ISSN : 1412-3568 L E M B AG A AD M I N I S T R AS I N E G AR A P U S AT K AJ I AN K I N E R J A O T O N O M I D AE R AH
Jurnal
Desentralisasi Volume 11
Nomor 2 Halaman 371-431
2013
Implementasi Manajemen PNS di Provinsi Lampung dan Urgensi Pembentukan Komisi Kepegawaian Independen Syafarudin Seleksi Terbuka Camat dan Lurah Tahun 2013 : Pengalaman Pelaksanaan Seleksi Terbuka Jabatan Struktural PNS di Lingkungan Pemprov DKI Jakarta Heri Rubianto Otonomi dan Pembaruan Desa Robert Endi Jaweng Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa Hanif Nurcholis Partisipasi Masyarakat dalam implementasi Kebijakan Pembangunan di Daerah Widya Puspitaayu Sutisna
ISSN : 1412-3568
Jurnal Desentralisasi Vol. 11 No.2 Tahun 2013
Redaksi : Pembina Pengarah
: Kepala LAN : Deputi Bidang Kajian KLB dan SDA
Pemimpin Redaksi Wakil Pemimpin Redaksi Penyunting
: Dr. Adi Suryanto, M.Si : Dra. Elly Fatimah, M.Si : Suryanto, S.Sos, M.Si Pujiatmo Subarkah, SE, MA Meita Ahadiyati K, S.Si, MPP
Mitra Bestari
: Prof. M. Ryass Rasyid Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc Dr. Adi Suryanto, M.Si Dr. Syarif Hidayat
Pimpinan Pelaksana Harian : Samiaji, S.Sos Sekretariat : Renny Savitri, S.IP Widya Puspitaayu Sutisna, SE Endang Purwati Revianeza Aziz Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah (Center For Local Autonomy Performance Studies) Lembaga Administrasi Negara (National Institute of Public Administration) Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Tlp. (021) 3868201-06 Ext. 119, 120, Fax (021) 3865102 Website : www.pkkod.lan.go.id Email :
[email protected]
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
Daftar Isi
iii - iv 1-6
Editorial Serambi
IMPLEMENTASI MANAJEMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PROVINSI LAMPUNG DAN URGENSI PEMBENTUKAN KOMISI KEPEGAWAIAN INDEPENDEN Syafarudin
371-382
SELEKSI TERBUKA CAMAT DAN LURAH TAHUN 2013 : Pengalaman Pelaksanaan Seleksi Terbuka Jabatan Struktural PNS di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Heri Rubianto
383-392
OTONOMI DAN PEMBARUAN DESA Robert Endi Jaweng
393-400
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN DESA Hanif Nurcholis
401-417
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI DAERAH Widya Puspitaayu Sutisna
419-432
Petunjuk Penulisan
ii
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
Editorial alalrial
U
ntuk kedua kalinya pada tahun 2 0 1 3 i n i , J u r n a l Desentralisasi kembali hadir di tengah-tengah sidang pembaca yang budiman. Jurnal Desentralisasi tetap berupaya menyoroti, mengulas dan mengkritisi isu-isu desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dari berbagai sudut pandang. Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi telah memberikan dampak besar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan otonomi daerah sampai saat ini masih selalu direvisi dengan tujuan memperbaiki berbagai masalah dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini. Dalam edisi kali ini, Jurnal Desentralisasi memuat 5 (lima) tulisan dari 5 (lima) orang penulis. Masing -masing penulis akan mengetengahkan pendapatnya terkait dengan kebijakan desentralisasi dari sudut pandang mereka. Tulisan tersebut diantaranya adalah : 1) Implementasi Manajemen Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Lampung dan Urgensi Pembentukan Komisi Kepegawaian Independen (Syafarudin); 2) Seleksi Terbuka Camat dan Lurah Tahun 2013 : Pengalaman Pelaksanaan Seleksi Terbuka Jabatan Struktural PNS di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Heri Rubianto); 3) Otonomi dan Pembaruan Desa (Robert Endi Jaweng); 4) Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa (Hanif Nurcholis); dan 5) Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Pembangunan di Daerah (Widya Puspitaayu Sutisna) Sudah lebih dari satu dasawarsa kebijakan otonomi daerah diterapkan di
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
Indonesia. Namun implementasi dari kebijakan ini masih belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Masih banyak upaya perbaikan yang diperlukan dalam upaya membenahi berbagai aspek dalam pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu isu dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah manajamen PNS di daerah. Syafarudin yang menulis tentang Implementasi Manajemen PNS di Provinsi Lampung dan urgendi pembentukan komisi kepegawaian independen menyatakan bahwa implementasi manajemen PNS yang penuh patologi sulit diperbaiki tatkala pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung menutup diri dan kurang membuka pintu partisipasi, evaluasi publik, transparansi, dan akuntabilitas. Menurutnya, tujuan manajemen PNS adalah untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Sejalan dengan tujuan manajemen PNS yang dikemukakan Syafarudin, untuk menjamin posisi jabatan struktural ditempati oleh orang-orang yang kompeten, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan kegiatan seleksi terbuka untuk camat dan lurah. Heri Rubianto dalam tulisannya yang berjudul “Seleksi Terbuka Camat dan Lurah Tahun 2013 : Pengalaman Pelaksanaan Seleksi Terbuka Jabatan Struktural PNS di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta” menyatakan bahwa kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan sistem merit dan terbuka secara objektif, adil dan transparan dengan mempertimbangkan kesinambungan karier PNS yang bersangkutan. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa seleksi terbuka bagi camat dan lurah di
iii
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
lingkungan Pemerintah Provinsi DKI ini merupakan suatu usaha untuk mewujudkan sebuah tata pemerintahan yang baik, birokrasi yang melayani, dan peningkatan kualitas pejabat publik yang lebih kompeten, profesional, dan mumpuni di bidangnya masing-masing. Beranjak ke isu dalam otonomi daerah selanjutnya yang cukup strategis yaitu masalah desa. Robert Endi Jaweng yang menulis “ Otonomi dan Pembaruan Desa” menyatakan bahwa untuk membangun paradigma baru pembaruan desa, maka harus diawali dengan pemahaman bahwa otonomi desa berbeda dengan otonomi dalam kasus Provinsi dan Kab/Kota. Otonomi dalam kasus Provinsi/Kab/Kota hanya bisa dimiliki dengan adanya desentralisasi kewenangan dari pusat (Otonomi pemberian), sedangkan dalan kasus desa, otonomi sudah ada sebelum Indonesia lahir, sehingga yang lalu diperlukan adalah rekognisi negara atas eksistensi desa (otonomi pengakuan).
megara kepada lembaga masyarakat maka harus ada kontrak atau perjanjian yang jelas. Terakhir adalah tulisan dari Widya Puspitaayu Sutisna yang mengangkat isu tentang partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan pembangunan di daerah. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan diyakini banyak pihak telah menjadi kata kunci dalam pengembangan pembangunan di era otonomi daerah sekarang ini. Pembangunan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat ternyata telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Partisipasi merupakan jembatan penghubung antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, kewenangan, dan kebijakan dengan masyarakat yang memiliki hak sipil, politik, dan sosial ekonomi masyarakat. Dalam tulisannya juga dipaparkan studi kasus di Kota Pekalongan, Kota Bekasi, dan LP3ES.
Senada dengan pendapat Robert Endi Jaweng, Hanif Nurcholis dalam tulisannya “Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa” menyatakan bahwa menjadikan desa sebagai daerah otonom merupakan langkah yang benar dalam Penataan Desa ke depan karena memberikan kepastian status desa yang merupakan penemuan kembali mutiara yang hilang, gagasan founding fathers, UUD 1945, UU No.1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965, dan UU No. 19 tahun 1965. Selama ini politik desa dinilai melenceng, mulai dari UU No. 5 tahun 1979, UU No. 22 tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004. Politik desa selama ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, historis, hukum tata negara, dan ilmu administrasi negara karena lembaga yang dapat diberi tugas negara adalah lembaga resmi pemerintah, bukan lembaga masyarakat. Jika negara memberikan tugas
iv
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
IMPLEMENTASI MANAJEMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PROVINSI LAMPUNG DAN URGENSI PEMBENTUKAN KOMISI KEPEGAWAIAN INDEPENDEN Oleh: Syafarudin Kepala Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP Universitas Lampung Email :
[email protected] Abstrak: Implementasi manajemen PNS yang penuh dengan patologi sulit diperbaiki tatkala pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung menutup diri dan kurang membuka pintu partisipasi, evaluasi publik, transparansi, dan akuntabilitas. Tujuan Manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan sebagaimana dimaksud diperlukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang profesional, bertanggung jawab, jujur dan adil melalui pembinaan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja Keyword: partisipasi, evaluasi publik, transparansi dan akuntabilitas
PENDAHULUAN Setiap hari kita bisa membaca di media massa cetak lokal dan nasional mengenai keluhan masyarakat terhadap pelayanan dan kinerja birokrasi publik. Masyarakat mengeluh dari soal-soal keruwetan penerbitan adminsitrasi, lamban, lama, pelayanan kurang ramah, pungli, indispliner jam kerja, kurang profesional, minimnya penyediaan sarana publik, terseret arus politik, hingga keluhan mengenai birokrasi yang condong berorientasi melayani penguasa namun kurang berpihak pada rakyat. Keluhan terhadap pelayanan dan kinerja birokrasi juga dikeluhkan oleh kalangan pengusaha atau investor. Perizinan yang berbelit, lamban, dan sarat pungli
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
melengkapi tantangan lemahnya penyediaan infrastruktur, listrik, keamanan, kepastian hukum, dan persoalan tenaga kerja. Akibatnya investor asing di Indonesia enggan melakukan re-investasi melainkan ada yang melakukan langkah relokasi usaha ke negara India dan China. Yang juga lucu adalah keluhan terhadap birokrasi dirasakan sendiri oleh sesama aparat birokrasi . Implikasi terhadap keluhan-keluhan (red tape) ini adalah (a) kepercayaan masyarakat yang terus menurun menyebabkan partisipasi dan dukungan masyarakat dalam pembangunan, pemerintahan, dan politik akan pula menurun. Trust merupakan modal sosial dalam kehidupan dan pembangunan bangsa;
371
Implementasi Manajemen PNS di Provinsi Lampung Dan Urgensi Pembentukan Komisi Kepegawaian Independen Syafarudin
(b) kegiatan investasi yang terhambat berarti menghambat pula penyediaan lapangan kerja dan menghambat upaya mensejahterakan rakyat; (c) Indeks daya saing pelayanan dan kinerja birokrasi Indonesia akan terus bertengger pada posisi rendah untuk ukuran ASEAN, Asia, hingga dunia. Bangsa ini akan senantiasa dicap sebagai bangsa yang subur memelihara perilaku diskresi dan korup; dan (4) Birokrasi yang tidak netral dalam pilkada, akan menimbulkan konflik, dan akan terus digugat kandidat yang kalah dengan tuntutan adanya upaya TSM (terstruktur, sistematis, dan massif) dalam rangka memenangkan kandidat tertentu. Keputusan MK mengenai Pilkada ulang akibat TSM melibatkan birokrasi akan membebani APBD dan mengurangi jatah pembangunan rakyat. Ditambah lagi sejak awal alokasi APBD untuk belanja rutin pegawai masih mendominasi yakni berkisar 50%-60%. Bila kita menengok ke belakang melihat akar penyebabnya maka kita akan teringat kepada teori sistem. Dalam teori sistem , output sangat bergantung kepada input. Bila kita memasukan ”elemen-elemen sampah yang bermasalah” maka setelah diproses (dengan intervensi yang bermasalah juga) kita akan menghasilkan ”sampah” juga. Garbage in, garbage out. Kalaupun sampah tersebut bermanfaat, ya bisa dipastikan sebatas ”kompos”. Begitu sebaliknya, bila kita memasukan air bersih maka kita akan menjumpai kebersihan dalam pelayanan yang akan kita rasakan. Dengan demikian, keluhan terhadap pelayanan dan kinerja birokrasi memang bisa kita telusuri dari bagaimana kita memahami dan mengelola kebijakan manajemen kepegawaian, mulai dari aspek perencanaan, pembiayaan, implementasi, pengawasan, evaluasi, dan rekomendasi perbaikan. Kita perlu kembali menelaah secara kritis isu-isu aktual yang terjadi dalam penerapan
372
pengelolaan manajemen pegawai negeri sipil di daerah pada era otonomi daerah. Lalu, mengidentifikasi berbagai kendala yang dihadapi dalam penerapan pengelolaan manajemen pegawai negeri sipil di daerah khususnya di Provinsi Lampung. Kita juga perlu meninjau best practises penerapan manajemen birokrasi berbasis kepemimpinan dan sistem. Kemudian, mencoba merumuskan rekomendasi kebijakan dalam rangka penyempurnaan kebijakan manajemen pegawai negeri sipil. KEBIJAKAN MANAJEMEN PNS Pemerintah Pusat dan DPR melalui penerbitan UU 43/1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian telah menetapkan tujuan dan dan kebijaksanaan manajemen kepegawaian. Tujuan Manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan sebagaimana dimaksud diperlukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang profesional, bertanggung jawab, jujur dan adil melalui pembinaan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja (Pasal 12 UU 43/1999). Kebijaksanaan manajemen PNS mencakup (1) penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, peningkatan kualitas PNS, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum; (2) Kebijaksanaan manajemen PNS sebagaimana dimaksud, berada pada Presiden selaku kepala pemerintahan; (3) Untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dan memberikan pertimbangan tertentu, dibentuk Komisi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
Kepegawaian Negara yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden; (4) Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud, terdiri dari dua anggota tetap yang berkedudukan sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi, serta 3 (tiga) anggota tidak tetap yang kesemuanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; (5) Ketua dan Sekretaris Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud, secara ex officio menjabat sebagai Kepala dan Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara; (6) Komisi Kepegawaian Negara bersidang sekurangkurangnya sekali dalam satu bulan. (Pasal 13 UU 43/1999). Untuk mengimplementasikan amanah UU maka dibuatlah berbagai PP, Permenpan dan RB, Permendagri, Peraturan BKN, dan Keputusan LAN yang menyinggung mengenai penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, peningkatan kualitas Pegawai Negeri Sipil, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum PNS. Bahkan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai revisi UU 22/1999 mengatur adanya penyerahan urusan pemerintahan di bidang kepegawaian kepada pemerintah daerah. Pejabat pembina kepegawaian daerah adalah kepala daerah (khususnya Gubernur) selaku wakil pemerintah di daerah. Hal ini merupakan bentuk koordinasi, sinkronisasi, pembagian urusan, dan implementasi dari kebijaksanaan manajemen PNS yang semula berada sepenuhnya pada Presiden dan Komisi Kepegawaian Negara. ISU-ISU AKTUAL UMUM Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN (2011) telah mengidentifikasi berbagai persoalan yang mengemuka pada penerapan manajemen pegawai negeri sipil baik di pusat maupun di daerah, yang meliputi: a) perencanaan pegawai, b) pengadaan pegawai,
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
c) pengangkatan dalam jabatan, d) pengembangan pegawai, e) kesejahteraan pegawai, f) kinerja pegawai, g) disiplin dan etika pegawai dan h) pemberhentian pegawai. Dari kajian yang telah dilakukan Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN (2011) diperoleh kesimpulan antara lain: 1. belum semua instansi pemerintah yang secara fungsional mengelola pegawai negeri sipil memilki renstra dan menyusun rencana induk (master-plan) pengelolaan kepegawaian sebagai acuan dalam pengelolaan kepegawaian, 2. penentuan formasi pegawai yang tidak didasarkan pada analisis kebutuhan organisasi dan analisis beban kerja, 3. pengadaan pegawai yang masih kurang transparan dan masih terdapat praktek KKN, 4. pengangkatan dalam jabatan (promosi dan rotasi jabatan) yang tidak didasarkan pada standar kompetensi jabatan dan persaratan jabatan, akan tetapi banyak pengangkatan dalam jabatan (promosi dan rotasi jabatan) didasarkan pada balas jasa dalam pemilukada, kedekatan, dan bahkan ditengarai juga pengangakatan dalam jabatan structural juga diwarnai praktek KKN (setiap jabatan mumpunyai nilai/harga), 5. pengembangan pegawai melalui diklat tidak berdasarkan pada analisis kebutuhan diklat, dan ada keterbatasan anggaran pengembangan pegawai, 6. rendahnya disiplin pegawai, 7. rendahnya tingkat kesejahteraan pegawai negeri sipil, 8. penilaian kinerja pegawai hanya berdasarkan pada DP3, 9. dan rendahnya infrastruktur pendukung pengelolaan manajemen pegawai negeri sipil baik di pusat maupun didaerah. Labpolotda FISIP Unila (termasuk aparat birokrasi yang kritis, akademisi, LSM,
373
Implementasi Manajemen PNS di Provinsi Lampung Dan Urgensi Pembentukan Komisi Kepegawaian Independen Syafarudin
dan pers di Lampung) nampaknya sulit membantah dan bahkan mengamini kondisi tersebut memang terjadi juga di Provinsi Lampung. Tiga studi yang dilakukan peneliti Labpolotda dan tim SCBD di bawah ini telah mengkonfirmasi beberapa kenyataan (poin b,c,d,e, i dari studi LAN RI) tersebut. Hasil studi ”Pengembangan Sistem Perencanaan Pegawai Pemerintah Provinsi Lampung” (2010), yang dilaksanakan tim SCBD dan didukung peneliti Labpolotda FISIP Unila, melalui FGD dan wawancara yang dilakukan tim peneliti terhadap nara sumber (informan) yang berasal dari unsur BKD Lampung, Biro Organisasi Setda Lampung, dan Bappeda Lampung diketahui bahwa ”Formasi masing-masing satuan organisasi di lingkungan Pemprov Lampung sejak 2008 hingga sekarang (2010) disusun tidak berdasarkan analisis jabatan dan analisis kebutuhan. Analisis ini tidak dilakukan biro organisasi karena tidak ada dana yang disediakan dalam APBD untuk melakukan kegiatan tersebut. Karena sudah didesak pusat untuk pemenuhan kebutuhan pegawai, sehingga biro organisasi melakukan analisa – analisa tanpa anjab melainkan dengan peta jabatan. Dari peta jabatan itu tercermin sebenarnya kebutuhan pegawai itu berapa” (hal. 37). Hasil studi ”Pengembangan Sistem Seleksi dan Penempatan Pegawai Baru Pemerintah Provinsi Lampung” (2010), yang dilaksanakan tim SCBD dan didukung peneliti Labpolotda FISIP Unila, menunjukan bahwa pemerintah daerah bersikap status quo dan sebaliknya perubahan diinginkan oleh LSM. Hasil evaluasi dan harapan proyeksi terkait seleksi dan penempatan pegawai yang dilakukan LSM di Lampung sebagai berikut: Pelaksanaan pengadaan CPNSD dari pelamar umum pada tahun lalu masih terdapat berbagai kelemahan yang harus diperbaiki pada masa-masa mendatang.
374
Pembentukan tim panitia pengadaan CPNSD selama ini dengan SK Gubernur Lampung dengan keanggotaan seluruhnya berasal dari PNS Pemprov Lampung. Di masa mendatang sebaiknya dirubah dengan 2 pilihan (a) kepanitiaan pengadaan sepenuhnya diserahkan kepada pihak ketiga seperti kampus; (2) kepanitiaan pengadaan merupakan campuran antara unsur pemda, pers, kampus, dan LSM. Hal ini dilakukan untuk memenuhi prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Pengumuman penerimaan CPNSD dilakukan oleh panitia bersama selama melalui media cetak dan media elektronik. Dalam pengumuman tidak dicantumkan unit kerja mana di lingkungan Pemprov Lampung yang membutuhkan. Pada masa mendatang sebaiknya dicantumkan kebutuhan unit kerja mana. Hal ini untuk memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas. Persyaratan CPNSD mengikuti selama ini sesuai dengan ketentuan pemerintah. Pada masa mendatang sebaiknya dibuat simpel dan tidak memberatkan pelamar. Juga diusulkan agar pelamar CPNSD Pemprov Lampung adalah mereka yag berdomisili dan ber KTP Lampung bukan dari luar Lampung dengan alasan bahwa penduduk Lampung lebih tahu Lampung dan memberikan kesempatan kepada generasi muda Lampung. Pelamaran CPNSD selama ini dilakukan via kantor pos. Pada masa mendatang sebaiknya pelamaran CPNSD Pemprov Lampung dilakukan secara online seperti yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM. Kekhawatiran bahwa ada keterbasan SDM penyelengara dan keterbatasan dana operasionalnya adalah sesuatu yang kurang tepat karena Pemda bisa meminta bantuan pihak ketiga seperi kampus sedangkan pendanaan yang dibutuhkan tidaklah besar.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
Pemeriksaan administrasi pelamar tidak bersifat pasif melainkan bersifat aktif artinya bila pelamar memiliki kekurangan dalam lampiran surat lamaran, maka panitia berupaya memberitahu via telpon agar berkas tersebut diperbaiki sampai dengan batas akhir pemberian nomor peserta ujian. Pada masa mendatang, LSM setuju hal ini tetap dilakukan dalam rangka memberikan kesempatan bagi pelamar untuk bisa mengikuti tahapan tes berikutnya. Namun, bagi LSM apabila pendaftaran dilakukan Pemprov Lampung mendatang sudah secara online maka pemeriksaan akan dilakukan secara online pula. Pemanggilan pelamar dengan cara mengirimkan nomor peserta ujian dalam amplop yang sudah disediakan perangko oleh pelamar, sedangkan yang belum lulus administrasi tetap dikirimkan surat mengenai alasan panitia tidak bisa memberikan nomor peserta ujian. Pada masa mendatang LSM setuju hal ini tetap dilakukan. Bagi LSM bila Pemprov sudah menggunakan teknologi online maka pemberian nomor peserta ujian akan diberikan secara online pula seperti yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM. Panitia dan pengawas ujian sudah disiapkan dengan baik yang kadang melibatkan pula dari unsur tempat pelaksanaan ujian tertulis CPNSD itu berlangsung. Pada masa mendatang sebaiknya ini dilakukan oleh tim gabungan (pemda, kampus, pers, dan LSM) atau sepenuhnya diserahka kepada pihak ketiga yakni kampus. Materi ujian tertulis sepakat tidak disiapkan oleh Pemda Lampung melainkan oleh pihak ketiga yakni pihak kampus yang berkompeten yang ada di Lampung. Sebaiknya pada masa medatang Pemprov Lampung bersama Pemkab/Pemkot se-Lampung menggunakan jasa kampus di Lampung
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
untuk membuat soal, jawaban, dan sekaligus melakukan pemindaian hasil jawaban (scanner). Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kecurigaan, sentimen negatif, tidak percaya, dan mengurangi sikap pesimis peserta ujian. Saat ujian berlangsung mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku. Panitia akan mencocokan nama dan foto peserta tes yang ditulis dengan fisik pelamar agar menghindari terjadinya perjokian. Untuk masa mendatang LSM setuju hal ini tetap dilakukan dan ditingkatkan pengawasannya yang dilakukan oleh tim gabungan atau pihak ketiga. LSM menyarankan agar soal bisa dibawa pulang oleh peserta sebagai kontrol peserta kelak. Pengumuman pelamar yang diterima selama ini melalui media cetak lokal dan papan pengumuman di BKD. Peserta yang tidak lulus dan ingin bertanya maka dapat melakukan konfirmasi kepada panitia atau BKD. Untuk masa mendatang menurut LSM sebaiknya dilakukan dengan cara (a) online; (b) pengumuman kunci jawaban; (c) pemulangan lembar jawaban yang telah di scan melalui amplop dan perangko yang sudah disediakan pelamar. Penempatan pegawai baru (CPNSD) di unit kerja selama ini dilakukan sesuai dengan asal formasi yang diusulkan unit kerja. Kalaupun ada perpindahan hal ini sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Pada masa mendatang sebaiknya dalam pengumman awal penerimaan sudah dicantumkan formasi tersebut berada pada unit kerja tertentu. Pengangkatan sebagai CPNS memperhatikan golongan ruangan dan penghasilan. Pada masa mendatang pussbik setuju hal ini tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Setelah melewati masa percobaan dan lulus mengikuti diklat prajabatan maka
375
Implementasi Manajemen PNS di Provinsi Lampung Dan Urgensi Pembentukan Komisi Kepegawaian Independen Syafarudin
seorang CPNSD dapat diangkat menjadi PNS. LSM setuju hal ini akan tetap dilakukan pada masa mendatang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Anggaran pengadaan PNS baru selama ini dan masa mendatang menjadi tanggung jawab pemerintah. LSM setuju dengan hal ini. LSM kurang yakin pelaksanaan sistem pengadaan CPNSD di lingkungan Pemprov Lampung selama ini sudah cukup untuk menghasilkan PNS baru yang cukup profesional, berkualitas, dan memiliki kinerja baik. LSM juga kurang yakin pengadaan CPNSD tahun lalu dan masa mendatang dilakukan benar-benar berdasarkan prinsip netral, obyektif, akuntabel, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta transparan. Payung hukum pedoman seleksi dan penempatan atau pengadaan CPNSD selama ini diatur dengan UU, PP, dan keputusan kepala BKN. Untuk masa mendatang LSM setuju perlu ada peraturan yang lebih dekat dan operasional seperti perda dan pergub.
