61 % penduduk yang tidak merokok dan pada tahun 2006 sejumlah 31.56 % penduduk tidak merokok. Grafik. 4.18 Persentase Keluarga Tidak Merokok Di Kota Yogyakarta Tahun 2002-2006 50 40 30 20 10 0
44.3
40.18
42.39
44.61 31.56
2002
2003
2004
2005
2006
Persentase Desa Dengan Garam Ber-Yodium Baik. Untuk menilai perilaku hidup sehat selain persentase KK yang tidak merokok, perlu juga dilihat cakupan desa yang penduduknya menggunakan garam beryodium. Berdasarkan hasil survey di Kota Yogyakarta pada tahun 2005 dari 45 kelurahan yang ada, 25 kelurahan telah menggunakan garam beryodium baik (55,56%) sedangkan pada tahun 2004 sebanyak 28 kelurahan (62,22%), yang berarti ada penurunan cakupan penggunaan garam beryodium di Kota Yogyakarta, dan angka ini masih dibawah target nasional berdasarkan SPM yaitu 90 % desa dengan garam beryodium baik. Upaya-upaya sosialisasi dan kampanye penggunaan garam beryodium serta manfaat penggunaannya sangat diperlukan untuk memberikan motivasi kepada masyarakat untuk merubah perilaku yang tadinya belum menggunakan garam beryodium, dapat secara mandiri menjadi menggunakan garam beryodium dalam setiap masakannya. Persentase Bayi Mendapatkan ASI Eksklusif. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif selama 6 bulan merupakan indikator perilaku sehat yang diharapkan. Cakupan Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif berturut-turut dari tahun 2002 – 2006 adalah 30,54% ; 38,14% ; 31,46% ; 46,12%.dan 40.29 %. Ada peningkatan ASI dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2005, tetapi pada tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup tajam . Dan ini merupakan suatu tantangan bagi petugas kesehatan agar pencapaian pemberian ASI ekslusif bisa memenuhi target nasional yaitu 80 % bayi mendapatkan ASI ekslusif . Karena dengan adanya pencapaian yang masih jauh dibawah target nasional hal ini merupakan tanda bahwa kesadaran para ibu dalam memberikan ASI masih perlu ditingkatkan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
139
139
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
dalam hal ini penyuluhan. Sehingga perlu ditingkatkan dengan memberikan penyuluhan pada ibu baru melahirkan untuk memberikan ASI-nya secara eksklusif sampai bayi usia 6 bulan. Selain penyuluhan dapat dilakukan pula sosialisasi, kampanye maupun konseling secara perorangan di Puskesmas untuk meningkatkan penggunaan ASI secara eksklusif. d. Pelayanan Kesehatan Termasuk di dalam indikator pelayanan kesehatan adalah rasio sarana kesehatan dasar terhadap penduduk, rasio sarana kesehatan rujukan terhadap penduduk, persentase persalinan yang ditolong tenaga kesehatan, persentase bayi yang telah diimunisasi lengkap dan persentase peserta KB terhadap pasangan usia subur (PUS). Rasio Sarana Kesehatan Dasar Terhadap Penduduk. Menurut jenis sarana kesehatan dasar yang ada di Kota Yogyakarta, maka dapat diketahui rasio sarana kesehatan dasar terhadap penduduk sebagai berikut : Tabel. 4.10 Rasio Sarana Kesehatan Dasar Terhadap Penduduk di Kota Yogyakarta, tahun 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis Sarana Puskemas dengan Rawat Inap Puskesmas Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling BKIA Balai Pengobatan / Klinik Apotik Laboratorium Kesehatan Bidan Praktek Swasta Praktek Dokter Bersama Praktek Dokter Umum Praktek Dokter Gigi
Jumlah Penduduk 522.847 522.847 522.847 522.847 522.847 522.847 522.847 522.847 522.847 522.847 522.847 522.847
Jumlah Sarana 3 18 12 18 13 5 115 8 69 5 571 148
Rasio 1: 1: 1: 1: 1: 1: 1: 1: 1: 1: 1: 1:
173.536 28.923 43.384 28.923 40.047 104.122 4.527 65.076 7.545 104.121 912 3.518
Sumber : Dinkes Kota Yogyakarta tahun 2006
Masing-masing sarana kesehatan dasar melayani sejumlah penduduk kota sesuai dengan jumlah sarana yang ada. Rasio Sarana Kesehatan Rujukan Terhadap Penduduk. Jenis sarana kesehatan rujukan di Kota Yogyakarta meliputi Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Khusus, Rumah Sakit Jiwa, Rumah sakit Bersalin, Rumah Bersalin. Rasio Sarana Kesehatan rujukan terhadap Penduduk adalah :
140
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.11 Rasio Sarana Kesehatan Rujukan Terhadap Penduduk di Kota Yogyakarta, tahun 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Sarana
Jumlah Penduduk 522.847 522.847 522.847 522.847 522.847 522.847
Rumah Sakit Umum Pemerintah Rumah Sakit Umum Swasta Rumah Sakit Jiwa Rumah Sakit Bersalin Rumah Sakit Khusus Rumah Bersalin
Jumlah Sarana 2 6 1 1 7 13
Rasio 1 : 260.304 1 : 86.768 1 : 520.608 1 : 520.608 1 : 74.373 1 : 40.047
Sumber : Dinkes Kota Yogyakarta tahun 2006
Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4. Untuk mendeteksi secara dini kesehatan ibu hamil dilakukan upaya pemeriksaan ibu hamil selama kehamilannya, dimulai dari usia kemailan 1 bulan sampai dengan 9 bulan. Cakupan program yang dilihat adalah kunjungan ibu hamil K1 dan K4. Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk pelayanan kesehatan ibu dan bayi adalah kunjungan ibu hamil K4. Cakupan K4 di wilayah Kota Yogyakarta tahun 2006 adalah 91.08 % berdasarkan PWS-KIA tahun 2006. Angka ini meningkat dari tahun 2005 yaitu 80.79 %. Cakupan kunjungan ibu hamil K4 di Kota Yogyakarta sudah melampaui target yang ditetapkan secara nasional yaitu 90 %. Persentase Persalinan yang Ditolong Tenaga Kesehatan. Secara keseluruhan persentase persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di Kota Yogyakarta tahun 2006 adalah 86.71 % ,dibandingkan dengan tahun 2005 yang angka pencapaian 90,58 % ini merupakan suatu penurunan . Padahal pada tahun – tahun sebelumnya ada peningkatan cakupan mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2005, yaitu berturut-turut 74,21% ; 87,56% ; 90,58, sehingga pada tahun 2005 sudah mencapai target yang diharapkan secara nasional yaitu 90 % persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. Hal ini bisa dimungkinkan sebagai akibat belum semua pesalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tercatat dengan benar. Berikut Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan menurut Puskesmas di Kota Yogyakarta tahun 2006:
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
141
141
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Grafik. 4.19 Persentase Persalinan Yang di Tolong Tenaga Kesehatan per Puskesmas di Kota yogyakarta Tahun 2006 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10
Ko ta
Jet is
Te ga lr e jo
jan W ir o b ra
Ge do ng ten ge n
Ng am p il an
Go nd om ana n
I
Pa ku al a ma n
Da nu r eja nI
Da nu r eja nI
I
II Go nd ok us um an I Go nd ok us um an II
Ko t ag ed e
I oI
oI
Ko t ag ed e
Um bu lha rj
Um bu lha rj
ton
an gsa n
Kra
Me rg
Ma nt ri jer on
0
Pada tahun ini cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan menurut puskesmas yang paling tinggi ada di Puskesmas Danurejan I dan Wirobrajan sedangkan yang paling rendah ada di Puskesmas Ngampilan. Jumlah ibu hamil yang digunakan sebagai pembagi adalah proyeksi ibu hamil sehingga kadang penghitungannya kurang sesuai dengan jumlah riil ibu hamil untuk mendapatkan angka persen cakupan. Cakupan Ibu Hamil Resiko Tinggi yang dirujuk. Cakupan Ibu hamil resiko tinggi yang dirujuk merupakan indikator pelayanan kesehatan ibu dan bayi pada indikator SPM nasional. Ibu hamil resiko tinggi di Kota Yogyakarta yang dirujuk pada tahun 2006 adalah 14.65 % data ini lebih kecil dibandingkan dengan data pada tahun 2005 yang mencapai 28,15 %. Intervensi yang dilakukan adalah dengan pemberian makanan tambahan (PMT-Bumil) untuk meningkatkan status gizi ibu hamil serta memotivasi minum tablet Fe secara rutin tidak hanya 90 tablet selama kehamilannya melalui konseling pada saat pemeriksaan kehamilan. Resiko tinggi yang dirujuk adalah yang disertai penyulit pada masa kehamilan (letak bayi melintang) dan penyulit saat persalinan (perdarahan). Persentase Peserta KB Terhadap Pasangan Usia Subur. Kepesertaan terhadap Keluarga Berencana (KB) merupakan upaya untuk
142
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
memberikan pelayanan kesehatan secara makro bagi ibu dan anak. Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Kota Yogyakarta pada tahun 2006 sebanyak 48.753 pasangan sedangkan yang menjadi peserta KB aktif sebesar 36.101 (74,05 %). Cakupan peserta KB aktif terhadap Pasangan Usia Subur (PUS) di Kota Yogyakarta dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 adalah sebagai berikut : Grafik. 4.20 Trend Kepesertaan KB Terhadap PUS Di Kota Yogyakarta Tahun 2001-2006 100 74.85
80
73.3 56.91
74.14
62
74.05
60 40 20 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
Kepesertaan KB aktif mengalami fluktuasi, sempat turun pada tahun 2002 dan meningkat mulai pada tahun 2003 sampai tahun 2005. Cakupan peserta KB tersebut telah diatas standart pelayanan minimal secara nasional yaitu 70 % pasangan usia subur menjadi peserta KB aktif. Persentase Bayi yang Telah Imunisasi Lengkap. Berdasarkan cakupan imunisasi campak, dapat diketahui persentase bayi yang telah diimunisasi lengkap di Kota Yogyakarta sebagaimana grafik berikut : Grafik. 4.21 Cakupan Imunisasi Campak di Kota Yogyakarta Tahun 2001 – 2006 140 120 100
120.6 89.92
90
93.23
80
96.74
100
60 40 20 0
2001
2002
2003
2004
2005
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2006
143
143
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Persentase bayi yang diimunisasi lengkap berdasarkan cakupan imunisasi campak / imunisasi dasar lengkap pada tahun 2006 lebih tinggi (100%) dari standart pelayanan minimal (80 %). Selain imunisasi campak, indikator lain yang dipakai untuk melihat standart pelayanan minimal pelayanan imunisasi adalah cakupan desa/kelurahan yang terlayani program Universal Child Imunization (UCI). Seluruh kelurahan di Kota Yogyakarta pada tahun 2006 telah tercakup program UCI (100%). Cakupan Ibu Hamil Mendapat Fe 90 Tablet. Cakupan ibu hamil mendapat tablet Fe pada tahun 2005 sebesar 60,21 % angka ini menurun dari tahun 2004 yaitu 73,48 %. Penurunan ini disebabkan ibu hamil tidak disiplin minum tablet Fe secara rutin, sehingga perlu dilakukan upaya pendampingan minum tablet Fe bagi Ibu hamil di wilayah Kota Yogyakarta. Secara umum cakupan tersebut diatas masih dibawah target standart pelayanan minimal nasional yaitu 90 % ibu hamil mendapat Fe 90 tablet. Cakupan Balita Mendapat Vitamin A 2x . Balita yang mendapat vitamin A sebanyak 2 kali dalam satu tahun di wilayah Kota Yogyakarta pada tahun 2006 dengan sasaran 17.918 sedangkan realisasi pemberian Vit. A sebanyak 22.148 (123,61%). Cakupan balita mendapat vitamin A 2 kali di Kota Yogyakarta untuk Tahun 2006 telah melampaui ah target pelayanan minimal nasional yaitu 100 %. Ketersediaan Obat Essensial dan Penulisan Resep obat Generik. Ketersedian obat essensial di puskesmas tahun 2006 telah sesuai kebutuhan artinya 100% terpenuhi (tabel SPM 23). Angka ini telah diatas target nasional yang diharapkan yaitu 70 %. Penulisan resep obat Generik di apotik yang tersebar di Kota Yogyakarta pada tahun 2006 sebanyak 236.168 resep (20,04%) dari 1.178.242 resep yang ada dengan jumlah apotik 114 . Jumlah ini konstan dari tahun 2005 seperti tercantum dalam tabel berikut: Tabel 4.12 Jumlah Apotik dan Persentase Penulisan Resep Generik di Kota Yogyakarta tahun 2004 -2006 No.
Uraian
1. Jumlah Apotik 2. Jumlah Resep total 3. Jumlah Resep Generik 4. Persentase Resep Generik Sumber : Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
144
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2004 115 1.243.670 257.255 20,69 %
Tahun 2005 114 1.178.242 236.168 20,04%
2006 114 1.178.242 236.168 20,04%
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Jumlah apotik di Kota Yogyakarta pada tahun 2006 masih tetap seperti tahun 2005 yaitu berjumlah 114 apotik, jumlah resep total dan jumlah resep generik pada tahun 2006 tidak mengalami perubahan, pesentase penulisan resep generik oleh dokter yaitu sebesar 20,04%. Angka ini jauh dibawah target yaitu 90% penulisan resep adalah resep generik. Cakupan Pelayanan Kesehatan Keluarga Miskin dan JPKM Gakin. Jumlah keluarga (KK) miskin di Kota Yogyakarta padatahun 2006 ada 31.367 seluruhnya dicakup dalam pelayanan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Pembiayaan Kesehatan. Pembiayaan kesehatan di Kota Yogyakarta pada tahun 2006 bersumber dari anggaran APBD Kota Yogyakarta, APBD Propinsi, APBN, Pinjaman Luar Negeri (PHLN) dan sumber pemerintah lain (Askes). Total anggaran kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2006 adalah Rp. 40.589.153.406,00 (Empat puluh milyar lima ratus delapan sembilan juta seratus lima puluh tiga ribu empat ratus enam rupiah). Persentase APBD Kesehatan terhadap APBD Kota Yogyakarta pada tahun 2006 adalah 6.65 %. Anggaran kesehatan per kapita Rp. 285.143,00. Meskipun jumlah anggaran kesehatan meningkat dari tahun 2005 sebesar Rp. Rp. 30.706.142.300,00, menjadi Rp. 40.589.153.406,00 sehingga persentase terhadap jumlah APBD kota Yogyakarta untuk tahun 2006 mengalami kenaikan dibanding tahun 2005, yaitu sebesar 1.41 %. Persentase anggaran kesehatan pada APBD Kota Yogyakarta masih perlu ditingkatkan untuk mendukung peningkatan program kesehatan. Sejalan dengan visi Indonesia Sehat 2010, maka Kabupaten Sleman dalam hal ini Dinas Kesehatan telah mengimplementasikan standar pelayanan minimal bidang kesehatan dengan tingkat capaian indikator standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kabupaten Sleman sebagaimana terlihat pada tabel berikut : Tabel. 4.13 Capaian Indikator SPM Bidang Kesehatan Kabupaten Sleman Indikator SPM 1.
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi a. Persentase cakupan kunjung-an ibu hamil K4 b. Persentase cakupan per-tolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang memiliki
Angka Absolut Pembilang Penyebut
Angka
Target 2010
12.730
13.252
96,6
95
12.361
12.649
97,72
90
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
145
145
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Indikator SPM
2
3.
4. 5. 6.
7.
8.
9.
Angka Absolut Pembilang Penyebut
kompetensi ke-bidanan c. Persentase ibu hamil resiko tinggi 741 2.650 yang dirujuk d. Persentase cakupan kunjung-an 12.009 12.047 neonatus e. Persentase cakupan kunjung-an 7.206 12.047 bayi f. Persentase cakupan bayi BBLR 56 68 yang di tangani Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia Sekolah a. Persentase cakupan deteksi dini 33.370 91.059 tumbuh kembang b. Persentase cakupan pe14.624 15.005 meriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru UKS dan dokter kecil) c. Persentase cakupan pelayan-an 19.713 20.636 kesehatan remaja Pelayanan Keluarga Berencana Persentase cakupan peserta Keluarga 116.229 145.833 Berencana Pelayanan Imunisasi Persentase desa/Kelurahan UCI 86 86 Pelayanan Pengobatan/Perawatan a. Persentase cakupan rawat jalan 271.196 910.586 b. Persentase cakupan rawat inap 13.997 910.586 Pelayanan Kesehatan Jiwa Persentase pelayanan gangguan jiwa 19.181 924.238 di sarana pelayanan kesehatan umum Pemantauan Pertumbuhan Balita a. Persentase balita yang naik berat 402.048 567.631 badannya b. Persentase balita bawa garis 201 31.391 merah/gizi buruk Pelayanan Gizi a. Persentase cakupan balita 65.721 62.251 mendapat kapsul vit. A 2 kali per tahun b. Persentase cakupan ibu hamil 10.610 13.253 mendapat 90 tabelt fe c. Persentase cakupan pem-berian 201 201 makanan pendamping ASI pada bayi BGM dari keluarga miskin d. Persentase balita gizi buruk yang 201 201 mendapat perawatan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar dan Komprehensif a. Persentase akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk
146
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Angka
Target 2010
27,96
100
99,68
90
59,82
90
82,35
100
36,65
90
97,46
100
95,53
80
79,70
70
100
100
29,78 1,54
15 1,5
2,08
80
70,83
80
0,64
5
105,57
90
80,06
90
100
100
100
100
-
80
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Indikator SPM
10.
11.
12. 13.
14. 15.
16.
17. 18. 19. 20. 21.
Angka Absolut Pembilang Penyebut
Angka
menangani rujukan ibu hamil dan neonatus b. Persentase ibu hamil risti/ 645 1.386 64,54 komplikasi yang tertangani c. Persentase neonatus resiko tinggi 90 131 68,70 yang tertangani Pelayanan Gawat Darurat Persentase sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat di akses masyarakat Penyelenggaraan penyelidikan Epidemologi dan Penanggulangan KLB dan Gizi Buruk a. Persentase desa/kelurahan 10 10 100 mengalami KLB yang ditangani < 24 jam b. Persentase kecamatan bebas 12 17 70,59 rawan gizi (KEP total PSG) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Folio Acute Flacid Paralysis (AFP) rate per 10 4 250 100.000 penduduk < 15 tahun Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru Persentase kesembuhan pen-derita 131 159 82,39 TBC BTA + Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA Persentase cakupan balita dengan 219 219 100 pneumonia yang di tangani Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS a. Persentase klien yang men11 11 100 dapatkan penanganan HIV-AIDS b. Persentase infeksi menular seksual 46 46 100 yang di obati Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD Persentase penderita DBD yang di 755 755 400 tangani Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare Persentase balita dengan diare yang 16.567 910.586 18,19 ditangani Pelayanan Kesehatan Lingkungan Persentase institusi yang dibina 973 1.391 69,95 Pelayanan Pengendalian Vektor Persentase rumah / bangunan bebas 93.757 107.245 87,42 jentik nyamuk aedes Pelayanan Hygiene Sanitasi di Tempat Umum Persentase tempat umum yang 1.454 1.726 84,24 memenuhi syarat Penyuluhan Perilaku Sehat a. Persentase rumah tangga sehat 2.236 2.400 93,17 b. Persentase bayi yang mendapat 3.761 6.023 62,44 ASI eksklusif c. Persentase desa dengan garam 72 86 83,72
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Target 2010 80 80
90
100 80 ≥1
> 85 100
100 100 80 -
70 > 95
80 65 80 90
147
147
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Indikator SPM
Angka Absolut Pembilang Penyebut
beryodium baik d. Persentase Posyandu Purnama 990 1.484 dan Mandiri 22. Penyuluhan P3 NAPZA Berbasis Masyarakat Persentase upaya penyuluhan 381 14.915 P3NAPZA oleh petugas kesehatan 23. Pelayanan Penyediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan a. Persentase ketersediaan obat 2.489.179.000 2.900.179 sesuai kebutuhan .000 b. Persentase pengadaan obat 76 esensial 88 c. Persentase pengadaan obat 81 generik 88 24. Pelayanan Penggunaan Obat Generik Persentase penulisan resep obat 693.002 728.173 generik 25. Penyelenggaraan Pembiayaan untuk Pelayanan Kesehatan Persentase cakupan jaminan 362.498 910.586 pemeliharaan kesehatan pra bayar 26. Pelayanan Pembiayaan untuk Gakin dan Masyarakat Rentan Persentase cakupan jaminan 191.680 191.680 pemeliharaan kesehatan Gakin dan masyarakat 27 Jenis Pelayanan yang Dibutuhkan (untuk daerah tertentu) a. pelayanan Kesehatan Kerja 3.851 29.417 persentase cakupan pelayan-an kesehatan kpd pekerja non formal b. pelayanan Kesehatan Usia Kerja 39.612 106.228 persentase pelayanan kesehat an pra usia dan usia lanjut c. pelayanan Gizi 60.500 234.472 persentase WUS mendapat kapsul yodium d. pencegahan dan Pem-berantasan 3.700 3.700 Penyakit HIV-AIDS persentase donor diskrining penyakit HIV-AIDS e. pencegahan dan pem-berantasan 23 23 penyakit malaria persentase penderita malaria di obati f. pencegahan dan pem-berantasan 23 23 penyakit kusta persentase kusta yang selesai berobat (RFT rate) g. pencegahan dan pem-berantasan 3 3 penyakit filaria-sis persentase kasus filariasis yang ditangani Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman
148
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Angka
Target 2010
66,71
40
2,55
15
85,83
90
86,36
100
92,05
100
95,17
90
39,81
80
100
100
13,09
80
37,29
70
25,80
80
100
100
100
100
100
> 90
100
> 90
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Capaian Indikator standar pelayanan minimal bidang pendidikan di lingkungan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta akan didahului dengan uraian pencapaian indikator SPM Bidang pendidikan di Kota Yogyakarta sebagaimana pada tabel berikut : Tabel. 4.14 Capaian Indikator SPM Bidang Pendidikan Kota Yogyakarta Sasaran Meningkatkan akses siswa usia wajib belajar pada tingkat pendidikan dasar dan menengah
Indikator -
-
Meningkatnya kualitas pendidikan pada tingkat pendidikan dasar hingga menengah formal dan non formal
-
Meningkatnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan formal dan non formal Meratanya kesempatan masyarakat dalam proses pembelajaran
-
-
-
-
Meningkatkan kelancaran administrasi perkantoran Meningkatkan Angka Partisipasi Sekolah dari 99% menjadi 99,7% untuk anak usia sekolah dari SD, SMP, SMA/SMK (APS SD 99,95%, SMP 99,83%, SMA 99,65%, dan SMK 99,63%) Meningkatkan beasiswa dari 90% menjadi 96% untuk warga kota yang tidak mampu untuk tingkat SD dari sisi jumlah siswa dan komponen sudah mencapai 100%, sedangkan jenjang SMP dan SMA/SMK dari sisi jumlah sudah 100% namun dari sisi komponen masih 90% Meningkatnya jumlah tenaga pendidik an yang bersertifikat dari 0% menjadi 15% Meningkatnya kualitas pendidikan yang merata pada setiap jenjang pendiikan dari 70% menjadi 90% Meningkatnya jumlah sekolah yang terakreditasi dari 70% menjadi 76% Meningkatkan standarisasi sarana dan prasarana dari 50% menjadi 56%
Meningkatnya kualitas pendidikan dari 85% menjadi 88%
Target
Realisasi
100%
100%
Pencapaian Target 100%
0,10%
0,10%
100%
6%
5%
83,33%
15%
9,98%
67%
6%
5%
80%
6%
8%
100%
6%
6%
100%
3%
3%
100%
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
149
149
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Sasaran
Indikator
Meningkatnya - Diperolehnya kenaikan baku kemampu-an mutu diatas rata-rata dari 0% siswa dari aspek menjadi 2% intelegensia, emosional dan spiritual Sumber : Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta
Target
Realisasi
2%
1,5%
Pencapaian Target 75%
Sementara itu capaian indikator kinerja pendidikan di Kabupaten Sleman dilihat dari pendidikan dasar dan menengah yang dilihat dari sudut pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan. Pemerataan Pendidikan. Berdasarkan Angka Partisipasi Kasar (APK) yang ada, APK tertinggi adalah pada tingkat SD/MI, yaitu sebesar 115,34% dan APK terendah ada pada tingkat SMA/MA, yaitu sebesar 74,56%. Tingginya APK adalah akibat banyaknya siswa dari luar daerah yang berada pada jenjang tersebut. Bila dilihat per jenis kelamin, ternyata masih ada perbedaan gender dilihat dari APK pada tingkat SD untuk laki-laki 116,75%, perempuan 112,37%. Untuk tingkat SMP, laki-laki 111,33%, perempuan 106,59% sedang pada tingkat SMA, laki-laki 62,30%, perempuan 98,29%. Tabel. 4.15 Indikator Pemerataan Pendidikan Dasar dan Menengah Kabupaten Sleman Tahun 2007/2008 No.
Indikator
SD+MI
1.
APK 115.34 a. Laki-laki 116.75 b. Perempuan 112.37 2. APM 98.78 3. Perbandingan 4.51 (SD/SMP Antarjenjang 4. Rasio -Siswa/Sekolah 164.95 -Siswa/Kelas 23.96 -Siswa/Guru 14.35 -Kelas/R.Kelas 0.90 -Kelas/Guru 0.59 5. Angka Melanjutkan 103.12 6. Tingkat Pelayanan Sekolah 129 Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman
150
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
SLTP+MTs
SM+MA
Lainnya
112.32 111.33 106.59 80.77 1.27 (SMP/SMA)
74.56 62.30 98.29 53.43
-
309.13 33.92 11.46 0.99 0.34 109.97 35
297.08 29.77 8.58 0.92 0.29 29
-
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Angka Partisipasi Murni (APM) yang tertinggi terdapat pada tingkat SD/MI, yaitu 98,78% dan yang terendah ditingkat SMA, yaitu 53,43%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada tingkat SD/MI, anak usia sekolah yang bersekolah lebih banyak dibandingkan dengan tingkat lainnya. Indikator selanjutnya yaitu tentang rasio siswa per sekolah, siswa per kelas, siswa per guru, kelas per ruang kelas dan kelas per guru. Rasio siswa per kelas terpadat terdapat pada tingkat SMP/MTs dengan angka 309,13 dan terjarang ada pada tingkat SD/MI dengan angka 164,95. sementara untuk rasio siswa per kelas terpadat terdapat pada tingkat SMP/MTs yaitu 33,92 dan terjarang terdapat pada tingkat SD/MI, yaitu 23,96. Rasio siswa per guru terbesar ada pada tingkat SD/MI, yaitu 14,35 dan terendah pada tingkat SMA/MA yaitu 8,58. besarnya rasio siswa per guru ini menunjukkan kurangnya guru pada tingkat tersebut. Sebaliknya kecilnya rasio menunjukkan kecukupan guru ditingkat tersebut. Pada tingkat angka melanjutkan di Kabupaten Sleman untuk jenjang tingkat SMP cukup tinggi, yaitu 103,12. sebaliknya angka melanjutkan ke tingkat SMA lebih besar bila dibandingkan dengan angka melanjutkan ke tingkat SMP, yaitu 109,97. salah satu sebab rendahnya angka melanjutkan ini karena banyak siswa yang melanjutkan ke sekolah di luar Kabupaten Sleman. Rendahnya jumlah sekolah di jenjang makin tinggi dapat dilihat pada tingkat pelayanan sekolah. Pada tingkat SD, tingkat pelayanan sekolah lebih besar, yaitu 129 jika dibandingkan dengan tingkat SMP maupun SMA. Hal ini disebabkan karena pada tingkat SD telah terjadi pemerataan dan wajib belajar SD 6 tahun telah berhasil. Sebaliknya, untuk tingkat SMP dan SMA, dilihat dari tingkat pelayanan sekolah belum merata yang diindikasikan pada tingkat pelayanan sekolah pada tingkat SMP sebesar 35 dan lebih besar pada tingkat SMA, yaitu 29. Pemerataan Pendidikan Tingkat SD/MI Berdasarkan APK yang ada, ternyata porsi APK terbesar adalah SD, yaitu 112,21% jika dibandingkan dengan MI, yaitu 3,02. hal yang sama juga terjadi pada APM. Untuk rasio siswa per sekolah terpadat ada pada tingkat SD dengan angka 166,04. hal ini menunjukkan bahwa SD di daerah ini lebih banyak diminati. Siswa per kelas yang ada pada saat pembangunan sekolah seharusnya diisi dengan 40 anak, ternyata pada kenyataannya juga sangat bervariasi. Rasi siswa per kelas SD adalah 24,97 dan MI 17,94. hal ini menunjukkan telah cukupnya SD dan MI yang ada.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
151
151
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.16 Indikator Pemerataan Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Kabupaten Sleman Tahun 2007/2008 No.
Indikator
SD
1.
APK 112.21 a. Laki-laki 114.51 b. Perempuan 109.92 2. APM 96.26 3. Rasio -Siswa/Sekolah 166.04 -Siswa/Kelas 24.97 -Siswa/Guru 14.85 -Kelas/R.Kelas 0.89 -Kelas/Guru 0.59 4. Tingkat Pelayanan Sekolah 128.19 Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman
MI
SD+MI
Lainnya
3.02 3.17 2.88 2.52
115.23 117.68 112.79 98.78
132.59 17.94 10.78 0.97 0.57 128.19
164.95 24.76 14.70 0.97 0.57 128.19
-
Rasio siswa per guru juga bervariasi dengan rasio terbesar ada pada tingkat SD yaitu 14,85 dan untuk tingkat MI sebesar 10,78. besarnya rasio ini menunjukkan kurangnya guru di SD dibandingkan dengan MI. Ruang kelas yang paling sering digunakan adalah untuk tingkat MI yaitu sebesar 0.97 sedangkan SD sebesar 0,89. Hal ini menunjukkan bahwa untuk tingkat MI masih memerlukan tambahan ruang kelas. Pemerataan Pendidikan Tingkat SMP/MTs Berdasarkan APK yang ada, ternyata porsi APK terbesar adalah SMP yaitu 98.95% jika dibandingkan dengan MTs, yaitu sebesar 16.05. hal yang sama juga terjadi pada APM. Bila dilihat per jenis kelamin, ternyata masih ada perbedaan jender baik di SMP maupun MTs, yaitu masih banyak siswa berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Banyaknya porsi SMP pada APK dan APM disebabkan anak bersekolah di SMP lebih banyak dibandingkan dengan MTs dan sesuai dengan jumlah sekolah yang ada, SMP lebih banyak di bandingkan dengan MTs. Tabel. 4.17 Indikator Pemerataan SMP dan MTs Kabupaten Sleman Tahun 2007/2008 No. 1.
152
Indikator APK a. Laki-laki b. Perempuan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
SMP
MTs
SMP+MTs
Lainnya
98.95 94.84 91.01
16.05 16.05 15.59
114.99 111.33 106.59
-
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Indikator
SMP
2. 3.
APM 68.78 Rasio -Siswa/Sekolah 309.24 -Siswa/Kelas 34.07 -Siswa/Guru 11.61 -Kelas/R.Kelas 0.93 -Kelas/Guru 0.32 4. Angka Melanjutkan 91.74 5. Tingkat Pelayanan Sekolah 33.98 Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman
MTs
SMP+MTs
Lainnya
11.99
80.77
308.50 33.05 10.66 0.91 0.32 21.52 0.56
309.13 33.92 11.46 0.93 0.34 103.12 34.54
-
Rasio siswa per sekolah terpadat ada pada tingkat SMP dengan angka 309.24. hal tersebut menunjukkan bahwa SMP di daerah ini lebih diminati. Siswa per kelas pada saat pembangunan sekolah seharusnya diisi dengan 40 anak, namun pada kenyataan nya juga sangat bervariasi. Rasio siswa per kelas di SMP adalah 34.07 dan MTs adalah 33.05. hal ini menunjukkan masih kurangnya siswa SMP dan MTs di daerah tersebut jika ada ketentuan per kelas 40 orang. Pemerataan Pendidikan Tingkat SM (SM dan MA) Berdasarkan APK yang ada, ternyata porsi APK terbesar adalah SMK, yaitu 41.27% jika dibandingkan dengan SMA *28.70%) dan MA (6.02%). Hal yang sama juga terjadi pada APM. Tingginya porsi APK dan APM pada SMK disebabkan banyaknya siswa yang bersekolah di SMK dibandingkan dengan jenis sekolah lainnya yang setingkat walaupun jumlah SMK lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah MA. Tabel. 418 Indikator Pemerataan SMA dan MA Kabupaten Sleman Tahun 2007/2008 No. 1.
Indikator
SMA
APK 28.70 a. Laki-laki 22.46 b. Perempuan 36.22 2. APM 20.29 3. Rasio -Siswa/Sekolah 252.57 -Siswa/Kelas 29.75 -Siswa/Guru 8.35 -Kelas/R.Kelas 0.83 -Kelas/Guru 0.28 4. Tingkat Pelayanan Sekolah 29.43 Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman
MA
SMK
SMA+MA
6.02 3.62 8.22 3.97
41.27 36.22 8.22 29.17
75.04 62.30 52.66 53.43
179.31 22.63 5.50 0.90 0.24 29.43
357.46 31.25 9.46 0.99 0.30 29.43
29.43
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
153
153
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Rasio siswa per sekolah terpadat ada pada jenjang SMK dengan angka357.46. Hal ini menunjukkan bahwa SMK di daerah ini lebih banyak diminati. Siswa per kelas pada saat pembangunan sekolah seharusnys 40 orang, ternyata kenyataannya juga sangat bervariasi. Rasio siswa per kelas terbesar adalah 31.25 di SMK dan terkecil 22.63 ada di MA. Hal ini menunjukkan masih kurangnya siswa di MA di Kabupaten Sleman. Rasio siswa per guru juga bervariasi dengan rasio terbesar di SMA dan SMK yaitu 9.46 dan terkecil 5.54 di MA. Besarnya rasio siswa per guru ini menunjukkan kurangnya guru di SMK dan SMA di bandingkan dengan MA. Peningkatan Mutu Pendidikan Untuk melihat mutu pendidikan dapat dilihat dari lima indikator mutu, yaitu mutu masukan, mutu proses, mutu SDM, mutu fasilitas dan biaya. Berdasarkan indikator mutu proses, yaitu angka mengulang, angka putus sekolah dan angka lulusan, ternyata angka mengulang terbesar terdapat pada tingkat SD, yaitu sebesar 4.31% dan terendah adalah pada tingkat SM yaitu sebesar 0.44%. Angka putus sekolah terbesar terdapat pada tingkat SM yaitu sebesar 0.44% dan terendah ada pada tingkat SD yaitu 0.05%. Bila dilihat angka lulusan ternyata angka tertinggi terdapat pada tingkat SD yaitu sebesar 97.29% dan terendah pada tingkat SMP/MTs sebesar 87.19%. Tabel. 4.19 Indikator Mutu Pendidikan Kabupaten Sleman Tahun 2006 No.
Indikator
1. 2. 3. 4. 5.
Persentase Lulusan Angka Mengulang Angka Putus Sekolah Angka Lulusan Angka Kelayakan Mengajar a. Layak b. Semi layak c. Tidak layak 6. Persentase Kondisi Ruang Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman
154
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
SD+MI
SLTP+MTs
SM+MA
97.29 4.31 0.05 97.29
87.19 0.60 0.37 87.19
94.03 0.44 0.99 94.03
79.74 16.26
82.34 7.29
81.81 10.98
54.08 22.44 23.49
82.58 12.08 5.33
86.68 7.75 5.57
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Peningkatan Mutu Pendidikan Tingkat SD/MI Berdasarkan mutu masukan dapat diketahui bahwa 97.38% siswa baru tingkat SD yang berasal dari TK atau sejenis lebih besar jika dibandingkan dengan MI. Angka mengulang terbesar terdapat pada MI yaitu sebesar 5.02%, sementara angka putus sekolah tertinggi terdapat pada SD, yaitu 0.05%. sedangkan angka kelulusan tertinggi terdapat pada tingkat SD, yakni 97.38% Tabel. 4.20 Indikator Mutu Pendidikan Tingkat SD Kabupaten Sleman Tahun 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Indikator Persentase Lulusan Angka Mengulang Angka Putus Sekolah Angka Lulusan Angka Kelayakan Mengajar a. Layak b. Semi layak c. Tidak layak 6. Persentase Kondisi R. Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman
SD 97.38 4.29 0.05 97.38
MI 90.60 5.02 0.00 90.60
79.70 16.47 3.83
81.63 8.63 9.73
53.35 22.91 23.74
82.15 6.73 11.12
Bila dilihat dari mutu SDM (Guru), maka persentase guru yang layak mengajar di MI lebih besar daripada SD. Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah. Ruang kelas dengan kondisi baik lebih banyak terdapat di MI yaitu sebesar 82.15%, sedangkan kondisi rusak berat paling banyak terdapat pada SD yaitu 23.74%. Banyaknya ruang kelas yang rusak berat menunjukkan mutu prasarana yang burut dan berakibat secara tidak langsung akan menurunkan mutu sekolah. Mutu Pendidikan Tingkat SMP/MTs Angka mengulang untuk tingkat SMP/MTS ternyata ada pada MTs, yakni sebesar 0.65%, angka putus sekolah terbesar terdapat pada MTs yaitu 0.57%. Sedangkan untuk angka kelulusan tertinggi ada pada tingkat SMP yaitu sebesar 88.83%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kinerja dalam indikator mutu proses terbaik adalah pada SMP, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya angka mengulang dan putus sekolah paling rendah serta angka lulusan yang paling tinggi.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
155
155
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.21 Indikator Mutu Pendidikan tingkat SLTP Kabupaten Sleman Tahun 2006 No.