Hasil studi ”Penyusunan Pedoman Umum Penyelenggaraan Diklat PNS Lampung Selatan” (2010), yang dilaksanakan tim SCBD dan didukung peneliti Labpolotda FISIP Unila, menunjukan bahwa ada 7 (tujuh) saran atau masukan dari PNS/CPNS yang perlu diperhatikan untuk pengembangan diklat PNS khususnya di Lampung Selatan, sebagai berikut: a. Sarana, prasarana, hingga menu makanan diklat Lampung Selatan haruslah diperbaiki, dilengkapi, dan ditingkatkan kehandalannya. b. Widyaiswara haruslah yang berkompeten dan bermutu. c. Materi diklat menyesuaikan dengan kondisi lapangan dan kebutuhan birokrasi
376
modern serta lebih banyak memotivasi kerja. d. Metode diklat dibuat menyenangkan, jangan monoton dan membosankan. e. Jangka waktu diklat jangan terlalu lama. f. Peserta diklat tidak dipungut biaya. g. Laksanakan diklat prajabatan segera. Diklat prajabatan gol I dan II diselenggarakan bandiklat Lampung Selatan. Sedangkan diklat prajabatan gol III sebaiknya diselenggarakan Bandiklat Provinsi, namun ada juga yang menyarankan dilaksanakan Bandiklat Lamsel. Mengenai isu/persoalan rendahnya disiplin pegawai, rendahnya tingkat kesejahteraan PNS, dan penilaian kinerja pegawai hanya berdasarkan pada DP3, dalam pandangan Labpolotda FISIP Unila memang terjadi juga di Provinsi Lampung. Hanya saja pemerintah daerah di Lampung sudah berupaya mengatasinya dengan cara penerapan presensi elektronik, teguran tertulis/lisan, sidak, penerapan sanksi, pemberian insentif hari raya, pemberian gaji ke 13 (program pusat), tabungan pensiun (program pusat), subsidi KPR (program pusat), dll. Mengenai belum semua instansi pemerintah yang secara fungsional mengelola PNS memilki renstra dan menyusun rencana induk (master-plan) pengelolaan kepegawaian sebagai acuan dalam pengelolaan kepegawaian, dalam pandangan Labpolotda FISIP Unila hal itu kurang tepat. Ketika Labpolotda meneliti BKD Provinsi Lampung dan BKD Lampung Selatan (2010) misalnya, diketahui bahwa di dua instansi ini sudah memiliki renstra. Hanya saja terkait dengan pedoman teknis pengelolaan pegawai memang daerah sangat bergantung kepada pedoman pengelolaan yang dikeluarakan LAN dan BKN. Belum ada upaya daerah untuk membuat pergub atau perda terkait master plan manajemen pengelolaan PNS daerah.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
ISU-ISU AKTUAL KHUSUS Labpolotda FISIP Unila memandang ada 3 (tiga) isu aktual khusus dalam manajemen pengelolaan PNS di Provinsi Lampung pada era otonomi daerah belakangan ini, yakni (1) politisasi birokrasi; (2) rollling/mutasi; dan (3) moratorium PNS/hitung ulang PNS. Birokrasi yang berada “di bawah kendali penuh kepala daerah (pejabat politik)” sebagaimana diatur dalam UU 32/2004, ketika saat pemilihan kepala daerah langsung (termasuk saat pilkada via DPRD sebelum tahun 2005) ini, diarahkan atau dimobilisasi menjadi mesin untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, mencari dana kampanye, membeli suara pemiilih dengan barter program bantuan , menghadapi demonstran, dan memfasilitasi kepala daerah beserta kerabat. Birokrasi diformat kembali sama seperti era kerajaan nusantara, era penjajahan, orde lama, dan orde baru yakni bergantung atau tunduk pada perintah atasan (bisa raja, penjajah belanda, kepala pemerintahan pusat, dan atau kepala daerah). Bedanya, saat orde baru menggunakan UU 5/74 dan UU 8/1974 sentralisasi kepegawaian masih kuat di pusat, sementara saat orde reformasi menggunakan UU 32/2004 dan UU 43/1999 terjadi desentralisasi kepegawaian yang kuat berada di daerah (khususnya di tangan kepala daerah). Pemerintah sudah mengeluarkan PP 37/2004 yang mengatur netralitas PNS, namun dalam prakteknya PNS ikut terseret arus dalam pilkada karena yang akan menentukan karier PNS adalah kepala daerah yang menang dalam kontestasi pilkada. Sikap netral PNS menyebabkan PNS tersebut tidak kebagian kursi dan jabatan. Ukuran loyalitas personal merupakan indikator utama kepala daerah dalam mengisi “kabinetnya” kelak; ketimbang ukuran prestasi, kompetensi,
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
pengalaman, intergritas, dedikasi, dan tidak tercela. Tak heran bila usai Pilkada akan terjadi rolling/mutasi besar-besaran. Yang anehnya rolling/mutasi ini tidak dilakukan sekali atau dua kali saja selama masa memerintah 5 tahun. Bahkan dalam setahun bisa dilakukan 5-20 kali. Bila dilakukan rolling kepada mereka yang meninggal, pensiun, tersangka, dan kinerja buruk, maka hal itu wajar dilakukan. Namun bila hasil rolling itu menyebabkan orang tidak sesuai kompetensinya duduk dalam jabatan tertentu, maka bisa dibayangkan bagaimana pengelolaan satker tersebut dan bagaimana pelayanan publik yang akan diberikan kepada masyarakat. Sekretaris daerah sebagai ketua Baperjakat tunduk dengan kepala daerah selaku pembina kepegawaian daerah, karena dari awal yang mengusulkan sekda adalah kepala daerah. Rolling/mutasi harus diakui lebih banyak dari kepala daerah, oleh kepala daerah, dan untuk kepala daerah. Rolling/mutasi harus diakui polanya dari elite, oleh elite, dan untuk elite. Hal ini tentu kontras dengan prinsip demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Selanjutnya, mengenai isu moratorium PNS. Kehadiran Permenpan dan RB No. 26/2011 mengenai Pedoman Penghitungan Kebutuhan PNS Daerah merupakan upaya menata, menghitung ulang, dan menghentikan sementara (moratorium) penerimaan PNS. Penghitungan ini diharapkan membawa imbas bagi BKD dan Biro/Bagian Organisasi Pemda untuk menyusun secara serius mengenai evaluasi dan proyeksi pertumbuhan PNS daerah dalam jangka menengah dan panjang, yang hendaknya disyahkan (SK-kan) berjenjang mulai dari kepada daerah hingga pusat. Penghitungan tersebut diharapakan menjadi bench-mark untuk menetapkan strategi minus
377
Implementasi Manajemen PNS di Provinsi Lampung Dan Urgensi Pembentukan Komisi Kepegawaian Independen Syafarudin
growth ataukah zero growth perkembangan PNSD di Lampung.
bagi
terbatas PNS ini akan menjadi sebuah kebijakan ironi atau paradoksal.
Pemerintah Provinsi Lampung sudah melansir formasi PNS di seluruh Lampung masih kurang 43.832 orang. Kekurangan tersebut terdapat di lingkungan Pemrpov dan 14 pemerintah kabupaten/kota se Lampung. Jumlah kekurangan tersebut hampir sepertiga dari kebutuhan PNS seluruh Lampung sebanyak 153.088. Adapun PNS yang ada saat ini berjumlah 109.256. Secara umum kekurangan terdapat pada tenaga teknis tertentu, guru, tenaga kesehatan, dan tenaga penyuluhan.
KENDALA MANAJEMEN PNS Kebijakan manajemen PNS sebagaimana diatur dalam UU 43/1999 (dan dalam kebijakan derivasinya) meliputi penyusunan formasi, pengangkatan, pemindahan, peningkatan kualitas PNS, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum. Kebijakan manajemen PNS berupaya didasarkan pada prinsip-prinsip yang baik (merryt system) dan menjauhkan dari prinsipprinsip yang buruk (spoils system) , sebagaimana dibayangkan oleh Weber Namun dalam prakteknya spoils system lebih mendominasi ketimbang merryt system.
Hasil perhitungan tersebut sudah diserahkan kepada Kemenpan dan RB untuk dikaji dan ditetapkan sebagai dasar pengembangan PNSD di Lampung untuk tahun 2012 dan tahun-tahun selanjutnya. Karena proses perhitungan yang kurang transparan, partisipatif, dan akuntabel maka wajar bila muncul pertanyaan kritis mengenai tujuan isu moratorium terbatas PNS ini. Sebagaimana dipahami isu moratorium ini didasari karena keprihatinan terhadap realitas APBN dan APBD yang lebih banyak membiayai belanja pegawai ketimbang belanja langsung pembangunan untuk rakyat. Bila ingin menekan belanja pegawai maka penambahan pegawai diperketat atau bahkan dikurangi. Renumerasi kemudian ditataulang. Kasus Lampung menunjukan setelah pendataan kebutuhan pegawai ternyata Lampung masih membutuhkan banyak pegawai dan ini tentu berujung makin memberatkan APBN dan APBD kelak. Dengan demikian tujuan untuk memperbesar porsi APBN dan APBD untuk rakyat di daerah nampaknya akan dihadapkan pada tuntutan memperbesar porsi APBN dan APBD untuk belanja pegawai mendatang. Tanpa adanya transparansi, partisipasi, dan akuntabitas; maka isu hitung ulang dan moratorium
378
Ada enam hal yang menjadi kendala implementasi kebijakan manajemen kepegawaian yakni: (a) masih terjadi tarik menarik kebijakan dan kepentingan antar lembaga pengelola kepegawaian; (b) dominannya intervensi politik berbasis personal; (c) sulitnya menghilangkan kultur KKN; (d) keterbatasan kompetensi/ profesionalitas pegawai, (e) Keterbatasan dana dan sistem pengalokasiannya; dan (f) sempitnya celah pengawasan, evaluasi, partisipasi, dan akuntabilitas kepegawaian. Lembaga di pusat yang terlibat mengelola kepegawaian sangat banyak mulai dari Kemenpan RB, Kemendagri, Kemenkeu, BKN, LAN, dan Komisi Kepegawaian Negara. Lembaga di daerah yang terlibat mengelola kepegawaian tercatat yakni BKD, Biro/Bagian Organisasi, Baperjakat, dan Kepala Daerah. Ketika Kemenkeu berupaya memperbesar anggaran untuk pembangunan rakyat dengan cara membatasi jumlah pegawai dan belanja pegawai, maka Kemendagri bersama DPR melalui kebijakan pemekaran daerah melakukan langkah sebaliknya mendorong peningkatan jumlah pegawai dan belanja
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
pegawai. Kalau pada era Presiden Megawati jalur penerimaan CPNS adalah melalui pelamar umum, maka pada era Presiden SBY jalur penerimaan CPNS adalah melalui jalur utama honorer dan residunya adalah jalur umum. Penambahan jalur penerimaan ini menyebabkan jumlah pegawai meningkat signifikan dan lagi-lagi memperbesar belanja pegawai. Bila pada tahun 2004 pada awal era pemerintahan SBY rekrutmen CPNS dilakukan terpusat baik soal, koreksi, dan pengumumannnya di Jakarta, maka setelah itu beramai-ramai kepala daerah meminta agar ujian CPNSD, koreksi dan pengumumannya menjadi tanggungan jawab pemda. Tujuannya jelas agar pemda memiliki celah mencari rent seeking dalam penerimaan CPNSD, termasuk dalam kebijakan rolling/mutasi. Intervensi politik kepala daerah yang bersifat personal (personal executive ascedancy) terhadap birokrasi ini bisa dipahami akibat pilkada berbiaya mahal. Kepala daerah yang menang dalam pilkada langsung, mengutip riset Eef Saefullah Fatah (2007), cenderung menerapkan strategi 2-1-2, yakni 2 tahun berupaya mengembalikan hutang dan modal, 1 tahun bekerja untuk rakyat, dan 2 tahun sisanya mengumpulkan modal untuk kontestasi politik mempertahankan kedudukannya. Birokrasi mau tidak mau dijadikan mesin untuk memobillasi modal dan dukungan politik. Dalam rangka ”tugas khusus” memobilisasi modal itulah birokrasi tetap terjebak dalam kultur patron-klien dan sarat KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Apalagi aparat birokrasi juga berpikir bahwa birokrasi yang berkeringat maka birokrasi haruslah memperoleh manfaat dari ”tugas khusus” tersebut.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
Keterbatasan kompetensi/ profesionalitas aparat biasanya ditemui pada pejabat senior yang enggan belajar. Mereka gagap terhadap internet, email, dan bahasa asing. Mereka cenderung belum siap menerapkan tekonologi IT dalam sistem keuangan, sistem kepegawaian, sistem pengadaan, sistem perizinan, sistem pelayanan, dan lain-lain. Mengenai kesejahteraan PNS, meski sudah dipenuhi gaji rutin, tunjangan, gaji ketiga belas, askes, taspen, dan subsidi KPR; namun masih dirasakan kurang cukup oleh sebagaian aparat birokrasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyatakan bahwa hal itu akibat dana APBN dan APDB terbatas. Yang jadi persoalan adalah ketika penerapan kesejahteraan itu disamaratakan antara PNS yang malas dan tidak berprestasi dengan PNS yang rajin dan berprestasi. Selanjutnya, implementasi manajemen PNS yang penuh dengan patologi sulit diperbaiki tatkala pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung menutup diri dan kurang membuka pintu partisipasi, evaluasi publik, transparansi, dan akuntabilitas. BEST PRACTICES MANAJEMEN PNS: JEMBRANA, SRAGEN, DAN NEGARA-NEGARA BAGIAN MALAYSIA Manajemen pengelolaan birokrasi di Indonesia tidak semuanya buruk. Pengelolaan birokrasi yang baik dan membuahkan kinerja birokrasi yang baik bisa dilihat pada kabupaten Jembarana (Bali) dan kabupaten Sragen (Jawa Tengah). Kuncinya adalah kepada kepemimpinan kepala daerah. Sosok kepala daerah (personal execuitve ascidency) yang tergolong baik sehingga mengelola birokrasi dengan baik pula dan akhirnya kinerja birokrasi juga baik . Manajemen pengelolaan birokrasi yang baik yang bertumpu kepada personal sangat
379
Implementasi Manajemen PNS di Provinsi Lampung Dan Urgensi Pembentukan Komisi Kepegawaian Independen Syafarudin
jarang di Indonesia. Karena sistem manajemen pengelolaan PNS dibawah kendali pejabat politik (kepala daerah), maka umumnya yang terjadi adalah pengelolaan manajemen PNS yang penuh patologi.
Bila di Indonesia hubungan birokrasi dan politik cenderung berpola personal executive ascendency (birokrasi di bawah kendali personil pejabat politik), maka di Malaysia hubungan birokrasi dan politik mengikuti pola bureaucratic sublation (kedudukan yang seimbang antara birokrasi dan politik serta dimediasi komisi kepegawaian yang independen). Perbedaan kontras pengaturan hubungan birokrasi di Indonesia dan Malaysia dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Namun kita bisa melihat bagaimana pengelolaan manajemen PNS yang baik dengan berbasiskan sistem atau struktur hubungan yang baik antara pejabat politik, komisi kepegawaian, dan birokrasi, yakni di Malaysia baik di tingkat federal maupun negara bagian .
Tabel 1. Perbandingan Hubungan, Kelembagaan dan Manajemen Pengelolaan Birokrasi Indonesia dan Malaysia
1.
Konsep Pengaturan Hubungan Birokrasi Menurut Carino Executive Ascendency Bureaucratic Sublation Indonesia (pusat dan daerah) Malaysia (federal dan negara bagian) Kekuasaaan eksekutif mendominasi 1. Kekuasaan eksekutif terhadap birokrasi berlaku birokrasi (bersifat vertikal). secara profesional (bersifat horisontal).
2.
Karier birokrasi ditentukan oleh pejabat eksekutif politik.
3.
4.
380
2.
Karier birokrasi diatur berdasarkan mekanisme yang profesional oleh sebuah lembaga diluar eksekutif politik, yakni SPAN (komisi kepegawaian independen), baik SPAN federal maupun SPAN negara bagian. Keberadaan SPAN diatur dalam konstitusi.
Kepegawaian diatur berdasarkan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
3.
Kebijakan manajemen kepegawaian di daerah diserahkan kepada pejabat politik tertinggi yaitu Gubernur untuk provinsi dan bupati/walikota untuk kabupaten/kota.
Regulasi tentang manajemen birokrasi diatur dalam salah satu pasal konstitusi negara federal serta dalam perlembagaan negara bagian, selanjutnya diturunkan dalam bentuk regulasi yang dibuat eksekutif politik dan parlemen
4.
Manajemen selanjutnya mengenai rekrutmen, karier, promosi, mutasi, pensiun, dan penilaian prestasi di tiap tingkatan pemerintahan dilakukan oleh SPAN federal dan SPAN negara bagian.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
REKOMENDASI: URGENSI PEMBENTUKAN KOMISI KEPEGAWAIAN INDEPENDEN Dalam rangka memperbaiki manajemen pengelolaan PNS mendatang (mulai dari sisi input, proses, ouput, nilai, dan kelembagaan), dalam rangka memperbaiki pelayanan dan kinerja birokrasi, dan dalam rangka mewujudkan refromasi birokrasi yang progresif; maka perlu dilakukan perubahan total sebagai berikut: 1. Perlu dikaji, dipertimbangkan, dan diwujudkan kelembagaan Komisi Kepegawaian independen (KKI) yang dijamin keberadaan dalam konstitusi (amandemen keilima) dan UU. Komisi Kepegawaian Independen ini diharapkan ada yang berada di tingkat pusat dan daerah. 2. Komisi Kepegawaian Independen yang berisi orang-orang profesional terpilih dan non partisan ini diharapkan dalam jangka pendek diharapkan dapat bertanggung jawab mengelola kepegawaian mulai dari penyusunan masterpaln kepegawaian, menyusun formasi, seleksi, penempatan, dan rolling/mutasi. Dalam jangka menengah Komisi Kepegawaian Independen ini mulai mengurusi pengawasan, reward and punishment, pemberhentian, pensiun, diklat, kesejahteraan pegawai, dan kinerja birokrasi. 3. Kepegawaian mendatang sebaiknya menjadi urusan Komisi Kepegawaian Independen dan Menteri Keuangan saja. BKN/BKD dan Badan Diklat Pusat/Daerah sebaiknya bergabung dalam KKI Pusat/Daerah. LAN sebaiknya bergabung dengan dengan KKI Pusat. Komisi Kepegawaian Nasional serta Kemenpan dan RB dalam jangka menengah perlu dipertimbangkan agar dilikuidasi karena tugasnya sudah diemban oleh KKI Pusat. 4. KKI diharapkan dapat bekeja dengan penuh tanggung jawab, transparan, obyektif, netral, profesional dan terarah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
dalam rangka mewujudkan birokrasi yang bisa menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna PENUTUP Kebijakan manajemen PNS tidak cukup hanya diatur dalam UU dan peraturan di bawahnya. Bila kita memandang penting persoalan kepegawaian ini, maka sudah selayaknya persoalan kepegawaian kita bawa ke tingkat yang lebih tinggi yakni pada level konstitusi. Dalam konstitusi perlu disebutkan adanya lembaga yang bertanggung jawab dalam mengelola pegawai dan birokrasi. Lembaga tersebut bisa berupa Komisi Kepegawaian Independen. Komisi Kepegawaian Independen inilah yang diharapkan dapat membantu memecahkan persoalan manajemen pengelolaan PNS dan persoalan pelayanan serta kinerja birokrasi. Perbaikan manajemen pengelolaan PNS sudah saatnya didorong dari sekedar mengharapkan munculnya personal kepala daerah yang baik atau ratu adil, menjadi mengharapkan munculnya sistem dan kelembagaan yang kuat dan permanen. *** DAFTAR PUSTAKA Azhari. 2011. Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia: Studi Perbandingan di Indonesia dan Malaysia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. David Easton, 1984, Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik, Jakarta, Penerbit Bina Aksara. Alih bahasa Sahat Simamora. Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan. Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Best Practices dari Sejumlah Daerah di Indonesia. Makalah disampaikan pada simposium internasional ke-5 Jurnal Antropologi di Banjarmasin, 22-25 Juli 2008. Eva Etzioni-Halevy, 1983, ”Bureaucracy and Democracy: Political Dilemma”, Routledge and kegan Paul, Boston.
381
Implementasi Manajemen PNS di Provinsi Lampung Dan Urgensi Pembentukan Komisi Kepegawaian Independen Syafarudin
Martin Albrow. 1989. Birokrasi. Penerbit Tiara Wacana. Yogyakarta Mochtar Masoed dan Collin Mc Andrew, 1989, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Penerbit UGM Press. Miftah Thoha. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Penerbit Raja Grafindo. Jakarta Ngadisah dkk. 2004. “Birokrasi”. Penerbit UT. Jakarta Priyo Budi Santoso. 1993. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru Perspektif Kultural dan Struktural. Penerbit Rajawali Press. Jakarta Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer.2000. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Penerbit Pustakaraya. Jakarta. Suwarno. 1989. Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahulu dan Sekarang. Penerbit Universitas Atmajaya. Yogyakarta Wahyudi Kumorotomo (ed). 2005. Birokrasi Publik dalam Sistem Politik semi Parlementer. Penerbit Gavamedia. Yogyakarta Hasil Penelitian Tim Peneliti SCBD. 2010. ”Studi Pengembangan Sistem Perencanaan Pegawai Pemerintah Provinsi Lampung”. Kerja sama ADB dan Bappeda Provinsi Lampung. Tim Peneliti SCBD. 2010. ”Studi Pengembangan Sistem Seleksi dan Penempatan Pegawai Baru Pemerintah Provinsi Lampung”. Kerja sama ADB dan Bappeda Provinsi Lampung. Tim Peneliti SCBD. 2010. ”Penyusunan Pedoman Umum Penyelenggaraan Diklat PNS Lampung Selatan” . Kerja sama ADB dan Bappeda Lampung Selatan. Regulasi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
382
Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Kepegawaian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps da Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Keputusan Kepala BKN Nomor 11 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 Keputusan Kepala BKN Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Permenpan dan RB No. 26/2011 mengenai Pedoman Penghitungan Kebutuhan PNS Daerah Media Cetak Harian ”Tribun Lampung”, Jumat, 14 Oktober 2011, hal 1. Kompas 11 Februari 2008. hal 4.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
SELEKSI TERBUKA CAMAT DAN LURAH TAHUN 2013 : Pengalaman Pelaksanaan Seleksi Terbuka Jabatan Struktural PNS di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Oleh: Heri Rubianto Analis Kepegawaian Keahlian Pertama BKD Provinsi DKI Jakarta Abstrak:
Salah satu dari Rencana Aksi 9 (Sembilan) Program Percepatan Reformasi Birokrasi adalah Program Sistem Promosi Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara terbuka. Untuk lebih menjamin para pejabat struktural memenuhi kompetensi jabatan sesuai kualifikasi yang diperlukan, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta melakukan kegiatan Seleksi Terbuka Camat dan Lurah atau dalam istilah yang populer dinamakan Lelang Jabatan/Open Bidding. Kegiatan Seleksi Terbuka ini dilaksanakan untuk seluruh jabatan Camat dan Lurah di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejumlah 311 (tiga ratus sebelas) jabatan dengan rincian Camat sebanyak 44 (empat puluh empat) jabatan dan Lurah sebanyak 267 (dua ratus enam puluh tujuh) jabatan. Kegiatan tersebut dilaksanakan berdasarkan Sistem Merit dan Terbuka secara obyektif, adil, dan transparan dengan mempertimbangkan kesinambungan karier PNS yang bersangkutan. Kegiatan ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan yaitu seleksi administrasi, seleksi kompetensi bidang, seleksi kompetensi manajerial, dan uji kesehatan serta verifikasi dokumen. Menurut Museum Rekor Indonesia (Muri) kegiatan seleksi terbuka camat dan lurah ini merupakan kegiatan seleksi terbuka pejabat publik pertama dan terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Pada akhirnya melalui kegiatan ini diharapkan terwujud PNS atau pejabat struktural yang mumpuni yang mempunyai keunggulan kompetensi di bidang masing-masing sejalan dengan tuntutan profesionalisme dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan. Keyword: sistem promosi PNS, open bidding, sistem merit
MAKNA SELEKSI TERBUKA Tuntutan jaman dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik yang baik telah direspon oleh pemerintah melalui suatu kebijakan guna perbaikan di dalam birokrasi. Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
(Menpan dan RB) Nomor 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural Yang Lowong Secara Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah merupakan salah satu kebijakan yang diambil pemerintah. SE tersebut memang hanya mengatur tata cara dalam pengisian jabatan struktural yang
383
Seleksi Terbuka Camat dan Lurah 2013 : Pengalaman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Heri Rubianto
lowong, tetapi setiap instansi diberikan keleluasaan untuk melaksanakannya berdasar kebutuhan organisasi masing-masing sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan himbauan dari SE tersebut, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menindaklanjuti melalui pelaksanaan seleksi terbuka camat dan lurah secara menyeluruh, tidak hanya untuk jabatan yang lowong. Evaluasi dan reposisi menjadi pijakan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut. Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian mengamanatkan bahwa “Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan.” Ketentuan Umum Pasal 1 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 19 Tahun 2013 tentang Seleksi Terbuka Camat dan Lurah mendefinisikan bahwa “Seleksi Terbuka adalah proses pemilihan yang diumumkan secara luas melalui media bagi PNS yang memenuhi syarat untuk diangkat dalam Jabatan Camat atau Lurah.” PNS yang dimaksud adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Latar belakang dilaksanakannya seleksi terbuka camat dan lurah yaitu; Menjawab persepsi bahwa pengisian jabatan struktural tidak objektif, tidak transparan, dan syarat KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), Langkah strategis untuk menghasilkan birokrasi yang kompetitif dan berdaya saing, Meningkatkan citra dan standar pelayanan Jakarta sebagai ibukota dan kota internasional, Menghasilkan Camat dan Lurah yang mumpuni sesuai tipologi/karakteristik kecamatan dan kelurahan, serta Menumbuhkembangkan semangat berkompetisi sehat antar kecamatan dan kelurahan
384
MENGAPA CAMAT DAN LURAH? Dalam konteks pelayanan publik di tingkat pemerintah daerah, khususnya Pemda Provinsi DKI Jakarta maka camat dan lurah itu biasa disebut sebagai Urban Manager. Peran ini menuntut adanya kemampuan, ketrampilan, komitmen, dan integritas sebagai pelayan publik. Berdasarkan UNHCS Habitat (2001), good urban governance dapat didefinisikan sebagai upaya merespon berbagai masalah pembangunan kawasan perkotaan secara efektif dan efisien yang diselenggarakan oleh pemerintah yang akuntabel dan bersamasama dengan unsur masyarakat. Disini ada beberapa prinsip yang selayaknya diterapkan yaitu keberlanjutan (sustainability), subsidiaritas (subsidiarity), keadilan (equity), efisiensi (efficiency), transparansi (transparency) dan akuntabilitas (accountability), keterlibatan masyarakat sipil (civic engagement) dan penduduk (citizenship), dan keamanan (security) dimana norma-norma ini saling tergantung dan saling memperkuat. Pasal 4 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 19 Tahun 2013 tentang Seleksi Terbuka Camat dan Lurah menyatakan bahwa “Seleksi Terbuka Camat dan Lurah bertujuan untuk membangun kepemimpinan Camat dan Lurah yang mumpuni.” Yang dimaksud mumpuni yaitu; Memiliki pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan , kepemimpinan dan manajemen Memiliki pengetahuan dan pemahaman kewilayahan. Mempunyai kemampuan berkoordinasi, bermitra dan bekerjasama dengan aparat terkait serta stakeholder. Memiliki inovasi, kreatifitas, berpikir strategis dan peka terhadap permasalahan yang ada di wilayah dan kebutuhan masyarakat, Memiliki integritas moral, kredibel dan mampu menjadi agen pembangunan, Berorientasi melayani dan bukan dilayani dalam arti siap turun ke lapangan (blusukan) tanpa terkendala ruang, waktu dan situasi, Mempunyai kemampuan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
sebagai panutan/teladan, motivator, mengelola ketentraman dan ketertiban negosiator dan pengayom bagi masyarakat, lingkungan, Mampu menyelesaikan serta Memiliki pengetahuan dan pemahaman permasalahan sosial skala yang komprehensif terhadap karakteristik kelurahan/kecamatan, serta Mampu wilayah Kecamatan/Kelurahan yang mengamankan fasilitas umum (fasum), bersangkutan. fasilitas khusus fasus), dan aset daerah di Bagaimana kemudian ukuran dari kinerja wilayah kecamatan/kelurahan . camat dan lurah kedepan? Indikator atau ukuran keberhasilan kinerja Camat dan Lurah PELAKSANAAN SELEKSI TERBUKA yaitu; Mampu memberikan pelayanan sesuai Pasal 5 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Standar Pelayanan (SP), SOP (Standar Operasi Jakarta Nomor 19 Tahun 2013 tentang Seleksi dan Prosedur) dan SPM (Standar Pelayanan Terbuka Camat dan Lurah menjelaskan Minimal), Mampu menggerakan partisipasi tahapan dalam Seleksi Terbuka Camat dan dan memberdayakan potensi masyarakat Lurah meliputi; seleksi administrasi, seleksi untuk menghasilkan lingkungan kehidupan kompetensi bidang, seleksi kompetensi yang berkualitas, Mampu merencanakan manajerial, uji kesehatan dan verifikasi kegiatan dan anggaran sesuai kebutuhan dan dokumen. tuntutan masyarakat sehingga menghasilkan Secara lebih lengkap beberapa tahapan dalam outcome yang memiliki nilai tambah, Mampu seleksi terbuka camat dan lurah digambarkan mendorong pertumbuhan, kreatifitas, dalam bagan berikut ini. kearifan dan karakteristik lokal, Mampu BAGAN 1 Alur Proses Seleksi Terbuka Camat Dan Lurah Tahun 2013 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
1
BAGAN ALUR PROSES SELEKSI PENGISIAN JABATAN LOWONG SECARA TERBUKA
TGL REVISI : REF. SOP
3
2
DISETUJUI :
HALAMAN:
1/1
:
4
+
PEGAWAI MELAKUKAN REGISRASI ONLINE MELALUI WEBSITE
8
PESERTA MENDOWNLOAD DAN MENGIRIM BERKAS KELENGKAPAN
7
REKAPITULASI HASIL TES MANAJERIAL & KOMPETENSI
PELAKSANAAN TEST ONLINE KOMPETENSI MANAJERIAL + WAWANCARA
PENGUMUMAN HASIL SELEKSI FINAL (3 CALON TERBAIK)
6
BAPERJAB + PERSETUJUAN GUB
PENGUM UMAN HASIL SELEKSI ADMINISTRATIF
5
PENGUM UMAN SKOR TES KOMPETENSI BIDANG
11
10
9
PANITIA MEMERIKSA KELENGKAPAN & KESESUAIAN BERKAS LAMARAN
PENGUM UMAN HASIL BAPERJAB
PELAKSANAAN TES TERTULIS (KOMPETENSI BIDANG)
12
PELANTIKAN
Sumber : Tim Seleksi Terbuka Camat dan Lurah Tahun 2013
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
385
Seleksi Terbuka Camat dan Lurah 2013 : Pengalaman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Heri Rubianto
Banyak kalangan yang mengkhawatirkan bahwa seleksi terbuka ini akan sepi peminat karena adanya sorotan yang luar biasa dari masyarakat dan media massa, bersyukur sampai dengan penutupan pendaftaran ternyata antusiasme pegawai begitu besar untuk mengikuti proses seleksi, meskipun niatan mereka bermacam-macam dari sekedar ingin mencoba saja sampai dengan mereka yang berniat serius untuk menjadi camat dan lurah definitif. Sesuai dengan arahan dari Kepala Daerah, dalam hal ini Gubernur dan Wakil Gubernur, maka tidak
hanya jabatan yang lowong saja yang diisi melainkan juga dilakukan semacam evaluasi atau replacement terhadap pejabat definitif yang ada, sehingga formasi yang ditawarkan sebanyak 311 jabatan dengan rincian; Camat sebanyak 44 jabatan dan Lurah sebanyak 267 jabatan. (Jumlah Jabatan menggambarkan Jumlah Kecamatan dan Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta) Tabel berikut ini menggambarkan jumlah pelamar dalam seleksi terbuka camat dan lurah.
Tabel. 1 Rekapitulasi Jumlah Pendaftar Seleksi Terbuka Camat Dan Lurah Tahun 2013 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta FORMASI NO. NAMA 1. 2.
CAMAT LURAH TOTAL
JUMLAH
KANDIDAT
PELAMAR
44 267 311
2998 2982 5980
346 810 1156
JUMLAH (orang) PELAMAR CETAK * KARTU 328 790 1118
PELAMAR TIDAK CETAK ** KARTU 18 20 38
SUMBER: Tim Seleksi Terbuka Camat dan Lurah Tahun 2013 Ket.: *PELAMAR CETAK KARTU = LOLOS SELEKSI ADMINISTRASI **PELAMAR TIDAK CETAK KARTU = TIDAK LOLOS SELEKSI ADMINISTRASI Setelah melalui proses pendaftaran online di http://jakgov.jakarta.go.id sebanyak 1118 (seribu seratus delapan belas) orang terdiri dari kandidat camat sebanyak 328 (tiga ratus dua puluh delapan) orang dan kandidat lurah sebanyak 790 (tujuh ratus sembilan puluh) orang dinyatakan lolos tahap seleksi administrasi dan berhak untuk mengikuti tahapan selanjutnya yaitu Seleksi Kompetensi Bidang dan Seleksi Kompetensi Manajerial. Seleksi Kompetensi Bidang adalah pengujian dalam hal kemampuan dan/atau keterampilan pegawai yang berkaitan dengan kompetensi jabatan. Seleksi Kompetensi Bidang untuk Jabatan Camat dan Lurah meliputi pengetahuan dan kemampuan; berkomunikasi, kewilayahan, pemerintahan,
386
analisa risiko, pemecahan masalah, membangun hubungan kerja strategis, pemberdayaan masyarakat, pengelolaan keuangan, berorientasi lapangan, dan pengendalian diri. Adapun Seleksi Kompetensi Manajerial adalah pengujian terhadap karakteristik seseorang dengan merujuk pada kriteria efektif dan/atau kinerja unggul untuk suatu jabatan. Seleksi Kompetensi Manajerial untuk Jabatan Camat dan Lurah meliputi pengetahuan dan kemampuan; berpikir analisis dan konseptual, berorientasi pada kepuasan pelanggan, perencanaan dan pengorganisasian, pengambilan keputusan strategis, kepemimpinan, kerja sama, semangat untuk berprestasi, kreatif dan inovatif, integritas,
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
tanggap akan pengaruh budaya, serta monitoring dan evaluasi. Metode yang digunakan dalam Seleksi Kompetensi Bidang dan Seleksi Kompetensi Manajerial antara lain; tes tertulis, paper SWOT dari visi dan misi, tes psikologi, Leaderless Group Discussion (LGD), dan wawancara. Seleksi Kompetensi Bidang dilaksanakan selama 2 (dua) hari dengan menggunakan Metode Computer Assisted Test (CAT) bertempat di beberapa laboratorium komputer sekolah-sekolah Negeri (SMA, SMK, dan SMP) di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Hari Pertama dilaksanakan tes untuk kandidat camat dan Hari Kedua dilaksanakan tes untuk kandidat lurah. Dalam pelaksanaan Seleksi Kompetensi Bidang, Tim Seleksi bekerjasama dengan PT. Telkom, Tbk untuk menghandle sistem informasi teknologi-nya. Sesuai hasil rapat Tim Seleksi maka disepakatilah bahwa seluruh peserta yang hadir mengikuti Seleksi Kompetensi Bidang akan langsung berlanjut mengikuti Seleksi Kompetensi Manajerial. (Jumlah Peserta Seleksi Kompetensi Bidang lihat TABEL 1 : Rekapitulasi Jumlah Pendaftar Seleksi Terbuka Camat Dan Lurah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013) Tahap berikutnya adalah Seleksi Kompetensi Manajerial. Dalam pelaksanaan seleksi ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan Assesment Center Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (AC Mabes Polri). Mengapa bekerjasama dengan AC Mabes Polri? Karena AC Mabes Polri telah berpengalaman terkait pelaksanaan evaluasi dan reposisi jabatan Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) se-Indonesia. Pengalaman tersebut kiranya dapat dijadikan tolok ukur dalam pelaksanaan seleksi terbuka camat dan lurah. Selain itu juga karena Polri merupakan partner pemerintah daerah, dalam hal ini Camat dan Lurah, melalui Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) tingkat kecamatan dan kelurahan. Selain itu juga
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
rencana Polri untuk membentuk satuan kepolisian di tingkat desa atau kelurahan yang dinamai Kepolisian Masyarakat (Polmas). Seleksi Kompetensi Manajerial dilaksanakan selama 2 (dua) hari, hari pertama di AC Mabes Polri dan hari kedua untuk pejabat non definitive di AC Unit Pelaksana Teknis Pusat Pengembangan Kompetensi Pegawai (UPT PPKP) Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi DKI Jakarta. Dari dua seleksi kompetensi diatas, Tim Seleksi menetapkan 5 (lima) kriteria kelulusan yaitu SMS (Sangat Memenuhi Syarat), MS (Memenuhi Syarat), CMS (Cukup Memenuhi Syarat), MMS (Masih Memenuhi Syarat), dan BMS (Belum Memenuhi Syarat). Tabel 2 berikut ini menjelaskan definisi dari masingmasing kriteria tersebut.
387
Seleksi Terbuka Camat dan Lurah 2013 : Pengalaman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Heri Rubianto
Tabel. 2 Kriteria Kelulusan Peserta Seleksi Terbuka Camat Dan Lurah Tahun 2013 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta NO
KRITERIA
1
SMS
2
MS
3
CMS
4
MMS
5
BMS
DEFINITIF CAMAT LURAH memiliki semua memiliki semua kompetensi yang kompetensi yang dipersyaratkan dipersyaratan jabatan jabatan Camat dan Lurah dan siap untuk siap untuk dipromosikan pada dipromosikan pada jabatan yang lebih jabatan yang lebih tinggi tinggi
memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk Camat dengan masih memerlukan persiapan dan pendidikan/latihan tambahan bila akan dipromosikan memiliki cukup kompetensi untuk menjadi Camat dengan masih adanya 3 atau 4 kompetensi yang perlu dikembangkan sehingga ybs memungkinkan untuk dirotasi pada jabatan yang sama dan tempat berbeda sesuai kompetensi yang dimiliki memiliki 5 kompetensi yang perlu dikembangkan sehingga lebih sesuai untuk ditempatkan pada jabatan lain dengan eselon yang sama belum memenuhi persyaratan Camat dan memerlukan banyak pelatihan pengembangan kompetensi
NON DEFINITIF CAMAT Sesuai untuk memangku jabatan Camat atau Jabatan lebih tinggi dengan tantangan-tantangan tugas yang tinggi sesuai kompetensi yang dimiliki
LURAH Sesuai untuk memangku jabatan Lurah atau jabatan lebih tinggi dengan tantangantantangan tugas yang tinggi sesuai kompetensi yang dimiliki
memiliki kompetensi yang dipersyaratan untuk Lurah dengan masih memerlukan persiapan dan pendidikan/latihan tambahan bila akan dipromosikan memiliki cukup kompetensi untuk menjadi Lurah dengan masih adanya 3 atau 4 kompetensi yang perlu dikembangkan sehingga ybs memungkinkan untuk dirotasi pada jabatan yang sama dan tempat berbeda sesuai kompetensi yang dimiliki
Sesuai untuk memangku jabatan Camat karena telah memenuhi syarat kompetensi pada jabatan tersebut
Sesuai untuk memangku jabatan Lurah karena telah memenuhi syarat kompetensi pada jabatan tsb
Dapat memangku jabatan Camat pada tempat/daerah tertentu yang sesuai dengan kompetensi yang bersangkutan
Dapat memangku jabatan Lurah pada tempat/Daerah tertentu yang sesuai dengan Kompetensi Ybs
memiliki 5 kompetensi yang perlu dikembangkan sehingga lebih sesuai untuk ditempatkan pada jabatan lain dengan eselon yang sama belum memenuhi persyaratan Lurah dan memerlukan banyak pelatihan pengembangan kompetensi
Dapat menduduki jabatan yang setara dengan eselon Camat tetapi bukan sebagai Camat
Dapat menduduki jabatan yang setara dengan eselon Lurah tetapi bukan sebagai Lurah
Belum memenuhi syarat untuk menduduki jabatan Camat
Belum memenuhi syarat untuk menduduki jabatan Lurah
sumber: Tim Seleksi Terbuka Camat dan Lurah Tahun 2013
388
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
HASIL SELEKSI TERBUKA Setelah melalui beberapa tahapan termasuk Uji Publik dengan mengundang seluruh stakeholders, akademisi, civil society, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta, dan peserta seleksi, pengumuman akhir seleksi terbuka camat dan lurah di
lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai jadwal yang telah direncanakan. Tabel 3 berikut ini menjelaskan hasil yang diperoleh dari Seleksi Terbuka Camat dan Lurah di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013.
Tabel 3 Prosentase Tingkat Kelulusan Seleksi Terbuka Camat Dan Lurah Tahun 2013 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
NO 1 2 3 4 5
KRITERIA SMS MS CMS MMS BMS TOTAL
DEFINITIF CAMAT LURAH JUMLAH JUMLAH (Orang) (%) (Orang) 3 7,5 63 5 12,5 50 4 10 40 15 37,5 12 13 32,5 49 40 100 214
NON DEFINITIF
(%) 29,44 23,36 18,69 5,61 22,9 100
CAMAT JUMLAH (Orang) 5 20 8 53 156 242
(%) 2,07 8,26 3,31 21,9 64,46 100
LURAH JUMLAH (Orang) 29 56 82 27 262 456
(%) 6,36 12,28 17,98 5,92 57,46 100
Sumber: Tim Seleksi Terbuka Camat dan Lurah Tahun 2013 Menurut penjelasan dari AC Mabes Polri, bahwa peserta dengan kriteria kelulusan mulai dari SMS sampai dengan CMS lah yang sebenarnya dimungkinkan kompeten untuk tetap menjabat atau promosi pada jabatan Camat/Lurah, dan peserta dengan kriteria MMS sampai dengan BMS tidak kompeten untuk tetap menjabat/promosi pada jabatan Camat/Lurah. Beberapa Tabel dibawah ini
menggambarkan kaitan antara usia dengan produktifitas.
Tabel 3 Prosentase Tingkat Kelulusan Camat Berdasarkan Usia Produktif (Kriteria SMS – CMS) Usia < 40 41 - 45 46 - 50 >50 TOTAL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
Jml 13 15 12 5 45
Prosentase 4,61% 5,32% 4,26% 1,77% 15,96%
389
Seleksi Terbuka Camat dan Lurah 2013 : Pengalaman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Heri Rubianto
Tabel 4 Prosentase Tingkat Kelulusan Camat Berdasarkan Usia Produktif (Kriteria MMS – BMS) Usia < 40 41 - 45 46 - 50 >50 TOTAL
1. 2. 3. 4. 5.
Jml 41 70 87 39 237
Prosentase 14,54% 24,82% 30,85% 13,83% 84,04%
Kandidat yang memiliki kompetensi melebihi/memadai tuntutan sebagai camat : 11,71% Kandidat yang memiliki kompetensi untuk dapat dipertimbangkan sebagai camat : 28,37% Kandidat yang tidak memiliki kompetensi sebagai camat : 59,93% Dari sisi Usia, kandidat yang melebihi/memadai tuntutan sebagai camat pada usia dibawah 45 tahun : 9,93% Dari sisi usia, kandidat yang tidak memiliki kompetensi sebagai camat dibawah 45 tahun : 39,36% Tabel 5 Prosentase Tingkat Kelulusan Lurah Berdasarkan Usia Produktif (Kriteria SMS – CMS) Usia < 40 41 - 45 46 - 50 >50 TOTAL
Jml
Prosentase
72 66 121 61 320
10,75% 9,85% 18,06% 9,10% 47,76%
Tabel 6 Prosentase Tingkat Kelulusan Lurah Berdasarkan Usia Produktif (Kriteria MMS – BMS)
390
Usia < 40 41 - 45 46 - 50
Jml 18 64 147
Prosentase 2,69% 9,55% 21,94%
>50 TOTAL
121 350
18,06% 52,24%
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
1. 2. 3. 4. 5.