Indikator
1. 2. 3. 4. 5.
Rasio NEM Lulusan/Siswa Baru Angka Mengulang Angka Putus Sekolah Angka Lulusan Angka Kelayakan Mengajar a. Layak b. Semi layak c. Tidak layak 6. Persentase Kondisi R Kelas a. Baik b. Rusak ringan c. Rusak berat Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman
SLTP
MTs
0.58 0.33 88.83
0.65 0.57 73.41
82.27 7.08 10.65
83.12 8.25 8.63
81.20 12.50 6.30
92.40 7.60 0.00
Bila dilihat dari mutu SDM (guru), maka persentase guru yang layak mengajar di MTs lebih besar daripada di SMP. Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah. Untuk sarana dan prasarana, ruang kelas dengan kondisi baik banyak terdapat di MTs yaitu sebesar 92.40%, sedangkan ruang kelas dengan kondisi rusak berat ada pada SMP, yaitu sebesar 6.30%. Masih banyaknya ruang kelas yang rusak berat, maka hal tersebut dapat menurunkan mutu sekolah. Mutu Pendidikan Tingkat SMU/SMK dan MA Angka mengulang untuk tingkat SMP/MTS ternyata ada pada MA yakni sebesar 1.38%, angka putus sekolah terbesar terdapat pada MA yaitu 0.97%. Sedangkan untuk angka kelulusan tertinggi ada pada tingkat MA yaitu sebesar 87.54%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kinerja dalam indikator mutu proses terbaik adalah pada SMA, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya angka mengulang dan putus sekolah paling rendah. Tabel. 4.22 Indikator Mutu Pendidikan tingkat SM Kabupaten Sleman Tahun 2006 No. 1. 2.
156
Indikator
SMU
SMK
MA
Rasio NEM Lulusan/Siswa Baru Angka Mengulang
0.51
0.38
1.38
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
3. 4. 5.
Angka Putus Sekolah Angka Lulusan Angka Kelayakan Mengajar a. Layak b. Semi layak c. Tidak layak 6. Persentase kondisi R Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman
0.53 72.30
0.96 87.18
0.97 87.54
84.90 10.41 4.69
77.35 15.71 6.94
82.95 9.30 8.17
86.29 13.11 0.60
89.58 8.35 2.07
84.18 1.79 14.04
Bila dilihat dari mutu SDM (guru), maka persentase guru yang layak mengajar di SMA lebih besar dibandingkan dengan dua jenis sekolah lainnya yang setingkat. Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah. Untuk sarana dan prasarana, ruang kelas dengan kondisi baik banyak terdapat di SMK yaitu sebesar 89.58%, sedangkan ruang kelas dengan kondisi rusak berat ada pada MA, yaitu sebesar 14.04%. Masih banyaknya ruang kelas yang rusak berat, maka hal tersebut dapat menurunkan mutu sekolah. 3.
Provinsi Kalimantan Selatan Di dalam Perda Nomor 15 Tahun 2006, secara umum disebutkan status kesehatan dan gizi masyarakat telah menunjukkan perbaikan, antara lain angka kematian bayi menurun dari 66 (1999) menjadi 45 per 1000 kelahiran hidup (2003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 373 (1995) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2003). Umur harapan hidup meningkat dari 61 tahun (2000) menjadi 62,2 tahun (2003), namun demikian angka-angka tersebut masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan propinsi maju lainnya maupun standar nasional. Perkembangan Keluarga Berencana (KB) dilihat dari tingkat TFR belum mendukung terwujudnya Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS), pada tahun 2000 TFR menunjukkan angka 3,0, sedangkan kondisi yang diinginkan PTS adalah 2,1. Masalah-masalah yang dihadapi dan perlu mendapat perhatian pada sektor kesehatan adalah : -
Beban ganda penyakit. Kinerja pelayanan kesehatan yang belum optimal Perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat. Rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; Rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan;
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
157
157
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
-
Terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata; Rendahnya status kesehatan penduduk miskin; Belum suksesnya penanganan keluarga berencana.
Sementara capaian indikator SPM di Kota Banjarmasin untuk bidang kesehatan nampak pada tabel berikut. Tabel. 4.23 Capaian Indikator SPM Kota Banjarmasin No 1.
2.
3. 4. 5.
6.
7.
8.
158
Indikator
Target 2010
Target
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi a. Cakupan kunjungan ibu hamil K4 90% 80% b. Cakupan pertolongan persalinan 90% 80% oleh bidan atau tenaga kesehatan c. Cakupan ibu hamil resiko tinggi 100% 100% yang dirujuk d. Cakupan kunjungan neonatus 90% 70% e. Cakupan kunjungan bayi 90% 70% f. Cakupan bayi BBLR yang 100% 100% ditangani Pelayanan kesehatan anak pra sekolah dan usia sekolah a. cakupan deteksi dini tumbuh 90% 70% kembang anak balita dan pra sekolah b. cakupan pemeriksaan kesehatan 100% 75% siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih c. cakupan pelayanan kesehatan 80% 35% remaja Pelayanan Keluarga Berencana - Cakupan peserta KB aktif 70% 70% Pelayanan Imunisasi - Desa/kelurahan UCI 98% 98% Pelayanan pengobatan/ perawatan a. cakupan rawat jalan 15% 12% b. cakupan rawat inap 1,5% 1% Pelayanan kesehatan jiwa - pelayanan gangguan jiwa di 15% 12% sarana pelayanan kesehatan umum Pemantauan pertumbuhan balita a. balita yang naik berat badannya 80% 65% (N/D) b. balita bawah garis merah <15% <15% Pelayanan Gizi a. cakupan balita mendapat kapsul 80% 80%
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2006 Capaian
Target
2007 Capaian
87,90% 90,72%
83% 83%
96,09% 92,76%
16,90%
100%
100%
97,26% 97,26% 115%
75% 75% 100%
98,31% 98,31% 100%
43,60%
75%
82.60%
70,14%
85%
97.26%
42,11%
45%
68,09%
97,80%
70%
70,07%
84%
98%
88%
124% 0%
13% 1,20%
142% 0%
95,47%
13%
100%
64,90%
70%
64,90%
1,5%
<15%
1.50%
89,78%
80%
78,72%
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
9.
10.
11.
12.
13. 14.
15.
16. 17.
18. 19.
Indikator
Target 2010
Target
2006 Capaian
Target
2007 Capaian
vitamin A 2 kali pertahun b. cakupan ibu hamil mendapat 90 80% 80% 22,65% 80% 82,12% tabelt Fe c. cakupan pemberian makanan 100% 100% 100% 100% 100% pendamping ASI pada bayi BGM dari keluaga miskin d. balita gizi buruk mendapat 100% 100% 100% 100% 100% perawatan Pelayanan obstetrik dan neonatal emergency gasar dan komprehensif a. Akses terhadap ketersediaan 80% 40% 0% 50% 0% darah dan komponen yang aman untuk menangani rujukan ibu hamil dan neonatus b. ibu hamil resiko tinggi/ ---80% 100% komplikasi yang ditangani c. neonatus resiko tinggi/ 80% 80% 100% 80% 100% komplikasi yang ditangani Pelayanan Gawat darurat - sarana kesehatan dengan 90% 30% 80% 40% 80% kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat diakses masyarakat Penyelenggaraan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan kejadian luar biasa/KLB giji buruk a. desa/kelurahan mengalami KLB 100% 100% 100% 100% 100% yang ditangani < 24 jam b. kecamatan bebas rawan gizi 80% 80% 100% 100% 100% Pencegahan dan pemberantasan penyakit Polio - acute flacid paralysis (AFP) rate ≥2 ≥2 4 ≥2 2 per 100.000 penduduk < 14 tahun Pencegahan dan pemberantasan penyakit TB Paru - kesembuhan penderita TBC BTA+ > 5% >85% 90% >85% 87,70% Pencegahan dan pemberantasan Penyakit ISPA Cakupan balita dengan 100% 100% 95,95% 100% 90,67% pneumonia yang ditangani Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS a. klien yang mendapatkan 100% 100% 100% 100% 100% penanganan HIV-AIDS b. infeksi menular seksual yang 100% 100% 100% 100% 100% diobati Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD - penderita DBD yang ditangani 80% 80% 100% 80% 100% Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare - Balita dengan diare yang 100% 100% 100% 100% 100% ditangani Pelayanan Kesehatan Lingkungan - institusi yang dibina 70% 70% 80% 70% 98% Pelayanan Pengendalian Vektor - Rumah/ bangunan bebas jentik >95% >80% 74% >80% 72%
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
159
159
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Indikator
Target 2010
Target
2006 Capaian
Target
nyamuk aedes Pelayanan Hyguene sanitasi Tempat-tempat Umum - Tempat-tempat umum yang 80% 80% 77,4% 80% memenuhi syarat 21. Penyuluhan Perilaku Hidup Sehat a. rumah tangga sehat 65% 65% 64,1% 65% b. bayi yang mendapat ASI Ekslusif 80% 80% 25,6% 80% c. desa dengan garam beryodium 90% 90% 100% 90% d. posyandu purnama dan mandiri 40% 25% 12,4% 30% 22. Penyuluhan P3 Napza - Upaya penyuluhan P3 NAPZA oleh 15% 3% 3% 6% petugas kesehatan 23. Pelayanan Penyediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan a. ketersediaan obat sesuai 95% 95% 95% 95% kebutuhan b. obat esensial 100% 100% 100% 100% c. pengadaan obat generik 100% 100% 100% 100% 24. Pelayanan Penggunaan Obat Generik - penulisan resep obat generik 100% 100% 95% 100% 25. Penyelenggaraan Pembiayaan untuk pelayanan kesehatan - cakupan jaminan pemeliharaan 80% 40% 15% 50% pra bayar 26. Penyelenggaraan Pembiayaan untuk Gakin dan Masyarakat rentan - cakupan jaminan pemeliharaan 100% 100% 88,62% 100% kesehatan gakin dan masyarakat rentan 27. Jenis Pelayanan yang dilaksanakan sesuai Kebutuhan (untuk daerah tertentu) a. Pelayanan Kesehatan Kerja : Cakupan pelayanan kesehatan 80% 10% 15% 20% . kerja pada pekerja formal b. Pelayanan kesehatan usia lanjut Cakupan pelayanan kesehatan 80% 80% 0% 70% pra usia lanjut dan usia lanjut c. Pelayanan gizi Cakupan wanita usia subur 80% 80% 0% 80% yang mendapat kapsul Yodium d. Pencegahan dan pemberantasan Penyakit HIV-AIDS Darah donor diskrining 100% 100% 0% 100% penyakit HIV-AIDS e. Pencegahan dan pemberantasan Penyakit Malaria Penderita malaria yang diobati 100% 100% 100% 100% f. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta Penderita kusta yang selesai 100% 100% 80% 80% berobat (RTF rate) g. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Filariasis Kasus filariasis yang ditangani 100% 100% 0% 100% Sumber : Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin. 20.
2007 Capaian
77,40%
65% 13,05% 58% 18,06% 6% 95% 100% 100% 95% 15% 100%
15% 70,22%
0% 0%
100% 80% 0%
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa capaian indiator SPM kesehatan Kota Banjarmasin menunjukkan kondisi yang bervariasi, yakni ada
160
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
yang telah mencapai target maupun yang belum mencapai target, sebagaimana uraian berikut:
Untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak telah mencapai target yang ditetapkan, baik target tahunan maupun target 2010. Sedangkan untuk pencapaian target nasional tidak dijelaskan dalam dokumen ini. Sebagai contoh, pada cakupan kunjungan ibu hamil K4 dari target 80% pada 2006 tercapai 87,9%, sedangkan pada tahun 2007 dari target 83% tercapai sebesar 96,09%. Angka capaian sebesar SPM nasional sebesar 95%. Pada indikator cakupan ibu hamil resiko tinggi yang dirujuk juga nampak telah mengalami kenaikan capaian yang luar biasa, dimana pada tahun 2006 hanya mampu mencapai 16,9% dari target 100%. Namun pada 2007 target tersebut mampu tercapai sebesar 100%. Capaian indikator yang paling minim (masih 0%) adalah pelayanan gizi dan pencegahan dan pemberantasan penyakit filariasis.
Dari ketiga indikator SPM tersebut nampak bahwa pemerintah Kota Banjarmasin masih belum sepenuhnya mencapai target-target SPM yang telah ditetapkan secara nasional. Hal ini disebabkan oleh beberapa permasalahan: 1) Keterbatasan sumber daya (dana dan manusia), 2) Minimnya sosialisasi dan pembinaan, dan 3) Persoalan koordinasi dengan pemerintah provinsi dan pusat. Namun demikian, pencapaian target indikator SPM sebenarnya sudah cuup baik, yang dapat dilihat dari capaian indikator bidang kesehatan Kota Banjamasin tersebut. Akan tetapi, untuk menjaga capaian indikator SPM agar tetap dalam kondisi yang cukup baik, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: Bagian TU
Banyaknya minat petugas Puskesmas untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi merupakan suatu hal yang sangat mengutungkan, tetapi prosedur yang ada tidak diikuti dengan baik sehinga menyulitkan petugas sendiri serta mengganggu kelancaran program pelayanan di Puskesmas. Pembinaan petugas Puskesmas yang menjadi tanggung jawab pimpinan Puskesmas masih kurang diperhatikan dengan baik. Masih kurangnya tenaga kesehatan baik di Puskesmas dan di Dinas Kesehatan yang menjalankan program kesehatan.
Subdin Kesehatan Keluarga
Kurang dimanfaatkannya waktu kunjungan ibu hamil (K1 dan K4) oleh petugas untuk memberikan informasi masalah kesehatan dan segala resiko kehamilan yang terjadi.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
161
161
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Masih rendahnya D/S atau partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan status gizi keluarga. Optimalisasi posyandu yang kurang sehingga masih terdapat kasus kurang gizi. Sistem pencatatan atau PWS KIA yang belum difungsikan dengan benar.
Subdin Pelayanan Kesehatan :
Sistem informasi Puskesmas yang belum berfungsi dengan baik dan penilaian kinerja yang belum baik. Masih menggunakan stratisikasi sebagai alat penilai Puskesmas. Keterpaduan program UKGS yang belum baik. Masih kurangnya tenaga medis dan paramedis untuk menjalankan program pelayanan kesehatan di Puskesmas.
Subdin Promosi Kesehatan :
Posyandu sebagai pos pelayanan yang melbatkan peran serta dari masyarakat kembali menunjukkan peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas. Pengembangan media yang belum optimal karena keterbatasan dana. Kegiatan penjaringan murid sekolah (SD dan lanjutan) masih kurang dan perlu ditingkatkan, karena keterbatasan SDM yang ada. Kegiatan promosi kesehatan di Puskesmas masih belum optimal karena tenaga promkes masih dirangkap dari program kesehatan lainnya.
Subdin Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Kesehatan Lingkungan :
Efektivitas dan aksesabilitas pelaksanaan imunisasi TT oleh petugas masih kurang dan perlu ditingkatkan. Delapan desa yang tidak UCI masih perlu ditingkatkan. Pelaksanaan klinik sanitasi tidak merata dan masih ada puskesmas yang belum melaksanakannya.
Adapun capaian indicator SPM bidang kesehatan Kabupaten Banjar adalah sebagai berikut: Tabel. 4.24 Capaian Indikator SPM Bidang Kesehatan Kabupaten Banjar No 1.
Indikator Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi a. Cakupan kunjungan ibu hamil K4 b. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
162
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Target Nasional
Target
2007 Capaian
95%
90%
90,2%
80%
85%
97,0%
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
2.
3. 4. 5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Indikator c. Cakupan ibu hamil resiko tinggi yang dirujuk d. Cakupan kunjungan neonatus e. Cakupan kunjungan bayi f. Cakupan bayi BBLR yang ditangani Pelayanan kesehatan anak pra sekolah dan usia sekolah a. cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah b. cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih c. cakupan pelayanan kesehatan remaja Pelayanan Keluarga Berencana - Cakupan peserta KB aktif Pelayanan Imunisasi - Desa/kelurahan UCI Pelayanan pengobatan/ perawatan a. cakupan rawat jalan b. cakupan rawat inap Pelayanan kesehatan jiwa - pelayanan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan umum Pemantauan pertumbuhan balita a. balita yang naik berat badannya (N/D) b. balita bawah garis merah Pelayanan Gizi a. cakupan balita mendapat kapsul vitamin A 2 kali pertahun b. cakupan ibu hamil mendapat 90 tabelt Fe c. cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi BGM dari keluaga miskin d. balita gizi buruk mendapat perawatan Pelayanan obstetrik dan neonatal emergency gasar dan komprehensif a. Akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk menangani rujukan ibu hamil dan neonatus b. ibu hamil resiko tinggi/ komplikasi yang ditangani c. neonatus resiko tinggi/ komplikasi yang ditangani Pelayanan Gawat darurat - sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat diakses masyarakat Penyelenggaraan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan kejadian luar biasa/KLB giji buruk a. desa/kelurahan mengalami KLB yang ditangani < 24 jam b. kecamatan bebas rawan gizi
Target Nasional 20% 90% 90% 100%
Target 25% 90% 90% 100%
90%
90%
19,6%
100%
100%
14,9%
80%
80%
16,5%
70%
70%
93,5%
100%
100%
94,8%
15% 1,5%
15% 1,5%
8,4% 0,07%
15%
15%
35,7%
80% <15%
80% <15%
91,3% 2,15%
90%
90%
75,0%
90% 100%
90% 100%
73,8% 100%
100%
100%
100%
80%
80%
-
80%
80%
81,6%
80%
80%
100%
90%
90%
100%
100%
100%
100%
80%
80%
100%
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2007 Capaian 79,5% 94,3% 94,6% 100%
163
163
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No 12.
13. 14.
15.
16. 17. 18. 19. 20.
21.
22. 23.
24. 25.
26. 27.
164
Indikator
Target Nasional
Pencegahan dan pemberantasan penyakit Polio - acute flacid paralysis (AFP) rate per 100.000 ≥1 penduduk < 14 tahun Pencegahan dan pemberantasan penyakit TB Paru - kesembuhan penderita TBC BTA+ 35% Pencegahan dan pemberantasan Penyakit ISPA - Cakupan balita dengan pneumonia yang 100% ditangani Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS klien yang mendapatkan pelayanan HIV-AIDS 100% Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD - penderita DBD yang ditangani 80% Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare - Balita dengan diare yang ditangani 100% Pelayanan Kesehatan Lingkungan - institusi yang dibina 70% Pelayanan Pengendalian Vektor - Rumah/ bangunan bebas jentik nyamuk >95% aedes Pelayanan Hyguene sanitasi Tempat-tempat Umum - Tempat-tempat umum yang memenuhi 80% syarat Penyuluhan Perilaku Hidup Sehat a. rumah tangga sehat 65% b. bayi yang mendapat ASI Ekslusif 80% c. desa dengan garam beryodium 90% d. posyandu purnama dan mandiri 40% Penyuluhan P3 Napza - Upaya penyuluhan P3 NAPZA oleh petugas 15% kesehatan Pelayanan Penyediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan a. ketersediaan obat sesuai kebutuhan 90% b. obat esensial 100% c. pengadaan obat generik 100% Pelayanan Penggunaan Obat Generik - penulisan resep obat generik 90% Penyelenggaraan Pembiayaan untuk pelayanan kesehatan - cakupan jaminan pemeliharaan pra bayar 80% Penyelenggaraan Pembiayaan untuk Gakin dan Masyarakat rentan - cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan 100% gakin dan masyarakat rentan Indikator Tambahan a. Pelayanan Kesehatan Kerja : Cakupan pelayanan kesehatan kerja pada 80%
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Target
2007 Capaian
≥1
1
85%
84,8%
100%
34,5%
100%
-
80%
100%
100%
91,2%
70%
91,2%
>95%
89,4%
80%
72,1%
65% 80% 90% 40%
21,8% 78,6% 11,5%
15%
16,7%
90% 100% 100%
89,9% 90,6% 90,1%
90%
96,9%
80%
100%
100%
100%
80%
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Indikator
pekerja formal b. Pelayanan kesehatan usia lanjut Cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut c. Pelayanan gizi Cakupan wanita usia subur yang mendapat kapsul Yodium d. Pencegahan dan pemberantasan Penyakit HIV-AIDS Darah donor diskrining penyakit HIV-AIDS e. Pencegahan dan pemberantasan Penyakit Malaria Penderita malaria yang diobati f. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta Penderita kusta yang selesai berobat (RTF rate) g. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Filariasis Kasus filariasis yang ditangani Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar
Target Nasional
Target
2007 Capaian
70%
70%
53,6%
80%
80%
-
100%
100%
100%
100%
100%
100%
>90%
>90%
63,2%
≥90%
≥90%
100%
Keberhasilan pencapaian target-target indikator SPM ditentukan oleh banyak faktor, di antaranya dukungan dari pemerintah daerah dengan menyediakan kebijakan-kebijakan lokal. Untuk pencapaian indikator SPM Kabupaten Banjar menunjukkan tingkat capaian yang cukup baik sebagaimana terdapat pada tabel di atas. Memang diakui ada beberapa indikator yang nilai capaiannya belum optimal, seperti: 4.
Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah, yang baru mencapai 19,6% dari target sebesar 90%. Cakupan rawat inap yang mencapai 0,07% dari target 1,5%. Cakupan balita dengan pneumonia yang ditangani baru mencapai 34,5% dari 100% yang menjadi target nasional. Bayi yang mendapat ASI ekslusif sebesar 21,8% dari target sebesar 80%. Posyandu purnama dan mandiri sebesar 11,5% dari target sebesar 40%.
Provinsi Bali Di Kota Denpasar target yang harus dicapai program kesehatan setiap tahunnya telah tertuang dalam Standar Pelayanan Minimal Kesehatan. Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada hakekatnya merupakan bentukbentuk pelayanan kesehatan yang selama ini telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, yang merupakan jenis pelayanan yang bersifat
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
165
165
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
spesifik daerah yang merupakan permasalahan kesehatan masyarakat dan terkait dengan kesepakatan global. Adapun Standar Pelayanan Minimal (SPM) dimaksud adalah sebagai berikut: Tabel. 4.25 Indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan Kota Denpasar No
1
Indikator
b. c. d. e. f.
b.
c.
2008
2009
2010
Persentase Cakupan kunjungan Bumil (K4) Persentase Cakupan Persalinan ditolong nakes Persentase Bumil Risti dirujuk Persentase cakupan kunjungan neonatus Persentase cakupan kunjungan bayi Persentase cakupan BBLR yang ditangani
%
95
95
95
95
95
95
%
90
100
100
100
100
100
%
100
100
100
100
100
100
%
90
90
90
95
95
95
%
90
80
85
90
95
100
%
100
100
100
100
100
100
Persentase cakupan deteksi tumbuh kembang anak balita dan prasekolah Persentase cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan/tenaga terlatih (guru UKS) atau dokter kecil Persentase cakupan yankes remaja
%
90
75
75
80
85
90
%
100
75
75
80
95
100
%
80
60
65
70
75
80
Persentase cakupan peserta KB aktif
%
70
80
80
83
85
90
%
100
100
100
100
100
100
Pelayanan Imunisasi b.
5
2007
Pelayanan Keluarga Berencana a.
4
2006
Pelayanan kesehatan anak pra sekolah a.
3
Nasional Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi a.
2
Target
Satuan
Persentase Desa/Keluraha UCI
Pelayanan pengobatan/perawatan
166
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Indikator
a. b. 6
b.
b. c.
d.
2008
2009
2010
%
15
20
25
30
35
35
%
1,5
10
10
15
15
20
Pelayanan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesh.umum
%
15
3
5
8
10
15
Persentase Balita yang naik berat badannya Persentase Balita bawah garis merah
%
80
70
70
75
80
85
%
< 15
< 15
< 15
< 15
< 15
< 15
Persentase cakupan balita mendapat Vit.A 2 kali per tahun Persentase cakupan ibu hamil mendapat 90 tablet Fe Persentase cakupan pemberian mkn pendamping ASI bayi BGM dari Gakin Persentase Balita Gizi buruk mendapat perawatan
%
90
90
90
90
95
95
%
90
80
80
85
90
90
%
100
100
100
100
100
100
%
100
100
100
100
100
100
Pelayanan Obstetrik & Neonatal Emergency Dasar & Komperhensif a.
b. c.
10
2007
Pelayanan Gizi a.
9
cakupan
2006
Pemantauan Pertumbuhan Balita a.
8
cakupan
Nasional
Pelayanan kesehatan jiwa a.
7
Persentase rawat jalan Persentase rawat inap
Target
Satuan
Persentase akses tersedianya darah dan komponen yang aman untuk menangani rujukan bumil dan neonatus Persentase bumil risti/komplikasi yang ditangani Persentase Neonatal resiko tinggi/komplikasi yang ditangani
%
80
75
80
80
85
90
%
80
75
8/0
80
85
90
%
80
75
80
80
85
90
%
90
100
100
100
100
100
Pelayanan Gawat Darurat a.
Persentase sarana kesehatan dg. Kemampuan yan gawat darurat yg dpt diakses masyarakat
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
167
167
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Indikator
Target
Satuan Nasional
11
b.
16
Cakupan Pneumonia
Persentase IMS diobati
%
80
100
100
100
100
100
%
80
80
80
85
90
95
≥1
>1
>1
>1
>1
>1
> 85
> 85
> 85
> 85
> 85
> 85
100
90
95
100
100
100
%
%
%
klien pelayanan
%
100
100
100
100
100
100
%
100
100
100
100
100
100
80
75
80
85
85
85
%
100
75
80
90
95
100
%
70
-
-
-
-
-
%
> 95
> 95
> 95
> 95
> 95
> 95
%
80
85
86
88
89
90
%
65
70
73
75
80
85
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD Persentase penderita DBD ditangani
%
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare Persentase Balita Diare ditangani
Pelayanan Kesehatan Lingkungan Persentase institusi yg dibina kesling
Pelayanan pengendalian vektor Persentase ABJ
Pelayanan Hygiene Sanitasi Tempat Umum e.
21
Persentase Balita dg ditangani
b.
a. 20
Persentase kesembuhan TB - BTA (+)
Persentase mendapat HIV-AIDS
a. 19
Persentase AFP rate per 100.000 penduduk <15 th
a.
a. 18
Persentase Desa/Kelurahan KLB yg ditangani <24 jam Persentase kecamatan bebas rawan gizi
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS
a. 17
2010
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA a.
15
2009
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru a.
14
2008
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Polio a.
13
2007
Penyelenggaraan penyelidikan epid & penangg. KLB & Gizi Buruk a.
12
2006
Persentase memenuhi syarat
TTU
Penyuluhan perilaku Sehat a.
Persentase RT sehat
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Denpasar
168
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Hasil SUSENAS 1999 menunjukan bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) di propinsi Bali sebesar 30,71 per 1000 kelahiran hidup. Hasil SKRT 1999 di JawaBali tentang pola penyebab kematian bayi adalah gangguan perinatal (33,5%, penyakit sistem pernapasan 32,1%, Diare 9,6%, Penyakit sistem syaraf 6%, penyakit infeksi dan parasit lain 4,1%, tetanus 2,3%. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Denpasar mulai mengalami peningkatan dari 7,7 per 1000 KH pada tahun 2004 menjadi 14,8 per 1000 KH pada tahun 2006. Jika dibandingkan dengan cakupan AKB di Tingkat Propinsi Bali pada tahun 2006 yaitu sebesar 9,64 per 1000 KH, cakupan AKB di Kota Denpasar masih lebih tinggi, namun masih dibawah target nasional yaitu sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup maupun target Propinsi dan Kota Denpasar sebesar 30 per 1000 kelahiran hidup. Rendahnya Angka Kematian Bayi di Kota Denpasar menunjukan pelayanan kesehatan bagi bayi cukup baik karena petugas dan sarana kesehatan sudah menjangkau seluruh wilayah desa/kelurahan yang ada di Kota Denpasar. Sementara itu Angka Kematian Balita (AKABA) (1-5 tahun) adalah jumlah kematian anak umur 1-5 tahun per 1000 kelahiran hidup. AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak-anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak balita seperti gizi, sanitasi, penyakit infeksi dan kecelakaan. Angka Kematian Balita (AKABA) di Kota Denpasar dalam lima tahun terakhir tergolong masih rendah meskipun ada peningkatan dari 0,32% pada tahun 2005 menjadi 6,34% pada tahun 2006. Kalau dibandingkan dengan estimasi kematian Balita di propinsi Bali yang dihitung dari Badan Pusat Statistik tahun 1999 sebesar 59 per 1000 kelahiran hidup, angka tersebut tergolong masih rendah. Kalau dilihat dari Hasil SKRT 1999 di Jawa Bali menunjukan 5 penyebab kematian balita yaitu penyakit sistim pernafasan 30,8%, gangguan perinatal 21,6%, diare 15,3%, Infeksi dan parasit lain 6,3%, saraf 5,5%, tetanus 3,65 %. Rendahnya angka kematian balita (AKABA) di Kota Denpasar disebabkan karena baiknya gizi balita, rendahnya faktor risiko yang mengakibatkan kematian bagi balita, perilaku orang tua dalam pemberian gizi anak cukup baik serta peranan dari petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Untuk Kematian Ibu Maternal (AKI) berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi, kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, waktu melahirkan dan masa nifas. Angka kematian ibu sampai saat ini baru diperoleh dari survei-survei terbatas seperti penelitian dan pencatatan pada 12 rumah sakit pendidikan (1977-1980) diperoleh AKI 370 per 100.000 kelahiran hidup. Hasil SKRT 1997 Angka Kematian Ibu sebesar 373 per 100.000 kelahiran hidup.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
169
169
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Angka kematian ibu maternal di Kota Denpasar dalam lima tahun terakhir berfluktuatif dimana AKI tertinggi terjadi tahun 2004 sampai pada tahun 2006, maka Angka Kematian Ibu (AKI) di Kota Denpasar berada dibawah dari Angka Kematian Ibu (AKI) di Tingkat Propinsi Bali maupun nasional. Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) merupakan serangkaian kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi dan derajat kesehatan dalam lingkup keluarga yang kegiatannya difokuskan di posyandu. Upaya penanggulangan masalah kurang vitamin A masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi pada anak balita pada bulan Pebruari dan Agustus. Kontribusi kapsul vitamin A dosis tinggi diintegrasikan melalui posyandu dan Puskesmas. Secara umum cakupan vitamin A dosis tinggi pada balita di Kota Denpasar sudah melebihi target tahunan yang telah ditetapkan baik di tingkat propinsi Bali maupun Kota Denpasar. Sedangkan upaya penanggulangan anemia gizi diprioritaskan pada kelompok rawan yaitu ibu hamil, balita, anak usia sekolah wanita usia subur termasuk remaja putri dan pekerja wanita. Selama ini upaya penanggulangan anemia gizi difokuskan kepada sasaran ibu hamil dengan suplementasi tablet besi folat (200 mg feSO4 dan 0,25 mg asam folat) dengan memberikan setiap hari 1 tablet selama minimal 90 hari berturut-turut. Untuk Kota Denpasar menunjukkan bahwa cakupan Fe 1 dan Fe 3 pada ibu hamil secara umum sudah melebihi target yang telah ditetapkan untuk masing-masing tahun. Kota Denpasar pada dasarnya bukan merupakan daerah endemik GAKY (gangguan akibat kekurangan yodium). Namun demikian sebagai upaya pencegahan terhadap GAKY telah dilakukan pemantauan terhadap penggunaan/konsumsi garam beryodium di tingkat kecamatan dengan mengambil 42 desa/kelurahan sebagai sampel. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa hanya 69,05% saja atau 29 desa/kelurahan yang tergolong dalam kategori baik. Bayi dengan berat badan di bawah 2500 gram atau Bayi dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) pada saat lahir tergolong kasus BBLR yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit dan berpotensi menderita gizi buruk jika tidak ditangani dengan baik. Jumlah kasus bayi BBLR dalam lima tahun terakhir berfluktuatif, dimana kasus paling banyak terjadi pada tahun 2003 sebanyak 848 kasus kemudian tahun 2004 dan tahun 2005 menurun menjadi 239 kasus dan 221 kasus, namun pada tahun 2006 kasus bayi BBLR kembali meningkat menjadi 261 kasus. Untuk mengukur keadaan status gizi anak balita saat ini digunakan standar WHO – NCHS, kasus gizi buruk pada balita di Kota Denpasar menunjukkan adanya peningkatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, namun secara umum masih dibawah ambang batas yang telah ditetapkan yaitu < 1 %. Untuk pemantauan tumbuh kembang balita sampai saat ini masih mengacu pada hasil penimbangan bulanan balita di posyandu. Balita
170
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
mengalami hambatan atau gangguan dalam pertumbuhan apabila posisi berat badan anak berada di bawah pita warna merah atau BGM. Jumlah balita BGM di Kota Denpasar dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan dari 0,1% pada tahun 2002 menjadi 0,79% pada tahun 2006. Meskipun kasus balita gizi buruk maupun kasus balita BGM di Kota Denpasar mengalami peningkatan dalam kurun waktu lima tahun, namun secara umum masih berada dibawah ambang batas yang telah ditetapkan. Ini menunjukkan bahwa upaya menciptakan SDM yang berkualitas sudah mendapatkan perhatian yang sangat serius dari Pemerintah Kota Denpasar. ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi mulai dari lahir sampai berumur 6 bulan tanpa diberi makanan tambahan apapun karena sampai umur tersebut kebutuhan zat gizi bayi bisa dipenuhi dari ASI atau air susu ibu saja. Berdasarkan Data yang diperoleh menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir cakupan ASI eksklusif di Kota Denpasar berfluktuatif dan masih di bawah target yang ditetapkan baik secara nasional (80%) maupun target yang ditetapkan secara lokal (70%). Posyandu merupakan salah satu upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM). Di Kota Denpasar, lambatnya perkembangan posyandu ke arah posyandu mandiri tidak terlepas dari kurang berperan sertanya masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan posyandu terutama dalam hal dukungan dana untuk operasional kegiatan posyandu yang berasal dari bantuan pemerintah. Untuk pemberantasan Penyakit menular Bersumber Binatang seperti Malaria, Angka kesakitan malaria untuk Jawa Bali diukur dengan Annual Parasite Rate Incidence (API). Sampai dengan tahun 2006 baru terdapat 2 kasus penyakit malaria di Kota Denpasar. Demam Berdarah Dengue (DBD) Jumlah kasus demam berdarah di Kota Denpasar cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Angka insiden Demam Berdarah Dengue (DBD) sempat mengalami penurunan sampai batas terendah pada tahun 2004 menjadi 178,3 kasus per 100.000 penduduk. Namun kondisi tersebut tidak bertahan lama karena terjadi lagi lonjakan kasus dan puncaknya pada tahun 2006 kasus DBD sampai mencapai angka 517 per 100.000 penduduk Kota Denpasar. Penyakit diare masih merupakan salah satu faktor penyebab kematian pada balita. Adanya di Kota Denpasar trend lonjakan kasus ini perlu segera diantisipasi untuk menghindari terjadinya KLB di tahun-tahun yang akan datang. Jumlah kasus pneumonia pada balita yang dilaporkan berobat di sarana pelayanan kesehatan baik di Puskesmas maupun RSU dalam lima tahun terakhir di Kota Denpasar berfluktuatif yang menunjukkan bahwa prevalensi kasus penyakit pneumonia pada balita di Kota Denpasar dalam lima tahun terakhir berfluktuatif dimana kasus tertinggi terjadi pada tahun 2003 (14,47%),
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
171
171
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
kemudian terjadi penurunan prevalensi kasus pada tahun 2004 (8,32%) dan tahun 2005 (2,51%), namun pada tahun 2006 kasus kembali meningkat dengan prevalensi 7,02%. Penyakit tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa pada tahun 2004 dan tahun 2005 kasus Tuberkulosis Paru di Kota Denpasar mengalami penurunan masing-masing menjadi 0,28 per 1000 penduduk dan 0,22 per 1000 penduduk, akan tetapi pada tahun 2006 penemuan kasus meningkat lagi menjadi 0,60 per 1000 penduduk Kota Denpasar. Untuk Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) Penyebaran HIV-AIDS tidak mengenal batas daerah maupun wilayah. Perkembangan kasus AIDS dan infeksi HIV yang dilaporkan di Kota Denpasar Meningkatnya kasus HIV-AIDS disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurang baiknya perilaku sex dan pemakaian narkoba melalui jarum suntik serta adanya darah yang tercemar virus HIV saat tranfusi darah dilaksanakan. Salah satu upaya dalam rangka menanggulangi penularan HIV – AIDS melalui tranfusi darah, maka pada tahun 2006 Unit Tranfusi Darah (UTD) PMI Cabang Kota Denpasar melakukan skrining terhadap 1.587 pendonor darah. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.495 sampel darah diperiksa dan hasilnya sebanyak 16 sampel darah (1,07%) postif terinfeksi HIV-AIDS. Infeksi Menular Seksual (IMS) IMS merupakan jenis penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang mengidap IMS. Kasus penyakit infeksi menular seksual (IMS) dalam lima tahun terakhir paling banyak tercatat pada tahun 2003 yaitu terjadi penurunan jumlah kasus mulai tahun 2004 sampai tahun 2006. Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti Poliomyelitis dan Acute Flaccid Paralysis (AFP) merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyebab penyakit tersebut adalah virus polio. Hasil surveilens aktif pada tahun 2002 s/d 2006 di Kota Denpasar kasus lumpuh layuh (AFP) di Kota Denpasar dalam periode lima tahun cenderung mengalami peningkatan. Penyakit campak adalah penyakit akut yang mudah menular baik pada balita, anak-anak maupun orang dewasa yang disebabkan oleh virus campak dalam lima tahun terakhir paling tinggi terjadi pada tahun 2002 (3,81%) namun berkat pelaksanaan imunisasi campak secara rutin di puskesmas pada bayi atau balita sehingga prevalensi penyakit campak sudah bisa ditekan menjadi 0,96 % pada tahun 2006. Upaya-upaya Pencegahan terhadap Penyakit Gigi dan Mulut, Pelayanan kesehatan gigi dasar meliputi tumpatan gigi tetap sebanyak 7.449 (63,84%) dan pencabutan gigi tetap 4.220 (36,16%). Rasio tambal dan cabut sebagai pelayanan dasar gigi dan mulut di Kota Denpasar mencapai angka 1,8. Disamping perawatan kesehatan gigi dan mulut yang dilaksanakan di tingkat puskesmas, kegiatan ini juga dilaksanakan di tingkat sekolah dasar atau sederajat melalui program UKGS sebagai program promotif dan preventif kesehtan gigi dan mulut di tingkat sekolah dasar atau sederajat.