Kandidat yang memiliki kompetensi melebihi/memadai tuntutan sebagai lurah : 29,55% Kandidat yang memiliki kompetensi untuk dapat dipertimbangkan sebagai lurah : 24,03% Kandidat yang tidak memiliki kompetensi sebagai lurah : 46,42% Dari sisi Usia, kandidat yang melebihi/memadai tuntutan sebagai camat pada usia 46-50 tahun : 18,06% Dari sisi usia, kandidat yang tidak memiliki kompetensi sebagai camat 4650 tahun : 21,94%
Akumulasi dari Kompetensi Bidang dengan bobot sebesar 20% dan Kompetensi Manajerial sebesar 80%. Tingkat validitas dari hasil seleksi kompetensi bidang dan manajerial menurut AC Mabes Polri sebesar 76%, jadi sukses tidaknya individu pejabat dalam melaksanakan tugas masih ditentukan oleh 24% faktor yang lain. Tetapi setidaknya 76% merupakan modal yang besar untuk tercapainya sebuah kesuksesan dalam memangku jabatan, dalam hal ini adalah jabatan Camat dan Lurah. PENUTUP Seleksi Terbuka Camat dan Lurah di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan sebuah respon terhadap tuntutan masyarakat dan perubahan jaman sekaligus usaha sungguh-sungguh yang dilakukan untuk mewujudkan sebuah tata pemerintahan yang baik, birokrasi yang melayani, dan peningkatan kualitas pejabat publik yang lebih kompeten, profesional, dan mumpuni dibidangnya masing-masing. Kegiatan ini tentu masih jauh dari sempurna, tetapi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
keinginan untuk terus berubah kearah yang lebih baik harus sesegera mungkin dilaksanakan. Semoga terwujud Jakarta Baru, kota modern yang tertata rapi, menjadi tempat hunian yang layak dan manusiawi, memiliki masyarakat yang berkebudayaan, dan dengan pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010 - 2025 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 19 Tahun 2013 tentang Seleksi Terbuka Camat dan Lurah SE Menpan dan RB Nomor 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural Yang Lowong Secara Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/otono mi-daerah/842-urban-governancedalam-kerangka-otonomi-daerah.html
391
Seleksi Terbuka Camat dan Lurah 2013 : Pengalaman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Heri Rubianto
392
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
OTONOMI DAN PEMBARUAN DESA Oleh: Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD Abstrak: Dalam tata administrasi publik, kedudukan Desa yang baru berarti mengeluarkan Desa dari subordinasi organisasi negara (sebagai bentuk pemerintahan terendah, wilayah kerja Pemda), kembali menempatkannya sebagai entitas politik otonom dan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki regulasi sendiri dalam mengelola kehidupan Desa. Dengan kedudukan demikian, formula hubungan Desa-Pemerintah adalah sebagai mitra setara sehingga urusan dominan Desa lebih bersumber kewenangan orisinal, sementara devolusi/delegasi kerja dalam kerangka desentralisasi dari Negara/Daerah mesti didahului proses “dilebratif” yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Perda. Keyword: entitas politik otonom, kesatuan masyarakat hukum
PENGANTAR Terlepas dari masih banyaknya masalah yang ada pada aras kebijakan dan implementasi, namun kalau kita menelaah secara komparatif aspek legal-historis pengaturan desa, substansi pengaturan tentang desa di era reformasi sekarang jelas menunjukan sejumlah langkah positif dibandingkan masa-masa sebelumnya, khususnya yang terjadi pada kurun otokrasisentralistik Orde Baru. Sebagaimana terlihat dalam produk hukum era reformasi, yakni UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004, arah baru legal policy desa di era reformasi ini menyiratkan muatan norma dan kebijakan yang relatif progresif, terutama prihal pengaturan keberagaman realitas Desa yang ada di seantero Nusantara dewasa ini. Saat ini kita, misalnya, mencatat sejumlah poin positif. Pertama, makna keberadaan desa tidak lagi semata didefenisi sebagai organisasi pemerintahan terendah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
dalam hirarki organisasi negara melainkan sebagai “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di 1 Kabupaten . Di sini, per defenisi, Desa tidak diartikan semata sebagai pranata administrasi/pemerintahan tetapi lebih pokok lagi merupakan suatu entitas sosial (komunitas-ruang hidup masyarakat), entitas hukum (badan hukum publik) serta entitas politik lokal otonom di bawah Kabupaten. Kedua, dalam dua UU produk era reformasi ini, prinsip keragaman mulai 1
Defenisi ini tentu saja lebih mendekati arti etimologis desa sebagai “swadesi (bagian wilayah yang mandiri)”, dari bahasa Sansekerta. Lihat PJ Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna Indonesia, Gramedia, 2006, hal 212.
393
Otonomi dan Pembaruan Desa Robert Endi Jaweng
menampakan sosok formilnya, baik menyangkut pilihan nama Desa maupun identitas terkait lainnya. Ruang terbuka bagi ragam pilihan ini memunculkan sebutan Desa atau variasi sebutan lain seperti Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Sumatera Barat, Huta di Tapanuli-Sumatera Utara, Kampung/Temukung di NTT, dst. Bahkan, dalam praktik di Sumatera Barat, tidak saja nama Nagari itu kembali dipakai secara resmi tapi lebih jauh dilakukan pula redesain pemerintahan dengan tidak lagi mewajibkan Wali Nagari berasal dari keturunan Ninik Mamak penghulu adat di mana proses pengisian jabatannya dilakukan melalui pemilihan langsung. Ketiga, kedua produk legislasi tersebut juga mewadahi pengaturan perubahan internal tata pemerintahan desa, seperti ihwal pembatasan periode dan masa jabatan Kepala Desa, penguatan struktur perwakilan (BPD/Bamusdes), dll. Pada batas-batas tertentu, introduksi perubahan tersebut membawa dampak dinamisasi desa (khusunya dimensi kepolitikan lokal) pada tingkatan baru yang sulit dibayangkan terjadi pada masa Orde Baru. Dalam struktur kesempatan politik yang lebih terbuka semacam itu, artikulasi kewargaan dan keberdayaan politik rakyat di sebagian tempat tampak lebih tegas sosoknya, meski di sebagian tempat lain ditengarai kebablasan dan kontraproduktif. Hemat saya, sedikit kemajuan tersebut patut diapresiasi. Fakta menunjukan, sejarah pengaturan Desa di negeri ini pada masa sebelumnya adalah sejarah tentang dilema pilihan-pilihan kebijakan antara orientasi keseragaman dan keberagaman. Tidak jarang-kecuali kurun demokrasi liberal 1950an--kita jatuh pada pilihan mengutamakan keseragaman (uniformity) sebagai terjemahan sempit prinsip ketunggalan (yang sejatinya bermakna sebagai persatuan [unity]) ketimbang keberagaman (diversity). Kedua
394
UU era reformasi di atas telah meletakan alas bagi hadirnya elan unity in diversity dalam pengaturan Desa, bukan lagi uniformity in diversity versi Orde lama atau Orde Baru. Bertolak dari kondisi tersebut, arah penguatan otonomi dan keragaman desa-terutama dalam muatan perubahan melalui penyusunan RUU Desa saat ini--tidak boleh melangkah surut lagi dari titik yang ada (point of no return), serta lebih lanjut membawa perubahan legal-policy ke aras fundamental yang bersifat paradigmatis. Para perumus mesti benar-benar bebas dari sikap prasangka-desa (Robert Chambers, 1988) 2 bahkan anti-desa (Robert Lawang, 2006) yang selama ini sering menjelma dalam instrument kebijakan maupun praktik politik yang melahirkan praktik “intervensi negara atas desa, dan integrasi desa ke dalam negara”, terutama dalam isi pengaturan atas segala hal mendasar yang bersifat paradigmatis maupun elemen-elemen lain pembaruan desa ke depan. OTONOMI DESA Kompleksnya isu/masalah Desa itu tentu mustahil untuk dibahas dalam suatu tulisan ringkas semacam ini. Saya hendak memfokuskan bahasan pada isu desentralisasi dan otonomi Desa, meski tetap pula menyinggung keterkaitannya dengan isu demokrasi lokal. Proposisinya: meski secara umum, pilar desentralisasi dan otonomi itu mesti saling terkait, namun khusus menyangkut Desa terdapat konsekuensi yang berlainan. 2
Menurut Lawang, sikap anti-desa merujuk pada “hubungan desa dengan pihak luar yang merugikan desa dalam pengertian orangnya, struktur dan sistem sosialnya, wilayah dan hubungan dengan pihak luar itu sendiri”. Lihat Robert MZ Lawang, Anti-Desa: Sebuah Telaah Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Modern FISIP-UI, 15 November 2006.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
Kalau pada kasus Propinsi/Kab/ Kota suatu otonomi hanya bisa dimiliki jika didahului proses desentralisasi kewenangan dari Pusat (otonomi pemberian), pada tingkat Desa otonomi itu bukanlah lantaran adanya desentralisasi tetapi memang secara nyata sudah ada sebelum Indonesia lahir sehingga yang lalu diperlukan adalah rekognisi negara atas eksistensi Desa (otonomi pengakuan). Pemahaman dan penerimaan akan proposisi tersebut niscaya mendorong paradigma baru pada upaya reposisi Desa, termasuk saat diwadahi pengaturannya dalam suatu UU kelak. Perbedaan esensial dalam hal sumber keotonomian itu membawa implikasi penting terhadap isi kewenangan Desa, kedudukan Desa dan relasinya dengan Negara maupun entitas supra-Desa secara umum, kerangka legal pengaturan Desa, bentuk3 susunan penyelenggara Desa . Berbagai implikasi dari proposisi desentralisasi dan otonomi tadi terhadap elemen-elemen tata kelola Desa tersebut dapat dijelaskan secara normatif-teoritik sebagai berikut. Pertama, ihwal kewenangan Desa, prinsip otonomi tadi mewujud dalam pengakuan Negara atas esensi kewenangan yang berbasis hak asal-usul atau adat-istiadat setempat. Kewenangan originair ini melekat pada hakikat keberadaan desa sebagai selfgoverning community. Termasuk di dalamnya adalah kewenangan yang bersumber dari hak ulayat (atas tanah) yang dari sisi habitat hukumnya tidak terlepas dari keberadaan 4 komunitas masyarakat hukum adat . Materi
3
Untuk suatu alasan yang akan dijelaskan pada halaman lain, hemat saya nomenklatur Penyelenggara Desa lebih tepat dipakai dalam konteks paradigma baru keotonomian Desa, ketimbang Pemerintah Desa. 4 Prof.DR. Ateng Syafrudin dan DR.Suprin Na’a, Republik Desa: Pergulatan Hukum Tradisional dan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
muatan asali ini tidak bisa dicabut oleh otoritas Negara/Daerah lantaran bukan otonomi pemberian yang bersumber dari otoritas supradesa. Sementara dalam hal Desa-desa yang 5 sudah kehilangan basis keaslian tersebut atau yang berkategori bukan Desa genealogik (Desa dinas/administratif), basis kewenangan dalam konteks “otonomi pengakuan” tidak serta-merta hilang pula tetapi--mengingat hakikat desa sebagai self-governing community--materi muatannya dapat disusun melalui upaya melacak basis kepentingan spesifik lokal atau inisiatif masyarakat berdasar prinsip subsidiaritas. Hemat saya, pembahasan soal sumber alternatif ini patut dilakukan serius karena gugatan atas ketiadaan basis keaslian tadi kerap “dijawab” pemerintah dengan cara penggunaan kriteria eksternalitas yang berorientasi efisiensi (teknokratik) dalam penyusunan materi muatan kewenangan. Pada sisi lain, di luar kewenangan pengakuan berbasis otonomi ini, Desa juga memiliki kewenangan-pemberian dalam kerangka desentralisasi. Secara teoritik, kewenangan semacam ini diberi melalui dua mekanisme: (1) devoluasi, yakni pemberian urusan pemerintah lebih tinggi (kab/kota) untuk menjadi kewenangan Desa (melahirkan local-self government), dan (2) delegasi, yakni pemberian urusan/tugas yang menjadikan 6 Desa sebagai local-state government . Penting Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa, Bandung: Penerbit Alumni, 2010, hal 59. 5 Kuatnya proses “intervensi negara atas desa dan integrasi desa ke dalam negara” selama masa Orba membuat sebagian Desa kesulitan mengidentifikasi kewenangan asli yang sudah hancur. Yang masih sedikit tersisa hanya ritual adat yang sama sekali tidak berhubungan dengan kewenangan pemerintahan. Lihat Sutoro Eko, Memperkuat Posisi Desa, Makalah, Juni 2004, hal 7
395
Otonomi dan Pembaruan Desa Robert Endi Jaweng
dicatat, penggunaan prinsip desentralisasi kewenangan pada kasus ini mesti bertujuan menambah bobot keotonomian Desa dan dilakukan melalui kesepakatan Desa dan Pemda, bukan justru hanya bermakna pelimpahan beban/tugas, pemberian urusan sisa, atau hanya menciptakan ketergantungan Desa yang sering dikeluhkan perangkat Desa dewasa ini. Kedua, terkait point pertama adalah asas-asas penyelenggaraan pemerintahan Desa. Kalau pada tataran Daerah kita biasa mendengar asas desentralisasi dan tugas pembantuan, atau ditambah asas dekonsentrasi yang sering dinilai sebagai bentuk penghalusan sentralisasi, dalam kasus Desa dikenal sejumlah asas yang dinilai penting sebagai pasyarat otonomnya Desa dan pada gilirannya mendorong efektivitas pengelolaan pembangunan Desa. Pertama, asas rekognisi: penghormatan dan pengakuan terhadap realitas keragaman Desa, baik yang bersifat statis meyangkut pengakuan dan penghormatan terhadap hak asal-usul yang telah ada dimiliki desa sebelum RI lahir maupun rekognisi dinamis atas prakarsa desa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat meskipun belum tertuang secara eksplisit dalam peraturan perundang-perundangan. Kedua, asas subsidiaritas, yakni terkait penetapan kewenangan berskala lokal (dalam hal pelayanan publik maupun pengembangan aset ekonomi lokal) berlandas pertimbangan bahwa urusan pemerintahan dan kepentingan 6
Dalam bahasa UU No.32 Tahun 2004, kategori kewenangan devolusi terkait “urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa” (Pasal 7 huruf b), sementara kewenangan delegasi berwujud “tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 7 huruf c).
396
masyarakat yang mampu dan efisien dikelola sendiri oleh desa maka diserahkan kepada Desa prihal kewenangan pengaturan dan pengurusannya. Dan ketiga, asas delegasi berupa pelimpahan urusan/kewenangan (yang belum dikelola desa) berskala lokal-kecil menjadi urusan desa. Di luar ketiga asas tersebut, dasar pikir perubahan pengaturan dan penataan Desa juga tidak bisa terlepas dari perkembangan tata kelola sektor publik modern dewasa ini yang berbasis prinsip universal seperti demokratisasi, kesetaraan gender, serta multikulturalisme terkait pengelolaan keragaman internal desa itu sendiri. Ketiga, ihwal kedudukan Desa dan hubungannya dengan Negara/Daerah. Paradigma baru pembaruan Desa diawali dari membebaskan sesat kebijakan yang menempatkan Desa sebagai miniatur Negara, atau menjadikan otonomi Desa hanya bagian/turunan dari otonomi daerah. Proses penaklukan Desa lewat negaraisasi (state formation) yang berlangsung keras selama Orba telah memberangus otonomi Desa dan menisbikan eksistensi politik lokal yang telah lama berakar di masyarakat (Schiller, 1996). Meski secara legal framework Desa diatur dalam UU tersendiri (UU No.5/79), tapi substansi kebijakan/pengaturan (policy content) justru menempatkan Desa sebagai bagian integral atau bahkan bawahan dari organisasi supra-Desa. Dalam tata administrasi publik, kedudukan Desa yang baru berarti mengeluarkan Desa dari subordinasi organisasi negara (sebagai bentuk pemerintahan terendah, wilayah kerja Pemda), kembali menempatkannya sebagai entitas politik otonom dan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki regulasi sendiri dalam mengelola kehidupan Desa. Dengan kedudukan demikian, formula hubungan Desa-Pemerintah adalah sebagai
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
mitra setara sehingga urusan dominan Desa lebih bersumber kewenangan orisinal, sementara devolusi/delegasi kerja dalam kerangka desentralisasi dari Negara/Daerah mesti didahului proses “dilebratif” yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Perda. Keempat, dari aspek yuridis, hakikat keaslian dan keragaman otonomi Desa mewujud dalam legal policy yang juga pluralis, bukan unifikatif berupa standard nasional. Kerangka legal yang pluralis ini tidak hanya diukur dari bentuk dasar hukum yang pluriform, tetapi juga isi kebijakannya mesti beresensi pluralis. Konsep pluralisme hukum, yang oleh John Grifiths dikontraskan dengan 7 konsep sentralisme hukum , mensyaratkan hilangnya saling dominasi antara berbagai sistem hukum, yakni antara sistem hukum Negara dan sistem hukum Desa. Kalau kedudukan otonom Desa didesain seperti uraian point kedua di atas, implikasinya terhadap kerangka legal adalah pemisahan dasar hukum pengaturan Desa dari UU Pemda. Pengaturan Desa yang hanya menjadi salah satu norma dalam kesuluruhan isi UU tersebut menyebabkan konstruksi dan posisi relasional Desa menjadi bagian Pemda. Dasar hukum tersendiri ini juga memungkinkan kodifikasi Undang-undang tentang Desa. Lebih jauh lagi, mengingat kedudukan otonom Desa tadi, Peraturan Desa (Perdes) pun perlu dikeluarkan dari kategori peraturan perundang-undangan negara sebagaimana yang terlihat dalam UU No.10
8
Tahun 2004 maupun penggantinya berupa UU No.12 Tahun 2011. Kelima, bentuk-susunan penyelenggaraan Desa. Proposisi dan semua implikasinya pada pengaturan Desa sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya hendak menunjukan satu hal krusial lain: pengaturan Desa mesti memperhatikan taraf perkembangan Desa dan lebih-lebih karakter sosio-politiknya. Dalam konteks itu, secara generik banyak pihak membagi dalam dua karakter inti, yakni Desa biasa dan Desa Adat. Pada Desa biasa (sering disebut secara umum saja sebagai Desa) terdapat karakteristik generik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia: kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur-mengurus masalah pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan berdasarkan prakarsa masyarakat setempat. Tipologi Desa semacam ini yang familiar dikenal Dewasa ini. Sementara desa adat pada dasarnya merupakan warisan „organisasi“ masyarakat lokal yang dipelihara secara turun temurun dan tetap dijaga agar dapat berfungsi mengembangkan kesejateraan serta identitas sosiobudaya lokal. Jenis desa semacam ini 9 memiliki hak asal usul sejak lahir sebagai 8
Kritik atas masuknya Perdes dalam peraturan perundang-undangan (UU No.10 Tahun 2004) yang dilandasi argumentasi kedudukan Desa sebagai zelfbestuur gemeinschap ini disampaikan Prof.Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (I), Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal 221. 9
7
Bernard Steny, Pluralisme Hukum: Antara Perda Pengakuan Masyarakat Adat dan Otonomi Hukum Lokal, Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria, Vol.III/Thn III/2006, hal 85. Telaah lebih luas prihal konsep ini bisa dilihat pada Tim HuMa (Ed.), Pluralisme Hukum: sebuah Pendekatan Interdisipliner, HuMa, 2005.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
R. Yando Zakaria, antropolog dari Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa), menjabarkan secara lebih operasional dari hak asl-usul ini dalam wujud pokok: (i) hak yang berkaitan dengan pengakuan atas kedaulatan atas wilayah yang menjadi ruang hidup warga desa yang bersangkutan, yang sejatinya dikenal sebagai ulayat itu; (ii) hak untuk mengatur kehidupan bersama sesuai dengan sistem organisasi desa
397
Otonomi dan Pembaruan Desa Robert Endi Jaweng
komunitas asli dan memiliki otonomi asli (indigenous autonomy). Ketika ada kebutuhan untuk diangkat ke aras pemerintahan maka lalu dibentuk otoritas pengelolaan yang sejalan ciri asal-usul dan adat-istiadat tadi. Namun, meski otoritas, entitas keorganisasiannya tetap merupakan suatu self-governing community di mana kerangka administratifnya tidak dikelola sebagai pemerintahan formal tetapi justru mirip tata kelola komunitas.
menjamin koherensi dan integrasi pengaturan elemen-elemen penyelenggaraan Desa.
RUU DESA: BEBERPA PERTANYAAN Diaturnya Desa dalam suatu UU tersendiri sesungguhnya sudah merupakan langkah maju signifikan. Pada saat ini, kerangka hukum pengaturan Desa masih menjadi bagian norma dalam pengaturan Pemerintah Daerah, baik dalam UU No.22 Tahun 1999 maupun UU No.32 Tahun 2004 (Pasal 200-216). Dari sisi legal farmework, hal ini justru langkah mundur ketimbang masa Orba di mana ihwal Pemerintah Desa diatur tersendiri (UU No.5/1979), meski dari sisi policy content jelas kualitasnya lebih buruk. Tentu, penyatuan materi muatan Desa dan Pemda dalam satu UU ini mencerminkan pilihan legal-framework yang salah dalam melihat otonomi dan kedudukan Desa itu sendiri. Untuk menjaga konsistensi paradigmatis kita, suatu UU khusus adalah niscaya. Di sini, alih-alih saling mendominasi antar sistem hukum, terbentuk kesederajatan antar UU Desa dan UU Pemda, sekaligus memungkinkan UU Desa bisa mengatur semua hal pokok prihal Desa sehingga lebih
Pertama, prinsip pengakuan keragaman realitas Desa relatif diwadahi dalam draft RUU versi akhir November 2013. Tidak semata sebutan/penamaan Desa, tetapi sudah mengarah ke pengaturan tipologis: Desa dibagi atas Desa dan Desa Adat. Tipologi yang mencerminkan keragaman dalam realitas Desa ini membutuhkan kerangka dan esensi pengaturan berbeda. Menarik guna ditelisik lebih jauh, apakah jabaran pengaturan pada elemen-elemen turunannya (kewenangan, kelembagaan, keuangan, dll) konsisten dengan pendekatan tipologi, atau 10 hanya pendekatan pengecualian dan bahkan sebagian diperlakukan sama saja?
yang bersangkutan; dan (iii) hak atas keberlakuakn normanorma hukum dalam pengaturan hidup bersama itu sendiri. R. Yando Zakaria, Menggagas Arah Kebijakan dan Regulasi tentang Desa yang Menyembuhkan Indonesia, Makalah Simposium “Konsolidasi Jaringan Advokasi RUU Desa”, diselenggarakan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), Yogyakarta, 10-11 Januari 2012.
398
Dan, hari ini, RUU khusus Desa sudah mendekati titik akhir pembahasannya di DPR, kecuali pengaturan soal anggaran Desa dalam APBN. Sebagai klausul kelas berat sudah dibahas. Kita berharap RUU ini akan menjadi momentum restorasi atas apa segala kerusakan dan hambatan pembangunan Desa selama ini.
Draft RUU Desa yang ada saat ini menunjukan pilihan atas pendekatan tipologis 10
Pilihan atas pendekatan “pengecualian” terlihat ketika RUU memberikan pengaturan desa secara generik yang berlaku umum di Indonesia, lalu pada sejumlah elemen diberlakukan pengecualian bagi desa-desa dimana pengaruh adat masih sangat kuat. Jabaran pengaturan atas Desa-desa yang “dikecualikan” itu diserahkan kepada Pemda atau pemngaturan lebih lanjut. Sementara pendekatan „tipologi“ dilakukan lewat penetapan beberapa tipe desa, yang kemudian dijabarkan secara eksplisit sejumlah karakteristik dan perbedaan yang terkait dengan bentuk desa, kewenangan, susunan pemerintahan, dll (pendekatan ini pernah diadopsi pada masa kolonial di mana pengaturan desa dibuat beragam antara IGO untuk Desa di Jawa-Madura dan IGOB untuk Desa di Luar Jawa).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
pada beberapa klausul seperti proses penetapan Desa, kewenangan, dll namun cenderung menggunakan pendekatan pengecualian dalam kalusul lain: penyelenggaraan pemerintahan. Apakah ini berarti diserahkan pengaturan lebih lanjut ke Pemda atau sepenuhnya diserahkan ke Desa Adat itu sendiri dalam jabarannya di tingkat implementasi? Pilihan diserahkan ke Pemda bisa membuka kesempatan kepada daerah untuk mengatur keragaman sesuai dengan kondisi lokal, tetapi kelemahannya adalah terkait keengganan dan ketidakmampuan daerah sehingga tetap saja tidak ada pengaturan beragam secara lokal. Kedua, prihal pengakuan dan penghormatan (melalui penetapan) Desa Adat masih menyisakan pertanyaan terkait subyek yang memberikan pengakuan. Mengapa rekognisi itu malah didelegasikan kepada 11 Pemda , padahal seluruh institusi negara maupun segala substansi produk politikhukum terkait desa seharusnya memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap desa, terutama berkenan: (a) ulayat adat/ulayat desa; (b) bentuk-susunan asli desa; (c) institusi dan pranata lokal; (d) peradilan dan penyelesaian sengketa secara adat; serta (e) adat istiadat setempat. Ketiga, dalam semangat menegakan otonomi Desa, soal Perdes menyisakan pertanyaan. Apakah Perdes, sebagai wahana pengaturan keotonomian Desa, ditempatkan sebagai bagian dari tata hirarkial peraturan perundang-undangan, dan pengawasannya dilakukan oleh Pemda? Apakah prinsip pluralism hukum, terutama produk hukum masyarakat/Desa Adat., masih bisa dipertahankan ketika ada saling dominasi antara berbagai sistem hukum, yakni sistem hukum Negara terhdapa sistem hukum Desa
Adat (Pasal 82)? Apakah pembatalan Perdes juga dilakukan dengan sistem dan mekanisme yang sama dengan pembatalan Perda? CATATAN AKHIR Misi besar kita hari ini adalah bagaimana agar pembanguan Desa dan pembangunan negeri ini benar-benar bisa bertumpu kepada basis kekuatan Desa. Untuk itu, Desa perlu mendapatkan otonomi, sembari memastikan tegaknya good governance dalam tata kelola pemerintahan di Desa. Hanya dengan ototnomi dan pengakuan akan keragaman Desa kita bisa berlanjut member warna kepada pengaturan hal lain seperti kewenangan, keuangan, penataan ulang relasi Negara-masyarakat serta Negara-Desa, penguatan prinsip kewargaan, keberdayaan politik dan partisipasi rakyat Desa, dll yang masih sarat masalah hari ini. Dalam perspektif otonomi yang berintikan pengakuan keberagaman lokal (Desa) setiap RUU tentang Desa mesti bertolak dari semangat untuk kembali ke akar guna melihat realitas perkembangan masyarakat, termasuk masyarakat adat, untuk diwadahi pengaturannya dalam kerangka legislasi sebagai Desa dan Desa Adat. Ikhtiar kembali ke akar ini tidaklah berarti menarik mundur gerak maju dan modernisasi Desa ke kondisi masyarakat kuno-terbelakang. Semangat sejatinya justru hendak membangun basis kehidupan modern di atas akar keaslian eksistensial kita, sekaligus sebagai fondasi berdirinya struktur negarabangsa yang berdaya tahan dalam persaingan global yang makin ketat. Maka, sikap phobia, prasangka, atau anti-desa, hendaklah dibuang jauh-jauh dari cara pikir dan kebijakan dalam menata pembaruan Desa, termasuk dalam momentum penyusunan RUU Desa saat ini.