172
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), untuk menanggulangi rumah tangga yang rawan terhadap penyakit infeksi dan non infeksi, maka setiap rumah tangga yang ada perlu diberdayakan untuk melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Data lima tahun terakhir menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah rumah tangga yang ber-PHBS di Kota Denpasar mulai tahun 2002 s/d 2005 upaya ini dilakukan dengan menggerakkan dan memberdayakan keluarga atau anggota rumah tangga untuk hidup bersih dan sehat agar setiap keluarga tahu, mau dan mampu menolong diri sendiri di bidang kesehatan. Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan NAFZA, beberapa perilaku masyarakat yang merugikan kesehatan antara lain penggunaan narkotika, obat psikotropika dan zat aditif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi penyalahgunaan NAFZA adalah penyebarluasan informasi kesehatan melalui penyuluhan kepada anak sekolah serta kelompok potensial lainnya di masyarakat. Program Kesehatan Lingkungan, Penyakit infeksi dan parasit berkaitan dengan penggunaan air bersih, jamban keluarga, pengelolaan sampah dan pembuangan air limbah. Persentase keluarga yang memiliki akses air bersih di Kota Denpasar pada tahun 2006 sudah mencapai 100%. Akses air bersih bersumber dari ledeng dengan persentase tertinggi yaitu 68,92% kemudian diikuti akses air bersih bersumber dari sumur gali 28,93%, sumur pompa tangan (SPT) 4,15% dan yang terkecil bersumber dari lain-lain sebesar 0,10%. Upaya ini termasuk Rumah/Bangunan Bebas Jentik dalam rangka pencegahan terhadap DBD, di Kota Denpasar telah dilakukan pengamatan jentik secara berkala dan cakupan KK yang memiliki jamban dan sarana sanitasi berupa tempat sampah pada tahun 2006 tidak dilaporkan. Pengelolaan air limbah ditingkat keluarga sudah mulai mendapatkan perhatian. Dari 113.850 KK yang ada, yang memiliki pengelolaan air limbah sebanyak 87.552 KK (76,90%). Pelayanan kesehatan bertujuan meningkatkan pemerataan dan mutu upaya kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna serta terjangkau oleh segenap masyarakat. Sasarannya adalah tersedianya pelayanan kesehatan dasar dan rujukan oleh pemerintah dan swasta yang didukung oleh partisipasi dan sistem pembiayaan pra upaya. Program ANC bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan. Kegiatan ANC di Kota Denpasar meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, Kunjungan ibu hamil (K1 dan K4) dan kunjungan neonatus. Cakupan kegiatan ANC dalam lima tahun terakhir rata-rata mengalami penurunan. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2004 merupakan hasil tertinggi yang pernah dicapai (100%), sedangkan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
173
173
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
dua tahun sebelumnya (2002 s/d 2003) serta dua tahun sesudahnya (2005 s/d 2006) hasil yang dicapai berada di bawah target yang ditetapkan secara nasional (95%). Cakupan kunjungan ibu hamil (K4) dengan hasil tertinggi hanya tercapai pada tahun 2003 yaitu sebesar 95,31% sedangkan cakupan terendah dicapai pada tahun 2006 yaitu sebesar 68,98%. Secara umum cakupan kunjungan ibu hamil (K4) masih berada di bawah target yang ditetapkan (95%). Cakupan kunjungan neonatus dalam lima tahun terakhir kelihatan berfluktuatif. Kunjungan melebihi target yang ditetapkan tercapai pada tahun 2002, 2003 dan 2005, sedangkan cakupan yang berada di bawah target yang ditetapkan (90%) yaitu tahu 2004 (89,37%) dan 2006 (79,60%). Imunisasi Bayi dan Ibu hamil, Secara Nasional cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) ditetapkan 100%. Cakupan Desa/Kelurahan UCI di Kota Denpasar pada tahun 2006 sudah mencapai 100%. Dalam lima tahun terakhir cakupan imunisasi untuk bayi yang meliputi imunisasi BCG, HB3, Campak, Polio 3, Polio 4, DPT1 dan DPT 3 rata-rata sudah melebihi target yang telah ditetapkan. Namun khusus untuk cakupan imunisasi HB3 pada tahun 2006 hasilnya masih berada di bawah target yang telah ditetapkan. Imunisasi pada ibu hamil meliputi imunisasi TT1 dan TT2. Cakupan imunisasi TT1 dan TT2 pada ibu hamil tiap tahunnya mengalami penurunan. Pada tahun 2006 Cakupan imunisasi TT1 mencapai 69,91% sedangkan TT2 mencapai 62,19%. Hasil ini masih jauh dari target yang ditetapkan yaitu 100% untuk TT1 dan 90% untuk TT2. Adanya penurunan cakupan TT ibu hamil ini kemungkinan disebabkan beberapa factor antara lain mobilitas bumil yang cukup tinggi, atau beralih ke dokter spesialis kandungan (obgyn) dan juga ke tempat praktek bidan swasta. Untuk mengantisipasi kemungkinan penurunan cakupan imunisasi pada tahun berikutnya, maka kinerja provider dalam hal ini baik petugas kesehatan di tingkat Kota Denpasar maupun puskesmas serta instansi terkait lainnya agar lebih ditingkatkan, serta penetapan sasaran imunisasi yang lebih akurat. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita, Deteksi dini tumbuh kembang balita atau anak prasekolah adalah upaya penjaringan yang dilaksanakan untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang secara dini dan mengetahui serta mengenal faktor resiko terjadinya penyimpangantumbuh kembang tersebut. Bentuk pelayanannya meliputi pemeriksaan kesehatan, pemantauan berat badan dan deteksi tumbuh kembang. Pelayanan kesehatan pada kelompok remaja difokuskan pada siswa SMP/SMU. Cakupan pelayanan kesehatan pada kelompok remaja di Kota Denpasar tahun 2006 baru mencapai 18,24% atau pelayanan kesehatan pada kelompok remaja telah dilakukan pada 8.569 siswa SMP/SMU dari 46.974 siswa SMP/SMU yang ada di Kota Denpasar.
174
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Upaya untuk menjaga agar kondisi para pra usia lanjut dan usia lanjut tetap sehat dan produktif di masyarakat dan tidak menjadi beban bagi keluarga telah terintegrasi melalui program posyandu usia lanjut. Pelayanan yang diberikan posyandu usia lanjut meliputi senam lansia, pemberian paket obat, PMT dan pemeriksaan kesehatan. Cakupan pelayanan kesehatan pada kelompok pra usia lanjut dan usia lanjut mencapai 61,57% atau sebanyak 6.218 pra usia lanjut dan usia lanjut telah memperoleh pelayanan kesehatan dari 10.083 pra usia lanjut dan usia lanjut yang ada. Dibandingkan dengan standar pelayanan minimal bidang kesehatan, maka cakupan pelayanan pra usia lanjut dan usia lanjut di Kota Denpasar masih di bawah target yang ditetapkan (70%) Untuk Pelayanan Keluarga Berencana, pada tahun 2006 tercatat sebanyak 69.737 Wanita usia subur (WUS) di Kota Denpasar. Dari jumlah tersebut sebanyak 57.700 WUS (82,74%) merupakan peserta KB aktif dan 7.398 (10,61%) merupakan peserta KB baru. Sarana Pelayanan Kesehatan seperti Puskesmas, di Kota Denpasar telah dibangun 10 buah Puskesmas induk yang telah memiliki kemampuan gawat darurat serta kemampuan laboratorium dan 26 buah puskesmas pembantu. Rumah sakit yang ada di Kota Denpasar terdiri dari 3 buah rumah sakit pemerintah dan 13 buah rumah sakit swasta yang secara keseluruhan sudah memiliki kemampuan gawat darurat, memiliki akses ketersediaan darah untuk ibu hamil dan neonatus yang dirujuk, memiliki kemampuan laboratorium kesehatan serta khusus. Pelayanan Penyediaan Obat Dan Perbekalan Kesehatan, dalam rangka menunjang pelayanan kesehatan di Kota Denpasar dibutuhkan 105 jenis Obat Essensial dan 104 jenis Obat Generik. Pada tahun 2006 ketersediaan obat sesuai kebutuhan baru mencapai 62% untuk Obat Essensial dan 68% untuk Obat Generik. Jika mengacu pada SPM (Standar Pelayanan Minimal) dalam Pelayanan dan Penyediaan Obat, maka ketersdiaan obat sesuai kebutuhan masih di bawah target yang ditetapkan pada SMP yaitu sebesar 90% maupun target yang ditetapkan Dinas Kesehatan Kota Denpasar (100%). Dilihat dari segi pengadaan obat, maka pengadaan Obat Essensial baru mencapai 72%, sedangkan pengadaan Obat Generik baru mencapai 80%. Pengadaan kedua jenis obat ini (Essensial maupun Generik) jika mengacu pada SPM (90%) dan target yang ditetapkan Dinas Kesehatan Kota Denpasar (100%), keduanya masih dibawah target yang ditetapkan. Ketersediaan Obat Generik Berlogo di Kota Denpasar pada tahun 2006 terdiri dari 110 jenis obat dengan tingkat ketersediaan < 100% meliputi 67 jenis obat, sedangkan siasanya 43 jenis obat dengan tingkat ketersediaan mencapai ≥ 100%. Penulisan resep obat generik di 10 puskesmas yang ada di Kota Denpasar rata-rata mencapai 96,04%. Sedangkan sisanya 3,96% merupakan resep obat non generik. Terkait dengan telah menetapkan pendekatan baru dalam Pembangunan Kesehatan dari ”paradigma sakit” ke “paradigma sehat”, di
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
175
175
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
mana upaya pencegahan dan promosi lebih diutamakan tanpa mengabaikan upaya pengobatan dan rehabilitasi. Bertolak dari pendekatan tersebut, maka arah kebijakan dan pembangunan kesehatan yang tersirat dalam visi pembangunan kesehatan Kabupaten Jembrana ditetapkan dengan mengacu pada visi pembangunan kesehatan yang dikenal dengan Indonesia Sehat 2010, yaitu suatu keadaan di mana manusia hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat, akses terhadap pelayanan kesehatan serta memiliki derajat kesehatan yang optimal. Dengan visi tersebut, Kabupaten Jembrana telah merumuskan misi pembangunan kesehatan yaitu menggerakkan pembangunan kesehatan yang berwawasan kesehatan, memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga, masyarakat dan lingkungannya, memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau dan mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. Untuk menunjang pencapaian pembangunan kesehatan telah dikelompokkan program dan kegiatan pelaksanaannya yang ditentukan berdasarkan indikator - indikator pencapaiannya. Adapun indikator-indikator yang dibahas antara lain : Derajat Kesehatan, Gambaran terhadap derajat kesehatan diukur berdasarkan indikator - indikator seperti Umur Harapan Hidup, Angka Kematian, Angka Kesakitan dan Status Gizi. Umur Harapan Hidup, Derajat kesehatan masyarakat selain ditentukan oleh menurunnya Angka Kesakitan dan Angka Kematian juga ditentukan oleh meningkatnya Umur Harapan Hidup. Tinggi rendahnya Angka Umur Harapan Hidup menggambarkan tinggi rendahnya taraf hidup suatu daerah. Dengan melihat Angka Kematian Bayi dan Angka Umur Harapan Hidup dapat ditentukan indeks mutu hidup atau Indeks Pembangunan Manusia suatu daerah secara lengkap. Estimasi hasil penelitian BPS menunjukkan bahwa Umur Harapan Hidup Kabupaten Jembrana mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 Umur Harapan Hidup Kabupaten Jembrana menunjukkan peningkatan dari 71,4 tahun pada tahun 2005 menjadi 71,45 tahun pada tahun 2006. Angka Kematian, secara umum berkaitan erat dengan tingkat Angka Kesakitan dan Status Gizi. Indikator untuk menilai keberhasilan program pembangunan kesehatan dapat dilihat dari perkembangan Angka Kematian. Besarnya tingkat Angka Kematian dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain : Angka Kematian Bayi ( AKB ). Angka Kematian Bayi atau Infant Mortality Rate adalah kematian bayi di bawah usia 1 tahun tiap 1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi merupakan salah satu indikator terhadap persediaan, pemanfaatan dan kualitas pelayanan prenatal. Tahun 2004 Angka Kematian Bayi di Kabupaten Jembrana adalah 8,95 / 1.000 Kelahiran Hidup mengalami peningkatan pada tahun 2005 menjadi
176
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
10,30 / 1.000 Kelahiran Hidup dan pada tahun 2006 kembali meningkat menjadi 14,25 / 1.000 Kelahiran Hidup. Hal ini menunjukkan bahwa Angka Kematian Bayi tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 38,35 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan target yang hendak dicapai Provinsi / Kabupaten Sehat tahun 2010 sebesar 17 / 1.000 KH, maka AKB Kabupaten Angka Kematian Balita ( AKABA ), Jumlah Kematian Balita tahun 2006 sebanyak 10 jiwa dari jumlah 3.931 jiwa kelahiran hidup. Angka Kematian Balita Kabupaten Jembrana tahun 2004 sebesar 10 / 1.000 KH, meningkat menjadi 13,38 / 1.000 KH pada tahun 2005, selanjutnya menurun menjadi 2,54 / 1.000 KH pada tahun 2006. Ini menunjukkan bahwa Angka Kematian Balita dapat ditekan sebesar 80,42 % bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun bila dibandingkan dengan target Provinsi / Kabupaten Sehat tahun 2010 sebesar 17 / 1.000 KH, maka AKABA Kabupaten Jembrana masih lebih baik dari target tersebut. Angka Kematian Ibu ( AKI ), Angka Kematian Ibu atau Maternal Mortility Rate ( MMR ) menunjukkan jumlah kematian ibu pada setiap 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu Kabupaten Jembrana tahun 2004 sebesar 105,26 / 100.000 KH naik menjadi sebesar 128,70 / 100.000 KH pada tahun 2005 selanjutnya menurun menjadi 50,88 / 100.000 KH pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan bahwa Angka Kematian Ibu dapat ditekan sebesar 60,47 % bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan target Provinsi / Kabupaten Sehat tahun 2010 sebesar 100 / 100.000 KH, maka AKI Kabupaten Jembrana masih lebih baik dari target tersebut. Angka Kematian Kasar ( AKK ), Angka Kematian Kasar ( AKK ) atau Crude Death Rate ( CDR ) menunjukkan jumlah kematian yang terjadi per 1.000 penduduk pada pertengahan tahun yang terjadi di suatu daerah. Tingginya Angka Kematian Kasar menunjukkan keadaan status kesehatan, ekonomi, lingkungan fisik dan biologik masyarakat di wilayah tersebut masih rendah. Menurut Data Dinas Naker Kependudukan, Capil dan KB Kabupaten Jembrana, jumlah kematian penduduk dalam tahun 2006 sebanyak 496 jiwa. Merujuk dari data tersebut maka Angka Kematian Kasar ( CDR ) Kabupaten Jembrana mencapai 1,92 per 1.000 penduduk. Dari jumlah tersebut, penyebab kematian menunjuk pada penyebab kematian utama penduduk di Kabupaten Jembrana disebabkan oleh beragam faktor. Angka Kesakitan yang diterkait dengan Pola Penyakit dan Angka Kesakitan Penderita Rawat Jalan, Di Puskesmas Pola penyakit Rawat Jalan semua golongan umur Tahun 2006 berjumlah 72.634 kasus dari laporan data kesakitan Puskesmas di Kabupaten Jembrana (data dari Dinas Kesehatan dan Kesos Kab. Jembrana). Sedangkan untuk di Rumah Sakit, Pola penyakit Rawat Jalan semua golongan umur Tahun 2006 dari laporan data kesakitan Rumah
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
177
177
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Sakit di Kabupaten Jembrana berjumlah 36.455 kasus dengan beragam jenis penyakit. Pola Penyakit Rawat Inap di Rumah Sakit untuk Semua Golongan Umur Tahun 2006 berjumlah 5.937 kasus. Sedangkan data untuk Angka Kesakitan Kabupaten Jembrana tahun 2004 – 2006 adalah masing-masing memperlihatkan penurunan. Seperti yang terlihat dalam table berikut : Tabel. 4.26 Penurunan Angka Kesakitan Kabupaten Jembrana Tahun 2004-2006 Indikator 1
Angka Kesakitan Sumber : Dinas Kesehatan dan Kesos Kab. Jembrana.
2004 2 34,33
Tahun 2005 3 29,05
2006 4 27,85
Untuk Penyakit Menular Bersumber Binatang, Filariasis dan Malaria. Dalam tahun 2006 kasus Penyakit Filariasis tidak ditemukan. Sedangkan jumlah kasus Penyakit Malaria di Kabupaten Jembrana, sejak tahun 2004 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari 28 kasus pada tahun 2004 meningkat menjadi 65 kasus pada tahun 2005 dan 82 kasus pada tahun 2006. Apabila dilihat dari angka Annual Parasite Incidence ( API ) mengalami fluktuasi yaitu dari 0,11/1.000 penduduk pada tahun 2004 menjadi 0,07 / 1.000 penduduk pada tahun 2005 dan 0,10 / 1.000 penduduk pada tahun 2006. Sesuai indikator daerah pembebasan malaria kasus indegenus tidak boleh melebihi 1 / 1.000 pada tiga tahun berturut-turut. Di kabupaten Jembrana dalam tiga tahun terakhir angka API masih berada di bawah 1 / 1.000 ( Low Case Insidence ) dimana angka API tersebut adalah gabungan kasus indegenus dan kasus import. Jumlah kasus penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Jembrana dari tahun ke tahun menunjukkan trend meningkat. Pada tahun 2004 ditemukan sebanyak 51 Kasus dan 1 kasus meninggal dunia dengan komplikasi radang otak. Pada tahun 2005 ditemukan sebanyak 70 kasus sedangkan tahun 2006 hanya ditemukan 60 kasus tanpa kasus meninggal. Penyakit Menular Langsung. Pada P2TB Paru Angka Deteksi Dini ( Case Detection Rate ) Dalam Tahun 2006 Jumlah suspek TBC yang diperiksa sebanyak 988 orang, meningkat 56,08 % dari pencapaian tahun 2005 sebanyak 633 orang. Dan penemuan penderita BTA (+) mencapai 110 orang atau meningkat 4,76 % dari jumlah penderita TBC tahun 2005 sebanyak 105 orang. Untuk Pengobatan Penderita TB paru dalam Tahun 2004 jumlah kasus (+) BTA yang diobati sebanyak 102 orang, BTA (-) Ro (+) sebanyak 31 orang, (+) Sedangkan Tahun 2005 jumlah kasus BTA yang diobati sebanyak 105 orang
178
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
(-)
(+)
(+)
dan BTA Ro sebanyak 30 orang. Sedangkan Tahun 2006 jumlah kasus BTA (-) yang diobati sebanyak 110 orang dari 110 kasus yang ditemukan dan BTA Ro (+) sebanyak 33 orang. Tahun 2006 penderita Kusta yang ditemukan sebanyak 12 orang, meningkat 20,00 % bila dibandingkan dengan hasil temuan penderita Kusta Tahun 2005 sebanyak 10 orang. P2 Diare, Penemuan dan pengobatan penderita Diare pada Balita di Puskesmas Tahun 2004 sebanyak 697 orang, pada tahun 2005 sebanyak 1.387 orang, sedangkan pada Tahun 2006 sebanyak 1.866 orang. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 34,54 % dari tahun sebelumnya. Dalam Tahun 2004 telah dilakukan sero survey dan VCT dengan sasaran risiko tinggi tertular yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Propinsi Bali. Ditemukan angka komulatif HIV / AIDS di Kabupaten Jembrana tahun 2004 sebanyak 5 kasus, tahun 2005 sebanyak 27 kasus dan tahun 2006 sebanyak 54 kasus, sedangkan kasus Siphilis tidak ditemukan. Pencegahan dan Pengamatan Penyakit telah dilakukan melalui kegiatan imunisasi. Sasaran imunisasi pada bayi yang dilaksanakan tahun 2005 sebesar 4.075 orang, dan cakupan imunisasi terdiri dari BCG 4.075 orang (91,36 %), DPT1 : 4.125 orang (101,23 %)¸ HB 3 : 3.982 orang (97,72 %), Polio 4 : 4.048 orang (99,34 %) dan Campak : 4.024 orang (98,75 %) dari target yang diharapkan. Sasaran imunisasi pada bayi yang dilaksanakan tahun 2006 sebesar 3.723 orang dengan cakupan imunisasi yang terdiri dari BCG : 3.800 orang ( 102,07 % ), DPT.1 : 4.119 Orang (110,64 %), HB.3 : 3.867 Orang ( 103,87 % ), Polio : 3.713 Orang (99,73 %) dan Campak : 3.718 % ( 99,87 % ). Sedangkan sasaran imunisasi pada Ibu Hamil pada tahun 2005 sebesar 4.484 orang, dan cakupan imunisasi yang dicapai terdiri dari TT 1 : 4.032 orang ( 89,92 % ), TT 2 : 3.818 orang (85,15 %) dan Boster : 287 orang (6,40 %). Dan sasaran imunisasi pada Ibu Hamil pada tahun 2006 sebesar 4.090 orang, dan cakupan imunisasi yang dicapai terdiri dari TT 1 : 4.090 orang ( 100,00 % ), TT 2 : 2.755 orang (67,36 %) dan Boster : 90 orang ( 2,20 %). Cakupan Catch Up Campaign Tahun 2005 untuk imunisasi DT anak SD kelas I mencapai 98,35 % dari jumlah sasaran 4.956 Orang. Berbagai upaya untuk mengatasi masalah gizi telah dilakukan melalui Program Upaya Perbaikan Gizi Keluarga ( UPGK ), pemberian kapsul Vitamin A untuk anak 1 – 4 tahun, distribusi kapsul yodium untuk penduduk pada daerah rawan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium ( GAKY ), pemberian tablet Fe untuk ibu hamil dan upaya lain yang berhubungan dengan peningkatan konsumsi pangan dan pendapatan masyarakat. Diantaranya Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi ( SKPG ), Upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan status gizi masyarakat antara lain melalui Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu konsumsi pangan sehingga berdampak pada status gizi masyarakat. Peningkatan gizi diarahkan pada peningkatan intelektualitas, produktivitas dan prestasi kerja serta
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
179
179
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
penurunan angka gangguan, terutama gizi kurang dan buruk. Terkait dengan gizi buruk, Prevalensi Kekurangan Energi Balita pada tahun 2006 sebesar 4,83 % mengalami peningkatan sebesar 20,99 % bila dibandingkan prevalensi KEP Balita pada tahun 2005 sebesar 3,62 %. Sedangkan status gizi buruk balita pada tahun 2006 sebesar 0,48 % mengalami peningkatan sebesar 26,00 % menjadi 0,35 % dari capaian status Gizi Buruk pada tahun 2005. Kekurangan Vitamin A adalah untuk menurunkan prevalensi kebutaan akibat Xerophthalmia. Dalam tahun 2006 Distribusi Vitamin A untuk balita usia 6 bulan – 5 tahun dilaksanakan bulan Februari dan Oktober. Sedangkan kegiatan sweeping Vitamin A dilaksanakan pada bulan Maret dan November. Distribusi Vitamin A tahun 2004 sebesar 86,21 %, tahun 2005 sebesar 98,53 %, sedangkan tahun 2006 sebesar 100,10 %. Data menunjukkan bahwa target Bali Sehat 2010 untun Vitamin A sudah tercapai. Untuk Gangguan Akibat Kekurangan Yodium ( GAKY ), Program ini bertujuan untuk menurunkan Angka Gondok serta mencegah munculnya kasus kretin pada bayi baru lahir. Upaya yang dilakukan dengan cara pendistribusian kapsul yodium dan yodisasi garam pada keluarga-keluarga. Distribusi garam yodium pada tahun 2004 sebesar 95,81 %, tahun 2005 sebesar 87,65 %, sedangkan tahun 2006 sebesar 86,95 %. Ini berarti target Bali Sehat 2010 sebesar 90,00 % masih belum tercapai. Anemia gizi merupakan masalah klasik kesehatan, terutama bagi ibu hamil. Cakupan distribusi Tablet besi ( Fe III ) untuk ibu hamil pada tahun 2006 sebesar 100,60 % atau sebanyak 3.778 orang, mengalami peningkatan 23,89 % dibandingkan distribusi Tablet Besi (Fe III) tahun 2005 sebesar 81,20 %. Hal ini menunjukkan bahwa target Bali Sehat 2010 sebesar 80,00 % sudah tercapai. Untuk program berperilaku hidup sehat, dalam tahun 2005, penyuluhan yang dilakukan di 51 desa/kelurahan, frekwensi penyuluhan sebanyak 2.324 kali dengan sasaran 20.618 orang sedangkan pada tahun 2006 yang dilakukan di 51 desa /kelurahan, frekwensi penyuluhan sebanyak 1.645 kali dengan sasaran 40.836 orang, menunjukkan peningkatan sebesar 98,06 % dari tahun sebelumnya. Masyarakat sebagai pelaku upaya kesehatan sangat besar perannya. Bentuk peran tersebut terlihat dari partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu, polindes dan Pos Upaya Kesehatan Kerja. Posyandu sebagai wahana kesehatan bersumber masyarakat yang memberikan pelayanan KIA, KB, Gizi, Imunisasi dan P2 Diare selain posyandu, Polindes sebagai wahana kesehatan bersumber masyarakat yang dikelola oleh Bidan Desa bersama masyarakat guna memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Upaya membangkitkan Tanaman Obat Keluarga ( TOGA ) berfungsi sebagai wahana kesehatan bersumber masyarakat berupaya menghasilkan tanaman yang dapat dipergunakan oleh keluarga untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan keluarga. Pos Upaya Kesehatan Kerja ( UKK ) sebagai wahana bersumber
180
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat/kelompok pekerja yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Perilaku masyarakat lain perlu ditumbuhkan terutama dalam upaya menanggulangi biaya perawatan yang semakin mahal. Oleh sebab itu masyarakat dianjurkan membentuk dana Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat ( JPKM ) untuk mengantisipasi kemungkinan jatuh sakit yang memerlukan biaya perawatan. Di Kabupaten Jembrana, sejak tahun 2002 telah dibentuk Lembaga Asuransi Kesehatan Jaminan Kesehatan Jembrana dengan mengadakan relokasi subsidi yang semula diberikan kepada sarana kesehatan pemerintah dialihkan kepada masyarakat dalam bentuk premi biaya rawat jalan pada tingkat PPK.1 bagi masyarakat yang jatuh sakit. Dan sejak tahun 2006 lembaga tersebut telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah dengan nama Jaminan Sosial Daerah mencanangkan pula biaya rawat inap pada tingkat PPK 2 / Paripurna bagi masyarakat yang memerlukan. Bagi peserta yang telah mengikuti program tingkat Paripurna akan mendapat subsidi biaya perawatan selama menjalani rawat inap dan rujukan. Upaya mencapai pembangunan kesehatan lingkungan di wilayah Kabupaten Jembrana, bergantung pula pada baik buruknya pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Adapun kegiatan yang telah dilakukan selama tahun 2006 meliputi : Penyehatan Makanan dan Minuman, Kegiatan ini bertujuan untuk menurunkan Angka Kesakitan yang disebabkan oleh makanan dan minuman. Hasil yang dicapai dalam kegiatan Penyehatan Tempat Pengelolaan makanan dan minuman berupa inventarisasi, pengawasan dan grade, antara lain. Selain upaya penyehatan makanan dan minuman, upaya Penyehatan Lingkungan Permukiman, Hasil kegiatan yang dilakukan antara lain terhadap : Jamban, Tempat Pengelolaan Sampah, Sarana Pembuangan Air Limbah, dan Rumah. Kegiatan ini juga dilakukan berupa pengawasan dan pembinaan terhadap pengguna tempat tempat umum seperti pasar, hotel, kawasan pariwisata dan kawasan industri. Program Upaya Kesehatan adalah untuk meningkatkan pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan yang effektif dan effisien serta terjangkau oleh segenap anggota masyarakat. Sasaran program ini ditujukan agar tersedianya sarana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan baik oleh pemerintah maupun swasta yang didukung oleh peran serta masyarakat dan sistem pra-upaya. Upaya itu diantaranya Pelayanan Kesehatan Dasar dengan pembangunan dan rehabilitasi sarana pelayanan seperti Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang didukung pula dengan Puskesmas Keliling dan tenaga kesehatan di sarana-sarana kesehatan. Meski demikian, penampilan dan mutu pelayanan kesehatan dirasakan belum optimal. Hal ini disebabkan lemahnya sistem manajeman dan belum mantapnya pelayanan rujukan serta kurangnya dukungan logistik dan biaya operasional untuk mendukung pelayanan yang akan diberikan.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
181
181
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Jumlah kunjungan rawat jalan di poli umum di Puskesmas pada tahun 2006 berjumlah 72.162 orang meningkat 2,36 % dari jumlah kunjungan rawat jalan tahun 2005 sebesar 70.496 orang. Rata-rata kunjungan pada tahun 2006 di Puskesmas sebanyak 33 orang/ Puskesmas/hari menurun 15,38 % dibandingkan rata-rata kunjungan tahun 2005 sebanyak 39 orang/Puskesmas/ hari. Hal ini disebabkan kunjungan rawat jalan dengan menggunakan program JKJ lebih sering dilakukan pada kunjungan ke Praktek Dokter dan Bidan swasta. Pada Kesehatan Ibu dan Anak ( KIA ), Pelayanan Antenatal pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kunjungan pertama ibu hamil ( K1 ) sebesar 100,00 % mengalami peningkatan bila dibanding tahun 2005 sebesar 92,84 %. Sedangkan pelayanan ibu hamil (K4) sebesar 94,84 % menunjukkan peningkatan bila dibanding tahun 2005 sebesar 89,02%. Cakupan TT2 pada tahun 2006 sebesar 67,34 % mengalami penurunan sebesar 20,92 % bila dibanding cakupan tahun 2005 sebesar 85,15 %. Pertolongan persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 2,67 % dari 96,85 % pada tahun 2005 menjadi 99,44 % pada tahun 2006. Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan Program Keluarga Berencana dapat ditinjau dari 3 unsur antara lain : Pencapaian target KB Baru, Cakupan peserta KB Aktif dan penggunaan Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih ( MKET ). Dalam tahun 2006 perolehan Akseptor KB Baru mencapai 3.011 orang, mengalami peningkatan sebesar 15,32 % bila dibandingkan dengan pencapaian 2005 sebesar 2.631 orang. Dari jumlah perolehan Akseptor KB Baru tersebut penggunaan alat kontrasepsi Non MKJP sebesar 2.455 orang (75,36 %) menggunakan metoda suntik) dan MKJP sebesar 556 orang (9,07% menggunakan IUD ). Manfaat Imunisasi antara lain untuk mendapat perlindungan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, yang merupakan masalah penting yang perlu ditangani secara serius, mengingat bahwa dampak dari imunisasi ini akan dapat menurunkan tingkat morbiditas (Angka Kesakitan) dan tingkat mortalitas (Angka Kematian). Cakupan imunisasi bayi pada tahun 2006 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2005. Program Imunisasi di Kabupaten Jembrana sejak Tahun 2001 sudah mencapai cakupan Desa Universal Child Immunization ( UCI ). Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit, Di Kabupaten Jembrana terdapat empat buah rumah sakit yang terdiri dari 1 buah RSU Daerah dan 1 buah RS Swasta Dharma Sentana, RS Khusus Bersalin Kertayasa dan RS Khusus Ibu dan Anak Bunda. Jumlah tempat tidur yang tersedia di RSU Daerah sebanyak 100 buah, RS Swasta Dharma Sentana 20 buah, RS Khusus Bersalin Kertayasa 20 buah dan RS Khusus Ibu dan Anak Bunda 25 buah Jumlah kunjungan baru rawat jalan pada tahun 2006 sebanyak 27.377.
182
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Angka Kematian Netto ( Net Death Rate ), Untuk menilai mutu Rumah Sakit dipergunakan indikator Angka Kematian Neto ( NDR ), yaitu angka kematian 48 jam pasien rawat inap per 1.000 pasien keluar hidup dan mati. NDR pada RSUD Negara pada tahun 2006 sebesar 24,46 º/oo, NDR RSU Dharma Sentana 21,17º/oo, NDR RSK. Kertayasa 2,66º/oo, NDR RSK. Bunda 0,00 º/oo. Dari angka-angka NDR pada tahun 2006 tersebut masih dapat ditolerir karena masih berada di bawah NDR Ideal sebesar 25 per 1.000 pasien keluar. Angka Kematian Umum (Gross Death Rate). Berdasarkan data GDR dari RSUD Negara berada di atas GDR Ideal sebesar 45 per 1.000 pasien keluar sedangkan RS yang lainnya berada di bawah GDR Ideal. Sementara itu berdasarkan data dari Kabupaten Jembarana rata-rata lama hari perawatan (LOS) pada RSU yang ada masih berada di bawah Angka LOS Ideal yang berkisar 6 – 9 hari. Indikator ini memberikan penilaian tingkat efisiensi pelayanan Rumah Sakit. Idealnya tempat tidur kosong hanya dalam waktu 1 – 3 hari. Dengan standar ideal LOS antara 1 – 3 hari, menunjukkan bahwa semakin besar TOI maka tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur semakin jelek. Untuk mengukur penggunaan tempat tidur Rumah Sakit maka ke tiga komponen yaitu BTO, TOI dan LOS harus dilakukan secara bersama-sama, guna mengetahui tingkat efisiensinya. Upaya Kesehatan Pelayanan Kesehatan dapat efektif dan efisien bila ditunjang dengan sumber daya, baik berupa tenaga, pembiayaan dan sarana / prasarana kesehatan yang memadai. Gambaran mengenai Keadaan Tenaga Kesehatan yang bekerja di Kabupaten Jembrana pada tahun 2004 dengan jumlah penduduk 252.065 jiwa, pada tahun 2005 dengan jumlah penduduk 253.403 jiwa dan tahun 2006 dengan jumlah penduduk 260.791 jiwa berdasarkan rasio 100.000 penduduk. Anggaran Pembangunan Kesehatan di Kabupaten Jembrana yang bersumber dari Dana APBD II dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004 besarnya anggaran pembangunan kesehatan sebesar Rp. 8.094.956.000 meningkat menjadi Rp. 10.523.522.175 pada tahun 2005 dan meningkat lagi menjadi Rp.29.981.863.127. Kemajuan pendidikan di Kota Denpasar cukup menggembirakan. Pelaksanaan program pembangunan pendidikan di daerah telah menyebabkan makin berkembangnya suasana belajar mengajar di berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Dengan dilaksanakannya program pembangunan, pelayanan pendidikan telah dapat menjangkau seluruh wilayah Kota Denpasar dengan dibangunnya sekolah di daerah tertentu. Secara rinci, pembangunan di setiap jenjang pendidikan tidak sama, oleh karena itu, berturut-turut akan dijelaskan tentang keadaan tingkat SD yang terdiri dari SD dan MI, tingkat SMP yang terdiri dari SMP dan MTs, serta tingkat SM yang terdiri dari SMA, SMK dan MA. Pada tingkat SD (SD dan MI) berdasarkan data yang ada pada tahun 2007/2008, jumlah SD dan MI sebanyak 208 sekolah, siswa baru tingkat I
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
183
183
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
sebesar 14.325 orang, siswa seluruhnya sebanyak 78.811 orang dan lulusan sebanyak 11.172 orang untuk menampung sejumlah siswa tersebut tersedia ruang kelas sebanyak 1.776 dengan rincian 1221 memiliki kondisi baik, 286 kondisi rusak ringan,dan 269 kondisi rusak berat. Guru yang mengajar di SD sebanyak 3.110 guru, diantaranya sebanyak 2800 guru (90.03%) layak mengajar, sebanyak 303 guru (9.74%) semi layak mengajar dan 7 guru (0.023%) tidak layak mengajar. Tabel. 4.27 Data Pokok SD/MI Kota Denpasar Tahun 2007/2008 No
Komponen
1. 2. 3. 4. 5.