11
Pasal 19 RUU Desa “Desa Adart Ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota“.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
399
Otonomi dan Pembaruan Desa Robert Endi Jaweng
DAFTAR PUSTAKA Asshidiqie, Jumly, 2006, Pengantr Ilmu Hukum Tata Negra (I), Jakarta, Konsitusi Press. Eko, Sutoro, Memperkuat Posisi Desa, Makalah, Juni 2004. Lawang, Robert MZ, Anti Desa : Sebuah Telaah Sosiologi, Jakarta, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Modern FISIP UI, 15 November 2006 Steny, Bernard, Pluralisme Hukum : Antara Perda Pengakuan Masyarakat Adat dan Otonomi Hukum Lokal, Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria, Vol. III/tahun III/2006 Syafrudin, Ateng dan Suprin Na’a, 2010, Pergultan Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa, Bandung, Penerbit Alumni. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
400
Zakaria, Yando R, 2002, Menggagas Arah Kebijakan dan Regulasi tentang Desa Yang Menyembuhkan Indonesia, Makalah Simposium “Konsolidasi Jaringan Advokasi RUU Desa” diselenggarakan oleh Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), Yogyakarta 10-11 Januari 2012. Zoetmulder, 2006, Kamus Jawa Kuna Indonesia, Jakarta, Gramedia Robert Endi Jaweng Meraih gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP) dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol-UGM Yogyakarta dan Magister Administrasi publik (MAP) dari Program Pascasarjana Fisip-UI Jakarta. Menjabat sebagai Direktur Eksekutif KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah), Jakarta.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN DESA Oleh: Hanif Nurcholis Universitas Terbuka Email :
[email protected] Abstrak: Dalam sistem administrasi negara modern sudah tidak perlu lagi mempertahankan pemerintahan desa sebagaimana sekarang karena sudah sangat ketinggalan zaman. Hasil Sensus Penduduk 2010, penduduk yang tinggal di perdesaan tinggal 51 persen. Tren tersebut akan terus berlanjut sehingga pada tahun 2025 penduduk desa tinggal 30 %. Untuk itu, pemerintahan paling rendah di desa yang diperlukan bangsa Indonesia adalah daerah otonom yang bersifat perdesaan yang modern. Daerah otonom perdesaan yang ada sekarang yaitu kabupaten yang dibedakan dalam kelembagaan dan anggaran dengan pemerintah kota tidak pernah digagas oleh founding fathers dan diatur dalam UUD 1945 asli. Founding fathersdan UUD 1945 asli pasal 18 dan Penjelasannya hanya akan membentuk daerah otonom besar dan daerah otonom kecil dimana daerah otonom kecil di dalamnya termasuk desa/ negari/dusun/ marga, dan lain-lain. Keyword: pemerintahan desa, daerah otonom perdesaan
PENDAHULUAN Desa sudah eksis ratusan tahun sebelum NKRI berdiri. Dalam perjalanannya sejak berdiri hingga sekarang Desa telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakatnya dan kebijakan politik penguasa. Pada masa kerajaan Nusantara Desa ditundukan oleh raja. Pada masa VOC (1602-1799) Desa dijajah dan dieksploitasi sumber dayanya. Pada masa pemerintah Hindia Belanda I (1800-1906), Desa diakui sebagai persekutuan rakyat pribumi yang dibiarkan untuk mengatur rumah tangganya dan dijadikan alat pelaksana kebijakan tanam paksa. Pada masa politik etis (1906-1941), Desa diakui sebagai badan hukum persekutuan rakyat pribumi yang diberi kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri di bawah pengawasan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
pemerintah. Pada zaman Jepang, lembaga desa dirubah ala komando militer lalu diekspolitasi sumber daya manusianya (romusha) dan sumber daya alamnya. Pada awal kemerdekaan sampai dengan masa Orde Lama, Desa dijadikan daerah otonom tapi tidak sempat terealisir. Pada masa Orde Baru, lembaga desa lama dihapus diganti dengan lembaga baru untuk dijadikan alat pemerintah menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri di bawah kontrol ketat pejabat pusat (camat) dan aparat teritorial ABRI. Pada masa Reformasi, Desa hendak dikembalikan lagi sebagai komunitas adat tapi tidak jelas konsepsinya. Melihat Desa pada hari ini adalah menyaksikan lembaga pelaksana kebijakan pemerintah yang tidak memenuhi syarat
401
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa Hanif Nurcholis
sebagai lembaga administrasi negara modern. Desa bukan lembaga resmi negara. Desa hanyalah sebuah komunitas yang dikooptasi Negara kemudian diberi tugas untuk melaksanakan tugas Negara. Indikatrornya, Negara tidak menggaji kepala desa dan perangkat desa (kecuali sekretaris desa) dan tidak mengalokasikan dana dari APBN dan/ atau APBD kepada Desa yang diatur dalam UU. Negara hanya memberi dana adhoc/ subsidi/ bantuan yang tidak mengikat kepada Desa. Negara juga tidak membina, mengembangkan, dan meningkatkan kapasitas perangkat desa menjadi aparatur pelayan publik yang kapabel dan kompeten sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang memuaskan rakyat yang pada gilirannya menyejahterakan rakyat desa. Dengan argumen mengakui dan menghormati adat istiadat Desa, Negara membiarkan Desa tanpa kapasitas sebagai unsur penyelenggara negara modern. Kepala desanya dipilih dengan kental money politics, perangkat desanya tanpa kualifkasi akademik yang memenuhi syarat (kecuali sekretaris desa), pendapatannya mengandalkan tanah komunal miliknya dan belas kasihan bupati, gubernur, dan presiden. Tulisan ini ingin mengajak khalayak untuk mendiskusikan Desa: bagaimana seharusnya Desa diletakkan dalam sistem NKRI modern sehingga dapat menjadi agen pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang menyejahterakan rakyat. Perspektif sejarah, gagasan founding fathers, politik Desa penjajah, Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, amanat konstitusi, dan TAP MPR No. IV/ 2000 menjadi alat analisis. Data lapangan digunakan untuk memperkuat analisis. SELF GOVERNING COMMUNITYYANG BATAL MENJADI DAERAH OTONOM Dalam penelitian Koentjaraningrat, dkk (1963) lembaga Desa sampai dengan tahun 1960-an masih sebagai self governing
402
community meskipun sudah dibuat UU yang mengatur Desa sebagai daerah otonom. Sebagai self governing community Desa mempunyai model kelembagaan yang beragam sesuai dengan usul dan adat istiadatnya. Di Sumatera Barat ia masih berupa Nagari, di Aceh berupa Gampong, di Jawa berupa Desa, di Sumatera Utara berupa Huta, di Maluku berupa Negerij, dan seterusnya yang semuanya masih berdasarkan asal usul dan adat istiadat aslinya. Pada awalnya Desa memang sebuah komunitas yang menyelenggarakan kepentingan anggota komunitas secara mandiri tanpa campur tangan kekuasaan di luar dirinya (self governing community). Hadirnya kerajaan-kerajaan besar dan lebih kuat di luar dirinya, kemudian menundukkan Desa. Kerajaan hanya minta Desa megakui kedaulatannya tanpa melakukan campur tangan urusan internalnya. Dengan demikian, Desa tetap berdiri sebagai entitas komunitas yang otonom. Desa tetap bebas mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan adat istiadat yang telah dikembangkan sendiri. VOC datang dan menaklukkan RajaRaja Nusantara. Konsekuensinya Desa juga masuk dalam kekuasaannya. Akan tetapi, VOC tidak membuat kebijakan baru terhadap Desa. Pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan VOC hanya memberikan pengakuan atas keberadaan Desa yang disebut sebagai persekutuan masyarakat pribumi (inlandsche gemeenten/ volksgemeenschappen). Dalam Inlandsche Staatregeling 1854 (semacam UUD Hindia Belanda), Belanda mengakui keberadaan volksgemeenschappen tersebut. Dengan diundangkannya Inlandsche Gemeente Ordonantie 1906 Pemerintah Hindia Belanda mengakui volksgemeenschappen sebagai badan hukum, rechpersoon, yang berarti ia
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
dapat melakukan tindakan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan dan dapat memiliki kekyaan sendiri. Dalam Sidang-Sidang BPUPKI 1945 Mochammad Yamin mengusulkan agar di alam Indonesia merdeka Desa tidak dipertahankan sebagai volksgemeenschappen tapi dirasionalisasi dan diperbaharui kemudian dijadikan pemerintahan kaki, tidak ditaruh di luar pemerintahan formal sebagaimana kebijakan Belanda. Soepomo mengusulkan agar volksgemeenschappen dijadikan Daerah Istimewa, artinya daerah otonom formal yang bersifat istimewa karena memiliki susunan asli, hasil temuan bangsa Indonesia sendiri sebagaimana kesultanankesultanan/ kerajaan-kerajaan Nusantara (daerah swapraja atau zelfbestuurendelanschappendi bawah taklukan Belanda). Gagasan Yamin dan Soepomo dituangkan dalam UUD 1945 pasal 18 (sebelum amandemen). Pada pasal tersebut Desa masuk di bawah pengaturan Daerah Kecil. Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 tersebut lahirlah UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, dan UU No. 19/1965. Semua UU tersebut mendudukkan Desa sebagai daerah otonom, tidak lagi sebagai inlandsche gemeente/ volksgemeenschappen atau komunitas mandiri di bawah kontrol pemerintah. UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja dibatalkan oleh regim Orde Baru. Sejak 1966 sampai dengan 1979 Desa kembali ke status quo: diselenggarakan berdasarkan IGO 1906 dan IGOB 1938. Dengan demikian, Desa batal menjadi daerah otonom tingkat ketiga (daerah otonom kecil). Desa kembali sebagai komunitas rakyat atau persekutuan rakyat pribumi (inlandsche gemeente atau volksgemeenschappen). Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan asal usul dan adat istiadatnya dengan menambahkan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
organisasi baru bentukan Jepang: (Tonarigumi) dan RK/RW (Aza).
RT
DESA MENJADI LEMBAGA MASYARAKAT BENTUKAN PEMERINTAH DAN DIBERI TUGAS MENYELENGGARAKAN URUSAN PEMERINTAHAN Selama 13 tahun (1966-1979) kedudukan desa tidak jelas: sebagai daerah otonom, wilayah administrasi, atau persekutuan rakyat pribumi. Pada 1979 Regim Orde Baru mengeluarkan UU No. 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa. UU No. 5/1979 mirip dengan pengaturan Desa di bawah pemerintahan militer Jepang. Perlu diketahui bahwa Jepang mengganti lembaga desa lama dengan lembaga baru. Hal ini berbeda dengan kebijakan Belanda yang mempertahankan lembaga Desaapa adanya. Masa jabatan kepala desa yang pada zaman Belanda seumur hidup, Jepang merubah menjadi 4 tahun. Struktur organisasinya yang pada zaman Belanda diserahkan kepada adat istiadat masing-masing, Jepang merubah dan menyeragamkan. Jepang mengatur struktur organisasi desa atau kusebagai berikut. Pemerintahan desa terdiri atas kepala desa, juru tulis, dan mandor. Di samping itu, Jepang juga membentuk organisasi baru di bawah kepala desa yaitu aza (RW) dan tonarigumi (RT). Sebagaimana Jepang, regim Orde Baru juga merubah total kelembagaan Desa. Pemerintahan desa terdiri atas kepala desa dan lembaga musyawarah desa (LMD). Kepala desa dibantu oleh perangat desa yang terdiri atas sekretaris desa, kepala-kepala urusan, dan staf urusan. Lembaga bentukan Jepang yaitu RW (Aza) dan RT (Tonarigumi) dilegalkan sebagai bagian dari pemerintahan desa. Berdasarkan UU ini, regim Orde Baru menghapus lembaga asli desa, volksgemeenschappen. Di Jawa,organisasi Desa yang terdiri atas lurah, carik, kamituwa, ulu-ulu, modin, kebayan, kepetengan, bekel,
403
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa Hanif Nurcholis
dan lembaga permusyawartan (kumpulan warga) dihapus. Demikian halnya mekanisme kerjanya. Sebagaimana pada masa pendudukan Jepang, Desa diletakkan di bawah pengawasan pejabat pusat (camat) dan aparat teritorial militer/ABRI. Desa tidak dijadikan daerah otonom sebagaimana di bawah UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, dan UU No. 19/1965 tapi dijadikan lembaga rakyat model baru yang tidak sama sekali tidak ada bau adatnya. Jadi, pengaturan desa di bawah UU No. 5/1979 adalah menghapus Desa sebagai inlandsche gemeente atau volksgemeenschappenlalu membentuk lembaga masyarakat yang benarbenar baru: struktur organisasi, fungsi dan tugasnya, dan mekanisme kerjanya. Unsurunsur lama yang masih dipertahankan adalah pemilihan kepala desa secara langsung, pengurus desa tetap menjadi pengurus komunitas (bukan unsur aparatur negara), pendapatan desa utamanya berasal dari tanah komunal dan gotong royong rakyat. Perlu diketahui gotong royong sejatinya adalah kerja paksa/ rodi rakyat desa sebagai bagian dari upeti rakyat kepada kepala desa sebagai tangan panjang Raja (herredient). UU No. 22/1999 yang menggantikan UU No. 5/1979 lalu diganti dengan UU No. 32/2004 sejiwa dengan UU No. 5/1979, dalam arti mendudukan Desa sebagai lembaga rakyat baru bentukan pemerintah dan tidak memasukkannya dalam struktur formal pemerintahan NKRI sebagaimana UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, dan UU No. 19/1965. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 konsepnya sama dengan UU No. 5/1979. Hal yang membedakan dengan UU No. 5/1979 adalah UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 memberi kebebasan kepada Desa untuk menggunakan nomenklatur lamanya dan mengadopsi lembaga lamanya sesuai dengan asal-usul dan adat istiadatnya.
404
Kedudukan Desa di bawah UU No. 5/1979 junto UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 sangat membingungkan dalam tinjauan hukum tata negara dan ilmu administrasi negara. Ia bukan volksgemeenschappen(istilah Belanda) atau kesatuan masyarakat hukum adat (istilah pasal 18 B ayat 2 UUD 1945) karena lembaganya merupakan lembaga baru yang dibentuk pemerintah dan fungsi-tugasnya juga ditentukan pemerintah, bukan bentukan dan ciptaan masyarakat adat itu sendiri. Ia juga bukan satuan pemerintahan formal karena pengurusnya bukan aparatur negara (PNS) dan biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunannya bukan berasal dari APBN/APBD tapi dari tanah komunal miliknya. Akan tetapi, anehnya ia diberi tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan formal tanpa ikatan kontrak atau perjanjian lainnya. DESA MENURUT TAP MPR NO. IV TAHUN 2000 TENTANG REKOMENDASI KEBIJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH Sebelum UU No. 22/ 1999 diganti dengan UU No. 32/2004 MPR membuat rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah dengan TAP MPR No. IV Tahun 2000. Dalam Rekomendasi angka 7 MPR membuat rekomendasi sebagai berikut. Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraanhubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untukmelakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undan-gundangNomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbagan Keuangan antarPemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upayapenyesuaian terhadap Pasal 18
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
Undang-Undang Dasar 1945, termasukpemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota,desa/ nagari/marga, dan sebagainya. TAP MPR No. IV/ 2000 tersebut sejiwa dengan gagasan dengan founding fathers yaitu menjadikan desa/nagari/ marga, dan sebagainya sebagai daerah otonom. MPR dengan jelas memberi rekomendasi untuk memberikan otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota, dan desa/nagari/ marga, dan lain-lain. Kata otonomi merujuk kepada daerah otonom, bukan komunitas, volksgemeenschappen, atau self governing community. UUD 1945 HASIL AMANDEMEN TIDAK MENGATUR DESA UUD 1945 tidak mengatur Desa. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen Desa diatur dalam Pasal 18 dan Penjelasan UUD 1945. Pasal 18 berbunyi : Pembagian Daerah Indonesia atas Daaerah besar dan ketjil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingatdasar permusjawaratan dalam sistim Pemerintahan Negara, dan hak-hak asalusul dalamDaerah-Daerah yang bersifat istimewa. Daerah besar dan Daerah ketjil yang dimaksud dalam pasal 18 adalah daerah otonom. Jadi, ada daerah otonom besar dan ada daerah otonom kecil. Kemudian dalam Penjelasan pasal 18 angka II disebutkan, Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturendelandchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli,
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. Perhatikan Penjelasan UUD 1945 yang disusun Soepomo tersebut! Di Indonesia terdapat kurang lebih 250 daerah swapraja (zelfbesturendelandchappen) dan persekutuan rakyat pribumi (volksgemeenschappen). Daerah-daerah ini mempunyai susuan asli dalam arti mempunnyai susunan organisasi pemerintahan asli, ciptaan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, daerah-daerah ini dapat dianggap sebagai daerah istimewa. Perhatikan konsep yang dikemukakan Soepomo! Ia menyebut zelfbesturendelandchappen dan volksgemeenschappen sebagai Daerah yang bersifat istimewa, bukan komunitas yang bersifat istimewa. Makna daerah istimewa dalam teori local government adalah daerah otonom asimetris, bukan komunitas atau persekutuan rakyat. Hal tersebut dibuktikan dengan bunyi kalimat kedua yaitu Negara RI menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dengan cara membuat UU yang memperhatikan hak-hak dan asal-usul daerah tersebut. Jadi, sudah begitu jelasnya konsepsi UUD 1945 asli mengenai volksgemeenschappen dalam sistem adminstrasi negara modern RI. Volksgemeenschappen berupa desa, negeri, dusun, marga, dan sebagainya dirubah menjadi daerah otonom yang bersifat istimewa (daerah otonom asimetris). UUD 1945 pasal 18 dan Penjelasannya sama sekali tidak mempunyai konsepsi mempertahankan volks
405
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa Hanif Nurcholis
gemeenschappense bagai komunitas/ persekutuanrakyatpribumi di bawahkontrol Negara sebagaimanakebijakanBelanda. Setelah UUD 1945 diamandemen, Pasal 18 UUD 1945 ditambah menjadi pasal 18 A dan Pasal 18 B dan Penjelasan UUD 1945 dihilangkan. Dari semua pasal tersebut tidak satu pasalpun mengatur Desa. Pasal 18 B ayat (2) bukan mengatur Desa tapi mengatur tentang kesatuan masyarakat hukum adat. Bunyinya adalah sebagai berikut. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-haktradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan kepada Negara untuk mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat serta hakhaktradisionalnya. Menghormati dan mengakui merujuk kepada obyek yang sudah ada yaitu kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah hidup puluhan bahkan ratusan tahun lalu, bukan lembaga baru yang dibentuk pemerintah. Pertanyaannya obyek yang disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat itu apa. UUD 1945 tidak memberi penjelasan konkrit dan terukur mengenai obyek yang dikenai norma ini. APAKAH DESA SAAT INI ADALAH KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT SEBAGAIMANA DIMAKSUD PASAL 18 AYAT 2 UUD 1945? Asshidiqqi (2006) menjelaskan kesatuan masyarakat hukum adat merujuk kepada pengertian masyarakat organik yang menjalankan fungsinya melalui organisasi pemerintahannya sebagai instrumen masyarakat adat. Sudiyat (2010: 142)
406
menjelaskan kesatuan masyarakat hukum adat adalah, suatu kesatuan kemasyarakatan berdasarkan ketunggalan wilayah yang organisasinya didasarkan atas tradisi yang hidup dalam suasana rakyat dan mempunyai suatu badan tata urusan pusat yang berwibawa di seluruh lingkungan wilayahnya. Ter Haar (dalam Sudiyat, 2010: 140) masyarakat hukum adat menyatakan diri dalam ketua-ketua rakyat dan kerabatnya yang dalam proses abadi membuat keputusan-keputusan dalam rapat-rapat sebagai kristilasisasi dari kenyataan sosial. Keputusan-keputusan tersebut didukung oleh anggota persekutuan dan dipahatkan dalam sistem sosialnya. Ia digunakan untuk mempertahankan hukum yang berlaku dan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa. Van Vollenhoven (dalam Sudiyat, 2010: 139) menjelaskan masyarakat hukum adat adalah, suatu kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kewibawaan (authority) di dalam pembentukan, pelaksanaan, dan pembinaan hukum. Dalam pada itu, yang dikemukakan sebagai masyarakat hukum di dalam uraiannya mengenai Hukum Adat Jawa-Pusat ialah “masyarakat yang dibentuk sendiri” (perseroan Bumiputera, perhimpunan Bumiputra, pasamuan Kristen Bumiputra). Penjelasan Mahkamah Konstitusi (2007) yang merupakan ringkasan dari penjelasan Ter Haar (2011) yang dimaksud kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) adalah, kesatuan masyarakat hukum adat adalah kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda-benda materiil dan immaterial, yang memiliki ciri-ciri: a) Adanya kelompok-kelompok teratur, b) Menetap di suatu wilayah tertentu, c) Mempunyai pemerintahan sendiri dan d) Memiliki bendabenda materiil dan immateriil.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
Secara lebih rinci Mahkamah Konstisusi (2011) menjelaskan, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actualexistence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur: a. adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling); b. adanya pranata pemerintahan adat; c. adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan d. adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur e. adanya wilayah tertentu. Dengan demikian, sangat jelas bahwa yang diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup, bukan Desa. Desa yang ada sekarang bukan kesatuan masyarakat hukum adat karena unsur-unsur sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimaana telah dirinci oleh Mahkamah Konstitusi tidak ada: a.
b.
c. d.
Desa yang ada sekarang adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah, bukan lembaga adat bentukan atau ciptaan masyarakat adat sendiri; Pemerintahan desa sekarang bukan pranata pemerintahan adat tapi pranata pemerintahan semi formal bentukan pemerintah; Sebagian besar Desa tidak mempunyai kekayaan dan/atau benda-benda adat; Hampir semua Desa tidak memiliki perangkat norma hukum adat.
Menurut hemat saya, sebagian besar Desa yang ada saat ini berasal dari volksgemeenschappen (istilah Belanda) atau kesatuan masyarakat hukum adat (istilah pasal 18 B ayat 2). Akan tetapi, dalam
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
perkembagannya desa sudah mengalami perubahan yang luar biasa khususnya di Jawa dan sebagian di luar Jawa. Semua Desa di di Jawa masyarakatnya sudah berubah menjadi masyarakat semi urban dan lembaganya sudah menjadi lembaga pelaksana teknis urusan pemerintahan semi formal, bentukan pemerintah. Di pulau Jawa hanya ada satu kesatuan masyarakat hukum adat yaitu di Desa Baduy-Dalam di Kabupaten Lebak, Banten. Demikian juga desa-desa di luar Jawa yang berdekatan dengan ibu kota provinsi dan kabupaten/kota. Hanya sebagian kecil desa yang masih sebagai kesatuan masyarakat hukum adat terutama di daerah pedalaman yang masih berpegang kuat pada tribalisme. Dalam menghadapi kenyataan tersebut, UUD 1945 pasal 18 B ayat (2) memberi syarat yaitu kesatuan masyarakat hukum adat yang diakui dan dihormati keberaaaanya oleh Negara adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang: a. b. c.
Masih hidup; Sesuai dengan perkembangan masyarakat; Sesuai dengan prinsip NKRI.
Berdasarkan tiga syarat tersebut maka tidak serta merta semua Desa yang ada sekarang bisa diakui dan dihormati keberadaaanya oleh Negara sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Desa yang ada sekarang harus dilihat dulu: (1) apakah masih sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang kriterianya sudah dibuat rinci oleh Mahkamah Konstitusi; (2) jika jawabannya ya, apakah pranata adat dan pemerintahan adatnya sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) jika jawabannya ya, apakah pranata adat dan pemerintahan adatnya sesuai dengan prinsip NKRI. Kesatuan masyarakat hukum adat baik yang masih hidup atau yang sudah mati dijelaskan oleh Asshiddiqi (2006: 77-80)
407
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa Hanif Nurcholis
sebagai berikut. Pertama, masyarakatnya masih asli, tradisinya juga masih dipraktekkan, dan tersedia catatan mengenai tradisi tersebut. Kedua, masyarakatnya masih asli dan tradisinya masih dipraktekkan tapi catatan mengenai tradisi tersebut tidak ada. Ketiga, masyarakatnya masih asli tapi tradisinya tidak dipraktekkan tapi tersedia catatan rekaman atau catatan tertulis mengenai tradisi tersebut yang suatu waktu bisa dipraktekkan kembali. Keempat, masyarakatnya masih asli tapi tradisinya sudah hilang dan tidak ada catatan atau rekaman mengenai tradisi tersebut. Kelima, masyarakatnya tidak asli lagi, tradisinya juga sudah hilang, dan catatannya juga sudah tidak ada kecuali hanya ada dalam legenda-legenda yang tidak tertulis. Keenam, masyarakatnya tidak asli lagi, tradisinya juga sudah menghilang dari praktik sehari-hari tapi catatannya masih tersedia dan sewaktuwaktu dapat dihidupkan kembali. Ketujuh, masyarakatnya sudah tidak asli lagi tapi tradisinya masih dipraktikkan dan catatannya juga masih tersedia cukup memadai. Kedelapan, masyarakatnya tidak asli lagi dan tidak ada catatan mengenai hal tersebut tapi tradisinya masih hidup dalam praktik. Berdasarkan delapan kategori tersebut kesatuan masyarakat hukum adat dapat dibedakan menjadi tiga kelompok: 1) kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah benar-benar mati; 2) kesatuan masyarakat hukum adat sudah tidak hidup dalam praktik tapi belum benar-benar mati sehingga jika diberi pupuk bisa hidup kembali; dan 3) kesatuan masyarakat hukum adat yang memang masih hidup. Kesatuan masyarakat hukum adat kategori keempat, kelima, dan ketujuh termasuk kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah benar-benar mati (Asshiddiqi, 2006: 79-80). Berdasarkan penjelasan Asshiddiqi tersebut mari kita lihat Desa Wilalung di
408
Kabupaten Demak Jawa Tengah dan Desa Jabon Mekar di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Pemerintahan Desa Wilalung diselenggarakan oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawatan Desa (BPD). Kepala Desa dan perangkat desa merupakan eksekutif sedangkan BPD merupakan lembaga pembuat kebijakan dan delibrasi. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat Desa. Perangkat desa terdiri atas sekretatis desa dan staf-staf urusan: 1) Staf Urusan Pemerintahan; 2) Staf Urusan Pembangunan; 3) Staf Urusan Kesejahteraan Rakyat; dan 4) Staf Urusan Umum. Perangkat desa lainnya adalah staf penanggung jawab wilayah: Bekel dan dua staf urusan teknis: 1) Kepetengan/Jogoboyo yang berugas mengurus keamanan desa dan 2) Ulu-ulu yang bertugas mengurus pengairan desa. Adapun susunan pengurus Badan Permusyawaratan Desa terdiri atas Ketua, Sekretaris, dan anggota (7 orang). Pengisian kepala desa dilakukan dengan pemilihan langsung oleh warga desa. Jika kepala desa kosong BPD membentuk panitia pemilihan kepala desa. Panitia kemudian melakukan serangkaian kegiatan yang pada akhirnya menentukan jadwal pemilihan kepala desa. Pada waktu yang telah ditentukan panitia, warga desa melakukan pemilihan dari beberapa kandidat yang ditetapkan. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai kepala desa dan dilantik oleh bupati. Pengisian perangkat desa diatur oleh Pemerintah Kabupaten. Jika terjadi kekosongan perangkat desa, Kabupaten menyampaikan pengumuman melalui kepala desa dan BPD kepada warga desa atas adanya kekosongan tersebut. Warga desa yang berminat dan memenuhi syarat mengajukan lamaran. Pemerintah Kabupaten kemudian menguji kepada para pelamar kemudian mengumumkan siapa yang dinyatakan lulus. Pelamar yang dinyatakan lulus diberi surat
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
keputusan pengangkatan perangkat desa oleh Bupati. Penghasilan pengurus desa kecuali sekretaris desa bersumber dari tanah komunal milik desa yang dikenal dengan sawah bengkok. Sawah bengkok adalah sawah yang sudah ada sejak desa tersebut berdiri. Pada saat desa Wilalung didirikan, tanah yang dibuka oleh para pendirinya dibagi menjadi empat bagian: 1) tanah untuk penghidupan ekonomi warga disebut tanah/ sawahnorowitoatau gogol; 2) tanah untuk honorarium pengurus desa disebut tanah/ sawahbengkok; dan 3) tanah untuk biaya penyelenggaraan desa disebut tanah/ sawah banda desa; dan 4) tanah untuk tempat tinggal dan penghasilan tambahan disebut tanah yasan. Tanah bengkok, tanah banda desa, dan tanah norowito merupakan tanah komunal yaitu tanah milik bersama yang tidak bisa menjadi hak milik perorangan. Oleh karena itu, tanah/ sawah bengkok, tanah/ sawah banda desa, dan tanah/ sawah norowito tidak bisa diperjualbelikan. Adapun tanah yasan merupakan tanah hak milik perorangan sehingga ia bisa diperjualbelikan. Khusus sekretaris desa, ia adalah public servant sehingga mendapatkan penghasilan dari negara. Keadaan ini sama dengan deskripsi desa yang disampaikan Soetardjo (1984). Pemerintahan Desa Wilalung dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Biaya Desa (APBDes). APBDes dibuat oleh Kepala Desa dan BPD. APBDes Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp896.491.635,- (Delapan ratus sembilan puluh enam juta empat ratus sembilan puluh satu ribu enam ratus tiga puluh lima rupiah). APBDes tersebut berasal dari : a. Pendapatan Rp. 893.649.000,b. Penerimaan pembiayaan Rp. 2.842.635,- Rp. 896.491.635,-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
APBDes tersebut digunakan untuk belanja langsung yang meliputi honorarium tim/Panitia, belanja pegawai non aparat desa (penjaga balai desa, kyai desa, SKD dan PKD), belanja bahan atau material desa, belanja jasa kantor, betonisasi, Talud Bendung Desa Selatan, belanja modal gotong royong RT07/04, pengurugan waduk Wilalung, pembangunan masjid, dan pembangunan Taman Kanak-Kanak. Adapun anggaran belanja tidak langsung adalah untuk belanja pegawai/penghasilan tetap, belanja pensiunan/penghargaan, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan untuk membantu kegiatan ritual Apitan. Siklus manajamen pemerintahan Desa Wilalung dimulai dari pemilihan Kepala Desa secara langsung. Kandidat yang terpilih dengan suara terbanyak ditetapkan sebagai kepala desa oleh Bupati Demak. Pada waktu bersamaan atau terpisah di Desa Wilalung juga dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Anggota BPD berasal dari ketua-ketua rukun teteangga, ketua-ketua rukun warga, dan tokoh-tokoh masyarakat. Kepala Desa dan BPD merupakan dua lembaga yang menyelenggarakan pemerintahan desa. Kepala Desa dan perangkat desa merupakan badan eksekutif sedangkan BPD merupakan badan pembuat kebijakan dan pengawas. Kepala Desa dan BPD membuat kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Desa. Peraturan Desa yang sudah dibuat antara lain Peraturan Desa tentang Penataan Kembali Bengkok Perangkat Desa Kosong dan Bondo Deso; tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa; tentang Perhitungan Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa Tahun 2009; tentang Hasil Pelaksanaan Lelangan Tanah Bondo Desa Masa Tanam 2010/2011; tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ( APBDes ) Tahun 2010; tentang Rencana Pembangunan
409
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa Hanif Nurcholis
Jangka Menengah Desa (RPJMDesa); tentang Perubahan APBDes Tahun Anggaran 2010. Peraturan Desa yang merupakan dasar melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan tahun berjalan adalah Peraturan Desa tentang APBDes. Untuk melaksanakan Peraturan Desa, Kepala Desa membuat Keputusan Desa. Keputusan Kepala Desa yang dibuat antara lain, 1. Keputusan Kepala Desa tentang Pengangkatan Bendahara Desa Wilalung; 2. Keputusan Kepala Desa tentang Penetapan Petugas Pengelola Barang Milik Desa Tahun Anggaran 2010; 3. Keputusan Kepala Desa tentang Program Kerja Tahunan Desa Tahun 2010; 4. Keputusan Kepala Desa tentang Pembentukan Panitia Lelang Tanah Bondo Desa Masa Tanam 2010/2011; 5. Keputusan Kepala Desa tentang Pembentukan TPK dan KPMD Program PNPM Mandiri Pedesaan Tahun 2010; 6. Keputusan Kepala Desa tentang Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa Wilalung Tahun Anggaran 2009; 7. Keputusan Kepala Desa tentang Pembentukan Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK), Penanggung Jawab Administrasi Kegiatan ( PJAK ) Bagi Desa Percontohan Tahun 2010; 8. Keputusan Kepala Desa tentang Pembentukan Penanggung Jawab, Wakil Penanggung Jawab, Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK), Penanggung Jawab Administrasi Kegiatan ( PJAK ), Kelompok Masyarakat (Pokmas) Bantuan Alokasi Dana Desa Tahun Anggaran 2010; 9. Keputusan Kepala Desa tentang Pembentukan Gerakan Sayang Ibu dan Bayi (GSIB) Desa Wilalung Tahun 2010; 10. Keputusan Kepala Desa tentang Pengangkatan Sekretariat Panitia Pemungutan Suara (PPS).
410
Berdasarkan Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa tersebut Kepala Desa melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang dilaksanakan oleh Desa Wilalung antara lain: 1. Memberikan pelayanan surat-surat yang dibutuhkan warga: KTP, KK, keterangan kerja/SIM/kepolisian/domisi/nikah, bukti kepemilikan tanah, saksi jual beli, dan lain-lain; 2. Mengadakan pembinaan dan pengarahan pada Perangkat Desa; 3. Membuat laporan bulanan tentang perkembangan penduduk: lahir, mati, pindah, dan datang; 4. Mengerjakan 24 buku administrasi desa; 5. Mengadakan pembasmian tikus beramai-ramai di masing-masing areal sawah; 6. Menggerakkan gotong royong pengecoran jalan kampung; 7. Membangun jalan, masjid, TK, TK Alquran, SDN, madrasah Islam, jembatan, gorong-gorong, talud, dan saluran air; 8. Mengadakan penyuluhan Keluarga Berencana ( KB ); 9. Melakukan pembagian air bersama dengan Pengurus Dharma Tirta Tri Mulyo; 10. Mengadakan pertemuan rutin Koperasi PKK setiap bulan; 11. Mengadakan penimbangan dan pemberian makanan tambahan kepada anak usia di bawah tiga tahun dan imunisasi; 12. Menciptakan situasi aman dan tentram pada masyarakat. Pada akhir tahun anggaran, Kepala Desa Wilalung membuat laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan. Laporan pertanggungjawaban tersebut memuat penyelenggaraan pemerintahan umum, penyelenggaraan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
pemerintahan desa, dan pengelolaan keuangan. Penyelenggaraan pemerintahan umum terdiri atas bidang kependudukan, bidang pertanian, bidang pendidikan, bidang PKK dan Posyandu, dan bidang Kamtibas. Penyelenggaraan pemerintahan desa terdiri atas bidang pemerintahan desa, bidang pembangunan desa, dan bidang kemasyarakatan desa. Pengelolaan keuangan desa terdiri atas anggran pendapatan, belanja rutin, belanja pembangunan, dan perhitungan akhir. Laporan pertanggungjawaban disampaikan kepada Bupati melalui Camat. Di samping menyampaikan laporan kepada Bupati, Kepala Desa juga harus menyampaikan Keterangan Pertanggungjawaban kepada BPD. Perbedaan antara Laporan Pertanggungjawaban kepada Bupati dengan Keterangan Laporan Pertanggungjawaban kepada BPD adalah Laporan Pertanggungjawaban kepada Bupati bernilai accountability sedangkan kepada BPD hanya information. Di samping itu, Kepala Desa juga menyampaikan informasi pertanggungjawaban kepada masyarakat di papan informasi atau media lainnya. Laporan kepada masyarakat inipun sifatnya juga sekedar informasi, bukan accountability.
berasal dari komisi transaksi jual beli tanah warga. Warga yang melakukan jual beli tanah dikenakan komisi atau fee tertentu oleh kepala desa yang hasilnya dijadikan pendapatan tambahan kepala desa dan perangkat desa.
Keadaan di Desa Jabon Mekar, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor Jawa Barat tidak jauh berbeda dengan Desa Wilalung. Perbedaannya di Desa Jabon Mekar tidak terdapat jabatan bekel, ulu-ulu, dan jogoboyo. Di samping itu, ia juga tidak mempunyai tanah komunal: tanah bengkok dan tanah banda desa. Jika di Desa Wilalung, kepala desa, dan perangkat desa (kecuali sekretaris desa) memperoleh pendapatan dari hak garap tanah bengkok, di Desa Jabon Mekar mereka hanya mengandalkan honorarium dari Pemerintah Kabupaten Bogor Rp 150.000,00 per bulan yang diterimakan tiga bulan sekali. Uang tambahan pendapatan kepala desa dan perangkat desa
Meskipun tiga jabatan adat yaitu bekel, ulu-ulu, dan jogoboyo dihidupkan tapi fungsinya tidak dalam fungsi jabatan adat. Jabatan tersebut diletakkan dalam struktur organisasi modern dengan mengadopsi nomenklatur adat. Dengan demikian, jabatanjabatan tersebut sudah tidak relevan dengan lembaga adat yang pernah ada di Desa Wilalung.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
Di Desa Wilalung, adat yang masih dipraktikkan dalam pemerintahan adalah pemilihan kepala desa secara langsung oleh rakyat. Pemilihan langsung ini sudah dipraktikkan sejak zaman kolonial Belanda sampai sekarang. Di samping itu, jabatan adat yang dihidupkan kembali adalah bekel, uluulu, dan kepetengan/jogoboyo yang dalam undang-undang sebelumnya dihapus. Bekel adalah staf yang bertanggung jawab atas ketertiban umum wilayah sub desa. Ulu-ulu adalah staf yang mengurusi pengairan desa. Kepetengan/Jogoboyo adalah staf yang mengurus keamanan desa. Pejabat adat yang tidak dihidupkan lagi adalah modin dan kebayan. Modin adalah staf yang mengurus urusan agama Islam sedangka kebayan adalah staf memberi informasi kepada masyarakat tentang kebijakan dan program dari pemerintah. Lembaga peradilan desa juga tidak dihidupkan kembali meskipun sempat diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999.
Keadaan di Desa Jabon Mekar, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor Jawa Barat tidak jauh berbeda dengan Desa Wilalung. Perbedaannya di Desa Jabon Mekar tidak terdapat jabatan bekel, ulu-ulu, dan jogoboyo. Di samping itu, ia juga tidak
411
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa Hanif Nurcholis
mempunyai tanah komunal: tanah bengkok dan tanah banda desa. Jika di Desa Wilalung, kepala desa, dan perangkat desa (kecuali sekretaris desa) memperoleh pendapatan dari hak garap tanah bengkok, di Desa Jabon Mekar mereka hanya mengandalkan honorarium dari Pemerintah Kabupaten Bogor Rp 150.000,00 per bulan yang diterimakan tiga bulan sekali. Uang tambahan pendapatan kepala desa dan perangkat desa berasal dari komisi transaksi jual beli tanah warga. Warga yang melakukan jual beli tanah dikenakan komisi atau fee tertentu oleh kepala desa yang hasilnya dijadikan pendapatan tambahan kepala desa dan perangkat desa. Struktur APBDes juga berbeda antara Desa Wilalung dan Desa Jabon Mekar. Di Desa Wilalung pendapatan utama berasal dari hasil lelang tanah banda desa sedangkan di Desa Jabon Mekar berasal dari pungutan jasa warga yang minta pelayanan seperti minta surat keterangan domisili, mencari kerja, catatan kepolisian, SIM, memperoleh sertifikat tanah, dan lain-lain. Kondisi tersebut membuat Desa Jabon Mekar tidak maksimal memberikan pelayanan publik kepada warganya. Pelayanan publik menjadi komoditas jasa yang dijual kepada warga desa. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pada mulanya Desa Wilalung adalah kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana kriteria yang disampaikan Sudiyat, Ter Har, dan Van Vallenhoven. Akan tetapi, dalam perkembangannya Desa Wilalung sudah bukan lagi sebagai kesatuan masyarakat hukum adat (sudah mati). Ia termasuk kategori keempat yaitu masyarakatnya masih asli tapi tradisinya sudah hilang dan juga tidak ada catatan atau rekaman mengenai tradisi tersebut.
412
Meskipun masih ada tradisi pemilihan kepala desa langsung dan revitalisasi jabatan adat tapi praktik pemerintahan Desa Wilalung tidak lagi berdasarkan pranat adat dan pemerintahan adat. Praktik pemerintahannya berdasarkan aturan formal dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten Demak. Tata cara pemilihan kepala desa tidak berdasarkan pranat adat adat tapi berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Peraturan Daerah Kabupaten Demak. Ketika syarat pertama yaitu kesatuan masyarakat hukum adat harus masih hidup tidak terpenuhi maka syarat kedua (sesuai dengan perkembangan masyarakat) dan ketiga (tidak bertentangan dengan prinsipprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia) tidak diperlukan untuk membuktikan apakah Desa Wilalung sebagai kesatuan masyarakat hukum adat atau bukan karena substansinya terletak pada syarat pertama. Jika Desa Wilalung tidak dapat dimasukkan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat maka ia masuk ke dalam kategori unit organisasi apa? Dalam hal Desa Jabon Mekar, bisa jadi pada mulanya adalah kesatuan masyarakat hukum adat. Akan tetapi, ia sudah lama mati sehingga indikasinya sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sudah tidak diingat oleh pengurus desa sekarang. Ia adalah unit administrasi pemerintahan yang tidak mendapatkan hak-haknya sebagai lembaga pemerintah. Ia lebih tepat disebut sebagai lembaga masyarakat yang menghidupi dirinya sendiri tapi diberi tugas-tugas pemerintahan oleh Negara. Pemerintah Kabupaten Bogor hanya memberikan santunan ala kadarnya kepada pengurus desa. Secara faktual Desa Wilalung dan Desa Jabon Mekar adalah unit administrasi pemerintah level terendah. Ia bisa disebut sebagai unit administrasi negara karena organisasinya digunakan sebagai pelaksana
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
administrasi pemerintahan. Hal tersebut terlihat dari struktur organisasi, fungsi dan tugasnya, dan tata cara pengisian pejabatnya. Struktur organisasi pemerintah Desa Wilalung dan Desa Jabon Mekar ditentukan Pemerintah. Fungsi dan tugasnya ditentukan pemerintah, bukan oleh pranata adat yang berlaku puluhan atau ratusan tahun lalu sebelum NKRI berdiri. Pengisian kepala desanya melalui pemilihan langsung tapi berdasarkan regulasi pemerintah, bukan pranata adat. Pengisian perangkatnya juga diatur dan ditentukan pemerintah. Di samping itu, ia tidak memiliki benda-benda suci sebagaimana disampaikan Ter Haar dan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan deskripsi tersebut, status Desa Wilalung dan Desa Jabon Mekar adalah antara unit birokrasi pemerintah dan lembaga masyarakat. Keduanya dibentuk pemerintah di atas reruntuhan lembaga adat. Ia bukan kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 18 B ayat (2). Pemerintahan Desa Wilalung dan Desa Jabon Mekar bukan instrumen masyarakat adat untuk menyelenggarakan urusan adat istiadat tapi instrumen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan/ Negara. Desa Wilalung dan Desa Jabon Mekar hanya menyelenggarakan kegiatan pemerintahan atasan berdasarkan peraturan perundang-undangan Negara. Keduanya tidak menyelenggarakan pemerintahan adat berdasarkan pranata adat yang dibentuk oleh masyarakat sendiri. Akan tetapi, keduanya juga bukan lembaga formal pemerintah karena Negara tidak menggaji kepala desa dan perangkat desa (kecuali sekretaris desa) dan tidak membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunannya. DAPATKAH DESA MENJADI ALAT NEGARA UNTUK MENYEJAHTERAKAN RAKYAT? Dalam status Desa Wilalung dan Desa Jabon Mekar demikian, maka keduanya tidak
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
mempunyai kapasitas memberikan pelayanan publik yang menyejahterakan masyarakat desa. Di Desa Jabon Mekar, anggota masyarakat yang minta pelayanan di Kantor Desa diminta membayar “uang administrasi” karena pungutan illegal ini merupakan satusatunya pendapatan terbesar APBDes. Di Desa Wilalung anggota masyarakat yang menjual tanah harus membayar uang pologoro 10% kepada kepala desa karena pungutan illegal ini merupakan warisan adat dan merupakan uang pendapatan terbesar kepala desa. Demikian juga di Desa Jabon Mekar, hanya isitilahnya bukan uang pologoro tapi uang jasa atau fee. Negara tutup mata atas pungutan illegal yang memberatkan rakyat terssebut karena Negara tidak memberi gaji yang layak kepada kepala desa dan perangkat desa sesuai dengan UU Kepegawaian. Di Desa Wilalung, perangkat desa tidak masuk kantor setiap hari karena beralasan bukan PNS. Mereka masuk kerja dalam seminggu secara bergiliran dan berdasarkan ada tidaknya pekerjaan. Di Desa Jabon Mekar, personal perangkat desa selalu beganti dengan istilah bedol desa setiap kali terjadi pergantian kepala desa. Personal perangkat desa yang ada diganti dengan personal baru ketika diangkat kepala desa baru yang berasal dari Tim Suksesnya. Dengan keadaan demikian, perangkat desa tidak pernah mempunyai kompetensi teknis yang memadai untuk memberikan pelayanan publik. Dalam keadaan kapasitas Desa demikian, mengharapkan Desa sebagai ujung tombak Negara untuk memberikan pelayanan publik yang memuaskan rakyat menurut hemat saya sulit bahkan mustahil. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat memerlukan aparatur pelaksana yang kompeten dan profesional. Di desa yang saya teliti, kepala desanya jarang masuk kantor. Dia ke kantor kalau ada keperluan subyektif. Stempel dibawa kepala desa ke manapun ia pergi. Rakyat yang memerlukan
413
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa Hanif Nurcholis
tanda tangan dan stempel desa, bisa menemuinya di mana saja: rumah, di rumah makan, dan di mana saja sesuai dengan permintaan kepala desa. Perangkat desa yang rata-rata lulusan SMP yang tidak direkrut dengan prinsip meritokrasi dan dibina dan dikembangkan sesuai dengan prinsip pengembangan aparatur negara dan diberi honor yang sangat tidak memadai sulit diharapkan dapat memberikan layanan publik yang memuaskan rakyat. Sebagian besar perangkat desa mempunyai pekerjaan di luar perangkat desa: tukang ojek, makelar, tukang bangunan, petenak lele, peternak ayam, dan petani penggarap. BPD yang oleh UU diberi wewenang seperti DPRD tidak mempunyai kantor, tidak mempunyai anggaran yang memadai, tidak memiliki staf sekretariat, dan tidak mempunyai staf yang bisa membuat legal drafting. PEMBANGUNAN DESA TIDAK PERNAH ADA HASILNYA JIKA LEMBAGA DESA TETAP DIPERTAHANKAN SEBAGAIMANA SEKARANG Demi memberikan pelayanan publik yang memuaskan dan menyejahterakan masyarakat desa, Desa perlu ditata ulang. Cara menatanya adalah dengan melakukan penelitian secara saksama kemudian memilah Desa menjadi tiga kategori: (1) Desa yang masih utuh sebagai kesatuan masyarakat hukum adat seperti Desa Baduy di Banten; (2) Desa yang sudah berubah menjadi alat pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintahan tapi masih sedikit unsur adatnya seperti Desa Wilalung di Kabupaten Demak Jawa Tengah; (3) Desa yang sudah sepenuhnya berubah menjadi instrumen pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintahan seperti Desa Jabon Mekar di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kepada desa yang masuk kategori pertama, sesuai dengan pasal 18 B ayat (2) Negara mengakui dan menghormati atas pranata dan pemerintahan adatnya.