Sekolah Siswa Baru Tk.I Siswa Lulusan Ruang Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat 6. Kelas 7. Guru a. Layak mengajar b. Semi layak mengajar c. Tidak layak 8. Fasilitas a. Perpusatakaan b. Lapangan Olah Raga c. UKS Sumber : Dinas Pendidikan Kota Denpasar
SD
MI
SD+MI
205 14.159 77.601 11.025
3 193 1.210 147
208 14.352 78.811 11.172
1.191 286 269 2.009
30 0 0 40
1.221 286 269 2.049
2800 303 7
-
2.800 303 7
110 24 214
2 2
112 24 216
Untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di SD dan MI terdapat fasilitas perpustakaan sebanyak 112, lapangan olahraga sebanyak 24 buah dan UKS sebanyak 216 buah. Tabel. 4.28 Data Pokok SMP/ MTs Kota Denpasar Tahun 2007/2008 No 1. 2. 3.
184
Komponen Sekolah Siswa Baru Tk.I Siswa
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
SMP
MTs
SMP+MTs
45 11.420 26.059
3 64 205
48 11.484 26.264
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
4. 5.
Lulusan Ruang Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat 6. Kelas 7. Guru a. Layak mengajar b. Semi layak mengajar c. Tidak layak 8. Fasilitas a. Perpusatakaan b. Lapangan Olah Raga c. UKS d. Laboratorium Sumber : Dinas Pendidikan Kota Denpasar
10.322 467 424 21 7 596 1.707 1.582 125 0 128 40 42 30 99
55 8 8 0 0 8 43 43 0 0 2 3 3 1 0
10.377 475 432 21 7 604 1.750 1.625 125 0 130 43 45 31 99
Untuk tingkat SMP (SMP dan MTs), berdasarkan data yang ada pada tahun 2007/2008, jumlah SMP dan MTs sebanyak 48 sekolah, siswa baru tingkat I sebesar 10.132 orang, siswa seluruhnya sebesar 29.829 orang, dan lulusan sebesar 9.009. untuk menampung sejumlah siswa tersebut, tersedia ruang kelas sebanyak 475, dengan rincian 432 memiliki kondisi fisik baik, 21 dengan kondisi rusak ringkan dan 7 kondisi rusak berat dengan jumlah kelas sebesar 604 sehingga terdapat shift sebesar 3,9. Guru yang mengajar di SMP dan MTs sebanyak 1750 di antaranya yaitu sebanyak 1.625 (92.8%) adalah layak mengajar. Untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di SMP dan MTs terdapat fasilitas perpustakaan sebesar 48 buah, lapangan olah raga sebesar 45, ruang UKS sebesar 31,dan laboratorium sebesar 51 buah. Keterangan lainnnya adalah jumlah SMP (SMP dan MTs) di Kota Denpasar sebanyak 48 buah. Dengan jumlah siswa sebanyak 26.264 orang dengan ruang kelas sebanyak 604 ruang dan ditangani oleh guru sebanyak 1750 orang. Sementara berdasarkan data yang ada pada tahun 2007/2008 jumlah SMA, SMK dan MA sebanyak 51 siswa baru tingkat 1 sebesar 11.441 orang, siswa seluruhnya sebesar 30.698 orang, dan lulusan sebesar 8.980 orang. Untuk menampung sejumlah siswa tersebut, tersedia ruang kelas sebanyak 605, dengan rincian 588 kondisi baik, 17 kondisi rusak ringan dengan jumlah kelas 675 sehingga terdapat shift 308. guru yang mengajar di SMA, SMK dan MA sebanyak 2.632 di antaranya yaitu sebanyak 2.201 (83,62%) adalah layak mengajar 389 (14,77%) semi layak mengajar, dan 42 (1.59 %) tidak layak mengajar.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
185
185
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.29 Data Pokok SMA, MA dan SMK Kota Denpasar Tahun 2007/2008 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Komponen
Sekolah Siswa Baru Tk.I Siswa Lulusan Ruang Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat 6. Kelas 7. Guru a. Layak mengajar b. Semi layak mengajar c. Tidak layak 8. Fasilitas a. Perpusatakaan b. Lapangan Olah Raga c. UKS d. Laboratorium e. Keterampilan f. BP g. Serbaguna h. Bengkel i. Ruang Praktek Sumber : Dinas Pendidikan Kota Denpasar
SMA
MA
SMK
SMA+ SMK
29 5.891 17.295 5.424
1 31 77 16
21 5.519 13.326 3.540
51 11.441 30.698 8.980
356 17 436 4.456 1.271 168 17
0 0 15 10 5 -
232 0 372 1.161 920 216 25
588 17 808 2.632 2210 389 42
25 15 18 105 11 24 10 1
-
16 10 41 4 13 11 13 37
41 15 28 146 15 37 21 13 38
Untuk menunjang kegiatan mengajar di SMA, SMK dan MA terdapat fasilitas perpustakaan sebanyak 25 buah, lapangan olah raga sebesar 33, ruang UKS sebanyak 24 laboratorium sebanyak 51 keterampilan sebanyak 14, BP sebanyak 26 serba guna 18 dan ruang praktik sebanyak 38 buah. Bila dibandingkan antara siswa SMA dengan SMK yaitu 27 dan 13 ternyata jumlah siswa SMA lebih besar. Hal ini disebabkan jumlah SMA juga lebih besar dibandingkan dengan jumlah SMK. Selain itu, pembangunan SMA lebih murah sehingga wajar jika SMA lebih banyak. Sesuai dengan banyaknya siswa yang ada, lulusa SMA juga lebih banyak jika dibandingkan dengan lulusan SMK. Dari ketiga jenis sekolah yang ada, jumlah ruang kelas yang paling besar memiliki kondisi yang baik adalah SMA, sedangkan ruang kelas yang memiliki kondisi rusak berat terdapat pada SMA. Melihat kondisi yang rusak berat ini, selayaknya jika pada jenis sekolah tersebut diprioritaskan untuk memperoleh bantuan rehabiltiasi terlebih dahulu dibandingkan sekolah jenis lainnya.
186
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Selanjutnya jika dilihat guru yang layak mengajar ternyata paling banyak di SMA yaitu sebesar 87,29 persen dan yang terkecil di SMK yaitu sebesar 79,24 persen. Bila dilihat fasilitas sekolah yang seharusnya ada, ternyata tidak semua fasilitas yang ada dimiliki oleh SMA, MA, atau SMK. Perpustakaan, lapangan olah raga, UKS terdapat di tiga jenis sekolah, sedangkan bengkel dan ruang praktik hanya di SMK. Kondisi sekolah yang tidak memilki fasilitas tersebut hendaknya menjadi prioritas dalam pembangunan fasilitas tersebut. Kinerja pendidikan dasar dan menengah di Kota Denpasar dimulai dengan kinerja dipandang dari sudut pemerataan pendidikan, dilanjutkan dengan peningkatan mutu pendidikan, relevansi pendidikan dan diakhiri dengan efisiensi internal pendidikan. Untuk pemerataan, peningkatan mutu dan efisiensi internal, kinejrja yang dilihar adalah menurut jenjang pendidikan yaitu SD, SMP dan SM sedangkan untuk relevansi yang dilihat hanya SD, SMA dan SMK. Untuk Pemerataan Pendidikan, berdasarkan APK yang ada, ternyata APK tertinggi terdapat di tingkat SD yaitu 141,42 persen dan yang terendah di tingkat SMP yaitu 123 %. Tingginya APK di SD adalah akibat banyaknya siswa usia di luar usia sekolah yang berada di jenjang tersebut. Bila dilihat per jenis kelamin, ternyata dibandingkan dengan tingkat lainnya jenjang SMP paling tinggi APK untuk anak laki-laki maupun perempuan. Tabel. 4.30 Indikator Pendidikan Dasar dan Menengah Di Kota Denpasar No. 1.
INDIKATOR APK - Laki-laki - Perempuan - Kota -Desa 2. APM 3. Perbandingan antar jenjang 4. Rasio Siswa/ sekolah Siswa/ kelas Siswa/ guru Kelas/ ruang kelas Kelas/ guru 5. Angka melanjutkan 6. Tk. Pelayanan Sekolah 7. Kepadatan Penduduk Sumber : Dinas Pendidikan Kota Denpasar
SD+MI 141,42 144,83 137,83
SPM+MTs 123 118,90 124,13
SM + MA 123,41 114,32 131,63
141,37
82,75 4,14
84,48 0,98
Lainnya -
382 39 43 1,76 1.11 67,85 164 447
585 42 13 0,75 0.32 92,44 96 192
1197 76 23 2,73 0.62 127,10 67 113
-
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
187
187
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Demikian pula untuk APM yang tertinggi terdapat di tingkat SD yaitu 141, 37 persen dan yang terendah di tingkat SMP yaitu 82, 75 persen. Berdasarkan APM dapat diketahui bahwa pada tingkat SD anak usia sekolah yang bersekolan lebih banyak dibandingkan dengan tingkat lainnya. Hal itu juga menunjukkan indikator pemerataan yang paling baik terdapat di tingkat SD. Bila sekolah antar jenjang dibandingkan, maka makin tinggi sekolah makin kurang, hal itu ditunjukkan dari jumlah tingkat SMP berbanding tingkat SD sebesar 4,14 dan tingkat Sm berbanding tingkat SMP sebesar 0.98. makin sedikitnya jumlah sekolah di jenjang yang makin tinggi menunjukkan kurangnya jumlah sekolah yang diperlukan di daerah tersebut. Indikator berikutnya membicarakan rasio siswa per sekolah, siswa per kelas, siswa per guru, kelas per ruang kelas dan kelas per guru. Rasio siswa per sekolah terpadat terdapat di tingkat Sm dengan angka 1197 dan terjarang terdapat di tingkat SD dengan angka 382. hal itu menunjukkan bahwa sekolah di daerah ini sangat heterogen. Rasio siswa per kelas terpadat terdapat di tingkat SMA, yaitu 76 dan terjarang terdapat di tingkat SD yaitu 39. Rasio siswa per guru juga bervariasi dengan rasio terbesar terdapat pada tingkat SD yaitu 43 dan untuk SMP yaitu 13 dan SMA adalah 23. Besarnya rasio siswa per guru ini menunjukkan kurangnya guru ditingkat tersebut. Besarnya rasio terkecil menunjukkan cukupnya guru tingkat tersebut, ruang kelas yang paling sering digunakan adalah pada tingkat tersebut masih memerlukan ruang kelas tambahan jika diharapkan jumlah kelas yang sama dengan jumlah ruang kelas sehingga tidak ada ruang kelas yang digunakan lebih dari sekali. Sejalan dengan perbandingan antara sekolah di tingkat SMP dan SD yang cukup tinggi, maka angka melanjutkan ke tingkat SMA juga cukup tinggi yaitu 127, 10. Diharapkan bila jumlah tingkat SMP ditingkatkan maka angka melanjutkan juga akan meningkat. Sebaliknya angka melanjutkan ke tingkat SD lebih kecil yaitu 67.85 persen dengan melanjutkan ke tingkat SMP. Salah satu sebab rendahnya angka melanjutkan ini karena perbandingan sekolah tingkat SD dan SMP juga rendah. Rendahnya jumlah sekolah pada jenjang yang semakin tinggi dapat dilihat pada tingkat pelayanan sekolah. Pada tingkat SD tingkat pelayanan sekolah lebih besar yaitu 164, jika dibandingkan dengan tingkar SMP atau SM. Hal itu disebabkan karena pada tingkat SD telah terjadi pemerataan dan wajib belajar sekolah dasar 9 tahun telah berhasil. Sebalinya untuk tingkat SLTP dan bahkan tingkat SM dilihat dari tingkat pelayanan sekolah belum merata yang diindikasikan pada TPS tingkat SM sebesar 67 dan lebih besar di tingkat SMP sebesar 96. Perbedaan percapaian di tingkat SD, SMP dan SM juga karena akibat perbedaan kepadatan penduduk usia sekolah, kepadatan terbesar terdapat di
188
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
tingkat SD dan terkecil terdapat di tingkat SM. Di samping itu, banyak desa tertinggal juga mempengaruhi kinerja pendidikan dasar dan menengah. Berdasarkan indikator yang terdapat di tabel di atas dan dengan melihat pencapaian setiap indikator untuk setiap jenjang pendidikn, maka dapat dikatakan bahwa tingkat SD mempunyai kinerja yang lebih unggul dibandingkan dengan tingkat SMA dan tingkat SMK. Kinerja yang lebih unggul ini diambil dari banyaknya nilai yang lebih tinggi pada tingkat tersebut. Peningkatan Mutu Pendidikan, indikator mutu pendidikan dapat dibedakan menjadi lima indikator mutu yaitu : (1) mutu masukan, (2) mutu proses, (3) mutu SDM, (4) mutu fasilitas, dan (5) biaya. Berdasarkan mutu masukan dapat diketahui bahwa 98.02% siswa baru tingkat I untuk tingkat SD adalah berasal dari tamatan TK atau sejenis.Berdasarkan indikator mutu proses yaitu angka mengulang, angka putus sekolah dan angka kelulusan, ternyata angka mengulang terbesar terdapat pada tingkat Sd yaitu sebesar 1.87 persen dan terendah terdapat pada tingkat SMP yaitu sebesar 0.01 persen. Selanjutnya angka putus sekolah terendah terdapat pada tingkat SD yaitu sebesar 0.07 persen dan terbesar pada tingkat SM yaitu sebesar 0.28 persen. Bila dilihat angka kelulusan ternyata angkat tertinggi terdapat pada tingkat SMP yaitu sebesar 199,17 persen. Dengan melihat ketiga indikator mutu proses ini dapat dikatakan bahwa kinerja terbaik adalah pada tingkat SMP. Hal ini ditunjukkan dengan adanya mengulang paling rendah serta angka kelulusan yang paling tinggi. Bila dilihat dari mutu SDM (guru), maka persentase guru yang layak mengajar terbesar adalah pada tingkat SM yaitu 230,19 persen dan guru yang layak mengajar terendah adalah pada tingkat SMP. Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah, hal itu terlihat pada kesesuaian ijazah guru dengan bidang studi yang diajarkan. Khusus SMP, banyaknya guru yang sesuai terlihat pada semua bidang studi untuk semua tingkatnya SD, SMP, dan SM. Indikator berikutnya adalah tentang mutu prasarana dan sarana pendidikan. Ruang kelas dengan kondisi baik paling banyak terdapat ada tingkat SM. Yaitu sebesar 295,57 persen sedangkan kondisi rusak berat yang paling banyak terdapat pada tingkat SD yaitu sebesar 21.38 persen. Hal ini dikarenakan jumlah SD yang ada lebih banyak dari jenjang SMP maupun SM. Banyaknya ruang kelas yang rusak berat ini menunjukkan mutu prasarana yang buruk.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
189
189
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.31 Indikator Mutu Pendidikan Kota Denpasar Tahun 2007/2008 No. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
8.
190
Indikator Persentase Lulusan Angka Mengulang Angka Putus Sekolah Angka Lulusan Angka kelayakan Mengajar a. Layak b. Semi layak c. Tidak layak Persentase Kesesuaian Guru Mengajar a.PPkn b.Pendidikan Agama c.Bhs Indonesia d.Bhs. Inggris e.Sejarah dan sejarah budaya f.Pendidikan jasmani g.Matematika h. IPA h.1.Fisika h.2.Biologi h.3.Kimia i. IPS i.1. ekonomi i.2.sosiologi i.3. geografi j. seni dan kerajinan k. muatan lokal l. tata negara m. Antropologi n. Pendidikan Seni o. Bahasa Asing p. B dan P q. Lain-lain Persentase Kondisi Ruang Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat Persentase Fasilitas Sekolah a. Perpustakaan b. Lapangan OR c. UKS d. laboratorium e. keterampilan f. Bimbingan Penyuluhan g. Serba Guna h. Bengkel
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
SD+MI
SMP+MTs
SM+MA+SMK
88.80 1.84 0.07 188.80
99.17 0.01 0.26 199.17
97.86 0.98 0.49 190.41
84.68 14.31 1.01
136.78 41.91 21.3
230.19 51.62 18.18
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
163.71 14.91 21.38 125.00 178.85 78.86
198.7 1.61 0.21 183.33 191.67 162.50 206.25 -
295.57 4.43 0 259.52 290 121.90 565.24 -
-
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No. 9.
10.
Indikator i. Ruang Praktik Angka Partisipasi (persen) a. Pemerintah Pusat b. Orang Tua c. Pemerintah Daerah d. Yayasan e. Lainnya Satuan Biaya (000 Rp. )
SD+MI
SMP+MTs
SM+MA+SMK
42.1 24.08 120.44 0 0 2.207.762 ,48
40.68 63.12 45.06 43.60 7.55 250.306,7
5.69 204.85 75.13 10.47 3.86 2.214.160,69
Sumber : Dinas Pendidikan Kota Denpasar
Indikator mutu prasarna lainnya adalah ketersediaan fasilitas sekolah yang ada, jumlah sekolah sekolah yang memiliki perpustakaan terbesar ada pada tingkat SM yaitusebesar 259, 52 persen dan terendah ada pata tingkat SMP sebesar SD yaitu 125 persen. Jumlah lapangan olah raga terbesar pada tingkat SM yaitu sebesar 2901 persen dan terendah ada pada tingkatr SD, sebesar 178.85. fasilitas sekolah lainnya yaitu ruang UKS terbesar terdapat pada tingkat SMP yaitu sebesar 162.50 persen. Dengan demikian, bila setiap sekolah diharuskan memiliki ketiga fasilitas tersebut maka tingkat SM memiliki fasilitas terbanyak. Selain Kota Denpasar kemajuan pendidikan di Kabupaten Jembrana cukup menggembirakan. Pelaksanaan program pembangunan pendidikan di daerah ini telah menyebabkan makin berkembangnya suasana belajar mengajar di berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Dengan dilaksanakannya program pembangunan, pelayanan pendidikan telah dapat menjangkau daerah terpencil, daerah dengan penduduk miskin, dan daerah jarang dengan dibangunnya sekolah di daerah tersebut. Secara rinci, pembangunan di setiap jenjang pendidikan tidak sama, oleh karena itu, berturut-turut akan dijelaskan tentang keadaan tingkat SD yang terdiri dari SD dan MI, tingkat SLTP yang terdiri dari SLTP dan MTs, serta tingkat SM yang terdiri dari SMU, SMK, dan MA. Untuk Tingkat SD dan MI Berdasarkan data yang ada pada tahun 2006, jumlah SD dan MI sebanyak 194 buah, siswa baru tingkat I sebesar 5468 orang, siswa seluruhnya sebanyak 28.534 orang, dan lulusan sebesar 4.251 orang. Untuk menampung sejumlah siswa tersebut, tersedia ruang kelas sebanyak 1.237 buah dengan rincian 962 Memiliki kondisi baik 222 kondisi rusak ringan, dan 53 kondisi rusak berat, dengan jumlah kelas sebesar 1.232, Guru yang mengajar di SD dan MI sebanyak 1.502 di antaranya yaitu sebanyak 1.437 orang ( 95,67 %) adalah layak mengajar 2 orang ( 0,13 %) semi laya.dan 63 orang ( 4,19 % ) tidak layak mengajar. Selain itu berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana Pada tabel tersebut digambarkan pula bahwa jumlah SD lebih besar jika dibandingkan dengan MI, hal ini terlihat di semua data yang ada. Jumlah SD
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
191
191
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
sebesar 185 dengan jumlah siswa sebanyak 26.995 orang dan ruang kelas sebesar 1175 dan ditangani oleh guru sebanyak 1.402 orang Selain itu, dimasing-masing sekolah terdapat ruang perpustakaan, dan dimasing masing sekolah dasar sebsgisn besar memiliki ruang UKS. Bila dilihat menurut status sekolah, jumlah sekolah negeri lebih banyak di SD jika dibandingkan dengan MI. Sebaliknya, jumlah madrasah swasta lebih banyak di MI Tsanawiyah Negeri jika dibandingkan dengan MI Negeri . Hal ini disebabkan karena MI Swasta telah menjadi Sekolah Negeri. Untuk tingkat Berdasarkan Tingkat SLTP (SLTP dan MTs), data yang ada pada tahun 2006, jumlah SLTP dan MTs sebanyak 32 sekolah, siswa baru tingkat I sebesar 2.267 orang, siswa seluruhnya sebesar 11.903, dan lulusan sebesar 3.465 orang Untuk menampung sejumlah siswa tersebut, tersedia ruang kelas sebanyak 331buah, dengan rincian 251 Memiliki kondisi baik, 65 dengan kondisi rusak ringan, dan 15 kondisi rusak berat dengan jumlah kelas sebesar 314 buah. Guru yang mengajar di SLTP dan MTS sebanyak 828 orang di antaranya sebanyak 703 orang ( 84,90 %) adalah layak mengajar, 68 orang ( 8,21 %) semi layak, dan 57 orang ( 6,88 %) tidak layak mengajar. Untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di SLTP dan MTS terdapat fasilitas perpustakaan sebesar 24 buah, lapangan olahraga sebesar 23 buah, ruang UKS sebesar 25 buah dan laboratorium sebesar 26 buah. Selain itu di Kabupaten Jembarana jumlah SLTP lebih besar jika dibandingkan dengan MTs, hal ini terlihat di semua data yang ada. Jumlah SLTP sebesar 25 buah dengan jumlah siswa sebesar 10.838 orang. dengan ruang kelas sebesar 279 buah dan ditangani oleh guru sebanyak 828 orang, Selain itu, terdapat pula perpustakaan sebesar 669 buah, lapangan olahraga sebesar 18 buah, ruang UKS sebesar 25 buah , dan ruang labratorium sebesar 26 buah . Seperti halnya dengan MI, jumlah MTs lebih sedikit dibadingkan MI, namun MTs Swasta lebih banyak dibandingkan dengan MTs Negeri sebanyak 4 buah MTs swasta, jika dibandingkan dengan Madrasah Negeri yaitu sebesar 3 buah. Begitu juga di SLTP Negeri lebih banyak jumlahnya bila dibandingkan dengan sekolah swasta, sekolah negeri sebanyak 16 sekolah sedangkan sekolah swasta sebanyak 8 buah, begitu juga jumlah siswanya masih lebih banyak sekolah negeri daripada sekolah swasta. Berdasarkan data yang ada pada tahun 2006, jumlah SMU, SMK, dan MA sebanyak 23 buah , siswa baru tingkat I sebesar 3.115 siswa seluruhnya sebesar 5.7115 dan lulusan sebesar 2.555 Untuk menampung sejumlah siswa tersebut, tersedia ruang kelas sebanyak 229 dengan rincian 188 Kondisi baik, 39 kondisi rusak ringan, dan 2 kondisi rusak berat dengan jumlah kelas sebesar 237, Guru yang mengajar di SMU, SMK dan MA sebanyak 737 orang, di antaranya yaitu 619 orang ( 83,99 % ) layak mengajar 91 orang ( 12,35 %) semi layak, dan 27 orang ( 3,66 %) tidak layak mengajar. Untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di SMU, SMK dan MA terdapat fasilitas perpustakaan sebesar
192
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
13 buah, lapangan olahraga sebesar 16 buah, ruang UKS sebesar 7 buah, laboratorium sebesar 29 buah, keterampilan sebesar 10 buah, BP sebesar 8 buah, serba guna sebesar 4 buah, Bengkel sebesar 1.buah, dan ruang praktik sebesar 4 buah. Bila dibandingkan antara siswa SMU, MA dan SMK ternyata jumlah siswa SMU lebih besar sebesar 5.659 sedangkan MA dan SMK masingmasing sebesar 603 dan 2.444 siswa. Hal ini disebabkan jumlah SMU juga lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah MA dan SMK. Selain itu, pembangunan SMU lebih murah sehingga wajar jika SMU lebih banyak. Sesuai dengan banyaknya siswa yang ada, lulusan SMU juga lebih banyak jika dibandingkan dengan lulusan SMK. Dari ketiga jenis sekolah yang ada, jumlah ruang kelas yang paling besar memiliki kondisi yang baik adalah SMU sebesar 188 buah, sedangkan ruang kelas yang memiliki kondisi rusak berat terdapat pada MU sebesar 2 buah, . Melihat kondisi yang rusak berat ini, selayaknya jika pada jenis sekolah tersebut diprioritaskan untuk memperoleh bantuan rehabilitasi terlebih dahulu dibandingkan dengan dua jenis sekolah lainnya. Selanjutnya, jika dilihat guru yang layak mengajar, ternyata paling banyak di SMU yaitu sebesar 348 orang,( 56,22 % ) dan yang terkecil di MA yaitu sebesar 96 orang, ( 15,21 %). Bila dilihat fasilitas sekolah yang seharusnya ada, ternyata tidak semua fasilitas yang ada dimiliki oleh SMU, MA, atau SMK. Perpustakaan, lapangan olahraga, UKS terdapat di tiga jenis sekolah, sedangkan bengkel dan ruang praktik hanya di SMK. Kondisi sekolah yang tidak memiliki fasilitas tersebut hendaknya menjadi prioritas dalam pembangunan fasilitas tersebut. Tabel. 4.32 Data Pokok SMU, MA dan SMK Tahun 2006. No. 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7.
Komponen
SMU
MA
SMK
SM+MA
Sekolah Siswa Baru Tk. I Siswa Lulusan Ruang Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat Kelas / Rombel Guru a. Layak mengajar b. Semi layak c. Tidak layak
13 2.055 5.659 1.664
3 194 603 183
7 866 2.444 708
23 3115 5706 2555
131 17 2 140
19 0 0 24
38 22 0 73
188 39 2 237
348 59 7
96 0 2
175 32 18
619 91 27
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
193
193
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
8.
Fasilitas a. Perpustakaan b. Lapangan olahraga c. UKS d. Laboratorium e. Keterampilan f. BP g. Serbaguna h. Bengkel i. Ruang Praktik Sumber: Dinas Pendidikan Kota Denpasar
9 9 5 18 4 6 3 0 1
2 1 0 6 3 1 1 0 0
2 6 2 5 3 1 0 1 3
13 16 7 29 10 8 4 1 4
Sementara itu untuk Kinerja Pendidikan Dasar Dan Menengah di Kabupaten Jembarana dimulai dengan kinerja dipandang dari sudut pemerataan pendidikan, dilanjutkan dengan peningkatan mutu pendidikan, relevansi pendidikan, dan diakhiri dengan efisiensi internal pendidikan. Untuk pemerataan, peningkatan mutu, dan efisiensi internal, kinerja yang dilihat adalah menurut jenjang pendidikan yaitu tingkat SD, SLTP, dan SMA, sedangkan untuk relevansi yang dilihat hanyalah SD, SMU, dan SMK. Upaya Pemerataan Pendidikan, Berdasarkan APK yang ada, ternyata APK tertinggi terdapat di tingkat SD yaitu 112,37 % dan yang terendah di tingkat SMU yaitu 68,77 %. Tingginya APK adalah akibat adanya penambahan jumlah penduduk usia sekolah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat SLTP. mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan tingkat SD dan tingkat SM. Di daerah ini anak yang bersekolah di tingkat SD paling banyak dibandingkan dengan tingkat lainnya. APM yang tertinggi terdapat di tingkat SD yaitu 100,11 % dan yang terendah di tingkat SM .yaitu 66,25 %. Berdasarkan APM dapat diketahui bahwa pada tingkat Anak usia sekolah yang bersekolah lebih banyak dibandingkan dengan tingkat lainnya. Hal itu juga menunjukkan kinerja yang paling baik terdapat di tingkat SD. Indikator berikutnya membicarakan tentang rasio siswa per sekolah, siswa per kelas, siswa per guru, kelas per ruang kelas dan kelas per guru. Rasio siswa per sekolah terpadat tertinggi di tingkat SLTP dengan angka 452 dan terjarang terdapat di tingkat SD sebesar 146 Hal itu menunjukkan bahwa sekolah di daerah ini sangat heterogen. Rasio siswa per guru juga bervavariasi dengan rasio terbesar terdapat pada tingkat SD yaitu 19 dan terendah terdapat pada SM yaitu 14 Besarnya rasio siswa per guru ini menunjukkan kurangnya guru di tingkat tersebut. Sebaliknya, rasio terkecil menunjukkan cukupnya guru di tingkat tersebut. Ruang kelas yang paling sering digunakan adalah pada tingkat SLTP. Hal itu berarti, bahwa pada tingkat tersebut masih memerlukan ruang kelas tambahan jika diharapkan jumlah kelas sama dengan jumlah kelas sehingga tidak ada ruang kelas yang digunakan lebih dari sekali.