414
Untuk memberdayakan dan memajukan desa kategori ini, melalui UU, Negara melakukan tugas pembantuan, medebewind. Kepada Desa yang masuk kategori kedua, Negara tidak perlu memutar balik sejarah perkembangannya yaitu mengembalikan lagi sebagai kesatuan masyarakat hukum adat karena tidak mungkin. Desa-desa ini sudah berubah menjadi desa urban dan masyarakatnya sudah semi urban. Pranata adat dan pemerintahan adatnya sudah hilang, tinggal sisa-sisanya yang tidak fungsional. Oleh karena itu, desadesa jenis ini digabung menjadi desa baru lalu dijadikan kabupaten baru berbasiskan adat istiadat. Hal ini sesuai dengan gagasan Yamin: menjadi pemerintahan kaki setelah dirasionalisasi dan diperbarui sesuai dengan tuntutan zaman; juga sesuai dengan gagasan Soepomo yaitu menjadikannya sebagai daerah istimewa yiatu daerah otonom dengan struktur pemerintahan asli. Kepada desa-desa yang masuk kategori ketiga, dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan daerah otonom urban: pemerintah kota. Dalam sistem administrasi negara modern sudah tidak perlu lagi mempertahankan pemerintahan desa sebagaimana sekarang karena sudah sangat ketinggalan zaman. Hasil Sensus Penduduk 2010, penduduk yang tinggal di perdesaan tinggal 51 persen. Tren tersebut akan terus berlanjut sehingga pada tahun 2025 penduduk desa tinggal 30 %. Untuk itu, pemerintahan paling rendah di desa yang diperlukan bangsa Indonesia adalah daerah otonom yang bersifat perdesaan yang modern. Daerah otonom perdesaan yang ada sekarang yaitu kabupaten yang dibedakan dalam kelembagaan dan anggaran dengan pemerintah kota tidak pernah digagas oleh founding fathers dan diatur dalam UUD 1945 asli. Founding fathersdan UUD 1945 asli pasal 18 dan Penjelasannyahanya akan membentuk daerah otonom besar dan daerah otonom
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
kecil dimana daerah otonom kecil di dalamnya termasuk desa/ negari/dusun/ marga, dan lain-lain. Kita bisa belajar dari Perancis yang memasukkan commune(desa di Perancis) menjadi daerah otonom yang bersifat perdesaan. Kita juga bisa belajar dari Filipina yang menjadikanbangay (desa di Filipina) dimasukkan ke dalam sistem formal pemerintahannya dengan mengadopsi pranata adatnya. Commune dan bangay tidak dippertahankan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana desa di Indonesia tapi dijadikan daerah otonom yang berbasis adat sebagaimana gagasan Soepomo. PENUTUP Sebenarnya politik Negara kepada Desa sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 18 dan Penjelasannya adalah menjadikan volksgemeenschappen sebagai daerah otonom kecil yang merupakan bagian dari sistem administrasi pemerintahan daerah formal. Hal ini didasarkan gagasan Yamin dan Soepomo. Yamin memberi argumen bahwa pengaturan Desa di bawah pemerintah kolonial Belanda lebih memberi beban dan tugas daripada memberdayakannya demi kesejahteraan warganya. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang hanya mengakui keberadaan volksgemeenschappen atau persekutuan rakyat pribumi sebagai badan hukum tidak berdampak kepada peningkatan kapasitas lembaga yang pada gilirannya berdampak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, “Desa harus diperbaharui dan dirasionalkan untuk dijadikan pemerintahan kaki”, kata Yamin (Sekretariat Negara, 1995). “Desa dijadikan daerah istimewa karena memiliki susunan asli”, kata Soepomo. Daerah istimewa yang dimaksud Soepomo adalah daeah otonom yang bersifat istimwa, bukan self governing
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
community. Gagasan Yamin dan Soepomo dituangkan dalam UUD 1945 pasal 18 dan Penjelasan pasal 18 angka II. Akan tetapi, regim Orde Baru menganulir kebijakan tersebut dengan cara membentuk lembaga masyarakat desa baru dan menghapus lembaga lama (volksgemeenschappen) lalu menempatkan lembaga rakyat yang baru tersebut di bawah kontrol ketat pemerintah pusat (camat dan komando teritorial ABRI) demi penciptaan stabilitas politik dan keamanan dan mengamankan politik regim Orde Baru. Dengan adanya TAP MPR No. IV/ 2000 dan pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, Pemerintah perlu melakukan penelitian mendalam atas semua desa di Indonesia. Setelah diteliti, Desa kemudian diklasifikasi menjadi tiga kelompok: 1) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memang masih hidup;2) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah tidak hidup dalam praktik tapi belum benarbenar mati sehingga masih dapat dihidupkan kembali; 3) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah benar-benar mati. Bagi Desa yang masuk kelompok pertama Pemerintah mengakui, rekognisi. Bagi Desa yang masuk kelompok kedua Pemerintah melakukan revitalisasi sehingga adat istiadat yang sudah mati bisa dihidupkan kembali dan akhirnya mengakui, rekognisi. Adapun kepada desa yang masuk kelompok ketiga Pemerintah membuat dua kebijakan: 1) desa yang sudah urban dijadikan kelurahan dan 2) desa yang masih berciri rural digabung lalu dijadikan daerah otonom berbasiskan adat sebagaimana TAP MPR No. IV Tahun 2000 tentangRekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. TAP MPR tersebut mengamanatkan kepada pembuat undang-undang untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap undang-undang pemerintahan daerah sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 UndangUndang Dasar 1945, termasukpemberian
415
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa Hanif Nurcholis
otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota,desa/nagari/marga, dan sebagainya. Menjadikan Desa sebagai daerah otonom sebagaimana rekomendasi MPR tersebut merupakan langkah yang benar dalam penataan Desa ke depan karena memberikan kepastian status Desa dan merupakan penemuan kembali mutiara yang hilang:gagasan founding fathers, UUD 1945 pasal 18 dan Penjelasan UUD 1945 pasal 18 angka II, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, dan UU No. 19/1965.Politik Desa yang melenceng dan a historis yang dimulai sejak pemberlakukan UU No. 5 Tahun 1979 diteruskan dengan UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004 tidak bisa dipertanggungjawabkan secara filosofis, historis, hukum tata negara, dan ilmu adminstrasi negara karena lembaga yang dapat diberi tugas negara adalah lembaga resmi pemerintah, bukan lembaga masyarakat. Jika Negara memberikan tugas negara kepada lembaga masyarakat harus berdasarkan kontrak atau perjanjian yang jelas. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqqi, Jimly. (2006). Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press Mahkamah Konstitusi. (2011). Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 5, Oktober 2011 Kartohadikoesoemo, Soetardjo. (1984). Desa. Jakarta: Balai Pustaka Koentjaraningrat, dkk (editor), 1963, Desa Masa Kini, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Nurcholis, Hanif. (2011). Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta: PT Penerbit Erlangga
416
--------------------. (2012). Village Administrative In Indonesia: Institution of Community Conducting State Task dalamProceding Seminar “Thailand International Conference on Public Administration 2012, Bangkok, Thailand" August 30-31 and September 1, 2012, Bangkok, Thailand --------------------. (2013). Village-Oriented Administration In Indonesia:The Lowest Level of Unconstitutional Administration, dalam Proceding Seminar “2013 International Conferenceon Public Administration Public Sector Reform &Government in Transition: Values, Institutions, Leadership, Citizen Engagement, & Human Rights University of Makati, Philippines October 1-2, 2013, Makaty University, Phillipne Sekretariat Negara RI. Risalah Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei - 22 Agustus 1945, Jakarta: Setneg, 1995 Sudiyat, Iman. (2010). Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty Ter Haar, B. et al. (2011). Asas-Asas dan Tatanan Hukum Adat. Bandung: Mandar Maju Triputro, R. Widodo. (2002). Reposisi Birokrasi Pemerintah Desa. Jurnal Ilmu Sosial Alternatif. Jakarta: Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa Inlandsche Gemeente Ordonantie 1906 Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 (Sesudah Amandemen) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1966 Tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Undang-UndangNomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
Undang-UndangNomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah TAP MPR RI No. IV Tahun 2000tentangRekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005TentangDesa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007
417
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa Hanif Nurcholis
418
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI DAERAH Oleh: Widya Puspitaayu Sutisna Fungsional Umum pada Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat Abstrak: Otonomi daerah memungkinkan pemerintah setempat membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Otonomi daerah memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan di daerahnya. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan diyakini banyak pihak telah menjadi kata kunci dalam pelaksanaan pembangunan di era otonomi daerah sekarang ini. Pembangunan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat ternyata telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Partisipasi merupakan jembatan penghubung antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, kewenangan, dan kebijakan dengan masyarakat yang memiliki hak sipil, politik dan social ekonomi masyarakat. Sejauh ini, partisipasi masyarakat masih terbatas pada keikutsertaan dalam pelaksanaan program-program atau kegiatan pemerintah, padahal partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tapi juga mulai tahap perencanaan bahkan pengambilan keputusan. Keyword: partisipasi masyarakat, pembangunan
LATAR BELAKANG Partisipasi dalam kaitan dengan pembangunan sering ditemukan dalam berbagai kegiatan program pembangunan sebagai sarana untuk memperkuat relevansi, kualitas dan kesinambungan suatu program pembangunan. Partisipasi terkadang masih menjadi sebuah kata yang memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang. Sebagaimana dikutip new economics foundation, sekelompok tim dari Bank Dunia mendefinisikan partisipasi sebagai “proses dimana para pemilik kepentingan (stakeholders) mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif dan keputusan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
pembangunan serta sumber daya berdampak pada mereka.”
yang
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan diyakini banyak pihak telah menjadi kata kunci dalam pengembangan pembangunan di era otonomi daerah sekarang ini. Pembangunan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat ternyata telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Partisipasi merupakan jembatan penghubung antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, kewenangan, dan kebijakan dengan masyarakat yang memiliki hak sipil, politik dan social ekonomi masyarakat. Dengan
419
Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Pembangunan di Daerah Widya Puspitaayu Sutisna
partisipasi masyarakat, posisi tawar masyarakat di mata pemerintah menjadi meningkat, masyarakat tidak selalu di dikte dan di dominasi oleh pemerintah dalam memenuhi kebutuhan atau keputusan dalam pembangunan lingkungannya namun selalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaanya. Konsep partisipasi merupakan suatu konsep yang luas, dan penting, karena salah satu indikator keberhasilan suatu pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program. Bintoro Tjokroamidjojo (1989:207-208) memberikan pendapat bahwa “partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan program pembangunan.” Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada dasarnya merupakan suatu bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan. Partisipasi masayarakat dalam pembangunan bukanlah mobilisasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah kerja sama antara masyarakat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan dan membiayai pembangunan. Melalui program-program pembangunan partisipatif tersebut diharap kan semua elemen masyarakat dapat secara bersamasama berpartisipasi dengan cara mencurahkan pemikiran dan sumber daya yang dimiliki guna memenuhi kebutuhannya sendiri. Pembangunan partisipatif erat kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, dimana pada pembangunan partisipatif diperlukan upaya dan langkah-langkah untuk mempersiapkan masyarakat guna memperkuat kelembagaan masyarakat agar mereka mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan yang berkelanjutan untuk
420
meningkatkan harkat dan martabatnya serta mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Upaya tersebut merupakan salah satu wujud nyata dari pemberdayaan masyarakat (Sumaryadi, 2005: 111). Dalam upaya mengatasi salah satu permasalahan pembangunan yaitu kemiskinan pada masyarakat yang cukup kompleks, pemerintah telah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2008, yang merupakan program lanjutan dari Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di tahun 1999. Program ini sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. PNPM ini berupaya menyiapkan landasan kemandirian masyarakat berupa lembaga kepemimpinan masyarakat yang representatif, mengakar dan kondusif bagi perkembangan modal sosial (social capital) masyarakat di masa mendatang serta menyiapkan program masyarakat jangka menengah dalam penanggulangan kemiskinan yang menjadi pengikat dalam kemitraan masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat. Dalam kegiatan ini dirumuskan mengenai mekanisme pelibatan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuh kembangkan sehingga masyarakat bukan lagi sebagai obyek melainkan sebagai subjek. Berbagai program dan kegiatan untuk meningkatan partispasi masyarakat di daerah. Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Namun demikian, ragam dan kadar partisipasi seringkali hanya ditentukan secara masif, yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam pembuatan keputusan. Sejauh ini, partisipasi masyarakat masih terbatas pada keikutsertaan dalam pelaksanaan program-program atau kegiatan pemerintah, padahal partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tapi juga mulai tahap perencanaan bahkan pengambilan keputusan. KONSEP PARTISIPASI Banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang partisipasi. Namun secara harfiah, partisipasi berarti "turut berperan serta dalam suatu kegiatan”, “keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan”. Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai "bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan. Partisipasi menurut Hoofsteede (1971) yang dikutip oleh Khairuddin (2000) berarti ”The taking part in one or more phases of the process” atau mengambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dari suatu proses, dalam hal ini proses pembangunan. Sedangkan menurut Fithriadi, dkk. (1997) Partisipasi adalah pokok utama dalam pendekatan pembangunan yang terpusat pada masyarakat dan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
berkesinambungan serta merupakan proses interaktif yang berlanjut. Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta masyarakat secara langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil bagian, sejak dari awal, proses dan perumusan hasil. Keterlibatan masyarakat akan menjadi penjamin bagi suatu proses yang baik dan benar. Sementara itu, partisipasi masyarakat menurut Hetifah Sj. Soemarto (2009) adalah proses ketika warga sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan kebijakan yang langsung mempengaruhi kehiduapan mereka. Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan daerah merupakan salah satu syarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini, terbukti telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhada terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemborosan keuangan negara merupakan implikasi lain deviasi tersebut. Sedangkan Eko Sutoro dalam bukunya Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat menggagas tiga substansi dari partisipasi yang terdiri dari voice, akses, dan kontrol. Penjabarannya sebagai berikut: a. Voice. Merupakan hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Voice dapat disampaikan warga dalam banyak cara diantaranya: opini publik, referendum, media masa, berbagai forum warga. b. Akses. Akses ini mengandung arti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk
421
Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Pembangunan di Daerah Widya Puspitaayu Sutisna
c.
dalam area governance yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif dalam mengelola barang-barang publik. Ada dua hal penting dalam akses yaitu: keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mempunyai persamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Kontrol. Kontrol masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun kebijakan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal (external control). Artinya kontrol atau pengawasan bukan saja kontrol terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga untuk melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap lingkungan dan perbuatan yang dilakukan mereka sendiri.
Menurut Prety, J., 1995, ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yang berturut turut semakin dekat kepada bentuk yang ideal, yaitu : 1. Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran belaka. 2. Partisipasi informatif. Di sini masyarakat hanya menjawab pertanyaan pertanyaan untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan.
422
3.
4.
5.
6.
7.
Akyurasi hasil studi, tidak dibahas bersama masyarakat. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, sedangkan orang luar mendengarkan, serta menganalisis masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimeneksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukkan kemandiriannya. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam proses analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan, Pola ini cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragama perspektif dalanm proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak dengan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumberdaya yang diperlukan. Yang terpenting, masyarakat juga memegang kandali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan. Menurut James L. Creighton , ada beberapa manfaat adanya partisipasi masyarakat, khususnya dalam pengambilan keputusan publik. Di antara manfaat tersebut antara lain: 1. Meningkatkan kualitas keputusan yang dihasilkan. Adanya partisipasi masyarakat memungkinkan kebijakan dilihat dalam berbagai sudut pandang. Masyarakat juga tahu tentang informasi terkini terkait kebijakan dan bagaimana kebijakan diimplementasikan. Dengan adanya fakta terkini, pemerintah tidak lagi menggunaan asumsi dalam membangun suatu kebijakan. 2. Meminimalisir biaya dan kemungkinan penundaan. Pelibatan masyarakat membutuhkan lebih banyak waktu dalam membuat suatu kebijakan. Keputusan atau kebijakan yang dibuat sepihak mungkin bisa cepat dalam pembuatannya tetapi bisa sangat mahal dalam implementasinya. Bahkan, pengambilan kebbijakan publik tanpa melibatkan masyarakat dikhawatirkan menimbulkan resistensi atau justru tidak bisa diimplementasikan. 3. Membangun konsensus. Partisipasi masyarakat berperan dalam membangun komitmen jangka panjang di antara pihak-pihak yang berhubungan dengan kebijakan dan implementasinya. Ini menimbulkan saling pengertian antara berbagai pihak, mengindari kontroversi, dan memberi legitimasi pada pemerintah dalam menetapkan kebijakannya. 4. Meningkatkan upaya dalam implementasi. Partisipasi masyarakat
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
5.
6.
7.
8.
membangun rasa kepemilikan masyarakat terhadap keputusan yang dihasilkan. Ini mendorong masyarakat untuk berupaya agar keputusan tersebut bisa berjalan dengan baik. Menghindari adanya konfrontasi yang lebih buruk. Partisipasi masyarakat memungkinkan berbagai pihak untuk mengungkapkan kebutuhannya. Partisipasi masyarakat bisa mengurangi kemungkinan adanya konfrontasi dalam masyarakat atas berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Menjaga kredibilitas dan legitimasi. Partisipasi publik memungkinkan adanya legitimasi pada keputusan yang dihasilkan, khususnya menyangkut masalah-masalah yang kontroversial. Proses pengambilan keputusannya dianggap kredibel karena melibatkan masyarakat secara luas. Lebih antisipatif terhadap apa yang menjadi perhatian (concern) dan sikap masyarakat. Pemerintah yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam membuat keputusan publlik akan lebih sensitif terhadap apa yang jadi perhatian dan sikap masyarakat. Mengembangkan civil society. Adanya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan memungkinkan masyarakat belajar tentang tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mereka belajar bagaimana keputusan dibuat, bagaimana cara mempengaruhi orang lain, bagaimana cara membangun saling pemahaman satu sama lain, bagaimana saling bekerja sama.
IMPLEMENTASI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DI DAERAH 1. Studi Kasus Pemerintah Kota Pekalongan Pada dasarnya pembangunan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat menjadi sasaran sekaligus
423
Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Pembangunan di Daerah Widya Puspitaayu Sutisna
pelaku pembangunan. Keterlibatan masyarakat pada setiap tahapan merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Kegagalan berbagai program pembangunan di masa lalu adalah disebabkan antara lain karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program pembangunan tidak melibatkan masyarakat. Keterlibatan semua unsur inilah yang menjadi potensi dalam pelaksanaan pembangunan di Kota Pekalongan sebagai berikut : a.
b.
c.
424
Komitmen Pimpinan Daerah Komiten dari pimpinan menjadi hal yang utama dalam pelaksanaan berbagai program dan kegiatan. Ini sejalan dengan pendpaat Bintoro dimana terdapat tiga masalah penting dalam Partisipasi antar lain : Kepemimpinan. Kualitas kepemimpinan menjadi kata kunci. Komunikasi. Gagasan pembangunan akan mendapat sambutan jika diketahui, dan ini ditentukan oleh komunikasi pembangunan (politik). Pendidikan. kesadaran masyarakat ditentukan oleh pendidikan masyarakat sebagai faktor penting dalam pengembangan identifikasi tujuan-tujuan pembangunan. Kesiapan Regulaasi dan Kebijakan Alokasi Anggaran Mempunyai hibah rutin yang ada setiap tahun yang mendekati 7 % dari belanja modal kita. Memperdakan semua peraturan agar dewan itu jadi mitra bukan sebagai pesaing. Melibatkan semua lembaga kemasyarakatan di Kota Pekalongan
d. e.
4 Pilar (LPM, BKM, TP. PKK dan Karang Taruna) Pokmas Darat Kader Pemberdayaan Masyarakat RT / RW Posyandu Forum Kelurahan Siaga Sehat Lembaga Kemasyarakatan lainnya.: BKB, BKR, BKL, BLK, UPPKS Kelurahan menjadi SKPD Stakeholder
Prinsip utama walikota Dr. H. M Basyir Ahmad dalam memipin Kota Surakarta adalah kepercayaan masayarakat, seperti yang disampaikan daam acara diskusi terbatas. “Dalam memimpin buat saya yang penting masyarakat percaya kepada saya. Kami tidak saja memberikan uang namun kita juga membangun dan memperkuat kelembagan masyarakat. Pekalongan baru saja mendapat perhargaan dari Kemendagri yaitu Posyantek Terbaik Di Indonesia. Serta Sebagai daerah terinovatif di Indonesia, saya juga menjadi walikota terinovatif. Lantas ujung semua kegiatan dan program kami adalah peningkatan dari IPM dari pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur “ Program pembangunan di Kota Pekalongan merupakan program replika program Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang diluncurkan oleh Pemerintah Pusat. Salah satu komponen P2KP yang berorientasi pada pembelajaran kemitraan antara masyarakat (BKM) dengan pemerintah maupun pihak lain. Berikut adalah program-program yang melibatkan masayarakat dalam pembangunan Di Kota Pekalongan :
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
1) Pelaksanaan P2KP 1 Tahap 1 Tahun 1999. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat di Kota Pekalongan telah dimulai sejak Tahun 1999 8 kelurahan ditetapkan sebagai lokasi sasaran P2KP 1.1 yang didukung pendanaan BLM Rp. 2 miliar 2) Pelaksanaan P2KP 1 Tahap 2 Tahun 2003. Keberhasilan P2KP 1 Tahap 1 serta komitmen pemerintah Kota Pekalongan terhadap program penanggulangan kemiskinan ditindaklanjuti dengan pelaksanaan P2KP 1 Tahap 2 pada tahun 2003. Trdiri dari 21 kelurahan ditetapkan sebagai lokasi sasaran P2KP 1.2 dengan total dana BLM Rp. 2,95 miliar. 3) Replikasi P2KP Tahun 2006. Tujuan dari replikasi program ini adalah mengurangi kesenjangan antara kelurahan penerima P2KP dengan non-penerima P2KP. Jumlah sasaran replikasi adalah 17 kelurahanAlokasi anggaran BLM APBD : 2,375 miliar dengan Pola : skema sharing berimbang APBD - APBN, 4) Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan. Pelaksanaan pada tahun 2007, terjadi pemekaran Kelurahan (Kelurahan Panjang Baru) hasil pemekaran Kelurahan Panjang Wetan, sedangkan pelaksanaan pada tahun 2008 : Pemkot memfasilitasi Replikasi PNPM Mandiri Perkotaan di Panjang Baru (Rp 200 juta dari APBD). Dan Pelaksanaan pada Tahun 2009 : BKM Panjang Baru telah terdaftar sebagai lokasi calon penerima BLM PNPM Mandiri 5) Pelaksanaan Neigbourhood Development (ND) Tahun 2008 – 2009. Kota Pekalongan merupakan salah satu wilayah dari 18 Kota/Kabupaten yang mampu meraih Pilot Project Neighbourhood Development / Program Pengembangan Lingkungan Berbasis Komunitas (PLPBK). Kelurahan Podosugih adalah kelurahan di Kota Pekalongan yang berhasil lulus seleksi lokasi PLP-BK
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
sehingga berhak menerima dana BLM senilai Rp. 1 Miliar guna mewujudkan komunitas, tatanan kehidupan, dan lingkungan hunian yang tertata selaras, sehat, produktif, berjatidiri, terpadu dan berkelanjutan . Tahun 2009 Kota Pekalongan mendapat 2 Lokasi ND : Kraton Kidul & Kramatsari 6) Replikasi Pelaksanaan REPLIKASI PLPBK Tahun 2012 dan 2013. Kelurahan Podosugih adalah kelurahan di Kota Pekalongan yang berhasil lulus seleksi lokasi PLP-BK sehingga berhak menerima dana BLM senilai Rp. 1 Miliar guna mewujudkan komunitas, tatanan kehidupan, dan lingkungan hunian yang tertata selaras, sehat, produktif, berjatidiri, terpadu dan berkelanjutan . Tahun 2009 Kota Pekalongan mendapat 2 Lokasi ND : Kraton Kidul & Kramatsari Metode yang dipakai dalam seleksi calon lokasi replikasi melalui mekanisme REWARD bagi BKM yang mempunyai Kinerja Baik, Lokasi Replikasi Tersebut yaitu : Tahun 2012 : Kelurahan Yosorejo Kelurahan Dekoro Kelurahan Krapyak Lor Tahun 2013 : Kelurahan Medono Kelurahan Pabean Kelurahan Duwet Dampak positif dari program-program diatas membuat Pemerintahan Kota Pekalongan terus melanjutkan program dengan cara mereplikasi dan penguatan Pemberdayaan Pemberdayaan Masyarakat di Kota Pekalongan yang dilakukan dengan beberapa cara yaitu : a. Replikasi Program P2KP dalam bentuk PDPM (Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat) dan PAPKSBM (Program Akselerasi Pembangunan Keluarga Sejahteran Berbasis Masyarakat). PDPM (Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat) adalah program percepatan penanggula-
425
Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Pembangunan di Daerah Widya Puspitaayu Sutisna
ngan kemiskinan yang merupakan prakarsa daerah sebagai upaya mendukung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Tahun 2010 2011 2012 2013 2014
Perwal Perwal No. 25 Th 2010 Perwal No. 11 Th 2011 Perwal No. 12 A Th 2012 Perwal No. 10 Th 2013 ………………….
c. Penguatan landasan hukum. Semua program dan kegiatan dilindungi oleh aturan-aturan, antara lain : Perda Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Pekalongan tahun 2005 - 2010 Perwal Nomor 19 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat (P2KSBM) Perda Nomor 11 Tahun 2008 tentang Percepatan Pembangunan Keluarga
Per-
Lingkungan). Sumber dana APBD Kota Pekalongan dan dikelola oleh Masyarakat .
Perwal Perwal No. 13 Tahun 2009 Perwal No. 16 Tahun 2010 Perwal No. 9 Tahun 2011 Perwal No. 51 Tahun 2011 Perwal No. 59 Tahun 2012 ……………
b. Meletakkan komponen Program Pemberdayaan pada Misi Pembangunan Jangka Menengah. Terdapat pada misi dalam RPJMD yaitu Percepatan penanggulangan kemiskinan berbasis partisipasi masyarakat.
(PNPM-Mandiri
Pagu Anggaran 3.665.000.000,4.835.000.000,5.956.000.000,9.000.000.000,13.000.000.000,-
Program Akselerasi Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat (PAPKS-BM), Pendekatan Tribina (Manusia, Usaha dan Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014
426
Perkotaan kotaan).
Pagu Anggaran 6,2 8,2 11 14,6 20,950 27
Sejahtera Berbasis Masyarakat (P2KSBM) Perda Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Pekalongan tahun 2010 – 2015
d. Penguatan strategi Pemberdayaan 1. Pengembangan kapasitas masyarakat (to give people ability) a) Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan : Tingkat Kota : TKPKD, KBP, FKA-BKM, Forum LPM, TP PKK, & Karang Taruna. Tingkat Kecamatan : Catur Pilar Kecamatan Tingkat Kelurahan : Catur Pilar Kelurahan (BKM, LPM, Kr. Taruna, PKK)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
Perda No. 5 Tahun 2010 tentang Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan. b) Pembelajaran Program Nangkis Berbasis Pemberdayaan Masy Nasional : PNPM Mandiri Perkotaan, PAKET, Pamsimas, USRI, BSPS (Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya). Provinsi : SLBM (Sanitasi Lingk Berbasis Masyarakat). Kota : PAPKSBM, PDPM, Telecenter (media informasi). c) Pendampingan oleh Aparatur Pemda Pembentukan Tim Pembina Kelurahan melalui SK Walikota No. 050.05/218 Tahun 2011. 2.
Mendelegasikan sejumlah urusan dan kewenangan pembangunan pada (kelembagaan) masyarakat (to give people power or authority) Konsep: Desentralisasi Pembangunan Pendelegasian sejumlah urusan / kewenangan pemerintah daerah (berorientasi penanggulangan kemiskinan) kepada kelembagaan masyarakat tingkat kelurahan Strategi : Pagu Indikatif. Pemberian sejumlah dana/pagu indikatif pembangunan kewilayahan tingkat kelurahan Media : Program Inovatif Daerah Program PAPKSBM : Alokasi Dana/Pagu Indikatif Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Belanja APBD 259.967.477.128 347.859.051.578 421.042.706.402 422.799.369.738 460.965.358.181 535.334.000.000 560.000.000.000
Pembangunan Kewilayahan di Tingkat Kecamatan, Kelurahan, RW, dan RT yang pengelolaannya melalui LPM PDPM Mandiri : Alokasi dana BLM dengan mereplikasi konsep PNPM Mandiri Perkotaan yang pengelolaannya melalui BKM e. Penguatan Lembaga Pelaksana Pemberdayaan 1. Perda Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan (LKK) 2. SK Walikota Pekalongan Nomor 050.05/166 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Kota Pekalongan 3. SK Walikota Pekalongan No.050.05/087 Tahun 2011 tentang Pembentukan Tim Pembina Kelurahan Kota Pekalongan f. Peningkatan alokasi anggaran Pemberdayaan Rencana tahun 2015 itu sekitar 10 % dari APBD ada di masyarakat. Berikut alokasi anggaran untuk program berbasis masyarakat di Kota pekalongan :
Dana Pemberdayaan Masyarakat Akselerasi DDUB (PNPM) Paket 2.800.000.000 0 1.833.000.000 4.700.000.000 0 2.050.000.000 7.200.000.000 4.825.000.000 2.396.000.000 8.200.000.000 3.425.000.000 0 8.200.000.000 3.665.000.000 0 11.000.000.000 5.000.000.000 0 14.600.000.000 8.263.750.000 0
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
% 1,78 % 1,94 % 3,43 % 2,75 % 2,57 % 2,99 % 4,08 %
427
Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Pembangunan di Daerah Widya Puspitaayu Sutisna Tahun 2013 2014
Belanja APBD 638.974.553.000
Dana Pemberdayaan Masyarakat Akselerasi DDUB (PNPM) Paket 19.000.000.000 9.000.000.000 27.000.000.000 13.000.000.000
Ada beberapa manfaat dari program program pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan peran dan patisipasi masyarakat di Kota Pekalongan didalamnya antara lain (i) Prinsip-prinsip Good Governance dalam tata Pemerintahan Daerah akan dapat diwujudkan dan dilembagakan dengan mudah (ii) Tingkat kepercayaan masyarakat Meningkainkat terhadap hasil – hasil pembangunan yang mendorong semangat kegotong royongan, (iii) Hubungan dan Komunikasi antara Birokrasi daerah dan Masyarakat akan mudah dijalin dengan sangat baik, (iv) Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan sebagai Mitra Pemerintah Kelurahan dalam Pembangunan Berbasis Masyarakat akan Tangguh, Mandiri dan Menumbuhkan Sifat Relawan / Peduli Terhadap Masyarakat, dan (v) Kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Pekalongan dari sebelum program P2KSBM = 71,9 sesudah program P2KSBM = 74,90. STUDI KASUS PEMERINTAH KOTA BEKASI Partisipasi masyarakat di suatu daerah dalam penyusunan rencana pembangunan daerah seyogyanya dapat menjadi salah satu tolak ukur sejauh mana daerah tersebut mengembangkan nilai-nilai tata kelola pemerintahan yang baik dalam roda pemerintahannya. Keterlibatan masyarakat dalam arti luas harus didorong baik melalui regulasi maupun penciptaan iklim demokratisasi yang ideal di daerah. Dengan demikian, akan semakin tumbuh rasa memiliki dari masyarakat terhadap program-program daerah beberapa program yang melibatkan partisipasi masyarakat di Kota Bekasi yaitu : a. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, dimulai pada tahun 2007 b. Dana Bantuan Hibah Stimulan Pembangunan Infrastruktur (DBHSPI)
328
c.
% 0 0
4,38 %
Fasilitasi kegiatan jaling, drainase dan posyandu. APBD Rp. 100 juta/kel Program Pembangunan Partisipatif Berbasis Komunitas (P3BK)
Program Pembangunan Partisipatif Berbasis Komunitas (P3BK) adalah pembangunan yang dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemanfaatan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan, serta pengembangan tindak lanjut hasil pembangunan, dengan peran serta seluruh lapisan masyarakat. Fasilitasi kegiatan jaling, drainase, posyandu, dan kantor BKM/LKM . a. Tahun 2012 terdiri dari 56 kelurahan dengan APBD Rp. 200 juta/kel b. Tahun 2013 terdiri 56 kelurahan dengan APBD Rp. 500 juta/kel c. Tahun 2014 dengan Rencana APBD Rp. 1 milyar/kel, Program Pembangunan Partisipatif Berbasis Komunitas (P3BK). Program ini dijalankan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang ada di tingkat kelurahan. Masingmasing BKM mengelola dana pembangunan infrastruktur dengan didukung swadaya masyarakat. Seperti yang disampaikan Kepala Bapedda Kota Bekasi dalam Diskusi Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan di Lembaga Administrasi Negara. Pembangunan yang berbasis masyarakat ini mampu menjawab keinginan masyarakat akan infrastruktur yang baik di lingkungannya. Program pemberdayaan masyarakat ini merupakan bentuk komitmen Pemkot Bekasi dalam upaya membangun peradaban budaya gotongroyong
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
masyarakat. Program ini, masyarakat termotivasi untuk berpartisipasi bersama pemerintah daerah, guna mensukseskan program percepatan pembangunan di seluruh pelosok Kota Bekasi, Program P3BK benar benar melibatkan partisipasi masyarakat. Alasannya karena latar belakang P3BK berawal dari usulan berupan permohonan permintaan masyarakat ditingkat kelurahan untuk (i) penyediaan sarana dan prasarana infrastrtukur dan (ii) permintaan masyarakat untuk mendapatkan kesempatan berusaha melalui penyediana lapangan usaha. Kedua permintaan ini mengindikasikan bahwa masyarkat memiliki kepedulian terhadap kondisi lingkungan, dan punya inisiatif terlibat dan dilibatkan dalam proses pembangunan, mulai dari tahap proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pembiayaan, dan pemeliharaan untuk keberlanjutan program (sustainability). Pada program P3BK, peran dan partisipasi masyarakat sangat dimungkinkan karena alasan keterbatasan kemampuan pemerintah (anggaran dana) dalam memenuhi tuntutan permintaan masyarakat disatu sisi, sedangkan disisi lain masyarakat memiliki kepedulian untuk terlibat dalam proses pembangunan dan menyediakan untuk memberikan bantuan (pikiran, tenaga, dana) untuk bisa berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Program P3BK adalah program dari, oleh, dan untuk masyarakat. Peran dan posisi pemerintah lebih kepada memfasilitasi, membuatkan regulasi kebijakan. Dukungan dana dari pemerintah untuk P3BK lebih bersifat stimulan dan sementara. Fungsinya sebagai akselerasi untuk selanjutnya masyarakatlah yang bertanggung jawab dalam proses pelaksanaan, pengawasan, pemeliharaan dan pembiayaan, sehingga program tersebut bisa terlaksana.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
Prinsip utama yang dikembangkan dalam mendorong masyarakat dalam program P3BK adalah (i) desentralisasi dan otonomi, artinya masyarakat diberikan kewenangan dan hak otonomi secara mandiri untuk merumuskan program, merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan membiayai serta memelihara. (Ii) keswadayaan, artinya masyarakat memegang peran penting dalam mendorong keberhasilan program ini. Bantuan tenaga, pikiran, material sangat diperlukan dan mempengaruhi pelaksanana program. (iii) Sinergitas. Artinya program ini memiliki keterkaitan dengan program lain, baik dari segi input maupun outcome benefitnya bagi masyarakat. STUDI KASUS LP3ES LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan EKonomi dan Sosial) merupakan salah satu LSM tertua di Indonesia. LP3ES berdiri sejak tahun 1971 oleh beberapa kalangan cendekiawan dan aktifis mahasiswa. Kemunculan LP3ES diawali dari perlunya adanya pemikiran atau wacana alternative dalam pembangunan ditengah dominasi rezim otoriter orde baru. LP3ES bersifat otonom, nirlaba dan non governance. LP3ES dalam programnya bergerak pada tataran dua level, gagasan pemikiran dan aksi. Yang pertama pada tingkat elite, sedangkan yang kedua pada tingkat grass root (massa). Pada tingkat elite, LP3ES menerbitkan buku buku gagasan pemikiran alternative pembangunan politik, ekonomi, militer, social, kebudayan, keagaamaan, diluar mainstream kebijakan pemerintah saat itu. Sedangkan aksi pada level grass root, LP3ES melakukan berbagai macam program aksi pemberdayaan, advokasi, community development seperti pada kalangan petani, nelayan, masyarakat adat, dan pesantren. Program dan kegiatan yang dilakukan LP3ES antara lain Penelitian, Pengembangan Sumber Daya Air dan Lingkungan (PSDAL),
429
Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Pembangunan di Daerah Widya Puspitaayu Sutisna
Studi Demokrasi dan HAM (CESDA), Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat (PSEM), Pengembangan Kelembagaan CSO, serta Penerbitan: Jurnal Prisma dan Buku pengetahuan. Sedangkan Program Partisipasi antara lain dalam bidang Pemberdayaan Air dan Sungai, meliputi (i) UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dalam pasal 84 dan 85 memberikan peluang, hak dan kewajiban masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan air dan (ii) Peran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan air diakomodir dalam Perpres No 12 tahun 2008 tentang Dewan Sumber Daya Air. Ada tiga tingkatan yang dilakukan oleh LP3ES dalam mendorong masyarakat untuk terlibat program pemberdayaan Air dan Sungai, yaitu : 1. Tingkatan lapangan, LP3ES melakukan berbagai macam aksi dan pemberdayaan masyarakat melalui (i) keterlibatanya dalam Forum Mayarakat Sungai. (ii) Penanaman/penghijauan (regreening) di daerah hulu, (iii) Pemeliharaan dan pembersihan sungai, (iv) Menyebarkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat melalui pembuatan media komunikasi, seperti pembuatan film, poster, (v) Melakukan pemantauan dan memberikan masukan tentang kondisi sungai, dan (vi) Membentuk kader masyarakat melalui pelatihan partisipatoris dalam memotivasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sungai. 2. Tingkatan kelembagaan di daerah, LP3ES melakukan berbagai macam upaya mendorong masyarakat diantaranya melalui (i) Ketererlibatan dan berperan sebagai anggota Dewan SDA tingkat provinsi atau Dewan SDA wilayah sungai, (ii) Evaluasi kinerja kelembagaan kondisi
430
pengelola sungai, (iii) Advokasi pelaksanaan program pengelolaan sungai: perencanaan, pelaksanaan dan monev,dan (iv) Advokasi kepada Pemda dalam merumuskan kebijakan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sungai. 3. Tingkatan kelembagaan ditingkat pusat, LP3ES melakukan berbagai macam upaya antara lain : (i) Terlibat aktif dalam penyusunan strategi dan kebijakan nasional Dewan SDA, (ii) Studi evaluasi Pengelolaan SDA, (iii) Penyusunan konsep penguatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA, (iv) Advokasi kebijakan perbaikan pelaksanaan pengelolaan SDA, dan (v) Penyusunan naskah akademis penguatan CSO dan pengguna air dalam pengelolaan SDA. PERMASALAHAN DAN TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI Berdasarkan penjelasan dari Walikota Pekalongan, pelaksanaan program pembangunan berbasis partisipasi masyarakat menghadapi beberapa permasalahan dan tantangan antara lain (i)Isu Dan Permasalahan Pengukuran Kinerja Pembangunan masih bertumpu pada posting anggaran Bantuan Langsung (BL) dan Bantuan Tidak Langsung (BTL), (ii)Intervensi Pembentukan Perangkat Daerah, dan (iii) Otonomi Daerah SKPD sebagai fasilitator. Sedangkan beberapa permasalahan dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan P3BK di Kota Bekasi antara lain : (i) Masih lemahnya koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program dan kegiatan, (ii) Masih lemahnya sinergitas dalam proses perencanaan kegiatan, (iii) Masih rendahnya pemahaman terhadap mekanisme pelaksanaan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan, (iv) Belum
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
ARTIKEL
optimalnya pendampingan terhadap masyarakat dalam penyusunan proposal kegiatan, dan (v) Belum optimalnya sinergitas antara program/kegiatan yang dilaksanakan dalam P3BK dengan program/kegiatan lain. Secara garis besarnya, Abdul Aziz Muslim dari LP3ES, menyimpulkan beberapa permasalahan dan tantangan dalam pelaksanaan program pembangunan berbasis masyarakat, antara lain (i) Tingkat pendidikan, pengetahuan dan kapasitas masyarakat , (ii) Political will, (iii) Leadership, (iv) Social Cultural Local , (v) Regulasi kebijakan . REKOMENDASI KEBIJAKAN Berdasarkan kajian, beberapa hal yang layak untuk dipertimbangkan untuk menjadi rekomendasi antara lain : 1. Penguatan semua unsur kelembagaan mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kabupaten/kota dengan masyarakat. 2. Meningkatkan koordinasi antara SKPD, Pokja, Kelurahan, Kecamatan, LPM dan BKM dalam proses perencanaan dalam rangka sinergitas perencanaan kegiatan. 3. Mengupayakan kejelasan alokasi anggaran untuk program pemberdayaan masyarakat. 4. Optimalisasi pendampingan terhadap masyarakat. 5. Meningkatkan pemahaman semua unsur terkait terhadap mekanisme pelaksanaan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan. DAFTAR PUSTAKA Asri Lubis. 2009. Upaya Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan. Jurnal Tabularasa PPS Unimed. Volume 6 Nomor 2 Halaman 181 - 190. Bambang Munas Dwiyanto . 2011. Model Peningkatan Partisipasi Masyarakat
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
Dan Penguatan Sinergi Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan. Jurnal Ekonomi Pembangunan FE Undip. Volume 12 Nomor 2. Halaman 239-256. Didi Prayitno. 2008. Partisipasi Masyarakat Dalam Implementasi Kebijakan Pemerintah ( Studi Kasus Pelaksanaan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun Di Distrik Semangga, Kabupaten Merauke ). Tesis. Program Studi Magister Ilmu Administrasi Universitas Diponegoro Semarang. Direktorat Jenderal Cipta Karya - Kementerian Pekerjaan Umum. 2012. Pedoman Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Irma Septiani. 2012. Partisipasi Masyarakat Dalam Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan Dengan Penggunanaan Model Clear. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Jakarta. James L. Creighton. 2005. The Public Participation Handbook: Making Better Decisions Through Citizen Involvement. San Francisco: John Wiley & Sons, Inc. Khairuddin, 2000. Pembangunan Masyarakat., Tinjauan Aspek: Sosiologi, Ekonomi dan Perencanaan. Liberty, Yogyakarta. Ria Wenny Asriani. 2011. Partisipasi Masyarakat Dalam Mensukseskan Program Pendidikan Kesetaraan. Skripsi. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Padang. Sil Maria Ungirwalu. 2012. Kepemimpinan Partisipatif (Sebuah Kajian Teoritis).Jurnal Ilmu Administrasi Dan
431
Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Pembangunan di Daerah Widya Puspitaayu Sutisna
Sosial " Societas”. Nomor 1 Jilid 1 Halaman 20-37. Yoni Yulianti. 2012. Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan Di Kota Solok. Artikel. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang. Wahyu Ishardino Satries. 2011. Mengukur Tingkat Partisipasi Masyarakat Kota Bekasi Dalam Penyusunan APBD Mel alui Pelaksanaan Musrenbang 2010. Jurnal Kyberna . Volume 2 Nomor 2. Bahan paparan Walikota Pekalongan Dr Basyir Ahmad Bahan paparan Walikota Bekasi yang diwaliki oleh Kepala Bappeda Kota Bekasi Dr.H. Suwarli, M.Si Bahan paparan LP3ES yang disampaikan Abdul Aziz Muslim
432
JURNAL DESENTRALISASI Volume 11 No. 2, 2013
Petunjuk Penulisan Jurnal Desentralisasi merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi DaerahLembaga Administrasi Negara dengan kode ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah, atau pengamat untuk menyumbangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikirian kritis di bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Topik Jurnal Desentralisasi mencakup berbagai isu dan permasalahan otonomi daerah. Substansi yang dikembangkan meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, dan dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah. Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Desentralisasi adalah sebagai berikut : 1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-isu di bidang desentralisasi dan otonomi daerah, yang meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, serta dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah; 2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/insitasi dan keyword/kata kunci diketik dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran kuarto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabael dan daftar pustaka). Menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3 cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm 3. Setiap table dan gambar diberi judul. Posisi judul table berada di atas table, sedangkan posisi judul gambar berada dibawah gambar. 4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas : a. Judul tulisan; b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama adalah penulis utama; c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor telepon dan alamat email penulis; d. Abstrak/intisasi ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-masing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci; e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemukakan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topic tulisan dengan disertai data-data pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis; f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu dituliskan metode penelitian yang digunakan; g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap data; h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan penulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan; i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan dengan tanda koma), tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama penerbit. Untuk sumber yang diperoleh dari
internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut : Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Changes : a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York : Routledge. Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta : Ghalia Indonesia. 5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi naskah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip; 6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung, gambar, serta table yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam daftar pustaka; 7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Desentralisasi dengan alamat : Redaksi Jurnal Desentralisasi Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara Gedung B Lantai 3 Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Telp. (021) 3868201-07 Ext. 119-120 Email :
[email protected] Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di review oleh Dewan Penyunting, dan atas setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang pantas kepada penulis. ***