194
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Sebaliknya, terdapat ruang kelas yang tidak digunakan, ini terlihat pada rasio di bawah 1 yang terdapat di tingkat SD. Sejalan dengan perbandingan antara sekolah di tingkat SLTP dan SD yang cukup tinggi, maka angka melanjutkan ke tingkat SLTP juga cukup tinggi yaitu 99,59 %. Diharapkan bila jumlah tingkat SLTP ditingkatkan maka angka melanjutkan juga akan meningkat. Sebaliknya, angka melanjutkan ke tingkat SM lebih kecil yaitu 89,90 % dengan melanjutkan ke tingkat SLTP. Salah satu sebab rendahnya angka melanjutkan ini karena perbandingan sekolah tingkat SM dan SLTP juga rendah.Berdasarkan indikator ada yang dengan melihat pencapaian setiap indikator untuk setiap jenjang pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa tingkat SM Mempunyai kinerja yang lebih unggul dibandingkan dengan tingkat SD dan tingkat SLTP. Kinerja yang lebih unggul ini diambil dari banyaknya nilai yang lebih tinggi pada tingkat tersebut. Berdasarkan APK yang ada, ternyata porsi APK terbesar adalah SD yaitu 110,89 .% jika dibandingkan dengan SLTP yaitu yaitu 81,98. %. Hal yang sama juga terjadi pada APM. Indikator berikutnya membicarakan tentang rasio siswa per sekolah, siswa per kelas, siswa per guru, kelas per ruang kelas dan kelas per guru. Rasio siswa per sekolah terdapat di SD Berdasarkan indikator yang terdapat pada Tabel 3.2 dan dengan melihat pencapaian setiap indikator untuk setiap jenjang pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa SD mempunyai kinerja yang lebih unggul dibandingkan dengan MI. Kinerja yang lebih unggul ini diambil dari banyaknya nilai yang lebih tinggi pada SD. Oleh karena itu, agar kinerja SD sebanding dengan MI, maka diperlukan penanganan lebih lanjut untuk MI. Dengan melihat hasil indikator di atas, dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk usia sekolah dan banyaknya desa tertinggal tidak mempengaruhi pencapaian indikator pemerataan. Hal itu ditunjukkan dengan masih tingginya angka partisipasi bersekolah. Selanjutnya bila dilihat dari Tabel 2.8 Buku III Indikator dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara angka partisipasi dengan keadaan sekolah. Bila APK tingkat SD rendah, ternyata rasio siswa per kelas juga rendah. hal itu menunjukkan bahwa minat bersekolah di tingkat SD kurang. Hal itu jug terlihat dari rendah siswa per sekolah, sedangkan TPS ternyata rendah yang berarti kesempatan belajar cukup tinggi. Bila dikaitkan dengan tingkat kesulitan ke sekolah dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara angka partisipasi dengan keadaan daerah. APK tingkat SD rendah, hal itu disebabkan karena kesulitan ke sekolah yang berarti di daerah itu merupakan daerah sulit sehingga anak tidak bersekolah. Selain itu, bila dilihat dari desa tertinggal ternyata hampir sebagian sekolah tersebut terdapat di desa tertinggal. Tambahan pula, kepadatan anak usia 712 tahun memang cukup besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kondisi daerah. Bila
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
195
195
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
hanya dilihat dari pendidikan semata, maka akan sulit dilakukan pemecahannya tanpa mengikutsertakan faktor di luar pendidikan yang mempengaruhi. Untuk Tingkat SLTP (SLTP dan MTs), berdasarkan APK yang ada, ternyata porsi APK terbesar adalah SD yaitu 112,37 % jika dibandingkan dengan SLTP yaitu 97,51 %. Hal yang sama juga terjadi pada APM. Bila dilihat per jenis kelamin, ternyata masih ada perbedaan jender baik di SLTP maupun di MTs. Banyaknya porsi SLTP pada APK dan APM disebabkan anak yang bersekolah di SLTP lebih banyak dibandingkan dengan MTs dan sesuai dengan jumlah sekolah yang ada, SLTP lebih banyak jika dibandingkan dengan MTs. Untuk melihat kinerja SLTP dan MTs, indikator berikut membicarakan tentang rasio siswa per sekolah, siswa per kelas, siswa per guru, kelas per ruang kelas dan kelas per guru. Rasio siswa per sekolah terpadat. Rasio siswa per guru juga bervariasi dengan rasio terbesar di SLTP yaitu 16. Besarnya rasio siswa per guru ini menunjukkan kurangnya guru di MTs jika dibandingkan dengan di SLTP. Ruang kelas yang paling sering digunakan adalah di SLTP . Hal itu berarti bahwa pada SLTP masih memerlukan ruang kelas tambahan jika diharapkan jumlah kelas sama dengan jumlah kelas sehingga tidak ada ruang kelas yang digunakan lebih dari sekali. Selain itu, sesuai dengan jumlah sekolah, maka tingkat pelayanan sekolah di SLTP juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan MTs. Berdasarkan indikator yang terdapat pada Tabel 3.3 dan dengan melihat pencapaian setiap indikator untuk SLTP dan MTs, maka dapat dikatakan bahwa SLTP mempunyai kinerja yang lebih unggul dibandingkan dengan MTs. Kinerja yang lebih unggul ini diambil dari banyaknya nilai yang lebih tinggi pada tingkat tersebut. Dengan demikian, untuk menghasilkan kinerja yang sama antara SLTP dan MTs, perlu dilakukan penanganan lebih lanjut untuk MTs. Tambahan pula, kepadatan anak usia 13-15 tahun memang cukup besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kondisi daerah. Bila hanya dilihat dari pendidikan semata, maka akan sulit dilakukan pemecahannya tanpa mengikutsertakan faktor di luar pendidikan yang mempengaruhi. Dengan melihat hasil indikator di atas, dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk usia sekolah dan banyaknya desa tertinggal kelihatannya memberi pengaruh terhadap pencapaian indikator pemerataan. Kondisi itu ditambah dengan kurangnya jumlah sekolah yang ada. Hal itu ditunjukkan dengan rendahnya angka partisipasi bersekolah di tingkat SLTP. Sedangkan untuk Tingkat SM (SM dan MA), Berdasarkan APK yang ada, ternyata porsi APK terbesar adalah SM yaitu 68,72 % jika dibandingkan dengan MA. Hal yang sama juga terjadi pada APM Tingginya porsi APK dan APM pada SMU disebabkan banyaknya siswa yang bersekolah di SMU
196
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
dibandingkan dengan jenis sekolah lainnya yang setingkat karena jumlah SMU juga lebih banyak jika dibandingkan dengan jenis sekolah lainnya yang setingkat.Untuk melihat kinerja SMU, SMK, dan MA, indikator berikut membicarakan tentang rasio siswa per sekolah, siswa per kelas, siswa per guru, kelas per ruang kelas dan kelas per guru. Rasio siswa per sekolah terpadat di SM, menunjukkan bahwa sekolah di daerah ini SM lebih banyak diminati. Siswa per kelas yang pada saat pembangunan sekolah seharusnya diisi dengan 40 anak, ternyata pada kenyataannya juga sangat bervariasi. Rasio siswa per kelas terbesar adalah SM. dan terkecil adalah MA Hal ini menunjukkan masih kurangnya yang berminat di MA, sebaliknya, SM . telah mencukupi. Besarnya rasio siswa per guru ini menunjukkan kurangnya guru di SM jika dibandingkan dengan di MA. Ruang kelas yang paling sering digunakan adalah di SM. yaitu sebesar 213 buah. Hal itu berarti bahwa pada SM masih memerlukan ruang kelas tambahan jika diharapkan jumlah kelas sama dengan jumlah kelas sehingga tidak ada ruang kelas yang digunakan lebih dari sekali. Selain itu, sesuai dengan jumlah sekolah, maka tingkat pelayanan sekolah di SMU juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis sekolah lainnya yang setingkat. Berdasarkan indikator yang ada dan dengan melihat pencapaian setiap indikator untuk setiap jenjang pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa SM. mempunyai kinerja yang lebih unggul dibandingkan dengan jenis sekolah lainnya yang setingkat. Kinerja yang lebih unggul ini diambil dari banyaknya nilai yang lebih tinggi pada tingkat tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan terdapat hubungan antara angka partisipasi dengan keadaan sekolah. Bila APK tingkat SM ternyata rasio siswa per kelas juga rendah, bila dilihat rasio siswa per sekolah ternyata cukup tinggi yaitu MA, sedangkan TPS ternyata tinggi yang berarti kesempatan belajar memang kurang. Hal itu menunjukkan bahwa minat bersekolah di tingkat SM kurang karena memang jumlah sekolahnya tidak mencukupi. Tambahan pula, kepadatan anak usia 16-18 tahun memang cukup besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kondisi daerah. Bila hanya dilihat dari pendidikan semata, maka akan sulit dilakukan pemecahannya tanpa mengikutsertakan faktor di luar pendidikan yang mempengaruhi. Dengan melihat hasil indikator di atas, dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk usia sekolah dan banyaknya desa tertinggal kelihatannya memberi pengaruh terhadap pencapaian indikator pemerataan. Hal itu ditunjukkan dengan rendahnya angka partisipasi bersekolah di tingkat SM. Pada indikator Peningkatan Mutu Pendidikan, Indikator mutu ini dapat dibedakan menjadi lima indikator mutu yaitu: (1) mutu masukan, (2) mutu
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
197
197
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
proses, (3) mutu SDM, (4) mutu fasilitas, dan (5) biaya. Berdasarkan mutu masukan dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa baru tingkat I untuk tingkat SD adalah berasal dari tamatan TK atau sejenis. Berdasarkan indikator mutu proses yaitu angka mengulang, angka putus sekolah, dan angka lulusan, ternyata angka mengulang terbesar terdapat pada tingkat SD yaitu sebesar 907 ( 3,36 %) dan terendah terdapat pada tingkat MI yaitu sebesar 62 ( 0,21 %). Selanjutnya angka putus sekolah terbesar terdapat pada tingkat SMP yaitu sebesar 0,42 % dan terendah terdapat pada tingkat SMP yaitu sebesar 0,04 %. Bila dilihat angka lulusan ternyata angka tertinggi terdapat pada tingkat SD yaitu sebesar 14,89 % dan terendah terdapat pada tingkat SM yaitu sebesar 0,29 %. Dengan melihat ketiga indikator mutu proses ini dapat dikatakan bahwa kinerja terbaik adalah pada tingkat SM Hal itu ditunjukkan dengan adanya angka mengulang dan putus sekolah paling rendah serta angka lulusan yang paling tinggi. Bila dilihat dari mutu SDM (guru), maka % guru yang layak mengajar terbesar adalah pada tingkat SD. yaitu 97,08 % dan guru yang layak mengajar terendah adalah pada tingkat SMU sebesar 74,88. Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah, hal itu terlihat pada kesesuaian ijazah guru guru dengan bidang studi yang diajarkan. Khusus SM, banyaknya guru yang sesuai terlihat pada bidang studi PPKN , yaitu sebesar 109,52 % dan yang paling tidak sesuai adalah bidang studi Biologi. yaitu sebesar, 82,76 sedangkan SMU, banyaknya guru yang sesuai terlihat pada bidang studi Bahasa Inggris Yaitu sebesar 110,34 % dan yang paling tidak sesuai terlihat pada bidang studi Sejarah Budaya yaitu sebesar 79,31 %. Tabel. 4.33 Indikator Mutu Pendidikan Di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
198
Indikator Persentase Lulusan TK/RA/BA Angka Mengulang Angka Putus Sekolah Angka Lulusan Angka Kelayakan Mengajar a. Layak b. Semi layak c. Tidak layak Persentase Guru Mengajar a. PPKn b. Pend. Agama c. Bhs Indonesia d. Bhs Inggris
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
SD+MI
SLTP+MTs
SM+MA
3,40 0,05 97,48
0,13 0,44 94,31
0,05 0,91 90,32
95,67 1,26 3,06
82,06 7,52 10,42
76,44 13,33 10,22
-
102,56 102,41 87,06 113,73
109,52 120,51 100,00 110,34
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Indikator
e. Sejarah & Sejarah Budaya f. Pend. Jasmani g. Matematika h. IPA h.1 Fisika h.2 Biologi h.3 Kimia No. Indikator i. IPS i.1 Ekonomi i.2 Sosiologi i.3 Geografi j. Seni & Kerajinan k. Muatan Lokal l. Tata Negara m. Antropolgi n. Pendidikan Seni o. Bahasa Asing p. B dan P q. Lain-lain 7. %tase Kondisi Ruang Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat 8. %tase Fasilitas Sekolah a. Perpustakaan b. Lapangan OR c. UKS d. Laboratorium e. Keterampilan f. Bimbingan Penyuluhan g. Serba Guna h. Bengkel i. Ruang Praktik 9. Angka Partisipasi (%) a. Pemerintah Pusat b. Orang tua c. Pemerintah Daerah 10. Satuan biaya (000 Rp.) Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana.
SD+MI
SLTP+MTs
SM+MA
-
100,00 138,46 109,38 96,88 -
79,31 123,08 102,94 135,00 82,76 105,00 100,00 88,89 -
77,77 17,95 4,28
80,43 61,11 155,17 112,90 84,62 11,54 3,85
-
71,43 71,43 71,43 42,86 -
68,75 62,50 31,25 143,75 31,25 37,50 25,00 -
-
35,71 2,32 58,75 1621,98
10,79 13,50 75,57 1329,65
166,67 100,00 27,14 83,55 24,00 1,33
Indikator berikutnya adalah tentang mutu prasarana dan sarana pendidikan. Ruang kelas dengan kondisi baik paling banyak terdapat pada tingkat SMP yaitu sebesar 84,62 % sedangkan kondisi rusak berat yang paling banyak terdapat pada tingkat SD. yaitu sebesar 4,28 %. Banyaknya ruang kelas yang rusak berat ini menunjukkan mutu prasarana yang buruk dan berakibat secara tidak langsung akan menurunkan mutu sekolah.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
199
199
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Indikator mutu prasarana lainnya adalah ketersediaan fasilitas sekolah yang ada. Jumlah sekolah yang memiliki perpustakaan terbesar ada pada tingkat SMP. yaitu sebesar 71,43 % dan terendah ada pada tingkat SMP sebesar 68,75 Jumlah lapangan olahraga terbesar pada tingkat SMP. Yaitu sebesar 71,43 % dan terendah ada pada tingkat SM. Sebesar 62,50 %. Fasilitas sekolah lainnya yaitu ruang UKS terbesar terdapat pada tingkat SLTP yaitu sebesar 71,43 %. Dengan demikian, bila setiap sekolah diharuskan memiliki ketiga fasilitas tersebut. Berdasarkan indikator mutu yang terdapat pada Tabel 3.5 dan dengan melihat pencapaian setiap indikator untuk setiap jenjang pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa tingkat SLTP Mempunyai kinerja yang lebih unggul dibandingkan dengan tingkat SD dan tingkat SM. Kinerja yang lebih unggul ini diambil dari banyaknya nilai yang lebih tinggi dalam hal mutu pada tingkat tersebut. Tingkat SD (SD dan MI), Berdasarkan mutu masukan dapat diketahui bahwa 35,64 % siswa baru tingkat I SD yang berasal dari tamatan TK atau sejenis lebih besar jika dibandingkan dengan MI. 2,86 %. Berdasarkan indikator mutu proses yaitu angka mengulang, angka putus sekolah, dan angka lulusan, ternyata angka mengulang terbesar terdapat pada SD . yaitu sebesar 3,25 %, angka putus sekolah terbesar terdapat pada SD yaitu sebesar 0,05 %, dan ternyata angka tertinggi terdapat pada SM. yaitu sebesar 2,21%. Bila dilihat dari mutu SDM (guru), maka %tase guru yang layak mengajar di SD lebih besar daripada MI. Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah. Banyaknya ruang kelas yang rusak berat ini menunjukkan mutu prasarana yang buruk dan berakibat secara tidak langsung akan menurunkan mutu sekolah. Indikator mutu prasarana lainnya adalah ketersediaan fasilitas sekolah yang ada. Jumlah SD. memiliki perpustakaan lebih besar. Jumlah lapangan olahraga lebih besar pada SD dan ruang UKS lebih besar pada SD Dengan demikian, bila setiap sekolah diharuskan memiliki ketiga fasilitas tersebut, maka SD Memiliki angka terbesar yaitu 100 %. Indikator mutu yang ditunjukkan dari biaya dilihat dari angka partisipasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan orang tua siswa. Dari ketiga angka partisipasi dalam hal biaya tersebut, angka partisipasi terbesar adalah SLTP pada Pemkab dengan prosentase sesebesar 64,20 % pada tingkat Pusat Partisipasi pemerintah pusat lebih rendah terdapat di SMA sebsar 8,53 %, demikian juga partisipasi orang tua terbesar siswa sebesar 12,46 %. Berdasarkan tabel dibawah ini ternyata partisipasi pemerintah daerah paling tinggi jika dibandingkan dengan partisipasi lainnya.
200
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.34 Indikator Mutu Pendidikan Tingkat SD Di Kabupaten Jembran Tahun 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Indikator
Persentase Lulusan TK/RA/BA Angka Mengulang Angka Putus Sekolah Angka Lulusan Angka Kelayakan Mengajar a. Layak b. Semi layak c. Tidak layak 6. Persentase Kondisi R. Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat 7. Persentase Fasilitas Sekolah a. Perpustakaan b. Lapangan OR c. UKS d. Laboratorium 8. Angka Partisipasi (%) a. Pem Pusat b. Orang tua c. Pemda 9. Satuan biaya (000 Rp.) Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana
SD
MI
3,38 0,05 91,72
0,22 0,00 97,48
97,08 0,21 2,71
76,00 16,00 8,00
78,38 17,36 4,26
66,13 29,03 4,84
-
-
Berdasarkan mutu Tingkat SLTP (SLTP dan MTs), masukan yang terdapat Tabel 3.7 dapat diketahui bahwa rasio NEM lulusan dibandingkan dengan NEM siswa baru, ternyata SD Lebih besar dari pada MI Berdasarkan indikator mutu proses yaitu angka mengulang, angka putus sekolah, dan angka lulusan, ternyata angka mengulang terbesar terdapat pada SD yaitu sebesar 3,38 %, angka putus sekolah terbesar terdapat pada SMK yaitu sebesar 2,21 %. Dengan melihat ketiga indikator mutu proses ini dapat dikatakan bahwa kinerja terbaik adalah pada MI. Hal itu ditunjukkan dengan adanya angka mengulang dan putus sekolah paling rendah serta angka lulusan yang paling tinggi. Bila dilihat dari mutu SDM (guru), maka %tase guru yang layak mengajar di SD. lebih besar daripada diMI. Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah. Indikator berikutnya adalah tentang mutu prasarana dan sarana pendidikan. Ruang kelas dengan kondisi baik lebih banyak terdapat pada SD yaitu sebesar 78,38 % sedangkan kondisi rusak berat yang paling banyak terdapat pada MI. yaitu sebesar 4,844 %. Banyaknya ruang kelas yang rusak
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
201
201
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
berat ini menunjukkan mutu prasarana yang buruk dan berakibat secara tidak langsung akan menurunkan mutu sekolah. Tabel. 4.35 Indikator Mutu Pendidikan tingkat SLTP Di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 No.
Indikator
1. 2. 3. 4. 5.
Rasio NEM Lulusan/Siswa Baru Angka Mengulang Angka Putus Sekolah Angka Lulusan Angka Kelayakan Mengajar a. Layak b. Semi layak c. Tidak layak 6. %tase Kesesuaian guru mengajar a. PPKn b. Pend. Agama c. Bhs Indonesia d. Bhs Inggris e. Sejarah & Sejarah Budaya f. Pend. Jasmani g. Matematika h. IPA i. IPS j. Seni & Kerajinan k. Muatan Lokal l. B dan P m. Lain-lain Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana
SLTP
MTs
7,39 0,14 0,45 96,64
5,48 0,09 0,28 73,25
83,03 5,86 11,11
77,99 14,47 7,55
102,56 102,41 87,06 113,73
6,57 11,38 12,28 8,38
138,46 109.38 96,88 80,43 61,11 155,17 112,90
4,79 11,08 13,62 11,08 -
Indikator mutu prasarana lainnya adalah ketersediaan fasilitas sekolah yang ada. Jumlah SLTP. memiliki perpustakaan lebih besar. Jumlah lapangan olahraga lebih besar pada SLTP, ruang UKS lebih besar pada SLTP , dan ruang laboratorium lebih besar pada SM Dengan demikian, bila setiap sekolah diharuskan memiliki keempat fasilitas tersebut. Indikator mutu yang ditunjukkan dari biaya dilihat dari angka partisipasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan orang tua siswa. Dari ketiga angka partisipasi dalam hal biaya tersebut, angka partisipasi terbesar adalah padaPemkab dengan %tase terbesar pada tingkat SLTP . Partisipasi pemerintah pusat lebih rendah terdapat diSLTP demikian juga partisipasi orang tua siswa.. Berdasarkan Tabel di atas, ternyata partisipasi pemerintah daerah paling banyak jika dibandingkan dengan partisipasilainnya. Berdasarkan indikator mutu yang terdapat pada tabel dan dengan
202
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
melihat pencapaian setiap indikator untuk SLTP dan MTs, maka dapat dikatakan bahwa SLTP mempunyai kinerja mutu yang lebih unggul dibandingkan dengan MTs. Kinerja yang lebih unggul ini diambil dari banyaknya nilai yang lebih tinggi dalam hal mutu pada tingkat tersebut. Dengan demikian, kinerja mutu yang lebih buruk ini yang harus ditangani lebih lanjut. Sementara Tingkat SM (SMU, SMK, dan MA), Berdasarkan mutu masukan yang terdapat pada Tabel 3.8 dapat diketahui bahwa rasio NEM lulusan dibandingkan dengan NEM siswa baru, ternyata SM terbesar jika dibandingkan dengan kedua jenis sekolah lainnya yang sejenis. Berdasarkan indikator mutu proses yaitu angka mengulang, angka putus sekolah, dan angka lulusan, ternyata angka mengulang terbesar terdapat pada SMK yaitu sebesar 0,12 %, angka putus sekolah terendah terdapat pada MA yaitu sebesar 0,40 %, dan ternyata angka tertinggi terdapat pada SMK. yaitu sebesar 2,21 %. Dengan melihat ketiga indikator mutu proses ini dapat dikatakan bahwa mutu masukan terbaik adalah pada SMK Hal itu ditunjukkan dengan adanya angka mengulang dan putus sekolah paling rendah serta angka lulusan yang paling tinggi. Bila dilihat dari mutu SDM (guru), maka persentase guru yang layak mengajar di MA. terbesar yaitu sebesar 96,94 % jika dibandingkan dengan kedua jenis sekolah lainnya yang setingkat. Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah. Indikator berikutnya adalah tentang mutu prasarana dan sarana pendidikan. Ruang kelas dengan kondisi baik terbesar terdapat pada MA. yaitu mencapai 100 % sedangkan kondisi rusak berat yang terbanyak terdapat pada SMU. yaitu sebesar 1,33 %. Minimnya ruang kelas yang rusak berat ini menunjukkan mutu prasarana yang mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun lalu dan berakibat secara tidak langsung akan meningkatkan mutu sekolah. Tabel. 4.36 Indikator Mutu Pendidikan tingkat SM Di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Indikator
SMU
SMK
MA
Rasio NEM Lulusan/Siswa Baru Angka Mengulang Angka Putus Sekolah Angka Lulusan Angka Kelayakan Mengajar a. Layak b. Semi layak c. Tidak layak Persentase Kesesuaian guru mengajar
7,05 0,02 0,44 73,25
6,80 0,12 2,21 93,04
0,00 0,40 85,12
74,88 14,25 10,87
76,44 13,33 10,22
96,94 0,00 2,04
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
203
203
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Indikator
a. PPKn b. Pend. Agama c. Bhs Indonesia d. Bhs Inggris e. Sejarah & Sejarah Budaya f. Pend. Jasmani g. Matematika h. IPA h.1 Fisika h.2 Biologi h.3 Kimia i. IPS i.1 Ekonomi i.2 Sosiologi i.3 Geografi j. Seni & Kerajinan k. Muatan Lokal l. Tata Negara m. Antropolgi n. Pendidikan Seni o. Bahasa Asing p. B dan P q. Lain-lain 7. Persentase Kondisi R. Kelas a. Baik b. Rusak Ringan c. Rusak Berat 8. Persentase Fasilitas sekolah a. Perpustakaan b. Lapangan OR c. UKS d. Laboratorium 9. Angka Partisipasi (%) a. Pem Pusat b. Orang tua c. Pemda 10. Satuan biaya (000 Rp.) Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana
SMU
SMK
MA
109,52 120,51 100,00 110,34 79,31 123,08 102,94
11 27 11 15 7 12 15
4 11 7 9 4 2 7
135,00 82,76 105,00
4 3 3
3 6 5
100,00 0 88,89 0 0 0 0 200,00 166,67 100,00 27,14
8 0 0 0 4 0 0 0 0 9 0
4 4 4 1 10 2 1 2 1 3 0
87,33 11,33 1,33
63,33 36,67 00,00
100,00 0,00 0,00
68,75 56,25 43,75 131,25
28,57 85,71 28,57 71,43
66,67 33,33 0,00 200,00
1,31 10,18 86,08 1.348,58
12,15 16,72 56,69 1.411,24
6,45 4,69 87,06 522,00
Indikator mutu prasarana lainnya adalah ketersediaan fasilitas sekolah yang ada. Jumlah SMU memiliki perpustakaan terbesar 68,75 %, jika dibandingkan dengan jenis sekolah lainnya yang setingkat. Jumlah lapangan olahraga terbesar pada SMK sebsar 85,71 , ruang UKS sebesar 43,75 pada SMU. , ruang laboratorium terbesar pada SMU ruang keterampilan terbesar di SMK , ruang BP terbesar pada SMU, dan ruang Serba Guna terbesar pada SMK. Dengan demikian, bila setiap sekolah diharuskan memiliki ketujuh fasilitas tersebut, maka SMK memiliki angka terbesar.
204
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Berdasarkan indikator mutu yang terdapat pada Tabel (Indikator Mutu Pendidikan tingkat SM) dan dengan melihat pencapaian setiap indikator untuk SMU, SMK, dan MA, maka dapat dikatakan bahwa SMK mempunyai kinerja mutu yang lebih unggul dibandingkan dengan SMU. Kinerja yang lebih unggul ini diambil dari banyaknya nilai yang lebih tinggi dalam hal mutu pada tingkat tersebut. Dengan demikian, kinerja mutu yang lebih buruk ini yang harus ditangani lebih lanjut. Tidak seperti dua indikator sebelumnya yang menggunakan jenis indikator yang sama, indikator untuk relevansi antara tingkat SD, SMU, dan SMK berbeda. Untuk SD merupakan relevansi antara muatan lokal dengan mata pelajaran yang dikembangkan oleh daerah, untuk SMU merupakan relevansi antara siswa menurut jurusan di SMU dengan kriteria dan prosedur penjurusan di SMU, sedangkan untuk SMK adalah relevansi antara lulusan dengan yang terserap di sektor mata pencaharian. Oleh karena itu, analisisnya juga dibedakan antara ketiga jenis sekolah tersebut. Kabupaten Jembrana mempunyai relevansi pedidikan yang baik antara kurikulum muatan lokal yang ada dengan mata pelajaran yang dikembangkan di SD. Hanya Kabupaten atau kecamatan -. Yang tidak ada relevansinya antara kurikulum muatan lokal dengan mata pelajaran yang dikembangkan di tingkat SD. Selanjutnya, bila dilihat dari sektor dominan yang ada pada setiap kabupaten/kota atau kecamatan tersebut, maka kurikulum muatan lokal dan mata pelajaran yang dikembangkan di tingkat SD pada beberapa kabupaten/kota atau kecamatan yaitu - relevan dengan lingkungan yang ada, sedangkan beberapa kabupaten/kota atau kecamatan yaitu - sama sekali tidak relevan dengan lingkungan yang ada. Tabel. 4.37 Analisis Relevansi SD Di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Kabupaten/Kota
No.
Kecamatan
Sektor Dominan Muatan Lokal
1.
Kec. Melaya
B. Daerah B. Inggris Bhs. Inggris
2.
Kec. Negara
3.
Kec. Mendoyo
Sda
4.
Kec. Pekutatan
Sda
Mata Pelajaran
1
2
3
Metembang, jejahitan,menganyam Metembang, jejahitan,menganyam Metembang, jejahitan,menganyam Metembang, jejahitan,menganyam
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
205
205
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Dengan melihat kondisi seperti ini, maka kabupaten/kota atau kecamatan yang tidak ada relevansinya hendaknya dijadikan prioritas utama untuk ditangani lebih lanjut sehingga relevan, begitu juga pada Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dari jumlah SMK yang ada, sudah 100 % yang telah melaksanakan pendidikan sistem ganda (PSG), hal itu membuktikan bahwa sudah ada relevansi antara SMK dengan dunia industri atau dunia usaha. Dengan menggabungkan dari 9 sektor menjadi 6 sektor sesuai dengan kelompok di SMK maka lulusan kelompok Bisnis dan Managemen merupakan lulusan terbesar yang dapat diserap di lapangan kerja, sedangkan kelompok Pertanian Merupakan lulusan terkecil yang dapat diserap di lapangan kerja. Efisiensi Internal Pendidikan, Seperti halnya dua indikator pertama yaitu pemerataan dan peningkatan mutu, indikator untuk efisiensi juga menggunakan data kabupaten/kota atau propinsi sesuai dengan data yang tersedia. Untuk tingkat SD sampai tingkat SM menggunakan indikator yang sama. Indikator dimaksud meliputi jumlah keluaran, jumlah tahun-siswa, jumlah putus sekolah, jumlah mengulang, lama belajar, tahun-siswa terbuang, tahun masukan per input dan rasio keluaran dan masukan. Tabel. 4.38 Efisiensi Internal Pendidikan Di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 No.
Komponen
SD+MI
1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah Keluaran 995 Jumlah Tahun-siswa 6197 Jumlah Putus sekolah 3 Jumlah Mengulang 213 Lama Belajar - Lulusan 6,21 - Putus Sekolah 3,30 - Kohort 6,18 6. Tahun-siswa Terbuang - Jumlah 526 - Mengulang 518 - Putus sekolah 10 7. Tahun-masukan per Lulusan 6,23 8. Rasio keluaran/masukan 0,98 Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana
SLTP+MTs
SMU+MA
SM+MA
987 2990 13 4
987 2989 13 1
972 2972 28 2
3,00 1,94 2,99
3,00 2,06 2,99
3,00 1,97 2,97
34 8 26 3,03 0,99
28 2 26 3,03 0,99
60 4 56 3,06 0,98
Berdasarkan Tabel di atas diketahui bahwa jumlah keluaran yang terbaik yaitu dalam arti mendekati angka 1000 adalah pada tingkat SMP/MTs sebesar 987 Jumlah tahun-siswa yang mencapai 6000 adalahSD/MI, dan 2990 untuk tingkat SLTP dan SM memiliki nilai terbesar adalah pada tingkat SD sebesar 2990 Jumlah putus sekolah yang terbaik yaitu mendekati 0 % ada
206
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
pada tingkat SMU/MA. Sebesar 1,00 Selanjutnya, jumlah mengulang yang mendekati 0 . % atau yang terbaik ada pada tingkat SM/MA sebesar 2,97 %. Untuk melihat efisiennya suatu sekolah dapat dilihat dari rata-rata lama belajar siswa, untuk tingkat SD seharusnya lama belajar sampai lulus atau disebut rata-rata lama belajar lulusan adalah 6 tahun dan tingkat SLTP dan SM seharusnya 3 tahun sehingga tidak ada siswa yang mengulang atau putus sekolah. Rata-rata lama belajar lulusan ini yang paling penting untuk menentukan efisien tidaknya suatu sekolah. Berdasarkan rata-rata lama belajar lulusan, ternyata yang kondisinya terbaik adalah pada tingkat SM. Bila dilihat lama belajar putus sekolah, ternyata kondiisi putus sekolah yang terburuk adalah pada tingkat SLTP. yang berarti hanya beberapa tahun sekolah telah mengalami putus sekolah. Di samping itu, rata-rata lama belajar kohort merupakan rata-rata dari lulusan dan putus sekolah. Efisien atau tidaknya suatu sekolah juga dapat dilihat dari tahun-siswa terbuang. Tahun–siswa terbuang dirinci menjadi tiga yaitu terbuang karena mengulang, putus sekolah dan gabungan antara mengulang dan putus sekolah. Tahun-siswa terbuang yang terbaik yang berarti nilainya mendekati 0 ada pada tingkat SM Bila dilihat tahun masukan per lulusan maka tingkat SLTP Memiliki nilai tertinggi jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Demikian juga dengan rasio keluaran per masukan, nilai terbesar yaitu mendekati angka 1 terdapat pada tingkat SM. Dengan mendasarkan pada 8 jenis indikator untuk efisiensi internal sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat SM memiliki kinerja yang terbaik dilihat dari sisi efisiensi internal pendidikan yang digambarkan dari banyaknya nilai yang positif dari setiap indikator efisiensi. Kemudian dengan melihat jumlah siswa putus sekolah berdasarkan kohort dari 1000 siswa dapat diketahui bahwa dari tiga jenjang pendidikan yang ada, ternyata jenis sekolah SLTP yang paling besar siswa tidak melanjutkan sekolah, sedangkan jenis sekolah yaitu SMK. yang paling kecil. Besarnya siswa yang putus sekolah ini juga terlihat dari siswa yang bertahan makin kecil dan yang terbaik terdapat di jenis sekolah MA. dan yang terburuk pada jenis sekolah SD Bila dikaitkan dengan siswa bertahan tetapi juga pernah mengulang, maka jenis sekolah SMU mempunyai kondisi yang paling baik dibandingkan dengan jenis sekolah lainnya dan yang paling jelek adalah SLTP.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
207
207
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.39 Pemborosan Biaya akibat Tahun-siswa terbuang Di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 No.
Jenis Sekolah
Tahun-siswa terbuang
1. SD 2. MI 3. SD+MI 4. SLTP 5. MTs 6. SLTP+MTs 7. SMU 8. MA 9. SMU+MA 10. SMK 11. SM+MA Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana
Pemborosan Biaya
520 662 9305 36 17 34 31 0 28 137 60
0 0 0 662.529 22.478 677.691 249.980 0 233.985 473.664 701.557
Pemborosan biaya dihasilkan dari tidak efisiennya sistem pendidikan yang ada. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa pemborosan yang paling besar terjadi pada jenis sekolah SM/MA yaitu sebesar Rp 701.557, pemborosan yang terkecil terdapat pada jenis sekolah MTs yaitu sebesar Rp 22.478. Dengan melihat kondisi seperti ini, maka perlu dikaji ulang sistem pendidikan yang ada. Kajian ini tidak hanya ditujukan pada jenis sekolah yang mengalmai pemborosan biaya terbesar melainkan juga jenis sekolah yang lebih baik. Dengan adanya pemborosan ini, dapat disimpulkan bahwa jenis sekolah SMA memiliki kinerja yang paling baik dibandingkan jenis sekolah lainnya. Pada Tingkat SD (SD dan MI) jumlah keluaran yang terbaik yaitu dalam arti mendekati angka 100 adalah MI. Jumlah tahun-siswa yang seharusnya 6114 untuk tingkat MI ternyata hanya sebesar 6248 Untuk SD dan sebesar 1.000 untuk MI. Jumlah putus sekolah yang terbaik yaitu mendekati 0 % adalah MI. sebesar 0 Selanjutnya, jumlah mengulang yang mendekati 0 % atau yang lebih baik adalah MI sebesar 0,22 %. Tabel. 4.40 Efisiensi Internal Pendidikan SD dan MI Di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 No 1. 2. 3. 4.
208
Komponen Jumlah Keluaran Jumlah Tahun-siswa Jumlah Putus sekolah Jumlah Mengulang
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
SD
MI
994 6194 12 210
996 6248 0 260
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Komponen
Lama Belajar - Lulusan - Putus Sekolah - Kohort 6. Tahun-siswa Terbuang - Jumlah - Mengulang - Putus sekolah 7. Tahun-masukan per Lulusan 8. Rasio keluaran/masukan Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana
SD
MI
6,21 3,30 6,18
6,25 0 0
520 510 11 6,23 6,27
662 662 0 0,96 0,96
5.
Untuk melihat lebih efisien mana SD atau MI dapat dilihat dari rata-rata lama belajar siswa, untuk tingkat SD seharusnya lama belajar sampai lulus atau disebut rata-rata lama belajar lulusan adalah 6 tahun yang berarti tidak ada siswa yang mengulang atau putus sekolah. Rata-rata lama belajar lulusan ini yang paling penting untuk menentukan efisien tidaknya suatu sekolah. Berdasarkan rata-rata lama belajar lulusan, ternyata kondisi SD Lebih baik dibandingkan dengan MI yaitu SD dan MI Bila dilihat lama belajar putus sekolah, ternyata kondisi putus sekolah yang terburuk adalah SD yaitu sebesar 12 yang berarti hanya beberapa tahun sekolah telah mengalami putus sekolah. Di samping itu, rata-rata lama belajar kohort merupakan rata-rata dari lulusan dan putus sekolah dan lebih tinggi SD jika dibandingkan dengan MI. Sehingga secara gabungan antara mengulang dan putus sekolah yang lebih baik juga MI. Bila dilihat tahun masukan per lulusan maka SD Lebih baik jika dibandingkan dengan MI Demikian juga dengan rasio keluaran per masukan, nilai terbesar yaitu mendekati angka 1 terdapat pada SD.sebesar 6,27 %. Dengan mendasarkan pada 8 jenis indikator untuk efisiensi internal sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa SD memiliki kinerja yang terbaik dilihat dari sisi efisiensi internal pendidikan yang digambarkan dari banyaknya nilai yang positif dari setiap indikator efisiensi jika dibandingkan dengan SD. Jumlah keluaran yang terbaik yaitu dalam arti mendekati angka 1000 adalah MTs. Mencapai 100 % Jumlah tahun-siswa yang seharusnya 3000 MTs 2991 untuk tingkat MTs. Jumlah putus sekolah yang terbaik yaitu mendekati 0 % adalah MTs sebesar 8 Selanjutnya, jumlah mengulang yang mendekati 0 % atau yang lebih baik adalah MTs sebesar 3.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
209
209
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.41 Efisiensi Internal Pendidikan SLTP dan MTs Di Kabupaten Jembrana Tahun 2006 o
n
Komponen
SLTP
MTs
Jumlah . Keluaran
986
992
Jumlah . Tahun-siswa Jumlah . Putus sekolah Jumlah . Mengulang Lama . Belajar
2990 14 4
2992 8 3
3,00 1,95 2,99
3,00 1,63 2,99
36 9 27 3,03 0,99
17 3 13 3,02 0,99
- Lulusan - Putus Sekolah - Kohort Tahun-siswa . Terbuang - Jumlah - Mengulang - Putus sekolah Tahun-masukan . per Lulusan Rasio . keluaran/masukan Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana
Rata-rata lama belajar lulusan ini yang paling penting untuk menentukan efisien tidaknya suatu sekolah. Berdasarkan rata-rata lama belajar lulusan, ternyata kondisi SLTP Lebih baik dibandingkan dengan MTs yaitu SLTP dan MTs. Bila dilihat lama belajar putus sekolah, ternyata kondisi putus sekolah yang terburuk adalah SMP yaitu sebesar 1,95 yang berarti hanya beberapa tahun sekolah telah mengalami putus sekolah. Dengan mendasarkan pada 8 jenis indikator untuk efisiensi internal sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa SLTP. Memiliki kinerja yang terbaik dilihat dari sisi efisiensi internal pendidikan yang digambarkan dari banyaknya nilai yang positif dari setiap indikator efisiensi jika dibandingkan dengan MTs. Selanjutnya untuk indicator ini di tingkat SM (SMU, SMK, dan MA) Berdasarkan Tabel 3.19 diketahui bahwa jumlah keluaran yang terbaik yaitu dalam arti mendekati angka 1000 adalah MA. Jumlah tahun-siswa yang seharusnya 3000 untuk tingkat MA sebesar 3000 Untuk SMK sebesar 1000 untuk Jumlah putus sekolah yang terbaik yaitu mencapai 0 % adalah SMA. sebesar 0 Selanjutnya, jumlah mengulang yang mencapai 0 % atau yang lebih baik adalah MA Sebesar 0 %.
210
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.42 Efisiensi Internal Pendidikan SMU, SMK, dan MA Di Kabupaten Jembran Tahun 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Komponen
Jumlah Keluaran Jumlah Tahun-siswa Jumlah Putus sekolah Jumlah Mengulang Lama Belajar - Lulusan - Putus Sekolah - Kohort 6. Tahun-siswa Terbuang - Jumlah - Mengulang - Putus sekolah 7. Tahun-masukan per Lulusan 8. Rasio keluaran/masukan Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaetn Jembrana
SMU
SMK
MA
986 2.988 14 1
933 2.931 67 4
1000 3.000 0 0
3,00 2,06 2,99
3.00 1,92 2,93
3.00 0 0
31 2 29 3,03 0,99
137 8 130 3,14 0,95
0 0 0 3.00 1,00
Dari ketiga jenis sekolah di tingkat SM dapat diketahui mana dari ketiganya yang elbih efisien adalah dengan menentukan indikator rata-rata lama belajar siswa, untuk tingkat SM seharusnya lama belajar sampai lulus atau disebut rata-rata lama belajar lulusan adalah 3 tahun yang berarti tidak ada siswa yang mengulang atau putus sekolah. Rata-rata lama belajar lulusan ini yang paling penting untuk menentukan efisien tidaknya suatu sekolah. Berdasarkan rata-rata lama belajar lulusan, ternyata kondisi MA. terbaik adalah jika dibandingkan dengan dua sekolah lainnya yaitu SMK. Bila dilihat lama belajar putus sekolah, ternyata kondisi putus sekolah yang terburuk adalah SMK. yaitu sebesar 130 yang berarti hanya beberapa tahun sekolah telah mengalami putus sekolah. Di samping itu, rata-rata lama belajar kohort merupakan rata-rata dari lulusan dan putus sekolah dan lebih tinggi SMK jika dibandingkan dengan SMU. Dengan bendasarkan pada 8 jenis indikator untuk efisiensi internal sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa SMK memiliki kinerja yang terbaik dilihat dari sisi efisiensi internal pendidikan yang digambarkan dari banyaknya nilai yang positif dari setiap indikator efisiensi jika dibandingkan dengan kedua jenis sekolah lainnya.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
211
211
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
5.
Provinsi Nusa Tenggara Timur Capaian Indikator Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan, berdasarkan hasil sensus tahun 2004 angka morbiditas (penderitaan) NTT tinggi yang berdampak pada tingginya angka mortalitas (kematian) = 5,63/1000 penduduk (2004). Pada tahun 2005 angka kematian bayi = 49/1000 kelahiran hidup dan secara nasional AKB 52/1000 kelahiran hidup, angka kematian ibu 554/100.000 kelahiran hidup dan secara nasional AKI 334/100.000 kelahiran hidup, demikian juga angka kematian balita 82/1000 BLT dan secara nasional 81/1.000 BLT masih tergolong tinggi. Anggka balita tahun 2005 berstatus gizi sedang/kurang/buruk : 41,54% dan baik 58,45% gizi balita cenderung meningkat pada tahun 2006 dapat dikategorikan gizi lebih 0,7%; gizi baik 60,3%; gizi kurang 27% dan gizi buruk 12%. Dan pada tingkat nasional gizi lebih 2,5%; gizi baik 69,5%; gizi kurang 19,2% dan gizi buruk 8,8%; . Data SKRT menunjukkan jenis penyakit yang paling menerangkan angka morbiditas yaitu ISPA dan diare secara tidak langsung berkaitan dengan peran ibu dan kualitas kesehatan lingkungan yang masih buruk. Rendahnya kondisi kesehatan lingkungan. Kondisi lingkungan berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat yang tercermin antara lain dari akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Sarana pelayanan kesehatan masih terbatas sehingga layanan kepada masyarakat miskin belum optimal. Namun upaya pengadadan sarana terus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat, dimana pada tahun 2005 jumlah RSUD 14 buah, Rumah Sakit Khusus 1 buah, Rumah Sakit ABRI 2 buah, Rumah Sakit Swasta 8 buah, jumlah puskesmas 244 buah dan puskesmas pembangun 919 buah, balai pengobatan 46 buah dan Posyandu 8030 buah. Adanya kecenderungan meningkatnya penyebaran penyakit HIV/AIDS selama 5 tahun terakhir; 231 kasus yang meninggal dunia 73 orang (32,28%), HIV sebanyak 126 kasus (51,6%) dan AIDS sebanyak 105 kasus (45,4%). Meningkatnya jumlah dan kemampuan tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan termasuk peningkatan penyediaan sarana, prasarana dan peralatan kesehatan. Berkembangnya potensi swadaya masyarakat termasuk swasta dalam bentuk jaringan kerja yang dinamis untuk mengoptimalkan lingkungan yang bebas dari resiko penyakit yang berbasis lingkungan. Menurunnya kesakitan dan kematian dengan penanganan maupun pengobatan yang adekuat dan rasional, perbaikan gizi masyarakat serta pemantapan kegiatan penanggulangan KLB.
212
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.43 Pengukuran Pencapaian Sasaran (Pencapaian Indikator SPM) Instansi Dinas Kesehatan Kota Kupang Tahun 2007 No
Jenis pelayanan
Indikator & Target
Ketersediaan Sarana Kesehatan 1. Rasio Puskesmas Rawat Inap Per Kec 2. Rasio Pus & Pus RRI per Penduduk 3. Rasio Pustu per Penduduk 4. Rasio Klinik penduduk 5. Rasio RSUD
Bersalin
per
Ketersediaan Tenaga Kesehatan 1. Rasio Dokter 2. Rasio Dokter Gigi 3. Rasio Apoteker dan Ass Apoteker 4. Rasio Bidan 5. Rasio Perawat 6. Rasio Ahli Gizi 7. Rasio Ahli Sanitasi 8. Rasio Ahli Kesehatan Masyarakat 9. Rasio Tenaga Masyarakat Terlatih Ketersediaan anggaran kesehatan 1. Persentase penduduk yang menjadi peserta jaminan pemeliharaan kesehatan (JPKM/ Askes/ Dana Sehat) 2. Rata-rata persentase anggara kesehatan dalam APBD/DAU Kota 3. Alokasi Anggara Kesehatan pemerintah perkapita per tahun (dlm ribuan rp) Penyeleggaraan
Target
Realisasi
Pencapaian sasaran
1 per Kec
1 per Kec
100 %
1 per 20000 pddk 1 per 1000 pddk 1 per 5000 pddk 1 per kab/kota
0,65 per 20000 pddk 0,11 per 1000 pddk 0,16 per 5000 pddk 1 per kab/kota
65,45 %
1 per 10000 pddk 1 per 10000 pddk 1 per 10000 pddk 1 per 1000 pddk 1 per 1000 pddk 1 per 10000 pddk 1 per 5000 pddk 1 per 10000 pddk 1 per 1000 pddk
0,55 per 10000 pddk 0,27 per 10000 pddk 1,06 per 10000 pddk 0,40 per 1000 pddk 0,36 per 1000 pddk 0,67 per 10000 pddk 0,33 per 5000 pddk 0,31 per 10000 pddk 1,84 per 1000 pddk
55 %
80 % pddk
80 % pddk
100 %
15 % DAU
1,70 % DAU
11,33 %
100 per kapita
82 per kapita
82 %
10,91 % 16 % 100 %
27 % 106 % 40 % 36 % 67 % 33 % 31 % 148 %
Pembiayaan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
213
213
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Jenis pelayanan Target
Realisasi
Pencapaian sasaran
100 %
100 %
100 %
6 dok
6 dok
100 %
100 % 100 % 100 % 80 %
100 % 100 % 100 % 0%
100 % 100 % 100 % 0%
80 % 20 %
80 % 20 %
100 % 100 %
5 per kota 1 per 1000 pddk 40
5 per kota 1,02 per 1000 pddk 0
100 101,82
Pelayanan Dalam Kemitraan 1. Kunjungan Balita Ke Posyandu
60 % balita
109,3729 %
2. Kesertaan JPKM 3. Kader Aktif 4. Kemandirian UKBM
80 % pddk 80 % kader 10 % UKBM
65,62 % Balita 80 % Pddk 100 % Kader 10 % UKBM
85 %
64 %
75,29 %
70 %
81,79 %
116,84 %
70 % 1 per 10000 pddk 95 %
98,86 % 1 per 10000 pddk 88,53 %
141,23 % 100 %
80 % rumah
80 % rumah
100 %
90 % KK
75 % KK
83,33 %
70 % KK
60 % KK
85,71 %
70 %TTU
93,45 % TTU
133,5 %
Pelayanan Kesehatan KK Miskin 1. Cakupan JPKM KK Miskin Manajemen Kesehatan 1. Dokumen Yankes (RASK,DASK, Profil Kes. KW SPM, LAKIP, Ranstra) 2. Persentase Bimtek Yankes 3. Persentase Monev Program 4. Persentase Surkesda 5. Persentase SIK On Line (SIK Terpadu) Pengendalian Vektor 1. Angka Bebas Jentik (>80%) 2. Index Lalat (<20%) Sarana Kemitraan 1. Angka LSM Kesehatan Per Kota 2. Rasio Posyandu per Penduduk 3. Persentase Posyandu Purnama dan Mandiri
Kontribusi Sektor Terkait 1. Kontribusi Keluarga yang Memiliki Akses terhadap Air Bersih 2. Persentase pasangan Usia Subur/PUS yang menjadi Akseptor KB 3. Cakupan Akseptor Aktif KB 4. Angka Kecelakaan Lalu Lintas 5. Persentase Penduduk yang Melek Huruf Keadaan Lingkungan 1. Angka Rumah Sehat (Memenuhi Syarat) 2. Angka pemilikan jamban Keluarga MS 3. Angka KK dengan sarana Air Bersih MS 4. Angka TTU MS
214
Indikator & Target
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
0
100 % 125 % 100 %
93,19 %
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Jenis pelayanan Target
Realisasi
70 % TPM
86,42 % TPM
Pencapaian sasaran 123,4571%
65 %
65 %
100 %
85 %
62,8 %
73,88 %
80 %
81,2 %
101,50 %
100 % 90 % 90 % 100 %
100 % 85 % 87,60 % 100 %
100 % 94,44 % 97,33 % 100 %
Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan usia Sekolah 1. Cakupan Deteksi Dini Tmbuh Kembang Anak Balita dan Pra Sekolah
80 %
80 %
100 %
Pelayaan Usia Lanjut 1. Cakupan Pelayanan Kesehatan Pra Usia Lajut dan Usia Lajut
80 %
80 %
100 %
Pelayanan Imunisasi 1. Persentase Kelurahan UCI
100 %
14,29 %
14,29 %
Pemantauan Pertumbuhan Balita 1. Gizi Baik 2. Balita Yang Naik Berat Badannya 3. Balita Bawah Garis Merah (BGM)
80 % 80 % 15 %
70,00 % 46,94 % 9,18 %
87,50 % 58,67 % 138,80 %
90 %
80 %
88,89 %
90 %
62 %
68,89 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
80 %
80 %
100 %
5. Angka TPM MS Perilaku Hidup Masyarakat 1. Presentase Rumah Tangga PHBS 1
Indikator & Target
Pelayanan kesehatan Ibu dan Bayi 1. Cakupan pemeriksaan Ibu hamil ke 4 2. Cakupan persalinan oleh bidan/tenaga kesehatan 3. Ibu hamil risti yang dirujuk 4. Cakupan kunjungan Neonatus 5. Cakupan Kunjungan Bayi 6. Cakupan Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR yang ditangani
Pelayanan Gizi 1. Cakupan Balita Mendapat Kapsul Vitamin A 2 Kali Per Tahun 2. Cakupan Ibu Hamil Mendapat 90 Tablet Fe 3. Cakupan Peberian Makanan Pendamping ASI pada Bayi BGM dari Keluarga Miskin 4. Balita Gizi Buruk Mendapat Perawatan Pelayanan Obstetrik dan Neoatal Eergensi Dasar dan Komprehenshif 1. Ibu Hamil Risti/Komplikasi yang ditangani
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
215
215
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Jenis pelayanan Target
Realisasi
80 %
80 %
Pencapaian sasaran 100 %
90 %
90 %
90 %
100 %
100 %
100 %
80 %
0%
0%
85 %
69,02 %
81,20 %
100 %
100 %
100 %
Pencegaa dan Pemberantasan Penyakit DBD 1. Penderita DBD yang ditagani
80 %
80 %
100 %
Pencegahan dan pemberantasan penyakit Malaria 1. Penderita Malaria yang diobati
100 %
100 %
100 %
90 %
90 %
100 %
100 %
100 %
100 %
90 %
90 %
100 %
100 %
100 %
100 %
2. Neonatal Risti/Komplikasi yang ditangani Pelayaan Gawat Darurat 1. Sarana Kesehatan dengan kemampuan pelayanan Gawat Darurat yang dapat diakses masyarakat Penyelenggaraan Penyeldk Epidemio-logi & Penanggulangan KLB dan Gizi Buruk 1. Kelurahan Mengalami KLB yang ditagani <24 Jam 2. Kecamatan Bebas Rawan Gizi Pencegahan dan Peberantasan Penyakit TB Paru 1. Kesembuha penderita TBC BTA positif (>85%) Pencegahan dan Pemberantasa Penyakit ISPA 1. Cakupan Balita dengan Pnemonia yang ditangani
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta 1. Penderita Kusta yang selesai Berobat/RTF (>90%) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare 1. Balita dengan diare yang ditangani Pelayanan Penyediaan Obat & Perbekalan Kesehatan 1. Ketersediaan Obat Sesuai Kebutuhan 2. Penyediaan Obat Esensial
216
Indikator & Target
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Jenis pelayanan
Indikator & Target Target
Realisasi
3. Penyediaan Obat Generik Berlogo 4. Penulisan Resep Obat Generik
100 % 90 %
100 % 90 %
Angka Cakupan Pelayanan Medik 1. Angka Perawatan di Puskesmas (BOR) 2. Angka Kematian Netto Puskesmas RI
75 % TT 1% Penderita
75 % TT 0% Penderita
100 % 100 %
15 %
15 %
100 %
1,5 % 100 %
1,5 % 100 %
100 % 100 %
100 %
100 %
100 %
7,2 per 10000 Pddk 45 per 1000 KH 60 per 1000 Balita 300 per 100000 KH 65 Tahun
8 per 10000 pddk 59 per 1000 KH 60 per 1000 Balita 262,19 per 100000 KH 62,60 Tahun
88,89 %
21 per 100 Balita 60 per 1000 Balita 0 per 1000 pddk 0 per 1000 pddk 0 per 1000 pddk 0 per 1000 pddk 1 per 1000 pddk 100 per 1000
22,52 per 100 Balita 57 per 1000 Balita 0 Per 1000 pddk 0 per 1000 pddk 0 per 1000 pddk 0 per 1000 pddk 1 per 1000 pddk 35 per 1000
Akses dan mutu Pelayaan Kesehatan 1. Presentase Penduduk yg memanfaatkan Puskesmas/sarana kesehatan –cakupan Kunjungan Pus/cakupan Rawat Jalan –Cakupan Rawat Inap 2. Persentase Sarana Kesehatan dengan Keampuan Laboratorium Kesehatan 3. Persentase Perawatan dan Pengobatan/ Tata Laksana Kasus Sesuai Protap. Angka Kematian 1. Angka Kematian Kasar 2. Angka Kematian Bayi 3. Angka Kematian Balita 4. Angka Kematian Ibu 5. Angka Usia Harapan Hidup Angka Kesakitan 1. Agka Gizi Kurang (KEP Total) Balita 2. Angka Kesakitan Gizi Buruk Balita 3. Angka Kesakitan Tetanus Neoatorum 4. Angka Kesakitan Difteri 5.
Angka Kesakitan Pertusis
6.
Angka Kesakitan Campak
7.
Angka Kesakitan TB Paru
8.
Angka Kesakitan Malaria
Pencapaian sasaran 100 % 100 %
68,89 % 100 % 112,60 % 96,31 % 92, 76 % 116,6667 %
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 165 %
217
217
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No
Jenis pelayanan
9.
Angka Kesakitan AFP
10.
Angka Kesakitan DBD
11.
Angka Kesakitan Diare
12.
Angka Kesakitan Kusta
13.
Angka Kesakitan Kasar
Indikator & Target Target
Realisasi
pdd 1 per 1000 pddk 1 per 1000 pddk 15 per 1000 pddk 1 per 10000 pddk 1 per 1000 pddk
pddk 0 per 1000 pddk 0,007 per 1000 pddk 21 per 1000 pddk 1 per 10000 pddk 1,1 per 1000 pddk
Pencapaian sasaran 100 % 199,3 % 60 % 100 % 90 %
Sumber :Lakip Dinkes Kota Kupang 2007
Sementara itu, untuk mencapai Indonesia Sehat Tahun 2010 secara nasional, Pemerintah Kabupaten Kupang terus berupaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya kesehatan untuk dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang tersebar di 29 kecamatan dengan kondisi topografi yang berbeda-beda. Hal ini merupakan tantangan yang cukup serius dalam mengakses pelayanan ke Rumah Sakit Daerah. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka Pemerintah Kabupaten Kupang berupaya mendekatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat dengan menyediakan sarana dan prasarana kesehatan dengan membangun Puskesmas di setiap kecamatan dan Puskesmas Pembantu (PUSTU) untuk setiap desa. Berdasarkan standar dari departemen kesehatan sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah puskesmas rata-rata 30.000 sedangkan untuk Puskesmas Pembantu melayani 2 sampai 3 desa dengan sasaran penduduk antara 2.500 – 10.000. Saat ini pemerintah kabupaten Kupang dengan jumlah penduduk 344.008 jiwa seharusnya cukup dengan 13 Puskesmas dan 35 Puskesmas pembantu (Pustu) namun kenyataan yang ada kita memiliki 27 Puskesmas dan pada tahun 2008 akan di bangun 2 Puskesmas untuk kecamatan Akle dan Sabu Tengah sehingga jumlahnya menjadi 29 buah, sedangkan Puskesmas pembantu (Pustu) sampai dengan saat ini berjumlah 111 buah namun masih 63 desa yang belum ada sarana kesehatan dan ditargetkan sampai dengan tahun 2009 semua sarana fisik sudah selesai di bangun. Idealnya untuk satu Puskesmas dibutuhkan 22 tenaga kesehatan (medis dan non medis) sedangkan untuk Puskesmas Rawat Inap 26 Tenaga kesehatan (medis dan non medis) sedangkan untuk Puskesmas Pembantu (Pustu) dibutuhkan satu perawat kesehatan/mahir, bidan dan 1 pekarya kesehatan. Disini terlihat bahwa kita masih sangat kekurangan tenaga kesehatan khususnya untuk puskesmas dan puskesmas rawat inap. Hal ini perlu
218
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
mendapat perhatian serius sehingga pelayanan kesehatan dapat berjalan dengan baik yang akan berdampak pada tingkat kesehatan masyarakat. Berdasarkan komposisi demografis Nusat Tenggara Timur, titik berat penduduk berada pada usia muda dan sebagian diantaranya merupakan penduduk usiasekolah. Pada tahun 2003 penduduk usia 15 – 44 tahun yang berstatus buta aksara masih tinggi yaitu 411.083 jiwa (laki-laki 269.807 jiwa dan perempuan 241.276 jiwa). Data ini menempatkan provinsi NTT dalam kelompok 9 provinsi berpenduduk buta aksara tertinggi di Indonesia. Kecenderungan menunjukkan pertumbuhan penduduk yang masih tinggi ke depan akan tetap menghasilkan komposisi demofrafis seperti sekarang. Faktor dominan yang memperburuk kualitas pendidikan di NTT adalah kemiskinan yang berkarakter majemuk mencakup ekonomi, structural, situasional/alamiah, social – politik dan subyektif. Kondisi yang memprihatinkan ini sangat menggangu rendahnya mutu SDM NTT yang pada gilirannya menyebabkan pulah rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT. Untuk mengatasi persoalan ini maka tepat kebijakan pembangunan memberikan ruang kepada semua pemangku kepentingan untuk partisipasi aktif sesuai perannya. Sampai dengan sat ini angka partisipasi kasar (APK) pendidikan dasar khususnya SMP/MTs dan sederajat masih rendah. APK SD/MI telah menjadi 114% sementara APK SMP.MTs dan yang sederajat pada tahun 2005 baru mencapai 70%. APK SMA/SMK/MA dari yang sederajat masih lebih rendah lagi yaitu baru mencapai 40% sementara APK SMP/MTs dan sederajat telah mencapai 82% dan SMA/SMK/MA mencapai 46%. Data ini menunjukkan bahwa pencapaian APK di NTT khususnya dalam rangka pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun masih berada di bawah rata-rata nasional. Demikian pula hal pada tingkat SLTA dan yang sederajat. Pada tahun 2005, Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasar juga masih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional SD/MI dan sederajat = 90,47%, APM SMP/MTs dan sederajat 71,41%, APM SMK/SMA/MA dan sederajat 42,10%; sedangkan APM secara nasional pada tahun yang sama 2005 menunjukan APM SD/MI dan sederajat 94%, SMP/MTs dan sederajat 72% dan APM SMA/SMK/MA dan sederajat 41%. Data nasional menunjukkan rasio Research and Development (R & D)/juta penduduk hanya sebesar 1 (1985/1995) dan jumlah paten yang dihasilkan hanya 20 paten (1996), tanpa jumlah ekspor teknologi tinggi/manufaktur (1997). Indonesia ber Nilai Daya Saing Bangsa 13,3 dari nilai maksimum 100 atau berperingkat 28 dan ber Nilai Kontribusi IPTEKS dan SDM terhadap dunia usaha sebesar 9,6 atau berperingkat 30 dari 30 negara. Daya saing penduduk NTT berdasarkan indicator tersebut diasumsi lebih rendah dari daya saing penduduk secara nasional.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
219
219
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Mutu lulusan SMA/SMK NTT bidang IPA dan IPS berdasarkan indicator skor UMPTN/SPMB selama rentang 1994 – 2005 sangat rendah secara nasional dan berposisi pada kuartil terbawah peringkat nilai nasional menurut provinsi. Posisi mutu lulusan tersebut menjadi slaah satu indicator rendahnya daya saing nasional lulusan SMA dan SMK wilayah ini. Dampaknya adalah lulusan di wilayah ini hanya berkemampuan bersaing di wilayah mutu perifer (pinggiran) dan sangat sedikit lulusan bermutu yang bereksodus (berpindah) ke sentrum persaingan nasional dan regional. Kecenderungan global bidang perdagangan dan demografi mendatang akan menghadirkan jasa dan manajemen pendidikan bermutu luar negeri di NTT. Persaingan komoditi bermutu di pasar global tidka berhidarkan, karena itu mutu manajemen pendidikan dan keluaran pendidikan NTT yang kini hanya diserap oleh kebutuhan pasar local perlu dibenahi untuk masuk ke pasar global. Kualitas mutu lulusan/tamatan pendidikan pada semua atas terutama pednididikan tinggi mengalami krisis kualitas. Krisis ini disebabkan oleh menjamurnya penjualan gelar dan penyelenggaraan pendidikan penjualan gelar dan penyelenggaraan pendidikan dalam ragam pendidikan jarakn jauh, kelas parallel, kelas akhir minggu, kelas eksekutif dan lainnya, yang tidak memenuhi kaidah dan norma akademik. Kualitas SDM tahun 2005 berdasarkan status pendidikan masih rendah, yang ditandai oleh populasi penduduk berstautus pendidikan tidak/belum pernah bersekolah cukup besar 352.936 jiwa (11,17%) dan yang tidak/belum tamat SD/MI 1.002.828 jiwa (31,82%) atau sebanyak 42,99% penduduk yang tidak/belum bersekolah atau belum tamat SD?MI. Besaran relatif kumulatif penduduk berstatus pendidikan setinggi/lebih rendah tamat SD/MI adalah 76,32%, SMTP 87,17% dan setinggi/lebih rendah tamat SMTA adalah 97,48%. Terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antara kelompok masyarakat seperti penduduk perkotaan dan pedesaan, dan antara daerah, fasilitas pelayanan dan pendidikan khususnya untuk jenjang pendidikan menengah dan yang lebih tinggi belum tersedia secara merata. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) masih mengalami kendala dalam menyadarkan orangtua dan menyiapkan kelompok PAUD secara merata. Kecenderungan orangtua dan masyarakat menganggap PAUD tidak terlalu penting dlaam proses tumbuh kembang anak. Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni mengalami hambatan karena terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal internasional yang dapat diakses, namun kesadaran masyarakat untuk menyediakan fasilitas pendidikan terus meningkat.
220
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Sementara itu, untuk pelayanan bidang pendidikan, capaian Indikator untuk SPM Bindang Pendidikan di Kabupaten Kupang sebagaimana pada tabel berikut ini : Tabel. 4.44 Pengukuran Pencapaian Sasaran Dinas Pendidikan Kabupaten Kupang Tahun 2006 No.
Realisasi
Realisasi Tingkat Capaian
APK SD : 100 %
103 %
103 %
SMP : 60,50 % SMA : 60,60 %
73,25 % 70,80 %
121 % 117 %
Meningkatnya APM : SD dari 82,30 % Menjadi 90 % SMP dari 20,29 % menjadi 45 % SMA dari 13,76 % menjadi 30 %
APM SD : 90 % SMP : 45 % SMA : 30 %
94 % 58 % 49 %
104 % 128 % 163 %
2.
Meningkatnya NEM Rata-rata : SD dari 6,67 menjadi 7,00 SMP dari 6,09 menjadi 6,80 SMA dari 6,02 menjadi 6,50
NEM SD : 7,00 SMP : 6,80 SMA : 6,50
7,40 7,00 7,10
105 102 103
3.
Meningkatkan angka melanjutkan: Tingkat SD ke SMP dari 68,31 % menjadi 80 % Tingkat SMP ke SMA dari 42,47 % menjadi 65 %
SD ke SMP : 80 %
88 %
110 %
SMP ke SMA : 65 %
70 %
107 %
SD
: 100 %
100 %
100 %
SMP : 75 % SMA : 95 %
85 % 97 %
113 % 102 %
SD : 100 % SMP : 100 % SMA : 100 %
100 % 100 % 100 %
100 % 100 % 100 %
1.
4.
Indikator Sasaran
Rencana Tingkat Capaian
Meningkatnya APK: SD dari 103,89% diusahakan u/ dipertahankan SMP dari 54,58 % menjadi 60,50% SMA dari 20,98 % menjadi 60,50%
Meningkatnya Tingkat Pelayanan Sekolah : SD dari 139 % diusahakan untuk dipertahankan SMP dari 49 % menjadi 75 % SMA dari 90 % menjadi 95 % Meningkatnya Angka Kelulusan SD dari 96,42 % menjadi 100 % SMP dari 90,14 % menjadi 100 % SMA dari 98,76 % menjadi 100 %
Sumber : Dinas P & K Kab Kupang 2006
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
221
221
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
6.
Provinsi Maluku Utara Tingkat capaian indikator standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kota Ternate dapat dilihat pada uraian berikut ini : Promosi Kesehatan. Tujuan yang ingin dicapai dari program ini adalah memberdayakan individu, keluarga dan masyarakat agar mampu menumbuhkan perilaku hidup sehat yang merupakan salah satu dari tiga pilar Indonesia sehat 2010 yakni perilaku sehat dan mengembangkan upaya kesehatan yang bersumber masyarakat. Upaya perubahan perilaku sehat telah dilaksanakan melalui program pendidikan kesehatan atau penyuluhan kesehatan masyarakat yang kemudian berkembang menjadi promosi kesehatan. Promosi kesehatan merupakan upaya meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh dan bersama masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat dalam upaya kesehatan sesuai dengann sosial budaya setempat. Kegiatan yang akan dilaksanakan adalah pengkajian perilaku sehat di masyarakat dan pengembangan media KIE (komunikasi informasi dan edukasi) yang sesuai dengan sasaran diberbagai tatanan. Selain itu dikembangkan pula kemitraan secara lintas program dan lintas sektor, termasuk dengan LSM, organisasi profesi serta berbagai pihak agar memperoleh dukungan bagi pelaksanaan program perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat. Salah satu kegiatan promosi kesehatan adalah pencegahan korban penyalahgunaan narkoba, psikotropika dan bahan aditif lainnya (NAPZA) yang semakin meningkat dan pengguna tidak hanya masyarakat mampu, tetapi juga kelompok yang rentan yaitu pelajar dan mahasiswa. Indikator dan tahapan pencapaian untuk program promosi kesehatan di Kota Ternate seperti pada tabel berikut : Tabel. 4.45 Tahapan Pencapaian Program Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Ternate Tahun 2005-2010 No.
Indikator
1.
Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat Persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif Persentase desa dengan garam ber yodium baik Persentase Posyandu Purnama dan Mandiri
2. 3. 4.
222
Tahapan Pencapaian (%) 2007 2008 2009
2005
2006
5
10
20
35
50
65
40
45
50
60
75
80
15
25
40
60
75
90
6
10
15
20
25
40
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2010
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Indikator
5.
Persentase keluarga yang mempunyai akses air bersih 6. Persentase cakupan pertolongan persalinan oleh bidan dan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan 7. Persentase upaya penyuluhan P3 NAPZA oleh tenaga kesehatan Sumber : Dinas Kesehatan Kota Ternate
Tahapan Pencapaian (%) 2007 2008 2009
2005
2006
2010
90,5
90,8
91,2
91,5
91,8
92
87
87
88
89
90
90
6
7
8
10
12
15
Kesehatan Ibu dan Anak. Pembangunan yang dilaksanakan selama ini ditujukan untuk tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap epnduduk agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya yang dinilai dengan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) yang akan terwujud apabila beberapa kegiatan dalam program kesehatan ibu dan anak dapat terselenggara secara optimal. Indikator program kesehatan ibu dan anak adalah K1, K4, Linakes, Pembinaan Ibu Hamil Risti dan Pelayanan Kesehatan Neunatus. Tabel berikut menjelaskan indikator dan tahapan pencapaian untuk program kesehatan ibu dan anak. Tabel. 4.46 Tahapan Pencapaian Program Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kota Ternate Tahun 2005-2010 No.
Indikator
1.
Persentase cakupan kunjungan ibu hamil dan K4 Persentase ibu hamil resiko tinggi yang di rujuk Persentase cakupan kunjungan neonatus Persentase cakupan kunjungan bayi Persentase cakupan bayi BBLR yang di tangani Persentase akses terhadap ketersedia an darah dan komponen yang aman untuk menangani rujukan
2. 3. 4. 5. 6.
Tahapan Pencapaian (%) 2007 2008 2009
2005
2006
92
92
93
94
95
95
40
50
65
80
90
100
90 87
91 87
92 87
93 88
95 90
95 90
100
100
100
100
100
100
40
50
50
50
50
80
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2010
223
223
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Indikator
ibu hamil dan neonatus 7. Persentase ibu hamil resiko tinggi/ komplikasi yang tertangani 8. Persentase neonatus resiko tinggi/ komplikasi yang tertangani 9. Persentase cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru UKS atau dokter kecil) 10. Persentase cakupan pelayanan kesehatan remaja 11. Persentase pasangan usia subur yang menjadi akseptor KB 12. Persentase cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut 13. Persentase cakupan peserta aktif KB 14. Angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup 15. Angka kematian balita per 1000 kelahiran hidup 16. Angka kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup Sumber : Dinas Kesehatan Kota Ternate
Tahapan Pencapaian (%) 2007 2008 2009
2005
2006
2010
25
35
45
55
65
80
25
35
45
55
65
80
80
85
87
90
95
100
25
35
45
55
65
80
50
60
64
68
70
70
40
45,0
55,0
60,0
65,0
70
50
60
64
68
70
70
10
9
8
7
7
7
45
42
40
38
36
32
160
125
120
115
110
105
Peningkatan Gizi Masyarakat. Dampak dari krisis ekonomi yang terjadi masih dirasakan sampai saat ini yang mengakibatkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pangan sehingga menyebabkan penurunan kecukupan gizi masyarakat yang dapat menurunkan status gizinya. Disisi lain pembangunan sumber daya manusia juga dipengaruhi oleh status gizi balita, dimana balita dengan status gizi buruk akan tertinggal perkembangan jasmani dan kecerdasannya dibanding balita dengan status gizi yang baik sehingga penanggulangan gizi buruk merupakan program prioritas yang harus dikembangkan. Tabel berikut akan menjelaskan indikator dan tahapan pencapaian untuk program peningkatan gizi masyarakat.
224
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 4.47 Tahapan Pencapaian Program Peningkatan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Ternate Tahun 2005-2010 No. 1.
Indikator
2005
Persentase cakupan balita mendapat kapsul 95 vitamin A 2 kali pertahun 2. Persentase cakupan ibu hamil mendapat 90 92 tablet fe 3. Persentase cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada 100 bayi BGM dari keluarga miskin 4. Persentase cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita 65 dan pra sekolah 5. Persentase balita gizi buruk mendapat 100 perawatan 6. Persentase WUS mendapat kapsul 100 yodium 7. Persentase kecamatan bebas rawan gizi 100 8. Persentase balita yang naik berat badannya 83 (N/D) 9. Persentase balita bawag garis merah (BGM) 2,0 10. Persentase balita 17 dengan gizi buruk Sumber : Dinas Kesehatan Kota Ternate
2006
Tahapan Pencapaian (%) 2007 2008 2009
2010
96
96
97
98
99
94
95
96
97
98
100
100
100
100
100
70
75
80
85
90
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
85
87
89
93
95
1,8 17
1,6 16
1,4 16
1,2 15
1 15
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit. Upaya penanggulangan penyakit dilaksanakan secara komprehensif dengan melakukan upaya promotif, preventif disamping upaya kuratif dan rehabilitatif saat ini masih terus dilakukan secara intensif mengingat perannya dalam menentukan status kesehatan masyarakat cukup besar. Beberapa penyakit infeksi khususnya penyakit yang berpotensi wabah masih menunjukkan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi. Dalam keadaan tersebut yang perlu diperhatikan adalah kegiatan pemantauan atau analisis situasi mengenai kejadian beberapapenyakit menular yang menggunakan sistem kewaspadaan dini (SKD) di seluruh Puskessmas. SKD perlu dioptimalkan mengingat sistem ini
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
225
225
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
merupakan alat untuk memantau sekaligus mengnaitisipasi setiap peningkata kejadian penyakit menular dari setiap wilayah sehingga KLB secara dini dapat dicegah. Kegiatan pencegahan penyakit melalui imunisasi yang selama ini dilaksanakan telah memberikan manfaat untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian, baik bayi maupun pada balita. Keberhasilan program imunisasi di Kota Ternate secara langsung memberikan kontribusi terhadap penurunan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yang beberapa diantaranya merupakan penyakit sangat berbahaya. Indikator program ini secara jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel. 4.48 Tahapan Pencapaian Program Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Kota Ternate Tahun 2005-2010 No.
Indikator
1.
Persentase desa/kelurahan UCI Persentase pelayanan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan umum Acute Flacid Paralysis (AFP) rate per 100.000 penduduk < 15 tahun Persentase kesembuhan penderita TBC BTA + Persentase cakupan balita dengan pneumonia yang ditangani Persentase klien yang mendapatkan penanganan HIV AIDS Persentase infeksi menular seksual yang di obati Persentase balita dengan diare yang di tangani Persentase rumah/bangunan bebas jentik nyamuk aedes Persentase penderita malaria yang di obati Angka kesakitan malaria
2.
3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11.
226
Tahapan Pencapaian (%) 2007 2008 2009 87 88 89
2005 85,0
2006 86
3
5
8
10
12
15
0
0
0
0
0
0
80
82
82
84
85
87
100
100
100
100
100
100
-
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
55
60
65
70
75
80
100
100
100
100
100
100
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
2010 90
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Indikator
2005 110 80
per 1000 penduduk 12. Persentase kusta yang selesai berobat 13. Persentase desa yang terkena kejadian luar biasa (KLB) yang di 100 tangani < 24 jam 14. Persentase kasus filariasis yang ditangani 0 15. Persentase darah donor diskrining terhadap HIV100 AIDS 16. Prevalensi HIV 1 17. Angka kesakitan demam berdarah 15 dengou (DBD) 18. Persentase institusi yang dibina kesehatan 25 lingkungannya 19. Persentase tempat umum yang memenuhi 50 syarat 20. Persentase rumah sehat 70,8 21. Persentase keluarga yang memiliki akses 90,5 terhadap air bersih Sumber : Dinas Kesehatan Kota Ternate
2006 90 85
Tahapan Pencapaian (%) 2007 2008 2009 80 70 60 85 90 90
2010 50 95
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
0,98
0,95
0,92
0,9
0,9
10
10
6
3
2
30
35
40
45
50
50
50
50
50
50
70,9
71,4
72
75
80
90,8
91,2
91,5
91,8
92
Revitalisasi Posyandu. Posyandu adalah sarana yang dibangun oleh masyarakat, digunakan oleh masyarakat dengan maksud dan untuk mementau perkembangan dan peningkatan status kesehatan masyarakat itu sendiri khususnya bayi dan balita. Dewasa ini, indikator cakupan program pelayanan kesehatan dasar di Posyandu cenderung turun, seiring dengan dinamika masyarakat yang telah melemahkan aktivitas posyandu karena bekurangnya dukungan dari masayrakat dan minimnya dana dalam melakukan kegiatanannya. Indikator dari program ini adalah cakupan D/S, N/S, N/D dan jumlah posyandu mandiri. Tabel dibawah ini menjelaskan indikator dan tahapan pencapaian untuk program revitalisasi posyandu. Tabel. 4.49 Tahapan Pencapaian Program Revitalisasi Posyandu Dinas Kesehatan Kota Ternate Tahun 2005-2010 No.
Indikator
1.
Persentase balita yang naik berat badan nya
2005
2006
83
85
Tahapan Pencapaian (%) 2007 2008 2009 87
89
2010
93
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
95
227
227
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
No.
Indikator
2005
2006
(N/D) 2. Persentase balita bawah garis merah 2 (BGM) 3. Persentase posyandu 10 purnama Sumber : Dinas Kesehatan Kota Ternate
Tahapan Pencapaian (%) 2007 2008 2009
2010
2
2
1
1
1
15
20
25
30
40
Pengembangan Desa Siaga. Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawat daruratan kesehatan secara mandiri. Tujuan umum desa siaga adalah terewujudnya masyarakat desa yang sehat serta peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya. Sasarannya yaitu individu dan keluarga, pihak-pihak yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku indicidu dan keluarga seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan dan pemuda, kader serta petugas kesehatan. Indikator dari program desa siaga seperti tabel dibawah ini: Tabel. 4.50 Tahapan Pencapaian Program Desa Siaga Dinas Kesehatan Kota Ternate Tahun 2005-2010 No.
Indikator
2007
1.
Cakupan pelayanan kesehatan dasar Poskesdes 2. Cakupan pelayanan UKBMUKBM lain 3. Jumlah kasus kegawat daruratan dan KLB yang dilaporkan masyarakat 4. Cakupan rumah tangga yang mendapat pelayanan gizi Sumber : Dinas Kesehatan Kota Ternate
Tahapan Pencapaian (%) 2008 2009
2010
25
50
75
100
50
70
85
100
70
80
90
100
40
55
65
80
Capaian indikator SPM Bidang Kesehatan di Kota Tidore Kepulauan mencakup :
228
Meningkatnya prosentase rumah tangga berperilaku hidup sehat menjadi 65%. Meningkatnya prosentase Posyandu Purnama dan Mandiri menjadi 40%.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Meningkatnya prosentase keluarga menghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan menjadi 75%. Cakupan keluarga menggunakan air bersih 85%. Prosentase keluarga menggunakan jamban yang memenuhi syarat kesehatan 80% Meningkatnya prosentase tempat-tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan 80% Meningkatnya cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan menjadi 90%. Meningkatnya cakupan pelayanan antenatal (K4) 90%. Cakupan kunjungan neonatus (KN2) menjadi 90% dan cakupan kunjungan bayi menjadi 90%. Terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin secara CumaCuma di Puskesmas dan rumah sakit kelas III sebesar 100%. Cakupan rawat inap 1,5%. Prosentase desa yang mencapai universal child immunization (UCI) 98%. Angka detection rate penyakit TB 70% dan angka keberhasilan pengobatan diatas 85%. Penderita DBD yang ditangani 80%. Penderita malaria yang diobati 100%. CFR diare pada saat KLB < 1,2% ODHA mendapat pengobatan 100%. Prosentase ibu hamil yang mendapat tablet Fe 80%. Prosentase bayi yang mendapat ASI Eksklusif 80%. Balita yang mendapat vitamin A 80% Tenaga kesehatan yang ditingkatkan kemampuannya 10%. Riset yang relevan dengan upaya pembangunan kesehatan 20 riset.
Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia. Mandat ini tertuang dalam RPJM Nasional, karena pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Pembangunan bidang pendidikan di Kota Ternate hingga tahun 2007 sudah menampakkan hasil yang cukup menggembirakan. Namun demikian, permasalahan-permasalahan di bidang pendidikan masih merupakan masalah yang sangat serius untuk ditangani. Angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih sebesar 27.46%. angka partisipasi sekolah APS) penduduk usia 712 tahun sudah mencapai 97%, penduduk usia 13-15 tahun mencapai 90.2%, penduduk usia 16-18 tahun baru mencapai 61.8% dan penduduk usia 19-24 tahun baru mencapai 16.1%. Data tersebut mengindikasikan bahwa terdapat sekitar 9.8% anak usia 13-15 tahun dan 38.2% anak usia 16-18 tahun, sekitar 83% usia 19-24 tahun yang tidak bersekolah. Selain itu fasilitas pelayanan pendidikan dasar,
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
229
229
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
menengah dan tinggi belum terjangkau secara maksimal ke wilayah-wilayah pedesaan, terpencil dan kepulauan. 7.
Provinsi Papua Rencana strategi yang mengacu pada visi misi pembangunan kesehatan Kabupaten Jayapura telah dijabarkan dalam rencana kerja tahunan dinas kesehatan kabupaten Jayapura yang mencakup 19 (sembilan belas) sasaran. Pada tahun 2007 ini untuk mencapai sasaran tersebut telah direncanakan sebanyak 68 (enam puluh delapan) kegiatan dengan penetapan indikator kinerja sebagai alat ukur keberhasilan dari kegiatan tersebut. Rencana kerja tersebut telah dituangkan dalam Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dan ditetapkan dalam dokumen penggunaan anggaran satuan kerja perangkat daerah (DPA-SKPD) yang akan digunakan sebagai dasar penilaian daerah (DPASKPD) yang akan digunakan sebagai dasar penilaian atas kinerja dalam tahun berjalan (tahun 2007). Capaian kinerja dinas kesehatan kabupaten jayapura dapat diukur dengan melihat sasaran yang ditetapkan. Dari 19 sasaran yang ditetapkan sebagian besar kegiatannya dapat terlaksana namun ada sasaran yang tidak dilaksanakan pada tahun 2007 ini disebabkan oleh karena keterbatasan sarana dan prasarana dan sumber dana serta kewenangan dalam perekrutan tenaga kesehatan.Dengan melakukan evaluasi atas indikator kinerja kegiatan dan sasaran maka diharapkan dapat memberikan jawaban sebagai berikut sebab tidak tercapainya target sasaran berupa kendala dan hambatan yang tidak diperhitungkan dalam perencanaan, Pertanggungjawaban pengguna sumber daya yang dimiliki, Efisiensi, efektifitas dan penghematan pengguna sumber daya. Adapun sasaran-sasaran yang tidak dilaksanakan pada tahun 2007 ini adalah : a.
Tersedianya pelayanan kesehatan rujukan dan penunjang. Kegiatan ini pada dasarnya telah dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan di lapangan dengan adanya kasus-kasus kesehatan yang memerlukan tindak lanjut pelayanan ke tingkat yang lebih tinggi seperti rujukan kasus dari puskesmas ke puskesmas perawatan/Plus atau dari puskesmas ke Rumah Sakit Umum Daerah. Hanya saja data dilaporkan dalam laporan kinerja pemerintah disamping itu sistem pendanaannya tergabung dalam kegiatan opersional pelayanan sehingga sulit untuk diuraikan.
b.
Terpenuhi kebutuhan tenaga kesehatan sesuai standar. Sasaran ini sangat terkait dengan kebijakan pusat dalam perekrutan/pengangkatan tenaga sehingga sulit bagi SKPD untuk dapat
230
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
memenuhi kebutuhan tenaga sesuai standar. Hal yang mungkin dilakukan adalah perekrutan tenaga kontrak, namun hal ini juga diperlukan kemampuan advokasi pada para stakeholder agar dapat disetujui perencanaannya. c.
Tersedianya sistem perundang-undangan yang mengatur tentang praktik pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta. Adanya keterbatasan dana dan SDM baik kualitas maupun kuantitasnya terutama dalam mengajukan rancangan peraturan/keputusan daerah tentang praktik pelayanan kesehatan sehingga kegiatan ini belum dapat dilaksanakan dengan baik.
d.
Tercapainya standar pembiayaan kesehatan sesuai ketentuan undangundang. Disadari bahwa untuk dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam penyelenggaraan pemerintah memang sangat dibatasi dengan ketersediaan APBD Kabupaten sehingga sulit untuk bisa mengajukan perencanaan pembiayaan sesuai ketentuan undang-undang
Rincian lengkap mengenai capaian kinerja sasaran dan penyebab belum tercapainya target kinerja, diuraikan sebagai berikut : a.
Program Upaya Kesehatan Masyarakat dengan kegiatan : 1) Peningkatan pelayanan kesehatan dasar, meliputi pelayanan kesehatan gigi mobile di wilayah/ distrik yang tidak mempunyai sarana pelayanan kesehatan gigi, pelayanan kesehatan di daerah terpencil/terasing dengan frekuensi 2 kali dalam setahun, pelayanan kesehatan di kampung-kampung yang tidak ada tenaga kesehatan minimal 1 kali dalam sebulan serta perawatan kesehatan masyarakat terutama bagi keluarga rawan sebanyak 4 kali kunjungan dalam setahun. Indikator kegiatan ini adalah jumlah kampng yang mendapatkan sakses pelayanan kesehatan dengan target 132 kampung, realisasi 100%. 2) Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan, meliputi biaya operasional pelayanan kesehatan bagi puskesmas, puskesmas pembantu, Polindes dan Pondokan Bidan. Biaya operasional pelayanan ini diturunkan per triwulan sehingga sarana kesehatan yang ada dapat berfungsi secara maksimal. Indikator kegiatan ini adalah berfungsinya sarana pelayanan kesehatan yang ada dengan target 13 puskesmas, 36 Pustu, 26 Polindes, dan 6 pondokan dengan realiasasi 100%.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
231
231
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
b.
Program upaya kesehatan keluarga, dengan kegiatan: 1) Kemitraan bidan dan dukun bersalin, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak dengan menjalin kemitraan/kerja sama dengan dukun-dukun bersalin yang ada di kampung-kampung. Indikator kegiatan terdiri dari cakupan K.4 ibu hamil, persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih kunjungan neonatus dan kunjungan nifas. Realisasi kegiatan ini kesemuanya masih belum mencapai target yang ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain keterbatasan tenaga bidan di desa/kampung, pengetahuan masyarakat tentang kesehatan ibu dan anak yang rendah, dukungan keluarga/suami maupun masyarakat terhadap kesehatan ibu dan anak. 2) Pembinaan tenaga kebidanan, dilakukan dengan kunjungan langsung ke Puskesmas dan Polindes untuk memberikan bimbingan teknis baik dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak maupun administrasi pencatatan pelaporan bagi tenaga bidan di lapangan. Indikator kegiatan meliputi Kasus Ibu hamil resiko tinggi yang ditangani,cakupan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dan cakupan kunjungan bayi. Capaian indikator ini rata-rata belum mencapai target, kendala yang dihadapi adalah keterbatasan tenaga bidan di kampung serta kualitas SDM bidang itu sendiri.
c.
Terlaksananya upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit. Untuk mencapai sasaran ini dilaksanakan melalui program pencegahan dan pemberantasan penyakit dengan empat kegiatan yang terdiri dari: 1) Kegiatan peningkatan imunisasi yang dilaksanakan baik secara rutin oleh puskesmas mauphn melalui sweeping ke rumah-rumah dan sekolah dasar. Indikator kinerja kegiatan ini adalah cakupan universal child imunization (UCI) desa/kampung dan hasilnya telah melebihi target mencapai 126% dari target 72%. 2) Kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular yang meliputi pemberantasan dan penanggulangan TBC, kusta, filaria, frambosia dan kecacingan. Kegiatan ini dilaksanakan baik secara pasif (menunggu pasien datang dan berobat) maupun secara aktif yakni dengan melakukan penyulusan dan survey untuk menjaring kasus. Hasil kinerja kegiatan ini yang diukur dengan indikator cakupan penderita TBC yang sembuh, RFT kurta, kasus filaria yang ditangani, kasus frambosia yang diobati dan kasus kecacingan yang diobati. Sebagian indikator ini ada yang telah dan hampir mencapai target, tetapi untuk indikator frambosia dan kecacingan belum ada datanya. 3) Pencegahan dan penularan penyakit endemik. Kegiatan ini meliputi pemberantasan dan pengawasan sarang nyamuk (fogging) serta pengadaan bahan/obat RDT. Indikator kegiatan ini mencakup rumah
232
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
tangga bebas jentik nyamuk aedes aegepty mencapai 85% dan penanganan kejadian luar biasa/wabah yang ditangani kurang dari 24 jam mencapai 100%. 4) Monitoring dan evaluasi penanggulangan HIV-AIDS yang dilaksanakan melalui bimbingan teknis bagi petugas puskesmas dalam penatalaksanaan penanggulangan HIV-AIDS di puskesmas dan rumah sakit. Indikator kegiatan adalah jumlah puskesmas yang telah melakukan VCT bagi penderita HIV-AIDS di wilayah kerjanya dan hasilnya baru mencapai 58% dari target 12 puskesmas serta 100% bagi rumah sakit. d.
Terwujudnya perbaikan gizi masyarakat. Sasaran ini diimplementasikan dalam program perbaikan gizi masyarakat dengan tiga kegiatan yang terdiri dari : 1) Pemberian makanan tambahan bagi balita dan ibu hamil serta PMT penyuluhan di Posyandu. Indikator kinerjanya adalah cakupan kasus kasus gizi buruk kurang dari 20% realisasi 2% sehingga capain kinerja lebih dari 100%. 2) penanggulangan kekurangan gizi nutrien, kegiatannya berupa pemberian Vitamin A pada balita dengan indikator kinerja jumlah balita yang mendapat Vit A2 kali/tahun. Realisasi 80% dari target 70% sehungga capaiannya 114%. 3) pelacakan kasus gizi buruk, pelaksanaannya petugas puskesmas turun ke kampung-kampung untuk melacak kasus gizi buruk yang ada dan kemduian dilakukan penanganan langsung. Indikator kinerjanya adalah jumlah kasus gizi buruk pada balita dan ibu hamil yang ditangani, dengan capaian kinerja 100% dari 29 kasus yang ada.
e.
Tersedianya obat dan perbekalan kesehatan, untuk mewujudkan sasaran ini diimplementasikan dalam program obat dan perbekalan kesehatan dengan dua kegiatan yakni : 1) Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan, termasuk didalamnya adalah pengadaan kartu stok obat. Indiaktornya adalah ketersediaan obat sesuai kebutuhan obat esensial dengan target 100% dan realisasi 84%. 2) Adanya kebijakan pemerintah pusat tentang harga standar penjualan obat generik yang merata di seluruh tanah air berdampak pada ketersediaan obat-obat tertentu (terutama obat generik) menjadi sulit ditemui di pasaran sehingga berdampak pula terhadap pemenuhan kebutuhan obat di puskesmas dan jaringannya sehingga keluhan masyarakat tentang kekurangan/ketidaktersediaan obat hampir tidak terdengar.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
233
233
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
f.
Terlaksananya pengembangan upaya kesehatan lingkungan. Program yang mendukung pencapaian sasaran ini adalah upaya kesehatan lingkungan, dengan kegiatan pengembangan lingkungan sehat yang meliputi pengawasan tempat-tempat umum, (TTU) pengamatan dan pembinaan rumah sehat, pengadaan peralatan kebersihan puskesmas dan pembangunan incenerator sebaai tempat pembuangan limbah puskesmas. Capaian kinerja dengan indikator sarana TTU dan TPM yang memenuhi syarat serta persentase rumah tangga yang sehat rata-rata hampir mencapai 100% dari target yang ditetapkan.
g.
Terlaksananya promosi kesehatan samapai ke tingkat kampung. Program yang mendukung sasaran ini adalah upaya promosi kesehatan dengan kegiatan peningkatan promosi kesehatan yang dilaksanakan melalui sosialisasi penyuluhan pola hidup sehat dan pembinaan bagi petugas penyuluh kesehatan. Indikator capaian kinerja meliputi bayi yang mendapatkan ASI ekslusif hanya mencapai 54% dan rumah tangga sehat yang telah mencapai 103%. Adanya ketentuan terbaru tentang pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan pertama bagi bayi, disadari memang masih sangat sulit diterima oleh masyarakat. Banyak hal yang mempengaruhi,s alah satunya adalah asupan makanan bergizi bagi ibu menyusui yang kurang sehingga kualitas ASI yang diberikan juga berkurang, alhasil kebutuhan gizi bayi juga berkurang dan ibu akhirnya memberikan makanan pendamping ASI lainnya.
h.
Terwujudnya upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM). Melalui program pemberdayaan masyarakat dengan kegiatan berupa lomba posyandu, lomba balita sehat dan pengadaan sarana dan prasarana posyandu diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Indikator capaian kinerja sasaran ini adalah posyandu dengan status purnama mandiri mencapai 83.6%. cakupan posyandu aktif mencapai 89% dan cakupan balita bawah garis merah (BGM) 35% dari target yang ditetapkan. Dari ketiga indikator, capaian cakupan balita BGM yang masih jauh dari target. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya kasus balita BGM sebesar 4% yang ditemui di wilayah kerja Puskesmas dibanding tahun 2006 yang hanya 1.65%. Penetapan target yang rendah yang hanya berdasarkan kondisi satu tahun terakhir memang tidak bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya karena banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan data yang akurat berdasarkan data beberapa tahun terakhir sehingga bisa mendekati kondisi sebenarnya.
234
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
i.
Terlaksananya administrasi penunjang pelayanan kesehatan yang didukung dengan program pelayanan administrasi perkantoran yang merupakan pelayanan penunjang pembangunan kesehatan.
j.
Meningkatnya kualitas manejemen pelayanan kesehatan. Untuk mencapai sasaran ini ditetapkan program peningkatan manajemen dan kebijakan pembangunan kesehatan dengan empat kegiatan yaitu : 1) Rapat kerja kesehatan yang bertujuan untuk mengevaluasi capaian program pembangunan kesehatan sekaligus menyusun rencana kinerja anggaran tahun berikurnya. 2) penyusunan sistem kesehatan daerah (SKD) yang merupakan suatu model/pola pembangunan kesehatan ke depan sesuai arah kebijakan pembangunan kesehatan nasional. 3) monitoring dan evaluasi program, kegiatannya berupa pertemuan koordinasi program puskesmas, pendampingan pertemuan mini lokakarya puskesmas serta pengadaan format pencatatan pelaporan puskesmas. Indikator capaian kinerjanya mencapai 97% dari 13 puskesmas hanya 2 puskesmas yang sistem pencatatan pelaporannya masih kurang. 4) Penilaian kinerja puskesmas, merupakan kegiatan yagn menilai kinerja puskesmas secara keseluruhan baik capaian target program maupun manajemen pelayanan dan pelaporan puskesmas. Indikator kinerja adalah puskesmas denga kinerja baik dan sedang mencapai 76.9% atau 10 dari 13 puskesmas yang ada.
k.
Terwujudnya kemampuan teknis bagi tenaga kesehatan sesuai bidang profesinya. Melalui program peningkatan dan pengembangan sumber daya tenaga kesehatan diharapkan dapat mewujudkan sasaran dimaksud. Ada lima kegiatan yang dilaksanakan dalam program ini yang kesemuanya berupa pelatihan teknis bagi petugas Puskesmas sesuai bidang profesinya masingmasing. Secara keseluruhan indikator kinerja dari sasaran masing-masing. Secara keseluruhan indikator kinerja dari sasaran ini hampir mecapai 100% dari target yang ditetapkan.
l.
Terpenuhinya kebutuhan sarana prasarana pelayanan kesehatan yang berkualitas, dengan program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana kesehatan. Program ini dilaksanakan melalui 11 kegiatan yang meliputi pembangunan, peningkatan, rehabilitasi dan pemeliharaan gedung kantor dan perumahan petugas, serta pengadaan dan pemeliharaan prasarana kesehatan seperti kendaraan puskesmas keliling (pusling), peralatan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
235
235
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
medis dan peralatan non medis. Realisasi kegiatan mencapai 100% dengan capaian indikator kegiatan rata-rata hampir mencapai 100%. m. Terakreditasinya sarana pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta dengan program registrasi dan akresitasi sarana kesehatan. Untuk mencapai sasaran ini ada dua kegiatan yang dilaksanakan yaitu (1) Registrasi dan akreditasi sarana kesehatan swasta, (2). Pengawasan sarana kesehatan swasta. Kegiatan ini bertujuan agar semua sarana kesehatan swasta. Kegiatan ini bertujuan agar semua sarana pelayanan kesehatan swasta dapat dipantau pelaksanaannya sehingga memenuhi standar pelayanan dan tidak menimbulkan kerugian/ketidak nyamanan dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Realisasi kegiatan terlaksana 100% dengan capaian indikator rata-rata hampir 100%. n.
Terpantaunya kosmetika.
sarana
penjualan/pembuatan
obat,
makanan
dan
Programnya adalah peningkatan dan pengawasan obat, makanan dan kosmetika. Kegiatan yang dilaksanakan adalah pelatihan peningkatan pemberdayaan masyarakat di bidang obat dan makanan, dimana dengan kegiatan ini diharapkan para pemilik/ penjual obat dan makanan tidak menjual obat dan bahan makanan kadaluarsa atau yang mengandung bahan berbahaya. Realisasi kegiatan 100% dengan capaian indikator kegiatan hampir mencapai 100%. Sedangkan di Kota Jayapura berdasarkan pelaksanaan seluruh kegiatan Dinas Kesehatan Kota Jayapura Tahun Anggaran 2007 secara ringkas dapat dijelaskan dalam berbagai indikator berikut : 1.
2.
236
Untuk persentase penduduk kota jayapura berdasarkan jenis Sarana Air Bersih yang digunakan tahun 2007 bahwa sebagian besar masyarakat Kota Jayapura (62, 93 %) memanfaatkan sumber air bersih dari perpipaan (PDAM), dibandingkan dengan penggunaan air lainnya seperti kran umum, sumur gali, perlindungan mata air dan lainnya. Sistem pembuangan kotoran manusia sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan dan resiko penularan penyakit saluran pencernaan. Dalam tahun 2007 untuk wilayah perkotaan sebagai besar masyarakat sudah menggunakan sistem pembuangan kotoran yang memenuhi persyaratan kesehatan yaitu sebanyak 60.50% rumah tangga memakai sistem leher angsa. Dari hasil pengawasan kondisi kesehatan lingkungan perumahan yang dilaporkan oleh petugas sanitasi dari sembilan puskesmas pada tahun 2007 diperoleh gambaran 74.3% keluarga menempati rumah dengan kondisi kesehatan lingkungan yang baik, sedangkan sisanya 25.7% kondisi kesehatan lingkungan perumahannya tidak memenuhi syarat.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
3.
4.
5.
Untuk hasil pengawasan terhadap kualitas penyehatan tempat pengelolaan makanan (TPM) untuk tahun 2007 dari 316 TPM yang terdaftar berhasil diperiksa sebanyak 159 TPM (50,31%) dan yang memenuhi syarat dengan baik sebanyak 143 TPM (89.93%). Dibandingkan dengan keadaan tahun 2007 hasil pemeriksaan maupun jumlah TPM yang terdaftar. Sedangkan untuk hasil pemerikasaan yang dilakukan terhadap kualitas penyehatan TTU dan industri pada tahun 2007 dari 469 TTU yang terdaftar, berhasil diperiksa sebanyak 225 (47.9%) dan yang memenuhi syarat dengan baik hanya 158 TTU (70.22%) dibandingkan dengan tahun 2007 hasil pemeriksaan terhadap kondisi lingkungan TTU dan industri yang terdaftar terlihat ada peningkatan. Data lain yang diperoleh dari 9 puskesmas, jumlah TP2 terdaftar di Kota Jayapura tahun 2007 sebanyak 11 buah, dari jumlah tersebut diperiksa sebanyak 9 (81.8%) dan 6 diantaranya (66.6%) memenuhi syarat kesehatan. Untuk estimasi Angka Harapan Hidup waktu lahir menunjukkan bahwa ada peningkatan yaitu 64.2 tahun pada tahun 1997 menjadi 65 tahun pada tahun 2001. peningkatan angka harapan hidup tersebut terjadi untuk kedua jenis kelamin, walaupun pada umumnya angka harapan hidup anak perempuan yang baru lahir lebih tinggi daripada anak laki-laki. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Jayapura dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan menurun. Estimasi Angka Kematian Bayi (AKB) dilakukan Biro Pusat Statistik adalah berdasarkan perhitungan dari data hasil sensus/survei tentang rata-rata anak yang dilahirkan dan yang masih hidup menurut ibu. Estimasi Angka Kematian Bayi untuk Kota Jayapura masih mengacu pada angka estimasi nasional untuk propinsi Papua, yaitu 47.44 per 1000 kelahiran hidup (BPS, Proyeksi Penduduk Indonesia per Propinsi 2000-2005). Namun menurut data BPS Kota Jayapura angka kematian bayi di Kota Jayapura tahun 2006 tercatat 6.64 per 1000 kelahiran hidup, agak meningkat sedikit dari tahun sebelumnya yaitu 5.05 per 1000 kelahiran hidup.
Dari pekerjaan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan standar yang ditentukan baik yang menyangkut spesifikasi barang atau bahan bangunan yang digunakan mengacu pada spesifikasi bahan bahan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah kota Jayapura maupun pemerintah pusat dan khusus untuk pekerjaan non fisik meliputi pengadaan buku, pengadaan peralatan praktek untuk sekolah, pengadaan komputer maupun pengadaan mobiler sudah sesuai standar ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Jayapura maupun Departemen Pendidikan Nasional. Disamping itu untuk pekerjaan yang bersifat swakelola salah satunya Rehabilitasi Gedung Sekolah Dasar yang bersumber dari dana alokasi khusus Bidang Pendidikan sudah dilaksanakan sesuai dengan Buku Petunjuk Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan dan Pengajaran Kota Jayapura yang digunakan sebagai acuan utama dalam melaksanakan program dan kegiatan. Bahkan untuk
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
237
237
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
pekerjaan rehabilitasi gedung sekolah dasar yang dikerjakan secara swakelola oleh sekolah terdapat peningkatan yang signifikan baik dari segi kuantitas maupun kualitas pekerjaan. Hal ini disebabkan oleh tingkat sosialisasi maupun pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran sangat maksimal dan intensif berkelanjutan. Sehingga sekolah telah memahami tentang cara mengelola dan melaksanakan pekerjaan maupun sistem pelaporannya. Dari segi kuantitas dapat dilihat bahwa seluruh pekerjaan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan jumlah yang ditentukan sebagaimana tertera pada dokumen Pelaksanaan Anggaran. Untuk pekerjaan fisik khususnya rehabilitasi Gedung Sekolah Dasar output yang dihasilkan melampaui dari target yang ditetapkan dimana semula hanya untuk merehabilitasi ruang kelas saja, akan tetapi mengingat pekerjaan ini bersifat swakelola maka dari dana yang telah ditetapkan dapat diperbaiki sebagian besar gedung sekolah rusak termasuk pengadaan mebelair maupun buku. Akan tetapi sebaliknya apabila pekerjaan tersebut di kerjakan melalui pihak ketiga, maka hasilnya kurang maksimal. Selanjutnya untuk kualitas pekerjaan sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan dimana untuk pekerjaan fisik bahan bangunan yang digunakan sesuai dengan perencanaan yang disusun, termasuk bahan lokal/galian C. Selain itu selama dalam pelaksanaan pekerjaan dilakkan pengawasan oleh konsultan pengawas sehingga pekerjaan yang dikerjakan oleh pihakketiga tepat waktu dan tepat sasaran. Sedangkan untuk pekerjaan non fisik antara lain pengadaan mebelair, peralatan praktek IPA, pengadaan buku maupun pengadaan buku, spesifikasi yang digunakan adalah yang terbaik, berstandart nasional maupun memenuhi kriteria yang ditetapkan. Khusus untuk pengadaan Buku judul dan penerbit yang dipilih adalah penerbit yang sudah memiliki sertifikasi dari Departemen Pendidikan Nasional sesuai surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Pada dasarnya pekerjaan yang dilaksanakan pada tahun 2007 merupakan pekerjaan lanjutan dari tahun 2006, dimana semua perencanaan yang disusun disesuaikan dengan kebutuhan di sekolah dan bagi pekerjaan lanjutan sistem perencanaannya berlanjut. Khusus untuk pekerjaan rehabilitasi gedung sekolah dasar pemanfaatannya disesuaikan dengan masing-masing ruang yang diperbaiki. Jika yang diperbaiku menyangkut ruang belajar maka outputnya dimanfaatkan sebagai ruang belajar, dst. Sedangkan untuk pekerjaan non fisik semua jenis peralatan output dimanfaatkan sesuai dengan fungsi masing-masing sebagai berikut: 1.
238
Pengadaan komputer, dimanfaatkan sebagai sarana penunjang pembelajaran berbasis ICT, serta menunjang kegiatan administrasi sekolah.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Kebijakan, Strategi dan Capaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
2. 3.
4.
5.
Pengadaan mebelair, dimanfaatkan sebagai pengganti perabotan sekolah yang rusak antara lain meja dan kursi siswa, meja dan kursi guru lemari buku dll. Pengadaan buku, dimanfaatkan sebagai sarana penunjang belajar siswa khususnya bagi siswa yang tidak mampu membeli buku diluar, dapat meminjam buku terebut di sekolah, sehingga tidak ketinggalan dalam mengikuti pelajaran pengadaanperalatan Praktek IPA, dimanfaatkan sebagai kelengkapan peralatan praktek dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian siswa setelah mendapat pelajaran teori maka dilanjutkan dengan praktek. Hal ini sangat memudahkan siswa dalam menyerap pelajaran. pengadaan ICT, dimanfaatkan sebagai kelengkapan jaringan Pendidikan Nasional yang berpusat pada dinas pendidikan dan pengajaran Kota Jayapura sesuai rencana akan dipancarkan langsung kepada sekolahsekolah, sehingga diharapkan Jardiknas akan dapat diakses semua sekolah.
Oleh karena itu pemanfaatan output dari masing-masing kegiatan sudah sesuai dengan perencanaan yang disusun dan damapai dengan saat ini kegaitan yang sudah selesai, outputnya telah dimanfaatkan sesuai dengan rencana yang disusun . sedangkan untuk pekerjaan yang belum selesai akan dilanjutkan pada tahun 2008 dan apabila telah selesai maka outputnya akan dimanfaatkan sesuai dengan rencana peruntukkannya.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
239
239
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
240
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Bab 5
STRATEGI PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL
S
trategi adalah cara-cara untuk mencapai tujuan (goal), dalam hal ini adalah cara-cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan SPM Nasional. Namun berdasarkan paparan sebelumnya, khususnya pada paparan Bab 4 di atas, nampak jelas bahwa kebijakan SPM berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005 jo Permendagri No. 6 Tahun 2007 jo Permendagri No. 79 Tahun 2007 belum sepenuhnya dipahami dan diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Menurut Permendagri No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penatapan SPM, dinyatakan bahwa Departemen/LPND diharapkan dapat menyusun dan menetapkan SPM sesuai dengan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, berdasarkan Permendagri ini, maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diharapkan mampu melaksanakan SPM yang disusun oleh Departemen/LPND. Untuk menunjang pelaksanaan SPM yang telah diterbitkan oleh Departemen/LPND, Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan Permendagri No. 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian SPM. Pertanyaannya adalah, bagaimana pemerintah daerah (SKPD) akan menyusun rencana pencapaian SPM, jika Departemen/LPND belum menyusun SPM nasionalnya. Persoalan selanjutnya adalah, bagaimana SKPD menyusun rencana capaian SPM jika dikaitkan dengan dokumen perencanaan daerah lainnya seperti RPJMD, Renstra SKPD, dan RKPD. A. Model Capaian Standar Pelayanan Minimal Untuk melaksanakan SPM nasional yang telah diterbitkan oleh Departemen/LPND, pemerintah daerah diwajibkan menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat batas waktu pencapaian SPM nasional dan daerah, pengintegrasian pencapaian SPM dengan perencanaan dan penganggaran, mekanisme pembelanjaan penerapan SPM; dan sistem penyampaian informasi rencana dan realisasi pencapaian target tahunan Standar Pelayanan Minimal kepada masyarakat. Penyusunan rencana capaian SPM dapat dikatakan merupakan pekerjaan berat karena beberapa alasan, antara lain belum terbitnya seluruh dokumen SPM nasional dan keharusan mengintegrasikan rencana capaian tersebut dengan dokumen perencanaan daerah. Terkait dengan alasan pertama yaitu belum tersedianya seluruh SPM sektor, memang benar bahwa hanya beberapa
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
departemen sektoral yang telah menerbitkan SPM seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum (lama), Departemen Sosial (parsial), Departemen Tenaga Kerja (draft), dan Kementerian Negara Pariwisata, Seni dan Budaya. Kedua, keharusan untuk megintegrasikan dokumen perencanaan memang sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan otonomi daerah berdasar UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Seiring dengan pemberian tanggung jawab yang semakin besar dan kompleks, peran provinsi dan kabupaten/kota juga semakin meningkat dalam berbagai aspek. Di antaranya, dalam bidang peraturan daerah, kelembagaan, keuangan daerah, perencanaan pembangunan daerah, dan pengembangan sumber daya manusia. Dalam perencanaan pembangunan daerah, perubahan sistem perencanaan dapat dilihat dari proses penyusunan, koordinasi dan pelaksanaan perencanaan pembangunan. Terdapat 2 (dua) agenda penting dalam perubahan sistem perencanaan pembangunan di daerah. Pertama, Pemerintah Daerah dituntut memiliki profesionalisme dan kompetensi sehingga mampu menyusun perencanaan yang tepat dan dapat dilaksanakan. Kedua, Sistem Negara Kesatuan yang dianut membawa konsekuensi bahwa dalam pengembangan perencanaan semua level pemerintahan harus selalu melaksanakan koordinasi untuk menghindari berbagai tumpang-tindih dan perbedaan kepentingan antar level pemerintahan atau antar pemerintah daerah. Secara konsepsional, perencanaan bukan merupakan hal baru bagi organisasi, termasuk organisasi pemerintah. Bahkan fungsi perencanaan merupakan fungsi generic dalam ilmu manajemen, yang berarti bahwa fungsi ini merupakan fungsi yang dibutuhkan dan ada dalam pengelolaan organisasi. M.L. Jhingan menyebutkan bahwa perencanaan adalah teknik, cara untuk mencapai tujuan, tujuan untuk mewujudkan maksud dan sasaran tertentu yang telah ditentukan sebelumnya dan telah dirumuskan dengan baik oleh Badan Perencanaan Pusat. Definisi ini memberikan gambaran bahwa rencana adalah tindakan yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Dengan kata lain bahwa rencana adalah panduan bagi pelaksana, dan pelaksana seharusnya tidak lagi harus menghadapi permasalahan koordinasi karena sudah dirumuskan dengan baik oleh perencana (planners). Nishio (dalam Kengo Akizuki 2004) menyebut hal ini sebagai coordination by plan. ‘Only by reading and abiding by the plan, people can automatically be engaged in a harmoniously action, without being conscious of coordination’. Dalam kenyataan, model ini sering mendapatkan tantangan karena bukan merupakan hal mudah untuk memisahkan secara murni fungsi perencanaan dengan pelaksanaan (implementasi) karena adanya beberapa keterbatasan dalam perencanaan. Beberapa kelemahan umum yang kita jumpai dalam perencanaan antara lain
242
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Strategi Pencapaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
kesalahan dalam melakukan prediksi masa depan dan kesalahan analisis dan perhitungan. Pemerintah Indonesia menyadari hal tersebut, sehingga terdapat 2 (dua) esensi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mendapatkan sistem perencanaan yang baik. Pertama, dengan UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pemerintah ingin mengembangkan Sistem Perencanaan Nasional yang terintegrasi, sistematis dan harmonis. Kedua, mengembangkan hubungan antara perencanaan dan penganggaran, sehingga ditetapkan UU No 17 Tahun 2004 yang mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah, UU No 32 dan 33 Tahun 2004 yang mengatur perencanaan dan penganggaran di Daerah. Berdasarkan UU No.25 Tahun 2004, perencanaan pembangunan nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian Negara/LPND dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Perencanaan dimaksud meliputi Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, dan Tahunan. 1.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Dengan ditiadakannya GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional dan diterapkannya otonomi daerah serta desentralisasi pemerintahan, maka untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), telah disusun Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang ditetapkan dalam UU No.25 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang tersebut, perlu disusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025 sebagai penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan nasional. RPJP Nasional dimaksud bersifat visioner dan hanya memuat hal-hal yang mendasar, sehingga memberi keleluasaan yang cukup bagi penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya. Kurun waktu RPJP Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun, yang pelaksanaannya terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan, yang dituangkan dalam format Rencana Pembangunan Jangka 1 Menengah (RPJM) Nasional . RPJP Nasional menjadi pedoman dalam 2 menyusun RPJM Nasional di tingkat Pusat, dan RPJP Daerah di tingkat lokal . Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 jo UU No.17 Tahun 2007, RPJP Daerah ditetapkan dalam format Peraturan Daerah (Perda), yang penyusunannya mengacu pada RPJP Nasional dan disesuaikan dengan karakteristik dan
1 2
Disarikan dan dinarasikan berdasarkan Penjelasan Umum UU No.17 Tahun 2007. Hal ini diamanatkan pula dalam Pasal 150 ayat (3) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
243
243
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
potensi daerah. Selanjutnya RPJP Daerah dijabarkan lebih lanjut dalam RPJM Daerah. Dalam hal ini, kurun waktu RPJP Daerah adalah sesuai dengan kurun waktu RPJP Nasional, namun periodisasi RPJM Daerah tidak dapat mengikuti periodisasi RPJM Nasional dikarenakan pemilihan Kepala Daerah tidak dilaksanakan secara bersamaan waktunya, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2005. Bagan. 5.1 Tata Cara Penyusunan RPJPD RANC VISI, MISI KDH TERPILIH RPJM NASIONAL
Saran, Tanggapan, Rekomendasi stakeholders
Rumusan hasil kesepakatan & komitmen dan memperhatikan Konsultasi Publik kinerja pelayanan dasar berbasis SPM
URUSAN WAJIB DAN SPM
Kondisi Umum Daerah
-Urusan Pemerintahan Kewenangan Daerah
-Geomorfologi & Lingkungan -Ekonomi & SDA -Demografi -Prasarana Sarana
-Prestasi kerja public berbasis SPM
pelayanan
Rancangan Akhir RPJPD
Rancangan RPJP Merumuskan gambaran awal -Visi -Misi -Arah Pembangunan: urusan wajib dan SPM urusan pilihan / unggulan
-dll.
Sosialisasi, Konsultasi Publik, dan jaring asmara terhadap kinerja pelayanan public berbasis SPM
Musrenbang Jangka Panjang Daerah
-Visi -Misi -Arah Pembangunan Arahan Umum Fungsi & peran
subwilayah/kawasan Tolok ukur prestasi kerja daerah berbasis SPM
Rancangan Arah Pembangunan Rencana tata ruang
2.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) RPJM merupakan dokumen perencanaan yang disusun untuk periode lima tahun, terhitung sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. Di tingkat nasional, rencana dimaksud dituangkan dalam format RPJM Nasional yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.7 Tahun 2005. Penyusunan RPJM Nasional ini berpedoman pada RPJP Nasional. RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden hasil Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan secara langsung pada Tahun 2004. RPJM dimaksud memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan
244
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Penetapan Perda ttg RPJPD Peraturan Daerah ttg RPJP Daerah
Strategi Pencapaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
umum, program Kementerian Negara/LPND dan lintas Kementerian Negara/LPND, serta kewilayahan dan lintas kewilayahan. Dalam RPJM tersebut dimuat pula kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RPJM Nasional menjadi pedoman bagi : (1) Kementerian Negara/LPND dalam menyusun Renstra; (2) Pemerintah Daerah dalam menyusun RPJM Daerah; dan (3) Pemerintah Pusat dalam menyusun dokumen perencanaan tahunan yang dituangkan dalam format Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Bagan. 5.2 Tata Cara Penyusunan RPJM Daerah RANC VISI, MISI KDH TERPILIH RPJM NASIONAL URUSAN WAJIB DAN SPM
dijabarkan
Analisis Keuangan Daerah Rumusan hasil kesepakatan & komitmen stakeholder
Rancangan Awal RPJMD
Kondisi Umum Daerah
-Urusan pemerintahan kewenangan daerah
-Geografi -Perekonomian daerah -Sosial-Budaya -Prasarana sarana -Pemerintahan Umum -Prestasi kerja pelayanan public berbasis SPM
- Strategi Pem. Daerah - Arah kebijakan Umum - Arah kebijakan keuangan daerah - Program prioritas KDH
Rancangan RPJMD
-Visi, Misi, Program KDH -Arah, Kebijakan keuangan daerah -Strategi Pembangunan Daerah & Kebijakan Umum
diacu
-Program, Indikasi kegiatan, dan Rancangan Restra SKPD
-Visi, Misi, Tujuan -Strategi, kebijakan -Program, indikasi kegiatan, prestasi kerja (tolok ukur kinerja) berbasis SPM dan pendanaan
Rancangan kerangka regulasi Rancangan kerangka prestasi kerja urusan
pendanaan
Rancangan Akhir RPJMD
-Visi, Misi program KDH -Arah, kebijakan keuangan daerah
-Strategi Pembangunan Musrenbang Jangka Menengah Daerah
Daerah & Kebijakan Umum
-Program, indikasi
kegiatan, dan pendanaan
Rancangan kerangka
Rancangan kerangka regulasi Rancangan Kerangka Prestasi
regulasi
Rancangan Kerangka
Kerja urusan wajib berbasis SPM
Prestasi Kerja urusan wajib Berbasis SPM
Rancangan kerangka pendanaan Konsultasi Publik dan jaring asmara kinerja pelayanan publik
Rancangan kerangka pendanaan
-Program transisi -Kaidah pelaksanaan
wajib berbasis SPM Kegiatan RancanganLokasi kerangka pendanaan Rencana tata ruang
3.
Rencana Pembangunan Tahunan RKP merupakan dokumen perencanaan nasional untuk periode satu tahun, yang untuk kurun waktu tahun 2006 dituangkan dalam bentuk RKP Tahun 2006 dan ditetapkan berdasarkan Perpres No. 39 Tahun 2005. RKP ini merupakan penjabaran dari RPJM Nasional Tahun 2004-2009 dan sebagai
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
245
245
Penetapan Perda ttg RPJMD Peraturan Daerah ttg RPJM Daerah
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
kelanjutan dari RKP Tahun 2005. RKP memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, program Kementerian Negara/Departemen/LPND, lintas Kementerian Negara/Departemen /LPND, dan kewilayahan, dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Untuk tingkat Daerah, disusun RKP Daerah yang merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan penyusunannya mengacu pada RKP Tahun 2006. RKP Daerah memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.Mengacu pada perencanaan di atas, maka dokumen perencanaan pembangunan daerah sangat terkait erat dengan dokumen perencanaan pembangunan nasional secara khusus mengacu pula pada UU No. 25 Tahun 2004, yang mengatur tahapan perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM Daerah), Renstra Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Dengan tahapan ini diharapkan perencanaan daerah bersifat sinergis dan terintegrasi. Tahapan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Bagan. 5.3 Tahapan Perencanaan yang Terintegrasi
Pedoman
RPJP Nasional
RPJM Nasional
Diacu
RPJP Daerah
RKP
Diperhatikan Pedoman
20 Tahun
5 Tahun
RPJM Daerah
dijabarkan
5 Tahun
1 Tahun
Pedoman
1 Tahun
Renstra SKPD
Sumber: UU No. 25 Tahun 2004
246
dijabarkan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Pedoman
RKP Daerah
Diacu
Renja SKPD
Strategi Pencapaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Namun demikian, dalam prakteknya tahapan perencanaan dimaksud masih menyisakan berbagai permasalahan, antara lain: 1. 2.
3.
4.
Rentannya perencanaan daerah seiring dengan perubahan pemerintahan nasional dan daerah. Sebagai contoh perubahan RPJP Daerah karena perubahan pemerintahan daerah akan mempengaruhi RPJM Daerah; Rentannya perencanaan daerah jika terjadi perbedaan peta politik nasional dan daerah. RPJM Nasional sebagai penjabaran visi, misi dan arah pembangunan Presiden terpilih harus diperhatikan daerah dalam penyusunan RPJM Daerah. Jika Kepala Daerah terpilih berbeda haluan politiknya dengan Presiden, maka terdapat kemungkinan ketidaksinkronan antara RPJM Nasional dan Daerah; Partisipasi masyarakat secara eksplisit disebutkan dalam penyusunan RPJP dan RPJM, namun tidak demikian halnya dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Hal ini menyisakan pertanyaan jika dikaitkan dengan tujuan pembuatan rencana yaitu menyelesaikan masalah dan tuntutan publik. RKPD adalah rencana tahunan yang seharusnya mencerminkan jawaban atas tuntutan dan permasalahan publik; RKPD sebagai penjabaran RPJM yang digunakan sebagai dasar penyusunan APBD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah, sedangkan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sehingga ketika terjadi ketidaksinkronan RKPD dan APBD yang dijadikan acuan adalah APBD karena memiliki dasar hukum yang lebih kuat.
Pertanyaannya adalah bagaimana proses penyusunan rencana capaian SPM tersebut dilakukan? Tentu saja, penyusunan rencana capaian SPM dilaksanakan dengan mengikuti seluruh proses penyusunan perencanaan daerah mulai dari dokumen RPJMD, Renstra SKPD dan RKPD. Pada saat menyusun RPJM Daerah (5 tahunan), pemerintah daerah sudah mulai memasukkan program-program jangka menengah. Hal ini disebabkan RPJMD akan menjadi salah satu sumber dalam menyusun Renstra SKPD dan RKPD (disebut juga rencana pembangunan tahunan), yang selanjutnya menjadi KUA. Penyusunan model capaian SPM yang dimaksud disini merupakan penjabaran Permendagri No. 79 Tahun 2007, dimana rencana capaian SPM sebagaimana disebutkan di atas memiliki 4 hal: 1) batas waktu pencapaian, 2) integrasi dengan perencanaan daerah, 3) pembelanjaan anggaran, dan 4) sistem informasi. Jika digambarkan, maka dapat dilihat pada tabel berikut:
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
247
247
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Tabel. 5.1 Batas waktu pencapaian SPM Jenis Pel. Dasar
1
Prog/ Kegiatan
2
Indikator Prog/Kegiatan Out put Out come 3
Bts waktu pencapaian (tahun) Nasional Daerah
4
5
Priodisasi pencapaian program/kegiatan (%) 1
2
6
3
4
5
6
7
dst
Pagu indikatif (Juta Rp)
7
8
Sumber dana APBD Kab/ APBD Prov. Kota 9 10
Note: Kolom 1. Diisi dgn jenis pelayanan dasar yang merupakan Urusan Wajib Pemerintah Daerah. Kolom 2. Diisi berdasarkan skala prioritas program dan kegiatan hasil analisis yang digunakan. Kolom 3 & 4. Diisi berdasarkan indikator teknis dari keluaran dan hasil suatu program/kegiatan Kolom 5. Diisi dengan Batas waktu pencapaian SPM yang ditetapkan secara nasional dari Departemen Teknis/LPND Kolom 6. Diisi dengan Batas waktu Pencapaian SPM dalam kurun waktu yang ditentukan untuk mencapai SPM di daerah. Kolom 7. Diisi dengan perincian batas waktu pada kolom (6) yang dibagi dalam tahunan. Kolom 8. Diisi berdasarkan hasil estimasi utk pagu indikatif dari setiap program yg diturunkan ke dalam kegiatan berdasarkan penerapan SPM daerah dan sumber pendanaannya. Kolom.9, 10 cukup jelas. Kolom 11. Diisi dgn permasalahan dll yg masih diperlukan Sumber: Lampiran 2, Permendagri No. 79/2007
Rencana pencapaian SPM di daerah mengacu pada batas waktu pencapaian SPM secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Tentu saja, batas waktu capaian SPM nasional berbeda-beda sesuai dengan departemen teknis yang mengeluarkannya. Departemen Kesehatan misalnya, menentukan batas waktu pencapaian SPM pada tahun 2010, dengan mengusung tema “Menuju Indonesia Sehat 2010”. Berdasarkan batas waktu tersebut, maka pemerintah daerah kemudian menurunkannya ke dalam rencana capaian dan penerapan SPM di daerah dengan mempertimbangkan: a. b. c.
kondisi awal tingkat pencapaian pelayanan dasar; target pelayanan dasar yang akan dicapai; dan kemampuan, potensi, kondisi, karakteristik, komitmen nasional.
prioritas
daerah
dan
Potret kondisi awal pencapaian pelayanan dasar inilah yang kemudian disebut profil pelayanan dasar, yaitu sebuah kondisi yang menggambarkan tingkat capaian kinerja pelayanan dasar sampai saat ini, sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah yang dimilkinya. Oleh karena itu, rencana pencapaian dan penerapan SPM di daerah dilaksanakan secara bertahap berdasarkan pada analisis kemampuan dan potensi daerah. Faktor kemampuan dan potensi daerah meliputi kepegawaian, kelembagaan, kebijakan, sarana dan prasarana, keuangan, sumber daya alam dan partisipasi swasta/masyarakat. Selanjutnya, faktor kemampuan dan potensi daerah dapat digunakan untuk menganalisis:
248
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Ket.
11
Strategi Pencapaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
a. b. c. d.
penentuan status awal yang terkini dari pencapaian pelayanan dasar di Daerah; perbandingan antara status awal dengan target pencapaian dan batas waktu pencapaian SPM yang ditetapkan oleh Pemerintah; perhitungan pembiayaan atas target pencapaian SPM, analisis standar belanja kegiatan berkatian SPM, dan satuan harga kegiatan; dan perkiraan kemampuan keuangan dan pendekatan penyediaan pelayanan dasar yang memaksimalkan sumber daya daerah.
Sementara itu, perkiraan kemampuan keuangan dan pendekatan penyediaan pelayanan dasar yang memaksimalkan sumber daya daerah perlu mempertimbangkan: a. b. c.
pengalihan kemampuan keuangan, personil dan kelembagaan pemerintah daerah dan unit kerja teknis, dari kegiatan yang tidak prioritas kepada kegiatan yang prioritas berkaitan dengan SPM; efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan di semua unit kerja/SKPD dalam target pencapaian dan penerapan SPM yang lebih tinggi; dan inovasi dalam pengaturan penyediaan pelayanan untuk menjangkau masyarakat luas dan mutu yang lebih baik.
Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah dilakukan dengan menggunakan instrumen evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah digunakan untuk menyusun skala prioritas program dan kegiatan terkait rencana pencapaian dan penerapan SPM. Batas Waktu Pencapaian SPM menjadi batas waktu maksimal dari jangka waktu rencana pencapaian dalam penerapan SPM di Daerah. Daerah dapat menetapkan rencana pencapaian dan penerapan SPM lebih cepat dari batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala LPND sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki Daerah. Rencana pencapaian dan penerapan SPM dalam batas waktu tertentu dijabarkan menjadi target tahunan pencapaian dan penerapan SPM. Target tahunan pencapaian dan penerapan SPM dituangkan dalam Renja SKPD, RKPD, KUA, PPA, RKA-SKPD dan DPA-SKPD. RPJMD yang memuat rencana pencapaian SPM menjadi pedoman penyusunan Renstra SKPD, Renja SKPD, RKPD, KUA dan PPA. Program dan kegiatan dalam dokumen perencanaan telah mempertimbangkan rencana pencapaian SPM bagi urusan wajib pemerintahan yang berbasis pada pelayanan dasar. Pengintegrasian rencana pencapaian SPM kedalam RPJMD menjadi lampiran yang tidak terpisah dari RPJMD. Pengintegrasian rencana pencapaian SPM ke dalam RPJMD menggunakan format/tabel tersebut di atas. Rencana tahunan pencapaian SPM yang dituangkan dalam Rencana Kerja SKPD disusun berdasarkan Renstra SKPD, yang selanjutnya dibahas dalam forum Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan untuk dianggarkan dalam satu tahun anggaran dalam RKPD. Rencana pencapaian dan penerapan SPM merupakan tolok ukur tingkat prestasi
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
249
249
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
kerja pelayanan dasar pada urusan wajib pemerintahan daerah. Tolok ukur tersebut merupakan salah satu elemen dalam penjabaran visi, misi, dan program prioritas kepala daerah. Tolok ukur tingkat prestasi kerja pelayanan dasar dalam pencapaian dan penerapan SPM dimuat dalam program dan kegiatan prioritas pembangunan daerah, dimana program dan kegiatan prioritas pembangunan daerah disusun berdasarkan pembagian urusan pemerintahan dan disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi SKPD. Jika digambarkan dalam bagan alir penyusunan rencana capaian SPM maka akan nampak sebagai berikut Bagan. 5.4 Proses Penyusunan Rencana Capaian SPM SPM Nasional
Tkt. Nas.
Rencana Capaian SPM Di Daerah
kondisi awal tingkat pencapaian pelayanan dasar; target pelayanan dasar yang akan dicapai; dan kemampuan, potensi, kondisi, karakteristik, prioritas daerah dan komitmen nasional.
Di Daerah Profil Pelayanan Dasar
kepegawaian, kelembagaan, kebijakan, sarana dan prasarana, keuangan, sumber daya alam dan partisipasi swasta/masyarakat
Pemda wajib menyusun, mengkaji dan menganalisis database profil pelayanan dasar. Faktor kemampuan dan potensi daerah
Menuangkan rencana capaian SPM (batas waktu pencapaian SPM dan penentuan priotitas program dan kegiatan)
250
Masukkan dalam dokumen perencanaan (RPJMD-5 tahunan) Rencana pencapaian tahunan (Renja SKPD, RKPD, KUA, PPA, RKA-SKPD dan DPA-SKPD) Rencana tahunan pencapaian SPM yang dituangkan dalam Rencana Kerja SKPD disusun berdasarkan Renstra SKPD, yang selanjutnya dibahas dalam forum Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan untuk dianggarkan dalam satu tahun anggaran dalam RKPD.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Strategi Pencapaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
B. Model Keuangan SPM Pengelolaan keuangan Standar Pelayanan Minimal (SPM) tidak terlepas dari kebijakan yang mengatur keuangan daerah yakni Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tersebut, sebagaimana telah diperbaharui dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007, Azas Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah antara lain disebutkan bahwa : (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun dengan kebutuhan penyelengaraan pemerintahan dan kemampuan keuangan daerah; (2) Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Kerja Pembanguanan Daerah (RKPD) dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tujuan bernegara; (3) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah mempunyai fungsi otoritas, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilitasasi; (4) APBD, perubahan APBD, dan pertangungjawaban APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Aturan lebih lanjut yang mengatur tentang penganggaran yang berkaitan dengan penerapan Standar Pelayanan Minimal di daerah dimuat dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006, sebagaimana diatur dalam pasal 31 yang menyatakan : (1) Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) huruf b, dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemeritahan yang menjadi kewenangan propinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan pilihan yang penangannnya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan; (2) Belanja penyelengaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial; (3) Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (4) Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan;
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
251
251
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Dengan memperhatikan kebijakan sebagaimana diutarakan di atas, kiranya pengaturan dan penetapan aspek keuangan yang berkaitan dengan penetapan Standar Pelayanan Minimal pembahasannya sudah dibahas semenjak pembahasan-pembahasan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan daerah, mulai dari musrenbangdes dan pembahasan rencana kerja masing-masing dinas sampai pada pembahasan RPJM, sehingga penganggaran yang berkaitan dengan pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal di daerah benar-benar terintegrasi dan terdokumen dengan dengan baik, tidak menimbulkan kesan muncul secara tiba-tiba dan menimbulkan permasalahan dalam implementasinya. Pengelolaan keuangan SPM tidak terlepas dari pengelolaan keuangan pemerintahan secara keseluruhan, dimana anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama priode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukura finansial, sedangkan pengangaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu pengangaran, pengangaran terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam suatu moneter, proses penganggaran ini dimulai dari kegiatan perumusan strategi dan perencanaan strategi dilakukan, anggaran merupakan artikulasi hasil perumusan dan perencanaan strategi yang telah dibuat, sehinga terlihat dengan jelas bahwa proses penganggaran menjadi sangat penting, karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat dihindari. Demikian juga penganggaran harus dikendalikan mulai dari tahap perencanaan sampai pada tahap pelaporan, proses penganggaran akan lebih efektif jika terdapat institusi yang memiliki fungsi secara khusus untuk mengontrol dan mengawasi proses penganggaran. Anggaran publik akan berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk dokumen yang menggambarkan secara menyeluruh mengenai kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja dan aktivitas, anggaran juga bersifat estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi pada waktu yang akan datang. Mekanisme penyusunan perencanaan dan penganggaran dalam penerapan standar pelayanan minimal di daerah haruslah merupakan proses yang mengakar, mulai dari bawah, dengan sistem tersebut berbagai jenis barang dan jasa yang akan dicapai melalui penerapan standar pelayanan minimal akan terlihat dengan jelas. Guna memberikan arah yang jelas bagi pemerintah daerah dalam rangka penganggaran kegiatan SPM di daerah, dapat dilihat pada gambar berikut:
252
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Strategi Pencapaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Bagan. 5.5 Penganggaran Kegiatan SPM di Daerah
Renstra SKPD Renja SKPD
APBD
Musrenbang
Pembahasan dan Pengesahan di DPRD
KUA dan PPA
RKA-SKPD
RAPBD
Sumber: Diolah (Tim Kajian)
Dari bagan di atas dapat dijelaskan, dokumen Rencana Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) yang memuat usulan program dan kegiatan SKPD tahunan di bawa ke forum Musrenbang, yang selanjutnya akan menghasilkan kebijakan umum anggaran (KUA) dan prioritas program & anggaran (PPA). Nota kesepakatan tentang KUA dan PPA yang disepakati bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD wajib memuat target pencapaian dan penerapan SPM. Nota kesepakatan tentang KUA dan PPA menjadi dasar penyusunan RKA-SKPD (Rencana Kerja & Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah) dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran tahunan berdasarkan tingkat prestasi kerja yang mengacu pada rencana pencapaian dan penerapan SPM. Penyusunan RKA-SKPD program dan kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM mengacu pada indikator kinerja, capaian atau target kinerja, analisis standar belanja, dan satuan harga. RKA-SKPD yang disahkan oleh kepala SKPD menggambarkan secara rinci dan jelas progam dan kegiatan dalam rangka pencapaian dan penerapan SPM. Adapun untuk pengelolaan pelayanan dasar dan rencana pencapaian dan penerapan SPM yang bersifat lintas daerah perlu disepakati bersama antar daerah
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
253
253
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
dan dijadikan sebagai dasar dalam perencanaan dan penganggaran kebutuhan masing-masing daerah. Pengelolaan pelayanan dasar dan rencana pencapaian dan penerapan SPM yang bersifat lintas urusan perlu disepakati bersama antar SKPD terkait. Dalam rangka mencapai kesepakatan terkait pengelolaan dan perencanaan pencapaian dan penerapan SPM lintas daerah dapat diatur dengan kerjasama antar daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengelolaan pelayanan dasar secara bersama-sama didasarkan pada prinsip keadilan, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Pendanaan yang berkaitan dengan rencana pencapaian dan penerapan SPM yang merupakan tugas dan fungsi pemerintah dibebankan pada APBN. Pendanaan yang berkaitan dengan rencana pencapaian dan penerapan SPM yang merupakan tugas dan fungsi pemerintah daerah dibebankan pada APBD. Untuk memastikan agar kegiatan yang mendukung pencapaian indikator SPM tersebut dapat dibiayai, maka perlu komitmen yang kuat baik dari pemerintah daerah maupun DPRD. Karena tanpa komitmen yang kuat, masing-masing pihak cenderung akan memperjuangkan kepentingannya, akibatnya masyarakat atau publik daerah tidak akan pernah mendapatkan layanan dasar dari pemerintah daerah. Akan tetapi, jika kegiatan-kegiatan tersebut telah memiliki pos-pos anggaran dalam APBD, maka persoalan selanjutnya adalah bagaimana SKPD dapat mengimplementasikannya dengan optimal sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. C.
Model Pelaporan SPM Dalam Permendagri No. 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian SPM disebutkan bahwa rencana pencapaian target tahunan SPM dan realisasinya merupakan bagian dari LPPD, LKPJ, dan ILPPD. Akan tetapi, dalam PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD), Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPJ), dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) tidak dijelaskan bagaimana pemerintah daerah melaporkan capaian SPM. Artinya, terdapat ketidakjelasan antara amanat Permendagri tersebut dengan PP No. 3 Tahun 2007 yang menjadi konsideran. Oleh karena itu, terbitnya PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) dapat menjadi pegangan bagi pemerintah daerah dalam melaporkan capaian-capaian target SPM-nya. Melalui indikator-indikator kunci (IKK) yang telah disiapkan oleh Tim Nasional EPPD, pemerintah daerah dalam hal ini SKPD dapat melaporkan capaian target-target tahunan, kendala-kendala yang dihadapi dan solusi-solusi yang dapat ditempuh untuk mengatasinya.
254
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Strategi Pencapaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Sayangnya, peraturan pelaksana PP tersebut – yang akan dituangkan Permendagri – sampai saat ini belum final, sehingga penyusunan LPPD Tahun 2007 belum dapat menggunakan IKK yang telah disusun oleh Timnas EPPD. Namun sebagai langkah terobosan, Timnas EPPD tengah mengadakan serangkaian workshop dalam rangka mensosialisasikan suplemen LPPD, yakni mensosialisasikan parameter dan IKK yang salah satunya digunakan untuk mengukur capaian SPM. Apabila dalam workshop tersebut pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sepakat untuk menggunakan parameter dan IKK tersebut, maka penilaian LPPD, LKPJ dan ILPPD tahun 2007 – yang dilaksanakan tahun 2008 – sudah mampu menilai capaian-capaian SPM. Jika digambarkan dalam bentuk gambar maka akan nampak sebagai berikut Bagan. 5.6 Pelaporan capaian target SPM daerah Departemen Teknis
Capaian SPM oleh SKPD
Tim Daerah EPPD
Masyarakat
Sumber : Diolah (Tim Kajian)
Selain disampaikan kepada Timda EPPD dan departemen teknis, realisasi target capaian SPM tersebut juga dipublikasikan kepada masyarakat melalui instrumen ILPPD, dalam hal ini dapat berupa jurnal pemerintah daerah, laporan
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
255
255
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
kinerja pemerintah dan sejenisnya. Intinya, pemerintah daerah menyampaikan pencapaian kinerjanya kepada khalayak/publik daerah.
wajib
Tidak dapat dinafikan bahwa pencapaian kinerja daerah terhadap rencana capaian SPM memerlukan pembinaan dan pengawasan. Oleh karena itu, dalam Permendagri No. 79 Tahun 2007 disebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan umum atas penerapan dan pencapaian SPM pemerintah daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan pembinaan dan pengawasan dan penerapan SPM pemerintahan daerah kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Adapun pembinaan dan pengawasan teknisnya dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Untuk mendukung penerapan dan pencapaian SPM pemerintah daerah, Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen menyusun petunjuk teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, mendelegasikan tugas kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM pemerintah daerah kabupaten/kota. Koordinasi tersebut meliputi penyampaian rencana program dan kegiatan pembinaan dan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM pemerintah daerah. Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen dalam melakukan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM pemerintah daerah provinsi, dibantu oleh Inspektorat Jenderal Departemen/Unit Pengawasan Lembaga Pemerintahan Non-Departemen. Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM pemerintah daerah kabupaten/kota, dibantu oleh Inspektorat Provinsi berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Daerah kabupaten/kota. Monitoring dan evaluasi umum terhadap kinerja penerapan dan pencapaian SPM pemerintah daerah, dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dilakukan oleh Tim Konsultasi Penyusunan SPM. Tim Konsultasi Penyusunan SPM menyampaikan hasil monitoring dan evaluasi umum kinerja penerapan dan pencapaian SPM pemerintah daerah, kepada DPOD melalui Sekretariat DPOD. Hasil monitoring dan evaluasi umum dipergunakan oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebagai bahan laporan penerapan SPM kepada Presiden. Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen melakukan monitoring, evaluasi teknis terhadap kinerja penerapan dan pencapaian SPM pemerintah daerah, berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Tim Konsultasi Penyusunan SPM. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan paling sedikit sekali setahun oleh Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen terkait. Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM dipergunakan pemerintah sebagai: a) bahan masukan bagi pengembangan
256
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Strategi Pencapaian Standar Pelayanan Minimal di Daerah
kapasitas pemerintahan daerah dalam pencapaian SPM; dan b) bahan pertimbangan dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SPM, termasuk pemberian penghargaan bagi pemerintah daerah yang berprestasi sangat baik.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
257
257
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
258
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Bab 6
PENUTUP
A. Kesimpulan 1.
SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. SPM merupakan alat Pemerintah dan pemda untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata. SPM ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh pemda provinsi dan pemda kabupaten/kota dan merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional.
2.
Namun demikian, sejak penyelenggaraan kewenangan dicanangkan melalui PP No. 25 Tahun 2000 belum ada ketentuan yang mengatur tentang SPM. Saat itu Pemerintah mengeluarkan SE Mendagri No. 100 Tahun 2002 sebagai landasan penyusunan SPM. Kebijakan tentang SPM itu sendiri baru ditetapkan setelah lahir UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni dengan diterbitkannya PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM.
3.
PP tersebut jelas ditujukan kepada Kementerian Negara/Departemen/ LPND untuk menyusun pedoman dan penerapan SPM di sektornya masing-masing. Tetapi dalam prakteknya, tidak semua Kementrian Negara/Departemen/ LPND telah menyusun SPM-nya. Tercatat, setidaknya terdapat 9 instansi pusat yang telah menyusun SPM, dimana di dalamnya terdapat 2 instansi yang secara intens memperbaiki SPM-nya sesuai dengan perkembangan kebijakan yang terjadi, yakni Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional.
4.
Secara teknis, Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan SPM dan Permendagri No. 79 Tahun 2007 tentang Rencana Capaian SPM. Berdasarkan kebijakan ini, maka pemerintahan di daerah diminta untuk menyesuaikan pelayanannya sesuai dengan aturan SPM tersebut.
5.
Sesuai dengan kewenangan yang telah ditetapkan, penyelengaraan SPM merupakan tugas dan tangungjawab gubernur dan bupati/ walikota, dan dalam pelaksanaannya melibatkan multidinas/ instansi, baik pada tahap perencanaan, penerapan, maupun pada tahap monitoring dan evaluasi.
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
6.
Pengorganisasian pelaksanaan SPM di daerah diwujudkan dalam bentuk pembagian urusan yang dilaksanakan oleh masing-masing pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten/kota.
7.
Amat disayangkan, ketiadaan sanksi yang tegas terhadap instansi yang belum menyusun SPM ataupun yang belum melaksanakan SPM, menyebabkan PP Nomor 65 Tahun 2005 ini terlihat ‘kurang menggigit’ dan terkesan hanya sebagai kebijakan bermodel ‘universal’ dan bukan bermodel ‘imperatif’. Dengan demikian, wajar saja bila masih banyak instansi yang ‘setengah hati’ dalam menyusun SPM-nya, kalaupun ada, mereka biasanya tidak pernah melaksanakan monitoring dan evaluasi secara reguler/terprogram akan pencapai SPM tersebut.
8.
Dalam konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) tahun 1948 tertulis bahwa “Health is a fundamental human right”, yang mengandung suatu kewajiban untuk menyehatkan yang sakit dan mempertahankan yang sehat. Pernyataan inilah yang melandasi pemikiran bahwa sehat sebagai hak asasi manusia dan sehat sebagai investasi. Berdasarkan hal ini, tampaknya Departemen Kesehatan merupakan departemen yang ‘one step ahead’ atau selangkah lebih maju dibandingkan departemen lainnya dalam merespon kebijakan pemerintah baik dalam hal penerapan SPM pada umumnya maupun penerapan SPM Bidang Kesehatan khususnya.
9.
Hal ini terbukti, bahwa Departemen Kesehatan termasuk departemen yang tercepat yang merespon kebijakan pemerintah akan SPM ini. Respon tersebut dimulai dengan terbitnya Kepmenkes dan Kesos Nomor 1747/Menkes/Kesos/SK/XII tanggal 14 Desember 2000 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan Minimal Dalam Bidang Kesehatan di kabupaten/Kota, yang kemudian direvisi menjadi Kepmenkes Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/kota. Perkembangan terakhir Kepmenkes Nomor 1457 Tahun 2003 ini juga telah direvisi menjadi Kepmenkes Nomor 157 Tahun 2008. Kepmenkes yang baru ini disahkan pada bulan Juli 2008.
10. Namun demikian, SPM Bidang Kesehatan ini dalam prakteknya tidak berjalan lancar. Tercatat hanya ada 10 indikator yang dapat dipenuhi oleh lebih dari 90% kabupaten atau kota di Indonesia yang menjadi lokus penelitian ini dari 54 indikator SPM di bidang kesehatan. 11. Permasalahan yang umum dihadapi dalam penerapan SPM Bidang Kesehatan ini adalah: jumlah indikator telalu banyak, target indikator terlalu tinggi, beberapa indikator yang sulit diperoleh sumber datanya, dan ada indikator yang di suatu daerah memiliki nilai starategis tetapi di dearah lain menjadi tidak strategis. 12. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
260
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Penutup
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 13. Menyadari pentingnya hal ini, maka Departemen Pendidikan Nasional termasuk departemen yang cepat merespon amanat PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Dimana pada Pasal 9 Ayat (2) disebutkan bahwa ketentuan mengenai kebijakan standar, norma, kriteria, prosedur, dan pedoman, ditetapkan selambat-lambatnya dalam waktu enam bulan sejak ditetapkannya PP ini. 14. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya kebijakan berikut ini: a.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang Pedoman Penyusunan SPM Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menegah.
b.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 055/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang Pedoman Penyusunan SPM Penyelenggaraan Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga.
Kebijakan tersebut di atas kemudian direvisi menjadi Keputusan Mendiknas Nomor 1299 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan, yang di dalamnya terdiri atas matriks indikator keberhasilan SPM, dengan komponen-komponennya antara lain: kurikulum, anak didik, ketenagaan, sarana prasarana, organisasi, pembiayaan, manajemen sekolah, dan peran serta masyarakat, untuk masing-masing sekolah. 15. Namun demikian, pada prakteknya terjadi kesimpangsiuran antara aturan SPM Bidang Pendidikan dengan aturan lain yang hampir mirip dengan itu. Dalam kaitan ini yang dimaskud dengan aturan lain yang mirip tersebut adalah Permendiknas Nomor 6 Tahun 2007 tentang Perubahan Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah; dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. 16. Sehingga di beberapa daerah terjadi ‘overlapping’ pemenuhan, antara pemenuhan SPM Bidang Pendidikan yang telah diatur dalam suatu aturan dengan pemenuhan ‘standar isi’ dan ‘standar kompetensi’ yang telah diatur oleh aturan yang berbeda. Hal ini tentu saja acapkali membingungkan dinas terkait dalam menentukan skala urgensi pemenuhan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh departemen teknisnya.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
261
261
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
B. Rekomendasi 1.
Pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri perlu segera memberlakukan PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, karena melalui implementasi PP ini diharapkan dapat mendorong terlaksananya PP No. 65 Tahun 2005, yang telah lama ’tidak digubris’ oleh kementerian negara/departemen teknis/LPND.
2.
Jika diperlukan, kementerian negara/departemen teknis/LPND dapat berkonsultasi dengan instansi terkait untuk proses akselerasi penyusunan SPM di instansinya. Dalam hal ini, tim penyusun SPM instansi (jika ada) dapat berhubungan dengan Timnas EPPD yang telah menyusun lampiran PP No. 6 Tahun 2008, khususnya tentang penilaian target SPM.
3.
Bagi instansi yang telah menyusun SPM sesuai dengan ketentuan PP No. 65 Tahun 2005, diharapkan dapat mensosialisasikan SPM-nya kepada pemerintah daerah. Sedangkan bagi instansi yang masih merevisi atau menyelesaikan penyusunan SPM, diharapkan dapat menyesuaikan dengan PP No. 65 Tahun 2005 dan Permendagri No. 6 tahun 2007 sehingga akan memudahkan pemerintah daerah dalam menyusun rencana capaiannya.
4.
Bagi pemerintah daerah, penyusunan rencana capaian SPM dilakukan melalui pengintegrasian dengan dokumen perencanaan (RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, Renja SKPD). Dengan demikian, rencana capaian SPM akan didukung dengan pembiayaan yang diperlukan karena dianggarkan dalam APBD.
5.
Agar lebih fokus, penyusunan rencana capaian SPM di daerah dapat juga dilakukan oleh sebuah Tim Khusus yang ditugaskan oleh masing-masing Kepala SKPD. Tim ini perlu dilengkapi dengan sumber daya manusia, sarana-prasarana dan anggaran yang cukup memadai sehingga akan menghasilkan dokumen yang komprehensif.
262
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Changes : a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York : Routledge. Gaspersz, Vincent, 2005, Total Quality Management, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, 2006, Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Publik: Kiat dan Terobosan Kabupaten/Kota. Lembaga Administrasi Negara, 2006, Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta : Ghalia Indonesia. PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1299 Tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457 Tahun 2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.
Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah
Permendagri No. 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian SPM Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005-2025 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 15 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2006-2010 Peraturan Bupati Kupang Nomor 34 Tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Kupang Tahun 2007 Peraturan Walikota Tidore Kepulauan Nomor 8 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Tidore Kepulauan Tahun 2005-2010 Peraturan Walikota Banjarmasin Nomor 30 Tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 122 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Kabupaten/ Kota Se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 123 Tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten/ Kota Se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DOKUMEN-DOKUMEN Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Rencana Kerja Tahunan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Kupang, Rencana Strategis Kabupaten Kupang Tahun 20042009 Pemerintah Kota Kupang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Kupang Tahun 2007-2012 Pemerintah Kabupaten Kupang, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2006.
264
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Daftar Pustaka
Pemerintah Kabupaten Kupang, Rencana Strategis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang 2005-2009 Pemerintah Kabupaten Kupang, Profil Pendidikan Kabupaten Kupang Tahun 2006 Pemerintah Kota Kupang, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Pendidikan Tahun 2007 Peemerintah Kota Ternate, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Kesehatan tahun 2007 Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Kesehatan Tahun 2007 Pemerintah Kota Ternate, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Nasional Tahun 20062010 Pemerintah Kota Kupang, Profil Pendidikan Kota Kupang tahun 2008-09-22 Pemerintah Kota Kupang, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Dinas Kesehatan Tahun 2006-2010 Pemerintah Kota Kupang, Laporan Tahunan Dinas Pendidikan Nasional Tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Sleman, Profil Pendidikan Kabupaten Sleman Tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Sleman, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Pendidikan Tahun 2007 Pemerintah Kota Yogyakarta, Rencana Strategik Satuan Kerja Perangkat Daerah Dinas Pendidikan Tahun 2007-2011 Pemerintah Kota Yogyakarta, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Pendidikan Tahun 2007 Pemerintah Kota Banjarmasin, Profil Pendidikan Kota Banjarmasin Tahun 2007-2008 Pemerintah Kota Banjarmasin, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Kesehatan Tahun 2007 Pemerintah Kota Banjarmasin, Rencana Strategis Bidang Pendidikan Tahun 2005-2009 Pemerintah Kota Banjarmasin, Rencana Strategis Dinas Kesehatan Tahun 2006-2010
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
265
265